Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia
Judul buku: Kitab kuning, pesantren, dan tarekat: tradisi-tradisi Islam di Indonesia
Penulis: Martin van Bruinessen
Kata Pengantar: Abdurrahman Wahid
Cetakan I, Mei 2012
Diterbitkan oleh: Gading Publishing
@ Martin van Bruinessen
Bidang studi: Sejarah Indonesia, Islam Nusantara, subkultur, sosiologi
DAFTAR ISI
- Bagian II. Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia
- 4. Pesantren dan Kitab Kuning: Kesinambungan dan Perkembangan Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia
- 5. Kitab Fiqh di Pesantren Indonesia dan Malaysia
- 6. Kitab Kuning: Buku-buku Berhuruf Arab yang Dipergunakan di Lingkungan Pesantren
- 7. Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning
- Kembali ke: Buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Islam di Nusantara
BAGIAN 2: Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia
PESANTREN
DAN KITAB KUNING: KESINAMBUNGAN DAN PERKEMBANGAN TRADISI KEILMUAN ISLAM DI
INDONESIA
Salah satu tradisi agung (great tradition) di Indonesia adalah tradisi
pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan
lembaga-lembaga serupa di luar Jawa serta Semenanjung Malaya. Alasan pokok
munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional
sabagaimana yang terdapat dalam kita-kitab klasik yang ditulis berabad-abad
yang lalu. Kitab- kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Jumlah
teks klasik yang diterima di pesantren sebagai ortodoks (al-kutub al-
mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu
yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah; hanya bisa diperjelas dan
dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungannya
tidak berubah. Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah banyak dikritik, baik
oleh peneliti asing maupun oleh kaum Muslim reformis dan modernis.
Pesantren
(atau pondok, surau, dayah dan nama lain sesuai daerahnya) bukanlah
satu-satunya lembaga pendidikan Islam. Dan tradisi yang muncul itu hanyalah
satu dari beberapa aliran Islam Indonesia masa kini. Aliran-aliran modernis,
reformis dan fundamentalis yang pada mulanya muncul sebagai penentang terhadap
tradisi ini, dalam kadar tertentu bahkan juga telah berkembang menjadi tradisi
lain yang tidak kalah kakunya. Perhatian saya dalam tulisan ini adalah pada
Islam tradisional, meskipun pembatasan secara ketat untuk tidak membicarakan
beberapa kelompok terakhir—yang dengannya selalu
terjadi
interaksi— tidak mungkin dapat dilakukan, dan pada
tahun- tahun terakhir ini terlihat adanya konvergensi dengan kelompok-
kelompok tersebut. Organisasi kaum reformis Muhammadiyah, misalnya, sekarang
mempunyai pesantren, di mana di samping ada kurikulum sekolah, juga diajarkan
kitab-kitab klasik berbahasa Arab (meskipun seleksi kitab-kitab klasiknya
berbeda dengan pesantren tradisional).1 Di hampir semua pesantren, pada sisi
lain, terjadi pergeseran penekanan dalam materi kitab-kitab tradisional, yang
tampaknya akibat pengaruh modernisme. Tafsir, hadist 2 dan ushul al-fiqh
mendapat perhatian lebih besar dibandingkan seabad yang lalu—sebuah
perkembangan yang paralel dengan (dan mungkin sebagai respon atas) semboyan
kaum modernis “Kembali kepada Al-Quran dan hadis.”
Menggambarkan
Tadisi
Unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah lembaga pesantren
sendiri, peranan dan kepribadian kiai (ajengan, tuan guru, dan lain sebagainya
tergantung daerahnya) yang sangat menentukan dan karismatik—karismatik persis
sebagaimana dalam pengertian Weberian. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan
mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap
santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, a fortiori, ulama yang mengarang
kitab-kitab yang dipelajarinya. Kapatuhan ini, bagi pengamat luar, tampak
lebih penting daripada usaha menguasai ilmu; tetapi bagi kiai hal itu
merupakan bagian integral dari ilmu yang akan dikuasai. Hasyim Asy’ari,
founding father NU, misalnya dikenal sangat mengagumi tafsir Muhammad ‘Abduh,
namun ia tidak suka santrinya membaca kitab tafsir tersebut. Keberatannya
bukan terhadap rasionalisme ‘Abduh, tetapi ejekan yang ditunjukkannya terhadap
ulama tradisional.
Meskipun materi yang dipelajari terdiri dari teks
tertulis, namun penyampaian secara lisan oleh para kiai adalah penting. Kitab
dibicarakan keras-keras oleh kiai di depan sekelompok santri, sementara para
santri yang memegang bukunya sendiri memberikan harakat sebagaimana bacaan
sang kiai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun
ma’nawi
(makna). Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan,
tetapi biasanya terbatas pada konteks sempit isi kitab itu. Jarang sekali ada
usaha menghubungkan uraian-uraian kitab dengan hal-hal konkret, atau situasi
kontemporer. Kiai jarang menanyakan apakah santri benar- benar memahami kitab
yang dibicarakan untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab
yang bersifat pengantar sering dihapalkan, sementara kitab-kitab advanced
hanya dibaca saja dari awal sampai akhir. (Namun, dalam lingkungan kecil
tamatan pesantren, ada diskusi kitab untuk mencari relevansi kekiniannya, baik
secara historis maupun kultural). Barangkali, mayoritas pesantren sekarang
menjalankan sistem madrasah—ada kenaikan kelas, kurikulum yang baku dan
ijazah—namun terdapat juga banyak pesantren penting yang masih menerapkan
metode tradisional, di mana beberapa santri membaca kitab tertentu di bawah
bimbingan sang kiai. Setelah santri menamatkan kitab yang dipelajarinya,
mereka mendapatkan ijazah (biasanya diberikan secara lisan), dan setelah itu
mereka bisa berpindah ke pesantren lain untuk belajar kitab lain. Banyak kiai
yang terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Di samping
mengajarkan kitab- kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan
pengajian mingguan untuk umum di mana dibahas kitab-kitab yang relatif
sederhana.
Kandungan intelektual Islam tradisional berkisar pada paham
akidah Asy’ari (khususnya melalui karya-karya Al-Sanusi), mazhab fiqih Syafi’i
(dengan sedikit menerima tiga mazhab lain) dan ajaran- ajaran akhlak dan
tasawuf Al-Ghazali dan pengarang kitab sejenis. Sebagian besar kitab yang
dipelajari di pesantren3—termasuk karya-karya mutakhir— isinya berkisar pada
tiga kategori itu atau pada “ilmu alat” yang berupa gramatika bahasa Arab
tradisional (nahw). Dalam hal terakhir, kaum tradisionalis masih tetap lebih
memilih metode nahw yang tidak efisien daripada pendekatan- pendekatan yang
lebih modern (Drewes 1971).
Di sisi lain, Islam modernis tidak mau
terikat dengan system mazhab yang kaku dan kesufian Al-Ghazali. Mereka
menyerukan pembukaan kembali pintu ijtihad dan aktivitas sosial dan politik.
Sementara dalam tradisi pesantren karya-karya Al-Ghazali dianggap sebagai
prestasi keilmuan dan spiritual tertinggi; kaum modernis
dan
fundamentalis memilih Ibn Taimiyah sebagai idolanya (yang karya-karyanya
dilarang dibaca di pesantren).4
Kebanyakan kiai hanya mengajarkan kitab
kuning, tetapi tidak sedikit juga yang telah menambah khazanah Islam
tradisional dengan mengarang kitab sendiri. Ada perbedaan besar antara karya
ulama modernis dan reformis dengan karya ulama tradisional. Ulama modernis
menulis karyanya dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin (kalangan reformis
membaca karya-karya ulama Arab biasanya melalui terjemahan bahasa
Indonesianya). Sementara ulama tradisional menulisnya dengan bahasa Arab,
karena dianggap menambah nilai kehormatan.5 Kalaupun karya mereka ditulis
dalam bahasa setempat, namun tetap memakai huruf Arab. Penulisan dalam bahasa
Arab inilah yang menjadi ciri penting yang membedakan antara ulama modernis
dan tradisional. Sekarang terdapat di pasaran lebih dari 500 judul karya ulama
tradisional Indonesia, yang isinya beraneka ragam: dari terjemahan karya
sederhana sampai syarah dan hasyiyah canggih terhadap teks klasik.
Tradisi
pesantren bernafaskan sufistik dan ubudiyah. Ibadah fardhu dilengkapi dengan
shalat-shalat sunnah dan zikir, wirid atau ratib. Banyak kiai yang berafiliasi
dengat tarekat dan mengajarkan kepada pengikutnya ibadah dan amalan sufistik
yang khas. Seperempat dari hasil karangan ulama tradisional terdiri dari
kitab-kitab tasawuf dan akhlak. Nabi dan ahl al- bait sangat
dimuliakan dan menjadi objek sejumlah shalawat. Bahkan orang sangat bejat yang
berasal dari keturunannya masih dihormati. Para wali pun sangat dimuliakan dan
pertolongannya sering diminta. Mengunjungi makam dari para wali dan sejumlah
kiai merupakan bagian penting dari acara tahunan. Hampir semua pesantren di
Jawa mempunyai perayaan tahunan (khaul, hawl), untuk memperingati tahun
kematian kiai pendirinya.
Karisma kiai didasarkan kekuatan spiritual dan
kemampuan memberi berkah karena hubungannya dengan alam gaib. Kuburannya pun
dipercaya dapat memberikan berkah. Sikap inilah yang paling tajam membedakan
antara kaum modernis dan fundamentalis yang menganggap bahwa setelah orang
mati tidak mungkin lagi ada komunikasi, dan setiap usaha untuk
berhubungan
dengannya adalah syirk (menyekutukan Tuhan). Di sisi lain, kaum tradisionalis
menganggapnya sebagai sebuah aspek integral dari konsep wasilah, keperantaraan
spiritual. Mata rantai yang terus bersambung dari seorang guru, hidup atau
mati, melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai kepada Nabi dan karenanya
kepada Tuhan, dianggap penting untuk keselamatan. (Itulah sebabnya,
keanggotaan kiai NU tidak dianggap berakhir karena kematiannya, supaya wasilah
tidak terputus).6
Konsep mata rantai yang terus bersambung sampai kepada
Nabi adalah penting bagi Islam tradisional. Hal itu terdapat dalam berbagai
aspek seperti pada silsilah tarekat,7 isnad hadis dan juga isnad kitab-kitab
yang dipelajari. Mata rantai tersebut merupakan jaminan keotentikan tradisi.8
Para sayyid Hadhrami (berasal dari Hadhramaut) yang telah punya pengaruh
besar dalam pembentukan Islam tradisional Indonesia merupakan penjelmaan fisik
dari mata rantai itu; titisan darah Nabi dianggap terdapat dalam dirinya, yang
menyebabkan derajatnya lebih tinggi dari orang lain. Gagasan pewarisan karisma
dalam bentuk yang mirip juga terlihat pada kebanggaan sejumlah kiai atas
silsilah keturunan yang mereka —benar atau salah— runut sampai para walisanga
atau raja Jawa zaman dulu.9 Kaum modernis, tentu saja, menolak bahwa garis
keturunan dapat menjamin derajat ketinggian spiritual seseorang.
Oportunisme
politik NU, yang sering dikritik kaum Muslim lain, disebabkan banyak kiai
menganut paham politik konservatif tradisi Sunni yang menganggap bahwa
kekacauan politik (fitnah) selama satu jam lebih buruk daripada tirani satu
abad. Akomodasi politik hampir menjadi sesuatu yang prinsip dalam tradisi
Sunni, tidak sekadar sebuah upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Semua gerak
politik NU masa lalu dilegitimiasi keputusan Majlis Syuriah dengan mengacu
kepada kitab kuning, yang meskipun secara teoretis kaku, namun longgar
penerapannya.10
Tradisi Indonesia atau Asing?
Ada paradoks
pada tradisi pesantren. Di satu sisi ia berakar kuat di bumi Indonesia; pondok
pesantren bisa dianggap lembaga
yang khas Indonesia. Meskipun
ia merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek,
berbeda dengan sekolah tradisional di dunia Islam mana pun. Di sisi lain, pada
saat yang sama ia berorientasi internasional, dengan Makkah sebagai pusat
orientasinya, bukan Indonesia.
Tradisi kitab kuning, jelas bukan berasal
dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa
Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia. Demikian
juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan berasal dari Indonesia
(meskipun jumlah syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan
pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah
kitab yang dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di
Indonesia, melainkan di Makkah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi
orang Indonesia sendiri).
Pola khas pesantren sebagai lembaga pendidikan
juga mencerminkan pengaruh asing, dan mungkin juga punya akar asing (meski
bercampur dengan tradisi lokal yang lebih tua). Ia menyerupai madrasah India
dan Timur Tengah. Hampir semua kiai besar menyelesaikan tahap akhir
pendidikannya di pusat- pusat pengajaran Islam prestisius di tanah Arab.
Mereka bisa dianggap sebagai perantara antara tradisi besar keilmuan Islam
yang bersifat internasional dengan varian tradisi Islam yang masih sederhana
di Indonesia.
Tradisi pesantren bukanlah satu-satunya tradisi budaya
Indonesia yang mempunyai akar asing. Namun, berbeda dengan tradisi-tradisi
Indonesia yang berakar ke India dan Cina yang telah terintegrasi dengan budaya
setempat dan berkembang lebih lanjut, yang kemudian terlepas dari sumber asing
mereka,11 tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap sinkretisme dan
senantiasa memperbaharui diri kembali melalui sumbernya sendiri. Sumber
terpenting bagi Islam tradisional Indonesia adalah kota suci Makkah—pusat
orientasi semua dunia Islam. Dan, menyusul, Madinah, di mana Nabi membangun
masjid pertama dan wafat.
Hampir semua pengarang-pengarang Islam
Indonesia menghabiskan banyak waktu di Makkah, Madinah, dan pusat-
pusat
pengajaran Islam di Timur Tengah. Namun bukan hanya para ulama, tetapi juga
para penguasa Islam masa lalu merujuk ke Makkah untuk mendapatkan legitimasi,
atau paling tidak mendapatkan ilmu untuk kekuatan spiritual. Pada tahun
1630-an, Abu’l-Mafakhir Mahmud, raja Banten keempat, mengirim utusan ke makkah
untuk minta pengakuan sebagai Sultan serta penjelasan berbagai kitab agama dan
bahkan meminta didatangkan ahli fiqih dari Makkah untuk memberikan pengajaran
agama di Banten.12 Pada tahun 1641, raja Mataram juga minta dianugerahi gelar
“sultan” dari penguasa (Syarif) di Makkah, sebagai salah satu usaha untuk
memperkuat kembali legitimasi keagamaannya (de Graaf 1958, hlm. 264-8).
Meskipun pengetahuan kita tentang Islam di Indonesia sebelum abad ke-17 sangat
sedikit, hal itu tampaknya sesuai dengan orientasi Makkah yang telah
berkembang jauh sebelum kejadian itu tercatat. Keterangan ini tidak
mengingkari bahwa Islam di Indonesia, khususnya pada abad-abad pertama,
terpengaruh perkembangan Islam India. Sebagai contoh, besarnya pengaruh
tarekat Syattariyah,13 popularitas, berbagai adaptasi metafisika wahdah
al-wujud Ibn Al-‘Arabi,14 dan pilihan kitab- kitab yang dipelajari selama
berabad-abad pertama di Indonesia menunjukkan besarnya pengaruh India. Namun
pengaruh India ini juga mencapai Nusantara melalui kota-kota suci di Hijaz,
tempat berbagai ulama besar India (dan pengikutnya yang non-India) mengajar.
Nuruddin Al-Raniri, ulama Arab-Melayu kelahiran India, merupakan satu-satunya
tokoh terkenal yang mewakili hubungan langsung antara India dan Indonesia.
Karena
orientasi asing yang terus berlanjut pada tradisi pesantren, ia tidak bisa
dianggap terisolir. Agar dapat memahami dinamika pesantren, kita harus
mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab dan India. Studi dilakukan Snouck
Hurgronje tentang pendidikan Islam di Makkah lebih dari satu abad lalu (1887a,
1889) masih merupakan salah satu karya terpenting mengenai tradisi pesantren,
dan belum terdapat kajian baru yang lebih mendalam. Sejak seabad yang lalu,
perhatian para sarjana untuk mengkaji Islam Indonesia hampir semuanya
mengabaikan Makkah dan pusat-pusat asing lain, atau hanya membuat beberapa
pengamatan dangkal saja.15
Permulaan Tradisi Pesantren
Pengetahuan
kita mengenai asal-usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan tidak mengetahui
kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Banyak yang disebut
tentang pesantren pada masa awal, sebetulnya hanya merupakan ekstrapolasi dari
pengamatan akhir abad ke-19. Pigeaud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren
merupakan jenis pusat Islam penting kedua, di samping masjid, pada periode
awal abad ke-16. Mereka menyangka bahwa pesantren adalah sebuah komunitas
independen yang tempatnya jauh, di pegunungan, dan berasal dari lembaga
sejenis zaman pra-Islam, mandala dan asyrama (Pigeaud 1967, hlm 76ff; de Graaf
dan Pigeaud 1974, hlm. 246- 7). Memang terdapat indikasi bahwa tempat-tempat
pertapaan pra
–Islam tetap bertahan beberapa waktu setalah Jawa
diislamkan; bahkan tempat pertapaan yang baru terus didirikan.16 Namun tidak
jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran
tekstual berlangsung. Karena itu sebutan “pesantren” (sebuah istilah yang
menurut pengetahuan saya baru muncul belakangan) patut dipertanyakan.
Beberapa
pengarang cenderung menganggap desa perdikan (Fokkens 1886) sebagai sarana
kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam. Desa perdikan,
yang dibebaskan pajak dan kerja rodi tetapi penghasilannya harus dimanfaatkan
untuk melaksanakan tugas sakral seperti memelihara makam keramat, merupakan
lembaga yang sudah cukup tua (Schrieke 1919), dan beberapa desa perdikan pada
abad ke-19 telah menikmati statusnya sejak zaman pra-Islam. Namun demikian,
keberadaan pesantren di sebuah desa perdikan tampaknya tidak ada sangkut
pautnya dengan status bebas pajak desa bersangkutan. Dari 211 desa perdikan
yang tercatat pada survei akhir abad ke-19 (Anon. 1888), hanya ada empat desa
yang sebagian penghasilannya secara eksplisit digunakan untuk pemeliharaan
pesantren. Ada pesantren di beberapa desa perdikan lain, namun tidak mendapat
pembagian penghasilan, dan karena itu keberadaannya jelas tidak ada
hubungannya dengan status desa perdikan tersebut. Alasan lumrah untuk
memberikan status bebas pajak ini kepada sebuah
desa adalah
keberadaan makam-makam penting. (Di samping itu, sebagaimana diamati Schrieke,
kerajaan bisa mempunyai alasan politik untuk memberikan status perdikan kepada
desa-desa di pinggiran wilayahnya).
Pemeliharaan makam-makam keramat
secara tradisional merupakan suatu tugas keagamaan yang dihormati, terlepas
dari apa agama resminya. Keluarga yang diberi kepercayaan memegang perdikan,
memiliki wibawa keagamaan tertentu, dan tidaklah mengherankan bila beberapa
anggota keluarganya ada yang menjadi guru agama berpengaruh (terutama
mengajarkan tasawuf dan magi). Ketika itulah peranan mengajar orang-orang
tersebut menjadi terlembaga dalam bentuk pesantren. Proses pembentukan
pesantren itu digambarkan dengan cermat oleh Guillot (1985) dalam kasus
berdirinya pesantren Tegalsari.
Namun perlu ditekankan bahwa hanya
sedikit dari pesantren Jawa yang mempunyai latar belakang seperti itu, dan
bahkan pesantren-pesantren ini pun umurnya masih muda. Pesantren Tegalsari,
pesantren tertua yang masih berfungsi sampai beberapa tahun lalu, didirikan
pada tahun 1742. Survei Belanda pertama mengenai pendidikan pribumi yang
dilakukan pada tahun 1819, memberikan kesan bahwa pesantren yang sebenarnya
belum ada di seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren
dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun,
dan Ponorogo. Di daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali,
kecuali pendidikan informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid.
Madiun dan Ponorogo (di mana Tegalsari terletak) waktu itu memiliki pesantren
terbaik. Di sinilah anak-anak dari pesisir utara pergi untuk melanjutkan
pelajarannya (Van der Chijs 1864, hlm. 215-9). Sepanjang yang saya perhatikan,
tidak ada bukti yang jelas adanya pesantren (dalam bentuk abad ke-19) sebelum
berdirinya Tegalsari.
Patut diingat bahwa belum ada lembaga semacam
pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi
ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak- anak dan orang dewasa
belajar membaca dan menghafal Al-Quran
dari orang-orang
kampung yang telah lebih dulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau
pedagang Arab mampir ke desa itu, dia diminta singgah beberapa hari di sana
dan mengajarkan kitab agama di masjid seusai shalat. Ulama setempat di
beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid.
Murid-murid yang sangat berminat akan mendatangi ulama itu di rumahnya dan
bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Murid- murid yang ingin belajar
lebih lanjut pergi mondok ke Jawa atau, jika memungkinkan, ke Makkah. Itulah
juga kiranya situasi yang ada di Jawa dan Sumatera selama abad-abad pertama
penyebaran Islam. Karena itu, saya punya dugaan kuat bahwa lembaga yang layak
disebut pesantren belum berdiri sebelum abad ke-18.
“Pesantren”
Karang
Sebuah “pesantren” tua terkenal bernama Karang di Banten, yang
letaknya mungkin di sekitar Gunung Karang, sebelah barat Pandeglang,
dibicarakan dalam Serat Centhini (Drewes 1969, hlm. 11). Salah seorang tokoh
pemeran dalam karya ini, sang pertapa Danadarma, mengaku telah belajar tiga
tahun di Karang di bawah bimbingan “Seh Kadir Jalena”; mungkin maksudnya dia
belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan dengan sufi besar ‘Abd Al-Qadir
Al-Jailani.17 Juga tokoh utama dalam Serat Centhini, Jayengresmi alias Among
Raga, belajar di paguron Karang, di bawah bimbingan seorang guru Arab bernama
Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng Karang. Dari
Karang, kemudian dia pergi ke paguron besar lain di desa Jawa Timur,
Wanamarta, yang dipimpin oleh Ki Baji Panutra, di mana dia menunjukkan
penguasaannya yang sangat mendalam atas kitab-kitab ortodoks.18
Seorang
guru, di karang juga disebutkan dalam sebuah primbon Jawa dari Kabupaten
Banyumas. Primbon ini menyebut seorang Seh Bari Karang (Seh Bari ing Kawis)
yang konon telah menyebarkan ajaran para wali Jawa. Drewes (1969, hlm. 11)
menduga bahwa yang dimaksud mungkin Seh Bari yang ajarannya terdapat dalam
“Wejangan Seh Bari” salah satu dari dua naskah Islam Jawa tertua (abad ke-16).
Jika hal ini benar, berarti pada suatu ketika antara tahun l927 (masuknya
Islam di Banten) sampai akhir
abad itu, Karang terkenal
sebagai pusat pendidikan Islam ortodoks, bukan ajaran sinkretik seperti yang
sering dikaitkan orang dengan para wali Jawa. Kalaupun dugaan Drewes benar
bahwa kitab yang diterjemahkannya adalah karya seorang guru dari Karang, itu
pun belum membuktikan bahwa di situ pernah ada pesantren. Naskah Banyumas
tidak menyinggung sebuah perguruan, tetapi hanya menyebutkan sang syaikh
(Serat Centhini yang kadang- kadang membicarakan perguruan, tidak menyebutnya
“pesantren” melainkan, “paguron” atau “padepokan”).
Menurut Serat
Centhini, Jayengresmi hidup sezaman Sultan Agung Mataram, yaitu pada paruh
pertama abad ke-l7. Namun, Serat Centhini disusun pada awal abad ke-19, dan
karenanya tidak bisa dianggap sumber yang dipercaya mengenai keadaan abad
ke-l7. Kitab Sajarah Banten disusun sekitar zaman ketika Jayengresmi konon
hidup (Djajadiningrat 1913) tidak menyebut sebuah poguron di Karang (atau di
tempat lain), tetapi tempat yang banyak didatangi orang-orang yang ingin
melakukan tapa, sebuah praktik meditasi.19 Satu-satunya pengajaran agama yang
disebutkan di kitab ini adalah pendidikan pribadi putra mahkota di tangan Kiai
Dukuh dan qadhi kesultanan (ibid., hlm. 37).20 Jadi, pada abad ke-16 dan ke-17
yang ada adalah guru yang mengajarkan agama Islam di masjid atau istana dan
ahli tasawuf dan magi yang berpusat di tempat pertapaan atau di dekat makam
keramat. Pesantren mungkin sebagian berkembang dari tempat- tempat ini, namun
ia baru muncul pada periode belakangan.
Kitab yang Dipelajari pada
Abad ke-16 hingga Abad ke-19
Dugaan saya bahwa lembaga pesantren belum
ada sebelum abad ke-18 tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari
sebelumnya. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan
dipelajari pada abad ke-16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Jawa dan Melayu sementara beberapa pengarang Indonesia telah
menulis kitab-kitab dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang
serupa dengan kitab ortodoks. Sekitar tahun 1600, sejumlah naskah
Indonesia berbahasa Melayu, Jawa dan Arab dibawa ke Eropa. Mereka
memberi
gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di
Nusantara saat itu.
Naskah-naskah Melayu (van Ronkel 1896) terdiri dari
tafsir dua bab penting dari Al-Quran, dua hikayat bertema lslam, sebuah kitab
hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antarbaris) dan
sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap Nabi (Qasidah Al-Burdah-nya
Al-Bushiri, diedit Drewes, 1955). Dua naskah Islam Jawa terpenting yang juga
diedit ulang Drewes (1954, 1969) sama sekali tidak menunjukkan spekulasi
metafisis dan sinkretisme yang begitu sering dianggap ciri khas Islam Jawa.
Mereka mencerminkan tradisi ortodoks (fiqih Syafi’i, doktrin Asy’ari dan
akhlak Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk pada berbagai macam kitab
berbahasa Arab yang memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pengarang-penga-
rang itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.
Dari berbagai karya
yang disebutkan dalam naskah Jawa pertama, “Wejangan Seh Bari” (Drewes 1969,
sebelumnya dikenal sebagai “Kitab Sunan Bonang”) hanya dua judul yang
diketahui: karya besar Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din, dan kitab Tamhid— yang
dimaksud barangkali Al-Tamhid fi Bayan Al-Tawhid karya Abu Syukur Al-Kasyi
Al-Salimi. Karya terakhir ini memang pernah dikenal di Indonesia karena ada
satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antarbaris (Kraemer 1921, hlm.6). Dan
menarik, karena karya yang kedua ini banyak dibaca di India.21 Dua karya yang
sama, juga disebutkan dalam kitab Islam Jawa lama lain (Kraemer 192l, Drewes
1954) bersama-sama dengan Talkhish Al- Minhaj (ringkasan Minhaj, mungkin
Minhaj Al-Abidin-nya Al- Ghazali), Syarh fi Al-Daqa’iq (mungkin syarah atas
kitab populer tentang kosmologi dan eksatologi, Daqa’iq Al-Akhbar).22 Dua
judul lain, Al-Kanz Al-Khafi (“Harta Tersembunyi”) dan Ma’rifah Al-‘Alam
(“Terbukanya Tabir Dunia”) mengesankan karya tasawuf dan metafisika, meskipun
keduanya tidak bisa diidentifikasi.
Catatan pendek ini memperlihatkan
bahwa penekanan dalam pengajaran adalah pada akidah dan tasawuf. Keberadaan
beberapa naskah (yang lebih muda) dalam bahasa Arab, begitu juga terjemahan
Jawa Kitab tentang wahdah al-wujud karya Burhanpuri yang terkenal, Al-Tuhfah
Al-Mursalah (]ohns 1965)
menunjukkan adanya kecenderungan
kuat kepada tasawuf “panteistis”.23 Namun di antara beberapa naskah yang
disebutkan, yang dibawa ke Eropa dari Jawa sekitar 1600, terdapat pula kitab
berbahasa Arab tentang fiqih, yaitu karya Abu Syuja’ Al- Isfahani, Al-Taqrib
Fi Al-Fiqh yang masih digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa
antarbaris) dan sebuah kitab anonim, yang sekarang praktis tidak diketahui
lagi, Al-Idhah fi Al-Fiqh. Ini semua jelas membuktikan bahwa fiqih juga
dipelajari di Jawa akhir abad ke-16 (dan mungkin jauh lebih awal).
Orang-orang
Indonesia yang belajar di Tanah Arab mengenal berbagai macam kitab yang lebih
luas, tetapi apa yang dipelajari di Indonesia sendiri sangat terbatas dan
sedikit dibandingkan dengan tradisi kitab klasik yang kaya. Mahmud Yunus
(1979, hlm. 223-6) memberikan informasi yang
agak rinci tentang pesantren di Maharam (abad ke-18?), meskipun
masih tidak jelas dari mana sumbernya. Informasinya mungkin dari tradisi
lisan. Ia menyebutkan tiga kitab yang dipelajari di tingkat rendah: Taqrib
(kitab fiqih), Bidayah Al-Hidayah (ringkasan Ihya) dan sebuah kitab berjudul
Ushul 6 Bis,24 yaitu kitab tentang akidah karya Abu Al-Laits Al-Samarqandi,
yang juga dikenal sebagai Asmarakandi.25
Serat Centhini,
sebagaimana ditunjukkan Soebardi pertama kali (1971), berisi lebih banyak
informasi rinci mengenai kitab-kitab yang dipelajari di “pesantren”. Namun
gegabahlah menganggap bahwa keterangannya benar untuk masa jauh sebelum Serat
Centhini disusun, pada awal abad ke-19. Dalam diskusi antara Jayengresmi dan
tokoh-tokoh lain di Serat Centhini, disebutkan dua puluh kitab yang berbeda,
enam di antaranya kitab fiqih (termasuk Taqrib dan Idhah),26 sembilan kitab
akidah (termasuk kitab pengantar Al-Samarqandi dan dua karya Al-Sanusi yang
terkenal dengan berbagai syarahnya), dua kitab tafsir (Jalalain dan Baidhawi)
dan tiga kitab tasawuf. Yang terakhir ini termasuk Ihya dan Al-Insan Al-Kamil
karya ‘Abd Al-Karim Al-Jili—satu-satunya karya yang keortodoksannya
diperdebatkan—sebuah kajian sistematis tentang metafisika wahdah al-wujud Ibn
Al-’Arabi.27
Survei pendidikan pribumi pertama yang dilakukan pemerin-
tah (Belanda) Kabupaten Rembang pada tahun 1864 mencatat kitab yang dipelajari
di pesantren (van der Chijs 1864, hlm. 217).
Santri
mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab dengan kitab ‘Amil karya Jurjani
(atau ‘Awamil) dan kitab Jurumiyah (yang masih dipelajari di pesantren),
kemudian membaca bagian-bagian terpilih dari Al-Quran, sebuah kitab fiqih yang
bersifat pengantar (Sittin) dan kitab akidah (Asmarakandi tersebut dan
Al-Durrah karya Al-Sanusi yang juga disebutkan dalam sumber-sumber Jawa
terdahulu).
Menjelang akhir abad itu. L.W.C. van den Berg mengunjungi
sejumlah pesantren penting di Jawa dan Madura, dan menyusun daftar kitab-kitab
berbahasa Arab yang lazim dipelajari berdasarkan wawancara dengan kiai (1886).
Sebutan “berbahasa Arab” menyi- ratkan bahwa karya-karya dalam bahasa lain
(mungkin bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab, Jawa Pégon) juga
digunakan, tetapi sengaja tidak dibahas dalam artikel tersebut. Van den Berg
menunjukkan kesinambungan yang jelas dengan kitab-kitab terdahulu, dalam arti
bahwa baik karya-karya pengantar yang dipakai maupun kitab bereputasi tinggi
yang disebutkan ternyata sama. Kitab-kitab yang mulai dipakai belakangan pun
pada dasarnya berupa penjelasan-penjelasan mengenai bidang yang sudah
“baku”—tidak ada orientasi baru. Yang menarik adalah tidak adanya beberapa
dimensi tradisi klasik: sementara banyak kitab fiqih dipelajari, tidak ada
satu pun kitab ushul al-fiqh yang tercatat. Kitab tafsir, misalnya, hanya ada
karya kedua Jalaluddin (Jalalain: Suyuthi dan Mahalli) serta tafsir Baidhawi.
Meskipun kumpulan hadits Bukhari dibaca beberapa kiai, tidak ada kitab hadis
yang benar-benar dipelajari di pesantren. Dalam tiga bidang inilah, sejak
tahun 1888-an, kurikulum pesantren diperkaya (van Bruinessen 1990). Dimensi
lain tradisi intelektual klasik yang lenyap dari pesantren adalah terutama
filsafat dan metafisika.28 Van den Berg tidak mencatat ada kitab-kitab tentang
wahdah al-wujud. Kitab-kitab ini mungkin masih dipelajari di sejumlah
pesantren, tetapi tidak begitu mencolok dan hanya diajarkan kepada santri-
santri pilihan, seperti yang terjadi di beberapa tempat sekarang.
Kitab-kitab
yang dipelajari sebelum abad ke-20 di Jawa wawasannya sempit jika dibandingkan
dengan wawasan intelek- tual pengarang-pengarang Islam dari daerah lain pada
masa sebelumnya. Dalam karangan Nuruddin Al-Raniri, Yusuf Makassar
dan
Abdurra’uf Singkel, kita menemukan referensi kepada kitab- kitab yang jauh
lebih banyak variasinya, dan lebih menarik secara intelektual. Daftar karya
tasawuf dan filsafat bernilai tinggi yang telah dikaji Raniri (lihat catatan
Al-Attas l986, hlm. 12-24) sangat mengesankan. Yusuf menghabiskan waktu lama
di tanah Arab, belajar pada guru-guru besar dan mendalami banyak tarekat.
Dalam tulisan-tulisannya, ia juga merujuk khazanah intelektual lebih luas dari
pada kitab yang dikenal di Jawa.29 Abdurra’uf, dalam ‘Umdah Al-Muhtajin,
menyebutkan lusinan gurunya di Makkah dan Madinah. Ia tidak merinci apa yang
dipelajari dari guru-gurunya itu, namun dari karya-karyanya, terlihat bahwa ia
menguasai ilmu-ilmu keislaman yang terpenting. Dengan melihat spesialisasi
guru utamanya, Ibrahim Al-Kurani, barangkali ia juga mendalami metafisika dan
hadis.
Tradisi Keilmuan Klasik dan Pengaruhnya di Indonesia
Kitab-kitab
yang merupakan penopang utama tradisi keilmuan Islam ditulis pada
abad ke-10 sampai dengan ke-15
M. Beberapa karya penting ditulis
sebelum periode tersebut, dan beberapa karya baru dengan corak yang sama terus
ditulis, tetapi sejak akhir abad ke-15, pemikiran Islam tidak mengalami
kemajuan yang berarti. Pola pemikiran dalam ilmu-ilmu keislaman tetap sama,
namun dalam ilmu lain seperti matematika, fisika, kedokteran paradigmanya
telah mengalami perubahan, karena pengaruh Eropa.30 Dalam tradisi abad
pertengahan ini, ilmu dianggap sistem pengetahuan yang pada dasarnya bisa
selesai. Ide untuk memperluas ilmu pengetahuan, dianggap absurd dan bahkan
bid’ah. Pandangan ini secara tegas membatasi jenis karya yang bisa ditulis.
Aziz
Al-Azmeh, yang dalam karya terbarunya (1986) menganalisis sangat cermat dasar
metafisika dari pemikiranArab abad pertengahan, mensurvei secara singkat jenis
karangan para ulama dan ilmuwan zaman itu. Jenis karya itu, menurutnya, agak
terbatas; setiap karya mengenai suatu subjek pasti termasuk satu dari tujuh
jenis pembahasan berikut. Yaitu pelengkapan atas teks yang belum lengkap;
perbaikan teks yang mengandung kesalahan;
penjelasan
(penafsiran) atas teks yang samar; peringkasan (ikhtisar) dari teks yang lebih
panjang; penggabungan teks-teks terpisah tetapi saling berkaitan (namun tanpa
adanya usaha sintesis); penataan tulisan yang masih simpang-siur; dan
pengambilan kesimpulan dari premis-premis yang sudah disetujui (Al-Azmeh 1986,
hlm. 152, berdasarkan Ibn Hazm dan Hajji Khalifah). Untuk masa pascaklasik
pun, ini masih sah sebagai gambaran pem- bahasan kitab kuning. Dan jika kita
menambahkan terjemahan ke dalam bahasa setempat sebagai jenis kedelapan,
praktis semua kitab yang ditulis ulama Indonesia selama abad yang lalu
tercakup dalam delapan jenis ini.
Meskipun dianggap sudah tuntas dan
tidak boleh berubah, tradisi keilmuan Islam ini sangat kaya. Dan ia tetap
fleksibel karena tidak ada usaha untuk membuatnya konsisten. Setiap cabang
ilmu merupakan sistem tertutup dan di satu ilmu boleh jadi terdapat
dalil-dalil dan pandangan bertentangan dengan yang di cabang ilmu lain. Para
filosof dan mutakallim, sufi dan ahli metafisika, faqih dan ahli hadis,
masing-masing punya wacananya sendiri, kadang-kadang bertentangan satu dengan
yang lain (meskipun terdapat persamaan dalam pola pemikiran).31 Bahkan dalam
disiplin utama, fiqih, keempat mazhab diterima sebagai sama- sama ortodoks
meskipun berbeda dalam banyak masalah.
Hampir pada tiap-tiap masalah
terdapat lebih dari satu pendapat atau pendekatan berbeda dalam tradisi
keilmuan Islam. Kalaupun ada perkembangan dalam tradisi keilmuan—yang
terkadang tejadi akibat perkembangan politik—itu pun biasanya dalam bentuk
pergeseran antar disiplin, di mana satu disiplin lebih mendapat perhatian
daripada sebelumnya, sedangkan disiplin lain mundur. Banyak gerakan reformis,
misalnya, telah menekankan fiqih daripada tasawuf dan tauhid, sementara
gerakan reformis belakangan malah lebih menekankan hadis daripada mazhab fiqih
yang sudah mapan.
Kita sering merasakan unsur populis atau suasana anti
elite di kalangan pendukung kuat hadis. Elit ulama sering mengklaim hak-hak
istimewa karena mereka memiliki ilmu canggih yang langka. Pokok hadis relatif
sederhana dan dapat dipahami tanpa pendidikan khusus; selain itu, semua hadis
didukung wewenang
Nabi. Karena itu, satu hadis bisa dianggap
sebagai argumen lebih kuat daripada seluruh ilmu intelektual.32 Secara
keseluruhan, ilmu-ilmu intelektual (al-‘ulum al-‘aqliyah) seperti logika,
filsafat, metafisika, kalam, ketabiban (thibb) semenjak zaman klasik sedikit
demi sedikit harus memberikan lapangan kepada ilmu- ilmu agama dalam arti
sempit (al-‘ulum al-naqliyah: studi hadis, tafsir tradisional dan sebagainya).
Proses ini berarti pemiskinan tradisi intelektual Islam.
Generasi pertama
orang Indonesia yang belajar di tanah Arab hanya menyerap sebagian tradisi
keilmuan yang ada, terutama yang cocok dengan budaya lamanya (khususnya
tasawuf falsafi, kosmologi, tarekat dan ilmu-ilmu gaib terkait, tetapi juga
ilmu fiqih). Dalam perjalanan waktu, makin banyak dimensi tradisi itu yang
menjadi bagian dari tradisi Islam Indonesia, yang sedikit demi sedikit makin
kaya, meskipun terjadi pemiskinan tradisi Islam di pusatnya, tanah Arab.33
Model
Asing untuk Pesantren
Transmisi pengetahuan Islam belum
bersifat formal dan terlembagakan di madrasah sampai abad ke-l0. Pada
mulanya yang dipelajari di madrasah adalah terutama fiqih (ilmu yang paling
penting dari sudut pandangan negara). Ilmu-ilmu lain terus
diajarkan secara lebih informal di masjid-masjid (Makdisi 1981, hlm.9). Pada
zaman hubungan antara Indonesia dan daerah pusat Islam mulai menjadi intensif,
yaitu abad ke-17 dan ke-18, dua imperium Sunni (Utsmani, yang menguasai hampir
seluruh tanah Arab, dan Moghul di India) telah memiliki jaringan-jaringan
madrasah besar yang berada di bawah pengendalian pemerintah dan menetapkan
kurikulum baku.34 Madrasah Utsmani biasanya dibangun oleh salah seorang sultan
atau pejabat tinggi, dan diberi wakaf (yang menghasilkan pendapatan) untuk
pemeliharaan madrasah dan beasiswa murid. Pimpinannya menerima gaji dari
pemerinah. Sementara itu di India Moghul, pengendalian pemerintah kurang
menyeluruh, struktur internal golongan ulama kurang diatur dan mereka kurang
dekat dengan istana. Pokok- pokok yang dipelajari di kedua imperium tersebut
sedikit berbeda.
Mereka meliputi Al-Quran dengan tekanan pada
tajwid dan qira’ah; tata bahasa Arab dan retorika (sharaf, nahw, balaghah),
ushul al-fiqh dan fiqih Hanafi,35 tafsir, kalam, hadis (biasanya kumpulan
hadis yang tidak termasuk al-kutub al-sittah, tetapi di madrasah Utsmani
dipelajari juga Shahih Bukhari), begitu pula logika, ilmu hitung, astronomi,
adab (sastra) dan hikmah (filsafat dan metafisika).36
Pengembara Turki,
Evliya Celebi, yang mengunjungi Makkah dan Madinah pada tahun 1671, melaporkan
bahwa di Makkah pada masa itu terdapat 40 madrasah dan yang disebut namanya 22
buah (Evliya 1935, hlm. 771-2). Dia juga menyebutkan empat madrasah di Madinah
dan menyatakan masih banyak lagi madrasah di sana (ibid., hlm. 640). Namun
kalau kita membandingkan catatannya mengenai madrasah-madrasah di Makkah dan
Madinah dengan gambaran yang ia berikan mengenai madrasah-madrasah di
kota-kota lain, kita mendapat kesan bahwa yang di Makkah dan Madinah kurang
berkembang. (Dua abad kemudian, Snouck Hurgronje menemukan sebagian besar
madrasah di Makkah sudah berubah menjadi rumah pribadi). Evliya jauh lebih
banyak berbicara tentang tekye dan zawiyah, gedung pertemuan para pengikut
tarekat di Makkah, yang beberapa di antaranya dihuni banyak pengikutnya. Ia
sendiri juga menginap di sebuah zawiyah selama berada di Makkah (ibid., hlm.
772-3).
Ketika mencari model Timur Tengah untuk pesantren, kita mungkin
perlu memperhatikan—di samping madrasah—juga zawiyah. Bahkan tampaknya tidak
mungkin orang Indonesia yang tinggal di Hijaz pada saat itu banyak berhubungan
dengan madrasah di sana yang bermazhab Hanafi, mazhab resmi Daulah Utsmaniyah.
Tidak terdapat banyak persamaan antara kitab yang dikenal di Indonesia pada
abad ke-16 sampai ke-18, dengan kitab yang menjadi kurikulum madrasah Utsmani
dan Moghul. Kitab- kitab yang sama-sama dipakai di sini maupun di sana hanya
dua karya tafsir, Jalalain dan Baidhawi, dan kitab Tamhid yang telah disebut.
Yang terakhir ini dipakai di India, namun tidak di Utsmani. Ulama dan sufi
yang punya pengaruh terbesar di Indonesia, yang belajar di Hijaz pada abad
ke-I7 adalah Ibrahim Al-Kurani. Dia mengajar pokok-pokok
yang bukan bagian kurikulum resmi
madrasah
negeri, dan tampaknya dia berada di luar hirarki ulama Utsmani. Mungkin bukan
satu kebetulan bahwa dia bermazhab Syafi’i. Al-Kurani tampaknya lebih banyak
berhubungan dengan ulama india dibandingkan dengan ulama Utsmani (di India
kami menemukan lebih banyak referensi terhadapnya dibandingkan sumber-sumber
Utsmani).37
Selama abad ke-18 dan ke-19, pendidikan madrasah di tanah
Arab tampaknya makin mundur. Bentuk dan isi pendidikan yang diterima
orang-orang Indonesia yang belajar di Makkah dan Madinah pada saat itu tidak
banyak diketahui. Bahkan biografi ulama-ulama besar yang belajar di sana,
Muhammad Arsyad Al- Banjari, ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani dan Da’ud bin
‘Abdallah Al- Patani hanya menyebut sebagian nama-nama guru mereka (hampir
semuanya mencatat nama sufi besar Muhammad bin ‘Abd Al- Karim Al-Samman, dan
mufti Madinah, Muhammad ibn Sulaiman Al-Kurdi) dan judul-judul kitab yang
dibaca.38 Mereka tidak belajar di madrasah, tetapi menghadiri lingkaran
pengajian tidak resmi (halaqah) yang diberikan ulama independent di berbagai
masjid. Hubungan mereka dengan beberapa guru, kelihatannya tidak lebih dari
beberapa kali pertemuan pribadi yang dihadirinya.
Snouck Hurgronje dalam
bukunya tentang Makkah menjelas- kan bahwa pada akhir abad ke-19, pendidikan
di Hijaz berpusat di Masjid Al-Haram Makkah, yang pada saat itu telah
berkembang menjadi semacam universitas. Rektor perguruan tinggi ini (disebut
syaikh al-‘ulama) ditunjuk oleh pemerintah Utsmani, dan hanya ulama-ulama
terpilih yang boleh memberikan pelajaran pada halaqah di sana (1887a; 1889,
hlm. 235-56). Ulama berstatus lebih rendah mengajar di berbagai tempat di kota
tersebut. Sistem pendidikan universitas berbeda dengan madrasah. Murid- murid
tidak tinggal bersana dalam satu pemondokan, dan tidak ada kurikulum tetap.
Kitab apa yang dipelajari terserah kepada keputusan guru dan murid.
Madrasah-madrasah yang pernah ada di Makkah pada zaman dulu, sebagaimana
dicatat Snouck Hurgronje, sudah tidak berfungsi lagi.
Tinjauan sejarah
singkat ini mengesankan bahwa orang-orang Indonesia yang belajar di Hijaz
tidak pernah berhubungan langsung dengan madrasah tipe Utsmani. Karenanya
barangkali bukanlah
madrasah itu yang menjadi model pesantren
di Jawa. Namun pernah terdapat dua pengalaman penting dengan pendidikan jenis
madrasah yang tampak luput dari penelitian terdahulu: Al-Azhar di Kairo dan
madrasah reformis India Shaulatiyah di Makkah.
Dalam studi Islam
Indonesia, saya tidak pernah melihat petunjuk mengenai adanya orang Indonesia
yang belajar di univenitas Al-Azhar Kairo sebelum abad ke-20. Mestinya cukup
banyak orang Indonesia yang belajar di sana pada paruh pertama abad ke-19,
atau mungkin sebelumnya. Pada pertengahan abad ke-19, Al-Azhar memiliki
sekitar 30 asrama (riwaq), di mana murid-murid tinggal. Salah satu riwaq itu
diperuntukkan bagi orang “Jawah”, yaitu orang-orang Islam dari Nusantara.
Orang- orang Turki, Kurdi, Irak Arab masing-masing juga mempunyai satu riwaq;
hal ini memberi kesan bahwa orang-orang “Jawah” di Al-Azhar cukup banyak
(Vollers, 1913; bandingkan Heyworth- Dunne 1938, hlm. 25-6).
Kitab yang
dipelajari di Al-Azhar (di mana fiqih semua mazhab diajarkan) pada abad ke-18
dan ke-19 menunjukkan adanya hubungan yang dekat dengan kurikulum pesantren
abad ke-19 dibandingkan kurikulum madrasah Utsmani dan Moghul zaman dahulu.
Hampir semua kitab yang dicatat van den Berg (1886a) juga terdapat dalam
kurikulum Al-Azhar seperti yang diteliti Heyworth- Dunne (1938, hlm. 43-65)
dari sumber-sumber Mesir. Kepentingan penemuan ini sebaiknya tidak dinilai
terlalu tinggi, sebab kitab- kitab yang sama juga dibaca di halaqah Makkah.
Namun, paling sedikit hal itu menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh Al-
Azhar terhadap pesantren dulu. Jumlah murid Indonesia di Al- Azhar, mungkin
berkurang pada paruh kedua abad ke-19 karena relatif merosotnya status Mesir
yang terbaratkan (westernized) dibandingkan Makkah. Namun sampai saat itu
Mesir telah lama dikenal sebagai pusat utama keilmuan mazhab Syafi’i (bdk.
Snouck Hurgronje, 1889, hlm. 255).
Madrasah lain yang perlu ditinjau
dalam konteks ini, telah didirikan lebih belakangan di Makkah oleh orang Islam
India, satu dasawarsa sebelum Snouck bermukim di Makkah, tetapi tampaknya
luput dari pengamatannya. Pada tahun 1874, seorang wanita India bernama
Shaulah Al-Nisa membiayai pembangunan
sebuah madrasah di
Makkah dan mewakafkan tanah untuk memeliharanya. Madrasah tersebut diberi nama
Shaulatiyah. Kepemimpinannya dipercayakan kepada seorang ulama India militan
dan dihormati, Rahmatullah bin Khalil Al-‘Ustmani (lihat ‘Abd Al-Jabar 1385,
hlm. 121-7). Rahmatullah terkenal di India dan luar negeri karena polemiknya
yang hebat dan sukses melawan misionaris Jerman, Pfander, dan menjadi salah
satu pemimpin pemberontak anti-Inggris pada tahun 1857.39 Setelah
pemberontakannya dikalahkan, dia melarikan diri ke Makkah, di mana dia menjadi
salah seorang ulama terkemuka yang sangat gigih melawan kolonialisme dan
westernisasi.
Madrasah Shaulatiyah merupakan bagian dari gerakan
reformasi pendidikan Islam di India yang telah membangkitkan madrasah
termasyhur Darul ’Ulum di Deoband (dibangun tahun 1867) dan banyak madrasah
yang berafiliasi dengannya (Metcalf l982). Seperti yang di Deoband, kurikulum
madrasah Shaulatiyah mungkin tradisional, meskipun dengan penekanan yang lebih
besar kepada hadis.40 Apa yang menjadikannya modern adalah bentuk
kelembagaannya —dengan adanya kelas, mata pelajaran tetap dan ujian. Patut
dicatat, banyak gurunya kadang-kadang diambil dari ulama-ulama yang mengajar
di Masjid Al-Haram.41
Pada awal abad ke-20, bahkan mungkin sebelumnya,42
Shaulatiyah mempunyai pengaruh besar di dunia pesanrten Indonesia. Banyak
orang Indonesia yang belajar di madrasah ini dan mendirikan pesantren atau
madrasah setelah mereka kembali, dengan model lebih kurang mirip dengan
Shaulatiyah. Masih ada madrasah lain serupa di Makkah yang didirikan orang
India, Madrasah Al-Falah (disebutkan Gobée l92l; hlm. 199- 200 dan pada
biografi-biografi dalam ‘Abd Al-Jabbar l385), tetapi madrasah ini tampaknya
tidak mempunyai murid yang berasal dari Indonesia. Pada tahun 1934, madrasah
ketiga sejenis, Dar Al-‘Ulum Al-Diniyah, didirikan di Makkah oleh orang
Indonesia yang keluar dari Shaulatiyah karena konflik pemakaian bahasa
Indonesia yang telah menyinggung kebanggaan nasional.43 Orang-orang Indonesia
di Makkah mengumpulkan uang untuk membangun sekolah sendiri. Lebih dari
seratus murid, hampir semuanya dari Shaulatiyah,
terdaftar. Muhsin Al-Musawwa,
seorang sayyid
kelahiran Palembang, yang sebelumnya jadi guru di Shaulatiyah, menjadi
rektornya yang pertama.
Ringkasnya, saya menduga bahwa Al-Azhar dengan
riwaq- nya mungkin telah merupakan salah satu model untuk pesantren yang
didirikan pada akhir abad ke-18 dan ke-19, begitu pula kurikulumnya. Sekitar
pergantian abad lalu, pengaruh gerakan reformasi pendidikan India
melalui Shaulatiyah mulai terasa. Dengan berdirinya Dar Al-‘Ulum
Indonesia di Makkah yang meniru Shaulatiyah dalam hampir setiap hal dan yang
namanya mengingatkan kepada madrasah reformis Deoband dan Kairo,44 maka
madrasah reformis telah menjadi model yang akan ditiru di seantero Nusantara.
Shaulatiyah dan Dar Al-‘Ulum-lah yang merupakan faktor paling menentukan dalam
perkembangan pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Perkembangan di
Indonesia sendiri dibahas lebih mendalam dalam kajian terkenal Mahmud Yunus
(1979) dan Karel Steenbrink (1974).
Ulama Indonesia di Makkah
Keberadaan
madrasah-madrasah ini di Makkah kurang diperhatikan karena besarnya pengaruh
Masjid Al-Haram. Guru- guru Shaulatiyah yang paling terkenal juga mengajar di
Masjid Al-Haram. Karena dalam pelajaran kitab kuning isnad dianggap begitu
penting, maka para murid lebih cenderung merujuk nama gurunya daripada lembaga
di mana mereka belajar. Perubahan dalam wacana intelektual seperti yang
terjadi pada permulaan abad itu, karenanya, secara umum lebih dihubungkan
dengan guru-guru tertentu daripada dengan lembaga dan perkembangan-
perkembangan sosio-ekonomis yang lebih luas.
Dengan melihat kembali ke
belakang, dasawarsa-dasawarsa sekitar pergantian abad lalu itu merupakan masa
yang menentukan. Tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram (bukan
di Shaulatiyah) pada saat itu mempunyai pengaruh besar di kalangan sesama
orang Nusantara dan mempengaruhi generasi berikutnya melalui pengikut-pengikut
dan tulisan-tulisannya. Nawawi Banten (wafat 1896-7) yang dipuji Snouck
sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati (1889, hlm. 362-7)
adalah pengarang
paling produktif. Di samping kitab tafsirnya
yang terkenal (Johns 1984, 1988), dia menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu
yang dipelajari di pesantren. Berbeda dengan pengarang Indonesia sebelumnya,
dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah atas
kitab-kitab yang telah digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau
terkadang mengoreksi matan yang disyarahi (lihat contoh dalam Steenbrink 1984,
hlm. 133-4). Sejumlah syarahnya benar-benar menggantikan matan asli dalam
kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya masih beredar, dan 11 judul
dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di
pesantren (van Bruinessen 1990c). Nawawi berdiri pada titik peralihan antara
dua periode dalam tradisi pesantren. Dia memperkenalkan dan menafsirkan
kembali warisan intelektualnya, dan memperkayanya dengan menulis karya-karya
baru berdasarkan kitab-kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya.
Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual
mereka. Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, sesepuh reformisme Islam Indonesia,
pun termasuk muridnya.
Ahmad Khatib (wafat 1915) telah menjadi terkenal
karena polemiknya melawan adat matrilineal di daerah asalnya dan melawan
tarekat Naqsabandiyah (yang punya pengikut paling banyak di Sumatra Barat),
tetapi peranannya di Makkah lebih luas dari itu. Dia adalah salah seorang dari
Indonesia yang pertama kali mendapatkan izin mengajar di Masjid Al-Haram, dan
dijadikan salah seorang imam di sana—suatu kehormatan yang biasanya
diperuntukkan bagi ulama kelahiran Makkah.45 Kedua kehormatan tersebut
memperkuat pengaruhnya terhadap seluruh masyarakat Indonesia di Makkah. Sikap
reformisnya tampak dari tulisannya— antara lain sebuah syarah atas kitab
terdahulu mengenai ushul al-fiqh, Al-Waraqat, karya Al-Juwaini. Akan tetapi
adalah salah menganggap Ahmad Khatib sebagai pemberontak terhadap tradisi; ia
bahkan sangat mendalaminya. Di antara muridnya ada yang reformis dan
tradisionalis (beberapa di antara muridnya bahkan menjadi syaikh tarekat); dan
dua kitabnya masih dipakai di beberapa pesantren.46
Tokoh
besar ketiga adalah Kiai Mahfuzh Termas (wafat 1919- 20), yang bahkan lebih
dihormati oleh para kiai Jawa ketimbang Kiai Nawawi. Dia adalah guru yang
sangat dihormati dari beberapa kiai pendiri NU, yang dengan demikian, menambah
reputasinya. Dia menyelesaikan pendidikannya di bawah bimbingan guru-guru Arab
terbesar di Masjid Al-Haram dan juga menjadi ahli qira’ah Al-Qur’an (dia
menulis banyak kitab dalam bidang ini). Karyanya yang paling besar adalah
empat jilid kitab fiqih, yang merupakan komentar (hasyiyah) atas sebuah kitab
yang banyak dipakai di Indonesia.47 Di samping itu, dia tampaknya merupakan
ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadis Shahih Bukhari. Murid
kesayangannya, Hasyim Asy’ari, membawa tradisi ini ke Indonesia, di mana
pesantrennya Tebuireng (Jombang) menjadi pondok hadis paling terkenal.
Seperti
telah disebut di atas, perkembangan yang mencolok dalam kurikulum pesantren
sejak 1880-an tampak pada munculnya ushul al-fiqh, hadis dan berbagai tafsir
yang dipelajari. Orang mungkin tertarik untuk menganggap hal ini sebagai jasa
ketiga ulama ini, yang telah menunjukkan kedalaman pengetahuan mereka dalam
ketiga bidang tersebut. Barangkali ada benarnya juga, walaupun tentu saja pola
pengaruh intelektual tidak pernah muncul oleh sebab tunggal. Reorientasi
terhadap pokok-pokok yang diajarkan merupakan kecenderungan umum yang melanda
dunia Islam pada masa itu, yang sudah mulai berlangsung dan juga tercermin
dalam madrasah baru.
Setelah tiga ulama ini, tidak ada orang Indonesia
yang setara dengannya yang mengajar di Makkah. Karya ‘Umar ‘Abd Al- Jabbar
mengenai ulama di Masjid Al-Haram pada abad ke-l4 Hijri menyebutkan tiga orang
Indonesia lagi (sebenarnya dua orang Indonesia dan satu orang Malaysia yang
lahir di Makkah), namun mereka tidak pernah mencapai prestasi yang setara
dengan tiga ulama terdahulu. Mereka adalah Muhsin bin ‘Ali Musawwa (rektor
pertama Dar Al-‘Ulum, wafat 1935), Muhammad Nur Al-Patani (cucu Da’ud bin
‘Abdallah, wafat 1944) dan ‘Ali Banjar (wafat 1951). Kecuali yang pertama,
mereka tampaknya tidak mempunyai banyak murid yang berasal dari Indonesia.
Orang Indonesia belajar
di Shaulatiyah dan Dar Al-‘Ulum, atau
di Masjid Al-Haram, kepada guru-guru Arab yang punya reputasi lebih tinggi.
Kedua
lembaga pendidikan di Makkah ini (madrasah dan Masjid Al-Haram) terwakili
dalam dua tokoh yang menonjol sebagai panutan utama kaum Muslim tradisional
Indonesia, kiainya para kiai. Keduanya adalah Syaikh Yasin Padang, rektor Dar
Al-‘Ulum (wafat 1990) dan Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki, yang ayah dan
kakeknya mengajar banyak orang-orang Indoncsia di Masjid Al-Haram, meskipun
mereka bermazhab Maliki. Keduanya bukan saja mengajarkan seluruh pokok yang
dipelajari di pesantren, tetepi juga merupakan syaikh dari berbagai
tarekat.48
Makkah tidak lagi menjadi tempat terpenting di mana
orang-orang Indonesia masa kini yang punya latar belakang pesantren mencari
ilmu yang lebih tinggi. Dan mereka yang masih melakukannya, biasanya tinggal
sebentar saja di Makkah dibandingkan orang-orang Indonesia dulu. Saya
mendapatkan kesan, meskipun tidak didukung dengan data statistik, Al-Azhar
kembali menjadi lebih penting; sementara madrasah Nadwah Al- ‘Ulama di
Lucknow, India (lihat Metcalf 1982, hlm. 335-47), telah menarik murid-murid
dari lingkungan “tradisional” di berbagai tempat di Indonesia. Santri sekarang
lebih banyak yang menerus- kan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), yang mungkin memberikan pendidikan lebih baik daripada yang diterima
di Makkah oleh rata-rata generasi Muslim terdahulu. Namun selembar ijazah IAIN
masih kurang prestisius dan karisma- tik dibandingkan ijazah yang
dianugerahkan guru-guru terkenal dengan isnad harum di pusat-pusat Islam luar
negeri. Dan dunia pesantren pun tampaknya tidak akan meninggalkan orientasinya
kepada tanah Arab. [ ]
Catatan akhir:
1.
Sebelum Muhammadiyah mempunyai pesantren sendiri, sudah ada beberapa pesantren
yang berorientasi reformis, dan yang paling terkenal di antaranya adalah
Pesantren Modern Gontor (Castles 1965). Tinjauan singkat temtang berbagai
jenis pesantren di Jawa Timur pada 1970-an ditemukan dalam artikel Moeslim
Abdurrahman (1981).
2. Khususnya kumpulan hadis Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim, empat kumpulan shahih lainnya kurang sering
dipakai. Beberapa kumpulan hadis lainnya, seperti Riyadh Al- Shalihin dan
Bulugh Al-Maram, yang lebih menekankan amal saleh. Ibadah, dan nilai-nilai
sufi daripada masalah hukum, masih lebih populer di lingkungan tradisional.
Namun kedua kumpulan tersebut pun tidak banyak dipelajari pada abad lalu.
3.
Tinjauan rinci terhadap karya-karya ini ditemukan dalam Van Brauinessen 1990c
(Lihat di halaman 112-130 dalam buku ini).
4. Perihal
kedudukan Ibn Taimiyah dalam tradisi abad per- tengahan dan perdebatannya
dengan kalam Asy’ari, falsafah, tasawuf dan politik, lihat Al-Azmeh 1986,
passim; Hourani 1962, hal. 18-22; tentang dampaknya terhadap fundamentalisme
belakangan lihat Sivan 1985. Pada masa generasi sebelumnya yang sekarang ini,
NU masih punya badan sensor yang menentukan buku mana mu’tabar dan mana tidak.
Karangan Ibd Taimiyah telah berada di urutan atas dalam daftar buku terlarang.
Banyak kiai, sebetulnya, memiliki beberapa kitab karangan Ibn Taimiyah,
terutama Fatawa-nya, tapi disimpan agar santri tidak terkena pengaruhnya.
Tentu saja, bagi santri cerdas larangan demikian merupakan anjuran untuk
mencari dan membaca kita tersebut.
5. Dari sekitar 500
kitab karangan ulama Indonesia (dan Malaysia) yang tersedia di pasaran
sekarang, hampir 100 kitab ditulis dalam bahasa Arab. Lebih dari 200 dalam
bahasa Melayu dan 150 dalam bahasa Jawa; sisanya dalam bahasa Sunda, Madura,
dan Aceh.
6. Demikian Abdurrahman Wahid (percakapan
pribadi).
7. Dalam hal silsilah tarekat,
jarak waktu atau ruang antara dua mata rantai berikut terkadang dibenarkan.
Banyak sufi yang pernah mengakui dibaiat atau di-talqin-kan, dalam mimpi atau
pertemuan secara batiniah, oleh seorang wali yang sudah wafat. Dalam silsilah
tarekat yang paling ortodoks pun, seperti Naqsyabandiyah, terdapat sejumlah
hubungan guru- murid barzakhi. Kasus lebih ekstrem terdiri dari sejumlah sufi
yang mengaku di-talqin-kan oleh Nabi Muhammad sendiri. Demikian misalnya Ahmad
Al-Tijani, pendiri tarekat Tijaniyah, yang mengaku bertemu dengan Nabi dalam
keadaan jaga dan diajari amalan yang merupakan ciri khas tarekatnya. Pengakuan
ini sangat kontroversial dan ditolak oleh banyak ulama tradisional.
8.
Pentingnya isnad di kalangan tradisional diperlihatkan oleh sejumlah kitab
karya almarhum Syaikh Yasin Al-Padani, mudir Madrasah Dar Al-‘Umum Al-Diniyah
di Makkah (Al- Padani 1402). Dalam karya ini, penulis hanya menyebut judul
dari kitab-kitab yang telah dikaji, bersama dengan isnad dari guru-gurunya
sampai pengarang kitab bersangkutan. Karya Syaikh Yasin ini bukanlah sesuatu
yang unik; contoh-contoh yang lebih dulu, lihat Vajda 1983; seorang pendahulu
yang lebih dekat adalah Kauani (1989).
9. Kiai terkenal
asal Madura, Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, telah menyusun silsilah
keluarga yang rumit, yang menunjuk- kan hampir setiap kiai Madura keturunan
wali Sunan Giri. Hasjim Asj’ari dan Wahab Chasbullah, dua pendiri NU, merunut
silsilahnya sampai Jaka Tingkir, pendiri kerajaan Islam Pajang, yang
dipercayai sebagai putra Brawijaya VI (lihat Aboebakar 1957, hlm. 41-2).
10.
Keputusan hukum yang diambil Syuriah pada muktamar- muktamar NU terhimpun
dalam seri kitab berjudul Ahkam Al-Fuqaha’. Setiap keputusan disertai rujukan
singkat kepada kitab-kitab fiqih terpenting.
11. Dengan
pengecualian sebuah minoritas masyarakat Cina dan para reformis Hindu di Bali.
Namun di kalangan mereka pun hubungan dengan sumber luar negeri tidak
banyak.
12. Utusan Makkah ini disebutkan
dalam Sajarah Banten (Djajadiningrat 1913, hlm. 49-52, 174-8). Judul-judul
kitab yang dimintai penjelasan oleh raja Banten disebut sebagai Marqum,
Muntahi, dan Wujudiyah. Djajadiningrat berpendapat bahwa judul-judul ini
fantasi belaka. Namun Muntahi adalah sebuah karya Hamzah Fansuri, dan mungkin
kita harus membaca nama Wujudiyah tidak sebagai judul karya tertentu melainkan
rujukan kepada “kitab Wujudiyah”, yaitu kitab tentang ajaran wahdah al-wujud.
Untuk analisis lebih mendalam, lihat bab “Qadhi, Pesantren, dan Tarekat” dalam
buku ini.
13. Tarekat Syattariyah, yang pertama kali
dikenal di Indonesia pada pertengahan abad ke-17, berasal dari India dan tidak
pernah memperoleh banyak pengikut di Timur Tengah. Lihat Rizvi 1983 dan T.
Yazici, “Syattariye”, Islam Ansiklopedisi 11, hlm. 355-6. Cabang tarekat
Naqsyabandiyah dan tarekat Qadiriyah terdahulu di Indonesia juga berafiliasi
ke India, bukan Timur Tengah.
14. Konsepsi emanasi yang
terdiri dari tujuh tingkatan (martabat tujuh)— sementara Ibn Al-‘Arabi hanya
lima—sepengetahuan saya ditemukan hanya dalam risalah tasawuf India dan
Indonesia.
15. Sebuah pengecualian langka adalah studi
Roff (1970) mengenai mahasiswa Indonesia di Mesir; tetapi ini tidak relevan
dengan tradisi pesantren karena hampir semua siswa itu berasal dari lingkungan
sosial dan budaya lain. Demikian juga halnya kajian lebih mendalam yang
dilakukan belakangan oleh Mona Abaza (1994).
16.
Menurut Sajarah Banten, Maulana Hasanuddin, raja Muslim Banten pertama,
mendirikan pertapaan baru di Gunung Pinang atas anjuran ayahnya, Sunan Gunung
Jati (Djajadiningrat 1913, hlm. 34).
17. Tradisi rakyat
di Cirebon masih tetap mengisahkan bahwa sang wali sendiri datang ke Jawa dan
berperan dalam pengislaman Cirebon: salah satu kuburan di Gunung Jati malahan
ditunjuk oleh sementara kalangan sebagai makamnya Syaikh Abdul Qadir
Jailani diyakini, tidak hanya di
Indonesia, telah
mengajari pengikut-pengikutnya ilmu
kekebalan, sebuah ilmu yang memang sangat diminati oleh orang Indonesia. Ilmu
kekebalan khas Banten, debus, juga dikaitkan dengan Abdul Qadir Jailani.
18.
Soebardi 1971. Lihat Hadidjaja dan Kamajaya 1979, hlm. 11, 49-53.
19.
Gunung Karang disebutkan sebagai salah satu gunung di mana Maulana Hasanuddin,
raja Muslim Banten, melakukan tapa (Djajadiningrat 1913, hlm. 38).
20.
Selain dari talqin ilmu Islam kepada Maulana Hasanuddin oleh dua jin di sebuah
pertapaan (ibid., hlm. 32).
21. Al-Salimi hidup pada
paruh pertama abad ke-11 (abad ke-5 Hijri). Kitabnya At-Tamhid membahas rukun
iman dengan perhatian khusus kepada pandangan Mu’tazilah dan filsafat. Kitab
ini telah dipergunakan secara luas dalam pendidikan Islam di India pada abad
ke-13 hingga ke-16 (Mujeeb 1967, hlm. 406), dan tampaknya kurang popular di
tempat lain. Hampir semua naskah karya ini yang disebut oleh Brockelmann (GAL
I, 419; S I, 744) ada di koleksi perpustakaan India.
22.
Karya ini sekarang cukup populer di Nusantara dan terus- menerus mengalami
cetak ulang, baik dalam bahasa aslinya, Arab, maupun dalam terjemahan Melayu,
Jawa, Sunda, dan Madura. Raniri beberapa kali merujuk kepada sebuah karya lain
dengan judul yang mirip, Daqa’iq Al-Haqa’iq (sejauh ini belum
teridentifikasi).
23. Ulama besar Madinah, Ibrahim
Al-Kurani, telah menulis syarah atas karya ini khusus untuk murid-muridnya
dari Nusantara, barangkali untuk mengoreksi interpretasi heterodoks. Simuh
telah menunjukkan bahwa karya Ronggowarsito, Wirid Hidayat Jati jelas
dipengaruhi Al-Tuhfah Al-Mursalah (Simuh 1988, hlm. 295-6). Mungkin
Ronggowarsito telah membaca kitab tersebut ketika ia belajar di pesantren
Tegalsari
24. Yaitu, karya tentang ushuluddin terdiri
dari enam bab (yang masing-masing dibuka dengan “bismillah”).
25.
Pada abad ke-19, kitab ini biasanya merupakan kitab akidah pertama yang
dipelajari (Van den Berg 1886, hlm.
537). Terjemahan bahasa
Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah satunya baru-baru ini
diedit dalam transliterasi Latin (Jandra 1985-1986). Terjemahan Asmarakandi
berbahasa Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang fiqih Syafi’i elementer
yang ditambahkan penerjemah tidak dikenal (Abu Al-Laits sendiri menganut
mazhab Hanafi): Kitab tersebut sekarang lebih terkenal melalui syarah Nawawi
Banten, Qathr Al-Ghaiths dan terjemahan Jawanya oleh Ahmad Subki Pekalongan,
Fath Al-Mughits, kedua karya ini banyak dipakai.
26.
Empat kitab lain yang disebut terdiri dari dua kitab pegangan fiqih Syafi’i
yang dianggap bermutu tinggi. Al-Muharrar-nya Rafi’i dan Tuhfah Al-Muhtaj-nya
Ibn Hajar Al-Haitami; kemu- dian kitab pengantar, Sittin (karangan Abu
Al-’Abbas Ahmad Al-Mishri yang tidak banyak dipakai lagi), dan satu karya yang
tidak dapat dikenali lagi (Soebardi 1971, hlm. 335-6).
27.
Kitab tasawuf ketiga adalah Hidayah Al-Adzikiya-nya Zain Al- Din Al-Malibari,
karya sederhana yang masih banyak dipakai bersama berbagai terjemahan dan
komentarnya.
28. Namun dua cabang keilmuan ini sejak
abad ke-17 telah lenyap dari pendidikan Islam di seluruh dunia Sunni. Hanya di
Iran (dan juga sedikit di India) mereka tetap bertahan sebagai bagian penting
tradisi ilmiah (bdk. [bandingkan] Nasr 1987).
29. Yusuf
mengutip, misalnya, sejumlah anekdot sufi yang sebagian berasal dari Nafahat
Al-Uns-nya Jami dan dari berbagai sumber tertulis atau lisan lainnya. Terdapat
juga kutipan dari Ibn Al-‘Arabi, Muhammad bin Fadhi Allah Al-Burhanpuri dan
sufi wahdah al-wujud lainnya yang karya mereka tampaknya betul-betul
dikajinya. Masih ditemukan dua naskah Al-Durrah Al-Fakhirah-nya ‘Abd Al-Rahman
Jami hasil salinan Yusuf Makassar. Ternyata ia cukup lama mengkaji karya
penting ini di bawah bimbingan Ibrahim Al-Kurani (Heer 1979, hlm. 13, 15; saya
berterima kasih kepada professor Anthony Johns yang telah memberitahu saya
tentang referensi ini).
30. Karya Albert Hourani yang
sangat bagus mengenai pemikiran Arab modern (1962) menunjukkan bagaimana
pemikiran yang
secara sadar menyimpang dari tradisi pun masih
dipengaruhi olehnya. Buku ini tidak menaruh perhatian kepada mereka yang tetap
berada di dalam tradisi dan tidak tertarik kepada dialog dengan pemikiran
Barat.
31. Ditunjukkan dengan jelas dalam karya penting
Al-Azmeh (1986).
32. Arus populis dan anti-ulama ini
merupakan salah satu benang merah dalam sejarah Islam, dari Ahmad lbn Hanbal,
berlanjut pada Ibn Taimiyah dan Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab sampai
neofundamentalisme masa kini. Di Indonesia, gerakan modernis yang menyerang
ulama tradisional dengan seruan kembali ke Al-Quran dan hadis dan untuk
membuka kembali pintu ijtihad punya pengaruh besar pada paruh pertama abad
ini. Pada abad ke-l8, di Iran terjadi pertentangan hebat antara golongan pro
dan anti-ulama. yang disebut sebagai ushuli (merujuk ke disiplin ilmu ushul
al-fiqh) dan akhbari (dari kata akhbar yang praktis identik dengan hadis.
Pengamatan menarik mengenai pertentangan ini (yang berakhir dengan kemenangan
kaum ushuli) terdapat dalam Mottahedeh 1985.
33.
Beberapa dimensi tradisi keilmuan klasik Islam ini, yaitu rasionalisme
Mu’tazilah dan filsafat, baru dikenal di Indonesia (selain penyajian ringkas
dalam Tamhid, lihat catatan 21) dalam tiga dasawarsa terakhir, melalui
beberapa orang Islam modernis yang pernah belajar di Amerika Utara, khususnya
Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Yang terakhir telah menerbitkan sebuah
kumpulan teks teologi dan filsafat klasik penting dalam terjemahan Indonesia
(Madjid 1984). Bukanlah suatu kebetulan bahwa ia lebih dekat dengan lingkungan
pesantren daripada generasi modernis sebelumnya.
34.
Tentang madrasah Utsmani dan kurikulumnya, lihat: Uzun- carsili 1965; Baltaci
1976; Atay 1983. Karya-karya ini, ditulis dengan dukungan sumber yang kaya,
tetapi agak ahistoris dalam pendekatannya. Repp 1972 memberi penjelasan lebih
sistematis tentang perkembangan hirarki madrasah dan karier keilmuan para
ulama Utsmani. Tentang madrasah di India Moghul (yang kurikulumnya terus
berkembang dan mencapai
bentuk yang paling komprehensif,
Dars-i Nizhami, baru pada awal abad ke-18), lihat Mujeeb 1967, hlm. 389-414;
Ahmad 1985; Metcalf 1982, hlm. 16-45.
35. Di kedua
negara ini, mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi, dan sumber resmi tentang
madrasah hanya menyebut kitab-kitab fiqih Hanafi. Fiqh Syafi’i, agaknya,
dipelajari di daerah-daerah yang didiami oleh banyak pengikut Syafi’i, seperti
Kurdistan dan beberapa daerah Mesir, terutama di masjid-masjid. Di masjid dan
universitas Al-Azhar yang relatif independen mungkin merupakan pusat utama
pengajaran fiqh Syafi’i.
36. Di India Moghul, filsafat
dan metafisika, dan ilmu-ilmu ‘aqliyah (rasional) pada umumnya, menempati
kedudukan lebih menonjol dalam tradisi intelektual dibandingkan dengan di
Utsmani. Dars-i Nizhami malahan mencantumkan sebuah karya Mulla Shadra
Syirazi, yang tampaknya tidak dikenal di tempat lain di luar Iran (Mujeeb
1967, hlm. 407).
37. Tentang Ibrahim, lihat Johns 1978
dan artikel “Al-Kurani” dalam encyclopaedia of Islam (oleh penulis yang sama);
juga Rizvi 1983, passim. Yang sangat menarik adalah otobiografi
intelektualnya, Al-Amam li Iqazh Al-himam. Barangkali bukan sebuah kebetulan
bahwa buku ini baru dicetak di India (Haidarabad) pada awal abad ini.
38.
Lihat Abdullah 1987, Abu Daudi 1980, Zamzam 1979, dan Quzwain 1985. Arsyad
secara khusus memperdalam fiqih; karyanya Sabil Al-Muhtadin (dalam bahasa
Melayu) didasar- kan atas dua kitab fiqih klasik, Fath Al-Mu’in-nya Malibari
dan Manhaj Al-Thullab-nya Zakariya Al-Anshari. ‘Abd Al- Samad menulis terutama
tentang tasawuf; dua karya utamanya merupakan adaptasi karya Al-Ghazali (Ihya
dan Bidayah).
39. Lihat Powell 1976. Kritik Rahmatullah
terhadap agama Kristen berdasarkan pengertian yang lebih mendalam dibandingkan
dengan hampir semua polemik lain; ia bahkan mengetahui kajian kritik Injil dan
Perjanjian Lama yang merupakan trend mutakhir dalam teologi Kristen waktu itu.
Ia menguraikan argumentasinya dalam berbagai buku, dan pernah secara
meyakinkan
mengalahkan Pfander dalam sebuah debat terbuka. Selain itu, ia termasuk
penandatangan fatwa yang mengumandangkan jihad melawan Inggris pada 1857
(ibid. 59-60), dan memimpin gerakan jihad ini di Muzaffarpur, Bihar (Ahmad
1957, hlm. 328).
40. “Madrasah Deoband pada dasarnya
mengajarkan kurikulum Dars-i Nizhami (…). Namun orang-orang Deoband justru le-
bih menekankan hadis, daripada ilmu-ilmu rasional, sebagai dasar pengajaran
massa mereka (…). Guru yang sangat ber- pengaruh di madrasah Deoband adalah
syaikh al-hadist; dan hanya murid-murid terbaik yang didorong untuk
melanjutkan studi di bidang hadis.” (Metcalf 1982, hlm. 100-1).
41.
Ini menjadi jelas dari biografi-biografi para ulamanya dalam ‘Abd Al-Jabbar
1385.
42. Madrasah ini disebut dalam riwayat hidup para
ulama yang belajar di Makkah tahun 1920-an dan 1930-an. Mengenai
generasi-generasi pelajar lebih dahulu tidak terdapat cukup catatan biografi,
sehingga tidak bisa memastikan sejak kapan ada murid Indonesia di Madrasah
Shaulatiyah.
42. Menurut satu riwayat (Aboebakar 1957, hlm. 88-90),
konflik ini muncul karena seorang guru merobek surat kabar berbahasa Indonesia
yang sedang dibaca para murid; bacaan lain selain kitab berbahasa Arab memang
dilarang di madrasah. Syaikh Yasin Al-Padani, yang hadir dalam peristiwa ini
(dan belakangan menjadi rektor Dar Al-‘Ulum; diwawancarai di Jakarta, 6 Maret
1988), menambahkan bahwa guru tersebut mengejek aspirasi nasionalis orang
Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa bodoh seperti itu tidak akan pernah
meraih kemerdekaan. Melihat sikap radikal pendiri Shaulatiyah, boleh jadi
guru-guru madrasah ini telah mencemooh orang Indonesia yang kurang berani
tegas berhadapan dengan penjajah Belanda. Namun, menurut pengamatan lain,
konflik disebabkan karena orang Indonesia ingin bercakap-cakap dalam bahasa
Indonesia, daripada bahasa Arab, kepada guru-guru mereka.
44.
Dar Al-‘Ulum Kairo didirikan tahun 1872 sebagai institut perguruan guru,
yang murid-muridnya diambil dari Al-Azhar.
Kurikulumnya
meliputi baik ilmu-ilmu Islam maupun ilmu pe- ngetahuan modern Barat. Salah
seorang pemimpinnya adalah Muhammad ‘Abduh (Heyworth-Dunne 1938, hlm.
377-9).
45. Menurut Snouck Hurgronje, yang sangat tidak
suka terhadap Ahmad Khatib, ia telah mendapat posisi-posisi ini bukan karena
pengetahuannya tetapi karena jasa mertuanya, pedagang buku dan “lintah darat”
Salih Al-Kurdi, yang punya hubungan baik dengan Syarif ‘Anum Al-Rafiq (Snouck
Hurgronje, Adviezen III, hlm. 1846, 1853, 1914, 1928). Namun Snouck pun harus
mengakui bahwa Ahmad Khatib adalah orang yang “sangat alim untuk ukuran
Melayu” (ibid, hlm. 1846).
46. Kitab ushul al-fiqh
tersebut, Al-Nafahat ‘ala Syarh Al-Waraqat, dan kitab pendek berbahasa Melayu
tentang akidah, Fath Al-Mubin. Selain ini, ia menulis banyak karya lagi (‘Abd
Al- Jabbar 1385, hlm. 37-44 mencatat tidak kurang dari 4 judul), namun hanya
dua ini yang masih beredar di Indonesia.
47. Kitab ini,
Mauhibah Dzawi Al-Fadhl merupakan syarh Al-Mu- qadimmah Al-Hadramiyah’-nya
‘Abdullah Ba-Fadhl (dikenal sebagai Bapadal di pesantren). Mauhibah dicetak di
Mesir, 1315/1397-8, tetapi sekarang tidak ditemukan lagi. Satu- satunya
tulisannya yang masih dicetak adalah kitab nahwi (tatabahasa Arab) yang sulit.
Minhaj Dzawi Al-Nazhar (syarah Alfiyah). ‘Abd Al-Jabbar mencatat 12 karya
lain.
48. Syaikh Yasin waktu muda belajar di
Shaulatiyah, yang kemudian ia tinggalkan bersama orang-orang Indonesia lainnya
untuk mendirikan Dar Al-‘Ulum, dan akhirnya ia menjadi guru paling terkemuka
di sana. Dalam beberapa bukunya yang terdiri dari isnad-isnad (misalnya
Al-Padani 1402) ia menyebutkan nama guru-gurunya dan kitab yang telah ia
pelajari dengan mereka. Tentang Muhammad bin ’Alwi, lihat Tempo, 2 Januari
1988, dan tentang kakeknya, ‘Abbas Al-Maliki, lihat ‘Abd Al- Jabbar 1385, hlm.
163-5. Belakangan Muhammad bin ‘Alwi Al-‘Alawi tidak mengajar di Masjid
Al-Haram lagi karena isi pengajarannya jelas tidak sesuai dengan paham Wahhabi
yang didukung pemerintah Saudi.
KITAB FIQIH DI PESANTREN INDONESIA DAN MALAYSIA
Tidak
pelak lagi, fiqihlah yang di antara semua cabang ilmu agama Islam biasanya
dianggap yang paling penting. Sebab, lebih dari agama lainnya, fiqih
mengandung berbagai implikasi konkret bagi pelaku keseharian individu maupun
masyarakat. Fiqihlah yang menjelaskan kepada kita hal-hal yang dilarang dan
tindakan-tindakan yang dianjurkan. Di pesantren, biasanya fiqih merupakan
primadona di antara semua mata pelajaran. Semua pesantren, tentu saja, juga
mengajarkan bahasa Arab (ilmu alat) dan sekurang-kurangnya dasar-dasar ilmu
tauhid dan akhlak. Namun inti pendidikan pesantren sebenarnya terdiri dari
karya-karya fiqih.
Kalau kita meninjau sejarah Islam di Indonesia,
penekanan atas fiqih barangkali tidak selalu sekuat sekarang. Pada mulanya,
Islam Indonesia sangat berorientasi kepada tasawuf, dan hanya secara bertahap
berangsur menjadi lebih berorientasi kepada syariat. Perubahan orientasi ini,
antara lain, sebagai akibat sebuah proses pembaruan atau “pemurnian yang sudah
mulai pada abad ke-17 dan masih terus hingga kini”. Gerakan keagamaan seperti
gerakan Padri (dengan semangat Wahhabi) dan kaum muda serta gerakan modernis
seperti Al-lrsyad dan Muhammadiyah, atau yang ‘puritan’ seperti Persis,
merupakan gelombang pembaruan yang menonjol dalam proses ini. Dan juga, pada
akhir abad ke-19, munculnya tarekat Naqsyabandiyah (yang lebih berorientasi
kepada syariat daripada banyak tarekat sebelumnya) merupakan bagian dari
proses pembaruan ini.
Setiap gelombang pembaruan membawa
perhatian lebih besar terhadap fiqih, dan kemudian juga terhadap sistem
pemikiran yang melatarbelakanginya, ushul al-figh. Tetapi jangan disangka
bahwa hanya kaum reformis yang memperkuat kedudukan ilmu fiqih di Indonesia.
Ulama “tradisional” besar seperti Daud bin Abdullah Al-Fathani dan Nawawi
Banten telah memberi sumbangan sangat penting kepada perkembangan ilmu fiqih
di Indonesia. Merekalah yang memperkenalkan dan menjelaskan, melalui
syarah-syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqih yang penting; dan mereka
yang mendidik generasi-generasi ulama yang menguasai dan memberi perhatian
kepada fiqih.
Pengarang-pengarang Muslim Indonesia yang namanya
diketahui, yaitu Hamzah Fansuri (wafat sekitar 1590) dan Syamsuddin Sumatrani
(wafat 1630), dua-duanya tinggal di Aceh dan dikenal sebagai penganut paham
tasawuf wahdah al-wujud. Mereka tampaknya tidak terlalu tertarik kepada fiqih.
Tetapi generasi ulama berikutnya yang merupakan penulis- penulis Aceh, di
samping memelihara minat yang besar terhadap tasawuf dan banyak menulis
tentang masalah ini, mereka juga menulis kitab-kitab fiqih. Nuruddin Al-Raniri
(yang meninggalkan Aceh pada tahun 644 dan wafat tahun 1659 di India) selain
menulis banyak buku lain, juga menulis sebuah buku sederhana tentang fiqih
dalam bahasa Melayu, Al- Shirath Al-Mustaqim, yang terus dibaca di beberapa
daerah Indonesia.1 Lalu Abdurrauf Al-Singkili, yang terkenal sebagai guru
tarekat Syattariyah dan pengarang karya-karya Sufi, juga menulis Mir’at
Al-Thullab fi Ashl Ma’rifat Al-Ahkam Al-Syari’ah li Al-Malik Al-Wahhab, sebuah
karya fiqih Syafi’i. Juga para pengarang Melayu berikutnya, meski sangat
terkenal karena buku-buku tasawuf mereka, namun juga menulis karya-karya
fiqih.2 Ini menunjukkan bahwa, paling tidak, sejak tahun 1600 dan seterusnya
terdapat suatu minat yang serius terhadap syariat di samping tasawuf di
kalangan kaum Muslim Sumatra.
Meski seringkali dinyatakan bahwa Islam di
Jawa lebih sinkretis dibanding di Sumatra, namun ternyata kita menjumpai
fenomena yang sama di sana. Meskipun pada awal-awalnya
nama
para pengarang Muslim Jawa tidak dikenal, tetapi ada beberapa manuskrip lama
dari Jawa yang dibawa ke Eropa oleh para pelaut pada sekitar tahun 1600.
Sebagian besar di antaranya berisikan ajaran-ajaran umum tentang tauhid, tasa-
wuf, dan akhlak.3 Salah satu di antaranya adalah sebuah teks fiqih berbahasa
Arab yang sangat terkenal, Al-Taqrib fi Al-Fiqh, dengan terjemahan bahasa
Jawa.4 Demikian pula di Jawa, fiqih telah dikaji paling tidak hampir empat
abad. Bahkan Tuhfah (Tuhfat Al-Muhtaj oleh Ibn Hajar Al-Haitami), karya acuan
fiqih Syafi’i yang terpenting, sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jawa, mungkin sejak sebelum abad ke-19. Selain itu, beberapa manuskrip
terjemahan ini tidak ditulis dengan huruf Arab, melainkan huruf Jawa
(hanacaraka).5 Ini berarti bahwa di wilayah tempat Islam paling banyak
bercampur dengan budaya Jawa pun, Islam tampak sangat berorientasi syariat.
Sepanjang yang saya ketahui, bahkan tidak pernah ada suatu terjemahan bahasa
Melayu dari kitab penting ini. Ini menunjukkan adanya perbedaan antara tradisi
pesantren (juga Madura dan Sunda) dengan pesantren di daerah Melayu (Sumatra,
Malaysia dan Kalimantan). Di Jawa dulu dan sekarang penekanan diberikan kepada
kitab Arab klasik, yang terkadang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Sementara itu kitab yang digunakan di daerah Melayu biasanya berupa
karya-karya orisinal karangan ulama Melayu. Baru pada abad ke-20 kitab-kitab
Melayu ini secara berangsur-angsur digantikan dengan kitab-kitab klasik
berbahasa Arab.
Kurikulum Fiqih di Pesantren
Sekitar seabad
lampau, seorang sarjana Belanda L.W.C. van den Berg menerbitkan sebuah daftar
kitab kuning yang pada waktu itu digunakan pesantren-pesantren Jawa dan
Madura.6 Daftar ini didasarkan atas wawancara dengan para kiai dan barangkali
memberikan suatu gambaran tentang kitab yang waktu itu dianggap paling
penting. Sebagaimana akan dikemukakan, hampir semua kitab yang dia sebut masih
digunakan di pesantren hingga sekarang. Para santri rnemulai
pelajarannya
dengan rukun Islam yang lima dan peraturan ibadah dengan teks-teks yang
sederhana seperti Safinah Al- Najah, Sullam Al-Taufiq, Al-Sittin Mas’alah,
Mukhtashar oleh Ba- Fadhl, dan Risalah oleh Sayyid Ahmad bin Zain Al-Habsyi.7
Barangkali sebagian besar santri tidak pernah melewati batas ini. Mereka yang
melanjutkan akan mempelajari satu atau beberapa dari kitab-kitab fiqih
berikut: Minhaj Al-Qawim, Al- Hawasyi Al-Madaniyah, Fath Al-Qarib, Bajuri
(syarah Fath Al- Qarib), Al-Iqna’, Bujairimi (syarah Iqna’), Al-Muharrar,
Minhaj Al-Thalibin, Syarh Minhaj oleh Mahalli, Fath Al-Wahhab, Tuhfah
Al-Muhtaj, Fath Al-Mu’in. Kitab-kitab ini, kecuali dua atau tiga, hingga kini
masih dipelajari di berbagai pesantren.8
Tabel I
Kitab Fiqih dan Ushul Al-Fiqh
Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim Jumlah
Jumlah Pesantren |
4 |
3 |
9 |
12 |
18 |
46 |
TINGKAT |
Fiqih |
|
|
|
|
|
|
|
Fath Al-Mu’in |
2 |
1 |
7 |
6 |
16 |
32 |
Aliyah |
Ianah Thalibin |
2 |
2 |
0 |
0 |
0 |
4 |
|
Taqrib |
2 |
0 |
6 |
5 |
7 |
20 |
Tsanawiyah |
Fath Al-Qarib |
2 |
1 |
4 |
7 |
9 |
23 |
Aliyah |
Kifayatul Akhyar |
1 |
0 |
6 |
4 |
7 |
18 |
Tsanawiyah/ Aliyah |
Bajuri |
1 |
0 |
1 |
0 |
1 |
3 |
|
Iqna’ |
0 |
1 |
1 |
0 |
5 |
7 |
|
Minhaj Al-Thalibin |
2 |
0 |
2 |
0 |
1 |
5 |
Aliyah |
Minhaj Al-Thullab |
0 |
0 |
0 |
0 |
1 |
1 |
|
Fathul Wahab |
0 |
1 |
5 |
4 |
10 |
20 |
Aliyah |
Mahalli |
4 |
1 |
1 |
2 |
1 |
9 |
Aliyah |
Minhajul Qawim |
0 |
0 |
2 |
2 |
3 |
7 |
|
Safinah |
1 |
0 |
6 |
7 |
7 |
21 |
Tsanawiyah |
Kasyifat Al-Saja |
0 |
0 |
1 |
0 |
3 |
4 |
|
Sullam Al-Taufiq |
0 |
1 |
5 |
2 |
13 |
21 |
Tsanawiyah |
Tahrir |
0 |
1 |
2 |
1 |
5 |
9 |
Aliyah |
Riyadh Al-Badiah |
0 |
0 |
2 |
1 |
3 |
6 |
|
Sullam Al-Munajat |
0 |
0 |
2 |
1 |
2 |
5 |
|
Uqud Al-Lujain |
0 |
0 |
1 |
1 |
2 |
4 |
Tsanawiyah |
Sittin/Syarah Sittin |
0 |
1 |
2 |
0 |
0 |
3 |
|
Muhadzab |
0 |
0 |
0 |
1 |
2 |
3 |
|
Bughyat Al-Mustarsyidin |
0 |
0 |
1 |
0 |
2 |
3 |
|
Mabadi Fiqhiyah |
0 |
0 |
1 |
2 |
5 |
8 |
Tsanawiyah |
Fiqh Wadhih |
0 |
0 |
0 |
1 |
3 |
4 |
Tsanawiyah |
Ushul Al-Fiqh Waraqat/Syarah Al-Waraqat |
2 |
1 |
6 |
1 |
2 |
12 |
Aliyah/ |
|
|
|
|
|
|
|
Khawasah |
Lathaif Al-Isyarat |
1 |
0 |
3 |
0 |
6 |
10 |
|
Jam’ul Jawami’ |
1 |
0 |
6 |
1 |
2 |
10 |
Khawash |
Luma’ |
1 |
0 |
2 |
1 |
3 |
7 |
Aliyah/ Khawash |
Al-Asybah wa Al-Nadhair |
0 |
0 |
1 |
1 |
4 |
5 |
Khawash |
Bayan |
0 |
0 |
1 |
0 |
2 |
3 |
Tsanawiyah/ Aliyah |
Bidayat Al-Mujtahid |
0 |
0 |
2 |
0 |
0 |
2 |
Khawash |
Kurikulum pesantren tidak
distandardisasi. Hampir setiap pesantren mengajarkan kombinasi kitab yang
berbeda-beda, dan banyak kiai terkenal sebagai spesialis kitab tertentu.
Banyak santri tekun berpindah dari satu pesantren ke lainnya dalam upaya
mempelajari semua kitab yang ingin mereka kuasai. Jika kita ingin memperoleh
suatu pandangan terhadap “rata-rata” kurikulum pesantren, maka tidak cukup
hanya melihatnya pada satu atau dua pesantren saja. Untung sekarang sudah
banyak monograf tentang pesantren di berbagai daerah di Indonesia yang bisa
memberikan keterangan tentang kitab yang digunakan.9 Dari kajian-kajian ini,
saya berhasil menghimpun data tentang kurikulum 46 pesantren, 18 di antaranya
di Jawa Timur, 12 di Jawa Tengah, 9 di Jawa Barat, 3 di Kalimantan Selatan dan
4 di beberapa daerah Sumatra. Kitab fiqih yang paling “popular”, yaitu yang
paling sering digunakan, telah saya daftarkan di Tabel I. Untuk setiap kitab
yang terdaftar, saya memberi jumlah pesantren di mana kitab tersebut
digunakan. Dalam tabel tersebut, kitab-kitab disusun sedikit banyak menurut
urutan “popularitas”; tidak ada hubungan dengan urutan kitab yang dipelajari
santri. Kolom terakhir memberi sedikit keterangan tentang tingkat kesulitan
kitab-kitab tersebut. Untuk itu saya menggunakan nama-nama tingkatan madrasah,
yaitu ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan istilah “khawash” untuk para pelajar
yang telah berada di tingkat atas. Ini, tentu saja,
hanya
suatu indikasi kasar saja, mengingat bahwa masih banyak pesantren yang tidak
memakai sistem madrasah. Dan sebuah kitab yang dipelajari pada tingkat aliyah
di satu madrasah, boleh saja dibaca di tsanawiyah sebuah madrasah lainnya.
Kitab-kitab
yang judulnya muncul dalam Tabel I akan ditinjau lebih lanjut.
Kitab-kitab
yang Diterbitkan di Indonesia
Di samping gabungan
monografi pesantren, saya juga menggunakan pendekatan lain untuk
memperoleh gambaran yang lebih baik terhadap jenis kitab yang digunakan di
pesantren. Di seluruh Indonesia terdapat banyak toko kitab, yang mengkhususkan
kitab-kitab yang digunakan di pesantren (atau surau, dayah, madrasah). Saya
telah mengunjungi toko kitab di banyak provinsi dan secara sistematis
mengumpulkan semua kitab kuning yang diterbitkan di Indonesia atau Malaysia.
Saya tidak mengambil buku-buku terbitan Timur Tengah (Mesir dan Lebanon) sebab
saya berasumsi bahwa jika sebuah karya memang dibutuhkan, tentu akan
diterbitkan oleh penerbit. Terutama pada lima tahun belakangan, banyak judul
baru diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Surabaya, Kudus, Sema- rang,
Bandung, Jakarta, Singapura, dan Penang. Dan juga oleh penerbit-penerbit lain
yang lebih kecil di seluruh Indonesia.
Demikian pada tahun 1987 dan 1988
saya mengumpulkan sejumlah besar macam-macam kitab kuning terbitan Indonesia
dan negara-negara tetangga.10 Dan saya kira kumpulan ini mencantumkan hampir
seluruh kitab yang digunakan di pesantren dan madrasah di Indonesia yang
hampir lengkap. Koleksi ini meliputi kitab-kitab dalam bahasa Arab, Melayu dan
Jawa, serta bahasa Madura, Sunda dan bahkan Aceh. Banyak kitab yang ditulis
dalam bahasa lokal merupakan terjemahan atau syarah kitab yang bahasa aslinya
Arab. Bila kita menganggap kitab-kitab terjemahan dan asli (yang seringkali
diterbitkan bersama-sama.dalam sebuah buku) sebagai karya yang berdiri
sendiri, maka seluruhnya terdapat 900 macam teks, hampir 200 di antaranya
mengenai fiqih. Sekitar 550 dari 900 teks tadi, atau
60%-nya,
ditulis atau diterjemahkan oleh ulama dari Indonesia, Malaysia atau Patani
(Thailand Selatan). Di antara karya-karya fiqih, sumbangan ulama lokal masih
lebih besar. Mereka menulis atau menerjemahkan 130 dari 200 teks fiqih. Namun,
patut ditambahkan bahwa banyak di antara karya-karya itu hanya berupa
teks-teks pengantar yang sederhana. Ada 50 teks termasuk jenis yang dikenal
dengan nama perukunan atau persholatan, yang hanya memberikan dasar-dasar fiqh
‘ubudiyah dan rukun Islam. Yang terpenting di antara kitab-kitab tersebut
beserta pengarangnya akan dibahas di bawah.
Kitab Fiqih yang Paling
Sering Digunakan
Tabel di atas mendaftar semua kitab fiqih yang digunakan
paling tidak 3 dari 46 pesantren. Ada sejumlah kekosongan yang mencolok. Karya
fiqih yang terus disebut Van den Berg sebagai karya paling penting, yakni
Tuhfah, dan juga Muharrar, tidak muncul dalam daftar. Ternyata kitab-kitab ini
tidak pernah dicetak di Indonesia (lepas dari terjemahan ringkas bahasa Jawa
tersebut di atas). Barangkali ini menunjukkan bahwa karya- karya tersebut
tidak digunakan untuk mengajar. Namun para ulama terkemuka sependapat bahwa
kitab-kitab ini merupakan karya acuan utama dalam menghadapi masalah-masalah
rumit. Untuk penggunaan sehari-hari, karya-karya yang lebih mudah dipakai
seperti Fath Al-Wahhab (dianggap lebih sistematik dalam pendekatannya
dibanding sebagian besar karya lain). Juga I’anah Al-Thalibin, paling “muda”
di antara karya-karya fiqih tradisional besar, yang seringkali ternyata lebih
cocok bagi masalah-masalah mutakhir. Untuk tujuan-tujuan pendidikan, kitab
pengantar semacam Sullam Al-Taufiq, Taqrib/Fath Al-Qarib dan Fath Al-Mu’in
lebih disukai.
Di bawah pengaruh gerakan modernis, karya-karya fiqih dari
jenis yang berbeda mulai masuk dan digunakan di pesantren. Ada beberapa
pesantren mengajarkan Bidayah Al-Mujtahid karangan Ibn Rusyd di samping atau
sebagai pengganti kitab- kitab klasik Syafi’i (kitab Bidayah ini belakangan
juga dicetak di Indonesia, yang berarti makin besarnya minat). Kitab Fiqh
Al-Sunnah,
yang terdiri dari 14 jilid, karya pengarang Mesir modern, Sayyid Sabiq, dengan
cepat juga sedang memperoleh tempat yang lebih luas (hingga kini, hanya
terjemahan bahasa Indonesia yang cetakan local, sedangkan cetakan asli bahas
Arab tidak. Ini menunjukkan bahwa karya tersebut belum masuk daftar
karya-karya paling popular, yang kesemuanya memang berada dalam tradisi
Syafi’i.
Bagan I
Banyak karya besar fiqih Syafi’i merupakan komentar (syarh)
atau catatan (hasyiyah) terhadap, atau ringkasan dari, suatu karya yang lain
dari tradisi yang sama. Demikian terdapat beberapa “keluarga” kitab fiqih
Syafi’i, dan hubungan antar anggota “keluarga” ini dapat digambarkan dalam
bentuk pohon keluarga seperti terlihat di Bagan I-III. Tanda panah
menghubungkan masing-masing kitab dengan semua kitab yang secara langsung
berdasarkan padanya. Terjemahan (dan komentar terhadap) karya-karya ini dalam
bahasa daerah Nusantara dicatat di bagian kanan. Untuk menunjukkan mana
diantara karya-karya itu yang dicetak di Indonesia (atau tetangganya),
judul-judulnya dicetak tebal.
Tiga “keluarga” yang menonjol, secara
berturut-turut “berasal” dari Muharrar karangan Rafi’i, Taqrib (atau
Mukhtashar) oleh Abu Syuja’ Al-Isfahani, dan Qurrah Al-‘Ain karangan Malibari.
Inilah yang pertamakali akan dibahas.
Yang pertama di antara
“keluarga-keluarga” tersebut adalah kelompok kitab yang memiliki prestise
paling besar. Muharrar- nya Imam Rafi’i pertama-tama disingkat oleh Abu
Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, menjadi Minhaj Al-Thalibin. Karya ini
telah melahirkan banyak syarah, di antaranya lima yang paling penting yang
ditunjukkan dalam Bagan I.11
Sebagian besar ulama besar Indonesia sepakat
bahwa syarah Ibn Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al-Muhtaj dan Nihayah Al Muhtaj-nya
Syamsuddin Ramli adalah karya fiqih yang paling memiliki otoritas. Dalam hal
di mana terdapat perbedaan antara kedua karya rujukan ini, ulama Indonesia
memilih Ibn Hajar. Beberapa ulama, terutama yang pernah belajar di Mesir,
mengaku memakai Mughni’-nya Khatib Syarbini (Mughni Al- Muhtaj) juga.
Fatwa-fatwa yang penting didasarkan atas karya besar tersebut, terutama
Tuhfah. Namun dalam praktik sehari- hari, Tuhfah ternyata tidak begitu sering
digunakan sebagai rujukan, dan bahkan sangat sulit untuk bisa mendapat sebuah
eksemplar di toko-toko.
Karya-karya keluarga ini yang bisa didapat secara
umum hanyalah syarah Jalal Al-Din Al-Mahalli (biasanya terkenal dengan
Al-Mahalli) dalam sebuah edisi yang dilengkapi hasyiyah luas oleh Qalyubi dan
‘Umaira. Juga Fath Al-Wahhab, sebuah syarah tulisan Zakariya Anshari atas
karangannya sendiri, Manhaj Al-Thullab, yang merupakan ringkasan Minhaj.
Mir’at Al-Thullab karangan Abdurruf Al-Singkili, yang disebut dalam
pendahuluan tulisan ini, ternyata merupakan terjemahan Fath Al-Wahhab `dalam
bahasa Melayu. Kitab berbahasa Melayu ini tidak lagi digunakan, dan bahkan
judulnya jarang dikenal lagi. Kitab ini tidak pernah dicetak.
Karya-karya
fiqih yang paling populer masih tetap Tagrib (Al-Ghayah wa Al-Taqrib, yang
juga terkenal dengan Mukhtashar, oleh Abu Syuja’ Al-Isfahani) dan syarahnya
Fath Al-Qarib (oleh Ibn Qasim Al-Ghazzi). Hampir tidak ada pesantren yang
tidak menggunakan paling tidak salah satu dari teks-teks ini. Berbagai karya
lain dari keluarga yang sama juga digunakan secara luas di Indonesia, dan ada
beberapa terjemahan. Kifayat Al-Akhyar, oleh Taqi Al-Din Al-Dimasyqi, yang
belum disebut oleh para
narasumber Van den
Berg, kini menduduki jenjang kedua setelah Fath
Al-Qarib, di tengah syarah-syarah yang ada.
Bagan II
Sebuah teks yang lebih sulit adalah Iqna’ karangan
Khathib Syarbini, yang dicetak bersama-sama dengan syarah Taqrir oleh seorang
bernama ‘Awwad (yang saya tidak mendapatkan informasi lebih lanjut
mengenainya). Hasyiyah Bajuri, yang banyak digunakan seabad lampau,12 tampak
kehilangan daya tariknya dewasa ini.
Fath Al-Mu’in, yang telah lama
populer di Indonesia, ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain Al-Din
Al-Malibari. Fath Al-Mu’in merupakan syarah atau penulisan kembali sebuah
karya lebih dahulu oleh pengarang yang sama, Qurrat Al- ‘Ain. Walaupun
Al-Malibari telah menjadi murid Ibn Hajar, kedua karyanya tidak secara
langsung didasarkan atas Tuhfah Ibn Hajar. Qurrah sendiri tidak pernah populer
di Indonesia, namun pada abad ke-19, Nawawi Banten menulis sebuah syarah lagi
(Nihayah Al-Zain), yang digunakan secara luas.
Di Makkah, dua orang
sezaman Nawawi tapi berusia lebih muda menulis hasyiyah secara luas atas
Fath Al-Mu`in. I`anah Al-Thalibin, karangan Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha
Al- Dimyathi, adalah sebuah karya empat jilid, yang memasukkan catatan-catatan
pengarang atas berbagai pokok bahasan serta sejumlah fatwa oleh mufti Syafi’i
di Makkah waktu itu, Ahmad
bin Zaini Dahlan. Pada masa hidup
pengarang, kitab ini telah menjadi karya fiqih Syafi’i yang paling sering
dijadikan rujukan. Dan ia tetap berada dalam posisinya sebagai sebuah karya
rujukan utama.13
Bagan III
Van den Berg menyebut suatu keluarga kitab fiqih lagi, yang juga pernah sangat populer. Namun sekarang hanya satu kitab dari keluarga itu yang masuk daftar kitab “laris” kita, yaitu Minhaj Al-Qawim karangan Ibn Hajar Al-Haitami (pengarang, Tuhfah Al-Muhtaj). “Keluarga” ini berasal dari sebuah karya sederhana, yang dulu sangat terkenal di Jawa dengan Bapadal, yaitu Al- Muqaddimah Al-Hadhramiyah karangan Abdullah ibn Abd. Al- Karim Ba-Fadhl. Tidak kurang dari ibn Hajar sendiri menulis syarah atas kitab ini, Minhaj Al-Qawim, dan dua abad kemudian mufti Syafi’i Madinah M.b. Sulaiman Al-Kurdi, menulis catatan-catatan luas untuk syarah tadi, Al-Hawasyi Al-Madaniyah (dikenal di Jawa dengan Sleman Kurdi). Minhaj Al-Qawim sampai sekarang masih dipakai di seluruh pulau Jwa, tetapi Sleman Kurdi, yang cukup populer pada zaman Van den Berg, tampaknya jarang di gunakan sekarang. Kitab ini telah lama sulit didapatkan, namun belakangan dicetak ulang di Surabaya (yang agaknya berarti bahwa masih ada permintaan).
Keluarga kitab fiqih ini berbeda dengan tiga keluarga sebelumnya. Hanya membahas masalah fiqh ‘ubudiyah (yaitu hal-
hal yang berkaitan dengan thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji), tidak mencakup peraturan tentang transaksi ekonomi (mu’amalat), hukum keluarga dan waris, hukum pidana dan sebagainya, yang merupakan 60% dari isi kitab fiqih yang lain.
Bagan IV
Dua
syarah lain atas Muqaddimah Ba-Fadhl layak untuk disebutkan. Yang pertama
ditulis (dalam bahasa Arab) oleh seorang ulama besar Jawa Timur, Mahfudz bin
Abdullah dari Termas (wafat tahun 1338/1919-20).14 Syarah ini sekarang tidak
terdapat dalam bentuk cetakan. Namun di toko kitab terdapat syarah yang lain
Busyra Al-Karim (bi-Syarh Masa’il Al-Ta’lim ‘ala Muqaddimah Al- Hadhramiyah),
oleh Sa’id ibn M. Ba’syin (tidak didapat informasi lebih jauh).
Dua karya
lain yang berada di urutan atas daftar kita adalah teks-teks pengantar Sullam
Al-Taufiq (oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi, wafat 1272/1855) dan
Safinah Al-Najah, karya Salim bin Abdullah bin Samir, seorang ulama Hadrami
yang tinggal di Batavia pada pertengahan abad ke-19. Nawawi Banten menulis
sebuah syarah (dalam bahasa Arab juga) atas teks kedua yang sangat populer
dengan judul Kasyifah Al-Saja’, (terdapat dalam berbagai terbitan). Kasyifah
juga telah diterjemahkan ke dalam saduran da syarah yang ditulis oleh ulama
Indonesia.15
Untuk judul lainnya dalam tabel yang belum disebut, saya
hanya akan member sedikit catatan penjelasan. Tahrir (Tahrir
Tanqib
li Al-Lubab fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’i) adalah sebuah karya oleh Zakaria
Al-Anshari, yang didasarkan atas Lubab Al- Fiqh oleh Al-Mahamili (wafat
415/1024). Anshari sendiri menulis sebuah syarah atas Tahrir-nya, berjudul
Tuhfah Al-Thullab. Keduanya biasanya dicetak bersama-sama. Catatan-catatan
lebih jauh atas Tuhfah Al-Thullab ditulis oleh ‘Abdullah Syarqawi (wafat
1127/1812): Hasyisyah ‘ala Syarh Al-Tahrir. Teks ini (dalam bahasa percakapan
dikenal dengan Syarqawi ‘ala Tahrir) juga terdapat secara luas di
Indonesia.
Riyadh Al-Badi’ah merupakan salah satu teks yang diperkenalkan
kepada kaum Muslim Indonesia oleh Nawawi Banten, yang kurang dikenal di tempat
lain. Seperti terlihat dalam judulnya, Al-Riyadh Al-Badi’ah fi Ushul Al-Din wa
Ba’dh Furu’ Al-Syari’ah, kitab ini membahas butir-butir pilihan ajaran dan
kewajiban agama. Tak banyak yang diketahui mengenai pengarangnya, Muhammad
Hasbullah; barangkali ia sezaman dengan, atau sedikit lebih
tua daripada, Nawawi Banten. Ia terutama dikenal karena
syarah yang ditulis Nawawi atas Riyadhul Badi’ah, yaitu Al-Tsamar Al-Yani’ah;
karyanya hanya dicetak di pinggir syarah Nawawi ini.
Sullam Al-Munajat
adalah karya lain tulisan Nawawi Banten, sebuah syarah atas pedoman ibdah
Safinah Al-Shalah karangan Abdullah bin ‘Umar Al-Hadhrami.
‘Uqudul Lujain
(‘Uqud Al-Lujjain fi Huquq Al-Zaujain) juga sebuah karya karangan Nawawi
Banten, tentang hak-hak dan terutama kewajiban-kewajiban istri. Ia merupakan
materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan
dan syarah dalam bahasa Jawa dalam peredaran, yaitu Hidayah Al- ‘Arisin oleh
Abu Muhammad Hasanuddin dari Pekalongan, dan Su’ud Al-Kaunain oleh Sibt
Al-‘Utsmani Ahdari Al-Jangalani Al- Qudusi.
Sittin (lengkapnya Al-Masa’il
Al-Sittin atau Al-Sittin Masalah), oleh Abu’l ‘Abbas Ahmad Al-Mishri (wafat
818/1415), adalah sebuah teks singkat tipe perukunan (yaitu membahas ajaran
dasar dan lima rukun). Kitab ini sangat populer di Jawa pada abad ke 19, dan
judulnya juga disebut dalam Serat Centhini. Secara
berangsur-angsur
kitab ini makin kurang digunakan, sekarang bahkan banyak santri yang tidak
lagi mengenal namanya.
Al-Muhadzdzab adalah sebuah karya fiqih Syafi’i
oleh Ibrahim bin Ali Al-Syirazi Al-Fairuzabadi (wafat 476 /1083).
Bughyah
Al-Mustarsyidin adalah sebuah koleksi fatwa oleh ulama abad ke-19/20, yang
dihimpun oleh Mufti Hadhramaut ‘Abd Al-Rahman ibn Muhammad ibn Husain
Ba’alawi.
Dua kitab berikut ini merupakan buku teks mutakhir dalam bahasa
Arab sederhana, ditulis terutama untuk madrasah. Yaitu, Al-Ma’badi
Al-Fiqhiyyah ‘ala Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i (4 jilid kecil) tulisan ‘Umar
‘Abd Al-Jabbar, seorang pengarang masa kini yang produktif di Makkah. Lalu
Al-Fiqh Al-Wadhih oleh ulama Minangkabau terkenal yaitu Prof. Mahmud Yunus.
Kitab
tentang Ushul Al-Fiqh
Van den Berg sama sekali tidak menyebut karya
tentang ushul al-fiqh di antara kitab yang dipakai di pesantren abad ke- l9.
Barangkali ini hanya kekeliruan, karena katalog perpustakaan Museum Jakarta
(1913) oleh Van Ronkel menyebut beberapa naskah syarah atas Waraqat dan Jam’
Al-Jawami’ (lihat di bawah). Itu memberi kesan bahwa karya-karya tersebut
relatif terkenal, paling tidak pada sekitar penghujung abad. Namun sangat
mungkin bahwa kitab itu belum menjadi bagian kurikulum Pesantren biasa. Ushul
al-fiqh mendapat perhatian serius pertama kali dari kaum muda, yang seringkali
menggunakannya sebagai penyangga dalam berjuang melawan apa yang dianggap
bid’ah. Pada dasawarsa 1920-an, majalah kaum muda Al-Ittifaq wa Al- Iftiraq
banyak menulis tentang ushul al-fiqh, dengan mengutip Al-Asybah wa
Al-Nazhair-nya Suyuthi, Risalah-nya Syafi’i dan terutama Bidayat
Al-Mujtahid-nya Ibn Rusyd.16
Dewasa ini, ushul al-fiqh merupakan mata
pelajaran wajib di hampir semua Pesantren untuk santri tingkat menengah dan
atas. Namun, jumlah karya yang digunakan tidak terlalu besar. Saya mendapatkan
empat belas macam judul yang diterbitkan di Indonesia, banyak di antaranya
yang berhubungan satu sama lain
(sebagai syarah atau
hasyiyah). Hanya delapan di antaranya yang cukup populer sehingga perlu
dimasukkan ke dalam daftar.
Jam’ Al-Jawmi’ oleh Tajuddin
‘Abd Al-Wahhab Al-Subki, adalah salah satu dari teks-teks utama tentang
dasar-dasar hukum Islam. Edisi yang dicetak dewasa ini, di samping berisi teks
ini, juga menentukan syarah oleh Jalaluddin Al-Mahalli, hasyisyah oleh Bannani
dan hasyisyah lebih luas (Taqrir) oleh ‘Abd Al- Rahman Syarbini. Zakaria
Anshari telah meringkas Jam’ dalam karangannya Lubab Al-Ushul, yang juga
digunakan di Indonesia.
Al-Waraqah fi Ushul Al-Fiqh oleh Imam Al-Haramain
‘Abd Al-Malik Al-Juwaini (wafat 478/1085) adalah salah satu di antara
karya-karya utama lain tentang pokok bahasan tersebut. Berbagai syarah atas
karya ini terdapat secara luas di Indonesia (koleksi ini meliputi lima macam
kitab, salah satu di antaranya adalah karangan pembaru Minangkabau Ahmad
Khatib, Nafahat ‘ala Syarh Al-Waraqat). Latha’if Al-Isyarah, oleh ‘Abd
Al-Hamid ibn Muhammad ‘Ali Al-Qudusi (wafat 1334/1916), merupakan sebuah
komentar lebih lanjut atas salah satu di antara syarah-syarah terebut, yakni
Tashil Al-Thuruqat oleh Syarafuddin Yahya Al- ‘Imrithi.
Al-Asybah wa
Al-Nadza’ir fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh Al- Syafi’iyah sebuah karya ushul al-fiqh
yang “berat”, ditulis oleh ulama produktif Jalaluddin Al-Suyuti.
Al-Luma’
(fi Ushul Al-Fiqh) ditulis oleh Ibrahim b. Ali Al- Syirazi Al-Fairuzabadi,
pengarang Muhadzdzab.
Al-Bayan adalah jilid terakhir dari serangkaian
tiga buku teks sederhana (yang berjudul Mabadi Awwaliyah, Al-Sullam dan Al-
Bayan) untuk digunakan di madrasah, yang ditulis oleh pengarag Minangkabau,
Abdul Hamid Hakim.
Judul terakhir dalam daftar ini sedikit mengejutkan,
karena tidak termasuk dalam tradisi Syafi’i. Saya memasukkannya meski hanya
digunakan di dua pesantren (keduanya berorientasi lebih modernis). Bidayah
Al-Mujtahid-nya Ibn Rusyd, yang membandingkan dan menganalisis sikap berbagai
mazhab dalam banyak hal, digunakan pertama kali di Indonesia oleh para pembaru
Minangkabau pada dasawarsa 1920-an, seperti dikemukakan di
atas.
Digunakannya di pesantren menunjukkan makin luasnya cakrawala lingkungan
pesantren dan kian meningkatnya minat intelektual. Bidayah belakangan juga
dicetak di Indonesia, gejala yang menunjukkan bahwa minat terhadap karya ini
cukup luas.
Isi Kitab Fiqih
Kadang-kadang dikatakan bahwa
kitab kuning tidak menunjukkan orisinalitas, karena semuanya pada dasarnya
sama, denga hanya berbeda dalam rincian. Dari satu sudut itu memang benar.
Daftar isi kitab fiqih tampak sangat mirip. Kesemuanya membahas
persoalan-persoalan yang sama, dalam susunan yang sama. Sebuah karya fiqih
modern pun seperti Fiqh Al-Sunnah oleh Sayyid Sabiq mengikuti pola yang sama
seperti Tuhfah. Bahkan buku-buku modern tipe Soal-Jawab, yang dituliskan untuk
berbagai kalangan pembaca, masih juga menyusun materinya menurut format yang
sama apabila membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan fiqih.17 Salah
satu alasannya mungkin karena syariat sendiri dianggap tidak dapat berubah.
Yang bisa berubah hanya situasi-situasi di mana syariat diterapkan. Ada juga
beberapa alasan sangat praktis untuk format ini: hal itu memungkinkan kita
untuk dengan cepat mengetahui apa yang dikatakan berbagai pengarang tentang
suatu hal tertentu, karena kita segera mengetahui di mana kita harus
mencarinya.
Semna kitab fiqih dimulai dengan bab-bab tentang ‘ubudiyah:
bab al-shalat (terkadang didahului dengan bab ath-thaharah, tentang bersuci
untuk ibadah), bab al-zakat, bab al-shiyam dan bab al-haj wa al-‘umrah.
Beberapa kitab pembahasannya tidak lebih dari ini. Tapi sebagian besar
meneruskan dengan bab-bab tentang transaksi-transaksi ekonomi (mu’amalat),
hukum waris (fara’idh), hukum perkawinan (nikah), berbagai pelanggaran dan
hukumannya (jinayah=pembunuhan; riddah= murtad; hudud= pelanggaran), jihad,
risalah mengenai makanan (ath’imah) dan penyembelihan (dzabaih). Tetapi, ada
perbedaan yang berarti antara berbagai kitab dalam derajat perhatian yang
diberikan kepada masing-masing pokok bahasan. Tabel II menunjukkan jumlah
kitab yang seringkali digunakan, persentase halaman yang
banyak
dipakai untuk setiap kategori utama dari berbagai masalah. Derajat
“orisinalitas” seorang pengarang tidak dapat begitu saja dibaca dari tabel
ini. Orisinalitasnya lebih dicerminkan dalam pokok-pokok yang dibahasnya dalam
rangka bab-bab tradisional.
Suatu contoh tentang orisinalitas jenis ini
terdapat dalam bab al-jihad, dari I’anah karangan Sayid Bakri. Dalam rangka
membahas jihad dan syarat-syaratnya, pengarang memberikan kita gagasan tentang
kesejahteraan umat yang perlu dijaga, yaitu kebutuhan pokok seperti pangan,
papan, kesehatan untuk semua anggota masyarakat.18
Patut dicatat,
barangkali, bahwa kandungan kitab fiqih tidak mencakup bab khusus mengenai
persoalan-persoalan politik. Sampai tingkat terbatas persoalan-persoalan
tersebut diberikan perhatian dalam bab al-jihad, tetapi untuk sebagian besar
persoalan politik tidak terdapat jawaban yang jelas dalam kitab fiqih yang
standar. Namun ada beberapa kitab yang secara khusus membahas politik. Salah
satu di antaranya adalah Al-Ahkam Al- Sulthaniyah karangan Al-Mawardi yang
terkadang digunakan oleh para kiai Indonesia.19 Bahkan tampak ia makin
diminati, dan belakangan sudah dicetak di Indonesia dan kini beredar luas.
Meski
begitu, kitab ini tak mengandung banyak hal yang dapat diterapkan dalam
praktik. Dalam beberapa hal yang konkret, ulama NU telah merujuk kepada
Bughyat Al-Mustarsyidin, yang berisikan sejumlah fatwa yang relevan dengan
masalah-masalah politik praktis yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.20
Tabel II
Persentase ruang yang digunakan untuk pokok-pokok bahasan utama dalam kitab fiqih pilihan.
BAB |
A |
B |
C |
D |
E |
F |
G |
Al-thaharah |
19 |
6 |
13 |
12 |
5 |
7 |
7 |
Al-shalah |
48 |
76 |
16 |
18 |
14 |
17 |
24 |
Al-zakah |
11 |
5 |
3 |
3 |
3 |
3 |
5 |
Al-shiyam |
9 |
5 |
2 |
2,5 |
3 |
3 |
4,5 |
Al-haj wa’l-‘umrah |
13 |
7 |
3 |
4 |
4,5 |
4,5 |
5 |
‘ubudiyah |
100 |
100 |
37 |
39,5 |
29,5 |
34,5 |
45,5 |
Mu’amalat |
|
|
17 |
14 |
22 |
25 |
16 |
Al-fara’idh |
|
|
3 |
3 |
3,5 |
3 |
2 |
An-nikah |
|
|
14 |
14 |
19 |
17,5 |
18 |
Al-jinayat |
|
|
4 |
4 |
5 |
5 |
1,5 |
Al-hudud |
|
|
5 |
4 |
|
2 |
4 |
Al-jihad |
|
|
3 |
2,5 |
1,5 |
|
2 |
Al-ath’imah/al-dzabaih |
|
|
3 |
2,5 |
4,5 |
4 |
1,5 |
Jumlah |
100 |
100 |
86 |
83,5 |
85,0 |
91,0 |
90,5 |
• Kelompok mu’amalat meliputi: al-buyu’ (jual-beli), al- wakalah (perwakilan), al-ijarah (sewa-menyewa), al-ariyah (pinjam-meminjam), al-hibah, al-waqaf, al-washiyah.
A: Ibnu Hajar Al-Haitami, Minhaj Al-Qawim, 150 halaman.
B: Sulaiman Al-Kurdi, Al-Hawasyi ‘I-Madaniyah, 430 halaman. C: Syarbini, Al-Iqna’, 574 halaman.
D: Bajuri, Hasyisyah, 786 halaman.
E: Zakariya Al-Anshari, Fath Al-Wahhab, 512 halaman.
F: Qalyubi dan ‘Umaira, Hasyisyah … Mahali, 1443 halaman. G: Sayyid Bakri, I’anat Ath-Thalibin, 1380 halaman.
Pengarang Kitab
Fiqih Indonesia Terkemuka
Beberapa pengarang Indonesia permulaan yang
menulis fiqih (disamping) kitab-kitab lain disebut dalam bagian pertama dari
tulisan ini. Hanya sejumlah kecil di antara kitab-kitab ini masih digunakan.
Karya-karya dalam bahasa Melayu secara bertahap digantikan dengan kitab-kitab
bahasa Arab. Kitab Jawi besar yang digunakan paling luas barangkali Sabil
Al-Muhtadin karya Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang bisa didapatkan di seluruh
Sumatra dan Kalimantan, dan juga dimana saja di Malaysia. Ada sedikit sekali
madrasah atau pesantren yang kini menggunakannya. Namun banyak orang masih
membacanya secara pribadi atau
mengkajinya dengan seorang
guru agama di rumahnya atau di masjid. Di pinggir (hamisy) kitab ini kita
dapatkan juga Shirath Al-Mustaqim karya Al-Raniri, teks fiqih Melayu tertua
yang masih digunakan.
Nama M. Arsyad Al-Banjari (yang wafat pada 1227
H/1812) juga dikaitkan dengan buku yang mungkin paling popular di antara semua
kitab Jawi, Perukunan Besar atau Perukunan Melayu, sebuah pengantar sederhana
menuju keimanan dan ibadah. Bagi kebanyakan anak di Sumatra, Malaysia,
Jakarta, Kalimantan dan NTB, kitab ini merupakan teks agama pertama yang
mereka baca. Buku kecil ini, yang dikarang oleh anak cucu Arsyad berdasarkan
ajarannya, telah dicetak dan dicetak ulang oleh berbagai penerbit, dan terbit
dalam versi yang sedikit berbeda-beda.21
Seorang ulama produktif yang
hidup pada sekitar masa yang sama dengan M. Arsyad dan ‘Abd Al-Shamad adalah
Daud bin Abdullah Al-Patani (wafat kira-kira 1845).22 Beberapa di antara 14
buku yang masih ada dalam edisi-edisi cetak berhubungan dengan aspek-aspek
fiqih. Yang paling penting di antaranya adalah Bugyah Al-Thullab (sebuah
ringkasan fiqih umum) dan Furu’ Al-Masa’il (berdasarkan fatawa Al-Ramli dan
Kasyf Al-Litsam Al- Mahalli). Risalah-risalah yang lebih kecil seperti Ghayah
Al-Taqrib (tentang pembagian waris), Idhah Al-Bab (tentang perkawinan) dan
Muhyat Al-Mushalli (tentang sembahyang) masih dibaca secara luas.
Ulama
terakhir yang menulis kitab berpengaruh dalam bahasa Melayu adalah Sayyid
Utsman (bin Abdullah bin Aqil bin Yahya), ulama Arab Batavia terkenal.23
Al-Qawanin Al-Syar’iyah- nya merupakan sebuah panduan bagi “rad agama”
(pengadilan syari’ah yang diperbolehkan oleh pemerintah India Belanda).
Beberapa karya singkat lain juga menyinggung fiqh ‘ubudiyah, di samping
pokok-pokok bahasan lain: Adab Al-Insan, Bab Al- Minan, dan Irsyad Al-Anam.
Semua
pengarang tersebut menulis dalam bahasa Melayu; sedangkan ulama yang menulis
karya-karya fiqih dalam bahasa Jawa (atau bahasa-bahasa daerah lain) jauh
lebih sedikit. Satu- satunya karya penting berbahasa Jawa mengenai fiqih
adalah
Majmu’ah Al-Syari’ah Al-Kafiyah li Al-‘Awam oleh M.
Saleh Darat dari Semarang (wafat 1321/903).24 Pengarang yang sama juga menulis
sebuah karya singkat tentang kesucian beribadah yang masih tetap ada, Latha’if
Al-Thaharah. Hampir semua karya lain dalam bahasa Arab, atau karya-karya
sangat sederhana tentang aspek-aspek ibadah (seperti Risalah Al-Shiyam,
tentang puasa, oleh Ahmad Abdul Hamid dari Kendal).
Ulama di Jawa lebih
suka menulis dalam bahasa Arab, terutama apabila mereka menulis tentang fiqih.
Di antara ulama Jawa tersebut yang paling produktif dan paling banyak dibaca
karyanya adalah Nawawi Banten (Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi Al-Bantani,
wafat 1314/897 di Makkah).25 Kesemua 24 kitab yang ditulis, sebagian sangat
singkat, lainnya sangat tebal, masih terus dijual di Indonesia; beberapa di
antaranya membahas fiqih. Karya fiqihnya yang paling terkenal mungkin ‘Uqud
Al-Lujjain, mengenai kewajiban istri, merupakan bacaan wajib bagi santri
putrid di banyak pesantren. Nawawi menulis komentar-komentar tentang
karya-karya penting dua dari tempat “keluarga” kitab fiqih; Tausyih Ibn
Qasim-nya merupakan sebuah komentar atas Fath Al-Qarib. Sedangkan Nihayah
Al-Zain-nya didasarkan atas Qurrah Al-‘Ain Zainuddin Al-Malibari. Dia juga
menulis dua kitab jenis perukunan: Sullam Al-Munajat adalah sebuah komentar
atas Safinah Al-Shalat oleh Abdullah bin ‘Umar Al-Hadhrami, dan Kasyifah
Al-Saja atas Safinah Al-Najah Salim bin Abdullah bin Samir (seorang ulama Arab
yang tinggal di Jakarta sekitar 1850). Semua kitab tersebut digunakan secara
luas di Indonesia.
Ulama Jawa lain yang sangat dihormati yang patut
disebutkan adalah Kiai Mahfudz bin Abdullah dari Termas (wafat 1919). Dia
menulis sebuah syarah Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah Abdullah Ba-Fadhl (lihat
“keluarga” keempat kitab fiqih di atas). Karya ini tampaknya tidak pernah
dicetak, meski dikatakan bahwa beberapa kiai besar memiliki kopi-kopi
naskahnya.26
Akhirnya kita juga harus menyebutkan dua ulama Indonesia
yang telah menulis teks-teks modern sederhana tentang fiqih untuk digunakan di
madrasah. Abdurrahman Al-Sagaf, seorang ulama keturunan Arab yang tinggal di
Surabaya, menulis empat jilid kecil yang berjudul Al-Durus Al-Fiqhiyah,
sementara itu Mahmud
Yunus menulis Al-Fiqh Al-Wadhih, juga
dalam beberapa jilid. Keduanya dalam bahasa Arab, namun agak berbeda dalam
gaya dan susunan dengan kitab fiqih tradisional, yang mencerminkan perbedaan
pandangan pendidikan.
Perbandingan antara Kajian Fiqih di Indonesia
dan di Kur- distan
Sesudah menulis dalam sebuah terbitan sebelumnya di
Pesantren tentang pengaruh ulama Kurdi atas Islam di Indonesia,27 perkenankan
saya untuk membuat sebuah bahasan tentang Kurdistan lagi. Hampir setengah dari
wilayah yang disebut Kurdistan menjadi bagian dari Turki, dan seperti telah
diketahui Ataturk menutup semua madrasah di negeri itu pada 1924, dan
madrasah- madrasah itu secara resmi tidak pernah dibuka lagi. Namun di
provisi-provinsi timur Kurdi, banyak madrasah melanjutkan kegiatan secara
sembunyi-sembunyi. Masih banyak rakyat yang memiliki pendidikan madrasah
tradisional.28 Kurikulum tradisional masih seperti pada permulaan abad ini,
dan kita akan melihat bahwa itu menunjukkan banyak kesamaan dengan kurikulum
pesantren di Indonesia.29
Semua siswa pemula harus membaca Taqrib dan
kemudian syarahnya, Fath Al-Qarib (di samping kitab mengenai pokok- pokok
bahasan lain). Mereka yang melanjutkan dan ingin mengkhususkan dalam fiqih
maka harus mengkaji teks-teks seluruh empat “keluarga” tersebut. Kajian Fath
Al-Qarib disudahi dengan hasyisyah Bajuri atasnya (yang juga digunakan secara
sangat luas di Indonesia). Sebagian juga mengkaji Tuhfah Al-Habib Bujairimi,
sebuah komentar atau Iqna’nya Syarbini (menurut Van den Berg, Bujairimi
juga digunakan di pesantren Jawa pada abad ke-19). “Keluarga” ketiga diwakili
oleh Fath Al-Mu’in dan syarahnya, I’anah Al-Thalibin yang besar—juga
karya-karya yang sama mengenai keluarga ini yang juga digunakan secara luas di
Indonesia. Di antara keluarga keempat, Al-Hawasyi Al-Madaniyah Sulaiman Kurdi
digunakan, meski tidak meluas (karya ini, yang dikenal sebagai Sleman Kurdi,
digunakan di banyak pesantren di Jawa abad ke-19).
Namun
karya-karya acuan yang paling penting adalah Minhaj Al-Thalibin-nya Nawawi dan
komentarnya oleh Khatib Syarbini, Mughni Al-Muhtaj (di antara “keluarga”
pertama kita). Di sini kita melihat suatu perbedaan kecil dengan situasi di
Jawa, di mana Tuhfah Ibn Hajar dianggap sebagai yang paling memiliki otoritas,
dan di mana Nihayah Ramli dan khususnya Kanz Al-Raghibin Mahalli juga
digunakan. Tetapi, Minhaj, yang menjadi dasar utama semua teks, juga dianggap
sebagai sumber real otoritas.
Karena itu secara keseluruhan ada kesamaan
mencolok antara kurikulum pesantren di Indonesia dan madrasah Kurdi. ckarena
orang-orang Kurdi dan Indonesia (tradisional) sama-sama mengikuti mazhab
Syafi’i, kita bisa menduga adanya kesamaan tertentu, dan perbedaan yang besar
dengan kurikulum di daerah- daerah yang mengikuti mazhab lain.30 Tetapi,
bahkan di antara kitab fiqih syafi’i tertentu, orang-orang Kurdi dan Indonesia
tampak memiliki suatu preferensi untuk karya-karya yang sama atas lainnya.31
Saying saya tidak mengetahui apapun mengenai kurikulum madrasah tradisional di
Mesir, negeri syafi’i yang lain. Karena itu tidak mungkin menetapkan apakah
semua pengikut syafi’i memiliki kesamaan atau apakah orang-orang Kurdi dan
Indonesia mempunyai ikatan kekeluargaan satu sama lain. Tapi lebih tepat
dikatakan bahwa kesamaan-kesamaan yang ada (yang bukan tentu lebih dekat satu
abad yang lalu) pasti merupakan akibat dari kenyataan bahwa ulama Kurdi dan
Indonesia terkemuka sama-sama berada di Makkah dan Madinah. Di sanalah ulama
Syafi’i dari seluruh dunia datang untuk belajar dan mengajar. Dan dari
pusat-pusat inilah lebih banyak pengaruh baru menyebar ke seluruh dunia Muslim
dibanding dengan penyebaran dari suatu negeri ke negeri-negeri tetangga. []
Catatan
akhir:
1. Al-Shirath Al-Mustaqim dicetak di pinggiran
Sabil Al-Muhtadin karangan Arsyad Al-Banjari, sebuah buku yang secara terus
menerus dicetak ulang di Mesir dan di Surabaya. Kitab ini terus menjadi bahan
kajian di Sumatra dan Kalimantan.
2. Lihat, untuk para
pengarang Melayu dan karya-karya mereka,
H.W. Muhd. Shaghir Abdullah,
Perkembangan Ilmu Fiqih dan Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara, Solo: Ramadhani,
1985.
3. Yang paling penting di antara kitab-kitab
berbahasa jawa ini, ada yang telah disunting dan diterjemahkan oleh G.W J.
Drewes: Een Javanese Aimbon uit de Zestiende Eeuw (Leiden: Brill, 1954); The
Admonitions of Seh Bari (The Hague: Nijhoff, 1969); dan An Early Javanese Code
of Ethics (The Hague, 1978).
4. Drewes, The Admonitions
of Seh Bari, hlm. 1-2. Seperti akan kita lihat di bawah, Taqrib tetap
merupakan teks fiqih sederhana yang paling populer yang digunakan di pesantren
Jawa.
5. Terjemahan bahasa Jawa, atau lebih tepat
ringkasan Tuhfah ini, diterbitkan, dengan huruf Jawa, oleh S. Keyzer pada
tahun 1853, dan diterbitkan ulang edisi yang telah diperbaiki oleh
T.
Roorda: Kitab Toehpah, enn Javaansch handboek voor het Mohammedaansche regt.
Leiden: Brill, 1874.
6. L.W.C. van den Berg, “Het
Mohammedaansche Godsdienston- der wijs op Java Madoera en de Daarbij Gebruikte
Arabische Boeken”, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volken- kunde
(TBG) 31, 1886, hm. 519-555. Juga diringkas dalam: Karel Steenbrink, Beberapa
Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984,
him. 154-8.
7. Risalah ini merupakan satu-satunya dari
teks-teks tersebut yang tidak lagi digunakan.
8.
Kecuali Bujairimi, Al-Muharrar dan Tuhfah. Karya terakhir digunakan oleh para
kiai sebagai acuan dalam kasus-kasus penting (untuk mengeluarkan fatwa
misalnya). Tetapi sejauh yang saya tahu, ia tidak diajarkan kepada santri di
pesantren mana pun.
9. Serangkaian
monografi yang berguna mengenai pesantren Jawa Timur dan Tengah dibuat oleh
Balitbang Departemen Agama selama tahun 1980-1983. Untuk Jawa Barat, Sumatra
dan Kalimantan, saya menggunakan sumber-sumber lain, termasuk laporan proyek
penelitian oleh LIPI (tak diterbitkan) tentang “Pandangan dan Sikap Hidup
Ulama Indonesia”, dibuat pada tahun 1986-1988.
10.
Deskripsi koleksi tersebut yang lebih rinci terdapat dalam: Martin van
Bruinessen, “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren
Milieu” (akan terbit dalam Bijdragen tot de Taal-,Land-, en Volkenkunde), yang
menjadi dasar utama tulisan ini. Lihat hlm. 131 dalam buku ini.
11.
Sebuah kajian tentang Imam Nawawi dan Minhaj-nya terdapat dalam Prof. Madya
Dr. Mat Sa’ad Abd. Rahman, Penulisan Fiqh Al-Syafi’i: Pertumbuhan dan
Perkembangannya. Shah Alam/Kuala Lumpur: Hizbi, 1986, hlm. 47-81. Pada hlm.
75- 78 terdapat suatu daftar dengan 29 syarah serta 5 ringkasan Minhaj.
12.
Menurut Van den Berg, kitab ini merupakan salah satu dari teks- teks penting
yang digunakan pesantren. Ia juga merupakan basis utama sebuah kajian atas
fiqih Syafi’i oleh orientalis Jerman E. Sachau. Snouck Hurgronje menulis
tinjauan kritis atas kajian ini dalam majalah Zeitschrift der Deutschen Mor-
genlaendischen Gesellschaf 53, 1899, hlm. 125-167. Dalam tulisan ini dia
memberikan informasi yang menarik tentang pengunaan kitab ini dan karya-karya
lainnya oleh para guru di Masjid Al-Haram, Makkah.
13.
Tentang Sayyid Bakri dan I`anah-nya, lihat C. Snouck Hurgronje, Mekka. The
Hague: Nijhoff, 1889, vol. II, hlm. 253, 259-60. Tarsyih Al-Mustafidin
merupakan sebuah karya yang lebih sederhana dan kurang terkenal (2 jilid).
Baru belakangan kitab ini untuk pertama kali juga dicetak ulang di Indonesia.
Pengarangnya, ‘Alwi Al-Saqaf, hidup dan mengajar pada sekitar tahun 1300 H.
(1883).
14. Lihat, Sirajuddin ‘Abbas, Ulama Syafi’i dan
Kitab-kitabya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975. hlm. 460.
15.
Saya pernah mendapatkan sebuah terjemahan bahasa Madura dan dua macam
terjemahan bahasa Jawa dari Safinah, serta dua versi sajak (manzhum). Ahmad
bin Shiddiq dari Lassem, Pasuruan (Jawa Timur) menulis versi nazham Tanwir Al-
Hija, yang kini terdapat terjemahan bahasa Maduranya. Dan kitab ini mendapat
komentar lanjutan dari Muhammad ‘Ali bin Husain Al-Makki Al-Maliki yang
berjudul Anarat Al-Duja. Kiai Sahal Mahfudz dari Kajen (Jawa Tengah) menulis
sebuah syarah Faraidh Al-Haya atas versi nazham lain, Nail Al-Raja.
16.
Lihat B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan
Bibliografi. Jakarta: Bhratara, 1973, hlm. 66. Minat kepada ushul al-fiqh juga
ditimbulkan oleh munculnya keyakinan bahwa pintu ijtihad tidak perlu ditutup
dan bahwa taqlid buta tidak layak bagi orang yang berakal dewasa.
17.
Misalya Abdulqadir Hassan, Kata Berjawab, 8 jilid. Bangil: Fa. Al-Muslimun.
Pengarang adalah ulama Persis terkemuka, yang seringkali berbeda pendapat
dengan tradisi pesantren.
18. Perhatian saya ditarik
kepada bab ini oleh Abdurrahman Wahid. Dia berpendapat bahwa di sini kita
mendapatkan definisi Islam tentang konsep “kebutuhan pokok”, yang belakangan
ini banyak menjadi pokok diskusi para ahli ekonomi pembangunan.
19.
Sebuah analisis atas karya ini: Qamar Al-Din Khan, Al- Mawardi’s Theory of
State. Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, l979. Teori Al-Mawardi dan teori
politik klasik lainnya sangat jelas dianalisis dalam bab-bab permulaan dari
buku Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought. London: MacMillan.
1982.
20. Saya menerima informasi ini juga dari
Abdurrahman Wahid.
21. Menurut halaman judul sebuah
versi, pengarangnya adalah putra M. Arsyad Jamaluddin, versi lain mengklaim
dihimpun oleh seorang keturunan belakangan, Haji Abdul Rasyid Banjar, dari
para penulis lain oleh M. Arsyad sendiri. Menurut tradisi keluarga, ternyata
cucu perempuan, M. Arsyad Fathimah, yang menyusun karya ini; Abdul Rasyid
adalah yang pertama
mencetaknya di Singapura. Lihat: Abu
Daudi, Maulana Syekh Moh. Arsyad Al-Banjari (Tuan Haji Besar). Dalampagar
Martapura, Martapura: Madrasah Sullamul’ulum, 1980, hlm. 43; H.W. Muhd.
Shaghir Abdullah, Syekh Muhd. Arsyad Al- Banjari, Matahari Islam. Mempawah:
Pondok Al-Fathonah, 1982, hlm. 62.
22. Lihat: H.W.
Muhd. Shaghir Abdullah, Syekh Daud bin Abdullah Al-Fathani, Penulis Islam
Produktif Asia Tenggara. Solo: Ramadhani, 1987.
23.
Lihat juga: Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad
ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 134- 7
24.
Tentang ulama ini, lihat: H.W. Danuwijoto, “Ky. Saleh Darat Semarang: Ulama
besar dan Pujangga Islam sesudah Pakubuwono ke-IV”, Mimbar Ulama, No. 17
(1977), hlm. 68- 73.
25. Sebuah biografi singkat
Nawawi: Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi Albanteni Indonesia.
Jakarta: CV. Sarana Utama.
26. Sepengetahuan saya,
belum ada biografi Kiai Mahfudz, meski sering dikatakan sebagian besar ulama
Jawa berguru kepada- nya. Ada sebuah catatan singkat dalam: Sirajuddin ‘Abbas,
Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1975, hlm. 460.
27. Martin van Bruinessen, “Bukankah
orang Kurdi yang mengislamkan orang Indonesia?”, Pesantren, No. 4, Th.
IV (1987), hlm. 43-53.
28. Madrasah Turki Timur lebih
menyerupai pesantren Salafi daripada madrasah di Indonesia. Di situ tidak ada
tingkatan, dan tidak diajarkan mata pelajaran umum. Madrasah di Indonesia
memiliki persamaan dengan sekolah-sekolah untuk pendidikan Imam dan Khatib,
Imam Hatib Okullari, yang memiliki kurikulum yang berbeda, modern dan
“sekular”.
29. Saya berhutang budi dengan banyak
informasi berikut dari kawan-kawan Kurdi saya, Mehmet Emin Bozarslan, seorang
mantan mufti, dan Mahmud Tayfun, seorang mahasiswa
Ilahiyat
dan satra. Keduanya adalah pengarang sangat produktif tentang budaya dan
sejarah Kurdi. Yang terakhir, atas permintaan saya, juga mewawancara sejumlah
bekas siswa madrasah yang lain mengenai kitab yang pernah mereka pelajari.
30.
Lihat misalnya kurikulum fiqih di India dan kerajaan Utsmani, yang disitu
mazhab Hanafi dominan: M. Mujeeb, The Indian Muslims. London: Allen &
Unwin, 1967, hlm 407-8. Mohammad Akhlaq Ahmad, Traditional Education among
Muslims: A Study of Some Aspect in Modern India. Delhi: B. R. publishing
Corporation, 1985, hlm. 61-5; Huseyin Atay, Osmanlilards Yuksek di Eqitimi:
Medrese Programlari, Icazetnameler, Islahat Hareketlari. Istanbul: Dergah,
1983, hlm. 73-130.
31. Terdapat banyak teks fiqih
syafi’i disbanding dengan yang disebut di atas dapat terlihat dengan mengamati
sepintas bagian-bagian yang berhubungan dalam lima jilid buku Carl
Brockelmann, Geschichte der Arabischen Literatur (Leiden: Brill, 1937-1947)
atau karya sederhana oleh Sirajuddin ‘Abbas, Ulama Syafi’i.
KITAB KUNING: BUKU-BUKU BERHURUF ARAB YANG DIPERGUNAKAN DI LINGKUNGAN PESANTREN1
Sebuah proyek penelitian tentang ulama Indonesa memberikan kesempatan kepada
saya untuk mengunjungi pesantren di berbagai tempat di Nusantara dana
mengumpulkan cukup banyak buku yang digunakan di dalam dan di sekitar
pesantren—yang disebut dengan kitab kuning. Buku-buku ini sekarang dipelihara
sebagai sebuah koleksi tersendiri di perpustakaan KITLV di Leiden.2 Secara
keseluruhan koleksi ini memberikan suatu tinjauan yang jelas atas teks-teks
yang dipakai di berbagai pesantren dan madrasah di Indonesia, satu abad
setelah studi rintisan tentang kurikulum pesantren Jawa (dan Madura) yang
dilakukan oleh L.W.C. Van den Berg (1886). Van den Berg menyusun sebuah daftar
buku-buku teks utama yang dipelajari di pesantren pada masanya berdasarkan
wawancara dengan kiai. Dia menyebutkan lima puluh judul buku dan memberikan
informasi umum tentang masing-masingnya, dengan memberikan ringkasan singkat
dari buku-buku yang lebih penting. Kebanyakan dari buku tersebut masih dicetak
ulang dan dipergunakan di Indonesia, Singapura dan Malaysia hingga sekarang,
tetapi banyak karya lain yang juga dipakai di samping buku-buku tersebut.
Koleks yang ada sekarang mencakup sekitar Sembilan ratusjudul buku yang
berbeda-beda, yang kebanyakn dipakai sebagai buku-buku teks. Dalam bagian
pertama tulisan ini saya akan melakukan pengamatan secara umum atasbuku-buku
ini dan komposisi koleksi tersebut. Di bagian kedua saya akan mendiskusikan
sebuah daftar “Kitab paling popular” yang telah saya susun dari sumber-sumber
yanglain. Namun semua buku yang dibicarakan merupakan bagian dari koleksi
tersebut.
Kriteria Seleksi dan Keterwakilan (Representativeness)
Untuk dapat menilai seberapa jauh koleksi ini dapat dikatakan mewakili,
terlebih dahulu perlu disampaikan secara singkat metode pengumpulan yang saya
pakai. Saya mengunjungi semua penerbit besar dan toko kitab (toko buku yang
mengkhususkan diri menjual buku-buku keagamaan sejenis ini) di Jakarta, Bogor,
Bandung, Purwokerto, Semarang, Surabaya, Banda Aceh, Medan, Pontianak,
Banjarmasin, Amuntai, Singapura, Kuala lumpur, Georgetown (Penang), Kota Bharu
dan Patani (Thailand bagian selatan), dan membeli semua buku Islam denganhuruf
Arab cetakan Asia Tenggara yang tersedia. Dua kriteria yang terakhir mungkin
secara selintas tampak lebih bersifat arbitrer, tetapi saya menemukannya
signifikan secara sosiologis, dan juga merupakan kriteria yang paling gampang.
Memang benar, kebanyakan toko kitab juga menjual buku-buku Arab yang dicetak
di Mesir dan Lebanon dalam jumlah terbatas (sebuah agen yang mewakili penerbit
Lebanon Dar Al-Fikri memiliki toko khusus untuk menjual buku-buku ini di
Jakarta dan Surabaya), tetapi karena harganya lebih mahal dibandingkan dengan
edisi Asia Tenggara, maka buku-buku ini hanya dibeli oleh sebuah kelompok
minoritas yang kecil jumlahnya. Buku-buku tersebut mencakup karya-karya
rujukan untuk para ulama yang sudah tinggi ilmunya dan karya- karya para
penulis modern yang belum diterima oleh arus besar Islam Indonesia. Buku yang
cukup banyak diminati cepat atau lambat akan dicetak (ulang) oleh salah satu
penerbit regional.3
Di samping itu, huruf yang dipakai untuk mencetak buku mengandung makna simbolik dan membedakan secara agak jelas antara dua jenis khalayak pembaca yang berbeda. Umat Islam Indonesia juga menggunakan kata yang berbeda untuk buku- buku yang ditulis dalam huruf Latin (“buku”) dan buku-buku yang ditulis dalam tulisan Arab, terlepas dari bahasa yang dipakai (“kitab”). Sampai tahun 1960-an sebuah garis yang sangat jelas memisahkan komunitas Muslim ke dalam kelompok “tradisionalis" dan “modernis” (dengan organisasi keagamaannya Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah). Yang pertama biasanya mempelajari agama secara eksklusif melalui kitab kuning (disebut kitab kuning karena kertas buku yang berwarna kuning yang di bawa dari Timur Tengah pada awal abad kedua puluh), sementara kelompok yang belakangan membaca dan menulis “buku putih”, yang ditulis dalam bahasa Indonesia berhuruf Latin. Para pengarang buku putih biasanya menolak sebagian besar tradisi skolastik dan berpihak pada upaya untuk kembali kepada, dan dalam beberapa kasus interpretasi baru terhadap, sumber-sumber asli— Al-Quran dan Hadis. Barangkali, inilah yang telah menyebabkan munculnya sikap negatif terhadap buku putih di lingkungan pesantren selama bertahun-tahun—di beberapa pesantren gaya lama, buku semacam ini masih dilarang sampai sekarang. Para ulama tradisionalis yang menulis buku-buku atau risalah-risalah singkat, baik yang menggunakan bahasa Arab maupun salah satu bahasa daerah, selalu menggunakan huruf Arab, dan kebanyakan mereka tetap melakukannya sampai sekarang.
Namun, sekarang ini garis pembagi antara kelompok modernis dan tradisionalis
tidak lagi cukup tajam dan jelas, banyak antagonisme lama yang sudah
menghilang. Kelompok modernis pada umumnya menjadi kurang radikal dalam hal
penolakan mereka terhadap tradisi—secara mencolok sekarang terdapat beberapa
pesantren Muhammadiyah yang menawarkan suatu kombinasi kurikulum tradisional
(kitab kuning) dan kurikulum sekolah modern. Tidak hanya kebanyakan kiai
tradisionalis yang menjadi semakin universal atau meluas bacaan mereka di satu
pihak, tetapi banyak di antara mereka yang sekarang menulis dalam bahasa
Indonesia di samping bahasa Arab, Melayu atau Jawa. Huruf Arab, walaupun masih
merupakan tanda yang paling jelas dari orientasi tradisionalis, bukan lagi
prasyarat untuk itu. Oleh karena itu saya tidak menerapkan kriteria huruf yang
dipakai secara terlalu ketat, dan memasukkan ke dalam koleksi yang sedang kita
bicarakan tersebut sejumlah karya berbahasa Indonesia (dalam huruf Latin) yang
secara logis termasuk ke dalam tradisi kitab, baik yang merupakan penerjemah
beranotasi terhadap, atau komentar atas, teks-teks klasik yang ditulis ulama
tradisionalis.
Kriteria berhuruf Arab, di lain pihak, tidak
dapat mencakup satu kategori yang justru sangat serupa dengan teks-teks yang
sudah terkumpul. Ulama di Sulawesi Selatan (yang paling produktif di antaranya
adalah Yunus Maratan dan Abdul Rahman Ambo Dalle) telah menulis teks-teks
keagamaan dalam bahasa Bugis untuk digunakan di madrasah dan sekolah, tidak
dengan huruf Arab sebagaimana yang telah dilakukan generasi ulama terdahulu
melainkan dalam abjad Bugis. Kebanyakan dari karya-karya ini sudah terdapat di
perpustakaan KITLV, sementara itu juga sudah terdapat beberapa bibliografinya
(Departemen Agama 1981/1982, 1983/1984).
Koleksi tersebut, karena beberapa alasan, tidak lengkap. Kebanyakan penerbit
mempunyai fasilitas penggudangan yang sangat terbatas, dan hanya sebagian dari
buku yang mereka terbitkan benar-benar tersedia di bagian penjualan mereka.
Apabila sebuah kitab dicetak (ulang), hampir seluruh edisi tersebut langsung
dikirim ke toko kitab di seluruh negeri. Hanya dengan banyak mengunjungi
toko-toko buku dan secara sabar menelisik rak-rak bukunya, maka seseorang akan
dapat memperoleh paling tidak kebanyakan karya-karya cukup penting dari
beberapa penerbit penting. Sebenarnya semua karya yang disebutkan dalam
berbagai sumber yang telah diterbitkan, atau beberapa percakapan, sudah
diperoleh dan dimasukkan dalam koleksi tersebut, beberapa di antaranya bahkan
terdapat dalam beberapa edisi, dalam berbagai terjemahan, atau dengan ulasan
yang berbeda-beda. Tetapi beberapa karya yang kurang penting sudah tidak
dicetak lagi dan tidak diperjualbelikan di semua toko yang dikunjungi.
Lebih
dari itu, ada beberapa penerbit lokal kecil yang menerbitkan karya-karya yang
tidak begitu penting, yang seringkali ditulis oleh ulama lokal. Tidak sedikit
karya-karya semacam ini yang termasuk dalam koleksi tersebut, tetapi sangat
mungkin banyak karya lain yang terabaikan. Namun disamping berbagai
keterbatasan ini, koleksi tersebut menghadirkan contoh yang cukup
representatif mewakili seluruh bahan-bahan pelajaran yang dipakai di pesantren
dan madrasah di Indonesia (dan Malaysia), dan juga karya-karya yang dihasilkan
oleh ulama Indonesia.
Statistik
Dari sekitar
sembilan ratus karya yang berbeda-beda, hampir lima ratus atau lebih dari
separuh, ditulis atau diterjemahkan oleh ulama Asia Tenggara. Kebanyakan para
ulama ini menulis dalam bahasa Arab: hampir seratus judul, atau sekitar
sepuluh persen, merupakan karya-karya berbahasa Arab oleh orang-orang Asia
Tenggara (atau orang-orang Arab yang menetap di wilayah tersebut). Semua
buku-buku berbahasa Indonesia, tentu saja, ditulis orang Asia Tenggara
(termasuk yang keturunan Arab). Jika kita menghitung kitab terjemahan sebagai
karya terpisah, koleksi tersebut dapat dikatakan berisi:
sekitar
500 karya dalam bahasa Arab, atau 55%
sekitar 200 karya
dalam bahasa Melayu, atau 22%
sekitar 120 karya dalam
bahasa Jawa, atau 13%
sekitar 35 karya dalam bahasa
Sunda, atau 4%
sekitar 25 karya dalam bahasa Madura,
atau 2,5%
sekitar 20 karya dalam bahasa Indonesia,
atau 2%
5 karya dalam bahasa Aceh
0,5%
Karya-karya ini dapat secara kasar diklasifikasikan ke dalam
beberapa kategori pokok pembahasannya. Kategori-kategori utamanya adalah:
Fiqih
20%
Doktrin (akidah, ushuluddin) 17%
Tata bahasa
Arab tradisional (nahu, sharaf, balaghah) 12%
Kumpulan
hadis 8%
Tasawuf dan tarekat 7%
Akhlak
6%
Kumpulan doa, wirid, mujarrabat 5%
Qishash
Al-Anbiya, maulid, manaqib, dan sejenisnya 6%
Telah
terjadi beberapa perubahan penting dalam isi kurikulum pesantren, yang hanya
sebagian tercermin dalam tabel di atas. Seabad yang lalu, Al-Quran dan hadis
sangat jarang dipelajari secara langsung, tetapi dalam bentuk yang sudah
“diolah” dalam karya-karya skolastik mengenai fiqih dan akidah. Menurut Van
den Berg, hanya satu kitab tafsir, Jalalain, yang dipelajari di pesantren, dan
tidak ada kumpulan hadis sama sekali. Dalam hal ini, suatu perubahan penting
telah terjadi sejak abad yang lalu. Terdapat tidak kurang dari sepuluh kitab
tafsir Al-Quran (berbahasa Arab, Melayu, Jawa, dan Indonesia) dalam koleksi
kami, di samping beberapa terjemahan langsung (yang juga disebut tafsir) dalam
bahasa Jawa dan Sunda. Jumlah kitab kumpulan hadis bahkan lebih mengesankan.
Hampir tidak ada pesantren sekarang ini yang tidak mengajarkan hadis sebagai
mata pelajaran tersendiri. Meskipun demikian, penekanan utama dalam pengajaran
adalah dalam bidang fiqih, ilmu keislaman par excellence. Tidak ada perubahan
yang mencolok dalam hal kitab-kitab fiqih yang diajarkan, tetapi disiplin
ushul fiqh telah ditambahkan ke dalam kurikulum banyak pesantren, sehingga
memungkinkan berkembangnya pandangan fiqih yang lebih dinamis dan luwes.
Kategori
kiab kuning ini dan kategori-kategori lainnya akan dibicarakan secara lebih
terperinci dalam bagian kedua tulisan ini, di mana sebagian dari buku yang
paling populer disebutkan satu per satu. Tetapi terlebih dahulu beberapa
pengamatan akan dilakukan terhadap penerbitan kitab dan para pengarang
terkemuka.
Penerbitan Kitab Kuning di Nusantara
Buku-buku cetakan merupakan barang yang relatif baru di dunia
pesantren. Pada masaVan Den Berg, kebanyakan kitab di pesantren masih dalam
bentuk naskah tulisan tangan yang disalin oleh santri. Tetapi pada periode ini
pulalah buku-buku cetakan dari Timur Tengah mulai masuk ke Indonesia dalam
jumlah yang cukup besar, sebagai salah satu efek samping dari bertambahnya
orang yang menunaikan ibadah haji (karena digunakannya kapal uap). Pada saat
itu, sudah satu abad dilakukan pencetakan buku di Timur Tengah, tetapi yang
secara khusus berkaitan dengan orang Indonesia adalah didirikannya sebuah
penerbitan pemerintah di Makkah pada tahun 1884, yang tidak hanya mencetak
kitab-kitab
berbahasa Arab tetapi juga berbahasa Melayu.
Penerbitan kitab berbahasa Melayu ini dijalankan di bawah pengawasan Ahmad
b.
Muhammad Zain Al-Patani seorang ulama yang alim dan juga mengarang beberapa
risalah yang diterbitkan,4 (koleksi KITLV menyimpan tujuh judul di antaranya
yang dicetak ulang baru- baru ini). Koleksi judulnya agak mengandung bias
mengikuti buku-buku yang ditulis oleh ulama sedaerahnya. Berkat jasa Syaikh
Ahmad Al-Patani inilah banyak karya Daud b. ‘Abdallah Al-Patani dan Muhammad
b. Ismail Daud Al-Patani masih terdapat secara luas, dicetak ulang dari edisi
aslinya. Dalam cetakan ulang, nama penerbit aslinya telah digantikan, tetapi
kebanyakan karya yang pada awalnya diterbitkan oleh Ahmad b. Zain masih dapat
dikenali melalui bait-bait sajak yang dia tulis dan dicetak sebagai cara
pengenalan pada halaman judul.5
Ini bukanlah penerbitan Melayu yang
paling awal, walaupun ia merupakan penerbitan yang terpenting. Zain Al-Din
Al-Sumbawi, ulama “Jawa” (Nusantara) lainnya yang menetap di Makkah, bahkan
mencetakkan risalah singkat pada tahun 1876 (Snouck Hurgronje 1889: 385), dan
beberapa karya Da’ud ‘Abdullah Al- Patani dicetak di Bombay juga sebelum tahun
1880. Bombay juga merupakan sumber-sumber penting Al-Quran cetakan yang masuk
ke Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20.6 Langkah
menerbitkan kitab berbahasa Melayu yang dirintis percetakan Makkah segera
diikuti oleh para penerbit di Istanbul dan Kairo. Khususnya, Mushthafa Al-Babi
Al-Halabi dari Kairo yang, dalam waktu-waktu selanjutnya, menerbitkan banyak
kitab Melayu. Dua kajian yang baru-baru ini dilakukan oleh Mohd. Nor bin Ngah
(1980, 1983) membahas sampel yang agak mewakili dari kitab Melayu dan
pandangan dunia yang tercermin di dalamnya.
Berbagai aktivitas penerbitan
di Timur Tengah ini, dan juga rintisan yang dilakukan percetakan Inggris dan
Belanda,7 juga merangsang upaya-upaya penerbitan Islam di Nusantara. Salah
seorang pelopornya adalah Sayyid Usman dari Batavia, orang Arab yang sangat
produktif yang menjadi “sekutu pemerintah Hindia Belanda”. Banyak di antara
karya singkatnya yang masih dipelajari sampai sekarang, teruatama di kalangan
orang Betawi dan Sunda. Dia mencetak versi awal dari karyanya yang berjudul
Al-Qawanin
Al-Syar’iyyah pada 1881. Pada 1886, paling tidak empat risalah kecil lain yang
ditulisnya disebutkan. Dan masih banyak lagi setelah itu.8
Sayyid Usman
pun bukanlah penerbit Islam pertama di Hindia. Kehormatan sebagai penerbit
pertama ini mungkin harus diberikan kepada Kemas Haji Muhammad Azhari dari
Palembang, yang pada tahun 1854 mencetak Al-Quran pertama, dengan kaligrafi
yang dibuatnya sendiri. Dia telah membeli percetakan di Singapura beberapa
tahun sebelumnya, dalam perjalanan kembalinya dari ibadah haji, dan belajar
sendiri bagaimana cara mengoperasikannya. Al-Quran yang
diterbitkannya—di mana dia menulis pendahuluan berbahasa Melayu setebal
14 halaman untuk menjelaskan tentang pelafalan dan cara membacanya—
diperjualbelikan secara luas.9
Demikian juga di Singapura, di sana konon
pernah ada percetakan yang kadang-kadang mencetak buku dalam bahasa Melayu
pada waktu itu, tetapi sedikit sekali yang diketahui tentang hal itu. Pada
tahun l880an dan l890an, ada beberapa percetakan yang menerbitkan surat kabar
berbahasa Melayu dan kadang-kadang buku, tetapi tetap saja tidak jelas apakah
mereka menerbitkan lebih dari satu atau dua risalah keagamaan yang singkat
(lihat Roff 1980 :44-5; Hamidy 1983; Proudfoot 1986). Pada 1894, raja muda
Riau, Muhammad yusuf. mendirikan percetakan, Mathba’ah Al-Ahmadiyyah, di pulau
Penyengat, yang pada tahun- tahun berikutnya mencetak beberapa risalah
keagamaan yang dikarang oleh Syaikh tarekat Naqsyabandiyah pada waktu itu,
Muhammad Shalih Al-Zawawi, pembimbing spiritual Muhammad Yusuf dan anggota
keluarganya (Hamidy 1983: 69; Abdullah 1985b: 3; tentang Zawawi, lihat Snouck
Hurgronje 1889: 253).
Permulaan yang menjanjikan ini ternyata tidak
banyak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Banyak buku dan majalah
diterbitkan di Nusantara pada paruh pertama abad ke-20, tetapi sangat sedikit
di antaranya yang berwujud kitab (dalam pengertian yang luas sebagaimana
didefinisikan di atas) dan hampir tidak terdapai kitab yang dapat disebut teks
klasik. Sumatra Barat barangkali merupakan satu-satunya wilayah di mana cukup
banyak kitab (karya ulama setempat) dicetak selama
dasawarsa-dasawarsa
pertama abad ini. Sebagian di antaranya merupakan risalah singkat, dalam
bahasa Melayu dan Arab, untuk bahan pelajaran madrasah baru waktu itu, yang
dimaksudkan untuk menggantikan karya-karya klasik mengenai tata bahasaArab,
akidah dan fiqih yang lebih sulit dipelajari. Beberapa di antaranya masih umum
dipergunakan sampai sekarang.10 Selebihnya adalah tulisan-tulisan yang
bercorak polemis, yang digunakan sebagai senjata dalam perdebatan keagamaan
antara kaum muda dan kaum tua yang pada waktu itu berlangsung di Sumatra
Barat.11 Di sini sebagaimana di tempat lain, kebanyakan kaum modernis, yang
sampai saat ini lebih produktif, segera menulis dalam huruf Latin, yang
membuat mereka semakin dekat dengan para nasionalis sekular tetapi memperkuat
pemisahan sosial mereka dari kaum tua. Mereka memang menulis buku-buku teks
keagamaan, tetapi dalam gaya dan isi yang sangat berbeda dengan kitab
tradisional.
Baru setelah kemerdekaan Indonesia-lah kitab mulai dicetak
dalam jumlah yang cukup banyak. Sebagaimana yang diingat kembali oleh beberapa
penerbit penting sekarang,12 sebelum perang hanya ada beberapa penjual buku,
tetapi tidak ada penerbit kitab dalam arti yang sebenarnya di Nusantara
(penjual buku yang terbesar adalah Sulaiman Mar’i di Singapura, ‘Abdullah bin
‘Afif di Cirebon, dan Salim bin Sa’ad Nabhan di Surabaya, ketiganya adalah
seorang Arab). Mereka sebenarnya memesan semua buku mereka—termasuk yang
berbahasa Melayu—dari Mesir, dimana biaya produksinya lebih murah dibandingkan
di Indonesia pada waktu itu. Ada satu perkecualian, yang hanya punya arti
penting secara lokal saja: Patani Press (punya orang Melayu) dan juga Nahdi
(punya orang Arab) di Thailand bagian selatan memulai pencetakan kitab Melayu
untuk dijadikan bahan pelajaran di pondok Patani dan negara-negara perbatasan
Melayu pada akhir tahun 1939-an.
Pada paruh pertama abad ini, daya beli
(demand) orang Indonesia untuk buku-buku ini masih rendah, dan satu-satunya
kitab yang menguntungkan secara ekonomi bagi penerbit hanyalah Al-Quran
sendiri. Baik Mar’i maupun bin ‘Afif merintis usaha pertama untuk mencetaknya
untuk kebutuhan setempat baru pada tahun 1930-an. Langkah mereka kemudian
diikuti oleh
penerbit Al-Ma’arif Bandung, yang didirikan pada
akhir tahun 1948 oleh Muhammad bin ‘Umar Bahartha, yang sebelumnya pernah
menjadi pegawai ‘Abdullah bin ‘Afif. Pada pertengahan abad, Mar’i juga telah
mencetak beberapa kitab kuning, salah satu karya yang banyak dikenal adalah
karya adaptasi berbahasa Melayu dari Tafsir Jalalain yang dikarang oleh ‘Abd
Al-Ra’uf Al-Fansuri (Al-Singkili), diterbitkan pada tahun 1951. Sepanjang
tahun 1950-an, Al-Ma’arif melakukan hal yang serupa dengan memproduksi cetakan
murah kitab yang lazim dipakai, hal yang sama juga dilakukan ‘Abdullah bin
‘Afif dan beberapa kerabat salim Nabhan. (Kitab yang lebih besar dan, dengan
demikian, lebih mahal seperti karya Sayyid Bakri b. M. Syaththa, I’anah
Al-Thalibin yang berjumlah empat jilid dan merupakan kompendium besar fiqih
Syafi’iyah paling mutakhir baru mulai dicetak untuk kebutuhan setempat sejak
tahun 1970-an dan seterusnya, yang mencerminkan terjadinya peningkatan
kemakmuran di lingkungan santri). Pada dasawarsa 1960-an, penerbit Toha Putra
Semarang juga ikut mengadu nasib di pasaran kitab. Lebih belakangan lagi,
penerbit Menara Kudus ikut serta dalam kompetisi yang sama; ia merupakan
penerbit non-Arab pertama untuk jenis kepustakaan kitab di Indonesia. Toha
putra dan Menara telah menerbitkan sejumlah teks klasik yang disertai dengan
terjemahan berbahasa Jawa atau Indonesia, di samping karya-karya asli para
ulama Jawa. Pada tahun 1978, seorang mantan kompanyon Al-Ma’arif juga
mendirikan penerbitan Al-Haramain di Singapura, yang hanya dalam beberapa
tahun saja sudah memproduksi cukup banyak teks-teks Arab klasik, dan juga
banyak kitab berbahasa Melayu dan bahkan beberapa karya berbahasa Sunda.
Singapura tampaknya tidak lagi merupakan tempat yang menguntungkan untuk
memenuhi kebutuhan pasar Asia Tenggara,13 sehingga Al-Haramain menghentikan
usahanya beberapa tahun kemudian (walaupun bukunya masih dapat ditemukan di
seluruh Nusantara pada tahun 1987), dan pemiliknya merintis usaha penerbitan
baru, yang bernama Bungkul Indah, di Surabaya. Dalam hal jumlah judul buku,
Al-Haramain dan penggantinya, Bungkul Indah, merupakan penerbit kitab yang
paling besar; namun dalam hal volume penjualan buku mereka tertinggal jauh
dari Al-Ma’arif. Penerbit baru lainnya yang banyak
menerbitkan
buku (khusus yang berbahasa Arab) adalah Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah di
Surabaya.14
Belum ada tanda-tanda terjadinya pemusatan yang kuat dalam
penerbitan kitab kuning. Surabaya mempunyai penerbit dalam jumlah besar, yang
paling terkemuka di antarannya, di samping yang sudah disebutkan di atas,
adalah penerbit Sa’ad bin Nashir bin Nabhan dan Ahmad bin Sa’d Nabhan; sepuluh
anggota keluarga yang sama juga menerbitkan kitab. Di daerah pantai utara
pulau Jawa juga terdapat beberapa penerbit kitab, yakni (di samping yang sudah
disebutkan) di Semarang (Al-Munawwarah), Pekalongan (Raja Murah), Cirebon
(Mishriyyah, penerbitan lama yang didirikan oleh ‘Abdullah bin ‘Afif) dan
Jakarta (Asy-Syafi’iyyah dan Ath-Thahiriyyah, yang merupakan milik pesantren
Betawi besar yang menggunakan nama yang sama, dan menghasilkan buku-buku teks
yang dipakai di sana di samping buku-buku sederhana oleh para pengarang yang
sangat dikenal di kalangan masyarakat Betawi). Penerbit ‘Arafat di Bogor
memproduksi, sebagian besar, karya-karya mengenai tata bahasa bahasa Arab
(lebih dari dua puluh judul). Toko Kairo di Tasikmalaya, sebuah kota kecil di
Jawa Barat, menerbitkan baik kitab klasik berbahasa Arab maupun kitab singkat
yang berbahasa Sunda.
Di Sumatra, mengherankan, sekarang tidak terdapat
penerbit kitab yang tergolong besar. Kebutuhan para peminat kitab di sini
dilayani oleh para penerbit di Jawa, Singapura dan Malaysia. Penerbitan di
Singapura, sebagaimana dikatakan di atas, sudah mengalami kemunduran. Demikian
juga di Malaysia, pener- bitan kitab sedang mengalami kemunduran berbalikan
dengan perkembangan penerbitan buku-buku modern, di mana hasil terbitan
negeri tersebut lebih unggul dibandingkan Negara tetangganya di sebelah
tenggara. Di Georgetown (Pulau Pinang) masih terdapat tiga penerbit yang masih
aktif, Dar Al-Ma’arif dan Nahdi adalah yang paling produktif di antaranya. Di
Kota Bharu (Kelantan), Pustaka Aman Press sangat aktif, tetapi penerbit ini
pada umumnya menerbitkan buku-buku modern berbahasa Melayu, bukan buku-buku
klasik.15 Juga terdapatbeberapa penerbit di Patani (Thailand bagian selatan),
yang tertua di antaranya, Patani Press mulai menerbitkan karya-karya para
ulama Patani pada
akhir tahun 1930-an.16 Sekarang buku mereka
tidak menyebar melampaui batas Patani dan negara-negara Melayu Perbatasan.
Salah satu penerbit lain di sini, Nahdi, sudah banyak mengalihkan berbagai
aktivitasnya ke Penang, tempat di mana iklim politiknya lebih memungkinkan
bagi penerbitan buku-buku Islam, dan distribusi buku pun lebih luas
jangkauannya.
Di samping penerbit yang sudah disebutkan di atas, ada
sejumlah penerbit lokal kecil yang menghasilkan risalah-risalah singkat,
brosur-brosur dan buku-buku keagamaan untuk pasaran setempat yang terbatas.
Kebanyakan
buku yang dicetak oleh para penerbit di Asia Tenggara adalah cetakan ulang
secara fotomekanis atas karya- karya yang sebelumnya sudah diterbitkan di
Makkah dan Kairo sekitar pergantian abad. Bahkan masih banyak yang masih
memakai nama penerbit aslinya pada halaman judulnya. Dalam kasus lain, nama
ini telah digantikan dengan nama penerbit barunya. Sementara itu, pencetakan
ulang secara tak berbatas terus berlangsung. Demikianlah bisa terjadi sebuah
buku yang aslinya diterbitkan oleh Mushthafa Al-Babi Al-Halabi Kairo akan
muncul dengan nama penerbit yang paling baru, Bungkul Indah, di sampulnya dan
nama penerbit yang terdahulu, Al- Ma’arif, pada halaman judul, Sejumlah
cetakan murah dari buku- buku Mesir atau Lebanon yang lebih baru dapat
dibedakan dari aslinya hanya dari kualitas kertas dan penjilidannya—sebuah
mimpi buruk bagi ahli bibliografi. Demikianlah, Bungkul Indah baru-baru ini
menerbitkan serangkaian karya modern yang masih mencantumkan nama penerbit
Beirut, Dar Al-Tsaqafah, di sampul dan halaman judulnya.
Format
Umum Kitab Kuning
Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di
pesantren adalah kitab komentar (syarh, Indonesia/Jawa: syarah) atau ko-
mentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn, matan). Edisi
cetakan dari karya-karya klasik ini biasanya me- nempatkan teks yang
di-syarah-i atau di-hasyiah-i dicetak di tepi halamannya, sehingga keduanya
dapat dipelajari sekaligus.
Barangkali inilah yang
menyebabkan terjadi kekacauan tak di- sengaja dalam penyebutan di antara
teks-teks yang berkaitan. Nama Taqrib, misalnya, dipakai baik untuk teks fiqih
yang ring- kas dan sederhana yang memang demikianlah namanya mau- pun untuk
kitab Fath Al-Qarib, kitab syarah yang lebih men- dalam atas teks tersebut.
(Van den Berg, ternyata mempercayai kedua karya ini adalah sama). Jika
seseorang menanyakan kitab Al-Mahalli, karya fiqih tingkat lanjut yang umum
dikenal, dia akan diberi berjilid-jilid kitab hasyiyah atasnya yang disusun
oleh Qalyubi dan ‘Umairah, yang menempatkan karya Mahalli yang berjudul Kanz
Al-Raghibin yang lebih sederhana di tepi hala- mannya, hal yang sama juga
terjadi pada kitab lainnya.
Kebanyakan buku buku teks dasar adalah
manzhum, yakni ditulis dalam bentuk sajak-sajak berirama (nazhm), supaya mudah
dihafal.17 Barangkali, karya manzhum yang paling panjang adalah kitab Alfiyah
(sebuah teks tentang tata bahasa Arab, yang dinamakan demikian karena
berjumlah seribu bait). Banyak generasi para santri yang telah, dengan cara
mendendangkannya dengan sabar, berusaha menghafal seluruh karya, bersamaan
dengan seluruh teks lainnya. Beberapa syarah atas kitab manzhum ini biasanya
menyertakan bait aslinya dalam teks (prosa) syarah-nya, dan bukan menempatkan
bait bait sajak tersebut secara tersendiri di tepi halaman.
Sebagian
kecil dari terjemahan (berbahasa Jawa, Madura dan Sunda) hanya berisi
terjemahan sela baris yang ditulis mencong, dengan tulisan lebih kecil, di
bawah setiap kata teks Arabnya yang dicetak tebal, dan karena itu dijuluki
jenggotan.18 Namun, seringkali ada tambahan terjemahan dan atau komentar yang
lebih bebas yang biasanya dicetak di paruh bawah halaman tersebut. Terjemahan
berbahasa Melayu kadang-kadang mengikuti pola yang berbeda: teks berbahasa
Arab dipotong-potong menjadi kalimat-kalimat pendek, yang masing-masingnya
kemudian diikuti dengan terjemahan bahasa Melayu yang lebih harfiyah yang
diletakkan di antara tanda kurung. Tetapi lebih sering terjadi terjemahan
dan/atau syarah berbahasa Melayu dicetak secara terpisah, tanpa menyertakan
teks Arabnya.
Format kitab klasik yang paling umum dipakai di
pesantren sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.
Lembaran-lembaran (koras-koras) tak terjilid dibungkus kulit sampul, sehingga
para santri dapat membawa hanya satu halaman yang kebetulan sedang dipelajari
saja. Ini adalah karakteristik fisik lain yang umumnya mengandung makna
simbolik: ia membuat kitab tersebut tampak lebih klasik. Kitab yang ditulis
oleh para pengarang modern, penerjemah atau pensyarah modern tidak
pernah dibuat mengikuti format ini. Banyak pemakai
kitab klasik yang sangat mengkaitkan karakteristik ini dengan kitab klasik,
dan penerbit mengikuti saja selera konsumennya. Sebagian penerbit bahkan
mencetak kitab di atas kertas berwarna kuning (yang diproduksi khusus untuk
mereka oleh beberapa perusahaan Indonesia) karena tampaknya kitab berwarna
kuning ini juga menjadi lebih klasik di pikiran para pemakainya.
Para
Pengarang Kitab yang Terkenal
Sebagaimana dapat diduga, tidak ada
perubahan yang besar dalam hal popularitas para kitab pengarang klasik
dibandingkan dengan abad yang lalu. Sebenarnya semua kitab yang disebut Van
den Berg masih terdapat di Indonesia, dalam bentuk cetakan ulangnya yang
dibuat baru-baru ini. Tetapi ada peningkatan yang dapat dicatat dalam hal
kitab-kitab syarah yang relatif baru atas karya-karya tersebut. Ada beberapa
penga- rang yang menonjol dalam hal ini, karena sejumlah karya yang mereka
tulis tersedia secara luas dan pada umumnya sudah masuk ke dalam kurikulum
pesantren. Yang paling terkenal di antaranya dihasilkan di Makkah pada akhir
abad ke-19.
Ahmad b. Zaini Dahlan, mufti Syafi`iyyah di Makkah ketika
Snouck Hurgronje menetap di sana, diwakili dengan tujuh karyanya dalam koleksi
ini, dan orang sezamannya yang lebih muda, Sayyid Bakri b. Muhammad Syaththa’
Al Dimyati, dengan empat kitab, yang sangat banyak dipelajari.19 Namun
pengarang yang paling dikenal di mana-mana adalah seorang ulama Indonesia,
Muhammad bin ‘Umar Nawawi Al-Jawi Al-
Bantani (Nawawi
Banten), yang dua puluh dua judul kitab karangannya termasuk dalam koleksi
tersebut, semuanya dalam bahasa Arab.20 Sebelas di antaranya termasuk dalam
daftar kitab yang paling sering digunakan (di bawah)—ternyata, buku- bukunya
juga lebih banyak yang termasuk ke dalam seratus buku yang paling terkenal
dibandingkan dengan buku karangan para penulis lainnya. Nawawi sudah menulis
mengenai semua aspek ilmu keislaman. Kebanyakan karyanya adalah syarah atas
teks-teks terkenal, dengan menjelaskannya dengan cara pengungkapan yang mudah
dipahami. Dia barangkali paling tepat digambarkan sebagai seorang yang
memperkenalkan secara luas, daripada memberikan sumbangan baru kepada, wacana
keilmuan Islam.
Pensyarah lain, yang dapat disejajarkan dengan Nawawi
Banten dalam hal ruang lingkup dan popularitasnya, adalah pengarang Mesir yang
hidup lebih awal, Ibrahim Al-Bajuri (atau Baijuri, w. 1277/1861),21 yang
beberapa karyanya sudah dipelajari secara luas pada masa Van den Berg. Di
pasaran terdapat enam karya yang ditulisnya, tentang fiqih, akidah dan
logika.
Di samping Nawawi, beberapa pengarang Asia Tenggara lainnya
mendapat tempat yang tak tergoyahkan di dalam kurikulum pesantren atau
madrasah. Salah seorang yang lebih awal dan pengarang yang sangat produktif
adalah Da’ud b. ‘Abdullah Al-Patani (w. kira- kira 1845) yang tadi sudah
disebut, yang juga menulis tentang berbagai ragam pokok bahasan yang luas, dan
selalu dalam bahasa Melayu.22 Saya menemukan empat belas karyanya dalam bentuk
cetakan ulang yang diterbitkan baru-baru ini. Karya-karyanya tersebut banyak
dipelajari di Patani, Malaysia dan beberapa wilayah Sumatra. Karya-karya
penting orang sezamannya, Muhammad Arsyad Al-Banjari dan ‘Abd Al-Shamad
Al-Palimbani, (yang juga menulis dalam bahasa Melayu) juga terus-menerus
mengalami cetak ulang. Pengarang karya berbahasa Melayu lain yang sampai
sekarang masih populer adalah Sayyid Usman (‘Utsman bin ‘Abdullah b. ‘Aqil
b.
Yahya Al-‘Alawi) yang juga sudah disebut di atas.
Salah
seorang pengarang Jawa terkemuka pada akhir abad ke-19 adalah Saleh Darat
(Shalih b. ‘Umar Al-Samarani,
w. 1321/1903). Dia menulis beberapa kitab
syarah (dalam bahasa Jawa) atas beberapa karya penting dalam bidang fiqih,
akidah dan tasawuf.23 K.H. Mahfudz dari Termas (Mahfuzh bin ‘Abdullah
Al-Tarmasi), yang hidup dan mengajar di Makkah sekitar pergantian abad (w.
1919), menulis beberapa karya yang sangat mendalam (dalam bahasa Arab)
mengenai fiqih dan ilmu hadis.24 Ulama lain yang sangat dihormati adalah
almarhum K.H. Ihsan b. Muhammad Dahlan dari Jampes, Kediri, yang menulis
(dalam bahasa Arab) kitab syarah yang banyak dikagumi atas karya Al-Ghazali,
Minhaj Al- ‘Abidin, yang berjudul Siraj Al-Thalibin. Nama semua pengarang ini
(kecuali Kiai Mahfudz) tertera dalam daftar kitab yang paling populer di
bawah.
Seorang pengarang Jawa yang lebih belakangan, dan sangat produktif
adalah K.H. Bisri Mustofa dari Rembang (Bisyri Mushthafa Al-Rambani), yang
dalam koleksi ini diwakili dengan lebih dari dua puluh karya, termasuk sebuah
karya tafsir yang berjumlah tiga jilid (yang lebih merupakan terjemahan dari
penafsiran atas Al-Quran). Misbah b. Zain Al-Mustafa dari Bangilan, Ahmad
Subki Masyhadi dari Pekalongan dan Asrori Ahmad dari Wonosari menerjemahkan
beberapa teks klasik ke dalam bahasa Jawa; yang pertama bahkan menulis karya
tafsir yang berjilid-jilid dalam bahasa Jawa. Pengarang Jawa lainnya yang
produktif adalah Kiai Muslikh dari Mranggen (Mushlih b. ‘Abd Al-Rahman
Al-Maraqi, w. 1981), yang menulis berbagai risalah tentang tarekatnya,
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya, dan
Ahmad ‘Abd Al-Hamid Al-Qandali dari Kendal yang menulis berbagai risalah
tentang akidah dan kewajiban agama serta teks-teks yang lebih berkaitan dengan
berbagai masalah praktis (metode dakwah dan masalah-masalah NU).
Pada
abad ke-19, pesantren di Madura dan Jawa Barat tidak menggunakan bahasa
wilayah mereka sendiri tetapi bahasa Jawa sebagai medium: kalaupun teks-teks
Arab diterjemahkan, terjemahan ini ke dalam bahasa Jawa. Hal ini
juga
telah mengalami perubahan, dan sekarang juga terdapat kitab kuning dalam
bahasa Madura dan Sunda. Abd Al-Majid Tamim dari Pamekasan menerjemahkan lebih
dari sepuluh buku ke dalam bahasa Madura, yang mencakup hampir semua cabang
ilmu agama. Sekarang terdapat lebih banyak jumlah kitab dalam bahasa Sunda dan
sebagian besar di antaranya adalah karya asli, bukan karya terjemahan. Tiga
pengarang Sunda yang menonjol dalam koleksi tersebut: Ahmad Sanusi dari
Sukabumi (pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah, yang bergabung ke
dalam Persatuan Ummat Islam pada tahun 1952) menulis sebuah terjemahan/tafsir
Al-Quran, Rd. Ma’mun Nawawi b. Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah
singkat, dan ulama besar dan penyair ‘Abdullah b. Nuh dari Bogor yang menulis
karya-karya tentang ajaran-ajaran Sufi, yang didasarkan atas pandangan
Al-Ghazali. Di samping buku-buku mereka, ada beberapa risalah singkat dalam
bahasa Sunda yang ditulis sebagai pelajaran tingkat dasar, yang diterbitkan
toko bu- ku Toko Kairo di Tasikmalaya.
Dari para pengarang Minangkabau,
yang polemik mereka pada awal abad ini telah menarik cukup perhatian
(Schrieke, 1921), karya cetakan mereka hampir tidak ditemukan lagi. Bahkan
karya Ahmad Khatib yang sangat berpengaruh pun tampaknya hampir tidak dibaca
lagi; hanya dua dari karyanya yang ditemukan dalam bentuk cetakan, dan juga
pada umumnya tidak dapat ditemukan di toko buku. Namun dua pengarang
Minangkabau lainnya, MahmudYunus dan Abdul Hamid Hakim, termasuk dalam seratus
pengarang paling populer, dan terwakili dengan baik dalam koleksi tersebut.
Keduanya telah menulis sejumlah buku teks, dalam bahasa Melayu dan Arab, untuk
dijadikan bahan pelajaran di madrasah dan, beberapa di antaranya dipelajari
secara luas, juga di pesantren.25
Seratus Terpopuler dalam
Kepustakaan Pesantren
Koleksi kitab yang saya kumpulkan dan letakkan di
KITLV sampai saat ini merupakan tinjauan yang paling lengkap mengenai
kepustakaan yang dipelajari di dalam dan di seputar pesantren
dan
madrasah. Tetapi ia, tentu saja, tidak dapat dengan sendirinya menunjukkan
kepada kita karya-karya mana yang paling sering dipakai, pada tingkat apa, dan
di mana. Kurikulum madrasah, khususnya yang dimiliki atau disubsidi oleh
pemerintah, sudah agak terstandardisasikan dan tidak begitu berorientasi
kepada karya-karya klasik sebagaimana orientasi pesantren.
Koleksi ini mencakup cukup banyak Buku modern yang ditulis untuk madrasah di
Mesir, yang juga dipelajari di lembaga-lembaga serupa di Indonesia, di samping
buku-buku yang secara khusus di tulis oleh pengarang Indonesia sendiri, dalam
bahasa Arab yang sederhana.
Pesantren berbeda dengan madrasah dalam hal,
di sampin beberapa hal lainnya, tidak adanya keseragaman dalam kuri- kulum.26
Banyak kiai yang mengkhususkan diri menekuni salah satu cabang ilmu, atau
bahkan salah satu kitab tertentu (lihat Zarkasyi 1985 untuk beberapa contoh).
Karena alasan ini pula, banyak para santri yang berpindah dari satu pesantren
ke pesantren lainnya untuk belajar sejumlah kitab tertentu secara menyeluruh.
Tidak ada satu pesantren pun yang memberikan kurikulum yang “mewakili” semua
dengan dirinya sendiri. Kita harus mengambil beberapa pesantren sekaligus
untuk dapat memastikan dengan karya-karya apa sajakah yang dipelajari
rata-rata santri selama masa belajarnya di pesantren.
Saya mendapatkan
kesan kuat (berdasarkan apa yang telah saya temukan melalui kitab-kitab yang
tersedia di toko kitab di berbagai wilayah) bahwa kurikulum rata-rata
pesantren di Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung Malaya masih berbeda dalam
kadar tertentu dari kurikulum yang ada di pesantren Jawa. Kitab yang aslinya
ditulis dalam bahasa Melayu, yang dikarang oleh ulama seperti M. Arsyad
Al-Banjari, Daud bin ‘Abdullah Al- Patani dan ‘Abd Al-Shamad Al-Palimbani,
sejak lama, dan dalam kadar tertentu sampai sekarang, didahulukan dipelajari
daripada karya-karya klasik berbahasa Arab dan kitab-kitab syarahnya yang
ditulis pada abad ke-19 yang merupakan bagian utama dari kurikulum pesantren
Jawa. Meskipun demikian, pemapanan pondok pesantren di seluruh Sumatra dan
Kalimantan, sejak tahun 1920-an dan seterusnya, dengan mengikuti model
pesantren
Jawa dan madrasah ala Sumatra Barat, secara
bertahap telah mengakibatkan penggantian kitab-kitab Melayu tersebut dengan
karya-karya standar yang berbahasa Arab.
Studi Van den Berg (1886),
walaupun sudah lama, masih merupakan survei paling terperinci mengenai
kitab-kitab yang umum dipelajari di pesantren Jawa.27 Ada beberapa survei
belakangan yang mengaku sebagai survei yang representatif,28 tetapi masih jauh
dari memuaskan. Dalam kenyataannya, kita belajar lebih banyak dari otobiografi
anek-dotik, seperti otobiografi
K.H. Saifuddin Zuhri (orang NU yang
menjadi Menteri Agama pada masa Demokrasi Terpimpin), yang secara selintas
menyebutkan kitab-kitab yang dibacanya atau dibacakan untuknya di pesantren,
tentang cara yang dipakai untuk mempelajarinya dan dampaknya terhadap dirinya
sendiri (Zuhri 1974: khususnya hlm. 30-34, 1987: 30-32, 95-105, 120-130).
Tetapi sekarang ada sejumlah cukup besar monografi tentang pesantren tertentu,
yang kebanyakan memuat daftar tentang kitab-kitab yang dipelajari di sana.29
Daftar-daftar ini, yang dikumpulkan oleh peneliti yang berbeda, berbeda satu
dengan lainnya dalam hal panjang dan mutunya, dan tidak satupun di antaranya
yang lengkap. Karya-karya yang paling terkenal jelas lebih diperhatikan,
sehingga mengakibatkan terabaikannya kitab-kitab yang kurang masyhur yang juga
dipelajari di pesantren. Namun, kalau dikaji semuanya monografi- monografi
tersebut memberikan indikasi yang bisa dimengerti tentang kitab yang paling
banyak dipelajari sekarang. Saya telah menambahkan atas monografi-monografi
tersebut sejumlah kecil daftar yang serupa, yang disusun oleh para peneliti
Indonesia selama pelaksanaan proyek penelitian tentang ulama Indonesia belum
lama berselang,30 dan dengan demikian data yang telah terkumpul tentang
sejumlah 42 pesantren, yang 18 di antaranya terletak di Jawa Timur, 12 di Jawa
Tengah, dan 9 di Jawa Barat, 3 di Kalimantan Selatan. Saya juga telah
menambahkan sejumlah data tentang Sumatra, walaupun yang terakhir ini tidak
benar- benar dapat dibandingkan karena tidak berhubungan dengan pesantren
tertentu tetapi dengan empat pesantren “rata- rata”. Data ini berasal dari dua
daftar gabungan tentang kitab- kitab yang dipakai di pesantren dan oleh ulama
tradisional di Riau
dan Palembang; kurikulum rata-rata
madrasah yang berafiliasi dengan Perti di Sumatra Barat; dan kurikulum suatu
surau kolot di Pariaman, Sumatra Barat.31 Jumlah pesantren Kalimantan yang
datanya dikumpulkan, sayang sekali, terlalu sedikit untuk dapat dianggap
mewakili. Namun data tersebut meneguhkan kesan umum bahwa pesantren orang
Banjar masih berpola pesantren gaya lama.32 Kolom Sumatra dan Kalimantan dalam
tabel-tabel di halaman setelah ini memberikan beberapa indikasi—tetapi tidak
lebih dari indikasi—mengenai perbedaan kecil tetapi sistematik dalam
kurikulumnya dengan pesantren di Jawa. Perbedaan antara pesantren Jawa dan
Sunda di pulau Jawa, karena tersedianya data yang lebih lengkap, memberikan
gambaran yang lebih jelas.
Saya sudah menyatukan teks-teks (matan) dan
syarah- syarah tanpa judul tentangnya; hanya syarah-syarah yang umum dikenal
dengan judul yang berbeda yang disebutkan secara terpisah. Walaupun demikian,
jumlah keseluruhan teks yang disebutkan sudah lebih dari 350 buah; tabel di
bawah hanya mengurutkan teks-teks yang paling sering dipakai, yang
dikelompokkan menurut pokok bahasannya. Di dalam masing- masing tabel, karya
karya yang secara geneologis berhubungan (yaitu karya yang didasarkan atas
teks asli yang sama) dikelompokkan menjadi satu; sebaliknya judul judul
diurutkan secara kasar menurut tingkatan popularitasnya, bukan menurut jenjang
yang menentukan pada tingkat mana teks-teks tersebut dipelajari. Untuk urutan
mengenai masalah yang terakhir ini secara kasar ditunjukkan dengan catatan
pada kolom terakhir tentang tingkat pendidikan mana buku-buku tersebut
biasanya dipelajari. Istilah ibtida’iyah, tsanawiyah dan ‘aliyah (tingkat
dasar, menengah, dan atas) adalah nama yang dipakai untuk menyebut tiga
tingkatan pendidikan madrasah (yang masing- masing tiga tahun) dan tidak
selalu tepat untuk menggambarkan pendidikan pesantren tradisional. Kata
khawash (orang yang khusus) menunjukkan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi.
Tabel-tabel tersebut menyebutkan judul-judul kitab dengan nama
pendeknya yang umum dipakai, yang ditransliterasikan menurut cara yang lazim
dipakai dalam bahasa Indonesia.
Ilmu-ilmu Alat (Lihat Tabel
I)
Ilmu-ilmu alat/bantu pada dasarnya mencakup berbagai cabang tata
bahasa bahasa Arab tradisional: nahwu (sintaksis), sharaf (infleksi), balaghah
(retorika), dan seterusnya. Terdapat buku-buku teks tentang ilmu-ilmu ini
dalam jumlah dan ragamnya yang membingungkan yang membicarakan tentang
ilmu-ilmu alat ini. Dalam hal ini, seluruh koleksi kami dan daftar judul
buku-buku yang paling populer dapat dibanding- kan tidak hanya dengan daftar
yang dibuat Van den Berg, tetapi juga dengan daftar naskah-naskah teks tata
bahasa yang terdapat di perpustakaan Jakarta dan Leiden yang disusun oleh
Drewes (1971). Walaupun Drewes menyebutkan lebih banyak judul
daripada daftar yang diberikan Van den Berg, daftar yang terakhir ini ternyata
lebih banyak kedekatannya dengan daftar yang kami susun.33 Ini merupakan
indikasi lain yang menunjukkan bahwa koleksi-koleksi naskah tersebut jelas
tidak mewakili buku-buku yang betul-betul digunakan dan bahwa orang harus
berhati- hati apabila menarik kesimpulan atas dasar koleksi-koleksi ini
semata.
Tabel I
Tata Bahasa Arab, Tajwid, Logika
Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
|
Mutammimah |
0 |
1 |
5 |
0 |
7 |
13 |
Tsanawiyah |
Asymawi |
0 |
0 |
1 |
0 |
2 |
3 |
|
Alfiyah |
0 |
0 |
8 |
11 |
11 |
30 |
‘Aliyah |
Ibnu Aqil |
1 |
0 |
0 |
3 |
10 |
14 |
‘Aliyah |
Dahlan Alfiyah |
0 |
0 |
1 |
0 |
3 |
4 |
‘Aliyah |
Qathrun Nada |
3 |
1 |
0 |
0 |
0 |
4 |
Tsanawiyah |
Awamil |
1 |
0 |
1 |
1 |
1 |
4 Ibtida’iyah/ Tsanawiyah |
|
Qawaidul Irab |
0 |
0 |
0 |
1 |
2 |
3 Tsanawiyah |
|
Nahwu Wahdhih |
0 |
0 |
0 |
2 |
3 |
5 Tsanawiyah |
|
Qawaidul Lughat |
0 |
0 |
0 |
2 |
2 |
4 |
|
balaghah Jauharul Maknum |
2 |
0 |
4 |
5 |
7 |
18 ‘Aliyah |
|
Uqudul Juman |
0 |
0 |
3 |
0 |
4 |
7 ‘Aliyah |
|
tajwid Tuhfatul Athfal |
0 |
0 |
1 |
1 |
4 |
6 Tsanawiyah |
|
Hidayatus Shiban |
0 |
0 |
0 |
1 |
4 |
5 Tsanawiyah |
|
manthiq Sullamul Munauraq |
1 |
0 |
3 |
1 |
5 |
10 ‘Aliyah |
|
Idhahul Mubham |
2 |
0 |
1 |
1 |
3 |
7 ‘Aliyah |
Dalam sistem tradisional, santri
biasanya mulai dengan mempelajari pengetahuan dasar tentang sharaf, yang
berarti bahwa dia harus berusaha menghafal tabel-tabel pertama dari
perubahan kata kerja dan kata benda. Karya yang paling sederhana dalam
kategori ini adalah Bina (Al-Bina’ wa Al-Asas, karangan seorang Mulla
Al-Danqari). Setelah menguasai teks ini, santri kemudian mempelajari Al-Izzi
(Al-Tashrif li Al-‘Izzi karangan ‘Izzuddin Ibrahim Al-Zanjani, lihat GAL
I:283; GAL SI:497)34 atau Al-Maqshud (Al-Maqshud fi Al- Sharf, sebuah karya
anonim yang sering dianggap sebagai karya Abu Hanifah). Setelah melampaui
tingkatan ini, santri akan beralih ke karya pertama tentang nahwu sebelum
melanjutkan mempelajari karya sharaf yang lebih sulit (jika ia memang pernah
sampai mencapai tingkat ini). Salah satu karya yang paling gampang
dan
paling populer mengenai ilmu nahwu adalah ‘Awamil (Al- ‘Awamil Al-Mi’a,
karangan ‘Abd Al-Qahir ibn ‘Abd Al-Rahman Al Jurjani, wafat 471 H), yang
berisi sebuah daftar situasi yang menentukan harakat huruf akhir dari kata
benda dan huruf-huruf hidup yang mengikuti konsonan akhir dari kata kerja.
Setelah itu, santri dapat beranjak ke kitab Jurumiyah (Al-Muqaddimah
Al-Ajurrumiyah, karangan Abu ‘Abdullah Muhammad b. Daud Al- Shanhaji b.
Ajurrum, wafat pada 723 H.)
Kurikulum pendahuluan ini lazim berlaku di
berbagai wilayah yang cukup luas. Teks-teks yang
sama dipelajari, menurut urutan ini, di madrasah-madrasah tradisional di
Kurdistan (kecuali karya yang disebutkan terakhir, yang tidak dikenal di
sana), di pesantren Jawa abad ke-19 dan di surau Sumatra Barat.35 Karya-karya
yang sama juga masih digunakan, tetapi dengan perubahan-perubahan tertentu.
Bina’ dan ‘Izzi adalah karya yang paling agak terabaikan dalam daftar
tersebut, karena lebih mengutamakan karya-karya yang lebih serius, tetapi
kedua karya tersebut tampaknya telah mempertahankan tempatnya lebih baik di
Jawa Barat dan Sumatra daripada Jawa Tengah dan Timur. Sebuah karya baru yang
bersifat pengantar (namun juga bersifat tradisional) yang sangat populer di
pesantren Jawa adalah Amtsilah Tashrifiyah (Al-Amtsilah Al-Tashrifiyah li Al-
Madaris Al-Salafiyah, yang berisi tabel infleksi), karya pengarang Jawa
Muhammad Ma’shum bin ‘Ali dari Jombang. Teks-teks pengantar yang lain juga
banyak ditemukan.36 Pada tingkatan selanjutnya, kitab syarah yang ditulis oleh
pengarang Mesir Muhammad ‘Ullaisy (w. 1881), Hall Al-Ma’qud Min Nazhm Al-
Maqshud (lihat GALS II:738), dipelajari, sebagai pengganti, atau bersamaan
dengan, Al-Maqshud. Ini biasanya diikuti dengan penjelasan yang panjang lebar
tentang ‘Izzi, Kailani (yang diberi nama mengikuti nama pengarangnya, ‘Ali b.
Hisyam Al- Kailani, yang tentang dirinya tidak ada informasi terperinci yang
saya ketahui), yang sekarang merupakan kitab sharaf yang paling banyak
dipakai.
Urutan mengkaji kitab nahwu biasanya sebagai berikut: setelah
Jurumiyah, Imrithi (versi Jurumiyah dalam bentuk bait- bait sajak), dan
kemudian lagi kitab syarah yang lebih mendetil,
Mutammimah,
atau langsung ke Alfiyah, yang biasanya dengan dipelajari bersama-sama sebuah
syarah-nya. Imrithi (Al-Durrah Al-Bahiyah, karangan Syaraf b. Yahya Al-Anshari
Al-‘Imrithi), Mutammimah (dari Syams Al-Din Muhammad b. Muhammad Al-Ru’aini
Al-Haththab), dan Alfiyah (dari Ibn Malik) dengan kitab syarahnya yang sangat
terkenal Ibnu ‘Aqil (dinamakan demikian mengikuti nama pengarangnya, ‘Abdullah
b. ‘Abd Al- Rahman Al-‘Aqil) yang sejak lama sudah umum dipakai, dan
digambarkan oleh Van den Berg dan Drewes, bersama-sama dengan berbagai kitab
syarah lainnya yang masih ada tetapi tampaknya kurang populer. Kitab yang
tidak mereka sebutkan, tetapi sering ditemukan, adalah Asymawi, sebuah syarah
atas Jurumiyah yang ditulis oleh seorang yang bernama ‘Abdallah
b.
‘Asymawi (tidak ada informasi yang lebih rinci tentangnya), sementara kitab
syarah atas kitab Alfiyah, yang ditulis akhir abad ke-19, adalah karangan
mufti madzhab Syafi’iyah di Makkah, Ahmad b. Zaini Dahlan, yang biasanya
disebut Dahlan Alfiyah.
Qathran Nada’ [Wa Ball Al-Sada’], karangan Ibnu
Hisyam37 (w.761/ 1360), yang sangat populer pada abad ke-19, juga masih banyak
dipakai. Karya pengarang yang sama, Qawa’id Al-I’rab, dipakai terutama dalam
bentuk terjemahan berbahasa Jawa yang disusun dalam bentuk bait sajak (oleh
Yusuf bin Abdul Qadir Barnawi); juga, terdapat sebuah terjemahan bahasa
Maduranya.
Dalam kadar tertentu, karya-karya klasik digantikan oleh
bahan-bahan pelajaran yang lebih modern. Pada tahun 1921, Konsul Belanda di
Jiddah, E. Gobee, mengamati bahwa di sekolah-sekolah pemerintah di Hijaz,
kitab Alfiyah tidak lagi menjadi bagian dari kurikulum pelajaran bahasa,
tetapi sudah digantikan dengan karya modern, Qawa’id Al-Lughah Al- ‘Arabiyyah,
suatu serial buku teks karya pengarang Mesir, Hafni Bak Nashif dkk. (Gobée
1921). Pada tahun 1930-an, buku-buku ini dipakai di madrasah-madrasah Sumatra
Thawalib yang relatif modern di Sumatra Barat, bersama-sama dengan buku-buku
teks karya pengarang Mesir pada waktu itu dan buku-buku yang ditulis oleh
ulama setempat yang telah belajar di Mesir (lihatYunus 1979: 77). Buku-buku
teks ini sekarang banyak
dipergunakan di madrasah dan
sekolah-sekolah negeri untuk guru agama (PGA); jumlah pesantren yang mengikuti
jejak serupa terus meningkat, sebagaimana tercermin dalam Tabel I.
Buku
teks tata bahasa lain yang menonjol di sini adalah Nahwu Wadhih (An-Nahw
Al-Wadhih fi Qawa’id Al-Lughah Al- ‘Arabiyah), yang ditulis oleh dua penulis
Arab, ‘Ali Jarim dan Mushthafa Amin (yang banyak tersedia dalam edisi Lebanon
dan Mesir yang dicetak ulang secara foto-mekanis). Buku ini juga sudah
dipergunakan di Sumatra Barat sejak tahun 1930- an, bersamaan dengan buku
Al-Balaghah Al-Wadhihah, karang- an kedua penulis yang sama.
Yang
terakhir ini menghantarkan kita kepada bagian terakhir dari cabang penting
dari ilmu tata bahasa Arab : retorika (balaghah, dengan sub-bagiannya bayan,
ma’ani dan badi’). Dua kitab klasik mendominasi bidang ini dalam kurikulum,
yakni:
Jauharul Maknun (Al-Jauhar Al-Maknun atau Al-Jawahir Al- Maknunah
fi Al-Ma’ani wa Al-bayan wa Al-badi’), yang dikarang oleh ‘Abd Al-Rahman
Al-Akhdhari (lahir 920/1514, lihat GAL S II: 706). Judul yang sama sering
merujuk kepada sebuah kitab yang merupakan syarah atas karya tersebut oleh
Ahmad Al-Damanhuri (1101-1177/1689-1763, lihat GAL II: 371) dan hasyiyahnya
oleh Makhluf Al-Minyawi, yang banyak terdapat di Indonesia (dan juga disebut
dengan kitab Makhluf) . Kitab Jauhar diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh
K.H. Bisri Mustofa dari Rembang.
Terakhir, Uqudul Juman (Al-Mursyidi ‘Ala
’Uqud Al-Juman fi ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan), sebuah teks manzhum tentang
retorika yang ditulis oleh Jalal Al-Din Al-Suyuthi, yang didasarkan atas karya
Siraj Al-Din Al-Sakkaki, ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan (GAL I: 294-6).
Satu-satunya buku balaghah lain yang dapat ditemukan dengan mudah adalah,
dengan beberapa syarah-nya, karya Abu Al-Qasim Al-Samarqandi, Al-Risalah Al-
Samarqandiyah, namun kitab ini tidak mendapatkan skor yang tinggi dalam daftar
kami.
Jumlah keseluruhan teks-teks yang ada dalam koleksi kami sekarang,
tentu saja, melebihi jumlah teks yang disebutkan di
atas.
Mungkin perlu dicatat bahwa tiga dari daftar judul yang disusun oleh Van den
Berg tidak terdapat dalam bentuk cetakan. Ketiganya adalah ‘Innola’ (syarah
tanpa judul atas ‘Awamil), Kafiyah karya Ibn Al-Hajib dan Al-Mishbah karya
Burhan Al-Din Abu Fath Nashir Al-Din.
Ilmu alat lain (walaupun tidak
lazim dimasukkan ke dalam kategori ilmu alat, tetapi lebih kepada ilmu-ilmu
Al-Quran) adalah ilmu tajwid, ilmu mengenai cara pengucapan dan intonasi yang
tepat dalam melafalkan Al-Quran). Ilmu ini termasuk pelajaran yang paling awal
dipelajari (karena judul-judul teks yang diurutkan, yang berarti “hadiah untuk
anak-anak” dan “bimbingan untuk anak-anak”, secara eksplisit menunjukkan hal
itu). Kitab Tuhfah Al-Athfal karangan Sulaiman Jumzuri dan kitab anonim yang
berjudul Hidayah Al-Shibyan, keduanya merupakan teks singkat tingkat dasar
mengenai mata pelajaran ini. Keduanya ditemukan dalam beberapa koleksi
teks-teks pendek, biasanya secara bersama sama).
Ilmu alat yang ketiga
adalah manthiq, logika Aristotelian (yang akan terbukti kegunaannya ketika
santri mulai mempelajari fiqih). Buku teks yang paling umum dipergunakan dalam
mata pelajaran ini adalah Sullamul Munauraq (Al-Sullam Al-Munauraq38 fi ‘ilm
Al-Manthiq) yang ditulis oleh Al-Akhdhari (pengarang Al-Jauhar Al-Maknun,
lihat GAL SII: 705-6). Ahmad Al-Damanhuri (yang juga menganotasikan Jauhar-nya
Al-Akh- dhari) menulis sebuah syarah atasnya, yang sangat terkenal di
Indonesia dan diberi judul Idhah Al-Mubham Min Ma’ani Al- Sullam. Di tepi
halaman dari edisi cetakan, kami menemukan syarah atas Al-Sullam yang
ditulis oleh Al-Akhdhari sendiri. Syarah yang terakhir ini juga dapat
ditemukan bersamaan dengan hasyiyah yang ditulis oleh Ibrahim Al-Bajuri. Dua
kitab syarah lainnya, tanpa judul, yang sering dijumpai adalah karya Hasan
Darwisy Al-Quwaysini (w. 1210/1795) dan ulama Al-Azhar, Ahmad b. ‘Abd
Al-Fattah Al-Mullawi (w. 1181/1767) dengan hasyiyah karangan M. b. ‘Ali
Al-Shabban. Juga, terdapat karya terjemahan berbahasa Jawa dalam bentuk
bait-bait sajak oleh K.H. Bisri Mustofa.
Yang juga banyak
ditemukan adalah pedoman logika dasar, Isaghuji, karangan Atsir Al-Din
Mufadhdhal Al-Abhari (w. 663/1264; lihat GAL I:464-5; GAL S I: 839-41) .
Selain judulnya, karya ini bukanlah terjemahan atas karya Porphyrius, Isagoge,
sebagaimana yang sering dianggap orang (lihat Arminjon 1907: 215-7, dan
ringkasannya oleh Calverley 1933).
Fiqih dan Ushul Al-Fiqh (Lihat
Tabel II)
Inti pendidikan pesantren terdiri dari pendidikan fiqih, dan
kitab-kitab yang paling masyhur, seperti Minhaj dan Tuhfah, Taqrib dan Fath
Al-Qarib, adalah kitab fiqih. Cabang keilmuan ini sudah dibahas secara khusus
dalam bab yang lalu.
Tabel II
Fiqih dan Ushul Al-Fiqh
Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
Jumlah Pesantren |
4 |
3 |
9 |
12 |
18 |
46 |
TINGKAT |
Fiqih |
|
|
|
|
|
|
|
Fath Al-Mu’in |
2 |
1 |
7 |
6 |
16 |
32 |
‘Aliyah |
Ianah Thalibin |
2 |
2 |
0 |
0 |
0 |
4 |
|
Taqrib |
2 |
0 |
6 |
5 |
7 |
20 |
Tsanawiyah |
Fath Al-Qarib 2 1 4 7 9 23 ‘Aliyah Kifayatul Akhyar 1 0 6 4 7 18 Tsanawiyah/ |
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
‘Aliyah |
Bajuri |
1 |
0 |
1 |
0 |
1 |
3 |
|
Iqna’ |
0 |
1 |
1 |
0 |
5 |
7 |
|
Minhaj Al-Thalibin |
2 |
0 |
2 |
0 |
1 |
5 |
‘Aliyah |
Minhaj Al-Thullab |
0 |
0 |
0 |
0 |
1 |
1 |
|
Fathul Wahab |
0 |
1 |
5 |
4 |
10 |
20 |
‘Aliyah |
Mahalli |
4 |
1 |
1 |
2 |
1 |
9 |
‘Aliyah |
Minhajul Qawim |
0 |
0 |
2 |
2 |
3 |
7 |
|
Safinah |
1 |
0 |
6 |
7 |
7 |
21 |
Tsanawiyah |
Kasyifat Al-Saja |
0 |
0 |
1 |
0 |
3 |
4 |
|
Sullam Al-Taufiq |
0 |
1 |
5 |
2 |
13 |
21 |
Tsanawiyah |
Tahrir |
0 |
1 |
2 |
1 |
5 |
9 |
‘Aliyah |
Riyadh Al-Badiah |
0 |
0 |
2 |
1 |
3 |
6 |
|
Sullam Al-Munajat |
0 |
0 |
2 |
1 |
2 |
5 |
|
Uqud Al-Lujain |
0 |
0 |
1 |
1 |
2 |
4 |
Tsanawiyah |
Sittin/Syarah Sittin |
0 |
1 |
2 |
0 |
0 |
3 |
|
Muhadzab |
0 |
0 |
0 |
1 |
2 |
3 |
|
Bghyat Al-Mustarsyidin |
0 |
0 |
1 |
0 |
2 |
3 |
|
Mabadi Fiqhiyah |
0 |
0 |
1 |
2 |
5 |
8 |
Tsanawiyah |
Fiqh Wadhih |
0 |
0 |
0 |
1 |
3 |
4 |
Tsanawiyah |
Sabil Al-Muhtadin |
0 |
1 |
0 |
0 |
0 |
1 |
|
Ushul Al-Fiqh Waraqat/ Syarah Al-Waraqat |
2 |
1 |
6 |
1 |
2 |
12 |
‘Aliyah/ |
|
|
|
|
|
|
|
Khawasah |
Lathaif Al-Isyarat |
1 |
0 |
3 |
0 |
6 |
10 |
|
Jam’ul Jawami’ |
1 |
0 |
6 |
1 |
2 |
10 |
Khawash |
Luma’ |
1 |
0 |
2 |
1 |
3 |
7 |
‘Aliyah/ Khawash |
Al-Asybah wa |
|
|
|
|
|
|
|
Al-Nadhair |
0 |
0 |
1 |
1 |
4 |
5 |
Khawash |
Bayan |
0 |
0 |
1 |
0 |
2 |
3 |
Tsanawiyah/ ‘Aliyah |
Bidayat Al-Mujtahid |
0 |
0 |
2 |
0 |
0 |
2 |
Khawash |
Doktrin (Tauhid,
Akidah, Ushul Al-Din) (lihat Tabel III)
Dibandingkan dengan jumlah dan
kecanggihan karya- karya dalam bidang fiqih yang dipelajari di pesantren,
doktrin menempati tempat yang jauh kurang menonjol di dalam kurikulumnya.
Sementara generasi-generasi terdahulu umat Islam Indonesia menunjukkan minat
yang besar kepada kosmologi, eskatologi dan spekulasi metafisik—sebagaimana
disaksikan pada tulisan Al-Raniri, ‘Abd Al-Ra’uf Singkel, dan ‘Abd Al-Shamad
Al-Falimbani—mata pelajaran ini sekarang umumnya tidak masuk ke dalam
kurikulum pesantren. Mungkinkah hal ini terjadi karena ada pepatah lama yang
menyatakan bahwa terlalu besarnya minat akan masalah-masalah akidah hanya akan
membawa kepada kekafiran?
Tabel III
Akidah (Ushuluddin, Tauhid)
Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
Jumlah Pesantren |
4 |
3 |
9 |
12 |
18 |
46 |
TINGKAT |
Tauhid |
|
|
|
|
|
|
|
Ummul Barahin |
2 |
0 |
2 |
0 |
1 |
5 |
‘Aliyah |
Sanusi |
2 |
0 |
3 |
3 |
3 |
11 |
Tsanawiyah |
Dasuqi |
0 |
1 |
1 |
0 |
5 |
7 |
‘Aliyah/ Khawash |
Syarqawi |
1 |
1 |
0 |
0 |
1 |
3 |
|
Kifayatul Awam |
4 |
1 |
2 |
2 |
8 |
17 |
Tsanawiyah/ ‘Aliyah |
Tijanud Durari |
1 |
0 |
5 |
2 |
3 |
11 |
Tsanawiyah |
Aqidatul Awm |
0 |
0 |
0 |
4 |
9 |
13 |
Ibtida’iyah/ Tsanawiyah |
Nuruzh Zhulam |
0 |
1 |
1 |
0 |
1 |
3 |
Tsanawiyah |
Jauharut Tauhid |
1 |
0 |
3 |
2 |
1 |
7 |
Tsanawiyah |
Tuhfatul Murid |
0 |
1 |
0 |
0 |
2 |
3 |
Tsanawiyah |
Fathul Majid |
2 |
1 |
1 |
2 |
2 |
8 |
Khawash |
Jawahirul Kalamiyah |
0 |
0 |
1 |
3 |
5 |
9 |
Tsanawiyah |
Husnul Hamidiyah |
0 |
0 |
1 |
5 |
2 |
8 |
Tsanawiyah |
Aqidatul Islamiyah |
1 |
0 |
0 |
1 |
2 |
4 |
Tsanawiyah |
Barangkali karena itulah
karya-karya tentang akidah pada Tabel III tanpa kecuali, semata-mata merupakan
pemaparan mengenai ajaran Al-Asy’ari tentang sifat-sifat Tuhan dan para Nabi.
Kelompok teks yang paling populer adalah karya yang didasarkan atas dua karya
terkenal Al-Sanusi tentang akidah. (Mengherankan, bahwa karya Nashafi dan
syarah Taftazani, yang sama-sama jika tidak lebih berpengaruh di tempat lain,
tampaknya tidak dikenal di Indonesia).39 Teks dasar yang termasuk dalam
kelompok jenis buku ini adalah Umm Al- Barahin (disebut juga, Al-Durrah)
karangan Abu ‘Abdullah M.
b. Yusuf Al-Sanusi (w. 895/1490, lihat GAL II,
250, GAL S II: 352- 3). Teks yang biasanya dirujuk sebagai Al-Sanusi[yah]
agaknya merupakan syarah lebih mendalam tentangnya, yang ditulis oleh
Al-Sanusi sendiri. Dalam edisi yang paling sering dijumpai, teks ini dicetak
di tepi halaman dari hasyiyahnya yang sangat populer yang dikarang oleh
Ibrahim Al-Bajuri, dan kemudian, juga
dikenal dengan
Al-Sanusi. Kitab lain yang sering dipergunakan adalah hasyiyah atas Al-Sanusi
yang dikarang oleh Muhammad Al- Dasuqi (w.1230/1815, lihat GAL II: 352-3) dan
sebuah teks yang lebih mendalam karangan ‘Abdullah Al-Syarqawi (w. 1127/1812,
lihat GAL II: 479-80), yang juga merupakan hasyiyah atas syarah abad ke-11
yang ditulis seorang yang bernama Muhammad b. Manshur Al-Hudhudi (dalam
beberapa edisi Indonesia, kitab ini dicetak bersama-sama dengan teks Hudhudi).
Semua teks ini biasanya disebut dengan nama pengarangnya.
Karya lain yang
sebagian didasarkan atas Al-Sanusi adalah Kifayah Al-‘Awamm, karangan M. b. M.
Al-Fadhdhali (w. 1236/1821, lihat GAL II: 489), yang sangat populer di
Indonesia (kitab ini diterjemahkan ke bahasa Inggris dalam MacDonald
1903:315-51). Dalam koleksi kami juga terdapat satu versi dari karya ini,
dengan terjemahan di sela baris (oleh H. M. Nur Munir
b. H. Ismail).
Murid Fadhdhali, Ibrahim Bajuri (w.1277/1861) menulis sebuah syarah atasnya,
Tahqiq Al-Maqam ‘Ala Kifayah Al-‘Awamm (dicetak bersama-sama dengan Kifayah
dalam edisi Indonesia), dan syarah ini dihasyiyahkan oleh Nawawi Banten dalam
karyanya yang banyak dibaca orang, Tijan Al-Durari.
‘Aqidah Al-‘Awamm
adalah sebuah kitab singkat dan berbentuk sajak yang diperuntukkan bagi mereka
yang berusia sangat muda, yang dihapal lama sebelum santri mulai mengerti
bahasa Arab. Pengarangnya, Ahmad Al-Marzuqi Al-Maliki Al- Makki, aktif pada
sekitar tahun 1864. Brockelmann (GAL S II: 990) menyebutkan sebuah versi
berbahasa Melayu yang ditulis oleh Hamzah b. M. Al-Qadahi (dari Kedah);
koleksi kami memuat terjemahannya dalam bahasa Jawa (oleh K.H. Bisri Mustofa
dari Rembang) dan bahasa Madura (oleh Abdul Majid Tamim dari Pamekasan).
Nawawi Banten, yang barangkali mengenal pengarangnya, menulis sebuah syarah
yang terkenal atasnya, dengan judul Nur Al-Zhalam.
Jauhar Al-Tauhid, teks
singkat dalam bentuk untaian bait sajak karangan Ibrahim Al-Laqani
(w.1041/1631), masih sangat populer. Santri berusaha keras menghafal seluruh
teks tersebut, dan mempelajari berbagai syarah atasnya. Salah satunya
adalah
karya Ibrahim Al-Bajuri, Tuhfah Al-Murid. Seorang
ulama Melayu yang tidak disebutkan namanya dan dua orang ulama Jawa, Saleh
Darat dari Semarang dan Ahmad Subhi Masyhadi dari Pekalongan, menulis syarah
yang panjang lebar dalam bahasa daerah mereka sendiri, yang pada umumnya
dikenal dengan judul yang lama, Jauhar Al-Tauhid. Syarah berbahasa Jawa yang
ditulis Saleh Darat, menarik, terutama, karena ia mencerminkan pandangan dan
penghayatan orang Jawa pada masa itu.
Fath Al Majid adalah teks lain yang
juga ditulis oleh Nawawi Banten. Ia merupakan syarah atas kitab Durr Al-Farid
fi ‘Ilm Al- Tauhid (yang dicetak di tepi halamannya) karangan seorang yang
bernama Ahmad Al-Nahrawi, yang informasi lebih jauh tentang dia tidak saya
temukan.
Tiga judul lainnya adalah karya-karya modern, yang per-
tama-tama dipakai oleh madrasah yang telah terkena pengaruh Mesir dan dari
sana kemudian secara bertahap merembes ke seluruh dunia pesantren.
Jawahir
Al-Kalamiyah [fi Idhah Al-‘Aqidah Al-Islamiyah] ditulis oleh ulama Syria,
Thahir b. Shalih Al-Jaza’iri, yang wafat di Damaskus pada tahun 1919.
Husunul
Hamidiyah (Al-Hushun Al-Hamidiyah li Al-Muha- fazhah ‘Ala Al-‘Aqa’id
Al-Islamiyah) adalah sebuah karya tentang sifat, kenabian, mukjizat para nabi,
para malaikat, dan kehidupan setelah mati yang dikarang oleh seorang penulis
modernis dan rasionalis moderat, Husain [b. M. Al-Jisr) Efendi Al-Tarablusi
(w. 1909). Pengarang ini kemudian terkenal sebagai editor sebuah jurnal di
mana dia berusaha untuk memadukan Islam dengan ilmu modern dan filsafat (GAL S
II:776; lihat juga ulasan dalam Hourani 1962: 222-3). Buku ini pertama kali
digunakan di Indonesia pada tahun 1930-an di madrasah-madrasah Sumatra
Thawalib (Yunus 1979: 77).
Terakhir, Aqidatul Islamiyah yang merupakan
buku pelajaran dalam bentuk tanya jawab modern yang diperuntukkan bagi para
murid tingkat madrasah yang paling rendah oleh Bashri
b. H. Marghubi.
Batas
antara pelajaran tauhid dan yang lazim dianggap sebagai pelajaran tasawuf di
Indonesia samar. Karya Al-Ghazali, Ihya, yang merupakan kitab tasawuf yang
paling populer di sini, sebetulnya juga pantas disebut sebagai kitab pelajaran
akidah.
Masih ada kategori buku lainnya, yang sangat populer, dan harus
disebut di sini, walaupun jarang merupakan bagian resmi dari kurikulum
pasantren. Kitab-kitab ini adalah karya-karya tentang kosmologi dan eskatologi
tradisional (dan seringkali sangat fantastik).40 Satu contohnya yang tipikal
(dan cukup populer) adalah kitab Daqa’iq Al-Akhbar fi Dzikr Al-Jannah wa
Al-Nar, karangan ‘Abd Al-Rahim Al-Qadhi (lihat GAL S I: 364), yang tersedia
dalam bahasa Arab maupun terjemahan berbahasa Melayu, Sunda dan Madura. Kitab
yang lain lagi adalah Al-Durar Al-Hisan, yang dianggap sebagai karya
Al-Suyuti. Para pengarang Indonesia telah menyumbangkan sejumlah teks yang
lebih sederhana yang dirancang serupa untuk menanamkan rasa takut kepada hari
akhirat kepada pembacanya. Karya karya ini tidak dipergunakan sebagai buku
teks, tetapi merupakan bacaan populer di lingkungan pesantren.
Tabel IV Tafsir Al-Quran
Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
Jumlah Pesantren |
4 |
3 |
9 |
12 |
18 |
46 |
TINGKAT |
tafsir |
|
|
|
|
|
|
|
Jalalain |
4 |
1 |
9 |
9 |
16 |
69 |
‘Aliyah |
Tafsirul Munir |
0 |
1 |
3 |
2 |
5 |
11 |
‘Aliyah |
Tafsir ibn Katsir |
1 |
0 |
3 |
0 |
3 |
4 |
‘Aliyah |
Tafsir Baidhawi |
1 |
0 |
1 |
2 |
0 |
4 |
‘Aliyah |
Jamiul Bayan (Thabari) |
0 |
0 |
2 |
0 |
0 |
3 |
Khawash |
Maraghi |
0 |
0 |
2 |
1 |
0 |
3 |
‘Aliyah/ Khawash |
Tafsirul Manar |
0 |
0 |
2 |
0 |
1 |
3 |
Khawash |
Tafsir Dep. Agama |
0 |
0 |
0 |
1 |
1 |
2 |
Tsanawiyah |
‘ilm tafsir |
|
|
|
|
|
|
|
Itqan |
0 |
0 |
2 |
0 |
1 |
3 |
‘Aliyah |
Itmamud Dirayah |
0 |
0 |
0 |
0 |
2 |
2 |
|
Tafsir
Al-Quran (Lihat Tabel IV)
Van den Berg hanya menyebutkan satu kitab
tafsir sebagai bagian dari kurikulum yang umum dipakai, yaitu tafsir Jalalain,
yang dapat ditemukan di mana-mana. Tafsir karya Baidhawi juga dikenal namanya,
tetapi sangat jarang ditemukan kiai yang mengajarkan teks ini (Van den Berg
1886: 555). Beberapa tambahan kecil mungkin dapat diberikan untuk masalah ini,
di wilayah Nusantara yang berbahasa Melayu kitab Tarjuman Al- Mustafid, sebuah
terjemahan tafsir Jalalain berbahasa Melayu yang disertai dengan beberapa
keterangan tambahan yang diambil dari kitab tafsir lain,41 oleh ‘Abd Al-Ra’uf
dari Singkel, pastilah sangat dikenal dengan baik (kitab tersebut masih dapat
ditemukan dalam berbagai edisinya). Nawawi Banten, bahkan, sudah menulis
Al-Tafsir Al-Munir li Ma’alim Al-Tanzil pada masa Van den Berg, tetapi karya
ini, seperti karya yang lain, mungkin belum umum dipergunakan karena
konservatisme kurikulum pesantren.
Secara umum, kesan Van den Berg
mungkin benar: pada akhir abad ke-19, tafsir. belum dianggap. sebagai bagian
yang sangat penting dalam kurikulum pesantren. Karena dampak modernisme,
dengan slogannya: kembali kepada Al-Quran dan hadis, penafsiran Al-Quran jelas
semakin mendapatkan arti pentingnya. Banyak ulama tradisionalis yang begitu
saja merasa berkewajiban untuk menyesuaikan diri dan mulai memperhatikan
tafsir secara lebih serius. Meskipun demikian, daftar kami menunjukkan bahwa
lingkup tafsir yang dipelajari di pesantren masih sangat sempit. Dua tafsir
klasik, Thabari dan Ibn Katsir, telah ditambahkan ke dalam daftar, bersamaan
dengan Tafsir Al-Munirnya Nawawi. Dua karya tafsir modernis, Tafsir Al-Manar
oleh Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha dan Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad
Mushthafa Al-Maraghi (lihat Jansen 1980) tercantum dalam daftar kami hanya
karena keduanya diajarkan di dua pesantren yang berorientasi modernis di Jawa
Barat, karya tersebut masih belum diterima di lingkungan pesantren pada
umumnya. (Bukanlah sebuah kebetulan kalau teks-teks Arab dari dua karya ini
belum dicetak ulang di Indonesia, walaupun belum lama
berselang tafsir Al- Maraghi diterbitkan dalam bentuk terjemahan; kaum
modernis rata-rata kurang mendalami bahasa Arab). Kitab tafsir terakhir yang
tercantum dalam daftar kami adalah kitab tafsir yang berjum- lah sepuluh jilid
dalam bahasa Indonesia, yang dipersiapkan oleh sekelompok ulama Indonesia yang
mendapat sokongan dari Departemen Agama.42
Lima kitab tafsir lain yang
tercantum dalam daftar kami, yang ditulis oleh ulama Indonesia dan Malaysia,
patut disebut di sini, walaupun karya tersebut tidak dikenal secara luas.
Ahmad Sanusi b. Abdurrahim dari Sukabumi menulis sebuah tafsir Al- Quran (yang
ternyata lebih merupakan terjemahan langsung) dalam bahasa Sunda, dengan judul
Raudhah Al-‘Irfan fi Ma’rifah Al-Qur’an, dan K.H. Bisri Mustofa dari Rembang
me- nulis tafsir berbahasa Jawa sebanyak 3 jilid (2250 halaman), Al-Ibriz li
Ma’rifah Al-Tafsir Al-Qur’an Al-’Aziz. Yang terakhir ini, juga, lebih
merupakan terjemnahan daripada tafsir. Karena penerjemahan Al-Quran pasti
memerlukan kadar penafsiran tertentu, maka hasilnya biasanya disebut tafsir
juga. Penafsiran yang lebih tebal diberikan dalam tafsir berbahasa Jawa
lainnya, Al-Iklil fi Ma’ani Al-Tanzil oleh Misbah b. Zain Al-Mushthafa (30
Jilid, 4800 halaman), dan dalam tafsir berbahasa Melayu 3 jilid (950 halaman),
Tafsir Nur Al-Ihsan, oleh Muhammad Sa’id b. ‘Umar Qadhi Al-Qadahi (dari Kedah,
Malaysia). Yang paling akhir adalah tafsir- berbahasa Indonesia sebanyak enam
jilid, Adz Dzikraa: Terjemah & Tafsir Al-Qur’an, karangan Bachtiar
Surin.
Minat mempelajari ilmu tafsir meningkat secara mencolok. Beberapa
karya tafsir lainnya baru-baru ini dicetak dalam bahasa Arab di Indonesia; di
samping itu ada yang diterbitkan dalam bentuk terjemahan bahasa Indonesianya
(tafsir-tafsir modernis, sebagaimana dapat diduga, seperti Fi Zhilal Al-Qur’an
dan Al-Maraghi). Meskipun demikian, import kitab tafsir terus meningkat, di
beberapa toko kitab di Surabaya dan Bandung saya menemukan tersedia tidak
kurang dari dua puluh tafsir yang berbeda yang diimpor dari Mesir dan
Lebanon.
Tabel V
Hadis dan Ilmu Hadis
Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
Jumlah Pesantren |
4 |
3 |
9 |
12 |
18 |
46 |
TINGKAT |
hadits |
|
|
|
|
|
|
|
Bulughul Maram |
1 |
0 |
6 |
5 |
12 |
24 |
Tsanawiyah |
Subulus salam |
1 |
1 |
0 |
0 |
1 |
3 |
|
Riyadhus Shalihin |
1 |
0 |
7 |
6 |
9 |
23 |
‘Aliyah/ Khawash |
Shahih Bukhari |
2 |
1 |
6 |
7 |
5 |
21 |
Khawash |
Tajridush Sharih |
0 |
0 |
1 |
1 |
4 |
6 |
‘Aliyah |
Jawahir bukhari |
1 |
0 |
0 |
1 |
2 |
4 |
|
Shahih Muslim/Syarah |
1 |
0 |
7 |
2 |
7 |
17 |
Tsanawiyah |
Arbain Nawawi |
3 |
0 |
5 |
1 |
6 |
15 |
Tsanawiyah |
Majalisus Saniyah |
1 |
0 |
0 |
0 |
2 |
3 |
|
Durratun Nashihin |
1 |
1 |
2 |
3 |
4 |
11 |
‘Aliyah |
Tanqihul Qaul |
0 |
1 |
2 |
1 |
1 |
5 |
|
Mukhtarul Ahadits |
1 |
0 |
2 |
0 |
2 |
5 |
Tsanawiyah |
Ushfuriyah |
0 |
1 |
0 |
0 |
2 |
3 |
|
‘ilm dirayah al-hadits |
|
|
|
|
|
|
|
Baiquniyah/Syarah |
2 |
0 |
2 |
1 |
2 |
7 |
Tsanawiyah |
Minhatul Mughits |
0 |
0 |
2 |
1 |
0 |
3 |
‘Aliyah |
Dari karya-karya yang
membicarakan dasar ilmu tafsir, hanya dua kitab klasik yang tercantum dalam
daftar. Keduanya adalah karangan Jalal Al-Din Al-Suyuthi yang berjudul Itmam
Al-Dirayah li Qurra’ Al-Nuqayah dan Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Di dalam
koleksi kami terdapat juga beberapa kitab pengantar singkat tentang bidang
ini.
Hadis (Lihat Tabel V)
Bahkan lebih dari tafsir, hadis
merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren. Van den Berg bahkan
tidak menyebut hadis sama sekali. Para santri memang menjumpai banyak hadis
selama mengikuti pelajaran—tidak ada karya fiqih yang tidak didukung dengan
argument-argumen berdasarkan
hadis—tetapi hadis-hadis
tersebut sudah diproses, diseleksi dan dikutip menurut keperluan pengarangnya.
Kitab-kitab kumpulan hadis—baik enam kitab kumpulan hadis yang diakui
(Al-Kutub Al-Sittah) ataupun beberapa kompilasi populer seperti Mashabih
Al-Sunnah, yang sangat populer di India— tampaknya hampir tidak dipelajari di
Nusantara seabad yang lalu.43 Mungkin perkecualian harus dinyatakan untuk
beberapa kumpulan kecil hadis semacam “empat puluh hadis”, karya Abu Zakariya
Yahya Al-Nawawi, Arba’in, merupakan salah satu contohnya. Beberapa ulama
Indonesia, sejak abad ke- 19 dan seterusnya, telah mengumpulkan dan
menerjemahkan kumpulan empatpuluh hadis tersebut, dan Djohan Effendi telah
menunjukkan bagaimana isi dari kumpulan-kumpulan ini berubah menurut kebutuhan
zamannya.44 Adanya minat yang lebih besar untuk mempelajari hadis sekarang
ini—yang kini merupakan mata pelajaran wajib di kebanyakan pesantren—
barangkali dapat dikatakan sebagai dampak dari modernisme (untuk pengamatan
serupa lihat Steenbrink 1974: 166).
Dua kumpulan besar hadis shahih oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim sekarang menjadi karya rujukan yang lazim
dipelajari di banyak pesantren. Kurikulumnya seringkali memasukkan seleksi
dari kedua kitab tersebut, biasanya diikuti dengan penjelasannya. Dua seleksi
yang populer atas kitab Bukhari adalah Al-Tajrid Al-Sharih oleh Syihabuddin
Ahmad Al-Syarji Al-Zabidi (w. 893/1488) dan Jawahir Al-Bukhari oleh Mushthafa
M. ‘Umarah (GAL S I: 264). Namun, kumpulan hadis paling populer yang dapat
ditemukan di mana-mana adalah Bulugh Al-Maram dan Riyadh Al-Shalihin.
Bulugh
Al-Maram [Min Adillah Al-Ahkam], sebuah kumpulan yang dihimpun oleh Ibn Hajar
Al-‘Asqalani (w. 852/1449, lihat GAL S II: 67-70), telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa (oleh Subki Masyhadi dari Pekalongan) dan bahasa Indonesia
(oleh
K.H. Bisri Mustofa dari Rembang) dan sebagian juga ke dalam bahasa
Melayu. Subul Al-Salam karangan Muhammad b. Ismail Al-Kahlani (w.1182/1769),
merupakan syarah atas Bulugh.
Riyadh Al-Shalihin [Min Kalam Sayyid
Al-Mursalin] adalah kitab kumpulan hadis yang lebih besar, terutama
mengenai
amal saleh dan ibadah, yang dihimpun oleh Yahya b.
Syaraf Al-Din Al-Nawawi, penghimpun “empat puluh hadis” yang paling terkenal.
Terdapat dua terjemahannya dalam bahasa jawa yang berbeda (oleh Asrori Ahmad
dan Ahmad Subki Masyhadi), dan juga terjemahan berbahasa Melayu dan Indonesia
dari kumpulan ini.
Karya Nawawi, Arba’in, diajarkan di banyak pesantren
kepada para santri yang tingkatan belum begitu tinggi, dan juga merupakan
kepustakaan keagamaan non-kurikuler, baik dalam bahasa aslinya, Arab, maupun
bahasa Indonesia. Sebuah kitab syarah yang agak terkenal adalah Al-Majalis
Al-Saniyah, karangan Ahmad b. Hijazi Al-Fasyani.
Durrah Al-Nashihin [fi
Al-Wa’zh wa Al Irsyad] dihimpun oleh ‘Utsman b. Hasan Al-Khubuwi (w.1224/1804,
lihat GAL II: 489).
Tanqih Al-Qaul [Al-Hatsits fi Syarh Lubab Al-Hadits]
adalah karya lain oleh Nawawi Banten. Ia merupakan syarah atas kumpulan
hadis Al-Suyuti, Lubab Al-hadits (yang dicetak di tepi halaman karya Nawawi
tersebut).
Mukhtar Al-Ahadits adalah sebuah kumpulan yang dihimpun oleh
pengarang Mesir modern, Ahmad Hasyimi Bak.
Terakhir, ‘Ushfuriyah (diberi
judul demikian mengikuti nama pengarangnya, Muhammad b. Abu Bakr Al-‘Ushfuri)
adalah kumpulan “empat puluh hadis” yang populer, yang disertai dengan
berbagai cerita teladan untuk setiap hadis.
Studi kritis tentang hadis
hampir belum ditemukan di Indo- nesia, apalagi di lingkungan pesantren. Bisa
dimengerti, diban- dingkan dengan kalangan tradisionalis, kalangan modernis
Indonesia telah menunjukkan minat yang lebih besar kepada ‘Ilmu Dirayah
Al-Hadis, ilmu tradisional yang membedakan hadis palsu dari hadis otentik
(shahih), hadis lemah (dha’if) dari hadis kuat. Selain dua judul yang
tercantum dalam daftar kami (dengan beberapa karya turunan dari karya yang
pertama) ternyata tidak ada kitab tentang ilmu tersebut yang dapat ditemukan
di toko kitab.
Minhah Al-Mughits adalah sebuah teks modern
karya seorang ulama Al-Azhar, Hafizh Hasan Mas’udi, dan tampaknya ditulis
untuk bahan pelajaran di madrasah yang berada di bawah pengawasan pemerintah
Mesir.
Nama Baiquniyah, sebagaimana biasanya, merujuk kepada baik karya
(matan) asli, sebuah teks manzhum singkat tanpa judul karangan Thaha b.
Muhammad Al-Fattuh Al-Baiquni (w. setelah 1080/1669, lihat GAL II:307), dan
kepada berbagai kitab syarah atasnya. Yang paling populer di antaranya adalah
syarah yang dikarang oleh ‘Atiyah Al-Ajhuri (w. 1190/1776, lihat GAL II: 328);
karya inilah yang biasanya diberikan ketika seseorang mencari kitab teks
“Baiquniyah”. Kitab syarah lain yang banyak dijumpai adalah Taqrirah
Al-Saniyah karangan Hasan Muhammad Al-Masysyath, yang mengajar di Masjidil
Haram, Makkah, pada tahun tiga puluhan dan empatpuluhan, dan memiliki banyak
murid yang berasal dari Indonesia.
Tabel VI
Kesalehan, Perilaku Terpuji, dan Tasawuf
Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
Jumlah Pesantren |
4 |
3 |
9 |
12 |
18 |
46 |
TINGKAT |
akhlaq |
|
|
|
|
|
|
|
Talimul Mutaalim |
0 |
1 |
5 |
4 |
9 |
19 |
Tsanawiyah |
Wasaya |
0 |
0 |
1 |
6 |
2 |
9 |
Ibtida’iyah/ Tsanawiyah |
Akhlaq lil Banat |
0 |
0 |
1 |
1 |
2 |
4 |
|
Akhlaq lil Banin |
0 |
0 |
1 |
1 |
1 |
3 |
Tsanawiyah |
Irsyadul Ibad |
0 |
1 |
1 |
0 |
5 |
7 |
|
Nashaihul Ibad |
0 |
0 |
2 |
0 |
4 |
6 |
‘Aliyah |
Tashawwuf |
|
|
|
|
|
|
|
Ihya Ulumiddin |
1 |
2 |
4 |
5 |
12 |
24 |
‘Aliyah |
Sairus Salikin |
1 |
1 |
1 |
0 |
0 |
3 |
|
Bidayatul Hidayah |
0 |
0 |
2 |
2 |
8 |
12 |
Tsanawiyah |
Maraqil Ubudiyah |
0 |
1 |
0 |
0 |
1 |
2 |
|
Hidayatus Salikin |
1 |
0 |
1 |
0 |
0 |
2 |
|
Minhajul Abidin |
0 |
3 |
3 |
1 |
3 |
10 |
|
Sirajut Thalibin |
0 |
2 |
1 |
0 |
0 |
3 |
|
Hikam/Syarah Hikam |
2 |
0 |
1 |
0 |
6 |
9 |
Tsanawiyah/ ‘Aliyah |
Hidayatul Adzkiya |
0 |
0 |
0 |
1 |
4 |
5 ‘Aliyah |
Kifayatul Atqiya’ |
0 |
1 |
0 |
0 |
1 |
2 |
Risalatul Muawanah |
0 |
1 |
1 |
0 |
4 |
6 ‘Aliyah |
Nashaihud Diniyah |
0 |
0 |
1 |
0 |
3 |
4 |
Adzkar |
0 |
1 |
1 |
0 |
1 |
3 |
Akhlak dan Tasawuf (Lihat
Tabel VI)
Garis batas yang memisahkan antara mata pelajaran akhlak dan
tasawuf, sebagaimana yang diajarkan di pesantren, sangat kabur. Karya yang
sama bisa dipelajari dibawah mata pelajaran tasawuf di satu pesantren, dan di
bawah mata pelajaran akhlak di pesantren yang lain. Mata pelajaran akhlak juga
sulit dibedakan dengan tarbiyah, (penanaman) kelakuan baik. Sebagaimana
ditunjukkan judul-judul pada tabel VI, karya- karya tentang tasawuf yang
dipelajari di pesantren semuanya termasuk dalam madzhab ortodoks yang juga
menekankan si- kap-sikap di atas. Di sini kami tidak menemukan karya tentang
tasawuf wahdah al-wujud. Dilihat selintas, hal ini mungkin tampak
mengherankan, mengingat corak mistik yang kuat pada Islam Indonesia
tradisional dan kegemaran kepada spekulasi metafisik, khususnya di kalangan
orang Jawa. Di pihak lain, tidak hanya teori kosmogonik dan mistik yang
spekulatif yang menarik minat para generasi ulama Indonesia terdahulu, tetapi
juga aturan-aturan kelakuan dan hierarkhi yang benar. Syaikh Yusuf Makassar,
salah seorang pendukung ajaran wahdah al- wujud pada abad ke-17, tidak hanya
mendeskripsikan berbagai teknik dzikir dan rujukan tak langsung kepada
doktrin-doktrin sufi, tetapi juga sangat tegas menekankan ketaatan yang
sepenuhnya dan tulus kepada guru sebagai satu langkah yang sangat penting
dalam perjalanan sufi.45 Dengan demikian dia menegaskan corak “kelakuan baik”
kepada ajaran tasawuf yang ada Indonesia.
Teks-teks wahdah al-wujud dan
berbagai karya “heterodoks” lainnya mungkin tidak diajarkan di banyak
pesantren, tetapi ini tidak berarti bahwa teks-teks tersebut tidak dibaca sama
sekali. Di beberapa toko buku saya menemukan karya ‘Abd
Al-Karim Al-Jili, Al-Insan Al-Kamil (yang masih
merupakan
bagian dari kurikulum beberapa pesantren Jawa Barat setengah abad yang lalu)
dan di Surabaya, bahkan, karya Ibn Al-‘Arabi, Al Futuhat Al-Makkiyah. Kedua
karya berbahasa Arab tersebut sangat sulit, dan kebanyakan dibaca oleh elite
agama yang kecil jumlahnya, berbeda dengan beberapa karya berbahasa Melayu,
seperti karya Nafis Al-Banjari, Al-Durr Al- Nafis, yang menerangkan versi
populer dari ajaran wahdah al- wujud,46 dan banyak ditemukan di toko-toko buku
di Kalimantan Selatan, Aceh dan Malaysia. Demikian juga, walaupun Al- Ghazali
mungkin telah menggantikan para sufi yang lebih “ekstrem”, tetapi ‘Abd
Al-Shamad Al-Falimbani tampaknya telah menyusupkan beberapa doktrin yang
ditolak ini ke dalam karya adaptasi berbahasa Melayu atas karya-karya utama
Al-Ghazali (lihat di bawah). Karya-karya berbahasa Melayu ini dibaca di Jawa
Barat dan juga di pulau-pulau lain. Bertentangan dengan asumsi-asumsi yang
umumnya dianut tentang sikap keagamaan orang Jawa dan orang Indonesia
non-Jawa, pesantren Jawa-lah yang merupakan pusat berkembangnya ortodoksi,
sebaliknya doktrin-doktrin tasawuf spekulatif masih bertahan di pulau- pulau
luar jawa.
Koleksi kami memuat hampir seratus judul yang berbeda tentang
akhlak dan tasawuf, tetapi teks-teks dasar yang banyak dipelajari relatif
sedikit. Karya-karya tersebut adalah sebagai berikut.
Ta’lim
Al-Muta’allim [li Thariq Al-Ta’allum], karangan Burhan Al-Islam Al-Zarnuji,
merupakan karya terkenal yang berisi tentang sikap kepatuhan dari para murid
sepenuhnya kepada para gurunya. Bagi banyak kiai, karya ini merupakan salah
satu tiang penyangga utama pendidikan pesantren. Dalam diskusi tentang kitab
yang diselenggarakan oleh NU belum lama berselang, salah seorang peserta
menganjurkan agar buku sejenis ini dilarang keras diajarkan karena akan
menanamkan sikap-sikap yang pasif dan tidak kritis. Reaksi atas anjuran ini
memberikan alasan untuk mempercayai bahwa dalam jangka waktu yang lama karya
akan tetap merupakan bagian dari kurikulum pesantren. Karya ini
juga tersedia dalam bentuk terjemahannnya, berbahasa Jawa dan Madura.
Washaya
[Al-Aba’ li Al-Ibna’], karya pengarang Mesir, Muhammad Syakir (syaikh ‘ulama
Al-Iskandariyah, sebagaimana yang tertulis di halaman judul kitab tersebut),
merupakan teks singkat yang menerangkan bagaimana anak-anak yang baik harus
mandi sendiri, memelihara anggota keluarga yang sakit, memperbaiki ban
sepedanya sendiri, dan seterusnya. Tersedia juga karya terjemahannya oleh K.H.
Bisri Mustofa.
Al-Akhlaq Li Al-Banat dan Al-Akhlaq Li Al-Banin, yang
masing- masing terdiri dari tiga jilid tipis, merupakan pelajaran-pelajaran
moral bagi anak perempuan dan laki-laki, dimaksudkan untuk dibaca di madrasah
negeri, yang ditulis oleh seorang yang bernama ‘Umar b. Ahmad Barja.
Saya
lebih suka menempatkan tiga teks berikut, juga, ke dalam kategori ini,
walaupun buku-buku tersebut kasang- kadang disebut sebagai karya-karya tentang
fiqih ‘ubudiyah (yakni, berkaitan dengan tata cara ibadah) atau (yang pertama)
sebagai kumpulan hadis.
Irsyad Al-‘Ibad [Ila Sabil Al-Rasyad] merupakan
karya Zain Al-Din Al-Malibari (kakek dari pengarang kitab Fath Al-Mu’in).
Terdapat berbagai edisi cetakannya teks Arabnya, dan baru- baru ini juga
terjemahan berbahasa Jawanya oleh Misbah b. Zain Al-Mustafa.
Nasha’ih
Al-‘Ibad juga merupakan karya lain dari Nawawi Banten. Kitab ini merupakan
syarah atas karya Ibn Hajar Al- ‘Asqalani, Al-Nabahah ‘Ala Isti’dad. Kitab ini
memusatkan pembahasannya kepada adab-adab berperilaku, dan seringkali
dijadikan sebagai karya pengantar mengenai akhlak bagi para santri yang lebih
muda.
Al-Adzkar [Al-Muntakhab Min Kalam Sayyid Al-Abrar] karangan Abu
Zakariya’ Yahya Al-Nawawi yang memuat ajaran- ajaran tentang ibadah dan
perbuatan saleh. Terjemahannya dalam bahasa Jawa dan, belakangan juga, bahasa
Indonesia tersedia di toko buku.
Pelajaran tasawuf ini sangat didominasi
oleh Abu Hamid Al-Ghazali dan kitab-kitabnya, Ihya’, Bidayah Al-Hidayah dan
Minhaj Al-‘Abidin. Ada berbagai pesantren yang mengkhususkan
diri
mengajarkan Ihya. Ketiga karya yang disebutkan di atas sudah diterjemahkan,
paling tidak beberapa bagiannya, ke dalam beberapa bahasa Nusantara.
‘Abd
Al-Shamad Al-Falimbani (yang hidup dan aktif pada pertengahan abad ke-18)
menulis beberapa karya adaptasi terkenal dalam bahasa Melayu dari dua karya
pertama di atas, masing-masing dengan judul Sair Al-Salikin dan Hidayah Al-
Salikin. Tanpa menyadari adanya pertentangan yang mencolok, ‘Abd Al-Shamad
menyusupkan ke dalam kedua karya tersebut, terutama Sair Al-Salikin,
unsur-unsur dari ajaran wahdah al- wujud yang diambilnya dari sumber-sumber
lain, yang tam- paknya agak asing bagi ajaran tasawuf sunni Al-Ghazali (sebuah
survei yang baik dilakukan dalam Quzwain 1985, terutama hlm. 37-51). Kedua
karya ini masih populer, terutama di Sumatra dan Jawa Barat.
Nawawi
Banten menulis sebuah kitab syarah (berbahasa Arab) atas kitab Bidayah
dengan judul Maraqi Al-‘Ubudiyah yang, jika dinilai dari jumlah edisinya
yang berbeda-beda yang masih dapat ditemukan hingga sekarang, lebih populer
dibandingkan dengan hasil skor daftar kami yang memberikan angka lebih
rendah.
Siraj Al-Thalibin merupakan kitab syarah berbahasa Arab (2 jilid)
atas kitab Minhaj karangan Ihsan b. Muhammad Dahlan dari Jampes, Kediri (w.
1952). Karya ini sangat terkenal di Jawa Timur, walaupun mendapat skor yang
rendah dalam daftar kami.
Di samping buku-buku ini, terjemahan berbahasa
Sunda dari beberapa bagian dari karya-karya Al-Ghazali yang dihasilkan oleh
ulama besar Abdullah bin Nuh dari Bogor (w. 1987) layak untuk disebut.
Kitab
Hikam adalah kumpulan wejangan-wejangan tasawuf terkenal yang dikarang oleh
Ibn ‘Athaillah Al-Iskandari. Beberapa karya terjemahan dan syarah-nya dapat
ditemukan di Indonesia. Di antaranya, yang layak disebut, adalah Hikam Melayu
(anonim), Syarah Hikam (oleh M. Ibrahim Al-Nafizhi Al- Rindi) dan kitab
berbahasa Melayu Taj Al-’Arus karya ‘Usman
Al-Pontiani dan
juga Hikam berbahasa Jawa oleh Saleh Darat dari Semarang serta beberapa versi
modernnya, terutama kitab syarah setebal empat jilid yang disusun oleh ulama
Aceh K.H. Muhibbudin Wali.
Hidayah Al-Adzkiya’ [Ila Thariq Al-Auliya’],
yang merupakan teks pelajaran tentang tasawuf praktis oleh Zain Al-Din Al-
Malibari, yang ditulis dalam bentuk untaian bait sajak pada tahun 914/1508-9,
sudah sejak lama menjadi kitab populer di Jawa; sebagai contoh, kitab ini
disebutkan dalam Serat Centhini. Banyak syarah atas karya ini dipakai di
Indonesia. Salah satu syarah-nya yang lebih dikenal adalah Kifayah Al-Atqiya’
wa Minhaj Al-Ashfiya’ karangan Sayyid Bakri b. M. Syaththa’ Al- Dimyati.
Nawawi Banten yang sangat produktif juga menulis sebuah kitab syarah, Salalim
Al-Fudhala’, yang dicetak di tepi halaman kitab Kifayah karya Sayyid
Bakri. Terdapat juga beberapa terjemahan dan syarah berbahasa Jawa oleh Saleh
Darat (Minhaj Al-Atqiya’) dan ‘Abd Al-Jalil Hamid Al-Qandali (Tuhfah
Al-Ashfiya’), serta sebuah terjemahan Madura sela baris (oleh ‘Abd Al-Majid
Tamim dari Pamekasan).
Dua kitab yang terakhir adalah karya pengarang dan
sufi Hadhrami yang saleh, ‘Abdallah b. ‘Alwi Al-Haddad, yang di Indonesia
sangat dikenal sebagai pengarang ratib Haddad dan bacaan-bacaan amalan lainnya
(w. 1132/1720, lihat GAL II: 408: GAL S II: 566). Dia menulis sekitar sepuluh
buku, kebanyakan mengenai tasawuf, yang beberapa di antaranya menjadi kitab
yang populer di Nusantara. Karyanya yang berjudul Al-Risalah Al-Mu’awanah [wa
Al-Muzhaharah wa Al-Muwazarah] beberapa lama menjadi salah satu teks tentang
perilaku yang benar dan sikap saleh yang lazim diajarkan di pesantren Jawa.
Kitab ini telah diterjemahkan ke bahasa Jawa (oleh Asrori Ahmad) dan Melayu
(oleh Idris Al-Khayath Al-Patani), belakangan juga diterjemahkan ke bahasa
Indonesia (oleh Muhammad Al-Baqir, dengan judul Thariqah Menuju Kebahagiaan).
Karya populernya yang lain, Al-Nasha’ih Al-Diniyah [wa Al-Washayah Al-
Imaniyah], yang berisi nasihat-nasihat agama. Kitab ini sudah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Melayu oleh salah seorang keturunannya, ‘Alwi
b. M. b.
Thahir Al-Haddad, dengan judul Al-Shilah Al-Islamiyah.
Secara
mencolok telah terjadi kebangkitan kembali minat untuk mempelajari karya
‘Abdallah Al-Haddad, baik di Mesir maupun, kemudian, di Indonesia.47 Kitab
Al-Risalah Al- Mu’awanah dicetak di Mesir pada tahum 1930 (dan mungkin dikenal
di Indonesia baru beberapa dasawarsa kemudian), sementara karya-karya yang
lain diterbitkan pada tahun 1970-an atas usaha mufti besar Mesir terdahulu,
Hasanain
M. Makhluf. Di Indonesia, Al-Haddad dan karya-karyanya
dipropagandakan secara aktif oleh sesama sayyid Hadhrami, terutama Muhammad
Al-Baqir yang berpengetahuan luas, yang menerjemahkan beberapa karyanya ke
dalam bahasa Indonesia. Mengejutkan, buku-buku ini terjual laris, dan beberapa
kali mengalami cetak ulang, pada tahun pertama kemunculan- nya.48 Penerjemahan
beberapa karya Al-Ghazali akhir-akhir ini juga banyak mendatang keuntungan
material. Diam-diam, tasawuf ortodoks rupanya memiliki daya tarik yang kuat di
luar lingkungan pesantren—yang tampaknya merupakan respon terhadap kemerosotan
politik Islam Indonesia selama beberapa dasawarsa yang lalu.
Sejarah
Islam/Teks-Teks Penghormatan kepada Nabi (Lihat Tabel VII)
Sejarah Islam
merupakan mata pelajaran baru, yang jarang diajarkan di pesantren, dan jumlah
kitab yang tersedia mengenai bidang ini masih sangat terbatas. Kebanyakan
santri memperoleh pengetahuan mereka mengenai, dan kesadaran atas, sejarah
Islam pada umumnya dari karya-karya yang berisi penghormatan kepada Nabi dan
para wali. Dari judul judul kitab yang terdapat pada Tabel VII, hanya Nur
Al-Yaqin yang merupakan buku teks sejarah yang sebenarnya; kitab ini dan
versinya yang lebih ringkas, Khulashah Nur Al-Yaqin, benar-benar merupakan
satu-satunya karya serius tentang sirah (biografi Nabi) yang dijadikan bahan
pelajaran di pesantren. Karya aslinya dikarang oleh seorang pengarang Mesir
modern, Muhammad Hudhari Bek; sedangkan Khulashah ditulis oleh ‘Umar ‘Abd
Al-Jabbar, pengarang Makkah yang mengarang banyak buku teks untuk
madrasah.
Buku-buku ini pada awalnya merupakan ciri khas kepustakaan madrasah, tetapi
sekarang ternyata juga dipelajari di beberapa pesantren. Dua karya tentang
sejarah lainnya, yang juga dikarang oleh Muhammad Hudhari Bek, sudah dicetak,
dan menjadi populer, di Indonesia. Keduanya adalah Itmam Al- Wafa’ fi Shirah
Al-Khulafa’, yang berisi sejarah para khalifah, dan Tarikh Tasyri’ Al-Islami,
sejarah mendalam tentang perkembangan hukum Islam.
Tabel VII
Sejarah Hidup Nabi (Sirah) dan Karya Penghormatan untuk Nabi Saw
Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
Jumlah Pesantren |
4 |
3 |
9 |
12 |
18 |
46 TINGKAT |
[Khulashah] Nurul Yaqin |
2 |
1 |
2 |
3 |
2 |
10 Tsanawiyah |
Barzanji |
0 |
1 |
1 |
1 |
0 |
3 |
Bardir |
0 |
1 |
1 |
0 |
1 |
3 |
Dua teks lain yang
tercantum dalam daftar adalah karya penghormatan terkenal yang berisi cerita
kelahiran Nabi dan mi’raj-nya ke langit. Kitab Barzanji, buku maulid karya
Ja’far Al-Barzinji, mungkin merupakan teks yang paling disukai di Indonesia
setelah Al-Quran; kitab Dardir merupakan syarah yang disusun oleh Ahmad
Al-Dardir atas kitab Mi’raj (perjalanan, Nabi ke langit) versi Najm Al-Din
Al-Ghaithi. Di samping penggunaannya yang bersifat ritual (lihat bagian
berikutnya, kitab-kitab ini juga berfungsi sebagai bahan-bahan pelajaran di
sejumlah pesantren. Jumlah karya yang bersifat penghormatan kepada Nabi
ditemukan di toko-toko buku lebih banyak dari dua karya yang terdaftar di
sini: koleksi kami berisi lebih dari dua puluh lima buku sejenis.49 Penggunaan
utama buku-buku ini bukanlah ditujukan untuk keperluan pendidikan, tetapi
untuk tujuan pemujaan dan ibadah: kitab-kitab ini dapat dibaca secara pribadi
sebagai suatu perbuatan amal baik atau, biasanya, dibaca secara berjama’ah,
atau paling tidak di hadapan banyak orang, pada berbagai acara. Juga, terdapat
kitab lain yang juga
dipergunakan untuk tujuan-tujuan non
pendidikan seperti ini.
Untuk menyimpulkan survei kami, perlu juga
diutarakan sedikit tentang berbagai jenis kitab yang bersifat ekstra-kurikuler
serta penggunaannya.
Kitab Ekstra-Kurikuler: Penghormatan, Ritual
dan Ilmu Gaib
Tidak semua kitab dalam koleksi kami termasuk bagian dari
kurikulum resmi pesantren. Cukup banyak buku (lebih dari 10 %) yang
dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain, yang mungkin secara kasar bisa
dikelompokkan menjadi satu di bawah judul “penghormatan, ritual dan ilmu
gaib”. Karena buku-buku ini mencakup buku-buku kumpulan doa-doa dan berbagai
bacaan amalan sejenisnya (wirid, jamak: aurad) yang dibaca pada acara-acara
tertentu, bimbingan latihan spiritual dari berbagai tarekat, teks-teks berisi
penghormatan kepada Nabi atau salah seorang walli yang dibacakan pada
acara-acara tertentu, buku-buku tentang ramalan, dan buku-buku pegangan ilmu
gaib. Buku-buku semacam ini sangat populer, dan dijual lebih banyak daripada
buku-buku yang lain.
Di banyak desa Jawa pembacaan Burdah, Diba’i atau
Barzanji—puisi penghormatan kepada Nabi—yang dilakukan secara berjamaah
seminggu sekali merupakan salah satu peristiwa sosial yang penting. Barzanji
dan teks-teks serupa lainnya juga dibaca pada peristiwa-peristiwa tertentu
dalam berbagai ritual yang mengiring siklus kehidupan seseorang, untuk
memenuhi nazar atau menangkal bahaya. Berbagai kitab manaqib ‘Abd Al-Qadir
Al-Jailani50 dipergunakan untuk tujuan ritual yang sama, dan kadang-kadang
untuk tujuan mengusir setan. Ini tidak berarti bahwa teks-teks ini tidak
dipergunakan sebagai bahan bacaan orang saleh; tetapi bahkan ketika dibaca
sendirian, penekanan yang seringkali diberikan adalah kepada upaya memperoleh
pahala yang banyak, keuntungan spiritual dan material yang akan diperoleh
dengan perbuatan tersebut dan bukan kepada aspek kandungan informasi teks
tersebut.
Untuk tujuan-tujuan ritual ini, tidaklah penting apakah
pembaca betul-betul memahami seluruh isi teks; mereka pada
umumnya
membaca teks Arabnya saja.51 Namun terjemahan beberapa teks, tersebut sudah
sejak lama ditemukan, di samping teks aslinya yang berbahasa Arab.
Burdah
karya Bushiri diterjemahkan ke bahasa Melayu sejak abad ke-16 (Drewes 1955).
Terjemahan berbahasa Jawa, Melayu dan Sunda dari Manaqib ‘Abd Al-Qadir sudah
dipakai paling tidak sejak abad ke-19 dan seterusnya (Drewes dan Poerbatjaraka
1938), bersama-sama dengan teks serupa yang berbahasa Melayu tentang Nabi
(misalnya, Hikayat Nur Muhammad, Nabi bercukur, Nabi Wafat) dan juga tentang
para wali seperti Muhammad b. ‘Abd Al-Karim Al-Samman. Buku-buku ini masih
tersedia, dan terdapat juga banyak karya terjemahan baru dan syarah atas buku
maulid dan manaqib terkenal yang dikarang oleh ulama Indonesia.52
Kategori
penting lainnya adalah buku buku tentang “ilmu gaib Islam”. Menurut para
pengamat yang teliti, jumlah orang yang mencari bantuan supernatural untuk
mengatasi berbagai problem spiritual, psikologis atau material telah
meningkat, bukan menurun, daripada dua dasawarsa yang lalu. Jumlah dukun
tampaknya bertambah banyak, dan dengan demikian juga kiai dan orang lainnya
yang mempraktikkan berbagai macam amalan Islami untuk melakukan penyembuhan
gaib dan bantuan supernatural. Sementara sebagian masyarakat Muslim berjuang
melawan “takhayul-takhayul”, bagi banyak orang Islam lain, mungkin mayoritas,
dimensi-dimensi magis- mistis tetap merupakan bagian integral dari warisan
Islam.
Kalangan santri pada umumnya menarik garis pembatasan yang ketat
antara thibb (pengobatan) dan hikmah (ilmu-ilmu gaib), walaupun bagi banyak
kalangan modernis keduanya adalah magi dan tidak dapat diterima. Hikmah
berisi, secara terang-terangan, unsur-unsur pra-Islam, seperti penggunaan
wafaq, sementara thibb hanya menggunakan teks-teks Al- Quran. Pembela thibb
dengan bangga mengajukan argumen, untuk melawan kalangan modernis, bahwa salah
seorang murid utama Ibn Taymiyah, Ibn Qayyim Al-Jauziyah, menulis sebuah karya
penting dalam bidang ini, Al-Thibb Al-Nabawi. Dan bahkan bertentangan dengan
yang dipercayai kalangan
modernis hikmah pun tidak jauh
beranjak-dari arus besar ortodoksi Islam: Imam Ghazali menulis Al-Aufaq, karya
tentang segi empat magis (wafaq), yang masih banyak dipergunakan di Indonesia,
sementara pengarang yang sangat produktif, Jalal Al- Din Al-Suyuthi, menulis
Al-Rahmah fi Al-Thibb wa Al-Hikmah. Namun, kitab hikmah yang paling
berpengaruh adalah karya syaikh Afrika Utara abad ke-12/13, Ahmad b. ‘Ali
Al-Buni: Syams Al-Ma’arif Al-Kubra dan Manba’ Ushul Al-Hikmah. Karya-karya ini
dan karya serupa (yang tersedia dalam edisi lokal) banyak dipergunakan di
pesantren Jawa, walaupun tidak merupakan bagian kurikulum formal dan semakin
jarang diajarkan oleh kiainya sendiri. Namun, buku-buku ini menduduki tempat
yang sentral dalam pengajaran kepada sesama santri. Para santri yang lebih tua
seringkali secara bersama-sama mencoba berbagai teknik ilmu gaib terdapat
dalam buku-buku ini.
Berbagai risalah singkat populer yang didasarkan
kepada kitab-kitab hikmah ini, yang disebut “mujarrabat” (kebijaksana- an
tradisional, harfiyah: sesuatu yang terbukti efektif) tersedia dalam jumlah
yang terus meningkat dan dalam berbagai bahasa. Buku-buku ini berisi doa-doa,
bacaan-bacaan dan simbol-simbol yang berkekuatan magis untuk berbagai tujuan
yang berhubungan dengan kesehatan, cinta, karier, perlin- dungan dari ruh-ruh
jahat dan menghindari kecelakaan dalam perjalanan. Ada beberapa karya sejenis
ini yang menyebutkan manfaat-manfaat tertentu yang diperoleh dengan membaca
ayat-ayat Al-Quran atau doa-doa tertentu. Tidak ada garis pemisah yang jelas
yang membedakan buku-buku mujarrabat dengan primbon, kumpulan informasi yang
berguna, yang mengandung jenis bacaan-bacaan magis yang serupa, di samping
daftar hari-hari dan jam-jam mujur, ramalan kejadian (dengan menggunakan
mimpi, hari di mana haidh seorang wanita mulai, dan seterusnya), daftar doa
yang sangat panjang, dan seterusnya. Buku-buku yang termasuk jenis ini, yang
melayani khalayak awam dan tidak terdidik, dicetak dalam jumlah yang sangat
besar. Sebagian sudah dicetak dalam bahasa Indonesia berhuruf Latin, tetapi
kebanyakan dalam bahasa Melayu, Jawa atau Sunda dengan huruf Arab dan, karena
itu, nampaknya
di tujukan kepada masyarakat sekitar dunia
pesantren—orang- orang yang memiliki pengetahuan tentang huruf Arab. Teks-
teks yang singkat ini mungkin lebih besar pengaruhnya dalam membentuk sikap
keagamaan populer daripada karya-karya yang lebih serius yang dipelajari di
pesantren. []
Catatan akhir:
1. Versi
awal dari tulisan ini telah dibaca dan diberi komentar oleh Abdurrahman Wahid,
G.W.J. Drewes, J. Noorduyn dan Karel Steenbrink, di samping beberapa
orang lainnya yang membantu saya dengan sejumlah informasi. Meskipun demikian,
mereka, tentu saja, tidak dapat disalahkan karena adanya berbagai kekurangan,
yang merupakan tanggung jawab saya sendiri.
2. Katalog
yang diatur menurut abjad sesuai dengan berbagai kriteria klasifikasi—nama
pengarang, judul pendek atau sebutan popular (terpisah dari judul lengkapnya),
pokok bahasan, dan bahsa—telah dipersiapkan untuk lebih memudahkan
pemanfaatannya bagi para pemakai dan mem- permudah usaha untuk mengetahui isi
koleksi ini.
3. Agen Dar Al-Fikr yang tadi disebut,
baru-baru ini (awal tahun 1988) mulai mencetak ulang beberapa judul buku juga
di Indonesia, dengan menggunakan nama Dar Al-Fikr Indonesia.
4.
Lihat Snouck Hurgronje 1889: 386-7, di mana juga diberikan sebuah daftar judul
buku yang dicetak.
5. Kebanyakan bait sajak tersebut
berbahasa Melayu, tetapi beberapa di antaranya berbahasa Arab, walaupun di
sini tetap mempertahankan gaya sajak Melayu yang lazim dipakai. Sebuah contoh
dari baitnya yang memperkenalkan penerjemahan anonim atas kitab Al-Hikam karya
Ibn ‘Athaillah: Kitab inilah yang patut mengajinya * dan upamanya mas sudah
diujinya/ dan upama pula makanan diidang * dan yang lain itu tudung
sajinya/dan upama pula buah-buahan * isinya dan minyaknya dalam bijinya/kerana
ialah yang menyampai kepada Tuhan * lagi besar pahalanya dan gajinya/dan yang
dapat ilmunya dan meamalkan * orang itulah sebenar dipuji- Nya/surga itulah
kediaman yang kekal * ilmu ini pintunya dan bajinya/dan yang jahil dengan dia
api neraka * selar, sengat tikamnya gergajinya/ya rabbi kurniakan futuh
engkau
* bagi tiap-tiap hamba mengajinya.
6.
Cetakan ulang Al-Quran Bombay secara fotomekanis masih diterbitkan dalam
jumlah besar sekarang (oleh Al-Ma’arif).
Dapat dibaca dengan
jelas dengan huruf-hurufnya yang besar, formatnya masih merupakan salah satu
format yang paling populer di pasaran buku Indonesia.
7.
Pencetakan buku berbahasa Melayu (bahan-bahan non- Islam) yang disponsori
missi dan pemerintah mulai dilakukan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak,
di Singapura dan juga Hindia Timur Belanda, sebelum pertengahan abad. Di
Singapura huruf Arab digunakan, dan di Hindia pada awalnya kebanyakan dicetak
dalam abjad Latin. Lihat Roff 1980: 44 dan Hoffmann 1979, terutama hlm.
76-89.
8. Tentang Sayyid Usman, lihat Snouck Hurgronje
1887b dan 1894. Dua belas dari karyanya yang banyak (termasuk karya yang
ditinjau dalam tulisan Snouck yang kemudian) sampai sekarang masih tersedia
dalam bentuk cetakan ulang yang diterbitkan di Jakarta dan Surabaya.
9.
Von Dewall 1857. Pengarang mendapat kabar angin tentang adanya percetakan
pribumi kedua di Surabaya, tetapi saya belum berhasil membuktikan kebenaran
informasi ini.
10. Yunus 1979, hlm. 66-7, menyebutkan
judul-judul buku yang ditulis pada tahun 1930-an oleh para pengarang yang
mempunyai hubungan dengan Sumatra Thawalib. Beberapa di antaranya, yang
ditulis oleh Mahmud Yunus sendiri dan Abdul Hamid Hakim, masih dipakai di
madrasah-madrasah di seluruh Indonesia. Sebuah karya fiqih (4 jilid) dalam
bahasa Arab yang ditulis Abdul Hamid Hakim, Al-Mu’in Al-Mubin, juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan masih dipelajari di Malaysia dan
Thailand bagian selatan.
11. Dalam hubungan ini
Schrieke 1921 menyebutkan sekitar sepuluh buku serta beberapa majalah yang
dicetak di Sumatra Barat (di percetakan Belanda), di Padang, Fort de Cock
(Bukittinggi) dan Padang Panjang serta beberapa jurnal. Peserta polemik lain
juga menerbitkan karya-karya mereka di Makkah dan Kairo. Pada tahun 1920-an
dan 1930-an terdapat lebih dari sepuluh penerbit Muslim yang berbeda yang
beroperasi di berbagai kota di Sumatra Barat (Sanusi Latif dari Padang,
percakapan pribadi).
12. Paragraf berikut
ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan para tokoh penerbitan kitab,
Muhammad bin ‘Umar Bahartha (yang pada tahun 1948 mendirikan, dan sampai
sekarang masih memimpin, Al-Ma’arif Bandung, penerbit yang paling
besar di Indonesia), Usman bin Salim Nabhan dari Surabaya dan beberapa
penerbit muda.
13. Pada paruh pertama abad kedua puluh,
pemerintah Hindia Belanda menarik pajak atas impor kertas tetapi tidak untuk
impor buku-buku cetakan, yang memberikan keuntungan bagi penerbit Singapura,
Sulaiman Mar’i, dalam persaingannya dengan para penerbit di Hindia Belanda.
Namun, sekarang Indonesia memproduksi sendiri kertas bermutu
tinggi, sementara upah buruh dan pengeluaran tambahan di Singapura sangat
tinggi. Tidak hanya penerbit lama milik Sulaiman Mar’i ditutup pada awal tahun
l980-an.
14. Jangan dikacaukan dengan perusahaan
penerbitan Mesir yang mempunyai nama yang sama, tetapi tidak ada hubungan
formal dengannya
15. Di Kelantan, huruf yang umum
digunakn adalah huruf Arab, bukan Latin, sehingga di sini tidak terlalu
gampang membedakan kitab dari buku-buku yang lain.
16.
Informasi rinci tentang kitab yang diterbitkan di Patani terdapat dalam
Matheson dan Hooker 1988.
17. Di beberapa pesantren
tradisional di Jawa Timur, santri “mempelajari” karya-karya manzhum tersebut
dengan membacanya bersama-sama dengan irama tertentu, yang diikuti suara
rebana dan tepukan tangan—yang sudah berkembang menjadi bentuk kesenian Muslim
yang khas.
18. Ini adalah peniruan atas buku-buku teks
tulisan tangan santri pada masa terdahulu: yang setelah menyalin teks asli
berbahasa Arab, mereka akan mendengarkan penjelasan kiai dan menuliskan
terjemahannya di sela-sela baris teks Arabnya.
19.
Tentang Dahlan, lihat Snouck Hurgronje 1887a, Al-‘Attas 1979, II: 700-12;
tentang Sayyid Bakri dan karya utamanya I’anah Al-Thalibin, Snouck Hurgronje
1889: 253, 259-60.
20. Tentang Nawawi
Banten, lihat Snouck Hurgronje 1889: 362- 7; Chaidar 1978, Sarkis (1928)
menyebutkan 38 karya yang diterbitkan oleh Nawawi. Tentang karya utamanya,
Al-Tafsir Al-Munir, lihat Johns 1984 dan 1988.
21.
Sebuah gambaran singkat tentang riwayat hidup Al- Bajuri, yang pernah menjadi
Syaikh Al-Islam Kairo, diberikan dalam karya Snouck Hurgronje Verspreide
Geschriften, jilid II, hlm. 417: sebuah peinbahasan mendalam tentang karya
fiqihnya yang digunakan secara luas terdapat dalam Snouck Hurgronje 1899.
22.
Penulis biografinya, Abdullah (1987: 45-6), menyebut 38 karya yang ditulisnya,
namun beberapa di antaranya rupanya sudah tidak bisa ditemukan lagi.
23.
Lihat Danuwijoto 1977. Kebanyakan karya ulama Saleh (Danuwijoto menyebut 12
judul) sekarang tidak dicetak dan tidak dapat ditemukan lagi.
24.
K.H. Mahfudz sangat dimuliakan di kalangan para kiai sekarang sebagai ulama
Jawa yang paling mendalam pengetahuannya di antara para ulama Jawa yang pernah
ada. Dia adalah guru yang sangat dihormati oleh beberapa ulama pendiri NU
(termasuk Hasyim Asy’ari). Tidak banyak tulisan tentang riwayat hidupnya;
terdapat beberapa catatan singkat tentang ini dalam ‘Abbas 1975- 460 dan ‘Abd
Al- Jabbar 1385/1965-6: 321-2.
25. Tentang Mahmud Yunus
yang merupakan orang Indonesia pertama yang berhasil menamatkan pendidikannya
di Dar Al-Ulum Mesir dan pendidik yang bersemangat, lihat Taufik Abdullah
1971:141-2,151-4,213-4, dan Yunus 1979, passim; tentang Abdul Hamid Hakim,
lihat Latief 1981: 199-208.
26. Mengenai
perbedaan-perbedaan antara kedua lembaga pendidikan Islam ini, lihat
Steenbrink 1974: ulasan tentang kurikulum keduanya dapat ditemukan dalam Yunus
1979, passim.
27. Katalog naskah berbahasa Arab, Melayu
dan Jawa di perpustakaan Jakarta dan perpustakaan Leiden juga memberikan
informasi yang berguna tentang kitab yang dipakai
pada abad
kesembilan belas, walaupun tetap meragukan seberapa jauh koleksi tersebut
mewakili bagi lingkungan pesantren. Serat Centhini, yang mungkin disusun pada
awal abad ke-19, menyebut banyak kitab; ada kecocokan yang dekat antara yang
termuat di dalamnya dengan daftar yang diberikan Van den Berg (lihat Soebardi
1971). Untuk periode yang lebih awal, Drewes (1972, lampiran) telah menyusun
sebuah daftar karya yang menarik yang dipakai di Palembang pada abad ke-
18.
28. Misalnya, Departemen Agama 1977; Prasodjo dkk..
1978: 51-68; Yunus 1970, passim; Zarkasyi 1985.
29.
Tentang pesantren Jawa Barat lihat, terutama, Prasodjo et Al., 1978: 51-68;
Amidjaja et al., 1985: 41-43. Tentang pesantren Jawa Tengah dan Timur,
terdapat serial monograf yang dipersiapkan oleh Balai Penelitian dan
Pengembangan Departemen Agama, yang dipersiapkan selama tahun 1980-1983.
30.
“Sikap dan Pandangan Hidup Ulama Indonesia”, sebuah proyek penelitian
LIPI-IPSK yang dilakukan pads tahun 1986- 1988.
31.
Data untuk wilayah Riau dan Palembang diperoleh melalui wa- wancara dengan
bererapa ulama setempat. Tentang Pariaman berasal dari hasil wawancara dan
observasi di tempat, semuanya dalam rangka proyek penelitian yang telah
disebutkan. Kuri- kulum PERTI dikutip dari Yunus 1979: 100.
32.
Sampai sekarang masih ada beberapa pondok pesantren di Kalimantan.
Pesantren-pesantren tersebut baru didirikan belakangan, dengan mengikuti gaya
pesantren Jawa Timur. Tingkat pelajaran di sini relatif masih rendah. Sebelum
pesantren-pesantren ini berdiri, orang biasanya belajar secara pribadi
langsung kepada seorang guru, sebagian besar dengan menggunakan Kitab Melayu
(khususnya karya M. Arsyad Al- Banjari).
33. Hampir
semua karya yang disebutkan Van den Berg masih digunakan dan, lebih dari itu,
di pihak lain, di antara buku- buku yang lebih populer yang disebutkan dalam
daftar Drewes banyak judul yang sudah tidak
digunakan lagi sekarang,
sementara teks-teks yang
popular dalam daftar yang kami buat tidak menonjol dalam daftarnya. Dalam
koleksi- koleksi perpustakaan, item-item yang relatif langka umum- nya
cenderung ditonjolkan—dan judul yang lebih umum tidak cukup terwakil (teks
yang langka, bagaimana pun juga, tampak sebagai koleksi jauh lebih berharga).
Di samping tidak menyebutkan baik Kailani maupun Maqsyud dengan syarahnya,
Al-Amtsilah, Bina atau Asymawi, Drewes menyebutkan karya Dahlan sebagai syarah
atas kitab Jurumiyah dan bukan Alfiyah. Dia juga tidak menyebutkan satu karya
pun tentang balaghah: tidak jelas apakah tidak ada naskah tentang cabang ilmu
ini di perpustakanperpustakaan, atau apakah Drewes tidak menganggap ilmu
balaghah sebagai cabang dari ilmu tata bahasa Arab.
34.
Singkatan GAL dan GALS yang digunakan di sini dan pada halaman berikutnya
merujuk kepada karya Carl Brockelmann, Geschichte der Arabischen Literatur,
jilid I-II dan tiga jilid Suplemen-nya.
35. Saya
berhutang budi untuk informasi mengenai kurikulum madrasah tradisional di
lingkungan Kurdi kepada teman saya M.E Bozarslan dan M. Taifun, keduanya dari
Kurdistan utara, dan Fadhil Ahmad Karim dari Kurdistan selatan. Snouck
Hurgronje (1883) menceritakan sebuah buku teks tulisan tangan orang Sumatra
Barat yang berisi, menurut urutan tersebut, sebuah daftar ungkapan-ungkapan
tata bahasa, tabel infleksi, sebuah buku tanpa judul yang tampaknya merupakan
(bagian dari) Al-‘Izzi. ‘Awamil dan sebuah syarah atas Jurumiyah (karangan
Syaikh Khalid b.’Abdullah Al-Azhari). Karya yang terakhir ini masih populer di
seluruh Sumatra, dengan nama Syaikh Khalid atau Azhari atau judul sebenarnya
Tamrin Al-Thullab.
36. Dalam beberapa edisi, Bina’ dan
‘Izzi dicetak menjadi satu dengan karya-karya pengantar ilmu sharaf lainnya,
misalnya Al-Maqshud, Al-Shafiyah (karangan Jamal Al-Din
b. Al-Hajib,
wafat 646/1249, lihat GALI:303-6), dan dua teks anonim, Al-Marah dan Amtsilah
Mukhtalifah. Semua teks ini
sangat singkat: seluruh koleksi
terdiri tidak lebih dari 72 halaman).
37. Menurut Van
den Berg dan Drewes, nama lengkap Ibnu Hisyam ini ialah Abu ‘Abdallah b. Yusuf
d. Hisyam, tetapi halaman judul edisi Indonesia karyanya menyebut namanya
sebagai Jamal al-Din b. Hisyam Al-Anshari. Terdapat berbagai syarah terhadap
karya ini, di antaranya Mujid Al-Nida’ oleh Syihab Al-Din Ahmad Al-Fakihi,
yang diberikan hasyiyah oleh Ahmad Al-Sija’i dan taqrir oleh Syams Al-Din
Al-Anbabi.
38. Bukan Murauniq, sebagaimana ditulis
Brockelmann (GAL S: 705).
39. Yakni, sekarang ini.
Ternyata, karya Nashafi, ‘Aqa’id ter- masuk dalam karya-karya pertama yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Sebuah naskah abad ke-16 dengan
terjemahan di sela baris aslinya masih dapat ditemukan (Al-Attas 1988).
40.
Untuk pembahasan tentang isi dari beberapa teks jenis ini, lihat Nor bin Ngah
1983: 13-18
41. Peter Riddell (1984) menunjukkan bahwa
Tarjuman (atau paling tidak beberapa bagiannya yang dia pelajari) bukanlah,
sebagaimana diterima begitu saja oleh baik para orientalis maupun banyak orang
Islam (termasuk penerbit Tarjuman), sebuah adaptasi dari tafsir karya Baidhawi
tetapi pada umumnya merupakan terjemahan langsung dari kitab tafsir yang
dikarang oleh dua orang ulama yang sama-sama bernama halal (Al-Suyuti dan Al-
Mahalli) dengan menambahkan beberapa penjelasan rinci dari Baidhawi dan
Khazin.
42. Komentar kritis atas karya ini, khususnya
tentang miskinnya sumber yang dijadikan rujukan, dapat ditemukan dalam Johns
1984: 158.
43. Patut dicatat bahwa dalam karya Snouck
Hurgronje, Adviezen, yang banyak membahas pendidikan Islam pada zamannya,
terdapat hanya satu rujukan kepada hadis yang, bahkan, tidak dalam kaitannya
dengan Indonesia tetapi dengan Tanah Arab.
44.
Djohan Effendi, “Tilikan singkat terhadap berbagai kumpulan hadis Nabi
Muhammad”, paper yang disajikan pada seminar “Pandangan Hidup dan Sikap Hidup
Ulama Indonesia”, LIPI, Jakarta, 24-25 Februari 1988.
45.
Hampir semua anekdot Sufi dan wejangan syaikh besar yang dikutipnya mengarah
kepada himbauan moral yang sama, penyerahan diri sepenuhnya kepada sang guru.
Sebagian karya Syaikh Yusuf diringkaskan dalam Tudjimah cs. 1987.
46.
Ringkasan mengenai isinya diberikan dalam Abdullah 1980: 107-121; analisis
dalam Mansur 1982.
47. Lihat, misalnya, Panji
Masyarakat 556 (1-11-1987) dan 562 (1-1-1988):71-72. Sebuah catatan biografis
tentang Al- Haddad, oleh editornya Hasanain M. Makhluf, ditemukan dalam kata
pengantar karyanya yang berjudul Al-Da’wah Al-Tammah (ada dalam koleksi
kami).
48. Buku-buku tersebut diterbitkan oleh Penerbit
Mizan di Bandung (yang dipimpin oleh putra Al-Baqir, Haidar Bagir), yang juga
menerbitkan karya-karya pemikir Iran, Ali Syari’ati dan Muthahhari, pada
umumnya diperuntukkan bagi para pembaca Muslim berusia muda, berpendidikan dan
taat beragama. Beberapa teks singkat karangan Al- Haddad diterbitkan di
Indonesia oleh penerbit lain dalam bentuk terjemahan.
49.
Termasuk buku maulid karangan Barzinji, ‘Adzb, Diba’i, Jamal Al-Din
Al-Jauzi, ‘Ali b. M. Habsyi dan Sayyid ‘Usman, Qasidah Al-Burdah karangan
Bushiri, Isra’ Mi’raj karangan Najm Al-Din Ghaithi dan Da’ud b. Abdallah
Al-Patani serta berbagai syarah dan terjemahan (untuk Barzinji saja terdapat
empat terjemahan bahasa Jawa yang berbeda).
50.
Terdapat juga manaqib Baha’ Al-Din Naqsyaband, Muhammad b. Abd Al-Karim Samman
dan Ahmad Tijani, tetapi penggunaannya pada umumnya (walaupun tidak selalu)
terbatas kepada tarekat-tarekat tasawuf yang terkait dengan nama para syaikh
mereka, sementara ‘Abd Al- Qadir Al-Jailani dihormati hampir oleh semua
penganut
tarekat. Kajian yang dilakukan Drewes dan
Poerbatjaraka 1938 masih merupakan kajian yang paling penting tentang
manaqib ‘Abd Al-Qadir. Namun Hikayat Seh (yang didasarkan atas karya Yafi’i,
Khulashah Al-Mafakhir), yang paling banyak menyita perhatian mereka, sekarang
dalam hal popularitasnya jauh dilampaui oleh karya Barzinji, Lujain, dan ‘Abd
Al-Qadir Al-Arbili, Tafrih Al-Khathir, serta beberapa syarah atas kedua teks
tersebut.
51. Lihat Drewes dan Poerbatjaraka 1938:
31-3, tentang pem- bacaan Hikayat Seh dalam bahasa-bahasa regional.
52.
Koleksi kami berisi tidak kurang dari empat terjemahan yang berbeda dari
Barzinji. Untuk daftar tentang syarah dan terjemahan (yang dikarang pada abad
ke-20) atas Barzinji dan Manaqib yang ditulis oleh pengarang yang sama (tidak
semua diwakili dalam koleksi kami), lihat lampiran di hlm. 111 dalam buku
ini.
KITAB KUNING DAN PEREMPUAN, PEREMPUAN DAN KITAB KUNING1
Kitab Kuning dan Emansipasi Perempuan: Konflik Budaya?
Pengamatan-pengamatan
Masdar mengenai kedudukan perempuan dalam diskursus (wacana, bahasan) dominan
kitab kuning terasa tidak enak didengar tetapi memang sulit dibantah.
Baik dalam penggunaan bahasa (yang sangat memihak kepada jenis mudzakkar)
maupun pilihan aspek kehidupan perempuan yang dijadikan pokok bahasan kitab-
kitab fiqih, terdapat bias yang begitu dalam dan transparan. Tolok ukur untuk
segala hal adalah laki-laki, dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki
diberi makna bahwa perempuan tidak mencapai martabat laki-laki. Keberadaan
perempuan seolah-olah hanya demi mengabdi kepada laki-laki dan memenuhi
kebutuhan seksualnya saja. Status laki-laki baik di dunia maupun di akhirat
jauh di atas status perempuan, dan dengan tolok ukur harga, bobot atau
keseriusan, satu orang laki-laki adalah sepadan dengan dua orang perempuan.
Memang
tak menyenangkan bagi mereka yang meyakini bahwa perempuan sama mulia
martabatnya dengan laki-laki. Karena dalam pemahaman mereka, semangat Islam
yang sesungguhnya justru egaliter, dan hanya menilai manusia berdasarkan kadar
kesalehannya. Saat Masdar membaca paper- nya di seminar, ia sempat terkena
amarah beberapa peserta seminar, yang kelihatannya sudah begitu jenuh
mendengar pandangan yang paternalistis dan menindas perempuan itu.
Mereka
agaknya menganggap bahwa Masdar cenderung mengedepankan pandangan kitab fiqih
sebagai satu-satunya kebenaran Islami. Padahal, paper-nya merupakan hasil
analisis yang sangat kritis tentang khazanah pesantren ini. Ia menggali
aspek-aspek uraian kitab kuning yang berkaitan dengan perempuan dan
menyampaikannya dalam bentuk singkat, tajam dan jelas. Dalam sebagian besar,
uraian tersebut diketahui umum, namun baru ketika disusun secara sistematis
bias anti perempuan kitab fiqih terasakan demikian pekat. Bukan pendapat
Masdar sendiri yang menimbulkan culture shock; kemarahan peserta tadi
merupakan isyarat keberhasilannya dalam merangkum secara tajam sikap yang
tertuang dalam khazanah kitab kuning.
Masdar dikenal sebagai orang yang
sekaligus loyal dan kritis kepada tradisi keilmuan kitab kuning. Dalam
berbagai forum ia senantiasa mengambil sikap bahwa kitab, selain obyek
pengajian, harus dijadikan obyek pengkajian, studi kritis. Karya ulama zaman
dulu mestilah dipahami secara kontekstual, dengan memperhatikan latar belakang
sejarah, sosial dan politik. Kitab kuning dengan segala muatannya bukanlah
kebenaran mutlak, melainkan juga mencerminkan budaya, kebutuhan dan pendapat
umum pada tempat dan zaman dikarangnya.
Demikian juga dalam hal kedudukan
perempuan. Pada abad pertengahan, zaman sebagian besar kitab klasik disusun,
tuntutan emansipasi belum ada dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam
segala bidang dianggap wajar saja, bukan hanya di dunia Islam tetapi juga di
kawasan budaya lainnya termasuk Eropa. Dengan kata lain (kalau saya boleh
meringkas telaah Masdar dengan kata-kata saya yang kurang halus), isi kitab
kuning merupakan perpaduan antara ajaran pokok Islam (Al-Quran dan hadis)
dengan budaya lokal. Budaya adalah sesuatu yang selalu berubah, sehingga kalau
isi kitab kuning terasa kurang cocok dengan kita, mungkin hanya disebabkan
budaya kita sudah.lain daripada budaya pengarang. Di sini tampak pandangan
Masdar relativistis: pendapat dan budaya kita boleh saja berbeda dengan budaya
dan pendapat orang lain (misalnya ulama pengarang kitab kuning).
Masing-masing
tentu saja merasa dirinya yang paling benar,
walau tidak ada kriteria yang obyektif.
Apakah Kesan Masdar Terlalu Negatif?
Siapa pun boleh saja membantah atas perhatian yang ditekankan
kepada uraian berbias antiperempuan dalam kitab kuning
oleh Masdar dengan melukiskan gambaran yang terlampau negatif. Karena dalam
kenyataannya pemberlakuan ajaran kitab kuning seringkali menjadi lebih
longgar. Seperti lazimnya, pada setiap masalah dijumpai rupa-rupa pandangan
dalam kitab-kitab fiqih. Dengan metodologi yang dikenakan Masdar,
boleh jadi, pandangan yang relatif ekstrem lebih
dikedepankan sedangkan yang lebih moderat
diketepikan. Tidakkah mungkin lingkup pandangan yang terdapat dalam
kitab-kitab fiqih lebih luas daripada yang digambarkan Masdar?
Masdar
sesungguhnya belum menyertakan semua penda- pat “ekstrem” yang terangkum dalam
dunia kitab kuning. Untuk ini saya ingin menambahkan dua contoh lain. Yang
pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah status perempuan di akhirat kelak
akan tetap di bawah status laki-laki juga (itu memang asumsi tersirat yang
dicerna Masdar dalam kitab-kitab). Menurut pendapat segolongan ulama
tradisional memanglah demikian, dan mereka memberikan alasan berdasarkan suatu
perhitungan pahala. Betapa saleh pun seorang perempuan, demikian pendapat ini,
namun ia tidak mungkin mendapat pahala setaraf dengan laki-laki yang saleh.
Setiap bulan selama beberapa hari seorang perempuan dilarang beribadah,
sehingga baik jumlah shalat fardhu maupun jumlah hari puasa yang dilakukannya
lebih sedikit daripada jumlah kewajiban agama yang bisa dilakukan seorang laki
laki.2 Sekali lagi, fungsi biologis perempuan (haidh) dijadikan alasan untuk
menurunkan martabat perempuan. Kendati tidak semua ulama tradisional setuju
dengan “ilmu akuntansi pahala” yang diajukan dalam argumentasi ini, dan
pendapat ekstrem tadi adalah pendapat sebagian kecil saja.
Contoh
saya yang kedua menyangkut kebebasan laki-laki menceraikan istrinya atau,
lebih tepatnya, menuduh istrinya berzina tanpa adanya saksi yang melihat
langsung. Memang, Islam memberikan kaum istri perlindungan terhadap tuduhan
yang tidak bisa dibuktikan, sebagaimana diuraikan Masdar. Mencari empat orang
saksi yang melihat langsung tindakan zina hampir mustahil, sehingga dalam
praktik kebebasan laki- laki menceraikan istrinya dengan alasan ini dibatasi.
Namun yang tidak disinggung Masdar adalah jalan keluar yang dibiarkan
kepada laki-laki, yaitu li’an. Kalau sang
suami bersumpah bahwa istrinya telah main serong dan
Tuhan melaknatinya kalau ia berbohong, istrinya segera diceraikan tanpa
kewajiban suami terhadapnya, dan anaknya (kalau hamil) dianggap tidak sah.
Dalam hal ini, sang suami tidak terkena hukuman atas tuduhan yang tak bisa
dibuktikan (tetapi sang istri bisa lepas dari hukum rajam kalau ia bersumpah
laknat bahwa suamilah yang berbohong).3 Jadi, kalau dua-duanya
bersumpah, sang suami yang menang dan bisa begitu saja menceraikan
istrinya.
Dua contoh tadi menunjukkan bahwa gambaran yang dilukiskan
Masdar belum tentu terlalu negatif dan secara selektif menunjukkan hukum-hukum
yang paling merugikan perempuan. Dengan menggali lebih banyak kitab, agaknya,
akan kita menemukan lebih banyak sikap yang sangat biased lagi. Tentu kalau
kita memperhatikan, di samping hukum- hukum fiqih yang tertulis, pelaksanaan
hukum Islam dalam praktik, kesimpulan kita mungkin akan berbeda; praktik
biasanya jauh lebih longgar dan lunak daripada hukum- hukum kitab. Demikian
misalnya contoh mengenai li’an tadi. Walaupun hampir semua kitab fiqih
menguraikan perihal. li’an, namun dalam praktik jarang sekali terjadi kasus
laki-laki menceraikan istrinya melalui prosedur li ‘an.4 Tambahan lagi,
peraturan lain yang merugikan kaum perempuan seringkali juga tidak
dilaksanakan secara harfiah. Dalam pembagian warisan, misalnya, orangtua
sendiri sering mencari jalan keluar melalui wasiat atau dengan cara
menghibahkan harta miliknya sebelum meninggal dunia.
Walaupun
demikian, keadaan ini tidak mengurangi kenyataan bahwa diskursus kitab kuning
sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Secara demikian kesimpulan
Masdar tidak berlebihan.
Bias Karena Kitab Kuning Dikarang oleh Ulama Laki-laki
Salah satu faktor penyebab yang juga disebut Masdar adalah kenyataan
bahwa kitab kuning nyaris semuanya dikarang oleh laki-laki, sehingga mudah
dimengerti jika prasangka dan kepentingan jenis laki-laki sangat mewarnai
pembahasannya. Seandainya pakar-pakar fiqih dan tauhid yang perempuan
mengembangkan kembali sebuah fiqih baru dan doktrin-doktrin iman, berdasarkan
nash yang sama, niscaya sangat berbeda dengan fiqih dan doktrin yang ada
sekarang ini. Usaha semacam ini telah dilakukan di dunia Kristen oleh para
ahli teologi perempuan, dan mencapai kesimpulan yang menghebohkan. Melalui
kajian kritis terhadap karya-karya kaum teolog laki-laki mereka berhasil
membongkar banyak prasangka dan bias yang sebenarnya tidak bersangkut paut
dengan ajaran agama yang asli tetapi yang belakangan dianggap bagian esensial
dari doktrin-doktrin Kristen. Para teolog feminis telah mengembangkan suatu
teologi Kristen alternatif yang berbeda sekali dengan ajaran tradisional yang
begitu paternalis dan menindas perempuan. Dalam dunia Islam, Riffat Hassan,
sarjana dari Pakistan, adalah salah seorang yang berusaha mengembangkan
pemikiran Islam yang dibersihkan dari bias laki-laki.5
Teologi feminis
Islam belum muncul, namun satu kajian yang layak disebut disebut di sini,
yaitu buku Perempuan dan Islam, Kajian Sejarah dan Teologi oleh Fatima
Mernissi dari Marokko.6 Pengarang ini seorang wanita Islam yang sosiolog dari
keluarga tradisional tetapi berpendidikan modern. Ia mulai mempertanyakan
hal-hal yang diajarkan kepadanya mengenai status dan tingkah laku yang layak
bagi kaum Muslimat. Ia mempelajari kitab hadis, tafsir dan sirah untuk mencari
asal- usul dari (yang disebutnya) misogini,
kebencian terhadap
perempuan, dalam tradisi Islam. Ia
menunjukkan, berdasarkan sumber Islam masa awal, bahwa sikap Nabi Saw.
terhadap perempuan sangat arif, terbuka dan toleran, dan barulah belakangan
muncul tokoh umat Islam yang mengambil sikap bertolak belakang dengan sikap
Nabi. Pemimpin yang ia soroti sebagai bertanggung jawab atas penurunan status
wanita dalam Islam adalah Khalifah ‘Umar, yang muncul lebih macho dari
sumber-sumber sejarah, lebih keras dan menindas terhadap perempuan. Di antara
para perawi hadis, terutama Abu Hurairah yang mendapat perhatiannya karena
banyak hadis yang memojokkan perempuan konon diedarkan oleh Abu Hurairah.7 Dan
hal-hal yang diketahui mengenai riwayat hidup Abu Hurairah, Mernissi
menggambarkan profil psikologi tokoh ini sebagai laki-laki yang mengalami
kesulitan menghadapi perempuan, mungkin juga kelainan seksual.
Mernissi
membuat suatu pengamatan menarik lagi. Kalau para pengarang kitab klasik
bertolak dari asumsi bahwa laki-laki adalah superior terhadap perempuan, itu
wajar saja karena pada zaman dan tempat mereka menulis pendapat lazim memang
demikian. Tetapi tahun-tahun terakhir ini pasar di negara- negara Muslim
dibanjiri edisi baru dari kitab-kitab klasik yang paling diskriminatif
terhadap perempuan, yang dijual dengan harga yang sangat murah. Hal ini,
menurut Mernissi, bukan suatu kebetulan; ia melihat terjadi serangan massal
dari kalangan ulama paling konservatif yang ingin melestarikan status quo dan
“melindungi” Islam dari “bahaya” emansipasi perempuan dan feminisme.8
Konservatisme ini tidak merupakan monopoli dunia Islam; reaksi serupa timbul
di mana-mana dalam proses modernisasi, dengan meningkatnya mobilitas dan
pergeseran pembagian kerja.
Seorang Pengarang Kitab Kuning yang Perempuan
Sisi lain dari diskriminasi terhadap kaum perempuan adalah kenyataan
bahwa sumbangan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sastra dan
senirupa sering tidak diakui. (Pekerjaan lain yang dibuatnya, yaitu
pekerjaan
rumah tangga, malahan tidak diakui sebagai kerja
dan tidak masuk perhitungan statistik ekonomi). Di Eropa, secara
berangsur-angsur para ilmuwan feminis telah berhasil mengoreksi pandangan
keliru tentang sumbangan perempuan itu, dan menunjukkan bahwa sumbangan
perempuan lebih besar daripada yang diduga sebelumnya. Mereka menemukan
kembali karya-karya perempuan yang pernah—sengaja atau tidak—terlupakan. Akan
halnya Islam, tidaklah mustahil kajian serupa mengenai sejarah keilmuan Islam
juga akan menghasilkan temuan yang mengejutkan. Untuk ini, saya ingin
mengajukan suatu contoh lagi.
Di antara kitab kuning yang banyak dibaca
di Indonesia terdapat satu yang dikarang oleh seorang ulama Melayu yang
perempuan. Namun tidak banyak pembaca menyadari hal ini, sebab kitab tersebut
belakangan diatasnamakan seorang laki- laki, yakni pamannya sendiri! Kitab ini
dikenal dengan judul Perukunan Jamaluddin. Kitabnya sederhana saja—perukunan
berarti uraian dasar mengenai rukun Islam dan rukun iman tetapi merupakan
salah satu yang paling populer di antara kitab-kitab sejenis, dan sering
dicetak kembali. Tertulis di halaman pertama bahwa kitab ini adalah “karangan
bagi al- ‘alim al-’allamah mufti Jamaluddin ibn al-marhum al-‘alim al-fadhil
al-syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari”. Jamaluddin, putra Arsyad Al-Banjari
yang terkenal itu, memang seorang laki-laki yang berpengaruh, ulama yang
paling terkemuka di Kalimantan Selatan pada zamannya. Tetapi tradisi setempat
mengingatkan bukan ia yang mengarang kitab perukunan tersebut, melainkan
seorang keponakan perempuannya, yaitu Fatimah (yang lahir dari perkawinan
putri Syekh Arsyad, Syarifah, dengan Abdulwahhab Bugis).9 Kurang jelas mengapa
Jamaluddin mengatasnamakan karangan ini. Dalam dunia kitab kuning memang tak
ada copyright (hak cipta), dan menyalin tulisan orang lain tanpa kreditasi
sudah menjadi kebiasaan. Namun dalam hal ini kita merasa bahwa identitas
pengarang yang sebenarnya dengan sengaja disembunyikan—sesuai dengan anggapan
yang sudah mapan bahwa mengarang kitab merupakan pekerjaan
laki-laki. Kalau kita menggali dalam
sejarah,
tidak mustahil kita akan menemukan perempuan lain yang menguasai ilmu-ilmu
agama dan telah menulis kitab. Dan tak usah heran kalau sumbangan mereka
ternyata diingkari dan diboikot.10
Dari segi isi, kitab Perukunan
Jamaluddin tak jauh berbeda dari kitab sejenis lainnya. Fatimah pastilah bukan
seorang feminis yang dengan sengaja menulis fiqih alternatif. Kitabnya sangat
sederhana dan hanya menguraikan beberapa ajaran pokok berhubungan dengan
shalat, puasa dan cara mengurus mayat saja. Namun pengarang tidak meletakkan
perempuan pada posisi lebih rendah atau kurang suci daripada laki-laki. Ia
menghindari dari perkara yang sangat membedakan antara kedua jenis kelamin
(seperti aqiqah, warisan atau kesaksian). Ketika ia membicarakan haid dan
mandi sesudah haid, tidak ada kesan seolah-olah perempuan dalam haid adalah
kotor. Ia tidak memakai istilah seperti “bersuci” (yang secara tersirat
menyatakan perempuan dalam haid tidak “suci”) secara lebih netral ia menulis
bahwa ada lima perkara yang mewajibkan mandi: mati (kecuali mati syahid),
haid, nifas, wiladah (keguguran), dan janabah (persetubuhan). Tidak ada uraian
panjang tentang hal- hal yang dilarang bagi perempuan pada masa haid.
Kitab yang Lebih Bersimpati kepada Perempuan
Dalam kitab kuning-kitab kuning yang dikarang oleh ulama laki-laki pun
masih terdapat keragaman perihal sikap terhadapperempuan. Itu dapat dilihat,
misalnya, pada kitab- kitab mengenai hubungan suami-istri. Seperti juga
dicatat Masdar, uraian kitab perihal itu selalu dari pandangan laki-laki saja;
dialah yang subjek sedangkan perempuan hanya sebagai objek. Dalam diskursus
dominan, perempuan dibahas seolah- olah ia makhluk yang hanya berguna untuk
melayani laki-laki dalam segala hal. Demikian misalnya kitab ‘Uqud Al-Lujjain
karangan Nawawi Banten, yang banyak dibaca di pesantren Jawa.11 Kewajiban
utama perempuan, menurut kitab ini, adalah melayani sang suami—di ranjang,
tentu saja. Menolak tuntutan seksual sang suami, kata Nawawi, adalah dosa
besar
bagi seorang perempuan. Dalam hal ini Nawawi tidaklah
sendirian; hampir semua kitab sejenis mewakili sikap yang sama. Malahan
terdapat muballighat populer yang sampai sekarang masih menyebarkan uraian
senada sebagai ajaran Islam yang terpenting bagi kaum ibu!12
Meski
demikian, terdapat juga kitab yang nadanya lebih simpatik kepada perempuan.
Contoh yang cukup terkenal di Indonesia dan Malaysia adalah kitab Hukum
Jima.13 Kitab singkat ini merupakan terjemahan Melayu dari Al-‘Ubab, karangan
seorang ulama produktif yang hidup sekitar empat abad sebelum Nawawi Banten,
yakni Syaikh Ahmad bin Sulaiman Kamal Basya dan Istanbul, dengan beberapa
tambahan dari tulisan ulama lain, seperti Syaikh Zarruq dari Afrika Utara.14
Kitab ini juga membahas hubungan suami-istri, dan di sini juga sang laki-laki
tetap sebagai subjek dan istrinya sebagai objek. Namun perhatian ulama dalam
kitab ini terletak pada apa yang harus dibuat sang suami, tidak kepada
kewajiban istri. Sang suami dianjurkan untuk melayani istrinya dengan baik;
menghindar dari paksaan, menciptakan suasana yang tenang dan memperhatikan
kebutuhan dan keinginan istrinya (lihat lampiran).
Contoh ini mungkin
menunjukkan bahwa khazanah tradisional Islam cukup beranekaragam. Melalui
seleksi dari seluruh khazanah itu seorang ulama bisa menulis uraian yang
sangat antiperempuan, sedangkan ulama lain, dengan seleksi yang berbeda,
menulis yang lebih simpatik. Mungkin sikap yang mengilhami penyusun kitab
Hukum Jima’ bisa dijadikan titik tolak untuk penulisan kitab alternatif, yang
lebih fair kepada perempuan, tanpa terlalu menjauhi suasana kitab kuning.
Budaya Arab atau Islam?
Apakah ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan hanya bagian
dari budaya kitab kuning saja, atau inheren dalam Islam? Apakah jilbab dan
larangan perempuan keluar dari rumah hanya berdasarkan salah satu di antara
sekian banyak interpretasi Islam, atau perintah mutlak Tuhan? Dalam
suatu
tulisan yang meninjau hukum-hukum fiqih mengenai perempuan, orientalis
terkenal Hamilton A.R. Gibb dengan nada menyesal mengatakan bahwa bagian fiqih
ini tidak didasarkan atas uraian Al-Quran melainkan atas hadis-hadis yang
mencerminkan adat suku-suku Arab.15 Ia menunjukkan bahwa hampir setiap hukum
Al-Quran mengenai perempuan merupakan perbaikan hak dan statusnya dan
penolakan adat suku-suku Arab yang sangat tidak menguntungkan kaum perempuan.
Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya, demikian kesimpulan Gibb, para
ahli fiqih ternyata lebih dipengaruhi oleh adat (terutama konsepsi tradisional
tentang ‘irdh, kehormatan suku) daripada ketentuan Al-Quran.16 Ijtihad
Khalifah ‘Umar yang membolehkan laki-laki mengucapkan talaq tiga sekaligus,
misalnya, membatalkan perlindungan yang diberikan perempuan oleh Al-Quran dan
mengembalikan hukum adat yang membolehkan laki-laki untuk segera melepaskan
istrinya, tanpa alasan.
Sudut pandang seperti ini agaknya, akan mendorong
pemikir Islam yang ingin menentang diskriminasi terhadap perempuan untuk
kembali kepada Al-Quran dan (tetapi dengan hati-hati) hadis. Hadis-hadis yang
diakui secara umum pun (misalnya, yang dalam Al-Kutub Al-Sittah), agaknya,
akan ditinjau kembali untuk menyaring hadis yang melestarikan adat-adat
pra-Islam walaupun diatasnamakan Nabi. Inilah yang diusahakan oleh Fatima
Mernissi dalam bukunya Perempuan dan Islam yang telah disebut di atas. Usaha
demikian, tentu saja, akan menimbulkan kontroversi, dan pihak konservatif
barangkali akan menuduhnya sebagai “Inkarussunnah”. Itu suatu reaksi yang
tidak perlu ditakuti; setiap usaha pemurnian mengundang oposisi, tetapi pihak
konservatif tidak memiliki monopoli atas kebenaran.
Namun dengan kembali
kepada Al-Quran dan hadis yang fair terhadap perempuan tidak mudah mencapai
landasan bagi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Al-Quran memberikan
banyak hak dan kebebasan kepada perempuan yang tidak pernah mereka miliki
dalam budaya Arab jahiliyah, tetapi di dalamnya terdapat beberapa ayat yang
dengan jelas
menyatakan ketidaksamaan hak misalnya dalam hal
warisan. Apakah itu berarti bahwa superioritas laki-laki atas perempuan harus
diterima sebagai ajaran Islam yang mutlak dan tidak bisa diubah? Masalahnya
terlalu rumit untuk dibahas dalam tulisan pendek ini, tetapi terdapat berbagai
usaha mencari jalan keluar. Penafsiran kontekstual berusaha memahami ayat-ayat
ahkam dalam konteks masyarakat Madinah pada zaman Nabi dan menerapkan semangat
hukumnya daripada hukum-hukum yang harfiyah. Salah satu pendobrakan radikal
adalah pendekatan Munawir Syadzali, yang menyatakan bahwa pembagian warisan
memerlukan modifikasi untuk masyarakat yang punya struktur sosial berbeda
dengan Madinah tigabelas abad yang lalu.
Cara yang pernah ditempuh
beberapa negara Muslim yang sekular (Turki, Tunisia) adalah mengabaikan
masalah ini sama sekali. Undang-undang perkawinan dan sebagainya berdasarkan
hukum sipil ala negara Barat, tanpa usaha mencari legitimasi Islam. Dapat
dimengerti kalau keadaan ini menyebabkan sebagian ummat di sana merasa
teralienasi dari negara dan membangkitkan gerakan “fundamentalis” yang
kuat sebagai reaksi. Melihat arus perkembangan dalam dunia Islam masa kini,
sekularisme tidak merupakan alternatif yang potensial. Pertanyaan apakah
hak-hak perempuan dan hak- hak asasi manusia lainnya yang tercantum dalam
perjanjian internasional bertentangan dengan Islam tidak bisa dihindari terus
tetapi harus dihadapkan dengan jujur.17 Umat Islam sekarang menghadapi pilihan
antara penolakan terhadap nilai internasional mengenai hak-hak perempuan,
minoritas agama dan sebagainya, atau pembaharuan pemikiran Islam yang sangat
radikal. Dilema ini diuraikan dengan sangat mengesankan oleh Abdullahi Ahmed
An-Na’im, sarjana hukum dari Sudan, dalam buku Menuju Suatu Reform
Islami.18
An-Na’im dalam buku ini menyampaikan beberapa usul pembaruan
berdasarkan pemikiran gurunya, Ustad Mahmoud Mohamad Taha. Ustad Mahmoud
bertolak dari perbedaan yang terdapat antara surah-surah yang turun di Makkah
dan di Madinah. Surah-surah Makkah bersifat peringatan moral,
egalitarian
dan universal, sedangkan surah-surah Madinah lebih bersifat spesifik dan
kontekstual. Beberapa ayat Madinah kelihatannya bertentangan dengan
ayat-ayat Makkah, dan itu yang melahirkan teori nasikh dan
mansukh: menurut para ahli tafsir dan fiqih, terdapat ayat yang
membatalkan ayat lain. Status perempuan (dan juga status minoritas non-
Muslim) diatur oleh ayat-ayat Madinah yang membatalkan ayat- ayat Makkah yang
lebih egaliter. Dengan sangat berani Ustad Mahmoud menyatakan bahwa sekarang
sudah waktunya memutarbalikkan nasikh dan mansukh itu. Perintah Tuhan yang
punya relevansi universal tercantum dalam surah-surah Makkah. Karena
masyarakat Arab pada zaman Nabi belum sanggup melaksanakan semua perintah itu,
katanya, turunlah ayat-ayat yang lebih sesuai dengan situasi zaman itu, dan
untuk sementara membatalkan ayat-ayat yang lebih universal dari Makkah.
Masyarakat sekarang sudah lebih dewasa, dan tidak ada alasan lagi untuk
membatalkan perintah Tuhan pertama yang egaliter. Ayat-ayat yang dulu dianggap
nasikh sekarang layak menjadi mansukh.19
Diskursus Kitab Kuning dan Keterbatasannya
Kesulitan yang kita hadapi pada masalah kitab kuning dan perempuan
menyangkut persoalan diskursus. Diskursus kitab kuning, yakni kerangka
berpikir dan cara pembahasannya, sudut- sudut pandangannya, pokok-pokok yang
dibahas, apa yang dianggap suatu masalah dan apa jawaban yang memuaskan,
merupakan suatu bangunan intelektual yang cukup canggih tetapi terbatas dan
kaku. Banyak hal yang bisa dibahas secara mendalam dalam kosakata kitab
kuning, tetapi terdapat juga persoalan yang tak bisa dirumuskan, pemikiran
yang tak dapat dipikirkan dalam diskursus itu. Diskursus dimaksud, seperti
juga diskursus-diskursus khusus lainnya, ibarat kacamata berwarna: beberapa
hal di dunia sekitar dapat dilihat lebih tajam sedangkan hal lain menjadi
samar.
Hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan perempuan
sebagaimana disinggung dalam kitab kuning
sebetulnya
bukan hal-hal yang paling mendesak. Banyak agenda
soal lain yang menuntut perhatian, seperti perlindungan hak pekerja perempuan,
kesamaan upah laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama, status sosial
janda, partisipasi perempuan dalam pendidikan, ekonomi dan politik dan lainnya
tidak disinggung sama sekali dan bahkan sampai sekarang belum bisa dibicarakan
dalam diskursus kitab kuning. Seolah-olah kehidupan perempuan terdiri dari
haid dan nifas, hijab dan warisan saja. Demikian diskusi mengenai perempuan
dan Islam hampir selalu berkisar tentang hijab, kewajiban kepada suami, dan
pembagian warisan. Dalam cakupan semua ini, kitab kuning mewakili sikap
konservatif yang meletakkan perempuan jauh di bawah laki-laki; tetapi
pendekatan reformis bisa mengembangkan penafsiran Al-Quran dan hadis yang
lebih seimbang dan lebih fair terhadap perempuan. Itu memang sesuatu yang
dibutuhkan. Namun terdapat persoalan lain dan mungkin tidak kalah pentingnya,
yang boleh jadi ditinggalkan kalau diskusi hanya ditekankan kepada pokok-pokok
tadi. []
LAMPIRAN:
TRANSKRIPSI HALAMAN PERTAMA KITAB HUKUM
JIMA’
Bismillah Al-Rahman Al-Rahim
Al-hamd li Allah al-ladzi khalaqa
al-asyya’ bi-qudratih wa atqanaha bi-luthf sun’atih wa dabbaraha bi-hikmatih
[wa] ahmaduh ‘ala ni’matih wa ushalli ‘ala Muhammad khair khilafatih wa ‘ala
alih wa shahbih wa ‘ithratih. Amma ba’d. Perkata mu’allif-nya ini suatu
risalah pada menyatakan jima’ dengan istrinya. Tersebut di dalam kitab Ubab
dan lainnya bahwasanya sunnat dahulu daripada jima’ itu memakai bau-bauan
kedua laki [dan] istrinya dan bergurau-gurau dahulu dan bermain-main dengan
kelakuan yang menyukakan hati istrinya, dan membangkitkan syahwat dan safrat
palaq, dan dicamnya akan dia dan permain-mainnya hujung susunya dan
digerak-gerakkannya kepala dzakarnya itu atas kedua bibir farji itu, karena
yang demikian itu terlebih segeranya mendatangkan birahi perempuan. Maka
seyogianya janganlah dijima’ istrinya melainkan hingga nyata birahinya kepada
jima’, seperti bergerak-gerak tubuhnya dan singkat napasnya. Pada ketika itu
maka dimasukkan dzakar kita itu sehingga hasyefehnya juga. Karena [menurut]
setengah ulama adalah tempat al-dzat cita dia, ya’ni rasanya jima’ itu
hasillah qadar hasyefehnya jua. Maka apabila bertambah-tambah di birahinya dan
bergerak-gerak tubuhnya maka dimasukkan dzakarnya qadar hajatnya. Sekira hasil
bersama-sama inzal dan bertemu kedua maninya, karena yang demikian itu
terlebih lezat kedua pihak dan menyuruh berkasih-kasihan dan mewaris rajin dan
ilmu pada anaknya, apabila jadi anaknya dengan maninya dengan dijima’ itu.
Tersebut di dalam kitab Syaikh Zarruq bahwa karena ‘ulama: jima’ dengan tiada
mengerjakan kelakuan yang mendatangkan birahi perempuan itu mewaris pada
anaknya bobol dan kurang akal dan penyakit. [...] Dan apabila terdahulu inzal
mani suaminya, seyogianya hendaklah dinantikannya hingga
inzal istrinya, supaya sama sampai hajatnya kedua.[]
Catatan
akhir:
1. Tulisan ini berdasarkan tanggapan saya
terhadap makalah yang disampaikan Masdar F. Mas’udi pada Seminar “Wanita
Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual”, diselenggarakan oleh
INIS dan Departemen Agama, Jakarta, 2-5 Desember 1991. Dalam makalahnya,
Masdar menganalisis bagaimana perempuan dipandang dalam sejumlah kitab standar
yang banyak dipergunakan di pesantren. Semua makalah seminar ini diterbitkan
dalam buku dengan judul sama yang diedit oleh Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan
Meuleman (Jakarta: INIS, 1993).
2. Saya tidak ingat
dalam kitab apa pendapat ini diutarakan. Fazlur Rahman telah mengutipnya dalam
rangka sebuah diskusi pada seminar “New Trends in Islamic Studies”, LIPI,
Jakarta 1985.
3. Hukum fiqih ini berdasarkan, tetapi
tidak identik dengan, Surah An-Nur, ayat 6-9.
4. Dalam
bukunya Pedoman Syari’ah Islam Menurut Madzhab Syafi’i (Handleiding tot de
Kennis van de Mohammedaansche Wet Volgens de Leer der Sjafi’itische School,
Leiden: Brill, 1925, him. 217), sarjana Belanda ahli hukum Islam Th.W.
Juynboll menulis bahwa di Hindia Belanda li’an bukan tidak dikenal tetapi
jarang sekali dilakukan, seperti halnya di sebagian besar dunia Islam. Kalau
terjadi, tujuan utama adalah untuk menyatakan seorang anak tidak sah.
5.
Lihat Riffat Hassan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam: Sejajar di
Hadapan Allah?”, Ulumul Al-Quran No. 4, 1990, hlm. 48-55.
6.
Fatima Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry.
Oxford: Basil Blackwell, 1991. (Edisi asli ditulis dalam bahasa Prancis dan
diterbitkan di Paris pads tahun 1987).
7. Mernissi
tidak menyinggung kritik orientalis terhadap hadis; ia menganggap bahwa
beberapa hadis dalam kumpulan Bukhari dan Nisa’i
yang isnadnya melalui Abu Hurairah betul-betul berasal dari tokoh
itu. Dalam pandangan orientalis, yang menganggap bahwa sebagian besar hadis
(termasuk yang “shahih”) dirumuskan belakangan dan hanya diatasnamakan sahabat
terkenal, Abu Hurairah tentu saja tidak bertanggung jawab atas semua hadis
yang konon berasal darinya.
8. Mernissi, Women and
Islam, hlm. 97-99. Dua kitab yang disebutnya sebagai contoh adalah edisi baru
Kitab Ahkam Al Nisa’ karya lbn Al-Jauzi (Lebanon, 1981) dan Fatawa Al-Nisa’
karya lbn Taimiyah. Kitab yang pertama sangat ekstrem dalam uraiannya mengenai
hijab: perempuan dianjurkan untuk tidak keluar dari rumah sama sekali dan
untuk tidak sama sekali melihat laki-laki. Yang kedua merupakan seleksi fatwa
mengenai perempuan dari kumpulan besar fatwa-fatwa (Majmu’ Al-Fatawa Al-
Kubra) lbn Taimiyyah. Kitab yang mengandung paling banyak pendapat jelek
mengenai perempuan adalah karya seorang ulama dari India, Muhammad Shiddiq
Hasan Khan Al-Qannuji yang berjudul Hush Al-Uswah (edisi baru: Beirut, 1981).
Kitab ini antara lain menguraikan mengenai “ketidakmampuan perempuan berpikir
rasional dan kekurangmampuannya dalam segala urusan agama”.
9.
Lihat: Zafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary Ulama BesarJuru Da’wah.
Banjarmasin: Penerbit Karya,1979 (cet. ke-2), hlm. 15-6; H.W. Muhd. Shaghir
Abdullah, Syeikh Muhd Arsyad Al-Banjari, Matahari Islam. Mempawah: Pondok
Al-Fathanah, 1982, hlm. 62-3.
10. Maksud saya di sini
bukan tokoh perempuan seperti Aisyah dan Fathimah, yang merupakan tokoh kunci
dalam isnad hadis Sunni dan Syi’ah, atau Rabi’ah Al-‘Adawiyah, sufi wanita
yang pertama. Mereka memang diakui, dan itu membuktikan bahwa bias
anti-perempuan itu tidak menyeluruh dalam Islam pada masa awalnya seperti
halnya belakangan pada abad pertengahan.
11. Muhammad
bin ‘ Umar Nawawi Al-Bantani, ‘Uqud Al- Lujjain fi
Huquq Al-Zaujain (berbagai
edisi). Lihat juga tinjauan kitab ini oleh Musthafa Helmy,
“Mahkota Muslimah yang Tertinggal”, Pesantren No. 2, Vol.VI, 1989, hlm.
92-94.
12. Lihat hasil penelitian Lies M. Marcoes
mengenai muballighat populer di Bogor dan Jakarta, “The Female Preacher as
Mediator in Religion: A Case Study in Jakarta and WestJava”, dalam: Situa van
Bemmelen dkk. (editor), Women and Mediation in Indonesia (Leiden: KITLV.
Press, 1992), hlm. 203-228.
13. Kitab Hukum Jima’ telah
dicetak di Makkah pada tahun 1309 (1891) dan berkali-kali dicetak ulang di
Asia Tenggara (antara lain oleh Al-Haramain di Singapura dan Bungkul Indah di
Surabaya). Terdapat juga adaptasi dalam Bahasa Indonesia kontemporer, oleh
Ustadz Nusannif Effendie (Penerbit MA Jaya, Jakarta, 1980).
14.
Ahmad bin Sulaiman Kamal Basya (wafat 940 Hijri, yaitu 1533 Miladi) pernah
menjabat Syaikh Al-Islam di Kesultanan Utsmani (Turki). Ia mengarang lebih
dari 170 kitab yang mencakup semua cabang ilmu Islam (lihat: Carl Brockelmann,
Geschichte der Arabischen Literatur, jilid II, Leiden, 1949, hlm. 449-453).
Abu Al-‘Abbas Ahmad Al-Burnusi Al-Fasi, yang lebih dikenal sebagai Syaikh
Zarruq (w, 1493), seorang sufi dan penulis sejumlah kitab, terutama di bidang
tasawwuf (Brockelmann, op. cit., II, hlm. 253-4 dan Supplement II, hlm.
360-2).
15. Sir Hamilton Gibb, “Women and the Law”,
Correspondence d’Orient No 5 [Colloque sur la Sociologie Musulmane, Actes,
11-14 Septembre 1961], Bruxelles, hlm. 233-248.
16.
“...in practically every instance the motivation of the early jurists in their
elaboration of the Law in respect to women can be resolved into the effort to
accommodate the Koranic prescriptions to the social pressures of their
environment. Of these pressures the most powerful was not, as has too often
been said, the influence of Caliphs and governors, but the survival and even
intensification among the tribesmen of the sense of tribal honour. Indeed, it
may even be argued that the detailed rules were dictated more in the light of
traditional conceptions of what constituted tribal ’ird than of Koranic
principles.” (Gibb, “Women and the Law”, hlm. 244).
17.
Perjanjian internasional yang dimaksud antara lain: Piagam PBB, Konvensi
Internasional Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional Tentang
Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Tentang Penghapusan
Seluruh Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
18.
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Towards an Islamic Reform: Civil Liberties, Human
Rights, and International Law. Syracuse, New York: Syracuse University Press,
1990.
19. Argumentasi Ustadz Mahmoud tentu lebih
canggih daripada ringkasan sederhana yang diberikan di sini. Pemikirannya
menimbulkan reaksi keras, apalagi ketika ia menentang politik islamisasi
negara yang dimulai Presiden Numairi. Ia ditangkap sebagai oposan politik dan
kemudian dihukum mati dengan alasan riddah pada tahun 1985.
[alkhoirot.org]