Fatwa MUI tentang Arah Kiblat masjid yang salah

Fatwa MUI tentang Arah Kiblat masjid yang salah atau kurang pas Ketika disinyalir di Indonesia tidak sedikit masjid yang kiblatnya salah,

Fatwa MUI tentang Arah Kiblat masjid yang salah

Judul buku, kitab: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Direktorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak,
Nama lain dari ilmu falak: ilmu hisab, ilmu rashd, ilmu miqat, ilmu haiah.

Daftar isi

  1. Fatwa MUI vs Arah Kiblat 
  2. Kembali ke buku: Ilmu Falak dan Hisab Praktis

I. Fatwa MUI vs Arah Kiblat

Ketika disinyalir di Indonesia tidak sedikit masjid yang kiblatnya
salah, bahkan terdata 320 ribu dari 800 ribu masjid di Indonesia (running text
Metro TV, 23/01/2010), banyak kalangan resah, terutama pejabat Kementerian
Agama, tokoh agama, takmir masjid dan mushala. Adanya gempa dan
pergeseran lempeng bumi dituding sebagai penyebab arah kiblat di sebagian
besar wilayah Indonesia bergeser, dan menjadi salah arah kiblatnya.

Melihat fenomena ini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat
pun resah dan menyikapinya dengan mengeluarkan Fatwa Nomor 3 Tahun
2010 tentang Kiblat Indonesia yang disahkan pada 1 Februari 2010, dan
dibacakan dalam konferensi pers pada 22 Maret 2010.

Dalam fatwa tersebut, ada tiga ketentuan hukum, pertama, kiblat bagi
orang yang shalat dan dapat melihat Kakbah adalah menghadap ke bangunan
Kakbah (ainul Kakbah). Kedua: kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat
melihat Kakbah adalah arah Kakbah (jihat al Kakbah). Ketiga, letak geografis
Indonesia yang berada di bagian timur Kakbah, maka kiblat umat Islam di
Indonesia adalah menghadap ke arah barat.

Menurut penulis, fatwa tersebut menjadi persoalan yang harus
diklarifikasi tuntas, Artinya, bahwa fatwa kiblat Indonesia adalah arah barat
bukan merupakan jawaban bijaksana untuk masyarakat yang "resah" adanya
isu kiblat masjid dan mushala berubah akibat bergeser setelah ada gempa dan
pergerakan lempeng bumi.

Terlalu sederhana jika fatwa ini dianggap menjadi solusi atau menjadi
“pemadam” atas keresahan masyarakat selama ini. Bahkan sebaliknya fatwa
ini 'menjadi membahayakan jika menjadi pandangan atau keyakinan
masyarakat dalam beribadah.

Pada dasarnya lempengan-lempengan bumi memang terus bergerak
kendati lambat sehingga tidak dapat dipantau mata. Gerakan itu sangat rumit,
sistematis, dan pasti sehingga gerakan tersebut pada akhirnya akan menjaga
tetapnya blok bumi dan area permukaannya.

Jadi, posisi-posisi di atas permukaan bumi tidak bergerak. Gerakan ini
baru dapat dideteksi setelah ratusan tahun. Gerakan tersebut baru dapat
dirasakan ketika terjadi gempa sebagaimana hal itu dapat diukur melalui alat
laser, Rata-rata gerakan bagian dari lempeng-lempeng bumi tersebut dapat
dideteksi hanya 1 mm/ tahun. Karena ita, adanya gerakan 1 mm/ tahun tentu
saja tidak dapat menjadikan arah kiblat bergeser secara signifikan.

Keajaiban Perlu kita ketahui bahwa semua lempeng di muka bumi ini
bergerak, kecuali di sekitar lempengan Arab yang gerakannya teratur. Ini
merupakan keajaiban tersendiri yang menjadikan bukti bahwa
Makkah/ Kakbah dijadikan pusat ibadah umat Islam di seluruh dunia.

Lempengan-lempengan bumi di seluruh wilayah mengarah ke Arab,
seolah-olah menunjuk pada lempengan Arab. Lempengan belahan bumi yang
lain seperti Hindia, Afrika, Turki, Iran, dan Afganistan bergerak ke arah utara
disertai dengan putaran beberapa derajat berlawanan dengan arah jarum jam.

Dengan demikian lempengan Arab yang tidak berubah, menjadikan
posisi Kakbah tetap. Inilah alasan mengapa Makkah (Kakbah) dijadikan
sebagai kiblat ibadah umat Islam, Karena itu, tidak rasional jika dianggap ada
pergeseran arah kiblat karena pergeseran bumi dan gempa, karena hal itu
merupakan gejala alam yang sudah terjadi bermiliar-miliar tahun dan tidak
terlalu signifikan.

Penulis lebih cenderung berasumsi bahwa tidak ada pergeseran arah
kiblat secara signifikan pada masjid atau mushala di negara kita ini, Yang ada
hanyalah tidak adanya pengetahuan dalam pengukuran dan penentuan kiblat
secara benar pada saat pembangunan masjid dan mushala pada waktu itu.
Atau, dulu saat pengukuran masih menggunakan alat atau cara yang
sederhana dalam penentuan arah kiblatnya.

Jika merujuk perkembangan teknologi dan informasi, penentuan arah
kiblat pada zaman sekarang bukan suatu hal yang rumit bagi masyarakat
muslim, Jauh sebelum astronom muslim mengembangkan metode
pengamatan dan teoritisnya yang maju, mereka sudah memiliki keahlian
dalam menerapkan pengetahuan astronomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
dalam ibadah, Jadi, terlalu sederhana bila fatwa MUI pada era secanggih ini
hanya menunjuk kiblat ke arah barat tanpa mempertimbangkan sudut,
walaupun seandainya dikaji secara Alguran-Hadis, dianggap sah-sah saja.[]

LihatTutupKomentar