Menyikapi Perbedaan Hari Raya

Menyikapi Perbedaan Hari Raya Suatu pertanyaan yang selalu muncul di masyarakat menjelang Ramadhan adalah kapan mulai dan akhir (puasa) Ramadhan ? Ini

Menyikapi Perbedaan Hari Raya

Judul buku: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Dibrektorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak,
Nama lain dari ilmu falak: ilmu hisab, ilmu rashd, ilmu miqat, ilmu haiah.

Daftar isi

  1. Menyikapi Perbedaan Hari Raya  
  2. Dasar Penetapan 
  3. Hisab awal-akhir Ramadhan 1426 H
  4. Kembali ke buku: Ilmu Falak dan Hisab Praktis

Menyikapi Perbedaan Hari Raya

Suatu pertanyaan yang selalu muncul di masyarakat menjelang
Ramadhan adalah kapan mulai dan akhir (puasa) Ramadhan ? Ini kiranya
wajar, karena ada asumsi bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang
penuh. rahmah - penuh maghfirah yang selalu dinaniti-nantikan
kedatangannya, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan
terhadap metode apa yang digunakan untuk penetapannya (apa metode
hisab atau metode rukyah ?). Sehingga masih sering terjadi perbedaan
dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan.

Fenomena ini juga yang terjadi pada tahun 1426 H? Banyak
pertanyaan yang muncul dari masyarakat kapan memulai dan
mengakhiri puasa Ramadhan 1426 H ? Melalui tulisan ini penulis
mencoba memberikan wawasan yang terkait dengan penetapan tersebut.

Dasar Penetapan

Untuk mengetahui kapan memulai berpuasa Ramadhan dan
mengakhirinya (ber-hari raya), pada dasarnya Rasulullah saw telah
memberikan tuntunan sebagaimana hadis Bukhari Muslim :” Berpuasalah
kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, bila
tertutup oleh awan maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi 30
hari ".

Namun demikian dalam kenyataannya, pemahaman hadis
tersebut terdapat perbedaan interpretasi, ada yang memahami “rukyah”"
harus dengan benar-benar melihat (yakni aliran rukyah) dan ada yang
memahami bahwa “rukyah” cukup dengan memperhitungkan (aliran
hisab).

Perbedaan semacam itu juga terjadi di Indonesia yakni ada aliran
hisab yang dipegangi Muhammadiyah dan ada aliran rukyatul hilal yang
dipegangi Nahdlatul Ulama. Pemerintah pada dasarnya telah berusaha
untuk menyatukan keduanya dengan aliran imkanurrukyah. Namun
dalam dataran praktis sering terbawa iklim politik. Karena dalam
penetapannya dasar pijakannya sering kali tidak berdasarkan pada
kebenaran ilmiah yang obyektif. Sehingga selama ini kemunculan aliran
imkanurrukyah produk Pemerintah bukan menjadi kesatuan dalam
beribadah namun malahan menambah runyam dan menambah
membingungkan.

Bagaimana tidak membingungkan, manakala tetap saja muncul
perbedaan dalam penetapan awal-akhir Ramadhan, walaupun
Pemerintah sudah mengfasilitasi untuk penyatuan dalam bentuk sidang
Istbat yang diikuti oleh semua pihak yang terkait termasuk dari ormas-
ormas Islam. Namun dari masing-masing ormas tersebut tetap saja
mengeluarkan keputusannya (apapun istilahnya - apa itu hanya dengan
istilah instruksi atau ikhbar - tetap saja keputusan namanya).
Kemunculan “keputusan liar” itu kiranya tidak dapat disalahkan begitu
saja, manakala ternyata Pemerintah yang mestinya memegang kendali
putusan dalam sidang 'istbat ternyata lebih mengedepankan
kemaslahatan politik daripada mengedepankan kebenaran ilmiah yang
objektif.

Karena selama ini ada kesan bahwa dasar penetapan awal - akhir
Ramadhan tidak pernah berdasarkan kebenaran ilmiah yang objektif tapi
sangat tergantung pada siapa Menteri Agamanya (pertimbangan politis) ?
Jika Menteri Agamanya Muhammadiyah maka dasarnya hisab,
sebaliknya jika Menteri Agamanya NU maka dasarnya rukyah. Atau
paling tidak seringkali keputusan dalam sidang istbat tidak mendasarkan
pada kebenaran ilmiah yang objektif. Sebagai bukti sebagaimana
keputusan untuk menerima khabar melihat hilal dari Cakung Jakarta
Timur pada penetapan 1 Dzulhijjah 1422 (beberapa tahun yang lalu),
berdasarkan hisab, posisi hilal masih di bawah 2 derajat (di bawah
standar imkanurrukyah yang dipegangi Pemerintah),

Mengapa khabar melihat hilal itu diterima dan dibuat pegangan
penetapan ? Padahal jelas secara kebenaran ilmiah yang objektif dengan
ketinggian yang masih di bawah. 2 derajat, mestinya sangat-sangat tidak
mungkin untuk dilihat. Waktu itu ada seorang pakar hisab rukyah yakni
Dr Thomas Djamaluddin (Astronom ITB Bandung) yang menolak
mentah-mentah khabar rukyah tersebut ?

Padahal, jika ditelaah secara serius dan tajam, maka keterpaduan
antara penggunaan hisab yang akurat seperti menggunakan hisab hagigy
kontemporer semacam Al Manak Nautika dan Jeam Meeus serta
Ephemeris dan rukvatul hilal, sangat penting dalam menentukan awal
Ramadhan, Syawal dan Dzulhujjah. Karena dengan hisab yang akurat,
akan dapat memprediksi lebih dini tentang posisi hilal yang terkait
dengan penetapan awal bulan tersebut. Oleh karena itu, antara hisab dan
rukyah seharusnya bagai “dua sisi mata uang” yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya, saling melekat dan menguatkan. Atau
dalam term hukum dapat dibahasakan hisab sebagai keterangan saksi, di
mana hisab yang akurat diperlukan untuk acuan (persaksian) pelaksanan
rukyah yang akurat, sedangkan eksistensi rukyah sebagai alat bukti (
pembuktian di lapangan realitas j atas hasil perhitungan ( hisab ).

Hisab awal-akhir Ramadhan 1426 H

Untuk awal Ramadhan 1426 H berdasarkan hisab kontemporer,
ijtima' akhir Sya'ban 1426 H jatuh pada hari Senin Pon, 3 Oktober 2005
pukul 17.30. WIB. Tinggi hilal hakiky untuk markas Semarang - O derajat
HH 13.78” (di bawah ufuk). Dari Sabang sampai Merauke ketinggian hilal
berkisar - 00 derajat 33' 44” sampai - Ol derajat 56' 12” ( di bawah ufuk ).

Berdasarkan perhitungan tersebut, hilal tidak mungkin untuk
dapat dirukyah (dilihat) karena hilal masih di bawah ufuk. Oleh karena
itu, baik yang mendasarkan hisab murni ( Muhammadiyah ) atau
rukyatul hilal (Nahdlatul Ulama) atau hisab imkanurrukyah (Pemerintah),
akan serempak menetapkan awal Ramadhan 1426 H jatuh pada hari Rabu
kliwon, 5 Oktober 2005.

Sedangkan untuk akhir Ramadhan 1426 H berdasarkan hisab
kontemporer, ijtima' akhir Ramadhan 1426 H jatuh pada hari Rabu Pon, 2
November 2005 pukul 08.25 WIB. Tinggi hilal mari untuk markas
Semarang #2 derajat 28 ( di atas ufuk). Dari Sabang sampai Merauke
ketinggian hilal berkisar #1 derajat 39 sampai #02 derajat 00 ( di atas
ufuk ).

Berdasarkan perhitungan tersebut, hilal memungkinkan untuk
dapat dirukyah (dilihat) karena tradisi di Indonesia, hilal di atas ufuk ?
derajat sering dapa dilihat. Oleh karena itu jika nanti ada yang
menyaksikan hilal dapat dilihat, maka baik yang mendasarkan hisab
murni ( Muhammadiyah ) atau rukyatul hilal (Nahdlatul Ulama) atau
hisab imkanurrukyah (Pemerintah), akan menetapkan 1 Syawal 1426 H
jatuh pada hari Kamis wage, 3 November 2005. Akan tetapi Jika hilal tidak
dapat dilihat maka untuk aliran rukyatul hilal ( Nahdlatul Ulama) akan
menetapkan 1 Syawal 1426 H jatuh pada hari berikutnya yakni Jum'at
kliwon, 4 November 2005, namun demikian kemungkinannya sangat
kecil.

Dalam permasalahan figh sosial seperti awal penetapan bulan
Ramadhan ini, seharusnya keputusan ada ditangan pemerintah cg.
Menteri Agama dengan kaidah “hukmul hakim ilzamun wa yarfa'ul
khilaf”, Oleh karena itu jika pemerintah telah menetapkan dan
memutuskan, baik berdasarkan laporan kesaksian rukyah, maka seluruh
masyarakat Indonesi harus mematuhinya (hasyiah Syarwani 111:376, al
Figh ala Madzahibil Arba'ah I: 433-435). Dengan demikian umat Islam
Indonesia akan dapat serempak dalam mengawali-mengakhiri ibadah
puasa Ramadhan 1426 H.

LihatTutupKomentar