Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia

Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia Pesantren dan Kitab Kuning: Kesinambungan dan Perkembangan Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia 5. Kitab F

Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia

Judul buku: Kitab kuning, pesantren, dan tarekat: tradisi-tradisi Islam di Indonesia
Penulis: Martin van Bruinessen
Kata Pengantar: Abdurrahman Wahid
Cetakan I, Mei 2012
Diterbitkan oleh: Gading Publishing
@ Martin van Bruinessen
Bidang studi: Sejarah Indonesia, Islam Nusantara, subkultur, sosiologi 

DAFTAR ISI

  1.  Bagian II.  Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia    
  2. Kembali ke: Buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Islam di Nusantara

BAGIAN 2: Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia

PESANTREN DAN KITAB KUNING: KESINAMBUNGAN DAN PERKEMBANGAN TRADISI KEILMUAN ISLAM DI INDONESIA

Salah satu tradisi agung (great tradition) di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan lembaga-lembaga serupa di luar Jawa serta Semenanjung Malaya. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sabagaimana yang terdapat dalam kita-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab- kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Jumlah teks klasik yang diterima di pesantren sebagai ortodoks (al-kutub al- mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah; hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungannya tidak berubah. Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah banyak dikritik, baik oleh peneliti asing maupun oleh kaum Muslim reformis dan modernis.
Pesantren (atau pondok, surau, dayah dan nama lain sesuai daerahnya) bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam. Dan tradisi yang muncul itu hanyalah satu dari beberapa aliran Islam Indonesia masa kini. Aliran-aliran modernis, reformis dan fundamentalis yang pada mulanya muncul sebagai penentang terhadap tradisi ini, dalam kadar tertentu bahkan juga telah berkembang menjadi tradisi lain yang tidak kalah kakunya. Perhatian saya dalam tulisan ini adalah pada Islam tradisional, meskipun pembatasan secara ketat untuk tidak membicarakan beberapa  kelompok  terakhir—yang  dengannya  selalu  terjadi
 
interaksi— tidak mungkin dapat dilakukan, dan pada tahun- tahun terakhir ini terlihat adanya konvergensi dengan kelompok- kelompok tersebut. Organisasi kaum reformis Muhammadiyah, misalnya, sekarang mempunyai pesantren, di mana di samping ada kurikulum sekolah, juga diajarkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab (meskipun seleksi kitab-kitab klasiknya berbeda dengan pesantren tradisional).1 Di hampir semua pesantren, pada sisi lain, terjadi pergeseran penekanan dalam materi kitab-kitab tradisional, yang tampaknya akibat pengaruh modernisme. Tafsir, hadist 2 dan ushul al-fiqh mendapat perhatian lebih besar dibandingkan seabad yang lalu—sebuah perkembangan yang paralel dengan (dan mungkin sebagai respon atas) semboyan kaum modernis “Kembali kepada Al-Quran dan hadis.”

Menggambarkan Tadisi
Unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah lembaga pesantren sendiri, peranan dan kepribadian kiai (ajengan, tuan guru, dan lain sebagainya tergantung daerahnya) yang sangat menentukan dan karismatik—karismatik persis sebagaimana dalam pengertian Weberian. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, a fortiori, ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajarinya. Kapatuhan ini, bagi pengamat luar, tampak lebih penting daripada usaha menguasai ilmu; tetapi bagi kiai hal itu merupakan bagian integral dari ilmu yang akan dikuasai. Hasyim Asy’ari, founding father NU, misalnya dikenal sangat mengagumi tafsir Muhammad ‘Abduh, namun ia tidak suka santrinya membaca kitab tafsir tersebut. Keberatannya bukan terhadap rasionalisme ‘Abduh, tetapi ejekan yang ditunjukkannya terhadap ulama tradisional.
Meskipun materi yang dipelajari terdiri dari teks tertulis, namun penyampaian secara lisan oleh para kiai adalah penting. Kitab dibicarakan keras-keras oleh kiai di depan sekelompok santri, sementara para santri yang memegang bukunya sendiri memberikan harakat sebagaimana bacaan sang kiai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun ma’nawi
 
(makna). Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tetapi biasanya terbatas pada konteks sempit isi kitab itu. Jarang sekali ada usaha menghubungkan uraian-uraian kitab dengan hal-hal konkret, atau situasi kontemporer. Kiai jarang menanyakan apakah santri benar- benar memahami kitab yang dibicarakan untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab yang bersifat pengantar sering dihapalkan, sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca saja dari awal sampai akhir. (Namun, dalam lingkungan kecil tamatan pesantren, ada diskusi kitab untuk mencari relevansi kekiniannya, baik secara historis maupun kultural). Barangkali, mayoritas pesantren sekarang menjalankan sistem madrasah—ada kenaikan kelas, kurikulum yang baku dan ijazah—namun terdapat juga banyak pesantren penting yang masih menerapkan metode tradisional, di mana beberapa santri membaca kitab tertentu di bawah bimbingan sang kiai. Setelah santri menamatkan kitab yang dipelajarinya, mereka mendapatkan ijazah (biasanya diberikan secara lisan), dan setelah itu mereka bisa berpindah ke pesantren lain untuk belajar kitab lain. Banyak kiai yang terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Di samping mengajarkan kitab- kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan pengajian mingguan untuk umum di mana dibahas kitab-kitab yang relatif sederhana.
Kandungan intelektual Islam tradisional berkisar pada paham akidah Asy’ari (khususnya melalui karya-karya Al-Sanusi), mazhab fiqih Syafi’i (dengan sedikit menerima tiga mazhab lain) dan ajaran- ajaran akhlak dan tasawuf Al-Ghazali dan pengarang kitab sejenis. Sebagian besar kitab yang dipelajari di pesantren3—termasuk karya-karya mutakhir— isinya berkisar pada tiga kategori itu atau pada “ilmu alat” yang berupa gramatika bahasa Arab tradisional (nahw). Dalam hal terakhir, kaum tradisionalis masih tetap lebih memilih metode nahw yang tidak efisien daripada pendekatan- pendekatan yang lebih modern (Drewes 1971).
Di sisi lain, Islam modernis tidak mau terikat dengan system mazhab yang kaku dan kesufian Al-Ghazali. Mereka menyerukan pembukaan kembali pintu ijtihad dan aktivitas sosial dan politik. Sementara dalam tradisi pesantren karya-karya Al-Ghazali dianggap sebagai prestasi keilmuan dan spiritual tertinggi; kaum modernis
 
dan fundamentalis memilih Ibn Taimiyah sebagai idolanya (yang karya-karyanya dilarang dibaca di pesantren).4
Kebanyakan kiai hanya mengajarkan kitab kuning, tetapi tidak sedikit juga yang telah menambah khazanah Islam tradisional dengan mengarang kitab sendiri. Ada perbedaan besar antara karya ulama modernis dan reformis dengan karya ulama tradisional. Ulama modernis menulis karyanya dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin (kalangan reformis membaca karya-karya ulama Arab biasanya melalui terjemahan bahasa Indonesianya). Sementara ulama tradisional menulisnya dengan bahasa Arab, karena dianggap menambah nilai kehormatan.5 Kalaupun karya mereka ditulis dalam bahasa setempat, namun tetap memakai huruf Arab. Penulisan dalam bahasa Arab inilah yang menjadi ciri penting yang membedakan antara ulama modernis dan tradisional. Sekarang terdapat di pasaran lebih dari 500 judul karya ulama tradisional Indonesia, yang isinya beraneka ragam: dari terjemahan karya sederhana sampai syarah dan hasyiyah canggih terhadap teks klasik.
Tradisi pesantren bernafaskan sufistik dan ubudiyah. Ibadah fardhu dilengkapi dengan shalat-shalat sunnah dan zikir, wirid atau ratib. Banyak kiai yang berafiliasi dengat tarekat dan mengajarkan kepada pengikutnya ibadah dan amalan sufistik yang khas. Seperempat dari hasil karangan ulama tradisional terdiri dari kitab-kitab tasawuf dan akhlak.  Nabi  dan  ahl al- bait sangat dimuliakan dan menjadi objek sejumlah shalawat. Bahkan orang sangat bejat yang berasal dari keturunannya masih dihormati. Para wali pun sangat dimuliakan dan pertolongannya sering diminta. Mengunjungi makam dari para wali dan sejumlah kiai merupakan bagian penting dari acara tahunan. Hampir semua pesantren di Jawa mempunyai perayaan tahunan (khaul, hawl), untuk memperingati tahun kematian kiai pendirinya.
Karisma kiai didasarkan kekuatan spiritual dan kemampuan memberi berkah karena hubungannya dengan alam gaib. Kuburannya pun dipercaya dapat memberikan berkah. Sikap inilah yang paling tajam membedakan antara kaum modernis dan fundamentalis yang menganggap bahwa setelah orang mati tidak mungkin lagi ada komunikasi, dan setiap usaha untuk
 
berhubungan dengannya adalah syirk (menyekutukan Tuhan). Di sisi lain, kaum tradisionalis menganggapnya sebagai sebuah aspek integral dari konsep wasilah, keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung dari seorang guru, hidup atau mati, melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai kepada Nabi dan karenanya kepada Tuhan, dianggap penting untuk keselamatan. (Itulah sebabnya, keanggotaan kiai NU tidak dianggap berakhir karena kematiannya, supaya wasilah tidak terputus).6
Konsep mata rantai yang terus bersambung sampai kepada Nabi adalah penting bagi Islam tradisional. Hal itu terdapat dalam berbagai aspek seperti pada silsilah tarekat,7 isnad hadis dan juga isnad kitab-kitab yang dipelajari. Mata rantai tersebut merupakan jaminan keotentikan tradisi.8 Para sayyid Hadhrami  (berasal dari Hadhramaut) yang telah punya pengaruh besar dalam pembentukan Islam tradisional Indonesia merupakan penjelmaan fisik dari mata rantai itu; titisan darah Nabi dianggap terdapat dalam dirinya, yang menyebabkan derajatnya lebih tinggi dari orang lain. Gagasan pewarisan karisma dalam bentuk yang mirip juga terlihat pada kebanggaan sejumlah kiai atas silsilah keturunan yang mereka —benar atau salah— runut sampai para walisanga atau raja Jawa zaman dulu.9 Kaum modernis, tentu saja, menolak bahwa garis keturunan dapat menjamin derajat ketinggian spiritual seseorang.
Oportunisme politik NU, yang sering dikritik kaum Muslim lain, disebabkan banyak kiai menganut paham politik konservatif tradisi Sunni yang menganggap bahwa kekacauan politik (fitnah) selama satu jam lebih buruk daripada tirani satu abad. Akomodasi politik hampir menjadi sesuatu yang prinsip dalam tradisi Sunni, tidak sekadar sebuah upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Semua gerak politik NU masa lalu dilegitimiasi keputusan Majlis Syuriah dengan mengacu kepada kitab kuning, yang meskipun secara teoretis kaku, namun longgar penerapannya.10

Tradisi Indonesia atau Asing?
Ada paradoks pada tradisi pesantren. Di satu sisi ia berakar kuat di bumi Indonesia; pondok pesantren bisa dianggap lembaga
 
yang khas Indonesia. Meskipun ia merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek, berbeda dengan sekolah tradisional di dunia Islam mana pun. Di sisi lain, pada saat yang sama ia berorientasi internasional, dengan Makkah sebagai pusat orientasinya, bukan Indonesia.
Tradisi kitab kuning, jelas bukan berasal dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia. Demikian juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan berasal dari Indonesia (meskipun jumlah syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah kitab yang dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Makkah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang Indonesia sendiri).
Pola khas pesantren sebagai lembaga pendidikan juga mencerminkan pengaruh asing, dan mungkin juga punya akar asing (meski bercampur dengan tradisi lokal yang lebih tua). Ia menyerupai madrasah India dan Timur Tengah. Hampir semua kiai besar menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat- pusat pengajaran Islam prestisius di tanah Arab. Mereka bisa dianggap sebagai perantara antara tradisi besar keilmuan Islam yang bersifat internasional dengan varian tradisi Islam yang masih sederhana di Indonesia.
Tradisi pesantren bukanlah satu-satunya tradisi budaya Indonesia yang mempunyai akar asing. Namun, berbeda dengan tradisi-tradisi Indonesia yang berakar ke India dan Cina yang telah terintegrasi dengan budaya setempat dan berkembang lebih lanjut, yang kemudian terlepas dari sumber asing mereka,11 tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap sinkretisme dan senantiasa memperbaharui diri kembali melalui sumbernya sendiri. Sumber terpenting bagi Islam tradisional Indonesia adalah kota suci Makkah—pusat orientasi semua dunia Islam. Dan, menyusul, Madinah, di mana Nabi membangun masjid pertama dan wafat.
Hampir semua pengarang-pengarang Islam Indonesia menghabiskan banyak waktu di Makkah, Madinah, dan pusat-
 
pusat pengajaran Islam di Timur Tengah. Namun bukan hanya para ulama, tetapi juga para penguasa Islam masa lalu merujuk ke Makkah untuk mendapatkan legitimasi, atau paling tidak mendapatkan ilmu untuk kekuatan spiritual. Pada tahun 1630-an, Abu’l-Mafakhir Mahmud, raja Banten keempat, mengirim utusan ke makkah untuk minta pengakuan sebagai Sultan serta penjelasan berbagai kitab agama dan bahkan meminta didatangkan ahli fiqih dari Makkah untuk memberikan pengajaran agama di Banten.12 Pada tahun 1641, raja Mataram juga minta dianugerahi gelar “sultan” dari penguasa (Syarif) di Makkah, sebagai salah satu usaha untuk memperkuat kembali legitimasi keagamaannya (de Graaf 1958, hlm. 264-8). Meskipun pengetahuan kita tentang Islam di Indonesia sebelum abad ke-17 sangat sedikit, hal itu tampaknya sesuai dengan orientasi Makkah yang telah berkembang jauh sebelum kejadian itu tercatat. Keterangan ini tidak mengingkari bahwa Islam di Indonesia, khususnya pada abad-abad pertama, terpengaruh perkembangan Islam India. Sebagai contoh, besarnya pengaruh tarekat Syattariyah,13 popularitas, berbagai adaptasi metafisika wahdah al-wujud Ibn Al-‘Arabi,14 dan pilihan kitab- kitab yang dipelajari selama berabad-abad pertama di Indonesia menunjukkan besarnya pengaruh India. Namun pengaruh India ini juga mencapai Nusantara melalui kota-kota suci di Hijaz, tempat berbagai ulama besar India (dan pengikutnya yang non-India) mengajar. Nuruddin Al-Raniri, ulama Arab-Melayu kelahiran India, merupakan satu-satunya tokoh terkenal yang mewakili hubungan langsung antara India dan Indonesia.
Karena orientasi asing yang terus berlanjut pada tradisi pesantren, ia tidak bisa dianggap terisolir. Agar dapat memahami dinamika pesantren, kita harus mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab dan India. Studi dilakukan Snouck Hurgronje tentang pendidikan Islam di Makkah lebih dari satu abad lalu (1887a, 1889) masih merupakan salah satu karya terpenting mengenai tradisi pesantren, dan belum terdapat kajian baru yang lebih mendalam. Sejak seabad yang lalu, perhatian para sarjana untuk mengkaji Islam Indonesia hampir semuanya mengabaikan Makkah dan pusat-pusat asing lain, atau hanya membuat beberapa pengamatan dangkal saja.15
 
Permulaan Tradisi Pesantren
Pengetahuan kita mengenai asal-usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Banyak yang disebut tentang pesantren pada masa awal, sebetulnya hanya merupakan ekstrapolasi dari pengamatan akhir abad ke-19. Pigeaud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam penting kedua, di samping masjid, pada periode awal abad ke-16. Mereka menyangka bahwa pesantren adalah sebuah komunitas independen yang tempatnya jauh, di pegunungan, dan berasal dari lembaga sejenis zaman pra-Islam, mandala dan asyrama (Pigeaud 1967, hlm 76ff; de Graaf dan Pigeaud 1974, hlm. 246- 7). Memang terdapat indikasi bahwa tempat-tempat pertapaan pra
–Islam tetap bertahan beberapa waktu setalah Jawa diislamkan; bahkan tempat pertapaan yang baru terus didirikan.16 Namun tidak jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual berlangsung. Karena itu sebutan “pesantren” (sebuah istilah yang menurut pengetahuan saya baru muncul belakangan) patut dipertanyakan.
Beberapa pengarang cenderung menganggap desa perdikan (Fokkens 1886) sebagai sarana kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam. Desa perdikan, yang dibebaskan pajak dan kerja rodi tetapi penghasilannya harus dimanfaatkan untuk melaksanakan tugas sakral seperti memelihara makam keramat, merupakan lembaga yang sudah cukup tua (Schrieke 1919), dan beberapa desa perdikan pada abad ke-19 telah menikmati statusnya sejak zaman pra-Islam. Namun demikian, keberadaan pesantren di sebuah desa perdikan tampaknya tidak ada sangkut pautnya dengan status bebas pajak desa bersangkutan. Dari 211 desa perdikan yang tercatat pada survei akhir abad ke-19 (Anon. 1888), hanya ada empat desa yang sebagian penghasilannya secara eksplisit digunakan untuk pemeliharaan pesantren. Ada pesantren di beberapa desa perdikan lain, namun tidak mendapat pembagian penghasilan, dan karena itu keberadaannya jelas tidak ada hubungannya dengan status desa perdikan tersebut. Alasan lumrah untuk memberikan status bebas pajak ini kepada sebuah
 
desa adalah keberadaan makam-makam penting. (Di samping itu, sebagaimana diamati Schrieke, kerajaan bisa mempunyai alasan politik untuk memberikan status perdikan kepada desa-desa di pinggiran wilayahnya).
Pemeliharaan makam-makam keramat secara tradisional merupakan suatu tugas keagamaan yang dihormati, terlepas dari apa agama resminya. Keluarga yang diberi kepercayaan memegang perdikan, memiliki wibawa keagamaan tertentu, dan tidaklah mengherankan bila beberapa anggota keluarganya ada yang menjadi guru agama berpengaruh (terutama mengajarkan tasawuf dan magi). Ketika itulah peranan mengajar orang-orang tersebut menjadi terlembaga dalam bentuk pesantren. Proses pembentukan pesantren itu digambarkan dengan cermat oleh Guillot (1985) dalam kasus berdirinya pesantren Tegalsari.
Namun perlu ditekankan bahwa hanya sedikit dari pesantren Jawa yang mempunyai latar belakang seperti itu, dan bahkan pesantren-pesantren ini pun umurnya masih muda. Pesantren Tegalsari, pesantren tertua yang masih berfungsi sampai beberapa tahun lalu, didirikan pada tahun 1742. Survei Belanda pertama mengenai pendidikan pribumi yang dilakukan pada tahun 1819, memberikan kesan bahwa pesantren yang sebenarnya belum ada di seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Di daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali, kecuali pendidikan informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid. Madiun dan Ponorogo (di mana Tegalsari terletak) waktu itu memiliki pesantren terbaik. Di sinilah anak-anak dari pesisir utara pergi untuk melanjutkan pelajarannya (Van der Chijs 1864, hlm. 215-9). Sepanjang yang saya perhatikan, tidak ada bukti yang jelas adanya pesantren (dalam bentuk abad ke-19) sebelum berdirinya Tegalsari.
Patut diingat bahwa belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak- anak dan orang dewasa belajar membaca dan menghafal Al-Quran
 
dari orang-orang kampung yang telah lebih dulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab mampir ke desa itu, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama di masjid seusai shalat. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid-murid yang sangat berminat akan mendatangi ulama itu di rumahnya dan bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Murid- murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa atau, jika memungkinkan, ke Makkah. Itulah juga kiranya situasi yang ada di Jawa dan Sumatera selama abad-abad pertama penyebaran Islam. Karena itu, saya punya dugaan kuat bahwa lembaga yang layak disebut pesantren belum berdiri sebelum abad ke-18.

“Pesantren” Karang
Sebuah “pesantren” tua terkenal bernama Karang di Banten, yang letaknya mungkin di sekitar Gunung Karang, sebelah barat Pandeglang, dibicarakan dalam Serat Centhini (Drewes 1969, hlm. 11). Salah seorang tokoh pemeran dalam karya ini, sang pertapa Danadarma, mengaku telah belajar tiga tahun di Karang di bawah bimbingan “Seh Kadir Jalena”; mungkin maksudnya dia belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan dengan sufi besar ‘Abd Al-Qadir Al-Jailani.17 Juga tokoh utama dalam Serat Centhini, Jayengresmi alias Among Raga, belajar di paguron Karang, di bawah bimbingan seorang guru Arab bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng Karang. Dari Karang, kemudian dia pergi ke paguron besar lain di desa Jawa Timur, Wanamarta, yang dipimpin oleh Ki Baji Panutra, di mana dia menunjukkan penguasaannya yang sangat mendalam atas kitab-kitab ortodoks.18
Seorang guru, di karang juga disebutkan dalam sebuah primbon Jawa dari Kabupaten Banyumas. Primbon ini menyebut seorang Seh Bari Karang (Seh Bari ing Kawis) yang konon telah menyebarkan ajaran para wali Jawa. Drewes (1969, hlm. 11) menduga bahwa yang dimaksud mungkin Seh Bari yang ajarannya terdapat dalam “Wejangan Seh Bari” salah satu dari dua naskah Islam Jawa tertua (abad ke-16). Jika hal ini benar, berarti pada suatu ketika antara tahun l927 (masuknya Islam di Banten) sampai akhir
 
abad itu, Karang terkenal sebagai pusat pendidikan Islam ortodoks, bukan ajaran sinkretik seperti yang sering dikaitkan orang dengan para wali Jawa. Kalaupun dugaan Drewes benar bahwa kitab yang diterjemahkannya adalah karya seorang guru dari Karang, itu pun belum membuktikan bahwa di situ pernah ada pesantren. Naskah Banyumas tidak menyinggung sebuah perguruan, tetapi hanya menyebutkan sang syaikh (Serat Centhini yang kadang- kadang membicarakan perguruan, tidak menyebutnya “pesantren” melainkan, “paguron” atau “padepokan”).
Menurut Serat Centhini, Jayengresmi hidup sezaman Sultan Agung Mataram, yaitu pada paruh pertama abad ke-l7. Namun, Serat Centhini disusun pada awal abad ke-19, dan karenanya tidak bisa dianggap sumber yang dipercaya mengenai keadaan abad ke-l7. Kitab Sajarah Banten disusun sekitar zaman ketika Jayengresmi konon hidup (Djajadiningrat 1913) tidak menyebut sebuah poguron di Karang (atau di tempat lain), tetapi tempat yang banyak didatangi orang-orang yang ingin melakukan tapa, sebuah praktik meditasi.19 Satu-satunya pengajaran agama yang disebutkan di kitab ini adalah pendidikan pribadi putra mahkota di tangan Kiai Dukuh dan qadhi kesultanan (ibid., hlm. 37).20 Jadi, pada abad ke-16 dan ke-17 yang ada adalah guru yang mengajarkan agama Islam di masjid atau istana dan ahli tasawuf dan magi yang berpusat di tempat pertapaan atau di dekat makam keramat. Pesantren mungkin sebagian berkembang dari tempat- tempat ini, namun ia baru muncul pada periode belakangan.

Kitab yang Dipelajari pada Abad ke-16 hingga Abad ke-19
Dugaan saya bahwa lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-18 tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari sebelumnya. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu sementara beberapa pengarang Indonesia telah menulis kitab-kitab dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa  dengan kitab ortodoks. Sekitar tahun 1600, sejumlah naskah Indonesia berbahasa Melayu, Jawa dan Arab dibawa ke Eropa. Mereka
 
memberi gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di Nusantara saat itu.
Naskah-naskah Melayu (van Ronkel 1896) terdiri dari tafsir dua bab penting dari Al-Quran, dua hikayat bertema lslam, sebuah kitab hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antarbaris) dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap Nabi (Qasidah Al-Burdah-nya Al-Bushiri, diedit Drewes, 1955). Dua naskah Islam Jawa terpenting yang juga diedit ulang Drewes (1954, 1969) sama sekali tidak menunjukkan spekulasi metafisis dan sinkretisme yang begitu sering dianggap ciri khas Islam Jawa. Mereka mencerminkan tradisi ortodoks (fiqih Syafi’i, doktrin Asy’ari dan akhlak Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk pada berbagai macam kitab berbahasa Arab yang memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pengarang-penga- rang itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.
Dari berbagai karya yang disebutkan dalam naskah Jawa pertama, “Wejangan Seh Bari” (Drewes 1969, sebelumnya dikenal sebagai “Kitab Sunan Bonang”) hanya dua judul yang diketahui: karya besar Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din, dan kitab Tamhid— yang dimaksud barangkali Al-Tamhid fi Bayan Al-Tawhid karya Abu Syukur Al-Kasyi Al-Salimi. Karya terakhir ini memang pernah dikenal di Indonesia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antarbaris (Kraemer 1921, hlm.6). Dan menarik, karena karya yang kedua ini banyak dibaca di India.21 Dua karya yang sama, juga disebutkan dalam kitab Islam Jawa lama lain (Kraemer 192l, Drewes 1954) bersama-sama dengan Talkhish Al- Minhaj (ringkasan Minhaj, mungkin Minhaj Al-Abidin-nya Al- Ghazali), Syarh fi Al-Daqa’iq (mungkin syarah atas kitab populer tentang kosmologi dan eksatologi, Daqa’iq Al-Akhbar).22 Dua judul lain, Al-Kanz Al-Khafi (“Harta Tersembunyi”) dan Ma’rifah Al-‘Alam (“Terbukanya Tabir Dunia”) mengesankan karya tasawuf dan metafisika, meskipun keduanya tidak bisa diidentifikasi.
Catatan pendek ini memperlihatkan bahwa penekanan dalam pengajaran adalah pada akidah dan tasawuf. Keberadaan beberapa naskah (yang lebih muda) dalam bahasa Arab, begitu juga terjemahan Jawa Kitab tentang wahdah al-wujud karya Burhanpuri yang terkenal, Al-Tuhfah Al-Mursalah (]ohns 1965)
 
menunjukkan adanya kecenderungan kuat kepada tasawuf “panteistis”.23 Namun di antara beberapa naskah yang disebutkan, yang dibawa ke Eropa dari Jawa sekitar 1600, terdapat pula kitab berbahasa Arab tentang fiqih, yaitu karya Abu Syuja’ Al- Isfahani, Al-Taqrib Fi Al-Fiqh yang masih digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa antarbaris) dan sebuah kitab anonim, yang sekarang praktis tidak diketahui lagi, Al-Idhah fi Al-Fiqh. Ini semua jelas membuktikan bahwa fiqih juga dipelajari di Jawa akhir abad ke-16 (dan mungkin jauh lebih awal).
Orang-orang Indonesia yang belajar di Tanah Arab mengenal berbagai macam kitab yang lebih luas, tetapi apa yang dipelajari di Indonesia sendiri sangat terbatas dan sedikit dibandingkan dengan tradisi kitab klasik yang kaya. Mahmud Yunus (1979, hlm.  223-6)  memberikan  informasi  yang  agak  rinci  tentang pesantren di Maharam (abad ke-18?), meskipun masih tidak jelas dari mana sumbernya. Informasinya mungkin dari tradisi lisan. Ia menyebutkan tiga kitab yang dipelajari di tingkat rendah: Taqrib (kitab fiqih), Bidayah Al-Hidayah (ringkasan Ihya) dan sebuah kitab berjudul Ushul 6 Bis,24 yaitu kitab tentang akidah karya Abu Al-Laits Al-Samarqandi, yang juga dikenal sebagai  Asmarakandi.25
Serat Centhini, sebagaimana ditunjukkan Soebardi pertama kali (1971), berisi lebih banyak informasi rinci mengenai kitab-kitab yang dipelajari di “pesantren”. Namun gegabahlah menganggap bahwa keterangannya benar untuk masa jauh sebelum Serat Centhini disusun, pada awal abad ke-19. Dalam diskusi antara Jayengresmi dan tokoh-tokoh lain di Serat Centhini, disebutkan dua puluh kitab yang berbeda, enam di antaranya kitab fiqih (termasuk Taqrib dan Idhah),26 sembilan kitab akidah (termasuk kitab pengantar Al-Samarqandi dan dua karya Al-Sanusi yang terkenal dengan berbagai syarahnya), dua kitab tafsir (Jalalain dan Baidhawi) dan tiga kitab tasawuf. Yang terakhir ini termasuk Ihya dan Al-Insan Al-Kamil karya ‘Abd Al-Karim Al-Jili—satu-satunya karya yang keortodoksannya diperdebatkan—sebuah kajian sistematis tentang metafisika wahdah al-wujud Ibn Al-’Arabi.27
Survei pendidikan pribumi pertama yang dilakukan pemerin- tah (Belanda) Kabupaten Rembang pada tahun 1864 mencatat kitab yang dipelajari di pesantren (van der Chijs 1864, hlm. 217).
 
Santri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab dengan kitab ‘Amil karya Jurjani (atau ‘Awamil) dan kitab Jurumiyah (yang masih dipelajari di pesantren), kemudian membaca bagian-bagian terpilih dari Al-Quran, sebuah kitab fiqih yang bersifat pengantar (Sittin) dan kitab akidah (Asmarakandi tersebut dan Al-Durrah karya Al-Sanusi yang juga disebutkan dalam sumber-sumber Jawa terdahulu).
Menjelang akhir abad itu. L.W.C. van den Berg mengunjungi sejumlah pesantren penting di Jawa dan Madura, dan menyusun daftar kitab-kitab berbahasa Arab yang lazim dipelajari berdasarkan wawancara dengan kiai (1886). Sebutan “berbahasa Arab” menyi- ratkan bahwa karya-karya dalam bahasa lain (mungkin bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab, Jawa Pégon) juga digunakan, tetapi sengaja tidak dibahas dalam artikel tersebut. Van den Berg menunjukkan kesinambungan yang jelas dengan kitab-kitab terdahulu, dalam arti bahwa baik karya-karya pengantar yang dipakai maupun kitab bereputasi tinggi yang disebutkan ternyata sama. Kitab-kitab yang mulai dipakai belakangan pun pada dasarnya berupa penjelasan-penjelasan mengenai bidang yang sudah “baku”—tidak ada orientasi baru. Yang menarik adalah tidak adanya beberapa dimensi tradisi klasik: sementara banyak kitab fiqih dipelajari, tidak ada satu pun kitab ushul al-fiqh yang tercatat. Kitab tafsir, misalnya, hanya ada karya kedua Jalaluddin (Jalalain: Suyuthi dan Mahalli) serta tafsir Baidhawi. Meskipun kumpulan hadits Bukhari dibaca beberapa kiai, tidak ada kitab hadis yang benar-benar dipelajari di pesantren. Dalam tiga bidang inilah, sejak tahun 1888-an, kurikulum pesantren diperkaya (van Bruinessen 1990). Dimensi lain tradisi intelektual klasik yang lenyap dari pesantren adalah terutama filsafat dan metafisika.28 Van den Berg tidak mencatat ada kitab-kitab tentang wahdah al-wujud. Kitab-kitab ini mungkin masih dipelajari di sejumlah pesantren, tetapi tidak begitu mencolok dan hanya diajarkan kepada santri- santri pilihan, seperti yang terjadi di beberapa tempat sekarang.
Kitab-kitab yang dipelajari sebelum abad ke-20 di Jawa wawasannya sempit jika dibandingkan dengan wawasan intelek- tual pengarang-pengarang Islam dari daerah lain pada masa sebelumnya. Dalam karangan Nuruddin Al-Raniri, Yusuf  Makassar
 
dan Abdurra’uf Singkel, kita menemukan referensi kepada kitab- kitab yang jauh lebih banyak variasinya, dan lebih menarik secara intelektual. Daftar karya tasawuf dan filsafat bernilai tinggi yang telah dikaji Raniri (lihat catatan Al-Attas l986, hlm. 12-24) sangat mengesankan. Yusuf menghabiskan waktu lama di tanah Arab, belajar pada guru-guru besar dan mendalami banyak tarekat. Dalam tulisan-tulisannya, ia juga merujuk khazanah intelektual lebih luas dari pada kitab yang dikenal di Jawa.29 Abdurra’uf, dalam ‘Umdah Al-Muhtajin, menyebutkan lusinan gurunya di Makkah dan Madinah. Ia tidak merinci apa yang dipelajari dari guru-gurunya itu, namun dari karya-karyanya, terlihat bahwa ia menguasai ilmu-ilmu keislaman yang terpenting. Dengan melihat spesialisasi guru utamanya, Ibrahim Al-Kurani, barangkali ia juga mendalami metafisika dan hadis.

Tradisi Keilmuan Klasik dan Pengaruhnya di Indonesia
Kitab-kitab yang merupakan penopang utama tradisi keilmuan Islam ditulis  pada abad  ke-10 sampai dengan ke-15
M. Beberapa karya penting ditulis sebelum periode tersebut, dan beberapa karya baru dengan corak yang sama terus ditulis, tetapi sejak akhir abad ke-15, pemikiran Islam tidak mengalami kemajuan yang berarti. Pola pemikiran dalam ilmu-ilmu keislaman tetap sama, namun dalam ilmu lain seperti matematika, fisika, kedokteran paradigmanya telah mengalami perubahan, karena pengaruh Eropa.30 Dalam tradisi abad pertengahan ini, ilmu dianggap sistem pengetahuan yang pada dasarnya bisa selesai. Ide untuk memperluas ilmu pengetahuan, dianggap absurd dan bahkan bid’ah. Pandangan ini secara tegas membatasi jenis karya yang bisa ditulis.
Aziz Al-Azmeh, yang dalam karya terbarunya (1986) menganalisis sangat cermat dasar metafisika dari pemikiranArab abad pertengahan, mensurvei secara singkat jenis karangan para ulama dan ilmuwan zaman itu. Jenis karya itu, menurutnya, agak terbatas; setiap karya mengenai suatu subjek pasti termasuk satu dari tujuh jenis pembahasan berikut. Yaitu pelengkapan atas teks yang belum lengkap; perbaikan teks yang mengandung kesalahan;
 
penjelasan (penafsiran) atas teks yang samar; peringkasan (ikhtisar) dari teks yang lebih panjang; penggabungan teks-teks terpisah tetapi saling berkaitan (namun tanpa adanya usaha sintesis); penataan tulisan yang masih simpang-siur; dan pengambilan kesimpulan dari premis-premis yang sudah disetujui (Al-Azmeh 1986, hlm. 152, berdasarkan Ibn Hazm dan Hajji Khalifah). Untuk masa pascaklasik pun, ini masih sah sebagai gambaran pem- bahasan kitab kuning. Dan jika kita menambahkan terjemahan ke dalam bahasa setempat sebagai jenis kedelapan, praktis semua kitab yang ditulis ulama Indonesia selama abad yang lalu tercakup dalam delapan jenis ini.
Meskipun dianggap sudah tuntas dan tidak boleh berubah, tradisi keilmuan Islam ini sangat kaya. Dan ia tetap fleksibel karena tidak ada usaha untuk membuatnya konsisten. Setiap cabang ilmu merupakan sistem tertutup dan di satu ilmu boleh jadi terdapat dalil-dalil dan pandangan bertentangan dengan yang di cabang ilmu lain. Para filosof dan mutakallim, sufi dan ahli metafisika, faqih dan ahli hadis, masing-masing punya wacananya sendiri, kadang-kadang bertentangan satu dengan yang lain (meskipun terdapat persamaan dalam pola pemikiran).31 Bahkan dalam disiplin utama, fiqih, keempat mazhab diterima sebagai sama- sama ortodoks meskipun berbeda dalam banyak masalah.
Hampir pada tiap-tiap masalah terdapat lebih dari satu pendapat atau pendekatan berbeda dalam tradisi keilmuan Islam. Kalaupun ada perkembangan dalam tradisi keilmuan—yang terkadang tejadi akibat perkembangan politik—itu pun biasanya dalam bentuk pergeseran antar disiplin, di mana satu disiplin lebih mendapat perhatian daripada sebelumnya, sedangkan disiplin lain mundur. Banyak gerakan reformis, misalnya, telah menekankan fiqih daripada tasawuf dan tauhid, sementara gerakan reformis belakangan malah lebih menekankan hadis daripada mazhab fiqih yang sudah mapan.
Kita sering merasakan unsur populis atau suasana anti elite di kalangan pendukung kuat hadis. Elit ulama sering mengklaim hak-hak istimewa karena mereka memiliki ilmu canggih yang langka. Pokok hadis relatif sederhana dan dapat dipahami tanpa pendidikan khusus; selain itu, semua hadis didukung wewenang
 
Nabi. Karena itu, satu hadis bisa dianggap sebagai argumen lebih kuat daripada seluruh ilmu intelektual.32 Secara keseluruhan, ilmu-ilmu intelektual (al-‘ulum al-‘aqliyah) seperti logika, filsafat, metafisika, kalam, ketabiban (thibb) semenjak zaman klasik sedikit demi sedikit harus memberikan lapangan kepada ilmu- ilmu agama dalam arti sempit (al-‘ulum al-naqliyah: studi hadis, tafsir tradisional dan sebagainya). Proses ini berarti pemiskinan tradisi intelektual Islam.
Generasi pertama orang Indonesia yang belajar di tanah Arab hanya menyerap sebagian tradisi keilmuan yang ada, terutama yang cocok dengan budaya lamanya (khususnya tasawuf falsafi, kosmologi, tarekat dan ilmu-ilmu gaib terkait, tetapi juga ilmu fiqih). Dalam perjalanan waktu, makin banyak dimensi tradisi itu yang menjadi bagian dari tradisi Islam Indonesia, yang sedikit demi sedikit makin kaya, meskipun terjadi pemiskinan tradisi Islam di pusatnya, tanah Arab.33

Model Asing untuk Pesantren
Transmisi pengetahuan  Islam belum  bersifat formal  dan terlembagakan di madrasah sampai abad ke-l0. Pada mulanya yang dipelajari di madrasah adalah terutama fiqih (ilmu yang paling penting  dari  sudut pandangan  negara). Ilmu-ilmu lain terus diajarkan secara lebih informal di masjid-masjid (Makdisi 1981, hlm.9). Pada zaman hubungan antara Indonesia dan daerah pusat Islam mulai menjadi intensif, yaitu abad ke-17 dan ke-18, dua imperium Sunni (Utsmani, yang menguasai hampir seluruh tanah Arab, dan Moghul di India) telah memiliki jaringan-jaringan madrasah besar yang berada di bawah pengendalian pemerintah dan menetapkan kurikulum baku.34 Madrasah Utsmani biasanya dibangun oleh salah seorang sultan atau pejabat tinggi, dan diberi wakaf (yang menghasilkan pendapatan) untuk pemeliharaan madrasah dan beasiswa murid. Pimpinannya menerima  gaji dari pemerinah. Sementara itu di India Moghul, pengendalian pemerintah kurang menyeluruh, struktur internal golongan ulama kurang diatur dan mereka kurang dekat dengan istana. Pokok- pokok yang dipelajari di kedua imperium tersebut sedikit berbeda.
 
Mereka meliputi Al-Quran dengan tekanan pada tajwid dan qira’ah; tata bahasa Arab dan retorika (sharaf, nahw, balaghah), ushul al-fiqh dan fiqih Hanafi,35 tafsir, kalam, hadis (biasanya kumpulan hadis yang tidak termasuk al-kutub al-sittah, tetapi di madrasah Utsmani dipelajari juga Shahih Bukhari), begitu pula logika, ilmu hitung, astronomi, adab (sastra) dan hikmah (filsafat dan metafisika).36
Pengembara Turki, Evliya Celebi, yang mengunjungi Makkah dan Madinah pada tahun 1671, melaporkan bahwa di Makkah pada masa itu terdapat 40 madrasah dan yang disebut namanya 22 buah (Evliya 1935, hlm. 771-2). Dia juga menyebutkan empat madrasah di Madinah dan menyatakan masih banyak lagi madrasah di sana (ibid., hlm. 640). Namun kalau kita membandingkan catatannya mengenai madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah dengan gambaran yang ia berikan mengenai madrasah-madrasah di kota-kota lain, kita mendapat kesan bahwa yang di Makkah dan Madinah kurang berkembang. (Dua abad kemudian, Snouck Hurgronje menemukan sebagian besar madrasah di Makkah sudah berubah menjadi rumah pribadi). Evliya jauh lebih banyak berbicara tentang tekye dan zawiyah, gedung pertemuan para pengikut tarekat di Makkah, yang beberapa di antaranya dihuni banyak pengikutnya. Ia sendiri juga menginap di sebuah zawiyah selama berada di Makkah (ibid., hlm. 772-3).
Ketika mencari model Timur Tengah untuk pesantren, kita mungkin perlu memperhatikan—di samping madrasah—juga zawiyah. Bahkan tampaknya tidak mungkin orang Indonesia yang tinggal di Hijaz pada saat itu banyak berhubungan dengan madrasah di sana yang bermazhab Hanafi, mazhab resmi Daulah Utsmaniyah. Tidak terdapat banyak persamaan antara kitab yang dikenal di Indonesia pada abad ke-16 sampai ke-18, dengan kitab yang menjadi kurikulum madrasah Utsmani dan Moghul. Kitab- kitab yang sama-sama dipakai di sini maupun di sana hanya dua karya tafsir, Jalalain dan Baidhawi, dan kitab Tamhid yang telah disebut. Yang terakhir ini dipakai di India, namun tidak di Utsmani. Ulama dan sufi yang punya pengaruh terbesar di Indonesia, yang belajar di Hijaz pada abad ke-I7 adalah Ibrahim Al-Kurani. Dia mengajar  pokok-pokok  yang  bukan  bagian  kurikulum  resmi
 
madrasah negeri, dan tampaknya dia berada di luar hirarki ulama Utsmani. Mungkin bukan satu kebetulan bahwa dia bermazhab Syafi’i. Al-Kurani tampaknya lebih banyak berhubungan dengan ulama india dibandingkan dengan ulama Utsmani (di India kami menemukan lebih banyak referensi terhadapnya dibandingkan sumber-sumber Utsmani).37
Selama abad ke-18 dan ke-19, pendidikan madrasah di tanah Arab tampaknya makin mundur. Bentuk dan isi pendidikan yang diterima orang-orang Indonesia yang belajar di Makkah dan Madinah pada saat itu tidak banyak diketahui. Bahkan biografi ulama-ulama besar yang belajar di sana, Muhammad Arsyad Al- Banjari, ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani dan Da’ud bin ‘Abdallah Al- Patani hanya menyebut sebagian nama-nama guru mereka (hampir semuanya mencatat nama sufi besar Muhammad bin ‘Abd Al- Karim Al-Samman, dan mufti Madinah, Muhammad ibn Sulaiman Al-Kurdi) dan judul-judul kitab yang dibaca.38 Mereka tidak belajar di madrasah, tetapi menghadiri lingkaran pengajian tidak resmi (halaqah) yang diberikan ulama independent di berbagai masjid. Hubungan mereka dengan beberapa guru, kelihatannya tidak lebih dari beberapa kali pertemuan pribadi yang dihadirinya.
Snouck Hurgronje dalam bukunya tentang Makkah menjelas- kan bahwa pada akhir abad ke-19, pendidikan di Hijaz berpusat di Masjid Al-Haram Makkah, yang pada saat itu telah berkembang menjadi semacam universitas. Rektor perguruan tinggi ini (disebut syaikh al-‘ulama) ditunjuk oleh pemerintah Utsmani, dan hanya ulama-ulama terpilih yang boleh memberikan pelajaran pada halaqah di sana (1887a; 1889, hlm. 235-56). Ulama berstatus lebih rendah mengajar di berbagai tempat di kota tersebut. Sistem pendidikan universitas berbeda dengan madrasah. Murid- murid tidak tinggal bersana dalam satu pemondokan, dan tidak ada kurikulum tetap. Kitab apa yang dipelajari terserah kepada keputusan guru dan murid. Madrasah-madrasah yang pernah ada di Makkah pada zaman dulu, sebagaimana dicatat Snouck Hurgronje, sudah tidak berfungsi lagi.
Tinjauan sejarah singkat ini mengesankan bahwa orang-orang Indonesia yang belajar di Hijaz tidak pernah berhubungan langsung dengan madrasah tipe Utsmani. Karenanya barangkali bukanlah
 
madrasah itu yang menjadi model pesantren di Jawa. Namun pernah terdapat dua pengalaman penting dengan pendidikan jenis madrasah yang tampak luput dari penelitian terdahulu: Al-Azhar di Kairo dan madrasah reformis India Shaulatiyah di Makkah.
Dalam studi Islam Indonesia, saya tidak pernah melihat petunjuk mengenai adanya orang Indonesia yang belajar di univenitas Al-Azhar Kairo sebelum abad ke-20. Mestinya cukup banyak orang Indonesia yang belajar di sana pada paruh pertama abad ke-19, atau mungkin sebelumnya. Pada pertengahan abad ke-19, Al-Azhar memiliki sekitar 30 asrama (riwaq), di mana murid-murid tinggal. Salah satu riwaq itu diperuntukkan bagi orang “Jawah”, yaitu orang-orang Islam dari Nusantara. Orang- orang Turki, Kurdi, Irak Arab masing-masing juga mempunyai satu riwaq; hal ini memberi kesan bahwa orang-orang “Jawah” di Al-Azhar cukup banyak (Vollers, 1913; bandingkan Heyworth- Dunne 1938, hlm. 25-6).
Kitab yang dipelajari di Al-Azhar (di mana fiqih semua mazhab diajarkan) pada abad ke-18 dan ke-19 menunjukkan adanya hubungan yang dekat dengan kurikulum pesantren abad ke-19 dibandingkan kurikulum madrasah Utsmani dan Moghul zaman dahulu. Hampir semua kitab yang dicatat van den Berg (1886a) juga terdapat dalam kurikulum Al-Azhar seperti yang diteliti Heyworth- Dunne (1938, hlm. 43-65) dari sumber-sumber Mesir. Kepentingan penemuan ini sebaiknya tidak dinilai terlalu tinggi, sebab kitab- kitab yang sama juga dibaca di halaqah Makkah. Namun, paling sedikit hal itu menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh Al- Azhar terhadap pesantren dulu. Jumlah murid Indonesia di Al- Azhar, mungkin berkurang pada paruh kedua abad ke-19 karena relatif merosotnya status Mesir yang terbaratkan (westernized) dibandingkan Makkah. Namun sampai saat itu Mesir telah lama dikenal sebagai pusat utama keilmuan mazhab Syafi’i (bdk. Snouck Hurgronje, 1889, hlm. 255).
Madrasah lain yang perlu ditinjau dalam konteks ini, telah didirikan lebih belakangan di Makkah oleh orang Islam India, satu dasawarsa sebelum Snouck bermukim di Makkah, tetapi tampaknya luput dari pengamatannya. Pada tahun 1874, seorang wanita India bernama Shaulah Al-Nisa membiayai pembangunan
 
sebuah madrasah di Makkah dan mewakafkan tanah untuk memeliharanya. Madrasah tersebut diberi nama Shaulatiyah. Kepemimpinannya dipercayakan kepada seorang ulama India militan dan dihormati, Rahmatullah bin Khalil Al-‘Ustmani (lihat ‘Abd Al-Jabar 1385, hlm. 121-7). Rahmatullah terkenal di India dan luar negeri karena polemiknya yang hebat dan sukses melawan misionaris Jerman, Pfander, dan menjadi salah satu pemimpin pemberontak anti-Inggris pada tahun 1857.39 Setelah pemberontakannya dikalahkan, dia melarikan diri ke Makkah, di mana dia menjadi salah seorang ulama terkemuka yang sangat gigih melawan kolonialisme dan westernisasi.
Madrasah Shaulatiyah merupakan bagian dari gerakan reformasi pendidikan Islam di India yang telah membangkitkan madrasah termasyhur Darul ’Ulum di Deoband (dibangun tahun 1867) dan banyak madrasah yang berafiliasi dengannya (Metcalf l982). Seperti yang di Deoband, kurikulum madrasah Shaulatiyah mungkin tradisional, meskipun dengan penekanan yang lebih besar kepada hadis.40 Apa yang menjadikannya modern adalah bentuk kelembagaannya —dengan adanya kelas, mata pelajaran tetap dan ujian. Patut dicatat, banyak gurunya kadang-kadang diambil dari ulama-ulama yang mengajar di Masjid Al-Haram.41
Pada awal abad ke-20, bahkan mungkin sebelumnya,42 Shaulatiyah mempunyai pengaruh besar di dunia pesanrten Indonesia. Banyak orang Indonesia yang belajar di madrasah ini dan mendirikan pesantren atau madrasah setelah mereka kembali, dengan model lebih kurang mirip dengan Shaulatiyah. Masih ada madrasah lain serupa di Makkah yang didirikan orang India, Madrasah Al-Falah (disebutkan Gobée l92l; hlm. 199- 200 dan pada biografi-biografi dalam ‘Abd Al-Jabbar l385), tetapi madrasah ini tampaknya tidak mempunyai murid yang berasal dari Indonesia. Pada tahun 1934, madrasah ketiga sejenis, Dar Al-‘Ulum Al-Diniyah, didirikan di Makkah oleh orang Indonesia yang keluar dari Shaulatiyah karena konflik pemakaian bahasa Indonesia yang telah menyinggung kebanggaan nasional.43 Orang-orang Indonesia di Makkah mengumpulkan uang untuk membangun sekolah sendiri. Lebih dari seratus murid, hampir semuanya  dari  Shaulatiyah,  terdaftar.  Muhsin  Al-Musawwa,
 
seorang sayyid kelahiran Palembang, yang sebelumnya jadi guru di Shaulatiyah, menjadi rektornya yang pertama.
Ringkasnya, saya menduga bahwa Al-Azhar dengan riwaq- nya mungkin telah merupakan salah satu model untuk pesantren yang didirikan pada akhir abad ke-18 dan ke-19, begitu pula kurikulumnya. Sekitar pergantian abad lalu, pengaruh gerakan reformasi pendidikan India melalui  Shaulatiyah mulai terasa. Dengan berdirinya Dar Al-‘Ulum Indonesia di Makkah yang meniru Shaulatiyah dalam hampir setiap hal dan yang namanya mengingatkan kepada madrasah reformis Deoband dan Kairo,44 maka madrasah reformis telah menjadi model yang akan ditiru di seantero Nusantara. Shaulatiyah dan Dar Al-‘Ulum-lah yang merupakan faktor paling menentukan dalam perkembangan pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Perkembangan di Indonesia sendiri dibahas lebih mendalam dalam kajian terkenal Mahmud Yunus (1979) dan Karel Steenbrink (1974).

Ulama Indonesia di Makkah
Keberadaan madrasah-madrasah ini di Makkah kurang diperhatikan karena besarnya pengaruh Masjid Al-Haram. Guru- guru Shaulatiyah yang paling terkenal juga mengajar di Masjid Al-Haram. Karena dalam pelajaran kitab kuning isnad dianggap begitu penting, maka para murid lebih cenderung merujuk nama gurunya daripada lembaga di mana mereka belajar. Perubahan dalam wacana intelektual seperti yang terjadi pada permulaan abad itu, karenanya, secara umum lebih dihubungkan dengan guru-guru tertentu daripada dengan lembaga dan perkembangan- perkembangan sosio-ekonomis yang lebih luas.
Dengan melihat kembali ke belakang, dasawarsa-dasawarsa sekitar pergantian abad lalu itu merupakan masa yang menentukan. Tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram (bukan di Shaulatiyah) pada saat itu mempunyai pengaruh besar di kalangan sesama orang Nusantara dan mempengaruhi generasi berikutnya melalui pengikut-pengikut dan tulisan-tulisannya. Nawawi Banten (wafat 1896-7) yang dipuji Snouck sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati (1889, hlm. 362-7) adalah pengarang
 
paling produktif. Di samping kitab tafsirnya yang terkenal (Johns 1984, 1988), dia menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Berbeda dengan pengarang Indonesia sebelumnya, dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah atas kitab-kitab yang telah digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau terkadang mengoreksi matan yang disyarahi (lihat contoh dalam Steenbrink 1984, hlm. 133-4). Sejumlah syarahnya benar-benar menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya masih beredar, dan 11 judul dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di pesantren (van Bruinessen 1990c). Nawawi berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Dia memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya, dan memperkayanya dengan menulis karya-karya baru berdasarkan kitab-kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya. Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka. Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, sesepuh reformisme Islam Indonesia, pun termasuk muridnya.
Ahmad Khatib (wafat 1915) telah menjadi terkenal karena polemiknya melawan adat matrilineal di daerah asalnya dan melawan tarekat Naqsabandiyah (yang punya pengikut paling banyak di Sumatra Barat), tetapi peranannya di Makkah lebih luas dari itu. Dia adalah salah seorang dari Indonesia yang pertama kali mendapatkan izin mengajar di Masjid Al-Haram, dan dijadikan salah seorang imam di sana—suatu kehormatan yang biasanya diperuntukkan bagi ulama kelahiran Makkah.45 Kedua kehormatan tersebut memperkuat pengaruhnya terhadap seluruh masyarakat Indonesia di Makkah. Sikap reformisnya tampak dari tulisannya— antara lain sebuah syarah atas kitab terdahulu mengenai ushul al-fiqh, Al-Waraqat, karya Al-Juwaini. Akan tetapi adalah salah menganggap Ahmad Khatib sebagai pemberontak terhadap tradisi; ia bahkan sangat mendalaminya. Di antara muridnya ada yang reformis dan tradisionalis (beberapa di antara muridnya bahkan menjadi syaikh tarekat); dan dua kitabnya masih dipakai di beberapa pesantren.46
 
Tokoh besar ketiga adalah Kiai Mahfuzh Termas (wafat 1919- 20), yang bahkan lebih dihormati oleh para kiai Jawa ketimbang Kiai Nawawi. Dia adalah guru yang sangat dihormati dari beberapa kiai pendiri NU, yang dengan demikian, menambah reputasinya. Dia menyelesaikan pendidikannya di bawah bimbingan guru-guru Arab terbesar di Masjid Al-Haram dan juga menjadi ahli qira’ah Al-Qur’an (dia menulis banyak kitab dalam bidang ini). Karyanya yang paling besar adalah empat jilid kitab fiqih, yang merupakan komentar (hasyiyah) atas sebuah kitab yang banyak dipakai di Indonesia.47 Di samping itu, dia tampaknya merupakan ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadis Shahih Bukhari. Murid kesayangannya, Hasyim Asy’ari, membawa tradisi ini ke Indonesia, di mana pesantrennya Tebuireng (Jombang) menjadi pondok hadis paling terkenal.
Seperti telah disebut di atas, perkembangan yang mencolok dalam kurikulum pesantren sejak 1880-an tampak pada munculnya ushul al-fiqh, hadis dan berbagai tafsir yang dipelajari. Orang mungkin tertarik untuk menganggap hal ini sebagai jasa ketiga ulama ini, yang telah menunjukkan kedalaman pengetahuan mereka dalam ketiga bidang tersebut. Barangkali ada benarnya juga, walaupun tentu saja pola pengaruh intelektual tidak pernah muncul oleh sebab tunggal. Reorientasi terhadap pokok-pokok yang diajarkan merupakan kecenderungan umum yang melanda dunia Islam pada masa itu, yang sudah mulai berlangsung dan juga tercermin dalam madrasah baru.
Setelah tiga ulama ini, tidak ada orang Indonesia yang setara dengannya yang mengajar di Makkah. Karya ‘Umar ‘Abd Al- Jabbar mengenai ulama di Masjid Al-Haram pada abad ke-l4 Hijri menyebutkan tiga orang Indonesia lagi (sebenarnya dua orang Indonesia dan satu orang Malaysia yang lahir di Makkah), namun mereka tidak pernah mencapai prestasi yang setara dengan tiga ulama terdahulu. Mereka adalah Muhsin bin ‘Ali Musawwa (rektor pertama Dar Al-‘Ulum, wafat 1935), Muhammad Nur Al-Patani (cucu Da’ud bin ‘Abdallah, wafat 1944) dan ‘Ali Banjar (wafat 1951). Kecuali yang pertama, mereka tampaknya tidak mempunyai banyak murid yang berasal dari Indonesia. Orang Indonesia belajar
 
di Shaulatiyah dan Dar Al-‘Ulum, atau di Masjid Al-Haram, kepada guru-guru Arab yang punya reputasi lebih tinggi.
Kedua lembaga pendidikan di Makkah ini (madrasah dan Masjid Al-Haram) terwakili dalam dua tokoh yang menonjol sebagai panutan utama kaum Muslim tradisional Indonesia, kiainya para kiai. Keduanya adalah Syaikh Yasin Padang, rektor Dar Al-‘Ulum (wafat 1990) dan Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki, yang ayah dan kakeknya mengajar banyak orang-orang Indoncsia di Masjid Al-Haram, meskipun mereka bermazhab Maliki. Keduanya bukan saja mengajarkan seluruh pokok yang dipelajari di pesantren, tetepi juga merupakan syaikh dari berbagai tarekat.48
Makkah tidak lagi menjadi tempat terpenting di mana orang-orang Indonesia masa kini yang punya latar belakang pesantren mencari ilmu yang lebih tinggi. Dan mereka yang masih melakukannya, biasanya tinggal sebentar saja di Makkah dibandingkan orang-orang Indonesia dulu. Saya mendapatkan kesan, meskipun tidak didukung dengan data statistik, Al-Azhar kembali menjadi lebih penting; sementara madrasah Nadwah Al- ‘Ulama di Lucknow, India (lihat Metcalf 1982, hlm. 335-47), telah menarik murid-murid dari lingkungan “tradisional” di berbagai tempat di Indonesia. Santri sekarang lebih banyak yang menerus- kan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang mungkin memberikan pendidikan lebih baik daripada yang diterima di Makkah oleh rata-rata generasi Muslim terdahulu. Namun selembar ijazah IAIN masih kurang prestisius dan karisma- tik dibandingkan ijazah yang dianugerahkan guru-guru terkenal dengan isnad harum di pusat-pusat Islam luar negeri. Dan dunia pesantren pun tampaknya tidak akan meninggalkan orientasinya kepada tanah Arab. [ ]
 
Catatan akhir:
1.    Sebelum Muhammadiyah mempunyai pesantren sendiri, sudah ada beberapa pesantren yang berorientasi reformis, dan yang paling terkenal di antaranya adalah Pesantren Modern Gontor (Castles 1965). Tinjauan singkat temtang berbagai jenis pesantren di Jawa Timur pada 1970-an ditemukan dalam artikel Moeslim Abdurrahman (1981).
2.    Khususnya kumpulan hadis Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, empat kumpulan shahih lainnya kurang sering dipakai. Beberapa kumpulan hadis lainnya, seperti Riyadh Al- Shalihin dan Bulugh Al-Maram, yang lebih menekankan amal saleh. Ibadah, dan nilai-nilai sufi daripada masalah hukum, masih lebih populer di lingkungan tradisional. Namun kedua kumpulan tersebut pun tidak banyak dipelajari pada abad lalu.
3.    Tinjauan rinci terhadap karya-karya ini ditemukan dalam Van Brauinessen 1990c (Lihat di halaman 112-130 dalam buku ini).
4.    Perihal kedudukan Ibn Taimiyah dalam tradisi abad per- tengahan dan perdebatannya dengan kalam Asy’ari, falsafah, tasawuf dan politik, lihat Al-Azmeh 1986, passim; Hourani 1962, hal. 18-22; tentang dampaknya terhadap fundamentalisme belakangan lihat Sivan 1985. Pada masa generasi sebelumnya yang sekarang ini, NU masih punya badan sensor yang menentukan buku mana mu’tabar dan mana tidak. Karangan Ibd Taimiyah telah berada di urutan atas dalam daftar buku terlarang. Banyak kiai, sebetulnya, memiliki beberapa kitab karangan Ibn Taimiyah, terutama Fatawa-nya, tapi disimpan agar santri tidak terkena pengaruhnya. Tentu saja, bagi santri cerdas larangan demikian merupakan anjuran untuk mencari dan membaca kita tersebut.
5.    Dari sekitar 500 kitab karangan ulama Indonesia (dan Malaysia) yang tersedia di pasaran sekarang, hampir 100 kitab ditulis dalam bahasa Arab. Lebih dari 200 dalam bahasa Melayu dan 150 dalam bahasa Jawa; sisanya dalam bahasa Sunda, Madura, dan Aceh.
6.    Demikian Abdurrahman Wahid (percakapan pribadi).
 
7.    Dalam hal silsilah tarekat, jarak waktu atau ruang antara dua mata rantai berikut terkadang dibenarkan. Banyak sufi yang pernah mengakui dibaiat atau di-talqin-kan, dalam mimpi atau pertemuan secara batiniah, oleh seorang wali yang sudah wafat. Dalam silsilah tarekat yang paling ortodoks pun, seperti Naqsyabandiyah, terdapat sejumlah hubungan guru- murid barzakhi. Kasus lebih ekstrem terdiri dari sejumlah sufi yang mengaku di-talqin-kan oleh Nabi Muhammad sendiri. Demikian misalnya Ahmad Al-Tijani, pendiri tarekat Tijaniyah, yang mengaku bertemu dengan Nabi dalam keadaan jaga dan diajari amalan yang merupakan ciri khas tarekatnya. Pengakuan ini sangat kontroversial dan ditolak oleh banyak ulama tradisional.
8.    Pentingnya isnad di kalangan tradisional diperlihatkan oleh sejumlah kitab karya almarhum Syaikh Yasin Al-Padani, mudir Madrasah Dar Al-‘Umum Al-Diniyah di Makkah (Al- Padani 1402). Dalam karya ini, penulis hanya menyebut judul dari kitab-kitab yang telah dikaji, bersama dengan isnad dari guru-gurunya sampai pengarang kitab bersangkutan. Karya Syaikh Yasin ini bukanlah sesuatu yang unik; contoh-contoh yang lebih dulu, lihat Vajda 1983; seorang pendahulu yang lebih dekat adalah Kauani (1989).
9.    Kiai terkenal asal Madura, Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, telah menyusun silsilah keluarga yang rumit, yang menunjuk- kan hampir setiap kiai Madura keturunan wali Sunan Giri. Hasjim Asj’ari dan Wahab Chasbullah, dua pendiri NU, merunut silsilahnya sampai Jaka Tingkir, pendiri kerajaan Islam Pajang, yang dipercayai sebagai putra Brawijaya VI (lihat Aboebakar 1957, hlm. 41-2).
10.    Keputusan hukum yang diambil Syuriah pada muktamar- muktamar NU terhimpun dalam seri kitab berjudul Ahkam Al-Fuqaha’. Setiap keputusan disertai rujukan singkat kepada kitab-kitab fiqih terpenting.
11.    Dengan pengecualian sebuah minoritas masyarakat Cina dan para reformis Hindu di Bali. Namun di kalangan mereka pun hubungan dengan sumber luar negeri tidak banyak.
 
12.    Utusan Makkah ini disebutkan dalam Sajarah Banten (Djajadiningrat 1913, hlm. 49-52, 174-8). Judul-judul kitab yang dimintai penjelasan oleh raja Banten disebut sebagai Marqum, Muntahi, dan Wujudiyah. Djajadiningrat berpendapat bahwa judul-judul ini fantasi belaka. Namun Muntahi adalah sebuah karya Hamzah Fansuri, dan mungkin kita harus membaca nama Wujudiyah tidak sebagai judul karya tertentu melainkan rujukan kepada “kitab Wujudiyah”, yaitu kitab tentang ajaran wahdah al-wujud. Untuk analisis lebih mendalam, lihat bab “Qadhi, Pesantren, dan Tarekat” dalam buku ini.
13.    Tarekat Syattariyah, yang pertama kali dikenal di Indonesia pada pertengahan abad ke-17, berasal dari India dan tidak pernah memperoleh banyak pengikut di Timur Tengah. Lihat Rizvi 1983 dan T. Yazici, “Syattariye”, Islam Ansiklopedisi 11, hlm. 355-6. Cabang tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Qadiriyah terdahulu di Indonesia juga berafiliasi ke India, bukan Timur Tengah.
14.    Konsepsi emanasi yang terdiri dari tujuh tingkatan (martabat tujuh)— sementara Ibn Al-‘Arabi hanya lima—sepengetahuan saya ditemukan hanya dalam risalah tasawuf India dan Indonesia.
15.    Sebuah pengecualian langka adalah studi Roff (1970) mengenai mahasiswa Indonesia di Mesir; tetapi ini tidak relevan dengan tradisi pesantren karena hampir semua siswa itu berasal dari lingkungan sosial dan budaya lain. Demikian juga halnya kajian lebih mendalam yang dilakukan belakangan oleh Mona Abaza (1994).
16.    Menurut Sajarah Banten, Maulana Hasanuddin, raja Muslim Banten pertama, mendirikan pertapaan baru di Gunung Pinang atas anjuran ayahnya, Sunan Gunung Jati (Djajadiningrat 1913, hlm. 34).
17.    Tradisi rakyat di Cirebon masih tetap mengisahkan bahwa sang wali sendiri datang ke Jawa dan berperan dalam pengislaman Cirebon: salah satu kuburan di Gunung Jati malahan ditunjuk oleh sementara kalangan sebagai makamnya Syaikh Abdul Qadir  Jailani  diyakini,  tidak  hanya  di  Indonesia,  telah
 
mengajari pengikut-pengikutnya ilmu kekebalan, sebuah ilmu yang memang sangat diminati oleh orang Indonesia. Ilmu kekebalan khas Banten, debus, juga dikaitkan dengan Abdul Qadir Jailani.
18.    Soebardi 1971. Lihat Hadidjaja dan Kamajaya 1979, hlm. 11, 49-53.
19.    Gunung Karang disebutkan sebagai salah satu gunung di mana Maulana Hasanuddin, raja Muslim Banten, melakukan tapa (Djajadiningrat 1913, hlm. 38).
20.    Selain dari talqin ilmu Islam kepada Maulana Hasanuddin oleh dua jin di sebuah pertapaan (ibid., hlm. 32).
21.    Al-Salimi hidup pada paruh pertama abad ke-11 (abad ke-5 Hijri). Kitabnya At-Tamhid membahas rukun iman dengan perhatian khusus kepada pandangan Mu’tazilah dan filsafat. Kitab ini telah dipergunakan secara luas dalam pendidikan Islam di India pada abad ke-13 hingga ke-16 (Mujeeb 1967, hlm. 406), dan tampaknya kurang popular di tempat lain. Hampir semua naskah karya ini yang disebut oleh Brockelmann (GAL I, 419; S I, 744) ada di koleksi perpustakaan India.
22.    Karya ini sekarang cukup populer di Nusantara dan terus- menerus mengalami cetak ulang, baik dalam bahasa aslinya, Arab, maupun dalam terjemahan Melayu, Jawa, Sunda, dan Madura. Raniri beberapa kali merujuk kepada sebuah karya lain dengan judul yang mirip, Daqa’iq Al-Haqa’iq (sejauh ini belum teridentifikasi).
23.    Ulama besar Madinah, Ibrahim Al-Kurani, telah menulis syarah atas karya ini khusus untuk murid-muridnya dari Nusantara, barangkali untuk mengoreksi interpretasi heterodoks. Simuh telah menunjukkan bahwa karya Ronggowarsito, Wirid Hidayat Jati jelas dipengaruhi Al-Tuhfah Al-Mursalah (Simuh 1988, hlm. 295-6). Mungkin Ronggowarsito telah membaca kitab tersebut ketika ia belajar di pesantren Tegalsari
24.    Yaitu, karya tentang ushuluddin terdiri dari enam bab (yang masing-masing dibuka dengan “bismillah”).
25.    Pada abad ke-19, kitab ini biasanya merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari (Van den Berg 1886, hlm.
 
537). Terjemahan bahasa Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah satunya baru-baru ini diedit dalam transliterasi Latin (Jandra 1985-1986). Terjemahan Asmarakandi berbahasa Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang fiqih Syafi’i elementer yang ditambahkan penerjemah tidak dikenal (Abu Al-Laits sendiri menganut mazhab Hanafi): Kitab tersebut sekarang lebih terkenal melalui syarah Nawawi Banten, Qathr Al-Ghaiths dan terjemahan Jawanya oleh Ahmad Subki Pekalongan, Fath Al-Mughits, kedua karya ini banyak dipakai.
26.    Empat kitab lain yang disebut terdiri dari dua kitab pegangan fiqih Syafi’i yang dianggap bermutu tinggi. Al-Muharrar-nya Rafi’i dan Tuhfah Al-Muhtaj-nya Ibn Hajar Al-Haitami; kemu- dian kitab pengantar, Sittin (karangan Abu Al-’Abbas Ahmad Al-Mishri yang tidak banyak dipakai lagi), dan satu karya yang tidak dapat dikenali lagi (Soebardi 1971, hlm. 335-6).
27.    Kitab tasawuf ketiga adalah Hidayah Al-Adzikiya-nya Zain Al- Din Al-Malibari, karya sederhana yang masih banyak dipakai bersama berbagai terjemahan dan komentarnya.
28.    Namun dua cabang keilmuan ini sejak abad ke-17 telah lenyap dari pendidikan Islam di seluruh dunia Sunni. Hanya di Iran (dan juga sedikit di India) mereka tetap bertahan sebagai bagian penting tradisi ilmiah (bdk. [bandingkan] Nasr 1987).
29.    Yusuf mengutip, misalnya, sejumlah anekdot sufi yang sebagian berasal dari Nafahat Al-Uns-nya Jami dan dari berbagai sumber tertulis atau lisan lainnya. Terdapat juga kutipan dari Ibn Al-‘Arabi, Muhammad bin Fadhi Allah Al-Burhanpuri dan sufi wahdah al-wujud lainnya yang karya mereka tampaknya betul-betul dikajinya. Masih ditemukan dua naskah Al-Durrah Al-Fakhirah-nya ‘Abd Al-Rahman Jami hasil salinan Yusuf Makassar. Ternyata ia cukup lama mengkaji karya penting ini di bawah bimbingan Ibrahim Al-Kurani (Heer 1979, hlm. 13, 15; saya berterima kasih kepada professor Anthony Johns yang telah memberitahu saya tentang referensi ini).
30.    Karya Albert Hourani yang sangat bagus mengenai pemikiran Arab modern (1962) menunjukkan bagaimana pemikiran yang
 
secara sadar menyimpang dari tradisi pun masih dipengaruhi olehnya. Buku ini tidak menaruh perhatian kepada mereka yang tetap berada di dalam tradisi dan tidak tertarik kepada dialog dengan pemikiran Barat.
31.    Ditunjukkan dengan jelas dalam karya penting Al-Azmeh (1986).
32.    Arus populis dan anti-ulama ini merupakan salah satu benang merah dalam sejarah Islam, dari Ahmad lbn Hanbal, berlanjut pada Ibn Taimiyah dan Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab sampai neofundamentalisme masa kini. Di Indonesia, gerakan modernis yang menyerang ulama tradisional dengan seruan kembali ke Al-Quran dan hadis dan untuk membuka kembali pintu ijtihad punya pengaruh besar pada paruh pertama abad ini. Pada abad ke-l8, di Iran terjadi pertentangan hebat antara golongan pro dan anti-ulama. yang disebut sebagai ushuli (merujuk ke disiplin ilmu ushul al-fiqh) dan akhbari (dari kata akhbar yang praktis identik dengan hadis. Pengamatan menarik mengenai pertentangan ini (yang berakhir dengan kemenangan kaum ushuli) terdapat dalam Mottahedeh 1985.
33.    Beberapa dimensi tradisi keilmuan klasik Islam ini, yaitu rasionalisme Mu’tazilah dan filsafat, baru dikenal di Indonesia (selain penyajian ringkas dalam Tamhid, lihat catatan 21) dalam tiga dasawarsa terakhir, melalui beberapa orang Islam modernis yang pernah belajar di Amerika Utara, khususnya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Yang terakhir telah menerbitkan sebuah kumpulan teks teologi dan filsafat klasik penting dalam terjemahan Indonesia (Madjid 1984). Bukanlah suatu kebetulan bahwa ia lebih dekat dengan lingkungan pesantren daripada generasi modernis sebelumnya.
34.    Tentang madrasah Utsmani dan kurikulumnya, lihat: Uzun- carsili 1965; Baltaci 1976; Atay 1983. Karya-karya ini, ditulis dengan dukungan sumber yang kaya, tetapi agak ahistoris dalam pendekatannya. Repp 1972 memberi penjelasan lebih sistematis tentang perkembangan hirarki madrasah dan karier keilmuan para ulama Utsmani. Tentang madrasah di India Moghul (yang kurikulumnya terus berkembang dan mencapai
 
bentuk yang paling komprehensif, Dars-i Nizhami, baru pada awal abad ke-18), lihat Mujeeb 1967, hlm. 389-414; Ahmad 1985; Metcalf 1982, hlm. 16-45.
35.    Di kedua negara ini, mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi, dan sumber resmi tentang madrasah hanya menyebut kitab-kitab fiqih Hanafi. Fiqh Syafi’i, agaknya, dipelajari di daerah-daerah yang didiami oleh banyak pengikut Syafi’i, seperti Kurdistan dan beberapa daerah Mesir, terutama di masjid-masjid. Di masjid dan universitas Al-Azhar yang relatif independen mungkin merupakan pusat utama pengajaran fiqh Syafi’i.
36.    Di India Moghul, filsafat dan metafisika, dan ilmu-ilmu ‘aqliyah (rasional) pada umumnya, menempati kedudukan lebih menonjol dalam tradisi intelektual dibandingkan dengan di Utsmani. Dars-i Nizhami malahan mencantumkan sebuah karya Mulla Shadra Syirazi, yang tampaknya tidak dikenal di tempat lain di luar Iran (Mujeeb 1967, hlm. 407).
37.    Tentang Ibrahim, lihat Johns 1978 dan artikel “Al-Kurani” dalam encyclopaedia of Islam (oleh penulis yang sama); juga Rizvi 1983, passim. Yang sangat menarik adalah otobiografi intelektualnya, Al-Amam li Iqazh Al-himam. Barangkali bukan sebuah kebetulan bahwa buku ini baru dicetak di India (Haidarabad) pada awal abad ini.
38.    Lihat Abdullah 1987, Abu Daudi 1980, Zamzam 1979, dan Quzwain 1985. Arsyad secara khusus memperdalam fiqih; karyanya Sabil Al-Muhtadin (dalam bahasa Melayu) didasar- kan atas dua kitab fiqih klasik, Fath Al-Mu’in-nya Malibari dan Manhaj Al-Thullab-nya Zakariya Al-Anshari. ‘Abd Al- Samad menulis terutama tentang tasawuf; dua karya utamanya merupakan adaptasi karya Al-Ghazali (Ihya dan Bidayah).
39.    Lihat Powell 1976. Kritik Rahmatullah terhadap agama Kristen berdasarkan pengertian yang lebih mendalam dibandingkan dengan hampir semua polemik lain; ia bahkan mengetahui kajian kritik Injil dan Perjanjian Lama yang merupakan trend mutakhir dalam teologi Kristen waktu itu. Ia menguraikan argumentasinya dalam berbagai buku, dan pernah secara
 
meyakinkan mengalahkan Pfander dalam sebuah debat terbuka. Selain itu, ia termasuk penandatangan fatwa yang mengumandangkan jihad melawan Inggris pada 1857 (ibid. 59-60), dan memimpin gerakan jihad ini di Muzaffarpur, Bihar (Ahmad 1957, hlm. 328).
40.    “Madrasah Deoband pada dasarnya mengajarkan kurikulum Dars-i Nizhami (…). Namun orang-orang Deoband justru le- bih menekankan hadis, daripada ilmu-ilmu rasional, sebagai dasar pengajaran massa mereka (…). Guru yang sangat ber- pengaruh di madrasah Deoband adalah syaikh al-hadist; dan hanya murid-murid terbaik yang didorong untuk melanjutkan studi di bidang hadis.” (Metcalf 1982, hlm. 100-1).
41.    Ini menjadi jelas dari biografi-biografi para ulamanya dalam ‘Abd Al-Jabbar 1385.
42.    Madrasah ini disebut dalam riwayat hidup para ulama yang belajar di Makkah tahun 1920-an dan 1930-an. Mengenai generasi-generasi pelajar lebih dahulu tidak terdapat cukup catatan biografi, sehingga tidak bisa memastikan sejak kapan ada murid Indonesia di Madrasah Shaulatiyah.
42. Menurut satu riwayat (Aboebakar 1957, hlm. 88-90), konflik ini muncul karena seorang guru merobek surat kabar berbahasa Indonesia yang sedang dibaca para murid; bacaan lain selain kitab berbahasa Arab memang dilarang di madrasah. Syaikh Yasin Al-Padani, yang hadir dalam peristiwa ini (dan belakangan menjadi rektor Dar Al-‘Ulum; diwawancarai di Jakarta, 6 Maret 1988), menambahkan bahwa guru tersebut mengejek aspirasi nasionalis orang Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa bodoh seperti itu tidak akan pernah meraih kemerdekaan. Melihat sikap radikal pendiri Shaulatiyah, boleh jadi guru-guru madrasah ini telah mencemooh orang Indonesia yang kurang berani tegas berhadapan dengan penjajah Belanda. Namun, menurut pengamatan lain, konflik disebabkan karena orang Indonesia ingin bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, daripada bahasa Arab, kepada guru-guru mereka.
44.    Dar Al-‘Ulum Kairo didirikan tahun 1872 sebagai  institut perguruan guru, yang murid-muridnya diambil dari Al-Azhar.
 
Kurikulumnya meliputi baik ilmu-ilmu Islam maupun ilmu pe- ngetahuan modern Barat. Salah seorang pemimpinnya adalah Muhammad ‘Abduh (Heyworth-Dunne 1938, hlm. 377-9).
45.    Menurut Snouck Hurgronje, yang sangat tidak suka terhadap Ahmad Khatib, ia telah mendapat posisi-posisi ini bukan karena pengetahuannya tetapi karena jasa mertuanya, pedagang buku dan “lintah darat” Salih Al-Kurdi, yang punya hubungan baik dengan Syarif ‘Anum Al-Rafiq (Snouck Hurgronje, Adviezen III, hlm. 1846, 1853, 1914, 1928). Namun Snouck pun harus mengakui bahwa Ahmad Khatib adalah orang yang “sangat alim untuk ukuran Melayu” (ibid, hlm. 1846).
46.    Kitab ushul al-fiqh tersebut, Al-Nafahat ‘ala Syarh Al-Waraqat, dan kitab pendek berbahasa Melayu tentang akidah, Fath Al-Mubin. Selain ini, ia menulis banyak karya lagi (‘Abd Al- Jabbar 1385, hlm. 37-44 mencatat tidak kurang dari 4 judul), namun hanya dua ini yang masih beredar di Indonesia.
47.    Kitab ini, Mauhibah Dzawi Al-Fadhl merupakan syarh Al-Mu- qadimmah Al-Hadramiyah’-nya ‘Abdullah Ba-Fadhl (dikenal sebagai Bapadal di pesantren). Mauhibah dicetak di Mesir, 1315/1397-8, tetapi sekarang tidak ditemukan lagi. Satu- satunya tulisannya yang masih dicetak adalah kitab nahwi (tatabahasa Arab) yang sulit. Minhaj Dzawi Al-Nazhar (syarah Alfiyah). ‘Abd Al-Jabbar mencatat 12 karya lain.
48.    Syaikh Yasin waktu muda belajar di Shaulatiyah, yang kemudian ia tinggalkan bersama orang-orang Indonesia lainnya untuk mendirikan Dar Al-‘Ulum, dan akhirnya ia menjadi guru paling terkemuka di sana. Dalam beberapa bukunya yang terdiri dari isnad-isnad (misalnya Al-Padani 1402) ia menyebutkan nama guru-gurunya dan kitab yang telah ia pelajari dengan mereka. Tentang Muhammad bin ’Alwi, lihat Tempo, 2 Januari 1988, dan tentang kakeknya, ‘Abbas Al-Maliki, lihat ‘Abd Al- Jabbar 1385, hlm. 163-5. Belakangan Muhammad bin ‘Alwi Al-‘Alawi tidak mengajar di Masjid Al-Haram lagi karena isi pengajarannya jelas tidak sesuai dengan paham Wahhabi yang didukung pemerintah Saudi.
 

KITAB FIQIH DI PESANTREN INDONESIA DAN MALAYSIA

Tidak pelak lagi, fiqihlah yang di antara semua cabang ilmu agama Islam biasanya dianggap yang paling penting. Sebab, lebih dari agama lainnya, fiqih mengandung berbagai implikasi konkret bagi pelaku keseharian individu maupun masyarakat. Fiqihlah yang menjelaskan kepada kita hal-hal yang dilarang dan tindakan-tindakan yang dianjurkan. Di pesantren, biasanya fiqih merupakan primadona di antara semua mata pelajaran. Semua pesantren, tentu saja, juga mengajarkan bahasa Arab (ilmu alat) dan sekurang-kurangnya dasar-dasar ilmu tauhid dan akhlak. Namun inti pendidikan pesantren sebenarnya terdiri dari karya-karya fiqih.
Kalau kita meninjau sejarah Islam di Indonesia, penekanan atas fiqih barangkali tidak selalu sekuat sekarang. Pada mulanya, Islam Indonesia sangat berorientasi kepada tasawuf, dan hanya secara bertahap berangsur menjadi lebih berorientasi kepada syariat. Perubahan orientasi ini, antara lain, sebagai akibat sebuah proses pembaruan atau “pemurnian yang sudah mulai pada abad ke-17 dan masih terus hingga kini”. Gerakan keagamaan seperti gerakan Padri (dengan semangat Wahhabi) dan kaum muda serta gerakan modernis seperti Al-lrsyad dan Muhammadiyah, atau yang ‘puritan’ seperti Persis, merupakan gelombang pembaruan yang menonjol dalam proses ini. Dan juga, pada akhir abad ke-19, munculnya tarekat Naqsyabandiyah (yang lebih berorientasi kepada syariat daripada banyak tarekat sebelumnya) merupakan bagian dari proses pembaruan ini.
 
Setiap gelombang pembaruan membawa perhatian lebih besar terhadap fiqih, dan kemudian juga terhadap sistem pemikiran yang melatarbelakanginya, ushul al-figh. Tetapi jangan disangka bahwa hanya kaum reformis yang memperkuat kedudukan ilmu fiqih di Indonesia. Ulama “tradisional” besar seperti Daud bin Abdullah Al-Fathani dan Nawawi Banten telah memberi sumbangan sangat penting kepada perkembangan ilmu fiqih di Indonesia. Merekalah yang memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah-syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqih yang penting; dan mereka yang mendidik generasi-generasi ulama yang menguasai dan memberi perhatian kepada fiqih.
Pengarang-pengarang Muslim Indonesia yang namanya diketahui, yaitu Hamzah Fansuri (wafat sekitar 1590) dan Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630), dua-duanya tinggal di Aceh dan dikenal sebagai penganut paham tasawuf wahdah al-wujud. Mereka tampaknya tidak terlalu tertarik kepada fiqih. Tetapi generasi ulama berikutnya yang merupakan penulis- penulis Aceh, di samping memelihara minat yang besar terhadap tasawuf dan banyak menulis tentang masalah ini, mereka juga menulis kitab-kitab fiqih. Nuruddin Al-Raniri (yang meninggalkan Aceh pada tahun 644 dan wafat tahun 1659 di India) selain menulis banyak buku lain, juga menulis sebuah buku sederhana tentang fiqih dalam bahasa Melayu, Al- Shirath Al-Mustaqim, yang terus dibaca di beberapa daerah Indonesia.1 Lalu Abdurrauf Al-Singkili, yang terkenal sebagai guru tarekat Syattariyah dan pengarang karya-karya Sufi, juga menulis  Mir’at Al-Thullab fi Ashl Ma’rifat Al-Ahkam Al-Syari’ah li Al-Malik Al-Wahhab, sebuah karya fiqih Syafi’i. Juga para pengarang Melayu berikutnya, meski sangat terkenal karena buku-buku tasawuf mereka, namun juga menulis karya-karya fiqih.2 Ini menunjukkan bahwa, paling tidak, sejak tahun 1600 dan seterusnya terdapat suatu minat yang serius terhadap syariat di samping tasawuf di kalangan kaum Muslim Sumatra.
Meski seringkali dinyatakan bahwa Islam di Jawa lebih sinkretis dibanding di Sumatra, namun ternyata kita menjumpai fenomena yang sama di sana. Meskipun pada awal-awalnya
 
nama para pengarang Muslim Jawa tidak dikenal, tetapi ada beberapa manuskrip lama dari Jawa yang dibawa ke Eropa oleh para pelaut pada sekitar tahun 1600. Sebagian besar di antaranya berisikan ajaran-ajaran umum tentang tauhid, tasa- wuf, dan akhlak.3 Salah satu di antaranya adalah sebuah teks fiqih berbahasa Arab yang sangat terkenal, Al-Taqrib fi Al-Fiqh, dengan terjemahan bahasa Jawa.4 Demikian pula di Jawa, fiqih telah dikaji paling tidak hampir empat abad. Bahkan Tuhfah (Tuhfat Al-Muhtaj oleh Ibn Hajar Al-Haitami), karya acuan fiqih Syafi’i yang terpenting, sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, mungkin sejak sebelum abad ke-19. Selain itu, beberapa manuskrip terjemahan ini tidak ditulis dengan huruf Arab, melainkan huruf Jawa (hanacaraka).5 Ini berarti bahwa di wilayah tempat Islam paling banyak bercampur dengan budaya Jawa pun, Islam tampak sangat berorientasi syariat. Sepanjang yang saya ketahui, bahkan tidak pernah ada suatu terjemahan bahasa Melayu dari kitab penting ini. Ini menunjukkan adanya perbedaan antara tradisi pesantren (juga Madura dan Sunda) dengan pesantren di daerah Melayu (Sumatra, Malaysia dan Kalimantan). Di Jawa dulu dan sekarang penekanan diberikan kepada kitab Arab klasik, yang terkadang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Sementara itu kitab yang digunakan di daerah Melayu biasanya berupa karya-karya orisinal karangan ulama Melayu. Baru pada abad ke-20 kitab-kitab Melayu ini secara berangsur-angsur digantikan dengan kitab-kitab klasik berbahasa Arab.

Kurikulum Fiqih di Pesantren
Sekitar seabad lampau, seorang sarjana Belanda L.W.C. van den Berg menerbitkan sebuah daftar kitab kuning yang pada waktu itu digunakan pesantren-pesantren Jawa dan Madura.6 Daftar ini didasarkan atas wawancara dengan para kiai dan barangkali memberikan suatu gambaran tentang kitab yang waktu itu dianggap paling penting. Sebagaimana akan dikemukakan, hampir semua kitab yang dia sebut masih digunakan di pesantren hingga sekarang. Para santri rnemulai
 
pelajarannya dengan rukun Islam yang lima dan peraturan ibadah dengan teks-teks yang sederhana seperti Safinah Al- Najah, Sullam Al-Taufiq, Al-Sittin Mas’alah, Mukhtashar oleh Ba- Fadhl, dan Risalah oleh Sayyid Ahmad bin Zain Al-Habsyi.7 Barangkali sebagian besar santri tidak pernah melewati batas ini. Mereka yang melanjutkan akan mempelajari satu atau beberapa dari kitab-kitab fiqih berikut: Minhaj Al-Qawim, Al- Hawasyi Al-Madaniyah, Fath Al-Qarib, Bajuri (syarah Fath Al- Qarib), Al-Iqna’, Bujairimi (syarah Iqna’), Al-Muharrar, Minhaj Al-Thalibin, Syarh Minhaj oleh Mahalli, Fath Al-Wahhab, Tuhfah Al-Muhtaj, Fath Al-Mu’in. Kitab-kitab ini, kecuali dua atau tiga, hingga kini masih dipelajari di berbagai pesantren.8

Tabel I

Kitab Fiqih dan Ushul Al-Fiqh

 

Daerah                                       Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim Jumlah

 

Jumlah Pesantren

4

3

9

12

18

46

TINGKAT

 

Fiqih

 

 

 

 

 

 

 

Fath Al-Mu’in

2

1

7

6

16

32

Aliyah

Ianah Thalibin

2

2

0

0

0

4

 

Taqrib

2

0

6

5

7

20

Tsanawiyah

Fath Al-Qarib

2

1

4

7

9

23

Aliyah

Kifayatul Akhyar

1

0

6

4

7

18

Tsanawiyah/ Aliyah

Bajuri

1

0

1

0

1

3

 

Iqna’

0

1

1

0

5

7

 

Minhaj Al-Thalibin

2

0

2

0

1

5

Aliyah

Minhaj Al-Thullab

0

0

0

0

1

1

 

Fathul Wahab

0

1

5

4

10

20

Aliyah

Mahalli

4

1

1

2

1

9

Aliyah

Minhajul Qawim

0

0

2

2

3

7

 

Safinah

1

0

6

7

7

21

Tsanawiyah

Kasyifat Al-Saja

0

0

1

0

3

4

 

Sullam Al-Taufiq

0

1

5

2

13

21

Tsanawiyah

Tahrir

0

1

2

1

5

9

Aliyah

Riyadh Al-Badiah

0

0

2

1

3

6

 

Sullam Al-Munajat

0

0

2

1

2

5

 

Uqud Al-Lujain

0

0

1

1

2

4

Tsanawiyah

Sittin/Syarah Sittin

0

1

2

0

0

3

 

Muhadzab

0

0

0

1

2

3

 

Bughyat Al-Mustarsyidin

0

0

1

0

2

3

 


 

Mabadi Fiqhiyah

0

0

1

2

5

8

Tsanawiyah

Fiqh Wadhih

0

0

0

1

3

4

Tsanawiyah

 

Ushul  Al-Fiqh Waraqat/Syarah Al-Waraqat

 

 

 

2

 

 

 

1

 

 

 

6

 

 

 

1

 

 

 

2

 

 

 

12

 

 

 

Aliyah/

 

 

 

 

 

 

 

Khawasah

Lathaif Al-Isyarat

1

0

3

0

6

10

 

Jam’ul Jawami’

1

0

6

1

2

10

Khawash

Luma’

1

0

2

1

3

7

Aliyah/ Khawash

Al-Asybah wa Al-Nadhair

0

0

1

1

4

5

Khawash

Bayan

0

0

1

0

2

3

Tsanawiyah/ Aliyah

Bidayat Al-Mujtahid

0

0

2

0

0

2

Khawash



Kurikulum pesantren tidak distandardisasi. Hampir setiap pesantren mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda-beda, dan banyak kiai terkenal sebagai spesialis kitab tertentu. Banyak santri tekun berpindah dari satu pesantren ke lainnya dalam upaya mempelajari semua kitab yang ingin mereka kuasai. Jika kita ingin memperoleh suatu pandangan terhadap “rata-rata” kurikulum pesantren, maka tidak cukup hanya melihatnya pada satu atau dua pesantren saja. Untung sekarang sudah banyak monograf tentang pesantren di berbagai daerah di Indonesia yang bisa memberikan keterangan tentang kitab yang digunakan.9 Dari kajian-kajian ini, saya berhasil menghimpun data tentang kurikulum 46 pesantren, 18 di antaranya di Jawa Timur, 12 di Jawa Tengah, 9 di Jawa Barat, 3 di Kalimantan Selatan dan 4 di beberapa daerah Sumatra. Kitab fiqih yang paling “popular”, yaitu yang paling sering digunakan, telah saya daftarkan di Tabel I. Untuk setiap kitab yang terdaftar, saya memberi jumlah pesantren di mana kitab tersebut digunakan. Dalam tabel tersebut, kitab-kitab disusun sedikit banyak menurut urutan “popularitas”; tidak ada hubungan dengan urutan kitab yang dipelajari santri. Kolom terakhir memberi sedikit keterangan tentang tingkat kesulitan kitab-kitab tersebut. Untuk itu saya menggunakan nama-nama tingkatan madrasah, yaitu ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan istilah “khawash” untuk para pelajar yang telah berada di tingkat atas. Ini, tentu saja,
 
hanya suatu indikasi kasar saja, mengingat bahwa masih banyak pesantren yang tidak memakai sistem madrasah. Dan sebuah kitab yang dipelajari pada tingkat aliyah di satu madrasah, boleh saja dibaca di tsanawiyah sebuah madrasah lainnya.
Kitab-kitab yang judulnya muncul dalam Tabel I akan ditinjau lebih lanjut.

Kitab-kitab yang Diterbitkan di Indonesia
Di samping  gabungan  monografi  pesantren, saya juga menggunakan pendekatan lain untuk memperoleh gambaran yang lebih baik terhadap jenis kitab yang digunakan di pesantren. Di seluruh Indonesia terdapat banyak toko kitab, yang mengkhususkan kitab-kitab yang digunakan di pesantren (atau surau, dayah, madrasah). Saya telah mengunjungi toko kitab di banyak provinsi dan secara sistematis mengumpulkan semua kitab kuning yang diterbitkan di Indonesia atau Malaysia. Saya tidak mengambil buku-buku terbitan Timur Tengah (Mesir dan Lebanon) sebab saya berasumsi bahwa jika sebuah karya memang dibutuhkan, tentu akan diterbitkan oleh penerbit. Terutama pada lima tahun belakangan, banyak judul baru diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Surabaya, Kudus, Sema- rang, Bandung, Jakarta, Singapura, dan Penang. Dan juga oleh penerbit-penerbit lain yang lebih kecil di seluruh Indonesia.
Demikian pada tahun 1987 dan 1988 saya mengumpulkan sejumlah besar macam-macam kitab kuning terbitan Indonesia dan negara-negara tetangga.10 Dan saya kira kumpulan ini mencantumkan hampir seluruh kitab yang digunakan di pesantren dan madrasah di Indonesia yang hampir lengkap. Koleksi ini meliputi kitab-kitab dalam bahasa Arab, Melayu dan Jawa, serta bahasa Madura, Sunda dan bahkan Aceh. Banyak kitab yang ditulis dalam bahasa lokal merupakan terjemahan atau syarah kitab yang bahasa aslinya Arab. Bila kita menganggap kitab-kitab terjemahan dan asli (yang seringkali diterbitkan bersama-sama.dalam sebuah buku) sebagai karya yang berdiri sendiri, maka seluruhnya terdapat 900 macam teks, hampir 200 di antaranya mengenai fiqih. Sekitar 550 dari 900 teks tadi, atau
 
60%-nya, ditulis atau diterjemahkan oleh ulama dari Indonesia, Malaysia atau Patani (Thailand Selatan). Di antara karya-karya fiqih, sumbangan ulama lokal masih lebih besar. Mereka menulis atau menerjemahkan 130 dari 200 teks fiqih. Namun, patut ditambahkan bahwa banyak di antara karya-karya itu hanya berupa teks-teks pengantar yang sederhana. Ada 50 teks termasuk jenis yang dikenal dengan nama perukunan atau persholatan, yang hanya memberikan dasar-dasar fiqh ‘ubudiyah dan rukun Islam. Yang terpenting di antara kitab-kitab tersebut beserta pengarangnya akan dibahas di bawah.

Kitab Fiqih yang Paling Sering Digunakan
Tabel di atas mendaftar semua kitab fiqih yang digunakan paling tidak 3 dari 46 pesantren. Ada sejumlah kekosongan yang mencolok. Karya fiqih yang terus disebut Van den Berg sebagai karya paling penting, yakni Tuhfah, dan juga Muharrar, tidak muncul dalam daftar. Ternyata kitab-kitab ini tidak pernah dicetak di Indonesia (lepas dari terjemahan ringkas bahasa Jawa tersebut di atas). Barangkali ini menunjukkan bahwa karya- karya tersebut tidak digunakan untuk mengajar. Namun para ulama terkemuka sependapat bahwa kitab-kitab ini merupakan karya acuan utama dalam menghadapi masalah-masalah rumit. Untuk penggunaan sehari-hari, karya-karya yang lebih mudah dipakai seperti Fath Al-Wahhab (dianggap lebih sistematik dalam pendekatannya dibanding sebagian besar karya lain). Juga I’anah Al-Thalibin, paling “muda” di antara karya-karya fiqih tradisional besar, yang seringkali ternyata lebih cocok bagi masalah-masalah mutakhir. Untuk tujuan-tujuan pendidikan, kitab pengantar semacam Sullam Al-Taufiq, Taqrib/Fath Al-Qarib dan Fath Al-Mu’in lebih disukai.
Di bawah pengaruh gerakan modernis, karya-karya fiqih dari jenis yang berbeda mulai masuk dan digunakan di pesantren. Ada beberapa pesantren mengajarkan Bidayah Al-Mujtahid karangan Ibn Rusyd di samping atau sebagai pengganti kitab- kitab klasik Syafi’i (kitab Bidayah ini belakangan juga dicetak di Indonesia, yang berarti makin besarnya minat). Kitab Fiqh
 
Al-Sunnah, yang terdiri dari 14 jilid, karya pengarang Mesir modern, Sayyid Sabiq, dengan cepat juga sedang memperoleh tempat yang lebih luas (hingga kini, hanya terjemahan bahasa Indonesia yang cetakan local, sedangkan cetakan asli bahas Arab tidak. Ini menunjukkan bahwa karya tersebut belum masuk daftar karya-karya paling popular, yang kesemuanya memang berada dalam tradisi Syafi’i.

Bagan I



Banyak karya besar fiqih Syafi’i merupakan komentar (syarh) atau catatan (hasyiyah) terhadap, atau ringkasan dari, suatu karya yang lain dari tradisi yang sama. Demikian terdapat beberapa “keluarga” kitab fiqih Syafi’i, dan hubungan antar anggota “keluarga” ini dapat digambarkan dalam bentuk pohon keluarga seperti terlihat di Bagan I-III. Tanda  panah menghubungkan masing-masing kitab dengan semua kitab yang secara langsung berdasarkan padanya. Terjemahan (dan komentar terhadap) karya-karya ini dalam bahasa daerah Nusantara dicatat di bagian kanan. Untuk menunjukkan mana diantara karya-karya itu yang dicetak di Indonesia (atau tetangganya), judul-judulnya dicetak tebal.
Tiga “keluarga” yang menonjol, secara berturut-turut “berasal” dari Muharrar karangan Rafi’i, Taqrib (atau Mukhtashar) oleh Abu Syuja’ Al-Isfahani, dan Qurrah Al-‘Ain karangan Malibari. Inilah yang pertamakali akan dibahas.
 
Yang pertama di antara “keluarga-keluarga” tersebut adalah kelompok kitab yang memiliki prestise paling besar. Muharrar- nya Imam Rafi’i pertama-tama disingkat oleh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, menjadi Minhaj Al-Thalibin. Karya ini telah melahirkan banyak syarah, di antaranya lima yang paling penting yang ditunjukkan dalam Bagan I.11
Sebagian besar ulama besar Indonesia sepakat bahwa syarah Ibn Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al-Muhtaj dan Nihayah Al Muhtaj-nya Syamsuddin Ramli adalah karya fiqih yang paling memiliki otoritas. Dalam hal di mana terdapat perbedaan antara kedua karya rujukan ini, ulama Indonesia memilih Ibn Hajar. Beberapa ulama, terutama yang pernah belajar di Mesir, mengaku memakai Mughni’-nya Khatib Syarbini (Mughni Al- Muhtaj) juga. Fatwa-fatwa yang penting didasarkan atas karya besar tersebut, terutama Tuhfah. Namun dalam praktik sehari- hari, Tuhfah ternyata tidak begitu sering digunakan sebagai rujukan, dan bahkan sangat sulit untuk bisa mendapat sebuah eksemplar di toko-toko.
Karya-karya keluarga ini yang bisa didapat secara umum hanyalah syarah Jalal Al-Din Al-Mahalli (biasanya terkenal dengan Al-Mahalli) dalam sebuah edisi yang dilengkapi hasyiyah luas oleh Qalyubi dan ‘Umaira. Juga Fath Al-Wahhab, sebuah syarah tulisan Zakariya Anshari atas karangannya sendiri, Manhaj Al-Thullab, yang merupakan ringkasan Minhaj. Mir’at Al-Thullab karangan Abdurruf Al-Singkili, yang disebut dalam pendahuluan tulisan ini, ternyata merupakan terjemahan Fath Al-Wahhab `dalam bahasa Melayu. Kitab berbahasa Melayu ini tidak lagi digunakan, dan bahkan judulnya jarang dikenal lagi. Kitab ini tidak pernah dicetak.
Karya-karya fiqih yang paling populer masih tetap Tagrib (Al-Ghayah wa Al-Taqrib, yang juga terkenal dengan Mukhtashar, oleh Abu Syuja’ Al-Isfahani) dan syarahnya Fath Al-Qarib (oleh Ibn Qasim Al-Ghazzi). Hampir tidak ada pesantren yang tidak menggunakan paling tidak salah satu dari teks-teks ini. Berbagai karya lain dari keluarga yang sama juga digunakan secara luas di Indonesia, dan ada beberapa terjemahan. Kifayat Al-Akhyar, oleh Taqi Al-Din Al-Dimasyqi, yang belum disebut oleh para
 
narasumber  Van  den  Berg,  kini  menduduki  jenjang  kedua setelah Fath Al-Qarib, di tengah syarah-syarah yang ada.

Bagan II



Sebuah teks yang lebih sulit adalah Iqna’ karangan Khathib Syarbini, yang dicetak bersama-sama dengan syarah Taqrir oleh seorang bernama ‘Awwad (yang saya tidak mendapatkan informasi lebih lanjut mengenainya). Hasyiyah Bajuri, yang banyak digunakan seabad lampau,12 tampak kehilangan daya tariknya dewasa ini.
Fath Al-Mu’in, yang telah lama populer di Indonesia, ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain Al-Din Al-Malibari. Fath Al-Mu’in merupakan syarah atau penulisan kembali sebuah karya lebih dahulu oleh pengarang yang sama, Qurrat Al- ‘Ain. Walaupun Al-Malibari telah menjadi murid Ibn Hajar, kedua karyanya tidak secara langsung didasarkan atas Tuhfah Ibn Hajar. Qurrah sendiri tidak pernah populer di Indonesia, namun pada abad ke-19, Nawawi Banten menulis sebuah syarah lagi (Nihayah Al-Zain), yang digunakan secara luas.
Di Makkah, dua orang sezaman Nawawi tapi  berusia lebih muda menulis hasyiyah secara luas atas Fath Al-Mu`in. I`anah Al-Thalibin, karangan Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Al- Dimyathi, adalah sebuah karya empat jilid, yang memasukkan catatan-catatan pengarang atas berbagai pokok bahasan serta sejumlah fatwa oleh mufti Syafi’i di Makkah waktu itu, Ahmad
 
bin Zaini Dahlan. Pada masa hidup pengarang, kitab ini telah menjadi karya fiqih Syafi’i yang paling sering dijadikan rujukan. Dan ia tetap berada dalam posisinya sebagai sebuah karya rujukan utama.13

Bagan III

 


Van den Berg menyebut suatu keluarga kitab fiqih lagi, yang juga pernah sangat populer. Namun sekarang hanya satu kitab dari keluarga itu yang masuk daftar kitab “laris” kita, yaitu Minhaj Al-Qawim karangan Ibn Hajar Al-Haitami (pengarang, Tuhfah Al-Muhtaj). “Keluarga” ini berasal dari sebuah karya sederhana, yang dulu sangat terkenal di Jawa dengan Bapadal, yaitu Al- Muqaddimah Al-Hadhramiyah karangan Abdullah ibn Abd. Al- Karim Ba-Fadhl. Tidak kurang dari ibn Hajar sendiri menulis syarah atas kitab ini, Minhaj Al-Qawim, dan dua abad kemudian mufti Syafi’i Madinah M.b. Sulaiman Al-Kurdi, menulis catatan-catatan luas untuk syarah tadi, Al-Hawasyi Al-Madaniyah (dikenal di Jawa dengan Sleman Kurdi). Minhaj Al-Qawim sampai sekarang masih dipakai di seluruh pulau Jwa, tetapi Sleman Kurdi, yang cukup populer pada zaman Van den Berg, tampaknya jarang di gunakan sekarang. Kitab ini telah lama sulit didapatkan, namun belakangan dicetak ulang di Surabaya (yang agaknya berarti bahwa masih ada permintaan).
Keluarga kitab fiqih ini berbeda dengan tiga keluarga sebelumnya. Hanya membahas masalah fiqh ‘ubudiyah (yaitu hal-
 
hal yang berkaitan dengan thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji), tidak mencakup peraturan tentang transaksi ekonomi (mu’amalat), hukum keluarga dan waris, hukum pidana dan sebagainya, yang merupakan 60% dari isi kitab fiqih yang lain.

Bagan IV


Dua syarah lain atas Muqaddimah Ba-Fadhl layak untuk disebutkan. Yang pertama ditulis (dalam bahasa Arab) oleh seorang ulama besar Jawa Timur, Mahfudz bin Abdullah dari Termas (wafat tahun 1338/1919-20).14 Syarah ini sekarang tidak terdapat dalam bentuk cetakan. Namun di toko kitab terdapat syarah yang lain Busyra Al-Karim (bi-Syarh Masa’il Al-Ta’lim ‘ala Muqaddimah Al- Hadhramiyah), oleh Sa’id ibn M. Ba’syin (tidak didapat informasi lebih jauh).
Dua karya lain yang berada di urutan atas daftar kita adalah teks-teks pengantar Sullam Al-Taufiq (oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi, wafat 1272/1855) dan Safinah Al-Najah, karya Salim bin Abdullah bin Samir, seorang ulama Hadrami yang tinggal di Batavia pada pertengahan abad ke-19. Nawawi Banten menulis sebuah syarah (dalam bahasa Arab juga) atas teks kedua yang sangat populer dengan judul Kasyifah Al-Saja’, (terdapat dalam berbagai terbitan). Kasyifah juga telah diterjemahkan ke dalam saduran da syarah yang ditulis oleh ulama Indonesia.15
Untuk judul lainnya dalam tabel yang belum disebut, saya hanya akan member sedikit catatan penjelasan. Tahrir (Tahrir
 
Tanqib li Al-Lubab fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’i) adalah sebuah karya oleh Zakaria Al-Anshari, yang didasarkan atas Lubab Al- Fiqh oleh Al-Mahamili (wafat 415/1024). Anshari sendiri menulis sebuah syarah atas Tahrir-nya, berjudul Tuhfah Al-Thullab. Keduanya biasanya dicetak bersama-sama. Catatan-catatan lebih jauh atas Tuhfah Al-Thullab ditulis oleh ‘Abdullah Syarqawi (wafat 1127/1812): Hasyisyah ‘ala Syarh Al-Tahrir. Teks ini (dalam bahasa percakapan dikenal dengan Syarqawi ‘ala Tahrir) juga terdapat secara luas di Indonesia.
Riyadh Al-Badi’ah merupakan salah satu teks yang diperkenalkan kepada kaum Muslim Indonesia oleh Nawawi Banten, yang kurang dikenal di tempat lain. Seperti terlihat dalam judulnya, Al-Riyadh Al-Badi’ah fi Ushul Al-Din wa Ba’dh Furu’ Al-Syari’ah, kitab ini membahas butir-butir pilihan ajaran dan kewajiban agama. Tak banyak yang diketahui mengenai pengarangnya, Muhammad Hasbullah; barangkali ia sezaman dengan, atau  sedikit lebih  tua  daripada,  Nawawi  Banten. Ia terutama dikenal karena syarah yang ditulis Nawawi atas Riyadhul Badi’ah, yaitu Al-Tsamar Al-Yani’ah; karyanya hanya dicetak di pinggir syarah Nawawi ini.
Sullam Al-Munajat adalah karya lain tulisan Nawawi Banten, sebuah syarah atas pedoman ibdah Safinah Al-Shalah karangan Abdullah bin ‘Umar Al-Hadhrami.
‘Uqudul Lujain (‘Uqud Al-Lujjain fi Huquq Al-Zaujain) juga sebuah karya karangan Nawawi Banten, tentang hak-hak dan terutama kewajiban-kewajiban istri. Ia merupakan materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan dan syarah dalam bahasa Jawa dalam peredaran, yaitu Hidayah Al- ‘Arisin oleh Abu Muhammad Hasanuddin dari Pekalongan, dan Su’ud Al-Kaunain oleh Sibt Al-‘Utsmani Ahdari Al-Jangalani Al- Qudusi.
Sittin (lengkapnya Al-Masa’il Al-Sittin atau Al-Sittin Masalah), oleh Abu’l ‘Abbas Ahmad Al-Mishri (wafat 818/1415), adalah sebuah teks singkat tipe perukunan (yaitu membahas ajaran dasar dan lima rukun). Kitab ini sangat populer di Jawa pada abad ke 19, dan judulnya juga disebut dalam Serat Centhini. Secara
 
berangsur-angsur kitab ini makin kurang digunakan, sekarang bahkan banyak santri yang tidak lagi mengenal namanya.
Al-Muhadzdzab adalah sebuah karya fiqih Syafi’i oleh Ibrahim bin Ali Al-Syirazi Al-Fairuzabadi (wafat 476 /1083).
Bughyah Al-Mustarsyidin adalah sebuah koleksi fatwa oleh ulama abad ke-19/20, yang dihimpun oleh Mufti Hadhramaut ‘Abd Al-Rahman ibn Muhammad ibn Husain Ba’alawi.
Dua kitab berikut ini merupakan buku teks mutakhir dalam bahasa Arab sederhana, ditulis terutama untuk madrasah. Yaitu, Al-Ma’badi Al-Fiqhiyyah ‘ala Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i (4 jilid kecil) tulisan ‘Umar ‘Abd Al-Jabbar, seorang pengarang masa kini yang produktif di Makkah. Lalu Al-Fiqh Al-Wadhih oleh ulama Minangkabau terkenal yaitu Prof. Mahmud Yunus.

Kitab tentang Ushul Al-Fiqh
Van den Berg sama sekali tidak menyebut karya tentang ushul al-fiqh di antara kitab yang dipakai di pesantren abad ke- l9. Barangkali ini hanya kekeliruan, karena katalog perpustakaan Museum Jakarta (1913) oleh Van Ronkel menyebut beberapa naskah syarah atas Waraqat dan Jam’ Al-Jawami’ (lihat di bawah). Itu memberi kesan bahwa karya-karya tersebut relatif terkenal, paling tidak pada sekitar penghujung abad. Namun sangat mungkin bahwa kitab itu belum menjadi bagian kurikulum Pesantren biasa. Ushul al-fiqh mendapat perhatian serius pertama kali dari kaum muda, yang seringkali menggunakannya sebagai penyangga dalam berjuang melawan apa yang dianggap bid’ah. Pada dasawarsa 1920-an, majalah kaum muda Al-Ittifaq wa Al- Iftiraq banyak menulis tentang ushul al-fiqh, dengan mengutip Al-Asybah wa Al-Nazhair-nya Suyuthi, Risalah-nya Syafi’i dan terutama Bidayat Al-Mujtahid-nya Ibn Rusyd.16
Dewasa ini, ushul al-fiqh merupakan mata pelajaran wajib di hampir semua Pesantren untuk santri tingkat menengah dan atas. Namun, jumlah karya yang digunakan tidak terlalu besar. Saya mendapatkan empat belas macam judul yang diterbitkan di Indonesia, banyak di antaranya yang berhubungan satu sama lain
 
(sebagai syarah atau hasyiyah). Hanya delapan di antaranya yang cukup populer sehingga perlu dimasukkan ke dalam daftar.
Jam’ Al-Jawmi’  oleh  Tajuddin ‘Abd  Al-Wahhab Al-Subki, adalah salah satu dari teks-teks utama tentang dasar-dasar hukum Islam. Edisi yang dicetak dewasa ini, di samping berisi teks ini, juga menentukan syarah oleh Jalaluddin Al-Mahalli, hasyisyah oleh Bannani dan hasyisyah lebih luas (Taqrir) oleh ‘Abd Al- Rahman Syarbini. Zakaria Anshari telah meringkas Jam’ dalam karangannya Lubab Al-Ushul, yang juga digunakan di Indonesia.
Al-Waraqah fi Ushul Al-Fiqh oleh Imam Al-Haramain ‘Abd Al-Malik Al-Juwaini (wafat 478/1085) adalah salah satu di antara karya-karya utama lain tentang pokok bahasan tersebut. Berbagai syarah atas karya ini terdapat secara luas di Indonesia (koleksi ini meliputi lima macam kitab, salah satu di antaranya adalah karangan pembaru Minangkabau Ahmad Khatib, Nafahat ‘ala Syarh Al-Waraqat). Latha’if Al-Isyarah, oleh ‘Abd Al-Hamid ibn Muhammad ‘Ali Al-Qudusi (wafat 1334/1916), merupakan sebuah komentar lebih lanjut atas salah satu di antara syarah-syarah terebut, yakni Tashil Al-Thuruqat oleh Syarafuddin Yahya Al- ‘Imrithi.
Al-Asybah wa Al-Nadza’ir fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh Al- Syafi’iyah sebuah karya ushul al-fiqh yang “berat”, ditulis oleh ulama produktif Jalaluddin Al-Suyuti.
Al-Luma’ (fi Ushul Al-Fiqh) ditulis oleh Ibrahim b. Ali Al- Syirazi Al-Fairuzabadi, pengarang Muhadzdzab.
Al-Bayan adalah jilid terakhir dari serangkaian tiga buku teks sederhana (yang berjudul Mabadi Awwaliyah, Al-Sullam dan Al- Bayan) untuk digunakan di madrasah, yang ditulis oleh pengarag Minangkabau, Abdul Hamid Hakim.
Judul terakhir dalam daftar ini sedikit mengejutkan, karena tidak termasuk dalam tradisi Syafi’i. Saya memasukkannya meski hanya digunakan di dua pesantren (keduanya berorientasi lebih modernis). Bidayah Al-Mujtahid-nya Ibn Rusyd, yang membandingkan dan menganalisis sikap berbagai mazhab dalam banyak hal, digunakan pertama kali di Indonesia oleh para pembaru Minangkabau pada dasawarsa 1920-an, seperti dikemukakan di
 
atas. Digunakannya di pesantren menunjukkan makin luasnya cakrawala lingkungan pesantren dan kian meningkatnya minat intelektual. Bidayah belakangan juga dicetak di Indonesia, gejala yang menunjukkan bahwa minat terhadap karya ini cukup luas.

Isi Kitab Fiqih
Kadang-kadang dikatakan bahwa kitab kuning tidak menunjukkan orisinalitas, karena semuanya pada dasarnya sama, denga hanya berbeda dalam rincian. Dari satu sudut itu memang benar. Daftar isi kitab fiqih tampak sangat mirip. Kesemuanya membahas persoalan-persoalan yang sama, dalam susunan yang sama. Sebuah karya fiqih modern pun seperti Fiqh Al-Sunnah oleh Sayyid Sabiq mengikuti pola yang sama seperti Tuhfah. Bahkan buku-buku modern tipe Soal-Jawab, yang dituliskan untuk berbagai kalangan pembaca, masih juga menyusun materinya menurut format yang sama apabila membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan fiqih.17 Salah satu alasannya mungkin karena syariat sendiri dianggap tidak dapat berubah. Yang bisa berubah hanya situasi-situasi di mana syariat diterapkan. Ada juga beberapa alasan sangat praktis untuk format ini: hal itu memungkinkan kita untuk dengan cepat mengetahui apa yang dikatakan berbagai pengarang tentang suatu hal tertentu, karena kita segera mengetahui di mana kita harus mencarinya.
Semna kitab fiqih dimulai dengan bab-bab tentang ‘ubudiyah: bab al-shalat (terkadang didahului dengan bab ath-thaharah, tentang bersuci untuk ibadah), bab al-zakat, bab al-shiyam dan bab al-haj wa al-‘umrah. Beberapa kitab pembahasannya tidak lebih dari ini. Tapi sebagian besar meneruskan dengan bab-bab tentang transaksi-transaksi ekonomi (mu’amalat), hukum waris (fara’idh), hukum perkawinan (nikah), berbagai pelanggaran dan hukumannya (jinayah=pembunuhan; riddah= murtad; hudud= pelanggaran), jihad, risalah mengenai makanan (ath’imah) dan penyembelihan (dzabaih). Tetapi, ada perbedaan yang berarti antara berbagai kitab dalam derajat perhatian yang diberikan kepada masing-masing pokok bahasan. Tabel II menunjukkan jumlah kitab yang seringkali digunakan, persentase halaman yang
 
banyak dipakai untuk setiap kategori utama dari berbagai masalah. Derajat “orisinalitas” seorang pengarang tidak dapat begitu saja dibaca dari tabel ini. Orisinalitasnya lebih dicerminkan dalam pokok-pokok yang dibahasnya dalam rangka bab-bab tradisional.
Suatu contoh tentang orisinalitas jenis ini terdapat dalam bab al-jihad, dari I’anah karangan Sayid Bakri. Dalam rangka membahas jihad dan syarat-syaratnya, pengarang memberikan kita gagasan tentang kesejahteraan umat yang perlu dijaga, yaitu kebutuhan pokok seperti pangan, papan, kesehatan untuk semua anggota  masyarakat.18
Patut dicatat, barangkali, bahwa kandungan kitab fiqih tidak mencakup bab khusus mengenai persoalan-persoalan politik. Sampai tingkat terbatas persoalan-persoalan tersebut diberikan perhatian dalam bab al-jihad, tetapi untuk sebagian besar persoalan politik tidak terdapat jawaban yang jelas dalam kitab fiqih yang standar. Namun ada beberapa kitab yang secara khusus membahas politik. Salah satu di antaranya adalah Al-Ahkam Al- Sulthaniyah karangan Al-Mawardi yang terkadang digunakan oleh para kiai Indonesia.19 Bahkan tampak ia makin diminati, dan belakangan sudah dicetak di Indonesia dan kini beredar luas.
Meski begitu, kitab ini tak mengandung banyak hal yang dapat diterapkan dalam praktik. Dalam beberapa hal yang konkret, ulama NU telah merujuk kepada Bughyat Al-Mustarsyidin, yang berisikan sejumlah fatwa yang relevan dengan masalah-masalah politik praktis yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.20



Tabel II

Persentase ruang yang digunakan untuk pokok-pokok bahasan utama dalam kitab fiqih pilihan.

 

BAB

A

B

C

D

E

F

G

Al-thaharah

19

6

13

12

5

7

7

Al-shalah

48

76

16

18

14

17

24

Al-zakah

11

5

3

3

3

3

5

Al-shiyam

9

5

2

2,5

3

3

4,5


 

Al-haj wa’l-‘umrah

13

7

3

4

4,5

4,5

5

 

‘ubudiyah

 

100

 

100

 

37

 

39,5

 

29,5

 

34,5

 

45,5

Mu’amalat

 

 

17

14

22

25

16

Al-fara’idh

 

 

3

3

3,5

3

2

An-nikah

 

 

14

14

19

17,5

18

Al-jinayat

 

 

4

4

5

5

1,5

Al-hudud

 

 

5

4

 

2

4

Al-jihad

 

 

3

2,5

1,5

 

2

Al-ath’imah/al-dzabaih

 

 

3

2,5

4,5

4

1,5

Jumlah

 

100

100

86

83,5

85,0

91,0

90,5

      Kelompok mu’amalat meliputi: al-buyu’ (jual-beli), al- wakalah (perwakilan), al-ijarah (sewa-menyewa), al-ariyah (pinjam-meminjam), al-hibah, al-waqaf, al-washiyah.

A:     Ibnu Hajar Al-Haitami, Minhaj Al-Qawim, 150 halaman.

B:     Sulaiman Al-Kurdi, Al-Hawasyi ‘I-Madaniyah, 430 halaman. C: Syarbini, Al-Iqna’, 574 halaman.

D:    Bajuri, Hasyisyah, 786 halaman.

E:     Zakariya Al-Anshari, Fath Al-Wahhab, 512 halaman.

F:     Qalyubi dan ‘Umaira, Hasyisyah Mahali, 1443 halaman. G:  Sayyid Bakri, I’anat Ath-Thalibin, 1380 halaman.



Pengarang Kitab Fiqih Indonesia Terkemuka
Beberapa pengarang Indonesia permulaan yang menulis fiqih (disamping) kitab-kitab lain disebut dalam bagian pertama dari tulisan ini. Hanya sejumlah kecil di antara kitab-kitab ini masih digunakan. Karya-karya dalam bahasa Melayu secara bertahap digantikan dengan kitab-kitab bahasa Arab. Kitab Jawi besar yang digunakan paling luas barangkali Sabil Al-Muhtadin karya Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang bisa didapatkan di seluruh Sumatra dan Kalimantan, dan juga dimana saja di Malaysia. Ada sedikit sekali madrasah atau pesantren yang kini menggunakannya. Namun banyak orang masih membacanya secara pribadi atau
 
mengkajinya dengan seorang guru agama di rumahnya atau di masjid. Di pinggir (hamisy) kitab ini kita dapatkan juga Shirath Al-Mustaqim karya Al-Raniri, teks fiqih Melayu tertua yang masih digunakan.
Nama M. Arsyad Al-Banjari (yang wafat pada 1227 H/1812) juga dikaitkan dengan buku yang mungkin paling popular di antara semua kitab Jawi, Perukunan Besar atau Perukunan Melayu, sebuah pengantar sederhana menuju keimanan dan ibadah. Bagi kebanyakan anak di Sumatra, Malaysia, Jakarta, Kalimantan dan NTB, kitab ini merupakan teks agama pertama yang mereka baca. Buku kecil ini, yang dikarang oleh anak cucu Arsyad berdasarkan ajarannya, telah dicetak dan dicetak ulang oleh berbagai penerbit, dan terbit dalam versi yang sedikit berbeda-beda.21
Seorang ulama produktif yang hidup pada sekitar masa yang sama dengan M. Arsyad dan ‘Abd Al-Shamad adalah Daud bin Abdullah Al-Patani (wafat kira-kira 1845).22 Beberapa di antara 14 buku yang masih ada dalam edisi-edisi cetak berhubungan dengan aspek-aspek fiqih. Yang paling penting di antaranya adalah Bugyah Al-Thullab (sebuah ringkasan fiqih umum) dan Furu’ Al-Masa’il (berdasarkan fatawa Al-Ramli dan Kasyf Al-Litsam Al- Mahalli). Risalah-risalah yang lebih kecil seperti Ghayah Al-Taqrib (tentang pembagian waris), Idhah Al-Bab (tentang perkawinan) dan Muhyat Al-Mushalli (tentang sembahyang) masih dibaca secara luas.
Ulama terakhir yang menulis kitab berpengaruh dalam bahasa Melayu adalah Sayyid Utsman (bin Abdullah bin Aqil bin Yahya), ulama Arab Batavia terkenal.23 Al-Qawanin Al-Syar’iyah- nya merupakan sebuah panduan bagi “rad agama” (pengadilan syari’ah yang diperbolehkan oleh pemerintah India Belanda). Beberapa karya singkat lain juga menyinggung fiqh ‘ubudiyah, di samping pokok-pokok bahasan lain: Adab Al-Insan, Bab Al- Minan, dan Irsyad Al-Anam.
Semua pengarang tersebut menulis dalam bahasa Melayu; sedangkan ulama yang menulis karya-karya fiqih dalam bahasa Jawa (atau bahasa-bahasa daerah lain) jauh lebih sedikit. Satu- satunya karya penting berbahasa Jawa mengenai fiqih adalah
 
Majmu’ah Al-Syari’ah Al-Kafiyah li Al-‘Awam oleh M. Saleh Darat dari Semarang (wafat 1321/903).24 Pengarang yang sama juga menulis sebuah karya singkat tentang kesucian beribadah yang masih tetap ada, Latha’if Al-Thaharah. Hampir semua karya lain dalam bahasa Arab, atau karya-karya sangat sederhana tentang aspek-aspek ibadah (seperti Risalah Al-Shiyam, tentang puasa, oleh Ahmad Abdul Hamid dari Kendal).
Ulama di Jawa lebih suka menulis dalam bahasa Arab, terutama apabila mereka menulis tentang fiqih. Di antara ulama Jawa tersebut yang paling produktif dan paling banyak dibaca karyanya adalah Nawawi Banten (Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi Al-Bantani, wafat 1314/897 di Makkah).25 Kesemua 24 kitab yang ditulis, sebagian sangat singkat, lainnya sangat tebal, masih terus dijual di Indonesia; beberapa di antaranya membahas fiqih. Karya fiqihnya yang paling terkenal mungkin ‘Uqud Al-Lujjain, mengenai kewajiban istri, merupakan bacaan wajib bagi santri putrid di banyak pesantren. Nawawi menulis komentar-komentar tentang karya-karya penting dua dari tempat “keluarga” kitab fiqih; Tausyih Ibn Qasim-nya merupakan sebuah komentar atas Fath Al-Qarib. Sedangkan Nihayah Al-Zain-nya didasarkan atas Qurrah Al-‘Ain Zainuddin Al-Malibari. Dia juga menulis dua kitab jenis perukunan: Sullam Al-Munajat adalah sebuah komentar atas Safinah Al-Shalat oleh Abdullah bin ‘Umar Al-Hadhrami, dan Kasyifah Al-Saja atas Safinah Al-Najah Salim bin Abdullah bin Samir (seorang ulama Arab yang tinggal di Jakarta sekitar 1850). Semua kitab tersebut digunakan secara luas di Indonesia.
Ulama Jawa lain yang sangat dihormati yang patut disebutkan adalah Kiai Mahfudz bin Abdullah dari Termas (wafat 1919). Dia menulis sebuah syarah Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah Abdullah Ba-Fadhl (lihat “keluarga” keempat kitab fiqih di atas). Karya ini tampaknya tidak pernah dicetak, meski dikatakan bahwa beberapa kiai besar memiliki kopi-kopi naskahnya.26
Akhirnya kita juga harus menyebutkan dua ulama Indonesia yang telah menulis teks-teks modern sederhana tentang fiqih untuk digunakan di madrasah. Abdurrahman Al-Sagaf, seorang ulama keturunan Arab yang tinggal di Surabaya, menulis empat jilid kecil yang berjudul Al-Durus Al-Fiqhiyah, sementara itu Mahmud
 
Yunus menulis Al-Fiqh Al-Wadhih, juga dalam beberapa jilid. Keduanya dalam bahasa Arab, namun agak berbeda dalam gaya dan susunan dengan kitab fiqih tradisional, yang mencerminkan perbedaan pandangan pendidikan.

Perbandingan antara Kajian Fiqih di Indonesia dan di Kur- distan
Sesudah menulis dalam sebuah terbitan sebelumnya di Pesantren tentang pengaruh ulama Kurdi atas Islam di Indonesia,27 perkenankan saya untuk membuat sebuah bahasan tentang Kurdistan lagi. Hampir setengah dari wilayah yang disebut Kurdistan menjadi bagian dari Turki, dan seperti telah diketahui Ataturk menutup semua madrasah di negeri itu pada 1924, dan madrasah- madrasah itu secara resmi tidak pernah dibuka lagi. Namun di provisi-provinsi timur Kurdi, banyak madrasah melanjutkan kegiatan secara sembunyi-sembunyi. Masih banyak rakyat yang memiliki pendidikan madrasah tradisional.28 Kurikulum tradisional masih seperti pada permulaan abad ini, dan kita akan melihat bahwa itu menunjukkan banyak kesamaan dengan kurikulum pesantren di Indonesia.29
Semua siswa pemula harus membaca Taqrib dan kemudian syarahnya, Fath Al-Qarib (di samping kitab mengenai pokok- pokok bahasan lain). Mereka yang melanjutkan dan ingin mengkhususkan dalam fiqih maka harus mengkaji teks-teks seluruh empat “keluarga” tersebut. Kajian Fath Al-Qarib disudahi dengan hasyisyah Bajuri atasnya (yang juga digunakan secara sangat luas di Indonesia). Sebagian juga mengkaji Tuhfah Al-Habib Bujairimi, sebuah komentar atau Iqna’nya Syarbini  (menurut Van den Berg, Bujairimi juga digunakan di pesantren Jawa pada abad ke-19). “Keluarga” ketiga diwakili oleh Fath Al-Mu’in dan syarahnya, I’anah Al-Thalibin yang besar—juga karya-karya yang sama mengenai keluarga ini yang juga digunakan secara luas di Indonesia. Di antara keluarga keempat, Al-Hawasyi Al-Madaniyah Sulaiman Kurdi digunakan, meski tidak meluas (karya ini, yang dikenal sebagai Sleman Kurdi, digunakan di banyak pesantren di Jawa abad ke-19).
 
Namun karya-karya acuan yang paling penting adalah Minhaj Al-Thalibin-nya Nawawi dan komentarnya oleh Khatib Syarbini, Mughni Al-Muhtaj (di antara “keluarga” pertama kita). Di sini kita melihat suatu perbedaan kecil dengan situasi di Jawa, di mana Tuhfah Ibn Hajar dianggap sebagai yang paling memiliki otoritas, dan di mana Nihayah Ramli dan khususnya Kanz Al-Raghibin Mahalli juga digunakan. Tetapi, Minhaj, yang menjadi dasar utama semua teks, juga dianggap sebagai sumber real otoritas.
Karena itu secara keseluruhan ada kesamaan mencolok antara kurikulum pesantren di Indonesia dan madrasah Kurdi. ckarena orang-orang Kurdi dan Indonesia (tradisional) sama-sama mengikuti mazhab Syafi’i, kita bisa menduga adanya kesamaan tertentu, dan perbedaan yang besar dengan kurikulum di daerah- daerah yang mengikuti mazhab lain.30 Tetapi, bahkan di antara kitab fiqih syafi’i tertentu, orang-orang Kurdi dan Indonesia tampak memiliki suatu preferensi untuk karya-karya yang sama atas lainnya.31 Saying saya tidak mengetahui apapun mengenai kurikulum madrasah tradisional di Mesir, negeri syafi’i yang lain. Karena itu tidak mungkin menetapkan apakah semua pengikut syafi’i memiliki kesamaan atau apakah orang-orang Kurdi dan Indonesia mempunyai ikatan kekeluargaan satu sama lain. Tapi lebih tepat dikatakan bahwa kesamaan-kesamaan yang ada (yang bukan tentu lebih dekat satu abad yang lalu) pasti merupakan akibat dari kenyataan bahwa ulama Kurdi dan Indonesia terkemuka sama-sama berada di Makkah dan Madinah. Di sanalah ulama Syafi’i dari seluruh dunia datang untuk belajar dan mengajar. Dan dari pusat-pusat inilah lebih banyak pengaruh baru menyebar ke seluruh dunia Muslim dibanding dengan penyebaran dari suatu negeri ke negeri-negeri tetangga. []
 
Catatan akhir:
1.    Al-Shirath Al-Mustaqim dicetak di pinggiran Sabil Al-Muhtadin karangan Arsyad Al-Banjari, sebuah buku yang secara terus menerus dicetak ulang di Mesir dan di Surabaya. Kitab ini terus menjadi bahan kajian di Sumatra dan Kalimantan.
2.    Lihat, untuk para pengarang Melayu dan karya-karya mereka,
H.W. Muhd. Shaghir Abdullah, Perkembangan Ilmu Fiqih dan Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara, Solo: Ramadhani, 1985.
3.    Yang paling penting di antara kitab-kitab berbahasa jawa ini, ada yang telah disunting dan diterjemahkan oleh G.W J. Drewes: Een Javanese Aimbon uit de Zestiende Eeuw (Leiden: Brill, 1954); The Admonitions of Seh Bari (The Hague: Nijhoff, 1969); dan An Early Javanese Code of Ethics (The Hague, 1978).
4.    Drewes, The Admonitions of Seh Bari, hlm. 1-2.  Seperti akan kita lihat di bawah, Taqrib tetap merupakan teks fiqih sederhana yang paling populer yang digunakan di pesantren Jawa.
5.    Terjemahan bahasa Jawa, atau lebih tepat ringkasan Tuhfah ini, diterbitkan, dengan huruf Jawa, oleh S. Keyzer pada tahun 1853, dan diterbitkan ulang edisi yang telah diperbaiki oleh
T. Roorda: Kitab Toehpah, enn Javaansch handboek voor het Mohammedaansche regt. Leiden: Brill, 1874.
6.    L.W.C. van den Berg, “Het Mohammedaansche Godsdienston- der wijs op Java Madoera en de Daarbij Gebruikte Arabische Boeken”, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volken- kunde (TBG) 31, 1886, hm. 519-555. Juga diringkas dalam: Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, him. 154-8.
7.    Risalah ini merupakan satu-satunya dari teks-teks tersebut yang tidak lagi digunakan.
8.    Kecuali Bujairimi, Al-Muharrar dan Tuhfah. Karya terakhir digunakan oleh para kiai sebagai acuan dalam kasus-kasus penting (untuk mengeluarkan fatwa misalnya). Tetapi sejauh yang saya tahu, ia tidak diajarkan kepada santri di pesantren mana pun.
 
9.    Serangkaian monografi yang berguna mengenai pesantren Jawa Timur dan Tengah dibuat oleh Balitbang Departemen Agama selama tahun 1980-1983. Untuk Jawa Barat, Sumatra dan Kalimantan, saya menggunakan sumber-sumber lain, termasuk laporan proyek penelitian oleh LIPI (tak diterbitkan) tentang “Pandangan dan Sikap Hidup Ulama Indonesia”, dibuat pada tahun 1986-1988.
10.    Deskripsi koleksi tersebut yang lebih rinci terdapat dalam: Martin van Bruinessen, “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu” (akan terbit dalam Bijdragen tot de Taal-,Land-, en Volkenkunde), yang menjadi dasar utama tulisan ini. Lihat hlm. 131 dalam buku ini.
11.    Sebuah kajian tentang Imam Nawawi dan Minhaj-nya terdapat dalam Prof. Madya Dr. Mat Sa’ad Abd. Rahman, Penulisan Fiqh Al-Syafi’i: Pertumbuhan dan Perkembangannya. Shah Alam/Kuala Lumpur: Hizbi, 1986, hlm. 47-81. Pada hlm. 75- 78 terdapat suatu daftar dengan 29 syarah serta 5 ringkasan Minhaj.
12.    Menurut Van den Berg, kitab ini merupakan salah satu dari teks- teks penting yang digunakan pesantren. Ia juga merupakan basis utama sebuah kajian atas fiqih Syafi’i oleh orientalis Jerman E. Sachau. Snouck Hurgronje menulis tinjauan kritis atas kajian ini dalam majalah Zeitschrift der Deutschen Mor- genlaendischen Gesellschaf 53, 1899, hlm. 125-167. Dalam tulisan ini dia memberikan informasi yang menarik tentang pengunaan kitab ini dan karya-karya lainnya oleh para guru di Masjid Al-Haram, Makkah.
13.    Tentang Sayyid Bakri dan I`anah-nya, lihat C. Snouck Hurgronje, Mekka. The Hague: Nijhoff, 1889, vol. II, hlm. 253, 259-60. Tarsyih Al-Mustafidin merupakan sebuah karya yang lebih sederhana dan kurang terkenal (2 jilid). Baru belakangan kitab ini untuk pertama kali juga dicetak ulang di Indonesia. Pengarangnya, ‘Alwi Al-Saqaf, hidup dan mengajar pada sekitar tahun 1300 H. (1883).
14.    Lihat, Sirajuddin ‘Abbas, Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975. hlm. 460.
 
15.    Saya pernah mendapatkan sebuah terjemahan bahasa Madura dan dua macam terjemahan bahasa Jawa dari Safinah, serta dua versi sajak (manzhum). Ahmad bin Shiddiq dari Lassem, Pasuruan (Jawa Timur) menulis versi nazham Tanwir Al- Hija, yang kini terdapat terjemahan bahasa Maduranya. Dan kitab ini mendapat komentar lanjutan dari Muhammad ‘Ali bin Husain Al-Makki Al-Maliki yang berjudul Anarat Al-Duja. Kiai Sahal Mahfudz dari Kajen (Jawa Tengah) menulis sebuah syarah Faraidh Al-Haya atas versi nazham lain, Nail Al-Raja.
16.    Lihat B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara, 1973, hlm. 66. Minat kepada ushul al-fiqh juga ditimbulkan oleh munculnya keyakinan bahwa pintu ijtihad tidak perlu ditutup dan bahwa taqlid buta tidak layak bagi orang yang berakal dewasa.
17.    Misalya Abdulqadir Hassan, Kata Berjawab, 8 jilid. Bangil: Fa. Al-Muslimun. Pengarang adalah ulama Persis terkemuka, yang seringkali berbeda pendapat dengan tradisi pesantren.
18.    Perhatian saya ditarik kepada bab ini oleh Abdurrahman Wahid. Dia berpendapat bahwa di sini kita mendapatkan definisi Islam tentang konsep “kebutuhan pokok”, yang belakangan ini banyak menjadi pokok diskusi para ahli ekonomi  pembangunan.
19.    Sebuah analisis atas karya ini: Qamar Al-Din Khan, Al- Mawardi’s Theory of State. Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, l979. Teori Al-Mawardi dan teori politik klasik lainnya sangat jelas dianalisis dalam bab-bab permulaan dari buku Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought. London: MacMillan. 1982.
20.    Saya menerima informasi ini juga dari Abdurrahman Wahid.
21.    Menurut halaman judul sebuah versi, pengarangnya adalah putra M. Arsyad Jamaluddin, versi lain mengklaim dihimpun oleh seorang keturunan belakangan, Haji Abdul Rasyid Banjar, dari para penulis lain oleh M. Arsyad sendiri. Menurut tradisi keluarga, ternyata cucu perempuan, M. Arsyad Fathimah, yang menyusun karya ini; Abdul Rasyid adalah yang pertama
 
mencetaknya di Singapura. Lihat: Abu Daudi, Maulana Syekh Moh. Arsyad Al-Banjari (Tuan Haji Besar). Dalampagar Martapura, Martapura: Madrasah Sullamul’ulum, 1980, hlm. 43; H.W. Muhd. Shaghir Abdullah, Syekh Muhd. Arsyad Al- Banjari, Matahari Islam. Mempawah: Pondok Al-Fathonah, 1982, hlm. 62.
22.    Lihat: H.W. Muhd. Shaghir Abdullah, Syekh Daud bin Abdullah Al-Fathani, Penulis Islam Produktif Asia Tenggara. Solo: Ramadhani, 1987.
23.    Lihat juga: Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 134- 7
24.    Tentang ulama ini, lihat: H.W. Danuwijoto, “Ky. Saleh Darat Semarang: Ulama besar dan Pujangga Islam sesudah Pakubuwono ke-IV”, Mimbar Ulama, No. 17 (1977), hlm. 68- 73.
25.    Sebuah biografi singkat Nawawi: Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi Albanteni Indonesia. Jakarta: CV. Sarana Utama.
26.    Sepengetahuan saya, belum ada biografi Kiai Mahfudz, meski sering dikatakan sebagian besar ulama Jawa berguru kepada- nya. Ada sebuah catatan singkat dalam: Sirajuddin ‘Abbas, Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975, hlm. 460.
27.    Martin van Bruinessen, “Bukankah orang Kurdi  yang mengislamkan orang Indonesia?”, Pesantren, No. 4, Th. IV (1987), hlm. 43-53.
28.    Madrasah Turki Timur lebih menyerupai pesantren Salafi daripada madrasah di Indonesia. Di situ tidak ada tingkatan, dan tidak diajarkan mata pelajaran umum. Madrasah di Indonesia memiliki persamaan dengan sekolah-sekolah untuk pendidikan Imam dan Khatib, Imam Hatib Okullari, yang memiliki kurikulum yang berbeda, modern dan “sekular”.
29.    Saya berhutang budi dengan banyak informasi berikut dari kawan-kawan Kurdi saya, Mehmet Emin Bozarslan, seorang mantan mufti, dan Mahmud Tayfun, seorang mahasiswa
 
Ilahiyat dan satra. Keduanya adalah pengarang sangat produktif tentang budaya dan sejarah Kurdi. Yang terakhir, atas permintaan saya, juga mewawancara sejumlah bekas siswa madrasah yang lain mengenai kitab yang pernah mereka pelajari.
30.    Lihat misalnya kurikulum fiqih di India dan kerajaan Utsmani, yang disitu mazhab Hanafi dominan: M. Mujeeb, The Indian Muslims. London: Allen & Unwin, 1967, hlm 407-8. Mohammad Akhlaq Ahmad, Traditional Education among Muslims: A Study of Some Aspect in Modern India. Delhi: B. R. publishing Corporation, 1985, hlm. 61-5; Huseyin Atay, Osmanlilards Yuksek di Eqitimi: Medrese Programlari, Icazetnameler, Islahat Hareketlari. Istanbul: Dergah, 1983, hlm. 73-130.
31.    Terdapat banyak teks fiqih syafi’i disbanding dengan yang disebut di atas dapat terlihat dengan mengamati sepintas bagian-bagian yang berhubungan dalam lima jilid buku Carl Brockelmann, Geschichte der Arabischen Literatur (Leiden: Brill, 1937-1947) atau karya sederhana oleh Sirajuddin ‘Abbas, Ulama Syafi’i.  

KITAB KUNING: BUKU-BUKU BERHURUF ARAB YANG DIPERGUNAKAN DI LINGKUNGAN PESANTREN1

Sebuah proyek penelitian tentang ulama Indonesa memberikan kesempatan kepada saya untuk mengunjungi pesantren di berbagai tempat di Nusantara dana mengumpulkan cukup banyak buku yang digunakan di dalam dan di sekitar pesantren—yang disebut dengan kitab kuning. Buku-buku ini sekarang dipelihara sebagai sebuah koleksi tersendiri di perpustakaan KITLV di Leiden.2 Secara keseluruhan koleksi ini memberikan suatu tinjauan yang jelas atas teks-teks yang dipakai di berbagai pesantren dan madrasah di Indonesia, satu abad setelah studi rintisan tentang kurikulum pesantren Jawa (dan Madura) yang dilakukan oleh L.W.C. Van den Berg (1886). Van den Berg menyusun sebuah daftar buku-buku teks utama yang dipelajari di pesantren pada masanya berdasarkan wawancara dengan kiai. Dia menyebutkan lima puluh judul buku dan memberikan informasi umum tentang masing-masingnya, dengan memberikan ringkasan singkat dari buku-buku yang lebih penting. Kebanyakan dari buku tersebut masih dicetak ulang dan dipergunakan di Indonesia, Singapura dan Malaysia hingga sekarang, tetapi banyak karya lain yang juga dipakai di samping buku-buku tersebut. Koleks yang ada sekarang mencakup sekitar Sembilan ratusjudul buku yang berbeda-beda, yang kebanyakn dipakai sebagai buku-buku teks. Dalam bagian pertama tulisan ini saya akan melakukan pengamatan secara umum atasbuku-buku ini dan komposisi koleksi tersebut. Di bagian kedua saya akan mendiskusikan sebuah daftar “Kitab paling popular” yang telah saya susun dari sumber-sumber yanglain. Namun semua buku yang dibicarakan merupakan bagian dari koleksi tersebut.

Kriteria Seleksi dan Keterwakilan (Representativeness)
Untuk dapat menilai seberapa jauh koleksi ini dapat dikatakan mewakili, terlebih dahulu perlu disampaikan secara singkat metode pengumpulan yang saya pakai. Saya mengunjungi semua penerbit besar dan toko kitab (toko buku yang mengkhususkan diri menjual buku-buku keagamaan sejenis ini) di Jakarta, Bogor, Bandung, Purwokerto, Semarang, Surabaya, Banda Aceh, Medan, Pontianak, Banjarmasin, Amuntai, Singapura, Kuala lumpur, Georgetown (Penang), Kota Bharu dan Patani (Thailand bagian selatan), dan membeli semua buku Islam denganhuruf Arab cetakan Asia Tenggara yang tersedia. Dua kriteria yang terakhir mungkin secara selintas tampak lebih bersifat arbitrer, tetapi saya menemukannya signifikan secara sosiologis, dan juga merupakan kriteria yang paling gampang. Memang benar, kebanyakan toko kitab juga menjual buku-buku Arab yang dicetak di Mesir dan Lebanon dalam jumlah terbatas (sebuah agen yang mewakili penerbit Lebanon Dar Al-Fikri memiliki toko khusus untuk menjual buku-buku ini di Jakarta dan Surabaya), tetapi karena harganya lebih mahal dibandingkan dengan edisi Asia Tenggara, maka buku-buku ini hanya dibeli oleh sebuah kelompok minoritas yang kecil jumlahnya. Buku-buku tersebut mencakup karya-karya rujukan untuk para ulama yang sudah tinggi ilmunya dan karya- karya para penulis modern yang belum diterima oleh arus besar Islam Indonesia. Buku yang cukup banyak diminati cepat atau lambat akan dicetak (ulang) oleh salah satu penerbit regional.3

Di samping itu, huruf yang dipakai untuk mencetak buku mengandung makna simbolik dan membedakan secara agak jelas antara dua jenis khalayak pembaca yang berbeda. Umat Islam Indonesia juga menggunakan kata yang berbeda untuk buku- buku yang ditulis dalam huruf Latin (“buku”) dan buku-buku yang ditulis dalam tulisan Arab, terlepas dari bahasa yang dipakai (“kitab”). Sampai tahun 1960-an sebuah garis yang sangat jelas memisahkan komunitas Muslim ke dalam kelompok “tradisionalis" dan “modernis” (dengan organisasi keagamaannya Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah). Yang pertama biasanya mempelajari agama secara eksklusif melalui kitab kuning (disebut kitab kuning karena kertas buku yang berwarna kuning yang di bawa dari Timur Tengah pada awal abad kedua puluh), sementara kelompok yang belakangan membaca dan menulis “buku putih”, yang ditulis dalam bahasa Indonesia berhuruf Latin. Para pengarang buku putih biasanya menolak sebagian besar tradisi skolastik dan berpihak pada upaya untuk kembali kepada, dan dalam beberapa kasus interpretasi baru terhadap, sumber-sumber asli— Al-Quran dan Hadis. Barangkali, inilah yang telah menyebabkan munculnya sikap negatif terhadap buku putih di lingkungan pesantren selama bertahun-tahun—di beberapa pesantren gaya lama, buku semacam ini masih dilarang sampai sekarang. Para ulama tradisionalis yang menulis buku-buku atau risalah-risalah singkat, baik yang menggunakan bahasa Arab maupun salah satu bahasa daerah, selalu menggunakan huruf Arab, dan kebanyakan mereka tetap melakukannya sampai sekarang.

Namun, sekarang ini garis pembagi antara kelompok modernis dan tradisionalis tidak lagi cukup tajam dan jelas, banyak antagonisme lama yang sudah menghilang. Kelompok modernis pada umumnya menjadi kurang radikal dalam hal penolakan mereka terhadap tradisi—secara mencolok sekarang terdapat beberapa pesantren Muhammadiyah yang menawarkan suatu kombinasi kurikulum tradisional (kitab kuning) dan kurikulum sekolah modern. Tidak hanya kebanyakan kiai tradisionalis yang menjadi semakin universal atau meluas bacaan mereka di satu pihak, tetapi banyak di antara mereka yang sekarang menulis dalam bahasa Indonesia di samping bahasa Arab, Melayu atau Jawa. Huruf Arab, walaupun masih merupakan tanda yang paling jelas dari orientasi tradisionalis, bukan lagi prasyarat untuk itu. Oleh karena itu saya tidak menerapkan kriteria huruf yang dipakai secara terlalu ketat, dan memasukkan ke dalam koleksi yang sedang kita bicarakan tersebut sejumlah karya berbahasa Indonesia (dalam huruf Latin) yang secara logis termasuk ke dalam tradisi kitab, baik yang merupakan penerjemah beranotasi terhadap, atau komentar atas, teks-teks klasik yang ditulis ulama tradisionalis.
 
Kriteria berhuruf Arab, di lain pihak, tidak dapat mencakup satu kategori yang justru sangat serupa dengan teks-teks yang sudah terkumpul. Ulama di Sulawesi Selatan (yang paling produktif di antaranya adalah Yunus Maratan dan Abdul Rahman Ambo Dalle) telah menulis teks-teks keagamaan dalam bahasa Bugis untuk digunakan di madrasah dan sekolah, tidak dengan huruf Arab sebagaimana yang telah dilakukan generasi ulama terdahulu melainkan dalam abjad Bugis. Kebanyakan dari karya-karya ini sudah terdapat di perpustakaan KITLV, sementara itu juga sudah terdapat beberapa bibliografinya (Departemen Agama 1981/1982, 1983/1984).

Koleksi tersebut, karena beberapa alasan, tidak lengkap. Kebanyakan penerbit mempunyai fasilitas penggudangan yang sangat terbatas, dan hanya sebagian dari buku yang mereka terbitkan benar-benar tersedia di bagian penjualan mereka. Apabila sebuah kitab dicetak (ulang), hampir seluruh edisi tersebut langsung dikirim ke toko kitab di seluruh negeri. Hanya dengan banyak mengunjungi toko-toko buku dan secara sabar menelisik rak-rak bukunya, maka seseorang akan dapat memperoleh paling tidak kebanyakan karya-karya cukup penting dari beberapa penerbit penting. Sebenarnya semua karya yang disebutkan dalam berbagai sumber yang telah diterbitkan, atau beberapa percakapan, sudah diperoleh dan dimasukkan dalam koleksi tersebut, beberapa di antaranya bahkan terdapat dalam beberapa edisi, dalam berbagai terjemahan, atau dengan ulasan yang berbeda-beda. Tetapi beberapa karya yang kurang penting sudah tidak dicetak lagi dan tidak diperjualbelikan di semua toko yang dikunjungi.
Lebih dari itu, ada beberapa penerbit lokal kecil yang menerbitkan karya-karya yang tidak begitu penting, yang seringkali ditulis oleh ulama lokal. Tidak sedikit karya-karya semacam ini yang termasuk dalam koleksi tersebut, tetapi sangat mungkin banyak karya lain yang terabaikan. Namun disamping berbagai keterbatasan ini, koleksi tersebut menghadirkan contoh yang cukup representatif mewakili seluruh bahan-bahan pelajaran yang dipakai di pesantren dan madrasah di Indonesia (dan Malaysia), dan juga karya-karya yang dihasilkan oleh ulama Indonesia.
 
Statistik
Dari sekitar sembilan ratus karya yang berbeda-beda, hampir lima ratus atau lebih dari separuh, ditulis atau diterjemahkan oleh ulama Asia Tenggara. Kebanyakan para ulama ini menulis dalam bahasa Arab: hampir seratus judul, atau sekitar sepuluh persen, merupakan karya-karya berbahasa Arab oleh orang-orang Asia Tenggara (atau orang-orang Arab yang menetap di wilayah tersebut). Semua buku-buku berbahasa Indonesia, tentu saja, ditulis orang Asia Tenggara (termasuk yang keturunan Arab). Jika kita menghitung kitab terjemahan sebagai karya terpisah, koleksi tersebut dapat dikatakan berisi:

sekitar 500 karya dalam bahasa Arab, atau    55%
sekitar 200 karya dalam bahasa Melayu, atau    22%
sekitar 120 karya dalam bahasa Jawa, atau    13%
sekitar 35 karya dalam bahasa Sunda, atau    4%
sekitar 25 karya dalam bahasa Madura, atau    2,5%
sekitar 20 karya dalam bahasa Indonesia, atau    2%
5 karya dalam bahasa Aceh    0,5%

Karya-karya ini dapat secara kasar diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori pokok pembahasannya. Kategori-kategori utamanya adalah:

Fiqih    20%
Doktrin (akidah, ushuluddin)    17%
Tata bahasa Arab tradisional (nahu, sharaf, balaghah)    12%
Kumpulan hadis    8%
Tasawuf dan tarekat    7%
Akhlak    6%
Kumpulan doa, wirid, mujarrabat    5%
Qishash Al-Anbiya, maulid, manaqib, dan sejenisnya    6%

Telah terjadi beberapa perubahan penting dalam isi kurikulum pesantren, yang hanya sebagian tercermin dalam tabel di atas. Seabad yang lalu, Al-Quran dan hadis sangat jarang dipelajari secara langsung, tetapi dalam bentuk yang sudah “diolah” dalam karya-karya skolastik mengenai fiqih dan akidah. Menurut Van den Berg, hanya satu kitab tafsir, Jalalain, yang dipelajari di pesantren, dan tidak ada kumpulan hadis sama sekali. Dalam hal ini, suatu perubahan penting telah terjadi sejak abad yang lalu. Terdapat tidak kurang dari sepuluh kitab tafsir Al-Quran (berbahasa Arab, Melayu, Jawa, dan Indonesia) dalam koleksi kami, di samping beberapa terjemahan langsung (yang juga disebut tafsir) dalam bahasa Jawa dan Sunda. Jumlah kitab kumpulan hadis bahkan lebih mengesankan. Hampir tidak ada pesantren sekarang ini yang tidak mengajarkan hadis sebagai mata pelajaran tersendiri. Meskipun demikian, penekanan utama dalam pengajaran adalah dalam bidang fiqih, ilmu keislaman par excellence. Tidak ada perubahan yang mencolok dalam hal kitab-kitab fiqih yang diajarkan, tetapi disiplin ushul fiqh telah ditambahkan ke dalam kurikulum banyak pesantren, sehingga memungkinkan berkembangnya pandangan fiqih yang lebih dinamis dan luwes.
Kategori kiab kuning ini dan kategori-kategori lainnya akan dibicarakan secara lebih terperinci dalam bagian kedua tulisan ini, di mana sebagian dari buku yang paling populer disebutkan satu per satu. Tetapi terlebih dahulu beberapa pengamatan akan dilakukan terhadap penerbitan kitab dan para pengarang terkemuka.

Penerbitan Kitab Kuning di Nusantara
Buku-buku cetakan merupakan barang yang relatif baru di dunia pesantren. Pada masaVan Den Berg, kebanyakan kitab di pesantren masih dalam bentuk naskah tulisan tangan yang disalin oleh santri. Tetapi pada periode ini pulalah buku-buku cetakan dari Timur Tengah mulai masuk ke Indonesia dalam jumlah yang cukup besar, sebagai salah satu efek samping dari bertambahnya orang yang menunaikan ibadah haji (karena digunakannya kapal uap). Pada saat itu, sudah satu abad dilakukan pencetakan buku di Timur Tengah, tetapi yang secara khusus berkaitan dengan orang Indonesia adalah didirikannya sebuah penerbitan pemerintah di Makkah pada tahun 1884, yang tidak hanya mencetak kitab-kitab
 
berbahasa Arab tetapi juga berbahasa Melayu. Penerbitan kitab berbahasa Melayu ini dijalankan di bawah pengawasan Ahmad
b. Muhammad Zain Al-Patani seorang ulama yang alim dan juga mengarang beberapa risalah yang diterbitkan,4 (koleksi KITLV menyimpan tujuh judul di antaranya yang dicetak ulang baru- baru ini). Koleksi judulnya agak mengandung bias mengikuti buku-buku yang ditulis oleh ulama sedaerahnya. Berkat jasa Syaikh Ahmad Al-Patani inilah banyak karya Daud b. ‘Abdallah Al-Patani dan Muhammad b. Ismail Daud Al-Patani masih terdapat secara luas, dicetak ulang dari edisi aslinya. Dalam cetakan ulang, nama penerbit aslinya telah digantikan, tetapi kebanyakan karya yang pada awalnya diterbitkan oleh Ahmad b. Zain masih dapat dikenali melalui bait-bait sajak yang dia tulis dan dicetak sebagai cara pengenalan pada halaman judul.5
Ini bukanlah penerbitan Melayu yang paling awal, walaupun ia merupakan penerbitan yang terpenting. Zain Al-Din Al-Sumbawi, ulama “Jawa” (Nusantara) lainnya yang menetap di Makkah, bahkan mencetakkan risalah singkat pada tahun 1876 (Snouck Hurgronje 1889: 385), dan beberapa karya Da’ud ‘Abdullah Al- Patani dicetak di Bombay juga sebelum tahun 1880. Bombay juga merupakan sumber-sumber penting Al-Quran cetakan yang masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20.6 Langkah menerbitkan kitab berbahasa Melayu yang dirintis percetakan Makkah segera diikuti oleh para penerbit di Istanbul dan Kairo. Khususnya, Mushthafa Al-Babi Al-Halabi dari Kairo yang, dalam waktu-waktu selanjutnya, menerbitkan banyak kitab Melayu. Dua kajian yang baru-baru ini dilakukan oleh Mohd. Nor bin Ngah (1980, 1983) membahas sampel yang agak mewakili dari kitab Melayu dan pandangan dunia yang tercermin di dalamnya.
Berbagai aktivitas penerbitan di Timur Tengah ini, dan juga rintisan yang dilakukan percetakan Inggris dan Belanda,7 juga merangsang upaya-upaya penerbitan Islam di Nusantara. Salah seorang pelopornya adalah Sayyid Usman dari Batavia, orang Arab yang sangat produktif yang menjadi “sekutu pemerintah Hindia Belanda”. Banyak di antara karya singkatnya yang masih dipelajari sampai sekarang, teruatama di kalangan orang Betawi dan Sunda. Dia mencetak versi awal dari karyanya yang berjudul
 
Al-Qawanin Al-Syar’iyyah pada 1881. Pada 1886, paling tidak empat risalah kecil lain yang ditulisnya disebutkan. Dan masih banyak lagi setelah itu.8
Sayyid Usman pun bukanlah penerbit Islam pertama di Hindia. Kehormatan sebagai penerbit pertama ini mungkin harus diberikan kepada Kemas Haji Muhammad Azhari dari Palembang, yang pada tahun 1854 mencetak Al-Quran pertama, dengan kaligrafi yang dibuatnya sendiri. Dia telah membeli percetakan di Singapura beberapa tahun sebelumnya, dalam perjalanan kembalinya dari ibadah haji, dan belajar sendiri bagaimana cara mengoperasikannya. Al-Quran yang diterbitkannya—di  mana dia menulis pendahuluan berbahasa Melayu setebal 14 halaman untuk menjelaskan tentang pelafalan dan cara membacanya— diperjualbelikan secara luas.9
Demikian juga di Singapura, di sana konon pernah ada percetakan yang kadang-kadang mencetak buku dalam bahasa Melayu pada waktu itu, tetapi sedikit sekali yang diketahui tentang hal itu. Pada tahun l880an dan l890an, ada beberapa percetakan yang menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu dan kadang-kadang buku, tetapi tetap saja tidak jelas apakah mereka menerbitkan lebih dari satu atau dua risalah keagamaan yang singkat (lihat Roff 1980 :44-5; Hamidy 1983; Proudfoot 1986). Pada 1894, raja muda Riau, Muhammad yusuf. mendirikan percetakan, Mathba’ah Al-Ahmadiyyah, di pulau Penyengat, yang pada tahun- tahun berikutnya mencetak beberapa risalah keagamaan yang dikarang oleh Syaikh tarekat Naqsyabandiyah pada waktu itu, Muhammad Shalih Al-Zawawi, pembimbing spiritual Muhammad Yusuf dan anggota keluarganya (Hamidy 1983: 69; Abdullah 1985b: 3; tentang Zawawi, lihat Snouck Hurgronje 1889: 253).
Permulaan yang menjanjikan ini ternyata tidak banyak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Banyak buku dan majalah diterbitkan di Nusantara pada paruh pertama abad ke-20, tetapi sangat sedikit di antaranya yang berwujud kitab (dalam pengertian yang luas sebagaimana didefinisikan di atas) dan hampir tidak terdapai kitab yang dapat disebut teks klasik. Sumatra Barat barangkali merupakan satu-satunya wilayah di mana cukup banyak kitab (karya ulama setempat) dicetak selama
 
dasawarsa-dasawarsa pertama abad ini. Sebagian di antaranya merupakan risalah singkat, dalam bahasa Melayu dan Arab, untuk bahan pelajaran madrasah baru waktu itu, yang dimaksudkan untuk menggantikan karya-karya klasik mengenai tata bahasaArab, akidah dan fiqih yang lebih sulit dipelajari. Beberapa di antaranya masih umum dipergunakan sampai sekarang.10  Selebihnya adalah tulisan-tulisan yang bercorak polemis, yang digunakan sebagai senjata dalam perdebatan keagamaan antara kaum muda dan kaum tua yang pada waktu itu berlangsung di Sumatra Barat.11 Di sini sebagaimana di tempat lain, kebanyakan kaum modernis, yang sampai saat ini lebih produktif, segera menulis dalam huruf Latin, yang membuat mereka semakin dekat dengan para nasionalis sekular tetapi memperkuat pemisahan sosial mereka dari kaum tua. Mereka memang menulis buku-buku teks keagamaan, tetapi dalam gaya dan isi yang sangat berbeda dengan kitab tradisional.
Baru setelah kemerdekaan Indonesia-lah kitab mulai dicetak dalam jumlah yang cukup banyak. Sebagaimana yang diingat kembali oleh beberapa penerbit penting sekarang,12 sebelum perang hanya ada beberapa penjual buku, tetapi tidak ada penerbit kitab dalam arti yang sebenarnya di Nusantara (penjual buku yang terbesar adalah Sulaiman Mar’i di Singapura, ‘Abdullah bin ‘Afif di Cirebon, dan Salim bin Sa’ad Nabhan di Surabaya, ketiganya adalah seorang Arab). Mereka sebenarnya memesan semua buku mereka—termasuk yang berbahasa Melayu—dari Mesir, dimana biaya produksinya lebih murah dibandingkan di Indonesia pada waktu itu. Ada satu perkecualian, yang hanya punya arti penting secara lokal saja: Patani Press (punya orang Melayu) dan juga Nahdi (punya orang Arab) di Thailand bagian selatan memulai pencetakan kitab Melayu untuk dijadikan bahan pelajaran di pondok Patani dan negara-negara perbatasan Melayu pada akhir tahun 1939-an.
Pada paruh pertama abad ini, daya beli (demand) orang Indonesia untuk buku-buku ini masih rendah, dan satu-satunya kitab yang menguntungkan secara ekonomi bagi penerbit hanyalah Al-Quran sendiri. Baik Mar’i maupun bin ‘Afif merintis usaha pertama untuk mencetaknya untuk kebutuhan setempat baru pada tahun 1930-an. Langkah mereka kemudian diikuti oleh
 
penerbit Al-Ma’arif Bandung, yang didirikan pada akhir tahun 1948 oleh Muhammad bin ‘Umar Bahartha, yang sebelumnya pernah menjadi pegawai ‘Abdullah bin ‘Afif. Pada pertengahan abad, Mar’i juga telah mencetak beberapa kitab kuning, salah satu karya yang banyak dikenal adalah karya adaptasi berbahasa Melayu dari Tafsir Jalalain yang dikarang oleh ‘Abd Al-Ra’uf Al-Fansuri (Al-Singkili), diterbitkan pada tahun 1951. Sepanjang tahun 1950-an, Al-Ma’arif melakukan hal yang serupa dengan memproduksi cetakan murah kitab yang lazim dipakai, hal yang sama juga dilakukan ‘Abdullah bin ‘Afif dan beberapa kerabat salim Nabhan. (Kitab yang lebih besar dan, dengan demikian, lebih mahal seperti karya Sayyid Bakri b. M. Syaththa, I’anah Al-Thalibin yang berjumlah empat jilid dan merupakan kompendium besar fiqih Syafi’iyah paling mutakhir baru mulai dicetak untuk kebutuhan setempat sejak tahun 1970-an dan seterusnya, yang mencerminkan terjadinya peningkatan kemakmuran di lingkungan santri). Pada dasawarsa 1960-an, penerbit Toha Putra Semarang juga ikut mengadu nasib di pasaran kitab. Lebih belakangan lagi, penerbit Menara Kudus ikut serta dalam kompetisi yang sama; ia merupakan penerbit non-Arab pertama untuk jenis kepustakaan kitab di Indonesia. Toha putra dan Menara telah menerbitkan sejumlah teks klasik yang disertai dengan terjemahan berbahasa Jawa atau Indonesia, di samping karya-karya asli para ulama Jawa. Pada tahun 1978, seorang mantan kompanyon Al-Ma’arif juga mendirikan penerbitan Al-Haramain di Singapura, yang hanya dalam beberapa tahun saja sudah memproduksi cukup banyak teks-teks Arab klasik, dan juga banyak kitab berbahasa Melayu dan bahkan beberapa karya berbahasa Sunda. Singapura tampaknya tidak lagi merupakan tempat yang menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan pasar Asia Tenggara,13 sehingga Al-Haramain menghentikan usahanya beberapa tahun kemudian (walaupun bukunya masih dapat ditemukan di seluruh Nusantara pada tahun 1987), dan pemiliknya merintis usaha penerbitan baru, yang bernama Bungkul Indah, di Surabaya. Dalam hal jumlah judul buku, Al-Haramain dan penggantinya, Bungkul Indah, merupakan penerbit kitab yang paling besar; namun dalam hal volume penjualan buku mereka tertinggal jauh dari Al-Ma’arif. Penerbit baru lainnya yang banyak
 
menerbitkan buku (khusus yang berbahasa Arab) adalah Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah di Surabaya.14
Belum ada tanda-tanda terjadinya pemusatan yang kuat dalam penerbitan kitab kuning. Surabaya mempunyai penerbit dalam jumlah besar, yang paling terkemuka di antarannya, di samping yang sudah disebutkan di atas, adalah penerbit Sa’ad bin Nashir bin Nabhan dan Ahmad bin Sa’d Nabhan; sepuluh anggota keluarga yang sama juga menerbitkan kitab. Di daerah pantai utara pulau Jawa juga terdapat beberapa penerbit kitab, yakni (di samping yang sudah disebutkan) di Semarang (Al-Munawwarah), Pekalongan (Raja Murah), Cirebon (Mishriyyah, penerbitan lama yang didirikan oleh ‘Abdullah bin ‘Afif) dan Jakarta (Asy-Syafi’iyyah dan Ath-Thahiriyyah, yang merupakan milik pesantren Betawi besar yang menggunakan nama yang sama, dan menghasilkan buku-buku teks yang dipakai di sana di samping buku-buku sederhana oleh para pengarang yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Betawi). Penerbit ‘Arafat di Bogor memproduksi, sebagian besar, karya-karya mengenai tata bahasa bahasa Arab (lebih dari dua puluh judul). Toko Kairo di Tasikmalaya, sebuah kota kecil di Jawa Barat, menerbitkan baik kitab klasik berbahasa Arab maupun kitab singkat yang berbahasa Sunda.
Di Sumatra, mengherankan, sekarang tidak terdapat penerbit kitab yang tergolong besar. Kebutuhan para peminat kitab di sini dilayani oleh para penerbit di Jawa, Singapura dan Malaysia. Penerbitan di Singapura, sebagaimana dikatakan di atas, sudah mengalami kemunduran. Demikian juga di Malaysia, pener- bitan kitab sedang mengalami kemunduran berbalikan dengan perkembangan penerbitan buku-buku  modern, di mana hasil terbitan negeri tersebut lebih unggul dibandingkan Negara tetangganya di sebelah tenggara. Di Georgetown (Pulau Pinang) masih terdapat tiga penerbit yang masih aktif, Dar Al-Ma’arif dan Nahdi adalah yang paling produktif di antaranya. Di Kota Bharu (Kelantan), Pustaka Aman Press sangat aktif, tetapi penerbit ini pada umumnya menerbitkan buku-buku modern berbahasa Melayu, bukan buku-buku klasik.15 Juga terdapatbeberapa penerbit di Patani (Thailand bagian selatan), yang tertua di antaranya, Patani Press mulai menerbitkan karya-karya para ulama Patani pada
 
akhir tahun 1930-an.16 Sekarang buku mereka tidak menyebar melampaui batas Patani dan negara-negara Melayu Perbatasan. Salah satu penerbit lain di sini, Nahdi, sudah banyak mengalihkan berbagai aktivitasnya ke Penang, tempat di mana iklim politiknya lebih memungkinkan bagi penerbitan buku-buku Islam, dan distribusi buku pun lebih luas jangkauannya.
Di samping penerbit yang sudah disebutkan di atas, ada sejumlah penerbit lokal kecil yang menghasilkan risalah-risalah singkat, brosur-brosur dan buku-buku keagamaan untuk pasaran setempat yang terbatas.
Kebanyakan buku yang dicetak oleh para penerbit di Asia Tenggara adalah cetakan ulang secara fotomekanis atas karya- karya yang sebelumnya sudah diterbitkan di Makkah dan Kairo sekitar pergantian abad. Bahkan masih banyak yang masih memakai nama penerbit aslinya pada halaman judulnya. Dalam kasus lain, nama ini telah digantikan dengan nama penerbit barunya. Sementara itu, pencetakan ulang secara tak berbatas terus berlangsung. Demikianlah bisa terjadi sebuah buku yang aslinya diterbitkan oleh Mushthafa Al-Babi Al-Halabi Kairo akan muncul dengan nama penerbit yang paling baru, Bungkul Indah, di sampulnya dan nama penerbit yang terdahulu, Al- Ma’arif, pada halaman judul, Sejumlah cetakan murah dari buku- buku Mesir atau Lebanon yang lebih baru dapat dibedakan dari aslinya hanya dari kualitas kertas dan penjilidannya—sebuah mimpi buruk bagi ahli bibliografi. Demikianlah, Bungkul Indah baru-baru ini menerbitkan serangkaian karya modern yang masih mencantumkan nama penerbit Beirut, Dar Al-Tsaqafah, di sampul dan halaman judulnya.

Format Umum Kitab Kuning
Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab komentar (syarh, Indonesia/Jawa: syarah) atau ko- mentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn, matan). Edisi cetakan dari karya-karya klasik ini biasanya me- nempatkan teks yang di-syarah-i atau di-hasyiah-i dicetak di tepi halamannya, sehingga keduanya dapat dipelajari sekaligus.
 
Barangkali inilah yang menyebabkan terjadi kekacauan tak di- sengaja dalam penyebutan di antara teks-teks yang berkaitan. Nama Taqrib, misalnya, dipakai baik untuk teks fiqih yang ring- kas dan sederhana yang memang demikianlah namanya mau- pun untuk kitab Fath Al-Qarib, kitab syarah yang lebih men- dalam atas teks tersebut. (Van den Berg, ternyata mempercayai kedua karya ini adalah sama). Jika seseorang menanyakan kitab Al-Mahalli, karya fiqih tingkat lanjut yang umum dikenal, dia akan diberi berjilid-jilid kitab hasyiyah atasnya yang disusun oleh Qalyubi dan ‘Umairah, yang menempatkan karya Mahalli yang berjudul Kanz Al-Raghibin yang lebih sederhana di tepi hala- mannya, hal yang sama juga terjadi pada kitab lainnya.
Kebanyakan buku buku teks dasar adalah manzhum, yakni ditulis dalam bentuk sajak-sajak berirama (nazhm), supaya mudah dihafal.17 Barangkali, karya manzhum yang paling panjang adalah kitab Alfiyah (sebuah teks tentang tata bahasa Arab, yang dinamakan demikian karena berjumlah seribu bait). Banyak generasi para santri yang telah, dengan cara mendendangkannya dengan sabar, berusaha menghafal seluruh karya, bersamaan dengan seluruh teks lainnya. Beberapa syarah atas kitab manzhum ini biasanya menyertakan bait aslinya dalam teks (prosa) syarah-nya, dan bukan menempatkan bait bait sajak tersebut secara tersendiri di tepi halaman.
Sebagian kecil dari terjemahan (berbahasa Jawa, Madura dan Sunda) hanya berisi terjemahan sela baris yang ditulis mencong, dengan tulisan lebih kecil, di bawah setiap kata teks Arabnya yang dicetak tebal, dan karena itu dijuluki jenggotan.18 Namun, seringkali ada tambahan terjemahan dan atau komentar yang lebih bebas yang biasanya dicetak di paruh bawah halaman tersebut. Terjemahan berbahasa Melayu kadang-kadang mengikuti pola yang berbeda: teks berbahasa Arab dipotong-potong menjadi kalimat-kalimat pendek, yang masing-masingnya kemudian diikuti dengan terjemahan bahasa Melayu yang lebih harfiyah yang diletakkan di antara tanda kurung. Tetapi lebih sering terjadi terjemahan dan/atau syarah berbahasa Melayu dicetak secara terpisah, tanpa menyertakan teks Arabnya.
 
Format kitab klasik yang paling umum dipakai di pesantren sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid. Lembaran-lembaran (koras-koras) tak terjilid dibungkus kulit sampul, sehingga para santri dapat membawa hanya satu halaman yang kebetulan sedang dipelajari saja. Ini adalah karakteristik fisik lain yang umumnya mengandung makna simbolik: ia membuat kitab tersebut tampak lebih klasik. Kitab yang ditulis oleh para pengarang modern, penerjemah atau pensyarah modern tidak pernah  dibuat  mengikuti  format ini. Banyak pemakai  kitab klasik yang sangat mengkaitkan karakteristik ini dengan kitab klasik, dan penerbit mengikuti saja selera konsumennya. Sebagian penerbit bahkan mencetak kitab di atas kertas berwarna kuning (yang diproduksi khusus untuk mereka oleh beberapa perusahaan Indonesia) karena tampaknya kitab berwarna kuning ini juga menjadi lebih klasik di pikiran para pemakainya.

Para Pengarang Kitab yang Terkenal
Sebagaimana dapat diduga, tidak ada perubahan yang besar dalam hal popularitas para kitab pengarang klasik dibandingkan dengan abad yang lalu. Sebenarnya semua kitab yang disebut Van den Berg masih terdapat di Indonesia, dalam bentuk cetakan ulangnya yang dibuat baru-baru ini. Tetapi ada peningkatan yang dapat dicatat dalam hal kitab-kitab syarah yang relatif baru atas karya-karya tersebut. Ada beberapa penga- rang yang menonjol dalam hal ini, karena sejumlah karya yang mereka tulis tersedia secara luas dan pada umumnya sudah masuk ke dalam kurikulum pesantren. Yang paling terkenal di antaranya dihasilkan di Makkah pada akhir abad ke-19.
Ahmad b. Zaini Dahlan, mufti Syafi`iyyah di Makkah ketika Snouck Hurgronje menetap di sana, diwakili dengan tujuh karyanya dalam koleksi ini, dan orang sezamannya yang lebih muda, Sayyid Bakri b. Muhammad Syaththa’ Al Dimyati, dengan empat kitab, yang sangat banyak dipelajari.19 Namun pengarang yang paling dikenal di mana-mana adalah seorang ulama Indonesia, Muhammad bin ‘Umar Nawawi Al-Jawi Al-
 
Bantani (Nawawi Banten), yang dua puluh dua judul kitab karangannya termasuk dalam koleksi tersebut, semuanya dalam bahasa Arab.20 Sebelas di antaranya termasuk dalam daftar kitab yang paling sering digunakan (di bawah)—ternyata, buku- bukunya juga lebih banyak yang termasuk ke dalam seratus buku yang paling terkenal dibandingkan dengan buku karangan para penulis lainnya. Nawawi sudah menulis mengenai semua aspek ilmu keislaman. Kebanyakan karyanya adalah syarah atas teks-teks terkenal, dengan menjelaskannya dengan cara pengungkapan yang mudah dipahami. Dia barangkali paling tepat digambarkan sebagai seorang yang memperkenalkan secara luas, daripada memberikan sumbangan baru kepada, wacana keilmuan Islam.
Pensyarah lain, yang dapat disejajarkan dengan Nawawi Banten dalam hal ruang lingkup dan popularitasnya, adalah pengarang Mesir yang hidup lebih awal, Ibrahim Al-Bajuri (atau Baijuri, w. 1277/1861),21 yang beberapa karyanya sudah dipelajari secara luas pada masa Van den Berg. Di pasaran terdapat enam karya yang ditulisnya, tentang fiqih, akidah dan logika.
Di samping Nawawi, beberapa pengarang Asia Tenggara lainnya mendapat tempat yang tak tergoyahkan di dalam kurikulum pesantren atau madrasah. Salah seorang yang lebih awal dan pengarang yang sangat produktif adalah Da’ud b. ‘Abdullah Al-Patani (w. kira- kira 1845) yang tadi sudah disebut, yang juga menulis tentang berbagai ragam pokok bahasan yang luas, dan selalu dalam bahasa Melayu.22 Saya menemukan empat belas karyanya dalam bentuk cetakan ulang yang diterbitkan baru-baru ini. Karya-karyanya tersebut banyak dipelajari di Patani, Malaysia dan beberapa wilayah Sumatra. Karya-karya penting orang sezamannya, Muhammad Arsyad Al-Banjari dan ‘Abd Al-Shamad Al-Palimbani, (yang juga menulis dalam bahasa Melayu) juga terus-menerus mengalami cetak ulang. Pengarang karya berbahasa Melayu lain yang sampai sekarang masih populer adalah Sayyid Usman (‘Utsman bin ‘Abdullah b. ‘Aqil
b. Yahya Al-‘Alawi) yang juga sudah disebut di atas.
 
Salah seorang pengarang Jawa terkemuka pada akhir abad ke-19 adalah Saleh Darat (Shalih b. ‘Umar Al-Samarani,
w. 1321/1903). Dia menulis beberapa kitab syarah (dalam bahasa Jawa) atas beberapa karya penting dalam bidang fiqih, akidah dan tasawuf.23 K.H. Mahfudz dari Termas (Mahfuzh bin ‘Abdullah Al-Tarmasi), yang hidup dan mengajar di Makkah sekitar pergantian abad (w. 1919), menulis beberapa karya yang sangat mendalam (dalam bahasa Arab) mengenai fiqih dan ilmu hadis.24 Ulama lain yang sangat dihormati adalah almarhum K.H. Ihsan b. Muhammad Dahlan dari Jampes, Kediri, yang menulis (dalam bahasa Arab) kitab syarah yang banyak dikagumi atas karya Al-Ghazali, Minhaj Al- ‘Abidin, yang berjudul Siraj Al-Thalibin. Nama semua pengarang ini (kecuali Kiai Mahfudz) tertera dalam daftar kitab yang paling populer di bawah.
Seorang pengarang Jawa yang lebih belakangan, dan sangat produktif adalah K.H. Bisri Mustofa dari Rembang (Bisyri Mushthafa Al-Rambani), yang dalam koleksi ini diwakili dengan lebih dari dua puluh karya, termasuk sebuah karya tafsir yang berjumlah tiga jilid (yang lebih merupakan terjemahan dari penafsiran atas Al-Quran). Misbah b. Zain Al-Mustafa dari Bangilan, Ahmad Subki Masyhadi dari Pekalongan dan Asrori Ahmad dari Wonosari menerjemahkan beberapa teks klasik ke dalam bahasa Jawa; yang pertama bahkan menulis karya tafsir yang berjilid-jilid dalam bahasa Jawa. Pengarang Jawa lainnya yang produktif adalah Kiai Muslikh dari Mranggen (Mushlih b. ‘Abd Al-Rahman Al-Maraqi, w. 1981), yang menulis berbagai risalah tentang tarekatnya, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya, dan Ahmad ‘Abd Al-Hamid Al-Qandali dari Kendal yang menulis berbagai risalah tentang akidah dan kewajiban agama serta teks-teks yang lebih berkaitan dengan berbagai masalah praktis (metode dakwah dan masalah-masalah NU).
Pada abad ke-19, pesantren di Madura dan Jawa Barat tidak menggunakan bahasa wilayah mereka sendiri tetapi bahasa Jawa sebagai medium: kalaupun teks-teks Arab diterjemahkan, terjemahan ini ke dalam bahasa Jawa. Hal ini
 
juga telah mengalami perubahan, dan sekarang juga terdapat kitab kuning dalam bahasa Madura dan Sunda. Abd Al-Majid Tamim dari Pamekasan menerjemahkan lebih dari sepuluh buku ke dalam bahasa Madura, yang mencakup hampir semua cabang ilmu agama. Sekarang terdapat lebih banyak jumlah kitab dalam bahasa Sunda dan sebagian besar di antaranya adalah karya asli, bukan karya terjemahan. Tiga pengarang Sunda yang menonjol dalam koleksi tersebut: Ahmad Sanusi dari Sukabumi (pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah, yang bergabung ke dalam Persatuan Ummat Islam pada tahun 1952) menulis sebuah terjemahan/tafsir Al-Quran, Rd. Ma’mun Nawawi b. Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah singkat, dan ulama besar dan penyair ‘Abdullah b. Nuh dari Bogor yang menulis karya-karya tentang ajaran-ajaran Sufi, yang didasarkan atas pandangan Al-Ghazali. Di samping buku-buku mereka, ada beberapa risalah singkat dalam bahasa Sunda yang ditulis sebagai pelajaran tingkat dasar, yang diterbitkan toko bu- ku Toko Kairo di Tasikmalaya.
Dari para pengarang Minangkabau, yang polemik mereka pada awal abad ini telah menarik cukup perhatian (Schrieke, 1921), karya cetakan mereka hampir tidak ditemukan lagi. Bahkan karya Ahmad Khatib yang sangat berpengaruh pun tampaknya hampir tidak dibaca lagi; hanya dua dari karyanya yang ditemukan dalam bentuk cetakan, dan juga pada umumnya tidak dapat ditemukan di toko buku. Namun dua pengarang Minangkabau lainnya, MahmudYunus dan Abdul Hamid Hakim, termasuk dalam seratus pengarang paling populer, dan terwakili dengan baik dalam koleksi tersebut. Keduanya telah menulis sejumlah buku teks, dalam bahasa Melayu dan Arab, untuk dijadikan bahan pelajaran di madrasah dan, beberapa di antaranya dipelajari secara luas, juga di pesantren.25

Seratus Terpopuler dalam Kepustakaan Pesantren
Koleksi kitab yang saya kumpulkan dan letakkan di KITLV sampai saat ini merupakan tinjauan yang paling lengkap mengenai kepustakaan yang dipelajari di dalam dan di seputar pesantren
 
dan madrasah. Tetapi ia, tentu saja, tidak dapat dengan sendirinya menunjukkan kepada kita karya-karya mana yang paling sering dipakai, pada tingkat apa, dan di mana. Kurikulum madrasah, khususnya yang dimiliki atau disubsidi oleh pemerintah, sudah agak terstandardisasikan dan tidak begitu berorientasi kepada karya-karya klasik sebagaimana  orientasi  pesantren.  Koleksi ini mencakup cukup banyak Buku modern yang ditulis untuk madrasah di Mesir, yang juga dipelajari di lembaga-lembaga serupa di Indonesia, di samping buku-buku yang secara khusus di tulis oleh pengarang Indonesia sendiri, dalam bahasa Arab yang sederhana.
Pesantren berbeda dengan madrasah dalam hal, di sampin beberapa hal lainnya, tidak adanya keseragaman dalam kuri- kulum.26 Banyak kiai yang mengkhususkan diri menekuni salah satu cabang ilmu, atau bahkan salah satu kitab tertentu (lihat Zarkasyi 1985 untuk beberapa contoh). Karena alasan ini pula, banyak para santri yang berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk belajar sejumlah kitab tertentu secara menyeluruh. Tidak ada satu pesantren pun yang memberikan kurikulum yang “mewakili” semua dengan dirinya sendiri. Kita harus mengambil beberapa pesantren sekaligus untuk dapat memastikan dengan karya-karya apa sajakah yang dipelajari rata-rata santri selama masa belajarnya di pesantren.
Saya mendapatkan kesan kuat (berdasarkan apa yang telah saya temukan melalui kitab-kitab yang tersedia di toko kitab di berbagai wilayah) bahwa kurikulum rata-rata pesantren di Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung Malaya masih berbeda dalam kadar tertentu dari kurikulum yang ada di pesantren Jawa. Kitab yang aslinya ditulis dalam bahasa Melayu, yang dikarang oleh ulama seperti M. Arsyad Al-Banjari, Daud bin ‘Abdullah Al- Patani dan ‘Abd Al-Shamad Al-Palimbani, sejak lama, dan dalam kadar tertentu sampai sekarang, didahulukan dipelajari daripada karya-karya klasik berbahasa Arab dan kitab-kitab syarahnya yang ditulis pada abad ke-19 yang merupakan bagian utama dari kurikulum pesantren Jawa. Meskipun demikian, pemapanan pondok pesantren di seluruh Sumatra dan Kalimantan, sejak tahun 1920-an dan seterusnya, dengan mengikuti model pesantren
 
Jawa dan madrasah ala Sumatra Barat, secara bertahap telah mengakibatkan penggantian kitab-kitab Melayu tersebut dengan karya-karya standar yang berbahasa Arab.
Studi Van den Berg (1886), walaupun sudah lama, masih merupakan survei paling terperinci mengenai kitab-kitab yang umum dipelajari di pesantren Jawa.27 Ada beberapa survei belakangan yang mengaku sebagai survei yang representatif,28 tetapi masih jauh dari memuaskan. Dalam kenyataannya, kita belajar lebih banyak dari otobiografi anek-dotik, seperti otobiografi
K.H. Saifuddin Zuhri (orang NU yang menjadi Menteri Agama pada masa Demokrasi Terpimpin), yang secara selintas menyebutkan kitab-kitab yang dibacanya atau dibacakan untuknya di pesantren, tentang cara yang dipakai untuk mempelajarinya dan dampaknya terhadap dirinya sendiri (Zuhri 1974: khususnya hlm. 30-34, 1987: 30-32, 95-105, 120-130). Tetapi sekarang ada sejumlah cukup besar monografi tentang pesantren tertentu, yang kebanyakan memuat daftar tentang kitab-kitab yang dipelajari di sana.29 Daftar-daftar ini, yang dikumpulkan oleh peneliti yang berbeda, berbeda satu dengan lainnya dalam hal panjang dan mutunya, dan tidak satupun di antaranya yang lengkap. Karya-karya yang paling terkenal jelas lebih diperhatikan, sehingga mengakibatkan terabaikannya kitab-kitab yang kurang masyhur yang juga dipelajari di pesantren. Namun, kalau dikaji semuanya monografi- monografi tersebut memberikan indikasi yang bisa dimengerti tentang kitab yang paling banyak dipelajari sekarang. Saya telah menambahkan atas monografi-monografi tersebut sejumlah kecil daftar yang serupa, yang disusun oleh para peneliti Indonesia selama pelaksanaan proyek penelitian tentang ulama Indonesia belum lama berselang,30 dan dengan demikian data yang telah terkumpul tentang sejumlah 42 pesantren, yang 18 di antaranya terletak di Jawa Timur, 12 di Jawa Tengah, dan 9 di Jawa Barat, 3 di Kalimantan Selatan. Saya juga telah menambahkan sejumlah data tentang Sumatra, walaupun yang terakhir ini tidak benar- benar dapat dibandingkan karena tidak berhubungan dengan pesantren tertentu tetapi dengan empat pesantren “rata- rata”. Data ini berasal dari dua daftar gabungan tentang kitab- kitab yang dipakai di pesantren dan oleh ulama tradisional di Riau
 
dan Palembang; kurikulum rata-rata madrasah yang berafiliasi dengan Perti di Sumatra Barat; dan kurikulum suatu surau kolot di Pariaman, Sumatra Barat.31 Jumlah pesantren Kalimantan yang datanya dikumpulkan, sayang sekali, terlalu sedikit untuk dapat dianggap mewakili. Namun data tersebut meneguhkan kesan umum bahwa pesantren orang Banjar masih berpola pesantren gaya lama.32 Kolom Sumatra dan Kalimantan dalam tabel-tabel di halaman setelah ini memberikan beberapa indikasi—tetapi tidak lebih dari indikasi—mengenai perbedaan kecil tetapi sistematik dalam kurikulumnya dengan pesantren di Jawa. Perbedaan antara pesantren Jawa dan Sunda di pulau Jawa, karena tersedianya data yang lebih lengkap, memberikan gambaran yang lebih jelas.
Saya sudah menyatukan teks-teks (matan) dan syarah- syarah tanpa judul tentangnya; hanya syarah-syarah yang umum dikenal dengan judul yang berbeda yang disebutkan secara terpisah. Walaupun demikian, jumlah keseluruhan teks yang disebutkan sudah lebih dari 350 buah; tabel di bawah hanya mengurutkan teks-teks yang paling sering dipakai, yang dikelompokkan menurut pokok bahasannya. Di dalam masing- masing tabel, karya karya yang secara geneologis berhubungan (yaitu karya yang didasarkan atas teks asli yang sama) dikelompokkan menjadi satu; sebaliknya judul judul diurutkan secara kasar menurut tingkatan popularitasnya, bukan menurut jenjang yang menentukan pada tingkat mana teks-teks tersebut dipelajari. Untuk urutan mengenai masalah yang terakhir ini secara kasar ditunjukkan dengan catatan pada kolom terakhir tentang tingkat pendidikan mana buku-buku tersebut biasanya dipelajari. Istilah ibtida’iyah, tsanawiyah dan ‘aliyah (tingkat dasar, menengah, dan atas) adalah nama yang dipakai untuk menyebut tiga tingkatan pendidikan madrasah (yang masing- masing tiga tahun) dan tidak selalu tepat untuk menggambarkan pendidikan pesantren tradisional. Kata khawash (orang yang khusus) menunjukkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Tabel-tabel tersebut menyebutkan judul-judul kitab dengan nama pendeknya yang umum dipakai, yang ditransliterasikan menurut cara yang lazim dipakai dalam bahasa Indonesia.
 
Ilmu-ilmu Alat (Lihat Tabel I)
Ilmu-ilmu alat/bantu pada dasarnya mencakup berbagai cabang tata bahasa bahasa Arab tradisional: nahwu (sintaksis), sharaf (infleksi), balaghah (retorika), dan seterusnya. Terdapat buku-buku teks tentang ilmu-ilmu ini dalam jumlah dan ragamnya yang membingungkan yang membicarakan tentang ilmu-ilmu alat ini. Dalam hal ini, seluruh koleksi kami  dan daftar judul buku-buku yang paling populer dapat dibanding- kan tidak hanya dengan daftar yang dibuat Van den Berg, tetapi juga dengan daftar naskah-naskah teks tata bahasa yang terdapat di perpustakaan Jakarta dan Leiden yang disusun oleh Drewes (1971). Walaupun  Drewes menyebutkan lebih banyak  judul daripada daftar yang diberikan Van den Berg, daftar yang terakhir ini ternyata lebih banyak kedekatannya dengan daftar yang kami susun.33 Ini merupakan indikasi lain yang menunjukkan bahwa koleksi-koleksi naskah tersebut jelas tidak mewakili buku-buku yang betul-betul digunakan dan bahwa orang harus berhati- hati apabila menarik kesimpulan atas dasar koleksi-koleksi ini semata.

Tabel I

Tata Bahasa Arab, Tajwid, Logika

 

Daerah                      Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim     JML

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pesantren:

4

3

9

12

18

46

TINGKAT

sharf

 

 

 

 

 

 

 

Kailani/Syarah

 

 

 

 

 

 

 

Kailani                             2

1

7

0

4

14

‘Aliyah

Maqshud/Syarah  Maqshud                           0

1

2

3

5

11

 

Amtsilatut

Tashrifiyah                        0

0

0

3

4

7

Tsanawiyah

Bina’                                1

0

4

1

0

6

Ibtida’iyah

 

Jurumiyah/

Syarah Jurumiyah          3

 

 

1

 

 

8

 

 

9

 

 

16

 

 

37

 

 

Tsanawiyah

Imrithi/

Syarah Imrithi             0

0

3

6

12

21

Tsanawiyah

 

 
nahw


 

Mutammimah

0

1

5

0

7

13

Tsanawiyah

Asymawi

0

0

1

0

2

3

 

Alfiyah

0

0

8

11

11

30

‘Aliyah

Ibnu Aqil

1

0

0

3

10

14

‘Aliyah

Dahlan Alfiyah

0

0

1

0

3

4

‘Aliyah

Qathrun Nada

3

1

0

0

0

4

Tsanawiyah

Awamil

1

0

1

1

1

4       Ibtida’iyah/ Tsanawiyah

Qawaidul Irab

0

0

0

1

2

3       Tsanawiyah

Nahwu Wahdhih

0

0

0

2

3

5       Tsanawiyah

Qawaidul Lughat

0

0

0

2

2

4

balaghah

Jauharul Maknum

 

 

2

 

 

0

 

 

4

 

 

5

 

 

7

 

 

18      ‘Aliyah

Uqudul Juman

0

0

3

0

4

7       ‘Aliyah

tajwid

Tuhfatul Athfal

 

 

0

 

 

0

 

 

1

 

 

1

 

 

4

 

 

6       Tsanawiyah

Hidayatus Shiban

0

0

0

1

4

5       Tsanawiyah

manthiq

Sullamul Munauraq

 

 

1

 

 

0

 

 

3

 

 

1

 

 

5

 

 

10      ‘Aliyah

Idhahul Mubham

2

0

1

1

3

7       ‘Aliyah



Dalam sistem tradisional, santri biasanya mulai dengan mempelajari pengetahuan dasar tentang sharaf, yang berarti bahwa dia harus berusaha menghafal tabel-tabel  pertama dari perubahan kata kerja dan kata benda. Karya yang paling sederhana dalam kategori ini adalah Bina (Al-Bina’ wa Al-Asas, karangan seorang Mulla Al-Danqari). Setelah menguasai teks ini, santri kemudian mempelajari Al-Izzi (Al-Tashrif li Al-‘Izzi karangan ‘Izzuddin Ibrahim Al-Zanjani, lihat GAL I:283; GAL SI:497)34 atau Al-Maqshud (Al-Maqshud fi Al- Sharf, sebuah karya anonim yang sering dianggap sebagai karya Abu Hanifah). Setelah melampaui tingkatan ini, santri akan beralih ke karya pertama tentang nahwu sebelum melanjutkan mempelajari karya sharaf yang lebih sulit (jika ia memang pernah sampai mencapai tingkat ini). Salah satu karya yang paling gampang
 
dan paling populer mengenai ilmu nahwu adalah ‘Awamil (Al- ‘Awamil Al-Mi’a, karangan ‘Abd Al-Qahir ibn ‘Abd Al-Rahman Al Jurjani, wafat 471 H), yang berisi sebuah daftar situasi yang menentukan harakat huruf akhir dari kata benda dan huruf-huruf hidup yang mengikuti konsonan akhir dari kata kerja. Setelah itu, santri dapat beranjak ke kitab Jurumiyah (Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyah, karangan Abu ‘Abdullah Muhammad b. Daud Al- Shanhaji b. Ajurrum, wafat pada 723 H.)
Kurikulum pendahuluan ini lazim berlaku di berbagai wilayah yang cukup  luas.  Teks-teks  yang  sama  dipelajari, menurut urutan ini, di madrasah-madrasah tradisional di Kurdistan (kecuali karya yang disebutkan terakhir, yang tidak dikenal di sana), di pesantren Jawa abad ke-19 dan di surau Sumatra Barat.35 Karya-karya yang sama juga masih digunakan, tetapi dengan perubahan-perubahan tertentu. Bina’ dan ‘Izzi adalah karya yang paling agak terabaikan dalam daftar tersebut, karena lebih mengutamakan karya-karya yang lebih serius, tetapi kedua karya tersebut tampaknya telah mempertahankan tempatnya lebih baik di Jawa Barat dan Sumatra daripada Jawa Tengah dan Timur. Sebuah karya baru yang bersifat pengantar (namun juga bersifat tradisional) yang sangat populer di pesantren Jawa adalah Amtsilah Tashrifiyah (Al-Amtsilah Al-Tashrifiyah li Al- Madaris Al-Salafiyah, yang berisi tabel infleksi), karya pengarang Jawa Muhammad Ma’shum bin ‘Ali dari Jombang. Teks-teks pengantar yang lain juga banyak ditemukan.36 Pada tingkatan selanjutnya, kitab syarah yang ditulis oleh pengarang Mesir Muhammad ‘Ullaisy (w. 1881), Hall Al-Ma’qud Min Nazhm Al- Maqshud (lihat GALS II:738), dipelajari, sebagai pengganti, atau bersamaan dengan, Al-Maqshud. Ini biasanya diikuti dengan penjelasan yang panjang lebar tentang ‘Izzi, Kailani (yang diberi nama mengikuti nama pengarangnya, ‘Ali b. Hisyam Al- Kailani, yang tentang dirinya tidak ada informasi terperinci yang saya ketahui), yang sekarang merupakan kitab sharaf yang paling banyak dipakai.
Urutan mengkaji kitab nahwu biasanya sebagai berikut: setelah Jurumiyah, Imrithi (versi Jurumiyah dalam bentuk bait- bait sajak), dan kemudian lagi kitab syarah yang lebih mendetil,
 
Mutammimah, atau langsung ke Alfiyah, yang biasanya dengan dipelajari bersama-sama sebuah syarah-nya. Imrithi (Al-Durrah Al-Bahiyah, karangan Syaraf b. Yahya Al-Anshari Al-‘Imrithi), Mutammimah (dari Syams Al-Din Muhammad b. Muhammad Al-Ru’aini Al-Haththab), dan Alfiyah (dari Ibn Malik) dengan kitab syarahnya yang sangat terkenal Ibnu ‘Aqil (dinamakan demikian mengikuti nama pengarangnya, ‘Abdullah b. ‘Abd Al- Rahman Al-‘Aqil) yang sejak lama sudah umum dipakai, dan digambarkan oleh Van den Berg dan Drewes, bersama-sama dengan berbagai kitab syarah lainnya yang masih ada tetapi tampaknya kurang populer. Kitab yang tidak mereka sebutkan, tetapi sering ditemukan, adalah Asymawi, sebuah syarah atas Jurumiyah yang ditulis oleh seorang yang bernama ‘Abdallah
b. ‘Asymawi (tidak ada informasi yang lebih rinci tentangnya), sementara kitab syarah atas kitab Alfiyah, yang ditulis akhir abad ke-19, adalah karangan mufti madzhab Syafi’iyah di Makkah, Ahmad b. Zaini Dahlan, yang biasanya disebut Dahlan Alfiyah.
Qathran Nada’ [Wa Ball Al-Sada’], karangan Ibnu Hisyam37 (w.761/ 1360), yang sangat populer pada abad ke-19, juga masih banyak dipakai. Karya pengarang yang sama, Qawa’id Al-I’rab, dipakai terutama dalam bentuk terjemahan berbahasa Jawa yang disusun dalam bentuk bait sajak (oleh Yusuf bin Abdul Qadir Barnawi); juga, terdapat sebuah terjemahan bahasa Maduranya.
Dalam kadar tertentu, karya-karya klasik digantikan oleh bahan-bahan pelajaran yang lebih modern. Pada tahun 1921, Konsul Belanda di Jiddah, E. Gobee, mengamati bahwa di sekolah-sekolah pemerintah di Hijaz, kitab Alfiyah tidak lagi menjadi bagian dari kurikulum pelajaran bahasa, tetapi sudah digantikan dengan karya modern, Qawa’id Al-Lughah Al- ‘Arabiyyah, suatu serial buku teks karya pengarang Mesir, Hafni Bak Nashif dkk. (Gobée 1921). Pada tahun 1930-an, buku-buku ini dipakai di madrasah-madrasah Sumatra Thawalib yang relatif modern di Sumatra Barat, bersama-sama dengan buku-buku teks karya pengarang Mesir pada waktu itu dan buku-buku yang ditulis oleh ulama setempat yang telah belajar di Mesir (lihatYunus 1979: 77). Buku-buku teks ini sekarang banyak
 
dipergunakan di madrasah dan sekolah-sekolah negeri untuk guru agama (PGA); jumlah pesantren yang mengikuti jejak serupa terus meningkat, sebagaimana tercermin dalam Tabel I.
Buku teks tata bahasa lain yang menonjol di sini adalah Nahwu Wadhih (An-Nahw Al-Wadhih fi Qawa’id Al-Lughah Al- ‘Arabiyah), yang ditulis oleh dua penulis Arab, ‘Ali Jarim dan Mushthafa Amin (yang banyak tersedia dalam edisi Lebanon dan Mesir yang dicetak ulang secara foto-mekanis). Buku ini juga sudah dipergunakan di Sumatra Barat sejak tahun 1930- an, bersamaan dengan buku Al-Balaghah Al-Wadhihah, karang- an kedua penulis yang sama.
Yang terakhir ini menghantarkan kita kepada bagian terakhir dari cabang penting dari ilmu tata bahasa Arab : retorika (balaghah, dengan sub-bagiannya bayan, ma’ani dan badi’). Dua kitab klasik mendominasi bidang ini dalam kurikulum, yakni:
Jauharul Maknun (Al-Jauhar Al-Maknun atau Al-Jawahir Al- Maknunah fi Al-Ma’ani wa Al-bayan wa Al-badi’), yang dikarang oleh ‘Abd Al-Rahman Al-Akhdhari (lahir 920/1514, lihat GAL S II: 706). Judul yang sama sering merujuk kepada sebuah kitab yang merupakan syarah atas karya tersebut oleh Ahmad Al-Damanhuri (1101-1177/1689-1763, lihat GAL II: 371) dan hasyiyahnya oleh Makhluf Al-Minyawi, yang banyak terdapat di Indonesia (dan juga disebut dengan kitab Makhluf) . Kitab Jauhar diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh K.H. Bisri Mustofa dari Rembang.
Terakhir, Uqudul Juman (Al-Mursyidi ‘Ala ’Uqud Al-Juman fi ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan), sebuah teks manzhum tentang retorika yang ditulis oleh Jalal Al-Din Al-Suyuthi, yang didasarkan atas karya Siraj Al-Din Al-Sakkaki, ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan (GAL I: 294-6). Satu-satunya buku balaghah lain yang dapat ditemukan dengan mudah adalah, dengan beberapa syarah-nya, karya Abu Al-Qasim Al-Samarqandi, Al-Risalah Al- Samarqandiyah, namun kitab ini tidak mendapatkan skor yang tinggi dalam daftar kami.
Jumlah keseluruhan teks-teks yang ada dalam koleksi kami sekarang, tentu saja, melebihi jumlah teks yang disebutkan di
 
atas. Mungkin perlu dicatat bahwa tiga dari daftar judul yang disusun oleh Van den Berg tidak terdapat dalam bentuk cetakan. Ketiganya adalah ‘Innola’ (syarah tanpa judul atas ‘Awamil), Kafiyah karya Ibn Al-Hajib dan Al-Mishbah karya Burhan Al-Din Abu Fath Nashir Al-Din.
Ilmu alat lain (walaupun tidak lazim dimasukkan ke dalam kategori ilmu alat, tetapi lebih kepada ilmu-ilmu Al-Quran) adalah ilmu tajwid, ilmu mengenai cara pengucapan dan intonasi yang tepat dalam melafalkan Al-Quran). Ilmu ini termasuk pelajaran yang paling awal dipelajari (karena judul-judul teks yang diurutkan, yang berarti “hadiah untuk anak-anak” dan “bimbingan untuk anak-anak”, secara eksplisit menunjukkan hal itu). Kitab Tuhfah Al-Athfal karangan Sulaiman Jumzuri dan kitab anonim yang berjudul Hidayah Al-Shibyan, keduanya merupakan teks singkat tingkat dasar mengenai mata pelajaran ini. Keduanya ditemukan dalam beberapa koleksi teks-teks pendek, biasanya secara bersama sama).
Ilmu alat yang ketiga adalah manthiq, logika Aristotelian (yang akan terbukti kegunaannya ketika santri mulai mempelajari fiqih). Buku teks yang paling umum dipergunakan dalam mata pelajaran ini adalah Sullamul Munauraq (Al-Sullam Al-Munauraq38 fi ‘ilm Al-Manthiq) yang ditulis oleh Al-Akhdhari (pengarang Al-Jauhar Al-Maknun, lihat GAL SII: 705-6). Ahmad Al-Damanhuri (yang juga menganotasikan Jauhar-nya Al-Akh- dhari) menulis sebuah syarah atasnya, yang sangat terkenal di Indonesia dan diberi judul Idhah Al-Mubham Min Ma’ani Al- Sullam. Di tepi halaman dari edisi cetakan, kami menemukan syarah atas  Al-Sullam yang ditulis oleh Al-Akhdhari sendiri. Syarah yang terakhir ini juga dapat ditemukan bersamaan dengan hasyiyah yang ditulis oleh Ibrahim Al-Bajuri. Dua kitab syarah lainnya, tanpa judul, yang sering dijumpai adalah karya Hasan Darwisy Al-Quwaysini (w. 1210/1795) dan ulama Al-Azhar, Ahmad b. ‘Abd Al-Fattah Al-Mullawi (w. 1181/1767) dengan hasyiyah karangan M. b. ‘Ali Al-Shabban. Juga, terdapat karya terjemahan berbahasa Jawa dalam bentuk bait-bait sajak oleh K.H. Bisri Mustofa.
 
Yang juga banyak ditemukan adalah pedoman logika dasar, Isaghuji, karangan Atsir Al-Din Mufadhdhal Al-Abhari (w. 663/1264; lihat GAL I:464-5; GAL S I: 839-41) . Selain judulnya, karya ini bukanlah terjemahan atas karya Porphyrius, Isagoge, sebagaimana yang sering dianggap orang (lihat Arminjon 1907: 215-7, dan ringkasannya oleh Calverley 1933).

Fiqih dan Ushul Al-Fiqh (Lihat Tabel II)
Inti pendidikan pesantren terdiri dari pendidikan fiqih, dan kitab-kitab yang paling masyhur, seperti Minhaj dan Tuhfah, Taqrib dan Fath Al-Qarib, adalah kitab fiqih. Cabang keilmuan ini sudah dibahas secara khusus dalam bab yang lalu.

Tabel II

Fiqih dan Ushul Al-Fiqh

 

Daerah                             Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML

 

Jumlah Pesantren

4

3

9

12

18

46

TINGKAT

Fiqih

 

 

 

 

 

 

 

Fath Al-Mu’in

2

1

7

6

16

32

‘Aliyah

Ianah Thalibin

2

2

0

0

0

4

 

Taqrib

2

0

6

5

7

20

Tsanawiyah

Fath Al-Qarib                   2            1          4          7          9        23 ‘Aliyah

Kifayatul Akhyar             1            0          6          4          7        18 Tsanawiyah/

 

 

 

 

 

 

 

‘Aliyah

Bajuri

1

0

1

0

1

3

 

Iqna’

0

1

1

0

5

7

 

Minhaj Al-Thalibin

2

0

2

0

1

5

‘Aliyah

Minhaj Al-Thullab

0

0

0

0

1

1

 

Fathul Wahab

0

1

5

4

10

20

‘Aliyah

Mahalli

4

1

1

2

1

9

‘Aliyah

Minhajul Qawim

0

0

2

2

3

7

 

Safinah

1

0

6

7

7

21

Tsanawiyah

Kasyifat Al-Saja

0

0

1

0

3

4

 

Sullam Al-Taufiq

0

1

5

2

13

21

Tsanawiyah

Tahrir

0

1

2

1

5

9

‘Aliyah

Riyadh Al-Badiah

0

0

2

1

3

6

 

Sullam Al-Munajat

0

0

2

1

2

5

 

Uqud Al-Lujain

0

0

1

1

2

4

Tsanawiyah

Sittin/Syarah Sittin

0

1

2

0

0

3

 


 

Muhadzab

0

0

0

1

2

3

 

Bghyat  Al-Mustarsyidin

0

0

1

0

2

3

Mabadi Fiqhiyah

0

0

1

2

5

8

Tsanawiyah

Fiqh Wadhih

0

0

0

1

3

4

Tsanawiyah

Sabil  Al-Muhtadin

0

1

0

0

0

1

 

 

Ushul Al-Fiqh

Waraqat/

Syarah Al-Waraqat

 

 

2

 

 

1

 

 

6

 

 

1

 

 

2

 

 

12

 

 

‘Aliyah/

 

 

 

 

 

 

 

Khawasah

Lathaif Al-Isyarat

1

0

3

0

6

10

 

Jam’ul Jawami’

1

0

6

1

2

10

Khawash

Luma’

1

0

2

1

3

7

‘Aliyah/ Khawash

Al-Asybah wa

 

 

 

 

 

 

 

Al-Nadhair

0

0

1

1

4

5

Khawash

Bayan

0

0

1

0

2

3

Tsanawiyah/ ‘Aliyah

Bidayat  Al-Mujtahid

0

0

2

0

0

2

Khawash



Doktrin (Tauhid, Akidah, Ushul Al-Din) (lihat Tabel III)
Dibandingkan dengan jumlah dan kecanggihan karya- karya dalam bidang fiqih yang dipelajari di pesantren, doktrin menempati tempat yang jauh kurang menonjol di dalam kurikulumnya. Sementara generasi-generasi terdahulu umat Islam Indonesia menunjukkan minat yang besar kepada kosmologi, eskatologi dan spekulasi metafisik—sebagaimana disaksikan pada tulisan Al-Raniri, ‘Abd Al-Ra’uf Singkel, dan ‘Abd Al-Shamad Al-Falimbani—mata pelajaran ini sekarang umumnya tidak masuk ke dalam kurikulum pesantren. Mungkinkah hal ini terjadi karena ada pepatah lama yang menyatakan bahwa terlalu besarnya minat akan masalah-masalah akidah hanya akan membawa kepada kekafiran?
 

Tabel III

Akidah (Ushuluddin, Tauhid)

 

Daerah                         Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML

 

Jumlah  Pesantren

4

3

9

12

18

46

TINGKAT

Tauhid

 

 

 

 

 

 

 

Ummul Barahin

2

0

2

0

1

5

‘Aliyah

Sanusi

2

0

3

3

3

11

Tsanawiyah

Dasuqi

0

1

1

0

5

7

‘Aliyah/ Khawash

Syarqawi

1

1

0

0

1

3

 

Kifayatul Awam

4

1

2

2

8

17

Tsanawiyah/ ‘Aliyah

Tijanud Durari

1

0

5

2

3

11

Tsanawiyah

Aqidatul Awm

0

0

0

4

9

13

Ibtida’iyah/ Tsanawiyah

Nuruzh Zhulam

0

1

1

0

1

3

Tsanawiyah

Jauharut Tauhid

1

0

3

2

1

7

Tsanawiyah

Tuhfatul Murid

0

1

0

0

2

3

Tsanawiyah

Fathul Majid

2

1

1

2

2

8

Khawash

Jawahirul Kalamiyah

0

0

1

3

5

9

Tsanawiyah

Husnul Hamidiyah

0

0

1

5

2

8

Tsanawiyah

Aqidatul Islamiyah

1

0

0

1

2

4

Tsanawiyah



Barangkali karena itulah karya-karya tentang akidah pada Tabel III tanpa kecuali, semata-mata merupakan pemaparan mengenai ajaran Al-Asy’ari tentang sifat-sifat Tuhan dan para Nabi. Kelompok teks yang paling populer adalah karya yang didasarkan atas dua karya terkenal Al-Sanusi tentang akidah. (Mengherankan, bahwa karya Nashafi dan syarah Taftazani, yang sama-sama jika tidak lebih berpengaruh di tempat lain, tampaknya tidak dikenal di Indonesia).39 Teks dasar yang termasuk dalam kelompok jenis buku ini adalah Umm Al- Barahin (disebut juga, Al-Durrah) karangan Abu ‘Abdullah M.
b. Yusuf Al-Sanusi (w. 895/1490, lihat GAL II, 250, GAL S II: 352- 3). Teks yang biasanya dirujuk sebagai Al-Sanusi[yah] agaknya merupakan syarah lebih mendalam tentangnya, yang ditulis oleh Al-Sanusi sendiri. Dalam edisi yang paling sering dijumpai, teks ini dicetak di tepi halaman dari hasyiyahnya yang sangat populer yang dikarang oleh Ibrahim Al-Bajuri, dan kemudian, juga
 
dikenal dengan Al-Sanusi. Kitab lain yang sering dipergunakan adalah hasyiyah atas Al-Sanusi yang dikarang oleh Muhammad Al- Dasuqi (w.1230/1815, lihat GAL II: 352-3) dan sebuah teks yang lebih mendalam karangan ‘Abdullah Al-Syarqawi (w. 1127/1812, lihat GAL II: 479-80), yang juga merupakan hasyiyah atas syarah abad ke-11 yang ditulis seorang yang bernama Muhammad b. Manshur Al-Hudhudi (dalam beberapa edisi Indonesia, kitab ini dicetak bersama-sama dengan teks Hudhudi). Semua teks ini biasanya disebut dengan nama pengarangnya.
Karya lain yang sebagian didasarkan atas Al-Sanusi adalah Kifayah Al-‘Awamm, karangan M. b. M. Al-Fadhdhali (w. 1236/1821, lihat GAL II: 489), yang sangat populer di Indonesia (kitab ini diterjemahkan ke bahasa Inggris dalam MacDonald 1903:315-51). Dalam koleksi kami juga terdapat satu versi dari karya ini, dengan terjemahan di sela baris (oleh H. M. Nur Munir
b. H. Ismail). Murid Fadhdhali, Ibrahim Bajuri (w.1277/1861) menulis sebuah syarah atasnya, Tahqiq Al-Maqam ‘Ala Kifayah Al-‘Awamm (dicetak bersama-sama dengan Kifayah dalam edisi Indonesia), dan syarah ini dihasyiyahkan oleh Nawawi Banten dalam karyanya yang banyak dibaca orang, Tijan Al-Durari.
‘Aqidah Al-‘Awamm adalah sebuah kitab singkat dan berbentuk sajak yang diperuntukkan bagi mereka yang berusia sangat muda, yang dihapal lama sebelum santri mulai mengerti bahasa Arab. Pengarangnya, Ahmad Al-Marzuqi Al-Maliki Al- Makki, aktif pada sekitar tahun 1864. Brockelmann (GAL S II: 990) menyebutkan sebuah versi berbahasa Melayu yang ditulis oleh Hamzah b. M. Al-Qadahi (dari Kedah); koleksi kami memuat terjemahannya dalam bahasa Jawa (oleh K.H. Bisri Mustofa dari Rembang) dan bahasa Madura (oleh Abdul Majid Tamim dari  Pamekasan). Nawawi Banten, yang barangkali mengenal pengarangnya, menulis sebuah syarah yang terkenal atasnya, dengan judul Nur Al-Zhalam.
Jauhar Al-Tauhid, teks singkat dalam bentuk untaian bait sajak karangan Ibrahim Al-Laqani (w.1041/1631), masih sangat populer. Santri berusaha keras menghafal seluruh teks tersebut, dan mempelajari berbagai syarah atasnya. Salah satunya adalah
 
karya Ibrahim Al-Bajuri, Tuhfah Al-Murid. Seorang ulama Melayu yang tidak disebutkan namanya dan dua orang ulama Jawa, Saleh Darat dari Semarang dan Ahmad Subhi Masyhadi dari Pekalongan, menulis syarah yang panjang lebar dalam bahasa daerah mereka sendiri, yang pada umumnya dikenal dengan judul yang lama, Jauhar Al-Tauhid. Syarah berbahasa Jawa yang ditulis Saleh Darat, menarik, terutama, karena ia mencerminkan pandangan dan penghayatan orang Jawa pada masa itu.
Fath Al Majid adalah teks lain yang juga ditulis oleh Nawawi Banten. Ia merupakan syarah atas kitab Durr Al-Farid fi ‘Ilm Al- Tauhid (yang dicetak di tepi halamannya) karangan seorang yang bernama Ahmad Al-Nahrawi, yang informasi lebih jauh tentang dia tidak saya temukan.
Tiga judul lainnya adalah karya-karya modern, yang per- tama-tama dipakai oleh madrasah yang telah terkena pengaruh Mesir dan dari sana kemudian secara bertahap merembes ke seluruh dunia pesantren.
Jawahir Al-Kalamiyah [fi Idhah Al-‘Aqidah Al-Islamiyah] ditulis oleh ulama Syria, Thahir b. Shalih Al-Jaza’iri, yang wafat di Damaskus pada tahun 1919.
Husunul Hamidiyah (Al-Hushun Al-Hamidiyah li Al-Muha- fazhah ‘Ala Al-‘Aqa’id Al-Islamiyah) adalah sebuah karya tentang sifat, kenabian, mukjizat para nabi, para malaikat, dan kehidupan setelah mati yang dikarang oleh seorang penulis modernis dan rasionalis moderat, Husain [b. M. Al-Jisr) Efendi Al-Tarablusi (w. 1909). Pengarang ini kemudian terkenal sebagai editor sebuah jurnal di mana dia berusaha untuk memadukan Islam dengan ilmu modern dan filsafat (GAL S II:776; lihat juga ulasan dalam Hourani 1962: 222-3). Buku ini pertama kali digunakan di Indonesia pada tahun 1930-an di madrasah-madrasah Sumatra Thawalib (Yunus 1979: 77).
Terakhir, Aqidatul Islamiyah yang merupakan buku pelajaran dalam bentuk tanya jawab modern yang diperuntukkan bagi para murid tingkat madrasah yang paling rendah oleh Bashri
b. H. Marghubi.
 
Batas antara pelajaran tauhid dan yang lazim dianggap sebagai pelajaran tasawuf di Indonesia samar. Karya Al-Ghazali, Ihya, yang merupakan kitab tasawuf yang paling populer di sini, sebetulnya juga pantas disebut sebagai kitab pelajaran akidah.
Masih ada kategori buku lainnya, yang sangat populer, dan harus disebut di sini, walaupun jarang merupakan bagian resmi dari kurikulum pasantren. Kitab-kitab ini adalah karya-karya tentang kosmologi dan eskatologi tradisional (dan seringkali sangat fantastik).40 Satu contohnya yang tipikal (dan cukup populer) adalah kitab Daqa’iq Al-Akhbar fi Dzikr Al-Jannah wa Al-Nar, karangan ‘Abd Al-Rahim Al-Qadhi (lihat GAL S I: 364), yang tersedia dalam bahasa Arab maupun terjemahan berbahasa Melayu, Sunda dan Madura. Kitab yang lain lagi adalah Al-Durar Al-Hisan, yang dianggap sebagai karya Al-Suyuti. Para pengarang Indonesia telah menyumbangkan sejumlah teks yang lebih sederhana yang dirancang serupa untuk menanamkan rasa takut kepada hari akhirat kepada pembacanya. Karya karya ini tidak dipergunakan sebagai buku teks, tetapi merupakan bacaan populer di lingkungan pesantren.

Tabel IV Tafsir Al-Quran

 

Daerah                           Sumatra Kalsel  Jabar Jateng Jatim JML

 

Jumlah Pesantren

4

3

9

12

18

46

TINGKAT

tafsir

 

 

 

 

 

 

 

Jalalain

4

1

9

9

16

69

‘Aliyah

Tafsirul Munir

0

1

3

2

5

11

‘Aliyah

Tafsir ibn Katsir

1

0

3

0

3

4

‘Aliyah

Tafsir Baidhawi

1

0

1

2

0

4

‘Aliyah

Jamiul Bayan (Thabari)

0

0

2

0

0

3

Khawash

Maraghi

0

0

2

1

0

3

‘Aliyah/ Khawash

Tafsirul Manar

0

0

2

0

1

3

Khawash

Tafsir Dep. Agama

0

0

0

1

1

2

Tsanawiyah

‘ilm tafsir

 

 

 

 

 

 

 

Itqan

0

0

2

0

1

3

‘Aliyah

Itmamud Dirayah

0

0

0

0

2

2

 

  
 
Tafsir Al-Quran (Lihat Tabel IV)
Van den Berg hanya menyebutkan satu kitab tafsir sebagai bagian dari kurikulum yang umum dipakai, yaitu tafsir Jalalain, yang dapat ditemukan di mana-mana. Tafsir karya Baidhawi juga dikenal namanya, tetapi sangat jarang ditemukan kiai yang mengajarkan teks ini (Van den Berg 1886: 555). Beberapa tambahan kecil mungkin dapat diberikan untuk masalah ini, di wilayah Nusantara yang berbahasa Melayu kitab Tarjuman Al- Mustafid, sebuah terjemahan tafsir Jalalain berbahasa Melayu yang disertai dengan beberapa keterangan tambahan yang diambil dari kitab tafsir lain,41 oleh ‘Abd Al-Ra’uf dari Singkel, pastilah sangat dikenal dengan baik (kitab tersebut masih dapat ditemukan dalam berbagai edisinya). Nawawi Banten, bahkan, sudah menulis Al-Tafsir Al-Munir li Ma’alim Al-Tanzil pada masa Van den Berg, tetapi karya ini, seperti karya yang lain, mungkin belum umum dipergunakan karena konservatisme kurikulum pesantren.
Secara umum, kesan Van den Berg mungkin benar: pada akhir abad ke-19, tafsir. belum dianggap. sebagai bagian yang sangat penting dalam kurikulum pesantren. Karena dampak modernisme, dengan slogannya: kembali kepada Al-Quran dan hadis, penafsiran Al-Quran jelas semakin mendapatkan arti pentingnya. Banyak ulama tradisionalis yang begitu saja merasa berkewajiban untuk menyesuaikan diri dan mulai memperhatikan tafsir secara lebih serius. Meskipun demikian, daftar kami menunjukkan bahwa lingkup tafsir yang dipelajari di pesantren masih sangat sempit. Dua tafsir klasik, Thabari dan Ibn Katsir, telah ditambahkan ke dalam daftar, bersamaan dengan Tafsir Al-Munirnya Nawawi. Dua karya tafsir modernis, Tafsir Al-Manar oleh Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha dan Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mushthafa Al-Maraghi (lihat Jansen 1980) tercantum dalam daftar kami hanya karena keduanya diajarkan di dua pesantren yang berorientasi modernis di Jawa Barat, karya tersebut masih belum diterima di lingkungan pesantren pada umumnya. (Bukanlah sebuah kebetulan kalau teks-teks Arab dari dua karya ini belum dicetak ulang di Indonesia, walaupun belum lama berselang tafsir Al- Maraghi diterbitkan dalam bentuk terjemahan; kaum modernis rata-rata kurang mendalami bahasa Arab). Kitab tafsir terakhir yang tercantum dalam daftar kami adalah kitab tafsir yang berjum- lah sepuluh jilid dalam bahasa Indonesia, yang dipersiapkan oleh sekelompok ulama Indonesia yang mendapat sokongan dari Departemen Agama.42
Lima kitab tafsir lain yang tercantum dalam daftar kami, yang ditulis oleh ulama Indonesia dan Malaysia, patut disebut di sini, walaupun karya tersebut tidak dikenal secara luas. Ahmad Sanusi b. Abdurrahim dari Sukabumi menulis sebuah tafsir Al- Quran (yang ternyata lebih merupakan terjemahan langsung) dalam bahasa Sunda, dengan judul Raudhah Al-‘Irfan fi Ma’rifah Al-Qur’an, dan K.H. Bisri Mustofa dari Rembang me- nulis tafsir berbahasa Jawa sebanyak 3 jilid (2250 halaman), Al-Ibriz li Ma’rifah Al-Tafsir Al-Qur’an Al-’Aziz. Yang terakhir ini, juga, lebih merupakan terjemnahan daripada tafsir. Karena penerjemahan Al-Quran pasti memerlukan kadar penafsiran tertentu, maka hasilnya biasanya disebut tafsir juga. Penafsiran yang lebih tebal diberikan dalam tafsir berbahasa Jawa lainnya, Al-Iklil fi Ma’ani Al-Tanzil oleh Misbah b. Zain Al-Mushthafa (30 Jilid, 4800 halaman), dan dalam tafsir berbahasa Melayu 3 jilid (950 halaman), Tafsir Nur Al-Ihsan, oleh Muhammad Sa’id b. ‘Umar Qadhi Al-Qadahi (dari Kedah, Malaysia). Yang paling akhir adalah tafsir- berbahasa Indonesia sebanyak enam jilid, Adz Dzikraa: Terjemah & Tafsir Al-Qur’an, karangan Bachtiar Surin.
Minat mempelajari ilmu tafsir meningkat secara mencolok. Beberapa karya tafsir lainnya baru-baru ini dicetak dalam bahasa Arab di Indonesia; di samping itu ada yang diterbitkan dalam bentuk terjemahan bahasa Indonesianya (tafsir-tafsir modernis, sebagaimana dapat diduga, seperti Fi Zhilal Al-Qur’an dan Al-Maraghi). Meskipun demikian, import kitab tafsir terus meningkat, di beberapa toko kitab di Surabaya dan Bandung saya menemukan tersedia tidak kurang dari dua puluh tafsir yang berbeda yang diimpor dari Mesir dan Lebanon.
 

Tabel V

Hadis dan Ilmu Hadis

 

Daerah                           Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML

 

Jumlah  Pesantren

4

3

9

12

18

46

TINGKAT

hadits

 

 

 

 

 

 

 

Bulughul Maram

1

0

6

5

12

24

Tsanawiyah

Subulus salam

1

1

0

0

1

3

 

Riyadhus Shalihin

1

0

7

6

9

23

‘Aliyah/ Khawash

Shahih Bukhari

2

1

6

7

5

21

Khawash

Tajridush Sharih

0

0

1

1

4

6

‘Aliyah

Jawahir bukhari

1

0

0

1

2

4

 

Shahih Muslim/Syarah

1

0

7

2

7

17

Tsanawiyah

Arbain Nawawi

3

0

5

1

6

15

Tsanawiyah

Majalisus  Saniyah

1

0

0

0

2

3

 

Durratun Nashihin

1

1

2

3

4

11

‘Aliyah

Tanqihul Qaul

0

1

2

1

1

5

 

Mukhtarul Ahadits

1

0

2

0

2

5

Tsanawiyah

Ushfuriyah

0

1

0

0

2

3

 

‘ilm dirayah al-hadits

 

 

 

 

 

 

 

Baiquniyah/Syarah

2

0

2

1

2

7

Tsanawiyah

Minhatul Mughits

0

0

2

1

0

3

‘Aliyah



Dari karya-karya yang membicarakan dasar ilmu tafsir, hanya dua kitab klasik yang tercantum dalam daftar. Keduanya adalah karangan Jalal Al-Din Al-Suyuthi yang berjudul Itmam Al-Dirayah li Qurra’ Al-Nuqayah dan Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Di dalam koleksi kami terdapat juga beberapa kitab pengantar singkat tentang bidang ini.

Hadis (Lihat Tabel V)
Bahkan lebih dari tafsir, hadis merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren. Van den Berg bahkan tidak menyebut hadis sama sekali. Para santri memang menjumpai banyak hadis selama mengikuti pelajaran—tidak ada karya fiqih yang tidak didukung dengan argument-argumen berdasarkan
 
hadis—tetapi hadis-hadis tersebut sudah diproses, diseleksi dan dikutip menurut keperluan pengarangnya. Kitab-kitab kumpulan hadis—baik enam kitab kumpulan hadis yang diakui (Al-Kutub Al-Sittah) ataupun beberapa kompilasi populer seperti Mashabih Al-Sunnah, yang sangat populer di India— tampaknya hampir tidak dipelajari di Nusantara seabad yang lalu.43 Mungkin perkecualian harus dinyatakan untuk beberapa kumpulan kecil hadis semacam “empat puluh hadis”, karya Abu Zakariya Yahya Al-Nawawi, Arba’in, merupakan salah satu contohnya. Beberapa ulama Indonesia, sejak abad ke- 19 dan seterusnya, telah mengumpulkan dan menerjemahkan kumpulan empatpuluh hadis tersebut, dan Djohan Effendi telah menunjukkan bagaimana isi dari kumpulan-kumpulan ini berubah menurut kebutuhan zamannya.44 Adanya minat yang lebih besar untuk mempelajari hadis sekarang ini—yang kini merupakan mata pelajaran wajib di kebanyakan pesantren— barangkali dapat dikatakan sebagai dampak dari modernisme (untuk pengamatan serupa lihat Steenbrink 1974: 166).
Dua kumpulan besar hadis shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sekarang menjadi karya rujukan yang lazim dipelajari di banyak pesantren. Kurikulumnya seringkali memasukkan seleksi dari kedua kitab tersebut, biasanya diikuti dengan penjelasannya. Dua seleksi yang populer atas kitab Bukhari adalah Al-Tajrid Al-Sharih oleh Syihabuddin Ahmad Al-Syarji Al-Zabidi (w. 893/1488) dan Jawahir Al-Bukhari oleh Mushthafa M. ‘Umarah (GAL S I: 264). Namun, kumpulan hadis paling populer yang dapat ditemukan di mana-mana adalah Bulugh Al-Maram dan Riyadh Al-Shalihin.
Bulugh Al-Maram [Min Adillah Al-Ahkam], sebuah kumpulan yang dihimpun oleh Ibn Hajar Al-‘Asqalani (w. 852/1449, lihat GAL S II: 67-70), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa (oleh Subki Masyhadi dari Pekalongan) dan bahasa Indonesia (oleh
K.H. Bisri Mustofa dari Rembang) dan sebagian juga ke dalam bahasa Melayu. Subul Al-Salam karangan Muhammad b. Ismail Al-Kahlani (w.1182/1769), merupakan syarah atas Bulugh.
Riyadh Al-Shalihin [Min Kalam Sayyid Al-Mursalin] adalah kitab kumpulan hadis yang lebih besar, terutama mengenai
 
amal saleh dan ibadah, yang dihimpun oleh Yahya b. Syaraf Al-Din Al-Nawawi, penghimpun “empat puluh hadis” yang paling terkenal. Terdapat dua terjemahannya dalam bahasa jawa yang berbeda (oleh Asrori Ahmad dan Ahmad Subki Masyhadi), dan juga terjemahan berbahasa Melayu dan Indonesia dari kumpulan ini.
Karya Nawawi, Arba’in, diajarkan di banyak pesantren kepada para santri yang tingkatan belum begitu tinggi, dan juga merupakan kepustakaan keagamaan non-kurikuler, baik dalam bahasa aslinya, Arab, maupun bahasa Indonesia. Sebuah kitab syarah yang agak terkenal adalah Al-Majalis Al-Saniyah, karangan Ahmad b. Hijazi Al-Fasyani.
Durrah Al-Nashihin [fi Al-Wa’zh wa Al Irsyad] dihimpun oleh ‘Utsman b. Hasan Al-Khubuwi (w.1224/1804, lihat GAL II: 489).
Tanqih Al-Qaul [Al-Hatsits fi Syarh Lubab Al-Hadits] adalah karya lain  oleh Nawawi Banten. Ia merupakan syarah atas kumpulan hadis Al-Suyuti, Lubab Al-hadits (yang dicetak di tepi halaman karya Nawawi tersebut).
Mukhtar Al-Ahadits adalah sebuah kumpulan yang dihimpun oleh pengarang Mesir modern, Ahmad Hasyimi Bak.
Terakhir, ‘Ushfuriyah (diberi judul demikian mengikuti nama pengarangnya, Muhammad b. Abu Bakr Al-‘Ushfuri) adalah kumpulan “empat puluh hadis” yang populer, yang disertai dengan berbagai cerita teladan untuk setiap hadis.
Studi kritis tentang hadis hampir belum ditemukan di Indo- nesia, apalagi di lingkungan pesantren. Bisa dimengerti, diban- dingkan dengan kalangan tradisionalis, kalangan modernis Indonesia telah menunjukkan minat yang lebih besar kepada ‘Ilmu Dirayah Al-Hadis, ilmu tradisional yang membedakan hadis palsu dari hadis otentik (shahih), hadis lemah (dha’if) dari hadis kuat. Selain dua judul yang tercantum dalam daftar kami (dengan beberapa karya turunan dari karya yang pertama) ternyata tidak ada kitab tentang ilmu tersebut yang dapat ditemukan di toko kitab.
 
Minhah Al-Mughits adalah sebuah teks modern karya seorang ulama Al-Azhar, Hafizh Hasan Mas’udi, dan tampaknya ditulis untuk bahan pelajaran di madrasah yang berada di bawah pengawasan pemerintah Mesir.
Nama Baiquniyah, sebagaimana biasanya, merujuk kepada baik karya (matan) asli, sebuah teks manzhum singkat tanpa judul karangan Thaha b. Muhammad Al-Fattuh Al-Baiquni (w. setelah 1080/1669, lihat GAL II:307), dan kepada berbagai kitab syarah atasnya. Yang paling populer di antaranya adalah syarah yang dikarang oleh ‘Atiyah Al-Ajhuri (w. 1190/1776, lihat GAL II: 328); karya inilah yang biasanya diberikan ketika seseorang mencari kitab teks “Baiquniyah”. Kitab syarah lain yang banyak dijumpai adalah Taqrirah Al-Saniyah karangan Hasan Muhammad Al-Masysyath, yang mengajar di Masjidil Haram, Makkah, pada tahun tiga puluhan dan empatpuluhan, dan memiliki banyak murid yang berasal dari Indonesia.

Tabel VI

Kesalehan, Perilaku Terpuji, dan Tasawuf

 

Daerah                         Sumatra Kalsel Jabar Jateng  Jatim JML

 

Jumlah Pesantren

4

3

9

12

18

46

TINGKAT

akhlaq

 

 

 

 

 

 

 

Talimul Mutaalim

0

1

5

4

9

19

Tsanawiyah

Wasaya

0

0

1

6

2

9

Ibtida’iyah/ Tsanawiyah

Akhlaq lil Banat

0

0

1

1

2

4

 

Akhlaq lil Banin

0

0

1

1

1

3

Tsanawiyah

Irsyadul Ibad

0

1

1

0

5

7

 

Nashaihul Ibad

0

0

2

0

4

6

‘Aliyah

Tashawwuf

 

 

 

 

 

 

 

Ihya Ulumiddin

1

2

4

5

12

24

‘Aliyah

Sairus Salikin

1

1

1

0

0

3

 

Bidayatul Hidayah

0

0

2

2

8

12

Tsanawiyah

Maraqil Ubudiyah

0

1

0

0

1

2

 

Hidayatus Salikin

1

0

1

0

0

2

 

Minhajul Abidin

0

3

3

1

3

10

 

Sirajut Thalibin

0

2

1

0

0

3

 

Hikam/Syarah Hikam

2

0

1

0

6

9

Tsanawiyah/ ‘Aliyah


 

Hidayatul Adzkiya

0

0

0

1

4

5  ‘Aliyah

Kifayatul Atqiya’

0

1

0

0

1

2

Risalatul Muawanah

0

1

1

0

4

6  ‘Aliyah

Nashaihud Diniyah

0

0

1

0

3

4

Adzkar

0

1

1

0

1

3


Akhlak dan Tasawuf (Lihat Tabel VI)
Garis batas yang memisahkan antara mata pelajaran akhlak dan tasawuf, sebagaimana yang diajarkan di pesantren, sangat kabur. Karya yang sama bisa dipelajari dibawah mata pelajaran tasawuf di satu pesantren, dan di bawah mata pelajaran akhlak di pesantren yang lain. Mata pelajaran akhlak juga sulit dibedakan dengan tarbiyah, (penanaman) kelakuan baik. Sebagaimana ditunjukkan judul-judul pada tabel VI, karya- karya tentang tasawuf yang dipelajari di pesantren semuanya termasuk dalam madzhab ortodoks yang juga menekankan si- kap-sikap di atas. Di sini kami tidak menemukan karya tentang tasawuf wahdah al-wujud. Dilihat selintas, hal ini mungkin tampak mengherankan, mengingat corak mistik yang kuat pada Islam Indonesia tradisional dan kegemaran kepada spekulasi metafisik, khususnya di kalangan orang Jawa. Di pihak lain, tidak hanya teori kosmogonik dan mistik yang spekulatif yang menarik minat para generasi ulama Indonesia terdahulu, tetapi juga aturan-aturan kelakuan dan hierarkhi yang benar. Syaikh Yusuf Makassar, salah seorang pendukung ajaran wahdah al- wujud pada abad ke-17, tidak hanya mendeskripsikan berbagai teknik dzikir dan rujukan tak langsung kepada doktrin-doktrin sufi, tetapi juga sangat tegas menekankan ketaatan yang sepenuhnya dan tulus kepada guru sebagai satu langkah yang sangat penting dalam perjalanan sufi.45 Dengan demikian dia menegaskan corak “kelakuan baik” kepada ajaran tasawuf yang ada Indonesia.
Teks-teks wahdah al-wujud dan berbagai karya “heterodoks” lainnya mungkin tidak diajarkan di banyak pesantren, tetapi ini tidak berarti bahwa teks-teks tersebut tidak dibaca sama sekali. Di beberapa toko buku saya menemukan karya  ‘Abd  Al-Karim  Al-Jili,  Al-Insan Al-Kamil (yang  masih
 
merupakan bagian dari kurikulum beberapa pesantren Jawa Barat setengah abad yang lalu) dan di Surabaya, bahkan, karya Ibn Al-‘Arabi, Al Futuhat Al-Makkiyah. Kedua karya berbahasa Arab tersebut sangat sulit, dan kebanyakan dibaca oleh elite agama yang kecil jumlahnya, berbeda dengan beberapa karya berbahasa Melayu, seperti karya Nafis Al-Banjari, Al-Durr Al- Nafis, yang menerangkan versi populer dari ajaran wahdah al- wujud,46 dan banyak ditemukan di toko-toko buku di Kalimantan Selatan, Aceh dan Malaysia. Demikian juga, walaupun Al- Ghazali mungkin telah menggantikan para sufi yang lebih “ekstrem”, tetapi ‘Abd Al-Shamad Al-Falimbani tampaknya telah menyusupkan beberapa doktrin yang ditolak ini ke dalam karya adaptasi berbahasa Melayu atas karya-karya utama Al-Ghazali (lihat di bawah). Karya-karya berbahasa Melayu ini dibaca di Jawa Barat dan juga di pulau-pulau lain. Bertentangan dengan asumsi-asumsi yang umumnya dianut tentang sikap keagamaan orang Jawa dan orang Indonesia non-Jawa, pesantren Jawa-lah yang merupakan pusat berkembangnya ortodoksi, sebaliknya doktrin-doktrin tasawuf spekulatif masih bertahan di pulau- pulau luar jawa.
Koleksi kami memuat hampir seratus judul yang berbeda tentang akhlak dan tasawuf, tetapi teks-teks dasar yang banyak dipelajari relatif sedikit. Karya-karya tersebut adalah sebagai berikut.
Ta’lim Al-Muta’allim [li Thariq Al-Ta’allum], karangan Burhan Al-Islam Al-Zarnuji, merupakan karya terkenal yang berisi tentang sikap kepatuhan dari para murid sepenuhnya kepada para gurunya. Bagi banyak kiai, karya ini merupakan salah satu tiang penyangga utama pendidikan pesantren. Dalam diskusi tentang kitab yang diselenggarakan oleh NU belum lama berselang, salah seorang peserta menganjurkan agar buku sejenis ini dilarang keras diajarkan karena akan menanamkan sikap-sikap yang pasif dan tidak kritis. Reaksi atas anjuran ini memberikan alasan untuk mempercayai bahwa dalam jangka waktu yang lama karya akan tetap merupakan  bagian  dari kurikulum pesantren. Karya ini juga tersedia dalam bentuk terjemahannnya, berbahasa Jawa dan Madura.
 
Washaya [Al-Aba’ li Al-Ibna’], karya pengarang Mesir, Muhammad Syakir (syaikh ‘ulama Al-Iskandariyah, sebagaimana yang tertulis di halaman judul kitab tersebut), merupakan teks singkat yang menerangkan bagaimana anak-anak yang baik harus mandi sendiri, memelihara anggota keluarga yang sakit, memperbaiki ban sepedanya sendiri, dan seterusnya. Tersedia juga karya terjemahannya oleh K.H. Bisri Mustofa.
Al-Akhlaq Li Al-Banat dan Al-Akhlaq Li Al-Banin, yang masing- masing terdiri dari tiga jilid tipis, merupakan pelajaran-pelajaran moral bagi anak perempuan dan laki-laki, dimaksudkan untuk dibaca di madrasah negeri, yang ditulis oleh seorang yang bernama ‘Umar b. Ahmad Barja.
Saya lebih suka menempatkan tiga teks berikut, juga, ke dalam kategori ini, walaupun buku-buku tersebut kasang- kadang disebut sebagai karya-karya tentang fiqih ‘ubudiyah (yakni, berkaitan dengan tata cara ibadah) atau (yang pertama) sebagai kumpulan hadis.
Irsyad Al-‘Ibad [Ila Sabil Al-Rasyad] merupakan karya Zain Al-Din Al-Malibari (kakek dari pengarang kitab Fath Al-Mu’in). Terdapat berbagai edisi cetakannya teks Arabnya, dan baru- baru ini juga terjemahan berbahasa Jawanya oleh Misbah b. Zain Al-Mustafa.
Nasha’ih Al-‘Ibad juga merupakan karya lain dari Nawawi Banten. Kitab ini merupakan syarah atas karya Ibn Hajar Al- ‘Asqalani, Al-Nabahah ‘Ala Isti’dad. Kitab ini memusatkan pembahasannya kepada adab-adab berperilaku, dan seringkali dijadikan sebagai karya pengantar mengenai akhlak bagi para santri yang lebih muda.
Al-Adzkar [Al-Muntakhab Min Kalam Sayyid Al-Abrar] karangan Abu Zakariya’ Yahya Al-Nawawi yang memuat ajaran- ajaran tentang ibadah dan perbuatan saleh. Terjemahannya dalam bahasa Jawa dan, belakangan juga, bahasa Indonesia tersedia di toko buku.
Pelajaran tasawuf ini sangat didominasi oleh Abu Hamid Al-Ghazali dan kitab-kitabnya, Ihya’, Bidayah Al-Hidayah dan Minhaj Al-‘Abidin. Ada berbagai pesantren yang mengkhususkan
 
diri mengajarkan Ihya. Ketiga karya yang disebutkan di atas sudah diterjemahkan, paling tidak beberapa bagiannya, ke dalam beberapa bahasa Nusantara.
‘Abd Al-Shamad Al-Falimbani (yang hidup dan aktif pada pertengahan abad ke-18) menulis beberapa karya adaptasi terkenal dalam bahasa Melayu dari dua karya pertama di atas, masing-masing dengan judul Sair Al-Salikin dan Hidayah Al- Salikin. Tanpa menyadari adanya pertentangan yang mencolok, ‘Abd Al-Shamad menyusupkan ke dalam kedua karya tersebut, terutama Sair Al-Salikin, unsur-unsur dari ajaran wahdah al- wujud yang diambilnya dari sumber-sumber lain, yang tam- paknya agak asing bagi ajaran tasawuf sunni Al-Ghazali (sebuah survei yang baik dilakukan dalam Quzwain 1985, terutama hlm. 37-51). Kedua karya ini masih populer, terutama di Sumatra dan Jawa Barat.
Nawawi Banten menulis sebuah kitab syarah (berbahasa Arab) atas kitab  Bidayah dengan  judul Maraqi Al-‘Ubudiyah yang, jika dinilai dari jumlah edisinya yang berbeda-beda yang masih dapat ditemukan hingga sekarang, lebih populer dibandingkan dengan hasil skor daftar kami yang memberikan angka lebih rendah.
Siraj Al-Thalibin merupakan kitab syarah berbahasa Arab (2 jilid) atas kitab Minhaj karangan Ihsan b. Muhammad Dahlan dari Jampes, Kediri (w. 1952). Karya ini sangat terkenal di Jawa Timur, walaupun mendapat skor yang rendah dalam daftar kami.
Di samping buku-buku ini, terjemahan berbahasa Sunda dari beberapa bagian dari karya-karya Al-Ghazali yang dihasilkan oleh ulama besar Abdullah bin Nuh dari Bogor (w. 1987) layak untuk disebut.
Kitab Hikam adalah kumpulan wejangan-wejangan tasawuf terkenal yang dikarang oleh Ibn ‘Athaillah Al-Iskandari. Beberapa karya terjemahan dan syarah-nya dapat ditemukan di Indonesia. Di antaranya, yang layak disebut, adalah Hikam Melayu (anonim), Syarah Hikam (oleh M. Ibrahim Al-Nafizhi Al- Rindi) dan kitab berbahasa Melayu Taj Al-’Arus karya ‘Usman
 
Al-Pontiani dan juga Hikam berbahasa Jawa oleh Saleh Darat dari Semarang serta beberapa versi modernnya, terutama kitab syarah setebal empat jilid yang disusun oleh ulama Aceh K.H. Muhibbudin Wali.
Hidayah Al-Adzkiya’ [Ila Thariq Al-Auliya’], yang merupakan teks pelajaran tentang tasawuf praktis oleh Zain Al-Din Al- Malibari, yang ditulis dalam bentuk untaian bait sajak pada tahun 914/1508-9, sudah sejak lama menjadi kitab populer di Jawa; sebagai contoh, kitab ini disebutkan dalam Serat Centhini. Banyak syarah atas karya ini dipakai di Indonesia. Salah satu syarah-nya yang lebih dikenal adalah Kifayah Al-Atqiya’ wa Minhaj Al-Ashfiya’ karangan Sayyid Bakri b. M. Syaththa’ Al- Dimyati. Nawawi Banten yang sangat produktif juga menulis sebuah kitab syarah, Salalim Al-Fudhala’, yang dicetak  di tepi halaman kitab Kifayah karya Sayyid Bakri. Terdapat juga beberapa terjemahan dan syarah berbahasa Jawa oleh Saleh Darat (Minhaj Al-Atqiya’) dan ‘Abd Al-Jalil Hamid Al-Qandali (Tuhfah Al-Ashfiya’), serta sebuah terjemahan Madura sela baris (oleh ‘Abd Al-Majid Tamim dari Pamekasan).
Dua kitab yang terakhir adalah karya pengarang dan sufi Hadhrami yang saleh, ‘Abdallah b. ‘Alwi Al-Haddad, yang di Indonesia sangat dikenal sebagai pengarang ratib Haddad dan bacaan-bacaan amalan lainnya (w. 1132/1720, lihat GAL II: 408: GAL S II: 566). Dia menulis sekitar sepuluh buku, kebanyakan mengenai tasawuf, yang beberapa di antaranya menjadi kitab yang populer di Nusantara. Karyanya yang berjudul Al-Risalah Al-Mu’awanah [wa Al-Muzhaharah wa Al-Muwazarah] beberapa lama menjadi salah satu teks tentang perilaku yang benar dan sikap saleh yang lazim diajarkan di pesantren Jawa. Kitab ini telah diterjemahkan ke bahasa Jawa (oleh Asrori Ahmad) dan Melayu (oleh Idris Al-Khayath Al-Patani), belakangan juga diterjemahkan ke bahasa Indonesia (oleh Muhammad Al-Baqir, dengan judul Thariqah Menuju Kebahagiaan). Karya populernya yang lain, Al-Nasha’ih Al-Diniyah [wa Al-Washayah Al- Imaniyah], yang berisi nasihat-nasihat agama. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu oleh salah seorang keturunannya, ‘Alwi
b. M. b. Thahir Al-Haddad, dengan judul Al-Shilah Al-Islamiyah.
 
Secara mencolok telah terjadi kebangkitan kembali minat untuk mempelajari karya ‘Abdallah Al-Haddad, baik di Mesir maupun, kemudian, di Indonesia.47 Kitab Al-Risalah Al- Mu’awanah dicetak di Mesir pada tahum 1930 (dan mungkin dikenal di Indonesia baru beberapa dasawarsa kemudian), sementara karya-karya yang lain diterbitkan pada tahun 1970-an atas usaha mufti besar Mesir terdahulu, Hasanain
M. Makhluf. Di Indonesia, Al-Haddad dan karya-karyanya dipropagandakan secara aktif oleh sesama sayyid Hadhrami, terutama Muhammad Al-Baqir yang berpengetahuan luas, yang menerjemahkan beberapa karyanya ke dalam bahasa Indonesia. Mengejutkan, buku-buku ini terjual laris, dan beberapa kali mengalami cetak ulang, pada tahun pertama kemunculan- nya.48 Penerjemahan beberapa karya Al-Ghazali akhir-akhir ini juga banyak mendatang keuntungan material. Diam-diam, tasawuf ortodoks rupanya memiliki daya tarik yang kuat di luar lingkungan pesantren—yang tampaknya merupakan respon terhadap kemerosotan politik Islam Indonesia selama beberapa dasawarsa yang lalu.

Sejarah Islam/Teks-Teks Penghormatan kepada Nabi (Lihat Tabel VII)
Sejarah Islam merupakan mata pelajaran baru, yang jarang diajarkan di pesantren, dan jumlah kitab yang tersedia mengenai bidang ini masih sangat terbatas. Kebanyakan santri memperoleh pengetahuan mereka mengenai, dan kesadaran atas, sejarah Islam pada umumnya dari karya-karya yang berisi penghormatan kepada Nabi dan para wali. Dari judul judul kitab yang terdapat pada Tabel VII, hanya Nur Al-Yaqin yang merupakan buku teks sejarah yang sebenarnya; kitab ini dan versinya yang lebih ringkas, Khulashah Nur Al-Yaqin, benar-benar merupakan satu-satunya karya serius tentang sirah (biografi Nabi) yang dijadikan bahan pelajaran di pesantren. Karya aslinya dikarang oleh seorang pengarang Mesir modern, Muhammad Hudhari Bek; sedangkan Khulashah ditulis oleh ‘Umar ‘Abd Al-Jabbar, pengarang Makkah yang mengarang banyak buku teks untuk
 
madrasah. Buku-buku ini pada awalnya merupakan ciri khas kepustakaan madrasah, tetapi sekarang ternyata juga dipelajari di beberapa pesantren. Dua karya tentang sejarah lainnya, yang juga dikarang oleh Muhammad Hudhari Bek, sudah dicetak, dan menjadi populer, di Indonesia. Keduanya adalah Itmam Al- Wafa’ fi Shirah Al-Khulafa’, yang berisi sejarah para khalifah, dan Tarikh Tasyri’ Al-Islami, sejarah mendalam tentang perkembangan hukum Islam.

Tabel VII

Sejarah Hidup Nabi (Sirah) dan Karya Penghormatan untuk Nabi Saw

 

Daerah                      Sumatra  Kalsel  Jabar  Jateng  Jatim  JML

 

Jumlah Pesantren

4

3

9

12

18

46  TINGKAT

[Khulashah] Nurul Yaqin

 

2

 

1

 

2

 

3

 

2

 

10 Tsanawiyah

Barzanji

0

1

1

1

0

3

Bardir

0

1

1

0

1

3


Dua teks lain yang tercantum dalam daftar adalah karya penghormatan terkenal yang berisi cerita kelahiran Nabi dan mi’raj-nya ke langit. Kitab Barzanji, buku maulid karya Ja’far Al-Barzinji, mungkin merupakan teks yang paling disukai di Indonesia setelah Al-Quran; kitab Dardir merupakan syarah yang disusun oleh Ahmad Al-Dardir atas kitab Mi’raj (perjalanan, Nabi ke langit) versi Najm Al-Din Al-Ghaithi. Di samping penggunaannya yang bersifat ritual (lihat bagian berikutnya, kitab-kitab ini juga berfungsi sebagai bahan-bahan pelajaran di sejumlah pesantren. Jumlah karya yang bersifat penghormatan kepada Nabi ditemukan di toko-toko buku lebih banyak dari dua karya yang terdaftar di sini: koleksi kami berisi lebih dari dua puluh lima buku sejenis.49 Penggunaan utama buku-buku ini bukanlah ditujukan untuk keperluan pendidikan, tetapi untuk tujuan pemujaan dan ibadah: kitab-kitab ini dapat dibaca secara pribadi sebagai suatu perbuatan amal baik atau, biasanya, dibaca secara berjama’ah, atau paling tidak di hadapan banyak orang, pada berbagai acara. Juga, terdapat kitab lain yang juga
 
dipergunakan untuk tujuan-tujuan non pendidikan seperti ini.
Untuk menyimpulkan survei kami, perlu juga diutarakan sedikit tentang berbagai jenis kitab yang bersifat ekstra-kurikuler serta penggunaannya.

Kitab Ekstra-Kurikuler: Penghormatan, Ritual dan Ilmu Gaib
Tidak semua kitab dalam koleksi kami termasuk bagian dari kurikulum resmi pesantren. Cukup banyak buku (lebih dari 10 %) yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain, yang mungkin secara kasar bisa dikelompokkan menjadi satu di bawah judul “penghormatan, ritual dan ilmu gaib”. Karena buku-buku ini mencakup buku-buku kumpulan doa-doa dan berbagai bacaan amalan sejenisnya (wirid, jamak: aurad) yang dibaca pada acara-acara tertentu, bimbingan latihan spiritual dari berbagai tarekat, teks-teks berisi penghormatan kepada Nabi atau salah seorang walli yang dibacakan pada acara-acara tertentu, buku-buku tentang ramalan, dan buku-buku pegangan ilmu gaib. Buku-buku semacam ini sangat populer, dan dijual lebih banyak daripada buku-buku yang lain.
Di banyak desa Jawa pembacaan Burdah, Diba’i atau Barzanji—puisi penghormatan kepada Nabi—yang dilakukan secara berjamaah seminggu sekali merupakan salah satu peristiwa sosial yang penting. Barzanji dan teks-teks serupa lainnya juga dibaca pada peristiwa-peristiwa tertentu dalam berbagai ritual yang mengiring siklus kehidupan seseorang, untuk memenuhi nazar atau menangkal bahaya. Berbagai kitab manaqib ‘Abd Al-Qadir Al-Jailani50 dipergunakan untuk tujuan ritual yang sama, dan kadang-kadang untuk tujuan mengusir setan. Ini tidak berarti bahwa teks-teks ini tidak dipergunakan sebagai bahan bacaan orang saleh; tetapi bahkan ketika dibaca sendirian, penekanan yang seringkali diberikan adalah kepada upaya memperoleh pahala yang banyak, keuntungan spiritual dan material yang akan diperoleh dengan perbuatan tersebut dan bukan kepada aspek kandungan informasi teks tersebut.
Untuk tujuan-tujuan ritual ini,  tidaklah penting apakah pembaca betul-betul memahami seluruh isi teks; mereka pada
 
umumnya membaca teks Arabnya saja.51 Namun terjemahan beberapa teks, tersebut sudah sejak lama ditemukan, di samping teks aslinya yang berbahasa Arab.
Burdah karya Bushiri diterjemahkan ke bahasa Melayu sejak abad ke-16 (Drewes 1955). Terjemahan berbahasa Jawa, Melayu dan Sunda dari Manaqib ‘Abd Al-Qadir sudah dipakai paling tidak sejak abad ke-19 dan seterusnya (Drewes dan Poerbatjaraka 1938), bersama-sama dengan teks serupa yang berbahasa Melayu tentang Nabi (misalnya, Hikayat Nur Muhammad, Nabi bercukur, Nabi Wafat) dan juga tentang para wali seperti Muhammad b. ‘Abd Al-Karim Al-Samman. Buku-buku ini masih tersedia, dan terdapat juga banyak karya terjemahan baru dan syarah atas buku maulid dan manaqib terkenal yang dikarang oleh ulama Indonesia.52
Kategori penting lainnya adalah buku buku tentang “ilmu gaib Islam”. Menurut para pengamat yang teliti, jumlah orang yang mencari bantuan supernatural untuk mengatasi berbagai problem spiritual, psikologis atau material telah meningkat, bukan menurun, daripada dua dasawarsa yang lalu. Jumlah dukun tampaknya bertambah banyak, dan dengan demikian juga kiai dan orang lainnya yang mempraktikkan berbagai macam amalan Islami untuk melakukan penyembuhan gaib dan bantuan supernatural. Sementara sebagian masyarakat Muslim berjuang melawan “takhayul-takhayul”, bagi banyak orang Islam lain, mungkin mayoritas, dimensi-dimensi magis- mistis tetap merupakan bagian integral dari warisan Islam.
Kalangan santri pada umumnya menarik garis pembatasan yang ketat antara thibb (pengobatan) dan hikmah (ilmu-ilmu gaib), walaupun bagi banyak kalangan modernis keduanya adalah magi dan tidak dapat diterima. Hikmah berisi, secara terang-terangan, unsur-unsur pra-Islam, seperti penggunaan wafaq, sementara thibb hanya menggunakan teks-teks Al- Quran. Pembela thibb dengan bangga mengajukan argumen, untuk melawan kalangan modernis, bahwa salah seorang murid utama Ibn Taymiyah, Ibn Qayyim Al-Jauziyah, menulis sebuah karya penting dalam bidang ini, Al-Thibb Al-Nabawi. Dan bahkan bertentangan dengan yang dipercayai kalangan
 
modernis hikmah pun tidak jauh beranjak-dari arus besar ortodoksi Islam: Imam Ghazali menulis Al-Aufaq, karya tentang segi empat magis (wafaq), yang masih banyak dipergunakan di Indonesia, sementara pengarang yang sangat produktif, Jalal Al- Din Al-Suyuthi, menulis Al-Rahmah fi Al-Thibb wa Al-Hikmah. Namun, kitab hikmah yang paling berpengaruh adalah karya syaikh Afrika Utara abad ke-12/13, Ahmad b. ‘Ali Al-Buni: Syams Al-Ma’arif Al-Kubra dan Manba’ Ushul Al-Hikmah. Karya-karya ini dan karya serupa (yang tersedia dalam edisi lokal) banyak dipergunakan di pesantren Jawa, walaupun tidak merupakan bagian kurikulum formal dan semakin jarang diajarkan oleh kiainya sendiri. Namun, buku-buku ini menduduki tempat yang sentral dalam pengajaran kepada sesama santri. Para santri yang lebih tua seringkali secara bersama-sama mencoba berbagai teknik ilmu gaib terdapat dalam buku-buku ini.
Berbagai risalah singkat populer yang didasarkan kepada kitab-kitab hikmah ini, yang disebut “mujarrabat” (kebijaksana- an tradisional, harfiyah: sesuatu yang terbukti efektif) tersedia dalam jumlah yang terus meningkat dan dalam berbagai bahasa. Buku-buku ini berisi doa-doa, bacaan-bacaan dan simbol-simbol yang berkekuatan magis untuk berbagai tujuan yang berhubungan dengan kesehatan, cinta, karier, perlin- dungan dari ruh-ruh jahat dan menghindari kecelakaan dalam perjalanan. Ada beberapa karya sejenis ini yang menyebutkan manfaat-manfaat tertentu yang diperoleh dengan membaca ayat-ayat Al-Quran atau doa-doa tertentu. Tidak ada garis pemisah yang jelas yang membedakan buku-buku mujarrabat dengan primbon, kumpulan informasi yang berguna, yang mengandung jenis bacaan-bacaan magis yang serupa, di samping daftar hari-hari dan jam-jam mujur, ramalan kejadian (dengan menggunakan mimpi, hari di mana haidh seorang wanita mulai, dan seterusnya), daftar doa yang sangat panjang, dan seterusnya. Buku-buku yang termasuk jenis ini, yang melayani khalayak awam dan tidak terdidik, dicetak dalam jumlah yang sangat besar. Sebagian sudah dicetak dalam bahasa Indonesia berhuruf Latin, tetapi kebanyakan dalam bahasa Melayu, Jawa atau Sunda dengan huruf Arab dan, karena itu, nampaknya
 
di tujukan kepada masyarakat sekitar dunia pesantren—orang- orang yang memiliki pengetahuan tentang huruf Arab. Teks- teks yang singkat ini mungkin lebih besar pengaruhnya dalam membentuk sikap keagamaan populer daripada karya-karya yang lebih serius yang dipelajari di pesantren. []
 
Catatan akhir:
1.    Versi awal dari tulisan ini telah dibaca dan diberi komentar oleh Abdurrahman Wahid, G.W.J. Drewes, J.  Noorduyn dan Karel Steenbrink, di samping beberapa orang lainnya yang membantu saya dengan sejumlah informasi. Meskipun demikian, mereka, tentu saja, tidak dapat disalahkan karena adanya berbagai kekurangan, yang merupakan tanggung jawab saya sendiri.
2.    Katalog yang diatur menurut abjad sesuai dengan berbagai kriteria klasifikasi—nama pengarang, judul pendek atau sebutan popular (terpisah dari judul lengkapnya), pokok bahasan, dan bahsa—telah dipersiapkan untuk lebih memudahkan pemanfaatannya bagi para pemakai dan mem- permudah usaha untuk mengetahui isi koleksi ini.
3.    Agen Dar Al-Fikr yang tadi disebut, baru-baru ini (awal tahun 1988) mulai mencetak ulang beberapa judul buku juga di Indonesia, dengan menggunakan nama Dar Al-Fikr Indonesia.
4.    Lihat Snouck Hurgronje 1889: 386-7, di mana juga diberikan sebuah daftar judul buku yang dicetak.
5.    Kebanyakan bait sajak tersebut berbahasa Melayu, tetapi beberapa di antaranya berbahasa Arab, walaupun di sini tetap mempertahankan gaya sajak Melayu yang lazim dipakai. Sebuah contoh dari baitnya yang memperkenalkan penerjemahan anonim atas kitab Al-Hikam karya Ibn ‘Athaillah: Kitab inilah yang patut mengajinya * dan upamanya mas sudah diujinya/ dan upama pula makanan diidang * dan yang lain itu tudung sajinya/dan upama pula buah-buahan * isinya dan minyaknya dalam bijinya/kerana ialah yang menyampai kepada Tuhan * lagi besar pahalanya dan gajinya/dan yang dapat ilmunya dan meamalkan * orang itulah sebenar dipuji- Nya/surga itulah kediaman yang kekal * ilmu ini pintunya dan bajinya/dan yang jahil dengan dia api neraka * selar, sengat tikamnya gergajinya/ya rabbi kurniakan futuh engkau
* bagi tiap-tiap hamba mengajinya.
6.    Cetakan ulang Al-Quran Bombay secara fotomekanis masih diterbitkan dalam jumlah besar sekarang (oleh Al-Ma’arif).
 
Dapat dibaca dengan jelas dengan huruf-hurufnya yang besar, formatnya masih merupakan salah satu format yang paling populer di pasaran buku Indonesia.
7.    Pencetakan buku berbahasa Melayu (bahan-bahan non- Islam) yang disponsori missi dan pemerintah mulai dilakukan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, di Singapura dan juga Hindia Timur Belanda, sebelum pertengahan abad. Di Singapura huruf Arab digunakan, dan di Hindia pada awalnya kebanyakan dicetak dalam abjad Latin. Lihat Roff 1980: 44 dan Hoffmann 1979, terutama hlm. 76-89.
8.    Tentang Sayyid Usman, lihat Snouck Hurgronje 1887b dan 1894. Dua belas dari karyanya yang banyak (termasuk karya yang ditinjau dalam tulisan Snouck yang kemudian) sampai sekarang masih tersedia dalam bentuk cetakan ulang yang diterbitkan di Jakarta dan Surabaya.
9.    Von Dewall 1857. Pengarang mendapat kabar angin tentang adanya percetakan pribumi kedua di Surabaya, tetapi saya belum berhasil membuktikan kebenaran informasi ini.
10.    Yunus 1979, hlm. 66-7, menyebutkan judul-judul buku yang ditulis pada tahun 1930-an oleh para pengarang yang mempunyai hubungan dengan Sumatra Thawalib. Beberapa di antaranya, yang ditulis oleh Mahmud Yunus sendiri dan Abdul Hamid Hakim, masih dipakai di madrasah-madrasah di seluruh Indonesia. Sebuah karya fiqih (4 jilid) dalam bahasa Arab yang ditulis Abdul Hamid Hakim, Al-Mu’in Al-Mubin, juga diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan masih dipelajari di Malaysia dan Thailand bagian selatan.
11.    Dalam hubungan ini Schrieke 1921 menyebutkan sekitar sepuluh buku serta beberapa majalah yang dicetak di Sumatra Barat (di percetakan Belanda), di Padang, Fort de Cock (Bukittinggi) dan Padang Panjang serta beberapa jurnal. Peserta polemik lain juga menerbitkan karya-karya mereka di Makkah dan Kairo. Pada tahun 1920-an dan 1930-an terdapat lebih dari sepuluh penerbit Muslim yang berbeda yang beroperasi di berbagai kota di Sumatra Barat (Sanusi Latif dari Padang, percakapan pribadi).
 
12.    Paragraf berikut ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan para tokoh penerbitan kitab, Muhammad bin ‘Umar Bahartha (yang pada tahun 1948 mendirikan, dan sampai sekarang masih  memimpin, Al-Ma’arif  Bandung, penerbit yang paling besar di Indonesia), Usman bin Salim Nabhan dari Surabaya dan beberapa penerbit muda.
13.    Pada paruh pertama abad kedua puluh, pemerintah Hindia Belanda menarik pajak atas impor kertas tetapi tidak untuk impor buku-buku cetakan, yang memberikan keuntungan bagi penerbit Singapura, Sulaiman Mar’i, dalam persaingannya dengan para penerbit di Hindia Belanda. Namun, sekarang Indonesia memproduksi  sendiri  kertas  bermutu tinggi, sementara upah buruh dan pengeluaran tambahan di Singapura sangat tinggi. Tidak hanya penerbit lama milik Sulaiman Mar’i ditutup pada awal tahun l980-an.
14.    Jangan dikacaukan dengan perusahaan penerbitan Mesir yang mempunyai nama yang sama, tetapi tidak ada hubungan formal dengannya
15.    Di Kelantan, huruf yang umum digunakn adalah huruf Arab, bukan Latin, sehingga di sini tidak terlalu gampang membedakan kitab dari buku-buku yang lain.
16.    Informasi rinci tentang kitab yang diterbitkan di Patani terdapat dalam Matheson dan Hooker 1988.
17.    Di beberapa pesantren tradisional di Jawa Timur, santri “mempelajari” karya-karya manzhum tersebut dengan membacanya bersama-sama dengan irama tertentu, yang diikuti suara rebana dan tepukan tangan—yang sudah berkembang menjadi bentuk kesenian Muslim yang khas.
18.    Ini adalah peniruan atas buku-buku teks tulisan tangan santri pada masa terdahulu: yang setelah menyalin teks asli berbahasa Arab, mereka akan mendengarkan penjelasan kiai dan menuliskan terjemahannya di sela-sela baris teks Arabnya.
19.    Tentang Dahlan, lihat Snouck Hurgronje 1887a, Al-‘Attas 1979, II: 700-12; tentang Sayyid Bakri dan karya utamanya I’anah Al-Thalibin, Snouck Hurgronje 1889: 253, 259-60.
 
20.    Tentang Nawawi Banten, lihat Snouck Hurgronje 1889: 362- 7; Chaidar 1978, Sarkis (1928) menyebutkan 38 karya yang diterbitkan oleh Nawawi. Tentang karya utamanya, Al-Tafsir Al-Munir, lihat Johns 1984 dan 1988.
21.    Sebuah gambaran singkat tentang riwayat hidup Al- Bajuri, yang pernah menjadi Syaikh Al-Islam Kairo, diberikan dalam karya Snouck Hurgronje Verspreide Geschriften, jilid II, hlm. 417: sebuah peinbahasan mendalam tentang karya fiqihnya yang digunakan secara luas terdapat dalam Snouck Hurgronje 1899.
22.    Penulis biografinya, Abdullah (1987: 45-6), menyebut 38 karya yang ditulisnya, namun beberapa di antaranya rupanya sudah tidak bisa ditemukan lagi.
23.    Lihat Danuwijoto 1977. Kebanyakan karya ulama Saleh (Danuwijoto menyebut 12 judul) sekarang tidak dicetak dan tidak dapat ditemukan lagi.
24.    K.H. Mahfudz sangat dimuliakan di kalangan para kiai sekarang sebagai ulama Jawa yang paling mendalam pengetahuannya di antara para ulama Jawa yang pernah ada. Dia adalah guru yang sangat dihormati oleh beberapa ulama pendiri NU (termasuk Hasyim Asy’ari). Tidak banyak tulisan tentang riwayat hidupnya; terdapat beberapa catatan singkat tentang ini dalam ‘Abbas 1975- 460 dan ‘Abd Al- Jabbar 1385/1965-6: 321-2.
25.    Tentang Mahmud Yunus yang merupakan orang Indonesia pertama yang berhasil menamatkan pendidikannya di Dar Al-Ulum Mesir dan pendidik yang bersemangat, lihat Taufik Abdullah 1971:141-2,151-4,213-4, dan Yunus 1979, passim; tentang Abdul Hamid Hakim, lihat Latief 1981: 199-208.
26.    Mengenai perbedaan-perbedaan antara kedua lembaga pendidikan Islam ini, lihat Steenbrink 1974: ulasan tentang kurikulum keduanya dapat ditemukan dalam Yunus 1979, passim.
27.    Katalog naskah berbahasa Arab, Melayu dan Jawa di perpustakaan Jakarta dan perpustakaan Leiden juga memberikan informasi yang berguna tentang kitab yang dipakai
 
pada abad kesembilan belas, walaupun tetap meragukan seberapa jauh koleksi tersebut mewakili bagi lingkungan pesantren. Serat Centhini, yang mungkin disusun pada awal abad ke-19, menyebut banyak kitab; ada kecocokan yang dekat antara yang termuat di dalamnya dengan daftar yang diberikan Van den Berg (lihat Soebardi 1971). Untuk periode yang lebih awal, Drewes (1972, lampiran) telah menyusun sebuah daftar karya yang menarik yang dipakai di Palembang pada abad ke- 18.
28.    Misalnya, Departemen Agama 1977; Prasodjo dkk.. 1978: 51-68; Yunus 1970, passim; Zarkasyi 1985.
29.    Tentang pesantren Jawa Barat lihat, terutama, Prasodjo et Al., 1978: 51-68; Amidjaja et al., 1985: 41-43. Tentang pesantren Jawa Tengah dan Timur, terdapat serial monograf yang dipersiapkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama, yang dipersiapkan selama tahun 1980-1983.
30.    “Sikap dan Pandangan Hidup Ulama Indonesia”, sebuah proyek penelitian LIPI-IPSK yang dilakukan pads tahun 1986- 1988.
31.    Data untuk wilayah Riau dan Palembang diperoleh melalui wa- wancara dengan bererapa ulama setempat. Tentang Pariaman berasal dari hasil wawancara dan observasi di tempat, semuanya dalam rangka proyek penelitian yang telah disebutkan. Kuri- kulum PERTI dikutip dari Yunus 1979: 100.
32.    Sampai sekarang masih ada beberapa pondok pesantren di Kalimantan. Pesantren-pesantren tersebut baru didirikan belakangan, dengan mengikuti gaya pesantren Jawa Timur. Tingkat pelajaran di sini relatif masih rendah. Sebelum pesantren-pesantren ini berdiri, orang biasanya belajar secara pribadi langsung kepada seorang guru, sebagian besar dengan menggunakan Kitab Melayu (khususnya karya M. Arsyad Al- Banjari).
33.    Hampir semua karya yang disebutkan Van den Berg masih digunakan dan, lebih dari itu, di pihak lain, di antara buku- buku yang lebih populer yang disebutkan dalam daftar Drewes banyak  judul  yang  sudah  tidak  digunakan  lagi  sekarang,
 
sementara teks-teks yang popular dalam daftar yang kami buat tidak menonjol dalam daftarnya. Dalam koleksi- koleksi perpustakaan, item-item yang relatif langka umum- nya cenderung ditonjolkan—dan judul yang lebih umum tidak cukup terwakil (teks yang langka, bagaimana pun juga, tampak sebagai koleksi jauh lebih berharga). Di samping tidak menyebutkan baik Kailani maupun Maqsyud dengan syarahnya, Al-Amtsilah, Bina atau Asymawi, Drewes menyebutkan karya Dahlan sebagai syarah atas kitab Jurumiyah dan bukan Alfiyah. Dia juga tidak menyebutkan satu karya pun tentang balaghah: tidak jelas apakah tidak ada naskah tentang cabang ilmu ini di perpustakanperpustakaan, atau apakah Drewes tidak menganggap ilmu balaghah sebagai cabang dari ilmu tata bahasa Arab.
34.    Singkatan GAL dan GALS yang digunakan di sini dan pada halaman berikutnya merujuk kepada karya Carl Brockelmann, Geschichte der Arabischen Literatur, jilid I-II dan tiga jilid Suplemen-nya.
35.    Saya berhutang budi untuk informasi mengenai kurikulum madrasah tradisional di lingkungan Kurdi kepada teman saya M.E Bozarslan dan M. Taifun, keduanya dari Kurdistan utara, dan Fadhil Ahmad Karim dari Kurdistan selatan. Snouck Hurgronje (1883) menceritakan sebuah buku teks tulisan tangan orang Sumatra Barat yang berisi, menurut urutan tersebut, sebuah daftar ungkapan-ungkapan tata bahasa, tabel infleksi, sebuah buku tanpa judul yang tampaknya merupakan (bagian dari) Al-‘Izzi. ‘Awamil dan sebuah syarah atas Jurumiyah (karangan Syaikh Khalid b.’Abdullah Al-Azhari). Karya yang terakhir ini masih populer di seluruh Sumatra, dengan nama Syaikh Khalid atau Azhari atau judul sebenarnya Tamrin Al-Thullab.
36.    Dalam beberapa edisi, Bina’ dan ‘Izzi dicetak menjadi satu dengan karya-karya pengantar ilmu sharaf lainnya, misalnya Al-Maqshud, Al-Shafiyah (karangan Jamal Al-Din
b. Al-Hajib, wafat 646/1249, lihat GALI:303-6), dan dua teks anonim, Al-Marah dan Amtsilah Mukhtalifah. Semua teks ini
 
sangat singkat: seluruh koleksi terdiri tidak lebih dari 72 halaman).
37.    Menurut Van den Berg dan Drewes, nama lengkap Ibnu Hisyam ini ialah Abu ‘Abdallah b. Yusuf d. Hisyam, tetapi halaman judul edisi Indonesia karyanya menyebut namanya sebagai Jamal al-Din b. Hisyam Al-Anshari. Terdapat berbagai syarah terhadap karya ini, di antaranya Mujid Al-Nida’ oleh Syihab Al-Din Ahmad Al-Fakihi, yang diberikan hasyiyah oleh Ahmad Al-Sija’i dan taqrir oleh Syams Al-Din Al-Anbabi.
38.    Bukan Murauniq, sebagaimana ditulis Brockelmann (GAL S: 705).
39.    Yakni, sekarang ini. Ternyata, karya Nashafi, ‘Aqa’id ter- masuk dalam karya-karya pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Sebuah naskah abad ke-16 dengan terjemahan di sela baris aslinya masih dapat ditemukan (Al-Attas 1988).
40.    Untuk pembahasan tentang isi dari beberapa teks jenis ini, lihat Nor bin Ngah 1983: 13-18
41.    Peter Riddell (1984) menunjukkan bahwa Tarjuman (atau paling tidak beberapa bagiannya yang dia pelajari) bukanlah, sebagaimana diterima begitu saja oleh baik para orientalis maupun banyak orang Islam (termasuk penerbit Tarjuman), sebuah adaptasi dari tafsir karya Baidhawi tetapi pada umumnya merupakan terjemahan langsung dari kitab tafsir yang dikarang oleh dua orang ulama yang sama-sama bernama halal (Al-Suyuti dan Al- Mahalli) dengan menambahkan beberapa penjelasan rinci dari Baidhawi dan Khazin.
42.    Komentar kritis atas karya ini, khususnya tentang miskinnya sumber yang dijadikan rujukan, dapat ditemukan dalam Johns 1984: 158.
43.    Patut dicatat bahwa dalam karya Snouck Hurgronje, Adviezen, yang banyak membahas pendidikan Islam pada zamannya, terdapat hanya satu rujukan kepada hadis yang, bahkan, tidak dalam kaitannya dengan Indonesia tetapi dengan Tanah Arab.
 
44.    Djohan Effendi, “Tilikan singkat terhadap berbagai kumpulan hadis Nabi Muhammad”, paper yang disajikan pada seminar “Pandangan Hidup dan Sikap Hidup Ulama Indonesia”, LIPI, Jakarta, 24-25 Februari 1988.
45.    Hampir semua anekdot Sufi dan wejangan syaikh besar yang dikutipnya mengarah kepada himbauan moral yang sama, penyerahan diri sepenuhnya kepada sang guru. Sebagian karya Syaikh Yusuf diringkaskan dalam Tudjimah cs. 1987.
46.    Ringkasan mengenai isinya diberikan dalam Abdullah 1980: 107-121; analisis dalam Mansur 1982.
47.    Lihat, misalnya, Panji Masyarakat 556 (1-11-1987) dan 562 (1-1-1988):71-72. Sebuah catatan biografis tentang Al- Haddad, oleh editornya Hasanain M. Makhluf, ditemukan dalam kata pengantar karyanya yang berjudul Al-Da’wah Al-Tammah (ada dalam koleksi kami).
48.    Buku-buku tersebut diterbitkan oleh Penerbit Mizan di Bandung (yang dipimpin oleh putra Al-Baqir, Haidar Bagir), yang juga menerbitkan karya-karya pemikir Iran, Ali Syari’ati dan Muthahhari, pada umumnya diperuntukkan bagi para pembaca Muslim berusia muda, berpendidikan dan taat beragama. Beberapa teks singkat karangan Al- Haddad diterbitkan di Indonesia oleh penerbit lain dalam bentuk terjemahan.
49.    Termasuk buku  maulid karangan Barzinji, ‘Adzb, Diba’i, Jamal Al-Din Al-Jauzi, ‘Ali b. M. Habsyi dan Sayyid ‘Usman, Qasidah Al-Burdah karangan Bushiri, Isra’ Mi’raj karangan Najm Al-Din Ghaithi dan Da’ud b. Abdallah Al-Patani serta berbagai syarah dan terjemahan (untuk Barzinji saja terdapat empat terjemahan bahasa Jawa yang berbeda).
50.    Terdapat juga manaqib Baha’ Al-Din Naqsyaband, Muhammad b. Abd Al-Karim Samman dan Ahmad Tijani, tetapi penggunaannya pada umumnya (walaupun tidak selalu) terbatas kepada tarekat-tarekat tasawuf yang terkait dengan nama para syaikh mereka, sementara ‘Abd Al- Qadir Al-Jailani dihormati hampir oleh semua penganut
 
tarekat. Kajian yang dilakukan Drewes dan Poerbatjaraka 1938 masih merupakan kajian yang paling  penting tentang manaqib ‘Abd Al-Qadir. Namun Hikayat Seh (yang didasarkan atas karya Yafi’i, Khulashah Al-Mafakhir), yang paling banyak menyita perhatian mereka, sekarang dalam hal popularitasnya jauh dilampaui oleh karya Barzinji, Lujain, dan ‘Abd Al-Qadir Al-Arbili, Tafrih Al-Khathir, serta beberapa syarah atas kedua teks tersebut.
51.    Lihat Drewes dan Poerbatjaraka 1938: 31-3, tentang pem- bacaan Hikayat Seh dalam bahasa-bahasa regional.
52.    Koleksi kami berisi tidak kurang dari empat terjemahan yang berbeda dari Barzinji. Untuk daftar tentang syarah dan terjemahan (yang dikarang pada abad ke-20) atas Barzinji dan Manaqib yang ditulis oleh pengarang yang sama (tidak semua diwakili dalam koleksi kami), lihat lampiran di hlm. 111 dalam buku ini.
 

KITAB KUNING DAN PEREMPUAN, PEREMPUAN DAN KITAB KUNING1

Kitab Kuning dan Emansipasi Perempuan: Konflik Budaya?
Pengamatan-pengamatan Masdar mengenai kedudukan perempuan dalam diskursus (wacana, bahasan) dominan kitab kuning terasa tidak enak didengar tetapi  memang sulit dibantah. Baik dalam penggunaan bahasa (yang sangat memihak kepada jenis mudzakkar) maupun pilihan aspek kehidupan perempuan yang dijadikan pokok bahasan kitab- kitab fiqih, terdapat bias yang begitu dalam dan transparan. Tolok ukur untuk segala hal adalah laki-laki, dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki diberi makna bahwa perempuan tidak mencapai martabat laki-laki. Keberadaan perempuan seolah-olah hanya demi mengabdi kepada laki-laki dan memenuhi kebutuhan seksualnya saja. Status laki-laki baik di dunia maupun di akhirat jauh di atas status perempuan, dan dengan tolok ukur harga, bobot atau keseriusan, satu orang laki-laki adalah sepadan dengan dua orang perempuan.
Memang tak menyenangkan bagi mereka yang meyakini bahwa perempuan sama mulia martabatnya dengan laki-laki. Karena dalam pemahaman mereka, semangat Islam yang sesungguhnya justru egaliter, dan hanya menilai manusia berdasarkan kadar kesalehannya. Saat Masdar membaca paper- nya di seminar, ia sempat terkena amarah beberapa peserta seminar, yang kelihatannya sudah begitu jenuh mendengar pandangan yang paternalistis dan menindas perempuan itu.
 
Mereka agaknya menganggap bahwa Masdar cenderung mengedepankan pandangan kitab fiqih sebagai satu-satunya kebenaran Islami. Padahal, paper-nya merupakan hasil analisis yang sangat kritis tentang khazanah pesantren ini. Ia menggali aspek-aspek uraian kitab kuning yang berkaitan dengan perempuan dan menyampaikannya dalam bentuk singkat, tajam dan jelas. Dalam sebagian besar, uraian tersebut diketahui umum, namun baru ketika disusun secara sistematis bias anti perempuan kitab fiqih terasakan demikian pekat. Bukan pendapat Masdar sendiri yang menimbulkan culture shock; kemarahan peserta tadi merupakan isyarat keberhasilannya dalam merangkum secara tajam sikap yang tertuang dalam khazanah kitab kuning.
Masdar dikenal sebagai orang yang sekaligus loyal dan kritis kepada tradisi keilmuan kitab kuning. Dalam berbagai forum ia senantiasa mengambil sikap bahwa kitab, selain obyek pengajian, harus dijadikan obyek pengkajian, studi kritis. Karya ulama zaman dulu mestilah dipahami secara kontekstual, dengan memperhatikan latar belakang sejarah, sosial dan politik. Kitab kuning dengan segala muatannya bukanlah kebenaran mutlak, melainkan juga mencerminkan budaya, kebutuhan dan pendapat umum pada tempat dan zaman dikarangnya.
Demikian juga dalam hal kedudukan perempuan. Pada abad pertengahan, zaman sebagian besar kitab klasik disusun, tuntutan emansipasi belum ada dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam segala bidang dianggap wajar saja, bukan hanya di dunia Islam tetapi juga di kawasan budaya lainnya termasuk Eropa. Dengan kata lain (kalau saya boleh meringkas telaah Masdar dengan kata-kata saya yang kurang halus), isi kitab kuning merupakan perpaduan antara ajaran pokok Islam (Al-Quran dan hadis) dengan budaya lokal. Budaya adalah sesuatu yang selalu berubah, sehingga kalau isi kitab kuning terasa kurang cocok dengan kita, mungkin hanya disebabkan budaya kita sudah.lain daripada budaya pengarang. Di sini tampak pandangan Masdar relativistis: pendapat dan budaya kita boleh saja berbeda dengan budaya dan pendapat orang lain (misalnya ulama pengarang kitab kuning). Masing-masing
 
tentu saja merasa dirinya yang paling benar, walau tidak ada kriteria yang obyektif.

Apakah Kesan Masdar Terlalu Negatif?
Siapa pun boleh saja membantah atas perhatian yang ditekankan  kepada  uraian  berbias  antiperempuan  dalam kitab kuning oleh Masdar dengan melukiskan gambaran yang terlampau negatif. Karena dalam kenyataannya pemberlakuan ajaran kitab kuning seringkali menjadi lebih longgar. Seperti lazimnya, pada setiap masalah dijumpai rupa-rupa pandangan dalam kitab-kitab fiqih. Dengan metodologi yang dikenakan Masdar,  boleh  jadi,  pandangan  yang relatif  ekstrem  lebih dikedepankan  sedangkan  yang  lebih  moderat  diketepikan. Tidakkah mungkin lingkup pandangan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih lebih luas daripada yang digambarkan Masdar?
Masdar sesungguhnya belum menyertakan semua penda- pat “ekstrem” yang terangkum dalam dunia kitab kuning. Untuk ini saya ingin menambahkan dua contoh lain. Yang pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah status perempuan di akhirat kelak akan tetap di bawah status laki-laki juga (itu memang asumsi tersirat yang dicerna Masdar dalam kitab-kitab). Menurut pendapat segolongan ulama tradisional memanglah demikian, dan mereka memberikan alasan berdasarkan suatu perhitungan pahala. Betapa saleh pun seorang perempuan, demikian pendapat ini, namun ia tidak mungkin mendapat pahala setaraf dengan laki-laki yang saleh. Setiap bulan selama beberapa hari seorang perempuan dilarang beribadah, sehingga baik jumlah shalat fardhu maupun jumlah hari puasa yang dilakukannya lebih sedikit daripada jumlah kewajiban agama yang bisa dilakukan seorang laki laki.2 Sekali lagi, fungsi biologis perempuan (haidh) dijadikan alasan untuk menurunkan martabat perempuan. Kendati tidak semua ulama tradisional setuju dengan “ilmu akuntansi pahala” yang diajukan dalam argumentasi ini, dan pendapat ekstrem tadi adalah pendapat sebagian kecil saja.
 
Contoh saya yang kedua menyangkut kebebasan laki-laki menceraikan istrinya atau, lebih tepatnya, menuduh istrinya berzina tanpa adanya saksi yang melihat langsung. Memang, Islam memberikan kaum istri perlindungan terhadap tuduhan yang tidak bisa dibuktikan, sebagaimana diuraikan Masdar. Mencari empat orang saksi yang melihat langsung tindakan zina hampir mustahil, sehingga dalam praktik kebebasan laki- laki menceraikan istrinya dengan alasan ini dibatasi. Namun yang tidak disinggung Masdar adalah jalan keluar yang dibiarkan kepada  laki-laki,  yaitu  li’an.  Kalau  sang  suami  bersumpah bahwa istrinya telah main serong  dan  Tuhan  melaknatinya kalau ia berbohong, istrinya segera diceraikan tanpa kewajiban suami terhadapnya, dan anaknya (kalau hamil) dianggap tidak sah. Dalam hal ini, sang suami tidak terkena hukuman atas tuduhan yang tak bisa dibuktikan (tetapi sang istri bisa lepas dari hukum rajam kalau ia bersumpah laknat bahwa suamilah yang berbohong).3  Jadi, kalau dua-duanya bersumpah, sang suami yang menang dan bisa begitu saja menceraikan istrinya.
Dua contoh tadi menunjukkan bahwa gambaran yang dilukiskan Masdar belum tentu terlalu negatif dan secara selektif menunjukkan hukum-hukum yang paling merugikan perempuan. Dengan menggali lebih banyak kitab, agaknya, akan kita menemukan lebih banyak sikap yang sangat biased lagi. Tentu kalau kita memperhatikan, di samping hukum- hukum fiqih yang tertulis, pelaksanaan hukum Islam dalam praktik, kesimpulan kita mungkin akan berbeda; praktik biasanya jauh lebih longgar dan lunak daripada hukum- hukum kitab. Demikian misalnya contoh mengenai li’an tadi. Walaupun hampir semua kitab fiqih menguraikan perihal. li’an, namun dalam praktik jarang sekali terjadi kasus laki-laki menceraikan istrinya melalui prosedur li ‘an.4 Tambahan lagi, peraturan lain yang merugikan kaum perempuan seringkali juga tidak dilaksanakan secara harfiah. Dalam pembagian warisan, misalnya, orangtua sendiri sering mencari jalan keluar melalui wasiat atau dengan cara menghibahkan harta miliknya sebelum meninggal dunia.
 
Walaupun demikian, keadaan ini tidak mengurangi kenyataan bahwa diskursus kitab kuning sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Secara demikian kesimpulan Masdar tidak berlebihan.

Bias Karena Kitab Kuning Dikarang oleh Ulama Laki-laki
Salah satu faktor penyebab yang juga disebut Masdar adalah kenyataan bahwa kitab kuning nyaris semuanya dikarang oleh laki-laki, sehingga mudah dimengerti jika prasangka dan kepentingan jenis laki-laki sangat mewarnai pembahasannya. Seandainya pakar-pakar fiqih dan tauhid yang perempuan mengembangkan kembali sebuah fiqih baru dan doktrin-doktrin iman, berdasarkan nash yang sama, niscaya sangat berbeda dengan fiqih dan doktrin yang ada sekarang ini. Usaha semacam ini telah dilakukan di dunia Kristen oleh para ahli teologi perempuan, dan mencapai kesimpulan yang menghebohkan. Melalui kajian kritis terhadap karya-karya kaum teolog laki-laki mereka berhasil membongkar banyak prasangka dan bias yang sebenarnya tidak bersangkut paut dengan ajaran agama yang asli tetapi yang belakangan dianggap bagian esensial dari doktrin-doktrin Kristen. Para teolog feminis telah mengembangkan suatu teologi Kristen alternatif yang berbeda sekali dengan ajaran tradisional yang begitu paternalis dan menindas perempuan. Dalam dunia Islam, Riffat Hassan, sarjana dari Pakistan, adalah salah seorang yang berusaha mengembangkan pemikiran Islam yang dibersihkan dari bias laki-laki.5
Teologi feminis Islam belum muncul, namun satu kajian yang layak disebut disebut di sini, yaitu buku Perempuan dan Islam, Kajian Sejarah dan Teologi oleh Fatima Mernissi dari Marokko.6 Pengarang ini seorang wanita Islam yang sosiolog dari keluarga tradisional tetapi berpendidikan modern. Ia mulai mempertanyakan hal-hal yang diajarkan kepadanya mengenai status dan tingkah laku yang layak bagi kaum Muslimat. Ia mempelajari kitab hadis, tafsir dan sirah untuk mencari asal- usul  dari  (yang  disebutnya)  misogini, kebencian  terhadap
 
perempuan, dalam tradisi Islam. Ia menunjukkan, berdasarkan sumber Islam masa awal, bahwa sikap Nabi Saw. terhadap perempuan sangat arif, terbuka dan toleran, dan barulah belakangan muncul tokoh umat Islam yang mengambil sikap bertolak belakang dengan sikap Nabi. Pemimpin yang ia soroti sebagai bertanggung jawab atas penurunan status wanita dalam Islam adalah Khalifah ‘Umar, yang muncul lebih macho dari sumber-sumber sejarah, lebih keras dan menindas terhadap perempuan. Di antara para perawi hadis, terutama Abu Hurairah yang mendapat perhatiannya karena banyak hadis yang memojokkan perempuan konon diedarkan oleh Abu Hurairah.7 Dan hal-hal yang diketahui mengenai riwayat hidup Abu Hurairah, Mernissi menggambarkan profil psikologi tokoh ini sebagai laki-laki yang mengalami kesulitan menghadapi perempuan, mungkin juga kelainan seksual.
Mernissi membuat suatu pengamatan menarik lagi. Kalau para pengarang kitab klasik bertolak dari asumsi bahwa laki-laki adalah superior terhadap perempuan, itu wajar saja karena pada zaman dan tempat mereka menulis pendapat lazim memang demikian. Tetapi tahun-tahun terakhir ini pasar di negara- negara Muslim dibanjiri edisi baru dari kitab-kitab klasik yang paling diskriminatif terhadap perempuan, yang dijual dengan harga yang sangat murah. Hal ini, menurut Mernissi, bukan suatu kebetulan; ia melihat terjadi serangan massal dari kalangan ulama paling konservatif yang ingin melestarikan status quo dan “melindungi” Islam dari “bahaya” emansipasi perempuan dan feminisme.8 Konservatisme ini tidak merupakan monopoli dunia Islam; reaksi serupa timbul di mana-mana dalam proses modernisasi, dengan meningkatnya mobilitas dan pergeseran pembagian kerja.

Seorang Pengarang Kitab Kuning yang Perempuan

Sisi lain dari diskriminasi terhadap kaum perempuan adalah kenyataan bahwa sumbangan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sastra dan senirupa sering tidak diakui. (Pekerjaan lain yang dibuatnya, yaitu pekerjaan
 
rumah tangga, malahan tidak diakui sebagai kerja dan tidak masuk perhitungan statistik ekonomi). Di Eropa, secara berangsur-angsur para ilmuwan feminis telah berhasil mengoreksi pandangan keliru tentang sumbangan perempuan itu, dan menunjukkan bahwa sumbangan perempuan lebih besar daripada yang diduga sebelumnya. Mereka menemukan kembali karya-karya perempuan yang pernah—sengaja atau tidak—terlupakan. Akan halnya Islam, tidaklah mustahil kajian serupa mengenai sejarah keilmuan Islam juga akan menghasilkan temuan yang mengejutkan. Untuk ini, saya ingin mengajukan suatu contoh lagi.
Di antara kitab kuning yang banyak dibaca di Indonesia terdapat satu yang dikarang oleh seorang ulama Melayu yang perempuan. Namun tidak banyak pembaca menyadari hal ini, sebab kitab tersebut belakangan diatasnamakan seorang laki- laki, yakni pamannya sendiri! Kitab ini dikenal dengan judul Perukunan Jamaluddin. Kitabnya sederhana saja—perukunan berarti uraian dasar mengenai rukun Islam dan rukun iman tetapi merupakan salah satu yang paling populer di antara kitab-kitab sejenis, dan sering dicetak kembali. Tertulis di halaman pertama bahwa kitab ini adalah “karangan bagi al- ‘alim al-’allamah mufti Jamaluddin ibn al-marhum al-‘alim al-fadhil al-syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari”. Jamaluddin, putra Arsyad Al-Banjari yang terkenal itu, memang seorang laki-laki yang berpengaruh, ulama yang paling terkemuka di Kalimantan Selatan pada zamannya. Tetapi tradisi setempat mengingatkan bukan ia yang mengarang kitab perukunan tersebut, melainkan seorang keponakan perempuannya, yaitu Fatimah (yang lahir dari perkawinan putri Syekh Arsyad, Syarifah, dengan Abdulwahhab Bugis).9 Kurang jelas mengapa Jamaluddin mengatasnamakan karangan ini. Dalam dunia kitab kuning memang tak ada copyright (hak cipta), dan menyalin tulisan orang lain tanpa kreditasi sudah menjadi kebiasaan. Namun dalam hal ini kita merasa bahwa identitas pengarang yang sebenarnya dengan sengaja disembunyikan—sesuai dengan anggapan yang sudah mapan bahwa mengarang kitab merupakan  pekerjaan  laki-laki.  Kalau  kita  menggali  dalam
 
sejarah, tidak mustahil kita akan menemukan perempuan lain yang menguasai ilmu-ilmu agama dan telah menulis kitab. Dan tak usah heran kalau sumbangan mereka ternyata diingkari dan diboikot.10
Dari segi isi, kitab Perukunan Jamaluddin tak jauh berbeda dari kitab sejenis lainnya. Fatimah pastilah bukan seorang feminis yang dengan sengaja menulis fiqih alternatif. Kitabnya sangat sederhana dan hanya menguraikan beberapa ajaran pokok berhubungan dengan shalat, puasa dan cara mengurus mayat saja. Namun pengarang tidak meletakkan perempuan pada posisi lebih rendah atau kurang suci daripada laki-laki. Ia menghindari dari perkara yang sangat membedakan antara kedua jenis kelamin (seperti aqiqah, warisan atau kesaksian). Ketika ia membicarakan haid dan mandi sesudah haid, tidak ada kesan seolah-olah perempuan dalam haid adalah kotor. Ia tidak memakai istilah seperti “bersuci” (yang secara tersirat menyatakan perempuan dalam haid tidak “suci”) secara lebih netral ia menulis bahwa ada lima perkara yang mewajibkan mandi: mati (kecuali mati syahid), haid, nifas, wiladah (keguguran), dan janabah (persetubuhan). Tidak ada uraian panjang tentang hal- hal yang dilarang bagi perempuan pada masa haid.

Kitab yang Lebih Bersimpati kepada Perempuan
Dalam kitab kuning-kitab kuning yang dikarang oleh ulama laki-laki pun masih terdapat keragaman perihal sikap terhadapperempuan. Itu dapat dilihat, misalnya, pada kitab- kitab mengenai hubungan suami-istri. Seperti juga dicatat Masdar, uraian kitab perihal itu selalu dari pandangan laki-laki saja; dialah yang subjek sedangkan perempuan hanya sebagai objek. Dalam diskursus dominan, perempuan dibahas seolah- olah ia makhluk yang hanya berguna untuk melayani laki-laki dalam segala hal. Demikian misalnya kitab ‘Uqud Al-Lujjain karangan Nawawi Banten, yang banyak dibaca di pesantren Jawa.11 Kewajiban utama perempuan, menurut kitab ini, adalah melayani sang suami—di ranjang, tentu saja. Menolak tuntutan seksual sang suami, kata Nawawi, adalah dosa besar
 
bagi seorang perempuan. Dalam hal ini Nawawi tidaklah sendirian; hampir semua kitab sejenis mewakili sikap yang sama. Malahan terdapat muballighat populer yang sampai sekarang masih menyebarkan uraian senada sebagai ajaran Islam yang terpenting bagi kaum ibu!12
Meski demikian, terdapat juga kitab yang nadanya lebih simpatik kepada perempuan. Contoh yang cukup terkenal di Indonesia dan Malaysia adalah kitab Hukum Jima.13 Kitab singkat ini merupakan terjemahan Melayu dari Al-‘Ubab, karangan seorang ulama produktif yang hidup sekitar empat abad sebelum Nawawi Banten, yakni Syaikh Ahmad bin Sulaiman Kamal Basya dan Istanbul, dengan beberapa tambahan dari tulisan ulama lain, seperti Syaikh Zarruq dari Afrika Utara.14 Kitab ini juga membahas hubungan suami-istri, dan di sini juga sang laki-laki tetap sebagai subjek dan istrinya sebagai objek. Namun perhatian ulama dalam kitab ini terletak pada apa yang harus dibuat sang suami, tidak kepada kewajiban istri. Sang suami dianjurkan untuk melayani istrinya dengan baik; menghindar dari paksaan, menciptakan suasana yang tenang dan memperhatikan kebutuhan dan keinginan istrinya (lihat lampiran).
Contoh ini mungkin menunjukkan bahwa khazanah tradisional Islam cukup beranekaragam. Melalui seleksi dari seluruh khazanah itu seorang ulama bisa menulis uraian yang sangat antiperempuan, sedangkan ulama lain, dengan seleksi yang berbeda, menulis yang lebih simpatik. Mungkin sikap yang mengilhami penyusun kitab Hukum Jima’ bisa dijadikan titik tolak untuk penulisan kitab alternatif, yang lebih fair kepada perempuan, tanpa terlalu menjauhi suasana kitab kuning.

Budaya Arab atau Islam?
Apakah ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan hanya bagian dari budaya kitab kuning saja, atau inheren dalam Islam? Apakah jilbab dan larangan perempuan keluar dari rumah hanya berdasarkan salah satu di antara sekian banyak interpretasi Islam, atau perintah mutlak Tuhan? Dalam
 
suatu tulisan yang meninjau hukum-hukum fiqih mengenai perempuan, orientalis terkenal Hamilton A.R. Gibb dengan nada menyesal mengatakan bahwa bagian fiqih ini tidak didasarkan atas uraian Al-Quran melainkan atas hadis-hadis yang mencerminkan adat suku-suku Arab.15 Ia menunjukkan bahwa hampir setiap hukum Al-Quran mengenai perempuan merupakan perbaikan hak dan statusnya dan penolakan adat suku-suku Arab yang sangat tidak menguntungkan kaum perempuan. Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya, demikian kesimpulan Gibb, para ahli fiqih ternyata lebih dipengaruhi oleh adat (terutama konsepsi tradisional tentang ‘irdh, kehormatan suku) daripada ketentuan Al-Quran.16 Ijtihad Khalifah ‘Umar yang membolehkan laki-laki mengucapkan talaq tiga sekaligus, misalnya, membatalkan perlindungan yang diberikan perempuan oleh Al-Quran dan mengembalikan hukum adat yang membolehkan laki-laki untuk segera melepaskan istrinya, tanpa alasan.
Sudut pandang seperti ini agaknya, akan mendorong pemikir Islam yang ingin menentang diskriminasi terhadap perempuan untuk kembali kepada Al-Quran dan (tetapi dengan hati-hati) hadis. Hadis-hadis yang diakui secara umum pun (misalnya, yang dalam Al-Kutub Al-Sittah), agaknya, akan ditinjau kembali untuk menyaring hadis yang melestarikan adat-adat pra-Islam walaupun diatasnamakan Nabi. Inilah yang diusahakan oleh Fatima Mernissi dalam bukunya Perempuan dan Islam yang telah disebut di atas. Usaha demikian, tentu saja, akan menimbulkan kontroversi, dan pihak konservatif barangkali akan menuduhnya sebagai “Inkarussunnah”. Itu suatu reaksi yang tidak perlu ditakuti; setiap usaha pemurnian mengundang oposisi, tetapi pihak konservatif tidak memiliki monopoli atas kebenaran.
Namun dengan kembali kepada Al-Quran dan hadis yang fair terhadap perempuan tidak mudah mencapai landasan bagi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Al-Quran memberikan banyak hak dan kebebasan kepada perempuan yang tidak pernah mereka miliki dalam budaya Arab jahiliyah, tetapi di dalamnya terdapat beberapa ayat yang dengan jelas
 
menyatakan ketidaksamaan hak misalnya dalam hal warisan. Apakah itu berarti bahwa superioritas laki-laki atas perempuan harus diterima sebagai ajaran Islam yang mutlak dan tidak bisa diubah? Masalahnya terlalu rumit untuk dibahas dalam tulisan pendek ini, tetapi terdapat berbagai usaha mencari jalan keluar. Penafsiran kontekstual berusaha memahami ayat-ayat ahkam dalam konteks masyarakat Madinah pada zaman Nabi dan menerapkan semangat hukumnya daripada hukum-hukum yang harfiyah. Salah satu pendobrakan radikal adalah pendekatan Munawir Syadzali, yang menyatakan bahwa pembagian warisan memerlukan modifikasi untuk masyarakat yang punya struktur sosial berbeda dengan Madinah tigabelas abad yang lalu.
Cara yang pernah ditempuh beberapa negara Muslim yang sekular (Turki, Tunisia) adalah mengabaikan masalah ini sama sekali. Undang-undang perkawinan dan sebagainya berdasarkan hukum sipil ala negara Barat, tanpa usaha mencari legitimasi Islam. Dapat dimengerti kalau keadaan ini menyebabkan sebagian ummat di sana merasa teralienasi dari negara dan membangkitkan gerakan “fundamentalis”  yang kuat sebagai reaksi. Melihat arus perkembangan dalam dunia Islam masa kini, sekularisme tidak merupakan alternatif yang potensial. Pertanyaan apakah hak-hak perempuan dan hak- hak asasi manusia lainnya yang tercantum dalam perjanjian internasional bertentangan dengan Islam tidak bisa dihindari terus tetapi harus dihadapkan dengan jujur.17 Umat Islam sekarang menghadapi pilihan antara penolakan terhadap nilai internasional mengenai hak-hak perempuan, minoritas agama dan sebagainya, atau pembaharuan pemikiran Islam yang sangat radikal. Dilema ini diuraikan dengan sangat mengesankan oleh Abdullahi Ahmed An-Na’im, sarjana hukum dari Sudan, dalam buku Menuju Suatu Reform Islami.18
An-Na’im dalam buku ini menyampaikan beberapa usul pembaruan berdasarkan pemikiran gurunya, Ustad Mahmoud Mohamad Taha. Ustad Mahmoud bertolak dari perbedaan yang terdapat antara surah-surah yang turun di Makkah dan di Madinah. Surah-surah Makkah bersifat peringatan moral,
egalitarian dan universal, sedangkan surah-surah Madinah lebih bersifat spesifik dan kontekstual. Beberapa ayat Madinah kelihatannya bertentangan dengan  ayat-ayat  Makkah,  dan itu yang melahirkan teori nasikh dan mansukh:  menurut para ahli tafsir dan fiqih, terdapat ayat yang membatalkan ayat lain. Status perempuan (dan juga status minoritas non- Muslim) diatur oleh ayat-ayat Madinah yang membatalkan ayat- ayat Makkah yang lebih egaliter. Dengan sangat berani Ustad Mahmoud menyatakan bahwa sekarang sudah waktunya memutarbalikkan nasikh dan mansukh itu. Perintah Tuhan yang punya relevansi universal tercantum dalam surah-surah Makkah. Karena masyarakat Arab pada zaman Nabi belum sanggup melaksanakan semua perintah itu, katanya, turunlah ayat-ayat yang lebih sesuai dengan situasi zaman itu, dan untuk sementara membatalkan ayat-ayat yang lebih universal dari Makkah. Masyarakat sekarang sudah lebih dewasa, dan tidak ada alasan lagi untuk membatalkan perintah Tuhan pertama yang egaliter. Ayat-ayat yang dulu dianggap nasikh sekarang layak menjadi mansukh.19

Diskursus Kitab Kuning dan Keterbatasannya
Kesulitan yang kita hadapi pada masalah kitab kuning dan perempuan menyangkut persoalan diskursus. Diskursus kitab kuning, yakni kerangka berpikir dan cara pembahasannya, sudut- sudut pandangannya, pokok-pokok yang dibahas, apa yang dianggap suatu masalah dan apa jawaban yang memuaskan, merupakan suatu bangunan intelektual yang cukup canggih tetapi terbatas dan kaku. Banyak hal yang bisa dibahas secara mendalam dalam kosakata kitab kuning, tetapi terdapat juga persoalan yang tak bisa dirumuskan, pemikiran yang tak dapat dipikirkan dalam diskursus itu. Diskursus dimaksud, seperti juga diskursus-diskursus khusus lainnya, ibarat kacamata berwarna: beberapa hal di dunia sekitar dapat dilihat lebih tajam sedangkan hal lain menjadi samar.
Hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan perempuan sebagaimana  disinggung  dalam  kitab  kuning  sebetulnya
 
bukan hal-hal yang paling mendesak. Banyak agenda soal lain yang menuntut perhatian, seperti perlindungan hak pekerja perempuan, kesamaan upah laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama, status sosial janda, partisipasi perempuan dalam pendidikan, ekonomi dan politik dan lainnya tidak disinggung sama sekali dan bahkan sampai sekarang belum bisa dibicarakan dalam diskursus kitab kuning. Seolah-olah kehidupan perempuan terdiri dari haid dan nifas, hijab dan warisan saja. Demikian diskusi mengenai perempuan dan Islam hampir selalu berkisar tentang hijab, kewajiban kepada suami, dan pembagian warisan. Dalam cakupan semua ini, kitab kuning mewakili sikap konservatif yang meletakkan perempuan jauh di bawah laki-laki; tetapi pendekatan reformis bisa mengembangkan penafsiran Al-Quran dan hadis yang lebih seimbang dan lebih fair terhadap perempuan. Itu memang sesuatu yang dibutuhkan. Namun terdapat persoalan lain dan mungkin tidak kalah pentingnya, yang boleh jadi ditinggalkan kalau diskusi hanya ditekankan kepada pokok-pokok tadi. []
 
LAMPIRAN:    TRANSKRIPSI    HALAMAN    PERTAMA KITAB HUKUM JIMA’
Bismillah Al-Rahman Al-Rahim
Al-hamd li Allah al-ladzi khalaqa al-asyya’ bi-qudratih wa atqanaha bi-luthf sun’atih wa dabbaraha bi-hikmatih [wa] ahmaduh ‘ala ni’matih wa ushalli ‘ala Muhammad khair khilafatih wa ‘ala alih wa shahbih wa ‘ithratih. Amma ba’d. Perkata mu’allif-nya ini suatu risalah pada menyatakan jima’ dengan istrinya. Tersebut di dalam kitab Ubab dan lainnya bahwasanya sunnat dahulu daripada jima’ itu memakai bau-bauan kedua laki [dan] istrinya dan bergurau-gurau dahulu dan bermain-main dengan kelakuan yang menyukakan hati istrinya, dan membangkitkan syahwat dan safrat palaq, dan dicamnya akan dia dan permain-mainnya hujung susunya dan digerak-gerakkannya kepala dzakarnya itu atas kedua bibir farji itu, karena yang demikian itu terlebih segeranya mendatangkan birahi perempuan. Maka seyogianya janganlah dijima’ istrinya melainkan hingga nyata birahinya kepada jima’, seperti bergerak-gerak tubuhnya dan singkat napasnya. Pada ketika itu maka dimasukkan dzakar kita itu sehingga hasyefehnya juga. Karena [menurut] setengah ulama adalah tempat al-dzat cita dia, ya’ni rasanya jima’ itu hasillah qadar hasyefehnya jua. Maka apabila bertambah-tambah di birahinya dan bergerak-gerak tubuhnya maka dimasukkan dzakarnya qadar hajatnya. Sekira hasil bersama-sama inzal dan bertemu kedua maninya, karena yang demikian itu terlebih lezat kedua pihak dan menyuruh berkasih-kasihan dan mewaris rajin dan ilmu pada anaknya, apabila jadi anaknya dengan maninya dengan dijima’ itu. Tersebut di dalam kitab Syaikh Zarruq bahwa karena ‘ulama: jima’ dengan tiada mengerjakan kelakuan yang mendatangkan birahi perempuan itu mewaris pada anaknya bobol dan kurang akal dan penyakit. [...] Dan apabila terdahulu inzal mani suaminya, seyogianya hendaklah  dinantikannya  hingga  inzal  istrinya, supaya sama sampai hajatnya kedua.[]
 
Catatan akhir:
1.    Tulisan ini berdasarkan tanggapan saya terhadap makalah yang disampaikan Masdar F. Mas’udi  pada Seminar “Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual”, diselenggarakan oleh INIS dan Departemen Agama, Jakarta, 2-5 Desember 1991. Dalam makalahnya, Masdar menganalisis bagaimana perempuan dipandang dalam sejumlah kitab standar yang banyak dipergunakan di pesantren. Semua makalah seminar ini diterbitkan dalam buku dengan judul sama yang diedit oleh Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Meuleman (Jakarta: INIS, 1993).
2.    Saya tidak ingat dalam kitab apa pendapat ini diutarakan. Fazlur Rahman telah mengutipnya dalam rangka sebuah diskusi pada seminar “New Trends in Islamic Studies”, LIPI, Jakarta 1985.
3.    Hukum fiqih ini berdasarkan, tetapi tidak identik dengan, Surah An-Nur, ayat 6-9.
4.    Dalam bukunya Pedoman Syari’ah Islam Menurut Madzhab Syafi’i (Handleiding tot de Kennis van de Mohammedaansche Wet Volgens de Leer der Sjafi’itische School, Leiden: Brill, 1925, him. 217), sarjana Belanda ahli hukum Islam Th.W. Juynboll menulis bahwa di Hindia Belanda li’an bukan tidak dikenal tetapi jarang sekali dilakukan, seperti halnya di sebagian besar dunia Islam. Kalau terjadi, tujuan utama adalah untuk menyatakan seorang anak tidak sah.
5.    Lihat Riffat Hassan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam: Sejajar di Hadapan Allah?”, Ulumul Al-Quran No. 4, 1990, hlm. 48-55.
6.    Fatima Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry. Oxford: Basil Blackwell, 1991. (Edisi asli ditulis dalam bahasa Prancis dan diterbitkan di Paris pads tahun 1987).
7.    Mernissi tidak menyinggung kritik orientalis terhadap hadis; ia menganggap bahwa beberapa hadis dalam kumpulan  Bukhari  dan  Nisa’i  yang  isnadnya  melalui Abu Hurairah betul-betul berasal dari tokoh itu. Dalam pandangan orientalis, yang menganggap bahwa sebagian besar hadis (termasuk yang “shahih”) dirumuskan belakangan dan hanya diatasnamakan sahabat terkenal, Abu Hurairah tentu saja tidak bertanggung jawab atas semua hadis yang konon berasal darinya.
8.    Mernissi, Women and Islam, hlm. 97-99. Dua kitab yang disebutnya sebagai contoh adalah edisi baru Kitab Ahkam Al Nisa’ karya lbn Al-Jauzi (Lebanon, 1981) dan Fatawa Al-Nisa’ karya lbn Taimiyah. Kitab yang pertama sangat ekstrem dalam uraiannya mengenai hijab: perempuan dianjurkan untuk tidak keluar dari rumah sama sekali dan untuk tidak sama sekali melihat laki-laki. Yang kedua merupakan seleksi fatwa mengenai perempuan dari kumpulan besar fatwa-fatwa (Majmu’ Al-Fatawa Al- Kubra) lbn Taimiyyah. Kitab yang mengandung paling banyak pendapat jelek mengenai perempuan adalah karya seorang ulama dari India, Muhammad Shiddiq Hasan Khan Al-Qannuji yang berjudul Hush Al-Uswah (edisi baru: Beirut, 1981). Kitab ini antara lain menguraikan mengenai “ketidakmampuan perempuan berpikir rasional dan kekurangmampuannya dalam segala urusan agama”.
9.    Lihat: Zafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary Ulama BesarJuru Da’wah. Banjarmasin: Penerbit Karya,1979 (cet. ke-2), hlm. 15-6; H.W. Muhd. Shaghir Abdullah, Syeikh Muhd Arsyad Al-Banjari, Matahari Islam. Mempawah: Pondok Al-Fathanah, 1982, hlm. 62-3.
10.    Maksud saya di sini bukan tokoh perempuan seperti Aisyah dan Fathimah, yang merupakan tokoh kunci dalam isnad hadis Sunni dan Syi’ah, atau Rabi’ah Al-‘Adawiyah, sufi wanita yang pertama. Mereka memang diakui, dan itu membuktikan bahwa bias anti-perempuan itu tidak menyeluruh dalam Islam pada masa awalnya seperti halnya belakangan pada abad pertengahan.
11.    Muhammad bin ‘ Umar Nawawi Al-Bantani, ‘Uqud Al- Lujjain   fi   Huquq   Al-Zaujain   (berbagai   edisi).   Lihat juga tinjauan kitab ini oleh Musthafa Helmy, “Mahkota Muslimah yang Tertinggal”, Pesantren No. 2, Vol.VI, 1989, hlm. 92-94.
12.    Lihat hasil penelitian Lies M. Marcoes mengenai muballighat populer di Bogor dan Jakarta, “The Female Preacher as Mediator in Religion: A Case Study in Jakarta and WestJava”, dalam: Situa van Bemmelen dkk. (editor), Women and Mediation in Indonesia (Leiden: KITLV. Press, 1992), hlm. 203-228.
13.    Kitab Hukum Jima’ telah dicetak di Makkah pada tahun 1309 (1891) dan berkali-kali dicetak ulang di Asia Tenggara (antara lain oleh Al-Haramain di Singapura dan Bungkul Indah di Surabaya). Terdapat juga adaptasi dalam Bahasa Indonesia kontemporer, oleh Ustadz Nusannif Effendie (Penerbit MA Jaya, Jakarta, 1980).
14.    Ahmad bin Sulaiman Kamal Basya (wafat 940 Hijri, yaitu 1533 Miladi) pernah menjabat Syaikh Al-Islam di Kesultanan Utsmani (Turki). Ia mengarang lebih dari 170 kitab yang mencakup semua cabang ilmu Islam (lihat: Carl Brockelmann, Geschichte der Arabischen Literatur, jilid II, Leiden, 1949, hlm. 449-453). Abu Al-‘Abbas Ahmad Al-Burnusi Al-Fasi, yang lebih dikenal sebagai Syaikh Zarruq (w, 1493), seorang sufi dan penulis sejumlah kitab, terutama di bidang tasawwuf (Brockelmann, op. cit., II, hlm. 253-4 dan Supplement II, hlm. 360-2).
15.    Sir Hamilton Gibb, “Women and the Law”, Correspondence d’Orient No 5 [Colloque sur la Sociologie Musulmane, Actes, 11-14 Septembre 1961], Bruxelles, hlm. 233-248.
16.    “...in practically every instance the motivation of the early jurists in their elaboration of the Law in respect to women can be resolved into the effort to accommodate the Koranic prescriptions to the social pressures of their environment. Of these pressures the most powerful was not, as has too often been said, the influence of Caliphs and governors, but the survival and even intensification among the tribesmen of the sense of tribal honour. Indeed, it may even be argued that the detailed rules were dictated more in the light of traditional conceptions of what constituted tribal ’ird than of Koranic principles.” (Gibb, “Women and the Law”, hlm. 244).
17.    Perjanjian internasional yang dimaksud antara lain: Piagam PBB, Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Tentang Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
18.    Abdullahi Ahmed An-Na’im, Towards an Islamic Reform: Civil Liberties, Human Rights, and International Law. Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990.
19.    Argumentasi Ustadz Mahmoud tentu lebih canggih daripada ringkasan sederhana yang diberikan di sini. Pemikirannya menimbulkan reaksi keras, apalagi ketika ia menentang politik islamisasi negara yang dimulai Presiden Numairi. Ia ditangkap sebagai oposan politik dan kemudian dihukum mati dengan alasan riddah pada tahun 1985.

[alkhoirot.org]

LihatTutupKomentar