Bab Jihad | Fathul Muin

Bab Jihad | Fathul Muin Jihad hukumnya fardu kifayah dalam setap tahun -sokalipun hanya sekali-, bila orang-orang kafir berada di dalam daerah masing-

Bab Jihad | Fathul Muin

Nama kitab: Terjemah Fathul Muin
Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah: Abul Hiyadh
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i, syariah, hukum Islam.

Daftar Isi  

  1. Bab Jihad
  2. Bab Peradilan 
  3. Bab Dakwaan (Tuduhan) Dan Bayinah (Alat Bukti) 
    1. Pasal: Jawaban Tuduhan Dan Hal-Hal Yang Berkaitan Dengannya
    2. Pasal: Syahadah (Kesaksian)
    3. Penutup: Tentang Sumpah
  4. Bab Memerdekakan Budak 
  5. Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Muin

 BAB JIHAD - بَابُ الْجِهَادِ

Jihad hukumnya fardu kifayah dalam setap tahun -sokalipun hanya sekali-, bila orang-orang kafir berada di dalam daerah masing-masing, (tetapi) bila mereka memasuki wilayah kita, maka jihad hukumnya fardu ain seperti yang akan diterangkan nanti.

Hukum fardu kifayah adalah bila jihad telah dilakukan oleh orang yang mencukupi persyaratan, maka lepaslah dosa orang yang menunaikan dan segenap mushmin lainnya, (tetapi) bila dari segenap mereka tidak ada yang melakukannya -sekalipun tidak mengerti-, maka seluruh muslimin yang tidak uzur melakukannya, menanggung dosa.

Fardhu kifayah itu banyak:

Misalnya menegakkan hujah-hujah agama, Yaitu dalil yang menetapkan keberadaan sang Pencipta swt , sifat-sifat yang wajib dan muhal bagiNya, dalil yang menetapkan kenabian dan sognla ajaran syarak, mulai dari hari Kiamat, hisab dan sebagainya

Misalnya lagi Menegakkan ilmu-ilmu syarak, misalnya ilmu tafsir, hadis dan fikih yang melebihi dari yang diharuskan, dan ilmu-ilmu pelengkap ilmu syanat, sekira dapat digunakan dalam pengadilan dan fatwa. karena dibutuhkan dua ilmu ini.

Misalnya, menolak mudarat yang menimpa orang maksum, baik orang Islam, dzimmi, atau musta’man, yang mengalami kelaparan sebelum sampai pada tingkat yang sangat kritis, atau tidak berpakaian dan sebagainya.

Yang dibebani tugas fardu kifayah lalah: Seluruh orang kaya yang mempunyai kelebihan biaya hidup dirinya sendiri selama satu tahun dan kelebihan orang yang ditanggung nafkahnya, ketika Baitulmal tidak ada atau diabaikan pembayaran zakat.

 

Misalnya lagi: Amar makruf nahi mungkar, yaitu dipenuhinya kewajiban-kewajiban Allah swt. dan dihindarkan hal-hal yang diharamkannya, tetapi medannya adalah wajib atau haram yang sudah Mujma’ Alaih (disepakati) atau menurut iktikad pelaku perbuatan wajib atau haram itu.

 

Yang dibebani tugas ini adalah seluruh mukalaf yang tidak khawatir kemudaratannya terhadap semacam anggota badan dan hartanya, sekalipun hanya sedikit dan tidak mempunyai perkiraan kuat, bahwa pelaku kemungkaran dengan adanya nahi mungkar darinya akan bertambah menentang, sekalipun dan kebiasaan telah diketahui, bahwa amar makruf nahi mungkar tidak akan berfedah kepada pelaku kemungkaran.

 

Amar makruf nahi mungkar tersebut, yaitu dengan cara membetulkan pelakunya lewat semua cara yang mungkin bisa ditempuh: Memakai kekuatan tangan, lisan, lalu meminta tolong kepada orang lain. Bila kesemuanya sudah tidak mampu dilakukan, maka dengan cara mengingkari perbuatan mungkar di dalam hati.

 

Seseorang tidak diperbolehkan meneliti dan mengoreksi kesalahan orang lain serta menyergap rumah orang lain berdasarkan berbagai prasangka. Tetapi, bila seseroang diberi tahu oleh orang yang adil tentang keberadaan kemungkaran yang tersembunyi, di mana perkara mungkar tersebut bila terlambat pencegahannya akan terwujudkan misalnya: maka ia diwajibkan melakukan hal-hal di atas (meneliti dan seterusnya).

 

Bila pencegahan kemungkaran memerlukan ditangani sulthan (penguasa), maka tidak wajib melaporkannya, sebab hal itu terdapat unsur merobek kehormatan dan menghilangkan harta benda. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qasyairi.

 

Guru kita berkata: Menurut Ibnul Qusyairi, ada alternatif kewajiban melaporkannya kalau dengan cara itu saja kemungkaran dapat dicegah, dan im adalah pendapat Al-Aujah. Sedang pembicaraan Ar-Raudhah dan lainnya dengan sharih mengedepankan alternatif ini. Selesai.

 

Misal fardu kifayah lagi: Tahammulusy Syahadah (pengambilan datadata persaksian) bagi orang ahli untuk hal itu yang didatangi oleh Masyhud Alaih (orang yang dipersaksikan atasnya) atau didatangkan olehnya karena ada halangan, misalnya halangan salat jumat.

 

Misalnya lagi, memberikan persaksian bagi orang yang telah Tahammul Syahadah, jika telah lebih dari nisab saksi, (tetapi) bila belum nisabnya, maka memberikan persaksian hukumnya fardu Ain.

 

Misalnya lagi, meramaikan Ka’bah dengan melakukan haji dan umrah setiap tahunnya.

 

Contoh yang lain adalah mengiring jenazah.

 

Misalnya yang lain, menjawab salam sunah (dalam pengucapannya) adalah fardu kifayah bagi segolongan orang, yaitu dua ke atas, karena kefarduan menjawab salam telah gugur dari yang lain, dan pahalanya khusus di dapatkan yang hanya menjawab salam.

 

Bila seluruh rombongan menjawabnya semua, walaupun berurutan, satu per satu, maka kesemuanya mendapatkan pahala, sebagaimana hal nya orang yang menyalati jenazah. Apabila satu rombongan mengucapkan salam dengan berurutan kepada satu orang, lalu dijawabnya satu kali dengan maksud buat keseluruhannya, begitu juga bila dijawab secara mutlak menurut Al-Aujah, maka cukuplah sebagai jawaban untuk seluruhnya, selama tidak ditengah tengahi masa atau waktu yang cukup panjang.

 

Masuk di dalam ucapanku “salam sunah”, yaitu salam yang diucapkan seorang wanita kepada wanita atau laki-laki mahram (suami). Begitu juga salam kepada waruta tua renta yang sudah tidak menarik syahwat, karenanya wanita dalam contoh ini wajib menjawab salam yang diucapkan laki-laki.

 

Adapun yang masih menarik nafsu syahwat dalam keadaan sendirian (tidak bersama wanita lain), adalah diharamkan menjawab salam laki-laki lain: demikian pula memulai mengucapkan salam kepadanya.

 

Makruh juga laki-laki tersebut menjawab salamnya, begitu juga memulai salam kepada wanita tersebut.

 

Perbedaannya: Jawaban warita dan ucapannya membuat laki-laki tersebut loba -karena kelobaan laki-laki kepada wanita itu lebih besar-: lain halnya dengan ucapan salam dan jawaban laki-laki. Demikaanlah kata Guru kita.

 

Bila seorang laki-laki mengucapkan salam kepada rombongan wanita, maka salah seorang dari mereka wajib menjawab salam itu, sebab dalam keadaan demikian ini tidak dikhawatirkan timbul fitnah

 

Dikecualikan dari kata-kataku “dari segolongan/rombongan”, yaitu satu orang: maka menjawab salam baginya adalah fardu an, sekalipun yang memberi salam itu seorang anak mumayiz.

 

Di dalam memulai dan menjawab salam harus dijawab dengan suara keras, sekira dapat didengar dengan : jelas, sekalipun pada pendengaran orang yang agak tuli.

 

Memang, tapi bila orang yang mengucapkan salam (Musallim) melintasi orang yang diberi salam (Musallam alaih) dengan berjalan cepat, yang sekira jawabannya tidak sampai didengar oleh musallim, maka menurut pendapat Al-Azhhar yang dikatakan oleh Guru kita, ia wajib mengeraskan jawaban salamnya dan tidak mengejar (berlari) di belakang musallim.

 

Wajib bersambung antara ucapan dan jawaban salam, sebagaimana halnya mengenar jab dengan gabul dalam jual beli Tidak mengapa mendahulukan “Alaika”, dalam menjawab salam orang yang tidak hadir di tempat, sebab pemisahan seperti iru tidak termasuk kata-kata lain.

 

Apabila unsur “seketika dalam menjawab salam” sudah hilang, maka tidak wajib menggadha, lain halnya dengan kesan yang diberikan dalam pembicaraan Ar-Rauyani.

 

Dalam menjawab salam kepada orang tuli, wajib mengumpulkan antara ucapan dengan isyarat, dan si tuli tidak wajib menjawab salam. kecuali bila Musallimnya mengumpulkan antara ucapan dan isyarat.

 

Memulai mengucapkan satam ketika menghadap atau berpisah kepada orang muslim yang bukan semacam fasik dan berbuat bid’ah -sekahpun ia anak mumayiz-, yang sekalipun mempunya perkiraan bahwa salamnya tidak akan di jawab, hukumnya adalah Sunah Ain bagi seorang dan Sunah Kifayah orang banyak, sebagaimana hukum membaca Basmalah untuk makan. Hal ini berdasarkan hadis: “Sesungguhnya orang yang paling utama (mendapat rahmat Allah swt.) adalah orang yang memulai mengucapkan salam.”

 

Al-Qadhi Husain mengeluarkan fatwa, bahwa memulai mengucapkan salam adalah lebih utama, sebagai” mana membebaskan utang adalah lebih utama daripada penunda penagihannya.

 

Shighat permulaan pengucapan salam adalah “Assalamu’alaikum”, atau “Salamun ‘alaikum”‘ begitu Juga” ‘Alaikumus salam”, atau “Alaikum salam”, tetapi untuk terakhir ini makruh, sebab ada dalil yang melarangnya, dan sekalipun makruh pengucapan salam dengan shighat tersebut, tetapi menjawabnya adalah kewajiban.

 

Lain halnya dengan ucapan: “Wa alaikum salam”‘, sebab kalimat ini tidak patut untuk permulaan salam.

 

Dalam memulai dan menjawab salam, yang lebih utama adalah dengan menggunakan bentuk “jamak”, sekalipun kepada atau bagi satu orang, sebab agar mencakup malaikat dan demi menghormati.

 

Menambah: “Wa rahmatullahi wa barakatuhu wa maghfiratuh”.

 

Bentuk mufrad belum mencukupi (sebagai salam yang ditujukan) untuk orang banyak.

 

Apabila satu dengan lainnya mengucapkan salam secara bergantian, maka ucapan kedya sebagai jawaban dari pertama: yaitu selagi yang kedua tidak. dimaksudkan untuk memulai mengucapkan salam sendiri, sebagaimana yang dibahas oleh sebagian ulama.

 

Apabila tidak bergantian atau bergantian, tetapi masing masing bermaksud memulai salam, maka masing-masing wajib menjawab salamnya

 

Beberapa Cabang:

 

Sunah menginmkan salam buat orang yang tiada di tempat, dan orang yang dititipi salam harus menyampaikannya, sebab hal itu sebagai amanat yang wajib ditunaikan.

 

Kewajiban menyampaikan salam di atas, bila orang yang dititipi salam rela membawa amanat itu, (tetap) bila ia menolakmenyempaikannya, maka ia tidak wajib menyempaikannya, Begitu juga bila ia hanya diam saja.

 

Sebagian ulama berkata: Orang yang diwasiati salam wajib menyampakannya. Kewajian ini menurut Guru kita, jika ia menerima wasiat dengan lafal yang menunjukkan arti pemegang amanat salam.

 

Mursal ilaih (orang yang dikirimi salam) wajib secara seketika dengan menjawab salam yang dikirimkan dengan ucapart, dan wajib menjawab salam dengan ucapan atau tulisan atas salam yang dikinmkan kepadenya dengan tulisan

 

Sunah menjawab salam orang yang menyampaikannya dan memulai jawaban buatnya, maka Mursal ilaih berkata: “‘Alaika wa ‘alaihis salam” (semoga bagimu dan buatnya terlimpah keselamatan), sebab berdasarkan hadis masyhur.

 

Sebagian ulama menceritakan ada kesunahan memulai jawaban salam buat pengirimnya. Haram memulai mengucapkan salam kepada orang kafir dzimmi, dan wajib mengecualikan orang dzimnmi dalam hati, jika dammi tersebut bersama orang Islam.

 

Sunah mengucapkan salam bagi orang yang memasuki tempat kosong, dengan ucapan: ” ‘Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin”.

 

Tidak disunahkan mengucapkan salam kepada orang yang tengah membuang air kecil, air besar, bersetubuh atau beristinja: Begitu juga kepada orang yang sedang minum atau makan yang di dalam mulutnya masih terdapat makanan, sebab merepotkan mereka.

 

Tidak sunah kepada orang fasik, bahkan sunah tidak mengucapkan salam kepada orang yang jelas-jelas mengerjakan hal-hal yang fasik, orang yang melakukan dosa besar, yang belum bertobat atau orang yang berbuat bid’ah, kecuali bila ada uzur atau khawatir akan terjadi mafsadah (bila tidak diucapkan salam kepada mereka).

 

Tidak disunahkan mengucapkan salam kepada orang yang tengah mengerjakan salat, bersujud, azan, ikamah, berkhotbah dan mendengarkankhotbah.

 

Mereka semua (orang yang tengah buang air besar dan seterusnya) tidak berkewajiban menjawab salam, kecuali orang yang tengah mendengarkan khotbah, ia wajib menjawab salam orang mengucapkan kepadanya.

 

Bahkan orang yang tengah buang air besar atau kecil, bersetubuh dan beristinya makruh menjawab salam.

 

Orang yang sedang makan disunahkan menjawab salam, sekalipun mulutnya sedang berisi makanan. Memang, disunahkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang makan setelah menelan dan sebelum meletakkan makanan ke dalam mulutnya, dan ia wajib menjawab salam tersebut.

 

Disunahkan menjawab salam bagi orang yang sedang berada di dalam kamar mandi dan orang yang sedang membaca Talbiyah, dengan memakai lafal (ucapan): dan bagi orang yang sedang salat, azan dan ikamah dengan menggunakan isyarat dalam menjawab salam, Kalau tidak memakai isyarat, maka menjawabnya selesai salat, jika tenggang waktunya hanya sebentar. Kepada mereka semua, tidak diwajibkan menjawab salam.

 

Sunah di waktu bertemu, orang kecil (muda) mengucapkan salam kepada orang yang tua, orang yang berjalan kepada orang yang diam, orang yang naik kendaraan kepada mereka semua (orangtua, yang berjalan dan yang diam) dan rombongan yang kecil kepada yang besar.

 

Beberapa Faedah:

 

Membungkukkan punggung hukumnya makruh, sedangkan kebanyakan ulama mengatakan haram.

 

An-Nawawi berfatwa mengenai kemakruhan menundukkan kepala dan menciuni semacam kepala, tangan atau kaki, lebih-lebih kepada orang kaya sebab berdasarkan hadis: “Barangsiapa bertakwa kepada orang kaya (lantaran kekayaannya), maka hilanglah 2/3 agamanya”.

 

Sunah mencium seperti di atas kepada orang saleh, alim dan mulia, sebab Abu Ubadah mencium tangan sahabat Umar r.a.

 

Sunah berdiri (demi menghormat) kepada orang yang jelas-jelas mempunyai fadilah kesalehan dan kealimannya, sebagaimana orang yang melahirkan dirinya atau karena jabatan yang dipegang orang itu, dengan cara tulus ikhlas. Ibnu Abdiis Salam berkata: Atau kepada orang yang diharapkan kebaikan atau dikhawatirkan gangguannya, sekalipunitu orang kafir yang dikhawatirkan dharar besar darinya.

 

Haram bagi seseorang merasa senang karena orang-orang lain berdiri menghormatinya.

 

Sunah mencium orang yang baru datang dari bepergian dan memeluknya, sebab ittiba’ kepada Rasul saw.

 

(Termasuk sunah kifayah), adalah mendoakan orang yang bersin, yang sudah balig dan memuji kepada Allah swt., dengan mengucapkan ” Yarhamukallah”, atau “Rahimakumullah”, Sunah juga mendoakan kepada anak mumayiz yang bersin, dengan doa: “Ashlahakallah” (semoga Allah menjadikanmu sebagai orang saleh).

 

Karena mendoakan seperti itu hukumnya sunah kifayah, jika segolongan orang yang mendengar, dan sunah ain, bila hanya seorang yang mendengarnya.

 

Bila orang mumayiz bersin dan membaca Hamdalah setelah bersinnya -yaitu setelah bersin tenggang waktu melebihi tarik nafas atau terengah-engah-, maka setelah bersinza disunahkan membaca “AlHamdulillah”, dan yang lebih utama “Al-Hamdulllahi Rabbil ‘Alamin”, dan yang lebih utama dari itu: “Al-Hamdulillah ‘ala kulli halin” (segala puji bagi Allah atas segala hal).

 

Dikecualikan dari ucapanku “yang memuji Allah”, bila setelah bersin tidak memuji Allah: maka tidak disunahkan mendoakan kepadanya.

 

Apabila orang yang mau mendoakan ragu, maka ucapkan saja “Yarhamullahu man hamidah” (semoga Allah merahmati orang yang memuji-Nya).

 

Disunahkan mengingatkan orang yang bersin, agar membaca Hamdalah.

 

Apabila bersin terjadi berulang kali, maka disunahkan mendoakan kepadanya pada bersin yang ketiga kalinya, lalu mendoakan sembuh. Orang bersin di tengah salatnya, disunahkan membaca Hamdalah secara pelan-pelan.

 

Orang yang sedang disibukkan dengan semacam buang air kecil atau bersetubuh, bila bersin disunahkan membaca Hamdalah di dalam hati.

 

Hamdalah dan doa untuk orang yang bersin, disyaratkan dibaca dengan suara keras, sekira dapat didengar oleh temannya.

 

Sunah bagi orang yang bersin, meletakkan sesuatu pada mukanya, merendahkan suara bersin serendahnya, dan menjawab orang yang telah mendoakan kepadanya dengan semacam: “Yahdikumullah wa yushlihu balakum”, (semoga Allah memberi kalian petunjuk dan memperbaiki kepribadian kalian), atau dengan “Yaghfirullahu lakum” (semoga Allah mengampuni kalian), sebab ada perintah penjawaban seperti ini.

 

Sunah bagi orang yang menguap, menahan penguapannya semampu mungkin, dan menutup mulutnya dengan tangan kirinya, walaupun di tengah-tengah salat.

 

Sunah menjawab panggilan dengan “Labbaik” (Baiklah).

 

Hukum Jihad adalah fardu kifayah bagi setiap orang Islam yang mukalaf -yaitu balig dan berakal sehat, sebab lepas beban dari selain dua orang ini-, dan laki-laki, sebab pada galibnya warita tidak mampu melakukan jihad, serta merdeka. Karena itu, jihad tidak wajib bagi budak, sekalipun Mukattab atau Muba’adh yang telah mendapatkan lan dan tuannya, dan mampu ber. Jihad serta mempunyai senjata.

 

Karena itu, jihad tidak diwajibkan atas orang yang tidak mampu, misalnya buntung, buta, hilang sebagian besar jari-jari tangannya, pincang yang tampak jelas, sakit parah, orang yang tidak mempunyai biaya atau kendaraan dalam perjalanan sejauh Qashrush shalah, yang pembiayaan itu lebih dari pembiayaan orang yang wajib ditanggung, sebagaimana dalam masalah haji, dan tidak diwajibkan atas orang yang tidak mempunyai senjata, sebab orang seperti ini tidak mungkin kemenangan di tangannya.

 

Bepergian untuk berjihad atau lainnya, walaupun jaraknya dekat, dan tidak mengkhawatirkan atau untuk menuntut ilmu, adalah diharamkan bagi orang yang utang, kaya dan masa pembayarannya sudah tiba, di mana ia tiadak mewakilkan kepada orang lain untuk membayarkan utangnya atas nama dirinya dan hartanya yang berada di tempat. Hal ini karena untuk. menjaga hak orang lain.

 

Dan segi im, tersebut di dalam hadis Muslim: “Mati dalam sabilillah adalah dapat menghapus segala tanggungan, selain utang.”

 

Kepergian tersebut tanpa seizin pemiutang atau dugaan ada kerelaan darinya, di mana pemiutang termasuk orang yang berhak memberikan izin, sekalipun ia kafir dammi, utangnya ada barang gadai yang bisa diandalkan atau penjamin yang kaya.

 

Di dalam A/-Muhummat, Al-Asnaw berkata Sesungguhnya diam pemiutang adalah belum cukup sebagai memperbolehkan bepergian. Ucapan ini berpedoman dari pemahaman terhadap pembicaraan dua Guru (Rafi’i dan Nawawi) di sini.

 

Ibnu Rif’ah Qadhi Abu Thayyib, Al-Bandaniji dan Al-Qazwini berkata: Untuk keharaman bepergian, harus ada larangan yang jelas.

 

Perkataan ini dinukil oleh Qadhi Ibrahim bin Zhahirah.

 

Bila pengutang tersebut mlarat atau tanggungan utangnya belum tiba pembayarannya, sekalipun telah dekat pembayarannya, maka ia tidak diharamkan bepergian, -bahkan tidak terlarang-, dengan syarat utangnya masih dalam status muajjal ketika ia sampai ke tempat yang dihalalkan menggashar salat.

 

Haram bepergian untuk jihad dan haji sunah tanpa seizin orangtua yang Islam yaitu ayah/ibu terus ke atas, sekalipun telah mendapatkan izin dari kerabat yang lebih dekat hubungannya daripada orangtua yang ada saat itu.

 

Demikian pula, tanpa seizin orangtua, diharamkan bepergian untuk berdagang yang ada kemungkinan besar bisa selamat.

 

Tidak diharamkan bepergian untuk menuntut ilmu fardu, walaupun fardu kifayah, misalnya belajar ilmu Nahwu dan derajat fatwa. Orang yang menuntut ilmu tersebut tidak diharamkan, sekalipun tidak diizini oleh orangtuanya.

 

Bila orang-orang kafir sudah memasuki daerah kita, kaum muslimin, maka jihad hukumnya fardu ain bagi segenap penduduk daerah itu: Maksudnya, seluruh penduduk wajib ain mengadakan pembelaan sedapat mungkin.

 

Pembelaan ada dua tingkatan:

 

Pertama, dalam keadaan yang memungkinkan, penduduk di situ berkumpul menjadi satu serta mengadakan persiapan perang. Maka, dalam situasi seperti ini, seluruh penduduk wajib mengadakan pembelaan menurut kekuatan masing-masing, termasuk juga orang yang semestinya tidak terkena kewajiban jihad, misalnya orang fakir, anakanak, orang yang masih mempunyai utang, budak dan wanita yang mempunya kekuatan, yang kesemuanya tanpa menunggu izin dari orang-orang yang tersebut di atas (orangtua, pemiutang dan seterusnya).

 

Tanpa izin dari mereka dalam kondisi seperti ini bisa diampuni, karena menghadapi perkara baru yang tiada alasan lagi untuk dibiarkan.

 

Kedua, dalam keadaan penduduk telah terkepung oleh orang-orang kafir dan mereka tidak mungkin berkumpul serta mengadakan persiapan perang. Karena itu, barangsiapa diserang oleh satu orang kafir atau lebih dan mempunyai keyakinan bahwa bila ia tertangkap akan dibunuh, maka ia wajib mengadakan pembelaan terhadap dirinya menurut kemampuan, sekalipun ia tidak termasuk orang yang terkena kewajiban jihad, karena bagi orang Islam ada larangan menyerah kepada orang kafir.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila tidak mungkin mengadakan persiapan perang dan ia memperkirakan bisa ditahan atau dibunuh, maka baginya boleh mengadakan perlawanan dan boleh menyerah, bila ia berkeyakinan bahwa bila menolak menyerahkan diri, maka ia akan dibunuh dan yakin pula bahwa kaum wanita akan aman dari pemerkosaan bila sampai tertangkap, Kalau tidak berkeyakinan tentang dua hal ini, maka wajib mengadakan jihad.

 

Karena itu, barangsiapa berkeyakinan atau berprasangka bahwa bila dirinya ditangkap pasti dibunuh, maka ia dilarang menyerahkan diri, sebagaimana keterangan yang telah lewat.

 

Bila orang kafir menawan orang Islam, maka bagi setiap muslim yang mampu melepaskannya -jika bisa diharapkan kelepasannya- wajib untuk bangkit menghadapi orang-orang kafir itu.

 

Apabila seorang muslim berkata kepada orang kafir: “Lepaskanlah tawananmu, maka aku melepaskan sekian,” lalu ia melepaskannya, maka si muslim wajib membayar tebusan itu. Selanjutnya, ia tidak boleh minta ganti kepada orang yang terlepas tersebut, kecuali bilaia telah memberinya izin memberikan tebusan dirinya, maka muslim tersebut boleh meminta ganti, sekalipun penebus tidak mensyaratkan ada permintaan ganti.

 

Jihad fardu ain bagi orang yang bertempat tinggal di dalam radius sejauh perjalanan qashar salat dari daerah yang dimasuki, sekalipun penduduk daerah itu sendiri sudah mencukupi, sebab ia dihukumi sebagaimana penduduk daerah itu.

 

Fardu ain juga bagi orang yang berada di luar jarak perjalanan gashar salat, jika penduduk daerah dan orang-orang yang berada di sekeliling daerah belum mencukupi.

 

Maka, jihad menjadi fardu ain bagi orang yang berada dalam jarak perjalanan gashar salat, dan fardu kifayah bagi orang yang lebih jauh dari jarak tersebut.

 

Haram bagi orang yang terkena kefarduan jihad, berpaling dari barisan kaum muslimin ketika terjadi pertempuran dengan barisan musuh, sekalipun ia memperkirakan kemungkinan besar dirinya akan terbunuh bila masih berada di tempat, sebab Rasulullah saw. menganggap lan dari barisan perang, adalah salah satu dari tujuh dosa besar yang merusakkan amal kebaikan.

 

Apabila senjatanya hilang dan memungkinkan menyerang musuh dengan melempar batu, maka ia tidak boleh keluar dari barisan. Dalam masalah iri terdapat pertentangan hukumnya.

 

Sebagian ulama memantapi, bahwa apabila ia memperkirakan kemungkinan besar bila ia masih tetap berada di barisan akan terbunuh tanpa dapat membunuh dan melumpuhkan musuh, maka ia wajib lari dari barisan.

 

(Keharaman tersebut di atas), apabila jumlah musuh tidak melebitu dua kali lipat jumlah tentara kita. Sebagai dasarnya, adalah ayat Alqur-an. :

 

Hikmah diwajibkan tabah dalam menghadapi musuh yang jumlahnya dua kali lipat, bahwa orang muslim itu berperang atas dua kebaikan, yaitu mati syahid atau menang dengan memperoleh harta rampasan perang, sedang orang kafir berperang hanya untuk memperoleh kemenangan dunia.

 

Adapun bila jumlah musuh melebihu dua kali lipat, misalnya 201 melawan 100, maka diperbolehkan berpaling dari barisan perang secara mutlak.

 

Segolongan ulama Mujtahid mengharamkan secara mutlak melarikan diri dari barisan perang, bila jumlah tentara muslimin mencapai 12.000 orang, sebab disebutkan dalam suatu hadis: “Dua belas ribu tentara tidak akan dikalahkan dari yang sedikit: Ayat Alqur-an di atas di-takhshish oleh hadis ini.

 

Pendapat Mujtahidin di atas dijawab, bahwa yang dimaksudkan dengan hadis ini adalah pada galibnya bilangan besar dapat mengalahkannya: karena itu: tiada petunjuk dalam hadis, bahwa melarikan diri dan barisan perang hukumnya haram atau tidak haram, sebagaimana hal itu sudah jelas.

 

Keharaman berpaling dani barisan perang di atas, bilamana kita (pasukan muslimin) sedang menyerang musuh, kecuali berpalingnya untuk siasat perang atau menggabungkan diri dengan pasukan muslimin yang lain, guna meminta bantuannya untuk melawan musuh: sekalipun pasukan itu Jauh tempatnya.

 

Dengan cara penawaran, semua anak turun dan budak-budak -sekalipun budak-budak ini muslim-, menjadi budak, sebagaimana dijadikan budak pula orang kafir harbi yang dikalahkan oleh harbi untuk dijadikan budak. Artinya Dengan keadaan penawaran itu sendiri, maka mereka semua menjadi budak kita dan diperlakukan sebagaimana harta ghanimah lainnya.

 

Termasuk dalam arti “anak turun (anak cucu)”, adalah anak-anak kecil dan para wanita.

 

Tidaklah dikenakan had, jika penjarah, ayah atau tuannya menjimak wanita amat jarahan, sekalipun sebelum diadakan pemilihan pemilikan, sebab ada syubhat pemilikan terhadap amat itu.

 

Orang yang menjimaknya harus ditakzir bila mengetahui keharaman perbuatan yang dilakukan, (tetapi) tidak bisa diterapkan pada orang bodoh bila kebodohannya dirasa uzur, lantaran masih muda keislamannya atau hidupnya jauh dari ulama.

 

Cabang:

 

Tawanan yang belum balig dihukumi Islam secara lahur dan batin, lantaran mengikuti penawan yang Islam: sekalipun penawanan tersebut berserikat dengan orang kafir, dan adakalanya lantaran mengikuti salah satu ayah/ibunya, sekalipun Islamnya telah terjadi sebelum pengandungan anak itu.

 

Lalu, bila orang yang dihukumi keislamannya tersebut berikrar kafir setelah ia balig, maka sejak inilah dihukumi murtad.

 

Bagi imam (kepala negara) atau Amir (panglima tinggi angkatan bersenjata) mempunya hak khiyar di dalam memperlakukan tawanan yang kamil (balig, berakal sehat, laki-laki dan merdeka) antara empat perkara:

 

Membunuh orang dengan cara memenggal kepalanya, bukan cara lainnya:

 

Membebaskannya:

 

Tukar-menukar tawanan perang atau meminta menebus dengan harta . -maka harta seperti ini wajib menjadi seperlima-, atau meminta mengembalikan persenjataan orang Islam.

 

Senjata mereka bisa ditebus dengan mengembalikan tawanan kita yang pada mereka -menurut pendapat Al-Aujah-, bukan dengan memberikan harta kepada mereka,

 

Memperlakukan mereka sebagai budak. Untuk itu, imam atau wakilnya harus memperlakukan cara mana saja yang menurut ijtihadnya lebih menguntungkan (bermanfaat) buat kaum muslimin.

 

Barangsiapa yang membunuh tawanan yang tidak kamil, maka ia wajib menanggung harganya, atau kalau membunuh tawanan yang kamil sebelum imam menentukan pilihan penuliknya, maka ia harus ditakzir saja.

 

Orang kafir kamil yang kita tawan, bila; a memeluk Islam, maka dapat memelihara nyawanya dan dibunuh, sebab tersebut di dalam hadis Bukhari-Muslim: “Aku diperintah . memerangi manusia sekalian, sehingga mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah: Maka bila mereka telah mengucapkan persaksian itu, adalah berarti memelihara dariku akan nyawanyawa dan harta mereka, kecuali dengan cara yang sebenarnya (misalnya karena membunuh setelah memeluk Islam dan hartanya dipungut sebagai zakat).

 

Pengarang di sini tidak menyebutkan “dan dapat memelihara hartanya”, sebab keislamannya setelah ditawan tidak dapat memelihara hartanya bila imam memilih agar dinnya dijadikan budak: Tidak juga menyebutkan. “anak-anak kecilnya”, sebab telah diketahui bahwa keislamannya mereka mengikuti orangtuanya sekalipun mereka menjadi budak ketika berada di daerah musuh.

 

Apabila mereka mengikuti keislaman orangtuanya dan mereka adalah anak-anak yang merdeka, maka mereka tidak boleh dijadikan budak, sebab keterhalangan pembudakari. terhadap orang yang keislamannya terjadi dalam keadaan dirinya merdeka.

 

Dan segi ini, para ulama sependapat, bahwa orang muslim merdeka yang berada di daerah musuh adalah tidak boleh ditawan dan dijadikan budak. Atau kalau anak-anak yang mengIkuti keislaman salah satu orangtuanya tadi budak, maka status kebudakannya tidak menjadi rusak.

 

Dari segi ini, apabila kafir harbi memiliki budak kanak-kanak yang dihukumi Islam lantaran mengikuti salah satu orangtuanya, adalah boleh ditawan dan dijadikan budak.

 

(Keislamannya musuh yang tere tawan adalah menyelamatkan dam dibunuh) dan imam atau wakilnya masih mempunyai hak khiyar mengenai pembebasan, penebusan atau menjadikannya budak.

 

Masalah diperbolehkan penebusan dengan maksud masih tetap tinggal di daerah musuh, adalah jika orang itu masih mempunyai keluarga di sana, yang nyawa dan agamanya terjamin dalam hidup di tengah-tengah keluarganya.

 

Masuk Islam orang kafir sebelum kita (kaum muslimin) turun tangan menawannya, adalah bisa menyelamatkan dirinya dari semua yang disebut di atas dan menyelamatkan seluruh hartanya, baik yang berada di daerah kita maupun daerah musuh.

 

Demikian pula dapat menyelamatkan anak turunnya yang merdeka dan kecil serta yang gila ketika ditawan, dari pembudakan.

 

Tidak bisa menyelamatkan istrinya: Karena itu, bila istrinya ditawan, maka ikatan pernikahannya terputus seketika, sekalipun pernah dijimak.

 

Apabila sepasang suami-istri atau salah satunya tertawan, maka akad nikahnya fasakh, karena berdasarkan hadis riwayat Muslim: “Sesungguhnya setelah para sahabat enggan menjimak para tawanan wanita yang bersuami di Perang Authas, maka turunlah ayat: ‘Dan (diharamkan mengawini) wanita-wanita yang telah bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki’. (Q.S. An-Nisa’: 24)”, Maka yang diharamkan oleh Allah swt. adalah wanita-wanita yang bersuami, , kecuali warita-waruta tawanan.

 

Cabang:

 

Apabila tawanan perang yang telah dijadikan budak mendakwakan, bahwa dirinya telah memeluk Islam sebelum tertawan, maka tidak dapat diterima mengenai pembudakan dirinya, dan dihukumi muslim semenjak itu, serta dakwaannya bisa ditetapkan berdasarkan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan.

 

Apabila seorang tawanan mendakwa bahwa dirinya muslim (sebelum ditawan), jikaia terambil dari daerah kita, maka dapat dibenarkan dengan sumpahnya, kalau diambil dari daerah musuh, maka tidak bisa.

 

Apabila seorang kafir harbi telah dijadikan budak dan ia masih mempunyai tanggungan utang kepada seorang muslim atau dzimmi, maka tanggungannya tidak menjadi gugur, dan menjadi gugur bila utangnya kepada kafir harbi.

 

Apabila kafir harbi berutang kepada kafir harbi atau lainya, atau membeli sesuatu darinya, kemudian kedua belah pihak atau salah satunya memeluk Islam, maka tidak gugur, sebab ketetapannya dengan akad yang sah.

 

Apabila seorang kafir harbi rusakkan atau menggasab barang milik kafir harbi lainnya, lalu keduaduanya masuk Islam atau yang merusakkan saja yang memeluk Islam, maka tiada kewajiban menanggung, sebab ia tidak mengikat suatu akad yang akibat hukumnya dapat berjalan terus, dan karena kafir harbi bila merusakkan sesuatu milik orang muslim atau dzimmi, adalah tidak wajib menanggung: maka lebihlebih harta milik kafir harbi.

 

Cabang:

 

Apabila kafir harbi mengalahkan pemiutang, sayid, istri atau suaminya (yang kesemuanya juga kafir), maka ia dapat memiliki kafir yang dikalahkan dan gugurlah utangnya, hulanglah sifat budak yang ada pada dirinya dan tanggallah ikatan nikahnya, sekalipun kafir yang dikalahkan tersebut kamil (laki-laki merdeka, balig dan berakal sehat).

 

Demikian juga, bila yang mengalahkan tersebut adalah orangtua atau anak, tetapi ia tidak dapat menjual orang yang dikalahkan (orangtua atau anaknya), sebab mereka merdeka setelah di tangannya, Lain halnya dengan pendapat As-Samhudi.

 

Penting:

 

Guru kita berkata di dalam Syarhul Minhaj: Benar-benar telah banyak perselisihan orang-orang dan karangan mereka yang berkaitan dengan warita-wanita atau laki-laki budak yang diperoleh dari Romawi dan India.

 

Hasil kesimpulan pendapat Muktamad dalam mazhab kita: Orang yang diketahui bahwa dirinya termasuk ghanimah yang belum dibagi lima dan belum dibagi, adalah dibeli dan segala macam pentasarufan terhadapnya, serta bisa jadi penawan pertama yang menjualnya adalah seorang kafir harbi atau dzimmi sebab harta gharnimah yang berada di tangan harbi/dzimmi tidak terkena kewajiban membagi menjadi lima. Kasus seperti ini banyak sekali terjadi, bukan hal yang langka.

 

Apabila telah dengan jelas diketahui bahwa yang mengambil tawanan tersebut adalah orang muslim, dengan cara semacam dicuri atau dijambret, maka tidak boleh dibeli, kecuali menurut pendapat (Al-Wajhu) yang daif, yang menyatakan bahwa yang tertawan itu tidak boleh dibagi lima.

 

Maka menurut pendapat segolongan ulama Mutakaddimin: “Menurut lahir Alqur-an, Alhadis dan ijmak, adalah terlarang menjimak waruta tawanan yang diperoleh dari Romawi dan India, kecuali imam telah mengangkat pejabat pembagi ghanimah dan ia telah bekerja dengan adil”, adalah nyata diterapkan budak wanita yang diketahui bahwa penawannya adalah orang Islam serta Amir mereka sebelum pengambilan ghanimah tidak berkata: “Barangsiapa yang menganbil sesuatu maka itu menjadi miliknya”, sebab perkataan Amir seperti itu menurut imam tiga (Hanafi, Maliki dan Hambali rhm.) adalah diperbolehkan, Begitu juga di dalam suatu perkataan Syafi’i rhm.

 

Bahkan At-Tajul Fazari mempunyai praduga, bahwa imam (kepala negara) tidak berkewajiban membagi harta ghanimah dan membagi limakan, dan ia boleh menghalangi sebagian dari para pengambil ghanimah (ghanimin), tetapi pendapat ini ditolak oleh pengarang kitab ini dan lainnya, lantaran menyalahi ijmak.

 

Jalan keluar agar ghanimah tidak, dibagi menajdi lima bagi orang yang mendapatkannya: Mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya bila diketahui (lalu setelah ia dapat membelinya dengan akad baru dan setelah itu halal dijimak), Bila pemiliknya tidak diketahui, maka diserahkan kepada qadhi, sebagaimana harta yang tersia-sia (mal dhai’), yaitu yang tidak bisa diharapkan pemiliknya. Jika pemiliknya tidak bisa diharapkan, maka menjadi milik Baitulmal, Karena itu, barangsiapa yang mempunyai hak atas harta itu dan Baitulmal, bolehlah mengambilnya Demikian menurut pendapat Al-Muktamad.

 

Dari situ, maka pendapat yang Muktamad seperti yang telah lewat, bahwa barangsiapa yang mendapatkan sesuatu dari Baitulmal, yang memang ikut berhak padanya, maka halal mengambilnya, sekalipun orangorang lain dizaliminya.

 

Memang, tapi untuk kewarakan bagi orang yang menjimak wanita amat seperti itu, hendaklah membelinya kembali dan wakal Baitulmal, karena pada galibnya belum dibagi lima dan harapan untuk mengetahui pemiliknya sudah tidak ada lagi: yang karenanya menyadi milik Baitulmal. -Selesai perkataan Guru kita-.

 

Penyempurna:

 

Budak milik kafir harbi apabila melarikan diri, lalu memeluk Islam sekalipun sebelum terjadi gencatan senjata, atau masuk Islam kemudian melankan sebelum gencatan senjata, adalah dihukumi merdeka, sekalipun ia tidak hijrah ke daerah kita.

 

Sebaliknya, tidak bisa dihukumi merdeka yaitu apabila ia memeluk Islam setelah gencatan senjata, lalu melarikan diri, tetapi tidak bisa dikembalikan lagi kepada sayidnya.

 

Kemudian, bila sayidnya tidak mau memerdekakannya, maka imam wajib menjualnya kepada orang muslim dan menyerahkan kepada sayidnya sebesar harganya yang diambilkan dari jatah kemaslahatan muslimin, lalu imam memerdekakannya atas nama kaum muslimin serta wala’ mereka bersama.

 

Bila setelah terjadi gencatan senjata dan di situ disyaratkan ada pengembalian siapa pun yang datang kepada kita dari mereka (orang-orang kafir), datang kepada kita seorang mukalaf yang muslim, maka jika di daerah musuh tidak mempunyai keluarga yang memberikan koamanan kepada mukalaf tersebut, maka ia tidak boleh dikembalikan kepada mereka, Kalau mempunyai, maka atas permintaan mereka, bisa dikembalikan dengan melepaskan antara dirinya dan orang yang menuntut, tanpa dipaksa kembali bersama-sama yang meminta (menuntut) nya.

 

Demikian pula, tidak dikembalikan anak kecil dan orang gila, baik mengucapkan syahadat atau tidak: begitu juga dengan wanita dan banci, mereka tidak boleh dikembalikan kepada orang-orang kafir, sekalipun kepada semacam ayah, sebab kelemahan mereka semua.

 

Mereka wajib membayar kepada kita harga budak yang murtad, bukan orang merdeka yang murtad.

 BAB PERADILAN - بَابُ الْقَضَاءِ

Lafal Al-Qadha’ dibaca mad (panjang), yang artinya “menghukumi sesama menusia”.

Dasar hukumnya sebelum ijmak adalah firman Allah swt.: “Dan hendaklah kalian menghukumi di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (Q.S. AlMaidah: 49), dan firman-Nya: “maka hukumlah di antara mereka dengan adil.” (Q.S. Al-Maidah: 42).

Beberapa hadis, misalnya hadis riwayat Bukhani-Muslim: “Apabila seorang hakim hendak memutuskan suatu hukum, lalu berijtihad dan ijtihadnya benar. maka ia memperoleh dua pahala, dan bila hendak menghukumi, lalu berijtihad dan salah dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala.

Dalam riwayat yang lain sebagai ganti dari kalimat pertama tersebutkan: “.., maka ia memperoleh sepuluh pahala.” ,

Imam An-Nawawi berkata di dalam Syarah Muslim: Kaum Muslimin sudah berijmak, bahwa yang dimaksud dengan hakim di sini adalah hakim yang alim lagi pula mujtahid. Adapun hakim yang tidak begitu, maka ia berdosa dalam semua putusan hukumnya sekalipun benar, sebab kebenarannya hanyalah ketetapan saja.”

Tersebut di dalam hadis sahih: “Qadhi itu ada tiga macam, satu masuk ke surga dan yang dua masuk ke neraka.”


Yang pertama ditafsiri dengan qadhi yang mengetahui kebenaran, lalu menghukumi dengan Yang benar itu, sedang dua yang lainnya adalah qadhi yang tahu kebenaran dan menyimpang darinya, dan qadhi yang menghukumi dengan kebodohannya.

 

Mengenai hadis yang memberikan peringatan terhadap jabatan qadhi, misalnya: “Barangsiapa diangkat menjadi qadhi, maka ia betul-betul disembelih tanpa menggunakan pisau”, adalah dihubungkan dengan arti besar bahaya di dalam jabatan itu, atau kepada orang yang makruh/ haram memegang jabatan itu.

 

Penerimaan jabatan sebagai qadhi oleh beberapa orang yang patut menjabatnya dalam suatu wilayah keqadhian adalah fardu kifayah, bahkan termasuk golongan fardu yang utama, sehingga Al-Ghazali : berkata, bahwa menjabat menjadi qadhi adalah lebih utama daripada berjihad. Karena itu, jika mereka yang patut menjabat menjadi qadhi kesemuanya menolak, maka berdosa semua.

 

Adapun pengangkatan oleh imam/ wakilnya terhadap seorang di antara mereka yang patut menjabatnya dalam-satu kawasan wilayah, adalah fardu ain bagi pemegang kekuasaan (Dzi Syaukhah).

 

Dalam setiap radius jarak Adwa tidak boleh kosong dari seorang qadhi (jarak Adwa adalah suatu jarak bila seseorang berangkat dengan menaiki unta yang bermuatan sejak fajar terbit dan rumahnya menuju ke tempat qadhi, bisa kembali lagy ke rumahnya pada hart Itu juga setelah secukupnya mengajukan dakwaan, jawaban, pengemukakan bayinah yang ada di tempat dan penyidikannya)

 

Cabang:

 

(Untuk menjabat sebagus qadhi) harus ada pengangkatan dar imam atau orang yang diben ian untuk mengangkat, sekalipun untuk seseorang yang dirinya terkena hukum fardu Ain menjabat sebagai qadhi.

 

Apabila tidak ada imam, maka pengangkatannya dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi (yaitu semacam anggota DPR dar MPR) di daerah setempat atau sebagian dari mereka atas kerelaan anggota yang lain.

 

Apabila qadhi diangkat oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi salah satu penjuru dani suatu daerah, maka ia sah untuk qadhinya penjuru tersebut, bukan penjuru yang lain.

 

Di antara pernyataan pengangkatan yang sharih adalah: “Aku mengangkatmu sebagai qadhi/ Aku serahkan kepadamu jabatan qadhi”. Sedang di antara pernyataan kinayahnya: Aku berpegang/berpedoman kepadamu dalam masalah keqadhian.

 

Disyaratkan ada qabul secara lafal: demikian pula disyaratkan dengan seketika bagi orang yang berada di tempat dan ketika berita pengangkatan dirinya diterima bagi orang yang tidak berada di tempat. Segolongan ulama Muhaqqiqun berkata: Syaratnya adalah tidak ada penolakan jabatan.

 

Barangsiapa dirinya terkena hukum fardu ain menjabat sebagai qadhi di suatu wilayah, maka ia wajib menerimanya, Demikian pula wajib menuntutnya, sekalipun dengan memakan biaya dan mengkhawatirkan dirinya akan menyimpang.

 

Bila dirinya tidak terkena hukum fardu ain di situ, maka bagi Mafdhul (orang yang di bawah lebih utama) menyanggupi dan memintanya bila yang lebih utama menjabat menolak Haram meminta jabatan qadhi dengan memecat orang yang patut menjabatnya, sekalipun yang terpecat itu Mafdhul.

 

Syarat qadhi adalah orang yang dapat memegang syahadah (persaksian), Yaitu laki-laki muslim, mukalaf, adil, merdeka, dapat mendengar -sekalipun dengan dikeraskan suararryadan yang dapat melihat.

 

Karena itu, orang yang tidak memenuhi syarat di atas tidak dapat diangkat menjadi qadhi.

 

Orang yang buta adalah orang yang melihat sesuatu, tetapi tidak dapat membedakan apa dan siapanya (samar), sekalipun dekat. Lain halnya orang yang dapat membedakan rupa bila berada di jarak dekat dengan yang dilihat, yaitu sekira dapat mengenalinya, sekalipun dengan usaha sungguh dan meneliti yang cukup lama, sekalipun tidak dapat membaca tulisan.

 

Ada pendapat yang dipilih mengenai kesahan pengangkatan qadhi terhadap orang buta.

 

(Disyaratkan lagi) mumpuni untuk memegang jabatan qadhi. Karena itu, pelupa dan orang yang rusak pikirannya sebab tua atau sakit, adalah tidak dapat diangkat menyadi qadhi.

 

Juga disyaratkan harus seorang mujtahid. Karena itu, tidak sah mengangkat orang yang bodoh dan orang yang taklid, sekalipun hafal terhadap mazhab imamnya, sebab ketidakmampuan seorang mugallid memecahkan hal-hal yang rumit di dalam mazhabnya sendiri.

 

Mujtahid adalah: Orang yang mengetahui hukum-hukum Alqur-an, dari segi Am dan Khashnya, mana yang Mujmal dan yang Mubayyan, mana yang Mutlak dan Mugayyad, Nash dan Zhahir, mana yang Nasikh dan yang Mansukh, serta yang Muhkam dan mana yang Mutasyabih

 

Mengetahui hukum-hukum hadis dan segi Mutawatir, yaitu hadis yang banyak jalur nwayatnya, Ahad, yaitu hadis yang bukan Mutawatir, yang Muttashul, -yaitu hadis yang rawinya bersambung sampai pada Rasulullah saw. dan ini disebut Marfu’, atau bersambung sampai para sahabat dan iru berstatus Mauquf-, dan yang Mursal, -yaitu ucapan tabiin: “Rasulullah saw. bersabda begiru atau berbuat begini”-.

 

Mengetahui keadaan rawi hadis dari segi yang kuat dan lemahnya.

 

Adapun hadis yang mencapai derajat Mutawatir dan para ulama salaf sepakat untuk menerimanya, adalah tidak perlu dibahas lagi keadilan perawinya.

 

Seorang Mujtalud cukup berpegang dengan pen-ta’dil-an (penilaian bahwa perawi itu adil) yang telah diberikan oleh ahli hadis, yang mana Mujtahid tersebut mengetahui kesahan mazhab yang diikuti oleh ahli hadis tersebut dalam masalah Tajrih (penilaian ketidakadilan perawi) dan ta’dil.

 

Di saat menemukan dalil yang bertentangan (Ta’arudh), maka dimenangkan’/didahulukan dalil yang Khash atas Am, dalil Muqayad atas Mutlak, dalil Nash atas Zhahir, dalil Muhkam atas Mutasyabih, Nasikh/ Muttashil/Qawi atas kebalikannya.

 

Hukum-hukum seperti itu yang dimaksud tidaklah cukup hanya dengan 500 ayat Alqur-an dan 500 hadis, Jain halnya dengan pendapat yang menduga kecukupannya.

 

Mengetahui kias dengan tiga macam: Kias Jali, yaitu sesuatu yang dapat dipastikan tidak ada perbedaan antara Asal dan furuk (cabang), misalnya memukul orangtua djkiaskan dengan berkata kasar kepadanya, Kias Musawi, Yaitu kias yang di situ jauh adanya pembeda, misalnya membakar harta anak yatim dikiaskan dengan memakannya, dan Kias Adwan, Yaitu kias yang tidak jauh di situ ada pembeda, misalnya jagung dikiaskan dengan gandum dalam masalah riba, samasama bentuk makanan.

 

(Syarat Mujtahud lagi) mengetahui hahasa Arab dari segi Balaghah, nahwu, Sharaf dan Lughat.

 

Mengetaui kaul-kaul ulama dari kalangan para sahabat dan sesudahnya, sekalipun dalam masalah pembicaraan yang berkaitan dengan keqadhian saja, agar pendapatnya nanti tidak bertentangan dengan mereka.

 

Ibnush Shalah berkata: Terkumpulnya semua syarat di atas hanyalah bagi Mujtahid Mutlak yang akan berfatwa dalam seluruh Bab Fikih.

 

Adapun Mujtahid Muqayad yang tidak melewati dari mazhab imamnya, maka dia hanya disyaratkan mengetahui kaidah-kaidah imam mazhabnya, dan hendaknya di dalam menghadapi kaidah-kaidah tersebut dia memperhatikan hal-hal yang telah diperhatikan oleh Mujtahid Mutlak dalam menghadapi undang-undang syarak. Hubungan Mujtahid Muqayad terhadap Mujtahid Mutlaknya adalah sebagaimana hubungan Mujtahid Mutlak terhadap nash-nash syarak.

 

Karena itu, bagi Mujtahid Muqayad tidak boleh menyimpang dari nash: imam mazhabnya, sebagaimana Mujtahid Mutlak tidak diperbolehkan menyimpang dari nash syarak. Selesai.

 

Kemudian, bila sultan walaupun kafir atau Dzu Syaukhah selain sultan pada suatu daerah, sebagaimana suatu daerah berada di tangan Dzu Syaukah mengangkat qadhi yang bukan ahlinya, misalnya Muqallid, bodoh atau fasik, sedangkan ia mengetahui kefasikannya, atau dengan memperkirakan keadilannya, di mana bila ia mengetahui kefasikannya pasti tidak mengangkatnya, maka menurut Guru kita adalah hukum yang diputuskan oleh qadhi seperti itu tidak berlaku, dan demikian pula bila kefasikannya bertambah atau mengerjakan kefasikan yang lainnya, di siri masih diragukan masalahnya. Selesai.

 

Sebagian fukaha ada yang memantapi, bahwa pengangkatan terhadap qadhi yang fasik adalah berjalan terus, sekalipun Sultan/Dzu Syaukah yang mengangkatnya tidak mengetahui kefasikannya. Begitu juga berjalan terus pengangkatan yang dilakukan oleh Sultan/Dzu Syaukah terhadap budak, wanita dan orang buta, sekalipun di daerah tersebut terdapat seorang Mujtahid yang adil, menurut pendapat Muktamad.

 

Karena itu, sebab darurat agar kemaslahatan orang banyak tidak terbengkalai, maka putusan hukum qadhi yang diangkat tersebut bisa berlaku, sekalipun banyak ulama yang menentangnya dalam kaitan dengan qadhi fasik, dan secara panjang-lebar mereka menguraikannya, serta dibenarkan oleh Az-Zarkasyi.

 

Guru kita berkata: Berlakunya pengangkatan yang dilakukan oleh Sultan/Dzu Syaukah terhadap Muqallid terhadap kaitannya adalah bila di daerah situ ada seorang Mujtahud, (tetapi) bila di situ terdapat seorang Mujtahid, maka pengangkatan terhadap gadlu yang Muaallid bisa berlaku, sekalipun yang melaksanakan (melantik) adalah bukan Dzu Syaukah, Demikian pula pelantikan terhadap qadhi fasik Bila di situ terdapat orang yang adil, maka disyaratkan pengangkatannya oleh Dzu Syaukah dan kalau tidak terdapat, maka tidak disyaratkan.

 

Rincian di atas sebagaimana yang diambil dari ucapan Ibnur Rif’ah: Yang benar, bahwa apabila di situ tidak terdapat orang yang patut menjabat sebagai qadhi, maka secara pasti adalah sah pengangkatan terhadap orang yang tidak patut.

 

Menurut pendapat Al-Aujah: Qadhi yang terangkat karena darurat, adalah bisa menghukumi berdasarkan pengetahuannya, berhak memelihara harta anak yatim dan menulis surat kepada qadhi lain, Lain halnya menurut pendapat Al-Hadhrami.

 

Segolongan ulama Mutaakhirin menjelaskan, bahwa qadhi darurat itu dalam segala putusan hukumnya adalah harus berdasarkan pedoman, dan tidak bisa diterima ucapannya: “Kuputuskan hukumnya begini”, tanpa menyebutkan dasar yang digunakan memutuskan.

 

Apabila si terdakwa memohon kepada qadhi untuk dijelaskan siapa para saksi yang menguatkan dakwaan atas dirinya, maka qadhi wajib menjelaskan semua, kalau tidak, maka putusan yang diberikan tidak berlaku.

 

Cabang:

 

Sunah bagi imam (kepala negara) apabila mengangkat seorang qadhi, hendaknya mengizinkan pula untuk mengangkat pembantunya.

 

Bila pengangkatan oleh imam diberikan secara mutlak, maka qadhi yang terangkat diperbolehkan mengangkat pembantu untuk menangani urusan-urusan yang dirinya tidak mampu menanganinya, bukan urusan selain itu, menurut pendapat Al-Ashah.

 

Penting:

 

Qadhi yang Mujtahid bisa menghukumi berdasarkan ijtihadnya sendin, atau berdasarkan ijtihad imam yang ditaklidi jika ia seorang muqallid.

 

Kesesuaian pembicaraan Guru kita, bahwa qadhi mugallid tidak boleh memutuskan hukum berdasarkan selain mazhab yang ditaklidi. Imam Al-Mawardi dan lainnya berkata: Boleh.

 

Ibnu Abdis Salam, At-Adzra’i dan lainnya mengompromikan dua perdapat di atas, dengan menerapkan pendapat pertama kepada qadhi yang belum sampai pada derajat Mujtahid di dalam mazhab imamnya: dengan kata lain, bahwa dia adalah muqallid murri yang tidak mampu meneliti dalam mazhab yang diikuti, sedang pendapat kedua diterapkan kepada qadhi yang mampu untuk melakukan hal tersebut.

 

Ibnur Rif’ah menukil dari Ashhabusy Syafi’i bahwa seorang hakim . mugallid apabila nyata-nyata hukum yang diputuskan itu menyelisihi nash imam mazhabnya, maka hukumnya rusak. Pendapat ini cocok dengan pendapat An-Nawawi di dalam ArRaudhah, begitu juga oleh As-Subki.

 

Al-Ghazali berkata: Hukumnya tidak rusak: pendapat ini diikuti oleh Ar-Rafi’i dalam pembahasan di tempat yang lain dan oleh Guru kita di dalam sebagian kitab-kitab beliau.

 

Faedah: Bermazhab

 

Apabila seorang awam (‘Ami) berpegang pada suatu mazhab tertentu, maka ia wajib bersesuaikan dengannya. Kalau tidak berpegangan dengannya, maka ia wajib bermazhab dengan salah satu dari keempat mazhab, bukan lainnya.

 

Kemudian, sekalipun telah mengamalkan satu mazhab, baginya boleh pindah ke mazhab yang lainnya dalam secara totalitas atau beberapa masalah saja, dengan syarat tidak mengambil mana yang ringan darisetiap mazhab, sebab dengan cara – memilih seperti ini dihukumi fasik menurut-pendapat Al-Aujah.

 

Tersebut di dalam kitab Al-Khadim (milik Az-Zarkasyi) yang dinukil dari sebagian ulama yang lebih berhati-hati: Yang lebih utama bagi orang yang mempunyai penyakit was-was, adalah mengambil pendapat yang lebih ringan dan rukhsah dari setiap mazhab, agar dengan begitu penyakitnya tidak bertambah parah dan tidak keluar dari aturan syarak, sedang bagi yang tidak waswas, adalah mengambil pendapat yang berat, agar tidak keluar dari status diperbolehkan.

 

(Syarat untuk berpindah mazhab lagi) tidak mengumpulkan dua kaul (talfiq) satu. hakikat ibadahnya, di mana kedua kaul (mazhab) tidak sependapat mengenai hukumnya (misalnya, taklid kepada Imam Syafi’i dalam mengusap sebagian kepala ketika berwudu dan taklid kepada Imam Malik mengenai kesucian anjing, untuk satu salat).

 

Tersebut di dalam Fatawi Guru kita: Barangsiapa bertaklid kepada seorang imam mazhab dalam satu masalah, maka baginya diwajibkan mengikuti imam tersebut di dalam masalah tersebut dan hal-hal yang bersangkut-paut dengan masalah itu.

 

Karena itu, orang yang berpaling dari Ainul Ka’bah dan mengerjakan salat dengan menghadap arah (jihat) Ka’bah karena mengikuti Abu Hanifah, maka di dalam berwudu orang tersebut wajib mengusap kepala seukur ubun-ubun, setelah berwudu badan orang tersebut tidak pendarahan dan sebagainya (yaitu syarat-syarat sah salat dan yang membatalkannya menurut Abu Hanifah), Kalau mengikuti aturan di atas kesepakatan dua mazhab. Karena itu, hendaknya diperhatikan hal ini! Selesai.

 

Pendapat seperti itu dicocoki oleh Al-Allamah Abdullah Abu Makhramah Al-Adani, dan beliau mbnambahi dengan perkataannya: Syarat yang telah kami tuturkan tersebut benar-benar telah dijelaskan tidak hanya seorang ulama saja dari kalangan Muhqqiqin Ahli Ushul Fikih dan Fikih: Di antaranya: Ibnu Daqiqul ‘Id dan As-Subuki, dan di dalam At-Tamhid, An-Nawawi menukil dari Al-Iraqi, Aku berkata, bahwa Ar-Rafi’i menukilnya dari. Al-Qadhi Husain di dalam kitab Al-Aziz. Selesai.

 

Guru kita Al-Muhaqqiq Ibnu Ziyad berkata di dalam Fatawinya: Sesungguhnya apa yang kami pahami dari contoh-contoh yang diberikan fukaha, bahwa penggabungan dua mazhab yang merusakkan sistem taklid itu hanya dalam penerapannya pada satu qadhiyah saja (misalnya wudu satu qadiyah dan talat satu qadhiyah)

 

Di antara contoh-contoh yang mereka kemukakan: Apabila seorang laki-laki berwudu dan menyentuh kulit wanita yang bukan mahram karena bertaklid kepada Abu Hanifah, lalu berbekam sebab bertaklid kepada Syafi’i, setelah itu mengerjakan salat, maka salatnya batal, sebab kedua imam tersebut sudah sama-sama menghukumi kebatalan wudu tersebut. Demikian pula bila ia berwudu, lalu memegang kulit wanita sebab taklid kepada Imam Malik, (tetapi) ketika berwudu ja tidak menggosok -karena taklid kepada Imam Syafi’i-, lalu mengerjakan salat, maka salatnya tidak sah, sebab kedua imam tersebut samasama menghukumi kebatalan thaharah seperti itu.

 

Lain halnya bila penggabungan dua mazhab dalam dua gadinyah, maka menurut yang lahir hal itu tidak mencacatkan (merusak ) taklid, misalnya orang yang berwudu dengan mengusap sebagian kepala (karena bertaklid kepada Imam Syafi’i), lalu mengerjakan salat dengan menghadap jihat (arah) kiblat -karena bertaklid kepada Abu Hanifah-, maka menurut pendapat yang lahur, salat orang tersebut tetap sah, sebab dalam menghukumi kebatalan wudu orang itu.

 

Karena perselisihan Imam Syafi’i dengan Imam Hanafi dalam hal wudu di atas yang berdikari sendinsendiri, tidaklah dapat dikatakan bahwa mereka berdua sepakat dalam kebatalan salat orang tersebut, sebab kami berpendapat: Kesepakatan ini adalah timbul dari penggabungan dua mazhab dalam dua qadhiyah (dua penerapan ibadah, yaitu wudu dengan salat), sedang yang kami pahanu bahwa hal seperti itu tidak merusak kesahan taklid.

 

Adapun yang semisal dengan itu adalah: Bila seseorang bertaklid kepada Imam Ahmad (mazhab Hambali) dalam masalah aurat, yaitu qubul dan dubur, dan (dalam berwudu)ia tidak berkumur, menyesap air ke dalam hidung dan membaca Basmalah yang semua ini menurut Imam Ahmad hukumnya wajib, maka menurut yang lahir bahwa salat yang dikerjakan oleh orang di atas adalah sah bila ia bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah aurat saja, sebab kedua imam (Syafi’i dan Ahmad bin Hambali) tidak sepakat atas kebatalan wudu orang tersebut, yang mana wudu itu satu qadhiyah, dan kesepakatan dua imam tersebut atas kebatalan salat tidaklah merusakkan taklidnya, sebab penggabungan dua mazhab di sim pada dua qadhiyah (wudu dan salat), di mana hal iri tidak merusak taklid, sebagaimana yang kami pahami dari contoh-contoh yang Dipaparkan mereka.

 

Sungguh aku telah melihat/mengetahu di dalam Fatawi Al-Bulqini Keterangan yang cocok, bahwa penggabungan dua mazhab dalam dua gadinyah adalah tidak merusak taklid -Selesai perkataan Ibnu Ziyad secara nngkas

 

Penyempurnaan:

 

Wajib bagi orang yang memerlukan mengetahui suatu hukum, untuk memohon fatwa orang alim yang adil lagi punya kepandaian berfatwa. Kemudian, bila menemukan dua orang ahh fatwa, maka jika ia mempunyai keyakinan bahwa salah satunya lebih alim, maka ia wajib mendahulukannya.

 

Imam Nawawi di dalam Ar-Raudhah berkata. Bagi Mufti dan pengamal di dalam mazhab kita, dalam masalah yang mempunyai beberapa wajah atau dua kaul, tanpa diperselisihkan lagi, bahwa ia tidak diperbolehkan berpegangan pada salah satu pendapat (kaul/wajah)tersebut tanpa meneliti terlebih dahulu, akan tetapi ia wajib membahas mana yang lebih rajih dengan semacam kelebihakhuran kaul/wajah tersebut, sekalipun dua kaul/wajah itu mulik satu imam Selesai.

 

Diperbolehkan dua orang mengangkat Muhakkam (orang yang dimintai memutuskan hukum) kepada seorang laki-laki yang mempunyai kecakapan memutuskan hukum, sekalipun bukan karena telah terjadi percekcokan, sebagaimana di dalam masalah nikah.

 

Bukan hanya orang tertentu yang ahli dalam kondisional saja Lain halnya dengan pendapat segolongan ulama Mutaakhkhirun. Pengangkatan tersebut sekalipun di situ terdapat seorang qadhi yang ahli, lan halnya dengan pendapat yang ada di dalam Ar-Raudhah.

 

Adapun orang yang tidak mempunyai keahlian, maka tidak boleh diangkat menjadi Muhakkam, bila di situ sudah ada seorang qadhi yang ahli. Kalau tidak terdapat, maka boleh mengangkatnya sekalipun dalam masalah rukah dan di situ terdapat seorang mujtahid, sebagaimana yang dimantapi oleh Guru.kita di dalam kitab Syarah Minhaj dengan mengikuti Guru beliau, Syekh Zakana Al-Anshari.

 

Tetapi menurut fatwa Guru beliau di atas, bahwa Muhakkam yang adil adalah tidak boleh mengijabkan nikah, kecuali bila qadhi tidak ada yang walaupun bukan ahli.

 

Secara mutlak tidak boleh mengangkat seorang yang tidak adil menjadi Muhakkam.

 

Hukum yang diputuskan oleh Muhakkam tidak berlaku, kecuali dengan ada kerelaan dari kedua belah pihak yang bersengketa dalam hukum itu secara lafal, bukan dengan diam. Karena itu, dipertimbangkanlah kerelaan suami-istri bersama-sama dalam masalah nikah. Memang, telah cukuplah dengan diam seorang gadis sewaktu dimintai izinnya dalam pengangkatan Muhakkam.

 

Tidak boleh mengangkat Muhakkam dalam keadaan wali rukah tidak ada di tempat, walaupun melebilu jarak gashar salat, jika di situ terdapat seorang qadhi -lain halnya dengan pendapat Ibnul Imad-, sebab qadhi adalah sebagai ganti dari wali, lain halnya dengan Muhakkam.

 

Muhakkam diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya sendiri, menurut pendapat Al-Aujah (yaitu menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, sedang menurut Ramli adalah tidak boleh).

 

Qadhi dihukumi terlepas darr jabatannya karena telah sampai berita pemecatan dirinya, sekalipun berita dari seorang laki-laki yang adil.

 

Naib qadhi (pengganti qadhi) dalam masalah umum ataupun khusus, adalah terlepas dari jabatannya karena telah sampai padanya berita pemecatan dirinya oleh qadhi yang mengangkatnya sebagai naib, atau telah sampai padanya berita pemecatan oleh imam kepada qadhi yang telah mengangkat dirinya, bila imam memberikan izin kepada qadhi itu mengangkat seorang naib dani dinnya, atau memberikan izin secara mutlak.

 

Tidak terpecat, bila Naib qadhi adalah sebagai Naib imam, misalnya imam berbakat: “Angkatlah pengganti dariku”, maka dengan terpecatnya qadhi, naib qadhi tidak ikut terpecat.

 

Hanya saja qadhi dan narbnya mulai terlepas jabatannya dengan sampainya berita kepadanya, sebagaimana yang dipahami dari kata-kata: “Qadhi dihukimu lepas dari jabatannya” di atas, bukan sebelum sampai berita kepadanya, sebab besar mudarat yang terjadi dalam rusaknya keputusan hukum, andaikata dihukumi lepas jabatan (terpecat), sebelum berita pemecatan sampai kepadanya.

 

Lain halnya dengan wakil, maka ia terpecat dari status wakil sejak dinyatakan terpecat, sekalipun berita itu belum sampai kepadanya.

 

Barangsiapa mengetahui keterpecatan seorang qadhi, maka putusan hukumnya terhadap orang itu tidak berlaku, kecuali bila rela/menerimanya (ini pun) dalam hal-hal yang bisa di-Tahkim-kan penyelesaian hukumnya

 

Qadhi dan naib qadhi dihukum terpecat dari jabatannya dengan salah satu dari beberapa hal Mengundurkan diri, sebagaimana pula sang wakil.

 

Terkena penyakit gila atau ayan, sekalipun hanya sebentar masanya.

 

Berbuat kefasikan. Maksudnya, qadhi yang imam/Dzu Syaukah waktu mengangkatnya tidak mengetahui, bahwa si qadhi itu fasik atau tambahan dari kefasikannya, maka bisa lepas jabatannya dengan kefasikannya.

 

Apabila hal-hal di atas (gila, ayan atau fasik) hilang, maka jabatannya tetap tidak bisa kembali lagi, kecuali karena ada pengangkatan baru, menurut pendapat Al-Ashah.

 

Imam boleh memecat qadhi yang tidak terkena hukum fardu ain dalam jabatan keqadhiannya, jika telah nyata ada kecacatan yang tidak sampai mengharuskan untuk memecatnya, misalnya banyak orang yang resah karenanya, sebab ada qadhi yang lebih utama, dan demi mengambil langkah maslahatnya, misalnya untuk memadamkan fitnah, baik qadhi memecatnya dengan menggantikan qadhi yang setingkat atau di bawahnya.

 

Bila tidak terdapat sebab seperti di atas, maka bagi imam tidak boleh memecatnya, sebab pemecatan seperti ini adalah main-main, namun pemecatan tetap berlaku.

 

Adapun bila jabatan qadhi yang dipegang itu hukumnya fardu an baginya, misalnya di situ tidak ada orang yang patut menjabatnya selain dirinya, maka imam/Dzu Syaukah haram memecat dan pemecatan tdak berlaku. Demikian pula tidak berlaku pengunduran dirinya.

 

Lan halnya dalam masalah yang bukan seperti itu, maka pengunduran dinnya berlaku, sekalipun orang yang mengangkatnya tidak mengetahuinya

 

Qadhi tidak menyadi terpecat sebab meninggal atau terpecat imam A’zham (kepala negara), sebab sangat besar mudarat yang terjadi dengan mengabaikan peristiwaperistiwa baru yang terjadi.

 

Dikecualikan dari “imam”, bila yang meninggal adalah qadhi: maka seluruh naib qadhi terpecat karena meninggal si qadhi.

 

Ucapan seorang qadhi yang masih menjabat: “Kuputuskan hukumnya begini …”, di mana ia mengucapkan di luar wilaydh kekuasaannya yang tidak menjadi jangkauan tugasnya, adalah tidak bisa diterima, sebab ia tidak mempunyai hak menghakimi di luar wilayah kekuasaannya, mika ikrar mengenai hukum itu pun tidak berlaku.

 

Dari lahirnya pembicaraan ulama, Az-Zarkasyi mengambil kesimpulan bahwa seorang qadhi diangkat dalam suatu daerah Balad, maka kekuasaannya tidak mencakup daerahdaerah persawahan dan perkebunan Karena itu, bila qadhi yang berada di salah satu persawahan atau perkebunan mengawinkan wanita yang berada di daerah Balad, atau sebaliknya, rikahnya tidak sah Ada yang mengatakan Di siru perlu ada penelitian

 

Guru kita berkata: Penelitian ini adalah jelas, bahkan pendapat yang berwajah, bahwa kalau diketahui ada adat keikutsertaan daerah persawahan/perkebunan pada daerah Balad/tidak ikut, maka itulah yang dipegangi: Kalau tidak diketahui, maka apa yang dikemukakan oleh Az-Zarkasyi, adalah pendapat yang ber-wajah, karena mencukupkan dengan nash Syafi’i dalam masalah wilayah.

 

Ucapan Al-Minhaj memberikan kepahaman, bahwa qadhi yang tengah berada di luar kekuasaan adalah seperti terpecat, Tasaruf yang menjadi wewenangnya menyadi tidak berlaku: misalnya menyewakan harta wakaf yang nazhirnya dipegang oleh qadhi, menjual harta anak yatim dan menetapkan tugas seseorang Kata Guru kita Kepahaman tersebut sudah jelas.

 

Sebagaimana pula tidak dapat diterima, ucapan ” Saya memutuskan hukum begini”, yang diucapkan oleh qadhi setelah terpecat: atau muhakkam setelah pisah dari majelis hukum, sebab dalam keadaan seperti Ini ia tidak mempunyat hak mengeluarkan putusan hukum. Dengan demikian, ikrarnya mengenai hukum pun tidak dapat diterima.

 

Tidak dapat diterima pula persaksian dari qadhi yang telah terpecat/ muhakkam setelah pisah dari majelis, mengenai keputusan hukumnya, sebab berarti memberikan persaksian terhadap dirinya sendiri, kecuali bila ia memberikan persaksian mengenai keputusan hukum dani seorang hakim serta qadhi (yang menangani persaksian ini) tidak mengetahw kalau putusan hukum adalah putusan mantan qadhi/ Muhakkam, maka kesaksian (syahadah)nya dapat diterima bila ia tidak fasik.

 

Bila qadhi yang menangani persidangan in mengetahui kalau itu adalah hukum keputusan mantan qadhi/muhakkam, maka syahadahnya tidak dapat diterima, sebagaimana kalau secara jelas ia menyebutkannya (mengakuinya).

 

Mengenai ucapan qadhi: “Kuputuskan hukum begini”, yang sebelum dirinya terpecat dan di dalam wilayah kekuasaan hukumnya, adalah bisa diterima, sekalipun ia berkata “menuyut pengetahuanku”, sebab dalam kondisi seperti ini, dia berhak mengeluarkan keputusan hukum.

 

Sehingga andaikata atas jalan penentuan hukum ia berkata: “Wanita-wanita Mahshurah -misalnya 100 ini-, di kampung ini adalah terjatuhkan talaknya”, maka tetap bisa diterima: kalau qadhi itu seorang mujtahid, sekalipun mujtahid mazhab.

 

Qadhi sidak boleh mengikuti putusan hukum qadhi sebelumnya (yang walaupun) patut memegang jabatan qadhi.

 

Qadhi wajib memperlakukan secara sama antara pihak terdakwa dan pendakwa, di dalam menghormatinya, sekalipun antara keduanya tidak sama dalam status sosial, dalam menjawab salam, memandang, dan memperhatikan ucapan, mimik muka qadhi itu sendiri dan berdiri untuk menghormati mereka.

 

Karena itu, qadhi tidak boleh mengistimewakan di antara mereka dalam hal-hal tersebut di atas.

 

Apabila salah satu pihak mengucapkan salam kepadanya, makaia wajib menunggu salam yang satunya, di waktu tenggang antara salam dengan jawab diampuni adanya karena darurat: atau ia memerintahkan kepada yang satu: “Ucapkan salam”, guna menjawab salam mereka bersama-sama.

 

Qadhi diperbolehkan bergurau dengan salah satu dari mereka, sekalipun mempunyai kemuliaan yang melebihinya lantaran ilmu atau kemerdekaan (bukan budak ).

 

Yang lebih utama adalah mempersilakan duduk kedua belah pihak di depan qadhi.

 

Cabang:

 

Apabila banyak pendakwa yang lapor kepada qadhi, maka baginya wajib mendahulukan penanganannya kepada orang yang lebih dulu datangnya, lalu yang dahulu sesudah itu, sebagaimana pula kewajiban seorang mufti dan guru: ia wajib mendahulukan orang yang dahulu datangnya.

 

Bila kedatangan mereka bersamasama, atau tidak bisa diketahui mana yang lebih dahulu, maka dia wajib mengundi mereka. Guru kita berkata: Sudah jelas, bahwa orang yang meminta fatwa/pelajarari masalah fardu ain, sedangkan waktunya telah sempit pelaksanaannya, maka ia wajib didahulukan, sebagaimana dengan seorang musafir.

 

Sunah ruang persidangan itu keadaannya luas dan terbuka jelas.

 

Makruh menjadikan mesjid sebagai pengadilan umum, karena demi menjaga dari keramaian dan suara keras. Memang, bila satu atau dua kasus (dihadapkan kepadanya) bertepatan ia berada di dalam mesjid, maka tidak mengapalah bila diselesaikan di situ.

 

Haram bagi qadhi menerima hadiah dari seseorang yang sebelum ia menjadi qadhi tidak terbiasa mem. berikan hadiah kepadanya atau telah terbiasa, tetapi sekarang menambah ukuran atau keadaan hadiahnya, jika itu dilakukan di dalam daerah kekuasaannya.

 

Haram juga menerima hadiah dari orang yang tengah menanggung urusan di bawah tangannya atau dari orang yang menurut perasaan qadhi sendiri adalah akan menghadapi urusan, sekalipun pemberian hadiah itu sudah terbiasa, sebab hadiah pada cantoh yang akhir ini akan membuat kecondongan qadhi kepadanya dan pada contoh pertama disebabkan oleh kekuasaannya.

 

Benar-benar sahih, hadis yang menerangkan keharaman hadiahhadiah untuk para pejabat.

 

Bila sudah terbiasa memberikan kepada pak qadhi -sekalipun hanya sekali sebelum ia menjabat qadhi-, atau hadiah itu diterima dari (orang) yang berada di luar kekuasaannya, atau pemberian hadiah tidak melebihi kebiasaan yang telah diberikan, di mana pemberi hadiah tidak tengah menghadapi suatu kasus/akan menghadapinya, maka dalam contoh seperti ini qadhi boleh menerimanya.

 

Apabila seseorang mengutus utusan untuk menghaturkan hadiah kepada qadhi dan orang itu tidak mempunyai urusan pengadilan. maka tentang kebolehan qadhi menerima, ada dua pendapat (wajah), dan sebagian pensyarah kitab Syarhul Minhaj menghukumi haram.

 

Dari keterangan yang telah lewat dapat diketahui, bahwa qadhi tidak diharamkan menerima hadiah dari luar wilayah kekuasaannya, sekalipun pemberi hadiah tersebut termasuk penduduk wilayah kekuasaannya, selama tidak dirasa bahwa pemberian hadiah tersebut demi melicinkan urusan permusuhannya. Apabila hadiah diberikan setelah qadhi memutuskan hukum, maka baginya haram juga menerimanya, Jika itu merupakan imbalan buatnya, (tetapi) bila tidak sebagai imbalan, maka tidak haram menerimanya. Demikianlah yang dimutiakkan oleh sebagian pensyarah kitab Al-Minhaj.

 

Guru kita berkata: Ketentuan itu harus dihubungkan kepada orang yang telah biasa memberinya hadiah, yang kini memberikan hadiah setelah pemutusan hukum.

 

Sekira qadhi diharamkan menerima dan mengambil hadiah, maka apa yang telah diambil itu dapat dimilikinya, Karenanya harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika orangnya dapat ditemukan, (tetapi) kalau tidak dapat, maka diserahkan kepada Batuimal

 

Sebagaimana hukum hadiah, yaitu Hibah dan jamuan makanan, dan demikian pula sedekah menurut pendapat Al-Aujah.

 

As-Subki ds dalam Al-Halabiyatnya memperbolehkan bagi gadki meneriman sedekah dari orang yang tdak sedang bermasalah dan tidak terbiasa memberinya Di dalam Tafsir-nya, As-Subki mengkhususkan hal itu bila pemberi sedekah mengetahw kalau yang diberi itu adalah seorang qadhi.

 

Selain As-Subki ada yang membahas pasti tentang kehalalan qadhi menerima harta zakat.

 

Guru kuta berkata: Seyogianya kehalalan ini juga dibatasi seperti yang telah dituturkan oleh As-Subki di atas.

 

As-Subki mengatakan ada ketidakjelasan mengenai pemberian wakaf kepada qadhi dan orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, Menurut pendapat yang berwajah di dalam wakaf dan nazar, adalah bila orang itu menjelaskan nama qadhi dan kita mensyaratkan keberadaan gabul, maka adalah sebagimana memberikan hadiah kepadanya.

 

Sah membebaskan utang atas qadhi oleh orang yang berada di wilayah kekuasaannya, sebab dalam Ibra’ tidak disyaratkan ada gabul.

 

Makruh bagi qadhi menghadiri walimah yang dikhususkan untuk dirinya sendiri -sebagian ulama mengatakan’haram-, atau juga bersama-sama rombongan orang lain dan yang seperti ini tidak terbiasa sebelum ia menjabat sebagai qadhi.

 

Lain halnya bila walimah itu tidak dibuat khusus untuknya, sebagaimana misalnya walimah itu ditujukan untuk para tetangga dan ulama, di mana ia termasuk di dalamnya, atau dibuat untuk umum, seluruh manusia.

 

Di dalam Al-‘Ubab, Muzayjad berkata Bagi selain qadhi diperbolehkan menenma hadiah dalam penikahan, jika memang hadiah itu ndak disyaratkan kepada suami

 

 

Demikian juga, qadhi boleh menerima hadiah sebab pernikahan (misalnya dirinya menjadi wali nikah mempelai wanita), sekira dirinya diperbolehkan menghadiri pemberian hadiah, dirinya tidak mensyaratkan hadiah itu kepada pihak suami dan dirinya tidak memintanya. Selesai. Di sini perlu ada peninjauan.

 

Peringatan:

 

Bagi qadhi yang menerima gaji dari Baitulmal dan sumber-sumber yang lain, sedangkan dirinya tidak termasuk terkena hukum fardu ain menjabat sebagai qadhi dan pekerjaannya sudah termasuk pantas menerima upah, adalah diperbolehkan mengatakan: “Aku tidak mau menghukum kalian berdua, bila aku tidak diberi upah atau gaji.” Demikian menurut perkataan segolongan ulama.

 

Ulama yang lain berkata Adalah haram berkata seperti di atas Pendapat ini lebih hati-hati, sedang pendapat yang pertama adalah lebih mendekati kebenaran.

 

Wajib bagi qadhi mencabut keputusan hukum dani dirinya sendiri atau qadhi lain, bila keputusan itu bertentangan dengan Alqur-an, Alhadis, nash imam yang ditaklidi dan Kuas Jali -yaitu kias yang dengan pasti bisa disamakan hukum cabang dengan hukum asal-.

 

Atau bertentangan dengan ijmak, termasuk di sini adalah hukum yang berselisih dengan syarat yang diberikan oleh pewakaf As-Subka berkata: Hukum yang bertentangan dengan keempat mazhab, adalah seperti bertentangan dengan ijmak.

 

Atau juga terputus hukumnya dengan pendapat yang marjuh di dalam mazhab qadhi itu.

 

Maka, hukum-hukum yang berselisih dengan hal tersebut di atas, sekalipun qadhi tidak mendapat laporan, ia wajib secara jelas mencabutnya dengan semacam ucapan: “Kucabut/Kubatalkan hukum itu”.

 

Peringatan:

 

Al-Iraqi dan Ibnush Shalah menukil ijmak yang menyatakan, bahwa qadhi tidak diperbolehkan memutuskan hukum yang bertentangan dengan pendapat yang rajih (unggul) di dalam suatu mazhab.

 

As-Subki mengemukakan hal itu segara jelas di dalam fatwa-fatwanya dan menguraikannya secara panjanglebar, dan selanjutnya beliau memasukkan sistem pemutusan hukum seperti itu, seperti memutuskan hukum yang berselisih dengan yang telah diturunkan oleh Allah swt., sebab Allah swt. mewajibkan para mujtahid agar berpegangan pada: yang rajih dan mewajibkan kepada selain para mujtahid, agar kewajiban berpedoman dalam perbuatanperbuatan mereka sendiri.

 

Al-Jalal Al-Bulqini menukil dari ayahnya, bahwa sesungguhnya apabila hakim memutuskan suatu hukum yang tidak sahih di dalam mazhabnya, maka hukum tersebut harus dirusak.

 

Al-Burhan bin Zhahirah berkata: Sesuai dengan fatwa ini, adalah demikian adanya, tidak ada perbedaan antara yang diputuskan dengan dikuatkan oleh pilihan atau pembahasan sebagian fukaha Mutaakhkhirin, dengan yang tidak dikuatkan.

 

Peringatan Kedua:

 

Ketahuilah, bahwa pendapat yang Muktamad di dalam Mazhab Syafi’i untuk memutuskan hukum dan berfatwa, adalah pendapat yang telah disepakati oleh Rafi’i dan Nawawi (Syaikhan), lalu menurut yang dimantapi oleh Nawawi, Rafi’i, dan yang dirajihkan oleh kebanyakan fukaha, lalu yang dirajihkan oleh orang yang paling alim, kemudian yang dirajihkan oleh orang yang paling wira’i.

 

Guru kita berkata: Aturan kemuktamadan seperti itu, adalah menurut yang disepakati oleh ulama Muhaggig golongan akhir, dan adalah aturan yang diwasiatkan oleh guru-guru kita agar dipegangi.

 

As-Samhudi Berkata: Guru-guru kita senantiasa mewasiatkan kepada kita agar berfatwa menggunakan hukum yang disepakati oleh Syaikhan, dan menghindari kebanyakan yang kita selisihi hukumnya.

 

Guru kita, Ibnu Ziyad, berkata: Pada galibnya kita wajib berpedoman hukum yang dirajihkan oleh Syaikhan, sekalipun ada dinukilkan dari kebanyakan ulama, suatu pendapat yang berselisih dengannya.

 

Qadhi tidak boleh memutuskan hukum yang berselisih dengan pengetahuannya, sekalipun hukum itu telah dikemukakan bayinah, misalnya bayinah memberikan persaksian tentang perbudakan, ikatan per-kawinan atau kemilikan pada orang, di mana qadhi mengetahuinya, bahwa orang itu adalah merdeka, tertalak bain atau tidak mempunyai hak milik, sebab la telah memastikan kebatalan hukum dengan persaksian yang telah dikemukan oleh bayinah, sedangkan menghukumi dengan sesuatu yang batal adalah haram.

 

Bagi qadhi -sekalipun qadhi darurat menurut Al-Aujah- adalah diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya, bilaia menghendaki: artinya, dengan dugaan kuatnya yang telah memperbolehkan kepadanya untuk mengemukakan persaksian dengan berpedoman dugaan itu, sekalipun pengetahuan dalam arti seperti itu (dugaan tersebut) ia peroleh sebelum menjabat menjadi qadhi.

 

Memang, (tetapi) qadhi tidak diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya di dalam masalah Had atau Takzir, yang keduanya menjadi hak Allah swt., misalnya had zina, pencurian atau minum minuman keras, sebab ada kesunahan menutupi penyebabpenyebab had tersebut.

 

Adapun had-had yang menjadi hak manusia, maka bagi qadhi diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya, baik yang berkaitan dengan harta, qawad atau had qadzaf.

 

Apabila qadhi memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya, maka ja harus mengemukakan secara sharih apa yang ia perbuat dalam memutuskan hukum tersebut: Karena itu, ia harus berkata: “Saya mengetahui, bahwa apa yang ia dakwakan kepadamu adalah memang begitu”, atau mengatakan: ” Kuputusi/Kuhukumi dirimu dengan pengetahuanku”.

 

Apabila qadhi meringgalkan salah satu dari kedua kalimat di atas, maka keputusan hukumnya tidak berlaku, sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Mawardi.

 

Qadhi tidak boleh menangani pengadilan yang menvangkut orangtua atau anak keturunannya sendiri, tidak boleh pula yang menyangkut teman perserikatannya dalam kasus harta persenkatan

 

Kepada mereka, pengadilan ditangaru selainnya, baik itu oleh imam atau qadhi lain, sekalipun naibnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari kecurigaan.

 

Apabila qadhi/saksi melihat lembar kertas yang bertuliskan keputusan hukum/persaksiannya, maka hanya dengan berdasarkan kertas tersebut ia tidak diperbolehkan meneruskan keputusan hukum/persaksiannya, sebelum ia ingat apa isi keputusan hukum/persaksiannya, sebab bisa dimungkinkan ada penulisan yang didustakan atau keserupaan penulisan, dan hal ini belum cukup hanya dengan ingatannya, bahwa itu adalah tulisannya.

 

Dalam masalah penerusan keputusan hukum/persaksian ada pendapat yang memperbolehkan, jika keputusan/persaksian yang ia berikan ditulis di atas kertas yang tersimpan di sisinya dan dapat dipercayai, bahwa apa yang ada ini adalah memang tulisannya serta tidak ada kesangsian (keraguan) mengenai hal itu.

 

Bagi seseorang diperbolehkan bersumpah untuk menyatakan haknya atas orang lain atau telah dilunasinya hak orang lain atas dirinya dengan berpedoman pada pemberitaan orang adil atau tulisannya sendiri menurut pendapat Al-Muktamad, atau tulisan orang yang telah diizinkan menulis, wakil, teman perserikatannya atau tulisan mayat yang memberikan kepadanya, bila orang tersebut di atas yakin, bahwa penulisanpenulisan tersebut tidak berbuat gegabah dalam memperlakukan hak-. hak orang lain, dengan cara berpedoman pada qarinah.

 

Peringatan:

 

Hukum yang diputuskan atas data-data yany tidak benar, adalah berlaku secara lahir (hukum dunia), tidak sccara batin. Karena itu, hukum tersebut tidak dapat menghalalkan barang yang haram, begitu pula sebaliknya.

 

Apabila seorang qadhi memutuskan suatu hukum berdasarkan dua saksi palsu yang lahiriahnya adalah adil, maka dengan hukum tersebut tidak bisa terjadi kehalalan secara batin, baik hukum bersangkutan dengan harta maupun nikah.

 

Adapun hukum yang terputuskan atas data yang benar, maka hukumnya bisa berlaku kehalalan di akhirat secara pasti.

 

Tersebut di dalam suatu hadis: “Saya disuruh agar menghukumi secara lahiriah, dan Allah sendirilah yang menguasai hati manusia.”

 

Tersebut di dalam Syarah Al-Minhaj milik Guru kita: Bagi seorang wanita yang telah diputuskan hukum nikahnya yang tidak bcnar, adalah wajib lari dari laki-laki yang telah diputuskan kemcnangannya -bahkan membunuh laki-laki itu-, jika ia mampu melakukannya, Hal Ini sama halnya dengan pemerkosa, dan masalah ini tidak ada tinjauan sehubungan dengan iktikad pihak laki-lakinya mengenai kebolehan dirinya menyetubuhi wanita itu hukum yang telah diputuskan. Bila wanita tersebut dipaksa disetubuhi, maka tiada dosa baginya.

 

Pemutusan hukum atas orang yang tengah tidak hadir di daerah setempat, sekalipun tengah berada di daerah yang tidak termasuk wilayah kekuasaan qadhi pemutus atau atas orang yang tidak berada di majelis sidang lantaran bersembunyi atau merasa gagah, adalah diperbolehkan dalam hal selain ugubah (baik had maupun takzir) yang menjadi hak Allah swt.

 

Bila pihak pendakwa cukup hujah (alasannya) dan ia tidak berkata. “Terdakwa yang tengah tidak hadir berikrar atas hak”, akan tetapi ia menuduh keingkaran terdakwa dan dia (pendakwa) wajib menyerahkan barang dakwaan (Mudda’a Bih) kepadanya sekarang serta ia telah ditagihnya untuk menyerahkan.

 

Karena itu, bila pendakwa berkata: “ia sudah berikrar dan saya kini mengemukakan hujah”, hal itu ia lakukan demi jelasnya lantaran khawatir terdakwa akan ingkar, atau agar si qadhi mengirim surat kepada qadhi penguasa daerah terdakwa yang tengah di sana, maka hujahnya tidak diterima karena secara sharih ia telah mengemukakan sesuatu yang menghapus bisa diterima hujah (yaitu ikrar terdakwa), sebab hujahnya tidak berfaedah lagi dengan keberadaan ikrar.

 

Memang, (tetapi) bila terdakwa yang tengah tiada di tempat tadi mempunyai harta yang ada di tempat dan pendakwa mengajukan bayinah atas piutangnya, bukan agar qadhi mengirim surat mengenai ketetapan hak piutangnya kepada hakim penguasa daerah tempat terdakwa berada, agar dilunasi piutangnya dari harta itu, maka bayinah itu bisa diterima, sekalipun ia mengatakan “dia telah berikrar”. Juga bisa diterima bila, ia mengemukakan dakwaan secara mutlak.

 

Apabila dakwaan itu berupa piutang, sesuatu benda, sah akad atau pembebasan utang pendakwa oleh “ terdakwa yang gaib (tidak berada di tempat), sebagaimana terdakwa yang gaib menghiwalahkan utangnya agar dibayar oleh pendakwa yang berutang kepadanya dan hadir dh tempat, lalu pendakwa mendakwakan kalah bahwa terdakwa tersebut telah membebaskan utangnya, maka hakim wajib menyumpah pendakwa setelah bayinah diajukan, dengan sumpah istizhhar (yaitu sumpah yang tidak berkekuatan menetapkan keberadaan hak, tetapi untuk hatihati) bila terdakwa yang gaib tersebut bukan lantaran bersembunyi atau menentang (merasa gagah), di mana bayinah dan sumpah tersebut menyatakan bahwa pada contoh pertama (dakwaan piutang) masih tetap menjadi tanggungan terdakwa sampai sekarang. Penyumpahan ini dilakukan untuk mengambil sikap hati-hati terhadap terdakwa yang gaib, yang terkena putusan hukum, sebab bila ia hadir di tempat pengadilan, bisa juga ia mendakwakan sesuatu yang dapat membebaskan dirinya (misalnya utangnya telah dibebaskan atau dilunasi).

 

Di samping pendakwa wajib disumpah seperti di atas, dan pernyataan-pernyataan tersebut juga disyaratkan ia harus berkata: “Sesungguhnya ia wajib menyerahkannya kepada saya”, dan “Sesungguhnya ia tidak mengetahui ada kecacatan pada saksi-saksi”, misalnya cacat lantaran kefasikan atau permusuhan.

 

Guru kita berkata di dalam Syarhul Minhaj: “Lahur sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bulqini, bahwa kewajiban sumpah istizhhar yang menyatakan “hak piutang masih tetap menjadi tanggungannya sampai sekarang”, adalah tidak terjadi dalam “dakwaan sesuatu benda (misalnya benda titipan atau pinjaman dan seterusnya), tetapi dalam kasus ini pendakwa wajib bersumpah dengan yang sesuai kasus dakwaannya, dan demikian pula dalam kasus dakwaan Ibra’.

 

Adapun bila terdakwa yang gaib lantaran bersembunyi atau menentang, maka qadhi bisa memutuskan hukum atas pendakwa, sebab kegegabahannya. Sebagian fukaha berkata: Bila terdakwa itu tidak hadir dan ia mempunyai wakil yang hadir, maka qadhi tidak boleh memutuskan hukum terhadap terdakwa tersebut dan tidak wajib mengainbil sumpah seperti di atas.

 

Bandingannya adalah bila seorang mengajukan dakwaan atas semacam anak kecil yang tidak mempunya wali atau atas mayat yang tidak mempunyai ahli waris khash yang hadir, maka pendakwa wajib bersumpah istizhhar, karena alasan seperti yang telah lewat

 

Adapun bilamana semacam anak kecil/mayat mempunyai wali/ahli waris yang khash dan hadir serta kamil, maka kewajiban pengambilan sumpah pada pendakwa terletak pada diri wali/ahli waris tersebut, jika ia diam tidak meminta supaya bersumpah lantaran tidak mengetahurrya, maka hakim harus memberinya pengetahuan. Kemudian bila ternyata ia tidak meminta agar pendakwa disumpah, maka hakim bisa memutuskan hukum tanpa menyumpah pendakwa.

 

Cabang:

 

Apabila wakil dari orang yang gaib mendakwakan sesuatu kepada orang yang gaib juga, semacam anak kecil atau mayat, maka pendakwa tidak wajib bersumpah, tetapi qadhi memutuskan hukum berdasarkan bayinah yang diajukan, sebab sumpah yang diberikan oleh wakil itu tidak mempunyai kekuatan untuk menghakimi sesuatu, begitu juga wakil tidak bisa bersumpah yang memberikan kekuatan kemilikan hak orang yang mewakilkan kepadanya. Karena, bila kasus tersebut dibiarkan sementara, sampai muwakkil datang sendiri, maka pengambilan hak tidak bisa dilakukan melalui wakil.

 

Apabila terdakwa yang gaib itu datang dan berkata kepada wakil pendakwa: “Muwakkilmu telah membebaskan tanggunganku/Aku telah melunasinya, maka undurlah penagihannya sampai ia datang agar bersumpah kepadaku bahwa ia tidak membebaskannya”, maka permintaan itu tidak dapat dipenuhi dan qadhi tetap memerintahkan agar menyerahkan barang yang didakwakan pada wakil pendakwa, kemudian ada pembebasan tanggungan bisa tertetapkan setelah itu, jika terdakwa bisa mengajukan hujah atas hal itu, sebab bila perkara ini dibiarkan sementara, maka pengambilan hak tidak dapat dilakukan melalu para wakil.

 

Memang (tetapi) bila terdakwa yang telah datang tadi mendakwahkan kepada wakil, bahwa si wakil itu sendiri telah mengetahui ada pembebasan tanggungan, maka terdak wa” berhak menyumpah wakil, bahwa wakil tidak mengetahui ada pembebasan tanggungan dari muwakkil misalnya agar dakwaan kepadanya menjadi sah.

 

Apabila tertetapkan oleh hakim ada tanggungan harta atas orang yang gaib atau mayat, sedang ia juga mempunyai harta yang berada di tempat dalam wilayah kekuasaan sang qadhi atau mempunyai piutang pada orang lain yang ada di tempat dalam daerah kekuasaannya, maka hakim membayarnya dari harta tersebut, jika pendakwa menuntut tanggungan seperti dimaksud, sebab hakim adalah menduduki kedudukan orang yang gaib/mayat tersebut.

 

Apabila qadhi menjual harta orang yang gaib untuk membayar utangnya, lalu orang itu datang dan membatalkan ada tanggungan utang dengan menetapkan ada perlunasan atau kefasikan saksi, maka qadhi wajib menarik kembali apa yang telah diambil oleh lawan (pendakwa), dan penjualannya menjadi batal karena kebatalan tanggungan utang menurut pendapat Al-Aujah, Lain halnya menurut Ar-Rauyani.

 

Kalau orang yang gaib di atas tidak mempunyai harta yang ada di dalam wilayah kekuasaan hakim atau hakim tidak menghukumi ada tanggungan harta atas si gaib itu, maka jika pendakwa meminta untuk ‘Inhaul Hal (yaitu penginman proses ferbal termasuk di sini keterangan para saksi atau keputusan hukum bila telah terjadi, dari seorang qadhi kepada qadhi lain daerah wilayah) kepada qadhi penguasa daerah di mana terdakwa berada, maka hakim wajib mengirimkan data keterangan. bayinah yang telah ia dengar, kepada qadhi yang dimaksud -sekalipun qadhi yang dikirimi ini adalah qadhi darurat-, agar memutuskan hukum berdasarkan data yang ada, lalu meminta pelunasan hak yang dituntut, sebab untuk mempercepat memenuhi hak pendakwa. Kemudian, bila qadhi/hakim yang mengirimkan proses ferbal di atas telah menyatakan keadilan para saksi, maka pihak yang dikirimi tidak pertu menyelidiki keadilannya, (tetapi) bila belum melakukannya, maka qadhi/hakim yang dikirimi harus menyelidiki keadilan para saksi.

 

Tidak termasuk “bayinah”, adalah pengetahuan qadhi, maka qadhi tidak bisa mengirimkan data pengetahuannya, sebab dengan begitu ia berstatus sebagai saksi bukan qadhi Demikianlah yang dituturkan oleh Al-qadhi Sharih dalam kitab Al-Uddah, As-Sarkhasi menentangnya, tetapi Al-Bulqini berpedoman padanya, sebab pengetahuan qadhi adalah sebagaimana kekuatan bayinah.

 

Menurut Al-Aujah, bahwa qadhi boleh meng-inha’-kan data yang ia dengar dari para saksi, agar qadhi yang dikirimi memperdengarkannya kepada saksi lain atau merryumpah kepada pendakwadan memutuskan hukum.

 

Atau meng-inha’-kan hukum yang telah dia putuskan kepada qadhi penguasa daerah terdakwa berada, agar qadhi yang dikirimi ini melaksanakan penagihan pelunasannya, sebab ada hajat untuk melaksanakan ini.

 

Inha’ adalah mempersaksikan seorang qadhi kepada dua orang laki-laki adil (selain saksi-saksi yang ada dalam kasus) mengenai apa yang dilaksanakan, baik itu berupa ada penetapan suatu status/hak atau: putusan hukum. Persaksian di sini tidak cukup dengan saksi laki-laki yang kurang dari dua orang, sekalipun dalam masalah harta atau hilal di awal Ramadhan.

 

Disunahkan dalam surat Inha’ itu ditulis identitas orang yang terkena putusan hukum, Yaitu nama, nasab, nama-nama para saksi dan tanggal penulisan surat itu.

 

Inha’ mengenai suatu hukum yang terputuskan. dari seorang hakim, adalah bisa berlaku dengan pengiriman dalam jarak yang dekat maupun jauh.

 

Sedangkan Inha’ mengenai pendengaran bayinah, adalah tidak bisa diterima (tidak berlaku) kecuali kepada qadhi yang berada di atas dalam jarak Adwa, sebab pada jarak yang dekat itu dengan mudah bayinah dapat didatangkan untuk didengar keterangannya. Jarak Adwa adalah jarak sejauh orang berangkat dan rumahnya di pagi hari sekali dan kembali lagi sampai di rumahnya dalam waktu permulaan malam.

 

Karena itu, bila terasa sulit mendatangkan bayinah dalam jarak yang dekatitu, lantaran tengah sakit, maka Inha’ bisa diterima.

 

Cabang:

 

Al-Qadhi Husen berkata dan diakui oleh fukaha, Apabila seorang pengutang datang dan tidak mau menjual hartanya yang tiada di tempat guna melunasi utangnya yang telah ditagihnya, maka qadhi boleh menjualnya untuk pelunasan tersebut, sekalipun harta itu tidak berada di wilayah kekuasaannya.

 

Demikian juga bila pengutang tidak berada di tempat, tetapi masih berada di wilayahnya: Demikianlah yang dikemukakan oleh At-Tajus Subki dan Al-Ghuzzi. Beliau berdua berkata: Lain halnya dengan masalah bila pengutang tadi di luar wilayah kekuasaannya, sebab dalam keadaan seperti ini, qadhi tidak mempunyai wewenang berbuat atas nama pengutang untuk melunasi utang tersebut.

 

Kesimpulan pembicaraan beliau berdua qadhi diperbolehkan menjualnya, jika pengutang itu atau hartanya berada di dalam daerah wilayah kekuasaan qadhi, dan tidak boleh menjualnya bila kedua-duanya berada di luar kekuasaannya.

 

Penting:

 

Apabila seseorang tiada di tempat tanpa memiliki wakil dan ia memiliki harta di tempat itu, lalu disampaikan Inha’ kepada hakim yang menyatakan, bahwa jika hakim tidak menjualnya, maka sebagian besar akan mengalami kerusakan, maka hakim harus menjualnya, jika hal itu merupakan keharusan untuk bisa menyelamatkan harta itu.

 

Ashhabus Syafi’i telah menjelaskan, bahwa qadhi bisa menguasai harta orang-orang yang gaib bila harta itu berada di ambang pintu tersia-siakan atau ada keperluan yang menyangkut harta itu dalam kaitannya dengan hak orang lan yang sudah tertetapkan serta sedang tidak berada di tempat.

 

Mereka juga berkata Kemudian masalah tersia-siakan harta itu dirinci, jika ketidakadakan pemilik harta itu terulur-ulur lama dan terasa sulit bagi hakim menyelidiki bagaimana keadaan pemilik itu sebelum harta mengalami ketersia-siaan, maka hak diperbolehkan mentasarufkannya,

 

Tidak termasuk arti tersia-siakan, yaitu kerusakan harta yang tidak sampai mengalami kehancuran dalam bagian yang lebih besar dan kerusakan seperti itu tidak bisa menghalangi penjualan harta orang yang gaib, di mana penjualan dilakukan semata-mata demi kemaslahatan. Kerusakan yang bisa membawa kehancuran sebagian besar harta adalah termasuk arti tersia-sia.

 

Memang, (tetapi) binatang boleh dijual semata-mata karena telah terjadi kerusakan, sebab menghormati nyawanya dan karena binatang tersebut dapat dijual (oleh hakim) atas nama pemjliknya dan di hadapannya bila ia tidak mau menafkahinya.

Apabila pemilik yang tiada di tempat (gaib) tadi melarang hartanya ditasarufkan, maka hakim terlarang mentasarufkannya selain harta yang berupa binatang.

Cabang:
Hakim wajib menahan budak yang kabur bila menemuinya, sebab untuk menanti pemiliknya. Lalu bila tuan/ sayidnya tidak muncul mencarinya, maka hakim bisa menjual dan menyimpan uang hasil perjualannya, lalu bila pemiliknya datang, maka uang tersebut saja yang bisa ia miliki.

 BAB DAKWAAN (TUDUHAN) DAN BAYINAH (ALAT BUKTI) - بَابُ الدَّعوَى وَالْبَيِّنَاتِ

Lafal “Da’wa” menurut bahasa arinya “tuntutan”, sedang alif yang berada di akhir lafal tersebut adalah menunjukkan ta’nits

Sedangkan menurut syarak artinya adalah laporan mengenai keberadaan ketetapan hak atas orang lain di depan hakim. Lafal di atas dijamakkan menjadi “Da’awa/wi”, sebagaimana lafal “Fatawa/wi”.

Bayinah adalah para saksi Mereka disebut bayinah, sebab dengan merekalah suatu hak terbuktikan. Lafal “bayinah” dijamakkan, sebab berbeda-beda macamnya.

Dasar hukum dakwaan dan bayinah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim: “Kalau saja manu-sia itu dituruti dakwaannya, maka niscaya mereka akan mendakwakan nyawa-nyawa orang lain dan harta bendanya, tetapi Sumpah itu menjadi kewajiban pihak Mudda ‘alaih (terdakwa)”, Di dalam riwayat lain “Bayinah adalah kewajiban Mudda’i (pendakwa), sedang sumpah menjadi kewajiban orang yang mengingkari tuduhan.”

 

Mudda’i adalah pihak yang ucapanknya menyelisihi yang lahur. Lahir di sini adalah lepas atau tidak suatu tanggungan. Sedang Mudda’alaih adalah pihak yang ucapannya bersesuaian dengan yang lahir.

 

Syarat keduanya adalah taklif dan terkena ketetapan hukum agama. Karena itu, kafir harbi tidak terkena hukum-hukum agama, lain halnya dengan kafir dzimmi.

 

Kemudian, bila dakwaan itu berkaitan dengan masalah qawad atau takzir, maka wajib melaporkannya kepada qadhi, dan bagi orang yang berhak memberikan hukuman tersebut, tidak diperbolehkan melaksanakannya sendiri, karena besar bahaya yang ditimbulkan. Demikian pula yang berhubungan dengan segala akad dan fasakh, misalnya nikah, rujuk, cacat nikah dan jual beli.

 

Al-Mawardi mengecualikan orang yang bertempat tinggal jauh dari Sultan, maka orang ini boleh melaksanakan Had qadzaf dan takzir.

 

Seorang yang tidak mengkhawatirkan tertimpa fitnah pada dirinya atau orang lain, adalah boleh mengambil hartanya tanpa melalui qadhi dani orang yang berutang kepadanya, yang telah berikrar mempunyai utang itu, di mana si pengutang menunda-nunda pembayarannya atau mengingkari keberadaan tanggungan utang, bersembunyi atau enggan melunasinya (lantaran merasa kuat/berani), sekalipun pengutang yang menentang itu mempunyai bayinah atau pemiutang berharap ikrar pengutang, kalau saja dilaporkan kepada qadhi.

 

Hal itu didasarkan dengan pemberian Rasulullah saw kepada Hindun setelah lapor kepada beliau mengenai kekikiran Abu Sufyan, di mana beliau mempersilakan Hindun untuk mengambil harta Abu Sufyan dengan baik, secukup biaya hidup Hindun dan anaknya Karena, untuk melaporkannya kepada qadhi ada kesulitan dan membutuhkan biaya.

 

Hanya saja diperbolehkan mengambil sendiri hartanya adalah mengambil harta yang sejenis dengan harta (hak)nya semula, dan bila tidak bisa, maka boleh mengambil harta lainnya. Untuk mengambil harta yang bukan jenisnya ini, ia wajib mendahulukan mengambil yang berupa emas/perak. daripada yang lain.

 

Kemudian, bila yang diambil itu sejenis dengan hartanya, maka ia langsung memilikinya dan mentasarufkannya sebagai ganti haknya.

 

Jika tidak sejenis hartanya, maka ia (yang dalam hal ini disebut Zhafir) wajib menjualnya sendiri atau utusan orang yang ia beri izin kepada orang lain, bukan kepada dirinya sendiri -hukum ini ittifak-, dan tidak boleh juga dijual kepada mahjur (orang yang berada di bawah ampunannya), sebab terlarang menangani atas nama dua pihak (penjual dan pembeli) dan karena ada kecuringaan.

 

Kebolehan menjual barang itu dengan sendirinya, adalah jika tidak dengan mudah qadhi mengetahui atas hak Zhafir di atas lantaran Zhafir memang tidak mengetahui kasus itu dan tdak ada bayinah, atau mengetahui ada bayinah, tetapi untuk melaporkannya membutuhkan biaya dan kesulitan Kalau tidak begitu, maka disyaratkan harus ada izin penjualan dan gadhu dan Zhafir tidak boleh menjualnya, kecuali dengan uang yang berlaku di daerah setempat.

 

Kemudian, bila uang itu adalah jerus hak semula, maka si Zhafir bisa memilikinya, (tetapi) bila tidak jerus haknya semula, maka dengan uang itu ia belikan barang yang sejenis dengan hartanya dan ia memulikinya.

 

Apabila pengutang itu keadaannya Mahjur Alaih (orang yang diampu) lantaran pailit atau orang mati yang masih mempunyai tanggungan utang kepada selain Zhafir, maka ia tidak boleh mengambilnya selairi hanya sebesar bagiannya dalam hasil pembagian kepada seluruh pemilik hak, jika ia mengetahui berapa besarnya, tetapi kalau tidak mengetahuinya, maka berprinsiplah hati-hati.

 

Selaku Zhafir, ia diperbolehkan mengambil harta dari orang yang berutang kepada orang yang berutang kepada dirinya (misalnya: B utang kepada A dan C berutang kepada B, maka selaku Zhafir, A boleh mengambil harta dari si C), jika orang itu (A) tidak berhasil mengambil harta dari orang yang berutang kepadanya (B) dan orang yang berutang kepada orang yang berutang kepadanya (C) mengingkari ada tanggungan utang atau menunda-nunda pembayarannya.

 

Bila selaku Zhafir diperbolehkan mengambil harta, maka ia diperbolehkan memecah pintu/gembok dan membobol tembok pengutang, bila hanya dengan cara seperti itu1a dapat mengambil harta, sekalipun Zhafir mempunyai bayinah. Maka ia wajib menanggung kerusakannya, sebagaimana halnya menghadapi Shail.

 

Bila pemiutang tersebut (Zhafir) mengkhawatirkan ada mafsadah yang membawa pada keharaman misalnya hartanya akan diambil kembali jika diketahui, maka ja wajib melaporkan perkaranya kepada qadhi atau lainnya, sebab kemungkinan keselamatan harta dengan cara seperti ini.

 

Apabila piutang itu pada orang yang enggan melunasinya, maka pemiutang menagihnya sesuai dengan kewajiban pelunasannya. Karena itu, pemiutang tidak dihalalkan mengambil sesuatu milik pengutang yang berkesanggupan melunasi tersebut, sebab ia dapat melunasi utangnya, dengan harta yang mana ia kehendaki.

 

Karena itu, bila pengutang mengambil sesuatu milik pengutang, maka ia wajib mengembalikannya, dan wajib menanggung kerusakan yang terjadi, selama belum mencukupi persyaratan diperbolehkan balasmembalas utang satu kepada yang lain (yaitu utang satu kepada yang lainnya sama besar, jenis dan sifat keadaannya).

 

Cabang:

 

Pemiutang dapat menagih pelunasan piutangnya kepada pengutang yang mengingkari utangnya (yang tanpa saksi), dengan menggunakan para saksi utang lain, kepadanya, di mana utang yang nda saksinya telah dibayar oleh pengutang tanpa sepengetahuan mereka (misalnya A mempunyai piutang pada B sejumlah Rp 1000,tanpa bayinah, dan Rp 1000 lagi dengan bayinah).

 

Seseorang diperbolehkan mengingkan (tidak mau membayar utangnya) orang lain yang ingkar kepadanya, bilamana hak atas orang yang mengingkari jumlahnya sepadan atau lebih besar: maka di sini terjadi balas-membalas.

 

Apabila hak atas orang yang mengingkarinya di bawah jumlah hak orang lain itu atasnya, maka ia diperbolehkan mengingkari utangnya sejumlah piutang yang ada pada orang lain itu.

 

Untuk kesahan suatu dakwaan bisa didengarkan dan dijawab, adalah . pada dakwaan mengenai emas-perak murni atau bercampur dengan logam lain, atau mengenai utang mutsli atau Mutaqawwam, menyebutkan jenis emas/perak, macamnya, utuh atau telah pecah jika dua hal in mengandung perbedaan maksud, dan menyebutkan kadar ukurannya, misalnya 100 dirham perak Asyrafiyah yang murni atau bercampur dengan logam lain, yang saya tuntut sekarang.

 

Karena syarat dakwaan adalah maklum (bisa diketahui).

 

Barang yang sudah bisa diketahui timbangannya, misalnya. dinar, adalah tidak disyaratkan menjelaskan penyebutan timbangannya, dan tidak disyaratkan menyebut nilai harga emas/perak yang tidak murni.

 

Dakwaan pemiutang kepada Muflis (pengutang yang pailit) yang telah tertetapkan kepailitannya, bahwa si muflis sekarang sudah mempunyai harta, adalah tidak bisa diterima, sebelum pendakwa menjelaskan sebab-sebab didapatkan harta itu, misalnya dari penerimaan warisan atau hasil kerja, dan menjelaskan jumlah harta yang telah dimuliki si muflis itu.

 

Mengenai dakwaan sesuatu benda selain emas-perak (disebut ain) yang bisa dibatasi dengan sifat-sifatnya, nusalnya binatang dan biji-bijian, disyaratkan menyebutkan sifatsifatnya sebagaimana dalam penyifatan pada akad salam, dan pendakwa tidak wajib menyebutkan harganya.

 

Apabila ain yang didakwakan itu rusak, di mana ain itu merupakan benda Mutaqawwam, maka wajib menyebutkan nilai harga berserta jenisnya, misalnya “… budak laki-laki harganya sekian ….”

 

Untuk dakwaan barang Agar (barang yang tidak bergerak), maka disyaratkan menyebutkan arahnya, tempat berada dan batas-batas segi empatnya. Karena itu, tidak cukup hanya menyebutkan batas segi tiganya, bila tidak dapat diketahui kecuali dengan menyebutkan keempat segi tersebut.

 

Bila diketahui dengan satu segi batasnya saja, maka cukup dengan menyebutkan satu saja, Bahkan kalau sudan masyhur sehingga tidak perlu lagi disebutkan batas-batasnya, maka tidak wajib menyebutkan batas-batasnya

 

Untuk dakwaan mengenai pernikahan kepada seorang wanita, maka disyaratkan menyebut kesahan nikah itu dan syarat-syaratnya, yaitu berupa wal: dan dua orang saksi lakilaki yang adil, juga menyebutkan keberadaan kerelaan hati waruta jika untuk kesahan nikah itu sendyi disyaratkan ada kerelaan -sebagaimana wanita itu tidak dapat dipaksa-, Karena itu, dakwaan di sini tidak cukupsecara mutlak –

 

Apabila istri yang didakwa itu budak, maka pendakwa diwajibkan menyebut ketidak mampuannya membayar mahar untuk wanita merdeka, kekhawatirannya berbuat zina dan dia tidak beristrikan wanita merdeka

 

Untuk pendakwaan mengenai suatu akad kebendaan, misalnya jual beli dan hibah, maka disyaratkan menyebut kesahan akad Di sini tidak diperlukan rincian sebagaimana yang ada dalam nikah, sebab dalam pernikahan itu hukumnya ditentukan secara hati-hati daripada akad kebendaan.

 

Dakwaan yang bertentangan adalah tidak bisa diterima, misalnya ada persaksian para saksi berselisih dengan dakwaan, misalnya seorang mendoakan adanya kemilikan dari suatu sebab, lalu para saksi memberikan keterangan derigan sebab yang tidak sama dalam dakwaan, maka dakwaan tidak bisa diterima, karena persaksian menghapus dakwaan itu.

 

Konsekuensinya, apabila persaksian diulangi dengan sesuai dakwaan, maka dakwaan bisa diterima. Demikianlah yang dijelaskan oleh Al-Hadhrami, dan sesuai dengan pembicaraan ahli fikih lainnya.

 

Dakwaan tidak menjadi batal, lantaran ucapan pendakwa: “Para saksiku orang-orang yang fasik atau tidak benar”, maka pendakwa bisa mengajukan bayinah dan bersumpah.

 

Terdakwa yang pendakwanya telah mengajukan bayinah mengenai haknya, adalah tidak boleh menyumpah pendakwa mengenai penghakannya terhadap apa yang ia dakwakan dengan benar, karena hal itu berarti membebani agar mengemukakan hujah setelah hujah, yang mana ini sama dengan mencacat para saksi.

 

Memang, tetapi pemiutang berhak menyumpah pengutang yang mendakwa melarat pada dirinya dan ada bayinah, sebab bisa dimungkinkan ia mempunyai harta yang tidak kelihatan.

 

Apabila terdakwa balik mendakwa sesuatu yang menggugurkan hak pendakwa, misalnya mendakwakan bahwa ia telah melunasi utangnya, pendakwa telah membebaskannya atau barang itu ia beli dari pendakwa, maka pendakwa diambil sumpahnya mengenai ketidakbenaran dakwaan yang diajukan oleh terdakwa, sebab bisa jadi apa yang didakwakan adalah benar.

 

Demikian pula bila terdakwa membalas mendakwakan, bahwa si pendakwa mengetahui kefasikan atau kebohongan para saksi.

 

Secara pasti, sumpah tidak bisa dihadapkan kepada saksi atau qadhi, yang mann terdakwa mendakwakan kebohonyan persaksian/hukumnya, karena hal itu dapat mendatangkan kerusakan secara umum.

 

Apabila pendakwa yang terkena kewajiban sumpah (dalam tiga contoh di atas) tidak mau bersumpah, maka terdakwa yang diambil sumpahnya, dan batallah persaksian itu.

 

Apabila terdakwa yang telah terbuktikan keberadaan bayinah itu memohon penundaan pelaksanaannya, maka qadhi wajib memberikan masa penundaan selama tiga hari untuk mengambil bayinah penolak tuduhan: yaitu bayinah yang menyatakan semacam telah melunasi atau dibebaskan dari tanggungan, dan qadhi wajib memberi kelonggaran untuk mendatangkan bayinah, jika masa kepergiannya tidak melebihi tiga hari, karena masa tiga: han itu tidak mendatangkan mudarat yang besar. Akan tetapi penundaan itu diberikan dengan adanya Kafil (penjamin) atau dengan pengawasan dari tangan qadhi, jika dikhawatirkan.terdakwa akan melarikan diri.

 

Apabila seseorang mendakwakan adanya kebudakan pada seorang yang sudah balig, berakal dan tidak diketahut nasabnya, Jalu terdakwa berkata “Saya adalah merdeka sejak semula”, dan sebelum itu ia belum pernah berikrar kepada pendakwa tentang keberadaan kebudakan pada dirinya, di mana ia adalah orang yang rasyid, maka terdakwa tersebut harus bersumpah.

 

Dengan sumpahnya itu, maka dakwaan kemerdekaan dirinya bisa dibenarkan, sekalipun telah diperlakukan sebagai khadim pendakwa di atas, sebelum ada pengingkaran atas kebudakannya dan sekalipun telah mengalami berkali-kali diperjualbelikan atau berkali-kali berpindah-pindah tangan, sebab perkataan yang mencocoki dengan keasalan, yaitu merdeka.

 

Dari dasar asal itu, maka bayinah yang menyatakan kebudakan adalah dimenangkan danpada bayinah yang menyatakan kemerdekakan, sebab bayinah pertama membawa tambahan pengetahuan, yaitu kepindahan status dari kemerdekaan menuju kebudakan.

 

Tidak termasuk dalam arti ucapanku “sejak semula”, yaitu apabila terdakwa mengatakan: “Engkau telah memerdekakan diriku”, atau “Orang yang menjual diriku kepadamu telah memerdekakanku”, maka dakwaan kemerdekakan dirinya tidak bisa dibenarkan, kecuali dengan mengajukan bayinah.

 

Apabila telah, tertetapkan kemerdekaan dirinya sejak semula itu, maka pembelinya meminta kepada orang yang menjualnya, sekalipun pembeli telah berikrar ada kemilikannya, sebab ikrar ini didasarkan atas kenyataan yang diterimanya.

 

Atau apabila seseorang mendakwakan kebudakan seorang anak kecil atau orang dewasa gila, di mana di tangan pendakwa dan orang yang menguasainya mengingkari dakwaan tersebut, maka dakwaan kebudakan tidak bisa diterima, kecuali ada hujahnya yang berupa pengetahuan qadhi atau sumpah mardudah (yaitu sumpah yang diajukan kepada pendakwa setelah terdakwa tidak mau bersumpah), sebab dasar asalnya adalah tidak ada status perbudakan.

 

Karena itu, bila anak kecil berada di bawah kekuasaan tangan pendakwa atau orang Lain dan membenarkan dakwaan situ, maka perdakwa diambil sumpahnya karena masalah kemerdekakan itu bahaya, selama tidak diketahui bahwa anak Itu hasil lugathah. Sedang pengingkaran anak itu setelah dewasa, tidak berpengaruh terhadap status sekarang, sebab kekuasaan adalah sebagai hujah.

Apabila diketahui bahwa anak itu hasil Lugathah, maka dakwaan tentang kebudakannya tidak bisa dibenarkan, kecuali dengan mengajukan bayinah

Cabang:

Dakwaan mengenai keberadaan utang yang belum sampai masa pelunasannya, adalah tidak bisa diterima, sebab di situ terdapat unsur penetapan dan tuntutan di masa sekarang.

Ucapan penjual “Barang yang dijual itu barang wakaf”, adalah bisa diterima sebagai dakwaan, demikian pula bayinah, hal itu jika penjual di waktu menjual tidak menjelaskan bahwa barang tersebut adalah miliknya (bukan wakaf) Kalau menjelaskan seperti stu, maka bisa diterima untuk mengambil sumpah dari pembeli yang menyatakan bahwa penjual adalah menjualnya dan barang itu adalah miliknya.

PASAL: JAWABAN TUDUHAN DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGANNYA

Apabila terdakwa telah berikrar (mengakui kebenaran dakwaan), maka tertetapkanlah keberadaan hak tanpa melalu ijtihad hukum.

Apabila terdakwa diam saja, maka hakim memerintahkannya untuk menjawab, sekalipun pendakwa tidak menuntut untuk menjawabnya. Apabila tetap diam, maka ia adalah ingkar, lalu diajukan sumpah padanya Apabila masih tetap diam tidak mau bersumpah dan tidak jelas mengapa ia tidak mau bersumpah, maka ia adalah orang yang membangkang sumpah (Nakil): maka qadhi mengambil sumpah pendakwa.

Apabila terdakwa mengingkari keberadaan dakwaan, maka disyaratkan ingkarnya itu mengenai seluruh yang didakwakan kepadanya dan bagian-bagiannya, jika barang itu terbagi menjadi beberapa bagian

Apabila pendakwa mendakwakan sepuluh kepada terdakwa misalnya, maka, jawaban pengingkaran terdakwa tidak cukup’dengan katakata: “Aku tidak mempunyai tanggungan sepuluh itu”, sehingga menyambung dengan “… dan tidak pula sebagian darinya”.

Demikian pula pencakupan sumpah jika dihadapkan kepadanya, karena pendakwanya mendakwakan seluruh bagian dari 10, maka mau tidak mau pengingkaran dan sumpah cocok dengan dakwaan

Apabila terdakwa mengucapkan sumpah meniadakan jumlah 10 dan hanya begitu saja, maka berarti ia membangkang (nakil) mengenai jumlah di bawah sepuluh. Karena itu, pendakwa bisa bersumpah mengenai jumlah di bawah 10, lalu mengambilnya, sebab membangkang sumah sama halnya dengan ikrar.

 

Atau apabila pendakwa mendakwakan suatu harta dengan menyebutkan sebabnya, misalnya ” Saya membenmu utang sekian .”, maka dalam jawaban terdakwa cukup dengan kata-kata “Kamu tidak berhak mendapatkan jumlah tersebut dariku”, atau “Saya tidak berkewajiban menyerahkan sesuatu kepadamu”.

 

Apabila ia mengakuinya dan mendakwa balik adanya sesuatu yang menggugurkan hak itu, maka ja dituntut mengajukan bayinah yang menyatakan penggugur tersebut.

 

Apabila didakwakan barang wadiah kepadanya, maka untuk merjawab dakwaan tidak cukup dengan katakata: “Saya tidak. wajib menyerahkan sesuatu”, tetapi harus dengan: “Kamu tidak berhak sesuatu pun padaku”.

 

Terdakwa juga bersumpah sebagaimana jawaban seharusnya, supaya sumpah itu cocok dengan jawaban.

 

Apabila seseorang didakwa mengenai sesuatu harta padanya, lalu ia mengingkannya dan meminta agar bersumpah, lalu ia berkata. “Aku tidak mau bersumpah”, dan ia menyerahkan harta, maka pendakwa tidak wajib menerimanya tanpa ada Ikrar, Pendakwa juga bisa menyuruh terdakwa untuk bersumpah.

 

Cabang:

 

Bila seseorang didakwakan mengenai sesuatu barang, lalu ia berkata: “Barang itu bukan milikku”: “Barang itu milik seseorang yang tidak kukenal”: “… milik anak kecilku”: “..wakaf untuk para miskin”, atau “untuk mesjid ini …”, dan terdakwa itu adalah nazhirnya, maka menurut pendapat Al-Ashah, bahwa urusan perkawinan itu tidak bisa lepas dari terdakwa dan barang itu tidak bisa diambil dari terdakwa.

 

Tetapi pendakwa bisa menyumpah terdakwa, bahwa ia tidak wajib menyerahkan barang itu, dengan harapan agar terdakwa mau ikrar atau membangkang sumpah, lalu pendakwa boleh bersumpah, dan tertetapkanlah barang tersebut sebagai milik pendakwa dalam dua jawaban di atas (yaitu: “Bukan milikku” dan “milik seseorang yang tidak kukenal”), dan tertetapkanlah ganti untuknya, karena terhalang pengambilan barang itu pada jawaban-jawaban selain yang dua tersebut.

 

Atau pendakwa bisa mengajukan bayinah yang menyatakan, bahwa barang itu adalah miliknya.

 

Apabila terdakwa terus-menerus berdiam diri dan tidak mau menjawab tuduhan (dakwaan), maka ia dianggap membangkang (Nakil), jika qadhi telah menghukuminya sebagai nakil.

 

Apabila masing-masing dari dua orang mendakwakan memiliki suatu barang yang sama pada tangan ketiga, di mana orang ini tidak menyatakan pemilik salah satu dari kedua orang di atas, baik sebelum atau sesudah pendakwa mengajukan bayinah, dan masing-masing dari mereka mengajukan bayinah, maka gugurlah kedua bayinah tersebut, karena terjadi pertentangan di antara kedua bayinah itu dan tidak ada murajjih-nya (pemenang di antara dua bayinah), maka hukumnya seperti tidak ada bayinah.

 

Apabila pemegang baran itu rkrar tentang kenulikan di antara dua pendakwa di atas, baik sebelum atau sesudah bayinah diajukan, maka dimenangkan bayinah pendakwa yang menurut pemegang adalah yang memilikinya.

 

Atau apabila dua orang mendakwakan barang yang sama, di mana barang berada di kedua orang tersebut dan masing-masing mengajukan bayinah, maka barang itu menjadi hak mulik mereka bersama, sebab tidak ada yang lebih berhak memiliki barang dari keduanya.

 

Adapun apabila barang itu tidak berada di tangan keduanya, dan masing-masing bayinah kedua pendakwa menyatakan pemilikan pada pendakwanya, maka barang itu menjadi milik mereka berdua (masalah iri sama dengan alenia di atasnya).

 

Masalah di mana dua bayinah itu saling menggugurkan, adalah apabila terjadi pertentangan makna, sekira salah satunya tidak bisa dimenangkan dengan keberadaan murajjih, (tetapi) kalian bisa dimenangkan dengan murajjih, maka yang dimenangkan adalah yang ada murajjihnya.

 

Murajihnya di sini adalah ada keterangan mengenai pemindahan hak milik, lalu keberadaan pendakwa itu memegang barang atau ada pendakwa yang diikran pemegang bahwa barang itu miliknya, atau ada perpindahan hak milik dari pemegang barang kepada pendakwa, kemudian dua saksi musalnya, dimenangkan atas bayinah yang satu saksi tambah sumpah saja. Kemudian keberadaan salah seorang di antara dua pendakwa itu lebih dahulu memiliki barang, yang hal itu diketahui dengan menyebutkan masanya atau ada keterangan bahwa barang itu (misalnya budak) lahir dari miliknya sendiri misalnya, dengan menyebutkan sebab kemilikannya.

 

Atau (apabila) dua orang mendakwakan memiliki sesuatu yang hak tasarufnya atau kenyataan barang itu berada di salah seorang dari keduanya, maka yang dimenangkan adalah bayinah pemegang barang itu (pemegang barang disebut Dakhil sedang pihak lain disebut Khuruj) tanpa bersumpah, walaupun tanggalnya lebih akhur atau berupa saksi seorang saja tambah sumpah, sedang bayinah Kharijy dua orang saksi, tidak menyebutkan sebabsebab kemilikannya berupa pembelian atau lainnya, atau walaupun bayinah kharij menerangkan sebab kemilikannya, sebagaimana memenangkan bayinah pihak pemegang barang, walaupun sebelum diajukan bayinah dakhil adalah dihukum! dengan bayinah kharij.

 

Memang, (tetapi) apabila bayinah si Kharij memberikan persaksian bahwa Kharij membeli barang dari si Dakhul atau dari orang menjual pada si Dakhil misalnya, maka yang dimenangkan adalah bayinah Kharij, sebab dalam keadaan seperti iri kekuasaan memegang barang bagi Dakhil adalah batal.

 

Apabila si Kharij mengajukan bayinah yang dinyatakan bahwa si Dakhil ikrar atas pemilikan Kharij terhadap barang, maka bayinah ini dimenangkan dan bayinah Dakhit yang menyatakan kemilikannya menjadi tidak berarti, kecuali bila ia menuturkan kepidahan hak milik yang mungkin terjadinya dari si Kharij kembali kepada Dakhil.

 

Dimenangkan bayinah si Dakhil seperti di atas, adalah apabila Dakhil mengemuakan bayinahnya setelah bayinah Kharij, lain halnya bila dikemukakan sebelum bayinah Kharij, sebab bayinah si Dakhil bisa diterima setelah bayinah Kharij, lantaran asal hujahnya tidak beralih dari hujah itu selagi masih mencukupi.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila sebab bayinah yang diajuan oleh si Kharij, dilepaskanlah kekuasaan memegang barang oleh Dakhil, lalu si Dakhil pun mengaju(kan bayinah yang menyatakan kemilikan dirinya sejak sebelum. barang itu dilepaskan dari kekuasaannya, dania (Dakhil) mengemukakan alasan ketidakhadiran para saksi atau ia tidak mengetahui mengenai mereka, maka bisa diterima dan dimenangkan, sebab hak memegang barang tidak bisa hilang selain dengan tidak ada hujah, sedang hujah di sini bisa diajukan. Maka rusaklah putusan hukum (yang menyatakan lepas hak barang). Tetapi bila Kharij berkata: “Barang itu adalah milikku yang kubeli darimu (Dakhul)”, dan Dakhuil menjawab: “Justru itu milikku”, dan kedua-duanya mengajukan bayinah yang sesuai dengan ucapan mereka itu, maka yang didahulukan (dimenangkan) adalah si Kharij, karena pada bayinah terdapat per tambahan pengetahuan mengenai kepindahan hak milik

 

Demikian pula -dimenangkan bayinah si Kharij, kalau menyatakan bahwa barang itu miliknya, hanya saja dititipkan/disewakan/dipinjamkan kepada si Dakhil, atau si Dakhil/orang yang menjual kepadanya telah menggasab barang itu dari si Kharij, sedang bayinah Dakhil menyatakan kemilikannya secara mutlak.

 

Apabila dua orang saling mendakwakan kalau dirinya memiliki binatang/bumi/rumah, di mana salah satu dari kedua orang tersebut memiliki barang muatan/tanaman/ barang-barang di dalam yang mereka dakwakan di atas, maka bayinah pendakwa yang memiliki barang muatan dan seterusnya, dimenangkan atas bayinah yang menyatakan kemilikan secara mutlak, karena ada kelebihannya dengan memanfaatkan barang-barang tersebut, yang mana kekuasaan memegang adalah padanya. Karena itu, apabila barang-barang tersebut berada di dalam bilik tertentu, maka kekuasaan pemegangnya adalah orang yang di situ terdapat barang tersebut.

 

Apabila terjadi perselisihan antara suami-istri mengenai barang-barang rumah tangga, sekalipun terjadi setelah perceraian, dan di antara mereka tidak ada yang mengajukan bayinah serta tidak ada kekhususan memegang kekuasaan, maka di antara mereka saling menyumpah.

 

Kemudian, apabila kedua-duanya berani mengucapkan sumpah, maka barang menjadi milik mereka berdua, sekalipun pantasnya milik salah satunya saja, (tetapi) bila yang bersumpah hanya salah satunya, maka barang menjadi miliknya, sebagaimana bila salah satunya memegang kekuasaan terhadap barang itu.

 

Suatu bayinah ditarjih (dimenangkan) dengan penyebutan tanggal yang lebih dulu.

 

Karena itu, apabila ada dua orang yang mempercekcokan kemilikan suatu barang yang berada di tangan mereka berdua/tangan orang ketiga/ tidak berada di tangan apa pun, dan bayinah salah satunya menyatakan kemulikan orang yang ia berikan persaksiannya mulai satu tahun hingga sekarang, sedangkan bayinah yang satunya lagi memberikan persaksian bahwa orang itu dimiliki orang (pendakwa yang satunya) sejak lebih lama daripada tahun yang diajukan oleh bayinah pertama sampai sekarang, maka yang dimenangkan adalah pendakwa yang bayinah menyebutkan tahun yang lebih dahulu (lama), sebab bayinah ini menyatakan penetapan pemilikan pada suatu waktu yang bayinah lain tidak menentangnya.

 

Bagi pihak yang memiliki bayinah yang tanggalnya lebih tua, adalah berhak mendapatkan uang sewa dan keuntungan-keuntungan yang terjadi, terhitung sejak hari pemilikannya berdasarkan persaksian bayinah, sebab hasil-hasil itu adalah miliknya.

 

Apabila pihak yang bayinahnya bertanggal muda itu memegang kekyasaan terhadap barang dan tidak diketahui kalau penguasaannya atas barang tersebut adalah aniaya, maka menurut pendapat Al-Ashah adalah dimenangkan bayinahnya.

 

Apabila seseorang mendakwakan memiliki barang yang berada di tangan orang lain, bahwa ia membelinya dari Zaid sejak dua tahun, lalu Dakhil megnajukan baysnah yang menyatakan bahwa ia membeli barang itu dari Zaid sejak satu tahun, maka yang dimenangkan adalah bayinah Kharij, sebab bayinah itu menetapkan bahwa kekuasaan pemegang (Dakhul) adalah didapatkan dengan cara yang tidak benar (zalim), yaitu dengan membeli barang itu dari Zaid yang telah bukan miliknya.

 

Bila kedua bayinah menyebutkan tanggal yang sama/kedua-duanya tidak menyebutkan tanggal/salah seorang dari keduanya saja yang menyebutkan tanggal, maka yang dimenangkan dakwaannya adalah pemegang barang.

 

Apabila kesaksian kemilikan barang waktu itu kemarin dan tidak menerangkan hingga sekarang, maka kesaksiannya tidak bisa diterima, sebagaimana tidak bisa diterima dakwaan yang seperti itu, sehingga bayinah menyatakan “dan hak miliknya belum hilang”, atau “kita ndak tahu ia telah melepaskan hak miliknya”, atau bayinah itu menjelaskan sebab kemilikannya, sebagaimana ia mengatakan: “Ia membelinya dan pihak lawannya”, atau pihak lawan mengakui (ikrar) pembeliannya dari dirinya, sebab dakwaan kemilikan waktu yang telah lewat adalah tidak bisa diterima, demikian pula dengan bayinah.

 

Apabila pemegang barang berkata: “Barang ini kubeli dari Fulan sejak satu bulan”, dan ia mengajukan bayinah yang menyatakan hal itu, lalu istri Fulan tersebut berkata: “Barang ini adalah milikku yang kudapatkan dari Fulan (suamiku) dengan penukaran sejak dua bulan dan ia mengajukan bayinah yang menyatakan hal ini, maka jika tertetapkan bahwa barang itu berada di tangan suami waktu diadakan penukaran tersebut, maka dihukumi barang itu sebagai milik istri, (tetapi) kalau tidak, maka barang itu dihukumi sebagai milik orang yang memegangnya.

 

Suatu bayinah yang terdiri dari 2 orang laki-laki/ 1 laki-laki ditambah 2 perempuan/4 perempuan dalam masalah yang bisa disaksikan oleh empat perempuan, adalah dimenangkan atas yang terdiri satu laki-laki ditambah sumpah pendakwa, sebab keberadaan ijmak, diterimanya kesaksian kelompok-kelompok di atas, bukan yang terdiri seorang saksi ditambah sumpah.

 

Bayinah tidak dimenangkan lantaran kelebihan semacam keadilan atau bilangan (di luar batas yang ditentukan dalam kesaksian) para saksinya, tetapi kedua bayinah tetap diadu, sebab apa yang telah ditetapkan oleh syarak, adalah tidak dianggap berbeda dengan yang berlebihan banyak/kurang banyak. Yang terdiri dari 2 laki-laki adalah tidak dimenangkan atas yang terdiri dari seorang laki-laki yang ditambah 2 perempuan, dan demikian pula yang terdiri dari 4 perempuan.

 

Tidak dimenangkan pula bayinah yang bertanggal atas bayinah mutlak, yaitu yang tidak mengemukakan masa kemilikan, sekira salah satu pihak pendakwa tidak sebagai pemegang barang dan kedua-duanya sama-sama terdiri dani dua orang saksi serta bayinah yang kedua tidak menjelaskan sebab kemilikannya, maka kedua bayinah yang seperti ini tetap diadu.

 

Memang, (tetapi) apabila salah satu bayinah menyatakan ada utang, sedang bayinah yang satunya menyatakan ada pembebasan utang, maka yang dimenangkan adalah yang menyatakan pembebasan, sebab bayinah ini menyatakan hal yang terjadi setelah ada ketetapan utang, sedang dasar asalnya adalah bahwa utang tidak terjadi Berkali-kali.

 

Apabila suatu bayinah menyatakan 1.000,sedang bayinah yang satunya menyatakan 2.000,-, maka wajib 2.000,-

 

Apabila seseorang menyatakan keberadaan Zaid berikrar bahwa berutang kepadanya, lalu Zaid menyatakan bahwa ikrar orang itu (pendakwa) berisi “Ia (Zaid) tidak berutang kepadanya”, maka pernyataan (penetapan) Zaid tidak membawa pengaruh sama sekali, sebab bisa jadi setelah itu Zaid memang berutang lagi.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila seseorang mengajukan bayinah memiliki binatang atau pohon tanpa menyebutkan kemilikan yang dahulunya dengan cara menyebutkan tanggal, maka ia tidak berhak memiliki buah yang telah keluar/ anak yang lahir sejak kesaksian. Namun ia berhak memiliki buah/ kandungan yang tidak tampak ketika kesaksian, sebagai mengikuti kemilkan terhadap induk/pohonnya.

 

Lalu, apabila bayinah itu menyebutkan kemilikan dahulunya yang waktu itu buah dan anak telah ada, maka bisa memilikinya.

 

Apabila seseorang membeli sesuatu barang, lalu barang itu diambil oleh orang lain dari tangannya dengan suatu hujah, bukan karena ikrar, maka pembeli tersebut berhak meminta kembali uang yang telah ia serahkan kepada penjual barang yang tidak dibenarkan oleh pembeli tentang kemilikannya terhadap barang itu serta penjual tidak mengajukan bayinah yang menyatakan, bahwa barang itu dibeli dari pendakwa lalu dijual, sekalipun setelah diputuskan hukum tersebut.

 

Lain halnya bila diambil berdasarkan ikrar pemegang sesuatu barang tadi atau dengan sumpah pendakwa (pengambil barang) setelah pemegang tidak mau bersumpah, sebabia berbuat gegabah.

 

Apabila seseorang membeli budak dan dia berikrar bahwa yang dibeli adalah budak, lalu budak itu mendakwakan bahwa dirinya adalah merdeka sejak semula dan telah dihukumi kemerdekaannya, maka pembeli bisa meminta kembali uangnya kepada penjual sejumlah harga yang diberikan ketika membeli. Pengakuannya tentang kebudakan seperti di atas tidak ada masalah, sebab ia (penjual) berpedoman pada yang lahir.

 

Apabila seseorang mendakwakan membeli sesuatu barang, lalu bayinah membuktikannya secara mutlak tentang kemilikan itu (tidak menegaskan, bahwa kemilikan itu diperoleh dari pembeli), maka bayinah bisa diterima, sebab ia memberikan kesaksiannya status yang dimaksud dan tidak ada pertentangan, menurut pendapat Al-Ashah.

 

Demikran pula apabila mendakwakan kemilikan secara mutlak, lalu bayinahnya memberikan kesaksian dengan menyatakan sebab kemilikannya, maka tidak menjadi masalah, (tetapi) bila mendakwakan sebab kemilikannya, sedang para saksi (bayinah) menyebutkan sebab yang lain, maka pertentangan antara dakwaan dengan pernyataan para saksi menjadi masalah.

 

Cabang:

 

Apabila seorang menjual rumah, lalu terdapat bayinah yang menyatakan bahwa rumah itu oleh ayahnya telah. diwakafkan kepada penjual, lalu kepada anak-anaknya, maka rumah itu harus ditarik kembali dari tangan pembeli dan pembeli meminta kembali sejumlah harganya dahulu kepada penjual, dan untuk selanjutnya penghasilan rumah tersebut ditasarufkan penjual di atas, jika ia membenarkan apa yang dinyatakan oleh para bayinah hisbah (tetapi) bila ia tidak membenarkan, maka penghasilannya dibiarkan saja (tawaqqufkan)

 

Lalu, bila penjual di atas meninggal duma dalam keadaan masih tidak membenarkannya, maka penghasilan rumah tersebut ditasarufkan kepada kerabat terdekat pada pewakaf, demikianlah yang dikatakan oleh Ar-Rafi’i sebagaimana juga Al-Qaffal.

 

Cabang:

 

Persaksian mengenai kemilikan waktu sekarang terhadap suatu barang yang didakwakan berdasarkan anggapan berjalan terus status kemilikan yang telah ada di waktu dulu, baik kemilikan itu didapatkan dari pewarisan, pembelian atau lainnya, adalah diperbolehkan, bahkan persaksianitu wajib hukumnya bila hanya dia yang mengetahuinya, karena berpedoman anggapan berjalan terus (Istishhab) status dahulu lantaran dasar asalnya adalah. bahwa status itu masih ada, dan karena dibutuhkan berpedoman dengan cara seperti itu.

 

Kalau persaksian seperti itu tidak diperbolehkan, niscaya akan mengalami kesulitan dalam memberikan kesaksiari mengenai hak milik yang diperoleh sejak dahulu, apabila telah berjalan dalam masa yang lama.

 

Masalah diperbolehkan persaksiannya seperti itu, adalah bila saksi tidak secara sharih mengemukakan bahwa ia berpedoman pada anggapan berjalan terus status dahulu. Kalau ia menjelaskan seperti itu, maka menurut kebanyakan ulama adalah tidak diterima kesaksiannya.

 

Apabila ada dua orang saling mendakwakan memiliki barang yang berada di tangan orang ketiga, maka jika orang ketiga iri berikrar bahwa itu milik salah satu dari dua orang tersebut, maka barang itu harus diserahkan kepadanya, dan pendakwa yang satu dapat menyumpah orang ketiga yang berikrar tadi.

 

Apabila ada dua orang saling mendakwakan barang yang berada di tangan orang ketiga, dan masingmasing pendakwa mengajukan bayinahnya yang menyatakan bahwa barang itu dibeli dari orang ketiga dan telah menyerahkan harganya, maka apabila tanggal bayinahnya itu berbeda, dihukumi sebagai milik pendakwa yang bayinahnya bertanggal lebih dahulu, sebab dengan bayinah inilah ada kelebihan pengetahuan.

 

Kalau tanggalnya tidak berbeda yartu kedua-duanya tdak bertangyal salah satunya saja atau keduanya menyebutkan tanggal yang sama maka kedua bayinah itu menjadi gugur, sebab ketidakmungkinan hal itu.

 

Kemudian, bila orang ketiga pemegang barang itu berikrar bahwa barang itu milik kedua pendakwa atau salah satunya, maka jelaslah masalahnya.

 

Kalau tidak berikrar, maka orang ketiga diambil sumpahnya untuk dua pendakwa dan kedua pendakwa bisa menarik kembali jumlah harga pembeliannya kepada orang ketiga, sebab tertetapkan pembelian berdasarkan bayinah.

 

Apabila dua pendakwa tersebut mengatakan: “Barang itu saya jual dengan harga sekian dan kala itu barang menjadi milikku” (kalau tidak ditambah “dan kala itu barang menjadi milikku”, maka dakwaan tidak bisa diterima), sedang barang di tangan terdakwa, lalu terdakwa mengingkarinya dan dua orang pendakwa mengajukan bayinah masing-masing yang menyatakan tuduhan itu serta kedua pendakwa menuntut harga pembayarannya, maka bila kedua bayinah itu menyebutkan tanggal yang sama, maka gugurlah kedua-duanya.

 

Apabila masing-masing tanggalnya berbeda, maka terdakwa wajib membayar dua harga.

 

Apabila pendakwa berkata: “Saya sewakan bilik itu kepadamu dengan harga sewa 10”, misalnya, lalu dijawab: “Tetapi engkau sewakan seluruh rumah dengan harga sewa 10′, dan kedua-duanya mengajukan bayinah masing-masing, maka gugurlah kedua bayinah itu, dan selanjutnya pendakwa dan terdakwa saling menyumpah, lalu akad menjadi fasakh.

 

Peringatan: Dalam dakwaan -sebagaimana juga persaksianbelum cukup menyebutkan pembelian kecuali dengan disebutkan bahwa barang itu milik penjual, bilamana ia bukan pemegang barang, atau disebutkan bahwa penjual adalah pemegang barang bilamana memang pemegangnya dan bahwa barang itu terlepas dari tangan penjual dengan jalan yang tidak benar.

 

Apabila seluruh atau sebagian para ahli waris mendakwakan bahwa Muwarisnya yang mati itu memiliki suatu barang, piutang atau manfaat suatu barang dan mereka mengajukan saksi mengenai dakwaan itu, lalu sebagian di antara mereka bersumpah bersama saksinya, maka yang bersumpah ini dapat mengambil harta tersebut sebesar bagian furudnya dan harta yang diambil itu tdak disekutu’ kemilikannya dalam kayannya dengan para ahli waris yang lainnya.

 

Karena hujah telah sempurna dalam hak ahli waris yang bersumpah tersebut, sedang selainnya dapat menyempurnakan hujahnya dengan bersumpah, dan dengan sumpah seorang, tidak bisa orang lain yang diberinya.

Karena itu, bila dari sebagian ahli waris ada yang masih kanak-kanak atau sedang tiada berada di tempat, maka ia diambil sumpahnya setelah balig atau datang di tempat, dan selanjutnya dapat mengambil bagiannya tanpa mengulangi proses pendakwaan dan persaksian.

Apabila seseorang berikrar berutang kepada mayat, lalu sebagran ahli waris mengambil sebesar bagiannya dari harta piutang itu, sekalipun tanpa melalui pendakwaan dan tidak ada izin dari hakim, maka ahli waris yang lain ikut bersekutu dalam kemilikannya terhadap harta yang terambil tersebut

Apabila (dalam suatu persenkatan tersebut) ada salah satu dan para persenkatan kemilikan suatu rumah atau kemanfaatan ruamh mengambil sebagian yang dikhususkan buatnya, misalnya berupa uang sewanya, maka perserikatan yang lain tidak bisa berserikat dalam memiliki bagian yang diambil tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita (Ibnu Hajar). 

PASAL: SYAHADAH (KESAKSIAN)

Lafal “Syadat” adalah jamak dari “Syahadat”. Yang artinya (menurut syara’) adalah: Pemberitahuan oleh seseorang dengan lafal tertentu mengenai keberadaan hak yang berada pada tanggungan orang lain.

 

Kesaksian mengenai ketetapan awal bulan Ramadan dalam kaitannya denga kewajiban berpuasa saja, adalah harus dibenkan oleh sorang laki-laki, bukan perempuan atau banci.

 

Kesaksian untuk keberadaan perzinaan dan liwath adalah diberikan oleh empat laki-laki yang menyaksikan bahwa mereka melihat pezina yang mukalaf dan tidak terpaksa, memasukkan kepala zakarnya ke farji waruta dengan cara zina.

 

Guru kita berkata Pendapat yang berwajah adalah di dalam kesaksian tentang perzinaan tidak disyaratkan menyebutkan masa dan tempat perzinaan, kecuali bila salah satu saksi telah menyebutkannya, maka bagi saksi yang lain wajib ditanya hal itu, sebab bisa dimungkinkan terjadi perselisihan data yang menggugurkan kesaksian. Tidak disyaratkan juga menyebutkan: “Kami melihat seperti batang celak masuk ke wadah celak”, tapi cuma disunahkan saja.

 

Adapun persaksian tentang ikrar seseorang bahwa dirinya telah berzina, adalah cukup dengan dua orang, sebagaimana untuk ikrarikrar yang lainnya.

 

Untuk kesaksian kehartaan (barang utang/kemanfaatan) dan sesuatu yang berlatar belakang harta, baik itu akad kehartaan, misalnya jual beli, hawalah, dhaman, wakaf, gardh, shuluh, khiyar dan masa pembayaran, adalah harus diberikan oleh dua laki-laki/satu laki-laki ditambah dua perempuan/satu lakilaki ditambah-sumpah pendakwa.

 

Tiada suatu persaksian yang bisa ditetapkan dengan dua perempuan ditambah sumpah pendakwa.

 

Adapun masalah-masalah selain di atas (bukan kehartaan dan bukan berlatar belakang kehartaan), baik berupa uqubah hak Allah swt., misalnya had (hukuman) meminum minuman keras dan pencurian, atau hak manusia misalnya qawad dan qadzaf serta halangan status waris, -misalnya segenap ahli waris mendakwakan bahwa suami yang mati telah mengkhuluk istri sehingga tidak bisa mewaris suami-, dan untuk masalah-masalah yang pada galibnya diketahui oleh laki-laki, misalnya nikah, rujuk, talak munayjaz maupun mu’allaq, fasakh nikah, kebaligan, kemerdekaan budak, kematian, kemlaratan, qiradh, wakalah, kafalah, syirkah, wadi’ah, wasiat, kemurtadan, habis masa idah dengan. perhitungan bulan, mengetahu bulan selain bulan Ramadhan, persaksian terhadap persaksian atau ikrar mengenai sesuatu yang tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dua orang laki-laki, kesemuanya di atas harus diberikan oleh dua orang laki-laki, bukan seorang laki-laki ditambah dua perempuan.

 

Sebagai dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik, dari Az-Zuhri: Telah ditetapkan dari Sunah Rasulullah saw., bahwa beliau tidak memperbolehkan persaksian kaum wanita mengenai had, perniakhan dan talak.

 

Juga segala sesuatu yang semakna dengan di atas, adalah dikiaskan dengannya.

 

Untuk kesaksian mengenai perkara yang pada galibnya diketahui oleh kaum wanita, misalnya kelahiran, haid, keperawanan, kejandaan, susuan dan cacat wanita yang berada di bawah pakaiannya, adalah harus diberikan oleh 4 perempuan/2 laki-laki/1 laki-laki ditambah 2 perempuan.

 

Dasarnya adalah hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah, dari Az-Zuhri: Telah ditetapkan dari Sunah Rasul, bahwa belidu memperbolehkan persaksian kaum wanita mengenai hal-hal yang selain mereka tidak terbiasa mengetahuinya, yaitu berupa melahirkan dan kecacatan mereka.

 

Selain tersebut di dalam hadis di atas adalah dikiaskan dengannya. Masalah-masalah tersebut tidak bisa ditetapkan adanya dengan persaksian seorang laki-laki ditambah sumpah pendakwa.

 

Sebagian dan Ashhabuna Syafi’iyah ditanya mengenai apabila dua orang laki-laki memberikan kesaksian, bahwa Fulan telah mencapai umur 16 tahun, lalu 4 perempuan memberikan kesaksian bahwa perempuan Fulanah yang ayahnya telah mati dilahirkan pada bulan yang sama dengan Fulan tersebut atau sebulan sebelumnya misalnya, atau sebulan sesudahnya, maka apakah diperbolehkan menikahkannya (tanpa meminta izin Fulanah, bila mungkin ia harus dimintai izinnya) dengan berpedoman terhadap ucapan 4 wanita atau tidak diperbolehkan kecuali tertetapkan kebaligannya dengan kesaksian 2 laki-laki?

 

Maka beliau menjawabnya. Memang, Fulanah yang hari kelahirannya disaksikan oleh 4 perempuan tadi bisa ditetapkan kebaligannya, sebagaimana bisa pula ditetapkan keberadaan nasabnya sebagai mengikuti persaksian kelahirannya. Karena itu, wanita Fulanah di atas boleh dikawinkan berdasarkan izin darinya, sebab secara syarak telah dihukumi balig. Selesai.

 

Cabang:

 

Apabila seorang istri mengajukan saksi yang menyatakan, bahwa suaminya berikrar telah menggaulinya, maka cukuplah dengan sumpah istri bersama saksi tersebut, dan bisa ditetapkan maharnya.

 

Atau apabila suami mengajukan seorang saksi yang menyatakan bahwa istrinya telah berikrar telah digauli (dijimak), maka belum cukup sumpah suami bersama kesaksian saksi, karena latar belakang dakwaan suami adalah adanya idah atau biasanya dirujuk, yang mana keduanya bukan masalah kehartaan.

 

Saksi disyaratkan keadaannya mukalaf, merdeka, bermuru’ah dan adil serta mengerti secara saksama.

 

Karena itu, tidak bisa diterima kesaksian anak kecil, orang gila, budak -karena ada kekurangannya-, orang yang tidak mempunyai muru’ah -tidak mempunyai malu-, sedang orang yang tidak mempunyai malu itu berkata semaunya. Muru’ah adalah orang yang menjaga diri dan hal-hal yang oleh kebiasaan dinilai hina. Karena bagi selain orang pasaran muru’ahnya jatuh lantaran makan, minum atau berjalan di pasar dalam keadaan tidak menutup kepalanya. Gugur pula lantaran mencium wanita yang halal bagi seseorang (istri/ amat) di depan orang banyak, terlalu banyak membual di depan umum, bermain catur atau berjoget, lain halnya bila tiga di atas dilakukannya tidak terlalu banyak. Persaksian juga tidak bisa diterima dari orang yang fasik.

 

Segolongan fukaha, di antaranya Al-Adzra’i, Al-Ghazali dan lain-lain memilih pendapat sebagian ulama Malikiyah: Apabila keadilan (sifat adil) sudah tidak ada dan kefasikan merajalela, maka sang hakim memutuskan hukum dengan persaksian orang yang lebih patut, karena keadaan darurat.

 

Keadilan itu bisa ternyatakan (terlihat) dengan sikap menjauhi segala dosa besar dengan semua bentuknya, misalnya membunuh, berzina, menuduh zina, memakan riba, memakan harta anak yatim, saksi palsu, mengurangi takaran atau timbangan, memutuskan hubungan kerabat, lari dari barisan perang tanpa uzur, durhaka kepada kedua orangtua, gasab sebesar 1/4 dinar, mengabaikan salat fardu, menunda zakat dengan cara zalim, mengadu domba dan sebagainya: yaitu setiap perbuatan maksiat yang memberitahukan bahwa pelakunya itu hanya sedikit perhatiannya terhadap agama, bahwa hal itu menunjukkan kelemahan agamanya.

 

Ternyatakan dengan menjauhi dari berterus-menerus melakukan satu dosa kecil atau bermacam-macam, sebagaimana ketaatannya tidak dapat mengalahkan kemaksiatannya.

 

Karena itu, apabila orang melakukan dosa besar, maka batallah keadilannya secara mutlak (baik ketaatannya mengalahkan kemaksiatannya ataupun tidak): atau (bila) melakukan satu atau beberapa dosa kecil, baik terus-menerus atau tidak (asal ketaatannya kalah dengan dosa kecil), lain halnya dengan pendapat yang membedakannya.

 

Bila ketaatannya bisa mengalahkan kemaksiatannya (dalam melakukan dosa kecil), maka orang itu tetap disebut adil. Kalau sama atau dosa-dosa kecilnya (kemaksiatannya) mengalahkan ketaatannya, maka orang itu disebut fasik.

 

Dosa kecil itu misalnya melihat atau memegang wanita lain, menggauli istri (menyetubuhinya) dalam keadaan idah raj’iyah, tidak menegur-sapa kepada sesama muslim lebih dari 3 hari, menjual khamar, orang laki-laki memakai pakaian dari sutera, melakukan kebohongan yang tidak ada hadnya, melaknati walaupun pada binatang atau orang kafir, menjual barang cacat tanpa menerangkan kecacatannya, menjual budak muslim kepada orang kafir, buang air besar/kecil dengan menghadapkan farjinya ke arah Ka’bah, membuka aurat di tempat sepi tanpa ada hajat, bermain Nard (catur atau dam-daman)-karena ada dalil sahih yang melarangnya-, menggunjing dan mendengarkan bila ada gunjingan.

 

Penukilan sebagian ulama bahwa menurut ijmak, ghibah adalah termasuk dosa besar, karena ada ancaman yang berat adalah dihubungkan dengan ghubah (menggunjing) kepada ahli ilmu dan para penghafal Alqur-an. Ghibah adalah: Engkau menuturkan, sekalipun dengan isyarat kejelekan orang lain yang menurut kebiasaan tidak senang hal itu disebutkan dan orang lain itu tertentu dan terbatas Jumlahnya, sekalipun di depan sebagian orang-orang yang diajak bicara.

 

Bermain catur hukumnya makruh, jika tiada taruhan harta dari kedua belah pihak/salah satunya, tidak menelantarkan salat -yang sekalipun karena terleka oleh permainannya-, atau tidak bermain dengan mengiktikadkan keharamannya, (tetapi) kalau begitu hukumnya haram.

 

Hadis yang menyebutkan cercaan permainan catur dan seterusnya adalah dihubungkan pada terjadinya hal-hal tersebut.

 

Gugurlah muru’ah orang yang terusmenerus bermain catur, oleh karena Itu persaksiannya ditolak. Bermain catur adalah haram, menurut ketiga imam secara mutlak.

 

Tidaklah bisa diterima persaksian orang pelupa dan waras pikirannya, orang tuli dan yang buta, sebagaimana yang akan diterangkan nanti.

 

Termasuk “tahu secara saksama”, adalah bisa menghafal kata-kata Masyhud Alaih (orang yang dipersaksikan atasnya) dengan persis huruf-hurufnya, tanpa kurang maupun lebih.

 

Guru kita berkata. Dari situ, adalah tidak boleh persaksian secara makna (tidak persis seperti kata-katanya), Memang, (tetapi) tidak terlalu jauh (bila dikatakan) kebolehan mengemukakan syahadah dengan menggunakan salah satu dari dua sinonim, sekira tidak membuat kekaburan.

 

Saksi juga disyaratkan keadaannya tidak dicurigai, bahwa persaksiannya itu akan menimbulkan suatu keuntungan bagi diri orangtua/ anaknya atau akan tertolak suatu mudarat darinya.

 

Karena itu, tidaklah bisa diterima persaksian seorang untuk budak mukatabnya, untuk pengutang kepadanya yang telah mati, walaupun jumlah utang tersebut tidak menghabiskan harta peninggalan: Lain halnya dengan persaksiannya untuk pengutang yang kaya, demikian juga yang melarat, di mana kedua-duanya belum mati, maka persaksian bisa diterima.

 

Ditolak juga persaksian untuk sebagian dirinya sendiri, baik itu orangtua dan terus ke atas maupun anaknya dan sekalipun ke bawah.

 

Tidak tertolak persaksian atas sebagiannya sendiri mengenai sesuatu, sebab tiada kecurigaan. Begitu juga persaksian atas ayah seseorang mengenai ketertalakan istri pemadu ibunya yang masih menjadi istri ayahnya. Adapun talak raj’i, maka persaksiannya bisa diterima secara pasti.

 

Semua persaksian di sini diterima, adalah persaksian Hisbah atau setelah terjadi dakwaan dari pihak istri pemadu ibunya (ibu tiri).

 

Karena itu, bila ayah yang mendakwakan keberadaan talak itu karena tiada nafkah, maka persaksiannya tidak bisa diterima, karena terdapat kecurigaan. Demikian pula Ibunya sendiri yang mendakwakan keberadaan talak (terhadap istri pemadunya).

 

Ibnush Shalah berkata: Apabila sang anak mendakwakan atas orang lain mengenai adanya piutang untuk muwakkil, lalu orang itu menging: karinya, tetapi ayah wakil bersama orang lain itu memberikan kesaksian mengenai piutang itu, maka diterimalah persaksian tersebut, sekalipun di situ terdapat unsur membenarkan anaknya.

 

Bisa diterima persaksian masingmasing suami-istri, dua laki-laki berteman untuk satunya.

 

Tertolaklah persaksian seseorang mengenai objek pentasarufan suatu barang, misalnya ia menjadi wakil atau washi harta itu, sebab dengan persaksian itu akan mengakibatkan penguasaan penuh bagi dirinya sendiri atas barang yang dipersaksikan. Memang, tetapi bila memberikan kesaksian setelah terlepas dari jabatannya dan sebelum itu ia tidak pernah bersengketa mengenai harta itu, maka persaksian bisa di terima.

 

Demikian pula tidak bisa diterima persaksian orang yang memegang barang titipan untuk orang yang menitipkannya, persaksian pemegang gadai untuk penggadainya, karena ada kecurigaan pemegang barang di tangan mereka.

 

Adapun persaksian (wakil/washi) mengenai barang yang tidak menjadi objek perwakilan atau pewasiatannya, maka adalah bila diterima.

 

Di antara khilah-khilah untuk menjadikan sah persaksian wakil: Bila wakil itu menjual barang (wakil untuk menjualnya), lalu pembeli mendakwakan bahwa ia telah membayar harganya atau wakil pembelian membeli sesuatu, lalu ada orang lain yang mendakwakan barang itu adalah miliknya, maka wakil dalam kedua contoh bisa memberikan kesaksian untuk muwakkilnya, bahwa ia mempunyai hak sekian yang menjadi tanggungan pembeli/ barang terbeli tersebut adalah milik muwakkil, jika ternyata ia (wakil) dapat memberikan kesaksian mengenal barang itu untuk penjual dan dalam kesaksiannya ta tidak menuturkan bahwa dirinya adalah selaku wakil.

 

Al-Adzra’i membenarkan kehalalan kesaksian tersebut secara batin, sebab di itu morupnkan penyampai an suntu hak dengan jalan yang diperbolehkan.

 

Demikian pula tidak bisa diterima persaksian mengenai kebebasan utang orang yang utangnya ditanggung oleh saksi/orangtua/anak turun/budaknya, sebab dengan persaksian seperti ini berarti saksi menolak tanggungan utang dari dirinya sendiri atau pihak yang tidak bisa diterima persaksian untuknya.

 

Tidak bisa diterima persaksian seseorang atas orang yang menjadi musuhnya dalam permusuhan duniawi, (tepai) persaksian untuk musuhnya adalah tidak ditolak. Musuh seseorang adalah orang yang merasa susah lantaran-orang itu berbahagia dan sebaliknya.

 

Karena itu, apabila ada orang memusuhi orang yang akan mengemukakan persaksian atasnya dan orang itu mempertinggi pertikaiannya, lalu orang yang dimusuhi tersebut tidak membalasnya, maka persaksia orang ini bisa diterima.

 

Peringatan:

 

Guru kita berkata: Menurut lahir pembicaraan Nikaha, bahwa persaksian dari anak sang musuh itu bisa diterima, Dalam hal ini bel,iau berpendapat, bahwa denga keberadaan permusuhan sang ayah itu tidak bisa dipastikan anaknya turut bermusuhan.

 

Faedah:

 

Menurut hasil kesimpulan Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, bahwa orang yang menuduh zina orang lain adalah tidak bisa diterima persaksian satu pihak atas yang lainnya, sekalipun yang dituduh zina telah menuntut hadnya.

 

Demikian pula tidak bisa, orang yang mendakwa orang lain bahwa orang ini telah membegalnya di tengah jalan dan mengambil hartanya, maka persaksian satu pihak atas yang lain tidak bisa diterima.

 

Guru kita berkata: Dari pembicaraan Ar-Raudhah di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap orang yang menyandarkan orang lain pada kefasikan yang bisa membawa akibat permusuhan di antara mereka, maka persaksian satu atas lainnya tidak bisa diterima.

 

Memang, (tetapi) belum ada ketegasan hasil peninjauhan mengenai orang yang menggunjing orang lain dengan kefasikan yang mestinya boleh digunjing, sekalipun orang di atas menetapkan sebab yang memperbolehkan menggunying tersebut.

 

Cabang:

 

Persaksian setiap pelaku bid’ah yang tidak kita hukumi kafir karena bid’ahnya, adalah bisa diterima, sekalipun ia memaki-maki sahabat Nabi saw., sebagaimana yang tertera di dalam Ar-Raudhah. As-Subki dan Al-Adzra’i. mendakwakan bahwa yang demikian itu adalah keliru.

 

Persaksian orang yang bersegera memberikannya sebelum dimintai persaksiannya, sekalipun setelah terjadi proses pendakwaan, adalah tidak bisa diterima, sebab saksi seperti ini bisa dicurigai. Memang, (tetapi) bila ia mengulangi persaksiannya itu kembali di dalam majelis pengadilan setelah dimintai persaksiannya, maka bisa diterima persaksiannya.

 

Kecuali dalam persaksian Hisbah, yaitu persaksian yang dilatarbelakangi untuk mendapatkan ridha Allah swt. maka sebelum dimintai persaksiannya, walaupun tiada terjadi dakwaan, bisa diterima persaksian mengenai hak yang. dikuatkan untuk Allah swt., yaitu suatu hak yang keberadaannya tidak terpengaruh dengan kerelaan manusia, misalnya talak raj’i atau bain, kemerdekaan seseorang, kemustauladah-an, nasab, ampunan dari qawad, masih berjalan masa idah atau telah habisnya, kebaligan, keislaman, kekafiran,wasiat dan wakaf untuk semacam kepentingan umum, hak mesjid, perbuatan meninggalkan salat/puasa/zakat, dan pemahraman radha’ atau perbesanan.

 

Peringatan:

 

Hanya saja persaksian Hisbah itu bisa diterima sebagai persaksian di kala dibutuhkan. Karena itu, bila ada dua orang memebrikan persaksian bahwa si Fulan telah memerdekakan budaknya atau bahwa si Fulan adalah laki-laki Fulanah dari jalur susuan, adalah, belum cukup, sehingga dua orang saksi tersebut berkata: “Sungguh, si Fulan itu memperlakukannya sebagai budak” atau “Sungguh, si Fulan ingin menikahi Fulanah.

 

Tidak termasuk ucapanku “dalam hak untuk Allah swt., yaitu hak manusia, misalnya qawad, had qadzaf atau jual beli. Karena itu, persaksian hisbah dalam hal ini tidak bisa diterima.

 

Persaksian hisbah bisa diterima Juga dalam masalah had zina, pe begalan dan pencurian.

 

Bisa diterima pula persaksian orang fasik yang telah bertobat sebelum sekarat dan sebelum matahari terbit dari arah barat.

 

Tobat ialah menyesali perbuatan maksiat dari segi kemaksiatan itu, bukan kaena takut siksanya, andaikata diperlihatkan kepadanya dan bukan karena terbebani tanggungan utang harta.

 

Dengan syarat melepas kemaksiatan itu seketika, bila ia tengah melakukan atau terus-menerus melakukannya. Termasuk arti melepas di siru, adalah mengembangkan barang hasil gasab. Syarat (kedua) adalah mengukuhkan hati tidak akan mengulangi maksiat sepanjang masih hidup. Syarat (ketiga) adalah menghindari berbuat zalim kepada manusia, baik yang berupa harta ataupun lainnya.

 

Karena itu, ia harus menunaikan kepada orang yang berhak menerimanya, mengembalikan barang hasil gasab bila masih ada atau mengganti kepada pemiliknya bila telah rusak, dan mempersilakan orang yang memuliki hak qawad atau had qadzaf untuk melaksanakan haknya atau kalau mau membebaskannya.

 

Karena berdasarkan hadis sahih: “Barangsiapa masih mempunyai kezaliman kepada saudara Islamnya mengenai kehormatan atau harta, maka hendaklah ia meminta halalnya di hari ini sebelum tidak terdapat dinar maupun dirham, jika ia mempunyai amal kebajikan, maka diambillah kebajikan itu seukur kezalimannya, (tetapi) bila fidak mempunyainya, maka amal kejelekan saudara yang dizalimi diberikan kepadanya.” Amal kebajikan itu termasuk juga amal puasa, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis riwayat Muslim: lain halnya menurut pendapat orang yang mengecualikan amal puasa.

 

Lalu, bila ada uzur untuk mengembalikan barang yang dizalimi kepada pemiliknya, maka ia bisa mengembalikan kepada qadhi yang dapat dipercaya, Kalau juga tidak bisa, maka ia dapat mentasarufkan barang tersebut dari siapa saja dari mashalihul muslimin bila berita pemilik barang tersebut sudah terputus, dengan niat menyerahkan gantinya bila ditemui pemiliknya. Apabila ia jatuh melarat, maka ia harus berniat mengembalikan barang itu jika sudah kaya. Lalu, bila yang melarat itu mati sebelum sempat mengembalikan barang tersebut, maka tiada tuntutan lagi di akhirat, bila bukan maksiat dengan penetapannya sendiri. Maka yang diharapkan dani anugerah Allah swt. yang luas adalah semoga Allah swt. berkenan mengganti pemilik barang itu.

 

Untuk kesahan menobati perbuatan mengeluarkan salat dari waktunya, disyaratkan menggadhanya, sekalipun banyak, untuk perbuatan qadzaf, hendaknya orang itu berkata: “qadzafku batal dan aku menyesalinya serta tidak akan mengulangi lagi”, dan untuk perbuatan ghibah (menggunjing), hendaklah minta kehalalan orang yang digunjing, jika ghibah itu sampai kepadanya, dan terhalang lantaran orang yang digunjing telah mati atau ghibahnya panjang. Kalau berita ghibah itu tidak sampai kepada orang yang digunjing atau ada halangan meminta halalnya, maka cukuplah dengan menyesali perbuatannya sendiri dan memohonkan ampunan kepada orang yang digunjing, bandingannya adalah sebagaimana orang yang dengki (hasud).

 

Segolongan ulama Mutaqaddimun mensyaratkan, bahwa untuk kesahan tobat dari segala maksiat harus beristigfar kepada Allah swt. Ketentuan ini dipedomi oleh Al-Bulqini.

 

Sebagian ulama berkata: Dalam menobati perbuatan zina, adalah butuh meminta halal kepada suami perempuan yang diajak zina, jika tidak khawatir akan terjadi fitnah: (tetapi) kaldu khawatir, maka: hendaklah memohon kepada Allah swt. dengan kerendahan hati, semoga suami berkenan merelakan apa yang diperbuat olehnya.

 

Sebagian ulama memasukkan perbuatan zina ke dalam hal-hal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan hak Adami, maka untuk menobatinya tidak perlu ada permintaan halal seperti di atas. Menurut pendapat Al-Aujah adalah pendapat yang pertama.

 

Sunah bagi pelaku zina -sebagaimana pula setiap orang yang melakukan maksiat-, agar menutupi perbuatanitu: yaitu tidak menunjukkan agar dihad atau ditakzir, dan tidak menceritakan perbuatannya dalam rangka menampakkan kenikmatan atau keterbukaan, sebab sikap seperti ini secara pasti adalah haram hukumnya.

 

Demikian pula, sunah bagi orang yang telah berikrar melakukan perbuatan di atas, agar mencabut ikrarnya.

 

Guru kita berkata: Barangsiapa yang meringgal dunia dalam keadaan masih mempunyai piutang yang belum ditagih oleh ahli warisnya, maka dialah kelak yang akan menagihnya di akhirat, menurut perndapat Al-Ashah.

 

Persaksian orang fasik bisa diterima setelah bertobat dan setelah masa tstihra’, selama satu tahun, terhitung mulas sejak tobat orang fasik yang tampak jelas kefasikannya itu, karena tobat adalah perbuatan hati, sedang ia sendiri bisa berpura-pura bertobat, agar bisa diterima persaksiannya dan kembali kekuasaannya Oleh karena itu, diujilah dengan masa selama itu, agar kuat pengakuannya.

 

Hanya saja sebagian besar ulama menentukan masa satu tahun, karena 4 musim (panas, hujan, gugur dan semi) adalah mempunyai pengaruh terhadap gejolak syahwat jiwa. Maka, apabila 4 musim itu telah terlewati, sedang ia masih tetap keadaannya seperti semula, adalah menunjukkan kebaikan jiwanya.

 

Demikian pula, masa istibra’ seperti ini wajib diterapkan kepada orang yang merobek muru’ahnya, sebagaimana yang dituturkan oleh Al-Ashhab.

 

Beberapa Cabang:

 

Kebodohan saksi terhadap kefarduan semacam salat dan wudu yang ia tunaikan, adalah tidak membuat kecacatan persaksiannya. Begitu juga dengan ketidaktegasan saksi mengenai hal yang tidak dipersaksikan (Masyhud Bih), jika ia , mengulangi dan penuh kemantapan, maka ia harus mengulangi persaksiannya mulai awal.

 

Tidak pula dengan adanya ucapan: . “Tiada data kesaksian padaku mengenai hal itu”, jika ia mengatakan: “Aku lupa” atau ada kemungkinan terjadi hal yang ia persaksikan itu-setelah ucapannya tersebut, sedang ketebalan mental agama saksi di atas telah masyhur.

 

Qadhi tidak diwajibkan meminta penjelasan lebih lanjut kepada saksi, jika si saksi telah masyhur kuat hafalan dan mental agamanya, tetapi hal ini disunahkan sebagaimana memisah-misahkan para saksi. Kalau saksi tidak masyhur seperti itu, maka bagi qadhi wajib meminta penjelasan lebih lanjut.

 

Untuk persaksian mengenai perbuatan, misalnya perzinaan, gasab, susuan dan kelahiran, disyaratkan melihat sendiri perbuatan itu dan melihat pelakunya. Karena itu, dalam masalah im tidak cukup hanya dengan dari orang lain.

 

Diperbolehkan sengaja melihat farji dua orang. yang tengah melakukan zina untuk keperluan Tahammulusy Syahadah (mengambil data persaksian), demikian pula sengaja melihat farji wanita yang sedang melahurkan, demi keperluan tersebut.

 

Adapun untuk persaksian mengenai. ucapan, misalnya akad, fasakh dan ikrar, disyaratkan melihat orang: yang mengucapkannya dan mendengar waktu mengucapkannya.

 

Karena itu, dalam masalah ucapan, orang tuli yang tidak bisa mendengar, tidak bisa diterima sebagai saksi, begitu juga dengan orang buta dalam masalah penglihatan, sebab jalan untuk dapat membedakan tertutup baginya, karena bisa jadi keserupaan suara.

 

Seorang saksi tidak cukup hanva dengan mendengar suara dani balik tabir sekalipun ia telah mengenal suara itu, sebab sesuatu yang mungkin bisa dihasilkan dengan salah satu pancaindera adalah tidak boleh memberlakukannya berdasarkan kemungkinan besar dugaannya. sebab bisa juga terjadi keserupaan berbagai suara.

 

Guru kita berkata: Memang, (tetapi) bila mengetahuinya di dalam bilik sendirian dan tahu pula bahwa suara yang didengar itu berasal dari orang yang berada di dalam bilik itu, maka diperbolehkan memberikan persaksian dengan berpedoman terhadap suaru itu, sekalipun tidak melihat orangnya. Demikian pula, kalau mengetahui ada dua orang di dalam bilik dan tiada orang lain di situ, lalu mendengar dua orang tersebut mengikat akad serta mengetahui siapa yang ijab dan yang qabul, lantaran ia telah mengetahui pemilik barang yang diperjualbelikan atau hal yang lain, maka baginya diperbolehkan mengemukakan kesaksian berdasarkan yang didengar dari mereka berdua. Selesai.

 

Tidak sah mengambil data kesaksian kepada wanit bertudung muka dengan berpedoman pada suaranya, sebagaimana tidak sah mengambil datn kesaksian bagi orang yang dapat melihat di tempat gelap dengan berpedoman pada suara, sebab bisa jadi terjadi keserupan suara.

 

Memang, (tetapi) bila ia mendengar suara wanita tersebut, lalu menggaetnya sampai ke depan qadhi dan mengemukakan kesaksian atasnya, maka bolehlah -sebagaimana orang buta-, namun dengan syarat wanita tersebut membuka penutup mukanya (di depan qadhi), agar qadhi bisa mengetahui rupanya.

 

Segolongan ulama berkata: Pernikahan wanita dalam keadaan memakai cadar, adalah belum sah, kecuali bila kedua saksinya mengetahut nama, nasab atau rupa waruta tersebut.

 

Seseorang, tanpa ada mu’aridh. (sesuatu yang melawani) adalah bisa mengajukan kesaksian mengenai nasab, sekalipun dari jalur ibu atau kabilah, kemerdekaan, kematian, wakaf, nikah dan kemilikan, dengan berdasarkan Istifadhah, yatu kemasyhuran benita dari orang banyak yang bisa dijamin, bahwa mereka tidak akan sepakat berbuat bohong lantaran jumlah mereka yang begitu banyak, karena hal itu bisa menimbulkan keyakinan atau perkiraan kuat mengenai kebenaran berita dari mereka.

 

Orang banyak tersebut tidak disyaratkan harus orang-orang yang merdeka, dan tidak pula harus laki-laki.

 

(Dalam hal ini) saksi belum cukup dengan ucapannya: “Saya dengar orang-orang berkata begini”, tetapi hendaklah ia berkata: “Saya berikan kesaksian, bahwa ia adalah putra si Anu…”, misalnya.

 

Bagi seseorang, tanpa ada mu’aridh, bisa mengajukan persaksian mengenai kemilikan berdasarkan istifadhah seperti di atas,-atau bisa juga berdasarkan kekuasaan memegang barang itu dan ditasarufkannya seperti kuasa pemilik, misalnya didiami, dibangun, digadaikan dan disewakan, dalam jangka waktu yang menurut kebiasaan terhitung lama.

 

Karena itu, belum cukup dalam persaksian mengenai kemilikan berdasarkan semata-mata memegang barang itu, sebab pemegarigan barang itu tidak memastikan adanya kemilikan. Tidak pula berdasarkan semata-mata tasaruf, sebab bisa juga hakl tasaruf diperoleh dengan perwakilan. Tidak pula berdasarkan keberadaan tasaruf dalam waktu yang pendek.

 

Memang, bila di samping ada tasaruf itu terdapat pula istifadhah yang memberitakan bahwa barang itu miliknya, maka persaksian mengenai kemilikan bisa diajukan, sekalipun masa tasaruf yang telah terjadi itu hanya sebentar.

 

Tidaklah cukup ucapan saksi: “Saya lihat tasaruf-tasaruf itu bertahun-tahun “

 

Para ulama dalam masalah kebolehan mengemukakan persaksian mengenai keberadaan kemilikan berdasarkan pemegangan barang (lan tasaruf dalam waktu yang lama di atas, mengecualikan kemilikan pada budak, Maka di uni persaksian ndak chperbolahkan berdasarkan ada Kekuasaan pemegangan serta tasaruf dalam waktu lama, kecuali bila di samping itu juga didengar dari pemegang budak tersebut, bahwa budak itu miliknya, sebagaimana yang tersebut di dalam Ar-Raudhah.

 

Hal ini dimaksudkan berbuat hati-hati dalam menghadapi masalah kemerdekaan manusia, dan karena banyak perlakuan terhadap orangorang merdeka selaku pelayan.

 

(Bisa pula mengajukan persaksian mengenai keberadaan kemilikan berdasarkan) anggapan berjalan terus status yang telah ada dahulu, baik dari semacam pewarisan atau pembelian, walaupun bisa jadi lepasnya kemilikan itu, karena ada keperluan yang mengajak untuk meletakkan Isthishhab sebaga dasar dan karena dasar asalnya adalah, bahwa status kemilikan itu masih berjalan terus.

 

Dalam masalah persaksian berdasarkan Istifadhah, Ibnu Abid Dam mensyaratkan, bahwa saksi tidak secara sharih menyebutkan kalau dasar pegangan persaksian itu adalah Istifadhah, begitu juga dengan masalah Istishhab.

 

Kemudian pendapat seperti itu dipilih dan diikuti oleh As-Subki dan lainnya: yaitu bila saksi mengemukakan dasar pegangannya yang seperti itu untuk menguatkan keyakinannya -mantap dengan kesaksiannya-, lalu ia berkata: “Dasar peganganku adalah Istifadhah/ Istishhab”, maka tetap bisa diterima kesaksiannya, Kalau tidak, misalnya ia berkata: “Kukemukakan kesaksian berdasarkan Istifadhah begini…”, maka persaksian tidak bisa diterima, Lain halnya menurut Ar-Rafi’.

 

Dengan ucapanku “tanpa ada mu’aridh”, dikecualikan apabila misalnya dalam masalah persaksian nasab itu terdapat celaan dari sebagian manusia, maka di sini persaksian berdasarkan Istifadhah tidak diperbolehkan, sebab terdapat mu’aridh.

 

Peringatan:

 

Orang yang mengemukakan kesaksian, ditentukan wajib memakai kata “Asyhadu” (kuberikan kesaksian). maka tidaklah cukup dengan memakai sinonimnya, misalnya “A’lamu” (aku yakin), sebab kata yang pertama tersebut lebih bisa mencapai kejelasan.

 

Apabila saksi itu mengetahui sebab kemilikan, misalnya ikrar, apakah ia bisa memberikan kesaksian keberadaan hak mulik atau tidak? Di sini ada dua pendapat (wajah), yang lebih masyhur di antara kedua pendapat adalah tidak bisa, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnur Rafi’ah dari Ibnu Abid Dam.

 

Ibnush Shabagh -sebagaimana lainnyaberkata: Bisa diterima, dan imi adalah sesuai dengan pembicaraan Rafi’i dan Nawawi.

 

Persaksian mengenai kesaksian orang yang bisa diterima kesaksiannya, adalah bisa diterima dalam masalah yang bukan uqubah hak Allah swt.

 

baik berupa harta maupun bukan, misalnya keberadaan akad, fasakh, ikrar, talak, rujuk, susuan, permulaan Ramadhan, wakaf untuk mesjid/ kemaslahatan umum, qawad dan qadzaf.

 

Lain halnya dengan uqubah hak Allah swt,, misalnya had zina, minum minuman keras dan pencurian.

 

Hanya saja diperbolehkan memberikan kesaksian atas kesaksian dengan beberapa syarat: Terasa sulit kesaksian itu diberikan oleh Ashal (saksi yang sekarang kesaksiannya dipersaksikan), sebab berada di tempat yang jauh melebihi jarak Adwa atau karena takut di tahan oleh pemjutangnya, sedang dirinya dalam keadaan melarat, atau sakit yang berat untuk bisa hadir mengemukakan kesaksiannya, demikian pula uzur karena mati atau gila.

 

Disyaratkan lagi, atas permintaan saksi pertama demi menjaga dan memelihara kesaksiannya kepada saksi kedua, agar menyampaikan kesaksian atas namanya (saksi pertama), sebab kesaksian atas kesaksian adalah suatu penggantian, oleh karena itu di situ diperlukan ada izin dari orang yang berfungsi sebagai ian.

 

Saksi pertama (Asal) bisa berkata: “Saya adalah saksinya, bahwa begini .” dan “Saya mempersaksikan kepadamu mengenai kesaksianku begiru” atau “Persaksikanlah mengenai kesaksian begini”: Maka tidak cukup dengan perkataannya: ” Aku mengetahui begini”.

 

Lalu, apabila saksi pertama (Asal) tidak menggunakan kata “saksi” dan berkata: “Saya kabarkan kepadamu/ Saya beri tahukan kepadamu bahwa begiru”, maka belum cukup, sebagaimana kalimat tersebut cukup penyampatan kesaksian di depan qadhi.

 

Dalam Tahammul (mengambil data persaksian) belum cukup dengan mendengarkan ucapannya: “Si Fulan mempunyai tanggungan sekian atas si Fulan”, atau dengan ucapan saksi pertama: “Padaku ada kesaksian begini …”

 

Disyaratkan lagi, di kala mengemukakan kesaksiannya, saksi kedua menegaskan cara Tahammul, misalnya: “Saya menyaksikan bahwa si Fulan menyaksikan begini dan ia mempersaksikan kepadaku mengenai kesaksian itu”, atau “… dan saya mendengar ia menyaksikan seperti itu di depan qadhi “

 

Maka, apabila saksi kedua tidak menegaskan cara Tahammulnya dan hakim telah mempercayai dengan keilmuannya (mengenai syarat tahammul), maka ketegasan tersebut tidak wajib: Oleh karena itu, cukuplah dengan perkataannya: “Saya menyaksikan mengenai kesaksian si : Fulan begini”. karena telah bisa di dapat maksud persaksian (yaitu menetapkan keberadaan hak).

 

Disyaratkan lagi, saksi kedua menyebutkan saksi pertama dengan suatu sebutan yang dapat membedakan dengan orang lain, sekalipun saksi pertama itu orang yang adil, untuk bisa diketahw keadilannya. Karena itu, bila tidak menyebutkannya, maka belumlah cukup, sebab terkadang hakim mengetahur kecacatan saksi pertama kalau disebutkan.

 

Ada dua pendapat mengenai kewajiban menyebut nama saksi yang kesaksian pertama adalah dani qadhi, dan Al-Adzra’i membenarkan kewajiban penyebutannya pada masa-masa sekarang ini, karena ada kebodohan dan kefasikan yangrtelah melanda pada para Qadhi.

 

Apabila saksi pertama mengalami permusuhan (dengan Masyhud Alah) atau kefasikan, maka kesaksian saksi kedua tidak bisa diterima. Kalau halangan-halangan itu telah hilang, maka diperlukan tahammul baru lagi.

 

Cabang:

 

Tahammul para wanita adalah tidak sah, sekalipun sesama wamta dalam masalah kelahiran, sebab persaksian atas persaksian adalah biasanya diketahui oleh laki-laki.

 

Telah cukup persaksian dua orang saksi, yang keduanya (bersamasama) atas persaksian masing-masing dua orang saksi pertama. Karena itu, tidak disyaratkan masing-masing dari dua saksi pertama harus disaksikan oleh dua orang saksi kedua.

 

Tidak cukup satu saksi kedua menyaksikan saksi pertama yang ini (satu saksi pertama) dan satu lagi saksi kedua menyaksikan satu saksi pertama yang itu.

 

Demikian pula tidak cukup, seorang saksi kedua menyaksikan seorang saksi pertama dalam masalah tanggal pertama Ramadhan.

 

Cabang:

 

Apabila para saksi mencabut kesaksiannya sebelum diputuskan hukumnya, maka pencabutan itu mencegah pemutusan hukum: Atau (kalau) sesudah diputuskan, maka pencabutan tersebut tidak dapat merusak putusan hukum.

 

Apabila para saksi memebrikan kesaksian tentang talak bain atau hubungan mahram dari jalur radha’ (antara suami-istri) dan qadhi menceraikan di antara mereka, lalu para saksi mencabut kesaksian tersebut, maka perceraian tetap berjalan terus, sebab ucapan mereka dalam pencabutan kesaksian, adalah mempunyai alternatif benar/salah (muhtamal), sedang keputusan hukum tidak bisa ditolak lantaran sesuatu yang muhtamal.

 

Sekira suami tidak membenarkan kesaksian para saksi tersebut, maka para saksi berkewajiban membayar mahar mitsil, sekalipun perceraian itu sebelum suami menjimak, atau sesudah istri membebaskan suaminya dari mahar, sebab mahar mutsil itu sebagai ganti dari farji yang mereka lepaskan dari suami dengan kesaksian yang mereka kemukakan.

 

Kecuali bila ada ketetapan (berdasarkan bayinah lain/ikrar/pengetahuan qadhi) bahwa antara suami-istri itu tiada pertalian nikah (yang sah), lantaran semacam hubungan radha’, maka tiada tanggungan utang (mahar mitsil) atas mereka, sebab mereka, tidak melepaskan sesuatu pun dari suami tersebut.

 

Apabila para saksi dalam masalah kehartaan mencabut kembali keSaksian mereka, maka mereka wajib membayar gantinya kepada Mahkum Alaih (orang yang dikeriai hukum atasnya) dengn dibagai rata sesama mereka, setelah Mahkum Alaih membayarkan kepada Mudda’i, bukan sebelumnya, sekalipun mereka berkata: “Kami semua keliru dalam memberikan kesaksian”.

 

Penyempurna:

 

Guru dari para guru kita, yaitu Zakaria, sebagaimana Al-Ghazzi dalam masalah Talfiqusy Syahadah berkata:

 

Apabila satu orang saksi menyaksikan ikrar seseorang, bahwa dirinya : mewakilkan kepada orang lain dalam masalah begini, lalu ada orang lain lagi menyaksikan orang tadi mengizinkan kepada orang lain tadi pula untuk tasaruf/menyerahkan hak tasaruf kepada orang lain tadi, maka dua kesaksian bisa dikumpulkan dan diamalkan, sebab penukilan secara maknanya adalah seperti. secara lafalnya.

 

Lain halnya apabila satu orang menyaksikan bahwa seseorang tadi berkata: “Saya wakilkan kamu dalam masalah begini”, sedang orang lain lagi berkata, bahwa seseorang tadi berkata: “Saya serahkan hal itu kepadamu”: atau apabila satu orang menyaksikan, bahwa seseorang telah melunasi utangnya dan orang lain lagi menyaksikan bahwa utang dibebaskan daripadanya, maka dua kesaksian dalam dua contoh di atas tidak dapat di-talfiq-kan. Selesai.

 

Guru dari para guru kita, yaitu Ahmad Muzjidi berkata: Apabila satu orang menyaksikan, bahwa yang terjadi adalah penjualan dan orang lain menyaksikan, bahwa terjadi ikrar karena penjualan, atau apabila satu orang menyaksikan bahwa barang yang didakwakan itu milik si pendakwa dan orang lain menyaksikan keberadaan ikrar pemegang barang (Dakhul), bahwa barang itu milik pendakwa, maka dua kesaksian (dalam dua contoh)itu tidak dapat di-talfiq-kan.

 

Apabila salah satu dari dua saksi itu mencabut kesaksiannya, lalu mengaJukan kesaksian lagi yang sama dengan kesaksian yang lainnya, maka hal itu bisa diterima, sebab ia diperbolehkan mengemukakan dua perkara.

 

Barangsiapa mendakwakan memiliki 2.000,dan dikemukakan secara mutlak, lalu disaksikan oleh satu orang secara mutlak juga, sedang saksi yang satunya lagi mengajukan kesaksian, bahwa jumlah tersebut didapatkan dari utang, maka dakwaan kemilikan tersebut bisa tertetapkan: Atau satu saksi mengajukan kesaksian bahwa kemilikan 1.000, dari harga penjualan, sedang satu saksi yang lain mengajukan kesaksian bahwa 1.000, dari utang, maka dua kesaksian seperti ini tidak dapat di-talfiq-kan, dan si pendakwa bisa bersumpah sehubungan dengan dua persaksian ini.

 

Apabila seorang saksi menyaksikan ada ikrar dan saksi yang lain menyaksikan ada kemilikan berdasarkan Istifadhah dalam cara yang bisa diterima, maka dua persaksian ini bisa di-talqiq-kan. Selesai.

 

Syekh ‘Athiyah Al-Makiy rhm. ditanya mengenai dua orang lakilaki, yang mana salah satunya mendengar seseorang menjatuhkan talak tiga, sedang yang satunya lagi mendengar ada ikrar talak tiga tersebut, maka apakah hal itu bisa di-talfiq-kan atau tidak?

 

Maka jawab beliau: Bagi dua orang yang mendengar penjatuhan talak tiga, dan yang mendengar ada ikrar talak, wajib mengemukakan kesaksian talak tiga yang terjadi atas suami tersebut secara pasti, yaitu bukan yang satu mengemukakan keberadaan penjatuhan talak dan satunya lagi mengemukakan ikrar mengenai talak tersebut.

Dari segi apa pun (makna/lafal), masalah di atas bukan termasuk kasus Talfiqusy Syahadah, tetapi (pada galibnya) gambaran penjatuhan talak dan pengikrarannya adalah jadi satu, dan hukum bisa ditetapkan berdasarkan terjadinya talak dalam apa pun latar belakangnya (berniat menjatuhkan talak ataupun ikrar). Sedang sang qadhi wajib mendengarkan dua persaksian di atas. Selesai.

PENUTUP: TENTANG SUMPAH

Suatu sumpah tidak bisa terwujudkan, selain dengan menggunakan nama yang khusus untuk Allah swt. atau sifat dari sifat-sifat-Nya, milasnya “Wallahi” (demi Allah), “Wa rahmani” (demi Zat Yang Maha Pengasih), “Wal Ilahi” (demi Tuhan), “Wa Rabbil ‘Alamin” (demi Tuhan, Penguasa alam raya), dan “Wa khaliqil Khaliqi” (demi Pencipta makhluk).

Apabila orang berkata: “Wa kalamillahi”, (demi firman Allah), “Wakitaballahi” (demi kitab Allah), “Wa Qur-anillahi” (demi Qur-an Allah), “Wat Taurat” (demi Taurat), atau “Wal Injili” (demi Injil). maka semua itu menjadi sumpah. Demikian pula dengan ucapan “Wal Mushhafi”, jika tidak bermaksud pada kertas dan sampulnya.

Apabila orang berkata: “Wa Rabbii” (demi Tuhanku) dan kebiasaan mereka berlaku menamakan sayid (tuan) dengan Rabb, maka adalah kinayah sumpah. Kalau tiada kebiasaan seperti itu, maka secara jelas adalah sebagai sumpah, jika tidak bermaksud selain Allah swt.

 

Sumpah tidak bisa terwujudkan dengan menggunakan makhluk, misalnya Nabi atau Ka’bah, sebab ada hadis shahih yang melarang bersumpah atas nama para ayah dan memerintahkan agar bersumpah dengan menggunakan nama Allah.

 

Al-Hakim meriwayatkan hadis: “Barangsiapa bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah, maka sungguh ia telah berbuat kafir.”

 

Para ulama mengakhirkan hadis di atas pada, apabila orang bermaksud mengagungkan selain Allah sebagaimana mengagungkan Allah. Kalau tidak ada maksud seperti ini, maka menurut kebanyakan ulama adalah berdosa, yaitu dengan mengikuti nash Imam Syafi’i yang dengan sharih mengemukakan begitu. Demikian pula yang dikemukan oleh sebagian ulama yang mengomentari kitab Al-Minhaj.

 

Keterangan yang ada di dalam Syarah Muslim dengan menukil dari Al-Ashhab, adalah makruh hukumnya dan inilah yang muktamad, sekalipun dalil di atas secara lahur mengarah ke dosa. Sebagian ulama berkata: Pendapat yang sebaik-baiknya diamalkan (dipegangi ) pada kegaliban beberapa masa, sebab pada galibnya orang yang bersumpah dengan menggunakan nama makhluk adalah mengagungkan dan menyamakan kepada Allah swt. Maha Suci Allah dari semua itu dengan kemuliaan dan keagunganNya. –

 

Apabila ada orang bersumpah menggunakan pernyataan yang bisa mewujudkan sumpah, lalu ia berkata: Saya tidak bermaksud untuk bersumpah”, maka perkataan yang akhur ini tidak bisa diterima.

 

Apabila di belakang sumpahnya, seseorang berkata: “Insya Allah”, serta ia bermaksud pada lafal itu dan mengecualikan dalam makna sumpahnya, sebelum selesai mengucapkan, dan pengecualian Itu bersambung dengan sumpahnya, maka sumpah belum menjadi sah, maka dari itu tidak terjadi pengkhuanatan (penerjangan) sumpah dan tidak berkewajiban membayar kafarat.

 

Jikalau tidak mengecualikan dengan lafal, tetapi berriat di dalam hati, maka secara lahir tidak terelakkan ada pengkhianatan sumpah kafarat, tetapi di-Tadyin (yaitu secara batin ia dihukumi menurut apa sebenarnya yang terjadi dalam hatinya).

 

Apabila seseorang berkata kepada orang lain: “Saya menyumpah engkau demi Allah …”, atau “Demi Allah saya ntemintamu agar benarbenar melakukan begini”, dan ia bermaksud sumpah untuk dirinya sendiri, maka jadilah sebagai sumpah.

 

Apabila tidak bermaksud sumpah untuk dirinya sendiri, tetapi bermaksud memohon syafaat kepada Allah swt./menyumpah orang yang diajak bicara/tidak bermaksud apaapa, maka tidak menjadi sumpah, sebab ia dan orang yang diajak bicara tidak bersumpah.

 

Makruh menolak permintaan orang yang meminta dengan menggunakan nama Allah swt. atau Zat-Nya dalam hal yang tidak dihukumi makruh. Demikian pula meminta dengan cara seperti itu.

 

Apabila seseorang berkata: “Jika melakukan begini, maka aku Yahudi/Nashrarni”, maka pernyataan itu bukan suatu sumpah, sebab tidak ada menyebut nama atau sifat Allah swt., dania tidak berkewajiban membayar kafarat bila menerjangnya.

 

Memang, ucapan seperti di atas haram diucapkan, tetapi tidak sampai kufur. Apabila ia bermaksud menjauhkan dirinya dari kata-kata yang sah digunakan sumpah atau tidak bermaksud apa-apa, maka hukumnya haram dan ia wajib bertobat.

 

Apabila ia menggantungkan keterjadian ( Yahudi/Nashrani/dan sebagainya) atau bermaksud kerelaan hal itu terjadi jika ia melakukan perbuatan Mu’allaq Alaih begini tadi, maka seketika itu juga ia menjadi kafir.

 

Dalam keadaan di mana ia tidak dihukumi kafir, maka ia disunahkan memohon ampun kepada Allah swt dan mengucapkan. “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah Rasul Allah”, Pengarang kitab Al-Istiqsha’ mewajibkan hal itu dilakukan (bukan sunah).

 

Barangsiapa lisannyg terlanjur mengucapkan sumpah, sedang ia tidak ada maksud untuk itu, misalnya “Tidak! Demi Allah” dan “Ya, demi Allah” dalam keadaan semacam marah atau sebagai penyambung pembicaraan, maka tidak menjadi sumpah.

 

Bersumpah itu hukumnya makruh, kecuali di dalam pembaitan jihad, anjuran berbuat baik dan dalam dakwaan yang benar.

 

Apabila seseorang bersumpah untuk meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan haram, maka ia adalah bermaksiat, dan ia wajib menerjang sumpahnya serta membayar kafarat.

 

Atau bersumpah untuk meninggalkan perbuatan sunah atau melakukan : perbuatan makruh, maka disunahkan menerjangnya dan wajib membayar kafarat misalnya masuk rumah dan memakan makanan, semisal ” Demi Allah, aku tidak akan makan”, maka yang lebih utama adalah menerjang sumpahnya, karena melanggengkan pengagungan nama Allah swt.

 

Atau bersumpah untuk meninggalkan perbuatan mubah atau melakukannya.

 

Cabang:

 

Sunah memberatkan sumpah dari pendakwa atau terdakwa, sekalipun pihak lawan tidak memintanya dalam masalah nikah, rujuk, kemerdekaan budak, perwakilan dan dalam harta yang mencapai jumlah 20 dinar, bukan yang di bawah jumlah tersebut, sebab menurut pandangan syarak, terlalu hina jumlah ini.

 

Memang, bila hakim berpendapat bahwa dengan diberatkan sumpah akan membawa maslahat, karena semacam ada kesembarangan orang yang bersumpah, maka bisalah hakim melakukannya.

 

Pemberatan tersebut dilakukan dengan memulih waktu, yaitu setelah dengan waktu Ashar, dan waktu Ashar hari Jumat adalah lebih utama, dan dengan memilih tempat untuk orang-orang muslim dilakukan di sebelah mimbar, dan yang lebih utama adalah naik ke mimbar: Dan dengan menambahkan nama dan sifat Allah swt.

 

Sunah bagi orang yang akan bersumpah dibacakan ayat: Innallaadzina … dan seterusnya. (Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpahsumpah mereka dengan harta benda dunia yang sedikut….. (QS. Aali Imran: 77): dan hendaknya diletakkan Mushaf di pangkuannya.

 

Apabila mencukupkan pada ucapan “Wallahi”, maka telah cukup.

 

Ukuran anggapan dalam sumpah adalah menurut ruat hakim yang mengambil sumpah. Karena itu, dosa sumpah bohong tidak bisa terelakkan dengan semacam Taunyah, misalnya menyebut pengecualian yang tidak teranaya oleh lawan sengketanya. Demikian sebagaimana yang dibahas oleh Al-Bulqini,

 

Adapun orang yang teraniaya oleh lawan sengketanya dalam hakikat perkara, misalnya mendakwakan (memiliki sesuatu) terhadap orang yang melarat, lalu orang ini bersumpah “… engkau tidak memiliki sesuatu atasku”, yang ia maksudkan adalah “sesuatu yang harus diserahkan sekarang juga”, maka tauriyah dan takwilnya bermanfaat bagi orang tersebut, sebab lawan sengketanya berbuat zalim, jika telah mengetahui kemelaratannya terdakwa, atau lawan orang yang salah berbuat bila belum mengetahuinya.

 

Bila seseorang bersumpah sendiri (tidak karena kewajiban bersumpah) atau disumpah oleh selain hakim (misalnya pendakwa), maka ukuran anggapannya adalah yang diatkan oleh orang yang bersumpah (Halif) dan bisa bermanfaat ada tauriyah, sekalipun tauriyah tersebut haram, yaitu yang sekira dengan sumpah itu maka terjadi kebatalan hak orang yang mestinya berhak mendapatkannya.

 

(Kekuatan) sumpah adalah dapat memutus persengketaan dengan seketika, bukan memutus hak yang didakwakan Karena itu, tanggungan orang yang bersumpah tidak dapat bebas bila ia berdusta dalam sumpahnya.

 

Maka, apabila hakim menyumpah si terdakwa (di waktu tiada bayinah dari pendakwa), lalu pendakwa mengajukan bayinah, maka ia harus memutuskan hukum dengan dasar bayinah tersebut, sebagaimana bila terdakwa berikrar (mengenai kebenaran dakwaan) setelah ia bersumpah (pengingkarannya).

 

Nukul (pembangkang bersumpah dari terdakwa) adalah adanya perkataan terdakwa: “Saya tidak may bersumpah”, atau qadhi berkatg kepada terdakwa: “Sumpahlah”/, lalu jawabnya: “Saya tidak mau bersumpah”. Sedang yang disebut Yamin Mardudah adalah sumpah yang diucapkan oleh pendakwa setelah terdakwa tidak mau bersumpah.

 

Sumpah seperti ini mempunyai kekuatan sebagaimana ikrar terdakwa, bukan sebagaimana kekuatanbayinah.

 

Karena itu, bila Yamin Mardudah setelah diucapkan, terdakwa mengajukan bayinah yang menyatakan, bahwa ia telah melunasi atau dibebaskan dari tanggungannya, maka bayinah tidak bisa diterima, sebab ia sendiri tidak membenarkan bayinah tersebut lantaran ikrarnya (yaitu lantaran sumpah mardudah yang berkekuatan sebagai ikrar). Di dalam suatu tempat pembahasan, Rafi’i dan Nawawi berkata: Dapat diterima. Al-Asnawi mensahihkan pendapat yang pertama, sedang Al-Bulqini mensahuhkan yang kedua dan Guru kita berkata: Pendapat berwajah adalah yang pertama.

 

Cabang:

 

Dalam pembayaran kafarat sumpah, seseorang bisa memilih di antara (tiga hal): Memerdekakan budak wanita yang sempurna kebudakannya, mukminah, yang tidak mempunyai kecacatan yang dapat mengganggu dalam perbuatan dan kerjanya, sekalipun budak itu semacam budak yang tiada di tempat yang diketahui masih hidup, Memberi makan 10 orang miskin yang masing-masing satu mud biji-bijian makanan pokok daerah setempat, Atau memberi mereka sesuatu yang dapat disebut sebagai pakaian, misalnya baju kurung, kain sarung, telekung, sapu tangan, atau baju kemeja, bukan sepatu.

Jika tidak mampu melaksanakan di, antara tiga hal di atas, maka ia wajib berpuasa 3 hari yang tidak wajib sambung-menyambung, Lain halnya dengan pendapat kebanyakan ulama.

BAB MEMERDEKAKAN BUDAK - بَابٌ فىِ الْاِعْتَاقِ

I’taq (memerdekakan budak) adalah melepaskan status kebudakan pada diri manusia. Dasar hukum adalah firman Allah yang artinya: “(Yaitu) melepaskan budak dari kebudakan” (Q.S. Al-Balad: 13).

Juga hadis nwayat Bukhari-Muslim: “Barangsiapa memerdekakan seorang budak wanita yang mukmin -dalam riwayat lain ‘seorang budak muslim’-, maka Allah memerdekakan anggota-anggota badan orang itu dari neraka dengan berbanding setiap anggota badan budak tersebut, sehingga dimerdekakan farji orang itu dengan farji budak.” Memerdekakan budak laki-laki adalah lebih utama.

Dinwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf telah memerdekakan 30.000 orang budak.

Kami tutup buku ini dengan Bab Memerdekakan Budak, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Ashab Syafi’i, sebagai sikap Tafa’ul (dengan harapan semoga Allah memerdekakan dari neraka, sebagaimana orang yang memerdekakan budak).

 

Sah pemerdekaan oleh orang yang mempunyai hak tasaruf secara mutlak (balig, berakal sehat serta pandai berbuat), yang memiliki kekuasaan atas budak yang dimerdekakan, sekalipun itu orang kafir. Karena itu, pemerdekaan tidak sah dilakukan oleh anak kecil, oran gila, orang yang diampu sebab dungu, atau bangkrut, dan orang yang tidak mempunyai hak milik, sekalipun dengan cara sebagai pengganti.

 

(Yaitu) dengan semacam ucapan: “Kumerdekakan dirimu/Kubebaskan dirimu/Kulepaskan kebudakan drimu/Engkau adalah orang yang dimerdekakan”.

 

Sah pula dengan kinayah disertai rjat, misalnya: “Tiada kemilikan diriku atas dirimu/Tiada jalan bagiku atas dirimu/Saya singkirkan kemilikanku dari dirimu/Engkau adalah Tuanku.” Demikian juga ucapan “Wahai, tuanku”, menurut pendapat yang dimenangkan.

 

Ucapan seseorang kepada budakrrya: “Engkau adalah putraku/In atau dia adalah ayahku atau ibuku” adalah memerdekakan, jika status itu mungkin terjadi mengingat usia yang ada, sekalipun diketahui jalur keturunannya, sebab sebagai pengambilan tindakan atas ikrarnya.

 

Atau “Wahai, anakku”, maka adalah kinayah memerdekakan, karena itu, budak tersebut tidak dihukumi ‘merdeka, kecuali tuan yang memanggilnya bertujuan memerdekakannya, sebab kekhususan panggilan seperti itu digunakan dalam adat untuk suatu keakraban dan pergaulan yang baik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita di dalam Syathul Minhaj dan Syarhul Irsyad.

 

Tidak termasuk lafal ikrar memerdekakan, ucapan seseorang: “Sungguh aku memerdekkan budakku si Fulan”, sebab kalimat tersebut tidak patut digunakan sebagai ikrar maupun pernyataan memerdekakan, sekalipun ada dalam kebiasaan digunakan sebagai lafal memerdekakan, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita rhm.

 

(Pemerdekaan sah seperti di atas) sekalipun dikemukakan dengan adanya penukaran. Karena itu, bila seseorang berkata: “Kumerdekakan dirimu dengan penggantian 1.000 atau “Kujual engkau kepada dirimu dengan harga 1.000,-“, lalu dengan seketika budak itu menyatakan qabul, maka merdekalah ia dan dalam dua contoh di atas, ia wajib membayar 1.000, sedang walak berada di tangan tuan.

 

Apabila memerdekakan budak yang hamil, baik ibu ataupun kandungannya menjadi miliknya, maka kandungan mengikuti ibunya dalam kemerdekakan. sekalipun dikecualikan, sebab kandungan merupakan bagian dari ibu.

 

Apabila memerdekakan kandungan saja, maka jadilah merdeka bila telah bernyawa, bukan sebelum bernyawa.

 

Apabila ibu milik serang laki-laki dan kandungan milik orang lain, lantaran semacam wasiat, maka salah satunya tidak menjadi merdeka lantaran yang lainnya merdeka.

 

Atau (apabila) seseorang memerdekakan sepenuh budak yang dimili antara dirinya dan orang lain, atau memerdekakan bagiannya saja dari persekutuannya, misalnya: “Bagianku dari dirimu merdeka”, maka menjadi merdeka dalam bagian orang : itu secara mutlak.

 

Pemerdekakan (kepada budak mulik persekutuan) yang dilakukan oleh persekutuan yang kaya, bukan yang melarat, adalah menjalar pada jumlah sekemampuannya (untuk menebus) teman sekutunya atau sebagian dari bagian itu.

 

Penjalaran seperti itu tidak terhalang ada utang yang menghabiskan harta orang yang memerdekakan tersebut di atas yang bukan diampu.

 

Pemustauladahan yang dilakukan oleh seorang yang kaya dari dua sekutu (dalam memiliki budak), adalah menjalar pada milik teman persekutuannya, sebagaimana dalam memerdekakan. Karena itu, ia wajib membayar seharga bagian temannya dan wajib membayar seharga sejumlah bagian mahar mutsil teman persekutuannya, bukan membayar seharga bagian teman persekutuannya pada anak budak Mustauladah.

 

Pe-Mudabbar-an budak tidak dapat menjalar pada bagian’teman persekutuannya.

 

Apabila seseorang memiliki budak, di mana budak itu adalah ayah atau anak keturunannya, sekalipun telah jauh jenjang jalurnya, maka budak tersebut menjadi merdeka atas nama pemilik tadi. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim.

 

Tidak termasuk “orangtua/anak turun”, yaitu yang bukan itu, misalnya saudaranya, maka tidak menjadi merdeka lantaran dimiliki.

 

Barangsiapa berkata kepada budaknya: “Engkau merdeka setelah aku mati”, “Bila saya mati, maka engkau merdeka” atau “Engkau kumerdekakan setelah aku mati”: Demikian pula dengan berkata: “Bila aku mati, maka engkau haram/bebas pergi” dengan disertai niat, maka menjadilah budak Mudabbar: yaitu menjadi merdeka setelah tuannya mati dalam perhitungan sepertiga dari harta tuannya setelah terpotong utangnya.

 

Pemudabbaran menjadi batal sebab semacam budak Mudabbar itu dijual, oleh karena itu kemudabbaran tidak bisa kembali lagi sekalipun dimulikinya untuk kedua kali.

Sah hukumnya menjual budak Mudabbar,

 

Tidak menjadi batal kemudabbaran, lantaran dicabut kembali dengan menggunakan lafal, misalnya: “Saya fasakh pemudabbaran” atau “Saya rusak pemudabbaran”, dan tidak batal pula lantaran pengingkaran ada pemudabbaran.

 

Seseorang diperbolehkan menjimak budak wanita Mudabbarah, Apabila budak Mudabbarah itu melahirkan anak perempuan dari suatu pernikahan/perzinaan, maka tidak bisa ditetapkan hukum kemudabbbaran pada diri anak tersebut. Lalu, Mudabbar itu hamil di kala kematian tuan pemiliknya, maka secara mantab Anak itu ikut merdeka mengikut ibunya.

 

Apabila seseorang memudabbarkan budaknya yang hamil, maka kemudabbaran tertetapkan pada kandungannya lantaran mengikuti ibunya, jika memang tidak dikecualikan, sekalipun kandungan itu lahir sebelum tuari pemiliknya mati. Tidak menjadi merdeka, jika sang tuan membatalkan pemudabbaran ibunya sebelum anak itu Iahir.

 

Budak Mudabbar adalah seperti budak penuh, selama dalam kehidupan tuannya.

 

Sah memudabbarkan budak Mukatab dan sebaliknya, sebagaimana sah pula menta’liq kemerdekakan budak Mukatab.

 

Budak Mudabbar bisa dibenarkan dengan bersumpah mengenai dakwaan (memiliki) sesuatu yang ada pada tangannya, sebab kekuasaan pemegang berada di tangannya, misalnya si Mudabbar berkata “Saya dapatkan dari hasil kerjaku setelah tuanku mati” dan ahli waris berkata “Kau dapatkan sebelum ia mati.”

 

Kitabah:

 

Kitabah menurut syarak adalah suatu akad pemerdekakan budak dengan menggunakan lafal mukatabah yang terjadi digantungkan dengan pembayaran harta yang terangsur dua tahap atau lebih. Sebagaimana pemudabbaran, kitabah hukumnya adalah sunah, sekalipun atas permintaan budak dengan syarat ada permohonan dari budak yang tepercaya dan yang bekerja dengan penghasilan mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan angsurannya.

 

Jika syarat-syarat tersebut/salah satunya tidak dipenuhi, maka akad kitabah hukumnya mubah.

 

Agar bisa sah akad kitabah, disyaratkan dengan lafal yang menunjukkan ada arti kitabah.

 

Dalam ijab, misalnya: “Kumukatabkan kamu/Dirimu adalah mukatab atas pembayaran 100 dengan cara diangsur sekian”, bersambung dengan ucapan: “Bila engkau telah menunaikannya, maka kamu merdeka”.

 

Dengan adanya qabul, misalnya: “Kuterima pemukataban seperti itu.”

 

Dalam kitabah disyaratkan ada penukar yang berupa utang atau kemanfaatan yang diberi tempo penunaiannya, agar bisa diusahakan pencarian dan penunaiannya, yang diangsur dan kali atau lebih, sebagaimana yang berlaku di kalangan para sahabat Nabi saw., sekalipun itu dalam memukatabkan budak Muba’adh.

 

Di samping juga diterangkah berapa besar penukaran dan sifatrrya, berapa kali angsuran dan besar pembayaran. setiap kali angsuran.

 

Di dalam kitabah yang sah, sebelum terjadi kemerdekakan, sang tuan wajib menurunkan nilai harga penukaran, karena berdasar firman Allah surah An-Nur ayat 33: “… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.”

 

Pemberian dalam ayat ini ditafsirkan dengan sebagaimana tersebut, karena hal itu adalah dimaksudkan untuk menolong memperoleh kemerdekakan.

 

Yang lebih utama, penurunan harga tersebut sebesar 25% sampai sepertujuh (14½% kurang sedikit).

 

Si tuan tidak diperbolehkan memfasakh kitabahnya, kecuali jika si mukatab itu tidak mampu membayar sepenuh atau sebagian angsuran yang telah sampa saat pembayarannya, atau enggan membayarnya, sedangkan ia mampu serta telah sampai waktu pembayarannya, atau si Mukatab itu tiada di tempat sewaktu telah datang masa pembayaran, walaupun mempunyai harta yang ada di tempat atau walaupun kepergiannya kurang dari jarak diperbolehkan salat qashar.

 

Maka, bagi sang tuan boleh memfasakh kitabahnya dengan diri sendiri dan bisa pula lewat hakim, Jika ia menghendaki, karena terhalang penukaran dirinya, Dan sang hakim tidak berhak membayarkan harta si mukatab yang tiada di tempat tadi.

 

Bagi si mukatab berhak memfasakh sebagaimana halnya dalam masalah gadaian dalam hubungannya dengan penerimaan gadai, maka si mukatab berhak tidak membayar angsuran dan berhak pula memfasakh kitabah, sekalipun mempunyai kecukupan biaya.

 

Sang tuan diharamkan tamattu’ terhadap wanita mukatabahnya,: karena kemilikannya telah rusak. Dan dengan pewathiannya, maka tuan dikenakan kewajiban membayar Mahar Mitsil, bukan had, dan anak yang terlahirkan dihukumi merdeka.

 

Si mukatab diperbolehkan membeli wanita-wanita budak amat untuk keperluan berdagang, bukan untuk dikawini, kecuali dengan seizin tuannya, dan tidak boleh pula mewathi amat miliknya, walaupun atas seizin tuannya.

 

Apa yang terdapat pada suatu tempat sebagai pendapat dua syekh kita (An-Nawawi dan Ar-Rafi’i) yang menyatakan diperbolehkannya dengan ada izin tersebut, adalah didasarkan atas suatu dasar yang lemah, yaitu bahwa budak bukan mukatab itu bisa memiliki dengan diberinya kemilikan oleh sang tuan.

 

Guru kita berkata: Dan yang lahur, adalah si tuan juga tidak diperbolehkan ber-istimta’, yang bukan berwujud wathi.

 

Bagi mukatab diperbolehkan melakukan penjualan, pembelian dan penyewaan, (tapi) tidak diperbolehkan hubah, tanpa seizintuannya.

 

Cabang:

 

Apabila sang tuan mengatakan: “Saya fasakhkan Kitabah” setelah ia (pernah) menerima harta angsuran Kitabah, lalu si Mukatab mengingkarinya, maka dengan bersumpah Mukatab dapat dibenarkan, karena dasar asalnya adalah tidak ada fasakh, sedang bagi tuan diharuskan mengajukan bayinah.

 

Apabila sang tuan mengatakan: “Saya memukatabkanmu dalam keadaan saya tengah gila/diampu”, lalu si Mukatab mengingkarinya, maka sang tuan diambil sumpahnya (dan dibenarkan dengan sumpah itu), Jika kondisi yang didakwakan itu diketahui ada pada dirinya, Kalau tidak diketahui, maka yang diambil sumpahnya adalah si Mukatab, karera dasar asalnya adalah, bahwa apa yang didakwakan tuan itu tidak terjadi adanya.

 

Apabila laki-laki merdeka membuahi kehamilan budak amat yang walaupun kemilikannya atas diri amat itu hanya sedikit dan walaupun dalam keadaan bersuami atau diharamkan (bagi tuan mewathinya, misalnya tengah masa Istibra’ dan sebagainya), lalu melahirkan bayi dalam keadaan hidup ataupun mati, ataupun dalam keadaan berupa segumpal daging telah bergambar sesuatu bentuk manusia, maka dengan kematian sang tuan si amat tersebut menjadi merdeka dalam perhitungan harta pokok, yaitu diperhitungkan lebih dahulu daripada perhitungan utang-utang dan wasiat (atas harta tinggalan), sekalipun kehamilan terjadi dalam masa sakit pengantar kematian sang tuan (tetapi diperhitugnkan seperti itu) tidak menjadi merdeka, jika amat tinggalan si mayat yang menanggung utang itu dibuahi kehamilan oleh seorang ahli warisnya yang kaya.

 

Sebagaimana putra amat yang diyang lahir sesudah kelahiran putranya yang didapat dari tuannya, maka putra tersebut (yaitu yang dari pernikahan atau perzinaan tadi), menjadi merdeka dengan kematian sang tuan dalam perhitungan harta pokok, sekalipun ibu amat itu telah mati sebelum sang tuan mati.

 

Bagi sang tuan bisa mewathi ibu anak tadi (diramakan budak Ummu Walad) menurut ijmak ulama, memperbudaki dan menyewakannya, dan demikian pula mengawinkannya tanpa seizin darinya.

 

Tidak diperbolehkan memindahmilikkan kepada orang lain dengan jalan dijual atau dihibahkan: oleh karena itu, perlakuan tersebut haram dan tidak ayah, demikian pula menggadaikannya.

 

Sebagaimana pula putranya yang mengikuti kemerdekaannya dengan kematian sang tuan (yaitu putra yang lahir dari selain pembuahan sang tuan setelah kelahiran putra yang dari sang tuan), Maka, sebagaimana ibunya, anak ini tidak boleh dipindahmilikkan kepada orang lain, bahkan apabila sang Qadhi menghukumi sah pemindahan kemilikan seperti itu, maka hukumnya rusak, tidak berlaku, menurut yang dikemukakan oleh Ar-Ruyani sebagaimana menukil dari para Al-Ashhab.

 

Adalah sah juga memukatabkan budak Ummu Walad dan menjualnya kepada diri Ummu Walad itu sendiri.

 

Apabila para ahli waris dari tuan budak Ummu Walad tadi mendakwakan, bahwa sang tuan tadi memiliki harta di tengah Ummu Walad itu sebelum kematiannya, lalu si Ummu Walad mendakwakan bahwa harta telah rusak sebelum kematian itu terjadi. Maka dengan bersumpah si Ummu Walad bisa dibenarkan, menurut apa yang bisa dibenarkan, menurut apa yang dinukil oleh Al-Adzra’i, Jika si Ummu Walad mendakwakan kerusakannya setelah kematian terjadi, maka dakwaan itu tidak dapat dibenarkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita, semoga Allah berkenan melimpahi beliau kerahmatan seluas-luasnya.

 

Al-Qadhi Husain mengeluarkan fatwa mengenai seorang laki-laki yang ikrar, bahwa telah mewathi budak amatnya, lalu si amat mendakwakan bahwa dari pembuahan itu ia melahirkan dalam keadaan gugur sesuatu yang bisa membuatnya menjadi Ummu Walad (misalnya segumpal daging yang telah berwujud manusia), bahwa dengan bersumpah si amat bisa dibenarkan, jika hal itu mungkin terjadinya (yaitu kelahirannya terjadi setelah minimum 120 hari terhitung dari sejak diwathi). Maka apabila si tuan telah mati, jadilah amat itu merdeka.”

 

Semoga Allah swt. berkenan memerdekakan kita dari api neraka, mengumpulkan kita termasuk rombongan orang-orang yang dekat kepada-Nya, yang menjadi pilihan semua serta yang bagus-bagus, berkenan menempatkan kita di dalam surga Firdaus, tempat kelanggengan serta berkenan menganugerahkan kepadaku dalam karangan ini dan yang lainnya dengan diterimanya, dan diberikan kemanfaatan yang merata serta ikhlas dalam mengerjakannya, agar menjadi tabungan buatku bila telah datang hari Kiamat. dan menjadi sebab terlimpah rahmat Allah swt. yang khusus dan yang umum.

 

Segala puji milik Allah swt., pujian yang setimbang dengan nikmatnikmat-Nya dan yang sama dengan penambahan-Nya. Salam sejahtera semoga tercurahkan kepada makhluknya yang paling mulia dengan mohonkan salawat yang utama dan salam yang sempurna, yaitu Nabi Muhammad saw., buat keluarga, sahabat-sahabat dan istri-istri beliau, dengan salawat salam sejumlah pengetahuan dan sebanyak kalimat-Nya.

 

Hanya Allah-lah Zat Yang Mencukupiku dan sebagus-bagus wakil, – tiada daya dan upaya, serta tiada kekuatan selaia atas pertolongan Allah Yang Maha Agung.

 

Pengarang kitab ini -semoga Allah swt , mengampuninya dan mengampuni dosa-dosa orangtua serta guru-gurunya berkata.

 

Selesailah saya dalam membersihkan (mengoreksi) salinan naskah syarah iri pada pagi hari Jumat, tanggal 24 Ramadhan yang agung derajatnya, tahun 982 (H). Saya mengharap ke hadirat Allah swt. Yang Maha Suci lagi Maha Mulia, semoga berkenan menerimanya dan memberikan kemanfaatan yang merata, memberi kami keikhlasan dalam mengerjakannya dan aku berharap dengan syarah im semoga Allah swt., menyelamatkan kami dari neraka Hawiyah, dengannya Dia memasukkan kami ke surga-Nya yang tinggi, dan semoga Allah swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada orang yang membacanya dengan pandangan keinsyafan, menemukan kesalahan di dalamnya, lalu menunjukkannya kepadaku atau dengan baik-baik membetulkannya.

 

Segala puji milik Allah swt., Tuhan seru sekalian alam. Ya, Allah! curahkanlah salawat salam kepada penghulu kita Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya, setiap kali orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan setiap orang yang lupa itu lupa menyebut-Mu dan tercurah pula buat kita bersama, dengan rahmat-Mu. Ya, Allah! Zat Yang Maha Pengasih, melebihi siapa saja yang berpengasih.[alkhoirot.org]

LihatTutupKomentar