Mengoreksi Arab Kiblat Masjid yang Tidak Akurat

Mengoreksi Arab Kiblat Masjid yang tidak Akurat Perbincangan mengenai arah kiblat masjid dan mushala, akhir-akhir ini cukup hangat. Bahkan pejabat

Mengoreksi Arab Kiblat Masjid yang Tidak Akurat


Judul buku, kitab: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Direktorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak,
Nama lain dari ilmu falak: ilmu hisab, ilmu rashd, ilmu miqat, ilmu haiah.


Daftar isi

  1. H. Kalibrasi Mengiblatkan Masjid
  2. Referensi
  3. Kembali ke buku: Ilmu Falak dan Hisab Praktis

 H. Kalibrasi Mengiblatkan Masjid [165]

Perbincangan mengenai arah kiblat masjid dan mushala, akhir-akhir
ini cukup hangat. Bahkan pejabat terkait dalam hal ini Menteri Agama,
Direktur Urusan Agama Islam Depag, anggota Komisi VIII DPR yang
membidangi masalah agama membahas serius. Hal ini karena disinyalir di
Indonesia tidak sedikit masjid yang kiblatnya salah, bahkan terdata 320 ribu
masjid (running text Metro TV, 23 Januari 2010). Pembicaraan mengenai kiblat
makin mencuat dengan temuan bahwa gempa akibat pergerakan lempeng
bumi dapat menggeser muka bumi hingga 7 cm per tahun (Doktor Amien
Widodo, ITS Surabaya, 21 Desember 2009),

Guru besar arsitek Undip Totok Roesmanto dalam kolom “Kalang”
Suara Merdeka, 1 Juni 2003 , menuliskan banyak ditemukan masjid dan
mushala yang arah kiblatnya berbeda-beda, bahkan di satu daerah. Dia
mencontohkan sumbu bangunan Masjid Menara Kudus 25 derajat ke arah
utara, Masjid Kotagede yang menempati lahan bekas dalem Ki Ageng
Pemanahan 19 derajat, Masjid Mantingan di Jepara hampir 40 derajat, Masjid
Agung Jepara 15 derajat, Masjid Tembayat Klaten 26 derajat, dan sumbu
bangunan Masjid Agung Surakarta bergeser 10 derajat.

Data tersebut berarti memperkuat hasil pengamatan Ditbinbapera
Islam Depag yang menyimpulkan selama ini masih ada perbedaan arah kiblat.
Bahkan ada yang perbedaannya lebih dari 20 derajat.

Penulis ketika mengukur arah kiblat di Masjid Agung Jawa Tengah
Jalan Gajah Raya Semarang saat proses pembangunan, bertemu konstruktor
yang menyatakan, bahwa ia sering mengukur arah kiblat di Semarang hanya
14 derajat dari titik barat ke utara. Padahal menurut perhitungan astronomi
akurat 24,5 derajat,

Melihat hal itu, wajar bila masih banyak ditemukan masjid maupun
mushala yang perlu diluruskan atau dikalibrasi arah kiblatnya. Apalagi kajian
ahli kebumian dari BPPT dan LIPI menemukan terjadi pergeseran permukaan
bumi rata-rata 3 cm per tahun. Kalibrasi perlu dilakukan agar dapat
memberikan keyakinan dalam beribadah secara @inul yagin, paling tidak
mendekati atau bahkan sampai haggul yagin kita benar-benar menghadap kiblat
(Kakbah).

Pasalnya, perbedaan per derajat saja sudah memberikan perbedaan
kemelencengan arah seratusan kilometer. Bagaimana kalau perbedaannya
puluhan derajat, bisa-bisa arah kiblatnya melenceng jauh di luar Masjidil
Haram, tidak hanya jauh di luar dari Baitullah (Kakbah).

Ujian Ketaatan Sebetulnya Baitul Magdis dan Baitullah di sisi Allah
adalah sama. Penunjukan ke arah kiblat hanyalah ujian ketaatan manusia
kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang penting dilakukan dalam shalat adalah
ketulusan hati menjalankan perintah-Nya, dengan kerendahan hati mohon
petunjuk jalan yang lurus - shirathal mustagim.

Berdasarkan asbabun nuzul ayat-ayat arah kiblat dengan didukung
hadis gauli Amr Muhammad maka para ulama sepakat — ijma' — bahwa
menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang shalat.

Apakah harus persis menghadap ke Baitullah atau boleh hanya ke
arah taksirannya? Dalam hal ini perlu kita memahami bahwa Islam bukanlah
agama yang sulit dan memberatkan, sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Bagarah (2) Ayat 286. Apalagi dalam soal kiblat ini kita diperintahkan
menghadap kiblat dengan lafaz syathrah yang berarti arah. Karena itu, sudah
barang tentu bagi yang langsung dapat melihat Kakbah maka wajib baginya
menghadap persis. Sedangkan orang yang tidak langsung dapat melihat
Kakbah, karena terhalang atau jauh, hanya wajib menghadap ke arahnya
dengan pertimbangan yang terdekat arahnya.

Untuk mendapatkan keyakinan dan kemantapan amal ibadah ainul
yagin, paling tidak mendekati atau bahkan sampai pada haggul yagin, kita perlu
berusaha agar arah kiblat yang kita anut mendekati persis ke Baitullah. Jika
arah tersebut telah kita temukan berdasarkan hasil ilmu pengetahuan
misalnya, maka kita wajib mempergunakan arah tersebut selama belum
memperoleh hasil yang lebih teliti lagi,

Hal ini relevan dengan firman Allah Surat Az-Zumar 17-18: "Sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal".

Sehingga sudah barang tentu kita perlu mencari kesimpulan arah
mana yang paling mendekati kebenaran pada arah kiblat sebenarnya.
Menyikapi banyaknya perbedaan dalam besaran sudut penunjuk arah kiblat,
perlu adanya pengecekan ulang dengan mengukur kembali (kalibrasi) arah
kiblat. Banyak sistem penentuan arah kiblat yang dapat dikategorikan akurat,
seperti menentukan azimuth kiblat dengan Scientific Calculator atau dibantu
alat teknologi canggih semacam theodolite dan Global Position System (GPS).

Bisa juga dengan cara tradisional yakni melihat bayang-bayang
matahari pada waktu tertentu (rashdul kiblat) setelah mengetahui data lintang
dan bujur tempat serta mengetahui lintang dan bujur Kakbah.

Bagaimana dengan kompas? Kompas yang selama ini beredar di
masyarakat memang dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat
namun masih sebatas ancar-ancar yang masih perlu dicek kebenarannya.
Berbagai model kompas, termasuk kompas kiblat, masih mempunyai
kesalahan bervariasi sesuai dengan kondisi tempat (Magnetic Variation).

Apalagi untuk mengukuran di daerah yang banyak baja atau besinya,
yang pasti mengganggu penunjukkan utara dan selatan magnet.

Secara garis besar arah kiblat berdasarkan perhitungan astronomi
untuk daerah Jawa Tengah sekitar 24 derajat 10 menit sampai 25 derajat
dari titik barat sejati ke arah utara sejati. Jadi, dapat dicek dengan sudut
busur tersebut setelah mengetahui arah utara dan selatan sejati, Satu cara
tradisional yang dapat menghasilkan hasil akurat adalah dengan bayang-
bayang matahari sebelum dan sesudah kulminasi matahari lewat sebuah
lingkaran. Atau dengan cara yang sangat sederhana yakni rashdul kiblat
pada setiap tanggal 28 Mei pukul 16.18 WIB atau pada setiap tanggal 16
Juli pukul 16.27 WIB, semua benda tegak lurus adalah arah kiblat.

Pada dasarnya rashdul kiblat dapat dihitung dalam setiap harinya
dengan mengetahui deklinasi matahari. Hanya saja penetapan dua hari
rashdul kiblat tersebut adalah atas pertimbangan matahari benar-benar di
atas Kakbah.

Referensi

164 Dimuat di Harian Suara Merdeka, Rabu 3 Februari 2010,

LihatTutupKomentar