Dasar Hukum Shalat dan Waktunya

Dasar Hukum Shalat dan Waktunya Secara syar'i, shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga terd

Dasar Hukum Shalat dan Waktunya

Judul buku: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Dibrektorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak,
Nama lain dari ilmu falak: ilmu hisab, ilmu rashd, ilmu miqat, ilmu haiah.

Daftar isi

  1. Dasar Hukum Shalat dan Waktunya  
  2. Ketentuan waktu shalat lima waktu
    1. Waktu Shalat Zhuhur
    2. Waktu shalat Ashar
    3. Waktu shalat Maghrib
    4. Waktu shalat Isya
    5. Waktu salat Subuh
  3. Referensi dan Catatan
  4. Kembali ke buku: Ilmu Falak dan Hisab Praktis

2. Dasar Hukum Shalat dan Waktunya

Secara syar'i, shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu
mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga
terdefinisi sebagai ibadah muwaqqat).

Walaupun tidak dijelaskan secara gamblang waktu-
waktunya, namun secara isyari, al-Our'an telah menentukannya.
Sedangkan penjelasan waktu-waktu shalat yang terperinci
diterangkan dalam hadis-hadis Nabi. Dari hadis-hadis waktu shalat
itulah, para ulama” figh memberikan batasan-batasan waktu shalat
dengan berbagai cara atau metode yang mereka asumsikan untuk
menentukan waktu-waktu shalat tersebut. Ada sebagian mereka
yang mengasumsikan bahwa cara menentukan waktu shalat adalah
dengan menggunakan cara melihat langsung pada tanda-tanda
alam sebagaimana secara tekstual dalam hadis-hadis Nabi tersebut,
seperti menggunakan alat bantu tongkat istiwa' atau migyas'[122] atau
hemispherium,[123] Inilah metode atau cara yang digunakan oleh
madzhab Rukyah dalam persoalan penentuan waktu-waktu shalat.
Sehingga waktu-waktu shalat yang ditentukan disebut dengan al-
Auqat al-Mar'iyah atau al-Waktu al-Mar'y.

Sedangkan sebagian yang lain, mempunyai pemahaman
secara kontekstual, sesuai dengan maksud dari nash-nash tersebut,
di mana awal dan akhir waktu shalat ditentukan oleh posisi
Matahari dilihat dari suatu tempat di Bumi, sehingga metode atau
cara yang dipakai adalah hisab (menghitung waktu shalat). Di
mana hakikat hisab waktu shalat adalah menghitung kapan
Matahari akan menempati posisi-posisi seperti tersebut dalam
nash-nash waktu shalat itu.[124] Sehingga pemahaman inilah yang
dipakai oleh madzhab Hisab dalam persoalan penentuan waktu
shalat. Dan waktu shalatnya oleh para ulama' figh disebut waktu
Riyadhy.[125] Dengan cara hisab inilah yang nantinya lahir adanya
jadwal waktu shalat abadi atau jadwal shalat sepanjang masa.

Dua madzhab tersebut pada dasarnya berlaku di
masyarakat, ini dapat dilihat dari adanya tongkat istiwa' (istilah
Jawa: bencet) di setiap (depan) masjid yang digunakan untuk
menentukan waktu saat menjelang shalat. Adanya tongkat istiwa'
ini memberikan simbol bahwa madzhab Rukyah juga memang
masih ada (berlaku) di masyarakat. Walaupun di dalam masjid
tersebut juga terdapat jadwal waktu shalat abadi yang biasanya
dipakai pedoman di saat cuaca tidak mendukung (mendung) yang
memberikan simbol adanya madhab Hisab.

Namun dikotomi madhab Hisab dan madhab Rukyah
dalam persoalan PenenkAn waktu shalat, tidak nampak adanya
suatu persoalan atau “greget besar" atau bahkan sekat pemisah
madzhab-madzhab tersebut, nampak tidak muncul (tidak ada).
Karena menurut hemat penulis, dalam persoalan penentuan waktu
shalat ini oleh masyarakat, kedua madhab tersebut sudah diakui
validitas dan keakuratan hasilnya. Ini dapat dilihat adanya jadwal
waktu shalat yang tercantum pada setiap masjid walaupun di
depan masjid juga dipasang bencet atau tongkat istiwa”, Kiranya ini
maklum adanya, karena hasil hisab sudah terbukti keakuratan dan
validitasnya (sesuai dengan hasil rukyah). Sehingga dalam hal ini,
baik bagi madhab Hisab maupun madhab Rukvah berlaku adanya
simbiosis mutualisme, di mana apa yang dilakukan oleh madhab
Rukyah bisa dipakai sebagai pembuktian empirik dari hasil
madhab Hisab, begitu pula sebaliknya.Adapun dasar hukum waktu
shalat antara lain:

a. Suratal Nisa” (4| ayat 103

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا


"Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman” (OS. an-Nisa" (4): 103)

b. Surat Thaha (20) ayat 130 

 وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا ۚوَمِنْ اٰنَاۤئِ الَّيْلِ فَسَبِّحْ وَاَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضٰى


“Dan bertasbihlah dengan memuji tuhanmu, sebelum terbit Matahari dan
sebelum terberaninya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari
dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang” (OS.
Thaha (201: 130)

c. Surat al-Isra' (17):78 

اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا


“Dirikanlah salat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat)” (OS. al-Isra' (17): 78) 


d. Surat Hud (11): 114 

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ


Artinya: “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan
petang) dan pada bagian permulaan daripada malam" (OS. Hud
(11): 114),

e. Hadis riwayat Jabir bin Abdullah r.a.

‏ ‏عَنْ ‏ ‏جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ الْأَنْصَارِيُّ ‏ ‏أَنَّ النَّبِيَّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏جَاءَهُ ‏ ‏جِبْرِيلُ ‏ ‏فَقَالَ قُمْ ‏ ‏فَصَلِّهْ ‏ ‏فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ ‏ ‏زَالَتْ الشَّمْسُ ‏ ‏ثُمَّ جَاءَهُ الْعَصْرَ فَقَالَ قُمْ ‏ ‏فَصَلِّهْ فَصَلَّى الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ‏ ‏أَوْ قَالَ صَارَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ ‏ ‏ثُمَّ جَاءَهُ الْمَغْرِبَ فَقَالَ قُمْ ‏ ‏فَصَلِّهْ فَصَلَّى حِينَ وَجَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعِشَاءَ فَقَالَ قُمْ ‏ ‏فَصَلِّهْ فَصَلَّى حِينَ غَابَ ‏ ‏الشَّفَقُ ‏ ‏ثُمَّ جَاءَهُ الْفَجْرَ فَقَالَ قُمْ ‏ ‏فَصَلِّهْ فَصَلَّى حِينَ ‏ ‏بَرَقَ ‏ ‏الْفَجْرُ ‏ ‏أَوْ قَالَ حِينَ سَطَعَ الْفَجْرُ ‏ ‏ثُمَّ جَاءَهُ مِنْ الْغَدِ لِلظُّهْرِ فَقَالَ قُمْ ‏ ‏فَصَلِّهْ فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ ‏ ‏فَصَلِّهْ فَصَلَّى الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ الْمَغْرِبَ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ ثُمَّ جَاءَ لِلْعِشَاءِ الْعِشَاءَ حِينَ ذَهَبَ نِصْفُ اللَّيْلِ ‏ ‏أَوْ قَالَ ثُلُثُ ‏ ‏اللَّيْلِ ‏ ‏فَصَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْفَجْرِ حِينَ ‏ ‏أَسْفَرَ ‏ ‏جِدًّا فَقَالَ قُمْ ‏ ‏فَصَلِّهْ فَصَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ قَالَ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ ‏


"Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata: telah datang kepada Nabi SAW. Jibril a.s
lalu berkata kepadanya: bangunlah! lalu bersembahyangiah, kemudian Nabi
sholat Dzuhur di kala Matahari tergelincir. kemudian ia datang lagi
kepadanya “di waktu Ashar lalu berkata: bangunlah lalu sembahyanglah!
kemudiah Nabi Shalat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya.
Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata:
bangunlah lalu Shalatlah, kemudian Nabi Shalat Maghrib dikala Matahari
terbenam, Kemudian ja datang lagi kepadanya di waktu Isya" lalu berkata:
bangunlah dan Shalatlah! kemudian Nabi Shalat Isya" di kala mega merah
telah terbenam. kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu
berkata: bangunlah dan Shalatlah! kemudian Nabi Shalat fajar di kala fajar
menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar bersinar, Kemudian ia datang
pula esok harinya pada waktu Dzuhur, kemudian berkata kepadanya:
bangunlah lalu Shalatlah, kemudian Nabi Shalat Dzuhur di kala bayang-
bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu
Ashar dan ia berkata: bangunlah dan sholatlah! kemudian Nabi Shalat ashar
di kala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ta datang lagi
kepadanya di waktu Moghrib dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari
waktu yang sudah, Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Isya" di kala
telah lalu separo malam, atau ia berkata: telah tulang sepertiga malam,
kemudian Nabi Shalat Isya”. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah
bercahaya benar dan ia berkata, bangunlah lalu Shalatlah, kemudian Nabi
Shalat fajar. Kemudian Jibril berkata: saat dua waktu itu adalah waktu
Shalat,” (HR. Imam Ahmad dan Nasai dan Tirmidzi)'[126]

f. Hadis riwayat Abdullah bin Amar r.a 

  عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال وقْتُ صلاةِ الظهرِ إذا زالتِ الشمسُ ، وكان ظِلُّ الرجلِ كطولِهِ ما لم يحضُرِ العصرُ ، ووقْتُ صلاةِ العصرِ ما لم تصفَرَّ الشمسُ ، ووقْتُ صلاةِ المغربِ ما لم يغبِ الشفَقُ ، ووقْتُ صلاةِ العشاءِ إلى نصفِ الليلِ الأوسطِ ، ووقْتُ صلاةِ الصبحِ من طلوعِ الفجرِ ما لم تطلُعِ الشمسُ


"Dari Abdullah bin Umar ra berkata: Sabda Rasulullah san: waktu Dzuhur
apabila tergelincir Matahari, sampa bayang-bayang seseorang sama dengan
tingginya, yaitu selama belum datang waktu Ashar. Dan waktu Ashar selama
Matahari belum menguning. Dan waktu Maghrib selama Syafag belum
terbenam (mega merah). Dan sampai tengah malam yang pertegahan. Dan
waktu Shubuh mulai fajar menyingsing sampai selama matahari belum terbit.

Dari uraian dasar hukum tersebut dapat diperinci ketentuan
waktu-waktu Shalat sebagai berikut: 

Batasan waktu shalat wajib lima waktu

1. Waktu Dzuhur

Waktu dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah
Matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai
tibanya waktu Ashar. Dalam hadis tersebut dikatakan bahwa nabi
shalat dzuhur saat matahari tergelincir dan disebutkan pula ketika
bayang-bayang sama panjang dengan dirinya. Ini tidaklah
bertentangan sebab untuk Saudi Arabia yang berlintang sekitar 20” -
30? utara pada saat matahari tergelincir panjang bayang-bayang dapat
mencapai panjang bendanya bahkan lebih. Keadaan ini dapat terjadi
ketika Matahari sedang berposisi jauh di selatan yaitu sekitar bulan
Jani dan Desember.

2. Waktu Ashar

Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Nabi melakukan shalat ashar
pada saat panjang bayang-bayang sepanjang dirinya dan juga
disebutkan saat panjang bayang-bayang dua kali panjang dirinya.

Ini dikompromikan bahwa nabi melakukan sholat ashar pada saat
panjang bayang-bayang sepanjang dirinya ini terjadi ketika saat
Matahari kulminasi setiap benda tidak mempunyai bayang-bayang,
dan nabi melakukan shalat ashar pada saat panjang bayang-bayang
dua kali panjang dirinya, ini terjadi ketika Matahari kulminasi panjang
bayang-bayang sama dengan dirinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa waktu ashar dimulai
saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan panjang
bayang-bayang pada saat Matahari berkulminasi sampai tiba waktu
maghrib.

3. Waktu Maghrib

Waktu maghrib dimulai sejak Matahari terbenam sampai tibanya
waktu Isya',

4. Waktu Isya'

Waktu Isya' dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam
ada juga yang mengatakan sepertiga'”, Ada juga yang menyatakan
akhir shalat Isya' adalah terbitnya fajar.

5, Waktu Shubuh


Waktu shubuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbitnya Matahari. 

Referensi dan Catatan

122 Tongkat istiwa' dikenal pula dengan surdial atau orang jawa menyebutnya benoet, baca Maksum Lasem, Durus al-Falakuyah, Kudus: Menara Kudus, hlm. 1-2 dan bandingkan juga dalam Direktorat Jenderal Binbaga Islam-Dirjen Binbapera, Penentuan Awal Waktu Shalat dan Penentuan Arah Chat, Jakarta, 1995, hlm. 47-55. Menurut Darsa Sukartadireja (Kepala BP Planetarium dan Observatorium Jakarta), yang dinamakan tongkat matahari yakni sebuah tiang atau tongkat yang ditanam tegak diatas pelataran yang digunakan untuk mengetahui ketinggian matahari melalui bayang-bayangnya. Di mana menurut catatan sejarah, manusia telah menggunakannya di Mesir sekitar 35W) tahun yang lalu, yang dipakai sebagai jam untuk mengawali, mengakhiri atau mengulangi suatu pekerjaan. Baca dalam Darsa Sukartadireja, Telinsik Observasi Posisi Matahari Untuk menentukan Waktu Sholat dan Arah Kiblat, makalah yang disampaikan dalam Workshop Nasional Mengkaji Ulang Metode Peneteapan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat dalam perspektif Ilmu Syari'ah dan Astronomi, di UTI Yogyakarta, 7 April 2001. 

123. Hemispheriam adalah suatu bentuk alat untuk membaca sudut jam matahari. Secara umum alat yang dilengkapi sebuah bidang di mana sudut jam matahari dapat dibaca melalui bayangan benda yang disebut jam matahari atau sundial. Alat Ini mulai dikenal pemakaiannya pada sekitar 2.380) tahun yang lalu oleh bangsa Chaldean di masa Alexander the Great. Cara operasionalnya secara gamblang dapat dilihat Darsa Sukartadireja, op, cit, hlm. 4 -7.

124 Hisab waktu shalat ini menggunakan ilmu ukur bola (segitiga bola) dengan mengetahui terlebih dahulu lintang tempat (PJ, Bujur tempat deklinasi matahari | d ), tinggi matahari (hb), dengan bantuan rumus mencari sudut waktu, Cost - Tan p Tan d4 (Sin hh: Cos px Cos dj. Sedangkan mengenai data-data astronomi dapat dilihat dalam The Mauticat Almanar dan Tie American Epdueneris.  

Kemudian mengenal prinsip segitiga bola mestinya juga sudah diterapkan dalam metode Rubu' Mujavyab, yang oleh. kalangan pesantren, rubu' mujavyab tersebut dicetuskan oleh K.H. Abdul Jalil Kudus, Ruhu' Mujayyab merupakan miniatur dari seperempatan bulatan dunia, dalam bahasa Inggris disebut "Ouadrani”, baca Soetjipto, dkk., Islan Dan Ummu Pengetahuan Tentang Gerhana (Menghadapi Gerluma Matahari Total 1983), Yogyakarta: LPPM IAIN Sunan Kalijaga, 1963, hlm. 77. 

125. Waktu Riyadhy dapat diperoleh dengan menghisab ketinggian matahari, sedangkan waktu mariy dapat diperoleh dengan cara melihat Matahari. Keduanya merupakan sebagai pelantara untuk memperoleh waktu syar'i, baca Muhammad Maksum al-Farugy, Maton al- Shalat, Turki: Hakikat Kitabive, Fakih Istambul, 1999, hlm.2 

126. Lihat dalam Muhammad Bin Outhb Al-din Aznigy, Mugaddimah al-Shalat, Bairat: Dar al- Fikr, 1998, hlm, 12-15 dan bandingkan hadith dari Ibn Abbas yang secara redaksional berbeda namun secara subtansional tidak jauh berbeda, baca dalam Muhammad Thana'allah Al-Yani. Al: Tafsir Al-Mudihary, Bairut: Dar al-Fikr, 1998, hlm.24.

LihatTutupKomentar