Metodologi Imam Syafi'i tentang Tafsir Al-Quran

Pemikiran Imam Al-Syafi'i (w. 240 H) tentang Tafsir Judul alternatif: Metodologi dan sistematika Imam Syafi'i dalam menafsiri Al-Quran sebagai istnb

Metodologi Imam Al-Shafi'i tentang Tafsir Al-Quran

Judul buku/esai: Pemikiran Imam Al-Syafi'i (w. 240 H) tentang Tafsir

Judul alternatif:  Metodologi dan sistematika Imam Syafi'i dalam menafsiri Al-Quran sebagai istnbath hukum (sumber pengambilan hukum fikih)

Penulis: Muhammad Misbah

Profil penulis: STAIN Kudus, Jawa Tengah 

Dimuat di: Jurnal Hermeneutik, STAIN Kudus

URL: Tersedia online di: journal.stainkudus.ac.id/index.php/Hermeneutik

Daftar isi

  1. Pendahuluan: Biografi Imam Syafi'i
  2. Imam al-Syafi'i: Sang Mufasir
  3. Al-Qur'an untuk Menafsirkan al-Qur 'an
  4. Imam Syafi'i menggunakan Hadits dalam Menafsirkan al-Qur 'an
  5. Ijma' untuk Menafsirkan al-Qur 'an
  6. Tafsir Imam Syafi'i dengan Menggunakan Qiyas
  7. Pendapat Sahabat Sebagai Rujukan Tafsirnya
  8. Perkataan Para Tabi'in dan Imam untuk Menafsirkan al-Qur 'an
  9. Bahasa Arab dan Gaya Bahasa
  10. Dominasi Ayat-ayat Ahkam dalam Tafsir al-Syafi'i
  11. Konsep Nasakh dalam Pandangan Imam al-Syafi'i
  12. Simpulan
  13. Referensi


Pendahuluan: Biografi Imam Syafi'i

Mengkaji pemikiran Imam Syafi'i di bidang tafsir, sangat penting kiranya untuk terlebih dahulu mengetahui riwayat hidupnya. Sebab, dengan mengetahui riwayat hidupnya akan dapat diketahui kepribadiannya, kehebatannya, dan kapasitasnya sebagai ulama besar yang namanya diabadikan menjadi sebuah nama madzhab fiqh yang sampai sekarang masih diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia.

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris bin Al-Abbas ibn Usman ibn Syafi. Beliau lahir di Guzzah pada tahun 150H/767M, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama Hijaz yang berdomisili di Makkah, yatu Ibnu Juraij al-Makki (Cholil, 1995, hal. 149-150), dan bertepatan pula dengan wafatnya seorang ulama besar di Irak, yaitu Abu Hanifah (Basya, n.d., hal. 14-15; Hitu, 1409, hal. 56). Sejak kecil, al-Syafi'i sudah menjadi anak yatim. Ayahnya, Idris ibn al-Abbas ketika itu sudah meninggal dunia di Guzzah dan saat itu ibu dan dirinya hidup dalam keadaan miskin. Pada umur dua tahun, al-Syafi'i kecil dibawa ibunya ke Makkah untuk memperkenalkan al-Syafi'i kepada keluarganya. Kemudian pada umur sepuluh tahun, ia bersama ibunya bermigrasi secara resmi ke Makkah dengan tujuan mendapatkan pendidikan yang baik. Sebab, saat itu Makkah menjadi kota pendidikan, di samping juga untuk mendapatkan santunan dari Baitul Mal bagian Zawil Qurba" dari garis keturunan Bani Muthallib (Abu>Zahrah, n.d., hal. 17; al-Jundi, 1966, hal. 38; Al-Syafi'I, 1986, hal. 6).

Al-Syafi'i pertama kali belajar membaca al-Qur'an dan menghafalkannya. Ia belajar al-Qur'an kepada Ismail bin al-Qistantin, seorang ulama terkenal ahli dalam ilmu al-Qur'an. Berkat kecerdasan dan hafalannya yang kuat, ia dapat menghafal al­ Qur'an selama dua tahun. Saat itu ia barn berumur 9 tahun (al-Jundi, 1966, hal. 40-3; Cholil, 1995, hal. 136). Seperti lazimnya anak-anak yang lain, ia pun mulai belajar menulis, membaca dan belajar bahasa Arab.

Menginjak remaja, imam al-Syafi melanjukan belajar bahasa Arab dan sastra Arab kepada suku Hudzail, salah satu suku Arab yang masih mempunyai tradisi bahasa Arab yang fasih dan kebudayaan Arab yang orisinil. Selama 17 tahun, beliau tinggal bersama suku Huz\ail di pegunungan dan setelah merasa cukup menguasai bahasa Arab dan sastra Arab, beliau kembali ke Makkah. Di Makkah, beliau belajar fiqh dan hadits kepada Muslim bin Khalid al-Zanji, seorang mufti di Makkah. Beliau belajar Hadis pada Sufyan bin Uyainah, seorang ulama ahli Hadits terkemuka di Makkah (Cholil, 1995, hal. 136). Setelah dipandang mampu menguasai ilmu fiqh dan hadits, oleh gurunya beliau di suruh untuk memberikan fatwa. Saat itu imam al-Syafi'i masih berusia lima belas tahun (Abu>Zahrah, n.d., hal. 19).
 
Karena keinginannya yang kuat dalam menuntut ilmu, imam al-Syafi'i melanjutkan studinya ke Madinah kepada Imam Malik bin Anas, seorang ulama Hadits terkenal saat itu. Kepadanya, beliau ingin mempelajari kitab Muwaththa'. Keistimewaan Imam al-Syafi'i adalah, sebelum beliau belajar kepada Malik bin Anas, beliau telah hafal semua hadits dalam kitab tersebut. Saat itu, beliau berumur 10 tahun atau 12 tahun menurut riwayat lain (Al-Syafi'i, 1951, hal. 6).

Pada waktu belajar kepada Malik bin Anas di Madinah, beliau sempat belajar kepada seorang ulama terkenal golongan Mu'tazilah, Ibrahim bin Yahya al-Usami (al­ Jundi, 1966, hal. 101). Sikap al-Syafi'i ini menunjukkan bahwa beliau mempunyai rasa toleransi yang tinggi dalam menuntut ilmu, sama sekali tidak membedakan golongan dan madzhab. Yang terpenting bagi beliau adalah memperoleh ilmu dan wawasan barn dalam bidang fiqh ataupun hadits dan tidak belajar ushuluddin kepada Ibrahim bin Yahya (Baltaji, n.d., hal. 21). Selain belajar kepada dua tokoh tersebut, selama di Madinah al-Syafi'i juga berguru pada Ibrahim bin Sa'ad al-An ari, Abdil Aziz bin Muhammad al-Darawardi, Abdullah bin Nafi' al-Saiq dan Muhammad bin Said bin Ibnu Fudaik (al-Jundi, 1966, hal. 101).

Setelah Malik bin Anas wafat, beliau berangkat ke Yaman meninggalkan Madinah dengan tujuan untuk bekerja dan mencari ilmu. Di situ beliau memperoleh pekerjaan di kantor walikota Najran, dan masih menyempatkan diri untuk menambah ilmu fiqh dan Hadits, ilmu kedokteran, dan ilmu perbintangan kepada beberapa ulama terkenal di Yaman (al-Jundi, 1966, hal. 105). Degan demikian dapat dikatakan bahwa al­ Syafi'i menguasai berbagai cabang ilmu pengeahuan, baik hadits, fiqh, bahasa, sejarah, perbintangan, kedokteran dan lain sebagainya.

Pada tahun 186 H, al-Syafi'i kembali ke Makkah seteah 36 tahun beliau belajar di Makah dan di luar Makkah. Pada saat itu, beliau telah menguasai fiqh al-Hijaz, fiqh Iraq, fiqh Yaman, fiqh al-Syam dan fiqh Mesir. Dengan demikian, beliau sudah sangat faham terhadap fiqih yang menitikberatkan dasar hukumnya kepada al-Naql dan yang menintik bertkan dasar hukumnya kepada al-Aql. Dalam hal ini Ibnu Hajar menyatakan, bahwa al-Syafi'i telah belajar fiqh Madinah langsung kepada tokohnya yaitu Malik bin Anas, dan belajar fiqh Iraq langsung kepada tokohnya, yaitu Muhammad bin Hasan.
 
Setelah imam Syafi'i mengetahui adanya dua corak fiqh yang berbeda, dan beliau juga pernah memelajari keduanya, maka beliau mengetahui mana di antara keduanya yang mendasarkan pada dalil yang kuat dan mana yang tidak kuat; atau mana yang mendasarkan pada rasional yang liberal dan mana yang mendasarkan pada dalil tradisional yang kaku, dalam artian kurang memperhatikan aspek sosiologis normatif. Oleh karena itu, setelah berada di Makkah maka gagasan untuk mengkompromikan dua fiqh itu mulai dirintis dan ia tampakkan dalam berbagai halaqah-halaqahnya.

Al-Syafi'i datang yang kedua kalinya ke Irak pada tahun 195 H; yakni setelah khalifah Hamn al-Rasyid dan Muhammad bin Hasan meninggal dunia. Kedatangannya ini berbeda dengan yang pertama kalinya. Kalau kedatangannya yang pertama kali adalah untuk menimba ilmu kepada ulama terkenal ahli ra'y, maka kedatangan al-Syafi'i yang kedua kalinya adalah untuk ikut mengajar dan memperkenalkan corak fiqih barn atau konsep barn dalam metodologi istimbat hukum yang sudah ia rintis konsepnya selama memberikan pelajaran di Makah. Konsep yang barn itu bersifat moderat dan rasional tetapi tetap mendudukkan posisi hadits secara proporsional sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur' an.
Setelah dua tahun berada di Iraq dan berhasil menyebarkan luaskan pengaruhnya, ia kembali lagi ke Makah pada tahun 197 H dan bermukim di Makkah kira-kira 1 tahun. Kemudian pulang balik lagi ke Irak pada tahun 198 H. Barn beberapa bulan di Irak beliau berkehendak untuk pergi ke Mesir. Niatan itu dilaksanakan pada tahun 199 H.

Imam al-Syafi'i bermukim di Mesir sejak tahun 199 sampai dengan 204 H. Selama kira-kira 5 tahun. Dalam masa lima tahun ini beliau berhasil mendiktekan qaul jadfd-nya kepada murid-muridnya, yang kemudian kitabnya itu diberi nama al-Umm dan kitab al-Risa1ah al-Jadfdah sebagai hasil revisi al-Syafi'i terhadap kitabnya al­ Risa1ah al-Qadfmah. Selain itu, madzhab al-Syafi'i berkembang luas di Mesir, selain madzhab Malik bin Anas dan Abu Hanifah yang sudah ada dan berkembang sebelumnya. Imam al-Syafi'i wafat pada hari Kamis malam pada 29 Rajah tahun 204 H atau tahun 819 M di al-Fustat Mesir. Jenazahnya dimakamkan pada hari Jumat setelah shalat Asar di pemakaman bani Hakam (al-Jundi, 1966, hal. 360).

Imam al-Syafi'i: Sang Mufasir
Mungkin sedikit orang yang tahu bahwa imam al-Syafi'i juga seorang mufassir. Kecenderungan imam al-Syafi'i yang banyak berkutat masalah fiqh dan hadits menjadikan beliau lebih banyak dikenal sebagai seorang ahli fikih dan seorang imam mujtahid yang banyak memiliki pengikut. Namun, jika ditelaah lebih jauh lagi karya­ karya beliau semisal al-Umm, maka didapati bahwa beliau banyak menafsirkan ayat­ ayat al-Qur'an khususnya ayat-ayat hukum untuk kemudian diistibtah hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

Jika kita membaca tafsir imam al-Syafi'i, kita akan menemukan kalau ternyata dalam menafsirkan al-Qur'an, Imam al-Syafi'i bersandar pada sumber-sumber berikut ini secara berurutan, yaitu dengan menggunakan al-Qur'an, sunnah yang mutawatir dan hadits-hadits ahad yang sahih, ijma', qiyas, perkataan sahabat, perkataan tabi'in dan para imam dan juga menggunakan sastra dan bahasa Arab.
Imam Syaikh Abu Zahrah telah mensinyalir langah-langkah ini secara tidak berurutan, dia mengatakan, Imam al-Syafi'i telah menempuh jalan lurus tersebut, dia menggunakan al-Qur'an dan al-Sunnah untuk menetapkan suatu hukum. Jika al­ Sunnah tidak ditemukan, dia akan menggunakan alat bantu dari perkataan sahabat, baik yang menyangkut hal-hal yang disepakati maupun yang diperselisihkan. Kalau dia tidak menemukan perkataan sahabat, dia akan menggunakan alat bantu sastra dan bahasa Arab, logika dan qiyas.

Al-Qur'an untuk Menafsirkan al-Qur 'an
Dalam menafsirkan al-Qur'an, imam al-Syafi'i membagi lafaz-lafaz al-Qur'an menjadi umum dan khusus. Menurutnya, lafaz umum yang tertera dalam al-Qur'an dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
Bagian pertama, umum yang tampak jelas dimaksudkan sebagai pengertian umum, yang termasuk di dalam pengertiannya, segala yang sesuatu yang tercakup dalam lafaz tersebut. Contoh:
''Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu." (al­ Zumar: 62)
 
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz)." (Hud: 6)

Imam al-Syafi'i menafsirkan ayat-ayat ini sesuai dengan pengertian umumnya. Di mana dia berkata, "Segala sesuatu di langit dan di bumi, yang mempunyai ruh atau pepohonan dan lain sebagainya, maka hanya Allah pencptanya. Dan setiap binatang melata itu rezekinya dijamin Allah (al-Syafi'i, 2010, hal. 53-54).

Bagian kedua, umum dan tampak jelas, yang dimaksudkan sebagai pegertian umum tetapi masuk pula pengertian khusus. Contohnya,
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang­ orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang lalim penduduknya ..." (al-Nisa: 75)
Pada ayat ini terdapat pengertian khusus, karena tidak semua penduduk negeri tersebut zalim, hanya saja, yang zalim lebih banyak daripada yang tidak.

Bagian ketiga, umum dan tampak jelas, yang menyatukan antara yang umum dan khusus. Contoh
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku­ suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (al­ Hujurtit: 13)
Imam al-Syafi'i mengatakan, dalam ayat ini semua manusia diseru, pada masa Rasulullah, sebelum dan sesudahnya wanita maupun pria. Semuanya masuk dalam lingkup bangsa dan suku. Adapun pengertian khususnya adalah yang berkaitan dengan takwa, karena takwa hanya pada orang yang memahaminya, baligh bukan orang gila, dan bukan yang belum mampu mencerna makna takwa. Dari sini maka tidak boleh mensifati takwa pada seseorang kecuali dia berakal dan memahaminya.
 
Bagian keempat, umum dan tampak jelas, secara keseluruhan dimaksudkan sebagai pengertian khusus. Artinya, maksud dari lafaznya yang umum dikhususkan dengan beberapa unsur atau bagian-bagiannya.
"(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka ", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (Ali Imran: 173)
Imam as-Syafi'i mengatakan, karena orang-orang yang bersama Rasul terdiri dari (1) orang yang bersama dengan pengumpul pasukan untuk menyerang mereka, dan (2) orang yang memberitahu mereka bukanlah orang-orang yang dikumpulkan untuk menyerang mereka dan bukan orang yang dikumpulkan bersamanya, dan (3) yang berkumpul untuk menyerang mereka adalah orang-orang lain. Maka arti (dalalah)nya jelas bahwa yang berkumpul untuk menyerang mereka hanyalah sebagian dari mereka saja. Logikanya, tidak semua manusia berkumpul, dan tidak semua manusia yang memberitahu. Mereka itu bukanlah selueruh manusia." Contoh Tafsir Imam al-Syafi'i dengan menggunakan al-qur' an
Dari uraian di atas, tampak jelas bagi kita bahwa imam al-Syafi'i adalah orang pertama yang membagi dalalatul lafaz (maksud dari lafaz) umum yang ada di dalam al­ Qur' an. Bahkan, hal tersebut disinyalir sebagai dasar utama untuk dapat menerapkan maksud Allah. Oleh karena itu, melalui tafsirnya, kita bia melihat bahwa dia merupakan orang pertama yang mencermati al-Qur'an secara seksama, jika terdapat ayat yang disebutkan untuk menjelaskan pengertian umum atau mengkhususkannya, mentaqyid pengertian mutlak, atau mengerahkan pada hal khusus, maka beliau akan tetap konsisten berpegang padanya.

Sebagaimana kita juga mendapati di dalam tafsirnya, imam al-Syafi'i menghubungkan antara satu ayat dengan ayat yang semisal atau ayat penyempurna dan sekaligus menjelaskan maknanya. Hal itu tampak jelas sekali saat imam al-Syafi'i menafsirkan. Contohnya adalah ketika imam al-Syafi'i mengalihkan keberangkatan ke medan jihad manjadi fardu kifayah, dengan menggunakan firman Allah surat al-Taubah ayat 122 yang berbunyi: 

"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (al-Taubah: 122)
Imam al-Syafi'i berkata, "Dengan demikian Allah telah memberitahukan bahwa kewajiban berangkat jihad itu hanya dibebankan kepada sebagian orang saja dan tidak kepada sebagian lainnya. Sebagaimana mendalami pengetahuan agama juga diwajibkan kepada sebagain mereka saja. Artinya, jika kewajiban itu telah ditunaikan oleh beberapa orang dalam jumlah yang memadai, maka orang yang tidak melakukannya terbebas dari dosa. Namun jika mereka mengabaikannya, saya khawatir tidak satupun dari mereka yang akan terlepas dari dosa. Bahkan, tidak ada keraguan lagi mengenai dosa mereka, insya Allah."

Bahkan, kita juga dapat melihat, bagaimana dia menghubungkan hukum ini dengan ayat ketiga melalui ungkapannya tadi, "Jika mereka semua mengabaikannya (fardhu kufayah), saya khawatir tidak satu pun dari mereka yang terlepas dari dosa. Bahkan, tidak ada keraguan lagi mengenai dosa mereka, insya Allah." Hal ini sesuai dengan firman-Nya, '7ika kalian tidak berangkat untuk berperang, nisaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih." (QS. Al-Taubah: 39)
Contoh semacam ini cukup banyak terdapat dalam tafsir imam al-Syafi'i. Beliau menghubungkan antara satu ayat dengan ayat lainnya, baik untuk memperjelas ayat yang bersifat mujmal, mengkhususkan yang muthlak, membatasi suatu hukum atau tafsiran terhadap suatu lafaz.

Imam Syafi'i menggunakan Hadits dalam Menafsirkan al-Qur 'an

Imam al-Syafi'i menempatkan al-Qur'an dan al-Sunnah pada tingkatan yang sama dan merupakan sumber utama dalam syariat Islam. Sedangkan sumber syariat lainnya hanya adopsi dari keduanya. Sumber-sumber lainnya, meski beragam, tetapi tetap kembali pada satu sumber yang terdiri dari dua bagian, yaitu al-Qur'an dan Sunnah. Jadi, al-Sunnah tidak lain adalah lampiran al-Qur'an dan keduanya saling melengkapi dengan satu tujuan.
 
Pada bab al-Bayan al-Ravi', imam Syafi'i (2010, hal. 32-33) mengatakan, "Penjelasan mengenai fardhu-fardhu yang tertera di dalam al-Qur'an termasuk salah satu dari beberapa sisi berikut.
Sisi pertama, Apa yang tertera di dalam al-Qur' an dengan keterangan yang jelas. Sehingga ayat semacam ini tidak membutuhkan penjelasan sumber lainnya.

Perlu saya katakan, misalnya, penjelasan al-Qur'an tentang cara li'an. Maka istilah ini tidak lagi membutuhkan penjelasan. Begitu pula masalah kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan, tidak memerlukan penjelasan tentang nama bulan. Hanya saja, al-Sunnah menambahkan pada masalah li'an, tentang cerai antara suami-istri setelah terjadinya li'an. Begitu pula nasab seorang anak, tidak diketahui karena terjadinya li'an(al-Syafi'i, 2010, hal. 147 dan 150).

Sisi kedua: ayat yang memiliki pengertian sangat jelas tentang hukum wajib suatu perbuatan. Dan Allah mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada Rasul-Nya. Lalu Rasulullah menjelaskan bagaimana Allah mewajibkannya? Kepada siapa saja diwajibkan? Dan kapan sebagian dari kewajiban itu gugur dan kapan wajib secara keseluruhan? Dari sini bisa dikatakan, bahwa masalah ini terdapat dua macam:
Menarjih (menguatkan salah satu dari dua kemungkinan dengan menggunakan dalil al-Sunnah. Ketika Anda beranggapan bahwa nikah seorang istri yang telah ditalak tiga dengan orang lain selain suaminya, tidak cukup hanya dengan akad saja, tetapi harus terjadi hubungan badan antara keduanya, karena ada hadits yang menyebutkan,"Sehingga engkau perempuan merasakan madunya dan dia merasakn madumu (al-Syafi'i, 2010, hal. 159-161)."
Al-Sunnah merinci apa yang tertera secara global di dalam al-Qur'an, seperti kebanyakan fardhu, misalya sahalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya.
Sisi ketiga: apa yang dijelaskan oleh Sunnah Rasul tanpa adanya nash dari al­ Qur' an. Misalnya, pewaris non muslim atau pembunuh si pemilik harta warisan, tidak berhak mendapatkan bagian harta warisan. Yang tertera di dalam al-Qur' an hanya sebatas masalah kewarisan secara umum.
Imam Abu Zahrah menyimpulkan metode imam al-Syafi'i dalam menjelsakan kandungan al-Qur'an. Dia berkata (Abu Zahrah, n.d., hal. 184), "Pertama-tama, dia berusaha memahami al-Qur'an dengan al-Qur'an itu sendiri. Jika hukum yang dijelaskan di dalam al-Qur'an sudah jelas secara tekstual pada suatu ayat atau di beberapa ayat, maka dengan al-Qur'an saja dia menetapkan suatu hukum. Sebagaimana Anda ketahui pada hukum puasa dan li'an."

Abu Zahrah (n.d., hal. 185) melanjutkan, "Jika harus ada penjelasan tambahan selain dari al-Qur'an, pastilah itu dari al-Sunnah, karena apa yang dicakup oleh al­ Qur' an masih bersifat umum, sehingga memerlukan adanya penjelas yang menyandinginya. Oleh karena itu, al-Sunnah yang menjelaskan detail syariat, sementara al-Qur'an yang menjelaskan globalnya. Al-Qur'an memerintahkan shalat, zakat, haji, jihad, dan puasa, sementara al-Sunnah yang menjelaskannya."

Dari penjelsan ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa imam al-Syafi'i menilai kedudukan Sunah Rasulullah dari al-Qur'an dengan lima posisi:

1. Sunah sebagai penjelas bagi kandungan al-Qur'an yang bersifat global sekaligus memberi rincian bagi kandungan yang bersifat ringkas, serta menerangkan cara mengaplikasikan nash al-Qur' an.

2. Menjelaskan pengertian umum yang oleh Allah memang dimaksudkan sebagai pengertian umum dan pengertian umum yang dimaksudkan oleh Allah sebagai pengertian khusus. 

3. Tambahan atas nash al-Qur'an yang telah baku mengenai hukum wajib yang ditetapkan melalui nash al-Qur' an.

4. As-sunah datang dengan membawa hukum yang tidak terdapat di dalam al- Qur' an, tetapi bukan termasuk kategori dalam tambahan atas nash al-Qur' an.

5. Mengindikasikan adanya nasikh dan mansukh.
Contohnya penafsiran al-Syafi'i dengan menggunakan Hadits.
Bagian pertama: penjelasan mengenai pengertian global yang diperinci oleh as­ Sunah.
Allah berfirman perihal masalah shalat, "Sungguh shalat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (al-Nisa: 103) 

Imam al-Syafi'i berkata, "Rasulullah telah menerangkan waktu-waktu tersebut, dan beliau senantiasa mengerjakan shalat-shalat itu tepat pada waktunya. Rasulullah juga memberitahukan jumlah shalat wajib, menjelaskan jumlah rakaat shalat Zhuhur, Ashar, dan Isya' pada saat tidak sedang dalam perjalanan sebanyak empat rakaat, dan Maghrib sebanyak tiga rakaat, sementara shalat Subuh dua rakaat. Ditambah lagi hal-hal yang berhubungan dengan masalah hukum shalat, baik dalam perjalanan maupun tidak, shalat fardhu maupun sunah (muakkad atau mustahabbah)(al-Syafi'i, 2010, hal. 176- 18). 

Bagian kedua: Penjelasan mengenai pengertian umum yang oleh Allah dimaksudkan sebagai pengertian umum, dan pengertian umum yang oleh Allah dimaksudkan sebagai pengertian khusus. Yakni, dikhusukan oleh Sunah Nabi sekalipun tertera di dalam al-Qur'an sebagai pengertian umum. Contohnya adalah Allah berfirman, ''Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potongah tangan keduanya." (al­ Maidah: 38)

Imam al-Syafi'i berkata, "Jika kita melihat ayat ini secara sepintas, kita mesti memotong tangan semua orang yang disebut sebagai pencuri. Sementara Rasulullah sendiri memotog tangan orang yang mencuri barang senilai seperempat dinar, tetapi tidak memotong tangan orang yang mencuri di bawah jumlah tersebut. Ketika Rasulullah mengambil keputusan itu, maka kita bisa menyimpulkan bahwa maksud Allah adalah memotong tangan sebagian pencuri saja, dan tidak pencuri lainnya, karena Rasulullah tidak memotong tangan sebagian pencuri, padahal semestinya beliau memotongnya."

Bagian ketiga: apa yang terdapat di dalam sunnah sebagai tambahan atas nash nash al-Qur'an megenai perkra-perkara yang telah baku hukum wajibnya. Contohnya sebagai berikut.
Allah berfirman kepada Nabi-Nya, "Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain  Allah.  Barang  siapa  yang  dalam  keadaan  terpaksa  sedang  dia  tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-An'am: 145)

Imam al-Syafi'i berkata, "Ayat ini mengandung dua makna. Pertama, tidak haram bagi orang yang mengkonsumsi makanan, selain apa yang telah dikecualikan oleh Allah. Kedua, pada firman Allah, "Katakanlah, Tiadalah aku peroleh apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya," mengandung dua kemungkinan. Kemungkinan pertama sesatu yang ditanyakan oleh Rasulullah dan tidak yang lainnya. Kemungkinan kedua, apa yang kalian makan. Ini adalah makna yang paling tepat, dengan berdalih pada al-Sunnah, dan bukan pada yang lainnya.
Kemudian imam al-Syafi'i menyitir sebuah hadits Rasulullah bersabda, "Memakan setiap binatang buas yang memiliki gigi taring adalah haram."

Dari hadits di atas, kita dapat melihat bahwa sunah disebutkan sebagai tambahan atas nash al-Qur'an. Pengharaman semua binatang yang memiliki taring ini disebutkan, lalu digabungkan dengan pengharaman yang tertera di dalam ayat al­ Qur' an. Begitu pula contoh yang lainnya seperti pengharaman semua binatang yang memiliki cakar, dan lain sebagainya yang tertera dalam Hadits tentang binatang­ binatang yang haram dimakan.

Bagian keempat: Segala sesuatu yang hukumnya disebutkan dalam Hadits, tetapi nashnya tidak terdapat di dalam al-Qur'an dan tidak diartikan sebagai tambahan atas nash al-Qur'an. Contohnya adalah terhalangnya pembunuh dari harta warisan (yang ditinggalkan si terbunuh). Hal ini didasarkan pada hadits Amru bin Syu'bah, "Seorang pembunuh tidak mendapatkan bagian apa pun."
Bagian kelima: Sunnah datang menunjukan tentang adanya naskh dan mansukh. Mengenai ini akan kami bahas dalam pembahasan tersendri.

Ijma' untuk Menafsirkan al-Qur 'an
Ijma' merupakan dasar hukum bagi imam al-Syafi'i yang menduduki urutan ketiga setelah al-Qur'an dan al-Sunnah. Dia menempatkan Ijma' sebelum qiyas, karena qiyas adalah ijtihad perorangan, sementara ijma' merupakan kesepakatan umat atas suatu permasalahan yang tida ada dalil nashnya.
Imam al-Syafi'i mendefiniskan Ijma' melalui ungkapannya, "Ijma' berati jika Anda berkata, 'Orang-orang telah sepakat,Anda tidak mendapati seorang pun di sekitar Anda yang mengetahui sesuatu berkata kepada Anda, 'ini bukan Ijma'." (Al-Syafi'i, 2008, hal. 285).

Namun, jika melihat ke dalam tafsirnya, kita akan menemukan imam al-Syafi'i tidak menggunakan ijma' secara terang-terangan. Dia hanya menggunakan semua bentuk perintah dan larangan yang muhkam, dan yang disepakati oleh ulama. Terkadang, dia cenderung pada pendapat mayoritas dalam mengunggulkan pendapat mereka dan berpegang padanya. Hal ini bisa kita lihat dalam ungkapannya, "Aku telah mendengar dari para alim ulama yang paling diridhoi," atau " Aku mendengar dati ulama ahli tafsir," atau "Mayorias ulama berpendapat," atau sebagain ulama ahli tafsir berpendapat." Semua itu terungkap jelas di beberapa tempat sebagaimana bisa dilihat tafsir ayat ke-5 surat al-Maidah, ayat e 129 surat al-Nisa', ayat ke 79 surat al-Waqi'ah, ayat ke 33 surat al-Hajj dan banyak lagi di dalam tafsir imam Syafi'i..

Tafsir Imam Syafi'i dengan Menggunakan Qiyas
Imam al-Syafi'i menyusun urutan ushul 'ilm (dasar-dasar pengetahuan) sebagai berikut, 'Pertama, al-Qur'an, Kedua, as-sunah. Ketiga, Qiyas berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah. Qiyas berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah menurut imam Syafi' dan imam Ahmad, boleh dilakukan saat tidak ditemukan nash dalil atau pada saat darurat saja. Imam al-Syafi'i dikategorikan sebagai orang pertama yang berbicara tentang masalah qiyas. Di sini ijma' tidak disebutkan karena imam Syafi'I memfokuskan ijma' pada ruang lingkup yang sempit, yang telah disepakati padanya erintah dan larang yang tertera di dalam al-Qur'an dna al-Sunnah. Oleh karena itu, di sini dia langsung menyebutkan qiyas dan tidak menyebutkan ijma'.

Imam al-Syafi'i menetapkan empat syarat kepada orang yang berhak melakukan qiyas, yaitu:

1. Memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum di dalam al-Qur'an dan segala yang berkaitan dengan hal-hal fardhu, syariat, etika, nasikh, yang umum yang khusus dan lain sebagainya.

2. Memiliki pengetahuan tentang al-Sunnah, pendapat para ulama salaf, ijma' dan perbedaan pendapat di kalangan ulama. 

3. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dapat memahami maksud suatau perkataan dan maksud yang tertera dengan nash-nash yang akan diqiyaskan. Sebab, nash-nash al-Qur'an dan Sunnah diturunkan dengan menggunakan bahasa arab.

4. Berakal sehat, memiliki daya penilaian yang baik sehingga dia dapat membedakan sesuatu yang terlihat serupa dan konsisten dalam berpegang pada ketentuan yang akan menjadi landasan putusannya. 

Berikut ini beberapa contoh penggunaan Qiyas dalam tafsir al-Syafi'i (Abu Zahrah, n.d., hal. 242-243). Berdasarkan pada kejelasan dan ketidakjelasan illat serta tingkat kesempurnaan pelaksanaannya dalam suatu masalah yang tidak ada nashnya, imam al-Syafi'i membagi Qiyas menjadi tiga bagian. Beliau juga memberikan contoh pada masing-masing bagian:

Pertama, furu' (cabang yang akan diqiyaskan) bermakna lebih dalam daripada al-A l (pokok yang menjadi objek pengqiyasan). Misalnya, larangan memukul kedua orang tua. Dasar hukum ini disarikan dari firman Allah, "Maka sekali-kali janganlah kalian mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (al-Isra': 23) Jika kata 'ah' dilarang, tentunya pukulan lebih dilarang lagi.

Kedua, furu' sama dengan al-Asl, tidak lebih dan tidak kurang derajatnya.
Allah berfirman, "Kemudian mereka melakukan perbuatan keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka yang bersuami." (al-Nisa: 25)
Dalam ayat di atas, seorang al-'abd (hamba laki-laki) diqiyaskan dengan al­ amah (hamba perempuan) dalam masalah ini jika melakukan suatu dosa yang berhubungan dengan hukum dera.
 
Ketiga, furu' lebih lemah illat hukumnya daripada al-Asal
Menurnt imam al-Syafi'i ini tidak terjadi kecuali pada qiyas terhadap hal-hal yang sernpa, yaitu qiyas di mana ada kesernpaan antara furu' dengan beberapa hal yang sudah dinash, lalu digabungkan dengan yang lebih dekat kesamaannya. Seperti firman Allah,
"Hendaklah para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf" (al-Baqarah: 233)

Rasulullah pernah menyurnh Hindun binti Atabah untuk mengambil sebagian harta Abu Sufyan, suaminya dengan cara yang wajar. Untuk kepentingan biaya anak­ anaknya. Al-Qur'an dan sunah menunjukkan bahwa seorang ayah berkewajiban memberi nafkah untuk biaya penyusuan anaknya, juga biaya hidup pada masa kanak­ kanak. Adapun illat diwajibkannya seorang ayah untuk memberi nafkah tersebut, karena adanya hubungan yang saling mengikat antara anak dan ayah. Ketika seorang ayah diwajibkan memberi nafkah kepada anaknya yang tidak mampu menafkahi dirinya, maka sang anak juga wajib memberi nafkah kepada ayahnya pada saat sang ayah sudah tidak mampu lagi menafkahi dirinya sendiri dan tidak memiliki harta. Kondisi ini juga berlaku pada kedua orang tua, dan terns ke atas dalam garis lurns, serta kepada anak dan terns ke bawah dalam garis lurns. Karena hubungan pertalian adalah satu.

Imam al-Syafi'i menyebutkan bahwa ada nash-nash dalil yang tidak boleh diqiyaskan, yaitu nash-nash yang memuat hukum-hukum yang bertentangan dengan perkara-perkara yang telah baku. Hal semacam ini cukup diambil hukumnya yang telah ada dan tidak boleh diqiyaskan dengan perkara sernpa (Abu Zahrah, n.d., hal. 249) .

Imam al-Syafi'i memberi contoh di antaranya:
Allah telah mewajibkan wudhu melalui firman-Nya, "Apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepada kalian dan basuh kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki." (al­ Maidah: 6)
 
Berdasarkan ketentuan hukum secara umum, membasuh kedua kaki termasuk salah satu dari rukun wudhu. Oleh karena itu, ketika Rasulullah mengusap kedua khuf dan membolehkan tindakan itu sebagai bentuk keringanan dari hukum yang bersifat umum, maka hal itu tidak boleh diqiyaskan dengan hukum mengusap kedua khuf dengan sesuatu yang semakna, seperti sorban dan kaos tangan. Sebab, hukum yang berlaku padanya merupakan pengecualian dari nash yang bersifat umum. Dan sesuatu yang mendapat pengecualian dari nash umum, maka tidak boleh dijadikan sebagai qiyas.
 

Pendapat Sahabat Sebagai Rujukan Tafsirnya
Imam al-Syafi'i memandang bahwa perkataan para sahabat ada dua pandangan.
Pertama, menyangkut perkataan para sahabat yang sama dengan al-Qur'an dan al-Sunnah. Perkataan sahabat seperti ini dijadikan pegangan oleh imam al-Syafi'i.

Imam al-Syafi'i pernah berujar, 'Jika dari para sahabat Rasulullah muncul pendapat-pendapat yang berbeda-beda, maka kita harus memilih yang lebih dekat persamaannya dengan al-Qur'an dan al-Sunnah, untuk kemudian dijadikan sebagai pegangan." (al-Syafi'i, 2010, hal. 597). Beliau berkata, "Kita memlih perkataan mereka yang sesuai denga al-Qur'an dan Sunnah atau ijma', atau yang paling sahih untuk diqiyaskan (al-Razi, n.d., hal. 235).
Imam al-Syafi'i memberikan sebuah contoh perbedaan mereka dalam menafsirkan kata al-Quru'. Dia mengungkapkan, "Mereka berbeda pendapat dalam masalah al-aqra'. Dan pendaapat yang paling shahih adalah yang menyebutkan bahwa al-aqra' adalah al-athhar (masa suci), sesuai dengan sabda Rasulullah kepada Umar,
"Perintahkanlah kepadanya (Ibnu Umar) supaya menceraikan istrinya ketika sedang dalam keadaan suci dan tidak pernah dicampuri pada masa suci tersebut. Demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah kepadanya untuk menceraikan istri."(al-Syafi'i, 2010, hal. 562, 566-567)
Kedua, Jika di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah tidak terdapat sesuatu yang serupa dengan perkataan mereka yang berbeda-beda, maka kita memilih salah satu di antaranya yang lebih cocok untuk diqiyaskan. Dengan syarat, perkataan mereka tidak boleh kontradiksi dengan nash syar'i tersebut.
 
Dalam tafsir imam al-Syafi'i kita banyak melihat bahwa imam al-Syafi'i menggunakan perkataan sahabat sebagai pijakan dasar hukum ketika menafsirkan ayat­ ayat hukum. Misalnya saja, kasus perbedaan pendapat para sahabat mengenai masalah radd, yaitu masalah pembagian kembali harta warsan yang tersisa, setelah terbagi kepada semua ahli waris, sementara tidak terdapat a avah (orang yang berhak menerima bagian sisa warisan), maka apa yang harus kita lakukan?
Zaid bin Tsabit berkata, "Semua ahli waris diberi bagian yang ditentukan, jika masih terdapat sisa dari harta warisan, sementara tidak ada ashabah bagi si mayit, maka sisa warsan itu menjadi bagian kaum muslimin."

Sahabat lain berpendapat, "Sisa dari harta warisan tersebut, dikembalikan kepada tiap ahli waris yang pasti (a f;avul furu-dh)."
Sementara imam al-Syafi'i memilih pendapat Zaid bin Tsabit seraya berkata, "Pendapat inilah yang ditunjukkan oleh firman Allah,
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: ''Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara Zaki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al-Nisa: 176)(Abu Zahrah, n.d., hal. 278-279; al-Syafi'i, 2010, hal. 586-590)

Perkataan Para Tabi'in dan Imam untuk Menafsirkan al-Qur 'an
Di dalam bukunya, imam al-Syafi'i tidak menyebut secra lantang satu rekomendasi untuk mengikuti pendapat tabi'in dan para imam. Hanya saja, kita menemukannya  dalam  menafsirkan  beberapa  ayat, dia mengatakan, "Ini adalah perkataan Atha' dan aku berpegang padanya. Atau ini adalah perkataan Mujahid dan aku berpegang padanya."
Menurut Abu Zahra, imam al-Syafi'i tidak meniru (taqlid) pada tabi'in, karena mungkin beliau menisbatkannya saja pada pendapat Atha' karena kebetulan qiyasnya sesuai dengan pendapat Atha'. Dia memberikan contoh suatu bentuk qiyas pada suatu masalah dengan menjadikan Atha' sebagai pembimbingnya, Karena Atha' merupakan senior pada maslaah itu (Abu Zahrah, n.d., hal. 283).

Bahasa Arab dan Gaya Bahasa
Tidak diragukan lagi, bahwa imam al-Syafi'i adalah seorang yang hebat dalam ilmu bahasa. Tidak seorang pun yang pernah mendengarnya salah dalam berbahasa. Bahkan, dia menganggap bahasa sebagai ssesuatu yang sangat penting di dalam agama Allah. sebab dengan bahasa, penafsiran terhadap firman Allah di dalam al-Qur'an dan sabda Rasul di dalam Hadits dilakukan dengan sempurna.
Dalam menggunakan kefasihan dan kepiawaiannya dalam berbahasa untuk menjelaskan maksud al-Qur'an dna Sunnah Rasulullah, imam al-Syafi'i menggunakan bantuan syair-syair Arab seperti yang dilakukan oleh Ibnu Abbas.

Karenanya, dalam penafsirannya imam al-Syafi'i terlihat terlihat memakai bahasa untuk menguatkan argumentasinya. Hal ini sebagaimana contohnya dalam tafsir berikut.
Imam al-Syafi'i berkata, Allah berfirman, "Maka basuhlah wajah kalian." (al­ Maidah: 6)
Seperti yang dipahami bersama, yang dimaksud wajah adalah bagian di bawah tumbuhnya rambut kepala sampai batas kedua telinga, kedua sisi jenggot dan dagu. Tidak termasuk yang melampaui tempat tumbuhnya rambut yang lebat dari dua sisi wajah (al-Baihaqi, 2005, hal. 57-58; Al-Syafi'i, 2002, hal. 21).Al-Rabi' berkata, seorang penyair pernah berkata,
'7anganlah engkau menikah jika waktu memisah kita Tutuplah leher dan wajah, dan jangan pernah dibuka."
 
Dominasi Ayat-ayat Ahkam dalam Tafsir al-Syafi'i
Tak mengherankan memang jika kita mendapati bahwa imam al-Syafi'i lebih banyak menafsirkan ayat-ayat hukum dibanding ayat-ayat lainnya. Hal ini memang kapasitas beliau yang terkenal sebagai ahli fikih dalam dunia islam. Jika kita meneliti lebih jauh lagi dalam karya-karya beliau semisal al-Umm, maka di situ banyak sekali dijumpai penafsiran-penafsiran beliau tentang ayat-ayat yang mengandung unsur-unsur hukum syariat Islam.

Secara globalnya bisa kita ringkas sebagai berikut.

1. Imam al-Syafi'i lebih concern menafsiri ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum yang menjadi dasar kaidah-kaidah ushuliyah dan hukum-hukum ushul fiqh serta semua cabang yang lahir dari keduanya.

2. Imam asy-Syafi' menopang tafsirnya dengan penjelasan yang terdapat al-Sunnah jika memang ada. Tetapi, jika tidak ada nashnya maka dia akan berijtihad pada masalah­ masalah cabang.

Konsep Nasakh dalam Pandangan Imam al-Syafi'i
Jika kita mengkaji kitab al-Risa1ah, maka dapat didapati bahwa imam al-Syafi'i telah menetapkan nasikh dan mansukh sebagaimana ucapan beliau berikut ini, "Allah menurunkan kitab kepada mereka sebagai penjelas bagi segala sesuatunya, sekaligus sebagai petunjuk dan rahmat. Dia menetapkan beberapa kewajiban yang sudah dipatenkan, dan sebagain lainnya di nasakh sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, yaitu dengan memberi keringanan dan toleransi kepada mereka  "(al­ Syafi'i, 2010, hal. 106) 

Adapun mengenai kaidah nasakh, Imam al-Syafi'i menegaskan bahwa nasakh dalam al-Qur' an dilakukan dengan menggunakan al-Qur' an. Demikian halnya nasakh al-Sunnah harus dengan al-Sunnah. Jika al-Qur'an menasakh al-Sunnah maka akan datang lagi al-Sunnah yang menasakh al-Sunnah yang terdahulu, sehingga nasakh berlaku di al-Qur'an dan al-Sunnah.

Simpulan
Pemikiran-pemikiran al-Syafi'i mengenai tafsir bisa telusuri lebih mendalam dalam karya-karya beliau. Meski beliau lebih dikenal sebagai ahli fikih namun pada dasarnya beliau telah memiliki konstribusi yang besar terhadap metode penafsiran al­ Qur' an khususnya ayat-ayat hukum. Banyak pemikiran-pemikiran al-Syafi'i yang menjadi inspirasi bagi para generasi berikutnya.

Referensi
Abu Zahrah. (n.d.). al-Syafi'i, Hayatuh wa Ashruh.
al-Jundi, A. H. (1966). Imam al-Syafi'i: Nashir as-Sunnash wa Wadi' al-Ushul. Mesir: Dar Qalam.
al-Baihaqi. (2005). Manaqib Imam Syafi'i. Beirut: Dar al-Kutub al-'Arabiyyah.
al-Razi, I. H. (n.d.). Adab al-Syafi'i wa Manaqibuh. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Al-Syafi'i. (1951). Ahkam al-Qur'an. Baghdad: Nasyr ats-Tsaqafah al-Islamiyyah.
Al-Syafi'i. (1986). Diwan al-Syafi'i. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Syafi'i. (2002). al-Umm. Kairo: Dar Ihya Turas al-Arab.
Al-Syafi'i. (2008). Jima' al-Ilm. Mesir: Maktabah Ibnu Taymiyyah. al-Syafi'i. (2010). Al-Risa1ah. Beirut: Muassasah al-Risalah.
Baltaji. (n.d.). Mauqif Imam.
Basya, M.A. R. (n.d.). al-Imam al-Syafi'i. Dar Ihyah al-Kutub al-Arabiyyah. Cholil, M. (1995). Biografi Empat Imam Madzhab. Jakarta: Bulan Bintang.
Hitu, M. H. (1409). al-Ijtihad wa Tabaqat Mujtahidi al-Syafi'iyyah. Beirut: Muassasah al-Risalah.

LihatTutupKomentar