Hukum Menghadap Qiblat saat Shalat

Hukum Menghadap Qiblat saat Shalat para ulama sepakat - ijma' - bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang melakukan shalat.

Hukum Menghadap Qiblat saat Shalat
Judul buku: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Dibrektorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak,
Nama lain dari ilmu falak: ilmu hisab, ilmu rashd, ilmu miqat, ilmu haiah.


Daftar isi

  1. BAB VI MENYIKAPI PERSOALAN DI MASYARAKAT  
  2. A. Perlu Meluruskan Arah Qiblat
  3. Hukum Menghadap Qiblat  
  4. Referensi dan Catatan
  5. Kembali ke buku: Ilmu Falak dan Hisab Praktis

BAB VI MENYIKAPI PERSOALAN DI MASYARAKAT

A. Perlu Meluruskan Arah Qiblat [161]

Ir. Totok Roesmanto M.Eng dalam “ Kalang ” Suara Merdeka, 1
Juni 2003 yang lalu, mengilhami penulis untuk perlu menulis artikel
dengan judul Perlu Meluruskan Arah Qiblat. Dengan pertimbangan, perlu
memberikan wawasan kepada masyarakat awam berkaitan dengan arah Qiblat yang sebenarnya,

Mengapa perlu ? Karena realitas di masyarakat sampai sekarang,
banyak ditemukan masjid-masjid dan mushala-mushala yang arah
giblatnya berbeda-beda, bahkan ada yang terjadi pada satu daerah,
Padahal menghadap ke arah giblat hukumnya wajib bagi orang yang
melakukan shalat.

Dalam tulisannya tersebut, saudara Totok Roesmanto
menyebutkan perbedaan-perbedaan itu, misalnya masjid Menara Kudus
memiliki sumbu bangunan 25 derajat ke arah utara, masjid Kotagede
yang menempati lahan bekas Dalem Ki Ageng Pamanahan sumbu
bangunannya 19 derajat, masjid Mantingan Jepara sumbu bangunannya
hampir 40 derajat, masjid Agung Jepara 15 derajat, masjid Tembayat
Klaten 26 derajat, dan masjid Agung Surakarta bergeser 10 derajat.

Data-data tersebut membuktikan bahwa hasil pengamatan
Ditbinbapera Islam (Depag KI) yang menyimpulkan bahwa selama ini
arah giblat masjid yang banyak tersebar di tengah masyarakat satu sama
yang lain masih ada perbedaan-perbedaan. Bahkan perbedaan mencapai
lebih 20 derajat, adalah tidak keliru dan tidak berlebihan.

Pengalaman penulis sendiri, ketika mengukur arah giblat di
masjid besar Kauman Semarang (yang masih dalam proses pembangunan
di lahan tanah banda wakaf masjid Kauman), penulis menemukan
seorang konstruk bangunan yang menyatakan, bahwa ia pernah
mengukur arah giblat di Semarang hanya 14 derajat dari titik Barat ke
Utara. Padahal menurut perhitungan Astronomi yang akurat, arah giblat
untuk Semarang 24,5 derajat.

Melihat fenomena demikian, kiranya perlu kita meluruskan giblat
masjid kita, HI ini dilakukan agar dapat memberikan keyakinan dalam
beribadah secara amul yagin atau paling tidak mendekati atau bahkan
sampai haggul yagin, bahwa kita benar-benar menghadap giblat (kabah).
Karena perbedaan per derajat saja sudah memberikan perbedaan ke-
mlenceng-an arah seratusan kilometer. Bagaimana kalau perbedaan
puluhan derajat, bisa-bisa arah giblat nya mlenceng di luar jauh Masjidil
Haram, tidak hanya luar jauh dari Baitullah ( Ka'bah ).

Hukum Menghadap Qiblat

Sebelum Rasulullah saw hijrah ke Madinah, belum ada ketentuan
Allah tentang kewajiban menghadap giblat bagi orang yang sedang
melakukan shalat. Rasulullah sendiri menurut jjtihadnya, dalam
melakukan shalat selalu menghadap ke Baitul Magdis, Hal ini dilakukan
berhubungan kedudukan Baitul Magdis saat itu masih dianggap yang
paling istimewa dan Baitullah masih dikotori oleh beratus-ratus berhala di
sekililingnya. Namun menurut sebuah riwayat, sekalipun Rasulullah
selalu menghadap ke Baitul Magdis, jika berada di Makkah beliau juga
pada saat yang sama selalu menghadap ke Baitullah.

Demikian pula setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau selalu
menghadap ke Baitul Magdis. Namun 16 atau 17 bulan setelah hijrah, di
mana kerinduan beliau telah memuncak untuk menghadap ke Baitullah
yang sepenuhnya dikuasai oleh kafir Makkah turunlah firman Allah
memerintahkan berpaling ke masjidil Haram yang memang dinanti-nanti
oleh Rasulullah. Demikian cerita hadis terkait dengan asbabun nuzul
ayat-ayat Al-Ouran tentang petunjuk arah giblat bagi kita sekarang ini.

Pemindahan giblat dari Baitul Magdis ke Masjidil Haram
mengakibatkan keributan dan menimbulkan berbagai macam komentar,
baik dari orang Islam yang lemah imannya (muallaf gulubuhum) maupun
dari orang di luar Islam. Mereka mengatakan bahwa Muhammad berfikir
kurang matang, sebentar menghadap ke sana sebentar menghadap ke
mari. Ada pula yang mengatakan bahwa Muhammad kembali ke ajaran
nenek moyangnya sebab di sekitar Baitullah pada waktu itu masih
banyak terdapat berhala. Sehingga ada orang muallaf yang menjadi kafir
kembali.

Atas pemindahan giblat tersebut, orang Yahudi dan orang
Munafik sangat tidak senang sebab menurut mereka Baitul Magdis yang
didirikan oleh nabi Sulaeman adalah tempat suci sumber agama yang
dibawa oleh nabi keturunan Israil Maka dengan bergiblatnya
Muhammad ke Baitul Magdis berarti ajaran Muhammad hanyalah
jiplakan dari ajaran mereka. Sekarang Muhammad berpindah giblat ke
Baitullah, maka mereka sangat kecewa,

Sebetulnya Baitul Magdis dan Baitullah di sisi Allah adalah sama.
Penunjukkkan ke arah giblat hanyalah merupakan ujian ketaatan manusia
kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang penting dilakukan dalam melakukan
shalat adalah ketulusan hati dalam menjalankan perintah-Nya, dengan
kerendahan hati mohon petunjuk jalan yang lurus -shirathal mustagim.

Berdasarkan asbabun nuzul ayat-ayat arah kiblat dengan
didukung hadis gauli amr Muhammad, maka para ulama sepakat - ijma'
- bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang
melakukan shalat.

Hanya saja sekarang timbul pertanyaan, apakah harus persis
menghadap ke Baitullah atau boleh hanya ke arah taksirannya saja. Dalam
hal ini perlu kita memahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang
sulit dan memberatkan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Bagarah ayat 286. Apalagi dalam soal giblat ini kita diperintahkan
menghadap giblat dengan lafaz syathrah yang berarti arah. Oleh karena
itu, sudah barang tentu bagi yang langsung dapat melihat ka'bah baginya
wajib berusaha agar dapat menghadap persis ke ka'bah. Sedangkan orang
yang tidak langsung dapat melihat ka'bah karena terhalang atau jauh,
baginya hanya wajib menghadap ke arahnya saja dengan pertimbangan
yang terdekat arahnya. Sehingga bagi kita biasa menglafalkan niat
“mustagbilal giblah” dalam niat mengawali untuk shalat.

Untuk mendapatkan keyakinan dan kemantapan amal ibadah kita
dengan ainul yagin atau paling tidak mendekatinya atau bahkan sampai
pada haggul yagin, kita perlu berusaha agar arah giblat yang kita
pergunakan mendekati persis kepada arah yang persis menghadap ke
Baitullah. Jika arah tersebut telah kita temukan berdasarkan hasil ilmu
pengetahuan misalnya, maka kita wajib mempergunakan arah tersebut
selama belum memperoleh hasil yang lebih teliti lagi. Hal ini relevan
dengan firman Allah surat al-Zumar 17-18 : “... sebab itu sampaikanlah
berita itu kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang
yang mempunyai akal”.

Sehingga sudah barang tentu kita perlu mencari kesimpulan arah
mana yang paling mendekati kebenaran pada arah giblat sebenarnya.
Dengan demikian, menyikapi banyaknya terjadi perbedaan dalam
besaran-besaran sudut penunjuk arah giblat yang terjadi di masyarakat
selama ini, perlu adanya pengecekan kembali dengan melakukan
pengukuran kembali arah giblat. Mestinya banyak system penentuan arah
giblat yang dapat dikatagorikan akurat, seperti dengan menentukan
azimuth giblat dengan scientific calculator atau dengan dibantu alat
tehnologi canggih semacam theodolite dan GPS (Global Position System)
atau dengan cara tradisional yakni melihat bayang-bayang Matahari pada
waktu tertentu (rashdul gihlat) setelah mengetahui data lintang dan bujur
tempat serta mengetahui lintang dan bujur ka'bah.

Bagaimana dengan kompas ? Kompas yang selama ini beredar di
masyarakat kiranya merang dapat digunakan untuk menentukan arah
giblat namun masih sebatas ancar-ancar yang masih perlu dicek
kebenarannya. Karena berbagai model kompas termasuk kompas giblat
masih mempunyai kesalahan yang bervariasi sesuai dengan kondisi
tempat ( Magnetic Variation ). Apalagi pada daerah yang banyak baja atau
besinya, akan mengganggu penunjukkan utara - selatan magnet.

Secara garis besar arah giblat berdasarkan perhitungan astronomi
untuk daerah Jawa Tengah sekitar 24 derajat 10 menit sampai 25 derajat
dari titik Barat sejati ke arah Utara sejati. Sehingga dapat dicek dengan
sudut busur tersebut setelah mengetahui arah Utara - Selatan sejati. Salah
satu cara tradisional yang dapat menghasilkan akurat adalah dengan
bayang-bayang Matahari sebelum dan sesudah kulminasi Matahari dalam
sebuah lingkaran. Atau dengan cara yang sangat sederhana yakni rashdul
giblat pada setiap tanggal 28 Mei pukul 1618 WIB atau pada setiap
tanggal 16 Juli pukul 16.27 WIB, semua benda tegak lurus adalah arah
giblat, sebagaimana pendapat tokoh karismatik ilmu hisab alm. KH.
Turaichan Kudus. Walaupun pada dasarnya rashdul giblat dapat dihitung
dalam setiap harinya dengan mengetahui deklinasi Matahari. Hanya saja
penetapan dua hari rashdul giblat oleh KH Turaichan di atas adalah atas
pertimbangan yang lebih akurat dan realistis.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan keyakinan dan kemantapan
amal ibadah kita dengan ainul yagin atau paling tidak mendekatinya atau
bahkan sampai dengan haggul yagin, marilah kita berusaha meluruskan
arah giblat masjid dan mushalla kita, agar ibadah shalat kita mendekati
persis kepada arah menghadap ke Baitullah. Sehingga ketika kita shalat,
kita yakin benar telah mustagbilal giblah. 

Referensi dan Catatan

161. Dimuat di Harian Suara Merdeka, Jum'at 27 Juni 2008,
141
 

LihatTutupKomentar