Bab 7: Pujian dan Syukur

Bab 7: Pujian dan Syukur Setelah berhasil melewati tahapan-tahapan ini dan mendapatkan apa yang menjadi tujuan, yakni ibadah yang bebas dari noda-noda

 

Bab 7: Pujian dan Syukur

Nama kitab:  Terjemah Kitab Minhajul ‘Abidin
Judul kitab asal: Minhaj Al-Abidin ila Jannati Rabbil Alamin  (منهاج العابدين إلى جنة رب العالمين)
Pengarang: Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad aṭ-Ṭūsiyy al-Ġazzālīy)
Nama yang dikenal di Arab: أَبْو حَامِدْ مُحَمّد الغَزّالِي الطُوسِيْ النَيْسَابُوْرِيْ الصُوْفِيْ الشَافْعِي الأشْعَرِيْ
Kelahiran: 1058 M/450 H, Tous, Iran
Meninggal: December 19, 1111 M/ 505 H, Tous, Iran
Penerjemah: K.H.R. Abdullah bin Nuh
Bidang studi: Ilmu Tasawuf, Sufisme, Akhlaq

Daftar isi
  1. Bab VII: Tahapan Ketujuh Pujian dan Syukur
    1. Makna pujian dan syukur
    2. Nilai sebuah pemberian
    3. Cermin kebutuhan hamba yang lemah
    4. 40 kemuliaan di dunia dan akhirat
    5. Penutup
  2. Kembali ke: Terjemah Minhajul Abidin

Bab VII: Tahapan Ketujuh Pujian dan Syukur

Setelah berhasil melewati tahapan-tahapan ini dan mendapatkan apa yang menjadi tujuan, yakni ibadah yang bebas dari noda-noda, maka hendaknya Anda memuji dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang agung dan anugerah yang mulia ini.

Hal itu harus dilakukan karena dua hal: Kelangsungan nikmat dan memperoleh tambahan.

Mendapatkan kelangsungan nikmat karena syukur adalah tali kenikmatan. Dengan tali itu kenikmatan akan tetap ada untuk selamanya dan tidak pergi. Jika tali itu tidak ada maka kenikmatan akan hilang dan berpindah tempat.

Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah sesuatu (kenikmatan) yang ada pada suatu kaum kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d:11)

Dia juga berfirman:

Artinya: “Lalu penduduk negeri itu mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka Allah mencicipkan pada mereka pakaian rasa lapar dan takut karena sesuatu yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nahl: 112)

Firman-Nya pula:

Artinya: “Allah tidak akan memberikan siksaan kepada kamu sekalian jika kalian bersyukur dan beriman.” (Q.S. An-Nisaa’: 147)

Nabi Saw. bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya kenikmatan itu memiliki sifat liar seperti liarnya binatang buas. Karena itu ikatlah ia dengan tali syukur.”

Anda juga akan memperoleh tambahan, karena bila syukur merupakan tali nikmat, maka syukur itu akan membuahkan tambahan.

Allah berfirman:

Artinya: “Sungguh jika kalian bersyukur, pasti Aku akan membahkannya untuk kalian.” (Q.S. Ibrahim:7)

Dan firman:

Artinya: “Dan orang-orang yang mengambil petunjuk, pasti Allah menambahkan petunjuk pada mereka.” (Q.S. Muhammad: 17)

Dan firman-Nya pula:

Artinya: “Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, pasti kami benar-benar akan menunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-Ankabuut: 69)

Seorang majikan yang bijaksana apabila melihat hambanya benar-benar memenuhi hak suatu kenikmatan, tentu ia akan memberikan kenikmatan lain kepada hamba tersebut dan menganggapnya sebagai orang yang pantas mendapatkan kenikmatan semacam itu.

Jika hamba itu tidak memenuhi hak-hak kenikmatan, maka Ia pun akan menghentikan kenikmatan tersebut darinya.

Selanjutnya nikmat itu dibagi menjadi dua: Kenikmatan duniawi dan kenikmatan dalam agama.

Kenimatan duniawi dibagi menjadi dua: Nikmat kemanfaatan dan nikmat tertolak (tertahan).

Nikmat kemanfaatan yaitu pemberian berbagai kebaikan dan kemanfaatan.

Nikmat kemanfaatan ini dibagi menjadi dua, yaitu bentuk tubuh yang utuh dan sehat dengan sempurna, dan merasakan kelezatan sesuatu yang disenangi seperti makanan, minuman, Pakaian, pernikahan, dan berbagai manfaatnya.

Kenikmatan tertolak yaitu penolakan berbagai kerusakan dan bahaya dari Anda.

Nikmat tertolak ini juga dibagai menjadi dua.

Yang pertama yaitu penolakan yang terjadi pada jiwa seperti menyelamatkannya dari penyakit merana, dan segala macam penyakit yang bisa menimpanya.

Yang kedua yaitu penolakan terhadap hal yang membahayakan diri Anda seperti berbagai rintangan, dan segala yang berniat buruk kepada Anda seperti manusia, jin, binatang buas, binatang melata, dan sebagainya.

Kenikmatan di bidang agama juga terbagi menjadi dua: Nikmat pertolongan dan nikmat pemeliharaan (penjagaan).

Nikmat pertolongan adalah pertolongan yang diberikan oleh Allah. Mula-mula Anda memeluk agama Islam. Kemudian mengerjakan sunnah dan berbuat taat.

Sedangkan nikmat pemeliharaan yaitu pemeliharaan dari Allah. Mula-mula Dia menjaga Anda dari kekufuran, lalu dari kemusyrikan, dari hal-hal baru yang sesat dan maksiat-maksiat lain.

Rincian semua keterangan ini tidak ada yang bisa menghitungnya selain Tuhan yang Maha Mengetahui, yaitu Dzat yang memberi Anda kenikmatan, sesuai firman Allah:

Artinya: “Jika kamu sekalian ingin menghitung kenikmatan Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” (Q.S. An-Nahi: 18)

Kelangsungan semua kenikmatan ini, setelah sebelumnya Allah menganugerahkannya serta memberikan tambahan dari segala jalan masuknya, merupakan suatu kenikmatan yang tak terhingga dan tidak terjangkau angan-angan Anda. Semuanya bergantung pada satu hal, yani “Syukur dan puji bagi Allah.”

Jika ada perbuatan yang sangat berharga dan mendatangkan berbagai faedah semacam ini, maka sudah seharusnya jika perbuatan itu ditekuni tanpa pernah melupakannya sedikitpun, karena hal itu adalah permata yang amat mahal dan hasil kimia yang amat langka.

Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah dan rahmat-Nya.

A. Makna pujian dan syukur

Jika ada pertanyaan: “Apakah hakekat puji dan syukur, apa artinya, dan bagaimana hukumnya?”

Ketahuilah bahwa para ulama membedakan cara menghasilkan puji dan syukur.

Mereka mengatakan bahwa puji berasal dari bentuk penyucian (tasbih) dan tahlil. Karenanya hal itu termasuk usaha zhahur.

Adapun syukur berasal dari kesabaran dan penyerahan diri. Karenanya hal itu termasuk usaha batin, sebab syukur merupakan perbandingan dari kufur, dan puji perbandingan dari celaan.

Puji mempunyai arti yang lebih umum dan banyak, sedangkan syukur memiliki arti yang lebih sedikit dan tertentu (khusus).

Allah berfirman:

Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)

 

Jadi keduanya memiliki dua arti berbeda.

 

Pujian adalah sanjungan yang diberikan kepada seseorang karena adanya perbuatan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sury kami rahimahullah.

 

Sedangkan tentang syukur, para ulama membahas artinya Secara panjang lebar.

 

Diceritakan dari Abdullah bin Abbas r.a. Beliau berkata: “Syukur adalah ketaatan dengan menggunakan anggota badan kepada Penguasa seluruh makhluk secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.”

 

Seorang guru kami juga berpendapat sama. Beliau berkata: “Syukur adalah menunaikan ketaatan secara lahir dan batin.”

 

Kemudian beliau mengulang kembali dengan mengatakan bahwa syukur adalah menjauhi maksiat secara lahir dan batin.

 

Ulama yang lain berkata: “Syukur adalah memelihara jangan sampai memilih kemaksiatan.” Anda harus memelihara hati, lisan dan anggota badan Anda, jangan sampai sedikitpun bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan salah satu dari ketiganya.

 

Perbedaan antara pendapat ulama ini dengan pendapat sebelumnya adalah: Beliau menjadikan pemeliharaan sebagai arti yang menguatkan, sebagai penguat dari perkataan “ menjauhi maksiat.”

 

Menjauhi maksiat tidak akan terjadi kecuali bila seseorang tidak melakukannya saat ada hal yang menarik (mengajak)nya. Menjauhi maksiat bukanlah sebuah arti yang diperoleh, yang membuat seorang hamba menjadi sibuk karenanya dan memelihara diri dari kekufuran.

 

Guru kami berkata: “Sesungguhnya syukur adalah mengagungkan pemberi nikmat sebgai imbangan kenikmatan yang diberikannya sehingga ia dianggap tidak mengingkari si pemberi nikmat.

 

Jika Anda mengatakan bahwa mengagungkan seseorang yang berbuat baik sebagai imbangan kebaikannya, agar kesyukuran Allah kepada hamba-Nya dianggap benar, maka ungkapan tersebut baik dan di dalam hal ini ada beberapa rincian yang telah kami terangkan di dalam kitab “Ihya Ulumiddiin”. Tapi yang jelas kesyukuran seorang hamba adalah pengagungan yang mencegahnya dari anggapan “Mengingkari Dzat yang memberi kebaikan kepadanya.” Hal ini karena kebaikannya yang berulangulang, kebaikan orang yang bersyukur karena kesyukurannya, dan keburukan orang yang mengingkari nikmat karena pengingkarannya.

 

Menurutku, seorang pemberi nikmat paling tidak mengharuskan kenikmatan yang diberikan tidak digunakan sebagai sarana melakukan kemaksiatan. Alangkah jeleknya seseorang yang menjadikan kenikmatan sebagai senjata untuk mendurhakai pemberinya.

 

Kalau begitu, sehubungan dengan kewajiban syukur yang sebenarnya, seorang hamba harus melakukan pengagungan kepada Allah, yakni sesuatu yang menghalangi antara hamba tersebut dengan kemaksiatannya, sesuai dengan ingatannya kepada nikmat-nikmat Allah.

 

Jika ia melakukan hal semacam ini berarti ia telah melakukan sesuatu yang penting dalam bersyukur. Kemudian mengimbanginya dengan rajin melakukan ketaatan dan sungguhsungguh dalam pelayanannya. Karena hal itu termasuk hak suatu kenikmatan.

 

Jadi, memelihara diri dari kemaksiatan adalah suatu keharusan.

 

Jika Anda bertanya: “Apa saja sasaran syukur itu?”

 

Ketahuilah bahwa sasaran syukur adalah nikmat-nikmat di bidang agama dan nikmat duniawi sesuai dengan ukuran masingnasing.

 

Sedangkan berbagai kesulitan dan musibah di dunia yang menimpa diri, keluarga ataupun harta, masih diperdebatkan, apakah seorang hamba wajib mensyukurinya atau tidak.

 

Seorang ulama berkata: “Seorang hamba tidak wajib bersyukur karenanya, tapi ia wajib bersabar menghadapinya.”

 

Syukur dilakukan karena adanya nikmat, bukan karena hal lain.

 

Para ulama berkata: “Setiap kesulitan pasti didampingi oleh nikmat-nikmat Allah. Karena adanya nikmat yang mengiringi Itulah seorang hamba harus bersyukur, bukan karena kesulitan Itu Sendiri.

 

Kenikmatan tersebut adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Umar: “Aku tidak pernah diuji dengan suatu bencana kecuali di dalamnya Allah memberikan empat macam kenikmatan:

 

  1. Bencana itu tidak menimpa agamaku.
  2. Bencana itu bukan yang lebih besar.
  3. Aku tidak terhalang untuk merelakan bencana tersebut.

4 Aku bisa mengharapkan pahala (dengan bersabar) menerimanya.

 

Dikatakan pula bahwa nikmat yang ada dalam bencana di antaranya adalah:

 

– Bencana itu akan hilang karena tidak selamanya menimpa seseorang.

– Bencana tersebut berasal dari Allah, bukan yang lain. Danjika bencana itu diberikan lewat seorang makhluk, maka bencana tersebut bermanfaat bagimu dan berbahaya baginya, bukan membahayakan dirimu dan bermanfaat baginya.

Dengan begitu seorang hamba harus bersyukur atas kenikmatan yang datang bersama dengan suatu bencana.

Ulama yang lain berpendapat bahwa kesulitan dunia termasuk hal yang harus disyukuri oleh seorang hamba, karena pada hakekatna kesulitan itu adalah kenikmatan. Buktinya hal itu dihadapkan pada seorang hamba agar ia mendapatkan berbagai manfaat yang besar, pahala yang banyak, dan imbalan yang mulia di kemudian hari, sesuatu yang tidak sebanding dengan kepayahan orang yang mengalami kesulitan ini. Manakah. kenikmatan yang lebih besar dari semua ini?

Pendapat inilah yang lebih utama menurut guru kami, Abu Bakr Al-Warraaq.

Contoh dari keterangan diatas adalah: Ada seseorang meminumkan jamu yang menyebalkan serta pahit untuk mengobati penyakit keras, atau mencandhuk (membekam) Anda karena suatu penyakit gawat yang sangat mengkhawatirkan. Semua itu membuat badan sehat dan kehidupan Anda juga bersih.

Jadi, kepedihan yang ia berikan kepada Anda dengan kepahitan obatatau goresan candhuk pada hakekatnya adalah kenikmatan yang sempurna, anugerah yang terlihat jelas meskipun bentuknya menyebalkan, ditakuti oleh watak manusia, dan dibenci oleh fiafsu. Karena itu Anda memuji orang yang melakukannya, atau bahkan memberinya berbagai macam kebaikan sesuai dengan kemampuan yang Anda miliki.

Seperti itulah arti bermacam bencana.

Tidakkah Anda melihat bagaimana Nabi Saw. memuji kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya atas berbagai kesulitan sama dengan pujian beliau atas berbagai kesenangan dengan berkata: “Segala puji bagi Allah atas hal yang buruk dan hal yang menyenangkan.”

Tidakkah Anda melihat bahwa Allah berfirman:

Artinya: “Siapa tahu kalian membenci sesuatu sementara Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’: 19)

Apa yang disebut oleh Allah dengan “Kebaikan” tentu lebih banyak dari apa yang dijangkau oleh angan-anganmu.

Di antara hal yang menguatkan pendapat ini adalah: Kenikmatan bukanlah suatu kebaikan yang berasal dari kelezatan dan hal yang disenangi nafsu karena cocok dengan wataknya, Tapi nikmat adalah sesuatu yang menambah ketinggian derajat. ena itu ia dinamakan nikmat dalam arti “tambahan”.

Jika suatu kesulitan termasuk penyebab bertambahnya kemuliaan seorang hamba dan ketinggian derajatnya, maka pada hakekatnya kesulitan tersebut adalah nikmat meskipun di sisi luar boleh dikatakan sebagai kesulitan dan ujian.

Jika Anda berkata: “Siapa yang lebih utama, orang yang “Syukur ataukah orang yang bersabar?”

Ketahuilah! Ada yang mengatakan bahwa orang yang bersyukur itu lebih utama, dengan mengambil dasar firman Allah:

Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)

 

Allah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang paling istimewa.

 

Dalam memuji Nabi Nuh a.s. Allah berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba ynag banyak bersyukur.” (Q.S. Al-Israa’: 3)

 

Mengenai Nabi Ibrahim Dia berfirman:

 

Artinya: “(Ibrahim adalah) orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya.” (Q.S. An-Nahl: 121)

 

Karena sesungguhnya syukur itu menempati kedudukan berbagai kenikmatan dan kesejahteraan, maka ada ulama yang berkata: “Sungguhjika aku diberi kenikmatan lalu bersyukur maka halitu lebih kusenangi ketimbang aku diuji dan bersabar karenanya.”

 

Ada yang mengatakan bahwa orang yang bersabar adalah lebih utama, sebab sabar itu lebih besar tingkat kesulitannya, jadi lebih besar pahalanya dan lebih tinggi kedudukannya.”

 

Allah berfirman:

 

Artinya: “Kami menemukan Ayyub sebagai seorang penyabar. Dan sebaik-baik hamba adalah Ayyub.” (Q.S. Shaad: 44)

 

Allah juga berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar dipenuhi pahala mereka tanpa hisab (perhitungan).” (Q.S. Az-Zumar: 10)

 

Firman Allah:

 

Artinya: “Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Ali-Imran: 146)

 

Bagiku, pada hakekatnya orang yang bersyukur tak lain adalah orang yang bersabar. Dan orang yang bersabar pada hakekatnya adalah orang yang bersyukur. Sebab orang yang bersyukur di tempat penuh ujian ini tentu tidak pernah lepas dari ujian yang mau tidak mau harus dijalani dengan sabar dan tidak merasa jemu.

 

Karena sesungguhnya syukur adalah mengagungkan sang pemberi tikmat dalam batas tidak mendurhakainya. Sedangkan rasa bosan termasuk suatu kemaksiatan.

Orang yang bersabar tidak lepas dari kenikmatan. Seperti pernah kami terangkan di depan bahwa pada hakekatnya kesulitan adalah nikmat. Dengan begitu jika ia bersabar, maka pada hakekatnya dia bersyukur, karena dia menahan dirinya dari tasa bosan demi mengagungkan Allah. Hal ini dianggap syukur karena menahan diri dari rasa bosan adalah pengagungan yang mencegah perbuatan maksiat. Di samping itu, orang yang bersyukur tentu mencegah dirinya dari pengingkaran (kekufuran). Lalu dia menahan diri dari maksiat dan mengajak nafsunya agar mau bersyukur dan bersabar menjalankan ketaatan. Jadi, pada hakekatnya ia orang yang bersabar.

Orang yang bersabar akan mengagungkan Allah sampai | pengagungan tersebut mencegahnya dari rasa bosan menghadapi apa yang menimpa dirinya , mampu membawa dirinya kepada rasa sabar, dan dia benar-benar bersyukur kepada Allah. Jadi, pada hakekatnya ia orang yang bersyukur. Sebab ia menahan diri dari pengingkaran (nikmat), semantara nafsu sangat menginginkannya. Dan halitu hanya bisa ditahan oleh orang yang bersyukur.

Tertolongnya orang yang bersabar dan terpeliharanya dari kekufuran adalah suatu kenikmatan yang disyukuri oleh seorang penyabar. Karena itu, salah satu dari keduanya tidak bisa lepas dari yang lain, sebab mata hati yang mendorongnya hanya satu, yakni kewaspadan istiqamah-Ini menurut pendapat salah seorang ulama kita.

Dari sisi inilah aku bisa mengatakan kalau keduanya tidak bisa lepas satu sama lain. Perhatikanlah keterangan ini.

B. Nilai sebuah pemberian

Hendaknya Anda mengerahkan seluruh kemampuan untuk melewati tahapan yang biayanya murah tapi banyak memberikan faedah, berunsur tinggi dan berkedudukan agung ini.

Perhatikan dua hal pokok berikut ini:

Pertama, kenikmatan hanya diberikan kepada orang yang mengetahui kedudukannya (nilainya). Sedangkan orang yang mengetahui kedudukan nikmat adalah orang yang bersyukur.

Pijakan keterangan yang kusampaikan ini adalah firman Allah yang menceritakan orang-orang kafir dan menolak pendapat mereka, yaitu:

Artinya: “Apakah orang-orang miskin itu diberi kenikmatan oleh Allah dari kami. Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur?.” (Q.S. Al-An’aam: 53)

Orang-orang bodoh itu mengira bahwa kenikmatan yang besar dan anugerah yang mulia itu diberikan kepada orang-orang yang hartanya paling banyak, paling berkedudukan serta berketurunan paling mulia. Lalu mereka berkata: “Menurut kalian, apa perlunya orang-orang miskin bersama pemimpin para hamba dan orang merdeka itu diberi kenikmatan besar seperti ini?

Mereka berkata dengan nada sombong dan menghina: “Apakah orang-orang miskin itu diberi kenikmatan oleh Allah dari kami?”

Kemudian Allah menjawabnya dengan halus dan bercahaya:

Artinya: “Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur?” (Q.S. Al-An’aam: 53)

Penjelasan pembicaraan di atas adalah: Seorang majikan yang mulia hanya akan memberikan kenikmatannya kepada orang yang mengerti kedudukan nikmat tersebut. Sedangkan orang yang mengerti kedudukan nikmat adalah orang yang menerima kenikmatan tersebut dengan diri dan hatinya. Ia memilih kenikmatan tersebut dan meninggalkan yang lainnya. Ia tidak mempedulikan beban yang harus ditanggungnya seperti ongkos yang harus dikeluarkan untuk mendapatkannya. Ia tidak bergeser dari pintu untuk memenuhi kesyukuran nikmat tersebut.

Menurut Ilmu-Ku yang terdahulu (gadiim), orang-orang lemah itu lebih mengetahui kedudukan nikmat ini. Tiada hentinya mereka mensyukuri. Dan mereka lebih pantas menerima kenikmatan ini daripada kalian. Kekayaan, jabatan, kemarahan dan keturunan (keningratan) kalian tidak diperhitungkan. Kalian menganggap bahwa kenikmatan hanyalah di dunia dan hal-hal yang tak berguna di dalamnya. Juga ketinggian dan kemuliaan keturunan, bukan agama, ilmu, kebenaran, dan pengetahuan tentang kebenaran. Kalian menganggap semua itu sebagai keagungan dan merasa bangga dengannya.

 

Tidak-tahukah kamu bahwa hampir saja kamu tidak bisa menerima agama, pengetahuan dan kebenaran ini tanpa adanya anugerah yang melekat pada diri orang yang datang membawakannya untukmu. Semua itu karena penghinaan kalian dan mernimnya kepedulian kalian kepadanya. Dan sesungguhnya orang-orang lemah itu rela membunuh diri mereka sendiri untuk mendapatkan semua itu. Mereka menyerahkanjiwa raga dan tidak mempedulikan apa yang hilang dari mereka, dan dengan siapa berhadapan. Agar kamu tahu saja bahwa mereka adalah orangorang yang mengerti kedudukan nikmat semacam ini. Dalam hati mereka tertanam kuat pengagungan nikmat tersebut, menganggap ringan kehilangan segala sesuatu demi mendapatkannya. Dengan senang mereka menahan beban kepayahan di dalamnya dan menghabiskan seluruh umur untuk mensyukurinya.

 

Karena itu semua, menurut pengetahuan Kami yang terdahulu, mereka berhak mendapatkan anugerah yang mulia serta kenikmatan yang agung ini. Dan Kami mengistimewakan mereka, bukan kalian. Camkan baik-baik keterangan ini.

 

Bagiku (Al-Ghazali), begitulah sekelompok orang yang diisttmewakan Allah dengan satu kenikmatan di antara nikmatnikmat agama berupa ilmu atau amal. Dan sesungguhnya Anda akan menemukan bahwa mereka sebenarnya adalah manusia yang paling mengerti kedudukan nikmat tersebut, lebih besar pengagungan terhadapnya, lebih bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, lebih besar penghormatannya, dan lebih rutin mensyukurinya.

 

Adapun orang-orang yang dihalangi oleh Allah untuk mendapatkan hal itu adalah karena minimnya perhatian mereka dan pengagungan hak atas nikmat tersebut di samping karena takdir Allah yang telah terdahulu.

 

Seandainya pengagungan ilmu dan ibadah yang ada di hati orang-orang awam dan para pedagang pasar sama dengan yang ada di hati para ulama dan ahli-ahli ibadah, tentu mereka tidak memilih pasar mereka dan mengalahkan pengagungan nikmat serta merasa ringan meninggalkan pasar.

 

Tidakkah Anda tahu kalau seorang ulama fikih menemukan mecahan suatu masalah yang dulunya belum jelas. Betapa girang hatinya, betapa besar kebahagiaannya, betapa besar pengaruhnya di dalam hati. Sehingga jika seandainya dia menemukan uang seribu dinar pasti hal itu tidak bisa mengimbangi kebahagiaan tersebut. Kadang-kadang ia merasa prihatin memikirkan suatu masalah di bidang agama. Kemudian ja memikirkannya selama satu tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau bahkan lebih. Mereka tidak menganggap itu sebagai waktu yang lama serta tidak merasa jemu sampai akhirnya Allah memberinya pemahaman tentang masalah itu. Ia menganggap pemahaman tersebut sebagai anugerah terbesar dan kenikmatan yang paling agung. Dengan hal itu ia merasa dirinya paling kaya dan paling mulia. Bahkan kadang-kadang hal ini juga tampak pada seorang pedagang pasar atau seorang murid yang malas, yang menyangka dirinya telah menyamai ulama fikih dalam kecintaannya terhadap ilmu. Ia tidak mau mendengar hak-hak seorang ulama fikih.

 

Kadang-kadang jika pembicaraan masalah itu terlalu panjang ia merasa bosan atau tertidur. Jika masalah itu telah menjadi jelas, ia tidak menganggapnya sebagai hal besar.

 

Demikian juga orang yang kembali kepada Allah. Berapa lama ia bersungguh-sungguh dan rajin melatih dirinya, memelihara nafsunya dari keinginan-keinginan serta kelezatan, mengekang anggota tubuhnya dalam gerak dan diam, berharap suatu saat nanti Allah menyempurnakan dua rakaat yang memiliki adab dan kesucian untuknya.

 

Berulangkali ia merendahkan diri kepada Allah, berharap agar Dia memberinya waktu sesaat untuk bermunajat dengan hati yang bersih dan merasakan manis. Sungguh jika ia mendapatkan hal itu sekali dalam sebulan, sekali dalam setahun, atau bahkan sekali dalam seumur hidup, maka ia menganggapnya sebagai karunia yang terbesar dan kenikmatan yang paling agung. Betapa ia merasa bahagia, betapa bersyukurnya kepada Allah. Ia tidak mempedulikan kepayahan yang dialaminya di malam hari serta berbagai kelezatan dalam menghasilkannya.

 

Kami juga pernah melihat orang yang menganggap dirinya menyukai ibadah dan ingin memperoleh bagian darinya. Jika salah satu di antara mereka membutuhkan pengurangan sesuap makanan sore atau meninggalkan ucapan yang tak berguna, atau mencegah mata mereka dari tidur dalam waktu sesaat, tentu nafsu mereka tidak akan merasa lega dengan semua itu. Hati mereka tidak akan nyaman. Dan jika kebetulan mereka berhasil mendapatkan ibadah yang bersih, meski hal ini jarang terjadi, mereka tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang besar. Dan ia tidak mau mempersembahkan banyak syukur.

 

Orang-orang seperti ini akan besar kebahagiaannya dan secara lahir banyak memuji jika mereka berhasil mendapatkan yang satu dirham, mengumpulkan sesuatu yang bercerai-berai, memiliki lauk yang enak, atau tidur panjang dengan nyaman. Saat itulah mereka akan mengucapkan “Segala puji bagi Allah”. Semua ini berasal dari karunia Allah.

 

Bagaimana mungkin orang-orang yang lupa dan tidak mampu itu menyamai orang-orang yang beruntung, yang tekun dan bersungguh-sungguh. Karena itulah orang-orang miskin itu terhalang dari kebaikan dan orang-orang yang tertolong berhasil mendapatkan kebaikan ini serta beruntung karenanya. Dan seperti itu pula pembagian perkara yang dilakukan oleh Dzat yang Maha Bijaksanan. Dan Dia-lah Dzat yang lebih mengetahui alam seisinya. Inilah rincian firman Allah

 

Artinya: “Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al-An’aam: 53)

 

Ketahuilah bahwa Anda sama sekali tidak akan terhalang dari kebaikan yang Anda idamkan kecuali halangan tersebut berasal dari diri Anda sendiri. Kerahkan semua kemampuan agar Anda mengetahui kedudukan nikmat Allah dan mengagungkannya dengan benar, niscaya Anda akan menjadi orang yang pantas mendapatkannya. Lalu Allah menganugerahkan nikmat yang kekal sebagaimana Dia memulai nikmat tersebut bagi Anda sesuai dengan apa yang pernah kami terangkan pada pokok kedua.

 

Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

 

Kedua, nikmat itu hanya akan dicabut dari orang yang tidak mengetahui kedudukannya. Adapun orang yang tidak mengetahui kedudukannya adalah orang-orang yang banyak mengingkari, yaitu orang yang mengingkari nikmat tersebut dan tidak mensyukurinya.

 

Dalil keterangan ini adalah firman Allah:

 

Artinya: “Dan bacakanlah kepada mereka (orang-orang Yahudi), kisah orang yang Aku beri ayat-ayat-Ku, lalu keluar dari nikmat itu dan diikuti oleh setan yang akhirnyu menjadi orang-orang yang sesat. Seandainya Aku menghendaki pasti Aku bisa meluhurkan derajatnya dengan ayat tersebut.” (Q.S. Al-A’raaf: 175-176)

 

Uraian ayat di atas adalah sebagai berikut:

 

Akulah yang memberi kenikmatan kepada hamba ini dengan nikmat-nikmat besar dan pertolongan yang agung dalam bidang agama dengan memberi mereka kesempatan memperoleh derajat yang luhur dan kedudukan yang tnggi di sisi-Ku, agar di hadapan-Ku ia berkedudukan tinggi dan berpangkat mulia. Tapi ia tidak mengetahui kedudukan nikmat-Ku dan cenderung pada dunia yang hina dan remeh, memilih kesenangan nafsunya yang rendah, Yan tidak mengetahui bahwa seluruh dunia ini di hadapan Allah tidak sebanding dengan kenikmatan terendah di bidang agama. Kenikmatan tersebut bagi-Nya tidak sebanding dengan sayap seekor nyamuk.

 

Dalam hal ini orang itu bagaikan anjing yang tak bisa membedakan antara kemuliaan serta rasa nyaman dengan terhina dan kepayahan. antara ketinggian derajat dengan kehinaan. Ia akan menjulurkan lidah untuk keduanya.

 

Baginya kenikmatan yang sempurna terletak pada secuil makanan yang disantapnya, sekerat daging yang dilempar ke arahnya. Baginya sama saja. Kau dudukkan di atas singgasana bersamamu, atau kau suruh berdiri di atas tanah kotor di hadapanmu. Keinginan, kemuliaan, dan kenikmatannya hanya terletak pada apa yang kusebut di atas.

 

Begitulah perumpamaan hama yang buruk. Dengan begitu ia tidak mengetahui kedudukan nikmat-Ku, tidak mengetahui hak kemuliaan yang Kuberikan. Mata hatinya tak dapat melihat dan tidak sopan di hadapan-Ku dengan cara menoleh kepada selain Aku, melupakan nikmat-Ku karena sibuk dengan dunia yang hina dan kelezatan yang hina. Kemudian Aku memandangnya dengan penuh siasat, menghadirkannya di hamparan keadilan-Ku dan Kuperintahkan agar ia diberi hukuman Dzat yang Maha Kuasa.

 

Lalu Kami cabut semua pakaian kebesaran dan kemuliaan Kami. Kami hapus kemakrifatan dari hatinya. Ia pun telanjang dari semua anugerah yang kuberikan padanya. Jadilah ia seekor anjing yang terusir atau setan yang dirajam karena durhaka.

 

Semoga Allah melindungi kita dari kemurkaan dan kepedihan siksa-Nya. Sesungguhnya Dia amat pengasih dan penyayang kepada kita.

 

Kemudian puaslah Anda dengan melihat contoh seorang raja yang memuliakan hambanya, memakaikan sendiri pakaian khusus untuknya, mendekatkan hamba tersebut ke sisinya, menjadikannya lebih tinggi di atas para pelayan dan penjaga pintunya, serta menyuruh hamba tersebut agar tetap berada di hadapannya. Raja tersebut telah memerintahkan agar hamba tadi dibuatkan istana di tempat lain. Singgasananya dibuat tinggi, disediakan berbagai hidangan, diberi pelayan-pelayan wanita cantik dan pelayan-pelayan muda.

 

Bila hamba tersebut kembali dari melayani sang raja, maka ia ditempatkan di sebuah kerajaan, dilayani dan dimuliakan.

 

Jarak antara pengabdian (pelayanannya) dengan istana tersebut hanya satu jam atau malah kurang.

 

Jika hamba tersebut, di depan pintu rumah sang raja melihat seorang perawat kuda sedang makan roti, atau melihat seekor anjing yang menggigit tulang, kemudian hamba tersebut sibuk melihatnya sehingga lupa dengan pelayanan untuk raja. Ia juga tidak melihat pakaian kebesaran dan kemuliaan yang disandangnya. Hamba itu berlari dan meminta sepotong roti – kepada perawat kuda, atau berebut tulang dengan anjing serta menganggap roti atau tulang tersebut sebagai hal besar. Bukankah jika sang raja melihat semua yang dilakukan hamba tersebutakan berkata: “Bodoh benar orang ini, betapa rendah keinginannya, tidak mengetahui betapa tingginya kemuliaanku, tidak melihat betapa besar kemuliaan yang kuberikan kepadanya berupa pakaian-pakaian kebesaran, memuliakannya di sisiku, serta apa yang kulakukan terhadapnya seperti pertolongan dan berbagai simpanan serta anugerah yang kuperintahkan untuknya. Orang Seperti ini tak lain adalah orang yang bercita-cita rendah, teramat bodoh dan tidak bisa membedakan. Lucuti pakaiannya dan lemparkan ia dari hadapanku!”

 

Seperti inilah keadaan orang alim jika ia cenderung melihat dunia, dan keadaan seorang ahli ibadah yang mengikuti hawa hafsunya setelah ia dimuliakan oleh Allah dengan beribadah kepada-Nya, mengetahui pertolongan yang diberikan-Nya, dan mengetahui syariat beserta hukum-hukum-Nya.

 

Kemudian ia tidak mengetahui kedudukan semua itu, maka ladialah ia orang yang paling hina di hadapan Allah. Ia mencintai dunia, rakus untuk mendapatkannya. Dunia itu menjadi sesuatu yang agung dalam hatinya, lebih ia cintai ketimbang nikmat-nikmat mulia yang diberikan kepadanya seperti ilmu, ibadah, hikmah, dan bermacam kebenaran.

 

Demikian juga keadaan orang yang diberi keistimewaan oleh Allah dengan berbagai macam petunjuk, pemeliharaan, dan dihiasi-Nya dengan cahaya-cahaya pelayanan dan ibadah kepadaNya, selalu diperhatikan oleh-Nya dengan pandangan rahmat, dalam banyak kesempatan, dibanggakan di kalangan para malaikat-Nya, diberikan kepemimpinan di hadapan-Nya, ditempatkan pada tempat syafaat dan didudukkan oleh-Nya pada kedudukan tinggi. Sampai-sampai jika orang itu memanggil pasti Dia akan menjawab dan mengiyakannya. Jika meminta kepadaNya pasti diberi. Jika mensyafaati orang lain tentu ia diberi syafaat untuk mereka dan Dia meridainya. Jika bersumpah atas namaNya tentu dikabulkan (dipenuhi). Jika di hatinya terbersit sebuah keinginan, Dia akan memberikannya sebelum ia meminta dengan mulutnya.

 

Barangsiapa keadaannya seperti ini, kemudian tidak mengerti kedudukan derajat tinggi lalu berpindah menuruti keinginan nafsu yang rendah dan tidak punya rasa malu, atau menjilati dunia yang hina dan tiada kekal, tidak melihat kemuliaan-kemuliaan, pakaian kebesaran, hadiah-hadiah, anugerah-anugerah, pemberian, pahala besar yang dipersiapkan untuknya di akhirat, dan kenikmatan yang sempurna untuk selamanya. Betapa hinanya keadaan diri yang seperti ini, betapa buruknya hamba tersebut, alangkah mengkhawatirkan andai dia tahu dan alangkah keji yang dilakukannya jika ia memahami.

 

Kami memohon kepada Allah, Dzat yang Maha Berbuat baik dan Maha Pengasih. Semoga Dia berkenan memperbagus kami dengan anugerah-Nya yang merata dan rahmat-Nya yang luas. Sesungguhnya Dia lebih pengasih di antara para pengasih.

 

Jadi, sebaiknya Anda mengerahkan seluruh kemampuan sehingga bisa mengetahui kedudukan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada Anda.

 

Jika Dia memberikan kenikmatan agama, maka berhatihatilah. Jangan menoleh pada dunia dan hal-hal tak berguna di dalamnya. Sebab perbuatan semacam itu hanya menjadi sebuah penghinaan atas anugerah yang dikuasakan oleh Allah kepada Anda berupa kenikmatan-kenikmatan dalam agama. Tidakkah Anda mendengar firman Allah yang ditujukan kepada pemimpin para rasul sebagai berikut:

 

Artinya: “Dan benar-benar telah Aku turunkan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang (Al-Faatihah) dan Al-Qur’an Al-‘Azhim. Janganlah memanjangkan pandangan matamu pada berbagai kesenangan yang kuberikan kepada orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Hjjr: 87-88)

 

Uraian ayat ini sebagai berikut:

 

Setiap orang yang diberi Al-Qur’an Al Azhim tidak boleh memandang dunia yang hina ini dengan menganggapnya manis, bagus, apalagi mencintainya. Hendaklah ia meneruskan kesyukurannya kepada Allah atas nikmat (diberi Al-Qur’an) tersebut. Nikmat itulah kemuliaan yang sangat diinginkan oleh kekasih-Nya, Ibrahim a.s. agar dianugerahkan kepada ayah beliau tapi tidak dikerjakan (oleh Allah).

 

Hal itu juga diinginkan oleh kekasih-Nya Muhammad Saw. agar dianugerahkan kepada paman beliau (Abu Thalib) tapi hal itu tidak dikerjakan (oleh Allah).

 

Adapun harta dunia yang berguna adalah sesuatu yang Ditimpakan kepada orang-orang kafir, Fir’aun, orang yang menyeleweng, kafir zindig, orang bodoh dan orang fasik. Mereka Adalah makhluk Allah yang paling hina di hadapan-Nya, sehingga la tenggelam di dalamnya. Dunia itu menjauhkannya dari Nabi, orang terpilih Shaadiq, para alim dan abid, yaitu makhluk yang paling mulia di hadapan Alah. Sampai sampai mereka nyaris tidak pernah mendapatkan sepotong roti atau secarik kain. Allah memberi mereka anugerah dengan tidak mengotori mereka.

 

Bahkan Allah berfirman kepada Musa dan Harun a.s.: “Seandainya aku ingin menghias kalian berdua dengan perhiasan, yang jika Firaun melihatnya dia akan tahu bahwa kekuasaannya tidak mampu mendatangkan perhiasan semacam itu, tentu Aku dapat melakukannya. Tapi Aku melarangnya untuk kalian berdua dan membuat kalian membencinya. Begitulah Aku memperlakukan orang-orang yang Ku-kasihi.

 

Sungguh Aku mencegah mereka dari nikmat dunia, seperti penggembala yang penuh kasih mencegah ontanya dari tempattempat kudis berkembang biak. Aku menjauhkan mereka dari ketenangan dan kehidupan (gerak hidup) dunia, bukan karena kehinaan mereka di sisi-Ku, tapi agar mereka dapat menyempurnakan kemuliaan-Ku yang menjadi bagian mereka.”

 

Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan seandainya seluruh manusia bukanlah umat yang satu, niscaya Kami akan membuatkan rumah yang beratap perak untuk orang-orang yang kufur kepada Dzat yang Maha Pengasih.” (Q.S. Az-Zukhruf: 33)

 

Lihatlah perbedaan dua hal tersebut jika Anda memang orang yang waspada. Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi anugerah pada kami seperti anugerah yang diberikan kepada para kekasih dan orang-orang pilihan-Nya, memalingkan fitnah musuh-musuh-Nya dari kami, agar kami memperoleh bagian.” Dan hendaklah kamu mengkhususkan diri dengan syukur yang sempurna, pujian terbesar atas anugerah yang besar dan kenikmatan yang agung, yakni agama Islam, karena nikmat islam itulah yang lebih utama dan lebih pantas, dengan cara tidak henti-hentinya mensyukuri nikmat tersebut siang dan malam. Jika Anda tidak mampu mengetahui kedudukannya, maka ketahuilah dengan kenyataan yang ada, yaitu seandainya Anda diciptakan sejak permulaan dunia, lalu Anda mensyukuri nikmat Islam dari awal hidup sampai akhir hayat, tentu Anda belum bisa memenuhi syukur tersebut dan Anda belum bisa memenuhi sebagian hak Allah karena di sana terdapat keutamaan dan keagungan.

 

Ketahuilah bahwa kitab ini tidak bisa menampung penjelasan dari apa yang telah kuketahui tentang kenikmatan. Dan seandainya aku menulis sejuta halaman tentang hal itu tentu pengetahuanku masih lebih tinggi di atasnya. Sementara aku juga tahu bahwa apa yang telah kuketahui bila dibandingakan dengan hal-hal yang tidak kuketahui bagaikan sekali ludahan yang dibandingkan dengan lautan dunia dengan berbagai rahasia yang ada di dalamnya.

 

Adakah Anda tidak mendengar firman Allah kepada pemimpin para utusan, Muhammad Saw. berikut ini:

 

Artinya: “Hai Muhammad! Engkau tidak tahu apa itu kitab dan apa itu iman.” (Q.S. Asy-Syuuraa: 52)

 

Sampai dengan firman Allah:

 

Artinya: “Dan Allah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan anugerah Allah kepadamu sangat besar.” (O.S. An-Nisaa’: 113)

 

Allah berfirman pada suatu kaum:

 

Artinya: “Sebaliknya Allah memberikan anugeruh kepada kalun setelah Allah memberi petunjuk untuk beriman.” (Q S. Al-Hujuraat: 17)

 

Apakah Anda tidak mendengar sabda Rasulullah Saw. setelah beliau mendengar seorang lelaki mengucapkan “Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau telah memuji Allah atas nikmat yang besar.”

 

Ketika datang pemberi kabar gembira kepada Nabi Ya gub a.s. beliau berkata: “Apakah agama yang dipeluk (Yusuf) saat kamu meninggalkannya?” Pembawa kabar itu menjawab: “Dia memeluk agama Islam.” Nabi Ya’gub berkata: “Sekarang sempurnalah nikmat Allah (untukku).”

 

Ada yang mengatakan: “Tidak ada satu kalimat yang lebih dicintai oleh Allah dan lebih sempurna di hadapan-Nya dalam masalah syukur selain ucapan seorang hamba “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kenikmatan kepada kami, dan menunjukkan kami kepada agama Islam.”

 

Berhati-hatilah! Jangan lupa mensyukuri nikmat Islam dan tertipu dengan apa yang sedang Anda peluk saat ini seperti Islam, makrifat, taufik dan pemeliharaan. Karena dengan semua itu tidak ada tempat untuk merasa aman dan lengah, karena setiap sesuatu memiliki akibat.

 

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Tak seorangpun merasa aman di atas agamanya selain agama itu akan dicabut darinya.”

 

Guruku mengatakan: “Jika Anda mendengar keadaan orang-orang kafir dan keabadian mereka di dalam neraka maka Anda tidak akan merasa tenteram memikirkan diri Anda, karena segala sesuatunya sangat mengkhawatirkan, dan Anda tidak tahu akibat apa yang akan diperoleh dan apa yang telah ditetapkan oleh Allah di alam gaib. Janganlah Anda tertipu dengan kebersihan waktu, karena dibawahnya terdapat penyakit-penyakit yang tidak terlihat.”

 

Seorang ulama berkata: “Wahai orang-orang yang tertipu dengan pemeliharaan Allah! Ingatlah bahwa di bawah meliharaan tersebut terdapat berbagai siksa. Allah menghiasi iblis dengan berbagai macam pemeliharaan, sedang di hadapanNyaia benar-benar dilaknati. Allah menghiasi Bal am bin Ba’uraa dengan cahaya-cahaya kewalian, tapi sebenarnya dia adalah musuh Allah.”

 

Diceritakan dari sahabat Ali. Beliau berkata: “Berapa banyak orang yang terpedaya dengan diberi kebaikan. Banyak orang yang terfitnah dengan ucapannya yang baik. Dan banyak orang yang tertipu dengan menutupi keburukannya.”

 

Ditanyakan kepada Dzun-Nuun Al-Mislri: “Cobaan apa yang digunakan untuk memperdaya seorang hamba?” Beliau menjawab: “ Dengan belas kasih dan kemuliaan.”

 

Itulah sebabnya Allah berfirman:

 

Artinya: “Aku akan memperdayakan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Ku dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Q.S. Al-A’raaf: 182)

 

Seorang ‘Arif berkata: “Kami melimpahkan nikmat atas mereka dan kami membuat mereka lalai dari bersyukur.”

 

Seorang penyair berkata:

 

Engkau berprasangka baik pada hari-harimu karena ia berbuat baik,

tapi kamu tidak mengkhawatirkan keburukan takdir yang akan datang kepadanya.

Kamu diselamatkan oleh malam-malam dan kamu tertipu dengannya.

Dan saat malam-malammu jernih akan muncul kekeruhan.

 

Ketahuilah bahwa saat engkau lebih dekat dengan Allah, maka urusanmu lebih mengkhawatirkan dan lebih sulit. Berhubungan dengan-Nya lebih berat dan lembut. Kekhawatiranmu bertambah besar karena setiap perkara yang lebih tinggi bila terbalik maka lebih sulit kejadiannya.

 

Burung tidak akan terbang dan meninggi kecuali sama seperti ia terbang dan terjatuh.” Jadi, tidak ada jalan untuk merasa aman, melupakan syukur, dan meninggalkan sikap rendah diri dalam hal memelihara, apapun keadaannya.

 

Ibrahim bin Adham mengatakan: “Mungkinkah Anda merasa aman, sementara Nabi Ibrahim Al-khalil mengatakan (dalam firman Allah):

 

Artinya: “Dan jauhkanlah diri dan anakku dari menyembah berhala.” (Q.S. Ibrahim: 35)

 

Yusuf Ash-Shaadiq mengatakan: “Ya Allah! Semoga Engkau mengambil nyawaku dalam keadaan Islam.”

 

Sufyan Ats-Tsauri tiada hentinya berdoa sebagai berikut: “Ya Allah! Selamatkanlah aku. Selamatkanlah aku.” Seolah beliau berada di atas perahu dan takut tenggelam.

 

Sampai pula kepada kami cerita tentang Muhammad bin Yusuf rahimahullah. Beliau berkata: “Suatu malam aku merenungkan Sufyan Ats-Tsauri. Beliau menangis sepanjang malam. Aku pun bertanya kepada beliau: ‘ Apakah tangis Anda ini karena dosa? Muhammad mengatakan bahwa beliau kemudian mengambil batu bata dan berkata: ‘Bagi Allah, dosadosa itu lebih ringan dari (batu bata) ini. Tapi yang kutakutkan adalah kalau sampai Allah mencabut Islam dariku.”

 

Aku juga pernah mendengar seorang seorang “Arif mengatakan: “Salah seorang Nabi bertanya tentang Bal am bin Ba uraa dan pengusirannya setelah ia memperoleh berbgagai tanda dan kemuliaan (keramat). Maka Allah berfirman: “Suatu hari ia tidak mau bersyukur kepada-Ku atas nikmat yang Kuberikan kepadanya. Seandainya ia mensyukuri nikmat tersebut sekali saja tentu Aku tidak mencabut nikmat tersebut.”

 

Oleh karenanya, sadarlah! Peliharalah tang-tiang syukur dengan sungguh-sungguh. Memujilah kepada Allah atas nikmatrikmat-Nya di bidang agama. Nikmat yang paling tinggi adalah Islam dan makrifat, dan yang terendah adalah kenikmatan yang serupa dengan taufik (pertolongan), tasbih, atau terpelihara dari ucapan yang tak berguna. Siapa tahu Allah menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya kepada Anda dan tidak menguji Anda dengan pahitnya kehilangan nikmat. Sebab sesuatu yang paling pahit dan berat adalah terhina sesudah dimuliakan, terusir setelah didekatkan dan berpisah setelah bertemu.

 

Hanya Allah yang Maha Agung, penuh belas kasih dan Maha Penyayang.

 

Kesimpulannya, jika Anda mau merenungkan dengan baik Anugerah-anugerah besar yang diberikan oleh Allah kepada Anda, pertolongan yang mulia dan tidak bisa dihitung oleh hati, tidak terjangkau angan-angan, sampai akhirnya berhasil melewati tahapan-tahapan berat, berhasil menemukan pengetahuan dan terbukanya mata hati. Anda juga terbebas dari dosa-dosa kecil Yan dosa-dosa besar, bisa mengatasi rintangan dan godaan yang datang kemudian, menemukan pendorong-pendorang untuk melakukan ibadah dan selamat dari hal-hal yang menjadikan cacat.

 

Berapa banyak pekerti mulia yang berhasil Anda perbuat. Berapa banyak derajat tinggi dan megah yang berhasil Anda peroleh. Pertama kali yang Anda dapatkan adalah kewaspadaan dan makrifat kepada Allah. Sedangkan puncaknya adalah kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.

 

Kemudian Anda merenungkannya sesuai kapasitas akal dan taufik yang Anda miliki. Anda juga bersyukur kepada Allah semampunya dengan cara menyibukkan lisan Anda untuk memuji dan menyanjung-Nya. Anda juga memenuhi hati dengan keagungan dan kemegahan-Nya yang mengantarkan Anda sampai ke tempat yang menjadi penghalang antara Anda dan kedurhakaan kepada-Nya. Hal itu juga mendorong Anda untuk melayani-Nya semampu Anda atau dengan seluruh kemampuan yang Anda miliki seraya mengakui keterbatasan Anda dalam memenuhi hak kenikmatan dan kebaikan (yang diberikan)-Nya.

 

Jika suatu saat Anda lupa mensyukurinya, merasa kendor (saat beribadah) ataupun melakukan kesalahan, sebaiknya Anda segera kembali mengulang, bersungguh-sungguh dan merendahkan diri kepada-Nya. Sebaiknya Anda juga bertawassul dan berdoa:

 

Artinya: “Ya Allah, ya Tuhanku. Seperti halnya Engkau mengawali kebaikan kepadaku dengan anugerah-Mu tanpa menuntut hak, maka sempurnakanlah kebaikan itu dengan anugerah-Mu juga tanpa menuntut hak.”

 

Kemudian Anda memanggil-Nya seperti panggilan yang diucapkan oleh para kekasih-Nya, yakni orang-orang yang telah menemukan mahkota hidayah dan merasakan manisnya makrifat sehingga mereka merasa takut bila harus terusir dan terhina. Merasakan duka cita berjauhan (dengan kekasihnya), tersesat, merasakan pahitnya putus hubungan dan kehilangan. Kemudian mereka merendahkan diri di hadapan-Nya, memohon pertolongan, menjulurkan tangan seraya merendah dan memanggilmanggil dalam kesepian untuk meminta pertolongan:

 

Artinya: “Ya Tuhan kami! Janganlah Engkau condongkan hati kami (dari kebenaran) setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami. Dan berikanlah rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Memberi.” (Q.S. Ali Imran: 8)

 

Uraian dari ayat ini adalah: Sesungguhnya kami telah menemukan kenikmatan dari-Mu dan mengharap nikmat lain (yang akan Engkau berikan) karena hanya Engkau yang Maha Pemurah lagi Maha Memberi. Maka seperti pada awalnya Engkau memberikan kelebihan nikmat kepadaku, berikanlah rahmat kesempurnaan pada akhirnya.

 

Tidakkah Anda mendengar bahwa doa yang pertama kali diajarkan oleh Penguasa alam semesta kepada -hamba-Nya yang muslim, yakni orang-orang yang dipilih di antara makhlukNya adalah doa (firman Allah) sebagai berikut:

 

Artinya: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (Q.S. Al Faatihah: 6)

 

Atau yang dimaksudkan adalah: Tetapkanlah kami pada jalan itu dan kekalkanlah jalan itu untuk kami.

 

Demikiankah hendaknya seorang hamba merendahkan diri di hadapan Allah, karena kekhawatiran yang ada sangatlah besar.

 

Ada yang mengatakan bahwa para hukama merenungkan musibah yang menimpa orang alim serta ujian untuknya, dan mereka mengembalikan semua itu pada lima hal: (Tertimpa) suatu penyakit di perantauan, miskin di usia tua, kematian di usia muda, kebutaan sesudah dapat melihat, dan ketidakjelasan setelah mengetahui (dengan pasti).

 

Lebih bagus lagi gubahan seorang penyair di bawah ini:

 

Segala sesuatu jika kau tinggalkan akan datang penggantinya.

Tapi jika yang kau tinggalkan adalah Allah, maka tidak ada yang bisa menggantikan-Nya.

 

Penyair lain mengatakan:

 

Jika dunia masih menetapkan seseorang pada agamanya,

maka apapun yang hilang dari dunia itu tidak akan membuatnya melarat.

 

Begitu juga dengan setiap kenikmatan yang diberikan-Nya kepada Anda dan bantuan yang diberikan untuk bisa melewati tahapan-tahapan ini. Memohonlah agar Dia menetapkan apa yang telah diberikan. Dan memohonlah agar Dia memberi tambahan lebih dari apa yang Anda inginkan serta Anda harapkan.

 

Bila telah melakukan semua itu berarti Anda telah meninggalkan (melewati) tahapan yang sangat mengkhawatirkan ini. Anda mendapatkan dua harta simpanan yang mulia, yakni istiqamah dan istizadah (tambahan). Nikmat yang telah ada dan diberikan kepada Anda menjadi kekal. Anda tidak akan takut kehilangan nikmat tersebut dan Dia akan memberikan tambahan berupa kenikmatan yang dahulu hilang, yakni kenikmatan yang tidak diberikan karena Anda tidak memintanya dengan baik. Jadi Anda tidak takut kehilangan tambahan tersebut.

 

Pada saat itulah Anda telah menjadi bagian dari golongan orang-orang yang makrifat (‘arif), orang-orang yang amat berpengetahuan di bidang agama. Menjadi golongan orang-orang yang bertobat, suci, zuhud di dunia, tekun melayani Allah, bisa mengalahkan setan, bertakwa dengan semestinya menggunakan hati dan anggota badan, pendek angan-angan (lawan kata thuulul amal), memberi nasehat, khusyuk, tawadhuk, bertawakal, berserah diri, rela, sabar, takut (dari siksaan), berharap (mendapatkan rahmat), mukhlish, mengingat anugerah dari Allah, dan mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan mereka, yakni Penguasa alam semesta.

 

Setelah mendapatkan semua itu berarti Anda akan menjadi orang yang istiqamah, mulia, dan benar-benar beriman.

 

Renungkanlah apa yang kubicarakan ini. Semoga Anda mendapat petunjuk.

 

Jika Anda berkata: “Bila seperti itu keadaannya, berarti sedikit sekali orang yang menyembah Allah dan bisa wushul (sampai) kepada tujuan. Dan siapa yang kuat menanggung biaya (ibadah) ni dan memenuhi syarat-syarat serta kesunatannya?”

 

Ketahuilah bahwa Allah juga menyatakar seperti itu. Dia berfirman:

 

Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)

 

Dia juga berfirman:

 

Artinya: “Akan tetapi sebagian banyak manusia tidak bersyukur.”

Di lain tempat Dia berfirman:

 

Mereka tidak mau berpikir.

Dan di lain tempat lagi Dia berfirman:

 

Mereka tidak mengetahui.

 

Dan sesungguhnya hal itu menjadi mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah untuk melakukannya.

 

Kewajiban seorang hamba hanyalah berusaha dengan sun -sungguh, dan Allah-lah yang memberikan petunjuk (hidayah). Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari (keridaan)-Ku, niscaya akan Kutunjukkan pada mereka jalan-jalan menuju keridaan)-Kami.” (Q.S. Al-Ankabuut: 69)

 

Jika seorang hamba yang lemah telah memenuhi kewajiban nya, maka menurutmu apa yang akan dilakukan oleh Allah yang Maha Kuasa, Maha Kaya, Maha Mulia, dan Maha Pengasih?

 

Jika Anda berkata: “Umur yang ada teramat pendek, sementara tahapan ini panjang dan sulit. Lalu bagaimana caranya agar umur (yang pendek) itu cukup untuk menyempurnakan syarat-syarat dan melewati beberapa tahapan (yang panjang) seperti ini?”

 

Sumpah demi umurku. Sesungguhnya tahapan ini memang anjang dan syarat-syarat memang berat. Tapi jika Allah memang ingin mengambil hamba-Nya, tentu Dia akan memendekkan (tahapan) yang panjang untuknya serta meringankan syarat-syarat ang berat untuknya. Sehingga setelah berhasil melewatinya hamba tersebut akan mengatakan: “Heran. Betapa dekatnyajalan ini, dan betapa pendeknya. Betapa ringan urusan ini dan betapa mudahnya.”

 

Begitu juga denganku. Setelah sampai pada puncak semacam ini aku berkata:

 

Tanda-tanda jalan menuju kebaikan telah nampak jelas bagi orang yang menginginkannya

dan kulihat hati manusia telah menjadi buta dari jalan ini.

Aku sungguh heran pada orang yang binasa, sementara keselamatan telah nampak.

dan sungguh aku merasa kagum dengan orang yang selamat.

 

Sampai-sampai di antara mereka ada yang berhasil melewati tahapan-tahapan ini setelah menempuhnya selama 70 tahun. Ada yang berhasil setelah menempuhnya 20 tahun. Ada yang 10 tahun. Ada yang setahun. Ada yang sebulan. Bahkan ada yang berhasil dalam waktu satu minggu, satu hari atau bahkan sekejap mata dengan petunjuk khusus dan pertolongan yang telah ditetapkan Oleh Allah.

 

Tidakkah Anda ingat kisah Ashhaabul-Kahfi yang mendapatnnya dalam sekejap mata saat melihat perubahan pada wajah Diqyanus raja mereka? Lalu mereka berkata:

 

Artinya: “Tuhan kami adalah penguasa langit dan bumi. Kami tidak akan pernah mengakui Tuhan selain Dia.” (Q.S. Al-Kahfi: 14)

 

Mereka berhasil mendapatkan kemakrifatan dan melihat kebenaran-kebenaran yang ada di jalan ini dan melintasinya kemudian jadilah mereka orang-orang yang berserah diri, bertawakal dan istiqamah ketika mereka berkata:

 

Artinya: “Pergilah mengungsi ke dalam goa, niscaya Tuhan kalian akan menebarkan rahmat-Nya kepada kamu semua.” (O.S. AlKahfi: 16)

 

Kesemuanya itu berhasil mereka dapatkan dalam waktu satu jam atau malah sekejap.

 

Ingatkah Anda pada para penyihir Firaun. Waktu mereka untuk mendapatkan hal itu tak lain hanyalah sekejap, yaitu saat mereka melihat mukjizat Nabi Musa a.s. Mereka berkata:

 

Artinya: “ Kami beriman kepada Tuhan alam semesta, Tuhan Musa dan Harun.” (Q.S. Asy-Syu’araa: 47-48)

 

Mereka melihat jalan (menuju Allah) dan menempuhnya sesaat demi sesaat. Jadilah mereka orang-orang yang rela dengan keputusan Allah, bersabar menghadapi cobaan-Nya, bersyukur atas karunia-Nya, dan sangat rindu untuk bertemu dengan-Nya. Mereka berteriak:

 

Artinya: “Tidak apa-apa. Sesungguhnya kami semua akan kembali kepada Tuhan kami.” (Q.S. Asy-Syu’araa: 50)

 

Telah kami ceritakan bahwa Ibrahim bin Adham adalah orang yang memiliki harta melimpah. Kemudian ia berpindah menuju jalan ini. Belum lama berjalan dari Ablakh menuju Marwirudz, beliau melihat seseorang yang terjatuh dari jembatan ke dalam air yang deras. Beliau berteriak “Berhenti!”. Seketika orang tersebut berhenti di tengah udara, dan selamatlah ia.

 

Rabi ah Al-Bashriyyah adalah seorang budak perempuan yang sudah tua. Ia ditawarkan keliling pasar negeri Bashra. Tak seorangpun suka karena umurnya yang sudah tua. Seorang pedangang merasa kasihan dan membelinya seharga sekitar seratus dirham dan memerdekakannya. Dia kemudian memilih jalan ini dan menghadapkan diri untuk beribadah. Belum genap satu tahun, orang-orang zuhud negeri Bashra telah datang. Begitu juga para gurraa’ dan ulama negeri itu. Mereka datang karena ketinggian derajatnya.

Adapun orang-orang yang ditakdirkan tidak mendapat pertolongan dan tidak diberi perhatian dengan anugerah dan petunjuk, maka hal itu dibebankan pada dirinya sendiri. Kadang la masih berada di sebuah jalan sulit dari salah satu tahapan selama 70 tahun dan tidak bisa melewatinya. Berulang kali ia berteriak dan menjerit: “Betapa gelapnya jalan ini. Betapa berat dan sulitnya Urusan ini. Dan betapa berbahayanya.”

Hal ini disebabkan karena segala urusan kembali pada satu pokok, yakni takdir yang Maha Menang, Maha Mengetahui, Maha Adil dan Maha Bijaksana.

Jika Anda bertanya: “Kenapa orang ini diberi keistimewaan dengan taufik dan yang ini dihalang-halangi. Sementara keduanya Sama-sama berpegang pada tali-tali ibadah?”

Untuk menjawab pertanyaan semacam ini ada seruan dari tuang kemegahan yang Maha Agung: “Sebaiknya kamu tetap Sopan. Pahamilah rahasia ketuhanan dan hakekat penghambaan. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka akan ditanya (oleh allah).

Jalan (menuju ibadah) yang ada di dunia ini seperti jalan lurus (shiraathalMustagiim) di akhirat, baik tahapan, jarak, ataupun perintangnya. Keadaan orang-orang yang melintasinya juga berbeda. Ada yang berjalan di atasnya seperti kilat yang menyambar. Ada yang berjalan seperti angin bertiup. Ada yang seperti kuda sembrani. yang lain seperti burung. Ada lagi yang berjalan kaki. Ada yang merangkak sampai hitam seperti arang. Ada yang mendengar teriakan Jahannam. Dan ada yang diambil dengan sebuah pengait lalu dimasukkan ke dalam Jahannam.

Begitulah keadaan jalan (ibadah) ini beserta para penempuhnya. Jadi, keduanya adalah dua macam jalan, dunia dan akhirat.

Jalan akhirat diperuntukkan bagi jiwa orang-orang yang waspada dan bisa melihat hal-hal menakutkan di dalamnya. Jalan dunia diperuntukkan bagi hati. Dan yang bisa melihat ketakutannya hanya orang-orang yang memiliki mata hati serta kecerdasan berpikir. Perbedaan keadaan orang yang berjalan di jalan akhirat itu karena perbedaan mereka saat (berjalan) di dunia.

Renungkanlah semua itu dengan benar.

C. Cermin kebutuhan hamba yang lemah

Ketahuilah kebenaran yang ada dalam bab ini.

Sebenarnya jalan ini panjang dan pendeknya tidak sama dengan perjalanan yang ada, seperti yang sering dilakukan oleh orang-orang dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, dan cara menyelesaikannya diukur dengan kekuatan dan kelemahan tubuh. Akan tetapi jalan ini adalah jalan rohani yang dilewati oleh hati dan ditempuh dengan akal pikiran, sesuai dengan keyakinan dan penglihatan mata hati. Jalan itu berasal dari cahaya langit dan pandangan ketuhanan yang jatuh ke dalam hati seorang hamba, Setelah itu ia merenung sejenak dan dengan perenungan tersebut ia bisa melihat urusan dunia dan akhirat dengan benar. Cahaya semacam ini terkadang dicari oleh seorang hamba selama seratus tahun tapi ia tidak bisa menemukannya, dan pengaruhnya juga tidak nampak. Hal ini terjadi karena ia salah dalam mencari, minimnya kesungguhan dan karena ketidaktahuannya padajalan (yang dicariya) ini.

Hamba yang lain bisa menemukannya dalam waktu 50 tahun. ada lagi yang menemukannya dalam waktu 10 tahun. Dan ada lagi yang menemukannya dalam waktu satu jam atau sekejap dengan mendapat pertolongan dari Tuhan yang Maha Mulia.

Hanya Allah yang menguasai petunjuk.

Di samping itu seorang hamba diperintahkan untuk bersungguh-sungguh. Karenanya, seorang hamba harus melakukan apa yang diperintahkan. Segala urusan telah dibagi dan ditentukan, sedangkan Tuhan adalah Dzat yang teramat bijaksana dan sangat Adil. Dia melakukan apa saja yang menjadi kehendak-Nya dan mengatur dengan apa yang diinginkan-Nya.

Jika Anda mengatakan: “Alangkah besarnya kekhawatiran ini. Alangkah sulitnya urusan ini. Dan alangkah banyaknya hal yang dibutuhkan oleh hamba yang lemah ini. Lalu semua perbuatan, kesungguhan dan usaha agar mendapatkan semua ini apa gunanya?”

Sumpah demi umurku. Ucapan Anda memang benar bahwa Urusan ini sangat berat kekhawatirannya amat besar. Karena itu Pula Allah berfirman:

Artinya: “Aku menciptakan manusia selalu dalam kesulitan.” (Q.S. Al-Balad: 4)

Allah juga berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tapi mereka menolak (enggan) menerima amanat tersebut. mereka takut terhadap amanat itu. Akan tetapi manusia mau menanggung amanat tersebut. Sungguh ia sangat zalim dan juga bodoh.” (Q.S. Al-Ahzaab: 72)

Karena hal itu juga Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Seandainya kalian semua tahu apa yang kuketahui tentu kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”

Diceritakan pula bahwa ada seruan dari arah langit yang berbunyi: “Kalau saja semua makhluk tidak diciptakan. Kalau saja saat dictptakan mereka mengetahui untuk apa semuanya diciptakan. Dan kalau saja saat mereka sudah tahu mau beramal dengan apa yang mereka ketahui.”

Para ulama salaf mengatakan: “Diceritakan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. beliau berkata “ Aku lebih suka menjadi dedaunan berwarna hijau sehingga hewan-hewan memakanku, sebab aku takut siksaan Allah.

Diceritakan dari Umar bin Al-Khaththab r.a. bahwa beliau pernah mendengar seseorang membaca ayat:

Artinya: “Adakah datang kepada manusia suatu saat dari masa yang tidak disebut-sebut sedikitpun ?” (Q.S. Al-Insaan: 1)

Umar berkata: “Semoga saja masa itu telah selesai.”

 

Ubaidah bin Al-Jarrah r.a. berkata: “ Aku lebih senang menjadi domba bagi keluargaku. Mereka memotong-motong dagingku dan mereguk kuahku dan aku tidak akan diciptakan kembali.”

 

Diceritakan dari Wahb bin Munabbih. Beliau berkata: ” Anak Adam diciptakan dalam keadaan dungu. Jika tidak karena kedunguannya tentu ia tidak merasakan enaknya kehidupan.”

 

Diriwayatkan dari Fudhail bin Iyadh r.a. Beliau berkata:” Aku ‘ tidak bercita-cita dan merasa iri kepada malaikat yang dekat dengan Allah, kepada seorang nabi yang diutus, dan tidak pula kepada seorang hamba yang saleh. Bukankah mereka juga akan dicela kelak di hari kiamat? Akan tetapi aku bercita-cita dan merasa iri kepada orang yang tidak diciptakan.”

 

Diriwayatkan dari Atha’ As-Sulami. Beliau berkata: “Seandainya ada api yang dinyalakan dan dikatakan bahwa siapa saja yang menjatuhkan diri ke dalamnya ia tidak akan menjadi apa-apa, maka aku merasa khawatir kalau sampai mati sebelum mencapai api tersebut karena kegembiraanku.”

 

Jadi, urusan tersebut memang teramat berat seperti yang Anda katakan tadi. Bahkan hal itu lebih berat dan lebih dahsyat dari apa yang Anda perkirakan. Akan tetapi hal itu sudah menjadi ketetapan dalam “ilmu” yang telah terdahulu, aturan yang telah diberlakukan oleh Dzat yang Maha Mulia dan Maha Tahu. Tak ada jalan lain untuk seorang hamba selain mengerahkan seluruh kemampuan dalam beribadah serta berpegang teguh pada tali Allah dan selamanya merendahkan diri kepada-Nya. Semoga Allah mengasihani dan menyelamatkan hamba tersebut dengan anugerah-Nya.

 

Sedangkan ucapan Anda yang berbunyi “Untuk apa semua ini” adalah ucapan yang menunjukkan bahwa Anda seorang yang Sangat pelupa. Yang benar adalah Anda mengatakan “ Kalau dilihat dari sesuatu yang dicari oleh seorang hamba yang lemah, maka apa arti semua itu?”

 

Tahukah Anda apa yang dicari oleh seorang hamba yang ?

 

Ringkasnya, paling tidak yang dicarinya adalah dua hal, yaitu keselamatan dunia akhirat serta kerajaan di dunia dan akhirat.

 

Hamba yang lemah tersebut mencari keselamatan di dunia, karena dunia itu ada bersama malapetaka dan fitnah-fitnahnya yang tidak mampu dihindari sekalipun oleh malaikat yang didekatkan kepada Allah.

 

Aku pernah mendengar cerita mulai dari Harut dan Marut. Sampai-sampai diceritakan bahwa ketika ruh (nyawa) seorang hamba dinaikkan ke langit. Malaikat penghuni langit berteriak karena merasa kagum.

 

Bagaimana orang ini bisa selamat dari tempat yang di dalamnya malaikat-malaikat pilihan kita mengalami kerusakan?

 

Dan sesungguhnya karena gawat dan sulitnya akhirat itu, para nabi dan rasul berteriak: “Diriku oh diriku. Aku tidak memohon kepada-Mu selain keselamatan diriku.”

 

Sampai pernah diceritakan: “Seandainya ada seorang lelaki yang memiliki amal seperti yang dimiliki oleh 70 orang nabi, pasti dia mengira bahwa dirinya tidak akan selamat.”

 

Barangsiapa ingin selamat dari fitnah dunia ini, hendaklah ia . keluar darinya dalam keadaan Islam dengan selamat dan tidak tertimpa bencana. Jika ingin selamat dari gawatnya kehidupan dunia, hendaklah ia masuk ke dalam surga dengan selamat dan tidak tertimpa marabahaya. Apakah hal itu sesuatu yang mudah?

 

Seorang hamba yang lemah menginginkan kerajaan dan kemuliaan. Yang dimaksud kerajaan di sini adalah kelangsungan kekuasaan dan kehendak. Dan pada hakekatnya hal itu dimiliki oleh para kekasih (wali) Allah dan orang-orang pilihan-Nya, yakni orang-orang yang rela dengan keputusan-Nya. Bagi mereka daratan, lautan dan bumi ini hanya setapak kaki. Batu dan tanah keras bisa menjadi emas dan perak. Jin, manusia, hewan-hewan tenak dan burung-burung tunduk kepada mereka. Mereka tidak menghendaki sesuatu kecuali hal itu terwujud untuk mereka, sebab yang mereka kehendaki sesuai dengan kehendak Allah yang pasti terwujud. Mereka tidak merasa takut kepada satu makhlukpun. sebaliknya makhluk-makhluk itu takut kepada mereka. Mereka tidak melayani satu makhlukpun, bahkan selain Allah,.semua melayani mereka. Lalu manakah raja di dunia ini yang memiliki sepersepuluh derajat dari semua ini? Bahkan milik, mereka lebih sedikit dan hina dari itu.

 

Mengenai kerajaan akhirat Allah berfirman:

 

Artinya: Apabila kamu melihat di sana (surga) tentu kamu melihat nikmat yang tidak terbatas dan kerajaan yang besar.(Q.S. Al-Insaan: 20)

 

Allah mengagungkan apa yang difirmankan-Nya, yaitu bahwa kerajaan di surga itu besar. Sementara itu Anda juga tahu bahwa dunia dan segala yang tersimpan di dalamnya adalah sedikit. Seandainya yang ada di dunia ini abadi dan sejak awal sampai akhir dikumpulkan maka tetap saja sedikit. Dari yang sedikit ini kita hanya mendapat bagian sedikit.

 

Terkadang salah seorang dari kita menyerahkan harta dan nyawa sehingga ia mendapatkan hasil sedikit dari barang-barang yang jumlahnya hanya sedikit dan dalam waktu yang tidak lama. Meski ia berhasil mendapatkannya ia masih saja mencari-cari alasan, merasa iri dan menganggap banyak apa yang diserahkannya berupa harta dan dirinya. Hal ini sesuai dengan ucapan Imruul Qais. Beliau bersyair:

Sahabatku menangis saat ia melihat jalan yang menuju ke arahnya.

Ia yakin bahwa kami bedua akan bertemu kaisar.

Aku pun berkata: Jangan sampai matamu menangis.

Kita berdua mencari sebuah kerajaan atau mati dan dimaafkan.

Kemudian bagaimana keadaan orang yang mencari kerajaan besar yang berada di dalam tempat kenikmatan, abadi dan selalu ada di sana (bermukim). Dengan melihat semua itu apakah pantas kalau ia menganggap banyak salat yang hanya dikerjakannya sebanyak dua rakaat, menganggap banyak sedekah yang hanya dua dirham atau tidak tidur selama dua hari. Jangan begitu. Bahkan seandainya Anda memiliki sejuta tubuh, sejuta nyawa dan sejuta umur. Setiap umur sama dengan umur dunia atau lebih lama lagi. Kemudian Anda menggunakan semua umur yang dimilikinya untuk mencari kenikmatan besar ini, tentu saja hal itu masih dianggap kecil. :

Dan sungguh jika hamba tersebut bisa menemukan nikmat besar tadi setelah menjalani (menyerahkan semuanya) maka hal itu merupakan keuntungan besar dan sebuah anugerah dari Dzat yang telah banyak memberi kepadanya.

Karena itu, wahai orang yang perlu dikasihani, sadarlah dari tidur orang-orang yang lalai.

 D. 40 kemuliaan di dunia dan akhirat

Kemudian aku merenungkan apa yang akan diberikan oleh Allah kepada seorang hamba jika ia mentaati, selalu melayaniNya dan menempuh jalan ini selama hidupnya. Lalu aku menemukan 40 kemuliaan dan karunia khusus. 20 di antaranya ada di dunia dan yang 20 lagi ada di akhirat.

Kemuliaan yang ada di dunia yaitu:

  1. Sebutan dan sanjungan Allah yang diberikan kepadanya. Sungguh mulia seorang hamba yang dianugerahi Allah dengan sebutan dan sanjungan-Nya.
  2. Disyukuri dan diagungkan oleh Dzat yang Maha Agung.

Seandainya ada seorang makhluk lemah bersyukur kepada Anda dan mengangungkan Anda, pastilah Anda menjadi mulia karenanya. Lalu bagaimana jika yang melakukannya adalah Penguasa orang-orang terdahulu dan orang-orang yang datang kemudian?

3, Kecintaan Allah.

Jika Anda dicintai oleh seorang lurah atau bupati, tentu Anda merasa bangga dengan hal itu dan memanfaatkan kecintaan tersebut pada tempat-tempat yang mulia. Lalu bagaimana dengan kecintaan penguasa alam semesta?

  1. Allah menjadi wakil dalam mengatur segala urusannya.
  2. Allah menjadi penanggung rezekinya. Dia menghadapkan hamba tersebut kepada rezkinya dari satu keadaan ke keadaan lain tanpa kesulitan dan merasa bosan.
  3. Allah menjadi penolong untuk mengalahkan semua musuh dan menolak setiap orang yang berkeinginan buruk kepadanya.
  4. Baginya Allah menjadi penghibur yang tiada pernah mengeluh dan takut perubahan serta penggantian.
  5. Kemuliaan diri.

Ia tidak akan bertemu dengan kerendahan melayani dunia dan penduduknya. Bahkan ia tidak akan rela jika sampai dilayani oleh raja-raja dunia dan para pembesarnya.

  1. Cita-cita luhur.

Ia mengangkat dirinya agar tidak berlumur kotoran dunia dan penduduknya. Ia tidak menoleh gemerlap dan permainannya seperti seorang anak laki-laki yang cerdas akan meninggalkan tempat bermain anak kecil dan anak-anak perempuan.

10 Kaya hati.

Ia lebih kaya dari orang-orang kaya di dunia. Jiwanya tenteram dan dadanya lapang. Tidak terkejut dengan sesuatu yang terjadi dan tidak susah karena ketiadaan.

11 Cahaya hati. Dengan cahaya hatinya ia mendapatkan petunjuk untuk mencari ilmu, rahasia-rahasia dan ilmu hikmah, sesuatu yang orang lain tidak mendapatkan petunjuk tersebut kecuali dengan kesungguhan orang yang amat bersungguh-sungguh dan berumur panjang.

12 Lapang dada.

Dadanya tidak akan menyempit hanya karena suatu cobaan, musibah, beban masyarakat dan penipuan mereka.

13 Mendapat kewibawaan dan tempat di hati masyarakat.

Orang-orang baik dan buruk semua memuliakannya, disegani orang-orang yang berperilaku seperti Firaun dan orang-orang yang angkuh.

14.Kecintaan masyarakat.

Allah menciptakan rasa cinta untuknya sehingga hati masyarakat terlihat mencintainya dan mereka dibuat menghormat serta memuliakannya.

  1. Keberkahan di seluruh segi kehidupannya seperti ucapan, nafas, pekerjaan, pakaian dan tempat tinggal. sampai-sampai tanah tempatnya berpijak pun diberkahi. Begitu juga dengan tempat duduk, teman bicara dan orang yang melihatnya saat masih hidup.
  2. Ketundukan bumi.

Dari darat sampai ke laut. Sampai-sampai jika ia menghendaki, ia bisa berjalan di udara atau di atas air dan mengelilingi bumi kurang dari satu jam.

  1. Ketundukan binatang buas, binatang liar dan binatang melata.

Binatang liar akan mencintainya dan singa-singa bersenda gurau dengannya.

  1. Menguasai kunci-kunci penyimpanan bumi.

Jika mau ia bisa sekali memukul dengan tang keluar harta benda. Sekali menghentakkan kaki akan keluar mata air jika ja membutuhkannya. Dan di manapun singgah akan datang hidangan, itu kalau ia menginginkannya.

  1. Menjadi tokoh panutan dan memiliki tempat yang tinggi di hadapan Tuhan yang Maha Agung sehingga banyak orang yang berharap dan menjadikannya sebagai perantara untuk sampai kepada Allah dengan melayani-Nya serta memohon kebutuhan-kebutuhan kepada Allah dengan perantara kedudukan dan berkahnya.
  2. Terkabulnya doa. Ia tidak meminta apapun kepada Allah kecuali Dia akan mengabulkannya. Ia tidak memberi syafaat untuk seseorang kecuali diberi-Nya syafaat tersebut. Jika ia bersumpah atas nama Allah, pasti Dia akan menuruti keinginannya. Sampai-sampai ada salah seorang di antara mereka yang jika menunjuk sebuah gunung, maka gunung itu hancur sehingga ia tidak perlu berdoa menggunakan lisannya. Jika terbersit suatu keinginan dalam hatinya pasti hal itu akan muncul tanpa harus menunjuknya dengan tangan.

Kesemuanya itu adalah kemuliaan di dunia.

Adapun kemuliaan-kemuliaan yang ada di akhirat adalah:

  1. Kemudahan yang diawali dari sakaratul maut, yakni sebuah kejadian yang menakutkan hati para nabi sehingga mereka memohon kepada Allah agar hal itu dimudahkan bagi mereka sehingga di antara mereka ada yang merasakan kematian seperti seteguk air pelepas dahaga.

Allah berfirman:

Artinya: (Orang-orang yang berakwa yaitu) orang-orang yang diambil nyawanya oleh para maliakat dengan senang dan nyaman.(Q.S. An-Nahl: 32)

  1. Ketetapan makrifat dan keimanan. Ketetapan yang menakutkan, penuh tangis dan keluh-kesah. Allah berfirman:

Artinya: Allah menetapkan keimanan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang tetap dalam kehidupan dunia dan akhirat.(Q.S. Ibrahim: 27)

  1. Kiriman rasa enak dan menyenangkan, kabar gembira, kerelaan dan rasa aman

Allah berfirman:

Artinya: Janganlah kalian merasa takut dan sedih. Dan berilah kabar gembira dengan surga yang telah dijanjikan bagi kalian semua.(Q.S. Fushshilat: 30)

Ia tidak merasa takut dari apa yang akan dihadapkan kepadanya di surga dan apa yang ia tinggalkan di dunia.

  1. Abadi di dalam surga dan berdekatan dengan Tuhan yang Maha Pengasih.
  2. Perhiasan ruhnya di alam gaib. Lalu ruh tersebut terbang di atas para malaikat langit dengan kemuliaan, kelembutan dan kenikmatan. Ia juga mendapat hiasan tubuh dengan mengagungkan jenazahnya, orang yang berdesakan untuk menyalatinya serta dengan segera mengurusnya. Dengan semua itu orang-orang berharap mendapatkan pahala yang banyak serta menganggap apa yang mereka lakukan sebagai keuntungan besar.
  3. Bebas dari fitnah pertanyaan kubur dan diajari jawaban yang benar sehingga ia bebas dari bahaya tersebut.
  4. Diperluas kuburnya dan diterangi. Ia bagaikan berada di salah satu taman surga sampai hari kiamat.
  5. Terhibur dan dimuliakan ruhnya, kemudian ditempatkan di dalam tembolok burung hijau bersama saudara-saudaranya yang saleh dengan penuh kegembiraan karena diberi kabar tentang karunia yang akan dianugerahkan kepadanya.
  6. Dikumpulkan dalam keadaan mulia dengan perhiasan, mahkota dan menaiki Bouraq.
  7. Wajah putih dan bercahaya. Allah berfirman:

Artinya: Pada hari itu wajah-wajah mereka cemerlang dan memandang Tuhannya.(Q.S. Al-Qiyaamah: 22-23) Dan firman-Nya pula:

Artinya: Pada hari itu wajah-wajah mereka ada yang terang, tertawa dan bergebira.(Q.S.’Abasa: 38-39)

  1. Terbebas dari kedahsyatan hari kiamat. Allah berfirman:

Artinya: Apakah orang yang datang dengan aman pada hari kiamat sama dengan orang yang tidak merasa aman?(Q.S. Fushshilat: 40)

  1. Menerima buku catatan amal dengan tangan kanan. Dan di antara mereka ada yang dirasa cukup menerima catatannya dengan kepala.
  2. Kemudahan hisab.

Di antara mereka ada yang sama sekali tidak dihisab.

34, Beratnya daun timbangan amal dan bahkan ada yang amalnya tidak ditimbang sama sekali.

  1. Sampai ke telaga Nabi Saw., meminum seteguk, dan setelah itu tidak merasa dahaga sama sekali untuk selama-lamanya.
  2. Melewati sirath dengan selamat dan tidak tekena api neraka. Sampai-sampai di antara mereka ada yang tidak mendengar desisannya, selalu merasakan apa yang menjadi kesenangannya dan api neraka pun mereda untuknya.
  3. Memberikan syafaat di pelataran kiamat seperti yang diberikan oleh para nabi dan rasul.
  4. Kerajaan yang abadi di dalam surga.
  5. Keridaan yang besar.
  6. Bertemu Penguasa alam semesta, Tuhan yang menguasai orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian tanpa kita tahu bagaimana caranya bertemu.

Aku menerangkan sekedar yang kupahami dan itu sudah mencapai puncak pengetahuanku yang terbatas dan rasanya masih kurang. Meski begitu aku telah menerangkan secara panjang lebar. Aku hanya menyebutkan pokok dan keterangannya secara global dan seandainya aku rinci tentu tidak termuat dalam kitab ini. Bukankah aku menerangkan kerajaan yang abadi hanya menjadi satu bagian? Seandainya kurincikan tentu akan membengkak menjadi 40 kemuliaan berupa macam-macam bidadari, istana, pakaian dan sebagainya. Kemudian masingmasing memiliki perincian yang tidak diketahui selain oleh Dzat yang Maha mengetahui hal-hal gaib dan hal-hal nyata, yaitu Dzat yang menciptakan dan memilikinya.

Bagaimana mungkin kita berharap dapat mengetahuinya, sementara Allah telah berfirman:

Artinya: Maka tak seorangpun mengetahui apa yang disimpan untuk mereka berupa apa saja yang menyenangkan pandangan mata,(Q.S. As-Sajdah: 17)

Kemudian Rasulullah Saw. juga telah bersabda:

Artinya: Di dalam surga Allah telah menciptakan apa yang belum pernah dilihat oleh mata, belum ada telinga yang mendengar dan belum pernah terbersit dalam hati manusia.

Para mufassir mengartikan firman Allah:

Artinya: Niscaya lautan akan kering sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku.(Q.S. Al-Kahfi: 109): dengan keterangan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan kalimat-kalimat di sini adalah kalimat yang dikatakan oleh Allah bagi penghuni surga dengan lembut dan memuliakannya. Dan kenyataannya memang begitu. Kita tidak mungkin sampai pada satu bagian dari sejuta bagian itu, sementara kita hanya seorang manusia. Atau bagaimana mungkin pengetahuan seorang makhluk bisa mencakupnya? Tentu saja tidak. Bahkan cita-cita seseorang pasti akan terhenti dan akal-akal terlalu pendek untuk memikirkannya. Memang itulah kenyataan yang terjadi.

Demikian itulah anugerah Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Mengetahui, sesuai dengan anugerah-Nya yang Agung dan setara dengan kemurahan-Nya yang besar.

E. Penutup (Khatimah)

Ingatlah! Hendaklah orang-orang yang ingin beramal segera melaksanakannya, dan orang-orang yang bersungguh mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendapatkan kedudukan yang agung. Dan hendaknya mereka juga tahu bahwa Semua itu amatlah sedikit dibanding apa yang mereka butuhkan, yang mereka cari dan mereka usahakan.

Hendaknya mereka juga tahu secara global bahwa seorang hamba harus memiliki empat hal: Ilmu, amal, ikhlas dan takut.

Pertama kali ia harus mengetahui jalannya. Jika tidak maka la menjadi buta. Kemudian ia beramal menggunakan ilmunya. Danjika tidak pasti ia akan tehalang. Selanjutnya ia harus ikhlas. Karena jika tidak, maka ia akan merugi. Dan selanjutnya ia tidak takut dan menghindari noda-noda sampai ia merasa aman. Kalu tidak maka ia akan tertipu.

Benar sekali apa yang dikatakan Dzun-Nuun: Semua makhluk ini mati selain para ulama. Semua ulama tertidur kecuali ulama yang beramal. Orang-orang yang beramal semuanya tertipu kecuali orang-orang yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas semua berada dalam kekhawatiran yang besar.

Yang lebih mengherankan adalah empat hal

Pertama, orang-orang yang memiliki akal tapi tidak berilmu.

Apakah ia tidak mementingkan dirinya untuk mengetahui apa yang ada di hadapannya? Apakah ia tidak berusaha mencari tahu apa yang akan dilihatnya sesudah mati dengan merenungkan dalil-dalil, perumpamaan, mendengar ayat-ayat dan peringatan, merasa bimbang dengan hal-hal yang mengkhawatirkan serta memiliki keberanian membabi buta di dalam dirinya? Allah berfirman: ..

Artinya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.(Q.S. AlA’raf: 185)

 

Firman Allah:

 

Artinya: Tidakkah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar.(Q.S. Al-Muthaffifiin: 4-5)

 

Kedua, seorang alim yang tidak beramal dengan ilmunya. Apakah ia tidak tahu pasti bahwa hal-hal gawat dan besar serta tahapan-tahapan yang sulit ditempuh berada di hadapannya?

 

Berita seperti ini adalah berita heboh yang Anda semua berpaling darinya.

 

Ketiga, orang-orang yang beramal tapi tidak ikhlas.

 

Apakah ia tidak berpikir tentang firman Allah:

 

Artinya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.(Q.S. Al-Kahfi: 110)

 

Keempat, orang-orang yang ikhlas tapi tidak merasa takut.

 

Apakah ia tidak merenungkan apa yang dilakukan-Nya terhadap orang-orang pilihan dan kekasih-kekasih-Nya serta para pelayan-pelayan-Nya yang menunjukkan jarak antara Dia dengan makhluk-Nya. Sampai-sampai Dia berfirman kepada makhlukNya yang paling mulia:

 

Artinya: Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu.”(Q.S. Az-Zumar: 65)

 

Dan lain sebagainya, hingga diceritakan bahwa Nabi Saw. bersabda:

 

Artinya: Yang membuatku beruban adalah surat Huud dan Sejenisnya. “

Jadi, inti permasalahan dan perinciannya terdapat pada empat ayat firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an Al-Aziz. Firman Allah:

Artinya: “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kara menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?(Q.S. Al-Mukminuun: 115)

Kemudian Dia berfirman:

Artinya: Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S. Al-Hasyr. 18)

Artinya: Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari (keridaan)-Ku, niscaya akan Kutunjukkan pada mereka jalan-jalan mertuju keridaan)-Kami.(Q.S. Al-Ankabuut: 69)

Kemudian Dia mengumpulkannya dalam satu ayat:

Artinya: Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya Jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Q.S. Al-Ankabuut: 6)

Kami memohon ampunan kepada Allah dari setiap langkah kaki yang terpeleset dan kesalahan goresan pena. Kami juga memohon ampunan kepada-Nya dari ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan amal perbuatan kami. Kami memohon ampun kepada-Nya dari apa yang kuakui dan kuperlihatkan berupa pengetahuan tentang agama Allah, padahal aku masih gegabah dalam melaksanakannya. Aku memohon ampun kepada-Nya dari gerak hati yang mengajakku membuat-buat, menghias diri dalam kitab yang kutulis, ucapan yang kubuat bersusun (nazham) dan pemikiran yang kuajarkan.

Kami memohon kepada-Nya agar Dia berkenan menjadikan kami serta Anda sekalian, wahai saudara-sudaraku! Sebagai orang-orang yang beramal dengan ilmunya dan mengharap wajah (keridaan)-Nya, serta tidak menjadikan ilmu-ilmu itu sebagai bencana.

Semoga Dia berkenan meletakkannya dalam timbangan amalamal baik saat amal-amal tersebut dikembalikan kepada kami. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Al-Ghazali berkata: “Inilah yang ingin kami terangkan di dalam kitab penjabaran tata cara meniti jalan akhirat, dan kami telah memenuhi tujuan tersebut. Segala puji bagi Allah yang dengan kenikmatan-Nya amal-amal baik menjadi sempurna. dan dengan anugerah-Nya bermacam berkah diturunkan.

Rahmat Allah semoga tersanjung kepada manusia pilihan yang mengajak umatnya untuk menyempah sesembahan terbaik, yakni Muhammad yang menjadi nabi, dan keluarganya.

Sernoga Allah memberikan kesejahteraan yang banyak, bagus, dan diberkahi dalam segala keadaan (kepada beliau dan keluarganya).[alkhoirot.org]

 

LihatTutupKomentar