20 Sifat Wajib Allah | Kifayatul Awam

akidah yang wajib dipelajari ada 50, berikut perincian sifat-sifat tersebut yang dimulai dengan 20 sifat yang wajib bagi Allah Tauhid uluhiyyah
20 Sifat Wajib Allah | Kifayatul Awam

Nama kitab: Terjemah Kifayatul Awam, Kifayah al-Awam, Kifayat-ul-‘Awam
Nama kitab asal: Kifayat al-awam fi ma Yajib alaihim min ilm al-kalam ( كفاية العوام فيما يجب عليهم من علم الكلام )
Penulis: Muhammad Al-Fudhali  (محمد الفضالي)
Penerjemah:
Bidang studi: Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Asy’ariyah, ilmu kalam, tauhid, ushuluddin.

Daftar Isi
  1. Bab II: Tauhid Uluhiyah
  2. A. Sifat Wajib bagi Allah
    1. Wujud
    2. Qidam
    3. Baqo' (Baqa')
    4. Mukholafatu lil hawadist
    5. Qiyamuhu binafsihi
    6. Wahdaniyah
    7. Qudrah
    8. Irodah
    9. Ilmu
    10. Hayat
    11. Sama' dan Bashor
    12. Kalam
    13. Qodiron
    14. Muridan
    15. Aliman
    16. Hayyan
    17. Samian
    18. Bashiran
    19. Mutakalliman
  3. Kembali ke kitab: Terjemah Kifayatul Awam

 BAB II TAUHID ULUHIYYAH

Tauhid uluhiyyah adalah ilmu tauhid yang mempelajari tentang sifat-sifat yang berhubungan dengan akidah Tuhan. Sebagaimana sudah diketahui di awal bahwa akidah yang wajib dipelajari ada 50, berikut perincian sifat-sifat tersebut yang dimulai dengan 20 sifat yang wajib bagi Allah;

 A.    Sifat-Sifat Wajib Bagi Allah;   

1.    Sifat Wujud (الوجود)
Dikalangan para ulama kalam ada perbedaan pendapat dalam sifat arti wujud. Menurut menurut selain Al-Asy’ari bahwa “wujud itu al-haal / suatu keadaan yang wajib bagi zat selagi tetap”. Al-haal ini tidak dikarenakan yang lain / illat. Ini berati wujud itu suatu keadaan yang ada pada zat yang tidak naik pada kedudukan ada hingga dapat terlihat dan tidak turun pada kedudukan tiada hingga benar-benar tidak tetap. Wujud itu berada di tengah-tengah antara ada dan tiada. Oleh karena itu wujud si Zaid adalah suatu keadaan baginya yang pasti tetap pada zatnya dan tidak akan terlepas selagi zat itu tetap.

Adapun makna “tidak dikarenakan yang lain / ‘illat”. Artinya sifat itu tidak timbul dari sifat yang lain. Berbeda dengan sifat terbukti berkuasa / kaunuhu qodiron umpamanya bagi si Zaid. Sifat terbukti berkuasa timbul dari berkuasa / qudrot. Dari sini dapat diketahui bahwa terbukti yang berkuasa dan wujud adalah 2 haal yang tetap pada Zaid yang tidak dapat teridentifikasi oleh panca indra. Hanya saja terbukti yang berkuasa timbul dari yang lainnya yaitu qudrot, sedangkan wujud tidak timbul dari yang lain. Inilah batasan alhaal nafsiyyah. Dari situlah dapat diketahui bahwa setiap keadaan yang tetap pada zat yang tidak dikarenakan yang lain disebut sifat nafsiyyah. Sifat nafsiyyah juga suatu sifat yang tidak lepas dari zat. Artinya tidak dapat dimengerti ada zat tanpa sifat itu, seperti sifat tahayyuz / menempati suatu ruang bagi jirim yang jika diamati dan dicermati pasti menempati tempat. Berdasarkan pendapat ini wujud itu adalah haal. Berarti zat Allah bukan wujudnya sendiri dan makhluk juga bukan wujudnya sendiri.

Imam Al- Asy’ari berkata : bahwa “wujud itu ‘ainul maujud (zat)” artinya bukan sifat Zaidah (tambahan) atas zat sekiranya bisa kelihatan. Oleh karena itu wujud itu hanyalah amrun i’tibari (Suatu perkiraan yang tak ada pada kenyataan namun sah diucapkan). Berdasarkan pendapat ini, wujud Allah itu adalah ‘ain zatNya bukan tambahan atas zatNya. Wujud makhluk juga adalah ‘ainnya. Dengan demikian wujud tidak nampak terhitung sebagai sifat, karena wujud itu sama dengan zat, sedangkan sifat bukan zat. Berbeda menurut pendapat pertama; menghitung wujud sebagai sifat nampak jelas.

Kesimpulan; Dalam memaknai wujud bagi Allah antara pendapat pertama dan kedua ada persamaan dan perbedaan. Persamaan itu makna wajib wujud bagi Allah menurut pendapat pertama : bahwa “sifat nafsiyyah / haal tetap  bagi Allah”.
 
Sedangkan menurut pendapat kedua : bahwa “zat Allah nyata adanya dalam kenyataan”, sekiranya hijab / penghalang dibuka dari kita, tentu kita dapat melihatnya. Ini berarti zat Allah itu tetap dan nyata adanya menurut dua pendapat. Sedangkan perbedaannya wujud itu bukan zatNya menurut pendapat pertama dan wujud sama dengan zat menurut pendapat kedua.

“Dalil aqli tetapnya sifat wujud / ada pada Allah adalah barunya alam”. Baru artinya ada setelah tiada. Alam adalah sesuatu kumpulan dari jirim seperti zat dan ‘arodh seperti gerak, diam dan warna.

Kenapa barunya alam menjadi dalil akan adanya Allah ? karena tidak sah alam ada dengan sendirinya tanpa ada yang mewujudkan, karena sebelum ada alam ini asalnya tiada. Lalu ada. Sedangkan status ada dan tiada sama kedudukannya. Apabila kedudukan keduanya sama kemudian yang satu (ada) dapat mengungguli lainnya (tiada), maka tidak benar dapat mengungguli dengan sendirinya. Oleh karena itu, pasti ada murojjih (yang mengungguli), karena berdasarkan kaidah tarojjuhul amroni mutasawiyaini bighoiri murojjihin mustahilun (mengunggulkan sesuatu yang statusnya sama tanpa ada yang mengunggulkan adalah mustahil). Misalnya si Zaid sebelum ada bisa jadi lahir pada tahun anu ( misalnya 2020 ) bisa jadi pula tidak terlahir sama sekali ke dunia. Nah ada dan tiadanya ini sama kedudukannya, lalu tatkala ada dan hilang tiada pada tahun 2020, maka pasti adanya dengan yang mengadakan bukan dengan sendirinya.

Kesimpulan dalil wujud adalah “Alam yang terdiri dari jirim dan ‘arodh ini baru – ada setelah tiada -. Setiap yang baru pasti ada yang membarukan. Dengan demikian alam inipun ada yang membarukan”. Adapun yang membarukan alam disebut Allah dan nama-nama lainNya, dapat dipahami dari para Nabi AS.   Dalil ini –barunya alam– adalah sebagai dalil atas wujudnya Allah. Adapaun dalil barunya alam adalah apabila kita perhatikan bahwa alam ini / makhluk / ciptaan terdiri dari jirim / benda dan ‘arod (sifat pada jirim). ‘Arod bersifat asli berubah dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Sebagai contoh diam dan gerak yang senantiasa berubah; dari diam menjadi bergerak, dari gerak menjadi diam dan seterusnya. Semua perubahan ini menunjukan barunya ‘arodh. Jika ‘arod baru, maka jirimpun yang didiami ‘arodh statusnya baru pula, karena keduanya mulaazamah (berkaitan erat tanpa bisa dipisahkan). Jika keduanya baru, maka alam inipun baru (terjadi setelah tiada).
 
Kesimpulan bukti barunya alam adalah : jirim mulazamah kepada ‘arodh. Sedangkan ‘arodh itu baru. Setiap yang mulazamah kepada yang baru, pasti baru. Dengan demikian jirimpun baru. Kebaruan jirim dan ‘arodh ini menjadi dalil akan adanya Allah, sebab setiap yang baru pasti ada yang membarukan. Sedangkan tidak ada yang membarukan alam kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagiNya sebagaimana nanti diterangkan dalam dalil sifat wahdaniyyah.

Inilah dalil ijmali yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf baik laki-laki maupun wanita, sebagaimana pendapat Imam Ibnu ‘Aroby dan Sanusi. Mereka berdua menganggap kufur kepada orang yang tidak ma’rifat. Hati-hati iman kita belum ma’rifat.

2.    Sifat Qidam (القدم)   
Qidam artinya “tidak ada permulaan”. Allah disifati qidam artinya keberadaanNya tidak ada permulaan. Berbeda dengan keberadaan si Zaid yang ada permulaannya, yaitu sejak diciptakan sperma yang menjadi cikal bakal keberadaannya. Para Ulama berbeda pendapat dalam memaknai qodim / yang qidam dan azali; ada yang berpendapat sama artinya dan ada yang berpendapat berbeda.
 
Ulama yang berpendapat sama artinya mendefinisikan keduanya adalah : “sesuatu yang tidak ada permulaannya”. Ini berarti zat dan sifat Allah itu qodim dan azali. Ulama yang berpendapat berbeda, mendefinisikan qodim dengan “sesuatu yang ada tidak bermula (maujud la awwala lahu)
 
Sedangkan azali adalah “sesuatu yang terbermula (ma al-awwal lahu).
Ini berarti umum baik untuk yang maujud / ada ataupun yang ghoir maujud / tiada. Dengan demikian zat dan sifat Allah yang sebangsa maujud dapat dikatakan azali dan qodim seperti dikatakan zat Allah azali dan qudrotNya azali pula. Namun hanya dikatakan azali dan tidak dikatakan qodim bila sifat itu termasuk sebangsa haal seperti kaunuhu qodiron. Sebab kaunuhu qodiron tidak naik sampai derajat ada.

Dalil Qidam / dahulunya Allah adalah sesungguhnya jika Allah tidak bersifat Qidam / dahulu maka Ia adalah perkara baru karena tidak ada wasithoh / perantara / penengah antara yang qodim /dahulu dan yang hadits / baru, maka setiap sesuatu yang sifat Qidam dinafikan / ditiadakan darinya tetap /pastilah baginya sifat baru , jika Allah ta'ala baru / makhluk maka Allah membutuhkan sesuatu yang mengadakan / menciptakan dan yang mengadakan Allah membutuhkan sesuatu yang mengadakan lagi, jika perkara ini tidak ada kesudahan maka lazimlah tasalsul / mata rantai yaitu mengikutinya sesuatu satu
sesudah yang lain sampai tiada penghabisan, jika ada penghabisannya yaitu dengan adanya sesuatu yang mengadakan Allah diadakan oleh Allah maka lazimlah daur / berputar yaitu tawaqquf / berhentinya sesuatu atas sesuatu yang berhenti atas sesuatu yang depan maka sesungguhnya jika Allah ada yang mengadakan maka Allah berhenti / tawaqquf pada yang mengadakan / muhdits padahal kita telah mewajibkan bahwa Allahlah yang mengadakan muhdits ini, kemudian muhdits ini tawaqquf atas Allah maka tetaplah yang namanya daur /berputar padahal semua dari daur dan tasalsul adalah perkara yang muhal yakni tidak mungkin adanya, dan perkara yang menyampaikan kepada muhal yaitu barunya Allah ta'ala adalah muhal juga.
  Kesimpulnnya “Dzat Allah dan sifat-Nya Qodim (yang keberadaannya tak ada permulaannya)”. Inilah dalil ijmali sifat Qidam bagi Allah. Dengan inilah dia keluar dari belenggu taklid yang akan mengekalkan pemiliknya di neraka menurut Ibnu ‘Arobi dan Imam Sanusi.

3.    Sifat Baqo’ (البقاء)
Baqo / baqa artinya “Tiada akhiri bagi keberadaannya”. Allah disifati dengan sifat Baqo' artinya “tidak ada akhir bagi keberadaan Allah”. Dalil Aqli sifat baqo adalah “Kalau Allah tidak disifati sifat baqo’, tentu keberadaannya diakhiri dengan tiada. Apabila keberadaannya diakhiri tiada, tentu Allah jaiz adanya. Apabila Allah jaiz adanya, tentu Allah baru (keberadaannya ada awalnya). Kalau Allah baru berarti Allah tidak disifati dengan qidam. Sedangkan telah nyata Allah disifati dengan sifat qidam. Kalau Allah disifati dengan sifat qidam, berarti keberadaan Allah tidak ada baru. Kalau keberadaan-Nya tidak baru, tentu keberadaan-Nya tidak jaiz. Apabila keberadaannya tidak jaiz, tentu wajib adanya. Apabila wajib adanya, tentu keberadaannya tidak ada akhirnya”. Kalau keberadaannnya tidak ada akhirnya berarti Dia disifati dengan sifat baqo’.
  Kesimpulan : Bila Allah tidak wajib disifati baqo’, ini berarti wenang tiadaNya, tentu tidak disifati qidam. Sedangkan tidak sah tiadanya sifat qidam dari Allah, karena dalilnya sudah nyata. Ini adalah dalil ijmali sifat baqo’ yang wajib diketahui oleh mukallaf. Begitupun setiap akidah yang lainnya. Bila mengetahui sebagian akidah dengan dalilnya sedangkan yang lainnya tanpa dalil, maka tidak cukup dikatakan mukmin menurut    pendapat    yang    tidak menganggap    cukup    taklid.
 
4.    Sifat Mukholafatuhu Lil Hawadist (مالفته للحوادث)
  Al Mukhalafah lil hawadis menurut ilmu tauhid adalah : berbeda dengan makhluk. Allah disifati dengan sifat almukholafah lil hawadist artinya keberadaan Allah tidak menyamai keberadaan makhlukNya. Ini berarti Allah berbeda dengan manusia, jin, malaikat dll. dan berbeda pula dalam seluruh yang ada pada makhluk seperti duduk, berjalan dan anggota badan seperti mulut, mata, telinga dan lain. Oleh karena itu setiap yang terlintas dalam pikiranmu adanya panjang, lebar, pendek, gemuk, Allah itu berbeda dengan semua itu. Maha suci Allah dari seluruh sifat makhlukNya. Dalil aqli sifat Almukholafah lil hawadist adalah “Apabila Allah menyerupai makhluknya berarti Allah itu baru (keberadaan-Nya ada permulaan dan juga pasti ada akhirnya). Kalau Allah baru, pasti membutuhkan muhdist (yang membarukan). Muhdist itupun sama membutuhkan muhdist yang lain dst. Bila hal ini terjadi, pasti akan muncul daur atau tasalsul. Sedangkan keduanya itu mustahil. Bila keduanya mustahil, pasti mustahil pula Allah membutuhkan muhdist. Bila demikian Dia tidak baru. Kalau Dia tidak baru berarti tidak sama dengan makhluknya. Kalau Dia tidak sama dengan makhluk-Nya, berarti Dia disifati dengan almukholafatu lil hawadist.   Kesimpulan : “Apabila Allah menyerupai makhlukNya berarti Dia itu baru, karena sesuatu yang mungkin atas salah satu yang serupa, mungkin pula bagi yang satu lagi. Sedangkan mustahil Allah baru, karena Dia wajib disifati qidam. Bila tidak hudust / baru, maka Dia berbeda dengan makhlukNya. Oleh karena itu tidak ada satupun persamaan antara Allah dengan makhlukNya”. Inilah dalil ijmali yang wajib diketahui seperti keterangan yang telah lewat.  

5.    Sifat Qiyamuhu Binafsihi
Qiyamuhu Binafsihi artinya tidak membutuhkan mahal / zat dan mukhossis / pencipta. Allah disifati dengan sifat alqiyam binafsihi, artinya keberadaan Allah tidak membutuhkan zat dan pencipta / yang mengadakan karena Allah adalah zat yang mewujudkan segala sesuatu.   Dalil aqli Allah disifati dengan qiyamuhu binafsihi adalah “Apabila Allah membutuhkan zat seperti warna putih membutuhkan zat , berarti Dia sifat seperti warna putih, karena tidak ada yang membutuhkan zat kecuali sifat. Kalau Dia sifat, berarti Dia tidak akan disifati seperti dengan qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama’, bashor dan kalam, karena sifat tidak akan menetap pada sifat. Sedangkan Dia disifati dengan sifat-sifat tadi. Kalau Dia disifati dengan sifat-sifat tadi, berarti Dia bukan sifat. Oleh karena bukan sifat, berarti Allah itu zat. Sekali lagi Dia itu zat. Begitupun apabila Allah membutuhkan pencipta, maka Dia baru. Kalau Dia baru berarti Dia tidak disifati dengan sifat qidam, baqo', mukholafah lil hawadist. Sedangkan Dia telah nyata di atas disifati dengan sifat-sifat tersebut. Kalau Dia telah nyata disifati dengan sifat-sifat tersebut,berarti Dia tidak baru. Kalau Dia tidak baru, Dia tidak membutuhkan pada mukhossis. Dengan demikian Dia kaya mutlaq ( tidak membutuhkan zat dan mukhossis ), berbeda dengan makhluk yang kaya muqoyyad / tidak membutuhkan dari salah satu tapi butuh yang lain. Kini nyatalah bahwa Dia disifati dengan qiyamuhu binafsihi.

  6.    Sifat Wahdaniyyah (الوحدانية)
Wahdaaniyat artinya tidak terbilang / terhitung atau arti singkatnya tunggal. Allah disifati wahdaaniyat artinya keberadaanNya hanya tunggal. Allah itu Tunggal / Esa pada tiga bagian : zat, sifat dan af’al.

a.    Zat,
Wahdaniyat fii zat ada 2 makna, yaitu ;
1.    Zat Allah tidak tersusun dari bagian atau unsur. Berbeda dengan tunggalnya makhluk atau sesuatu. Sudah pasti ia akan tersusun dari beberapa bagian, contoh jam tangan itu ada unsur- unsurnya seperti tali, bak jam, jarum second, jarum panjang, jarum pendek, putaran dll. Kalau salah satu unsur ini tidak ada, maka akan mengakibatkan kurang sempurnanya jam tangan tadi. Begitupun dengan Allah. Kalau Dia tersusun dari bagian- bagian akan menimbulkan kurang sempurna. Sedang Dia itu Maha Sempurna. Makanya Dia harus tunggal. Dengan arti yang pertama ini, hilanglah kam muttasil fiz zat artinya suatu zat tersusun dari beberapa bagian.
2.    Tidak ada zat lain yang menyerupai zat Allah. Dengan arti yang kedua ini maka hilanglah kam munfasil fis sifat artinya
ada zat lain yang menyerupai zat Allah. Dengan wahdaniyyah fiz zat, hilanglah dua kam ( muttasil dan munfasil fiz zat ).

b.    Sifat Wahdaniyyat ini mengandung dua makna;

1.    Satu sifat yang sama jenis dan namanya tidak tersusun dari bagian yang lain . Seperti 2 qudrot. 2 irodat dll. Jadi qudrot Allah itu hanya satu, begitupun irodat, ilmu. Hayat, sama’, bashor dan kalam-Nya. Ini berarti bahwa qudrot yang dipakai menciptakan langit, qodrot itu pula yang dipakai menciptakan bumi, gunung, manusia, jin, binatang, tumbuh-tumbuhan dll. Jadi tidak menggunakan qudrot yang lain. Dengan arti yang pertama ini, maka hilanglah kam muttasil fis sifat artinya sifat yang sama jenis dan namanya tersusun dari beberapa bagian.

2.    Tidak ada satupun sifat-sifat makhluk yang menyamai sifat-sifat Allah dalam hakekatnya. Makhluk tidak mempunyai qudrot seperti qudrotnya Allah. Begitupun sifat-sifat yang lainnya. Yang sama hanya nama saja tapi hakekatnya tidak akan pernah sama. Dengan arti yang pertama ini, maka hilanglah kam munfasil fis sifat artinya adanya sifat makhluk yang menyamai sifatnya Allah.

c.    Af’al (perbuatan)
Wahdaaniyat fiil af’al ini artinya hanya Allah yang berbuat (mewujudkan atau meniadakan) dengan kehendak-Nya pada segala sesuatu yang mungkin. Tidak ada sesuatupun yang menyekutui kepada-Nya. Oleh karena itu tidak ada satupun perbuatan bagi makhluk seperti para Nabi, Malaikat dan lainnya. Adapun celaka atau matinya seseorang ketika menentang seorang wali adalah murni perbuatan Allah yang terjadi saat wali itu marah. Kata “wahdah/tunggal” tidak ditafsirkan dengan bahwa tidak ada perbuatan bagi selain Allah yang seperti Allah, karena hal itu akan mengesankan bahwa selain Allahpun bisa berbuat tapi tidak seperti perbuatan Allah. Ini salah besar. Ingat hanya Allah yang dapat membuat / menciptakan amal / aktivitas makhluk. Oleh karena itu gerakan tanganmu saat memukul si Zaid adalah dibuat / diciptakan Allah. Dengan adanya wahdaniyat fil af’al maka hilanglah kam munfasil fil af’al artinya adanya perbuatan yang tidak diciptakan oleh Allah.   Jadi wahdaaniyat itu menafikan / meniadakan adanya 5 kam yang mustahil bagi Allah. Kam muttasil fiz zat adalah zat itu tersusun dari bagian. Kam munfasil fiz zat ada zat lain yang menyerupai zat Allah. Kam muttasil fis sifat artinya Allah memiliki 2 sifat yang sama nama dan maknanya. Kam munfasil fis sifat adalah ada sifat lain yang menyerupai sifat Allah. Kam munfasil fil af’al adalah selain Allah dapat berbuat. Kelima Kam ini dinafikan oleh wahdaniyyah yang wajib bagi Allah. Dalil sifat wahdaniyyah adalah adanya alam. Bila ada Tuhan lebih satu selain Allah, pasti alam ini tiada. Sedangkan alam ini ada. Bila ada, pasti tuhan itu hanya satu yakni Allah saja. Sebagai bukti alam ini tiada bila tuhan lebih satu, ada kemungkinan kedua-duanya bersepakat atau berselisih.

Jika kedua-duanya bersepakat mengadakan alam, ada tiga kemungkinan ;
Pertama, Kedua-duanya mengaku bahwa alam ini diadakan oleh keduanya secara bersamaan dalam kwalitas dan kwantitas yang sama, maka akan timbul ijtimau muatsiroini ala atsari wahidin (berkumpulnya dua yang berpengaruh atas satu hasil / perbuatan). Contoh ; apabila ada 2 orang mengangkat karung yang berisi beras seberat 100 Kg mengaku telah mengangkat beras itu masing 100 Kg. Pengakuan Ini mustahil. Oleh karena ijtimau muatsiroeni ala atsari wahidin mustahil, maka mustahil pula ada dua Tuhan atau lebih mengadakan alam secara bersamaan. Dengan demikian Tuhan itu wajib hanya satu.   Kedua, Keduanya mengadakan dalam waktu berurutan, maka akan timbul tahsiilul haasil (menghasilkan sesuatu yang sudah hasil). Contohnya; menanak nasi yang sudah jadi nasi supaya menjadi nasi. Mustahil menghasilkan nasi yang sudah jadi nasi. Oleh karena tahsilul hasil hukumnya mustahil menurut akal, maka mustahil pula ada dua Tuhan atau lebih mengadakan alam secara berurutan. Dengan demikian Tuhan itu wajib satu.
Ketiga, Keduanya atau lebih mengadakan alam secara bersekutu dengan cara Tuhan yang satu mengadakan sebagian alam. Sedangkan tuhan yang lain mengadakan sebagian yang lain, maka keduanya ada kelemahannya. Karena tidak memiliki kemampuan yang menyeluruh. Sedangkan adanya kelemahan pada tuhan itu mustahil. Dengan demikian harus punya kekuatan yang menyeluruh, tidak sepotong-potong. Jadi bagaimanapun tuhan itu harus satu.
 
Jika kedua-duanya berselisih dalam hal mengadakan alam, maka akan timbul juga tiga kemungkinan :
Pertama, jika maksud kedua Tuhan itu berhasil (Tuhan A berhasil mengadakan alam dan Tuhan B berhasil meniadakannya) maka akan timbullah ijtima’un naqidhoin (berkumpulnya dua perkara yang saling bertentangan misal: berkumpulnya si Kholid berdiri dengan si Kholid tidak berdiri). Sedangkan hukum ijtima’ul naqidoin mustahil. Oleh karena itu mustahil pula berhasilnya maksud kedua Tuhan tadi. Dengan demikian karena hal ini mustahil, maka mustahil pula Tuhan ada dua. Jadi Tuhan itu harus satu.

Kedua, jika maksud salah satu Tuhan tadi berhasil, sedang yang satunya lagi tidak. Misalnya Tuhan A berhasil mengadakan alam, sedangkan Tuhan B tidak berhasil mengadakannya, maka pasti Tuhan B ada kelemahan. Sedangkan sifat asalnya Tuhan A pun adalah Tuhan juga. Oleh karena Tuhan B punya kelemahan, maka Tuhan A pun punya kelemahan seperti Tuhan B. Karena berdasarkan kaidah : “maa tsabata li ahadi amroini, tsabata lilakhor” (sesuatu yang tetap bagi yang semisal, tetap juga bagi yang lainnya) Kelemahan pada zat Tuhan itu mustahil. Dengan demikian Tuhan wajib berkuasa dan hanya satu.    Ketiga, jika maksud kedua Tuhan tadi tidak berhasil, maka pasti kedua-duanya ada kelemahan. Sedangkan tadi sudah dijelaskan bahwa Tuhan itu mustahil punya kelemahan. Dari dalil ini dapat diketahui bahwa “tidak ada sedikitpun pengaruh dari api dapat membakar, pisau dapat memotong, makanan dapat mengenyangkan. Hanya Allah yang membuat terbakarnya sesuatu ketika disentuh api, membuat putusnya sesuatu ketika terkena pisau, membuat kenyang ketika makan dan segar ketika minum”.
•    Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa tabiat api bisa membakar, air bisa menyegarkan tenggorokan, pisau bisa memotong, nasi bisa mengenyangkan, obat bisa menyembuhkan. Intinya sesuatu yang ada  selain Allah tabiatnya ada pengaruh pada yang lainnya, maka orang itu telah kufur.
•    Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa Allah telah memberikan kekuatan pada sebab adat ( api , air , pisau, obat dll ) sehingga dengan kekuatan itulah api bisa membakar, air bisa menyegarkan, pisau bisa memotong, obat bisa menyembuhkan, maka orang itu adalah fasik serta mubtadi’ (ahli bid’ah)
•    Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa muatsir (yang
mempengaruhi) adalah Allah dan hubungan antara sabab adat dan musabbabnya tidak akan lepas menurut akal ( talazum aqli). Hingga apabila ada api, pasti Allah membuat barang yang ditempelinya terbakar, ada obat pasti Allah menciptakan kesembuhan badan, maka orang tersebut adalah Jahil (bodoh) akan hakekat sifat wahdaniyyat.
•    Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa muatsirnya hanya Allah dan hubungan antara sebab adat dan musabbabnya adalah yang tidak semestinya. Jadi sah saja bila ada sebab adat tapi tidak ada musabbab  ( talazum ‘aadi ). Hingga apabila ada api biasanya Allah menciptakan kertas itu terbakar dan sah juga bagi Allah ketika ada api namun musabbanya tidak ada seperti yang terjadi pada Nabi Ibrohim AS yang tidak terbakar padahal sebab adatnya ada yaitu api, maka orang tersebut adalah mu’min sejati yang selamat di akhirat dari api neraka, Insya Allah. Oleh karena itu Allah wajib disifati wahdaniyyah. Inilah dalil ijmali yang wajib diketahui oleh seluruh mukallaf baik laki-laki maupun perempuan. Barang siapa yang tak mengetahuinya, dia kafir menurut Imam Sanusi dan Ibnu Arbi. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberi petunjuk padamu. Amiiin.
Sifat Qidam, Baqo', Mukholafatuhu lil hawadist, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniyyah disebut sifat salbiyyah (sifat yang menafikan sesuatu yang tidak layak bagi Allah)
 
7.    Sifat Qudrot (القدرة)
 
Qudrot adalah “sifat yang berpengaruh pada yang mungkin ada atau tiada”. Tatkala berta’alluq    kepada yang tiada, ia akan mengadakannya seperti berta’alluq kepada kita sebelum kita ada dan tatkala berta’alluq kepada yang ada, ia akan meniadakannya seperti berta’alluq kepada jisim yang dikehendaki Allah tiadanya yang akhirnya menjadi tiada.

Ta’alluq ini disebut Ta’alluq tanjizi yaitu langsung bertindak. Ta’aluk ini baru. Di samping itu ada juga Ta’alluq shuluhi. Ta’alluq shuluhi adalah kepatutannya di azali untuk mengadakan dan meniadakan sesuatu yang mungkin ada dan tiadanya di waktu mungkin seperti patut mengadakan si Zaid tinggi atau pendek atau lebar atau ilmu dll. Dengan demikian sifat qudrot memiliki 2 Ta’alluq; Ta’alluq shuluhi dan tanjizi (keterkaitan kepada yang tiada lalu mengadakan dan kepada yang tiada lalu meniadakan). Ta’alluq tanjizi ini disebut Ta’alluq Hakiki. Di samping itu ada juga ada Ta’alluq Majazi yaitu : Ta’alluq Qobdhoh artinya yang ada atau tiada berada dalam genggaman kekuasaan Allah. Ta’alluq ini ada tiga kelompok, yaitu;   Pertama, yaitu; berta’alluqnya pada sesuatu yang ada dengan menggenggam terus keberadaannya setelah tiada seperti berta’alluq pada kita saat ini. Jika Dia menghendaki ada, maka dia akan ada terus, sebaliknya jika menghendaki tiada, pasti akan tiada.
Kedua, yaitu berta’alluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggengam terus ketiadanya pada waktu mungkin adanya seperti berta’alluq pada si Zaid di zaman topan (zaman Nabi Nuh); Jika Dia menghendaki tiada, maka dia akan tiada terus, sebaliknya jika menghendaki ada, pasti akan ada.
Ketiga, yaitu, berta’alluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggenggam terus ketiadaannya setelah ada seperti berta’alluqnya pada kita saat kita berada di alam barzah nanti. Dengan perincian di atas dapat diketahui bahwa sifat qudrot memiliki 7 ( tujuh ) Ta’alluq;
a.    Ta’alluq shuluhi qodim
b.    Ta’alluq qobdhoh 1 (berta’alluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggengam terus ketiadanya pada waktu mungkin adanya);
c.    Ta’alluq tanjizi hadist 1 (Allah mengadakan sesuatu yang tiada tadi);
d.    Ta’alluq qobdhoh 2 (pada sesuatu yang ada dengan menggenggam terus keberadaannya setelah tiada);
e.    Ta’alluq tanjizi hadist 2 (berta’alluq meniadakan yang tadinya ada seperti meniadakan kita yang tadinya ada (mematikan);
f.    Ta’alluq qobdhoh 3 (berta’alluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggenggam terus ketiadaannya sebelum dibangkitkan dari kubur) dan
 
g.    Ta’alluq tanjizi hadist 3 (mengadakan yang tadinya tiada seperti mengadakan kita dengan membangkitkan dari alam barzah ke tempat masing-masing, yaitu surga atau neraka).

Inilah ta’luk sifat qudrot secara terperinci ada 7 dan secara geobal / ijmali hanya memiliki 2 Ta’alluq, yaitu; Ta’alluq shuluhi qodim dan tanjizi hadist namun Ta’alluq tanjizi khusus mengadakan dan meniadakan. Adapun Ta’alluq qobdhoh tidak di sifati dengan tanjizi dan shuluhi.
Masalah Ta’alluq sifat qudrot kepada yang ada dan tiada adalah menurut pendapat Jumhur Ulama. Sedangkan sebagian Ulama berpendapat “sifat Qudrot tidak berta’alluq kepada yang yang ada. Bila Allah menghendaki seseorang tiada / mati, maka Allah hentikan karuniaNya yang menjadi sebab tetap hidupnya”.

8.  Sifat Irodat
Irodat menurut bahasa artinya berkehendak. Sifat irodah adalah “sifat yang memungkinkan dengannya mentakhshis / mewujudkan perkara yang mumkin / makhluq dengan sebagian perkara yang boleh atas mumkin.

Sebagai gambaran dari didefinisi di atas misalnya si Zaid– sebelum diciptakan – wenang berbadan tinggi atau pendek, kemudian sifat irodat menentukan tinggi misalnya. Adapun sifat qudrot berfungsi merealisakannya dari tiada menjadi ada. Jadi irodat menentukan dan qudrot menanmpaknya.

Hal-hal yang mungkin ada dan tiada yang saling berbandingan itu ada 6 ;
a.    Ada dan tiada dengan cara menentukan ada sebagai bandingan dari tiada begitupun sebaliknya. Jadi yang menentukan adanya alam ini sebagai bandingan dari tiada adalah sifat irodah. Alam dan segala isinya ada dan nantinya akan tiada itu adalah irodah (kehendak)Allah.
b.    Sifat seperti dengan cara menentukan seseorang pintar sebagai bandingan dari bodoh, begitupun sebaliknya. Hitam sebagai bandingan dari yang lainnya. Jadi bila ada seseorang pintar berkulit putih itu sudah merupakan ketentuan Allah dan kehendak-Nya.
c.    Masa seperti dengan cara menentukan seseorang berada pada masa / jaman Nabi Nuh As atau masa Nabi muhammad SAW atau masa yang lainnya sebagai bandingan dari masa yang lain. Jadi bila seseorang berada pada suatu masa tertentu seperti kita berada pada masa sekarang (2020) itu sudah merupakan irodah / kehendak Allah.
d.    Tempat seperti dengan cara menentukan seseorang menjadi penduduk kampung, daerah, propinsi, negara tertentu tidak pada tempat yang lainnya. Jadi keberadaan kita berdomisili di Desa Bermi Kecamatan Gembong Kabupaten Pati dan seterusnya adalah merupakan irodah / ketentuan Allah semata.
e.    Arah seperti menentukan seseorang berada di arah selatan sebagai bandingan dari arah utara atau di timur bandingan dari barat dan sebagainya. Jadi ketika kita berada di arah selatan, utara, timur, barat dan sebagainya itu sudah irodah
/ ketentuan Allah semata.

f.    Ukuran seperti dengan cara menentukan panjang sebagai bandingan dari pendek, berat 100 Kg sebagai bandingan dari selain 100 Kg. Jadi manakala ada makhluk yang tinggi / panjangnya 2 meter dan berat 100 Kg itu sudah merupakan ketentuan Allah dan kehendak-Nya.

Qudroh dan irodah adalah 2 sifat yang tetap pada zat Allah serta ada, hingga jika hijab hati kita dibuka olehNya tentu kita akan dapat melihatnya. Dengan demikian sifat qudroh dan irodah sama-sama berta’alluq pada sesuatu yang mungkin. Jadi kedua sifat ini tidak akan pernah berta’alluq pada hal-hal yang wajib dan mustahil. Karena jika keduanya berta’alluq pada yang wajib, maka akan terjadi; mengadakan / menentukan yang wajib sama dengan tahsilul hasil (menghasilkan yang sudah
 
hasil), meniadakannya / menentukannya akan mengakibatkan membalikkan hakekat yaitu wajib menjadi jaiz. Sedangkan mengadakan / menentukan yang mustahil akan mengakibatkan membalikkan hakekat mustahil menjadi jaiz. Begitupun meniadakan / menentukan yang mustahil akan mengakibatkan tahsilul hasil (menghasilkan yang hasil). Yang berbeda antara keduanya adalah dalam hal cara ta’alluqnya ; qudroh berfungsi mengadakan dan meniadakan sedangkan irodah berfungsi menentukan.

Sebagian dari perkataan orang bodoh : “Allah mampu menciptakan anak untukNya”. Perkataan ini sangat tolol, karena masalah ada anak bagiNya –Maha Suci Dia dan Maha Tinggi– termasuk dalam katagori mustahil, sedangkan qudroh tidak berta’alluq kepada yang mustahil. Hal ini jangan sampai dikatakan “ Bila Allah tidak mampu menciptakan anak berarti Dia lemah”, karena sesuatu atau seseorang dapat dikatakan lemah jika tidak mampu menggarap sesuatu yang jadi garapannya.

Sifat irodah ini hanya mempunyai dua ta’alluq, yaitu :
1.    Ta’alluq shuluhi qodim yaitu kepatutannya di zaman azali untuk menentukan seluruh yang mungkin ada dan tiadanya misalnya: si Zaid yang badannya tinggi atau pendek, sah-sah
 
saja tidak disifati kedua-duanya. Atau dia patut atau sah-sah saja jadi Presiden atau jadi tukang kebersihan berdasarkan ta’alluq shuluhi.
2.    Ta’alluq tanjizi qodim yaitu menentukannya Allah di zaman azali akan sesuatu dengan sifa-sifat tertentu yang akan terjadi. Si Zaid sekarang berilmu sudah ditentukan oleh Allah di azali. Dengan demikian berilmunya si Zaid dinamakan ta'alluq tanjizi. Sedangkan patutnya berilmu atau tidak tanpa melirik pada salah satunya dinamakan ta'alluq shuluhi.

Sebagian Ulama berpendapat “irodat mempunyai ta'alluq tanjizi hadist misalnya menentukan si zaid berbadan tinggi ketika sudah ada”. Dengan demikian irodat mempunyai 3 ta'alluq (ta'alluq shuluhi qodim, tanjizi qodim dan tanjizi hadist). Namun yang ketiga ini bukan ta'alluq tapi memperlihatkan ta'alluq tanjizi qodim. Ta'alluq qudrot dan irodat itu mencakup bagi setiap yang mungkin hingga apa saja yang terlintas di dalam hati seseorang itu sudah ditentukan dengan kehendak Allah dan dibuat oleh kekuasaanNya sebagaimana dinyatakan oleh Syaik Malawi dalam sebagian kitabnya.

Perlu diketahui bahwa menisbahkan takhsis / menentukan kepada irodah dan mengadakan kepada qudroh merupakan kata
 
kiasan / majaz, karena yang sebenarnya yang menentukan dan yang mewujudkan adalah Allah dengan sebab keduanya. Adapun ucapan orang awam yang berkata “qudrot yang berbuat kepada sesuatu”, jika maksudnya bahwa sebenarnya berbuat adalah qudrot saja atau zat saja, ia telah kufur. Pernyataan yang benar adalah “ perbuatan itu oleh zat dengan sebab qudrotNya”.

9.    Sifat Ilmu (العلم)
Ilmu adalah sifat qadim yang ada dalam dzat-Nya yang berfungsi menyingkap segala yang ma’lum dengan sempurna dan menyeluruh tanpa didahului samar.

Sifat ilmu berta’alluq kepada yang wajib, jaiz dan mustahil. Oleh karena itu, Allah SWT mengetahui zat dan sifat- sifatNya dengan ilmuNya, hal-hal yang mungkin ada dan tiada dan juga hal-hal yang mustahil. Artinya hal-hal yang mustahil diketahui kepastian tiadanya olehNya misalnya Dia mengetahui bahwa sukutu bagiNya itu pasti tiadanya dan jika ada, pasti akan terjadi keruksakan, Maha suci Allah dan Maha Luhur darinya. Sifat ilmu hanya memiliki ta’alluq tanjizi qodim. AllahAllah mengetahui yang wajib, jaiz dan mustahil tersebut di atas sejak di azali dengan sempurna bukan secara dhon dan syak, karena keduanya mustahil bagiNya.
 
Adapun makna “min ghoiri sabqi khofain” bahwanya Allah mengetahui segala yang tersebut tadi di azali / dahulu kala sebelum makhluq ada, bukan berarti asalnya Dia tidak mengetahui lalu mengetahuinya. Maha Suci Dia dari semua itu. Adapun makhluk asalnya tidak mengetahui sesuatu lalu mengetahuinya.

Sifat ilmu tidak mempunyai ta’alluq shuluhi artinya sesuatu yang wajib, jaiz dan mustahil patut diketahui Allah. Ini berarti sesuatu itu tidak diketahui seketika. Ketidak diketahui seketika menandakan kebodohan bagiNya. Ini mustahil. Maha Suci Allah dari itu.

10.    Sifat Hayat (الحياة)
Sifat Hayat Allah itu adalah Sifat yang me-ngesahkan bahwa Dzat yang disifati oleh Hayat itu mempunyai Idraak (Pemahaman ), seperti Mengetahui, mendengar dan melihat. Sifat Hayat tidak identik adanya memastikan adanya idhrok seketika. Ia tidak berta’alluq kepada apapun baik yang ada maupun tiada.

Dalil wajibnya sifat qudrot, irodat, ilmu dan hayat bagi Allah adalah adanya alam ini, karena jika keempat sifat ini tiada dariNya, pasti tiadak akan ada makhluk. Tatkala ada, kita tahu bahwa Allah disifati keempat sifat tersebut. Alasan keberadaan makhluk tergantung pada keempat sifat tersebut adalah seseorang yang berbuat sesuatu tidak akan berbuat kecuali mengetahuinya terlebih dahulu, lalu menghendaki membuatnya, setelah itu barulah dia langsung membuatnya. Dari sini harus dimaklumi bahwa pembuatnya pasti ada dan dia pasti hidup.

Sifat ilmu, irodat dan qudrot dinamai sifat ta’tsir / pengaruh, karena keberpengaruhan sesuatu tergantung padanya. Logikanya seseorang yang akan menghendaki sesuatu, pasti dia harus ada dan berilmu sebelumnya. Kemudian kehendak itu langsung direalisasikan. Misalnya bila di rumahmu ada sesuatu dan kamu berkeinginan mengambilnya, maka pengetahuanmu akan adanya sesuatu lebih dahulu ada sebelum kehendakmu untuk mengambilnya, lalu setelahnya kau mengambilnya langsung.

Ketertiban hubungan keempat sifat tersebut hanya berlaku pada makhluk. Pertama-tama mengetahui sesuatu lalu menghendakinya dan akhirnya langsung melakukannya. Sementara pada hak Allah tidak berlaku kecuali hanya ta’aqul / menurut logika saja - ilmu dahulu, irodat lalu qudrot -. Adapun dalam kenyataan yang sebenarnya tidak akan berlaku. Makanya tidak dapat dikatakan : “sifat ilmu berta’alluq terlebih dahulu lalu irodat lalu qudrot”, karena hal ini hanya terjadi pada makhluk. Sedangkan tertib susunan hanya menurut logika saja.

11, 12. Sifat Sama’ dan Bashor
Sama’ dan Bashor adalah sifat yang tetap pada zat Allah yang berhubungan erat dengan yang ada. Artinya segala yang ada baik yang sifatnya pasti adanya seperti zat dan sifat-sifat Allah maupun yang mungkin adanya seperti makhluk dapat terbuka bagiNya.
Oleh karenanya sama’ dan bashor berhubungan dengan zat dan sifat-sifat Allah. Artinya zat dan sifat-sifatNya terbuka bagiNya dengan sebab sama’ dan bashorNya sebagai tambahan keterbukaan dengan ilmuNya.

Allah SWT dapat mendengar dan melihat zat si Zaid, si Amer dan dinding misalnya. Dia dapat mendengar suara sekaligus penyuaranya dan juga dapat melihat keduanya. Jika ada pernyataan “mendengar suara” itu sudah maklum dan jelas. Namun mendengar si Zaid dan dinding tidak bisa dimaklumi dan jelas. Begitupun tidak bisa dimaklumi dan jelas suara dapat terlihat, karena suara hanya terdengar saja. Jawabanku “kita wajib mengimani bahwa kedua sifat itu berta’alluq kepada yang ada dan caranya tidak perlu kita ketahui”.

Allah dapat mendengar zat si Zaid. Ini bukan berarti Dia dapat mendengar berjalannya si Zaid, karena mendengar berjalannya masuk dalam mendengar suara. Sedangkan Allah mendengar seluruh suara. Tetapi yang dimaksud Dia mendengar zat si Zaid sebagai tambahan atas mendengar berjalannya. Namun kita tidak perlu tahu cara Allah mendengar zat. Inilah taklif/beban yang harus dipikul setiap laki-laki dan perempuan.

Dalil sifat sama’ dan bashor adalah;  (إنَّ اللهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ)
  Artinya: Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat [ QS Alhajj; 75 ]

Perlu diketahui bahwasanya ta’alluq sifat sama’ dan bashor kepada makhluk sebelum adanya adalah shuluhi qodim dan setalah adanya adalah tanjizi hadist. Artinya makhluk itu sudah terbuka bagiNya dengan pendengaran dan penglihatanNya sebagai tambahan atas terbuka dengan ilmuNya.

Adapun jika ta’alluq itu dihubungkan kepada Allah dan sifat-sifatNya maka ta’alluqnya adalah tanjizi qodim, artinya zat dan Sifat-sifatNya terbuka bagiNya di azali dengan sama’ dan bashorNya. Oleh karenanya, Dia dapat mendengar zatNya dan seluruh sifat yang bangsa ada -qudrot, irodat, ilmu dan lainnya- dan kita -tidak perlu tahu- cara ta’alluqnya. Dia juga dapat melihat zat dan seluruh sifat-sifatNya yang bangsa ada tadi dan kitapun - tidak perlu - tahu bagaimana cara ta’alluqnya.

Berta’alluqnya sifat sama’ dan bashor terhadap segala yang maujud adalah pendapat Imam Sanusi dan para pengikutnya. Inilah yang kuat. Ada juga yang berpendapat bahwasanya sama’ tidak berta’alluq kecuali kepada suara dan bashor tidak berta’alluq kecuali kepada yang dilihat saja. Selanjutnya Allah mendengar tidak dengan telinga dan daun telinga dan juga Dia tidak melihat dengan mata dan pelupuk mata. Maha Suci Allah dari semua itu.

13.    Sifat Kalam
Kalam adalah sifat terdahulu yang tetap pada zat Allah yang tak berhuruf, tak bersuara, dibersihkan dari awalan, akhiran, i’rab dan bina’. Ini berbeda dengan kalam makhluk.

Yang dimaksud kalam Allah bukanlah lafadz-lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, karena lafadz-lafadz ini baru, sedangkan sifat yang tetap pada zat Allah qodim / terdahulu. Juga lafadz-lafadz ini berawalan, berakhiran, beri’rab, bersurat, berayat-ayat, sedangkan sifat yang tetap pada zat Allah lagi terdahulu kosong dari semuanya. Oleh karena itu dalam sifat yang tetap pada zat Allah tidak ada ayat, surat, i’rab, karena ini hanya untuk kalam yang meliputi kepada huruf dan suara, sedangkan sifat yang terdahulu dibersihkan dari huruf dan suara sebagaimana tadi. Lafadz- lafadz yang mulia ini tidak menunjukan kepada sifat yang terdahulu. Artinya sifat yang terdahulu bukan difahami darinya. Bahkan apa yang difahami dari lafadz-lafadz ini sama dengan yang difahami dari sifat yang terdahulu hingga jika hijab / pengahalang itu dibuka dari hati kita, tentu kita dapat mendengarnya.

Kesimpulan ladafz-lafadz yang mulia menunjukan pada suatu ma’na. Ma’na ini menyamai suatu ma’na yang difahami dari sifat yang terdahulu lagi tetap pada zat Allah. Hati-hatilah atas perbedaan ini, karena banyak orang yang salah kaprah.

Sifat yang terdahulu lagi tetap pada zat Allah dan lafadz- lafadz yang mulia disebut kalamullah dan Al Qur’an. Hanya saja lafadz-lafadz yang mulia itu makhluk yang tertulis di lauhil mahfudz yang diturunkan oleh Allah dengan perantara Malaikat Jibril As kepada Nabi Muhammad ﷺ setelah diturunkan pada lailatul qodar sekaligus di Baitul ‘Izaah, yaitu suatu tempat yang ada di langit dunia yang tertulis dalam beberapa lembar dan diletakkan di sana.

Ada juga yang berpendapat lafadz-lafadz yang mulia itu diturunkan di Baitul izzah sekaligus kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW selama 20 tahun, bisa jadi 23 tahun bisa jadi pula 25 tahun. Ada juga yang berpendapat turun di Baitul izzah pada lailatul qodar seukuran turun setiap tahun dan tidak turun di Baitul izzah sekaligus dan yang turun kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah lafadz dan ma’na.   Ada juga yang berpendapat yang turun ma’na saja, lalu - menurut sebagian ulama- Nabi Muhammad ﷺ mengibaratkan ma’na tersebut dengan lafadz darinya. Ada juga pendapat “Malaikat Jibril yang mengibaratkan lafadz-lafadz tersebut” lalu diturunkan kepada Beliau. Pendapat    yang paling tepat dibandingkan kedua pendapat di atas “lafadz-lafadz itu turun beserta ma’nanya”.

Kesimpulannya sifat yang tetap pada zat Allah tidak berhuruf dan bersuara. Namun golongan Mu’tazilah menilai sulit ada kalam tanpa huruf dan suara. Dalam hal ini Ahlus Sunah wal Jama’ah menjawab : “perkataan hati adalah kalam yang tak berhuruf dan bersuara yang dikatakan oleh seseorang pada hatinya. Di sini ada kalam tanpa ada huruf dan suara”.

Perlu dicermati bahwa maksud perumpamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di atas bukan berarti menyamakan kalamullah dengan kata hati, karena kalamullah terdahulu sedangkan kata hati baru, tetapi maksud mereka adalah menyanggah pernyataan Mu’tazilah yang menyatakan “tidak ada kalam tanpa huruf dan suara”.

Dalil sifat kalam bagi Allah adalah firman Allah:

 وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمً

  َ......dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung
[QS An Nisa’ ; 164]. Dalam firman    Allah ini, Dia telah menetapkan adanya kalam bagiNya.

Sifat kalam sama ta’alluqnya dengan sifat ilmu, yaitu ; kepada yang wajib, jaiz dan mustahil. Namun sifat ta’lluq ilmu adalah inkisyaf / terbuka. Artinya yang wajib, jaiz dan mustahil terbuka bagiNya. Sedangkan ta’alluq sifat kalam adalah ta’alluq dilalah / menunjukan. Artinya jika hijab hati kita dibuka dan kita mendengarnya, tentu kita akan memahaminya darinya.

14.    Sifat Kaunuhu Qodiron   

Kaunuhu qodiron adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan tiada -yang terkait pada sifat qudrat-.

Sifat ini berbeda dengan sifat qudrot dan antara keduanya ada keterkaitan. Ini berarti tatkala sifat qudrot tetap pada zat, lazimnya tetap pula sifat yang dinamai kaunuhu qodiron, baik pada zat yang qodim / zat Allah ataupun zat hadist / makhluk walaupun kelaziman antara yang qodim dan hadist berbeda. Oleh karena itu jika Allah menciptakan qudrot pada zat si Zaid, maka Diapun lazim / biasanya menciptakan sifat kaunuhu qodiron yang dinamakan sifat haal, sedangkan sifat qudrot sebagai illat / sebab -kelaziman yang tak berpengaruh- bagi kaunuhu qodiron. Kelaziman menciptakan ini hanya berlaku pada zat makhluk.

Adapun bagi hak Allah tidak boleh dikatakan : “sifat qudrot sebagai ‘illat pada kaunuhu qodiron”. Tapi harus dikatakan antara qudrot dan kaunuhu qodiron ada hubungan yang sangat erat hingga tak dapat dipisahkan. Golongan Mu’tazilah berpendapat :“hubungan yang erat inipun terjadi pula antara qudrot dan kaunuhu qodiron pada makhluk”. Hanya saja mereka tidak mengatakan : “Allah telah menciptakan kaunuhu qodiron bahkan tatkala Allah menciptakan qudrot pada makhluk, secara otomatis muncul sifat kaunuhu qodiron tanpa diciptakan Allah”.

Kesimpulan menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah kelaziman antara antara qudrot dan kaunhu qodiron pada makhluk adalah kelaziman menurut adat / talazum ‘aadi - manakala ada sifat qudrot biasanya Allah menciptakan kaunuhu qodiron-. Sedangkan pada Allah adalah kelaziman menurut akal / talazum ‘aqli -manakala ada sifat qudrot pasti ada kaunuhu qodiron-. Sedangkan Mu’tazilah berpendapat kelaziman pada makhluk adalah kelaziman menurut akal / talazum ‘aqli. Artinya Allah menciptkan sifat qudrot pada makhluk, kemudian darinya timbul sifat kaunuhu qodiron tanpa diciptakan oleh Allah.

15.    Sifat Kaunuhu Muridan
Kaunuhu muridan adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada. Sifat ini dinamakan haal.

Sifat Kaunuhu Muridan berbeda dengan sifat irodat baik pada zat yang qodim ataupun yang hadist. Oleh karenanya, bila Allah menciptkan irodat pada zat si Zaid, lazimnya Dia menciptakan kaunuhu muridan padanya. Perbedaan-Perbedaan yang terjadi antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Mu’tazilah dalam hal sifat kaunuhu qodiron, terjadi pula dalam sifat kaunuhu muridan.

16.    Sifat Kaunuhu ‘Aliman    

Kaunuhu ‘aliman adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan sifat ilmu. Ini juga berlaku pada yang hadist. Dan seumpanya berlaku pula dalam ilmu -bila Allah menciptkan ilmu pada zat si Zaid, lazimnya Dia menciptakan kaunuhu ‘aliman padanya-.
Perbedaan yang terjadi antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Mu’tazilah berlaku pula di sini.

17.    Sifat Kaunuhu Hayyan    

Kaunuhu Hayyan adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan sifat hayat. Apa yang sudah dijelaskan di atas -perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah- berlaku pula di sini.

18.  Kaunuhu  Sami’an
Kaunuhu Sami’an adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan sifat sama’. Apa yang sudah dijelaskan di atas -perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah- berlaku pula di sini.

19.  Kaunuhu Bashiron
 Kaunuhu bashiron adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan sifat bashor. Apa yang sudah dijelaskan di atas -perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah- berlaku pula di sini.

20.    Kaunuhu Mutakalliman  
Kaunuhu Mutakalliman adalah -sifat ke 20 yang jadi penyempurna sifat-sifat yang wajib bagi Allah secara terperinci- sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan sifat kalam. Apa yang sudah dijelaskan di atas -perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah- berlaku pula di sini.

Tanbih / Peringatan:
Sifat qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama’, bashor dan kalam yang sudah diterangkan di atas dinamai sifat ma’ani dari mengidhofatkan lafadz umum kepada yang khusus atau idhofat bayaniyyah. Sedangkan sifat-sifat setelahnya, yaitu; kaunuhu qodiron, muridan, ‘aliman, hayyan, sami’an, bashiron dan mutakalliman dinamai sifat ma’nawiyyah, suatu nisbah /

berhubungan dengan ma’ani, karena ada kelaziman diantara keduanya baik pada zat qodim atau hadist. Para pengikut Imam el Mathurudhi telah menambah sifat kedelapan dalam sifat ma’ani. Mereka menamainya dengan sifat takwin. Sifat ini adalah sifat yang maujud seperti sifat ma’ani lainnya hingga jika hijab kita dibuka, pasti kita dapat melihatnya sebagaimana kita dapat melihat sifat ma’ani. Namun para pengikut Imam Al-‘Asy’ari menyanggahnya dengan pernyataan : “Apa fungsi sifat qudrot setelah ada sifat takwin ?”. mereka menyatakan demikian, karena pengikut Imam Mathurudi menyatakan : “Bahwasanya Allah mewujudkan dan meniadakan dengan sifat takwin”. Kemudian tanggapan para pengikut Imam Al-‘Asy’ari disanggah oleh pengikut Imam Mathurudi : “bahwa sifat qudrot berfungsi menyiapkan sesuatu yang mungkin untuk ada yakni sifat qudrot menjadikan yang mungkin dapat menerima ada yang sebelumnya tiada, kemudian sifat takwin mengadakannya”.

Jawaban pengikut Imam Maturidi ini disanggah oleh para pengikut Imam Al-‘Asy’ari : “bahwa sesuatu hal yang mungkin, bisa menerima ada tanpa diperpersiapkan terlebih dahulu oleh sifat qudrot ”.
Dikarenakan pengikut Imam Mathurudi menambah sifat ma’ni dengan sifat takwin, mereka berkata : “bahwa sifat af’al seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan mematikan adalah qodim, karena lafadz-lafadz ini adalah nama bagi sifat takwin yang maujud dan qodim, oleh karena sifat takwin qodim, maka sifat af’al jadi qodim pula”. Sedangkan menurut pengikut Imam Al-‘Asy’ari : “Sifat af’al itu hadist, karena sifat itu adalah nama bagi ta’alluq sifat qudrot. Dengan demikian menghidupkan adalah nama bagi ta'alluqnya sifat qudrot kepada yang dihidupkan, memberi rizki adalah nama bagi ta’alluqnya sifat qudrot kepada yang diberi rizki, menciptakan adalah nama bagi ta'alluq sifat qudrot kepada yang yang diciptakan dan mematikan adalah nama bagi ta'alluq sifat qudrot kepada yang yang dimatikan”. Jadi -menurut pengikut Imam Al-‘Asy’ari- ta’aluk sifat qudrot hadist.

LihatTutupKomentar