Bab 4: Nasihat tentang Lima Perkara

BAB IV NASIHAT TENTANG LIMA PERKARA Jangan Merendahkan Lima Perkara Diriwayatkan dari Nabi saw.: “Barangsiapa yang meremehkan lima perkara, maka dia

Nasihat tentang Lima Perkara
 Nama kitab:  Terjemah Nashaihul Ibad, Nashoihul Ibad (kumpulan nasihat pilihan bagi para hamba)
Judul kitab asal: Nashaih Al-Ibad fi Bayani Munabbihat li Yaumil Ma'ad li Ibn Hajar Al-Asqalani ( نصائح العباد في بيان ألفاظ منبهات على الاستعداد ليوم المعاد لابن حجر العسقلاني)
Ejaan lain:  Nashoih Al-Ibaad
Pengarang: Nawawi bin Umar al-Bantani Al-Jawi Al-Indunisi (محمد نووي بن عمر بن عربي بن علي  الجاوي  البنتني الإندونيسي)
Nama yang dikenal di Arab: محمد نووي بن عمر الجاوي
Kelahiran: 1813 Masehi; 1230 H,   Tanara, Banten, Indonesia
Meninggal: 1897 M;  1316 H, Pemakaman Ma'la Makkah Al-Mukarramah, w. 672 H /22 Februari 1274 M
Penerjemah:
Bidang studi: Tasawuf, Akhlaq
Guru Nawawi Banten antara lain: Khatib asy-Syambasi, Abdul Ghani Bima, Ahmad Dimyati, Zaini Dahlan, Muhammad Khatib, KH. Sahal al-Bantani, Sayyid Ahmad Nahrawi, Zainuddin Aceh
Murid Nawawi Banten antara lain: KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Khalil Bangkalan, KH. Asnawi Kudus, KH. Mas Abdurrahman, KH. Hasan Genggong, Sayid Ali bin Ali al-Habsy

Daftar isi

  1. BAB IV NASIHAT TENTANG LIMA PERKARA 
    1. Jangan Merendahkan Lima Perkara
    2. Mencintai Lima dan Melupakan Lima
    3. Allah Menganugerahkan Lima Hal dan Mempersiapkan Lima Hal yang Lain
    4. Lima Kegelapan dan Lima Penerang
    5. Lima Orang Penghuni Surga
    6. Tanda Orang yang Bertakwa Ada Lima
    7. Lima Perkara yang Menjadi Kendala Bagi Terbentuk Pribadi yang Saleh
    8. Lima Kemuliaan Nabi saw
    9. Lima Bekal Untuk Meraih Kebahagiaan
    10. Lima Nasihat dari Kitab Taurat
    11. Jaga Lima Sebelum Datang Lima
    12. Lima Dampak Buruk dari Kenyang
    13. Lima Pilihan Orang Fakir dan Orang Kaya
    14. Lima Obat Hati
    15. Lima Sasaran Pemikiran
    16. Lima Jenjang untuk Menggapai Ketakwaan yang Sempurna
    17. Lima Pelindung dari Lima Perkara
    18. Lima Perkara Tercela dan Lima Perkara Terpuji Sehubungan dengan Harta
    19. Tiada Harta Tanpa Dibarengi Lima Hal Tercela 
    20. Tergesa-tergesa adalah Dari Setan, Kecuali dalam Lima Perkara
    21. Lima Perkara Penyebab Iblis Celaka dan Lima Hal Penyebab Adam as Bahagia
    22. Lima Pegangan yang Harus Dipatuhi
    23. Lima Hal Lebih Utama
    24. Lima Perkara Terpuji yang Dikandung oleh Zuhud
    25. Lima Perkara yang Menyesatkan
    26. Di Akhir Zaman Orang Akan Mencintai Lima Hal dan Melupa kan Lima yang Lain
    27. Lima Keindahan yang Ditopang oleh Lima Perkara
  2. Download Terjemah Nashoihul Ibad (pdf)
  3. Kembali ke: Terjemah Nashaihul Ibad

BAB IV NASIHAT TENTANG LIMA PERKARA

Diriwayatkan dari Nabi saw.:

“Barangsiapa yang meremehkan lima perkara, maka dia rugi lima perkara, yaitu barangsiapa yang meremehkan para ulama, maka rugi agamanya: Barangsiapa yang meremehkan umara (para pemimpin) maka rugi dunianya, barangsiapa yang meremehkan tetangga-tetangga, maka rugi manfaat-manfaatnya, barangsiapa yang meremehkan kerabat-kerabatnya, maka rugi kecintaannya, dan barangsiapa yang meremehkan ahlinya, maka rugi kemanisan hidupnya.”

Mengabaikan ulama dapat mengakibatkan kerugian agama, sebab para ulama adalah sumber pengetahuan agama. Sedang mengabaikan pejabat (penguasa) dapat mengakibatkan rugi dunia, sebab di tangan merekalah urusan dunia dan kendali menanganinya.

Tentang mengabaikan tetangga, Nabi bersabda:

“Demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Tidak beriman seorang hamba, sehingga ia menyukai tetangganya, seperti dia menyukai dirinya sendiri.” (H.R. Muslim).

Dalam hadis lain Nabi bersabda:

“Sesungguhnya menyukai orang yang mempunyai tetangga jahat dan karena Allah ia tetap bersabar menghadapi gangguan kejahatannya itu, sehingga Allah beri imbalan secukupnya, dengan tetap hidup atau mematikannya.”

Barangsiapa yang meremehkan saudara atau famili, maka merusak kecintaan mereka. Barangsiapa yang meremehkan istrinya, maka rugi kemanisan hidupnya.

Nabi saw. bersabda:

“Bakal datang suatu masa di mana umatku menyukai lima hal dan melupakan lima lainnya: Mereka suka dunia dan lupa akhirat, suka rumah dan melupakan kubur, suka harta dan melupakan perhitungannya, suka keluarga serumah dan lupa bidadari surga, suka dirinya sendiri dan lupa Allah, mereka adalah orang-orang yang berlepas diri dariku dan aku pun berlepas diri dari mereka.”

Maksud hadis di atas, jika orang-orang telah mencintai lima hal dan melupakan lima perkara sebagai bandingannya, maka mereka adalah orang-orang yang jauh dari Nabi saw., dan Nabi saw. pun jauh dari mereka. Lima hal yang dimaksud yaitu:

  1. Sibuk dengan dunia dan melupakan amal untuk bekal di akhirat.
  2. Menghias rumah-rumah dan meninggalkan amal yang akan digunakan untuk menerangi kuburnya.
  3. Sibuk mengumpulkan harta benda dan melupakan perhitungan Allah swt. untuk harta benda mereka. Sesungguhnya dari harta benda itu, yang halal akan dihisab dan yang haram akan menjadi siksa.
  4. Mencintai istri dan anak-anaknya, melupakan pahala yang ada di surga. ,

5. Mengikuti kehendak dirinya sendiri dan meninggalkan perintahperintah Allah swt.

Nabi saw. bersabda:

“Allah tidak memberikan lima kepada seseorang, melainkan telah mempersiapkan lima hal yang lain, yaitu Dia tidak memberikan syukur kepadanya, melainkan telah menyediakan untuknya tambahan, Dia tidak memberikan doa kepadanya, melainkan telah menyediakan untuknya ijabah, Dia tidak memberikan kepadanya istigfar, melainkan telah menyediakan untuknya ampunan, Dia tidak memberikan untuknya tobat, melainkan telah menyediakan penerimaan tobat, dan Dia tidak memberikan kepadanya sedekah, melainkan Dia telah menyediakan untuknya menerima (sedekah itu).”

Allah telah mempersiapkan tambahan kenikmatan sebelum seseorang berbuat syukur, seperti dalam firman Allah:

“…. jika kalian bersyukur, niscaya aku menambah (nikmat) untuk kalian ….”

Tentang ijabah doa, Allah berfirman:

“Berdoalah kalian kepada-Ku, maka Aku berkenan mengabulkan doa kalian.”

Dalam suatu hadis Nabi berdoa:

“Ya, Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu jiwa yang tenang serta mengimankan terjadinya perjumpaan dengan Engkau, rela menerima keputusan-Mu dan qanaah pada pemberian-Mu.” (H.R. Ath-Thabrani).

Tentang ampunan yang telah disediakan sebelum istigfar dipanjatkan, Allah berfirman:

“Bacalah istigfar kepada Tuhanmu, Sesungguhnya Dia Maha. Pemberi Ampun.”

Dalam sebuah hadis Nabi bersabua.

“Andaikata kamu membuat kesalahan hingga kesalahan-kesalahanmu itu mencapai langit, kemudian kamu bertobat, niscaya Allah menerima tobatmu.” — (H.R. Ibnu Majah).

Tentang diterimanya tobat, Nabi bersabda:

“Sebelum dunia diciptakan empat ribu tahun lagi, di sekeliling Arasy ditulis: ‘Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman dan beramal saleh, kemudian dia mendapatkan petunjuki’.” (H.R. Ad-Dailami).

Tentang diterimanya sedekah, Nabi bersabda:

“Setiap orang berada di bawah naungan sedekahnya, hingga hisab antara sesama manusia selesai.” . (H.R. Imam Ahmad).

Selain itu dalam hadis lain diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Tidaklah seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah semaramata mengharapkan rida Allah, melamkan Allah berfirman pada hari Kiamat: Har, hamba-Ku! Kamu mengharapkan pahala-Ku, maka Aku tidak akan merendahkanmu, Aku mengharamkan neraka atas tubuhmu dan masuklah kamu ke surga dari pintu mana saja yang kamu inginkan.” (H.R. Ibnu Laal).

 Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.:

“Gelap ada lima dan lampu penerangnya pun ada lima, yaitu cinta pada dunia adalah gelap, lampunya adalah takwa, dosa adalah gelap, lampunya adalah tobat: kubur adalah gelap, lampunya adalah bacaan: ‘Laa ilaaha illallaah Muhammadur rasuulullaah’, akhirat adalah gelap, lampunya adalah amal saleh: jembatan di atas neraka adalah gelap, lampunya adalah yakin.”

Cinta dunia menjadi kegelapan, karena kecintaan di sini dapat menjebak pada hal-hal subhat (diragukan halal-haramnya), perkaraperkara makruh, kemudian ke perkara-perkara haram.

Nabi saw. bersabda:

“Cinta pada dunia adalah pangkal semua kesalahan.” (H.R. Al-Baihaqi dari Hasan Basri).

Sehubungan dengan hal ini Imam Al-Ghazali berkomentar: Kalau cinta pada dunia menjadi pangkal segala kesalahan, maka benci pada dunia menjadi pangkal segala kebajikan. Takwa, yaitu menjaga diri dari siksaan Allah dengan taat kepada-Nya, dalam sebuah hadis diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Sesungguhnya kamu tidaklah meninggalkan sesuatu karena takut kepada Allah -Azza wa Jalla-, melainkan Dia memberikan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripadanya.” (H.R. Imam Ahmad dan An-Nasai).

Tentang tobat berfungsi sebagai lampu penerang terhadap kegelapan dosa, sebagaimana Nabi bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba apabila telah berbuat suatu dosa, maka diukirkan setitik noda hitam di dalam hatinya, apabila dia menghentikannya dan beristigfar serta bertobat, maka hatinya jernih. Tetapi apabila dia kembali pada dosa, maka ditambah noda hitam di dalam hatinya, hingga noda-noda hitam itu menentukan hatinya dan nodanoda itulah yang oleh Allah dalam firman-Nya: ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka’.” (Q.S. Al-Muthaffifin: 14) (H.R. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Tentang kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ berfungsi sebagai lampu penerang bagi kegelapan kubur, sebagaimana sahda Nabi:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan pada neraka orang yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illaallah’ semata-mata mengharapkan rida Allah swt.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Selain itu, diriwayatkan bahwa sesungguhnya beliau saw. juga bersabda:

“Barangsiapa yang mengucap ‘Laa Ilaaha Illallaah’ dengan ikhlas, maka dia masuk surga. Para sahabar bertanya: ‘Ya, Rasulullah, bagaimanakah ikhlasnya itu?’ Beliau saw. bersabda: “Bila kalimat iru mencegahmu dari setiap perkara yang diharamkan Allah kepadamu’.” (H.R. Al-Khathib).

Ada yang mengatakan: “Tujuh perkara yang akan menerangi kubur, – yaitu ikhlas dalam ibadah, berbuat baik kepada kedua orangtua, silaturahmi, tidak menyia-nyiakan umurnya dengan melakukan maksiat, tidak menuruti hawa nafsunya, bersungguh-sungguh menaati segala perintah Allah dan banyak zikir kepada Allah.”

Adapun amal saleh berfungsi sebagai lampu penerang terhadap kegelapan akhirat, sebagaimana sabda Nabi saw.:

“Sesungguhnya Allah mencintai, jika kemurahan-kemurahan-Nya diambil sebagaimana jika fardu-fardunya dilaksanakan. SesungguhnyaAllah mengutusku untuk menyampaikan agama yang lurus lagi murah, yaitu agama Ibrahim.” (H.R. Ibnu Asaakir).

Dalam hadis lain Nabi bersabda:

“Kerjakanlah hal-hal yang fardu, terimalah kemurahan-kemurahanNya dan biarkanlah orang-orang, maka sungguh kamu dipelihara dari gangguan mereka.” (H.R. Al-Khathib).

Diriwayatkan juga, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Barangsiapa yang tidak menerima kemurahan Allah, maka berat dosa yang ditanggungnya, seperti gunung-gunung di Arafah.” (H.R. Ahmad).

Yakin yang berfungsi sebagai lampu penerang kegelapan jembatan di atas neraka, ialah mempercayai hal yang gaib dengan menghilangkan keragu-raguan.

Umar r.a. berkata:

“Seandainya tiada kekhawatiran dituduh mengetahui hal yang gaib, niscaya aku bersaksi bahwa golongan berikut adalah penghuni surga, yaitu fakir yang mempunyai keluarga, istri yang diridai suaminya dan istri yang menyedekahkan mahar kepada suaminya, orang yang diridai kedua orangtuanya dan orang yang bertobat dari dosa.”

Hadis di atas adalah hadis mauguf. Hadis mauquf adalah hadis yang diriwayatkan sahabat, namun tidak sampai kepada Rasulullah saw., sedang hadis marfu’ adalah hadis yang diberitakan oleh para sahabat dari sabda Rasulullah saw.

Tentang tobat dosa, Nabi saw. bersabda:

“Orang yang bertobat dari dosa, seperti orang yang tidak mempunyai dosa.” (H.R. Al-Baihaqi).

Pada hadis lain diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Setiap anak Adam banyak berbuat dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa, adalah orang-orang yang bertobat.” (H.R. Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).

Dalam hadis lain Nabi juga bersabda:

“Sungguh Allah lebih gembira dengan tobat seseorang daripada gembiranya orang yang sangat haus datang ke tempat air, orang mandul yang beranak dan orang sesat di perjalanan yang bisa menemukan jalan yang benar. Dan barangsiapa yang bertobat kepada Allah dengan tobat Nasuha, maka Allah menjadikan para malaikat pencatat amal, anggota badannya dan tempat-tempat yang digunakan berbuat dosa lupa akan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya.” (H.R. Abul Abbas).

Dari Utsman r.a.:

“Lima tanda orang yang bertakwa, yaitu pertama, tidak duduk bersama selain dengan orang yang menjadi baik agamanya bila bersama orang tersebut dan bisa menahan kemaluan dan ucapannya: kedua, apabila – ditimpa sesuatu yang berat di dunianya, dia melihat akan bahayanya: ketiga, apabila ditimpa sedikit saja dari agamanya, dia menjadikan hal itu sebagai sesuatu yang menguntungkan: keempat, tidak memenuhi perutnya dengan barang halal karena takut bercampur dengan barang haram, kelima, memandang bahwa orang lain selamat dan memandang dirinya sendiri celaka.”

Menurut Utsman, ada lima tanda orang yang bertakwa:

  1. Berteman dengan orang yang saleh dan menjaga dirinya dari kebinalan nafsu seks dan ucapannya.
  2. Jika ditimpa musibah mengenai dunia, maka dia melihat akibat buruknya,
  3. Jika ditimpa sedikit mengenai akhirat, maka dia berkeyakinan bahwa hal itu suatu keuntungan yang besar.
  4. Perutnya tidak dipenuhi dengan perkara yang halal karena takut dicampuri yang haram.
  5. Melihat bahwa orang lain selamat dari kecelakaan karena mereka beribadah kepada Allah swt. dengan baik, namun dia melihat dirinya sendiri berada dalam kecelakaan karena dosa yang timbul dari kejelekan ibadahnya kepada Allah swr. Diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Seorang hamba tidak dapat mencapai tingkat orang-orang takwa sampai ia mau meninggalkan sesuatu yang tidak berbahaya bagi dirinya, karena khawatir jangan-jangan berbahaya.” (H.R. At-Tirmidzi dan Al-Hakim).

Dari Ali r.a.:

“Andaikan tiada lima perkara, niscaya seluruh manusia itu saleh, yaitu puas dengan kebodohannya, rakus terhadap dunia, kikir memberikan kelebihan yang ada, riya. dalam beramal dan membanggakan kehebatan akalnya.”

Kebodohan di sini, adalah kebodohan dalam pengetahuan agama. Tentang puas menjadi orang bodoh, Nabi bersabda:

“Allah murka terhadap setiap ilmuwan dunia, tetapi bodoh ilmu-ilmu akhirat.” (H.R. Al-Hakim).

Dalam hadis lain Nabi bersabda:

“Dosa orang alim satu, tapi dosa orang bodoh terhitung dua.” (H.R, Ad-Dailami).

Tentang rakus terhadap dunia, Nabi saw. bersabda:.

“Zuhud terhadap dunia akan menjadikan hati dan badan enak,: sedang cinta padanya akan menjadikan hati dan badan lelah.”

Diriwayatkan, bahwa sesungguhnya beliau saw. juga bersabda:

“Alangkah baiknya dunia bagi orang yang menjadikannya bekal untuk akhiratnya, hingga dia diridai Tuhannya dan alangkah jeleknya dunia bagi orang yang dihalangi olehnya dari akhiratnya dan dicegah dari rida Tuhannya.” (H.R. Al-Hakim).

Yang dimaksud dengan riya dalam beramal, ialah berbuat yang tanpa didasari ikhlas, atau berbuat karena mengharapkan sesuatu dari selain Allah Ta’ala. Dalam hai ini Nabi saw. bersabda:

“Orang yang paling dahsyat siksanya di hari Kiamat, ialah orang yang memberitahukan kepada orang, bahwa dalam dirinya ada kebaikan, padahal tidak ada.” (H.R. Ad-Dailami).

Pada hadis lain diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Barangsiapa yang pamer diri kepada orang lain tentang ketakwaan lebih dari yang ada pada dirinya, maka dia adalah orang yang munafik.” (H.R. Bukhari)

Diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan surga bagi semua orang yang riya.” (H.R. Abu Nu’aim).

Dari jumhur ulama -semoga rahmat Allah dilimpahkan kepada mereka-:

“Sesungguhnya Allah memuliakan Nabi-Nya, yaitu Muhammad saw. dengan lima kemuliaan, yaitu Dia memuliakannya dengan nama, jasmani, pemberian, kesalahan dan keridaan. Kemuliaan dengan nama, ialah Dia menyerunya dengan sebutan Rasul, tidak dengan namanya, sebagaimana Dia menyeru nabi yang lain, seperti Adam, Nuh, Ibrahim dan lain-lainnya. Kemuliaan dengan jasmani, ialah apabila Nabi memohon sesuatu, maka Dia mengabulkannya secara langsung dan hal itu tidak Dia lakukan kepada para nabi lain. Kemuliaan dengan pemberian, ialah Dia memberi kepadanya tanpa permintaan darinya. Kemuliaan dengan kesalahan, ialah Dia telah memaafkannya sebelum berbuat dosa. Dan kemuliaan dengan keridaan, ialah Dia tidak menolak fidyah, sedekah dan nafkahnya, sebagaimana Dia menolak hal itu dari nabi lain.”

Para nabi selain Muhammad, selalu dipanggil dengan menyebut namanya, semacam Nabi Adam, Nuh, Ibrahim dan lainnya. Tapi Muhammad tidak pernah dipanggil namanya, melainkan dengan sebutan Rasul, sebagaimana dalam ayat:

“Wahai, Rasul, tabligkanlah apa-apa yang diturunkan kepadamu.”

Demikian dalam saat turun wahyu. Datam waktu perjuangan pernah beliau dipanggil dengan sebutan namanya, yaitu di kala Mikraj, Allah berfirman:

“Wahai, Muhammad, mintalah engkau pasti akan diberi.”

Kemuliaan dengan jasmani, ialah apabila Nabi saw. memohon sesuatu, maka Allah swt. menjawabnya dengan Zat-Nya dan itu tidak Dia lakukan terhadap para nabi lain, seperti Nabi saw. mengembalikan mata Qatadah setelah matanya itu jatuh ke pipinya, Nabi memohon kepada Allah swt. agar mata Qatadah yang jatuh ke pipinya dikembalikan lagi seperti semula, dan Allah mengabulkan permintaannya itu.

Kemuliaan dengan pemberian, ialah Nabi dikarunia anugerah tanpa memintanya, sebagaimana Allah swt. berfirman:

“Sesungguhnya Kami memberi kepadamu anugerah yang besar.” (Q.S. Al-Kautsar: 1). .

Dalam firman-Nya yang lain:

“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu hatimu menjadi puas.” : (Q.S. Adh-Dhuha: 5).

Kemuliaan dengan kesalahan, ialah Allah swt. telah memaafkannya sebelum berbuat dosa. Allah telah memaafkan segala sesuatu yang terjadi padanya, yaitu meninggalkan yang lebih utama dan lebih pantas dan bukan dosa seperti yang kita lakukan.-Allah berfirman:

“Allah mengampuni kesalahan darimu. “

Tentang tidak bakal ditolaknya fidyah maupun sedekah dan nafkah Nabi, sebagaimana terbukti pada binatang kurban yang beliau keluarkan atas nama segenap umatnya, juga pernah membayar kafarat untuk umatnya, karena bersetubuh pada siang hari di bulan Ramadan.

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ashr.a.:

“Lima hal, jika dimiliki seseorang, maka ia berbahagia di dunia dan di akhirat, yaitu pertama, menyebut ‘Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rasuulullaah’ dari waktu ke waktu: kedua, jika diterima bencana, menyebut: ‘Innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun, wa laa haula wa laa guwwata illaa billaa hil ‘aliyyil ‘azhiim: ketiga, jika dianugerahi nikmat, menyebut: ‘Alhamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin’ sebagai mensyukuri nikmat tersebut: keempat, bila memulai sesuatu, mengucap: ‘Bismillaahir rahmaanir rahiim’: dan kelima, jika terlanjur berbuat dosa, mengucap ‘Astaghfirullaahal ‘azhiim wa atuubu ilaih’.”

Tentang kalimat:

“Tiada Tuhan melamkan Allah Muhammad adalah utusan Allah”,

adalah sebagaimana sabda Nabi saw.:

“Perbanyaklah zikir kepada Allah -Azza wa Jallapada setiap keadaan, karena tidak ada amal yang paling disukai oleh Allah dan lebih dapat menyelematkan hamba dari kejelekan di dunia dan akhirat, selam zikir kepada Allah.”  (H.R. Ibnu Sharshari).

Tentang kalimat:

“Sesungguhnya kita semua milik Allah dan kepadanya kita akan kembali: Tiada daya upaya dan tiada kekuatan, melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung”,

adalah sebagaimana sabda Nabi saw.:

“Janganlah memperbanyak ucapan. selain zikir kepada Allah, karena sesungguhnya banyak ucapan yang bukan zikir kepada Allah itu akan menjadikan hati keras dan sesungguhnya orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang hatinya keras.” (H.R. At-Tirmidzi). .

Tentang kalimat:

“Segala puji bagi Aliah Tuhan semesta alam”, . sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi saw.:

“Ucapan yang paling disukai Allah ada empat, yaitu: ‘Subhaanallaah’, ‘walhamdu lillaah’, ‘wa laa ilaaha illallaah’, ‘wallaahu akbar’ dan boleh saja kamu mulai membacanya dari mana pun.” (H.R. Muslim dan An-Nasai).

Dalam hadis lain Nabi bersabda:

“Ucapkanlah ‘Laa ilaaha illallaah wallaahu akbar’, ucapkanlah:. ‘Subhaanallaah walhamdu lillaah’ dan ucapkanlah “Tabaarakallaah’.

Maka sesungguhnya kelima kalimat ini tiada sesuatu pun yang menandinginya.” (H.R. Ibnu Sharshari).

Adapun mengucapkan “Bismillaahir rahmaanir rahiim” apabila memulai sesuatu perbuatan, Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda:

“Setiap perkara yang mempunyai tingkah yang baik, jika tidak dimulai dengan menyebut asma Allah, maka perkara itu terputus (tidak membawa berkah).” (H.R. Ibnu Hibban). ‘

Adapun mengucapkan ‘Astaghfirullaahal ‘azhiim wa atuubu ilaihi’, apabila terlanjur berbuat dosa. Anas bin Malik r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda:

“Apakah aku perlu memberitakan kepadamu penyakitmu dan obat ‘ untukmu? Sesungguhnya penyakitmu adalah dosa-dosa, dan obat untukmu adalah istigfar.” | (H.R. Ad-Dailami).

Pada hadis lain, Ibnu Abbas r.a. menyatakan, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa yang membiasakan istigfar, maka Allah menjadikan baginya keluar dari setiap kesempitan, terbuka dari setiap kesusahan, dan Dia memberi rezeki kepadanya dengan tidak disangka-sangka.” (H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Dari Abu Bakar r.a. juga, dari Nabi saw., beliau bersabda:

“Kamu harus selalu membaca ‘Laa ilaaha illallaah’ dan istigfar, perbanyaklah itu, karena sesungguhnya iblis berkata: Aku telah merusak manusia dengan dosa-dosa, namun mereka telah merusakku dengan ‘Laa ilaaha illallaah’ dan istigfar, ketika aku melihat hal itu, maka aku merusak mereka dengan keinginan-keinginan nafsunya, dan mereka menduga bahwa mereka mendapatkan petunjuk.” (H.R: Imam Ahmad dan Abu Ya’!a).

Al-Faqiih Abu Laits berkata: “Barangsiapa yang memelihara tujuh kalimat, maka di sisi Allah dan para malaikat-Nya, dia adalah orang yang mulia, dan Allah mengampuni dosa-dosanya, walaupun keadaan dosa itu laksana buih lautan, dia akan menemukan manisnya taat, dan keadaan hidup serta matinya menjadi kebaikan.” Kalimat tersebut adalah:

1.Ketika memulai sesuatu dia membaca Basmalah.

2.Ketika selesai melakukan sesuatu, dia membaca Hamdalah.

3.Ketika terlanjur mengucapkan perkataan yang tidak berguna, dia membaca Astaghfirullah.

4.Jika dia ingin melakukan sesuatu, dia mengucapkan insya Allah.

  1. Jika dia ditimpa suatu perbuatan yang tidak disukai, dia mengucapkan ‘Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim’.
  2. Manakala terkena musibah, dia mengucapkan ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’.
  3. Pada waktu malam dan siang, lisannya senantiasa membaca kalimat ‘Laa ilaaha illallaah Muhammadur rasuulullaah’.

Dari Al-Hasan Al-Bashri -semoga Allah memberi rahmat kepadanya-, dia berkata:

“Ditulis dalam kitab Taurat lima huruf, yaitu sesungguhnya kecukupan berada dalam qanaah, sesungguhnya keselamatan berada dalam ‘Uzlah, sesungguhnya kehormatan berada dalam meninggalkan syahwat, sesungguhnya kenikmatan berada dalam hari-hari yang panjang, dan sesungguhnya kesabaran berada dalam hari-hari yang sedikit.”

Qanaah, ialah puas dengan bagian dari Allah, dan tetap seperti itu jika tidak mendapat sesuatu yang diharapkan. Uzlah, ialah sengajz mengasingkan diri dari pergaulan manusia. Sedangkan sabar di sini, ialah ketabahan dalam menanggung beban selagi menunaikan perintah agama, dirundung musibah dan beban selagi menghindari larangan agama.

Dari Nabi saw., beliau bersabda:

“Ambillah kesempatan yang lima, sebelum (datang) yang lima: Masa mudamu sebelum datang masa tuamu: Sehatmu sebelum sakitmu, Kayamu sebelum fakirmu, Hidupmu sebelum matimu: Dan masa senggangmu sebelum kesibukanmu.” (H.R. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Hadis di atas menerangkan lima kesempatan yang baik, yang harus kita pergunakan sebelum datangnya lima perkara, yaitu:

  1. Masa muda sebelum masa tua, yaitu kita harus taat ketika kita masih kuat sebelum datang masa tua kita.
  2. Sehat sebelum sakit, yaitu kita rnelakukan amal saleh ketika kita sehat, sebelum datang sakit.
  3. Kaya sebelum fakir, yaitu kita melakukan sedekah dengan perkara yang selebihnya dari keperluan orang yang harus kita beri nafkah,

sebelum datang musibah yang merusak harta kita, maka jika kita tidak bersedekah dengan hal itu, niscaya kita menjadi orang yang fakir di dunia dan akhirat.

  1. Hidup sebelum datang kematian, yaitu kita harus menjadikan sesuatu yang bermanfaat setelah kita mati, karena sesungguhnya orang yang telah mati itu terputus segala amalnya.
  1. Waktu senggang sebelum datang kesibukan, yakni jadikanlah keuntungan masa libur kita di dunia ini, sebelum kita sibuk dengan ketakutan-ketakutan pada hari Kiamat yang tempat pertamanya adalah kubur.

Dari Yahya bin Mu’adz Ar-Raazi -semoga Allah memberi rahmat kepadanya-:

“Barangsiapa yang banyak kenyangnya, maka banyak dagingnya, barangsiapa yang banyak dagingnya, maka besar syahwatnya: barangsiapa yang besar syahwatnya, maka banyak dosanya: barangsiapa yang banyak dosanya, maka keras hatinya: dan barangsiapa yang keras hatinya, maka dia tenggelam dalam bahaya-bahaya dunia dan hiasannya.”

Barangsiapa yang banyak kenyangnya, maka banyak dagingnya. Berbeda dengan orang yang banyak makan sebab ketajaman zikir. Hal ini tidak akan membahayakan, karena sebagian dari para wali, tarekatriya adalah banyak makan, karena cepat tercernanya makanan dengan panasnya bekas zikir. Sesungguhnya bekas zikir itu laksana api, berbeda dengan bekas salawat kepada Nabi, yaitu sejuk.

Siapa saja yang banyak dagingnya, maka besar syahwatnya. Sedang perkara yang dapat memadamkan syahwat adalah lapar. Orang yang banyak syahwatnya, maka banyak dosanya, karena syahwat dapat menghalanginya dari Allah swt. Orang yang banyak dosanya, pasti keras hatinya, sehingga tidak dapat menerima nasihat-nasihat. Barangsiapa yang keras hatinya, maka dia tenggelam ke dalam bahaya dunia dan hiasannya.

Sufyan Ats-Tsauri berkata:

“Orang-orang yang fakir memilih lima dan orang-orang yang kaya memilih lima. Orang-orang fakir memilih ketenteraman jiwa, kesenggangan hati, mengabdi kepada Tuhan, ringan hisab, dan derajat yang tinggi. Sedangkan orang-orang yang kaya memilih lelah jiwa, sibuk hati, penghambaan pada dunia, beratnya hisab dan derajat yang rendah.”

Tentang kesenggangan jiwa dan hati, Nabi bersabda:

“Ya, Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau kehidupan yang mulia dan hati yang tenteram.”

Orang hartawan selalu resah dan gelisah, karena selalu mengurus dan memikir hartanya, karena itu, ia telah mengabdi pada dunia. Hisabnya juga akan berat, terutama yang menyangkut harta bendanya. Dia akan dimintai pertanggungjawaban secara mendetail sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya, karena itu, ia akan merasa tersiksa karena menghadapi hisab tersebut.

Orang hartawan memilih derajat yang hina, sebab derajat keduniaan akan tidak berarti jika dibanding derajat akhirat.

Dari Abdullah Al-Anthaki -semoga Allah merahmatinya katanya:

Lima macam obat hati, yaitu: Bergaul dengan orang-arang saleh, membaca Alqur-an, melaparkan perut, salat di malam hari, dan bersembah sujud di waktu menjelang Subuh.”

Lima perkara termasuk obat hati ketika hati keras, yang lima diambil dari perkataan Sayid Jallil Ibrahim Al-Khawas, sebagaimana yang telah dikemukakan An-Nawawi dalam kitab At-Tibyan. Sebagian ulama menambah yang lima ini dengan perkara-perkara yang banyak, tetapi sebagian dari perkara-perkara tersebut dimasukkan pada yang lainnya. Lima perkara itu adalah:

  1. Bergaul dengan orang-orang yang saleh, yaitu dengan cara menghadiri majelis-majelis dan cerita orang-orang saleh, juga di dalamnya termasuk diam dan menjauhi orang-orang yang tenggelam dalam kesalahan (kebatilan).
  2. Membaca Alqur-an disertai menafsirkan maknanya dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Mengosongkan perut dengan cara mengambil sedikit saja dari yang halal, karena sesungguhnya makan yang halal itu merupakan pokok segalanya, sehingga akan menyinari hati, maka cermin mata hati akan menjadi bersih dari karat yang menyebabkan hati menjadi keras. Dalam sebuah hadis marfu’ dikatakan

“Tiga perkara akan menjadikan hati menjadi keras, yaitu suka makan, suka tidur dan suka istirahat.”

  1. Salat malam, yaitu salat sunah setelah bangun tidur di malam hari.
  2. Bersembah sujud di waktu menjelang Subuh, karena dalam waktu ini terdapat ketenangan dan di sinilah waktu diturunkan rahmat dari Allah swt.

Dari jumhur ulama:

“Sesungguhnya pemikiran itu pada lima sasaran: Berpikir tentang bukribukti kebesaran Allah, hal ini dapat menimbulkan tauhid dan yakin, Berpikir tentang anugerah-anugerah Allah, hal ini dapat menimbulkan mahabbah dan syukur: Berpikir tentang janji-janji Allah, hal ini menimbulkan kecintaan hari Akhirat: Berpikir tentang ancaman Allah, hal ini menimbulkan rasa gentar bermaksiat, Dan berpikir tentang . kekurangan diri sendiri dalam mengabdi, padahal terlalu banyak Allah telah memberi kebaikan, hal ini akan membuahkan rasa malu terhadap Allah. “

Sayidina Ali -kartamallaahu wajhahuberkata: “Tidak ada ibadah (yang lebih sempurna) seperti berpikir.”

Sebagian orang yang makrifat mengatakan: “Bertafakur itu lampu hati, jika dia hilang, maka hatinya tidak bersinar.” Dalaim “sebuah ‘hadis dikatakan:

“Berpikir satu jam, lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun.”

Syekh Al-Hafni berkata: “Berpikir mengenai perkara-perkara yang diciptakan Allah, sakratulmaut, siksa kubur dan ketakutan-ketakutan pada hari Kiamat, itu lebih baik daripada banyak beribadah, karena dengan cara itu kebaikan akan menjadi teratur.”

Khalik Ar-Rasyidi berkata: “Tafakur (berpikir) tidak akan berhasil, selain dengan senantiasa berzikir dengan ucapan yang disertai hati, sehingga zikir tetap berada dalam hatinya. Keberhasilan kedudukan ini menunggu kemakrifatannya, karena jika tidak makrifat kepada Allah, bagaimana zikirnya itu akan bisa tetap berada dalam hati dan lisannya.”

Makrifat, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Ibrahim, ialah kenaikan, yakni menetapkan Yang Maha Benar di atas segala yang dikuasainya serta Dia itu berbeda dengan segala yang dipahamkan. Objekobjek tafakur itu banyak, berbagai bukti kebesaran Allah adalah merupakan sasaran (objek) pemikiran yang paling mulia. Dimaksudkan di sini, adalah berpikir tentang berbagai keajaiban dalam titah-titah Allah, bukti-bukti kekuasaan Allah, baik batiniah maupun lahiriah dalam segala benda yang tersebar di jagad raya ini, juga berpikir tentang berbagai keistimewaan yang ada dalam diri kita masing-masing. Allah berfirman:

 “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan bumi.” (Q.S. Yunus: 101).

Allah swt. juga berfirman:

“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tada memperhatikan?” . (Q.S. Adz-Dzaariyat: 20-21).

Dengan bertafakur pada ayat-ayat Allah, maka akan melahirkan tauhid dan yakin. Tafakur semacam ini akan menambah kemakrifatan kepada Zat Allah, sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Allah swt. berfirman:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di setiap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Alqur-an itubenar.” ”—(.S. Fushshilat: 53).

Selanjutnya, yakin yang merupakan buah pemikiran itu sendiri akan menghasilkan kegunaan lagi, antara lain: Tenteram dalam mengharapkan janji Allah, mantap terhadap jaminan Allah, menghadapkan seluruh minat dirinya kepada Allah dengan menghindari segala sesuatu yang dapat memalingkannya dari Allah dan kembali kepada Allah dalam segala halnya, dan akhirnya mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai rida Allah.

Adapun berpikir tentang anugerah-anugerah Allah, adalah sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat berikut:

“… maka ingatkan nikmat-nikmat Allah, agar kalian beruntung.” (Q.S. Al-A’raf: 69).

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya.” | (Q.S. Ibrahim: 34).

 “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu maka dari Allah-lah (datangnya).” (Q.S. An-Nahl: 53).

Dengan berpikir semacam ini, maka cinta dan syukur, yaitu buah . dari tafakur ini akan menimbulkan kecintaan kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya lahir-batin, sebagaimana Dia mencintai dan meridai kita.

Berpikir tentang janji-janji Allah, maksudnya ialah janji-janji-Nya yang berhubungan dengan berbagai amal perbuatan yang menjadi kegemaran para kekasih Allah, juga berbagai amal perbuatan yang dijanjikan sebagai sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman:

“Maka, apakah orang-orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (Q.S. As aidah 18).

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik ( surga), maka kelak Kami akan menyiapkan baginya yang mudah.” . (Q.S. Al-Lail: 5-7)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang beramal saleh, bahwa Dia sungguhsungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia

)telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” -:. (Q.S. An-Nuur: 55):

Juga Allah swt. berfirman:

“Sesungguhnya mereka yang banyak berbakti, benarbenar berada di dalam surga yang penuh nikmat.” (Q.S. Al-Infithar: 13).

Berpikir seperti ini, maka akan menimbulkan cinta pada akhirat. Buah tafakur ini, adalah mencintai orang-orang bahagia, beramal seperti amalamal mereka, dan berakhlak seperti akhlak-akhlak mereka.

Berpikir tentang ancaman-ancaman Allah swt. dengan jalan menjauhi akhlak-akhlak yang disifati oleh Allah kepada musuh-musuh-Nya dan perkara-perkara yang telah disiapkan oleh-Nya untuk mereka, yaitu siksa dan bencana Allah SWT, berfirman:

“Pan sesungguhnya orang-otang yang durhaka, benar-benar berada dalam neraka.” (Q.S. Al-Infithar: 14).

Allah swt. juga berfirman:

“Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Q.S. Al-Ankabut: 40).

Berpikir seperti ini akan melahirkan takut berbuat maksiat kepada Allah swt.

Tentang berpikir mengenai kekurangan diri sendiri dalam taat kepada Allah, padahal Dia telah banyak memberikan anugerah, maka ditunjuk-. kan oleh firman Allah:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56).

Allah swt. juga berfirman:

“Maka, apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami, menciptakan kamu secara main-main (saja) dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.S. Al-Mukminun: 115).

Berpikir dalam sasaran tersebut akan melahirkan rasa malu, maksudnya akan menambah rasa takut kepada Allah swt., sehingga menyalahkan diri sendiri dan mencacinya, menjauhi kelalaian dan menggiatkan ibadah.

Selain itu, sebagian dari objek berpikir itu adalah berpikir tentang ilmu dan pandangan Allah. Allah swt. berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” —(Q.S. Qaaf: 16).

Pada ayat lainnya Allah swt. berfirman:

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hadiid: 4).

Selain itu Allah swt. berfirman: –

“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya.” (Q.S. Al-Mujaadilah: 7).

Buah dari berpikir ini ialah melahirkan perasan malu dilihat oleh Allah, jika melakukan perkara yang dilarang-Nya. Di antara objek berpikir adalah berpikir mengenai dunia ini, kesibukan-kesibukannya dan hilangnya kesibukan-kesibukan tersebut. Selain itu, juga berpikir mengenai akhirat, kenikmatan dan kekekalannya. Allah swt. berfirman:

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, supaya kamu berpikir, tentang dunia dan akhirat.” (Q.S. Al-Bagarah: 219-220).

Pada ayat lain terdapat firman Allah Swt.:

“Tetapi kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” — (QS. Al-A’la: 16-17).

Selain itu Allah swt. juga berfirman:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melamkan senda gurau dan mainmain. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S. Al-Ankabut: 64).

Sasaran pemikiran lain lagi, ialah memperhatikan saat datang kematian, terjadi kerugian dan penyesalan jika tidak semaksimal mungkin dalam memanfaatkan kesempatan hidup. Sasaran ini dapat membuahkan berkurang lamunan yang bukan-bukan, untuk selanjutnya memperbanyak amal saleh dan lebih gigih lagi dalam menghimpun bekal menuju akhirat. Dalam masalah kematian ini, Allah berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kematian kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (Q.S. Al-Jumuah: 8),

“Hai, orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Q.S. Al-Munafiqun: 9).

Di dalam ayat 11 surah yang sama, disebutkan:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang, apabila telah datang waktu kematiannya…”

Dalam pelaksanaan pemikiran-pemikiran pada kerangka sasaran di atas, hendaklah mencanangkan juga petunjuk-petunjuk ayat, hadis maupun atsar.

Supaya disingkiri adanya pemikiran yang menyangkut Zat dan sifat Allah, juga pemikiran tentang proses terjadinya hakikat yang seperti itu. Dalam suatu hadis, Nabi bersabda:

“Berpikirlah kalian tentang tanda-tanda kebesaran Allah, dan jangan berpikir tentang Zat Allah, karena kalian tidak akan mampu mengetahui kedudukan yang sebenarnya.”

Dari sebagian bukama rahimakumullah:

“Di hadapan takwa ada lima jenjang, siapa yang berhasil melintasi seluruhnya, maka dia memperoleh ketakwaan yang sempurna, yaitu: Pertama memilih kesukaran atas kenikmatan: Kedua memilih kesungguhan atas kebebasan, Ketiga memilih kelemahan atas keperkasaan, Keempat memilih diam atas bicara yang tidak berguna, Kelima memilih maut atas kehidupan.”

Di hadapan takwa terbentang lima jenjang, seperti jalan-jalan di atas bukit. Barangsiapa yang dapat melewati jenjang tersebut, maka dia memperoleh ketakwaan yang sempurna, yaitu dengan cara meninggalkan perbuatan yang dikehendaki nafsu dan menjauhi larangan Allah swt.:

  1. Memilih kesukaran atas kenikmatan, yaitu dengan cara memilih beban ibadah untuk meninggalkan segala sesuatu yang menyenangkan.
  2. Memilih kesungguhan atas kebebasan, maksudnya kesungguhan dalam beribadah dengan cara meninggalkan kesenangan dunia.
  3. Memilih kelemahan atas keperkasaan, yaitu bersikap tawadhu’.
  4. Memilih diam atas kelebihan bicara, yaitu meninggalkan ucapan yang di dalamnya tidak mengandung kebaikan.
  5. Memilih maut atas kehidupan.

Menurut pandangan ahli Allah, maut adalah mengekang keinginan nafsu. Barangsiapa keinginan nafsunya mati, maka dia hidup. Maut terbagi empat bagian:

  1. Maut merah, yaitu menentang ajakan hawa nafsu.
  2. Kematian putih, yaitu perut lapar, karena lapar itu dapat menerangi batin dan memutihkan hati nurani: Barangsiapa tidak pernah kenyang, maka hiduplah kecerdasannya.
  3. Kemarian hyau, yaitu memakai pakaian usang penuh tambalan yang telah afkir dan tidak berharga, demi memenuhi sikap zuhud dan qanaah.

4. Kemauan hitam, yaitu memikul penderitaan dari perbuatan orang lain yang disebut Fanaa billah (merasa lenyap dirinya, karena tenggelam kepada Allah), yaitu menyadari penderitaan itu pada hakikatnya berasal dari Allah swt., sebab melihat lenyapnya semua perbuatan tenggelam dalam perbuatan yang sangat dicintainya.

Dari Nabi saw.:

“Munajat dapat melindungi rahasia-rahasia, sedekah dapat melindungi harta, ikhlas dapat melindungi amal perbuatan, kejujuran dapat melindungi ucapan, dan musyawarah dapat melindungi pendapatpendapat.”

Munajat dapat melindungi rahasia-rahasia, sedang menyimpan rahasia itu menjadi sebab terpenting untuk mencapai kesuksesan. Dalam sebuah hadis Nabi saw. bersabda:

“Mainta bantuanlah dengan merahasiakan untuk meraih keperluan-keperluan, karena sesungguhnya bagi setiap orang yang memperoleh kenikmatan, ada orang yang hasud.”

Tentang sedekah dapat melindungi harta, seperti riwayat dari Abu Darda’ dan Nabi saw., sabdanya:

“Tiada hari yang telah terbenam mataharinya, melainkan ada dua malaikat yang menyeru atau mendoakan: ‘Ya, Allah, berilah pengganti bagi orang yang menginfakkan dan berilah kerugian kepada orang yang menahan’.

Sehubungan dengan hal itu telah diturunkan ayat Alqur-an: ‘Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah, bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Q.S. Al-Lail: 5-7)’.”

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas r.a. berkata: Siapa yang memberikan sedekah sesuai dengan yang diperintahkan dan bertakwa dalam menangani apa yang ada, serta membenarkan adanya pengganti dari apa yang telah diberikannya itu, maka Allah akan mempersiapkannya menuju tempat yang penuh dengan kesenangan.

Adapun keikhlasan sebagai pelindung amal perbuatan, maka perlulah kiranya diketahui tingkat-tingkat keikhlasan tersebut:

  1. Tingkat tertinggi, yaitu memurnikan amal perbuatan dari campuran makhluk, dalam arti melakukan ibadah semata-mata dengan menjunjung tinggi perintah Allah dan memenuhi hak pengabdian, tanpa ada maksud mencari jasa dari sesama manusia, baik berupa simpati, pujian, sumbangan materiil maupun yang lain.
  2. Tingkat menengah, yaitu melakukan sesuatu karena Allah, dengan maksud agar memperoleh imbalan di akhirat, misalnya dijauhkan dari neraka, dimasukkan surga dan menerima berbagai kenikmatan di surga.
  1. Tingkat terendah, yaitu melakukan sesuatu karena Allah, dengan maksud agar memperoleh imbalan duniawi, semacam lapang rezekinya, tertolaknya berbagai mara bahaya dan sebagainya.

Kejujuran dapat melindungi ucapan, karena orang yang berdusta tidak dapat diterima ucapannya, baik oleh Allah maupun di depan manusia. Dalam hal ini Ibnu Abbas mengatakan mengenai firman Allah swt.:

“Dan jaganlah kamu. mencampuradukkan yang hak dengan y yang baca.” (Q.S. Al-Baqarah: 42).

Maksudnya, tidak mencampuradukkan ucapan yang benar dengan yang bohong. Sagian hukuma mengatakan!

“Membasi lebih baik daripada dusta dan kejujuran lisan itu awal dari kebahagiaan.” | –

Sebagian pujangga mengatakan:

“Orang yang jujur dilindungi dan disukai, sedangkan orang yang bohong ucapannya direndahkan dan dihinakan”

Tentang musyawarah, Nabi bersabda:

“Musyawarah itu benteng penangkal penyesalan, juga pengaman dari cercaan.”

“Sebaik-baik gotong royong adalah musyawarah, dan seburuk-buruk persiapan adalah kesewenang-wenangan.”

Nabi saw. bersabda:

“Sesungguhnya terdapat lima perkara tercela dalam kegiatan pengumpulan harta, yaitu sengsara dalam mengumpulkan, terlupa mengingat Allah dalam mengelola harta, khawatir perampokan dan pencurian, karena harta, maka seseorang dapat disebut kikir dan demi harta, maka seseorang dapat berpisah dari orang-orang saleh. Dan terdapat lima perkara terpuji dalam melepas harta, yaitu kesenggangan diri dari kesibukan mencarinya, karena tidak mengelola harta, maka banyak kesempatan untuk mengingat Allah, aman dari perampokan dan pencurian, karena melepas harta, maka seseorang dapat disebut orang mulia dan karenanya pula, maka orang dapat bersahabat dengan orang-orang saleh,” .

Segolongan orang-orang fasih berkata:

“Kemurahan seseorang itu dapat membuatnya dikasihi oleh lawanlawannya, sedang kekikiran seseorang dapat membuatnya dibenci oleh putra-putrinya.”

Kata mereka pula:

“Sebaik-baik harta adalah yang dapat membuat orang merdeka dikuasainya dan sebaik-baik amal adalah yang berhak disyukuri.”

 Sufyan Ats-Tsauri r.a.:

“Pada zaman ini, tiada harta pada seseorang, melainkan dibarengi oleh lima hal tercela, yaitu: Lamunan melantur, tamak yang menguasainya, kikir yang sangat, menipisnya wira’i, dan lupa akhirat.”

Dalam mengumpulkan harta pada zaman ini, terdapat lima sifat yang tercela, yaitu:

  1. Menantikan perkara yang sulit diperolehnya.
  2. Dikuasai oleh sifat tamak. Orang yang mencintai dunia dicela, sedangkan orang yang mencari kelebihannya dikritik. Mencintai dunia dikhususkan pada segala hal yang melewati batas keperluan, sedangkan kelebihan dunia ialah merasa gembira dengan segala hal yang melebihi ukuran keperluannya. Nabi saw. bersabda:

“Tidak termasuk yang lebih baik di antara kamu, orang yang meninggalkan dunia karena akhirat saja, begitu pula orang yang meninggalkan akhirat karena dunia saja. Tetapi yang lebih baik di antara kamu adalah orang yang mengambil ini dunia dan ini akhirat (pertengahan).”

Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa sesungguhnya beliau bersabda:

“Sebaik-baik tunggangan adalah dunia, maka naikilah ia, ia akan menyampaikan kamu ke akhirat.”

Ali bin Abi Thalib “karramallahu wajhahu-mengatakan:

“Dunia itu tempat kebenaran bagi orang yang membenarkannya, tempat keselamatan bagi orang yang memahaminya dan tempat kecukupan bagi orang yang menjadikannya sebagai bekal.”

  1. Dikuasai oleh kekikiran.
  2. Hilang sifat waraknya. Warak ialah menjauhi perkara-perkara ydng subhat, karena takut jatuh ke dalam perkara-perkara yang haram. Menurut pendapat lain, warak ialah selalu melakukan amal yang baik.
  3. Lupa pada akhirat. Seorang penyair menyatakan:

Wahai, peminang dunia untuk diri sendiri

sungguh menjadi kekasihnya di setiap hari. Dunia minta agar suami segera menikahi

dan sebenarnya ia telah digauli.

Di tempat lain ia punya ganti suami

Aduhai, dunia pun menerima para peminangnya,

tiada lain untuk membunuh mereka

dan mereka pun terbunuh semua

Sungguh aku telah tertipu

dan sungguh petaka menjebak diriku sedikit demi sedikit

Himpunlah bekal untuk mari

bekal, sungguh bekal!

Karena pengundang telah menyeru

Berangkarlah, ayo berangkat

Dari Hatim Al-Asham r.a., dia berkata:

“Terpesa-gesa itu dari setan, selain dalam lima tempat, maka sesungguhnya tergesa-gesa dalam hal itu termasuk sunah Rasulullah saw., yaitu: Memberi makan kepada tamu, jika menginap, mengurusi mayat orang yang mati, mengawinkan anak perempuan jika telah balig: membayar utang jika telah jatuh tempo pembayarannya, dan tobat dari dosa jika terlanjur mengerjakannya.”

Bergegas-gegas dalam segala perkara itu timbul dari setan, namun tergesa-gesa dalam lima tempat termasuk sunah Rasulullah saw., yaitu:

  1. Memberi makan kepada tamu dengan makanan seadanya, jika tamu telah datang. Abu Hurairah r.a. mengatakan, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa yang memberi makan kepada saudaranya yang muslim dengan makanan seleranya, maka Allah swt. mengharamkan dia ke neraka.”

Pada hadis lain diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash r.a., bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa yang memberi roti saudaranya yang muslim hingga merasa kenyang dan memberi air hingga merasa segar, maka dijauhkan dari neraka -yang jarak antara keduanyatujuh parit, jarak tiap parit ke parit yang lain adalah perjalanan tujuh ratus tahun.”

(H.R. An-Nasai, Ath-Thabrani, Al-Hakim dan Al-Baihagi).

  1. Mengurusi mayat, yaitu memandikan, mengafani, menyalati dan menguburkan jika yakin telah mati. Diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Sesungguhnya imbalan orang mukmin yang diberikan pertama kali setalah ia mati, ialah diampuninya dosa seluruh orang yang mengantarkan jenazahnya.” (H.R. Al-Baihaqi).

Pada hadis lain diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Apabila seorahg warga surga meninggal dunia, maka Allah merasa malu menyiksa orang yang memikul jenazahnya, orang yang mengantarkan jenazahnya dan orang yang menyalatinya.”

(H.R. Ad-Dailami).

  1. Tergesa-gesa mengawinkan anak perempuan jika telah balig.

Dari Aisyah r.a., bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa mengawinkan anak perempuannya, maka Allah memakaikan mahkota kepadanya dengan mahkota raja-raja.” (H.R. Ibnu Syahin).

  1. Membayar utang jika telah datang waktu untuk membayarnya.

5, Bertobat, didapat dari riwayat Ibnu Umar r.a., yang menyatakan bahwa la sempat menghitung, Rasulullah saw. dalam satu majelis mengucap. kan seratus kali sebagai berikut:

“Wahai, Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah tobatku, sesungguhnya Engkau Tuhan Yang Maha Menerima tobat dan Maha Pengampun.” (H.R. Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Muhammad bin Dauri -rahimahullah-berkata-:

“Iblis celaka sebab lima perkara, yaitu tidak mengakui dosa, tidak bersedih, tidak mencela dirinya sendiri, tidak mengazam berniat tobat, dan putus asa dari rahmat Allah. Sedangkan Adam a.s. bahagia karena lima perkara, yaitu mengakui dosa, menyesali atas dosanya, menyalahkan dirinya sendiri, segera bertobat dan tidak putus asa dari rahmat Allah.”

Nabi Adam a.s. bahagia karena mengakui dosanya, sebagaimana dalam pengakuan beliau termuat dalam sebuah ayat Alqur-an:

“Wahai, Tuhan kami, kamu telah berbuat zalim serhadap dm kami sendiri, jika Engkau tidak mengampuni kami, dan tidak memberi rahmat kepada kami, niscaya kamu termasuk orang-orang yang merugi.”

Dari Aisy r.a.: 250

“Sesungguhnya hamba, jika mau mengakui dosanya kemudian bertobat, maka Allah berkenan menerima tobatnya.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari riwayat Abdullah bin Mas’ud, mengatakan: Nabi saw. “bersabda:

“Barangsiapa berbuat kesalahan atau berbuat dosa, kemudian menyesalinya perbuatan itu, maka penyesalan itulah tebusannya.” . (H.R. Al-Baihaqi).

Dari guru Syekh Hatim Al-Asham, yaitu Syaqiq Al-Balkhi mengatakan:

“Laksanakanlah lima perkara ini: beribadalah kepada Allah sebanyak apa yang kamu perlukan dari-Nya: berdosalah kepada Allah sejauh kamu mampu memikul siksa-Nya: Himpunlah bekal di dunia sebanyak usiamu di dunia, dan berbuatlah derni surga, seukur kedudukan surga yang kamu kehendaki.”

Warga surga itu bertingkat-tingkat, sesuai dengan banyak-sedikit amal kebajikannya. Untuk yang tertinggi kebajikannya, maka tingkatan surganya juga paling tinggi.

Dalam kesempatan lain Syaqiq Al-Balkhi mengatakan: “Saya mencari lima hal, kemudian saya temukan pada lima perkara, yaitu: Saya mencari kesanggupan meninggalkan dosa, lalu saya temukan pada salat Dhuha: saya mencari pancaran sinar dalam kubur, lalu saya temukan pada salat Lail (salat malam): saya mencari jawaban terhadap Mungkar dan Nakir, kemudian saya temukan pada pembacaan Alqur-an, saya mencari kemampuan melintasi titian, lalu saya temukan pada puasa dan sedekah: dan saya mencari teduhan Arasy, ternyata saya temukan dalam mengasingkan diri.

Syaqiq Al-Balkhi ialah anak seorang hartawan. Dalam suatu perjalanan siaganya ke Turki, sempat memasuki sebuah rumah penyembahan berhala. Di samping banyak terdapat berhala, diketahui juga banyak pendeta yang berkepala gundul dan tidak berjenggot. Kepada seorang pelayan di situ Syagig berkata: “Anda diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Hidup, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Sembahlah kepada-Nya, tidak perlu lagi menyembah pada berhala-berhala yang tidak berbahaya juga tidak berguna!” Dengan diplomatis pelayan itu menjawab: “Jika benar, apa yang kamu katakan, bahwa Tuhan Maha Kuasa memberi rezeki kepadamu di negerimu sendiri, mengapa Tuan dengan susah payah datang kemari untuk berniaga?” Maka terketuklah hati Syagig dan untuk selanjutnya menempuh kehidupan Zuhud.

Kisah lain tentang kezuhudan Syagig, menuturkan jalan cerita yang berbeda. Bermula dia melihat seorang hamba bermain-main, sementara kehidupan perekonomian mengalami paceklik, yang melanda manusia secara merata. Kepada hamba itu Syaqiq bertanya: “Apakah kerja Anda, bukankah Anda tahu orang-orang sedang menderita karena paceklik?” Si hamba itu menjawab: “Saya tidak mengalami paceklik, karena majikanku memiliki perkampungan subur yang hasilnya mencukupi keperluan kami.” Di sinilah Syaqiq mulai terketuk hatinya dan berkata: “Jika hamba tersebut tidak memikirkan rezeki karena majikannya memiliki . perkampungan yang subur, toh si majikan itu sendiri adalah makhluk yang melarat, maka bagaimana bisa patut jika orang muslim memikirkan rezekinya, sedang Tuhannya Maha Kaya?”

Umar r.a. berkata:

“Aku melihat semua teman karib, maka aku tidak melihat teman karib yang lebih utama daripada memelihara ucapan: aku melihat semua pakaian, maka aku tidak melihat pakaian yang utama daripada wira, aku melihat semua harta benda, maka aku tidak melihat harta benda yang lebih utama daripada qanaah, aku melihat semua kebaikan, maka aku tidak melihat kebaikan yang lebih utama daripada nasihat: dan aku melihat semua makanan, maka aku tidak melihat makanan yang lebih lezat daripada sabar.”

Maksud dari perkataan Umar r.a. adalah: Teman karib yang lebih utama adalah memeliharan lisan. Banyak perbedaan antara orang yang diam karena menjaga ucapan bohong dan mengumpat dengan orang yang diam agar diberi kehormatan oleh raja.

Pakaian yang lebih utama adalah takwa. Menurut Ibrahim bin Adham, warak ialah meninggalkan setiap yang subhat, sedangkan meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat disebut meninggalkan kelebihan-kelebihan.

Rasullah saw. bersabda kepada Abi Hurairah:

“Lakukanlah wira’i, maka anda menjadi orang yang paling tinggi ibadahnya.”

Kekayaan paling utama adalah qanaah. Qanaah adalah tidak melihat perkara yang tidak ada dan merasa cukup dengan perkara yang ada dijelaskan oleh sabda Rasulullah saw.:

“Tadilah kamu orang yang warak, niscaya menjadi orang yang palmg beribadah: jadilah kamu orang yang qanaah, niscaya kamu menjadi orang yang bersyukur, cmtailah untuk orang lam apa-apa yang kamu Cintai untuk dirimu sendiri, niscaya kamu menjadi orang mukmin yang paling sempurna, berbuat baiklah dalam bertetangga dengan orang yang menjadi sempurna, berbuat baiklah dalam bertetangga dengan orang yang menjadi tetanggamu, niscaya kamu menjadi orang muslim yang sempurna: dan sedikitlah dalam tertawa, karena banyak tertawa itu akan menjadikan hati mati.”

Kebaikan yang utama adalah nasihat-nasihat, yaitu benar dalam perbuatan. Kebaikan terdiri atas dua macam, yaitu pemberian dan makruf (kebajikan). Pemberian adalah berderma dengan mengorbankan harta di jalan yang terpuji tanpa ada maksud agar diganti. Rasulullih saw. bersabda:

“Hati tertarik karena cinta kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya dan membenci kepada orang yang telah berbuat jelek kepadanya. “

Dengan “demikian, di dalam kebaikan itu terdapat kerelaan manusia dan di dalam takwa terdapat kerelaan Allah swt. Barangsiapa yang telah mengumpulkan keduanya, maka kebahagiaanya telah sempurna dan nikmatnya telah meliputi.

Makruf (kebajikan) terdiri atas dua macam, yaitu ucapan (manis ucapannya dan baik pribadinya) dan perbuatan (memberikan penghormatan dan menolong orang yang tertimpa bencana).

Makanan yang paling lezat adalah sabar. Sabar terdiri atas tiga rukun, yaitu menahan nafsu dan benci pada Qadha (ketentuan), menahan ucapan dari ucapan yang jelek dan menahan anggota badan dari ” menempeleng, merobek-robek saku, menjerit-jerit, mencoreng-coreng muka dan meletakkan tanah di atas kepala.

Barangsiapa yang melakukan tiang-tiang ini, maka dia memperoleh keutamaan Sabar, sedangkan sabar merupakan setengah dari iman dan bencananya merupakan pemberian kebaikan semata. Sabar terdiri atas beberapa bagian, yaitu sabar terhadap perkara yang diusahakan, sabar terhadap perintah Allah swt. dan sabar terhadap larangan-Nya. Sabar terhadap perkara yang tidak diusahakan dan menanggung takdir Allah.

Dari segolongan hukama, katanya:

“Di dalam zuhud terdapat lima perkara terpuji: Percaya penuh kepada Allah, terbebas diri dari sesama makhluk, tulus ikhas dalam berbuat, kesanggupan memikul kezaliman dan kecukupan diri dengan apa yang ada di tangan.”

Menurut sebagian hukama, zuhud itu mengandung lima perkara terpuji, yaitu:

Berpegang teguh kepada Allah serta cinta fakir. Seperti yang dikatakan Abdullah bin Al-Mubarak, Syagig Al-Balkhi dan Yusuf bin Asbath: Salah satu tanda zuhud, yaitu tidak akan kuat zuhudnya selain dengan berpegang teguh kepada Allah swt.

Terbebas diri dari sesama makhluk, sebagaimana dikatakan oleh Abu Sulaiman Ad-Darani: Zuhud ialah meninggalkan apa-apa yang melalaikan dari Allah swt.

Tulus ikhas dalam berbuat, sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Muadz: Seseorang tidak akan sampai pada hakikat zuhud, hingga padanya ada tiga perkara, yaitu amal tanpa iming-iming, ucapan tanpa disertai perasaan tamak dan kemuliaan ‘tanpa kepangkatan.

Kesanggupan memikul kezaliman, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi saw.:

“Zuhud di dunia itu bukanlah mengharamkan perkara yang halal dan bukan menyia-nyiakan harta, tetapi kezuhudan di dunia itu janganlah kamu lebih berpegang teguh pada apa-apa yang ada di tanganmu dari apa-apa yang ada di tangan Allah dan jika kamu ditimpa musibah, maka kamu lebih suka andaikan musibah itu tetap ditimpakan kepadamu, karena memandang pahalanya.”  (H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Kecukupan diri dengan apa yang ada di tangan, dikatakan oleh AlJunaidi, “Zuhud ialah mengosongkan hati dari perkara yang tiada di tanganmu.”

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Zuhud di dunia ialah pendek anganangan, bukan dengan makan yang kasar dan bukan pula dengan memakai pakaian yang sejenis mantel, inilah yang termasuk dari tanda-tanda zuhud dan sebab-sebab yang membangkitkannya. Jadi, orang yang zuhud ialah orang yang tidak bergembira atas dunia atau harta yang dimilikinya dan tidak berduka atas dunia atau harta yang tidak dimilikinya.”

Sebagian ahli ibadah mengatakan dalam munajatnya:

“Oh, Tuhanku, lamunan yang melantur telah menipu aku, kecintaan terhadap duniawi telah merusak diriku, setan juga menyesatkan jalanku, hawa nafsu pendorong kejahatan itu telah menghalang-halangi aku dari kebenaran, dan teman yang jahat telah membantu aku melakukan maksiat, maka tolonglah aku, wahai, Tuhan, penolong terhadap mereka yang mohon pertolongan dan jika Engkau tidak memberiku rahmat, maka siapa lagi selain Engkau yang dapat merahmati aku.”

Lima hal yang dikemukakan oleh sebagian ahli ibadah kepada Allah SWT., yaitu:

  1. Lamunan yang melantur telah menipunya, Allah swt. mencela dengan firman-Nya: “

“Biarkanlah mereka di dunia mi makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui akibat perbuatan mereka.” (Q.S. Al-Hjjr: 3).

  1. Kecintaan terhadap duniawi telah menjerumuskannya ke dalam kecelakaan. Diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda: ‘

“Barangsiapa hatinya diracuni kecintaan dunia, maka melekat padanya tiga perkara: Sengsara yang tiada akhir deritanya, tamak yang tidak berkepuasan dan lamunan yang berkepanjangan tanpa arah tujuannya.” (H.R. Ath-Thabrani).

Setan telah menyesatkannya ke jalan yang menyimpang. Hawa nafsu pendorong kejahatan telah menghalang-halanginya dari kebenaran. Ali r.a. berkata: Aku merasa khawatir terhadap kamu dengari dua perkara, yaitu mengikuti keinginan nafsu dan panjang angan-angan. Sesungguhnya mengikuti keinginan nafsu akan menghalangi dari yang hak (benar) dan panjang angan-angan akan menjadikan lupa akhirat.

Sulaiman Ad-Darani berkata: Amal yang utama adalah menyalahi keinginan nafsu.

Teman yang jahat telah membantunya melakukan maksiat, Adi bin Zaid mengatakan dalam syairnya dari Bahar Thawil:

Janganlah bertanya tentang kelakukan seseorang,

namun bertanyalah tentang kelakuan temannya

Karena setiap manusia

mengikuti kepada yang menemaninya.

Apabila kamu berada dalam suatu kaum,

maka bertemanlah kamu dengan orang-orang pilihan mereka

Janganlah kamu berteman dengan orang yang celaka,

karena engkau akan menjadi celaka bersamanya.

Nabi saw. bersabda:

“Akan datang saatnya, di mana umatku menggemari lima hal dan melupakan lima yang lain: Menggemari duniawi dan melupakan ukhrawi, menggemari hidup dan lupa mati, menggemari gedung-gedung bermahligai dan lupa kubur, menggemari harta benda dan melupakan hisab dan mereka mencintai makhluk dan melupakan Khalik, Allah swt.”

Di akhir zaman, umat akan mencintai lima perkara dan melupakan lima perkara, yaitu:

Mencintai dunia dan melupakan akhirat. ‘ .

Menggemari hidup dan melupakan mati. Dari Aisyah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa yang membaca ‘Allahamma baarik lii fii mauti wa fiimaa ba’dal maut’ (ya, Allah, berkatilah saya dalam kematian dan sesudahnya) setiap hari dua puluh lima kali, kemudian dia mati di atas tempat tidurnya, maka Allah memberikan kepadanya pahala orang yang mati syahid.” (H.R. Ath-Thabrani).

Mencintai gedung-gedung, yakni rumah-rumah yang dibentengi dan melupakan kubur dan kesusahan-kesusahannya.

Menggemari harta benda dan melupakan hisab. Diriwayatkan, sesungguhnya Nabi « saw. bersabda:

“Zuhud ialah kamu mencintai apa-apa yang dicintai Penciptamu dan kamu benci terhadap apa-apa yang dibenci Penciptamu, kamu keluar dari dunia yang halal seperti kamu keluar dari dunia yang haram, karena halalnya menjadi hisaban, dan yang haramnya menjadi siksaan, kamu harus menyayangi orang-orang muslim, seperti kamu menyayangi . dirimu sendiri, kamu harus mencegah dari perkataan yang tidak bermanfaat bagimu, seperti kamu mencegah dari perkara yang haram, kamu harus mencegah dari makan yang banyak, seperti kamu mencegah dari harta duniawi dan hiasannya, seperti kamu mencegah dari api dan kamu harus memendekkan angan-anganmu tentang dunia, maka inilah zuhud di dunia.” (H.R. Ad-Dailami).

Mencintai makhluk dan melupakan Khalik, Allah swt. Apabila seseorang berangan-angan, dia lupa akan mati, kesusahan-kesusahan di akhirat, cinta pada dunia dan bergaul dengan makhluk, hatinya menjadi keras, sehingga meninggalkan kewajiban, bermalas-malasan untuk mencari bekal di akhirat dan memperlambat berbuat tobat. Rasulullah saw. melewati suatu majelis yang di dalamnya terdengar suara terbahak-bahak, beliau bersabda:

“Kamu harus mencampurkan majelis-majelismu dengan perkara yang mengeruhkan kelezatan-kelezatan.” Mereka bertanya: “Apakah yang mengeruhkan kelezatan-kelezatan itu?” Beliau bersabda: “Maut.”

Yahya bin Mu’adz Ar-Razi berkata dalam munajatnya:

“Oh, Tuhanku, tiada indah suatu malam, kecuali dengan bermunajat kepada-Mu: tiada indah suatu sinar, kecuali berbuat taat kepada-Mu: tiada indah suatu siang, kecuali berbuat taat kepada-Mu: tiada indah dunia ini, kecuali dengan menyebut (berzikir) kepada-Mu, tiada indah akhirat, kecuali bersamaan ampunan-Mu, dan tiada surga, melainkan dengan melihat wajah-Mu.”

Tentang keindahan duniawi, secara gamblang dapat dipahami dari Nabi saw.:

“Sesungguhnya dunia itu terlaknat, dan terlaknat pula seluruh isinya, kecuali perbuatan mengingat/zikir Allah dan yang sepadan dengannya serta orang alim dan orang belajar.” (H.R. An-Nasai).

Dalam hadis lain Nabi saw. bersabda:

“Setelah Allah’menurunkan Nabi Adam dari surga ke arcapada (bumi), maka susahlah segala sesuatu yang semula mendampinginya, kecuali emas dan perak: kemudian Allah berfirman pada benda tersebut: ‘Aku mendampingkan engkau pada hamba-Ku, kemudian hamba itu Aku lepas dari sampingmu dan semua pihak yang semula mendampinginya, merasa susah karenanya kecuali engkau berdua.’ Dua benda itu pun menjawab: “Tuhan kami, Engkau Maha Mengetahui, bahwa Justru membuat kami berdua berdampingan dengannya selagi ia menaatiMu, dan setelah itu ia pun durhaka kepada-Mu, maka kami tidak merasa susah atas nasib selanjutnya.’ Lalu Allah berfirman kepada keduanya: ‘Demi ketinggian-Ku dan Keagungan-Ku, niscaya aku akan .membuat-Mu berharga, sehingga tidak dapat diperoleh segala sesuatu melainkan denganmu berdua’.” (H.R. Ad-Dailami).

Ali -karramallahu wajhahu wa radhiyallaahu ‘anhumengatakan dalam munajatnya, dalam syair dari Bahar Waafir: .

Oh……….

Bukankah dengan anugerah-Mu itu

Engkau telah meridengar doa seorang hamba yang lemah dan dirundung petaka

Yang tenggelam di dalam lautan kesusahan karena sedih yang tertawan oleh dosa-dosa dan kesalahan

Aku menyeru setiap hari dengan rendah hati seraya mengagungkan nama-Mu dalam menyanjung dan berdoa kepada-Mu

Sesungguhnya bumi seluruhnya terasa sempit olehku dan seluruh penduduk bumi juga tidak mengetahui obat untukku

Tolonglah daku

Sesungguhnya aku memohon ampun kepada Engkau

Wahai, Zat Yang Maha Agung

Wahai, Zat Yang aku harapkan!

Aku datang kepada Engkau sambil menangis

kasihanilah tangisku

maluku kepada Engkau lebih banyak daripada kesalahanku

Aku mempunyai kesusahan hanya Engkau-lah yang mampu membuka kesusahanku

Aku mempunyai penyakit hanya Engkau-lah obat penyakitku

Aku tergugah oleh harapanku maka kukatakan, wahai, Tuhanku! Harapanku, semoga Engkau mewujudkan harapanku .

Balasan kepadaku adalah siksaan yang Engkau timpakan kepadaku ‘tetapi aku tetap berlindung dengan kebaikan anugerah-Mu

Wahai, Zat, yang aku harapkan ampunilah aku, wahai, Tuhanku, karena cekaman bencana tengah menimpaku.[alkhoirot.org]

LihatTutupKomentar