Bab II Kajian Kenabian
Nama kitab: Terjemah Mafahim Yajibu an Tushohhah (Pemahaman yang Harus Diluruskan)
Judul kitab asal: (مفاهيم يجب أن تصحح)
Pengarang/penulis: Sayid Muhammad Alawi Al-Maliki
Nama lengkap: Sayid Muhammad bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani Al-Idrisi Al-Makki (1944–2004)
Panggilan hormat dari murid dan muhibbin: Abuya, Sayyidil Walid, Sayyidil Walid Abuya
Penerjemah:
Bidang studi: Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), Wahabime, Salafisme, Syariah
Daftar isi
- Bab II Kajian Kenabian Uraian Mengenai Keistimewaan Nabi, Substansi Kenabian, Kemanusiaan Dan Substansi Kehidupan Barzakh
 - Ibnu Taimiyyah Dan Keistimewaan-Keistimewaan Kenabian
 - Ibnu Taimiyyah Dan Karomah
 - Ibnul Qayyim Dan Duduknya Nabi Saw Di Atas ‘Arasy
 - Ticket Masuk Sorga Berada Di Tangan Nabi Saw
 - Fatwa Ibnu Taimiyyah Tentang Persoalan Ini
 - Persepsi Tabarruk (Memohon Berkah)
 - Tabarruk Dengan Rambut, Sisa Air Wudlu Dan Keringat Nabi Saw
 - Tabarruk Dengan Rambut Nabi Saw Sepeninggal Beliau
 - Bab III Disyari’atkannya Ziarah Kepada Makam Nabi
 - Kekalnya Jasad Para Nabi As
 - Dukungan Ibnu Taimiyyah Terhadap Kejadian-Kejadian Di Atas
 - Adanya Sebagian Karomah Untuk Selain Para Nabi
 - Penghuni Kubur Saling Mengunjungi
 - Ziarah Kubur Adalah Ziarah Ke Masjid Dalam Penilaian Al Sayikh Ibnu Taimiyyah
 - Statemen Para Imam Salaf Menyangkut Disyari’atkannya Ziarah Ke Sayyidina Rasulullah Dan Memberangkatkan Kendaraan Pergi Menuju Kuburan Beliau
 - Ziarah Nabi Versi Salaf
 - Ibnu Al Qayyim Dan Ziarah Nabawiyyah
 - Kuburan Mulia Nabi Saw
 - Kuburan Nabi Dan Berdo’a
 - Pandangan Al Syaikh Ibnu Taimiyyah Soal Ziarah Kubur
 - Pandangan Muhammad Ibnu Abdil Wahhab Menyangkut Berdoa Di Dekat Kuburan
 - Kuburan Nabi Dan Memohon Berkah Dengan Menyentuhnya Atau Menyentuh Jendela Besi Dan Menciumnya
 - Kuburan Nabi Saw Terlindungi Dari Syirik Dan Keberhalaan
 - Berlalu Lalang Ke Lokasi-Lokasi Peninggalan Kenabian, Tempat-Tempat Keagaamaan Dan Memohon Berkah Dengan Menziarahinya
 - Pandangan Ibnu Taimiyyah Tentang Masyahid (Jejak Para Nabi)
 - Kembali ke kitab: Terjemah Mafahim Sayid Al-Maliki
 
BAB II KAJIAN KENABIAN URAIAN MENGENAI KEISTIMEWAAN NABI, SUBSTANSI KENABIAN, KEMANUSIAAN DAN SUBSTANSI KEHIDUPAN BARZAKH
   
KEISTIMEWAAN YANG MELEKAT PADA NABI MUHAMMAD DAN SIKAP ULAMA
  TERHADAPNYA
Para ulama memberikan perhatian besar terhadap
  keistimewaan-spesikasi kenabian dengan menyusun karangan, memberikan komentar
  (syarh), menyatukan dan menyendirikannya dalam sebuah kajian. Karya paling
  populer dan lengkap adalah Al Khashaaish Al Kubraa yang disusun oleh Al Imam
  AL Hafidh Jalaluddin Al Suyuthi. 
Keistimewaan-keistimewaan ini sangat
  banyak jumlahnya. Ada yang sanadnya shahih ada yang tidak. Ada yang
  dipersengkatakan ulama. Sebagian memandang shahih sebagian tidak. Persoalan
  ini adalah persoalan khilafiah.
Perbincangan antar ulama mengenai
  keistimewaan-keistimewaan kenabian ini semenjak dahulu berputar di sekitar
  benar, salah, sah dan batal, bukan antara kufur dan iman. Para ulama
  berselisih dalam banyak hadits. Mereka saling membantah dalam menilai
  kesahihan, kelemahan atau dalam penolakannya karena perbedaan perspektif dalam
  menilai sanad dan kredibilitas perawinya. Siapapun yang menilai shahih
  terhadap hadits dla’if, menilai dla’if terhadap hadits shahih, menetapkan
  hadits yang ditolak atau menetapkan hadits yang ditetapkan dengan argumentasi,
  ta’wil atau syubhat dalil maka ia telah menempuh metode para ulama dalam
  melakukan kajian dan analisa. Dan hal ini adalah haknya layaknya manusia yang
  berakal dan memiliki pemahaman. Kesempatan terbuka, medan terbentang luas dan
  ilmu tersebar bagi semua manusia. 
Imam orang-orang berakal, junjungan
  para ulama, Nabi paling agung dan rasul paling mulia Muhammad SAW telah
  memberi motivasi untuk melakukan kajian dan analisa. Karena beliau menetapkan
  dua pahala bagi mujtahid yang mencapai kebenaran dan satu pahala bagi yang
  gagal mencapainya. 
KITAB-KITAB SALAF DAN KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN
  KENABIAN
Seandainya kita mau kembali kepada kitab-kitab salaf niscaya
  kita akan menemukan banyak ulama dan para pakar fiqh menyebutkan sejumlah
  keistimewaan-keistimewaan Nabi SAW dalam kitab-kitab tersebut. Dari
  keistimewaan-keistimewaan ini mereka mengutip hal-hal ajaib dan aneh.
  Seandainya dalam menerima keistimewaan-keistimewaan ini orang yang melakukan
  kajian terpaku pada kesahihan sanad niscaya ia hanya akan menemukan sangat
  sedikit yang bersih dari keistimewaan-keistimewaan itu dibandingkan dengan
  jumlah yang mereka kutip. Penyebutan sejumlah keistimewaan-keistimewaan dalam
  kitab-kitab salaf ini tetap berdasarkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip yang
  telah ditetapkan para ulama dalam persoalan ini. 
  
  
   
  IBNU TAIMIYYAH DAN KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN KENABIAN
Ibnu Taimiyyah terkenal dengan sikapnya yang ketat. Dalam
  kitab-kitabnya, ia mengutip sebagian pendapat mengenai
  keistimewaan-keistimewaan kenabian yang sanadnya tidak sahih. Ia
  menggunakannya sebagai argumentasi dalam banyak masalah dan menilainya bisa
  dijadikan pedoman dalam memberikan penjelasan atau menguatkan hadits yang ia
  tafsirkan. Sebagian dari pendapat yang ia kutip misalnya adalah ucapannya
  dalam Al Fataawaa Al Kubraa, “Telah diriwayatkan bahwa Allah SWT telah menulis
  nama Nabi Muhammad SAW pada ‘arsy dan pintu, kubah serta dedaunan sorga.”
  Dalam hal ini telah diriwayatkan pula  sejumlah atsar yang senada dengan
  hadits-hadits yang ada yang menjelaskan sanjungan terhadap nama Nabi dan
  peninggian sebutan beliau SAW saat ia mengatakan, “Telah disebutkan teks
  hadits yang terdapat dalam Al Musnad dari Maisarah Al Fajr saat Nabi ditanya,
  “Kapan engkau menjadi Nabi?” “Saat Adam masih dalam kondisi antara ruh dan
  jasad,” jawab beliau. Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abul Husain ibn
  Busyran dari jalur Al Syaikh Abi Al Faraj ibn Al Jauzi dalam Al Wafaa bi
  Fadlaaili al Mushthafa SAW sbb : Bercerita kepadaku Abu Ja’far Muhammad ibn
  ‘Umar, bercerita kepadaku Ahmad ibn Ishaq ibn Shalih, bercerita kepadaku
  Muhammad ibn Sinan Al ‘Aufi, bercerita kepadaku, bercerita kepadaku Ibrahim
  ibn Thuhman dari Yazid ibn Maisarah dari Abdillah ibn Sufyan dari Maisarah, ia
  berkata : Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapankah engkau menjadi Nabi?”
  “Ketika Allah menciptakan bumi dan menuju ke langit kemudian langit
  dijadikan-Nya tujuh lapis dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis pada batang
  ‘arsy Muhammadun Rasulullahi Khatamul Anbiyaai. Dan ketika Allah menciptakan
  sorga yang didiami Adam dan Hawa maka Allah menulis namaku pada pintu,
  dedaunan, kubah dan kemah sedang Adam dalam kondisi antara ruh dan jasad. Saat
  Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy lalu melihat namaku. Kemudian
  Allah memberitahukan kepada Adam bahwa Muhammad adalah Junjungan anak cucumu.
  Waktu syetan berhasil memperdayai Adam dan Hawa, keduanya bertaubat dan
  memohon syafaat kepada Allah dengan namaku,” jawab Nabi. Al Fataawaa vol. II
  hlm. 151.
  
   
  IBNU TAIMIYYAH DAN KAROMAH
Keistimewaan dan karomah itu identik dilihat dari aspek hukum,
  pengutipan, dan tidak diperlukannya upaya ketat sebagaimana upaya ketat dalam
  mengutip hukum-hukum dari halal dan haram. Keistimewaan dan karomah berada
  dalam wilayah sikap-sikap terpuji dan keutamaan-keutamaan. 
Berangkat
  dari fakta ini, sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyangkut karomah para
  wali sama persis dengan sikapnya mengenai keistimewaan-keistimewaan para Nabi.
  
Dalam kitab-kitabnya beliau mengutip sejumlah karomah dan hal-hal yang
  di luar kebiasaan yang terjadi dalam generasi awal. Jika kita kaji status,
  isnad dan jalur ketetapan periwayatannya maka kita akan menemukan bahwa
  sebagian dari karomah dan hal-hal yang di luar kebiasaan yang terjadi dalam
  generasi awal ada yang berstatus shahih, hasan, dla’if, diterima, ditolak,
  munkar dan syadz. Meskipun demikian semuanya diterima dalam masalah ini dan
  dibawa serta ditransfer dari ulama. Di antara kutipan-kutipan dari Ibnu
  Taimiyyah tentang karomah sebagian sahabat adalah sbb :
  
   Ummu Aiman pergi berhijrah tanpa membawa bekal dan air hingga ia hampir
  mati karena kehausan. Saat tiba waktu berbuka – ia sedang berpuasa – ia
  mendengar di atas kepalanya ada suara halus. Lalu ia mendongakkan kepalanya.
  Ternyata ada timba menggantung. Kemudian ia minum dari timba tersebut sampai
  merasa segar dan tidak merasakan haus dalam sisa hidupnya.
  
   Sebuah perahu mantan budak Rasulullah SAW memberitahu kepada seekor
  singa bahwa ia adalah utusan Rasulullah. Akhirnya singa tersebut berjalan
  bersamanya sampai mengantarkan menuju tempat tujuannya. 
  
   Al Bara’ ibn Malik jika bersumpah atas Allah maka Allah akan
  merealisasikan sumpahnya. Jika dalam situasi perang memberatkan kaum muslimin
  dalam berjihad, mereka akan berteriak, “Wahai Bara’ ! bersumpahlah atas
  Tuhanmu.” “Ya Rabbi, aku bersumpah atas-Mu , berikanlah bahu-bahu orang-orang
  kafir kepada kami,” sumpah Bara’. Akhirnya musuh pun mengalami kekalahan.
  Ketika berlangsung perang Qadisiyyah, Bara’ bersumpah, “Aku bersumpah atas-Mu,
  ya Rabbi, berikanlah bahu-bahu orang-orang kafir kepada kami dan jadikan aku
  orang pertama yang mati syahid.” Akhirnya kaum muslimin diberi bahu-bahu
  orang-orang kafir dan Bara’ sendiri terbunuh sebagai syahid.
  
    Khalid ibn Al Walid mengepung sebuah benteng yang kokoh. “Kami tidak
  akan menyerah sampai kamu minum racun,”kata orang-orang kafir. Akhirnya Khalid
  minum racun dan racun itu tidak menimbulkan efek apa-apa. 
  
   Ketika mengirimkan bala tentara, ‘Umar ibn Al Khatthab mengangkat
  seorang lelaki bernama Sariyah sebagai pemimpin pasukan. Ketika sedang
  berkhutbah di atas mimbar tiba-tiba ‘Umar berteriak, “Wahai Sariyah !,
  tetaplah berada di gunung. Wahai Sariyah !, tetaplah berada di gunung.” Saat
  utusan bala tentara datang, ‘Umar bertanya kepadanya, yang kemudian dijawab,
  “Wahai Amiral Mu’mini !, Kami bertemu musuh dan mereka berhasil mengalahkan
  kami. Tiba-tiba ada suara orang berteriak : “Wahai Sariyah !, tetaplah berada
  di gunung.” Akhirnya kami pun tetap berada di gunung, hingga Allah mengalahkan
  mereka. 
    ‘Ala’ ibn Al Hadlrami adalah gubernur
  Rasulullah untuk wilayah Bahrain. Dalam do’a yang dipanjatkannya ia berkata,
  “Wahai Dzat Yang Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Sabar, wahai Dzat Yang
  Maha Tinggi, wahai Dzat Yang Maha Agung.” Maka do’anya pun dikabulkan. Ia juga
  pernah berdo’a agar orang-orang diberi hujan dan bisa berwudlu ketika mereka
  mengalami ketiadaan air dan hujan untuk sesudah mereka lalu do’anya pun
  dikabulkan. Waktu bala tentara muslimin terhalang oleh laut dan tidak mampu
  menyeberangkan kuda-kuda mereka, ia berdo’a hingga akhirnya mereka bisa
  melewati laut dengan pelana kuda yang tidak basah oleh air. Ia juga berdo’a
  agar ketika mati jasadnya tidak bisa dilihat orang. Akhirnya ketika mati
  orang-orang tidak menemukan jasadnya di liang lahat.
  
   Karomah seperti di muka juga terjadi pada Abu Muslim Al Khaulani saat ia
  diceburkan ke dalam api. Ceritanya ketika ia bersama teman-teman pasukannya
  berjalan di atas sungai Tigris. Dari bentangannya sungai itu melemparkan lalu
  Abu Muslim menoleh kepada teman-temannya. “Periksalah barang-barang kalian
  hingga aku berdo’a kepada Allah !” perintahnya. “Saya kehilangan keranjang
  rumput,” kata sebagian temannya. “Ikuti saya,” kata Abu Muslim. Teman yang
  kehilangan keranjang rumput pun mengikutinya dan menemukan keranjang itu
  menyangkut pada sesuatu lalu memungutnya. Al Aswad Al ‘Ansi ketika mengklaim
  sebagai Nabi, mencari Abu Muslim. 
“Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah
  utusan Allah?” tanya Al Aswad kepada Abu Muslim.
 “Saya tidak bisa
  mendengar,” jawab Abu Muslim
“Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah
  utusan Allah?”
“Betul.”
Akhirnya Al Aswad menyuruh Abu Muslim
  dimasukkan ke dalam api. Ia akhirnya dimasukkan kedalam api namun mereka
  melihat Abu Muslim sedang shalat di tengah kobaran api itu. Api telah menjadi
  dingin dan menyelamatkan baginya.
Setelah Nabi wafat Abu Muslim datang ke
  Madinah. “Umar menyuruhnya duduk antara dirinya dan Abu Bakar Al Shiddiq.
  “Segala puji bagi Allah yang tidak mematikanku sampai aku melihat dari ummat
  Muhammad seseorang yang diperlakukan sebagaimana Ibrahim kekasih Allah.” Kata
  ‘Umar. 
Seorang budak wanita memasukkan racun pada makanannya dan racun
  itu tidak membahayakannya. 
Seorang perempuan menipu istrinya. Akhirnya
  perempuan itu ia kutuk dan akhirnya menjadi buta. Perempuan itu lalu datang
  dan bertaubat. Abu Muslim pun akhirnya mendo’akannya hingga Allah
  mengembalikan kembali penglihatannya. 
    Sa’id ibn Al
  Musayyib dalam peperangan pada era Yazid ibn Mu’awiyah  mendengar adzan
  dari kuburan Rasulullah pada waktu-waktu shalat padahal masjid telah sepi
  tidak ada orang lain selain dirinya. 
    ‘Umar ibn
  ‘Uqbah ibn Farqad suatu hari shalat di siang hari yang sangat panas lalu
  mendung pun memayunginya. Binatang buas melindunginya saat ia mengawasi
  kereta-kereta teman-temannya, karena ia disyaratkan untuk membantu mereka
  waktu perang. 
    Mutharrif ibn ‘Abdillah ibn Syikhkhir
  jika masuk rumah maka wadah-wadah miliknya ikut bertasbih bersamanya. Ia dan
  temannya pernah berjalan berdua dalam kegelapan kemudian ujung cambuknya
  menerangi keduanya. 
Dikutip dari Al Fataawaa Al Kubraa karya Syaikh Ibnu
  Taimiyyah vol. XI hlm. 281.
  SYAIKH IBNUL QAYYIM DAN DUDUKNYA NABI SAW DI ATAS ‘ARASY
Al Imam Al ‘Allamah Syaikhul Islam Ibnul Qayyim telah mengutip
  keistimewaan yang aneh dan langka dan ia nisbatkan kepada banyak para imam
  salaf, yaitu ucapannya sbb :
(Faidah) Al Qadli berkata : “Al Marwazi
  telah menyusun sebuah kitab tentang keutamaan Nabi SAW. Di dalamnya ia
  menyebutkan didudukkannya Nabi di atas ‘arsy. Kata Al Qadli, “Didudukkannya
  Nabi di atas ‘arsy ini adalah pendapat Abu Dawud, Ahmad ibn Ashram, Yahya ibn
  Abi Thalib, Abi Bakr ibn Hammad, Abi Ja’far Al Dimasyqi, ‘Iyasy al Dawri,
  Ishaq ibn Rahawiah, ‘Abdul Wahhab Al Warraq, Ibrahim Al Ashbihani, Ibrahim Al
  Harbi, Harun ibn Ma’ruf, Muhammad ibn Isma’il Al Salami, Muhammad ibn Mush’ab
  Al ‘Abid, Abi Bakr ibn Shadaqah, Muhammad ibn Bisyr ibn Syuraik, Abi Qilabah,
  Ali ibn Sahl, Abi Abdillah ibn Abdinnur, Abi ‘Ubaid, Al Hasan ibn Fadhl, Harun
  ibn Al ‘Abbas Al Hasyimi, Ismail ibn Ibrahim Al Hasyimi, Muhammad ibn ‘Imran
  Al Farisi Al Zahid, Muhammad ibn Yunus Al Bashri, Abdullah ibn Al Imam Ahmad
  Al Marwazi dan Bisyr Al Hafi. 
Syaikh Ibnul Qayyim berkata, “Saya katakan
  bahwa duduknya Nabi SAW di atas ‘arsy adalah pendapat Ibnu Jarir Al Thabari,
  Imam dari semua ulama di atas yakni  Mujahid Imamu al Tafsir, dan juga
  pendapat Abu Al Hasan Al Daruquthni. Salah satu syair dari Al Daruquthi
  mengenai duduknya Nabi di atas ‘arsy adalah sbb :
Hadits tentang syafaat
  dari Ahmad 
Sanadnya sampai Ahmad Al Mushthafa
Ada juga hadits
  tentang didudukkannya beliau
Di atas ‘arsy , maka kita tidak boleh
  mengingkarinya
Pahamilah hadits sesuai teksnya 
Janganlah memasukkan
  sesuatu yang merusak maknanya
Jangan kalian ingkari bahwa Nabi itu
  duduk
Dan jangan kalian engkari bahwa Allah telah mendudukkannya
Dikutip
  dari Badaa’iul Fawaaid karya Syaikh Ibnul Qayyim vol. IV hlm. 40
  
  MEMBUKA TOPENG DAN KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN NABI YANG UNIK
 Al
  Faqih Al ‘Allamah Al Syaikh Manshur ibn Yunus Al Bahuti dalam kitabnya
  Kisyaafu Al Qinaa’ menyebut  sejumlah keistimewaan-keistomewaan Nabi SAW
  yang dinilai aneh oleh banyak orang yang kapasitas intelektualnya tidak mampu
  untuk memahami prinsip-prinsip dasar ini dan memahami kaidah-kaidah di atas.
  
Diantaranya adalah : 
1. Apa yang untuk kita dikategorikan najis
  itu suci untuk Nabi SAW dan Nabi-Nabi yang lain. Diperboleh berobat
  menggunakan urine  dan darah beliau SAW, berdasarkan hadits riwayat Al
  Daruquthni : Sesungguhnya Ummu Aiman meminum urine Nabi.” “Perut kamu tidak
  akan masuk neraka,” kata Nabi Saw, namun status hadits ini dla’if, dan juga
  berdasarkan hadits riwayat Ibnu Hibban dalam Al Dlu’afaa’ : “Seorang budak
  membekam Nabi SAW. Setelah selesai membekam ia minum darah Nabi.” 
  “Celaka kamu, apa yang kamu lakukan dengan darah?” tanya Nabi. “Darah itu
  telah aku masukkan dalam perutku,” jawab budak. “Pergilah ! engkau telah
  menjaga dirimu dari api neraka,” suruh Nabi. 
Al Hafidl Ibnu Hajar
  mengatakan bahwa rahasia masuk sorganya budak yang meminum darah bekam Nabi
  adalah karena tindakan kedua malaikat yang membasuh perutnya. 
2. Nabi
  tidak memiliki bayangan di bawah terpaan sinar matahari dan bulan. Karena Nabi
  itu makhluk cahaya sedangkan bayangan adalah jenis dari kegelapan. Keterangan
  ini disebut oleh Ibnu ‘Aqil dan yang lain. Fakta ini diperkuat oleh tindakan
  Nabi SAW yang memohon kepada Allah agar seluruh anggota badan dan seluruh arah
  mata angin dijadikan cahaya. Beliau juga mengakhir do’anya dengan “jadikanlah
  saya cahaya”. Bumi itu menelan kotoran-kotoran Nabi SAW, berdasarkan
  hadits-hadits. 
3. Kedudukan terpuji (almaqam almahmud) adalah duduknya
  Nabi SAW di atas ‘arsy. Dari ‘Abdullah ibn Salam : di atas kursi. Kedua
  riwayat ini disebutkan oleh Al Baghawi. 
4. Sesungguhnya Rasulullah SAW
  tidak pernah menguap. Dan sesungguhnya diperlihatkan kepada Nabi SAW semua
  makhluk mulai Nabi Adam sampai manusia sesudahnya sebagaimana Adam diajari
  nama-nama segala sesuatu, berdasarkan hadits riwayat Al Dailami : “Dunia
  dicontohkan kepadaku dengan tanah liat  dan air. Maka saya mengetahui
  segala sesuatu seluruhnya.” Ditampilkan kepada Nabi SAW semua ummatnya
  sehingga beliau bisa melihat mereka, berdasarkan hadits riwayat Al Thabarani :
  “Semalam di dalam kamar ditampilkan kepadaku ummatku, baik generasi awal
  maupun akhir. Mereka digambarkan kepadaku dengan air dan tanah liat sehingga
  saya mengenal salah satu dari mereka dengan temannya.” Kepada Nabi juga
  ditampilkan peristiwa yang bakal terjadi pada ummatnya hingga tiba hari kiamat
  berdasarkan hadits riwayat Ahmad dan perawi lain, yaitu : Diperlihatkan
  kepadaku apa yang dialami ummatku sepeninggal diriku. Mereka saling
  menumpahkan darah. 
4. Ziarah kubur Nabi SAW itu disunnahkan bagi para
  lelaki dan wanita, berdasarkan keumuman hadits riwayat Al Daruquthni dari Ibnu
  ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan
  haji dan berziarah pada kuburanku setelah saya wafat, maka seakan-akan ia
  berziarah padaku saat aku masih hidup." Kisyaafu Al Qinaa’ vol. V hlm. 30 yang
  dicetak atas instruksi raja Faisal ibn Abdul Aziz dari dinasti Sa’udi.
  
Keistimewaan-keistimewaan di atas yang telah disebut dan dikutip oleh
  para perawi ada sebagian yang shahih, ada yang dla’if dan ada yang sama sekali
  tidak memiliki dalil. 
Saya tidak tahu apa yang akan diucapkan oleh orang
  yang menantang keajaiban-keajaiban yang telah dikutip para imam besar
  ahlussunnah di atas. Para imam ini tidak menentang malah menerima
  keajaiban-keajaiban itu, dan memberikan toleransi dalam pengutipannya karena
  berpijak pada prisnsip toleransi dalam mengutip keutamaan-keutamaan amal
  padahal dalam keistimewaan-keistimewaan ini ada pendapat-pendapat yang jika
  didengar oleh orang yang menolak atau mengingkarinya niscaya ia akan
  menjatuhkan vonis  lebih berat dari vonis kufur kepada pihak yang
  mengatakannya. Apa yang kami sebutkan di atas belum ada apa-apanya jika
  dibandingkan pendapat orang yang mengatakan bahwa junjungan kita Muhammad di
  hari kiamat didudukkan Allah di atas ‘arsy-Nya sebagaimana dikutip oleh Al
  Imam Al Syaikh Ibnul Qayyim dari para imam besar generasi salaf dalam kitabnya
  yang populer Badaa’iul Fawaaid tanpa bukti dan dalil sahih dan marfu’, baik
  dari Al Qur’an maupun Al Sunnah. Keistimewaan-keistimewaan yang saya kutip
  tidak ada apa-apanya dengan yang tercantum dalam Kisyaaful Qinaa’ yang
  menyatakan bahwa Nabi SAW adalah cahaya, yang tidak memiliki bayangan dan
  kotoran yang dikeluarkan beliau ditelan bumi hingga tidak tersisa sedikitpun
  di atas permukaan tanah. Keistimewaan-keistimewaan yang saya kutip juga tidak
  ada apa-apanya dengan keistimewaan-keistimewaan yang dikutip oleh Ibnu
  Taimiyyah. seperti ucapannya bahwa nama Nabi SAW tertulis dalam betis/batang
  ‘arsy, dan pada daun, pohon, pintu, buah dan kubah sorga. Di manakah mereka
  yang memberikan ulasan dan kajian? Mengapa persoalan-persoalan ini tidak
  mendapat kritik dan koreksi. Tindakan sebagian kalangan yang membuang dan
  memberi tambahan pada kitab-kitab klasik agar teks sesuai dengan aspirasi
  mereka adalah tindakan kriminal dan pengkhianatan besar yang berhak mendapat
  vonis pemenggalan. Karena yang wajib dilakukan adalah menetapkan nash apa
  adanya betapapaun ia berlawanan dengan perspektif orang yang mengkaji dan
  memberikan ulasan. Selanjutnya ia bebas menulis apa saja yang sesuai dengan
  perspektif dan pemikirannya. 
SORGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU.
  MENGAPA TIDAK DI BAWAH URUSAN NABI SAW
Salah satu keistimewaan
  kenabian yang menjadi polemik di kalangan ulama keterangan yang menyatakan
  bahwa Nabi SAW membagi-bagi tnaha sorga. Al Hafidh Al Suyuthi dan Al
  Qasthalani telah menyebutkan keistimewaan ini dalam kitab syarhnya terhadap AL
  Mawaahib Al Laadunniyyah. Sudah maklum, kalau pemberian bagian ini hanya untuk
  mereka yang berhak dari orang-orang yang mengesakan Allah dan atas izin Allah
  SWT, baik lewat jalan wahyu, ilham atau penyerahan dari Allah kepada beliau.
  Dalam haditsnya yang berbunyi, “Aku hanyalah pembagi sedang Allah yang
  memberi,” menunjukkan indikasi penyerahan. Jika ungkapan bahwa sorga di bawah
  telapak kaki ibu itu dianggap sah. Maka mengapa tidak sah ungkapan bahwa sorga
  di bawah urusan Nabi SAW atau malah di bawah telapak kaki Nabi ?. kedua
  ungkapan ini identik dan diketahui oleh pelajar dengan pengetahuan paling
  minim. Ungkapan ini adalah ungkapan majaz yang maksudnya adalah bahwa mencapai
  sorga lewat jalur berbakti dan mengabdi kepada kedua orang tua, khususnya ibu.
  Dan hal ini bisa dicapai lewat Nabi dengan cara taat, cinta dan setia kepada
  beliau. 
Ada banyak contoh yang menunjukkan otentisitas
  keistimewaan-keistimewaan ini. Dan kami akan menyebutkan keistimewaan yang
  paling penting :
  
   
  NABI SAW MENANGGUNG SORGA
Satu arti dengan pembagian Nabi terhadap tanah
  sorga adalah jaminan masuk sorga dari Nabi untuk sebagian ummatnya. Jaminan
  ini diperoleh oleh para sahabat yang mengangkat bai’at dalam bai’at ‘aqabah.
  Dari ‘Ubadah ibn Shamit, ia berkata, “Saya adalah salah seorang yang
  menghadiri bai’at ‘aqabah pertama.” Dalam hadits ini tercantum : “Kami
  mengangkat bai’at kepada Rasulullah SAW bahwa kami tidak akan menyekutukan
  Allah dengan yang lain, tidak mencuri, berzina, membunuh anak-anak kami dan
  tidak melakukan dusta besar yang kami buat-buat di antara tangan-tangan dan
  kaki-kaki kami serta tidak membangkang dalam melakukan kebaikan.” “Jika
  kalian  memenuhi baiat kalian bagi kalian sorga. Jika kalian melanggar
  salah satu bai’at kalian maka urusan kalian diserahkan kepada Allah. Dia bisa
  memberi siksaan atau ampunan,” kata Nabi SAW. Hadits ini disebutkan Ibnu
  Katsir dalam Babu Bad’i Islaami Al Anshari. (Al Sirah vol. II hlm 176).
  
Dalam shahih Al Bukhari terdapat keterangan yang tegas bahwa bai’at di
  atas diberi jaminan sorga. ‘Ubadah ibn Shamit berkata, “Saya termasuk salah
  satu pimpinan yang membai’at Rasulullah SAW.” “Kami membai’at Rasulullah SAW
  untuk tidak menyekutukan Allah dengan yang lain, tidak mencuri, berzina,
  membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali secara legal dan tidak merampok.
  Kami membai’at beliau dengan jaminan sorga jika mematuhi isi bai’at ini,”
  lanjut ’Ubadah. HR Al Bukhari dalam Kitab Manaaqibul Anshar Babu Bai’atil
  ‘Aqabah. 
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW menyatakan,
  “Barangsiapa memenuhi isi bai’at maka baginya sorga.” Demikian tercantum dalam
  Al Bidayah vol. III hlm. 150.
Dari Qatadah bahwasanya mereka (yang hendak
  berbai’at) bertanya, “Wahai Rasulullah !, apa yang kami dapatkan jika kami
  mengangkat bai’at ?” “Sorga,” jawab Rasulullah. Al Bidayah vol. III hlm.
  162.
Dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian
  melaksanakan isi bai’at tersebut maka bagi kalian sorga atas Allah dan aku.”
  HR Al Thabarani. Lihat Kanzul ‘Ummal vol. I hlm 63 dan Majma’ul Zawaaid vol.
  VI hlm. 47. 
Dari ‘Utbah ibn ‘Amr Al Anshari bahwasanya Nabi SAW
  bersabda, “Jika kalian melaksanakan isi bai’at tersebut maka bagi kalian sorga
  atas Allah dan aku.” HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu ‘Asakir. Lihat Kanzul
  ‘Ummal vol. I hlm 67.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Sesungguhnya
  Rasulullah SAW memberinya sepasang sandal beliau. “Pergilah,” perintah Nabi,
  “Siapapun yang engkau temui di belakang tembok ini yang bersaksi bahwa tiada
  Tuhan selain Allah maka berilah kabar gembira dengan sorga.” HR. Muslim dalam
  Kitabul Iman. 
  
   
  TICKET MASUK SORGA BERADA DI TANGAN NABI SAW 
Diriwayatkan dari Ibnu
  Abbas, ia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda, “ diletakkan untuk para Nabi
  beberapa mimbar dari cahaya yang mereka duduk di atasnya. Dan tersisa mimbarku
  yang tidak aku duduki. Aku berdiri di hadapan Tuhanku karena khawatir diutus
  masuk ke surga sedang umatku belum memasukinya. “ Yua Tuhanku, umatku umatku,
  “ kataku. “Wahai Muhammad, kata Allah, “ Wahai Muhammaad,  kamu
  ingin  Aku berbuat apa terhadap umatmu ? Ya Tuhanku percepatlah hisab
  mereka, “jawab Nabi. Akhirnya umat Muhammad dipanggil lalu dihisab. Sebagian
  ada yang masuk surga berkat rahmat Allah dan sebagian lain berkat syafa’atku.
  Saya senantiasa memberi syafa’at sampai sya diberi buku berisi daftar
  orang-orang yang akan dikirim ke neraka, hingga Malik penjaga neraka berkata,
  “ Wahai Muhammad, siksaan apa yang Engkau tinggalkan karena murka Tuhanmu
  terhadap umatmu. HR. At Thabbarani dlam Al Kabire dan Al Ausat dan Al Baihaqi
  dalam Al Ba’ts. “ Tidak ada perawi yang bewrstatus matruk dalam daftar perawi
  hadits ini, “kata Al Mundziri.
  
   
  NABI SAW MEMBERIKAN SURGA
Dalam sebuah riwayat dari Jabir bahwasanya ia
  berkata, “Kami bertanya, “Untuk apa kami membai’atmu?”. “Untuk mendengar dan
  mematuhi baik dalam kondisi bersemangat dan malas serta untuk mendanai bala
  tentara dalam keadaan kekurangan biaya dan untuk menyuruh kebaikan dan
  melarang kemungkaran. Dan bagi kalian sorga,” jawab  Nabi. 
Al
  Hafidh Ibnu Hajar berkata, “Dari jalur lain, Ahmad meriwayatkan dari Jabir, ia
  berkata, “Abbas memegang tangan Rasulullah kemudian ketika kami selesai
  belilau berkata, “Engkau telah mengambil dan bakal diberi.” (Fathul Bari vol.
  VII hlm. 223) HR Ahmad (Majma’ul Zawaaid vol. VI hlm. 48. Maksud dari sabda
  Nabi adalah : Engkau telah mengambil bai’at dan akan mendapat sorga.
Saya
  katakan bahwa dalam riwayat lain terdapat ungkapan yang lebih jelas dari sabda
  Nabi tersebut. Jabir berkata, “Sesungguhnya Nabi berkata kepada mereka (yang
  akan berbai’at), “Kalian membai’atku untuk mendengar, dan patuh, sampai Nabi
  mengatakan, dan bagi kalian sorga.” Jabir berkata, “Mereka menjawab, “Demi
  Allah, kami tidak akan meninggalkan bai’at ini selamanya dan tidak akan
  mencabutnya selamanya. Akhirnya kami membai’at Nabi lalu beliau mengambil
  bai’at, memberi syarat dan memberi sorga jika memegang teguh bai’at itu.” Al
  Haitsami berkata, “Sebagian hadits ini diriwayatkan oleh para penyusun Al
  Sunan. Ahmad dan Al Bazzar juga turut meriwatkannya. Status para perawi Ahmad
  adalah sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih.  (Majmaa’ul Zawaid
  vol. VI hlm. 46.
 
  NABI MENJUAL SORGA DAN ‘UTSMAN MEMBELINYA
Dari Abu Hurairah RA, ia
  berkata, “’Utsman melakukan pembelian sorga dengan sesungguhnya dua kali dari
  Nabi SAW ; saat menggali sumur ma’unah dan saat memberikan akomodasi untuk
  pasukan yang dikirim ke medan perang Tabuk (jaisul ‘usrah).” HR Al Hakim dalam
  Al Mustadrak vol. III hlm. 107. Al Hakim menilai hadits ini shahih.
Setiap
  orang berakal pasti mengerti bahwa sorga itu milik Allah semata. Siapa saja
  tidak bisa memiliki dan mengaturnya, betapapun tinggi nilai dan kedudukannya,
  baik ia malaikat, Nabi atau rasul. Tetapi Allah memberi para rasul sesuatu
  yang membedakan mereka dengan orang lain, karena kedudukan mereka yang mulia
  dan ketinggian derajat mereka di sisi-Nya. Akhirnya apa yang diberikan Allah
  dinisbatkan kepada mereka dan pengaturannya juga dikaitkan dengan mereka. Hal
  ini diberikan semata-mata karena memuliakan, mengagungkan, menghargai dan
  persembahan terhadap mereka. Berangkat dari pandangan ini muncul ungkapan
  menyangkut keistimewaan-keistimewaan Nabi SAW, seperti beliau membagi-bagi
  tanah sorga, memberi jaminan sorga, menjual sorga atau memberi kabar dengan
  sorga. Padahal tidak ada yang ragu bahwa sorga itu milik Allah semata, kecuali
  orang bodoh yang tidak memilki pengetahuan minimal terhadap luasnya persoalan
  keilmuan. 
Ya Allah sinarilah penglihatan kami, bukalah telinga kami dan
  perlihatkanlah kebenaran sebagai kebenaran serta karuniailah aku untuk
  mengikutinya. 
 
  APA YANG DIMAKSUD DENGAN MALAM KELAHIRAN YANG DIUTAMAKAN
Dalam
  keistimewaan-keistimewaan kenabian, sebagian ulama menyebut malam kelahiran
  Nabi lebih utama daripada lailatul qadr dan mereka membuat komparasi
  menyangkut mana yang lebih utama antara dua malam ini. Yang ingin kami
  sampaikan di sini adalah bahwa yang dimaksud dengan malam kelahiran adalah
  malam sesungguhnya di mana kelahiran Nabi terjadi. Malam ini telah lewat
  semenjak ratusan tahun silam dan tidak ragu lagi terjadi sebelum dikenal atau
  munculnya lailatul qadr. Yang dimaksud malam kelahiran di sini bukan malam
  kelahiran yang terulang setiap tahun dan merupakan waktu yang sama dari hari
  kelahiran sesungguhnya. Sebenarnya mengkaji persoalan ini tidak memberikan
  faidah besar dan tidak ada konsekuensi negatif jika mengingkari atau mengakui.
  Juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah apapun. Para ulama
  sendiri telah mengkaji banyak persoalan sepele dan menyusun risalah-risalah
  khusus tentang persoalan itu padahal persoalan-persoalan itu tidak berarti
  apa-apa dibanding persoalan yang sedang kita kaji ini. Walhasil, kami meyakini
  bahwa komparasi ini terjadi antara malam kelahiran Nabi sesungguhnya dengan
  lailatul qadr dan bahwa malam dimana kelahiran Nabi terjadi yang menjadi bahan
  kajian perbandingan dan komparasi itu telah lewat dan selesai, dan sekarang
  malam itu tidak lagi berwujud. Sedang lailatul qadr itu masih eksis dan
  berulang setiap tahun dan merupakan malam paling utama berdasarkan firman
  Allah : 
  إنا أنزلناه في ليلة القدر وما أدراك ما ليلة القدر ليلة القدر خير من ألف شهر
  Polemik tentang persoalan ini dan sejenisnya berlangsung antar ulama dan
  menjadi bahan diskusi ulama-ulama besar generasi salaf. Al Syaikh Al Imam Ibnu
  Taimiyyah membicarakan persoalan komparasi antara lailatul qadr dan lailatul
  isra’ (malam diiara’kannya Nabi SAW) dengan detail dan mendalam padahal tidak
  ada fakta bahwa salah seorang imam generasi salaf dan generasi awal apalagi
  para sahabat dan lebih-labih lagi Nabi SAW, mengkaji atau membicarakannya.
  
  
  
  FATWA IBNU TAIMIYYAH TENTANG PERSOALAN INI
Al Imam Al Syaikh Ibnu Al Qayyum mengatakan, “Syaikh Ibnu Taimiiyah
  ditanya tentang seorang lelaki yang mengatakan lailatul isra’ lebih utama
  daripada lailatul qadr. Yang lain menjawab justru lailatul qadr lebih utama.
  Siapakah yang benar di antara keduanya?.
Syaikh menjawab, “Alhamdulillah,
  adapun orang yang mengatakan bahwa lailatul isra’ lebih utama daripada
  lailatul qadr maka jika maksudnya adalah bahwa malam di mana Nabi diisra’kan
  dan malam-malam yang sama setiap tahunnya itu lebih utama untuk ummat Muhammad
  daripada lailatul  dengan pengertian bahwa shalat malam dan berdo’a pada
  malam isra’ itu  lebih utama dilakukan dari pada pada malam lailatul qadr
  maka ini adalah pendapat keliru yang tidak dikatakan oleh seorang muslimpun
  dan jelas pasti salah dari sudut pandang Islam. Jika maksudnya adalah malam
  tertentu pada saat Nabi SAW diisra’kan dan memperoleh sesuatu yang tidak
  diperoleh pada malam lain tanpa harus melakukan shalat dan do’a secara khusus
  maka pendapat ini benar. Lihat Muqaddimatu Zadi al-Ma’aadi karya Ibnu Al
  Qqayyim. 
 
  JANGAN MEMUJIKU SECARA BERLEBIHAN
Sebagian kalangan memahami sabda Nabi
  SAW : “Janganlah kalian memujiku sebagimana pujian yang diberikan kaum
  nashrani kepada ‘Isa ibn Maryam,” sebagai larangan memuji beliau SAW dan
  mengkategorikan pujian kepada beliau sebagai sanjungan berlebihan yang bisa
  mengarah pada kemusyrikan dan memahami bahwa orang yang memuji beliau,
  melebihkan derajatnya di atas manusia biasa, menyanjung dan mensifati beliau
  dengan sifat-sifat yang berbeda dari yang lain, telah melakukan praktik bid’ah
  dalam agama Islam dan melanggar sunnah sayyidil mursalin Muhammad SAW.
  
Persepsi di atas adalah sebuah kesalahfahaman dan mengindikasikan
  dangkalnya pandangan orang yang memiliki persepsi demikian. Mengapa ? Karena
  Nabi SAW melarang pujian kepada beliau sebagaimana ummat nashrani memuji ‘Isa
  ibn Maryam saat mereka mengatakan : Isa adalah anak Allah. 
Makna dari
  hadits di atas adalah sesungguhnya orang yang memuji Nabi dan mensifatinya
  dengan sifat yang diberikan ummat nashrani kepada Nabi mereka berarti orang
  tersebut sama dengan mereka. Adapun orang yang memuji dan mensifati beliau
  dengan karakter yang tidak mengeluarkan beliau dari substansi kemanusiaan
  seraya meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah serta menjauhi
  keyakinan ummat nashrani maka pasti ia adalah sebagian dari orang yang paling
  sempurna ketauhidannya. 
Buanglah keyakinan ummat nashrani terhadap Nabi
  mereka
Berilah beliau pujian sesukamu
Karena keutamaan Rasulullah
  tidak memiliki batas
Hingga mampu diungkapkan dengan lisan 
Batas
  pengetahuan kita adalah beliau manusia
Dan makhluk Allah yang paling
  baik
Allah SWT sendiri telah memuji Nabi Muhammad SAW dalam firman-Nya
  :
وإنك لعلى خلق عظيم
menyuruh bersikap sopan dalam berbicara dan memberi jawaban :
  يا أيها الذين آمنوا لاترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي 
  melarang kita bersikap kepada beliau sebagaimana sikap sebagian kita 
  kepada sebagian yang lain, atau memanggil beliau sebagaimana sebagian kita
  memanggil sebagian yang lain. Allah berfirman :
  لاتجعلوا دعاء الرسول بينكم كدعاء بعضكم بعضا 
  Allah juga mengecam mereka yang menyamakan Nabi dengan orang lain dalam
  interaksi sosial dan metode : 
  إن الذين ينادونك من وراء الحجرات أكثرهم لايعقلون
  
Para sahabat yang mulia adalah orang-orang yang menyanjung Nabi SAW.
Hassan
  ibn Tsabit membacakan syairnya :
Orang yang bersinar wajahnya dan ada cap
  kenabian padanya
Cap kenabian dari Allah yang terlihat cemerlang.
  
Allah menggabungkan nama beliau dengan nama-Nya
Ketika muadzin
  mengumandangkan Asyhadu, lima kali dalam sehar.i
Sebagai penghormatan,
  dari nama-Nya Tuhan memberikan kepada Nabi 
Maka Tuhan pemilik ‘arsy itu
  Dzat yang dipuji dan beliau orang yang banyak dipuji.
Beliau adalah Nabi
  yang datang setelah masa kekosongan
dari para rasul, pada saat arca-arca
  disembah di muka bumi.
Beliau adalah pelita yang menyinari dan
  petunjuk
yang mengkilap bak pedang India.
Beliau mengancam dengan
  neraka dan memberi kabar bahagia dengan sorga
dan mengajarkan Islam
  kepada kami, maka hanyalah untuk Allah segala pujian.
Selanjutnya Hassan
  juga mengatakan :
Wahai pilar penyangga dan pelindung orang yang
  berlindung
tempat orang meminta bantuan dan tetangga bagi yang
  berdampingan
Wahai orang yang dipilih Tuhan untuk makhluk-Nya
Allah
  telah memberimu perilaku yang bersih dan suci
Engkau adalah Nabi dan
  sebaik-baik keturunan Adam
Wahai orang yang berderma laksana limpahan
  samudera yang pasang 
Mikail dan Jibril senantiasa bersamamu
sebagai
  bantuan dari Dzat Yang Maha Perkasa dan Kuasa untuk menolongmu 
Shafiyyah
  binti ‘Abdil Muththallib meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan Rasulullah SAW
  :
Wahai Rasulullah, engkau adalah harapan kami
Engkau baik pada kami
  dan tidak kasar
Engkau pengasih, pembimbing dan pengajar
Hendaklah
  menangis sekarang orang yang ingin menangis
Engkau jujur, engkau telah
  menyampaikan risalah dengan jujur
Engkau telah melemparkan kayu salib
  yang mengkilap
Ibu, bibi, paman, ayah, diriku dan hartaku menjadi tebusan
  untuk Rasulullah
Sungguh, aku tak menangisi kematian Nabi
Namun aku
  khawatir akan datangnya kekacauan
Di hatiku seolah-olah ada ingatan
  Muhammad
Sesudah kematian beliau, aku tak takut pada kesusahan yang
  terpendam
Jika Allah mengekalkan Nabi kami
Kami akan bahagia, tapi
  urusan beliau telah berlalu
Salam dari Allah untukmu, sebagai ungkapan
  penghormatan
Engkau telah dimasukkan ke sorga ‘Adn dengan suka cita
Wahai
  Fathimah, Allah Tuhan Muhammad telah menyampaikan shalawat
Atas kuburan
  yang berada di Thaibah
Ibnu Sa’d dalam Al Thabaqaat menyatakan bahwa
  bait-bait Shofiah ini adalah milik ‘Urwa binti Abdil Muththallib.
Ka’b
  ibn Zuhair menyanjung Nabi dalam qasidah populernya yang prolognya sbb :
Su’ad
  telah bercerai maka hatiku kini merasa sedih, diperbudak dan terbelenggu.
Pengaruhnya
  tak bisa ditebus 
Aku dikabari bahwa  rasulallah menjanjikanku
Ampunan
  dapat diharapkan di sisi Rasulullah
Sungguh Rasulullah adalah cahaya yang
  menyinari
Laksana pedang India dari beberapa pedang Allah, yang
  terhunus
Dalam kelompok suku Qurays di mana salah satu mereka berkata
Di
  dalam Makkah saat masuk Islam mereka berhijrah 
Mereka berjalan seperti
  unta yang berkemilau. Mereka terlindungi oleh pukulan saat orang-orang negro
  yang pendek berusia lanjut.
Dalam riwayat Abu Bakar ibn Hanbali
  bahwasanya saat Zuhair sudah datang pada bait :
Sungguh Rasulullah adalah
  cahaya yang menyinari
Laksana pedang India dari beberapa pedang Allah,
  yang terhunus
Maka, Rasulullah melemparkan selimut yang melekat pada
  badannya kepada Ka’ab dan bahwa Mu’awiyah menawarkan 10.000 dirham kepada
  Ka’ab untuk memiliki selimut tersebut. “Saya tidak akan memprioritaskan
  siapapun dengan Rasulullah,” kata Ka’ab. Waktu Ka’ab meninggal dunia Mu’awiyah
  mengambil selimut tersebut dari ahli warisnya dengan memberi 20.000 dirham
  kepada mereka. 
Rasulullah juga memuji dirinya sendiri. Beliau berkata
  :
“Saya adalah sebaik-baik kelompok kanan (Ashabul Yamin)”
“Saya
  adalah sebaik-baik orang dahulu.”
“Saya adalah anak cucu Adam yang paling
  bertaqwa dan paling mulia di sisi Allah, namun saya tidak merasa angkuh.” HR
  Al Turmudzi dan Al Baihaqi dalam Al Dalaail. 
“Saya adalah orang paling
  mulia dari generasi awal dan akhir, namun aku tidak merasa angkuh.” HR. AL
  Turmudzi dan Al Darimi.
“Kedua orang tuaku sama sekali tidak perbah
  melakukan perzinahan.” HR Ibnu ‘Umar Al ‘Adani dalam Musnadnya. 
Jibril
  berkata, “Saya telah menelusuri wilayah timur dan barat bumi. Saya tidak
  melihat seorang lelaki yang lebih utama melebihi Muhammad dan tidak melihat
  anak cucu seorang ayah yang lebih utama melebihi anak cucu Hasyim.” HR Al
  Baihaqi, Abu Nu’aim dan Al Thabarani dari ‘Aisyah RA. 
Dari Anas RA
  bahwasanya Nabi SAW didatangi buraq pada malam beliau diisra’kan. Buraq itu
  sulit untuk dinaiki Nabi. “Kepada Muhammad kamu bersikap demikian?” tanya
  Jibril, “Tidak ada yang menaiki kamu seseorang yang lebih mulia di sisi Allah
  daripada Muhammad.” Akhirnya keringat Buraq itu keluar dengan deras. HR Al
  Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits Abi Sa’id, ia berkata, “Rasulullah SAW
  bersabda, “Saya adalah junjungan anak Adam pada hari kiamat namun aku tidak
  merasa angkuh. Di tanganku ada panji pujian (liwaa’ul hamdi) namun aku tidak
  merasa angkuh. Tidak ada seorang Nabi pun pada hari itu – Nabi Adam dan Nabi
  lain – kecuali di bawah oanjiku. Saya adalah orang pertama yang bumi terbelah
  karenanya namun aku tidak merasa angkuh.” HR Al Turmudzi yang menilainya
  sebagai hadits hasan shahih.
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah SAW
  berkata, “Saya adalah orang pertama yang keluar ketika manusia dibangkitkan.
  Saya adalah penuntun mereka ketika mereka menghadap Allah. Saya adalah yang
  berbicara ketika mereka bungkam. Saya adalah orang yang memberi syafaat ketika
  mereka ditahan. Saya adalah pemberi kabar gembira tatkala mereka merasa putus
  asa. Kemuliaan dan kunci-kunci  di hari itu ada ditanganku juga panji
  pujian.” 
“Saya adalah anak cucu Adam paling mulia di sisi Tuhanku.
  Seribu khadim laksana permata terpendam atau intan yang bertaburan
  mengelilingiku.” HR. Al Turmudzi dan Al Darimi. 
Dari Abu Hurairah dari
  Nabi SAW, beliau berkata, “Saya adalah orang pertama yang bumi terbelah
  karenanya. Aku diberi busana sorga kemudian aku berdiri di sebelah kanan
  ‘arsy. Tidak ada makhluk lain yang berdiri di tempat itu kecuali aku.” HR Al
  Turmudzi. “Hadits ini hasan sekaligus shahih.”
 
  PARA NABI ADALAH MANUSIA TETAPI !…….
Sebagian orang menganggap bahwa para
  Nabi sama dengan manusia lain dalam segala kondisi dan karakter. Asumsi ini
  jelas keliru dan kebodohan yang nyata yang ditolak oleh dalil-dalil sahih dari
  Al Kitab dan Al Sunnah. 
Para Nabi, meskipun mereka sama dengan semua
  manusia dalam substansi dasar yang nota bene sebagai manusia berdasarkan
  firman Allah : 
قل إنما أنا بشر 
  hanya saja mereka berbeda dalam banyak sifat dan keadaan-keadaan insidental.
  Jika tidak demikian lalu apa keistimewaan mereka ? dan bagaimana bisa terlihat
  buah terpilihnya mereka mengalahkan orang lain ?
Dalam bahasan ini kami
  akan menjelaskan sedikit sifat-sifat mereka di dunia dan
  keistimewaan-keistimewaan mereka di alam barzakh yang ditetapkan berdasarkan
  Al Kitab dan Al Sunnah. 
 
  PARA NABI ADALAH PIMPINAN MANUSIA
Para Nabi adalah hamba-hamba Allah
  pilihan yang dimuliakan Allah dengan status kenabian serta diberi
  kebijaksanaan, kekuatan akal, dan cara pandang yang benar. Para Nabi dipilih
  Allah untuk menjadi mediator antara Dia dengan makhluk-Nya. Para Nabi
  menyampaikan perintah-perintah Allah kepada mereka, memperingatkan mereka akan
  murka dan siksa Allah, dan membimbing mereka menuju jalan yang mengantar
  kebahagiaan dunia akhirat. Hikmah Allah menetapkan bahwa mereka dari jenis
  manusia agar manusia bersosialisasi dengan mereka dan meneladani
  perangai  dan budi pekerti mereka. Kemanusiaan adalah esensi kemu’jizatan
  mereka. Mereka adalah manusia biasa namun memiliki perbedaan yang tidak
  mungkin disamai manusia manapun. Karena itu memberikan penilaian dari sisi
  kemanusia an sich terhadap mereka tanpa melibatkan unsur-unsur lain adalah
  perspektif jahiliyah yang musyrik. 
Salah satu penilaian kemanusiaan
  semata adalah 
-    Ucapan kaum Nabi Nuh terhadap Nabi Nuh
  sebagaimana diceritakan Allah :
  فقال الملأ من قومه ما نراك إلا بشرا مثلنا (هود 28)
  -    Ucapan kaum Nabi Musa dan Isa terhadap mereka berdua
  seperti diceritakan Allah :
  فقال أنؤمن لبشرين مثلنا وقومهما لنا عابدون (المؤمنون 47)
  -    Ucapan kaum Tsamud terhadap Nabi Shalih Nuh sebagaimana
  disebutkan Allah :
  ما أنت إلا بشر مثلنا فأت بآية إن كنت من الصادقين (الشعراء 154)
  -    Ucapan Ashabul Aikah terhadap Nabi mereka Syu’aib
  sebagaimana dikatakan Allah :
  قالوا إنما أنت من المسحرين وما أنت إلا بشر مثلنا وإن نظنك لمن الكاذبين
  (الشعراء : 186)
  -    Ucapan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad SAW yang
  memandang Nabi dari aspek kemanusiaan semata, seperti diceritakan Allah :
  وقالوا ما ل هذا الرسول يأكل الطعام ويمشي في الأسواق 
  
SIFAT-SIFAT PARA NABI AS
Para Nabi, meskipun mereka juga manusia yang makan, minum, sehat,
  sakit, menikahi perempuan, berjalan di pasar, mengalami apa yang dialami
  manusia seperti lemah, lanjut usia, dan mati namun mereka memiliki perbedaan
  dengan berbagai keistimewaan dan memiliki sifat-sifat yang agung yang bagi
  mereka adalah salah satu hal yang harus melekat serta paling urgen.
  Sifat-sifat ini bisa diringkas sbb :
1.    Jujur
2.  
   Amanah
3.    Bebas dari aib yang menjijikkan
  
4.    Menyampaikan
5.    Cerdas
6.  
   Terhindar dari dosa
 Di sini bukanlah tempat untuk
  membicarakan sifat-sifat ini secara detail. Karena pembicaraan masalah ini
  telah ditanggung oleh buku-buku tauhid. Di sini, kami hanya akan menyebut
  sebagian sifat yang membedakan Nabi Muhammad SAW dengan manusia biasa.
  
 
  MAMPU MELIHAT DARI BELAKANG SEBAGAIMANA DARI DEPAN
  Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
  bersabda, “Apakah kalian melihat qiblatku di sini ?. Demi Allah, ruku’ dan
  sujud kalian tidak samar bagi saya. Sungguh saya bisa melihat kalian dari
  balik punggungku.” 
Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW
  bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya saya adalah imam kalian. Maka janganlah
  mendahului saya dengan ruku’ dan sujud. Karena saya bisa melihat kalian dari
  arah depan dan belakang.” 
Abdurrazaq meriwayatkan dalam karyanya, dan Al
  Hakim serta Abu Nu’aim dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda,
  “Sesungguhnya saya mampu melihat sesuatu dari arah belakangku sebagaimana dari
  arah depanku.”
Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, ia
  berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh saya mampu melihat kalian dari
  balik punggungku.”
 
  BELIAU MAMPU MELIHAT APA YANG TIDAK KITA LIHAT DAN MAMPU MENDENGAR APA YANG
  TIDAK KITA DENGAR
  
Dari Abu Dzarr, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Sungguh saya mampu
  melihat apa yang tidak kalian lihat dan mampu mendengar apa yang tidak kalian
  dengar. Langit bersuara dan ia memang wajib bersuara. Demi Dzat yang nyawaku
  berada di tangannya, tidak ada di langit tempat seluas empat jari-jari kecuali
  ada malikat yang meletakkan keningnya bersujud kepada Allah. Demi Allah, jika
  kalian mengetahui apa yang saya ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan
  banyak tersenyum, tidak akan bersenang-senang dengan wanita di atas tempat
  tidur dan niscaya akan pergi ke tempat-tempat tinggi berlindung kepada Allah.”
  Abu Dzarr berkata, “Sekiranya saya jadi pohon yang ditebang.” HR. Ahmad, Al
  Turmudzi dan Ibnu Majah. 
  
KETIAK MULIA NABI SAW 
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
  Anas, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah SAW berdo’a seraya mengangkat kedua
  tangan beliau hingga kedua ketiaknya terlihat.” 
Ibnu Sa’ad meriwayatkan
  dari Jabir, ia berkata, “Nabi SAW itu jika sujud maka warna putih kedua ketiak
  beliau terlihat.” Dalam banyak hadits dari sekelompok sahabat terdapat
  keterangan yang menjelaskan putihnya kedua ketiak beliau. 
Al Muhib Al
  Thabari berkata, “Salah satu keistimewaan beliau SAW adalah bahwa ketiak semua
  orang berubah warnanya kecuali beliau.” Al Qurthubi mengemukan pendapat yang
  sama dengan Al Thabari. “Dan sesungguhnya ketiak beliau tidak berambut,”
  tambahnya. 
NABI SAW TIDAK MENGUAP
Al Bukhari meriwayatkan dalam Al
  Tarikh, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf dan Ibnu Sa’ad dari Yazid ibn Al
  Ashamm, ia berkata, “Tidak pernah sekalipun Nabi SAW menguap.”
Ibnu Abi
  Syaibah meriwayatkan dari Maslamah ibn Abdil Malik ibn Marwan, ia berkata,
  “Tidak pernah sekalipun Nabi SAW menguap.”
  
AIR KERINGAT MULIA NABI SAW
Muslim meriwayatkan dari Anas, ia
  berkata, “Rasulullah SAW masuk menemui kami lalu beliau tidur siang. Saat
  tidur badan beliau mengeluarkan keringat. Ibuku datang membawa botol. Kemudian
  ia mengambil keringat Nabi dengan kain. Lalu Nabi terjaga dan bertanya, “Apa
  yang kamu lakukan ini, wahai Ummu Sulaim ?”. “Keringat yang saya masukkan
  dalam minyak wangi saya. Keringat ini paling wanginya wewanginan,” jawab
  ibuku. 
Muslim juga meriwayatkan lewat jalur lain dari Anas, ia berkata,
  “Sesungguhnya Nabi SAW mendatangi Ummu Sulaim. Lalu beliau hendak tidur siang.
  Ummu Sulaim kemudian menggelar alas dari kulit dan Nabi tidur di atasnya. Nabi
  adalah orang yang banyak mengeluarkan keringat. Ummu Sulaim kemudian
  mengumpulkan keringat beliau lalu memasukkannya dalam minyak wangi dan
  botol.  “Wahai Ummu Sulaim, apa ini ?” tanya Nabi. “Keringat yang saya
  campurkan pada minyak wangi saya,” jawab Ummu Sulaim. 
  
TINGGI BADAN NABI SAW
Ibnu Khaitsamah meriwayatkan Tarikhnya, Al
  Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah bukan lelaki
  jangkung dan pendek. Jika berjalan sendirian postur beliau dinilai sedang.
  Jika beliau berjalan dengan seseorang yang dinilai tinggi maka tinggi beliau
  akan melampauinya. Terkadang beliau didampingi oleh dua orang yang berpostur
  tinggi tapi tinggi badan beliau mengalahkan keduanya. Jika keduanya
  meninggalkan beliau, maka beliau dinilai sebagai orang yang berpostur sedang.
  
Dalam Al Khashaish, Ibnu Sab’in menyebutkan hal di atas. “Sesungguhnya
  Rasulullah SAW jika duduk maka pundak beliau lebih tinggi dari semua orang
  yang duduk,” tambah Ibnu Sab’in.
  
BAYANGAN RASULULLAH SAW
Al Hakim dan Al Turmudzi meriwayatkan dari
  Dzakwan bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki bayangan baik di bawah sinar
  matahari atau pun bulan. Ibnu Sab’in berkata, “Salah satu keistimewaan Nabi
  SAW adalah bahwa bayangan beliau tidak jatuh di atas tanah dan bahwa beliau
  adalah cahaya. Jika beliau berjalan di bawah sinar matahari atau bulan maka
  tidak terlihat bayangan beliau. Sebagian ulama mengatakan, “Fakta ini
  diperkuat oleh sebuah hadits beliau dalam berdo’a, “Jadikanlah saya
  cahaya.”
Al Qadli ‘Iyadl dalam Al Syifa’ dan Al ‘Izz dalam Maulidnya
  mengatakan, “Salah satu keistimewaan Nabi SAW bahwa beliau tidak dihinggai
  lalat.” Dalam Al Khashaish. Ibnu Sab’in menyebutkannya dengan redaksi : Tidak
  ada seekor nyamuk pun yang hinggap di atas pakaian Nabi SAW. “Bahwa kutu tidak
  menyakiti beliau,” tambahnya. 
  
DARAH NABI SAW
Al Bazzar, Abu Ya’la, Al Thabarani, Al Hakim dan Al
  Baihaqi meriwayatkan dari Abdullah ibn Zubair bahwa ia datang kepada Nabi SAW
  pada saat beliau sedang melakukan bekam. Setalah Nabi selesai berbekam beliau
  berkata, “Wahai Abdullah, pergilah dan tumpahkanlah darah ini di tempat yang
  tidak diketahui orang.” Abdullah meminum darah tersebut. Ketika ia kembali
  Nabi bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” “Saya letakkan darah tersebut dalam
  tempat paling tersembunyi yang saya tahu bahwa tempat itu tersembunyi dari
  manusia,” jawab Abdullah ibnu Zubair. 
“Paling engkau meminumnya.”
“Benar.”
“Celakalah
  manusia karena kamu dan celakalah kamu karena mereka,” kata Nabi. Akhirnya
  orang-orang menganggap bahwa kekuatan yang dimiliki Abdullah ibnu Zubair
  adalah akibat meminum darah Nabi SAW. 
  
TIDURNYA NABI SAW
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah,
  ia bertanya, “Apakah engkau akan tidur sebelum shalat witir?” “Wahai ‘Aisyah,
  sesungguhnya kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak tidur,” jawab Nabi SAW.
  
Nabi SAW bersabda, “Para Nabi itu mata mereka tertidur namun hati mereka
  tidak.”
HUBUNGAN INTIM NABI SAW
Al Bukhari meriwayatkan dari
  jalur Qatadah dari Anas, ia berkata, “Nabi SAW menggilir para istrinya yang
  berjumlah sebelas orang dalam satu waktu pada siang dan malam.” Saya bertanya
  kepada Anas, “Apakah Nabi kuat?” “Kami mengobrol bahwa beliau diberi kekuatan
  30 laki-laki,” jawab Anas. 
  
TERHINDARNYA BELIAU DARI MIMPI BASAH
Al Thabarani meriwayatkan
  lewat jalur ‘Ikrimah dari Anas dan Ibnu ‘Abbas, dan Al Dinawari dalam Al
  Mujalasah lewat jalur Mujahid dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Tidak ada seorang
  Nabi pun yang mimpi basah. Karena mimpi basah hanyalah dari syetan.”
AIR
  SENI NABI SAW
Al Hasan ibnu Sufyan meriwayatkan dalam Al Musnadnya, Abu
  Ya’la, Al Hakim, Al Daruquthni, dan Abu Nu’aim dari Ummu Aiman, ia berkata,
  “Suatu malam Nabi bangkit berdiri menuju kendi yang ada di samping rumah lalu
  beliau kencing pada tempat itu. Kemudian pada malam itu saya bangun dan merasa
  haus. Lalu saya minum dari isi kendi tersebut. Saat pagi tiba saya
  menceritakan peristiwa semalam kepada beliau. Beliau tertawa dan berkata,
  “Sesungguhnya setelah hari ini perut kamu tidak akan merasakan sakit
  selamanya.”
‘Abdurrazaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Saya
  diberi informasi bahwa Nabi SAW kencing pada wadah kayu lalu wadah itu
  diletakkan di bawah tempat tidur beliau. Kemudian Nabi datang tapi tiba-tiba
  wadah itu tidak ada isinya sama sekali. Lalu Nabi bertanya kepada seorang
  perempuan bernama Barakah yang mengabdi kepada Ummu Habibah dan datang
  bersamanya dari tanah Habasyah, “Di manakah air seni yang ada pada wadah?”
  “Saya minum,” jawab Barakah. “Sehat, wahai Ummu Yusuf,” lanjut Nabi. Barakah
  pun dijuluki Ummu Yusuf dan tidak mengalami sakit sama sekali sampai sakit
  yang dialami waktu kematian menjemput. 
Ibnu Dihyah berkata, “Peristiwa
  yang dialami Barakah adalah peristiwa lain, bukan peristiwa Ummu Aiman dan
  Barakah Ummu Yusuf bukan Barakah Ummu Aiman.”
  
RINGKASAN YANG BERGUNA
Sebagian ulama telah menadhamkan
  (mempuisikan) sejumlah keistimewaan yang membuat Nabi berbeda dengan yang lain
  dari aspek sifat-sifat kemanusiaan biasa sbb :
Nabi kita telah diberi
  sepuluh keistimewaan
Beliau belum pernah sekalipun mimpi basah, tidak
  memiliki bayangan
Bumi menelan kotoran yang dikeluarkan beliau
Dan
  lalat tidak mampu hinggap pada tubuhnya
Mata beliau tertidur namun
  hatinya tetap terjaga
Mampu melihat dari belakang sebagaimana dari
  depan
Yang ketujuh beliau tidak pernah menguap
Selanjutnya beliau
  dilahirkan sudah dikhitan
Binatang-binatang mengenal beliau saat beliau
  sedang menunggang
Binatang-binatang itu datang dengan segera tidak lari
  menjauh
Duduk beliau mengungguli duduknya orang lain yang duduk
Shalawat
  dan salam Allah untuknya setiap pagi dan sore 
Kami telah menyebutkan
  dalam pembahasan kenabian pada bab kedua sebagian keistimewaan kenabian dan
  ringkasan dari yang saya lihat dalam keistimewaan tersebut.
  Keistimewaan-keistimewaan itu ternyata sangat banyak. Sebagian ada yang
  sanadnya sahih, sebagian sanadnya tidak shahih, sebagian ada yang
  diperselisihkan para ulama. Sebagian ulama memandangnya shahih, sebagian lain
  tidak. Masalah ini adalah masalah khilafiyyah.
Polemik antar ulama dalam
  masalah ini sejak dulu berkisar antara salah dan benar, dan antara sah dan
  batal. Bukan antara kufur dan iman. Kami telah mengutip sebagian besar dari
  keistimewaan-keistimewaan yang di antaranya ada yang shahih, tidak shahih, dan
  ada yang diterima dan lain seterusnya. 
Kami kutip sebagian keistimewaan
  di atas agar menjadin penguat atas apa yang kami kemukakan menyangkut
  toleransi sebagian pakar hadits dalam mengutip keistimewaan itu tanpa kajian
  mendalam dan kritik. Maksud dari mengutip sebagian keistimewaan itu bukanlah
  membicarakan seputar keabsahan dan tidaknya keistimewaan tersebut atau ada dan
  tidaknya keistimewaan itu. Camkanlah !.
  
  
  PERSEPSI TABARRUK (MEMOHON BERKAH)
Banyak orang keliru memahami esensi tabarruk dengan Nabi SAW,
  jejak-jejak peninggalan beliau, keluarga dan para pewarisnya dari para ulama
  dan wali. Mereka menilai setiap orang yang melakukan tabarruk telah melakukan
  tindakan syirik dan sesat sebagaimana kebiasaan mereka menyikapi hal-hal baru
  yang tidak diterima oleh pandangan mereka dan tidak terjangkau pemikiran
  mereka.
Sebelum kami jelaskan dalil–dalil dan bukti-bukti yang
  menunjukkan diperbolehkannya tabarruk malah disyariatkannya tabarruk perlu
  kami sampaikan tabarruk tidak lain tawassul kepada Allah dengan obyek yang
  dijadikan tabarruk baik peninggalan, tempat atau orang. 
Adapun tabarruk
  dengan orang-orang maka karena meyakini keutamaan dan kedekatan mereka kepada
  Allah dengan tetap meyakini ketidakmampuan mereka memberi kebaikan atau
  menolak keburukan kecuali atas izin Allah. 
Adapun tabarruk dengan
  peninggalan-peninggalan maka karena peninggalan tersebut dinisbatkan kepada
  orang-orang di mana kemuliaan peninggalan itu berkat mereka dan dihormati,
  diagungkan dan dicintai karena mereka. 
Adapun tabarruk dengan tempat
  maka substansi tempat sama sekali tidak memiliki keutamaan dilihat dari
  statusnya sebagai tempat. Tempat memiliki keutamaan karena kebaikan dan
  ketaatan yang berada dan terjadi di dalamnya seperti sholat, puasa dan semua
  bentuk ibadah yang dilakukan oleh para hamba Allah yang shalih. Sebab karena
  ibadah mereka rahmat turun pada tempat, malaikat hadir dan kedamaian
  meliputinya. Inilah keberkahan yang dicari dari Allah di tempat-tempat yang
  dijadikan tujuan tabarruk. 
Keberkahan ini dicari dengan berada di
  tempat-tempat tersebut untuk bertawajjuh kepada Allah, berdoa, beristighfar
  dan mengingat peristiwa yang terjadi di tempat-tempat tersebut dari
  kejadian-kejadian besar dan peristiwa-peristiwa mulia yang menggerakkan jiwa
  dan membangkitkan harapan dan semangat untuk meniru pelaku peristiwa itu yang
  nota bene orang-orang yang berhasil dan shalih. Mari kita simak
  keterangan-keterangan di bawah ini yang kami kutip dari risalah karya kami
  yang khusus mengenai topik keberkahan. 
  TABARRUK DENGAN RAMBUT, SISA AIR WUDLU DAN KERINGAT NABI SAW
1.    Dari Ja’far ibn Abdillah ibn Al Hakam bahwa Khalid
  ibnu Al Walid kehilangan peci miliknya saat perang Yarmuk. “Carilah peciku,”
  perintah Khalid kepada pasukannya. Mereka mencari peci tersebut namun gagal
  menemukannya. “Carilah peci itu,” kata Khalid lagi. Akhirnya peci itu berhasil
  ditemukan. Ternyata peci itu peci yang sudah lusuh bukan peci baru.
  “Rasulullah melaksanakan umrah lalu beliau mencukur rambut kepalanya kemudian
  orang-orang segera menghampiri bagian-bagian rambut beliau. Lalu saya berhasil
  merebut rambut bagian ubun-ubun yang kemudian saya taruh di peci ini. Saya
  tidak ikut bertempur dengan mengenakan peci ini kecuali saya diberi
  kemenangan,” jelas Khalid. 
Al Haitsami berkata, “Hadits semisal di atas
  diriwayatkan oleh Al Thabarani dan Abu Ya’la dengan perawi yang memenuhi
  kriteria hadits shahih. Ja’far mendengar hadits di atas ini dari sekelompok
  shabat. Saya tidak tahu apakah ia mendengar langsung dari Khalid atau tidak.
  (9/349). Hadits ini juga disebut oleh Ibnu Hajar dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah
  vol. IV hlm. 90. Dalam hadits ini Khalid berkata, “Saya tidak pergi menuju
  medan pertempuran kecuali diberi kemenangan.”
2.    Dari
  Malik ibn Hamzah ibn Abi Usaid Al Sa’idi Al Khazraji dari ayahnya dari
  kakeknya, Abi Usaid yang memiliki sumur di Madinah yang disebut Sumur Bidlo’ah
  yang pernah diludahi oleh Nabi SAW. Abi Usaid minum air dari sumur tersebut
  dan memohon berkah dengannya. HR Al Thabarani dengan para perawi yang memiliki
  kredibilitas. 
  PENILAIAN ‘URWAH IBNU MAS’UD TERHADAP PERILAKU SAHABAT BERSAMA RASULULLAH
3.  
   Al Imam Al Bukhari mengatakan beserta sanadnya, “Kemudian ‘Urwah
  mengamati para sahabat Nabi SAW dengan matanya. “Demi Allah,” kata “urwah,
  “Rasulullah tidak mengeluarkan dahak kecuali dahak itu jatuh pada telapak
  tangan salah satu sahabat yang kemudian ia gosokkan pada wajah dan kulitnya.
  Jika beliau memberikan perintah maka mereka segera mematuhi perintahnya. Jika
  beliau berwudlu maka nyaris mereka berkelahi untuk mendapat air sisa
  wudlu’nya. Jika beliau berbicara  mereka memelankan suara di depan
  beliau. Dan tidak ada yang berani memandang tajam kepada beliau semata-mata
  karena menghormatinya.” ‘Urwah lalu pulang menemui teman-temannya. “Wahai
  kaumku!” seru ‘Urwah, “Demi Allah, saya pernah diutus menemui para raja,
  kaisar, kisra dan najasyi. Demi Allah, tidak ada  sama sekali raja yang
  mendapat penghormatan seperti penghormatan yang diberikan para sahabat
  Muhammad kepada Muhammad SAW. Demi Allah, ia tidak berdahak kecuali dahak itu
  jatuh pada telapak tangan salah seorang dari mereka lalu dahak itu diusapkan
  ke wajah dan kulitnya. Jika ia memberikan perintah maka mereka segera
  mematuhinya. Jika ia berwudlu maka mereka nyaris berkelahi untuk memperebutkan
  sisa air wudlunya. Jika mereka berbicara, mereka memelankan suaranya di
  dekatnya. Dan mereka tidak berani memandang dengan tajam semata-mata karena
  menghormatinya.” HR. Al Bukhari dalam Kitab Al Syuruuth dalam Bab Al Syarthi
  fi Al Jihaadi. (Fathul Baari vol. V hlm. 330)
  KOMENTAR AL HAFIDH IBNU HAJAR TERHADAP KISAH DI ATAS
Hadits di atas
  menunjukkan kesucian dahak, rambut yang terlepas, dan memohon berkah dengan
  sesuatu yang suci yang keluar dari badan orang-orang shalih. Barangkali para
  sahabat melakukan semua hal di atas di hadapan ‘Urwah dan melakukannya secara
  berlebihan untuk menepis kekhawatiran ‘Urwah bahwa mereka akan lari. Dengan
  sikap mereka seolah-olah mereka mengatakan : “Mereka yang mencintai dan
  mengagungkan pemimpinnya seperti ini, bagaimana mungkin dibayangkan mereka
  akan lari dan menyerahkan pemimpin mereka kepada musuh? Justru mereka adalah
  orang yang sangat menyenangi pemimpinnya, agamanya dan siap membelanya
  melebihi para suku yang sebagian melindungi yang lain hanya semata-mata karena
  ikatan kekerabatan.” Dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan diperbolehkan
  meraih tujuan yang hendak dicapai dengan cara apapun yang diperkenankan.
  Fathul Baari vol. V hlm. 341.
 
  NABI SAW MENGANJURKAN UNTUK MENJAGA SISA AIR WUDLU BELIAU
4.  
   Dari Thalq ibnu ‘Ali, ia berkata, “Kami pergi sebagai delegasi untuk
  menghadap Nabi SAW. Lalu kami membai’at beliau, shalat bersamanya dan
  mengabarkan bahwa di daerah kami ada sebuah sinagog milik kami. Kemudian kami
  meminta sisa air wudlu beliau. Beliau kemudian meminta didatangkan air lalu
  berwudlu, berkumur terus menumpahkan sisa air wudlu itu untuk kami pada
  kantong dari kulit dan memberikan perintah kepada kami, “Pergilah kalian!,
  Jika kalian telah tiba di daerah kalian robohkan sinagog itu dan percikilah
  tempat sinagog itu dengan air sisa wudlu ini dan jadikanlah tempat sinagog itu
  sebagai masjid.”  “Sesungguhnya daerah kami jauh, cuaca sangat panas dan
  air ini bisa kering,” ujar kami. “Tambahkanlah air, karena tambahan air akan
  semakin membuatnya wangi,” kata Nabi. 
Al Nasa’i dalam Al Misykat no. 716
  meriwayatkan hadits ini demikian. Hadits ini dikategorikan sebagai dasar-dasar
  pedoman populer yang mengindikasikan disyariatkannya tabarruk dengan Nabi,
  peninggalan beliau dan dengan apa saja yang dinisbatkan kepada beliau. Karena
  beliau SAW mengambil air wudlu lalu memasukkannya ke dalam kantong kulit
  kemudian menyuruh sahabat membawanya bersama mereka. Tindakan beliau ini untuk
  mengabulkan permintaan mereka dan mewujudkan harapan mereka. Dalam peristiwa
  ini pasti ada rahasia kuat yang tertanam dalam sanubari mereka yang mendorong
  untuk meminta sisa air wudlu secara khusus padahal kota Madinah penuh dengan
  air, bahkan daerah mereka juga penuh dengan air. Lalu mengapa mereka bersusah
  payah membawa sedikit air sisa wudlu dari satu daerah ke daerah lain padahal
  jaraknya jauh, perjalanan menempuh waktu lama, dan di bawah sengatan panas
  sinar matahari ?
Betul, bahwa mereka tidak mempedulikan pengorbanan ini.
  Sebab faktor di balik tindakan mereka membawa air sisa wudlu membuat semua hal
  yang berat dirasa ringan. Faktor itu ialah, tabarruk dengan Nabi,
  peninggalan-peninggalan beliau dan dengan semua hal yang dinisbatkan kepada
  beliau, di mana faktor ini tidak terdapat di daerah mereka dan dalam kondisi
  apapun tidak bisa ditemukan dengan sempurna pada mereka. Apalagi Nabi memberi
  penegasan kepada mereka dan meridloi tindakan mereka dengan menjawab perkataan
  mereka saat mengatakan, “Sesungguhnya air bisa kering karena cuaca sangat
  panas,” dengan jawaban : “Tambahkanlah ia air.” Nabi menjelaskan kepada mereka
  bahwa keberkahan yang melekat pada air sisa wudlu tetap terjaga sepanjang
  mereka menambahkan ke dalamnya air lagi. Barokah itu akan terus berlanjut.
  
 
  TABARRUK DENGAN RAMBUT NABI SAW SEPENINGGAL BELIAU
5.    Dari ‘Utsman ibnu ‘Abdillah ibnu Mauhib, ia
  berkata, “Keluargaku mengutus saya kepada Ummu Salamah dengan membawa gelas
  berisi air. Lalu Ummu Salamah datang dengan membawa sebuah genta dari perak
  yang berisi rambut Nabi. Jika seseorang terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal
  maka ia datang kepada Ummu Salamah membawakan bejana untuk mencuci pakaian.
  “Saya amati genta itu dan ternyata saya melihat ada beberapa helai rambut
  berwarna merah,” kata ‘Utsman. HR. Al Bukhari dalam Kitabul Libaas Baabu Maa
  Yudzkaru fi Al Syaibi.
Al Imam Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
  menegaskan, “Waki’ telah menjelaskan hadits di atas dalam karangannya. “Genta
  (Jaljal) itu terbuat dari perak yang dibuat untuk menyimpan rambut-rambut Nabi
  yang ada pada Ummu Salamah. Jaljal adalah benda mirip lonceng yang terbuat
  dari perak, kuningan atau tembaga. Kerikil-kerikil yang bergerak-gerak dalam
  jaljal terkadang dibuang lalu apa yang dibutuhkan diletakkan dalam jaljal.
  (Fathul Bari vol. I hlm. 353.)
Al Imam Al ‘Aini berkata, “Penjelasan
  hadits di atas intisarinya adalah bahwa Ummu Salamah memiliki beberapa helai
  rambut Nabi SAW yang disembunyikan dalam sebuah benda mirip genta dan
  orang-orang ketika mengalami sakit memohon berkah dari rambut tersebut serta
  memohon kesembuhan dari keberkahan rambut itu. Mereka mengambil sebagian
  rambut Nabi dan meletakkannya dalam wadah berisi air. Kemudian mereka meminum
  air yang ada rambutnya itu hingga mereka sembuh. Keluarga ‘Utsman itu
  mengambil sedikit dari rambut itu dan meletakkannya dalam gelas dari perak.
  Mereka lalu minum air yang berada dalam wadah tersebut hingga mereka sembuh.
  Selanjutnya mereka mengutus ‘Utsman  dengan membawa gelas perak itu
  kepada Ummu Salamah. Ummu Salamah pun mengambil gelas itu dan meletakkannya
  pada genta. Lalu ‘Utsman mengamati isi genta itu dan ternyata ia melihat
  beberapa rambut berwarna merah. 
Ucapan ‘Utsman : “Jika seseorang terkena
  penyakit ‘ain atau sesuatu  hal maka ia datang kepada Ummu Salamah
  membawakan bejana untuk mencelup kain dst, adalah ucapan ‘Utsman ibn ‘Abdillah
  ibn Mauhib. Maksudnya adalah bahwa keluargaku…. Demikian penafsiran Al
  Kirmani. 
Sebagian ulama mengatakan, “Maksudnya adalah bahwa orang-orang,
  jika salah satu dari mereka. Pendapat Al Kirmani lebih tepat, yang menjelaskan
  bahwa seseorang jka ia terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal maka keluarganya
  mengirimkan kepada Ummu Salamah sebuah bejana untuk mencuci pakaian yang diisi
  dengan air dan sedikit rambut Nabi yang berkah. Orang tersebut kemudian duduk
  dalam bejana tersebut hingga ia sembuh kemudian rambut itu dikembalikan lagi
  kepada Ummu Salamah. (‘Umdatul Qaari Syarhu Shahihi Al Bukhari vol. 18 hlm.
  79). 
 
  NABI MEMBAGI RAMBUT BELIAU KEPADA ORANG-ORANG
Muslim meriwayatkan dari
  haditsnya Anas bahwa Nabi SAW mendatangi Mina lalu datang ke Jamrah dan
  melemparnya. Kemudian mendatangi rumahnya dan menyembelih. Lalu beliau berkata
  kepada tukang cukur sambil menunjuk ke arah kanan lalu arah kiri, “ambillah!”
  Selanjutnya beliau memberikan rambutnya kepada orang-orang.”
Al Turmudzi
  meriwayatkan dari haditsnya Anas juga, ia berkata, “Saat Rasulullah SAW
  melihat jamrah beliau menyembelih hewan sembelihan lalu mempersilahkan sisi
  kanan kepala kepada tukang cukur,lalu tukang cukur itu mencukur rambutnya.
  Kemudian Nabi memberikan rambut kepada Abu Thalhah. Kemudian beliau
  mempersilahkan sisi kepala kiri lalu dicukur oleh tukang cukur lalu berkata,
  “Bagikanlah rambut ini kepada orang-orang.” 
Riwayat Muslim kelihatannya
  menunjukkan bahwa rambut yang beliau menyuruh Abu Thalhah untuk membaginya
  kepada orang-orang adalah rambut kepala bagian kiri. Demikian riwayat Muslim
  dari jalur Ibnu ‘Uyainah. Adapun riwayat Hafsh ibn Ghiyats dan Abdul A’la
  adalah : Bahwa sisi kepala yang rambutnya dibagikan kepada orang-orang adalah
  sisi kanan. Kedua riwayat ini sama-sama dari Muslim. 
 
  PEMBAGIAN RAMBUT NABI SEHELAI-SEHELAI
Dalam  riwayat hafsh versi
  Muslim hadits di atas menggunakan redaksi : “Lalu Nabi mengawali dengan sisi
  kanan kepala kemudian beliau membagi-bagikan rambut sehelai - dua helai kepada
  orang-orang. Lalu beliau melakukan hal yang sama untuk sisi kiri rambut.
Dalam
  riwayatnya dari Hafsh, Abu Bakar berkata, “Nabi berkata kepada tukang cukur,
  “Cukurlah ini !”, sambil menunjuk sisi kanan kepala. Lalu beliau membagikan
  rambutnya kepada orang-orang yang ada di sekitar beliau. “Kemudian memberi
  syarat kepada tukang cukur untuk mencukur sisi kiri kepala lalu tukang cukur
  mencukurnya dan beliau memberikan rambut kepada Ummu Sulaim,” lanjut Abu
  Bakar. 
 
  ORANG-ORANG BEREBUT MEMUNGUT RAMBUT NABI SAW
Dalam riwayat Ahmad dalam Al
  Musnad terdapat keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi SAW menyuruh Anas
  mengirimkan rambut kepala bagian kanan kepada ibunya, Ummu Sulaim istri Abu
  Thalhah. Karena dalam riwayat tersebut Anas berkata, “Saat Rasulullah SAW
  mencukur rambut kepalanya di Mina beliau memegang sisi kanan kepala dengan
  tanggannya. Setelah selesai dicukur beliau memberikan rambut kepada saya.
  “Wahai Anas,” kata beliau, “Pergilah dengan membawa rambut ini kepada Ummu
  Sulaim.” “Ketika orang-orang melihat apa yang diberikan secara khusus kepada
  kami maka mereka berebutan memungut rambut sisi kiri kepala. Si A mengambil,
  si B juga, dst. 
 
  KAJIAN MENDALAM MENYANGKUT TOPIK HADITS TENTANG RAMBUT
Sebagai mana Anda
  simak, banyak riwayat berbeda menyangkut topik ini. Sebagian riwayat
  menyatakan bahwa yang diberikan Nabi kepada Abu Thalhah adalah rambut sisi
  kanan kepala sedang yang beliau bagikan kepada orang-orang adalah rambut sisi
  kiri kepala. Sebagian riwayat lagi menjelaskan sebaliknya. Dan ada lagi
  riwayat yang menerangkan bahwa beliau memberikan rambut sisi kiri kepala
  kepada Ummu Sulaim. 
Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan
  keterangan yang datang dari penyusun Al Mufhim fi Syarhi Al Muslim, karena ia
  mengatakan bahwa ucapan Anas : “Saat Rasulullah mencukur rambut sisi kanan
  kepala beliau memberikan rambut kepada Abu Thalhah” bertentangan dengan
  kandungan riwayat kedua bahwasanya Nabi SAW membagi rambut sisi kanan kepala
  kepada orang-orang dan sisi kiri kepala kepada Ummu Sulaim yang nota bene
  istri Abu Thalhah dan ibu Anas. “Dari semua riwayat-riwayat ini dapat
  disimpulkan bahwa Nabi SAW ketika mencukur rambut sisi kanan kepala beliau
  memberikan rambut kepada Abu Thallah agar dibagikan kepada orang-orang. Lalu
  Abu Thalhah melaksanakan perintah beliau. Nabi juga menyerahkan rambut sisi
  kiri kepala kepada Abu Thalhah agar disimpan oleh Abu Thalhah sendiri. Dengan
  demikian sahlah menisbatkan masing-masing rambut kepada orang yang menerima.
  Wallahu A’lam,” jelas penyusun Al Mufhim. 
Al Muhib Al Thabari telah
  melakukan kompromi pada riwayat-riwayat yang bisa dikompromikan dan menguatkan
  salah satu riwayat ketika tidak bisa menerapkan kompromi. Ia berkata, “Yang
  sahih bahwa rambut yang Nabi bagikan kepada orang-orang adalah rambut sisi
  kanan kepala dan beliau menyerahkan rambut sisi kiri kepala kepada Abu
  Thalhah. Tidak ada kontradiksi antara kedua riwayat ini karena Ummu Sulaim itu
  istri Abu Thalhah. Maka Nabi memberikan rambut kepada keduanya. Terkadang
  pemberian dinisbatkan kepada Abu Thalhah dan terkadang kepada Ummu Sulaim.”
Dalam
  hadits di atas sungguh, ia menunjukkan adanya tabarruk dengan rambut Nabi SAW
  dan peninggalan-peninggalan beliau yang lain. Ahmad dalam hadits yang sanadnya
  sampai kepada Ibnu Sirin meriwayatkan bahwa Ibnu Sirin berkata, “’Ubaidah Al
  Salmani menceritakan kepada hadits ini.” “Sungguh memiliki sehelai rambut
  beliau itu lebih saya inginkan dari semua perak dan emas yang ada di atas
  permukaan dan di dalam perut bumi,” ujar Ibnu Sirin. 
Bukan cuma seorang
  perawi yang menyebutkan bahwa Khalid ibnu Al Walid menyimpan beberapa helai
  rambut Nabi dalam pecinya, yang karenanya ia tidak pernah mengalami kekalahan
  ketika berperang di medan pertempuran apa saja. Keterangan ini diperkuat oleh
  apa yang disebutkan oleh Al Mala dalam Al Sirah yang menyatakan bahwa Khalid
  meminta rambut ubun-ubun Nabi kepada Abu Thalhah ketika membagikannya kepada
  para sahabat. Abu Thalhah pun mengabulkan permintaan Khalid. Maka bagian depan
  ubun-ubun Nabi itu relevan dengan setiap kemenangan yang diperoleh Khalid
  dalam semua pertempuran yang diikuti. ‘Umdatul Qaari Syarhu Al Bukhari vol.
  VIII hlm. 230 – 231.
 
  TABARRUK DENGAN KERINGAT NABI SAW
6.    Dari ‘Utsman dari
  Anas bahwa Ummu Sulaim menggelar alas dari kulit untuk Nabi. Lalu beliau tidur
  siang dengan menggunakan alas itu di tempat Ummu Sulaim. “Jika Nabi telah
  tertidur,” kata Anas, “maka Ummu Sulaim mengambil keringat dan rambut beliau
  lalu dimasukkan dalam botol kemudian dicampurkan ke dalam minyak wangi sukk.”
  “Menjelang wafat Anas ibnu Malik berwasiat agar rambut dan keringat Nabi
  dimasukkan dalam ramuan obat yang dimasukkan pada kafannya, dari wewangian
  sukk.” Kata ‘Utsman, “Rambut dan keringat itu ditaruh di ramuan obatnya yang
  dimasukkan pada kafan.” HR. Al Bukhari dalam Kitabul Isti’dzan man Zara
  Qauman  Faqaala ‘Indahum.
7.    Dalam sebuah riwayat
  dari Muslim berbunyi : “Nabi masuk menemui kami lalu beliau tidur siang dan
  berkeringat. Kemudiaan ibuku datang membawa botol lalu memasukkan keringat
  Nabi ke dalamnya. Nabi pun akhirnya terbangun dan bertanya, “Wahai Ummu Sulaim
  !, apa yang kamu lakukan ?” “Ini adalah keringatmu yang aku campurkan pada
  wewangianku. Keringat ini adalah wewangian paling harum,” jawab Ummu
  Sulaim.
8.    Dalam riwayat Ishaq ibnu Abi Thalhah sbb :
  “Nabi berkeringat lalu keringat itu dikumpulkan oleh Ummu Salamah dalam
  sepotong kulit kuno lalu diseka dan diperas dimasukkan dalam botol-botol
  miliknya hingga akhirnya Nabi terbangun dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan?”
  Kami mengharapkan keberkahan keringatmu untuk anak-anak kecil kami,” jawab
  Ummu Sulaim. “Kamu benar,” lanjut Nabi.
Dalam riwayat Abu Qilabah sbb :
  “Ummu Sulaim mengumpulkan keringat Nabi dan dimasukkan dalam wewangian dan
  botol. “Apa ini ? tanya Nabi. “Keringatmu yang saya campurkan ke dalam
  wewangianku,” jawab Ummu Sulaim. 
Dari riwayat-riwayat di atas bisa
  disimpulkan bahwa Nabi melihat apa yang dilakukan Ummu Sulaim dan membenarkan
  tindakannya itu. Tidak ada kontradiksi antara ucapan Ummu Sulaim bahwa ia
  mengumpulkan keringat Nabi untuk dicampurkan ke dalam wewangiannya dengan
  ucapannya untuk mengharap keberkahan. Justru bisa dipahami bahwa ia
  melakukannya untuk dua alasan tersebut. Fathul Baari vol. XI hlm. 2.
 
  TABARRUK DENGAN MENYENTUH KULIT NABI SAW
Dari Abdurrahman ibnu Abi Laila
  dari ayahnya, ia berkata, “Usaid ibnu Hudlair adalah seorang lelaki yang
  shalih, suka tertawa dan jenaka. Saat ia bersama Rasulullah ia sedang
  bercerita di hadapan orang-orang dan membuat mereka tertawa. Rasulullah lalu
  memukul pinggangnya. “Engkau telah membuatku merasa sakit,” kata Usaid.
  “Silahkan membalas,” jawab Nabi. “Wahai Rasulullah, engkau mengenakan qamis
  sedang saya tidak,” ujar Usaid. “Lalu,” kata ayah Abdurrahman, “beliau melepas
  qamisnya dan Usaid merangkul beliau dan menciumi pinggang beliau.” “Ayah dan
  ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah, saya menginginkan ini,” kata Usaid.
   
Kata Al Hakim, “Hadits ini isnadnya shahih namun Al Bukhari dan
  Muslim tidak meriwayatkannya.” Al Dzahabi juga sependapat dengan Al Hakim.
  “Hadits ini shahih,” kata Al Dzahabi.
Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan dari
  Abu Laila hadits yang sama dengan hadits ini sebagaimana keterangan yang
  terdapat dalam Al Kanzu vol. VII hlm. 701.
Saya berkata, “Hadits semisal
  juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Thabarani dari Abu Laila, sebagaimana
  terdapat dalam AL Kanzu vol. IV hlm. 43.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari
  Hibban ibnu Wasi’ dari beberapa garu dari kaumnya bahwa Rasulullah meluruskan
  barisan para sahabatnya dalam perang Badar. Beliau membawa anak panah di
  tangan untuk meluruskan barisan mereka. Lalu lewat Sawad ibnu Ghazyah, sekutu
  bani ‘Adi ibnu Al Najjar. Ia keluar dari barisan perang. Beliau kemudian
  memukul perutnya dengan anak panah sambil berkata,  “Luruslah, wahai
  Sawad !” “Wahai Rasulullah !, engkau telah menyakitiku padahal Allah
  mengutusmu dengan membawa kebenaran dan keadilan. Berilah kesempatan bagi saya
  untuk membalasmu dengan setimpal, “ujar Sawad. Rasulullah kemudian menyingkap
  badannya. “Silahkan membalas, “perintah Nabi. Tiba-tiba Sawad merangkul dan
  mencium perut Nabi. “Apa yang mendorongmu melakukan hal ini, wahai Sawad,
  “tanya Nabi. “Tiba apa yang engkau bisa dilihat. Maka saya ingin akhir waktu
  pertemuan denganmu, agar kulitku menyentuh kulitmu, “jawab Sawad. Akhirnya
  rasululullah mendoakan Sawad mendapat kebaikan. Demikian dari Al Bidayah wa Al
  Nihayah vol VI hlm. 271. 
Abdurrazaq meriwayatkan dari Al Hasan bahwa
  Nabi SAW bertemu dengan seorang lelaki yang menggunakan semir kuning. Tangan
  beliau sendiri memegang pelepah kurma. “Tumbuh tanaman waras,”kata Nabi. Lalu
  beliau menusuk perut lelaki tersebut dengan pelepah kurma dan berkata,
  “Bukankah saya telah melarangmu melakukan ini (keluar dari barisan) ?” Tusukan
  beliau menimbulkan luka berdarah pada perut lelaki itu. “Pembalasan sepadan,
  wahai Rasulullah !” ujar sang lelaki. “Apakah kepada Rasulullah kamu berani
  meminta pembalasan, “tanya orang-orang.  “Tidak ada kulit siapapun yang
  memiliki kelebihan atas kulitku,” jawabnya. Lalu Rasulullah menyingkap
  perutnya kemudian berkata, “Balaslah dengan sepadan!” “Saya tidak akan
  membalas, agar engkau membriku syafaat kelak di hari kiamat,” jawab lelaki
  itu. Demikian dikutip dari Al Kanzu vol. XV hlm. 91.
Dalam vol. III hlm
  72 Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Al Hasan bahwa Rasulullah SAW melihat Sawad
  ibnu ‘Amr berselimut. Demikian dikatakan Ismail. Lalu Nabi bekata, “ Tumbuh
  tumbuh, tanaman waras tanaman waras.” Kemudian Nabi menusuk perut Sawad dengan
  kayu atau siwak. Perut Sawad pun bergoyang dan ada bekas tusukan. Lalu Ibnu
  Sa’ad menuturkan hal yang sama yang diriwayatkan Abdurrozaq. 
Abdurrazaq
  juga meriwayatkan dari Al Hasan sebagaimana disebutkan dalam Al Kanzu vol. XV
  hlm. 19. Al Hasan berkata, “Ada seorang lelaki Anshar yang dipanggil Sawadah
  ibnu ‘Amr. Ia memakai wewangian seolah-olah ‘urjun . Jika Nabi melihatnya maka
  ia gemetaran. Suatu hari ia datang dengan memakai wewangian. Kemudian Nabi
  menusukkan kayu kepadanya yang membuatnya terluka. “Pembalasan setimpal, wahai
  Rasulullah !” kata lelaki itu, lalu beliau menyerahkan kayu kepadanya. Nabi
  sendiri saat itu memakai dua qamis. Kemudian beliau melepaskan kedua qamisnya.
  Orang-orang membentak dan menghalangi Sawadah hingga saat Sawadah sampai di
  tempat di mana ia dilukai Nabi ia melempar pedangnya yang tajam dan menciumi
  Nabi. “Wahai Nabi Allah, saya tidak akan membalas, agar engkau memberi syafaat
  kepadaku di harui kiamat, “kata Sawadah. Al Baghawi meriwayatkan hadits yang
  sama sebagaimana tercantum dalam Al Ishabah vol. II hlm. 96.
 
  HADITS TENTANG ZAHIR RA
Rasulullah SAW bersabda, “Zahir orang kampung
  kami sedang kami orang kota dia.” Beliau sendiri senang terhadap Zahir. Suatu
  hari beliau berjalan masuk pasar dan melihat Zahir sedang berdiri. Lalu beliau
  datang dari arah belakang Zahir dan dengan tangannya beliau memeluk Zahir
  menempelkan ke dada beliau. Zahir mengerti bahwa yang memeluknya adalah
  Rasulullah. “Saya mengusapkan punggungku pada dada beliau berharap keberkahan
  beliau,” kata Zahir. 
Dalam riwayat Al Turmudzi dalam Al Syamaa’il sbb :
  “Lalu Nabi merangkulnya dari belakang dan Zahir tidak melihat beliau.
  “Lepaskan, siapakah ini,” kata Zahir. Zahir pun menoleh dan ternyata orang
  yang merangkulnya adalah Nabi SAW. Akhirnya ia tetap membiarkan punggungnya
  menempel pada dada beliau. Rasulullah pun berkata, “Siapakah yang mau membeli
  budak?” “Wahai Rasulullah, jika saya dijual maka saya tidak akan laku,” kata
  Zahir. “Di mata Allah hargamu mahal,” balas Nabi. 
Dalam riwayat Al
  Turmudzi pula : “Di mata Allah engkau laku” atau “Di mata Allah engkau mahal.”
  (Al Mawaahib Al Laadunniyyah vol. I hlm. 297). 
TABARRUK DENGAN DARAH
  NABI SAW
Hadits Abdullah ibnu Zubair RA.
Dari ‘Amir ibnu Abdullah
  ibn Zubair bahwa ayahnya menceritakan kepadanya bahwa ia datang kepada Nabi
  SAW pada saat beliau sedang melakukan bekam. Setelah Nabi seleai berbekam
  beliau berkata, “Wahai Abdullah, pergilah dan tumpahkanlah darah ini di tempat
  yang tidak diketahui orang.” Ketika Abdullah keluar meninggalkan Rasulullah ia
  mendekati darah tersebut dan meminumnya. Ketika ia kembali, Nabi bertanya,
  “Apa yang kamu lakukan terhadap darah?” “Saya letakkan darah tersebut dalam
  tempat paling tersembunyi yang saya tahu bahwa tempat itu tersembunyi dari
  manusia,” jawab Abdullah ibnu Zubair. 
“Paling engkau meminumnya.”
“Benar.”
“Celakalah
  manusia karena kamu dan celakalah kamu karena mereka,” kata Nabi.
  
Berkata Abu Musa : Berkata Abu Qasim : Orang-orang menganggap bahwa
  kekuatan yang dimiliki Abdullah ibnu Zubair adalah akibat meminum darah Nabi
  SAW. (Al Ishabah vol. II hlm. 310).  Al Hakim meriwayatkan pada vol. III
  hlm 554 dan Thabarani semisal hadits dari Abdullah ibnu Abbas di atas. Al
  Haitsami berkata dalam vol. VIII hlm. 270 : Hadits di atas diriwayatkan oleh
  Al Thabarani dan Al Bazzar dengan singkat. Para perawi Al Bazzar adalah para
  perawi yang sesuai dengan keiteria hadits shahih kecuali Hunaid ibnu Al Qasim
  yang nota bene tsiqah (kredibel). 
Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan semisal
  hadits riwayat Ahmad sebagaimana dijelaskan dalam Al Kanzu vol. VII hlm. 57
  besertaan dengan menyebut ucapan Abu ‘Ashim. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
  Berkata Abu Salamah : “Para sahabat menilai bahwa kekuatan yang dimiliki
  Abdullah ibnu Al Zubair berasal dari kekuatan darah Rasulullah SAW.
  
Dalam versi Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ vol. I hlm. 33 dari
  Kaisan maula Abdullah ibnu Al Zubair RA berkata, “Salman masuk menemui
  Rasulullah SAW. Kebetulan ada Abdullah ibnu Al Zubair yang membawa sebuah
  baskom dan sedang meminum isinya. Abdullah lalu masuk menemui beliau. “Sudah
  selesai?” tanya beliau. “Sudah,” jawab Abdullah. “Apa itu ?, wahai Rasulullah
  !” tanya Salman. “Saya berikan kepada Abdullah wadah yang berisi bekas darah
  bekamku untuk dibuang isinya, “ jawab Nabi. “Demi Dzat yang mengutusmu dengan
  haq, ia telah meminumnya, “ lanjut Salman. Nabi pun bertanya kepada Abdullah,
  “Apa kamu meminumnya ?” “Benar,” jawab Abdullah. 
“Mengapa.”
“Saya
  ingin darah Rasulullah ada dalam perutku.”
Nabi lalu bangkit berdiri dan
  mengusap kepala Abdullah dengan tangan beliau dan berkata, “Celakalah manusia
  karena kamu dan celakalah kamu karena mereka. Neraka tidak akan menyentuhmu
  kecuali sumpah”
Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Salman semisal hadits ini
  dengan singkat dan para perawinya adalah para perawi yang kredibel. (tsiqaat).
  Demikian dalam Al Kanzu VII hlm. 56. Al Daruquthni dalam Sunannya meriwayatkan
  hadit semisal. 
Dalam sebuah riwayat : Bahwa Abdullah ibnu Al Zubair
  ketika meminum darah Rasulullah ditanya oleh Nabi SAW, “Apa yang mendorongmu
  melakukan hal ini ?” “Saya yakin bahwa darahmu tidak akan terkena api neraka
  Jahannam maka karena alasan inilah aku meminumnya,” jawab Abdullah. “Celakalah
  kamu karena manusia,” ujar Nabi SAW. 
Versi Al Thabarani dari haditsnya
  Asmaa’ binti Abi Bakr semisal hadits di atas dan di dalamnya berisi sbb : “Api
  neraka tidak akan menyentuhmu.” Dalam Kitabu Al Jauhari Al Maknuni fi Dzikri
  Al Qabaaili wa Al Buthuni sbb : “Ketika Abdullah minum darah Nabi SAW maka
  mulutnya menebarkan bau harum misik dan bau ini tidak pernah hilang dari
  mulutnya sampai ia disalib.” (Al Mawaahib karya Al Hafidh Al Qasthalani).
  
 
  HADITS DARI SAFINAH MAULA NABI SAW
Al Thabarani meriwayatkan dari Safinah
  RA, ia berkata, “Nabi SAW melakukan bekam lalu beliau berkata, “Ambillah darah
  ini lalu kuburlah agar tidak diminum oleh binatang, burung dan manusia.” Saya
  kemudian bersembunyi dan meminum darah itu. Selanjutnya hal ini saya sampaikan
  kepada beliau dan beliau tertawa. Kata Al Haitsami dalam vol. VIII hlm. 280 :
  “Para perawi hadits riwayat Al Thabarani itu kredibel.”
 
  HADITS MALIK IBNU SINAN RA
Dalam Sunan Sa’id ibnu Manshur dari jalur ‘Amr
  ibnu Al Sa’ib bahwasanya sampai kepada ‘Amr bahwa Malik ibnu Sinan ayah dari
  Abu Sa’id Al Khudlri ketika Rasulullah terluka pada wajah beliau yang mulia
  dalam perang Uhud maka Malik menghisap luka Nabi sampai luka tersebut bersih
  dari darah dan tampak daerah yang terluka setelah dihisap berwarna putih.
  “Muntahkan darah itu ! perintah Nabi kepadanya. “Saya tidak akan
  memuntahkannya selamanya,” jawabnya lalu ia pun menelan darah yang dihisapnya.
  “Barangsiapa yang ingin melihat lelaki penghuni sorga maka lihatlah
  kepadanya,” kata Nabi. Akhirnya Malik mati syahid dalam medan perang Uhud.
  
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Al Thabarani yang di dalamnya
  tercantum : “Nabi SAW bersabda, “Siapa yang mencapur darahnya dengan darahku,
  ia tidak akan terkena api neraka.” Kata Al Haitsami, “Dalam isnad hadits ini
  saya tidak melihat perawi yang disepakati dla’if. 
Sa’id ibnu Manshur
  juga meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang merasa senang melihat
  lelaki yang mencampur darahku dengan darahnya maka handaklah melihat Malik
  ibnu Sinan.”
 
  TUKANG BEKAM LAIN YANG MEMINUM DARAH NABI SAW
Dalam Al Dlu’afaa’ Ibnu
  Hibban meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Seorang budak
  milik sebagian suku Qurays membekam Nabi SAW. Saat usai dari membekam ia
  mengambil darah dan pergi membawanya menuju belakang tembok. Ia menoleh ke
  kanan dan ke kiri dan ia tidak melihat siapapun. Lalu ia meminum darah Nabi
  sampai tuntas lalu datang kepada Nabi. Beliau memandang wajah budak itu dan
  bertanya, “Celaka kamu, apa yang kamu lakukan terhadap darah?” “Saya
  sembunyikan di belakang tembok,” jawab budak. “Di mana kamu menyembunyikan
  darah?” tanya Nabi lagi. “Wahai Rasulullah!, saya tahan darahmu dari saya
  tumpahkan ke tanah. Darah itu ada dalam perutku,” jawab sang budak.
  “Pergilah!, engkau telah melindungi dirimu dari api neraka,” kata Nabi.
  (Disebutkan oleh Al Qasthalani dalam Al Mawaahib Al Laadunniyyah).
  
 
  HADITS BARAKAH PELAYAN UMMU HABIBAH RA
Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan :
  Abdurrazaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Saya dikabari bahwa
  Nabi SAW kencing di dalam gelas terbuat dari kayu lalu gelas itu ditaruh di
  bawah tempat tidur beliau. Kemudian beliau datang namun ternyata gelas itu
  sudah kosong. Nabi pun bertanya kepada seorang perempuan bernama Barakah,
  pelayan Ummu Habibah yang datang bersama Ummu Habibah dari Habasyah. “Di
  manakah air seni yang ada dalam gelas?” “Saya minum,” jawab Barakah. “Sehat,
  wahai Ummu Yusuf,” lanjut Nabi. Ummu Yusuf adalah gelar untuk Barakah. Berkat
  minum air seni Nabi, Barakah tidak pernah mengalami sakit sama sekali hingga
  sakit yang membuatnya meninggal dunia.” (Al Talkhish Al Khabir fi Takhriji
  Ahaditsi Al Rafi’I Al Kabir vol. I hlm. 32).
Kataku : “Hadits di atas
  telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Nasa’i secara ringkas. Al Hafidh Al
  Suyuthi berkata, “Hadits ini telah disempurnakan oleh  Ibnu ‘Abdil Barr
  dalam Al Isti’aab dan di dalamnya terdapat sbb : Sesungguhnya Nabi bertanya
  kepada Barakah tentang air seni yang berada dalam gelas. “Saya telah
  meminumnya,” jawab Barakah. Ibnu ‘Abdil Barr lalu menyebutkan kelanjutan
  hadits. (Syarhu Al Suyuthi ‘ala Sunan Al Nasaa’i vol. I hlm. 32.)
 
  HADITS UMMU AIMAN RA
Al Imam Al Hafidh Al Qasthalani berkata dalam Al
  Mawaahib : Al Hasan ibnu Sufyan dalam musnadnya, Al Hakim, Al Daruquthni, Al
  Thabarani, dan Abu Nu’aim meriwayatkan dari haditsnya Abu Malik Al Nakha’i
  dari Al Aswad ibnu Al Qais dari Nabih Al ‘Anazi dari Ummu Aiman, ia berkata,
  ““Suatu malam Nabi bangkit berdiri menuju kendi yang ada di samping rumah lalu
  beliau kencing pada tempat itu. Kemudian pada malam itu saya bangun dan merasa
  haus. Lalu saya minum dari isi kendi tersebut tanpa menyadari isinya adalah
  air kencing. Saat pagi tiba beliau berkata, “Wahai Ummu Aiman!, bangunlah dan
  tumpahkan apa yang ada dalam kendi itu.” Demi Allah saya telah meminum
  isinya,” jawab Ummu Aiman. “Rasulullah pun tertawa hingga terlihat gigi
  gerahamnya lalu berkata, “Sesungguhnya setelah hari ini perut kamu tidak akan
  merasakan sakit selamanya.”
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Al
  Talkhish, “Ibnu Dihyah menilai shahih bahwa kedua hadits di atas terjadi dalam
  dua persoalan berbeda untuk dua perempuan yang berbeda pula. Hal ini jelas
  dilihat dari perbedaan rangkain kalimat dan juga jelas bahwa Barakah Ummu
  Yusuf bukanlah Barakah Ummu Aiman, mantan budak Rasulullah SAW. 
(FAIDAH)
  Dalam riwayat Salma, istri Abu Rafi’ terdapat keterangan bahwa ia minum
  sebagian air yang digunakan mandi oleh Rasulullah SAW lalu beliau berkata
  kepadanya, “Allah telah mengharamkan badanmu masuk neraka.” HR Al Turmudzi
  dalam Al Awsaath dari haditsnya Salmaa. Ada kelemahan dalam sanad hadits ini.
  Demikian dalam Al Talkhish vol. I hlm. 32.
Al Qasthalani berkata,
  “Terdapatnya kelemahan pada sanad adalah pandangan yang dikemukakan Syaikhul
  Islam Al Bulqini. Hadits-hadits di atas mengindikasikan bahwa air seni dan
  darah Nabi SAW itu suci. 
 
  HADITS SARAH PELAYAN UMMU SALAMAH RA
Al Thabarani meriwayatkan dari
  Hukaimah binti Umaimah dari ibunya, ia berkata, “Nabi Saw memiliki gelas kayu
  yang digunakan untuk menampung air seni beliau dan ditaruh di bawah tempat
  tidur. Saat beliau bangun beliau mencarinya tapi tidak menemukan gelas itu.
  Lalu beliau bertanya, “Di manakah gelas?” Para sahabat menjawab,”Isi gelas
  diminum oleh Sarrah pelayan Ummu Salamah yang datang bersama Ummu Salamah dari
  Habasyah.” “Ia telah memagari dirinya dari api neraka dengan pagar yang kuat,”
  jawab Nabi selanjutnya. 
Al Haitsami dalam vol. VIII hlm. 271 berkata,
  “Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih kecuali
  Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hanbal dan Hukaimah. Keduanya adalah perawi yang
  kredibel (tsiqah). 
 
  PANDANGAN ULAMA MENYANGKUT TOPIK TABARRUK DENGAN DARAH  DAN AIR SENI NABI
  SAW
Dalam syarh Al Muhadzdzab Al Imam Muhyiddin Al Nawawi mengatakan,
  “Ulama yang menilai kesucian air seni dan darah Nabi Saw menggunakan dua
  hadits yang telah dikenal sebagai dalil. Yaitu hadits : Sesungguhnya Abu
  Thaibah seorang tukang bekam membekam Nabi Saw dan meminum darahnya sedang
  beliau tidak mengingkari tindakan Abu Thaibah ini dan hadits : Sesungguhnya
  seorang perempuan meminum air seni beliau dan beliau tidak mengingkarinya.
  Status hadits Abu Thaibah itu lemah sedang hadits perempuan yang meminum air
  seni beliau itu shahih yang diriwayatkan oleh Al Daruquthni. Al Daruquthni
  berkata, “Hadits tentang perempuan yang minum air seni Nabi ini statusnya
  hasan shahih. Dan hal ini cukup dijadikan sebagai argumen akan kesucian segala
  sesuatu yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi lewat jalur analogi. Selanjutnya Al
  Nawawi menyatakan, “Bahwa Al Qadli Husain berkata, “Yang paling shahih (Al
  Ashahh) memastikan kesucian segala sesuatu yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi.”
  Dalam mengomentari pertanyaan mengapa beliau membersihkan hal-hal yang
  dikeluarkan oleh tubuh beliau, Al Nawawi menjawab bahwa tindakan Nabi hanyalah
  sebuah kesunnahan.” Syarh Al Muhadzdzab vol. I hlm. 233.
Al Imam Al
  ‘Allamah Badruddin Al ‘Aini pensyarah Shahih Al Bukhari dalam kitabnya
  ‘Umdatul Qaari vol II hlm. 35 menyatakan, “Adapun rambut Nabi Saw itu
  dimuliakan, diagungkan serta dikeluarkan dari hukum najis. Saya katakan,
  “Ucapan Al Mawardi : “Adapun rambut Nabi maka pendapat madzhab yang shahih itu
  memastikan kesuciannya”, mengindikasikan bahwa mereka (Wahhabi) memiliki
  pendapat yang berbeda dengan madzhab shahih. Na’udzubillah dari pendapat ini.
  Sebagian pengikut madzhab Syafi’i telah melanggar ijma’ dan hampir keluar dari
  lingkaran agama Islam di mana mereka mengatakan bahwa dalam rambut Nabi ada
  dua pandangan. Mustahil status rambut Nabi diperselisihkan. Mengapa mereka
  sampai berpandangan demikian? Padahal telah disebutkan tentang kesucian
  hal-hal yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi, lebih-lebih rambut beliau yang
  mulia. Selanjutnya Al ‘Aini berkata, “Terdapat banyak hadits yang menerangkan
  mereka yang telah meminum darah Nabi. Di antaranya Abu Thaibah Al Hajjam
  (tukang bekam), seorang budak Qurays yang membekam beliau. Abdullah ibnu Al
  Zubair sendiri pernah meminum darah Nabi seperti diriwayatkan Al Bazzar, Al
  Thabarani, Al Hakim, Al Baihaqi, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’.
  Diriwayatkan dari Ali bahwa ia pernah meminum darah Nabi. Diriwayatkan pula
  bahwa Ummu Sulaim pernah meminum air kencing Nabi. Hal ini diriwayatkan oleh
  Al Hakim, Al Daruquthni, Al Thabarani dan Abu Nu’aim. Dalam Al Awsath pada
  riwayat Salmaa, istri Abu Rafi’,  Al Thabarani meriwayatkan bahwa Salmaa
  meminum sebagian dari air yang digunakan untuk mandi oleh Nabi Saw lalu beliau
  berkata kepadanya, “Allah telah mengharamkan badanmu masuk neraka.”
Al
  Hafidh Al Qasthalani dalam Al Mawahib mengomentari pendapat Al Nawawi dari Al
  Qadli Husain, “Pendapat yang ashahh (paling shahih) adalah memastikan kesucian
  hal-hal yang dikeluarkan oleh badan Nabi (Al Fadlalat).” Abu Hanifah juga
  berpendapat seperti ini sebagaimana dituturkan oleh Al ‘Aini. Syaikhul Islam
  Ibnu Hajar menyatakan, “Sungguh banyak dalil-dali yang menunjukkan kesucian
  hal-hal yang dikeluarkan oleh badan Nabi Saw (Al Fadlalat).” Para Aimmah
  menilai kesucian ini termasuk keistimewaan beliau Saw. 
 
  TABARRUK DENGAN LOKASI YANG DIJADIKAN TEMPAT SHOLAT NABI 
Dari Nafi’
  bahwa ‘Abdullah ibnu ‘Umar bercerita kepadanya bahwa Nabi Saw melaksanakan
  sholat di masjid kecil yang terletak di bawah masjid yang ada di bukit
  Rauhaa’. Abddullah sendiri mengetahui lokasi di mana beliau melaksanakan
  sholat. Ia berkata, “Di sana dari arah kananmu ketika kemu berdiri untuk
  sholat. Masjid tersebut berada di tepi jalan sebelah kanan ketika Anda pergi
  ke Makkah. Jarak antara masjid itu dan masjid besar itu sejauh lemparan batu
  atau semisal itu.” HR Al Bukhari. 
 
  TABARRUK DENGAN TEMPAT YANG DISENTUH MULUT NABI SAW 
Imam Ahmad dan
  perawi lain meriwayatkan dari Anas bahwa Nabi Saw masuk menemui Ummu Sulaim
  dan di rumah terdapat kantong air dari kulit yang tergantung. Lalu beliau
  minum air dari mulut kantong air tersebut dalam keadaan tidur. Ummu Sulaim
  kemudian memotong mulut kantong kulit itu yang kini berada di tangan saya.
  
Maksud dari hadits ini adalah bahwa Ummu Sulaim memotong mulut kantong
  kulit yang nota bene tempat beliau menelan air minum dan mulut kantong itu ia
  rawat di rumahnya dengan alasan memohon keberkahan dari peninggalan beliau.
  
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan di dalam sanadnya ada Al
  Bara’ ibnu Zaid yang hanya disebutkan oleh Abdul Karim Al Jazari. Ahmad tidak
  menilai Al Bara’ sebagai perawi lemah. Adapun perawi lain sesuai dengan
  kriteria perawi hadits shahih. 
  
TABARRUK DENGAN MENCIUM TANGAN ORANG YANG MENYENTUH RASULULLAH SAW
Dari
  Yahya ibnu Al Harits Al Dzimari, ia berkata, “Saya bertemu dengan Watsilah
  ibnu Al Asqa’ RA. “Apakah engkau telah membai’at Rasulullah dengan tanganmu
  ini?” tanyaku. “Benar,” jawab Yahya. “Julurkan tanganmu, aku akan menciumnya
  !” aku memohon. Ia kemudian menjulurkan tangannya dan aku mencium tangan
  tersebut. Al Haitsami berkata dalam vol. VIII hlm 42 : Di dalam hadits ini ada
  Abdul Malik Al Qari yang tidak saya kenal sedang perawi-perawi lainnya adalah
  tsiqat. 
Dalam versi Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ vol. IX hlm 306
  dari Yunus ibnu Maisarah ia berkata, “Kami berkunjung kepada Yazid ibnu Al
  Aswad. Lalu datang Watsilah ibnu Al Asqa’. Waktu Yazid melihat Watsilah, ia
  menjulurkan tangannya memegang tangan Watsilah kemudian mengusapkan tangan
  tersebut ke wajahnya. Hal ini dilakukan karena Watsilah membai’at Rasulullah.
  “Wahai Yazid !, apa anggapanmu kepada Tuhanmu?” tanya Watsilah. “Baik,” jawab
  Yazid. “Berbahagialah, karena saya mendengar Rasulullah bersabda,
  “Sesungguhnya Allah SWT berfirman : “Aku tergantung anggapan hamba-Ku
  terhadap-Ku. Jika ia beranggapan baik maka Aku pun bersikap baik. Jika buruk
  maka Aku-pun bersikap buruk.”
Dalam Al Adab Al Mufrad hlm. 144 Al Bukhari
  meriwayatkan dari Abdurrahman ibnu Razin, ia berkata, “Aku berjalan melewati
  Ribdzah lalu dikatakan kepadaku, “Di sini terdapat Salamah ibnu Al Akwa’ RA.
  Kemudian aku mendatangi dan memberi salam kepadanya. Lalu Salamah menjulurkan
  kedua tangannya dan berkata, “Saya telah membai’at Nabi Saw dengan kedua
  tanganku ini.” Salamah mengeluarkan telapak tangannya yang besar seperti
  telapak kaki unta. Kemudian kami berdiri dan menciumi tangannya.
Ibnu
  Sa’ad vol. IV hlm 39 meriwayatkan hadits yang sama dari Abdurrahman ibnu
  Zaid.
Al Bukhari juga meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad hlm 144 dari
  Ibnu Jad’an, ia berkata, “Tsabit bertanya kepada Anas RA, “Apakah engkau
  menyentuh Nabi dengan tanganmu?”. “Betul,” jawab Anas. Lalu Tsabit mencium
  tangan Anas. 
Al Bukhari juga meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad hlm
  144 dari Shuhaib, ia berkata, “Saya melihat Ali ra mencium tangan dan kedua
  kaki Abbas ra.”
Dari Tsabit, ia berkata, “Jika aku datang kepada Anas
  maka ia diberi tahu posisiku. Lalu aku masuk menemuinya dan memegang kedua
  tangannya untuk aku ciumi. “Kedua tanganmu ini telah menyentuh Rasulullah,”
  kataku. Dan saya juga mencium kedua matanya lalu berkata,”Kedua mata ini telah
  melihat Rasulullah.”
Hadits di atas ini disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu
  Hajar dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah vol. II hlm. 111. Al Haitsami berkata,
  “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawinya sesuai dengan
  kriteria perawi hadits shahih kecuali Abdullah ibnu Abi Bakar Al Maqdimi yang
  statusnya tsiqat dan tidak dikomentari oleh Al Bushairi. Demikian dalam Majma’
  Al Zawaaid vol. IX hlm. 325. 
  
TABARRUK DENGAN JUBAH NABI SAW
Dari Asma’ binti Abi Bakar bahwa
  sesungguhnya ia mengeluarkan jubah hijau Persia yang bertambalkan sutera yang
  kedua celahnya dijahit dengan sutera juga. “Ini adalah jubah Rasulullah, “
  kata Asma’,”ia disimpan oleh ‘Aisyah. Saat ia wafat jubah ini aku ambil. Nabi
  pernah mengenakan jubah ini dan saya membasuhnya untuk orang-orang sakit dalam
  rangka memohon kesembuhan dengannya.” (Kitabullibas wazzinah vol. III hlm.
  140). 
  
TABARRUK DENGAN APA YANG DISENTUH TANGAN NABI SAW
Dari Shofiyah
  binti Mujza’ah bahwa Abu Mahdzurah memiliki jambul di bagian depan kepalanya.
  Jika duduk ia membiarkan jambul itu tergerai sampai menyentuh tanah.
  Orang-orang berkata kepadanya, “Kenapa tidak engkau potong saja?”
  “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah menyentuh jambulku ini dengan tangannya
  maka saya tidak akan memotongnya sampai mati,” jawabnya. 
Hadits ini
  diriwayatkan oleh Al Thabarani dan di dalam sanadnya ada Ayyub ibnu Tsabit Al
  Makki. Kata Abu Hatim, “LAYUHMALU HADITSUHU.” Demikaian dala, Majma’ Al
  Zawaaid vol V hlm. 165.
Dari Muhammad ibnu Abdil Malik ibnu Abu Mahdzurah
  dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Aku berkata, ”Wahai Rasulullah !,
  ajarilah aku cara adzan.” Lalu beliau mengusap bagian depan kepalaku dan
  mengatakan, “Katakan : “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar dengan
  mengeraskan suaramu dst….”
Dalam sebuah riwayat : “Abu Mahdzurah tidak
  memotong dan memisah-misahkan rambut depannya karena Nabi pernah mengusapnya.”
  HR Al Baihaqi, Al Daruquthni, Ahmad, serta Ibnu Hibban, dan Al Nasai
  meriwayatkannya senada dengan hadits ini. 
  
TABARRUK DENGAN GELAS NABI DAN MASJID YANG NABI SHOLAT DI DALAMNYA
Dari
  Abu Burdah, ia berkata, “Saya tiba di Madinah dan disambut oleh Abdullah ibnu
  Salam. “Mari pergi ke rumah, engkau akan kuberi minum dalam gelas yang pernah
  digunakan minum Rasulullah dan engkau sholat di masjid yang beliau sholat di
  dalamnya,” ajak Abdullah ibnu Salam. Akhirnya saya pergi bersama Abdullah dan
  ia memberi saya minum, memberi makan kurma dan sholat di masjid Nabi. HR Al
  Bukhari dalam Kitabu Al I’tisham bi Al Kitab wa Al Sunnah. 
  
TABARRUK DENGAN TEMPAT TELAPAK KAKI NABI SAW
Dalam hadits Abu
  Mijlaz terdapat keterangan bahwa Abu Musa berada antara Makkah dan Madinah
  lalu ia sholat ‘Isya’ dua rakaat kemudian berdiri melaksanakan satu rakaat
  sholat witir dengan membaca 100 ayat dari surat Al Nisaa’. “Saya tidak
  menyia-nyiakan kesempatan dengan menaruh kedua telapak kakiku pada tempat di
  mana Rasulullah dulu meletakkan kedua telapak kakinya dan saya membaca apa
  yang dulu dibaca beliau Saw.” HR Al Nasa’i vol. III hlm. 246.
  
TABARRUK DENGAN RUMAH YANG PENUH BERKAH
Dari Muhammad ibnu Sauqah
  dari ayahnya, ia berkata, “Saat ‘Amr ibnu Harits  membangun rumahnya saya
  datang kepadanya untuk menyewa sebagian rumah tersebut. “Apa yang akan kamu
  lakukan,” tanya ‘Amr. “Saya ingin duduk di rumah itu dan melakukan jual beli,”
  kataku. ‘Amr berkata, “Saya katakan : Sungguh saya akan menyampaikan kepadamu
  mengenai rumah ini, sebuah hadits bahwa rumah ini adalah rumah yang memberi
  keberkahan kepada orang yang tinggal di dalamnya, dan orang yang melakukan
  jual beli di tempat itu. Demikian itu karena saya datang kepada Nabi dan di
  dekat beliau diletakkan uang. Lalu beliau mengambil beberapa dirham dengan
  telapak tangannya dan menyerahkannya kepadaku. “Wahai ‘Amr, ambillah beberapa
  dirham ini sampai kamu berfikir di manakah kamu akan meletakkannya.”
  Dirham-dirham itu adalah pemberian Rasulullah untukku. Lalu aku pun mengambil
  dirah-dirham tersebut kemudian saya tingga beberapa lama hingga saya tiba di
  Kufah  dan ingin membeli sebuah rumah. “Wahai anakku !, jika engkau ingin
  membeli rumah dan dan sudah menyiapkan uangnya, beritahulah aku,” kata ibuku.
  Saya pun melaksanakan perintah ibu. Kemudian saya datang kepada ibu lalu
  memangginya. Lalu ibu datang dan uang sudah diletakkan. Ibu mengeluarkan
  sesuatu beserta dirham-dirham tersebut lalu dengan tangan mencampurkannya
  dengan dirham. “Bu,” kataku, “apa sih ini.” “Anakku !, ini adalah
  dirham-dirham yang kamu datang membawanya dan kamu mengira Rasulullah telah
  memberikannya dengan tangan beliau. Saya tahu bahwa rumah ini memberikan
  keberkahan bagi orang yang duduk di dalamnya dan bagi yang melakukan jual beli
  di tempat itu.” HR Al Thabarani dalam Al Kabir dan Abu Ya’la vol. IV hlm 111
  Majma’ al Zawaid. 
  
TABARRUK DENGAN MIMBAR NABI SAW
Al Qadli ‘Iyadl berkata, “Ibnu
  ‘Umar pernah diketahui meletakkan tangannya di atas bagian mimbar yang
  diduduki Nabi lalu mengusapkan tangannya pada wajah. 
Dari Abu Qusai dan
  Al ‘Utba : Jika masjid sepi, para sahabat Nabi meraba-raba dengan tangan kanan
  mereka pusat mimbar yang berdekatan dengan kuburan kemudian mereka menghadap
  kiblat untuk berdoa. Dari Al Syifaa’ karya Al Qadli ‘Iyadl.
Al Mala Al
  Qari pensyarah kitab Al Syifaa’ menyatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh
  Ibnu Sa’ad dari Abdurrahman ibnu Abdul Qari vol. III hlm. 518.
Hal di
  atas juga diriwayatkan oleh Ibnu Taimiyyah dari Al Imam Ahmad bahwasanya Imam
  Ahmad memberi dispensasi dalam emngusap mimbar dan pusat mimbar Nabi Saw.
  Disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar, Sa’id ibnu Al Musayyib, Yahya ibnu Sa’id dari
  kalangan pakar fiqh Madinah melakukan hal ini. (Iqtidlaai Al Shirath Al
  Mustaqim hlm. 367). 
  
TABARRUK DENGAN KUBURAN BELIAU YANG MULIA
Saat ajalnya menjelang
  tiba, Amirul Mu’minin ‘Umar ibnu Al Khaththabmenyuruh anaknya, Abdullah,
  “Pergilah kepada Ummul Mu’minin ‘Aisyah Ra dan katakan “ ‘Umar menyampaikan
  salam untukmu. Janganlah kamu mengatakan : amirul mu’minin karena sekarang
  saya bukan amirul mu’minin. Katakan ‘Umar ibnu Al Khaththab meminta izin untuk
  dikubur bersama kedua sahabatnya. di samping makam beliau SAW. Kebetulan
  ‘Aisyah menyatakan keinginan yang sama. “Dulu saya ingin tempat itu menjadi
  kuburanku, dan saya akan memprioritaskan Umar untuk menempatinya,” kata
  ‘Aisyah. Abdullah pun pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada
  ayahnya. “Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal
  itu,” ucap Umar. Kisah ini secara detail bisa dilihat di Shahih Al Bukhari.
  Lalu apa arti keinginan besar dari ‘Umar dan ‘Aisyah?. Perawi berkata, “Lalu
  Abdullah meminta izin dan memberi salam. Kemudian ia masuk menemui ‘Aisyah
  yang sedang menangis. “Umar menyampaikan salam untukmu dan meminta izin untuk
  dikubur bersama kedua sahabatnya,” kata Abdullah. “Dulu saya ingin tempat itu
  menjadi kuburanku, dan saya akan  mengalah dengan memprioritaskan Umar
  untuk menempatinya,” kata ‘Aisyah. Ketika tiba, ada yang mengatakan :
  “Abdullah ibnu ‘Umar telah tiba. “Angkatlah saya,’ kata ‘Umar. Seorang lelaki
  lalu memberikan sandaran kepada ‘Umar. “Apa hasilnya,” tanya ‘Umar . “Tercapai
  apa yang engkau harapkan, wahai Amirul Mu’minin,” jawab Abdullah. Abdullah pun
  pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada ayahnya. “Alhamdulillah,
  tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal itu,” ucap Umar. Jika saya
  telah meninggal, pikullah saya lalu berikan salam dan katakan : “Umar meminta
  izin. Jika ‘Aisyah memberi izin, masukkan saya. Jika ia menolak, kembalikan
  saya ke pemakaman kaum muslimin,” lanjut ‘Umar. 
Hadits ini secara
  panjang lebar disebutkan Al Bukhari dalam Kitabul Janaa’iz Babu Ma Jaa’a fi
  Qabrinnabi dan dalam Kitabu Fadlailu Al Shahabat Babu Qishshatul Bai’ah.
  
TABARRUK DENGAN KUBURAN NABI DALAM MADZHAB HAFIDHUL ISLAM DAN IMAMU
  AIMMATIL MUSLIMIN AL DZAHABI.
Al Imam Syamsuddin Muhammad ibnu Ahmad Al
  Dzahabi : Bercerita kepadaku Ahmad ibnu ‘Abdil Mun’im tidak hanya sekali,
  bercerita kepadaku Abu Ja’far Al Shaidalani – secara tertulis – bercerita
  kepadaku Abu ‘Ali Al Haddad – dengan kehadirannya – bercerita kepadaku Abu
  Nu’aim Al Hafidh, bercerita kepadaku Abdullah ibnu Ja’far, bercerita kepadaku
  Muhammad ibnu ‘Ashim, bercerita kepadaku Abu Usamah dari ‘Ubaidillah dari
  Nafi’ dari Ibnu ‘Umar : Sesungguhnya Ibnu ‘Umar tidak suka menyentuh keburan
  Nabi Saw. Menurut saya : “Ia tidak suka hal ini karena memandang sebagai
  perbuatan kurang sopan.” Ahmad ibnu Hanbal ditanya mengenai menyentuh dan
  mencium kuburan Nabi, ia menjawab tidak apa-apa. Diriwayatkan dari Ahmad ibnu
  Hanbal oleh putranya sendiri, Abdullah ibnu Ahmad. 
Apabila ditanyakan,
  “Apakah ada sahabat yang melakukan itu (menyentuh dan mencium kuburan Nabi) ?”
  Pertanyaan ini bisa dijawab bahwa karena mereka telah melihat dengan mata
  kepala sendiri waktu beliau masih hidup, bergembira bersama beliau dalam waktu
  lama, mencium tangan beliau, nyaris berkelahi berebut sisa wudlu beliau, dan
  meminta bagian rambut suci beliau pada hari haji akbar serta jika beliau
  mengeluarkan dahak maka dahak itu hampir tidak jatuh kecuali di tangan salah
  seorang sahabat kemudian ia mengusapkan ke wajahnya dahak itu. Sedang kita,
  karena tidak mungkin melakukan perbuatan sangat indah semisal ini maka kita
  melampiaskannya di atas kuburan beliau yang mulia dengan memelihara,
  memuliakan, mengusap dan mencium kuburan beliau. Lihatlah apa yang dilakukan
  Tsabit Al Bunani !. Ia mencium tangan Anas ibnu Malik dan menempelkan tangan
  itu ke wajahnya sambil berkata, “Tangan (milik Anas) yang telah menyentuh
  tangan Rasulullah.” Tindakan-tindakan di atas yang dilakukan seorang muslim
  semata-mata digerakkan oleh rasa cinta yang mendalam kepada Nabi. Karena ia
  diperintah untuk mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya kepada
  dirinya, anak dan semua manusia dan juga melebihi harta bendanya, sorga dan
  bidadari yang ada di dalamnya. Malah banyak juga orang mu’min yang mencintai
  Abu Bakar dan ‘Umar melebihi cinta mereka kepada diri sendiri.
  
Diceritakan kepada kami bahwa Jundar sedang berada di gunung Al Biqa’
  lalu ia mendengar seorang lelaki mengumpat Abu Bakar. Jundar lalu menghunus
  pedangnya dan memenggal kepala orang yang mengumpat tersebut. Seandainya
  Jundar mendengar lelaki itu mengumpat dirinya atau orang tuanya niscaya ia
  tidak akan menghalalkan darah si pengumpat. Lihatlah betapa dalamnya rasa
  cinta sahabat kepada Nabi Saw. Mereka berkata,” Tidakkah kami bersujud
  kepadamu?” “Tidak boleh, ‘ jawab beliau.  Seandainya Nabi mengizinkan
  mereka sujud, niscaya mereka akan melakukannya dalam bentuk sujud penghormatan
  bukan sujud ibadah sebagaimana sujudnya saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf.
  Demikian pula sujud seorang muslim pada kuburan Nabi dalam bentuk sujud
  penghormatan sama sekali ia tidak dianggap kafir, hanya masuk kategori
  melakukan tindakan maksit. Ia harus diberitahu bahwa tindakan ini dilarang.
  Begitu pula sholat menghadap kuburan beliau. (Mu’jamu Al Syuyukh karya Al
  Dzahabi vol. I hlm. 73 – 74)
  
TABARRUK DENGAN PENINGGALAN-PENINGGALAN ORANG-ORANG SHALIH DAN PARA NABI
  DAHULU 
Dari Nafi’ bahwa Abdullah ibnu ‘Umar menceritakan kepadaku bahwa
  para sahabat bersama Rasulullah singgah di Al Hijr, tanah kaum Tsamud. Mereka
  mengambil air dari sumur-sumur kaum Tsamud dan membuat adonan roti dengan air
  tersebut. Kemudian Rasulullah menyuruh mereka untuk menumpahkan air yang
  mereka ambil dan memberikan adonan roti kepada unta serta menyuruh mereka
  mengambil air dari sumur yang didatangi unta Nabi Shalih. HR Muslim dalam
  Kitabuzzuhdi bab Al Nahyi ‘an Al Dukhul ‘ala Ahli Al Hijr.
Al Imam Al
  Nawawi berkata, “Hadits ini mengandung banyak faidah di antaranya tabarruk
  dengan peninggalan-peninggalan orang-orang shalih. 
  
TABARRUK DENGAN TABUT (PETI)
Dalam Al Qur’an Allah menyebutkan
  keutamaan tabut :
  وقال لهم نبيهم إن آية ملكه أن يأتيكم التابوت فيه سكينة من ربكم وبقية مما ترك
  آل موسى وآل هارون تحمله الملائكة .
  Ringkasan cerita : Tabut asalnya berada di tangan bani Israil. Mereka memohon
  kemenangan dengan perantaraan tabut dan bertawassul kepada Allah dengan isinya
  yaitu peninggalan-peninggalan Nabi Musa dan Nabi Harun. Hal ini adalah yang
  saya maksudkan dengan tabarruk dalam arti sesungguhnya. Allah SWT telah
  menjelaskan isi tabut :
  وبقية مما ترك آل موسى وآل هارون
Peninggalan-peninggalan ini adalah peninggalan Nabi Musa dan Harun. Yaitu tongkat Musa, sedikit pakain Nabi Musa dan Nabi Harun, sandal keduanya, papan-papan Taurat dan baskom sebagaimana disebutkan para mufassir dan pakar sejarah seperti Ibnu Katsir, Al Qurthubi, Al Suyuthi, dan Al Thabari. Silahkan lihat buku-buku mereka. Ayat di atas menunjukkan banyak kesimpulan. Di antaranya tawassul dengan peninggalan-peninggalan orang-orang shalih, merawat peninggalan-peninggalan tersebut dan memohon keberkahan dengannya.
  
TABARRUK DENGAN MASJID ‘ASYSYAR
Dari Shalih ibnu Dirham, ia
  berkata, “Kami pergi melaksanakan haji. Kebetulan kami bertemu seorang lelaki
  yang berkata kepadaku, “Di dekat kalian ada desa yang disebut Ubullah.”
  “Betul,” jawab kami. “Siapakah di antara kalian yang bisa memberi jaminan
  kepadaku agar aku bisa disholatkan di masjid ‘Asysyar dua atau empat roka’at
  ,” lanjutnya. Shalih ibnu Dirham berkata : “Ini untuk Abu Hurairah : Saya
  mendengar orang yang saya cintai, Abu Al Qasim Saw  bersabda :
  “Sesungguhnya Allah SWT membangkitkan dari masjid ‘Asysyar pada hari kiamat
  para syuhada’ yang tidak berdiri bersama para syuhada’ Badar kecuali mereka,”
  HR Abu Dawud. 
Menurut Al Qari masjid ini berdiri di dekat sungai Furat.
  (Misykatul Mashabih vol. III hlm. 1496). 
Dalam kitabnya Badzlul Majhud
  syarh Sunan Abi Dawud, Al ‘Allamah Al Kabir Al Syaikh Khalil Ahmad Al
  Saharnapuri mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa ketaatan-ketaatan
  fisik pahalanya bisa disampaikan kepada orang lain dan bahwa
  peninggalan-peninggalan para wali dan orang-orang yang dekat dengan Allah
  dapat diziarahi dan dimohon keberkahannya.” (Badzlul Majhud vol. XVII hlm.
  225).
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Syaikh Abu Al Thayyib penyusun ‘Aunul
  Ma’bud mengatakan bahwa masjid ‘Asysyar adalah masjid terkenal yang dimintakan
  berkah dengan sholat di dalamnya. (‘Aunul Ma’bud vol. XI hlm. 422). 
  
KAMI DALAM KEBERKAHAN RASULULLAH SAW
Kami sering mendengar
  orang-orang berkata bahwa kami berada dalam keberkahan Rasulullah atau
  keberkahan Rasulullah Saw bersama kita. Saat ditanya tentang ungkapan ini,
  Ibnu Taimiyyah menjawab bahwa ucapan seseorang bahwa ia berada dalam
  keberkahan fulan atau sejak keberadaannya bersama kami keberkahan muncul
  adalah ungkapan yang memiliki dua dimensi, bisa salah dan bisa benar dilihat
  dari sudut masing-masing. 
Ungkapan ini dianggap benar jika yang dimaksud
  adalah bahwa fulan membimbing kami, mengajar kami, menyuruh kami berbuat
  kebajikan dan melarang kami mengerjakan kemungkaran. Maka sebab keberkahan
  mengikuti dan menaati fulan kita dapat meraih kebaikan. Ungkapan ini berarti
  ucapan yang benar sebagaimana penduduk Madinah waktu Nabi Saw datang kepada
  mereka berada dalam keberkahan beliau karena mereka beriman dan taat kepada
  beliau. Akibat keberkahan ini mereka meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
  Tapi bukan cuma mereka saja yang mendapat keberkahan, malah semua orang mu’min
  yang beriman dan taat kepada Rasulullah, sebab keberkahan beliau karena
  beriman dan taat kepada beliau, akan memperoleh kebaikan dunia dan akhirat
  yang hanya Allah yang mengetahui. 
Lagi pula jika yang dimaksud dengan
  ungkapan itu adalah bahwa dengan keberkahan do’a fulan dan kesalihannya Allah
  menolak keburukan dan kita memperoleh rizki serta pertolongan, maka ungkapan
  ini adalah ungkapan yang benar sebagaimana sabda Nabi Saw : “Bukankah kalian
  tidak diberi pertolongan dan rizki kecuali karena orang-orang lemah kalian;
  dengan do’a, sholat serta keikhlasan mereka.” 
Terkadang adzab tidak
  menerjang orang-orang kafir dan jahat agar ia tidak menimpa orang-orang mu’min
  yang tidak berhak mendapat adzab, yang tinggal bersama mereka. Salah satu
  firman Allah yang menjelaskan hal ini adalah :
لولا رجال مؤمنون ونساء مؤمنات 
  Jika saja tidak ada orang-orang mu’min yang lemah yang tinggal di Makkah
  bersama-sama orang-orang kafir niscaya Allah menimpakan adzab kepada
  orang-orang kafir ini. 
Demikian pula Nabi bersabda : “Jika tidak ada
  para wanita dan anak-anak di dalam rumah-rumah niscaya saya akan menyuruh
  mendirikan sholat lalu sholat itu dikerjakan kemudian saya pergi bersama
  beberapa lelaki yang membawa beberapa ikat kayu bakar menuju mereka yang tidak
  melakukan shalat berjamaah bersama kami lalu saya bakar rumah-rumah
  mereka.”
Nabi juga menunda merajam perempuan hamil hingga ia melahirkan
  bayinya. Al Masih AS mengatakan : 
وجعلني مباركا أينما كنت
  Keberkahan para auliyaillah yang shalih dari aspek manfaat yang diberikan
  mereka dengan ajakan mereka untuk taat kepada Allah, mendoakan makhluk dan
  diturunkannnya rahmat oleh Allah serta ditolaknya adzab berkat eksistensi
  mereka adalah fakta konkrit. Barangsiapa yang menghendaki keberkahan dalam
  konteks demikian dan ia jujur maka ucapannya benar. 
Adapun pengertian
  yang salah itu semisal jika yang mengungkapkannya bermaksud menyekutukan Allah
  dengan makhluk seperti ada seorang lelaki yang dikubur di sebuah tempat lalu
  ada anggapan bahwa Allah menyayangi masyarakat sekitarnya gara-gara lelaki
  yang dikubur tersebut meskipun masyarakat itu tidak mematuhi ajaran Allah dan
  Rasulnya. Pemahaman semacam ini adalah sebuah kebodohan. Karena Rasulullah
  sendiri yang nota bene junjungan anak cucu Adam dikebumikan di Madinah pada
  ‘Aamal Harrah dan penduduk Madinah dihantui tindakan pembunuhan, perampokan
  dan rasa takut yang hanya Allah yang mengetahui keadaaanya. Situasi ini
  terjadi karena sepeninggal al khulafaa al rasyidin melakukan hal-hal yang
  mengakibatkan situasi demikian. Sedang pada era al khulafaa al rasyidin Allah
  melindungi mereka dari situasi chaos di atas berkat keimanan dan ketakwaan
  mereka. Karena al khulafaa al rasyidin mendorong mereka untuk bersikap
  demikian. Jadi karena barokah ketaatan mereka kepada al khulafaa al rasyidin
  dan juga keberkahan amal perbuatan  al khulafaa al rasyidin bersama
  mereka Allah memberikan pertolongan kepada mereka. Demikian pula Nabi Ibrahim
  AS dikebumikan di Syam namun kaum Nashrani pernah menguasai negara itu selama
  sekitar 100 tahun dan penduduk Syam dalam kondisi buruk. Barangsiapa
  beranggapan bahwa orang mati bisa menolak adzab yang akan menimpa sebuah
  daerah padahal penduduk daerah itu pelaku maksiat maka ia jelas salah.
  
Demikian pula keliru jika ada orang beranggapan bahwa keberkahan
  seseorang dapat dirasakan oleh orang yang menyekutukan Allah dan melanggar
  ketentuan Allah dan rasul-Nya seperti mengira keberkahan sujud untuk kepada
  orang lain, mencium tanah yang ada di dekatnya dan lain sebagainya bisa
  membuatnya mendapat keberkahan meskipun ia tidak taat kepada Allah dan
  rasul-Nya. Begitu pula jika ia meyakini bahwa orang tersebut akan memberinya
  syafaat dan memasukkannya ke sorga hanya karena ia mencintainya dan
  berafiliasi dengannya. Hal-hal ini dan yang semisal dengannya dari apa saja
  yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Al Sunnah yang nota bene sebagian dari
  sikap-sikap orang musyrik dan ahlul bid’ah (pembuat bid’ah) adalah salah,
  tidak boleh diyakini dan dijadikan acuan. 
  
    AL IMAM AHMAD MEMOHON KEBERKAHAN DAN AL HAFIDH AL
  DZAHABI MENGUATKANNYA
Abdullah ibnu Ahmad mengatakan, “Saya melihat ayah
  mengambil sehelai rambut dari rambut Nabi Saw lalu meletakkan pada mulutnya
  seraya menciumi rambut tersebut. Saya rasa saya pernah melihat ayah meletakkan
  rambut itu pada matanya,  mencelupkan rambut tersebut ke dalam air dan
  meminumnya serta memohon kesembuhan dengannya. 
Saya juga melihat ayah
  mengambil mangkuk besar Nabi lalu membasuhnya dalam tong air kemudian
  meminumnya. Saya lihat ayah juga minum air zamzam guna memohon kesembuhan
  dengannya dan mengusapkannya pada kedua tangan dan wajahnya. 
Saya
  bertanya di manakah orang yang sok berkata fasih yang berani mengingkari Imam
  Ahmad padahal telah terbukti bahwa Abdullah bertanya kepada ayahnya tentang
  orang yang menyentuh pusat mimbar Nabi Saw dan menyentuh kamar nabi (al hujrah
  al nabawiyyah) ?, lalu ayah menjawab, “Saya menilai hal ini tidak apa-apa.”
Semoga
  Allah melindungi kita dan kalian dari pandangan kaum khawarij dan
  pandangan-pandangan bid’ah. (Siyaru A’lami Al Nubalaa’ vol. XI hlm.
  212). 
  
RINGKASAN
Kesimpulan dari beberapa atsar dan hadits di muka adalah
  bahwa memohon berkah dengan Nabi Saw , peninggalan-peninggalan beliau dan
  dengan segala sesuatu yang dikaitkan dengan beliau adalah sunnah yang luhur
  dan metode yang terpuji dan disyari’atkan. Cukuplah untuk membuktikan hal ini
  tindakan yang dilakukan oleh para sahabat pilihan, dukungan beliau terhadap
  tindakan mereka, perintah beliau dalam sebuah kesempatan dan isyarah beliau
  untuk melakukannya dalam kesempatan lain. Lewat teks-teks yang telah kami
  kutip tampak jelas kebohongan orang yang beranggapan bahwa memohon berkah
  tidak mendapat perhatian dan kepedulian dari seorang sahabat pun kecuali Ibnu
  ‘Umar dan dalam hal ini tidak ada seorang sahabat pun yang sependapat
  dengannya. 
Pandangan ini adalah sebuah kebodohan, kebohongan atau
  pengelabuan. Karena faktanya banyak sahabat selain Ibnu ‘Umar melakukan
  permohonan berkah dan menaruh perhatian dengan hal ini. Di antara mereka
  adalah Al Khulafaa Al Rasyidin, Ummu Salamah, Khalid ibnu Al Walid, Watsilah
  ibnu Al Asqa’, Salamah ibnu Al Akwa’, Anas ibnu Malik, Ummu Sulaim, Usaid ibnu
  Hudlair, Sawad ibnu Ghaziyyah, Sawad ibnu ‘Amr, Abdullah ibnu Salam, Abu Musa,
  Abdullah ibnu Al Zubair, Safinah eks budak Nabi, Sarrah pelayan Ummu Sulaim,
  Malik ibnu Sinan, Asmaa’ binti Abi Bakr, Abu Mahdzurah, Malik ibnu Anas, dan
  beberapa tokooh besar dari kalangan penduduk Madinah seperti Sa’id ibnu Al
  Musayyib dan Yahya ibnu Sa’id. 
  
  
  BAB III TOPIK-TOPIK KAJIAN VARIATIF 
PENJELASAN MENGENAI
      DISYARI’ATKANNYA ZIARAH KEPADA NABI DAN HAL-HAL YANG TERKAIT DENGANNYA
      DARI BEBERAPA ATSAR, MASYHAD DAN MUNASABAH
KEHIDUPAN BARZAKH ADALAH KEHIDUPAN YANG NYATA
Kehidupan
  barzakh adalah kehidupan dalam arti sesungguhnya. Fakta ini adalah kesimpulan
  yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang jelas dan hadits-hadits populer yang
  shahih. 
Kehidupan nyata ini tidak kontradiksi dengan status para makhluk
  yang telah mati sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an dalam firman Allah :
  
وما جعلنا لبشر من قبلك الخلد
إنك ميت وإنهم ميتون
  Pengertian dari pandangan kami tentang kehidupan barzakh sebagai kehidupan
  nyata maksudnya adalah bukan bentuk kehidupan imajinatif atau fantasi
  sebagaimana digambarkan sebagian orang kafir yang akal mereka tidak percaya
  kecuali terhadap hal-hal yang kasat mata, dan menolak hal-hal gaib yang berada
  di luar kapasitas akal manusia untuk menjelaskannnya dan menyerahkan bentuknya
  kepada kekuasaan Allah. Berhenti dalam waktu yang pendek untuk berfikir
  merenungkan pandangan kami mengenai kehidupan barzakh bahwasanya kehidupan ini
  adalah kehidupan nyata, tidak akan menyisakan sedikitpun kejanggalan hingga
  bagi orang rendah kapasitas pemahaman dan daya rasanya dalam meresapi
  makna-makna yang terkandung dalam kalimat. Kalimat haqiqiyyah (yang
  nyata/sesungguhnya) tidak lain digunakan untuk menolak yang salah, menepis
  khayalan dan menyingkirkan fantasi yang kerap kali muncul dalam benak orang
  yang masih memiliki keraguan tentang situasi kehidupan di alam barzakh, alam
  akhirah dan alam - alam kehidupan lain seperti pada saat nasyr, dibangkitkan,
  dikumpulkan dan dihisab.
Pengertian ini dapat dipahami oleh orang Arab
  yang lugu yang mengetahui bahwa kalimat haqiqi  yang dimaksud adalah
  haqiqah lawan dari angan-angan, fantasi dan imajinasi. Kalimat
  haqiqiyyah  (yang nyata/sesungguhnya) berarti bukanlah wahmiyyah
  (fantasi). Inilah maksud sesungguhnya dari pengertian haqiqi dan ini juga
  pemahaman dan definisi kami menyangkut persoalan kehidupan barzakh. Terdapat
  banyak hadits dan atsar yang saling menguatkan yang menetapkan bahwa
  mayit  bisa mendengar, merasakan dan mengenal. Baik ia mayit mu’min atau
  mayit kafir. 
Salah satunya adalah hadits Al Qalib yang terdapat dalam
  Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim lewat jalur yang bervariasi dari Abu
  Thalhah, ‘Umar dan putranya, ‘Abdullah : Sesungguhnya Nabi Saw menyuruh
  mengubur 24 lelaki pembesar Qurays. Mereka dimasukkan ke dalam salah satu
  lembah yang terdapat di Badar. Lalu beliau memanggil nama-nama mereka. “Wahai
  Abu Jahl ibnu Hisyam !, wahai Umayyah ibnu Khalaf!, wahai ‘Utbah ibnu
  Rabi’ah!, wahai Syaibah ibnu Rabi’ah!, wahai fulan ibnu fulan!. Apakah kalian
  tidak mendapatkan janji Tuhan terhadap kalian itu benar? Karena aku sungguh
  telah mendapatkan janji Tuhanku terhadapku benar adanya.” ‘Umar ibnu Khaththab
  bertanya, “Wahai Rasulullah!, bukankah jasad-jasad tak bernyawa tidak bisa
  berbicara?” “Demi Dzat yang nyawaku berada di tangannya. Kalian tidak lebih
  mampu mendengar terhadap ucapanku dari pada mereka. Namun mereka tidak mampu
  menjawab,” jawab Nabi. 
Demikianlah hadits ini diriwayatkan oleh Al
  Bukhari dan Muslim dari haditsnya Ibnu ‘Umar, Al Bukhari dari haditsnya Anas
  dari Abu Thalhah, dan oleh Muslim dari haditsnya Anas dari ‘Umar. Juga
  diriwayatkan oleh Al Thabarani dari haditsnya Ibnu Mas’ud dengan isnad shahih
  dan dari haditsnya ‘Abdullah ibnu Sidan  semisal haditsnya Ibnu ‘Umar
  yang di dalamnya terdapat redaksi sbb : Para sahabat bertanya, “Wahai
  Rasulullah!, apakah mereka bisa mendengar?” “Mereka bisa mendengar sebagaimana
  kalian. Tetapi mereka tidak mampu menjawab,” jawab Nabi. 
Di antaranya
  lagi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dan dikategorikan shahih
  oleh Ibnu Hibban dari jalur Isma’il ibnu ‘Abdirrahman Al Sudi dari ayahnya
  dari Abu Hurairah : Dari Nabi Saw : ”Sesungguhnya mayit mampu mendengar suara
  sandal mereka ketika mereka pergi meninggalkan kuburan.”
Ibnu Hibban juga
  meriwayatkan dari jalur Muhammad ibnu ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
  dari Nabi Saw semisal hadits di atas dari hadits yang panjang. 
Al
  Bukhari dalam kitab Shahihnya mengatakan “Baabu Al Mayyiti Yasma’u Khafqa Al
  Ni’aali”. Selanjutnya ia meriwayatkan dari Anas dari Nabi Saw, beliau
  bersabda, “Jika seorang hamba sudah diletakkan dalam kuburannya dan para
  sahabatnya telah meniggalkan kuburan hingga ia mendengar bunya sandal mereka
  maka akan datang kepadanya dua malaikat lalu keduanya mendudukkannya dst…” Al
  Bukhari menyebutkan hadits ini dalam Su’aali Al Qabri (pertanyaan qubur).
  Muslim juga meriwayatkan hadits ini. Keterangan bahwa mayit bisa mendengar
  suara sandal terdapat dalam beberapa hadits. Di antaranya beberapa hadits yang
  menjelaskan pertanyaan kubur yang jumlahnya banyak dan bertebaran. Dalam
  beberapa hadits ini terdapat keterangan yang jelas akan adanya pertanyaan
  kedua malaikat terhadap mayit dan jawaban mayit dengan jawaban sesuai yang
  dengan keadaannya; bahagia atau celaka. Di antaranya lagi ajaran yang
  disyari’atkan Nabi untuk ummatnya yaitu memberi salam dan berdialog dengan
  penghuni kubur dengan ungkapan : Assalamu’alaikum, wahai kawasan kaum
  mu’minin. 
  
Dalam pandangan Ibnu Al Qayyim ungkapan di atas ditujukan untuk orang
  yang mendengar dan berakal. Seandainya tidak demikian berarti ungkapan ini
  sama dengan berbicara dengan obyek yang tidak ada dan benda mati. Para ulama
  generasi salaf sendiri telah menetapkan konsensus bahwa mayit bisa mendengar.
  Terdapat atsar-atsar mutawatir yang bersumber dari mereka bahwa mayit
  mengetahui kunjungan orang hidup dan merasa berbahagia karenanya. Selanjutnya
  Ibnu Al Qayyim menyebutkan sejumlah atsar dalam Kitaburruh. Silahkan
  diperiksa!. 
Saya katakan bahwa dalam topik ini ‘Abdu Al Razaq telah
  meriwayatkan sebuah hadits dari Zaid ibnu Aslam, ia berkata, “Abu Hurairah dan
  kawannya berjalan melewati kuburan.”  “Berikan salam,” kata Abu Hurairah.
  “Apakah saya memberi salam kepada kuburan,” sanggah kawannya. “Jika mayit
  dalam kuburan ini pernah sekali melihatmu suatu hari di dunia maka
  sesungguhnya ia mengenalmu sekarang.” HR Abdu Al Razaq dalam Al
  Mushannaf  vol. III hlm. 577.
Apa yang telah saya kemukakan di atas
  adalah aqidah generasi salaf shalih semoga Allah meridloi mereka semua. Yaitu
  golongan Ahlussunnah wal jama’ah. Maka saya tidak mengerti mengapa mereka yang
  mengklaim pengikut madzhab salaf lupa akan kenyataan ini.
Dalam
  Kitaburruh, Al Syaikh Ibnu Al Qayyim berbicara panjang lebar mengenai
  kehiudupan mayit secara memuaskan dan memadai. Dan di sini kami akan menghutip
  fatwa agung Syaikhil Islam Al Imam Ibnu Taimiyyah mengenai topik ini
  sebagaimana tercantum dalam Al Fataawaa Al Kubraa. 
Ibnu Taimiyyah
  ditanya mengenai orang-orang yang masih hidup jika berziarah kepada
  orang-orang mati. Apakah mereka ini mengetahui orang-orang yang masih hidup
  menziarahi mereka? Dan apakah mereka mengetahui jika ada anggota keluarganya
  atau orang lain yang mati?
Ibnu Taimiyyah menjawab, “Alhamdulillah. Betul
  mereka mengetahui. Dalam beberapa atsar dijelaskan bahwa mereka saling bertemu
  dan saling bertanya dan amal perbuatan orang-orang yang masih hidup
  disampaikan kepada mereka. Sebagaimana riwayat Ibnu Al Mubarak dari Abu Ayyub
  Al Anshari, ia berkata, “Jika nyawa seorang mu’min dicabut maka rahmat dari
  para hamba Allah akan menyambutnya sebagaimana mereka menyambut pemberi kabar
  suka cita di dunia. Mereka akan mendatanginya dan bertanya kepadanya. Sebagian
  berkata kepada yang lain, “Lihatlah saudara kalian sedang beristirahat karena
  ia sebelumnya mengalami penderitaan yang berat.” “Kemudian mereka mendatangi
  yang baru mati tersebut  dan menanyakan apa yang dilakukan fulan dan apa
  yang dikerjakan fulanah dan apakah ia sudah menikah dst...” 
  
Adapun bukti bahwa mayit mengenal orang hidup yang menziarahi kuburnya
  maka terdapat dalam haditsnya Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah Saw
  bersabda, “Tidak seorang pun yang melewati kuburan saudaranya yang mu’min yang
  dikenalnya semasa di dunia lalu ia memberi salam kepada saudaranya itu kecuali
  kecuali saudaranya tersebut mengenalnya dan membalas salamnya.” 
Ibnu Al
  Mubarak mengatakan bahwa hadits ini terbukti dari Nabi dan dikategorikan
  shahih oleh ‘Abdul Haqq penyusun Al Ahkaam. (Majmuu’u Al Fataawaa Al Syaikhi
  Ibnu Taimiiyah vol. XXIV hlm. 331).
Dalam tempat lain, Ibnu Taimiyyah
  ditanya apakah mayit bisa mendengar suara orang yang berziarah kepadanya dan
  dapat melihat sosoknya? Apakah ruh mayit pada saat itu dikembalikan ke dalam
  jasadnya atau ruh itu terbang di atas kuburan pada saat itu dan saat yang
  lain?.
Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
  Betul, secara umum mayit mampu mendengar sebagaimana ditetapkan dalam Shahil
  Al Bukhari dan Shahih Muslim dari Nabi Saw bahwa beliau berabda, “Mayit
  mendengar suara sandal mereka saat mereka pergi meninggalkan kuburan.”
Selanjutnya
  Ibnu Taimiyyah menyebutkan beberapa hadits dalam konteks ini kemudian berkata,
  “Nash-nash ini dan yang semisalnya menjelaskan bahwa secara umum mayit dapat
  mendengar suara orang hidup. Kemampuan mendengar ini tidak harus selamanya
  tapi pada satu kesempatan ia mendengar dan dalam kesempatan lain tidak.
  Sebagaimana dialami orang yang hidup di mana terkadang ia mendengar ucapan
  orang yang mengajaknya berbicara dan terkadang tidak mampu mendengarnya karena
  ada sesuatu yang menghalangi pendengaran. Kemampuan mendengar ini adalah
  kemampuan mendengar yang bersifat kognitif (sam’a idraak) yang tidak ada
  konsukuensi mendapat balasan dan juga bukan kemampuan mendengar yang
  ditiadakan dengan ayat   إنك لاتسمع الموتى  , karena yang
  ditiadakan dalam ayat ini adalah mendengar dalam arti menerima dan mematuhi
  apa yang didengar. Sebab Allah telah menjadikan orang kafir seperti mayit yang
  tidak mampu menjawab orang yang memanggilnya dan seperti binatang ternak yang
  mendengar suara tapi tidak mampu memahami maksudnya. Mayit meskipun ia
  mendengar ucapan dan mengerti maksudnya namun ia tidak mampu menjawab
  panggilan orang yang memanggil dan tidak bisa mematuhi perintah dan
  larangannya karena ia tidak memperoleh manfaat dengan adanya perintah dan
  larangan. Demikian pula orang kafir, ia tidak memperoleh manfaat dengan adanya
  perintah dan larangan meskipun ia mendengar seruan (khithab) dan mengerti
  maksudnya sebagaimana firman Allah : لو علم فيهم خيرا لأسمعهم Adapun masalah
  terlihatnya mayit maka dalam hal ini telah diriwayatkan beberapa atsar dari
  ‘Aisyah dan sumber lain. 
Adapun pertanyaan seseorang apakah ruh mayit
  pada saat itu dikembalikan ke dalam jasadnya atau ruh itu terbang di atas
  kuburan pada saat itu dan saat yang lain?. Maka jawabannya adalah bahwa ruh
  tersebut pada saat itu dikembalikan ke dalam badannya sebagaimana yang
  dijelaskan dalam hadits dan ruh itu juga bisa dikembalikan ke dalam jasad pada
  saat lain. 
Saat ruh dikembalikan ke dalam jasad maka ia bersatu dengan
  jasad tersebut pada waktu yang telah dikehendaki Allah. Bersatunya ruh dengan
  jasad dalam waktu sekejap itu seperti turunnya malaikat, munculnya sinar
  matahari dan terjaganya orang yang tidur.
Dalam beberapa atsar disebutkan
  bahwa ruh-ruh itu berada di halaman kuburan. Mujahid mengatakan bahwa ruh-ruh
  itu berada di halaman kuburan selama tujuh hari sejak mayit dikubur dan selama
  waktu itu pula ruh-ruh itu tidak meninggalkan mayit. Hal ini terjadi tidak
  setiap waktu hanya kadang-kadang. Malik ibnu Anas menyatakan, “Sampai kepadaku
  informasi bahwa ruh-ruh itu bergerak bebas pergi ke manapun suka.” Wallahu
  a’lam. (Majmu’u fataawaa Al Syaikhi Ibni Taimiyyah vol. XXIV hlm 362).
Dalam
  tempat lain Ibnu Taimiyyah mentahakan, “Adapun keterangan yang disampaikan
  Allah bahwa orang yang mati syahid itu hidup dan mendapat rizki dan keterangan
  yang terdapat dalam hadits bahwa arwah para syuhada’ itu masuk sorga maka
  beberapa kelompok ulama berpendapat bahwa hal itu berlaku khusus untuk para
  syuhada’ bukan para shiddiqin dan yang lain. Pendapat shahih yang menjadi
  pegangan para imam dan mayoritas ahlussunnah waljamaa’ah bahwa hidup, mendapat
  rizki dan masuknya arwah ke dalam sorga tidak hanya berlaku untuk para
  syuhada’ sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash yang ada. Para syuhada’
  disebut secara khusus karena orang mengira mereka mati akhirnya ia menolak
  untuk berjihad. Maka Allah mengabarkan hidupnya para syuhada’ agar faktor
  penghalang untuk maju berjihad dan mencari mati syahid tidak ada. Sebagaimana
  Allah melarang membunuh anak-anak dengan alasan khawatir jatuh miskin. Karena
  alasan inilah yang mendorong terjadinya  pembunuhan anak-anak pada era
  jahiliyyah, meskipun pembunuhan ini tidak diperbolehkan walaupun alasan akan
  jatuh miskin tidak ada. (Majmu’u fataawaa Al Syaikhi Ibni Taimiyyah vol. XXIV
  hlm 332).
  
JANGAN MENYAKITI MAYIT AGAR KAMU TIDAK DISAKITI OLEHNYA 
Rasulullah
  Saw melihat seorang lelaki duduk bersandar di atas kuburan lalu beliau menegur
  lelaki tersebut, “Jangan engkau sakiti penghuni kuburan.”
Hadits ini
  disebutkan oleh Al Majd Ibnu Taimiyyah dalam Al Muntaqaa (vol II hlm 104) dan
  menisbatkannya kepada Ahmad dalam Al Musnad. Al Hafid Ibnu Hajar juga menyebut
  hadits ini dalam Fathul Bari vol III hlm 187 dan mengatakan bahwa isnadnya
  shahih. 
Al Thahawi meriwayatkan hadits ini dalam Ma’aani Al Aatsaar (vol
  I hlm 296) dari haditsnya Ibnu ‘Amr ibnu Hazm dengan redaksi : Rasulullah Saw
  melihatku berada di atas kuburan lalu beliau berkata, “Turunlah dari kuburan.
  Jangan engkau sakiti penghuni kubur agar ia tidak menyakitimu.” Majma’u Al
  Zawaid vol III hlm 61. 
  
ARTI KEHIDUPAN BARZAKH
Perlu kami jelaskan kepada semua orang arti
  dari kehidupan orang mati  bahwa kehidupan ruh ini adalah kehidupan
  barzakh yang tidak sama dengan kehidupan kita ini. kehidupan orang mati adalah
  kehidupan khusus yang layak dengan kondisi mereka dan dengan alam yang menjadi
  tempat mereka. Namun harus kami jelaskan kepada semua orang bahwa kehidupan
  tersebut tidak seperti kehidupan kita. Karena kehidupan kita sangat kurang,
  sangat hina, sangat sempit dan sangat lemah. 
Dalam kehidupan dunia
  aktivitas manusia itu berkisar antara ibadah, melakukan kebiasaan, mematuhi
  perintah Allah, berbuat maksiat, dan mengerjakan kewajiban-kewajiban yang
  beragam untuk dirinya, keluarganya dan Tuhannya. Dalam kehidupan dunia manusia
  terkadang dalam kondisi suci dan terkadang sebaliknya. Kadang berada di masjid
  dan kadang berada di kamar mandi. Dan ia tidak mengetahui dalam kondisi apa
  akhir dari kehidupannya. Jarak antara sorga dan dirinya terkadang cuma satu
  hasta kemudian berubah drastis menjadi penghuni neraka dan kadang yang terjadi
  sebaliknya. Adapun dalam kehidupan barzakh maka jika manusia itu termasuk
  orang yang beriman maka ia telah berhasil melewati jembatan ujian yang tidak
  mampu bertahan di atasnya kecuali orang yang beriman. Selanjutnya ia sudah
  terlepas dari taklif dan berubah menjadi ruh yang bercahaya, suci, berfikir
  dan bebas menjelajahi kerajaan besar Allah. Mereka tidak pernah mengalami
  kesusahan, kesedihan, penderitaan dan kegelisahan. Karena di alam barzakh
  tidak ada dunia, pekarangan, emas dan perak. Juga tidak ada rasa dengki, jahat
  dan dendam. 
Jika manusia itu bukan manusia yang beriman maka nasibnya
  berlawanan dengan manusia yang mu’min.
  
KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN PARA NABI DI ALAM BARZAKH
Dalam alam
  barzakh para nabi memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki
  manusia lain. Seandainya selain para nabi memeliki persamaan dalam sebagian
  keistimewaan tersebut dengan para nabi maka persamaan ini bersifat
  relatif.  Dan keistimewaan tetap hanya dimiliki para nabi dipandang dari
  dua aspek : Pertama, dari aspek keaslian atau orisinilitas dan kedua dari
  aspek kesempurnaan.
Berikut sebagian keistimewaan para nabi AS :
  
KESEMPURNAAN KEHIDUPAN MEREKA AS
Telah kami sebutkan sebelumnya
  bahwa kehidupan barzakh adalah kehidupan nyata dan bahwa mayit mampu
  mendengar, merasakan, dan mengenal baik ia mu’min atau kafir. Telah kami
  sebutkan pula bahwa hidup, rizqi dan masuknya para arwah ke sorga tidak hanya
  berlaku untuk orang yang mati syahid sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash
  yang ada. Pandangan ini adalah pandangan shahih yang dipegang oleh para imam
  dan mayoritas ahlussunnah. Berangkat dari fakta ini maka mengatakan para nabi
  hidup itu termasuk terlalu banyak berbicara karena hal ini sudah jelas
  sebagaimana keberadaan matahari, yang tidak memerlukan penetapan. Justru yang
  benar adalah kita menetapkan bahwa kehidupan para nabi lebih lengkap, lebih
  agung, lebih sempurna dan lebih mulia. Demikian pula kehidupan manusia di atas
  permukaan bumi ini yang memiliki derajat, status, dan level yang berlainan.
  Sebagian mereka adalah orang mati yang berbentuk orang hidup. Allah telah
  berfirman dalam menggambarkan golongan ini :
  لهم قلوب لايفقهون بها ولهم أعين لايبصرون بها ولهم آذان لايسمعون بها أولئك
  كالأنعام بل هم أضل أولئك هم الغافلون.
Sebagian disebutkan Allah sbb :
  ألا إن أولياء الله لاخوف عليهم ولاهم يحزنون
Sebagian lagi :
قد أفلح المؤمنون 
Sebagian lagi :
  إنهم كانوا قبل ذلك محسنين كانوا قليلا من الليل ما يهجعون وبالأسحار هم يستغفرون
  
  Demikianlah kehidupan barzakh yang memilki derjat, level dan status yang
  bervariasi.
  ومن كان في هذه أعمى فهو في الآخرة أعمى وأضل سبيلا
  Adapun para nabi AS maka sesungguhnya kehidupan, rizqi, pengetahuan,
  pendengaran, persepsi, dan perasaan mereka lebih sempurna,lebih lengkap dan
  lebih tinggi melebihi yang lain. Dalilnya adalah firman Allah tentang
  orang-orang yang mati syahid :
  ولاتحسبن الذين قتلو في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون
  Jika arti kehidupan adalah kekekalan nyawa yang tidak sirna dan tidak hancur
  maka tidak ada kelebihan yang layak disebut dan dipopulerkan untuk orang mati
  syahid. Karena semua nyawa anak cucu Adam itu kekal tidak akan sirna dan
  hancur. Ini adalah pandangan yang benar yang menjadi pegangan para ulama
  muhaqqiqun sebagaimana dijelaskan secara mendalam oleh Al Syaikh Ibnu Al
  Qayyim dalam Kitaburruh. Berarti harus ada keistimewaan menonjol yang membuat
  para syuhada’ mengungguli selain mereka. Jika tidak demikian, maka menyebutkan
  kehidupan mereka tidak ada gunanya sama sekali. Apalagi Allah sendiri melarang
  kita mengatakan bahwa mereka telah mati :
  ولاتقولوا لمن يقتل في سبيل الله أموات بل أحياء ولكن لاتشعرون
  Karena itu kami katakan bahwa kehidupan mereka harus lebih sempurna dan lebih
  mulia dari pada yang lain. Pandangan ini adalah pandangan yang didukung oleh
  nash-nash literal. Arwah para syuhada’ itu mendapat rizqi bisa mendatangi
  sungai-sungai sorga dan menyantap buah-buahan sorga sebagaimana dijelaskan
  Allah :
عند ربهم يرزقون 
  Perasaan mereka terhadap makanan, minuman dan kenikmatan adalah perasaan yang
  sempurna dengan kesadaran sempurna dan kelezatan yang juga sempurna serta
  kesenangan yang sesungguhnya sebagaimana disebutkan dalam hadits : “Ketika
  mereka merasakan enaknya makanan dan minuman mereka serta bagusnya tempat
  istirahat mereka, mereka berkata, “Mudah-mudahan saudara-saudara kami
  mengetahui perlakukan Allah terhadap kami.” Ibnu Katsir mengatakan bahwa
  hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad. Arwah para syuhada’ memiliki aktivitas
  yang lebih besar dan luas dibanding arwah lain. Arwah tersebut bebas
  menjelajahi sorga sesuka mereka kemudian pulang untuk tinggal di dalam
  lampu-lampu yang terletak di bawah ‘arsy. (Demikian dikutip dari Al
  Shahih).
Arwah para syuhada’ mampu mendengar ucapan dan memahami
  pembicaraan. Dalam Al Shahih disebutkan : “Sesungguhnya Allah bertanya kepada
  mereka, “Apa yang kalian inginkan?” Mereka menjawab ingin ini dan itu.
  Pertanyaan pun diajukan kembali yang dijawab mereka lagi. Selanjutnya mereka
  meminta untuk bisa kembali ke dunia untuk berjihad kemudian meminta agar Allah
  menyampaikan pesan dari mereka   untuk saudara-saudara mereka, yang
  berisi informasi mengenai penghormatan yang diberikan Allah untuk mereka. “Aku
  akan menyampaikannya dari kalian.” Jawab Allah. 
Jika kehidupan semacam
  ini dialami para syuhada’ maka otomatis dialami para nabi dilihat dari dua
  aspek : 
Pertama, kehidupan seperti di atas adalah level mulia yang
  diberikan kepada orang yang mati syahid sebagai bentuk kemuliaannya padahal
  tidak ada level yang lebih tinggi dari level para nabi. Tidak disangsikan lagi
  bahwa keadaan para nabi lebih tinggi dan sempurna dari pada keadaan semua
  syuhada’. Maka mustahil jika kesempurnaan diperoleh para syuhada’ tapi tidak
  didapat oleh para nabi. Lebih-lebih kesempurnaan kehidupan seperti ini yang
  menetapkan bertambahnya kedekatan, kenikmatan dan kesenangan dengan Dzat Yang
  Maha Tinggi. 
Kedua,  level ini diperoleh para syuhada’ sebagai
  balasan dari jihad mereka dan pengorbanan jiwa mereka kepada Allah SWT sedang
  nabi adalah orang yang menetapkan kita untuk berjihad, mengajak dan membimbing
  kita untuk melakukannya atas izin dan taufik Allah. Beliau bersabda,
  “Barangsiapa menetapkan perilaku yang baik maka ia memperoleh pahala darinya
  dan pahala orang yang melakukannya sampai hari kiamat.” 
Beliau bersabda,
  “Barangsiapa yang mengajak menuju hidayah maka ia memperoleh pahala seperti
  pahala orang-orang yang mengikutinya. Pahala itu tidak mengurangi sedikitpun
  pahala mereka yang mengikutinya. Barangsiapa mengajak menuju kesesatan maka ia
  menangung dosa seperti dosa-dosa orang yang menirunya. Dosa itu itu tidak
  mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.”
Hadits-hadits shahih tentang
  kedua hal ini (kandungan dua hadits di atas) banyak dan populer. Setiap pahala
  yang diraih oleh orang yang mati syahid otomatis diraih oleh nabi karena
  melakukan apa yang dilakukan orang yang mati syahid. Kehidupan barzakh yang
  khusus untuk orang yang mati syahid adalah menambah memuliakannya dengan
  pahala seperti ini sebagai imbalan dari amal perbuatannya di bawah panji Nabi
  Saw dan kematiannya secara syahid di jalan Allah dan Nabi. Maka nabi juga
  memperoleh kehidupan seperti yang didapat orang yang mati syahid. Malah
  kehidupan yang diperoleh nabi lebih agung karena keunggulannya atas orang yang
  mati syahid. 
Kehidupan barzakh yang hakiki yang dialami para nabi
  khususnya Nabi Muhammad Saw terlalu tinggi dan sempurna untuk dibayangkan
  orang yang bodoh atau tolol. Yaitu kita membayangkan mereka hidup sebagaimana
  kita. Mereka makan dan minum karena membutuhkan makanan dan minuman, dan
  mereka kencing dan berak karena terdesak untuk melakukannya, dan keluar dari
  kuburan mereka untuk menghadiri majlis-majlis dzikir dan tempat-tempat
  berkumpul untuk membaca Al Qur’an serta berpartisipasi beserta ummat dalam
  kebahagiaan, kesedihan, dan perayaannya lalu mereka kembali ke dalam kuburan
  mereka yang berada di dalam bumi pada liang sempit yang di atasnya adalah
  tanah itu. Jika kehidupan para nabi dideskripsikan seperti ini maka tidak ada
  sedikitpun kemuliaan atau keutamaan malah deskripsi semacam ini adalah
  penghinaan sesungguhnya yang seseorang tidak rela hal itu melekat untuk
  pengikut atau pelayannya lebih-lebih jika Allah memberikannya kepada makhluk
  terbaik dan hamba-Nya yang paling agung. Hal ini jelas mustahil seribu kali
  mustahil.
Kehidupan barzakh hakiki adalah kesadaran sempurna, persepsi
  sempurna  dan pengetahuan yang benar. Kehidupan barzakh hakiki adalah
  kehidupan yang suci dan shalih : berdo’a, bertasbih, mengesakan Allah,
  mengumandangkan pujian dan sholat. 
SHALAT PARA NABI DI DALAM KUBURAN
  MEREKA DAN AKTIVITAS IBADAH LAIN
Salah satu buah kehidupan hakiki dalam
  alam barzakh adalah para nabi melakukan sholat di dalam kuburan mereka dengan
  shalat yang sesungguhnya bukan bersifat fantasi atau imajinasi. Ada beberapa
  hadits mengenai topik ini : 
Dari Anas ibnu Malik, ia berkata,
  “Rasulullah Saw bersabda, “Para nabi itu hidup dalam kuburan mereka dalam
  keadaan mengerjakan sholat.” HR Abu Ya’la dan Al Bazzaar. Para perawi Abu
  Ya’la tsiqat. Demikian dalam Majma’ Al Zawaaid vol. VIII hlm. 211. Dalam
  bagian khusus menyangkut topik ini Al Imam Al Hafidh Al Baihaqi berkata :
  dalam salah satu riwayat dari Anas ra dari Nabi Saw, beliau bersabda,
  “Sesungguhnya para nabi tidak dibiarkan dalam kuburan mereka setelah empat
  puluh malam. Namun mereka melaksakan shalat menghadap Allah sampai sangkakala
  ditiup.” 
Al Baihaqi mengatakan bahwa jika hadits ini shahih dengan
  redaksi demikian maka yang dimaksud adalah – wallahu a’lam – tidak dibiarkan
  tidak mengerjakan sholat kecuali selama masa 40 malam kemudian selanjutnya
  mereka shalat menghadap Allah. Menurut Al Baihaqi banyak bukti dari
  hadits-hadits shahih yang menunjukkan para nabi itu hidup sesudah kematian
  mereka.  
Kemudian Al Baihaqi menyebutkan sebuah hadits dengan
  sanad-sanadnya yang shahih : “Saya melewati Musa saat ia berdiri mengerjakan
  sholat di dalam kuburannya.” Dan hadits : “Sungguh saya telah melihat diri
  saya dalam rombongan para nabi. Tiba-tiba bertemu Nabi Musa yang sedang
  berdiri mengerjakan sholat dan ternyata ia seorang lelaki berbadan kurus
  (dlorbun) dan berambut keriting seperti lelaki Arab. Tiba-tiba bertemu Nabi
  Isa yang sedang berdiri mengerjakan sholat. Orang yang paling mirip dengannya
  adalah ‘Urwah ibnu Mas’ud Al Tsaqafi. Dan tiba-tiba bertemu Nabi Ibrahim yang
  sedang berdiri mengerjakan sholat. Orang yang paling mirip dengannya adalah
  teman kalian – maksudnya beliau sendiri -. Saat waktu sholat tiba saya menjadi
  imam mereka. Ketika saya selesai sholat seseorang berkata kepadaku, “Wahai
  Muhammad!, ini adalah malaikat Malik penjaga nereka. Berilah salam kepadanya!.
  Saya pun menoleh kepadanya namun ia mendahului saya memberikan salam.”
Saya
  katakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Anas vol. II hlm. 268 dan
  oleh Abdul Razq dalam Al Mushannaf vol. III hlm. 577. 
Kata dlorbun dalam
  hadits berarti berbadan kurus.
Dalam Dalaa’ilu Al Nubuwwah Al Baihaqi
  mengatakan bahwa dalam hadits shahih dari Sulaiman Al Taimi dan Tsabit Al
  Bunani dari Anas ibnu Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Saya datang
  menemui Musa pada malam saat aku diisra’kan di dekat bukit pasir merah. Saat
  itu ia sedang berdiri melakukan sholat di dalam kuburnya.”
Saya katakan
  bahwa hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Muslim vol. II hlm 268.
  
Adalah fakta yang tidak bisa disangkal bahwa faktor diringankannya
  shalat yang diwajibkan kepada kita dari 50 shalat menjadi 5 shalat adalah Nabi
  Musa yang nota bene seorang mayit yang telah menyampaikan risalah Tuhannya dan
  telah berada di sisi-Nya dalam golongan Rafiq A’la (Syuhada’, shalihin dan
  shiddiqin). Meskipun demikian, ia menjadi penyebab sampainya kebaikan terbesar
  untuk ummat Muhammad saat ia meminta agar Nabi Muhammad memohon pertimbangan
  kepada Tuhannya. “Mintalah keringanan pada Tuhanmu karena ummatmu tidak akan
  mampu mengerjakannya,” saran Musa. Apakah permintaan pertimbangan ini hal yang
  nyata atau cuma imajinasi? Apakah dilakukan saat terjaga atau di waktu tidur?
  Apakah permintaan pertimbangan ini fakta yang benar atau kebohongan? Apakah
  Musa sudah wafat atau beliau masih hidup hingga waktu permintaan pertimbangan
  itu?. 
Al Hakim meriwayatkan sebuah hadits dan menilainya sebagai hadits
  shahih, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw melintasi
  jalan di bukit. “Jalan apakah ini? “ tanya beliau. “Jalan ini dan ini, “ jawab
  para sahabat. “Saya seperti melihat Yunus sedang naik unta yang tali kekangnya
  terbuat dari sabut dan ia mengenakan jubah dari bulu sembari berkata, “Aku
  sambut panggilan-Mu dan siap menerima perintah-Mu ya Allah.” (Al Durr Al
  Mantsur vol. IV hlm. 234). 
Dalam sebuah hadits lain sbb : “Suatu malam
  ketika berada di dekat Ka’bah saya melihat seorang lelaki berkulit sawo
  matang. Sepertinya ia adalah lelaki berkulit sawo matang yang pernah engkau
  lihat. Ia memiliki rambut yang panjang sampai melewati cuping telinga.
  Sepertinya rambut itu adalah rambut yang panjang sampai melewati cuping
  telinga yang paling indah yang pernah engkau lihat. Ia menyisir rambut yang
  panjang sampai melewati cuping telinga tersebut. Rambut itu seperti
  tetesan-tetesan air. Ia mengelilingi ka’bah (thawaf) dengan bersandar pada dua
  orang lelaki atau pada pundak dua orang lelaki. “Siapakah ia,” tanyaku.
  Terdengan sebuah jawaban “Ia adalah Al Masih ibnu Maryam,” 
Dalam salah
  satu hadits : Nabi melintasi jurang Al Azraq lalu berkata, “Sepertinya saya
  melihat Musa turun dari jalan bukit. Ia membaca talbiah dengan keras. Kemudian
  Nabi mendatangi jalan bukit Harsya lalu berkata, ”Sepertinya saya melihat Musa
  meletakkan kedua jarinya pada kedua telinganya.” 
Semua hadits di atas
  termaktub dalam Al Shahih dan hadits mengenai Nabi Musa, Nabi ‘Isa, dan shalat
  para nabi dengan berdiri dengan diimami oleh nabi Muhammad telah disebutkan
  sebelumnya. Tidak bisa dikatakan bahwa apa yang dialami Nabi Saw cuma sebuh
  mimpi dan bahwa kalimat Araanii menunjukkan terjadi pada saat tidur. Karena
  peristiwa israa’ dan kejadian yang terjadi dalam peristiwa itu menurut
  pendapat yang shahih yang menjadi acuan jumhur salaf dan khlaf terjadi pada
  saat terjaga bukan tidur. Seandainya peristiwa israa’ terjadi pada saat tidur
  pun maka mimpi para nabi adalah sebuah kebenaran. Kalimat Araanii tidak
  menunjukkan terjadi pada saat tidur dengan bukti kalimat “Raaitunii fi Al
  Hajar”  yang terjadi pada saat terjaga sebagaimana ditunjukkan oleh
  rangkaian kalimat berikutnya. 
  
KEKALNYA JASAD PARA NABI AS
Dalam sebuah hadits dari Aus ibnu Aus, ia berkata, “Rasulullah Saw
  bersabda, “Sesungguhnya salah satu  hari-hari kalian yang paling utama
  adaladh hari Jumu’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan wafat, terjadinya
  tiupan sangkakala dan kematian semua makhluk seusai ditiupnya sangkakala. Maka
  perbanyaklah membaca shalawat untukku pada hari itu. Karena shalawat kalian
  disampkaikan kepadaku. “Bagaimana mungkin shalawat kami disampaikan kepadamu
  padahal jasadmu telah hancur,” tanya para sahabat. “Sesungguhnya Allah
  mengharamkan bumi untuk menelan jasad para nabi.”
Hadits ini diriwayatkan
  oleh Sa’id ibnu Manshur, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dalam Musnadnya, Ibnu Abi
  ‘Ashim dalam kitab Al Shalat, Abu Dawud, Al Nasa’i, dan Ibnu Majah dalam dalam
  masing-masing Sunan mereka bertiga, Al Thabarani dalam Al Mu’jamnya, Ibnu
  Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim dalam masing-masing Kitab Shahih mereka
  berlima dan Al Baihaqi dalam Hayaatu Al Anbiyaa’, Syu’abul Iman dan kitab lain
  karyanya. 
Ketahuilah bahwa hadits “Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi
  untuk menelan jasad para nabi” berasal dari banyak sumber yang dikumpulkan
  oleh Al Hafidh Al Mundziri dalam sebuah risalah khusus. Dalam Al Targhib wa Al
  Tarhib ia berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan isnad yang
  baik, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan oleh Al Hakim yang
  menilainya sebagai shahih. Dalam Kitab Al Ruh, mengutip dari Abu ‘Abdillah Al
  Qurthubi, Ibnu Al Qayyim mengatakan, “Shahih dari Nabi Saw bahwa bumi tidak
  menelan jasad para nabi dan bahwa beliau Saw berkumpul bersama para nabi pada
  malam isra’ di Baitul Maqdis dan bersama Nabi Musa secara khusus di langit.
  Nabi sendiri menyatakan, “Tidak seorang muslimpun yang memberi salam kepada
  Nabi Saw kecuali Allah akan mengembalikan nyawa beliau sehingga beliau
  menjawab salam.”
Dan hadits-hadits lain yang secara keseluruhan
  menyimpulkan kepastian bahwa kematian para nabi dimaksudkan bahwa mereka
  disamarkan dari pandangan kita meskipun mereka ada dalam keadaan hidup.
  Sepertihalnya para malaikat yang hidup namun kita tidak bisa melihatnya.
  Pandangan Al Qurthubi telah dikutip dan disetujui oleh Al Syaikh Muhammad Al
  Safarini Al Hanbali dalam syarh ‘Aqidatu Ahlissunnah sbb : 
Abdullah Al
  Qurthubi berkata, “Guru kami Ahmad ibnu ‘Umar Al Qurthubi penyusun Al Mufhim
  syarh Muslim mengatakan, “Yang menghilangkan kemusykilan ini adalah bahwa
  kematian bukanlah ketiadaan murni. Kematian adalah peralihan dari satu kondisi
  ke kondisi lain, dengan bukti bahwa para syuhada’ setelah kematian dan
  terbunuh, mereka hidup di sisi Allah mendapat rizki dan berbahagia.
  
Kehidupan seperti ini adalah kehidupan mereka yang hidup di dunia.
  Apabila keadaan kehidupan para syuhada’ seperti di atas maka para nabi lebih
  berhak dan lebih utama dengan kehidupan seperti itu. Al Qurthubi mengatakan
  bahwa jasad para nabi tidak akan hancur. Terdapat informasi shahih dari Jabir
  bahwa ayahnya dan ‘Umar ibnu Al Jamuh Ra yang nota bene termasuk syuhada’ Uhud
  dan dikuburkan dalam satu liang, bahwa kuburan tersebut tergerus banjir namun
  jasad keduanya ditemukan tetap utuh. Salah satu dari keduanya mengalami luka
  dan tangannya diletakkan di atas luka tersebut lalu dikubur dalam kondisi
  demikian. Tangan tersebut lalu disingkirkan dari luka dan dibiarkan terlepas
  namun tangan itu kembali ke posisi semula. Jarak waktu antara perang Uhud dan
  ditemukannya jasad keduanya adalah 46 tahun. Saat Mu’awiyah mengalirkan sumber
  air yang digali di Madinah sekira 50 tahun seusai perang Uhud dan memindahkan
  para jenazah, sekop mengenai telapak kaki Hamzah yang membuatnya berdarah dan
  Abdullah ibnu Haram ditemukan seakan-akan baru dikubur kemarin. Semua penduduk
  Madinah meriwayatkan bahwa pada era kekuasaan Al Walid saat tembok Nabi Saw
  runtuh ditemukan kaki ‘Umar ibnu Al Khaththab yang telah terbunuh sebagai
  syahid. 
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa ketika dinding Nabi
  Saw runtuh tampak oleh penduduk Madinah kaki dengan betis dan lutut yang
  membuat kaget ‘Umar ibnu ‘Abdil Aziz. Kemudian ‘Urwah datang kepadanya dan
  berkata, “Ini adalah betis dan lutut ‘Umar ibnu Al Khaththab.” Akhirnya ucapan
  ‘Urwah membuat kesediahan ‘Umar ibnu Abdil Aziz hilang.
Al Imam Al Hujjah
  Abu Bakr ibnu Al Husain Al Baihaqi telah menyusun risalah khusus mengenai
  topik ini yang berisi sejumlah hadits yang menunjukkan hidupnya para nabi dan
  utuhnya jasad mereka. Demikian pula Al Hafidh Al Jalal Al Suyuthi telah
  menyusun risalah khusus dengan topik serupa.
  
KEHIDUPAN KHUSUS NABI MUHAMMAD SAW
Telah nyata bahwa Nabi Muhammad
  Saw memiliki kehidupan barzakh yang lebih sempurna dan lebih agung melebihi
  orang lain. Fakta ini diceritakan sendiri oleh beliau. Kehidupan barzakh
  beliau ini menunjukkan adanya relasi beliau dengan ummat, beliau mengetahui
  keadaan mereka, melihat amal perbuatan mereka, mendengar ucapan mereka dan
  menjawab salam mereka. Hadits-hadits menyangkut topik ini banyak jumlahnya. Di
  antaranya :
-    Dari Abdullah ibnu Mas’ud Ra dari Nabi
  Saw, “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat menjelajahi bumi untuk
  menyampaikan salam ummatku untukku.” 
Al Mundziri mengatakan bahwa hadits
  ini diriwayatkan oleh Al Nasa’I dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya. (dari Al
  Targhib wa Al Tarhib vol. II hlm. 498).
Saya katakan bahwa hadits ini
  diriwayatkan oleh Isma’il Al Qadli dan perawi lain dari jalur yang beragam
  dengan sanad-sanad yang tidak diragukan keshahihihannya yang sampai ke Sufyan
  Al Tsauri dari Abdillah ibnu Al Sa’ib dari Zadan dari Abdullah ibnu Mas’ud. Al
  Tsauri menjelaskan bahwa ia mendengarkannya, ia berkata, “Menceritakan
  kepadaku Abdullah ibnu Al Sa’ib. Demikian tercantum dalam kitab Al Qadli
  Isma’il. Abdullah ibnu Sa’ib dan Zadan adalah dua perawi yang Muslim
  meriwayatkan dari mereka dan Ibnu Ma’in menilai mereka sebagai perawi yang
  tsiqah. Dari uraian ini berarti isnad hadits ini shahih. 
-  
   Dari Ibnu Mas’ud Ra dari Nabi Saw, beliau berkata, “Hidupku lebih baik
  buat kalian. Kalian menyampaikan hadits dan diberi hadits. Dan wafatku lebih
  baik buat kalian. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Maka jika aku
  melihat amal baik aku memuji Allah. Jika melihat amal buruk aku memohonkan
  ampunan kepada Allah untuk kalian.” Al Hafid Al ‘Iraqi menyatakan dalam Kitab
  Al Janaa’izi min Tharhi Al Tatsribi fi Syarhi Al Taqribi bahwa isnad hadits
  ini baik.
Al Hafidh Al Haitsami dalam Majma’u Al Zawaaid vol IX hlm 24
  menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya
  memenuhi kreiteria perawi hadits shahih. Al Suyuthi menilai hadits ini shahih
  dalam Al Mu’jizatu wa Al Khashaisu. Demikian pula Al Qasthalani pensyarah
  kitab Al Bukhari. Dalam Faidlu Al Qadir vol III hlm 4015, Al Munawi menegaskan
  bahwa hadits ini shahih. Begitu pula Al Zurqani dalam syarh Al Mawaahib karya
  Al Qasthalani, dan Al Syihab Al Khafaaji dalam syarh Al Syifaa vol I hlm. 102.
  Begitu pula Al Mala Al Qari dalam syarh Al Syifaa vol I hlm 102. ia mengatakan
  hadits ini diriwayatkan pula oleh Al Harits ibnu Abi Usamah dalam Musnadnya
  dengan sanad shahih. 
Ibnu Hajar menyebutkan hadits ini dalam Al Mathalib
  Al ‘Aaliyahvol. IV hlm 22. Hadits ini datang dari sumber lain dengan status
  mursal dari Bakr ibnu Abdillah Al Muzani. Al Hafidh Isma’il Al Qadli
  meriwayatkan hadits ini dalam Juz’u Al Shalat ‘ala Al Nabi Saw. Al Syaikh
  Nashiruddin Al Albani menyatakan bahwa status hadits ini mursal shahih. Al
  Hafid Abdul Hadi yang keras kepala dan kaku menilai hadits ini shahih dalam
  kitabnya Al Sharim Al Munki fi Al Radd ‘ala Al Subki. 
Hadits di atas ini
  statusnya shahih dan tidak mengandung cacat. Ia menunjukkan bahwa Nabi Saw
  mengetahui amal perbuatan kita sebab amal perbuatan tersebut diperlihatkan
  kepad beliau, dan memohonkan maaf kepada Allah untuk kita atas perbuatan yang
  buruk. Apabila faktanya adalah demikian maka kita diperbolehkan untuk
  bertawassul dengan beliau kepada Allah dan memohon syafaat dengan beliau di
  sisi Allah. Hal ini dikarenakan beliau mengetahui adanya tawassul lalu memberi
  syafaat kepada kita dan mendoakan kita. Beliau adalah orang yang memberi
  syafaat dan yang diterima syafaatnya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam
  serta menambahkan kemuliaan kepada beliau. Dalam Al Qur’an Allah telah
  mengabarkan bahwa Nabi Muhammad menjadi saksi atas ummatnya. Hal ini
  menetapkan bahwa amal perbuatan mereka diperlihatkan kepada beliau agar beliau
  bisa menyaksikan apa yang dilihat dan diketahui. Ibnu Al Mubarak berkata,
  “Seorang lelaki dari Anshar menceritakan kepadaku dari Al Minhal ibnu ‘Amr
  bahwa ia mendengar Sa’id ibnu Musayyib berkata, “Tidak lewat sehari kecuali
  diperlihatkan pada saat itu kepada Nabi Saw ummatnya; pada pagi dan sore hari.
  Beliau mengetahui nama dan perbuatan mereka. Karena itu beliau menjadi saksi
  atas mereka.” Allah SWT berfirman :
  فكيف إذا جئنا من كل أمة بشهيد وجئنا بك على هؤلاء شهيدا
  -    Dari ‘Ammar ibnu Yasir Ra, ia berkata, “Rasulullah Saw
  bersabda, “Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang malaikat di kuburanku yang
  diberi kan kepadanya nama semua makhluk. Tidak ada seorang pun yang
  menyampaikan shalawat untukku sampai hari kiamat kecuali malaikat itu akan
  menyampaikan kepadaku dengan namanya dan nama ayahnya. Ini si fulan anak fulan
  menyampaikan shalawat kepadamu.” Diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan Abu Al
  Syaikh Ibnu Hibban dengan redaksi, “Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang
  malaikat yang diberikan kepadanya nama makhluk. Ia akan berdiri di atas
  kuburanku jika saya mati. Tidak ada seorang pun yang memberi shalawat kepadaku
  kecuali ia berkata, “ Ya Muhammad!, Fulan anak Fulan menyampaikan shalawat
  untukmu.” “Allah akan membalas setiap satu kali shalawatnya  dengan
  sepuluh kali,” lanjut beliau. 
Al Thabarani dalam Al Kabir meriwayatkan
  hadits serupa. Al Targhib vol II hlm 500. 
-    Dari ‘Amr
  ibnu Al Harits dari Sa’id ibnu Abi Hilal dari Zaid ibnu Aiman dari ‘Ubadah
  ibnu Nusai dari Abi Darda’, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda,
  “Perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari Jumu’at . karena hari Jumu’at
  adalah hari yang disaksikan para malaikat. Sesungguhnya tidak seorang pun yang
  menyampaikan shalawat kepadaku kecuali shalawat itu akan disampaikan kepadaku
  sampai ia selesai bershalawat.” Abu Darda’ berkata, “Saya bertanya, “Apakah
  itu terjadi setelah kematian?”. “Setelah kematian, “jawab beliau,
  “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bumi untuk menelan jasad para nabi.
  Maka Nabiyallah itu hidup dan diberi rizqi.” Lanjutnya. “ HR Ibnu Majah dalam
  Al Sunan. Dalam Al Zawaaid sbb : “Hadits ini statusnya shahih hanya saja
  terputus (munqathi’) pada dua tempat. Karena riwayat ‘Ubadah dari Abu Darda’
  berstatus mursal sebagaimana dikatakan Al ‘Ala’i. Zaid ibnu Aiman dari ‘Ubadah
  juga mursal sebagaimana dinyatakan Al Bukhari.” Dari Sunan Ibnu Majah hlm 524.
   
-    Dari Abu Hurairah Ra bahwasanya Rasulullah Saw
  bersabda, “Tidak seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan
  mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab salamnya.” HR Abu Dawud dalam Al
  Targhib vol II hlm 499.
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa hadits
  ini sesuai dengan kriteria Muslim. ia berkata, “Dari Musnad Ibnu Abi Sayaibah
  dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang
  menyampaikan shalawat kepadaku maka saya mendengarnya. Siapa yang menyampaikan
  shalawat kepadaku dari jarak jauh maka sahlawat itu disampaikan kepadaku.” HR
  Al Daruquthni. 
Dalam Al Nasa’i  dan yang lain dari Nabi Saw, beliau
  berkata, “Sesungguhnya Allah mewakilkan di kuburanku malaikat yang
  menyampaikan kepadaku salam dari ummatku.” 
Masih banyak hadits-hadits
  lain mengenai topik ini. (Iqtidlaau Al Shirath Al Mustaqiim hlm. 324). 
  
NABI SAW MENJAWAB ORANG YANG MEMANGGIL BELIAU
Nabi Saw menjawab
  orang yang memanggil nama beliau, “YA Muhammad!”
Dalam hadits Abu
  Hurairah Ra versi Abu Ya’la saat menceritakan ‘Isa, “Sungguh jika ‘Isa berdiri
  di dekat kuburanku lalu memanggil, “Ya Muhammad”, niscaya aku akan menjawab
  panggilannya.” Disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Al Mathalib Al
  ‘Aliyah vol. IV hlm dengan judul Hayaatuhu Saw fi Qabrihi. 
  
MENGIRIM SALAM VIA POS KEPADA NABI SAW
Dari Yazid Al Mahdi, ia
  berkata, “Ketika saya berpamitan kepada ‘Umar ibnu Abdul Aziz ia berkata,
  “Saya ada keperluan denganmu.” “Wahai amirul mu’minin!, apa keperluanmu yang
  bisa saya bantu, “kataku. “Jika engkau tiba di Madinah maka engkau akan
  melihat kuburan Nabi, sampaikan salamku untuk beliau,” jawab ‘Umar. 
Dari
  Hatim ibnu Wardan ia berkata, “’Umar ibnu Abdil Aziz menugaskan petugas pos
  dari Syam menuju Madinah untuk menyampaikan salam kepada Nabi Saw.” Al Qadli
  ‘Iyadl menyebutkan hal ini dalam Al Syifa dalam Babu Al Ziyaarah vol. II hlm
  83. 
Al Khafaji dan Al Mala ‘Ali Qari dalam Syarh Al Syifa menyebutjkan
  bahwa atsar di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Al Dunya dan Al Baihaqi
  dalam  Syu’ab Al Iman. Al Khafaji berkata, “Salah satu tradisi generasi
  salaf yaitu mereka mengirimkan salam kepada Rasulullah Saw dan Ibnu ‘Umar
  melakukan hal ini. ia mengirimkan salam kepada Nabi Saw, Abu Bakar, dan ‘Umar.
  Meskipun salam dari orang yang memberi salam kepada beliau akan sampai kepada
  beliau meskipun dari jarak yang jauh, namun mengirimkan salam lewat kurir ada
  keutamaan percakapan kurir di dekat beliau dan jawaban oleh beliau sendiri.”
  Dari Nasim Al Riyadl vol III hlm 516. Al Fairuzabadi menyebutkannya dalam Al
  Shalat wa Al Basyar hlm 153.
   
SUARA, SALAM DAN ADZAN YANG TERDENGAR DARI KUBURAN NABI 
Al
  Imam Al Hafidh Abu Muhammad ‘Abdullah Al Darimi dalam kitabnya, Al Sunan yang
  dikategorikan salah satu kitab pokok hadits yang berjumlah enam meriwayatkan :
  Menceritakan kepadaku Marwan ibnu Muhammad dari Sa’id ibnu ‘Abdul ‘Aziz, ia
  berkata, “Pada saat terjadinya perang Al Harrah (penyerbuan pasukan Yazid ke
  Madinah), masjid Nabi Saw tidak dikumandangkan adzan dan iqamah selama tiga
  hari dan Sa’id ibnu Al Musayyib senantiasa berada dalam masjid tersebut. Ia
  tidak mengetahui waktu shalat kecuali lewat suara lembu atau gajah yang ia
  dengan keluar dari kuburan Nabi Saw. Sa’id kemudian menyebutkan makna suara
  yang ia dengar. 
Atsar di atas dari Sunan Al Darimi vol I hlm 44 dan
  dikutip oleh Al Syaikh Muhammad ibu ‘Abdil Wahhab dalam hukum-hukum mengharap
  kematian (Ahkaami Tamannii Maut) dari kumpulan karyanya vol III hlm 47.
  
Riwayat ini juga dikutip oleh Al Imam Majduddin Al Fairuzabadi penyusun
  Al Qamus dalam Al Shilaatu wa Al Basyaru hlm 154. Ibrahim ibnu Syaiban
  mengatakan, “Saya melaksanakan haji lalu saya datang ke Madinah dan menuju
  kuburan Nabi. Saya menyampaikan salam kepada beliau lalu terdengar dari suara
  dari dalam kamar jawaban ; ‘Alaika Al Salam.”
 
  DUKUNGAN IBNU TAIMIYYAH TERHADAP KEJADIAN-KEJADIAN DI ATAS
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah menyebutkan kejadian-kejadian di atas di
  sela-sela komentarnya tentang praktik menjadikan kuburan sebagai masjid atau
  arca yang disembah. Selanjutnya ia berkata, “Tidak termasuk dalam masalah ini
  apa yang diriwayatkan bahwasanya ada kaum yang mendengar jawaban salam dari
  kuburan Nabi Saw atau kuburan-kuburan lain dari orang-orang shalih dan
  bahwasanya Sa’id ibnu Al Musayyib mendengar suara adzan dari kuburan Nabi Saw
  pada malam-malam terjadinya penyerbuan tentara Yazid ke Madinah dan
  sebagainya. (Iqtidlaau Al Shirath Al Mustaqim hlm 373).
Selanjutnya dalam
  kesempatan lain Ibnu Taimiyyah berkata, “Demikian pula kejadian yang
  disebutkan dari karomah dan hal-hal yang di luar kebiasaan yang terjadi di
  kuburan para nabi dan orang-orang shalih seperti turunnya cahaya dan malaikat
  di kuburan tersebut, setan dan binatang menjauhi tempat itu, api terhalang
  untuk membakar kuburan dan orang yang berada di dekatnya, sebagian dari para
  nabi dan orang-orang shalih memberi syafaat kepada orang-orang mati yang
  menjadi tetangga mereka, kesunnahan mengubur jenazah di dekat kuburan mereka,
  memperoleh kedamaian dan ketenteraman saat berada di dekatnya, dan turunnya
  adzab atas orang yang menghina kuburan tersebut, maka hal-hal ini adalah benar
  adanya dan tidak termasuk dalam topik bahasan kami tentang diharamkannya
  menjadikan kuburan sebagai masjid. Apa yang terjadi pada kuburan para nabi dan
  orang-orang shalih dari kemuliaan dan rahmat Allah dan apa yang diperoleh di
  sisi Allah dari kehormatan dan kemuliaan itu berada di atas anggapan banyak
  orang. Namun kitab ini bukanlah tempat untuk menjelaskan hal itu secara
  detail. (Iqtidlaau Al Shirath Al Mustaqim). 
  
ADANYA SEBAGIAN KAROMAH DI ATAS UNTUK SELAIN PARA NABI
Para ulama telah meriwayatkan sedikit dari karomah-karomah yang telah
  disampaikan di atas yang dialami oleh sebagian generasi al salaf al shalih
  yang terjadi setelah mereka wafat. Karomah-karomah itu diriwayatkan oleh para
  perawi yang kredibel dan dari para perawi yang kredibel juga yang menyaksikan
  karomah-karomah itu dengan mata kepala mereka sendiri. Sebagian karomah ini
  akan kami kutip di sini dari Al Syaikh Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab. Dalam
  kitabnya “Ahkaamu Tamanni Al Maut” beliau mengatakan dalam kumpulan
  karya-karyanya yang disebarkan oleh Universitas Al Imam Muhammad ibnu Su’ud
  sbb : 
  
SHOLAT DI DALAM KUBUR
Hadits riwayat Ahmad dari ‘Affan dari Hammad
  dari Tsabit bahwasanya ia berkata, “Ya Allah, jika Engkau memberikan
  kesempatan seseorang untuk melaksanakan sholat dalam kuburannya maka berilah
  aku kesempatan untuk melaksanakannya dalam kuburanku.”
Hadits riwayat Abu
  Nu’aim dari Jubair ia berkata, “Saya – demi Allah yang tiada Tuhan melainkan
  Dia – memasukkan Tsabit Al Bunani ke dalam liang lahatnya. Saya melakukannya
  bersama Hamid Al Thawil. Ketika kami meratakan batu bata di atas kuburan,
  sebuah batu bata jatuh. Ternyata saya melihat Tsabit sedang sholat di dalam
  kuburannya.”
  
MEMBACA AL QUR’AN
Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Jarir dari Ibrahim
  ibnu Al Muhallabi ia berkata, “Menceritakan kepadaku mereka yang melewati Al
  Jash di waktu sahur, ”Jika kami melewati kuburan Tsabit Al Bunani maka kami
  mendengar bacaan Al Qur’an.”
Hadits riwayat Al Turmudzi yang dinailainya
  shahih dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Sebagian sahabat Nabi Saw mendirikan
  kemah di atas kuburan. Ia tidak mengira bahwa lokasi itu adalah kuburan.
  Tiba-tiba ia mendengar dari dalam kuburan seseorang yang membaca surat Al Mulk
  sampai selesai. Lalu ia mendatangi Nabi dan menceritakan pengalaman yang
  dialaminya. “Surat Al Mulk adalah penolak siksa kubur dan penyelamat yang
  menyelamatkan mayit dari adzab kubur,” jawab beliau. 
Hadits riwayat Al
  Nasa’i dan Al Hakim dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Saya
  tidur lalu bermimpi berada di sorga.” Redaksi Al Nasa’i berbunyi : - Saya
  masuk ke dalam sorga -. Lalu saya mendengar seseorang membaca Al Qur’an.
  “Siapakah orang yang membaca Al Qur’an ini? “tanyaku. Mereka menjawab,
  “Haritsah ibnu Nu’man.” “Demikianlah kebajikan, Demikianlah kebajikan,
  Demikianlah kebajikan,”ujar beliau Saw. Haritsah ibnu Nu’man adalah orang yang
  paling berbakti pada ibunya.
Hadits riwayat Ibnu Abi Al Dunya dari Al
  Hasan, ia mengatakan, “Sampai kepadaku bahwa seorang mu’min jika ia mati dan
  tidak mampu membaca Al Qur’an maka para malaikat hafadhah diperintahkan untuk
  mengajarkan Al Qur’an kepadanya di dalam kuburan sehingga ia dibangkitkan
  Allah di hari kiamat beserta orang-orang yang mampu membacanya.” Diriwayat
  oleh Ibnu Abi Al Dunya dari Yazid Al Raqqasyi semisal hadits dari Al Hasan. Al
  Silafi meriwayatkan kandungan hadits Al Hasan dari hadits-hadits mursal
  ‘Athiah Al ‘Aufi.
   
PENGHUNI KUBUR SALING MENGUNJUNGI
Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Sirin, ia (Ibnu Abi Syaibah)
  berkata, “Ibnu Sirin senang akan kafan yang baik.” “Para penghuni kubur itu
  saling berkunjung dengan mengenakan kafan masing-masing,” jawab Ibnu Sirin.
  Makna atsar ini juga terdapat dalam Musnad Ibnu Abi Syaibah dari Jabir dengan
  status marfu’. Di dalamnya terdapat redaksi : “Mereka saling
  membangga-banggakan dan saling berkunjung dalam kuburan mereka.” 
Hadits
  riwayat Muslim dari haditsnya sendiri sbb : “Jika salah seorang dari kalian
  menangani jenazah saudaranya maka hendaklah membungkusnya dengan kafan yang
  baik.”
Hadits riwayat Al Turmudzi, Ibnu Majah dan Muhammad ibnu Yahya Al
  Hamdani dalam shahihnya dari Abi Qatadah dengan status marfu’ sbb : “Jika
  salah seorang dari kalian menangani jenazah saudaranya maka hendaklah
  membungkusnya dengan kafan yang baik. Karena mereka saling berkunjung di dalam
  kuburan mereka”
  
RISALAH DARI DUNIA KE BARZAKH BERSAMA MAYIT
Ibnu Abi Al Dunya
  meriwayatkan dengan sanad yang tidak perlu dipersoalkan dari Rasyid ibnu Sa’ad
  bahwa isteri seorang lelaki meninggal dunia lalu lelaki itu melihat beberapa
  wanita dalam mimpi. Tapi ia tidak melihat isterinya bersama mereka. Akhirnya
  ia menyakan keberadaan isterinya kepada para wanita itu. “Kamu memberinya
  kafan yang pendek. Ia malu untuk keluar bersama kita, “ jawab mereka. Kemudian
  lelaki itu datang kepada Nabi dan mengabarkan mimpinya. “Perhatikan!, apakah
  ada yang yang dapat dipercaya yang bisa memberi solusi?” ujar beliau. Lalu
  lelaki ini mendatangi seorang laki-laki dari golongan Anshar yang akan
  dijemput ajal. Ia mengabarkan peristiwa yang dialami kepadanya. “Jika
  seseorang bisa menyampaikan sesuatu kepada orang-orang yang telah mati makja
  saya akan menyampaikannya, “jawab laki-laki dari golongan Anshar ini. Kemudian
  laki-laki Anshar ini meninggal dunia dan suami wanita yang telah meninggal itu
  datang dengan membawa dua pakian yang diberi parfum za’faran. Ia meletakkan
  kedua pakaian itu dalam kafan laki-laki Anshar. Ketika malam tiba suami wanita
  itu bermimpi melihat para wanita yang di dalamnya ada juga isterinya yang
  mengenakan dua pakaian berwarna kuning. 
Ibnu Al Jauzi meriwayatkan dari
  Muhammad ibnu Yusuf Al Firyabi kisah seorang perempuan yang bermimpi melihat
  ibunya mengadukan kain kafan kepadanya. Lalu keluarga perempuan itu
  menceritakan hal ini kepada Muhammad dan meminta solusi kepadanya. Dalam kisah
  ini diceritakan sbb : Bahwa Ibu dari perempuan itu berkata, “Belilah kafan
  untukku dan kirimkan beserta fulanah.” Al Firyabi berkata, “Lalu saya
  menyebutkan sebuah hadits bahwasanya para penghuni kubur saling berkunjung
  dengan mengenakan kain kafan mereka. Kemudian saya berkata, “Belilah kafan
  untuk Ibu!” Perempuan yang bermimpi itu akhirnya mati pada hari yang telah
  saya sebutkan dan keluarganya meletakkan kain kafan bersama jenazahnya. 
  
CAHAYA DI ATAS KUBURAN
Hadits riwayat Ibnu Abi Al Dunya dari Abi
  Ghalib – sahabat Abu Umamah – bahwasanya seorang pemuda di Syam hendak
  dijemput ajal. Ia bertanya kepada pamannya, “Bagaimana menurutmu jika Allah
  menyerahkan diriku kepada Ibuku. Apa yang akan dia lakukan padaku?” “Jika
  demikian, demi Allah Ibumu akan memasukkanmu ke dalam sorga. “Demi Allah,
  Allah lebih sayang kepadaku melebihi Ibuku, “ lanjut sang pemuda. Akhirnya
  pemuda itu meninggal dunia. Lalu Ibunya beserta pamannya masuk ke dalam kubur.
  “Dengan batu bata mentah,” kata kami. Lalu kami meratakan batu bata itu di
  atas kuburannya. Tiba-tiba sebuah batu bata jatuh. Sang paman lalu melompat
  dan mundur. “Apa yang terjadi, “ tanyaku. “Kuburannya dipenuhi cahaya dan
  dilapangkan sejauh pandangan matanya,” jawab sang paman. 
Hadits dari Abi
  Dawud dan perawi lain dari ‘Aisyah, ia berkata, “Ketika Najasyi wafat kami
  bercakap-cakap bahwa dari dalam kuburnya senantiasa terlihat cahaya.
  
Dalam Tarikh Ibnu Asakir dari Abdurrahman ibnu ‘Umarah, ia berkata,
  “Saya menyaksikan jenazah Al Ahnaf ibnu Al Qais. Saya adalah salah satu orang
  yang turun masuk dalam kuburannya. Ketika kuburan itu kami ratakan, saya
  melihat kuburan itu dilapangkan  sejauh mata memandang. Saya menceritakan
  hal ini kepada para sahabat namun mereka tidak melihat apa yang telah saya
  lihat. 
Dari Ibrahim Al Hanafi, ia berkata, “Saat  Mahan Al Hanafi
  disalib di atas pintu rumahnya, kami melihat cahaya di dekat pintu itu di
  waktu malam.”
Coba dilihat kitab Ahkaamu Tamannil Maut yang telah
  dikoreksi sesuai naskah fotokopi 771/86 di Al Maktabah Al Su’udiyyah
  (perpustakaan Su’ud) di Riyadl kajian dari Al Syaihk Abdirrahman Al Sadhan dan
  Al Syaikh Abdullah Al Jabrin, dalam bagian fiqih nomor dua. 
Pada bagian
  awal buku koleksi, orang-orang menyebut pengesahan naskah dan pembenaran bahwa
  karangan itu benar milik Al Syaikh. Universitas Al Imam Muhammad ibnu
  Su’ud  di Riyadl  denga menyebarkan buku koleksi ini secara lengkap
  setelah dilakukan penelitian terlebih dahulu di bawah pengawasan Universitas
  dalam pekan Al Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab. 
لاتشد الرحال
  
 
  JANGAN MEMASANG PELANA 
Banyak orang keliru dalam memahami hadits :
  “Jangan dipasang pelana kecuali hendak menuju ke tiga masjid ; al masjid al
  haram, masjidku ini, dan al masjid al aqsha.” 
Mereka menjadikan hadits
  ini sebagai dalil atas diharamkannya memasang pelana untuk berziarah kepada
  Nabi Saw dan menilai bahwa bepergian dengan tujuan berziarah kepada nabi
  sebagai tindakan maksiat. Argumentasi ini ditolak karena dibangun di atas
  persepsi yang salah. Hadits ini sebagaimana yang Anda lihat berada dalam
  konteks yang berbeda dengan argumentasi ini. 
Penjelasannya adalah sbb :
  “Bahwasanya sabda Nabi Saw, “Jangan dipasang pelana kecuali hendak menuju ke
  tiga masjid,” menggunakan pola bahasa yang dikenal oleh para ahli bahasa
  sebagai pola pengecualian. Hal ini otomatis mengharuskan adanya yang
  dikecualikan dan yang mendapat pengecualian. Yang dikecualikan adalah kalimat
  yang jatuh setelah Illaa sedang yang mendapat pengecualian adalah kalimat
  sebelum Illaa. Kedua hal ini harus ada. Baik secara konkret atau rekaan.
  Keharusan adanya yang dikecualikan dan yang mendapat pengecualian adalah hal
  yang telah ditetapkan dan dikenal dalam literatur-literatur nahwu yang paling
  sederhana pun. 
Jika kita memperhatikan hadits ini kita akan menemukan
  bahwa hadits ini menyebut dengan jelas adanya obyek yang dikecualikan yaitu
  “Ilaa Tsalatsati Masaajid” (menuju tiga masjid) yang jatuh setelah illa namun
  tidak menyebut obyek yang mendapt pengecualian yaitu jatuh sebelum illa. Tidak
  disebutkannya obyek yang mendapat pengecualian ini berarti ia harus diandaikan
  keberadaannya. 
Jika kita mengandaikan bahwa obyek yang mendapat
  pengecualian adalah Qabrun (kuburan) maka ungkapan yang dinisbnatkan kepada
  Rasulullah berbunyi “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Qabrin Illaa ilaa Tsalatsati
  Masaajid” (Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke kuburan kecuali saat
  hendak ke tiga masjid). Rangkaian kalimat semacam ini jelas tidak serasi dan
  tidak pantas dengan balaghah nabawiyyah (retorika kenabian). Karena obyek yang
  dikecualikan tidak sejenis dengan obyek yang mendapat pengecualian, padahal
  yang asal obyek yang dikecualikan harus sejenis dengan obyek yang mendapat
  pengecualiaan. Tidaklah akan merasa tenang hati cendekiawan yang merasa
  berdosa dari tindakan menisbatkan ungkapan kepada sabda Nabi Saw, yang tidak
  pernah beliau ucapkan, dengan menisbatkan kalimati qabrin yang tidak relevan
  dengan yang asal dalam pola pengecualian, kepada beliau. Kalimat qabrin tidak
  pantas menjadi obyek yang mendapat pengecualian. Kita coba andaikan kalau
  kalimat yang menjadi obyek yang mendapat pengecualian adalah kalimat makaan
  (tempat). Selanjutnya ungkapan beliau menjadi berbunyi “Laa Tusyaddu Al Rihaal
  ilaa Makaanin  Illaa ilaa Tsalatsati Masaajid” (Jangan dipasang pelana
  ketika hendak menuju ke tempat kecuali saat hendak ke tiga masjid).
  Pengandaian ini berarti mengandung pengertian “janganlah engkau bepergian
  dengan tujuan berdagang, mencari ilmu atau meraih kebaikan…..”. Pengertian ini
  sejenis kegilaan yang pasti salah.
Hadits di atas memuat obyek yang
  dikecualikan namun tidak mengandung obyek yang mendapat pengecualian. Karena
  itu obyek yang mendapt pengecualian harus diandaikan sesuai konsensus pakar
  bahasa. Pengandaiannya sendiri tidak lebih dari tiga kemungkinan saja.
  
Pertama, dengan mengandaikan kalimat qabr yang kemudian mengandung
  pengertian “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Qabrin Illaa ilaa Tsalatsati Masaajid”
  (Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke kuburan kecuali saat hendak ke
  tiga masjid).
Pengandaian ini didasarkan atas pandangan orang menggunakan
  hadits sebagai argumen larangan bepergian dengan tujuan berziarah. Anda lihat
  sendiri bahwa pengandaian semacam ini adalah pengandaian lemah yang harus
  dibuang dan tidak ditoleransi oleh orang yang  memiliki pengetahuan
  paling rendah tentang bahasa Arab. Pengandaian ini tidak pantas dialamatkan
  kepada sosok paling fasih dalam melafalkan huruf dlodl. Maka sungguh mustahil
  orang sekaliber beliau Saw sepakat dengan gaya bahasa yang rendah ini.
  
Kedua, pengandaian obyek yang mendapat pengecualian dalam hadits
  menggunakan kalimat yang umum yaitu makaan (tempat). Pengandaian ini
  sebagaimana diuraikan dimuka adalah pengandaian yang disepakati salah dan
  tidak ada yang menggunakan pengandaian ini. 
Ketiga, obyek yang mendapat
  pengecualian dalam hadits diandaikan dengan kalimat masjid yang kemudian
  rangkaian kalimatnya berbunyi “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Masjidin Illaa ilaa
  Tsalatsati Masaajid” (Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke masjid
  kecuali saat hendak ke tiga masjid). Kita lihat bahwa ungkapan ini telah
  selaras dan berjalan sesuai dengan gaya bahasa fasih dan kerancuan arti dari
  dua bentuk pengandaian lain telah tersingkirkan. Cahaya kenabian juga terlihat
  dalam ungkapan ketiga ini dan hati orang yang bertakwa merasa tentram
  menisbatkan pengandaian ini  kepada Rasulullah Saw. Dipilihnya bentuk
  pengandaian ketiga ini jika dipastikan tidak ditemukan riwayat lain yang
  menjelaskan obyek yang mendapat pengecualian. Namun jika riwayat lain ini
  ditemukan maka haram bagi orang yang beragama Islam untuk berpindah dari
  riwayat ini dengan memilih pengandaian semata yang tidak memiliki pijakan pada
  bahasa yang fasih. 
Alhamdulillah, kami telah menemukan dalam Assunnah
  Annabawiyyah dari jalur riwayat yang mu’tabar hadits yang menjelaskan obyek
  yang mendapat pengecualian. Di antaranya adalah riwayat Al Imam Ahmad dari
  jalur Syahr ibnu Hausab, ia berkata, “Tidak selayaknya unta tunggangan
  dipasang pelananya menuju masjid yang didalamnya hendak dikerjakan sholat
  selain al masjid al haram, al masjid al aqsha dan masjidku ini.”
Menurut
  Al Hafid Ibnu Hajar Syahr adalah perawi yang baik haditnya (hasanul hadits)
  meskipun memiliki sebagian kelemahan. (Fathul Baari vol III hlm 65).
  
Dalam riwayat lain redaksinya berbunyi : “Tidak selayaknya unta
  tunggangan dipasang pelananya menuju masjid yang didalamnya hendak dikerjakan
  sholat selain masjid al aqsha dan masjidku ini.”
Al Hafidh Al Haitsami
  mengatakan bahwa dalam sand hadits ini terdapat Syahr yang mendapat komentar
  pakar hadits dan status haditnya baik (hasan). (Majma’u Al Zawaaid vol IV hlm
  3). 
Di antaranya lagi adalah hadits yang bersumber dari ‘Aisyah, ia
  berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Saya adalah pamungkas para nabi dan
  masjidku adalah pamungkas masjid-masjid para nabi. Masjid yang paling berhak
  diziarahi dan dipasang pelana untuk menuju kepadanya adalah al masjid al haram
  dan masjidku. Melaksanakan sholat di masjidku lebih utama daripada seribu kali
  sholat yang dilakukan di masjid-masjid lain selain al masjid al haram.” HR Al
  Bazzaar (Majma’u Al Zawaaid vol IV hlm 3).
Statemen beliau Saw mengenai
  masjid-masjid itu untuk menjelaskan kepada ummat bahwa masjid-masjid di luar
  tiga masjid ini setara dalam keutamaan. Maka tidak ada gunanya bersusah payah
  pergi ke selain tiga masjid ini. Adapun tiga masjid ini maka ia memiliki
  keutamaan yang lebih. Kuburan-kuburan tidak masuk dalam hadits ini. Memasukkan
  kuburan ke dalam hadits ini dikategorikan sebagai bentuk kebohongan terhadap
  Rasulullah. Fakta ini perlu diperhatikan meskipun ziarah kubur itu sebuah
  anjuran. Malah banyak ulama yang menyebutkannya dalam kitab-kitab manasik
  dengan dikategorikan sebagai hal-hal yang disunnahkan. Kategori sunnah ini
  diperkuat oleh banyak hadits yang diantaranya kami sebutkan di bawah ini :
  
-    Dari Ibnu ‘Umar Ra dari Nabi Saw, beliau berkata,
  “Siapa yang menziarahi kuburanku maka ia wajib mendapat syafa’atku.” Hadits
  ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar. Dalam sanda hadits ini ada ‘Abdullah ibnu
  Ibrahim al Ghifari yang statusnya lemah. Ibnu Taimiyyah juga mengutip hadits
  ini dan menyatakan statusnya adalah dlo’if. Ia tidak memvonis hadits ini
  sebagai hadits palsu atau bohong. (Al Fatawaa vol XXVII hlm 30) di tempat ini.
  Jika di tempat lain ada penilaian yang berbeda dari Ibnu Taimiyyah berarti ia
  merasa ragu untuk menetapkan status hadits ini atau penilaiannya berubah dan
  kita tidak mengetahui manakah penilaian yang dahulu dan yang terakhir. Jika
  memang demikian berarti salah satunya tidak bisa dijadikan acuan.  
-  
   Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang
  datang semata-mata untuk berziarah kepadaku, tidak ada maksud lain, maka wajib
  bagiku untuk memberi syafaat kepadanya di hari kiamat.” HR Al Thabarani dalam
  Al Awsath dan Al Kabir. Dalam sanad hadits ini terdapat Maslamah ibnu Salim
  yang statusnya lemah. (Majma’u Al Zawaaid vol I hlm. 265). 
Al Hafidh Al
  ‘Iraqi mengatakan bahwa hadits ini dikategorikan shahih oleh Ibnu Al Sakkan.
  (Al Mughni vol I hlm 265). 
-    Dari Ibnu ‘Umar dari Nabi
  Saw, beliau bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan haji lalu berziarah ke
  kuburanku pada saat aku telah wafat maka ia seperti orang yang berziarah
  kepadaku saat aku masih hidup.” HR Al Thabarani dalam Al Kabir dan Al Awsath.
  Dalam sanad hadits ini terdapat Hafsh ibnu Abi Dawud Al Qari’ yang dinilai
  kredibel oleh Ahmad namun dianggap lemah oleh sekelompok para imam.
  
-    Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw
  bersabda, “Barangsiapa menziarahi kuburanku setelah aku wafat maka ia seperti
  orang yang berziarah kepadaku saat aku masih hidup.” Al Haitsami berkata,
  “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Turmudzi dalam Al Shaghir dan Al Awsath. Di
  dalam sanadnya terdapat ‘Aisyah binti Yunus. Saya tidak menemukan orang yang
  menulis biografi Yunus.” Demikian dikutip dari Majma’ Al Zawaaid vol IV hlm 2.
  
Walhasil, bahwasanya hadits-hadits yang menjelaskan berziarah ke kuburan
  Nabi Saw memiliki banyak jalur periwayatan yang sebagian menguatkan sebagian
  yang lain sebagaimana dikutip oleh Al Munawi dari Al Hafidh Adz Dzahabi dalam
  Faidl Al Qadir vol VI hlm 140 secara khusus, dan bahwa sebagian ulama telah
  menilai shahih hadits-hadits tersebut atau mengutip penilaian shahihnya
  seperti Al Subki, Ibnu Al Sakkan, Al ‘Iraqi, Al Qadli ‘Iyadl dalam Al Syifaa,
  Al Mula ‘Ali Al Qari dalam syarh Al Syifaa dan Al Khafaji juga dalam syarh Al
  Syifaa pada Nasiim Al Ryadli vol III hlm 511. Semua nama yang telah disebutkan
  ini adalah para huffadhul hadits dan aimmah yang dijadikan acuan. Cukuplah
  bahwa para imam empat dan para ulama besar yang menjadi pilar agama telah
  menyatakan disyari’atkannya ziarah kepada Nabi Saw sebagaimana dikutip oleh
  murid-murid mereka dalam literatur-literatur fiqh mereka yang dijadikan acuan.
  Kesepakatan para imam dan para ulama besar ini cukup untuk menilai shahih dan
  menerima hadits-hadits yang menjelaskan ziarah. Karena hadits dlo’if bisa
  menjadi kuat dengan praktik dan fatwa sebagaimana dikenal dalam kaidah-kaidah
  pakar ushul fiqih dan pakar hadits. 
  
  
  ZIARAH KUBUR ADALAH ZIARAH KE MASJID DALAM PENILAIAN AL SAYIKH IBNU
      TAIMIYYAH
Ibnu Taimiyyah memiliki pandangan yang elok yang terdapat di
  sela-sela pembicaraanya tentang ziarah. Sesudah berbicara bahwa memasang
  pelana untuk berziarah ke kuburan Nabi Saw semata bukan masjid sebagai
  tindakan bid’ah, ia kembali berkata :
Orang yang menentang ini dan yang
  sependapat dengannya menjadikan bepergian menuju kuburan para nabi sebagai
  bentuk ibadah. Selanjutnya setelah mereka mengetahui pendapat ulama menyangkut
  disunnahkannya berziarah ke kuburan Nabi Saw, maka mereka mengira bahwa
  kuburan-kuburan lain pun bisa dijadikan tujuan berpergian sebagaimana kuburan
  beliau Saw. Akhirnya mereka sesat ditinjau dari beberapa aspek di bawah ini :
  
Pertama, bahwa pergi ke kuburan Nabi Saw sejatinya adalah pergi ke
  masjid beliau yang status hukumnya sunnah berdasarkan nash dan ijma’.
  
Kedua, pergi ke kuburan beliau Saw adalah pergi ke masjid pada saat
  beliau masih hidup dan sesudah dikubur serta sebelum dan sesudah kamar masuk
  dalam bagian masjid. Berarti pergi ke kuburan beliau Saw adalah pergi ke
  masjid baik di situ ada kuburan atau tidak. Maka bepergian ke kuburan yang
  tidak ada masjidnya tidak bisa disamakan dengan bepergian ke kuburan Nabi Saw.
  
Selanjutnya Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Keenam : “Bepergian menuju
  masjid Nabi Saw – yang disebut bepergian untuk berziarah kepada kuburan beliau
  – adalah konsensus ulama dari generasi ke generasi. Adapun bepergian untuk
  berziarah ke kuburan-kuburan lain maka tidak ada status hukum yang dikutip
  dari para sahabat, bahkan dari atba’u attabi’in.”
Kemudian Ibnu Taimiyyah
  berkata, “Maksudnya adalah bahwa kaum muslimin tidak henti-hentinya pergi
  menuju masjid Nabi Saw dan tidak pergi ke kuburan para nabi seperti kuburan
  Nabi Musa dan Nabi Ibrahim Al Khalil. Tidak ada informasi dari salah seorang
  sahabat bahwa ia bepergian ke kuburan Nabi Ibrahim meskipun mereka seringkali
  pergi ke Syam dan Baitul Maqdis. Maka bagaimana mungkin pergi ke masjid
  Rasulullah Saw yang disebut sebagian orang dengan ziarah ke kuburan beliau,
  sama dengan pergi ke kuburan para nabi?”
Dari pandangan Ibnu Taimiyyah di
  muka bisa ditarik sebuah faidah penting. Yaitu bahwa selamanya tidak
  terbayangkan bahwa orang yang berziarah akan memasang pelananya semata-mata
  untuk berziarah kubur lalu tidak masuk masjid dan melaksanakan sholat di
  dalamnya untuk mendapatkan keberkahan, pelipatgandaan pahala sholatnya dan Al
  Raudlah Al Syarifah yang ada di dalamnya. Sebaliknya selamanya tidak logis
  jika orang yang berziarah memasang pelananya semata-mata untuk ziarah ke
  masjid kemudian tidak melakukan ziarah dan berhenti di kuburan mulia untuk
  memberi salam kepada Nabi dan dua sahabat beliau Ra. 
Karena itu Anda
  akan melihat Ibnu Taimiyyah dalam statemennya mengisyaratkan akan hal ini
  dengan ucapannya : 
-    “Maka bagaimana mungkin pergi ke
  masjid Rasulullah Saw yang disebut sebagian orang dengan ziarah?”
-  
   “Pergi ke kuburan Nabi Saw sejatinya adalah pergi ke masjid beliau.”
-  
   “Bepergian menuju masjid Nabi Saw – yang disebut bepergian untuk
  berziarah kepada kuburan beliau – adalah konsensus ulama”
Pandangan Ibnu
  Taimiyyah yang elok ini mampu menyelesaikan problem besar yang memecah belah
  kita, umat Islam dan membuat sebagian kita mengkafirkan sebagian yang lain dan
  mengeluarkannya dari lingkaran agama Islam. Seandainya orang yang mengklaim
  pengikut salaf mengikuti cara yang ditempuh Ibnu Taimiyyah, imamussalaf pada
  masanya dan menuntut kepada orang-orang alasan akan tujuan-tujuan mereka serta
  berprasangka positif kepada mereka, niscaya sejumlah besar orang akan selamat
  dari masuk neraka dan beruntung masuk sorga tempat tinggal abadi.
  
Berprasangka positif kepada ummat Islam adalah sikap yang benar yang
  kita patuh kepada Allah dengan bersikap seperti ini dan meyakini kebenarannya
  dengan sepenuh hati. Baik kita mengungkapkan hal ini secara transparan atau
  tidak. Apabila seseorang dari kita mengatakan, “Saya hendak pergi untuk ziarah
  kepada Nabi Saw atau kuburan beliau,” maka pada dasarnya ia hendak berziarah
  ke masjid yang mulia. Seandainya ia mengatakan, “Saya pergi untuk berziarah ke
  masjid,” maka pada dasarnya ia berziarah ke kubur. Dalam masalah ini, paling
  jauh ia tidak sempat menyatakan dengan terbuka apa yang menjadi tujuannya dan
  yang diniatkannya karena ada relasi kuat antara masjid dengan kuburan yang
  sejatinya adalah simbol yang mengarah kepada sosok Nabi Saw. Karena orang yang
  pergi untuk berziarah ke kuburan Nabi Saw sejatinya adalah berziarah kepada
  Nabi Saw sendiri. 
Adapun sosok kuburan itu sendiri maka ia bukan tempat
  yang menjadi tujuan musafir/orang yang bepergian. Kami hanyalah menghadap
  Nabi, memasang pelana kami untuk berziarah kepada beliau dan mendekatkan diri
  kepada Allah dengan ziarah tersebut. Karena itu kewajiban bagi ummat Islam
  yang berziarah adalah menyusun ungkapan-ungkapan yang tepat untuk menjauhi
  syubhat dan mengatakan, “Kami berziarah kepada Rasulullah dan memasang pelana
  kami untuk mendatangai beliau Saw.” Karena kewajiban ini, Imam Malik berkata,
  “Saya anggap makruh seseorang yang berkata, “Saya berziarah ke kuburan
  Rasulullah Saw.” 
Para ulama dari kalangan aimmah Malikiyyah
  menginterpretasikan pendapat Imam Malik bahwa pendapat beliau adalah bagian
  dari sopan santun dalam menggunakan ungkapan verbal. Seandainya orang yang
  bepergian untuk ziarah kubur tidak punya niat kecuali hanya ziarah kubur
  semata maka engkau tidak akan melihat situasi berdesak-desakkan yang parah di
  Al Raudlah Al Syarifah ini dan engkau tidak akan melihat orang-orang saling
  berebut dan saling mendorong ketika pintu-pintu masjid nabawi dibuka, hingga
  mereka nyaris saling membunuh. Mereka yang bersemangat melaksanakan sholat di
  masjid Nabawi dan berebutan menuju Al Raudlah Al Syarifah adalah merka yang
  datang dalam rangka ziarah Nabi Muhammad ibnu ‘Abdillah Saw dan memasang
  pelana mereka hendak menuju beliau Saw. 
  
KAJIAN MENDALAM YANG BERFAIDAH
Kajian mendalam Al ‘Allamah Al
  Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim Pengarang Takmilatu Adlwaai Al Bayaan
Al
  Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim, Qadli di Madinah Munawwarah telah menyebutkan
  persoalan ziarah kuburan Nabi di atas dalam kitabnya yang merupakan
  penyempurna kitab tafsir populer bernama Adlwaau Al Bayaan karya mufassir Al
  Syaikh Muhammad Al Amin Al Syinqithi, ia berkata :
“Saya yakin bahwa
  persoalan ini (ziarah kuburan Nabi Saw) jika tidak ada perselisihan
  orang-orang yang sezaman dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengannya Syaikh
  sendiri dalam persoalan lain, niscaya persoalan ini tidak memiliki tempat dan
  konteks. Tetapi mereka mendapatkan bahwa persoalan ini adalah persoalan yang
  sensitif dan menyentuh emosi serta rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Akhirnya
  mereka menggelorakan persoalan ini dan memvonis Syaikh dengan kepastian
  perkataannya saat ia berkata  :
“Pemasangan pelana itu bukan
  semata-mata untuk tujuan ziarah. Tapi bertujuan ke masjid dalam rangka
  berziarah, sebab mempraktikkan teks hadits. Akhirnya mereka mengatakan apa
  yang jelas-jelas tidak pernah dikatakan Ibnu Taimiyyah, sebagai perkataannya.
  Jika ucapan Ibnu Taimiyyah dipahami sebagai peniadaan sebagai ganti pelarangan
  niscaya hal ini sesuai. Maksudnya ziarah ke kuburan Nabi tanpa mengunjungi
  masjid adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Sebab Syaikh sendiri tidak
  pernah melarang ziarah dan memberi salam kepada beliau. Bahkan beliau
  mengkategorikannya sebagai keutamaan dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada
  Allah. Ibnu Taimiyyah hanyalah konsisten dengan teks hadits dalam hal memasang
  pelana menuju masjid dan hal-hal apa saja yang di antaranya adalah memberi
  salam kepada beliau, sebagaimana  ia jelaskan dalam kitab-kitabnya.”
  Demikian ucapan Al Syaikh ‘Athiyyah dalam Adlwaau Al Bayaan vol VIII hlm
  586).
Selanjutnya Syaikh ‘Athiyyah mengutip dari tulisan-tulisan Ibnu
  Taimiiyyah statemen yang kami kutip darinya. Lalu ia berkata :
“Statemen
  Ibnu Taimiyyah mengindikasikan bahwa ziarah ke kuburan Nabi Saw dan
  mengerjakan sholat di masjid beliau adalah dua hal yang saling berkaitan.
  Siapapun yang mengklaim keduanya terpisah dalam praktik maka ia telah
  menentang fakta. Jika terbukti ada keterkaitan antara keduanya maka lenyaplah
  perselisihan dan sirna faktor penyebab persengketaan. Walhamdulillahi Rabbil
  ‘Alamin. 
Di tempat lain halaman 346 pada pembahasan mengqashar sholat
  dalam perjalanan dalam rangka ziarah ke kuburan orang-orang sholih, Syaikh
  ‘Athiyyah menjelaskan empat pendapat dari murid-murid Ahmad : Yang ketiga,
  sholat dapat diqashar dalam perjalanan ziarah ke kuburan Nabi kita Saw.
  Adlwaa’u Al Bayaan vol VIII hlm 590. Selanjutnya Syaikh ‘Athiyyah berkata,
  “Statemen Ibnu Taimiyyah ini adalah ungkapan yang telah mencapai batas dalam
  kejelasan darinya bahwa antara ziarah kuburan Nabi dan sholat di masjid beliau
  tidak bisa dipisahkan di mata para ulama.” 
Menyangkut orang bodoh,
  Syaikh ‘Athiyyah menyatakan, “Adapun orang yang tidak mengetahui keterkaitan
  ini maka ia terkadang tidak punya tujuan kecuali pergi ke kuburan. Kemudian ia
  pasti melaksanakan sholat di masjid Nabi yang akhirnya ia mendapat pahala
  karenanya. Larangan yang ia kerjakan namun ia tidak mengetahui bahwa hal itu
  dilarang membuatnya tidak berhak disiksa. Berarti ia memperoleh pahala dan
  tidak mendapat dosa.” Adlwaa’u Al Bayaan vol VIII hlm 590. 
Dari statemen
  Syaikh ‘Athiyyah menjadi jelas bagi Anda bahwa orang menuju kuburan dalam
  kondisi apapun tidak terhalang untuk mendapat pahala. Maka apakah bisa
  dikatakan kepadanya bahwa ia berbuat bid’ah, sesat atau musyrik? Subhaanaka
  Hadza Buhtaanun ‘Adhim. 
  
PANDANGAN AL IMAM AL HAFIDH AL DZAHABI MENYANGKUT MEMASANG PELANA UNTUK
  ZIARAH NABI SAW
Dari Hasan ibu Hasan ibnu ‘Ali bahwasanya ia melihat
  seorang lelaki berdiri di dalam rumah yang terdapat kuburan Nabi Saw seraya
  berdo’a dan mendo’akan sholawat untuk beliau. Lalu Hasan berkata kepadanya,
  “Jangan kau lakukan ini, karena Rasulullah telah bersabda, “Jangan jadikan
  rumahku sebagai perayaan, jangan jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan
  dan sampaikan sholawat kepadaku di manapun kalian berada. Karena sholawat
  kalian disampaikan kepadaku.”
Status hadits di atas adalah mursal dan
  Hasan sendiri dalam fatwanya tidak berargumentasi dengan  dalil yang
  berarti. Siapa pun yang berdiri dekat Al Hujrah Al Muqaddasah (kamar yang
  suci) dengan rendah hati seraya memberi salam serta mendoakan shalawat kepada
  Nabi Saw – oh, betapa beruntungnya ia – maka ia telah berziarah dengan baik
  dan menunjukkan rasa rendah diri serta rasa cinta yang indah. Ia telah
  melakukan ibadah melebihi orang yang mendo’akan sholawat kepada beliau di
  tanah ia berpijak atau pada saat sholat. Karena orang yang melakukan ziarah ke
  kuburan Nabi Saw akan mendapat pahala berziarah dan pahala mendo’akan sholawat
  kepada beliau. Sedang orang yang mendo’akan sholawat kepada beliau di tempat
  lain hanya mendapat pahala bersholawat saja. Barangsiapa yang mendoakan
  shalawat kepada beliau satu kali maka Allah akan membalas sepuluh kali
  sholawat. Tetapi orang yang berziarah ke kuburan Nabi Saw dengan mengabaikan
  etika ziarah, bersujud pada kuburan atau melakukan tindakan yang tidak
  disyari’atkan maka ia telah melakukan perbuatan yang baik dan buruk di mana ia
  harus diberi pengertian dengan arif karena Allah Adalah Dzat Yang Maha
  Pengampun dan Maha Penyayang. Demi Allah, kegelisahan, teriakan
  histeris,  menciumi tembok dan banyaknya tangisan yang dialami dan
  dilakukan seorang muslim tidak lain karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.
  Rasa cintanya ini adalah tolol ukur dan garis batas antara penghuni sorga dan
  neraka. Berziarah ke kuburan Nabi Saw adalah salah satu ibadah untuk paling
  utama  untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedang memasang pelana hendak
  pergi ke kuburan para nabi dan para wali jika kita mengakui bahwa hal itu
  tidak diperintahkan berdasarkan sifat umum dari sabda beliau Saw, “Jangan
  dipasang pelana kecuali hendak menuju ke tiga masjid,” maka memasang pelana
  hendak pergi ke kuburan Nabi Saw otomatis berarti memasang pelana untuk pergi
  ke masjid beliau Saw , di mana semua sepakat bulat bahwa hal ini adalah
  tindakan yang disyari’atkan. Karena tidak mungkin sampai ke kamar beliau
  kecuali setelah masuk ke dalam masjid. Ketika masuk masuk, hendaklah 
  yang dilakukan pertama kali adalah shalat tahiyyatul masjid lalu menghormati
  pemiliknya. Semoga Allah menganugerahkan kita dan kalian ziarah ke kuburan
  nabi Saw setelah mengunjungi masjid. Amin, Siyaru A’lami Al Nubalaai vol IV
  hlm 348 – 385.
  
AL IMAM MALIK DAN ZIARAH
Al Imam Malik adalah salah satu figur yang
  sangat kuat dalam menghormati aspek kenabian. Dia lah sosok yang tidak
  berjalan di Madinah Munawwarah dengan memakai sandal dan naik kendaraan serta
  tidak membuang kotorannya di kota tersebut semata-mata memuliakan, menghormati
  dan menghargai tanah Madinah yang Rasulullah pernah berjalan di atasnya.
  Simaklah ucapannya dalam masalah ini terhadap amirul mu’minin Al Mahdi ketika
  datang di Madinah. “Engkau kini sedang memasuki kota Madinah. Engkau akan
  berjalan bertemu dengan penduduk dari arah kanan dan kirimu. Mereka adalah
  anak cucu sahabat muhajirin dan anshar. Berilah salam kepada mereka. Karena di
  muka bumi ini tidak ada bangsa yang lebih baik dari pada penduduk Madinah dan
  tidak ada daerah yang lebih baik melebihi Madinah.” “Dari mana engkau sampai
  berpendapat demikian, wahai Aba ‘Abdillah? “ tanya amirul mu’minin. “Karena di
  muka bumi ini sekarang tidak ada kuburan nabi yang diketahui selaian kuburan
  Nabi Saw. Dan masyarakat yang kuburan beliau berada didekatnya maka selayaknya
  keutamaan mereka diketahui,” jawab Al Imam Malik. (Al Madaarik, karya Al Qadli
  ‘Iyadl)
Salah satu indikasi kuatnya penghargaan Al Imam Malik terhadap
  Madinah, ia tidak suka jika diucapkan  : Kami ziarah ke kuburan Nabi Saw.
  Karena Al Imam Malik seakan-akan menghendaki agar orang mengatakan : “Kami
  berziarah kepada Nabi secara langsung”, tanpa embel-embel kalimat kuburan.
  Sebab kuburan itu tempat yang ditelantarkan dengan bukti sabda Nabi Saw,
  “Shalatlah di rumah-rumah kalian dan jangan jadikan rumah kalian seperti
  kuburan.” 
Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Al Imam Malik tidak suka
  mengatakan ungkapan “kami ziarah ke kuburan Nab Saw” semata-mata pertimbangan
  etika bukan tidak suka kepada aktivitas ziarah itu sendiri. Karena ziarah
  kubur itu salah satu amal yang paling utama dan ibadah yang paling agung untuk
  mengantar menuju ridlo Allah Yang Maha Agung. Dan disyari’atkannya ziarah
  kubur sudah ditetapakan sebagai ijma’, tidak ada perselisihan pendapat dalam
  hal ini. (Fathul Baari, syarhu Shahih Al Bukhari vol III hlm 66).
Al Imam
  Al Hafidh Ibnu ‘Abdi Al Barr menyatakan bahwa Al Imam Malik tidak suka ucapan
  ”keliling berziarah” dan “kami ziarah ke kuburan Nabi” karena masyarakat
  menggunakan kedua ungkapan ini jika berhubungan dengan sesama mereka. Maka Al
  Imam Malik tidak mau menyamakan Nabi dengan dengan masyarakat umum dengan
  ungkapan ini dan ingin mengkhususkan nabi dengan ungkapan “Kami sampaikan
  salam kepada Nabi Saw”. 
Di samping itu ziarah kubur sesama manusia
  hukumnya mubah dan wajib memberangkatkan kendaraan menuju kuburan Rasulullah.
  Al Imam Malik mengatakan wajib ini dalam arti wajib yang bersifat anjuran,
  dorongan dan tekanan bukan wajib dalam arti fardlu. Di mata saya, penolakan
  dan ketidaksukaan Al Imam Malik terhadap ungkapan “kami ziarah ke kuburan Nabi
  Saw” adalah karena ada kalimat kuburan Nabi Saw dan seandainya yang digunakan
  adalah ungkapan “kami ziarah ke Nabi Saw” niscaya beliau menerima berdasarkan
  hadits beliau Saw :”Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku arca yang
  disembah sesudah wafatku. Allah sangat murka kepada kaum yang menjadikan
  kuburan para nabi mereka sebagai masjid.” 
Al Imam Malik menghindarkan
  penyandaran kalimat zurna “kami ziarah” ke kalimat al qabru “kuburan”
  sekaligus menghindari keserupaan dengan tindakan mereka yang menjadikan
  kuburan sebagai masjid, dengan tujuan menutup akses terjadinya hal-hal yang
  diharamkan. 
Menurut saya jika yang dimaksud adalah ketidaksenangan Al
  Imam Malik terhadap ziarah ke kuburan Nabi niscaya beliau akan mengatakan :
  “Saya tidak suka seorang lelaki ziarah ke kuburan Nabi Saw.” Namun ucapan
  beliau : “Saya tidak suka seorang lelaki mengatakan, “Kami akan ziarah ke
  kuburan Nabi Saw”, dhahirnya menunjukkan bahwa beliau tidak menyukai ungkapan
  tersebut . 
  
KESUNNAHAN ZIARAH NABI VERSI ULAMA PENGIKUT AHMAD IBNU HANBAL (HANABILAH)
      DAN YANG LAIN
Ziarah Nabi Saw adalah hal yang disyari’atkan. Hal ini telah disebutkan
  oleh banyak ulama dan para imam salaf. Penyebutan Hanabilah secara spesifik di
  atas maksudnya adalah untuk membantah kebohongan orang yang mengatakan bahwa
  para imam Hanabilah tidak mengatakan disyari’atkannya ziarah Nabi Saw. Karena
  alasan demikian, maka Hanabilah disebut secara spesifika untuk membantah
  kebohongan tersebut. Jika bukan karena alasan ini, maka semua literatur fiqh
  madzhab-madzab dalam Islam sarat dengan muatan masalah ini. Jika mau,
  tengoklah literatur fiqh Al Hanafi, Al Maliki, Al Syafi’i, Al Hanbali, Al
  Zaidiyyah, Al Abadli, dan Al Ja’far, maka Anda akan menemukan para ulama telah
  membuat bab khusus mengenai ziarah Nabi setelah bab-bab tentang Al
  Manaasik. 
  
STATEMEN PARA IMAM SALAF MENYANGKUT DISYARI’ATKANNYA ZIARAH KE SAYYIDINA
      RASULULLAH DAN MEMBERANGKATKAN KENDARAAN PERGI MENUJU KUBURAN BELIAU
1)    Al Qadli ‘Iyadl
Di sini kami menyebutkan
  statemen Al Qadli ‘Iyadl menyangkut disyari’atkannya ziarah nabawiyyah versi
  generasi salaf dalam komentarnya terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
  dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya ketika awal
  kemunculannya Islam dipandang aneh dan kelak akan dipandang aneh lagi
  sebagaimana waktu awal kemunculannya. Islam berlindung di antara dua masjid
  sebagaimana seekor ular berlindung di liangnya.” Dalam riwayat Abu Hurairah
  redaksinya berbunyi, “Laya’rizu ila al Madiinati (Sungguh Islam berlindung ke
  Madinah) ………dst.” 
Dalam versi Al Qadli ‘Iyadl ungkapan Laya’rizu ila al
  Madiinati, artinya adalah keimanan pada masa awal dan akhir bersifat demikian.
  Karena pada masa awal Islam setiap orang yang tulus keislamannya dan sahih
  keimanannya datang ke Madinah baik sebagai imigran yang tinggal menetap atau
  karena sangat rindu melihat Rasulullah untuk belajar dan dekat dengan beliau.
  Selanjutnya setelah beliau mangkat, pada zaman para khalifah, orang muslim
  yang tulus dan memiliki iman yang sahih juga datang ke Madinah untuk belajar,
  menyerap perilaku adil dari para khalifah dan meneladani mayoritas sahabat
  yang tinggal di Madinah. Kemudian pasca era para khalifah, para ulama yang
  nota bene pelita masa dan pemimpin yang memberi petunjuk datang ke Madinah
  untuk mengambil hadits-hadits yang bertebaran dari penduduknya di kota
  tersebut. Maka setiap orang yang kokoh imannya dan lapang dadanya berkat
  keimanan tersebut pergi ke Madinah setiap waktu sampai zaman kita sekarang
  untuk ziarah kuburan Nabi Saw dan memohon berkah dengan lokasi-lokasi yang
  pernah didiami beliau dan jejak-jejak para sahabat beliau yang mulia. Tidak
  ada yang datang ke Madinah kecuali orang mu’min.
Inilah statemen Al Qadli
  ‘Iyadl. Wallahu A’lam bi Al Shawab. Syarh Shahih Al Muslim li Al Nawawi hlm
  177. 
  
2)    Al Imam Al Nawawi
Al Imam Al Hafidh Syaraf Al
  Din Al Nawawi penyusun syarh Shahih Muslim dalam kitabnya yang populer
  mengenai manasik yang bernama Al Iidlah membuat pasal khusus tentang ziarah
  nabawiyyah. Pada pasal ini beliau mengatakan, “Apabila para jamaah haji dan
  umrah berangkat dari Makkah maka datanglah ke Madinaturrasulullah Saw untuk
  ziarah ke kuburan beliau. Karena ziarah ini termasuk salah satu qurbah
  (aktifitas untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang utama dan upaya yang
  dinilai paling sukses.”
Silahkan juga baca statemen Al Imam Al Nawawi
  dalam syarh Shahih Muslim saat membicarakan hadits : “Laa Tusyaaddu Al Rihaal”
  vol IX hlm 106.
  
3)    Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami
Al Hafid Ibnu
  Hajar Al Haitami dalam hasyiyahnya (catatan kaki) atas Al Idlah karya Al
  Nawawi saat memberikan komentar ucapan Al Nawawi : “Al Bazzar dan Al Daruquthi
  telah meriwayatkan dengan isnad mereka dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
  “Rasulullah Saw bersabda, “Siapapun yang menziarahi kuburanku maka ia pasti
  mendapat syafaatku.” 
“Hadits di atas ini juga diriwayatkan oleh Ibnu
  Khuzaimah dalam shahihnya dan telah dikategorikan shahih oleh sekelompok ulama
  seperti ‘Abdu Al Haqq dan Al Taqi Al Subki. Penilaian shahih ini tidak
  bertentangan dengan ucapan Al Dzahabi :”Jalur-jalur periwayatan hadits ini
  seluruhnya lemah dimana sebagian menguatkan sebagiannya yang lain.”
Hadits
  ini juga diriwayatkan oleh Al Daruquthni, Al Thabarani dan Ibnu Al Subki yang
  sekaligus menilainya sebagai hadits shahih dengan redaksi : “Siapa yang datang
  kepadaku dalam rangka berziarah, tidak ada dorongan kepentingan kecuali hanya
  untuk ziarah kepadaku maka wajib atasku untuk memberinya syafaat kelak di hari
  kiamat.” 
Dalam riwayat lain : “Wajib atas Allah untuknya agar aku
  memberi syafaat kepadanya di hari kiamat.” 
Yang dimaksud dengan kalimat
  “Laa tahmiluhi hajatun illa ziyarati” (tidak ada dorongan kepentingan kecuali
  hanya untuk ziarah kepadaku) adalah menghindari tujuan yang tidak ada
  kaitannya dengan ziarah. Adapun sesuatu yang masih terkait dengannya seperti
  tujuan beri’tikaf di masjid nabawi, memperbanyak ibadah di dalamnya, ziarah ke
  kuburan para sahabat dan sebagainya menyangkut aktivitas-aktivitas yang
  disunnahkan bagi peziarah maka hal-hal ini tidak menghalangi diperolehnya
  syafaat buatnya. Ashhabuna dan yang lain sendiri mengatakan disunnahkan bagi
  peziarah disamping niat taqarrub dengan berziarah juga niat taqarrub dengan
  memasang pelana menuju masjid nabawi dan melaksanakan sholat di dalamnya
  sebagaimana disebutkan Al Mushannif. 
Kemudian hadits di atas mencakup
  berziarah kepada beliau Saw baik waktu masih hidup atau sesudah wafat dan juga
  mencakup peziarah lelaki dan wanita yang datang dari tempat yang dekat atau
  jauh. Hadits ini bisa dijadikan dalil atas keutamaan memasang pelana dengan
  tujuan ziarah kuburan beliau dan disunnahkannya bepergian demi ziarah
  tersebut, karena perantara itu status hukumnya sama dengan yang menjadi
  tujuan. 
Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad 
  shahih sbb : “Tidak ada seorangpun yang menyampaikan salam kepadaku kecuali
  Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab salamnya.”
  
Renungkanlah keutamaan agung ini yaitu jawaban beliau kepada orang yang
  menyampaikan salam kepadanya. Karena beliau hidup di dalam kuburan sebagaimana
  para nabi yang lain. Berdasarkan sebuah hadits yang berstatus marfu’ : ”Para
  nabi itu hidup dalam kuburan mereka dengan melaksanakan shalat.” Yang dimaksud
  dengan mengembalikan nyawa beliau yang mulia adalah mengembalikan kekuatan
  berbicara pada saat itu untuk menjawab salam. Al Idlah hlm 488.
  
4)    Al Imam Al Hafidh Ibnu Hajar Al ‘Asqilani
Al
  Imam Ibnu Hajar dalam syarhnya atas Al Bukhari mengatakan ketika mengomentari
  hadits “Jangan dipasang pelana kecuali hendak menuju ke tiga masjid,” Kalimat
  “kecuali hendak menuju ke tiga masjid” obyek yang mendapat pengecualian
  (almustatsana minhu) dibuang. Pembuangan ini mungkin diandaikan obyek yang
  mendapat pengecualian yang bersifat umum kemudian ungkapannya menjadi :
  “Jangan dipasang pelana menuju ke sebuah tempat dengan tujuan apapun kecuali
  hendak menuju ke tiga masjid,” atau obyek yang mendapat pengecualian itu lebih
  spesifik dari “tempat”. Pengandaian yang pertama tidak bisa diterima karena
  berkonsekuensi menutup pintu bepergian untuk berdagang, silaturrahim, mencari
  ilmu dan sebagainya. Berarti pengandaian kedua adalah satu-satunya alternatif.
  Yang baik adalah mengandaikan obyek yang mendapat pengecualian yang paling
  banyak relevansinya. Yaitu “Jangan dipasang pelana untuk ziarah ke masjid
  dalam rangka melaksanakan sholat di dalamnya kecuali hendak menuju ke tiga
  masjid.” Dengan pengandaian ini berarti batallah pandangan orang yang melarang
  memasang pelana menuju ziarah kuburan Nabi Saw yang mulia dan kuburan lain
  dari kuburan orang-orang shalih. Wallahu A’lam.
Al Subuki Al Kabir
  mengatakan, “Persoalan di atas belum bisa dipahami dengan baik oleh sebagian
  orang. Mereka menganggap bahwa memasang pelana untuk berziarah di selain tiga
  masjid di atas masuk dalam kategori larangan. Pandangan ini keliru. Karena
  pengecualian hanya terjadi dari obyek yang mendapat pengecualian yang sejenis.
  Berarti pengertian hadits adalah sbb : “Jangan dipasang pelana menuju ke salah
  satu masjid atau ke salah satu tempat karena tempat tersebut kecuali ke masjid
  tiga di atas. Sedang memasang pelana hendak ziarah atau mencari ilmu, tempat
  bukanlah tujuan tapi orang yang berada di tempat itu yang menjadi tujuan.
  Wallahu a’lam. (Fathul Baari vol III hlm 66).
  
5)    Al Imam Al Syaikh Al Kirmani Pensyarh Al Bukhari
Al
  Syaikh Al Kirmani dalam syarh Al Bukhari memberikan komentar terhadap sabda
  Nabi “kecuali tiga masjid”, “Pengecualian dalam kalimat ini bersifat mufarragh
  (tidak menyebut obyek yang mendapat pengecualian). Jika Anda berpendapat bahwa
  pengandaian ungkapan ini adalah “jangan dipasang pelana kecuali hendak menuju
  ke suatu tempat” berarti otomatis tidak diperkenankan bepergian ke tempat
  selain tempat yang mendapat pengecualian hingga bepergian untuk ziarah ke Nabi
  Ibrahim Al Khalil dan semisalnya juga dilarang. Karena obyek yang mendapat
  pengecualian dalam pengecualian yang bersifat mufarragh harus mengandaikan
  obyek yang mendapat pengecualian yang bersifat sangat umum (a’ammu al a’maam).
   
Menurut penulis (Sayyid Muhammad) yang dimaksud dengan a’ammu al
  a’maam adalah kalimat yang relevan dengan obyek yang mendapat pengecualian
  dalam aspek jenis dan sifat. Seperti ucapan Anda : “Saya tidak melihat kecuali
  Zaid”, yang perkiraannya adalah “saya tidak melihat lelaki atau seseorang
  kecuali Zaid” bukan “saya tidak melihat sesuatu atau binatang kecuali Zaid”.
  Maka hadits di atas perkiraannya adalah : “jangan dipasang pelana menuju
  masjid kecuali hendak ke tiga masjid.” Dalam menyikap perkiraan hadits ini
  banyak terjadi polemik di negara-negara Syam dan beberapa risalah juga disusun
  dari kedua kubu. Namun sekarang kami tidak akan menjelaskannya. (Syarh Al
  Kirmani vol VII hlm 12).
  
6)    Al Syaikh Badruddin Al ‘Aini
Dalam syarh Al
  Bukhari, Al Syaikh Badruddin Al ‘Aini menyatakan, “Al Rafi’i Menceritakan dari
  Al Qadli Ibnu Kajin bahwa ia berkata, “Jika seseorang bernazar akan ziarah
  kuburan Nabi Saw maka menurut pendapat saya ia wajib memenuhi nazarnya ini.
  Tidak ada pilihan lain. “Namun jika ia nazar untuk ziarah kuburan lain maka
  ada dua pendapat dalam masalah ini,” lanjut Ibnu Kajin. Al Qadli ‘Iyadl dan
  Abu Muhammad Al Juwaini dari kalangan pengikut madzhab Syafi’i mengatakan,
  “Diharamkan memasang pelana menuju selain tiga masjid sebab ada faktor
  larangan.” Al Imam Al Nawawi menyatakan bahwa pandangan Al Qadli ‘Iyadl dan Al
  Juwaini itu keliru. “Yang benar versi Ashhabuna adalah pendapat yang dipilih
  oleh Imam Al Haramain dan para muhaqqiqun. Yaitu bahwa hal itu tidak haram dan
  tidak makruh,” lanjut Al Nawawi. Al Khaththabi berkata, “Laa Tusyaddu (tidak
  boleh memasang pelana) adalah kalimat berita yang maksudnya adalah mewajibkan
  apa yang dinazarkan seseorang dari sholat di tempat-tempat yang diharapkan
  keberkahannya. Maksudnya tidak wajib memenuhi nazar di atas di tempat manapun
  sampai pelana terpasang dan telah ditempuh perjalanan menuju tempat itu
  kecuali hendak menuju tiga masjid yang nota bene masjid para nabi AS. Adapun
  jika seseorang nazar melaksakan sholat di luar tiga masjid ini maka ia
  memiliki alternatif untuk memilih sholat di luar tiga masjid ini atau sholat
  di tempat di mana ia tinggal serta tidak perlu pergi menuju ke selain tiga
  masjid tersebut. 
Syaikhuna Zainuddin mengatakan, “Salah satu
  interpretasi paling baik dari hadits di atas adalah bahwa yang dimaksud adalah
  hukum masjid-masjid saja dan bahwasanya tidak boleh pelana dipasang menuju
  salah satu masjid kecuali tiga masjid di atas. Adapun jika yang menjadi tujuan
  adalah bukan masjid seperti pergi untuk mencari ilmu, berdagang, berwisata,
  mengunjungi orang-orang shalih, ziarah kubur dan mengunjungi kawan-kawan dan
  sebagainya maka semua hal ini tidak dikategorikan larangan. Hal ini tercantum
  dengan jelas dalam sebagian jalur periwayatan hadits dalam Musnad Ahmad ;
  bercerita kepadaku Hasyim bercerita kepadaku Abdul Hamid bercerita kepadaku
  Syahr  “Saya mendengar Abu Sa’id Al Khudri Ra dan di dekatnya disebut
  sholat di gunung Sinai lalu ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Tidak
  selayaknya sebuah kendaraan dipasang pelananya menuju masjid yang ingin
  dilaksanakan shalat di dalamnya kecuali masjid haram, masjid aqsha, dan
  masjidku ini.” Isnad hadits ini berstatus hasan dan Syahr ibnu Al Hausyab
  dinilai adil oleh sekelompok imam. (‘Umdatu Al Qari vol VII hlm 254).
  
7)    Al Syaikh Abu Muhammad Ibnu Qudamah Imam Pengikut
  Madzhab Hanafi dan Penyusun Kitab Al Mughni
Al Syaikh Abu Muhammad
  Muwaffaq Al Din Abdullah Ibnu Qudamah mengatakan, “Disunnahkan ziarah kubur
  Nabi Saw berdasarkan hadits riwayat Al Daruquthni dengan sanadnya dari Ibnu
  ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ”Barangsiapa yang melaksanakan
  haji lalu berziarah ke kuburanku setelah wafatku maka seolah-olah ia
  menziarahiku sewaktu aku masih hidup.” Dalam riwayat lain, “Barangsiapa
  berziarah ke kuburanku maka ia wajib mendapat syafaatku.”
Hadits di atas
  dengan menggunakan redaksi pertama diriwayatkan oleh Sa’id. Menceritakan
  kepadaku Hafsh ibnu Sulaiman dari Laits dari Mujahid dari Ibnu ‘Umar dan Ahmad
  berkata dalam riwayat Abdullah dari Yazid ibnu Qusait dari Abu Hurairah
  bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang memberi salam
  kepadaku di dekat kuburanku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga
  aku menjawab salamnya.”
Jika orang yang sama sekali belum pernah
  melaksanakan haji pergi haji tidak melalui rute Syam maka ia tidak boleh
  mengambil rute Madinah karena saya takut terjadi sesuatu yang menimpa dirinya.
  Sebaiknya ia menuju Makkah melalui rute terpendek dan jangan sibuk dengan hal
  lain. Diriwayatkan dari Al ‘Utbi, ia berkata, “Saya duduk di dekat kuburan
  Nabi Saw lalu datang seorang A’rabi (warga pedalaman). “Assalamu ‘alaika Ya
  Rasulallah, “katanya. “Saya mendengar Allah berfirman : ,,;,;,;,;,;,; dan saya
  datang kepadamu seraya memohon agar engkau memohonkan ampunan atas dosaku dan
  memohon syafaat dengamu kepada Allah, “ lanjutnya. Kemudian ia mengucapkan
  syair :
Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur di tanah datar
Berkat
  keharumannya, tanah rata dan bukit semerbak mewangi
Diriku jadi tebusan
  untuk kuburan yang Engkau tinggal di dalamnya
Di dalam kuburmu terdapat
  sifat bersih dan kedermawanan
Kemudian A’rabi itu pergi. Lalu mata saya
  terasa berat dan akhirnya saya tidur. Dalam tidur saya bermimpi bertemu Nabi
  Saw. “Wahai ‘Utbi ! kejarlah si A’rabi dan berilah kabar gembira untuknya
  bahwa Allah telah mengampuninya.” (Al Mughni karya Ibnu Qudamah vol III hlm
  556).
  
8)    Al Syaikh Abu Al Faraj Ibnu Qudamah Imam Al
  Hanabilah dan Penyusun Al Syarh Al Kabir
Al Syaikh Syamsu al Din Abu al
  Faraj ibnu Qudamah al Hanbali dalam kitabnya Al Syarh Al Kabir mengatakan :
(Masalah)
  : Jika seorang jamaah haji selesai melakukan prosesi haji maka disunnahkan
  baginya ziarah kuburan Nabi dan kedua sahabat beliau. 
Selanjutnya Al
  Syaikh Ibnu Qudamah menyebutkan ungkapan yang diucapkan untuk memberi salam
  kepada Nabi Saw. Di dalam ungkapan itu terdapat ucapan : “Ya Allah
  sesungguhnya Engkau telah berfirman dan firman-Mu itu benar : (…….) saya
  datang kepadamu (Nabi Muhammad) memohonkan ampunan atas dosaku juga memohon
  syafaat denganmu kepada Tuhanmu. Saya memohon kepada-Mu yaTuhan agar Engkau
  menetapkan ampunan untukku sebagaimana engkau tetapkan ampunan untuk orang
  yang datang kepada Nabi sewaktu beliau masih hidup. Ya Allah, jadikanlah Nabi
  Muhammad pemberi syafaat pertama, pemohon paling berhasil dan orang-orang awal
  dan akhir paling mulia berkat rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Penyayang).
  
Kemudian Syaikh Ibnu Qudamah melanjutkan, “Tidak disunnahkan
  mengusap-usap dan mencium dinding kuburan Nabi Saw. Ahmad mengatakan, “Saya
  tidak merngetahui hal ini (mengusap dan mencium dinding kuburan Nabi).” Kata
  Atsram, “Saya melihat kalangan terpelajar Madinah tidak mengusap-usap kuburan
  Nabi Saw. Mereka berdiri pada satu tempat lalu memberi salam.” Abu Abdillah
  berkata, “Demikianlah praktik yang dikerjakan Ibnu ‘Umar.” Adapun masalah
  mimbar maka terdapat hadits riwayat Ibrahim ibnu Abdillah ibnu Abdil Qari’
  bahwasanya ia melihat Ibnu ‘Umar meletakkan tangannya di atas bagian mimbar
  yang diduduki Nabi kemudian menempelkannya pada wajah.” (Al Syarh Al Kabir vol
  III hlm 495). 
  
9)    Al Syaikh Manshur ibnu Yunus Al Bahuti Al
  Hanbali
Al Syaikh Manshur ibnu Yunus al Bahuti dalam kitabnya Kisyafu al
  Qinaa’ ‘an Matni al Iqna’ mengatakan, “Jika seorang jamaah haji selesai
  melakukan prosesi haji maka disunnahkan baginya ziarah kuburan Nabi dan kedua
  sahabat beliau Abu Bakar dan ‘Umar berdasarkan hadits riwayat Al Daruquthni
  dari Ibnu ‘Umar, ”Barangsiapa yang melaksanakan haji lalu berziarah ke
  kuburanku setelah wafatku maka seolah-olah ia menziarahiku sewaktu aku masih
  hidup.” Dalam riwayat lain, “Barangsiapa berziarah ke kuburanku maka ia wajib
  mendapat syafaatku.” Hadits di atas dengan redaksi yang pertama diriwayatkan
  oleh Sa’id. 
(Catatan) Ibnu Nashrillah mengatakan, “Yang tidak bisa
  dipisahkan dari kesunnahan ziarah kuburan Nabi Saw adalah kesunnahan memasang
  pelana demi ziarah. Karena ziarah kuburan beliau tidak mungkin dilakukan orang
  yang pergi haji tanpa memasang pelana. Hal ini adalah seperti menyebutkan
  dengan jelas disunnahkannya memasang pelana untuk ziarah kuburan beliau Saw.”
  (Kisyafu Al Qinaa’ vol II hlm 598).
  
10)     Al Syaikh Al Islam Muhammad Taqi Al Din Al Futuhi
  Al Hanbali 
Al Syaikh Al Fatuhi mengatakan, “Disunnahkan ziarah kubur
  Nabi dan kedua sahabat beliau. Peziarah hendaknya memberi salam  dengan
  menghadap kuburan beliau lalu menghadap kiblat. Hujrah (kamar) diposisikan di
  sebelah kiri dna berdoa. Diharamkan melakukan thowaf terhadap hujrah dan
  makruh mengusap dan mengeraskan suara di dekat hujrah.” 
  
11)     Al Syaikh Mar’i Ibnu Yusuf Al Hanbali
Al
  Syaikh Mar’i ibnu Yusuf dalam kitabnya Dalilu Al Thalib menyatakan,
  “Disunnahkan ziarah ke kuburan Nabi dan kedua sahabat beliau Ra, dan
  disunnahkan pula sholat di masjid beliau yang nilainya sama dengan seribu kali
  sholat di masjid lain, di masjid haram sama dengan seratus ribu kali dibanding
  sholat di masjid lain dan di masjid Aqsha sama dengan lima ratus kali. (Dalilu
  Al Thalib hlm 88).
  
12)     Al Imam Syaikhu Al Islam Majd Al Din Muhammad
  ibnu Ya’qub Al Fairuzabadi Penyusun Al Qamus berkata dalam kitabnya Al Shilaat
  wa Al Basyar
Ketahuilah bahwa mendoakan shalawat kepada Nabi Saw di dekat
  kubur beliau lebih dianjurkan. Disunnahkan menjalankan kendaraan untuk meraih
  keberuntungan dengan kemuliaan yang agung dan derajat yang mulia ini. Al Qadli
  Ibnu Kajin (Al Qadli ibnu Yusuf Ahmad ibnu Kajin) mengatakansesuai informasi
  dari Al Rafi’I, “Jika seseorang nazar untuk ziarah kuburan Nabi Saw maka
  menurutku ia wajib menunaikan nazarnya ini. Tidak ada pilihan lain. Tapi kalau
  ia nazar untuk ziarah kuburan lain maka dalam hal ini menurutku ada dua
  pendapat. Dan telah diketahui bahwa tidak ada kewajiban menunaikan sesautu
  yang dinazarkan kecuali jika sesuatu itu dikategorikan ibadah. 
Salah
  satu ulama yang menhjelaskan kesunnahan ziarah dan status hukumnya yang sunnah
  dari kalangan ashhabuna adalah Al Rafi’i pada bagian-bagian akhir dari Babu
  A’maali al Hajj, Al Ghazali dalam Ihyaa’ ‘Ulumuddin, Al Baghawi dalam Al
  Tahdzib, Al Syaikh ‘Izzuddin ibnu ‘Abdissalam dalam Al Manasik, Abu ‘Amr ibnu
  Al Shalah dan Abu Zakaria Al Nawawi. 
Dari kalangan pengikut madzhab
  Ahmad Ibnu Hanbal (Hanabilah) Al Syaikh Muwafaqaddin, Al Imam Abu Al Faraj AL
  Baghdadi dan lain sebagainya.
Dari kalangan Hanafiah adalah penyusun Al
  Ikhtiyar fi Syarhil Mukhtar yang membuat pasal tentang ziarah dan
  mengkategorikannya sebagai salah satu kesunnahan yang paling utama. 
  
Adapun dari kalangan Malikiyyah maka Al Qadli ‘Iyadl menginformasikan
  dari mereka adanya konsensus atas disunnahkannya ziarah kuburan Nabi Saw.
  Dalam kitab Tahdzibul Mathaalib  karya ‘Abdul Haqq Al Shaqalli dari Al
  Syaikh Abi ‘Imran Al Maliki bahwasanya ziarah kuburan Nabi Saw itu hukumnya
  wajib. “Yakni salah satu sunnah yang wajib,” kata Abdul Haqq. Dalam statemen
  Al ‘Abdi Al Maliki pada syarh Al Risalah dianyatakan bahwa berjalan ke Madinah
  dalam rangka ziarah kuburan Rasulullah Saw itu lebih utama dari pada Ka’bah
  dan Baitul Maqdis. Statemen para fuqaha’ penganut madzhab kebanyakan
  menetapkan adanya perjalanan untuk ziarah. Sebab mereka mensunnahkan kepada
  orang yang pergi haji setelah selesai melakukan  prosesi haji untuk
  berziarah dan hal yang tidak bisa dihindarkan dari ziarah adalah adalah
  melakukan perjalanan menuju tempat ziarah. Adapun esensi ziarah itu sendiri
  maka dalil  atas ziarah itu sendiri banyak. Salah satunya adalah firman
  Allah : ولو أنهم إذ ظلموا 
Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah Saw itu
  hidup dan amal perbuatan ummat beliau diperlihatkan kepadanya. Selanjutnya
  Syaikh Fairuzabadi menyebutkan sejumlah hadits tentang ziarah. Sekian kutipan
  dari kitab Al Shilaat wa al Basyar fi Al Shalat ‘la Khairi Al Basyar Saw 
  karya Syaikhul Islam Majduddin Muhammad ibnu Ya’qub Al Fairuz Abadi hlm
  148.
13)     Al Imam Al Syaikh Muhammad ibnu ‘Allaan Al
  Shiddiqi Al Syafi’i Pensyarah Al Adzkar
Al Syaikh Muhammad ibnu ‘Allaan
  mengomentari ucapan Al Nawawi : (Karena ziarah ini termasuk salah satu qurbah
  (aktifitas untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang utama dan upaya yang
  dinilai paling sukses), “Bagaimana tidak, Nabi Saw telah memberi janji kepada
  peziarah bahwa ia wajib mendapat syafaat beliau. Dan syafaat ini tidak wajib
  kecuali untuk orang yang beriman. Janji Nabi ini berarti kabar gembira bahwa
  ia mati membawa iman di samping beliau sendiri tanpa mediator mendengar salam
  dari orang yang memberi salam.”  Abu Al Syaikh meriwayatkan :
  “Barangsiapa yang mendoakan shalawat kepadaku di samping kuburanku maka saya
  mendengarnya dan barangsiapa yang mendoakan sholawat kepadaku dari tempat yang
  jauh maka saya diberi tahu akan sholawat itu.” Al Hafidh menyatakan bahwa
  sanad hadits ini perlu dikaji. Abu Dawud dan perawi lain meriwayatkan dari Abu
  Hurairah dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda, “Tidak seorang muslim pun yang
  memberi salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku
  menjawab salamnya.”
Al Hafidh Ibnu Hajar Al ‘Asqilani mengatakan bahwa
  hadits dari Abu Hurairah ini statusnya hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al
  Baihaqi dan perawi-peerawi lain. Dan saya dikabari dari Al Subuki dalam Al
  Syifaa’ Al Siqaam bahwa ia berkata, “Sekelompok imam berpedoman dengan hadits
  ini dalam menetapkan kesunnahan ziarah kuburan Nabi Saw. Sikap para imam ini
  adalah sikap yang benar karena jika peziarah memberi salam kepada Nabi maka
  jawaban dari beliau terjadi seketika dan hal ini adalah keutamaan yang
  dicari.”
Menurut saya (Sayyid Muhammad) jawaban seketika Nabi tanpa
  mediator kepada yang memberi salam itu jika peziarah tidak mendapat suguhan
  kecuali jawaban dari Nabi kepadanya ini niscaya hal ini cukup baginya.
  Bagaimana tidak, jawaban beliau mengandung syafaat agung dan
  dilipatgandakannya sholat di tanah haram yang luhur. Al Taqi Al Subuki telah
  menyebutkan sejumlah hadits mengenai ziarah kubur Nabi Saw dalam Al Syifaa’ Al
  Siqaam, Ibnu Hajar dalam Al  Jauhar Al Munadhdham dan muridnya Al Fakihi
  dalam Husnul Isyarah fi Aadabizziarah. Al Futuhat Al Rabbaniyyah ‘ala Al
  Adzkar Al Nawaawiyyah vol V hlm 31. 
 
  
  
  ZIARAH NABI VERSI SALAF
Sudah maklum bahwa yang dimaksud dengan ziarah di sini adalah ziarah
  dalam kacamata syara’ yang etika dan hal-hal yang sepatutnya dikerjakan oleh
  peziarah telah dijelaskan oleh Al Sunnah. 
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah
  berkata dalam rangka menjelaskan antara ziarah yang dilakukan mereka yang
  meyakini keesaan Allah (ahluttauhid) dan orang-orang musyrik, “Ziarah yang
  dilakukan oleh ahluttauhid terhadap kuburan-kuburan kaum muslimin berisi
  penyampaian salam dan mendoakan kepada penghuni kuburan tersebut. Hal ini sama
  dengan menshalati jenazah mereka. Sedang ziarah yang dilakukan oleh
  orang-orang musyrik berisi aktivitas mereka yang menyerupakan makhluk dengan
  Khaliq. Mereka bernazar untuk mayit, bersujud dan mendoakannya serta
  mencintainya seperti mencintai Sang Khaliq. Berarti mereka telah menjadikan
  sekutu buat Allah dan menyamakan sekutu itu dengan Tuhan semesta alam. Padahal
  Allah SWT telah melarang Dia dipersekutukan dengan malaikat, para nabi dan
  yang lain. Allah berfirman : ( ما كان لبشر ..... ) dan ( قل ادعوا .....).
  Sekelompok kalangan salaf mengatakan, “Terdapat bangsa-bangsa yang menyembah
  para nabi seperti Al Masih dan ‘Uzair serta menyembah malaikat. Maka akhirnya
  Allah mengabarkan kepada bangsa-bangsa ini bahwa Al Masih, ‘Uzair dan lain
  sebagainya adalah hamba-hamba-Nya yang memohon rahmat-Nya, takut akan
  adzab-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal perbuatan. (Al Jawaab
  Al Baahir fi Zuwwaari Al Maqaabir karya Syaikh Al Islam Taqi Al Din Ahmad Ibnu
  Taimiyyah hlm 21). 
Saya katakan bahwa bukankah ziarah yang kita lakukan
  ke kuburan Nabi Saw tidak lain mengikuti cara yang benar yang telah ditetapkan
  syara’ seperti di atas ?.
Allah, para malaikat, para pembawa ‘arsy, dan
  penduduk langit dan bumi menjadi saksi bahwa dalam berziarah ke Nabi Saw kami
  tidak meyakini kecuali bahwa beliau adalah manusia yang mendapat wahyu, salah
  satu hamba Allah terbaik, yang mengharap rahmat-Nya, takut akan siksa-Nya dan
  mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal perbuatan. Malah beliau adalah orang
  yang paling menaruh perhatian menyangkut tiga hal terakhir ini. Beliau adalah
  orang yang paling bertakwa di antara kami, paling takut kepada Allah, paling
  mengetahui dan mengenal-Nya. Kami tidak menyerupakan beliau dengan Sang
  Khaliq, tidak nazar untuknya, tidak sujud kepadanya, tidak beroda kepadanya,
  tidak menjadikannya sekutu bagi Allah, tidak menyamakannya dengan Tuhan
  semesta alam, dan kami mencintainya melebihi cinta kami kepada diri, harta dan
  anak kami. 
  
AL SYAIKH IBNU AL QAYYIM DAN ZIARAH NABAWIYYAH
Al Syaikh Ibnu Al Qayyum dalam qashidahnya yang dikenal dengan qashidah
  nuniyyah menyebutkan bagaimana semestinya berziarah dan etika apa yang
  dituntut di dalam berziarah, bagaimana selayaknya perasaan peziarah saat ia
  berdiri dalam tatap muka yang mulia ini dan apa yang selayaknya ia rasakan
  saat berada di depan penghuni kubur Saw?. Dalam bagian akhir bait-bait
  qashidahnya, Ibnu Al Qayyim menyebutkan bahwa ziarah dengan perasaan demikian
  dan dengan cara tersebut adalah termasuk salah amal perbuatan yang paling
  utama. Berikut qashidah nuniyyah Ibnu Al Qayyim :
Jika kita telah tiba di
  masjid nabawi 
Maka kita shalat tahiyyat dulu dua raka’at
Dengan
  seluruh rukunnya dan dengan penuh kekhusyu’an
Dengan sepenuh hati,
  layaknya sikap orang yang memiliki sifat ihsan (merasakan kehadiran Allah)
Kemudian
  kami mulai berziarah menuju kuburan mulia meskipun berada di pelupuk mata
Kami
  berdiri di hadapannya dengan merendahkan diri dalam sepi dan keramaian
  
Seolah-olah di dalam kubur beliau hidup dan mampu berbicara
Sedang
  orang-orang yang berdiri merendahkan  dagunya 
  
  
  KUBURAN MULIA NABI SAW 
Sebagian orang – semoga Allah membuat mereka menjadi baik dan
  membimbing mereka ke jalan lurus – memandang kuburan Nabi Saw dari aspek
  kuburan semata. Karena itu tidak aneh bila dalam benaknya ada asumsi-asumsi
  keliru. Dan tidak aneh pula jika ada prasangka-prasangka buruk dalam hati
  mereka terhadap kaum muslimin dan mereka yang berziarah kepada Nabi Saw,
  datang kepada beliau dan berdo’a di sisi kuburan beliau. Anda akan melihat ia
  berargumentasi : “Tidak boleh dipasang pelana menuju kuburan Nabi Saw dan
  tidak boleh berdoa di sisi kuburan beliau.” Bahkan sikap ekstrim mereka sampai
  berani mengatakan bahwa berdoa di sisi kuburan Rasulullah adalah tindakan
  syirik dan kufur, menghadap kuburan beliau adalah tindakan bid’ah dan sesat,
  memperbanyak wukuf dan bolak-balik ke kuburan beliau adalah tindakan syirik
  atau bid’ah atau orang yang mengatakan, “Sesungguhnya kuburan Nabi Saw adalah
  tempat paling utama dibanding tempat manapun termasuk Ka’bah”, maka ia telah
  musyrik atau sesat. Tindakan pengkafiran dan penilaian sesat demikian secara
  serampangan tanpa sikap hati-hati atau berfikir matang itu bertentangan dengan
  sikap generasi assalaf asshalih. 
Ketika kami berbicara tentang kuburan
  Nabi Saw, ziarah kuburan beliau, mengunggulkannya, memasang pelana menuju
  tempat tersebut, atau berdo’a dan memohon kepada Allah di depannya  maka
  obyek yang dituju yang tidak diperselisihkan siapapun adalah penghuni kubur
  dan dua sahabat beliau. Penghuni kubur ini adalah junjungan generasi awal dan
  akhir dan makhluk paling utama yang menjadi nabi yang paling agung dan rasul
  paling mulia Saw. Tanpa beliau, kuburan, masjid Nabawi, Madinah bahkan kaum
  muslimin seluruhnya tidak ada harganya sama sekali. Tanpa beliau, kerasulan
  beliau, iman dan cinta kepada beliau, serta mengakui kesaksian (syahadat)
  dimana syahadat ini tidak sah kecuali menyertakan kesaksian akan kenabian
  beliau, maka mereka tidak akan ada dan tidak akan beruntung dan selamat.
  
Berangkat dari paparan di atas maka ketika Ibnu ‘Aqil Al Hanbali ditanya
  mengenai perbandingan keunggulan antara Hujrah (kamar Nabi) dan Ka’bah beliau
  menjawab, “Jika yang Anda maksud kamar semata, maka Ka’bah lebih utama. Tapi
  jika yang dimaksud adalah kamar beserta Nabi yang dikubur di dalamnya maka
  demi Allah ‘arsya dan para malaikat yang memikulnya, sorga dan benda-benda
  langit yang beredar pada orbitnya tidak bisa melebihi keutamaannya. Karena
  jika kamar yang nabi berada di dalamnya itu ditimbang dengan dengan langit dan
  bumi maka ia akan lebih unggul. (Badai’ Al Fawaaid karya Ibnu Al Qayyim).
  
Inilah yang dimaksud dengan kuburan Nabi, pengutmaannya, menziarahinya
  dan menyiapkan kendaraan untuk menuju kepadanya (memasang pelana). Berangkat
  dari pandangan ini para ulama berkata, “Sesungguhnya tidaklah layak jika
  seseorang mengucapkan, “Saya ziarah kuburan Nabi Saw.” Yang benar adalah :
  “Saya ziarah Nabi Saw.” Inilah pandangan yang ditetapkan oleh para ulama dalam
  menafsirkan statemen Al Imam Malik : “Saya tidak suka seseorang berkata :
  “Saya ziarah ke kuburan Nabi Saw.” Sebab orang yang ia ziarahi adalah orang
  yang mampu mendengar ucapannya, merasakan kehadirannya, mengetahuinya dan
  menjawab salamnya. Masalah ini bukan sekedar persoalan kuburan semata tapi
  lebih besar dan lebih tinggi dari sekedar dilihat dari aspek kuburan semata.
  Jika kita melihatnya dari sisi kuburan saja tanpa memandang sosok penghuninya
  maka kita akan menemukan arwah suci yang kita kelilingi dari segala penjuru
  dan kita akan menemukan jembatan malaikat yang membentang dari al mala’ al
  a’la  sampai kuburan Nabi Muhammad Saw, dan konvoi yang bersambung dengan
  bilangan dan tambahan yang tidak terputus-putus yang hanya Allah yang
  mengetahui jumlahnya. 
Dalam Al Sunannya Al Darimi meriwayatkan,
  “menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Shalih, menceritakan kepadaku Al Laits,
  menceritakan kepadaku Khalid yaitu Ibnu Yazid dari Sa’id yaitu Ibnu Abi Hilal
  dari Nubaih ibnu Wahb bahwasanya Ka’ab masuk bertemu ‘Aisyah lalu mereka
  menyebut Rasulullah Saw. “Tidak ada hari kecuali turun tujuh puluh ribu
  malaikat hingga mereka mengelilingi kuburan Rasulullah. Mereka mengepakkan
  sayap mereka dan mendoakan shalawat untuk beliau hingga ketika tiba waktu sore
  mereka naik dan jumlah yang sama turun menggantikan mereka. Para malaikat
  pengganti juga melakukan apa yang dikerjakan malaikat pertama hingga ketika
  bumi merekah memunculkan Nabi, beliau akan pergi diiringi 70.000 malaikat .”
  Demikian dalam Sunan Al Darimi vol I hlm 44.
Saya katakan bahwa atsar ini
  juga diriwayatkan oleh Al Hafidh Ismail Al Qadli dengan sanadnya yang
  dikategorikan bagus untuk mutabi’, syahid, manaqib, dan keutamaan-keutamaan
  amaliah.
Jika kita melihat lingkungan di sekitar kuburan Nabi Saw dari
  raudloh yang notabene salah satu kapling sorga, mimbar yang memperoleh
  kemuliaan tertinggi sebab beliau Saw dan kelak di hari kiamat ia akan berada
  di atas telaga agung beliau, batang kurma yang merintih seperti perempuan yang
  kehilangan anaknya yang kelak di hari kiamat ada di sorga di tengah
  pepohonannya. Ada informasi yang menyatakan bahwa batang pohon itu dipendam di
  tempatnya yang terdapat dalam masjid. Maka saya tidak menduga bahwa orang yang
  berakal yang bersemangat mengejar kebaikan menghindar dari berdoa di
  lokasi-lokasi di atas. 
  
KUBURAN NABI DAN BERDO’A
Para ulama menuturkan bahwa disunnahkan berdiri bagi orang yang ziarah
  kuburan Nabi Saw untuk berdo’a. Ia bisa meminta kebaikan dan karunia apa saja
  yang ia kehendaki kepada Allah. Ia tidak diwajibkan menghadap kiblat. Tindakan
  berdiri yang dilakukan peziarah bukanlah berarti ia melakukan bid’ah,
  melakukan kesesatan atau kemusyrikan sebagaimana telah ditetapkan para ulama.
  Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa status hukumnya adalah sunnah.
Dalil
  yang digunakan dalam persoalan ini adalah hadits yang diriwayatkan Al Imam
  Malik ibnu Anas saat ia berdiskusi dengan Abu Ja’far Al Manshur di masjid
  nabawi. “Wahai amirul mu’minin,” kata Al Imam Malik, “jangan engkau keraskan
  suaramu di dalam masjid karena sesungguhnya Allah telah mengajarkan etika
  kepada sebuah kaum : ( لاترفعوا أصواتكم) dan mengecam kepada kaum lain : ( إن
  الذين ينادونك). Sesungguhnya penghormatan kepada beliau di saat telah
  meninggal sama dengan penghormatan kepada beliau saat masih hidup. Setelah
  mendengar argumentasi Al Imam Malik, Abu Ja’far pun diam. “Wahai Abu Abdillah
  !, apakah saya harus menghadap kiblat dan berdo’a atau menghadap Rasulullah
  Saw ?, “tanya Abu Ja’far. “Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari Nabi
  padahal beliau adalah perantaramu dan perantara Bapakmu Adam AS kepada Allah
  SWT di hari kiamat ?. Maka menghadaplah kepada Nabi dan mohonlah syafaat
  kepada beliau maka Allah akan menerima syafaat beliau,” kata Al Imam Malik.
  Allah berfirman : (ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم)
Kisah di atas diceritakan
  oleh Al Qadli ‘Iyadl dengan sanadnya dalam kitabnya “Al Syifaa fi Al Ta’riif
  bi Huquuqi Al Mushthafaa” pada salah satu bab tentang ziarah. Dalam Al Majmu’
  kisah ini juga disebutkan. 
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “Ibnu Wahb
  berkata dalam informasi yang bersumber dari Malik  : “Jika peziarah
  memberi salam kepada Nabi Saw maka hendaklah ia berdiri dengan muka menghadap
  kuburan bukan menghadap kiblat, mendekat, memberi salam, memanggil dan jangan
  menyentuh kuburan dengan tangannya.” (Iqtidlou Al Shirath Al Mustaqiim hlm
  396). 
Dalam kitabnya yang populer  Al Adzkar, Al Nawawi juga
  menjelaskan hal serupa di atas pada bab-bab tentang ziarah. Demikian pula
  dalam Al Idlaah pada bab ziarah dan dalam Al Majmu’ vol VIII hlm 272. 
Al
  Khafaji, pensyarah Al Syifaa mengatakan, “Al Subuki berkata : “Ashhabuna
  menegaskan bahwa disunnahkan untuk datang ke kuburan beliau, menghadap dan
  membelakanginya lalu memberi salam kepada beliau kemudian kepada Abu Bakar dan
  ‘Umar lalu kembali ke posisi semula, berdiri kemudian berdo’a.” Syarh Al
  Syifaa karya Al Khafaji vol III hlm 398. 
  
PANDANGAN AL SYAIKH IBNU TAIMIYYAH  SOAL ZIARAH KUBUR
Setelah mengutip statemen para ulama, Ibnu Taimiyyah mengemukakan
  pendapatnya sekitar tema ziarah kuburan Nabi Saw, “Mereka (para ulama) sepakat
  mengenai menghadap kiblat dan berselisih pendapat mengenai membelakanginya
  saat berdo’a.”
Ini adalah ringkasan dari pandangan Al Syaikh Ibnu
  Taimiyyah menyangkut persoalan ziarah kuburan Nabi Saw. Ringkasan pandangannya
  ini mengindikasikan dengan jelas bahwa orang yang berdiri di hadapan kuburan
  Nabi Saw seraya berdo’a kepada Allah dan memohon  sesuatu kepada-Nya dari
  karunia-Nya sebagaimana telah disyari’atkan, itu berpijak di atas fondasi
  kokoh yang diakui dan dikuatkan oleh statemen para imam dari generasi assalaf
  asshalih. Jika orang yang obyektif yang menggunakan akalnya mau merenungkan
  pendapat Ibnu Taimiyyah – para ulama berselisih pendapat mengenai membelakangi
  kubur beliau Saw saat berdo’a – niscaya ia akan memiliki pemahaman yang
  menenteramkan hatinya, memuaskan dirinya dan membahagiakannya bahwasanya
  mereka yang berdiri setelah memberi salam kepada Rasulullah untuk berdoa di
  sisi kuburan beliau tidak terlepas dari tauhid (mengesakan Allah) dan tetap
  termasuk golongan yang beriman. Dan karena persoalan ini adalah persoalan yang
  diperselisihkan generasi salaf dan perselisihan ini menyangkut apakah
  statusnya sunnah atau bukan maka apakah kondisi ini sampai harus melontarkan
  tuduhan syirik dan sesat? Subhanaka Hadza Buhtaanun ‘Adhim. 
 
  URAIAN STATEMEN AL SYAIKH IBNU TAIMIYYAH
Yang dipahami dari statemen Ibnu
  Taimiyyah adalah bahwa obyek yang dilarang sesungguhnya adalah sengaja memilih
  berdoa di dekat kuburan atau menjadikan kuburan sebagai tujuan untuk berdoa di
  dekatnya dan mengharap doa dikabulkan jika berdoa di tempat tersebut, atau
  memiliki perasaan bahwa berdoa di dekat kuburan lebih berpeluang dikabulkan
  dibanding tempat lain. Adapun jika seseorang berdoa kepada Allah di jalan yang
  ia tempuh dan kebetulan ia melewati kuburan kemudian berdoa di dekatnya atau
  ia ziarah ke kuburan lalu memberi salam kepada penghuninya kemudian berdoa di
  tempatnya berada maka ia tidak harus berpindah arah menghadap kiblat dan ia
  tidak bisa dianggap musyrik atau orang yang sesat. 
Silahkan dibaca
  tulisan-tulisan Ibnu Taimiyyah dalam persoalan ini. Ia berkata dalam Iqtidloou
  Al Shirath Al Mustaqiim halaman 336 : “Salah satu yang masuk kategori bid’ah
  adalah sengaja ke kuburan dengan tujuan berdoa di dekatnya  atau datang
  ke kuburan semata-mata karena kuburan tersebut. Karena berdoa di dekat kuburan
  dan tempat lain itu terbagi menjadi dua :
Pertama, do’a terjadi di sebuah
  lokasi secara kebetulan, tidak ada rencana berdoa di tempat tersebut, seperti
  orang yang berdoa kepada Allah di jalan yang ia tempuh dan kebetulan ia
  melewati kuburan atau seperti orang yang ziarah kubur lalu ia memberi salam
  kepadanya dan memohon kepada Allah keselamatan untuknya dan para mayit
  sebagaimana telah dijelaskan dalam Al Sunnah, maka hal ini dan yang semisalnya
  tidak perlu dipersoalkan. 
Kedua, sengaja membuat rencana berdoa di
  lokasi tersebut sekiranya ia merasa bahwa berdoa di lokasi tersebut lebih
  berpeluang dikabulkan dibanding tempat lain. Yang semacam inilah yang
  dilarang, entah larangan ini bersifat tahrim atau tanzih. Namun larangan ini
  lebih dekat ke larangan yang bersifat tahrim (diharamkan). Sedang perbedaan
  antara kedua istilah ini adalah hal yang telah jelas diketahui.
  
Seandainya seseorang sengaja merencanakan berdoa di dekat arca, salib
  atau gereja dengan harapan doanya dikabulkan di tempat tersebut maka sungguh
  hal ini termasuk salah satu dosa besar. Bahkan jika ia sengaja menuju rumah,
  toko di pasar atau sebagian tiang di jalanan untuk berdoa di tempat itu dengan
  harapan doanya dikabulkan di tempat tersebut maka sungguh hal ini termasuk
  kemunkaran yang diharamkan karena berdoa di tempat-tempat tersebut tidak
  memiliki keutamaan. 
Kesengajaan datang ke kuburan untuk berdoa di tempat
  itu termasuk kategori ini malah ia lebih berat dari sebagian yang masuk
  kategori ini karena Nabi Saw melarang memfungsikan kuburan sebagai masjid dan
  juga melarang mengadakan perayaan di kuburan dan sholat di sekitarnya. Berbeda
  dengan banyak lokasi-lokasi lain di atas.
  
Selanjutnya dalam halaman 338 Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa sengaja
  datang ke kuburan untuk berdoa di dekatnya dan mengharap terkabulnya doa di
  tempat itu melebih harapan terkabulnya doa di tempat-tempat lain adalah ajaran
  yang tidak disyari’atkan Allah dan rasul-Nya dan juga tidak dipraktekkan salah
  seorang sahabat, tabi’in, para imam kaum muslimin, dan tidak disebutkan pula
  oleh salah seorang ulama yang shalih dari masa lalu. 
Dalam halaman 
  339 ia menyatakan bahwa barangsiapa mengkaji literatur-literatur atsar dan
  mengetahui sikap generasi salaf maka ia akan meyakini dengan tegas bahwa
  orang-orang tidak memohon pertolongan di dekat kuburan dan tidak sengaja
  merencanakan berdoa di dekatnya sama sekali. Malah mereka melarang orang-orang
  bodoh melakukan tindakan tersebut  sebagaimana telah saya sebutkan
  sebagian dari keterangan ini. Dari Iqtidloo’u al Shirath al Mustaqim. 
 
  PANDANGAN AL SYAIKH MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB  MENYANGKUT BERDOA
        DI DEKAT KUBURAN
Berdoa di dekat kuburan bukanlah tindakan bid’ah atau syirik
  
Al Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab ditanya mengenai pendapat
  para ulama dalam sholat istisqa’ : “Tidak apa-apa bertawassul dengan
  orang-orang sholih”, pendapat Ahmad : “Hanya Nabi Saw yang bisa dijadikan
  obyek tawassul”, bersamaan dengan ucapan mereka : “Sesungguhnya makhluk tidak
  bisa dimintai pertolongan”.
Ia menjawab : “Perbedaan di antara tiga
  ungkapan ini telah jelas dan tidak masuk kategori topik yang kami bicarakan.
  Sebagian ulama memperbolehkan tawassul dengan orang-orang shalih dan sebagian
  lain membolehkan khusus dengan Nabi Saw. Mayoritas ulama melarang dan tidak
  berkenan dengan tawassul ini. Persoalan ini adalah persoalan fiqh meskipun
  yang benar di mata kami adalah pendapat jumhur bahwasanya tawassul itu makruh.
  Kami tidak ingkar kepada orang yang mempraktikkan tawassul sebab tidak boleh
  ada pengingkaran dalam hal-hal yang masuk wilayah ijtihad. Namun keingkaran
  kami adalah kepada orang yang berdoa kepada makhluk melebihi ketika ia berdoa
  kepada Allah. Juga kepada orang yang sengaja mendatangi kuburan untuk mengiba
  di sisi kuburan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani atau tokoh lain seraya memohon
  dihilangkannya kesusahan  diberi pertolongan menghadapi kesulitan dan
  dikarunia hal-hal yang diinginkan kepada penghuni kuburan itu. Dimanakah
  posisi orang ini berada di kalangan orang – orang  yang berdoa murni
  kepada Allah dan hanya berdoa kepada-Nya saja tidak melibatkan pihak lain,
  tetapi ia berkata dalam doanya : “Saya memohon kepada-Mu lewat nabi-Mu, atau
  lewat parta rasul atau para hamba-Mu yang shalih.” Atau sengaja datang ke
  kuburan Syaikh Ma’ruf Al Karkhi atau syaikh lain untuk berdoa di dekatnya
  tetapi ia tidak berdoa kecuali murni kepada Allah. Maka di manakah posisi
  orang ini dalam topik yang sedang kami bicarakan?” (Dikutip dari fatwa-fatwa
  Al Syaikh Al Imam Muhammad ibnu Abdil Wahhab dalam koleksi karangan bagian
  ketiga hlm 68 yang disebarkan oleh Univaesitas Al Imam Muhammad Ibnu Su’ud Al
  Islamiyah dalam pekan Al Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab).
 
  KUBURAN NABI DAN MEMOHON BERKAH DENGAN MENYENTUHNYA ATAU MENYENTUH
      JENDELA BESI DAN MENCIUMNYA
    
Ketahuilah bahwa selayaknya peziarah tidak boleh mencium kuburan
  mulia, menyentuh dengan kedua tangannya, dan tidak boleh menempelkan perut dan
  punggungnya ke dindingnya, pagar yang ditutupi dengan kiswah  atau
  jendela. Karena semua tindakan ini hukumnya makruh sebab mengandung unsur
  melakukan hal yang berlawanan dengan etika di hadapan Nabi Saw. Tujuan mencari
  keberkahan tidak bisa meniadakan status makruh karena tujuan seperti ini
  adalah sebuah kebodohan akan etika yang sepatutnya. Dan jangan tertipu oleh
  apa yang dilakukan orang-orang awam karena yang benar adalah apa yang katakan
  para ulama dan mereka sepakat berlawanan dengan sikap orang awam sebagaimana
  dijelaskan oleh Al Nawawi dalam Al Idlahnya. 
Dalam Al Minah dan Al
  Jawhar, Ibnu Hajar secara panjang lebar menguatkan pandangan ulama di atas.
  Dalam Al Ihyaa’, Al Ghazali mengatakan, “Menyentuh dan mencium kuburan adalah
  tradisi golongan Yahudi dan Nashrani.”
Al Fudlail ibnu ‘Iyadl mengatakan
  sesuatu yang artinya sbb : “Ikutilah jalan-jalan menuju hidayah dan jangan
  pedulikan sedikitnya mereka yang menempuh jalan tersebut. Jauhilah jalan-jalan
  menuju kesesatan dan jangan terpengaruh oleh banyaknya mereka yang menuju
  kehancuran. Barangsiapa yang terbersit dalam hatinya bahwa mengusap dengan
  tangan dan semisalnya lebih besar dalam memberikan keberkahan maka anggapan
  ini adalah karena kebodohan dan kelalaiannya. Karena keberkahan hanya ada pada
  hal-hal yang sesuai dengan syari’at. Maka bagaimana mungkin layak adanya
  keutamaan dalam hal yang berlawanan dengan kebenaran.” Al Majmu’ vol VIII hlm
  275.
 
  PANDANGAN AL IMAM AHMAD IBNU HANBAL
Terdapat banyak riwayat dari Ahmad ibnu Hanbal menyangkut topik di
  atas. Dimana sebagian riwayat itu ada yang memperbolehkan mengusap dan mencium
  kuburan Nabi Saw dan sebagian menunjukkan keraguan dalam menentukan hukumnya.
  Sebagian lagi ada yang membedakan antara mimbar Nabi dan kuburan beliau dengan
  memperbolehkan yang pertama dan tidak memberikan kepastian hukum pada yang
  kedua atau membolehkan. Betapapun perbedaan ini terjadi namun situasinya tidak
  sampai pada taraf memvonis pelakunya telah kufur, sesat, keluar dari agama,
  atau berbuat bid’ah dalam agama. Paling jauh ia dianggap melakukan sesuatu
  yang diperselisihkan hukumnya atau status hukumnya makruh. Yang dimaksudkan
  adalah agar mengusap kuburan beliau dan menciumnya tidak dijadikan sebagai
  tradisi yang membuat orang awam terpengaruh dan mereka menyangka bahwa
  tindakan itu termasuk salah satu keharusan dan etika berziarah. Silahkan kita
  simak statemen Al Imam Ahmad sebagai berikut :
Al Imam Ahmad berkata
  dalam Khulaashatul Wafaa sbb : “Dalam kitab Al ‘Ilaal dan Al Su’aalaat karya
  Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hanbal, sang pengarang berkata, “Saya bertanya kepada
  ayah tentang seorang lelaki yang mengusap kuburan Nabi Saw dengan tujuan
  mengharap keberkahan dengan mengusap dan menciumnya dan ia juga melakukan hal
  yang sama terhadap mimbar beliau dengan harapan mendapat pahala Allah SWT.”
  “Tidak apa-apa,” jawab ayahku. 
Abu Bakar Al Atsram berkata, “Saya
  bertanya kepada Abu Abdillah – Ahmad ibnu Hanbal - , “Apakah kuburan Nabi Saw
  boleh disentuh dan diusap-usapkan?” “Saya tidak bisa menjawab,” jawabnya.
  “Kalau mimbar?” tanyaku lagi. “Kalau mimbar, betul boleh disentuh dan
  diusap-usapkan. Karena ada riwayat perihal mimbar.” Jawab Abu Abdillah. “Ada
  informasi yang diriwayatkan para perawi dari Ibnu Fudaik dari Abi Dzi’b dari
  Ibnu ‘Umar: “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar menyentuh mimbar.” Abu Abdillah berkata,
  “Para perawi meriwayatkan atsar tadi dari Sa’id ibnu Al Musayyib mengenai
  hiasan mimbar.” Saya (Abu Bakar Al Atsram) katakan, “ Para perawi juga
  meriwayatkan atsar tersebut dari Yahya ibnu Sa’id bahwasanya ketika Yahya ibnu
  Sa’id ingin pergi ke Iraq ia datang ke mimbar kemudian mengusapnya dan berdoa.
  Saya melihat bahwasanya Yahya menilai positif tindakan mengusap mimbar.”
  “Barangkali dalam keadaan mendesak mengusap kuburan tidak ada konsekuensi
  apapun,” lanjut Abu Abdillah. Ada pertanyaan yang disampaikan kepada Abu
  Abdillah bahwa para peziarah itu menempelkan perut mereka ke dinding kuburan
  dan saya juga berkata kepadanya, “Saya melihat para ulama warga Madinah tidak
  mengusap-usap kuburan Nabi Saw. Mereka hanya berdiri pada sebuah sisi lalu
  memberi salam.” “Betul, memang begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar,” jawab Abu
  Abdillah. “Ayah dan ibuku menjadi tebusan Rasulullah Saw,” lanjutnya. 
Al
  Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “Ahmad dan perawi lain meriwayatkan perihal
  mengusap-usap mimbar dan hiasannya yang nota bene tempat duduk dan tangan
  Nabi. Namun mereka tidak memberi toleransi perihal mengusap-usap kuburan
  beliau Saw. Sebagian Ashhabuna menceritakan riwayat perihal mengusap kuburan
  Nabi Saw karena Ahmad mengantar sebagian jenazah lalu ia meletakkan tangannya
  di atas kuburan jenazah itu seraya mendoakannya. Perbedaan antara mengusap
  kuburan dan meletakkan tangan di atasnya seraya mendoakan itu jelas.” (Dari
  Iqtidloo’u al Shirath al Mustaqim hlm 367 dan dinukil oleh Ibnu Muflih dari Al
  Imam Ahmad dalam Al Furu’ vol III hlm 524). 
  KUBURAN NABI SAW TERLINDUNGI DARI SYIRIK DAN KEBERHALAAN
Allah Swt telah melindungi kuburan ini dengan sang kekasih paling agung
  dan nabi termulia. Makanya di lingkungan kuburan beliau tidak terdapat
  kemusyrikan dan salah satu bentuk dari bentuk ibadah yang tidak boleh
  ditujukan kecuali kepada Allah SWT. Tidak terlintas dalam benak siapapun bahwa
  kuburan beliau adalah arca yang disembah atau kiblat yang menjadi arah untuk
  ibadah. Hal ini terjadi berkat barokah do’a Rasulullah Saw yang memang berdoa
  demikian. Allah pun mengabulkan doa beliau dan mewujudkan harapan beliau.
  
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dalam Muwaththa’ Malik Ra dari
  Nabi Saw, beliau berkata, “Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai
  arca yang disembah. Besar murka Allah terhadap kaum yang menjadikan kuburan
  nabi mereka sebagai masjid.” 
Sungguh Allah telah mengabulkan doa Nabi
  Saw. Makanya – alhamdulillah -  kuburan beliau tidak dijadikan arca
  sebagaimana kuburan lain. Malah tidak ada seorang pun yang bisa memasuki kamar
  yang berisi kuburan beliau setelah kamar itu dibangun. Sebelumnya orang-orang
  tidak membolehkan siapapun untuk masuk ke lokasi kuburan guna berdoa di
  dekatnya, sholat dan sebagainya dari aktivitas-aktivitas pada kuburan lain.
  Namun sebagian orang bodoh ada yang sholat menghadap kamar Nabi, mengeraskan
  suaranya atau berbicara dengan perkataan yang dilarang. Semua ini dilakukan di
  luar kamar Nabi Saw bukan di dekat kuburan beliau. Jika dilakukan di dekat
  kuburan beliau, maka Allah telah mengabulkan doa beliau Saw hingga tidak
  seorang pun berkesempatan mesuk ke kuburan beliau lalu sholat di dekatnya,
  berdoa atau dijadikan sekutu sebagaimana perlakukan yang diterima kuburan lain
  yang dijadikan arca. Pada zaman ‘Aisyah Ra tidak seorang pun yang masuk
  kecuali karena ingin bertemu dengan istri beliau ini dan ‘Aisyah pun tidak
  memperbolehkan siapa pun melakukan hal-hal yang dilarang di dekat kuburan
  beliau. Setelah wafatnya ‘Aisyah, kamar yang berisi kuburan Nabi itu ditutup
  hingga dimasukkan dalam area masjid lalu pintu kamar itu ditutup dan dibangun
  di atasnya tembok lain. Hal ini seluruhnya dilakukan untuk menjaga jangan
  sampai rumah beliau dijadikan tempat perayaan dan kuburannya dijadikan arca.
  Kalau bukan karena alasan demikian maka sudah diketahui bahwa semua penduduk
  Madinah adalah orang muslim dan tidak akan datang ke kuburan Nabi kecuali
  orang muslim. Mereka semua juga mengagungkan Rasulullah Saw. Beberapa kuburan
  ummat Nabi di beberapa negara juga diagungkan. Maka apa yang dilakukan kaum
  muslimin dengan menutup kuburan Nabi bukanlah untuk merendahkannya. Tapi
  mereka melakukannya agar kuburan itu tidak dijadikan arca yang disembah dan
  rumahnya tidak dijadikan lokasi perayaan serta agar kuburan beliau tidak
  mendapat perlakuan sebagai ahlul kitab memperlakukan kuburan para nabi mereka.
  Kuburan Nabi yang berada dalam kamar beliau diatasnya hanya terhampar pasir
  kasar, tidak ada batu atau kayu. Juga tidak diplester sebagaimana
  kuburan-kuburan lain. nabi melarang semua ini semata-mata untuk menutup jalan
  terjadinya kemungkaran. Sebagaimana beliau melarang sholat dilakukan saat
  terbit dan terbenamnya matahari agar hal itu tidak mengantar pada perbuatan
  syirik. Nabi berdoa kepada Allah agar kuburannya tidak dijadikan arca yang
  disembah lalu Allah mengabulkan doanya. Sehingga kuburan beliau tidak seperti
  kuburan mereka yang dijadikan sebagai masjid. Karena tidak ada orang yang bisa
  masuk ke dalam kuburan beliau. Para nabi sebelum Rasulullah Saw jika ummat
  mereka melakukan bid’ah maka Allah mengutus nabi untuk melarang tindakan
  bid’ah itu. Tapi Nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir yang tidak ada lagi
  nabi sesudah beliau. Makanya Allah pun melindungi ummat Rasulullah Saw untuk
  bersepakat dalam kesesatan dan menjaga kuburan mulia beliau dari dijadikan
  sebagai arca yang disembah. Karena – na’udzu billah – seandainya terjadi hal
  semacam ini maka sepeninggal beliau tidak lagi ada nabi yang melarang tindakan
  terlarang itu, padahal mereka yang melakukannya akan menjadi mayoritas ummat
  dan beliau mengkhabarkan bahwa sekelompok ummatnya akan senantiasa membela
  kebenaran. Mereka tidak akan terganggu oleh pihak yang menentang dan
  menelantarkan mereka hingga tiba hari kiamat. Makanya para pembuat bid’ah
  tidak memiliki jalan untuk melakukan pada kuburan nabi Saw sebagaimana yang
  dilakukan kuburan lain. Dari Al Jawaab Al Baahir fi Zuwwaaril Maqaabir hlm 13
  karya Al Syaikh Ibnu Taimiyyah. 
  
  BERKUNJUNG KE LOKASI-LOKASI PENINGGALAN KENABIAN, TEMPAT-TEMPAT
      KEAGAAMAAN DAN MEMOHON BERKAH DENGAN MENZIARAHINYA
Dalam topik ini Al Syaikh Ibnu Taimiyyah menulis pandangan yang sangat
  positif yang saya kutip dari tulisannya faidah-faidah penting di bawah ini :
  
Adapun maqaamatul Anbiyaa’ washshoolihin yaitu lokasi-lokasi di mana
  para nabi dan orang-orang shalih pernah menetap, tinggal atau beribadah kepada
  Allah di dalamnya namun mereka tidak menjadikannya sebagai masjid maka ada dua
  pendapat dari para ulama kesohor yang sampai kepada saya : 
Pertama,
  larangan dan kemakruhan merencanakan datang ke lokasi-lokasi tersebut dan
  sesungguhnya tidak disunnahkan mendatangi sebuah tempat untuk beribadah
  kecuali jika tujuan  ke tempat itu untuk beribadah sesuai dengan ajaran
  syara’ seperti Nabi Saw pernah sengaja datang ke sebuah tempat untuk beribadah
  semisal tujuan untuk sholat di maqam Ibrahim dan sebagaimana beliau sengaja
  untuk sholat di dekat tiang. Juga seperti beliau sengaja datang ke masjid
  untuk sholat dan menempati shaf awal dan lain sebagainya.
Kedua, tidak
  apa-apa melakukan sedikit dari hal-hal di atas sebagaimana dikutip dari Ibnu
  ‘Umar bahwasanya ia sengaja mendatangi tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi
  meskipun beliau Saw melewatinya cuma kebetulan bukan kesengajaan.
Al
  Sanadi Al Khawatimi berkata, “Saya bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad ibnu
  Hanbal) perihal seorang lelaki yang pergi mendatangi lokasi-lokasi yang
  diharapkan mendapat keberkahan. “Apa pendapatmu?” tanyaku. “Adapun sesuai
  dengan hadits Ibnu Ummi Maktum bahwasanya ia memohon kepada Nabi agar beliau
  sholat di rumahnya hingga tempat sholat beliau dijadikan musholla dan sesuai
  dengan tindakan Ibnu ‘Umar mengamati tempat-tempat yang pernah didatangi Nabi
  dan jejak-jejak peninggalan beliau maka mendatangi tempat-tempat yang
  diharapkan memberi keberkahan tersebut tidak apa-apa. Hanya saja orang-orang
  telah bersikap melewati batas dan terlalu banyak melakukannya,” jawab Abu
  Abdillah. 
Sebagaimana Al Sanadi, Ahmad ibnu Al Qasim juga mengutip dari
  Abu Abdillah bahwasanya Abu Abdillah ditanya perihal seorang lelaki yang pergi
  mendatangi lokasi-lokasi yang diharapkan mendapat keberkahan di atas yang
  berada di Madinah  Munawwarah dan sebagainya. Abu Abdillah menjawab,
  “Adapun sesuai dengan hadits Ibnu Ummi Maktum bahwasanya ia memohon kepada
  Nabi agar datang ke rumahnya danb sholat di tempat tersebut hingga tempat itu
  dijadikan musholla atau sesuai dengan tindakan Ibnu ‘Umar yang mengamati
  tempat-tempat yang dilewati beliau hingga terlihat ia menumpahkan air di
  tempat berair lalu ia ditanya tentang tindakannya ini. “Dulu Nabi Saw pernah
  menumpahkan air di tempat ini,” jawab Ibnu ‘Umar. “Adapun sesuai dengan
  tindakan Ibnu ‘Umar maka mendatangi tempat-tempat yang diharapkan mendapat
  keberkahan di atas maka hal ini tidak apa-apa,” jawab Abu Abdillah. Kata Al
  Sanadi Abu Abdillah memperbolehkan mendatangi tempat-tempat yang diharapkan
  memberi keberkahan. “Hanya saja orang-orang bersikap terlalu berlebihan dan
  terlalu sering melakukan hal ini,” lanjut Abu Abdillah. Kemudian Abu Abdillah
  menyebut kuburan Al Husain dan aktivitas yang dilakukan orang-orang di tempat
  itu. Kedua hadits di atas diriwayatkan oleh Al Khallaal dalam Kitabul Adab.
  
 
  STATEMEN IBNU TAIMIYYAH
Menyangkut Masyaahid yaitu lokasi-lokasi di mana terdapat jejak-jejak
  peninggalan para nabi dan orang-orang shalih yang statusnya bukan masjid bagi
  mereka seperti beberapa tempat yang ada di Madinah, Abu Abdillah menjelaskan
  secara rinci antara minoritas yang tidak menjadikannya sebagai tempat perayaan
  dan  mayoritas yang menjadikannya sebagai tempat perayaan sebagaimana
  telah disebutkan. 
Dalam perincian ini Abu Abdillah memadukan antara
  beberapa atsar dan statemen-statemen para sahabat. Al Bukhari dalam Shahihnya
  meriwayatkan dari Musa ibnu ‘Uqbah, ia berkata, “Saya melihat Salim ibnu
  Abdillah mengamati beberapa lokasi jalan dan sholat di tempat itu. Ia
  menceritakan bahwa ayahnya melakukan hal yang sama dan ayahnya juga melihat
  Nabi Saw sholat di tempat-tempat tersebut.” Musa berkata, “Nafi’ menceritakan
  kepadaku bahwa Ibnu ‘Umar sholat di tempat-tempat tersebut.”
Rincian di
  atas adalah tindakan yang mendapat dispensasi dari Ahmad ibnu Hanbal.
Adapun
  yang dinilai makruh oleh dia adalah sebuah  Informasi yang diriwayatkan
  oleh Sa’id ibnu Manshur dalam Sunannya, “Menceritakan kepada kami Abu
  Mu’awiyah, menceriatakn kepada kami Al A’masy dari Al Ma’ruf ibnu Suwaid dari
  ‘Umar Ra, Al Ma’ruf  berkata, “Saya keluar bersama ‘Umar dalam sebuah
  perjalanan haji yang dilakukannya. Dalam sholat Shubuh ia membacakan surat
  Alal Nasyrah pada rakaat pertama dan surat Al Qurays   pada rakaat
  kedua kepada kami. Tatkala ia pulang dari haji ia melihat banyak orang segera
  mendatangi masjid. “Ada apa ini? “tanya ‘Umar. “Masjid itu adalah masjid yang
  Rasulullah Pernah sholat didalamnya, “jawab mereka. “Demikianlah ahlul kitab
  sebelum kalian binasa. Mereka menjadikan jejak-jejak peninggalan para nabi
  mereka sebagai biara. Barangsiapa yang kebetulan berada di masjid saat tiba
  waktu sholat maka sholatlah di situ dan barangsiapa yang kebetulan tidak
  bertemu waktu sholat di situ maka hendaklah ia berlalu, “lanjut ‘Umar.
‘Umar
  sungguh tidak  setuju tempat sholat Nabi Saw dijadikan tempat perayaan
  dan ia menjelaskan bahwa ahlul kitab binasa gara-gara melakukan hal
  demikian.
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah  menyatakan bahwa para ulama
  berselisih pendapat perihal mendatangi Masyaahid.
Muhammad ibnu Wadldlaah
  mengatakan, “Malik dan ulama lain dari kalangan ulama Madinah tidak senang
  mendatangi masjid-masjid dan  jejak-jejak peninggalan yang ada di Madinah
  kecuali Quba’ dan Uhud. Sufyan Al Tsauri pernah datang ke Baitul Maqdis dan
  shalat di dalamnya, namun  ia tidak  mengamati  
  jejak-jejak peninggalan beliau  Saw dan  shalat di dalamnya.”[]
