Peraturan Menteri Agama (PMA) No 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren
Keterangan gambar: Gedung Al-Khoirot Research and Publication atau Pustaka Alkhoirot: yaitu Pusat penelitian dan penerbitan Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
  Nama Undang-undang: Peraturan Menteri Agama (PMA) No 31 Tahun 2020 tentang
  Pendidikan Pesantren
Penerbit Undang-undang: Menteri Kementerian Agama
  Republik Indonesia 
Daftar Isi
- Download PMA No. 31/2020 tentang Pendidikan Pesantren 
- Bab I Ketentuan Umum
- Bab II Jalur, Jenjang, dan Bentuk Pendidikan Pesantren
- Bab III Pendidikan Muadalah
- Bab IV Pendidikan Diniyah Formal
- Bab V Ma'Had Aly
- Bab VI Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam Bentuk Lain yang Terintegrasi dengan Pendidikan Umum
- Bab VII Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren
- Bab VIII Pendanaan
- Bab IX Pengelolaan Data dan Informasi
- Bab X Ketentuan Peralihan
- Bab XI Ketentuan Penutup
- 
    Undang-undang yang Lain:
    - Undang-Undang RI tentang Pondok Pesantren No 18/2019
- Peraturan Menteri Agama (PMA) No 30 2020 Tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren
- Peraturan Menteri Agama (PMA) No 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren
- Peraturan Menteri Agama (PMA) No 32 Tahun 2020 tentang Ma'had Aly
- Pedoman Penyelenggaraan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) 2022)
- Revisi Pedoman Penyelenggaraan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) tahun 2023
- Pedoman Madrasah Diniyah Takmiliyah Model (MDTM)
- Pedoman Pengembangan Kurikulum Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) 2023
 
- Kembali ke: Daftar Buku Islam dan Umum
  PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2020
TENTANG
      PENDIDIKAN PESANTREN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
  Mengingat
 
bahwa  untuk  melaksanakan 
  ketentuan  Pasal  18 ayat  (3),
Pasal 20 ayat (3), Pasal
  24, Pasal 28 ayat (2), Pasal 30 ayat
(3), dan Pasal 36
  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019
  tentang Pesantren, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama  tentang
  Pendidikan  Pesantren;
1.    Pasal 17 ayat (3)
  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.   
  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara · (Lembaran
  Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,  Tambahan Lembaran Negara
  Republik Indonesia Nomor 4916);
3.    Undang-Undang Nomor
  18 Tahun 2019 tentang Pesantren   (Lembaran  
  Negara   Republik   Indonesia
.  Tahun 
  2019  Nomor   191, Tambahan  Lembaran  Negara
  Republik  Indonesia  Nomor  6406) ;
4.   
  Peraturan  Presiden  Nomor  83 Tahun  2015  tentang
  Kementerian    Agama   
  (Lembaran    Negara    Republik Indonesia Tahun
  2015 Nomor  168);
5.    Peraturan Menteri Agama Nomor
  42 Tahun  2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama
  (Serita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1495);
Menetapkan
MEMUTUSKAN:
PERATURAN   
  MENTER!    AGAMA    TENTANG   
  PENDIDIKAN PESANTREN.
  
  BAB I KETENTUAN  UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.   
  Pondok Pesantren, Dayah, Surau, Meunasah, atau sebutan lain, yang
  selanjutnya  disebut  Pesantren adalah lembaga yang berbasis
  masyarakat  dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, orgamsas1
  rnasyarakat Islam, dan/ atau rnasyarakat yang rnenanamkan keimanan dan
  ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak rnulia serta mernegang teguh
  ajaran Islam rahmatan lil'alami n yang tercermin dari sikap rendah 
  hati,  toleran,  keseimbangan, rnoderat, dan nilai luhur bangsa
  Indonesia lainnya rnelalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan
  pemberdayaan masyarakat dalarn kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.   
  Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren dan
  berada di lingkungan Pesantren dengan rnengembangkan kurikulum sesuai dengan
  kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah 
  dengan pola  pendidikan   rnuallimin.
3.   
  Kitab Kuning adalah kitab keislarnan berbahasa Arab atau kitab keislarnan
  berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di Pesantren.
4.   
  Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin adalah kumpulan kajian
  tentang ilmu agama Islam yang terstruktur, sistematis, dan terorganisasi.
5.   
  Pengkajian Kitab Kuning adalah Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada
  jalur pendidikan nonformal yang menjadikan Kitab Kuning sebagai rujukan utama
  dalam pembelajaran.
6.    Pendidikan Muadalah adalah
  Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan
  mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis Kitab
  Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin secara
  berjenjang dan terstruktur.
7.    .  
  Pendidikan    Diniyah   
  Formal    adalah      Pendidikan
  Pesantren yang diselenggarakan pada jalur  pendidikan formal 
  sesuai  dengan   kekhasan     Pesantren
  yang berbasis Kitab Kuning secara    
  berjenjang     dan terstruktu r.
8.   
  Ma'had Aly adalah Pendidikan Pesantren jenjang pendidikan tinggi yang
  diselenggarakan oleh Pesantren dan berada  di lingkungan Pesantren dengan
  mengembangkan kajian keislaman sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis
  Kitab  Kuning secara berjenjang dan terstruktur .
9.   
  Santri adalah peserta didik yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama
  Islam di Pesantren.
10.    Kiai, Tuan Guru, Anre Gurutta,
  Inyiak, Syekh, Ajengan, Buya, Nyai, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut
  Kiai adalah seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama Islam yang
  berperan sebagai figur, teladan, dan/ atau pengasuh Pesantren.
11.   
  Dewan Masyayikh atau Sebutan Lain yang selanjutnya disebut Dewan Masyayikh
  adalah lembaga  yang dibentuk oleh Pesantren yang bertugas melaksanakan
  sistem  penJ amman  mutu   internal   Pendidikan
  Pesantren .    
12. Majelis Masyayikh adalah lembaga
  mandiri dan independen sebagai perwakilan Dewan Masyayikh dalam merumuskan dan
  menetapkan  sistern penjaminan mutu Pendidikan Pesantren.
13 . .
  Ahlul Halli Wal Aqdi yang selanjutnya disingkat AHWA adalah tim yang bertugas
  memilih anggota Majelis Masyayikh.
14. Piagam Statistik Pesantren yang
  selanjutnya disingkat PSP adalah tanda bukti daftar yang diberikan kepada
  Pesantren .
15.    Kementerian   
  adalah    kementerian    yang menyelenggarakan
  urusan pemerintahan di bidang agama.
16.    Menteri adalah
  menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
17.
  Direktorat Jenderal adalah unsur pelaksana pada Kernenterian   
  yang    mempunya1    tugas menyelenggarakan
  perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan Islam.
18.
  Direktur Jenderal adalah pem1mpm Direktorat Jenderal.
Pasal 2
(1)
  Pesantren menyelenggarakan Pendidikan Pesantren sebagai bagian dari
  penyelenggaraan pendidikan nasional.
(2)    Pendidikan
  Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam:
a.   
  bentuk Pengkajian Kitab Kuning;
b.    bentuk Dirasah
  Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin ; dan
c.   
  bentuk  lain yang terintegrasi dengan pendidikan
urnum .
Pasal
  3
(1) Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal    2    diselenggarakan   
  berdasarkan    kekhasan, tradisi,   
  dan    kurikulum    pendidikan   
  rnasing-masing Pesantren.
(2) Pendidikan Pesantren sebagaimana dirnaksud
  pada ayat (1) diselenggarakan dengan tujuan rnernbentuk Santri yang unggul
  dalarn rnengisi kemerdekaan Indonesia dan mampu menghadapi perkembangan
  zaman.
(3)    Santri   
  sebagairnana     dimaksud    
  pada    ayat    (2)
mempunyai:
a.   
  akhlak mulia;
b.    kedalaman ilmu agama Islam;
c.   
  keteladanan;
d.    kecintaan terhadap tanah air;
e.   
  kemandirian;
f.    keterampilan; dan
g.   
  wawasan global.
  
  BAB II JALUR, JENJANG, DAN BENTUK PENDIDIKAN PESANTREN
Pasal 4
Pendidikan Pesantren diselenggarakan melalui
  jalur:
a.    pendidikan formal; dan / atau
b.   
  pendidikan  nonforrnal.
Pasal 5
Pendidikan 
  formal  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 4 huruf a
  dilaksanakan dalam jenjang pendidikan:
a.    dasar;
b.   
  menengah; dan
c.    tinggi.
Pasal 6
Pendidikan
  Pesantren pada jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
  diselenggarakan dalam bentuk:
a.    satuan Pendidikan
  Muadalah;
b.    satuan Pendidikan Diniyah Formal; dan
c.   
  Ma'had Aly.
Pasal 7
Pendidikan Pesantren pada jalur pendidikan
  nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b diselenggarakan dalam:
a.   
  bentuk Pengkajian Kitab Kuning; dan
b.   
  bentuk    lain    yang   
  terintegrasi    dengan    pendidikan umum.
  
  BAB III PENDIDIKAN MUADALAH
  
  Bagian Kesatu Jenjang dan Bentuk
Pasal 8
Satuan   
  Pendidikan    Muadalah   
  sebagaimana    dimaksud dalam Pasal 6 huruf a terdiri atas:
a.   
  satuan Pendidikan Muadalah salafiyah; dan
b.    satuan
  Pendidikan Muadalah muallimin.
Pasal 9
(1)   
  Satuan Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada jenjang
  pendidikan dasar diselenggarakan dalam bentuk:
a.   
  satuan Pendidikan Muadalah ula; dan / atau
b.    satuan
  Pendidikan Muadalah wustha.
(2)    Satuan Pendidikan
  Muadalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada jenjang pendidikan menengah
  diselenggarakan dalam bentuk satuan Pendidikan Muadalah ulya.
(3)   
  Jenjang    satuan   
  Pendidikan    Muadalah    dapat
diselenggarakan   
  dalam  waktu  6  (enam)  tahun  atau lebih dengan
  menggabungkan penyelenggaraan satuan
Pendidikan 
  Muadalah  wustha dan satuan Pendidikan Muadalah ulya secara
  berkesinambungan.
  
  Bagian Kedua Santri
Pasal 10
(1)    Santri pada satuan Pendidikan
  Muadalah ula paling rendah berusia 6 (enam) tahun .
(2)   
  Santri pada satuan Pendidikan Muadalah  wustha paling sedikit harus
  memenuhi persyaratan :
a.    memiliki ijazah satuan
  Pendidikan Muadalah ula atau sederajat; dan
b.   
  memenuhi  kompetensi  untuk  mengikuti  satuan Pendidikan
  Muadalah wustha.
(3)    Santri pada satuan Pendid ikan
  Muadalah ulya paling sedikit harus memenuhi persyaratan:
a.   
  memiliki    ijazah    satuan   
  Pendidikan    Muadalah wustha atau sederajat; dan
b.   
  memenuhi  kompetensi  untuk  mengikuti  satuan Pendidikan
  Muadalah ulya.
(4)  Kompetensi  sebagaimana 
  dimaksud  pada  ayat  (2) huruf b dan ayat (3) huruf b
  ditetapkan oleh penyelenggara  satuan  Pendidikan  Muadalah.
(5)
  Santri pada satuan Pendidikan Muadalah yang diselenggarakan dalam waktu 6
  (enam) tahun atau lebih dengan menggabungkan satuan Pendidikan Muadalah wustha
  dan satuan Pendidikan Muadalah ulya secara berkesinambungan dikecualikan dari
  ketentuan ayat (3) .
Pasal 11
(1)    Santri
  yang tidak menyelesaikan JenJ ang satuan Pendidikan Muadalah dihargai sesuai
  kelas pada jenjangnya  dengan  bukti yang cukup.
(2)   
  Bukti yang  cukup  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat
  ( 1)  berupa  raport  dan/ atau  surat 
  keterangan  yang diterbitkan  oleh  satuan 
  Pendidikan    Muadalah  yang bersangkutan.
  
  Bagian Ketiga Kurikulum
Pasal  12
Kurikulum Pendidikan Muadalah terdiri
  atas:
a.    kurikulum Pesantren; dan
b.   
  kurikulum pendidikan umum.
Pasal 13
( 1) Kurikulum Pendidikan
  Muadalah salafiyah  dan Pendidikan  Muadalah 
  muallimin   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikembangkan
  oleh Pesantren.
(2)    Kurikulum 
  Pendidikan   Muadalah   salafiyah sebagaimana dimaksud
  pada ayat (1) berbasis Kitab Kuning.
(3)    Kurikulum
  Pendidikan  Muadalah  muallimin sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1)
  berbasis Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Pasal
  14
(1)    Pengembangan kurikulum Pesantren sebagaimana
  dimaksud dalam Pasal 13 disusun berdasarkan kerangka dasar dan 
  struktur  kurikulum  Pesantren yang dirumuskan oleh Majelis
  Masyayikh.
(2)    Dalam merumuskan kerangka dasar dan
  struktur kurikulum  Pesantren   sebagaimana  
  dimaksud   pada ayat ( 1), Majelis Masyayikh memperhatikan ketentuan
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 15
(1)   
  Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b paling
  sedikit memuat:
a.    pendidikan Pancasila dan
  Kewarganegaraan;
  b.    bahasa Indonesia;
c.    matematika;
  dan
d.    ilmu  pengetahuan  alam 
  atau  ilmu  pengetahuan sosial.
(2)    Materi
  muatan kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
  berbentuk mata pelajaran atau kajian yang terintegrasi dengan kurikulum
  Pesantren.
(3)    Kurikulum pendidikan umum sebagaimana
  dimaksud pada ayat ( 1) disusun oleh penyelenggara satuan Pendidikan Muadalah
  dengan berpedoman  pada kerangka  dasar  dan 
  struktur  kurikulum  Pesantren yang dirumuskan oleh Majelis
  Masyayikh.
  
  
  Bagian Keempat Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Paragraf 
  1 Pendidik
( 1)    Pendidik    dalam
  Muadalah    harus
 
Pasal 16
penyelenggaraan   
  Pendidikan memenuhi    kualifikasi    dan
 
kompetensi
  sebagai pendidik profesional.
(2)    Kualifikasi dan
  kompetensi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  ditentukan  berdasarkan:
a.    latar belakang
  pendidikan;
b.    kemampuan   
  penguasaan    ilmu    agama   
  Islam sesuai dengan bidang yang diampu; dan/ atau
c.   
  sertifikat pendidik.
Pasal  17
(1)   
  Latar belakang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a
  dapat:
a.    berpendidikan Pesantren; dan / atau
  b.    pendidikan tinggi.
 
(2)   
  Berpendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
  merupakan:
a.    lulusan sarjana dari Ma'had Aly; atau
b.   
  lulusan Pesantren.
(3)    Pendidikan tinggi sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan lulusan sarjana dari perguruan tinggi
  yang terakreditasi.
Pasal 18
Pendidik yang berasal dari
  lulusan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dapat
  mengajar setelah mendapat persetujuan dari Dewan Masyayikh .
Pasal 
  19
Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 harus memenuhi
  kompetensi ilmu agama Islam dan/ atau kompetensi sesua1 dengan bidang yang
  diampu dan bertanggung jawab .
Paragraf 2 Tenaga Kependidikan
Pasal
  20
(1) Tenaga kependidikan pada satuan Pendidikan Muadalah dapat berasal
  dari pendidik yang diberikan tugas tambahan dan tenaga lain sesuai dengan
  kebutuhan.
(2)    Tenaga lain sebagaimana dimaksud pada
  ayat (1) merupakan tenaga kependidikan yang diangkat dari anggota masyarakat
  untuk menunJ ang kegiatan pendidikan.
(3)    Tenaga
  kependidikan pada satuan Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud pada ayat
  (1) paling sedikit terdiri atas:
a.    pimpinan satuan
  Pendidikan Muadalah;
b.    tenaga perpustakaan ;
c.   
  tenaga administrasi; dan
 d.    tenaga
  laboratorium.
  
  Bagian Kelima Penilaian  dan Kelulusan
Pasal 21
( 1) Penilaian pada Pendidikan Muadalah dilakukan
  oleh pendidik  dan  satuan  Pendidikan  Muadalah.
(2)   
  Penilaian oleh pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
  berkesinambungan yang bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar
  Santri.
(3)    Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
  (2) dilakukan dalam bentuk:
a.    penilaian harian; dan
b.   
  penilaian berdasarkan tugas terstruktur.
(4)    Penilaian
  oleh satuan Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilakukan
  untuk menilai pencapaian kompetensi semua mata pelajaran dan kompetensi
  lulusan Santri di setiap jenjang Pendidikan Muadalah.
(5)   
  Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk:
a   
  penilaian berkala; dan
b.    penila1an akhir.
Pasal
  22
(1)    Santri satuan Pendidikan Muadalah yang telah
  menyelesaikan pendidikan dan dinyatakan  lulus melalui penilaian
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diberikan syahadah atau ijazah sesuai
  dengan ketentuan  peraturan  perundang-undangan .
(2)   
  Syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
  memuat:
a.    lambang negara;
b.   
  nomor syahadah atau ijazah;
c.    nama satuan
  pendidikan;
d.    nomor statistik satuan pendidikan;
e.   
  nama Santri;
f.    tempat dan tanggal lahir Santri;
g.   
  nomor induk Santri; dan
h.    nomor induk siswa
  nasional.
(3)    Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana
  dimaksud pada ayat ( 1) berhak:
a.    melanjutkan ke JenJ
  ang pendidikan yang lebih tinggi baik yang seJ ems  maupun 
  tidak  sejenis; dan / atau
b.    mendapatkan
  kesempatan kerja.
(4)    Format syahadah atau ijazah
  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal
  23
Dalam hal syahadah atau ijazah  sebagaimana  dimaksud dalam
  Pasal 22 ayat ( 1) diterbitkan oleh  Pesantren  induk yang tidak
  memberikan kewenangan penerbitan  syahadah atau ijazah oleh 
  Pesantren  cabang,  nomor  statistik Pesantren 
  menggunakan  nomor  statistik  Pesantren  induk.
  
  
  Bagian Keenam Sarana dan Prasarana
Pasal 24
(1)   
  Satuan Pendidikan Muadalah wajib memiliki sarana dan prasarana pendidikan
  untuk mendukung proses pembelajaran dengan memperhatikan aspek daya tampung,
  kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan .
(2)   
  Kriteria  aspek  daya  tampung,  kenyamanan, kebersihan,
  kesehatan, dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh 
  Majelis Masyayikh .
(3)    Menteri dapat memberikan
  fasilitasi sarana dan prasarana pada satuan Pendidikan Muadalah untuk memenuhi
  aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan,  dan keamanan.
Pasal
  25
Sarana dan prasarana  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 paling
  sedikit terdiri atas:
a.    ruang kelas;
b.   
  ruang pimpinan  satuan pendidikan;
c.    ruang
  pendidik;
d.    ruang tata usaha;
e.   
  ruang perpustakaan; dan
f.    ruang  
  laboratorium .
  
  Bagian Ketujuh Pendirian Pendidikan Muadalah
Paragraf 1 Persyaratan
Pasal 26
(1)   
  Pendirian    satuan   
  Pendidikan    Muadalah    wajib memperoleh izin
  dari Menteri.
(2)    Izin dari Menteri sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah memenuhi persyaratan:
a.   
  berbadan hukum yang dibuktikan dengan akta notaris yang disahkan oleh
  kementerian yang menyelenggarakan urusan  pemerintahan  di bidang
  hukum dan hak asasi manusia;
b.    memiliki  PSP;
 
c   
  didirikan    di    lingkungan   
  Pesantren dibuktikan dengan denah lokasi;
 
yang
 
d.   
  memiliki struktur organisasi pengelola Pesantren; e.   
  Pesantren  sudah beroperasi  dalam jangka  waktu
  paling    singkat    3 (tiga)   
  tahun    terhitung    sejak
  didirikan    yang    dibuktikan pernyataan;
 dengan   
  surat
 
 f.       
  merniliki Muadalah;
 
rencana   
  kurikulum    Pendidikan
 
g.   
  rnemiliki paling sedikit 5 (lima) orang pendidik dan 2 (dua) orang tenaga
  kependidikan;
h.    merniliki  
  sarana   dan    prasarana    kegiatan
  pem belajaran yang berada di dalarn Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal
  25;
i.    rencana sumber pendanaan untuk kelangsungan
  pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun ajaran berikutnya;
J
  .    memiliki  sistern  evaluasi  pendidikan;
k.   
  memiliki rencana kalender pendidikan; dan
1.    memiliki
  Santri mukim paling sedikit 120 (seratus dua puluh) orang.
(3)   
  Kalender  penidikan   sebagaimana  
  dimaksud   pada ayat ( 1) huruf k mernuat:
a.   
  jadwal  pembelajaran;
b.    evaluasi berkala;
c.   
  UJ1an;
d.    kegiatan ekstra kurikuler; dan
  e.    hari libur.
Paragraf 2
Prosedur Pengajuan
  Permohonan
Pasal 27
(1)    Pirnpinan Pesantren
  mengajukan permohonan izin pendirian satuan Pendidikan Muadalah secara
  tertulis kepada Direktur Jenderal.
(2)    Permohonan
  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan rnelampirkan dokumen
  persyaratan sebagairnana dimaksud dalarn Pasal 26 ayat (2) .
Pasal
  28
( 1)  Direktur   Jenderal  
  melakukan   pemeriksaan kelengkapan dokurnen sebagairnana dirnaksud
  dalam Pasal  27  ayat  (2)  dalarn jangka 
  waktu  paling  lama  7 (tujuh)   
  hari    kerja    terhitung   
  sejak    permohonan diterima.
(2)    Dalam
  hal dokumen tidak lengkap, Direktur Jenderal menyam paikan surat pemberitahuan
  kepada pimpinan Pesantren untuk melengkapi dokumen dalam jangka waktu paling
  lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan  disampaikan.
(3)   
  Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pimpinan
  Pesantren tidak melengkapi dokumen, permohonan dianggap ditarik kembali.
Pasal
  29
( 1) Dalam hal  berdasarkan  hasil  pemeriksaan
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dokumen permohonan dinyatakan
  lengkap, Direktur Jenderal melakukan verifikasi  keabsahan  dokumen
  dan/ atau visitasi lapangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
  hari kalender.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi keabsahan
  dokumen dan/ atau visitasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  ditemukan bukti ketidaksesuaian dengan dokumen yang disampaikan, Direktur
  Jenderal menolak  permohonan  disertai dengan alasan.
Paragraf
  3 Penetapan Izin Pendirian
Pasal 30
( 1) Dalam hal berdasarkan
  hasil verifikasi keabsahan dokumen dan/ atau visitasi lapangan sebagaimana
  dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) ditemukan bukti kesesuaian dengan 
  dokumen  yang  disampaikan, Direktur  Jenderal 
  menetapkan  izin  pendirian.
(2)    Penetapan
  izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a.   
  nama dan alamat satuan pendidikan;
b.    nama dan alamat
  Pesantren; dan
c.    nomor statistik satuan pendidikan.
Pasal
  31
Izin pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 berlaku sepanJ ang
  satuan Pendidikan Muadalah menyelenggarakan Pendidikan Muadalah sesuai dengan
  ketentuan  peraturan  perundang-undangan.
  
  BAB IV PENDIDIKAN DINIYAH FORMAL
  
  Bagian Kesatu Jenjang dan Bentuk
Pasal 32
(1)    Satuan Pendidikan Diniyah
  Formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b diselenggarakan dalam
  bentuk:
a.    satuan Pendidikan Diniyah Formal ula; dan /
  atau
b.    satuan Pendidikan Diniyah Formal wustha.
(2)   
  Satuan Pendidikan Diniyah Formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b
  diselenggarakan dalam bentuk satuan Pendidikan Diniyah Formal ulya.
Pasal
  33
( 1) Satuan Pendidikan Diniyah Formal ula sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 32 ayat (1) huruf a diselenggarakan  paling singkat selama 6 (enam)
  tahun.
(2)    Satuan Pendidikan Diniyah Formal wustha
  sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 32 ayat (1) huruf b diselenggarakan paling
  singkat selama 3 (tiga) tahun.
(3)    Satuan Pendidikan
  Diniyah Formal ulya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
  diselenggarakan paling singkat selama 3 (tiga) tahun .
 
  Bagian Kedua Santri
Pasal 34
(1) Santri pada satuan Pendidikan Diniyah Formal
  ula paling rendah berusia 6 (enam) tahun.
(2)    Santri
  pada satuan Pendidikan Diniyah Formal wustha paling sedikit harus memenuhi
  persyaratan:
a.    memiliki   
  ijazah    satuan    Pendidikan   
  Diniyah Formal ula atau sederajat; dan
b.   
  memenuhi  kompetensi  untuk  mengikuti  satuan Pendidikan
  Diniyah Formal wustha.
(3)    Santri pada satuan
  Pendidikan Diniyah Formal ulya paling sedikit harus memenuhi persyaratan:
a.   
  memiliki    ijazah    satuan   
  Pendidikan    Diniyah Formal wustha atau sederajat; dan
b
  .    memenuhi  kompetensi  untuk 
  mengikuti  satuan Pendidikan Diniyah Formal ulya.
(4) 
  Kompetensi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)
  huruf b dan ayat  (3) huruf b ditetapkan oleh penyelenggara  satuan
  Pendidikan  Diniyah  Formal.
Pasal 35
(1)   
  Santri yang tidak menyelesaikan JenJang satuan Pendidikan Diniyah Formal
  dihargai sesuai kelas pada jenjangnya dengan bukti yang cukup.
(2)   
  Bukti yang  cukup  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat
  ( 1) berupa raport dan / atau surat keterangan yang diterbitkan oleh satuan
  Pendidikan Diniyah Formal yang bersangkutan.
  
  Bagian Ketiga Kurikulum
Pasal 36
Kurikulu m Pendidikan Diniyah Formal terdiri
  atas:
a.    kurikulum Pesantren; dan
b.   
  kurikulum pendidikan umum.
Pasal 37
( 1) Majelis
  Masyayikh  menyusun  rumusan  kerangka dasar dan struktur
  kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a dengan
  berbasis Kitab Kuning.
(2)    Rumusan kerangka dasar dan
  struktur kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
  oleh Menteri .
Pasal 38
( 1) Kurikulum pendidikan umum
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b pada  satuan  Pendidikan
  Diniyah Formal ula dan wustha wajib memasukkan materi  muatan:
a.   
  pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan;
b.    bahasa
  Indonesia;
c.    matematika ; dan
d.   
  ilmu  pengetahuan  alam  atau  ilmu  pengetahuan
  sosial.
(2)    Kurikulum pendidikan umum sebagaimana
  dimaksud dalam Pasal 36 huruf b pada satuan Pendidikan Diniyah Formal ulya
  wajib memasukkan materi muatan:
a.    pendidikan Pancasila
  dan Kewarganegaraan;
b.    bahasa Indonesia;
c.   
  matematika;
d.    ilmu  pengetahuan  alam 
  atau  ilmu  pengetahuan sosial; dan
e.    seni
  dan budaya.
(3)    Materi muatan sebagaimana dimaksud pada
  ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk mata pelajaran atau kajian yang
  terintegrasi dengan kurikulum Pesantren.
(4)    Kurikulum
  pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) disusun oleh penyelenggara
  satuan Pendidikan  Diniyah  Formal  dengan 
  berpedoman  pada kerangka    dasar  
  dan    struktur   kurikulum   
  Pesantren yang dirumuskan oleh Majelis Masyayikh.
  
  Bagian Keempat Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Paragraf  1 Pendidik
Pasal 39
(1)   
  Pendidik dalam penyelenggaraan satuan Pendidikan Diniyah Formal harus memenuhi
  kualifikasi dan kompetensi sebagai pendidik profesional.
(2)   
  Kualifikasi  dan  kompetensi  sebagai  pendidik
  profesional sebagaimana dimaksud  pada ayat ( 1)
  ditentukan    berdasarkan:
a.    latar
  belakang pendidikan;
b.    kemampuan   
  penguasaan    ilmu    agama   
  Islam sesuai dengan bidang yang diampu; dan / atau
c.   
  sertifikat pendidik.
Pasal 40
( 1) Latar belakang 
  pendidikan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a
  dapat:
a.    berpendidikan Pesantren; dan / atau
b.   
  pendidikan tinggi.
(2)    Berpendidikan Pesantren 
  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  ( 1) huruf  a
  merupakan:
a.    lulusan sarjana dari Ma'had Aly; atau
b.   
  lulusan Pesantren .
(3)    Pendidikan tinggi sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan lulusan sarjana  dari 
  perguruan tinggi yang  terakreditasi.
Pasal 41
Pendidik
  yang berasal dari lulusan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
  (2) huruf b dapat mengajar setelah mendapat persetujuan dari Dewan
  Masyayikh.
Pasal 42
Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 39 ayat (1) harus memenuhi kompetensi ilmu agama Islam dan / atau
  kompetensi sesuai dengan bidang yang diampu dan bertanggung jawab.
Paragraf
  2 Tenaga Kependidikan
Pasal 43
( 1) Tenaga kependidikan pada
  satuan Pendidikan Diniyah Formal dapat berasal dari  pendidik 
  yang  diberikan tugas tambahan dan tenaga lain sesuai dengan
  kebutuhan.
(2)    Tenaga lain sebagaimana dimaksud pada
  ayat (1) merupakan tenaga kependidikan yang diangkat dari anggota masyarakat
  untuk menunJ ang kegiatan pendidikan .
(3)    Tenaga
  kependidikan pada satuan Pendidikan Diniyah Formal sebagaimana dimaksud pada
  ayat ( 1) paling sedikit terdiri  atas:
a.   
  pimpinan  satuan Pendidikan  Diniyah Formal;
b.   
  tenaga perpustakaan;
c.    tenaga administrasi; dan
d.   
  tenaga laboratorium.
  
  Bagian Kelima Penilaian dan Kelulusan
Pasal 44
( 1) Penilaian Pendidikan Diniyah Formal dilakukan
  oleh pendidik, satuan  Pendidikan  Diniyah  Formal,  dan
  Menteri .
(2)    Penilaian oleh pendidik  sebagaimana
  dimaksud pada ayat    (1)   
  dilakukan    secara   
  berkesinambungan    yang bertujuan   
  untuk    memantau    proses   
  dan    kemajuan belajar Santri.
(3)   
  Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam bentuk:
a.   
  penilaian harian; dan
b.    penilaian berdasarkan tugas
  terstruktur.
(4)    Penilaian oleh satuan Pendidikan
  Diniyah Formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai
  pencapaian kompetensi semua mata pelajaran dan kompetensi lulusan Santri
  di  setiap  jenjang satuan Pendidikan Diniyah Formal.
(5)   
  Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk:
a   
  penilaian tengah semester; dan
b.    penilaian akhir
  semester.
(6)    Penilaian oleh Menteri dilakukan dalam
  bentuk ujian akhir  Pendidikan  Diniyah  Formal 
  berstandar  nasional ( imtihan wathanz).
(7)    Ujian
  akhir Pendidikan Diniyah Formal berstandar nasional sebagaimana dimaksud pada
  ayat (6) dilakukan oleh satuan Pendidikan Diniyah Formal.
(8)   
  Hasil UJ lan akhir Pendidikan Diniyah Formal sebagaimana dimaksud pada ayat
  (7) digunakan oleh Menteri untuk  mengukur  capaian 
  kompetensi  Santri.
Pasal 45
( 1) Santri pada satuan
  Pendidikan Diniyah Formal yang telah menyelesaikan pendidikan dan dinyatakan
  lulus melalui penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diberikan syahadah
  atau ijazah.
(2)    Syahadah atau ijazah sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a.   
  lambang negara;
b.    nomor syahadah atau ijazah;
c.   
  nama satuan pendidikan ;
d.    nomor statistik satuan
  pendidikan;
e.    nama Santri;
f.   
  tempat dan tanggal lahir Santri;
g.    nomor induk
  Santri:
h.    nomor induk siswa nasional; dan
L   
  nomor    ujian    akhir
  Pendidikan    Diniyah    Formal berstandar
  nasional.
(3)    Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana
  dimaksud pada ayat ( 1) berhak:
a.    melanjutkan ke
  jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis;
  dan/ atau
b.    mendapatkan kesempatan kerja.
(4)   
  Format syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
  dengan Keputusan Menteri.
Pasal 46
Dalam hal syahadah
  atau ijazah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) diterbitkan oleh
  Pesantren induk yang tidak memberikan kewenangan penerbitan syahadah atau
  ijazah  oleh Pesantren cabang, nomor statistik Pesantren menggunakan
  nomor statistik Pesantren induk.
  
  Bagian Keenam Sarana dan Prasarana
Pasal 47
(1)    Satuan Pendidikan Diniyah
  Formal wajib memiliki sarana dan prasarana pendidikan untuk mendukung proses
  pembelajaran dengan memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan,
  kesehatan, dan keamanan.
(2)    Majelis Masyayikh menyusun
  kriteria aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan
  sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   
  Menteri   dapat   mem berikan  
  fasilitasi   sarana   dan prasarana   
  pada   satuan  Pendidikan   
  Diniyah    Formal untuk  memenuhi  aspek daya
  tampung,  kenyamanan, kebersihan,  kesehatan, dan keamanan.
Pasal
  48
Sarana dan prasarana  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 47
  paling sedikit terdiri atas:
a.    ruang kelas;
b.   
  ruang pimpinan satuan pendidikan;
c.    ruang pendidik;
d.   
  ruang tata usaha;
e.    ruang perpustakaan; dan
f.   
  ruang laboratoraium.
  
  
Bagian Ketujuh Pendirian Satuan Pendidikan Diniyah Formal
Paragraf 1 Persyaratan
Pasal 49
(1)   
  Pendirian    Satuan   
  Pendidikan    Diniyah    Formal  wajib
  memperoleh izin dari Menteri.
(2)    Izin dari Menteri
  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah mernenuhi persyaratan:
a.   
  berbadan hukum yang dibuktikan dengan akta notaris yang disahkan oleh
  kementerian yang menyelenggarakan urusan  pemerintahan  di bidang
  hukum dan hak asasi manusia;
b.    rnemiliki PSP;
 
c   
  didirikan    di    lingkungan   
  Pesan tren dibuktikan dengan denah lokasi;
 
yang
 
d.   
  merniliki struktur organisasi pengelola Pesantren;
e.   
  Pesantren  sudah beroperasi  dalam jangka  waktu
  paling    singkat    5 (lima)   
  tahun    terhitung    sejak
  didirikan    yang    dibuktikan pernyataan;
  dengan    surat
 
f. memiliki rencana kurikulum
  Pendidikan Diniyah Formal;
g. memiliki paling sedikit  5
  (lima)  orang  pendidik dan 2 (dua) orang tenaga kependidikan;
h
  . memiliki sarana dan prasarana kegiatan pembelajaran yang berada di dalam
  Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48;
i. rencana sumber
  pendanaan untuk kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun
  ajaran berikutnya;
J .    memiliki  
  sistem  evaluasi  pendidikan;
k.    rencana
  kalender pendidikan ;
l.    memiliki Santri mukim paling
  sedikit 250 (dua ratus lima puluh) orang; dan
m. Santri yang terdaftar
  sebagai calon Santri satuan Pendidikan Diniyah Formal harus memenuhi 1 (satu)
  rombongan belajar.
(3)    Kalender pendidikan
  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2) huruf k memuat:
a.   
  jadwal  pembelajaran;
b.    evaluasi berkala ;
c.   
  UJ1an;
d.    kegiatan ekstra kurikuler; dan
e.   
  hari libur.
Paragraf 2
Prosedur Pengajuan Permohonan
Pasal
  50
(1)    Pimpinan Pesantren mengajukan permohonan izin
  pendirian satuan Pendidikan Diniyah Formal secara tertulis kepada Direktur
  Jenderal.
(2) Permohonan izin pendirian sebagaimana  dimaksud pada
  ayat (1) diajukan dengan melampirkan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud
  dalam Pasal 49 ayat (2).
Pasal 51
( 1)   
  Direktur    Jenderal   
  melakukan    pemeriksaan kelengkapan  dokumen 
  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 50 ayat (2) dalam jangka waktu
  paling lama 7 (tujuh)  hari  kerja   
  terhitung   sejak   permohonan diterima.
(2)   
  Dalam hal dokumen tidak lengkap, Direktur Jenderal menyampaikan surat
  pemberitahuan kepada pimpinan Pesantren un tuk melengkapi dokumen dalam jangka
  waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan 
  disampaikan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
  ayat (2) pimpinan Pesantren tidak melengkapi dokumen, permohonan dianggap
  ditarik kembali.
Pasal 52
( 1) Dalam  hal 
  berdasarkan  hasil  pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
  ayat (1) dokumen permohonan dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal melakukan
  verifikasi  keabsahan  dokumen dan / atau visitasi lapangan dalam
  jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender.
(2) Dalam hal
  berdasarkan hasil verifikasi keabsahan dokumen dan/ atau visitasi lapangan
  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bukti ketidaksesuaian dengan
  dokumen yang disampaikan, Direktur Jenderal menolak  permohonan 
  disertai dengan alasan.
Paragraf 3 Penetapan Izin Pendirian
Pasal
  53
(1) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi keabsahan dokumen dan/ atau
  visitasi lapangan sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  52 
  ayat  ( 1)  ditemukan  bukti kesesuaian   
  dengan    dokumen    yang   
  disampaikan, Direktur Jenderal menetapkan izin pendirian.
(2)   
  Penetapan izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) memuat:
a.   
  nama dan alamat satuan pendidikan;
b.    nama dan alamat
  Pesantren; dan
c.    nomor statistik satuan pendidikan
  .
Pasal 54
Izin pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
  berlaku sepanjang satuan Pendidikan Diniyah Formal menyelenggarakan Pendidikan
  Diniyah Formal sesuai dengan  ketentuan  peraturan 
  perundang-undangan.
  
  BAB V MA'HAD ALY
Pasal 55
(1)    Ma'had Aly 
  merupakan  pendidikan  formal  pada jenjang 
  pendidikan  tinggi.
(2)    Ma'had Aly sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan pendidikan akademik pada program:
a.   
  sarjana  ( marhalah ula) ;
b.    magister  (
  marhalah tsaniy ah);  dan
c.    doktor  (
  marhalah tsalisah).
Pasal 56
(1)    Ma'had Aly
  mengembangkan rumpun ilmu agama Islam berbasis Kitab Kuning dengan 
  pendalaman bidang ilmu keislaman tertentu .
(2)   
  Pendalaman bidang ilmu keislaman yang diselenggarakan oleh Ma'had Aly yang
  dikembangkan berdasarkan tradisi akademik Pesantren dalam bentuk konsentrasi
  kajian .
(3)    Ma'had Aly dapat menyelenggarakan lebih
  dari 1 (satu) konsentrasi kajian pada 1 (satu) rumpun ilmu agama
  Islam.    
(4)    Kurikulum Ma'had Aly
  wajib memasukkan materi muatan Pancasila, kewarganegaraan, dan Bahasa
  Indonesia.
(5)    Ma'had Aly memiliki otonomi untuk
  mengelola lembaganya  sebagaimana  tertuang  dalam  
  statuta Ma'had Aly .
(6)    Santri Ma'had Aly yang telah
  menyelesaikan proses pembelajaran dan dinyatakan lulus berhak menggunakan
  gelar dan mendapatkan ijazah serta berhak melanjutkan pendidikan pada program
  yang lebih tinggi dan kesempatan kerja .
Pasal 57
Ketentuan
  lebih lanjut mengenai Ma'had Aly diatur dalam Peraturan Menteri.
  
  BAB VI PENGKAJIAN KITAB KUNING DAN PENDIDIKAN PESANTREN DALAM BENTUK
      LAIN YANG TERINTEGRASI DENGAN PENDIDIKAN UMUM
Pasal 58
Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren
  dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum sebagaimana
  dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan secara:
a.   
  berjenjang; atau
b.    tidak berjenjang.
Pasal
  59
( 1) Dalam hal Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam
  bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum dilakukan secara
  berjenjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilaksanakan pada
  jenjang:
a.    dasar (ula dan wustha) ; dan
b.   
  menengah   (ulya) .
(2) Pengkajian Kitab Kuning dan 
  Pendidikan  Pesantren dalam  bentuk  lain  yang 
  terintegrasi   dengan pendidikan   umum  
  sebagaimana   dimaksud   pada  ayat ( 1)
  dilaksanakan  dengan  menggunakan  metode klasikal.
Pasal
  60
Dalam hal Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam
  bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum dilakukan secara tidak
  berjenjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b dilaksanakan dengan
  menggunakan metode sorogan, bandongan, dan/ atau metode pembelajaran lain.
Pasal
  61
(1)    Dalam pelaksanaan Pengkajian Kitab Kuning dan
  Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan
  umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 60, Pesantren menetapkan
  Kitab Kuning tertentu dalam pembelajaran.
(2)    Kitab
  Kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan  berdasarkan:
a.   
  rumpun ilmu;
b.    konsentrasi  kajian; dan/ atau
  c.    tema kajian .
Pasal 62
(1)   
  Selain melakukan Pengkajian Kitab Kuning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58,
  Pesantren dapat melaksanakan pembelajaran berdasarkan kurikulum pendidikan
  umum.
(2)    Kurikulum pendidikan umum sebagaimana
  dimaksud pada ayat ( 1) paling sedikit memuat:
a.   
  pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan;
b.    bahasa
  Indonesia;
c.    matematika;  clan
 d.   
  ilmu  pengetahuan  alam  atau  ilmu  pengetahuan
  sosial.
 (1)    Pesantren   
  yang
 
Pasal 63
menyelenggarakan   
  pendidikan nonformal dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan
  Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum dapat
  menerbitkan syahadah atau ijazah sebagai tanda kelulusan.
(2)   
  Syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) paling sedikit
  memuat:
a.    lambang negara;
b.   
  nomor syahadah atau ijazah;
c.     nama Pesantren;
d.   
  nomor statistik Pesantren;
e.    nama Santri;
f.   
  tempat dan tanggal lahir Santri; dan
g.    nomor induk
  santri nasional.
(3)    Format syahadah atau ijazah
  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal
  64
(1)    Lulusan Pesantren  yang 
  menyelenggarakan pendidikan nonformal dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning dan
  Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan
  umum diakui sama dengan lulusan pendidikan formal setelah dinyatakan lulus
  ujian kompetensi.
(2)    Ujian kompetensi sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pesantren.
(3)   
  Ujian kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara
  mandiri berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh  Pesantren 
  setelah memperhatikan kriteria  lulusan  Pesantren  yang
  ditetapkan oleh Majelis Masyayikh .
  Pasal 65
Ujian kompetensi  sebagaimana  dimaksud  dalam
  Pasal 64 dapat diikuti oleh Santri yang memenuhi persyaratan:
a.   
  mukim yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Pesantren;
b.   
  memiliki nomor induk siswa nasional; dan
c.    aktif
  mengikuti pembelajaran yang dibuktikan dengan daftar hadir.
Pasal
  66
( 1) Penyelenggaraan pendidikan nonformal dalam bentuk Pengkajian
  Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam  bentuk  lain 
  yang  terintegrasi   dengan pendidikan  umum 
  wajib  memiliki  sarana   dan prasarana pendidikan untuk
  mendukung proses pembelajaran dengan memperhatikan aspek daya tampung,
  kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
(2)   
  Majelis Masyayikh menyusun kriteria aspek daya tampung, kenyamanan,
  kebersihan, kesehatan, dan keamanan  sebagaimana dimaksud 
  pada  ayat ( 1) .
(3)    Menteri dapat memberikan
  fasilitasi sarana dan prasarana pada pendidikan nonformal dalam bentuk
  Pengkajian Kitab Kuning untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan,
  kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
  
  
  BAB VII PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PESANTREN
  
   
  Bagian Kesatu Umum
Pasal 67
(1)    Majelis   
  Masyayikh    menyelenggarakan    penjaminan mutu
  Pendidikan Pesantren.
 (2)    Untuk 
  rnenyelenggarakan  penjarninan   rnutu Pendidikan Pesantren
  sebagairnana dirnaksud ayat (1), Majelis Masyayikh rnenyusun sistern
  penjarninan rnutu pendidikan   Pesantren.
(3)   
  Sistem penJ arnman mutu Pendidikan Pesantren sebagairnana dimaksud pada ayat
  (2) rnemuat standar:
a.    kurikulu m;
  b.    lembaga;
c.    pendidik dan tenaga
  kependidikan; dan
d.    lulusan .
(4) Sistem penJ
  arnman mutu Pendidikan Pesantren sebagaimana dirnaksud pada ayat (2)
  ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 68
(1)    Sistem
  penJ amman rnutu Pendidikan Pesantren berfungsi:
a.   
  rnelindungi    kernandirian   
  dan    kekhasan Pendidikan Pesantren;
b.   
  mewujudkan pendidikan yang berrnutu; dan
c.   
  rnernajukan    penyelenggaraan    Pendidikan
  Pesantren  .
(2)    Sistem penjarninan mutu
  sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) diarahkan pada aspek:
a.   
  peningkatan kualitas dan daya saing surnber daya Pesantren;
b.   
  penguatan pengelolaan Pesantren; dan
c.   
  peningkatan    dukungan   
  sarana    dan    prasarana Pesantren .
 
  
 
  Bagian Kedua Pembentukan  Majelis Masyayikh dan Dewan
      Masyayikh
Paragraf  1 Majelis Masyayikh
Pasal 69
(1)   
  Menteri menetapkan Majelis Masyayikh.
(2)   
  Majelis   Masyayikh   sebagaimana  
  dimaksud   pada   ayat ( 1) beranggotakan 
  perwakilan  dari Dewan  Masyayikh .
(3)   
  Majelis Masyayikh berjumlah ganjil  paling sedikit 9 (sembilan) orang dan
  paling banyak berjumlah 17 (tujuh belas) orang dengan merepresentasikan rumpun
  ilmu agama Islam.
(4)    Majelis Masyayikh 
  sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)    paling sedikit
  terdiri atas:
a.    ketua merangkap anggota;
b.   
  sekretaris merangkap anggota; dan
c.    anggota.
(5)   
  Ketua dan sekretaris  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (3)
  huruf a dan huruf b dipilih dari dan oleh anggota.
(6)   
  Ketentuan mengenai pemilihan ketua dan sekretaris Majelis Masyayikh
  sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) ditetapkan oleh Majelis Masyayikh.
Pasal
  70
(1)    Masa khidmat Majelis Masyayikh selama 
  5  (lima) tahun.
(2)    Majelis Masyayikh 
  sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dapat dipilih kembali untuk masa khidmat
  berikutnya dengan ketentuan tidak melebihi 2  (dua) kali masa
  khidmat  berturut-turut.
Pasal 71
(1)   
  Majelis Masyayikh dipilih oleh AHWA.
 (2)   
  AHWA  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
  bersifat ad -hoc.
(3)    AHWA sebagaimana dimaksud pada
  ayat (1) harus memenuhi   persyaratan:
a.   
  memiliki  komitmen  kebangsaan;
b.   
  memiliki  integritas;
c.    sehat jasmani dan
  rohani;
d.    memiliki   
  pengetahuan    dan/ atau    pengalaman terkait
  Pendidikan Pesantren;
e.    memiliki keahlian dalam bidang
  keilmuan agama Islam;
f.    berusia  paling 
  rendah  40  (empat  puluh)  tahun pada saat dipilih;
  dan
g.    bukan pengurus partai politik.
(4)   
  AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  terdiri atas  unsur:
a.   
  pemerintah; dan
b.    asosiasi Pesantren yang
  beranggotakan Pesantren yang menyelenggarakan kajian Kitab Kuning, Dirasah
  lslamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin , dan bentuk lain yang terintegrasi
  dengan pendidikan umum.
(5)    Unsur AHWA sebagaimana
  dimaksud pada  ayat (4) huruf a ditunjuk oleh Menteri dan berjumlah 1
  (satu) orang.
(6)    Unsur AHWA sebagaimana dimaksud pada
  ayat (4) huruf b:
a.    berasal dari Dewan Masyayikh;
b.   
  berasal dari asosiasi Pesantren berskala nasional; dan
c.   
  memperhatikan    jumlah   
  keanggotaan    Pesantren secara proporsional.
(7)   
  AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 9 (sembilan) orang.
(8)   
  AHWA sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (7)
  ditetapkan  oleh Menteri.
 
Pasal 72
(1) Direktur
  Jenderal  menetapkan  9  (sembilan)  orang bakal calon
  anggota AHWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (7) berdasarkan prms1p
  proporsional.
(2)    Direktur Jenderal menyampaikan surat
  permintaan bakal calon anggota AHWA kepada pimpinan asosiasi Pesan tren
  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) .
(3)    Pimpinan
  asosiasi Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengajukan usulan bakal
  calon AHWA secara tertulis kepada Direktur Jenderal disertai dengan daftar
  riwayat hidup calon AHWA.
(4)    Daftar riwayat hidup
  sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat keterangan
  mengenai:
a.    nama lengkap bakal calon AHWA;
b.   
  tempat, tanggal, bulan , dan tahun kelahiran; c.    alamat
  kantor dan rumah;
d.    riwayat pendidikan;
e.   
  riwayat pekerjaan; dan
f.    pengalaman mengelola
  Pesantren.
Pasal 73
(1) Direktur Jenderal mengusulkan calon
  anggota AHWA kepada Menteri .
(2)  Menteri  
  menetapkan   calon   anggota   AHWA sebagaimana
  dimaksud pada ayat ( 1) menjadi anggota AHWA dengan  Keputusan 
  Menteri .
Pasal 74
(1)    Majelis Masyayikh
  dipilih oleh AHWA.
(2)    Majelis  Masyayikh
  sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)    harus memenuhi
  persyaratan paling sedikit:
a. memiliki  komitmen 
  kebangsaan;
b. memiliki  integritas;    
  
c.    sehat jasmani dan rohani;    
d.   
  memiliki    pengetahuan    dan /
  atau    pengalaman    terkait Pendidikan
  Pesantren;    
e.    memiliki 
  keahlian  dalam  bidang  keilmuan  agama I slam;
f.   
  berusia  paling  rendah  40  (empat  puluh) 
  tahun pada saat dipilih;
g.    bukan pengurus partai
  politik; dan
h.    bukan anggota AHWA.
Pasal
  75
( 1) AHWA menetapkan bakal calon anggota Majelis Masyayikh 
  berdasarkan  prinsip:
a.    proporsionalitas; dan
b.   
  representasi rumpun ilmu agama Islam.
(2)    Penetapan
  bakal calon anggota Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud  pada 
  ayat  ( 1)  dilakukan melalui  musyawarah  mufakat.
(3)   
  AHWA menyampaikan surat permohonan kesediaan kepada bakal calon anggota
  Majelis Masyayikh yang telah ditetapkan  sebagaimana dimaksud  pada
  ayat (1) .
(4)    AHWA menetapkan bakal calon anggota
  Majelis Masyayikh menjadi calon anggota Majelis Masyayikh berdasarkan surat
  kesediaan sebagaimana  dimaksud pada ayat (3) .
(5)   
  AHWA menyampaikan calon anggota Majelis Masyayikh sebagaimana 
  dimaksud  pada  ayat  (4) kepada Menteri .
(6)   
  Menteri menetapkan calon anggota Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada
  ayat (5) menjadi anggota Majelis Masyayikh dengan Keputusan Menteri.
Pasal
  76
(1)    Keanggotaan  Majelis Masyayikh berakhir
  apabila:
a.    meninggal dunia;
b.   
  mengundurkan diri;
c.    dipidana berdasarkan kekuatan
  hukum tetap;
d.    terlibat secara langsung dan/ atau
  tidak langsung dalam organisasi yang dilarang; dan / atau
e.   
  melanggar kode etik Majelis Masyayikh.
 
  (2)    Penetapan berakhirnya  keanggotaan  Majelis
  Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e
  ditetapkan melalui sidang Majelis Masyayikh.
(3)    Dalam
  hal anggota Majelis Masyayikh berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ,
  Ketua Majelis Masyayikh dapat mengusulkan pengganti  kepada Menteri .
(4)   
  Pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada hasil musyawarah
  yang disepakati paling sedikit 2 / 3 (dua pertiga) jumlah anggota Majelis
  Masyayikh.
(5)    Menteri menetapkan pengganti anggota
  Majelis Masyayikh.
Pasa 77
( 1)  Dalam  
  melaksanakan   tugas,   Majelis   Masyayikh
  dibantu   oleh   sekretariat.
(2)   
  Sekretariat sebagaimana dimaksud pada  ayat  (1) dipimpin oleh
  kepala sekretariat yang dijabat secara ex-officio oleh pejabat tinggi pratama
  yang membidangi Pesantren .
(3)    Sekretariat sebagaimana
  dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:
a.   
  mengoordinasikan    penyusunan   
  program    dan kegiatan;
b.   
  menyiapkan    bahan   
  penyusunan    program    dan kegiatan;
c.   
  menyiapkan bahan penyusunan laporan;
d.    menyusun
  pertanggungjawaban  keuangan; dan
e.    melaksanakan
  tugas lain sesuai dengan kebijakan Majelis Masyayikh.
 
Paragraf
  2 Dewan Masyayikh
Pasal 78
( 1)   
  Pesantren   membentuk   Dewan  Masyayikh.
(2)   
  Dewan  Masyayikh  sebagaimana  dimaksud pada ayat
(1)   
  ditetapkan oleh Kiai.
(3)    Dewan Masayayikh sebagaimana
  dimaksud pada ayat
(1)    terdiri atas:
a.   
  ketua; dan
b.    anggota.
(4)    Ketua
  sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dijabat oleh Kiai.
(5)   
  Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berjumlah paling sedikit 2
  (dua) orang.
  
   
  Bagian Ketiga Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren
Paragraf 1
Umurn
Pasal 79
(1)   
  Sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren terdiri atas:
a.   
  penjaminan mutu eksternal; dan
b.    penjaminan mutu
  internal.
(2)    Penjaminan mutu Pendidikan Pesantren
  secara eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh
  Majelis Masyayikh.
(3)    Penjaminan  mutu 
  Pendidikan  Pesantren   secara internal sebagaimana dimaksud
  pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Dewan Masyayikh .
 
Paragraf
  2 Penjaminan Mutu Eksternal
Pasal 80
Penjaminan mutu eksternal
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf a direncanakan,
  dilaksanakan, dievaluasi, dan dikembangkan oleh Majelis Masyayikh.
Pasal
  81
Untuk melakukan penJ amman mutu  eksternal sebagaimana dimaksud
  dalam Pasal 80, Majelis Masyayikh mempunyai tugas:
a.   
  menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren;
b.   
  memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan  kurikulum 
  Pesantren;
c.    merumuskan kriteria mutu lembaga dan
  lulusan Pesantren;
d.    merumuskan kompetensi dan
  profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;
e.   
  melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu; dan
f.   
  memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah Santri yang dikeluarkan oleh
  Pesantren.
Paragaraf 3 Penjaminan Mutu Internal
Pasal
  82
(1)    Penjaminan mutu internal sebagaimana dimaksud
  dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b direncanakan, dilaksanakan, dievaluasi, dan
  dikembangkan oleh Dewan Masyayikh.
(2)    Penjaminan 
  mutu  internal   sebagaimana   dimaksud
  pada   ayat  ( 1)  berpedoman   pada  
  sistem  penjaminan mutu eksternal.
  Bagian Keempat Pemetaan, Perencanaan, serta Afirmasi dan Fasilitasi
Pasal
  83
(1)    Penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf e dilakukan paling sedikit
  melalui:
a.    asesmen; dan / atau
b.   
  survei.
(2)    Hasil penilaian dan evaluasi serta
  pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) disampaikan kepada 
  Direktur  Jenderal.
Pasal 84
Berdasarkan hasil penilaian
  dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83,
  Direktur Jenderal  melakukan:
a.    pemetaan mutu;
b.   
  perencanaan target pemenuhan mutu berdasarkan pemetaan mutu; dan
c.   
  pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam pencapaian target pemenuhan mutu.
Pasal
  85
(1)    Pemetaan mutu sebagaimana dimaksud 
  dalam  Pasal 84 huruf a diwujudkan dalam bentuk laporan.
(2)   
  Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan melalui sistem
  informasi dan manajemen data Pesantren.
Pasal 86
(1)   
  Perencanaan target pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf
  b  disusun berdasarkan  laporan atas hasil pemetaan mutu.
(2)   
  Perencanaan  target sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)   
  meliputi perencanaan  target tahunan dan 5 (lima) tahunan.
(3)   
  Perencanaan  target sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menjadi
  bagian dari rencana strategis kementerian yang menyelenggaraan urusan
  pemerintahan di bidang agama.
Pasal 87
Afirmasi dan fasilitasi
  dalam pencapaian target pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84
  huruf c dilakukan paling sedikit dalam bentuk:
a.   
  pengembangan  kajian  tafaqquhfid d in;
b .   
  penguatan  kelembagaan  Pesantren;
c.   
  peningkatan kualifikasi dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan;
  dan
d.    pengakuan  lulusan  Pesantren .
  
 
  BAB VIII PENDANAAN
Pasal 88
(1)    Majelis   
  Masyayikh    didanai    dengan   
  menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara .
(2)   
  Pendanaan    sebagaimana   
  dimaksud    pada    ayat    (1)
  digunakan untuk:
a.    operasional Majelis Masyayikh; dan/
  atau b.    penyelenggaraan kegiatan.
(3)   
  Pendanaan    penyelenggaraan   
  kegiatan    sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
  berasal dari:
a.    anggaran   
  pendapatan    dan    belanja   
  daerah; dan/ atau
b.    sumber lain yang sah dan tidak
  mengikat.
  
  BAB IX PENGELOLAAN  DATA DAN INFORMASI
Pasal 89
(1)    Direktur  Jenderal 
  mengembangkan  sistem  informasi dan manajemen data Pesantren.
(2)   
  Sistem informasi dan manaJ emen data Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat
  ( 1) paling sedikit memuat data mengenai:
a.   
  kurikulum;
b.    kelembagaan;
c.   
  sarana dan prasarana;
d.    jenis layanan pendidikan
  Pesantren;
e.    pendidik dan tenaga kependidikan;
f.   
  santri;
g.    lulusan;
h.   
  kekhasan  Pesantren;
i.    peran dakwah Pesantren;
  dan J .    potensi ekonomi Pesantren .
(3)   
  Sistem informasi dan  manajemen  data  Pesantren dapat
  diintegrasikan dengan sistem informasi dan manaJ emen kementerian / lembaga
  sesua1 dengan ketentuan  peraturan  perundang-undangan.
Pasal
  90
( 1) Pengelolaan data dan informasi Pendidikan Muadalah, Pendidikan
  Diniyah Formal, dan Pendidikan Pesantren berbentuk Pengkajian Kitab Kuning
  diselenggarakan secara terintegrasi dengan sistem informasi dan manaJemen
  untuk mengelola data dan informasi Pesantren.
(2)   
  Sistem informasi dan manaJ emen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal.
(3)   
  Pengelolaan data dan informasi Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud pada
  ayat (1) dapat diintegrasikan dengan pengelolaan data dan informasi
  kependudukan, pendidikan, serta pengelolaan  data dan informasi lain
  berdasarkan  kebijakan  dari Menteri.
(4)   
  Ketentuan mengenai pengelolaan data dan informasi Pendidikan Muadalah
  ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
  BAB X KETENTUAN  PERALIHAN
Pasal 91
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a.   
  status dan peringkat akreditasi satuan Pendidikan Pesantren yang diterbitkan
  oleh instansi yang berwenang dinyatakan tetap berlaku sampai masa akreditasi
  berakhir;
b.    semua ketentuan  yang 
  mengatur  mengenai penjaminan mutu Pendidikan  Pesantren dinyatakan
  tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan  atau belum diganti dengan
  peraturan dan ketentuan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
c.   
  semua ketentuan yang mengatur mengenai Pendidikan Diniyah Formal dinyatakan
  tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti  dengan
  peraturan dan ketentuan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini.
  
  BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 92
Majelis Masyayikh wajib dibentuk dalam jangka waktu
  paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Menteri ini
  diundangkan.
Pasal 93
Sistem informasi dan manaJemen data
  Pesantren wajib tersedia dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
  terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan
Pasal 94
Pada
  saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a.    Peraturan
  Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2014 tentang  Satuan  Pendidikan 
  Muadalah  pada  Pondok Pesantren    (Berita 
  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 2014 Nomor 972) ; dan
b.   
  pengaturan mengenai penyelenggaraan Pendidikan Diniyah Formal dalam
  Peraturan  Menteri  Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan
  Keagamaan Islam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 822),
dicabut
  dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 95
Peraturan   
  Menteri    im    mulai   
  berlaku    pada    tanggal diundangkan.
 
Agar
  setiap orang rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
  dengan penernpatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
  di Jakarta
pada tanggal 30 November 2020
MENTER! AGAMA
  REPUBLIK INDO NESIA,
ttd
FACHRUL RAZI
Diundangkan 
  di Jakarta
pada tanggal 30 November 2020
DIREKTUR 
  JENDERAL
PERATURAN  PERUNDA NG-U NDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK
  ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO
  EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLI K INDO NESIA TAHUN 2020
  NOMOR  1405
Salinan  sesuai dengan  aslinya Kernenterian
  Agarna RI
Ke  g:).a Biro Hukum dan Kerja Sarna Luar Negeri,
DOWNLOAD PMA NO. 31 /2020 (PDF) 

