Sejarah Ilmu Falak (Hisab)

Sejarah Ilmu Falak (Hisab) Sejarah Dunia Merujuk pada penemu pertama ilmu falak atau yang dikenal juga sebagai ilmu perbintangan atau ilmu astronomi

Sejarah Ilmu Falak (Hisab)

 Judul buku: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Dibrektorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia    

Daftar isi

  1. D. Sejarah Ilmu Falak (Hisab)
  2. Sejarah Dunia
  3. Sumber Rujukan 
  4. Kembali ke: Buku Dasar Ilmu Falak (Hisab)

D. Sejarah Ilmu Falak
1. Sejarah Dunia

Merujuk pada penemu pertama ilmu falak atau yang dikenal juga sebagai ilmu perbintangan atau ilmu astronomi yaitu Nabi Idris”

,[7] sebagaimana disebutkan dalam setiap mukadimah kitab-kitab falak,
nampak bahwa wacana ilmu falak sudah ada sejak waktu itu, atau bahkan lebih awal dari itu, Karena suatu temuan baru biasanya merupakan suatu respon atau tanggapan dari sebuah persoalan yang
muncul dari masyarakat. Sehingga kemunculan ilmu falak dalam telusuran historis, dapat divyakinkan kalau muncul sebelum temuan ilmu falak itu sendiri. Walaupun demikian, penulis belum dapat melacak
benang merahnya dalam upaya menyambungkan historisitas pada masa sesudahnya.

Dalam lacakan penulis, baru sekitar abad ke-28 Sebelum Masehi, embrio ilmu falak mulai nampak. Ja digunakan untuk menentukan waktu bagi saat-saat penyembahan berhala. Keadaan seperti ini sudah
nampak di beberapa negara seperti di Mesir untuk menyembah Dewa Orisis, Isis dan Amon, di Babilonia dan Mesopotamia untuk menyembah dewa Astoroth dan Baal."[8]

Pada abad XX Sebelum Masehi, di negeri Tionghoa telah ditemukan alat untuk mengetahui gerak Matahari dan benda-benda langit lainnya dan mereka pula yang mula-mula dapat menentukan terjadinya gerhana Matahari.” [9]

Kemudian berlanjut pada asumsi Phytagoras (580-500 SM) bahwa Bumi berbentuk bulat bola, yang dilanjutkan Heraklitus dari Pontus (388-315 SM) yang mengemukakan bahwa bumi berputar pada
sumbunya, Merkurius dan Venus mengelilingi Matahari, dan Matahari mengelilingi Bumi."[10] Kemudian temuan tersebut dipertajam dengan penelitan Aristarchus dari Samos (310-230 SM) tentang hasil pengukuran jarak antara Bumi dan Matahari, dan pernyataannya Bumi beredar mengelilingi Matahari. Lalu Eratosthenes dari Mesir (276-196 SM) juga sudah dapat menghitung keliling Bumi."[11]

Penulis menduga bahwa sejak Sebelum Masehi sudah nampak adanya persoalan ilmu falak, walaupun dalam kemasan yang berbeda, Kemudian di masa sesudah Masehi ditandai dengan temuan Claudius
Ptalomeus (140 M) berupa catatan-catatan tentang bintang-bintang yang diberi nama “Tabril Magesthi". Berasumsi bahwa bentuk semesta alam adalah geosentris, yakni pusat alam terletak pada Bumi yang tidak berputar pada sumbunya dan dikelililingi oleh Bulan, Mercurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus. Asumsi tersebut dalam dunia astronomi disebut teori Geosentris.[12]

Selanjutnya di masa Islam (masa Rasulullah) kemunculan ilmu falak memang belum masyhur di kalangan umat Islam, sebagaimana penekan dalam hadits Nabi : “mna ummatun umiyyatun Ia naktubu wala nahsibu".  Walaupun sebenarnya ada juga di antara mereka yang mahir “an perhitungan. Sehingga realitas persoalan ilmu falak pada masa itu tentunya sudah ada walaupun dari sisi hisabnya tidak begitu masyhur. Sebenarnya perhitungan tahun Hijriyah pernah digunakan sendiri oleh Nabi Muhammad ketika beliau menulis surat kepada kaum Nasrani bani Najran, tertulis tahun ke V Hijriyah, namun di dunia Arab lebih mengenal peristiwa-peristiwa yang terjadi sehingga ada istilah tahun gajah, tahun izin, tahun amar dan tahun zilzal.[14]

Namun secara formal, wacana ilmu falak di masa ini baru nampak dari adanya penetapan hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai pondasi dasar kalender hijriyah yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, tepatnya pada tahun ke tujuh belas hijrivah.[15] Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya bulan Muharram ditetapkan sebagai awal bulan Hijrivah.[16]

Dalam sejarah, kalau kita teliti secara mendetail ternyata di dunia astronomi khususnya, dan ilmu pengetahuan pada umumnya, selama hampir delapan abad tidak nampak adanya masa keemasan. Baru di masa Daulah Abbasiyah, masa kejayaan itu nampak. Sebagaimana di masa khalifah Abu Ja'far al-Manshur, ilmu astronomi mendapat perhatian khusus, seperti upaya menterjemahkan kitab Sindihind dari India.”[17]

Kemudian di masa khalifah al-Makmun, naskah “Tabril Magesthy” diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Hunain bin Ishak. Dari sinilah lahir istilah ilmu falak sebagai salah satu dari cabang ilmu keislaman dan tumbuhnya ilmu hisab tentang penentuan awal waktu shalat, penentuan gerhana, awal bulan @omariyah dan penentuan arah kiblat, [18]

Tokoh yang hidup di masa ini adalah Sultan Ulugh Beik, Abu Raihan, Ibnu Syatir dan Abu Manshur al-Balkhiy.[19] Observatorium didirikan al-Makmun di Sinyar dan Junde Shahfur Bagdad, dengan
meninggalkan teori Yunani kuno dan membuat teori sendiri dalam menghitung kulminasi Matahari. Juga menghasilkan data-data yang berpedoman pada buku Shindihind yang disebut “Tables of Makmun" dan oleh orang Eropa dikenal dengan “Astronomos” atau " Astronomy” [20]

Masa kejayaan itu juga ditandai dengan adanya al-Farghani, seorang ahli falak yang oleh orang Barat dipanggil Farganus, buku- bukunya diterjemahkan oleh orang latin dengan nama “ Compendium”
yang dipakai pegangan dalam mempelajari ilmu perbintangan oleh astronom-astronom Barat seperti Regiomontanus. [21]

Kemudian Maslamah Ibnu al-Marjiti di Andalusia telah merubah tahun Persi dengan tahun Hijriyah dengan meletakkan bintang-bintang sesuai dengan awal tahun Hijriyah.[22] Di samping juga ada pakar falak kenamaan lainnya seperti: Mirza Ulugh bin Timurlank yang terkenal dengan Ephemerisnya, Ibnu Yunus (950-100 Mj, Nasiruddin (1201-1274 M) dan Ulugh Beik (1344-1449 M) yang terkenal dengan landasan ijtima' dalam penentuan awal bulan Qamariyah.[23]

Di Bashrah, Abu Ali al-Hasan bin al-Haytam (965-1039 M) seorang pakar falak yang terkenal dengan bukunya “Kitabul Manadhir” dan tahun 1572 diterjemahkan dengan nama "Optics” yang merupakan
temuan baru tentang refraksi (sinar bias). Tokoh-tokoh tersebut sangat mempengaruhi dan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan ilmu falak di dunia Islam pada masanya masing-masing,
meskipun masih terkesan bernuansa Ptolomeus.[24]

Setelah umat Islam menampakkan kemajuan dalam ilmu
pengetahuan, pada pertengahan abad XIII M terjadi ekspansi
intelektualitas ke Eropa melalui Spanyol. Sedangkan Eropa pada waktu
itu tengah dilanda oleh tumbuhnya isme-isme baru seperti Humanisme,
Rasionalisme, dan Renaisance, sebagai reaksi dari filsafat Scholastik di
masa itu, di mana orang dilarang menggunakan rasio atau berfaham
kontradiksi dengan faham Gereja, Kemudian muncul Nicolas
Copernicus[25] (1473-1543) yang berupaya membongkar teori Geosentris
yang dikembangkan oleh Claudius Ptolomeus.

Teori yang dikembangkan adalah bukan Bumi yang dikelilingi
Matahari, akan tetapi sebaliknya, serta planet-planet beserta satelit-
satelit yang mengelilingi Matahari, yang kemudian dikenal dengan teori
Heliosentris. Perdebatan teori tersebut berkembang sampai abad XVII,
di mana penyelidikan Galilleo Galilie dan John Kepler menyatakan
pembenaran pada teori Heliosentris. Walaupun John Kepler juga
berbeda dengan Copernicus dalam hal lintasan planet mengelilingi
matahari, di mana menurut Copernicus berbentuk bulat sedangkan
menurut John Kepler berbentuk ellips (bulat telur).[26] Kemudian pada
tahun-tahun berikutnya banyak ditemukan temuan-temuan seputar
Kosmografi.[27]

Namun dalam wacana historisitas ilmu falak, bahwa tokoh yang
pertama kali melakukan kritik tajam terhadap teori geosentris adalah
Abu Raihan al-Biruni dengan asumsi tidak masuk akal karena langit
yang begitu besar dan luas dengan bintang-bintangnya dinyatakan
mengelilingi Bumi sebagai pusat tata surya.[28] Dari temuan ini dapat
diambil kesimpulan bahwa al-Birunilah peletak dasar teori Heliosentris.

Fenomena di atas menimbulkan perselisihan di kalangan para
peneliti modern tentang sejarah ilmu pengetahuan. Mereka berselisih
pendapat tentang orisinalitas kontribusi dan peranan orang-orang Islam.
Bertrand Kussel, sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid misalnya,
cenderung meremehkan tingkat orisinalitas kontribusi Islam di bidang
filsafat, namun tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas yang
tinggi di bidang matematika[29], termasuk di dalamnya Astronomi.

Kembali pada temuan Ulugh Beik (1344-1449) yang berupa jadwal
Ulugh Beik, pada tahun 1650 M diterjemahkan dalam bahasa Inggris
oleh J. Greaves dan Thyde, dan oleh Saddilet disalin dalam bahasa
Prancis, Kemudian Simon New Comb (1835-1909 M)[30] berhasil membuat
jadwal astronomi baru ketika beliau berkantor di Nautical Almanac
Amerika (1857-1861), sehingga jadwalnya sampai sekarang terkenal
dengan nama Almanac Nautica.

Kedua jadwal itulah yang selama ini mewarnai tipologi ilmu falak
di Indonesia, Di mana tipologi ilmu falak klasik diwakili oleh kitab
Sullamun Nayyirain sebagaimana diakui sendiri oleh Manshur al-Batawi
dalam kitabnya, bahwa jadwal yang dipakai adalah bersumber pada
data Ulugh Beik.[31] Sedangkan tipologi hisab modern, sebagaimana yang
berkembang dalam wacana ilmu falak dan tehnik hisab, bahwa Almanac
Nautica, diklasifikasikan dalam tipologi hisab (hakiki) kontemporer.[32] 

Referensi (Rujukan)

7. Sebagaimana disebutkan Zabaer Umar al-Jailany bahwa penemu pertama ilmu falak  atau ilmu astronomi adalah Nabi Idris dan diperkuat dengan pendapat as-Susy sebagaimana  beliau nukil, Op. cit., hlm. 5. 

8. Thanthawy al-Jauhary, Tafsir al-Jawahir, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, Juz VT, 1346
H, hlm. 16-17.

9. Abdul Latif Abu Wafa, al-Falak al-Hadith, Mesir al-atr, 1933, hlm. 3.

10. Rudolf, There Vas Light, Mew York: Alfred A Knopt, 1957 , hlm. 85.

11. Marsito, Kosmografi Ilmu Bintang-bintang, Jakarta: Pembangunan, 1960, hlm. 8. Lihat  juga Enciclopedia Britanicca, Volume Il, London: Chicago, 1768, hlm, 563, 

12. Robert H Baker, Op. di., hlm, 174. 

13. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhar, Shaluh Bukhari, Mesir: Mustafa al- Bahu ai-Halabi, 1345 H, Juz IL him. 4.

14. Dinamakan tahun Goyah karena ketika kelahiran Nabi Muhammad terjadi penyerangan pasukan bergajah. Disebut tahu Izin, tahun diiinkannya hijrah ke Madinah. Disebat tahu Amar, tahun diperintahkannya diri dengan menggunakan senjata. Disebut faliun Zilzal, karena terjadi gonjang-ganjing pada tahun ke-44 Hijrivah. Baca Sofwan Jarmah, Kalender Hijriyah ian Masehi 150 tahun, Yogyakarta: UII Press, 1994, hlm. 24.

15. Beliaulah sahabat Nabi yang paling berani dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang secara tekstual terkesan bertentangan dengan al-Cur'an namun secara kontekstual terlihat sekali beliau lebih menekankan pada magasidus syari'ah. Baca Amir Muruddin, (tihad Umur bin Khattab, Bandung: Pustaka Pelajar, 1995 dan bandingkan dengan Figh Mausu'ah Umar,

16. Mengenai pertimbangan adanya bulan Muharam sebagai awal bulan bujriyah dapat dibaca secara tuntas dalam Sofwan Janmah, Op. cit, hlm. 2-6. 

17. Muh. Farid Wajdi, Dairatul Ma'arif, Mesir, Juz VII, Cet, Ke-2, 1342 H, hlm. 485.

18. ibid.

19. Studi tokohetokoh tersebut dapat dibaca dalam M. Nathir Arsyad, Memutar Muslim Sepanjang Sejarah, Cet, Ke-4, Bandung: Mizan, 1995. Lihat juga Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Kecemasan Islam, terj. Joko. S Kahhar dan Suprivanto Abdullah, Surabaya: BKisalah Gusti, Cet, Ke-1, 1996, hlm. 203-233,

20 ibid,

21. Umar Amin Husen, Kultar Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm, 99.

22. Abdul Latif Abu Wafa, Op, sit. hlm. 208,

23. Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, hlm. 156-170. Bandingkan juga Enciclopedia Britanmica, Op. dt.,
hlm. 584 dan bandingkan M. Nasir Arsyad, Loc, cit. 

24. Penjelasan selengkapnya lihat John L. Esposito, The Orford Encyelopedia of Hu Modern Islamic, Mew York : Oxford Unversity Press, 1995, hlm. 145-147, dan Lihat Umar Amin Husen, Op.  cit, hlm. 59,

25. Nicolas Copernicus adalah seorang berkebangsaan Jerman, yang bekerja di gereja, ahli hukum, kedokteran dan ilmu perbintangan. Dia melontarkan pendapatnya tentang teori Heliosentris dalam enam jilid baku yang diberi nama “Nicolai Copernicie Torimensis deRevolusionibus Orbium Coelestium Libri VI”, baca MSL Toruan, Kosmografi, Semarang: BantengTimur, Cet. Ke-7, 1954, hlm. 7.

26. Robert H. Baker, Op. cit, hlm. 180-182, dan Lihat H. G, Den Hollander, Bekropi Leertwhge der Cosmografie, terj. 1 Made Sagita, Jakarta: J, B. Wolters Groningen, 1951, hlm. 81-83, 

27. Kalau kita merujuk pada rentetan temuan sejarah, Issac Newton (1645-1727) menemukan hukum dinamika, Bradleymon (1726) bahwa bumi tidaklah diam tapi bergerak terbukti adanya aberasi, Titius daan Bode (1766) menemukan jarak antara Planet dengan Matahari, Bessal (1827-1838) menemukan parallax pada bintang-bintang, dan masih banyak lagi. Secara utuh lihat Itid., im. 180-190 dan lihat juga M. Solihan dani Subhan, Rukyat dengan Tehnologi, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hlm. 18-20.

28. Ahmad Baiguni, A-Juran, Imu Pengetahuan dan Tehnologi, Cet. Ke-4, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1996, hlm. 4.

29. Baca Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakartx Yayasan Wakaf Paramadina, Cet. Ke-1, 1992, hlm. 135-136. Lihat juga Azyumardi Agra, Esri-Esei Intelektual Muslim dan Pendufikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-1, 1998, hlm. 58-60. Lihat juga S.H. Nasr, Saence and Cilizatton in Islam, Cambridge: The Islamic Texts Society, 1985, hlm. 81.

30. Simon New Comb adalah seorang sarjana Astronomi Amerika, yang mendapat gelar Profesor dalam bidang Astronomi dan Matematika. Baca Encvelapedia Britarica, Op, cit, vol 13, hlm. 978, dan wol. 16, hlm. 283,

31. Muhammad Manshur al-Batawi, Sulam al-Nayyirein, Jakarta, Lth, hlm. 3, dan 8. Lihat juga Ahmad Iezuddin, Anuliss Kritis Hisab Awal bulan Ooweriyyah dalan Kitab Sulam Mayvirain (skripsi), Semarang: Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang, 197.

32. Merujuk pada pembagian sistem hisab yang berkembang di Indonesia yakni hisab hakiki tagribi, hisab hukiki tahkiki dan hisab hakiki kontemporer, sebagaimana hasil seminar nasional sehari Ilmu falak pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor Jawa Barat.

LihatTutupKomentar