Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat Islam di Nusantara

Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat Islam di Nusantara oleh Penulis: Martin van Bruinessen Kata Pengantar: Abdurrahman Wahid Bagian I. Jaringan Ulama
Buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat Islam Nusantara

Judul buku: Kitab kuning, pesantren, dan tarekat: tradisi-tradisi Islam di Indonesia
Penulis: Martin van Bruinessen
Kata Pengantar: Abdurrahman Wahid
Cetakan I, Mei 2012
Diterbitkan oleh: Gading Publishing
@ Martin van Bruinessen
Bidang studi: Sejarah Indonesia, Islam Nusantara, subkultur, sosiologi

DAFTAR ISI

  1. PENGANTAR PENULIS PADA EDISI REVISI 
  2. UCAPAN TERIMA KASIH PADA EDISI PERTAMA
  3. DOWNLOAD BUKU MARTIN VAN BRUINESSEN
  4. KATA PENGANTAR OLEH KH ABDURRAHMAN "GUS DUR" WAHID    
  5. Bagian I. Jaringan Ulama dan Dampak Transnasionalisme
  6. Bagian II.  Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia   
  7. Bagian III. Tarekat-Tarekat dan Perkembangannya di Indonesia    
  8. SUMBER TULISAN    
  9. DAFTAR PUSTAKA    
  10. INDEX    
  11. TENTANG PENULIS 
  12. Kembali ke: Buku tentang Pesantren di Indonesia  dan Nusantara

PENGANTAR PENULIS PADA EDISI REVISI

Sejak edisi pertama buku ini diterbitkan oleh Mizan, pada tahun 1995, dunia pesantren dan tarekat tak pernah luput dari perhatian para sarjana dan wartawan maupun politisi. Setiap menjelang pemilihan umum, pesantren-pesantren terkemuka ramai dikunjungi para caleg dan capres-cawapres. Muktamar tarekat diliput pers bak peristiwa politik penting. Setelah Bom Bali, pesantren juga mendapat perhatian dari pihak lain; pakar keamanan dan wartawan asing mencurigai pesantren sebagai sumber radikalisme agama. Pada saat yang sama, intelektual muda dari kalangan pesantren menggali dasar toleransi dan pluralisme dalam tradisi keilmuan kitab kuning, dan banyak kalangan kelas menengah kota yang muak dengan Islam radikal atau puritan dan tertarik kepada Sufisme sebagai alternatif. Majelis zikir merupakan fenomena yang cepat menjadi populer dan diadakan di mana- mana dan oleh siapa saja, dari kantor kelurahan dan perusahaan swasta sampai istana negara.

Banyak penelitian yang dilakukan tentang kitab kuning, pesantren, ulama dan tarekat selama limabelas tahun terakhir ini, baik oleh peneliti dari IAIN atau perguruan tinggi Indonesia lainnya maupun oleh sarjana luar negeri. Mereka meningkatkan secara nyata pengetahuan kita mengenai tradisi-tradisi Islam di Nusantara, dan pemahaman kita tentang dinamika perkembangannya. Walaupun demikian, saya berharap agar para pembaca akan melihat bahwa buku ini tetap relevan sebagai referensi tentang topik-topik tersebut, dan saya berterima kasih kepada teman-teman dari penerbit Gading, yang ingin menerbitkan ulang buku saya ini.

Untuk edisi baru ini, saya meninjau kembali semua tulisan lama dan menambah dua makalah baru. Melihat pentingnya dampak globalisasi dan jaringan transnasional kepada wacana dan gerakan Islam di Indonesia masa kini, saya memilih makalah mengenai Islam global dan Islam lokal untuk melengkapi bagian mengenai jaringan ulama. Karena saya ingin juga menggambarkan perkembangan tarekat dan tasawuf pada tahun-tahun akhir Orde Baru dan masa pasca-Suharto, saya menambah sebagai bab akhir tulisan saya tentang pengorganisasian tarekat dan gejala “wali hidup”, yang pernah sangat menonjol.
Dalam bab akhir ini, pembaca akan mencerna kehadiran Gus Dur, tokoh yang mewakili dan menjelmai tradisi kitab kuning, pesantren dan tarekat; tokoh yang oleh orang banyak dianggap wali. Selama penelitian yang menjadi dasar buku ini, saya sering bertemu dengan Gus Dur dan banyak didukung olehnya. Gus Dur yang pernah mengantarkan saya ke pesantren dan ke tokoh seperti Habib Luthfi dan Mbah Lim; Gus Dur juga yang mengantarkan edisi pertama buku ini ke pembaca Indonesia. Sebagai tanda kehormatan dan terima kasih, saya mempersembahkan edisi baru buku ini kepadanya.

Tetapi saya ingin juga menegaskan bahwa dunia kitab kuning, pesantren dan tarekat ialah lebih luas dari sekadar figur Gus Dur. Oleh karena kebesaran dan kecemerlangan Gus Dur, banyak tokoh dan lembaga lain, yang tak kalah penting, mungkin tidak pernah mendapat penghargaan yang layak. Para pemikir muda NU, dari Masdar Mas’udi sampai Moqsith Ghazali dan yang lebih muda lagi, para kiai pintar, dari KH. Aziz Masyhuri sampai KH. Husein Muhammad, dan lembaga-lembaga yang merangsang pemikiran para Nahdliyyin, dari Lakpesdam sampai LKiS dan banyak lainnya: semuanya pernah punya peranan penting dalam memperkaya wacana Islam tradisional di Indonesia, dan kepada semua, saya sekali lagi mengucapkan terima kasih atas segala hal yang saya belajar dari mereka.
 
UCAPAN TERIMA KASIH PADA EDISI PERTAMA

Beberapa tulisan yang dikumpulkan dalam buku ini merupakan hasil pengamatan dan penelitian saya selama berada di Indonesia, yakni sekitar satu windu. Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada dua lembaga dan dua orang yang memungkinkan saya melanjutkan kajian ini. Dari tahun 1986 sampai 1990 saya bertugas di LIPI Jakarta sebagai konsultan metodologi penelitian dan antara lain dilibatkan dalam penelitian tentang sikap dan pandangan hidup ulama Indonesia. Satu tahun kemudian, saya kembali ke Indonesia dan mengajar dua setengah tahun (1991-1993) di IAIN Sunan Kalijaga, dalam rangka proyek INIS (kerja sama Departemen Agama RI dengan Universitas Leiden di bidang Studi Islam). Melalui dua tugas ini saya sempat bertemu dengan banyak ulama dan pemikir Islam Indonesia dan secara berangsur mulai mengenal budaya pesantren. Di LIPI saya juga bertemu dengan Abdurrahman Wahid, yang ikut serta dalam penelitian tersebut sebagai narasumber. Ia memperkenalkan saya kepada kiai-kiai terkemuka dan sangat membantu saya mencari bahan tulisan. Ia juga yang banyak mendorong saya untuk menulis tentang Islam “tradisional”. Dorongan pertama, sebetulnya, saya dapat dari Masdar F. Mas’udi, yang juga saya kenal melalui penelitian LIPI. Masdar menjadi teman berbicang tentang tradisi pesantren dan kitab kuning, dan ia mengajak saya menulis di majalah Pesantren. Saya telah belajar banyak dari Gus Dur dan Masdar; dampak diskusi dengan mereka dapat dijumpai dalam hampir setiap bab di buku ini.
 
Beberapa tulisan yang pembaca temukan dalam buku ini pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia di majalah Pesantren dan Ulumul Qur’an; sejumlah tulisan lain telah terbit (atau akan terbit dalam waktu dekat) dalam majalah atau buku berbahasa Inggris. Dua tulisan (“Studi Tasawuf di Makkah pada Akhir Abad Kedelapan Belas” dan “Asal-usul dan Perkembangan Tarekat di Asia Tenggara”) merupakan tulisan baru yang akan saya susun khusus untuk melengkapi buku ini. Yang dicantumkan di sini, hanya tulisan saya tentang tradisi pengajaran dan pengamalan Islam di Nusantara, agar bukunya tidak terlalu beraneka ragam. Pada lain kesempatan insya Allah, tulisan-tulisan saya mengenai Islam, kemiskinan dan politik akan dikumpulkan dan diterbitkan kembali.

Untuk keperluan buku ini, tulisan berbahasa Inggris diterjemahkan dengan baik oleh Farid Wajidi, sedangkan semua artikel berbahasa Indonesia disusun kembali dan diperbaiki dengan bantuan Kholidy Ibhar dan Farid Wajidi. Kepada kedua teman ini saya mengucapkan terima kasih banyak atas usaha mereka membuat uraian saya menjadi lebih jelas dan mudah dimengerti.

Yogyakarta, 16 Januari 1994

Martin van Bruinessen  

MARTIN VAN BRUINESSEN DAN PENCARIANNYA
~ Abdurrahman Wahid1

Buku kumpulan tulisan Martin van Bruinessen ini menggam- barkan intensitas pencarian kebenaran ilmiah yang sangat menarik yang dilakukan oleh pakar kajian Islam dari negeri Kincir Angin. Selain sebagai sebuah proses berpikir yang benar-benar ilmiah, hasil karya Martin van Bruinessen ini juga mencerminkan sebuah upaya pencarian jati diri yang sangat menarik. Bermula dari upaya mengenal objek kajian berupa berbagai aspek kehidupan Islam di negeri ini, upaya pakar yang satu ini akhirnya berujung pada pemetaan masalah-masalah yang masih dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Bermula dari sekadar keingintahuan objektif dari seorang peneliti, buku ini berkesudahan pada munculnya rasa empati akan kehadiran Islam di kepulauan katulistiwa ini.

Martin van Bruinessen tidaklah asing dengan berbagai aspek kehidupan umat Islam, kerena ia memang menaruh minat besar kepada Islam sebagai cara hidup yang dijalani oleh sebuah satuan etnis bernama bangsa atau suku bangsa. Kajiannya yang mendalam atas kehidupan kaum tarekat Naqsyabandiyah di tanah Kurdistan, yang menjadi objek disertasi ilmiahnya, memberikan kepadanya lebarnya spektrum wilayah kehidupan umat Islam yang diliputinya. Tidak hanya dari sudut teologis dan doktrin agama belaka, ia juga harus meliputi interaksi empirik antara kaum Muslim Kurdi dengan tantangan yang dibawakan oleh proses modernisasi. Tidak hanya perkembagan politik yang dihadapi para pengikut tarekat tersebut di tanah Kurdistan, dengan latar belakang historis yang sangat beraneka ragam coraknya, tetapi juga pengamatan sosiologis dan antropologis yang sangat rumit yang dilalui oleh bangsa tersebut selama ini. Bukan hanya gambaran etnografis dari bangsa malang yang kini terpecah dalam empat kawasan keanekaragaman, sebagai salah satu bukti keterbelakangan dari bentuk negara- bangsa (nation-state), tetapi juga pergumulan strategis dalam percaturan antarbangsa yang sangat dahsyat.

Dari pengalamannya yang sangat mendalam akan tradisi keilmuan Islam ulama-ulama Kurdi, Martin van Bruinessen mampu menelusuri perjalanan tradisi tersebut ke kawasan Asia Tenggara melalui jalur penularan ilmu-ilmu agama di tanah Arabia, dari Aleppo di kawasan utara (Syria) hingga Yaman di sebelah selatan. Sudah tentu dengan tidak melupakan kawasan Hijaz di pantai barat Jazirah Arabia, utamanya kedua kota suci Makkah dan Madinah. Khususnya sejak abad ke-19 ketika pelayaran teratur dengan kapal api telah dibuka melalui  terusan  Suez yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Eropa. Sedangkan pada saat yang bersamaan, perkebunan-perkebunan tebu, teh, dan sebagainya telah melahirkan kelompok orang kaya baru di kalangan para petani Muslim yang taat (santri).

Kedua faktor di atas menyebabkan terbukanya jalur pelayaran baru dan munculnya kekuatan ekonomi baru pula, yang pada gilirannya memungkinkan munculnya tradisi baru untuk “menuntut ilmu di tanah suci”. Superioritas tradisi keilmuan kaum tarekat Naqsyabandiyah dari Kurdistan, yang telah merajai kawasan Hijaz dalam abad ke-19 M, segera dirasakan bekasnya yang sangat mendalam oleh kaum Muslim dari kawasan Asia Tenggara. Keterpautan kaum Muslim Kurdi kepada mazhab Syafi’i dalam fiqih (hukum agama) membuat mudahnya tradisi keilmuan mereka segera diserap dan disebarluaskan di kalangan ulama Nusantara, yang umumnya juga bermazhab yang sama.

Penelusuran Martin van Bruinessen akan pengaruh sangat kuat dari para ulama Kurdi dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam klasik di kawasan Asia Tenggara, melalui kajiannya yang mendalam tentang silsilah keilmuan (intellectual geneology) dan studi kritis atas buku-buku teks yang diajarkan di pesantren- pesantren sejak dua abad terakhir (ke-19 dan 20 M), menunjukkan betapa besarnya vitalitas cara-cara tradisional dalam menularkan ilmu pengetahuan yang diyakini oleh sebuah generasi kepada generasi berikutnya.

Dilihat dari pemetaan berkembangnya tradisi keilmuan Islam klasik yang dilakukan atas kawasan Asia Tenggara itu saja, dengan keberhasilannya mengungkapkan sumber-sumber tradisi itu sendiri di tanah Kurdistan, Martin van Bruinessen telah memberikan sumbangan sangat besar kepada kajian Islam di kawasan ini. Ia telah berhasil melepaskan tradisi keilmuan itu dari bayang-bayang para ilmuwan sebelumnya, semisal Drewes dengan referensi langsung kepada masa Wali Songo, sebuah upaya merujuk yang sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun pencarian kebenaran ilmiah yang dilakukan Martin van Bruinessen itu tidak hanya berhenti di situ. Ia masih belum puas dengan temuannya tentang alur-alur sejarah keilmuan yang ditemukannya. Ia juga masih berusaha menemukan keterkaitan antara berbagai aspek tradisi tersebut.

Wataknya yang terus mempertanyakan apa-apa yang telah dianggap sebagai kemapanan ilmiah membuatnya terus bertanya dan mempertahankan segala sesuatu. Ia mempertanyakan kebenaran anggapan bahwa pondok pesantren dengan kurikulum yang dikenal sekarang, dengan 14 cabang kajian yang disilabuskan oleh Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dalam Itmam Al-Dirayah, memang telah ada sejak zaman Wali Songo (abad ke15 dan 16 M) itu. Telusuran Martin yang membawanya kepada sumber-sumber literatur keraton Jawa (seperti Serat Centhini) dan arsip-arsip Kolonial Belanda tentang tanah Perdikan, akhirnya membawanya kepada kesimpulan bahwa kurikulum universal yang digunakan kalangan pesantren saat ini berasal dari permulaan abad ke-19 M, dan bersumber pada dominasi tradisi keilmuan Islam di tanah Hijaz oleh para ulama Kurdi.

Dengan demikian kita lalu mengetahui bahwa untuk waktu hampir dua abad lamanya, para “ulama Jawi” telah menyerap tradisi dari kawasan Timur Tengah itu, untuk dijadikan standar baku bagi kawasan tanah asal mereka di Kepulauan Nusantara. Nama-nama besar seperti Syekh Arsyad Banjar, Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Abd Al-Shamad Palembang, Syekh Saleh Darat di Semarang, Syekh Abd Al-Muhyi Pamijahan di Tasikmalaya, Syekh Mahfudz Termas di Pacitan, Syekh Khalil Bangkalan, dan Syekh Hasyim Asy’ari Tebuireng di Jombang merupakan perwakilan utama “tradisi Kurdi” di Kepulauan Nusantara. Namun, tidak hanya berhenti di situ saja proses perkembangan tradisi keilmuan kajian Islam di kawasan ini. Martin van Bruinessen juga menunjuk kepada penalaran kreatif oleh para “ulama Jawi” tesebut, seperti tertuang dalam karya-karya tulis mereka yang telah diterbitkan maupun yang belum. Ratusan judul karya mereka telah berhasil dihimpun dalam sebuah kepustakaan “kitab kuning pesantren” oleh Martin van Bruinessen, yang tentunya nanti akan berlanjut hingga menjadi ribuan judul, manakala upaya pencarian tetap diteruskan.

Penelusuran Martin van Bruinessen atas isi karya-karya tulis para “ulama Jawi” itu membawanya kepada sebuah pengenalan yang unik akan respon adaptif dan kreatif oleh para ulama tersebut terhadap tantangan modernisasi yang dibawakan oleh peradaban modern dalam dua abad terakhir ini. Salah satu topik yang diliputnya adalah perubahan pandangan akan tempat dan peranan perempuan dalam kehidupan kaum Muslim di kawasan ini. Ditunjukkanya betapa luas jangkauan perubahan dalam pandangan para ulama dan kaum Muslim pada umumnya tentang hak-hak dan posisi perempuan di kawasan ini, khususnya di Indonesia. Melalui telaah akan cara-cara para ilmuwan, ulama, dan para aktivis gerakan wanita Muslim di negeri ini dalam merumuskan posisi wanita dalam kehidupan itu, Martin van Bruinessen menunjuk kepada kemajuan besar yang telah dicapai di kawasan ini. Namun ini juga mencatat masih jauhnya cara- cara tersebut dari pemenuhan yang tuntas akan kebutuhan yang sangat terasa untuk memajukan hak-hak dan peranan para wanita Muslim secara keseluruhan. Melalui serangkaian hipotesis yang dikemukannya dalam salah satu tulisan pada buku ini, Martin van Bruinessen memetakan jalan apa yang seharusnya ditempuh lebih jauh oleh para pemikir Muslim dalam konteks tersebut.

Namun perhatian Martin van Bruinessen tidak hanya terkait dengan masalah-masalah kontemporer belaka. Ia juga menoleh ke belakang, ke sejarah masa lampau Islam di negeri ini. Telaahnya akan tradisi ziarah ke makam Syekh Jalaluddin Al-Kabir bin Husain, atau di sementara lokasi dikenal dengan sebutan makam Syekh Jumadil Kubra, membawa Martin van Bruinessen kepada hipotesis tentang pernah berkembangnya tarekat Kubrawiyah di negeri ini. Tarekat yang berwatak perlawanan politik terhadap kekuasaan yang dianggapnya lalim itu hingga kini pun masih dilarang berkembang di Turki, sehingga sangatlah menarik untuk melihat kemungkinan rekonstruksi masa lampau sejarah Islam di kawasan ini melalui pendekatan hipotesis itu. Kemampuan melihat proses yang berlangsung secara lintas sektoral dan lintas waktu itu, dengan kejelian-kejelian melihat berbagai fenomena dengan kerumitan konfigurasinya yang sangat tinggi tanpa kehilangan kejernihan pemikiran sama sekali, membuat telaah yang dilakukan Martin van Bruinessen sebagai sebuah proses rekonstruksi sejarah masa lampau bangsa kita sebagai sesuatu yang sangat hidup.

Tampak dari apa yang diuraikan di atas bahwa sejarahwan umat Islam yang berasal dari negeri Kincir Angin ini memiliki jangkauan sangat luas dan refleksi sangat dalam akan kondisi kaum Muslim sendiri. Sebagai pewaris tradisi kajian etnografis Belanda, yang terkenal dengan kedalaman refleksi, menunjukkan banyaknya data yang diolah Martin van Bruinessen untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kesabaran para ambtenar kolonial Belanda yang mencatat segala sesuatu dengan sangat setia, harus diimbangi dengan keberanian melakukan refleksi terus menerus, yang hasilnya tentu akan bermanfaat bagi kita semua. Dari sudut inilah saya rasa betapa penting peranan kajian yang dilakukan oleh para pakar, semisal Martin van Bruinessen, dalam menggugah daya tahan umat Islam dari gempuran internal dan eksternal.

10-10-1994
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Catatan akhir:
1. Abdurrahman Wahid adalah Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Presiden Republik Indonesia ke-4.

DOWNLOAD BUKU MARTIN VAN BRUINESSEN

LihatTutupKomentar