Sejarah Wali Songo dan Wali Sepuluh
Nama kitab: Terjemah Ahlal Musamaroh fi Hikayati Auliya il al-Asyarah, Kisah Wali 10 (Sepuluh), Wali Tanah Jawa, Silsilah 10 Wali,
Judul asli: Ahla al-Musamarah fi Hikayat Auliya' al-Asyrah (أحلي المسامرة في حكاية أولياء العشرة)
Makna judul: Paling Manisnya Percakapan tentang Cerita Wali Sepuluh
Penulis: Syekh Kyai Abu Fadhol Senori (الشيخ أبو الفضل السنوري)
Nama lengkap: Syekh Abu Fadhol Senori Syekh Abu Fadhol Senori dari Tuban, Jawa Timur, Indonesia Lahir: 1917 M, Senori, Indonesia
Wafat: Senori, Indonesia
Penerjemah:
Bidang studi: Sejarah Islam di Nusantara, Indonesia
Daftar Isi
- Silsilah Nasab Sayyid Ibrahim Asmara
- Kelana Sayyid Ibrahim Asmara ke Negeri Champa
- Kisah Raja Brawijaya dan Raden Bondan Kejawan (Lembu Peteng)
- Kisah Raja Brawijaya dan Putri Martaningrum
- Kisah Sayyid Raja Pandito dan Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
- Kisah Sayyid Maulana Ishaq
- Kisah Sayyid Abdul Qadir (Sunan Gunung Jati) dan Sayyidah Sarah
- Kisah Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang)
- Kisah Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung)
- Kisah Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Patah (Sunan Demak)
- Kisah Sayyid Qasim (Sunan Drajat)
- Kisah Raden Said (Sunan Muria)
- Kisah Sayyid Abdul Jalil (Sunan Siti Jenar)
- Kepergian Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
- Kemelut Perang antara Majapahit dan Demak
- Pasukan Majapahit Terpojok lalu Bangkit
- Pasukan Demak Terpojok lalu Bangkit 
- Kisah Amirul Haj (Sunan Kudus), Kemenangan Demak, dan Kehancuran Majapahit
- Penutup 
- Kembali ke: Terjemah Ahlal Musamarah (Silsilah Walisongo)
Silsilah Nasab Sayyid Ibrahim Asmara
  Diriwayatkan -wallahu a’lam-  bahwa sayyidina zainal abidin ibn sayyidina
  husan ibn sayyidatina fatimah binti rosulullah saw. memiliki putra yang
  dinamai zainul adzim, dan zainul adzim memiliki admal yang dinamakan zainul
  kubro, dan zainul kubro memilik anak yang di namakan zainul husain, dan zainul
  husai memiliki anak yang dinamak mahmud al kubro, dan mahmud al kubro memilik
  anak bernama jumadil kubro, dan jumadil kubro memiliki tiga anak: sayyid
  maulana ishaq, sayyid ibrohim al asmar -dikatakan yang benar ibrohim
  assamarqond- dan sayyidah asfa isti putra raja romawi abdul majid.
Dikatakan
  zainul abidin memilik anak bernama zaiul alim, dan zainul alim memiliki anak
  bernama zainul kubro, zainul kubro memiliki anak bernama jumadil kubro,
  jumadil kubro memiliki anak bernama zainul hasan, zainul hasan memiliki anak
  bernama syamun, saymun memiliki anak bernama abdullah, abdullah memiliki anak
  bernama abdurrahman, abdurrohman memiliki anak bernama al kubro, al kubro
  memiliki anak bernama mahmud, mahmud memiliki anak bernama najmuddin al kubro,
  najmuddin al kubro memiliki anak bernama ibrohim asmar, ibrohim asmar memiliki
  anak bernama maulana ishaq.
Dikatakan: zainul abidin memiliki anak
  bernama zainul hakam, zainul hakam memiliki anak bernama zainul husain, zainul
  husain memiliki anak bernama zainul kabir, zainul kabir memiliki anak bernama
  najmuddin al kabir, najmuddin al kabir memiliki anak bernama syamun, symaun
  memiliki anak bernama ustur, ustur memiliki anak bernama abdullah, abdullah
  memiliki anak bernama abdurrahman, abdurrahman memiliki anak bernama mahmud al
  akbar, mahmud al akbar memiliki anak bernama najmuddin, najmuddin memiliki
  tifa anak: sayyid ibrohim al asmar, maulana ishaq dan sayyidah asfa. dan
  dengan riwayat-riwayat ini walaupun berbeda-beda kita yakin bahwa ibrohim al
  asmar termasuk keturunan rosulullah saw.
  Kelana Sayyid Ibrahim Asmara ke Negeri Champa
    
Diriwayatkan ketika asyyid Ibrohim al asmar menginjak dewasa,
  beliau berkelana di muka bumi sampai ke suatu daerah yang bernama cempa, dan
  beliau menetap di situ sampai ia mampu untuk masuk ke raja cempa, ketika
  beliau masuk ke raja, raja berkata: wahai darwisy, siapa namamu? dan apa
  kebutuhanmu masuk kepadaku? sayyid ibrohim menjawab: namaku adalah ibrohim dan
  kebutuhanku masuk kepadamu adalah aku mengajakmu meniggalkan menyembha berhala
  untuk ibada kepada raja seluruh agama, dan masuk di agama yang luru yang sucu,
  yaitu agama muhammad saw, yaitu agama islam, hal tersebut kamu mengucapkan dua
  kalimat syahadat, yaitu: aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
  sesungguhnya muhammad adalah utusan Allah. lalu raja mengiyakan dan
  mengucapkan dua kalimat syahadat, dan diikuti penduduk negaranya, dan ia
  memerintahkan memecahkan seluruh berhalan dan membangun masjid untuk ibadah
  dan mendekatkan sayyid ibrohim dan mencintainya dengan sangat.
  Dan raja punya tiga anak: ratu murtaningrum istri raja brawijaya yang beragama
  budha, raja kepulauan jawa. ratu condrowulan dan raden jenkaro dialah yang
  menggantikan ayahnya setelah ayahnya meniggal. maka raja menikahkan sayyid
  ibrohim al asmar dengan putrinya yang bernama condro wulan, dan si istri
  mencintai sayyid ibrohim dengan sangat, dan mentaati beliau dengan sempurna,
  bersama juga beliau taan kepada Allah, yang memiliki kecantikan dan harta yang
  banyak.
Dan sayyid ibrohim dari putri condro wulan dikarunia tiga
  putra, yaitu: raden rojo pendeto, sayyid rohmat dan sayyidah zainab. ini
  adalah cerita sayyid ibrohim al asmar
  Kisah Raja Brawijaya dan Raden Bondan Kejawan (Lembu Peteng)
Dan di pulau jawa di waktu itu ada raja budha yang bernama
  rangkawijaya, yang masyhur disebut brawijaya, dia adalah akhir raja-raja budha
  di pulau jawa, dan akhir orang terakhir yang menjadikan kota majapahit sebagai
  pusat kerajaan.  
  sudah disebut dahulu bahwa ia menikah dengan putri raja cempa yang namanya
  murtaningrum, dan dia dikarunia tidak anak, yang pertama cewek namanya
  putraadi istri menteri daya ningrat. yang kedua lembu peteng, dia adalah
  gubenur di madura. yang ketiga adalah radin gugur, dan ia tidak memiliki
  kekuasaan, akan tetapi ia sibuk membantu ayahnya dan menolongnya dalam urusan
  kerajaan.
Dan brawijaya memiliki anak lain dari istri lani yaitu
  putri seksadana, namanya arya damar, dan ia diberi kekuasaan palembang dan
  sekitarnya. 
dan brawijaya memiliki dua anak lagi dari istrinya
  yang dari ponorogo, yaitu: bathoro katung dan ki jaran panulih. adapun
  batorokatung ia menjadi penguasa di ponorogo, adapun jaran panulih ia menjadi
  penguasa sumenep dan sampang dari daerah madura.
Dan Brawijaya
  menikah dengan wanita lain dari putri raja cina, dan ia memiliki kecantikan,
  dan ia sangat mencintainya, ketika putri cina mengandung dan sudah hampir
  melahirkan, brawijaya memerintahkan putranya arya damar untuk membawa putri
  cina ke palembang, dan memberikan putri tersebut kepadanya, dan berwasiat agar
  arya damar tidak menidurinya sampai melahirka. lalu arya damar membara putri
  cina ke palempang. ketika putri tersebut berada di palembang dan kehamilannya
  mencapai sebelas bulan ia melahirkan seorang putra yang sangat tampan, yang
  katakan:
Ia seperti rembulan yang menerangi kegelapan, muncul di
  kegelapan malam dan bercahaya
cahaya yang meneragi angkasa, dan petunjuk
  menjadi terbuka di bumi, dan telah muncul.
Dan arya damar
  menamahinya dengan raden fatah, dan namanya cocok dengan orangnya, karena ia
  menjadi sebab terbukanya penduduk islam di tanah jawa, yang akan
  dijelaskan.
Setelah itu arya damar menjadikan putri cina sebagai
  istri, dan mengandung anak, ketika kandungannya mencapai sembilan bulan, putri
  cina melahirkan seorang anak laki-laki yang cerah dahinya, yang setiap
  kejelekan hilangn darinya, dan ayahnya memberi nama radin husain, dan
  dikatakan:
seakan-akan kedua dahinya dibawah rambut adalah rembulan di
  antra kegelapan malam
memberi tahu kita dua lembar rembulan yang
  bercahaya, dengan wajah yang terbuat dari sumber keindahan.
Lalu
  setelah itu brawijaya sakit yang lama, yang para dokter tidak mampu untuk
  menyembuhkannya, maka para peramal mangatakan, engkau tidak akan sembuh dari
  sakitmu ini kecuali kemu menikah dengan seorang wanita yang namanya wandan
  kuning, dan ia dari rakyat bawah dan berupa jelek, maka brawijaya tidak mau,
  tetapi karena mengharap kesembuhan brawijaya terpaksa menikahinya. ketika
  menikahinya dan lewat tiga hari sakit brawijaya menjadi ringan, dan tidak lama
  brawijaya sembuh dari sakitnya dan kembali seperti sedia kala.
  
Lalu wanita itu mengandung, ketika sudah sembilan bulan ia
  melahirkan purta yang diberi nama bundan kejawen. dan ketika itu brawijaya
  malu dari para mentrinya, terhusus istana kerajaanya, karena ia memiliki
  seorang anak dari wanita yang rendahan dan jelek, lalu brawijaya mengeluarkan
  wanita tersebut dan menaruhnya di seorang petani di suatu desa yang namanya
  karang jambu. Dan anak tersebut tumbuh besar di desa tersebut sampi menginjak
  dewasa dan dinamakan lembu peteng, dan ia di keadaan yang jelek dan sempitnya
  maisyah, karena ia tidak memiliki pekerjaan kecuali petani, dan ia malu dari
  manusia, karena ia menjadi rakyat bawan dan rakyat biasa, dan sudah menyebar
  bahwa ia anak raja brawijaya, maka ia sedih dan berfikir akan urusan mereka,
  dan hatinya bingung di lembah fikiran, lalu ia kelluar dari desa tersebut dan
  berjalan di bumi sampai di suatu gunun kadeng, maka ia menyendiri di sana, dan
  sibuk melakukan latihan, dengan menyiksa dirinya, dengan menyedikitkan makanan
  dan kurangnya tidur, seraya berharap agar kendali tanah jawa berada di
  tangannya, dan di bawah kekuasaanya. dan ia berada di situ lama, sampai ia
  mendengan suara agar ia meninggalkan tempat ini dan carilah seorang guru dari
  guru zaman ini, ketiak kamu menemukannya maka sibuklah untuk berkhidman
  padanya dan selalu taat padanya.
Lalu ia keluar dari tempat
  tersebut dan turun dari pucuk gunung dan berkelana di bumi, menapaki dalan
  kecul dan tanah becek, naik di atas gunu, dan turun di lembah, dan
  tempat-tempat yang menakutkan, mendatangi kota-kota dan desa-desa, keluar dari
  tempat ini masuk di tempat lain, semua itu bersama meninggalkan enaknya
  minuman dan makanan, dan meninggalkan tikar untuk istirahat dan tidur, seraya
  mencari kemuliaan yang tinggi dan kehormatan di antara para manusia.
Dai
  ia tidak henti-henti melakukan hal tersebut sampai datang di suatu daerah ,
  yang di situ adah soerng pemimpin yang namanya ki tarub, dan ki tarub berkata:
  apa yang membuatmu datang kesini wahai pemuda?. ia berkata: aku datang
  kepadamu dan menyerahkan padamu diriku dan urusanku padamu, seraya meminta
  berkah dengan melayanimu. maka ki tarub tersenyum dan memandangnya dan
  memiriki firasan dari wajahnya dan cahaya matanya bahwa anak ini termasuk
  putra raja, lalu ki tarub menanyakan namanya dan ayahnya dan kotanya. ia
  berkata: namaku lembu peteng, dan saya putra seorang wanita yang bernama
  wandan kuning dari suatu desa yang namanya karang jambu. maka ki tarub ingan
  bahwa brawijaya memiliki istri yang namanya wandan kuning, dan ia ingat apa
  yang terjadi padanya, dan bahwa brawijaya mengeluarkannya dan anaknya sampai
  akhir cerita. maka ki tarub sangat bahagia dan berkata: wahai anakku jika
  enkau ingin melayaniku maka lakukanlah dengan serius dan niat yang kuat, dan
  niatlah melatih diri untuk memperoleh apa yang kau inginkan seperti kerajaan
  dan kekuasaan. lembu peteng berkata: siap, dan hal tersebut adalah tujuanku
  dan puncak harapanku, dan menerimamu akan pelayananku adalah termsuk
  kebahagiannku yng besar, seraya mengharap keberkahan doamu.
Maka
  lembu peteng tidak henti-henti melayani ki tarub siang malam, dan tidak
  terputus dari latihannya bersama pelayanan tersebut, maka ki tarub takjub dari
  ketaatannya dan pelayanannya dan mencintainya dengan sangat. dan berkata
  padanya: wahai anakku: apakah engkau mau aku nikahkan dengan putriku yang
  namanya nawang sih. lembu peteng berkata: iya saya mau. ini adalah cerita
  lembu peteng.
  Kisah Raja Brawijaya dan Putri Martaningrum
Suatu hari berbicang Brawijaya dengan istrinya yaitu
  Martaningrum. Istrinya menceritakan
bahwasanya ia memiliki seorang
  saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang
saat itu memiliki
  keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :
Rambutnya seolah
  senja menghitam dan
di wajahnya seolah fajar bersinar …
Giginya
  bagaikan lampu-lampu yang
berjejer …
Perawakan tubuh bagian
  belakangnya
berpostur kencang …
Berlenggak-lenggok dari
  belakang menonjol
bagaikan bukit …
Seolah dirinya acuh
  orang-orang mensifatinya
dan larut dalam pikiran kotor mereka …
Entah
  mereka dari kalangan manusia
atau seperti kijang …
Maka
  ketika  Brawijaya mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang
  saudari
perempuannya; Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya
  menikahkan saudari
perempuannya dengannya. Ia kemudian memanggil
  menterinya yang bernama Arya
Ba’ah, yang dia juga orang kepercayaan
  Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan
permisalan dari Candrawulan lalu
  ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau
kepada raja Campa, maka
  jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan
raja Brawijaya
  yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya
dinikahkan
  dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata
Arya
  Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke
negeri
  Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :
Aku keluar
  akan tetapi keluarku
bukan untuk mencari rintangan …
Akan
  tetapi untuk meraih keridhaanmu
yang kau impikan …
Sekiranya
  bukan karenanya, tidaklah
aku mau mencari hal yang membahayakan …
Dengan
  mendatangi negeri asing dan
lautan sembari membawa pesan …
Kepada
  raja di negeri yang aku belum
pernah masuk padanya …
Untuk
  membawa anaknya yang seperti
terangnya bulan purnama …
Dengan
  hati yang di kelilingi
ketakutan …
Yang bahwasanya seperti
  burung kecil
yang dilempar kepada elang …
Wahai kiranya ini
  (yaitu resiko
sebagai menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …
Aku
  akan raih dengan kegembiraan dan
kemuliaan  termulia …
Arya
  Ba’ah tidak berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka
  ketika ia memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan
  raja setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah
  lalu penyebutannya. Anaknya yaitu
Candrawulan telah menikah dengan
  seorang laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan
  atas pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan
  ragu akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak
  mendapat hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya
  akan namanya dan tentang negerinya serta
keperluannya. Arya berkata :
  Wahai raja, saya seorang laki-laki dari Jawa namaku Arya Ba’ah. Aku datang
  kepadamu diutus oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. 
Kata Arya dalam dirinya : Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri.
  Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku
  diberikan amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari
  Martaningrum istri raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya
  memohon undur diri kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit,
  kemudian masuk bertemu dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya
  dan berhadapan dengan raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan
  sampai ke negeri Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk
  ber-khidmat kepada raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan
  tanpa hasil sebagaimana yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak
  perempuan raja Campa yang bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki
  arab yang berna Ibrahim Al Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan
  sesungguhnya raja Campa juga
sudah wafat pada hari-hari sebelumnya,
  sebelum aku datang. 
  Raja setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa
  pesan dari raja
Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya
  (Martaningrum). Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada
  Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau
  katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika
  mendengar darimu akan berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke
  kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan
  memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang dan kalung)
  tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara laki-lakinya,
  tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan memanggil orang-orang
  yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah seisi rumah sehingga
  ramai terdengar. Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah
  sembari memendam kekesalan yang tidak
diragukan lagi karena sebab ia
  menyangkan semua ini akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya. 
Berkata Brawijaya kepada istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian, engkau menangis, dan menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku menangis karena sebab wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan (yang sampai) berkenaan dengan hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh bapakku berpesan padaku untuk mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia telah wafat, dan keduanya telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa bapakku telah tiada. Inilah yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan Istrinya.
  Kisah Sayyid Raja Pandito dan Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
Adapun yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid
  Rahmat yang keduanya adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua
  berasal dari negeri Campa, keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua
  pernah mengunjungi bibinya yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri
  Majapahit. Pada saat itu bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu
  Hurairah untuk menemani keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun,
  agar senantiasa berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar
  dari negeri Campa menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada
  negeri yang dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang
  milik orang Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke
  kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. 
Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya.
Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis.
Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu.
  Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata
  dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan raja Brawijaya, yang datang
  kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian
  bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya
  Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja
  Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya
  Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja
  bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian
  Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka
  dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun ke-enam
  hijriyyah.
Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua anak ini,
  seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia
  memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati karena
  tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa secara
  umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan
  shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut
  seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun
  dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan
  selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek
  dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang
  disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari
  tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara
  masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang
  menyembah Tuhannya.
Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid
  Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan
  petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak
  boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan
  tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala,
  sebagaimana berkata sebagian Ulama :
Keimanan seorang hamba
  tidaklah sempurna …
Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja
  …
Pujian dan celaan mereka sama saja …
Tidaklah merasa
  takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …
Dahulu
  sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama
  Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak
  bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning ,
  dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya
  Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan
  Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan
  yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan
  namanya Candrawata  dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3
  anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam.
  Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.
Lalu Sayyid
  Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang
  telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada
  raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk
  pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara
  yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian
  berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian
  berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri,
  pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan
  pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke
  negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi
  Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari
  negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga
  negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak
  tahu bagaimana akhirnya.
Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan
  kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja
  untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun
  Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama
  Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung.
  Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu
  Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun
  Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama
  Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada
  saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap
  hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu
  penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji
  kapas.
Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama
  Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk
  bekerja sebagai tukang besi.
Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak :
  Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo
Sayyid Rahmat memiliki
  5 orang anak dari Raden Ayu Candrawati :Sayyidah Syarifah, Mutmainnah, Hafsah
  dan Sayyid Ibrahim, Sayyid Qasim. Kemudian menikah lagi dengan Maskarimah
  binti Kembang Kuning yang lahir padanya 2 anak perempuan : Murtiah dan
  Murtasimah. Seluruh anak-anaknya belajar ilmu-ilmu syariah (agama) dari
  bapaknya. Inilah keterangan yang menjelaskan tentang Sayyid Rajafandita dan
  saudaranya (Sayyid Rahmat).
Anak-anak Ki Tarub yang telah lalu nama
  mereka disebut maka yang bernama Nawangsih ia menikah dengan Lembu Peteng bin
  Brawijaya atau yang dinamakan Shohroh Tarub yang dikaruniai anak yang bernama
  Getas Pandawa. Dan anaknya yang bernama Nawangsasi menikah dengan Raden Jaka
  Kandar bermukim di desa Malaya di Bangkalan di Madura; Kemudian memiliki anak
  bernama Asiyah dan Dewi Irah. Adapun anak perempuan Ki Tarub yang bernama
  Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang ia menguasai negeri Wilatikta
  (Tumenggung Wilatikta).
Telah disebutkan bahwasanya raja Pajajaran
  Mundi Wangi memiliki istri kedua dan dikarunia anak laki-laki yang bernama
  Giyung Manar yang dikarunia anak bernama Bambang Wecana yang dikaruniai anak
  Bambang Pamengker., dan bapaknya ini tunduk di bawah kuasa raja Majapahit,
  menjauhkan diri tinggal di desa di bawah gunung semeru, Bambang Pamengker
  dikarunia anak bernama Minak Paranggula yang dikarunia anak bernama Minak
  Sambayu yang menjadi raja di negeri Blambangan. Akan datang keterkaitan kisah
  mereka.
  Kisah Sayyid Maulana Ishaq
Maulana Ishak yang telah lalu penyebutannya, ia adalah saudara Sayyid
  Ibrahim; Maka ketika ia menjadi laki-laki petualang di bumi, sampai ke negeri
  Pasa yaitu negeri di pulau sumatera, maka tinggallah ia di sana (Pasa).
  Dikaruniai anak bernama Sayyid Abdul Qadir dan Sarah.
Kemudian
  pergilah Mulana Ishak ke pulau jawa dan meninggalkan kedua anaknya kepada
  ibunya. Dimana keduanya masih kecil. Naiklah Maulana Ishak ke kapal milik
  laki-laki asal Gresik dan berjalan kapal dengan baik sampai tibalah di Gresik,
  kemudian turun dan menuju ke Surabaya, masuk ke desa Ampel saat waktu ashar.
  Secara kebetulan di situ bertemu dengan Sayyid Rahmat shalat sebagai imam yang
  di-ikuti tiga laki-laki : Abu Hurairah, Ki Wirajaya dan Ki Bangkuning. Maka
  Maulana Ishaq menunggu di luar masjid. Ketika Sayyid Rahmat sudah salam dari
  shalatnya, Maulana Ishaq memberi salam dan dijawab salamnya. Kemudian mereka
  berdua saling bertanya tentang nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Maka
  tahulah Sayyid Rahmat bahwasanya Maulana Ishaq adalah saudara dari bapaknya.
  Maulana Ishak berkata : Engkau berarti adalah anakku, karena sebab bapakmu
  saudara laki-lakiku. Kemudian berkata kepadanya Sayyid Rahmat : Dulu tidak ada
  seorangpun muslim di sini kecuali aku dan saudaraku Sayyid Rajafandita dan
  temanku Abu Hurairah, kami adalah yang pertama kali muslim di pulau
  jawa. 
  Maulana Ishak berkata : Aku namakan engkau Sunan yang pertama, pertama karena
  sebab engkau yang awal muslim di pulau jawa. Maka sepakatlah manusia yaitu
  menetapkan nama ini kepada Sayyid Rahmat. Senantiasa Sayyid Rahmat menyeru
  manusia kepada agama Allah Ta’ala dan kepada ibadah  kepada-Nya.
  Sampai-sampai seluruh penghuni Ampel mengikutinya dan yang di sekitarnya serta
  kebanyakan orang-orang Surabaya. Tidaklah itu kecuali kebaikan akan nasihatnya
  dan hikmahnya dalam berdakwah serta baiknya akhlaknya kepada manusia dan
  baiknya dalam berjidal, menerapkan firman Allah : Serulah manusia kepada jalan
  Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta berjidallah dengan mereka
  dengan sebaik-baik jidal (Al-Ayat), dan Firman Allah Ta’ala : Rendah dirilah
  kamu kepada orang-orang yang beriman, dan firman-Nya : Perintahkan kepada
  kebaikan dan dan menjauhi kemungkaran serta sabarlah atas apa yang menimpamu,
  sungguh yang demikan itu adalah yang diwajibkan oleh Allah. Inilah yang
  semestinya para imam-imam muslim dan masyaikh mereka mengikuti jalan tersebut
  yang diridhai sampai manusia masuk agama Allah berbondong-bondong. Berkata
  penyair :
Terimalah maaf mereka, berjalanlah dengan adat
  sebagaimana …
Engkau diperintah, dan tampakanlah (perintah
  tersebut) kepada mereka yang jahil …
Lemah lembutlah semampumu pada
  setiap manusia …
Maka akan tampak baik atas mereka yang jahil …
Dan
  kepada mereka yang keras kepala, sentuhlah mereka …
Dengan sabar,
  agar supaya terangkat mereka yang sempurna …
Kemudian berselang
  beberapa lama, Maulana Ishaq undur diri kepada Sayyid Rahmat dan kemudian
  keluar dari Ampel berjalan menuju timur laut menaiki gunung dan turun di
  lembah-lembah sampai ke negeri Banyuwangi. Naik di atas gunung yang dikatakan
  Selangu semata-mata untuk beribadah di sana, shalat wajib, sunnah dan berpuasa
  untuk mencari ridha Ar-Rahman dan menjauhkan diri dari seluruh maksiat; Ia
  Menyendiri, bersungguh-sungguh meninggalkan hawa nasfu dan godaan setan
  semata-mata untuk hati dan mensucikannya dari kebimbangan agar menjadi orang
  yang bersyukur dan memuji Rabb-nya, ia bergegas kepada-Nya menghilangkan
  syirik yang tersembunyi untuk benteng dan senjata dalamnya iman dan
  keyakinan.
Minak Sambayu (raja Blambangan) yang telah lalu
  penyebutannya memiliki anak perempuan bernama Sekar Dadu yang ia dahulu
  intinya adalah orang yang baik, yang memikat laki-laki, sehingga padanya
  dikatakan :
Ia adalah perempuan yang memiliki kehidupan seperti
  purnama yang menyihir …
Rambutnya seperti malam ketika gelap gulita
  …
Keluar dari mulutnya cahaya ketika tersenyum …
Sebagaimana
  kilat yang menyapu penglihatan ketika dipandang …
Ia berjalan
  malu-malu tersipu dan menoleh …
Maka jadilah yang memandangnya
  sebagaimana orang mabuk …
Ketika ia menghadap, aku lihat tidak
  montok pada keduanya …
Seperti dua delima, bagi siapa yang
  memandang …
Dan ketika ia membalikkan badan seolah bergelombang
  acak (rambutnya) …
Perawakannya tidak tinggi ataupun pendek,
  artinya cukup …
Pada saat itu ia sakit keras, telah banyak tabib
  letih bingung mesti menggunakan obat apa lagi. Bersedihlah raja Blambangan
  karena sebab hal itu, dengan kesedihan yang sangat. Maka dikumpulkanlah
  menteri-menteri, pemerintahan, pegawai dan ahli fatwa kerajaan. Setiap dari
  mereka diseru untuk mencari obat penyembuh pada setiap wilayah mereka untuk
  anak perempuan raja, maka barangsiapa yang berhasil menyembuhkannya akan
  dinikahkan dengannya dan diberikan separuh harta kerajaan. Maka mereka semua
  menyeru seluruh orang-orang desa dan penjuru negeri, akan tetapi tidak ada
  hasil. Maka pada suatu hari, berkata sebagaian menteri-menterinya : Sungguh
  kami melihat seorang manusia berpakaian jubah memakai kopyah putih yang
  tinggal menyendiri di atas gunung Salangu dan berbeda dengan manusia pada
  umumnya, ketika tergelincir matahari di langit, ia berdiri dan meletakkan
  tangannya ke dadanya dan digerak-gerakkan mulutnya dengan berucap dengan apa
  yang kami tidak paham, tidak tolah-toleh sampai kemudian tertunduk meletakkan
  tangannya di lututnya kemudian mengangkat kedua tangannya, kemudian
  menjatuhkan diri dan meletakkan dahinya ke bumi, kemudian duduk dan akhirnya
  menoleh ke kanan dan kiri; Maka jika terbenam matahari ia melakukan hal itu
  lagi, jika hilang matahari ia melakukan lagi, jika sebelum matahari muncul ia
  melakukan itu lagi dengan ringan, itulah kegiatannya setiap hari. 
Kemudian raja berkehendak memanggilnya agar menyembuhkan anak perempuannya yang mulia, semoga ia dapat menyembuhkannya. Raja berkata : Panggil dia yang telah kalian bicarakan. Maka menteri tersebut memanggil Maulana Ishak agar menghadap di hadapan raja Blambangan, maka ketika mereka bertemu dengan Maulan Ishak, mereka mengkabarkan keinginan raja padanya. Maulana Ishak pun memenuhi panggilan raja, dan turun bersama menteri-menteri kerajaan. Maka ketika sampai di hadapan raja, raja berkata : Sungguh aku memiliki anak perempuan, ia adalah buah hatiku dan separuh jiwaku dan sekarang ia sedang sakit, sudah lama sakitnya, sampai-sampai para tabib sudah lelah mencari obatnya, maka sekiranya engkau memiliki obat, sembuhkanlah dia; Aku bernadzar : Barangsiapa yang menyembuhkannya, akan aku nikahkan dengannya dan bersamanya akan aku berikan setengah dari kerajaanku. Maka Maulana Ishak menerima tawaran tersebut sembari berdoa kepada Allah, mengiba kepada-Nya agar Allah memberi kesembuhan dan menghilangkan sakitnya dengan izin-Nya. Maka tiba-tiba anak raja sembuh, kemudian dinikahkanlah ia dengannya dan memberikan setengah dari kerajaannya.
Oleh karena itu, menjadi mudahlah menyeru manusia kepada islam, ia senantiasa menyeru mereka kepada islam sampai-sampai berislam kebanyakan dari penduduk negeri tersebut. Pada suatu hari Maulana Ishak masuk menemui raja Blambangan dan berkata padanya : Wahai bapakku, aku datang kepadamu untuk menyeru agar meninggalkan patung-patung berhala dan mengikuti setan menuju hanya beribadah kepada Allah Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, Yang Menghidupkan dan Mematikan, Raja seluruh alam; Katakanlah Asyhadu Anlaa illaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Maka ketika mendengar ucapan Maulana Ishak, berubah wajahnya dan memerah, marah kepada Maulana Ishak dan berkata : Jika engkau tidak keluar sekarang dari hadapanku, aku akan cerai beraikan tubuhmu. Keluarlah Maulana Ishak, menghilang sebagai buronan. Saat itu istrinya telah hamil 7 bulan, menangis karena berpisah dengan suaminya, redup dan sedih menyelimutinya. Maulan Ishak tidak kunjung datang. Maulana Ishak tetap bersembunyi sembari berdoa memohon pertolongan Allah agar Allah menghukum raja Blambangan.
Maka Allah turunkan pada penduduk Blambangan wabah dan kematian mendadak, matilah kebanyakan rakyatnya, dan tidak mampu menghalau (adzab dari Allah). Bersedihlah raja Blambangan, sampai-sampai tidak nafsu makan, tidak bisa tidur, ia berkata : Ini adalah akibat dari kesialan laki-laki itu (maksudnya Maulana Ishak) dan anaknya yang sekarang dalam kandungan anakku, sungguh kalau dia lahir akan aku hempaskan ke laut. Maka ketika sempurna masa kandungannya, ia lahir seperti emas murni. Raja mengambilnya dan meletakkannya di peti mati, dan memerintahkan untuk dibuang ke lautan. Terhempaslah kelaut terbawa ombak (peti tersebut) naik turun terjaga, dijaga oleh Allah Ta’ala dan terjaga oleh perhatian-Nya. Itulah yang termasuk sebagian karamah. Ketika peti tersebut melalui kapal dagang penduduk Gresik, diambillah oleh awak kapalnya, maka ketika peti itu dibuka, dijumpai padanya seorang anak yang bercahaya dan wajahnya seperti bulan yang bersinar. Saat itu, para pedagan yang menaiki kapal itu akan pergi menuju Bali.
  Dibawalah anak tersebut sampai Bali dengan selamat. Ketika pedagang itu
  selesai urusannya di Bali, mereka beranjak menuju Tandes kemudian barulah
  pulang menuju Gresik bersamaan dengan anak tersebut. Diturunkannya anak itu di
  pelabuhan, kemudian diserahkanlah anak itu kepada perempuan yang bernama Nyai
  Gede anak Sayyid Rajafandita yang telah lalu kisahnya. Nyai berkata : Anak
  siapa ini ? Mereka (para pedagang) berkata : Anak ini hanyut di dekat
  pelabuhan Blambangan, berbutar-putar di air laut. Maka sangat senanglah Nyai
  Gede, di mana ia belum melahirkan anak seorang pun. Anak tersebut ia namakan
  Broedin, dididiklah ia dengan didikan yang baik, dan sangat dicintai; Akan
  tetapi anak tersebut tidak dapat menyusu pada seorang perempuanpun, hanya
  menghisap jemarinya saja sampai umur 7 hari. Setelah itu barulah bisa minum
  susu, ini sudah menjadi kebiasan bayi.
Maulana Ishak setelah
  bersembunyi di balik bukit kecil, kembali menuju negerinya yakni Pasa di pulau
  Sumatera berkumpul dengan istrinya dan anak-anaknya. Maulana Ishak
  mengkabarkan bahwa istri dan anaknya masih punya kerabat yaitu anak dari
  pamannya di pulau jawa di desa Ampel yang termasuk wilayah Surabaya yang
  namanya adalah Sayyid Rahmat yang ia termasuk dari yang pertama kali islam di
  pulau Jawa, ia juga imam bagi orang-orang islam, wali dan orang shalih;
  Mengajarkan islam, jalan islam dan hakikat islam. Maulana Ishak tidak menetap
  di Pasa kecuali hanya selama beberapa hari dan kemudian wafat, dikatakan
  selama 7 hari di Pasa dan kemudian wafat. Datang para ulama dan para wali
  untuk menyolatkannya, setelah dishalatkan dibawa ia ke kubur yang dikatakan
  Kuburan Taman Sari. Mereka semua berdesakan sembari bershalawat di kuburnya,
  bertasbih, tahmid, tahlil dan membaca Al-Qur’an, semoga mendapatkan balasan
  yang luas atas ruh Maulana Ishak, ia dikuburkan di sana, semoga baginya rahmat
  Allah yang tak terputus bagi Maulana Ishak.
  Kisah Sayyid Abdul Qadir (Sunan Gunung Jati) dan Sayyidah Sarah
Kisah anaknya yaitu Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah, maka
  mereka berdua sepeninggal bapak mereka sepakat untuk berkeliling bumi.
  Sehingga sampailah mereka ke negeri Adan yaitu di jazirah arab, mereka menetap
  berhari-hari di sana kemudian lanjut menaiki kapal yang kemudian melaju ke
  Keling selama 11 hari, dan menetap di sana selama sebulan kemudian naik kapal
  lagi sampai tiba di pulau Jawa, kemudian naik kapal sampai negeri yang
  dinamakan Juwana ia adalah pelabuhan di antara pelabuhan-pelabuhan di waktu
  itu. Dan keluar mereka berdua menuju Surabaya. 
  Dan berjalan sampai desa Ampel, mereka berdua bertanya akan rumah dari Sayyid
  Rahmat, maka ditunjukkanlah mereka berdua menuju rumah Sayyid Rahmat. Maka
  ketika bertemu dengannya, mereka berdua mengucapkan salam, dan dibalas
  salamnya. Kemudian Sayyid Rahmat bertanya tentang nama mereka, negerinya dan
  siapa orang tua mereka berdua. Berkata Sayyid Abdul Qadir : Namaku adalah
  Abdul Qadir, dan ini adalah saudari perempuanku Sarah, kami berdua datang dari
  negeri Pasa di pulau Sumatera, bapak kami bernama Maulana Ishak dan ia telah
  wafat; Dikabarkan kepada kami ketika ia masih hidup bahwa kami punya kerabat
  dekat bernama Sayyid Rahmat yang tinggal di desa Ampel di Surabaya pulau Jawa
  dan menjadi imam bagi orang-orang islam di sana. Berkata Sayyid Rahmat : Kalau
  begitu kalian berdua adalah saudaraku, bapak kalian berdua adalah saudara dari
  bapakku. Mereka saling berpelukan dan menangis gembira.
Telah lalu
  penjelasan Arya Baribain yang memiliki 2 anak, perempuan yang namanya Madu
  Ratna dan telah menikah dengan Sayyid Rajafandita; Dan yang lak-laki bernama
  Jaka Kondar. Dahulu Jaka Kondar bahwasanya masuk islam dan menganut paham
  zuhud sembari menyendiri di atas gunung untuk beribadah dan riyadhah di desa
  yang bernama Malaya; Ia tidak behenti demikian sampai dia menjadi wali di
  antara wali-wali Allah Ta’ala, dan terkenal dengan nama Sunan Malaya. Ia
  memiliki anak perempuan yang bernama Asiya dan menikah dengan Sayyid Abdul
  Qadir bin Maulana Ishak yang telah lalu penyebutannya. Sayyid Abdul Qadir
  menetap di desa Gunung Jati yang berada di Cirebon; Menjadi imam di sana dan
  juga memilih jalan zuhud dengan tetap menyendiri dan riyadhah, sedikit makan,
  sedikit tidur untuk berkhalwat dan riyadhah dengan macam-macam ibadah wajib
  dan sunnah yang baik. Keadaannya tetap demikian hingga jadilah ia wali di
  antara wali-wali Allah dan terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Ia
  senantiasa berdakwah menyeru manusia kepada islam, dan masuk islamlah banyak
  manusia; Dan yang tidak masuk islam pada saat itu ketakutan sehingga
  mengasingkan diri ke hutan dan pedesaan, mereka takut ikut-ikutan masuk islam.
  Sayyid Abdul Qadir memiliki 2 anak, yang laki-laki bernama Abdul Jalil dan
  perempuan bernama Sufiyyah. Inilah kisah dari Sayyid Abdul Qadir.
Pada
  waktu itu telah datang di pulau Jawa 3 orang laki-laki dari arab dari negeri
  Yaman yang juga sebagai keturunan dari Rasulullah bernama Sayyid Muhsin,
  Sayyid Ahmad dan Khalifah Husain. Mereka datang ke Ampel dan menemui Sayyid
  Rahmat memberi salam lalu salam mereka dijawab. Mereka ditanya tentang nama,
  negeri asal dan tujuan mereka. Berkata Sayyid Muhsin : Nama saya Muhsin, ini
  saudaraku Khalifah Husain dan ini Ahmad; Kami datang dari dari Yaman kepadamu
  untuk belajar ilmu-ilmu syariah dan metodenya serta hakikat dari ilmu
  tersebut. Berkata Sayyid Rahmat : Wahai anak-anakku, sungguh ilmu itu berat.
  Berkata Sayyid Muhsin : Kami berharap karunia dari Allah dan dari keberkahan
  doa engkau kepada kami semua; Begitu juga dengan seruan bapak-bapak kami agar
  kami bertakwa di atas amalan dengan ilmu dan ikhlas. Maka belajarlah mereka
  dengan ilmu tersebut, mulazamah dengan khidmah dan beramal dengan ketaatan
  yang di tunjuki oleh ilmu yang kemudian jadilah mereka bertiga wali di antara
  wali-wali Allah Ta’ala.
Telah lalu penyebutan bahwa Sayyid Rahmat
  memiliki 7 orang anak dan telah lalu penyebutan nama mereka. Adapun Syarifah
  binti Sayyid Rahmat, menikah dengan Haji Ustman bin Sayyid Rajafandita dan
  tinggal di desa dekat dengan Mayuran, menyendiri di sana beribadah, melepaskan
  segala penyelisihan diri dan hawa nafsu hingga menjadi wali di antara
  wali-wali Allah, yang terkenal dengan nama Sunan Mayuran dan memiliki anak
  bernama Amir Husain.
Adapun Sayyidah Mutmainnah binti Sayyid
  Rahmat, menikah dengan Sayyid Muhsin dan tinggal di desa Wilis, menyendiri di
  sana untuh riyadhah dan ibadah sembari menempuh jalan para wali hingga menjadi
  wali di antara wali-wali Allah Ta’ala dan terkenal dengan nama Sunan Wilis
  serta memiliki anak yang bernama Amir Hamzah.
Adapun Sayyidah
  Hafsah binti Sayyid Rahmat yang disebut juga Nyai Ageng Meluka menikah dengan
  Sayyid Ahmad dan tinggal di desa dekat gunung Kamlaka menyendiri di sana untuk
  mujahadah diri dan semata-mata beribadah meraih ridha Allaah dengan sedikit
  makan, tidur dan terus keadaannya demikian sampai 3 tahun hingga menjadi wali
  di antara wali-wali Allah Ta’ala yang terkenal dengan nama Sunan Kamlaka dan
  tidak dikarunia anak.
  Kisah Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang)  
    
Adapun Sayyid Ibrahim bin Sayyid Rahmat menikah dengan Dewi Irah
  binti Jaka Kondar dan memiliki anak perempuan bernama Rahil dan jadilah Sayyid
  Ibrahim imam bagi penduduk Lasem dan Tuban serta tinggal di desa Bonang di
  Lasem. Ia menyendiri dan ibadah di atas gunung Gading dekat dengan pesisir
  pantai dan bersungguh-sungguh untuk riyadhah dengan sedikit makan dan tidur
  serta menahan hawa nafsu pada dirinya; Ia fokus mengerjakan kewajiban dan
  sunnah dalam ibadah-ibadah semata-mata untuk taat kepada Ar-Rahman dan
  menjauhi godaan setan dengan menyendiri dari manusia seperti perkataan yang
  cocok saat itu dikatakan :
Hijrahku dari manusia menghalau dari
  maksiat kepada-Mu …
Aku menyendiri dari keluarga untuk melihat-Mu
  …
Sekiranya engkau menghalau-ku dari kecintaan, bimbinglah oleh-Mu
  …
Dengan tidak diamnya hati ini dari selain-Mu …
Melampaui
  diri dari kelemahan yang sungguh Engkau berikan …
Telah datang
  pada-Mu dengan teguh mengharap ridha-Mu …
Sekiranya tidak demikian,
  sungguh wahai Yang Maha Hidup, maksiatku pada-Mu …
Tidaklah ia
  bersujud kepada selain-Mu …
Inilah hamba-Mu yang bermaksiat datang
  pada-Mu …
Bersimbah dosa dan maksiat pada-Mu …
Jika
  Engkau tak ampuni, Engkaulah pemilik hikmah …
Jika Engkau tolak
  (diriku), siapa lagi yang ku harap selain diri-Mu …
Senantiasa
  Sayyid Ibrahim beribadah kepada-Nya sampai menjadi pembesar wali Allah Ta’ala
  yang terkenal dengan nama Sunan Bonang. Di antara karamahnya yang nampak
  adalah bekas dahi, hidung, lutut dan ujung kakinya yang ada di atas batu besar
  sampai sekarang, terkenal nama batu itu dengan Sujudan, tinggal batu tersebut
  di atas gunung yang telah disebutkan tadi. Di tempat dekat dengan batu itu
  terdapat makam dari perempuan, anak dari raja Cina, Putri Cempa. 
Dikatakan ia berislam ketika melihat Sayyid Ibrahim shalat di atas batu dan tercetak bekas shalatnya ketika ia meninggalkannya. Puteri tersebut tidak berpindah dari melihat hal tersebut sampai wafat dan dikubur di sana, dibangunlah kubah di atas kuburnya yang tiang-tiangnya dari tulang ikan laut. Dikatakan pula dari karamah Sayyid Ibrahim adalah menjadikan dua babi menjadi batu, ceritanya ketika ia berjalan melihat dua babi bersama sebagian muridnya, babi itu kawin dengan babi betina, maka muridnya berkata padanya dan mengira tak melihat babi-babi itu : Sungguh di hadapanmu ada babi yang kawin. Sayyid Ibrahim menjawab : Bukan, itu hanyalah dua batu. Jadilah babi-babi itu batu yang ada sampai sekarang di tempat yang dikatakan batu babi (Watu Celeng) di desa Karas kecamatan Sedan yang ikut Rembang. Dan karamah-karamah selainnya.
  Kisah Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung)
    
Adapun Sayyid Utsman Hajj adalah saudara Hajj Utsman yang anak
  dari Sayyid Rajafandita yang ia menikah dengan perempuan bernama Dewi Sari
  anak dari Raden Syakur bin Arya Tija yang telah lalu disebutkan, dan ia
  menjadi imam penduduk Jipang dan Panulan. Tinggal di desa Ngudung dan menempuh
  jalan para wali, mengesampingkan dunia dan senantiasa riyadhah semata-mata
  beribadah hingga jadilah wali yang dikenal dengan nama Sunan Ngudung. Memiliki
  anak perempuan bernama Sujinah dan laki-laki yang bernama Amirul Hajj.
Adapun
  Nyai Gede Tundo binti Sayyid Rajafandita menikah dengan Sayyid Khalifah Husein
  dan menjadi imam di Madura, menetap di desa Kertayasa, menyendiri di sana
  untuk ibadah, mencari ridha Allah hingga menjadi wali Allah dan terkenal
  dengan nama Sunan Kertayasa. Memiliki anak yang bernama Khalifah Sughro.
  Orang-orang banyak mengikuti islam di negeri tersebut.
Raden Syakur
  yang telah disebutkan lalu memiliki anak bernama Radin Syahid dan menikah
  Raden Syahid dengan Sayyidah Sarah binti Maulan Ishak yang ia adalah saudara
  kandung dari Sayyid Abdul Qadir. Raden Syahid menjadi imam bagi penduduk
  Dermayu dan Manulan dan tinggal di desa Kali Jaka dan menyendiri di sana untuk
  ibadah dan bersungguh-sungguh terus-menerus riyadhah sampai menjadi wali di
  antara wali-wali Allah Ta’ala yang di-ikuti oleh banyak manusia dalam ketaatan
  kepada Allah Ta’ala, dan ia tidak selesai dalam menyendiri dan riyadhah serta
  menghadapkan hatinya menuju akhirat dan membelakangi dunia seluruhnya. Ia
  memiliki 3 orang anak : Raden Said, Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah Rafi’ah.
Kemudian
  bahwasanya Sayyid Abdul Jalil bin Sayyid Abdul Qadir dan Sayyid Amir Husain
  bin Hajj Utsman dan Sayyid Amir Hajj bin Sayyid Utsman Hajj dan Raden Said bin
  Raden Syahid dan Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin yang mereka telah lalu
  disebutkan; Mereka semua pergi menuju ampel untuk mengabdi kepada Sayyid
  Rahmat dan mengambil ilmu darinya. Sayyid Qasim bin Sayyid Rahmat adalah orang
  yang kehidupannya hanya untuk belajar.
Telah lalu bahwasanya anak
  laki-laki dari Maulana Ishak yang dibuang oleh raja Blambangan, menuju ke
  penduduk Gresik dan diserahkan kepada Nyai Gede Tundo Pinatih. Nyai namakan
  dengan Raden Paku. Ia dididik oleh Nyai Gede sampai menginjak usia 15 tahun,
  dan mulai untuk menuntut ilmu syariah. Raden Paku mendengar bahwasanya di
  Ampel daerah Surabaya ada seorang Alim dari pembesar para ulama yang
  mengajarkan manusia 3 ilmu : Syariah, Thariqah dan hakikat. Iaa berkata kepada
  ibunya : Wahai ibu, aku dengar di Surabaya ada seorang Alim dari pembesar para
  ulama yang ia terkenal sebagai bagian dari para wali Allah Ta’ala namanya
  adalah Sayyid Rahmat yang bergelar Sunan Maqdum, ia tinggal di desa Ampel, aku
  ingi pergi kepadanya, dan ingin berkhidmah padanya; Akan tetapi aku meminta
  engkau pergi bersamaku untuk menyerahkanku padanya. Maka ibunya berkata:
  Lakukanlah apa yang menjadi kepastianmu, dan aku akan pergi bersamamu
  kepadanya. 
  Maka pergilah mereka berdua menuju Ampel, maka ketika sampai, ibunya menemui
  Sayyid Rahmat dan berkata padanya: Aku datang kemari untuk menyerahkan anakku
  padamu, karena ia mencintai belajar denganmu, belajar ilmu-ilmu yang ia
  butuhkan dari agamanya. Berkata Sayyid Rahmat : Di mana anak itu sekarang?
  Berkata Ibunya : Itu dia ada di luar rumah berteduh di bawah pohon besar. Maka
  ia dipanggil untuk menghadap Sayyid Rahmat, duduk di hadapannya. Ketika Sayyid
  Rahmat melihatnya, ia terdiam dan memperhatikan wajahnya dan teringat wajah
  Maulan Ishak dan anaknya yang mirip dengannya. Ia berkata kepada ibunya :
  Apakah ini anakmu sendiri atau anak anak angkat. Kemudian ibunya mengkabarkan
  yang sebenarnya akan urusannya sebagaimana kisah yang telah lalu. Berkata
  Sayyid Rahmat : Jika apa yang telah kau kabarkan adalah benar adanya, maka ini
  adalah anak dari pamanku dan aku ingin penjelasan darimu. Ibunya berkata :
  Yang terpenting engkau ajari anak ini, sungguh aku menyerahkan padamu untuk
  diajar adab dan ilmu-ilmu agama. Ibunya meninggalkannya di sisi Sayyid Rahmat,
  maka diajarilah ia adab, ilmu dan jalan naqsabandiyyah. Inilah kisah Raden
  Paku.
Telah lalu bahwasanya raja Brawijaya memiliki seorang anak
  dari istri orang cina yang bernama Raden Patah, Raden Patah memiliki saudara
  seibu yang bernama Raden Husain dan keduanya berada di Palembang. Mereka
  bermusyawarah dan sepakat untuk pergi ke Ampel untuk berkhidmat kepada Sayyid
  Rahmat belajar ilmu darinya. Maka ditinggalkanlah bapak mereka berdua yaitu
  Raden Arya Damar, dan ia mengizinkan mereka berdua. Maka mereka berdua pergi
  sampai ke Ampel dan masuk menemui Sayyid Rahmat, maka Sayyid Rahmat bertanya
  akan nama mereka dan negeri asal mereka berdua. Berkata Raden Patah : Namaku
  Patah dan saya adalah anak dari raja Brawijaya dan ini adalah saudaraku yang
  bernama Raden Husain, anak dari Raden Arya Damar pemimpin negeri Palembang;
  Kami datang untuk berkhidmat kepadamu dan belajar agama islam darimu. Kemudian
  mereka berdua tinggal bersamanya dan belajar agama islam darinya. Adapun Raden
  Patah adalah anak yang cepat paham, kuat akalnya, paham tentang semua yang
  diajarkan padanya dari ilmu. 
Adapun Raden Husain lambat. Jadilah Patah seorang Alim akan ilmu syariah, thariqah dan hakikat. Ia sibuk untuk beramal wajib dan sunnah dalam ibadah-ibadahnya, menjauhi yang haram dan yang makruh. Kemudian Raden Husain setelah berjalannya waktu tinggal di Ampel, berkata pada dirinya sendiri : Bagaimana aku dapat berpisah dari saudaraku Patah dan menyendiri belajar ilmu-ilmu agama dan sibuk dengannya, yang hal itu didapat tanpa perlu orang-orang mengetahui kedudukanku sebagai anak raja. Maka selang beberapa lama ia berkata kepada Raden Patah : Wahai saudaraku, kita telah tinggal di sini melayani Sayyid Rahmat dan kita telah meraih tujuan kita belajar ilmu ibadah. Oleh karena itu kita sekarang pergi ke Majapahit berkhidmat kepada raja Brawijaya agar supaya kita berhasil mensunnikan (Majapahit) dan memberikan kedudukan yang tinggi.
  Raden Patah berkata : Aku tidak ingin hal tersebut, pergilah engkau sendiri
  menuju raja Brawijaya sedangkan aku tinggal di sini sebagai pelayan Sayyid
  Rahmat. Berkata padanya Raden Husain : Lakukanlah apa yang kau suka, adapun
  aku akan pergi menuju Majapahit, aku izin demikian. Berkata Raden Patah :
  Kalau begitu pergilah. Raden Husain pergi meninggalkan Sayyid Rahmat menuju ke
  Majapahit, bertemu dengan Raden Patah sebentar kemudian lanjut meninggalkan
  Ampel. Raden Husain terus berjalan sampai Majapahit, masuklah ia bertemu
  dengan raja Brawijaya kemudian mencium bumi di hadapannya maka raja menahannya
  dan memperhatikannya dari wajahnya dan ingat anaknya Arya Damar ketika melihat
  Raden Husain karena padanya terdapat kemiripan. Berkata raja Brawijaya : Siapa
  namamu, dari negeri mana dan siapa bapakmu ?. Berkata Raden Husain : Wahai
  raja, namaku Raden Husain dan bapakku bernama Arya Damar dan ia pemimpin
  Palembang; Aku datang untuk berkhidmat padamu. Maka ketika lama khidmah Raden
  Husain, diangkatlah ia menjadi menteri dan diangkat di negeri yang bernama
  Terung dan digelari Pecut Tanda.
Suatu hari berbicang Brawijaya
  dengan istrinya yaitu Martaningrum. Istrinya menceritakan bahwasanya ia
  memiliki seorang saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang saat itu
  memiliki keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :
Rambutnya
  seolah senja menghitam dan di wajahnya seolah fajar bersinar …
Giginya
  bagaikan lampu-lampu yang berjejer …
Perawakan tubuh bagian
  belakangnya berpostur kencang …
Berlenggak-lenggok dari belakang
  menonjol bagaikan bukit …
Seolah dirinya acuh orang-orang
  mensifatinya dan larut dalam pikiran kotor mereka …
Entah mereka
  dari kalangan manusia atau seperti kijang …
Maka ketika Brawijaya
  mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari perempuannya;
  Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya menikahkan saudari perempuannya
  dengannya. Ia kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya Ba’ah, yang dia
  juga orang kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan permisalan
  dari Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau kepada
  raja Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan raja
  Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya
  dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata
  Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke
  negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :
Aku
  keluar akan tetapi keluarku bukan untuk mencari rintangan …
Akan
  tetapi untuk meraih keridhaanmu yang kau impikan …
Sekiranya bukan
  karenanya, tidaklah aku mau mencari hal yang membahayakan …
Dengan
  mendatangi negeri asing dan lautan sembari membawa pesan …
Kepada
  raja di negeri yang aku belum pernah masuk padanya …
Untuk membawa
  anaknya yang seperti terangnya bulan purnama …
Dengan hati yang di
  kelilingi ketakutan …
Yang bahwasanya seperti burung kecil yang
  dilempar kepada elang …
Wahai kiranya ini (yaitu resiko sebagai
  menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …
Aku akan raih dengan
  kegembiraan dan kemuliaan  termulia …
Arya Ba’ah tidak
  berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia
  memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja
  setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu
  penyebutannya. Anaknya yaitu Candrawulan telah menikah dengan seorang
  laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas
  pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu
  akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak mendapat
  hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya akan namanya
  dan tentang negerinya serta keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya
  seorang laki-laki dari Jawa, namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus
  oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya :
  Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya
  kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia
  ridho. 
Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri. Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa juga sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa pesan dari raja Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum).
Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah seisi rumah sehingga ramai terdengar.
  Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah sembari memendam
  kekesalan yang tidak diragukan lagi karena sebab ia menyangkan semua ini
  akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya. Berkata Brawijaya kepada
  istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian, engkau menangis, dan
  menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku menangis karena sebab
  wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya
  ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan (yang sampai) berkenaan dengan
  hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh bapakku berpesan padaku untuk
  mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia telah wafat, dan keduanya
  telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa bapakku telah tiada. Inilah
  yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan Istrinya.
Adapun
  yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang keduanya
  adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua berasal dari negeri Campa,
  keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua pernah mengunjungi bibinya
  yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri Majapahit. Pada saat itu
  bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu Hurairah untuk menemani
  keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun, agar senantiasa
  berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar dari negeri Campa
  menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada negeri yang
  dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang milik orang
  Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. 
Naiklah mereka semua ke kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah.
Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis. Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya.
  Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang
  bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar
  bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka
  tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk
  membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak
  tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari
  perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa
  senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya)
  akan merasa senang atas bantuanmu. Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia
  memanggil ketiganya da berkata dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan
  raja Brawijaya, yang datang kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian
  kepada mereka, pergilah kalian bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata
  : Kami mendengar dan taat. Arya Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya
  dan mereka bertiga dari raja Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka
  bertiga dipanggil oleh Arya Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika
  berhadapan dengannya, raja bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal
  hingga akhir. Kemudian Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan
  memuliakan mereka dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun
  ke-enam hijriyyah.
Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua
  anak ini, seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain.
  Ia memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati
  karena tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa
  secara umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan
  shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut
  seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun
  dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan
  selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek
  dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang
  disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari
  tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara
  masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang
  menyembah Tuhannya.
Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid
  Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan
  petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak
  boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan
  tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala,
  sebagaimana berkata sebagian Ulama :
Keimanan seorang hamba
  tidaklah sempurna …
Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja
  …
Pujian dan celaan mereka sama saja …
Tidaklah merasa
  takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …
Dahulu
  sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama
  Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak
  bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning ,
  dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya
  Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan
  Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan
  yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan
  namanya Candrawata  dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3
  anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam.
  Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.
Lalu Sayyid
  Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang
  telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada
  raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk
  pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara
  yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian
  berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian
  berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri,
  pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan
  pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke
  negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi
  Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari
  negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga
  negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak
  tahu bagaimana akhirnya.
Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan
  kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja
  untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun
  Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama
  Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung.
  Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu
  Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun
  Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama
  Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada
  saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap
  hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu
  penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji
  kapas.
Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama
  Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk
  bekerja sebagai tukang besi.
Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak :
  Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo
Suatu hari berbicang
  Brawijaya dengan istrinya yaitu Martaningrum. Istrinya menceritakan bahwasanya
  ia memiliki seorang saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang saat itu
  memiliki keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :
Rambutnya
  seolah senja menghitam dan di wajahnya seolah fajar bersinar …
Giginya
  bagaikan lampu-lampu yang berjejer …
Perawakan tubuh bagian
  belakangnya berpostur kencang …
Berlenggak-lenggok dari belakang
  menonjol bagaikan bukit …
Seolah dirinya acuh orang-orang
  mensifatinya dan larut dalam pikiran kotor mereka …
Entah mereka
  dari kalangan manusia atau seperti kijang …
Maka ketika Brawijaya
  mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari perempuannya;
  Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya menikahkan saudari perempuannya
  dengannya. Ia kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya Ba’ah, yang dia
  juga orang kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan permisalan
  dari Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau kepada
  raja Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan raja
  Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya
  dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata
  Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke
  negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :
Aku
  keluar akan tetapi keluarku bukan untuk mencari rintangan …
Akan
  tetapi untuk meraih keridhaanmu yang kau impikan …
Sekiranya bukan
  karenanya, tidaklah aku mau mencari hal yang membahayakan …
Dengan
  mendatangi negeri asing dan lautan sembari membawa pesan …
Kepada
  raja di negeri yang aku belum pernah masuk padanya …
Untuk membawa
  anaknya yang seperti terangnya bulan purnama …
Dengan hati yang di
  kelilingi ketakutan …
Yang bahwasanya seperti burung kecil yang
  dilempar kepada elang …
Wahai kiranya ini (yaitu resiko sebagai
  menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …
Aku akan raih dengan
  kegembiraan dan kemuliaan  termulia …
Arya Ba’ah tidak
  berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia
  memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja
  setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu
  penyebutannya. Anaknya yaitu Candrawulan telah menikah dengan seorang
  laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas
  pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu
  akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak mendapat
  hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya akan namanya
  dan tentang negerinya serta keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya
  seorang laki-laki dari Jawa, namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus
  oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya :
  Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya
  kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia
  ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa
  mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura
  dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri. Maka ketika Arya ingin
  berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan amanah untuk
  memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri raja
  Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri kepada
  raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu dengan
  raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan raja
  Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri Campa,
  aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada raja;
  Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana
  yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang
  bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al
  Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa
  juga sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja
  setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. 
Ini aku membawa pesan dari raja Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum). Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah seisi rumah sehingga ramai terdengar.
  Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah sembari memendam
  kekesalan yang tidak diragukan lagi karena sebab ia menyangkan semua ini
  akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya. Berkata Brawijaya kepada
  istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian, engkau menangis, dan
  menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku menangis karena sebab
  wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya
  ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan (yang sampai) berkenaan dengan
  hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh bapakku berpesan padaku untuk
  mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia telah wafat, dan keduanya
  telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa bapakku telah tiada. Inilah
  yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan Istrinya.
Adapun
  yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang keduanya
  adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua berasal dari negeri Campa,
  keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua pernah mengunjungi bibinya
  yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri Majapahit. Pada saat itu
  bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu Hurairah untuk menemani
  keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun, agar senantiasa
  berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar dari negeri Campa
  menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada negeri yang
  dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang milik orang
  Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke kapal
  tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. Ketika ada gelombang laut,
  tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja.
  Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai
  dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja
  memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan.
  Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat
  untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya
  dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di
  bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri
  Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan
  raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki
  itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari
  anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja
  Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang
  pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena
  ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar
  di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut
  sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan
  kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan
  mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan
  ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis.
  Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang
  rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka
  hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja
  untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus
  10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri
  dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya
  nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya
  Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya
  karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang
  pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan
  aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab
  anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa,
  saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia
  merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja
  Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu. Maka ketika mendengar ucapan
  Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata dihadapan mereka : Mereka ini
  adalah utusan raja Brawijaya, yang datang kepadaku untuk memintaku
  mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian bersama mereka. Mereka
  bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya Ba’ah lalu undur diri
  bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja Kamboja dan menuju
  Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya Ba’ah untuk menghadap
  raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja bertanya berkenaan
  dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian Brawijaya memerintahkan
  mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka dengan penghormatan. Dan saat
  itu adalah akhir dari kurun ke-enam hijriyyah.
Raja Brawijaya
  dahulu mencintai sangat kedua anak ini, seakan-akan mereka berdua adalah
  bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia memberikan apapun yang keduanya minta,
  akan tetapi mereka berkecil hati karena tak melihat seorang pun dari penduduk
  Majapahit secara khusus dan jawa secara umum beragama dengan agama islam.
  Ketika mereka berdua akan menjalankan shalat, orang-orang mengejek dan gaduh
  dan tidak pernah tahu akan hal tersebut seolah-olah perbuatan yang sangat
  asing yang tidak pernah dilihat sekalipun dari berdiri, membaca (Al-Qur’an),
  ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan selainnya. Sampai-sampai seorang
  yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek dan membuat gaduh mereka berdua,
  karena setiap manusia memiliki Tuhan yang disembah dengan sesuatu yang
  dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari tuhan kalian yang kalian
  sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara masing-masing, janganlah
  kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang menyembah Tuhannya.
Inilah
  kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang padanya terdapat pelajaran
  bagi yang mengambil pelajaran dan petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang
  bahwasanya seorang mukmin tidak boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan
  oleh Allah Ta’ala baginya, dan tidak boleh takut celaan orang yang mencela
  untuk meraih ridha Allah Ta’ala, sebagaimana berkata sebagian Ulama :
Keimanan
  seorang hamba tidaklah sempurna …
Sampai ia melihat manusia dan
  unta sama saja …
Pujian dan celaan mereka sama saja …
Tidaklah
  merasa takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …
Dahulu
  sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama
  Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak
  bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning ,
  dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya
  Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan
  Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan
  yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan
  namanya Candrawata  dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3
  anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam.
  Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.
Lalu Sayyid
  Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang
  telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada
  raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk
  pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara
  yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian
  berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian
  berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri,
  pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan
  pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke
  negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi
  Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari
  negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga
  negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak
  tahu bagaimana akhirnya.
Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan
  kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja
  untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun
  Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama
  Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung.
  Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu
  Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun
  Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama
  Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada
  saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap
  hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu
  penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji
  kapas.
Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama
  Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk
  bekerja sebagai tukang besi.
Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak :
  Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo.
Sayyid Rahmat
  memiliki 5 orang anak dari Raden Ayu Candrawati :Sayyidah Syarifah,
  Mutmainnah, Hafsah dan Sayyid Ibrahim, Sayyid Qasim. Kemudian menikah lagi
  dengan Maskarimah binti Kembang Kuning yang lahir padanya 2 anak perempuan :
  Murtiah dan Murtasimah. Seluruh anak-anaknya belajar ilmu-ilmu syariah (agama)
  dari bapaknya. Inilah keterangan yang menjelaskan tentang Sayyid Rajafandita
  dan saudaranya (Sayyid Rahmat).
Anak-anak Ki Tarub yang telah lalu
  nama mereka disebut maka yang bernama Nawangsih ia menikah dengan Lembu Peteng
  bin Brawijaya atau yang dinamakan Shohroh Tarub yang dikaruniai anak yang
  bernama Getas Pandawa. Dan anaknya yang bernama Nawangsasi menikah dengan
  Raden Jaka Kandar bermukim di desa Malaya di Bangkalan di Madura; Kemudian
  memiliki anak bernama Asiyah dan Dewi Irah. Adapun anak perempuan Ki Tarub
  yang bernama Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang ia menguasai negeri
  Wilatikta (Tumenggung Wilatikta).
Yang telah lalu bahwasanya raja
  Pajajaran Mundi Wangi memiliki istri kedua dan dikarunia anak laki-laki yang
  bernama Giyung Manar yang dikarunia anak bernama Bambang Wecana yang
  dikaruniai anak Bambang Pamengker., dan bapaknya ini tunduk di bawah kuasa
  raja Majapahit, menjauhkan diri tinggal di desa di bawah gunung semeru,
  Bambang Pamengker dikarunia anak bernama Minak Paranggula yang dikarunia anak
  bernama Minak Sambayu yang menjadi raja di negeri Blambangan. Akan datang
  keterkaitan kisah mereka.
Maulan Ishak yang telah lalu
  penyebutannya, ia adalah saudara Sayyid Ibrahim; Maka ketika ia menjadi
  laki-laki petualang di bumi, sampai ke negeri Pasa yaitu negeri di pulau
  sumatera, maka tinggallah ia di sana (Pasa). Dikaruniai anak bernama Sayyid
  Abdul Qadir dan Sarah.
Kemudian pergilah Mulana Ishak ke pulau jawa
  dan meninggalkan kedua anaknya kepada ibunya. Dimana keduanya masih kecil.
  Naiklah Maulana Ishak ke kapal milik laki-laki asal Gresik dan berjalan kapal
  dengan baik sampai tibalah di Gresik, kemudian turun dan menuju ke Surabaya,
  masuk ke desa Ampel saat waktu ashar. Secara kebetulan di situ bertemu dengan
  Sayyid Rahmat shalat sebagai imam yang di-ikuti tiga laki-laki : Abu Hurairah,
  Ki Wirajaya dan Ki Bangkuning. Maka Maulana Ishaq menunggu di luar masjid.
  Ketika Sayyid Rahmat sudah salam dari shalatnya, Maulana Ishaq memberi salam
  dan dijawab salamnya. 
Kemudian mereka berdua saling bertanya tentang nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Maka tahulah Sayyid Rahmat bahwasanya Maulana Ishaq adalah saudara dari bapaknya. Maulana Ishak berkata : Engkau berarti adalah anakku, karena sebab bapakmu saudara laki-lakiku. Kemudian berkata kepadanya Sayyid Rahmat : Dulu tidak ada seorangpun muslim di sini kecuali aku dan saudaraku Sayyid Rajafandita dan temanku Abu Hurairah, kami adalah yang pertama kali muslim di pulau jawa. Maulana Ishak berkata : Aku namakan engkau Sunan yang pertama, pertama karena sebab engkau yang awal muslim di pulau jawa. Maka sepakatlah manusia yaitu menetapkan nama ini kepada Sayyid Rahmat. Senantiasa Sayyid Rahmat menyeru manusia kepada agama Allah Ta’ala dan kepada ibadah kepada-Nya. Sampai-sampai seluruh penghuni Ampel mengikutinya dan yang di sekitarnya serta kebanyakan orang-orang Surabaya.
  Tidaklah itu kecuali kebaikan akan nasihatnya dan hikmahnya dalam berdakwah
  serta baiknya ahakhlaknya kepada manusia dan baiknya dalam berjidal,
  menerapkan firman Allah : Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
  dan nasihat yang baik, serta berjidallah dengan mereka dengan sebaik-baik
  jidal (Al-Ayat), dan Firman Allah Ta’ala : Rendah dirilah kamu kepada
  orang-orang yang beriman, dan firman-Nya : Perintahkan kepada kebaikan dan dan
  menjauhi kemungkaran serta sabarlah atas apa yang menimpamu, sungguh yang
  demikan itu adalah yang diwajibkan oleh Allah. Inilah yang semestinya para
  imam-imam muslim dan masyaikh mereka mengikuti jalan tersebut yang diridhai
  sampai manusia masuk agama Allah berbondong-bondong. Berkata penyair :
Terimalah
  maaf mereka, berjalanlah dengan adat sebagaimana …
Engkau
  diperintah, dan tampakanlah (perintah tersebut) kepada mereka yang jahil …
Lemah
  lembutlah semampumu pada setiap manusia …
Maka akan tampak baik
  atas mereka yang jahil …
Dan kepada mereka yang keras kepala,
  sentuhlah mereka …
Dengan sabar, agar supaya terangkat mereka yang
  sempurna …
Kemudian berselang beberapa lama, Maulana Ishaq undur
  diri kepada Sayyid Rahmat dan kemudian keluar dari Ampel berjalan menuju timur
  laut menaiki gunung dan turun di lembah-lembah sampai ke negeri Banyuwangi.
  Naik di atas gunung yang dikatakan Selangu semata-mata untuk beribadah di
  sana, shalat wajib, sunnah dan berpuasa untuk mencari ridha Ar-Rahman dan
  menjauhkan diri dari seluruh maksiat; Ia Menyendiri, bersungguh-sungguh
  meninggalkan hawa nasfu dan godaan setan semata-mata untuk hati dan
  mensucikannya dari kebimbangan agar menjadi orang yang bersyukur dan memuji
  Rabb-nya, ia bergegas kepada-Nya menghilangkan syirik yang tersembunyi untuk
  benteng dan senjata dalamnya iman dan keyakinan.
Minak Sambayu
  (raja Blambangan) yang telah lalu penyebutannya memiliki anak perempuan
  bernama Sekar Dadu yang ia dahulu intinya adalah orang yang baik, yang memikat
  laki-laki, sehingga padanya dikatakan :
Ia adalah perempuan yang
  memiliki kehidupan seperti purnama yang menyihir …
Rambutnya
  seperti malam ketika gelap gulita …
Keluar dari mulutnya cahaya
  ketika tersenyum …
Sebagaimana kilat yang menyapu penglihatan
  ketika dipandang …
Ia berjalan malu-malu tersipu dan menoleh …
Maka
  jadilah yang memandangnya sebagaimana orang mabuk …
Ketika ia
  menghadap, aku lihat tidak montok pada keduanya …
Seperti dua
  delima, bagi siapa yang memandang …
Dan ketika ia membalikkan badan
  seolah bergelombang acak (rambutnya) …
Perawakannya tidak tinggi
  ataupun pendek, artinya cukup …
Pada saat itu ia sakit keras, telah
  banyak tabib letih bingung mesti menggunakan obat apa lagi. Bersedihlah raja
  Blambangan karena sebab hal itu, dengan kesedihan yang sangat. Maka
  dikumpulkanlah menteri-menteri, pemerintahan, pegawai dan ahli fatwa kerajaan.
  Setiap dari mereka diseru untuk mencari obat penyembuh pada setiap wilayah
  mereka untuk anak perempuan raja, maka barangsiapa yang berhasil
  menyembuhkannya akan dinikahkan dengannya dan diberikan separuh harta
  kerajaan. Maka mereka semua menyeru seluruh orang-orang desa dan penjuru
  negeri, akan tetapi tidak ada hasil. Maka pada suatu hari, berkata sebagaian
  menteri-menterinya : Sungguh kami melihat seorang manusia berpakaian jubah
  memakai kopyah putih yang tinggal menyendiri di atas gunung Salangu dan
  berbeda dengan manusia pada umumnya, ketika tergelincir matahari di langit, ia
  berdiri dan meletakkan tangannya ke dadanya dan digerak-gerakkan mulutnya
  dengan berucap dengan apa yang kami tidak paham, tidak tolah-toleh sampai
  kemudian tertunduk meletakkan tangannya di lututnya kemudian mengangkat kedua
  tangannya, kemudian menjatuhkan diri dan meletakkan dahinya ke bumi, kemudian
  duduk dan akhirnya menoleh ke kanan dan kiri; Maka jika terbenam matahari ia
  melakukan hal itu lagi, jika hilang matahari ia melakukan lagi, jika sebelum
  matahari muncul ia melakukan itu lagi dengan ringan, itulah kegiatannya setiap
  hari. Kemudian raja berkehendak memanggilnya agar menyembuhkan anak
  perempuannya yang mulia, semoga ia dapat menyembuhkannya. Raja berkata :
  Panggil dia yang telah kalian bicarakan. Maka menteri tersebut memanggil
  Maulana Ishak agar menghadap di hadapan raja Blambangan, maka ketika mereka
  bertemu dengan Maulan Ishak, mereka mengkabarkan keinginan raja padanya.
  Maulana Ishak pun memenuhi panggilan raja, dan turun bersama menteri-menteri
  kerajaan. Maka ketika sampai di hadapan raja, raja berkata : Sungguh aku
  memiliki anak perempuan, ia adalah buah hatiku dan separuh jiwaku dan sekarang
  ia sedang sakit, sudah lama sakitnya, sampai-sampai para tabib sudah lelah
  mencari obatnya, maka sekiranya engkau memiliki obat, sembuhkanlah dia; Aku
  bernadzar : Barangsiapa yang menyembuhkannya, akan aku nikahkan dengannya dan
  bersamanya akan aku berikan setengah dari kerajaanku. Maka Maulana Ishak
  menerima tawaran tersebut sembari berdoa kepada Allah, mengiba kepada-Nya agar
  Allah memberi kesembuhan dan menghilangkan sakitnya dengan izin-Nya. Maka
  tiba-tiba anak raja sembuh, kemudian dinikahkanlah ia dengannya dan memberikan
  setengah dari kerajaannya. Oleh karena itu, menjadi mudahlah menyeru manusia
  kepada islam, ia senantiasa menyeru mereka kepada islam sampai-sampai berislam
  kebanyakan dari penduduk negeri tersebut. Pada suatu hari Maulana Ishak masuk
  menemui raja Blambangan dan berkata padanya : Wahai bapakku, aku datang
  kepadamu untuk menyeru agar meninggalkan patung-patung berhala dan mengikuti
  setan menuju hanya beribadah kepada Allah Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri,
  Yang Menghidupkan dan Mematikan, Raja seluruh alam; Katakanlah Asyhadu Anlaa
  illaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Maka ketika mendengar
  ucapan Maulana Ishak, berubah wajahnya dan memerah, marah kepada Maulana Ishak
  dan berkata : Jika engkau tidak keluar sekarang dari hadapanku, aku akan cerai
  beraikan tubuhmu. Keluarlah Maulana Ishak, menghilang sebagai buronan. Saat
  itu istrinya telah hamil 7 bulan, menangis karena berpisah dengan suaminya,
  redup dan sedih menyelimutinya. Maulan Ishak tidak kunjung datang. Maulana
  Ishak tetap bersembunyi sembari berdoa memohon pertolongan Allah agar Allah
  menghukum raja Blambangan. Maka Allah turunkan pada penduduk Blambangan wabah
  dan kematian mendadak, matilah kebanyakan rakyatnya, dan tidak mampu menghalau
  (adzab dari Allah). Bersedihlah raja Blambangan, sampai-sampai tidak nafsu
  makan, tidak bisa tidur, ia berkata : Ini adalah akibat dari kesialan
  laki-laki itu (maksudnya Maulana Ishak) dan anaknya yang sekarang dalam
  kandungan anakku, sungguh kalau dia lahir akan aku hempaskan ke laut. Maka
  ketika sempurna masa kandungannya, ia lahir seperti emas murni. Raja
  mengambilnya dan meletakkannya di peti mati, dan memerintahkan untuk dibuang
  ke lautan. Terhempaslah kelaut terbawa ombak (peti tersebut) naik turun
  terjaga, dijaga oleh Allah Ta’ala dan terjaga oleh perhatian-Nya. Itulah yang
  termasuk sebagian karamah. Ketika peti tersebut melalui kapal dagang penduduk
  Gresik, diambillah oleh awak kapalnya, maka ketika peti itu dibuka, dijumpai
  padanya seorang anak yang bercahaya dan wajahnya seperti bulan yang bersinar.
  Saat itu, para pedagan yang menaiki kapal itu akan pergi menuju Bali.
  Dibawalah anak tersebut sampai Bali dengan selamat. Ketika pedagang itu
  selesai urusannya di Bali, mereka beranjak menuju Tandes kemudian barulah
  pulang menuju Gresik bersamaan dengan anak tersebut. Diturunkannya anak itu di
  pelabuhan, kemudian diserahkanlah anak itu kepada perempuan yang bernama Nyai
  Gede anak Sayyid Rajafandita yang telah lalu kisahnya. Nyai berkata : Anak
  siapa ini ? Mereka (para pedagang) berkata : Anak ini hanyut di dekat
  pelabuhan Blambangan, berbutar-putar di air laut. Maka sangat senanglah Nyai
  Gede, di mana ia belum melahirkan anak seorang pun. Anak tersebut ia namakan
  Broedin, dididiklah ia dengan didikan yang baik, dan sangat dicintai; Akan
  tetapi anak tersebut tidak dapat menyusu pada seorang perempuanpun, hanya
  menghisap jemarinya saja sampai umur 7 hari. Setelah itu barulah bisa minum
  susu, ini sudah menjadi kebiasan bayi.
Maulana Ishak setelah
  bersembunyi di balik bukit kecil, kembali menuju negerinya yakni Pasa di pulau
  Sumatera berkumpul dengan istrinya dan anak-anaknya. Maulana Ishak
  mengkabarkan bahwa istri dan anaknya masih punya kerabat yaitu anak dari
  pamannya di pulau jawa di desa Ampel yang termasuk wilayah Surabaya yang
  namanya adalah Sayyid Rahmat yang ia termasuk dari yang pertama kali islam di
  pulau Jawa, ia juga imam bagi orang-orang islam, wali dan orang shalih;
  Mengajarkan islam, jalan islam dan hakikat islam. Maulana Ishak tidak menetap
  di Pasa kecuali hanya selama beberapa hari dan kemudian wafat, dikatakan
  selama 7 hari di Pasa dan kemudian wafat. Datang para ulama dan para wali
  untuk menyolatkannya, setelah dishalatkan dibawa ia ke kubur yang dikatakan
  Kuburan Taman Sari. Mereka semua berdesakan sembari bershalawat di kuburnya,
  bertasbih, tahmid, tahlil dan membaca Al-Qur’an, semoga mendapatkan balasan
  yang luas atas ruh Maulana Ishak, ia dikuburkan di sana, semoga baginya rahmat
  Allah yang tak terputus bagi Maulana Ishak.
Kisah anaknya yaitu
  Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah, maka mereka berdua sepeninggal bapak
  mereka sepakat untuk berkeliling bumi. Sehingga sampailah mereka ke negeri
  Adan yaitu di jazirah arab, mereka menetap berhari-hari di sana kemudian
  lanjut menaiki kapal yang kemudian melaju ke Keling selama 11 hari, dan
  menetap di sana selama sebulan kemudian naik kapal lagi sampai tiba di pulau
  Jawa, kemudian naik kapal sampai negeri yang dinamakan Juwana ia adalah
  pelabuhan di antara pelabuhan-pelabuhan di waktu itu. Dan keluar mereka berdua
  menuju Surabaya. Dan berjalan sampai desa Ampel, mereka berdua bertanya akan
  rumah dari Sayyid Rahmat, maka ditunjukkanlah mereka berdua menuju rumah
  Sayyid Rahmat. Maka ketika bertemu dengannya, mereka berdua mengucapkan salam,
  dan dibalas salamnya. Kemudian Sayyid Rahmat bertanya tentang nama mereka,
  negerinya dan siapa orang tua mereka berdua. Berkata Sayyid Abdul Qadir :
  Namaku adalah Abdul Qadir, dan ini adalah saudari perempuanku Sarah, kami
  berdua datang dari negeri Pasa di pulau Sumatera, bapak kami bernama Maulana
  Ishak dan ia telah wafat; Dikabarkan kepada kami ketika ia masih hidup bahwa
  kami punya kerabat dekat bernama Sayyid Rahmat yang tinggal di desa Ampel di
  Surabaya pulau Jawa dan menjadi imam bagi orang-orang islam di sana. Berkata
  Sayyid Rahmat : Kalau begitu kalian berdua adalah saudaraku, bapak kalian
  berdua adalah saudara dari bapakku. Mereka saling berpelukan dan menangis
  gembira.
Suatu hari berbicang Brawijaya dengan istrinya yaitu
  Martaningrum. Istrinya menceritakan bahwasanya ia memiliki seorang saudari
  perempuan yang bernama Candrawulan yang saat itu memiliki keistimewaan yang
  menakjubkan, padanya dikatakan :
Rambutnya seolah senja menghitam
  dan di wajahnya seolah fajar bersinar …
Giginya bagaikan
  lampu-lampu yang berjejer …
Perawakan tubuh bagian belakangnya
  berpostur kencang …
Berlenggak-lenggok dari belakang menonjol
  bagaikan bukit …
Seolah dirinya acuh orang-orang mensifatinya dan
  larut dalam pikiran kotor mereka …
Entah mereka dari kalangan
  manusia atau seperti kijang …
Maka ketika Brawijaya mendengar apa
  yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari perempuannya; Brawijaya seolah
  lebih senang jika istrinya menikahkan saudari perempuannya dengannya. Ia
  kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya Ba’ah, yang dia juga orang
  kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan permisalan dari
  Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau kepada raja
  Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan raja
  Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya
  dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata
  Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke
  negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :
Aku
  keluar akan tetapi keluarku bukan untuk mencari rintangan …
Akan
  tetapi untuk meraih keridhaanmu yang kau impikan …
Sekiranya bukan
  karenanya, tidaklah aku mau mencari hal yang membahayakan …
Dengan
  mendatangi negeri asing dan lautan sembari membawa pesan …
Kepada
  raja di negeri yang aku belum pernah masuk padanya …
Untuk membawa
  anaknya yang seperti terangnya bulan purnama …
Dengan hati yang di
  kelilingi ketakutan …
Yang bahwasanya seperti burung kecil yang
  dilempar kepada elang …
Wahai kiranya ini (yaitu resiko sebagai
  menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …
Aku akan raih dengan
  kegembiraan dan kemuliaan  termulia …
Arya Ba’ah tidak
  berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia
  memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja
  setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu
  penyebutannya. Anaknya yaitu Candrawulan telah menikah dengan seorang
  laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas
  pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu
  akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak mendapat
  hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya akan namanya
  dan tentang negerinya serta keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya
  seorang laki-laki dari Jawa, namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus
  oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya :
  Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya
  kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia
  ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa
  mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura
  dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri. 
Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa juga sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa pesan dari raja Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum). Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan berita kematian bapaknya.
  Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri
  Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang
  dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara
  laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan
  memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah
  seisi rumah sehingga ramai terdengar. Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk
  ke dalam rumah sembari memendam kekesalan yang tidak diragukan lagi karena
  sebab ia menyangkan semua ini akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya.
  Berkata Brawijaya kepada istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian,
  engkau menangis, dan menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku
  menangis karena sebab wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang
  mengabarkan padamu tentangnya ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan
  (yang sampai) berkenaan dengan hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh
  bapakku berpesan padaku untuk mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia
  telah wafat, dan keduanya telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa
  bapakku telah tiada. Inilah yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan
  Istrinya.
Adapun yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan
  Sayyid Rahmat yang keduanya adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua
  berasal dari negeri Campa, keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua
  pernah mengunjungi bibinya yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri
  Majapahit. Pada saat itu bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu
  Hurairah untuk menemani keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun,
  agar senantiasa berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar
  dari negeri Campa menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada
  negeri yang dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang
  milik orang Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke
  kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. 
Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit.
Ketika masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis. Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya.
Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu.
  Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata
  dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan raja Brawijaya, yang datang
  kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian
  bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya
  Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja
  Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya
  Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja
  bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian
  Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka
  dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun ke-enam
  hijriyyah.
Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua anak ini,
  seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia
  memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati karena
  tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa secara
  umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan
  shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut
  seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun
  dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan
  selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek
  dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang
  disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari
  tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara
  masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang
  menyembah Tuhannya.
Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid
  Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan
  petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak
  boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan
  tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala,
  sebagaimana berkata sebagian Ulama :
Keimanan seorang hamba
  tidaklah sempurna …
Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja
  …
Pujian dan celaan mereka sama saja …
Tidaklah merasa
  takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …
Dahulu
  sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama
  Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak
  bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning ,
  dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya
  Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan
  Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan
  yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan
  namanya Candrawata  dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3
  anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam.
  Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.
Lalu Sayyid
  Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang
  telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada
  raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk
  pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara
  yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian
  berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian
  berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri,
  pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan
  pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke
  negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi
  Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari
  negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga
  negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak
  tahu bagaimana akhirnya.
Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan
  kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja
  untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun
  Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama
  Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung.
  Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu
  Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun
  Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama
  Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada
  saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap
  hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu
  penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji
  kapas.
Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama
  Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk
  bekerja sebagai tukang besi.
Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak :
  Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo.
Sayyid Rahmat
  memiliki 5 orang anak dari Raden Ayu Candrawati :Sayyidah Syarifah,
  Mutmainnah, Hafsah dan Sayyid Ibrahim, Sayyid Qasim. Kemudian menikah lagi
  dengan Maskarimah binti Kembang Kuning yang lahir padanya 2 anak perempuan :
  Murtiah dan Murtasimah. Seluruh anak-anaknya belajar ilmu-ilmu syariah (agama)
  dari bapaknya. Inilah keterangan yang menjelaskan tentang Sayyid Rajafandita
  dan saudaranya (Sayyid Rahmat).
Anak-anak Ki Tarub yang telah lalu
  nama mereka disebut maka yang bernama Nawangsih ia menikah dengan Lembu Peteng
  bin Brawijaya atau yang dinamakan Shohroh Tarub yang dikaruniai anak yang
  bernama Getas Pandawa. Dan anaknya yang bernama Nawangsasi menikah dengan
  Raden Jaka Kandar bermukim di desa Malaya di Bangkalan di Madura; Kemudian
  memiliki anak bernama Asiyah dan Dewi Irah. Adapun anak perempuan Ki Tarub
  yang bernama Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang ia menguasai negeri
  Wilatikta (Tumenggung Wilatikta).
Yang telah lalu bahwasanya raja
  Pajajaran Mundi Wangi memiliki istri kedua dan dikarunia anak laki-laki yang
  bernama Giyung Manar yang dikarunia anak bernama Bambang Wecana yang
  dikaruniai anak Bambang Pamengker., dan bapaknya ini tunduk di bawah kuasa
  raja Majapahit, menjauhkan diri tinggal di desa di bawah gunung semeru,
  Bambang Pamengker dikarunia anak bernama Minak Paranggula yang dikarunia anak
  bernama Minak Sambayu yang menjadi raja di negeri Blambangan. Akan datang
  keterkaitan kisah mereka.
Maulan Ishak yang telah lalu
  penyebutannya, ia adalah saudara Sayyid Ibrahim; Maka ketika ia menjadi
  laki-laki petualang di bumi, sampai ke negeri Pasa yaitu negeri di pulau
  sumatera, maka tinggallah ia di sana (Pasa). Dikaruniai anak bernama Sayyid
  Abdul Qadir dan Sarah.
Kemudian pergilah Mulana Ishak ke pulau jawa
  dan meninggalkan kedua anaknya kepada ibunya. Dimana keduanya masih kecil.
  Naiklah Maulana Ishak ke kapal milik laki-laki asal Gresik dan berjalan kapal
  dengan baik sampai tibalah di Gresik, kemudian turun dan menuju ke Surabaya,
  masuk ke desa Ampel saat waktu ashar. Secara kebetulan di situ bertemu dengan
  Sayyid Rahmat shalat sebagai imam yang di-ikuti tiga laki-laki : Abu Hurairah,
  Ki Wirajaya dan Ki Bangkuning. Maka Maulana Ishaq menunggu di luar masjid.
  Ketika Sayyid Rahmat sudah salam dari shalatnya, Maulana Ishaq memberi salam
  dan dijawab salamnya. 
Kemudian mereka berdua saling bertanya tentang nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Maka tahulah Sayyid Rahmat bahwasanya Maulana Ishaq adalah saudara dari bapaknya. Maulana Ishak berkata : Engkau berarti adalah anakku, karena sebab bapakmu saudara laki-lakiku. Kemudian berkata kepadanya Sayyid Rahmat : Dulu tidak ada seorangpun muslim di sini kecuali aku dan saudaraku Sayyid Rajafandita dan temanku Abu Hurairah, kami adalah yang pertama kali muslim di pulau jawa. Maulana Ishak berkata : Aku namakan engkau Sunan yang pertama, pertama karena sebab engkau yang awal muslim di pulau jawa. Maka sepakatlah manusia yaitu menetapkan nama ini kepada Sayyid Rahmat. Senantiasa Sayyid Rahmat menyeru manusia kepada agama Allah Ta’ala dan kepada ibadah kepada-Nya. Sampai-sampai seluruh penghuni Ampel mengikutinya dan yang di sekitarnya serta kebanyakan orang-orang Surabaya.
  Tidaklah itu kecuali kebaikan akan nasihatnya dan hikmahnya dalam berdakwah
  serta baiknya akhlaknya kepada manusia dan baiknya dalam berjidal, menerapkan
  firman Allah : Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat
  yang baik, serta berjidallah dengan mereka dengan sebaik-baik jidal (Al-Ayat),
  dan Firman Allah Ta’ala : Rendah dirilah kamu kepada orang-orang yang beriman,
  dan firman-Nya : Perintahkan kepada kebaikan dan dan menjauhi kemungkaran
  serta sabarlah atas apa yang menimpamu, sungguh yang demikan itu adalah yang
  diwajibkan oleh Allah. Inilah yang semestinya para imam-imam muslim dan
  masyaikh mereka mengikuti jalan tersebut yang diridhai sampai manusia masuk
  agama Allah berbondong-bondong. Berkata penyair :
Terimalah maaf
  mereka, berjalanlah dengan adat sebagaimana …
Engkau diperintah,
  dan tampakanlah (perintah tersebut) kepada mereka yang jahil …
Lemah
  lembutlah semampumu pada setiap manusia …
Maka akan tampak baik
  atas mereka yang jahil …
Dan kepada mereka yang keras kepala,
  sentuhlah mereka …
Dengan sabar, agar supaya terangkat mereka yang
  sempurna …
Kemudian berselang beberapa lama, Maulana Ishaq undur
  diri kepada Sayyid Rahmat dan kemudian keluar dari Ampel berjalan menuju timur
  laut menaiki gunung dan turun di lembah-lembah sampai ke negeri Banyuwangi.
  Naik di atas gunung yang dikatakan Selangu semata-mata untuk beribadah di
  sana, shalat wajib, sunnah dan berpuasa untuk mencari ridha Ar-Rahman dan
  menjauhkan diri dari seluruh maksiat; Ia Menyendiri, bersungguh-sungguh
  meninggalkan hawa nasfu dan godaan setan semata-mata untuk hati dan
  mensucikannya dari kebimbangan agar menjadi orang yang bersyukur dan memuji
  Rabb-nya, ia bergegas kepada-Nya menghilangkan syirik yang tersembunyi untuk
  benteng dan senjata dalamnya iman dan keyakinan.
Minak Sambayu
  (raja Blambangan) yang telah lalu penyebutannya memiliki anak perempuan
  bernama Sekar Dadu yang ia dahulu intinya adalah orang yang baik, yang memikat
  laki-laki, sehingga padanya dikatakan :
Ia adalah perempuan yang
  memiliki kehidupan seperti purnama yang menyihir …
Rambutnya
  seperti malam ketika gelap gulita …
Keluar dari mulutnya cahaya
  ketika tersenyum …
Sebagaimana kilat yang menyapu penglihatan
  ketika dipandang …
Ia berjalan malu-malu tersipu dan menoleh …
Maka
  jadilah yang memandangnya sebagaimana orang mabuk …
Ketika ia
  menghadap, aku lihat tidak montok pada keduanya …
Seperti dua
  delima, bagi siapa yang memandang …
Dan ketika ia membalikkan badan
  seolah bergelombang acak (rambutnya) …
Perawakannya tidak tinggi
  ataupun pendek, artinya cukup …
Pada saat itu ia sakit keras, telah
  banyak tabib letih bingung mesti menggunakan obat apa lagi. Bersedihlah raja
  Blambangan karena sebab hal itu, dengan kesedihan yang sangat. Maka
  dikumpulkanlah menteri-menteri, pemerintahan, pegawai dan ahli fatwa kerajaan.
  Setiap dari mereka diseru untuk mencari obat penyembuh pada setiap wilayah
  mereka untuk anak perempuan raja, maka barangsiapa yang berhasil
  menyembuhkannya akan dinikahkan dengannya dan diberikan separuh harta
  kerajaan. Maka mereka semua menyeru seluruh orang-orang desa dan penjuru
  negeri, akan tetapi tidak ada hasil. 
Maka pada suatu hari, berkata sebagaian menteri-menterinya : Sungguh kami melihat seorang manusia berpakaian jubah memakai kopyah putih yang tinggal menyendiri di atas gunung Salangu dan berbeda dengan manusia pada umumnya, ketika tergelincir matahari di langit, ia berdiri dan meletakkan tangannya ke dadanya dan digerak-gerakkan mulutnya dengan berucap dengan apa yang kami tidak paham, tidak tolah-toleh sampai kemudian tertunduk meletakkan tangannya di lututnya kemudian mengangkat kedua tangannya, kemudian menjatuhkan diri dan meletakkan dahinya ke bumi, kemudian duduk dan akhirnya menoleh ke kanan dan kiri; Maka jika terbenam matahari ia melakukan hal itu lagi, jika hilang matahari ia melakukan lagi, jika sebelum matahari muncul ia melakukan itu lagi dengan ringan, itulah kegiatannya setiap hari.
Kemudian raja berkehendak memanggilnya agar menyembuhkan anak perempuannya yang mulia, semoga ia dapat menyembuhkannya. Raja berkata : Panggil dia yang telah kalian bicarakan. Maka menteri tersebut memanggil Maulana Ishak agar menghadap di hadapan raja Blambangan, maka ketika mereka bertemu dengan Maulan Ishak, mereka mengkabarkan keinginan raja padanya. Maulana Ishak pun memenuhi panggilan raja, dan turun bersama menteri-menteri kerajaan. Maka ketika sampai di hadapan raja, raja berkata : Sungguh aku memiliki anak perempuan, ia adalah buah hatiku dan separuh jiwaku dan sekarang ia sedang sakit, sudah lama sakitnya, sampai-sampai para tabib sudah lelah mencari obatnya, maka sekiranya engkau memiliki obat, sembuhkanlah dia; Aku bernadzar : Barangsiapa yang menyembuhkannya, akan aku nikahkan dengannya dan bersamanya akan aku berikan setengah dari kerajaanku.
Maka Maulana Ishak menerima tawaran tersebut sembari berdoa kepada Allah, mengiba kepada-Nya agar Allah memberi kesembuhan dan menghilangkan sakitnya dengan izin-Nya. Maka tiba-tiba anak raja sembuh, kemudian dinikahkanlah ia dengannya dan memberikan setengah dari kerajaannya. Oleh karena itu, menjadi mudahlah menyeru manusia kepada islam, ia senantiasa menyeru mereka kepada islam sampai-sampai berislam kebanyakan dari penduduk negeri tersebut. Pada suatu hari Maulana Ishak masuk menemui raja Blambangan dan berkata padanya : Wahai bapakku, aku datang kepadamu untuk menyeru agar meninggalkan patung-patung berhala dan mengikuti setan menuju hanya beribadah kepada Allah Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, Yang Menghidupkan dan Mematikan, Raja seluruh alam; Katakanlah Asyhadu Anlaa illaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Maka ketika mendengar ucapan Maulana Ishak, berubah wajahnya dan memerah, marah kepada Maulana Ishak dan berkata : Jika engkau tidak keluar sekarang dari hadapanku, aku akan cerai beraikan tubuhmu. Keluarlah Maulana Ishak, menghilang sebagai buronan. Saat itu istrinya telah hamil 7 bulan, menangis karena berpisah dengan suaminya, redup dan sedih menyelimutinya.
Maulana Ishak tidak kunjung datang. Maulana Ishak tetap bersembunyi sembari berdoa memohon pertolongan Allah agar Allah menghukum raja Blambangan. Maka Allah turunkan pada penduduk Blambangan wabah dan kematian mendadak, matilah kebanyakan rakyatnya, dan tidak mampu menghalau (adzab dari Allah). Bersedihlah raja Blambangan, sampai-sampai tidak nafsu makan, tidak bisa tidur, ia berkata : Ini adalah akibat dari kesialan laki-laki itu (maksudnya Maulana Ishak) dan anaknya yang sekarang dalam kandungan anakku, sungguh kalau dia lahir akan aku hempaskan ke laut. Maka ketika sempurna masa kandungannya, ia lahir seperti emas murni.
Raja mengambilnya dan meletakkannya di peti mati, dan memerintahkan untuk dibuang ke lautan. Terhempaslah kelaut terbawa ombak (peti tersebut) naik turun terjaga, dijaga oleh Allah Ta’ala dan terjaga oleh perhatian-Nya. Itulah yang termasuk sebagian karamah. Ketika peti tersebut melalui kapal dagang penduduk Gresik, diambillah oleh awak kapalnya, maka ketika peti itu dibuka, dijumpai padanya seorang anak yang bercahaya dan wajahnya seperti bulan yang bersinar. Saat itu, para pedagan yang menaiki kapal itu akan pergi menuju Bali.
  Dibawalah anak tersebut sampai Bali dengan selamat. Ketika pedagang itu
  selesai urusannya di Bali, mereka beranjak menuju Tandes kemudian barulah
  pulang menuju Gresik bersamaan dengan anak tersebut. Diturunkannya anak itu di
  pelabuhan, kemudian diserahkanlah anak itu kepada perempuan yang bernama Nyai
  Gede anak Sayyid Rajafandita yang telah lalu kisahnya. Nyai berkata : Anak
  siapa ini ? Mereka (para pedagang) berkata : Anak ini hanyut di dekat
  pelabuhan Blambangan, berbutar-putar di air laut. Maka sangat senanglah Nyai
  Gede, di mana ia belum melahirkan anak seorang pun. Anak tersebut ia namakan
  Broedin, dididiklah ia dengan didikan yang baik, dan sangat dicintai; Akan
  tetapi anak tersebut tidak dapat menyusu pada seorang perempuanpun, hanya
  menghisap jemarinya saja sampai umur 7 hari. Setelah itu barulah bisa minum
  susu, ini sudah menjadi kebiasan bayi.
Maulana Ishak setelah
  bersembunyi di balik bukit kecil, kembali menuju negerinya yakni Pasa di pulau
  Sumatera berkumpul dengan istrinya dan anak-anaknya. Maulana Ishak
  mengkabarkan bahwa istri dan anaknya masih punya kerabat yaitu anak dari
  pamannya di pulau jawa di desa Ampel yang termasuk wilayah Surabaya yang
  namanya adalah Sayyid Rahmat yang ia termasuk dari yang pertama kali islam di
  pulau Jawa, ia juga imam bagi orang-orang islam, wali dan orang shalih;
  Mengajarkan islam, jalan islam dan hakikat islam. Maulana Ishak tidak menetap
  di Pasa kecuali hanya selama beberapa hari dan kemudian wafat, dikatakan
  selama 7 hari di Pasa dan kemudian wafat. Datang para ulama dan para wali
  untuk menyolatkannya, setelah dishalatkan dibawa ia ke kubur yang dikatakan
  Kuburan Taman Sari. Mereka semua berdesakan sembari bershalawat di kuburnya,
  bertasbih, tahmid, tahlil dan membaca Al-Qur’an, semoga mendapatkan balasan
  yang luas atas ruh Maulana Ishak, ia dikuburkan di sana, semoga baginya rahmat
  Allah yang tak terputus bagi Maulana Ishak.
  Kisah Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Patah (Sunan Demak)
Kisah anaknya yaitu Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah, maka
  mereka berdua sepeninggal bapak mereka sepakat untuk berkeliling bumi.
  Sehingga sampailah mereka ke negeri Adan yaitu di jazirah arab, mereka menetap
  berhari-hari di sana kemudian lanjut menaiki kapal yang kemudian melaju ke
  Keling selama 11 hari, dan menetap di sana selama sebulan kemudian naik kapal
  lagi sampai tiba di pulau Jawa, kemudian naik kapal sampai negeri yang
  dinamakan Juwana ia adalah pelabuhan di antara pelabuhan-pelabuhan di waktu
  itu. Dan keluar mereka berdua menuju Surabaya. Dan berjalan sampai desa Ampel,
  mereka berdua bertanya akan rumah dari Sayyid Rahmat, maka ditunjukkanlah
  mereka berdua menuju rumah Sayyid Rahmat. 
Maka ketika bertemu dengannya, mereka berdua mengucapkan salam, dan dibalas salamnya. Kemudian Sayyid Rahmat bertanya tentang nama mereka, negerinya dan siapa orang tua mereka berdua. Berkata Sayyid Abdul Qadir : Namaku adalah Abdul Qadir, dan ini adalah saudari perempuanku Sarah, kami berdua datang dari negeri Pasa di pulau Sumatera, bapak kami bernama Maulana Ishak dan ia telah wafat; Dikabarkan kepada kami ketika ia masih hidup bahwa kami punya kerabat dekat bernama Sayyid Rahmat yang tinggal di desa Ampel di Surabaya pulau Jawa dan menjadi imam bagi orang-orang islam di sana. Berkata Sayyid Rahmat : Kalau begitu kalian berdua adalah saudaraku, bapak kalian berdua adalah saudara dari bapakku. Mereka saling berpelukan dan menangis gembira.
  Telah disebutkan bahwa Arya Beriben memili- 
ki dua anak, yang perempuan
  bernama Madu Ret- 
no dan telah menikah dengan Sayyid Raja Pendito.
  
Dan yang laki-laki bernama Jaka Kandar mengambil 
laku zuhud dan
  menyendiri di atas gunung untuk 
fokus beribadah dan melakukan riyadah di
  sebuah 
kampung bernama Melaya hingga menjadi salah 
seorang wali
  Allah yang terkenal dengan panggilan 
Sunan Melaya. Dan memiliki seorang
  putri bernama 
Asiyah yang diperistri oleh Sayyid Abdul Qadir bin
  
Maulana Ishaq. 
Sayyid Abdul Qadir tinggal di sebuah desa
  ber- 
nama Gunung Jati di Cirebon dan menjadi seorang 
imam bagi
  penduduk Cirebon. Ia juga mengambil 
laku zuhud dengan terus berkhalwat
  (menyendi 
ri) dan melakukan riyadah dengan menyedikitkan 
makan,
  meninggalkan nikmat tidur. sibuk dengan 
badah fardhu maupun sunnah, dan
  terus-menerus 
seperti itu hingga menjadi seorang wali Allah yang
  
terkenal dengan panggilan Sunan Gunung Jati. Be- 
liau senantiasa
  mendakwahkan Islam sehingga ba- 
nyak orang masuk Islam, sementara yang
  tidak mau 
masuk Islam lebih memilih masuk ke hutan dan 
pedalaman
  karena takut 
Sayyid Abdul Qadir memiliki dua anak, yang
  
laki-laki bernama Abdul Jalil dan yang perempuan 
bernama Shufiyah.
  Inilah kisah tentang Sayyid Ab- 
dul Qadir. 
Pada waktu itu,
  ada tiga lelaki keturunan Ra- 
sulullah SAW dari tanah Arab yakni
  penduduk Ya- 
man, mereka datang ke pulau Jawa. Mereka bernama
  
Sayyid Muhsin, Sayyid Ahmad, dan Khalifah Hu- 
sain. Mereka datang
  ke Ampel dan bertemu dengan 
Sayyid Rahmat, lalu mereka mengucapkan salam
  
dan ditanya perihal nama dan keperluan mereka. 
Lalu Sayyid Muhsin
  berkata, 
“Namaku Muhsin, ini saudaraku bernama Khali- 
fah
  Husain, dan ini namanya Ahmad. Kami datang 
dari Yaman untuk belajar ilmu
  syariat, tarekat, dan 
hakikat kepadamu.” 
Lalu Sayyid Rahmat
  berkata, “Wahai anakku, se- 
sungguhnya ilmu itu berat, karena jika tidak
  diamal- 
kan maka akan menyeretnya ke dalam siksa yang be- 
rat”
  
Kemudian Savyid Muhsin berkata. “Kami 
memohon perlindungan
  Allah serta berkah doamu 
dan doa ayah kami semoga kami kuat mengamal-
  
kannya dengan ikhlas.” 
Maka mereka belajar ilmu-ilmu
  tersebut dari 
Sayyid Rahmat, selalu melayani serta menaatinya, 
dan
  mengamalkan apapun yang diisyaratkan oleh- 
nya hingga mereka menjadi
  golongan wali Allah. 
Telah disebutkan bahwa Sayyid Rahmat memi-
  
liki tujuh anak dan telah disebutkan nama-namanya 
sebelumnya.
  Adapun Sayyidah Syarifah binti Say- 
yid Rahmat menikah dengan Haji
  Utsman bin Say- 
yid Raja Pendito dan tinggal di sebuah desa dekat
  
gunung yang bernama Mayuran. Ia mengasingkan 
diri di sana untuk
  beribadah dan membersihkan 
hawa nafsu hingga ia menjadi seorang wali
  Allah 
yang terkenal dengan panggilan Sunan Mayuran. Ia 
memiliki
  anak bernama Amir Husain. 
Adapun Sayyidah Muthmainnah binti Sayyid
  
Rahmat menikah dengan Sayyid Muhsin dan tinggal 
di sebuah desa
  bernama Wilis. Ia mengasingkan diri 
di sana untuk menyucikan diri
  (riyadah), beribadah, 
dan menjalankan laku para wali hingga menjadi wali
  Allah yang terkenal dengan panggilan Sunan Wil: 
la memiliki anak bernama
  Amir Hamzah. 
Adapun Sayyidah Hafshah binti Sayyid Rahmi 
yang
  dipanggil Nyai Ageng Meloka, ia menikah de 
ngan Sayyid Ahmad dan tinggal
  bersamanya di « 
buah desa dekat gunung bernama Kemelaka. Sayyid
  
Ahmad mengasingkan diri untuk membersihkan 
hawa nafsu dan
  semata-mata beribadah kepada 
Allah dengan menyedikitkan makan dan tidur.
  Dan 
itu terus dilakukan selama tiga tahun hingga ta 
menjadi wali
  Allah yang terkenal dengan panggilan 
Sunan Kemelaka, namun ia tidak
  memiliki anak || 
Kisah Sayyid Ibrahim (Sunan Bonar 4g)
  
adapun Sayyid Ibrahim bin Sayyid Rahmat me- 
Pan dengan Dewi
  Irah binti Jaka Kandar dan 
memiliki anak perempuan bernama Rahel. Say-
  
yid Ibrahim menjadi seorang imam bagi penduduk 
Lasem dan Tuban,
  dan tinggal di desa Bonang 
Lasem. Ia menyepi untuk beribadah di atas
  bukit Ga- 
ding dekat pantai dan bersungguh-sungguh dalam 
melakukan
  riyadah dengan menyedikitkan makan 
serta meninggalkan nikmat tidur demi
  mengekang 
hawa nafsu. Ia fokus mengerjakan ibadah fardhu 
dan
  sunnah semata-mata untuk taat kepada Allah 
dan menjauhi godaan setan
  dengan mengasingkan 
diri dari manusia. Seolah-olah ungkapan yang se-
  
suai untuk menggambarkan dirinya adalah: 
“Aku menyendiri
  dari manusia untuk mengha- 
lau maksiat kepada-Mu, aku meninggalkan
  keluar- 
ga untuk melihat-Mu. Seandainya Engkau meng- 
halauku
  dari kecintaan, bimbinglah hati ini agar 
tidak berpaling dari-Mu.
  Hilangkanlah kelemahan 
yang Engkau berikan, dan dengan teguh mengharap
  
ridha-Mu Sekiranya tidak demikian wahai Dzat 
yang Maha Mengawasi,
  aku telah berbuat maksi 
at kepada-Mu sehingga tidak sudi bersujud kepadu
  
selain-Mu. Wahai Tuhanku, inilah hamba-Mu yang 
penuh dosa telah
  datang kepada-Mu, seraya menga 
kui segala dosa dan telah maksiat
  kepada-Mu Jika 
Engkau mengampuni, maka Engkau memang Dzat 
yang
  berhak mengampuni, dan jika Engkau meno 
lakku, lalu siapa lagi yang
  kuharap selain diri-Mu 
Sayyid Ibrahim senantiasa beribadah seperti
  itu 
hingga menjadi pembesar wali Allah yang terkenal 
dengan
  panggilan Sunan Bonang. Salah satu karo: 
mah yang nampak adalah bekas
  kening. hidung, lu 
tut, dan ujung kakinya yang berada di atas batu besar
  
sampai sekarang ini. Batu tersebut terkenal dengan 
nama Pasujudan.
  Orang-orang masih mengharap 
berkah sampai sekarang yang berada di atas
  gunung 
Bonang Di sebuah tempat dekat batu tersebut ter” 
dapat
  sebuah makam salah seorang putri Raja Cina 
bernama Putri Chempa.
  
Dikatakan bahwa ia masuk Islam dan melihat 
Sayyid Ibrahim
  sedang melaksanakan shalat di atas 
batu, lalu ia terpikat dan menetap di
  situ sembari 
menunggu Sayyid Ibrahim selesai shalat, namun 
Ibrahim
  tidak kunjung selesai hingga Putri 
Chempa meninggal dan dimakamkan di
  situ. Dan 
di atas makamnya dibangun sebuah kubah yang
  
tiang-tiangnya terbuat dari tulang ikan. 
Dikatakan bahwa
  salah satu karomah Sunan 
Bonang adalah dua batu yang berbentuk babi
  jantan 
sedang menyerang babi betina. Ceritanya ketika Su- 
nan
  Bonang berjalan bersama sebagian muridnya, 
tiba-tiba di depannya ada
  babi jantan menyerang 
babi betina. Lalu muridnya berkata kepadanya dan
  
mengira bahwa Sunan Bonang tidak mengetahui 
ada dua babi tersebut,
  
“Sesungguhnya di depanmu ada dua babi berke- 
lahi.”
  
Lalu Sunan Bonang berkata, “Tidak, itu hanya 
dua buah batu.”
  
Lalu keduanya menjadi batu dan masih ada 
hingga sekarang di
  suatu tempat yang disebut batu 
babi “Watu Celeng” di desa Karas
  kecamatan Sedan 
kabupaten Rembang. Dan masih banyak lagi kara- 
mah
  Sunan Bonang. 
Adapun Sayyid Oasim bin Sayyid Rahmat akan
  
disebutkan nanti, karena saat itu ia belum mengin- 
jak dewasa.)
  
Kisah Sayyid Utsman Haji (Sunan Wu lung) 
dapun Sayyid
  Utsman Haji, saudara Haji Uts- 
man, ia adalah putra Sayyid Raja Pendito.
  Ia me- 
nikah dengan seorang perempuan bernama Devi 
Sari binti
  Raden Syukur bin Arya Teja yang telah 
disebutkan di depan. Ia menjadi
  seorang imam bagi 
penduduk Jipang dan Panolan. Ia tinggal di sebuah
  
desa bernama Ngudung dan menempuh jalan para 
wali, mengesampingkan
  urusan duniawi, dan senan- 
tiasa riyadah semata-mata untuk beribadah
  hingga 
menjadi seorang wali yang dikenal dengan nama Su: 
nan
  Ngudung. 
Ia memiliki anak perempuan bernama Sujinah 
dan anak
  laki-laki bernama Amir Haji. 
Adapun Nyai Gede Tundo binti Sayyid
  Raja 
Pendito, ia menikah dengan Sayyid Khalifah Husain 
yang
  menjadi seorang imam bagi penduduk Madu- 
ra dan tinggal di sebuah desa
  bernama Kertayasa. Ia 
menyendiri di sana untuk beribadah dan mencari
  
ridha Allah hingga menjadi wali Allah yang terke- 
nal dengan nama
  Sunan Kertayasa. Ia memiliki anak 
bernama Khalifah Sughra dan banyak
  warga setem- 
pat yang mengikutinya untuk masuk Islam. 
Raden
  Syukur yang pernah disebutkan sebe- 
lumnya, memiliki anak bernama Raden
  Syahid yang 
menikah dengan Sayyidah Sarah putri Maulana 
Ishaq yang
  merupakan saudari Sayyid Abdul Qadir. 
Raden Syahid menjadi imam bagi
  penduduk Derma- 
yu dan Manolan. Ia tinggal di sebuah desa bernama
  
Kalijaga serta menyendiri di sana untuk beribadah, 
mengasingkan
  diri, dan membersihkan diri dengan 
riyadah hingga menjadi wali Allah dan
  memiliki 
banyak pengikut dalam taat kepada Allah. Ia senan- 
tiasa
  mengasingkan diri, riyadah, beramal ukhrawi. 
dan meninggalkan duniawi
  sepenuhnya. 
Ia memiliki tiga anak bernama Raden Said, 
Sayyid
  Rugayyah, dan Sayyidah Rafi'ah. 
Kemudian Sayyid Abdul Jalil bin
  Sayyid Abdul 
Qadir, Sayyid Amir Husain bin Haji Utsman, Sav- 
yid
  Amir Haji bin Sayyid Utsman Haji, Raden Said 
bin Raden Syahid, dan Amir
  Hamzah bin Sayyid 
Muhsin, mereka pergi ke Ampel untuk berkhidmah
  
kepada Sayyid Rahmat dan menuntut ilmu dengan 
beliau. Sementara
  Sayyid Oasim bin Sayyid Rahmat 
menjadi ketua mereka dalam belajar.
  
Telah disebutkan bahwa putra Sayyid Maula- 
na
  Ishaq dibuang oleh Raja Blambangan kemudi- 
an ditemukan oleh para
  pedagang dari Gresik lalu 
diserahkan kepada Nyai Gede Tundo Pinatih.
  Nyai 
Gede memberinya nama Raden Paku. Lalu mendidik 
dan
  mengasuhnya hingga berusia 15 tahun. Kemudi- 
an Raden Paku belajar ilmu
  syariat dan mendengar 
bahwa di desa Ampel Surabaya terdapat seorang ula-
  
ma alim yang mengajarkan ilmu syariat, tarekat, dan 
hakikat.
  Kemudian ia berkata kepada ibunya, 
“Wahai ibu, aku mendengar bahwa
  di Surabaya 
ada seorang ulama alim yang terkenal kewaliannya.”
  
Ibunya pun berkata, “Ya benar, sesungguhnya 
ja adalah salah
  seorang wali Allah, namanya Sayyid 
Rahmat yang dipanggil Sunan Magdum
  yang tinggal 
di desa Ampel.” 
Lalu Raden Paku berkata pada
  ibunya, “Sesung: 
guhnya aku ingin pergi ke sana dan berkhidmah,
  
akan tetapi aku memintamu untuk ikut pergi bersa- 
maku agar
  menyerahkanku padanya.” 
Ibunya berkata, “Kalau begitu baiklah, aku
  akan 
pergi bersamamu.” 
Kemudian Raden Paku pergi bersama
  ibunya 
ke Ampel. Ketika keduanya sampai di sana, ibunya 
menemui
  Raden Rahmat dan berkata, “Aku datang 
untuk menyerahkan anakku kepadamu,
  karena ia 
ingin belajar ilmu-ilmu agama darimu.” 
Sayyid Rahmat
  berkata, “Di mana ia sekarang?” 
Ibunya menjawab, “Ia ada di luar
  sedang ber- 
teduh di bawah pohon besar.” Maka Raden Paku 
dipanggil
  untuk menghadap Sayyid Rahmat, lalu i ia 
masuk dan duduk di hadapannya.
  
Ketika melihatnya, Sayyid Rahmat diam dan 
mengamati
  wajahnya, dan teringat dengan Maulana 
Ishaq dan putranya karena
  kemiripannya. 
Lalu Sayyid Rahmat bertanya kepada ibunya,
  
“Ini anak kandungmu atau anak angkatmu?” Ibunya 
mengabarkan yang
  sebenarnya sebagaimana yang 
telah dijelaskan di depan. 
Maka
  Sayyid Rahmat berkata, “Jika apa yang 
kamu katakan benar, maka ini
  adalah putra 
pamanku, dan aku mengangkatnya sebagai anak.
  
Lalu ibunya berkata, “Andalah yang lebih ber- 
hak
  mengangkatnya sebagai anak, dan aku menye- 
rahkannya kepadamu agar kamu
  mengajarinya adab 
dan ilmu-ilmu agama.” 
Lalu sang ibu
  meninggalkan Raden Paku ber- 
sama Sayyid Rahmat. Lalu Raden Paku diajari
  ten- 
tang adab, ilmu-ilmu agama, dan laku tarekat Nag-
  
syabandiyah. Inilah kisah tentang Raden Paku. 
Telah
  dikemukakan bahwa Raja Brawijaya 
memiliki seorang anak dari istrinya
  yang seorang 
perempuan Cina, yang bernama Raden Patah R34. 
Patah
  memiliki saudara seibu bernama Raden & N 
sain, dan keduanya
  berada di Palembang. 
Dikisahkan bahwa keduanya bersepakat untuk
  
pergi ke Ampel untuk berkhidmah ke Sayyid P:z. 
mat dan belajar
  ilmu darinya. Lalu keduanya ber- 
pamitan kepada ayahnya, yaitu Raden
  Arya Dam. 
ar, dan ayahnya pun mengizinkan keduanya. Mal: 
keduanya
  pergi hingga tiba di Ampel dan bertemu 
dengan Sayyid Rahmat. Raden
  Rahmat pun bert:- 
nya tentang nama dan daerah asal kepada keduans:
  
Lalu Raden Patah berkata, “Namaku Patah putra 
Raja
  Brawijaya, dan ini saudaraku namanya Raden 
Husain bin Raden Arya Damar
  pangeran Palem- 
bang. Kami ke sini ingin berkhidmah kepadamu dan
  
belajar ilmu agama darimu.” Kemudian keduanya 
menetap di Ampel dan
  belajar ilmu-ilmu agama. 
Adapun Raden Patah, ia adalah anak yang
  cer- 
das, kuat akalnya, dan paham tentang semua ilmu 
yang
  diajarkan. Sedangkan Raden Husain adalah 
anak yang lambat pemahamannya.
  Maka Raden P2 
tah menjadi seorang yang alim dalam ilmu syariat.
  
tarekat, dan hakikat. Ia sibuk dengan ibadah-ibadah 
fardhu dan
  sunnah, menjauhkan diri dari perkara 
haram maupun makruh. Sementara
  Raden Husain 
setelah lama tinggal di Ampel, ia berkata dalam ha
  
tinya, 
“Bagaimana saudaraku, Patah. fokus dan ber-
  
sungguh-sungguh dalam mempelajari kitab-ki- 
tab agama serta
  menyibukkan diri dengan ilmu- 
ilmu tersebut yang mana tidak bisa
  digunakan 
untuk mendapatkan kedudukan dan kekuasaan, se- 
olah-olah
  ia bukan seorang anak raja.” 
Ia pun menyembunyikan hal ini dalam
  hati- 
nya, dan selang beberapa lama ia berkata kepada 
Raden Patah,
  “Wahai saudaraku, bagaimana kita 
tetap tinggal di sini berkhidmah kepada
  Sayyid Rah- 
mat di sebuah desa, sementara kita telah memper- 
oleh
  apa yang kita inginkan, yaitu ilmu-ilmu agama. 
Bagaimana kalau kita
  sekarang pergi ke Majapahit 
dan melayani Raja Brawijaya? Mungkin kita
  akan 
beruntung mendapatkan kekuasaan yang tinggi dan 
kedudukan
  luhur.” 
Maka Raden Patah berkata, “Sesungguhnya aku 
tidak
  menginginkan hal itu. Kamu pergilah sendiri 
ke Raja Brawijaya dan aku
  akan tetap tinggal di sini 
berkhidmah pada Sayyid Rahmat untuk riyadah,
  
membersihkan jiwa dari akhlak yang buruk, dan 
menghiasi diri
  dengan akhlak mulia.” 
Lalu Raden Husain berkata, “Kalau begitu
  terse- 
rah kamu, izinkan aku untuk pergi ke Majapahit.” 
Maka
  Raden Patah berkata, “Kalau begitu pergi- 
lah.” Lalu keduanya saling
  berpamitan, dan Raden 
Husain pun pergi ke Majapahit diantar sebentar
  
oleh Raden Patah, kemudian Raden Patah kembali 
ke Ampel.
  
Raden Husain terus melakukan perjalanan hing- 
ga tiba di
  Majapahit dan menemui Raja Brawijaya. 
Lalu ia mencium tanah yang ada di
  hadapannya, 
maka Raja pun kaget melihatnya lalu mengamati 
wajahnya
  dan teringat dengan putranya Arya Damar 
karena ada kemiripan. Lalu raja
  berkata kepadanya, 
“Hai nak, siapakah namamu dan dari mana
  
asalmu, dan siapa ayahmu?” 
Raden Husain menjawab, “Wahai
  sang raja, na- 
maku Raden Husain, ayahku bernama Arya Damar
  
pangeran Palembang. Aku datang menemuimu un- 
tuk berkhidmah
  padamu.” 
Maka setelah lama berkhidmah pada Raja, ia di-
  
jadikan seorang patih dan pindah ke daerah Terung 
dan dijuluki
  Pecat Tundo.
  
  Kisah Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Patah (Sunan Demak)
    
Telah dikemukakan bahwa Sayyid Rahmat memi- 
liki dua putri
  bernama Murtiah dan Murtasi- 
mah. Adapun Murtiah telah menikah dengan
  Raden 
Paku yang menjadi seorang imam bagi penduduk 
Tendes dan
  tinggal di desa Giri. Raden Paku meng- 
asingkan diri di sana untuk
  beribadah dan riyadah 
hingga menjadi seorang wali yang terkenal dengan
  
panggilan Sunan Giri. 
Sunan Giri memiliki banyak pengikut yang me-
  
meluk agama Islam. Ia memiliki empat anak, yaitu 
Raden Prabu,
  Raden Masani, Raden Gua, dan Ret- 
nowati. 
Adapun Murtasimah
  telah menikah dengan Ra- 
den Patah. Setelah lama berkhidmah pada Sayyid
  
Rahmat dan tinggal bersama. Sayyid Rahmat berka- 
ta padanya, "
  
“Wahai anakku, pergilah menuju arah barat! Jika 
kamu sampai
  ke hutan tebu yang bernama Bintoro, 
carilah pohon tebu yang wangi. Jika
  kamu telah me- 
nemukannya maka jadikanlah sebagai rumah dan
  
tinggallah di sana.” 
Maka Raden Patah menaati perintah
  Sayyid 
Rahmat, Lalu ia berpamitan dengan Sayyid Rah- 
mat untuk
  pergi menuju Bintoro bersama istrin- 
ya dan terus melakukan perjalanan
  hingga sampai 
di hutan Bintoro lalu mencari sebatang tebu yang
  
wangi. Setelah mencarinya satu persatu, akhirnya ia 
menemukannya.
  Maka dari itu daerah dinamakan 
Demak, yang diambil dari kalimat
  “Demak-demek" 
(mencari-cari). 
Kemudian Raden Patah
  mendirikan sebuah 
rumah dan menetap di sana. Ia menyibukkan diri
  
dengan beribadah, riyadah, mengekang hawa nafsu, 
menjaga syariat,
  dan menjalani laku ahli hakikat. 
Hal itu terus ia lakukan hingga ia
  menjadi seorang 
wali yang terkenal dengan sebutan Sunan Demak.
  
Ia terus-menerus mendakwahkan Islam hing- 
ga banyak orang
  yang masuk Islam dan berbon- 
dong-bondong pindah ke Bintoro hingga
  menjadi 
sebuah negeri yang besar. 
Brawijaya mendengar kabar
  bahwa Bintoro telah 
menjadi sebuah negeri yang baru dalam kepemim-
  
pinan seseorang yang tidak dikenalnya sehingga ia 
pun khawatir
  mereka memberontak. Maka ia meng- 
utus Raden Husain untuk memastikan apa
  yang 
didengarnya. 
Raden Husain pergi ke Bintoro dan ternyata
  
pemimpinnya adalah Raden Patah. Ketika ia ma- 
suk ke Bintoro,
  mereka bersalaman dan berpelukan 
serta menangis baHaqia karena telah
  lama berpisah, 
lalu saling bertukar informasi. 
Kemudian
  Raden Husain ingin kembali ke Ma- 
japahit dan berpamitan kepada Raden
  Patah. Sesam- 
pai di Majapahit, ia menemui Brawijaya dan meng-
  
abarkan bahwa yang membangun negeri baru di 
Bintoro adalah Raden
  Patah, anak Brawijaya sendiri. 
Maka Brawijaya mengirim surat kepada
  Raden Pa- 
tah yang berisi pengangkatannya sebagai pangeran 
Demak.
  
Setelah itu Sayyid Ibrahim memerintahkan Ra- 
den Patah untuk
  membangun masjid untuk shalat 
jamaah dan shalat Jumat. Maka Raden Patah
  dipe- 
rintahkan untuk mengumpulkan kayu-kayu dan 
bahan-bahan yang
  dibutuhkan untuk membangun 
masjid. 
Sayyid Ibrahim memiliki
  seorang murid di desa 
Ngempon, Jatirogo, Tuban yang bernama Nyai Si-
  
belok yang mana suaminya adalah seorang muadzin. 
Lalu Sayyid
  Ibrahim memerintahkan suami Nyai Si- 
belok untuk mengambil rumput
  alang-alang yang 
biasa dipakai untuk atap rumah, agar di 
untuk
  atap masjid. Lalu muadzin tersebut me, 
pulkan banyak alang-alang dan
  mengeringk: an 
Kemudian pada suatu hari ia berkata
  
trinya. “Sayyid Ibrahim memerinta tahkanku Haa 
mengambil rumput
  alang-alang dan telah berkur, 
pul banyak, tapi mengapa sampai sekarang
  bej Ki 
dikirimkan utusan untuk mengambilnya. pad-i: 
sudah kering.”
  
Maka istrinya menjawab, “Mungkin saja belun 
dibutuhkan,
  nanti ketika sudah dibutuhkan pass 
akan ada yang mengambil.”
  
Lalu Nyai Sibelok pergi ke ah lap un- 
tuk melihat
  alang-alang yang Ha impulkan 
nya Pe ia memukulkan selendangnya ke
  
alang-alang tersebut dan semuanya terbang ke De 
mak Itulah karomah
  Nyai Sibelok 
Diceritakan bahwa kedelapan tiang masjid di-
  
serahkan kepada delapan tukang kayu, dan mereka
  
diperintahkan agar menyelesaikannya dalam wak- 
: tu satu
  malam karena masjid akan didirikan esok 
: harinya Maka mereka bekerja
  keras semalam sun- 
tuk untuk menyelesaikan pengerjaan tiang-tiang ke-
  
cuali satu tiang yang belum selesai karena ada satu 
orang yang
  tertidur. 
Ketika menjelang fajar terbit 
orang lainnya)
  membangunkanny ja 
jah menyelesaikan aa Lalu 
ini mengumpulkan
  potongan-poto 
diikat dengan tali dan Bean aa 
hingga ada satu tiang
  masjid itu yang te da dari 
potongan kayu (tatal) yang masih ada sampai
  seka- 
rang. Akan tetapi sekarang tiang tersebut ditutupi 
dengan
  lembaran-lembaran logam. 
Raden Patah memiliki lima orang anak.
  yaitu 
pangeran Prabu, Raden Trenggono, Raden Bagus 
Sedo Kali,
  Kanduruhan, dan Sayyidah Rativah.
  
           
  Kisah Sayyid Qasim (Sunan Drajat) 
Adapun Sayyid Oasim bin Sayyid Rahmat, ia me- 
nikah dengan
  Sayyidah Shufiyah binti Sayyid 
Abdul Qadir yang terkenal dengan sebutan
  Sunan 
Gunung Jati sebagaimana telah disebutkan. 
Sayyid Oasim
  menjadi seorang imam bagi pen- 
duduk Lamongan dan Sedayu, dan ia tinggal
  di desa 
Drajat. Ia menyendiri di sana untuk fokus beribadah,
  
riyadah, dan membersihkan diri dari hawa nafsu 
hingga menjadi wali
  Allah. Ia terus berdakwah dan 
memiliki banyak pengikut, dan ia dikenal
  dengan 
sebutan Sunan Drajat. Ia memiliki tiga orang anak, 
yaitu
  Pangeran Rekyo, Pangeran Sendi, dan Say- 
yidah Wuryan.
  
Adapun Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin (sua- 
mi Sayyidah
  Muthmainnah), ia menikah dengan Ra- 
fiah binti Raden Syahid.
  
  
  
  Kisah Raden Said (Sunan Muria) 
adapun Raden Said bin Raden Syahid, ia menikah 
dengan
  Sujinah binti Sayyid Utsman Haji dan 
tinggal di desa bernama Muria. Ia
  menyendiri di 
sana dan fokus beribadah serta riyadah hingga men-
  
jadi seorang wali Allah yang terkenal dengan sebut- 
an Sunan
  Muria. 
Sunan Muria memiliki anak bernama Pangeran 
Sendi yang
  tinggal di desa Kadilangu yang terkenal 
dengan sebutan Pangeran
  Kadilangu dan dijuluki 
Pangeran Behi.
  
  Kisah Sayyid Abdul Jahil (Sunan Siti Jenar)
    
adapun Sayyid Abdul Jalil bin Sayyid Abdul Qadir, ia tidak
  menikah. Ia belajar ilmu agama ke- 
pada Sayyid Rahmat dan menyibukkan
  diri dengan 
ilmu tasawuf, ilmu tauhid, dan ilmu makrifat. Lalu
  
meningkat ke ilmu Mukasyafah hingga tenggelam 
dalam kesatuan dan
  fana dari makhluk secara ke- 
seluruhan. Kemudian ia meminta izin kepada
  Say- 
yid Rahmat untuk meninggalkan Ampel dan Sayyid 
Rahmat pun
  mengizinkannya. 
Lalu ia melakukan perjalanan hingga sampai ke
  
sebuah desa bernama Siti Jenar dan mengasingkan 
diri di sana,
  menyibukkan diri dengan berzikir dan 
bertafakkur mencari ridha Allah,
  tidak tidur malam 
maupun siang, tidak merasakan lezatnya makan dan
  
minum, kecuali hanya sedikit. Jiwa dan batinnya 
senantiasa
  terluapi alam kesucian, hingga apa yang 
tersembunyi dalam batinnya
  meresap ke ragan- 
ya. . itulah penyebab difatwakannya hukuman 
mati
  terhadap dirinya oleh Sayyid Ibrahim secara 
ilmu zahir. Ilmu hakikat
  dalam batinnya diserahkan 
sepenuhnya pada Dzat yang Maha Mengetahui dan
  
Maha Bijaksana. Dikatakan mengenai dirinya dalam 
syair:
  
“Barangsiapa yang memahami isyarat, maka hendaknya 
ja
  menjaganya. 
Karena jika tidak, ia akan dibunuh dengan mata panah.
  
Seperti Al-Hallaj ketika keluar matahari hakikat darinya, 
yang
  mengatakan Ana Al-Haq (Aku adalah Al-Haq) 
yang tidak berubah Dzatnya
  seiring berlalunya zaman.” 
Peristiwa itu terjadi ketika
  Raden Patah 
menyerukan untuk memerangi Brawijaya, Raja Ma-
  
japahit. Lalu Sayyid Abdul Jalil berkata kepada utus- 
an Raden
  Patah, 
“Di sini tidak ada Abdul Jalil, yang ada hanyalah
  
Allah.” Wallahu Alam.) 
  
  Kepergian Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
    
Kemudian Sayyid Rahmat (Sunan Ampel) wa- 
fat dan shalat
  jenazah dihadiri oleh para wali. 
Dan yang menjadi imam shalat adalah
  Sayyid Ra- 
den Paku (Sunan Giri), lalu mereka memakamkan- 
nya di
  sebelah timur laut kediamannya yang mana 
makamnya masyhur diziarahi
  hingga sekarang di 
Ampel Surabaya. 
Kemudian setelah itu para
  wali jawa berkum- 
pul, mereka adalah Sayyid Ibrahim, Sayyid Raden
  
Paku, Raden Syahid, Sayyid Oasim, Sayyid Abdul 
Qadir, Sayyid Raden
  Said, Sayyid Amir Haji, Sayyid 
Muhsin, Sayyid Haji Utsman, Raden Patah,
  Sayyid 
Utsman Haji, Raden Jaka Kandar, dan Sayyid Kha- 
lifah
  Sughra. 
Mereka bermusyawarah untuk mengangkat seo- 
rang imam
  bagi kaum muslimim. Raden Paku me- 
ngatakan, “Tidak ada seorangpun dari
  kita yang pan- 
tas untuk menjadi khalifah Islam dan imam kaum
  
muslimin kecuali Raden Patah, maka baiatlah diri- 
nya. Maka para
  wali yang hadir menyetujuinya dan 
membaiatnya, sehingga Raden patah
  menjadi imam 
kaum muslimin. Kemudian Raden Patah kembali ke 
Demak
  dan mendirikan kerajaan. 
Setelah itu Raden Patah mengumpulkan pas
  
wali dan tokoh umat Islam. Ketika mereka berkum- 
Raden Patah
  berkata, 
“Wahai tuan-tuan yang mulia, Sesu 
va aku
  mengumpulkan kalian untuk meminta 
pendapat kalian mengenai suatu perkara
  yang 
merupakan suatu kewajiban dalam Islam, dan aku 
sendiri
  melihat bahwa saat ini umat Islam telah 
bertambah banyak. Aku
  berpandangan bahwa ji- 
had telah wajib bagi mereka karena jumlah mereka
  
sudah banyak. Sementara Raja Brawijaya dan para 
pendukungnya serta
  kaumnya masih tetap dalam 
kekafiran. Bukankah diwajibkan bagi kita untuk
  
memerangi mereka di jalan Allah dan meninggikan 
kalimat-Nya?
  Apabila kalian sependapat denganku, 
kami akan memerintahkan kaum
  muslimin untuk 
mempersiapkan jihad dan peralatan perang. Aku
  
menunggu jawaban dari kalian semua.” Lalu mereka 
semua sependapat
  dengan Raden Patah dan mem- 
berikan restu untuk menjalankan langkah
  mulia itu. 
Kemudian mereka bermusyawari 
siapa yang menjadi
  pemimpin Pasukan d., |” “z 
ma perang. Raden Paku berkata, Tp
  
“Sesungguhnya yang paling pantas untuk menjadi 
  
panglima perang menurutku adalah Sayyid Utsman Haji."
  
Kemelut Perang antara Majapahit dan Demak 
  
tiganya ag Ba Ta para patih Raja Brawijaya Ada- 
pun Gajah Mada. ia
  diserahi urusan pertempuran. 
sedangkan Gajah Waila diserahi urusan
  pajak. se- 
dang Gajah Sina diserahi urusan pasukan perang.
  
Telah dikemukakan bahwa Brawijaya memiliki 
seorang anak
  bernama Raden Gugur yang menjadi 
wakilnya. Dan Raden Gugur memiliki dua
  anak ber- 
nama Lembu Nasraya dan Lembu Kanigoro. Kedua- 
nya
  menjadi penguasa wilayah Majapahit. 
Telah disebutkan bahwa
  Brawijaya menjadikan 
Raden Husain bin Arya Damar sebagai pangeran di
  
Terung dan dijuluki Pecat Tundo. 
Istri Brawijaya yang
  berasal dari Ponorogo 
memiliki seorang saudara bernama Dandang We-
  
cana dan diangkat menjadi seorang pangeran Ma- 
japahit. Ia
  memiliki anak bernama Raden Banjar 
yang tinggal di desa Tengger dan
  dijuluki Dandang 
Wurahan. 
Istri Brawijaya lainnya memiliki
  saudara yang 
bernama Ulung Kembang dan diangkat menjadi 
pangeran
  di Bangkalan Madura. 
Ketika Utsman Haji hendak keluar dari Demak
  
bersama para pasukan, ia mengenakan jubah ber- 
mantera yang
  dinamakan Onto Kesuma. Setelah 
berpamitan dengan Raden Patah, ia keluar
  menaiki 
kuda hitam di barisan terdepan dengan diikuti para 
pasukan
  berpayung kuning lengkap dengan pan- 
ji-panji di depan dan belakang
  serta tabuhan gen- 
dang dan tiupan terompet perang. 
Amir
  Husain berjalan di sebelah kanannya me: 
naiki kuda belang hitam putih,
  sementara Amir 
Hamzah di sebelah kirinya menaiki kuda kelabu.
  
Mereka berjalan bersama para pasukan seperti 
sekelompok
  singa terlatih yang terbungkus baju besi, 
tidak ada sedikitpun rasa
  takut dalam wajah mereka. 
Mereka ini digambarkan dalam sebuah alunan
  syair: 
“Kami adalah bintang-bintang malam dan rembulan yang
  
menjadi panglima (petunjuk) 
bagi orang yang menyusuri jalan-jalan
  petunjuk. 
Kami menyeru semua orang kepada petunjuk dan kebe- 
—
  naran. 
Kami adalah para singa terlatih bagi setiap kaum yang
  
melawan. 
Kami bukanlah singa pelosok des 
singa
  negeri-negeri berperadaban. 
a, namun kami adalah 
Kami semua
  pemangsa musuh, memerangi kaum kafir 
yang enggan dan lari.
  
bengan jihad kami mengharap ri 
makhluk, selalu berharap
  limpahan pahala akhirat. 
Wahai Tuhan kami, berilah kami
  pertolongan 
dha Tuhan seluruh 
untuk menumpas kerusakan.”
  
Mereka terus berjalan hingga sampai ke hutan 
Tunggarona lalu
  berhenti di sana dan mendirikan 
tenda-tenda. Kemudian Utsman Haji
  mengirimkan 
surat kepada Raja Majapahit, lalu mereka melihat 
ada
  seorang lelaki naik kuda dan mereka menghen- 
tikannya. Lalu Utsman Haji
  bertanya kepadanya, 
“Siapa kamu wahai pemuda?” 
lelaki
  tersebut menjawab, “Aku adalah pen- 
duduk desa Cakar Ayam, dan aku
  adalah kepala desa 
. yang diutus Raja Brawijaya untuk berburu rusa.”
  
Lalu Utsman Haji berkata padanya, “Maukah 
kamu membawa
  sepucuk surat yang hendak aku 
kirimkan kepada Raja Brawijaya?”
  
Lelaki tersebut menjawab, “Ya, dengan penuh 
rasa hormat.”
  Maka lelaki itupun membawa sin 
untuk Brawijaya, dan ia langsung memacu
  kudanya 
hingga sampai ke Majapahit. | 
Sesampai di Majapahit,
  lelaki tadi menemui 
Raja Brawijaya yang sedang bersama para pangeran
  
dan patih, lalu ia menyerahkan surai kepada Raja 
Brawijaya, lalu
  dibukalah surat itu yang isinya, 
-Dari Utsman Haji yang dijuluki
  Sunan Ngu 
dung kepada Raja Brawijaya penguasa Majapahit.
  
Sesungguhnya aku adalah utusan Raja Raden Pa- 
tah dari kerajaan
  Demak. Sang Raja mengutusku 
dengan beberapa pasukan untuk mengajakmu dan
  
seluruh penduduk negerimu untuk masuk agama 
Islam. Namun jika
  kalian menolaknya maka kami 
telah bersiap untuk berperang dengan kalian,
  dan 
jika golongan lelaki kalian sudah bosa 
temui kami di hutan
  Tunggarona. Wassalam.” 
Setelah Raja Brawijaya selesai membaca
  surat 
itu ia berkata kepada patihnya Gajah Sina, “Wahai 
patih,
  sesungguhnya Raden Patah telah mengirim- 
kan pasukan bersenjata untuk
  memerangi kita, dan 
—t--reng sudah berada di hutan Tunggarona. Tem ui-
  
tani mereka bersama 20 ribu pasukan dan ditemani 
rya Jambul putra
  Ki Jaran Penoleh. 
Gajah Sina dan para pasukan bergerak
  
Tunggarona dan ketika sampai di 
sana, terjadilah peperangan
  antara dua kelompok 
pasukan dan terus berkecamuk hingga jatuh ban-
  
vak korban serta belum ada kelompok yang kalah 
maupun menang.
  Kemudian Gajah Sina menyeru 
pasukan muslimin untuk berduel, maka
  keluarlah 
Amir Husain melawan Gajah Sina. Keduanya saling
  
menyerang hingga Amir Husain tertusuk pedang 
dan mati syahid.
  Semoga Allah melimpahkan ridha 
kepadanya dan menempatkannya di surga
  sebagai 
balasan untuknya. 
Kemudian keluarlah Amir Hamzah
  untuk mela- 
wan Gajah Sina dan keduanya terlibat saling serang
  
namun tidak ada yang kalah. Maka keluarlah Ut- 
sman Haji bersama
  tiga prajurit dan ia berhasil 
menusuk bahu Gajah Sina dengan tombak lalu
  men- 
garahkan ke arah dadanya hingga Gajah Sina tewas. 
Semoga
  Allah menempatkan ruhnya ke neraka dan 
tempat terburuk. |
  
Saat itu pasukan muslim hanya tersisa 30 
orang, sementara
  banyak pasukan lain yang datang 
dari Majapahit lengkap dengan sejata.
  Maka pasu- 
kan muslim memisahkan diri menjadi tiga kelom- 
pok.
  Satu kelompok menyerang dari arah kanan, 
satu kelompok dari arah kiri,
  dan satu kelompok 
dari tengah. Hingga perang kembali berkecamuk
  
dan banyak korban yang terluka dan berjatuhan dari 
pasukan kafir
  dan akhirnya mereka kalah. 
Dengan kekalahan tersebut, Arya Jambul
  mela. 
rikan diri kembali ke Majapahit dan menghadap 
Raja Brawijaya
  seraya menangis dan berkata, 
“Sesungguhnya patih Gajah Sina telah
  terbunuh 
dan pasukanmu hanya tersisa sedikit, maka dari itu 
aku
  bergegas kembali menghadapmu untuk meng. 
abarkan apa yang terjadi pada
  mereka.” Inilah kisah 
tentang Gajah Sina dan Arya Jambul.
  
Adapun kaum muslimin, mereka melarikan diri 
ke hutan
  Kerawang dan jumlah mereka hanya tersi- 
sa sebelas orang. Lalu mereka
  bermusyawarah un- 
tuk mengutus salah seorang dari mereka ke Demak
  
untuk mengabarkan kepada Raden Patah apa yang 
terjadi pada mereka
  dan kaum kafir. Serta menanya- 
kan bala bantuan pasukan dan meminta izin
  untuk 
menyerang pasukan kafir kedua kalinya. 
Lalu salah
  seorang dari mereka berangkat ke 
Demak. Setelah menghadap khalifah dan
  menga- 
barkan apa yang terjadi pada mereka dan kaum kaf: 
ir,
  khalifah berkata kepada patih Abdus Salam, 
“Wahai Abdus Salam,
  sesungguhnya Utsman 
Haji mengirimkan utusan mengabarkan bahwa 
Amir
  Husain telah gugur syahid, dan jumlah pasu- 
kan muslimin tersisa
  sebelas orang. Lalu ia meminta 
bala bantuan pasukan. Sekarang ia
  bersembunyi di 
hutan Kerawang. Maka kumpulkanlah prajurit
  dan 
kirim mereka ke Utsman Haji.” 
Maka Abdus Salam keluar
  dari hadapan kha- 
jifah, ia menabuh genderang dan terompet seraya
  
menyeru orang-orang agar bersiap-siap untuk ber- 
perang. Ketika
  mereka sudah berkumpul, ia berkata 
kepada mereka,
  
“Sesungguhnya khalifah sudah mengutus satu 
pasukan yang
  dipimpin oleh Utsman Haji untuk 
memerangi kaum kafir Majapahit. Lalu
  Utsman Haji 
mengirim utusan kepada khalifah untuk meminta 
tambahan
  pasukan, oleh karena itu aku mengum- 
pulkan kalian. Maka susullah
  teman-teman kalian 
untuk membantu mereka dan carilah Utsman Haji.
  
Karena sekarangia bersembunyi di hutan Kerawang.
  
Mereka pun mematuhi arahan tersebut, lalu 
khalifah berkata
  kepada patih Abdus Salam, 
“Panggilkan Haji Utsman agar menghadapku."
  
Maka dipanggillah Haji Utsman, dan setelah di 
hadapan khalifah,
  khalifah berkata kepadanya, 
“Sesungguhnya anakmu telah gugur sebagai
  
syahid dan aku ingin agar kamu menggantikan po- 
sisinya. Maka
  pergilah menemui Utsman Haji de- 
ngan memimpin pasukan ini.” 
Haji
  Utsman pun mematuhi perintah khalifah, 
lalu ia berpamitan dan keluar
  bersama pasukan 
dengan menaiki kuda hitam hingga sampai ke hutan
  
Kerawang. 
Setelah bertemu dengan Utsman Haji dan meng.
  
ucapkan salam, mereka bermusyawarah mengenai 
peperangan. Inilah
  kisah tentang kaum muslimin, 
Adapun perihal Raja Brawijaya, ketika
  ia men- 
dengar penuturan Arya Jambul, ia berkata kepada 
Patih
  Gajah mada, 
“Wahai patih, kirimlah dua utusan ke Pengging
  
dan Ponorogo untuk meminta bantuan pasukan." 
Maka Gajah Mada
  pun mengirimkan dua utus- 
an dengan membawa surat dari Brawijaya. Ketika
  
utusan sampai ke Pengging dan bertemu dengan 
Pangeran
  Andayaningrat, ia menyerahkan surat 
tersebut dan kemudian dibuka, yang
  isinya, 
“Dari Raja Brawijaya kepada Pangeran Andaya- 
t.
  Penting untuk dikabarkan bahwa Majapahit 
ningra 
limin dari Demak,
  
kedatangan pasukan kaum mus 
maka segeralah kirim bantuan pasukan
  untuk me- 
merangi mereka.” 
Setelah membaca surat tersebut,
  Andayaningrat 
memerintahkan untuk menabuh genderang dan 
terompet
  serta mengumpulkan pasukan. Ketika pa- 
sukan telah terkumpul, ia berkata
  kepada mereka, 
“Sesungguhnya aku mengumpulkan kalian 
karena
  aku ingin membantu Raja Majapahit yang 
sekarang berperang melawan
  pasukan kaum mus- 
limin. Maka berangkatlah bersamaku.” Mereka pun
  
patuh kepada perintah tersebut. Lalu mereka keluar 
menuju
  Majapahit. 
Ketika Arya Dandang Wuruhan, kepala desa 
Tengger,
  mendengar bahwa Pangeran Andayaning- 
rat keluar bersama pasukan ke
  Majapahit untuk ber- 
perang, ia mengambil tombak dan panah lalu naik
  
kuda menuju Majapahit hingga sampai di sana ye 
bertemu dengan
  ayahnya, Dandang Wecana. Pan 
kisah tentang utusan Brawijaya yang dikirim
  ke 
Pengging. 
Adapun utusan yang dikirim ke Ponorogo,
  
sesampainya di sana ia menghadap Bethoro Katung, 
putra Brawijaya,
  lalu ia menyerahkan surat aa 
ayahnya. Setelah selesai membacanya, ia
  mengirim 
utusan ke Pangeran Luwanu dengan membawa Se- 
pucuk surat.
  : 
Maka utusan tersebut pergi menghadap Pange- 
ran Luwanu dan
  menyerahkan surat tersebut yang 
isinya, 
“Telah sampai
  kepadaku sebuah surat dari 
ayahku, Raja Brawijaya, bahwa pasukan Demak
  te- 
lah datang ke Majapahit, dan patih Gajah Sina telah 
terbunuh
  dalam peperangan. Maka aku berharap 
saudaraku, Pangeran Luwanu, mau
  mengirimkan 
bala tentara ke Majapahit untuk membantu Raja
  
Brawijaya, namun sebelum ke Majapahit, aku harap 
kamu datang
  terlebih dahulu ke Ponorogo.” 
Maka Pangeran Luwanu memerintahkan
  Untuk 
mempersiapkan kuda hitam dan mengambil tom: 
bak, lalu ia
  menaiki kuda dan memacunya hingoa 
sampai ke Ponorogo. Setelah bertemu
  Bethoro Ka. 
tung, ia duduk dan Bethoro Katung berkata kepada
  
saudaranya Dipati, 
“Wahai saudaraku, pergilah kamu dan
  saudara- 
mu Sudara bersama para pasukan.” Lalu keduanya 
berpamitan
  dan berangkat. Dipati menaiki kuda hi- 
tam dan Sudara menaiki kuda
  belang. Setelah me- 
reka sampai di Majapahit, di sana telah berkumpul
  
para pangeran dan patih sedang bermusyawarah 
tentang urusan
  peperangan. 
Ketika pasukan muslimin datang ke Kerawang, 
patih
  Andayaningrat mendengar hal itu, maka ia 
datang menemui Brawijaya dan
  mengabarkan hal 
tersebut. Lalu Brawijaya memerintahkan para patih
  
dan pangeran untuk menemui pasukan muslimin. 
Brawijaya
  berkata kepada patih Gajah Mada, 
“Pergilah dan posisimu dalam
  melindungi nega- 
ra akan digantikan patih Arya Baha" dan patih Lem-
  
bu Nisraya serta pasukannya.” 
Brawijaya mengangkat putranya
  Raden Gogor 
menjadi komandan pasukan. Sementara itu patih 
Pecat
  Tundo dari Terung bersama pangeran Lawung, 
pangeran Terosaba, dan
  pangeran Sukadana datang 
bersama 2000 prajurit. Lalu para pasukan yang
  su- 
dah berkumpul di Majapahit keluar hingga tiba di 
hutan
  Kerawang. 
Pasukan Majapahit dibagi menjadi tiga untuk
  
bergantian. Di sanalah pasukan muslimin dan kafir 
bertemu, hingga
  perang berkecamuk di antara me- 
reka dengan tebasan pedang, tusukan
  tombak, serta 
lemparan panah, senapan, dan mesiu. | 
Tak
  terhitung korban dari pasukan Sa - 
mentara dari pasukan muslimin ada
  1010 pasukan 
gugur. Tidak berselang lama datang bala TA 
dari
  Majapahit dengan banyak persenjataan, ai 
keluarlah Amir Hamzah dan Haji
  Utsman serta para 
prajuritnya untuk menghalau mereka. |
  
Kemudian salah seorang dari pasukan apa 
hit bernama Ulung
  Kembang yang merupakan ipar 
Brawijaya dan penguasa Berangkal, berkata
  kepada 
pasukan Muslimin, 
“Wahai orang-orang muslim, jika
  kalian su- 
dah bosan hidup, maka majulah ke sini, aku adalah 
Ulung
  Kembang.” 
Lalu keluarlah Amir Hamzah dan keduanya 
duel.
  Tidak lama kemudian Amir Hamzah berha- 
sil menusuk dada Ulung Kembang
  hingga jatuh 
tersungkur dan mati. Semoga Allah menyegerakan 
ruhnya
  ke neraka dan tempat terburuk. 
Kemudian patih Dandang Wecana
  keluar mene- 
Meruci Pemomakaet peractdknn re Bar ibatian laga»...
  
kake bdg pun terbitaat pertarg tanu! 
saborng adu pukul derrngan
  Senttatnaa 
tnpa Ikerebannyia Jerbarkenlhaan Bianta bertistisa
  
Salikara share pepertan tes 
Ketika kekuatan edbaarya
  —eerrabs, 
kenaeiya berediari dian melanjutkan dsnel 4. &
  
tidiah nda yang kalah maupun menang |, “3 
Ltaenan menghampar
  kerdisarnya da bner ” 
“Piduah selayaknya kamu salimg gmail aa
  
daa toenbudk, mam semena dengan satu dl 
beat modern
  beeraritiar 
Lala Haji Uterari mengarah torak Amtip 
Hamaah
  dian berkata kepada Dandang Wecana "Nu 
Orang kafir, cepat tusuk
  
Maka Dandang Wecana pun menusuk Amir 
Ilawsah. saman tidak
  mempan dan tombak terse 
but patah Labu Haji Uteman berkata. “Hai orang
  ka 
fic penjami Amir Hamirah towabakmu" 
Setelah dipinjami
  tombak. Haji Utaman berka 
ta, “Hai Amit Hangah. cepat tusuklah dia” Maka
  
Areie Hamuah segera menusuk dada Dandang we 
cana bingga mati
  Semoga Allah menyegerakannya 
ke meraka dan tempat terburnok 
Arak
  Darelang Wecana yang bernama Dandan 
Wuruhan cengat matah ketika
  mendengar ayahnya 
sebuah. Lahu ig bela move 05 
denga MNRARAAN
  ternak tua arema 
denda kematian ayahnya Miugika berdimmera teeta
  
juema eraefian Arit Hamarah bros Sek 
Manearag Wiorahaun Ke ragam
  Meswnaikann bownetoaak Pienngena 
merjatab diam mati Sermaga Allah
  merunge mkarureya 
ke meraka dia terpaan terburuk. 
Kewenelian
  setebah it Lembu Kamigowo pestra 
taden Gogoe yang merupakan cucu
  Brmwijaya kote 
ag. muak ia diam Armar Marus bantpanrang dan saling
  
memanah. Lalu datanglah Maji Utsman dan anemu 
sah Lema Kanigoro
  dari belakang hingga menem 
bus dadkanya dar tersangka mati Semnega Allah
  
menyegerakarinya ke murraka dam tempat ten torak 
Kemudian
  pati Pecat Tundo berkata kepada 
pasa pempanan megerinya ketigarya alah
  Suka 
"Pergilah kalian bersama para prajarit tempat 
anhak
  memerangi pasokan muslimin 
Mereka pun pergi hingga tiba di medan
  perang, 
maks peperangan antara dua kelompok berkecamuk 
dan banyak
  korban berguguran dari pihak kafir 
Ketiga pimpinan kafir tidak
  henti-hentinya ber 
temper sampai pasukan musliman teruika sedikat
  
hingga mereka berhadapan dengan Utsman Haji 
dan mereka merasa
  segan lalu berbalik. Utsman Haji 
berkata kepada saudaranya Haji Utsman,
  
“Hai saudaraku, perintahkanlah para prajurit 
yang kami
  tinggal di Tunggarana agar mereka maju 
ke medan tempur untuk
  menghancurkan pasukan 
kafir.” 
Maka Haji Utsman memerintahkan
  pasukannya 
untuk maju, namun akhirnya pasukan tersebut ha- 
bis tak
  tersisa, karena semuanya gugur. Kemudian 
ketiga panglima Majapahit
  kembali berperang, na- 
mun tidak lama kemudian mereka lari dan kembali
  
ke patih Pecat Tundo lalu berkata kepadanya, 
“Wahai tuan,
  sesungguhnya kamu telah meng- 
angkat kami sebagai panglima perang, lalu
  kami 
berperang melawan kaum muslimin hingga pasu- 
kan kami tersisa
  sedikit. Kemudian kami marah 
kepada musuh-musuh kami dan kami pun maju
  
memerangi mereka dan terus memerangi mereka 
hingga jumlah
  pasukan mereka tersisa sedikit. Lalu 
panglima mereka keluar menemui kami
  dan kami 
takut lalu kami lari.” 
Patih Pecat Tundo berkata
  kepada patih An- 
dayaningrat, “Pergilah kamu bersama pangeran Lu-
  
wanu dan Raden Sudara untuk memerangi musuh.” 
Lalu mereka
  pergi ke medan perang dengan menaiki 
kuda dengan membawa pedang.
  
yekh : 
Ketika mereka sampai di medan perang, berke-
  
camuklah peperangan antara mereka dan pasukan 
muslimin hingga
  banyak korban berguguran dan 
pasukan muslimin hanya tersisa sembilan
  orang, 
dan perang belum berakhir hingga matahari ter- 
benam. Lalu
  masing-masing kelompok kembali ke 
markasnya. 
Haji Utsman
  berkata kep 
i bahwa para prajurit telah terbunuh d 
maka sebaiknya
  kita 
bala bantuan. Jika 
ada saudaranya Uts- 
man Haj an
  
hanya tersisa sembilan orang, 
kembali dari sini untuk meminta
  
kita sudah mendapat bantuan, kita kembali lagi ber- 
perang. Maka
  Utsman Haji berkata, 
“Baik lakukanlah apa yang menurutmu baik,
  
aku mematuhimu.” 
Lalu mereka melakukan perjalanan hingga
  
sampai ke hutan Jawo dan singgah di sana. Kemudi- 
an Utsman Haji
  mengirim utusan dengan membawa 
surat kepada ayahnya Sayyid Raja Pendito
  yang ting- 
gal di wilayah Risbaya. 
Ketika utusan tersebut
  datang dan menyerah- 
kan surat kepada Sayyid Raja Pendito yang isinya
  
dari Utsman Haji untuk Sayyid Raja Pendito, setelah 
mengucapkan
  salam, 
“Sungguh penting kami mengabarkan bahwa 
saya telah
  diutus oleh Raja Demak untuk meme- 
rangi Raja Brawijaya dan pasukan
  kafir, kami telah 
berperang hingga sekarang. namun jumlah pasuk:-
  
kami tersisa sedikit Oleh karena itu kami
rimkan bala tentara,
  sekarang kami menyelamatkan 
diri di hutan Jawo. Wassalam.”
  
Setelah selesai membaca dan memahami isi- 
nya Raja Pendito
  menulis surat dan mengirim seo- 
rang utusan kepada Khalifah Husain.
  yaitu seorang 
pangeran (penguasa) di Kertayasa Ketika utusan
  
tersebut datang. ia menyerahkan surat kepada Kha- 
lifah Husain
  lalu dibukalah surat itu yang isinya dari 
Sayyid Raden Pendito untuk
  Khalifah Husain di Ker- 
tayasa setelah mengucapkan salam,
  
“Pengirim surat ini memberitahukan bahwa 
aku telah menerima
  surat dari Utsman Haji yang 
meminta bantuan pasukan untuk memerangi kaum
  
kafir Majapahit karena jumlah pasukannya hanya 
tersisa sedikit dan
  mereka sedang bersembunyi di 
hutan jawo. Maka aku berharap darimu agar
  berse- 
dia mengirimkan bantuan pasukan. Wassalam.” 
Setelah
  selesai membaca surat. Khalifah Husain 
memerintahkan untuk menabuh
  genderang dan 
terompet untuk menginformasikan perang. Lalu
  
orang-orang berkumpul dan dikatakan pada mere- 
ka,
  
“Aku mengumpulkan kalian karena aku hendak 
memerangi kaum
  kafir Majapahit, maka pergilah 
Syekh Adu Fsans ,
  
Dikisahkan bahwa ada seorang lelaki bemiw: 
Ki Cendana.
  Ia memiliki dua anak bernama Mas 
Bendara Marma dan Jusup.
  Keduanya ingin iku: 
berperang di jalan Allah bersama Khalifah Husain,
  
jslu keduanya menemui Khalifah Husain bersam 
40 orang laki-laki
  dan meminta izin ikut berperan 
bersamanya. 
Maka Khalifah
  Husain pun mengizinkannya 
dan berpesan agar mereka meniatkan jihad di
  jalan 
Allah. Kemudian Khalifah Husain bersama putra- 
nya, Khalifah
  Sughra, dan 40.000 pasukan kelu- 
ar untuk berperang dan berjalan hingga
  sampai ke 
hutan Jawo. 
Raden Paku men- 
Pada saatitu
  Raden Prabu bin 
dengar bahwa Sayyid Haji Utsman dan saudaranya
  
Utsman Haji berada di hutan Jawo untuk berperang. 
lalu ia berkata
  kepada istrinya. 
“Wahai istriku, hendaknya kamu menjaga di-
  
rimu, sesungguhnya aku hendak pergi berjihad di 
jalan Allah
  bersama para wali Allah.” 
Lalu ia menaiki kudanya dan berjalan
  sampai 
keJawo. Ia bertemu Sayyid Haji Utsman dan Utsman 
Haji,
  setelah bersalaman, ia berkata pada keduanya, 
“Aku ingin ikut
  berjihad bersama kalian.” 
Keduanya menjawab, “Baiklah, lakukan
  yang 
menurutmu baik, segala puji bagi Allah.” 
Saat itu
  penguasa wilayah Pakis yang bernama 
Jaran Pemburu mendengar bahwa
  pasukan Islam 
telah berada di hutan Jawo, lalu ia memanggil empat
  
orang pembesar kaumnya, yaitu Karsani, Kalangan, 
Ardi Sari, dan
  Gajah Mungkur, lalu berkata, 
“Sesungguhnya tentara Islam telah
  berada di 
hutan Jawo, dan mereka hendak memerangi Maja- 
pahit. Aku
  mengajak kalian untuk mengumpulkan 
kaum kalian lalu memerangi mereka
  bersamaku." 
Mereka berkata, “Menurut kami, kami akan me-
  
nemui mereka di jalan mereka, lalu kami akan me- 
merintahkan
  mereka agar kembali. Jika mereka me- 
nolak, maka kami akan memerangi
  mereka.” 
Lalu Jaran Pemburu menjawab, “Ya, bagus.”
  
Lalu mereka mengumpulkan kaumnya dan 
melakukan
  perjalanan hingga sampai ke suatu tem- 
pat bernama Mojoler dan singgah
  di sana. Utsman 
Haji dan pasukannya berjalan sampai ke Mojoler 
dan
  penguasa Pakis mengetahui kedatangan mere- 
ka, lalu ia berkata kepada
  empat orang tadi bahwa 
pasukan Islam telah datang, maka temuilah mereka.
  
Setelah kedua kelompok berhadap-hadapan, 
perang pun
  berkecamuk di antara kedua pasukan 
hingga pasukan Pakis habis terbunuh
  dan tersisa 
empat orang tadi. Lalu mereka keluar berperang
  
dan bertemu dengan Bendoro Marma dan Bendoro ' 
Jusup serta
  kaumnya, maka mereka pun berperang 
hingga pasukan kaumnya tak tersisa
  seorangpun. 
Lalu Bendoro Marma datang ke Ardi Sari dan
  
keduanya terlibat bentrok sebentar, kemudian Ben- 
doro Jusup
  datang dan berhasil menusuk Ardi Sari 
hingga mati. Semoga Allah
  menyegerakannya ke 
neraka dan tempat terburuk. 
Dengan
  terbunuhnya Ardi 
sanya yaitu Gajah Mungkur, Kalangan, dan Karsani
  
marah terhadap pasukan muslimin, lalu memerangi
  
kaum muslimin tersebut hingga tersisa sedikit.
  
Khalifah Husain dengan pedang mengkilap di 
tangannya
  keluar dan ia ditusuk tombak oleh ketiga 
orang tersebut namun berhasil
  ditepi 
nya dan tombak merekapun patah. Lalu mereka 
menghunus
  pedang dan menghujamkan ke Khalifah 
Husain namun tidak mempan, begitu
  pula sebalik- 
nya, dan mereka terus saling menyerang hingga ke-
  
tiga orang tersebut kehabisan nafas karena kelelah- 
an dan
  terjatuh. Semoga Allah mempercepat mereka 
ke neraka dan tempat
  terburuk. 
Pasukan Majapahit Terpojok lalu Bangkit
  Ketika pangeran Pakis melihat para prajurit- 
nya terbunuh semua dan
  hanya tersisa satu, ia 
langsung memacu kudanya dengan cepat layaknya
  
burung terbang hingga sampai ke Majapahit meng- 
hadap Raja
  Brawijaya dan berkata padanya, 
“Para pasukan muslimin hendak
  menembus 
masuk ke Majapahit, dan sekarang mereka berada di 
hutan
  Mojoler. Aku dan para pasukanku telah me- 
merangi mereka namun hanya
  diriku saja yang ter- 
sisa, lalu aku kembali menghadap untuk memberi-
  
tahumu tentang itu.” 
Raja Brawijaya berkata kepada patih
  Gajah 
Mada, “Raden Arya Jaran Pemburu mengabariku 
bahwa pasukan
  muslimin sekarang berada di hutan 
Mojoler, mereka ingin masuk ke
  Majapahit untuk 
memerangi penduduknya. Maka kumpulkanlah
  
para pasukan dan persiapkan peralatan perang lalu 
kamu
  pergi denganmu bersama para pasukan un- 
tuk menghadapi pasukan musuh.
  Ajak pula Raden 
Karta pangeran Mojosari, Raden Jaran
  Pemburu, dan 
pangeran Pakis.” 
Lalu mereka semua
  mematuhi perintah raja 
dan berpamitan untuk keluar bersama pasukan
  
kalajengking. Mereka berjalan, membentangkan 
panji-panji, memukul
  genderang, meniup terompet, 
hari terbenam ketika mereka sampal ke
  
Mojolebak, lalu mereka singgah di sana. 
rsama pasukannya
  
lebak dan melihat 
a, maka ia 
namun
  mata 
Adapun Utsman Haji, ia be 
berjalan hingga sampai
  ke Mojo 
bahwa orang-orang kafir berada di san 
membagi pasukannya
  menjadi tiga kelompok. Satu 
kelompok yang dipimpin oleh Khalifah Sughra
  maju 
terlebih dahulu ke medan perang. 
a kepada Raden Suda-
  
n telah datang maka ia 
p. Kemudian me- 
sukan muslimin
  
Pangeran Pakis berkat 
ra bahwa pasukan muslimi
  
mengintruksikan agar bersiap-sia 
reka bangkit untuk mencegat pa
  
dan terjadilah pertempuran di antara kedua pasu- 
kan hingga banyak
  korban berjatuhan di pihak pa- 
sukan muslimin, dan pasukan kafir hanya
  tersisa 
tiga orang, yaitu Raden Sudara, Pangeran Mojosekar 
atau
  Mojosari, dan Pangeran Pakis. 
Kemudian Raden Sudara dan Pangeran
  Mojo- 
sari pergi dan menyerbu pasukan muslimin dengan
  
Khalifah Sughra keluar 4 Min tersisa 
Gan Derkata.
  engan Membawa “ Lah 
tang 
Wahaj kk 
Orane-p 
semua”
  S Orang kafir 
“Tenang tuan, aku yang akan membunuh si kafir
  
ini untukmu.” 
Maka ia pun bergerak menuju Raden Suda-
  
ra, dan Raden Sudara menusukkan tombaknya ke 
Aceng. Namun
  Aceng menangkisnya dengan tono- 
kat hingga tombak tersebut patah. Kemud
  an Raden 
Sudara menghunus pedangnya dan menghujamkan 
ke Aceng
  Marwi namun tidak berhasil melukai- 
nya. Kemudian Aceng melemparkan
  kapur ke mata 
Raden Sudara hingga tidak bisa membuka matan-
  
ya. Saat itulah Aceng Marwi memukulnya dengan 
tongkat
  lalu berteriak memanggil pasukan Madu- 
eret Raden Suda-
  
lu mereka datang dan meny 
Semoga Allah
  
ra, la 
mati. 
ya serta memukulinya
  hingga 
menyegerakannya ke neraka dan tempat terburuk. 
Ketika
  Pangeran Pakis mengetahui bahwa Raden 
Sudara telah mati, ia segera
  memacu kudanya dan 
berkata, “Wahai orang-orang muslim, berkumpullah
  
kalian menghadapiku jika kalian jantan.” Maka pa- 
sukan muslimin
  pun mendatanginya. 
Ketika ia tersadar tidak mampu menghadapi
  
pasukan muslimin, ia berbalik kabur menuju Maja- 
pahitdan
  menghadap Raja Brawijaya seraya berkata, 
“Wahai Tuanku, aku
  menghadapmu hendak 
mengabarkan bahwa Raden Sudara dan Pangeran
  
Mojosekar telah mati dalam peperangan dan pra- 
La perang hanya
  tersisa diriku, sekarang terserah 
amu. 
| Setelah
  mendengar penuturan pangeran Pakis, 
Raja Brawijaya berkata kepada patih
  Gajah Mada 
“Pangeran Pakis datang mengabarkan bahwa
  
Pangeran Mojosari dan Raden Sudara serta para pra- 
jurit semuanya
  terbunuh dalam perang, maka kelu- 
arlah kamu bersama patih Pecat Tundo
  dan Raden 
Gogor bersama 90.000 pasukan untuk menghadapi 
musuh.”
  
Setelah berpamitan, mereka berangkat dan ber- 
jalan hingga
  sampai ke Mojoagung. Raja Brawijaya 
memerintahkan Patih Arya Baha,
  Pangeran Luwa- 
nu, dan Pangeran Pakis serta para prajurit yang ber-
  
sama mereka untuk melindungi ibukota kerajaan. 
Raja Brawijaya juga
  memeriritahkan Arya Jambul 
dan Pangeran Citrakusuma dari wilayah Wilis
  beser- 
ta prajurit mereka untuk menjaga pintu gerbang.
  
Inilah kisah tentang perintah Brawijaya kepada 
para patih
  dan pangerannya. 
Adapun mengenai Utsman Haji dan pasukan
  
muslimin yang bersamanya, mereka bergerak dari 
Mojolebak dan
  berjalan hingga sampai ke Mojo- 
agung, hingga melihat bahwa pasukan
  kafir telah 
berada di sana. Lalu ia membagi pasukan muslimin
  
menjadi dua kelompok dan memerintahkan salah 
satunya yang dipimpin
  oleh Khalifah Sughra, Ben- 
doro Marma, dan Bendoro Jusup untuk maju
  lebih 
dulu menyerang. 
Telah disebutkan bahwa Patih Gajah
  Mada dan 
pasukannya telah sampai ke Mojoagung dan mere-
  
ka singgah di Petuguran terlebih dahulu. Ketika ia
  
mengetahui bahwa pasukan muslimin telah datang 
ke tempat itu, ia
  berkata kepada pasukannya, 
“Bersiaplah untuk menghadapi
  musuh, sesung- 
guhnya mereka telah mendekat.” 
Salah
  satu kelompok pasukan Utsman Haji maju 
dan berhadapan dengan pasukan
  Gajah Mada, maka 
perang berkecamuk dengan pedang-pedang Dena 
lap,
  mesiu-mesiu, tombak-tombak seperti taring 
raksasa, serta dentuman
  senapan -seperti gemuruh 
lebah, hingga banyak korban berguguran dari
  pihak 
muslimin dan hanya tersisa sedikit. 
Hal ini
  menyebabkan Khalifah Sughra menga- 
jak pihak kafir untuk perang duel,
  maka keluarlah 
Raden Gogor lalu keduanya saling menikam dan
  
Khalifah Sughra tertusuk hingga tersungkur dan 
wafat. Semoga Allah
  meridhainya dan menyegera- 
kannya ke surga. 
Kemudian
  Bendoro Marma maju bertanding 
melawan Raden Gogor, dan ia pun tertusuk
  dada- 
nya dan wafat. Semoga Allah meridhainya dan 
menyegerakannya
  ke surga. 
Kemudian Bendoro Jusup maju menghadapi Ra-
  
den Gogor, dan ia pun tertusuk dan wafat. Semoga 
Allah meridhainya
  dan menyegerakannya ke surga. 
Saat itu Utsman Haji dan pasukannya
  keluar 
dan memerangi pasukan kafir hingga jatuh korban 
tak
  terhitung dari pihak muslim dan tersisa sepu- 
luh prajurit, yang di
  antaranya adalah Utsman Haji, 
Haji Utsman, Raden Prabu, Khalifah Husain,
  Amir 
Hamzah, dan Khatib Bintoro Raden Mas Winong, 
Lalu Amir Hamzah
  keluar membawa tombak dan 
mengajak pihak kafir perang duel, maka
  keluarlah 
patih Andayaningrat yang akhirnya terbunuh karena
  
dadanya tertusuk tombak. Semoga Allah menyegera- 
kannya ke neraka
  dan tempat terburuk. 
Kemudian Raden Gogor keluar menghadapi
  
Amir Hamzah yang kemudian disusul Patih Pecat 
Tundo yang berhasil
  menusuk Amir Hamzah de- 
ngan tombaknya hingga wafat. Semoga Allah me-
  
ridhainya. 
Kemudian Khalifah Husain keluar menghadapi
  
Raden Gogor dan menebasnya dengan pedang hing- 
ga tubuhnya
  terbelah dua. Semoga Allah menyegera- 
kannya ke neraka dan tempat
  terburuk. 
Kemudian Khalifah Husain menghampiri Patih 
Pecat
  Tundo dengan pedang di tangannya, namun 
Pecat Tundo berhasil menusuk
  dada Khalifah Hu- 
sain yang akhirnya menyebabkannya wafat. Semoga
  
Allah meridhainya. 
Kemudian Khatib Bintoro keluar menghadapi
  
Pecat Tundo dan ditangannya terdapat belati lalu 
sii do menusuk
  dadanya hingga Khatib $ 
peca . wafat Semoga Allah meridhainya.
  
telah itu Utsman Haji keluar meng- 
do dan saling serang dengan
  tom- 
Haji pun gugur. Semoga Allah me- 
perang ti berhenti
  padahal matahari telah 
benam saat itu, sehingga kedua kelompok pasu-
  
Ji i ke markas masing-masing dan pihak 
orang yang di antaranya
  
Raden Prabu. Lalu Raden 
ada Haji Utsman,
  
enurutmu, Utsman Haji telah ter-
  
“Bagaimana m 
nam orang.” 
bunuh dan
  pihak muslimin tersisa € 
| Haji Utsman menjawab, “Sebaiknya kita kem-
  
bali ke Demak, namun kita cari jasad Utsman Haji 
terlebih dahulu,
  setelah kita temukan, lalu kita bawa 
kembali ke Demak agar kita bisa
  memberitahu Ra- 
den Patah apa yang terjadi pada pasukan muslimin
  
dan peperangan.” 
n setuju lalu mencari jasad Ut-
  
Mereka semua pu 
awanya 
Pa Haji dan
  menemukannya dan memb 
kembali ke Demak. Mereka terus melakukan per-
  
h-celah pe- 
jalanan menyusuri lembah-lembah, cela
  
ke Demak. 
gunungan, dan anak bukit hingga sampai
  
Setelah bertemu Raden Patah, mereka
  menceri. 
takan kisah dari awal hingga akhir. Raden Patah me.
  
manggil istri Utsman Haji dan memberitahu kem. 
tian suaminya.
  Ketika istri Utsman Haji datang dan 
melihat suaminya terbunuh, ia
  menangis dan berse- 
dih, maka Raden Patah berkata padanya,
  
“Bersabarlah dan jangan takut, Allah pasti akan 
membalasmu
  dengan kebaikan.” Inilah kisah ten- 
tang pihak muslimin.
  
Adapun di pihak kafir, Patih Gajah Mada kem- 
bali dari
  Petuguran ke Majapahit dan diiring oleh 
prajuritnya. Ia menghadap
  Brawijaya dan menga- 
barkan, 
“Sesungguhnya kita telah
  melakukan apa yang 
paduka perintahkan untuk memerangi pasukan
  
muslimin dan berhasil membunuh pemimpin me- 
reka, Utsman Haji,
  hingga mereka tersisa enam 
orang. Namun putramu yang mulia Raden Gogor
  
terbunuh, begitu pula dengan Patih Dayaningrat,” 
Brawijaya
  pun bersedih ketika mendengar kabar 
terbunuhnya putranya dan sembilan
  pembesar Ma- 
japahit, yaitu Gajah Sina, Ulung Kembang, Dandang
  
Wecana, Dandang Wurahan, Lembu Kanigoro, Karta, 
Raden Sudara,
  Raden Gogor, Patih Andayaningrat, 
dan para prajurit yang tak terhitung
  jumlahnya. 
Oleh karena itu Brawijaya sangat bersedih. Kemudi- 
an
  ja berkata kepada patih Gajah Mada, 
syekh
  APP 
1 segera mengangkat 
#yahai Pati» ku jabatan mereka
  
osisi pemang 
uh. Maka ia mengangkat Lembu Nas-
  
ot bun s ebagai pengganti ayah- 
a Raden
  GogoT, . : 
TN Seangkat Gajah Pernala, putra Con Ai 
e
  
a nggantikan posisi Dandang Maen sa 
ih Perwana,
  menggantikan POSISI an ba g 
gangkat Gajah Palwaka menggantikan
  
Sina. Mengangkat Raden Jaya Prawi- 
ada, menggantikan posisi Lembu
  
Kanigoro. Mengangkat Lembu Suro, putra Gajah 
Mada, menggantikan
  posisi Raden Karta penguasa 
Mojosari. Mengangkat Gajah Wulung, putra
  Gajah 
Mada, menggantikan posisi Ulung Kembang. Dan 
mengangkat
  putra pangeran Pengging mengganti- 
kan posisi ayahnya. Inilah kisah
  tentang Brawijaya 
dan para prajuritnya.|| 
  
  Pasukan Demak Terpojok lalu Bangkit
    
Raden Patah sangat sedih karena banyak pasukan- 
nya yang
  terbunuh, lalu berkata kepada Raden 
Paku (Sunan Giri),
  
“Pasukan muslimin banyak yang terbunuh dan 
hanya
  tersisa sedikit, bagaimana menurut anda?” 
Raden Paku
  berkata, “Itu sudah menjadi sun- 
natullah (hukum Allah) yang juga
  dialami generasi 
pada abad-abad terdahulu. Peperangan antara kaum
  
muslimin dan kaum kafir imbang. Allah senantiasa 
menguji
  hamba-hamba-Nya hingga memberikan 
akhir yang baik bagi orang-orang yang
  bertakwa be- 
rupa kemenangan bagi mereka yang beriman. Allah 
SWT
  berfirman, 
JB os Gl 3 dls, 
Syekh Abu
  Fadhgi 
£s-Senori At-Thuban 
“Dan masa
  (kejayaan dan kehancuran) itu Kami gilir 
di antara manusia.” (Al-Imron:
  140) 
bed 5 &. 2 Da: ix 8. Ce, 
Serba Ko east IS S5 NAS,
  
benar akan menguji kamu 
“Dan sungguh Kami benar- :
  
orang yang berjihad 
agar Kami mengetahui orang-
  
” €. 1 
dan bersabar di antara kamu. (Muhammad: 31)
  
4 2) Lah 
rang yang 
“Dan akhir yang
  baik adalah bagi orang-0 
bertakwa.” (Al-Oashash: 83)
  
pal H3 dee lis 083 
“Dan Kami selalu
  berkewajiban menolong 
orang-orang yang beriman.”
  
Maka buanglah rasa takut dan bersabarlah atas 
musibah
  yang menimpa kita, dan kita harus terus 
melakukan apa yang diwajibkan
  oleh Allah untuk 
- memerangi musuh-musuh Allah dan kita. Saya pu-
  
nya pendapat, angkatlah Amirul Haj (Sunan Kudus) 
menggantikan
  posisi ayahnya, Utsman Haji. Dan 
kirimlah surat kepada Raden Arya Damar
  dengan 
111.
  
memberitahukan apa yang terjadi
  
ngan Majapahit, lalu mintalah bala t 
kan
  darinya” 
Raden Patah pun menyetujui pendapat Sunan 
Giri
  tersebut Lalu Raden Patah menulis surat yang 
isinya, 
“Dari
  Raden Patah, pemimpin umat bana di 
Demak, kepada Raja Raden Arya Damar
  
bang. Penting untuk diberitahukan bahwa 
jadi peperangan antara
  kita dengan Maj An it 
banyak mengugurkan pasukan tentara kita m
  
mereka. dan pasukan kita tersisa sedikit Utsman 
Haji (Sunan
  Ngudung) dibunuh oleh Raden 
sain yang menjadi penguasa Terung dari pihak
  Ra Raja 
Brawijaya. Oleh karena itu kami berharap kamu mau
  
memberikan bantuan kepada kami dengan menga- 
jakmu membawa
  pasukan untuk berperang bersama 
kami melawan kaum kafir Majapahit
  Wassalam. 
Setelah selesai menulis surat, Raden Patah
  
menggulungnya dan memberinya stempel kerajaan 
lalu mengutus dua
  orang membawa surat tersebut ke 
Palembang. Maka utusan Raden Patah aa
  
Palembang dan menemui Arya Damar lalu menye- 
rahkan surat
  tersebut, lalu Arya Damar membuka 
dan membacanya. Setelah selesai
  membaca dan me- 
mahami isinya, ia sangat marah terhadap putranya.
  
Raden Husain, lalu berkata, 
-Tidak
  semestinya Husain membantu kau 
ur Bagaimana bisa ia meninggalkan ian
  
melupakan akhiratnya demi mengejar duniawi 
Kemudian Arya
  Damar memerintahkan | 
15 MAA 
yaitu sebuah
  peti. ada yang mengatakan dua potong 
rotan yang bertuliskan mantera yang
  digunakan 
oleh para pembantunya dari golongan jin dan setan.
  
ya Da, 
IYA. r Lt 
jimat tersebut
  merupakan peninggalan ibunya Putri 
Reksadenawa 
Ketika jimat
  dihadirkan di hadapan Arya Da- 
mar. ia berkata kepada Gua utusan Raden
  Patan. 
“Bawalah jimat ini ke Amirul Mukminin dan 
katakan
  bahwa penguasa Palembang tidak bisa 
mengirimkan bantuan pasukan, hanya
  bisa mem- 
berikan jimat ini dan hendaknya ini dibuka ketika
  
mendekati medan perang.” 
Lalu kedua utusan tadi berpamitan
  dan pulang 
hingga akhirnya sampai ke Demak. Sesampai di De- 
mak,
  setelah mengucapkan salam. keduanya me- 
nyampaikan pesan Arya Damar
  kepada Raden Pa- 
tah. Saat itu Raden Paku yang berada di dekat Raden
  
Patah berkata. 
“Aku berharap kamu segera mengumpulkan
  pa- 
sukan semampumu untuk memerangi Majapahit 
sekali
  lagi.” 
" 
Raden Patah pun
  mematuhinya, lalu ia ber- 
kata kepada Patih Abdus Salam, “Kumpulkan para
  
pangeran dan pimpinan agar mereka menyeru ka- 
umnya.”
  
Maka patih mengumpulkan mereka dan me- 
merintahkan agar
  mengumpulkan orang-orang 
yang mampu berperang, dan akhirnya terkumpul
  
300 orang prajurit. Lalu patih berkata pada mereka, 
“Amirul
  Mukminin memerintahkan kepada ka- 
lian agar keluar ke Majapahit untuk
  berperang.” 
Mereka menjawab, “Kami patuh, meskipun kami
  
merangkak, kami akan keluar berperang.” 
Raden Patah berkata
  kepada Patih Abdus Salam, 
“Panggil Amirul Haj (Sunan Kudus) dan para
  pem- 
besar orang-orang mukmin untuk menghadapku." 
Lalu patih
  memanggil mereka, dan mereka pun 
hadir di hadapan Amirul Mukminin,
  mereka ada- 
lah Amirul Haj, Haji Utsman (Sunan Mayuran), Ra- 
den
  Syahid (Sunan Kalijaga), Raden Prabu, Sayyid 
Muhsin menantu Raden Rahmat
  yang terkenal de- 
ngan sebutan Sunan Wilis, Sayyid Oasim (Sunan
  
Drajat), dan Raden Said. 
Mereka adalah ketujuh orang wali
  dan yang 
kedelapan adalah Raden Paku, sementara yang ke- 
sembilan
  adalah Raden Patah, dan yang kesepuluh 
adalah Sayyid Ibrahim (Sunan
  Bonang). Ketika me- 
GrEi 1 
at 
1 
K3 |
  
Pramana bah 
reka
  semua berkumpul, Raden Patah berkata, 
“Wahai tuan-tuan,
  pergilah ke Majapahit untuk 
berperang, kalian akan disertai 300 pasukan,
  dan 
bawalah jimat ini, jika hampir tiba di medan perang, 
bukalah!
  Aku mengangkat Amirul Haj sebagai pemi- 
mpin kalian dalam perang ini,
  menggantikan posisi 
ayahnya.” 
Mereka pun mematuhi perintah
  Raden Patah. 
Lalu mereka berpamitan dan keluar untuk berperang
  
dengan membawa jimat tersebut menuju Majapahit 
dan diikuti oleh
  banyak pasukan di sepanjang jalan, 
ada yang mengatakan mereka berjumlah
  70.000 
prajurit. 
Dikatakan bahwa yang membawa jimat yang
  
berupa dua potong rotan adalah dua lelaki muslim, 
yang mana
  keduanya ikut berjalan bersama para 
pasukan. Ketika sampai di sebuah
  desa bernama 
Ngepun yang berada di utara Jatirogo Tuban, kedua
  
orang tadi ketinggalan karena beristirahat, lalu salah 
satunya
  berkata, 
“Sungguh aku heran, bagaimana bisa dua potong 
rotan
  ini menolong dan membantu dalam peperan- 
gan, lalu apa yang ada di
  dalamnya?” 
Maka yang satunya lagi berkata, “Kita berdua
  
hanya diperintah dan harus mematuhinya, lakukan 
saja seperti yang
  diperintahkan.”
  
 
Lalu satunya tadi
  berkata, “Aku ingin membuka 
rotan yang aku bawa ini.”
  
Maka yang satunya lagi berkata, “Jangan!”
  
Namun ia tidak peduli dan tetap membukanya 
dan
  dikatakan padanya, “Jika kamu tidak mau me- 
nerima nasihatku, ya sudah
  itu urusanmu.” 
Ketika ia membukanya, ia mendengar seperti
  
suara gemuruh lebah darinya, lalu ia meyakini yang 
ada di dalamnya
  telah keluar. Maka ia ketakutan 
karena merasa mengkhianati amanat Amirul
  Muk- 
minin dan berkata kepada orang satunya lagi,
  
“Kamu sendiri saja yang membawa ini, aku akan 
tinggal
  di sini karena aku takut terhadap Amirul 
Mukminin.” 
Lalu ia
  berkeliling di desa itu hingga mendatan- 
gi rumah seorang wanita tua
  bernama Nyai Sibelok, 
dan ja ditanya tentang nama dan asalnya, maka ia
  
menjawab, 
“Aku adalah penduduk Demak.”
  
Lalu ia menceritakan tentang kesalahan yang 
baru saja
  ia lakukan. Nyai Sibelok berkata, 
“Tinggal saja di sini, dan
  jangan takut, aku ada- 
lah murid Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan ia
  
sering mengunjungiku, apabila ia datang mencar- 
imu, mintalah maaf
  kepadanya, dan sebelum itu aku
  
yang akan menjamin
  keamananmu dari para pega- 
wai kerajaan.” 
Lalu lelaki
  tersebut menetap di desa itu hing- 
ga meninggal dan ia dimakamkan di
  sebelah barat 
jalan di sebuah tempat bernama Pondol. Makamnya
  
sering diziarahi hingga sekarang. 
Karena Nyai Sibelok
  pernah berkata, “Dan se- 
belum itu...sampai akhir.” Maka tidak ada
  satupun 
pegawai kerajaan yang masuk ke Desa Ngepun di 
mana ja
  dimakamkan, melainkan ia akan mati atau 
kehilangan pekerjaannya, dan hal
  itu terus berlaku 
hingga sekarang. Itu merupakan salah satu karomah
  
Nyai Sibelok. Ia dimakamkan di Ngepun sebelah 
timur barat dan
  makamnya masih diziarahi hing- 
ga sekarang. Semoga Allah merahmatinya.
  Ini kisah 
tentang orang yang berbuat kesalahan. 
Adapun
  lelaki satunya, setelah beristirahat, ia 
melanjutkan perjalanan hingga
  menyusul pasukan. 
Ia terus berjalan hingga sampai di sebuah tempat
  
dekat Majapahit yang bernama Bagendul, lalu mere- 
ka membuka jimat
  tadi di sana, maka keluarlah para 
khadam dari golongan
  setan, jin, dan ifrit yang ter- 
belenggu. 
Kemudian di
  Majapahit terjangkit wabah dan 
kematian (pageblug). Seseorang yang sakit
  di pagi 
hari, maka meninggal di sore hari. Dan yang sakit 
di sore
  hari, maka meninggal di pagi hari. Tak ter-
  
 
hitung penduduk
  Majapahit yang meninggal, terma- 
suk empat orang pembesar mereka, yaitu
  Gajah Per- 
nala, Gajah Perwana, Jaya Prawira, dan Lembu Suro.
  
Pangeran Luwanu sangat sedih atas musibah 
yang menimpa
  Majapahit, lalu ia berkata kepada 
Raden Jaran Pemburu, penguasa Pakis,
  
“Aku ingin keluar dari Majapahit sebab wabah 
yang
  menjangkiti seluruh penduduk ini. Aku men- 
duga ini adalah perbuatan
  Raja Demak. Jika aku Ja 
dak segera keluar, aku pasti akan terjangkiti
  seperti 
mereka yang telah mati.” 
Lalu Jaran Pemburu berkata,
  “Kemana kamu 
akan pergi? Aku akan ikut denganmu, pergilah seka-
  
rang bersamaku!” 
« ru-bu- 
Pangeran
  Luwanu berkata, “Jangan bu 
ru, ajudanku yang aku perintahkan
  untuk mel 4 
rerumputan untuk kudaku telah meninggal, begi 
tu juga
  dengan pembantuku. Aku mencari rumput 
sendiri, namun belum mendapatkan
  apapun, Li 
ku sakit karena kekurangan rumput.” 
acari
  
Lalu keduanya keluar dari Majapahit dengan 
naik kuda
  tanpa berpamitan dengan Raja Brawijaya: 
Mereka terus berjalan hingga
  sampai ke Ponorogo, 
lalu menemui pangeran Bethoro Katung yang se-
  
dang duduk di atas kursinya, lalu pangeran Pakis 
berkata padanya,
  
pp” 
Syekh Abu Fadhol
  As-Senori Al-Thubani 
“Wahai saudaraku, sesungguhnya Raden
  Sudara 
telah terbunuh dalam peperangan, banyak pembe- 
sar
  Majapahit juga terbunuh bersama pasukan yang 
tak terhitung jumlahnya.
  Sekarang Majapahit meng- 
alami bencana wabah terbesar dan merenggut nya-
  
wa tak terhitung. Aku menduga itu perbuatan Raja 
Demak. Jika kamu
  mengizinkan, aku dan Pangeran 
Luwanu hendak pergi ke Demak dan
  menyerahkan 
diri, lalu meminta jaminan keamanan dan kita ma-
  
suk Islam.” 
Bethoro Katung berkata, “Itu pendapat yang
  te- 
pat. Pergilah, jika kamu sudah di hadapan Raja De- 
mak,
  katakan padanya bahwa saudaraku Bethoro 
Katung, Pangeran
  Ponorogo, telah menyerahkan 2 
padamu dan ia masuk Islam.”
  
Lalu keduanya berpamitan dengan Bethoro 
Katung dan
  keluar dengan menaiki kuda menuju 
ke Demak. Sesampainya di Demak mereka
  berdua 
menghadap Amirul Mukminin, Raden Patah, dan
  
mengatakan, 
“Kami berdua menyerahkan diri padamu dan
  
kami memeluk agama Islam di hadapanmu, maka 
ulurkanlah tanganmu,
  kami bersaksi bahwa tidak 
ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah
  
dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan 
Allah."
  
 
Lalu Raden Patah
  berkata, “Kalian telah selamat 
dan beruntung karena masuk ke
  dalam agama Is. 
lam,” 
Lalu pangeran Pakis berkata,
  “Sesungguhnya 
saudaraku Bethoro Katung, Pangeran Ponorogo, me
  
merintahkanku agar mengabarkan padamu bahwa 
ia juga menyerahkan
  diri padamu dan masuk agama 
Islam,” 
Maka Raden Patah
  berkata, “Segala puji bagi 
Allah atas hidayah berupa Islam kepadanya."
  
Ini kisah tentang ketiganya, yaitu Pangeran Pa: 
kis,
  Pangeran Luwanu, dan Bethoro Katung || 
  
  Kisah Amirul Haj (Sunan Kudus), Kemenangan Demak, dan Kehancuran
      Majapahit
adapun mengenai kisah Amirul Haj (Sunan Kudus) dan pasukan
  muslimin yang bersamanya, 
mereka singgah di sebuah tempat bernama
  Bakendul. Kemudian Sunan Kudus berkata kepada pasu- 
kan muslimin,
  
“Wahai orang-orang muslim, berangkatlah ka- 
lian.”
  
Para pasukan pun berangkat dan berjalan hing- 
ga sampai ke
  sebuah tempat dekat Majapahit, lalu 
mereka singgah di luar kota
  
Kemudian Gubernur Majapahit bernama Gajah 
Paloaka
  ketika melihat pasukan muslimin telah ber- 
ada di luar kota, ia bergegas
  keluar dari rumahnya 
menghadap Raja Brawijaya, lalu ia mengabarkan
  
padanya bahwa pasukan muslimin telah berada di 
luar kota
  Majapahit. Lalu Brawijaya berkata kepada 
sebagian orang yang ada di
  dekatnya, 
Pergilah, temui Patih Gajah
  Mada, Patih Ga 
jah wila, Patih Arya Baha”, dan Patih Gajah Wulung,
  
perintahkan mereka untuk menghadapku sekarang 
juga. Cepat pergi!"
  
Maka keluarlah utusan itu dengan cepat dengan 
menaiki kuda
  hingga sampai ke rumah Gajah Mada, 
tiba-tiba terdengar suara teriakan
  dari dalam rumah. 
Lalu ia bertanya kepada orang yang ada di dalam ru-
  
mah, dan mereka mengabarkan bahwa Gajah Mada 
telah meninggal.
  Kemudian ia pun bergegas se 
kuda menuju rumah Gajah Wila, lalu ia Br
  
mah dan menanyakan tentangnya, maka dikata an 
bahwa Gajah Wila
  telah mati secara mendadak dan 
akan dikuburkan, Kemudian ia pun bergegas
  sea 
ju rumah Arya Baha', ketika sampai ru mahnya, Aa 
an tadi
  mendapatinya sedang terbaring sakit sa 
ia bergegas menuju ke Berangkal
  dan menemul 
jah Wulung, lalu mengatakan padanya, 
“Raja
  Brawijaya memanggilmu untuk datang 
menghadap Sekarang juga. Ayo pergilah
  bersamaku. 
Cepat, cepat.” Lalu keduanya keluar dan berjalan
  
hingga sampai ke Majapahit. 
Sesampainya di
  hadapan Brawijaya, utusan tadi 
berkata, “Sesungguhnya Gajah Mada dan
  Gajah Wila 
telah meninggal, sementara Arya Baha' saat ini se-
  
dang sakit, maka yang dapat hadir menghadapmu 
hanya
  Gajah Wulung.” 
Maka Raja Brawijaya berkata
  kepada Gajah 
Wulung, “sesungguhnya pasukan muslimin telah 
datang
  untuk memerangi kita, mereka sekarang ber 
ada di luar kota, pergilah
  bersama Pecat Tundo dan 
citrasoma dengan membawa pasukan kalian untuk
  
menghadapi mereka." 
Mereka pun mematuhi perintah itu dan
  ber- 
pamitan keluar. Ketika mereka di tengah perjalanan, 
Gajah
  Wulung terjatuh dari kudanya dan ia mening- 
gal. Kemudian baru berjalan
  sebentar, tiba-tiba Ci- 
trasoma juga terjatuh dari kudanya dan
  meninggal. 
Maka panglima mereka hanya tersisa Pecat Tundo, 
dan
  mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai 
ke luar kota dan bertemu
  pasukan muslimin, maka 
perang pun berkecamuk. 
Raden
  Syahid (Sunan Kalijaga) memberi is- 
yarat dengan tongkatnya ke arah
  orang-orang kafir, 
maka Allah menimpakan rasa takut ke dalam hati
  
mereka, lalu mereka membuang senjata-senjatanya 
dan
  bercerai-berai. Dan saat itu Pecat Tundo terli- 
hat oleh Raden Syahid,
  maka ia teringat Da diri- 
nyalah yang dulu membunuh Utsman Haji dan Amir
  
Hamzah, maka timbullah rasa takut dalam dirinya
  
barangkali Amirul Haj hendak membalas kematian
  
ayahnya, maka ia mun si 
2 an ke Terung, wilayahnya
  sendiri. 
dur dan melarikan diri hingga
  
 
Telah disebutkan
  sebelumnya bahwa Arya Jam- 
bul diperintahkan menjaga pintu gerbang.
  Ketika ia 
mengetahui bahwa Patih Pecat Tundo dan pasukan- 
nya
  telah mundur, ia segera masuk ke dalam mene- 
mui Raja Brawijaya dan
  mengabarkan padanya ten- 
tang hal itu, dan sesungguhnya pasukan muslimin
  
telah memasuki kota. Lalu Brawijaya berkata kepada 
istri
  tertuanya, yaitu Martaningrum, 
“Sesungguhnya aku akan keluar
  dari rumah un- 
tuk melarikan diri dari para musuh dan mencari ke-
  
selamatan, apakah kamu mau keluar bersamaku?” 
Istrinya
  berkata, “Aku akan tetap di rumah dan 
tidak keluar bersamamu.”
  
Brawijaya berkata, “Jika kamu memutuskan be- 
gitu, aku
  akan keluar sendiri.” Maka Brawijaya pun 
keluar melarikan diri hingga
  sampai ke Desa Ceng- 
kal Sewu dan berbaur dengan kalangan petani. Se-
  
lain itu, Lembu Nisraya dan istrinya juga ikut keluar 
dari
  Majapahit, mereka berjalan hingga sampai ke 
Pasuruan dan bersembunyi di
  sebuah tempat ber- 
nama Puger. Arya Jambul dan istrinya juga keluar
  
dan berjalan hingga sampai ke Gunung Kelud dan 
bersembunyi di
  sana. 
Tidak ada yang tersisa di rumah Raja Brawijaya 
kecuali
  istrinya Martaningrum dan 40 wanita dari 
para selir dan pembantu
  kerajaan, lalu Martaning- 
|
  
hkan mereka untuk mengenakan
  
.m mM 
Sa Islam dan berkata, 
rsamaku masuk dalam
  agama Islam.” 
pun mematuhinya. Pasukan muslim-
  
i kediaman Brawijaya 
| maka Raden syahid menendang
  
i ya hingga terbuka, lalu ia masuk 
bersama pasukan
  muslimin, Na- 
dak menemukan siapapun kecuali 
reka bertanya tentang
  ke- 
artaningrum berkata, 
melarikan diri dan meninggal-
  
h, karena aku menolak untuk 
hnya aku masuk Islam 
dengan
  wanita-wani- 
namun semua 
istri B
  
beradaannya, dan M 
“Ia telah keluar 
kanku di dalam
  ruma 
keluar bersamanya. Sesunggu 
di hadapan kalian, begitu juga
  
ta yang ada di rumah ini bersamaku.” 
Raden Syahid
  mengatakan, 
kamu karena telah masuk Islam. 
Allah.”
  
Adapun Patih Pecat Tundo, ketika ia sampai di 
Terung, ia
  berlindung di sebuah benteng dan meng 
umpulkan persenjataan karena takut
  dengan ke- 
datangan Amirul Haj untuk membalas dendam ke-
  
“Beruntunglah 
Segala puji bagi
  
matian ayahnya. 
Kemngan Raden Syahid meninggalkan
  Maja- 
pahit menuju wilayah Terung bersama tujuh pra- jurit mengejar
  Pecat Tundo. Di tengah perjalanan 
mereka berhenti ketika mengetahui
  bahwa Pecat 
Tundo berlindung di Terung serta mengumpulkan 
prajurit
  dan persenjataan. Lalu Amirul Haj menulis 
surat kepada Pecat Tundo dan
  mengutus seseorang 
untuk menyerahkannya padanya. Utusan itu keluar
  
dan berjalan hingga sampai ke Terung lalu menemui 
Pecat Tundo dan
  menyerahkan surat tersebut. 
Maka ia pun membukanya yang isinya,
  
“Dari Amirul Haj (Sunan Kudus) panglima 
perang Amirul
  Mukminin, Raden Patah, kepada pa- 
tih Pecat Tundo di wilayah Terung.
  Yang terpenting 
dari surat ini adalah memberi peringatan, meng-
  
ingatkan, dan memberi nasihat. Bagaimana kamu 
melupakan agamamu
  dulu hingga kamu menolong 
kaum kafir untuk mencari duniawi, padahal dulu
  
kamu adalah temanku ketika menuntut ilmu dari 
Sayyid Rahmat di
  Ampel. 
Jika kamu bersikeras tidak mau menyerahkan
  
diri, kami sudah mengampunimu meskipun kamu 
telah bertindak
  kejahatan karena telah membunuh 
ayahku, Utsman Haji. Dan jika kamu mau
  menye- 
rahkan diri, maka bergegaslah datang ke sebuah tem- 
pat
  bernama Sariraga sebelum kami mendatangimu 
dengan pasukan. Wassalam.”
  
Setelah selesai membaca surat itu, Pecat Tundo
  
menangis dan merasa takut terhadap dosanya, sehingga ia menyesal atas
  kesalahan yang diperbuat- 
nya. Lalu ia berkata kepada sahabatnya,
  
“Telah datang sebuah surat kepadaku dari Amir- 
ul Haj
  yang menasihatiku dan mengancamku, ia 
- berjanji memberikan
  ampunan dan keamanan un- 
tukku jika aku mau menyerahkan diri
  dan tunduk 
padanya, namun aku takut itu adalah tipudaya, kare- 
na
  akulah yang membunuh ayahnya.” 
Lalu sahabatnya, yaitu
  pangeran Terosaba ber- 
kata padanya, “Ucapan ini tidaklah bohong, namun
  
itu benar, sebaiknya kamu menurutinya dan tun- 
duk padanya,
  janganlah menuruti hawa nafsu maka 
kamu akan binasa, dan juga
  orang-orang setelahmu 
akibat perbuatanmu. Aku menduga bahwa Amirul
  
Haj dan orang-orang yang bersamanya tidak meng- 
inginkan apapun
  kecuali pahala akhirat, mereka 
adalah para wali Allah. Barangsiapa yang
  memusuhi 
mereka, maka Allah akan menghancurkannya.”
  
Lalu Pecat Tundo berkata, Jika pendapatmu be- 
gitu,
  aku menurut saja. Maka beritahu para pasukan 
dan para pembantu untuk
  menyerahkan diri dan 
tunduk pada Raja Demak. Lalu perintahkan mereka
  
untuk berkumpul dan mengumpulkan persenjataan 
untuk diserahkan
  padamu.” 
Maka Pangeran Terosaba melakukan perintah
  
tersebut, dan mereka pun mengumpulkan persen- 
jataan beserta
  harta-harta mereka yang ringan untuk 
benar yah Wak Tara Draw
  
dibawa namun banyak nilainya. Mereka juga bersiap
  
untuk berangkat Lalu pangeran Terosaba memerin- 
tahkan agar
  berangkat bersama para wanita. anak- 
anak dan harta benda mereka Lalu
  mereka berjalan 
hingga sampai ke Sariraga, lalu Pecat Tundo mengh-
  
adap Amirul Haj dan duduk di hadapannya dengan
  
tertunduk seraya menangis dan meminta ampunan. 
Lalu ia
  berkata pada Amirul Haj. 
"Aku datang menghadapmu untuk menyerah-
  
kan diri dan tunduk padamu serta bertaubat kepada 
Allah terhadap
  apa yang telah aku lakukan. Aku su- 
dah di hadapanmu. lakukanlah apapun
  yang kamu 
mau." 
Maka Amurul Haj berkata padanya, “Aku su-
  
dah tahu. mengapa kamu menangis? Kamu tertun- 
duk di hadapanku
  seperti itu tidak mendatangkan 
manfaat bagimu jika kamu tidak bertaubat
  kepada 
Allah dengan taubat yang benar, maka bertaubat- 
lah
  pada-Nya dan mintalah ampunan-Nya atas ke- 
jahatan yang kamu lakukan.
  Sesungguhnya Allah 
telah menunjukkan dengan jelas mana jalan yang
  
baik dan jalan yang buruk, maka berpikirlah dengan 
pikiran yang
  jernih dan hati yang suci, apa yang jelas 
kebaikannya untukmu maka
  ikutilah, dan apa yang 
bertentangan dengan itu maka jauhilah.
  
Ingatlah bahwa Allah menjadikanmu pemilik 
kekuasaan dan
  harta yang banyak. Allah membe- 
rimu kenikmatan yang tak terhitung dan
  tak ter- 
lupakan, namun jangan anggap bahwa itu akan ber- 
manfaat
  untukmu jika kamu bukan golongan yang 
bertakwa.”
  
Amirul Haj terus mengecamnya sebab perbuat- 
annya dan
  mengingatkannya pada perbuatan masa 
lalunya. kemudian ia berkata kepada
  orang-orang 
yang di sampingnya, 
'Berangkatlah kalian ke
  Majapahit dengan 
kami” 
Mereka mengatakan, “Baiklah.”
  
Lalu mereka berangkat dan sampai ke Majapa- 
hit, dan
  di sana telah berkumpul pasukan muslimin 
dan para panglima mereka.
  Kemudian Amirul Haj 
berkata kepada para panglima muslimin,
  
“Runtuhkan istana kerajaan Brawijaya dan ba- 
ngunan-bangunan
  yang ada di Majapahit. ambillah 
barang-barang bernilai yang bisa dibawa,
  kemudian 
bawa ke Demak.” 
Mereka pun melakukan perintah
  tersebut, 
kemudian Ratu Martaningrum dibawa dengan 
|
  kendaraan yang dipersiapkan untuk para raja, lalu 
Amirul Haj
  mengintruksikan agar segera berangkat, 
dan mereka pun berangkat dan
  keluar dari Maja- 
pahit Sementara Ratu Martaningrum dibawa da- 
lam
  rombongan paling depan, diikuti para danyang, 
pembantu, kaum perempuan,
  dan para kerabat se- 
bagai rampasan perang. 
Mereka terus
  berjalan hingga sampai ke Demak 
dengan selamat dan baHaqia, lalu mereka
  meng- 
hadap Raden Patah seraya mengucapkan salam dan 
selamat atas
  kemenangan dan rampasan perang. 
Kemudian Raden Husain (Pecat
  Tundo) ber- 
kata kepada Raden Patah, “Wahai saudaraku yang
  
mulia, Raja yang agung, aku datang kepadamu un- 
tuk menguasakan
  penuh atas jiwaku kepadamu dan 
menyerahkan diri tunduk padamu, maka
  lakukan- 
lah apapun yang kamu mau terhadapku. Sungguh 
aku memohon
  ampunan darimu atas kejahatan dan 
kesalahanku, aku bertaubat kepada
  Allah dari sega- 
la dosa-dosaku ketika aku melakukannya dalam ke-
  
lalaianku.” 
Maka Raden Patah berkata padanya, “Bergem-
  
biralah karena kamu bertemu dengan saudara yang 
telah dilahirkan
  ibumu. Jika kamu benar-benar ber- 
taubat kepada Allah atas kejahatan dan
  kemaksiatan 
yang telah kamu lakukan, maka aku hanya berkata
  
sebagaimana yang dikatakan Nabi Yusuf AS, 
“Pada hari
  ini tidak ada cercaan terhadapmu, 
mudah-mudahan Allah mengampunimu, dan
  Dia 
adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” 
Dengan
  demikian berakhirlah kerajaan Bu- 
dha dan hilang dari Majapahit, beralih
  ke Demak di 
bawah kekuasaan Amirul Mukminin Raden Patah 
yang
  mengurusi segala urusan umat Islam dengan 
adil dan baik terhadap
  orang-orang yang beriman 
seraya menyeru ke agama Allah dengan niat yang
  
baik, mata hati dan perilaku yang sempurna, mens- 
tabilkan Demak
  menjadi sebuah negeri yang penuh 
kebaHaqiaan, dan menyebarkan agama
  sampai wak- 
tu yang ditentukan. 
Dan inilah akhir
  kisah, segala puji bagi Allah 
Tuhan semesta Alam. Maha Suci Dzat yang
  mana ke- 
rajaan-Nya tidak akan musnah dan kekuasaan-Nya
  
tidak pernah berakhir!) 
  
  Penutup 
alam kisah tersebut mengandung pelajaran bagi 
aa yang mau
  mengambil pelajaran dan 
petunjuk bagi orang-orang yang mencari
  penjelasan. 
Kaum muslimin pada mulanya terhormat dan 
mulia,
  kemudian setelah itu menjadi lemah dan 
hina. Setelah sebelumnya
  pemberani dan kuat, men- 
jadi rendah dan penakut. Itu semua karena mere-
  
ka mengabaikan perintah Tuhannya, melakukan 
larangan
  Tuhannya, dipermainkan hawa nafsunya, 
dan dikuasai oleh
  tangan-tangan musuh. 
Hal itu juga menjadi bukti kebenaran sabda
  Ra- 
sulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
  
dalam kitab Sunan-nya, 
“Apabila kalian melakukan
  jual beli dengan sistem 
'Inah, mengikuti ekor-ekor sapi (sibuk dengan
  peter- 
nakan), ridha dengan bercocok tanam (sibuk dengan
  
pertanian), dan meninggalkan jihad (di saat Fardhu 
Ain), maka
  Allah akan menguasakan kehinaan atas 
kalian dan tidak akan mencabutnya
  hingga kalian 
kembali pada agama kalian.”
  
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan per-
  
tolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung. 
Hanya Allah lah
  Dzat yang dimintai pertolongan 
dan dijadikan sandaran. Semoga Allah
  menghilang- 
kan kehinaan dari diri kita dan mengembalikan kita
  
kepada agama kita dengan pertolongan, anugerah, 
kemurahan, dan
  kemuliaan-Nya. Amin.[alkhoirot.org] 

