Bab V: Ulasan Cendikiawan Tentang Penelitian Kyai Imaduddin

Bab V: Ulasan Cendikiawan Tentang Penelitian Kyai Imaduddin tentang Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw

Bab V: Ulasan Cendikiawan Tentang Penelitian Kyai Imaduddin

Nama kitab / buku: Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw (Penyempurnaan dari Buku Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia)
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: Oktober 2022
Penerbit:  Maktabah Nahdlatul Ulum
Kitab sebelumnya: Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
Bidang studi: Sejarah Baalawi, ilmu nasab, sejarah Islam
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum Banten Cet. 1/ 2023

Daftar Isi 

  1. Bab V: Ulasan Cendikiawan Tentang Penelitian Penulis
    1. Dr Syafik Hasyim
    2. KH Kholili Kholil
    3. KH Khotimi Bahri
    4. Prof Qurais Syihab
    5. Ickur
    6. Tb Nurfadhil Satya Tirtayasa
  2. Kembali ke: Buku Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw

BAB V ULASAN CENDIKIAWAN TENTANG PENELITIAN PENULIS
 

Menyoal Genealogi Habib di Indonesia ke Rasulullah, Bukti Ilmiah Kyai Imaduddin Utsman50
Dr. Syafiq Hasyim


Selasa, 8 November  2022

Kita sudah sering mendengar  bahwa habib-habib yang hidup di Indonesia itu merupakan keturunan Rasulullah . Habib Bahar Smith mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Sayyidina Ali r.a. Tidak hanya Bahar Smith, namun habib-habib yang lain, dengan menggunakan panggilan habib, memastikan bahwa mereka memiliki nasab sampai ke Rasulullah. Karenanya  beliau-beliau  merupakan keturunan Rasulullah, maka sebagian besar  masyarakat  Muslim  Indonesia memuliakan mereka.

Kini klaim bahwa habib adalah turunan Rasulullah mendapat tantangan. Tantangan itu berasal dari seorang kyai yang bernama Imadudin Ustman al-Bantani  dalam artikel hasil penelitiannya yang berjudul, Pengakuan Para Habib Sebagai Keturunan Nabi Belum Terbukti Secara Ilmiah.

Kyai Imaduddin Utsman sendiri adalah Ketua Fatwa Komisi MUI Banten dan Pengasih Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Cempaka Kresek Banten. Kyai Imad adalah kyai muda di lingkungan Nahdlatul Ulama yang  produktif  menulis  kitab­ kitab dalam bahasa Arab, salah satunya al-fikrah al-nahdliyyah fi usul wa al-furu' Ahl Sunnah Wal-jamaah.

Dia berpendapat bahwa bahwa habib-habib di Indonesia mayoritas belum terbukti secara ilmiah memiliki jalur darah ke Rasulullah. Jelas, hasil penelitian Kyai Imaduddin Ustman ini akan menyengat banyak pihak sebab mendelegitimasi kaum habaib.


so https://geotimes.id/catata n-syafiq-hasyi m/menyoa 1-geneal ogi-ha bib-di-indonesia-ke­ rasuIu11ah-bukti-ilmiah-kya   i-imaduddin-utsman/
 
Tapi mengapa Kyai Imaduddin Utsman bisa berpendapat demikian? Mari kita lihat.

Para habib datang ke Indonesia pada tahun 1880an   dan  sejak  itu  mereka mengatakan bahwa mereka adalah kerutunan dari Rasulullah . Biasanya , mereka mengaitkan diri mereka dengan Ba' Alawi, keturunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Rumi bin Muhammad Naqib bin  Ali  al-Uraidli  bin Imam Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Fatimah al-Zahra bin Nabi Muhammad .

Mereka ini, yang mengklaim  dari arah Ba Alawi, menutu Kyai Imad, sebenarnya tidak melakukan assimilasi ke dalam penduduk pribumi, karenanya mereka dengan mudah dikenali publik.

Bagi Kyai Imad, keberadaan mereka di Indonesia tetap tidak mudah untuk dicarikan kaitannya secara keturunan dengan Rasulullah. Memang banyak kitab  yang membahas Ba' Alawi misalnya Nubzat Latifah  fi Silsilati Nasabil Alawi  karangan Zainal Abidin bin Alwi Jamalul Lail, Ittisalul Nasabil Alawiyyain wal Asyraf karangan Umar bin Salim al-Attas (abad 13) dan Syamsu al-dzahirah karangan Muhammad bin Husein al-Amasyhur (abad  13). Semua kitab  ini menjadi  sumber dan rujukan untuk ketersampaian nasab mereka ke Rasulullah .

Kata Kyai Imad, sayang sekali, kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam konteks mini adalah kitab-kitab yang ditulis pada abad 13 atau setelahnya. Bagaimana dengan kitab-kitab abad sebelumnya 10,11 dan 12 yang seharusnya mereka jadikan rujukan?

Kyai Imad menyatakan Alawi bin Ubaidillah adalah datuk Ba Alawi di Indonesia. Menurut Kyai Imad, beliau ini adalah urutan ke 12. Dari serangkaian nama ini, ada yang terputus. Menurut Kyai Imam, terputusnya nasab itu di rangkaian keturunan Ali al-Uraidli. Menurut penulusuran  yang  dilakukan  Kyai  Imad,  kedudukan  anak Ali al-Uraidli ini penting untuk menyambung pada Datuk para Habib di Indonesia, yaitu Alawi bin Ba Alawi.

Dari hasil penelitian Kyai Imad ini, atas hadis dan juga kitab-kitab  nasab  yang primer (utama), dia merasa kesulitan untuk mencari kesinambungan para habib di Indonesia untuk sampai pada Rasullulah karena tidak ditemukannya keterangan tentang rangkaian generasi yang sampai Ali al-Uraidhi.

Kyai Imad menyatakan bahwa keturunan Ali al-Uraidli tidak ditemukan pada sumber-sumber hadis dan pada abad 3 H di mana masa hidup Ali al-Uraidli kitab nasab belum tertulis. Kitab nasab baru ada sejak abad 5 dan menurut kitab ini memang  Ali  al-Uraidli  memiliki  keturunan  empat,  Muhammad  bin  Ali,  al-Hasan
 
bin Ali, Ja'far bin  Ali dan Ahmad bin  Ali (Tahdzhibul Ansab karya al-Ubaidili). Dalam berbagai kitab, meskipun berbeda soal jumlah anak, namun mereka berpendapat bahwa Ali al-Uraidli memang memiliki anak.

Anak Ali al-Uraidli yang menjadi perangkai habaib sampai Rasulullah, kata kyai Imad, ada pada Muhammad al-Naqib yang memiliki anak bernama Isa. Lalu Isa memiliki anak Ahmad Muhajir dan Ahmad Muhajir memiliki anak bernama Ubaidillah. Pada Ubaidillah inilah teka-teki terjadi apakah para habib kita memang benar-benar sampai pada Rasulullah atau tidak?

Kyai Imad lalu berpendapat bahwa berdasarkan  Imam  al-Fahrur  Razi  dalam kitabnya al-Syajarah al-mubarakah, Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa itu tidak terkonfirmasi. Lebih lanjut Kyai Imad mengatakan bahwa "penisbatan Ubadilillah sebagai anak Ahmad  tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kitab nasab tertua Tahdzib al-ansab (abad 5) dan al-Syajarah al-mubarakah (abad 6) tidak menceritakan Ahmad memiliki anak bernama Ubaidillah.

Memang ada kitab-kitab nasab yang menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, namun menurut kyai Imad, itu tidak kuat karena adanya  keperputusan riwayat. Nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa barn muncul pada abad 10 dan tak tersebut dalam kitab-kitab sebelumnya.

Apa yang dilakukan oleh Kyai Imad ini sangat menarik karena keberaniannya mengungkapkan hasil penelitiannya untuk dibaca oleh banyak kalangan termasuk kalangan Selain itu, topik yang dibahas juga merupakan topik yang sensitif.

Konstruksi tentang habib sebagai keturunan Rasullah yang sudah berabad-abad terbangun di Indonesia oleh kyai Imad berusaha untuk dipatahkan.

Sudah barang tentu akan banyak orang dan juga habib sendiri yang merasa bahwa penelitian kyai Imad ini mengada-ada dan ditujukan secara tendensius  untuk menyerang pada habaib melalui penulusuran sejarah. Dan jika itu terjadi, maka bantahan pada Kyai Imad harus dituangkan pula dalam bentuk penelitian sejarah kerutunan Rasulullah di Nusantara ini.

Bagi saya, penelitian Kyai Imad ini bisa dikatakan sebagai model bagaimana santri atau kyai mempelopori model kerja ilmiah yang didasarkan pada data-data sejarah yang konkrit, bukan mitologis.

Bagaimana jika penelitian kyai Imad terbukti salah? Jika terbukti salah dan bukti salahnya juga  menggunakan  prosedur riset ilmiah, maka itu sangat wajar dan biasa
 
terjadi. Tinggal nanti data dan argumen sejarahnya yang diadu di antara pelbagai temuan yang ada.

Namun jika penolakan atas penelitian Kyai Imad ini dilakukan dengan cara yang tidak ilmiah, misalnya, kecaman dan kekerasan, maka itu tidak bisa diterima. Penelitian harus dibalas dengan penelitian, itu pakemnya.

Sebagai catatan, konstruksi sejarah yang keliatannya mapan -termasuk tentang habib-pada dasarnya adalah bahan sejarah yang terns  menerus  terbuka. Mereka yang berminat akan mendalami dan meneliti dan  hasilnya bisa saja berbeda dari sejarah yang mapan.

POLEMIK NASAB BA ALAWI51
Oleh Kholili kholil


Polemik tentang nasab Ba 'Alawy yang dikemukakan 'Imaduddin 'Utsman , penulis muda produktif dari Banten, cukup mendapat atensi publik akhir-akhir ini. Makalah yang dia tulis setidaknya mendapatkan tiga bantahan yang  masing-masing  ditulis oleh Ja'far Assegaf, Hanif Alatas, dan  'Isma'il Al-'Aschaly.

Namun setelah menelaah tiga bantahan tersebut, kami menyimpulkan bahwa: tetap tidak ada referensi sezaman yang menyebutkan 'Abd Allah/'Ubayd Allah (ayah dari 'Alawi -ketumnan 'Alawi disebut Ba 'Alawi, puncak klan hampir seluruh habib di Indonesia) .

'Abd Allah b. Ahmad Al-Muhajir b. 'Isa Al-Rumi. Ia wafat di penghujung abad empat, tepatnya 383 H. Ja'far Assegaf mengklaim bahwa namanya  sempat ditulis oleh Ibn Thabathaba (w. 478 H) dalam Abna ' al-Imam fi Mishr wa al-Syam. Namun ternyata , kitab terakhir ini sudah mendapat banyak penambahan  di badan teks oleh Ibn Shadaqah Al-Warraq (w. 1189 H). Otentikasinya diragukan! Apalagi kalau memang benar Ibn Thabathaba menulis nama 'Abd Allah, pastilah  akan dikutip oleh sejarawan setelahnya. (Ja'far memberi argumen ad hominem yang kurang kuat bahwa bisa jadi ada kedengkian, dan hal-hal lain yang membuat namanya tidak dicatat oleh sejarawan pasca Ibn Thabathaba).

Nama 'Abd Allah juga tidak kami temui di Tarikh Musallam Al-Lahji (w. 545 H) yang banyak membahas Yaman dan banyak menukil Ibn Thabathaba. Selain itu, Ibn Samurah  (w. circa 586 H) penulis  Thabaqat  Fuqaha' al-Yaman  sama  sekali  tidak


 

51    https://alif.id/read/khol iii-kholil/polemik-tentang-nasab-ba-a  Iawy-b247627p/
 
menulis ahli fikih dari kalangan Ba 'Alawi satu pun. Barangkali inilah yang membuat 'Imaduddin bertanya-tanya:  sejak kapan Ba 'Alawi menjadi tokoh?

Mungkin beberapa orang akan menjawab dengan kutipan dari Al-Masyra' Al-Rawi, kitab yang sedikit legendaris dan ditulis belakangan tentang biografi Ba 'Alawi, bahwa ulama-ulama besar Yaman non Ba 'Alawi seperti Salim Ba Fadlal, 'Ali b. Ahmad Ba Marwan, dll, berguru kepada Muhammad b. 'Ali pemilik Mirbath (w. 556 H). Namun nyatanya keterangan Al-Masyra' ini sedikit 'ngawur' dan dibantah sendiri oleh ulama Ba 'Alawi lain, yakni lbn 'Ubayd Allah Al-Saqqaf dalam Idam al-Quwt fi Tarikh Hadlramawt (hlm. 877). Bahkan lbn 'Ubayd Allah menganggap 'keilmuan' Ahmad Al-Muhajir dan keturunannya sebagai sesuatu yang sedikit mitologis. Wa li al-syakk fi mitsl dzalik manafidz katsirah, sangat-sangat meragukan, begitu kata lbn 'Ubayd Allah.

Selain oleh ulama tersebut di atas, nama 'Ubayd Allah/'Abd Allah juga  diduga dikutip oleh Al-'Ubaydali. Kutipan ini diambil oleh Hanif Alattas dari Al-Raudl Al­ Jali karya Al-Murtadla Al-Zabidi. Di sini penulis katakan bahwa penulis tidak ragu dengan Al-Zabidi dengan segala kredibilitasnya. Namun yang menjadi pertanyaan penulis adalah: ke mana ulama lain selain Al-'Ubaydali?  Bukankah  katanya genealogi ini mustafadh, masyhur, mujma' 'alayh? Kalau tidak dikutip jil 'an jil, berarti genealogi Ba'alawi ini tidak maqthu ', namun mazhnun?  Kemana  kutipan Abu al-Ghana'im Al-Dimasyq yang mencatat seluruh genealogi Thalibiyyin dan sering dikutip Al-Syajarah Al-Mubarak.ah?

Walhasil: semua bantahan tetap tidak mampu menyanggah bahwa genealogi 'Abd Allah/'Ubayd Allah sejauh yang ditemukan masih tidak tercatat di kitab yang ditulis pada abad 4-7 H. Ini merupakan fakta yang masih belum terbantah. Adapun kesimpulan 'Imaduddin bahwa hal ini menjadi penyebab genealogi tersebut tidak absah, maka menurut hemat kami itu  kesimpulan yang terlalu dini. Namun fakta bahwa genealogi Ba 'Alawi sempat tidak dicatat selama empat ratus tahun itu merupakan fakta yang sejauh ini belum terbantah. Wallahu a'lam.
 
Ketika Nasab Habaib Jadi Polemik (Menakar Analisa Sejarah Ba Alawi Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani)52
Oleh: KH. Khotimi Bahri




Sebuah kajian nasab habaib yang dilakukan oleh Kyai Imaduddin Utsman al­ Bantani banyak menarik perhatian.

Pro-kontra mewarnai diskusi dumay diberbagai flatform. Sayangnya pro-kontra ini tidak semuanya berada dalam jalur ilmiah. Tidak sedikit respon yang bersifat emosional bukan rasional disertai dengan tudingan-tudingan yang tidak mendasar.

Kajian yang dilakukan Kyai Imad, jika dilihat dari dua perspektif sama sekali tidak bertolak belakang dengan prinsip-prinsip keilmuan. Dari sudut pandang akademik (prinsip keilmuan modern) langkah dan metologi penelitiannya sudah sesuai dengan metodologi yang baku. Berangkat dari data primer,  dilanjutkan  dengan  data sekunder, ditunjang dengan data tersier, semua dikaji secara holistik dan proporsional. Ada keterputusan sejarah yang sulit diverifikasi sesuai standart keilmuan modern. Missing-link ini yang akhirnya tersimpulkan bahwa nasab  ba­ alawi tidak terkonfirmasi.

Ada beberapa kyai dan ustadz baik dari Jawa  Tengah,  Jawa  Timur,  Kalimantan yang berusaha membantah penelitian Kyai Imad dengan merujuk pada kitab turots klasik yang menurut para pembantah ini terlewatkan dari referensi Kyai Imad. Pada kenyataannya referensi yang gunakan para pembantah inilah yang secara ilmiah bermasalah.

Jadi hemat saya, clear bahwa penelitian Kyai Imad sudah sesuai dengan standart penelitian ilmiah dengan kesimpulan bahwa ada keterputusan  nasab ba-alawi yang tidak bisa dikonfimasi.

Jika tadi menggunakan metode akademik (modern) sekarang kita coba analisa dengan pendekatan ilmu tentang sanad. Atau metodologi ulama-ulama klasik dalam meneliti mata-rantai keabsahan sanat.




 

52https://Iiputan9.id/ketika-nasab-ha baib-jadi-polemik-menakar-anaIisa-sejarah-ba-alawi­ kyai-imaduddin-utsma  n-a1-bantani/
 
Dalam meneliti sanad, jika ada keterputusan mata-rantai (atau tidak terkonfirmasi dalam bahasa terkininya), maka jalur ini dianggap inqitho', terputus, tidak bersambung. Jalur yang tidak bersambung ini dibagi menjadi 4 :



Nomor satu  disebut hadits mu 'allaq, nomor dua disebut hadis mursal, nomor tiga disebut (secara istilah) hadis  munqothi,  sedangkan  nomor  empat  disebut  hadis mu 'dhol.

Semuanya masuk dalam kategori hadis dhaif, karena sanadnya tidak muttashil.

Berdahl dengan hadits munqothi, maka tidak dapat dibenarkan kecuali ada qorinah dan syawahid yang menguatkan, misalnya, ada jalur riwayat  lain yang  muttashil. Atau ada riwayat lain baik maknawi atau lafdzi yang mendukungnya.

Nah, dari pisau analisa klasik (ilmu sanad) apa yang disampaikan Kyai Imad tidak ada yang menyalahi prosedur.

Sampai disini bisa kita pahami bahwa kajian dan penelitian Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani tidaklah dilandasi kebencian atau untuk melahirkan kebencian terhadap para habaib sebagaimana dituduhkan beberapa pihak. Bahkan tuduhan tersebut merupakan bentuk kekerdilan cara berpikir dan kedangkalan wawasan penuduh.

Sebagai kajian ilmiah, tentu tidak bertujuan mendestorsi keberadaan habaib tapi sebaliknya dengan temuan faktual ini mendorong para habaib melakukan kajian dan penguatan syawahid atau qorinah secara ilmiah.
 
Alangkah eloknya kalau kemudian terjadi dealektika ilmiah. Dari tesa Kyai Imad lahir antitesa dan berkembang menjadi sentesa. Sekaligus inilah saat yang tepat bagi habaib untuk melakukan auto-kritik dan pembenahan terhadap perilaku beberapa "oknum" habaib  sendiri. Wallahu  a'lam.



KH. Imaduddin Utsman Antara Kejujuran Ilmiah dan Tirani Sejarah
Oleh KH. Khotimi Bahri MUI Kota Bogor, dan Dosen STEI Napala


Saya ingin memulai tulisan ini dengan dua model penelitian  yang  diakui validitasnya secara umum.

Pertama, dunia penelitian ilmiah. Dalam dunia penelitian ilmiah saat  1m,  yang sangat prinsip adalah heuristik. Yaitu prosedur pengumpulan sumber penelitian. Dalam penelitian sejarah, seorang peneliti bisa mengkaji beberapa macam sumber yaitu; sumber tulisan lewat naskah-naskah terkait, sumber lisan yaitu kesaksian pelaku atau juga saksi dari sebuah peristiwa, sumber benda bisa dalam  bentuk artefak dan fosil, sumber audio-visual misalnya berupa rekaman, gambar, atau barang-barang  yang digunakan.

Kedua, model penelitian silsilah sanad. Sebuah riwayat akan valid dan  bernilai shohih jika sanadnya muttashil, bersambung, serta memiliki kompetensi yang mumpuni atau dalam bahasa mustholah haditsnya adalah dhabith, hafidz, dan adil.

Mengenai hal ini ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Dalam tulisan ini akan diangkat beberapa saja yang terkait langsung dengan tema tulisan. Diantaranya adalah; seorang periwayat harus sezaman dengan gurunya (rujukannya/narasumbernya). Biasanya cara ini dilihat dari tahun wafatnya. Sang periwayat juga dapat dipastikan bertemu dengan narasumber yang dirujuk. Biasanya cara ini dilacak lewat makanur-rihlah atau tempat yang disinggahi. Mendengar langsung riwayatnya dari narasumber. Kalau tidak mendengar lansung biasanya dihukumi mursal (khafi). Juga dilihat dari  sighat  periwayatnya  apakah  ')azam" yaitu pasti, seperti penegasan; "saya mendengar, saya menyaksikan. Atau sighat tamridl misalnya; diceritakan kepada saya, telah sampai kepada saya dan lain-lain. Tentu kualitas jazm diatas tamridl.

Penelitian atau kajian nasab yang dilakukan Kyai Imaduddin  Utsman  Al-Bantani (Kyai Imad) menyimpulkan tidak terkonfirmasinya nama  Ubaidillah  (383  H) sebagai  anak  dari  Ahmad  bin  Isa.  Padahal  para  habaib  yang  ada  di  Indonesia
 
mengklaim sebagai keturunan Alwi (400 H) bin Ubaidillah. Makanya mereka menisbatkan  diri sebagai Ba-Alawi.

Tentu jika pisau analisanya adalah metode penelitian ilmiah (modern) klaim nasab habaib ini bermasalah. Tidak ada sumber otentik baik tulisan, artefak, lisan, benda, maupun peristiwa yang bisa mengkonfirmasi keberadaan Ubaidillah sebagai keturunan Ahmad bin Isa.

Diketahui nama Ubaidillah baru muncul dalam catatan nasab yang ditulis pada abad ke 10 dan sekitarnya. Artinya dari abad ke 5 sampai ke 9 nama Ubaidillah belum ada.

Kemudian, kalau pisau analisanya metode pelacakan sanad dalam ilmu mustholah, klaim nasab habaib juga tidak terkonfirmasi. Seperti yang saya sampaikan pada tulisan terdahulu bawa mata-rantai periwayatannya terputus atau  mungqothi'. Tepatnya mu 'dhal yaitu  munqothi'  fi akhiris-sanad.

Padahal untuk sebuah keabsahan periwayatan,  seorang  periwayat  harus  sezaman dan mendengar langsung dari narasumbernya. Kalau tidak maka kualitas riwayatnya termasuk mursal.

Mengakui keberadaan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin  Isa  dengan  referensi abad ke  9 atau 10 atau 11 masuk kategori dhoif. Apalagi  referensi  tersebut  tidak bisa menghadirkan artefak, benda, audio abad ke 4 atau ke 5 untuk menguatkan kajiannya.

Penulis berbicara validitas metodologi sesuai standart penelitian ilmiah dan ilmu mustholah dengan tidak meragukan kredibilitas sosok Ibnu Hajar, As-Sakhowi dan lain-lain.

Jadi bukan untuk mendestorsi keberadaan habaib di Indonesia. Tidak juga untuk melahirkan syubhat terhadap tatanan sosial habaib. Tidak sama  sekali.  Penulis murni fokus metodologi.

Sampai disini kita harus fair bahwa secara ilmiah baik metodologi klasik maupun modern, penelitian Kyai Imad tidak terbantahkan.

Namun, seperti sudah diduga, serangan datang dari berbagai penjuru ke Kyai Imad. Mulai dari tuduhan pemecah belah umat, penebar kebencian, syi'ah, pansor, takut diskusi, setelah jadi NU dendam kepada habaib dan fpi, termasuk serangan terhadap portal web tempat Kyai menjawab beberapa pertanyaan. Benarkah semua itu?

Berikut gambaran singkat yang bisa penulis ketengahkan  :
 


Apakah Kyai Imad tidak mau diskusi? Justru Kyai selalu terbuka untuk  diskusi. Dalam beberapa kesempatan Kyai Imad menyisipkan waktu untuk  mendiskusikan hasil penelitiannya walaupun ada beberapa yang dipending panitia.

Apakah Kyai Imad  siap tabayun? Pasti untuk tabayun selalu siap dilakukan. Terbukti pengasuh pesantren sekabupaten  Tangerang  melakukan  tabayun  dan diskusi seputar penelitiannya pada bulan Romadlan 1444 H. Proses tabayun yang berlangsung alot dengan beragam pertanyaan berbasis kutub turors khas kyai dan pesantren. Setelah dihujani pertanyaan, justru berakhir manis dengan  dukungan penuh seluruh pengasuh pesantren yang hadir.

Apakah Kyai Imad tidak siap direvisi? Beberapakali Kyai Imad  sampaikan bahwa kritik, analisa, revisi selalu terbuka untuk penelitiannya. Bahkan Kyai Imad sendiri menyampaikan ; akan "taslim" jika memang ada temuan barn  yang  secara ilmiah bisa dipertanggung jawabkan.

Persoalannya, para penyanggah selama ini belum masuk kepada substansi masalah, yaitu tidak terkonfirmasinya (terputusnya) nasab Ubaidillah sebagai putra anak dari Ahmad bin Isa. Semua referenai yang diajukan penyanggah barn berdasar asumsi, analisa, pandangan para pentahqiq kitab-kitab nasab. Atau baru berupa  klaim muallif kitab tertentu; bahwa memiliki guru  yang  tersambung dengan nama-nama dari klan  ba-Alawi. Kadang juga para penyanggah bermodal pujian muallif kitab terhadap nasab klan ba Alawi. Dan seterusnya dan seterusnya.

Belum ada dari  puluhan penyanggah yang bisa membuktikan  baik  tulisan,  bukti fisik, artefak, syawahid, qorinah yang ada diabad-abad sekitar Ubaidillah hidup. Sehingga secara ilmiah tertolak sanggahannya.

Apakah penelitian Kyai Imad pemecah belah dan penebar kebencian? Penulis pikir tidak seperti itu. Kalau saja kita mau terbuka, memperluas wawasan dan cakrawala, maka kita akan paham bahwa penelitian Kyai Imad murni untuk kepentian ilmiah dan kejujuran pengetahuan. Justru kebencian muncul dari penyanggah yang berlebihan, terutama dari oknum habaib sendiri yang  langsung  melebelkan  Kyai Imad munafik, syiah, pemecah belah umat dan lain-lain. Darisini sebenarnya kegaduhan itu mulai.

Keterbukaan Kyai Imad, bahkan, ditunjukkan dengan  kesediaannya menenma penegasan barn bahwa;
 
Yang pertama mengangkat nama Ubaidillah bin Ahmad adalah Habib Ali bin Abu Bakar Sakran. Dan penegasan ini merupakan komplementer dari hasil penelitian sebelumnya. Artinya Kyai Imad tetap membuka revisi hasil penelitiannya, asalkan referensial dan bisa dipertanggung jawabkan.

Habib Ali al-Sakran menulis sebuah kitab yang diberi nama Al-Burqatul  Mutsiqoh (selanjutnya disebut al-Burqah). Dalam kitab itulah untuk pertama  kali nama Ubaidillah disebut sebagai Anak Ahmad bin Isa dengan argument bahwa Ubaidillah ini adalah nama lain Abdullah yang disebut oleh Al-Jundi (w. 730 H.).

Kitab-kitab selanjutnya yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, kemungkinan besar, menukil dari Habib  Ali  al-Sakran tersebut. Diantara kitab-kitab itu seperti:  'al-Dlau ' al-Lami'  karya  al-Sakhowi  (w. 902 H.), kitab Qiladat al-Dahr fi Wafayat A'yan al-Dahr karya Abu Muhammad al­ Thayyib Ba Makhramah (w. 947 H.), kitab  Tsabat Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H.), kitab Tuhfat al-Tholib karya Sayid Muhammad  bin  al-Husain  as-Samarqondi (w. 996 H), kitab al-Raudl Al-Jaliy karya Murtadlo al-Zabidi (w. 1205 H).

Wa   'ala   kulli   hal,   kelemahan   tesa   Habib   Ali   bin   Abu   Bakar   Sakran   m1 berkesimpulan lewat asumsi. Atau dalam bahasa ushul fiqhnya masih menggunakan logika  "Amrun  I'tibariyun  bi  Dzihni".  Asumsi  ini akan  bisa  dikategorikan  ilmiah dan selaras dengan metodologi penelitian,  baik modern maupun klasik jika  disertai qorinah sebagai syawahidnya. Qorinahnya bisa berupa temuan artefak, fakta audio, kesaksian dan lain-lain.

Tidak ada satu peristiwapun yang tanpa hikmah. Allah hadirkan segala kejadian dengan berbagai ibroh. Hikmah dan ibroh dari diskursus ini, kita disadarkan bahwa Walisongo adalah dzurriyah Rosul. Poro kyai, ajengan, gus, lora raden, sultan, tubagus, puang dan lain-lain adalah  mutiara  yang  selama  ini terabaikan.  Padahal dari mereka nusantara  punya hutang budi. Dari mereka memancar ilmu dan kebajikan. Dari mereka mengalir darah walinsongo. Lahumul Fatihan.

Penulis : Khotimi Bahri (Syuriah  PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor dan mengabdi sebagai Dosen Ushul Fiqh STEI Napala, serta  Waktum Barisan Ksatria Nusantara)


Gonjang-Ganjing Soal Nasab, Ini Kata Prof Dr Quraish Shihab53


53 https://jatman.or. id/gonja ng-ganjing-soa 1-nasa b-ini-kata-p rof-dr-quraish-shihab/
 
Jakarta, JATMAN Online - Pakar Tafsir Professor Quraish Shihab mengatakan bahwa keturunan Rasulullah Saw masih ada hingga saat ini, dan diyakini oleh para ulama.

"Jadi ada jaminan bahwa keturunan Rasulullah masih berlanjut, ini disepakati oleh ulama dan Al-Kautsar itu nikmat yang banyak ,'' Kata Prof Quraish, dilansir dari YouTube Kupas Channel, Rabu (10/05).

Hal ini merupakan respon terkait fenomena Habib mencuat kembali dan ramai diperbincangkan, terutama di medsos tidak luput dari pro  dan  kontra  terkait statment seorang Kiai dari Banten dengan kajian ilmiahnya menyatakan bahwa ada nasab (silsilah) dari kalangan Ba  Alawi keberadaannya tidak tercatat selama 500 tahunan (ceramahnya Kiai Imaduddin Utsman) dilansir dari Gus Fuad Channel.

Ulama ahli tafsir Al-Qur 'an ini menjelaskan bahwa pertama dengan adanya ilmu nasab, jadi wajar orang memperhatikan garis keturunan , apalagi ada bobot, bebet, bibit.

'Tetapi tidak usah anda yang mengklaim diri anda, buktikan bahwa hal tersebut melalui akhlak, ilmu anda," tegasnya.

Prof Dr Quraish Shihab juga menambahkan bahwa yang kedua , ada orang-orang yang bukan keturunan Nabi yang dianggap oleh Nabi sebagai keluarganya .

 

Artinya: "Salman adalah bagian dari kita, sebagai ahlul bait. " (Al-Mu jam  A/­ Kabir Lit Thabrani: 6040).

Sebagaimana kita ketahui , Salman bukanlah darah daging Rasulullah . Iajuga bukan keturunan suku Quraisy. Seorang Persia yang saat ini Republik  Islam  Iran. Walaupun demikian , ia diakui Nabi sebagai ahlul baitnya (keluarga Nabi). Karena apa? Sebab ia beriman lagi patuh . Kuncinya adalah mengikuti perintah  dan menjauhi larangan Rasulullah  Saw.

"Mari kita tonjolkan akhlak kita, ilmu kita dan pengabdian kita itulah  yang menjadikan Rasulullah bangga. Dan tidak usah memikirkan diakui, tidak diakui, terserah," pungkasnya.

Pewarta: Abdul Mun'im Hasan Editor: Warto'i
 
Runtuhnya Legitimasi Habaib

Oleh: Ickur (Komunitas Disorientasi)


Beberapa tahun yang lalu Sumanto Al Qurtubi memposting tulisan di akun facebook-nya yang membahas tentang terputusnya nasab Rasulullah berdasarkan kajian Antropologi, alasan utamanya adalah bangsa Arab menganut sistem patriarki dimana nasab dihitung berdasarkan jalur laki-laki, sedangkan Rasulullah tidak memiliki anak cucu yang beranak pinak melalui jalur keturunan laki-laki . Postingan ini mendapat reaksi dari ribuan akun yang mayoritas menghajar  Sumanto  Al Qurtubi dengan menggunakan  dalil agama.

Beberapa tahun kemudian tepatnya akhir-akhir ini, kemapanan  Habaib  yang mendapat posisi Istimewa di Indonesia karena dimuliakan  oleh  mayoritas  umat Islam kembali goyang oleh tesis Imaduddin Ustman.  Imaduddin  Ustman  menulis tesis "tentang terputusnya nasab para habib Ba Alawi Yaman kepada Rasulullah " dengan menggunakan  sembilan kitab nasab sebagai referensi utama.

Kalau Sumanto Al Qurtubi dengan kajian antropologi berusaha  menggugurkan klaim seluruh Dzurriyat Rasulullah dengan  mengisyaratkan  nasab  Rasulullah terputus sejak Sayyidah  Fatimah  Az  Zahrah ,  Imaduddin  Utsman  hanya "menggugat " klaim Dzurriyat Rasulullah dari jalur Ba Alawi dengan menunjukkam bukti bahwa Sayyid Ahmad bin Isa tidak memiliki anak yang bernama Ubaidillah , berarti juga tidak memiliki cucu yang bernama Alawi bin Ubaidillah . Alawi bin Ubaidillah inilah yang diklaim menjadi jalur penghubung nasab Habaib sampai ke Rasulullah yang dilegitimasi oleh Rabithah Alawiyyah (Lembaga Pencatat Nasab Dzurriyat Rasulullah) .

Imaduddin Utsman tidak "mengatakan " seluruh Dzzurriyat  Rasulullah  terputus, juga tidak menyerang ke-shahih-an nasab Habib secara personal (orang per orang berdasarkan suka atau tidal suka), karena ada Habib yang "baper " menanggapi tesis Imaduddin dengan tanggapan emosional seolah diserang secara pribadi kemudian mengajukan test DNA dengan cara yang nyaris Mustahil yakni menggali makam Rasulullah untuk mengambil sampel DNA. Tetapi Imaduddin Utsman hanya menunjukkan "masalah " dalam nasab Alawi bin  Ubaidillah  karena  Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa.

Imaduddin mengatakan bahwa tidak ada  kitab-kitab mu 'tabar yang menyebutkan Ahmad bin Isa pindah ke Hadramaut, berita tentang pindahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut  sekitar  650  setelah  wafatnya  Ahmad  bin  Isa.  Ahmad  bin  Isa  hanya
 
mempunyai tlga putra; Muhammad, Ali, dan Husain. Di titik ini Bani Alawi mendapat "masalah" karena tidak atau belum bisa menggugurkan tesis Imaduddin Utsman dengan referensi valid. Kitab yang digunakan untuk menyanggah pendapat Imaduddin adalah kibab Syarhul Ainiyyah yang ditulis oleh Habib Ahmad bin Zen al-Habsyi (dari kalangan Bani Alawi) pada abad 12 H tanpa menyebutkan rujukan kitab atau sumber informasi, sedangkan Ubaidillah wafat pada abad 4 H.

Di tempat lain, Channel Youtube Guru Gembul yang berjudul Eps 5851 HABIB BUKAN   KETURUNAN   ROSULULLAH   SAW?   KRITIK   SANAD   NASAB
setelah merujuk kepada tesis Imaduddin  Ustman  kemudian  mengangkat  masalah lain yang terjadi pada Bani  Alawi dalam hal kalkulasi generasi  Habaib yang ada sekarang yakni generasi ke 36 sampai ke 39, sedangkan jarak dari Nabi Muhammad sampai ke generasi sekarang sekitar 1495 tahun hijriyah. Di dunia, Dalam rentang waktu 1500 tahun rata-rata telah melahirkan 50 sampai 75 generasi, sedangkan para Habaib hanya pada 37 sampai 39 generasi. Tetap masuk akal tapi susah  untuk diterima karena rata-rata para Habaib baru punya keturunan di usia 40  tahun. Apalagi di zaman dulu kebanyakan orang menikah di usia yang sangat belia antara usia 11 - 14 tahun. Kalau sampelnya diambil dari lima generasi pertama dari Zaman Rasulullah maka jumlah rata-rata generasi berpindah di usia 26 tahun. "Ini wajar, normal dan masuk akal" kata Guru Gembul. Tetapi setelah Ubaidillah, dalam kalkulasi juga terjadi masalah, jarak rata-rata antar generasi menjadi dua kali lebih panjang, mereka rata-rata dilahirkan pada tahun  genap, dan jarak  antara  generasi juga rata-rata berangka tahun genap.

Dari sini kita dapat melihat kemungkinan hanya test DNA lah yang bisa selamatkan "Legitimasi" Bani Alawi  sebagai  Dzurriyat  Rasulullah.  Kecuali  Rabithah Alawiyyah bisa mengajukan bukti dan jawaban valid yang bisa dijadikan rujukan untuk menggugurkan tesis Imaduddin Ustman dan masalah Kalkulasi rata-rata perpindahan antar generasi yang diajukan oleh Guru Gembul.

Jika legitimasi Bani Alawi sebagai keturunan rasulullah runtuh, apakah akan dapat mengakhiri pengkultusan terhadap Habaib? Ataukah akan ada tebang pilih Habaib, yaitu hanya Habaib ulama yang akan tetap mendapat legitimasi dengan jalur keilmuannya, sedangkan para Habaib yang hanya menjajakan nasab sebagai klaim kemuliaan akan ditinggal oleh para Muhibbinnya?, Wallahu a'lam bish shawab.

5 - 7 Syawal 1444

(Ditulis saat melintasi Selat Makassar di lantai 3 KM Laskar Pelangi  sebagai pengisi waktu saat mudik, dirampungkan saat nongkrong di tepi  Teluk  Mandar Pantai Tatobo).
 
Kajian Ilmiah Nasab Habaib Ba'alawy, Tidaklah Menentang Nasab Leluhur Keluarga Walisongo
Oleh: R.Tb.M. Nurfadhil Satya Tirtayasa, S.Sos., M.A. (Ketua Umum Robithoh Babad Kesultanan Banten)


Silsilah Leluhur Para Walisongo dikenal masyarakat sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Versi Jalur silsilah yang banyak dikenal masyarakat adalah yang melalui jalur  Azmatkhan  Ba'alawy muasal Yaman.

Namun perlu diketahui saat ini Naqib Alawiyyin Internasional mengklasifikasikan Walisongo dan keluarga keturunannya  bukan ke jalur Azmatkhan Ba'alawy tapi ke versi jalur sanad nasab lainnya.

Jadi kajian ilrniah dan  adu  hujjah  nasab  terkait  keabsahan  silsilah  para  Habaib Ba' alawy muasal Yaman yang sedang viral di media sosial, bagi yang mengetahui silsilah Walisongo versi sanad Naqib Internasional, bukanlah menggugat tentang leluhur keluarga Walisongo.

Terindikasi sempat ada distorsi pengkaburan sejarah dan silsilah leluhur Walisongo oleh oknum Habib Ba'alawy muasal Yaman di masa lalu.

Dalam sejarah masyhur nusantara. Leluhur Wali Nusantara ada yang berasal dari Maghrib I Maroko dan terindikasi dari banyaknya gelar Maulana Maghribi (bukan gelar Maulana Yamani ataupun Maulana Al Hadhrarni) dan ada yang berasal dari Samarkand Uzbekistan Asia Tengah terindikasi dari penggunaan gelar Asmarakandi pada ayah Sunan Ampel , dan penggunaan gelar Makhdum, gelar zuriat Ahlul Bait Nabi yang lazim digunakan di Asia Tengah dan jelas keluarga Walisongo tidak menggunakan gelar Habib, sebagaimana  kelaziman  gelar  yang  dipakai  keluarga Ba' alawy muasal Yaman.

Contoh Walisongo yang menggunakan gelar Makhdum adalah Sunan Bonang Makhdum Ibrahim dan Syarif Hidayatullah Sunan Makhdum Gunung Jati.

Jalur muasal dari Maroko menurunkan Sunan Giri dan Sunan Kudus yang berdasar data Serat Walisana, dikolaborasikan dengan data Malaka dan  Naqib  Maroko berjalur turunan kepada kabilah Al Jailani Al Hasani dan  sudah  mendapat  isbat nasab dari Naqib Internasional antara lain dari Maroko, Irak dan Turki.

Sedangkan dari jalur muasal Uzbekistan Asia Tengah sesuai dengan data pihak Keprabon Cirebon bernasab via jalur Al Kazhirni Al Husaini, diakui jalur ini namun untuk sanad detailnya sedang proses isbat Naqib Internasional melalui Naqib Hasyimiyyun Turki. 

Di Cirebon ada berbagai versi data silsilah leluhur Sunan Gunung Jati yang berbeda. Pihak peneliti nasab dari keluarga Walisongo, meneliti bahkan menggunakan perbandingan hasil tes DNA sampel keturunan melalui Peta Migrasi Leluhur untuk meneliti versi mana yang paling shoheh diantara berbagai versi yang ada.

Penggunaan tes DNA untuk meneliti keabsahan silsilah jalur Alawiyyin di kalangan Internasional juga sudah dilakukan oleh Naqib Jordan dan Naqib Mesir. Sehingga penelitian nasab memperbandingkan data hasil tes genetik dengan data tertulis yang dilakukan peneliti dari kalangan keluarga Walisongo yang tergabung dalam wadah organisasi NAAT (Naqobah Ansab Auliya Tis‘ah) memenuhi kaidah ilmiah ilmu nasab Internasional.

Silsilah yang dianggap paling shoheh oleh pihak peneliti untuk jalur leluhur Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati adalah yang melalui jalur Al Kazhimi Al Husaini sebagaimana data yang dipelihara oleh pihak Keprabon Cirebon.

Dari penelitian DNA, peta migrasi khusus yang sesuai dengan kode genetik yg ada di sampel trah Sunan jalur Al Husaini menunjukkan migrasi yang sinkron dengan riwayat muasal dari Hijaz ke Irak – Iran ke Uzbekistan Asia Tengah ke India / Pakistan lantas ke Nusantara.

Dapat diliat pula peta migrasi tersebut tidak sesuai dengan silsilah Walisongo versi Azmatkhan Ba‘alawy muasal Yaman yang konon semestinya dari Irak hijrah ke Yaman dulu (arah barat daya) baru ke India (arah timur) lantas ke nusantara.

Jadi versi silsilah leluhur Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel jalur Al Kazhimi Al Husaini ditemukan bersesuaian dengan peta migrasi leluhur dari sampel keturunan Walisongo yang diuji tes DNA serta disimpulkan lebih shoheh.

Sampel DNA trah Walisongo Alhamdulillah, terbukti pula sebagai turunan ahlul bait Nabi dengan ditemukannya kode mutasi genetik / SNP dari kode Ahlul Bait Nabi. Wallahu a‘lam bishowab.

 

LihatTutupKomentar