Sebab Akibat dalam Perspektif Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/ 19 December 1111- Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
- Masalah Ketujuh Belas: Sanggahan Atas Keyakinan Para Filsuf Terhadap Kemustahilan Independensi Sebab Dan Akibat
- Masalah Kedelapan Belas: Kerancuan Argumen Teoretis Bahwa Jiwa Manusia Adalah Substansi Yang Ada Dengan Sendirinya, Tidak Menempati Ruang Dan Tubuh
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah
  MASALAH KETUJUH BELAS: Sanggahan Atas Keyakinan Para Filsuf Terhadap
      Kemustahilan Independensi Sebab Dan Akibat
MENURUT kami, hubungan antara apa yang diyakini sebagai sebab
  alami dan akibat adalah tidak mesti (daruri). Tapi masing-masing berdiri
  sendiri. Ini
bukan itu, dan itu bukan ini. Afirmasi terhadap salah
  satunya tidak mesti afirmasi atas yang lain dan negasi terhadap yang satu
  tidak mesti negasi pada yang lain. Eksistensi yang satu tidak mengharuskan
  eksistensi dari yang lain, dan ketiadaan yang satu tidak mengharuskan
  ketiadaan yang lain. Misalnya pemuasan haus dan minum, kenyang dan makan,
  pembakaran dan kontak dengan api, cahaya dan terbitnya matahari, kematian dan
  pemutusan kepala dari tubuh, penyembuhan dan minum obat, cuci perut dan minum
  obat cuci perut, dan lainnya sebagai pasangan peristiwa yang tampak kasat mata
  terkait dalam kedokteran, astronomi, kesenian, atau kerajinan.
Mereka
  terkait sebagai akibat dari takdir Allah Swt. yang mendahului eksistensinya.
  Apabila yang satu mengikuti yang lain, hal itu disebabkan karena Dia telah
  menciptakan keduanya dalam pola keterkaitan, bukan karena hubungan itu pada
  dirinya sendiri merupakan keharusan dan tak bisa berdiri sendiri. Dia berkuasa
  untuk menciptakan rasa kenyang tanpa makan, menciptakan kematian tanpa
  terlepasnya kepala dari tubuh, meniadakan kehidupan bersamaan dengan pelepasan
  kepala dari tubuh, dan demikian seterusnya hingga keseluruhan pasangan yang
  tampak terkait sebagai sebab dan akibat.
Para filsuf menyangkal
  kemungkinan ini serta menyatakan kemustahilannya. Sebab pembicaraan yang
  mendalam mengenai persoalan-persoalan yang tak terhitung banyaknya ini akan
  sangat panjang, maka baiklah kita pilih salah satu contoh berupa terbakarnya
  kapas saat bersentuhan dengan api. Kita menerima kemungkinan suatu kontak
  antara keduanya tanpa terjadinya kebakaran dan kita menerima kemungkinan
  transformasi kapas ke abu tanpa bertemu dengan api. Sedangkan para filsuf
  mengingkari kemungkinan ini.
Ada tiga titik poin sebagai titik berangkat
  diskusi tentang masalah ini:
Pertama, lawan diskusi dapat mengklaim bahwa
  aktor terjadinya kebakaran hanya api saja. Ia menjadi aktor karena karakter
  dasarnya dan bukan melalui usaha yang bebas. Maka ia tidak mungkin bisa
  menahan apa yang terjadi karena watak dasarnya ketika bertemu sesuatu yang
  memiliki sifat menerima aktivitas watak dasarnya.
Inilah yang mereka
  tolak. Kami katakan bahwa Tuhan- melalui perantara malaikat-malaikat atau
  langsung-merupakan pelaku penciptaan warna hitam pada kapas atau penghancuran
  bagiannya serta transformasinya ke dalam tumpukan debu. Api, yang merupakan
  benda mati, tidak mempunyai aksi apa-apa.
  
Apa buktinya bahwa ia adalah aktor (fail)? Argumen mereka adalah hanya
  kesimpulan dari hasil observasi melalui pengamatan empiris terhadap fakta
  terjadinya kebakaran saat terjadinya kontak antara suatu benda dengan api.
  Tetapi observasi dengan pengamatan empiris itu hanya menunjukkan bahwa terjadi
  sesuatu pada suatu benda bersamaan dengan kontak dengan yang lain, bukan
  disebabkan oleh yang lain tersebut, tanpa menyebut kemungkinan sebab yang
  lain. Kasus yang sama dapat dilihat pada kedatangan ruh dan dayadaya motif
  (quwwah muhrikah) dan daya kognitif (quwuwah mudrikah) ke dalam sperma
  binatang-binatang. Hal itu tidak muncul dari watak- watak alamiah yang
  terbatas di dalam panas, dingin, lembab, dan kering. Ayah bukanlah aktor bagi
  keberadaan anaknya dengan memasukkan sperma ke dalam rahim atau pencipta
  kehidupan anaknya, pandangannya, pendengarannya, dan seluruh hal yang ada pada
  dirinya. Jelas bahwa semua hal ini disaksikan adanya bersama beberapa kondisi
  yang lain. Tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa hal-hal yang satu merupakan
  sebab bagi yang lain. Sebaliknya, peristiwa seperti dicontohkan di atas
  memperoleh eksistensinya dari Tuhan, baik langsung atau melalui perantara
  malaikat yang dipercaya mengatur peristiwa-peristiwa temporal tersebut.
Inilah
  argumen yang dipegang teguh oleh para filsuf yang memercayai adanya pencipta.
  Di sini kita berbicara bersama mereka. Tak bisa dibantah bahwa eksistensi
  sesuatu di sisi sesuatu yang lain tidak berarti bahwa yang lain itu merupakan
  sebab atas eksistensi sesuatu yang ada di sisinya.
Kita perlu mengurai
  lebih jauh dengan menggunakan ilustrasi. Andaikan ada seorang buta yang
  matanya sakit dan tidak sembuh dan dia dapat melihat beragam warna, dia akan
  mengira bahwa pelaku atau sebab lahirnya persepsi terhadap bentuk-bentuk warna
  yang kini didapat oleh matanya adalah terbukanya mata. Hal ini tidak mutlak
  benar. Karena meskipun penglihatannya sehat dan terbuka, tidak ada penghalang
  lagi dan objek berada di depannya berwarna, maka tidak boleh tidak dia akan
  dapat melihatnya. Tidak masuk akal jika dia tidak melihatnya. Bahkan apabila
  matahari tenggelam dan suasana gelap, dia akan menganggap bahwa sinar matahari
  yang menjadi sebab lahirnya persepsi terhadap warna-warna pada penglihatannya.
  Karena itu, bagaimana lawan kami dapat dengan aman melalaikan kemungkinan
  bahwa di dalam prinsip prinsip wujud terdapat sebab-sebab yang menjadi sumber
  emanasi hal- hal yang bersifat temporal ketika terjadi kontak antara yang satu
  dengan yang lainnya? Hanya saja, ia tetap dan tidak mungkin hancur dan lenyap.
  Ia tidak seperti tubuh-tubuh yang bergerak lalu hilang. Jika ia lenyap atau
  hilang, tentu kita mengetahui keterpisahan mereka satu sama lain, dan
  konsekuensinya, kita bisa memahami bahwa di belakang apa yang kita saksikan
  terdapat sebab. Jika itu semua benar, maka tak ada jalan bagi para filsuf
  untuk menghindari hipotesis tersebut.
Karena ini, para tokoh terkemuka di
  kalangan mereka sepakat bahwa aksiden-aksiden dan peristiwa-peristiwa temporal
  ini-yang muncul di saat terjadi kontak antar tubuh atau, secara umum, ketika
  relasi-relasinya berbeda di antara tubuh-tubuh tersebut-ternyata hanya
  beremanasi dari pemberi bentuk-bentuk (wahib as-suwar), yaitu satu malaikat
  dari sekian banyak malaikat. Sehingga mereka menyatakan, kesan bentuk-bentuk
  warna pada mata beremanasi dari pemberi Bentuk. Terbitnya matahari, mata yang
  sehat, dan objek berwarna hanya merupakan faktor-faktor penyiap dan penyumbang
  supaya subjeknya menerima suatu bentuk. Dan mereka telah panjang lebar
  membicarakan hal ini dalam setiap yang temporal.
Dengan ini batallah
  klaim orang yang beranggapan bahwa api yang menjadi aktor keterbakaran, roti
  sebagai aktor terjadinya rasa kenyang, obat sebagai aktor bagi terwujudnya
  kesehatan dan halhal sejenisnya.
Kedua, kami akan berdiskusi dengan orang
  yang menerima tesis bahwa fenomena temporal beremanasi dari Prinsip-Prinsip
  temporal, tetapi memercayai bahwa kesiapan untuk menerima bentuk-bentuk
  diperoleh dari sebab-sebab yang kasat mata (musyahadah) serta eksis di sini.
  Hanya saja emanasi dari prinsip- prinsip itu sendiri terjadi melalui cara
  niscaya (luzum) dan alamiah (tab), tidak berdasar kehendak bebas.
  Perumpamaannya seperti emanasi cahaya dari matahari yang tidak secara ikhtiar
  dan tak terelakkan. Subjek-subjek penerima berbeda-beda satu sama lain karena
  perbedaan kesiapankesiapannya. Misalnya, tubuh atau benda yang tergosok halus
  dapat menerima cahaya matahari dan memantulkannya sehingga beberapa tempat
  yang lain bercahaya karena sinar pantulan itu. Tetapi sebuah tubuh yang suram
  tidak bisa menerima cahaya. Udara tidak menghalangi cahaya untuk berpencar,
  sedangkan batu menghalanginya. Sebagian benda kadang-kadang meleleh di bawah
  matahari, sedangkan yang lain justru mengeras. Matahari memutihkan satu
  barang, seperti baju tukang cuci, tetapi menghitamkan benda yang lain, seperti
  wajah tukang cuci. Dengan demikian, prinsip sebenarnya hanya satu, tetapi
  akibatnya banyak. Karena perbedaan kesiapan pada subjek penerima.
  Demikian pula Prinsip-Prinsip wujud memberi-tanpa hemat dan tanpa segan-apa
  saja yang dapat lahir darinya. Adapun keterbatasan adalah berasal dari
  penerima-penerimanya.
Jika demikian adanya, maka meskipun kita
  mengandalkan api dengan segala sifatnya dan mengandaikan dua lembar kapas
  serupa yang disentuhkan pada api dengan cara yang sama, bagaimana kita
  mengerti bahwa salah satu dari keduanya terbakar, sedangkan yang lain tidak?
  Tiada alternatif bagi kapas lain.
Dari pendapat ini, mereka tidak
  memercayai cerita bahwa ketika Ibrahim dilemparkan ke dalam api, ia tidak
  terbakar, meskipun api terus menjadi api, bergelora. Mereka menyatakan bahwa
  hal ini tak dapat terjadi, kecuali dengan melenyapkan panas dari api dan itu
  berarti melepaskannya dari kapasitasnya sebagai api. Atau kecuali diri atau
  tubuh Ibrahim diubah menjadi batu atau sesuatu yang tidak terbakar api. Dan,
  mereka tambahkan, kedua-duanya sama-sama tidak mungkin.
Untuk
  tanggapan atas pandangan di atas ada dua cara:
Pertama, akan kami
  katakan, kami tidak setuju dengan pendapat bahwa prinsip-prinsip tidak berbuat
  berdasar kehendak sendiri (ikhtiyar), atau bahwa Tuhan tidak berbuat dengan
  kehendak (iradah). Kami telah selesai memberikan sanggahan atas pendapat ini
  di dalam masalah penciptaan alam. Jika diafirmasi bahwa aktor menciptakan
  keterbakaran dengan kehendaknya sendiri, ketika terjadi kontak antara api dan
  kapas, maka akal akan menerima kemungkinan untuk tidak menciptakan
  keterbakaran bersamaan dengan adanya kotak api dan kapas tersebut.
 
Apabila
  dikatakan:
Hal ini akan mengantar seseorang untuk menerima
  kemustahilan yang paling keji. Sesungguhnya, jika keniscayaan timbulnya akibat
  dari sebab tidak diterima, jika dinyatakan bahwa suatu akibat harus
  dikembalikan kepada kehendak pencipta, dan bahwa kehendak itu sendiri tidak
  mempunyai cara khusus berlaku umum, tetapi manifestasinya dapat bermacam-macam
  dan beragam, maka setiap orang dapat menerima kemungkinan bahwa: Pertama, di
  depannya ada binatang-binatang buas yang ganas, lautan api yang bergelora,
  pegunungan yang menjulang, dan kekuatan-kekuatan musuh yang diperlengkapi
  dengan senjata-senjata; sedang dia tidak bisa melihat, karena Tuhan tidak
  menciptakan penglihatan baginya terhadap hal-hal tersebut.
Kedua,
  seseorang yang meletakkan sebuah buku di rumahnya, maka bisa saja terjadi
  begitu ia kembali ke rumah, buku itu berubah menjadi seorang anak yang pintar
  dan cerdik, atau menjadi seekor binatang. Atau ketika dia telah meninggalkan
  seorang anak kecil di rumahnya, maka bisa saja terjadi, bahwa anaknya berubah
  menjadi seekor anjing, pada saat ia kembali ke rumahnya. Atau dia meninggalkan
  abu, boleh jadi ia berubah menjadi minyak misik, atau batu berubah menjadi
  emas, dan emas menjadi batu. Dan apabila ditanya tentang perubahan itu, dia
  mungkin mengatakan: “Saya tidak tahu apa yang sekarang ada di rumah. Yang saya
  ketahui hanyalah bahwa saya telah meninggalkan buku di sana. Barangkali
  sekarang ia telah berubah menjadi seekor kuda, yang memenuhi rumah dengan
  kotorannya.” Atau dia dapat mengatakan: “Saya telah meninggalkan sebuah kendi
  air di rumah. Mungkin itu telah berubah menjadi sebuah pohon apel.”
Semua
  ini secara sempurna dapat dimengerti, karena Tuhan Mahakuasa, dan seekor kuda
  tidak mesti tercipta dari sperma, pohon tidak mesti tumbuh dari benih, bahkan
  sebuah pohon tidak mesti tercipta dari suatu apa pun. Barangkali Tuhan telah
  menciptakan segala sesuatu yang sebelumnya tak pernah ada. Bahkan apabila
  seseorang melihat seorang manusia yang tak pernah dilihatnya, kecuali
  sekarang, lalu ia ditanya apakah dia dilahirkan, maka dia akan ragu-ragu
  menjawab. Dia mungkin akan menjawab: “Mungkin, orang ini adalah salah satu
  buah- buahan yang dijual di pasar.” Tetapi buah itu sekarang sudah diubah
  menjadi manusia, karena Tuhan kuasa atas segala sesuatu dan semua perubahan
  semacam itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Demikianlah keragu-raguan
  saya.
Inilah tema yang memiliki medan kajian yang luas. Tapi kita
  cukupkan masalah ini di sini.
Untuk menjawab hal-hal tersebut
  di atas, kami akan mengatakan:
Jika diterima bahwa sesuatu yang mungkin
  adanya, tidak memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengetahui
  ketiadaannya, maka absurditas-absurditas ini tentu tak bisa dielakkan. Kami
  tidak meragukan gambaran-gambaran yang telah Anda kemukakan. Sebab Tuhan telah
  menciptakan bagi kita pengetahuan bahwa Dia tidak melakukan hal-hal ini,
  meskipun itu mungkin. Kami tidak pernah menyatakan bahwa itu adalah hal-hal
  yang mesti terjadi (wajib). Hal-hal itu hanyalah yang mungkin, artinya, bisa
  terjadi dan bisa juga tidak. Terus terbiasa dengannya, silih berganti
  (sehingga membentuk norma), maka membentuk kesan di benak kita kejadiannya
  menurut norma yang lampau, dengan kesan yang tak dapat dipisahkan dari benak
  kita.
Bahkan salah seorang nabi mungkin mengetahui-dengan cara-cara yang
  telah dikemukakan oleh para filsuf-bahwa seorang musafir tertentu tidak akan
  datang besok. Meskipun kedatangan musafir itu mungkin, namun fakta bahwa yang
  mungkin itu tidak terjadi dapat diketahui. Atau lihatlah seorang awam (al-
  ami). Diketahui bahwa dia tidak mengetahui sesuatu pun mengenai alam gaib dan
  bahwa tanpa belajar dia tidak akan dapat mengetahui objek-objek pemikiran
  (maqulat). Meskipun demikian, kata para filsuf, dia dapat mengetahui dengan
  tepat apa yang diketahui seorang nabi, apabila jiwa dan intuisinya cukup kuat.
  Tetapi para filsuf mengetahui bahwa kemungkinan ini tidak pernah terjadi.
  Apabila pada saat-saat luar biasa, Tuhan memecahkan norma (kebiasaan) dengan
  menyebabkan suatu hal tertentu terjadi, maka pengetahuan-pengetahuan kita
  (bahwa suatu kemungkinan tertentu ‘tidak terjadi) akan melesat keluar dari
  hati kita dan tidak akan diciptakan kembali oleh-Nya.
Karenanya, tiada
  sesuatu pun yang mencegah kita untuk memercayai bahwa: (1) sesuatu hal dapat
  menjadi mungkin, dan dapat menjadi salah satu dari hal-hal yang berada di
  bawah kekuasaan Allah, (2) meskipun adanya mungkin, namun telah berlalu di
  dalam pengetahuannya yang lampau bahwa Dia takkan melakukannya; (3) Tuhan
  mungkin menciptakan bagi kita pengetahuan bahwa Dia tidak melakukannya dalam
  hal khusus ini.
  
Kritik para filsuf tak lebih dari sekadar kesimpulan yang
rancu.
Jawaban
  kami kedua, yang memungkinkan kami menyelesaikan kritik kacau para filsuf,
  adalah sebagai berikut: Kami sepakat bahwa api diciptakan sedemikian rupa
  sehingga apabila ia mendapatkan dua kapas yang sama, ia akan membakar
  kedua-duanya, sebab api tak dapat membedakan antara kedua kapas yang sama itu.
  Namun pada saat yang sama, kami dapat memercayai bahwa apabila seorang nabi
  tertentu dilemparkan ke dalam api, dia tidak terbakar baik karena sifat-sifat
  api itu yang berubah atau karena sifat-sifat diri nabi itu telah berubah.
  Mungkin telah tercipta-dari Allah, atau dari malaikat-malaikat- suatu sifat
  baru di dalam api yang mengurangi panas pada dirinya sehingga panas itu tidak
  menyentuh nabi. Demikianlah, meskipun api tetapi memiliki panas, dalam bentuk
  dan realitasnya, namun akibat panasnya tidak melewati batas. Atau di dalam
  tubuh nabi timbul suatu sifat baru yang memungkinkannya untuk menahan pengaruh
  api, meskipun nabi itu tidak keluar dari keadaannya semula yang terdiri dari
  daging dan tulang.
Kami melihat bahwa orang yang menyelimuti tubuhnya
  dengan ter (asbestos), kemudian duduk di tungku pembakaran, tidak terpengaruhi
  oleh api. Orang yang tidak menyaksikan kejadian tersebut tidak akan
  memercayainya. Karenanya, penyangkalan musuhmusuh kami terhadap (pendapat
  bahwa) Tuhan berkuasa untuk menetapkan suatu sifat tertentu pada api atau
  tubuh, yang mencegahnya dari kebakaran, bagaikan ketidakpercayaan orang yang
  tidak menyaksikan ter (aspal) dan akibatnya. Hal-hal yang berada di bawah
  kekuasaan Allah meliputi fakta-fakta yang misterius dan yang aneh serta luar
  biasa.
  
Kita belum menyaksikan semua hal misterius dan luar biasa itu. Mengapa
  kita harus menolak kemungkinannya dan secara positif menyatakan
  kemustahilannya?
Dengan cara ini pula, dapat dilihat kemungkinan untuk
  menghidupkan kembali orang mati dan mengubah tongkat menjadi ular. Yaitu,
  bahwa materi dapat menerima setiap sesuatu. Tanah dan seluruh elemen berubah
  menjadi tumbuh-tumbuhan. Kemudian tumbuhan-tumbuhan berubah, ketika dimakan
  oleh binatang, menjadi darah. Lalu darah berubah menjadi sperma. Sperma
  membuahi rahim dan mengembangkannya menjadi makhluk hidup. Inilah rangkaian
  kebiasaan peristiwa-peristiwa yang terjadi terus sepanjang waktu. Mengapa
  lawan kami menolak untuk memercayai bahwa Tuhan mampu untuk memutar materi
  melalui semua fase ini dalam waktu yang lebih pendek daripada yang biasa
  terjadi? Dan apabila suatu waktu terpendek dimungkinkan, maka tidak menutup
  kemungkinan bagi yang lebih pendek lagi. Begitulah perbuatan dari prosesproses
  alam dapat diakselerasi untuk menciptakan apa yang disebut mukjizat nabi.
Apabila
  dikatakan:
Apakah ini berasal dari diri nabi sendiri atau dari salah satu
  Prinsip wujud-pada diri nabi?
Kami akan menjawab:
Apabila
  Anda menerima kemungkinan terjadinya hujan, halilintar, dan gempa bumi dengan
  kekuatan jiwa Nabi, apakah yang Anda maksudkan adalah bahwa
  peristiwa-peristiwa itu berasal dari Nabi sendiri atau dari prinsip (mabda)
  yang lain? Kami akan menjawab pertanyaan Anda sebagaimana Anda lakukan pada
  kami. Yang penting bagi kami dan Anda adalah menghubungkan ini kepada Allah,
  baik langsung atau melalui perantara malaikat. Tapi waktu yang mencirikan
  terjadinya suatu mukjizat hanya terjadi ketika himmah Nabi tertuju kepadanya,
  dan ketika-karena kuatnya sistem Syara’ kemunculannya menjadi suatu syarat
  khusus bagi tegaknya sistem kebaikan. Maka hal itu menjadi penentu (murajjih)
  eksistensi. Pada dirinya, sesuatu adalah mungkin, dan prinsip (Tuhan) adalah
  pemurah dan dermawan. Namun, emanasi dari-Nya tidak terjadi hingga kebutuhan
  akan eksistensi emanan (pelimpah) beroperasi sebagai penentu, dan itu menjadi
  syarat khusus bagi tegaknya sistem kebaikan. Itu tidak akan menjadi syarat
  yang demikian kecuali seorang nabi memerlukannya untuk membuktikan kenabiannya
  demi penyebaran kebaikan.
Semua ini sangat tepat menurut teori mereka.
  Mereka juga terikat untuk menggambarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut selama
  mereka tetap membuka pintu karakter khusus seorang nabi dengan suatu ciri khas
  yang bertentangan dengan sifat-sifat biasa manusia. Tingkatan-tingkatan
  karakter khusus ini tidak dapat dicapai dengan pemikiran rasional. Mengapa
  seseorang yang memercayai suatu tingkatan karakter khusus ini mesti
  mengingkari apa yang transmisi kisahnya tidak diragukan kebenarannya dan yang
  dibenarkan Syara’?
Singkatnya, setelah realitas menunjukkan bahwa hanya
  sperma yang bisa menerima bentuk binatang, bahwa fakultas- fakultas
  kebinatangan hanya beremanasi dari malaikat-malaikat yang merupakan prinsip
  wujud-menurut para filsuf, bahwa hanya kelahirannya dari kuda mengharuskan
  penentuan karena cocoknya bentuk kuda dari berbagai bentuk yang ada; maka
  dengan cara ini yang akan muncul hanyalah bentuk yang telah ditentukan (surah
  mutarajjihah). Karena itu, gandum tidak akan tumbuh dari benih jelai dan apel
  dari buah pir. Selanjutnya kita juga melihat beberapa spesies binatang yang
  tumbuh dari tanah dan tidak mereproduksi bentuk mereka, seperti cacing-cacing.
  Ada juga beberapa spesies lain yang tumbuh keluar dari tanah, tetapi juga
  mereproduksi bentuk mereka, seperti tikus, ular, dan kalajengking.
  Binatangbinatang tersebut muncul dari tanah dan kapasitas mereka berbedabeda
  untuk menerima bentuk-bentuk melalui faktor penyebab yang tidak tampak bagi
  kita dan yang tidak mungkin bagi fakultas- fakultas manusia untuk
  menyingkapnya. Karena bentuk-bentuk mereka tidak datang dari para malaikat
  dengan main-main. Sebaliknya; bentukbentuk itu hanya beremanasi pada sesuatu
  yang telah ditentukan untuk menerimanya, tidak kepada semua tempat. Sebab
  tempat yang telah ditentukan memang memiliki kesiapan diri. Kesiapan-kesiapan
  itu beraneka ragam dan- menurut para filsuf-prinsip prinsip mereka dapat
  ditemukan pada konfigurasi-konfigurasi bintang-bintang dan berbagai hubungan
  tubuh-tubuh selestial dalam gerakan mereka.
Dari sini jelas bahwa
  prinsip-prinsip kesiapan mengandung halhal yang aneh dan misterius. Karena
  alasan ini, orang yang mahir dalam ilmu-ilmu jimat dapat menggunakan
  pengetahuan mereka tentang ciri-ciri khas mineral. Maka, mereka mengambil
  beberapa bentuk-bentuk terestial (ardiyyah) dan dengan mencari sebuah horoskop
  (tali) khusus, mereka dapat menciptakan hal-hal misterius dan aneh di dalam
  alam. Misalnya, mereka sering mengusir ular-ular atau kutu-kutu busuk dari
  sebuah kota serta kasus-kasus sejenis yang diketahui dari ilmu jimat.
Jika
  prinsip-prinsip itu keluar dari prinsip-prinsip kesiapan, dan kita tidak
  mengetahui hakikatnya serta tidak punya kemampuan mengetahui kuantitasnya,
  lalu dari mana kita tahu bahwa mustahil adanya persiapan-persiapan
  (isti’dadat) tertentu dalam beberapa tubuh, di mana tubuh-tubuh dapat melewati
  semua fase transformasi dalam waktu yang begitu singkat, sehingga bersiap
  untuk menerima bentuk yang memang disiapkan sebelumnya dan-itu pun memunculkan
  mukjizat?
Ketidakpercayaan terhadap hal tersebut tak lain karena
  sempitnya jiwa seseorang, kurang akrab dengan mawjud-mawjud yang Tinggi dan
  ketidaktahuan terhadap rahasia-rahasia Allah Swt. di dalam alam ciptaan dan
  fitrah.
Orang yang meneliti keajaiban-keajaiban ilmu tidak
  akan pernah terhalang untuk menerima kemungkinan kekuasaan Tuhan yang mencakup
  kepada hal-hal yang telah dihubungkan sebagai mukjizat mukjizat para nabi.
Apabila
  dikatakan:
Kami setuju dengan Anda bahwa kekuasaan Tuhan meliputi semua
  yang mungkin. Dan Anda setuju dengan kami bahwa kekuasaan tidak mencakup yang
  mustahil. Lalu, realitas dapat dibagi ke dalam tiga macam: (1) yang
  kemustahilannya secara pasti diketahui, (2) yang kemungkinannya secara pasti
  diketahui, (3) yang tidak dapat diketahui oleh akal sehingga tidak bisa
  ditetapkan sebagai sesuatu yang mungkin atau mustahil.
Apabila ia adalah
  perpaduan antara afirmasi dan negasi pada hal yang sama, maka mereka katakan
  bahwa masing-masing dari dua hal, ini bukan itu, dan itu bukan ini, dan bahwa
  karenanya eksistensi dari salah satu dari keduanya tidak mengandaikan
  eksistensi dari yang lain. Kemudian, mereka mengatakan: (1) bahwa Tuhan
  berkuasa untuk menciptakan kehendak tanpa pengetahuan tentang objek kehendak,
  pengetahuan tanpa kehidupan, (2) bahwa Dia berkuasa menggerakkan tangan orang
  mati, membuatnya duduk, menulis buku, atau mengajarkan suatu ilmu, sedang
  matanya terbuka, dan pandangannya tertuju tajam menatap segala yang di
  depannya. Tapi ia tidak melihat dan tidak mempunyai kehidupan atau kekuasaan.
  Perbuatan dan tindakan sistematis ini diciptakan oleh Allah, dengan
  menyebabkan tangannya bergerak, sementara gerakan itu berasal dari Allah
  Swt.
Dengan menganggap ini sebagai sesuatu yang mungkin, maka semua
  perbedaan antara gerakan-gerakan volutair (harakah ikhtiyariyyah) dan
  spasmodik (harakah ra’diyyah) tidak akan ada lagi. Perbuatan yang terkontrol
  (muhkam) tidak akan merupakan suatu indikasi akan pengetahuan atau kekuasaan
  bagi pelaku.
Semestinya kita menetapkan bahwa dia mempunyai kekuasaan
  mengubah genus-seperti mengubah substansi menjadi aksiden, pengetahuan menjadi
  kekuasaan, hitam menjadi putih, dan suara menjadi rasa bau-sebagaimana dia
  mampu untuk mengubah benda mati (jamad) menjadi binatang, atau batu menjadi
  emas. Beberapa absurditas yang lain bisa muncul berikutnya, jumlahnya tidak
  dihitung juga.
Jawaban:
Tak seorang pun berkuasa atas
  kemustahilan. Yang mustahil berarti afirmasi sesuatu bersama negasinya,
  afirmasi akan hal-hal partikular sekaligus negasi hal-hal yang general, atau
  afirmasi dari dua hal sekaligus dengan negasi salah satu dari keduanya. Segala
  yang tidak termasuk ke dalam pengertian ini adalah tidak mustahil, dan hal
  yang tidak mustahil adalah berada dalam batas kekuasaan.
Mengumpulkan
  kehitaman atau keputihan adalah mustahil. Karena dengan afirmasi bentuk-bentuk
  kehitaman pada suatu subjek, kita memahami peniadaan keputihan serta
  menetapkan eksistensi kehitaman. Karenanya, apabila negasi keputihan dipahami
  sebagai afirmasi kehitaman, maka afirmasi terhadap keputihan bersama-sama
  dengan negasinya merupakan sesuatu yang mustahil.
Tidak mungkin bagi
  seseorang untuk berada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Karena dengan
  berada di rumah, kita pahami tidak adanya di luar rumah. Karenanya, tidak
  mungkin untuk mengandaikan adanya di luar rumah bersama- sama dengan adanya di
  rumah yang hanya akan berarti peniadaan adanya di luar rumah. Demikian pula,
  dengan kehendak. Kita pahami pencarian atau tuntutan terhadap sesuatu yang
  telah diketahui. Jika pencarian diandaikan, tetapi pengetahuan tidak
  terandaikan, maka tidak akan ada kehendak. Sebab pengandaian, pada dirinya
  sendiri, akan mengandung peniadaan segala yang kita pahami dengan kehendak.
Dan
  mustahil pula pengetahuan untuk diciptakan dalam materi mati (jamad). Karena
  materi mati kita pahami sebagai sesuatu yang tidak mempunyai kognisi. Apabila
  kognisi (idrak) diciptakan di dalamnya, akan mustahil untuk menyebutnya
  sebagai materi mati dalam pengertian yang kita pahami. Jika materi mati itu
  tidak dapat mengetahui, maka mustahil menyebut sesuatu yang baru sebagai
  pengetahuan dan mustahil mengetahui sesuatu dengan pengetahuan itu. Inilah
  alasan lain mengapa kreasi pengetahuan pada materi mati adalah mustahil.
Beberapa
  ahli kalam percaya bahwa Tuhan berkuasa untuk menciptakan transformasi pada
  genus-genus (ajnas). Tetapi kami katakan bahwa mengubah sesuatu menjadi
  sesuatu yang lain adalah tidak masuk akal. Misalnya, apabila kehitaman (sawad)
  berubah menjadi kekotoran (kudrah), apakah kehitaman masih ada atau tidak?
  Jika ia dilenyapkan, ia sebenarnya tidak berubah ke bentuk yang lain, tetapi
  hanya lenyap dan sesuatu yang lain muncul menggantikannya. Jika ia tetap ada
  bersama dengan kekotoran, ia bukan berarti telah mengalami perubahan, tetapi
  ada sesuatu yang lain yang baru saja ditambahkan kepadanya. Jika kehitaman
  tetap ada dan kekotoran tidak ada di sana, maka di sana tak ada perubahan sama
  sekali. Bahkan ia tetap seperti apa adanya.
Ketika kami katakan bahwa
  darah menjadi sperma, kami maksudkan bahwa materi yang satu itu telah
  melepaskan satu bentuk (surah) dan mengenakan bentuk yang lain. Maka hasil
  finalnya ialah bahwa satu bentuk telah lenyap dan bentuk yang lain muncul,
  sedangkan materi tetap tidak berubah di bawah bentuk-bentuk yang berubah
  secara bergantian. Sekali lagi, apabila kami katakan bahwa air berubah menjadi
  udara karena panas, kami maksudkan bahwa materi yang telah menerima bentuk air
  kini telah melepas bentuk itu untuk menerima bentuk yang lain. Maka materi
  adalah sesuatu yang umum. Hanya artibut-atributnya yang berubah.
 
Karenanya,
  demikian pula, dapat kami katakan tentang tongkat yang berubah menjadi ular,
  dan tanah yang berubah menjadi seekor binatang. Tetapi antara substansi dan
  aksidensi tidak ada materi yang umum. Begitu pula tidak ada materi umum
  (al-maddah al-musytarikah) di antara kehitaman dan kekotoran atau antara semua
  genus. Kasus ini merupakan hal yang mustahil dari sisi kasus ini.
Mengenai
  kasus Tuhan yang menyebabkan tangan orang mati bergerak dan menjadikannya
  dalam bentuk orang hidup sehingga dia dapat duduk sambil menulis dan gerakan
  tangannya menghasilkan tulisan yang teratur, harus kami katakan bahwa
-pada
  dirinya-ia tidak mustahil. Karena kami menganggap semua peristiwa temporal
  berasal dari kehendak Dia yang bertindak berdasar ikhtiar (kebebasan memilih
  perbuatan). Peristiwa seperti ini tidak diterima keberadaannya hanya karena
  tidak biasa.
Pernyataan Anda bahwa kemungkinan dari hal tersebut akan
  menghancurkan penyesuaian perbuatan sebagai indikasi pengetahuan pelaku,
  adalah tidak benar. Karena pelakunya adalah Tuhan. Dia yang menciptakan
  kesesuaian dan Dialah yang mengetahui.
Adapun pernyataan Anda bahwa
  antara gerakan-gerakan voluntair dan spasmodik tidak berbeda, kami akan
  mengatakan bahwa kami mengetahui hal-hal tersebut dari diri kami sendiri.
  Karena dari diri kita sendiri, kita dapat menyaksikan perbedaan daruri antara
  dua keadaan, lalu kita mengungkapkan sebab perbedaan itu sebagai kekuasaan.
  Maka kita menyimpulkan bahwa apa yang secara aktual terjadi hanyalah satu di
  antara dua hal yang mungkin, yaitu, keadaan di mana gerakan itu diciptakan
  oleh kekuasaan, atau keadaan di mana ia diciptakan tidak oleh kekuasaan.
Maka
  apabila kita melihat seseorang dan kita melihat beberapa gerakan yang teratur,
  kita juga memperoleh pengetahuan tentang gerakan-gerakan itu. Maka ini adalah
  pengetahuan- pengetahuan yang diciptakan Tuhan dalam garis kebiasaan. Dengan
  pengetahuan itu kita dapat mengetahui eksistensi salah satu dari dua
  kemungkinan. Tetapi, sebagaimana dikemukakan terdahulu, itu tidak membuktikan
  kemustahilan alternatif yang lain.
  
  MASALAH KEDELAPAN BELAS: Kerancuan Argumen Teoretis Bahwa Jiwa Manusia
      Adalah Substansi Yang Ada Dengan Sendirinya, Tidak Menempati Ruang Dan
      Tubuh
MENYELAMI masalah ini menuntut deskripsi teori para filsuf
  tentang fakultas-fakultas kebinatangan dan kemanusiaan.
Fakultas-fakultas
  (daya-daya) kebinatangan (dan kemanusiaan)-oleh para filsuf-dibagi menjadi dua
  bagian: motif (muharrikah) dan perseptif (mudrikah). Fakultas-fakultas
  perseptif ada dua macam: eksternal (zahir) dan internal (batin). Fakultas
  perseptif eksternal terdiri dari lima indra. Ini terpasang pada tubuh.
  Sedangkan fakultasfakultas perseptif internal ada tiga:
Fakultas
  imajinatif (al-quwwah al-khayaliyyah), yang terletak di bagian depan otak, di
  belakang indra penglihatan. Dalam fakultas ini terekam bentuk-bentuk suatu
  yang terlihat, ketika mata ditutup. Bahkan, data kelima indra terekam di
  dalamnya. Maka ia disebut “indra umum” (sensus communis/ al-hiss
  al-musytarak). Tetapi untuk itu, orang yang melihat madu putih dan tidak
  mengetahui rasa manisnya kecuali dengan mencicipi, tidak akan mengetahui tanpa
  mencicipinya-sebagaimana dia lakukan sebelumnya-apabila dia melihatnya untuk
  kedua kalinya. Tetapi pada fakultas ini juga terdapat sesuatu yang memutuskan
  bahwa sesuatu yang putih ini juga manis (rasanya). Ini memastikan bahwa
  ‘sesuatu’ ini merupakan hakim yang bekerja dengan memadukan dua hal: warna dan
  rasa manis. Karena hanya mereka yang dapat memutuskan eksistensi hal yang satu
  dari eksistensi hal yang lain.
Fakultas estimatif (al-quwwah al
  wahmiyyah), yang berfungsi mengetahui pengertian-pengertian atau konsep-konsep
  (ma’ani), sedang fakultas yang pertama mengetahui bentuk- bentuk. Bentuk
  berarti sesuatu yang tergantung pada materi (tubuh) untuk bisa bereksistensi.
  Fakultas estimatif memiliki pengertian sebaliknya, yakni sesuatu yang
  eksistensinya tidak membutuhkan tubuh, meskipun secara aksidental ada di dalam
  tubuh, seperti permusuhan atau kebaikan hati. Misalnya, kambing mengetahui
  warna dan bentuk serigala. Warna dan bentuk serigala mesti memerlukan tubuh.
  Tetapi ia juga mengetahui sikap permusuhan serigala terhadapnya, yang tidak
  mesti ada pada tubuh. Atau anak biri-biri melihat bentuk dan warna induknya
  dan bisa mengetahui kecocokan kebaikan induknya. Karenanya, ia lari menjauh
  dari serigala dan mengikuti ibunya. Tidak seperti warna atau bentuk,
  persahabatan dan permusuhan tidak mesti ada pada tubuh (jisim), meskipun
  secara aksidental mereka bisa jadi ada pada tubuh. Pengetahuan terhadap
  bentuk-bentuk berbeda dengan fakultas kedua, fakultas estimatif. Fakultas
  kedua ini terletak di tengah bagian belakang.
Fakultas ini disebut
  imajinasi sensitif (mutakhayyilah) untuk binatang dan kogitasi (mufakkirah)
  untuk manusia. Fungsinya adalah untuk menyusun bentuk-bentuk indriawi satu
  sama lain atau untuk menata pengertian-pengertian dan konsep-konsep (ma’ani)
  di atas bentuk-bentuk. Ia berada dirongga tengah otak di antara memori
  penyimpan bentuk dan penyimpan konsep. Karena itu, fakultas ini memungkinkan
  manusia mengkhayalkan seekor kuda terbang, seorang yang berkepala manusia tapi
  bertubuh kuda, atau hal lain yang terdiri dari kombinasi-kombinasi (tarkib),
  sekalipun belum pernah terlihat. Fakultas ini, sebagaimana akan diulas, akan
  lebih terkait dengan fakultasfakultas motif, bukan dengan fakultas- fakultas
  perseptif.
Pengetahuan tentang lokasi fakultas-fakultas ini diperoleh
  dari ilmu kedokteran. Apabila salah satu dari rongga-rongga otak rusak,
  fakultas-fakultas ini juga akan mengalami kerusakan.
Kemudian, mereka
  mengatakan bahwa fakultas yang membawahi bentuk-bentuk indriawi yang ditangkap
  oleh kelima indra menyimpan bentuk-bentuk itu-yang karenanya (bentuk-bentuk)
  tetap ada dan tidak hilang setelah diterima. Sesuatu memelihara sesuatu yang
  lain tidak dengan fakultas yang dengannya ia diterima. Sesungguhnya air
  diterima tapi tidak disimpan. Lilin diterima tidak dengan kelembabannya, tapi
  disimpan dengan kekeringannya, yang berbeda dengan air. Karenanya, fakultas
  penyimpan bukanlah fakultas penerima. Maka ia pun disebut ‘penyimpan
  ‘(haizah). Demikian juga konsep dan pengertian yang terpasang pada fakultas
  estimatif juga disimpan oleh fakultas yang disebut ‘pengingat’ (zakirah).
Persepsi-persepsi
  internal-apabila fakultas imajinasi sensitif digabungkan dengannya-akan
  menjadi lima, sebagaimana yang eksternal juga berjumlah lima.
  
•    Fakultas motif (al-quwwah al-muhrikah) terbagi
  menjadi:
•    Penggerak dalam arti bahwa ia mendorong ke
  arah gerakan.
•    Penggerak dalam arti bahwa penggerak
  langsung.
•    Fakultas motif sebagai penggerak dalam arti
  bahwa ia mendorong ke arah gerakan adalah fakultas hasrat/ inklinatif
  (al-quwwah an-nuzu’iyyah a.sy-.syawqiyyah). Yaitu fakultas yang apabila bentuk
  yang diharap atau dibenci terpasang pada fakultas imajinatif (yang telah kami
  sebutkan di atas), fakultas hasrat mendorong fakultas motif untuk aktif ke
  arah gerakan. Ia mempunyai dua sub-bagian:
•    Fakultas
  erotik (al-quwwah asy-.syahwatiyyah). Yaitu fakultas yang mendorong lahirnya
  gerakan yang mendekatkan pada hal-hal yang diimajinasikan sebagai keharusan
  atau kegunaan untuk mencari kenikmatan.
•    Fakultas
  kemarahan (al-quwwah al-gadabiyyah). Yaitu fakultas yang membangkitkan gerakan
  yang dipakai dalam usaha untuk menguasainya. Dengan fakultas ini, koordinasi
  yang sempurna atas perbuatan yang disebut kehendak bisa tetwujud.
Sedang
  fakultas motif aktif (al-quwwah al-muhrikah) beroperasi di dalam otot-otot dan
  syaraf-syaraf. Fungsinya adalah untuk mengontak otot-otot dan untuk mendorong
  urat-urat dan ikat-ikat sendi tulang, yang terhubungkan dengan anggota-
  anggota badan, menuju posisi di mana fakultas ini mengatur jalannya. Atau juga
  untuk mengendurkan atau memanjangkan otot dan urat tersebut hingga ia
  cenderung menjauh dari posisi itu.
Inilah fakultas-fakultas jiwa
  kebinatangan, yang disebutkan di sini secara singkat dan umum.
***
Sekarang
  kita masuk pada wacana jiwa rasional manusia (an- nafs al-’aqilah
  al-insaniyyah). Jiwa ini, oleh para filsuf disebut jiwa komunikatif (an-nafs
  an-nitiqah). Yang dimaksud komunikatif adalah rasional (‘aqilah). Karena
  komunikasi merupakan hasil paling spesifik dari potensi rasional (‘aql) dalam
  fenomena yang tampak. Karena itu, kemampuan komunikasi dinisbatkan kepada
  akal.
Jiwa rasional mempunyai dua fakultas: teoretis (‘alimah) dan
  praktis (‘amilah). Masing-masing dari keduanya disebut akal. Tapi sebatas nama
  bersama yang bisa digunakan oleh masing- masing. Fakultas praktis adalah
  prinsip motif bagi tubuh manusia yang mendorongnya ke arah aktivitas-aktivitas
  yang terkoordinasi dan yang koordinasinya berasal dari pertimbangan
  karakteristik manusia.
Fungsi fakultas teoretis, yang juga disebut
  spekulatif (nazariyyah) adalah untuk mengetahui realitas-realitas dari hal-hal
  yang masuk akal (ma’qulat), yang bebas dari materi, ruang, dan dimensi. Hal
  itu adalah keputusan-keputusan universal (qadaya kulliyah) yang disebut
  keadaan-keadaan (ahwal) atau aspek-aspek (wujuh) oleh para ahli kalam dan
  hal-hal universal yang abstrak (al-kulliyah al-mujarradah) oleh para filsuf.
  Jadi, jiwa mempunyai dua fakultas dalam dua tingkat yang berbeda-beda.
  Spekulasi atau fakultas teoretis sesuai dengan tingkattingkat para malaikat,
  di mana jiwa memperoleh pengetahuanpengetahuan hakiki darinya. Ia mengupayakan
  agar fakultas ini secara terus-menerus menerima segala yang datang dari
  atas.
Sebaliknya, fakultas praktis menghubungkan jiwa dengan sesuatu yang
  berada di tingkat terendah, yaitu aspek tubuh, pengaturannya dan perbaikan
  tingkah laku moral. Tidak boleh tidak bahwa fakultas ini harus menguasai semua
  fakultas-fakultas ragawi, semua fakultas menjadi terarah oleh pengarahannya
  dan patuh terhadapnya. Bukan fakultas praktis, tetapi fakultas- fakultas
  badani yang harus merupakan penerima pasif atas pengaruh-pengaruh. Karena
  tanpa demikian, kualitas-kualitas fisik akan melahirkan sikap-sikap hina yang
  disebut kejahatan (raza’il) dalam jiwa. Bahkan fakultas praktis menjadi
  dominan, sehingga karenanya, jiwa memperoleh sikap-sikap yang disebut
  kebajikan-kebajikan (fadail).
Inilah ringkasan singkat dari pendapat
  mereka mengenai fakultas-fakultas kebinatangan dan kemanusiaan. Mereka
  membicarakannya secara luas dan detail, dengan mengenyampingkan deskripsi
  tentang fakultas-fakultas tumbuh- tumbuhan yang tidak relevan dengan tujuan
  kami.
Tak ada yang telah mereka sebutkan yang harus diingkari oleh kita
  yang berdasarkan Syara’. Karena fakultas-fakultas itu adalah fakta-fakta yang
  benar, yang berjalan seperti biasa, dengan kehendak Tuhan. Namun kami hendak
  menanyakan klaim mereka bahwa dengan argumen-argumen rasional mereka dapat
  mengetahui adanya jiwa sebagai substansi yang ada dengan sendirinya. Sanggahan
  kami bukanlah sikap orang yang tidak mengakui kekuasaan Allah atas segala
  sesuatu, atau berpendapat bahwa agama secara aktual menentang pandangan ini.
  Tapi, kami akan menunjukkan di dalam diskusi tentang “kebangkitan” bahwa agama
  memberikan pembenaran (tasdiq) pada pandangan ini. Tetapi kami menyanggah
  klaim mereka bahwa akal adalah satu-satunya penunjuk dalam masalah ini dan
  bahwa karenanya seseorang tidak perlu bergantung kepada agama.
Kami
  meminta mereka mengemukakan argumen- argumen. Dan mereka pun telah mengatakan
  bahwa mereka mempunyai banyak argumen.
PERTAMA
Di dalam
  argumen yang pertama, mereka menyatakan bahwa pengetahuan-pengetahuan rasional
  berada di dalam jiwa manusia. Pengetahuan-pengetahuan ini tidak terbatas dan
  di dalamnya terdapat unit-unit individual yang tidak bisa dibagi. Itu
  mengharuskan bahwa substratum dari pengetahuan-pengetahuan ini juga harus
  tidak bisa terbagi. Karenanya, substratum dari pengetahuan-pengetahuan
  rasional adalah bukan tubuh yang bisa dibagi-bagi.
Hal ini dapat
  dipersamakan dengan kondisi-kondisi dari bentuk bentuk logika. Untuk lebih
  dekatnya, seseorang dapat berkata: (1) apabila substratum pengetahuan adalah
  suatu tubuh yang terbagibagi, maka pengetahuan yang ada di dalamnya akan
  terbagi-bagi; (2) tetapi pengetahuan yang ada di dalamnya tidak dapat
  dibagibagi; (3) oleh karena itu, substratum itu adalah bukan tubuh.
  
Inilah suatu silogisme hipotesis (qiyas syarti) yang di dalamnya
  kebalikan dari antiseden (naqid al-muqaddam) yang menimbulkan suatu kesimpulan
  yang tak terbantah dari interpelasi kebalikan konsekuen (naqid at-tali). Tiada
  keragu- raguan mengenai keabsahan bentuk silogisme dan kedua premis tersebut.
  Karena di dalam premis yang pertama dinyatakan bahwa “setiap sesuatu yang ada
  pada suatu substratum yang dapat dibagi-bagi adalah dapat dibagi-bagi, dan
  bahwa apabila pembagian (divisibilitas) substratum pengetahuan diandaikan,
  maka divisibilitas pengetahuan akan bersifat aksiomatik dan tak diragukan.”
  Pada premis kedua dinyatakan bahwa: “pengetahuan yang ada adalah satu dan
  tidak dapat dibagi-bagi. Karena mustahil untuk menganggapnya dapat dibagi-bagi
  hingga tanpa batas, adinfinitum. Apabila ia dianggap dapat dibagi-bagi hingga
  pada batas tertentu, maka ia akan terdiri dari unit-unit yang tak dapat dibagi
  bagi lebih lanjut.”
Ringkasnya, kita mengetahui banyak hal dan kita tidak
  dapat mengandaikan lenyapnya sebagian dari pengetahuan, sedangkan yang lainnya
  tetap ada. Karena ‘sebagian’ dan ‘yang lain’ tak dapat diaplikasikan pada
  hal-hal yang kita ketahui.
Sanggahan dari dua sudut
  pandang:
Pertama, dapat dipertanyakan, bagaimana Anda tidak setuju dengan
  pendapat bahwa substratum pengetahuan adalah sebuah atom individual yang tak
  dapat dibagi-bagi, meskipun menempati ruang? Ide ini terdapat dalam
  teori-teori para ahli kalam.
Ide ini telah diserap, dan kesulitan
  yang masih tertinggal adalah bahwa ia dapat dianggap sebagai pengetahuan yang
  tidak diragukan. Tapi masih bisa dipertanyakan, bagaimana semua pengetahuan
  bisa ada di dalam atom individual, sedangkan atom- atom yang lain yang
  mengitarinya ditinggalkan kosong dan tak ditempati?
Tetapi asumsi
  improbabilitas tidak baik bagi para filsuf. Karena itu tak dapat diarahkan
  kepada teori mereka sendiri. Maka, seseorang bisa berkata, bagaimana jiwa
  dapat menjadi sesuatu yang tunggal, tak bertempat, tak dapat ditunjuk, tidak
  di dalam tubuh dan tidak di luarnya, dan tidak berhubungan serta tidak
  terlepas dari yang badani?
Tetapi kami tidak akan berbicara lebih jauh
  tentang ini. Karena persoalan tentang bagian yang tak dapat dibagi-bagi telah
  didiskusikan begitu panjangnya dan para filsuf mempunyai sejumlah argumen
  matematis untuk itu, yang apabila kami kemukakan, akan menjadikan diskusi
  berikut ini semakin panjang. Salah satu dari argumen-argumen itu dapat
  dikemukakan di sini. Yaitu:
“Apabila atom individual berada diantara dua
  atom yang lain, bukankah salah satu dari kedua sisinya berhubungan dengan hal
  yang sama seperti yang lain, atau berhubungan dengan yang lain? Mustahil bahwa
  kedua hal itu akan identik. Karena kedua sisi atom itu akan serupa. Sebab
  apabila A menyentuh B, dan B menyentuh C, maka A akan menyentuh C. Sebaliknya,
  apabila hal-hal yang berhubungan dengan kedua sisi atom itu berbeda-beda, maka
  itu hanya membuktikan penggandaan dan pembagian.”
Kesulitan semacam
  itu tak dapat dipecahkan tanpa suatu diskusi yang panjang. Tapi tidak perlu
  menyelaminya. Maka mari kita alihkan pada sanggahan berikutnya.
Kedua,
  kami katakan: pernyataan Anda bahwa setiap sesuatu yang terdapat di dalam
  tubuh harus dapat dibagi-bagi telah tersanggah oleh keterangan Anda sendiri
  tentang fakultas yang dapat membuat seekor kambing menyadari kebermusuhannya
  dengan seekor serigala. Persepsi itu adalah sesuatu yang tunggal dan tak dapat
  dibagi-bagi. Karena kebermusuhan tidak mempunyai bagian-bagian yang
  sebagiannya dapat diandaikan telah diketahui sedangkan yang lainnya tidak.
  Menurut Anda, persepsi tidak berada di dalam suatu fakultas badani. Karena
  jiwa binatang adalah sesuatu yang terpasang pada tubuh-tubuh dan tidak mampu
  terus hidup sesudah mati. Semua filsuf sepakat dengan pendapat ini. Kalaupun
  mereka mungkin untuk membuat pengandaian tentang pembagian data kelima indra,
  data sensus communis, dan fakultas penyimpan bentuk, mereka tetap tidak
  mungkin untuk mengandaikan pembagian ‘pengertianpengertian ‘yang tidak
  merupakan syarat baginya untuk bertempat di dalam materi.
Apabila
  dikatakan:
Kambing tidak mengetahui kebermusuhan mutlak yang lepas dari
  materi. Ia hanya mengetahui kebermusuhan serigala tertentu yang mempunyai
  penampilan objektif (sikap permusuhan yang dibarengi dengan diri dan
  bentuknya). Tetapi fakultas rasional mengetahui hakikat-hakikat yang lepas
  dari materi person.
Kami akan menjawab:
Kambing mengetahui
  warna dan bentuk (syakl) serigala, lalu mengetahui permusuhannya. Apabila
  warna dan bentuk terpasang pada fakultas penglihatan, dan apabila keduanya
  dapat dibagi-bagi oleh pembagian substratum penglihatan, maka dengan apakah
  kambing itu akan melihat permusuhan? Apabila ia adalah sebuah tubuh, persepsi
  harus dapat dibagi- bagi. Dan saya heran bagaimana persepsi dapat dibagi-bagi?
  Bagaimana keadaan sebagiannya? Apakah setiap bagian persepsi akan merupakan
  persepsi dari seluruh permusuhan? Jika demikian, maka permusuhan itu akan
  diketahui terusmenerus, karena adanya persepsi pada setiap bagian dari
  bagianbagian substratum.
Dengan demikian, ini merupakan kerancuan yang
  menimbulkan keragu-raguan bagi mereka dalam argumen- argumen mereka. Mereka
  harus berusaha untuk membuangnya.
Apabila dikatakan:
Hal
  ini berarti bahwa ada kontradiksi di dalam hal-hal yang dipikirkan (ma’qulat).
  Tetapi yang ma’qulat tidak akan rusak. Meskipun Anda tidak mampu untuk
  meragukan kedua premis itu, yaitu bahwa pengetahuan yang ‘satu ‘tidak
  terbagi-bagi, dan bahwa apa yang tidak terbagi-bagi tidak bisa ada di dalam
  sebuah tubuh yang terbagi-bagi, namun tidak mungkin bagi Anda meragukan
  kesimpulan itu.
Jawaban:
Tujuan kami menulis buku ini hanyalah
  untuk menunjukkan inkonsistensi dan kontradiksi yang terkandung di dalam
  teori-teori dan tesis-tesis para filsuf. Tujuan ini telah tercapai. Sebab kami
  telah menunjukkan bahwa salah satu dari kedua hal-yakni, baik teori tentang
  jiwa rasional maupun penjelasan tentang fakultas estimatif harus
  dihapuskan.
Kemudian, akan kami katakan, dari kontradiksi ini
  (kontradiksi yang terdapat dalam tesis-tesis mereka) jelas bahwa para filsuf
  tidak tahu di mana letak kerancuan dalam silogisme mereka. Barangkali sumber
  kerancuannya adalah pernyataan mereka bahwa, pengetahuan dipasang pada tubuh
  sebagaimana warna dipasang objek yang diwarnai, dan konsekuensinya sebagaimana
  warna dapat dibagi dengan pembagian objek yang diwarnai, pengetahuan juga akan
  terbagi dengan pembagian substratum. Yang tidak cocok di sini adalah
  ‘pemasangan’ (impresi, intiba). Karena bisa jadi hubungan antara pengetahuan
  dan substratumnya berbeda dari hubungan antara warna dan objek yang diwarnai.
  Sehingga dikatakan, ia berbeda dari pernyataan bahwa “ia dihamparkan di atas
  substratum”, “terpasang padanya”, dan “menyebar di sekelilingnya”, sehingga
  jika substratum itu dapat dibagi, maka ia juga bisa dibagi. Adalah mungkin
  bagi pengetahuan untuk dihubungkan dengan substratum•dengan suatu cara yang
  berbeda. Dan model hubungan itu tidak menyebabkan pengetahuan terbagi ketika
  substratumnya dibagi. Tapi pola hubungan itu seperti hubungan pengetahuan
  terhadap kebermusuhan dengan tubuh-fisikis (jisim). Sedangkan pola hubungan
  atributatribut (awsaf, bentuk plural wasf) dengan substratumnya tidak terbatas
  pada satu pola. Dan ia juga bukan merupakan pengetahuan kita tentang
  rincian-rinciannya yang secara mutlak dapat dipercaya. Karenanya, ketetapan
  atas model hubungan itu, tanpa didasarkan pada pengetahuan yang sempurna
  tentang rincian-rincian hubungan tersebut, akan merupakan keputusan-keputusan
  yang tidak dapat dipercaya.
Singkatnya, tidak ada penolakan akan fakta
  bahwa hal-hal yang disebutkan oleh para filsuf menimbulkan suatu praasumsi
  yang kuat mengenai keraguan. Apa yang ditolak di sini adalah bahwa
  hubunganhubungan dapat diketahui dengan suatu pengetahuan yang jelas, tak
  terbantah dan pasti. Kami telah menunjuk seberapa jauh itu terbuka untuk
  keragu-raguan.
KEDUA
Para filsuf berkata, apabila
  pengetahuan tentang objek pengetahuan “tunggal” yang rasional, yaitu
  pengetahuan yang bebas dari materi, terpasang pada materi dengan cara yang
  sama seperti aksidenaksiden (al-a’rad) terpasang pada substansi- substansi
  fisik, maka sebagaimana ditunjukkan di atas-pembagian substratum fisik juga
  harus membagi pengetahuan itu, sekalipun tidak terpasang pada substratum atau
  terbentang di atasnya.
Tetapi jika kata “terpasang” (intiba) tidak dapat
  disetujui, maka kami bisa beralih pada ungkapan lain. Kami akan bertanya,
  apakah pengetahuan memiliki hubungan (nisbah) dengan “yang mengetahui” atau
  tidak? Mustahil untuk memutus hubungan tersebut. Karena jika hubungan itu
  diputus dari “yang mengetahui” lalu mengapa orang yang mengetahui pengetahuan
  itu menjadi lebih mulia dari orang lain yang juga mengetahuinya? Tetapi
  apabila hubungan itu ada ia mesti tidak lepas dari salah satu dari tiga hal:
  (a) hubungan itu mencakup pada setiap bagian dari bagian-bagian substratum,
  (b) hubungan itu hanya mengena pada bagian tertentu substratum dan tidak
  mengenai pada sebagian yang lain, (c) sama sekali tak ada hubungan dengan satu
  bagian pun dari substratum.
Maka salah jika mengatakan bahwa tidak ada
  suatu hubungan dengan salah satu dari bagian-bagian itu. Karena kalau ada
  hubungan dengan unit-unit, maka juga tidak akan ada hubungan dengan totalitas
  unit-unit itu. Kumpulan dari hal-hal yang berbeda adalah suatu hal yang
  berbeda.
Juga salah jika mengatakan bahwa masing-masing bagian yang
  ditetapkan memiliki hubungan dengan esensi pengetahuan. Karena jika hubungan
  itu adalah hubungan dengan esensi pengetahuan, maka pengetahuan tentang satu
  persatu dari bagian-bagian bukan merupakan bagian dari pengetahuan, tapi ia
  adalah pengetahuan itu sendiri sebagaimana adanya. Maka secara aktual ia akan
  berkali-kali menjadi objek akal, tanpa terhingga.
Tetapi apabila setiap
  bagian mempunyai hubungan dengan esensi pengetahuan yang berbeda dari esensi
  bagian yang lain, maka esensi pengetahuan secara konseptual dapat dibagi-bagi.
  Dan kami telah menunjukkan bahwa pengetahuan tentang satu hal yang diketahui,
  dalam segala seginya, secara konseptual tak dapat dibagibagi. Akhirnya,
  apabila setiap bagian dari substratum mempunyai suatu hubungan dengan sesuatu
  hal yang di luar esensi pengetahuan yang berbeda dari apa yang dengannya
  bagian yang lain dihubungkan, maka pembagian pengetahuan kerena hubungan ini
  akan lebih jelas terbukti. Dan pembagian itu mustahil.
Dari sini
  akan terlihat bahwa data indra yang terpasang pada kelima indra hanyalah
  representasi-representasi dari bentuk- bentuk yang khusus dan yang dapat
  dibagi-bagi. Sebab persepsi berarti penampakan imej (misal) dari apa yang
  dipersepsi di dalam jiwa orang yang melakukan persepsi. Dan setiap bagian dari
  imej indriawi itu mempunyai hubungan dengan bagian dari organ fisik.
Sanggahan
Sanggahan
  kami pada argumen ini sama seperti sanggahan kami sebelumnya. Sebab mengganti
  kata intiba’ (pemasangan) dengan kata nisbah (hubungan) tidak menghilangkan
  kerancuan kesan permusuhan serigala pada fakultas estimatif kambing,
  sebagaimanadigambarkanolehmereka. Jelas, kambingmempunyai suatu persepsi, dan
  persepsi tersebut memiliki hubungan (nisbah) dengannya, dan pada hubungan itu
  terdapat keniscayaan seperti yang telah Anda sebutkan. Permusuhan bukanlah
  suatu hal yang dapat ditakar atau diukur sehingga imejnya terpasang pada tubuh
  yang dapat diukur, dan yang bagian-bagiannya berhubungan dengan bagian-bagian
  lain dari tubuh tersebut. Dapat diukurnya tubuh serigala tidak cukup. Karena
  serigala mengetahui suatu hal lain di samping tubuh dan ‘sesuatu ‘itu adalah
  permusuhan, pertentangan, atau kekuasaan. Permusuhan ini yang merupakan
  tambahan bagi tubuh tidak mempunyai kuantitas atau ukuran. Namun demikian, ia
  diketahui oleh suatu tubuh yang terukur. Karenanya, dengan cara ini, argumen
  yang ada tak kurang problematis dibanding argumen sebelumnya.
Apabila
  seseorang berkata:
Mengapa Anda tidak menyerang balik argumen-argumen ini
  dengan mengatakan bahwa pengetahuan berada di dalam suatu substansi yang tak
  dapat dibagi-bagi (atom individual) meskipun ia menempati ruang?
Kami
  akan menjawab:
Teori tentang atom individual berhubungan dengan
  matematika dan penjelasan tentang atom individual memerlukan diskusi yang
  panjang. Di samping itu, teori itu pun tidak akan dapat menghilangkan semua
  kerumitan. Karena mau tidak mau kekuasaan dan kehendak harus juga berada di
  dalam atom individual. Perbuatan manusia tak dapat diketahui tanpa kekuasaan
  dan kehendak. Kekuasaan untuk menulis ada di tangan dan jari-jari. Tetapi
  pengetahuan tentangnya tidak berada di tangan. Karena dengan terpotongnya
  tangan, pengetahuan tidak hilang. Kehendak pun tidak di tangan. Sebab
  seseorang dapat berkehendak untuk menulis, meskipun tangannya lumpuh. Apabila
  dalam keadaan tersebut, seseorang tidak bisa menulis, halangan itu
  diatributkan pada tidak adanya kekuasaan, bukan pada tidak adanya kehendak.
KETIGA
Apabila
  pengetahuan berada pada bagian dari tubuh, maka bagian itu-yang berbeda dari
  semua bagian-bagian lain dari tubuh manusia-akan merupakan entitas yang
  mengetahui (‘alim). Tetapi manusia disebut seorang yang mengetahui (‘alim),
  dan kapasitas sebagai yang mengetahui (‘alimiyyah) merupakan sifat Ini adalah
  hal yang lucu. Sebab manusia juga disebut orang yang melihat, mendengar, dan
  yang merasa. Atribut-atribut ini juga disandangkan pada binatang. Hal itu
  tidak menunjukkan bahwa persepsi indriawi tidak berada di dalam tubuh. Tapi
  merupakan jenis pembolehan dalam penggunaan kata. Misalnya, dikatakan: “Dia
  berada di Baghdad.” Meskipun orang itu secara aktual hanya berada di satu
  bagian dari Baghdad, tidak pada keseluruhan Baghdad. Tetapi dia dihubungkan
  dengan keseluruhan kata Baghdad tersebut.
KEEMPAT
Apabila
  pengetahuan berada di bagian tertentu dari tubuh, katakanlah di hati atau
  otak, maka akan mungkin bagi lawannya (kebodohan) untuk berada di bagian lain
  dari hati atau otak. Lalu seseorang dapat menjadi “yang mengetahui” atau “yang
  tidak tahu” dalam waktu yang bersamaan dan terkait dengan hal yang sama.
  Karena hal seperti itu mustahil, maka jelas bahwa substratum pengetahuan itu
  juga adalah substratum kebodohan. Mustahil dua hal yang bertentangan akan ada
  di dalam substratum ini. Apabila ia dapat dibagi-bagi, eksistensi pengetahuan
  pada satu bagian dan eksistensi kebodohan di bagian lain akan tidak mustahil.
  Karena dua hal bertentangan yang berada di dua tempat yang berbeda tidak
  eksklusif secara mutual. Misalnya, warna campuran yang terdiri dari warnawarna
  yang berbeda pada seekor kuda yang sama, tetapi di tempat yang berbeda-beda.
  Demikian juga kehitaman dan keputihan berada di sebuah mata yang sama, tetapi
  di bagian-bagiannya yang berbeda.
Hal ini tidak harus demikian
  dalam hal indra. Sebab persepsipersepsi indra tidak mempunyai
  kontradiksi-kontradiksi. Tapi ia hanya kadang-kadang mengetahui dan
  kandang-kadang tidak. Dan di antara dua keadaan itu terdapat antitesa wujud
  dan tidak wujud (being dan non-being). Mau tidak mau, harus kami katakan bahwa
  seseorang dapat mengetahui dengan salah satu dari bagian-bagian organ
  tubuhnya, seperti mata atau telinga, dan tidak dengan keseluruhan tubuh. Tidak
  ada kontradiksi yang terkandung di dalam pernyataan tersebut.
Pernyataan
  ini tidak dapat digantikan dengan pernyataan Anda bahwa kapasitas sebagai
  “yang mengetahui” bertentangan dengan kapasitas sebagai “yang bodoh”, sedang
  ketetapannya berlaku pada tubuh secara keseluruhan. Karena mustahil bahwa
  ketetapan (hukm) itu harus direferensikan kepada sesuatu hal selain substratum
  dari sebab keputusan. Maka “yang mengetahui” adalah substratum di mana
  pengetahuan berada. Apabila sebutan itu diberikan kepada keseluruhan dari
  tempat di mana substratum merupakan bagiannya, maka akan menjadi penggunaan
  kata yang metaforik. Misalnya, seseorang dikatakan berada di Baghdad. Padahal
  dia hanya berada di sebagian dari Baghdad. Demikian pula, seseorang dikatakan
  sebagai “yang melihat”, meskipun kenyataannya ketetapan penglihatan tidak
  berlaku pada tangan atau kaki, tetapi hanya mengacu pada mata secara
  eksklusif. Pertentangan antara ketetapan-ketetapan itu bagaikan pertentangan
  antara sebab-sebabnya. Karena ketetapanketetapan secara eksklusif mengacu
  kepada substratum sebab-sebab.
Pendapat ini tidak dapat disalahkan oleh
  perkataan seseorang bahwa substratum pada manusia yang mempunyai kemampuan
  untuk menerima pengetahuan dan kebodohan
 
Imam Al-Gazali
adalah
  sama, dan bahwa pengetahuan serta kebodohan datang padanya sebagai sesuatu
  yang bertentangan. Sebab Anda telah mengatakan bahwa setiap tubuh yang hidup
  mampu menerima pengetahuan dan kebodohan. Anda tidak menetapkan syarat lain
  kecuali kehidupan. Dan menurut Anda, seluruh bagian-bagian tubuh adalah sama
  dalam menerima pengetahuan.
Sanggahan
Pandangan ini bisa
  berbalik menyerang Anda dalam persoalan libido, kerinduan, dan kehendak.
  Karena hal-hal ini dimiliki oleh binatang dan manusia serta terpasang pada
  tubuh- tubuh. Mustahil bahwa seekor binatang atau seorang manusia akan
  membenci apa yang dicintainya, sehingga terkumpul pada dirinya kebencian dan
  kecintaan pada hal yang serupa, sehingga kebencian bertempat di satu
  substratum dan kecintaan bertempat di substratum yang lain. Tetapi ini tidak
  membuktikan bahwa kebencian dan kecintaan tidak berada di dalam tubuh. Alasan
  mengapa kombinasi sifat-sifat tersebut mustahil adalah bahwa, meskipun jumlah
  dari fakultasfakultas ini banyak, dan mereka didistribusikan di antara
  organ-organ yang berbeda-beda, mereka terikat bersama oleh satu ikatan, yaitu
  ikatan jiwa. Ikatan ini ada pada diri manusia juga pada binatang. Maka dengan
  ikatan yang mengikat mereka secara bersama, mustahil bagi fakultas-fakultas
  yang berbeda-beda untuk memperoleh hubungan hubungan yang-dengan referensi
  pada ikatan tersebuteksklusif secara mutual. Tetapi ini tidak membuktikan
  bahwa jiwa tidak terpasang pada tubuh, sebagaimana juga pada binatang.
KELIMA
Apabila
  akal mengetahui hal-hal yang masuk akal (ma’qulat) dengan alat-alat atau
  organ-organ tubuh, ia tidak akan mengetahui dirinya sendiri. Tetapi naqid
  at-tali (pernyataan kedua) adalah mustahil. Sebab akal tidak mengetahui
  dirinya sendiri. Dengan demikian naqid al-muqaddam (pernyataan pertama) juga
  harus mustahil.
Kami akan mengatakan:
Tak diragukan
  bahwa naqid al-muqaddam dihasilkan dari kesimpulan yang diperoleh dari
  interpelasi (istisna) naqid at-tali. Tetapi ini hanya terjadi apabila terbukti
  bahwa tidak ada hubungan yang harus ada antara at-tali dan al-muqaddam. Kini,
  di dalam argumen Anda, tidak jelas apakah hubungan antara keduanya adalah
  niscaya. Bagaimanakah Anda akan membuktikannya?
Jika
  dikatakan:
Argumennya adalah bahwa dengan berada di dalam tubuh,
  penglihatan (ibsar) tidak berhubungan dengan penglihatan, pandangan tidak
  terlihat dan pendengaran tidak terdengar. Demikian juga seluruh indra yang
  lain. Maka apabila akal juga hanya dapat mengetahui melalui suatu organ tubuh,
  ia tidak akan mengetahui dirinya sendiri. Tetapi sebenarnya, akal mengetahui
  dirinya, sebagaimana ia mengetahui apa yang selain dirinya. Setiap orang dari
  kita mengetahui dirinya sendiri sebagaimana dia mengetahui yang lain. Kami
  juga mengetahui bahwa kami mengetahui diri kami sendiri serta yang lain.
Kami
  akan menjawab:
Yang Anda sebutkan tidak bisa dibenarkan, berdasarkan dua
  alasan.
Pertama, menurut kami, tidak menutup kemungkinan bagi penglihatan
  untuk berhubungan dengan dirinya sendiri, sehingga menjadi penglihatan bagi
  yang lain serta bagi dirinya sendiri, sebagaimana pengetahuan yang dimiliki
  oleh seseorang di antara kita adalah pengetahuan tentang yang lain serta
  tentang dirinya sendiri. Meskipun hal tersebut bertentangan dengan kebiasaan
  yang berlaku, namun kami menerima kemungkinan untuk keluar dari kebiasaan
  itu.
Alasan kedua justru lebih kuat. Kami menerima kemustahilan persepsi
  diri ini dalam hal indra-indra. Tetapi mengapa Anda katakan bahwa apabila hal
  itu tak dapat diaplikasikan pada sebagian dari indra, maka dianggap tidak
  dapat diaplikasikan pada sebagian yang lain? Apa sulitnya untuk memercayai
  bahwa keputusan tentang indra-indra sehubungan dengan persepsi dapat berbeda
  dari satu hal ke hal yang lain, meskipun semua indra sama-sama merupakan organ
  fisik? Kenyataannya, penglihatan dan sentuhan berbeda. Karena persepsi faktual
  tidak diperlukan sampai ada kontak antara objek dan organ sentuh. Demikian
  pula halnya dengan indra rasa. Sedangkan bagi penglihatan hal itu berbeda.
  Adanya jarak dalam kontak mata dengan benda merupakan syarat bagi persepsi
  visual, sehingga apabila mata tertutup, warna kelopak mata tak terlihat karena
  kontak langsungnya dengan organ penglihatan.
Perbedaan antara
  penglihatan dan sentuhan ini tidak membuat keduanya berbeda dalam hal
  ketergantungan pada tubuh. Maka tidak diragukan bahwa di dalam indra fisik
  terdapat sesuatu yang disebut akal. Ia berbeda dengan lainnya, bahwa ia
  mengetahui dirinya sendiri.
‘KEENAM
Mereka mengatakan
  bahwa kalau akal mengetahui suatu organ fisik seperti indra penglihatan, maka
  seperti indra-indra yang lain, ia tidak akan dapat mengetahui organ itu.
  Tetapi ternyata, ia mengetahui otak, hati atau apa saja yang disebut organ.
  Ini menunjukkan bahwa akal tidak mempunyai organ atau substratum. Sebab kalau
  tidak, ia tidak akan dapat mengetahuinya.
Sanggahan:
Sanggahan
  kami kepada argumen ini sama seperti yang sebelumnya. Tidak diragukan bahwa
  penglihatan mengetahui substratumnya sendiri meskipun di sini timbul persoalan
  tentang apa yang berjalan menurut biasanya.
Atau akan kami katakan,
  seperti sebelumnya, mengapa mustahil bagi indra-indra untuk berbeda dalam
  pengertian ini, meskipun semuanya terpasang pada tubuh? Mengapa Anda katakan
  bahwa tidak ada suatu pun yang ada pada tubuh dapat mengetahui substratum
  fisiknya? Mengapa Anda membuat suatu keputusan universal yang didasarkan pada
  hal-hal partikular (juz’iyyat)?
Ini merupakan prosedur yang
  disepakati kesalahannya. Logika memberi tahu kita agar menetapkan yang
  universal dari sebab pertikular atau partikularia yang berjumlah banyak.
  Misalnya, dipercaya bahwa setiap binatang menggerakkan rahang bawahnya ketika
  makan. Kesimpulan ini dibuat karena, melalui observasi induktif terhadap
  binatang binatang, kita temukan bahwa semua binatang yang kita lihat sama-sama
  menggerakkan rahang bawahnya. Hal itu terjadi karena kelalaian kita akan fakta
  bahwa buaya menggerakkan rahang atasnya ketika makan.
Para filsuf hanya
  memerhatikan kelima indra melalui observasi induktif. Dengan mendapatkan
  indra-indra ini terdiri dari suatu segi tertentu, mereka pun menetapkan suatu
  keputusan atas semua indra. Namun, barangkali, akal adalah jenis indra yang
  mempunyai hubungan yang sama pada semua indra- indra yang lain sebagaimana
  buaya pada semua binatang yang lain. Karenanya, berdasar pandangan ini,
  indra-indra-meskipun bersifat fisik secara umum-akan dapat dibagi-bagi ke
  dalam (1) yang dapat mengetahui dan (2) yang tidak dapat mengetahui
  substratum. Kenyataannya indra-indra telah dibagi-bagi ke dalam (1) yang
  mengetahui objek indra ketika objek itu tidak ada hubungannya dengan indra itu
  (seperti penglihatan), dan
(2)    yang tidak mengetahui
  sampai pada kontak tertentu (seperti, indra rasa dan sentuh).
Deskripsi
  yang diberikan oleh para filsuf tidak bisa menumbuhkan keyakinan, betapa pun
  pendapatnya masuk akal.
Jika dikatakan:
Kami tidak hanya
  berpedoman pada observasi induktif inderawi, tetapi juga pada argumen rasional
  (burhan). Kami katakan bahwa jika hati atau otak adalah jiwa manusia, maka
  manusia tidak akan tidak mengetahuinya atau kehilangan persepsi tentangnya.
  Tapi ia akan selalu mengetahuinya, sebagaimana ia tidak pernah lepas dari
  persepsi tentang diri. Esensi (zat) seseorang tidak akan pernah tidak tahu
  terhadap esensi diri orang tersebut. Justru ia akan selalu mengafirmasi
  dirinya di dalam dirinya. Tetapi selama tidak mendengar pembicaraan tentang
  hati atau otak atau memerhatikan orang lain secara anatomis, orang tidak akan
  pernah mengetahui dan menyakini eksistensinya. Maka jika akal berada dalam
  tubuh, maka seharusnya ia bisa mengetahui tubuh selamanya (Jika ia tidak
  disamakan dengan indra, artinya ia bisa mengetahui dirinya) atau tidak
  mengetahuinya sama sekali (jika dianggap sama dengan indra yang lain yang
  tidak bisa mengetahui dirinya sendiri). Tetapi tak ada yang benar dari kedua
  alternatif ini. Karena kadang-kadang sebuah organ tubuh bisa diketahui,
  kadang-kadang tidak.
Hal ini dapat diverifikasi sebagai berikut: persepsi
  (idrak) yang berada di dalam suatu substratum mengetahui substratum itu karena
  adanya hubungan (nisbah) antara keduanya. Tak dapat dibayangkan bahwa persepsi
  mempumyai hubungan lain pada substratum itu selain hubungan bertempatnya ia di
  dalam substratum itu. Tapi, jika hubungan ini tidak cukup, ia tidak akan
  pernah mengetahui substratum, sejauh ia bisa tidak mempunyai hubungan lain
  dengan substratum daripada hubungan keberadaannya di dalam substratum itu,
  sebagaimana bisa ia mengetahui dirinya sendiri, ia akan mengetahui dirinya
  selama-lamanya, dan sama sekali tidak akan pernah lupa terhadapnya.
Kami
  akan menjawab:
Manusia selalu sadar akan dirinya sendiri dan tidak akan
  pernah lupa terhadapnya. Sebab dia sadar akan raganya (jasad) dan konstitusi
  tubuhnya (jisim). Memang, nama, bentuk atau figur hati tidak definit
  (tertentu) di dalam kesadarannya. Namun ia mengafirmasi dirinya sendiri
  sebagai fisik sehingga mengafirmasi dengan acuan pada pakaian-pakaian dan
  rumahnya. Tetapi diri yang disebut oleh para filsuf, tidak serupa dengan rumah
  atau pakaian-pakaian. Maka afirmasi terhadap dasar dari tubuh tidak dapat
  dipisahkan dari kesadaran diri. Jika seseorang lupa terhadap figur atau
  namanya, maka ia akan seperti kelupaannya pada substratum ‘penciuman’ (syamm),
  yaitu tonjolan di bagian depan otak yang menyerupai dua buah dada. Setiap
  orang tahu bahwa ia mengetahui penciuman dengan tubuhnya. Tetapi setiap orang
  tidak membuat figur atau bentuk definit dari substratum persepsi, meskipun dia
  tahu bahwa substratum itu lebih dekat pada kepala daripada punggung atau lebih
  dekat pada bagian dalam hidung daripada bagian dalam telinga. Demikian pula,
  manusia sadar akan dirinya sendiri dan mengetahui bahwa ego atau personalitas
  (hawiyah) dirinya yang membentuknya lebih dekat kepada hatinya daripada kepada
  kakinya. Sebab dia dapat mengandaikan kekekalan ego ketika kaki sudah tidak
  ada lagi. Tetapi dia tidak dapat mengandaikan keabadian ego ketika hati tidak
  ada.
Maka jelas bahwa pernyataan para filsuf bahwa kadang- kadang manusia
  sadar terhadap tubuhnya dan kadang-kadang tidak adalah tidak benar.
KETUJUH
Mereka
  menyatakan bahwa fakultas-fakultas perseptif (alquwwah al-mudrikah) yang
  mengetahui dengan organ- organ fisik dilelahkan oleh aktivitas-melakukan
  persepsi yang berkesinambungan. Sebab gerak yang berkesinambungan merusak
  tabiat tubuh dan membebaninya.
Demikian pula hal-hal yang kuat yang
  diketahui melalui pengerahan tenaga yang intens dapat melemahkan fakultas-
  fakultas ini, bahkan merusaknya sehingga tidak mampu lagi untuk mengetahui hal
  yang lebih lemah dan lebih lembut, seperti suatu yang keras bagi daya
  pendengaran atau sinar yang kuat bagi daya penglihatan. Kedua efek merusak itu
  membuat telinga atau mata tidak mampu untuk menangkap suara yang lemah atau
  hal yang terlihat sekejap. Bahkan orang yang telah mencicipi rasa manis luar
  biasa tidak akan mampu mengetahui rasa yang tingkat kemanisannya masih di
  bawahnya.
Sebaliknya mengenai fakultas rasional (al-quwwah al-
  ’aqliyyah). Perhatiannya yang intens dan berkesinambungan terhadap objekobjek
  pemikiran (ma’qulat) tidak akan membuatnya lelah. Pengetahuan mengenai hal-hal
  yang lebih jelas-yang kebenarannya niscaya terbukti (daruriyyah)-dapat
  menguatkannya mengetahui hal-hal yang kurang jelas-hal-hal yang diketahui
  dengan pengetahuan inferensial. Jika pada suatu saat fakultas rasional
  menampakkan kelelahannya, itu karena ia telah menggunakan dan meminta bantuan
  fakultas imajinatif (al- quwwah al-khayaliyyah). Maka ia akan melemahkan organ
  fisik dari fakultas imajinatif sehingga organ itu tidak akan melayani akal
  lagi.
Inilah teknik serupa yang digunakan para filsuf sebelumnya.
  Kami akan mengajukan reafirmasi bahwa tidak diragukan bagi indra-indra fisik
  untuk berbeda-beda dalam hal ini. Apa yang ditetapkan oleh sebagian indra
  tidak harus ditetapkan juga oleh indra yang lain. Bahkan tidak mustahil
  terjadi perbedaan tangkapan antar indra, sehingga beberapa darinya dapat
  dilemahkan oleh satu bentuk gerak tertentu, sedang yang lain berada di suatu
  posisi yang justru dikuatkan yang bagaimana pun juga memberikan pengaruh
  atasnya. Dengan asumsi ini, berarti di sana ada sebab yang memperbarui
  kekuatan tubuh, tanpa merasakan adanya pengaruh di dalamnya.
Maka semua
  asumsi ini adalah mungkin. Sebab keputusan yang ditetapkan terhadap beberapa
  hal tidak harus berlaku pada semua hal.
KEDELAPAN
Para
  filsuf menyatakan bahwa bagian-bagian tubuh akan melemah dayanya-setelah
  mencapai pertumbuhan puncak dan tidak tumbuh lagi-ketika memasuki umur empat
  puluh dan seterusnya. Sejak saat itu hingga seterusnya, penglihatan atau
  fakultas fisik yang lain melemah lebih cepat daripada biasanya. Tetapi pada
  umumnya, fakultas rasional tumbuh menguat pada masa itu dan sesudahnya.
Kebiasaan
  ini tidak tertolak oleh fakta adanya kesulitan memahami objek-objek pemikiran
  (ma’qulat) ketika penyakit menyerang pada tubuh atau ketika kepikunan datang
  sebab ketuaan. Selama jelas bahwa fakultas rasional menguat bersama dengan
  melemahkan badan pada sementara keadaan, maka akan jelas pula yang pertama
  adalah berdiri sendiri secara independen. Lalu meskipun di beberapa kondisi
  kekacauan fakultas rasional terjadi bersamaan dengan ke kacauan tubuh, itu
  tidak berarti bahwa yang pertama tergantung pada tubuh. Karena jika (di dalam
  silogisme hipotetis) konsekuen (at-tali) sendiri terinterpelasi, tidak ada
  kesimpulan yang bisa diperoleh. Dalam konteks ini kami akan mengatakan:
Apabila
  fakultas rasional berada di dalam tubuh, kelemahan tubuh akan melemahkannya
  tanpa kecuali.
•    Tetapi konsekuen ini adalah sesuatu
  yang mustahil.
•    Maka antiseden (al-muqaddam) menjadi
  mustahil.
•    Tapi jika kami katakan bahwa konsekuen ada
  di dalam beberapa kasus, maka itu tidak mengharuskan agar antiseden ada.
Kemudian
  sebab dari (independensi fakultas rasional) adalah bahwa jiwa mempunyai suatu
  perbuatan dengan dirinya sendiri, bila tidak diganggu oleh, atau disibukkan
  dengan, suatu apa pun. Hakikatnya, secara umum, jiwa mempunyai dua fungsi:
  yang satu berhubungan dengan tubuh (mencakup arah atau kontrol terhadapnya),
  dan yang lain berhubungan dengan prinsip-prinsip dan esensinya (menyangkut
  pengertian terhadap hal-hal yang dapat dipikirkan [ma’qulat]). Kedua fungsi
  ini eksklusif secara mutual (mumtani) dan bertentangan satu sama lain
  (muta’anid). Maka jika jiwa disibukkan dengan satu hal, maka ia dibelokkan
  dari yang lain. Mustahil baginya untuk memadukan keduanya.
Hal-hal yang
  dapat menyibukkannya yang datang dari fisik meliputi sensasi, imajinasi,
  hasrat, kemarahan, ketakutan, kegelisahan, dan penyakit. Ketika Anda mulai
  berpikir tentang hal-hal yang dapat dipikirkan, efek dari semua hal yang
  membelokkan ini, pada Anda, tetap terhalang. Seringkali, sensasi saja
  menghalangi pengertian akan hal-hal yang dapat dipikirkan, meskipun organ akal
  tidak menderita sakit atau esensinya tidak kacau. Sebab dari semua itu adalah
  kesibukan jiwa dengan satu fungsi dengan mengorbankan fungsi yang lain. Karena
  itu, fungsi intelektual terganggu ketika muncul rasa sakit, menjangkitnya
  suatu penyakit dan timbulnya rasa takut. Sebab semuanya itu adalah penyakit di
  dalam otak.
Bagaimana perbuatan-perbuatan jiwa pada dua arah yang berbeda
  dapat secara mutual eksklusif? Sebab eksklusif mutual (tamannu’) timbul dari
  multiplisitas bahkan pada satu dan arah yang sama. Misalnya, rasa takut
  membuat seseorang lupa rasa sakit, hasrat keinginan membuatnya lupa marah dan
  penyelidikan terhadap satu hal yang dipikirkan membuatnya lupa pada objek
  pemikiran lainnya.
Suatu indikasi bahwa rasa sakit yang menimpa tubuh’
  tidak memengaruhi substratum kognisi adalah ketika seseorang kembali sehat,
  maka dia tidak perlu mempelajari pengetahuan- pengetahuan yang sebelumnya.
  Sebaliknya, keseluruhan jiwanya kembali seperti semula. Karenanya, semua
  pengetahuan yang dimiliki sebelumnya datang kembali tanpa perlu belajar
  lagi.
***
Sanggahannya kami dapat mengatakan:
Bertambah
  atau berkurangnya fakultas-fakultas adalah karena sebab-sebab yang tak
  terhitung banyaknya. Sebagian lagi di umur akhir. Klasifikasi ini juga berlaku
  pada akal. Para filsuf hanya dapat mengklaim suatu pengetahuan tentang
  sebab-sebab bertambah dan berkurangnya fakultas dalam kerangka kebiasaan atau
  fenomena umumnya.
Bukan sesuatu yang mustahil-meskipun sama dalam hal
  subsistensi tubuh-bahwa penglihatan dan penciuman berbeda- beda satu sama
  lain. Perbedaan ini dapat timbul di dalam indra penciuman yang tumbuh menguat
  setelah umur empat puluh tahun, sedangkan indra penglihatan bisa melemah.
  Kenyataannya, fakultas-fakultas ini berbeda pada binatang-binatang. Beberapa
  binatang mempunyai indra penciuman yang kuat, sedangkan yang lain mempunyai
  indra pendengaran yang kuat, dan yang lain mempunyai penglihatan yang begitu
  kuat. Perbedaan- perbedaan tersebut timbul dari konstitusikonstitusi binatang
  yang berbeda. Dan mustahil untuk memberikan penjelasan luas tentang perbedaan
  konstitusi itu.
Maka bukan tidak masuk akal untuk menyatakan bahwa
  konstitusi-konstitusi organ indra berbeda-beda di antara individu individu
  dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Salah satu alasan mengapa lemahnya
  penglihatan mendahului lemahnya akal barangkali karena penglihatan lebih
  dahulu mulai beraktivitas daripada akal. Aktivitas penglihatan dimulai sejak
  saat paling awal dari kehidupan, sedangkan akal baru matang pada umur lima
  belas tahun atau bahkan lebih, sebagaimana banyak kita lihat pada banyak
  orang. Demikian juga bisa dikatakan bahwa uban pada rambut kepala lebih awal
  daripada jenggot, karena rambut kepala tumbuh lebih awal.
Orang
  yang hendak berbicara panjang lebar tentang sebab- sebab ini dan tidak mau
  mengembalikan persoalan-persoalan ini pada kerangka kebiasaan, ia tidak akan
  mungkin mendasarkan pengetahuan yang dapat diandalkan atas dasar fakta-fakta
  tersebut. Karena hipotesa-hipotesa mengenai sebab-sebab bagi kuat dan lemahnya
  fakultas-fakultas itu tak terhitung jumlahnya. Menyandarkan diri hanya pada
  salah satu dari fakultas-fakultas itu-seperti dilakukan para filsuf-tidak bisa
  membentuk keyakinan.
KESEMBILAN
Bagaimana manusia bisa
  menjadi istilah bagi tubuh dengan aksiden-aksidennya? Tubuh-tubuh itu
  mengalami perusakan terusmenerus. Apa yang hilang darinya karena rusak
  diperbaiki kembali oleh makanan. Sehingga kita melihat seorang bayi yang lepas
  dari ibunya, ia jatuh sakit dan kurus. Setelah itu, ia mengamuk dan tumbuh.
  Lalu tidak menutup kemungkinan untuk mengatakan bahwa tidak ada yang tersisa
  padanya, setelah umur empat puluh, sesuatu dari bagian-bagian yang dimilikinya
  ketika bayi, saat berpisah dari ibunya. Bahkan wujudnya yang pertama hanyalah
  berupa bagianbagian dari sperma. Tetapi pada tahap umurnya yang lebih lanjut,
  tidak ada setetes sperma pun yang tersisa padanya. Sebab semua bagian-bagian
  itu telah lenyap dan digantikan oleh unsur yang lainnya. Karenanya, tubuh yang
  “ini” bukanlah tubuh yang “itu”. Dan kita katakan bahwa “manusia ini” adalah
  identik dengan “manusia itu”, dan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang
  diperolehnya pada masa kanak- kanak masih tetap ada padanya, meskipun semua
  bagian fisiknya telah berubah dan berganti. Ini menunjukkan bahwa eksistensi
  jiwa lain dari tubuh, dan bahwa tubuh adalah alat bagi jiwa.
Sanggahan
Hipotesa-hipotesa
  ini menjadi tidak valid dalam konteks dunia binatang dan tetumbuhan, jika
  keadaan awal (muda) dan akhir (tua) dari wujudnya diperbandingkan. Sebagaimana
  manusia dikatakan sama, maka binatang dan tetumbuhan juga sama sebagaimana
  adanya dahulu. Dan hal ini tidak membuktikan bahwa binatang atau tetumbuhan
  mempunyai eksistensi yang lain daripada fisikalnya.
Kemudian, ingatan
  atas bentuk-bentuk yang diimajinasikan menyanggah apa yang telah dikatakan
  para filsuf tentang pengetahuan. Karena bentuk-bentuk yang diimajinasikan
  tetap ada sejak dari masa kanak-kanak hingga usia lanjut, meskipun semua
  bagian otak telah berubah. Apabila di sini para filsuf menyatakan bahwa semua
  bagian otak tidak berubah, maka demikian pula seluruh bagian hati. Karena hati
  dan otak sama-sama fisik. Dalam hal ini, bagaimana dibayangkan bahwa
  keseluruhan tubuh menjadi mungkin untuk berubah?
Kami bahkan hendak
  mengatakan bahwa meskipun manusia hidup seratus tahun, misalnya, tentu masih
  ada sisa bagian-bagian sperma (bapak-ibunya), sekecil apa pun. Ia tidak akan
  bisa lenyap total. Sebab manusia adalah berdasarkan sesuatu yang telah ada
  pada dirinya. Keadaannya tidak berbeda dari keadaan sebuah pohon atau seekor
  kuda yang tetap ada pada tingkat ini sama seperti pada tingkat itu. Maka,
  meskipun terjadi banyak kerusakan dan perubahan, bagian-bagian sperma (sebagai
  bahan asal) akan tetap adanya.
Ilustrasinya sebagai berikut. Tuangkan
  semangkuk air ke dalam sebuah tempat. Kemudiaan tuangkan air yang lain
  sehingga keduanya bercampur. Ambillah semangkuk darinya dan tuangkan lagi ke
  dalamnya. Sekali lagi, ambil semangkuk darinya, dan tuangkan yang lain ke
  dalamnya. Demikian, lakukan sampai seribu kali. Maka pada terakhir kalinya,
  kita akan dapat menetapkan bahwa bagian dari air yang pertama tetap ada (di
  dalam tempat air itu), dan bahwa apa yang diambil dari mangkuk itu tidak lain
  kecuali merupakan bagian dari air pertama yang ada di dalamnya. Karena air
  yang pertama ada di dalam air yang kedua, dan air yang ketiga merupakan bagian
  dari air yang kedua, air yang keempat adalah bagian dari air yang ketiga, dan
  begitu seterusnya hingga yang terakhir.
Berdasar prinsip mereka inilah
  saya menyimpulkan. Sebab mereka menerima kemungkinan pembagian tubuh-tubuh
  tanpa batas. Maka penyerapan makanan ke dalam tubuh di satu segi, dan
  kehancuran bagian-bagiannya di segi lain, dapat dibandingkan dengan penuangan
  air ke dalam sebuah tempat dan pengosongan air darinya.
KESEPULUH
Fakultas
  rasional dapat memahami “universalia-universalia umum yang rasional”
  (al-kulliyyat al-’ammah al-’aqliyyah) atau “keadaan-keadaan” (ahwal) menurut
  istilah ahli kalam. Ia mengetahui manusia absolut yang abstrak (mutlaq),
  sedangkan manusia tertentu secara personal diketahui oleh indra. Manusia
  absolut dan abstrak bukanlah diri orang tertentu yang dapat kita saksikan.
  Karena diri orang yang dapat diamati berada pada suatu tempat tertentu,
  mempunyai warna tertentu, ukuran tertentu, dan posisi tertentu. Sedang manusia
  absolut yang abstrak bebas dari semua itu. Ia meliputi semua yang termasuk ke
  dalam kategori atau istilah ‘manusia’, bahkan juga manusia yang mungkin
  eksistensinya di masa mendatang (belum ada sekarang). Lebih lanjut, kalau pun
  manusia telah habis sama sekali, hakikat manusia-yang bebas dari sifat-sifat
  tertentu-tetap ada di dalam dunia akal yang terlepas dari berbagai spesifikasi
  tersebut. Demikian pula segala objek tertentu lainnya yang teramati oleh
  indra-indra. Karena akal mengabstraksi-dari indra-indra itu-realitas universal
  yang bebas dari materi dan posisi. Sifat-sifat realitas universal dapat dibagi
  ke dalam: (1) sifat-sifat esensial (zati), seperti korporealitas (jismiyyah)
  bagi tumbuh-tumbuhan dan binatang atau animalitas (hayawaniyah) bagi
  manusia-dan (b) sifat-sifat aksidental (‘aradi), seperti sifat putih (bayad)
  atau sifat panjang (tul) bagi manusia atau pohon. Kita memutuskan karakter
  esensial atau aksidental sifat-sifat ini dengan bersandar pada genus-yaitu,
  manusia, pohon atau apa saja yang dapat dipersepsi, tidak bersandar pada objek
  tertentu yang teramati oleh indra.
Ini menunjukkan bahwa hal universal
  yang bebas dari semua asosiasi indriawi adalah objek bagi akal, di mana ia
  berada. Hal universal yang dapat dipikirkan (al-kulli al-ma’qul) ini tidak
  bisa ditunjuk (sebab tidak memiliki dimensi), non-lokal atau tidak berposisi
  dan tidak dapat diukur (karena tidak memiliki kuantitas). Hal universal yang
  dapat dipersepsikan itu dapat memperoleh karakter non-lokalnya dan karakter
  immaterialnya dari:
Sesuatu yang diuniversalisasi (sesuatu yang membentuk
  hal universal). Tetapi ini mustahil. Karena sesuatu yang teruniversalisasi
  memiliki dimensi (wada), posisi (‘ayn) dan kuantitas (miqdar) tertentu.
Atau
  dari sesuatu yang merumuskan universalisasi, yaitu jiwa rasional (nafs
  ‘aqilah). Maka jiwa harus non-lokal, tidak bisa ditunjuk dan tidak
  terkuantifikasi. Jika tidak, artinya jika jiwa mempunyai hal-hal ini, maka apa
  yang ada di dalam jiwa akan memiliki hal-hal itu pula.
Sanggahan
Hal
  universal yang Anda letakkan di dalam akal tidak dapat diterima. Yang bisa
  ditempatkan di dalam akal hanyalah hal yang dapat ditempatkan dalam indra.
  Bedanya, di dalam indra ia hadir sebagai keseluruhan (majmu) yang tidak dapat
  dianalisis, sedangkan akal dapat menganalisisnya.
Ketika dilakukan
  analisis, maka objeknya yang terisolasi dari asosiasi-asosiasinya (al-mufrad
  bi qara’inihi) di dalam akal tetap seperti yang tidak terisolasi dari
  asosiasi-asosiasinya, dalam keberadaannya sebagai sesuatu yang partikular.
  Hanya saja, bedanya, sesuatu yang ada di dalam akal dapat disesuaikan dengan
  objek yang dipikirkan (hal eksternal yang dapat dipersepsi bentuk dan
  analisisnya) dan dengan semua hal lain yang sejenisnya. Maka objek yang
  teranalisis dan lepas dari asosiasi-asosiasinya adalah sesuatu yang universal
  (kulli) dalam pengertian ini. Artinya, di dalam akal terdapat bentuk dari
  sesuatu yang dipikirkan yang telah terisolasi dari asosiasi asosiasinya, yang
  pertama kali diketahui oleh indra. Dan bahwa hubungan bentuk ini dengan semua
  unit genus tersebut adalah satu hubungan dan serupa. Maka, apabila setelah
  melihat manusia, seseorang melihat manusia yang lain, maka dalam pikirannya
  tidak muncul bentuk baru, seperti ketika seseorang melihat seekor kuda setelah
  melihat seorang manusia, yang menimbulkan dua bentuk yang berbeda.
Hal
  tersebut semata-mata terjadi dalam sensasi-sensasi. Ketika seseorang melihat
  air, suatu bentuk terwujud di dalam imajinasinya. Kemudian dia melihat darah,
  bentuk yang lain terwujud di dalam imajinasinya juga. Tetapi kalau dia melihat
  air yang lain (selain air yang dilihat sebelumnya), tidak muncul bentuk baru.
  Tapi bentuk yang telah terpasang pada imajinasinya akan mewakili setiap unit
  air individual-partikular. Karena itu, bentuk-bentuk tersebut sering
  diasumsikan sebagai sesuatu yang universal dalam pengertian ini. Demikian
  pula, ketika seseorang melihat sebuah tangan, muncul di dalam imajinasi dan
  akalnya bentuk dan posisi bagian-bagian tangan yang dihubungkan satu dengan
  yang lain berupa pemekaran telapak tangan, pembagian ke dalam jari-jari, ujung
  jari-jari di kuku-kuku, bahkan ukuran tangan, warnanya, dan sebagainya. Maka
  ketika dia melihat tangan lain persis seperti tangan yang pertama, tidak
  muncul bentuk baru yang berbeda dengan bentuk tangan sebelumnya. Bahkan
  pengamatan yang kedua tidak berpengaruh dalam memberikan sesuatu yang baru
  pada imajinasinya, sebagaimana pengamatan terhadap air lain di tempat yang
  sama dan dengan ukuran yang sama tidak akan memberikan persepsi bentuk baru.
  Tetapi ketika dia melihat tangan lain yang berbeda warna atau ukurannya dari
  tangan yang pertama, maka ia akan melahirkan bentuk yang baru, yaitu bentuk
  warna dan ukuran yang baru. Tetapi tidak melahirkan bentuk tangan yang baru.
  Sebab tangan yang lebih kecil atau yang hitam memiliki bagian-bagian yang sama
  dengan tangan yang lebih besar atau yang putih. Keduanya hanya berbeda warna
  dan ukurannya. Maka apa yang umum (musyarakah) ada pada dua tangan tidak
  melahirkan bentuk baru. Sebab bentuk yang satu identik dengan yang lain. Hanya
  sesuatu yang ada pada tangan kedua yang berbeda dari tangan yang pertama saja
  yang akan menimbulkan bentuk baru.
Inilah arti dari universalia
  (al-kulli) di dalam akal dan indra. Ketika akal mengetahui bentuk tubuh seekor
  binatang, ia tidak memperoleh bentuk baru dari mengetahui bentuk pohon yang
  bersifat korporeal (jismiyyah), sebagaimana imaji tidak memperoleh bentuk baru
  dari persepsi terhadap dua air pada dua saat yang berbeda, atau secara umum
  tidak ada bentuk baru yang diperoleh dari persepsi akan dua hal yang persis
  sama. Pengertian terhadap hal universal ini tidak memberikan dasar bagi
  afirmasi terhadap hal yang universal yang secara mutlak non-lokal.
Sering
  sekali keputusan akal menunjukkan kemungkinan adanya sesuatu yang non-lokal
  dan tidak dapat ditunjuk. Seperti putusannya terhadap adanya pencipta alam.
  Tapi dari mana datangnya ide bahwa eksistensi akal di dalam tubuh tidak bisa
  dibayangkan? Dalam hal pencipta, apa yang diabstraksi dari materi menjadi
  sesuatu dapat dipikirkan pada dirinya sendiri (al- ma’qul bi nafsih), terlepas
  dari akal (‘aql) dan orang yang berakal (‘aqil). Artinya, ia disebut ma’qul
  dengan menimbang esensinya, bukan dengan mempertimbangkan eksistensinya dalam
  akal orang yang melakukan abstraksi. Tetapi bagi sesuatu hal lain yang
  mempunyai dasar di dalam materi, maka penjelasannya adalah seperti yang telah
  kami berikan sebelumnya.[]

