Cara Mengatasi keraguan pada Teks Quran Sunnah

Cara Menghilangkan keraguan pada Teks Quran Sunnah yang berkaitan dengan langit dan bumi Ketahuilah, bahwa dalam syari’at Islam terdapat nash-nash yan
Cara Menghilangkan keraguan pada Teks Quran Sunnah

Judul: Terjemah kitab Hushunul Hamidiyyah
Judul kitab asal: Al-Husunul Al-Hamidiyah li Al-Muhafazhah ala al-Aqaid al-Islamiyah (الحصون الحميدية للمحافظة على العقائد الإسلامية)
Penulis: Sayyid Husain Afandi al-Tarabalis Al-Jisr
Tema: Akidah Islam, Tauhid, Ilmu Kalam Asy'ariyah
Penerbit: Maktbah Bukhariyah, Mesir

BAB III SANGGAHAN KERAGUAN TERHADAP NASH SYARI’AT ATAU MENGOMPROMIKANNYA DENGAN DALIL AQLI YANG PASTI, YANG BERTENTANGAN ZHAHIR NASH

PENDAHULUAN

Perlu dimengerti, bahwa dalam pembahasan ini membutuhkan pada tiga pendahuluan.

Pendahuluan Pertama

Perlu diketahui, bahwa nash-nash syaria’t yang menjadi pegangan dalam itigad, hukum-hukum ibadah dan muamalat, ialah ayat-ayat AlQur’an dan sebagian hadits-hadits Nabi dengan sanad yang shahih dari Rasul a.s. sampai kepada kami secara pasti, yang disebut hadits mutawatir, atau sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasul dengan sanad yang shahih dan mendekati pasti dan menyebabkan ketenangan hati, yakni memberi pengertian di atas sangkaan dan di bawah yakin, yang disebut hadits masyhur. Kita wajib berpegangan dengan makna zhahir nash-nash tersebut. Kita tidak diperbolehkan mentakwilkan dan membelokkannya pada arti lain, kecuali apabila terdapat dalil akli yang pasti, berlawanan dengan maknanya yang zhahir. Apabila ada dalil yang menunjukkan, bahwa bukan maknanya yang zhahir yang dikehendaki oleh syari’ (pembuat syari’at), tetapi yang dikehendaki nash itu adalah makna lain, yang tidak secara harfiah, maka nash itu ditakwili dan kita belokkan, pada arti lain, yang bukan zhahirnya yang mengemukakan, yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan dalil akli yang qath’i itu. Inilah kaidah umum dalam nash-nash syari’at yang dipegangi oleh aliran ahli sunnah wal jama’ah. Sama sekali tidak boleh menghendaki selain makna zhahir dari nash, kecuali karena faktor yang mendorongnya, karena pada dasarnya dalam pembicaraan itu adalah menghendaki makna zhahir apa adanya, bukan lainnya. Sebab mengartikan makna yang bukan zhahir tanpa ada sebab dan tanpa garinah, itu akan merusakkan pengertian. Hal yang demikian itu jelas menimbulkan kerusakan-kerusakan. Faktor yang membolehkan meninggalkan zhahir nash itu jika zhahir nash berlawanan dengan dalil akli yang pasti, sebab menolak dalil ini sama dengan menolak dasar. yang kebenarannya telah ditetapkan oleh Rasul saw.. yakni akal. Seandainya tidak ada akal, niscaya tidak memungkinkan bagi kami untuk mengambil buku atas kebenaran Rasul saw. dengan bukti-bukti mukjizat. dan menolak akal. berarti menolak syarak.

Adapun perlawanan dalil akli yang bersifat zhanni. itu tidak menjadi sebab yang membolehkan meninggalkan shahir makna nash. karena menolak dalil zhanni tidak mewajibkan menolak akal, sebab sudah jelas sekali. bahwa dugaan (Zhanni) dalam hal itu mengandung kemungkinan kesalahan.

Seandainya kita tinggalkan makna zhahir nash karena dalil zhanni. niscaya kita menjadi orang yang berpaling. mungkin ‘tiqad kita salah karena Kita berpegang pada zhanni. Ketika itu kita tidak mempunyai alasan. karena tidak ada hal yang memaksa, yang mengajak kita padanya. sebagaimana darurat yang mendorong kita ketika adanya perlawanan dengan dalil yang yath’i (pasti).

Namun. mengikuti dalil zhanni dan meninggalkan arti zhahir nash itu menyebabkan ketidaktentuan dan kekacauan yang tidak terbatas dalam Ftuqad. sebab dugaan-dugaan itu banyak. sedang i’tiqad dalam syari’at hanyalah berpegang pada keyakinan. Maka yang benar adalah berpegang pada shahir-shahir nash yang yakin datangnya dan tidak beralih daripadanya hanya karena dugaan semata-mata.

Kadang-kadang terdapat dalam hadits Nabi nash-nash yang diriwayatkan dari Rasul saw. dengan tidak memenuhi syaratsyaratnya untuk mencapai derajat mutawatir atau masy hur. maka keshahihan hadits itu tidak dapat memberi pengertian yakin. tetapi zhanni dan riwayat itu disebut hadits Ahad. Hadits Ahad itu boleh dijadikan pegangan dalam hukum-hukum ibadat. dan muamalat. dan tidak wajib dijadikan pegangan dalam masalah ‘tiqad, karena ia zhanni: padahal i’tiqad itu tidak boleh berdasarkan dalil zhanni (dugaan). Tetapi. apabila hadits-hadits Ahad itu diriwayatkan oleh orang yang adil dan menjadi pegangan para fugaha dalam hukum-hukum, maka hadits itu tidak boleh diingkari. selama tidak berlawanan akal, supaya hal itu tidak merembet pada pengingkaran hadits mutawatir dan masyhur, yang menyebabkan kafir atau sesat bagi orang yang mengingkari keduanya. -Kami mohon perlindungan kepada AllahMemang, apabila hadits Ahad itu dikuatkan oleh hadits ahad yang lain dan bisa memberi pengertian yang pasti, maka hadits Ahad itu dapat dipegangi sebagai dasar dalam masalah i’tiqad sebagaimana hadits-hadits tentang siksaan kubur. Allah swt. adalah Maha Tahu.

Pendahuluan Kedua.

Ketahuilah, bahwasanya menurut syarak, kita tidak diwajibkan mempercayai keyakinan, kecuali yang dilandasi oleh dalil akli yang qath’i, yang tidak mengandung perlawanan atau kepercayaan yang didasari oleh ‘ dalil syar’i, sebagaimana riwayat dari Rasulullah saw. berupa ayat Al-Qur’an, hadits mutawatir, atau hadits masyhur, yang menunjukkan keyakinan itu. Kita tidak wajib taqlid kepada selain Rasulullah yang ma’shum a.s. dalam hal yang shahih dari beliau secara qath’i. Adapun apabila diriwayatkan kepada kita persoalan i’tiqad dari tokoh ulama Islam, tanpa menjelaskan dalil-dalil yang qath’i atau dalil syar’i yang pasti shahih dari Rasulullah a.s., maka kita tidak wajib bertaqlid kepadanya dalam masalah itu, lebihlebih apabila bertentangan dengan zhahir-zhahir nash syari’at yang menjadi pegangan dan i’tiqad.

Memang, apabila sebagian ulama yang menjadi sandaran umat dalam memahami nash-nash syari’at itu menakwili nash-nash itu dengan takwil yang patut dan sesuai dengan gaidah-gaidah syar’iyah dan ilmu bahasa Arab, maka mengambil takwilnya itu tidak membahayakan akidah kita, jika tampak faktor yang kuat untuk menakwilkannya,seperti dalil akli yang qath’i, yang mendorong pada pentakwilan dan membelokkan nash dari makna zhahirnya. Dalam keadaan yang begini itu mengambil takwilnya adalah yang dibenarkan.

Yang demikian ini, kita tidak dapat dikatakan taqlid kepada orang alim dalam i’tiqad, karena i’tiqad kita berpegang pada nash dan kami mentaqlidinya hanya dalam memahami nash dan takwilnya, sebab dia lebih tahu daripada kita tentang hal itu. Dari sini tampak bagi pembaca kesalahan sebagian orang masa kini di dalam mentaqlidi seorang ahli falak, ilmu bumi atau geologi yang disiplin ilmu-ilmu mereka tentang sebagian masalah yang mungkin bertentangan dengan zhahir-zhahir nash, yang telah dijadikan pegangan dalam i’tiqad. Keadaan yang demikian ini mungkin dapat menjuruskan orang yang taqlid itu keluar dari agama. Sedang mereka tidak menyadari. Sesuatu yang menjadikan para pentaqlid bertaqlid kepada para ahli filsafat zaman ini dalam masalah-masalah itu adalah karena mereka memandang dalil-dalil dalam sebagian masalah-masalah ilmu mereka itu dengan yakin dan pasti, seperti dalil-dalil mereka dalarn masalah matematika, ilmu pasti dan sebagian eksperimen-eksperimen alam yang dapat diindera. Para pentaqlid itu terpedaya dan menjadikan mereka beranggapan, bahwa setiap apa yang dikatakan oleh filosof-filosof itu benar dan pasti. Mereka hanya berpedoman pada keyakinan dalam semua bukti ilmu-ilmu mereka dan mereka tidaklah mengerti, bahwa terdapat perbedaan antara dalil-dalil masalah matematika dan yang berkaitan dengannya dan dalil-dalil sebagian besar masalah-masalah falak misalnya, karena dalil! matematika bersifat pasti, sedangkan dalam dalil-dalil ilmu falak banyak yang bersifat perkiraan dan ramalan.

Mengqiyaskan sesuatu yang tidak ada dengan sesuatu yang kita saksikan dalam sesuatu persoalan, kadang-kadang merupakan qiyas yang rusak.

Jika dikatakan, bahwa sebagian masalah yang ditaqlidi oleh orangorang taqlid kepada para ahli filsafat masa ini, adalah masalah-masalah yang telah mereka sepakati bersama. Kami berkata: “Sesungguhnya kami golongan muslim, tidak diperintahkan oleh syari’at kita untuk mentaqlidi ijma’ (kesepakatan), kecuali ijmak umat Muhammad saw. ini, yaitu ijmak para ulamanya yang mereka itu adalah ahli ijtihad dan memahami nash-nash syari’at yang telah dijamin oleh Rasul saw., bahwa mereka itu tidak bersepakat atas kesesatan. Karena ijmak para ahli filsafat terhadap masalah-masalah itu, kadang-kadang berlandaskan dalil-dalil zhanni dan tidak ada jaminan, bahwa ijmak mereka bebas dari kesalahan, lebih-lebih dalam masalahmasalah yang letaknya jauh dari mereka, sebagaimana masalah-masalah falak dan angkasa, sebagian dalil mereka dalam masalah itu adalah perkiraan dan ramalan dan mengkiaskan sesuatu yang tidak tampak dengan sesuatu yang tampak, sebagaimana diketahui dari penelaahan-penelaahan kitab-kitab mereka yang telah menjelaskan masalah-masalah itu. Kami mempunyai pelajaran dari peristiwa yang dialami para ahli falak zaman dulu, tentang adanya garis orbit dan hukum-hukumnya. Sesungguhnya telah lewat beratusratus tahun mereka itu menyepakatinya. Banyak sekali mereka menulis buku-buku tentang itu dan banyak sekali mereka menulis rumus-rumus dan kaidah-kaidahnya, mercka gambarkan gambaran-gambaran garis orbit dan mereka sebutkan hukum-hukumnya dengan panjang-lebar. Tetapi, setelah ahli falak modern datang membatalkan adanya garis orbit dari pangkalnya dan menurut mereka apa yang didapati ahli falak pendahulunya itu salah satu khurafat-khurafat (omong kosong) saja. Apabila hal ini benar, maka ketahuilah, bahwa orang-orang bertaqlid kepada para ahli filsafat itu harus membahas dan menelaah dalil-dalil para filosof zaman sekarang ini dalam kasus-kasus yang bertentangan dengan inti zhahir nash-nash syari’at Islam.

Jika masalah-masalah itu zhanni (dugaan), maka janganlah dipegangi dan jangan pula mereka meninggalkan kepercayaan terhadap zhahir-zhahir nash syari’at yang qath’i (pasti) shahihnya dari Rasul yang benar lagi terpelihara. Jika dalil-dalil itu yakin dan tidak ada keraguan di dalamnya terhadap pengertian yang bertentangan dengan zhahir nash-nash syari’at, maka mereka harus mentakwilkan zhahir-zhahir ayat itu dan mengompromikan antara zhahir-zhahir ayat dan masalah-masalah itu menurut kaidah yang telah digariskan oleh ahli sunnah wal jama’ah pada pembahasan yang telah lalu. Jika mereka itu bukan ahli-ahli takwil, maka hendaklah mereka kembalikan masalah itu kepada para ulama agama yang pandai-pandai, yang akan memberikan pentakwilan yang lazim dan berlaku menurut kaidahkaidah syarr’at dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang dipergunakan oleh nashnash syarak dan keimanan mereka yang menjadi sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat itu akan terjaga. Hanya Allah-lah yang memberi pertolongan.

Pendahuluan Ketiga.

Sesungguhnya syari’at Nabi Muhammad saw., bahkan seluruh syari’at tujuannya hanyalah menunjukkan makhluk untuk mengenal Allah swt. dengan mempercayai ada-Nya, sifat-sifat-Nya yang sempurna, cara menyembahNya, cara menunaikan syukur kepada-Nya dan menunjukkan pada hukumhukum yang mengantarkan mereka pada ketertiban hidup dan kebaikan di akhirat.

Adapun memperkenalkan mereka tentang pembahasan-pembahasan pengetahuan alam sejak dari cara penciptaan dunia dan hukum-hukum yang berlaku di langit atau di bumi dan sebagainya, maka hal ini sama sekali bukan merupakan maksud syari’at-syari’at itu. Tetapi pembahasanpembahasan ini merupakan pengetahuan yang dapat dijangkau oleh akal manusia, kemungkinan mereka akan mengambil manfaatnya di dunia dan kemungkinan sekedar penelaahan saja. Sedangkan syari’at-syari’at tidak memperhatikannya, baik pada permulaannya atau materinya dan tidak memperhatikan perincian-pennciannya. Memang, kadang-kadang disebutkan sedikit tentang alam secara global sesuai dengan kadar yang termasuk dalam tujuan asal syari’at. Misalnya disebutkan penciptaan langit dan bumi, memunculkannya dari tidak ada, perbedaan makhluk yang beraneka macam, cara mengatur alam semesta dan memberikan aturan masing-masingnya secara global, agar hal itu menjadi bukti-bukti bagi manusia tentang adanya

Tuhan alam semesta dan persifatan-Nya dengan sifat ilmu, kuasa. bijaksana dan sebagainya. Sebagian pembahasan itu telah diuraikan secara terperinci karena faktor yang mendorong pada perincian itu yang kembalinya adalah tujuan-tujuan syarak.

SANGGAHAN TERHADAP KERAGUAN TENTANG NASH SYARI’AT YANG BERKAITAN DENGAN LANGIT DAN BUMI

Ketahuilah, bahwa dalam syari’at Islam terdapat nash-nash yang dijadikan pegangan dalam i’tiqad, bahwa Allah saw. menciptakan tujuh langit dan menjadikan benda besar di atas langit-langit itu yang dinamakan kursi. dan benda lain di atasnya, yang dinamakan ‘arasy. Dan sesungguhnya, antara kita dan benda-benda itu terdapat jarak yang jauh, sebagaimana jarak antara benda-benda itu. Allah swt. menciptakan benda besar yang dinamakan lauh dan benda lain yang disebut galam (pena) untuk menetapkan apa yang ada di alam ini dan menuliskannya, bukan karena Allah membutuhkan pada semuanya itu, tetapi karena hikmah-hikmah tertentu yang hanya diketahui oleh Allah swt. Dan sesungguhnya Allah telah menciptakan sebuah tempat yang dinamakan surga yang disediakan untuk memberi kenikmatan kepada orang-orang yang taat dan tempat lain yang dinamakan Jahanam, yang disediakan untuk menyiksa selain orang-orang yang taat sesudah kebinasaan alam langit dan bumi serta kebangkitan sesudah matinya, sebagaimana uraian yang telah lewat. Dan sesungguhnya Allah telah menciptakan bintang-bintang dan dijadikannya sebagai perhiasan langit dunia, yaitu langit yang dekat dari bumi, dan sebagian ulama Islam berkata, bahwa bintang-bintang itu berhenti di langit itu sendiri. Inilah jumhur ahli tafsir. Sebagian mereka berkata: Planet-planet itu di bawah langit, yaitu di antara langit dan bumi. Pendapat ini diriwayatkan dari Makki dan Wahab, dan dinukilkannya dalam Mukhtashar Haiatissaniah oleh Kirmany dari para ahli tafsir dan selain mereka. Syekh Mar’i Al-Hanbaly dalam “Ajaibul Makhluuqat” meriwayatkan suatu Hadits Ahad yang menunjukkan pendapat itu. Demikian pula hadits itu dinukil oleh Abu Ja’far, Muhammad bin Abdillah Al-Kisa’i dalam kitab “Al-Malakuut”, dan Ar-Razi meriwayatkan atsar dari Ka’ab dalam menafsirkan surat Al-Qadar menerangkan, bahwa matahari itu di bawah langit. Berdasarkan penjelasan ini, maka pengertian planet-planet itu perhiasan langit dunia adalah planet-planet itu merupakan perhiasannya, sesuai dengan pandangan orang yang melihatnya, walaupun di bawah langit. Ini tidak mengharuskan planet-planet itu berhenti di langit itu sendiri. Kemungkinan pemilik pendapat ini mentakwilkan firman Allah swt:

“Dia menjadikan bulan itu bercahaya di langit.” Maksudnya, bulan itu ada di langit-langit, sama dengan pentakwilan ini.

Ada juga nash-nash syari’at yang memberi pengertian, bahwa masingmasing planet itu berjalan mengorbit di garis orbitnya. Ada sebagian ulama Islam berkata: Falak atau tempat orbit itu adalah benda yang membawa beberapa planet. Sebagian mereka berkata: Tempat orbit adalah tempat perputaran, yaitu tempat kosong yang dipergunakan untuk berjalan.Ini adalah pendapat Dhahag, sebagaimana menurut Ar-Razi.

Pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama Islam adalah sesungguhnya langit itu terlihat oleh kita, sebagaimana pengertian diambil dari zhahir sebagian nash-nash. Dan sebagian mereka berkata, bahwa langit itu tidak tampak, yang tampak itu adalah udara. Pendapat ini diriwayatkan dalam Ajaibul Makhlugat dan adhi Abu Bakar bin Al-Araby. Dia tentu saja mentakwil ayat yang zhahirnya memberi pengertian, bahwa langit itu terikat dengan takwil yang sesuai.

Ada juga nash-nash syarak menyebutkan tujuh bumi. Sebagian ulama berkata: “Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan tujuh bumi itu adalah daerah-daerah bumi yang tujuh, Sebagian lagi berkata, yang dimaksud adalah lapisan-lapisan bumi yang bertumpuk atas bagian-bagiannya, Diriwayatkan oleh sebagian atsar dari Ibnu Abbas r.a, bahwa setiap bumi dari tujuh bumi itu bagaikan bumi kita dan ada alam seperti alam kita pula.

Terdapat dalam nash yang menurut arti zhahirnya, bumi itu terhampar sebagaimana dalam firman Allah swt:

“Dan setelah itu Allah mendatarkan bumi.”

Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama Islam. Sebagian mereka berkata, bahwa bumi itu bulat. Di antara ulama yang berpendapat demikian . adalah Imam Ar-Razi. Mereka mentakwili firman Allah swt bahwa Allah menjadikan bumi layak untuk didiami hewan-hewan sesudah dulunya tidak begitu. Ada sebagian nash-nash zhahirnya memberi pengertian mataharilah yang berjalan, sebagaimana firman Allah swt.:

“Dan matahari berjalan pada tempat ketetapannya”.

Firman-Nya pula:

“Ia (Dzulqarnain) mendapatkan matahari itu terbit”.

Dan firman-Nya:

“Ia (Dzulqarnain) mendapatkan matahari terbenam.”

Sebagaimana difahami dari penggunaan ahli syarak pada masa Nabi dan sesudahnya, dalam ucapan mereka matahari itu terbit dan matahari itu terbenam. Zhahir nash menunjukkan, bahwa bumi adalah diam (tidak berputar), walaupun tidak ada penjelasan tentang gerak dan diamnya. Kita golongan muslimin wajib mengimankan apa yang disebutkan oleh zhahir nash-nash itu dan mengambil pendapat jumhur ulama dalam masalah-masalah yang mereka faham. dan pentakwilan sebagian ulama yang berbeda dengan pendapat jumhur, walaupun mengambilnya tidak membahayakan terhadap agama, karena rusaknya iman, karena pentakwilan itu tidak menyimpang. Tetapi, jika tidak ada faktor kuat bagi kita untuk mentakwilinya, maka mengambil pendapat jumhur dan berpegang pada pemahaman mereka terhadap nash-nash itu adalah yang sesuai dengan kaidah-kaidah agama Islam.

Jika ada orang berkata, buhwa filosof-filosof ahli falak modern mengaku, bahwa mereka dengan alat-alat peneropong dan peralatan yang mereka ciptakan untuk melihat keadaan-keadaan angkasa, maka mereka menetapkan, bahwa di angkasa luar tidak ada sesuatu, kecuali planet-planet. Dan sesungguhnya bumi yang kita diami adalah bulat dan masuk dalam golongan planet-planet itu. Matahari bertempat di tengah-tengah yang beredar pada porosnya dengan gerak yang lambat. Bumi dan seluruh planet berputar di sekelilingnya dengan hukum yang disebut hukum gaya tarik (grafitasi). Bumi kita, sebagaimana juga planet-planct lain, memiliki dua peredaran, yaitu orbit tahunan untuk mengelilingi matahari yang menimbulkan empat musim dan orbit harian pada porosnya yang menimbulkan waktu siang dan malam dengan perantaraan sekali-kali berhadapan dengan sinar matahari dan di lain kali tertutup, dari sinar matahari itu. Sesungguhnya warna biru yang kita lihat itu hanyalah warna udara, karena menurut mereka (para filosot ahli falak modern) langit itu tidak ada. Mereka meniadakan adanya bumibumi, selain, bumi ini.

Pendapat mereka itu tersebar dan diambil oleh orang Islam pada umumnya tanpa memperhatikan pengompromian antara pendapat tersebut dan nashnash syari’at yang terdahulu.

Bagaimanakah bentuk kompromi itu? Dan apa hukumnya? Kami berkata: “Di atas telah diuraikan, bahwa kita wajib mempercayai zhahir nash syari’at dan berpegang pada pendapat mayoritas ulama dalam memahami maknanya serta tidak boleh mentakwilkan atau membelokkan makna nash-nash itu dari makna zhahirnya, kecuali jika ada faktor yang kuat, yaitu adanya dalil akli yang qath’i, yang bertentangan dengan zhahir dalil nash. Ketidakbolehan untuk bertaklid kepada ulama Islam dalam hal i’tiqad yang tidak merekajelaskan dalil akli atau syar’i kepada kita, apalagi taklid kepada orang-orang selain mereka. Atas dasar ini, maka barangsiapa di antara kaum muslim yang mendengar ucapan-ucapan ahli falak modern tanpa menyebutkan dalil akli yang qath’i, yang menetapkan berbagai masalah yang mereka pandang seperti dalam uraian yang lalu atau dengan dalil zhanny yang tidak memberi pengertian yakin, maka wajib tidak mengindahkan perkataan mereka dan harus tetap mengi’tiqadkan apa yang dibawa oleh zhahir nash syarak. Dan tidak boleh melalaikan pendapat jumhur ulama Islam terhadap ayat-ayat itu. Inilah yang wajib bagi orang tersebut yang dapat menjaga imannya dan kerusakan.

Adapun apabila penjelasan para ahli falak modern itu sampai kepada salah seorang muslim dengan disertai dalil akl: yang gath’ yang menunjukkan setiap masalah tersebut dari beberapa masalah mereka, dan hal itu berlawanan dengan zhahir-zhahir nash yang tersebut di atas dalam masalah-masalah itu, maka orang tersebut harus kembali pada kaidah kuliyah, yaitu mentakwili dan membelokkan nash-nash arti zhahirnya, di bawa pada makna yang sesuai dengan pendapat yang berdasarkan dalil-dalil akal yang qath’i dan yakin dari mereka. Tak ada bahaya bagi orang itu sesudah kebenaran dalildalil mereka yang yakin atau nyata dan tidak ada syubhat lagi. Apabila hal ini telah jelas, maka kami jawab dalam menolak kesyubhatan ini, yaitu pengompromian antara nash-nashnya dengan dalil-dalil yang meyakinkan dan diperkirakan benar, namun bertentangan dengan nash-nash itu.

Adapun penjelasan ahli-ahli falak, bahwa planet-planet itu dapat tetap berada di angkasa, karena hukum daya tarik dan planet-planet itu tidak berhenti di langit adalah jaiz menurut akal dan termasuk di bawah kekuasaan Allah swt. Hukum daya tarik itu termasuk sebab-sebab biasa yang diletakkan oleh Allah pada alam semesta ini. Apabila telah ditunjukkan oleh dalil akal yang pasti tentang adanya planet-planet di angkasa, sebagaimana pendapat mereka itu, maka kami mentakwilkan nash yang menurut zhahirnya bukti planet-planet itu berhenti di langit, seperti firman Allah swt.:

“Dan Kami hiasi langit dunia dengan lampu-lampu.”

Sesungguhnya firman itu mungkin mengandung pengertian, bahwa yang dimaksud oleh Allah dengan keadaan planet-planet sebagai hiasan ialah planet-planet itu merupakan hiasan menurut pandangan orang yang memandang, walaupun planet-planet itu di bawah langit sebagaimana dikatakan oleh sejumlah ulama Islam yang riwayatnya seperti tersebut di atas dari Makki, Wahab, kebanyakan ahli tafsir dan Ka’ab: dan kami mengambil perkataan salah seorang ulama Kufah, bahwa yang dimaksud dengan tempat orbit planet-planet ialah angkasa yang menjadi tempat perputaran planet-planet mengorbit. Tempat orbit itu bukan benda-benda yang membawa planet-planet. Kami telah menempuh cara takwil ketika terdapat dalil qath’i yang bertentangan dan menyetujui sejumlah ulama Islam dengan jalan yang paling mudah.

Adapun perkataan ahli falak tentang warna biru pada langit yang terlihat oleh kita adalah warna udara, dugaan dalil bahwa alat-alat peneropong mereka tidak menunjukkan adanya benda-benda selain planet-planet yang berada di angkasa. Oleh karena itu, mereka mengingkari adanya langit. Kami bertanya: “Apakah yang menghalangi adanya langit karena langit itu demikian jauhnya dari bumi, dengan jarak yang amat jauh, yang alat peneropong itu tidak layak lagi untuk mendeteksi benda-benda angkasa kepada mereka. Dan kemungkinan warna langit itulah yang menyembunyikan hakikat langit itu. Inilah yang meragukan mereka terhadap adanya benda-benda di angkasa selain planet-planet. Tetapi sebagian ulama Islam, yaitu Qadli Abu Bakar bin Araby telah berkata, bahwa langit itu tidak terlihat dan ia mentakwilkan nash yang menurut zhahirnya langit itu terlihat, sebagaimana uraian di muka. Tidak terlihatnya langit itu tidak mengharuskan tidak adanya, sebagaimana aqidah yang dapat diterima, karena tidak dijumpainya sesuatu itu tidak mengharuskan tidak adanya benda itu. Allah swt. Maha Mengetahui.

Adapun perkataan ahli falak tentang bumi itu bulat dan mereka kemukakan bukti-bukti secara akal yang pasti, yang menunjukkan kebulatan bumi, maka tidak ada alasan bagi kami untuk membenarkannya dan memungkinkan kami untuk mentakwili nash yang menurut zhahirnya bumi ilu terhampar, seperti firman Allah:

“Dan sesudah itu bumi Kami hamparkan.”

Dengan takwilan, bahwa permukaan bumi itu layak untuk tempat tinggal sesudah dahulunya tidak begitu. Narnun demikian, bumi itu sendiri bulat, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Razi dan yang lain: dan tentu ada dalil yang pasti bagi ulama-ulama yang mengatakan kebulatan bumi.

Adapun perkataan ahli falak tentang matahari tidak beredar mengelilingi bumi, hanya saja matahari berputar dengan putaran yang lambat pada porosnya dan bumi itulah yang berputar dengan dua putaran yang pertama tahunan untuk mengelilingi matahari yang menimbulkan empat musim dan putaran harian pada porosnya yang menimbulkan waktu siang dan malam. Kami katakan, bahwa hal ini termasuk jaiz akli dan di bawah kekuasaan Allah swt. Kami mentakwilkan nash-nash syarak yang menurut zhahir-zhahir nash matahari itu berjalan, yaitu firman Allah:

“Dan matahari itu berjalan di tempatnya,” dengan takwilan, bahwa yang dimaksud matahari berjalan, yaitu putaran matahari pada porosnya dan ia tetap beredar sampai langit dan bumi hancur karena datangnya hari kiamat, maka ketika itu dia berhenti dari putarannya. Dan berjalannya matahari pada tempat orbitnya (falak) adalah suatu ungkapan tentang perputaran matahari pada porosnya di tempat yang merupakan tempat mengorbit, sebagaimana uraian yang telah lalu, bahwa tempat orbit adalah merupakan lingkungan menurut sebagian ulama kita.

Adapun mengenai bumi, walaupun tidak ada penjelasan dalam nashnash syari’at tentang gerak atau diamnya, tetapi berjalan dan mengorbit pada tempat orbit dinisbatkan ke matahari, dan zhahir penggunaan syarak dan orang-orang Islam menunjukkan dengan jelas, bahwa bumi itu diam sedangkan gerak harian yang kita lihat sebenarnya, karena matahari dan planet-planet bukan karena bumi.

Apabila ahli-ahli falak mengemukakan dalil-dalil akli yang pasti kepada kami, bahwa gerak harian itu adalah karena bumi yang berputar pada porosnya, maka memungkinkan kami untuk membelokkan nash yang menurut zhahirnya matahari itu berjalan di permukaan bumi, sebagaimana uraian yang terdahulu dan memungkinkan kami untuk membelokkan makna nashnash syarak yang zhahirnya menunjukkan, bahwa edaran harian itu pada matahari bukan pada bumi, dan yang demikian itu berlaku bagi penggunaanpenggunaan orang Islam. Hal itu hanyalah berlaku menurut zhahir yang dapat disaksikan umum dan berlaku penggunaan itu oleh bangsa-bangsa dan pendapat-pendapat mereka bukukan.

Masalah ini termasuk masalah yang Rasul saw. sendiri tidak diizinkan untuk menjelaskannya kepada umum, karena hakikatnya itu bukan merupakan tujuan syarak, karena uraian yang telah lampau menunjukkan, bahwa tujuantujuan syarak hanyalah menerangkan tauhid, ibadah dan mengatur kehidupan, dan lagi menerangkan masalah itu kadang-kadang sulit dipahami oleh kebanyakan orang awam, bahkan mungkin menjadikan kegoncangan dan kerusakan, lebih-lebih mereka yang lemah, manakala menenjumpai perkara itu berbeda dengan apa yang mereka saksikan. Kami tidaklah berkata, bahwa memahami masalah ini sulit bagi sahabat-sahabat besar, yang mana mereka telah memperoleh pengetahuan-pengetahuan kenabian yang menjadikan mereka ahli dalam memahami masalah-masalah yang besar dan rumit. Tetapi kami berkata, bahwa memahami masalah itu sulit bagi orang-orang awam, apalagi bagi penduduk kampung. Cobalah dipikirkan, seandainya dikatakan kepada bangsa Jahiliyah, bahwa bumi itulah yang beredar, padahal bendabenda di dunia itu dulu di permukaan bumi, sedang mereka tidak jatuh, air laut tidak tumpah dan sebagainya, dan mereka menyaksikan dengan penglihatan mereka, bahwa yang beredar di sekeliling bumi adalah matahari dan planet-planet. Bagaimana keadaan mereka ketika itu, bagaimana pertentangan dan keengganan mereka untuk membenarkan terhadap perkataan ini? Lihatlah tentang urusan kebangkitan dan contoh-contoh lain yang mereka anggap tidak mungkin.

Tetapi syari’at itu tidak menganggap perlu menerangkan permasalah, seperti persoalan bumi, karena hal itu bukan tujuannya. Adapun menerangkan kebangkitan (ba’ats) adalah termasuk tujuan syarak, karena di dalamnya mengandung hal-hal yang menakutkan (tarhib) dan yang menyenangkan (targhib) yang keduanya itu dapat menjadikan kebaikan bagi manusia. Oleh karena itu, kami tidak mengabaikan keterangannya, meskipun sulit dipahami oleh kebanyakan manusia, bahkan hal itu saya sebutkan data bukti-bukti pun telah menunjukkan atas adanya.

Kesimpularmya adalah, bahwa syari’at itu dalam penggunaannya menurut keadaan yang zhahir. Dalam istilah bahasa, hal itu disebut “Majaz” dan tidak menampakkan hakikatnya kepada manusia karena sesuatu yang telah kami uraikan. Demikian pulalah kita lihat sekarang, bahwa orang yang percaya tentang perputaran bumi itu tetap menggunakan bahasa keadaan yang tampak, misalnya mereka berkata: “Matahari itu terbit dan terbenam”. Dan kita tidak mendengar seorang pun dari mereka berkata: “Matahari menatap kita atau bersembunyi dari kita”. Semua ini adalah boleh dalam penggunaan-penggunaan bahasa, karena adanya bentuk-bentuk luar yang dapat disaksikan.

Perlu diketahui, bahwa seluruh yang kami tetapkan di sini, meskipun mudah bagi kami dan tidak membahayakan i’tiqad, namun kami hanyalah mengatakan pendapat itu sesudah adanya dalil akal yang pasti, yang membenarkan perkataan-perkataan ahli falak itu. Jika tidak ada, kami tetap berpegang pada zhahir nash. Kami tidak meninggalkannya dan kami tidak akan memperhatikan ucapan dan kesepakatan mereka, karena mereka tidak terjaga dari kesalahan, sebagaimana tidak terpeliharanya ahli-ahli falak yang terdahulu. Allah swt. Maha Tahu.

Adapun mengenai pengingkaran ahli-ahli falak terhadap adanya langit yang tujuh, arasy, kursi, pena (qalam), papan (lauh), surga dan neraka, maka mereka ini tidak mengemukakan bukti pengingkaran mereka, hanya karena mereka tidak menjumpai benda-benda ini dan alat-alat peneropong mereka tidak mampu mendeteksinya. Kami jawab, sesungguhnya tidak ditemukan sesuatu itu. Ini dapat diterima oleh seluruh orang yang berakal. Maka pengingkaran mereka tidak perlu dipedulikan. Kemudian kami dan mereka sepakat tentang adanya angkasa yang tidak terbatas. Lantas, apakah yang menghalangi Allah menciptakan benda-benda tersebut di balik alam planetplanet yang ada di angkasa? Benda-benda itu sangat jauh dari kita dan tidak dapat terdeteksi oleh alat peneropong mereka, atau jika alat peneropong mereka dapat menangkap langit terendah, yang merupakan permulaan benda-benda itu, namun kemungkinan langit itu berwarna dengan warna yang menyebabkan tidak tampaknya benda-benda itu oleh alat teropong. Dengan alat-alat teropong itu mereka hanya melihat planet-planet, sehingga mereka mengingkari keberadaan benda-benda itu, padahal benda-benda itu ada di angkasa raya yang amat jauh. Mengingat hal itu adalah jaiz dan termasuk di bawah kekuasaan Allah swt. dengan menjadikan dan menempatkan bendabenda itu di angkasa, sebagaimana Dia Kuasa menempatkan planet-planet di samping itu, Rasulullah sendiri telah memberitakan adanya benda-benda (langit tujuh) itu, maka kami mengimankan tentang adanya benda-benda itu dan kami tidak mentakwil nash-nash yang berhubungan dengan benda itu, karena tidak ada faktor yang mendorong untuk mentakwilinya, sebab tidak adanya dalil qath’i yang menentang akan adanya. Pengingkaran golongan (ahli-ahli falak) itu bukanlah bukti yang zhanni.

Perlu diketahu, bahwa kalamullah itu diungkapkan atas dua pengertian.

Pengertian pertama, yaitu bersifat Oadim, yang berdiri pada Dzat-Nya, tidak berhuruf dan tidak bersuara, sebagaimana telah kami uraikan dalam pembahasan sifat-sifat Allah swt.

Pengertian kedua, yaitu perkataan yang dilambangkan dengan lafal, dan diturunkan kepada para rasul.

Pengertian kitab sebagai kalamullah ialah, bahwa kitab itu murni wahyu menurut adanya, tak ada seorang pun yang merancang susunan kalimatnya. Kalam Allah yang qadim, itu menunjukkan pada seluruh hal yang wajib, jaiz dan mustahil, sebagaimana telah diterangkan dalam pembahasan sifatsifat Allah. Lafal-lafal yang diturunkan kepada para rasul ini menunjukkan sebagian sesuatu yang ditunjukkan oleh sifat yang qadim itu. Seandainya hijab disingkapkan dari kita, maka kita dapat mengerti tuntunan melakukan shalat, misalnya itu jelas pahaman dari firman Allah swt.:

Sedangkan kalamullah menurut pengertian kedua berdasar perkataan Aisyah r.a.: ,

“Sesuatu yang berada di dua tepi mushhaf adalah firman Allah.”

Barangsiapa yang mengingkari, bahwa sesuatu yang di antara dua tepi mushhaf itu kalamullah, maka ia kafir, kecuali jika dia bermaksud mengatakan, bahwa mushhaf itu bukan qadim yang berdin pada Dzat-Nya, serta keadaan lafal yang kita baca itu adalah baru (hadits) dan makhluk. Sungguh kalamullah tidak boleh dikatakan, apalagi bukti yang yagin. Allah swt. Maha Mengetahui.

Adapun pengingkaran mereka tentang adanya bumi sebanyak tujuh itu tidak mereka dukung dengan dalil. Puncak alasan mereka adalah karena mereka tidak melihatnya, pendapat yang mengatakan sebagaimana ucapan mereka: “Sesungguhnya kami tidak melihat selain planet-planet dan bumi ini”. Kami perlu menjawab, bahwa:

Pertama: Semua ulama Islam yang berpegangan nash-nash syariat sesuai pemahaman mereka, belum sepakat menafsirkan nash yang menjelaskan adanya bukti sebanyak tujuh berdasarkan makna zhahirnya, yakni adanya tujuh bumi yang terpisah-pisah, yang berdiri sendiri-sendiri. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh bumi adalah daerah-daerah bumi kita. Ada lagi yang berpendapat, bahwa yang dimaksud tujuh bumi adalah tingkatan atau lapisan-lapisan bumi.

Kedua: Kita mengikuti riwayat Ibnu Abbas r.a. menceritakan, bahwa tujuh bumi itu masing-masing terpisah dan berdiri scndiri-sendiri, sebagaimana bumi yang kita diami ini. Dan tiap-tiap bumi tersebut memiliki alam seperti alam kita. Ini adalah sesuatu yang jaiz menurut akal dan termasuk di bawah kekuasaan Allah swt. yang telah menciptakan planet-planet, yang besar, yang di antaranya ada yang besarnya melebihi besar bumi kita dengan kelipatan ratusan ribu. Apa yang menghalangi Allah itu menciptakan enam bumi selain bumi kita, dan bumi-bumi itu ada di angkasa seperti bumi kita ini, sebagaimana dikatakan oleh ahli falak.

Mereka tidak melihatnya dengan alat-alat peneropong mereka, mungkin karena bumi-bumi itu tidak tampak, karena kegelapan daratannya, sebagaimana bulan tidak tampak ketika susut. Mungkin juga mereka telah melihat bumi itu di antara planct-planet dan mereka menganggapnya bagian dari planet-planet itu. Hal itu tidak asing lagi menurut asas-asas pendapat mereka dan banyak di antara mereka menduga, bahwa di planet-planet itu ada penduduk, bukti-bukti atau dalil-dalil zhanny, sebagaimana diketahui dari buku-buku mereka. Sekiranya sudah jelas, bahwa bumi itu ada tujuh dan Rasul juga telah memberitakannya, maka kami mengimankan adanya itu dan kami tidak memperdulikan pada pendapat ahli falak, yang tidak memiliki dasar dalam mengingkarinya. Kami boleh menafsirkan nash yang menjelaskan tentang tujuh bumi tersebut, bahkan boleh menafsirkannya seperti yang tersebut dalam riwayat Imam Ibnu Abbas r.a. itu juga dibolehkan.

Dalam Al Qur’an masih terdapat nash yang menurut zhahirnya ada keraguan menurut pendapat ahli falak klasik dan ahli falak modern tentang kisah Allah swt. tentang Dzulgarnain.

“Sehingga apabila ia sampai di tempat terbenam matahari, ia dapati matahari itu terbenam dalam mata air yang berlumpur.”

Menurut zhahir ayat tersebut, matahari itu terbenam dalam salah satu sumber-sumber bumi dan wajib bagi kita untuk mengimankan arti zhahir ayat tersebut. Tetapi telah ada dalil yang pasti, bahwa matahari itu lebih besar daripada bumi dengan berlipat ganda, sedangkan benda besar masuk pada benda kecil dengan ukuran yang tetap itu mustahil, dan telah ada bukti yang pasti pula, bahwa matahari itu tidak terbenam dalam bumi. Atas dasar itu, maka ulama Islam telah membelokkan nash itu dari arti zhahirnya pada arti yang tidak segera dipahami.

Firman itu mengandung pengertian: —Allah Maha Mengetahui maksudnyabahwa Allah swt. memaksudkan, bahwa Dzulqarnain ketika sampai ke tempat bagian barat itu mendapatkan matahari menurut penglihatan orang yang melihat, terbenam pada sumur yang berlumpur, karena orang yang melihat matahari di pantai-pantai bagian barat itu membayangkan, bahwa matahari itu terbenam di laut sebelah barat yang mengelilingi negerinya, dan lautan itu banyak lumpurnya yang hitam dan gelap serta panas. Sama sekali ayat itu tidak berarti matahari itu terbenam benar-benar dalam sumur.

Oleh karena itu, firman tersebut diungkapkan dengan ungkapan:

“Dan dia mendapatinya terbenam.”

bukan dengan ungkapan lain, seperti:

“Tiba-tiba matahari itu terbenam.”

yang memberi pengertian kisah terjadinya sesuatu peristiwa secara teks.

Begitu pula orang kita berkata: “Saya dari tempat Fulan, dan saya dapati matahari itu terbenam di laut, di balik gunung atau di lembah.” Padahal menurut kepercayaannya, matahari itu tidak terbenam pada salah satu tempat tersebut. Ia hanyalah mengisahkan cara melihatnya. Pentakwilan ini diambil dari Ar-Razi, Jalalain dan Al-Kawasyi. sebagaimana dikutip dalam “Ajaibut Makhluqat”. Ar-Razi berkata: Apa yang dikatakan oleh tukang cerita, bahwa matahari itu benar-benar terbenam dalam sumur adalah pendapat yang bertentangan dengan keyakinan atau fakta”, dan firman Allah bersih dari masalah pemahaman seperti ini. Maka tidak ada jalan lain, kecuali mentakwil ayat tersebut. Allah swt. Maha Mengetahui.

III. SANGGAHAN TERHADAP KERAGUAN TENTANG NASHNASH YANG BERKAITAN DENGAN PERSOALAN MALAIKAT DAN JIN

Dalam bab kedua yang telah lewat, sudah dijelaskan mengenai kewajiban iman kepada malaikat. Sekarang kami berkata: Sesungguhnya dalam nash-nash syari’at yang mutawatir atau masyhur dan hadits-hadits ahad, tetapi karena banyaknya atau banyak jalannya, sehingga hadits-hadits itu memberi faedah derajat mutawatir, telah disebutkan, bahwa Allah swt., menciptakan benda-benda halus sebangsa cahaya yang disebut malaikat, yang mampu menjelma dengan berbagai bentuk yang dikehendakinya. Malaikat itu dapat menempuh jarak-jarak antara langit dan bumi dalam waktu yang singkat sekali. ia lewat di hadapan kita dan kita tidak melihatnya. Malikat itu mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan berat, yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia. Malaikat-malaikat itu diserahi urusan-urusan alam ini, seperti mengatur urusan hujan, binatang, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.

Allah juga menciptakan jisim-jisim lain yang disebut jin, yang menyerupai malaikat tersebut dalam sebagian karakternya, seperti kemampuan menjelma, tidak dapat dipandang dan mampu melakukan perbuatan-perbuatan besar. Tetapi jin itu berbeda dengan malaikat, karena jin bukan sebangsa cahaya, dan jin dibebani seperti manusia. Sebagian mereka ada yang mukmin, ada yang taat dan durhaka serta ada pula yang kafir.

Telah terdapat keragu-raguan dari sebagian ahli filsafat terdahulu dan ahli filsafat modern terhadap adanya malaikat, jin dan urusan-urusan mereka, seperti kemampuan untuk menjelma, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat, padahal mereka benda-benda halus, dan sebagainya. |

Kami perlu memberi penjelasan sebagai sanggahan terhadap keraguan ahli fiisafat tersebut dan perlu kami jelaskan, bahwa keragu-raguan itu anganangan yang tidak mempercayai keagungan kekuasaan Allah swt. yang menciptakan malaikat dan jin dalam keadaan seperti itu.

Ketahuilah, bahwa termasuk hal yang jaiz (mungkin) menurut akal adalah Allah swt. yang Agung Kekuasaan-Nya dan Maha Luas ilmu-Nya telah menciptakan malaikat dari materi yang halus, seperti materi udara atau ether, yang dikatakan oleh orang modern sebagai ether, yaitu benda yang halus sekali, yang memenuhi alam dan tidak dapat dilihat. Allah menciptakan malaikat dan jin dari materi-materi itu dan mengumpulkan bagian-bagian mereka dengan cara yang sesuai untuk karakter dan urusanurusan yang telah kami sebutkan. Seperti halnya Dia menciptakan hewan dari unsur-unsur benda padat yang dapat menerima kehidupan dan kekuatan berupa daya tangkap, gerakan dan sebagainya, yang sebelumnya unsur-unsur

Itu tidak demikian keadaannya. Ketidakmampuan kita melihat malaikat dan jin itu mungkin disebabkan kehalusan dan kelembutan mercka, seperti udara dan ether. Persoalan itu jelas sekali. sebagaimana keyakinan kita kaum muslim, bahwa melihat itu adalah semata-mata ciptaan Allah swt. Dan termasuk sesuatu yang mungkin adalah Allah tidak menciptakan penglihatan bagi kita terhadap mereka, ketika mereka lewat di hadapan kita.

Mengenai kemampuan malaikat dan jin dapat menjelma itu jaiz (boleh) menurut akal dan masuk di bawah kekuasaan Allah swt. Penjelasan tentang halitu dan proses penjelmaannya mungkin dapat dilakukan untuk mendekatkan pemahaman pada akal pikiran dengan memperhatikan kemampuan Allah swt. membentuk makhluk-makhluk tersebut dengan model yang sekiranya mereka itu dapat menyerap kadar udara atau ether dalam jumlah tertentu dan membentuknya dengan bentuk yang mereka kehendaki, kemudian mereka pakai sebagaimana pakaian, sehingga mereka tampak dalam pandanganpandangan dengan bentuk-bentuk itu. Dalam pekerjaan-pekerjaan kimia.yang mana Allah memberi kemampuan kepada manusia untuk memindahkan benda-benda pada sebagiannya, sebagaimana mengubah tebal menjadi tipis, tipis menjadi tebal, itu merupakan peristiwa yang mendekatkan akal memahami uraian yang telah kami tetapkan. Dan sekiranya benda-benda itu dapat membentuk diri, bagaimanapun adanya, jika disandarkan pada keagungan kekuasaan Allah swt. yang perbuatan-perbuatan-Nya itu mengagumkan pikiran tentang cini-cini khas yang diberikan-Nya pada hewan dan tumbuh-tumbuhan, maka tidak ada keanehan dalam hal penjelasan tersebut. Setiap orang yang percaya kepada Tuhan dan kebesaran kekuasaan dan ilmu-Nya, maka dia tidak menganggap mustahil terjadinya hal-hal tersebut bagi malaikat.

Adapun mengenai kemampuan malaikat dan jin mengerjakan pekerjaanpekerjaan besar yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, padahal mereka benda-benda halus, maka setelah kita melihat pekerjaan-pekerjaan angin yang dapat merobohkan pohon-pohon besar dan merobohkan bangunan-bangunan yang megah, dan kekuatan-kekuatan listrik yang mampu menarik bendabenda berat yang tidak mampu dikerjakan oleh beribu-ribu manusia, tidak ada keanehan sama sekali dibandingkan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan malaikat, —walaupun mereka itu benda-benda halus—. Lebih-lebih Dzat yang memberi kekuasaan kepada mereka, sehingga mampu melakukan pekerjaanpekerjaan itu adalah Allah yang tidak ada kesulitan sedikitpun bagiNya, berdasarkan kebesaran kekuasaan-Nya. Apabila kita memperhatikan. sebagian orang mampu memecahkan besi dengan lengannya.

Kekuatan itu bukanlah kekuatan lengannya, tetapi kekuatan itu adalah hasil kerja otot-ototnya serta urat-uratnya yang berpusat pada otak yang halus serta lembut dan menjadi sumber gerakan organ-organ tubuh menurut pendapat yang dikatakan oleh filosof. Otak karena halusnya, tidak mampu menahan sakit akibat benturan benda lain, bahkan tekanan darah yang melebihi kadar yang semestinya saja dapat merusaknya dan kadang-kadang menyebabkan kematian.

Jelaslah bagi kita, bahwa Allah swt. itu Maha Kuasa untuk memberi suatu kekuatan pada benda yang halus, yang tidak terdapat pada benda keras dan besar. Maha Suci Allah, Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui.

Mengenai kemampuan malaikat menempuh jarak yang jauh melintasi benda-benda di langit dan di antara langit dan bumi dengan waktu yang sangat singkat, maka perlu kami jelaskan: Hal itu tidak ada halangan menurut akal, karena kecepatan gerak itu tidak terbatas oleh batasan sedikitpun.Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh para ahli filsafat, bahwa benda yang jatuh ke bumi pada detik pertama dari jatuhnya kecepatannya 16 kaki. Apabila jatuhnya ke matahari, maka kecepatannya pada detik itu 450 kaki. Kemudian benda yang jatuh pada detik-detik sesudah detik pertama menyamai ukuran jatuhnya benda itu pada detik kedua dilipatkan empat kali dengan detik itu. Dengan memikirkan hukum-hukum ini, diketahuilah kecepatan yang dicapai oleh gerak benda besar yang membingungkan pikiran.

Demikian juga menurut mereka dalam ilmu astronomi, bahwa bintang Jupiter berjalan 30.000 mil setiap jam, yaitu 80 kali lebih cepat daripada kecepatan meriam. Berarti, ia berjalan sejauh 7 mil setiap kali nafas orang, dan kecepatan bagian-bagiannya dalam perputarannya pada porosnya ratarata 467 mil setiap menit. Berarti dalam satu jam masing-masing bagian itu menempuh 27.920 mil. Padahal bintang Jupiter itu besarnya 1.400 kali besar bumi kita menurut pendapat para ahli falak. Dzat yang menjadikan benda yang tebal dan besar ini dan bagian-bagian pertengahannya dapat menempuh Jarak yang cepat dalam waktu tersebut itu tidak mustahil bagi-Nya untuk menjadikan malaikat yang dapat menempuh jarak antara langit bumi dan dalam masa yang sangat singkat, walaupun jarak ini jauh lebih panjang daripada jarak yang dilintasi oleh bintang Jupiter dan bagian-bagiannya.

Tetapi memperhatikan secara jujur tentang jalan bintang itu, menjadikan akal dapat menerima, bahwa kekuasaan Allah yang telah menjalankan perjalanan ituadalah pantas untuk mengadakan jenis pekerjaan yang lebih besar dari pada pekerjaan ini, apalagi mengingat hukum-hukum benda yang jatuh, yang telah diterangkan kadar kecepatan gerak benda-benda itu.

Jika dikatakan, bahwa perjalanan bintang Jupiter itu karena daya tarik, seperti apa yang terperinci dalam buku-buku mereka, demikian juga kecepatan benda-benda yang jatuh, maka perlu kami tanyakan: “Apakah hakikat daya tarik yang perbuatan-perbuatan besar di alam ini dinisbatkan padanya?”

Mereka tidak mampu untuk menjelaskan hakikat daya tarik itu, dan apa yang menyebabkan adanya daya tarik pada benda-benda itu. Puncak keterangan mereka ialah mereka katakan, bahwa daya tarik itu menjadi sebabsebab adanya benda baru yang membingungkan akal pikiran, misalnya “tata surya”, yakni peredaran planet-planet di sekeliling matahari dapat diterima adanya daya tarik itu kami bertanya: “Siapakah Dzat yang menjadikan daya tarik dan dijadikannya sebagai kekhususan benda-benda itu, hingga daripadanya timbullah benda-benda baru yang besar di alam?” Apakah bukan Tuhan, Dzat Yang Menciptakan makhluk dari tidak ada, dan dibuatnya dengan aturan yang sangat sempurna, dan hikmah-hikmah yang paling tinggi? Jika Tuhan itu kuasa untuk mewujudkan semisal daya tarik ini dan menjalankan benda-benda itu dengan cepat, maka Dia tidak lemah untuk menjadikan malaikat mampu menempuh jarak-jarak itu dalam waktu yang singkat. Baik dengan kekhususan atau tidak. Masingmasingnya jaiz menurut akal. Dan kekuasaan-Nya adalah pantas bagi keduanya.

Perlu diketahui, bahwa semua yang telah kami terangkan mengenai malaikat, demikian juga keadaan jin mulai dari kemampuan untuk menjelma dengan berbagai bentuk, pekerjaan-pekerjaan yang berat, menempuh jarakjarak yang jauh dalam sekejap mata dan tidak terlihat oleh pandangan kita, pembuktiannya itu sama dan tidak samar lagi bagi orang yang cerdas. Allah Maha Tahu.

Kami jelaskan: Dari uraian ini, jelaslah bagi kalian tertolaknya keraguan tentang keraguan terhadap Isra’ dan Mi’raj yang telah dijalani oleh Nabi Muhammad saw. dan keraguan tentang perpindahan singgasana Bulgis dari negen Yaman ke majlis Nabi Sulaiman a.s. dalam sekejap mata.

Adapun Isra” dan Mi’raj telah disebutkan dalam Al-Qur’an, bahwa menjalankan Nabi Muhammad saw. pada satu malam dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Agsha di Palestina. Terdapat pula dalam hadits-hadits yang shahih mutawatir, bahwa Allah swt. menaikkan beliau pada malam itu ke langit yang tinggi, kemudian dikembalikan lagi ke Mekkah pada malam itu juga, sebelum fajar terbit. Kita wajib mengimani peristiwa Isra’ Mi’raj itu sebagai bagian aqidah yang wajib diimankannya. Hanya saja kami akhirkan penuturan tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj di sini untuk menolak keraguan Isra’ dan Mi’raj, agar sesuai dengan tempat ini.

Kami berkata: “Sekiranya telah jelas kecepatan gerak benda-benda sebesar apa pun termasuk jaiz akli dan termasuk di bawah kekuasaan Allah swt. Tidak ada yang menghalangi Allah swt. memindahkan diri Nabi Muhammad saw. pada satu malam dari tanah haram,Mekkah, ke tanah haram, Palestina, kemudian ke langit yang tinggi, kemudian mengembalikannya pada malam itu juga ke Mekkah. Barangsiapa yang beriman adanya Allah swt. dan merenungkan perbuatan-perbuatannya di alam ini serta percaya, bahwa Nabi Muhammad saw. adalah utusan-Nya dan beliau telah memberitakan kepada kita, bahwa beliau telah menjalani perpindahan yang cepat dalam jarak-jarak itu, sedang beliau terpelihara dari dusta, maka orang itu tidak menolak kebenaran kisah Isra’ Mi’raj dan mengimankannya tanpa raguragu serta ia tidak menganggapnya, kecuali bagian dari perkara-perkara jaiz dan termasuk di bawah kekuasaan Tuhan Yang Maha Agung.

Adapun orang yang tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Agung kekuasaan-Nya dan tidak percaya terhadap kerasulan NabiNya, maka orang itu harus lebih dulu ditunjukkan untuk iman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan bukti-bukti yang jelas. Sesudah itu, mudahlah baginya untuk membenarkan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits. Allah-lah Yang Maha Memberi petunjuk. Adapun kisah datangnya singgasana Ratu Bulgis dari negeri Yaman menurunkan hujan dari langit ke atas asap-asap yang berkumpul di udara yang disebut awan. Kemudian Allah menurunkan hujan itu dari awan ke bumi. Sekali waktu nash-nash itu menyebutkan tempat turunnya hujan dari langit dan sekali waktu tempat turunnya dari awan. Allah sebenar-benar Dzat yang berkata.

Tokoh ulama Sayid Ahmad Ar-Rifa’i telah menjelaskan pengompromian nash-nash tentang air hujan. Dia menyatakan, bahwa hujan itu ada dua, yaitu:

Hujan yang turun dari langit, itulah yang menyebabkan keluar tumbuhtumbuhan.

Hujan terbentuk dari uap bumi dan lautan yang naik ke udara, kemudian turun dari awan. Hujan ini tidak dapat menumbuhkan, walaupun mempunyai hikmah-hikmah dan manfaat-manfaat.

Allah Maha Mengetahui tentang hal ini.

Apabila terdapat dalil akli yang pasti dan tetap dari para filosof yang terdahulu dan modern, bahwa hujaan itu tidak lain hanyalah uap-uap bumi dan lautan yang naik ke udara karena panas, kemudian sebab dingin ia menjadi awan dan kemudian berobah menjadi hujan, maka boleh bagi kami untuk menerapkan kaidah yang terdahulu, yaitu mentakwilkan nash-nash yang menunjukkan, bahwa hujan itu turun dani langit tempat tinggal malaikat, dengan takwilan, bahwa yang dimaksud dengan langit dalam nash-nash ini adalah apa saja yang di atas kita dan menjadi atap bagi kita, yaitu awan yang hal itu adalah salah satu makna langit menurut bahasa, Imam Ar-Razi telah menyebutkan pentakwilan ini dalam tafsir surat Al-Bagarah, Syekh Syarambalali mengisyaratkan dalam syarah “Maragil Falah”. Dapat juga dikatakan, sesungguhnya ketika turun hujan itu dengan sebab-sebab dari langit, di antaranya panas matahari yang mengirimkan sinar-sinarnya kepada kita dari arah langit, lalu sinar-sinar itu membawa pengaruh, sehingga bagianbagian yang cair dari bumi, lautan dan sungai naik ke udara dan beruah menjadi awan lantas tutun menjadi hujan. Penurunan hujan dari awan adalah hakiki (benar-benar), sedang dari langit adalah majazi (kiasan), berdasarkan Sababiahnya. Dan Allah lah yang menyebabkan adanya sebab. Syekh

Ismail Haqy telah menyebutkan pentakwilan ini dalam tafsir surat menurunkan hujan dari langit ke atas asap-asap yang berkumpul di udara yang disebut awan. Kemudian Allah menurunkan hujan itu dari awan kebumi. Sekali waktu nash-nash itu menyebutkan tempat turunnya hujan dari langit dan sekali waktu tempat turunnya dari awan. Allah sebenar-benar Dzat yang berkata.

Tokoh ulama Sayid Ahmad Ar-Rifa’i telah menjelaskan pengompromian nash-nash tentang air hujan. Dia menyatakan, bahwa hujan itu ada dua, yaitu:

Hujan yang turun dari langit, itulah yang menyebabkan keluar tumbuhtumbuhan.

Hujan terbentuk dari uap bumi dan lautan yang naik ke udara, kemudian turun dari awan. Hujan ini tidak dapat menumbuhkan, walaupun mempunyai hikmah-hikmah dan manfaat-manfaat.

Allah Maha Mengetahui tentang hal ini.

Apabila terdapat dalil akli yang pasti dan tetap dari para filosof yang terdahulu dan modern, bahwa hujaan itu tidak lain hanyalah uap-uap bumi dan lautan yang naik ke udara karena panas, kemudian sebab dingin ia menjadi awan dan kemudian berobah menjadi hujan, maka boleh bagi kami untuk menerapkan kaidah yang terdahulu, yaitu mentakwilkan nash-nash yang menunjukkan, bahwa hujan itu turun dari langit tempat tinggal malaikat, dengan takwilan, bahwa yang dimaksud dengan langit dalam nash-nash ini adalah apa saja yang di atas kita dan menjadi atap bagi kita, yaitu awan yang hal itu adalah salah satu makna langit menurut bahasa, Imam Ar-Razi telah menyebutkan pentakwilan ini dalam tafsir surat Al-Bagarah, Syekh Syarambalali mengisyaratkan dalam syarah “Maragil Falah”. Dapat juga dikatakan, sesungguhnya ketika turun hujan itu dengan sebab-sebab dari langit, di antaranya panas matahari yang mengirimkan sinar-sinarnya kepada kita dari arah langit, lalu sinar-sinar itu membawa pengaruh, sehingga bagianbagian yang cair dari bumi, lautan dan sungai naik ke udara dan beruah menjadi awan lantas tutun menjadi hujan. Penurunan hujan dari awan adalah hakiki (benar-benar), sedang dari langit adalah majazi (kiasan), berdasarkan sababiahnya. Dan Allah lah yang menyebabkan adanya sebab. Syekh Ismail Haqy telah menyebutkan pentakwilan ini dalam tafsir surat “An-Naba” Bagaimanapun keraguan itu terbantah dan nash-nash syari’at yang ada, sesuai dengan hukum akal. Allah Maha Mengetahui.

Jika dikatakan: Apakah hakikat guruh, kilat dan halilintar? Para filosof modem berkata: Semuanya itu timbul dari proses kekuatan listrik yang terdapat di awan. Mereka kemukakan dalil-dalil dalam buku-buku mereka yang mendukung pendapat tersebut semacam pengkiasan sesuatu yang tidak tampak (ghaib) dengan sesuatu yang ada.

Kami berkata: Para ulama Islam terdahulu telah berbeda pendapat dalam hal itu. Sebagian mereka berkata: Guruh adalah malaikat yang diserahi mengatur awan untuk menggiring ke mana saja yang dikehendaki oleh Allah. Suara yang terdengar adalah suara malaikat itu, yang disebut guruh (ra’du) dan di tangannya cambuk-cambuk dan api untuk menggiring awan. Kilat adalah sesuatu yang keluar dari cambuk itu. Apabila ia amat marah, maka keluarlah api dari mulutnya yang berwujud halilintar. Para pemilik pendapat ini menyandarkan pada hadits ahad yang berhubungan dengan hal itu.

Sebagian mereka berkata, bahwa guruh adalah salah satu makhluk Allah swt., tapi bukan malaikat. Ini diriwayatkan dari Hasan Al-Bishn. Sebagian mereka berkata, bahwa guruh, kilat dan halilintar keluar akibat benturan-benturan bagian awan, sehingga timbullah suara yang disebut guruh. Dan hal itu mengeluarkan cahaya yang disebut kilat. Halilintar adalah gemuruhnya guruh yang menakutkan disertai api.yang apabila mengenai sesuatu akan membawa kerusakan: Al-Baidhawi mengulas pendapat ini, bahwa itulah pendapat yang masyhur. Mungkin yang dimaksud masyhur adalah masyhur di antara ulama yang ahli pikir.

Apabila pendapat-pendapat ini telah menjadi ketetapan, maka perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini adalah bukti, bahwa hadits yang menjadi sandaran pemilik pendapat pertama tidak shahih menurut kelompok kedua, yang tidak sependapat dengan mereka. Jika tidak demikian, niscaya mereka tidak mengatakan dengan pendapat yang lain daripada itu. Maka meyakini kandungan pendapat pertama tidaklah wajib bagi kita, sebagaimana meyakini akidah-akidah yang lain. Karena nash yang dipakai untuk sandaran bukanlah nash yang shahih datangnya dani Rasulullah secara pasti, seperti hadits mutawatir dan masyhur, tetapi yang benar tidak bertentangan dengan hadits itu, meskipun hadits ahad. Apabila tidak ada dalil yang pasti atas tetapnya pertentangan hadits itu, maka semua yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah jaiz akli dan termasuk di bawah kekuasaan Allah swt. Apa yang menghalangi Allah Yang Maha Agung kekuasaan-Nya, yang telah membuat malaikat itu mewakilkannya untuk mengatur masalah awan dan hujan dan menimbulkan peristiwa-peristiwa, seperti suara yang besar, kilat dan halilintar?

Adapun apabila benar berdasarkan dalil akli yang pasti, bahwa tiga peristiwa itu adalah akibat listrik, maka kami menakwilkan nash hadits ahad itu. Kami katakan, bahwa tidak ada yang menghalangi Allah swt. menjadikan malaikat dan mewakilkannya untuk mengatur urusan hujan. Peristiwaperistiwa yang timbul dari kekuatan listrik yang di dalamnya terdapat hikmahhikmah yang cemerlang, yang prinsipnya adalah pengaturan malaikat itu dan tindakannya terhadap awan. Hadits itu memberi pengertian, bahwa masalah hujan dan kejadian-kejadian itu tempat kembalinya adalah malaikat dengan perumpamaan dan penggambaran keagungan malaikat itu. Maka, Nabi mengibaratkan guruh dengan suaranya, kilat dengan cahaya cambuknya, halilintar dengan bunga api mulutnya. Dimaksud semua itu adalah tamsil dan gambaran. Gaya bahasa ini adalah berlaku dalam bahasa Arab. Para pemilik bahasa itu memahami apa yang dimaksud dari gaya bahasa itu. Hal yang demikian itu berlaku pula penggunaannya dalam syari’at. Sebagian kalimat yang berlaku di kalangan ahli bahasa Arab adalah perkataanperkataan sebagian mereka yang memuji seorang laki-laki.

“Sesungguhnya toleransi, keperwiraan dan kedermawanan terletak dalam kubah yang dibuat untuk Ibnu Hasyraj.”

Sesungguhnya sudah maklum, bahwa toleransi, keperwiraan dan kedermawanan adalah hal-hal abstrak yang tidak dapat diletakkan dalam kubah bersama orang yang dipuji. Tetapi yang dimaksudkan adalah mentamsilkan dan menggambarkan tentang tetapnya orang yang dipuji itu pada sifat-sifat yang mulia, sehingga seolah-olah telah dibuat kubah untuk tempat sifat-sifat dan orang yang dipuji itu.

Penggunaan tamsil dan penggambaran yang terdapat dalam syari’at, di antaranya tersebut dalam firman Allah swt.:

“Dan bumi seluruhnya besok hari kiamat digenggam oleh Allah, sedang langit-langit itu dilipat dengah tangan kanan-Nya.”

Firman itu telah ditakwilkan, bahwa yang dimaksud adalah mentamsilkan dan menggambarkan keagungan, kekuasaan dan kebesaran kerajaan Allah swt. Demikianlah, karena Allah swt. tidak menyerupai dengan benda-benda baru. Dan mustahil Allah itu menempel kepadanya dengan menggenggam bumi dan mengambil langit dengan tangan kanannya. Dengan demikian, maka pengompromian antara hadits ahad dan pendapat yang diperkirakan benar berdasarkan dalil yang pasti, berupa ucapan.

Jika dikatakan, bahwa dalam Al-Qur’an yang mulia terdapat nash yang memberi pengertian, bahwa Allah swt. menjadikan planet-planet sebagai perhiasan langit dunia dan sebagai penjagaan dari setan dan menjadi pelempar mereka, karena mereka naik ke dekat langit untuk mencuri pendengaran dari malaikat. Ada hal sudah dimaklumi, bahwa ahli-ahli falak mengatakan tentang besarnya kebanyakan planet, sehingga sebagian bintang-bintang itu ada yang lebih besar daripada bumi beberapa kali lipat. Terdapat juga pada sebagian atsar yang menunjukkan atas besarnya sebagian bintang-bintang itu. Seandainya setan-setan itu dilempar dengan planet-planet yang besar ini, niscaya jatuh ke bumi dan membahayakan bumi, dan planet-planet yang terlihat oleh kita, niscaya berkurang.

Kami katakan, yang dimaksud dengan nash Qur’an itu bukanlah planet yang besar-besar yang menjadi pelempar, sehingga harus berakibat yang demikian itu. Imam Ar-Razi dalam tafsir surat Ash-Shaffat dan tafsir surat Al-Mulku menjelaskan, bahwa terpisahlah nyala bintang-bintang yang dipergunakan untuk melempar setan-setan, yaitu meteor yang kita lihat jatuh dari arah langit.

Atau memang planet itu ada dua bagian, yaitu:

Besar yang tetap, tidak berubah dan tidak jatuh.
Kecil yang bisa jatuh dan menjadi pelempar setan-setan.

Inilah meteor yang biasa kata lihat jatuh dari langit.

Apabila ada orang mengatakan, bahwa ahli ahli talak modern berpendapat, bahwa meteor-meteor adalah benda benda kecil yang beterbangan di angkasa, apabila dekat dengan bumi, kadang kadang kena tarikan bumi dan jatuh dikarenakan cepatnya gerakan.

Kami berkata, bahwa nash Al-Qur’an tidaklah mengatakan, hahwa setiap meteor itu untuk melempar setan tetapi nash itu memberi pengertian,bahwa planet-planet menjadi pelempar secara global. Maka, apakah yang menghalangi, bahwa Allah menciptakan benda-benda itu dan diletakkan di angkasa dan benda-benda itu termasuk golongan bintangbintang tetapi kecil. Maka sekali-kali jatuh ke arah bumi ketika dekat dengannya dan kena tarikan bumi. Dan sekali-kali Allah melemparkannya terhadap yang mencuri pendengaran. Maka tampaklah kebenaran nash AlQur’an, bahwa Allah menjadikan bintang-bintang besar dan membuat pelempar dengan sebagian bintang-bintang kecil. Ahli-ahli falak hanya mengetahui apa-apa yang ditunjukkan oleh alat peneropong mereka. Kita telah tahu, bahwa dari bintang-bintang ada yang menjadi pelempar pada setan, yaitu sebagian benda-benda kecil itu. Dan hal itu tetap dalam kepercayaan kami, karena pemberitaan Al-Qur’an yang mulia dan benar serta dalam hal itu tidak ada kesulitan. Allah swt. Maha Tahu.

Jika benar apa yang dikatakan oleh ahli-ahli falak, bahwa bumi itu bulat. berada di angkasa tidak terletak pada sesuatu, maka bagaimana pendapat kalian tentang atsar yang diriwayatkan dari sebagian sahabat, bahwa Nabi Isa a.s. ketika ditanya tentang bumi, maka beliau menjawab bumi itu di atas tanduk sapi jantan, sapi jantan itu di atas batu, batu itu di atas punggung ikan dan ikan itu berada di lautan. Lautan itu di atas angin dan di bawah angin adalah kegelapan?

Kami jawab: “Seandainya atsar tersebut diperkirakan sebagai hadits. Ia bukan ayat Al-Qur’an, bukan hadits mutawatir dan Bukan hadits masyhur yang wajib diimankan, seperti akidah akidah Islam yang lain, karena tidak yakin shahihnya atsar ani, Jika diperkirakan atsar itu benar dari Nabi Isa, maka dapat ditakwil dengan takwilan bahwa atsar itu salah satu Macam perumpumaan Banyak terdapat Isyarat dan macam perumpamaan dalam perkataan Nabi Isa a.s., sebagaimana diketahui sebagian besar riwayat yang dikutip dari beliau. Allah Maha Mengetahui.

SANGGAHAN BERBAGAI KERAGUAN TERHADAP NASH-NASH SYARI’AT.

Keraguan Tentang Penciptaan Alam dan Sanggahannya

Perlu diketahui, bahwasanya dalam Al-Qur’an yang mulia terdapat ayat yang memberi pengertian, bahwa Allah swt. menciptakan Adam a.s. sebagai ayah manusia berasal dari tanah liat, tanpa ayah-ibu.

Dalam Al-Ouran terdapat nash, bahwa Allah Yang Maha Suci menciptakan istri Adam, yaitu Hawa dari Adam. Sebagian ahli tafsir berkata, bahwasanya Allah menciptakan Hawa dari jenis dan macamnya (Adam), sebagaimana firman Allah swt.:

“Allah menjadikan untukmu sekalian istri-istrimu darimu sekalian.”

Sebagian besar ahli tafsir berpendapat, bahwa Allah menciptakan dari salah satu tulang rusuknya yang kiri. Dasar mereka adalah hadits ahad.

Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan, bahwa Allah swt. menciptakan Nabi Isa a.s. dari Sayidah Maryam a.s., tanpa ayah.

Para ulama berkata: “Sesungguhnya Allah menciptakan mereka yang telah tersebut itu dengan cara-cara seperti tersebut serta menciptakan seluruh manusia dengan cara yang biasa itu merupakan suatu isyarat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya atas kesempurnaan kekuasaan-Nya dengan menciptakan manusia melalui cara apa saja yang Dia kehendaki Ia menciptakan Adam tanpa ayah-ibu.

Dia ciptakan Hawa dari seorang laki-laki saja tanpa ibu dan Dia ciptakan Isa dari seorang wanita tanpa ayah. Dia cintakan seluruh manusia melalui ayah dan ibu.

Barangsiapa yang beriman pada adanya Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya berpikir tentang hewan dan tumbuh-tumbuhan yang diciptakan dari tanah, maka tidak sulitlah baginya untuk iman terhadap penciptaan Adam, Hawa dan Isa dengan cara-cara tertentu, karena tidak ada bukti tentang kemustahilannya dan lebih-lebih telah diberitakan oleh orang yang benar, yaitu Nabi Muhammad saw.

Apa yang dikatakan oleh sebagian ahli filsafat modern tentang manusia dan binatang-binatang lain itu dijadikan dari unsur-unsur bumi, kemudian sebagiannya terpencar dari bagian lainnya dengan proses yang lama dan menyebutnya sebagai teori evolusi itu merupakan pendapat yang berlandaskan dugaan dan perkiraan-perkiraan, tidak meyakinkan sama sekali, sebagaimana telah saya jelaskan dalam “Ar Risalatul Hamidiyah Fi Hagigaatid Diyaanah al Islamiyah.”

Kami tidak perlu mentakwil nash tertang penciptaan Adam dari tanah, karena dalam kaidah telah dijelaskan, bahwa kita tidak boleh mentakwilkan nash syarak, kecuali apabila ada dalil yang pasti, yang mengandung pengertian yang berlawanan dengan makna zhahir nash. Atas dasar adanya dalil yang pasti terhadap perkataan para ahli filsafat, maka memungkinkan untuk mentakwilkan nash tentang penciptaan Adam dan Hawa ini dengan takwilantakwilan yang sesuai, sebagaimana saya terangkan dalam kitab Ar-Risalah Al-Hamidiyyah juga.

Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah swt. dan keagungan kekuasaan-Nya, maka dia harus diberi tahu tentang bukti-bukti adanya Allah swt., sehingga dia beriman kepada-Nya. Sesudah itu, dia akan menganggap nyata kebenaran nash-nash syari’at tersebut.

Allah Maha Mengetahui.

Keraguan Tentang Kisah Ashabul Kahfi dan Sanggahannya

Dalam Al-Ouran disebutkan tentang kisah penghuni gua (ashhabul kahfi) yang memberi pengertian, bahwa mereka diam di dalam gua selama 309 tahun. Penjelasan kisah mereka terdapat dalam beberapa hadits Nabi saw., mereka adalah orang-orang yang beriman kepada agarna Nabi Isa yang benar. Mereka takut terhadap paksaan raja mereka untuk kafir dan menyembah berhala. Oleh karena itu, mereka bersembunyi dalam gua dan Allah menidurkan mereka selama masa tersebut, kemudian setelah terbangun, mereka kembali lagi tidur dan tertutuplah orang-orang yang melihat mereka dari pintu gua. Kejadian ini adalah jaiz akli, karena tidak ada yang menghalangi Allah swt. untuk memelihara hidup orang yang sedang tidur selama beberapa tahun. Sesungguhnya makanan itu tidak lain hanyalah sebab kebiasaan dalam memelihara hidup, sedang Allah swt. Maha Kuasa untuk memelihara hidup tanpa makanan. Kadang-kadang terdapat hewan-hewan, khususnya dari jenis ular, yang tidur di bawah tanah selama musim dingin, tidak makan dan tidak minum, dan Allah memelihara hidupnya pada waktuwaktu itu. Demikian pula sebagian para ahli geologi atau ilmu lapisan-lapisan bumi mengatakan, bahwa sebagian binatang-binatang kecil kadang-kadang bertempat di bawah tanah ribuan tahun dengan terpelihara hidupnya. Mereka mengemukakan bukti dengan sebagian hasil penemuan-penemuan mereka. Tetapi keberadaan Ashabul Kahfi sekarang ini tidak harus dapat diketahui oleh pakar ilmu geologi, sebab banyak tempat yang tidak dapat mereka capai, disamping tidak ada hadits shahih yang secara jelas menunjukkan tempat mereka.

Keraguan Terhadap Mimpi dan Sanggahannya

Di dalam Al-Ouran dan Hadits Nabi saw. terdapat nash-nash yang menunjukkan, bahwa mimpi itu kadang-kadang menunjukkan ada urusanurusan yang terjadi dalam alam sadar, adakalanya jelas dan adakalanya membutuhkan pada penafsiran. Para ulama berkata: “Sesungguhnya mimpi adalah gambaran-gambaran pikiran yang terjadi pada diri orang yang tidur, dan ada beberapa macam, di antaranya:

– Disebabkan uap makanan,

– Disebabkan oleh pikiran manusia dalam persoalan di kala jaga, maka ia melihatnya atau melihat sesuatu yang sesuai di kala tidur.

– Disebabkan dari setan untuk menipu manusia, menjadikan sedih kepadanya dan sebagiannya dengan tujuan-tujuan buruk.

– Ada yang dari sisi Allah swt. sebagai khabar gembira atau peringatan dari Allah dan sebagiannya, akalanya terang-terangan atau isyarat.

Mimpi yang terakhir itulah yang disebutkan dalam syari’at sebagai bagian dari wahyu.

Semua mimpi tersebut tidak mustahil menurut akal. Untuk bagian yang terakhir ini ada bukti-bukti yang diriwayatkan dalam sejarah-sejarah terdahulu sampai kini. Kami kira sedikit sekali orang yang tidak mengalami hal itu dalam hidupnya. Tetapi di kalangan ahli filsafat modern terdapat orang yang mengingkan irnpian jenis terakhir ini dan mengingkari, bahwa impian itu menunjukkan pada sesuatu di waktu keadaan sadar, tanpa adanya dalil dari orang tersebut atas kemustahilan atau tidak ada kenyataan impian itu. Apabila disampaikan kepada orang tersebut sebagian bukti-bukti mimpi yang dialami seseorang, maka bukti itu ditakwili dengan takwilan-takwilan yang lemah dan dangkal. Yang kita percayai adalah bahwa petunjuk impian macam ini terhadap terjadinya urusan-urusan di waktu jaga adalah hal yang jaiz menurut akal. Nash-nash syari’at telah memberitakan terjadinya hal itu, maka kita mempercayai dan membenarkannya.

Keraguan Terhadap Sihir dan Sanggahannya

Di dalam Al-Ouran dan Hadits Nabi saw. terdapat nash yang memberi pengertian, bahwa sihir itu nyata dan pengaruh di luar. Ulama berkata: “Sesungguhnya sebagian dari sihir itu terdapat sesuatu yang nyata dan pengaruh di luar, misalnya mengubah sebagian bentuk hewan pada bentukbentuk yang lain, membunuh hewan dan menjadikan sakit pada bagian-bagian tubuh. Hal itu adakalanya timbul dani kelebihan tukang sihir itu sendiri, yang dikhususkan oleh Allah swt. dan adakalanya timbul dari jampi atau azimat yang digunakan oleh tukang sihir itu. Tetapi, setiap pengaruh yang terjadi di luar itu adalah ciptaan Allah. Kelebihan yang ada pada tukang sihir dalam menggunakan sebagian jampi dan azimat tidak lain hanyalah merupakan sebab-sebab yang biasa digunakan Allah dalam mengadakan akibat-akibatnya. Tukang sihir itu sama sekali tidak dapat menciptakan pengaruh-pengaruh sedikitpun. Di antara sihir itu ada yang tidak berpengaruh nyata di luar. Sedangkan yang tampak dalam pandangan dan pikiran orang yang melihat, hanyalah sesuatu bayangan dan khayalan yang dikira oleh orang tersebut sebagai gambaran-gambaran yang nyata, padahal tidak demikian halnya. Gambaran-gambaran khayal itu terjadi adakalanya dengan perantaraan proses-proses kimia, atau menggunakan hukum-hukum alam, seperti hukum cahaya, sehingga orang melihat pengaruh di luar yang tidak ada kenyataannya. Dan adakalanya dengan perantaraan-perantaraan lain, seperti kecepatan pekejaan dan sebagainya. Golongan ahlus sunnah wal jamaah berpendapat, bahwa tidak ada yang menghalangi Allah swt, menjadikan pada sebagian orang kemampuan khusus untuk mempengaruhi benda-benda dan mengubah bentuknya, menimbulkan sesuatu yang membahayakan dan sebagainya, dan tidak ada halangan bagi Allah mengadakan hal itu melalui penggunaan mantera dan azimat. Tetapi semua itu adalah ciptaan Allah swt. dan kekhususankekhususan jampi dan azimat itu merupakan sebab-sebab yang biasa dalam mewujudkan pengaruhpengaruh, sebagaimana tidak ada halangan bagi Allah untuk menciptakan bayangan, khayalan yang tidak ada kenyataannya di luar ketika ada penggunaan sebagian teori yang menimbulkan gambaran-gambaran itu.

Jika dikatakan, seandainya kita menganggap mungkin terjadinya sihir, niscaya ada kesamaan antara penyihir dengan Rasul yang membawa mukjizat. Kami katakan, bahwa sesungguhnya Rasul itu mengaku diutus oleh Allah dan Allah membenarkannya dengan menampakkan mukjizat di kedua tangannya, sedang tukang sihir tidak mengaku diutus. Jika tukang sihir itu bermaksud untuk mengaku diutus, maka kebijaksanaan Allah tidak akan memberi perkara luar biasa kepadanya atau Allah membongkar rahasia praktek-praktek sihirnya, hingga tidaklah terjadi keserupaan antara sihir dengan mukjizat bagi manusia. Sebagaimana dikatakan Imam Ar-Razi dalam hikmah pengajaran sihir oleh dua malaikat kepada manusia. Pendapat itu telah kami sebutkan di muka. Inilah yang menjadi pembeda antara mukjizat dan sihir.

Apabila dikatakan, bahwa para ahli filsafat modern mengingkari adanya sihir jenis yang pertama, yakni timbulnya sebagian kenyataan-kenyataan di kedua tangan tukang sihir, misalnya mengubah bentuk-bentuk dan membuat hal-hal yang membahayakan kepada orang lain dengan perantaraanperantaraan kemampuan khusus yang ada pada dirinya atau karena menggunakan mantera dan azimat dengan dalih, bahwa dalam akal tidak tampak kaitan antara perantaraan-perantaraan dan kenyataan-kenyataan di luar dan seluruh apa yang kami katakan tentang hakikat sihir pada masa ini, yakni seluruh yang tampak di tangan mereka adalah gambaran-gambaran dan fantasi-fantasi yang dalam kenyataan di luar tidak ada, dan hal itu terjadi di tangan mereka dengan menggunakan sebagian teori-teori atau permainan keterampilan tangan dan kecepatan pekerjaan.

Selain itu, banyak tukang sihir yang mengaku, bahwa apa yang tampak dalam pandangan mata hanyalah bayangan khayalan yang tidak ada kenyataannya. Untuk menyanggah pernyataan ahli filsafat tersebut, maka kami katakan, bahwa tidak tampaknya hubungan perantaraan-perantaraan berupa kelebihan, penggunaan jampi dan azimat-azimat dengan tampaknya kenyataan-kenyataan di Juar itu tidak mengharuskan tidak adanya sihir itu sendiri. Mungkin hubungan itu ada, namun manusia tidak melihatnya, lebihleb’h masalah sihir yang merupakan sesuatu yang tersembunyi dan adanya tukang sihir juga sedikit, lagi pula pada masa yang lampau. Magnet itu jelas dapat menarik besi, tetapi tidak seorangpun melihat hakikat sebab yang mewujudkan kekhususan daya tarik ini. Kenapa magnet itu menarik besi, bukan lainnya. Mereka paling-paling mengatakan, bahwa susunan komponen magnet itu menghendaki demikian. Ini adalah suatu pengakuan pada sebab yang global, tidak jelas dan tidak dapat memuaskan akal. Karena itu, kami berkata: “Sesungguhnya adanya kenyataan-kenyataan itu pada tukang sihir adalah semata-mata penciptaan Allah. Hal ini tidak ada masalah, baik di sana terdapat sebab yang — mengakibatkan hal itu atau tidak.”

Adapun perkataan mereka: “Seluruh hakikat keadaan sihir yang telah kami temukan pada m»-a ini sungguh jelas bagi kami, bahwa seluruh bayangan dan khayalan yang dibuat tukang sihir, adalah tidak ada kenyataannya di luar.” .

Untuk menanggapi perkataan tersebut, perlu kami tegaskan:

Pertama, kami tidak menerima, bahwa mereka itu telah mengetahui keadaan tukang sihir pada masa sekarang ini.

Kedua, tidak ada pertentangan mengenai keberadaan sihir jenis yang pertama itu sudah benar-benar tidak ada, sebagaimana ilmu-ilmu lain, dan tinggal sihir jenis kedua saja yang mereka ceritakan.

Kami tidak mengatakan, bahwa sihir jenis pertama selamanya ada hingga dewasa ini. Bahkan masalah itu sendiri jarang adanya dan orang yang memilikinya pun tidak dijumpai, kecuali pada masa dahulu kala.

Kesimpulannya kami golongan ahli sunnah ialah, bahwa sihir itu ada. Lebih-lebih pada masa silam, sebagaimana disebutkan oleh nash-nash. Dan pengaruh-pengaruh yang diakibatkannya itu semata-mata ciptaan Allah swt., meskipun kami tidak melihat sedikitpun adanya sihir itu pada masa kini. Alllah swt. Maha Mengetahui.

Keraguan Terhadap ‘Ain dan Sanggahannya

Dalam sebagian hadits-hadits ahad disebutkan, bahwa sebagian mata itu mempunyai pengaruh dalam menimbulkan penyakit pada sebagian tubuh dan menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Sebagian ahli tafsir membawa pendapat ini dalam menafsirkan beberapa ayat. Sebagian ahli filsafat modern dan kuno telah mengingkarinya. Mereka berkata, bagaimana mungkin mata dapat bekerja dari jauh dan memberi pengaruh terhadap tubuh dengan membuat sakit dan bahaya. Kami berkata, bahwa hal itu termasuk jaiz akli. Hakikat pengaruh adalah ciptaan Allah swt., sedangkan mata adalah sebab yang biasa. Apabila dikehendaki penjelasan pengaruh tersebut menurut akal, maka kami katakan, bahwa manusia itu berbeda-beda dalam kekhusuannya, sebagaimana perbedaan itu terdapat di antara macam-macam hewan.

Apakah yang menghalangi manusia memiliki tabiat (pembawaan) yang di dalam mengandung bisa (racun) atau hal-hal yang membahayakan” Apabila ia melihat sesuatu dengan matanya dan mengagumi sesuatu, lalu memusatkan perhatian kepadanya, maka terpancarlah dari matanya benda beracun ke udara. Apabila benda itu sampai pada orang yang dilihat, maka sangat berbahaya bagi orang yang dilihatnya itu. Apakah yang menghalangi terpancarnya benda dan mata di waktu terjadi emosi, sebagaimana keluarnya air mata. Sebagian orang yang ahli dalam membahas keistimewaankeistimewaan binatang mengatakan, bahwa sebagian dari ular naga ada yang jika melihat manusia, maka manusia itu mati karena pandangannya, dan jika ia bersuara, maka matilah orang yang mendengar suaranya. Apabila perkataan ini benar, maka naga itu berarti membunuh dari jauh hanya dengan perantaraan bisa yang terpancar darlpadanya dan mengenai manusia itu. Barangsiapa yang memikirkan magnet dan pengaruhnya pada besi dari kejauhan, maka orang tersebut tidak menganggap anch pengaruh mata terhadap tubuh dari kejauhan. Inilah yang disebutkan oleh sebagian mutakallimin tentang pengaruh mata dalam membuat sakit dan membahayakan terhadap tubuh, itulah yang disebutkan dalam hadits-hadits.

Adapun riwayat yang menceritakan, bahwa mata itu dapat merobohkan bangunan-bangunan yang besar, membelah gunung dan sebagainya, itu adalah riwayat yang terdapat dalam kisah-kisah dan dongeng-dongeng yang tersebar luas di kalangan manusia. Apabila riwayat itu tidak shahih, maka tidak perlu dipegangi.

Kesimpulannya, adalah kami berpendapat, bahwa pengaruh mata terhadap tubuh dengan membuat sakit dan hal yang membahayakan itu jaiz dan adanya hal itu dengan ciptaan Allah swt., karena terdapatnya nash dan tidak ada persoalan menurut akal serta tidak ada hal yang mengharuskan kemustahilannya. Allah swt. Maha Tahu.

Keraguan Tentang Penularan Penyakit dan Sanggahannya

Dalam hadits-hadits ahad terdapat nash yang memberi pengertian, bahwa wabah itu adalah tikaman jin. Sedangkan menurut para dokter, bahwa wabah itu adalah karena rusaknya darah akibat pencemaran udara.

Kami berpendapat, apabila pendapat yang dikemukakan para dokter itu benar, maka dapat dikatakan, bahwa sebab pokok dalam wabah itu adalah penguasaan Allah swt. kepada jin terhadap manusia untuk merusakkan udara dan darah mereka, sehingga timbullah kuman penyakit itu. Nash syarak memberitakan tentang sebab pokoknya dan diqiyaskan dengan tikaman jin, sedang dokter mengkaji sebab akhir dan mereka kemukakan hasil pengkajian mereka itu. Dengan demikian, maka tidak ada kemusykilan.

Jika dikatakan, bahwa dalarn hadits ahad terdapat sabda Nabi saw. beliau bersabda:

“Orang yang berpenyakit sampar, janganlah mendekati orang yang sehat.”

“Larilah kamu dari orang yang berpenyakit kusta, bagai engkau lari . dari kejaran singa.”

Dalam hadits yang lain beliau bersabda: yang artinya: “Tidak ada penularan.”

Bagaimanakah mengompromikan antara hadits-hadits itu?

Kami katakan, bahwa hal yang telah dimaklumi, bahwa orang-orang Islam berkeyakinan, bahwa segala sesuatu itu tidak memiliki pengaruh apaapa dengan sendirinya, tetapi semua pengaruh yang ditimbulkan sesuatu itu adalah ciptaan Allah, hanya saja Allah telah mengadakan sebab-sebab yang biasa pada pengaruh-pengaruh itu. Allah kuasa untuk melepaskan pengaruhpengaruh itu dari sebab-sebabnya. Sesungguhnya umur itu telah pasti tidak bertambah dan tidak berkurang, dan manusia tidaklah ditimpa sesuatu, kecuali apa yang telah ditentukan atasnya.Maka tidak boleh bagi dia untuk mengi’tiqadkan, bahwa suatu penyakit berpengaruh dengan sendirinya dan berjangkit kepada orang yang tidak mendenita penyakit itu dan tidak boleh mengi’tiqadkan, bahwa manusia kadang-kadang tertular penyakit dan mati sebelum masa yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya.

Apabila hal itu telah menjadi ketetapan, maka kami berkata: Allah lebih mengetahui tentang maksuk Rasul-Nya, mungkin yang dimaksud sabda Nabi a.s.: “Tidak ada penularan” adalah tidak boleh mengi’tiqadkan penularan dan pemberian bekas oleh diri penyakit itu sendiri dan mematikan manusia sebelum waktunya. Tetapi kadang-kadang dalam sebagian penyakit seperti kusta, cacar, TBC dan sebagainya, terdapat bau yang menjijikkan dan hal-hal yang berbisa yang keluar dari pemiliknya. Mungkin semua itu menjadi sebab yang biasa, yang menyebabkan sakit orang yang bergaul dan mendekatinya. Allah Maha Tahu.

Itulah maksud pengertian yang disyaratkan oleh sabda beliau saw.: “Orang yang berpenyakit sampar jangan sekali-kali mendekati orang yang sehat” dan sabdanya: “Larilah kamu dari orang yang berpenyakit kusta, seperti engkau lari dari kejaran harimau.”

Sebagaimana dingin dan panas yang sangat dan despepsia, kadang-kadang menyebabkan penyakit. Demikian juga bau-bauan yang busuk dan bahanbahan berbisa yang keluar dari orang sakit kadang-kadang menjadi sebab yang biasa dalam mendatangkan penyakit bagi orang yang sehat, yang mempergaulinya. Apabila orang itu menjauhi penyakit-penyakit itu untuk menghindarkan dari sebab-sebab yang biasa dengan keyakinan, bahwa penyakit-penyakit itu tidak memberi pengaruh dengan sendirinya, penghindarannya itu tidaklah menjadi penghalang terhadap takdir Allah swt. dan tidak memanjangkan umurnya, maka tidak ada persoalan untuk menghindar dengan menjaga syarat-syarat itu agar i’tiqadnya sah.

Rasulullah saw. telah bersabda tentang wabah tho’un:

“Apabila ada wabah dalam suatu negeri yang engkau tempati, maka janganlah kamu sekalian keluar daripadanya.”

“Apabila ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu sekalian memasukinya.”

Sebagian ulama berpendapat, bahwa Nabi dengan sabdanya: “Jangan kamu keluar daripadanya'”‘ adalah bermaksud apabila wabah itu dalam suatu negeri dan kalian mengira, bahwa lari dari takdir Allah adalah menyelamatkan kamu. Dan dengan sabdanya: “Dan apabila wabah ada dalam suatu negeri, maka janganlah kamu sekalian memasukinya” beliau memaksudkan, bahwa tinggalmu dalam suatu negeri yang tidak ada wabah adalah lebih menenangkan dirimu dan lebih baik bagi kehidupanmu. Dalam pada itu tidak ada penghalang bagi manusia untuk mempergauli para penderita penyakit itu seraya tawakkal dan percaya kepada Allah swt., karena terjadinya marabahaya dengan mempergauli mereka adalah tidak merupakan kepastian dan telah terdapat dalam hadits, bahwa beliau saw. makan bersama orang yang kena penyakit kusta dalam satu tempat dan beliau bersabda: “Penuh keyakinan kepada Allah.”

Dengan merenungkan pembahasan ini, tampaklah pengompromian antara hadits-hadits yang mulia dan diketahui pula keyakinan kaum muslimin tentang masalah penularan. Allah swt. Maha Tahu.

Keraguan Tentang Proses Gempa Bumi

Jika dikatakan, dalam hadits ahad terdapat keterangan yang memberi pengerti, bahwa Allah swt. telah menjadikan malaikat yang diserahi mengurus urat bumi, Apabila Allah menghendaki gempa pada suatu daerah bumi, maka Allah memenntahkan malaikat itu lantas digerakkanlah urat daerah itu ningga terjadilah gempa di sana. Sedangkan para ilmuwan berpendapat, bahwa gempa itu terjadi akibat tertahannya gas atau air di perut bumi dan tertekan panas serta tidak ada saluran ke permukaan bumi, maka hal itu menimbulkan gerak keras yang disebut gempa.

Kami berkata, bahwa riwayat yang terdapat dalam hadits tidak ada persoalan menurut akal, tetapi apabila pendapat yang dikatakan oleh ilmuwan itu benar berdasarkan dalil yang pasti, maka hadits tersebut dapat ditakwil dengan takwilan, bahwa Allah menjadikan malaikat itu dengan diserahi pengaturan gas dan air yang ada dalam perut bumi. Dalam hadits hal ini diungkapkan dengan kalimat: Malaikat itu diserahi urat-urat bumi. Apabila Allah berkehendak suatu daerah bumi, maka Allah memerintahkan malaikat itu, lalu dia menguasai dengan sepenuhnya gas-gas dan air-air dan didesakkannya dengan panas pada perut daerah bumi itu, sehingga terjadilah gempa. Hal itu dalam hadits diungkapkan dengan kalimat: Malaikat itu menggerakkan urat daerah bumi itu. Tidak ada persoalan dalam pemakaian ungkapan seperti itu, karena bahwa gas itu dapat menggerakkan bumi yang besar. Allah swt. Maha Tahu.

Keraguan Tentang Ukuran Badan Manusia Purba

Jika dikatakan telah terdapat atsar dalam sebagian kitab-kitab tentang besarnya tubuh orang-orang terdahulu, hingga mencapai ukuran yang dianggap tidak masuk akal. Hal itu walaupun tidak mustahil, tetapi para penyelidik telah menemukan benda-benda arkeologi berupa fosil manusia yang berumur 4.000 tahun. Mereka temukan fosil-fosil itu seperti tubuh penduduk masa kini. Apa komentar anda tentang hal ini? Kami katakan, bahwa sesungguhnya yang shahih dalam bab ini ialah Allah swt. telah menyebutkan orang sebelum kita, dengan firman-Nya:

“Mereka adalah lebih kuat daripada kamu sekalian.”

Allah berfirman tentang Thalut:

“Dan Dia menambahnya (pada Thalut) keluasan di dalam ilmu dan tubuh.”

Dia berfirman dalam menceritakan penyiksaan orang-orang zaman dahulu:

“Dan bila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang yang kejam dan bengis.”

Seluruhnya itu tidak ada kemusykilan dan tidak ada pertentangan dgngan penemuan dan sebagainya.

Adapun kisah Auj bin ‘Anaq yang tersiar dan besar tubuhnya yang melampaui batas, demikian juga berita yang dinukil, bahwa Adam a.s. kepalanya sampai ke awan, sehingga sebab itu beliau menjadi botak kepalanya. Imam Ibnu Qutaibah dalam penjelasannya tentang Musykilatul Ahadits berkata, bahwa riwayat ini tidak termuat dalam Al-Kitab, tidak tepercaya dan tidak ada sumbernya. Imam Ibnu Faurak dalam syarah Hadis-hadis Mutasyabih tentang riwayat ketinggian fisik dan bodi Nabi Adam a.s. berkata: “Sesungguhnya riwayat itu tidak tepercaya, karena tidak ada hadits shahih yang menerangkannya dan tidak benar, bahwa postur tubuh Adam berbeda dengan postur tubuh manusia ini dengan melebihi batas di luar batas, yang dikenal dalam kejadian manusia.

Kami berkata: Perkataan Ibnu Faurak ini bertentangan dengan hadits shahih yang terdapat dalam hadits Bukhari, bahwa tinggi Adam adalah 60 hasta. Dan sesungguhnya postur itu terus berkurang hingga sekarang. Yang benar, bahwa sekiranya hadits-hadits tentang besar tubuh orang-orang terdahulu itu shahih, maka memungkinkan kejadian mereka itu lebih besar tubuhnya daripada manusia sekarang, yang kurang dari 60 hasta. Dan ada kemungkinan, bahwa tubuh manusia makin mengecil sejak masa yang lama, karena beberapa faktor yang biasa, hingga sampailah ukuran tubuh, sebagaimana diket: hui sekarang ini.

Tubuh-tubuh yang diketemukan oleh para pencari benda-benda arkeologi, termasuk fosil-fosil itu, hanyalah tubuh-tubuh yang ditemukan sesudah tubuh itu menjadi kecil sampai ukuran ini dan yang dimaksud oleh hadits-hadits yang diperkirakan benar adalah tubuh-tubuh manusia purba. Sama halnya dengan kasus ini adalah kasus usia manusia purba. Diterangkan dalam AlOuran, bahwa Nabi Nuh diam di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun dan terdapat hadits-hadits yang menjelaskan, bahwa Adam a.s. itu hidup selama 1.000 tahun. Ini adalah termasuk hal yang mungkin terjadi menurut akal dan tidak mustahil. Termasuk jaiz, bahwa umur-umur manusia purba panjang-panjang, kemudian semakin berkurang, sebagaimana berkurangnya tubuh mereka, sehingga mencapai batas yang sudah dikenal sekarang ini. Allah swt. Maha Tahu.[alkhoirot.org]


LihatTutupKomentar