Pandangan Ulama Anti Maulid

Memperingati Maulid Nabi Muhammad saw mengundangan kontroversi di kalangan ulama. Bukan hanya di kalangan Salafi Wahabi saja yang tidak setuju, tapi juga ada ulama dari Madzhab Maliki bernama Al-Fakihani juga mengungkapkan ketidaksetujuannya. Ia menyatakan bahwa peringatan maulid Nabi termasuk makruh atau haram.
Pandangan Ulama Anti Maulid
Memperingati Maulid Nabi Muhammad saw mengundangan kontroversi di kalangan ulama. Bukan hanya di kalangan Salafi Wahabi saja yang tidak setuju, tapi juga ada ulama dari Madzhab Maliki bernama Al-Fakihani juga mengungkapkan ketidaksetujuannya. Ia menyatakan bahwa peringatan maulid Nabi termasuk makruh atau haram.

Nama kitab: Terjemah Husnul Maqshid fi Amalil Maulid
Judul kitab asal: Husnul Maqshid fi Amalil Maulid (حسن المقصد في عمل المولد)
Penulis: Imam Suyuthi
Nama lengkap: Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti
Penerjemah: Sya'roni As-Samfuriy
Bidang studi: Hukum syariah

Daftar Isi

Pandangan Ulama Anti Maulid Nabi

Syaikh Tajuddin Umar bin Ali al-Lakhmi as-Sakandari yang dikenal dengan al-Fakihani, seorang ulama generasi akhir madzhab Malikiyah, berpendapat bahwa amaliah Maulid Nabi adalah bid'ah yang tercela. Bahkan ia mengarang sebuah kitab berjudul al-Maurid fi al-Kalam 'ala 'Amali al-Maulid. Saya (Imam as-Suyuthi) akan mengungkap dan mengulasnya satu-persatu.

Al-Fakihani rahimahullah berkata yang diawali dengan muqaddimah:

الحمد لله الذي هدانا لاتباع سيد المرسلين ، وأيدنا بالهداية إلى دعائم الدين ويسر لنا اقتفاء أثر السلف الصالحين ، حتى امتلأت قلوبنا بأنوار علم الشرع وقواطع الحق المبين ، وطهر سرائرنا من حدث الحوادث والابتداع في الدين ، أحمده على ما من به من أنوار اليقين ، وأشكره على ما أسداه من التمسك بالحبل المتين ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأن محمدا عبده ورسوله سيد الأولين والآخرين ، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأزواجه الطاهرات أمهات المؤمنين صلاة دائمة إلى يوم الدين . أما بعد

“Berulangkali diajukan pertanyaan dari para pencari berkah sebuah perkumpulan yang dilakukan sebagian orang di bulan Rabi’ul Awal yang mereka namakan Maulid, apakah hal ini ada dasarnya dalam agama ataukah sebuah bid'ah dalam agama? Mereka mengharap jawaban yang jelas tentang hal itu. Maka saya jawab, seraya meminta pertolongan kepada Allah:

Saya (al-Fakihani) tidak mengetahui amaliah Maulid ini memiliki dasar dalam al-Quran maupun as-Sunnah, juga tidak pernah dilakukan oleh seorang ulama panutan pun yang berpegang pada amaliah atau perkataan ulama terdahulu. Bahkan Maulid ini adalah
bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang berbuat salah dan bernafsu-syahwat terhadap makanan. Dengan dalil yang akan kami sampaikan melalui 5 hukum, maka kami katakan; Adakalanya hukum tersebut adalah wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Dan Maulid ini tidak termasuk wajib secara ijma', juga bukan sunnah. Sebab hakikat sunnah adalah hal-hal yang dianjurkan
oleh syariat untuk melakukannya tanpa mencela karena meninggalkannya.

Sepengetahuanku, Maulid ini tidak ada perintah dari agama, tidak dilakukan oleh para sahabat dan tabi'in. Inilah jawaban saya di hadapan Allah ketika saya ditanya tentang Maulid. Juga tidak bisa dihukumi mubah (boleh), karena bid’ah dalam agama tidak dihukumi mubah dengan ijma' umat Islam. Maka hukum yang ada bagi Maulid berkisar antara makruh dan haram.

Pembahasan Maulid ini terdiri dari 2 bab dengan perincian sebagai berikut: Pertama, seseorang melakukan amaliah Maulid dari hartanya sendiri untuk keluarga dan sahabatnya. Mereka malakukannya sekedar berkumpul untuk menikmati makanan tanpa melakukan
hal-hal yang dilarang. Maka inilah yang kami maksud dengan bid'ah yang makruh dan buruk [6], karena tidak dilakukan oleh seorangpun dari ulama terdahulu yang ahli ibadah, ahli fikih dalam Islam, ulama umat manusia, penerang zaman dan hiasan tempat.

Kedua, mengandung unsur jinayah (pencurian) dan menguatnya keinginan, hingga seseorang memberikan sesuatu berdasar nafsunya sementara hatinya tersakiti. Sementara ulama berkata bahwa mengambil harta dengan kedudukan sama halnya mengambil harta dengan pedang. Terlebih lagi apabila dalam Maulid terdapat nyanyian disertai perut yang kenyang, alat malahi seperti gendang, wanita-wanita remaja, berkumpulnya para lelaki dengan anak-anak muda yang tampan dan wanita-wanita yang menyebabkan terjadinya fitnah –baik bercampur atau hampir bercampur-, menari dengan berlanggak-lenggok, menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tak berguna dan melupakan hari yang ditakuti (kiamat).

Begitupula wanita yang berkumpul di tempat yang berbeda dengan mengeraskan suara nyanyian, keluar untuk membaca dan dzikir yang telah disyariatkan dan yang telah menjadi tradisi, mereka lupa akan firman Allah, “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. al-Fajr ayat 14). Hal ini adalah sesuatu yang tak ada perbedaan dari dua orang mengenai keharamannya dan tak ada yang menilainya baik dari orang-orang yang memiliki wibawa. Hal di atas hanya untuk mempermanis matinya hati dan tak dapat bebas dari perbuatanperbuatan dosa.

Saya tambahkan untuk kalian, bahwa mereka menilainya sebagai ibadah, bukan suatu kemungkaran yang diharamkan, innalillahi wainna ilaihi raji'un. “Awal mula Islam adalah sebagai sesuatu yang asing, dan akan kembali menjadi sesuatu yang asing seperti sedia kala.”[7] Sungguh indah perkataan guru kami, al-Qusyairi, ketika ia melantunkan syair yang diijazahkan kepada kami:

قد عرف المنكر واستنكر المعروف في أيامنا الصعبه وصار أهل العلم في وهدة
وصار أهل الجهل في ريبه حادوا عن الحق ، فما للذي
ساروا به فيما مضى نسبه فقلت للأبرار أهل التقى
والدين لما اشتدت الكربه لا تنكروا أحوالكم قد أتت
نوبتكم في زمن الغربه

“Dia tahu tentang yang mungkar, tetapi pura-pura mengingkari hal yang baik di hari-hari yang sulit ini. Orang yang berilmu berada di tempat yang rendah, dan orang bodoh berada di tempat yang tinggi. Mereka melewati batas, maka bagaimana bagi mereka yang telah melewati masa silam itu? Saya berkata kepada orangorang baik: “Wahai orang yang bertaqwa dan menjalankan agama! Ketika masa sulit kian menjadi dahsyat, janganlah kalian mengingkari keadaan kalian. Saat ini telah tiba giliran kalian dalam masa keterasingan.”

Dan sungguh indah pula perkataan Imam Abu ‘Amr bin ‘Ala’ ketika ia berkata: “Manusia selalu dalam kebaikan, selama ia kagum dari membanggakan diri (‘ujub).” Inilah penjelasan tentang Maulid. Padahal bulan di mana Rasulullah Saw. dilahirkan, yaitu bulan Rabi’ul Awal, adalah bulan dimana Rasulullah wafat. Maka kebahagiaan di bulan tersebut tidak lebih utama dari kesedihan di bulan tersebut. Inilah penjelasan dari kami, dan kami mengharap dari Allah diterimanya amal ini dengan baik.”

Semua keterangan di atas adalah penjelasan yang disampaikan oleh al-Fakihani dalam kitabnya tersebut. Berikut adalah bantahan dari al-Hafidz Imam as-Suyuthi:

CATATAN KAKI

6. Hal ini bertentangan dengan hadits shahih bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa melakukan sunnah (perbuatan) dalam Islam dengan sunnah yang baik, maka ia mendapatkan pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang melakukannya…” (HR. Muslim No. 6975). Sebab dalam Maulid Nabi mengandung nilai-nilai Islami, seperti baca al-Quran, kisah Rasulullah, sedekah dan lain-lain. Imam an-Nawawi berkata: Hadits ini adalah penjelas dari hadits yang berbunyi "Setiap hal yang baru adalah bid'ah tersesat." (Syarh Muslim juz 7 hlm. 103). Dalam hadits ini juga tidak diharuskan bahwa orang yang melakukan pertamakali perbuatan baik dalam Islam adalah sahabat atau tabi'in.

7. Kalimat ini merupakan bunyi dari hadits yang sudah masyhur, yang diriwayatkan oleh Muslim No. 145, Ibnu Majah No. 3968 dan
Abu Ya'la No. 6190.
LihatTutupKomentar