Bab Murtad | Fathul Muin

Bab Murtad | Fathul Muin menurut lughat artinya “kembali”. Perbuatan murtad adalah bentuk perbuatan kufur yang pahng jelek, dan dengan kemurtadan, han

Bab Murtad | Fathul Muin

Nama kitab: Terjemah Fathul Muin
Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah: Abul Hiyadh
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i, syariah, hukum Islam.

Daftar Isi   

  1. Bab Jinayat (Tindak Pidana/Kejahatan) 
  2. Bab Riddah (Murtad) 
  3. Bab Had (Hukuman) 
    1. Pasal Tentang Takzir
    2. Pasal Tentang Shiyal
  4. Khitan
  5. Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Muin 

BAB JINAYAT (TINDAK PIDANA/KEJAHATAN) - بَابُ الْجِنَايَةِ

Yang terdiri dari pembunuhan, pemotongan anggota badan dan sebagainya.

Membunuh secara zalim, adalah dosa terbesar di bawah kufur. Dengan telah diterapkan qawad (kisas), maka tuntutan akhirat sudah tidak ada.

Pembunuhan yang menghilangkan nyawa itu ada tiga: Sengaja, seperti sengaja dan keliru (tidak sengaja).

Hukum kisas diterapkan pada pembunuhan yang sengaja. Lainnya tidak.

Pembunuhan yang sengaja adalah: Sengaja melakukannya secara zalim dan menyengaja orang tertentu dengan memakai sesuatu yang biasanya dapat membunuh, sebab bila menyengaja seseorang yang dikiranya kijang, maka pembunyhannya adalah keliru (tidak sengaja).

Baik itu dapat melukai, misalnya menusukkan jarum pada bagian tubuh yang peka dengan mati -musalnya otak, mata, lambung, saluran kencing laki-laki, kantong kencing dan daerah antara biji pelir dengan dubur-, maupun tidak melukai, misalnya mengakibatkan lapar orang atau menyihirnya.

Pembunuhan sepert sengaja, adalah, sengaja melakukan dan menyengaja orang tertentu, tetapi memakai alat yang biasanya tidak dapat mematikan.

Baik alat itu jika banyak bisa mematikan atau jarang, misalnya sekali pukulan yang dapat mengantarkan kerusakan; lain halnya dengan memukulkan semacam pena atau pukulan yang sangat ringan, maka adalah Hadar (sia-sia, tidak terkena kisas, diat atau lainnya).

Bila seseorang menusukkan jarum pada tempat yang tidak peka dengan mati, misalnya pada pantat atau paha, dan orang yang tertusuk merasa sakit hingga mati, maka disebut pembunuhan sengaja, tetapi Jika tidak jelas akibat tusukan itu dan tidak mati seketika, maka pembunuhannya seperti sengaja.

Bila menahan seseorang, misalnya mengunci pintu ruangan dan tidak memberinya makan-minum atau salah satunya serta melarangnya meminta, sehingga mati kelaparan atau kehausan, maka jika terlewatkan masa yang biasanya orang semacamnya mati kelaparan/kehausan dalam masa sepanjang itu, maka pembunuhannya adalah sengaja, sebab dengan perbuatan itu ada unsur membinasakannya.

Hal itu berbeda-beda menurut kondisi orang yang ditahan dan panas-dingin masa penahanan. Para dokter telah menentukan batas kelaparan yang biasanya dapat membinasakan seseorang, yaitu 72 jam yang sambung-menyambung.

Apabila belum melewati masa tersebut dan orang yang ditahan mati kelaparan, jika sebelum penahanan tidak ada kelaparan/kehausan, maka pembunuhannya adalah seperti sengaja.

 

Maka orang yang menahan wajib membayar separo diat, sebab terjadi kematian atas dua hal (yaitu: lapar/ haus sebelum ditahan dan lapar/haus setelah ditahan).

 

Ibnu Imad, mengenai orang yang mengisyaratkan (mengacungkan) pisaunya kepada orang lain karena menakut-nakuti, lalu pisau tersebut jatuh kepada orang itu tanpa : disengaja, adalah condong menghukumi sengaja membunuh yang mewajibkan ada qawad (kisas, bila mati).

 

Guru kita berkata: Di sini perlu ada penelitian, sebab orang itu tidak menyengaja orang lain tersebut dengan pisaunya, maka menurut pendapat Al-Wajhu, adalah pembunuhan tidak sengaja.

 

Peringatan:

 

Kisas wajib dilaksanakan karena perbuatan “penyebab”, sebagaimana halnya dengan “perbuatan langsung” Karena itu, kisas wajib dilasanakan terhadap orang yang memaksa membunuh tanpa hak (dibenarkan), misalnya ia berkata: “Bunuhlah orang ini, kalau tidak mau, maka aku pasti membunuhmu”, lalu orang tersebut membunuhnya, dan diterapkan terhadap orang yang dipaksa tersebut.

 

Kisas juga dikenakan terhadap orang yang menjamu orang yang belum tamyiz, dengan makanan beracun yang biasanya dapat mematikan.

 

Bila makanan tersebut dijamukan kepada orang yang mumayiz atau memasukkan racun ke dalam makanan yang biasanya mumayiz makan dani situ, lalu tanpa diketahui dimakannya, maka pembunuhannya adalah seperti sengaja. Maka penjamu wajib membayar diat dan tidak terkena kisas, sebab mumayiz mengambil makanan atas kehendak sendiri

 

Dalam pendapat yang lain. Ia wajib dikisas. Dalam pendapat lainnya lagi: Tidak terkena diat maupun kisas, karena memenangkan unsur perbuatan langsungnya.

 

Kisas juga dikenakan terhadap orang yang melemparkan seseorang ke dalam air yang dapat menenggelamkan, di mana orang tersebut ndak dapat menyelamatkan dirinya, baik dengan berenang atau lainnya, sekalipun orang yang ditemparkan tertelan ikan dan walaupun tertelan sebelum tercebur ke dalam air.

 

Bila orang tersebut dapat menyelamatkan dirinya dengan cara berenang atau lainnya, tetapi karena sesuatu hal menghalanginya, misalnya gelombang atau angin nbut, lalu orang itu mati, maka pembunuhannya adalah seperti sengaja, maka di sini wajib membayar diat.

 

Bila dia dapat menyelamatkan diri, tetapi dia tidak mau melaksanakan karena takut atau apatis, maka tidak wajib diat.

 

Cabang:

 

Apabila ada orang menangkap orang lain -meskipun untuk dibunuh-, lalu orang yang ditangkap dibunuh oleh orang lain (bukan penangkapnya), maka yang wajib dikisas adalah pembunuhnya, bukan penangkap.

 

Kisas tidak bisa diterapkan terhadap orang yang memaksa orang lain agar memanjat suatu pohon, lalu terpeleset dari pohon dan mati, tapi pembunuhannya adalah seperti sengaja, jika pohon semacam itu biasanya dapat membuat seseorang Jatuh terpeleset, tetapi kalau tidak termasuk, maka pembunuhannya adalah karena keliru.

 

Pembunuhan yang tidak ada unsur sengaja berbuat dan orangnya adalah keliru, sebagaimana tidak sengaja berbuat, misalnya ada orang terpeleset dan menjatuhi orang lain, sehingga mati, atau sebagaimana sengaja berbuat saja, misalnya melempar sesuatu pada titik arah, lalu mengena pada manusia dan mematikan.

 

Apabila ada dua orang dalam waktu yang bersamaan melakukan tindak kejahatan (pidana jinayat) terhadap satu orang, di mana dua perbuatan tersebut dapat melenyapkan dan mempercepat lenyap nyawa, misalnya yang satu memotong leher dan yang satunya membelah tubuh, atau dua perbuatan tersebut tidak mempercepat lenyap nyawa, misalnya dua memotong dua anggota badan/ dua luka, atau satu orang melukai satu laka dan yang satu lagi sepuluh luka -umpama-, lalu orang tersebut mati, maka kedua orang tersebut dalam pembunuh yang makanya harus dibunuh, sebab sering satu luka yang lebih besar akibat batinnya daripada luka yang banyak.

 

Bila hanya satu orang saja dari keduanya yang mempercepat kematiannya yang mempercepat kematian dalam kejahatan yang dilakukan, maka dialah pembunuhnya, Orang satunya tidak terkena hukum bunuh, sekalipun kita meragukan pelukaan yang dilakukan, adalah mempercepat kematian, sebab pada dasarnya adalah tidak ada yang mempercepat kematian, sedang kisas itu sendiri tidak dapat diterapkan dengan suatu keraguan.

 

Atau (bilamana) dua orang melakukan kejahatan terhadap satu orang secara berurutan, maka yang pembunuhnya adalah orang pertama yang melakukan kejahatan (jinayat), bila perbuatannya menyampaikan pada gerak binatang yang disembelih pada orang yang disakiti tersebut, misalnya kondisi orang itu sudah tidak sadarkan diri, tidak dapat melihat, tidak dapat berbicara dan bergerak, yang kesemuanya secara wajar, Sedangkan orang kedua terkena hukum Takzir.

 

Bila orang kedua dalam melakukan tindak jinayatnya sebelum orang pertama membuat sampai pada gerak binatang yang disembelih, perlakuan orang kedua tersebut dapat mempercepat kematian, misalnya memotong leher setelah terluka, maka pembunuhnya adalah orang kedua, sedang orang pertama terkena kisas anggota badan atau harta, sesuai keadaan yang ada.

 

Bila orang kedua juga tidak melakukan perbuatan yang mempercepat kematian, dan orang yang terkena jinayat mati sebab dua jinayat mereka, misalnya satu memgtong tangannya sampai pergelangan dan yang satunya memotong sampai siku, maka kedua-duanya adalah pembunuh, sebab terwujud penyalaran dari keduanya.

 

Cabang:

 

Bila pelukaan itu sudah sembuh, sedang demamnya masih terusmenerus sampai mati, maka bila dokter yang adil mengatakan bahwa demam tersebut akibat dani luka, maka kisas diterapkan pada orang yang melukai, tetapi bila dokter tidak mengatakan seperti itu, maka tidak tanggunggannya sama sekali.

 

Disyaratkan untuk bisa dilaksanakar kisas pembunuhan, adalah keberadaan pembunuhan itu dilakukan secara zalim dan sengaja. Karena itu, kisas tidak dapat dilaksanakan dalam pembunuhan keliru (Khatha’), seperti sengaja dan tidak zalim.

 

Disyaratkan bagi si terbunuh adalah Ma’shum (dilindungi hak kelangsungan hidupnya), lantaran keimanan atau jaminan keamanan darahnya dengan ikatan dzaimmah atau perjanjian tidak memerangi.

 

Karena itu, sia-sia bila yang dibunuh adalah kafir harbi, murtad dan orang yang zina mukhshan, yang pembunuhnya adalah orang muslim yang tidak berzina mukhshan, baik zinanya itu ditetapkan dengan bayinah ataupun ikrarnya sendiri, yang tidak dapat dicabut kembali.

 

Dikecualikan dari ucapanku: ” Yang tidak zina mukhshan”, adalah bila pembunuh itu juga zina mukhshan, maka orang ini harus dibalas bunuh bila pembunuhan yang dilakukan tidak atas perintah Imam.

 

Guru kita berkata Tampaklah, bahwa balas bunuh terhadap zina mukhshan adalah disamakan dengannya, setiap orang yang tersiasiakan, misalnya orang yang meninggalkan salat dan pembegal yang wajib dibunuh.

 

Kesimpulannya Orang yang disia-siakan, adalah menjadi ma’shum dalam kaitan dengan orang sesama. nya dalam kesia-siaan dirinya, sekalipun sebab sia-sianya berbeda.

 

Tangan seorang pencuri adalah sia-sia (tidak terlindungi kisasnya), kecuali atas pencuri yang sesama dengannya, baik yang disamai itu orang yang barangnya dicun ataupun tidak.

 

Orang yang terkena kisas, adalah seperti orang yang tidak terkena kisas dalam hal ma’shumnya, dalam kaitannya dengan orang yang tidak mempunyai hak kisas: karena itu, orang yang tidak mempunyai hak kisas, bila membunuh orang yang terkena kisas, maka harus dibunuh.

 

Kisas tidak dapat diterapkan kepada kafir harbi, sekalipun setelah itu menjadi ma’shum, karena ia tidak terkena ketetapan hukum dan karena hadis mutawatir dari Nabi saw dan para sahabat yang menyatakan, bahwa tiada tuntutan qawat terhadap orang yang mau masuk Islam, misalnya Wakhsyi yang telah membunuh sahabat Hamzah r.a.

 

Lain halnya dengan kafir dzimmi, maka dirinya terkena qawat, sekalipun akan masuk Islam.

 

Disyaratkan bagi pembunuh, adalah orang yang mukalaf, Karena itu, orang yang waktu membunuh dalam keadaan kecil atau gila, adalah tidak dihukum balas bunuh.

 

Menurut mazhab, wajib dibunuh orang yang membunuh dalam keadaan mabuk, yang lain waktu menggunakan bahan pemabuk itu: karena itu, kisas tidak diterapkan atas pelaku jinayat yang mabuk bukan zalim dalam menggunakan bahan pemabuk.

 

Bila orang berkata: “Waktu aku melakukan pembunuhan, aku masih kecil”, dan hal itu mungkin adanya, atau “… aku gila”, dan kegilaannya diketahui, maka bisa dibenarkan dengan disumpah.

 

(Disyaratkan untuk penetapan kisas) keadaannya seimbang waktu melakukan jinayat: yaitu keadaan pembunuh tidak lebih utama di atas terbunuh ketika terjadi jinayat, baik keutamannya karena Islam, kemerdekaan, keadaannya sebagai orangtua terbunuh atau tuan pemilik.

 

Karena itu, orang muslim -sekalipun tidak ma’shum/tersia-sia sebab perzinaan-, adalah tidak boleh dibunuh sebab membunuh orang kafir, orang merdeka tidak dibunuh lantaran membunuh budak, sekalipun sedikit kebudakannya, orangtua tidak dibunuh lantaran membunuh anak turun, sekalipun ke bawah, (Tetapi) anak turun harus dibunuh lantaran membunuh orangtua.

 

Satu golongan dikenakan hukum bunuh semua, lantaran membunuh satu orang, misalnya mereka melukai beberapa tempat yang membawa kerusakan dalam serta melenyapkan nyawa, sekalipun di antara luka itu ada yang lebih parah atau mereka tidak sama dalam pelukaannya, sekalipun pembunuhannya tidak terjadi secara sepakat, dan sebagaimana misalnya mereka melemparkannya dari tempat yang tinggi atau ke dalam lautan.

 

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i ra dan lainnya, bahwa Umar.r.a. membunuh 5 atau 7 orang yang telah membunuh seorang laki-laki dengan cara mencari lengahnya di tempat yang sepi, dan Umar r.a. berkata: Apabila seluruh penduduk Yaman turut serta dalam melakukan pembunuhan itu, niscaya kubunuh mereka semua. Perbuatan Umar r.a. tidak ada seorang sahabat yang mengingkarinya, maka menjadilah sebagai ijmak.

 

Wali dari yang terbunuh boleh mengampuni sebagian dari para pembunuh dengan memungut sebagian diat sebesar bagian tanggungan yang diampuni dengan cara menghitung jumlah kepala, bukan menghitung jumlah luka.

 

Barangsiapa membunuh segolongan orang secara berturut-turut, maka ia harus dibunuh sebab orang yang dibunuhnya pertama dari golongan itu (sedangkan untuk yang lainnya, ditunaikan diatnya dari harta tinggalan pembunuh tersebut).

 

Cabang:

 

Apabila ada orang bergulat -misalnya-, maka masing-masing pihak wajib menanggung kisas (diat) atas yang terjadi pada pihak lawannya dari pergulatan itu, sebab masingmasing pihak tidak mengizinkan pihak lainya membuat sesuatu yang membawa akibat pembunuhan atau kerusakan anggota.

 

Guru kita berkata: Yang lahur (nyata) tidaklah membawa pengaruh mengenai adat yang di situ tidak ada tuntutmenuntut dan akibat pergulatan itu: tetapi agar tidak ada tuntut-menuntut tersebut, harus ada izin secara shanh.

 

Peringatan:

 

Wajib dilaksanakan kisas anggota badan, sekira mungkin dilaksanakan tanpa melampaui batas, misalnya tangan, kaki, jari-jari, ujung jari, zakar, dua biji pelir, telinga, gigi, lisan, bibir, biji mata, pelupuk mata dan pucuk hidung, yaitu bagian hidung yang lentur.

 

Untuk kisas anggota badan dan pelukaan, disyaratkan sebagaimana pada kisas pembunuhan.

 

Anggota kanan tidak boleh dipotong sebagai kisas dari pemotongan anggota kiri, anggota atas boleh dipotong sebagai kisas anggota bawah, dan sebaliknya.

 

Kisas tidak dapat diterapkan pada pemecahan tulang.

 

Bila tangan seseorang dipotong pada tengah hastanya, maka kisasnya dengan memotong telapak tangannya, sedangkan selisih kekurangannya ditunaikan dengan diat hukumah.

 

Segolongan orang dikisas dengan dipotong tangan mereka, lantaran mereka menekankan alat tajam kepada tangan seseorang hingga putus.

 

Barangsiapa menekankan alat tajam, menjerat leher atau menenggelamkan di dalam air pada seseorang, maka pemilik kisas boleh mengkisasnya dengan cara seperti itu, jika menginginkannya.

 

Atau (bila) membunuh dengan sihur, maka dikisas dengan pedang.

 

Hal yang diwajibkan sebab jinayat yang dilakukan dengan sengaja, adalah qawat -yaitu kisas-. Dinamakan dengan qawat (penggiringan), karena para pemilik hak kisas mengginng orang yang melakukan jinayat dengan tampar atau lainnya: Demikianlah yang dikatakan oleh Al-Azhan.

 

Diat adalah sebagai ganti dani kisas di kala menjadi gugur dengan diampun atau tidak diampuni (misalnya sebelum diterapkan kisas, pelaku jinayat sudah mati terlebih dahulu).

 

Bila pemilik hak kisas mengampuni secara gratis atau mutlak (tanpa menyebutkan diat), maka pelaku jinayat tidak berkewajiban apa-apa.

 

Diat untuk pembunuhan seorang muslim yang ma’shum, adalah membayar unta 200 ekor.

 

Dalam pembunuhan sengaja dan seperti sengaja, unta 100 ekor tersebut pembayarannya ditentukan dengan tiga jenis kelompok -di sini tidak ada penelitian tentang keterpautan jumlahnya-, 30 ekor unta Higgah, 30 Jadz’ah dan 40 ekor unta Halifah (unta hamil) menurut keterangan dua ahli yang adil.

 

Dalam pembunuhan tidak sengaja (Khatha’), wajib membayar 100 ekor dari lima kelompok, yaitu Bintu Makhadh (unta 1 tahun), Bintu Labun (unta umur 2 tahun), Ibnu Labun (unta jantan umur 2 tahun), Higgah dan Jadz’ah, masing-masing berjumlah 20 ekor, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan lainnya.

 

Kecuali bila pembunuhan karena keliru tersebut terjadi di Tanah Haram, Mekah, atau bulan Haram -yaitu Zulhijah, Zulkaidah, Rajab, Muharam-, atau terjadi pada mahram nasab -misalnya ibu dan saudara perempuan-, maka 100 ekor dibagi menjadi tiga kelompok, sebagaimana yang dilakukan oleh golongan sahabat r.a. dan diakui oleh lainnya.

 

Hal itu dikarenakan kemuliaan tiga tersebut (Tanah Haram atau Mekah, bulan Haram dan ibu atau saudara perempuan), maka dicegah memberatkan diat dari segi ini.

 

Tanah Haram Madinah tidak dapat disamakan dengan tiga kemuliaan di atas, begitu juga dengan ihram dan bulan Ramadhan. Tidak ada yang membawa pengaruh tentang kemuliaan mahram radha’ dan perjodohan.

 

Dikecualikan dari Khatha’, pembunuhan dua lainnya, maka diatnya tidak ditambah lantaran terjadi pada tiga tersebut di atas, sebab diat itu sendiri sudah memberatkan.

 

Adapun diat pembunuhan wanita, adalah separo diat laki-laki.

 

Diat atas pelaku jinayat sengaja, adalah meryadi tanggungan pelakunya dengan cara diangsur, sebayaimana halnya dengan penggantian barang yang rusak (menjadi tanggungan orang yang merusakkan).

 

Diat jinayat yang bukan sengaja -seperti sengaja dan khatha’ (keliru)-, sekalipun dibagi menjadi tiga kelompok jenis, adalah menyadi tanggungan wanis Aqilah (ashabah) pelaku jinayat dengan cara diangsur tiga kali.

 

Bagi Aqilah yang kaya dikenakan pembayaran 1/2 dinar per tahun, sedang yang ekonomunya cukupan 1/4 dinar per tahun. Bila pembayaran dari mereka belum mencukupi diatnya, maka diambilkan dari Baitulmal, dan bila Baitulmal tidak bisa, maka ditanggung pelaku jinayat itu sendiri. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

 

Hikmah yang terkandung dalam penanggungan diat atas waris ashabah pada dua jinayat tersebut, adalah pada masa jahiliyah para kabilah biasa menolong pelaku jinayat dari golongan mereka dan menolak para wali pemilik hak, jangan sampai melakukan pembalasan, maka syarak mengganti pertolongan tersebut dengan pemberian harta benda.

 

Penanggungan Aqilah dikhususkan pada pembunuhan khatha’ (keliru) dan Sibih Amd (seperti sengaja), adalah dua ini yang banyak terjadi -utamanya pada pemegang senjata-, maka akan menjadi baik diberikan pertolongan, agar dirinya tidak menerima mudarat lantaran sesuatu yang uzur baginya, Keberadaan diat diangsur oleh mereka, karena pemberian rasa kasihan kepada mereka.

 

Aqilah Jani adalah waris ashabahnya yang dijimaki kewarisannya, baik dari garis nasab atau wala’, bila mereka laki-laki mukalaf yang bukan orangtua atau anak Jani (pelau jinayat)

 

Di antara para ashabah tersebut, didahulukan mana yang lebih dekat kerabatnya, lalu yang lebih dekat Wanss yang fakir tidak dapat menyadi Aqilah (penanggung diat) -sekalipun ia bekerja-, begitu juga dengan wanita, khuntsa dan yang tidak mukalaf.

 

Bila tidak didapatkan unta di tempat yang seharusnya bisa didapatkan, baik secara real/material (hissi) ataupun formal (syarak) -musalnya ada unta, tetapi harganya di atas harga umum atau di tempat jauh, sedang untuk ke sana memerlukan biaya dan kesukaran yang tinggi-, maka wajib menyerahkan seharga unta itu di waktu kewajiban menyerahkannya, dengan mata uang yang. biasa berlaku di daerah setempat.

 

Di dalam kaul Kadim: Di kala tidak terdapat unta, yang wajib dibayar dari diat pembunuhan jiwa yang sempurna, adalah 1000 mitsqal emas atau 12.000 dirham perak.

 

Peringatan:

 

Setiap anggota badan yang tunggal dan membawa keindahan serta kemanfaatan, bila dipotong, maka wajib. diat sepenuh diat pemilik anggota itu bila dibunuh.

 

Demikian juga dengan sepasang anggota ganda sejenis, bila keduanya dipotong, maka diat sepenuhnya, dan bila yang dipotong hanya satunya, maka wajib diat separonya. Karena itu, dalam memotong dua telinga (kanan dan kiri), maka wajib diat sepenuhnya, sedang bila memotong sebelah saja, maka wajib diat separonya.

 

Demikian juga dengan sepasang mata, sepasang bibir, sepasang telapak tangan dan sepasang telapak kaki beserta jari-jarinya.

 

Di dalam pemotongan sebuah jari, maka diatnya adalah 10 ekor unta, dan setiap biji gigi, diatnya 5 ekor unta.

 

Kisas ferterapkan sebagai hak para waris Dzawul Furudh menurut besar-kecil bagian mereka dalam menerima harta pusaka, sekalipun pada ahli waris yang jauh hubungan kerabatnya, misalnya Dzawul Arham, bila kita tentukan sebaga? ahli waris, atau sekalipun tiada hubungan kerabat, misalnya salah satu suami-istri dan Mu’tiq serta Ashabah Mu’tiq

 

Peringatan:

 

Jani (pelaku jinayat) harus ditahan sampai anak kecil pewaris (yang berhak menerima qawat) menjadi balig dan ahli waris yang tidak ada di tempat sampa ia datang atau turun iannya. Karena itu, pelaku jinayat tidak boleh dilepaskan. dengan jaminan seorang Kafil, karena di. khawatirkan melarikan diri, maka terbengkalai hak ahli waris.

 

Ketentuan di atas berlaku pada selain pembegal.

 

Adapun pembegal, bilamana telah wajib dibunuh, maka imam boleh membunuhnya secara mutlak (baik pernilik hak qawat itu anak kecil atau bukan, pemiliknya sedang ada di tempat atau tidak)

 

Yang boleh melaksanakan pembalasan secukupnya sebagai pelaksanaan hak qawat, adalah seorang dan ahli waris, atau selain dari ahli wans, tetapi dengan kerelaan mereka, seorang dan ahli waris, tetapi atas kerelaan lainnya, atau dengan cara diundi, bila tidak terjadi kerelaan di antara mereka

 

Apabila seorang dari para pemulik hak qawat bergegas-gegas membunuh, sedang ia tahu keharaman tergesa-gesa tersebut, maka kisas tidak dapat diterapkan untuknya, jika hal itu ia lakukan sebelum ada ampunan dari diri pemilik yang lain terhadap pelaku jinayat, kalau setelah terjadi ampunan, fhaka ia harus dikisas.

 

Bila orang lain (tanpa seizin pemilik hak qawat) membunuh orang yang melakukan jinayat, maka ahli waris berhak mengambil diat dari harta peninggalan Jani, bukan orang lain tersebut.

 

Pemilik hak qawat dalam jmayat pembunuhan atau lainnya, tidak boleh melaksanakan hak qawatnya, kecuali atas izin imam atau wakilnya. Bila ia melaksanakan sendiri tanpa seizin darinya, maka dirinya terkena takzir.

 

Penyempurna:

 

Waktu terjadi gelombang yang menggelora dan khawatir tenggelam, maka wajib melemparkan barangbarang (yang berada dalam kapal) selain binatang, demi menyelamatkan binatang yang muhraram (dimullakan syarak) dan melemparkan binatang denu keselamatan manusia yang muhtaram, jika hanya dengan melemparkan barang bisa selamat dari tenggelam, sekalipun pemilik barang/binatang tidak mengizinkan.

 

Adapun orang yang tidak muhtaram, misalnya pezina muhsan dan kafir harbi, maka secara mutlak harta tidak boleh dibuang demi menyelamatkan mereka, bahkan sebaiknya mereka dibuang demi menyelamatkan harta benda.

 

Guru kita berkata: Haram membuang para budak demi menyelamatkan orang merdeka, dan membuang binatang demi keselamatan barang yang tidak bernyawa.

 

Barang yang dibuang tanpa seizin pemiliknya. harus ditanggung (diganti).

 

Bila ada orang berkata kepada orang lan: “Buanglah harta Zaid, sedang aku yang menanggungnya jika ia menuntut kepadamu”, lalu perintah itu dikerjakan, maka yang terkena kewajiban menanggung barang (harta) itu, adalah orang yang membuang, bukan orang yang memerintahnya.

 

Cabang:

 

Abu Ishaq Al-Marwaz mengeluarkan fatwa mengenai dihalalkan seorang memberi minum obat penggugur kandungan kepada amatnya, selama kandungan masih berupa segumpal darah atau daging.

 

Mazhab Hanafiyah berlebihan dalam pendapat mereka Boleh secara mutlak.

 

Pembicaraan kitab ihya’ menunjukkan haram secara mutlak.

 

Guru kita berkata: Pembicaraan kitab Ihya’ tersebut yang Al-Aujah.

 

Penutup:

 

Bagi orang yang membunuh orang yang haram dibunuh -baik pembunuh keliru ataupun sengaja-, maka wajib membayar kafarat.

 

Yaitu membebaskan budak, jika tidak menemukannya, maka wajib berpuasa dua bulan berturut-turut:

BAB RIDDAH (MURTAD) - بَابٌ فىِ الرِّدَّةِ

Riddah menurut lughat artinya “kembali”. Perbuatan murtad adalah bentuk perbuatan kufur yang pahng jelek, dan dengan kemurtadan, hancurlah semua amal manusia bila bersambung dengan kematian.

 

(Seseorang) tidak wajib mengulang ibadah-ibadahnya sebelum murtad (setelah ia kembali Islam lagi), sedangkan menurut Abu Hanifah Wajib mengulanginya.

 

Murtad menurut syarak adalah: Memutus keislaman dengan bermaksud kufur seketika atau dalam waktu akan datang -maka kufurlah seketika-, atau mengucapkan kekufuran/ melakukannya, yang kesemuanya disertai iktikad terhadap perbuatannya/ucapannya, menentang atau meremehkan dan pelaku (pengucap), yang dilakukan oleh mukalaf yang kehendaknya sendin (tidak ada unsur paksaan)

 

Lain halnya bila tindakan itu disertai hal-hal yang mengeluarkan dari kemurtadan, misalnya terlanjur lisan seseorang dalam mengucapkan kekufuran, menceritakan kekufuran orang lain atau karena takut.

 

Guru kita -sebagaimana gurunyaberkata: Demikian pula (tidak dianggap murtad) ucapan Wali Allah di kala mengalami ghaibah: “Aku adalah Allah” dan sebaginya: yaitu apa yang terjadi pada diri Al-‘Arifin billah, misalnya Ibnu Arabi dan para pengikutnya yang tulen.

 

Pernyatan-pernyataan mereka yang kesannya membawa kekufuran, adalah tidak dimaksudkan makna lahinahnya, sebagaimana yang tidak diragukan lagi pada ucapan-ucapan orang-orang yang mendapatkan taufik dari Allah swt

 

Tetapi, bagi orang yang belum mengetahu hakikat penstlahan dan tarekat mereka, adalah diharamkan mempelajari kutab-kitab mereka, sebab di situlah letak kaku tergehncr kaki Karena itu, banyak orang tersesat yang tertipu dengan lahiriah isilah mereka.

 

Pendapat Ibnu Abdis Salam, bahwa wali yang mengatakan ” Aku adalah Allah” itu harus ditakzir, adalah perlu diteliti: karena bila wali itu mengucapkan kalimat tersebut dalam keadaan mukalaf, maka secara pasti dihukumi kafir, tetap bila ia mengucapkan ketika keadaan ghaibah yang menghalangi kemukalafannya, maka dari alasan apa kita menakzirnya? Selesai.

 

Kemurtadan itu misalnya, mengingkari sang Pencipta, mengingkari atau mendustakan nabi, menentang hukum yang Mujma’ Alaih, yang sudah maklum dharuri tanpa disikapi dengan takwil -sekalipun tidak ada nashnya-, misalnya kewajiban semacam salat lima waktu, dihalalkan jual beli dan nikah, diharamkan meneguk khamar, liwath, zina, pungutan liar dan disunahkan salat Rawatib dan Id.

 

Lain halnya dengan Mujma’ Alaih yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu, misalnya bahwa cucu perempuan menerima bagian 1/6 bila bersama-anak perempuan mayat dan misal lagi haram menikah bagi warita yang beridah dengan laki-laki lain, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dan lainnya.

 

Lain halnya lagi dengan orang yang dirasa uzur, misalnya orang baru memeluk Islam.

 

Misalnya yang lain adalah murtad: Bersujud kepada makhluk -sekalipun nabi- dalam keadaan ikhtiar dan bukan karena takut, sekalipun ia mengingkari hak makhluk yang disujudi, niat hatinya tidak mencocoki anggotanya, karena keadaan lahir mendustakan batinnya.

 

Tersebut di dalam Ar-Raudhah: Barangsiapa berada di dalam daerah musuh, lalu bersujud pada berhala atau mengucapkan perkataan kufur, kemudian mendakwakan bahwa ia dipaksa, maka jika hal di atas ia lakukan dalam kesendiriannya, maka tidak bisa dibenarkan/diterima, tetapi bila ia lakukan di hadapan para kafir musuh, sedang ia ada di dalang tawanan, maka diterima, atau bila sebagai pegangan, maka tidak bisa diterima juga.

 

Dikecualikan dari kata “sujud”, adalah rukuk, sebab sikap seperti rukuk banyak terjadi dalam peribadatan (-penghormatan-) terhadap makhluk, berbeda dengan sujud.

 

Guru kita berkata: Tetapi, yang zhahir letak perbedaan antara sujud dengan rukuk, adalah dalam keadaan mutlak, lain halnya bila rukuk itu dimaksudkan untuk mengagungkan makhluk sebagaimana mengagungkan Allah swt., maka tiada ragu sini, adalah dihukum kufur. Selesai.

 

Misal kufur lagi: Berjalan menuju gereja dengam memakai perhiasan orang-orang kafir, baik memakai zunas (kain yang dikatkan pada pinggang atau fainnya) ataupun lainnya. Misal kufur tagi: Membuang sesuatu bertuhskan Alqur-an di tempat kotor. Kata Ar-Ranyani: atau sesuatu yang bertuliskan ilmu syarak, dan lebih-lebih yang di situ ada nama yang diagungkan.

 

Misal murtad lagi: Merasa ragu, apakah dirinya berbuat kufur atau tidak, dan misalnya tanpa takwil menganggap kafir orang Islam lantaran berbuat dosa, sebab hal ini berarti menamakan Islam dengan kufur, dan misalnya lagi: Merelakan terjadi kekufuran, seperti berkata kepada orang yang minta dituntun Islam: “Sabarlah sebentar”: maka dengan seketika itu, semua contoh di atas menjadikan dinnya kufur, sebab ja memutus keislamannya yang telah dipegang.

 

Demikian juga dihukumi kafir, orang yang mengingkari kemukjizatan Alqur-an atau salah satu hurufnya, mengingkari kesahabatan Abu Bakar atau menuduh serong pada Aisyah.

 

Dalam sebuah pendapat yang telah diceritakan oleh Qadhi Husain, dihukumi kafir orang yang memakimaki Abu Bakar-Umar r.a. atau Hasan-Husain r.a.

 

Tidak dihukumi kafir orang yang mengatakan kepada orang yang diambil sumpahnya: “Saya tidak ingin kamu bersumpah dengan nama Allah, tetapi bersumpahlah dengan nama talak” misalnya, atau mengatakan “Aku melihatmu seperti melihat juru pati”.

 

Peringatan:

 

Seorang Mufti sebaiknya berhatihati semaksimal mungkin dalam menghukumi kufur, sebab besar bahayanya dan kemungkinan besar tidak dimaksudkan kekufurannya, lebih-lebih orang-orang awam.

 

Imam-imam kita sejak dulu sampai sekarang, selalu mengambil sikap seperti itu.

 

Orang murtad -baik laki-laki maupun perempuan- wajib disuruh bertobat, karena kelanjutan hak hidupnya terjaga (muhtaram) dengan keislamannya dan ada kemungkinan terjadi kesyubhatan pada dirinya lalu dihilangkan.

 

Kemudian, bila ia tidak mau bertobat, maka Hakim -sekalipun melali wakilnya- membunuh orang itu dengan cara memenggal kepalanya, bukan cara lain, tanpa diberi tempo waktu lagi, artinya, perintah tobat dan pembunuhannya dilakukan seketika. Berdasarkan hadis nwayat Al-Bukhari: “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuh saja ia!”

 

Bila orang yang murtad di atas mau bertobat, maka ia kembali menjadi muslim dan diurungkanlah pembunuh terhadap dinnya, sekalipun ia telah berkali-kali berbuat murtad, Jantaran kemutlakan nash-nash yang menjelaskan diterima tobatnya.

 

Tetapi, orang yang sudah berkali-kak berbuat tobat bisa dikenakan takzir (sanksi), bukan pada permulaan ker murtadannya bila mau bertobat, lain halnya dengan pandangan pendapat para qadhi yang bodoh-bodoh.

 

Penyempurnaan:

 

Hanya saya keislaman orang kafir asli (sejak semula) atau orang murtad, adalah bisa diwujudkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bagi yang dapat berbicara, sekalipun tidak dengan berbahasa Arab, sedang ia adalah orang yang pintar berbahasa Arab menurut pendapat Al-Muktamad. Maka, keimanannya di dalam hat belum mencukup untuk dikatakan sebagai orang mukmin, sekalipun Al-Ghazali dan ulama Muhaqqiq yang lan mengatakan kecukupannya.

 

Tidak dapat terwujud kerslamannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang dituntunkan kepadanya, sedang ia sendin tidak memahanunya

 

Kemudian harus disertar pengakuan kernsalahan Muhammad saw untuk selain orang non-arab bagi yang mengingkarinya. Karena itu, bagi pengikut Nabi Isa a.s. dari kalangan Yahudi, menambah syahadatnya ” Muhammad adalah Rasulullah saw. Untuk segenap makhluk “.

 

Atau (menambahkan) pernyataan tentang pelepasan diri dari segenap agama yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, dalam syahadat orang musyrik harus memberikan tambahan ” Aku memotong apa yang telah kusekutukan kepada Allah”.

 

Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu mencabut kembali iktikad yang menyebabkan kemurtadan.

 

Termasuk kebodohan para qadhi adalah, bahwa orang yang mengaku murtad di depan mereka atau menghadap kepada mereka untuk memohon hukum keislamannya, lalu mereka mengatakan kepadanya “Ucapkan lagi bagaimana perkataanmu itu!” Ini adalah suatu kesalahan besar.

 

Sungguh Imam Syafi’i telah berkata: Apabila ada seseorang yang didak wa murtad, padahal ia muslim, maka aku tidak memintanya untuk mengatakan penyebab kemurtadannya dan aku cukup berkata kepadanya “Ucapkanlah Asyhadu allaa ilaa-haillallaah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah dan kamu telah bebas : dari agama yang bertentangan dengan Islam.” Selesai.

 

Guru kita berkata: Dari pengulangan lafal “Asyhadu” oleh Imam Syafi’i, maka dapat diambil pengertian, bahwa haruslah begitu (-diulang-) untuk bisa sah Islamnya, dan seperti itulah yang ditunjukkan oleh pembicaraan kedua Guru kita dalam Bab Kafarat dan lainnya, tetapi hal ini ditentang oleh golongan fukaha. Di dalam beberapa hadis menunjukkan masing-masing dari kedua Pendapat tersebut, selesai.

 

Sunah memenntahkan kepada setiap seorang yang memeluk Islam, supaya beriman pada hari Kebangkitan.

 

Untuk kemanfaatan Islamnya di akhirat, di samping dua kalimat syahadat, disyaratkan membenarkan dengan keyakinan hati tentang keesaan Allah swt , mengenai rasulrasul dan kitab-kitab-Nya serta hari Akhir (Kiamat).

 

Bila mengiktikadkan yang ini, tetapi memenuhi hal-hal yang telah lewat (dua kalimat syahadat), maka orang itu belum dihukumi mukmin. Bila dua kalimat syahadat tersebut telah dipenuhi, tetapi ia tidak mengiktikadkan tentang keesaan Allah dan seterusnya, maka secara tahir ia diperlalukan sebagai mukmin di dunia.

BAB HAD (HUKUMAN) - بَابُ الْحُدُوْدِ

Hukum had pertama Mengenai had (hukuman) terhadap perbuatan zina. Zina adalah dosa besar setelah pembunuhan. Ada yang mengatakan, bahwa zina dosanya lebih besar daripada pembunuhan.

 

Sang imam atau wakilnya -bukan selainnya, lain halnya dengan Al Qaffal- wajib mencambuk orang laki-laki mukalaf yang berbuat zina, statusnya adalah merdeka. Keberadaan perzinaan tersebut dengan memasukkan kepala zakar atau seukurnya, bagi orang yang terputus kepala zakarnya, ke dalam farji orang hidup, baik kubul maupun dubur, dan baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan mengetahui keharaman perbuatan tersebut.

 

Karena itu, tidak bisa dikenakan jilid (deraan) lantaran melakukan penggesekan zakar pada paha, lesbian dan beronani memakai tangannya sendiri atau selain tangan istri/ amatnya, tetapi pelaku ini semua cukup diberi sanksi.

 

Onani memakai tangan istri/amat hukumnya makruh, sebagaimana pula mempersilakan istri/amat mempermainkan zakar sampai inzal (ejakulasi), sebab ini termasuk dalam pengertian ‘azl (coitus).

 

Tidak bisa juga di-Had (dengan jilid), lantaran memasukkan zakar ke farji binatang atau orang mati.

 

Tidak wajib menyembelih binatang yang halal dimakan dagingnya -yang telah disetubuhu-, lain halnya dengan pendapat orang yang menghukumi wajib.

 

Pelaku zina harus didera 100 pukulan dan diasingkan selama satu tahun secara sambung-menyambung ke tempat sejauh jarak gashrush shalah ke atasnya, bila pelaku zina tersebut, -baik laki-laki atau perempuan-, orang merdeka dan masih pejaka/perawan, yaitu orang yang belum pernah melakukan jimak atau pernah melakukannya, tetapi dalam nikah yang sah.

 

Tidak dikenakan Had, jika seseorang melakukan perzinaan dengan dugaan kehalalan yang ia perbuat, sebagaimana ia mendakwakan hal itu serta baru saja memeluk Islam, hidup terasing dari ulama, atau karena ada orang alim yang menghalalkan jimak orang itu, yang berangkat dari khulaf orang alim yang diakui oleh fukaha, sebab syubhatnya kebolehan jimak itu, sekalipun yang berjimak adalah tidak taklid pada orang alim di atas, misalnya diperbolehkan rukah tanpa memakai wali, -seperti mazhab Hanafiah- atau tanpa saksi, -seperti mazhab Maliki-: lain halnya (dikenakan had) nikah tanpa wali dan dua saksi, sekalipun mikah seperti ini ada dinukil dari-pendapat Dawud Azh-Zhahin.

 

(Tidak dikenakan had juga) pada (jimak) nikah mut’ah, karena melihat perselisihan Ibnu Abbas, sekalipun dilakukan oleh orang yang mengiktikadkan haramnya nikah tersebut.

 

Tetapi, bila hakim telah menentukan bahwa nikah-nikah yang diperselisihkan itu hukumnya batal, maka orang yang melakukan jimak dalam tukah tersebut harus dihad, lantaran bila sudah demikian, hilanglah kesyubhatannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mawardi.

 

Dikenakan had juga terhadap lakilaki yang menjimak waruta yang disewakan untuk zina (prostitusi) lantaran tidak ada syubhat di sini, sebab akad yang batal tidak dianggap lagi menurut pendapat mana saja.

 

Pendapat Abu Hanifah, bahwa praktik prostitusi itu syubhat, adalah bertentangan dengan ijmak, (konsensus) yang menyatakan, bahwa perzinaan dengan waruta persewaan tidak bisa menetapkan pertemuan nasab. Berdasarkan ijmak tersebut, maka dasar yang digunakan Abu Harufah itu lemah dan khulafnya kita tinggalkan saja.

 

Demikian pula dikenakan had dalam Mmenjimak wanita yang diibahahkan, sebab ibahah di sini sia-sia belaka.

 

Dikenakan had juga, lantaran menyimak wanita yang haram dinikah sebab beragama Watsaru atau telah tertalak Bain Kubra (talak tiga), sekalipun telah ia kawini, sebab akad nikah yang fasid itu adak bisa dianggap, laun halnya dengan pendapat Abu Hanifah.

 

Adapun wanita Majusi yang telah dikawirunya, maka dengan menjimaknya tidaklah dikenakan had, sebab kehalalan menikahinya masih diperselisihkan.

 

Tidak bisa dikenakan hukuman had lantaran memasukkan hasyafah ke kubul budak perempuan milik sendiri, yang haram dijimak lantaran masih ada hubungan mahram, menjadi mulik perserikatan atau lantaran beragama Watsani atau Majusi.

 

Tidak pula, lantaran memasukkan hasyafahnya ke kubul budak perempuan milik anak keturunannya, sekalipun amat Mustauladah, itu semua tidak dikenakan had lantaran ada syubhat hak milik pada selain contoh terakhur (amat milik anak turun) dan lantaran ada syubhat penjagaan nama baik pada contoh terakhir (sebab harta anak adalah tempat penjagaan nama baik orangtua) .

 

Adapun had dikenakan kepada pelaku zina dari budak yang muhshan/tidak muhshan -sekalipun budak Muba’adh-, adalah separo had orang merdeka, yaitu didera 50 kali dan diasingkan selama setengah tahun.

 

Yang berhak menjalankan had budak adalah imam atau sayidnya.

 

Secara Ijmak bila pelaku zina itu Muhshan -baik laki-laki/perempuammaka imam atau wakilnya harus merajamnya sampai mati, yaitu memerintahkan orang banyak agar mengerumi pelaku zina tersebut dan segala penjuru dan melempari dengan batu yang berukuran sedang, sebab Nabi saw. memerintahkan untuk merajam Ma’iz dan seorang wanita dari suku Ghamid.

 

Menurut mayonitas fukaha, bahwa bila seseorang telah diranjam, maka tidak boleh didera (dijilid).

 

(Sunah) ditawarkan bertobat kepada pelaku zina yang muhshan, agar keadaan tobatnya menjadi akhir hidupnya, diperintahkan menunaikan salat bila waktunya sudah masuk, dituruti permintaan minum -bukan permintaan makan-, dan karena permintaannya untuk mengerjakan salat dua rakaat.

 

Sudah dianggap melaksanakan had rajam, bila pelaku tersebut dibunuh dengan memakai pedang, akan tetapi kewajiban merajam sudah hilang dengan adanya pembunuhan itu.

 

Muhshan adalah orang mukalaf merdeka yang pernah melakukan persetubuhan dalam nikah yang sah, sekalipun persetubuhan tersebut telah dilakukan ketika sedang haid.

 

Karena itu, kemuhshanan tidak terjadi pada anak kecil, orang gila, budak yang pernah bersetubuh dalam ikatan pernikahan dan pada orang yang pernah bersetubuh dengan budak dalam akad nikah yang fasid.

 

Wajib pelaksanaan rajam -sebagaimana pula dengan qawad- ditunda lantaran menanti kelahuran bayi yang dikandung atau selesai penyusuan. Tidak boleh ditunda lantaran sakit yang bisa diharapkan kesembuhannya, dan lantaran panas atau dingin yang kelewat batas.

 

Tapi, bila had itu berupa jilid (dera), maka pelaksanaannya harus ditunda karena panas/dingin yang kelewat batas, karena yang terkena hukuman sedang sakit, yang bisa diharapkan kesembuhannya, atau waruta tersebut sedang hamil, sebab maksud hukum dera (jilid) adalah membuat jera, bukan membunuh.

 

Perbuatan zina bisa ditetapkan adanya dengan Ikrar Hakiki yang rinci, sebagaimana rincian dalam “Syahadah” (persaksian), sekalipun, dengan cara isyarat yang dapat dipahanu oleh setiap orang.

 

Ikrar tersebut sekalipun hanya satu kali, tidak disyaratkan diulang sampai empat kali, lain halnya dengan pendapat Abu Harufah.

 

Bisa juga ditetapkan dengan adanya bayinah (4 orang saksi) yang merinci wanita yang diajak zina, cara memasukkan hasyafah, tempat dan waktu terjadi zina, misalnya: “Aku bersaksi, bahwa si Anu memasukkan hasyafahnya ke farji wanita Anu di tempat ini…dan waktu ini… dengan cara zina”.

 

Hukuman had menjadi gugur, apabila seseorang berikrar telah berbuat zina, lalu mencabut kembali ikrarnya sebelum -dilaksanaka had atau setelahnya, dengan ucapan: “Aku telah berdusta dalam ikrarku”, atau “Aku tidak berbuat zina”, sekalipun-.setelah itu ia berkata: “Aku telah berdusta tentang pencabutan ikrarku”, atau dengan ” Aku Kanya menggesekkan pada paha, lalu kukira zina”, sekalipun keadaan dirinya menampakkan kebohongan, menurut yang dianggap zhalur oleh guru kita. Lain halnya dengan katakatanya: “Aku tidak berikrar berbuat zina”, sebab kata-kata ini sematamata mendustakan bayinah yang memberikan persaksian keberadaan perzinaan.

 

Karena sesungguhnya Nabi saw. menawarkan kepada Mu’iz untuk mencabut ikrarnya. Kalau pencabutan ikrar itu tidak ada gunanya, maka niscaya Nabi tidak akan menawarkan hal itu.

 

Dengan dasar itulah, sunah mencabut ikrar zina.

 

Masalah bisa ditenma pencabutan Ikrar sebagaimana zina, juga berlaku untuk semua had yang menjadi hak Allah swt. misalnya minum khamar dan pencurian dalam kaitannya dengan pemotongan tangan.

 

Pembicaraan fukaha memberikan pemahaman bahwa, apabila suatu perzinaan tertetapkan berdasarkan bayinah, maka tidak ada jalan untuk mencabut kembali.

 

Yang benar memang begitulah, tetapi ada jalan had menjadi gugur dengan cara selain pencabutan, misalnya wanita yang dizina mendakwa bahwa ia adalah istrinya, atau budak wanita milik laki-laki itu, atau pihak laki-laki mendakwakan wanita yang dizinai dikira sebagai istri atau budaknya.

 

Hukum had kedua, adalah had perbuatan Qadzaf (menuduh orang berbuat zina). Qadzaf adalah salah satu dari tujuh dosa yang merusakkan badan pelakunya.

 

Orang mukalaf yang bebas berbuat (tidak terpaksa) serta keadaan dirinya terkena ketetapan hukum-hukum dan mengetahui keharaman menuduh zina, adalah dikenakan dera sebanyak delapan puluh kali bila menuduh orang muhshan berbuat zina, jika penuduh tersebut orgng yang merdeka.

 

Muhshan dalam Bab Qadzaf adalah orang mukalaf, merdeka, muslim dan terjaga dari perbuatan zina atau menyetubuhi istri/budak amat dalam anus (dubur) nya.

 

Kalau penuduh tersebut bukan orang merdeka (budak), maka ia wajib didera (dicambuk) sebanyak 40 kali.

 

Qadzaf sudah terjadi dengan ucapan. “Engkau telah berzina”, “Wahat, pezina”, “Wahai, laki-laki bertingkah wanita”, “Engkau mengalasi”, “Engkau (perempuan) telah diperlakukan seperti kaum Luth oleh si Fulan”, “Wahai, orang yang berbuat liwath (homo)”, atau “Wahai, kaum Luth (pelaku liwath)”: demikian juga dengan ucapan “Wahai, wanita yang rusak moralnya”, kepada seorang wanita.

 

Termasuk Qadzaf sharih kepada seorang waruta, dikatakan kepada anak laki-laki dar suami Zaid, umpama: “Kamu bukan anak Zaid”, atau “Kamu tidak dilahirkan dari Zaid”. Tidak termasuk Qadzaf ucapan: “Kamu bukan anakku”.

 

Bila seorang berkata kepada anaknya sendiri atau anak orang lain: “Hai, anak zina”, maka berarti menuduh zina ibu anak itu.

 

Orangtua tidak bisa dikenakan hukuman had lantaran menuduh zina anak keturunannya, tetapi ia cukup dikena takzir, sebagaimana pula penuduh yang bukan Mukalaf.

 

Apabila kurang dari 4 laki-laki/ wanita/budak memberikan persaksian zina, maka semua dikenakan had.

 

Bila dua orang saling menuduh zina, maka tidak dianggap telah saling membalas (semua sudah sama gugur hadnya).

 

Penuduh berhak menyumpah si tertuduh, bahwa ia tidak berzina sama sekali.

 

Had Qadzaf bisa menjadi gugur: dengan adanya ampunan dari tertuduh atau ahli warisnya, yang dapat menenma keseluruhan harta peninggalannya.

 

Si tertuduh tidah boleh melaksanakan had qadzaf dengan sendirinya.

 

Suami boleh menuduh zina istrinya yang diketahui telah melakukannya, di mana ia masih dalam ikatan nikah, sekalipun berdasarkan perkiraan yang dikuatkan dengan garinah (indikasi), misalnya ia melihat istrinya bersama laki-laki lain berduaan (khalwah), atau ia melihat laki-laki lain keluar dari kamar istrinya dan berita yang santer di masyarakat, bahwa mereka telah melakukan perzinaan, atau dengan berita orang adil bahwa ia melihat laki-laki lain itu telah berbuat zina dengan istri tersebut, atau si suami telah berulang kali melihat istrinya berdua dengan laki-laki lain itu.

 

Wajib mengingkan anak yang lahir, Jika ia yakin bahwa anak itu bukan dari dirinya.

 

Sekira di dalam hal ini tidak ada anak yang ditiadakan, maka bagi suami menutupi perbuatan istrinya dan menceraikan bila ia sudah tidak senang kepadanya, dan menahannya (tidak menceraikannya) bila ia masih mencintainya, sebab berdasarkan hadis sahih, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi saw., lalu berkata: “Istriku tidak menolak tangan orang yang memegangnya”, maka beliau saw. bersabda: “Talak saja ia!”, dan jawab laki-laki itu: “Aku masih mencintainya”, maka beliau saw. bersabda: “Teruskan saja ikatan pernikahanmu dengannya”.

 

Cabang:

 

Bila seseorang memaki orang lain, maka orang yang dimaki ini boleh membalas memakinya seukuran boleh membalas memakinya seukur makian yang telah dilontarkan kepadanya, tanpa mengatakan hal yang dusta atau gadzaf, sebagaimana ucapan: “Wahai, orang yang zalim”, atau “Wahai, orang yang tolol”.

 

Tidak boleh memaki ayah atau ibu orang yang telah memaki.

 

Hukuman had ketiga: Had minuman keras.

 

Imam atau wakilnya wajib mendera orang mukalaf yang bebas berbuat dan mengetahui keharaman minuman keras (khamar) yang meminumnya, bukan untuk pengobatan.

 

Hakikat khamar menurut sebagian besar dari Ashhabuna adalah: Air hasil dari perasan anggur yang memabukkan, sekalipun tidak tumpah dengan membuih.

 

Karena itu, keharaman minuman keras lainnya adalah jalan kias, artinya dalam mengharamkan minuman selain khamar tidak berdasarkan hadis yang akan disebutkan nanti, sebab kalau tidak berdasarkan hadis yang akan disebutkan nanti, sebab kalau tidak dalam sepert iru, maka keharaman semua minuman keras adalah berdasarkan nash, bukan kias

 

Menurut sebagian kecil dari Ashhabuna, hakikat khamar adalah setiap minuman yang memabukkan.

 

Tetapi, orang yang menghalalkan minuman keras yang memabukkan dari selain perasan anggur, adalah tdak dihukumi kafir, sebab minuman seperti ini masih khilaf di antara fukaha dari segi jenisnya, sebab menurut segolongan fukaha adalah halal bila hanya sedikit saja.

 

Adapun minuman yang memabukkan yang dibuat untuk itu, maka hukumnya haram secara ijmak, sebagaimana yang diceritakan oleh ulama Hanafiah, apalagi menurut pendapat selain mereka. Lain halnya dengan orang yang menghalalkan minuman memabukkan dari perasan anggur murni sebelum dimasak, -sekalipun cuma setetes-, sebab nunuman sepert itu sudah dijimaki tentang keharamannya secara pasti.

 

Batasan-batasan di atas (mukalaf dan sebagainya) adalah mengecualikan daripada lawan (kebalikan) semua itu.

 

Karena itu, hukuman had tidak dikenakan terhadap orang yang bersifat dengan hal yang bertolak belakang dengan batasan di atas, yaitu anak kecil, orang gila, orang yang meminumnya karena di paksa, dan orang yang tidak mengetahui keharamannya atau tidak mengetahui kalau vang ia minum itu namanya khamar, jika ia baru saja mengenal Islam atau hidup jauh dari, ulama.

 

Tidak dikenakan juga kepada orang yang meminumnya untuk obat, sekalipun ia dapat menemukan obat yang selain khamar -sebagaimana yang dinukil oleh Guru kita dari segolongan fukaha, sekalipun berobat dengan khamar yang murni hukumnya haram.

 

Faedah:

 

Segala minuman yang dapat memabukkan dalam jumlah banyak, baik berua khamar atau lainnya, maka diharamkan juga dalam banyak atau sedikitnya, berdasarkan hadis ni wayat Bukhan dan Muslim: “Segala mimuman yang memabukkan adalah diharamkan”, dan hadis nwayat Muslim:, “Setiap minuman yang memabukkan namanva khamar dan setiap khamar adalah haram”.

 

Orang yang meminumnya harus dihukum had, sekalipun tidak sampai mabuk.

 

Dikecualikan dari kata-kata “minuman”, benda-benda padat yang diharamkan: maka untuk ini tidak dikenakan had, tetapi cukup dikenakan takzir, sekalipun barang tersebut diharamkan dan memabukkan, misalnya kejubung, ganja dan candu dengan kadar banyak.

 

Makruh memakan sedikit dari barang tersebut tanpa tujuan terusmenerus dan diperbolehkan untuk tujuan pengobatan.

 

Had peminum khamar di atas, adalah 40 kali deraan (jilid), jika peminum tersebut orang merdeka. Karena disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dani Anas r.a.: “Bahwa Nabi saw. memukul 40 kali atas orang yang meminum khamar dengan menggunakan pelepah kurma atau sandal”.

 

Kata-kata “merdeka”, dikecualikan bila peminumnya budak, sekalipun Muba’ad, maka ia didera sebanyak 20 kali.

 

Hanya saja yang berhak melakukan deraan tersebut adalah imam, jika ketetapan tentang peminum tersebut didasarkan pada ikrar peminum atau persaksian dua orang saksi: Tidak dengan adanya bau khamar, tingkah peminum yang mabuk atau muntah-muntah.

 

Hukum had yang dilaksanakan oleh Usman r.a. kepada orang yang muntah-muntah (khamar) adalah hasil ijtihadnya sendiri.

 

Budak juga bisa dikenakan had dengan sepengetahuan tuannya, bukan lain tuan pemiliknya

 

Penyempurna:

 

Penulis kitab Al-Iqtiqsha’ memantabkan kehalalan meminumkan khamar pada binatang, menurut Az-Zarkasyi Boleh jadi binatang itu sebagaimana manusia dalam masalah keharaman meminumkan khamar kepadanya.

 

Hukuman had keempat: Pemotongan pada pencuri.

 

Setelah terjadi penuntutan pemilik barang dan ada ketetapan pencunan, maka imam wajib memotong pergelangan tangan kanan orang balig laki-laki atau perempuan yang mencuri, mengambil secara sembunyi-sembunyi 1/4 dinar atau barang seharga dengannya, yaitu 1/4 mitsqal emas murni yang telah tercetak, sekalipun jumlah tersebut dihasilkan oleh pemiliknya dari perupuan, dan sekalipun barang tersebut nulik orang banyak, Karena stu, tidak dapat dipotong lantaran mencuri emas 1/4 mitsqal emas yang belum tercetak atau perluasan yang belum mencapa 1/4 mitsqal emas tercetak (Pencurian yang mewajibkan had di atas). barang dicuri dari tempat yang biasanya barang seperti itu disimpan di sana.

 

Pemotongan tidak dapat diterapkan pada pencuri yang termasuk ikut memiliki sendiri, sekalipun ada kaitan semacam gadai.

 

Bila dua orang bekerja sama mencuni barang yang sudah sampai nsabnya (yaitu 1/4 dinar emas murni), maka hukuman potong tidak dapat diterapkan pada salah satunya.

 

Tidak termasuk “mencuri”, bila seseorang “merampas” secara terang-terangan dengan mengandalkan melarikan diri (pencopet) atau merampok dengan mengandalkan kekuatan: Karena itu, dua hal ini

 

tidak boleh dikenakan pemotongan, karena berdasarkan hadis sahih, dan karena pelaku kedua hal ini dapat dipatahkan oleh penguasa atau lainnya.

 

Lain halnya dengan pencuri, sebab ia mengambil secara sembunyi.sembunyi, maka disyariatkan pemotongan pada masalah ini untuk menjerakan.

 

Pemotongan tidak diterapkan pada pencurian barang hasil gasab, sekalipun pencurinya tidak mengetahui kalau barang yang dicuri adalah barang hasil penggasaban yang disimpan oleh penggasab, sebab pemilik barang tidak rela atas barangnya disimpan disisi penggasab.

 

Atau dalam keadaan barang tersimpan di tempat penggasaban (misalnya peti), maka pencuri barang dari tempat tersebut tidak boleh dipotong, sebab penggasab dilarang menyimpannya,

 

Lain halnya dengan semacam barang sewaan atau pinjaman.

 

Tempat penyimpanan barang itu berbeda-beda menurut barang itu, keadaan dan waktunya. Karena itu, tempat penyimnpanan pakaian dan uang, adalah peti yang terkunci dan tempat penyimpanan barang dagangan adalah toko dan di situ ada penjaganya.

 

Tidur di atas barangnya di dalam mesjid, sekalipun dipakai bantal, adalah termasuk penyimpanan barang itu. Tidak sebagai penyimpanan, bila barang itu diletakkan di sebelahnya ketika ia tidur, tanpa ada pengamat yang kuat, yang mampu menolak pencuri dengan kekuatan tubuhnya atau munta tolong, atau bila yang meniduri barang itu menyisih dan barang tersebut, sekalipun yang membalikkan itu pencuri, maka barang tersebut tidak dianggap disimpan.

 

Pencuri yang mengambil barang wakafan atas orang lain, wajib di potong.

 

Begitu juga dengan pencuri barang milik mesjid, misalnya pintu, tiang dan lampu perhiasan mesjid.

 

Tidak boleh dipotong sebab mencuri semacam tikar-tikar mesjid dan lampu penerangannya, sedang ia adalah orang Islam, sebab barang-barang itu disediakan untuk dimanfaatkan.

 

Tidak boleh dipotong sebab mencuri harta zakat, sedang pencuri itu orang yang berhak atas harta itu atas nama fakir atau lainnya. Bila pencuri itu tidak ikut memiliki hak atas barang tersebut, misalnya orang kaya yang mencuri harta zakat, sedang ia bukan penanggung utang untuk mendamaikan percekcokan (gharimin), juga bukan pejuang, maka harus dipotong, sebab tidak ada syhubhat.

 

Tidak boleh dipotong juga, sebab mencuri harta kemaslahatan, misalnya harta Baitulmal, sekalipun ia orang kaya, sebab ia ikut memilikinya.

 

Karena hartaitu terkadang ditasaruf’kan untuk pembangunan mesjid dan pondok-pondok, yang oleh karena itu bisa dimanfaatkan oleh segenap orang yang kaya maupun miskin dari kaum muslimin.

 

Tidak boleh dipotong juga sebab mencuri harta milik sebagian orangtua atau anak turun dan sayidnya, sebab untuk semua ini ada kesyubhatan turut memilikinya sebagai nafkah.

 

Menurut Al-Azhhar: Salah satu dari suami-istri boleh dipotong sebab mencuri harta tersimpan milik salah satu darinya.

 

Tidak boleh dipotong juga, sebab mencuri harta kemaslahatan. misalnya harta Baitulmal, sekalipun ia orang kaya, sebab ia ikut memilikinya.

 

Karena hartaitu terkadang ditasarufkan untuk pembangunan mesjid dan pondok-pondok, yang oleh karena itu bisa dimanfaatkan oleh segenap orang yang kaya maupun miskin dari kaum muslimin.

 

Tidak boleh dipotong juga sebab mencuri harta milik sebagian orangtua atau anak turun dan sayidnya sebab untuk semua tni ada syubhatar turut memilikinya sebag mafkah.

 

Menurut Al-Azhhar: Salah satu da suami-istri boleh dipotong sebal mencuri harta tersimpan milik salah satu darinya.

 

Bila setelah dipotong tangan kanan nya ia mencuri lagi, maka kaki kirinya harus dipotong pada persendian antara betis dan telapak kakinya.

 

Kemudian, bila kembali mencuri untuk ketiga kalinya, maka dipotong tangan kirinya mulai dari pergelangan tangannya.

 

Bila mengulangi untuk keempat kalinya, maka harus dipotong kaki kanannya.

 

Setelah itu semua masih mencuri, maka ia harus ditakzir, bukan dibunuh.

 

Mengenai hadis yang meriwayatkan bahwa Nabi saw. membunuhnya, adalah dinasakh (diganti) hukumnya atau hadis tersebut ditakwili, bahwa pencuri tersebut menganggap halal atas perbuatannya, bahkan Daruquthni dan lainnya menganggap hadis di atas daif, Sedangkan Ibnu Abdil Barr rhm. berkata: Hadis di atas adalah mungkar, yang tiada dasarnya.

 

Barangsiapa mencuri berulang kali tanpa terkena had, maka tidak dikenakan had, kecuali satu kali saja, Menurut pendapat Al-Muktamad. maka pencuri tersebut cukup dipotong tangan kanannya sebagai had dari keseluruhan pencurian yang pernah ia lakukan, karena sebab dari had-had itu sama, maka had itru masuk pada yang lainnya.

 

Perbuatan pencurian itu bisa ditetapkan adanya dengan berdasarkan persaksian dua orang laki-laki, -sebagaimana pula dengan bentuk uqubah lainnya selain perzinaan-, dan dengan ikrar pencuri itu sendiri setelah ada dakwaan terhadap dirinya, secara rinci dalam persaksian maupun ikrar tersebut.

 

Misalnya dijelaskan perbuatannya sebagat pencurian, orang yang barangnya dicuri, besar nilai barang yang dicuri dan tempat penyimpanannya serta menta’yin (menerangkan) nya.

 

Perbuatan juga bisa ditetapkan adanya -lain halnya dengan pendapat segolongan fukaha-, berdasarkan yang dikembalikan dari terdakwa kepada pendakwa, sebab. sumpah seperti ini sebagai ikrar (pengakuan) terdakwa.

 

Pencabutan kembali ikrar dalam kaitannya dengan pemotongan, adalah dapat diterima, Lain halnya dalam kaitan dengan harta pencurian itu, maka pencabutannya tidak dapat diterima, sebab harta itu adalah hak Adami.

 

Barangsiapa berikrar tentang hak Allah swt. yang menetapkan ugubah (siksa), misalnya zina, mencuri dan minum khamar -sekalipun ikrar terjadi setelah dakwaan-, maka sebagaimana tersebut dalam Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, bagi qadhi boleh menawarkan kepada yang bersangkutan untuk mencabut: ikrarnya atau mengingkan tuduhan, tetapi An-Nawawi di dalam Syarah Muslim menukilkan, bahwa ta’ridh (penawaran) hukumnya sunah menurut ijmak dan di dalam Al-Bahr Ar-Rauyari menceritakan, bahwa penukilan tersebut berasal dari Ashhab Syafi’!, Ketertentuan kebolehan ta’ridh berarti haram dilakukan oleh yang lainnya Guru kita berkata Hal itu bisa jadi (Muhtamal), dan bisa jadi bahwa selain qadhi justru lebih diperbolehkan ta’ridh lantaran qadhi dilarang menuntun bantahan kepada terdakwa.

 

Maka qadhi berkata: “Barangkah anda sekadar bergesekan paha”, anda mengambil tidak dari tempat penyimpanan” atau “Anda tidak mengetahui kalau yang kamu minum adalah khamar”, sebab Nabi saw. menawarkan kepada Ma’iz dan beliau bersabda kepada orang yang berikrar tentang pencurian di hadapan beliau: “Saya tidak menduga kamu mencuri”.

 

Dikecualikan dari ta’ridh adalah tashrih, misalnya: “Cabutlah ikrarmu” atau “Ingkarilah tuduhanmu”, maka dengan tashrih, qadhi berdosa sebab ia memerintahkan untuk berdusta.

 

Haram ta’ridh di kala telah ada bayinah.

 

Qadhi juga boleh menawarkan kepada para saksi, agar berhenti dahulu dalam pemberian persaksian dalam kaitannya denga hak Allah, bila ia mengetahui ada kemaslahatan dengan penutupan masalah pelanggaran hak Allah tersebut, tetapi bila tidak ada kemaslahatan, maka tidak boleh.

 

Dengan begitu, maka bagi qadhi tidak diperbolehkan ta’ridh dan pars saksi tidak boleh berhenti, jika dengan sikap itu menimbulkan siasia harta orang yang dicuri atau had hak selain Allah, misalnya had Qadzaf.

 

Penutup: Pembegal Jalanan

 

Bila imam mengetahui ada segolongan orang-orang yang menakut-nakuti orang yang melewati suatu jalan dan mereka tidak merampas harta serta tidak melakukan pembunuhan, maka ia wajib mentakzir mereka dengan dipenjarakan atau lainnya.

 

Bila pengganggu itu mengambil harta dan tidak melakukan pembunuhart, maka tangan kanan dan kaki kirinya wajib dipotong. Sedang apabila ia mengulanginya lagi, maka tangan kiri dan kaki kiri wajib dipotong.

 

Apabila ia melakukan pembunuhan, maka ia wajib dibunuh, sekalipun pemilik hak qawad pengampuninya.

 

Apabila ia melakukan pembunuhan dan mengambil senisab harta, maka harus dibunuh, dan setelah dimandi kan dan dikafani, lalu disalib selama tiga hari, setelah itu diturunkan.

 

Ada yang mengatakan: Dibiarkan terus di atas tiang salib Sampai hancur dan mengalir nanahnya.

 

Ada yang mengatakan: Disalib sebentar dalam keadaan hidup, lalu diturunkan dan dibunuh.


PASAL TENTANG TAKZIR

Imam atau wakilnya berhak menghukum takzir pada perbuatan maksiat yang galibnya tiadahad dan kafarat, baik itu hak Allah swt atau hak Adami, misalnya menyentuh wanita lain selain farji, memaki yang di situ ada qadhaf (tuduhan zina) memukul yang tidak semestinya:

 

Terkadang takzir di berlakukan tanpa sebab perbuatan maksiat, misalnya mengerjakan permainan yang tiada maksiat di situ.

 

Terkadang takzir ditiadakan dari maksiat (dosa) kecil yang dilakukan oleh orang (yang biasanya) tidak diketahui berbuat kejelekan, sebab ada hadis sahih yang dinwayatkan oleh Ibnu Hibban: “Ampunilah kesalahan-kesalahan kecil orang-orang yang mempunyai prilaku baik, kecuali beberapa had”, dalam satu riwayat “Ketergelinciran mereka”.

 

Asy-syafi’i menafsiri “Dzawil Maiat” dengan orang yang biasanya fidak diketahui berbuat kejelekan. Ada yang mengatakan, mereka ialah orang-orang yang melakukan dosa kecil. dan lagi ada yang mengatakan: Orang yang menyesali dosanya dan bertobat darinya.

 

Tidak termasuk terkena takzir, adalah seperti membunuh orang yang diketahui berbuat zina dengan keluarga pembunuh -menurut apa yang dihikayatkan oleh Ibnu Rif’ah-, sebab ada rasa panas hati dan marah. Pembunuhan seperti itu hukumnya halal secara batin.

 

Terkadang takzr dan kafarat kumpul jadi satu,-misalnya laki-laki yang menyetubuhi istri/amatnya di siang bulan Ramadhan.

 

Hukuman takzir sudah bisa di wujudkan dengan pemukulan yang tidak sampai terjadi pendarahan, atau dengan tamparan telapak tangan, memenjarakan hingga tidak dapat mengerjakan salat Jumat, mengumpat dengan pembicaraan, pengasingan, memberdirikan dari tempat duduk dan sebagainya, menurut pemberi takzir adalah sejenis dan setara dengan keadaannya.

 

Hukuman takzir tidak boleh diberikan dengan mencukur jenggot. Guru kita berkata: Yang zhahir, mencukur jenggot hukumnya haram, dan larangan takzir dengan mencukur jenggot itu hanya berdasarkan keharaman mencukur jengot itu sendiri, menurut kebanyakan fukaha Mutaakhirin, tetapi bila kita berpijak dengan pendapat dua guru kita, bahwa mencukur kenggot hukumnya makruh, maka tiada alasan untuk melarang memberlakukan takzir pencukuran jenggot, bila imam melihat segi kemaslahatan di situ.

 

Hukuman takzir wajib kurang dari : 40 kali pukulan bagi orang merdeka . dan kurang 20 pukulan bagi budak.

 

Ayah.atau terus ke atas dan orang yang diizini -misalnya Seorang guruadalah boleh mentakzir anak kecil. atau prang safih yang melakukan perbuatan tidak pantas mereka kerjakan, untuk mencegah mereka dan akhlak yang buruk. Ibu atau : terus ke atas, oleh Ar-Rafi’i disamakan dengan ayah.

 

Guru boleh mentakzir muridnya sendiri.

 

Seorang suami boleh mentakzir istrinya dalam hal yang berkaitan dengan hak suami, -misalnya istri berbuat nusyus-, bukan hak Allah Swt.

 

Kesimpulannya, suami tidak boleh memukul istrinya lantaran mening’galkan salat, tetapi sebagian ulama berfatwa, suanu wajib memukulnya. Pendapat Al-Aujah menurut Guru kita, suami diperbolehkan memukul istrinya,

 

Tuan pemilik budak, diperbolehkan mentakzar budaknya yang berkaitan dengan haknya dan hak Allah.

 

Hanya saja takzir yang diberlakukan kepada orang-orang di atas tidak sampai melukainya Karena itu, bila takzir tidak bermanfaat kecuali dengan melukai, maka takar ditiadakan saja, sebab pukulan tersebut akan merusakkan diri mereka, sedang pukulan yang tidak begitu tiada berguna.

 

Guru kita Abdur Rahman bin Ziyad rhm. ditanya mengenai budak yang. beruat maksiat kepada tuan pemiliknya, menentang perintahnya dan tidak mau berkhidmah sepantasnya: Apakah tuannya boleh memukul sampat pukulan yang tidak sampai meluakinya atau tidak boleh? Jika pemilik memukulnya sampai melukai, lalu dilaporkan kepaa hakim syariat, maka boleh/idakkah hakim tersebut melarang pemilik memukul seperts itu, Jika misalnya hakim melarang dan pemilik masih terus memukul budak itu, maka boleh/ tidakkah hakim menjualnya dan menyerahkan uang penjualan kepada pemiliknya? Besar penjualan itu berapa? Berapa harga budak itu waktu dibeli atau sebesar harga pasaran saat ia lepas (dijual), atau menurut tawaran teringgi waktu itu?

 

Maka jawab Guru kuta Bila budak itu enggan berkhidmah kepada pemiliknya yang wajib ia penuhi menurut syarak, maka bagi tuan pemiliknya boleh memukulnya vang tidak sampai melukai, jika pukulan itu bermanfaat, dan pemilik tersebut! tidak boleh memukul budaknya, sampai melukai, dan hakim boleh melarang tuan pemilik melakukan pemukulan yang melukai itu, Apabila pemilik setelah dilarang masi Saja memukulnya, maka ia sebagaimana membebani pekerjaan pada budak di luar kemampuan-bahkan dalam pemukulan ini lebih dari itu-, sebab pukulan yang melukai itu terkadang dapat menyebabkan kematan, Jadi, keduanya sama-sama haram.

 

Qadhi Husain berfatwa, bahwa bila pemilik budak membebani pekerjaan di luar kemampuannya, maka budak boleh dijual dengan harga yang sepantasnya (umum), yaitu harga menurut penawaran tertinggi pada masa yang tepat. Selesai.

PASAL TENTANG SHIYAL

Shiyal adalah melampaui batas dan menerjang hak orang lain.

 

Seseorang diperbolehkan melawan Shail (orang yang berbuat jahat: perampok/pemerkosa/perampas), yang Islam atau kafir dan mukalaf atau tidak, di mana Shail tersebut menjahili orang maksum, baik nyawa, anggora farji, atau mukadimah farji, misalnya mencium dan merangkul, atau hartanya -sekalipun tiada nilai kehartaan-, menurut pemutlakan fukaha, misalnya: biji gandum atau barang itu Ikhtishash, misalnya kulit bangkai binatang, baik itu semua milik penolak atau lannya.

 

Hal itu berdasarkan hadis Sahih: “Sesungguhnya orang yang terbunuh lantaran membela darah, harta, atau keluarganya, adalah mati syahid.” Dengan adanya kesyahidan di dalam hadis ini, maka ia diperbolehkan melakukan pembelaan yang mengarah pada pembunuhan atau penyerangan, misalnya melukai.

 

Bahkan bila ia tidak mengkhawatirkan nyawa atau anggota badannya, maka ia wajib melakukan pembelaan atau penolakan terhadap pemerkosaan dan pelecehan seks (misalnya, mencium wanita lain dan sebagainya), sekalipun dilakukan bukan pada kerabatnya.

 

Wajib melawan perampas nyawa -sekalipun nyawa budakyang dilakukan oleh orang kafir, binatang atau orang Islam yang bukan maksum (muslim tidak terpelihara kelangsungan hak hidupnya), misalnya pezina muhshan, orang yang meninggalkan salat dan pembegal jalanan yang harus dibunuh. Karena itu, diharamkan menyerah kepada mereka.

 

Bila yang melakukan hal di atas adalah orang Islam yang maksum, maka tidak wajib melawannya, tetapi diperbolehkan menyerah kepadanya bahkan disunahkannya, sebab ada perintah dari Nabi saw. untuk menyerah saja.

 

Tidak wajib melawan orang yang merampas harta yang tidak bernyawa (benda mati) yang menjadi milik orang yang dirampas.

 

Shail Maksum hendaknya di lawan dengan cara yang paling ringan, jika memungkinkan, misalnya dengan cara melarikan diri, membentak dengan kata-kata, meminta tolong, mencan perlindungan untuk dirinya dan memukul dengan memakai tangan, cambuk, atau tongkat, lalu dengan memotong anggota badan Shail, baru kemudian boleh melawan dengan membunuhnya.

 

Karena melawan terhadap shail diperbolehkan adalah lantaran keterpaksaan, sedang unsur keterpaksaan tidak terdapat pada penggunaan yang lebih berat, sementara yang lebih ringan dapat digunakan.

 

Karena itu, bila menyalahi peraturan di atas dan berpisah dengan cara yang lebih ringan, padahal ia mampu melawan denga cara yang lebih ringan, maka ia wajib menanggung qawad dan lainnya.

 

Tetapi, bila berkecamuk peperangan antara dua belah pihak dan kondisi sulit diatasi, maka kewajiban menjaga ketertiban seperti di atas adalah gugur.

 

Masalah menjaga ketertiban tersebut adalah pada selain kasus pemerkosaan.

 

Apabila seseorang melihat shail betul-betul telah memasukkan zakarnya ke farji perempuan lain, maka ia boleh memulai menolaknya dengan cara membunuh, sekalipun sebenarnya bisa ditolak dengan cara lain, sebab shail pada setiap masa sebentar saja sudah jatuh dalam persetubuhan yang tidak mungkin ditolak dengan cara pelan-pelan. Demikianlah yang dikatakan oleh Al-Mawardi, Ar-Rauyari dan Syekh Zakariya.

 

Guru kita berkata: Hal itu zhahir adanya pada pelaku yang muhshan, adapun bila tidak muhshan, maka menurut pendapat Al-Muttajah adalah tidak boleh membunuhnya, kecuali dengan penolakan di bawah itu akan membutuhkan waktu lama, yang di dalam waktu itu ia melakukan pemerkosaan. Selesai.

 

Apabila tidak memungkinkan menolak dengan cara yang lebih ringan, misalnya ia ditemukan hanya semacam pedang, maka ia dapat menebas dengannya.

 

Adapun bila shail bukan maksum, maka boleh membunuhnya tanpa melalui perlawanan yang lebih ringan, sebab tiada kemuliaan untuk. kelanjutan hidupnya.

 

Cabang:

 

Wajib menolak perbuatan munkar, meneguk minuman yang memabukkan, membunyikan alat musik : (permainan) dan membunuh hewan yang sekalipun miliknya sendiri.

KHITAN

Wajib melakukan khitan bagi lakilaki maupun perempuan, selagi tidak dilahirkan dalam keadaan sudah Khitan. Dasarnya adalah firman Allah Swt.: “.. ikutilah Ibrahim”, (Q.S. An-Nahl: 123), dan dj antara syariat agamanya adalah khitan. Dia melakukan Khitan ketika berusia 80 tahun.

 

Ada yang mengatakan: Khitan bagi laki-laki hukumnya wajib dan sunah bagi waruta. Pendapat ini dinukil dari kebanyakan ulama.

 

(Khitan) diwajibkan dengan telah balig dan berakal sehat, sebab taklif tidak terjadi sebelum balig dan berakat sehat, yang karenanya diwajibkan setelah itu dengan seketika.

 

Az-Zarkasyi membahas diwajibkan khitan atas wali anak yang mumayiz Pendapat ini perlua diteliti.

 

Yang wajib dalam khitan laki-laki, adalah memotong kulit yang menutupi kepala zakar, sehingga menjadi terbuka.

 

Sedangkan khitan warita, adalah memotong sedikit -asal sudah dinamakan khitandaging yang terletak di sebelah atas lubang kencing, yang berbentuk seperti jengger ayam jantan yang disebut Bizhir (clitoris)

 

Al-Ardabili menukil dari: AsySyafi’i: Bila seorang anak dijadikan oleh Allah dalam keadaan lemah, bila dikhitan, maka dikhawatirkan terjadi mudarat pada dirinya, maka anak itu tidak perlu dikhitan, kecuali kemungkinan besar diduga keselamatannya.

 

Sunah segera melakukan pengkhitanan pada anak yang berumur 7 hari -karena ittiba’ kepada Nabi saw.- Lalu, bila sudah akhir dari tujuh hari, maka sunah dikhitan ketika berusia 40 hari, Kalau juga tidak, maka sunah dikhitan pada usia 7 tahun, karena usia inilah waktunya anak diperintahkan melakukan salat.

 

Orang yang mati belum dikhitan, menurut pendapat Al-Ashah adalah tidak boleh dikhitan.

 

Sunah menampakkan pengkhitanan anak laki-laki, dan menyembunyikan pengkhitanan anak wanita.

 

Adapun biaya khitan, adalah diambilkan dari harta anak yang dikhitankan, walaupun belum mukalaf, kemudian (kalau tidak punya), maka menjadi tanggungan orang yang wajib menanggung nafkahnya.

 

Wajib pula memotong tali pusat bayi yang sudah dilahirkan setelah diikat, sebab pada pemotongannya itulah Idtak kemampuan menampung makanan.

 

Haram melubangi hidung secara mutlak (baik laki-laki maupun perempuan), dan secara pasti haram melubangi daun telinga anak lakilaki dan anak perempuan menurut pendapat Al-Aujah, guna meletakkan anting-anting, sebab pelubangan di sini membuat luka yang tidak ada gunanya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Ghazali dan lainnya.

 

Az-Zarkasyi memperbolehkan melubangi daun telinga bagi laki-laki atau perempuan, dan ia berdalil dengan hadis riwayat Ummi Zara’ di dalam Ash-Shahih.

 

Tersebut di dalam fatwa Qadhi Khan dari kalangan Hanafiah: Tidak mengapa melubangi telinga secara mutlak, sebab orang-orang Arab pada masa Jahuliah melakukannya, lalu Rasulullah saw., tidak mengingkarinya.

 

Tersebut di dalam Ar-Ri’ayah dari kalangan Hanbali: Boleh melubangi telinga anak waruta dengan maksud menghias dan makruh bagi anak laki-laki. Selesai.

 

Pernyesuaian pembicaraan Guru kita di dalam Syarhil Minhaj adalah diperbolehkan pada anak wanita, -tidak anak laki-laki-, karena apa yang telah diketahui bahwa pelubangan telinga di sini, adalah sebagai perhiasan yang dikehendaki oleh kaum wanita sejak dahulu sampai sekarang, di mana pun mereka berada. Rasulullah saw. benar-benar telah memperbolehkan memberi mainan yang bergambar kepada anak-anak wanita, karena ada suatu maslahat, sedang masalah pelubangan telinga ini pun demikian, sedang penderitaan dalam semacam pelubangan ini dengan membangkitkan kecintaan suami pada mereka, adalah hal yang mudah dan beralternatif serta diampuni adanya Karena maslahat tersebut maka, cobalah pikir masalah ini, sebab hal ini penting.

 

Penyempurna:

 

Barangsiapa membawa binatang, maka ia wajib menanggung perkara yang dirusakkan di malam atau siang hari

 

Apabila-binatang Itu pergi sendiri, lalu merusak tanaman atau lainnya di siang hari, maka penulik binatang tidak wajib menanggung apa yang di rusakkan oleh binatangnya, Atau kalau perginya di malam hari, maka pemilik wajib menanggung, kecuali bila ia tidak gegabah dalam mengikatnya.

 

Pengrusakan yang dilakukan oleh semacam kucing yang telah diketahui kerakusannya terhadap semacam burung atau makanan, adalah menjadi tanggungan pemilik semacam kucing tersebut, jika ia gegabah dalam mengikatnya, baik pengrusakan itu di siang maupun malam hari.

 

Kucing buas adalah bisa dilawan atau ditolak atas penyerangannya terhadap semacam burung atau makanan untuk dimakannya, dengan memperhatikan tertib urut cara perlawanannya sebagaimana pada shail.

 

Kucing buas dalam keadaan diam tidak boleh dibunuh -lain halnya dengan pendapat segolongan fukaha-, sebab masih bisa menghindari kebuasannya. [alkhoirot.org]


LihatTutupKomentar