Bab 4: Kendala-kendala di jalan ibadah

Bab 4: Kendala-kendala di jalan ibadah Rezeki dan Tuntutan Nafsu untuk Mencarinya Rintangan ini bisa diatasi dengan tawakal kepada Allah Swt. Oleh ka

 

Bab 4: Kendala-kendala di jalan ibadah

Nama kitab:  Terjemah Kitab Minhajul ‘Abidin
Judul kitab asal: Minhaj Al-Abidin ila Jannati Rabbil Alamin  (منهاج العابدين إلى جنة رب العالمين)
Pengarang: Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad aṭ-Ṭūsiyy al-Ġazzālīy)
Nama yang dikenal di Arab: أَبْو حَامِدْ مُحَمّد الغَزّالِي الطُوسِيْ النَيْسَابُوْرِيْ الصُوْفِيْ الشَافْعِي الأشْعَرِيْ
Kelahiran: 1058 M/450 H, Tous, Iran
Meninggal: December 19, 1111 M/ 505 H, Tous, Iran
Penerjemah: K.H.R. Abdullah bin Nuh
Bidang studi: Ilmu Tasawuf, Sufisme, Akhlaq

Daftar isi
  1. Bab IV: Tahapan keempat: Kendala-kendala di jalan ibadah
    1. Rejeki dan tuntutan nafsu
    2. Hakekat tawakal
    3. Ragu dan khawatir
    4. Qadha Allah
    5. Musibah dan kesulitan hidup
  2. Kembali ke: Terjemah Minhajul Abidin

Tahapan Keempat 'AWARIDH (RINTANGAN)

Hai orang-orang yang hendak beribadah! Hendaklah Anda senantiasa mencegah rintangan yang membuat Anda sibuk hingga lalai dari beribadah kepada Allah Ta’ala dan menutup jalan ke arah itu sehingga rintangan tersebut tidak membuat sibuk dan menjauhkan Anda dari tujuan semula. 

Empat Kendala di Jalan Ibadah

Kami telah menyebutkan bahwa rintangan tersebut ada empat:

1. Rezeki dan Tuntutan Nafsu untuk Mencarinya

Rintangan ini bisa diatasi dengan tawakal kepada Allah Swt. Oleh karena itu, hendaklah Anda menyerahkan urusan rezeki dan segala kebutuhan ini kepada Allah, apapun yang terjadi.

Ini harus dilakukan karena adanya dua hal:

  1. Untuk memperoleh ketenteraman dalam beribadah dan melakukan kebaikan sebgaimana mestinya. Sebab orang yang tidak bertawakal tentu menyibukkan diri dan meninggalkan ibadah karena mengejar kebutuhan, rezeki, dan kebaikan, baik secara lahir maupun secara batin.

Kadang ia berusaha dengan cara bekerja seperti lazimnya orang yang mencintai dunia. Dan kadang ia berusaha dengan zikir, keinginan, dan rasa was-was seperti para mujtahidin yany hatinya masih terpancang pada dunia.

Sementara itu, ibadah membutuhkan ketenangan hati dan badan agar benar-benar dapat memenuhi haknya. Ketenangan tersebut tidak dimiliki selain oleh orang yang bertawakal. Bahkan menurut pendapatku, orang yang hatinya lemah tidak mungkin memiliki ketenangan jiwa kecuali dengan sesuatu (rezeki) yang sudah diketahui. Ia hampir tidak bisa menyempurnakan urusan dunia dan akhirat yang mengkhawatirkan.

Sering kudengar dari guruku Abu Muhammad. Beliau berkata: “Segala urusan di dunia ini akan berjalan dengan baik pada dua macam orang, yakni orang yang bertawakal dan orang yang ngawur (melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang).

Menurutku inilah pandangan yang artinya lebih menyeluruh. Sebab orang yang ngawur menginginkan segala sesuatu hanya berdasar pada kekuatan yang sudah berlaku dan keberanian hati. Jatidak menoleh pada sesuatu yang akan memalingkannya atau kekhawatiran yang dapat melemahkannya. Maka terjadilah segala sesuatunya.

Sedangkan oang yang bertawakal menginginkan segala sesuatu dengan dasar kekuatan, kewaspadaan dan keyakinan yang sempurna kepada janji Allah dan kepercayaan penuh dengan jaminan-Nya. Maka ia tidak menoleh sedikitpun kepada seseorang yang menakut-nakutinya dan juga setan yang menggodanya. Dengan begitu, ia bisa mencapai tujuan dan mendapatkan apa-apa yang dicarinya.

Adapun makhluk Allah yang lemah, selamanya tetap berada di antara tawakal, kebimbangan, lunglai dan bingung, seperti keledai dalam kandangnya atau ayam dalam kurungan. Ia selalu melihat apa yang dibiasakan oleh pemiliknya dan hampir tidak pernah lepas dari itu.

Nafsunya tak lagi menginginkan kedudukan-kedudukan tinggi. Cita-citanya telah pupus dan nyaris tidak bertujuan mendapatkan sesuatu yang mulia. Jika menginginkannya maka keinginan tersebut nyaris tak dapat didapatkannya, Ia juga tidak bisa menyempurnakan hal itu.

Apakah Anda tidak melihat bagaimana orang-orang yang bercita-cita tinggi dari golongan pecinta dunia yang tidak mendapatkan derajat yang agung dan kedudukan tinggi kecuali dengan memutuskan hati mereka dari diri, harta, dan keluarga mereka?

Sedangkan seorang raja akan merasa gembira dengan peperangan dan menghadapi musuh. Ia bisa saja kalah dan bisa pula mendapat kerajaan sampai ia memperoleh kedudukan raja dan memegang tali-tali kekuasaan.

Diceritakan bahwa saat Mu’awiyah bin Abu Sufyan melihat dua pasukan dalam perang Shiffin, maka ia berkata: “Barangsiapa menginginkan kedudukan tingi, maka ia harus berani menghadapi kemalangannya yang besar.”

Para pedagang menempuh jalan yang bisa menimbulkan kerusakan, menceburkan diri dan harta mereka ke tengah para perampok yang datang dari kanan dan kiri, menempatkan diri mereka pada salah satu dari dua pilihan, yaitu kehilangan nyawa dan mendapat keuntungan sehingga dengan itu mereka bisa mendapatkan keuntungan besar, harta melimpah dan barang-barang mahal yang indah.

Para pedagang pasar yang berhati lemah dan keinginannya rendah, maka hatinya tak lepas dari ikatan, yaitu diri dan hartanya. Sepanjang hidup ia hanya berjalan mondar-mandir dari rumahnya menuju kios. Ia tidak bisa mencapai kedudukan yang mulia seperti para raja. Ia juga tidak bisa mendapat banyak keuntungan seperti para pedagang yang pemberani. Jika ia mendapat keuntungan satu dirham dari dagangannya, maka aginya hal itu sudah cukup besar. Hal ini terjadi karena tergantungannya pada sesuatu yang biasa didapatnya.

Keterangan ini adalah sesuatu yang hubungannya dengan dunia dan para pecintanya.

Adapun orang yang mencintai akhirat, maka modal utama mereka adalah ketakwaan seperti yang telah kuterangkan serta memutuskan hati dari berbagai ketergantungan.

Setelah mereka benar-benar mapan dan mendapatkan semua itu, maka mereka berkesempatan beribadah kepada Allah, menempatkan dirinya untuk menyendiri dari semua makhluk, berkelana di muka bumi, tinggal di gunung-gunung dan lembah-lembah. Lalu jadilah mereka hamba-hamba terkuat, tokoh agama di sekelilingnya, manusia merdeka dan pada hakekatnya menjadi raja di muka bumi. Mereka berjalan sekehendak hati dan berhenti sesukanya. Mereka juga menginginkan bermacam hal besar sesuai keinginan, karena tidak ada rintangan dan halangan yang menghalanginya. Bagi mereka semua tempat adalah satu. Semua waktu baginya adalah satu. Dan hal ini diisyaratkan oleh Nabi Saw. dengan sabda beliau:

Artinya: “Barangsiapa lebih suka menjadi orang yang terkuat, maka hendaklah ia bertawakal kepada Allah. Barangsiapa lebih suka menjadi orang yang paling mulia, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah. Dan barangsiapa lebih suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah ia lebih percaya kepada apa yang ada dalam genggaman Allah ketimbang apa yang dalam genggamannya.”

Diceritakan dari Sulaiman Al-Khawash bahwa seandainya ada seorang lelaki yang benar-benar bertawakal kepada Allah Swt dengan niat yang juga benar, maka ia pasti dibutuhkan oleh para pemimpin pemerintahan dan seluruh bawahannya. Bagaimana tidak dibutuhkan jika tuannya adalah Dzat yang Maha Kaya dan juga Maha Terpuji?

Diceritakan dari Ibrahim Al-Khawash bahwa beliau berkata: “Aku pernah bertemu seseorang di tanah Tiih yang putih bagai perak lantakan. Lalu aku bertanya kepada orang itu, ‘Wahai saudara! Anda mau ke mana? Orang itu menjawab, ‘Ke Mekkah. Aku bertanya, “Tanpa bekal dan kendaraan? Orang itu menjawab, Hai orang yang lemah keyakinannya! Dzat yang mampu memelihara langit dan bumi mampu menyampaikanku ke negeri Mekkah tanpa bekal dan kendaraan. Saat aku memasuki Mekkah orang tersebut sedang berthawaf sambil bersyair:

Wahai nafsuku! Teruslah berkelana

dan jangan mencintai seorangpun

selain Allah yang Maha Agung, Tuhan tempat meminta.

Hai nafsuku! Matilah kamu bersama dukacita.

Saat melihatku ia berkata: “Wahai orang tua! Apakah setelah (menyaksikan) itu (hatimu) masih lemah?”

Abu Muthi’ berkata kepada Hatim Al-Asham: “Aku mendengar bahwa Anda menjelajahi gurun dengan tawakal dan tanpa bekal.” Hatim menjawab: “Bekalku ada empat macam.” Abu Muthi bertanya: ” Apakah empat macam itu?” Hatini menjawab: “1) Aku melihat dunia dan akhirat sebagai kerajaan Allah. 2) Aku melihat semua makhluk adalah hamba Allah dari keluarga-Nya. 3) Aku melihat bermacam rezeki dan penyebabnya berada di tangan Allah. 4) Aku melihat bahwa keputusan Allah pasti terjadi di semua penjuru bumi.” Alangkah indah kata seorang penyair:

 

Aku melihat orang-orang yang berzuhud selalu tenang dan tenteram.

Hati mereka jauh dari gurauan dunia.

Jika kau lihat mereka, seolah kau lihat

seorang raja di bumi yang berwatak pemurah.

 

  1. Kekhawatiran dan bahaya besar yang timbul bila kita meninggalkannya (tawakal).

 

Bukankah Allah menyertakan rezeki kepada setiap makhluk? Dia berfirman:

 

Artinya: “Allah menciptakan kalian, kemudian memberi kalian rezeki…” (Q.S. Ar-Ruum: 40)

 

Ayat ini menunjukkan bahwa semua rezeki berasal dari Allah, bukan dari yang lain, seperti juga makhluk yang berasal dariNya. Kemudian Allah tidak cukup hanya menunjukkan, tapi juga memberikan janji. Allah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rezeki.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 58)

 

Allah tidak hanya memberi janji tapi juga memberikan jaminan. Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan tidak ada seekor binatang melata pun di muka bumi melainkan Allah yang memberinya rezeki.” (Q.S. Huud: 6)

 

Allah juga tidak hanya menjamin, tapi juga bersumpah (akan memberikan rezeki). Allah berfirman:

 

Artinya: “Demi (Allah) Penguasa langit dan bumi, sesungguhnya (rezeki) yang dijanjikan Allah itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 23)

 

Di samping itu semua, Allah juga memerintahkan dengan keras agar kita bertawakal dan juga menakut-nakuti. Dia berfirman:

 

Artinya: “Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup kekal, yang tidak mati.” (Q.S. Al-Furqaan: 58)

 

Dia juga berfirman: .

 

Artinya: “Dan hendaklah hanya kepada Allah kamu sekalian bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. AlMaaidah: 23)

 

Barangsiapa tidak mau merenungkan firman Allah, tidak puas denganjanji-Nya, tidak merasa tenang dengan jaminan-Nya, tidak menerima sumpah-Nya dan tidak mempedulikan perintah, janji Serta ancaman-Nya, maka tunggulah apa yang akan terjadi serta cobaan apa yang akan menimpanya. Ini adalah musibah yang teramat besar tapi kita selalu melupakannya.

 

Nabi Saw. bersabda kepada sahabat Ibnu Umar:

 

Artinya: “Bagaimana jika kamu hidup di tengah-tengah kaum yang menyimpan makanan untuk setahun, karena mereka lemah keyakinannya?”

 

Diceritakn dari Hasan Al-Bashri. Beliau berkata: Allah melaknat suatu kaum yang telah diberi-Nya sumpah dan mereka tidak mempercayainya.”

 

Ketika ayat ini turun para malaikat berkata: “Demi Tuhan langit dan bumi, celakalah keturunan Adam. Mereka membuat Tuhan marah hingga ia bersumpah mengenai rezeki mereka.”

 

Diceritakan dari Uwais Al-Qarani. Beliau berkata: “Seandainya kamu beribadah seperti yang dilakukan oleh penghuni langit dan bumi, maka Allah tidak akan menerimanya hingga kamu membenarkan-Nya.” Kemudian ditanyakan: ” Bagaimana cara membenarkannya?” Uwais berkata: “Kamu merasa aman dan tenteram denganjaminan yang diberikan Allah dalam hal rezekimu, sehingga kamu berkesempatan melakukan ibadah kepada-Nya.”

 

Suatu ketika Haram bin Hayyan bertanya kepada beliau (Uwais): “Di mana Anda menyuruh aku bertempat tinggal?” Uwais memberi isyarat dengan tangannya ke arah negeri Syam. Haram bertanya: “Bagaimana dengan mata pencaharianku di sana?” Uwais berkata: “Sungguh celaka orang yang berhati lemah sepertimu. Ia telah bercampur dengan keraguan sehingga tiada gunanya diberi nasehat.”

 

Aku (Al-Ghazali) pernah mendengar ada seorang pencuri kain di kuburan yang bertobat di hadapan Abu Yazid Al-Busthami. Kemudian Abu Yazid bertanya tentang apa yang terjadi pada pencuri tersebut. Pencuri menjawab: “ Aku telah menggali seribu kuburan. Semua orang yang kugali tidak ada yang menghadap ke arah kiblat kecuali dua orang.” Abu Yazid berkata: “Kasihan mereka. Keraguan tentang rezeki telah memalingkan wajah mereka dari kiblat.”

 

Seorang kawan berkata kepadaku bahwa ia melihat seorang lelaki yang ahli berbuat baik. Lalu ia bertanya tentang keadaan lelaki tersebut: “Apakah Anda selamat karena keimanan Anda?” Ja menjawab: “Iman yang selamat hanya dimiliki oleh orang-orang yang bertawakal.”

 

Kami memohon kepada Allah semoga Dia berkenan memperbaiki kami dengan anugerah-Nya. Dan semoga Dia tidak menyiksa kami karena perbuatan (jelek) yang kami lakukan. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengasih dari para pengasih terhadap hamba-Nya. Ini adalah hal yang penting.

 Hakekat Tawakal

Jika Anda berkata: “Terangkanlah pada kami apa hakekat tawakal, bagaimana hukumnya, dan apa yang harus dilakukan seorang hamba dalam hal (tawakal) itu yang berhubungan dengan rezeki.

Ketahuilah bahwa pengertian tawakal itu dibagi menjadi empat yaitu arti lafal tawakal, kedudukan, batasan dan benteng tawakal.

Pasal Pertama: Arti Kata Tawakal

Kata tersebut berasal dari mashdar “wakalah” yang memiliki arti perwakilan. Jadi orang yang bertawakal kepada seseorang berarti ia menganggapnya sebagai seorang wakil yang melaksanakan (mengurusi) pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas kebaikannya dan ia tidak perlu ikut mengerjakan, membebani diri sendiri, ataupun ikut prihatin.

Inilah pengertian kata tawakal secara global.

Pasal Kedua: Kedudukan Tawakal

Kata tawakal ini digunakan pada tiga kedudukan, yaitu kedudukan dalam hal pembagian rezeki, pertolongan dan rezeki Itu sendiri serta berbagai kebutuhan.

  1. Dalam hal pembagian rezeki, tawakal berarti percaya penuh bahwa Allah tidak mungkin keliru dalam membagikan rezeki. Nya kepada orang tersebut, karena hukum (ketetapan) Allah tidak dapat diubah. Dan tawakal dalam hal ini hukumnya wajib, berdasarkan Al-Qur’an dan hadis

 

  1. Dalam hal pertolongan, tawakal berarti percaya penuh dengan pertolongan yang dijanjikan-Nya selama ia benar-benar menolong dan berjuang karena-Nya. Allah berfirman:

 

Artinya: “Kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran: 159)

 

Allah juga berfirman:

 

Artinya: “Jika kalian menolong Allah, niscaya Allah akan menolong kalian.” (Q.S. Muhammad: 7) Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan sudah semestinya Aku (Allah) menolong orangorang yang beriman.” (Q.S. Ar-Ruum: 47)

 

  1. Dalam hal rezeki dan kebutuhan, sesungguhnya Allah menjamin segala kebutuhan yang Anda perlukan untuk beribadah sehingga Anda mampu melaksanakannya. Hal itu berdasarkan firman Allah:

 

Artinya: “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S. Ath-Thalaq: 3)

Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Apabila kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberikan rezeki padamu seprti Dia memberikan rezeki kepada burung. Pada waktu pagi ia lapar, dan di sore hari kembali (ke sarangnya) dengan perut penuh.”

 

Tawakal dalam bab ini merupakan kewajiban setiap hamba berdasarkan dalil agli dan syar’i.

 

Keterangan ini adalah pendapat terkuat, yaitu tawakal dalam masalah rezeki. Dan inilah yang kami inginkan dalam pasal ini.

 

Jadi, kedudukan tawakal di sini adalah rezeki yang sudah dijamin oleh Allah, seperti yang dikatakan oleh para ulama. Akan tetapi hal itu akan bisa menjadi jelas setelah Anda mengetahui macam-macam rezeki. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa rezeki dibagi menjadi empat:

 

  1. Rezeki madhmun
  2. Rezeki maqsuum
  3. Rezeki mamluk
  4. Rezeki mau’ud

 

  1. Rezeki madhmun

Yaitu rezeki yang dijadikan sebagai penguat dan hal-hal lain yang membuat tubuh menjadi tegak tanpa adanya penyebab lain. Rezeki semacam ini adalah tanggungan Allah. Oleh karena itu, dalam hal ini kita wajib bertawakal kepada-Nya, karena sudah ada dalil agli dan syar’i yang menunjukkannya. Sebab Allah membebani kita dengan tugas melayani dan mentaati perintahNya dengan menggunakan badan kita. Oleh karenanya, Allah tentu menjamin kita dari apa apa yang bisa menyebabkan kerusakan tubuh sehinpya kita dapat menjalankan apa yang dibebankan Nya kepada kita semua.

Seorang ulama dari pengikut mazhab Kiramiyah berpendapat bahwa pada dasarnya tanpyungan rezeki untuk para hamba itu menjadi wajib bila melihat kebijaksanaan Allah, Hal ini disebabkan karena adanya tiga unsur:

 

Pertama, Allah Swt. adalah majikan dan kita semua hamba sahaya. Seorang majikan tentu harus mencukupi hambanya sebagaimana para hamba berkewajiban melayani majikannya.

 

Kedua, Allah membuat mereka butuh terhadap rezeki dan tidak memberi mereka jalan untuk mencarinya, karena mereka sendiri tidak mengetahui apa, di mana, dan kapan rezekei itu bisa didapat agar dapat mencari, mengambil sendiri dari tempatnya dan tepat pada waktunya, sehingga mereka bisa mencapai tempat rezeki itu berada. Oleh karena itu, dalam hal ini Allah wajib mencukupi dan mendatangkan mereka ke tempat rezeki itu.

 

Ketiga, Allah membebani mereka dengan perintah pengabdian. Sedangkan pekerjaan mencari rezeki adalah kesibukan yang dapat melalaikan mereka darinya. Oleh karena itu, Dia wajib mencukupi biaya hidup mereka agar dapat mengabdi (beribadah) dengan tenang.

 

Pendapat seperi ini adalah ucapan orang yang tidak mengetahui rahasia ketuhanan. Orang yang mengatakan bahwa rezeki itu menjadi kewajiban Allah adalah orang bingung. Kami telah menjelaskan kesalahan ucapan atau keyakinan seperti ini dalam ilmu kalam. Lebih baik sekarang kita kembali kepada pokok persoalan yang menjadi tujuan utama kita (masalah rezeki — Pen).

 

  1. Rezeki maqsuum

Yaitu rezeki yang dibagikan oleh Allah dan ditulis-Nya di Lauh Mahfuzh berupa sesuatu yang dimakan, diminum, dan dipakai oleh setiap orang dengan ukuran dan waktu yang sudah ditentukan, tidak bertambah ataupun berkurang, tidak maju maupun mundur dari ketentuan yang telah ditetapkan dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Seperti diterangkan dalam hadis Rasulullah Saw. berikut ini:

 

Artinya: “Semua rezeki telah dibagi dan juga diselesaikan. Ketakwaan seorang muttagi tidak bisa menambahi rezekinya, dan kedurhakaan orang yang durhaka tidak pula dapat menguranginya.

 

  1. Rezeki mamluk

Yaitu rezeki yang dimiliki oleh setiap orang berupa kekayaan dunia dengan ukuran yang telah ditentukan oleh Allah dan dibagikan supaya bisa dimilikinya. Rezeki mamluk ini termasuk rezeki dari Allah Swt. Allah berfirman:

 

Artinya: Nafkahkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu sekalian.(Q.S. al-Baqarah: 254)

 

Artinya rezeki yang Kami berikan sebagai milik kalian semua.

 

  1. Rezeki mau’ud

Yaitu rezeki yang dijanjikan oleh Allah bagi para hambanya yang bertakwa dengan satu syarat, yaitu ketakwaaan. Rezeki tersebut berupa sesuatu yang halal dan diperoleh tanpa harus bersusah payah. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah pasti menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesukaran), dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.(Q.S. Ath-Thalaaq: 2-3)

 

Inilah pembagian tentang rezeki. Sedangkan tawakal hanya wajib dilakukan sehubungan dengan rezeki madhmun. Ketahuilah kewajiban ini.

 

Adapun batasan tawakal, seperti yang telah dirasakan oleh para guru kami adalah: Rasa percaya diri dalam hati kepada Allah dengan hanya berharap kepada-Nya tanpa mengharapkan sesuatu dari selain-Nya.

 

Seorang ulama berpendapat bahwa tawakal adalah: Memeliharakan hati kepada Allah dalam hal kebaikan dengan cara meninggalkan ketergantungan hati terhadap sesuatu selain Allah.

 

Syekh Imam Abu Amar berkata: Tawakal adalah meninggalkan ketergantungan hati. Sedangkan ketergantungan hati adalah mengingat-ingat bahwa tubuh Anda bisa tegak karena sesuatu selain Allah.

 

Guru kami Abu Bakr Al-Warraag berkata: Tawakal dan ta’alluq adalah dua ingatan. Tawakal adalah ingatan bahwa tubuh Anda bisa tegak karena Allah. Sedangkan ta’alluq adalah ingatan bahwa yang menegakkan tubuh Anda adalah sesuatu yang selain Allah.

 

Menurutku (Al-Ghazali) semua pendapat dalam masalah ini kembali kepada satu prinsip, yaitu menempatkan hati pada suatu keyakinan bahwa sesungguhnya penegak tubuh Anda, penghambat kefakiran, dan kecukupan yang Anda peroleh adalah berasal dari Allah Swt., bukan karena seorangpun selain Allah, bukan karena harta dunia, juga bukan karena sebab-sebab yang lain.

 

Kemudian, jika Allah menghendaki maka Dia akan memberinya dengan suatu sebab (lantaran) berupa makhluk atau kekayaan dunia. Dan jika Allah menghendaki Dia akan mencukupinya dengan kekuasaan-Nya, tanpa melalui suatu sebab Atau perantara.

 

Jika Anda mau merenungkan hal itu dalam hati dengan rasa mantap, lalu menghilangkan ketergantungan terhadap semua makhluk dan sebab-sebab lain, serta hanya menuju (mengharap) kepada Allah, maka terpenuhi sudah hak-hak tawakal.

Inilah batasan-batasan (dalam) bertawakal.

 

Benteng yang mendorong (membangkitkan) keinginan untuk bertawakal adalah mengingatjaminan dari Allah Swt. Sedangkan yang melindungi benteng tersebut adalah mengingat keagungan Allah, kesempurnaan Ilmu, kekuasaan dan kebersihan-Nya dari mengkhianati janji, lupa, tidak mampu dan sifat kekurangan-Nya. Jika seorang hamba mengingat hal ini secara rutin, maka ingatan tersebut akan mendorongnya bertawakal kepada Allah dalam masalah rezeki.

 

Jika ada pertanyaan: Apakah seorang hamba diharuskan mencari rezeki dalam keadaan tertentu?

Ketahuilah bahwa rezeki madhmun yang merupakan sumber kekuatan yang membuat tubuh menjadi tegak tidak mungkin bisa kita upayakan, karena hal itu termasuk pekerjaan (perlakuan) Allah kepada seorang hamba, seperti halnya kehidupan dan kematian. Seorang hamba tidak mampu mencari (mengusahakan) ataupun menolaknya.

 

Adapun rezeki maqsuum yang memiliki penyebab, seorang hamba tidak wajib mencarinya, karena sebenarnya ia tidak membutuhkannya. Yang diperlukannya adalah rezeki madhmun dan itu berasal dari Allah Swt. serta menjadi tanggungan-Nya. Sedangkan yang dimaksud dalam firman Allah:

 

Artinya: Dan carilah karunia Allah.(Q.S. Al-Jumuah: 10)

adalah ilmu dan pahala.

 

Ada juga yang mengatakan bahwa karunia tersebut adalah keringanan (dispensasi) dari Allah, karena kalimat tersebut berupa perintah yang jatuh setelah kalimat yang berisi larangan, maka hal itu menunjukkan arti boleh, tidak bermakna wajib(keharusan).

 

Jika ditanyakan: Tapi rezeki madhmun juga mempunyai sebab. Apakah kita tidak berkewajiban mencari penyebabnya?

 

Jawabannya adalah: Anda tidak wajib mencari penyebab tersebut. Karena seorang hamba tidak memerlukannya. Sebab Allah melakukannya dengan atau tanpa sebab. Lalu dari mana datangnya kewajiban kita mencari sebab?

 

Kemudian Allah menjamin Anda secara mutlak tanpa syarat berusaha (mencari) maupun bekerja. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.(Q.S. Huud: 6)

 

Lalu benarkah Allah memerintahkan seorang hamba untuk mencari sesuatu yang tidak ia ketahui di mana tempatnya sehingga ia bisa mencarinya? Tak lain karena ia tidak tahu mana penyebab yang mendatangkan rezekinya dan apa yang menjadi penyebab dirinya kuat serta meningkat.

 

Jadi, masing-masing dari kita tidak mengetahui penyebab tersebut secara benar dari mana ia memperolehnya, karena itu pembebanan terhadap hamba tersebut tidak benar. Renungkanlah! Niscaya kau dapatkan petunjuk, karena hal itu sudah jelas adanya.

 

Cukuplah menjadi pelajaran bagi Anda bahwa para nabi a.s. dan para kekasih Allah yang bertawakal pada umumnya tidak mencari rezeki dan malah memfokuskan diri mereka untuk beribadah. Dan secara keseluruhan mereka tidak meninggalkan perintah Allah dan tidak mendurhakai-Nya dalam hal itu.

 

Dengan demikian, jelaslah bagi Anda bahwa mencari rezeki dan segala penyebabnya bukanlah suatu hal yang wajib dilakukan oleh seorang hamba.

 

Jika Anda bertanya: Adakah rezeki itu bisa bertambah dengan usaha (pencarian) dan berkurang karena ditinggalkan (tanpa melakukan usaha)?

 

Ketahuilah bahwa urusan rezeki itu telah dicatat di Lauh Mahfuzh, telah ditentukan jumlah (ukuran) dan waktunya. Padahal tidak ada yang bisa mengganti hukum Allah. Tidak ada yang bisa mengubah pembagian dan catatan-Nya.

 

Ini adalah pendapat yang sahih menurut para ulama kita. Berbeda dengan pendapat yang dipegang oleh para murid Hatim dan Syaqiiq. Mereka berkata: Sesungguhnya rezeki itu tidak bisa bertambah dan bisa berkurang karena perbuatan seorang hamba. Tapi kalau harta bisa bertambah dan berkurang karenanya.

 

Pendapat seperti ini adalah salah, karena dalil yang menunjukkan dua hal (rezeki dan harta) ini hanya satu, yakni ketetapan (catatan Allah) dan pembagian. Dan juga ini yang diberi isyarat oleh Allah dengan firman-Nya:

 

Artinya: (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang yang diberikannya kepadamu.(Q.S. Al-Hadid: 23)

 

Seandainya rezeki itu bisa bertambah dengan pencarian dan berkurang dengan meninggalkan (tidak mencari)nya tentu ada tempat susah dan senang, karena jika ia seorang hamba tidak serius dan menunda-nunda ia akan kehilangan (rezeki). Dan jika ia bersungguh-sungguh ia bersemangat ia akan memperolehnya.

 

Rasulullah bersabda kepada seorang pengemis:

 

Artinya: Ambillah (kurma) ini. Seandainya kau tidak mendatanginya pasti kurma ini datang kepadamu.

 

Jika ada pertanyaan: Pahala dan siksaan juga telah tertulig di Lauh Mahfuzh, sementara kita juga wajib mencari pahala dan meninggalkan hal yamg mengharuskan adanya siksa. Lalu apakah pahala itu bisa bertambah dengan mencari dan berkurang dengan meninggalkannya?

 

Ketahuilah bahwa sesungguhnya mencari pahala itu wajib, Hal itu karena Allah telah memerintahkannya dengan suatu perintah pasti! Dan mengancam jika hal itu ditinggalkan. Allah juga tidak menjamin pahala tanpa adanya perbuatan (yang mendatangkan pahala) dari kita. Sementara bertambahnya pahala tergantung pada perbuatan seorang hamba.

 

Adapun perbedaan antara keduanya terdapat pada satu titik, yaitu apa yang dikatakan oleh seorang ulama kita bahwa sesungguhnya apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh itu ada dua macam:

 

Pertama, perkara yang tertulis secara mutlak, artinya tanpa embel-embel syarat dan ketergantungan terhadap perbuatan seorang hamba, yaitu berbagai macam rezeki dan ajal. Tidakkah Anda melihat bagaimana Allah menyebutkan keduanya secara mutlak dengan tanpa syarat? Allah berfirman:

 

Artinya: Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.(Q.S. Huud: 6)

 

Dan Allah berfirman:

 

Artinya: Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya.(Q.S. Al-A’raaf: 34)

Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya: “Ada empat hal yang telah ditetapkan yaitu: Makhluk, budi pekerti, rezeki dan ajal (kematian).

 

Kedua, perkara yang tertulis tapi disertai suatu syarat dan digantungkan pada sesuatu, yakni dengan syarat adanya perbuatan seorang hamba. Hal itu adalah pahala dan siksa.

 

Adakah Anda tidak melihat bagaimana Allah menyebutkan kedua hal itu di dalam kitab-Nya dengan menggantungkan keduanya kepada perbuatan seorang hamba?

Allah befirman:

 

Artinya: Dan sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentu Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan.(Q.S. Al-Maaidah: 65)

 

Kiranya hal ini sudah jelas, pahamilah!

 

Jika ada pertanyaan: Kami telah menemukan banyak orang yang berusaha mencari rezeki dan mereka menemukan rezeki serta harta. Dan kamijuga melihat orang yang tidak mencari rezeki tidak mendapatkan apa-apa serta menjadi fakir.

 

Jawaban untuknya adalah: Sepertinya Anda tidak pernah melihat orang yang berusaha lalu tidak berhasil dan menjadi fakir.

 

Anda juga tidak melihat orang yang tidak mencarinya serta menganggur diberi rezeki dan menjadi kaya.

 

Memang benar bahwa kebanyakan itulah yang terjadi agar Anda tahu bahwa hal itu (rezeki) adalah ketentuan (takdir) dari Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mengetahui. Dan juga merupakan pengaturan dari Maharaja yang bijaksana.

 

Abu Bakar Muhammad bin Saabig Al-Waa’izh Ash-Shiqli di negara Syam melantunkan syair:

 

Banyak sekali orang kuat dan jernih pendapatnya rajin mondarmandir bekerja,

tapi rezeki itu berpaling darinya.

Banyak orang lemah yang tidak rajin mondar-mandir bekerja

tapi ia seakan-akan tinggal menangguk rezeki itu dari tepi laut.

Ini adalah bukti bahwa Tuhan mempunyai suatu rahasia

yang tersimpan rapat hingga tidak bisa disingkap oleh makhluk-Nya.

 

Jika Anda bertanya: Mungkinkah seseorang memasuki daerah pedalaman tanpa membawa perbekalan?

 

Ketahuilah! Jika Anda telah memiliki hati yang kuat terhadap Allah dan kepercayaan yang sempurna terhadap janji Allah, maka masuklah tanpa membawa bekal. Jika Anda belum memilikinya, maka lakukanlah seperti apa yang diperbuat orang pada umumnya dengan membawa segala kebutuhannya (membawa bekal).

Aku (Al-Ghazali) pernah mendengar bahwa Abu Al-Ma’aali rahimahullah berkata: Sesungguhnya barangsiapa berjalan (hidup) bersama Allah seperti kebiasaan manusia pada umumnya, maka Allah akan memperlakukannya seperti perlakuan-Nya kepada manusia dalam hal mencukupi kebutuhan.

Ini adalah ucapan yang sangat bagus. Di dalamnya terdapat banyak sekali faedah bagi orang yang mau merenungkan.

Jika Anda bertanya: Bukankah Allah telah berfirman:

Artinya: “Dan hendaklah kamu sekalian membawa bekal, karena sesungguhnya bekal yang terbaik adalah takwa.(Q.S. Al-Baqarah: 197)

Ketahuilah bahwa mengenai ayat ini ada dua pendapat:

  1. Yang dimaksud bekal di sini adalah bekal menuju akhirat. Oleh karena itu, Dia berfirman: Sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan tidak mengatakan: Harta dunia dan berbagai penyebabnya.
  2. Ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang pergi beribadah haji tanpa membawa perbekalan karena merigandalkan pemberian orang lain. Mereka meminta-minta, mengeluh, nyinyir, dan merugikan orang lain. Kemudian mereka diperintahkan membawa bekal sebagai peringatan bahwa mengambil bekal dari hartanya sendiri itu lebih baik daripada mengambilnya dari orang lain dan mengandalkan mereka.

Demikian menurut pendapatku.

Jika Anda bertanya: Apakah orang yang bertawakal itu perlu membawa bekal saat bepergian?

Ketahuilah bahwa kadang-kadang ia membawa bekal tapi hatinya tidak terpancang pada bekal tersebut. Ia tidak berkeyakinan bahwa bekal tersebut memang menjadi rezekinya dan dari bekal itulah ia mendapatkan kekuatan tubuhnya. Akan tetapi ia menggantungkan hatinya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya seperti dengan mengatakan bahwa rezeki itu telah dibagi dan sudah selesai pembagiannya. Dan jika Allah menghendaki, maka Dia akan menegakkan tubuhku dengan bekal iri atau dengan yang lain.

Dan kadang ia membawa bekal dengan maksud lain, seperti untuk menolong seorang muslim dan sebagainya.

Yang dipermasalahkan di sini bukan membawa atau tidak membawa bekal, tapi yang dibicarakan adalah hatinya.

Jangan menggantungkan hati Anda kecuali pada janji Allah dan kebaikan jaminan-Nya. Berapa banyak orang yang membawa bekal tapi hatinya tetap bergantung kepada Allah. Dan betapa banyak orang yang tidak membawa bekal tapi hatinya tidak bergantung pada Allah. Dengan begitu yang terpenting di sini adalah hati.

Pahamilah keterangan-keterangan ini. Insya Allah Anda tidak akan kekurangan biaya hidup.

Jika ada yang mengatakan: Nabi Saw. juga membawa bekal. Begitu pua dengan para sahabat dan para pendahulu yang saleh.

Maka jawabnya adalah: Tak usah diragukan lagi bahwa urusan membawa bekal itu memang diperbolehkan, tidak dilarang. Tapi yang dilarang adalah menggantungkan hati pada bekal dan meninggalkan tawakal kepada Allah Swt. Camkan baik-baik!

Kemudian apa pendapatmu tentang Rasulullah Saw. saat Allah berfirman kepada beliau:

Artinya: “Dan bertawakallah kepada Dzat yang Maha Hidup, yang tidak akan mati.(Q.S. Al-Furqaan: 58)

Apakah dalam hal ini beliau durhaka kepada-Nya dan menggantungkan hati pada makanan, minuman, dinar, dan dirham?Tidak. Hal itu tak mungkin terjadi. Hatinya tetap bergantung kepada Allah dan tetap bertawakal kepada-Nya seperti yang diperintahkan kepada beliau. Karena sesungguhnya beliau adalah orang yang tidak menoleh pada dunia seisinya dan tidak menjulurkan tangan untuk membuka kunci-kunci penyimpanan bumi. Karena sesungguhnya pengambilan bekal yang dilakukan oleh beliau dan para pendahulu yang saleh didasari oleh bermacam niat baik, bukan karena kecenderungan hati mereka untuk meninggalkan Allah dan menggantungkan diri pada bekal.

Yang diperhitungkan adalah tujuan seperti yang telah kami terangkan pada Anda. Pahamilah! Bangunlah dari tidur Anda! Sadarlah dari kelalaian Anda, pasti Anda menjadi paham. Semoga Allah memberimu petunjuk.

Jika Anda bertanya: Manakah yang terbaik antara keduanya? Mengambil bekal ataukah meningalkannya?

Ketahuilah bahwa jawabannya berbeda menurut perbedaan keadaan. Jika orang tersebut menjadi panutan dan ingin memberi penerangan bahwa membawa bekal itu diperbolehkan, untuk menolong seorang muslim, atau menolong orang kesusahan dan sebagainya, maka baginya lebih baik membawa bekal.

Jika orang itu sendirian, hatinya berpegang kuat pada Allah Swt., dan masalah bekal malah membuat sibuk dan membuatnya lupa beribadah, maka baginya yang terbaik adalah meninggalkannya (tidak membawa bekal).

Pahamilah keterangan ini dan jagalah diri Anda dengannya. Semoga Anda mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kita memohon taufik.

 Ragu dan Khawatir

  1. Kekhawatiran dan Apa yang Menjadi Tujuannya

Rintangan ini bisa diatasi dengan berserah diri. Oleh karena itu, berserah dirilah kepada Allah dalam segala hal. Ini harus dilakukan karena adanya dua hal:

  1. Ketenangan hati yang diperoleh seketika. Sebab segala sesuatu yang besar dan belum diketahui secara pasti kebaikan serta kerusakannya akan membuat hati Anda menjadi bingung.

Nafsu Anda akan bertanya-tanya apakah hal itu membuat baik atau malah merusak? Jika Anda menyerahkan segalanya kepada Allah, maka Anda menjadi tahu bahwa tidak mungkin Allah menempatkan pada selain kebaikan. Anda pun merasa aman dari kekhawatiran dan kerusakan serta dengan seketika hati menjadi tenang.

Ketenangan, rasa aman dan kenyamanan dalam hati seperti ini merupakan keuntungan yang sangat besar.

Guru kami sering mengatakan dalam majlis beliau: “Serahkan segala urusan kepada Dzat yang menciptakanmu, niscaya kau akan merasa enak.

Dalam hal ini beliau menggubah sebuah syair:

Sesungguhnya orang yang tidak mengetahui

apakah orang yang dicintainya bisa memberi manfaat atau tidak,

maka sudah selayaknya ia menyerahkan apa yang tidak mampu diselesaikannya

kepada Dzat yang akan mencukupinya.

Yakni Tuhan yang Maha Baik,

yang kasih sayang-Nya melebihi ibu bapaknya.

  1. Kebaikan yang didapat di masa mendatang. Sebab segala sesuatu pasti memiliki kesudahan yang masih belum jelas. Berapa banyak keburukan yang berwajah kebaikan. Berapa banyak bahaya yang terdapat dalam perhiasan dan kemanfaatan. Berapa banyak racun yang berbentuk madu. Sementara itu Anda tidak mengetahui kesudahan dan bermacam rahasia.

Jika Anda menginginkan sesuatu secara pasti dan melakukannya sesuai keinginan Anda, maka tak berapa lama Anda telah terjerumus ke dalam kerusakan tanpa menyadarinya.

Telah diceritakan bahwa ada seorang ahli ibadah yang memohon kepada Allah agar bisa melihat Iblis. Kemudian ada yang mengingatkan hendaknya ia memohon keselamatan kepada Allah. Orang tersebut menolak dan tetap meminta hal itu. Lalu Allah memperlihatkan Iblis kepadanya. Setelah melihat Iblis orang tersebut ingin memukulnya. Maka Iblis berkata: Seandainya bukan karena kamu akan hidup seratus tahun lagi, tentu aku akan menghancurkan dan menyiksamu.Maka orang itu pun terbujuk dengan perkataan Iblis dan “berkata dalam hati Sungguh umurku masih teramat panjang. Aku akan melakukan apa saja yang kumau baru kemudian bertobat.Maka ia pun terjerumus ke dalam kefasikan, meninggalkan ibadah dan akhirnya binasa.

Dari cerita ini ada sebuah pelajaran bagi Anda agar tidak memastikan suatu keinginan dan bersikeras untuk mencapai apa yang Anda cari. Cerita ini juga mengingatkan Anda dari khayalan (panjang angan-angan), karena hal itu adalah penyakit yang paling besar.

Benar sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair:

Berhati-hatilah dari berbagai ketamakan dan khayalan.

Berapa banyak khayalan yang menyebabkan kematian.

Jika Anda menyerahkan segala urusan kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar berkenan memilihkan hal yang mengandung kebaikan untuk Anda, maka tentu Anda mendapat kebaikan dan tidak akan menemukan sesuatu kecuali yang baik

Allah Swt. berfirman tentang seorang hamba yang saleh:

Artinya: Dan kuserahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat kepada semua hamba. Kemudian Allah memelihara hamba tersebut dari kejahatan musuh-musuhnya dan menurunkan siksa yang buruk kepada kaum Fir’aun.(Q.S. Al-Mu min: 44-45)

Tidakkah Anda melihat bagaimana Allah menurunkan kesudahan dari penyerahan diri berupa pemeliharaan dari keburukan dan memberikan pertolongan untuk mengalahkan musuh serta mendapatkan apa yang diinginkan?

Renungkanlah. Semoga Anda mendapat taufik. Insya Allah.

Jika Anda berkata: Tolong jelaskan apa arti tafwiidh (penyerahan diri) dan bagaimana hukumnya!

Ketahuilah bahwa hal ini terdapat dua pasal yang akan memperjelas semuanya, yaitu:

  1. Kedudukan tafwidh dan hukumnya.
  2. Arti, batasan dan kebalikannya.

Kedudukan Tafwidh

Ketahuilah bahwa murad (sesuatu yang diinginkan) itu terbagi menjadi tiga:

  1. Murad yang secara pasti telah diketahui bahwa itu rusak dan buruk serta sama sekali tidak ada keraguan di dalamnya seperti neraka dan siksa. Dalam perbuatan seperti halnya kufur, bid’ah dan kemaksiatan. Maka tak adajalan untuk menginginkan hal tersebut.
  2. Murad yang secara pasti telah diketahui bahwa itu baik seperti surga, iman, sunnah dan sebagainya. Anda diperbolehkan menginginkan murad seperti ini dengan pasti. Dalam hal ini Anda tidak boleh tafwidh, karena tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan danjuga tak diragukan lagi bahwa hal itu pasti baik.
  3. Murad yang belum diketahui secara pasti bahwa itu mendatangkan kebaikan bagi Anda atau malah mendatangkan kerusakan seperti halnya perbuatan-perbuatan sunat dan mubah. Inilah tempat yang cocok untuk tafwidh. Anda tidak boleh menginginkannya secara pasti, tapi harus menyertainya dengan pengecualian, dan itu yang dinamakan tafwidh.

Jika Anda menginginkan hal itu tanpa disertai pengecualian, maka perbuatan seperti itu dinamakan tamak yang dicela dan dilarang.

Kalau begitu tempat yang cocok untuk tafwidh adalah setiap murad yang mengandung kekhawatiran, yaitu sesuatu yang belum Anda yakini kebaikannya bagi Anda.

Arti Tafwidh

Sebagian dari guru kami mengatakan bahwa tafwidh adalah tidak memilih sendiri sesuatu yang mengandung kekhawatiran dan menyerahkannya pada pilihan Dzat yang Mengatur segala Sesuatu, yang Maha Mengetahui kebaikan seluruh makhluk, yang tiada Tuhan selain Dia.

Menurut Syekh Abu Muhammad As-Sijzi, tafwidh adalah meninggalkan pilihan yang mengkhawatirkan Anda menuju Pilihan Dzat yang Maha Memilih agar Dia berkenan memilihkan apa yang terbaik untuk Anda.

Syekh Abu Amr rahimahullah mengatakan bahwa tafwidh adalah meninggalkan ketamakan, sedangkan tamak adalah penginginkan sesuatu yang mengandung kekhawatiran secara pasti,

Inilah berbagai pendapat para guru kami.

Sedangkan menurut pendapatku, tafwidh adalah keinginan agar Allah memelihara kebaikan Anda dari hal-hal yang mengandung kekhawatiran.

Kebalikan Tafwidh

Kebalikan dari tafwidh adalah tamak.

Secara global tamak berlaku dari dua sisi:

  1. Sisi yang sama dengan raja’ seperti halnya bila Anda menginginkan sesuatu yang tidak mengkhawatirkan, atau menginginkan sesuatu yang mengkhawatirkan tapi disertai dengan pengecualian. Tamak yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela seperti yang difirmankan Allah:

Artinya: Dan Dzat yang kuharapkan agar Dia mengampuni kesalahanku di hari kiamat.(Q.S. Asy-Syuaraa: 82)

Dia juga berfirman: ..

Artinya: Sesungguhnya kami menginginkan agar Tuhan kami berkenan mengampuni kesalahan-kesalahan kami.(Q.S. Asy: Syu’araa: 51)

Hal semacam ini tidak termasuk sesuatu yang ingin kami terangkan dalam masalah tafwidh.

Ada yang mengatakan bahwa kerusakan agama terletak pada ketamakan dan yang bisa mengatasinya adalah sikap wara’.

  1. Tamak yang tercela.

Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: Hindarilah kalian dari tamak, karena ia adalah kefakiran yang nyata.Ada yang mengatakan bahwa kerusakan agama dan celanya adalah karena tamak, sedang yang memiliharanya adalah wara’,

 

Guru kami berkata: Tamak yang tercela terbagi menjadi dua: Yang pertama, yaitu ketenangan hati terhadap kemanfaatan yang masih diragukan. Dan yang kedua, adalah menginginkan dengan pasti sesuatu yang masih diragukan. Keinginan semacam inilah yang tak lain menjadi kebalikan tafwidh. Pahamilah keterangan tersebut.

 

Benteng Tafwidh

 

Benteng yang menjaga tafwidh adalah mengingat kekhawatiran segala sesuatu dan kemungkinan adanya kerusakan di dalamnya. Benteng yang menjaga benteng tafwidh tersebut adalah mengingat kelemahan Anda untuk memelihara diri dari bermacam kekhawatiran dan mencegah agar tidak terjerumus ke dalamnya karena kebodohan, kelalaian dan kelemahan Anda.

 

Dengan mengingat dua hal ini secara rutin Anda akan terdorong untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah, menjaga diri agar tidak memastikan hal itu dan tidak menginginkannya kecuali dengan syarat adanya kebaikan.

 

Hanya kepada Allah kita memohon taufik.

 

Jika Anda bertanya: Kekhawatiran macam apa yang mengharuskan seseorang menyerah penuh kepada Allah dalam segala hal?

 

Ketahuilah! Secara umum kekhawatiran itu terbagi menjadi dua: Pertama, kekhawatiran yang meragukan, karena hal itu bisa saja terjadi dan bisa juga tidak. Anda bisa sampai ke sana atau tidak. Kekhawatiran semacam ini membutuhkan pengecualian dan menimpa niat serta angan-angan.

 

Kedua, kekhawatiran terhadap kerusakan seperti halnya pka Anda tidak merasa yakin terdapat kebaikan dalam hal itu bayi Anda, dan kekhawatiran semacam inilah yang memerlukan penyerahan diri (tafwidh).

 

Para ulama mengeluarkan pendapat yang berlainan tentang hal yang mengkhawatirkan ini.

 

Seorang ulama berpendapat bahwa hal yang mengkhawatirkan dalam suatu pekerjaan adalah perbuatan yang jika ditinggalkan akan mendapatkan keselamatan dan bisa saya bercampur dosa. Keimanan, istiqamah dan sunat tidak termasuk perkara yang mengkhawatirkan, sebab tanpa keimanan tidak mungkin diperoleh keselamatan sama sekali. Sedang keistiqamahan sedikitpun tidak tercampur dosa. Dengan begitu boleh saja menghendaki iman dan istiqamah secara pasti.

 

Abu Ishaq berpendapat: Khawatir di dalam pekerjaan adalah perkara yang bisa datang secara mendadak, yang seandainya ia sibuk melakukannya akan lebih baik daripada melanjutkan pekerjaan yang terdahulu. Hal itu terjadi pada hal-hal mubah, sunat dan fardu.

 

Adakah Anda tidak melihat saat seorang hamba kehabisan waktu untuk salat. Lalu ia dihadapkan pada kebakaran atauorang yang hampir tenggelam dan ia berkesempatan menyelamatkannya. Maka lebih baik ia menyelamatkannya daripada melakukan salat.

 

Jadi, tidak dibenarkan menginginkan perkara mubah, sunat dan berbagai kewajiban secara pasti.

 

Jika ada yang bertanya: Benarkah Allah memberi suatu kewawajiban kepada hambanya, juga mengancam jika hamba tersebut meninggalkannya, lalu Dia tidak menciptakan kebaikan dalam menjalankannya?

 

Ketahuilah bahwa guru kami Abu Bakr Al-Warraq berkata: Sesungguhnya Allah tidak memberi suatu kewajiban kepada seorang hamba kecuali di dalamnya terdapat kebaikan dengan catatan tidak ada aral yang melintang. Allah juga tidak mempersempit hambanya dengan suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan olehnya kecuali di dalamnya terdapat kebaikan bagi hamba tersebut. Namun terkadang Allah memberinya sebab sebagai suatu alasan baginya.

 

Dengan begitu lebih baik jika ia berpindah kepada satu dari dua perintah ketimbang sibuk dangan perintah yang satunya, seperti yang pernah kami sebutkan. Dengan demikian dalam hal itu hamba tersebut memperoleh alasan atau bahkan mendapat pahala. Ia mendapat pahala bukan karena meninggalkan kebajikan ini, tapi karena ia melakukan kewajiban kedua yang lebih baik.

 

Pernah kudengar bahwa guruku Imam Haramain dalam hal ini berkata: Sesungguhnya setiap sesuatu yang diwajibkan oleh Allah bagi hamba-Nya seperti salat, puasa, haji dan sebagainya tidak diragukan lagi pasti di dalamnya terdapat kebaikan bagi hamba tersebut. Dan dibenarkan menginginkan hal itu dengan pasti.

Beliau meneruskan: Ternyata pendapatku sangat sesuai dengan hal itu. Dengan begitu yang tersisa dalam masalah ini tinggal bagaimana menghukumi hal yang mubah dan sunat.

 

Perhatikanlah hal itu, karena ia termasuk bab yang mendalam.

Hanya kepada Allah kita memohon taufik.

 

Jika ada yang bertanya: Adakah orang yang menyerahkan diri (mufawaidh) bisa terbebas (merasa aman) dari kehancuran dan kerusakan, sementara dunia ini adalah tempat ujian?

 

Ketahuilah. Sesungguhnya seorang mufawidh (orang yang berserah diri) akan diperlakukan dengan baik dan terkadang dia diperlakukan tidak baik meski itu jarang terjadi. Karena itulah kadang-kadang Allah menurunkan derajatnya sehingga ia terlempar dari derajat tafwidh. Dan tiada kebaikan yang diperoleh seorang hamba jika ia sudah terhina danjatuh dari derajat tafwidh. Demikian yang dikatakan oleh Syeh Abu Umar.

 

Ada yang berkata begini: Seorang mufawwidh tidak akan diperlakukan kecuali dengan baik dalam hal yang ia serahkan kepada Allah. Sedangkan kehinaan dan turunnya derajat dari tafwidh tidak termasuk dalam kategori tafwidh, karena tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut termasuk kerusakan. Sedangkan tafwidh itu diperuntukkan bagi sesuatu yang masih diragukan kerusakan dan kebaikannya.Ini adalah pendapat terbaik menurut guru kami di antara dua pendapat. Karena bila tidak begitu tentu tidak ada pendorong yang kuat untuk tafwidh.

 

Jika ada yang berkata: Apakah seorang mufawwidh wajib diperlakukan dengan baik?

Ketahuilah. Bahwa mewajibkan sesuatu kepada Allah adalah hal yang mustahil. Allah tidak mempunyai satupun kewajiban kepada hamba-Nya. Kadang Dia memperlakukan seorang hamba dengan sesuatu yang terbaik, tapi bukan yang lebih utama sebagai hikmat dari perbuatannya.

 

Apakah Anda tidak tahu bahwa Allah pernah mentakdirkan rasul beserta para sahabat tertidur sepanjang malam sampai matahari terbit dalam sebuah perjalanan sehingga mereka kehilangan waktu salat malam dan salat fajar, sedangkan salat itu lebih utama daripada tidur.

 

Kadang Allah mentakdirkan bagi seorang hamba kekayaan dan kenikmatan walau sebenarnya kemiskinan itu lebih utama. Kadang Dia mentakdirkan baginya kesibukan mengurus isteriisteri dan anak-amak walaupun memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla itu lebih utama. Karena Dia Maha melihat dan Maha mengetahui terhadap hamba-hambaNya. Seperti halnya seorang dokter ahli akan memilihkan air syair bagi pasien walaupun air gula lebih utama dan lebih enak baginya karena dokter itu tahu bahwa sakitnya akan membaik dengan minum air Syair. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai seorang hamba adalah keselamatan dari kehancuran dan kerusakan, bukan keutaman dan kemuliaan yang disertai kerusakan dan kehancuran.

 

Jika ditanyakan: Apakah seorang mufawwidh berhak memilih?”

 

Ketahuilah. Pendapat yang sahih menurut ulama kita adalah seorang mufawwidh berhak memilih dan hal itu tidak mengurangi kebaikan tafwidhnya. Artinya, jika ia menemukan kebaikan dalam hal hal yang diutamakan dan hal yang lebih diutamakan.

 

Kemudian ia menginginkan agar Allah memberinya yang lebih utama. Seperti halnya pasien yang meminta kepeda dokter: Berilah aku obat dari air gula, bukan air syair jika keduanya baik bagi kesehatanku, agar aku bisa sekaligus dapat memperoleh keutamaan dan kesehatan.Begitu juga seorang hamba yang meminta kepada Allah agar kebaikannya diberikan pada hal yang lebih utama dan meminta penyebab kepadanya agar ia dapat sekaligus menyatukan keutamaan dan kemuliaan, tapi dengan catatan jika Allah memilihkan kebaikan yang terdapat dalam hal yang tidak lebih utama, maka dia akan merelakan hal itu.

 

Jika ditanyakan: Kenapa seorang hamba hanya diperbolehkan memilih yang lebih utama dan tidak diperbolehkan memilih yang terbaik (lebih pantas)?

 

Ketahuilah! Perbedaan antara keduanya adalah bahwa seorang hamba hanya mengetahui yang lebih utama dari hal yang utama, tidak tahu yang lebih baik (pantas) dari hal yang rusak agar ia bisa menginginkannya dengan pasti.

 

Kemudian yang dimaksud dengan pilihan seorang hamba terdapat hal yang lebih utama adalah: Seorang hamba yang menginginkan agar Allah menjadikan kebaikan pada perkara yang lebih utama, lalu Allah memilihkan hal itu dan mentakdirkan untuknya, bukan berarti hamba tersebut pasti mendapatkan apa yang dipilihnya.

 

Inilah sebagian kecil dari keterangan tentang ilmu tasawuf dan rahasia-rahasianya. Seandainya tidak diperlukan, tentu kami tidak akan mengemukakannya, karena hal tersebut termasuk pergolakan dari samudera ilmu mukasyafah. Hanya saja di dalam kitab ini kami meringkasnya menjadi kecil tapi bisa memuaskan dengan maksud memberi penjelasan agar dapat dimanfaatkan oleh ulama-ulama besar dan para pemula. Insya Allah.

Hanya kepada Allah kami memohon taufik.

  1. Qadha’ (Takdir) dan Berbagai Ragamnya

Rintangan seperti ini cukup dihadapi dengan sikap rela. Oleh karena itu hendaklah Anda merasa rela dengan takdir yang diberikan Allah.

Sikap rela seperti ini harus dilakukan karena adanya dua hal:

Pertama, agar bisa beribadah dengan leluasa, sebab jika Anda tidak bisa menerima keputusan Allah tentu Anda merasa sedih, dan hati pun sibuk berpikir untuk selamanya. Ia berpikir mengapa ini yang terjadi dan mengapa bisa terjadi?

Jika hati telah sibuk memikirkan kesedihan seperti ini bagaimana mungkin ia leluasa beribadah? Sebab Anda tidak memiliki hati kecuali hanya satu dan telah Anda penuhi dengan kesedihan serta berpikir tentang apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi dalam masalah dunia.

Kemudian di mana tempat untuk berzikir kepada Allah, beribadah untuknya dan berpikir tentang akhirat? Benar sekali apa yang dikatakan Sagig rahimahullah: Sungguh, menyesali apa yang telah terjadi dan merancang apa yang akan terjadi benarbenar dapat menghilangkan keberkahan usiamu ini.

Kedua, kekhawatiran mendapat murka berupa siksa dari Allah. Dalam beberapa hadis telah kami ceritakan bahwa salah seorang di antara para nabi mengadukan kepada Allah tentang pengalamannya yang tidak menyenangkan. Lalu Allah menurunkan wahyu kepadanya: “Adakah kamu mengadukanKu, sedangkan Aku tidak pantas dicela dan diadukan? Begitulah. Kelihatan sekali pengetahuanmu tentang ilmu gaib. Lalu kenapa kamu tidak menyukai keputusan-Ku? Apakah kamu ingin agar Aku mengubah dunia untukmu, atau mengganti Lauh Mahfuzh karenamu, lalu Aku memutuskan apa yang kau inginkan berupa sesuatu yang tidak Ku-inginkan? Agar kesenanganmu bisa terwujud, dan bukan kesenangan-Ku? Aku bersumpah demi keagungan-Ku. Jika pikiran semacam ini terlintas dalam hatimu di kemudian hari, pasti Ku-tanggalkan pakaian kenabianmu dan Aku tak peduli. Pasti Aku akan memasukkanmu ke dalam neraka.

Menurut pendapatku, alangkah baiknya orang yang bertawakal memperhatikan kalimat diplomatis yang agung dan ancaman yang pedih dari Allah kepada nabi dan kekasih pilihanNya. Lalu bagaimana sikap-Nya terhadap orang lain?

Kemudian perhatikan firman Allah: Jika pikiran semacam jni terlintas lagi dalam hatimu di lain waktu…Ancaman ini ditujukan pada bisikan dan kemondar-mandiran hati. Lalu bagaimana dengan orang yang berteriak minta tolong, mengadu, mengumpat dengan suara lantang tentang Tuhannya yang mulia dan Berbuat baik, di hadapan orang, lalu menjadikan mereka sebagai penolong dan sahabat? Ini baru orang yang hanya satu kali merasa murka kepada Allah. Lalu bagaimana keadaan orang yang selama hidupnya selalu murka (tidak rela) kepada Allah?

Ancaman ini ditujukan pada orang yang mengadu kepadaNya. Lalu bagaimana dengan orang yang mengadu kepada selain Dia?

Kami memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan jiwa kami dan keburukan amal perbuatan kami. Kami juga memohon agar Dia mengampuni dosa-dosa kami dan memaafkan ketidaksopanan kami serta memperbaiki kita semua dengan pengawasan terbaik dari-Nya.

Sesungguhnya Dia paling Maha Pengasih kepada hamba-Nya.

Jika ditanyakan: “Apa yang dimaksud dengan rida terhadap qadha (takdir), hakekat dan hukumnya?

Ketahuilah! Sesungguhnya para ulama kita berkata: Yang dinamakan rida adalah membuang kebencian. Sedangkan kebencian yaitu mengatakan bahwa apa yang tidak ditakdirkan oleh Allah itu lebih utama dan lebih bagus baginya dalam masalah yang belum diyakini kerusakan dan kebaikannya. Jadi, membuang kebencian merupakan syarat menjadi orang yang rida.

Jika Anda bertanya: Bukankah keburukan dan maksiat juga takdir Allah dan di bawah kekuasaan-Nya? Lalu bagaimana mungkin Allah rida bila hamba-Nya berbuat buruk dan mewajibkan hal itu?

Ketahuilah! Sesungguhnya yang harus direlakan adalah takdirbukan perbuatannya. Takdir buruk tidak berarti perbuatan buruk. Yang buruk hanyalah sesuatu yang ditakdirkan, jadi hamba tersebut tidak rida dengan perbuatan buruk.

Para guru kami berkata: Hal-hal yang ditakdirkan itu ada empat macam, yaitu kenikmatan, kesulitan, kebaikan dan keburukan.

  1. Kenikmatan.

Seorang hamba harusrela terhadap yang Mentakdirkan (Allah), takdir itu sendiri, dan hal yang ditakdirkan (kenikmatan). Ia juga harus bersyukur atas nikmat tersebut, karena hal itu adalah sebuah kenikmatan. Dan ia juga harus menampakkan kenikmatan tersebut dengan memperlihatkan hasilnya kepada Allah.

  1. Kesulitan.

Dalam kesulitan, seorang hamba juga harus rela dengan yang Mentakdirkan (Allah), takdir itu sendiri, dan sesuatu yang ditakdirkan. Ia juga harus bersabar dalam menghadapi kesulitan yang menimpanya.

  1. Kebaikan.

Seorang hamba harus rela dengan yang Mentakdirkan kebaikan (Allah), takdir itu sendiri, dan sesuatu yang ditakdirkan. Ia juga harus mengingat bahwa itu adalah anugerah, karena memang kebaikan tersebut telah ditunjukkan padanya.

  1. Keburukan.

Seorang hamba harus rela dengan yang Mentakdirkan keburukan (Allah), takdir itu sendiri, dan sesuatu yang ditakdirkan, karena hal itu sudah menjadi takdirnya. Bukan karena hal itu perbuatan buruk.

 

Hal itu termasuk sesuatu yang ditakdirkan jika melihat pada takdir dan yang Mentakdirkan secara benar. Sama halnya dengan jika Anda rela terhadap mazhab lain yang Anda ketahui sebagai sebuah pengetahuan, tidak sebagai mazhab.

 

Pengetahuan tersebut kembali pada ilmu. Jadi, kerelaan dan kecintaan Anda sebenarnya kembali pada ilmu (pengetahuan) tentang mazhab tersebut, bukan pada mazhab itu sendiri. Begitu juga halnya rela dengan sesuatu yang ditakdirkan.

 

Jika ada yang bertanya: Apakah orang yang rela boleh meminta tambahan?

Jawabnya adalah boleh. Tapi dengan catatan hal itu mengandung kebaikan dan maslahat tanpa harus memastikannya. Hal itu tidak membuatnya terlepas dari sikap rela, bahkan hal itu menunjukkan bahwa ia merasa rela dan itu lebih baik. Sebab orang yang kagum terhadap sesuatu dan merasa rela tentu akan berusaha mencari tambahannya.

Apabila ada susu yang dihaturkan kepada Nabi Saw. maka beliau berdoa:

Artinya: “Ya Allah, berkatilah rezekiku ini dan berilah tambah untuk kami darinya.Dalam kesempatan lain beliau berdoa:

Artinya: Dan berilah tambahan untuk kami (susu) yang lebih baik darinya.

Tak satupun dari keduanya yang menunjukkan bahwa beliau tidak rela dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah bagi beliau.

Jika Anda bertanya: “Kenapa Nabi tidak menyebut pengecualian dan syarat kebaikan serta kemaslahatan?

Ketahuilah! Sesungguhnya semua ini hubungannya adalah dengan hati, dan mengucapkannya hanya sebagai suatu Ungkapan. Jadi, beliau tetap mengatakan hal itu di dalam hati meski beliau tidak mengungkapkannya. Ketahuilah hal itu dan yakinlah.

  1. Bermacam Bencana dan Musibah

Untuk menghadapinya Anda cukup dengan bersabar. Hendaklah Anda bersabar dalam segala sisi kehidupan karena dua hal:

Pertama, agar wushul dalam beribadah dan mencapai tujuan. Sebab semua bentuk ibadah dibangun di atas kesabaran dan kemampuan menanggung jerih payah.

Barangsiapa tidak bersabar, dia tidak akan pernah mencapai tujuan dengan benar. Karena orang yang bermaksud melaksanakan ibadah kepada Allah dan memfokuskan diri untuk itu, tentu akan dihadapkan pada berbagai kesulitan, cobaan dan musibah dari berbagai segi:

 

  1. Kesukaran

Tidak ada ibadah yang tidak mengandung kesukaran. Karena itulah diberikan iming-iming dan janji pahala untuknya, sebab tidak mungkin seorang hamba dapat melaksanakan ibadah tanpa meredam keinginan dan mengalahkan nafsu yang selalu menghindar dari kebaikan. Tidak menuruti keinginan dan mengalahkan hawa nafsu adalah beban yang paling berat bagi seseorang.

 

2.Sikap berhati-hati

Seorang hamba yang merasa kesulitan dalam melakukan kebaikan harus berhati-hati agar ibadahnya tidak rusak. Sedangkan menjaga amal dari kerusakan itu lebih berat ketimbang melakukan amal itu sendiri.

 

  1. Ujian

Dunia ini adalah tempat menguji. Siapa saja yang hidup di dalamnya mau tidak mau harus menghadapi berbagai kesulitan dan musibah. Ujian tersebut bermacam-macam. Ada yang berasal dari keluarga, kerabat dekat, saudara dan sahabat, seperti kematian, kehilangan dan perpisahan. Ada musibah yang menimpa diri seperti berbagai penyakit yang menjangkitinya. Ada musibah yang menyangkut harga diri seperti ancaman pembunuhan, usaha penjatuhan, gunjingan dan penipuan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Ada musibah yang menyangkut harta benda seperti kehilangan dan sebagainya.

Masing-masing dari musibah ini terasa bagaikan menyengat dan membakar yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, semua membutuhkan kesabaran tersendiri. Sebab jika tidak, tentu ia tidak akan merasa tenang dalam beribadah, karena selalu mengeluh dan bersedih.

 

  1. Cobaan

Orang yang ingin mendapatkan akhirat selamanya akan menghadapi cobaan dan ujian yang berat. Barangsiapa lebih dekat dengan Allah, tentu musibah dan cobaan yang dihadapinya lebih berat dan lebih banyak.

Tidakkah Anda mendengar sabda Nabi Saw.:

 

Artinya: “Orang yang paling keras mendapatkan ujian adalah para nabi, lalu para ulama, orang yang kedudukannya hampir sama dengan ulama dan seterusnya.”

 

Jadi, orang yang ingin berbuat baik dan memfokuskan diri untuk menempuh jalan menuju akhirat akan dihadapkan pada berbagai ujian. Orang yang tidak sabar menghadapinya dan tidak mau berpaling dari ujian tersebut, maka ia akan terputus di tengah jalan. Lalu ia menjadi sibuk dan jauh dari ibadah dan pada akhirnya ia tidak sedikitpun bisa sampai ke tempat tujuan.

 

Allah Swt. telah memberi pengertian agar kita selalu berhati-hati dalam menghadapi berbagai ujian, musibah dan cobaan yang menimpa kita. Dia menyatakan dan menguatkan pernyataan itu dengan firman-Nya:

 

Artinya: “Sungguh. Kamu akan diuji dengan hartamu dan diri kamu. Dan kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orangorang yang diberi kitab sebelum kamu, dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak nmenyakitkan hati.” (Q.S. Ali Imran: 186)

Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:

 

Artinya: “Dan jika kamu sekalian bersabar serta bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Q.S. Ali Imran: 186)

 

Seakan dengan ayat itu Allah berfirman: “Kuatkan dirimu, karena sesungguhnya mau tidak mau kamu sekalian akan mendapat bermacam cobaan. Jika kamu sekalian bersabar, maka kamu semua adalah lelaki sejati, dan cita-cita kalian adalah citacita lelaki sejati.”

 

Dengan begitu, orang yang bercita-cita ingin beribadah kepada Allah mula-mula harus memiliki keinginan kuat untuk bersabar dalam jangka waktu yang cukup lama. Ia harus menguatkan diri untuk menanggung kesulitan-kesulitan besar yang datang silih berganti sampai mati. Jika tidak, berarti ia mencari sesuatu tanpa menggunakan alat dan mencarinya lewat jalan yang keliru. Telah diceritakan dari Fudhail bin Iyadh. Beliau berkata: “Barangsiapa ingin menempuh jalan akhirat, hendaklah ia menjadikan empat macam kematian dalam dirinya, yaitu mati putih, mati merah, mati hitam, dan mati hijau. Mati putih berarti yasa lapar. Mati hitam berarti celaan masyarakat. Mati merah berarti perselisihan dengan setan. Dan mati hijau berarti berbagai kejadian yang silih berganti.”

 

Kedua, kebaikan dunia dan akhirat yang ada di dalam kesabaran. Di antaranya adalah keselamatan dan keberhasilan.

 

Allah berfirman: :

 

Artinya: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah pasti

 

menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesukaran), dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Q.S. Ath-Thalaaq: 2-3)

 

Maksudnya: Barangsiapa bertakwa kepada Allah dengan penuh kesabaran, maka Dia akan membuatkan jalan keluar untuknya dari berbagai kesulitan.

 

Di antara kebaikan yang diperoleh dengan kesabaran adalah mengalahkan para musuh. Allah berfirman:

 

Artinya: “Maka bersabarlah. Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Huud: 49)

 

Keuntungannya yang lain adalah mendapatkan apa yang diinginkan. Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan telah sempurna perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.” (Q.S, AI-A’raaf: 137)

 

Dikisahkan bahwa Nabi Yusuf a.s. menulis surat jawaban kepada Nabi Ya Qub a.s.: “Sesungguhnya nenek moyangmu adalah orang-orang yang bersabar dan mereka memperoleh apa yang mereka inginkan. Karena itu bersabarlah seperti mereka, niscaya akan kau dapatkan keinginanmu seperti mereka juga mendapatkan apa yang mereka inginkan.”

 

Hal ini juga sesuai dengan arti ungkapan sebuah syair:

 

“Sungguh. Janganlah kamu berputus asa meski pencarian teramat panjang. Jika bersabar akan kau temukan jalan yang lebar.

Sudah sepantasnya orang yang bersabar diberi apa yang dibutuhkannya,

dan orang yang mengetuk pintu bisa masuk rumah.

 

Keuntungan yang lain adalah lebih maju dari orang lain dan menjadi seorang pemimpin. Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan Kami jadikan mereka pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah dari Kami karena mereka bersabar.” (Q.S. As-Sajdah: 24)

 

Keuntungan yang lain adalah pujian (sanjungan) dari Allah. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang bersabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (Q.S. Shaad: 44)

 

Keuntungan lain berupa kabar gembira dengan datangnya rahmat dari Allah. Dia berfirman:

 

Artinya: “Dan berikanlah kabar gembira untuk orang-orang yang bersabar.” (Q.S. al-Baqarah: 155)

sampai pada firman:

 

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang mendapat keberkahan sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka.” (Q.S. al-Baqarah: 157)

 

Keuntungan lain berupa kecintaan Allah. Dia berfirman:

 

Artinya: “Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Ali Imran: 146)

 

Keuntungan lain berupa derajat tinggi di surga. Allah berfirman:

 

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (di dalam surga) karena kesabaran mereka.” (Q.S. Al Furqaan: 75)

 

Keuntungan lainnya adalah kemulian yang agung. Allah berfirman:

 

Artinya: “Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.” (Q.S. Ar-Ra’d: 24)

 

Keuntungan lain berupa pahala tanpa batas dan tiada habisnya yang berada di luar jangkauan angan-angan, hitungan, dan apa yang dicapai oleh semua makhluk. Allah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar: 10)

 

Maha Suci Dzat, Tuhan, Tuan yang Maha Pemurah. Sungguh menakjubkan kemuliaan-Nya. Segala kemuliaan di dunia dan akhirat ini Dia berikan kepada hamba-Nya karena kesabaran yang hanya sesaat. Kemudian jelaslah bagi Anda bahwa kebaikan dunia dan akhirat terletak di dalam kesabaran.

Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Tak seorangpun diberi suatu pemberian yang lebih baik dan luas ketimbang kesabaran.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. Beliau berkata: “Segala kebaikan orang-orang mukmin bersatu dalam kesabaran.”

 

Sungguh indah gubahan seorang penyair berikut ini:

 

Kesabaran adalah kunci semua harapan.

Dan segala kebaikan bisa terwujud karenanya.

Bersabarlah walau malam terlalu panjang.

Kuda yang beringaspun kadang menjadi jinak (karena kesabaran).

Kadang sesuatu yang dikatakan tak mungkin

terjadi bisa diperoleh dengan kesabaran.

 

Penyair lain berkata:

 

Aku telah bersabar dan itu bagian dari kepribadianku.

Dan cukuplah bagimu bahwa Allah menyanjung kesabaran.

Aku akan terus bersabar hingga Allah rhemberi kepastian antara kita,entah menuju kemudahan ataukah menuju kesukaran.

 

Oleh karenanya, hendaklah Anda berusaha mendapatkan Perilaku yang mulia dan terpuji ini serta mengerahkan seluruh kemampuan di dalamnya. Dengan begitu Anda termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik.

 

Jika Anda bertanya: “Apakah arti sabar yang sebenarnya dan bagaimana hukumnya?”

 

Ketahuilah bahwa kata “ash-shabru” dilihat dari scgi bahasa adalah menahan diri. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru pada Tuhannya.” (Q.S. Al-Kahfi: 28)

 

Artinya tahanlah hidupmu bersama mereka.

 

Allah Swt. juga bersifat sabar. Artinya Dia menahan siksaan orang-orang yang berdosa. Karena itu Dia tidak tergesa-gesa memberikan siksaan kepada mereka.

 

Kemudian pekerjaan yang dilakukan oleh hati juga dinamakan sabar, karena iajuga menahan diri dari keluh-kesah.

 

Menurut pendapat para ulama, keluh-kesah adalah menyebutkan kegoncangan hati dalam menghadapi kesulitan.

 

Ada ulama yang berkata: “Keluh-kesah adalah keinginan untuk keluar dari kesulitan secara pasti. Sedangkan sabar adalah tidak menginginkan hal (keluar dari kesulitan) ini.

 

Benteng untuk menjaga kesabaran adalah mengingat sampai sejauh mana kesulitan tersebut dan seberapa lamanya. Kesulitan tersebut tidak akan bertambah, berkurang, maju ataupun mundur. Dan tidak ada gunanya mengeluh. Bahkan hal itu berbahaya dan sangat mengkhawatirkan.

 

Yang melindungi benteng ini adalah mengingat kebaikan yang akan diberikan oleh Allah sebagai gantinya. Juga simpanan pahala besar yang ada di sisi-Nya sebagai imbalan.

 

Pahami dan camkanlah hal ini.

 

Tahapan yang sulit dan menjadi penghalang ini suhah seharusnya Anda lalui dengan menyingkirkan rintangan yang empat macam (rezeki, kekhawatiran, qada, dan bencana) sekaligus membersihkan penyakitnya. Karena bila tidak, rintangan tersebut tidak akan membiarkan Anda untuk mengingat tujuan beribadah dan memikirkannya, apalagi sampai melaksanakan dan bisa berhasil (satu hal yang tidak mungkin). Karena masing-masing rintangan memiliki sesuatu yang menyibukkan baik di masa sekarang ataupun di masa mendatang.

 

Kemudian, di antara keempat rintangan tersebut yang paling berat dan sulit adalah urusan rezeki dan pengaturannya. Urusan rezeki adalah ujian yang besar sekali bagi kebanyakan orang. Ujian yang melelahkan diri mereka, menyibukkan hati, menambah kesedihan, menyita waktu, memperbesar kesalahan dan dosa mereka. Membuat mereka berpindah dari pintu Allah dan melayani-Nya menuju pengabdian kepada dunia dan makhluk lain. Lalu mereka hidup di dunia dalam keadaan lalai, gelap, payah, sulit, terhina dan tercela. Dan mereka datang ke akhirat dalam keadaan bangkrut, dihadapkan pada perhitungan dan siksaan, jika tidak mendapatkan rahmat dari Allah dengan anugerah-Nya.

 

Lihatlah! Berapa banyak ayat yamng diturunkan oleh Allah dalam hal ini. Berapa kali Allah mengungkapkan janji, jaminan, dan pembagian masalah rezeki ini. Tiada hentinya para nabi dan para ulama memberikan petuah kepada manusia, memberi penerangan tentang jalan mereka, menyusun berbagai macam kitab, membuat berbagai perumpamaan dan menakut-nakuti mereka dengan siksa dari Allah. Walaupun begitu mereka tetap tidak menerima petunjuk, tidak bertakwa, dan tidak merasa tenang. Bahkan mereka selalu tersiksa oleh hal itu. Tiada hentinya mereka khawatir kehilangan makan pagi dan sore yang kesemuanya berasal dari minimnya perenungan terhadap ayat-ayat Allah Swt. Minimnya berpikir tentang ciptaan Allah dan tidak mengingat sabda Rasul Saw., tidak merenungkan ucapan orang-orang saleh, membiarkan bisikan-bisikan setan, mendengar omongan orang-orang bodoh dan tertipu oleh kebiasaan orang-orang yang lalai. Setan menguasai mereka, dan kebiasaan (orang yang lalai) tertanam kuat dalam hati mereka dan hal itu menyebabkan hati menjadi lemah dan tipis keyakinannya.

 

Adapun orang orang terpilih yang memiliki kewaspadaan, kesungguhan dan bersunppuh sunppuh tentu akan melihat jalan langit sehinppa mereka tidak menghiraukan penyebab-penyebab yang ada di bumi. Mereka berpegang tepuh pada tali Allah, tidak peduli dengan berbagai ketergantungan terhadap para makhluk, merasa yakin pada tanda-tanda Allah dan memperhatikan jalanNya. Mereka juga tidak menoleh terhadap godaan setan, orang lain dan diri sendiri. Jika ada godaan dari setan, orang lain, ataupun diri sendiri (nafsu), maka ia tetap berdiri tegak, menentang, mengusir dan menyimpang sehingga orang lain yang menggoda akan berpaling. Para setan akan pergi memisahkan diri. Nafsu mau menurut (jinak), danjalan lurus menuju ibadah terbuka lebar. Begitulah. Seperti diceritakan dari Ibrahim bin Adham rahimahullah. Pada saat beliau berniat pergi ke pedalaman (hutan), setan datang menakut-nakuti bahwa hutan ini sangat berbahaya. Sedangkan kamu tidak membawa bekal dan alat yang lain. Kemudian beliau tetap bertekad memasukinya dan tidak akan berhenti melakukan salat seribu rakaat setiap kali menempuh jarak satu mil. Ternyata beliau berhasil menjalani apa yang diinginkan dan tinggal di hutan selama dua belas tahun, hingga suatu ketika Harun Al-Rasyid menunaikan ibadah haji pada tahun-tahun itu dan menemukannya sedang melaksanakan salat di bawah penunjuk jarak. Lalu ada yang berkata: “Ini adalah Ibrahim bin adham yang sedang salat.” Kemudian Harun Al-Rasyid mendatangi beliau dan bertanya: “Apa yang terjadi padamu hai Abu Ishaq?” Ibrahim menjawabnya dengan bersyair:

 

“Kutambal duniaku dengan merobek agamaku

dan tiada yang tersisa dari agamaku serta apa yang kutambal (duniaku).

Beruntung sekali seorang hamba yang memilih Allah sebagai Tuhannya

dan bermurah hati dengan hartanya untuk sesuatu yang akan terjadi.

 

Diceritakan bahwa ada orang saleh yang tinggal di daerah pedalaman. Lalu setan datang menggoda dengan mengatakan bahwa di sini Anda tidak mempunyai apa-apa sedangkan tempat ini berbahaya. Tidak ada kehidupan dan orang lain di dalamnya. Beliau tetap bersikeras untuk membiarkan dirinya tanpa memiliki bekal. Beliau menghindari jalan umum agar tidak meminta-minta pada orang lain dan tidak memakan sesuatu sampai ada samin dan madu yang diletakkan di mulutnya. Beliau berpindah dari jalan umum dan mengembara. Aku berjalan sesuai kehendak Allah dan tiba-tiba ada rombongan yang tersesat dari jalan. Mereka terus berjalan, dan saat aku melihat mereka, kulemparkan tubuhku ke tanah agar mereka tidak melihatku. Lalu Allah menjalankan mereka hingga semuanya berhenti di hadapanku. Aku memejamkan mata, lalu merekapun mendekat. Mereka berkata: “Orang ini terpisah dari rombongan dan pingsan karena lapar dan dahaga. Tolong ambilkan samin dan madu, biar kuletakkan di mulutnya. Siapa tahu ia bisa siuman.” Mereka datang membawa samin dan madu. Lalu kukatupkan mulut dan gigiku. Mereka mengambil pisau untuk merobek mulutku hingga terbuka. Aku tertawa dan membuka mulut. Melihat itu mereka bertanya padaku: “Apa kamu gila?” Aku menjawab: “Tidak. Segala puji bagi Allah.” Kemudian kuceritakan kepada mereka sebagian dari apa yang terjadi antara aku dan setan dan mereka kagum akan hal itu,

 

Diceritakan dari salah seorang guru kami. Beliau berkata: “Pada suatu ketika aku pergi untuk mengajar ke sebuah masjid yang jauh dari orang banyak. Aku tidak membawa bekal, seperti kebiasaan yang dilakukan oleh para wali kita. Lalu setan datang menggoda bahwa masjid ini jauh dari pemukiman orang banyak, Jika kamu mau berjalan ke masjid yang ada di tengah orang banyak, tentu penduduknya akan melihatmu dan memberikan kebutuhanmu. Aku berkata: “Aku tidak akan menginap selain di tempat ini. Aku berjanji tidak mau makan apapun selain manisan.

 

Dan aku tidak akan memakannya sampai manisan itu dimasukkan ke dalam mulutku sesuap demi sesuap.” Lalu aku melakukan salat Isya dan mengunci semua pintu. Setelah lewat tengah malam aku dikejutkan seseorang yang mengetuk pintu dan membawa pelita. Setelah berulangkali mengetuk aku pun membuka pintu. Ternyata aku bertemu dengan seorang nenek tua bersama seorang pemuda. Nenek itu masuk dan meletakkan nampan berisi makanan di hadapanku dan berkata: “Pemuda ini adalah anakku. Aku membuatkan makan ini untuknya. Lalu terjadi pembicaraan antara kami dan dia bersumpah tidak mau makan kecuali bersama dengan lelaki asing. Atu nenek tadi berkata “Orang asing yang ada di dalam masjid. Oleh karena itu makanlah. Semoga Allah memberikan rahmat padamu.” Kemudian nenek tadi mulai meletakkan sesuap makanan di mulutku dan sesuap yang lain di mulut anaknya sampai kami berdua merasa cukup. Lalu keduanya pergi dan ia menutupkan pintu untukku sambil merasa heran dengan apa yang terjadi.

 

Semua ini adalah contoh perjuangan orang-orang saleh dan perlawanan mereka terhadap setan.

 

Dari semua itu Anda bisa mengambil tiga hal yang bermanfaat:

 

  1. Anda harus tahu bahwa rezeki itu apapun yang terjadi tidak akan lenyap dari orang yang ditakdirkan menerimanya.

 

  1. Anda harus tahu bahwa urusan rezeki dan tawakal amatlah penting. Dan sesungguhnya setan selalu menggoda dan membuat kebimbangan, sampai-sampai orang yang zuhud seperti itu tidak bisa terhindar dari godaannya. Setan-setan itu tidak akan berputus asa dari mereka setelah melatihnya dalam waktu yang cukup lama dan perjuangan gigih yang dilakukan sejak dulu. Hingga untuk mengusirnya mereka memerlukan perlawanan semacam ini. Sungguh. Aku bersumpah demi umurku. Seseorang yang telah melatih diri selam tujuh puluh tahun tidak akan terbebas dari godaan setan dan hawa nafsu. Seperti mereka juga menggoda para pemula dalam beribadah. Apalagi orang berakal yang sedikitpun tidak pernah melatih diri. Jika kedapatan oleh setan dan hawa nafsu, maka keduanya akan memperlakukan dan merusak mereka seperti kerusakan orang orang yang lalai dan tertipu. Ini merupakan sebuah pelajaran bagi orang yang waspada,

 

3, Anda juga harus tahu bahwa segala sesuatu tidak akan sempurna tanpa usaha dan perjuangan maksimal. Mereka (orang-orang saleh) juga mempunyai daging, darah, tubuh dan nyawa. Bahkan keadaan tubuh mereka lebih kurus, anggota badan mereka lebih rapuh dan tulang mereka lebih kecil dari Anda. Akan tetapi mereka memiliki kekuatan ilmu, cahaya keyakinan, dan cita-cita tinggi dalam urusan agama. Sehingga mereka mampu melakukan mujahadah (perjuangan melawan nafsu) dan tetap menempati kedudukan tersebut. Oleh karena itu, lihatlah diri Anda. Semoga Allah memberikan rahmat pada kita semua. Obatilah diri Anda dari penyakit yang sulit disembuhkan ini. Semoga Anda beruntung.

 

Setelah mengutarakan semua ini kami akan menerangkan hal penting yang bisa bersemayam dalam hati, jika Anda mau mengingat dan mencukupi ongkos yang diperlukannya. Di samping itu Anda juga akan melihat jalan kebenaran yang nyata jika mau merenung dan beramal dengannya.

 

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua.

 

Pertama, sebaiknya Anda mengetahui bahwa Allah Swt. telah menjamin semua rezeki bagi hamba-Nya di dalam Lauh Mahfuzh. Allah telah menjamin rezeki dan menanggungnya bagi Anda. Apa yang akan Anda katakan jika ada seorang penguasa di dunia yang akan menjamu Anda malam ini dan ia sudah mengundang Anda untuk makan. Sedangkan Anda berprasangka baik bahwa ia adalah orang yang jujur, tak pernah bohong dan ingkar janji. Bahkan seandainya ada seorang pedagang pasar yang menjanjikan hal itu, atau mungkin orang Yahudi, Nasrani atau bahkan Majusi yang belum Anda ketahui dengan pasti serta masih perlu berhati-hati dengan ucapannya, Bukankah Anda percaya pada janjinya dan merasa tenang dengan ucapannya. Lalu Anda tak lagi memperdulikan urusan makanan, karena sepenuhnya percaya sepenuhnya kepada orang tersebut di malam itu.

 

Kemudian apa yang terjadi dengan Anda? Bukankah Allah telah berjanji akan menjamin rezeki Anda dan menanggung hal itu bagi Anda? Bahkan Dia telah bersumpah berulangkali. Kenapa Anda tidak merasa tenteram dengan janji-Nya dan tidak merasa tenang dengan firman dan janiman-Nya? Anda tidak melihat bagaimana Dia membagi rezeki. Bahkan hati Anda berguncang dan merasa sedih. Alangkah malunyajika Anda melihat kenyataan sebenarnya. Alangkah besarnya musibah ini jika Anda mengetahui keadaan yang sebenarnya.

 

Diceritakan dari sahabat Ali bin Abu Thalib. Beliau berkata:

 

Adakah kau mencari rezeki Allah dari orang lain

dan merasa aman dari kesudahan yang menakutkan.

Apakah kau rela dengan penukar uang yang akan menjaminmu walau dia seorang musyrik

dan tidak rela dengan jaminan yang diberikan Tuhanmu? Seakan-akan kau tidak membaca apa yang tertulis dalam kitab-Nya sehingga pagi-pagi sudah berpindah keyakinan secara terangterangan.

 

Jika melihat makna semua ini, jelaslah bahwa urusan rezeki Japat menyeret seseorang ke arah kebimbangan dan syubhat (hal meragukan) yang mengkhawatirkan pemiliknya kehilangan makrifat dan agama.

 

Karena makna seperti ini pula, Allah Swt. befirman:

 

Artinya: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. Al-Maaidah: 23)

 

Dia juga berfirman:

 

Artinya: “Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin itu bertawakal.” (Q.S. At-Taubah: 51)

 

Cukuplah kiranya satu keterangan singkat ini bagi seorang mukmin yang mementingkan urusan agamanya.

 

Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur lagi Maha Agung.

 

Kedua, hendaknya Anda mengetahui bahwa rezeki itu telah dibagi. Hal itu sudah jelas disebutksn dalam Al-Qur’an dan berbagai hadis Rasul Saw.

 

Anda juga harus tahu bahwa rezeki tersebut tidak dapat diganti dan diubah. Jika Anda mengingkari pembagian tersebut dan menganggap mungkin bisa berkurang, berarti Anda telah mengetuk pintu kekufuran. Naudzubillah. Jika Anda tahu bahwa hal itu benar-benar tidak dapat diubah, untuk apa mementingkan dan mencari (rezeki). Tidak ada yang diperoleh selain kehinaan dan kenistaan di dunia serta kesulitan dan kerugian di akhirat.

 

Karena itulah Rasul Saw. Bersabda:

 

Artinya: “Telah tertulis di atas punggung ikan dan sapi, rezeki untuk si fulan. Jadi orang yang rakus tidak akan mendapat tambahan selain kepayahan.”

 

Dalam hal ini guru kami berkata: “Sesungguhnya apa yang telah ditakdirkan menjadi kunyahanmu tidak akan dikunyah orang lain. Karena itu, makanlah rezekimu dengan kemuliaan dan jangan memakannya’dengan kehinaan.

 

Ini adalah keterangan ringkas yang memuaskan bagi orang-orang yang jantan.

 

Ketiga, apa yang kudengar dari guru kami Imam Haramain yang menceritakan Al-Ustadz Abu Ishag rahimahullah. Beliau berkata: “Sebenarnya di antara hal yang membuat diriku puas dalam urusan rezeki adalah karena aku mengingat dan berkata dalam hati. Bukankah rezeki ini diperuntukkan bagi makhluk yang masih hidup. Sedangkan orang yang telah mati tidak mendapatkan rezeki.” Jika kehidupan seorang hamba berada di dalam gudang Allah dan di bawah kekuasaan-Nya, berarti seperti itu pula urusan rezeki. Bila Dia menghendaki tentu Dia memberiku rezeki. Sedangkan hal itu belum jelas bagiku. Kuserahkan hal itu kepada Allah yang akan mengaturnya sesuai apa yang Ia kehendaki. Aku akan merasa tenang dalam masalah ini.

 

Keterangan singkat ini lembut sekali dan memuaskan para ahli tahqiq.

 

Sesungguhnya Allah menjamin rezeki seluruh hamba dan yang Dia jamin adalah rezeki madhmun, berupa bahan penguat dan pendidikan. Rezeki madmun inilah yang menjadi penguat dan bahan persiapan untuk taat.

 

Adapun mengenai bermacam penyebab seperti makanan dan rainuman, maka jika seorang hamba menfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah dan menyerahkan diri (bertawakal) kepada-Nya, bisa saja penyebab-penyebab tersebut tertahan darinya.

 

Dia tidak perlu mempersiapkan hal itu dan merasa jemu, karena ja tahu benar bahwa jaminan mendapat penguat tubuh dan tawakal kepada Allah hanya berhubungan dengan tegaknya tubuh, tidak ada hubungannya dengan yang lain. Hal yang ditunggu-tunggu dari Allah hanya itu. Sesungguhnya Allah pasti memberinya kekuatan agar ia bisa memenuhi hak-hak ibadah dan pengabdian selama umur serta tuntutan beribadah masih ada padanya. Bantuan semacam inilah yang menjadi tujuan. Dan Allah Maha kuasa terhadap apa yang Ia kehendaki. Jika menghendaki, Dia akan memberi penguat tubuh hamba-Nya dengan perantara makanan dan minuman. Atau dengan tanah liat dan debu. Atau dengan tasbih dan tahlil seperti halnya para malaikat. Dan jika menghendaki, Dia akan memberi penguat tanpa perantara semua itu. Yang dicari seorang hamba tidak lain hanyalah penguat tubuh dan kekuatan untuk beribadah, bukan makan dan minum, syahwat dan keinginan yang menggebu serta merasakan kenikmatan. Jadi, semua penyebab itu di luar perhitungannya. Oleh karena itu, orang-orang yang tekun beribadah dan berzuhud mampu menempuh berbagai perjalanan serta melipat malam dan siang. Di antara mereka ada yang tidak makan selama sepuluh hari. Ada yang tidak makan selama satu atau dua bulan dan mereka tetap kuat seperti biasa.

 

Di antara mereka ada yang menelan pasir, lalu Allah menjadikannya sebagai bahan penguat, seperti cerita tentang Sufyan Ats-Tsauri. Beliau kehabisan bekal di Mekkah dan hidup dengan memakan pasir selama lima belas hari.

 

Abu Mu’awiyah Al-Aswad berkata: “Aku melihat Ibrahim bin Adham memakan tanah liat selama dua puluh hari.”

 

Diceritakan dari Al-A’masy, beliau berkata: “Ibrahim At-Taimi berkata kepadaku, ‘Aku belum makan selama satu bulan’” Aku bertanya: “Satu bulan?” Ibrahim menjawab: “Tidak. Sebenarnya malah dua bulan, hanya saja seseorang bersumpah demi Allah agar aku memakan setangkai anggur, lalu aku memakannya dan perutku terasa sakit,”

 

Menurutku Anda tidak perlu heran terhadap hal semacam ini. Sesungguhnya Allah mampu mewujudkan apa yang Dia hendaki seperti halnya orang yang sedang sakit. Ia tidak makan Selama sebulan dan terlihat masih hidup. Apapun yang terjadi

orang yang sedang sakit tentu lebih lemah keadaannya dan lebih lembek ketimbang orang yang sehat.

 

Adapun orang yang mati kelaparan, itu adalah ajal yang mendatanginya, sama halnya dengan orang yang mati kekenyangan.

 

Aku pernah mendengar bahwa Abu Sa’id Al-Kharraz rahimahullah berkata: “Seperti biasanya, Allah memberiku makan tiga hari sekali. Lalu aku masuk ke pedalaman. Sudah lebih dari tiga hari aku tidak makan. Pada hari keempat aku merasa lemas dan duduk di tempatku berada saat itu. Tiba-tiba terdengar hatif (Suara tanpa rupa): “Hai Abu Said! Apa yang lebih kamu sukai, penyebab atau kekuatan?” Aku menjawab: “Tidak. Aku tidak butuh selain kekuatan.” Lalu aku berdiri perlahan-lahan dan bisa mengangkat tubuh. Akupun tinggal selama dua belas hari tanpa makan, dan aku tidak merasa sakit karenanya.”

 

Sedangkan bila seorang hamba melihat penyebab yang tertahan untuknya dan mengetahui ada perasaan tawakal dalam dirinya, maka yakinlah bahwa Allah akan memberinya kekuatan. Jangan merasa bosan dengan hal semacam itu, tapi sudah seharusnya ia bersyukur kepada Allah dalam hal ini dengan syukur yang sebanyak mungkin. Karena sesungguhnya ia mendapat anugerah dan perlakuan yang halus tanpa mengeluarkan biaya tapi mendapat pertolongan. Dia berhasil mendapatkan inti dan tujuan, terhindar dari hal berat dan perantara, terlepas dari ketergantungan pada kebiasaan.

 

Allah memperlihatkan jalan kekuasaan dan menyamakan keadaannya dengan para malaikat. Allah mengangkatnya dari tingkatan hewan dan orang lain pada umumnya dengan kemuliaan tersebut.

 

Renungkanlah inti yang penting ini niscaya insya Allah Anda memperoleh keuntungan yang banyak dan agung.

 

Aku (Al-Ghazali) menambahkan: “Mungkin Anda akan berkata bahwa dalam membahas masalah rezeki ini terlalu berlebihan sehingga melenceng dari tujuan utama kitab ini.”

 

Menurutku, demi Sifat Hayat Allah, apa yang Anda katakan terlalu berlebihan ini sangatlah sedikit dibanding kebutuhan segi kebutuhannya. Sebab masalah ini sangat diperlukan dalam beribadah, bahkan menjadi pusat urusan dunia dan peribadatan. Siapa saja yang menganggap penting masalah ibadah hendaklah berpegang teguh dengan keterangan ini serta memelihara hakhaknya. Jika tidak, tentu ia semakin menjauh dari tujuan.

 

Termasuk hal yang menunjukkan kewaspadaan para ulama akhirat yang telah mencapai kedudukan makrifat billah adalah bahwasanya mereka membangun urusan di atas rasa tawakal kepada Allah, meluangkan waktu khusus untuk beribadah kepada Allah dan menyingkirkan semua rintangan. Banyak di antara mereka yang menyusun kitab dan tidak sedikit pula yang meninggalkan wasiat. Lalu Allah mengirim beberapa pembantu berupa pemimpin-pemimpin dan para sahabat sehingga kebaikan yang murni mengalir begitu saja bagi mereka, yaitu melakukan kegiatan yang tidak bisa dilakukan oleh sekelompok imam yang zahid dari aliran Kiramiyah, karena mereka membangun mazhab di atas dasar yang tidak lurus.

 

Kemuliaan kita takkan hilang selama masih berpijak pada jalan para imam yang keluar (telah lulus) dari tempat-tempat ibadah dan madrasah kita. Di antara mereka ada yang menjadi pemuka di bidang pengetahuan seperti Al-Ustadz Abu Ishaq, Abu Hamid, Abu Ath-Thayyib, Ibnu Faurak, guru kita Abu Bakr AlWarraq, dan pemuka-pemuka yang lain. Ada ulama yang tekun beribadah seperti Abu Ishag Asy-Syairazi, Abu Sa’id Ash-Shuffi, Naser Al-Muqaddasi dan imam-imam lain yang lebih unggul dalam ilmu dan kezuhudannya hingga sampai pada orang-orang berhati lemah dan berlumur ketergantungan seperti kita, yang bahayanya lebih banyak ketimbang manfaat yang ditimbulkannya.

 

Akhirnya urusan agama semakin mundur, cita-cita menjadi Pupus, keberkahan pergi melayang, rasa lezat dan manisnya ibadah hilang musnah, dan seseorang nyaris tidak memiliki ibadah yang bersih atau berhasil mendapatkan ilmu dan hakekat.

 

Seberkas sinar yang nampak pada diri kami saat ini tak lain berasal dari orang yang masih berpijak pada jalan ulama-ulama salaf dan guru-guru kami terdahulu seperti Harts Alk-Muhaasibi, Muhammad bin Idris Asy-Syafi ‘i, Imam Muzani, Harmalah, dan pemuka-pemuka agama yang lain rahimahumullah.

 

Seperti dikatakan seorang penyair, mereka (para ulama) adalah:

 

Mereka tidak bersahabat dengan hari kecuali tetap menjaga diri dan tidak dapat menjauh dari kecintaan Tuhan mereka.

Mereka adalah orang-orang yang mulia, terpercaya dan banyak mendapat petunjuk.

Mereka menjadikan Tuan segala tuan (Tuhan) sebagai tujuan.

Ikatan kesabaran akan terurai bagi orang yang bersabar.

Dan tak satupun ikatan hari-hari mereka yang terurai.

 

Pada awalnya kita menjadi raja, lalu berubah menjadi rakyat. Mula-mula kita penunggang kuda, lalu berubah menjadi pejalan kaki. Semoga saja kita sama sekali tidak terputus dari jalan Allah.

 

Hanya Allah tempat memohon pertolongan, dalam menghadapi berbagai musibah. Dia-lah tempat meminta. Semoga Dia tidak mencabut sisa ilmu ini. Ssungguhnya Dia Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Pemberi anugerah, dan Maha Pengasih. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan

 

Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.

 

Adapun tafwidh (penyerahan diri), maka renungkanlah dua hal penting di dalamnya.

 

Pertama, Anda harus tahu bahwa memilih itu tidak layak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang sudah mengetahui sebuah perkara dari segala sisi, baik lahir maupun batin, keadaan ataupun akibatnya. Jika tidak, tentu dia tidak tahu bahwa dirinya telah memilih kerusakan dan kehancuran serta meninggalkan hal yang berisi kebaikan dan kemaslahatan.

 

Apakah Anda tidak melihat bagaimana seandainya diri Anda berkata kepada seorang penduduk desa atau penggembala kambing: “Tolong pilihkan dirham-dirham ini dan bedakan antara yang baik dan buruk untukku!” Orang tersebut pasti tidak bisa membedakannya. Kalaupun Anda mengatakan hal itu kepada seorang pedagang pasar yang tidak terbiasa menukar uang, terkadang ia pun kesulitan membedakannya. Kalau begitu Anda tidak merasa tenteram selain menyerahkan pekerjaan itu kepada penukar uang yang tahu benar dengan emas dan perak serta ciri masing-masing.

 

Pengetahuan yang lebih mencakup semua hal dari segala segi seperti ini tidak pantas dimiliki oleh selain Penguasa alam semesta.. Jadi, tak seorangpun berhak memilihkan dan mengatur selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya.

 

Oleh karena itu Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihkannya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Q.S. Al-Qashash: 69) Kemudian Dia melanjutkan:

 

Artinya: “Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (di dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan.” (Q.S. Al-Qashash: 69)

 

Dikisahkan bahwa seorang saleh menerima ilham dari Allah: “Mintalah! Pasti kamu diberi.” Dania termasuk orang yang mendapat taufik. Oleh karena itu dia berkata. “Sesungguhnya Dzat yang lebih mengetahui segalanya berfirman kepada orang yang tidak tahu apa-apa.” Allah berfirman: “Mintalah! Pasti kamu diberi.” ia menjawab: “Aku tidak tahu apa yang baik agar kupmta, tapi pilihkanlah hal itu untukku.”

 

Camkan hal ini baik-baik.

 

Kedua, apa yang Anda katakan bila ada seorang lelaki yang berkata pada Anda: “Aku akan menyelesaikan semua urusanmy dan mengatur kebaikan-kebaikan yang kamu butuhkan. Karena itu serahkanlah semua urusanmu kepadaku dan sibukkan dirimu dengan sesuatu yang dapat menolongmu.” Lelaki tersebut adalah orang yang terpandai di antara orang banyak pada zaman Anda, paling bijaksana, paling kuat, paling belas kasih, paling terjaga, paling benar (terpercaya) dan paling setia (memenuhi janji) di antara mereka. Apakah Anda tidak mengambil kesempatan itu dan menganggapnya sebagai kenikmatan paling agung, sebagai sebuah anugerah terbesar dan mengucapkan terimakasih yang setimpal serta menyanjungnya dengan pujian terbaik?

 

Kemudian, jika ia memilihkan sesuatu yang Anda lihat tidak ada baiknya, Anda tidak merasa jemu bahkan lebih percaya dan lebih mantap pada pengaturannya. Anda pun tahu bahwa ia tidak akan memilihkan sesuatu kecuali yang terbaik dan tidak akan melihat selain kebaikan pada diri Anda. Apa yang terjadi setelah semua urusan Anda serahkan kepadanya dan ia mau menjamin hal itu?

 

Lalu kenapa Anda tidak menyerahkan segala urusan kepada Allah Penguasa alam semesta. Sedangkan Dia adalah Dzat yang mengatur segala urusan dari langit sampai bumi. Dia terpandai di antara para ilmuan, paling mampu di antara orang-orang yang mampu, lebih kasih sayang di antara para pengasih, dan terkaya di antara orang-orang kaya, agar Dia memilihkan untuk Anda dengan kelembutan ilmu-Nya dan kebaikan (kerapian) cara pengaturnya, sesuatu yang tidak tersentuh oleh pengetahuan Anda dan tidak terlintas dalam pikiran Anda. Setelah itu sibukkanlah diri Anda dengan pekerjaan yang dapat menolong Anda di hari esok.

 

Jika Dia memilihkan untuk Anda sesuatu yang belum Anda ketahui rahasianya, hendaknya Anda merelakan hal itu dan merasa tenang kepadanya apapun yang terjadi, sebab pilihan Allah tentu yang terbaik. Karena itu, renungkanlah! Semoga Anda mendapat petunjuk. Hanya Allah tempat memohon taufik.

 

Rela dengan Takdir

 

Cobalah Anda renungkan dua hal pokok yang bisa memuaskan ini.

 

Pertama, faedah kerelaan yang didapat dengan seketika dan yang akan diperoleh di kemudian hari.

 

Faedah yang diperoleh dengan seketika adalah kosongnya hati dan berkurangnya keprihatinan yang tiada guna. Karena itulah sebagian besar orang zuhud berkata: “Jika takdir Allah telah nyata, niscaya keprihatinan itu tiada guna.” Dasar ungkapan ini adalah hadis Nabi Saw. Beliau berkata kepada Ibnu Mas’ud r.a.:

 

Artinya: “Kurangi keprihatinanmu. Apa yang telah ditakdirkan pasti terjadi, dan apa yang tidak ditakdirkan pasti tidak akan datang padamu.”

 

Ini adalah ucapan kenabian yang bersifat umum tapi cukup memadai, ringkas dan padat.

 

Adapun faedah yang akan diperoleh di kemudian hari adalah pahala dan kerelaan Allah. Allah Swt. berfirman:

 

Artinya: “Allah meridai mereka, dan mereka pun rida kepada-Nya.” (Q.S. At-Taubah: 100)

 

Kebencian terhadap takdir akan menimbulkan keprihatinan, kesedihan dan rasa jemu dengan seketika serta dosa dan siksaan di kemudian hari yang tiada berguna, Sebab takdir Allah pasti berlaku dan tidak mungkin berpaling karena keprihatinan dan kebencian Anda, seperti dikatakan seorang penyair:

 

Wahai nafsu! Bersabarlah dari apa yang telah ditakdirkan,

niscaya kamu terbebas dari sesuatu yang tidak ditakdirkan.

 

Lihatlah kenyataan! Sesungguhnya hal yang telah ditakdirkan

pasti terwujud untukmu baik kamu bersabar atau tidak.

 

Orang yang memiliki akal tentu tidak akan memilih keprihatinan yang tidak berguna, mendapatkan dosa dan siksaan, meninggalkan hati yang nyaman dan pahala di dalam surga.

 

Kedua, kekhawatiran yang terdapat di dalam kebencian, bahaya, kekufuran dan kemunafikan di dalamnya jika tidak diikuti oleh rahmat dari Allah.

 

Renungkan juga firman Allah di bawah ini:

 

Artinya: “Maka demi Tuhanmu. Mereka (Pada hakekatnya) tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisaa’: 65)

 

Dalam ayat ini keimanan ditiadakan dan Allah bersumpah bahwasanya orang yang membenci dan merasa keberatan terhadap keputusan Rasulullah Saw. tidak memiliki rasa iman. Lalu bagaimana dengan orang yang membenci keputusan (takdir) Allah?

 

Telah kami ceritakan bahwa Allah Swt. berfirman (dalam hadis qudsi):

 

Artinya: “Barangsiapa tidak rela dengan keputusan-Ku, tidak bersabar atas cobaan-Ku dan tidak bersyukur atas nikmat-nikmatKu hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.”

 

Ada yang mengatakan bahwa seakan-akan Allah berfirman: “Orang ini tidak merelakan Aku menjadi Tuhannya ketika dia marah, karena itu hendaklah ia membuat tuhan lain yang ia relakan.”

 

Ayat ini merupakan sebuah ancaman yang sangat tajam dan menakutkan bagi orang yang berakal.

 

Benar sekali apa yang dikatakan oleh seorang ulama salaf saat beliau ditanya: “Apa yang dinamakan pengabdian dan ketuhanan itu?” Beliau menjawab: “Tuhan itu berhak memutuskan dan seorang hamba berhak merelakannya.” Jika Tuhan memutuskan dan hamba itu tidak merelakannya, maka tidak ada pengabdian dan tidak ada ketuhanan. Karena itu, renungkanlah hal penting ini dan lihatlah diri Anda sendiri, semoga Anda selamat dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya.

 

Kesabaran adalah obat yang pahit dan minuman yang tidak menyenangkan namun mengandung berkah, mendatangkan banyak kegunaan dan menolak setiap bahaya dari Anda. Karena itu, jika ada obat yang ciri-cirinya semacam ini, tentu orang yang berakal akan memaksakan diri untuk meminum dan menelannya, menahan rasa pahit dan bau yang menyengat darinya kemudian berkata: “Kepahitan sesaat berarti rasa nyaman setahun.”

 

Manfaat yang Diperoleh dengan Kesabaran

 

Ketahuilah bahwa sabar itu ada empat macam:

– Sabar menjalankan ketaatan

– Sabar menjauhi maksiat

– Sabar menjauhi kelebihan dunia

 – Sabar menghadapi ujian dan berbagai musibah.

 

Jika sesorang telah mampu menahan pahitnya kesabaran dan ia bersabar di dalam empat tempat ini, berarti ia telah berhasil mendapatkan ketaatan dan berbagai macam tingkatannya seperti istiqamah dan menerima pahala yang agung di hari kemudian. Ia tidak akan terjerumus dalam kemaksiatan dan berbagai bencananya di dunia serta imbasnya kelak di akhirat. Ia tidak diuji dengan mencari keduniaan, tidak disibukkan di dunia dan tuntutan di akhirat karenanya. Pahala sesuatu yang diujikan kepadanya dan apa yang ia tinggalkan tidak akan terhapus. Dengan begitu, karena kesabarannya tadi ia bisa mendapatkan ketaatan, berbagai tingkatan yang mulia, pahala, ketakwaan, kezuhudan, pengganti dan pahala yang agung dari Allah.

 

Rincian keterangan di atas adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah.

 

Bahaya yang Ditolak oleh Kesabaran

 

Mula-mula ia akan terbebas dari berkeluh-kesah dan penderitaannya di dunia, kemudian terbebas dari dosa dan siksaannya di akhirat.

 

Adapun orang yang tidak mampu bersabar dan memilih jalan berkeluh-kesah, maka ia akan kehilangan semua manfaat dan menemui berbagai bahaya. Sebab ia tidak bersabar menjalankan beratnya ketaatan, lalu ia tidak menjalankannya. Ia tidak bersabar memelihara taatnya, lalu ia meleburnya. Atau ia tidak sabar melangsungkan ketaatannya sehingga tidak sampai pada kedudukan tertinggi, yakni istiqamah. Atau ia tidak sabar menjauhi maksiat lalu terjerumus di dalamnya. Atau tidak mampu menjauhi kelebihan dunia lalu ia sbuk mencarinya. Atau ia tidak sabar menghadapi musibah dan terrhalang dari pahala kesabaran.

 

Kadang-kadang ia banyak mengeluh sehingga kehilangan pengganti karenanya. Ia pun mendapatkan dua musibah, yakni kehilangan sesuatu dan kehilangan pahala, pengganti, menerima hal yang tidak menyenangkan dan terhalang dari kesabaran.

 

Ada yang mengatakan: “Kehilangan kesabaran menghadapi musibah lebih berat daripada musibah itu sendiri.”

 

Lalu apa gunanya sesuatu yang dapat menghilangkan apa yang sudah ada dan tidak dapat mengembalikan sesuatu yang telah hilang? Karena itu usahakan jika Anda kehilangan salah satunya jangan sampai kehilangan yang satunya lagi.

 

Di antara ungkapan yang mencakup hal ini adalah apa yang kami riwayatkan dari sahabat Ali bin Abu Thalib k.w. bahwa beliau menjenguk seorang laki-laki dan berkata: “Jika kamu bersabar maka takdir Allah akan terjadi padamu dan kamu diberi pahala. Jika kamu mengeluh maka takdir Allah akan terjadi padamu dan kamu menanggung dosa.”

 

Kesimpulannya adalah: Sesungguhnya memutuskan hati dari berbagai ketergantungan yang sudah lazim akan mencegah nafsu dari kebiasaan yang sudah tertanam kuat dengan kemurnian tawakkal kepada Allah yang Maha Agung Asma-Nya, tidak merancang segala sesuatu dan menyerahkannya kepada Allah tanpa mengetahui rahasia yang tersimpan di dalamnya, menahan nafsu dari kebencian dan keluhan yang selalu diburunya, memaksa nafsu dengan kendali “rela” dan menelan pahitnya kesabaran yang selalu dijauhinya adalah hal yang pahit, pengobatan yang sangat keras dan sebuah beban berat, tapi juga aturan yang benar dan sebuah jalan yang lurus. Akibatnya juga terpuji dan mengalami keadaan yang menguntungkan.

 

Apa yang Anda katakan jika ada orang tua yang penuh kasih Sayang dan kaya mencegah anaknya tercinta dari makan kurma atau apel karena ia sedang menderita sakit mata? Kemudian ia menyerahkannya kepada seorang guru yang keras, yang mendidik dan menahannya sepanjang hari di hadapan beliau sampai ia bosan lalu membawanya ke tukang canduk sampai ia merasa kesakitan dan gelisah? Apakah orang tua tersebut mencegahnya karena pelit? Bagaimana mungkin, sementara ia memberi orang lain dan melapangkan mereka. Atau mungkinkah, karena ia berlaku keras kepada anaknya? Padahal ia menyimpan apa yang dimiliki untuk anaknya.

 

Atau mungkinkah orang tua tersebut bermaksud menyakiti anaknya karena marah? Bagaimana mungkin, sedangkan anak itu adalah penyejuk mata dan buah hatinya yang seandainya ditiup angin saja ia akan merasa sangat kasihan?

 

Tidak. Orang tua itu melakukan semua ini karena ia melihat itulah yang terbaik untuk anaknya. Dengan sedikit jerih payah ini anak itu akan memperoleh banyak kebaikan dan mendapatkan manfaat yang sangat besar.

 

Apa yang Anda katakan jika ada seorang dokter ahli yang memberi nasehat dan mencintai pasiennya, lalu ia melarang pasien tersebut minum air, sementara ia sangat dahaga dan kerongkongannya seperti terbakar dan malah memberinya obat pahit yang sangat dibencinya dan membuat diri (pasiennya) mengeluh? Adakah dokter itu melakukannya karena ia memusuhi dan ingin menyakitinya? Tidak. Tapi ia bermaksud memberi nasehat dan berbuat baik, karena ia tahu pasti bahwa jika ia memberikan keinginan pasiennya berarti itulah saat kehancurannya dan ia memberikan kebinasaan kepadanya. Dan dengan mencegahnya berarti itulah obat dan kelangsungan hidupnya.

 

Renungkanlah wahai orang yang jantan. Apabila Allah menahan sepotong roti atau satu dirham dari Anda, sementara Anda tahu dengan nyata bahwa Dia memiliki apa yang Anda inginkan dan mampu menentukannya untuk Anda. Dia juga memiliki kemurahan, anugerah dan mengetahui keadaan Anda sehingga tidak ada sesuatupun yang samar dari-Nya.

 

Allah tidak miskin, tidak lemah dan tidak ada yang tersembunyi dari semua itu. Maha Suci Allah. Dia lebih kaya dari prang-orang kaya, lebih mampu dari orang-orang yang mampu, febih pandai dari para ulama dan lebih pemurah dari para pemurah.

 

Maka dengan semua itu Anda benar bahwa sesungguhnya Dia tidak akan mencegah Anda kecuali karena hal itu baik dan menjadi pilihan-Nya. Bagaimana tidak jika Dia telah berfirman: 

 

Artinya: “Dia menciptakan untukmu semua yang ada di bumi.” (Q.S. al-Baqarah: 29)

 

Bagaimana tidak jika Dia bermurah hati dengan memberi kemakrifatan pada Anda, sesuatu yang dapat merusak dunia dengan berbagai rahasianya?

 

Dalam sebuah hadis diterangkan:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah berfirman, “Sungguh Aku melindungi kekasih-kekasih-Ku dari kenikmatan dunia seperti halnya penggembala yang penuh kasih melindungi ontanya dari tempat kurap berkembang biak.”

 

Tika Dia menguji Anda dengan sebuah kesulitan maka Yakinlah bahwa Dia tidak memerlukan ujian dan cobaan Anda. Dia Maha Tahu keadaan Anda, Maha Melihat kelemahan Anda dan Dia lebih mengasihi Anda. Apakah Anda tidak mendengar Nabi Saw. pernah bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah lebih mengasihi hamba-Nya yang beriman dibanding dari seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya.”

 

Jika telah mengetahui maka Anda pasti mengerti bahwa Dia tidak menurunkan sesuatu yang tidak menyenangkan ini kecuali karena adanya kebaikan, akan tetapi Anda tidak mengetahui kebaikan tersebut sedangkan Dia tahu akan hal itu. Karenanya Anda melihat Dia sering memperbanyak.ujian untuk kekasih pilihan-Nya, yakni hamba-Nya yang paling mulia. Sampai-sampai Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: “Apabila Allah mencintai suatu kaum tentu Dia menguji mereka.”

 

Beliau juga bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya manusia yang paling banyak menerima cobaan adalah para nabi, lalu para rasul, kemudian orang yang sederajat dengan mereka, dan seterusnya.”

 

Jika Anda melihat Allah menahan dunia dari Anda atau memperbanyak kesulitan dan cobaan kepada Anda, maka ketahuilah bahwa Anda sungguh mulia di hadapan-Nya dan menempati kedudukan tinggi di sisi-Nya. Dia menempatkan Anda pada jalan yang dilalui para kekasih-Nya. Dia Melihat Anda dan tidak membutuhkan semua itu.

 

Apakah Anda tidak mendengar firman-Nya:

 

Artinya: “Dan bersabarlah menunggu keputusan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami.” (Q.S. AthThuur: 48)

 

Lihatlah anugerah yang diberikan-Nya kepada Anda dan kebaikan yang dipelihara-Nya untuk Anda. Dia juga memperbanyak pahala dan menempatkan Anda pada derajat orang-orang baik dan mulia di hadapan-Nya. Anda pun melihat kesudahan yang terpuji dan pemberian yang agung.

 

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah-Nya.

 

Secara singkat, jika Anda sudah tahu dan merasa yakin bahwa Allah-lah Dzat yang secara penuh menjamin rezeki yang mau tidak mau Anda perlukan untuk kelestarian hidup Anda dan pelaksanaan ibadah kepada-Nya. Dia mampu melakukan apa yang Dia kehendaki apapun yang diinginkan-Nya. Dia Maha Melihat kebutuhan Anda, keadaan demi keadaan dan waktu demi waktu. Maka Anda pun percaya dengan jaminan-Nya yang nyata, pada janji-Nya yang tepat dan hati Anda pun tenang karenanya. Anda juga berpaling, tidak mengingat berbagai ketergantungan dan penyebab serta ketergantungan hati kepada berbagai penyebab. Karena ketergantungan tersebut tidak bisa mencukupi Anda tanpa adanya Allah Swt., karena Dia-lah yang dah kita memakan dan meminumnya. Kemudin Allah jualah yang membuatnya terasa enak dan membuat nyaman. Dia juga Dzat yang mempertemukan Anda dengan kekuatan dan tannya, menolak keberatan dan bahaya-Nya. Dia-lah yang memperkaya dan mencukupi Anda dengannya jika Dia menghendaki. Dengan demikian segala sesuatu kembali kepadaNya, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu, bertawakallah kepada-Nya, jangan bertawakal kepada yang lain.

 

Di samping itu Anda juga tidak usah merancang semua urusan Anda. Serahkan semuanya kepada Allah, Dzat yang mengatur langit dan bumi. Kosongkan diri Anda dari sesuatu yanp tidak terjangkau pengetahuan dan pikiran Anda, yakni urusan yang terjadi esok pagi. Juga dari pemikiran tentang sesuatu yang akan ditemui atau tidak di keesokan hari, dan bagaimana hal itu akan terjadi.

 

Hendaknya mencukupkan diri, tidak berangan-angan dan berandai-andai, karena hal itu hanya membuat hati Anda sibuk dan menyia-nyiakan waktu yang mulia di dalamnya. Boleh jadi Anda menemukan sesuatu yang sama sekali tidak terbersit dalam benak Anda. Maka apa yang telah Anda pikirkan, Anda rancang, waktu Anda yang mahal terbuang percuma di dalamnya sama sekali tidak berguna, tidak bermanfaat, bahkan menjadi suatu kerugian yang akan Anda sesali. Anda juga rugi karena telah menyibukkan hati dan menyia-nyiakan umur di dalamnya.

 

Seorang ulama yang zuhud bersyair sehubungan dengan arti seperti di atas:

 

Telah terdahulu keputusan dan kepastian dari Allah. Istirahatkan (kosongkan) hatimu dari kata ‘kalau’ dan kata ‘seandainya.’

 

Ulama yang lain berkata:

 

 

Apa yang sudah ditetapkan akan terjadi pada waktunya.

Orang-orang bodoh bersusah payah dan bersedih hati.

Mungkin sesuatu yang kamu takutkan tidak terjadi dan mungkin

Juga apa yang kamu harapkan tidak terwujud.”

 

Lalu dengan cepat Anda berkata pada diri sendiri: “Wahai diriku! Tidak mungkin ada sesuatu yang menimpa kita selain apa yang telah ditakdirkan Allah untuk kita. Dia-lah Tuhan kita. Dia yang mencukupi kita dan Dia-lah sebaikbaik Dzat untuk memasrahkan diri, karena Dia Maha Kuasa dan kekuasaan-Nya tidak terbatas. Dia Maha Bijaksana dan kebijaksanaan-Nya tidak terbatas, dan Maha Pengasih yang tiada batasnya.

 

Orang yang mempunyai sifat-sifat seperti di atas benar-benar telah bertawakal kepada Allah dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaklah Anda selalu berserah diri.

 

Begitu pula Anda seharusnya memantapkan hati bahwa apa yang telah diputuskan oleh Allah itulah yang paling cocok dan terbaik walaupun hal itu tidak terjangkau pemikiran kita, bagaimana caranya dan apa rahasianya. Lalu Anda berkata pada diri sendiri: “Wahai diriku! Apa yang telah ditakdirkan pasti terjadi. Karena itu tiada gunanya merasa benci. Pilihan tetap jatuh pada apa yang dibuat Allah dan tiada jalan untuk membencinya. Bukankah kamu pernah berkata: ‘Aku rela Allah menjadi Tuhanku. Kenapa kamu tidak rela dengan keputusan (takdir)Nya? Padahal takdir termasuk urusan ketuhanan dan.itu adalah hak ketuhanan (Allah). Karena itu relakanlah.”

 

Begitu juga jika Anda tertimpa musibah dan mengalami hal yang tidak menyenangkan sebaiknya Anda menahan nafsu dan membatasi hati agar tidak sampai mengeluh. Jangan menampakkan pengaduan dan kesedihan apalagi saat pertama kali mengalaminya. Karena segala sesuatu tergantung pada saat semuanya dimulai, sementara pada saat itu nafsu selalu tergesa-gesa dengan kebiasaannya mengeluh.

 

Kemudian Anda berkata pada diri sendiri: “Wahai diriku! Semua ini telah terjadi. Tidak ada upaya yang bisa mencegahnya, Allah telah mencegah bahaya yang lebih besar darinya, karena sesungguhnya bentuk cobaan yang berada dalam gudang simpanan-Nya lebih banyak. Semua ini akan berakhir, tiada abadi, la bagai mendung yang akan terkuak, karena itu bertahanlah. Hai diriku! Sedikit musibah yang kau alami akan membuahkan kebahagiaan panjang dan pahala yang agung setelah kamu tidak menemukan tempat untuk mencegahnya.”

 

Tiada gunanya mengeluh. Sebenarnya tidak ada bencana (musibah) jika ia dihadapi dengan hati yang puas dan kesabaran. Kemudian mulut Anda sibuk dengan istirja’ dan hati Anda sibuk mengingat pahala yang diterima dari Allah. Lalu Anda mengingat bagaimana sabarnya para nabi yang tabah menerima musibahmusibah besar dan para wali (kekasih) yang mulia di hadapan Allah.

 

Jika pada suatu saat Anda tertahan dari dunia, katakanlah pada diri Anda sendiri: “Wahai diriku! Dia lebih tahu keadaanmu, lebih mengasihimu dan lebih Mulia. Dia-lah Dzat yang memberi makan pada anjing yang hina dan memberi makan orang kafir yang memusuhi-Nya. Sedangkan aku adalah hamba-Nya, mengenal-Nya dan mengesakan-Nya. Apakah aku tidak pantas ditukar dengan sepotong roti? Suatu hal yang mustahil. Karena itu, ketahuilah bahwa Dia tidak akan menahan hal itu kecuali karena ada manfaat yang lebih besar. Dan Allah akan menjadikan kemudahan setelah adanya kesulitan. Oleh karena itu, bersabarlah sebentar pasti kau akan melihat keajaiban dari kelembutan ciptaanNya. Adakah kau tidak mendengar seorang penyair berkata:

 

Nantikanlah apa yang diperbuat Tuhanmu, nanti akan datang apa yang kamu inginkan berupa jalan keluar (dari-kesulitan) yang dekat.

Jangan berputus asa jika menemui suatu musibah,

karena banyak kejadian alam gaib yang ajaib dan menakjubkan.

 

Ungkapan penyair lain yang hampir sama sebagai berikut:

 

Ingatlah wahai orang yang direpotkan sebuah keprihatinan.

Jika kesulitan itu telah memuncak menimpamu maka pikirkanlah surah “Alam Nasyrah.”

Satu kesengsaraan di antara dua kesenangan.

Jika kamu mau mengulangnya pasti akan gembira.

Jika Anda telah menjalankan perintah-perintah ini dan semisalnya, kemudian dengan berkesinambungan Anda mengulang dan melatih diri, maka sungguh hal itu akan mempermudah diri Anda dalam waktu yang singkatjika memang memiliki keinginan kuat dan kesungguhan dalam hati. Dengan begitu Anda benar-benar telah mencegah empat macam rintangan ini dari diri Anda dan menyingkirkan bahayanya. Di hadapan Allah Anda termasuk orang-orang yang bertawakal, berserah diri, rela dengan takdir-Nya dan sabar menerima cobaan-Nya. Anda juga berhasil mendapatkan kenyamanan hati dan badan di dunia, mendapatkan keagungan pahala dan simpanan di akhirat. Mendapatkan derajat mulia dan kecintaan di hadapan Allah Penguasa alam semesta. Lalu Anda pun mengumpulkan dua kebaikan, yakni dunia dan akhirat.

Jalan ibadah Anda terbentang lurus karena tidak ada lagi rintangan dan kesibukan. Saat itulah Anda berhasil melewati satu tahapan yang sulit.

Hanya Allah tempat meminta. Semoga Dia berkenan membantu Anda dan kita semua dengan kebaikan taufik-Nya, karena segala sesuatu berada di bawah kekuasaan-Nya. Dia Maha Pengasih di antara para pengasih. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.[alkhoirot.org]

 

LihatTutupKomentar