Kitab Kelima: Istidlal

Istidlāl (Inferensi/Deduksi) dalam ushul fikih adalah Argumen Iqtirānī (silogisme kategorial) dan Istithnā'ī (silogisme hipotetik/disjungtif).

Kitab Kelima: Istidlal

Nama kitab/buku: Terjemah kitab Lubbul Ushul
Nama kitab asal: Lubbul Ushul fi Ushul al-Fiqh wad Din (لب الأصول في أصول الفقه والدين)
Pengarang: Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari
Nama lengkap penulis: Syaikhul Islam Abu Yahya Zakariya bin Muhammad  bin Ahmad bin Zakariyah al-Anshari (شيخ الاسلام ابو يحيى زكريا بن محمد بن أحمد بن زكريا الانصاري)
Kelahiran: 1421 M   / 824 H Kairo, Mesir
Wafat: 1520 M / 926 H, Kairo, Mesir
Penerjemah:
Bidang studi: Ushul Fikih madzhab Syafi'i 

Daftar isi

  1. Pengantar Dasar dalam Ushul Fiqh
  2. Kembali ke buku/kitab: Terjemah Lubbul Ushul 

 

الكتاب الخامس في الاستدلال

Kitab Kelima: Istidlal

وهو دليل ليس بنص ولا إجماع ولا قياس شرعي فدخل قطعا الاقتراني و الاستثنائي وقولهم الدليل يقتضي أن لا يكون كذا خولف في كذا لمعنى مفقود في صورة النزاع فتبقى على الأصل وفي الأصح قياس العكس وعدم وجدان دليل الحكم كقولنا الحكم يستدعي دليلا وإلا لزم تكليف الغافل ولا دليل بالسبر أو الأصل لا لقولهم وجد المقتضى أو المانع أو فقد الشرط مجملا.

[مسألة]

الإستقراء بالجزئي على الكلي إن كان تاما فقطعي عند الأكثر أو ناقصا فظني ويسمى إلحاق الفرد بالأغلب.

[مسألة]

الأصح أن استصحاب العدم الأصلي والعموم أو النص وما دل الشرع على ثبوته لوجود سببه إلى ورود المغير حجة إلا إن عارضه ظاهر غالب ذو سبب ظن أنه أقوى فيقدم كبول وقع في ماء كثير فوجد متغيرا واحتمل تغيره به وقرب العهد ولا يحتج باستصحاب حال الإجماع في محل الخلاف فالاستصحاب ثبوت أمر في الثاني لثبوته في الأول لفقد ما يصلح للتغيير أما ثبوته في الأول فمقلوب وقد يقال فيه لو لم يكن الثابت اليوم ثابتا أمس لكان غير ثابت فيقضى استصحاب أمس بأنه اليوم غير ثابت وليس كذلك فدل على أنه ثابت.

[مسألة]

المختار أن النافي يطالب بدليل إ، لم يعلم النفي ضرورة وإلا فلا وأنه لا يجب الأخذ بالأخف ولا بالأثقل .

[مسألة]

المختار أنه صلى الله عليه وسلم كان متعبدا قبل البعثة بشرع والوقف عن تعيينه وبعدها المنع وأن أصل المنافع الحلّ والمضارّ التحريم.

[مسألة]

المختار أن الاستحسان ليس دليلا وفسر بدليل ينقدح في نفس المجتهد تقصر عنه عبارته وردّ بأنه إن تحقق فمعتبر وبعدول عن قياس وإلى أقوى ولا خلاف فيه أوعن

الدليل إلى العادة وردّ بأنه إن ثبت أنها حق فقد قام دليلها وإلا ردت فان تحقق استحسان مختلف فيه فمن قال به فقد شرع وليس منه استحسان الشافعي التحليف بالمصحف والخط في الكتابة ونحوهما .

[مسألة]

قول الصحابي غير حجة على آخر وفاقا وغيره في الأصح أنه لا يقلد أما وفاق الشافعي زيدا في الفرائض فلدليل لا تقليدا .

[مسألة]

الأصح أن الإلهام وهو يطمئنّ له الصدر يخص به الله بعض أصفيائه غير حجة من غير معصوم .

خاتمة

مبنى الفقه على أن اليقين لا يرفع بالشك والضرر يزال والمشقة تجلب التيسير والعادة محكمة .

Buku Kelima: Tentang Istidlāl (Inferensi/Deduksi)

Istidlāl adalah dalil yang bukan nash (teks), bukan Ijmā' (konsensus), dan bukan Qiyās Syar'ī (analogi syariat). Dengan demikian, secara pasti masuk di dalamnya:
  1.     Argumen Iqtirānī (silogisme kategorial) dan Istithnā'ī (silogisme hipotetik/disjungtif).
  2.     Ucapan mereka (yang menguatkan Istidlāl): "Dalil (hukum) ini menuntut agar hukumnya tidak berlaku demikian (di kasus lain), tetapi (hukum) ini telah dilanggar (khūlifa) di kasus tertentu karena adanya makna yang tidak ditemukan pada kasus perselisihan (ṣūrat an-nizā'), sehingga (hukum pada kasus perselisihan) tetap pada dasarnya (aṣl)."
  3.     Menurut pendapat yang paling sahih, masuk juga Qiyās al-'Aks (analogi kebalikan).
  4.     Termasuk pula ketiadaan penemuan dalil hukum, seperti ucapan kita: "Hukum menuntut adanya dalil, jika tidak, akan berlaku taklīf al-ghāfil (pembebanan hukum kepada orang yang lalai)."
Dan dalil itu tidak ditetapkan melalui sabr (penelitian mendalam) atau aṣl (prinsip dasar), bukan karena ucapan mereka (yang menolak): "Pendorong (muqtaḍā) atau penghalang (māni') telah ditemukan, atau syarat (sharṭ) telah hilang secara global (mujmāl)."
Masalah

Induksi (Istiqrā’)

Istiqrā’ (Induksi) yang menggunakan kasus parsial (juz'ī) untuk menyimpulkan hukum universal (kullī):

  1.     Jika ia tāmm (sempurna), maka ia qaṭ'ī (pasti) menurut mayoritas ulama.
  2.     Jika ia nāqiṣ (tidak sempurna), maka ia ẓannī (dugaan), dan disebut sebagai ilḥāq al-fard bi al-aghlab (mengikutkan individu pada mayoritas/kebanyakan).

Masalah

Istishāb (Prinsip Kelangsungan)

Pendapat yang paling sahih adalah bahwa Istishāb (prinsip kelangsungan), yaitu:
  1.     Kelangsungan ketiadaan asal (al-'adam al-aṣlī) (suatu hukum dianggap tidak ada selama tidak ada dalil yang menetapkannya).
  2.     Kelangsungan keumuman (al-'umūm) atau teks (an-naṣ).
  3.     Kelangsungan hukum yang ditetapkan Syara' karena adanya sebabnya, hingga datangnya sesuatu yang mengubahnya.
Ketiga jenis Istishāb ini adalah ḥujjah (otoritas hukum), kecuali jika ia dilawan oleh ẓāhir ghālib (indikasi eksternal yang dominan) yang memiliki sebab yang diduga lebih kuat, maka ẓāhir ghālib didahulukan.
  •     Contoh: Air kencing jatuh ke dalam air yang banyak (mā' kathīr), kemudian ditemukan berubah (warna/rasa/bau), dan ada kemungkinan perubahannya disebabkan oleh kotoran itu, dan waktunya masih dekat (sehingga Istishāb air yang tetap suci dikalahkan oleh indikasi perubahan).
Tidak boleh berhujjah dengan istishāb ḥāl al-ijmā' (kelangsungan kondisi yang telah disepakati) di tempat perselisihan (maḥall al-khilāf).

Istishāb adalah penetapan suatu urusan di masa kedua karena penetapannya di masa pertama, sebab tidak adanya yang layak untuk mengubahnya. Adapun penetapannya di masa pertama adalah terbalik.

Terkadang dikatakan mengenai Istishāb: "Jika yang ditetapkan hari ini tidak ditetapkan kemarin, niscaya ia tidak akan ditetapkan (hari ini). Maka istishāb kemarin menetapkan bahwa ia tidak ditetapkan hari ini. Ini tidaklah demikian. Hal itu menunjukkan bahwa ia ditetapkan."

Masalah

Permintaan Dalil dan Prinsip Beban Hukum

Pendapat yang terpilih adalah bahwa pihak yang menafikan (nāfī) dituntut untuk mendatangkan dalil, jika penafian itu tidak diketahui secara ḍarūrah (otomatis). Jika diketahui secara ḍarūrah, maka ia tidak dituntut dalil.

Dan juga (pendapat terpilih adalah) bahwa tidak wajib mengambil yang paling ringan (al-akhaff) dan tidak pula yang paling berat (al-athqal) (dalam pilihan hukum).
Masalah

Hukum Kenabian Sebelum dan Sesudah Bi'tsah

Pendapat yang terpilih adalah bahwa Nabi Muhammad ﷺ telah terbebani syariat (mut'abbadan bi syar'in) sebelum kenabian (ba'tsah), dan tawaqquf (diam/menahan diri) dari penentuan syariat yang mana. Setelah kenabian, (pendapat terpilih) adalah penolakan (bahwa beliau berpegang pada syariat sebelumnya).

Dan bahwa dasar (aṣl) dari manfaat adalah kebolehan (ḥill) dan dasar dari bahaya (maḍārr) adalah keharaman (taḥrīm).

Masalah

Istihsān (Preferensi Hukum)

Pendapat yang terpilih adalah bahwa Istihsān (Preferensi Hukum) bukanlah dalil.
  1.     Istihsān ditafsirkan sebagai dalil yang terlintas dalam hati mujtahid, tetapi ungkapannya tidak mampu menjelaskannya.
  2.     Ini dibantah karena: Jika ia terbukti (taḥaqqaq), maka ia dipertimbangkan (mu'tabar).
Dan (Istihsān ditafsirkan sebagai) berpaling dari Qiyās kepada yang lebih kuat, dan tidak ada perselisihan mengenai hal ini.

Atau (berpaling) dari dalil kepada ‘ādah (kebiasaan).

    Ini dibantah karena: Jika terbukti bahwa kebiasaan itu benar (ḥaqq), maka dalilnya telah tegak. Jika tidak, maka ia ditolak.

Jika Istihsān yang diperselisihkan itu terbukti, maka siapa pun yang menggunakannya berarti telah membuat syariat (syara'a) (yang tidak diizinkan).

Dan bukan termasuk Istihsān (yang diperdebatkan) adalah Istihsān Imam Syafi'i mengenai sumpah dengan mushaf dan tulisan (khaṭ) dalam surat-menyurat, dan sejenisnya.
 
Masalah

Pendapat Sahabat (Qawl aṣ-Ṣaḥābī)

Pendapat Sahabat (Qawl aṣ-Ṣaḥābī) bukanlah ḥujjah (otoritas hukum) atas Sahabat lain secara kesepakatan (wifāq).

Dan (pendapat yang paling sahih adalah) bahwa selainnya (yaitu tābi'īn dan setelahnya) tidak boleh mengikuti (yuqallad) pendapat Sahabat.

Adapun kesepakatan Imam Syafi'i dengan Zaid (bin Tsābit) dalam farā'iḍ (hukum waris) adalah berdasarkan dalil, bukan karena taqlid (mengikuti).

Masalah

Ilham (Inspirasi)

Pendapat yang paling sahih adalah bahwa Ilham (ilham)—yaitu yang menenangkan hati—yang dikhususkan Allah untuk sebagian hamba pilihan-Nya, bukanlah ḥujjah jika berasal dari orang yang tidak ma'ṣūm (terjaga dari dosa).

Khatimah (Penutup)

Dasar Fikih (mabnā al-fiqh) dibangun di atas kaidah-kaidah berikut:
  1.     Keyakinan (yaqīn) tidak dihilangkan oleh keraguan (syak).
  2.     Bahaya (ḍarar) harus dihilangkan (yuzāl).
  3.     Kesulitan (masyaqqah) mendatangkan kemudahan (taysīr).
  4.     Kebiasaan (‘ādah) dapat dijadikan hukum (muḥakkamah).

LihatTutupKomentar