Undang-undang Pesantren (Download PDF)

UU Pesantren memuat 10 Bab dan 42 Pasal. ke sepuluh bab tersebut terdiri dari; 1) Ketentuan Umum, 2) Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup, 3) Penyelenggaraan Pesantren; 4) Pembinaan; 5) Pengelolaan Data Dan Informasi; 6) Pendanaan; 7) Kerja Sama; 8) Partisipasi Masyarakat; 9) Ketentuan Peralihan; 10) Ketentuan Penutup.
Undang-undang Pesantren
UU Pesantren memuat 10 Bab dan 42 Pasal. ke sepuluh bab tersebut terdiri dari;
1) Ketentuan Umum,
2) Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup,
3) Penyelenggaraan Pesantren;
4) Pembinaan;
5) Pengelolaan Data Dan Informasi;
6) Pendanaan;
7) Kerja Sama;
8) Partisipasi Masyarakat;
9) Ketentuan Peralihan;
10) Ketentuan Penutup.

Beberapa pasal sangat penting di antaranya pada Bab 1 Pasal 1, yang dimaksud ‘Pesantren’ di dalam RUU tersebut adalah lembaga yang berbasis dan didirikan oleh masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, menyemaikan akhlakul karimah dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui pendidikan, dakwah Islam rahmatan lil’alamin, ketaladanan, dan khidmah.

Pada Bab II Pasal 2, penyelenggaraan pesantren berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kebangsaan, kemandirian, pemberdayaan, kemaslahatan, multikultural, profesionalisme, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kepastian hukum.

Selanjutnya, pada Bab III tentang Penyelenggaraan Pesantren pasal 5 menerangkan bahwa pesantren wajib mengembangkan Islam rahmatan lilalamin dan berlandaskan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Adapun pasal 6-10 membahas tentang unsur-unsur pesantren, kompetensi kiai, tipologi santri, asrama, masjid/musholla, hingga uraian kajian kitab kuning/dirasah islamiyah.

Dalam Pasal 11-12 berisikan tentang pendirian dan penyelenggaraan pesantren oleh masyarakat di mana nantinya akan diatur oleh dengan Peraturan Menteri, namun tetap menampilkan kekhasan, yang mencerminkan tradisi, kehendak dan cita-cita, serta ragam, dan karakter pesantren.

Sedangkan untuk Pasal 13-31 membahas mengenai tiga fungsi pesantren yang terdiri dari fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Pasal ini menyatakan bahwa pesantren sebagai penyelenggara fungsi pendidikan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, Pasal 14 menyebutkan pesantren dapat menyelenggarakan pendidikan formal (jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi) dan pendidikan non formal (pengajian kitab kuning).

Selain itu, kurikulum pendidikan muadalah dan pendidikan diniyah formal juga dijelaskan di dalam Pasal 15-16. Kedua pasal ini berisi rumusan mengenai kurikulum keagamaan Islam (berbasis kitab kuning) dengan pola muallimin dan kurikulum umum (seperti pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, seni, dan budaya).

Disebut pula Ma’had Aly pada Pasal 17 di mana statusnya sebagai pendidikan tinggi berbasis pesantren itu memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya, seperti soal jenjang program (S1, S2, S3), konsentrasi kajian, dan kurikulumnya.

Yang menarik, pada Pasal 18-19 menyebutkan bahwa lulusan pendidikan pesantren jalur non formal diakui sama dengan pendidikan formal pada jenjang tertentu setelah lulus ujian, sehingga bisa melanjutkan ke pendidikan formal yang lebih tinggi.

Masih pada pesantren dalam fungsi pendidikan, dalam Pasal 20 dijelaskan bahwa ada pengembangan sistem penjaminan mutu dari kementerian yang berfungsi mengendalikan penyelenggaraan pendidikan pesantren sekaligus melindungi kemandirian dan kekhasannya agar tetap bermutu. Sedangkan Pasal 21-23 menguraikan mengenai kompetensi dan kualifikasi tenaga kependidikan pendidikan pesantren.

Dalam fungsi dakwah pada Pasal 24-28, pesantren menyelenggarakan kegiatan dakwah yang berorientasi pada terwujudnya Islam rahmatan lilalamin. Hal ini dalam rangka memberikan pembinaan dan mengajak masyarakat kepada kebaikan sesuai tuntunan agama Islam, dengan tetap memperhatikan tradisi dan kebudayaan, kerukunan hidup umat beragama, dan selaras dengan nilai-nilai kebangsaan serta cinta tanah air.

Dakwah yang dilaksanakan oleh pesantren dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengajaran, ceramah, kajian, diskusi, seni dan budaya, hingga media, dan teknologi informasi.

Selanjutnya, dalam fungsi pemberdayaan masyarakat yang termuat pada Pasal 29-31, pesantren dapat menyelenggarakan fungsi itu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan pesantren dan masyarakat. Tentu saja, pemberdayaan tersebut dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan serta mampu berperan aktif dalam pembangunan.

Pada Bab IV Pasal 32-34 membicarakan tentang Pembinaan Penyelenggaraan Pesantren yang dilakukan oleh Kementerian dalam rangka peningkatan peran pesantren dalam tiga fungsinya dan peningkatan dalam manajemen mutu pesantren. Pembinaan tersebut bisa dalam bentuk layanan dan kemudahan, kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan.

Perihal Pengelolaan dan Data Informasi, masuk tercantum pada Bab V Pasal 35 yang berisi peran Kementerian dalam mengembangkan sistem informasi dan manajemen untuk mengelola data dan informasi pesantren dalam rangka pengendalian, pembinaan, dan sistem penjaminan mutu.

Adapun Bab VI menerangkan tentang Pendanaan yang pada Pasal 36 berisi mengenai peran Pemerintah dalam membantu pendanaan penyelenggaraan pesantren melalui APBN sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Selanjutnya, pada Bab VII pasal 37 tentang kerja sama dalam rangka meningkatkan peran dan mutu pesantren baik bersifat nasional maupun internasional, bisa dalam bentuk pertukaran peserta didik, olimpiade, sistem pendidikan, kurikulum, bantuan pendanaan, pelatihan, dan kerja sama lainnya.

Kaitannya dengan fungsi pemberdayaan, pada Bab VIII Pasal 38 membahas partisipasi masyarakat yang bentuk partisipasinya dapat berupa bantuan program atau pembiayaan, mendukung kegiatan, mutu serta standar pesantren.

Kemudian pada Bab IX mengenai Ketentuan Peralihan yang diuraikan dalam Pasal 39-40 berisi tentang ketentuan apabila ada perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pesantren dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Terakhir, yakni Bab X Ketentuan Penutup berisi Pasal 41-42 yang menjelaskan pelaksanaan ketika RUU ini sudah diundangkan, lalu proses pelaporan yang dilakukan oleh Pemerintah kepada DPR.

NASKAH LENGKAP UU PESANTREN DAN PENDIDIKAN AGAMA



LihatTutupKomentar