Bab I Aqidah Larangan Menjatuhkan Vonis Kufur (Takfir)

Bab I Aqidah Larangan Menjatuhkan Vonis Kufur (Takfir) Secara Membabi Buta Memaki Orang Islam Adalah Tindakan Fasiq Dan Memeranginya Adalah kufur

Bab I Aqidah Larangan Menjatuhkan Vonis Kufur (Takfir)

Nama kitab: Terjemah Mafahim Yajibu an Tushohhah (Pemahaman yang Harus Diluruskan)
Judul kitab asal: (مفاهيم يجب أن تصحح)
Pengarang/penulis: Sayid Muhammad Alawi Al-Maliki
Nama lengkap: Sayid Muhammad bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani Al-Idrisi Al-Makki (1944–2004)
Panggilan hormat dari murid dan muhibbin: Abuya, Sayyidil Walid, Sayyidil Walid Abuya
Penerjemah:
Bidang studi: Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), Wahabime, Salafisme, Syariah

Daftar isi  
    1. Pendahuluan
    2. BAB I AQIDAH KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG
    3. Larangan Menjatuhkan Vonis Kufur (Takfir) Secara Membabi Buta
    4. Sikap Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab Menyangkut Takfir  
    5. Risalah Penting Lain  Karya Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab Dalam Masalah Pentakfiran
    6. Memaki Orang Islam Adalah Tindakan Fasiq Dan Memeranginya Adalah Tindakan Kufur
    7. Status Khaliq Dan Status Makhluq
    8. Status Makhluq
    9. Aspek-Aspek Yang Sama Antara Status Khaliq Dan Makhluq Tidak Bertentangan Dengan Kesucian Allah
    10. Majaz ‘Aqli Dan Penggunaannya
    11. Urgensi Menetapkan Kaitan (Nisbat) Dalam Menetapkan Batasan Kufur Dan Iman 
    12. Esensi Menisbatkan Tindakan Kepada Para Hamba
    13. Perbedaan Arti Akibat Perbedaaan Nisbat Lafadh
    14. Mengagungkan, Antara Ibadah Dan Etika
    15. Perantara Syirik
    16. Mediator Paling Agung
    17. Baju Kepalsuan
    18. Antara Sebaik-Baik Bid’ah Dan Seburuk-Buruknya
    19. Perbedaan Pasti Antara Bid’ah Syar’iyyah Dan Bid’ah Lughawiyyah
    20. Ajakan Para Aimmatuttashawwuf Untuk Mengaplikasikan Syariah
    21. Substansi Kelompok Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (Asya’irah)
    22. Esensi-Esensi Yang Selesai Dengan Kajian
    23. Jibril Menyamar sebagai Seorang Lelaki
    24. Pengertian Tawassul
    25. Bentuk Tawassul Yang Disepakati Ulama
    26. Titik Perbedaan
    27. Dalil-Dalil Tawassul Yang Dipraktekkan Kaum Muslimin
    28. Tawassul Dengan Nabi Muhammad Saw Sebelum Wujud Di Dunia
    29. Dokumen-Dokumen Tentang Hadits Tawassul Adam As
    30. Koreksi Ibnu Taimiyyah Terhadap Makna Pengkhususan Pada Hadits
    31. Analisa Penting Terhadap Pandangan Ibnu Taimiyyah Yang Raib Dari Benak Para Pengikutnya
    32. Tawassul Orang-Orang Yahudi Dengan Nabi Saw.
    33. Tawassul Dengan Nabi Sewaktu Hidup Dan Sesudah Wafat
    34. Penggunaan Lain Dan Dukungan Ibnu Taimaiyyah Terhadapnya
    35. Upaya-Upaya Yang Gagal
    36. Tawassul Dengan Nabi Saw Di Hari Kiamat
    37. Legalitas Tawassul Dalam Metode Syaikh Ibnu Taimiyyah
    38. Disyari’atkannya Tawassul Dengan Nabi Saw Versi Ahmad Ibn Hanbal Dan Ibn Taimiyyah
    39. Diperbolehkan Tawassul Versi Imam Al Syaukani
    40. Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab Berpendapat Diperkenankannya Tawassul
    41. Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab Tidak Bertanggung Jawab Atas Orang Yang Mengkafirkan Orang-Orang Yang Bertawassul
    42. Tawassul Dengan Jejak-Jejak Peninggalan Nabi Saw
    43. Tawassul Dengan Jejak-Jejak Peninggalan Para Nabi AS
    44. Tawassul Nabi Dengan Kemuliaan Dirinya Dan Kemuliaan Para Nabi Dan Sholihin
    45. Tawassul Nabi Dengan Kemuliaan Para Peminta (Bi Haqqissaailin)
    46. Tawassul Dengan Kuburan Nabi Saw Atas Petunjuk Sayyidah ‘Aisyah
    47. Sayyidah ‘Aisyah Dan Sikap Beliau Terhadap Kuburan Nabi Saw
    48. Tawassul Dengan Kuburan Nabi Saw Pada Era Khalifah ‘Umar
    49. Tawassul Kaum Muslimin Dengan Nabi Saw Dalam Perang Yamamah
    50. Tawassul Dengan Nabi Saw Pada Saat Sakit Dan Mengalami Musibah
    51. Tawassul Dengan Figur Selain Nabi Saw
    52. Makna Tawassul ‘Umar Dengan Dengan Abbas Ra
    53. Kisah Al ‘Utbi Dalam Tawassul
    54. Bait-Bait Al ‘Utbi Atas Jeruji-Jeruji Kuburan Nabi Saw
    55. Kesimpulan
    56. Syubhat Yang Ditolak
    57. Anggapan Sebagian Orang Bodoh Bahwa Nabi Saw Tidak Bisa Mendengar Perkataan Kita, Ttidak Bisa Melihat Kita Dan Tidak Mengenal Kita
    58. Daftar Nama Para Imam Yang Mempraktekkan Tawassul
    59. Para Sahabat Memohon Syafa’at Kepada Nabi Saw
    60. Interpretasi Ibnu Taimiyyah Terhadap  Ayat-Ayat Yang Menerangkan Syafaat
    61. Hanya Kepadamu Kami Menyembah  Dan Hanya Kepadamu Kami Mohon Pertolongan
    62. Memohon Pertolongan Dan Permintaan Kepada Nabi Saw
    63. Abu Hurairah Ra Mengadukan Lupa
    64. Qotadah Ra Meminta Pertolongan Kepada Nabi Untuk Menyembuhkan Matanya
    65. Mu’adz Ra Memohon Kepada Nabi Agar Menormalkan Tangannya
    66. Memohon Pertolongan Dan Bantuan Kepada Allah Lewat Nabi Dalam Mengatasi Musibah
    67. Nabi Saw Adalah Pilar, Perlindungan Dan Tempat Kami Mengadu
    68. Hamzah Pelaku Kebaikan Dan Penghilang Kesusahan
    69. Tidak Ada Perbedaan Antara Hidup Dan Mati
    70. Klaim Sesat
    71. Pertanyaan Pada Kaum Wahabi
    72. Apakah Memohon Sesuatu Yang Tidak Mampu Dilakukan Kecuali Oleh Allah Adalah Tindakan Syirik
    73. Jika Engkau Memohon Maka Memohonlah Kepada Allah Dan Jika Meminta Pertolongan Mintalah Pada Allah
    74. Jika Anda Meminta, Memintalah Kepada Allah
    75. Sesungguhnya Saya Tidak Dapat Dijadikan Tempat Untuk Memohon
    76. Kata-Kata Yang Digunakan Yang Terdapat Dalam Masalah Ini
    77. Sikap Syaikh Muhammad Ibn Abdil Wahhab Menyangkut Ungkapan-Ungkapan Yang Dikategorikan Syirik Atau Sesat Oleh Golongan Wahabi
    78. Kembali ke kitab: Terjemah Mafahim Sayid Al-Maliki

    Pendahuluan

    Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada utasan paling utama, Muhammad saw, keluarga, dan para sahabatnya sekalian. Ammab ba’du:
    Sungguh Allah telah memberikan kepada kita ni’mat nan banyak, dan yang teragung diantaranya adalah ni’mat Islam dan alangkah mulianya ni’mat itu.
    Diantara ni’mat-ni’mat yang diberikan kepada kita ialah kesejahteraan serta ketenteraman yang kita rasakan di berbagai belahan negara ini. Juga ni’mat pengimpletasian syari’at Islam dengan memberlakukan hudud serta menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan sunnah utusan-Nya Muhammad saw.
    Ini semua murni karena fadlol dari Allah dan berkat jasa pemerintah yang telah Allah jadikan pelindung bagi negara Haramain; Makkah dan Madinah yang mulia serta jasa mereka yang diberikan pertolongan oleh Allah untuk senantiasa mencurahkan tenaga serta pikirannya demi memberikan pelayanan kepada dua negara ini, serta dimuliakan Allah dengan memegang amanat untuk menjaga dan membentengi keduanya.
    Usaha pemerintah ini ternyata mendapat dukungan dari putra-putra bangsa ini dengan janji setia untuk mendukung langkah yang dilakukan oleh pemerintah, serta tanggung jawab didepan umum. Berangkat dan terdorong iman kita yang murni serta aqidah salaf, dan metode nabawi, kami akan memenuhi janji itu. Karena negeri ini, berkat anugrah dari Allah telah bersih dari segala kotor dan selamat dari segala jenis syirik seperti yang dikhabarkan Rasulullah: “Tidak mungkin akan ada dua agama di semenanjung Arab.” (HR.Malik).
    Nabi juga bersabda: “Sungguh setan telah merasa putus asa untuk mencari penyembah agar menyembahnya di tanah kalian (semenanjung Arab).” (HR. al-Bazzar, Thobaroni dengan jalan sanad yang bagus).
    Dalam hadits lain nabi bersabda: “Ya Allah, Janganlah kau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah dikemudian hari.” (HR. Malik dan Ahmad) dan do’a beliau terkabul.
    Hadits Nabi: “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada ummatku adalah penyekutuan Allah, ingatlah! Bukan penyembahan matahari, bulan serta berhala (yang aku takutkan.pent), tapi, kebajikan yang dilakukan bukan karena Allah serta syahwat yang samar.” (HR. Ibnu Majah).
    Terlebih lagi, nabi menghabarkan kepada kita bahwa negeri ini adalah benteng iman serta sentral pembawa panji Islam. Beliau bersabda: “sesungguh-nya iman akan bersentral di Madinah seperti ular yang akan kembali ke sarang-nya.” (HR. Bukhori-Muslim).
    Dalam riwayat lain: “sesungguhnya agama akan berpusat di bumi Hijaz seperti bersarangnya ular di lubangnya, agama juga akan terjaga dengan baik di bumi Hijaz seperti domba-domba yang aman di kandangnya.”

    BAB I AQIDAH KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG

     
    Larangan Menjatuhkan Vonis Kufur (Takfir) Secara Membabi Buta

    Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-faktor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda akan menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik. Dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik ( bil hikmah wal mau’idzoh al – hasanah ). Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nahl : 125.

    اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

    Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
    Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk menggapai hasil yang diharapkan. Menggunakan cara yang negatif dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.
    Jika Anda mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang Anda nilai benar sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu lalu kamu menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan denganmu maka sungguh kamu telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk melakukannya dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.
    Al-Allamah Al-Imam Al-Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad mengatakan, “ Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (Ma ‘ulima minaddin bidldloruroh), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu.
    Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib diketahui semua ummat Islam (Ma‘lumun minaddin bidldloruroh) seperti masalah keesaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad SAW, kebangkitan di hari akhir, hisab (perhitungan amal), balasan, sorga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun ummat Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.
    Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :
    1.    Aspek isnad seperti hadits : “Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah tempatnya di neraka”.
    2.    Aspek tingkatan kelompok perawi seperti kemutawatiran Al-Qur’an yang kemutawatirannya terjadi di muka bumi ini dari wilayah barat dan timur dari aspek  kajian, pembacaan, dan penghapalan serta ditransfer dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan isnad.
    Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir dari aspek praktikal dan turun-temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman Nabi sampai sekarang, atau mutawatir dari aspek informasi (Tawaturu ‘ilmin) seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat. Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.
    Memvonis  kufur seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya, “ Hai orang kafir”, maka vonis kufur bisa jatuh pada salah satu dari keduanya”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
    Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.
    Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
    Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.
    Imam Al-Haramain pernah berkata, “ Jika ditanyakan kepadaku : Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit  yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
    Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan untuk menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar point-point yang telah dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat fatal.
    Hanya Allah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.

    SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ‘ABDUL WAHHAB MENYANGKUT TAKFIR  

    Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab Rahimakumullah memiliki sikap mulia dalam hal pentakfiran. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh mereka yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir secara serampangan terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka. Padahal Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab sendiri menolak semua pandangan-pandangan tak berharga yang dialamatkan kepadanya. Dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah ia menulis sbb :
    Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan bahwa sebagian ulama didaerah kalian menerima dan membenarkan isi risalah tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ada atas nama saya ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak terlintas sama sekali di hatiku.
    Diantaranya :
    ucapan Sulaiman bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat
    Bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar.
    Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid.
    Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya : Wahai Makhluk paling mulia.
    Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Rasululllah SAW maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu. Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi SAW, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairatt dan Raudlul Rayaahin yang kemudian saya namakan Raudlul Syayaathiin.
     Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah :
       
    Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar.

    Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi SAW. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama persis sebab menciptakan kebohongan dan ucapan palsu. Allah berfirman :
    •    •    
    Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.

    Kafir Qurays melontarkan tuduhan palsu bahwa Nabi SAW mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan ‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firman-Nya :

    RISALAH PENTING LAIN  KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB DALAM MASALAH PENTAKFIRAN

    Risalah ini dikirimkan kepada Al-Suwaidi, seorang ulama Iraq. Sebelumnya Al-Suwaidi mengirimkan buku dan menanyakan mengenai apa yang diperbincangkan masyarakat. Kemudian Syaikh menjawab dalam risalahnya :
    Tersebarnya kebohongan adalah hal yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritakannya apalagi untuk membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian katakan adalah bahwasanya saya mengkafirkan semua orang kecuali mereka yang mengikutiku. Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohongan ini masuk ke akal orang yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarkan ucapan demikian?.
    Dan apa yang kalian katakan : Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Nabi SAW niscaya saya akan merealisasikannya, membakar dalailul khairat jika mampu dan melarang bersholawat kepada Nabi dengan ungkapan sholawat apapun. Perkatakan-perkataan ini dikategorikan kebohongan. Dalam hati seorang muslim tidak terbersit daslam hatinya sesuatu yang lebih agung melebihi Al-Qur’an.
    Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh berkata : Apa yang kalian katakan bahwa saya telah mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, mengkafirkan Bushoiri karena ungkapannya : Wahai makhluk paling mulia, mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi SAW, kuburan kedua orang tua dan kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah menggunakan nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah :
       
    Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar.

     
    MEMAKI ORANG ISLAM ADALAH TINDAKAN FASIQ DAN MEMERANGINYA ADALAH TINDAKAN KUFUR

    Ketahuilah bahwa membenci, memboikot dan berseberangan dengan kaum muslimin adalah haram, memaki orang Islam adalah tindakan fasiq dan memeranginya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut adalah halal.
    Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama pasukannya ketika menuju Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam cukup digunakan untuk menolak pemahaman harfiah (literal) dari judul di atas. Saat Khalid tiba di tempat mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid mengeluarkan instruksi, “Peluklah agama Islam!”. “ Kami adalah kaum muslimin,” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian dan turunlah.” Lanjut Khalid. “Tidak, demi Allah. Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tidak bisa mempercayai kamu dan orang-orang yang bersama kamu.” Jawab mereka kembali. “Tidak ada perlindungan buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Kata Khalid. Akhirnya sebagian kaum manuruti perintah Khalid dan sisanya tercerai berai.
    Dalam riwayat lain redaksinya sbb : Ketika Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum kafir?”. “Kami adalah kaum muslimin yang menjalankan sholat, membenarkan Muhammad, membangun masjid di tanah lapang kami dan mengumandangkan adzan di dalamnya.” Jawab mereka. Dalam lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan Aslamnaa , akhirnya mereka mengatakan Shoba’naa Shoba’naa. “ Buat apa senjata yang kalian bawa?, tanya Khalid. “Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun membawa senjata.” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian!” Perintah Khalid. Mereka pun mengikuti perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai tawanan!” Lanjut Khalid. Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya. Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan. Ketika tindakan Khalid ini sampai kepada Nabi SAW, beliau berkata, “ Ya Allah, saya tidak bertanggung jawab atas tindakan Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali.
    Ada pendapat yang menyatakan bahwa Khalid mengira mereka mengatakan Shoba’naa Shoba’naa dengan angkuh dan menolak tunduk kepada Islam. Hanya saja yang disesalkan Rasulullah adalah ketergesa-gesaan dan ketidak hati-hatiannya dalam menangani kasus ini sebelum mengatahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan Shoba’naa Shoba’naa. Nabi SAW sendiri pernah mengatakan, “ Sebaik-baik hamba Allah adalah saudara kabilah Qurays ; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk menghancurkan orang-orang kafir dan munafik”.
    Persis seperti apa yang dialami Khalid adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih Rasulullah SAW berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abi Dzibyan. Abi Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasulullah SAW mengirim kami ke desa Al-Huraqah. Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar seorang laki-laki Bani Dzibyan. Ketika kami berdua telah mengepungnya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku orang Anshor mengurungkan niat untuk membunuhnya namun saya menikamnya dan diapun mati. Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi SAW telah mendengar informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan. Beliau pun berkata, “ Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengatakan La Ilaaha illallah?.” “Dia hanya berpura-pura,” Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.
    Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”. “Saya tidak akan pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata Usamah.
    Sayyidina Ali RA pernah ditanya mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir?”. “Tidak,” jawab Ali, “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi kekufuran”. “Apakah mereka kaum munafik?”. “Bukan, orang-orang munafik hanya sekelebat mengingat Allah sedang mereka banyak mengingat Allah”. “Terus siapakah mereka?” Ali kembali ditanya. “Mereka adalah kaum yang terkena fitnah yang mengakibatkan mereka buta dan tuli”, jawab Ali.

    STATUS KHALIQ DAN STATUS MAKHLUQ
    Perbedaan antara status Khaliq dan makhluq adalah garis pemisah antara kufur dan iman. Kami meyakini bahwa orang mencapuradukkan kedua status ini berarti dia telah kafir. Wal ‘Iyadz billah.
    Masing-masing dari kedua status di atas memiliki hak-hak spesifik. Namun, dalam masalah ini masih ada hal-hal, khusunya yang berkaitan dengan Nabi dan sifat-sifat eksklusif beliau yang membedakan dengan manusia biasa dan membuat beliau lebih tinggi dari mereka. Hal-hal seperti ini kadang tidak dimengerti oleh sebagian orang yang memiliki keterbatasan akal, pemikiran, pandangan dan pemahaman. Kelompok ini mudah terburu-buru memvonis kafir terhadap mereka yang mengapresiasi hal-hal tersebut dan mengeluarkan mereka dari agama Islam karena menurut kelompok ini menetapkan sifat-sifat khusus untuk Nabi SAW adalah mencampuradukkan antara status Khaliq dan makhluq serta mengangkat status Nabi dalam status ketuhanan. Kami sungguh memohon ampun kepada Allah dari tindakan mencampuradukkan seperti ini.
    Berkat karunia Allah kami mengetahui apa yang wajib bagi Allah dan Rasul serta mengetahui apa yang murni hak Allah dan yang murni hak rasul secara proporsional tidak melampaui batas sampai memberi beliau sifat-sifat khusus ketuhanan yaitu menolak dan memberi, memberi manfaat dan bahaya secara independen (di luar kehendak Allah), kekuasaan yang sempurna dan komprehensif, menciptakan, memiliki, mengatur, satu-satunya yang memiliki kesempurnaan, keagungan dan kesucian dan satu-satunya yang berhak untuk dijadikan obyek beribadah dengan beragam bentuk, cara dan tingkatannya.
    Seandainya yang dianggap melampaui batas adalah berlebihan dalam mencintai, taat dan keterikatan dengan beliau maka hal ini adalah sikap yang terpuji dan dianjurkan sebagaimana dalam sebuah hadits : “Janganlah kalian mengkultuskanku sebagaimana kaum Nashrani mengkultuskan Isa ibn Maryam”.
    Maksud dari hadits tersebut berarti bahwa  sanjungan, berlebih-lebihan dan memuji beliau di bawah batas di atas adalah tindakan terpuji. Seandainya maksud hadits tidak seperti ini berarti yang dimaksud adalah larangan untuk memberikan sanjungan dan memuji secara mutlak. Pandangan ini jelas tidak akan diucapkan oleh orang Islam paling bodoh sekalipun. Wajib bagi kita memuliakan orang yang dimuliakan Allah dan diperintahkan untuk memuliakannya. Betul, memang kita wajib untuk tidak mensifati Nabi SAW dengan sifat-sifat ketuhanan apapun. Imam Al-Bushoiri RA berkata :
    Jauhilah klaim Nashrani akan Nabi mereka
    Berilah beliau pujian sesukamu dengan bahasa yang baik
    Memuliakan Nabi SAW tidak dengan sifat-sifat ketuhanan sama sekali bukan dikategorikan kufur atau kemusyrikan. Malah diklasifikasikan sebagai salah satu ketaatan dan ibadah yang besar. Demikian pula setiap orang yang dimuliakan Allah seperti para Nabi, rasul, malaikat, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Allah berfirman :
            
    Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah[990], Maka Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati.
             
    Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.
     
    Diantara obyek yang wajib dimuliakan adalah Ka’bah, Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim. Ketiga benda ini adalah batu namun Allah memerintahkan kita untuk memuliakannya dengan thawaf pada Ka’bah, mengusap Rukun Yamani, mencium Hajar Aswad, sholat di belakang maqam Ibrahim, dan wukuf untuk berdoa di dekat Mustajar, pintu Ka’bah dan Multazam. Tindakan kita terhadap benda-benda di muka bukan berarti beribadah kepada selain Allah dan meyakini pengaruh, manfaat, dan bahaya berasal dari selain-Nya. Semua hal ini tidak akan terjadi dari siapapun kecuali Allah SWT.

    STATUS MAKHLUQ
    Kami meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang bisa mengalami apa yang dialami manusia umumnya seperti sifat-sifat yang temporal dan penyakit-penyakit yang tidak mengurangi kedudukan beliau dan tidak membuat beliau dijauhi. Sebagaimana dikatakan oleh penyusun ‘Aqidatul ‘Awam :
    Para rasul boleh mengalami sifat-sifat yang temporer
    yang tidak mengurangi kedudukan mereka seperti sakit ringan
    Rasulullah juga adalah seorang hamba yang tidak memiliki kemampuan memberi manfaat, bahaya, mati, hidup membangkitkan kepada dirinya sendiri kecuali apa yang telah dikehendaki Allah. Firman Allah :
                                     
    Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".

    Beliau juga telah mengemban risalah, menyampaikan amanah, menyadarkan ummat, membuang kesedihan dan berjihada fi sabilillah sampai ajal menjemputnya. Beliau berpulang ke sisi Allah dalam kondisi rido dan mendapat keridoan, seperti digambarkan dalam firman Allah :
    •  • •
    Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula).
            •    
    Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal?

    Kehambaan adalah sifat beliau yang paling mulia. Karena itu beliau membanggakannya dan berkata : “Saya hanyalah seorang hamba”. Allah menyifati beliau dengan kehambaan dalam kedudukan tertinggi :
                            
    Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
                 
    Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.

    Kemanusiaan adalah letak sesungguhnya kemu’jizatan Rasulullah. Beliau adalah manusia dari jenis manusia namun berbeda dengan manusia biasa. Beliau memiliki perbedaan yang tidak mungkin dikejar atau disamakan dengan manusia biasa. Sebagaimana penilaian beliau tentang dirinya : “Saya tidak sama dengan kalian. Sesungguhnya saya bermalam di sisi Allah diberi kekuatan sebagaimana orang yang makan dan minum”.
    Berdasarkan paparan di atas maka jelaslah bahwa status kemanusian beliau wajib disertai dengan sifat-sifat yang membedakannya dengan manusia umumnya yaitu menyebut keistimewaan-keistimewaan beliau yang eksklusif dan sifat-sifat beliau yang terpuji. Perlakuan ini bukan hanya diberikan khusus untuk Nabi Muhammad SAW namun juga berlaku untuk rasul-rasul yang lain agar penilaian kita kepada mereka proporsional. Karena penilaian kepada para rasul semata-mata dipandang dari sisi kemanusiaan saja tanpa penilaian lain adalah pandangan jahiliyah yang musyrik. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak dalil mengenai masalah ini. Diantaranya adalah
    -    Ucapan kaum Nuh terhadap Nabi Nuh dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka : (Hud : 27).
                 •                   
    Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".

    -    Ucapan kaum Nabi Musa dan Harun terhadap mereka berdua dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka : (Al-Mu’minun : 47).
             
    Dan mereka berkata: "Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?"

    -    Ucapan kaum Tsamud kepada Nabi mereka Shalih dalam peristiwa yang diceritakan Allah tentang mereka : (Asy-Syu’araa’ : 154).
                
    Kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; Maka datangkanlah sesuatu mukjizat, jika kamu memang Termasuk orang-orang yang benar".

    -    Ucapan Penduduk Aikah kepada Nabi mereka Syu’aib dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka : (Asy-Syu’araa; : 186).
                        
    185. Mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir,
    186. Dan kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti Kami, dan Sesungguhnya Kami yakin bahwa kamu benar-benar Termasuk orang-orang yang berdusta.

    -    Ucapan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad SAW yang memandang beliau semata-mata sebagai manusia dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka :
                    •
    Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?,

    Nabi telah menginformasikan status dirinya dengan benar akan sifat-sifat luhur dan hal-hal yang melampauai kebiasaan yang membuatnya berbeda dengan manusia lain.
    -    Sabda beliau dalam sebuah hadits shahih : “Kedua mataku terpejam namun hatiku tetap terjaga”.
    -    “Saya mampu melihat kalian dari belakangku sebagaimana melihatmu dari depan”.
    -    “Saya dianugerahi pintu-pintu gudang dunia”.
    Meskipun telah wafat, Rasulullah tetap hidup dalam bentuk kehidupan barzakh yang sempurna. Beliau mampu mendengar perkataan, membalas salam dan shalawat orang yang bershalawat sampai kepada beliau. Amal perbuatan ummat disampaikan kepada beliau hingga beliau berbahagia atas perbuatan orang-orang yang baik dan beristighfar terhadap orang-orang yang melakukan dosa. Allah juga mengharamkan bumi untuk memakan jasadnya. Jasad Nabi terlindungi dari hal-hal yang bersifat merusak dan dari apapun yang berada dalam tanah.
    Dai Aus ibn Aus, ia berkata , “Rasulullah SAW bersabda, “Salah satu hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at ; di hari itu Adam diciptakan dan wafat, Israfil meniup sangkakala dan matinya seluruh makhluk. Maka perbanyaklah bershalawat untukku pada hari Jum’at. Karena shalawat kalian disampaikan kepadaku”. Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami sampai kepadamu padahal tubuhmu telah hancur?” tanya para sahabat. “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” Jawab Rasulullah. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ibn Hikam dalam kitab shahihnya serta Al-Hakim yang menilai hadits ini shahih).  
    Menyangkut keutuhan jasad para Nabi Al-Hafidh Jalaluddin As-Suyuthi menyusun sebuah risalah khusus menyangkut hal tersebut yang berjudul ‘Inbaa’ul Adzkiyaa’ bi Hayaatil Anbiyaa’.
    Dari ibnu Mas’ud Rasulullah SAW bersabda, “ Hidupku lebih baik buat kalian. Kalian berbicara dan saya berbicara kepada kalian. Dan jika saya meninggal dunia maka kewafatanku lebih baik buat kalian. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku melihat amal baik aku memuji Allahdan jika aku melihat amal buruk aku beristighfar buat kalian”. Kata Al-Haitsami , “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan standar perawi hadits shahih.
    Dari Abi Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau berkata, “ Tidak ada seorangpun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan nyawaku hingga aku membalas salamnya”. HR. Ahmad dan Abu Dawud.
    Sebagian ulama menafsirkannya dengan mengembalikan kemampuan berbicara beliau.
    Dari ‘Ammar ibn Yaasir, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT mewakilkan seorang malaikat yang diberi Allah nama semua makhluk pada kuburanku.  Maka tidak ada seorang pun hingga hari kiamat yang menyampaikan shalawat untukku kecuali malaikat itu menyampaikan kepadaku namanya dan nama ayahnya ; ini adalah si fulan anak si fulan yang telah menyampaikan shalawat untukmu”. HR. Al-Bazzaar dan Abu al-Syaikh ibn Hibban yang redaksinya : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya ada malaikat Allah yang telah diberi semua nama makhluk oleh Allah. Ia berdiri di atas kuburanku jika aku meninggal. Maka tidak ada seorang pun yang menyampaikan shalawat kepadaku kecuali si malaikat berkata, “Wahai Muhammad ! fulan anak fulan telah menyampaikan shalawat untukmu”. Rasulullah berkata, “Rabb Tabaraka wa Ta’ala merahmatinya. Untuk satu shalawat dibalas 10 rahmat”. Dalam Al-Kabiir Al-Thabaraani meriwayatkan hadits seperti ini
    Meskipun Rasulullah SAW telah wafat namun keutamaan, kedudukan dan derajatnya di sisi Allah tetap abadi. Mereka yang beriman tidak akan ragu akan fakta ini. Karena itu, bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW pada dasarnya kembali kepada keyakinan keberadaan hal-hal di muka dan meyakini beliau dicintai dan dimuliakan Allah serta keimanan kepada beliau dan kepada risalahnya. Dan tawassul bukanlah berarti beribadah kepada Nabi SAW. Karena beliau betatapapun tinggi derajat dan kedudukannya tetaplah seorang makhluk yang tidak mampu menolak bahaya dan memberi manfaat tanpa izin Allah.
    Allah SWT berfirman :
               
    Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".

    ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH

    Banyak orang keliru dalam memahami sebagian aspek-aspek yang sama antara status Khaliq dan makhluq. Mereka  menganggap bahwa menisbatkan aspek-aspek di atas kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah.
    Diantara aspek-aspek di atas adalah seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian orang dan menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu mereka menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan kepada Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan aspek-aspek itu kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan sebagaian sifat-sifat ketuhanan. Pandangan ini adalah sebuah kebodohan murni. Karena Allah SWT bebas memberi siapa saja dan sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi semata-mata karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia mulyakan, Dia tinggikan derajat dan hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang lain. Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah SWT. Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari hak atau sifat ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan diperoleh lewat izin, anugerah, dan kehendak Allah. Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan perintahnya. Karena manusia adalah makhluk lemah yang tidak mampu menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian , kehidupan dan kebangkitan dari kubur untuk dirinya sendiri. Banyak hal-hal yang da dalil yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah SWT memberikannya kepada Nabi SAW dan orang lain.
    Berangkat dari penjelasan di atas, pensifatan Nabi SAW dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai ke derajat ketuhanan atau menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah SWT.
    Di antara aspek-aspek di atas adalah :
        Syafaat; syafaat adalah milik Allah. Allah berfirman :
        
    Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.

    Namun syafaat juga dimiliki oleh Rasul SAW dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam sebuah hadits : Saya dikaruniai syafaat, dan : Saya adalah orang pertama yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya.
        Mengetahui hal-hal ghaib adalah milik Allah.
              
    Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah",

    Namun terdapat dalil yang menunjukkan Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib :
              
    26. (dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.

                    
    27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

        Hidayah; hidayah khusus milik Allah. Allah berfirman :
    •                 
    Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.

    Tapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Nabi SAW juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :
    ........
    Hidayah yang terdapat dalam ayat pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua. Perbedaan ini hanya dapat dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan berfikir yang baik yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika pengertian hidayah disamakan niscaya Allah perlu mengatakan Sesungguhnya engkau memberi hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah tapi bukan seperti hidayah-Ku. Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan lafadl hidayah tanpa keterangan apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari kaum muslimin bisa memahami kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata tersebut menyangkut apa yang disandarkan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Masalah ini sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah saat Allah berfirman  :
      
    Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.

    dan Allah juga mensifati diri-Nya dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat. Allah SWT berfirman ( ). Sudah umum diketahui bahwa  Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang dikhithabi yang seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan antara Khaliq dan makhluk. Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan rahmat-Ku, atau mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan rahmat tertentu, atau bisa juga mengetakan Ra’uuf dengan ra’fah kemanusiaan dan rahiim dengan rahmat kemanusiaan. Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun. Allah berfirman :
      

    MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAANNYA
    Tidak disangsikan lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantaranya :
         
    dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya)

    Penyandaran kalimat ziyadah ke kalimat aayaat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang yang menambah sesungguhnya adalah Allah SWT.
       •
    hari yang menjadikan anak-anak beruban.

    Penyandaran kata Ja’ala pada pada alyaum adalah majaz ‘aqli. Karena Al-Yaum adalah tempat mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada Al-Yaum sedang yang  menjadikan sesungguhnya adalah Allah SWT.
              
    dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia)

    Penyandaran Idlal pada Ashnam adalah majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idlal sedang yang memberi petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya Allah SWT semata.
    Firman Allah mengisahkan Fir’aun :
       
    "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi

    Penyandaran Al-Binaa kepada Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman Cuma penyebab. Ia hanya pemberi perintah tidak membangun sendiri. Yang membangun adalah para pekerja.
    Adapun keberadaaan majaz ‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui oleh orang yang mau mengkajinya. Para ulama berkata : Terlontarnya penyandaran di atas dari orang yang mengesakan Allah cukup menjadikannya dikategorikan sebagai penyandaran majazi karena keyakinan yang benar adalah bahwa pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka adalah Allah semata. Allah adalah pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka. Tidak ada yang bisa memberikan pengaruh kecuali Allah. Orang hidup atau orang mati tidak bisa memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni. Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh dalam kemusyrikan.

    URGENSI MENETAPKAN KAITAN (NISBAT) DALAM MENETAPKAN BATASAN KUFUR DAN IMAN


    Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan serta tidak menggunakan titik temu yang bisa menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang ada seperti kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman Allah :
       
    Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab

    kelompok Qadariyyah (free will) yang menggunakan ayat :
      
    Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri
    بما كنتم تعملون
    kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat :
    والله خلقكم وما تعملون
    وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
    Untuk menyingkap maksud dari firman Allah di muka bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam diluar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan Allah SWT berdasarkan ayat
    والله خلقكم وما تعملون
    dan ayat
    وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
    meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja) seperti dalam firman Allah
    لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت
    dan ayat-ayat lain yang menunjukkan penyandaran kerja kepada hamba. Keterkaitan qudrah dengan almaqdur (obyek dari sifat qudrah) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrah Allah pada masa azali berkaitan dengan  alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrah Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan lain.

    ESENSI MENISBATKAN TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA
    Berangkat dari keterkaitan qudrah di atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrah tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah yang menciptakan, mentakdirkan dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah menghendaki apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan bukti Allah menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah tidak menghendaki semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah
      ••   
    Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya-.

    Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk kategori penisbatan  musabbab (Obyek yang terkena pengaruh sebab) kepada sabab (penyebab) atau wasithah (perantara). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah pencipta washithah yang menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah tidak memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti malaikat, manusia atau jin.

    PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH
    Barangkali Anda berkata : Tidaklah rasional menisbatkan satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan pengaruh kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian. Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaannya”.
    Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkinan digunakan untuk salah satunya. Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian (musytarak/ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan : Pemimpin membunuh di fulan dan ungkapan : Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh yang dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang sama yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita : Allah adalah pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada dan ungkapan kita : Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan padanya kehendak dan pengetahuan. Berarti hubungan qudrah dengan iradah serta gerakan dengan qudrah adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan dengan yang menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kartegori mengaitkan yang disebabi atas yang menjadi penyebab. Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan qudrah sebagai Fa’il (pelaku) bagaimanapun bentuk kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan dengan keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat. Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah SWT sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diri-Nya sendiri. Allah SWT berfirman :
      •    
    Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu
        
    Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya
     • 
    Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam., dengan dinisbatkan kepada mereka
                        
    25. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), 26. Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, 27. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
       •   
    lalu Kami mengutus roh Kamikepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
              
    lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan Dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.
    Nafkh (tiupan) disandarkan kepada Allah padahal yang meniup sesungguhnya adalah Jibril AS. Allah berfirman :
      • 
    Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. , padahal pembaca Al-Qur’an yang didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad SAW adalah Jibril.
    Allah berfirman :
                 
    Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.

    Allah meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diri-Nya dan menafikan tindakan pelemparan darinya lalu menyandarkannya kepada diri-Nya. Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-orang kafir dan menafikan tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak membunuh dan melempar dalam pengertian sebagaimana Allah membunuh dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna yang memiliki arti berbeda. Kadangkala Allah menisbatkan tindakan kepada diri-Nya dan Nabi Muhammad secara bersamaan sebagaimana firman Allah :
                        
    Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).

     ‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa Allah SWT jika berkehendak menciptakan janin maka Allah mengutus malaikat. Lalu malaikat memasuki rahim dan memungut sperma dengan tangannya kemudian membentuknya sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai Tuhanku, laki-laki atau perempuan jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal atau cacat ?”. Lalu Allah menetapkan janin sesuai dengan kehendak-Nya dan malaikat pun membentuknya.
    Dalam versi lain : malaikat membentuk janin dan meniupkan nyawa padanya sebagai janin yang mendapat bahagia atau celaka.
    Jika Anda memahami keterangan di atas maka jelaslah bagi Anda bahwa tindakan digunakan dalam arti beragam dan tidak kontradiktif. Karena itu tindakan adakalanya disandarkan kepada benda mati seperti dalam firman Allah :  
      •    
    Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya., pohon tidak bisa memberikan buah dengan sendirinya. Sebagaimana halnya sabda Nabi kepada orang yang memberikan beliau sebuah kurma.
    خذها لو لم تأتها لأتتك ...
    Ambillah kurma itu. Jika engkau tidak mendatanginya maka kurma itu akan datang kepadamu ...............
    Sebagaimana tertera dalam riwayat Thabarani dan Ibnu Hibban. Penyandaran kata Ityan (datang) berbeda pengertian antara yang disandarkan kepada seorang laki-laki dan kurma. Maksud dari datangnya kurma berbeda dengan datangnya laki-laki. Pengertian datang dari keduanya adalah dua majaz yang berbeda sudut pandangnya. Kemajazan penyebutan kedatangan kepada laki-laki bermakna bahwa Allah menciptakan padanya kemampuan dan kehendak untuk datang pada kurma. Sedang kedatangan kurma bermakna bahwa Allah akan membuat seseorang sebagai penyebab datangnya kurma. Yang sesungguhnya adalah menyandarkan mendatangkan kepada Allah pada keduanya. Karena perbedaan sudut pandang dalam perantara maka memandang perantara dalam tindakan terkadang bisa mengakibatkan kekufuran sebagaimana jawaban Qarun terhadap Nabi Musa AS :
          
    Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku".

    Dan sebagaimana dalam hadits : Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada yang beriman kepadaKu dan kafir. Adapun yang berkata : Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang. Sebaliknya orang yang berkata : kami disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang. Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptakan.
    Imam al-Nawawi berkata : pendapat para Ulama terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang mengatakan : Kami disirami hujan berkat bintang ini.
    Pendapat pertama menyatakan bahwa perkataan ini adalah kekufuran kepada Allah dan mencabut dasar keimanan serta dapat mengeluarkan dari agama Islam. Dalam pandangan ulama kekufuran bisa terjadi atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya meyakini bahwa bintang adalah pelaku, pengatur dan pencipta hujan sebagaimana anggapan sebagaian kaum jahiliyyah. Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini maka tidak disangsikan lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama diantaranya Imam Asy-Syafi’i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits. Karena itu, dalam pandangan mereka seandainya mengatakan : kami disirami hujan berkat bintang ini dengan tetap meyakini bahwa hujan itu dari dan berkat rahmat Allah SWT sedang bintang cuma dianggap sebagai waktu dan ciri berdasarkan kebiasaan maka seolah-olah ia mengatakan : kami disirami hujan pada waktu bintang ini, berarti ia tidak kufur.
    Para ulama berbeda pendapat menyangkut kemakruhan perkataan : kami disirami hujan berkat bintang ini. Namun kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi dosa. Penyebab kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur dan tidak, yang bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia adalah lambang jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
    Pendapat kedua : Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah sebab membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh riwayat terakhir pada bab ini ; Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada yang kufur.  Dalam riwayat lain ; Allah tidak  menurunkan  berkah  dari  langit kecuali sebagian manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata بها (terhadap berkah itu) menunjukkan  kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu A’lam.
    Anda bisa melihat bahwa Imam An-Nawawi menyatakan adanya konsensus ulama bahwa siapapun yang menisbatkan tindakan kepada perantara tidak berdampak kufur kecuali disertai keyakinan bahwa perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur dan pencipta. Namun jika perantara tidak dilihat demikian namun hanya menganggap perantara adalah ciri atau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkan maka vonis kufur tidak jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana sabda Nabi : Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak mampu membalasnya maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah membalas kebaikannya. Dan sabda Nabi yang lain : Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah.
    Ajakan syara’ ini berdasarkan pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut pandang demikian tidak berarti meniadakan anugerah dari Allah. Banyak ayat dimana Allah SWT memberikan pujian atas perbuatan baik para hamba-Nya dan malah memberi mereka pahala atas perbuatan tersebut. Allah adalah Dzat yuang mendorong mereka berbuat baik dan menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah berfirman :
        •         
    Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhannya)
        
    Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya
          
    Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu

    Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’l) dapat digunakan dalam beragam makna maka makna-makna tersebut tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih.
    Makna-makna yang terkandung dalam ungkapan  lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan hati lebih luas dari buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku pada lafadz dalam arti hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu mengkompromikan antara teks-teks atau membedakannya. Silahkan Anda perhatikan informasi yang disampaikan Allah tentang Nabi Ibrahim AS dalam : رب إنهن أضللن كثيرا من الناس  . apakah Anda menilai Nabi Ibrahim menyekutukan Allah dengan benda mati? Padahal beliaulah yang bertanya : أتعبدون ما تنحتون والله خلقكم وما تعملون  . Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun yang menyekutukan Allah dengan yang lain dalam segi penciptaan dan memberikan pengaruh maka ia telah musyrik baik obyek lain itu benda mati atau manusia, baik Nabi atau bukan. Dan barangsiapa yang meyakini adanya penyebab dalam hal di atas baik penyebab itu berlaku secara umum atau tidak kemudian menjadikan Allah sebagai penyebab atas terjadinya musabbab dan bahwa pelakunya (al-fa’il) adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka ia adalah seorang mukmin meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab dianggap sebagai sebab. Karena kesalahannya terletak pada sebab bukan pada yang menciptakan sebab yang nota bene adalah Sang Pencipta dan Pengatur SWT.

    MENGAGUNGKAN, ANTARA IBADAH DAN ETIKA
    Banyak orang keliru dalam memahami substansi pengagungan dan ibadah. Mereka mencampur kedua substansi ini dan menganggap bahwa apapun bentuk pengagungan berarti ibadah kepada yang diagungkan. Berdiri, mencium tangan, mengagungkan Nabi SAW dengan sayyidina dan maulanaa, dan berdiri di depan beliau saat berziarah dengan sopan santun; semua ini tindakan berlebihan di mata mereka yang bisa mengarah kepada penyembahan selain Allah. Pandangan ini sesungguhnya adalah pandangan bodoh dan membingungkan yang tidak diridloi Allah dan Rasulullah SAW serta menyusahkan diri sendiri yang tidak sesuai dengan spirit syari’ah islamiyyah.
    Nabi Adam AS, manusia pertama dan hamba Allah yang shalih yang pertama dari jenis manusia, oleh Allah malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya sebagai bentuk penghargaan dan pengagungan atas ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada Nabi Adam dan sebagai proklamasi kepada para malaikat atas dipilihnya Nabi Adam bukan para makhluk lain. Allah berfirman :
                           •           
    61. Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?"
    62. Dia (iblis) berkata: "Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil".
    Dalam ayat lain Allah berfirman :
             
    Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah".
                     
    Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama-sama, Kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu.

    Para malaikat mengagungkan makhluk yang diagungkan Allah dan iblis menolak untuk sujud kepada makhluk yang tercipta dati tanah. Iblis adalah yang pertama kali menggunakan analogi dengan akalnya dan berkata : saya lebih baik dari Adam, dengan alasan karena ia tercipta dari api sedang Adam dari tanah. Ia enggan menghormati Adam dan menolak bersujud kepadanya. Iblis adalah makhluk angkuh pertama dan menolak mengagungkan makhluk yang diagungkan Allah. akhirnya ia dijauhkan dari rahmat Allah karena keangkuhannya pada Adam yang shalih. Sikap iblis pada dasarnya adalah keangkuhan kepada Allah karena sujud kepada Adam semata-mata atas perintah Allah. Sujud kepada Adam hanyalah sebagai bentuk penghormatan kepadanya atas para malaikat. Iblis adalah makhluk yang mengesakan Allah namun ketauhidannya tidak berguna sama sekali akibat menolak bersujud kepada Adam.
    Salah satu firman Allah yang menjelaskan pengagungan terhadap orang-orang sholih adalah firman Allah menyangkut Nabi Yusuf AS
           
    Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud

    Sujud ini adalah sujud sebagai ungkapan penghargaan dan pemuliaan terhadap Yusuf atas saudara-saudaranya. Sujud menyentuh tanah yang dilakukan saudara-saudara Yusuf ditunjukkan oleh kalimat وخروا   barangkali dalam syari’at saudara-saudara Yusuf sujud dalam bentuk seperti ini diperbolehkan atau seperti sujud para malaikat kepada Adam untuk memuliakan, mengagungkan, dan mematuhi perintah Allah sebagai penafsiran terhadap  mimpi Yusuf dimana mimpi para Nabi berstatus wahyu.
    Adapun Nabi Muhammad SAW maka Allah SWT telah berfirman :
                       
    8. Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
    9. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
              •   •       
    1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
            •                 •               •      •            
    2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
    3. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.
    4. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.
                                    
    63. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

    Ketika berhadapan dengan Rasulullah, Allah SWT melarang berbicara mendahului beliau dan bersikap tidak sopan dengan mendahului berbicara. Sahl ibn ‘Abdillah berkata,” Janganlah kamu berkata sebelum Rasulullah berkata, dan jika beliau berkata maka dengarkanlah dan perhatikanlah. Para sahabat dilarang untuk mendahului dan tergesa-gesa memenuhi keinginannya sebelum keinginan Rasulullah terpenuhi dan dilarang mengeluarkan fatwa apapun baik perang atau urusan lain yang menyangkut agama tanpa perintah Nabi dan juga tidak boleh mendahului beliau. Kemudian Allah memperingatkan mereka untuk tidak melanggar larangan di atas :
    واتقوا الله إن الله سميع عليم
    Berkata As-Silmi : takutlah kepada Allah, jangan sampai menelantarkan hak Allah dan menyia-nyiakan hal-hal yang diharamkan-Nya karena Dia mendengar ucapan kalian dan mengetahui tindakan kalian. Selanjutnya Allah melarang mengeraskan suara melebihi suara beliau dan berbicara keras kepada beliau sebagaimana mereka berbicara kepada sesamanya. Versi lain mengatakan, sebagaimana kalian saling memanggil dengan menggunakan nama. Abu Muhammad Makki mengatakan : janganlah kalian berkata sebelum beliau, mengeraskan ucapan dan memanggi beliau dengan namanya sebagaimana panggilan kalian dengan sesamanya. Tapi agungkanlah dan hormatilah dan panggillah beliau dengan panggilan paling mulia yang beliau senang dengan panggilan tersebut yaitu Wahai Rasulullah dan wahai Nabiyyallah. Pandangan Abu Muhammad Makki ini sebagaimana firman Allah :
                                    
    Ulama lain menafsirkan : Jangan berkata kepada beliau kecuali bertanya. Selanjutnya Allah memperingatkan bahwa amal perbuatan mereka akan hangus jika melanggar larangan di muka. Ayat di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika sekelompok orang datang kepada Nabi dan memanggil beliau dengan : Wahai Muhammad, keluarlah untuk menemui kami. Lalu Allah pun mengecam tindakan mereka sebagai kebodohan dan menggambarkan bahwa kebanyakan mereka tidak berakal.
    ‘Amr ibn ‘Ash berkata, “Tidak ada orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah SAW dan dimataku tidak ada yang lebih agung melebihi beliau. Saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar semata-mata karena menghormatinya. Jika saya ditanya untuk menyifati beliau saya tidak akan mampu menjawab sebab saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar. HR Muslim dalam Kitabul Iman, bab Kaunul Islam Yahdimu Maa Qablahu.
    Turmudzi meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW keluar menemui sahabat Muhajirin dan Anshor yang sedang duduk. Di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar. Tidak ada yang berani memandang beliau dengan wajah terangkat kecuali Abu Bakar dan Umar. Keduanya memandang beliau dan beliau memandang keduanya dan mereka berdua tersenyum kepada beliau dan beliau juga tersenyum kepada mereka.
    Usamah ibn Syuraik meriwayatkan : Saya datang kepada Nabi SAW yang dikelilingi para sahabat yang seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Dalam menyifati beliau : Jika berbicara para pendengar yang duduk di sekeliling beliau akan menundukkan kepala seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Saat ‘Urwah ibn Mas’ud menjadi duta Qurays waktu mengadakan perjanjian datang kepada Rasulullah dan melihat penghormatan para sahabat kepada beliau. Ia melihat jika beliau berwudlu maka mereka akan segera berebutan mengambil air wudlu. Bila beliau meludah atau membuang dahak maka mereka akan meraihnya dengan telapak tangan mereka lalu digosokkan pada wajah dan badan mereka. Kalau ada sehelai rambut beliau yang jatuh mereka segera mengambilnya. Jika Beliau memberi instruksi mereka segera mengerjakanya. Bila Beliau berbicara  mereka merendahkan suara mereka. Mereka tidak berani memandang tajam Beliau, karena menghormatinya. Ketika Usamah bin Syuraik kembali kepada kaum quraisy ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy saya pernah mendatangi Kisro dan kaisar di istana mereka, Demi Allah saya belum pernah sekalipun melihat raja bersama kaumnya sebagaimana Muhammad bersama para sahabatnya.
    Dalam riwayat lain disebutkan: Saya belum pernah sekalipun melihat raja yang dihormati pengikutnya sebagaimana para sahabat menghormati Nabi. Sungguh saya telah melihat kaum yang tidak akan membiarkan Beliau dalam bahaya selamanya.
    At-Thabarani dan Ibnu Chibban dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik bahwasanya ia berkata; “Kami sedang duduk-duduk disamping Nabi seolah-seolah diatas kepala kami hinggap burung “.Tidak ada seorangpun diantara kami yang berbicara tiba-tiba datang beberapa orang pada Nabi lalu mereka bertanya ; “ Siapakah hamba Allah yang paling dicintainya? “Yang paling baik budi pekertinya “Jawab Nabi. Demikian tercantum dalam At-Targhib:2/187.Imam Al-Mundziri berkata, Hadits ini diriwayatkan oleh At Thabarani dalam As Shahih dengan para perawi yang bisa dijadikan argumentasi.
    Abu Ya’la meriwayatkan dari Al-Barra’ ibn ‘Azib dan menilainya shahih bahwa Al-Barra’ mengatakan, “Sungguh aku ingin sekali menanyakan sesuatu kepada Rasulullah namun aku menundanya selama dua tahun semata-mata karena segan”.
    Al-Baihaqi meriwayatkan dari Al-Zuhri bahwa ia berkata, “Mengkhabarkan kepada saya seorang Anshor yang tidak saya ragukan bahwa Rasulullah SAW jika berwudlu atau mengeluarkan dahak maka para sahabat berebutan mengambil dahak beliau kemudian diusapkan pada wajah dan kulit mereka.
    “Mengapa kalian berbuat demikian,? Tanya Rasulullah.
    “Kami mencari berkah darinya.”
    “Barangsiapa yang ingin dicintai Allah dan Rasul-Nya maka berkatalah jujur, menyampaikan amanah dan tidak menyakiti tetangganya.” Demikian keterangan dalam Al-Kanzu : 8/228.
    Walhasil, dalam hal ini ada dua persoalan besar yang harus dimengerti. Pertama; kewajiban menghargai Nabi SAW dan meninggikan derajat beliau di atas semua makhluk. Kedua; mengesakan Tuhan dan menyakini bahwa Allah SWT berbeda dari semua makhluk-Nya dalam aspek dzat, sifat dan tindakan. Barangsiapa yang meyakini adanya kesamaan makhluk dengan Allah dalam aspek ini maka ia telah menyekutukan Allah sebagaimana kaum musyrikin yang meyakini ketuhanan dan penyembahan terhadap berhala. Dan siapapun yang merendahkan Nabi SAW dari kedudukan semestinya maka ia berdosa atau kafir.
    Adapun orang menghormati Nabi dengan beragam penghormatan yang berlebihan namun tidak menyifati beliau dengan sifat-sifat Allah apapun maka ia telah berada di jalan yang benar dan secara bersamaan telah menjaga aspek ketuhanan dan kerasulan. Sikap semacam ini adalah sikap yang ideal.
    Apabila ditemukan dalam ucapan kaum mukminin penyandaran sesuatu kepada selain Allah maka wajib dipahami sebagai majaz ‘aqli. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya karena majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

    PERANTARA SYIRIK
    Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara (wasithah). Mereka memvonis dengan gegabah bahwa perantara adalah tindakan musyrik dan menganggap bahwa siapapun yang menggunakan perantara dengan cara apapun telah menyekutukan Allah dan sikapnya sama dengan sikap orang-orang musyrik yang mengatakan :
          
    "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya".

    Kesimpulan ini jelas salah dan berargumentasi dengan ayat di atas adalah bukan pada tempatnya. Karena ayat tersebut jelas menunjukkan pengingkaran terhadap orang musyrik menyangkut penyembahan mereka terhadap berhala dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah serta menjadikan berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan dengan anggapan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala mendekatkan mereka kepada Allah. Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum mussyrikin adalah dari aspek penyembahan mereka terhadap berhala dan dari aspek keyakinan mereka bahwa berhala adalah tuhan-tuhan di luar Allah SWT.
    Di sini ada masalah yang urgen untuk dijelaskan. Yaitu bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin, sesuai yang digambarkan Allah, tidak meyakini dengan serius ucapan mereka yang membenarkan penyembahan berhala : (Kami tidak menyembah mereka kecuali semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah). Jika ucapan kaum musyrikin tersebut sungguh-sungguh niscaya Allah lebih agung daripada berhala dan mereka tidak akan menyembah selain-Nya. Allah telah melarang kaum muslimin untuk memaki berhala-berhala kaum musyrikin, lewat firman-Nya :
                  •  •             
    108. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

    Abdurrazaq, Abd ibn Hamid, ibn Jarir, ibnul Mundzir, ibn Abi Hatim dan Abu al-Syaikh meriwayatkan dari Qatadah bahwa Rasulullah berkata, “Awalnya Kaum muslimin memaki berhala-berhala orang kafir. Akhirnya mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat :
                  •  •             
    108. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

    Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. Berarti ayat tersebut melarang dengan keras kaum mu’minin untuk melontarkan kalimat yang bernada merendahkan terhadap batu-batu yang disembah oleh kaum paganis di Makkah. Karena melontarkan kalimat seperti itu mengakibatkan kemurkaan kaum paganis karena membela bebatuan yang mereka yakini dari lubuk hati paling dalam sebagai tuhan yang memberi manfaat dan menolak bahaya. Jika mereka emosi maka akan balik memaki Tuhan kaum muslimin, Allah SWT dan melecehkan-Nya dengan berbagai kekurangan padahal Dia bebas dari segala kekurangan. Jika mereka meyakini dengan sebenarnya bahwa penyembahan kepada berhala sekedar untuk mendekatkan diri kepada Allah niscaya mereka tidak akan berani memaki Allah untuk membalas orang yang memaki tuhan-tuhan mereka. Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaaan Allah dalam hati mereka jauh lebih sedikit dari pada keberadaaan bebatuan yang disembah.
    Ayat lain yang menunjukkan ketidakjujuran orang kafir adalah :
      •                  
    25. Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
    Bila orang-orang kafir meyakini dengan jujur bahwa hanya Allah sang Pencipta dan bahwa berhala-berhala itu tidak mampu menciptakan apa-apa niscaya mereka akan menyembah Allah semata, tidak menyembah berhala atau minimal penghormatan mereka terhadap Allah melebihi penghormatan kepada patung-patung dari batu tersebut. Apakah jawaban mereka dalam ayat ini relevan dengan makian mereka terhadap Allah sebagai bentuk pembelaan terhadap berhala-berhala mereka dan pelampiasan dendam terhadap Allah SWT? Secara spontan kita akan menjawab sampai kapanpun hal ini tidak relevan. Ayat di atas bukanlah satu-satunya ayat yang menunjukkan bahwa di mata mereka Allah lebih rendah dari patung-patung yang mereka sembah. Banyak ayat senada seperti :
                                         
    136. Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.
    Seandainya di mata mereka Allah tidak lebih rendah dibanding patung-patung tersebut maka mereka tidak akan mengunggulkannya dalam bentuk seperti yang diceritakan ayat ini dan tidak layak mendapat vonis ساء ما يحكمون
    Salah satu ungkapan yang masuk kategori di atas adalah perkataan Abu Sufyan sebelum masuk Islam, “Mulialah engkau wahai Hubal !”sebagaimana riwayat Al-Bukhari. Pujian ini dialamatkan kepada berhala mereka yang bernama Hubal agar dalam kondisi kritis mampu mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi serta agar ia dan pasukannya mampu mengalahkan tentara mukmin yang hendak menghancurkan berhala-berhala mereka. Ini adalah gambaran dari sikap orang musyrik menyangkut berhala dan Allah  SWT.
    Pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik karena banyak orang tidak memahaminya dengan benar lalu membangun persepsi-persepsi yang sesuai dengan pemahamannya.
    Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah menyuruh kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka menyembah menghadapnya dan menjadikannya sebagai kiblat ? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek penyembahan. Mencium Hajar Aswad adalah penghambaan kepada Allah dan mengikuti Nabi SAW. Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad niscaya mereka menjadi musyrik sebagaimana para penyembah berhala.
    Perantara (mediator/wasithah) adalah sesuatu yang harus ada. Eksistensinya bukanlah sebagai bentuk kemusyrikan. Tidak semua orang yang menggunakan mediator antara dirinya dan Allah dipandang musyrik. Jika semua dianggap musyrik niscaya semua orang dikategorikan musyrik karena segala urusan mereka didasarkan atas eksistensi mediator. Nabi Muhammad SAW menerima Al-Qur’an via Jibril dan Jibril adalah mediator beliau. Sedang Nabi SAW adalah mediator besar bagi para sahabat.  Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan mengadukannya kepada beliau dan menjadikannya sebagai mediator menuju Allah. Mereka memohon do’a kepada beliau dan beliau tidak menjawab, “Kalian telah musyrik dan kafir karena tidak boleh mengadu dan memohon kepada saya. Kalian harus datang, berdoa dan memohon sendiri karena Allah lebih dekat dengan kalian dari pada saya”. Nabi tidak pernah berkata demikian. Beliau malah berdiam dan dan memohon pada saat di mana mereka mengatahui bahwa pemberi sejati adalah Allah dan yang mencegah, melimpahkan dan pemberi rizqi juga Allah. Mereka juga tahu bahwa beliau SAW memberi atas izin dan karunia Allah. Beliaulah yang mengatakan,”Saya adalah pembagi dan Allah pemberi”. Berangkat dari pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas diperbolehkan menetapkan manusia biasa manapun bahwa ia telah mengatasi kesulitan dan mencukupi kebutuhan dengan pengertian bahwa ia adalah mediator dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Kalau manusia biasa bisa berperan seperti ini maka bagaimana dengan Nabi Muhammad SAW yang nota bene junjungan mulia, Nabi agung, makhluk termulia dunia akhirat , junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah paling utama secara mutlak? Bukankah beliau pernah bersabda,” Barangsiapa membantu mengatasi satu dari banyak kesulitan seorang mu’min …..” sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Maka orang mu’min adalah orang yang mengatasi segala kesulitan.
    Bukankah beliau bersabda.”Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya maka saya akan berdiri di dekat timbangan amalnya. Jika timbangan amal baik itu lebih berat…………..jika tidak maka aku akan memberinya syafaat”. Maka orang mu’min adalah orang yang mencukupi segala kebutuhan. “Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya”. “Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang didatangi banyak orang untuk memenuhi kebutuhan mereka”. “Allah senantiasa membantu hamba-Nya sepanjang ia membantu saudaranya”. “Siapapun yang menolong orang teraniaya maka Allah akan menulis baginya 93 kebaikan”. HR. Abu Ya’la, Al-Bazzaar dan Al-Baihaqi.
    Dalam konteks ini orang mu’min adalah yang mengatasi, membantu, menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan meskipun sesungguhnya pelaku sejatinya adalah Allah SWT. Namun berhubung ia adalah mediator dalam menangani masalah-masalah tersebut maka sah menisbatkan tindakan-tindakan tersebut kepadanya.
    Dalam koleksi hadits-hadits Rasulullah SAW terdapat banyak hadits yang menjelaskan bahwa Allah SWT menghindarkan siksaan dari penduduk bumi berkat orang-orang yang beristighfar dan mereka yang rajin menghidupkan masjid dan Dia juga memberi rizqi, menolong dan menjauhkan musibah dan tenggelam dari penduduk bumi berkat mereka.
    At-Thabarani dalam Al-Kabir dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan meriwayatkan dari Mani’ Ad-Dailami RA bahwa ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Jikalau tiada para hamba Allah yang sholat, para bayi yang menyusui dan binatang yang merumput niscaya adzab akan diturunkan dan orang-orang yang terkena adzab itu akan dihancurkan”.
    Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’d ibn Abi Waqqash RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bukankah kalian mendapat kemenangan dan rizki hanya karena orang-orang lemah kalian”.
    At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dikategorikan shahih oleh Al-Hakim dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda.”Barangkali kamu mendapat rizqi berkat saudaramu”.
    Dari Abdullah ibn Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Orang-orang datang kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka dalah orang-orang yang aman dari adzab Allah”. HR. Thabarani dalam Al-Kabiir, Abu Nu’aim dan Al-Qudlo’i dengan status Hasan.
    Dari Abdillah ibn Umar RA bahwa Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT, sebab keshalihan seorang laki-laki muslim akan membuat  anak, cucu, warga desanya dan desa-desa sekitarnya menjadi shalih dan mereka senantiasa berada dalam lindungan Allah sepanjang laki-laki shalih itu tinggal bersama mereka”. Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam tafsirnya : 2/341 dan An-Nasa’i dalam Al-Mawaa’idz dari As-Sunan Al-Kubraa sebagaimana keterangan dalam At-Tuhfah : 13/380. Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Shahih Al-Bukhari dan Al-Muslim  selain guru An-Nasaa’i yang dikategorikan tsiqah dan WAFIIHI KALAAMUN.
    Dari Ibnu ‘Umar RA berkata : Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah menghindarkan bala’ berkat seorang laki-laki shalih, seratus keluarga dari tetangganya,”. Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah :
       ••             
    seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. HR. Thabarani.
     
    Dari Tsauban seraya memarfu’kan hadits berkata,”Di tengah kalian senantiasa ada 7 orang wali di mana berkat mereka kalian diberi pertolongan, hujan dan rizki sampai tiba hari kiamat”.
    Dari ‘Ubadah ibn Shamit RA berkata : Rasulullah SAW bersabda,”Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka kalian diberi hujan dan mendapat pertolongan”. Qatadah berkata,”Sungguh saya berharap Hasan Al-Bashri termasuk mereka”. HR. Thabarani.
    Empat hadits di atas disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat :
       ••             
    seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.
    Ayat ini layak dijadikan argumen dan dari keempatnya status hadits menjadi shahih.
    Dari Anas, berkata : Rasulullah SAW bersabda,”Bumi tidak akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurrahman Ibrahim AS. Berkat mereka kalian disirami hujan dan diberi pertolongan. Jika salah seorang meninggal maka Allah akan menggantinya dengan orang lain.” HR. Thabarani dalam Al-Awsath dan isnad isnad hadits ini hasan. Majma’uz Zawaaid : 2/62. 

    MEDIATOR PALING AGUNG
    Dalam hari mahsyar yang nota bene hari tauhid, hari iman dan hari dimana ‘Arsy dimunculkan, akan tampak keutamaan mediator paling agung, pemilik panji (Alliwaa’ al-Ma’qud), kedudukan terpuji, telaga yang didatangi, pemberi syafaa’t  yang diterima syafa’atnya dan tidak sia-sia jaminannya untuk orang yang Allah telah berjanji kepada beliau bahwa Allah tidak akan mengecewakan anggapan beliau, tidak akan menghina beliau selamanya, tidak membuat beliau susah serta malu saat para makhluk datang kepada beliau memohon syafaat. Lalu beliau berdiri kemudian tidak kembali kecuali mendapat baju kebaikan dan mahkota kemuliaan yang tergambar dalam perintah Allah kepada beliau : “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berilah syafa’at maka syafa’atmu akan diterima dan mohonlah maka kamu akan diberi !”. 


    BAJU KEPALSUAN
    Mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan dan kekanak-kanakkan banyak jumlahnya. Namun sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa dan tidak layak dianggap memahaminya.
    Semua mengaku punya hubungan kasih dengan Laila
    Tapi Laila menampik pengakuan mereka
    Fakta menyedihkan ini ditambah lagi dengan sikap mereka yang mencoreng diri sendiri dan merusak reputasi. Sikap mereka tepat dengan apa yang digambarkan secara detail dalam sebuah hadits : Orang yang berpura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak bisa membuat kenyang laksana orang yang mengenakan dua baju kebohongan”.
    Kita, umat Islam mendapat cobaan dengan banyaknya orang-orang seperti di atas. Mereka mengeruhkan kedamaian umat, memecah belah antar kelompok dan menbangkitkan konflik antar sesama saudara dan anak dengan ayahnya.
    Mereka berusaha meluruskan persepsi-persepsi Islam lewat pintu pendurhakaan terhadap ulama, dan berpegang teguh dengan ajaran-ajaran salaf dengan jalan pengingkaran, dan mengganti kebajikan, tutur kata yang baik dan belas kasih dengan sikap keras, membatu, etika yang buruk dan minimnya simpati. Diantara para pengklaim adalah mereka yang menganggap mengikuti  jalan tasawwuf padahal mereka adalah orang yang paling jauh dari substansi dan essensi taSawwuf. Mereka menodai tasawwuf, mengotori kemuliaanya, merusak ajaranya dan melontarkan kritik pedas terhadap tasawwuf dan para imamnya dari para ahli ma’rifat dan para guru pembimbing.
    Kami tidak mengenal tahayyul, kebatilan, kebohongan dan tipuan dalam taSawwuf.  Kami juga tidak mengenal teori-teori filsafat, ide-ide luar atau aqidah-aqidah musyrik baik sinkretisme atau manunggaling kawula gusti.
    Kami lepas tangan kepada Allah dari muatan-muatan sesat taSawwuf dan mengkategorikan semua pandangan yang berlawanan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dan tidak bisa dita’wil adalah kebohongan yang menyusup dan ditambahkan oleh tangan-tangan jahil dan jiwa-jiwa yang lemah.
     Dengan perilaku yang baik dan budi pekerti yang bersih tampaklah kepahlawanan generasi awal, para tokoh, para imam dan para pahlawannya. Dan tampak di hadapan kita sosok Islam yang paling cemerlang, sempurna, dan contoh paling luhur dan suci. Sejarah telah menginformasikan kepada kita cerita kemuliaan, kebanggaan, kehormatan, keagungan, jihad, perjuangan, dan pelajaran-pelajaran tentang peradaban Islam.
    Berangkat dari fakta di muka kami meyakini bahwa kebangkitan-kebangkitan besar tidak akan terbangun kecuali di atas risalah-risalah spiritual dan inspirasi-inspirasi iman  dan tidak akan berdiri kecuali di atas etika-etika luhur yang kokoh yang model-modelnya digali dari akidah-akidah suci.
    Sesungguhnya sifat-sifat etik, psikologis dan spiritual adalah modal dasar bangsa. Ketiga faktor ini adalah asset-asset besar yang membentuk ummat dan mengantarkan umat manusia menuju cita-cita luhur. Orang yang mengkaji sejarah hidup generasi salaf shalih dan tokoh-tokoh sufi di tengah masyarakat, akan melihat bagaimana contoh-contoh ideal dan prinsip-prinsip ini bisa menjadi faktor langsung  terjadinya revolusi-revolusi yang nyata, tercatat dan populer dalam sejarah Islam. Mereka tidak memiliki pengaruh dan kekuatan kecuali iman dalam tatarannya yang paling tinggi. Iman yang panas, berkobar-kobar dan hidup, yang berlandaskan kerinduan dan kecintaan kepada Allah. Sebuah keimanan yang mampu menyalakan api yang menyala-nyala dan menatap selamanya kepada Allah dalam hati para pengikutnya. Orang yang mengkaji juga akan melihat bagaimana di tengah mereka seorang laki-laki bisa hidup dalam maqam al-ihsan (kondisi dimana seseorang merasakan kehadiran Allah), ia melihat Allah dalam segala sesuatu, dan merasa takut kepada-Nya dalam segala aktivitasnya. Ia senantiasa merasa takut kepada Allah dalam setiap tarikan nafasnya tanpa meyakini adanya penitisan, bersatunya Tuhan dengannya, dan peniadaan eksistensi Tuhan. Iman ini adalah iman yang membangunkan kesadaran holistik dalam kehidupan, menyentak rasa yang dalam akan ketuhanan yang berjalan dalam alam semesta, dan yang hidup dalam sudut-sudut paling dasar dari alam semesta, yang mengetahui apa-apa yang terlintas di hati, bisikan-bisikan rahasia, mata yang mencuri pandang dan apa yang disembunyikan dalam hati.

    ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUKNYA
    Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan tolol, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syari’ah Islam mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa : sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk. Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam.
    Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin seperti Al-Imam Al-‘Izz ibn ‘Abdissalaam, Al-Nawaawi, Al-Suyuuthi, Al-Mahalli dan Ibnu Hajar.
    Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.
    Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari samudera syari’ah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah syari’at dan teks-teks Al-Qur’an dan hadits yang mengikat.
    Salah satu contoh dari hadits-hadits di muka adalah hadits :

    كل بدعة ضلالة

    Setiap bid’ah itu sesat
    Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam naungan dalil syar’i.
    Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti :

    لاصلاة لجار المسجد إلا في المسجد

    Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid
    Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah, disamping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.
    Seperti hadits :

    لاصلاة بحضرة الطعام

    Tidak ada sholat di hadapan makanan  
    Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak sempurna.

    لايؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

    Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.

    والله لايؤمن والله لايؤمن والله لايؤمن ، قيل : من يا رسول الله ؟ قال : من لم يأمن جاره بوائقه .

    Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa terganggu dengannya”.
    Para ulama menafsirkan dengan tidak adanya iman yang sempurna.

    لايدخل الجنة قتات .......... ، لايدخل الجنة قاطع رحم وعاق لوالديه

    Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
    Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk sorga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk sorga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan.
    Walhasil, para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai.
    Hadits di atas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum.
    Dalam sebuah hadits dijelaskan : Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat”
    Berpegamg teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafat.
    ‘Umar ibn Khaththab berkomentar mengenai sholat tarawih : sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam).

    PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH
    Sebagian ulama mengkritik pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang  menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat. Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat. Karena itu Anda akan melihat ia berkata : Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan : akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.
    Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang  mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya. Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas : Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) bid’ah diniyah (keagamaan) 2) bid’ah duniawiyyah (keduniaan). Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut.  Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama  baru ini datang ?.
    Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sebenarnya.
    Rasulullah SAW sebagai Syari’ bersabda, “Setiap bid’ah itu sesat. Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian ; diniyyah yang sesat dan duniawiyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa.
    Karena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi jelas,  insya Allah.
    Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan syar’i.  Maka untuk memahami ucapannya harus menggunakan standar syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah. Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang mendapat ancaman dari Nabi SAW :

    من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

    Barangsiapa menciptakan dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak.
    Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “ في أمرنا هذا ”.
    Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu jauh.
    Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah,  sebenarnya mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.
    Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini tidaklah substansial. Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat,  – ini adalah pendapat yang benar – dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara mendetail. Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum  muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbangan dari para aimmatul ushul. Semoga Allah meridloi para aimmatul ushul dan meridloi kajian mereka terhadap lafadh-lafadh yang shahih dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan atau interpretasi.

    AJAKAN PARA ULAMA TASHAWWUF UNTUK MENGAPLIKASIKAN SYARIAH

    Tashawwuf, obyek yang teraniaya dan  senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa ? Karena ia seorang sufi.
    Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tashawwuf, menyerang dan memusuhi pengamal tashawwuf bertindak dan berbicara tentang tashawwuf, kemudian tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tashawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran. Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan, “Berkata Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi.”
    Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi adalah tokoh-tokoh tashawwuf yang kitab-kitab tashawwuf penuh dengan ucapan, informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka.  Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta?.
    Saya ingin mengutip pandangan para tokoh tashawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka sesungguhnya. Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan.
    Al-Imam Junaid RA berkata, “ Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak beliau.”
    Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid Al-Bastomi suatu hari berbicara pada para muridnya, “ Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali. ” Lalu Abu Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi salam. “ Orang ini tidak dapat dipercaya atas satu etika dari beberapa etika Rasulullah, maka bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiiqin, “ kata Abu Yazid.
    Dzunnuun Al Mishri berkata, “Poros dari segala ungkapan (madaarul Kalam) ada empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti Al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka. Salah satu indikasi orang  yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Saw dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.
    As-Sirri As-Siqthi berkata, “Tashawwuf adalah identitas untuk tiga makna ; Shufi (pengamal tashawwuf) adalah orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahirial Al-Kitab dan As-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap tabir-tabir keharaman Allah.
    Abu Nashr Bisyr ibn Al Harits Al Hafi berkata, “ Saya bermimpi bertemu Nabi Saw. “ Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan  derajatmu mengalahkan teman-temanmu? Tanya Beliau. “ Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “ Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik ( Abror ).”
    Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur Al-Bashthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah padahal Rasulullah tidak pernah memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah. Kemudian Allah mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan menghadapku atau tembok.
    Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
    Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah Al-Daaraani berkata, “Terkadang, selama beberapa hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya  kecuali dengan dua saksi adil ; Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
    Abul Hasan Ahmad ibn Abil Hawaari berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah maka perbuatan itu sia-sia.”
    Abu Hafsh ‘Umar ibn Salamah Al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap saat dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh besar (diwaanirrijaal).  
    Abul Qasim Al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan Al-Qur’an dan tidak mencatat Al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tashawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”
    Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip Al-Kitab dan Al-Sunnah dan ilmuku ini dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah.”
    Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail Al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar  merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai Anakku, mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan  batin.”
    Ia juga berkata, “Bersahabat dengan Allah itu dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut kepada-Nya. Bersahabat dengan Rasulullah itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormati dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih.
    Ia juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan As-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah. Allah SWT berfirman :  
       
    Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.

    Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nawawi mengatakan, “Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisi bersama Allah yang membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau mendekatinya.”
    Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ Al-Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah (muraqabat) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”
    Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn ‘Atha’ mengatakan, “Barangsiapa menekan dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti Al-Habib Rasulullah SAW dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau SAW.”
    Ia juga mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah ia ke wajah setan.”
    Abu Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah kecuali mengikuti Rasulullah SAW dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.”
    Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud Al-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah adalah memprioritaskan ketaatan kepada Allah dan mengikuti Nabi-Nya SAW.”
    Mamsyad Ad-Dinawari berkata, “Etika murid adalah selalu dalam menghormati masyayikh (guru), membantu kawan-kawan, terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
    Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah satu kefardluan Allah kecuali Allah akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak diberi musibah dengan bid’ah.”

    SUBSTANSI KELOMPOK IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI (ASYA’IRAH)

    Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab Al-Asya’irah (kelompok ulama penganut madzhab Imam Asy’ari) dan tidak mengetahui siapakah mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah. Sebagian kalangan, tanpa apriori, malah menilai mereka sesat atau telah keluar dari Islam dan menyimpang dalam memahami sifat-sifat Allah.
    Ketidaktahuan terhadap madzhab Al-Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan kelompok ahlussunnah dan terpecah-pecahnya persatuan mereka, sehingga sebagian kalangan yang bodoh memasukkan Al-Asya’irah dalam daftar kelompok sesat. Saya tidak habis pikir, mengapa kelompok yang beriman dan kelompok sesat disatukan? Dan mengapa ahlussunnaha dan  kelompok ekstrim mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan?.
          
    35. Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)
    Al-Asya’irah adalah para imam simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan semua orang sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama ahlissunnah yang menentang kesewenang-wenangan mu’tazilah.
    Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Asya’irah digambarkan sbb : Para ulama adalah pembela ilmu agama dan Al-Asya’irah pembela dasar-dasar agama (ushuluddin). Al-Fataawaa, volume 4.
    Al-Asya’irah (penganut madzhab Al-Asy’ari) terdiri dari kelompok para imam ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir seperti :
    •    Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar Al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi sebagai gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathul Baari ‘ala Syarhil Bukhaari.
    •    Syaikhu Ulamai Ahlissunnah, Al-Imam An-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih Muslim, dan penyusun banyak kitab populer.
    •    Syaikhul Mufassirin Al-Imam Al-Qurthubi penyusun tafsir Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’an.
    •    Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami, penyusun kitab Az-Zawaajir ‘aniqtiraafil Kabaa’ir.
    •    Syaikhul Fiqh , al-hujjah (argumentasi) dan ats-tsabat (tokoh ulama yang dipercaya) Zakaaria Al-Anshari.
    •    Al-Imam Abu Bakar Al-Baaqilani
    •    Al-Imam Al-Qashthalani.
    •    Al-Imam An-Nasafi
    •    Al-Imam Asy-Syarbini
    •    Abu Hayyan An-Nahwi, penyusun tafsir Al-Bahru Al-Muhith.
    •    Al-Imam Ibnu Juza, penyusun At-Tashil fi ‘Uluumittanziil.
    •    Dsb.
    Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari ahli hadits, tafsir dan fiqh dari kalangan Al-Asya’irah, maka keadaan tidak akan memungkinkan dan kita membutuhkan beberapa jilid buku untuk merangkai nama para ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi. Adalah salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu dan memiliki kelebihan yakni para tokoh ulama, yang telah mengabdi kepada syari’at junjungan para rasul Muhammad SAW.
    Kebaikan apa yang bisa kita peroleh jika kita menuding para ulama besar dan generasi salaf shalih telah menyimpang dan sesat ? Bagaimana Allah akan membukakan mata hati kita untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka bila kita meyakini mereka telah menyimpang dan tersesat dari jalan Islam?.
    Saya ingin bertanya, “Adakah dari para ulama sekarang dari kalangan doktor dan orang-orang jenius, yang telah mengabdi kepada hadits Nabi SAW  sebagaimana dua imam besar ; Ibnu Hajar Al-‘Asqqalani dan Al-Imam An-Nawawi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan keridloan kepada mereka berdua?” Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua dan ulama Al-Asya’irah yang lain, padahal kita membutuhkan ilmu-ilmu mereka ? Mengapa kita mengambil ilmu dari mereka jika mereka memang sesat? Padahal Al-Imam Ibnu Sirin rahimakumullah pernah berkata : Ilmu hadits ini adalah agama maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.
    Apakah tidak cukup bagi orang yang tidak sependapat dengan para imam di atas, untuk mengatakan, “Mereka rahimahullah telah berijtihad dan mereka salah dalam menafsirkan sifat-sifat Allah. Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti metode mereka.” Sebagai ganti dari ungkapan kami menuduh mereka telah menyimpang dan sesat dan kami marah atas orang yang mengkategorikan mereka sebagai ahlussunnah.
    Bila Al-Imam An-Nawawi, Al-‘Asqalani, Al-Qurthubi, Al-Fakhrurrazi, Al-Haitami dan Zakaria Al-Anshari dan ulama besar lain tidak dikategorikan sebagai ahlussunnah wal jama’ah, lalu siapakah mereka yang termasuk ahlussunnah wal jama’ah?.
    Sungguh, dengan tulus kami mengajak semua pendakwah dan mereka yang beraktivitas di medan dakwah Islam untuk takut kepada Allah dalam menilai ummat Muhammad, khususnya menyangkut tokoh-tokoh besar ulama dan fuqaha’. Karena, ummat Muhammad tetap dalam kondisi baik hingga tiba hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak mengakui kedudukan dan keutamaan para ulama kita sendiri.

    ESENSI-ESENSI YANG SELESAI DENGAN KAJIAN
    Polemik berkembang di antara ulama menyangkut banyak substansi persoalan dalam bidang aqidah, yang Allah tidak membebani kita untuk mengkajinya. Dalam pandangan saya polemik ini telah menghilangkan keindahan dan keagungan substansi masalah ini. Misalkan, pro kontra para ulama menyangkut melihatnya Nabi SAW kepada Allah dan bagaimana cara melihatnya, dan perbedaan yang luas antara mereka menyangkut persoalan ini. sebagian berpendapat Nabi melihat Allah dengan hatinya, dan sebagian berpendapat dengan mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentasi dan membela pendapatnya dengan hal-hal yang tak berguna. Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak berguna sama sekali. Justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dibanding manfaat yang didapat. Apalagi jika masyarakat awam mendengar polemik yang pasti menimbulkan keragu-raguan di hati mereka ini. Jika kita mau  mengesampingkan polemik ini dan menganggap cukup dengan menyajikan sunstansi persoalan ini apa adanya maka niscaya persoalan ini tetap dimuliakan dan dihargai dalam sanubari kaum muslimin, dengan cara kita mengatakan bahwa Rasulullah SAW melihat Tuhannya. Cukup kita berkata demikian sedangkan menyangkut cara melihat dan lain sebagainya biarlah menjadi urusan Nabi.

    وكلم الله موسى تكليما

    Salah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik yang berkembang di antara para ulama menyangkut substansi firman Allah SWT dan perbedaan luas dalam masalah ini. sebagian berpendapat bahwa firman Allah adalah suara hati (kalam nafsi) dan sebagian lagi berpendapat bahwa kalam Allah berhuruf dan bersuara. Saya sendiri berpendapat kedua pihak ini sama-sama mencari substansi mensucikan Allah dan menjauhi syirik dalam berbagai bentuknya.
    Persoalan kalam (firman Allah) adalah kebenaran yang tidak bisa diingkari, karena tidak meniadakan kesempurnaan ilahi. Ini adalah pandangan dari satu aspek. Ditinjau dari aspek lain, sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib dipercayai dan ditetapkan, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri.
    Apa yang saya yakini dan saya ajak adalah menetapkan kebenaran ini tanpa perlu membicarakan bagaimana cara dan bentuknya. Kita tetapkan bahwa Allah memiliki sifat kalam dan berkata : Ini adalah kalam Allah dan Allah SWT adalah Dzat yang berbicara. Kita cukup berbicara seperti ini dan menjauhi mengkaji apakah kalam itu kalam nafsi atau kalam yang bukan nafsi yang berhuruf dan bersuara atau tidak berhuruf dan tidak bersuara. Karena pembahasan seperti ini berlebihan, yang Nabi Muhammad sebagai pembawa tauhid tidak pernah membicarakannya. Lalu mengapa kita menambahkan apa yang datang dibawa oleh Nabi? Bukankah hal semacam ini adalah salah satu bid’ah terburuk? Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
    Rasulullah SAW mengabarkan kepada kita tentang kalam pada saat kita berkumpul dengan beliau di sisi Allah SWT. Kami mengajak agar pembicaraan kita selamanya menyangkut substansi kalam dan masalah sejenis terlepas dari pembahasan mengenai cara dan bentuknya.

    إني أراكم من خلفي

    Saya Mampu Melihatmu dari Belakang
    Salah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik yang terjadi di antara ulama menyangkut substansi sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya saya bisa melihat kalian dari belakang sebagaimana dari arah depan.”  Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah SWT menciptakan dua mata di arah belakang. Sebagian berpendapat bahwa Allah SWT menjadikan kedua mata beliau yang di depan memiliki kekuatan yang mampu menembus bagian belakang. Sebagian lagi berpendapat bahwa Allah SWT membalik obyek yang ada di belakang Nabi sehingga berada di depan beliau. Semua ini adalah interpretasi berlebihan yang membuat persoalan ini kehilangan keindahan dan keelokannya sekaligus meredupkan kewibawaan dan keagungannya di hati manusia.
    Adapun keberadaan Nabi mampu melihat orang yang berada di belakang sebagaimana melihat orang yang ada di depan maka ini adalah fakta yang telah disampaikan beliau sendiri dalam hadits shahih. Maka tidak ada ruang sama sekali untuk membantahnya. Namun apa yang saya ajak dan menjadi pendapat saya adalah menetapkan fakta ini apa adanya tanpa perlu mengkaji cara dan bentuknya. Kita wajib meyakini kemungkinan terjadinya dan dampaknya, dengan cara menyaksikan salah satu hal yang di luar kebiasaan yang meminggirkan faktor penyebab untuk menampakkan kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa serta kedudukan Rasulullah SAW.

    Jibril Menyamar sebagai Seorang Lelaki
    Para ulama bersilang sengketa menyangkut penyamaran Jibril AS saat datang membawa wahyu dalam bentuk seorang lelaki padahal fisik Jibril sangat luar biasa besar.
    Sebagian berpendapat bahwa Allah membuang kelebihan dari fisiknya. Sebagian lain menyatakan sebagian fisiknya menyatu dengan yang lain sehingga menyusut menjadi kecil. Menurut hemat saya interpretasi ini tidak berguna. Saya meyakini Allah mampu membuat Jibril menyamar dalam bentuk seorang laki-laki dan ini merupakan fakta yang telah disaksikan oleh banyak sahabat. Bagi saya tidaklah penting mengetahui cara penyamaran Jibril dalam bentuk seorang laki-laki dan saya mengajak saudara-saudara kita sesama pelajar untuk menyampaikan fakta ini tanpa perlu menyinggung perbedaan-perbedaan yang menyertainya agar fakta ini tetap besar dan agung dalam hati.

    Pengertian Tawassul
    Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut :
    1.    Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah SWT. Maksud sesungguhnya adalah Allah. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.
    2.    Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
    3.    Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah atau tanpa izinNya, niscaya ia musyrik.
    4.    Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya do’a tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah secara mutlak, sebagaimana firman Allah :
                          
    186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
            •                   
    110. Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkanny] dan carilah jalan tengah di antara kedua itu".

    BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
    Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca Al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk  diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini. dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka. Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qaa’idah Jalilah fittawassul wal Wasilah”.

    TITIK PERBEDAAN

    Sumber perbedaan dalam masalah tawassul  adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan : Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad SAW, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali RA. Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
    Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.
    Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
    Saya katakan : Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah SWT, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah SWT mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah :  يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
    Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya. Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintaiMu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan…………………… . Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
    Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu, itu sama dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepada NabiMu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
    Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. سبحانك هذا بهتان عظيم

    DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN
    Allah berfirman : يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة
    Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.
    Lafadz al-wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan.
    Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.

    TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW SEBELUM WUJUD DI DUNIA
    Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW. Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam AS bertawassul dengan Nabi Muhammad. Dalam Al Mustadrok, Imam Al Hakim berkata : Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad Al ‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim Al Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits ‘Abdullah ibnu Muslim Al Fihri menceritakan kepadaku, ‘Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar RA, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda,” Ketika Adam melakukan kesalahan, ia  berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepada Mu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatan Mu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “ Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan nama Mu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “ Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepada Ku dengan hakknya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
    Imam Al Hakim  meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih (vol. 2 hal. 615). Al Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi mmeriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia  jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata,    “At Tabbarani meriwayatkan hadits di atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.
    Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi :

    فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار

    “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, sorga dan nereka.” HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. 1 hlm. 180.
    Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.

    DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
    Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki (betis) ‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘arsy) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
    Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan namaMu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
    Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
    Pendapat saya, fakta ini menunjukkan bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran.

    KOREKSI IBNU TAIMIYYAH TERHADAP MAKNA PENGKHUSUSAN PADA HADITS

    Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan pandangan positif yang mengindikasikan kecerdasan, kepandaian dan kebijaksanaan yang besar. Meskipun Ibnu Taimiyyah sebelumnya menolak keberadaan hadits Nabi menyangkut tema ini (sesuai dengan informasi yang dimiliki pada saat itu) tetapi ia mencabut pandangan ini dan menguatkan makna hadits, menginterpretasikannya dengan tafsir yang rasional, dan menetapkan kebenaran mak nanya. Dengan fakta ini, Ibnu Taimiyyah menolak dengan keras mereka yang beranggapan kandungan hadits mengandung kemusyrikan atau kekufuran, dan mereka mengira bahwa kandungan makna hadits itu keliru dan sesat, serta mereka yang menilai bahwa kandungan hadits mencederai status tauhid dan pensucian. Anggapan-anggapan keliru ini tidak lain sekedar hawa nafsu, kebutaan, salah faham, dan kedangkalan fikiran. Semoga Allah senantiasa menerangi mata hati kita dan membimbing kita menuju kebenaran. Allah adalah Dzat yang menunjukkan jalan yang lurus.
    Dalam Al-Fataawaa vol. XI hlm 96 Ibnu Taimiyyah menulis sbb :
    Muhammad adalah junjungan anak Adam, makhluk paling mulia dan mulia di sisi Allah. Karena itu ada orang berpendapat bahwa karena beliau Allah menciptakan alam semesta atau kalau bukan karena beliau Allah tidak akan menciptakan ‘arsy, kursi, langit, bumi, matahari, dan bulan. Tapi pandangan ini bukanlah hadits Nabi, baik shahih atau dlo’if dan tidak ada seorang ulama pun yang mengutipnya sebagai hadits Nabi. Malah tidak juga bersumber dari para sahabat. Ungkapan ini adalah ungkapan yang pengucapnya misterius dan bisa ditafsirkan dengan benar, sebagaimana firman Allah :
      •    •             ••               
    20. Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.


                •                  
    32. Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.

                           •    
    dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
    33. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.

    dan ayat-ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk untuk anak cucu Adam. Sudah maklum, bahwa di samping demi kepentingan anak cucu Adam, Allah memiliki hikmah-hikmah lain yang lebih besar dalam ayat-ayat tersebut. Namun, di dalam ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan kepada anak cucu Adam manfaat dan nikmat yang tercakup di dalamnya.
    Jika dikatakan : Allah melakukan sesuatu untuk sesuatu, maka tidak berarti di dalamnya tidak ada hikmah lain. Demikian pula ucapan seseorang : Jika tidak karena ini maka Allah tidak akan menciptakan itu, bukan berarti tidak ada hikmah lain yang besar di dalamnya. Justru hal itu menyimpulkan bahwa jika dalam ungkapan tersebut yang dimaksud adalah anak cucu Adam yang shalih yang paling utama, yakni Muhammad, dimana penciptaan beliau adalah tujuan yang dicari dan hikmah yang besar yang lebih besar dari yang lain, maka kesempurnaan makhluk dan puncak kesempurnaan tercapai dengan Muhammad SAW. Dikutip dari kitab Fataawaa.

    ANALISA PENTING TERHADAP PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH YANG RAIB DARI BENAK PARA PENGIKUTNYA

    Mari kita cermati pandangan Ibnu Taimiyyah, jauhnya visi dan dalamnya pemahaman beliau dalam memberikan interpretasi terhadap keistimewaan yang telah tersebar dan populer ini. dalam masalah ini terdapat hadits yang menggambarkan tawassul Nabi Adam, yang diriwayatkan oleh Al Hakim dan dinilai shahih oleh mereka yang mengkategorikannya sebagai shahih, dinilai hasan oleh mereka yang mengklasifikasikannya sebagai hasan, dan diterima oleh para pakar hadits yang menerimanya.
    Cobalah dengarkan Ibnu Taimiyyah sendiri mengatakan, “Sesungguhnya pendapat ini memiliki sudut pandang yang benar.”
    Di manakah posisi pendapat Ibnu Taimiyyah ini dari pendapat orang yang mendudukkan dan memberdirikan dunia, dan mengeluarkan mereka yang berpendapat seperti Ibnu Taimiyyah dari lingkaran Islam, menuduh mereka sesat dan musyrik atau bid’ah dan khurafat kemudian dengan bohong mengklaim sebagai pengikut madzhab salafi dan Ibnu Taimiyyah, padahal ia sungguh jauh dari Ibnu Taimiyyah dan salafiyyah. Tindakan negatif orang seperti ini tidak hanya pada persoalan di atas saja. Justru yang jadi fokus adalah ia senantiasa bersama Ibnu Taimiyyah dalam semua persoalan kecuali dalam hal-hal yang menyangkut pengagungan terhadap Rasulullah SAW atau menguatkan kemuliaan, keagungan dan kedudukan beliau. Karena dalam hal-hal ini ia akan ragu, berfikir dan merenung. Dari sini, akan tampak padanya sikap protektif terhadap status tauhid atau fanatisme terhadap tauhid. Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Aadhiim.

    Hadits Pendukung Ketiga untuk Hadits Tawassul
    Hadits ketiga yang mendukung hadits tawassul Adam adalah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Al Mundzir dalam tafsirnya, dari Muhammad ibn ‘Ali ibn Husain AS, ia berkata, “Ketika Adam tertimpa kesalahan, ia sangat sedih dan menyesal. Lalu Jibril datang kepadanya dan berkata, “Wahai Adam, Apakah engkau mau aku tunjukkan pintu taubat yang Allah menerima taubatmu darinya?”
    “Mau, wahai Jibril.”
    “Berdirilah di tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Lalu agungkalah Dia dan berikanlah Dia pujian. Karena tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi pujian.”
    “Apa yang harus saya ucapkan, wahai Jibril?”
    “Ucapkanlah : Tiada Tuhan kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kekuasaan dan pujian. Dia Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup dan tidak akan mati. Di tangannya segala kebaikan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Selanjutnya akuilah kesalahanmu dan bacalah : Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berbuat aniaya terhadap diriku sendiri dan berbuat buruk, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dengan perantara kedudukan Nabi-Mu Muhammad dan kemuliaan beliau di sisi-Mu, agar Engkau mengampuni kesalahanku. Nabi bercerita, “Lalu Adam melakukan perintah Jibril. “Wahai Adam, siapakah yang mengajarimu demikian?” tanya Allah.
    “Ya Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau meniupkan nyawa pada tubuhku lalu saya berdiri sebagai manusia sempurna yang bisa mendengar, melihat, berfikir dan merenung, maka saya melihat pada kaki  ‘arsy-Mu terdapat tulisan : Dengan nama Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Muhammad utusan Allah. Karena saya tidak melihat nama malaikat muqarrab (yang didekatkan) dan Nabi rasul lain selain Muhammad, sesudah namaMU, maka saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk paling mulia di sisiMu. “Engkau benar, dan Aku telah menerima taubatmu dan telah mengampunimu.” Dikutip dari Al Durr al Mantsuur vol. 1 hlm. 146.
    Muhammad ibn ‘Ali ibn Hushain adalah Abu Bakr al Baqir, salah satu tabi’in terpercaya dan tokoh mereka. Enam Imam hadits (al Sittah) meriwayatkan hadits darinya. Ia meriwayatkan hadits dari Jabir, Abi Sa’id, Ibnu ‘Umar dan lain-lain RA.

    Hadits Pendukung Ketiga untuk Hadits Tawassul
    Hadits ketiga pendukung tawassul Adam adalah hadits riwayat Abu Bakar al-Aajuri dalam Kitabu al-Syarii’ah. Ia berkata, “Harun ibn Yusuf al Tajir bercerita kepadaku.” Harun berkata, “Abu Marwan al-‘Utsmani bercerita kepadaku.” Abu Marwan berkata, “Abu ‘Utsman ibn Khalid menceritakan kepadaku dari ‘Abdirrahman ibn Abi Al Zinaad dari ayahnya, bahwa sang ayah berkata, “Salah satu kalimat yang dengannya Allah menerima taubat Adam adalah : Ya Allah, Sesungguhnya saya memohon dengan kemuliaan Muhammad padaMu. “Apa yang memberitahukanmu siapa Muhammad?” “Ya Tuhanku, saya menengadahkan kepalaku lalu saya melihat ada tulisan pada ‘arsyMu : Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan Allah. Maka saya tahu, ia adalah makhlukMu yang paling mulia.” Jawab Adam.
    Sebagaimana diketahui penggabungan atsar ini pada haditsnya ‘Abdirrahman ibn Zaid membuat hadits ini kuat.

    Sorga Haram Dimasuki Para Nabi Sebelum Nabi Muhammad Saw Memasukinya
    Salah satu contoh karunia Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah bahwa sorga haram dimasuki para Nabi sebelum dimasuki Nabi Muhammad sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibn al Khaththab RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Sorga diharamkan untuk para Nabi sampai aku masuk ke dalamnya dan diharamkan untuk semua ummat sampai ummatku masuk ke dalamnya.” HR Al Thabarani dalam al Awsath. Menurut al Haitsami isnad hadits ini hasan. Dikutip dari Majma’ul Zawaa’id vol. 10 hlm. 69.

    Keterkaitan Alam Semesta dengan Nama Muhammad SAW
    Salah satu contoh karunia Allah adalah menyebarnya nama Muhammad di al Mala’ al a’laa (alam Malaikat muqarrabun) sebagaimana terdapat dalam banyak atsar. Ka’ad ibn al Ahbaar berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan tongkat kepada Adam sebanyak jumlah para Nabi dan rasul. Lalu Adam mendatangi putranya, Syits dan berkata, “Anakku, engkau adalah penggantiku sepeninggalku. Ambillah tongkat-tongkat ini dengan membangun ketaqwaan dan ikatan yang kokoh. Setiap kali engkau menyebut Allah, sebutkanlah selalu nama Muhammad. Karena aku melihat namanya tertulis pada kaki ‘arsy pada saat aku dalam kondisi antara roh dan tanah liat. Kemudian aku menjelajahi langit. Pada setiap tempat di langit aku melihat nama Muhammad tertulis padanya. Dan Tuhanku telah menempatkanku di sorga dan di sorga aku tidak melihat istana dan kamarnya kecuali tertera nama Muhammad di situ. Dan saya juga melihat namanya tertulis pada dada-dada bidadari, daun bambu belukar sorga, daun pohon thuba, daun sidratul muntaha, di tepi-tepi hijab dan di antara mata para malaikat. Perbanyaklah menyebut nama Muhammad karena para malaikat selalu menyebut namanya setiap waktu.” Al Mawaahib al Laduniyyah vol. 1 hlm. 187.
    Dalam syarhnya Al Zurqaani mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Katsir.”
    Saya katakan bahwa Ibnu Taimiyyah telah menyebut hadits di atas. “Terdapat riwayat bahwa Allah SWT telah menulis nama Muhammad di atas ‘arsy, pintu, kubah, dan dedaunan sorga.” tulis Ibnu Taimiyyah.
    Tertulisnya nama Nabi Muhammad ini telah diriwayatkan dalam beberapa atsar yang sesuai dengan hadits-hadits di atas yang menjelaskan keagungan nama Muhammad dan ketinggaan nama beliau.
    Dalam salah satu riwayat dari Ibnu al Jauzi dari Maysarah, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki (betis) ‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘arsy) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, kedua bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepad-Nya.” (Al Fataawaa vol. II hlm 150).

    Manfaat-Manfaat Penting dari Hadits Tawassul Adam
    Dalam hadits di atas, menegaskan tawassul dengan Rasulullah SAW sebelum alam semesta mendapat kehormatan dengan keberadaan beliau dan bahwa tolok ukur keabsahan tawassul ialah bahwa orang yang dijadikan obyek tawassul harus memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, serta tidak disyaratkan ia masih hidup di dunia.
    Dari hadits tersebut diketahui bahwa opini yang menyatakan tawassul dengan siapapun tidak sah kecuali saat ia masih hidup di dunia adalah pendapat orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat hidayah Allah.

    Kesimpulan Dari Analisa Terhadap Status Hadits Tawassul Adam
    Kesimpulannya adalah bahwa hadits tersebut dikategorikan hadits shahih sebab eksistensi hadits-hadits pendukung, dan dikutip oleh elite-elite ulama dan para pakar (aimmah) hadits dan penghapalnya yang memiliki posisi luhur dan kedudukan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang kredibel menyangkut assunnah annabawiyyah seperti Al Hakim, al Suyuthi, al Subki dan al Bulqini.
    Hadits tersebut juga dikutip oleh Al Bulqini dalam kitabnya yang mensyaratkan tidak akan mengeluarkan hadits masudlu’, dan dikomentari oleh Al Dzahabi dengan, “Berpeganglah dengannya, karena kitab itu sepenuhnya petunjuk dan cahaya.” (dikutip dari Syarhul Mawahib dan kitab lain).
    Hadits tersebut juga dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah dan dijadikan argumentasi oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Fataawaa. Adapun  pro kontra dari para ‘ulama menyangkut hadits tersebut bukanlah hal yang aneh. Karena banyak hadits yang menimbulkan polemik lebih besar dan mendapat kritikan lebih tajam.
    Berangkat dari pro kontra ini, munculah karangan-karangan besar yang berisi argumentasi, penelitian, peninjauan, dan kecaman. Namun tidak sampai melontarkan tuduhan syirik, kufur, sesat, dan keluar dari lingkaran iman karena perbedaan menyangkut status salah satu dari beberapa  hadits. Dan hadits tawassul Adam ini, termasuk hadits-hadits yang memicu perbedaan itu.

    TAWASSUL ORANG-ORANG YAHUDI DENGAN NABI SAW.
    Allah berfirman:
                      •            
    89. Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.

    Imam Al Qurtubi berkata “ Firman Allah : Walamma jaa’ahum, yakni orang Yahudi, Kitaabun yakni Al Qur’an, Min ‘indillahi mushoddiqun, sifat dari kitaabun. Diluar Al Quran boleh dibaca nashab sebagai hal. Pada mushaf Ubay dalam sebuah riwayat mushoddiqun dibaca nashab. Lima ma’ahum, yakni Taurat dan Injil dimana Alqur’an mengabarkan kepada orang Yahudi tentang isi kedua kitab tersebut. Wakaanu min qablu yastaftihuuna, yakni memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits Nabi memohon pertolongan dengan orang-orang muhajirin yang fakir ; lewat do’a dan sholat mereka. Dalam Al Quran terdapat ayat:

    فعسى الله أن يأتي بالفتح او أمر من عنده

    An Nashr bermakna membuka sesuatu yang tertutup dan Al Fathu merujuk kepada kecaman orang arab fatahtu albaaba.
    An Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa ’id Al Khudri bahwa Nabi bersabda,  “Sesungguhnnya Allah menolong umat ini berkat orang-orang lemah mereka; sebab do’a, shalat dan keikhlasan mereka.”
    An Nasa’i juga meriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda : “Carilah keridloanku dengan berbuat baik kepada orang lemah karena kalian mendapat pertolongan dan rizki hanya berkat mereka.”
    Ibnu Abbas berkata : “Dahulu Yahudi Khaibar berperang dengan Ghothafan. Ketika kedua seteru ini bertemu, Yahudi kalah. Kemudian orang Yahudi berdo’a dengan ungkapan :                                 “Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dengan kemulyaan Nabi yang ummi, yang Engkau janjikan kepada kami akan Engkau keluarkan umtuk kami di akhir zaman  guna menolong kami mengalahkan kaum Ghathafan.” Ibnu Abbas berkata : “Maka jika bertemu orang Ghathafan, orang Yahudi akan mengumandangkan do’a ini dan berhasil mengalahkan Ghathafan. Ketika Nabi Muhammad SAW telah diutus mereka malah  mengingkarinya, Lalu turun firman Allah :

    " وكانو من قبل يستفتحون على الّذ ين كفروا "

    Yakni kafir kepadamu  ya Muhammad sampai pada firman

    "فلعنة الله على الكافرين "

    ( Tafsir Al Qurtubi vol. 2 hal. 26-27 )

    TAWASSUL DENGAN NABI SEWAKTU HIDUP DAN SESUDAH WAFAT
    Dari ‘Utsman ibn Hunaif RA, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saat datang kepada beliau seorang lelaki tuna netra yang mengadukan kondisi penglihatannya. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,” katanya mengadu. “Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah, “Ya Allah, sungguh saya memohon kepada-Mu dan dan tawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad saya bertawassul denganmu kepada Tuhanmu agar Dia menyembuhkan pandanganku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah syafaatku untuk diriku.” Utsman berkata, “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” Al-Hakim berkata, “Hadits ini adalah hadits yang isnadnya shahih, tetapi Al Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Versi Al Dzahabi status hadits itu shahih. Vol. I hlm. 519. al Turmudzi berkata dalam Abwaabu al Da’awaat pada bagian akhir dari Al Sunan, “Hadits ini adalah hadits hasan, shahih, dan gharib, yang tidak saya kenal kecuali lewat jalur ini dari hadits Abi Ja’far yang bukan Al Khathmi.
    Menurut saya yang benar adalah bahwa Abu Ja’far itu Al Khathmi al Madani, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam riwayat-riwayat Al Thabarani, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Dalam Al Mu’jam, Al Tahabarani menambahkan bahwa nama Abu Ja’far adalah ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya. Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Ghimari dalam risalahnya “Ithaaful Adzkiyaa’” berkata, “Tidaklah logis jika para hafidh sepakat untuk menilai shahih sebuah hadits yang dalam sanadnya terdapat rawi majhul (misterius) khususnya Al Dzahabi, Al Mundziri dan Al Hafidh.”
    Berkata Al Mundziri, “Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Al Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. (Al Targhib, kitab al nawaafil, bab al targhib fi shalatilhajat vol. I hlm. 438).
    Tawassul tidak khusus hanya pada saat Nabi SAW masih hidup. Justru sebagian shahabat menggunakan ungkapan tawassul di atas sesudah beliau wafat. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Al Thabarani dan menyebutkan pada awalnya sebuah kisah sbb : seorang lelaki berulang-ulang datang kepada ‘Utsman ibn ‘Affan untuk keperluannya. ‘Utsman sendiri tidak pernah menoleh kepadanya dan tidak mempedulikan keperluannya. Lalu lelaki itu bertemu dengan ‘Utsman ibn Hunaif. Kepada Utsman ibn Hunaif ia mengadukan sikap Utsman ibn ‘Affan kepadanya. “Pergilah ke tempat wudlu, “ suruh ‘Utsman ibn Hunaif, “lalu masuklah ke masjid untuk sholat dua raka’at. Kemudian bacalah doa’ : Ya Allah sungguh saya memohon kepada-Mu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, saya bertawassul kepada Tuhanmu lewat denga engkau. Maka kabulkanlah keperluanku.” Dan sebutkanlah keperluanmu.”
    Lelaki itu pun pergi melaksanakan saran dari Utsman ibn Hunaif. Ia datang menuju pintu gerbang Utsman ibn Affan yang langsung disambut oleh penjaga pintu. Dengan memegang tanggannya, sang penjaga langsung memasukkannya menemui Utsman ibn Affan. Utsman mempersilahkan keduanya duduk di atas  permadani bersama dirinya. “Apa keperluanmu,” tanya Utsman. Lelaki itu pun menyebutkan keperluannya kemudian Utman memenuhinya. “Engkau tidak pernah menyebutkan keperluanmu hingga tiba saat ini.” kata Utsman, “Jika kapan-kapan ada keperluan datanglah kepada saya,” lanjut Utsman. Setelah keluar, lelaki itu berjumpa dengan Utsman ibn Hunaifn dan menyapanya, “ Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Utsman ibn Affan sebelumnya tidak pernah mempedulikan keperluanku dan tidak pernah menoleh kepadaku sampai engkau berbicara dengannya. “Demi Allah, saya tidak pernah berbicara dengan Utsman ibn Affan. Namun aku menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki buta yang mengadukan matanya yang buta. “Adakah kamu mau bersabar?” kata beliau. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,”katanya. “Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah do’a ini.” “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” Kata Utsman ibn Hunaif.
    Al Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Al Thabarani.” Setelah menyebut hadits ini Al Thabarani berkomentar, “Status hadits ini shahih.” (Al Targhib vol. I hlm. 440. Demikian pula disebutkan dalam Majma’ al Zawaid. Vol. II hlm. 279).
    Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “Al Thabarani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abu Ja’far yang nama aslinya ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya. Utsman ibn Amr sendirian meriwayatkan hadits ini dari Syu’bah. Abu Abdillah Al Maqdisi mengatakan, “Hadits ini shahih.”
    Kata penulis, “Ibnu Taimiyyah berkata, “Al Thabarani menyebut hadits ini diriwayatkan sendirian oleh Utman ibn Umair sesuai informasi yang ia miliki dan tidak sampai kepadanya riwayat Rauh ibn Ubadah dari Syu’bah. Riwayat Rauh dari Syu’bah ini adalah isnad yang shahih yang menjelaskan bahwa Utsman tidak sendirian meriwayatkan hadits.” (Qa’idah Jalilah fi al Tawassul wal Wasilah. hlm 106).
    Dari paparan di atas, nyatalah bahwa kisah di muka dinilai shahih oleh Al Thabarani Al Hafidh Abu Abdillah Al Maqdisi. Penilaian shahih ini juga dikutip oleh Al Hafidh Al Mundziri, Al Hafidh Nuruddin Al Haitsami dan Syaikh Ibnu Taimiyyah.
    Kesimpulan dari kisah di muka adalah bahwa Utsman ibn Hunaif, sang  perawi hadits yang menjadi saksi dari kisah tersebut, telah mengajarkan do’a yang berisi tawassul dengan Nabi SAW dan memanggil beliau untuk memohon pertolongan setelah beliau wafat, kepada orang yang mengadukan kelambanan khalifah Utsman ibn Affan untuk mengabulkan keperluannya. Ketika lelaki itu mengira bahwa kebutuhannya dipenuhi berkat ucapan Utsman ibn Hunaif kepada khlaifah, Utsman segera menolak anggapan ini dan menceritakan hadits yang telah ia dengar dan ia saksikan untuk menegaskan kepadanya bahwa kebutuhannya dikabulkan berkat tawassul dengan Nabi SAW, panggilan dan permohonan bantuannya kepada beliau SAW. Utsman juga meyakinkan lelaki itu dengan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berbicara apa-apa dengan khalifah menyangkut kebutuhannya.
     

    PENGGUNAAN LAIN DAN DUKUNGAN IBNU TAIMAIYYAH TERHADAPNYA
    Terdapat riwayat dari Ibnu Abi al Dunyaa dalam kitab Mujaabi al Du’aa, ia berkata, “Abu Hasyim bercerita kepadaku : “Saya mendengar Katsir ibn Muhammad ibn Katsir ibn Rifa’ah berkata, “Seorang lelaki datang kepada Abdil Malik ibn Sa’id ibn Abjar. Lalu lelaki itu menyentuh perut Abdil Malik dan berkata, “Dalam tubuhmu ada penyakit yang belum sembuh. “Penyakit apa?” tanya Abdil Malik. “Bisul besar yang muncul di dalam perut yang umumnya mampu membunuh penderita.” Jawab sang lelaki itu. “Lelaki itu lalu berpaling.” Kata Katsir. “Allah, Allah, Allah Tuhanku, “ucap Abdul Malik, “Aku tidak akan menyekutukan-Nya dengan siapapun. Ya Allah aku bertawassul kepadamu dengan Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, aku bertawassul denganmu Tuhanmu dan Tuhanku. Semoga Allah merahmatiku dari apa yang menimpa diriku. “Lelaki itu pun menyentuh perut Abdul Malik lalu berkata, “Sungguh kamu telah sembuh. Tidak ada penyakit dalam tubuhmu.”
    Ibnu Taimiyyah berkata, “Saya berpendapat bahwa do’a ini dan do’a semisal telah diriwayatkan sebagai do’a yang dibaca oleh generasi salaf.” (HR. Ibnu Taimiyah dalam Qa’idah Jalilah hlm. 94).
    Sudah dimaklumi bahwa Ibnu Taimiyyah menampilkan hadits ini dengan tujuan untuk menjelaskan maksudnya dan mengarahkannya sesuai keinginan nya sendiri. Namun yang penting bagi kami di sini adalah bahwa ia menegaskan penggunaan generasi salaf terhadap do’a itu dan tercapainya kesembuhan berkat do’a itu. Penegasannya dalam masalah inilah yang penting bagi kami. Adapun komentarnya tentang hadits, itu adalah opininya pribadi. Yang penting bagi kami hanyalah penetapan adanya nash, agar kami bisa berargumentasi dengannya sesuai kehendak kami. Dan Ibnu Taimiyyah bebas untuk berargumentasi sesuai seleranya.

    UPAYA-UPAYA YANG GAGAL
    Sebagian golongan Wahabi ramai memberi komentar seputar hadits tawassul Adam, Utsman ibn Hunaif, dan yang lain. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha menolak hadits itu. Mereka berupaya keras, berdiskusi, berdebat, duduk, berdiri dan berteriak-teriak dalam menyikapi masalah ini. Semua perilaku ini tidaklah berguna, karena betapa pun mereka menolak hadits-hadits tentang tawassul, para tokoh mereka yang nota bene ulama besar yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritual jauh di atas mereka telah menyuarakan opininya. Seperti Al Imam Ahmad ibn Hanbal yang berpendapat dibolehkannya tawassul  seperti dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dan Al ‘Izz ibn ‘Abdissalam, dan Ibnu Taimiyyah sendiri dalam salah satu pendapatnya secara khusus tentang tawassul dengan Nabi SAW. Akhirnya kemudian Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab yang menolak tuduhan orang yang menuduhnya memvonis kufur kaum muslimin. Justru dalam Fataawaanya, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa tawassul adalah persoalan furu’ bukan prinsip. Pandangan Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyyah insya Allah akan dijelaskan dengan rinci dalam kitab ini.
    Syaikh Al ‘Allamah al Muhaddits Abdullah Al Ghimari telah menyusun sebuah risalah khusus berisi kajian tentang hadits-hadits tawassul yang diberi nama Mishbaahu al-Zujaajah fi Shalaati al Haajah. Dalam  risalah ini, beliau menulis dengan baik dan memberi informasi-informasi yang memuaskan dan cukup.

    TAWASSUL DENGAN NABI SAW DI HARI KIAMAT
    Adapun tawassul dengan Nabi SAW di hari kiamat, maka tidak perlu dijelaskan secar panjang lebar. Karena hadits-hadits tentang syafa’at telah mencapai derajat mutawatir. Semua hadits ini berisi teks-teks yang jelas menerangkan bahwa mereka yang berada di padang mahsyar ketika merasa sudah terlalu lama berada di tempat itu dan merasa sangat menderita, akan memohon pertolongan untuk mengatasi penderitaan itu dengan para Nabi. Mereka memohon bantuan kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa kemudian Isa yang mengarahkan mereka agar datang kepada junjungan para Nabi SAW. Sehingga ketika mereka memohon pertolongan kepada beliau SAW, beliau segera mengabulkan permohonan ini. “Syafa’at ini adalah untuku, syafa’ah ini adalah untukku,” ucap beliau. Selanjutnya beliau tersungkur bersujud sampai mendapat panggilan, “Tegakkan kepalamu dan berilah syafa’at maka syafaatmu akan diterima.”
    Hadits syafa’at ini telah mendapat konsensus dari para Nabi, rasul dan semua orang mu’min dan merupakan ketetapan dari Allah Tuhan semesta alam. Di mana mereka semua sepakat bahwa memohon pertolongan di saat mengalami puncak krisis dengan orang-orang besar yang dekat dengan Allah adalah salah satu kunci terbesar bagi munculnya kemudahan dan salah satu hal yang dapat mengantarkan ridlo Allah.

    LEGALITAS TAWASSUL DALAM METODE SYAIKH IBNU TAIMIYYAH
    Dalam kitabnya Qa’idah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, Ibnu Taimiyyah, ketika berbicara tentang firman Allah :

    يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة

    Ia berkata, “Mencari wasilah (mediator) kepada Allah hanya bisa dilakukan oleh orang yang bertawassul kepada Allah dengan beriman kepada Muhammad dan pengikut beliau. Tawassul model ini dengan keimanan kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau hukumnya fardlu bagi setiap orang dalam kondisi apapun baik lahir maupun batin, semasa hidup beliau atau sesudah wafat, dan pada saat berada bersama beliau atau jauh dengan beliau. Tawassul dengan iman kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau mengikat setiap orang dalam situasi dan kondisi apapun setelah tegaknya hujjah atasnya dan juga tidak gugur dengan alasan apapun. Tidak ada jalan menuju kemuliaan dan rahmat Allah, serta selamat dari kehinaan dan adzab-Nya kecuali dengan tawassul dengan Nabi Muhammad dan kepatuhan kepadanya. Nabi Muhammad adalah pemberi syafa’at semua makhluk dan pemilik al maqam al mahmud (kedudukan terpuji) yang membuat iri manusia periode awal dan akhir. Beliau adalah pemberi syafa’at yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah. Allah berfirman mengenai Musa : وكان عند الله وجيهاdan mengenai ‘Isa  :  وجيها في الدنيا والآخرةdan Nabi Muhammad lebih tinggi kedudukannya dibanding para Nabi dan rasul lain. Tetapi syafaat dan do’a beliau SAW hanya berguna bagi orang yang diberi syafaat dan do’a oleh beliau. Orang yang didoakan dan diberi syafaat oleh beliau itu bertawassul kepada Allah dengan syafaat dan doa beliau. Sebagaimana bertawassul kepada Allah dengan doa dan syafaat beliau dan sebagaimana manusia bertawassul kepada Allah di hari kiamat dengan doa dan syafaat beliau SAW.
    Dalam Al Fataawaa al Kubraa Syaikh Ibnu Taimiyyah mendapatkan pertanyaan sbb, “Apakah boleh tawassul dengan Nabi SAW atau tidak?” Ia menjawab, “Alhamdulillah, adapun tawassul dengan iman kepada beliau, kecintaan, ketaatan, shalawat dan salam kepadanya dan dengan doa serta syafaatnya  dan sebagainya, menyangkut hal-hal yang merupakan tindakan Nabi dan tindakan orang-orang yang perbuatannya diperintahkan agama berkaitan dengan beliau, maka tawassul seperti ini disyari’atkan menurut kesepakatan ulama muslimin.”
    Menurut saya, dari pendapat Ibnu Taimiyyah biusa ditarik dua point berikut:
    1.    Seorang muslim yang taat, cinta kepada Rasulullah SAW, meneladani beliau, dan membenarkan syafa’at beliau disyari’atkan untuk bertawassul dengan kepatuhan, kecintaan dan pembenarannya kepada beliau.
    Jika kita bertawassul dengan Nabi Muhammad, maka Allah bersaksi bahwa sebenarnya kita bertawassul dengan iman dan cinta kita kepada beliau, dan keutamaan serta kemuliaan beliau. Inilah tujuan sesungguhnya dari tawassul. Tidak bisa tawassul seseorang kepada beliau digambarkan selain dalam pengertian ini, dan tidak mungkin dimaksudkan selain pengertian ini dari semua kaum muslimin yang mempraktekkan tawassul. Hanya saja orang yang bertawassul kadang mengucapkan dengan jelas maksud tawassul ini dan kadang tidak, karena berpijak pada maksud sesungguhnya dari tawassul yang merupakan iman dan rasa cinta kepada beliau SAW, bukan maksud yang lain.
    2.    Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari pandangan Ibnu Taimiyyah adalah bahwa orang yang didoakan Rasulullah, sah baginya untuk bertawassul kepada Allah lewat doa beliau kepadanya, dan terdapat keterangan bahwa beliau mendoakan ummatnya sebagaimana terdapat dalam banyak hadits, di antaranya :
    Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Saat aku melihat Nabi SAW sedang bersuka hati, saya berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku!” Rasulullah pun berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosa ‘Aisyah, baik dosa yang telah lewat, dosa belakangan, yang disembunyikan dan yang dilakukan dengan ternag-terangan.” ‘Aisyah tertawa sampai kepalanya jatuh ke dalam pangkuan Nabi. “Apakah doaku membuatmu bahagia?” tanya beliau. “Ada apa gerangan denganku, tidak merasa bahagia dengan doamu?” jawab ‘Aisyah. “Do’a itu adalah do’aku untuk ummatku yang kupanjatkan setiap sholat.” Lanjut Nabi.
    Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar. Para perawinya adalah para perawi dengan kriteria yang ditetapkan hadits shahih, selain Ahmad ibn al Manshur al Ramadi, yang nota bene dapat dipercaya. (dikutip dari Majma’ul Zawaaid). Karena itu, sah saja bagi setiap muslim untuk bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi untuk ummatnya, dengan mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya Nabi-Mu Muhammad telah mendoakan ummatnya dan saya adalah salah satu dari mereka. Saya bertawassul kepada-Mu dengan doa ini, agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku ..dst.” Apabila ia mengucapkan doa tawassul seperti ini maka ia tidak keluar dari ajaran yang telah disepakati para ulama. Jika dia mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad,” berarti ia tidak mengucapkan dengan jelas apa yang diniatkan dan tidak menjelaskan apa yang telah menjadi ketetapan hatinya, yang merupakan maksud dan yang dikehendaki setiap muslim yang tidak melebihi batas ini. karena orang yang bertawassul dengan Nabi tidak memiliki tujuan kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan beliau menyangkut rasa cinta, kedekatan dengan Allah, kedudukan, keutamaan, doa dan syafaat. Apalagi di alam barzakh beliau mendengar shalawat dan salam dan menjawab shalawat dan salam yang disampaikan dengan jawaban yang layak dan relevan yakni membalas salam dan memohonkan ampunan. Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam sebuah hadits dari beliau, “Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi SAW. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
    Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa di alam barzakh, Rasulullah SAW memohonkan ampunan (istighfar) untuk ummatnya. Istighfar adalah doa dan ummat beliau memeperoleh manfaat dengannya.
    Terdapat keterangan dalam sebuah hadits bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak ada satu pun orang muslim yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab salamnya.” HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah RA. Imam Al Nawaawi berkata : Isnad hadits ini shahih.
    Hadits ini jelas menerangkan bahwa beliau SAW menjawab terhadap orang yang memberinya salam. Salam adalah kedamaian yang berarti mendoakan mendapat kedamaian dan orang yang memberi salam mendapat manfaat dari doa beliau ini.

    DISYARI’ATKANNYA TAWASSUL DENGAN NABI SAW VERSI AHMAD IBN HANBAL DAN IBN TAIMIYYAH

    Di samping dalam sebagian tempat dari kitab-kitabnya, Ibnu Taimiyyah menegaskan diperbolehkannya tawassul dengan Nabi SAW tanpa membedakan antara semasa hidup dan sesudah wafat dan antara saat berada di tengah-tengah para sahabat atau tidak. Diperkenankannya tawassul dengan Nabi ini juga dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al Fataawaa al Kubraa.
    Di samping fakta di atas, Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Demikian pula, salah satu hal yang disyari’atkan adalah tawassul dengan Nabi SAW dalam berdo’a sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dan dinilai shahih oleh Al Turmudzi, “Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan seseorang untuk berdoa dengan membaca, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad aku bertawassul denganmu kepada Tuhan-Mu, agar Dia menyingkapkan kebutuhanku untuk dipenuhi. Terimalah, Ya Allah, syafaat Muhammad padaku.” Tawassul dengan Nabi ini adalah baik. Al Fataawaa vol. III hlm. 276.
    “Tawassul kepada Allah dengan selain beliau SAW, baik disebut istighatsah atau bukan, saya tidak perneh mengetahui salah seorang generasi salaf melakukannya dan meriwayatkan atsarnya. Saya hanya tahu bahwa dalam fatwanya Syaikh mengharamkan tawassul dengan selain Nabi SAW. Adapun tawassul dengan Nabi SAW, maka terdapat hadits hasan dalam Al Sunan yang diriwayatkan oleh Al Nasai, Al Turmudzi dan yang lain. Hadits tersebut adalah, “Seorang penduduk desa datang kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, mataku terserang musibah, do’akanlah kepada Allah untukku,” ia memohon. “Berwudlu’lah dan laksanakan shalat dua roka’at lalu bacalah, “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad, saya memohon syafaat kepadamu dalam mengembalikan penglihatanku. Ya Allah, terimalah syafaat Nabi-Mu untukku.” Jawab Nabi. “Jika kamu mempunyai keperluan maka bacalah doa tadi.” Lanjut beliau. Lalu Allah pun mengembalikan penglihatannya. Berangkat dari hadits ini Ibnu Taimiyyah mengecualikan tawassul dengan Nabi SAW. Al Fataawaa vol. 1 hlm. 105.
    Dalam bagian lain Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Berangkat dari hadits tersebut, Imam Ahmad berkata dalam Al Mansaknya (Buku tata cara ibadah/manasik) yang ditulis untuk muridnya, Al Marwazi, “Bahwasanya Nabi Saw bisa dijadikan sebagai obyek tawassul dalam do’anya.” Namun selain Imam Ahmad berpendapat bahwa tawassul dengan beliau adalah bersumpah kepada Allah dengan beliau, sedangkan tidak diperbolehkan bersumpah kepada Allah dengan makhluk. Hanya saja Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya telah memperbolehkan bersumpah dengan Nabi SAW, karena itu diperbolehkan juga tawassul dengan beliau.” (Al Fataawaa, vol. I hlm. 140).

    DIPERBOLEHKAN TAWASSUL VERSI IMAM AL SYAUKANI
    Al Muhaddits Al Salafi Al Syaikh Muhammad ibn ‘Ali Al Syaukani dalam risalahnya yang berjudul Al Dlurr Al Nadliid fi Ikhlaashi Kalimaati Al Tauhid mengatakan, “Adapun tawassul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya dalam mencapai sesuatu yang diinginkan seorang hamba, maka Al Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam mengatakan, “bahwasanya tidak boleh tawassul kepada Allah kecuali dengan Nabi SAW, jika hadits yang menjelaskan tawassul dengan beliau ini dinilai shahih.” Barangkali Syaikh ‘Izzuddin menunjuk kepada hadits yang dikeluarkan oleh Al Nasaa’i dalam Sunannya dan Al Turmudzi , dan dikategorikan shahih oleh Ibnu Majah dan yang lain bahwa seorang tuna netra datang kepada Nabi SAW ….dst. “Para ulama memiliki dua pandangan berbeda menyangkut hadits ini :
    1.    Tawassul adalah apa yang diucapkan oleh Umar ibn Khaththab ketika ia mengatakan, “Saat kami dulu mengalami paceklik, maka kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, hingga akhirnya Engkau menurunkan hujan buat kita, dan kami bertawassul dengan paman Nabi kami.” Hadits ini tercantum dalam Shahih al Bukhari dan kitab lain. Umar telah mengatakan bahwa para sahabat dahulu bertawassul dengan Nabi SAW semasa hidup beliau untuk memohon hujan kemudian mereka bertawassul dengan paman beliau, Abbas sepeninggal beliau. Tawassul para sahabat adalah permintaan mereka akan hujan sekiranya beliau berdoa disertai mereka. Berarti beliau adalah mediator mereka kepada Allah, dan Nabi dalam konteks memohon hujan ini adalah orang yang memberi syafaat dan berdoa untuk mereka.
    2.    Bahwa tawassul dengan Nabi SAW bisa pada saat beliau masih hidup, telah tiada, ketika beliau ada di tempat atau tidak berad di tempat. Tidak samar lagi buat kamu bahwa telah nyata tawassul dengan beliau semasa masih hidup dan  juga tawassul dengan selain beliau sepeninggal beliau berdasarkan ijma’ sukuti para  sahabat. Karena tidak ada satu sahabat pun yang menentang pendapat Umar ibn Khaththab dalam tawassulnya dengan Abbas RA. Dalam pandangan saya sama sekali tidak ada alasan untuk mengkhususkan tawassul hanya dengan beliau SAW, sebagaimana pendapat Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam, berdasarkan dua faktor :
    1.    Fakta yang telah saya sampaikan kepadamu menyangkut adanya konsensus para sahabat.
    2.    Bahwa tawassul kepada Allah dengan orang-orang yang baik dan para ulama pada dasarnya adalah tawassul dengan amal perbuatan mereka yang baik dan keistimewaan-keistimewaan mereka yang utama. Karena seseorang tidak mungkin menjadi baik kecuali berkat amal perbuatannya. Jika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan si Fulan yang ‘alim”, maka ini memandang pada ilmu yang melekat padanya. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja telah nyata bahwa Nabi SAW mengisahkan tentang tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu besar yang masing-masing bertawassul kepada Allah dengan amal perbutan mereka yang paling luhur kemudian batu itu pun bergeser. Seandainya tawassul dengan amal perbuatan baik itu tidak boleh atau dikategorikan syirik sebagaimana penilaian orang-orang yang ekstrem dalam masalah ini seperti Ibnu ‘Abdissalam dan yang sependapat dengannya maka niscaya doa mereka tidak akan terkabul dan Nabi pun tidak akan diam untuk mengingkari tindakan mereka setelah menceritakan kisah mereka. Berangkat dari kenyataan ini engkau akan mengetahui bahwa ayat-ayat yang dikemukakan mereka yang mengharamkan tawassul dengan para Nabi dan orang-orang shalih seperti :

     ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى  ، فلاتدعوا مع الله أحدا

    له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيء

    berada di luar konteks. Penggunaan ayat-ayat tersebut adalah termasuk beragumentasi atas aspek yang diperselisihkan dengan menggunakan alasan yang berada di luar persoalan. Karena ucapan mereka ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى   menjelaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalnya sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa orang alim itu memiliki keistimewaan di sisi Allah dengan memiliki ilmu. Lalu ia bertawassul dengannya karena keistimewaannya tersebut. Demikian pula firman Allah فلاتدعوا مع الله أحدا , ayat ini melarang selain Allah dimintaakan doa bersamaan dengan Allah seperti mengatakan dengan Allah dan dengan Fulan. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Yang terjadi pada dirinya hanyalah tawassul kepada Allah dengan amal shalih yang dilakukan sebagian hamba Allah sebagaimana tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu bertawassul dengan amal shalih mereka. Hal yang sama juga berlaku pada ayat :

    له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيء

    Karena kaum musyrikin berdoa kepada sesuatu yang tidak mampu mengabulkan permohonan mereka dan tidak berdoa kepada Tuhan yang akan mengabulkan permohonan mereka. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah, ia tidak berdoa kepada yang lain dan tidak melibatkan yang lain bersama Allah saat berdoa.
    Jika engkau telah mengetahui paparan di atas, maka tidak samar bagimu untuk membantah dalil-dalil yang disampaikan kelompok penolak tawassul, yang berada di luar konteks dari apa yang telah saya jelaskan di atas sebagaimana argumentasi mereka dengan firman Allah :

    وما أدراك ما يوم الدين ، ثم ما أدراك ما يوم الدين ، يوم لاتملك نفس لنفس شيئا والأمر يومئذ لله

    Karena ayat ini hanya menunjukkan bahwa Allah SWT adalah penguasa tunggal di hari kiamat. Selain Allah tidak memiliki apa-apa. Orang yang bertawassul dengan salah seorang Nabi atau ulama tidak meyakini bahwa orang yang dijadikan bertawassul memiliki peran bersama Allah dalam urusan hari kiamat. Barangsiapa punya keyakinan bahwa salah seorang hamba, baik Nabi atau bukan, memiliki peran demikian, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata. Demikian pula berargumentasi atas diharamkannya tawassul dengan firman Allah :

    ليس لك من الأمر شيء ، قل لا أملك لنفسي ضرا ولانفعا

    Karena kedua ayat ini mengindikasikan bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki peran apapun dalam urusan Allah dan bahwa beliau tidak bisa memberi manfaat dan bahaya kepada dirinya, lalu bagaimana beliau memberi manfaat dan bahaya kepada orang lain. Kedua ayat ini tidak mengandung larangan tawassul dengan Nabi atau orang lain dari para Nabi, wali atau ulama. Allah telah menjadikan buat Rasulullah SAW al Maqam al Mahmud yakni maqam syafa’ah paling besar, dan menunjukkan makhluk agar memohon kepada beliau syafa’ah tersebut sekaligus berkata kepada beliau, “Mintalah kamu akan diberi dan berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima.” Perintah Allah ini  terdapat dalam kitab-Nya yang mulia bahwasanya syafaat tidak akan ada tanpa seizin Allah dan hanya untuk mendapat ridla-Nya. Demikian pula argumentasi untuk menolak tawassul dengan sabda Nabi SAW saat turun firman Allah :

    وأنذر عشيرتك الأقربين

    “Wahai Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu. Wahai Fulan binti Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu.” Ungkapan ini tiada lain kecuali mengandung penjelasan secara transparan bahwa Nabi SAW tidak mampu memberi manfaat orang yang dikehendaki mendapat bahaya dari-Nya dan juga tidak mampu memberi bahaya orang yang dikehendaki Allah mendapat manfaat, dan juga bahwa beliau tidak memiliki apa-apa dari Allah untuk salah satu kerabatnya, apalagi orang lain. Semua orang muslim mengerti akan hal ini. Dalam hadits ini tidak ada keterangan bahwa Nabi SAW tidak dijadikan obyek tawassul kepada Allah. Karena tawassul adalah meminta sesuatu kepada yang memiliki perintah dan larangan. Dalam tawassul orang yang memohon hanya mengajukan di hadapannya sesuatu yang menjadi faktor terkabulnya do’a dari Dzat yang memiliki kekuatan tunggal untuk memberi dan menolak, yakni Penguasa hari pembalasan. Demikianlah pandangan Imam Al Syaukani.

    SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB BERPENDAPAT BOLEHNYA TAWASSUL

    Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab pernah ditanya mengenai pendapat ulama dalam masalah istisqa’ : “Tidak apa-apa bertawassul dengan orang-orang shalih,” dan juga mengenai ucapan Imam Ahmad : “Hanya Nabi SAW yang bisa dijadikan obyek tawassul.”  padahal para ulama berpendapat bahwa makhluk tidak bisa dijadikan obyek tawassul?”
    Syaikh menjawab, “Kedua pendapat ini memiliki perbedaan yang sangat jelas. Polemik ini bukan tema yang sedang kami bicarakan. Adanya sebagian orang yang memperbolehkan tawassul dengan orang-orang shalih dan sebagian mengkhususkan tawassul dengan Nabi, dan mayoritas ulama melarang tawassul dan menilainya makruh, adalah salah satu persoalan fiqh. Meskipun yang benar di mata kami adalah pendapat mayoritas ulama, yakni kemakruhan tawassul. namun kami tidak mengingkari orang yang melakukannya sebab keingkaran tidak perlu dalam persoalan-persoalan yang berbasis ijtihad. Yang kami ingkari hanyalah orang yang berdoa kepada makhluk melebihi berdoa kepada Allah dan orang yang mendatangi kuburan seraya merengek-rengek didekat makam Syaikh Abdul Qadir atau makam lain seraya berharap hilangnya kesulitan dan kesedihan serta diberi kebahagiaan. Di manakah posisi orang seperti ini dari orang yang berdoa semata kepada Allah tidak melibatkan siapapun tetapi ia berkata dalam doanya, “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu, para rasul, atau hamba-hamba-Nya yang shalih, atau ia datang ke sebuah kuburan yang telah dikenal atau tidak untuk berdoa di tempat itu, namun ia hanya berdoa kepada Allah semata. Di manakah posisi orang seperti ini dari keingkaran kami terhadap berdoa kepada orang-orang mati.
    Demikianlah kutipan dari fatwa-fatwa Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam kumpulan karya-karya, vol. III hlm. 68 yang diterbitkan oleh Universitas Al Imam Muhammad ibn Sa’ud Al Islamiyyah dalam pekan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab.
    Keterangan di atas menunjukkan tawassul diperbolehkan oleh beliau. Paling jauh, tawassul dianggap makruh oleh beliau dalam pandangan mayoritas ulama. Dan barang yang makruh itu bukan barang haram apalagi dianggap bid’ah atau syirik.

    SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS ORANG YANG MENGKAFIRKAN ORANG-ORANG YANG BERTAWASSUL

    Terdapat keterangan dari Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dalam risalah yang disampaikan kepada warga Qashim, keingkaran yang sangat dari beliau atas orang yang menilainya telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih. Beliau berkata, “Bahwa Sulaiman ibn Suhaim telah melontarkan fitnah bahwa saya mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah saya ucapkan dan kebanyakan hal-hal itu tidak pernah terlintas dalam benakku. Diantaranya ; saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih ; saya mengkafirkan Imam Bushairi gara-gara ucapan beliau : Wahai makhkuk paling mulia, dan bahwa saya membakar kitab Dalailul Khairat.”
    Jawaban saya atas segala tuduhan di atas adalah Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
    Dalam risalah lain yang beliau persembahkan untuk warga Majma’ah terdapat dukungan terhadap pandangan beliau di atas. Beliau berkata, “Jika persoalan ini sedah jelas. Maka masalah-masalah yang mendapat stigma negatif dari Sulaiman ibn Suhaim, diantaranya ada yang merupakan kebohongan besar, yakni perkataanku bahwa saya telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih dan bahwa saya telah mengkafirkan Imam Bushairi dan sebagainya. Selanjutnya beliau berkata, “Jawaban saya atas tuduhan-tuduhan di muka adalah Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
    Lihat risalah yang pertama dan ke sebelas dari risalah-risalah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab bagian kelima  : 12 hlm 64.

    TAWASSUL DENGAN JEJAK-JEJAK PENINGGALAN NABI SAW
    Adalah sebuah kenyataan bahwa para sahabat memohon berkah dengan peninggalan-peninggalan beliau SAW. Memohon berkah ini tidak ada lain kecuali memberikan satu pengertian. Yakni bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan beliau kepada Allah SWT, sebab tawassul bisa dilakukan dengan beragam cara bukan cuma satu.
    Apakah kamu kira para sahabat hanya bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan beliau, tidak dengan sosok beliau sendiri ?
    Apakah logis jika cabang bisa dijadikan obyek tawassul tapi yang pokok tidak ?
    Apakah logis, jika jejak peninggalan beliau yang kemuliaannya disebabkan pemiliknya, Muhammad SAW bisa dijadikan obyek tawassul, kemudian ada seseorang berkata, “Sesungguhnya beliau SAW tidak bisa dijadikan obyek tawassul.” Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
    Nash-nash menyangkut tema ini sangatlah banyak jumlahnya. Namun kami hanya akan menyebut nash yang paling populer. Amirul Mu’minin Umar ibn Al Khaththab sangat berambisi untuk dimakamkan di samping makam Rasulullah. Saat ajalnya menjelang tiba, ia mengutus anaknya, Abdullah untuk meminta izin kepada Sayyidah ‘Aisyah agar bisa dikubur di samping makam beliau SAW. Kebetulan ‘Aisyah menyatakan keinginan yang sama. “Dulu saya ingin tempat itu menjadi kuburanku, dan saya akan memprioritaskan Umar untuk menempatinya,” kata ‘Aisyah. Abdullah pun pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada ayahnya. “Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal itu,” ucap Umar. Kisah ini secara detail bisa dilihat di Shahih Al Bukhari. Lalu apa arti keinginan besar dari ‘Umar dan ‘Aisyah?.
    Mengapa dimakamkan di dekat Rasulullah menjadi hal yang sangat diinginkan oleh Umar? Hal ini tidak bisa dipahami kecuali semata-mata tawassul dengan Nabi SAW sesudah wafat seraya mengharap keberkahan dekat dengan beliau.
    Ummu Sulaim memotong mulut geriba yang beliau meminum dari wadah itu. Anas berkata, “Potongan mulut geriba itu ada pada kami.”
    Para sahabat berebut untuk memungut sehelai rambut kepala beliau, saat beliau mencukurnya.
    Asma’ binti Abi Bakr menyimpan jubah beliau dan berkata, “Kami membasuhnya untuk orang-orang sakit dengan harapan memohon kesembuhan dengannya.”
    Cincin Rasulullah, sepeninggal beliau, disimpan oleh Abu Bakr, Umar dan Utsman. Dan jatuh ke sumur dari tangan Utsman.
    Semua hadits-hadits di atas nyata ada dan shahih sebagaimana akan kami jelaskan dalam bahasan memohon keberkahan (tabarruk). Yang ingin saya katakan adalah ada apa dengan perhatian para sahabat terhadap jejak-jejak peninggalan Nabi SAW ?. (mulut geriba, rambut, keringat, jubah, cincin, dan tempat shalat). Apa maksud perhatian mereka terhadapnya? Apakah hanya sekedar kenangan, tidak lebih dan tidak kurang, atau hanya menjaga benda-benda peninggalan bersejarah untuk disimpan di museum ?. Jika alasan pertama sebagai jawaban, lalu mengapa mereka sangat menaruh perhatian dengannya ketika berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah saat tertimpa musibah atau penyakit?. Jika alasan kedua sebagai jawaban, lalu di manakah museum itu berada dan dari mana ide baru itu sampai kepada mereka ?. Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
    Jika kedua jawaban di atas salah berarti yang tersisa adalah harapan mereka akan keberkahan dengan jejak-jejak peninggalan Nabi SAW untuk dijadikan obyek tawassul kepada Allah saat berdoa. Karena Allah adalah Dzat Pemberi dan tempat meminta. Semua makhluk adalah hamba-Nya dan di bawah kendali-Nya, yang tidak bisa memberi apapan kepada diri mereka  sendiri apalagi orang lain kecuali atas izin Allah.
     

    TAWASSUL DENGAN JEJAK-JEJAK PENINGGALAN PARA NABI AS
    Allah berfirman :      

    وقال لهم نبيهم إن آية ملكه أن يأتيكم التابوت فيه سكينة من ربكم وبقية مما ترك آل موسى وآل هارون تحمله الملائكة إن في ذلك لآية لكم إن كنتم مؤمنين .

    Dalam Al Tarich, Ibnu katsir mengatakan, “ Ibnu Jarir mengatakan Menyangkut tabut dalam ayat di atas, “Dahulu Bani Israil jika berperang dengan salah seorang musuh maka mereka senantiasa membawa tabutulmitsaq (peti perjanjian) yang berada dalam qubbatuzzaman sebagaimana telah dijelaskan di muka. Mereka mendapat kemenangan sebab keberkahan dari tabutulmitsaq itu dan sebab kedamaian dan sisa-sisa peninggalan Nabi Musa dan Harun yang berada di dalamnya. Ketika dalam salah satu peperangan mereka melawan penduduk Ghaza dan ‘Asqalan, musuh berhasil mengalahkan mereka dan merebu tabutulmitsaq dari tangan mereka.”
    Ibnu Katsir berkata, “Dahulu Bani Israil mengalahkan musuh-musuhnya berkat tabutulmitsaq, yang di dalamnya ada bokor dari emas yang digunakan untuk membasuh dada para Nabi.” (Al Bidayah vol. II hlm. 8).
    Dalam tafsirnya Ibnu Katsir mengatakan, “Di dalam tabut itu ada tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua papan dari Taurat dan beberapa baju Nabi Harun, sebagian ulama berpendapat di dalamnya ada tongkat dan sepasang sandal.” (Tafsir Ibnu Katsir vol. I hlm. 313).
    Dalam versi Al Qurthubi : Salah satu profil mengenai Tabut adalah bahwa ia diturunkan Allah kepada Adam. Tabut tersebut tetap berada di tangan Adam sampai akhirnya berada di tangan Ya’qub. Selanjutnya ia berada di tangan Bani Israil, yang dengannya mereka mampu mengalahkan orang yang menyerang mereka. Ketika mereka durhaka kepada Allah, mereka dikalahkan oleh kaum raksasa yang juga merebut tabut tersebut. (Tafsir Al Qurthubi vol. III hlm. 247).
    Fakta tentang Tabut ini sejatinya tidak lain adalah bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan para Nabi. Karena tidak ada artinya meletakkan Tabut  di depan mereka kecuali dipahami sebagai bentuk tawassul. Allah SWT sendiri meridloi tawassul seperti ini dengan bukti Dia mengembalikannya kepada mereka dan dijadikan sebagai indikasi atas keabsahan Thalut menjadi raja. Allah tidak pernah mengingkari perlakuan mereka terhadap Tabut.

    TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN DIRINYA DAN KEMULIAAN PARA NABI DAN SHOLIHIN

    Dalam biografi Fathimah binti Asad, ibu dari Ali ibn Abi Thalib terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah SAW menggali liang lahatnya dengan tangganya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Ketika selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya , lalu berkata, “Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah, lapangkanlah tempat masuknya dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang. Rasulullah kemudian mentakbirkan Fathimah 4 kali dan bersama Abbas dan Abu Bakar Shiddiq RA memasukkannya ke dalam liang lahat.” HR Thabarani dalam al Kabir dan al Awsath. Dalam sanadnya terdapat Rauh ibn Sholah yang dikategorikan dapat dipercaya oleh Ibnu Hibban dan al Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan. Sedang perawi lain di luar Rouh sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih. (Majma’ul Zawaaid vol. 9 hlm. 257).
    Sebagian ahli hadits berbeda pendapat menyikapi status Rouh ibn Sholah, salah seorang perawi hadits di atas. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat dipercaya). Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama mengkategorikan hadits sebagai shahih. Demikian pula Al Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perasi hadits shahih.
    Sebagaimana Thabarani, Ibnu ‘Abdil Barr juga meriwayatkan hadits ini dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan juga diriwayatkan oleh Al Dailami dan Abu Nu’aim. Jalur-jalur periwayatan hadits ini saling menguatkan dengan kokoh dan mantap, antara sebagian dengan yang lain.
    Dalam Ithaafu al Adzkiyaa’ Syaikh al Hafidh al Ghimari hlm 20 menyatakan, “Rouh ini kadar kedloifannya tipis versi mereka yang menilainya lemah, sebagaimana dipahami dari ungkapan-ungkapan ahli hadits. Karena itu Al Hafidh Al Haitsami menggambarkan kedloifan Rouh dengan bahasa yang mengesankan kadar kedloifan yang ringan, sebagaimana diketahui jelas oleh orang yang biasa mengkaji kitab-kitab hadits. Hadits di atas tidak kurang dari kategori hasan, malah dalam kriteria yang ditetapkan Ibnu Hibban diklasifikasikan sebagai hadits shahih.
    Bisa dicatat di sini bahwa para Nabi yang Nabi SAW bertawassul dengan kemuliaan mereka di sisi Allah dalam hadits ini dan hadits lain telah wafat. Maka dapat ditegaskan diperbolehkannya tawassul kepada Allah dengan kemuliaan (bilhaq) dan dengan mereka yang memiliki kemuliaan (ahlulhaq) baik masih hidup maupun sesudah wafat.

    TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN PARA PEMINTA (BI HAQQISSAAILIN)
    Dari Abi Said Al Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW berkata, “Siapapun yang keluar dari rumahnya untuk sholat, seraya berdo’a : Ya Allah Sungguh saya memohon kepada-Mu dengan kemuliaan para peminta kepada-Mu dan dengan kemuliaan langkahku ini, karena saya tidak keluar  untuk berfoya-foya, melakukan kesombongan, pamer atau mencari prestise. Saya keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridlo-Mu. Saya memohon kepada-Mu agar melindungiku dari neraka, dan mengampuni dosaku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau, maka Allah akan menyambutnya dan 70.000 malaikat akan memohonkan ampunan untuknya.”
    Dalam Al Targhib wa Al Tarhib vol. III hlm 119 AL Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan isnad yang dikomentari (fiihi maqaalun). Syaikhuna Al Hafidh Abu Al Hasan mengklasifikasikan isnadnya sebagai shahih.
    Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Nataaijul Afkaar vol. I hlm 727 mengatakan, “Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dalam Kitabuttauhid, dan Abu Nu’aim dan Ibnu Al Sunni.
    Al ‘Iraqi dalam Takhriju Ahaaditsi Al Ihyaa’ vol. I hlm. 323 mengomentari hadits di atas sebagai hadits hasan.
    Al Hafidh Al Bushairi dalam Zawaaid Ibni Majah yang bernama Mishbaahu al Zujaajah vol. I hlm. 98 mengatakan, “Al Hafidh Syarafuddin Al Dimyathi dalam Al Matjar Al Raabih hlm. 471 mengatakan bahwa isnad hadits di atas itu, insya Allah hasan.
    Al Allamah Al Muhaqqiq Al Muhaddits Al Sayyid ‘Ali ibn Yahya Al ‘Alawi dalam risalah kecilnya Hidayatul Mutakhabbithin menyatakan, “Bahwa Al Hafidh Abdul Ghani Al Maqdisi menilai hadits itu sebagai hadits hasan dan Ibnu Abi Hatim menerimanya.” Dari fakta ini jelaslah bagi kamu bahwa hadits di atas telah dinilai shahih dan hasan oleh sejumlah hafidz dan imam besar hadits. Mereka adalah : Ibnu Khuzaimah, Al Mundziri dan gurunya Abu Al Hasan, Al ‘Iraqi, Al Bushairi (bukan penyusun Burdah), Ibnu Hajar, Al Syaraf Al Dimyathi, Abdul Ghani Al Maqdisi, dan Ibnu Abi Hatim.
    Setelah pendapat para pakar di atas terungkap, adakah ruang yang tersisa untuk menampung ucapan seseorang. Apakah logis bagi orang yang berakal untuk membuang penilaian para pakar hadits besar di atas dan mengambil ucapan mereka yang tidak diundang menikmati hidangan hadits.

    أتستبدلون الذي هو أدنى بالذي هو خير

    فإنها لاتعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب التي في الصدور


    TAWASSUL DENGAN KUBURAN NABI SAW ATAS PETUNJUK SAYYIDAH ‘AISYAH
    Al Imam Al Hafidh Al Darimi dalam kitabnya Al Sunan bab Maa Akramahullah Ta’ala Nabiyyahu SAW ba’da Mautihi berkata : Abu Nu’man bercerita kepada kami, Sa’id ibni Zaid bercerita kepada kami, ‘Amr ibnu Malik Al Nukri bercerita kepada kami, Abu Al Jauzaa’ Aus ibnu Abdillah bercerita kepada kami, “Penduduk Madinah mengalami paceklik hebat. Kemudian mereka mengadu kepada ‘Aisyah. “Lihatlah kuburan Nabi SAW dan buatlah lubang dari tempat itu menghadap ke atas hingga tidak ada penghalang antara kuburan dan langit,” perintah ‘Aisyah. Abu Al Jauzaa’ berkata, “Lalu mereka melaksanakan perintah ‘Aisyah. Kemudian hujan turun kepada kami hingga rumput tumbuh dan unta gemuk (unta menjadi gemuk karena pengaruh lemak, lalu disebut tahun gemuk).” Sunan Al Daarimi vol. I hlm 43.
    Pembuatan lubang di lokasi kuburan Nabi SAW, tidak melihat dari aspek sebuah kuburan tapi dari aspek bahwa kuburan itu memuat jasad makhluk paling mulia dan kekasih Tuhan semesta alam. Jadi, kuburan itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini dan karenanya  berhak mendapat keistimewaan yang mulia.
    Takhrij al hadits : Abu Nu’man adalah Muhammad ibn Al Fadhl yang dijuluki Al ‘Aarim, guru Imam Bukhari. Dalam Al Taqrib, Al Haafidh mengomentarinya sebagai orang yang dipercaya yang berubah (kacau fikiran) di usia tua.
    Pendapat saya kondisi di atas tidak mempengaruhi periwayatannya. Sebab Imam Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan lebih dari 100 hadits darinya. Setelah fikirannya kacau, riwayat darinya tidak bisa diterima. Pandangan ini dikemukakan oleh Al Daruquthni. Tidak ada yang memberimu informasi melebihi orang yang berpengalaman.
    Al Dzahabi membantah komentar Ibnu Hibban yang menyatakan, “Bahwasanya banyak hadits munkar ada padanya.” “Ibnu Hibban gagal menyebutkan satu hadits munkarnya. Lalu di manakah dugaannya?” (Mizaanul I’tidal vol. IV hlm. 8).
    Adapun Sa’id ibn Zaid, ia adalah figur yang sangat jujur yang terkadang salah mengutip kalimat hadits. Demikian pula profil ‘Amr ibn Malik Al Nukri. Sebagaimana penilaian Ibnu Hajar mengenai keduanya dalam Al Taqrib.
    Ulama menetapkan bahwa ungkapan Shaduuq Yahimu  adalah termasuk ungkapan-ungkapan untuk memberikan kepercayaan bukan ungkapan untuk menilai lemah. (Tadribu Al Raawi).
    Adapun Abul Jauzaa’, maka ia adalah Aus ibn Abdillah Al Rib’i. Ia termasuk figur yang dapat dipercaya dari para perawi Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim. Berarti sanad hadits di atas adalah tidak mengandung masalah, malah dalam pandangan saya dapat dikategorikan baik. Para ulama mau menerima dan menjadikan penguat banyak sanad semisalnya dan dengan para perawi yang kualitasnya lebih rendah dari sanad hadits ini.

    SAYYIDAH ‘AISYAH DAN SIKAP BELIAU TERHADAP KUBURAN NABI SAW
    Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa atsar di atas berstatus mauquf pada ‘Aisyah yang nota bene shahabat perempuan dan praktek shahabat itu bukan hujjah, maka jawabannya adalah bahwa atsar tersebut meskipun opini ‘Aisyah namun beliau RA dikenal sebagai perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan tindakannya dilakukan di kota Madinah di tengah para ulama shahabat. Dari kisah yang terkandung dalam atsar ini cukup bagi kita untuk menjadikannya sebagai dalil bahwa ‘Aisyah Ummul mu’minin mengetahui bahwa sesudah wafat, Rasulullah SAW senantiasa menyayangi dan mensyafaati ummatnya, dan bahwa orang yang berziarah ke kuburannya dan memohon syafaatnya akan diberi syafaat oleh beliau, sebagaimana praktek yang telah dilakukan Ummul mu’minin ‘Aisyah. Tindakan ‘Aisyah membuat lubang pada tempat makam Rasulullah tidak dikategorikan kemusyrikan atau perantara kemusyrikan sebagaimana tuduhan yang disuarakan orang-orang yang suka mengkafirkan dan menuduh sesat. Karena ‘Aisyah dan orang yang menyaksikannya bukan termasuk mereka yang buta terhadap kemusyrikan dan hal-hal yang mengantar kepada kemusyrikan.
    Kisah di atas membantah pandangan kalangan Wahabi dan menegaskan bahwa Nabi SAW, di dalam kuburnya, sangat memperhatikan ummatnya sampai sesudah wafat. Adalah fakta bahwa Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar. HR Ahmad.
    Al Hafidh Al Haitsami menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih (Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26). Al Hakim meriwayatkanya dalam  Al Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. ( Majma’ul Zawaid vol. 4 hal. 7 ).
    ‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang orang yang berada didekkat kuburan mereka.
    Nabi bersabda kepada Mu’adz saat diutus  ke Yaman. “ Barang kali engkau akan melewati kuburan dan masjidku ini. HR Ahmad dan Thabarani. Para  perawi dari keduanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya kecuali Yazid yang tidak pernah mendengar dari Mu’adz. ( Majma’uz Zaawaid vol. 10 hal. 55 ). Kemudian Rasulullah SAW meninggal dunia dan Mu’adz mendatanngi kuburannya sambil menangis. Tindakan Mu’adz ini diketahuai oleh ‘Umar ibnu Khattab. Lalu keduanya terlibat dalam pembicaraan sebagaimana diriwayatkanoleh Zaid ibnu Aslam dari ayahnya yang berkata : ‘Umar pergi ke masjid dan melihat Mu’adz sedang menangis di dekat kuburan Nabi. “ Apa yang membuatmu menangis ? tanya ‘Umar. ” Saya mendengar hadits Rasulullah yaitu : “ Sedikit dari riya adalah syirik. Hakim berkata,” Hadits ini shahih dan tidak diketahui tidak memiliki ‘illah. Adz Dzahabi sepakat  dengan Hakim bahwa hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah. (Tersebut dalam Al Mustadrok vol.1 hal. 4 ).
    Al Mundziri berkata dalam kitab At Targhib At Tarhib : Hadits di atas diriwayat kan oleh Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim. Hakim  berkata : Hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah, dan Al Mundziri sepakat dengan pandangan Al Hakim. (vol. 1 hal. 32 ).

    TAWASSUL DENGAN KUBURAN NABI SAW PADA ERA KHALIFAH ‘UMAR
    Al Hafidh Abu Bakar Al Baihaqi mengatakan, “ Memberi kabar kepadaku Abu Nashr ibn Qatadah dan Abu Bakr Al Farisi, keduanya berkata, “Bercerita kepadaku Abu ‘Umar ibn Mathar, bercerita kepadaku Ibrahim ibn ‘Ali Al Dzuhali, bercerita kepadaku Yahya ibn Yahya, bercerita kepadaku Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Abi Shalih dari Malik, ia berkata, “Pada masa khalifah ‘Umar ibn Al Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke kuburan Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, Mohonkanlah hujan kepada Allah karena ummatmu banyak yang meninggal dunia.” Rasulullah pun datang kepadanya dalam mimpi. “Datangilah Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku dan khabarkan penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar : “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar !”.  Lelaki itu pun mendatangi Umar menceritakan apa yang dialaminya. “Ya Tuhanku, saya tidak bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya.” Kata ‘Umar. (Demikian perkataan Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. I hlm. 91 pada Hawaaditsi ‘Aammi Tsamaaniyata ‘Asyaraa).
    Saif dalam Al Futuuh meriwayatkan bahwa lelaki yang bermimpi bertemu Nabi SAW adalah Bilal ibn Al Harits Al Muzani, salah seorang sahabat. Isnad hadits ini dalam pandangan Ibnu Hajar Shahih. (Shahih Al Bukhari Kitaabul Istisqaa’/Fathul Baari vol. II hlm. 415).
    Tidak seorang imam pun dari para perawi hadits di atas dan para imam berikutnya yang telah disebutkan dengan beberapa karya mereka, bahwa tawassul dengan Nabi SAW adalah tindakan kufur dan sesat dan tidak ada seorang pun yang menilai matan (teks) hadits mengandung cacat. Ibnu Hajar  al ‘Asqilani telah mengemukakan hadits ini dan menilainya sebagai hadits shahih dan beliau adalah sosok yang kapasitas keilmuan, kelebihan dan bobotnya di antara para pakar hadits tidak perlu dijelaskan lagi.
     

    TAWASSUL KAUM MUSLIMIN DENGAN NABI SAW DALAM PERANG YAMAMAH

    Al Hafidh Ibnu Katsir menuturkan bahwa slogan kaum muslimin dalam perang Yamamah adalah ucapan YAA MUHAMMADAAH. Ibnu Katsir juga menulis sbb : Khalid ibn Al Walid melakukan serangan hingga melampaui pasukan Musailimah dan bergerak menuju Musailimah. Ia berusaha mencari celah untuk sampai kepada Musailimah kemudian membunuhnya lalu kembali dan berdiri di antara dua barisan. Ia menyeru mengajak duel. “Saya anak Al Walid Al ‘Aud, saya anak ‘Amir dan Zaid.” Lalu Khalid mengumandangkan slogan kaum muslimin dimana slogannya adalah YAA MUHAMMADAH. (Al Bidayah wa Al Nihayah vol. VI hlm. 324).

    TAWASSUL DENGAN NABI SAW PADA SAAT SAKIT DAN MENGALAMI MUSIBAH
    Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai !,” saran seorang lelaki kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
    Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya. (Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al Kalim Al Thayyib pada Al Faslh Al Saabi’ wa Al Arba’in hlm. 165). Tawassul menggunakan ungkapan Ya Muhammad adalah tawassul dalam bentuk panggilan).

    TAWASSUL DENGAN FIGUR SELAIN NABI SAW
    Dari ‘Utbah ibn Ghazwan dari Nabi SAW, beliau berkata, “Jika salah satu dari kalian kehilangan sesuatu atau mengharapkan pertolongan pada saat ia berada di tempat tak berpenghuni, maka bacalah : Wahai para hamba Allah, berilah aku pertolongan. Karena Allah memiliki para hamba yang kalian tidak mampu melihatnya.” Bacaan ini telah dibuktikan mujarab. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani. Para perawinya dikategorikan dapat dipercaya hanya saja ada sebagian dianggap lemah. Namun Yazid ibn ‘Ali tidak pernah berjumpa dengan ‘Utbah.
    Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat yang bertugas mencatat daun yang jatuh dari pohon. Jika salah seorang dari kalian mengalami kepincangan di padang pasir maka berserulah : Bantulah aku, wahai para hamba Allah !. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya.
    Dari Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Jika binatang tunggangan kamu lepas di padang sahara, maka berteriaklah : Wahai para hamba Allah tangkaplah, wahai para hamba Allah tangkaplah !, karena ada malaikat Allah di bumi yang akan menangkapnya.” HR Abu Ya’la dan Al Thabarani yang memberikan tambahan : “Malaikat itu akan menangkapnya untuk kalian.” Dalam hadits ini ada Ma’ruf ibn Hassan yang statusnya lemah. Majma’ul Zawaaid wa Manba’ul Fawaaid karya Al Hafidh ibn ‘Ali ibn Abi Bakr Al Haitsami Vol. X hlm. 132. Ini juga termasuk tawassul dengan cara memanggil.
    Terdapat keterangan bahwa Nabi SAW setelah dua rakaat fajar membaca : “Ya Allah, Tuhan Jibril, Israfil, Mikail, dan Muhammad, saya berlindung kepada-Mu dari api neraka.”
    Al Nawawi dalam Al Adzkar mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Al Sunni . Setelah melakukan takhrij Al Hafidh mengatakan, “Hadits ini adalah hadits hasan.” Syarhul Adzkaar karya Ibnu ‘Ilaan vol. II hlm 139.
    Penyebutan secara khusus Jibril, Israfil, Mikail dan Muhammad mengandung arti tawassul dengan mereka. Seolah-olah Nabi berkata, “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan Jibril dst…..
    Ibnu ‘Ilan telah mengisyaratkan hal ini dalam Syarh Al Adzkaar. “Tawassul kepada Allah dengan sifat ketuhanan-Nya, terhadap ruh-ruh yang agung,” katanya. Ibnu ‘Ilan dalam Syarh Al Adzkaar vol II hlm. 29 menegaskan disyari’atkannya tawassul. Ia menyatakan seraya menta’liq hadits  Allaahumma Innii As’aluka bi Haqqissaailin, “Hadits ini mengandung tawassul dengan kemuliaan orang-orang baik secara umum dari para pemohon/suka berdoa. Disamakan dengan mereka adalah para Nabi dan rasul dalam kadar yang lebih. 


    MAKNA TAWASSUL ‘UMAR DENGAN DENGAN ABBAS RA
    Al Bukhari dalam kitab Shahihnya menriwayatkan sebuah hadits dari Anas RA bahwa ‘Umar ibn Al Khaththab – saat penduduk Madinah mengalami paceklik- memohon hujan dengan bertawassul dengan ‘Abbas ibn ‘Abdil Muththallib. Is berkata, “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu lalu Engkau turunkan hujan untuk kami. Dan sekarang saya bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu. Maka mohon berilah kami hujan.”
    Zubair ibn Al Bakkar meriwayatkan kisah ini, lewat jalur selain Anas, lebih luas daripada riwayat pada Shahih Al Bukhari dalam Al Ansaab , yang ringkasannya sbb : Dari Abdillah ibn ‘Umar, ia berkata, “Pada tahun Ramadah/kelabu (dengan dibaca fathah Ra’, disebut demikian karena banyaknya debu beterbangan akibat kemarau panjang), ‘Umar ibn Al Khaththab memohon hujan dengan bertawassul pada Al ‘Abbas ibn ‘Abdil Muththallib. Umar berbicara di depan kaum muslimin, “Saudara sekalian, sesungguhnya Rasulullah SAW memandang ‘Abbas sebagaimana anak memandang orang tua. Maka, wahai saudara sekalian, teladanilah Rasulullah menyangkut paman beliau ‘Abbas dan jadikanlah ia sebagai mediator kepada Allah. Berdoalah wahai Abbas !”Di antara do’a Abbas adalah : Ya Allah, sesungguhnya bencana tidak menimpa kecuali akibat doa dan tidak hilang kecuali dengan bertaubat. Dan masyarakat telah bertawassul denganku kepada-Mu karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu.  Ini adalah tangan-tangan kami yang telah berbuat dosa kepada-Mu dan inilah ubun-ubun kami yang ingin bertaubat kepada-Mu. Siramilah kami dengan air hujan dan jagalah, ya Allah, Nabi-Mu menyangkut pamannya. Akhirnya mendung laksana gunung turun hingga bumi menjadi subur dan masyarakat bisa hidup. Mereka datang dan mengusap-usap ‘Abbas sambil berkata, “Selamat untukmu, wahai pemberi siraman hujan tanah Haramain. “Demi Allah, Abbas ini adalah mediator kepada Allah dan kedudukan di sisi Allah.” Dalam konteks ini ‘Abbas ibn ‘Utbah putra saudara lelaki ‘Abbas menciptakan bait-bait syair, diantaranya adalah :
    Berkat pamanku, Allah menyirami Hijaz dan penduduknya
    Di sore hari ‘Umar dengan ubannya memohon hujan
    Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan : Dalam sebagian riwayat redaksinya sbb : Langit melepaskan tali mulut geriba lalu datang dengan mendung bak gunung-gunung hingga lubang-lubang rata dengan anak bukit, bumi subur dan manusia bisa hidup. “Demi Allah, Abbas ini adalah mediator kepada Allah dan kedudukan di sisi-Nya.”
    Hassan ibn Tsabit menyatakan :
    Sang Imam memohon pada saat paceklik datang bertubi-tubi
    Akhirnya mendung menyiramkan airnya berkat cahaya wajah Abbas
    Paman Nabi dan saudara ayah Nabi
    Yang mewarisi beliau, bukan orang lain
    Berkat Abbas, Allah menghidupkan negara
    Hingga sudut-sudut negara menjadi hijau sesudah merana
    Fadhl ibn ‘Abbas ibn ‘Utbah berkata :
    Berkat pamanku Allah menurunkan hujan untuk Hijaz dan penduduknya
    Di saat sore hari, ‘Umar memohon hujan dengan ubannya
    ‘Umar bertawassul dengan ‘Abbas pada musim paceklik seraya memohon
    ‘Umar belum beranjak pergi hingga hujan turun terus-menerus
    Dalam salah satu riwayat : orang-orang mendatangi Abbas sambil mengusap-usap kaki dan tangannya seraya berkata, “Selamat untukmu, wahai orang yang menyirami tanah Haramain.” Demikianlah keterangan dari Al Isti’ab karya Abdil Barr tentang biografi Ibnu Abbas.
    Sebenarnya ‘Umar berhak memimpin kaum muslimin  dalam istisqa’. Namun ‘Umar melepas haknya dan mendorong ‘Abbas untuk istisqa’ sebagai bentuk penghormatan terhadap Rasulullah dan keluarga beliau dan mempriotaskan paman beliau atas dirinya sebagai upaya maksimal dalam bertawassul dengan Rasulullah. ‘Umar juga menganjurkan kaum muslimin untuk menjadikan ‘Abbas sebagai mediator kepada Allah. Demikian pula ‘Umar menjadikan ‘Abbas sebagai mediator dengan memprioritaskannya untuk berdo’a dalam rangka memposisikanya dalam posisi Rasulullah saat beliau masih hidup. Kemudian ‘Abbas memohonkan hujan untuk kaum muslimin di tempat shalat ‘iid agar llebih maksimal dalam memuliakan Nabi dan menyanjung keutamaan keluarga beliau SAW.
    ‘Umar mengkonfirmasikan dalam do’anya sbb : “ Ya Allah dulu  kami bertawassul kepada Mu dengan Nabi Mu, lalu Engkau memberi kami hujan. Dan kini kami bertawassul kepada Mu dengan paman Nabi MU, maka turunkanlah kami hujan. “ Yakni dulu kami bertawassul kepada Mu dengan keluarnya beliau bersama kaum muslimin ke tempat shalat, do’a beliau SAW buat mereka dan shalat beliau bersama mereka. Dan ketika hal ini tidak bisa kami realisasikan akibat wafatnya beliau SAW maka saya mengajukan figur dari keluarga beliau agar do’a diharapkan lebih diterima dan dikabulkan.
    Ketika ‘Abbas berdo’a ia bertawassul dengan Rasulullah dimana ia berdo’a, “ Kaum muslimin bertaqarrub denganku karena kedudukanku dari Nabi yakni hubungan familiku denganya. Maka, jagalah Nabi Mu Ya Allah, menyangkut paman Nabinya yakni terimalah do’aku karena Nabi Mu Saw.
    Persoalan di atas menyangkut istisqa’ dan tidak ada relasinya dengan tawassul yang menjadi tema diskusi kami dan terjadi pro kontra di dalamnya. Fakta ini, adalah persoalan yang diketahui oleh setiap orang yang memiliki dua mata. Karena peristiwa di atas mengindikasikan dengan jelas fakta ini. Karena penduduk Madinah tertimpa paceklik danmembutuhkan pertolongan dengan shalat istisqa’. Shalat istisqa’ membutuhkan seorang imam yang memimpin shalat dan mendo’akan mereka mereka serta menegakkan syi’ar islam yang dahulu telah ditegakkan Nabi semasa hidup di dunia, sebagaimana syi’ar- syi’ar islam yang lain seperti imamah, shalat jum’at dan khutbah, yang ketiganya merupakan  tugas-tugas takkklifiyah yang tidak bisa dikerjakan oleh mereka yng berada di alam barzah, akibat terputusnya taklif dan kesibukan mereka dengan sesuatu yang lebih besar.
    Orang yang memahami dari ucapan amirul mu’minin bahwasanya ia bertawassul dengan ‘Abbas – tidak dengan Nabi SAW karena ‘Abbas masih hidup sedang Nabi telah wafat – berarti pemahamannya telah mati, dikuasai oleh prasangka, dan memanggil kepada dirinya dengan kondisi lahiriah atau fanatisme yang mendominasi pemikirannya. Karena ‘Umar tidak bertawassul dengan ‘Abbas kecuali karena hubungan familinya dengan Rasulullah SAW . Hal ini bisa diketahui dalam ucapan “Umar : “Sesungguhnya saya bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu maka mohon turunkan hujan kepada kami.” Dengan demikian, ‘Umar telah bertawassul dengan Rasulullah dengan cara paling maksimal.
    Sungguh sangat jauh dari kebenaran mereka yang memvonis musyrik seseorang yang bertawassul dengan orang mati padahal mereka memperbolehkan tawassul dengan orang hidup. Sebab jika tawassul dikategorikan kemusyrikan maka tidak akan diperbolehkan baik dengan orang hidup atau mati. Bayangkan saja, bukankah meyakini ketuhanan dan penyembahan kepada selain Allah dari Nabi, raja atay wali adalah tindakan syirik dan kufur yang tidak diperkenankan baik dalam keadaan hidup atau sudah mati.
    Apakah engkau pernah mendengar orang berkata, “Bahwa meyakini ketuhanan kepada selain Allah diperbolehkjan jika ia masih hidup. Jika telah mati dikategorikan musyrik.
    Engkau telah mengetahui bahwa menjadikan orang yang diagungkan sebagai mediator kepada Allah bukan berarti penyembahan terhadap mediator itu kecuali jika orang yang bertawassul meyakini bahwa mediator itu adalah tuhan, sebagaimana keyakinan para penyemabha berhala terhadap berhala mereka. Jika tidak memiliki keyakinan demikian dan karena ia diperintahkan Allah untuk menjadikan mediator  maka tindakan ini berarti penyembahan terhadap yang memberi perintah.

    KISAH AL ‘UTBI DALAM TAWASSUL
    Al Imam Al Hafidh Al Syaikh ‘Imadu Al Din Ibnu Katsir mengatakan, “Sekelompok ulama, diantaranya Syaikh Abu Al Manshur Al Shabbagh dalam kitabnya Al Syaamil menuturkan sebuah kisah dari Al ‘Utbi yang mengatakan, “Saya sedang duduk di samping kuburan Nabi SAW. Lalu datanglah seorang A’rabi (penduduk pedalaman Arab) kepadanya, “Assalamu’alaika, wahai Rasulullah saya mendengar Allah berfirman :

    ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما

    Dan saya datang kepadamu untuk memohonkan ampunan atas dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Tuhanku.”  Kata A’rabi. Selanjutnya A’rabi tersebut mengumandangkan bait-bait syair :
    Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur di tanah datar
    Berkat keharumannya, tanah rata dan bukit semerbak mewangi
    Diriku jadi tebusan untuk kuburan yang Engkau tinggal di dalamnya
    Di dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan kedermawanan
    Kemudian A’rabi tadi pergi. Sesudah kepergiannya saya tertidur dan bermimpi bertemu Nabi SAW, “Kejarlah si A’rabi dan berilah kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
    Kisah ini diriwayatkan oleh Al Nawawi dalam kitabnya yang populer Al Idhaah pada bab VI hlm. 498. juga diriwayatkan oleh Al Hafidh ‘Imadu Al Din Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang masyhur ketika menafsirkan ayat :

    ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما

    Syaikh Abu Muhammad Ibnu Qudamah juga meriwayatkannya dalam kitabnya Al Mughni vol III hlm. 556. Syaikh Abu Al Faraj ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Syarh Al Kabir vol. III hlm. 495, dan Syaikh Manshur ibn Yunus Al Bahuti dalam kitabnya yang dikenal dengan nama Kasysyaafu Al Qinaa’ yang nota bene salah satu kitab paling populer dalam madzhab Hanbali vol. V hlm. 30 juga mengutip kisah dalam hadits di atas.
    Al Imam Al Qurthubi, pilar para mufassir menyebutkan sebuah kisah serupa dalam tafsirnya yang dikenal dengan nama Al Jaami’. Ia mengatakan, “Abu Shadiq meriwayatkan dari ‘Ali yang berkata, “Tiga hari setelah kami mengubur Rasulullah datang kepadaku seorang a’rabi. Ia merebahkan tubuhnya pada kuburan beliau dan menabur-naburkan tanah kuburan di atas kepalanya sambil berkata, “Engkau mengatakan, wahai Rasulullah !, maka kami mendengar sabdamu dan hafal apa yang dari Allah dan darimu. Dan salah satu ayat yang turun kepadamu  adalah :

    ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما

    Saya telah berbuat dzolim kepada diriku sendiri dan saya datang kepadamu untuk memohonkan ampunan untukku.” Kemudian dari arah kubur muncul suara : “Sesungguhnya engkau telah mendapat ampunan.” Tafsir Al Qurthubi vol. V hlm. 265.
    Kisah di atas adalah kisah Al ‘Utbi dan para ulama di muka lah yang telah mengutipnya . Baik kisah ini dikategorikan shahih atau dlo’if dari aspek sanad yang dijadikan pijakan para pakar hadits dalam menentukan hukum hadits apa saja, maka kami bertanya-tanya dan berkata : apakah para ulama di muka telah mengutip kekufuran dan kesesatan ? atau mengutip keterangan yang mendorong menuju penyembahan berhala dan kuburan ?.
    Jiuka faktanya memang demikian, lalu dimanakah kredibilitas mereka dan kitab-kitab karya mereka ? Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Aadhiim.

    BAIT-BAIT AL ‘UTBI ATAS JERUJI-JERUJI KUBURAN NABI SAW

    Dua bait yang disenandungkan oleh a’rabi dan diriwayatkan oleh Al ‘Utbi saat berkunjung kepada Nabi telah disebutkan di muka, yaitu :
    Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur di tanah datar
    Berkat keharumannya, tanah rata dan bukit semerbak mewangi
    Diriku jadi tebusan untuk kuburan yang Engkau tinggal di dalamnya
    Di dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan kedermawanan
    Berkat karunia Allah, bait-bait ini tertulis dalam almuwajjahah alnabawiyyah al syarifah pada tiang yang terletak antara jeruji kamar Nabi yang dapat dilihat oleh orang yang berada dalam jarak jauh atau dekat semenjak ratusan tahun silam sampai pada era almarhum raja ‘Abdul ‘Aziz, raja Sa’ud, raja Faishal, raja Khalid dan raja Fahd pemangku al haramaian al syarifain. Dan atas izin Allah, berdasarkan instruksi khadimul haramain tulisan itu akan tetap dilestarikan pada setiap yang tercantum di Masjid Nabawi dan tidak menghilangkan peninggalan apapun dari masa lalu.


    KESIMPULAN
    Kesimpulan dari paparan di atas adalah tidak disangsikan lagi bahwa Nabi MuuhanmSAW memiliki kedudukan yang tinggi dan derajat yang luhur di sisi Allah. Lalu, faktor syar’i atau logika apa yang menghalangi untuk bertawassul dengan beliau? Apalagi ada dalil-dalil yang menetapkan bolehnya bertawassul dengan beliau di dunia dan akhirat. Saat bertawassul kami tidak memohon kepada selain Allah dan tidak berdo’a kecuali kepada Nya. Kami memohon kepada Allah dengan perantaraan sesuatu yang dicintai Allah, apapun bentuknya. Suatu kali kami memohon kepada Allah dengan perantaraan amal shalih, karena Allah mencintainya. Dan dalam waktu yang lain kami memohon kepada-Nya dengan perantaraan makhluknya yang Dia cintai, sebagaimana dalam hadits tentang Nabi Adam yang telah disebutkan sebelumnya, hadits tentang Fathimah binti Asad yang telah kami sebutkan dan dalam hadits ‘Utsman ibn Hanif di muka. Adakalanya kami juga memohon kepada Allah dengan perantaraan asmaul husna, sebagaimana dalam sabda Nabi SAW : “Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan Engkau adalah Allah”, atau dengan sifat-Nya atau tindakan-Nya seperti dalam hadits lain : “Aku berlindung kepadamu dengan perantaraan ridlo-Mu dari murka-Mu dan dengan perantaraan keselamatan-Mu dari siksa-Mu.” Tawassul tidak terbatas pada  ruang sempit sebagaimana asumsi mereka yang keras kepala.
    Rahasia dari tawassul di atas adalah bahwa segala sesuatu yang dicintai Allah sah untuk dijadikan obyek tawassul. Demikian pula setiap orang yang dicintai Allah, baik Nabi atau wali. Hal ini adalah sesuatu yang jelas bagi setiap orang yang memiliki fitrah yang baik dan tidak bertentangan dengan logika serta nash. Justru akal dan nash saling memperkuat dalam membolehkan tawassul. Dalam seluruh tawassul di muka, yang diminta adalah Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bukan Nabi, wali, orang hidup atau orang mati.

    قل كل من عند الله فما لهؤلاء القوم لايكادون يفقهون حديثا

    Jika tawassul diperkenankan dengan amal shalih, lebih-lebih dengan Nabi SAW. Karena beliau adalah makhluk paling utama sedang amal shalih termasuk makhluk, dan kecintaan Allah kepada beliau lebih besar daripada kepada amal shalih dan yang lain. Sungguh aneh, faktor apa yang menghalangi tawassul dengan Nabi SAW sedang teks hadits tidak memberikan kesimpulan lebih dari bahwa Nabi SAW memiliki kedudukan di sisi Allah, dan orang yang melakukan tawassul tidak menghendaki kecuali pengertian seperti ini. barangsiapa mengingkari kedudukan Nabi SAW di sisi Allah, ia telah kafir sebagaimana kami kemukakan sebelumnya.
    Walhasil, persoalan tawassul mengindikasikan keluhuran dan kecintaan obyek yang dijadikan tawassul. Bertawassul dengan Nabi pada substansinya adalah karena keluhurannya di sisi Allah dan kecintaan Allah kepadanya. Hal ini adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi, di samping bahwa tawassul dengan amal shalih telah disepakati bersama. Maka mengapa kita tidak mengatakan bahwa orang yang bertawassul dengan para Nabi atau orang-orang shalih adalah bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang dicintai Allah, dan sungguh telah ada hadits tentang orang-orang yang terjebak dalam goa, sehingga dicapai titik temu dari dua pandangan yang berseberangan ?.
    Tidak disangsikan lagi bahwa orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih pada dasarnya bertawassul dengan mereka dari aspek bahwa mereka adalah orang shalih, sehingga pada akhirnya persoalan ini kembali kepada amal shalih yang disepakati boleh dijadikan obyek tawassul, sebagaimana saya kemukakan pada awal pembahasan masalah ini.

    SYUBHAT YANG DITOLAK
     Beberapa hadits dan atsar di atas semuanya menetapkan dan menguatkan adanya tawassul, maka jika dikatakan bahwa tawassul khusus pada saat beliau SAW masih hidup.
    Jawabanya adalah bahwa pengkhususan ini tidak memiliki argumentasi apalagi ruh yang memiliki perasaan, persepsi dan kesadaran, itu tetap ada.
    Dalam kaca mata madzhab Ahlissuna wal jama’ah mayit itu bisa mendengar, merasakan, memiliki kesadaran, memperoleh manfa’at dari kebaikan, bergembira, merasa sakit karena keburukan dan sedih. Hal ini berlaku untuk semua manusia. Karena itu pada saat perang Badar Nabi memanggil-manggil orang-orang kafir Quraisy yang di kubur di dalam sumur badar. “Wahai ‘Utbah, wahai Syaibah, wahai Rabi’ah !”teriak Nabi. “ Mengapa engkau memanggil manggil mereka yang telah menjadi bangkai? tanya sesorang. “Kalian tidak lebih mendengar dibanding mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab,” Jawab Nabi.
    Jika kondisi yang dialami mayat itu berlaku umum untuk semua manusia maka bagaimana dengan manusia paling utama, paling mulia dan paling agung ? tidak diragukan lagi bahwa beliau lebih sempurna perasaan dan persepsinya dan lebih kuat kesadaranya. Ditambah lagi terdapat penjelasan dalam banyak hadits bahwa Nabi mampu mendengar percakapan, menjawab salam, disampaikanya amal perbuatan umat kepada beliau dan bahwasanya beliau memohonkan ampunan atas dosa-dosa umat dan memuji Allah atas amal-amal baik mereka.
    Kualitas seseorang pada dasarnya terletak pada tingkat kesadaran, perasaan dan persepsinya, bukan pada hidupnnya. Karena itu kita melihat banyak orang hidup dicabut oleh Allah perasaan dan kesadaran kemanusiannya ditambah karakter yang bodoh dan minimnya perasaan, namun mereka tidak bisa diambil manfaat malah mereka berada dalam barisan orang-orang mati.

    ANGGAPAN SEBAGIAN ORANG BODOH BAHWA NABI SAW TIDAK BISA MENDENGAR PERKATAAN KITA, TTIDAK BISA MELIHAT KITA DAN TIDAK MENGENAL KITA

    Diantara orang-orang yang mirip orang mati adalah mereka yang menganggap bahwa Nabi SAW tidak bisa mendengar, melihat, mengenali kita dan tidak mendoakan kita kepada Allah. Kelancangan apakah yang melebihi anggapan ini ? dan kebodohan apakah yang lebih buruk dari anggapan ini ? disamping merupakan tindakan tidak bermoral dan merendahkan kedudukan  beliau SAW. Sungguh banyak hadits dan atsar yang saling menguatkan yang menetapkan bahwa mayit bisa mendengar, merasakan dan mengenal. Baik mayit itu mu’min atau kafir.
    Dalam kitab Al Ruh, Ibnu Al Qayyim menyatakan bahwa ulama salaf telah menetapkan konsensus akan hal ini dan telah mutawatir atsar yang bersumber dari mereka.
    Ibnu Taimiyyah ditanya mengenai masalah ini kemudian beliau mengeluarkan fatwa yang berisi penguatan terhadap keterangan bahwa mayit bisa mendengar dan merasakan. (Lihat Al Fataawaa vol. 2 hlm 331 dan 362).
    Jika kondisi di atas bisa dialami oleh manusia biasa, maka apa pendapatmu dengan kaum mu’minin secara umum, hamba-hamba Allah yang shalih dan junjungan generasi awal dan akhir, Muhammad SAW ?. Kami telah menjelaskan hal ini dalam kajian khusus dalam kitab kami yang bernama Al Hayaatu al Barzakhiyyatu Hayaatun Haqiiqiyyatun dengan  judul Hayaatun Khaashshatun bi Al Nabiyyi.

    DAFTAR NAMA PARA IMAM YANG MEMPRAKTEKKAN TAWASSUL

    Di sini kami akan menyebutkan para imam besar dan pakar hadits paling populer yang berpendapat diperbolehkannya tawassul atau yang mengutip dalil-dalil tawassul.
    1.    Al Imam Al Hafidh Abu ‘Abdillah Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak ‘ala al Shahihain, yang telah menyebutkan hadits mengenai tawassul Adam dengan Nabi Muhammad dan menilai hadits itu shahih.
    2.    Al Imam Al Hafidh Abu Bakar al Baihaqi dalam kitabnya Dalaa’ilu al Nubuwwah, yang telah menyebutkan hadits mengenai tawassul Adam dan yang lain.  Al Baihaqi memiilki komitmen untuk tidak meriwayatkan hadits maudlu’ (palsu).
    3.    Al Imam Al Hafidh Jalaaluddin Al Suyuthi dalam kitabnya Al Khashaaish Al Kubraa, yang telah menyebutkan hadits tentang tawassul Adam.
    4.    Al Imam Al Hafidh Abu al Faraj ibn al Jauzi dalam kitabnya  Al Wafaa’, yang telah menyebutkan hadits tawassul Adam dan hadits lain.
    5.    Al Imam Al Hafidh Qadli ‘Iyaadl dalam kitabnya Al Syifaa’ bi Ta’riifii huquuqi al Mushthafaa, yang telah menyebutkan banyak hadits tentang tawassul dalam bab Al Ziaarah dan bab Fadhlu al Nabiyyi.
    6.    Al Imam Al Syaikh Nuruddin Al Qaari yang populer dengan nama Malaa ‘Ali Qari dalam kitab syarhnya terhadap  kitab Al Syifaa’ pada bab-bab di atas.
    7.    Al ‘Allamah Ahmad Syihabuddin Al Khafaji dalam kitab syarhnya atas Al Syifaa’ yang bernama Nasiimurriyaadl pada bab-bab di atas.
    8.    Al Imam Al Hafidh Al Qasthalani dalam kitabnya Al Mawaahib Al Laadunniyyah pada almaqshid al awwal.
    9.    Al ‘Allamah Al Syaikh ‘Abdul Baaqi AL Zurqaani dalam kitab syarhnya atas Al Mawaahib vol. I hlm. 44.
    10.    Al Imam Syaikul Islam Abu Zakaria Yahya Al Nawawi dalam kitabnya Al Iidhah pada al bab al saadis hlm. 498.
    11.    Al ‘Allamah Ibnu Hajar Al Haitami dalam hasyiahnya atas kitab Al Iidlah hlm. 499.  Beliau  juga memiliki risalah khusus dalam bab ini yang diberi nama Al Jauhar Al Munadhdham.
    12.    Al Hafidh Syihabuddin Muhammad ibn Muhammad ibn Al Jazari Al Dimasyqi dalam kitabnya  ‘Uddatul Hishnil Hashiin dalam Fadhluddu’a.
    13.    Al ‘Allamah Al Imam Muhammad ibn ‘Ali Al Syaukani dalam kitabnya Tuhfatu al Dzaakiriin hlm. 161.
    14.    Al ‘Allamah Al Imam Al Muhaddits ‘Ali ibn ‘Abdul Kaafi Al Subki dalam kitabnya Syifaau al Saqaam fi Ziaarati Khairil Anaam.
    15.    Al Hafidh ‘Imaduddin Ibnu Katsir dalam menafsirkan :  

    ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما


    Ia menyebutkan kisah Al ‘Utbi beserta a’rabi  yang datang berziarah dengan niat memohon syafaat dengan Nabi SAW dan Al ‘Utbi tidak menentangnya sama sekali. Juga menyebutkan kisah tawassul Adam dengan Nabi SAW dalam Al Bidayah wa Al Nihayah dan tidak memvonisnya sebagai hadits palsu. Vol III hlm. 180.
    Ibnu Katsir juga menyebutkan kisah seorang lelaki yang datang ke kuburan Nabi untuk bertawassul dengannya. “Isnad kisah ini adalah shahih,” komentar Ibnu Katsir. Ibnu Katsir juga menuturkan bahwa slogan kaum muslimin adalah  YAA MUHAMMADAAH . vol. VI hlm. 324
    16.    Al Imam Al Hafidh Ibnu Hajar yang menyebutkan kisah seorang laki-laki yang datang ke kuburan Nabi dan bertawassul dengannya. Ibnu Hajar menilai shahih sanad hadits ini dalam Fathu al Baari vol. II hlm. 495.
    17.    Al Imam Al Mufassir Abu ‘Abdillah Al Qurthubi dalam menafsirkan :

    ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما

    Vol. V hlm. 265

    PARA SAHABAT MEMOHON SYAFA’AT KEPADA NABI SAW
    Sebagian golongan Wahabi beranggapan bahwa memohon syafa’at kepada Nabi Saw di dunia tidak diperbolehkan. Bahkan sebagian dari mereka yang keras kepala mengganggap bahwa hal itu merupakan tindakan syirik dan sesat dengan menggunakan argumentasi firman Allah :

    قل لله الشفاعة جميعا

    Argumentasi ini adalah sebuah kekeliruan yang mengindikasikan pemahaman mereka yang salah. Kekeliruan ini bisa dilihat dari 2 aspek :
    Pertama, tidak ditemukan ada nash baik dari Al Qur’an maupun Al Sunnah yang melarang memohon syafa’at kepada Nabi SAW.
    Kedua, ayat di atas tidak menunjukkan larangan memohon syafa’at kepada Nabi. Justru layaknya ayat-ayat yang menjelaskan kekhususan Allah terhadap sesuatu yang dimiliki-Nya semata yang tidak dimiliki selain-Nya, ayat ini bermakna bahwa Allah adalah Dzat yang mengaturnya.  Pengertian ini tidak menafikan bahwa Allah memberinya kepada siapa yang dikehendaki. Dia adalah pemilik kekuasaan yang bebas memberikan dan mencabut kekuasaan dari siapa yang dikehendaki. Persis dengan ayat di atas adalah ayat :

    له الملك وله الحمد

    Allah mensifati diri-Nya dengan pemilik kekuasaan padahal ada ayat :

    تؤتي الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء  من كان يريد العزة فلله العزة جميعا  ولله العزة ولرسوله وللمؤمنين قل لله الشفاعة جميعا

    لايملكون الشفاعة إلا من اتخذ عند الرحمن عهدا ولايملك الذين يدعون من دونه الشفاعة إلا من شهد بالحق وهم يعلمون

    Sebagaimana Allah SWT bebas memberi sesuatu kepada yang dikehendaki dan menjadikan sebagian kemuliaan (‘izzah) yang merupakan milik-Nya diberikan kepada Rasulullah dan kaum mu’minin, demikian pula syafa’at yang seluruhnya milik Allah namun Dia memberikannya kepada para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang shalih, malah diberikan juga kepada banyak kaum mukminin dari kalangan awam sebagaimana diungkapkan oleh beberapa hadits shahih yang secara makna dikategorikan mutawatir.
    Dosa apakah yang diterima jika seseorang memohon kepada pemilik, sebagian miliknya, apalagi jika yang diminta adalah orang dermawan dan yang meminta sangat membutuhkan apa yang diinginkan? Syafaat tidak lain hanyalah do’a dan do’a adalah sesuatu yang legal, mampu dikerjakan, dan diterima. Apalagi do’a para Nabi dan orang-orang shalih pada saat masih hidup dan sesudah mati di dalam kubur dan hari kiamat. Syafa’at diberikan kepada orang yang mengambil komitmen iman di sisi Allah dan diterima oleh Allah dari setiap orang yang mati mengesakan-Nya.
    Adalah fakta bahwa sebagian sahabat memohon syafaat kepada Nabi dan beliau tidak mengatakan, “Memohon syafaat dariku adalah tindakan syirik. Carilah syafaat dari Allah dan jangan engkau sekutukan Tuhanmu dengan siapapun.”
    Anas ibn Malik mengatakan, “Wahai Nabi Allah, berilah aku syafaat di hari kiamat. “Insya Allah aku akan melakukannya,” jawab Nabi. HR Turmudzi dalam Al Sunan dan mengkategorikannya sebagai hadits hasan dalam  Babu Maa Jaa’a fi Shifati al-Shiraathi. Demikian pula sahabat lain selain Anas, mereka memohon syafaat kepada Nabi SAW.
    Sawaad ibn Qaarib mengucapkan syair di hadapan Nabi SAW :
    Aku bersaksi, sungguh tiada Tuhan selain Allah
    Dan engkau dapat dipercaya atas semua hal ghaib
    Engkau rasul paling dekat untuk dijadikan wasilah
    kepada Allah, wahai putra orang-orang mulia nan baik
    sampai tiba pada :
    Jadilah engkau pemberi syafaat pada hari dimana
    pemberi syafaat tidak mencukupi Sawad ibn Qaarib.
    Hadits di atas ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Al Dalaailu al Nubuwwah dan Ibnu ‘Abdil Baarr dalam Al Istii’aab. Dalam Fathul Baari syarh Shahih Al Bukhari vol. VII hlm. 180 pada Baabu Islaami ‘Umar RA, Ibnu Hajar juga menyebutkannya. Rasulullah menetapkan perkataan Sawad dan tidak mengingkari permintaan syafaat dari dirinya.
    Mazin ibn Al ‘Adlub juga memohon syafaat kepada Rasulullah ketika datang untuk memeluk Islam dan mengucapkan :
    Kepadamu, wahai Rasulullah, untaku lari
    Melintasi padang sahara dari Oman hingga ‘Arj
    Agar engkau memberiku syafa’at, wahai sebaik-baik orang yang menginjak kerikil
    Hingga akhirnya Tuhan mengampuniku dan aku pergi membawa kemenangan. (HR. Abu Nu’aim dalam Dalaailu Al Nubuwwah).
    ‘Ukasyah ibn Mihshan juga meminta syafa’at kepada Rasulullah ketika beliau menyebutkan ada 70.000 orang yang masuk sorga tanpa proses hisab. “Do’akan aku agar termasuk salah satu dari mereka,” pinta ‘Ukasyah. “Engkau termasuk mereka,” jawab beliau spontan.
    Sudah maklum bahwa siapapun tidak akan meraih prestasi masuk sorga tanpa proses hisab kecuali setelah mendapat syafaat agung beliau untuk mereka yang tinggal di padang mahsyar, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits mutawatir. Permintaan ‘Ukasyah ini mengandung pengertian memohon syafa’at.
    Hadits-hadits yang satu tema dengan hadits ‘Ukasyah banyak jumlahnya dalam kitab-kitab hadits. Dimana seluruhnya menunjukkan diperbolehkannya memohon syafa’at kepada Nabi SAW di dunia. Sebagian orang ada yang memohon dengan menunjukkan dirinya dengan mengatakan, “Berilah aku syafa’at”, ada yang memohon masuk sorga, meminta termasuk rombongan pertama yang masuk sorga, atau memohon termasuk golongan mereka yang bisa mendatangi telaga Nabi, memohon menemani beliau di sorga sebagaimana terjadi pada Rabi’ah Al Aslami saat mengatakan, “Saya mohon kepadamu untuk menemanimu di sorga.” Nabi lalu menunjukkan jalan untuk menempuhnya. “Bantulah dirimu sendiri dengan memperbanyak sholat,” saran beliau.” Beliau tidak mengatakan kepada Rabi’ah dan yang lain dari orang-orang meminta masuk sorga, meminta bersama beliau, atau berharap agar termasuk penghuni sorga, termasuk mereka yang mendatangi telaga, atau termasuk yang mendapatkan ampunan, “Tindakan ini (memohon hal-hal di atas kepada beliau) haram, permohonan tidak bisa diajukan sekarang, waktu memohon syafaat belum tiba, tunggulah sampai datang izin Allah untuk memberi syafaat, atau masuk sorga,  atau minum dari telaga. Padahal semua permohonan tersebut tidak tidak akan terjadi kecuali pasca syafaat agung. Semua permohonan di atas mengandung arti memohon syafaat dan Nabi pribadi memberi kabar gembira akan adanya syafaat tersebut serta menjanjikan mereka dengan sesuatu yang memuaskan mereka. Sangat tidak mungkin bila memohon syafaat itu dilarang lalu beliau SAW tidak menjelaskan kepada mereka status hukumnya menghormati atau menyenangkan mereka padahal beliau adalah sosok yang tidak takut akan kecaman dalam membela kebenaran. Beliau hanya memuaskan orang dengan sesuatu yang masih dalam lingkaran kebenaran dan bersumber dari dasar agama serta jauh dari kebatilan dan kemunafikan.
    Jika memohon syafa’at kepada Nabi di dunia sebelum akhirat itu sah maksudnya adalah bahwa orang yang memohon syafa’at akan memperolehnya secara hakiki di tempatnya pada hari kiamat dan sesudah Allah mengizinkan kepada orang yang memberi syafa’at untuk memberikanya. Bukan berarti ia mendapatkan syafa’at di dunia ini sebelum waktunya.
    Hadits di atas  sesungguhnya adalah sejenis kabar gembira dari Nabi untuk masuk surga bagi banyak kaum mukminin. Karena  makna hadits tersebut adalah bahwa mereka bakal masuk surga pada hari kiamat dan setelah dijinkan oleh Allah pada waktu yang telah ditentukan. Bukan berarti mereka akan masuk surga di dunia atau alam barzah. Saya tidak menduga bahwa orang berakal dari golongan muslimin yang awam  meyakini sebaliknya pengertian hadits tersebut.
    Apabila memohon syafa’at kepada Nabi di dunia pada saat beliau masih hidup itu sah, maka kami nyatakan bahwa tidak apa-apa memohon syafa’at kepada Nabi sepeninggal beliau, berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan oleh ahlussunnah wal jama’ah yang menyatakan bahwa para Nabi hidup dengan kehidupan barzah. Dan Nabi kita Muhammad SAW adalah Nabi paling sempurna dan paling agung dalam hal ini. Karena beliau mampu mendengar pembicaraan, amal perbuatan ummat disampaikan kepadanya, memohonkan ampuan buat mereka, memuji Allah, dan sampainya shalawat orang yang menyampaikannya kepada beliau meskipun ia berada jauh di ujung dunia, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang dikategorikan shahih oleh sekelompok huffadz (pakar hadits) yaitu :

    حياتي خيؤ لكم تحدثون ويحدث لكم ومماتي خير لكم تعرض أعمالكم علي فإن وجدت خيرا حمدت الله وإن وجدت شرا استغفرت الله لكم .

    Hidupku lebih baik untuk kalian. Kalian bisa berbicara dan mendengar pembicaraan. Dan kematianku lebih baik buat kalian. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan amal baik maka aku memuji Allah dan bila menemukan amal buruk aku memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian.
    Hadits ini dinilai shahih oleh sekelompok huffadz yaitu Al ‘Iraqi, Al Haitsami, Al Qasthalani, Al Suyuthi, dan Isma’il Al Qadhi. Takhrij hadits ini telah kami paparkan dengan detail bukan hanya di sini.
    Jika Nabi SAW dimohon syafaat maka beliau mampu untuk berdo’a dan memohon kepada Allah sebagaimana beliau melakukan hal ini saat masih hidup. Selanjutnya seorang hamba akan mendapat syafaat tersebut di tempatnya setelah diizinkan Allah. Sebagaimana sorga dapat diperoleh oleh orang yang Nabi mengkhabarkannya di dunia. Pada waktunya orang ini dapat memperoleh sorga setelah mendapat izin Allah untuk masuk sorga. Masalah masuk sorga dan mendapat syafaat adalah persoalan yang sama. Diperkenankannya memohon syafaat kepada Nabi SAW di dunia dan akhirat adalah keyakinan kami dan menjadi keteguhan hati kami.

    INTERPRETASI IBNU TAIMIYYAH TERHADAP  AYAT-AYAT YANG MENERANGKAN SYAFAAT
    Ibnu Taimiyyah membolehkan memohon syafaat kepada beliau di dunia
    Dalam Al Fataawaa, Ibnu Taimiyyah mampu memberikan analisa yang baik terhadap ayat-ayat yang berisi larangan syafaat, tidak mendapat manfaat dengannya, dan larangan untuk memintanya. Padahal ayat-ayat ini adalah yang dijadikan argumentasi oleh sebagian golongan Wahabi dalam melarang meminta syafaat kepada Nabi di dunia.
    Dari analisa Ibnu Taimiyyah terhadap makna dari ayat-ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa berargumentasi dengan menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai dasar dari pandangan-pandangan sebagian golongan Wahhabi adalah argumentasi yang salah tempat dan merupakan upaya merubah ayat dari tempatnya.
    Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa mereka yang mengingkari (Mu’tazilah) syafaat berargumentasi dengan firman Allah :

    واتقوا يوما لاتجزي نفس عن نفس شيئا ولايقبل منها شفاعة ولايؤخذ منها عدل  ولايؤخذ منها عدل ولاتنفعها شفاعة  ما للظالمين من حميم ولاشفيع يطاع  فما تنفعهم شفاعة الشافعين

    Jawaban dari ahlussunnah waljama’ah adalah bahwa ayat-ayat di atas mengandung dua pengertian :
    Pertama, syafaat tidak bisa dimanfaatkan oleh kaum musyrikin sebagaimana firman Allah :

    ما سلككم في سقر قالوا لم نك من المصلين ولم نك نطعم المسكين وكنا نخوض مع الخائضين وكنا نكذب بيوم الدين حتى أتانا اليقين فما تنفعهم شفاعة الشافعين .

    Mereka tidak mendapat manfaat dari syafaat orang-orang yang memberi syafaat sebab mereka adalah orang-orang kafir.
    Kedua, ayat-ayat di atas menolak syafaat dalam versi orang-orang musyrik dan golongan sejenis dari kalangan ahli bid’ah, baik golongan ahlul kitab maupun kaum muslimin yang menganggap bahwa makhluk memiliki kemampuan memberi syafaat tanpa izin Allah, sebagaimana manusia saling memberi syafaat kepada yang lain, akhirnya yang dimintai syafaat menerima syafaatnya yang memberi syafaat karena ia membutuhkannya baik karena suka atau takut, dan sebagaimana makhluk bergaul dengan sesamanya dengan hubungan timbal balik.
    Orang-orang musyrik menjadikan selain Allah dari malaikat, para Nabi dan orang-orang shalih sebagai pemberi syafaat dan mereka membuat patung-patung selain Allah itu lalu memohon syafaat kepadanya seraya berkata, “Mereka ini adalah hamba-hamba Allah yang khusus.”
    Saya katakan : Keterangan di atas adalah pandangan Ibnu Taimiyyah yang ditulis sesuai dengan teks aslinya. Dari pandangan beliau ini, tampak jelas esensi dari ayat-ayat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang menolak memohon syafaat dari Nabi SAW di dunia atau mereka yang menyatakan bahwa memohon syafaat kepada beliau adalah tindakan syirik dan sesat.
    Ringkasan dari pandangan Ibnu Taimiyyah adalah sbb :
    Bahwa yang dimaksud dengan  ayat-ayat di atas adalah bahwa syafaat tidak berguna bagi orang musyrik. Berarti ayat-ayat itu turun dalam konteks ini. atau yang dimaksud adalah menafikan syafaat yang didefinisikan oleh orang-orang musyrik. Yaitu bahwa pemberi syafaat memiliki syafaat tanpa seizin Allah. Pandangan syaikh Ibnu Taimiyyah, berkat karunia Allah, adalah pendapat yang saya yakini. Saya katakan bahwa orang yang memohon syafaat kepada Nabi SAW jika meyakini atau menganggap bahwa Nabi mampu memberi syafaat tanpa seizin Allah maka saya yakin ia telah melakukan tindakan syirik dan sesat. Tetapi sungguh mustahil jika saya meyakini hal ini dan saya berlepas tangan kepada Allah akan hal itu.
    Ketika saya memohon syafaat maka kami meyakini sepenuhnya bahwa tidak seorang pun mampu memberi syafaat tanpa seizin Allah dan tidak ada sesuatu terjadi kecuali berkat ridlo dan pertolongan Allah.
    Memohon syafaat sama dengan minta masuk sorga, minta minum dari telaga yang dikunjungi  dan meminta selamat ketika melewati titian (shirath) yang semuanya tidak mungkin tercapai tanpa seizin Allah dan pada waktu yang telah ditakdirkan oleh Allah. Apakah orang yang berakal ragu akan hal ini atau pelajar ilmu agama paling yunior yang memiliki sedikit pengetahuan atau mampu sedikit membaca kitab-kitab salaf kabur akan hal ini ?.
    YA ALLAH BUKALAH TELINGA HATI KAMI DAN SINARILAH MATA HATI KAMI

    إياك نعبد وإياك نستعين

    HANYA KEPADAMU KAMI MENYEMBAH  DAN HANYA KEPADAMU KAMI MOHON PERTOLONGAN

    Kami meyakini dengan sepenuh hati bahwa pada dasarnya dalam hal memohon pertolongan, meminta, memanggil, dan memohon seluruhnya kepada Allah SWT. Dialah Dzat yang memberi pertolongan, bantuan dan yang mengabulkannya.
    Allah berfirman :

    ولاتدع من دون الله ما لاينفعك ولايضرك فإن فعلت فإنك إذا من الظالمين وإن يمسسك الله بضر فلا كاشف له إلا هو .  فابتغوا عند الله الرزق واعبدوه ومن أضل ممن يدعو من دون الله من لايستجيث له إلى يوم القيامة  أمن يجيب المضطر إذا دعاه ويكشف السوء

    Ibadah dalam segala variasinya harus diarahkan kepada Allah semata. Tidak boleh ada sedikitpun yang diarahkan kepada selain Allah, siapapun ia.

    قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا من المسلمين

    Nadzar, do’a, menyembelih binatang, memohon pertolongan, memohon perlindungan, memohon bantuan, bersumpah semua hanya boleh diarahkan karena dan kepada Allah. Dan kepasrahan juga hanya kepada-Nya. Maha suci dan maha tinggi Allah dari segala apa yang dipersekutukan orang-orang msuyrik.
    Kami meyakini bahwa Allah adalah pencipta makhluk dan segala aktivitas mereka. Tidak ada selain Allah yang bisa memberikan pengaruh, baik yang hidup atau mati. Siapapun tidak bisa turut andil bersama Allah dalam bertindak, meninggalkan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Tidak ada satu pun makhluk mampu untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu secara independen tanpa seizin Allah atau mampu berpartisipasi bersama Allah atau taraf yang lebih rendah dari berpartisipasi.
    Pengatur alam semesta cuma  Allah SWT. Siapapun tidak dapat memiliki sesuatu kecuali jika diberi Allah dan diizinkan untuk mengaturnya. Seseorang tidak memiliki kemampuan memberi manfaat, bahaya, kematian, kehidupan dan kebangkitan untuk dirinya apalagi orang lain kecuali apa yang telah dikehendaki Allah atas izin-Nya. Berarti, memberi manfaat dan bahaya diberi batasan dengan ketentuan ini. Hal-hal di atas bisa dikaitkan terhadap makhluk dari aspek sebagai penyebab dan pelaku bukan dari aspek penciptaan, pembuatan, faktor atau pemberi kekuatan. Kaitan ini bersifat majazi bukan kaitan sesungguhnya. Namun manusia berbeda-beda dalam mengungkapkan hal-hal ini. Sebagian berlebihan dalam penggunaan majaz hingga jatuh dalam kekaburan lafadh yang ia bersih darinya dan hatinya tetap selamat dan mantap dalam kesempurnaan tauhid dan pensucian terhadap Allah.
    Sebagian orang ada yang berpegang teguh dengan pengertian hakiki, secara ekstrim sampai keluar dari batas moderat ke taraf mempersulit dan memperberat serta bersikap buruk kepada manusia dengan memperlakukan mereka berlawanan dengan keyakinannya dan mengarahkan ucapannya di luar kehendaknya, memaksanya dengan sesuatu yang tidak diinginkannya, dan memvonisnya dengan sesuatu yang mereka bersih darinya. Seharusnya sikap moderat dan menjauhi tindakan ekstrim wajib ditampilkan, karena sikap semcam ini lebih menyelamatkan agama dan lebih berhati-hati dalam melindungi kedudukan tauhid. Waallu a’lam.
    Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan ringkasan yang singkat dan berguna dalam menjelaskan hal-hal yang spesifik buat Allah, yang isinya persis dengan apa yang kita yakini dan kita beragama kepada Allah dengannya. Karena akidah kita adalah akidah salaf dan jalan yang kita tempuh adalah jalan Muhammad, dan kami mengatakan apa yang diucapkan oleh Ibnu Taimiyyah.
    Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa Allah telah menjadikan hak untuk dirinya yang tidak bisa dipersekutukan oleh makhluk. Ibadah dan berdoa tidak layak kecuali kepada Allah, tawakkal hanya kepada-Nya, cinta dan takut hanya kepada-Nya, tidak ada tempat berlindung dan tempat selamat kecuali kepada-Nya, tidak ada yang memberikan kebaikan dan meniadakan keburukan kecuali Dia, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali berkat Allah.

    ولاتنفع الشفاعة عنده إلا لمن أذن له  من ذا الذي يشفع عنده إلا بإذنه  إن كل من في السموات والأرض إلا آتي الرحمن عبدا ، لقد أحصاهم وعدهم عدا ، وكلهم آتيه يوم القيامة فردا ومن يطع الله ورسوله ويخش الله ويتقه فأولئك هم الفائزون

    Allah menjadikan taat hanya kepadanya dan takut serta takwa juga hanya kepadanya semata. Demikian pula dalam firman Allah :

    ولو أنهم رضوا ما آتاهم الله ورسوله وقالوا حسبنا الله سيؤتينا الله من فضله ورسوله إنا إلى الله راغبون

    Memberi bisa dari Allah dan Rasul, tetapi kalau tawakkal maka hanya kepada Allah semata dan cinta juga hanya kepada-Nya semata.
    Demikian kutipan dari Al Fataawaa vol. XI hlm. 98.

    MEMOHON PERTOLONGAN DAN PERMINTAAN KEPADA NABI SAW
    Di muka telah kami sebutkan bahwa kami meyakini dengan sepenuhnya bahwa pada dasarnya dalam memohon pertolongan, meminta, memanggil dan memohon hanya pada Allah semata. Dialah Dzat yang memberikan pertolongan, bantuan dan yang mengabulkan. Allah berfirman :
    وقال ربكم ادعوني أستجب لكم
    Siapapun yang memohon pertolongan kepada makhluk, memohon bantuan kepadanya, memanggilnya atau memohon dan meminta kepadanya baik makhluk itu masih hidup atau sudah mati dengan meyakini bahwa makhluk itu sendiri secara independen bisa memberi manfaat dan bahaya tanpa izin Allah berarti ia telah musyrik. Namun Allah memperbolehkan makhluk untuk saling memohon pertolongan dan bantuan. Allah juga menyuruh orang yang diminta pertolongan untuk memberikan pertolongan, orang yang diminta bantuan untuk memberikan bantuan dan orang yang dipanggil untuk mengabulkan. Hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini sangat banyak, yang seluruhnya menunjukkan membantu orang yang menderita, menolong orang yang membutuhkan, dan menghilangkan kesusahan. Dan Nabi SAW adalah figur paling agung yang menjadi media untuk memohon pertolongan kepada Allah dalam menghilangkan kesusahan dan memenuhi kebutuhan.
    Penderitaan apakah yang melebihi penderitaan di hari kiamat, saat berada di mahsyar dalam waktu lama, berdesak-desakan, suhu sangat panas dan keringat menyelimuti orang yang dikehendaki Allah. Dalam situasi yang sangat berat semua manusia memohon pertolongan kepada Allah lewat makhluk terbaik-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Ketika mereka dalam situasi sangat menderita di hari kiamat, mereka memohon bentuan kepada Adam..dst.” Dalam hadits ini beliau menggunakan kata istighotsah (memohon bantuan). Dalam shahih Al Bukhari juga menggunakan kata yang sama.
     Para sahabat memohon pertolongan dan bantuan kepada Nabi SAW,  memohon syafaat kepada beliau dan mengadukan kondisi mereka dari kefakiran, penyakit, musibah, hutang dan kegagalan kepada beliau. Mereka juga mendatangi beliau ketika ditimpa kesengsaraan dan memohon kepada beliau dengan tetap meyakini bahwa beliau cuma mediator dan penyebab dalam memberi manfaat dan bahaya sedang pelaku sejati adalah Allah SWT. 


    ABU HURAIRAH RA MENGADUKAN LUPA
    Al Bukhari dan perawi lain meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia mengadu kepada Nabi SAW karena lupa terhadap hadits yang ia dengar dari beliau, sedang ia ingin penyakit lupa itu hilang. “Wahai Rasulullah, saya mendengar banyak hadits darimu namun saya lupa. Saya ingin lupa ini hilang,” Abu Hurairah mengadu. “Bentangkan selendangmu,” perintah beliau. Lalu Abu Hurirah membentangkan selendangnya dan beliau mengambil udara dengan tanggannya dan meletakkannya pada selendang tersebut kemudian bersabda, “Lipatlah selendangmu!” Lalu Abu Hurairah melipat selendangnya. “Sesudah peristiwa itu saya tidak pernah mengalami lupa,” ucap Abu Hurairah. HR Al Bukhari dalam Kitabu Al ‘Ilmi Babu Hifdhi Al ‘Ilm hadits : 119.
    Abu Hurairah meminta kepada Nabi SAW untuk tidak melupakan apapun padahal permintaan ini termasuk sesuatu yang hanya mampu dikerjakan oleh Allah. Dan beliau tidak ingkar kepada Abu Hurairah serta tidak menuduhnya telah melakukan tindakan syirik, karena setiap orang mengetahui bahwa orang yang mengesakan Allah jika memohon kepada figur-figur yang memiliki kedudukan di sisi-Nya maka ia tidak menghendaki mereka menciptakan sesuatu dan tidak meyakini mereka mampu melakukannya. Ia hanya menginginkan mereka menjadi sebab baginya dengan sesuatu yang Allah memberikan kemampuan kepada mereka dari do’a dan tindakan yang dikehendaki Allah.
    Coba Anda lihat Rasulullah SAW mengabulkan permintaan Abu Hurairah. Dalam kisah di atas, tidak ada keterangan beliau mendo’akan Abu Hurairah. Beliau hanya mengambil udara dan menjatuhkannya pada selendang Abu Hurairah. Beliau menyuruh Abu Hurairah untuk menempelkan selendang ke dadanya. Dan berkat karunia Allah, Dia menjadikan apa yang dilakukan beliau sebagai sebab terkabulkannya keinginan Abu Hurairah
    Demikian pula beliau tidak pernah mengatakan kepada Abu Hurairah : Mengapa engkau meminta kepadaku padahal Allah lebih dekat kepadamu daripada aku?. Karena hal yang sudah dimaklumi oleh siapapun bahwa yang dijadikan sandaran dalam pemenuhan kebutuhan dari Dzat yang di tangan-Nya kunci-kunci semua urusan hanyalah faktor kedekatan pemohon dengan Allah dan kesempurnaan kedudukannya di sisi Allah.
     

    QOTADAH RA MEMINTA PERTOLONGAN KEPADA NABI UNTUK MENYEMBUHKAN MATANYA

    Adalah fakta bahwa Qotadah ibnu an Nu’man mengalami kecelakakaan pada matanya hingga kornea matannya keluar ke pipinya. Para sahabat hendak memutus kornea mata tersebut, namun Qotadah menolak. “Tidak, sampai saya minta ijin kepada Rasulullah,” ucap Qotadah. Lalu Qotadah meminta ijin kepada beliau. “Jangan ! “kata beliau. Kemudian beliau meletakkan telapak tangan beliau pada kornea mata Qotadah, lalu menekan masuk hingga normal kembali seperti kondisi sebelumnya. Mata yang sakit itu menjadi yang paling sehat dari kedua mata Qotadah.
    Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baghawi, Abu Ya’la, Ad Daruqutni, Ibnu Syahin dan Al Bsihaqi dalam kitab Ad Dalail. Juga dikutip oleh Al Hafidzh Ibnu Hajar dalam Al Ishobah (vol. 3 hal. 225), Al Hafidh Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (vol. 4 hal. 297)dan Al Hafidh As Suyuthi dalam Akhashaish Al Kubra.
    Sahabat Lain memohon pertolongan Nabi SAW untuk menghilangkan bisul
    Dari Muhammad  ibn ‘Uqbah ibn Syurahbil dari kakeknya, ‘Abdurrahman , dari ayahnya, ia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah SAW dan pada telapak tanganku tumbuh bisul. “Wahai Nabi Allah, “kataku, “bisul ini telah membuatku sakit. Ia menjadi penghalang antara diriku dan gagang pedang untuk memegangnya dan dari tali kekang kendaraan. “Kemarilah, “kata beliau. “Saya pun mendekati beliau, “kata sang ayah, “lalu beliau membuka telapak tanganku dan telapak tanganku pun ditiupnya. Kemudian beliau meletakkan tangannya di atas bisul seraya memutar-mutarnya sehingga bisul itu hilang tak berbekas.” HR. Al Thabarani dan disebutkan oleh Al Hafidh Al Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid vol. VIII. Al Sil’ah adalah bisul yang tumbuh di bawah kulit.

    MU’ADZ RA MEMOHON KEPADA NABI AGAR MENORMALKAN TANGANNYA
    Di tengah berkecamuknya perang Badar, ‘Ikrimah ibn Abi Jahal memukul pundak Mu’adz ibn ‘Amr ibn Al Jamuh. “’Ikrimah memukul tanganku hingga menjuntai melekat pada kulit lambung dan peperangan membuatku jauh darinya. Sungguh saya telah berperang sepanjang hari dan saya menyeret tangan saya di belakang. Saat tangan ini membuatku sakit saya letakkan telapak kaki di atasnya dan berjalan di atasnya hingga saya membuangnya.
    Dalam Al Mawaahib, …………… berkata, “Mu’adz ibn ‘Amr membawa tangannya – yang dipukul oleh ‘Ikrimah – menghadap Rasulullah, sebagaimana disebutkan oleh Al Qadli ‘Iyadl dari ibn Wahb. Lalu beliau SAW meludahi tangan Mu’adz hingga akhirnya melekat kembali.
    Kisah ini disebutkan oleh Al Zurqani dan ia mengisnadkannya pada Ibnu Ishaq. Dari jalur periwayatannya ada Al Hakim.

    MEMOHON PERTOLONGAN DAN BANTUAN KEPADA ALLAH LEWAT NABI DALAM MENGATASI MUSIBAH

    Nash-nash valid yang mutawatir menyatakan bahwa para sahabat jika mengalami paceklik dan hujan tidak lagi turun mereka datang kepada Rasulullah seraya memohon syafaat, bertawassul, meminta dan memohon bantuan lewat beliau kepada Allah. Mereka menjelaskan kondisi yang dialami dan mengadukan musibah serta penderitaan yang menimpa mereka.
    Seorang a’rabi memanggil Rasulullah saat beliau berkhutbah pada hari Jum’at, “Wahai Rasulullah, harta benda rusak parah dan jalan-jalan terputus. Berdo’alah engkau kepada Allah agar Dia menurunkan hujan.” Beliau kemudian berdo’a dan turunlah hujan pada hari kedua. Berikutnya a’robi tadi datang lagi kepada beliau. “Wahai Rasulullah, rumah-rumah roboh, jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang ternak mati…” yakni karena derasnya hujan. Akhirnya beliau berdo’a dan mendung pun hilang. Hujan terjadi di sekitar Madinah.” HR Al Bukhari dalam Kitaabul Istisqaa’ Babu Suaalinnaas Al Imaam Al Istisqaa’ Idzaa Qahithu.
    Abu Dawud meriwayatkan hadits dengan sanad baik dari ‘Aisyah, ia berkata, “Orang-orang mengadu kepada beliau SAW atas hujan yang tidak juga turun.” HR Abu Dawud fi kitaabishsholat Abwaabalistisqaa’.
    Al Baohaqi meriwayatkan dari Anas dalam Dalailunnubuwwah dengan rangkaian perawi yang tidak figur yang layak dicurigai. Lihat Fathul Baari vol. II hlm. 495.
    Dari Anas ibn Malik bahwa seorang a’rabi datang kepada Nabi SAW. “Wahai Rasulullah SAW, “katanya, “Tidak ada hewan ternak kami yang bisa bersuara dan tidak ada bayi kami yang bisa tidur lelap.” Lalu ia mengucapkan :
    Kami datang kepadamu saat gadis teteknya berdarah
    Ibu bayi melupakan bayinya
    Pemuda menjatuhkan kedua telapak tangannya pasrah
    Akibat lapar ia lemah, tidak  mengganggu dan tidak berguna
    Tidak ada makanan yang kami miliki
    Hanya ada sejenis labu dan makanan waktu kelaparan yang tidak dicuci
    Hanya padamu aku berlari datang
    Dimanakah  larinya manusia jika tidak kepada para rasul
    Nabi langsung bangkit menyeret selendangnya  lalu naik ke atas mimbar dan mengangkat tangannya berdo’a, “Ya Allah turunkan buat kami hujan deras yang menimbulkan kebaikan, membuat subur, banyak, merata, bermanfaat tidak membawa petaka, segera tidak lamban, yang membuat penuh ambing, menumbuhkan tanaman, dan menghidupkan bumi setelah ia mati.” Anas berkata, “Rasulullah tidak mengembalikan tanggannya hingga mendung menjatuhkan muatannya dan orang-orang datang  meneriakkan suara tenggelam.”  “Turunkan hujan di sekitar kami jangan menimpa kami,” lanjut Rasulullah. Mendung pun hilang dari Madinah.
    Renungkanlah bagaimana Nabi SAW menyandarkan memohon bantuan, memberi manfaat dan sebagainya pada hujan secara majaz? Dan bagaimana
    beliau menetapkan kalimat penyair :
    Hanya padamu aku berlari datang
    Dimanakah  larinya manusia jika tidak kepada para rasul
    Dan tidak menilainya telah musyrik. Alasannya adalah karena pembatasan dalam bait itu bersifat relatif. Apakah samar bagi beliau firman Allah :

    ففروا إلى الله

    Padahal ayat ini telah diturunkan kepada beliau.
    Maksud dari lari yang ada dalam bait-bait syair di atas adalah bahwa lari yang diharapkan memberi manfaat adalah kepadamu bukan kepada yang lain dan lari kepada para rasul bukan kepada yang lain. Karena para rasul adalah figur tertinggi orang yang dijadikan media tawassul kepada Allah dan figur paling agung yang lewat tangan mereka Allah mengabulkan keinginan orang-orang yang datang memohon bantuan kepada mereka. Perhatikanlah dengan serius betapa beliau SAW sangat terpengaruh oleh apa yang diucapkan penyair a’rabi itu dan begitu cepatnya respons beliau untuk menolong dan membantu manusia di mana beliau bangkit menuju mimbar seraya menyeret selendangnya. Beliau tidak menunggu untuk membereskan selendang terlebih dahulu karena bersegera untuk mengabulkan permohonan orang yang memohon kepadanya dan membantu orang yang memanggilnya.

    NABI SAW ADALAH PILAR, PERLINDUNGAN DAN TEMPAT KAMI MENGADU
    Hassan ibn Tsabit memanggil-manggil beliau dan menyifatinya dengan pilar yang menjadi sandaran serta pelindung yang menjadi tempat mengadu. Ia berkata :
    Wahai pilar orang yang bersandar dan perlindungan orang yang mengadu
    Tempat datang orang yang butuh bantuan dan tetangga orang dekat
    Wahai, orang yang dipilih Tuhan untuk makhluk-Nya
    Dia telah memberimu perangai bersih dan suci
    Engkau adalah Nabi dan sebaik-baik anak Adam
    Wahai orang dermawan bak samudera luas
    Mikail dan Jibril bersamamu membantu
    Keduanya dari Yang Maha Perkasa dan Kuasa untuk menolongmu
    Lihat Al Ishabah vol. I hlm. 264 dan Al Raudl Al Anf vol. II hlm 91

    HAMZAH PELAKU KEBAIKAN DAN PENGHILANG KESUSAHAN
    Versi Ibnu Syadzaan dari hadits Ibnu Mas’ud : Saya tidak pernah sama sekali melihat Nabi SAW menangis hebat melebihi tangisan beliau terhadap Hamzah ibn Abdil Muththallib. Beliau meletakkan jenazahnya menghadap qiblat lalu berdiri di hadapannya. Napas beliau tersengal-sengal sampai terisak karena menangis. “Wahai  Hamzah, wahai paman Rasulullah, singa Allah dan rasul-nya. Wahai Hamzah pelaku kebaikan, wahai Hamzah penghilang kesusahan. Wahai sang pembela atas diri rasulillah!” ucap beliau. Dikutip dari Al Mawaahiub Al Laadunniyyah vol. I hlm. 212.

    TIDAK ADA PERBEDAAN ANTARA HIDUP DAN MATI
    Apabila seseorang berkata bahwa memohon bantuan kepada Nabi, mengadukan keadaan, memohon syafaat dan pertolongan kepada beliau dan segala sesuatu yang sejenisnya hanya bisa dilakukan di saat beliau masih hidup. Adapun jika dilakukan sesudah beliau meninggal merupakan tindakan kufur. Kadang dengan toleran ia mengatakan tidak disyari’atkan atau tidak boleh.
    Saya jawab bahwa memohon bantuan dan tawassul apabila faktor yang melegalkannya adalah hidup sebagaimana pendangan mereka maka para Nabi dalam kondisi hidup dalam kubur mereka. Para hamba Allah yang diridloi juga hidup dalam kubur mereka seperti halnya Nabi.
    Seandainya seorang pakar fiqh tidak menemukan dalil atas keabsahan tawassul dan memohon bantuan kepada beliau sesudah wafat kecuali dianalogikan dengan tawassul dan memohon bantuan kepada beliau sewaktu masih hidup niscaya hal ini cukup. Karena beliau SAW hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memberikan perhatian kepada ummatnya, mengatur urusan-urusan ummatnya atas seizin Allah, mengetahui kondisi ummatnya, disampaikan kepadanya shalawat dari ummatnya yang menyampaikan shalawat dan sampai kepada beliau salam mereka meskipun jumlah mereka banyak.
    Orang yang pengetahuannya luas mengenai arwah dan keistimewaan yang dimilikinya, apalagi arwah orang-orang yang luhur maka hatinya lapang untuk mengimani kehidupan arwah di alam barzakh. Lalu bagaimana dengan ruh dari segala arwah dan cahaya dari segala cahaya, yakini Nabi kita Muhammad SAW.
    Seandainya memohon syafaat, meminta bantuan atau tawassul dengan beliau dikategorikan syirik dan kufur sebagaimana anggapan mereka maka hal itu tidak akan dibolehkan dalam kondisi apapun baik dalam kehidupan dunia, akhirat, pada hari kiamat atau sebelumnya. Karena tindakan syirik dimurkai Allah dalam situasi apapun.

    KLAIM SESAT
    Adapun klaim bahwa orang mati tidak mampu melakukan apapun maka ini adalah klaim yang salah. Karena jika pandangan ini dikarenakan golongan wahabi meyakini bahwa orang mati telah menjadi tanah, berarti pandangan ini adalah substansi kebodohan terhadap hadits Nabi SAW bahkan firman Allah yang menetapkan adanya kehidupan arwah dan kekekalannya setelah berpisah dari jasad, dan panggilan Nabi terhadap arwah pada perang Badr. “Wahai ‘Amr ibn Hisyam ! wahai ‘Utbah ibn Rabi’ah, wahai fulan ibn fulan !. Sungguh kami menemukan janji Tuhan kami benar adanya. Apakah kalian menemukan janji Tuhan kalian benar adanya?” tanya Nabi. Seseorang bertanya, “Mengapa engkau memanggil-manggil orang-orang mati?”. “Kalian tidak lebih mendengar terhadap ucapanku daripada mereka,” jawab Nabi.
    Salah satu fakta adanya kehidupan arwah adalah :
    -    Tindakan beliau SAW memberi salam dan panggilan beliau kepada penghuni kuburan. “Assalamu’alaikum, wahai penghuni kubur,” sapa beliau.
    -    Siksa dan kenikmatan kubur, datang dan perginya arwah dan lain sebagainya dari banyak dalil yang datang dibawa Islam dan ditetapkan oleh filsafat klasik dan modern.

    PERTANYAAN PADA KAUM WAHABI
    Apakah golongan Wahabi meyakini bahwa orang-orang yang mati syahid hidup di sisi Tuhan mereka sebagaimana dinyatakan Al Qur’an, atau tidak? Jika jawaban mereka tidak, maka tidak ada lagi diskusi antara kami dan mereka sebab mereka telah mendustakan Al Qur’an, di mana kitab suci ini mengatakan :

    ولاتقولوا لمن يقتل في سبيل الله أموات بل أحياء ولكن لاتشعرون  ولاتحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون

    Jika mereka meyakini kehidupan orang-orang yang mati syahid maka kami katakan kepada mereka bahwa para Nabi dan orang-orang muslim yang shalih yang tidak berstatus syuhada’ seperti sahabat-sahabat senior itu tidak diragukan lagi lebih utama dari para syuhada’. Jika fakta menunjukkan syuhada’ itu hidup maka adanya kehidupan bagi orang-orang yang lebih utama daripada mereka lebih layak, di samping bahwa kehidupan para Nabi di alam kubur telah ditegaskan dalam hadits-hadits shahih.
    Jika kami katakan bahwa ketika kehidupan arwah telah dibuktikan berdasarkan dalil-dalil qath’i maka tidak ada ruang bagi kita setelah terbuktinya kehidupan arwah tersebut kecuali menetapkan spesikasi-spesikasinya. Karena adanya hal yang dilazimkan (malzum) menetapkan adanya yang melazimkan (lazim) sebagaimana meniadakan hal yang melazimkan menetapkan tidak adanya hal yang dilazimkan, sebagaimana telah diketahui.
    Secara logika, faktor apa yang menghalangi memohon pertolongan  dan bantuan kepada Allah lewat arwah para Nabi sebagaimana seseorang meminta bantuan dengan malaikat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya atau sebagaimana seseorang memohon pertolongan kepada yang lain. (Engkau disebut manusia sebab ruh bukan jasad fisik).
    Aktivitas arwah sama dengan aktivitas malaikat, tidak membutuhkan sentuhan dan alat. Tidak seperti ketentuan-ketentuan dalam aktivitas kita yang telah diketahui. Karena aktivitas arwah terjadi pada alam lain.

    ويسألونك عن الروح قل الروح من أمر ربي

    Apa yang mereka fahami tentang aktivitas malaikat atau jin di alam ini ?
    Tidak ragu lagi bahwa arwah, dengan keterlepasan dan kebebasannya membuatnya mampu menjawab orang yang memanggilnya dan menolong orang yang meminta bantuan kepadanya persis seperti orang hidup. Kemampuan arwah justru melebihi orang hidup.
    Jika golongan Wahabi tidak mengetahui kecuali hal-hal yang terindera dan tidak mengakui kecuali hal-hal yang kasat mata maka ini adalah karakter para naturalis bukan kaum mukminin. Bagaimanapun kami mengalah mengikuti dan setuju pandangan mereka bahwa arwah setelah terlepas dari raga tidak mampu melakukan apapun, namun kami katakan kepada mereka jika diandaikan demikian dan kami setuju dalam rangka diskusi maka kami tegaskan bahwa bantuan yang diberikan para Nabi dan wali kepada orang-orang yang memohon bantuan bukan dikategorikan aktivitas arwah di alam ini. Tetapi bantuan mereka terhadap orang-orang yang berziarah atau memohon bantuan lewat mereka dengan mendoakan sebagaimana orang shalih mendoakan orang lain. Maka yang terjadi adalah do’a dari orang yang unggul untuk orang yang diungguli atau minimal doa seorang saudara kepada saudaranya. Dan sungguh engkau mengetahui bahwa para Nabi dan wali itu hidup, memiliki kesadaran, kepekaan dan pengetahuan. Malah kesadaran mereka lebih sempurna dan pengetahuan mereka lebih luas setelah terlepas dari raga karena lenyapnya penghalang tanah dan perselisihan-perselisihan ambisi manusiawi.
    Dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa amal perbuatan kita disampaikan kepada beliau SAW. Jika beliau menemukan kebaikan beliau akan memuji Allah dan sebaliknya jika menemukan keburukan beliau akan memohonkan ampunan buat kita. Boleh kita katakan bahwa yang dimintakan dan dimohon bantuannya adalah Allah namun si pemohon memohon kepada Allah dengan menggunakan perantara Nabi agar keinginannya dikabulkan Allah. Berarti pelaku yang memberikan bantuan adalah Allah, namun pemohon ingin memohon kepada Allah lewat sebagian orang-orang yang dekat dan mulia di sisi-Nya. Seolah-olah pemohon mengatakan, “Saya salah satu pecinta  atau pengikut orang yang dekat dan mulia di sisi-Mu maka rahmatilah aku berkat dirinya.” Dan Allah bakal memberi rahmat kepada banyak orang berkat Nabi SAW dan figur lain dari para Nabi, wali dan ulama.
    Walhasil, kemuliaan yang diberikan Allah kepada para pecinta Nabi karena Nabi, juga kemuliaan yang diberikan-Nya kepada sebagian hamba karena sebagian hamba yang lain adalah hal yang telah diketahui. Sebagian dari hal di atas adalah mereka yang mensalati mayit dan memohon kepada Allah agar Dia memuliakan mayit dan mengampuninya karena mereka dengan mengatakan : Dan kami telah datang kepada-Mu sebagai pemberi syafaat maka terimalah syafaat kami.

    APAKAH MEMOHON SESUATU YANG TIDAK MAMPU DILAKUKAN KECUALI OLEH ALLAH ADALAH TINDAKAN SYIRIK

    Salah satu klaim sesat yang menjadi pegangan golongan yang memvonis kafir terhadap orang yang bertawassul dengan Nabi SAW atau memohon kepada beliau adalah ucapan mereka bahwa manusia memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih yang telah mati, sesuatu yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah. Permohonan ini dikategorikan kufur.
    Jawaban dari klaim ini adalah bahwa pandangan tersebut adalah sebuah kesalahpahaman terhadap ketetapan ulama di zaman dulu dan kini. Karena manusia hanya memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah dalam memenuhi apa yang mereka mohon dari Allah. Dengan cara Allah menciptakan kebutuhannya sebab syafaat, doa dan tawajjuh para Nabi dan orang-orang shalih sebagaimana yang terjadi pada seorang buta dan yang lain dari mereka yang kepada Nabi dalam rangka memohon dan bertawassul dengan beliau kepada Allah. Nabi mengabulkan permohonan mereka, menenteramkan hati mereka dan mewujudkan keinginan mereka atas izin Allah dan beliau tidak pernah berkata kepada salah seorang dari mereka : “kamu telah musyrik.”
    Demikian juga semua hal yang berada di luar kebiasaan yang dimintakan kepada beliau seperti menyembuhkan penyakit kronis tanpa obat, menurunkan hujan dari langit saat dibutuhkan padahal tidak ada mendung, merubah substansi benda, mengucurnya air dari jari-jari, memperbanyak makanan dan sebagainya. Semua permintaan ini umumnya berada di luar kemampuan manusia dan Nabi tetap mengabulkan permintaan ini serta tidak mengatakan kepada mereka : “Kalian telah menyekutukan Allah maka perbaharuilah Islam kalian karena kalian meminta sesuatu dariku yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah.”
    Apakah mereka kelompk Wahabi merasa lebih tahu tentang tauhid dan faktor-faktor yang menyebabkan keluar dari tauhid daripada Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau?. Ini adalah sesuatu yang tidak dibayangkan oleh orang bodoh, apalagi orang pintar.
    Al Qur’an yang agung menceritakan sabda Nabi Sulaiman AS kepada jin dan manusia yang menjadi anggota majlis beliau :

    يا أيها الملأ أيكم يأتيني بعرشها قبل أن يأتوني مسلمين

    Beliau AS meminta kepada mereka untuk mendatangkan singgasana besar dari Yaman menuju tempatnya di Syam melalui cara di luar kebiasaan agar hal ini menjadi petunjuk bagi Bilqis dan pendorong untuk beriman.
    Ketika ‘Ifrit dari golongan jin mengatakan :

    أنا آتيك به قبل أن تقوم من مقامك

    Maksudnya dalam waktu singkat. Nabi Sulaiman berkata, “Saya ingin yang lebih cepat dari itu.” Lalu seorang lelaki yang memiliki pengetahuan dari kitab yang nota bene salah seorang paling jujur dan anggota majlis beliau berkata :

    أنا آتيك به قبل أن يرتد إليك طرفك

    Maksudnya sebelum pelupuk matamu kembali terbuka. “Itu yang saya harapkan,” kata Nabi Sulaiman. Kemudian lelaki itu berdo’a dan tiba-tiba singgasana itu sudah ada di depan beliau.
    Mendatangkan singgasana dengan cara demikian adalah salah satu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan tidak berada dalam batas kemampuan manusia dan jin umumnya. Nabi Sulaiman mengajukan permintaan ini kepada anggota majlisnya dan lelaki yang sangat jujur itu berkata kepada beliau bahwa saya akan melakukannya. Apakah Nabi Sulaiman kafir sebab mengajukan permintaan tersebut dan apakah lelaki itu telah menyekutukan Allah dengan jawabannya?.  Hal ini jelas sangat mustahil. Karena dalam kedua perkataan tersebut tindakan disandarkan berdasarkan cara majaz ‘aqli. Dan hal ini boleh malah populer.
    Mengungkap kekaburan dalam masalah ini jika memang di situ terdapat kekaburan adalah bahwa manusia hanya memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih agar memberi syafaat kepada Allah dalam hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia dan Allah memberi mereka kemampuan untuk melakukannya. Orang yang mengatakan : Wahai Nabi Allah ! sembuhkan penyakitku atau bayarlah hutangku, maksud sesungguhnya adalah berilah aku syafaat dalam kesembuhan, berdo’alah untukku agar hutangku terbayar dan bertawajjuhlah kepada Allah menyangkut kondisiku. Manusia tidak memohon kepada beliau kecuali sesuatu yang Allah telah memberi beliau kemampuan untuk melakukannya dari do’a dan memberi syafaat.
    Ini adalah keyakinanku menyangkut orang yang mengatakan hal di atas dan saya berserah diri kepada Allah atas keyakinan ini. Penyandaran dalam perkataan manusia termasuk majaz ‘aqli yang tidak menimbulkan dampak negatif atas orang yang mengatakannya sebagaimana firman Allah :

    سبحان الذي خلق الأزواج كلها مما تنبت الأرض

    dan sabda Nabi SAW :

    إن مما ينبت الربيع ما يقتل حبطا أو يلم

    Penggunaan majaz ‘aqli dalam firman Allah dan sabda rasul serta orang khusus dan orang awam itu banyak sekali dan tidak perlu dikhawatirkan. Karena keluarnya majaz ‘aqli dari orang-orang yang mengesakan Allah adalah indikasi atas maksud mereka dan sama sekali bukan termasuk perangai buruk. Persoalan ini telah kami jelaskan dengan detail pada pembahasan khusus  dalam kitab ini.

    JIKA ENGKAU MEMOHON MAKA MEMOHONLAH KEPADA ALLAH DAN JIKA MEMINTA PERTOLONGAN MINTALAH PADA ALLAH

    Judul ini adalah penggalan dari sebuah hadits populer yang diriwayatkan Al Turmudzi dan dinilainya shahih dari Ibnu ‘Abbas dengan status marfu’.
    Banyak orang salah faham dalam memahami hadits ini karena mereka menjadikannya sebagai dalil bahwa tidak boleh meminta dan memohon pertolongan secara mutlak, dari sisi apapun, dan dengan cara apapun kecuali kepada Allah. Mereka menganggap meminta dan memohon pertolongan kepada selain Allah sebagai kemusyrikan yang mengeluarkan dari agama Islam. Dengan anggapan demikian mereka menafikan penggunaan sebab dan mencari bantuan dengannya serta meruntuhkan banyak nash yang ada dalam masalah ini.
    Yang benar hadits ini tidak dimaksudkan untuk melarang meminta atau memohon pertolongan kepada selain Allah sebagaimana dilihat dari teksnya. Namun maksudnya adalah melarang lupa bahwa kebaikan yang dihasilkan oleh sebab sesungguhnya berasal dari Allah, dan perintah untuk menyadari bahwa kenikmatan yang ada pada makhluk berasal dan disebabkan Allah. Berarti makna hadits ini adalah jika anda ingin memohon pertolongan kepada salah seorang makhluk dan hal ini harus dilakukan maka jadikan seluruh sandaranmu kepada Allah semata. Jangan sampai perhatian kepada sebab membuatmu lupa untuk melihat pembuat sebab. Janganlah engkau termasuk orang yang mengetahui apa yang terlihat secara lahir dari kaitan dan relasi antara berbagai hal yang saling berkaitan satu sama lainnya namun melupakan Dzat yang mengaitkannya.
    Hadits di atas sendiri mengindisikan pengertian ini. Yakni dalam sabda Nabi setelah ungkapan di atas, yaitu : “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kalau ummat  bersatu untuk memberimu manfaat dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah digariskan Allah untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk memberimu bahaya dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu bahaya kecuali dengan sesuatu yang telah digariskan Allah kepadamu.” Sebagaimana kamu lihat, hadits ini menetapkan ummat bisa memberi manfaat dan bahaya dengan sesuatu yang telah digariskan Allah untuk atau atas seorang hamba.
    Kelanjutan dari hadits di atas menjelaskan maksud yang dikehendaki Nabi SAW. Mengapa kita mengingkari permintaan bantuan kepada selain Allah padahal terdapat perintah untuk melakukannya dalam banyak tempat dari Al Kitab dan Al Sunnah ? Allah berfirman :
    واستعينوا بالصبر والصلاة
    وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
    Firman Allah berikut menceritakan seorang hamba yang shalih, Dzul Qarnain :
    فأعينوني بقوة
    Dan dalam penyelenggaraan shalat khauf yang ditetapkan dengan Al Kitab dan Al Sunnah ditetapkan saling tolong menolong sebagian makhluk dengan yang lain. Demikian pula Allah SWT menginstruksikan kaum mu’minin untuk mengambil sikap waspada terhadap musuh mereka.
    Begitu pula dalam Rasulullah mendorong kaum mu’minin untuk saling membantu memenuhi kebutuhan yang lain, memudahkan orang yang tertimpa kesulitan dan memberi solusi atas orang yang dilanda problema serta dalam ancaman beliau terhadap ketidakpedulian atas hal-hal ini, semuanya banyak terdapat dalam Al Sunnah.
    “Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” HR Al Bukhari dan Muslim.
    “Allah senantiasa membantu seorang hamba sepanjang ia selalu membantu saudaranya.” HR Muslim, Abu Dawud dan perawi lain.
    “Allah memiliki makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia datang kepada mereka mengadukan kebutuhannya. Mereka itu adalah orang-orang yang aman dari adzab Allah.”
    Renungkanlah sabda Nabi (Manusia datang kepada mereka mengadukan kebutuhannya). Beliau tidak menjadikan manusia tersebut sebagai orang-orang musyrik dan juga tidak sebagai orang-orang yang melakukan maksiat.
    “Sesungguhnya bagi Allah pada beberapa kaum ada nikmat yang Dia tetapkan pada mereka sepanjang mereka memenuhi kebutuhan kaum muslimin dan sepanjang mereka tidak menyusahkan kaum muslimin. Jika mereka menyusahkan kaum muslimin, Allah akan memindahkan nikmat itu kepada kaum lain.” Hadits marfu’.
    “Sesungguhnya Allah mempunyai beberapa kaum yang Dia khususkan dengan beberapa nikmat untuk kemanfaatan para hamba. Allah menetapkan mereka dalam nikmat-nikmat itu sepanjang mereka mendermakannya. Jika mereka menolak mendermakannya maka Allah akan mencabut nikmat-nikmat itu dan mengalihkannya kepada kaum lain.” HR Muslim dan Ibnu Abi Al Dunya.
    Al Hafidh Al Mundziri mengatakan seandainya dikatakan sanad hadits ini hasan maka itu hal yang mungkin.
    “Sungguh jika salah satu dari kalian berjalan bersama saudaranya dalam rangka memenuhi kebutuhan saudaranya – Nabi memberi isyarat dengan jari-jari beliau – itu lebih utama daripada ia beri’tikaf di masjidku ini selama dua bulan.” HR Al Hakim. “Isnadnya hasan,” kata Al Hakim.

    إذا سألت فاسأل الله

    JIKA ANDA MEMINTA, MEMINTALAH KEPADA ALLAH
    Adapun sabda Nabi SAW : إذا سألت فاسأل الله
    maka ia tidak bisa dijadikan pijakan dan dalil untuk melarang meminta atau tawassul. Siapapun yang memahami dari hadits ini secara harfiah adanya larangan memohon kepada selain Allah secara mutlak atau larangan tawassul dengan orang lain secara total maka sungguh ia telah salah jalan dan menipu dirinya. Karena orang yang menjadikan para Nabi dan orang shalih sebagai wasilah (mediator) kepada Allah untuk mendapatkan manfaat atau menolak keburukan dari Allah maka tidak lain kecuali ia memohon kepada Allah semata agar memudahkan apa yang ia cari atau menjauhkan darinya keburukan yang dikehendaki Allah seraya bertawassul kepada-Nya dengan orang yang ia jadikan sebagai mediator. Dalam hal ini, ia menggunakan sebab yang dijadikan Allah untuk keberhasilan para hamba dalam memenuhi kebutuhan mereka kepada Allah. Barangsiapa yang menggunakan sebab yang diperintahkan Allah untuk menempuhnya dalam rangka meraih keinginannya, maka ia tidak memohon kepada sebab tapi memohon kepada yang menetapkan sebab. Maka perkataan seseorang : Wahai Rasulullah, saya ingin engkau mengembalikan pandangan mataku, melenyapkan musibah yang menimpaku atau menyembuhkan sakitku maksudnya adalah memohon permintaan-permintaan ini kepada Allah lewat syafaat Rasulullah SAW. Perkataan ini sama dengan ucapan : Do’akan aku dapat begini atau syafaatilah aku dalam ini. Tidak ada perbedaan antara ungkapan di atas dan ungkapan semacam ini. Hanya saja, yang terakhir ini lebih transparan maksudnya daripada yang awal. Ucapan semisal dua ungkapan di atas yang lebih jelas adalah perkataan orang yang bertawassul : Ya Allah, saya memohon Engkau - lewat Nabi-Mu – memudahkan sesuatu – dari hal yang bermanfaat,  atau menolak sesuatu – dari hal yang buruk. Orang yang bertawassul dalam semua contoh di atas tidak memohon keinginannya kecuali kepada Allah.
    Dari paparan di atas bisa anda ketahui bahwa berargumentasi atas larangan tawassul dengan sabda Nabi SAW إذا سألت فاسأل الله  adalah kesalahan mengarahkan hadits pada pengertian yang jelas keliru. Yaitu bahwasanya siapapun tidak boleh memohon sesuatu kepada selain Allah. Karena orang yang memahami hadits di atas dengan pengertian demikian, sepenuhnya keliru. Cukup untuk menjelaskan kesalahan pengertian tersebut bahwa hadits itu sendiri terucap sebagai respon dari Nabi atas pertanyaan Ibnu ‘Abbas sang perawi hadits setelah beliau memancingnya untuk mengajukan pertanyaan. “Nak, maukah engkau aku ajari beberapa kalimat yang Allah akan memberimu manfaat dengannya?” pancing beliau. Anjuran bertanya manakah yang lebih indah dari dorongan beliau ini ?. “Ya, mau,” jawab Ibnu ‘Abbas. Lalu Rasulullah membalas dengan hadits yang ada ungkapan di atas ini.
    Seandainya kita mengikuti pemahaman keliru di atas niscaya orang bodoh tidak boleh bertanya kepada orang pintar, orang yang jatuh dalam tempat yang membinasakan tidak boleh memohon pertolongan kepada seseorang yang bisa menyelamatkannya, yang memberi piutang tidak boleh meminta hutang kepada pihak yang berhutang, seseorang tidak boleh meminta hutang, di hari kiamat manusia tidak boleh meminta syafaat kepada para Nabi, dan Nabi Isa tidak boleh menyuruh manusia untuk meminta syafaat kepada junjungan para rasul Muhammad SAW. Karena dalil yang digunakan untuk menopang anggapan ini bersifat umum yang mencakup keabsahan apa yang telah kami sebutkan dan belum kami sebutkan.
    Apabila golongan Wahabi mengatakan bahwa yang dilarang adalah meminta kepada para Nabi dan orang shalih yang sudah berada dalam kuburan di alam barzakh karena mereka tidak bisa melakukan apa-apa maka bantahan terhadap alasan ini telah dijelaskan secara panjang lebar di muka, di mana kesimpulannya adalah bahwa mereka hidup dan mampu memberikan syafaat dan do’a. Kehidupan mereka adalah kehidupan barzakh yang layak dengan status mereka yang dengan kehidupan itu mereka mampu memberi manfaat dengan berdo’a dan memohonkan ampunan. Orang yang mengingkari kehidupan para Nabi dan orang-orang shalih di alam kubur paling tidak ia buta terhadap hadits yang statusnya hampir mutawatir yang menunjukkan bahwa orang-orang mu’min yang mati dalam kehidupan barzakhnya mampu mengetahui, mendengar, mampu mendoakan dan aktivitas-aktivitas lain yang dikehendaki Allah. Maka apa anggapanmu menyangkut pembesar-pembesar barzakh dari para Nabi dan orang-orang shalih?.
    Dalam hadits tentang isra’ yang tidak hanya berstatus shahih namun masyhur di sana diceritakan tentang sikap para Nabi terhadap Nabi terbaik Muhammad di mana mereka shalat menjadi ma’mum beliau, menjadi pendengar khutbah beliau dan do’a mereka terhadap beliau di langit hingga ummat Muhammad tidak mendapat dispensasi pengurangan shalat dari 50 kali menjadi 5 kali dalam sehari semalam berkat syafaat beliau yang berulang-ulang, kecuali setelah mendapat isyarat dengan syafaat dari Nabi yang mendapat firman Allah, Musa ibn ‘Imran kepada beliau SAW.
    Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pengertian yang dimaksud hadits di muka tidak seperti anggapan mereka yang nyata-nyata salah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Karena maksud dari hadits itu adalah peringatan terhadap tindakan meminta-minta harta orang lain tanpa ada kebutuhan tapi semata-mata hanya menginginkannya, anjuran bersikap menerima (qana’ah) terhadap apa yang dimudahkan Allah meskipun sedikit, tidak meminta apa yang tidak dibutuhkannya dari barang-barang milik orang lain, dan merasa cukup dengan memohon kepada Allah dengan mengharap karunia-Nya, karena Allah mencintai mereka yang terus-menerus memohon dalam berdoa. Berbeda dengan manusia yang justru membencinya.
    Allah murka jika kamu tidak memohon kepadanya
    Sedang anak Adam marah saat diminta sesuatu
    Makna hadits di atas adalah sbb : Jika engkau silau melihat harta orang lain dan ingin memilikinya maka janganlah engkau meminta harta miliknya tapi mintalah pertolongan Allah dengan cara memohon kepada-Nya dari karunia-Nya bukan meminta kepada hamba-Nya. Jadi hadits tersebut membimbing untuk bersifat qana’ah dan membersihkan diri dari sifat tamak. Di manakah posisi makna hadits ini dari tindakan memohon kepada Allah melalui para Nabi dan wali-Nya atau permintaan syafaat para Nabi untuk mereka yang memintanya dalam hal di mana Allah menjadikan syafaat mereka terdapat padanya, yang nota bene faktor terkuat tercapainya keberhasilan. Namun jika manusia sudah mengendarai hawa nafsu maka hawa nafsu akan membawanya jauh menjelajahi ruang prasangka dan tergelincir dari rel pemahaman yang benar.


    إنه لايستغاث بي
    SESUNGGUHNYA SAYA TIDAK DAPAT DIJADIKAN TEMPAT UNTUK MEMOHON
    Dalam sebuah hadits terdapat kisah bahwa pada era Nabi Muhammad Saw ada orang munafik yang menyakiti orang mu’min. “Marilah bersama-sama kita memohon pertolongan kepada Nabi SAW dari si munafik itu,” ajak Abu Bakar. “Sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuk memohon. Hanya Allah lah yang menjadi tempat memohon.” Jawab Nabi. HR Al Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir.
    Hadits ini terkadang dijadikan argumentasi oleh orang yang menolak memohon pertolongan dengan Nabi SAW. Argumentasi ini dari awal sudah keliru. Sebab jika hadits ini dipahami secara tekstual niscaya maksudnya adalah melarang memohon pertolongan dengan beliau secara total sebagaimana yang terlihat dari kalimatnya. Pemahaman teskstual ini dimentahkan oleh sikap sahabat bersama beliau. Di mana mereka memohon pertolongan dan hujan lewat beliau serta meminta do’a kepada beliau dan beliau pun mengabulkannya dengan suka cita. Karena itu hadits ini harus diberi interpretasi yang relevan dengan keumuman hadits-hadits agar kesatuan nash-nash bisa terangkai.
    Kami katakan bahwa yang dimaksud denganإنه لايستغاث بي  adalah menetapkan substansi tauhid dalam dasar keyakinan. Yaitu bahwa pemberi pertolongan sejatinya adalah Allah. Adapun hamba, ia hanyalah mediator dalam memohon pertolongan atau maksud Nabi SAW adalah mengajari para sahabat bahwa tidak boleh meminta kepada hamba sesuatu yang berada di luar kapasitasnya seperti meraih sorga, selamat dari neraka, hidayah dalam arti terhindar dari kesesatan, dan jaminan mengakhiri ajal dalam kebahagiaan.
    Hadits ini tidak menunjukkan atas pengkhususan memohon pertolongan dan memberikannya dengan orang hidup bukan orang mati. Ia tidak memiliki kaitan dengan pembedaan ini. Justru, secara tekstual hadits ini melarang memohon pertolongan dengan selain Allah selamanya tanpa ada diskriminasi antara yang hidup dan yang mati. Namun pengertian ini bukan yang dimaksud oleh hadits ini seperti telah kami jelaskan di muka.
    Ibnu Taimiyyah dalam Al Fataawaa mengisyaratkan pengertian ini dimana ia mengatakan, “Terkadang dalam firman Allah dan sabda rasul terdapat ungkapan yang memiliki arti sahih namun sebagian orang memahaminya diluar yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya. Pemahaman ini tidak bisa diterima. Sebagaimana Al Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir meriwayatkan bahwa sesungguhnya pada era Nabi Muhammad Saw ada orang munafik yang menyakiti orang mu’min. “Marilah bersama-sama kita memohon pertolongan kepada Nabi SAW dari si munafik itu,” ajak Abu Bakar. “Sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuK memohon. Hanya Allah lah yang menjadi tempat memohon.”
    Pengertian hadits ini yang dikehendaki Nabi adalah pengertian kedua. Yakni meminta kepada beliau sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. Jika tidak dikehendaki pengertian kedua, buktinya para sahabat memohon do’a kepada beliau dan meminta hujan lewat beliau sebagaimana keterangan dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata, “Kadang aku mengingat seorang penyair seraya kupandang wajah Nabi SAW yang sedang memohon hujan. Maka beliau tidak turun sampai talang mengalir airnya.”
    Figur berwajah putih dimana mendung dimintakan hujan berkat dirinya
    Sang pemelihara anak-anak yatim dan pelindung para janda

    KATA-KATA YANG DIGUNAKAN YANG TERDAPAT DALAM MASALAH INI
    Terdapat kata-kata yang digunakan untuk memuji Nabi SAW yang menyebabkan kesamaran bagi sebagian golongan Wahabi kemudian mereka memvonis kufur yang mengucapkannya. Di antaranya seperti :

    ولا رجاء إلا هو

    Tidak ada harapan kecuali Nabi SAW

    وأنا مستجير به

    Saya meminta perlindungan kepada beliau

    وإليه يفزع في المصائب

    Hanya kepada beliau tempat berlindung dalam segala musibah

    وإن توقفت فمن سأل

    Jika saya bimbang maka kepada siapa saya meminta ?
    Maksud mereka yang menggunakan ungkapan ini adalah tidak ada tempat berlindung yang dari makhluk, tidak ada harapan yang dari manusia, hanya kepada beliau tempat berlindung dalam segala musibah, yakni yang dari kalangan makhluk karena kemuliaan beliau di sisi Allah dan agar beliau bertawajjuh dan memohon kepada-Nya, dan jika saya bimbang kepada siapa saya meminta? Yakni yang dari para hamba Allah.
    Meskipun dalam do’a dan tawassul kami tidak menggunakan ungkapan-ungkapan seperti di atas dan kami juga tidak mengajak serta mendorong untuk menggunakannya karena menghindari kesalahfahaman dan menjauhi ungkapan-ungkapan yang diperselisihkan serta karena berpegang teguh dengan ungkapan yang jelas yang tidak diperselisihkan, hanya saja kami menilai menjatuhkan vonis kufur kepada orang yang menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut adalah tindakan tergesa-gesa yang tidak terpuji dan tindakan yang tidak bijaksana. Mengapa? Karena kita harus melihat fakta bahwa yang mengungkapkannya adalah dari kalangan yang mengesakan Allah, bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Dia dan Muhammad adalah rasul-Nya, mendirikan shalat, membenarkan semua rukun agama, percaya kepada Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai Nabi, dan Islam sebagai agama. Yang dengan semua hal ini mereka memiliki perlindungan sebagai pemeluk agama dan memperoleh kehormatan Islam. Dari Anas RA, ia berkata, “Barangsiapa yang melakukan shalat seperti shalat kami, masuk Islam dan menghadap kiblat kami serta memakan hewan sembelihan kami maka ia adalah seorang muslim yang memiliki perlindungan dari Allah dan rasul-Nya, maka janganlah kalian tidak menepati Allah dalam orang yang dilindungi-Nya.” HR Al Bukhari.
    Berangkat dari uraian di atas maka kewajiban kita ketika menjumpai dalam perkataan kaum mu’minin penyandaran sesuatu kepada selain Allah SWT maka kita wajib mengarahkannya ke dalam majaz ‘aqli dan tidak ada jalan untuk mengkafirkan mereka. Karena majaz ‘aqli digunakan dalam Al Kitab dan Al Sunnah. Terlontarnya penyandaran tersebut dari orang yang mengesakan Allah cukup untuk menjadikannya sebagai majaz ‘aqli. Sebab keyakinan yang benar adalah keyakinan bahwa Allah adalah pencipta para hamba dan seluruh perbuatan mereka. Tidak ada seorang pun yang bisa memberi pengaruh kecuali Allah, baik ia mati atau hidup. Keyakinan ini adalah tauhid. Berbeda dengan orang yang meyakini keyakinan lain, ia akan terjerumus dalam kemusyrikan. Tidak ada dalam kaum muslimin secara mutlak, orang yang meyakini seseorang bersama-sama dengan Allah bisa berbuat, meninggalkan, memberi rizqi, menghidupkan atau mematikan. Adapun ungkapan-ungkapan yang menimbulkan kesalahpahaman maka maksud mereka yang mengungkapkannya adalah memohon syafaat kepada Allah dengan mediator/perantara tersebut. Maka maksud sesungguhnya adalah Allah. Tidak ada seorang muslim pun yang meyakini menyangkut orang yang ia mohon atau ia minta bahwa orang orang tersebut mampu untuk mengerjakan dan meninggalkan sesuatu tanpa melibatkan Allah,  dari dekat atau jauh atau melibatkan Allah dalam taraf yang lebih dekat kepada kemusyrikan terhadap Allah. Aku berlindung kepada Allah dari melemparkan tuduhan syirik atau kufur kepada seorang muslim karena alasan keliru, bodoh, lupa atau berijtihad.
    Kami katakan bahwa jika kebanyakan dari mereka di atas melakukan kesalahan dalam mengungkapkan permohonan ampunan, sorga, kesembuhan, kesuksesan dan permintaan mereka akan hal ini langsung kepada Nabi SAW, maka sesungguhnya mereka tidak melakukan kesalahan dalam aspek tauhid. Sebab maksud dari ungkapan mereka adalah memohon syafaat kepada Allah lewat perantara itu. Seolah-olah mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah!, mintalah kepada Allah agar Dia mengampuni dan merahmatiku. Saya bertawassul dengan beliau kepada Allah dalam memenuhi kebutuhanku, melenyapkan kesusahanku dan mewujudkan harapanku.”
    Para sahabat Rasulullah sendiri memohon pertolongan dengan beliau, memohon bantuan, meminta syafaat dan mengadukan kondisi mereka dari kefakiran, penyakit, musibah, hutang dan kegagalan kepada beliau sebagaimana telah kami sebutkan.
    Sudah maklum bahwa Nabi tidak memberikan bantuan dan sebagainya kepada para sahabat secara independen berkat dirinya atau kapasitasnya. Tapi beliau memberikannya atas izin, perintah, dan kekuasaan Allah. Nabi hanyalah seorang hamba yang memiliki kedudukan dan statusnya sendiri di sisi Allah. Beliau juga memiliki kemuliaan yang dengannya beliau memasukkan kepada Allah banyak manusia yang percaya kepada beliau, membenarkan risalahnya dan meyakini keutamaan dan kemuliaannya.
    Saya meyakini bahwa orang yang memiliki keyakinan berlawanan dengan pemaparan di atas telah dikategorikan musyrik. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat.
    Karena itu, Anda akan melihat bahwa dalam sebagian kesempatan Nabi mengingatkan keyakinan di atas jika tampak lewat wahyu atau dari keadaan bahwa orang yang bertanya atau mendengar itu kurang keyakinannya. Dalam sebuah kesempatan beliau menginformasikan bahwa dirinya adalah junjungan anak Adam (sayyidu waladi Adam). Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan kepada sahabat bahwa yang menjadi junjungan adalah Allah. Dalam satu kesempatan para sahabat memohon bantuan kepada beliau kemudian beliau mengajarkan mereka untuk bertawassul dengan dirinya. Namun dalam waktu yang lain mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya yang bisa dimintai bantuan adalah Allah sedang saya tidak bisa dimintai bantuan.” Di satu saat beliau para sahabat meminta dan memohon pertolongan dengan beliau dan beliau pun mengabulkan keinginan mereka. Malah beliau juga memberikan alternatif kepada mereka untuk bersabar menghadapi musibah dengan jaminan masuk sorga atau mengatasi musibah itu segera, sebagaimana Nabi pernah memberikan pilihan kepada seorang buta, perempuan yang mengidap epilepsi, dan kepada Qatadah yang kehilangan penglihatan. Dalam suatu waktu beliau berkata kepada para sahabat, “Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah dan jika kamu memohon pertolongan maka memohonlah kepada Allah .” Dalam satu kesempatan beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang mu’min.” Namun dalam kesempatan beliau berkata, “Tidak ada yang mendatangkan segala kebaikan kecuali Allah.”
    Dari uraian di atas, jelas bagi kamu bahwa akidah kita, alhamdulillah, adalah akidah paling jernih dan paling suci. Seorang hamba tidak bisa melakukan aktivitas apapun dengan mengandalkan dirinya sendiri betapapun kedudukan dan derajatnya, meskipun ia adalah makhluk paling utama SAW. Beliau bisa memberi, menolak, memberi bahaya, memberi manfaat, mengabulkan dan memberikan pertolongan  hanya berkat Allah SWT.
    Jika beliau dimintai bantuan, pertolongan atau diminta sesuatu maka beliau akan menghadap Allah lalu memohon, berdo’a, memberi syafaat kemudian akhirnya dikabulkan dan diterima syafaat beliau.
    Beliau tidak pernah mengatakan kepada para sahabat yang memohon pertolongan dan sebagainya, “Janganlah kalian meminta sesuatu kepada saya. Janganlah kalian memohon kepadaku. Janganlah mengadukan keadaan kalian kepadaku. Tapi bertawajjuhlah kepada Allah dan mintalah kepada-Nya. Karena pintu Allah terbuka dan Dia dekat serta mengabulkan. Dia tidak membutuhkan siapapun dan tidak ada penghalang dan penjaga pintu antara Dia dan makhluk-Nya.

    SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDIL WAHHAB MENYANGKUT UNGKAPAN-UNGKAPAN YANG DIKATEGORIKAN SYIRIK ATAU SESAT OLEH GOLONGAN WAHABI

    Dalam konteks ini Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab memiliki sikap yang agung dan pandangan yang bijak. Khususnya menyangkut sebagian ungkapan-ungkapan yang sudah populer diucapkan lisan yang dikategorikan oleh mereka yang mengkalim memproteksi dan membela tauhid, sebagai tindakan syirik dan yang mengatakannya dikategorikan musyrik. Pimpinan tauhid dan kepala orang-orang yang mengesakan Allah mengatakan dalam ungkapannya yang tepat dengan kebijakannya yang pintar, yang dengan sikapnya ini dakwahnya menyebar di tengah manusia dan metodenya populer di mata kalangan awam dan elite. Dengarkanlah ucapannya tentang akidahnya yang termuat dalam suratnya kepada Abdullah ibn Suhaim dan dicetak oleh Ahlul Majma’ah :
    Jika keterangan ini telah jelas, maka masalah-masalah yang dikecam oelh Ibnu Suhaim sebagian ada yang merupakan kebohongan yang nyata yaitu :
    ucapan Ibnu Suhaim bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat
    Bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar.
    Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid.
    Perbedaan para ulama adalah bencana dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya : Wahai Makhluk paling mulia.
    Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Rasululllah SAW maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu. Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi SAW, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, dan saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah. Atas 12 masalah ini jawaban saya adalah : Maha Suci Engkau, ini (apa yang dituduhkan Ibnu Suhaim) adalah kebohongan yang besar,  Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi SAW. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih  تشابهت قلوبهم
    Demikian kutipan dari risalah kedua belas dari risalah-risalah Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab yang termuat dalam kumpulan karya-karya Syaikh bagian kelima halaman 61 yang telah diedarkan oleh universitas Muhammad ibn Sa’ud Al Islamiiyah dalam pekan Syaihk Muhammad ibn Abdil Wahhab.
    RINGKASAN
    Walhasil, orang yang memohon bantuan kepada selain Allah tidak bisa divonis kafir kecuali jika ia meyakini penciptaan oleh selain Allah. Membedakan antara orang mati dan orang hidup tidak ada artinya sama sekali. Karena jika seseorang meyakini penciptaan oleh selain Allah maka ia kafir, namun masih terdapat perbedaan dengan kalangan Mu’tazilah dalam masalah penciptaan tindakan. Jika seseorang meyakini adanya unsur sebagai penyebab dan unsur kerja maka tidak kafir.
    Anda mengetahui bahwa keyakinan maksimal manusia mengenai orang-orang mati adalah bahwa mereka penyebab dan yang bekerja/berbuat sebagaimana orang hidup. Bukan mereka itu yang menciptakan layaknya Tuhan. Karena tidaklah logis jika manusia menilai orang-orang mati melebihi orang-orang hidup, padahal manusia tidak meyakini orang-orang hidup kecuali sebagai yang berbuat dan sebagai penyebab. Jika memang terdapat kesalahan maka kesalahan itu letaknya pada keyakinan sebagai yang berbuat dan sebagai penyebab. Karena hal ini lah kayakinan maksimal seorang mu’min mengenai makhluk. Jika seorang mu’min tidak berkeyakinan demikian maka tidak dapat disebut mu’min. Kesalahan dalam meyakini hal ini tidak dapat diklasifikasikan kekufuran atau kemusyrikan.
    Berkali-kali saya ulangi di depan telinga kalian bahwa tidaklah logis apabila diyakini dalam orang mati melebihi keyakinan terhadap orang hidup. Lalu seseorang menetapkan tindakan kepada orang hidup dari aspek menjadi penyebab dan menetapkan tindakan kepada orang mati dari aspek kemampuan mempengaruhi secara esensial dan kemampuan menciptakan secara substansial. Karena tidak disangsikan lagi bahwa keyakinan ini adalah keyakinan yang tidak rasional.
    Paling jauh masalah orang yang meminta bantuan kepada orang mati – setelah beberapa kali mengalah – itu seperti orang yang meminta pertolongan kepada orang lumpuh yang tidak diketahui bahwa ia lumpuh. Siapa yang mengatakan bahwa meminta bantuan kepada orang lumpuh itu syirik ?. Padahal membuat sebab adalah sesuatu yang berada dalam kapasitas orang mati dan orang mati juga memiliki kemampuan untuk berbuat seperti halnya orang hidup dengan mendoakan kita. Karena arwah itu mendoakan kerabat-kerabat mereka.
    Terdapat hadits dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan kalian disampaikan kerabat-kerabat kalian yang mati. Jika amal itu baik maka mereka bergembira dan jika sebaliknya mereka berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau matikan mereka hingga Engkau memberi petunjuk kepada apa yang Engkau memberi petunjuk kepada kami.” HR Ahmad. Hadits ini juga memilki jalaur-jalur riwayat lain yang sebagian menguatkan yang lain. (lihat Al Fath Al Rabbani Tartibul Musnad vol. VII hlm 89 dan Syarh Al Shudur karya Imam Al Suyuthi.
    Ibnu Al Mubarak meriwayatkan dengan sanadnya sampai Abi Ayyub, ia berkata, “Amal perbuatan orang-orang hidup disampaikan kepada orang-orang yang telah mati. Jika mereka melihat amal baik mereka bersuka cita. Jika mereka melihat amal buruk mereka berdo’a, “Ya Allah, semoga Engkau menyadarkan mereka.” (lihat kitaburruh karya Ibnul Qayyim).[]

    LihatTutupKomentar