Antara hisab dan rukyah, mana lebih baik?

Antara hisab dan rukyah, mana yang lebih baik? Kapan jatuhnya hari raya Idul Fitri ? Terjadi perbedaan ataukah tidak ? Demikianlah pertanyaan klasik

Antara hisab dan rukyah, mana lebih baik?

Judul buku: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Dibrektorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak,
Nama lain dari ilmu falak: ilmu hisab, ilmu rashd, ilmu miqat, ilmu haiah.

Daftar isi

  1. Hisab Aman, Rukyah Rawan 
    1. Hisab Rukyah di Indonesia  
    2. Hisab Aman, Rukyatul hilal Rawan 
    3. Bagaimana masyarakat awam? 
  2. Kembali ke buku: Ilmu Falak dan Hisab Praktis

E. Hisab Aman, Rukyah Rawan

Kapan jatuhnya hari raya Idul Fitri ? Terjadi perbedaan ataukah
tidak ? Demikianlah pertanyaan klasik namun selalu aktual yang selalu
muncul di tengah-tengah masyarakat (awam) muslim Indonesia
menjelang berakhirnya bulan Ramadhan. Hal ini tidak lain karena di
Indonesia memang sudah sering terjadi perbedaan berhari raya Idul Fitri.
Berbeda dengan negara lain, yang tidak pernah terjadi perbedaan.
Mengapa demikian ?

Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan mengapa di
Indonesia dalam penetapan Idul Fitri masih sering terjadi perbedaan ?
Bagaimana dengan penetapan Idul Fitri 1426 H (sekarang ini) terjadi
perbedaan ataukah tidak ? Pemaparan ini kiranya sangat membantu
dalam menumbuhkan keyakinan ( bahkan secara “inul yakin ) dalam
menjalankan ibadah, Di samping itu, dengan memahami sebab
perbedaan, jika terjadi perbedaan kiranya akan dapat menumbuhkan
sikap menghargai - sikap toleransi — tasammult - dalam berhari raya.

Hisab Rukyah di Indonesia

Berdasarkan pemahaman hadis penetapan awal Ramadhan dan
Syawal: "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena
melihat hilal. Apabila tertutup awan maka sempurnakanlah (30 hari)", secara
makro melahirkan dua aliran, yakni aliran rukyah dan aliran hisab.
Karena ini merupakan masalah ijtihadiyah, bukan merupakan masalah
yang qath'y (pasti), maka wajar manakala muncul perbedaan semacam itu.

Di Indonesia malahan terdapat lebih banyak aliran, karena
adanya ketersinggungan Islam sebagai great radition dan budaya lokal
sebagai little traditioi yang melahirkan corak perilaku keagamaan
tersendiri, semacam Islam Kejawen. Dalam permasalahan hisab rukyah
ada aliran Asapon dan ada aliran Aboge. Sehingga di Indonesia banyak
muncul aliran dalam hisab rukyah. 

Di antaranya, (1) Aliran Aboge, yakni
aliran yang berpedoman pada tahun jawa lama dengan ketetapan tahun
alif jatuh pada hari Rabu wage sebagaiman diikuti oleh masyarakat
muslim dusun Golak Ambarawa Jawa Tengah. (2) Aliran Asapon, yakni
aliran yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang sudah
diperbaharui dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Selasa pon,
sebagaimana yang diikuti oleh lingkungan keraton Yogyakarta. (3) Aliran
Rukyah dalam satu negara (Rukyatul Iilel fi wilayatil hukmi). Aliran ini
berpegang pada hasil rukyah yang dilakukan setiap akhir bulan (tanggal
29), jika berhasil merukyah maka hari esoknya sudah masuk tanggal satu,
sedangkan jika tidak berhasil maka harus diistikmalkan (disempurnakan
30 hari), dan hisab hanya sebagi alat bantu dalam melakukan rukyah.
Aliran ini selama ini yang dipegang oleh Nahdlatul Ulama. (4) Aliran
Hisab Wujudul Hilal, prinsipnya jika menurut perhitungan (hisab) hilal
sudah dinyatakan di atas ufuk, maka hari esoknya sudah dapat ditetapkan
sebagai tanggal satu tanpa harus menunggu hasil rukyah. Aliran ini yang
dipakai oleh Muhammadiyah. (5) Aliran Rukyah Internasional (Rukyah
Global). Aliran ini berprinsip di mana pun tempat di muka dunia ini, jika
ada yang menyatakan berhasil melihat hilal, maka waktu itu pula mulai
tanggal satu dengan tanpa mempertimbangkan jarak geografisnya. Aliran
ini diikuti oleh Hizbut Tahrir. (6) Aliran Hisab Imkanurrukyah, yakni
penentuan awal bulan berdasarkan hisab yang memungkinan untuk
dilakukan rukyah. Aliran inilah yang dipegangi Pemerintah. (7) Aliran
mengikuti Mekkah, di mana penetapannya atas dasar kapan Mekah
menetapkannya.

Namun demikian yang populer di kalangan masyarakat awam
Indonesia adalah aliran Rukyah adalah yang dipegangi Nahdlatul Ulama,
aliran Hisah Wujudul hilal yang dipegangi Muhammadiyah dan aliran
Hisab Imkanurrukyah yang dipegangi Pemerintah. Bahkan ketiga aliran
itulah yang mewarnai fenomena perbedaan penetapan awal Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijjah yang sering membingungkan masyarakat awam.

Hisab Aman, Rukyatul hilal Rawan

Menurut perhitungan hisab hakiki kontemporer yang diakui
keakuratannya, ijtima" (konjungsi Matahari dan bulan akhir Ramadhan
1426 terjadi pada hari Rabu Pon, 2 November 2005 / 29 Ramadhan 1426
pada pukul 08:26:31 WIB, Situasi pada saat ghurub di Pantai Marina
Semarang : Matahari terbenam pada pukul 173305 WIB, deklimasi
Matahari -14? 50 5347", azimuth Matahan 254? 55" 32.40” , deklinasi bulan -
18” 50 50.48” , ketinggian hilal hakiki #03” 08' 18.93”, ketinggian hilal mar'1
402” 28' 01.83”, azimuth hilal 251” 22' 57.85" dengan posisi hilal 03” 32
34,62” di sebelah Selatan Matahari terbenam.

Untuk seluruh wilayah Indonesia dari Merauke sampai Sabang
ketinggian Julal mar'1 dari t 01” 39” 05" sampai # 01? 55" 39”, Pelabuhan
Ratu Jawa Barat yang biasa dinyatakan berhasil melihat hilal dengan
ketinggian Julal mar yaitu t 02? 25' 51”.

Dari data hisab tersebut jelas bahwa, aliran hisab dalam posisi
"aman", sedangkan rukyatul hilal dalam posisi “awan”. Mengapa
demikian ? Karena dengan data hisab tersebut, maka secara gamblang
aliran Hisab wujudul hilal yang dipegangi Muhammadiyah akan berani
langsung menetapkan bahwa 1 Syawal 1426 H jatuh pada hari Kamis
Wage, 3 November 2005 karena menurut perhitungan (hisab), hilal sudah
ada yang di atas ufuk.

Sedangkan Nahdlatul Ulama dengan dasar rukyatul hilal f
wilayatil hukmi (satu negara hokum), harus menunggu hasil rukyatul hilal
yang dilaksanakan pada hari Rabu Pon, 2 November 2005. Dengan data
hisab ketinggian hilal mar"! dalam ketinggian yang “rawan” yakni hanya
berkisar 1 derajat sampai 2, maka kiranya sangat sulit untuk berhasil
melihat hilal, apalagi menurut ramalan Badan Meteorologi dan Geofisika (
BMG ), seluruh Indonesia pada saat itu dalam kondisi curah hujan yang
tinggi dan mendung. Sehingga kemungkinan untuk berhasil melihat hilal
pada hari Rabu pon, 2 November 2005 kiranya sangat kecil. Oleh karena
itu, jika tidak berhasil melihat hilal, maka tentunya Nahdlatul Ulama akan
menentukan 1 Syawal 1426 H jatuh pada hari Jum'at Kliwon, 4 November
2005, dengan menyempurnakan bulan puasa Ramadhan 30 hari (dasar
istikmal). Namun jika berhasil melihat hilal, maka penetapan 1 Syawalnya
akan sama dengan Muhammadiyah yakni Kamis Wage, 3 November 2005.

Begitu pula Pemerintah, jika memang konsisten dengan prinsip
hisab Imkamurrukyah, maka tentunya menunggu hasil rukyatul Julal terlebih
dahulu. Namun demikian, kalau Pemerintah mendasarkan pada criteria
hisab Ikanurrukyah “tradisi Indonesia” yakni ketinggian minimal 2 derajat,
hilal dapat berhasil dilihat, maka dengan data hisab tersebut di atas,
tentunya Pemerintah akan “berani” menetapkan 1 Syawal 1426 H jatuh
pada hari Kamis Wage, 3 November 2005, walaupun saat pelaksanaan
rukyatul hilal idak ada yang menyatakan berhasil melihat hilal atau dan
keadaan mendung. Walaupun keberadaan “tradisi” keberhasilan melihat
hilal dalam ketinggian 2 derajat di Indonesia, sangat diyakini mustahil
oleh kalangan Astronom murni.

Bagaimana Masyarakat Awam?

Berpijak dengan ke” belum-tegas"an Pemerintah dalam mengsikapi
fenomena sering munculnya perbedaan dalam penetapan Idul Fitri,
kiranya seyogjanya mengikuti sesuai dengan keyakinannya masing-
masing, karena ini terkait dengan waktu ibadah (augatul ibadah). Sehingga
manakala terjadi perbedaan, sikap toleransi tentunya harus
dikembangkan dengan konsep agree ir disagreement (ithifag fil ikhtilaf).

Namun demikian, kalau ditelusuri secara psikologi massa
masyarakat muslim (awam) Indonesia saat ini dalam masalah penetapan
hari raya Idul Fitri 1 syawal, kiranya belum “siap mental” dengan
munculnya perbedaan penetapan, sehingga sangat “mengharapkan” tidak
terjadi perbedaan “hari dan tanggal" penetapan hari raya Idul Fitri. Dengan
bukti masih banyak terjadi “ghontok-ghontokan” di antara mereka saat
terjadi perbedaan.

LihatTutupKomentar