Memuliakan Bulan Kelahiran Nabi Muhammad

Memperingati Maulid Nabi berarti juga memuliakan bulan saat Nabi dilahirkan. Dan Rasulullah menyukai berpuasa pada hari Senin dengan alasan karena pada hari itulah Nabi lahir. Nama kitab: Terjemah Husnul Maqshid fi Amalil Maulid Judul kitab asal: Husnul Maqshid fi Amalil Maulid (حسن المقصد في عمل المولد) Penulis: Imam Suyuthi Nama lengkap: Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti Penerjemah: Sya'roni As-Samfuriy Bidang studi: Hukum syariah
Memuliakan Bulan Kelahiran Nabi Muhammad
Memperingati Maulid Nabi berarti juga memuliakan bulan saat Nabi dilahirkan. Dan Rasulullah menyukai berpuasa pada hari Senin dengan alasan karena pada hari itulah Nabi lahir.

Nama kitab: Terjemah Husnul Maqshid fi Amalil Maulid
Judul kitab asal: Husnul Maqshid fi Amalil Maulid (حسن المقصد في عمل المولد)
Penulis: Imam Suyuthi
Nama lengkap: Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti
Penerjemah: Sya'roni As-Samfuriy
Bidang studi: Hukum syariah

Daftar Isi

MAULID NABI BERARTI MENGAGUNGKAN BULAN KELAHIRAN NABI

Keutamaan waktu dan tempat adalah karena Allah memberi kekhususan dengan ibadah tertentu yang dilakukan di waktu dan tempat tersebut. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa waktu dan tempat tidak menjadi mulia karena bendanya, tetapi karena makna khusus yang terkandung di dalamnya. Lihatlah makna khusus yang diberikan oleh Allah di bulan Rabi’ul Awal dan hari Senin ini. Tidakkah Anda lihat bahwa puasa pada hari Senin memiliki keutamaan yang agung karena Rasulullah Saw. dilahirkan di hari tersebut? Dengan demikian, dianjurkan bila telah masuk bulan yang mulia ini untuk dimuliakan, diagungkan dan dihormati secara
layak untuk mengikuti Rasulullah Saw. dalam mengistimewakan waktu-waktu utama dengan menambah perbuatan bajik dan memperbanyak
amal-amal kebaikan. Tidakkah Anda melihat riwayat Ibnu Abbas Ra.:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير وكان أجود ما يكون في رمضان ،

“Rasulullah adalah orang yang paling gemar melakukan kebaikan, dan beliau paling gemar di bulan Ramadhan…”[16]

Maka, kita meneladani pengagungan waktu-waktu utama sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, sesuai dengan kemampuan kita.

Jika ada yang bertanya: “Rasulullah secara terus menerus beribadah dalam waktu-waktu tertentu sebagaimana telah diketahui, namun Rasulullah tidak menekuni suatu ibadah di bulan Maulid ini seperti di bulan yang lain”, maka jawabnya adalah:
Sebagaimana diketahui dari tradisi mulia Rasulullah Saw. bahwa beliau menginginkan kemudahan bagi ummatnya, apalagi terkait hal-hal yang khusus. Tidakkah Anda lihat bahwa Rasulullah Saw. menjadikan Madinah sebagai wilayah ‘Haram’ (mulia) sebagaimana Ibrahim menjadikan wilayah Mekkah sebagai tanah Haram? Meski begitu Rasulullah tidak memberlakukan hukum denda membunuh hewan yang diburu dan memotong pohon yang ada di Madinah, sebagai bentuk keringanan dan belas kasih kepada umat beliau. Maka
Rasulullah mengukur berdasarkan diri beliau dan jika hal tersebut di atas kemampuan beliau, maka beliau meninggalkannya karena untuk memberi keringanan kepada ummat.

Dengan demikian, pengagungan di bulan Rabi’ul Awal yang mulia adalah dengan memperbanyak amal-amal suci, sedekah dan pendekatan diri lainnya. Barangsiapa yang tidak mampu, maka minimal ia meninggalkan hal-hal yang diharamkan untuk mengagungkan bulan mulia ini. Kendatipun hal tersebut harus dilakukan di bulan lain, namun di bulan Rab’iul Awal ini dilakukan dengan lebih
maksimal sebagai penghormatan, sebagaimana dilakukan di bulan Ramadhan dan dalam bulan-bulan mulia lainnya. Maka dapat meninggalkan hal-hal bid’ah dalam agama, menjauhi tempat-tempat bid’ah dan hal-hal yang tidak layak.”

Sebagian orang saat ini ada yang melakukan sebaliknya. Yaitu ketika masuk bulan yang agung ini mereka bergegas untuk melakukan hal yang tak berguna dan bermain alat musik seperti gendang dan sebagainya. Sungguh disayangkan perbuatan mereka ini. Bahkan sebagian mereka menyangka bahwa mereka beradab dengan mengawali Maulid melalui bacaan al-Quran dan mereka melihat kepada orang
yang lebih banyak pengetahuannya tentang hipnotis dan cara lain untuk menarik hati orang lain. Cara ini mengandung banyak mafsadah. Tidak itu saja, mereka juga menggabungkan hal buruk lainnya, yaitu penyanyinya adalah anak muda rupawan, indah
suaranya, pakaiannya dan bentuknya. Ia bernyanyi, melenturkan suara dan gerakannya hingga menarik hati laki-laki dan perempuan. Maka terjadi fitnah [17] di antara kedua lawan jenis itu dan menyebabkan terjadinya mafsadah yang tak terhitung jumlahnya. Bahkan hal itu bisa menjadi penyebab rusaknya hubungan suami-istri dan perceraian, hidup merana dan perpecahan setelah mereka dipertemukan.

Perbuatan-perbuatan buruk ini terjadi dalam acara Maulid yang digelar dengan nyanyian. Jika nyanyian tidak ada dan sekedar melakukan Maulid dengan hidangan makanan sebagai niat Maulid dan mengundang rekan-rekannya serta tidak melakukan hal-hal buruk di atas, maka ini adalah bid’ah dalam niatnya saja. Sebab hal itu perbuatan berlebih dalam agama dan bukan amal dari ulama terdahulu, sementara mengikuti ulama terdahulu lebih utama. Maulid juga tidak dilakukan dari satu orang ulama salaf bahwa mereka berniat melakukan Maulid. Kita adalah pengikut, maka apa yang mereka lakukan juga kita lakukan.” (Ini semua penjelasan Ibnu al-Hajj).

(Imam as-Suyuthi berkata): Kesimpulan yang disampaikan oleh Ibnu al-Hajj adalah tidak mencela Maulid Nabi. Dia mencela hal-hal yang haram dan mungkar yang terjadi dalam Maulid Nabi. Di awal pendapatnya sangat jelas bahwa ia (Ibnu al-Hajj) menganjurkan agar bulan Maulid secara khusus ditambahkan perbuatan bajik, memperbanyak kebaikan, sedekah dan pendekatan diri yang lain. Inilah bentuk amaliah Maulid Nabi yang kami nilai sebagai perbuatan baik. Sebab yang ada dalam Maulid Nabi hanyalah membaca al-Quran dan sedekah makanan. Hal ini adalah kebaikan, kebajikan dan bentuk pendekatan diri kepada Allah.

Sedangkan di akhir perkataan Ibnu al-Hajj yang berbunyi “Ini adalah bid’ah”, bisa jadi bertentangan dengan statement sebelumnya, atau bisa jadi yang dimaksud adalah bid’ah hasanah (yang baik) sebagaimana telah dijelaskan di awal kitab tadi. Atau yang dimaksud perbuatan tersebut baik tetapi niatnya yang dinilai bid’ah, sebagaimana yang ia katakan “Ini adalah bid’ah dalam niatnya saja”, dan perkataannya “Maulid juga tidak dilakukan dari satu orang ulama salaf bahwa mereka berniat melakukan Maulid”.

Maka secara dzahirnya, Ibnu al-Hajj menilai makruh untuk niat Maulid Nabi saja, namun dia tidak menilai makruh membuat hidangan dan mengundang rekan-rekannya. Jika memahami pendapatnya seolah tidak sesuai dengan pendapatnya semula. Sebab dia
mendorong untuk menambah amal kebaikan sebagai bentuk syukur kepada Allah yang telah menciptakan penghulu para rasul Saw. Inilah makna “niat Maulid”. Maka bagaimana mungkin Ibnu al-Hajj mencela perilaku Maulid Nabi yang agung ini, padahal awalnya dia mendorong melakukannya?

Sedangkan jika hanya melakukan kebaikan dan seterusnya tanpa niat sama sekali, maka hampir tidak mungkin terjadi. Kalaupun terjadi tidak disebut ibadah dan tidak ada pahalanya. Sebab tidak ada amal kecuali dengan niat, dan tidak ada niat, dalam hal ini adalah Maulid Nabi, kecuali untuk bersyukur kepada Allah atas kelahiran Nabi yang mulia ini dalam bulan Rabi’ul Awal.
Inilah makna “niat Maulid”. Dan tidak diragukan lagi ini adalah niat yang baik. Maka pikirkanlah!

CATATAN KAKI

16. HR. Bukhari No. 1902 dan Muslim No. 6149.

17. Fitnah yang dimaksud di sini adalah “hasrat nafsu dan dorongan untuk melakukan zina”. (I’anat ath-Thalibin juz 3 hlm. 301).
LihatTutupKomentar