Mukaddimah Minhajul Abidin

Mukaddimah Minhajul Abidin Kemudian Aku (Al-Ghazali) merenung serta menelusuri jalan menujunya (ibadah) dari permulaan sampai ke apa yang menjadi tuju

 

Mukaddimah Minhajul Abidin

Nama kitab:  Terjemah Kitab Minhajul ‘Abidin
Judul kitab asal: Minhaj Al-Abidin ila Jannati Rabbil Alamin  (منهاج العابدين إلى جنة رب العالمين)
Pengarang: Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad aṭ-Ṭūsiyy al-Ġazzālīy)
Nama yang dikenal di Arab: أَبْو حَامِدْ مُحَمّد الغَزّالِي الطُوسِيْ النَيْسَابُوْرِيْ الصُوْفِيْ الشَافْعِي الأشْعَرِيْ
Kelahiran: 1058 M/450 H, Tous, Iran
Meninggal: December 19, 1111 M/ 505 H, Tous, Iran
Penerjemah: K.H.R. Abdullah bin Nuh
Bidang studi: Ilmu Tasawuf, Sufisme, Akhlaq

Pembukaan - المقدمة

قال الشيخ الفقيه الصالح الزاهد عبد الملك بن عبد الله غفر الله له
Berkata seorang yang pintar yang sholih yang meninggalkan dunia yaitu abdul malik ibn abdullah semoga Allah mengampuninya

أملَى على شيخي الأجل الإمام الزاهد السعيد الموفق حجة الاسلام زين الدين شرف الامة أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزلي الطوسي قدس الله روحه ورفع الله في الجنة درجاته هذا الكتاب المختصر
Membacakan kepadaku guruku yang agung yang menjadi pemimpin yang meninggalkan dunia yan beruntung yang diberi petunjuk yaitu bukti agama islam juga perhiasan agaman dan kemuliaan ummat, yaitu abu hamid muhammad ibnu muhammad ibnu muhmmad al ghozali at tusi, semoga Allah menyucikan ruhya dan semoga allah mengankatnya derajatnya di sorga, kitab yang ringkas ini

وهو أخر كتاب صنفه ولم يستعمله منه الا خواص أصحابه وهو
Itu adalah kitab terakhir yang beliau karang dan tidak menggungakanya keculai Sahabat sahabatnya yang khusus, kitab itu adalah

الحمد لله الملك الحكيم الجواد الكريم العزيز الرحيم
Segala puji bagi allah yang menjadi raja yang bijaksana yang murah yang mulia yang maha pengasih

الذي خلق الانسان في أحسن تقويم وفطر السموات والأرض بقدرته ودبر الأمر في الدارين بحكمته وما خلق الجن والانس إلا لعبادته
Yang menciptakan manusian dalam bentuk yang paling bagus, dan menciptakan langit dan bumi dengan kekuasaanya, dan mengatur urusan di dunia dan akhiran dengan kebijaksannanya , dan tidak menciptakan jin dan manusian kecuali untuk menyembahnya

فالطريق إليه واضح للقاصدين والدليل عليه لا ئح للناظين ولكن الله يضل من يشاء ويهدي من يشاء وهو أعلم بالهتدين
Lalu jalan menuju Allah itu jelas bagi yang menuju, dan petunjjuk itu terlihat bagi yang melihat, tetapi allah menyesatkan orang yang ia kehendaki dan menununjukkan oran yang ia kehendaki , dan ia mengetahi orang-orang yang mendapat petunjuk

والصلاة والسلام عليى سيد المرسلين على آله الأبرار الطيبين الطاهرين وسلم عظم إلى يوم الدين
Dan selawat serta salam untuk tuan seluruh utusan , dan untuk keluarganya yang baik-baik yang suci-suci, serta salam dan mengangungkan sampai hari kiamat

Wahai saudara-saudaraku! (semoga Allah melimpahkan keridaan-Nya untuk keberuntungan kita) Ketahuilah bahwa sesungguhnya ibadah merupakan buah dari ilmu, keuntungan dalam umur (hidup), hasil yang diperoleh hamba-hamba Allah yang kuat, aset para wali (kekasih) Allah, jalan yang ditempuh oleh para muttagin, bagian orang-orang yang mulia, target bagi orang berkeinginan tinggi, tanda keagungan, pekerjaan orang yang jantan dan menjadi pilihan bagi orang yang bermata hati.

Ibadah merupakan jalan menuju keberuntungan dan juga jalan yang terang menuju surga.

Allah ta’ala berfirman:

Artinya: “Aku adalah Tuhan-Mu, karena itu beribadahlah kalian Kepada-Ku. (Q.S. Al-Anbiya’: 92)

Dan firman Allah Ta’ala:

Artinya: “Sesungguhnya (surga dan kenikmatannya) ini diperuntukkan bagi kalian sebagai balasan. Amal usaha kalian di dunia, Aku ridai dan Ku-terima. (Q.S. Al-Insan: 22)

Kemudian Aku (Al-Ghazali) merenung serta menelusuri jalan menujunya (ibadah) dari permulaan sampai ke apa yang menjadi tujuan para penempuhnya. Dan ternyata ibadah merupakanjalan yang teramat sukar, sulit (dilalui) dan banyak resikonya. Amat melelahkan, panjang berliku, sangat berbahaya, penuh rintangan, diliputi kebinasaan dan penghalang, banyak musuh yang menghadang dan hanya sedikit orang yang menemani dan mengikuti (penempuhmya). Memang begitulah keadaan yang semestinya, karena ibadah merupakan jalan menuju surga. Dengan demikian maka hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:

Artinya: “Ingatlah sesungguhnya surga itu dikepung oleh hal-hal yang dibenci. Dan sesungguhnya neraka itu dikelilingi oleh berbagai kesenangan nafsu.”

Nabi Saw. juga bersabda:

Artinya: “Ingatlah sesungguhnya surga itu bagai tempat yang rumpil di sebuah bukit yang tinggi. Ingatlah sesungguhnya neraka itu bagai tanah lapang di tempat yang datar.”

Di samping hal yang tersebut di atas, manusia sangatlah lemah, sedangkan waktu terus berjalan, peribadatan semakin merosot, waktu luang untuk beribadah sangatlah sempit, sedangkan kesibukan teramat banyak dan umur pun terasa pendek serta amal kebaikan sering tertunda. Dzat yang Maha Meneliti sangatlah waspada, batas kehidupan terasa dekat, sementara jarak yang harus ditempuh masih terlalu jauh dan hanya taat kepada Allah-lah sebagai bekal yang pantas untuk dibawa. Waktu terus melaju dan takkan kembali.

Oleh karena itu, orang yang berbuat taat semasa hidupnya berarti dia akan memperoleh kebahagiaan untuk selama-lamanya. Sebaliknya, orang yang tidak taat akan merugi bersama orang-orang yang merugi dan celaka bersama orang-orang yang celaka.

Dengan demikian, ibadah merupakan hal yang sangat sulit dilaksanakan tapi juga teramat penting. Oleh sebab itu sedikit sekali orang yang berkeinginan melaksanakannya. Meskipun ada sedikit sekali yang benar-benar melaksanakannya serta jarang yang sampai ke tempat tujuan dan menemukan apa yang dicarinya, namun orang yang sampai ke tempat tujuan itulah orang yang benar-benar mulia, yang dipilih Allah untuk mengetahui (makrifat) dan mencintai-Nya. Allah memberikan petunjuk ke jalan yang benar dengan taufik dan pemeliharaanNya. Kemudian dengan anugerah-Nya Allah menyampaikan mereka ke keridaan dan surga-Nya.

Oleh karena itu, kami memohon kepada-Nya, semoga Dia berkenan memasukkan kami dan Anda sekalian ke dalam golongan orang yang beruntung tersebut dengan kasih sayangNya.

Demikianlah. Setelah kami mengetahui jalan tersebut begitu rumit, maka kami pun merenung dan berpikir bagaimana cara melaluinya, bekal apa yang mesti dipersiapkan, sarana apa yang dibutuhkan dan bagaimana tehnik melaluinya seperti ilmu dan cara mengamalkannya. Semoga Allah berkenan memberikan taufik-Nya dan melindungi para penempuhnya dari kebinasaan hingga mereka tidak berhenti di tengah jalan yang sangat berbahaya tersebut. Dan hanya Allah tempat berlindung.

Kemudian kami menyusun beberapa kitab yang menerangkan cara melintasi jalan tersebut (tatacara beribadah) seperti “Ihya Ulumiddin”, “Qurbah Ilallah”, dan lain sebagainya yang memuat beberapa ilmu dengan halus dan sulit dipahami oleh orang awam, sehingga banyak orang yang mencela kitab-kitab tersebut serta beramai-ramai menjelek-jelekkannya. Padahal sebenarnya mereka tidak mampu membuat kitab yang sebagus itu. Hal itu tidak terlalu aneh. Adakah kalam yang keindahannya melebihi firman Allah Ta’ala, Penguasa alam semesta? Jawabnya pasti tidak. Walaupun begitu, mereka (orang-orang kafir) menganggap bahwa firman Allah hanyalah dongengan orang-orang kuno. Tidakkah Anda mendengar ucapan Zainal Abidin, Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib r.a. yang berbunyi:

Sungguh aku menyimpan mutiara mutiara ilmuku agar orang yang bodoh tidak melihat yang sehingga timbul fitnah baginya.

Hal semacam ini juga terjadi pada ayah Hasan (Ali bin Abu thalib) sampai kepada Husain. Sebelum Al-Husain, sayyidina Hasan juga telah berpesan:

“Wahai saudara-saudaraku! Banyak sekali ilmu yang mirtp permata. Jika aku memperlihatkannya, niscaya orang-orang menganggapku sebagai penyembah berhala,

kaum muslimin akan menghalalkan darahku dan mereka berpendapat bahwa membunuhku merupakan tindakan yang baik.”

Orang-orang yang mulia di sisi Allah, yakni orang yang ahli mengamalkan agama Allah berpendapat bahwa keadaan tersebut membutuhkan pandangan penuh kasih sayang terhadap para makhluk Allah serta meninggalkan pertentangan terhadap mereka.

Dengan penuh kerendahan hati aku memohon kepada Allah, yang ditangan-Nya tergenggam segala urusan dan makhluk, agar Dia berkenan memberi kemudahan dalam menyusun kitab yang telah disetujui oleh para ulama serta dapat diambil manfaatnya oleh para pembaca. Kemudian Allah mengabulkan permohonanku ini, yaitu doa seorang hamba yang betul-betul memohon kepada-Nya. Dan dengan anugerah-Nya pula aku dapat mengetahui rahasia yang tekandung dalam kitab tersebut. Dia juga memberikan ilham dalam cara penyusunan yang sangat menakjubkan dan belum pernah kubeberkan dalam kitab sebelumnya mengenai beberapa rahasia mengamalkan ajaran agama Allah sebagaimana yang kusampaikan saat ini. Hanya Allah tempat memohon petunjuk.

Sesungguhnya yang pertama kali mengingatkan seorang hamba untuk beribadah dan menelusuri jalannya adalah pikiran yang datang dari langit berasal dari Allah dan pertolongan khusus dari-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah Swt.

Artinya “Apakah kamu mengira orang yang dilapangkan hatinya oleh Allah (yang senang dan rida dalam menjalankan agama Allah) sama dengan orang tidak dikaruniai kelapangan hati? Tentu saja tidak. Orang yang dikaruniai kelapangan hati pasti berperilaku (hidup) menggunakan dasar nur dari Tuhannya.” (Q.S. Az-Zumar: 22)

Rasulullah Saw. memberikan isyarat dalam hal ini dengan hadisnya:

Artinya “Sungguh, apabila nur telah masuk dalam hati niscaya hati akan menjadi lapang.”

Para sahabat.bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah hal tersebut mempunyai tanda-tanda? Rasulullah Saw. menjawab:

Artinya “Iya. Yaitu orang yang hatinya kemasukan nur akan menjauhkan diri dari dunia, kembali ke alam keabadian dan mempersiapkan kematian sebelum maut datang kepadanya.”

Mula-mula hati seorang hamba akan bergerak dan berkata begini: “Diriku selalu diberi karunia oleh Allah seperti hidup, kemampuan, pikiran, berkata serta berbagai kemuliaan dan kelezatan, di samping terbebas dari penyakit dan segala sesuatu yang merugikanku. Sesungguhnya di balik semua kenikmatan ini, Dzat yang memberikan karunia-Nya menuntutku untuk mensyukuri dan melayani-Nya. Seandainya aku lalai dari melayani dan bersyukur kepada-Nya, tentu Dia akan memalingkan nikmatnikmat tersebut dariku dan menggantinya dengan siksaan. Padahal Dia telah mengirimkan seorang utusan kepadaku yang diperkuatNya dengan berbagai mukjizat luar biasa dan tidak dimiliki oleh seorangpun Selain utusan tersebut. Utusan itu sudah mengabarkan kepadaku bahwa diriku memiliki Tuhan yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, berkehendak, berfirman, memberi perintah dan larangan. Yakni Tuhan yang Maha Kuasa menyiksaku jika tidak mentaati-Nya dan kuasa memberi pahala jika aku mengikuti perintah-Nya, Tuhan yang Maha Mengetahui semua gejolak pikiranku. Dia telah mengancam dan memerintahkan agar aku menjalankan norma-norma syariat.”

Bila hati seorang hamba telah bergerak dan berkata seperti ini tentu akan muncul perasaan bahwa tuntutan untuk bersyukur dan melayaninya adalah sesuatu yang bisa dilakukan. Sesudah itu hamba tersebut pasti akan merasa takut dan khawatir bagaimana seandainya nanti mendapat tuntutan Allah (di akhirat).

Keadaan semacam ini dinamakan khaatir faza’ (خاطرالفزع) yaitu gerak hati yang mengingatkan dan menggerakkan seorang hamba dengan berbagai dalil serta menolak semua alasan. Hal ini juga mendorong seorang hamba agar berpikir dan mericari dalil.

Jika keadaannya sudah seperti itu, maka hamba tersebut tentu akan bergerak. Hatinya selalu gundah mencari jalan agar bisa selamat, aman, dan tenteram dari apa yang bergejolak dalam hati atau apa yang didengar dengan telinganya. Akhirnya jalan yang dia temukan hanya merenungi dalil dan menjadikan makhluk Allah sebagai dalil adanya Sang Pencipta agar ia dapat memperoleh “Ilmul Yaqin, yaitu mengetahui apa yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang dan mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang memberinya kewajiban, memerintahkan dan melarangnya.

Ini adalah permulaaan dari jalan rumit yang dilalui seorang hamba dalam menyusuri ibadah dan disebut ‘aqbqtul ilmi wal ma’rifat (.   ) yaitu jalan ibadah berupa ilmu dan makrifat.

Jalan ini harus dilalui agar dalam beribadah ia selalu waspada.

Selanjutnya ia mulai melangkah untuk menempuh ‘aqabatul ilmi dengan perenungan dalil-dalil secara baik, sempurna dalam berpikir, belajar dan bertanya kepada ulama akhirat yang menjadi petunjuk, penuntun dan pelita umat. Ia juga meminta doa dan mengambil faedah dari mereka agar mendapat kemudahan dan pertolongan Allah dalam menempuh jalan ini.

Jika jalan ini sudah dilaluinya, maka dia akan memperoleh ilmul yagin terhadap keadaan yang masih samar dan mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dia-lah Dzat yang menciptakannya, memberinya kenikmatan dengan segalanya. Dia juga membebani hamba-Nya untuk mensyukuri dan memerintahkan hamba tersebut untuk melayani dan mengikuti-Nya secara lahir batin. tuhan memberi peringatan agar dia tidak kufur dan berbuat maksiat. Tuhan menjanjikan pahala yang abadi jika ia mau berbuat taat dan mengancam dengan siksaan jika ia berbuat maksiat dan berpaling dari-Nya.

selanjutnya pengetahuan dan keyakinan terhadap sesuatu yang samar tersebut akan mendorongnya untuk melayani dan melaksanakan ibadah kepada Sang Majikan Agung pemberi kenikmatan yang dicarinya selama ini.

Pada akhiRnya hamba tersebut dapat menemukan dan mengenal Tuhan setelah sebelumnya bodoh dan tidak mengerti. Akan tetapi ia tidak mengetahui bagaimana caranya beribadah kepada-Nya dan apa yang harus dilakukannya dalam melayaniNya secara lahir-batin.

Setelah ia memperoleh pengetahuan tentang Allah dengan susah-payah, maka ia harus belajar dengan giat untuk mengetahui kewajiban syariat yang harus dilakukannya secara lahir-batin.

Setelah dia berhasil menyempurnakan ilmu dan pengetahuan tentang kewajihan-kewajiban, maka ia pun bergerak hendak melaksanakan dan sibuk beribadah. Kemudian ia berpikir dan menemukan dirinya bergelimang dosa. Ini dialami oleh kebanyakan manusia. Dia akan berkata pada dirinya sendiri: “Bagaimana aku akan melakukan ibadah, sememntara diriku selalu berbuat maksiat? Aku harus bertobat terlebih dahulu agar Allah mengampuni dosaku, melepaskan diriku dari belenggu dosa dan membersihkan diriku dari kotoran debu-debu maksiat sehingga diriku pantas melayani Allah dan duduk di atas hamparan pendekatan kepada-Nya.”

Di sini ia menghadapi jalan sulit, yakni “Aqabatut taubat.

Mau tidak mau ia harus melewati jalan tersebut agar bisa sampai ke tempat tujuan yang sebenarnya. Kemudian perlahanlahan ia melaluinya dengan menjalankan tobat sesuai hak dan syarat-syaratnya sampai ia dapat melalui jalan tobat yang rumit tersebut.

Setelah benar-benar berhasil dalam tobatnya, maka ia pun bersemangat untuk segera melakukan ibadah. Di tengah jalan ia berpikir dan memandang sekitarnya. Ternyata ia menemukan berbagai rintangan yang mengelilingi dan merintangi agar dia tidak jadi melaksankan niatnya untuk beribadah.

Setelah melihat dengan seksama, ternyata yang menghalangi ibadahnya ada empat macam, yaitu kepentingan duniawi, lingkungan, setan dan nafsu. Mau tidak mau ia harus mencari cara untuk menyingkirkan keempatnya. Jika tidak, tentu sangat sulit baginya sampai ke tempat tujuan yang diinginkannya, yakni beribadah.

Di sini ia dihadapkan pada ‘aqabatul-‘awaaiq atau jalan penuh rintangan.

Untuk menghindari empat rintangan tersebut ia juga memerlukan empat cara. Empat cara tersebut yang pertama adalah membebaskan diri dari kepentingan duniawi. Yang kedua menghindari pengaruh lingkungan. Ketiga menghadapi setan. Dan keempat menghancurkan nafsu (mengalahkannya).

Di antara keempatnya yang terberat adalah nafsu. Sebab tidak mungkin orang terlepas darinya, mengalahkan serta menghancurkannya sampai luluh, karena nafsu merupakan kendaraan dan sarana manusia untuk mendapatkan kebahagiaan.

Hamba yang hendak beribadah juga tidak bisa banyak berharap nafsu mau menyetujui dan mengikuti kehendaknya. Karena sudah menjadi watak nafsu selalu melawan kebaikan dan mengikuti kejahatan. Oleh karena itu, dibutuhkan rasa takwa untuk mengendalikannya agar ia selalu memberi keuntungan dan tunduk kepadanya dalam beribadah sehingga hamba tersebut tidak durhaka. Ia dapat menggunakan nafsu dalam berbagai kebaikan dan mencegahnya dari berbuat kerusakan.

Bila demikian keadaannya, dalam melangkah menghadapi nafsu hamba tersebut harus selalu memohon pertolongan Allah.

Setelah melewati jalan tersebut, tentu ia kembali meneruskan ibadahnya. Pada saat itulah tiba-tiba ia menghadapi berbagai rintangan baru yang membuatnya sibuk dan menghalangi ibadahnya.

Setelah berpikir jernih ia menemukan bahwa yang menghalangi ibadahnya ada empat:

Pertama: Rezeki.

Dalam hal ini nafsu selalu membujuk dan berbisik: “Aku harus mendapatkan rezeki dan penguat. Saat ini aku sudah membersihkan diri dari dunia (kebutuhan hidup) dan mengucilkan diri dari masyarakat. Lalu dengan apa aku bisa menjadi kuat (tegak), dan dari mana pula aku mendapatkan rezeki?”

kedua: Kekhawatiran (aneka gerak hati).

Yaitu perasaan takut, harapan ataupun apa yang dibencinya. Sementara itu, dia tidak tahu apakah yang dibayangkannya itu baik ataukah buruk bagi dirinya, sebab akibat dari segala sesuatu masih terlihat samar. Hatinya kemudian sibuk berpikir karena bisa saja ia terjerumus dalam kerusakan di kemudian hari.

Ketiga: Beragam bencana dan malapetaka.

Hal itu selalu dia dapati di sekelilingnya. Apalagi dia telah menempatkan diri sebagai orang yang menyimpang dari orang banyak, memerangi setan dan menolak ajakan nafsu. Banyak sekali halangan yang dirasakannya. Betapa banyak kesulitan yang dihadapinya. Betapa banyak kesedihan dan keresahan yang menghadang serta malapetaka yang menimpa.

Keempat: Berbagai keputusan Allah.

Satu persatu keputusan (takdir) yang dirasa manis dan pahit ja rasakan silih berganti. Sementara nafsu dengan cepat menampakkan kebencian dan membuat fitnah.

Di sini hamba tersebut menghadapi jalan yang dinamakan ‘aqabatul ‘awaridh atau jalan rumit berupa rintangan yang datang secara mendadak.

Untuk meniti jalan ini ia membutuhkan empat perkara.

Pertama, tawakal (berserah diri) kepada Allah dalam masalah rezeki.

Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah mengenai segala yang menjadi kekahwatirannya.

Ketiga, sabar menghadapi bencana. , Keempat, rida dengan segala ketentuan Allah.

Kemudian hamba tersebut beranjak melewati jalan ini dengan izin dan pertolongan yang baik dari Allah.

Setelah hamba tersebut berhasil melewatinya dan hendak kembali beribadah, ia memandang sekeliling dan mendapati nafsunya melemah, tidak bersemangat dan bergairah menjalankan ibadah seperti lazimnya. Ia cenderung lupa, berleha-leha dan menganggur bahkan mengajak berbuat buruk, omong kosong, merusak dan bertindak bodoh.

Dalam keadaan semacam ini hamba tersebut membutuhkan penyemangat yang mendorongnya berbuat kebaikan, taat kepada Allah, bergairah dalam kebaikan dan membutuhkan benteng yang akan menahannya dari berbuat maksiat serta mengendorkan dorongan nafsu untuk berbuat jelek.

Penyemangat dan penahan atau benteng tersebut adalah rajaa’ (mengharap pertolongan Allah) dan khauf (takut kepada tindakan Allah).

Harapan akan besarnya pahala yang diberikan yaitu janji Allah berupa kemuliaan akan mendorong dan menggiring nafsu berbuat kebaikan dan taat kepada Allah. Sedangkan perasaan takut terhadap siksa yang pedih bisa mencegah nafsu dari perbuatan maksiat dan mengendorkan keinginan untuk melakukannya.

Inilah yang dinamakan ‘aqabatul bawaa’its ataujalan-jalan rumit yang memberi dorongan. Untuk melintasi dan menghadapinya ia membutuhkan raja’ dan khauf. Dan dengan izin Allah ia dapat melintasinya dengan selamat.

Setelah berhasil melintasi jalan berliku ini hamba tersebut kembali beribadah. Ia merasa tak ada lagi halangan ataupun rintangan yang menghadang. Bahkan ia merasa sangat antusias, karena banyak pendorong yang memberinya semangat. Dengan giat ia pun beribadah penuh gairah hingga tak pernah berhenti. Akan tetapi ia merasakan adanya gejala buruk di dalam ibadahnya. Ia merasa bahwa dua penyakit berbahaya telah menjangkitinya, yakni ujub dan riya.

Suatu saat ia berpura-pura melakukan ibadah sekedar agar dilihat orang sehingga dapat merusak ibadahnya. Di saat lain ia mencela dirinya sendiri, menahannya dari parasaan riya namun yang muncul dalam dirinya justru malah sikap ujub (merasa dirinya baik) yang dapat merusak dan menghancurkan ibadahnya. Ia dihadapkan pada ‘aqabatul gawaadih (jalan rumpil yang membuat cacat suatu ibadah).

Untuk menjaga kemurnian ibadah dari cacat tersebut ia membutuhkan keikhlasan dan mengingat karunia Tuhan. Ikhlas berarti beramal karena Allah semata. Sedangkan mengingat karunia Tuhan berarti apa yang dikerjakannya selama ini karena anugerah Allah semata, bukan dari dirinya sendiri. Dengan begitu ja bisa melintasi jalan tersebut dengan perlindungan dari Sang Pemelihara Allah Swt. serta tekad dan kehati-hatiannya. Dan ia pun kembali beribadah.

Namun kemudian timbul masalah baru, yakni tenggelam dalam kenikmatan yang diberikan Allah Swt. Kenikmatan, pertolongan, pemeliharaan dan kemuliaan yang diberikan Allah membuat hamba tersebut lupa mensyukurinya. Bahkan ia terjerumus dalam kekufuran yang dapat menjerumuskan derajat tingginya, yakni derajat hamba yang ikhlas dalam beramal dan memalingkan kenikmatan tersebut darinya.

Kini ia pun dihadapkan pada jalan terakhir yaitu ‘agabatul hamdi wasy-syukri atau tahapan memuji dan mensyukuri nikmat. Hamba tersebut harus melewatinya sekuat tenaga dengan banyak memuji dan bersyukur atas karunia Allah Swt.

Bila berhasil melewati tahapan ini, berarti tinggal selangkah lagi ia sampai di tempat tujuan, yakni haribaan Allah Swt. Berada di atas hamparan anugerah-Nnya, di puncak keridaan dan pekarangan Cinta-Nya. Ia pun bergelimang kenikmatan di taman keridaan-Nya, di atas permadani ketenangan, kedekatan dan tempat memohon di haribaan-Nya serta mendapatkan kemuliaan dan berbagai karunia.

Begitu nikmatnya sehingga seakan-akan jiwanya telah melayang ke akhirat meski tubuhnya masih berada di dunia fana. Hari demi hari ia menunggu panggilan dari Tuhannya, sampaisampai tumbuh rasa benci dan bosan terhadap kehidupan dunia, makhluk, dan yang ada di sekelilingnya. Ia merindukan kematian untuk menyempurnakan kerinduannya kepada Al-Malaul A’la (golongan tertinggi), yakni para malaikat. Pada saat itulah tibatiba datang utusan dari Penguasa alam semesta. Mereka datang membawakan rasa tenang, wewangian, kabar gembira, keridaan yang murni dari sisi Tuhan tanpa disertai kemurkaan-Nya..Mereka membawanya dalam keadaan senang, gembira, dan keinginan yang kuat untuk meninggalkan dunia yang penuh kepalsuan dan godaan, menuju hadirat Tuhan dan bermukim di taman surga. Dia mendapati dirinya yang dulu lemah telah mendapatkan kenikmatan abadi dan tempat tinggal yang besar. Di sana ia menikmati karunia Tuhan yang Maha Pemurah. Kenikmatan tersebut berupa kelemah-lembutan, cinta kasih, dan kedekatan dengan-Nya serta kenikmatan dan kemuliaan yang tak terbayangkan. Tiada dapat diceritakan dan kian hari kian bertambah. Ia merasa sangat berbahagia. Betapa agung kerajaan yang ditempatinya. Dan sungguh, itulah tempat kembali terbaik bagi orang yang terpuji.

Kita memohon kepada Allah Swt. agar Dia berkenan melimpahkan kenikmatan dan karunia-Nya kepada kita semua. Sungguh yang demikian itu tidak sulit bagi Allah. Semoga Allah tidak menjadikan kita semua orang yang hanya mapu melihat, mendengar, mengetahui dan berangan-angan tanpa mampu mengerjakannya. Semoga Dia tidak menjadikan ilmu kita sebagai alasan yang paling tepat untuk mengalahkan kita kelak di hari kiamat. Semoga dengan ilmu tersebut Allah menunjukkan jalan kita semua untuk beramal dan melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Selawat dan salam semoga terlimpah kepada penghulu kita Nabi Muhammad dan keluarga beliau. Begitu juga dengan kemuliaan serta keagungan, semoga terlimpah atas mereka.

Inilah urutan jalan beribadah yang kami terima dari Tuhan melalui jalan ilham dengan kesimpulan sebagai berikut:

Jalan menuju surga itu memiliki tujuh tahapan:

  1. Ilmu dan makrifat.
  2. Menuju taubat
  3. Menempuh rintangan berupa godaan
  4. Menepis kendala di jalan ibadah
  5. Dorongan: rasa takut dan harapan
  6.  Menghidnari perusak ibadah
  7. Puji dan syukur.

Dengan berakhirnya pembahasan ketujuh tahapan tersebut berarti selesai pula kitab “”Minhajul Abidin” ini.

Selanjutnya tahapan-tahapan tersebut akan kami ketengahkan secara singkat, padat dan bermakna. Insya Allah setiap tahapan kami hadirkan dalam bab tersendiri.

Semoga Allah berkenan melimpahkan taufik dan bimbinganNya kepada kita. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.

Penyusun 

Al-Ghazali

 

LihatTutupKomentar