Iman pada Allah dan Sifat Allah yang Wajib Mustahil dan Jaiz

Iman pada Allah dan Sifat Allah yang Wajib Mustahil dan Jaiz arti iman kepada Allah swt. adalah mengetahui dan mempercayai dengan kepercayaan yang man
Iman pada Allah dan Sifat Allah yang Wajib Mustahil dan Jaiz


Judul: Terjemah kitab Al-Hushunul Hamidiyyah
Judul kitab asal: Al-Husul Al-Hamidiyah li Al-Muhafazhah ala al-Aqaid al-Islamiyah (الحصون الحميدية للمحافظة على العقائد الإسلامية)
Penulis: Sayyid Husain Afandi al-Tarabalis Al-Jisr
Tema: Akidah Islam, Tauhid, Ilmu Kalam Asy'ariyah
Penerbit: Maktbah Bukhariyah, Mesir
Tebal: 215 halaman


BAB I  IMAN KEPADA ALLAH SWT. DAN IDEOLOGI AHLUSSUNNAH TENTANG NASH SYARIAH YANG BERKAITAN DENGAN SIFAT-SIFAT ALLAH

IMAN KEPADA ALLAH SWT.

Ketahuilah, bahwa arti iman kepada Allah swt. adalah mengetahui dan mempercayai dengan kepercayaan yang mantap, terhadap sifat-sifat wajib bagi Allah swt. sifat-sifat mustahil dan sifat-sifat jaiz-Nya. Setiap hamba itu wajib meyakini secara global, dengan keyakinan yang mantap, bahwa Allah swt. itu mesti memiliki sifat-sifat sempurna yang sesuai dengan sifat ketuhanan dan mustahil bagi-Nya segala sifat negatif. Dan wenang bagi Allah swt. membuat segala sesuatu yang mungkin atau meniadakannya. Meskipun demikian, semua hamba wajib mempercayai secara terperinci terhadap tiga belas sifat wajib Allah swt., yang merupakan pusat dan keagungan sifat Ketuhanan, serta mustahil bagi Allah memiliki lawan sifat tiga belas tersebut.

Sifat-sifat Wajib bagi Allah:

(Ada)
(Dahulu)
(Kekal)
(Berbeda dengan barang baru)
(Berdiri sendiri)
(Esa)
(Berkemauan)
(Kuasa)
(Pengetahuan)
(Mendengar)
(Melihat)
(Berfirman)
(Hidup)

Sifat-sifat Muhal bagi Allah:
 

(Tidak ada)
(Baru)
(Rusak)
(Menyerupai barang baru)
(Berdiri dengan yang lain)
(Berbilang)
(Terpaksa)
(Lemah)
(Bodoh)
(Tuli)
(Buta)
(Bisu)
(Mati)

Kepercayaan seperti ini akan menjadi sempurna, apabila disertai bukti-bukti yang memberi faedah pada keyakinan itu. Dalam fasal berikut ini akan kami uraikan masing-masing sifat tersebut dengan bukti-bukti yang memberi faedah pada keyakinan.

TIGA BELAS SIFAT YANG WAJIB DIIMANI SECARA TERPERINCI DENGAN DALIL YANG MEYAKINKAN

Al-Wujud (Maha Ada)

Allah swt. wajib atau mesti bersifat wujud (ada), dan mustahil bagiNya memiliki lawan sifat itu, yakni adam (tidak ada).

Bukti bahwa Allah itu ada ialah: Adanya alam yang kita saksikan dengan segala isinya ini adalah baru, dan setiap barang baru pasti ada yang membuatnya. Dengan demikian, maka alam ini pasti ada yang membuatnya. Adapun bukti, bahwa alam ini baru ialah, karena alam ini menetapi sifatsifat baru, seperti gerak dan diam, terdiri dari berbagai bentuk, baik berbentuk hewan, tumbuh-tumbuhan atau tambang dan sebagainya, yang materi dan esensi alam ini tidak terlepas dari salah satu sifat baru tersebut. Setiap benda yang menetapi sifat-sifat baru, maka dia termasuk benda baru.

Jelasnya adalah, bahwa setiap benda-benda itu adalah baru, dengan bukti bahwa masing-masing sifat tersebut bisa hilang dan diganti oleh sifat lain, sedangkan sesuatu yang qadim itu tidak bisa hilang, baik qadim karena dzatnya atau karena yang lain, yakni ada benda qadim lain yang menjadikan adanya benda tersebut. Selama dzat yang qadim itu masih ada, atau yang menjadikan qadimnya itu masih ada, maka menurut akal benda tersebut tidak boleh hilang. Apabila telah mantap, bahwa sifat-sifat itu baru, maka kami katakan, bahwa asal esensi alam itu adakalanya qadim adanya dan terlepas dari sifat-sifat baru. Pendapat ini adalah batal (salah), karena sifat-sifat baru selalu menyertainya dan benda-benda tersebut tidak dapat terlepas dari sifat-sifat tersebut. Karena tidak mungkin benda-benda tersebut dapat terlepas dari sifat gerak, diam dan bentuk.

Ada kalanya dikatakan pula, bahwa alam itu baru dan sifat-sifat yang menyertainya juga baru. Oleh karenanya, tetaplah bahwa alam itu baru dan sifat-sifat itupun baru. Dengan demikian, maka dapat dipastikan, bahwa alam dan semua-isinya adalah baru, dan inilah yang dimaksudkan.

Adapun dalil, bahwa setiap benda baru mesti ada yang membuatnya adalah: Seandainya benda baru itu ada tanpa ada yang membuatnya, maka akan terjadi suatu keunggulan tanpa ada yang mengunggulkannya. Hal ini termasuk mustahil badihi. Bagi orang yang samar-samar, penjelasannya adalah akal udak dapat membenarkan, bahwa salah satu dari dua piringan neraca yang keduanya itu sama berat dan seimbang, misalnya yang kiri turun ke bawah sampai ke tanah karena sesuatu sebab, tiba-tiba piringan yang kanan mengungguli yang kini dan piringan yang kiri itu naik setinggi mungkin, tanpa adanya sebab yang mendorongnya,baik berupa kekuatan hewan, hembusan angin maupun benda lain yang jatuh padanya dan tidak ada sesuatu yang pantas untuk menjadi sebab keunggulannya. Barangsiapa yang membenarkan hal tersebut, maka orang itu dianggap dungu. Tidaklah ada perbedaan antara contoh ini dan seluruh kenyataan alam, baik itu benda konkrit maupun abstrak. Karena unggul tanpa ada yang mengunggulkan itu jelas termasuk hal yang mustahil.

Dengan demikian, maka dapat ditetapkan, bahwa adanya benda baru tanpa ada yang membuatnya adalah mustahil. Jadi, setiap benda baru pasti ada penciptanya, yang menciptakan dani tidak ada menjadi ada. Sempumalah hujah karni, bahwa alam yang baru ini pasti ada yang membuatnya dan yang membuat itu pasti ada (wujud), karena sesuatu yang tidak ada, jelas tidak dapat mengadakan sesuatu.

Dengan uraian tersebut di atas, maka wajib adanya Dzat Yang Mengadakan alam ini, dan mustahil jika tidak ada. Itulah inti pembahasan ini. Para ahli pikir memberi nama Dzat Pencipta alam ini dengan nama Tuhan alam (ilahul alam), sedangkan syari” at-syari’at memberi nama dengan nama keagungan, yaitu Allah swt.

Al-Qidam (Maha Dahulu)

Allah swt. pasti bersifat qidam (dahulu) dan mustahil bagi-Nya memiliki lawan sifat qidam, yaitu huduts (baru).

Dalil atau bukti, bahwa Allah bersifat Qidam ialah seandainya Allah swt. itu baru, niscaya membutuhkan kepada yang membuat, dan yang membuat itu pun tentu bersifat baru, yang juga membutuhkan pada yang membuat lagi, dan begitu seterusnya, sehingga terjadi perputaran atau mata rantai. Masing-masing perputaran itu muhal (tidak mungkin). Sesuatu yang menyebabkan adanya salah satu dari dua hal itu, yakni perputaran atau tasalsul, yaitu barunya Allah swt. adalah mustahil. Apabila Allah dianggap baru itu mustahil, maka Allah itu berarti qadim. Inilah yang dimaksudkan.

Daur (lingkaran sebab akibat) ialah adanya masing-masing dari dua benda tergantung kepada adanya yang lain. Berarti masing-masing dari dua benda itu ada sebelum sebabnya wujud. Jadi, benda itu ada sebelum dzatnya sendiri ada. Ini jelas salah.

Apabila kami berkata, bahwa Tuhan yang adanya alam ini tergantung kepada-Nya, sedang adanya Tuhan itu sendiri tergantung pada alam, maka berarti alam itu ada sebelum ada Tuhan, padahal adanya Tuhan itu sendiri menjadi sebab adanya alam. Jadi, alam itu ada sebelum adanya Tuhan. Hal seperti ini jelas salah.

Adapun tasalsul ialah keadaan berturut-turut dan susul-menyusulnya beberapa hal sejak zaman azali'(tak ada permulaan), dan tidak ada habishabisnya. Akal menghukumi kemustahilan tasalsul, karena hal itu akan menjadikan kemustahilan, sedang sesuatu yang menjadikan mustahil, ia pun mustahil pula.

Para ulama telah mengemukakan beberapa bukti untuk menjelaskan kemustahilan terjadinya tasalsul ini. Kami sebutkan di sini penjelasan yang sekiranya mudah dipahami. Tanpa ragu lagi, bahwa akal memutuskan, bahwa Sesuatu yang dibatasi oleh dua batas itu pasti ada kesudahannya. Berkumpulnya sesuatu itu dalam dua batas dan tidak berkesudahan adalah tidak mungkin atau muhal.

Seandainya tasalsul itu jaiz menurut akal, maka kita dapat memperkirakan dua buah garis, yang keluar dari satu titik dalam segi tiga, yang kedua garis itu dapat terus memanjang tanpa batas kesudahan dan bagian-bagian keduanya itu sebagai sesuatu yang berurutan dan susulmenyusul tanpa kesudahan. Kemudian kita perkirakan ada jarak-jarak di antara kedua garis itu yang bertambah panjang, selama dua garis itu bertambah panjang dan keduanya itu menjadi saling berjauhan. Seperti gambar di bawah ini :

Apabila kita katakan, bahwa dua garis itu tidak ada batas kesudahannya maka jarak-jarak di antara kedua garis itu yang kita gambarkan dengan beberapa garis, tidak ada kesudahannya pula. Dengan demikian garis-garis itu harus berhenti pada garis-garis yang tidak berkesudahan itu. Padahal dia terbatas di antara dua batas, yaitu dua ganis.

Di muka sudah disebutkan, bahwa sesuatu yang terletak di antara dug batas, pasti akan berkesudahan. Berkumpulnya sesuatu yang terletak di antara dua batas dengan tidak ada kesudahannya adalah muhal.

Segala sesuatu yang menyampaikan kepadanya, yaitu tidak berkesudahan. nya dua garis yang kita gambarkan dengan tasalsul, dia itu muhal pula.

Setelah diterangkan, bahwa daur dan tasalsul itu muhal, maka pastilah, bahwa Tuhan yang menciptakan alam ini mustahil ada-Nya, disebabkan sesuatu yang lain. Jika tidak mustahil, maka akan terjadi daur (perputaran), yakni jika kita katakan, bahwa adanya Tuhan itu bergantung adanya alam ini, atau akan terjadi tasalsul jika kita katakan, bahwa adanya Tuhan itu bergantung pada adanya benda lain dan benda lain itu bergantung pada benda lain pula dan seterusnya, tanpa kesudahan. Masing-masing daur dan tasalsul itu adalah muhal, sebagaimana diterangkan di atas dan apa saja yang menyampaikan pada salah satu dari daur atau tasalsul, sehingga adanya Tuhan itu baru dan bergantung pada benda lain adalah muhal. Jika barunya Tuhan itu muhal, maka Tuhan itu pasti qadim (dahulu), karena tidak ada perantara antara baru (huduts dan qadim (dahulu). Wajiblah qadim bagi Allah swt. dan muhal huduts bagi-Nya, inilah yang dimaksudkan.

Kemudian,setelah adanya ketetapan qidam bagi Allah swt. dan muhal bagi-Nya, kami simpulkan bahwa qidam Allah itu karena Dzat-Nya, bukan karena orang lain, yakni benda lain yang menentukan keqidaman Allah. Sebab, jika dikatakan bahwa Tuhan itu qadim karena sesuatu yang lain, maka pembicaraan itu beralih pada sesuatu itu. Sesuatu itu dipertanyakan pula, apakah ia itu qadim dengan sendirinya atau karena yang lain? Dan seterusnya tanpa ada kesudahan dan tetap ada tasalsul yang hal itu jelas mustahil Kesimpulannya adalah bahwasanya Allah itu qadim (Maha Dahulu) dengan DzatNya sendiri tidak bersandar kepada yang lain.

Al-Baqa’ (Maha Kekal)

Alyah swt itu Wajib bersifat Al-Baqa’ dan mustalul bagiNya memiliki sifat kebalikannya, yaitu Kana” (Binasa).

Buktinya bahwa Allah bersifat Al-Baqa’ talah tetapnya sifat qidam bagi Allah swt dan mustahil baru-Nya. Selama Allah itu qidam karena dzat-Nya, sedang Dzat-Nya tetap ada dan Dzat itu menjadikan adaNya. maka tidak mungkin Dzat itu rusak dan binasa. Dengan demikian. maka wajiblah Allah bersifat kekal. dan mustahil bagi-Nya bersifat kebalikanNya, yaitu rusak. Inilah yang dimaksudkan.

Al-Mukhalafah lil Hawadits (Tidak sama dengan barang baru. makhluk)

Allah swt. itu pasu bersifat mukhalafah lil hawadits tidak sama dengan yang baru) dan mustahil bagi Allah bersifat kebalikannya, yaitu menyerupai barang-barang baru (mumasalatu lil hawadits). misalnya menyerupai salah satu benda-benda baru dalam ciri-ciri yang telah menjadi tabiatnya dan tidak dapat terlepas dari sifat-sifat tersebut. atau karena tabiatnya sendiri menerima sifat-sifat itu. baik sifat-sifat itu terdapat pada segala macam benda maupun sebagiannya. seperti: esensinya, jasmani. sifat. bertempat. tersusun dan terbaginya. keluarnya dari yang lainnya. melahirkan yang lainnya. bersambung dan berpisahnya. jenis hewan. tumbuh-tumbuhan. logam. perpindahannya dar) satu tempat ke tempat lain, emosionalnya. seperti tertawa. heran dan sebagainya.

Sebab. andaikata Allah menyerupai makhluk sedikit saja dari ciri-ciri tersebut, niscaya Dia menyerupai benda-benda baru itu. Karena sesuatu yang menyerupai benda Jain dalam satu cirinya saja. maka sesuatu itu berarti sama dengannya. Scandainya Tuhan itu seperti benda baru. niscaya Dia bisa menerima apa saja yang diterima oleh benda baru itu. seperti baru dan rusak. Sebab. sesuatu ang mungkm bagi salah satu dari dua hal yang serupa. mungkin juga sesuatu itu bagi yang lain. Dalil atau buku. bahwa Allah itu bersifat Qidam dan Baqa’ serta mustahil bagi-Nya sifat baru dan fana” telah jelas. Dengan pembahasan ini. jelaslah. bahwa Allah swt. tidak menyerupai barang-barang baru. Karena itu, wajib bagi-Nya bersifat mukhalafah lil hawadits (berbeda dengan barang-barang baru) dan mustahil bagi-Nya menyerupai barang-barang baru. Inilah yang dimaksudkan.

Qiyamuhu Binafsih (Berdiri Sendiri)

Allah swt. itu wajib bersifat Qiyamuhu binafsih (BerdiriSendiri) dan mustahil bagi-Nya sifat kebalikannya, yaitu giyamuhu bighairihi (berdiri dengan yang lain), dalam arti Allah membutuhkan tempat yang di diami, atau kediaman untuk tempat tinggal atau penentu (mukhashshish) yang menentukan kepada-Nya atau sesuatu yang mengadakan (muhdits) akan adaNya.

Bukti bahwa Allah bersifat Qiyamuhu binafsihi ialah sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sifat Almukhalafah lil hawadits (Allah berbeda dengan barang baru). Dalam pembahasan itu dijelaskan, bahwa Allah bukan esensi, dan bukan jasmani, sehingga tidak membutuhkan tempat. Sebab membutuhkan tempat adalah salah satu ciri esensi dan jasmani. Allah bukan pula benda yang membutuhkan tempat untuk ditempati, sebagaimana bendabenda lain, seperti warna, rasa, dan sebagainya yang mesti membutuhkan tempat sandaran.

Telah dijelaskan juga, bahwa Allah swt. itu qadim yang tidak membutuhkan penentu yang memberi ketentuan bagi-Nya dan tidak pula membutuhkan kepada dzat yang menciptakan-Nya.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa Allah swt. wajib bersifat giyamuhu binafsih (berdiri sendiri) dan mustahil bagi-Nya memiliki sifat giyamuhu bighairihi (berdiri karena yang lain). Inilah maksud pembahasan.

Wahdaniyyah (Esa)

Allah swt. pasti bersifat Wahdaniyyah, yakni Allah itu Esa dalam dzat. sifat-sifat, dan perbuatan-Nya. Dan mustahil bagi-Nya sifat kebalikannya, yaitu Ta’addud (tidak Esa) dalam hal-hal tersebut, misalnya Allah tersusun dalam dzat, sifat-sifat atau ada sesuatu yang menyamai-Nya, baik dalam dzat maupun sifat-sifat-Nya, atau ada sekutu bagi-Nya dalam menciptakan suatu pekerjaan dari berbagai pekerjaan.

Adapun dalil atau bukti, bahwa Allah swt. tidak tersusun baik dalam dzat maupun sifat-Nya ialah seandainya Allah swt. itu tersusun dalam dza! atau sifat-Nya, niscaya Dia menyerupai barang baru dalam salah satu karakter dan dzat-Nya, yaitu tersusun sebagaimana telah diuraikan di atas dalam penjelasan tentang dalil sifat Almukhalafah lil hawadits (Allah itu berbeda dengan barang baru)yang menjadikan Allah itu baru seperti barangbarang baru. Padahal dalil yang menunjukkan wajibnya sifat qidam bagi Allah dan mustahil Allah itu baru, telah jelas, sebagaimana diuraikan di atas.

Bukti yang menunjukkan bahwa tidak ada satu benda pun yang menyamai Allah swt., baik dalam dzat maupun sifat-Nya ialah, seandainya ada sesuatu yang menyerupai Allah dalam dzat-Nya, maka wajib bagi sesuatu itu halhal yang wajib bagi Allah swt. dan mustahil pula atas sesuatu itu hal-hal yang mustahil atas Allah swt. Atau seandainya ada sesuatu yang menyerupai Allah dalam sifat-sifat-Nya yang wajib dan qadim, terutama sekali dalam hal kesempurnaan kekuasaan membuat sesuatu yang mungkin, niscaya sesuatu yang menyamai Allah dalam dzat maupun sifat-sifat yang wajib dan qadim tersebut adalah Tuhan pula.

Padahal apabila ada tuhan lain bersama Allah, maka alam semesta tidak akan ada, sebagaimana disyaratkan oleh firman Allah:

“Seandainya di langir dan di bumi ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi itu rusak”.

Maksudnya, seandainya dalam penciptaan langit dan bumi ada tuhan selain Allah, walaupun Allah bersama mereka, maka langit dan bumi itu pasti rusak dan tidak akan terwujud. Lebih jelasnya, uraian dalil ini ialah: Seandainya Tuhan alam semesta ini banyak, misalnya di sana ada dua Tuhan atau lebih, niscaya alam ini sama sekah tidak ada. Tetapi, ketiadaan alam ini adalah jelas batal (salah), sebab alam ini telah ada dan dapat disaksikan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menyebabkan alam ini tidak ada, berupa banyaknya Tuhan, jelas batil. Jika terdapat banyak Tuhan itu batal, maka nyatalah Allah swt. bersifat wahdaniyat. Inilah yang dimaksud.

Adanya Tuhan dua, itu menyebabkan tidak adanya alam semesta ini, karena keduanya adakalanya bersepakat untuk mewujudkan alam atau berselisih. Jika dua Tuhan itu akur atau sepakat, maka tidak mungkin keduanya mewujudkan alam. Karena masing-masing kedua Tuhan itu berhasil menciptakan alam sendiri-sendiri, sehingga terdapat dua alam semesta, padahal alam semesta ini hanya satu. Jika pembuatan alam yang dilakukan oleh dua Tuhan, menghasilkan satu alam semesta, berarti masing-masing dua Tuhan itu tidak dapat mewujudkan alam secara sendirian, tetapi bisa mewujudkan karena bersekutu dengan Tuhan lain. Jika demikian, maka dua Tuhan itu telah bergabung dan menjadi satu Tuhan, dan penciptaan alam ini dinisbatkan kepadanya, tidak dapat dinisbatkan kepada salah satu dari kedua Tuhan itu saja, karena Dia bagian dari dzat yang mewujudkan, bukan dzat yang mewujudkan dengan sendirinya. Padahal Tuhan alam semesta hanyalah Tuhan yang mewujudkan alam dengan sendirinya, karena Dia memiliki kekuasaan yang sempurna, sedangkan dzat yang tidak mandiri adalah lemah dan membutuhkan penolong.

Apabila dikatakan, bahwa hakikat Tuhan itu gabungan yang terdiri dari dua bagian, maka kami tegaskan bahwa adanya gabungan bagi Tuhan mustahil, karena Tuhan itu berbeda dengan benda-benda baru dalam ketentuan sifat-sifatnya yang antara lain tersusun. Tidak mungkin pula salah satu dan Tuhan itu mewujudkan alam, kemudian yang satunya lagi mewujudkan alam lain, karena demikian ini berarti mengadakan sesuatu yang sudah ada. Ini jelas muhalnya. Tidak mungkin pula salah satu dari dua Tuhan itu mewujudkan sebagian alam ini dan Tuhan satunya membuat sebagiannya lagi, karena hal itu menunjukkan kelemahan dua Tuhan itu sendiri, karena manakala kekuasaan salah satunya itu tergantung pada yang lain, maka tertutuplah jalan tergantungnya kekuasaan bagi Tuhan yang lain itu. Hal ini merupakan satu kelemahan yang meniadakankekuasaan terhadap segala sesuatu, sedangkan ketiada kekuasaan bagi Tuhan adalah muhal, sebagaimana akan dijelaskan pembahasan tentang wajib kesempurnaan kekuasaan Allah swt. atas segala sesuatu yang mungkin..

Jika dua Tuhan ini berselisih, yakni Tuhan yang satu dari kedua Tuhan itu bermaksud mengadakan alam, dan Tuhan yang lain bermaksud melenyapkan alam, maka tidak mungkin kedua kehendak Tuhan itu terlaksana dalam waktu yang sama, sebab tidak mungkin ada dua hal yang berlawanan dapat berkumpul, yaitu adanya alam dan lenyapnya dalam satu waktu. Hal itu jelas muhal.

Tidak mungkin juga kehendak salah satu dari dua Tuhan itu terlaksana, sedang kehendak Tuhan yang lain tidak terlaksana, karena hal yang demikian itu menunjukkan kelemahan Tuhan yang kehendak-nya tidak terlaksana. Tuhan yang lain pun seperti itu, karena antara kedua Tuhan itu terdapat persamaan. Dikatakan pula, apabila kehendak salah satu dari dua Tuhan itu terlaksana, sedang kehendak Tuhan yang lain tidak terlaksana, maka Tuhan yang kehendaknya terlaksana dialah Tuhan, dan yang lain bukan Tuhan, karena ia lemah. Selesailah kiranya bukti atau dalil sifat Al-Wahdaniyyah.

Bukti lain atas kemustahilan Tuhan itu berjumlah lebih dari satu, yaitu kepastian adanya Tuhan bagi alam semesta ini, dengan bukti bahwa bendabenda baru pasti ada yang membuatnya, dan apabila ada Tuhan lain yang adakalanya masing-masing dari dua Tuhan itu tidak mampu mewujudkan alam, maka masing-masing dua Tuhan itu bukanlah Tuhan, karena yang dianggap Tuhan, Dia lah yang cakap dan mandiri.

Boleh jadi salah satu dari dua Tuhan itu cakap, berarti Tuhan yang kedua sia-sia, tidak dibutuhkan. Padahal Tuhan tidak demikian halnya.

Adapun bukti bahwa Allah swt. tidak memiliki sekutu dalam segala perbuatamya, itu karena semua kejadian di alam ini, baik kejadian pada binatang, tumbuh-tumbuhan, tambang, atau gerak dari selain hewan, seperti beredarnya bintang-bintang dan berhembusnya angin, atau gerak hewan yang bukan dengan kehendaknya sendiri, seperti pertumbuhannya, gerakan yang disebabkan demam, maka semua itu sangat jelas, bahwa tidak ada yang ikut serta dalam mengadakan dan menjadikannya, kecuali Allah.

Di antara sesuatu yang diyakini oleh orang yang berakal, bahwa rupa dan bentuk yang dia sandang itu tidak dibuat oleh ayah-ibunya atau salah satu makhluk. Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa bukti keesaan Allah dalam mewujudkan seluruh apa yang tersebut di atas itu sama dengan dalil bahwa Allah itu tidak memiliki sekutu dalam dzat dan sifat-sifat-Nya, karena dalam hal ini dapat kita katakan, seandainya di sana ada dua pencipta alam, boleh jadi keduanya itu bersepakat dalam mewujudkannya dan mungkin juga berselisih. Pembuktiannya telah sempurna, sebagaimana baru saja diterangkan di muka. Dengan demikian, maka jelaslah, bahwa tidak ada pencipta bendabenda di alam ini, kecuali Allah swt.

Adapun mengenai tejadinya gerakan orang yang diusahakan sendir (ikhuanyyah), seperti berdiri, berjalan dan sebagainya yang menciptakan dan yang mengadakan perbuatan itu adalah Allah juga. Buktinya ialah seandainya manusia itu sendiri yang mewujudkan dan menciptakan perbuatan. perbuatan itu, niscaya orang tersebut akan tahu perincian-perinciannya, Tetapi. pengetahuannya tentang perincian perbuatannya itu tidak benar. Oleh karenanya, apabila dia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu, maka bataj (salah). Dengan demikian, maka yang mengadakan perbuatan manusia itu hakikatnya adalah Allah yang menciptakan seluruh makhluk, dan tidak ditemani oleh siapa pun.

Bukti ketidakbenaran manusia mengetahui perincian perbuatannya itu terlihat pada orang yang tidur. Dia melakukan perbuatan-perbuatan ikhtiari, namun ia tidak tahu terhadap perincian perbuatannya dan bagaimana keadaannya selama tidur.

Bukti lain terlihat pada orang yang menulis, dia membentuk huruf dan kata-kata dengan gerak jari-jarinya, tanpa merasakan terhadap bagian dan anggota jari-jarinya, seperti tulang-tulangnya, urat-urat, syarafnya, otot-otot dan sendi-sendinya, dan tidak tahu perincian gerak-gerik jari-jarinya, sehingga dengan mudah dapat membuat gambar-gambar dan lukisan-lukisan. Sesungguhnya nash-nash syarak telah banyak menyebutkan, bahwa yang menciptakan perbuatan manusia ialah Allah, sebagaimana firman Allah dalam Kitab-Nya yang mulia:

“Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan.”

Firman-Nya yang lain:

“Apakah ada pencipta selain Allah?”

Bagi orang yang beriman, tetap berpegang pada nash-nash yang shahih yang terdapat dalam agama Nabi Muhammad saw. mereka menjadikannya sebagai dalil aqidah mereka menunjukkannya, bahwa yang yang membuat perbuatan-perbuatan manusia adalah Allah swt. Tetapi manusia itu tetap mempunyai usaha-usaha dalam melakukan perbuatannya yang ikhtiari. Usaha-usaha itulah yang merupakan tempat bergantung pahala dan siksa. Dengan dasar itu, benarlah kiranya menisbatkan perbuatan tersebut kepada manusia dalam ucapan kita sehari-hari, yang berbunyi: perbuatan manusia. Imam Abu Hanifah r.a. berkata dalam Fighul Akbar, yang teksnya sebagai berikut:

“Seluruh perbuatan hamba yang berupa gerak dan diam adalah usaha mereka. Menurut hakikatnya, yang menciptakan perbuatan itu adalah Allah”

Para Imam menafsirkan ucapan Imam Hanafi tersebut dengan kesimpulan, asal perbuatan manusia itu adalah dengan kekuasaan Allah, sedangkan yang mewujudkan menjadi ketaatan atau kedurhakaan adalah kekuasaan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, hamba itulah yang mengarahkan kemauannya pada perbuatan tertentu, tetapi ia menggantungkan kemampuannya kepada Allah. Oleh karena itu, hamba menjadi sebab bagi perwujudan perbuatan itu, seperti hubungan seluruh sebab dengan akibatakibatnya. Usaha itu dari manusia, di kala itu Allah dengan kekuasaan-Nya mewujudkan perbuatan tersebut. Inilah yang hak dan inilah pendapat moderat antara aliran-aliran yang berlebihan dan keterlaluan.

Kami tidak mengatakan, bahwa manusia tidak ikut campur tangan dalam seluruh perbuatannya, dan kami tidak mengatakan, bahwa Allah tidak ikut campur tangan dalam perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat ikhtiari. Tetapi kami katakan, bahwa Allah menciptakan perbuatan, sedang hamba itulah yang melaksanakan. Karena usaha inilah manusia itu diberi pahala atau siksa.

Al-Iradah (Berkemauan)

Allah wajib bersifat Iradah (berkemauan). Sifat itu merupakan sifat qadim yang tetap pada Dzat-Nya. Dengan sifat itu Dia membuat benda. benda yang mungkin dengan sifat jaiz-Nya. Mustahil bagi Allah sifat

kebalikannya yaitu Karahiyyah (terpaksa). Buktinya, ialah adanya ketetapan, bahwa alam ini tidak terjadi dengan sendirinya, namun terjadi karena dibuat oleh Allah. Dalam hal ini kami katakan, bahwa terjadinya alam diciptakan oleh Allah, itu ada kalanya dengan jalan terpaksa tanpa kemauannya, dan ada kalanya karena kemauan dan kehendaknya sendiri, yaitu Allah yang menghendaki adanya alam dengan pilihan-Nya dan menentukan sendin waktu yang dipergunakan untuk mewujudkan alam. Tidak mungkin adanya alam dengan jalan terpaksa tanpa kemauan. Karena jika demikian, sedang Allah itu qadim, maka pastilah alam itu qadim juga, sebab adanya alam adalah akibat dari Allah, dan akibat itu harus mengikuti sebab, tidak lepas dari padanya. Dan sudah ditetapkan, bahwa alam itu baru, ada sebelum tidak ada dan barunya alam adalah dari Allah dan tidak lepas dari kemauan-Nya. Sama sekali bukan karena terpaksa.

Dengan demikian, maka jelaslah, bahwa terjadinya alam itu karena kemauan Allah atau kehendak-Nya dan pilihan-Nya, serta Dia lah yang menentukan waktu penciptaannya.

Dengan uraian ini teranglah, bahwa Allah itu Tuhan bagi alam semesta yang berkemauan lagi Maha Memilih, maka wajiblah sifat Iradah (Berkemauan) bagi Allah, dan mustahil bagi-Nya sifat kebalikannya, yaitu Karahiyyah (terpaksa) atas Allah swt. itulah yang dimaksudkan.

Al-Qudrah (Maha Kuasa)

Allah swt. itu pasti bersifat Al-Qudrah, yaitu sifat qadim yang ada pada Dzat-Nya, yang dengan sifat itu Allah mewujudkan dan melenyapkan makhluk. Dan mustahil bagi-Nya sifat kebalikannya, yaitu “Ajzu (lemah).

Bukti bahwa Allah bersifat Al-Qudrah ialah Allah menciptakan alam semesta dengan segenap kandungannya yang penuh dengan kebesaran dan keanehan, misalnya dunia hewan, tumbuh-tumbuhan, dan pertambangan yang ratusan ribu macamnya, yang mengagumkan akal fikiran. Tenggelamlah kepahaman dalam lautan keanehan, dan akal yang sehat tidak menganggap semua itu sebagai suatu yang terjadi secara kebetulan.

Termasuk hal yang sangat tidak masuk akal sehat, adalah bahwa dzat yang menciptakan alam semesta dengan penuh kebesaran, keagungan dan keanehan itu lemah dan tidak memiliki kekuasaan.

Dengan demikian, maka teranglah bahwa Allah swt., Tuhan alam semesta, yang menciptakan alam raya ini dari tidak ada dengan segala kebesaran, itu pasti memiliki sifat Al-Qudrah (Kuasa) dan mustahil bagi-Nya sifat kebalikannya, yaitu lemah (“ajzu). Inilah yang dimaksudkan.

Al-Ilmu (Maha Mengetahui)

Allah itu wajib memiliki sifat Al-ilmu, yaitu sifat qadim yang ada pada Dzat-Nya, yang dengan sifat itu terbukalah segala sesuatu, baik wajib, mustahil maupun jaiz. Allah mengetahui segala sesuatu yang wajib, mustahil dan jaiz bagi-Nya dan mustahil bagi Allah memiliki sifat kebalikannya, yaitu Jahlu (bodoh).

Bukti bahwa Allah bersifat Al-Ilmu, yaitu penciptaan alam oleh-Nya di dalamnya dengan keajaiban dan keanehan disertai kerapian dan keteraturan yang akal pikiran menjadi bingung dan tertegun dalan menanggapi kerumitan ciptaan-Nya. Hal ini akan menjadi semakin jelas bagi orang yang memikirkan sesuatu yang paling dekat dengan dirinya, yaitu diri manusia itu sendiri yang mengandung penciptaan yang cemerlang dan penuh kerapian dan keteraturan yang mengagumkan pemikiran.

Apalagi jika mau berpikir tentang keagungan bintang-bintang dan susunannya, keajaiban dunia hewan, tumbuh-tumbuhan, pertambangan dan macam-macam kesamaan dan perbedaan yang terkandung di dalamnya, dan berbagai keajaiban-keajaiban lainnya.

Suatu hal yang mustahil menurut akal yang sehat, apabila dzat yang menjadikan alam semesta dengan penuh keindahan, kerumitan dan mengherankan itu bodoh, tidak pandai.

Dengan uraian ini, maka jelaslah bahwa Allah swt., Tuhan alam semesta yang menciptakan alam dengan penuh kerapian, itu pasti memiliki sifat AlIlmu. Dan mustahil bagi-Nya sifat kebalikannya, yaitu bodoh (jahlu). Inilah yang dimaksudkan.

Penjelasan tentang bukti wajibnya sifat Al-Gudrah dan Al-lmu bagi Allah secara sederhana dapat diperhatikan pada jam. Orang yang memikirkan jam yang dipergunakan sebagai tanda waktu, dimana jam itu berisi alat-alat elektronik yang rapi dan teratur, sehingga jam itu dapat memenuhi tujuannya dan menjadi pedoman mengetahui waktu secara tepat sampai sekon-sekonnya, Maka, tak ragu-ragu lagi bahwa jam itu ada pembuat yang telah membuatnya, Pembuatnya ini mempunyai kekuasaan yang cukup untuk membuat jam itu. Pembuatnya juga memiliki ilmu yang cukup untuk merapikan dan mengaturnya, sehingga jam itu memenuhi tujuan yang dimaksudkan.

Barangsiapa yang membenarkan, bahwa jam itu terjadi sendirinya karena kebetulan, tanpa ada orang yang membuat dan menatanya, atau pembuatnya itu lemah, dua tangan dan kedua kakinya terputus, tidak mengetahui ilmu teknik dan perakitannya, apalagi pembuatnya itu pikirannya dungu, bodoh terhadap seluruh ilmu, sedangkan pembuat itu jelas mampu membuat jam dengan rapi dan teratur. Maka, orang yang membenarkan pendapat ini termasuk golongan orang-orang yang tolol, yang tidak dapat membedakan antara langit dan bumi,

Demikian juga apabila kita merenungkan tentang alam ini dan segenap kandungannya, keajaiban bintang-bintangnya, keanehan dan keragaman hewan-hewannya, tumbuh-tumbuhan dan pertambangannya, yang pengetahuan mengenai hal itu telah memenuhi halaman-halaman buku, dan kami singkat dalam mengemukakan kebesaran dan keanehan alam itu, semua itu dapat diketahui dengan menelaah kitab-kitab yang khusus membicarakan ilmu atu dengan pembahasannya yang memadai. maka dengan kemantapan hati. kita tetapkan bahwa alam dengan seluruh rahasianya pasti ada penciptanya. yang telah membuat dengan rapi dan teratur. memperbanyak macam-macamnya serta memberi kelebihan satu per satunya.

Dialah Maha Kuasa, dengan kekuasaan yang sempurna dan mengetahui dengan pengetahuan yang sempurna pula. Mustahil Dia lemah dan bodoh. Barangsiapa yang menganggap pekerjaan agung dan mengherankan itu terjadi dengan sendirinya dan secara kebetulan saja, atau anggapan lain yang bodoh lagi tidak dapat memangkap penemuan dan pengetahuan. maha jelas orang tersebut adalah orang yang paling dungu dan paling bodoh, dia tertutup oleh keraguan dan omong kosong yang salah, karena naluri akal yang sehat menolak kebenaran dakwaannya yang salah itu.

Kami yakin terhadap apa yang kami percayai, bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Allah Maha Suci dari perkataan orang-orang dzalim, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.

As-Sam’u (Maha Mendengar)

Allah swt. itu pasti bersifat As-Sam’u, yaitu suatu sifat qadim yang lekat pada Dzat-Nya, tanpa mempergunakan daun telinga dan lubangnya. Dengan sifat itu terungkaplah segala sesuatu yang di dengar-Nya. Dan mustahil bagi Allah sifat kebalikannya yaitu Shamam (tuli).

Bukti bahwa Allah swt. bersifat As-Sam’u ialah karena sifat tuli itu merupakan sifat negatif, sedangkan sifat negatif bagi Tuhan alam semesta yang telah menciptakan alam dengan sempurna dan memberi pendengaran kepada sebagian besar makhluk-Nya, yang pendengaran itu merupakan nikmat-Nya yang paling besar adalah sangat mustahil. Apabila tuli itu muhal bagi Allah, maka Allah swt. wajib bersifat As-Sam’u (Mendengar). Inilah yang dimaksudkan.

Al-Bashar (Maha Melihat)

Allah swt. itu pasti bersifat Al-Bashar, yaitu suatu sifat qadim yang lekat pada Dzat-Nya, tanpa menggunakan biji mata dan orang-orangan mata. Dengan sifat itu terungkaplah segala sesuatu yang dilihat-Nya. Mustahil bagi-Nya sifat kebalikannya, yaitu A’ ma (buta).

Bukti bahwa Allah swt. bersifat Al-Bashar ialah karena sifat buta itu merupakan sifat negatif, sedangkan sifat negatif bagi Allah swt. yang telah menciptakan alam dengan sempurna dan menghiasi kepada sebagian makhlukNya dengan nikmat penglihatan, adalah muhal. Apabila buta bagi Allah itu muhal, maka wajib baginya sifat Al-Bashar (Melihat). Inilah yang dimaksudkan.

Al-Kalam (Maha Berfirman)

Allah swt. itu pasti bersifat Al-Kalam, yaitu suatu sifat qadim yang lekat pada Dat-Nya. Firman-Nya itu tanpa huruf dan tanpa suara. Sifat itu menunjukkan hal-hal yang wajib, mustahil dan jaiz, baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Dengan sifat ini Allah memben pengertian tentang sesuatu yang dikehendaki-Nya kepada salah satu hamba-hamba-Nya, dan mustahil atas-Nya sifat kebalikannya, yaitu Bukmu (bisu).

Bukti, bahwa Allah bersifat Al-Kalam ialah, karena bisu itu adalah sifat negatif, sedangkan sifat negatif bagi Allah, Tuhan alam semesta yang telah menciptakan alam semesta dan menyempurnakan sebagian makhluk-Nya dengan bisa bertutur kata adalah muhal. Apabila bisu itu mustahil bagi Allah, maka Dia pasti bersifat Al-Kalam (Berfirman). Inilah yang dimaksudkan.

Penjelasan tentang buku wajibnya sifat mendengar, melihat dan berfirman bagi Allah swt. dan mustahilnya kebalikan tiga sifat tersebut yaitu tuli, buta dan bisu dengan uraian yang sederhana ialah, bahwa sembilan sifat yang terdahulu bagi Allah telah ditetapkan, yaitu: wujud (ada), qidam (dahulu), Baqa’ (kekal), mukhalafatu lil hawadits (berbeda dengan barang baru), giyamuhu bi nafsih (berdiri dengan sendiri-Nya), wahdaniyah (esa), iradah (kemauan), gudrah (kuasa), dan ilmu (mengetahui). Sifat-sifat tersebut menjadi pusat sifat ketuhanan, dan menjadi pusat bahasan adanya Tuhan yang bersifat dengan sifat-sifat tersebut, yang cukup dalam mengarahkan alam semesta ini dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Apabila kita merenungkan tentang keadaan Tuhan Yang Maha Suci dan keindahan hasil ciptaan-Nya serta kesempurnaan, kerapian dan keteraturan kandungannya yang Dia berikan beserta segala sesuatu yang menjadi kelangsungan, dan kebaikan keadaannya, maka kita semakin yakin, bahwa apabila hasil ciptaanNya demikian sempurna, maka sangat mustahil jika Allah yang membuatnya bersifat yang tidak sempurna, karena dalam pemikiran kami tidak ada sesuatu dapat mengadakan sesuatu yang sama dengan dirinya. Apalagi sesuatu yang tidak sempurna dapat menciptakan sesuatu yang sempurna, atau sesuatu yang sempurna dapat menciptakan sesuatu yang lebih sempurna daripadanya. Manusia adalah makhluk yang paling pandai dan paling menguasai bidang pertukangan. Bagaimanapun pandainya ta membuat dan mencipta. namun buatannya itu tidaklah dapat mendekati kesempurnaan yang ada pada dirinya, apalagi membuat sesuatu yang menyamai atau lebih sempurna daripada dirinya. Manusia tidaklah dapat membuat tumbuh-tumbuhan. apalagi hewan atau manusia. Bahkan scandainya ada schelai rambut rontok dari badannya, pasti dia tidak mampu mengembalikan sebagaimana keadaan semula.

Apa yang kalian lihat, yang dikerjakan oleh tangan manusia berupa tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan membiaknya hewan, itu semata-mata perbuatan yang secara langsung dijadikan oleh Allah swt. sebagai sebab yang biasa dalam pembiakan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Engkau melihat mereka itu menaburkan benih di tanah yang mendapat sinar matahari dan disiram dengan air, maka daripadanya tumbuhlah tumbuh-tumbuhan. sedangkan ia sendiri tidak tahu, bagaimana benih itu tumbuh dan terjadinya ciri-cirinya dalam berbagai warna, rasa, bau, dan sebagainya. Demikian juga orang yang meletakkan telur di tempat yang hangat, maka menctaslah burung daripadanya. Ia tidak tahu. bagaimana burung itu terjadi. bagaimana terbelahnya pendengaran dan penglihatan, bagaimana terbentuknya daging. darah dan seluruh organ tubuhnya.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa manusia itu tidak dapat membuat tumbuh-tumbuhan dan hewan, hanya saja mereka menjadi sebab dalam pembuatannya itu. Mereka sendiri ternyata tidak mengetahui cara tumbuh keduanya itu dari asalnya. Tuhanlah yang menjadikan keduanya itu.

Atas dasar semua penjelasan tersebut, kami pastikan bahwa Tuhan inilah yang telah menciptakan alam semesta dari tidak ada, dengan berancka ragam yang mengagumkan pemikiran. Sebagian makhluk-Nya, Dia lengkapi dengan pendengaran, penglihatan dan pembicaraan.

Maka, pastilah Tuhan itu mempunyai tingkat kesempurnaan yang jauh, melebihi makhluk-Nya di dalam sifat-sifat-Nya, yang telah kami tetapkan berdasar hukum akli. Dan masing-masing sifat itu memiliki kesempurnaan yang sesuai dengan Allah swt. Jika tidak demikian. maka Dia di bawah hasil ciptaannya, dan hal itu jelas bertentangan dengan apa yang dibenarkan Oleh akal pikiran. Maka kita percaya. bahwa Allah itu Maha Mendengar.

Maha Melihat lagi Maha Berfirman, bahkan bersifat dengan seluruh sifat, Sifat kesempurnaan yang sesuai dengan sifat Ketuhanan. Mustahil bagi AL lah, memiliki sifat-sifat seperti tuli, buta, bisu, sebab Dia-lah yang menciptakan pendengaran, menjadikan penglihatan dan menggerakkan lidah untuk berbicara, sebagaimana mustahil atas-Nya kekurangsempurnaan sifat. Sifat itu. Karena Dia telah membuat kesempurnaan pada benda-benda ciptaan. Nya.

Cukuplah bagi kita umat Islam, dalam mengimani tiga sifat wajib bagi Allah (Al-Bashar, As-Sam’u, dan Al-Kalam) dengan dalil firman Al. lah swt.:

“Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

“Dan Allah berfirman terhadap Musa dengan benar-benar berfirman”

Dengan mengetahut dalil firman Allah swt. tersebut, kita terhindar dari taklid, sebagaimana yang telah ditetapkan.

Al-Hayat (Maha Hidup)

Allah itu pasti memiliki sifat Al-Hayat, yaitu suatu sifat qadim yang ada pada Dzat-Nya, yang dibenarkan oleh hukum akal, sebagaimana aka! membenarkan Allah bersifat dengan sifat-sifat yang agung, seperti Al-Qudrah (Kuasa), Al-Iradah (Berkemauan), Al-Ilmu (Berpengetahuan). Dan mustahil bagi-Nya sifat kebalikannya, yaitu maut (mati).

Bukti bahwa Allah swt. bersifat Al-Hayat ialah seandainya Allah swt. itu mati, niscaya tidak benar Dia bersifat dengan sifat-sifat yang telah dibuktikan wajibnya bagi Allah, seperti kuasa, berkemauan dan pengetahuan. Tetapi bukti yang menunjukkan, bahwa Allah pasti bersifat dengan sifat-sifat tersebut, telah jelas, sebagaimana telah diuraikan di atas, maka muhal Allah itu bisa mati. Apabila muhal Allah dapat mati. maka wajiblah Dia bersifat Al-Hayat (hidup). Inilah yang dimaksudkan.

III. SIFAT-SIFAT ALLAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN SESUATU DAN YANG TIDAK BERHUBUNGAN

Sifat-sifat Allah tiga belas. yang telah kami jelaskan bukti-bukti tentang wajibnya sifat-sifat tersebut bagi Allah dan mustahilnya sifat-sifat kebalikannya itu ada dua bagian:

Ada yang tidak berhubungan dengan sesuatu

Sifat-sifat wajib Allah yang tidak berhubungan dengan sesuatu itu ada tujuh, yaitu: Al-Wujud, Al-Qidam, Al-Baga, Al-Mukhalafatu lil hawadiis, Al-Qiyamuhu bi nafsih, Al-Wahdaniyah, Al-Hayah.

Pengertian tidak berhubungannya sifat-sifat tersebut dengan sesuatu ialah: Allah dalam menentukan sesuatu, mewujudkan. memperlihatkan dan menunjukkannya itu tidak menggunakan sifat-sifat tersebut.

Ada yang berhubungan dengan sesuatu

Sifat-sifat wajib Allah yang tidak berhubungan dengan sesuatu itu ada enam, yaitu: Al-Iradah, Al-Qudrah, As-Sam’u, Al-Bashar. Al-Ilmu dan Al-Kalam.

Sifat Al-Qudrah dan Al-Iradah berhubungan dengan sesuatu yang jaiz saja, dan tidak berhubungan dengan sesuatu yang wajib dan mustahil sifat Al-Iradah berhubungan dengan sesuatu yang jaiz dengan hubungan menentukan. Dengan sifat Al-Iradah itu, pada zaman azali Allah menentukan barang jaiz dengan kejadian yang jaiz bagi-Nya. Misalnya pada zaman azali Allah menentukan Zaid akan diciptakan atau tidak. Jika diciptakan, maka ia akan bersifat begini, pada masa ini, tempat ini. daerah bumi ini dan sebagainya. Dengan ketentuan ini, maka barang jaiz itu pasti sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya dengan IradahNya dan mustahil akan menyimpang dari ketentuan itu. Karena seandainya barang tersebut berbeda dengan apa yang telah dikehendaki oleh Allah. maka pastilah Allah itu terpaksa dan dipaksa. Dalam kerajaan-Nya, berarti terjadi Sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya. Keadaan seperti ini untuk makhluk manusia saja tidak menyenangkan, apalagi bagi Allah Maha Pencipta, Raya dani segala raja, dan Maha Suci lagi Maha Luhur.

Sifat Al-Qudrah berhubungan dengan sesuatu yang jaiz dengan hubungan yang bersifat memberi otoritas untuk menciptakan atau meniadakan sesuaty itu sesuai dengan apa yang telah direncanakan oleh Iradah-Nya pada zaman azal:. Misalnya, apabila pada zaman azali Allah berkehendak menjadikan Zaid dengan sifat ini, pada masa ini, di tempat itu, maka apabila tiba masa yang iradah Allah yang berhubungan dengan penciptaan Zaid, berhubungan pula dengan Qudrah Allah untuk menciptakan Zaid.

Kemudian Allah mewujudkan Zaid menurut sifat dan tempat yang telah ditentukan oleh Iradah-Nya.

Demikian pula apabila Iradah Allah berhubungan dengan meniadakan Amr dengan cara tertentu, maka berhubungan pula gudrah-Nya dengan meniadakan Amr itu. Allah meniadakan Amr dengan gudrah-Nya sesuai dengan iradah-Nya, tidak berbeda sedikit pun. Jika tidak demikian, maka pasti ada perselisihan dalam sifat Iradah-Nya dan ini adalah muhal, sebagaimana uraian terdahulu.

Sifat Al-Qudrah dan Al-Iradah Allah swt. masing-masing tidak berhubungan dengan barang-barang wajib, baik dalarn hal mengadakan atau menjadakannya, seperti dzat dan sifat-sifat-Nya dan tetapnya barang pada tempat. Dua sifat tersebut juga tidak berhubungan dengan barang yang mustahil, seperti adanya sekutu bagi-Nya, dan menyatukan dua hal yang berlawanan, seperti Zaid ada dan tidak ada dalam satu waktu. Karena barang yang wajib bagi Allah ada secara pasti, dan tidak mungkin berubah dan ada menjadi tidak ada. Oleh sebab itu, sifat Al-Qudrah dan Al-lradah Allah tidak berhubungan dengan wajib, tidak juga dalam hal menciptakannya, karena hal itu mewujudkan apa yang sudah ada dan itu adalah muhai: juga tidak berhubungan dengan meniadakan, karena mustahil tidak adanya dan keluar dari adanya, karena barang yang mustahil itu pasti tidak ada dan tidak dapat ada. Oleh karena itu, sifat Al-Qudrah dan Al-Iradah Allah tidak berhubungan dengan sesuatu yang mustahil: baik meniadakannya karena hal itu menghasilkan apa yang sudah. dan itu adalah muhal, maupun mengadakannya, karena muhal adanya dan keluarnya dari barang tidak ada.

Sebagai catatan, apabila ada sescorang bertanya: “Apakah Allah kuasa meniadakan barang yang wajib atau mewujudkan barang yang mustahil, seperti mencipta sekutu bagi-Nya” Sebagai jawaban yang sopan kami katakan: “Sesungguhnya bukti-bukti sudah menunjukkan, bahwa kekuasaan Allah itu tidak berhubungan dengan barang wajib dan tidak pula berhubungan dengan barang mustahil, baik mengadakan maupun meniadakannya. Sedang yang anda tanyakan itu adalah yang termasuk hal wajib atau termasuk hal yang mustahil, padahal gudrat Allah tidak berhubungan dengan keduanya itu”. Kami tidak mengatakan, bahwa Allah tidak kuasa atas demikian itu.Karena jawaban yang demikian ini termasuk tidak sopan terhadap hadlirat Allah dan memberi kesan lemah kepada-Nya, sedangkan Dia Maha Suci dari yang demikian.

Adapun sifat As-Sam’u dan Al-Bashar itu berhubungan dengan seluruh barang yang ada, baik wajib maupun jaiz, dengan hubungan yang bersifat menyingkapkan. Kedua sifat itu tidak berhubungan dengan barang yang tidak ada, baik mustahil maupun jaiz. Allah swt. melihat kepada Dzat-Nya yang mulia, sifat-sifat-Nya dan mendengar firman-Nya, sebagaimana Dia melihat dan mendengar pada sesuatu yang dilihat dan didengar dari makhluk-Nya yang jaiz. Allah swt. melihat benda yang paling kecil di malam yang gelap gulita serta mendengar derap jalannya pada batu yang licin, karena penglihatan dan pendengaran-Nya tidak seperti penglihatan dan pendengaran makhluk yang banyak kekurangannya, karena daya penangkapannya itu tergantung pada syarat-syarat dan sebab yang biasa.

Adapun sifat “Al-Ilmu dan Al-Kalam itu berhubungan dengan sesuatu yang wajib, mustahil dan jaiz, balk ada maupun tidak ada. Sifat Al-Ilmu Allah berhubungan dengan hal-hal ini dengan hubungan yang bersifat penyingkapan. Allah dengan sifat Al-Ilmu-Nya dapat mengetahui sesuatu yang wajib yang benar-benar wajib, seperti dzat dan sifatsifat-Nya yang Suci. Diketahui-Nya pula hal-hal yang mustahil, yang benar-benar mustahil, seperti ada sekutu bagi-Nya. Allah mengetahui sesuatu yang jaiz yang benarbenar jaiz, baik ada maupun tidak ada, akan ada atau tidak.

Allah mengetahui apa yang ada padanya dan tidak ada sesuatu yang lepas dari Ilmu-Nya, baik secara global maupun detail, di bumi atau di langit. Allah mengetahui jumlah pasir, tetesan air hujan, daun-daun pepohonan, dan dzat makhluk-Nya. Pengetahuan Allah tidak ada batasnya dan telah meliputi segala sesuatu.

Adapun sifat Al-Kalam itu berhubungan dengan sesuatu yang mustahil dan jaiz dengan hubungan yang bersifat menunjukkan (dalalah). Firman Allah yang tanpa huruf, tanpa suara itu menunjukkan setiap barang yang wajib, mustahil dan jaiz, baik yang tidak ada dengan segala apa yang ada padanya. Dengan sifat Al-Kalam pula Allah memben pengertian kepada seluruh hambahambanya-Nya yang dikehendaki-Nya, seperti malaikat dan para rasul-Nya.

KEWAJIBAN MENGIMANI SEMUA SIFAT DAN NAMA-NAMA ALLAH SWT.

Ketahuilah, bahwa kemantapan keyakinan kami, kaum muslimin, bahwa Nabi Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththalib adalah utusan Allah dengan bukti mukjizat yang luar biasa, yang tampak di hadapan beliau yang menjadi bukti dani Allah, yang membenarkan atas pengakuan kerasulannya. Sekiranya sudah tetap bahwa Nabi Muhammad saw. itu utusan Allah, maka setiap yang diberitakan oleh beliau adalah pasti benar dan mustahil beliau berdusta, sebagaimana akan dijelaskan pada Bab II, insya Allah.

Kita wajib membenarkan segala sesuatu yang beliau bawa dalam nashnash syan’at behau, berupa penetapan sifat-sifat Allah swt. Dalam Al-Qur’an yang mulia dan hadits beliau yang suci terdapap nash-nash yang memberi pengertian tentang sifat Allah dan mustahil sebagaimana sifat-sifat yang telah disebutkan di muka, disertai dengan dalil akli untuk menetapkan sifat-sifat tersebut bagi Allah dan mustahil kebalikan dari sifat-sifat tersebut bagiNya. Sifat-sifat itulah yang menjadi pusat Ketuhanan dan keagungan sifat Ketuhanan itu.

Dalam nash-nash syari’at terdapat pula penjelasan tentang sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah swt. antara lain: bahwasanya Allah itu Maha Adil, Maha Bijaksana, tempat meminta, Pemberi petunjuk, Pencipta, Pemberi rezeki, berdiri dengan Dzat-Nya dan sebagainya, yang telah tersebut dalam naSh-nash luhur bagi-Nya yang ada dalam nash syari’at Nabi Muhammad saw. wajib diimani, karena yang memberitahukannya adalah Rasulullah yang benar dan pasti benarnya, dengan dasar bukti-bukti kerasulan beliau dari sisi Allah swt.

Sebagaimana nash-nash syari’at membawa ketetapan sifat-sifat Allah swt. maka nash-nash itu juga membawakan ketetapan nama-nama-Nya, yang dengan nama-nama itu Dia menamakan diri-Nya. Di antaranya adalah “Allah”, suatu nama khusus bagi-Nya dari ini adalah lafadh yang mulia, sebagaimana bahasa Arab telah mengkhususkan lafadh itu bagi Tuhan Yang Maha Suci, sejak sebelum diutus Nabi Muhammad saw. Kemudian pula syari’at beliau membawa nama itu juga khusus bagi-Nya.

Pemberian nama Tuhan dengan nama itu adalah bersifat syari’at, yang kami dasari nash-nash syari’at. Demikian juga nama-nama Allah swt. yang lainnya. Pemberian nama dengan masing-masing nama-Nya adalah berdasar syareat, tidak boleh memberi nama dengan nama yang tidak datang dari syari’at yang mulia. Inilah pengertian perkataan para ulama, bahwa namanama Allah itu taugifi (berdasar dalil syara’), maksudnya penetapan setiap nama Allah itu atas dasar syan’at yang mulia. Tidak boleh menetapkan nama bagi-Nya tanpa dasar syari’at.

NASH-NASH MUTASYABIHAT DAN SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Ketahuilah, bahwa dalam syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. terdapat nash-nash yang menyifati Allah swt.dengan sifat-sifat kesempurnaan. Sebagian sifat-sifat itu telah dibuktikan oleh dalil akli akan tetapnya sifat-sifat tersebut bagi Allah swt. dan sebagian yang lain tidak. Tetapi ketika dijelaskan oleh Rasul saw. kebenaran beliau dibuktikan dengan mukjizat dan menurut akal tidak ada penghalang yang menghalangi tetapnya sifat-sifat tersebut bagi Allah swt., maka kami percaya dan membenarkannya.

Sifat-sifat Allah yang tidak dibuktikan oleh akli itu misalnya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya, memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang maksiat (durhaka).

Dalam nash-nash syari’at yang terang telah terdapat penyandaran atau penisbatan sesuatu kepada Allah swt. yang menurut zhahirnya memberi kesan adanya persamaan dan keserupaan Allah dengan barang-barang baru. Nashnash seperti itu disebut nash-nash mutasyabbihat. Padahal dalil akli telah menetapkan wajibnya perbedaan Allah swt. dengan barang-barang baru dan mustahil Allah menyerupainya. Dalil naqli pun telah menjelaskan demikian. Allah berfirman:

“Tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”

Kita yakin, bahwa nash-nash yang mutasyabbihat itu mempunyai pengertian-pengertian shahih yang layak bagi Allah swt. dan bebas dari adanya kesamaan Allah dengan barang-barang baru. Pengertian yang dimaksud bukanlah pengertian yang secara sepintas dipahami dari arti harfiah nash-nash yang mengandung pengertian adanya persamaan dengan barangbarang baru. Kami serahkan hakikat pengertian yang sebenarnya kepada Allah swt. Dengan cara seperti ini keyakinan dan keimanan kita menjadi bersih dari menyamakan Allah dengan barang-barang baru. Kita serahkan kepada-Nya pengertian yang dikehendaki-Nya terhadap nash-nash itu. Demikianlah akidah ulama’ salaf ra. yang shaleh.

Tetapi, ketika muncul beberapa sekte yang menyimpang berpedoman dengan dhahir nash-nash mutasyabbihat itu dan meyakini makna-makna harfiah nash-nash tersebut, yang menetapkan kesamaan Allah swt. dengan barang baru dan kebid’ahan mereka itu dikhawatirkan mempengaruhi orang-orang yang lemah agama, maka ulama’ mutaakhirin mentakwilkan nash-nash yang mutasyabbihat itu dengan takwilan yang layak dan sesuai dengan dalil-dalil akli seperti yang tertera pada kitab-kitab tafsir dan syarahsyarah hadits. Pentakwilan-pentakwilan itu pada mulanya untuk menolak aliran yang penyimpang (ahli bid’ah) dan untuk memantapkan keyakinan orang-orang yang lemah. Seolah-olah mereka berkata: selama nash-nash mutasyabbihat itu mengandung pengertian-pengertian yang benar, sesuai dengan dalil-dalil akli dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, maka harus ditakwilkan dengan takwilan yang sesuai antara nash-nash mutasyabbihat tersebut dan dalil-dalil yang menunjukkan Wajibnya perbedaan Altah dengan barang-barang baru dan mustahilnya persamaan Allah dengan barang-barang baru. Sehingga bisa selamat dari keyakinan yang dapat mengeluarkan seseorang dari keimanan. Kita mohon perlindungan dari yang demikian ini kepada Allah.

Dalam menyikapi nash-nash mutasyabbihat ada dua cara, sebagaimana akan diterangkan. Di dalam Al-Qur’an terdapat firman Allah swt yang tergolong mutasyabbihat. seperti:

Ya Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy

Tangan Allah di atas tangan mereka

Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya

Dan datanglah Tuhanmu dan sebagainya

Dalam hadits Nabi Muhammad saw. yang mulia juga terdapat sabda Rasulullah saw. yang termasuk mutasyabbihat. antara lain:

Aku telah melihat Tuhanku dalam rupa yang sangat bagus

Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Perkasa meletakkan kaki-Nya di api

Tuhan kalian sama turun ke langit dunia dan sebagainya.

Jalan yang paling selamat yang ditempuh oleh ulama salaf yang shalih ra. ialah hendaknya kita meyakini, bahwa nash-nash itu mempunyai pengertian-pengertian yang tidak seperti arti harfiahnya, dan pengertian itu benar dan cocok dengan dalil-dalil akli dan naqli yang menunjukkan wajibnya perbedaan Allah dengan barang-barang baru. Kita mempercayainya dan kita serahkan hakikat pengertian yang sebenarnya kepada Allah swt. Cara yang demikian ini sudah cukup untuk menyelamatkan iman.

Duduknya Allah di atas Arasy adalah menurut sifat-sifat-Nya yang layak dengan-Nya, tidak seperti duduknya makhluk yang membutuhkan materi dan arah. Turun-Nya ke langit dunia adalah menurut sifat-sifat-Nya yang layak dengan-Nya, tidak seperti turunnya makhluk yang mesti pindah dari satu tempat ke tempat lain, demikian juga datangnya. Kita katakan pula, bahwa Allah swt. mempunyai tangan, dan telapak kaki, namun tidak seperti tangan dan telapak kaki anggota tubuh kita, tetapi anggota-anggota yang sesuai dengan Allah Yang Maha Suci, yang tidak menerima bagian-bagian dan ukuran-ukuran. Allah Maha Tahu tentang hakikat pengertian-pengertian yang dimaksud oleh nash-nash tersebut. Demikianlah komentar tentang nashnash mutasyabbihat.

Apabila Kita udak melakukan pencntangan atau penolakan aliran orang – orang yang menyimpang (ahli bid’ah). yang menuduhkan adanya persamaan Allah dengan barang-barang baru, karena berpegang pada zhahir-zhahir nash. atau keinginan untuk memantapkan keyakinan orang-orang yang lemah agama. maka kita menyikapi nash-nash mutasyabbihat tersebut dengan menggunakan cara kedua, yaitu dengan cara pentakwilan. bahwa nash-nash itu mengandung pengertian-pengertian yang tidak seperti dipahami secara harfiyah, yang pengertian itu tidak menetapkan adanya persamaan Allah dengan barang-barang baru. Dengan membawa pengertian ke situ, maka sesuailah antara dalil-dalil akli dan naqli yang menunjukkan kesucian Allah swt. dari menyamai barang-barang baru.

Dengan cara pentakwilan seperti itu kita aman dari kesalahan dalam akidah yang mungkin dapat menyebabkan kekafiran -kita mohon perlindungan kepada Allah-. Jelasnya talah, bahwa yang dimaksud dengan istawaa di atas Arasy dapat diartikan menguasai Arasy, sebagaimana kata seorang penyair Arab:

“Seorang manusia telah menduduki Irag” Maksud kalimat di atas ialah menerangkan keagungan Allah swt. dan pengaruh hukum-Nya pada segala sesuatu di alam semesta ini.

Mungkin juga yang dimaksud dengan turun ke langit dunia, adalah menghadapi hamba-hamba-Nya. Dalam bahasa Arab kata nuzul dapat berarti menghadapi. Pengertian bahwa Allah swt. saat itu menghadapi hamba-hamba-Nya diungkapkan dengan turun ke langit dunia. Kedatangan Allah dapat diartikan juga menghadapi. Datanglah perintah Tuhanmu dan kekuasaan-Nya. Maksud wajah adalah dzat, dan kata wajah itu dikhususkan dan dimaksudkan dengan dzat. Yang dimaksudkan dengan tangan ialah kekuasaan. Semua pentakwilkan itu mempunyai dalil-dalil penggunaan bahasa Arab yang Al-Qur’an dan hadits Nabi mempergunakannya juga. Demikianlah cara pentakwilan terhadap nash-nash yang mutasyabbihat. Semua nash mutasyabbihat ditemukan oleh para ulama tentang takwilannya yang cocok dan sesuai dengan dalil akli. berdasarkan tata bahasa Arab.

Mereka telah menyusun kitab tersendiri, yang berisi keterangan yang memadai mengenai takwilan ayat-ayat mutasyabbihat. Oleh sebab itu, setiap orang mukallaf wajib mempercayai nash-nash mutasyabbihat, dan wajib meyakini, bahwa nash-nash tersebut mempunyai pengertian-pengertian yang benar dan layak bagi Allah swt. Tidak mengakui adanya persamaan Allah dengan barang-barang baru. Selanjutnya menyerahkan hakikat pengertian yang dikehendaki oleh nash-nash tersebut kepada Allah.

Apabila ada seseorang membutuhkan pentakwilan untuk menolak aliran ahli bid’ah atau untuk menghilangkan keraguan dani hatinya, sedangkan bukan ahli takwil, maka hendaklah ia kembalikan hal itu pada para ulama yang pandai, dan agar ia memahami tentang pentakwilan nash-nash yang dibutuhkan dari mereka ini. Janganlah ia mentakwilkannya sesuai dengan pikiran sendiri, padahal bukan ahlinya, karena dikhawatirkan terjerumus dalam kesalahan yang bisa memasukkan ke dalam bid’ah atau kafir. Kita mohon penjagaan dan keselamatan kepada Allah swt.

Perlu diketahui oleh setiap orang mukallaf, bahwa nash-nash mutasyabbihat yang yang telah diterangkan dalam pasal ini adalah ayatayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah saw. yang shahih. Adapun hadits yang dinisbatkan kepada Rasul oleh sebagian ahli, tetapi tidak shahih, maka tidak wajib bagi kita untuk membenarkannya, apalagi untuk mentakwilkannya. Allah swt. adalah Yang Maha Mengetahui.

HAL-HAL YANG JAIZ BAGI ALLAH SWT. DAN MASALAH YANG DIPERDEBATKAN AHLI BID’AH

Penjelasan tentang sesuatu yang wajib dan mustahil bagi Allah telah disebutkan, maka dalam fasal ini akan kami uraikan tentang sesuatu yang jaiz (boleh) bagi Allah sebagai berikut.

Allah swt. mempunyai sifat jaiz atau wenang untuk membuat setiap barang yang mungkin atau tidak membuatnya, walaupun benda itu besar dan sulit pembuatannya, namun Allah mampu membuatnya. Dalilnya dari nash syarak yang mulia ialah firman Allah swt.:

“Dan Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Dalil aklinya ialah, bahwasanya Allah itu sempurna kekuasaan-Nya, dan sempurna pula ilmu-Nya, dan setiap barang yang jaiz (mungkin), dapat ada dan dapat tidak ada. Dan Allah dapat mewujudkan atau meniadakannya.

Bukti yang menjelaskan, bahwa Allah membuat benda yang jaiz atau tidak membuatnya, walaupun benda yang jaiz itu besar dan sulit pembuatannya ialah keagungan dan kehebatan hasil ciptaan-Nya, sebagaimana yang kita saksikan di alam semesta ini. Maka, sesungguhnya Allah telah melaksanakan dengan kekuasaan-Nya, baik di kala mewujudkan maupun meniadakannya.

Memang, biasanya Allah tidak menciptakan sesuatu yang menyalahi hukum adat, yakni perkara-perkara besar yang terjadinya tidak berlaku menurut adat, kecuali di atas tangan para rasul sebagai mukjizat mereka dan sebagai bukti kebenaran kerasulan mereka, atau di atas tangan para waliwalinya sebagai karomah (kehormatan) mereka, di atas tangan sebagian hamba-hamba-Nya sebagai ma’unah (pertolongan mereka) atau sebagai istidraj (agar meningkat keburukannya), atau penghinaan, sebagaimana akan diterangkan perinciannya. Kejadian semua itu hanya jarang sekali.

Di antara wewenang Allah swt. adalah menciptakan baik dan buruk. Hal yang demikian ini bukanlah keburukan bagi Allah swt. berbeda dengan pendapat sebagian ahli bid’ah, karena Allah adalah Pembuat yang berhak menentukan pilihar sendiri. Dia melaksanakan sesuai kehendak-Nya. Mungkin sesuatu itu hakikatnya baik, walaupun kebaikannya tersembunyi, tidak kita ketahui, kemudian sesuatu itu kita anggap buruk. Atas dasar anggapan keburukan itu, maka buruklah ia menurut pandangan kita. Oleh karena itu, kita dituntut karena melakukannya atau karena menentang larangan, di mana melakukannya adalah satu keburukan dari kita.

Adapun menurut Allah swt., maka tidak boleh dikatakan, bahwa sesuatu Itu baik atau buruk untuk Allah, karena Allah sedikit pun tidak mengambil kemanfaatan dan tidak pula kena mudharatnya. Lagi pula sesungguhnya di alam ini banyak terjadi keburukan-keburukan, maka seandainya bukan atas ciptaan-Nya dan bukan dengan iradah-Nya, niscaya dalam kerajaan-Nya akan banyak terjadi sesuatu yang tidak diciptakan-Nya dan tidak pula dengan iradah-Nya. Hal itu merupakan kelemahan dan paksaan terhadap kedudukan Ketuhanan. Allah Maha Tinggi dari yang demikian itu, dengan ketinggian yang luar biasa.

Termasuk jaiz bagi Allah, ialah membuat tidak baik dan lebih tidak baik terhadap hamba-Nya. Tidak wajib bagi-Nya untuk berbuat yang demikian itu. Ini berbeda dengan pendapat ahli bid’ah, karena apabila Allah wajib membuat baik dan yang lebih baik bagi hamba-hamba-Nya, niscaya Allah tidak menjadikan orang kafir yang miskin. Di dunia tersiksa dengan kemiskinan dan di akhirat tersiksa dengan siksaan yang pedih. Karena yang terbaik bagi orang kafir miskin tersebut, ialah tidak diciptakan. Jika diciptakan, maka yang terbaik ialah mematikannya di waktu kecil atau hilang akal sebelum menginjak dewasa. Tetapi, Allah swt. menciptakan orang kafir tersebut dan tidak membuat hal yang lebih baik bagi si kafir itu. Dengan demikian, maka jelaslah, bahwa Allah tidak wajib membuat baik dan yang lebih baik bagi hamba-hamba-Nya, tetapi Dia adalah Pencipta yang wenang meraih sendiri, wenang membuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menghukum dengan apa yang dikehendaki-Nya pula.

Termasuk jaiz bagi Allah swt. menurut akal, adalah menyiksa orang yang taat dan memberi kenikmatan kepada orang yang durhaka. Ini tidaklah buruk bagi Allah, karena Allah penguasa mutlak dan pembuat menurut kemauan sendiri. Dikarenakan pula, jika Allah memberi pahala kepada kita, maka pahala itu semata-mata karunia-Nya, jika menyiksa kita, maka siksaan itu karena keadilan-Nya. Ketaatan tidaklah mempengaruhi atas wajibnya pahala, dan kemaksiatan, tidak pula mempengaruhi atas wajibnya siksaan.

Tetapi karena telah ada janji Allah dalam nash-nash syari’at nabi Muhammad saw. orang-orang yang taat akan diberi pahala dan ada ancaman orang yang durhaka dikenai siksaan, maka menurut syarak Allah pasti tidak menyalahi janji dan ancaman-Nya, karena jika Dia menyalahinya, maka pastilah Dia berdusta dan pertentangan berita-Nya, dan ini adalah muhal. Menurut syarak janji dengan pahala bagi orang yang taat harus dipenuhi, karena tidak menepati janji itu suatu kekurangan, sedang kekurangan bagi Allah adalah mustahil. Adapun ancaman dengan siksa, maka orang-orang mukmin yang diampuni dosa mereka adalah telah dibebaskan dengan dasar dalil-dalil syarak yang menunjukkan, bahwa Allah kadang-kadang mengampuni dosa sebagian hamba-hamba-Nya. Adapun orang kafir, maka Allah pasti melaksanakan ancaman-Nya terhadap mereka, karena dalildalil syarak menunjukkan kepastian mereka kekal di dalam ncraka. Adapun orang-orang mukmin yang tidak diampuni dosa kemaksiatannya, maka pastilah ancaman, dilaksanakan, walaupun menyiksa salah satu dari mereka, agar tidak terjadi menyalahi berita-Nya.

Termasuk jaiz bagi Allah menurut akal, ialah Allah itu dapat dilihat dengan penglihatan, karena Allah itu ada dan setiap barang yang ada dapat dilihat. Maka, Allah itu dapat dilihat pula. Tetapi melihat Allah di dunia ini tidak mungkin, kecuali oleh Nabi Muhammad. Menunut syarak melihat Allah bagi orang mukrnin di akhirat adalah pasti, dengan kesepakatan ulama ahlissunnah wal jama’ah berdasarkan ayat Al-Qur’an, hadits yang mulia dan ijmak sahabat. Namun melihat Allah itu tanpa cara dan tanpa terbatas. Pengertian perkataan kami “melihat”, maksudnya cara melihat Allah itu tidak sama dengan cara melihat barang-barang baru misalnya dengan cara berhadapan dengan orang yang melihat, arah dan tempat, karena penglihatan itu suatu kekuatan indera tangkap yang dijadikan oleh Allah untuk makhlukNya. Menurut akal, tidak disyaratkan berhadapan dengan barang yang dilihat, tidak juga butuh arah, tempat dan sebagainya, hanya saja hal seperti berhadapan adanya arah pandang tertentu itu sebagai syarat melihat pada umumnya. Tetapi Allah boleh saja menjadikan penglihatan tanpa syarat-syarat itu.

Pengertian perkataan kami “tanpa batas” ialah, bahwa melihat Allah itu tidak terbatas, artinya tidak terbatasnya Allah dalam pandangan orang yang melihat, karena Allah terus meliputinya. Sebab, mustahil adanya batas bagi Allah swt. Kepastian orang mukmin dapat melihat Allah itu sama sekali tidak berlawanan dengan firman Allah dalam Al-Our’ an:

“Penglihatan-penglihatan itu tidak dapat menangkap-Nya.”

Karena pengertian penangkapan penglihatan ialah dengan menyeluruh, dimana yang dilihat itu bertempat, ada batas dan penghabisan. Sedangkan kami tidak mengatakan hal ini untuk Allah, karena hal itu muhal bagi Allah swt.

Sebagian aliran orang-orang yang menyimpang (ahli bid’ah) berbeda pendapat tentang bolehnya melihat Allah dan mereka berpegang pada hal. hal yang belum jelas, yang tidak dapat diterima, sebagaimana diuraikan dalam buku-buku yang panjang lebar pembahasannya.

Termasuk hal yang jaiz (wenang) bagi Allah swt., ialah mengutus para rasul as. kepada makhluk. Mengutus para rasul itu tidaklah wajib bagi Allah dan tidak mustahil: tetapi karena belas kasih, kebaikan, rahmat dan kemurahan daripada-Nya semata-mata, sebab di dalam pengutusan mereka mengandung hikmah dan kebaikan yang tidak dapat terhitung.

Sebagian dari hikmah itu ialah:

Membantu akal dalam memahami hal perlu diketahui akal itu sendiri, misalnya adanya Tuhan, ilmu dan kekuasaan-Nya.

Memberikan keputusan dalam hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal, seperti kehidupan kembali jasmani dan adanya hisab (perhitungan amal).

Menerangkan keadaan beberapa perbuatan, yang sekali waktu baik dan di lain waktu buruk, yang mana akal tidak mengetahui waktu-waktu terjadinya.

Menerangkan manfaat makanan dan obat-obatan serta bahaya-bahayanya, yang hanya dapat diketahui oleh percobaan sesudah beberapa periode dan fase disertai beberapa bahaya.

Menyempurnakan jiwa manusia, berdasarkan tingkat kesiapan mereka yang berbeda-beda dalam teori dan praktik.

Mengajarkan perbuatan-perbuatan yang tersembunyi, baik kebutuhan sekunder (hajiyat) atau kebutuhan primer (dharuri).

Mengajarkan budi pekerti yang luhur, yang manfaatnya kembali kepada person-person, rumah tangga maupun negara.

Memberitakan perincian pahala orang yang taat dan siksa orang yang durhaka, menggemarkan dalam melakukan kebaikan dan mempertakuti dalam mengamaikan keburukan. Dan kemanfaatan-kemanfaatan yang lain.

Sesudah kita meyakini pengutusan para rasul itu jaiz (wenang) bagi Allah swt. dan pengutusan itu bukanlah kewajiban atas-Nya, maka kita wajib mengi’tiqadkan adanya para rasul semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad -semoga Allah memberi rahmat dan keselamatan kepada seluruh nabi dan rasulKeterangan yang terperinci tentang cara mengimani mereka, akan dijelaskan pada Bab II. Wallahul muwaffiq.[alkhoirot.org]

LihatTutupKomentar