Kebijakan Pemimpin berdasarkan Kemaslahatan

Kaidah fikih: Kebijakan seorang pemimpin dalam kepemimpinannya harus dilandasi dengan kemaslahatan” Misalnya : 1. Ketika imam membagi zakat terhadap beberapa ashnaf, maka diharamkan memberikan kelebihan kepada salah satu ashnaf jika kebutuhannya sama. 2. Tidak diperbolehkan kepada seseorang untuk memilih imam dalam sholat itu yang fasiq walaupun secara hukum sah menjadi ma‟mum padanya, karena hukumnya adalah makruh.
Kebijakan Pemimpin berdasarkan Kemaslahatan
Nama buku: Terjemah kitab Kaidah Fiqh dan Ushul Fikih Mabadi Awaliyah (Mabadi' Awwaliyyah)
Nama kitab asal: Mabadi' Awaliyah fi Ushul al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah (مبادئ أولية في أصول الفقه صش القواعد الفقهيه)
Pengarang: Abdul Hamid Hakim
Penerjemah: H. Sukanan S.Pd.I, Ust. Khairudin
Bidang studi: Kaidah dan Ushul Fikih madzhab Syafi'i

Daftar Isi

KAIDAH KEDUA PULUH LIMA

الإيثار بغيرالعبادة مطلوب

“Mendahulukan diri sendiri dalam hal yang bukan ibadah itu yang dicari”

Misalnya :

1. Mendahulukan dalam hal kemiskinan (demi orang lain)

2. Mendahulukan dalam hal pakaian (demi orang lain)

3. Mendahulukan dalam hal makanan (demi orang lain)

4. Tidak mengambil harta sodaqoh, karena mendahulukan buat orang lain

Nabi Saw bersabda :

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya itu”

KAIDAH KEDUA PULUH ENAM


تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan seorang pemimpin dalam kepemimpinannya harus dilandasi dengan kemaslahatan”

Misalnya :

1. Ketika imam membagi zakat terhadap beberapa ashnaf, maka diharamkan memberikan kelebihan kepada salah satu ashnaf jika kebutuhannya sama.

2. Tidak diperbolehkan kepada seseorang untuk memilih imam dalam sholat itu yang fasiq walaupun secara hukum sah menjadi ma‟mum padanya, karena hukumnya adalah makruh.

3. Tidak diperbolehkan menggunakan harta baitul mal untuk orang yang tidak butuh
dan membelakangkan orang yang lebih butuh

Nabi Saw bersabda :

قال النبي صلى الله عليه وسلم : ادرؤا الحدود بالشبهات

“Tolaklah hukum hudud itu dengan perkara yang syubhat (ragu-ragu)”

KAIDAH KEDUA PULUH TUJUH

الحدود تسقط بالشبهات

“Hudud (hukum had) itu hilang dengan adanya perkara yang syubhat”

Misalnya

1. Bagi orang yang menjima‟ perempuan dan ia menyangka bahwa perempuan itu adalah istrinya, maka ia tidaklah mendapat hukuman (had)

2. Bagi orang yang menjima‟ perempuan yang dinikahinya, tetapi nikahnya menurut pendapat sebagian hukumnya halal dan sebagian yang lain menyatakan haram, seperti nikah mut‟ah, nikah tanpa wali, atau tanpa saksi dan setiap nikah yang ulama berbeda pendapat dalam hukumnya.

3. Orang yang mengambil harta yang disangkanya adalah kepunyaannya atau kepunyaan bapaknya atau anaknya, maka tidaklah ia diberi hukuman (had) karena syubhat dalam kepemilikannya itu.

4. Orang yang meminum khamer untuk berobat walau menurut Qaul Ashoh (yang lebih shahih) itu hukumnya haram, karena syubhatnya khilafiyah (perbedaan pendapat).

Allah Swt. Berfirman dalam surat ali-„Imran : 102

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam."

KAIDAH KEDUA PULUH DELAPAN

ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب

“Perkara yang membuat sempurnanya hukum wajib maka perkara itu hukumnya wajib pula ”

Misalnya :

1. Wajibnya mencuci juz (bagian) dari leher dan kepala beserta mencuci wajah

2. Wajibnya mencuci juz (bagian) dari lengan dan betis beserta mencuci sikut dan kaki.

Nabi Saw bersabda :

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ

“Barang siapa yang menjaga perkara syubhat, maka akan mendapatkan kesucian dalam agamanya dan kehormatannya”

KAIDAH KEDUA PULUH SEMBILAN

الخروج من الخلاف مستحبٌّ

“Keluar dari khilafiyah hukumnya sunnah”

Misalnya :

1. Disunnahkan menggosok-gosok dalam bersuci/berwudhu dan meratakan usapan pada kepala, karena keluar dari khilafiyah Imam Malik yang mewajibkannya.

2. Disunnahkan mencuci mani (sperma), karena Imam Malik mewajibkannya.

3. Disunnahkannya Sholat Qashr dalam perjalanan yang menempuh jarak 3 marhalah ( + 16 farsakh = 88,5 km ) karena keluar dari khilafiyah Imam Abu Hanifah yang mewajibkannya.

4. Menjauhi menghadap dan membelakangi kiblat (bagi yang sedang buang air besar atau kecil) dengan menggunakan penutup, hukumnya adalah sunnah, karena keluar dari khilafiyah Imam Shofyan Tsauri yang menghukumi wajib menjauhinya secara muthlak.

5. Makruhnya sholat munfarid (sendirian) dibelakang barisan ma‟mum yang ada, karena keluar dari khilafiyah Imam Ahmad yang membatalkannya.

6. Makruhnya mufarraqah (berpisah) dengan imam tanpa udzur, karena keluar dari khilafiyah Imam Daud Dzahiri yang membatalkannya.

PERHATIAN (تنبيه)

Untuk menjaga khilafiyah terdapat beberapa syarat :

1. Menjaga khilafiyah itu tidak berada pada tempat khilafiyah yang lain, untuk itu memfashal (memisah) sholat witir itu lebih afdhol dari mewasholnya (menyambungnya) dengan tidak menjaga khilafiyah imam Abu hanifah karena sesungguhnya sebagian dari ulama itu tidak membolehkan untuk menyambungkannya.

2. Khilafiyah itu tidak berbeda dengan sunnah yang ditetapkan, untuk itu disunnahkan mengangkat kedua telapak tangan dalam sholat dengan tidak memperdulikan pendapat imam Abu Hanifah yang membatalkannya, karena mengangkat kedua telapak tangan itu sudah ditetapkan dari hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh 50 orang sahabat.

3. Landasan hukum khilafiyah itu telah kuat dengan tidak tergesa-gesa dalam menentukannya, untuk itu berpuasa bagi orang yang bepergian itu lebih utama, dengan tidak memperdulikan pendapat sebagian ahli dzahir yang menyatakan bahwa puasanya itu tidak sah.

وليس كل خلاف جاء معتبرا إلا خلاف له حظ من النظر

“Dan tidak ada pada setiap khilafiyah itu datang dengan i‟tibar, kecuali khilafiyah yang terdapat di dalamnya bagian-bagian dari pemikiran.”

Allah Swt. Berfirman dalam surat al-Baqarah : 173

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ

".....Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya....."
LihatTutupKomentar