Bab Nikah Talak Rujuk | Fathul Muin

Bab Nikah Talak Rujuk nafkah | Fathul Muin menurut syariah, adalah “akad yang berisikan pembolehan melakukan persetubuhan dgan menggunakan lafal nikah

Bab Nikah Talak Rujuk | Fathul Muin

Nama kitab: Terjemah Fathul Muin
Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah: Abul Hiyadh
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i, syariah, hukum Islam.

Daftar Isi 

  1. Bab Nikah
    1. Pasal: Kafa'ah (Kesetaraan sosial)
    2. Pasal: Menikahi Budak Perempuan
    3. Pasal: Shidaq (Maskawin / Mahar)
    4. Pasal: Gilir Dan Nusyuz (membangkang suami)
    5. Pasal: Khuluk (Talak Tebus)
    6. Pasal: Talak (Perceraian)
    7. Pasal: Rujuk
    8. Pasal: Ila' (sumpah tidak menjimakistri)
    9. Pasal: Zhihar
    10. Pasal: Iddah (Masa Tunggu)
    11. Pasal Tentang Nafkah
    12. Pasal Tentang Hadhanah (Pengasuhan Anak)
  2. Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Muin   

BAB NIKAH - بَابُ النِّكَاحِ

Nikah menurut bahasa artinya “berkumpul menjadi satu”. Termasuk arti tersebut, adalah ucapan orang Arab “pepohonan itu saling bernikah”, jika satu sama lain saling bercondong dan berkumpul.

Sedang menurut syariah, adalah “akad yang berisikan pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafal nikah atau tazwij”. Menurut pendapat Ash-Shahih, bahwa kata “nikah” itu menurut makna hakikat adalah “akad”, sedang majaznya adalah “persetubuhan”.

Sunah melakukan nikah bagi orang yang sangat butuh untuk bersetubuh -sekalipun dia masih disibukkan oleh ibadahnyadan ia mampu memikul biaya untuk mahar, pakaian musim dh mana istri telah menyerahkan dirinya kepada suami (tamkin) dan nafkah harian (serta malam)nya.

(Hukum sunah tersebut) didasarkan pada beberapa hadis yang tertera di dalam kitab Sunan, di mana sejumlah dari hadis-hadis tersebut kusampaikan di dalam kitabku, Ihkamu ahkamin Nikah. Di samping itu, karena melakukan nikah dapat menjaga agama seseorang dan melanggengkin keturunan.

Adapun orang yang sangat butuh bersetubuh dan ia tidak mampu memikul biaya di atas, maka yang lebih utama baginya adalah tidak melaksanakan nikah dulu, dan ia (dapat) menanggulangi gejolak seksualnya dengan cara melakukan puasa, bukan menggunakan obat. Makruh menikah bagi orang yang tidak ada hasrat bersetubuh dan ia tidak mampu menanggung biaya di atas. Nikah itu sekira dihukumi sunah, maka jika sebab nazar hukumnya menjadi wajib.

Setelah ada kebulatan tekad melakukan nikah dan sebelum pinangan, bagi kedua belah pihak (calon mempelai laki-laki dan perempuan) sunah saling melihat anggota badan masing-masing, selain bagian aurat yang telah ditetapkan di dalam syarat-syarat sah salat.

Karena itu, bagi laki-laki hanya boleh melihat wanita yang bukan budak, pada bagian mukanya, untuk mengetahui kecantikan dan pada telapak tangannya -baik dalam ataupun luarnya- untuk mengetahui kehalusan kulit badannya. Bila wanita itu budak, maka seluruh bagian tubuhnya boleh dilihat, kecuali antara tali pusat dan lututnya. Kedua wanita tersebut boleh melihat bagian anggota badan selain keduanya.

Untuk kehalalan menonton ini, harus ada keyakinan, bahwa wanita itu tidak berada dalam ikatan nikah atau idah, serta laki-laki tersebut tidak mempunyai perkiraan yang kuat bahwa pinangannya nanti tidak akan diterima.

Bagi laki-laki yang tidak dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, sunah mengutus seorang perempuan untuk (melihat calon pinangan) dan mrengangan-angan serta menggambarkan keadaan wanita tersebut kepadanya.

Dari kata-kata “melihat”, dikecualikan memegang wanyta itu: maka hukumnya haram, lantaran tidak ada hajatnya.

Penting:

Haram bagi laki-laki -sekalipun sudah tua bangka-, sengaja melihat pada bagian anggota badan wanitalain -baik wanita merdeka ataupun budakyang sudah pada batas disyahwati, sekalipun wanita itu buruk mukanya atau tua, sekalipun memandangnya tanpa disertai nafsu syahwat dan aman dari fitnah menurut pendapat Al-Muktamad, Begitu juga sebaliknya, wanita haram melihat laki-laki lain, Lain halnya dengan pendapat yang ada dalam Al-Hawi (ringkasan dari Fathul Aziz, oleh Al-Quzwam) sebagaimana pula pendapat Ar-Raf’i.

Tidak haram melihat pada bayangan semacam cermin, sebagaimana yang telah difatwakan oleh tidak hanya seorang ulama.

Kata Al-Asnawi dengan mgngikuti Ar-Raudhah (Raudhatuth Thalibin milik An-Nawawi) tentang kehalalan melihat muka dan kedua telapak tangan wanita lain ketika aman dani fitnah, adalah pendapat yang lemah (daif) Denuksan pula dengan hasil pilihan Al-Adzra’i dari ucapan segolongan ulama tentang kehalalan melihat muka wanita tua ketika aman dan fitnah.

Dengan cara pasti, melihat leher dan kepala wanita merdeka lain (Al-Ajnabiyah) hukumnya tidak halal. Ada yang mengatakan: Melihat wanita amat tanpa syahwat dan khawatir terjadi fitnah -selain pusat perut dan lutut, karena iri auratnya ketika salat-, hukumnya adalah halal, tetapi masih makruh.

Suara tidak termasuk aurat, karena itu, mendengarkannya tidak haram, kecuali jika dikhawatirkan terjadi fitnah atau merasa lezat dengan suara itu, sebagaimana yang dibahas oleh Az-Zarkasyi,

 

Sebagian fukaha Mutaakhirin berfatwa tentang diperbolehkan anak laki-laki melihat para wanita dalam acara-acara walimah atau resepsi-resepsi yang lai

 

Menurut Al-Muktamad dari kedua Guru kita (Ar-Rafi’i dan An-Nawawi): Tidak boleh melihat alat kelamin wanita kecil yang belum disyahwati. Ada yang mengatakan: Hal itu hukumnya makruh. Al-Mutawali mentasbihkan kehalalan melihat alat kelamin anak kecil sampai batas tamyiz, dan pendapat ini dimantapi oleh ulama yang lainnya. Ada yang mengatakan: Hukumnya adalah haram.

 

Bagi seorang semacam ibu boleh melihat alat kelamin anak laki-laki atau perempuan di masa menyusui atau mengasuhnya, karena darurat.

 

Bagi budak laki-laki yang adil boleh memandang tuan putrinya yang adil juga, selain bagian di antara pusat dan lutut, begitu juga sebaliknya.

 

Bagi mahram -sekalipun fasik atau kafir- boleh melihat bagian anggota selain pusat dan-lutut wanita mahramnya, begitu juga sebaliknya. Bagi mahram atau sesama jenis kelamin boleh menyentuh anggota badan selain pusat dan lutut.

 

Tetapi memegang punggung wanita mahram atau betisnya -misal ibu atau anak perempuannya-, adalah tidak dihalalkan, kecuali karena ada hajat atau belas kasihan. Begitu juga sebaliknya.

 

Sekira anggota badan itu haram dilihat, maka haram juga disentuh tanpa ada penghalang, karena memegang itu lebih lezat daripada melihat. Tetapi secara mutlak, haram memegang muka wanita lain.

 

Semua anggota badan laki-laki atau wanita yang haram dilihat ketika masih bersambung, adalah haram dilihat ketika sudah terpisah, misalnya potongan kuku tangan/kaki, rambut wanita dan rambut kelamin. laki-laki. Kesemuanya wajib ditanam jika sudah terpisah dan badan.

 

Wajib bagi wanita muslimah menutupi dirinya dari wanita kafir. Begitu juga, bagi wanita yang terpelihara jiwanya dari pandangan wanita fasik, sebab lesbian, zina atau berangkul,

 

Haram dua laki-laki atau perempuan tidur secara telanjang di dalam satu potong pakaian, sekalipun tidak bersentuhan atau saling berjauhan, tetapi masih dalam satu selimut, lain halnya dengan pendapat As-Subki.

 

Pembahasan mengenai pengecualian (tidur) dengan ayah/ibu karena didasarkan beberapa hadis, adalah sangat jauh dan kebenaran.

 

Wajib memisahkan anak laki-laki yang telah berusia 10 tahun dari ayah/ibu dan

saudara-saudaranya (laki-laki maupun perempuan) di waktu tidur, sekalipun sebagian ulama ada yang berpandangan bahwa kewajiban tersebut cuma dalam kaitan pemisahan dengan ayah/ibu.

 

Sunah berjabat tangan bagi dua laki-laki atau perempuan jika bertemu. Namun haram berjabat tangan dengan anak kecil laki-laki (amrad) yang cakep, sebagaimana juga memandangnya dibarengi birahi.

 

Makruh berjabat tangan dengan orang yang berpenyakit, misalnya sopak atau lepra.

 

Boleh memandang muka wanita tatkala bermuamalah (jual beli) atau lainnya, karena hajat untuk mengetahunya, dan di kala mengajarkan pelajaran yang wajib dipelajari, misalnya Fatihah: bukan hal-hal yang sunah menurut pendapat Al-Aujah.

 

Juga di kala memberi persaksian untuk wanita atau atasnya, sengaja melihatnya demi persaksian adalah tidak apa-apa, sekalipun dengan mudah bisa didapatkan para wanita atau mahram yang mau memberikan persaksian menurut beberapa pendapat.

 

Sunah bagi wali sebelum mengijabkan nikah, mengucapkan khotbah nikah.

 

Karena itu, bagi calon mempelas laki-laki sebelum qabul, ia tidak disunahkan mengucapkan khotbah, sebagaimana yang telah ditashih oleh An-Nawawi di dalam AI-Minhaj, bahkan khotbah tersebut sunah ditinggalkan, lantaran menghundan perselisihan dengan ulama yang membatalkan akad nikah dengan khotbah tersebut, sebagaimana yang diterangkan oleh Guru kita dan Guru beliau, Zakana rhm., tetapi menurut yang termaktub dalam Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, khotbah calon mempelai laki-laki tersebut, hukumnya sunah dilakukan.

 

Sunah berkhotbah pula sebelum acara pinangan (khitbah) dan sebelum penerimaan lamaran (pinangan).

 

Untuk semua khotbah itu, si khatib memulai khotbahnya dengan puji dan puja kepada Allah, lalu membaca salawat salam kepada Rasulullah saw, dan wasiat takwa,: kemudian dalam khotbah pinangannya, ja berkata: “Aku datang kepada kalian karena mencintai wanita/ pemudimu yang mulia”. Kalau ia sebagai wakil saja, maka yang diucapkan: “Muwakilku datang kepada kalian/atas nama Muwakil aku datang kepada kalian untuk meminang wanitamu yang mulia.”

 

Kemudian si wali atau penggantinya berkhotbah seperti di atas, lalu mengucapkan: “Aku senang kepadamu”.

 

Sunah bagi wali/wakilnya sebelum melaksanakan akad rikah mengucapkan: “Saya akan mengawinkanmu atas perintah Allah Azza wa Jalla, agar dijaga dengan baik atau dilepas dengan baik juga.”

 

Cabang:

 

Haram meminang secara terangterangan (tashrih) terhadap wanita yang masih dalam idah, bukan dari dirinya, baik idah dari talak raj’i ataupun bain, ataupun fasakh maupun kematian suaminya.

 

Melontarkan sindiran pinangan (ta’ridh) terhadap wanita yang beridah selain raj’1 hukumnya boleh: misalnya: “Kamu adalah wanita yang cantik”, dan “Masih banyak laki-laki yang mencintaimu”.

 

Tidak halal meminang wanita yang telak ditalak sendiri tiga kali, sebelum wanita itu fahallul dan habis idahnya dari laki-laki (suami) kedua (Muhallil), jika laki-laki kedua ini menalak raj’i. Tetapi, jika tidak talak raj’i, maka dalam masa idahnya dengan Muhallil tersebut, laki-laki pertama boleh melontarkan sindiran pinangan.

 

Haram bagi laki-laki meminang wanita yang sudah ia ketahui telah dipinang orang lain dan diterima, serta pinangan tersebut, adalahpinangan yang ‘diperbolehkan, sedang pinangan telah diterima dengan ucapan yang jelas, sekalipun pihak wanita tidak menyukai keberadaan pinangan tersebut, kecuali setelah mendapat izin dari peminang, tidak karena takut atau malu, atau peminang tersebut sudah berpaling dari wanita itu, sebagaimana masa pinangan sudah cukup lama setelah ada penerimaan. Termasuk i’radh, adalah kepergian peminang ke tempat yang jauh.

 

Bila seseorang diajak bermusyawarah mengenai semacam laki-laki yang mau menunang (anak putrinya) atau mengenai semacam orang alim yang mau dhayak ikatan kerja, maka orang tersebut wajib menuturkan kejelekan-kejelekan penunang alim dengan sejujur-jujurnya, sebagai nasehat yang wajib diberikan.

 

Wanita yang kuat agamanya (Daniah) dan yang mempunyai sifat adil, adalah lebih utama dinikahi daripada wanita yang fasik, sekalipun bukan karena perbuatan zina, karena hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim: “Ambillah yang kukuh dalam memegang agamanya”

 

Wanita Nasibah, -yaitu wanita mulia lantaran dikerahu dari keturunan ulama atau

orang-orang saleh-, adalah lebih utama dimkahi daripada yang lainnya, karena hadis Nabi saw.: “Pilihkanlah tempat yang bagus untuk air spermamu dan janganlah kamu letakkan di tempat penyemaian yang tidak pantas!”

 

Makruh menikahi wanita hasil perzinaan dan wanita anak orang fasik.

 

Wanita cantik itu lebih utama dinikahi, karena berdasarkan hadis: “Wanita yang paling bagus, adalah yang menyenangkan jika dipandang.”

 

Wanita kerabat jauh dari nasab sendiri, adalah lebih utama daripada kerabat dekat atau wanita lain, karena nafsu birahinya terhadap wanita yang dekat kekerabatannya itu lemah, yang akhirnya mengakibatkan anakeyang lahir kurus.

 

Wanita yang dekat kekerabatannya, adalah wanita yang masih menjadi saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu.

 

Wanita bukan kerabat, adalah lebih utama dari kerabat dekat, hal ini tidak menjadi musykil dengan pernikahan Nabi saw. dengan Zainab r.a., yang menjadi putn pamannya sendiri, lantaran beliau menikahinya untuk menjelaskan kebolehan hukum nikah seperti itu. Begitu juga perkawinan Ali r.a. dengan Fatimah r.a., sebab ia termasuk kerabat jauh, yaitu putri anak laki-laki paman Ali r.a., (cucu paman), bukan putri paman.

 

Wanita gadis lebih utama dinikahi daripada janda, lantaran diperintahkan dalam hadis-hadis sahih, alat kelaminnya lemah untuk memecahkan selaput dara.

 

Wanita yang banyak keturunannya (walud) dan besar rasa kasih sayangnya (wadud) adalah lebih utama, karena berdasarkan perintah Nabi saw.: “Wanita gadis bisa diketahui akan banyak keturunannya dengan melihat kerabatnya”.

 

Yang lebih utama lagi, hendaklah wanita itu berakal cerdas dan berbudi baik, tidak mempunyai anak dari suami terdahulu, kecuali karena ada kemaslahatan, tidak berkulit bule, tidak terlalu tinggi dan tidak kurus, lantaran ada larangan dari Nabi saw. menikahi seperti itu.

 

Terjadinya keutamaan pada wanita di atas (kecuali Daniah), adalah jika sifat Iffah (sifat dapat menjaga harga diri dalam urusan agama) tidak dimiliki oleh wanita selain mereka, tetapi jika sifat Iffah tersebut justru dimiliki oleh wanita-wanita kebalikan mereka, maka yang lebih utama adalah menikahi wanita yang mempunyai sifat Iffah ini.

 

Guru kita (Ibnu Hajar) berkata di dalam Syarhul Minhaj: Jika persilangan sifat-sifat tersebut pada wanita, maka yang Zhahir secara mutiak yang didahulukan untuk dipilih adalah wanita yang kuat agamanya, berakal cerdas, berbudi baik, lalu bernasab baik, gadis, cantik, kemudian yang lebih jelas kemaslahatannya menurut perhitungannya sendiri. Selesai.

 

Di dalam Syahrul Irsyad (Al-Imdad) Guru kuta memantapkan mendahulukan kemampuan melalurkam dari kecerdasan akal.

 

Sunah bagi wali menawarkan putrinya kepada laki-laki yang berbudi pekerti baik.

 

Dalam melakukan nikah, sunah diniati mengikuti sunah (prilaku) Rasulullah saw. dan menjaga agamanya. Nikah mendapat pahala, jika dimaksudkan sebagai perbuatan ketaatan kepada Allah swt., baik menjaga kesucian diri atau mendapatkan anak yang saleh.

 

Sunah akad nikahkah dilaksanakan di dalam mesjid, hari Jumat, pagi hari, bulan Syawal dan sunah pula menyenggama istrinya di bulan itu.

Rukun Nikah Ada Lima:

Calon istri, calon suami, wali, 2 saksi dan shighat nikah.

 

Shighat disyaratkan ada ijab dari wali dengan semisal ucapan: “Zawajtuka/Ankahtuka” (Aku kawinkan kunikahkan) dengan wanita perwalianku si Fulanah.

 

Karena itu, ijab tidak sah dengan lafal selain kedua di atas, karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Takwalah kalian kepada Allah dalam kaitannya dengan para wanita, karena kalian memungut mereka dengan dasar amanat Allah swt. dan membuat halal farji mereka dengan kalimat-Allah.” Yaitu kalimat yang termaktub di dalam kitab Alqur-an, (yaitu kata-kata nikah pada surah An-Nisa’: 3 dan tazwij pada surah Al-Ahzab: 37). Di dalam Alqur-an tidak ada kata untuk menghalalkan farji, selain kedua kata tersebut.

 

Menurut pendapat Al-Aujah, adalah tidak sah ijab dengan “Uzawwijuka/ Ankahtuka” (Engkau akan kukawinkan/kunikahkan). Tidak sah pula kinayah, misalnya: “Engkau kuhalalkan atas anak putriku/Dia kuakadkan untukmu.”

 

Disyaratkan ada qabul dari calon suami bersambung dengan ijab. Misalnya: “Tazawwajtuha/nakahtuha” (Kukawin dia/kunikah dia). Di dalam qabul di sini disyaratkan ada kata yang menunjukkan calon istri, baik semacam menyebutkan namanya, dhamir (kata ganti) atau isyarah (kata tunjuk).

 

Atau dengan kata-kata: “Qabiltu nikahaha/tazwijaha”‘ (Kuterima nikahnya/perkawinannya), atau “Radhitu nikahaha/tazwijaha” (Aku rela dengan nikahnya/ perkawinannya), menurut pendapat Al-Ashah: lain halnya menurut pendapat As-Subki. Atau sah juga menurut pendapat Al-Muktamad dengan kata-kata: “Qabiltu nikah/ tazwij” (Kuterima nikah itu/ perkawinan itu). Tetapi qabul tidak sah dengan: “Fa’altu nikahaha/ tazwijaha”‘ (Kyalani pernikahannva/perkawinannya).

 

Qabul secara mutlak seperti ini: “Qabiltu (Kuterima)/Qabiltuha (Kuterima dia yang dinikahkan)”, adalah tidak sah. Begitu juga tidak sah, qabul seperti ini: “Qabiltuhu” (Kuterima nikah itu).

 

Qabul yang lebih utama, adalah ucapan: “Qabiltu Nikahaha” (Kuterima nikahnya), sebab inilah qabul yang hakiki.

 

Sah akad nikah dengan menggunakan terjemah dari shighat di atas (ijab dan qabul) dengan bahasa apa saja, sekalipun dilakukan oleh orang yang pandai dalam berbahasa Arab, dengan syarat bahwa bahasa asing tersebut dinilai sebagai shighat nikah yang sharih, menurut ahli bahasa yang bersangkutan. Hukum sah ini jika memang kedua belah pihak (wali dan calon suami) serta kedua saksi memahami bahasa asing yang digunakan dalam ijab dan qabul tersebut.

 

Al-Allamah Taqiyyuddin As-Subki berkata di dalam Syarhul Minhaj: Apabila kalimat terjemahan shighat nikah itu oleh para ahli bahasa di daerah yang bersangkutan disepakati sebagai tidak sharih, maka akad nikah menggunakan kalimat terjemahan tersebut hukumnya tidak sah Selesai.

 

Yang dimaksudkan dengan terjemah da sim adalah “terjemah makna nikah menurut lughat”, misalnya kumpul. Karena itu, lafal-lafal yang telah masyhur di sebagian daerah untuk menikahkan (yang tidak sebagai terjemahan nikah menurut lughat) adalah tidak sah digunakan, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita, Al-Muhaqqiq Az-Zamzami.

 

Apabrla seorang qadhi mengakadkan rikah seorang non-Arab dengan bahasa Arab yang tidak ia ketahui makna aslinya, tetapi ia mengetahui bahwa kalimat tersebut digunakan untuk akad nikah, maka sahlah akad tersebut, sebagaimana yang telah difatwakan oleh Guru kita dan Syekh Athiyah.

 

Dalam Syarhul Irsyad dan Minhaj, Guru kita berkata: “Tidak menjadi masalah ada oahn (ketidakbenaran dalam ucapan) pada ucapan orang awam: misalnya membaca fathah ta’. dhamir mutakallim dan mengganti huruf jim dengan zay, atau sebaliknya.

 

Akad nikah orang bisu sudah menjadi sah dengan isyarat, yang memahamkan.

 

Ada yang mengatakan: Akad nikah tidak sah dengan bahasa selain Arab. Jika kita berpijak dengan pendapat ini, maka bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab, ia wajib mempelajari atau menyerahkan akad nikahnya. Pendapat ini diceritakan dari Ahmad rhm.

 

Dari kata-kataku “yang bersambung”, dikecualikan jika antara ijab dengan qabul ditengah-tengahi lafal lain yang tidak bersangkutan dengan nikah sekalipun, jumlahnya hanya sedikit. Misalnya: “Kamu kunikahkan dengan anak putriku: maka wasiatilah ia dengan baik”.

 

Tidak menjadi masalah ada khotbah pendek dari calon suami yang menengah-nengahi ijab dengan qabul, sekalipun kita berpendapat bahwa khotbah tersebut hukumnya tidak sunah. Lain halnya dengan pendapat As-Subki dan Ibnu Abisy Syarif yang mengatakan, bahwa khotbah tersebut menjadikan akad tidak sah. Tidak menjadi masalah lagi di tengah-tengahi dengan “…, maka katakanlah: ‘Kuterima nikahnya”, karena kalimat tersebut : ada penyesuaiannya dengan akad.

 

Apabila sebelum qabul diucapkan, sang wali yang telah mengijabkan menarik ijabnya, calon istri menarik kembali izinnya atau ia gila atau murtad, maka ijab tidak boleh dilakukan.

 

Cabang:

Apabila wali berkata: “Kukawinkan kamu dengan putri perwalianku dengan maskawin sekian”, lalu calon suami menjawab: ” Kuterima nikahnya” tanpa menyebutkan maskawinnya, maka sah akad rikah dengan kewajiban membayar maskawin mutsil, lain halnya dengan pendapat Al-Barizi yang mengatakan tidak sah.

 

Menta’liq nikah hukumnya tidak sah, sebagaimana jual beli, bahkan salam ta’liq nikah mempunyai nilai lebih ketidaksahannya, karena ada kekhususan penambahan sikap

hati-hati. Misalnya seorang ayah berkata: “Jika putriku telah dicerai dan habis idahnya, maka kamu kukawinkan dengannya”, lalu orang lain tersebut, qabul, kemudian ternyata wanita tersebut telah idah dan memberi izin, maka akad nikah di siri tidak sah, lantaran sighat nikah mengalami kerusakan sebab ta’liq.

 

Sebagian fukaha membahas kesahan Ijab seperti ini: “Jika si Fulanah menjadi wanita perwalianku, maka kamu kunikahkan dengannya”, dan “Kamu kunikahkan jika kamu menginginkan”, sebab di sini pada hakikatnya tidak ada ta’liq, sebagaimana di dalam jual beli.

 

Nikah tidak sah dengan dibatasi berlakunya, baik pembatasan waktu yang maklum atau tidak, sebab ada kesahihan larangan dalam nikah Mut’ah (kawin kontrak), yaitu kawin yang dibatasi waktu pertaliannya, sekalipun seribu tahun.

 

Tidak termasuk nikah yang dibatasi waktunya, bila wali berkata: “Kukawinkan kamu selama masa hidupmu atau hidup wanita perwaliannya”, karena masa itulah tempo pertalian akad rikah, bahkan akibat rukah itu ada yang sampai setelah mati (misalnya, memandikan dan pewarisan harta pusakanya).

 

Dalam nikah Mut’ah, pihak laki-laki yang menyetubuhi wanitanya wajib membayar Mahar. Bertemunya nasab anak yang dilahirkan dan bagi pihak wanitanya diberlakukan masa idah.

 

Dalam nikah Mut’ah pihak suami tdak dapat dikenai had, jika dinikahkan dengan menggunakan wali dan 2 saksi. Bila akad nikah dilakukan hanya antara laki-laki dan wanita, maka ia wajib dihad. Adapun jika hukum had dikenakan padanya, maka kewajiban membayar mahar ditiadakan, begitu pula hubungan nasab dan masa idah untuk wanita tersebut.

 

Akad nikah tetap sah tanpa menyebutkan mahar ketika akad, tetapi penuturan mahar ketika akad hukumnya sunah, dan makruh jika : tidak menyebutkannya. Tetapi, jika seseorang mengawinkan budak perempuannya dengan budak laki-lakinya sendiri, maka tidak sunah menuturkannya ketika akad.

 

Syarat calon istri: Tidak menyadi istri orang lain dan tidak berada dalam masa idah dengan suami yang lain.

 

Disyaratkan pula Ta’yin (menentukan) terhadap calon istri. Karena itu, ijab dengan semacam: “Kamu kunikahkan dengan salah satu anak-anak putriku”, adalah tidak sah, sekalipun disertai isyarat.

 

Penentuan sudah bisa dianggap cukup dengan menyebutkan sifat atau isyarat: misalnya: “Kamu kukawinkan dengan putriku”, sedang ja hanya mempunyai satu putri itu saja, atau “.., yang ada di dalam rumah”, sedang yang di dalam hanya putrinya itu saja, atau “… wanita iri”, sekalipun dalam ketiga contoh tersebut nama wanita yang disebutkan nama sesungguhnya.

 

Lain halnya dengan: “Kamu kukawinkan dengan Fatimah” (tanpa menyebutkan “anak putriku”), sekalipun Fatimah itu nama anak putrinya, kecuali jika kedua belah pihak (wali dan calon suami) meniatkan Fatimah yang menjadi anak putrinya.

 

Bila wali berkata: “Kamu kunikahkan dengan anak putriku yang tua”, dan menyebutkan nama anak putrinya yang muda, maka akad rukah untuk yang tua, sebab “tua” itu sifat yang berdiri pada dirinya, berbeda dengan “nama”: Karena itu, bisa dimenangkan daripada “nama”.

 

Bila wali berkata: “Kamu kunikahkan dengan anak putriku, Khadijah” dan ternyata Khadijah itu cucu dari anak laki-lakinya, maka akad nikah hukumnya sah, jika kedua belah pihak berniat Khadijah yang menjadi cucunya, menentukan dengan Isyarat, atau cucunya hanya Khadijah. Kalau tidak begitu, maka akad nikah tidak sah.

 

Disyaratkan pula bagi calon istri, tidak ada hubungan mahram antara dia dan peminang dengan pertalian nasab.

 

Karena itu, jika ada pertalian nasab, maka haram mengawini wanita-wanita kerabat yang selain masuk dalam derajat saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu, karena berdasarkan ayat: “Diharamkan atas kamu…” (Q.S. An-Nisa’: 23).

 

Kalau begitu, haram menikahi: 1. Ibu, yaitu wanita yang melahirkanmu, atau wanita yang melahirkan ayah atau ibumu (nenek dari ayah atau ibu), 2. Anak perempuan, yaitu wanita yang kamu lahirkan, atau wanita yang lahur dan anak laki-laki/ perempuanmu (cucu), Tidak haram menikahi anak perempuan dari hasil perzinaan sendiri: 3. Saudara perempuan, 4. Keponakan perempuan dari saudara laki-laki, 5. Keponakan perempuan dari saudara perempuan, 6. Bibi dari ayah, yaitu wanita yang menjadi saudara perempuan laki-laki yang melahirkanmu, dan 7. Bibi dari ibu, yaitu wanita yang menjadi saudara perempuan yang melahirkanmu.

 

Cabang:

Apabila seorang laki-laki mengawiri wanita yang tidak diketahui nasabnya, lalu ayah sang suami tersebut mengaku bahwa wanita itu adalah anak perempuannya, maka status kenasabannya tertetapkan, tetapi ikatan pernikahannya tidak rusak, jika suami mendustakan pengakuan ayahnya. Begitu juga sebaliknya, misalnya, seorang wanita kawin dengan laki-laki yang tidak diketahui nasabnya, lalu ayah wanita itu mengaku bahwa laki-laki tersebut adalah anaknya, sedang anak putrinya tidak membenarkan pengakuan tersebut.

 

Atau pertalian susuan (radha’). Karena itu, semua wanita yang diharamkan dinikahi sebab nasab, adalah diharamkan sebab radha”, berdasarkan hadis Muttafaq Alaih: “Dari pertalian radha’ diharamkan sebagaimana pertalian nasab”.

 

Maka, wanita yang menyusuimu, yang menyusul wanita yang menyusuimu, wanita yang menyusui ayah/ibu dari nasab atau susuan, setiap wanita yang melahirkan wanita yang menyusuimu, atau melahirkan suami wanita yang menyusuimu, adalah ibu radha’mu. Wanita yang menyusu kepada isgrimu/istri anak turunmu -baik dari nasab atau radha’ dan -anak perempuan wanita tersebut, baik dari pertalian nasab atau radha’, sampai ke bawah, adalah anakmu. Wanita yang menyusu kepada salah satu ayah/ibumu -baik dari pertalian nasab atau radha’-, adalah saudara wanitamu.

 

Wanita-wanita mahram sebab nasab yang lainnya, kiaskan dengan contoh radha’ ini.

 

Wanita yang tidak haram kamu nikahi sebab pertalian radha’: 1. Wanita yang menyusu saudara laki-lakimu (atau perempuan), 2. Wanita yang menyusui cucu-cucumu, 3. Ibu wanita yang menyusui anakmu. Begitu juga tidak haram menikahi saudara perempuan (kakak atau adik perempuan) saudara laki-lakimu yang seayah/seibu, baik dari segi nasab atau radha’.

 

Peringatan:

 

Susuan yang dapat mengharamkan wanita dinikahi, adalah dengan sampainya air Susu Wanita usia hard -sekalipun hanya setetes dalam tiap tegukan atau bercampur benda lan, sekalipun hanya sedikitke rongga dalam anak yang secara yakin belum mencapai usia 2 tahun, sebanyak 5 kali tegukan secara yakin menurut kebiasaan.

 

Apabila anak yang menyusu (radha’) melepaskan susuannya dengan berpaling -sekalipun tidak terieka dengan perbuatan lain- atau diputus oleh wanita yang menyusuinya, lalu dengan seketika kembah menyusu lagi, maka dihitung dua kali tegukan.

 

Atau radha’ memutus dengan semacam lergah -misalnya tidur sebentar-, lalu kembali menyusu lagi dengan seketika, tidurnya-cukup lama, tetapi puting susu masih berada di mulutnya, atau ia berpindah susu satu ke lainnya, -sekalipun yang memindahkan. adalah wanita Murdhi’ah-, atau diputus oleh Murdhi’ah untuk suatu perbuatan ringan, kemudian menyusu kembali, maka semua itu tidak terhitung.

 

Wanita yang menyusui anak kecil, statusnya adalah menjadi ibunya dan suaminya menjadi ayahnya.

 

Kemahraman menjalar dari anak yang disusw kepada orangtua, anak dan nasab sampingan (saudara laki/ perempuan paman laki/perempuan) suami dan istri yang menyusu anak tersebut, baik dan pertalian nasab atau radha’.

 

Kemahraman di atas tidak dapat menjalar kepada orangtua radhi’ dan nasab sampingan (hawasyi)nya.

 

Apabila calon suami dan istri sebelum melaksanakan akad nikah berikrar, bahwa di antara mereka berdua ada hubungan saudara dari segi radha’ dan hal itu mungkin adanya, maka perrikahan mereka hukumnya haram, sekalipun mereka berdua mencabut kembali ikrarnya.

 

Kalau ikrar tersebut setelah akad nikah, maka akad nikahnya batal dan mereka berdua harus berpisah.

 

Kalau yang berikrar itu pihak pria, lalu pihak wanita mengingkarinya, maka ia dapat dibenarkan dalam hubungannya dengan haknya dan mereka wajib dipisahkan.

 

Kalau yang berikrar itu pihak wanita, bukan pria, maka jika ikrar tersebut setelah wanita menentukan laki-laki yang akan mengawini dalam izin yang ia berikan atau setelah ia mempersilakan suami menyetubuhi dirinya, maka ucapan wanita itu tidak dapat diterima, tetapi jika tidak seperti itu semua, makaia dapat dibenarkar dengan sumpahnya.

 

Adalah tidak dapat diterima, dakwaan semisal ayah tentang keberadaan hubungan mahram sebab radha’ antara suami dengan istri.

 

Hubungan radha’ dapat ditetapkan berdasarkan persaksian satu orang laki-laki dan dua wanita atau 4 wanita, sekalipun salah satu dari keempat tersebut ada ibu murdhi’ah sendiri, jika ia memberikan persaksian secara hisbah (persaksian atas dasar kemauan sendiri, tanpa diminta) yang tidak didahului ada dakwaan, sebagaimana halnya dapat diterima persaksian ayah atau anak laki-laki seorang wanita mengenai talaknya, jika dilakukan secara hisbah.

 

Persaksian murdhi’ah bersama 3 wanita yang lain dapat diterima, jika ja menyusui anak laki-laki tanpa menunta ypah, sekalipun ia merryebutkan perbuatannya sendiri: misalnya: “Aku memberikan persaksian, bahwa aku telah menyusuinya”.

 

Disyaratkan dalam persaksian radha’, menyebutkan waktu penyusuan, bilangan dan berpisah-pisahnya, berapa kali tegukan dan sampainya air susu ke rongga dalam bayi yang disusui pada tiap tegukan.

 

Sampainya air ke dalam rongga dapat diketahui dengan melihat air susu yang diperah, lalu disuapkan dan tertelan, atau dengan berbagai petunjuk, misalnya keberadaan. radhi” menyesap puting susu dan ‘ kerongkongannya bergerak-gerak, setelah (saksi) mengetahui bahwa murdhi’ah mempunyai air susu, Kalau ia tidak mengetahui, makaia tidak halal memberikan persaksian, karena asal masalahnya adalah air susu itu tidak ada.

 

Dalam memberikan (menyampaikan) persaksian, tidaklah cukup dengan sekadar mengemukakan petunjuk – petunjuk, tetapi petunjuk tersebut dijadikan pedoman untuk memantapkan persaksiannya.

 

Bila saksi radha’ kurang cukup nisabnya (4 perempuan atau 1 laki-laki dan 2 perempuan), terdapat keraguan tentang kesempurnaan jumlah tegukan, mengenai umur dua tahunnya, atau mengenai sampainya air susu ke dalam rongga radhi’, maka nikahnya tidak diharamkan, tetapi yang wara’ (hati-hati) adalah menghindari pernikahan, sekalipun yang memberikan kabar hanya seorang wanita.

 

Tetapi, jika ia membenarkan ucapan satu orang wanita itu, maka ia wajib menjadikan pedoman berita tersebut.

 

Ikrar tentang radha’ tidak dapat tertetapkan, kecuali dengan keberadaan saksi dua laki-laki yang adil.

 

Atau dengan pertalian Mushaharah (perjodohan).

 

Karena itu, haram menikahi istri orang tua, baik itu ayah atau kakek dari ayah/ibu dan terus ke atas, dari segi nasab atau radha’. Haram juga istri anak turun, baik itu anak atau cucu terus kebawah.

 

Juga haram menikahi ibu istri terus ke atas, baik dari segi nasab atau radha’, sekalipun istri itu belum dikumpuli, karena berdasarkan ayat Alqur-an di atas.

 

Hikmah diharamkan ibu mertua dinikahi, karena seorang suami dalam mengatur istrinya sebagian besar tidak dapat lepas dalam perbincangan dan berduaan (khalwah) dengan ibu mertuanya, maka ibu mertua dan anak menantunya haram untuk dinikahi karena akad nikah dengan anak putrinya telah dilaksanakan, agar si suami dengan mudah dapat melaksanakan tugasnya.

 

Ketahuilah, bahwa syarat diharamkan anak menikahi istri orangtuanya, orangtua menikahi menantunya dan seorang menantu menikahi ibu istrinya ketika mereka belum mengumpuli istri (haram menikahi wanita-wanita tersebut, sebab keadaan akad), adalah akad rukah yang sah.

 

Begitu juga haram menikahi keturunan istri dari segi nasab atau radha’, sekalipun telah ditengahtengahi suatu generasi, baik anak turun tersebut berupa cucu perempuan dari garis laki-laki atau perempuan sampai ke bawah, jika memang si istri telah disetubuhi, sekalipun pada lubang anus dan sekalipun akad nikah yang dilaksanakan adalah akad yarg batal.

 

Kalau suami belum pernah menyetubuhi istrinya (ibu anak tiri), maka anak perempuan istrinya tidak haram dinikahi ayah tirinya, lain halnya dengan ibu mertuanya.

 

Tidak haram menikahi anak perempuan suami ibu (anak perempuan bawaan ayah tiri), ibu dari ibu tri dan ibu mertua anak laki-laki (besan).

 

Barangsiapa menyetubuhi wanita sebab pemilikan (budak perempuan) atau sebab syubhat -misalnya wanita syubhat, adalah menyetubuhi dalam akad nikah/pembelian budak perempuan yang fasid, atau karena dikira istrinya, maka ibu-ibu dan anak perempuar wanita tersebut haram baginya dan wanita tersebut haram bagi ayah-ayah dan anak-anak laki-laki orang tersebut, sebab persetubuhan terhadap budak wanita yang dimiliki, adalah berkedudukan seperti persetubuhan dalam akad nikah. Akibat hukum dari persetubuhan syubhat ini adalah: Bertemu nasab anak yang lahir dengannya dan diwajibkan idah wanita tersebut, karena dimungkinkan terjadi hamil itu dani dirinya, baik syubhat juga terjadi pada wanita tersebut (masalnya dikira suaminya dan sebagainya) atau tidak terjadi.

 

Tetapi, bagi laki-laki yang menyetubuhi wanita dengan wanita syubhat, adalah haram memandang dan menyentuh ibu dan anak perempuan wanita yang disetubuhi (sebab hubungan mahram ndak bisa ditemukan dengan laki-laki tersebut).

 

Cabang:

 

Apabila ada wanita mahram seorang bercampur di tengah-tengah kaum wanita yang tidak dihitung jumlahnya dengan mudah, misalnya 1000 wanita, maka menurut pendapat Al-Arjah, ia boleh menikahi mana saja di antara wanita-wanita tersebut hingga jumlah mereka tinggal seorang, sekalipun ia dapat menikahi -dengan mudah- wanita yang diyakini kehalalannya (misalnya wanita di luar kalangan mereka).

 

Kalau bercampurnya di tengah-tengah kaum warnta yang dapat dihitung satu per satunya dengan mudah, misalnya 20 atau bahkan 100 wanita, maka ia tidak boleh menikahu satu pun dari jumlah tersebut.

 

Tetapi, jika ia dapat membedakannya dengan pasti, misalnya wanita yang menjadi mahramnya berkulit hitam bercampur dengan wanita-wanita yang tidak berkulit hitam, maka selain yang berkulit hitam boleh dinikahi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita.

 

Peringatan:

Ketahuilah, bahwa disyaratkan pula keberadaan calon istri, adalah wanita muslimah atau kitabi yang murni (wanita Yahudi atau Nasrani), baik dzimmi atau harbi).

 

Karena itu, hukumnya halal, tetapi makruh, menikahi wanita Israiliyat, dengan syarat tidak diketahui bahwa nenek moyang awal kenasaban wanita tersebut masuk ke agama itu (Yahudi/Nasrani) setelah diutus Nabi Isa a.s., sekalipun masuknya (nenek moyang) ke agama diketahui setelah terjadi perombakan kitab Taurat.

 

Halal juga tapi makruh, menikahi wanita Kitabiyah selain Israiliyat, dengan syarat diketahui bahwa nenek moyang kenasabannya memeluk agama sebelum bi’tsah, sekalipun setelah terjadi perombakan Kitab, jika mereka menjauhi perombakan yang palsu.

 

Jika seorang suami kitabi memeluk Islam, sedang istrinya seorang Kitabiyah, maka pernikahannya tetap langgeng, sekalipun memeluk Islam sebelum menyetubuhi istrinya.

 

Bila seorang suami Watsani (penyembah batu atau lainnya) memeluk Islam sebelum menyetubuhi istrinya, dan istrinya yang beragama Watsam tidak mau ikut masuk Islam, maka seketika itu ikatan nikah mereka terputus. Kalau masuk Islamnya setelah menyetubuhi dan istrinya memeluk Islam sebelum idahnya habis, maka ikatan nikahnya langgeng, tetapi jika istri tersebut tidak ikut masuk Islam, atau ia masuk Islam setelah idahnya habis, maka putusnya ikatan permikahan dihutung semenjak suaminya Islam.

 

Bila istri orang kafir memeluk Islam dan suami masih dalam kekafirannya, maka jika (sebelum istri memeluk Islam) suami pernah menyetubuhinya dania memeluk Islam ketika istri masih dalam idahnya, maka ikatan pernikahan tidak terputus, tetapi jika ia tidak memeluk Islam ketika istrinya masih dalam idah, maka terputus ikatan pernikahannya terhitung semenjak istri memeluk Islam.

 

Bila ikatan pernikahan suami-istri kita hukumi tidak terputus, maka kerusakan akad nikah yang pernah mereka langsungkan sebelum Islam, adalah tidak menjadi masalah, jika kerusakan itu bisa hilang dengan keislamannya: Maka, ketika istri (ketika belum Islam) distatuskan rikah dalam idah, jika idah itu bisa habis dengan keislaman, dan penggasaban kafir Harbi terhadap “perempuan kafir Harbiyah bisa distatuskan nikah, jika mereka beriktikad bahwa penggasaban tersebut sebagai nikah. Sebagaimana gasab, yaitu perempuan Harbiyah melayani kemauan laki-laki Harbi dengan suka rela (kehendak sendiri ). Begitulah yang dikatakan oleh Guru kita.

 

Menurut pendapat sahih: Nikah orang. orang kafir hukumnya sah. Menurut – sebagian ulama Mutaakhirin, bahwa menikahi jin wanita hukumnya tidak sah, sebagaimana sebaliknya.

 

Disyaratkan bagi calon suami:

 

Ta’yin, Karena itu, ijab seperti ini: “Kukawinkan anak putriku dengan salah satu dari kamu berdua” adalah tidak sah, sekalipun memakai syarat.

 

Suami tidak mempunyai istri yang ada hubungan mahram -baik dari nasab atau radha’ dengan calon istrinya (pinangan), misalnya antara istri dengan calon istri hubungannya kakak-adik, atau keponakan dengan bibi dan ayah/ibu. Sekalipun istrinya sudah berada dalam idah raj’iyah, sebab wanita yang berstatus talak raj’i seperti status istri dengan bukti masih dapat mewaris,

 

Bila seorang mengawini dua wanita yang masih ada hubungan mahram (jika dikumpulkan), dengan satu akad, maka akad nikah batal untuk kedua-duanya, karena tidak ada alasan yang memenangkan salah satunya: Tetapi, kalau dalam dua kali akad, maka akad kedua hukumnya batal.

 

Batasan dua wanita yang haram dikumpulkan dalam ikatan per-kawinan adalah: Setiap dus warnta yang ada hubungan nasab atau radha’, di mana diharamkan pernikahan antara mereka, andaikata salah satu dari mereka itu laki-laki.

 

Disyaratkan lagi: Suami tidak mempunyai 4 istri, sekalipun salah satu dari keempat berada dalam idah raj’iyah, karena wanita dalam idah raj’iyah dihukumi sebagaimana Seorang istri.

 

Bila seorang laki-laki merdeka menikahi 5 wanita berturut-turut, maka nikah yang kelima hukumnya batal, Kalau dilakukan sekaligus dalam satu akad, maka semuanya batal. Jika seorang laki-taki budak menambah dari 2 wamta, maka batal, seperti peraturan di atas.

 

Apabila istri yang menjadi mahram calon istri atau salah satunya dari 4 istrinya berada dalam idah talak Bain, maka menikahi mahram istri/ wanita kelima adalah sah hukumnya, karena wanita yang sudah tertalak bainstatusnya orang lain.

 

Disyaratkan bagi dua orang Saksi:

 

Ahli sebagai saksi, sebagaimana Syarat-syarat yang akan dituturkan dalam Bab Syahadah nanti, Yaitu merdeka secara sempurna, jelas kelaki-lakiannya dan adil. Di antara keharusan adil: Islam, taklif, mendengar, berbicara dan melihat, sebab apa yang akan diterangkan di belakang nanti, bahwa ucapanucapan tidak dapat ditetapkan adanya, kecuali secara nyata terucapkan dan terdengar telinga.

 

Mengenai persaksian orang buta, ada satu pendapat yang memperbolehkan, karena ia termasuk Ahlusy Syahadah dalam arti seluruhnya. Pendapat Al-Ashah: Syahadah orang buta idah sah, sekalipun ia tetap mengenal Calon suami dan istri.

 

Orang yang berada di tempat yang sangat gelap, hukumnya sepert orang buta.

 

Disyaratkan lagi: Dua saksi mengetahui bahasa yang digunakan wali nikah dan calon suami (bahasa dalam ijab dan qabul).

 

Disyaratkan pula. Kedua-duanya/ salah gatunya tidak berstatus menjadi wali.

 

Karena itu, akad nikah tidak sah dengan saksi 2 orang budak/2 wanita/2 orang fasik/2 orang tuli/2 orang bisu/2 orang yang tidak memahami bahasa orang yang berijab dan qabul/orang yang menjadi wali:

 

Apabila seorang ayah/saudara lakilaki yang hanya seorang mewakilkan ijab nikah, talu ia sendiri datang bersama saty orang lagi (untuk menjadi saksi), maka akad nikah tidak sah, sebab. ia berstatus wali yang mengakadkan, karena itu, ia tidak dapat menjadi saksi.

 

Dari keterangan ini, maka jika ada 3 orang saudara laki-laki, yang 2 menjadi saksi dan 1 orang mengakadkan rukah tanpa perwakilan dari salah satu dua saudara tersebut, maka akad nikahnya sah, tetapi jika la mengakadkan nikah atas nama wakil saudara yang lain, maka nikah tidak sah.

 

Peringatan:

 

Minta izin nikah dari wanita yang berhak memberikanizan tidak disyaratkan harus dipersaksikan, sebab izinnya bukan rukun akad, tetapi syarat untuk sah akad, baik wali mikahnya bukan hakim atau hakim, tetapi menurut pendapat Al-Ayjah: Jika walinya hakim, adalah harus ada persaksian izin nikah dan wanita yang akan dinikahkan.

 

Imam Ar-Rauyan di dalam Al-Bahr menukil pendapat Ashhabusy Syafi ‘iyah: Boleh berpedoman pada anak kecil yang diutus oleh wali kepada orang lain, agar mengawinkan wanita mauliyahnya, jika orang yang diberi tahu oleh anak kecil tersebut membenarkan kata-kata yang diucapkan.

 

Cabang:

 

Apabila seorang wali menikahkan wanita mauliyahnya yang mempunyai wewenang memberi izin, di mana izin belum sampai kepadanya, maka menurut pendapat Al-Aujah, jika ternyata izin menikahkan telah dipersilakan oleh wanita terlebih dahulu daripada akad nikah, maka akad nikah hukumnya sah, sebab ukuran penilaian akad adalah kenyataan perkara itu sendiri (nafsul Amr), bukan berdasarkan perkiraan (zhan) dari mukalaf.

 

Nikah hukumnya sah dengan saksi 2 orang adil Mastur: yaitu orang yang tidak diketahui perbuatan fasiknya, sebagaimana yang dinash oleh Asy-Syafi’i yang dipedomi oleh segolongan fukaha dan dibicarakan secara panjang-lebar.

 

Kemasturan keadilan menjadi batal sebab tarjih (penilaian fasik) dari orang yang adil. Orang fasik yang telah bertobat tidak dapat disamakan dengan Mastur (artinya: Fasik yang telah bertobat bisa menjadi saksi setelah lewat masa satu tahun dani : tobatnya). Sunah menyuruh bertobat terhadap adil Mastur sebelum akad dilaksanakan.

 

Apabila hakim mengetahui kefasikan . 2 saksi, maka ia wajib memisahkan antara suami-istri, sekalipun belum saling melaporkan kepadanya, menurut pendapat Al-Aujah.

 

Akad nikah juga sah dengan 2 orang saksi dari putra suami dan istri atau 2 orang yang menjadi musuh suami-istri. Terkadang ayah sah menjadi saksi, sebagaimana putrinya berupa budak

 

Menurut lahir pembicaraan Al-Hanathi -bahkan kejelasan pembicaraan-: Calon suami tidak wajib meneliti keadaan wali dan para saksi. Kata Guru kita: Yang benar memang begitu, jika ia tidak memperkirakan ada perkara yang merusak akad.

 

Nikah jelas menjadi batal karena ada hujah (alasan) yang membatalkannya, baik berupa bayinah ataupun pengetahuan hakim.

 

Atau karena ada ikrar suami-istri tentang hak mereka mengenai ada hal yang mencegah sah nikah, misalnya kefasikan saksi atau wali ketika akad berlangsung, keadaan wali atau saksi sebagai budak atau kanak-kanak, dan seperti terjadi akad masih dalam keadaan idah.

 

Kata-kata “hak mereka”, mengecualikan hak Allah swt.: misalnya suami telah mencerai tiga talak, kemudian mereka berdua sepakat bahwa akad nikahnya adalah fasid karena hal-hal di atas (fasik dan lain-lain), lalu suami menghendaki membarui nikahnya, maka ikrar mereka tentang keberadaan Tajdidun Nikah tidak dapat diterima, tetapi harus ada Muhallil terlebih dahutu, karena di siri terdapat kecurigaan, dan karena kemuhallilan itu hak Allah.

 

Bila suami-istri mengajukan bayinah mengenai kerusakan akad, maka tidak dapat diterima, tetapi jika yang diajukan adalah bayinah hisbah, maka dapat diterima.

 

Memang! Ketidak terimaan ikrar mereka tersebut adalah secara lahur, adapun secara batin, maka melihat kenyataan perkara itu sendiri.

 

Akad nikah tidak nyata-nyata batal dengan ikrar dua saksi mengenai keberadaan hal-hal yang menghalangi kesahan rikah. Karena itu, ikrar tersebut tidak berpengaruh terhadap kebatalan nikah, sebagaimana ikrar mereka mengenai kebatalan nikah setelah diterima persaksian, Juga tidak membawa pengaruh, dan karena penghalangan kesahan nikah bukan hak mereka, maka ucapan mereka tentang hal itu, tidak dapat diterima.

 

Adapun bila yang berikrar hal itu pihak suami, bukan istri, maka suami-istri harus dipisahkan, karena untuk menindaklanjuti dari pengakuan suami tersebut, Lalu, suami wajib membayar separo maharnya, jika belum menyenggamai istrinya . dan keseluruhannya jika telah menyenggamainya, karena ucapan suami. bahwa mahar telah dibayarkan adalah tidak dapat diterima.

 

Lain halnya bila yang berikrar hal tersebut adalah pihak istri, bukan pihak suami, maka suami dibenarkan dengan sumpahnya, sebab pemeliharaan kelangsungan nikah ada di tangannya, sedang istri ingin menghilangkannya: Karena itu, ia tidak dapat menuntut maharnya kepada suami, jika ia dicerai sebelum dijimak, tetapi jika sesudah dijimak, maka suami wajib membayar jumlah mahar lebih kecil daripada Yang disebut ketika akad ( telah djtentukan) dan lebih kecil daripad mahar mutsil.

 

Bila istri berikrar (mengakui) telah memberikan izin nikah, lalu ia mendakwa bahwa izin yang ia berikan dengan syarat ada sifat tertentu pada diri calon suami dan ternyata sifat tersebut tidak ditemui. pada dirinya, dan suami mengingkari pengakuan istrinya, maka menurut apa yang dizhahirkan oleh Guru kita, bahwa istri dapat dibenarkan dengan cara disumpah.

 

Bila suami-istri berselisih: Istri mendakwa bahwa dirinya adalah: mahram suaminya dari radha”, tetapi suaminya mengingkati, maka dakwaan bisa diterima dan ia harus bersumpah. Untuk selanjutnya, jelas nikahnya batal.

 

Kemudian hakim harus memisahkan suami-istri tersebut, jika istri tidak rela dengan suaminya ketika akad dan sesudahnya karena ada paksaan nikah atas dirinya atau izinnya tanpa menentukan galon suami, dan setelah akad nikah dilangsungkan, istri tidak rela dengan keadaan suaminya yang ia wujudkan dengan ucapan dan tidak menyerahkan dirinya untuk dijimak, karena kemungkinan dakwaan istri tersebut benar, di samping itu ada hal yang kebalikannya. Dakwaan ada hubungan mahram di atas, misalnya seorang istri sebelum akad berkata: “Fulan … Itu saudaraku dari radha’ “, maka la tidak dikawinkan dengan fulan itu.

 

Tetapi, bila istri (ketika akad) rela – dengan suaminya, dan kerelaannya itu. tidak diberi alasan, misalnya . karena lupa atau salah sikap, maka dakwaan mahram di atas tidak dapat diterima.

 

Apabila istri yang rela dengan suaminya tersebut memberikan alasan, maka dakwaan ada hubungan mahram dapat diterima karena uzur, tetapi suaminya.disuruh sumpah Halif (meniadakan dikwaan istri). Alasan mengapa ia rela dengan suaminya itu, misalnya karena lupa atau salah sikap.

 

Syarat bagi wali: Adil, merdeka dan mukalaf.

 

Karena itu, orang fasik selain Imamul A’zham (kepala negara) tidak berhak menjadi wali, karena kefasikan itu sifat kurang yang membuat kesaksian (syahadah) menjadi tercela, oleh karena itu menghalangi kewalian sebagaimana dengan sifat budak Pendapatinlah yang ada dalam mazhab Dasarnya adalah hadis sahih: “Nikah itu tidak sah, kecuali dengan wali mursyid (adil).

 

Sebagian fukaha berkata: Orang fasik dapat menjadi wali.

 

Pendapat An-Nawawi -sebagaimana pendapat Ibnush Shalah dan As-Subki- adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Al-Ghazali, bahwa hak kewahan tetap ds tangan fasik, jika sekira dipindahkan malah dipegang oleh hakim yang fasik.

 

Bila wali fasik itu bertobat secara baik, maka dengan seketika ia dapat mengawinkan, menurut yang dipedomi Guru kita dan lainnya.

 

Tetapi menurut pendapat Syaikhani (Rafi’i dan Nawawi): la belum merukahkan, kecuali setelah istibra’ (membersihkan selama 1 tahun)

 

Pendapat iri dipedomani oleh As-Subki.

 

Kewalian tidak berhak dipegang oleh budak -baik budak mutlak atau muba’adh-, karena sifat kekurangan, Begitu juga anak kecil dan orang gila, karena sifat kurang juga, sekalipun gilanya terputus-putus, lantaran memenangkan masa gila atas masa sembuh yang menyebabkan hulang ibadah. Karena itu, wali yang jauh boleh menikahkan dalam tempo kegilaan wali saja serta tidak usah ditunggu masa sembuhnya.

 

Tetapi, jika masa gila hanya sebentar saja, misalnya sehari dalam tahunan, maka masa sembuh ditunggu.

 

Dihukumi seperti orang gila, orang yang mempunyai penyakit yang membuatnya tidak normal dalam memikirkan kemaslahatan, Orang yang pikirannya sudah tidak normal lantaran lanjut usia, dan orang yang setelah sembuh dari penyakitnya masih tertinggal bekas-bekas kekacauan pikirannya, sehingga membuat sikapnya tidak normal.

 

Kebahkan dari syarat kewalian di atas fasik, budak, kanak-kanak dan gilamemindahkan hak kewalian pindah kepada wali yang lebih jauh -bukan kepada hakim-, sekalipun dalam Bab Wala’.

 

Selungga bila seorang memerdekakan budak perempuannya, lalu orang Itu mati meninggalkan anak kecil dan saudara laki-laki yang bahg, maka hak kewahan dipegang oleh saudaranya tersebut -bukan hakim-, menurut pendapat Al-Muktamad.

 

Juga tidak ada hak kewalian pada wanita. Karena itu, dia tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri atas izin walinya dan anak-anak perempuannya, Lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah.

 

Ikrar seorang wanita mengenai pernikahannya yang dibenarkan oleh suaminya, adalah dapat diterima -sekalipun walinya tidak membenarkannya-, karena ikatan permikahan adalah hak suami-istri, makanya dapat dibenarkan ada ikatan tersebut berdasarkan pengakuan mereka.

 

Wali nikah adalah dengan urutan sebagai berikut Ayah, kalau ayah ndak ada -baik secara nil maupun formal-, maka hak kewalian pindah kepada kakek dari garis ayah terus ke atas.

 

Ayah dan kakek dapat merukahkan gadis atau janda yang belum pernah djimak -misalnya hilang selaput dara lantaran dimasuki jan-jarttanpa serannya, sekira ndak ada permusuhan nyata antara ayah/kakek dengan wanita tersebut.

 

Karena itu, tidak disyaratkan ada izin dan si gadis -baik ia sudah balig atau belum-, lantaran sifat kasih sayang ayah/kakek kepadanya yang sempurna, dan karena hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni: “Janda itu lebih berhak atas dirmya daripada walinya, sedangkan gadis dikawinkan oleh ayahnya (tanpa seizinnya).”

 

(Kebolehan menikahkan gadis tanpa seizin darinya) kepada laki-laki yang seimbang dan mampu membayar mahar mutsit.

 

Karena itu, jika wali Mujbir -ayah atau kakek- mengawinkan anak gadisnya dengan laki-laki yang tidak kafa-ah (seimbang), maka akad nikahnya tidak sah. Begitu juga tidak sah, jika dikawinkan dengan laki-laki yang tidak dapat membayar mahar mitsil, menurut pendapat yang dipedomi Syaikhani.

 

Tetapi menurut pendapat pilihan segolongan ulama Mutakaddimun: Mengawinkan dengan laki-laki yang tidak Japat membayar mahar mitsil hukumnya sah, dan pendapat ini dipegang oleh Guru kita, Ibnu Ziyad.

 

Disyaratkan untuk kebolehan -bukan sahnyawali Mujbir mengawinkan anak gadisnya tanpa seizinnya, adalah dikawinkan dengan mahar mitsil yang kontan, berupa mata uang yang berlaku di daerah setempat. Kalau syarat dua ini (mahar mitsil dan uang daerah setempat) tidak didapatkan, maka akad nikah sah dengan kewajiban membayar mahar mitsil berupa uang daerah setempat.

 

Cabang:

 

Jika wali Mujbir berikrar telah menikahkan dengan laki-laki seimbang, maka ikrarnya diterima -sekalipun si gadis mengingkannya-, karena orang yang berhak menimbulkan kejadian, adalah berhak untuk berikrar: lam halnya dengan wali selain Mujbir.

 

Ayah/kakek tidak boleh menikahkan anak/cucu janda lantaran persetubuhan -sekalipun dalam perzinaan dan kejandaannya ditetapkan berdasarkan ucapannya yang diikuti dengan bersumpah-, kecuali setelah mendapat iznnya dengan cara diucapkan, di mana ia dalam keadaan sudah balig. Dasarnya adalah hadis yang telah lewat.

 

Karena itu, seorang janda yang belum balig, berakal dan merdeka, adalah tidak dapat dikawinkan sampai ia menginjak balig, karena izinnya belum dapat dibuat pegangan, Lain halnya dengan pendapat Abu Harufah.

 

Orang wanita balig dapat dibenarkan tanpa disumpah, mengenai pengakuannya bahwa dirinya masih gadis.

 

Juga dakwaan (pengakuannya) sebelum akad, bahwa dirinya telah menjadi janda dengan cara disumpah, sekalipun ia belum pernah bersuami dan ia hdak menuturkan sebab kejandaan dirinya: karena ia tidak boleh ditanya tentang sebab kejandaan dirinya.

 

Kemudian, setelah tidak ada wali dari pihak orangtua, maka yang menjadi wali adalah dari pihak Ashabahnya, yaitu nasab wanita dari jalur samping.

 

Karena itu didahulukanlah: 3. Saudara laki-laki sekandung, 4. Saudara laki-laki seayah: 5. Anak laki-taki saudara laki-laki sekandung, 6, Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.

 

Kemudian, jika tidak ada: maka: 7. Paman sekandung, 8. Paman seayah: 9. Anak taki-laki paman sekandung, “10. Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya.

 

Kemudian, setelah Ashabah dari riasab tidak ada, maka Ashabah dari Wala’ dengan urutan pewarisan mereka, Karena itu, didahulukanlah Mu’tiq (Orang yang memerdekakan), lalu Ashabah Mu’tiq lalu Mu’tiqnya Mu’tiq, kemudian Ashabahnya dan seterusnya.

 

Wali-wali di atas dalam urutan kewaliannya, dapat mengawinkan wanita perwaliannya yang sudah balig, bukan yang masih kecil -lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah tentang wanita kecil-, dengan adanya izin secara lisan dari wanita perwalian yang sudah janda sebab persetubuhan. Dasarnya , adalah hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni di atas.

 

Perizitan wanita janda diperbolehkan dengan kata-kata “perwakilan”: misalnya, “Kuwakilkan kepadamu untuk mengawinkan djriku”, “Aku rela kawin dengan laki-laki yang diridai ayah dan ibuku”, atau “Aku rela dengan apa yang Wilakukan ayahku”.

 

Tidak sah dengan: “Aku rela dengan yang diperbuat ibuku”, sebab ibu tidak berhak mengakadkafisjuga tidak sah dengan: “.., jika ayah dan ibuku merelakan”, sebab ada ta’liq

 

Izin boleh dengan: “Aku at menjadi suamiku/Aku rela dikawinkan/Aku memberinya izin untuk mengakadkanku”, sekalipun untuk kalimat terakhir ini, pihak Wanita tidak menuturkan kata-kata “nikah”, menurut pembahasan ulama.

 

Apabila ditanyakan kepadanya: “Adakah kamu rela dikawinkan?” Lalu ia menjawab: “Aku rela, maka sudah cukup sebagai izan.”

 

(Dan mereka dapat mengawinkan) wanita perawan dengan diamnya -sekalipun tadinya budak dan kini sudah merdeka-, setelahi ia dimintai izin dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang atau tidak, walaupun dia menangis, tetapi tidak sampai menjerit atau memukul pipinya Dasarnya adalah sebuah hadis: Perawan itu diajak berunding dalam nikahnya dan izinnya adalah diamnya.

 

Kata-kata “janda karena persetubuhan”, dikecualikan jika hilang selaput daranya sebab semacam dimasuki jari-jari: ia dihukumi sebagai gadis dalam hal diamnya, yang dianggap sebagai izin setelah dimintai persetujuan.

 

Sunah bagi ayah/kakek minta fan kepada gadis balig yang mau dikawinkan, demi menenteramkan kekhawatiran hatinya.

 

Adapun wanita yang belum balig (kecil), maka izinnya tidak dianggap (tinjauan hukum). Ada sebagian yang membahas kesunahan minta izin dahulu kepada wanita yang sudah tamyiz. Bagi selain ayah/ kakek, sunah mempersaksikan izin wanita perwaliannya.

 

Cabang:

 

Apabila ada sejumlah orang memerdekakan perempuan budak, maka disyaratkan kerelaan kesemuanya lalu mereka mewakilkan kepada salah satu di antara mereka sendiri atau orang lain.

 

Bila seorang di antara mereka ingi mengawini wanita tersebut, maka yang mengawinkan adalah temannya yang lain bersama sang qadhi. Bila semua temannya telah mati, makh cukup ada kerelaan satu orang waris Ashabah dari tiap teman-teman.

 

Jika berkumpul sejumlah waris Ashabah orang yang memerdekakas dalam satu derajat (misalnya semug saudara laki-laki Mu’tiq dan sebagainya), maka diperbolehkan salah satu dari mereka yang mengawinkan wanita bekas budak tersebut (‘atiqah) dengan kerelaan wanita itu, sekalipun temannya yang lain tidak merelakan.

 

Kemudian, bila Ashabah Nasab maupun Wala’ tidak ada, maka yang menyadi wali nikah adalah qadhi atau penggantinya. Dasarnya adalah sabda Nabi saw.: “Sultan adalah wali wanita yang tidak mempunyai wali” Maksud dari itu adalah: Orang yang memegang kekuasaan; yaitu imam (kepala negara), para qadhi dan pengganti-penggantinya.

 

Wali hakim dalam mengawinkan wanita balig harus dengan laki-laki yang kufu (sepadan) -bukan lainnya-, di mana wanita itu sewaktu gkad nikah berada di daerah kekuasaannya, sekalipun wanita itu hanya melewati daerah kekuasaannya -tidak berdomisili di daerahnya-, dan sekalipun izinnya yang diberikan kepadanya ketika wanita itu berada di luar daerah kekuasaannya.

 

Adapun bila sewaktu akad nikah, wanita tersebut berada di luar daerah kekuasaannya, maka ia tidak boleh mengawinkannya, sekalipun diberi izin sebelum keluar dari daerah tersebut dan sekalipun calon suami berada di daerah kekuasaan qadhi, karena kewalian itu kaitannya adalah dengan wanita itu, bukan calon suami.

 

Kata-kata “yang balig”, dikecualikan wanita yatim, maka seorang qadhi tidak dapat mengawinkannya (jika tidak mendapatkan izin dari sultan), sekalipun qadhi. itu bermazhab Hanafi yang tidak mendapatkan izin dari sultan yang bermazhab Hanafi.

 

Wanita yang mendakwa dirinya telah balig sebab haid atau keluar sperma, dapat dibenarkan tanpa disumpah, sebab yang mengetahui hal itu adalah dirinya sendiri, tetapi bila balignya dengan batas usia, maka dakwaannya tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan mengajukan bayinah yang memahami permasalahan dan ia menyebutkan bilangan tahun usianya.

 

Wali Khas dari wanita yang balig -wali nasab atau wala’jika tidak ada atau wali yang lebih dekat tidak berada di tempat akad sejauh jarak dug marhalah (jarak diperbolehkan mengqashar salat), serta tidak ada wakil dari wali yang datang di tempat perkawinan, maka yang menjadi wali wanita tersebut adalah sang qadhi.

 

Wanita yang mendakwa bahwa walinya tidak ada di tempat, dirinya tidak bersuami dan tidak beridah, adalah dapat dibenarkan, sekalipun Ia tidak mengajukan bayinah.

 

Sunah meminta bayinah kepadanya tentang dakwaan tersebut, dan kalau ia tidak dapat mengajukan bayinah, maka sunah untuk disumpah.

 

Apabila qadhi mengawinkan seorang wanita lantaran wali tidak ada di tempat, lalu ternyata ketika : dilaksanakan akad, sang wali berada di tempat yang dekat dengan akad, maka tidak jadi akad nikahnya, jika kedekatan wali tersebut dapat dipastikan (dengan bayinah).

 

Karena itu, ucapan wali yang hanya begini: “Aku berada di tempat yang dekat dengan akad”, adalah tidak menimbulkan cacat sah nikah yang dilaksanakan qadhi, tetapi ia harus mengemukakan bayinah, menurut beberapa pendapat, Lain halnya dengan pendapat yang dinukil Az-Zarkasyi dan Syekh Zakariya dani Fatawa A-Baghawi.

 

Atau keberadaan wali khas dengan calon istri kurang dari dua marhalah, tetapi ia tidak dapat sampai ke tempat wali lantaran khawatir ada pembunuhan, pemukulan atau perampasan harta di tengah jalan.

 

Atau (bila) wali: khas itu tidak diketahui tempatnya, hidup atau matinya setelah meninggalkan tempat, terjadi peperangan, kapal laut pecah atau setelah ditawan musuh.

 

Wali qadhi seperti ini, jika wali khas tersebut tidak dihukumi mati, tetap! jika telah dihukumi matt, maka yang berhak mengawinkan calon istri adalah walinya yang lebih jauh.

 

Atau (bila) wali -meskipun wali Mujbir-, tidak mau menikahkan wanita mukalaf, balig dan berakal yang Minta untuk dikawinkan dengan laki-laki yang kufu, sekalipun dengan mahar di bawah standar mahar mitsil.

 

Beberapa Cabang:

 

Sang qadhi tidak boleh mengawinkan seorang wanita dengan laki-laki pilihannya sendin yang seimbang, jika wali Mujbir menolak mengawinkannya dengan laki-laki tersebut, lantaran ia sudah mempunyai pilihan untuk calon suami anak putrinya yang sudah seimbang, sekalipun keseimbangan pria pilihan wali di bawah keseimbangan pilihan wanita tersebut.

 

Selain wali Mujbir tidak boleh mengawinkan wanita mauliyahnya -sekalipun wali itu seorang ayah/ kakek, misalnya anak sudah janda-, kecuali dengan laki-laki pilihan wanita itu sendiri. Bila ia mengawinkan dengan laki-laki yang bukan pilihan wanita, maka wali tersebut disebut Adhil (menolak, maka yang berhak menjadi wali adalah Qadhih)

 

Bila sang wali menyembunyikan dirt atau mengulur-ulur hari perkawinan, yang telah ditentukan, dan dua hal tersebut telah: ditetapkan (dengan bayinah), maka hakim (qadhi) berhak mengawinkannya.

 

Demikian pula, sang qadhi berhak mengawinkan wanita tersebut, jika wali

menghalang-halangi perkawinannya atau ia sendiri ingin mengawininya, misalnya walinya adalah anak laki-laki paman dalam keadaan tidak ada lagi yang sederajat dengannya atau wali adalah Mu’tiq.

 

Karena itu, dalam kasus-kasus di atas, wali yang lebih jauh tidak boleh mengawinkan wanita tersebut, sebab kewalian wali yang lebih dekat masih ada.

 

Hanya saja, bila sang qadhi sendin atau anak laki-laki perwaliannya yang menginginkan mengawini wanita yang tidak mempunyai wali khas, maka yang berhak mengawinkan adalah qadhi lain yang ada dalam satu daerah kekuasaan qadhi/ anak laki-laki kecil tersebut -jika wanita tersebut berada dalam wilayah qadhi yang mengawinkan-, atau pengganti qadhi/anak laki-laki kecil yang mau kawin.

 

Bila semua wali di atas tidak didapatkan, maka yang mengawinkan wanita adalah Muhakkam (orang yang didudukkan sebagai hakim), merdeka serta diangkat oleh calon istri dan suami untuk menangani perkawinan mereka -sekalipun Muhakkam tersebut bukan seorang mujtahid-, jika memang di situ tidak ada seorang qadhi, sekalipun bukan ahli.

 

Kalau di situ terdapat seorang qadhi sekalipun tidak ahli, maka disyaratkan keberadaan Muhakkam harus seorang mujtahid.

 

Guru kita berkata: Memang, bila di situ hakim tidak mau mengawinkan kecuali dengan diberi dirham -sebagaimana hakim-hakim sekarang ini-, maka wanita tersebut dapat mengangkat seorang yang adil untuk menjadi walinya dalam keadaan masih ada hakim, sekalipun kita masih berpendapat bahwa hakim tersebut tidak terpecat lantaran mengambil pungutan dirham, jika orang yang memberi jabatan untuk menjadi hakim ketika itu mengetahui sikap hakim seperti itu. Selesai.

 

Apabila seseorang melakukan persetubuhan dalam ikatan yang tidak memakai wali

-misalnya wanita mengawinkan dirinya sendiridan tidak ada hakim yang menghukumi sah atau tida pernikahan itu, maka bagi laki-laki wajib membayar mahar mutsil -bukan “mahar yang telah ditentukan dalam akad-, lantaran rusak akad nikahnya. Sedang bagi orang yang mengiktikadkan haram persetubuhan tersebut, dikenakan ta’zir (sanksi) serta hukum hadnya gugur.

 

Bagi qadhi boleh mengawinkan wanita yang berkata: “Aku tidak bersuami dan tidak beridah”, atau “Aku telah dicerai oleh suamiku dan idahku telah habis”, selama si qadhi tidak mengetahui suaminya yang nyata.

 

Bila ia mengetahui bahwa wanita itu masih mempunyai suami -baik dengan mengetahui nama, pribadinya, atau pihak wanita telah menentukannya-, maka kesahan hakim menikahkannya -bukan wali khas disyaratkan ada Itsbat (ketentuan) pisah suami, dengan semacam talak atau mati, baik suaminya meninggalkan si wanita ataupun tidak.

 

Para fukaha membedakan antara suami yang diketahui dengan mu’ayyan (sehingga disyaratkan ada itsbat untuk perceraian suami dengan yang tidak mu’ayyan padahal bidang permasalahannya adalah diketahui ada atau tidak ikatan perkawinan, sehingga memungkinkan qadlu untuk mengamalkan hukum asal pada keduanya (masih ada ikatan perkawinan pada kedua masalah), sebab dengan kejelasan suami di depan qadhi, baik nama maupun orangnya, maka mengharuskan dia berhati-hati dan berpedoman pada hukum asal, bahwa ikatan perkawinan masih ada, yang makanya disyaratkan ada itsbat perceraiannya (firaq sang Suami), dan karena dengan adanya sang istri menta’yinkan nama suaminya, maka seakan-akan ia mengaku suaminya telah menceraikannya.

 

Bahkan para fukaha menjelaskan, bahwa bila wanita mengaku kalau telah mencerainya, maka harus ada penetapan perceraran itu (dengan mengajukan bayinah).

 

Lain halnya jika sang qadhi mengetahu ada ikatan perkawinan dengan cara global, tanpa penta’yinan seperti di atas, maka cukup baginya dengan pemberitaan wanita mengenai kelepasan dirinya dari hal-hal yang menghalangi nikah, lantaran ucapan fukaha Mutakaddimun (Al-Ashhab): Sesungguhnya ukuran penilaian segala akad adalah ucapan orang yang mengadakan akad itu sendiri .

 

Adapun bagi wali khas, maka baginya dapat menikahkan wanita mauliyahnya, jika ia membenarkan yang diucapkan, sekalipun ia mengetahui ada suami pertama, tanpa terlebih dahulu ada itsbat cerai, ataupun sumpah wanita itu, tetapi disunahkan adanya itsbat cerai sebagaimana yang berlaku pada qadhi yang tidak mengetahui ada suami yang pertama.

 

Masalah suami yang mu’ayyan dan yang tidak mu’ayyan, dibedakan untuk qadhi dengan wali khas, lantaran qadhi harus lebih hati-hati di atas wali (ungkapan ini sama dengan ungkapan di atas, yaitu: Para ulama membedakan – … dan seterusnya).

 

Bagi wali mujbir -ayah/kakek boleh mewakilkan kepada laki-laki mu’ayyan yang sah nikahnya sendiri, untuk menikahkan wanita mauliyahnya yang masih gadis tanpa seizin dari si wanita, sekalipun di kala pewakilan si wali tidak menentukan siapa calon suaminya.

 

Bila wali tidak menentukan calon suami, maka bagi wakil wajib menjaga kemanfaatan dan hati-hati mengenai urusan wanita tersebut. Karena itu, jika wakil mengawinkan wanita itu dengan laki-laki yang tidak kufu atau sudah seimbang, maka perkawinannya tidak sah, karena wakil menyimpang dari sikap hati-hati yang wajib ia laksanakan.

 

Boleh bagi wali yang tidak Mujbir -misal bukan ayah/kakek untuk gadis, atau ayah/kakek untuk jandaboleh mewakilkan rikah wanita tersebut setelah mendapatkan izin mengawinkan darinya, jika si wanita tidak mencegah keberadaan taukil.

 

Apabila wanita tersebut menentukan calon suaminya kepada wali, maka bagi wali wajib menentukari itu pula kepada si wakil: Kalau si wali tidak menentukan calon suami kepada pihak wakil, maka perkawinan si wakil tidak sah, sekalipun dengan laki-laki hasil pilihan wanita itu sendiri, karena perizinan yang diberikan secara mutlak, sedangkan yang dituju mu’ayyan adalah menjadi fasid.

 

Dengan kata-kataku “setelah wanita membenkan izin perkawinan kepada wali”, dikecualikan jika wanita mewakilkan perkawinan sebelum mendapat izin darinya, maka taukil dan nikah hukumnya tidak sah.

 

Tetapi, bila wali mewakilkan pernikahan sebelum ia mengetahui ada izin dari mauliyahnya, di mana pewakilan tersebut ia menyangka bahwa pewakilan sebelum mendapatkan izin hukumnya boleh, lalu wakil mengawinkan, maka perkawinan tersebut hukumnya sah, jika ternyata sebelum pewakilan si wanita telah memberikan izin, sebab yang menjadi ukuran penilaian segala akad, adalah kenyataan perkara itu sendiri, bukan persangkaan mukalaf tetapi, jika ternyata tidak demikian, maka akad nikah tidak sah.

 

Beberapa Cabang:

 

Bila seorang qadhi mengawinkan seorang wanita sebelum ada ketetapan, bahwa dirinya menerima pewakilan dari si wanita, tetapi cuma menerima berita dari seorang laki-laki yang adil, maka akad nikah lestari dan sah, tetapi mengawinkan seperti ini hukumnya tidak boleh (haram), sebab ia mengikat akad yang fasid dalam segi lahirnya. Demikianlah yang dikatakan oleh sebagian Ashhabuna.

 

Bila ada seorang perempuan menyampaikan izin mengawinkan dari wanita mauliyah kepada walinya, dan wali pun membenarkan berita tersebut, lalu ia mewakilkan kepada seorang qadhi, lalu qadhi mengawinkannya, maka pewakilan dan pengawinan tersebut hukumnya sah.

 

Bila seorang wanita berkata kepa walinya: “Kuizinkan kamu sekarang mengawinkan diriku dengan orang yang bermaksud mengawiniku dan kuizinkan setelah aku tertalak nan serta habis idahku”, maka deng izin sekarang, sah untuk pengawi keduanya.”

 

Bila wali mewakilkan pengawinannya kepada orang lain dengan sifat seperti di atas, maka sah pengawinan si wakil untuk yang kedua, karena walapun wali/wakil ketika menerima Izin tidak mempunyai hak mengawinkan yang kedua, tetapi hak pengawinan yang kedua mengikuti yang pertama, sebagaimana fatwa Ath-Thayyib An-Nasyiri dan diakui oleh sebagian Ashhabuna.

 

Bila sebelum meminta izin terlebih dahulu kepada wanita yang mempunyai wali, seorang qadhi memerintahkan orang lain agar mengawinkannya, lalu laki-laki yang diperintah ini mergawinkan dengan jan dani wanita, maka sah nikahnya, karena didasarkan pada Al-Ashah, bahwa permintaan mengganti pekerjaan tertenth (dari qadhi) adalah istikhlaf (pemberian mandat), bukan pewakilan.

 

Cabang:

 

Bila seorang qadhi menugaskan seorang ahli fikih agar mengawinkan wanita, maka tidak crikup dengan surat tugas saja, tetapi qadhi, harus melafalkan ketika Menulis Bara tersebut, dan bagi penerima surat. tugas tidak boleh berpedoman tulisan dalam surat Ini (bagi penerima …) adalah keterangan yang ada dalam Ashlur Raudhah.

 

Penganggapan daif oleh Al-Bulqini atas keterangan yang ada dalam Ashlur Raudhah adalah tertolak dengan adanya penjelasari fukaha, bahwa hanya dengan surat tugas saja belum mencukupi untuk istikhlaf, tetapi harus dipersaksikan adanya kepada dua orang saksi. Hal ini dikatakan oleh Guru kita dalam Syarhil Kabir.

 

Boleh bagi calon suami mewakilkan qabul nikahnya.

 

Maka, wakil wali berkat dalam ijab nikah: “Kukawinkan kamu dengan Fulanah binti Fulan bin Fulan”, lalu disambung dengan “yang telah mewakilkanku/sebagai pewakilan darinya”, jika calon suami atau 2 saksi tidak mengetahui ada wakalah.

 

Bila calon suami atau 2 saksi – tahu tentang wakalah tersebut, maka sambungan kata-kata tersebut disyaratkan, sekalipun diketahui itu dari pemberitahuan wakil (sebelum akad dilaksanakan).

 

Wali berkata kepada Wakil calon suami: “Kukawinkan anak putriku dengan Fulan bin Fulan (nama calon suami)” lalu wakil calon suami menjawab “Kuterima nikahnya untuk si dia”, sebagaimana ucapan wali calon suami yang masih kecil ketika qabul nikah.

 

Bila wakil calon suami tidak mengatakan “untuk si dia” dalam dua qabul tersebut (wakil calon suami dan calon suami yang masih kecil), maka akad nikah tidak sah, sekalipun wakil bermaksud untuk orang yang mewakilkan/anak kecil, sebagaimana bila wali berkata kepada wakil calon suami: “Kukawinkan kamu”, sebagai ganti dari “.. dengan si Fulan”, karena tidak ada penyesuaian.

 

Bila dalam masalah di ats, wakil calon suami/wali anak kecil tidak mengatakan “… untuk si dia”, maka akad nikah untuk wakil/wali anak kecilitu sendiri, sekalipun niat untuk orang yang mewakilkan.

 

Beberapa Cabang:

 

Barangsiapa berkata: “ku menjadi wakil untuk mengawinkan si Fulanah”, maka bagi orang yang membenarkan pernyataan tersebut boleh qabul dari ijab nikahnya.

 

Bagi orang yang diberi tahu oleh orang yang adil mengenai penalakan si Fulan, mati atau pewakilannya, diperbolehkan berbuat berdasarkan berita tersebut dalam kaitannya dengan hal-hal yang menyangkut diri orang yang menerima berita Demikian juga tulisan orang adil yang dipercayai sebagai tulisan yang benar.

 

Adapun hubungannya dengan hak orang lain atau hakim, maka tidak boleh berpedoman berita orang adil atau tulisan qadhi, yang kedua-duanya ia bukan merupakan hujah syar’iyah (dua orang laki-laki).

 

Cabang:

 

Yang berhak mengawinkan Atiqahnya (budak perempuan yang telah dimerdekakan) seorang wanita yang masih hidup dalam keadaan wali nasab Atiqah tidak ada, adalah wali wanita yang memerdekakan (mu’tiqah), karena mengikuti kewaliannya atas mu’tiqah itu’ sendiri.

 

Karena itu, yang mengawinkan Atiqah adalah ayah mu’tqah, lalu kakeknya menurut tertib tingkatan para wali: Anak laki-laki Mu’tiqah tidak boleh mengawinkan Atiqah, selama mu’tiqah masih hidup.

 

(Pengawinan tersebut) dengan seizin Atiqah, sekalipun mu’tiqah merelakannya, lantaran mu’tiqah tidak mempunyal wewenang kewalian.

 

Bila mu’tiqah telah mati, maka yang berhak mengawinkan Atiqah adalah anak laki-laki mu’tiqah.

 

Yang berhak mengawinkan budak perempuan (amat) seorang wanita yang sudah balig dam rasyidah (pandai), adalah wali wanita pemilik itu sendiri dengan izinnya, sebab dialah yang memiliki amat itu, karena izin dari amat tidak diperhitungkan, sebab wanita pemilik berhak memaksa amatnya untuk menikah.

 

Disyaratkan pengizinan tuan putri pemilik amat tersebut dengan ucapan, sekalipun dirinya masih gadis.

 

Yang berhak mengawinkan amat milik seorang wanita kecil yang masih gadis/anak laki-laki kecil, adalah ayah pemilik tersebut, lalu kakek dari garis ayah, bila tujuan pengawinan tersebut untuk suatu kemanfaatan, semisal memperoleh mahar atau nafkah.

 

Ayah/kakek tidak boleh mengawinkan budak laki-laki milik anak/cucu yang masih gadis/laki-laki kanakkanak yang belum balig, sebab akan menjadikan terputus pekerjaan budak itu untuk anak/cucu tersebut: Lain halnya dengan pendapat Malik: Boleh-…, jika nyata-nyata terdapat maslahat.

 

Juga tidak boleh mengawinkan amat milik anak kecil yang janda, sebab ayah/kakek tidak berkuasa atas pengawinan pemilik amat tersebut.

 

Qadhi tidak boleh mengawinkan amat milik seorang yang sedang tiada di tempat (gaib), sekalipun amat tersebut perlu menikah dan mendapat mudarat lantaran tidak ada nafkah.

 

Memang, bila qadhi mempunyai keyakinan bahwa dengan menjual amat itu akan membawa kemasTahatan, maka ia boleh menjualnya, sebab justru pada penjualannya itu terletak kemujuran pemilik yang tidak berada di tempat, yang berupa tanggungan nafkah atas amat itu.

 

Bagi pemilik -sekalipun fasik- berhak mengawinkan perempuan amat yang seluruh dirinya menjadi miliknya, sekalipun masih gadis belum balig/janda belum balig/telah balig tetapi tanpa seizin dari amat tersebut Ia tidak berhak mengawinkan amat yang dimiliki secara persekutuan tanpa ada kerelaan dari seluruh teman persekutuannya, sekalipun amat tersebut didapat dari hasil rampasan perang bersama ‘ segolongan teman sekutu.

 

(Sayid/pemilik amat berhak mengawinkannya), karena nikah adalah dikembalikan pada kemanfaatan farji, yang mana amat tersebut menjadi milik sayid.

 

Laki-laki tersebut berhak memaksanya untuk dikawinkan, tetapi ia tidak boleh mengawinkannya dengan lakilaki yang tidak kufu, sebab cacat yang menetapkan khiyar (misalnya lepra atau kusta), atau sebab fasik pekerjaan yang rendah, kecuali atas kerelaan amat tersebut.

 

Ia boleh mengawinkannya dengan laki-laki budak atau yang bernasab rendah, sebab amat itu tidak mempunyai nasab.

 

Budak Mukatab -bukan sayidnya- berhak mengawinkan amatnya, sedang si sayid Mukatab memberi izin.

 

Bila amat minta untuk dikawinkan, maka bagi sayidnya tidak wajib menurutinya, lantaran pengawinan amat dapat mengurangi nilai harga amat itu.

 

Guru kita berkata: Yang berhak mengawinkan amat yang beragama Islam, yang menjadi milik orang kafir,-adalah hakim dengan izin kafir, dan berhak mengawinkan amat yang diwakafkan dengan izin Mauquf Alaih, jika jumlah mauquf alaih dapat dihitung dan ditentukan (Mahshur): jika tidak Mahshur, maka menurut yang lahir, amat tersebut tidak boleh dikawinkan.

 

Seorang budak laki-laki -sekalipun Mukatab- tidak boleh menikah, kecuali seizin sayidnya, sekalipun sayidnya seorang wanita, dan baik izinitu diberikan secara mutlak atau dibatasi dengan wanita atau kabilah tertentu.

 

Karena, ia dapat menikah sesuai izin yang diberikan, ia tidak boleh menyimpang dari izin itu, karena demi menjaga hak tuannya. Bila ia menyimpang dari izin yang telah diberikan, maka nikahnya tidak sah.

 

Bila seorang budak laki-laki tanpa seizin tuannya, maka nikahnya batal dan wajib diceraikan dari istrinya, lain halnya dengan pendapat Malik rahimahullah.

 

Bila dalam nikah yang batal ini budak tersebut melakukan persetubuhan dengan istrinya yang rasyidah dan tidak terpaksa, maka ia tidak terkena kewajiban apa pun. Adapun bila istri yang ia setubuhi wanita bodoh atau belum balig maka ia wajib membayar mahar mitsil.

 

Bagi budak -sekalipun telah mendapat izin berdagang atau budak: Mukatab- tidak boleh menggundik pada amat, sekalipun ia telah mendapat izin menikah, sebab ya diizinkan untuk itu bukan berarti bisa memilikinya dan karena lemahnya hak mulik pada budak Mukatab.

 

Bila budak laki-laki minta nikah, maka bagi sayidnya tidak wajib menurutinya, sekalipun Mukatab.

 

Pengakuan budak -baik laki-laki maupun perempuan- tentang ada kemerdekaan dirinya, adalah tidak dapat dibenarkan kecuali dengan mengajukan bayinah yang dianggap sah, sebagaimana yang akan diterangkan dalam Bab Syahadah.

 

Dapat dibenarkan orang yang mengaku, bahwa dirinya merdeka sejak semula, selagi tidak didahului ikrar tentang kebudakannya atau ketetapan kebudakannya, karena menurut asal, orang itu merdeka.

PASAL: KAFA'AH (KESEIMBANGAN)

Kafa-ah adalah hal yang dianggap penting dalam rikah, bukan syarat sah nikah, bahkan Kafa-ah itu hak calon istri dan walinya, karenanya, mereka bisa menggugurkannya.

 

Wanita yang merdeka sejak semula atau karena dimerdekakan, dan wanita yang tidak pernah terkena kebudakan, orangtua atau kerabat dekatnya tidak pernah terkeng kebudakan, adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang tidak seperti itu, misalnya laki-laki itu tidak seperti wanita di atas (laki-laki itu budak, wanitanya merdeka sejak semula dan seterusnya).

 

Keterkenaan kebudakan pada orangorang tua yang Wanita, adalah tidak membawa pengaruh apa-apa.

 

Wanita yang bersih jiwanya (Afifah) dan murni dalam beragama, adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki fasik dan ahli bid’ah, Karena itu, laki-laki fasik imbangannya adalah wanita yang fasik, Jika nilai fasiknya sama.

 

Wanita yang bernasab Arab, Quraisy dan dari Bani Hasyim atau Muthalib, adalah tidak seimbang dengan laki-laki yang bukan nasab seperti itu.

 

Maksudnya: Wanita yang ayahnya berbangsa Arab, adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang ayahnya bukan Arab, sekalipun ibunya Arab, Wanita Quraisy tidak bisa diimbangi oleh laki-laki Arab yang bukan Quraisy, Adapun wanita dari Bani Hasyim/Muthalib adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki Quraisy yang bukan dari Bani Hasyim/Muthalib.

 

Sahihlah hadis berikut ini: “Kami dan Bani Muthalib adalah satu, maka kedua-duanya berkeseimbangan.”

 

Laki-laki yang hanya dirinya yang beragama Islam, adalah tidak seimbang dengan wanita yang ayahnya atau kebanyakan orang tuanya muslim. Laki-laki yang ayah dan ibunya muslim, adalah tidak seimbang dengan wanita yang tiga orang tuanya muslim, menurut yang dijelaskan oleh para fukaha.

 

Tetapi Qadhi Abu Thayib dan lainnya mempunyai pandangan lain: Dua tingkat di atas adalah seimbang (antara laki-laki dengan wanita). Pendapat ini dipilih oleh Ar-Ruyani dan dimantepi deh pemilik Al-Ubab (ringkasan dari kitab Raudhatuth Thalibin. Pemilik tersebut adalah Al-Muzayjad).

 

Wanita yang selamat dari pekerjaan: pekerjaan rendah -yaitu pekerjaan yang menjatuhkan harga diri- adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang tidak begitu. –

 

Karena itu, laki-laki yang ayahnya menjadi pembekam (tukang cantuk: jawa), tukang sapu atau penggembala, adalah tidak seimbang dengan putri penjahit, Laki-laki putra penjahit tidak seimbang dengan putri pedagang: yaitu pedagang apa saja tanpa terbatas jenis dagangan, atau putri pedagang tekstil, Laki-laki putra pedagang dan pedagang tekstil, adalah tidak seimbang dengan putri orang alim atau qadhi yang adil.

 

Ar-Ruyani dan dibenarkan oleh Al-Adzra’i berkata: Laki-laki yang bodoh tidak seimbang dengan wanita alim, Lain halnya dengan pendapat dalam Ar-Raudhah.

 

Menurut Al-Ashah: Kekayaan tidak menjadi pedoman dalam kafa-ah, karena harta itu bisa hulang dan tidak menjadi kebanggaan bagi para pemegang. muruah dan orang yang mempunyai pandangan hati.

 

Wanita yang ketika akad terhindar dari cacat yang menyebabkan khiyar nikah bagi suami yang tidak mengetahui keberadaan cacat tersebut waktu itu, adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang berpenyakit seperti itu, sebab orang, itu merasa jijik bercampur dengan orang yang berpenyakit. Penyakit yang menyebabkan khiyar, misalnya: Gila, sekalipun terputus-putus dan hanya sedikit -yaitu penyakit hilang kesadaran jiwa-. Lepra yang telah menetap -yaitu penyakit yang membuat anggota badan menjadi : merah, lalu hitam dan hancur-, Sopak yang menetap -yartu penyakit kulit yang memutih dan menghilangkan peredaran darah-, sekalipun hanya sedikit. Tanda penyakit Lepra yang menetap, adalah anggota badan menjadi hitam, sedangkan sopak tandanya adalah kulit berdarah waktu diperas.

 

Bila pihak wanita juga terkena penyakit tersebut, maka juga tidak kafa-ah, sekalipun kadar penyakit pada wanita lebih parah.

 

Adapun cacat-cacat yang tidak . menetapkan khiyar, maka tidak membawa pengaruh sama sekali, misalnya buta, terputus sebagian anggota badan dan rupa yang buruk: Lain halnya dengan segolongan fukaha Mutakaddimun.

 

Penyempurna:

 

Di antara cacat nikah adalah: Lubang sanggama wanita tertutup oleh daging, lubang sanggama wanita tertutup tulang, batang zakar terputus dan impotensi.

 

Karena cacat di atas pada pihak lain, maka bagi suamu/istri dengan seketika berhak khiyar membubarkan nikah, dengan syarat dilakukan di depan hakim.

 

Cacat-cacat yang tidak menetapkan khiyar: Istihadhah, mulut berbau busuk, keringat berbau tidak sedap, luka-luka yang mengalami pendarahan terus-menerus dan lubang vagina yang sempit.

 

Masing-masing suami-istri berhak khiyar, jika ternyata tidak sesuai persyaratan yang ditetapkan waktu akad, bukan sebelumnya.

 

Misalnya disyaratkan pada salah satu suami-istri harus merdeka, bernasab, rupawan, kaya, gadis, jejaka atau terhindar dari cacat-cacat, misalnya ” Kukawinkan kamu dengan syarat dia masih gadis atau merdeka”: Maka bila ternyata kurang memenuhi persyaratan, bagi suami boleh fasakh nikah, sekalipun tanpa qadhi.

 

Bila disyaratkan gadis, ternyata janda dan’istri “mengaku bahwa hilang kegadisannya setelah hidup bersama suaminya, lalu sang suami mengingkarinya, maka pihak istri dapat dibenarkan dengan sumpahnya, karena demi menolak ada fasakh.

 

Atau (bila) mengaku (mendakwa), bahwa kegadisan hilang karena perbuatan (persetubuhan) suami, tetapi suami mengingkarinya, maka yang dibenarkan pihak istri, demi menolak fasakh nikah juga, tetapi pihak suami dibenarkan dengan cara disumpah, demi untuk membagi mahar menjadi separo, jika penjatuhan talak setelah disetubuhi.

 

Sebagian segi keseimbangan (kafa-ah) itu tidak dapat ditutup dengan segi-segi yang lain.

 

Karena itu, wanita non-Arab yang merdeka tidak dapat dinikahkan dengan budak yang Arab (sebab laki-laki tidak kafa-ah denganistri), dan wanita merdeka yang fasik tidak dapat dirikahkan dengan laki-laki budak yang bersih jiwanya.

 

Al-Mutawalli berkata. Pekerjaan membuat roti tidak termasuk pekerjaan-pekerjaan yang rendah.

 

Bila urf suatu daerah memberlakukan tinggi sebagian pekerjaanpekerjaan yang telah diterangkan oleh fukaha, maka urf tersebut tidak dapat menjadi pedoman penilaian kafa-ah. Adapun urf yang menjadi pedoman penilaian kafa-ah, adalah urf daerah wanita yang tidak diterangkan oleh fukaha.

 

Ayah tidak berhak mengawinkan anak laki-lakinya yang masih kecil dengan perempuan amat, karena anak itu masih terpelihara dari perbuatan zina.

 

Wali dari nasab atau wala’ -bukan qadhi- boleh menikahkan wanita perwaliannya dengan laki-laki yang tidak kafa-ah dengan ada kerelaan hati wanita itu sendiri dan wali atau para wali yang lainnya, yang sederajat dan sempurna, karena hilang penghalang sah nikah dengan ada kerelaan dari mereka.

 

Adapun qadhi, maka dia tidak sah menikahkan wanita dengan laki-laki yang tidak kafa-ah, sekalipun wanita telah merelakan, menurut pendapat Al-Muktamad: Jika wanita itu mempunyai wali, tetapi sedang tidak berada di tempat atau mafqud (musnah), sebab dia kedudukannya sebagai pengganti dari wali tersebut, yang tidak boleh mengabaikan hak yang diganti.

 

Segolongan fukaha Mutaakhirun membahas, bahwa bila sang wanita tidak mendapatkan laki-laki yang kafa-ah dengannya dan ia khawatir terjadi fitnah, karena darurat seperti ini, qadhi wajib mengijabkannya. Kata Guru kita: Pendapat ini adalah sisi lain pendapat dari segi pemahamannya (oleh para Ashhabusy Syafi’i).

 

Adapun bila wanita itu tidak mempunyai wali sama sekali, maka pengawinan qadhi dengan laki-laki yang tidak kafa-ah atas permohonan pihak wanita, adalah sah menurut pendapat Al-Mukhtar: Lain halnya dengan pendapat kedua Guru kita.

 

Cabang:

 

Bila seorang wanita (gadis/janda) dikawinkan dengan laki-laki yang tidak kufu (tidak seimbang) secara paksa (oleh wali Mujbir) atau dengan izinnya yang secara mutlak (misalnya wali tidak Mujbir atau calon istri janda yang balig), maka pengawinan tidak sah, karena tiada kerelaan dari wanita tersebut.

 

Bila wanita tersebut memberikan izin untuk dikawinkan dengan laki-laki yang disangka kufu, ternyata tidak, maka hukum nikah sah dan ia tidak mempunyai hak khuyar, karena gegabahnya sendiri, mengapa ia tidak mau meneliti.

 

Wanita tersebut mempunyai hak khiyar, jika ternyata suami cacat atau budak, padahal dirinya merdeka.

 

Penyempurna:

 

Bagi suami boleh melakukan semua bentuk seksualitas dari istrinya, kecuali lubang anusnya, sekalipun dengan mencecap clitoris atau beronani memakai tangannya.

 

Tidak boleh beronani memakai tangan sendiri, sekalipun khawatir berbuat zina -lain halnya dengan pendapat Ahmad-, juga tidak boleh memecahkan selaput dara dengan menggunakan jari-jari.

 

Sunah bersenda gurau dengan istri untuk menghiburnya, tidak mengosongkan persetubuhan tiap empat hari bila tanpa uzur, memilih waktu sahur untuk persetubuhan, menunda melepas zakar dan vagina bila suami berejakulasi terlebih dahulu, menyetubuhi setelah datang dari bepergian, suami-istri memakai wewangian ketika menjelang bersetubuh, suami-istri -sekalipun telah putus dari pembuahanmembaca “Bismillah .. dan seterusnya (Dengan nama Allah, Wahai, Tuhanku Jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau rezekikan kepada kami), dan sunah suami-istri tidur dalam satu selimut.

 

Menggunakan obat-obat kuat jimak yang diperbolehkan (mubah) dengan tujuan baik

-misalnya kesucian jiwa dan mendapatkan keturunan-, adalah menjadi perantara sesuatu yang disukai: karena itu, hendaknya memakai obat seperti itu disukai juga, menurut pendapat yang zhahir, yang dikatakan oleh Guru kita.

 

Makruh bagi istri menyebut-nyebut sifat wanita lain kepada suaminya atau orang lain, tanpa ada keperluan.

 

Bagi seorang suami boleh menyetubuhi istrinya pada waktu di mana ia mengetahui salat fardu telah masuk waktunya serta waktu telah habis sebelum ia mendapatkan air: pada waktu di mana ia mengetahui bahwa istrinya tidak dapat mandi setelah persetubuhan dan waktu salat telah habis. ‘

PASAL: MENIKAHI BUDAK PEREMPUAN

Laki-laki merdeka -sekalipun mandul-, adalah haram menikahi budak orang lain -sekalipun Muba’adh-, kecuali tiga perkara:

 

Pertama: Ia tidak dapat menemukan wanita untuk diajak bermain seks, sekalipun berupa wanita amat atau wanita (istri) yang berada dalam talak raj’i, hukumnya seperti seorang istri, selama belum habis idahnya, buktinya masih dapat saling mewaris. Maksudnya: Ia tidak menemukan seorang pun dari dua pilihan di atas.

 

la juga tidak mampu menikahi wanita merdeka lantaran tidak didapatkan atau karena melarat: atau tidak mampu menggauli amat lantaran tidak memiliki atau tidak mempunyai uang untuk membelinya.

 

Bila ia menemukan orang yang mau mengutangi, memberi harta atau budak perempuan kepadanya, maka Ia tidak wajib menerimanya, tetapi ta halal menikahi wanita budak. Bila la orang yang mempunyai anak yang kaya, maka baginya tidak halal menikahi amat.

 

Bila laki-laki itu memiliki amat/istri talak raj’i yang masih kecil, yang tidak kuat disetubuhi, atau telah tua bangka, gila, terkena penyakit lepra, sopak, lubang vagina tertutup daging, atau wanita tersebut lubang vaginanya tertutup tulang, maka baginya halal memkalu amat.

 

Demikian juga jika wanita yang dimiliki itu wanita pezana, menurut fatwa dari tidak hanya seorang ulama saja.

 

Bila laki-laki tersebut mampu mendapatkan wanita yang tengah berada di tempat yang dekat (jarak di bawah kebolehan menggashar salat) serta tidak sulit menuju ke sana dan memungkinkan untuk dipindah ke daerah orang tersebut, maka ia ndak halal menikahi amat.

 

Adapun bila wanita yang dimiliki berada di tempat yang jauh dari tempatnya dan untuk menuju ke sana mengalami kesukaran yang jelas -misalnya orang yang menanggung kesukaran tersebut untuk mencari istrinya yang tidak berada di daerah bisa dianggap melampaui batas (sampai dicacat orang banyak ), atau takut berbuat zina dalam perjalanan menuju ke tempat istrinya tersebut-, maka wanita tersebut dianggap tidak ada, seperti hukum wanita yang tidak mungkin dipindah ke tanah airnya, lantaran masyakat yang diterima dalam pengembaraannya.

 

Kedua: Laki-laki tersebut takut berbuat zina lantaran nafsu seksualitasnya tinggi, sedang takwanya tipis (lemah): Maka, baginya halal menikahi amat, berdasarkan ayat Alqur-an.

 

Bila nafsu seksualitasnya lemah dan ia memiliki takwa, harga diri (muruah), rasa malu yang membuat dirinya merasa tidak baik berbuat zina, atau nafsu seksualitas dan takwanya sama-sama kuat, maka ia tidak halal merikahu amat, karena tidak khawatir akan berbuat zina.

 

Bila laki-laki tersebut khawatir berbuat zina terhadap perempuan budak, lantaran sangat terpikat dengannya, maka bukan berarti halal ia nikahi, sebagaimana yang telah diterangkan oleh fukaha.

 

Ketiga: amat yang akan dinikahi harus muslimah lagi dapat disetubuhi. Karena itu, tidak halal menikahi amat kitabiyab.

 

Menurut Abu Hanifah: Laki-laki merdeka boleh mengawini amat milik orang lain, jika ia tidak mempunyai istri yang merdeka.

 

Beberapa Cabang:

 

Apabila laki-laki merdeka dengan syarat-syarat tersebut telah ia penuhi, kemudran menikahi amat, lalu ia menjadi kaya dan menikahi wanita yang merdeka, maka nikahnya dengan amat tersebut tidak fasakh.

 

Anak yang dilahirkan oleh amat dari pernikahan atau lainnya, misalnya zina atau persetubuhan syubhat -misalnya menikahi amat dalam keadaan laki-laki itu kaya-, adalah statusnya budak murni milik pemilik amat tersebut.

 

Bila ada seorang laki-laki tertipu dengan kemerdekaan seorang amat, lalu ra menikahinya, maka anakanak yang lahir dari amat tersebut hukumnya merdeka, selama laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa wanita yang dirukahu adalah seorang budak -sekalipun laki-laki tersebut seorang budakdan ia wajib membayar harga anak-anak yang lahur tersebut kepada pemilik amat dengan harga di kala mereka lahir

 

Orang Islam merdeka dihalalkan menyetubuhi budak perempuannya yang Kitabiyah, jika budaknya beragama Watsariyah atau Majusiyah, maka tidak halal disetubuhi.

 

Penyempurna:

 

Pemilik budak laki-laki yang telah memberi izin menikah terhadap budak laki-lakinya, adalah tidak wajib menanggung mahar dan biaya hidupnya, sekalipun dalam izinnya telah disyaratkan ada tanggungan, tetapi mahar dan biaya hidup diambilkan dari hasil kerja budak tersebut dan hasil perdagangan yang telah diizinkan penanganannya.

 

Bila budak itu tidak bekerja dan tidak diberi izan berdagang, maka mahar dan biaya hidup (nafkah) menjadi tanggungan utang budak itu sendiri , sebagaimana halnya dengan kelebihan mahar yang telah ditentukan oleh sayidnya, dan mahar yang wajib dibayar sebab persetubuhan yang dilakukan dalam nikah fasid, yang tidak mendapat izin dari sayidnya.

 

Tidak tertetapkan mahar sama sekah, lantaran seorang sayid’ mengawinkan budak

laki-lakinya dengan amatnya, sekalipun mahar disebutkan. Ada yang mengatakan: Mahar di sim wajib, lalu gugur.

PASAL: SHADAQ (MASKAWIN ATAU MAHAR)

Shidaq adalah sesuatu yang diwajibkan sebab rukah atau persetubuhan.

Sesuatu itu dinamakan “shidaq”, karena memberikan kesan bahwa pemberi sesuatu itu benar-benar karena ada ikatan nikah, di mana pernikahan itu merupakan pangkal terjadi pemberian tersebut. Shudaq juga disebut “mahar”.

 

Ada yang mengatakan: Shidaq adalah pemberian wajib yang disebutkan dalam akad, sedangkan mahar adalah pemberian wajib Selain itu.

 

Sunah menyebutkan mahar ketika akad dan berupa mahar perak -sekahpun dalam mengawinkan budak lakilakinya dengan amat miliknya-, karena ittiba’ dengan Rasulullah saw. Sunah juga mahar itu tidak melebihu 500 dirham, yang mana sekian itulah maskawin putri-putri Rasulullah saw. dan tidak kurang dan 10 dirham murni.

 

Makruh tidak menyebutkan mahar ketika akad.

 

Terkadang menyebutkan mahar ketika akad hukumnya wajib, lantaran ada sesuatu hal, misalnya sebagaimana keadaan sang istri tidak mempunyai wewenang bertasaruf.

 

Segala yang sah untuk membeli, adalah sah untuk maskawin -sekalipun kecil nilainya-, lantaran sah dijadikan penukar.

 

Apabila dalam akad rikah dengan menyebutkan mahar yang tiada nilai kehartaan -misalnya sebutir isi kurma, sebutir kerikil, tangkai buah terong dan meninggalkan had qadzaf-, maka penyebutan tersebut rusak, karena termasuk perkara yang tdak digunakan penukar.

 

Bagi istri -begitu juga wali wanita yang kurang sempurna lantaran masih kecil atau gila, dan sayid dari amat-, berhak menahan dirinya untuk mengambil maharnya tidak kontan, yaitu mahar mu’ayyan atau kontan, baik itu sebagian atau seluruhnya.

 

Adapun bila mahar itu tidak kontan, maka bagi istri tidak boleh menahan dirinya, sekalipun masa pelunasannya telah tiba sebelum istri menyerahkan dirinya kepada suaminya.

 

Hak menahan diri menjadi gugur, setelah suami menjimaknya dengan ketaatannya sendiri serta istri dalam keadaan sempurna (balig dan berakal sehat). Bagi istri yang belum balig atau gila, berhak menahan dirinya setelah menjadi sempurna, kecuali karena suatu maslahat, walinya menyerahkan.

 

Wajib bagi istri -atas permintaan sendiri atau walinya-, menunda penyerahan dirinya lantaran membersihkan badannya selama waktu menurut petunjuk qadhi, yaitu maksimum 3 hari. Tidak wajib menunda untuk menunggu habis pendarahan haid atau nifas.

 

Tetapi, bila istri yang sedang haid/ nifas khawatir akan dijimak, maka ia wajib menyerahkan dirinya kepada suaminya dan menolak dijimak.

 

Bila ia yakin bahwa penolakannya tiada berguna dan banyak qarninah yang menunjukkan, bahwa suami akan menjimaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan dirinya untuk dijimak, bahkan dalam keadaan seperti ini ia wajib menolak menyerahkan dirinya, menurut yang dikatakan oleh Guru kita.

 

Bila wali menikahkan wanita perwaliannya yang gadis dalam keadaan belum balig, gila atau rasyidah yang tidak memberikanizan ada mahar di bawah mahar mitsil, atau rasyidah tersebut (baik gadis atau janda) telah menentukan jumlah mahar kepada walinya, lalu dikurangi, atau rasyidah tersebut memberikan izan dinikahkan secara muttak tanpa menetukan besar maharnya, lalu dirikahkan dengan mahar di bawah mahar mitsil, maka nikah tersebut adalah sah dengan mahar mitsil, karena mahar yang disebutkan dihukumi fasad.

 

Sebagaimana pula sah nikah dengan mahar mutsil, bila wali anak kecil qabul nikah untuk anak laki-laki perwaliannya dengan mahar di atas mahar mitsil, serta dibayar dengan harta anak kecil itu.

 

Bila mereka (wali, calon suami dan Istri yang rasyidah) menyebutkan mahar secara sirri (pelan-pelan), lalu menyebutkan mahar yang lebih besar dari yang pertama dengan keras, maka suami wajib membayar mahar sebesar jumlah yang disebutkan dalam akad, karena berpedoman dengan akad.

 

Bila akad rukah secara sirri dengan mahar 1.000, lalu agar kelihatan bagus, maka akad diulangi lagi secara terang-terangan dengan mahar 2.000, maka mahar yang wajib dibayar adalah 1.000.

 

Dalam persetubuhan dan pernikahan atau pembelian amat yang fasid -wathi/ persetubuhan syubhat-, maka wajib memberikan mahar mitsil, karena alat kelamin perempuan telah dimanfaatkannya.

 

Mahar mutsil tidak dilipatgandakan menurut jumlah persetubuhan, jika masih dalam satu syubhat.

 

Mahar tetap harus dibayar seluruhnya, sebab salah satu suami-istri mati -sekalipun belum pernah berjimak-, karena berdasarkan ijmak para sahabat, atau sebab telah menyetubuhi istri, yaitu dengan memasukkan kepala zakar ke lubang vagina, sekalipun selaput dara masih utuh.

 

Mahar gugur seluruhnya, sebab terjadi perceraian dari pihak istri sebelum terjadi jimak, misalnya istri menfasakh akad karena ada kecacatan pada diri suami atau suami melarat, misalnya istri berbuat murtad, atau perceraian dari pihak suami sebab istri cacat.

 

Mahar wajib dibayar separonya, sebab penjatuhan talak sebelum dijimak, sekalipun talak tersebut atas pilihan istri, misalnya suami menyerahkan hak talak kepada istrinya, lalu ia melakukan penjatuhan talak kepada suami menggantungkan jatuh talak pada perbuatan istrinya, lalu ia melakukan perbuatan yang di. maksudkan atau istri dijatuhkan talaknya dengan khulu’, dan sebab fasakh nikah lantaran suaminya berbuat murtad.

 

Dengan bersumpah, suami/istri bisa dibenarkan dakwaannya, bahwa dirinya belum berjimak, karena dasar permasalahan adalah belum terjadi jimak.

 

Kecuali bila suami menikahi istrinya dengan syarat masih perawan, lalu suami mengatakan “Kudapannya telah janda dan aku belum pernah menjimaknya”, lalu dijawab pihak istri: “Keperawanan hilang sebab kau jimak”, maka istri yang dibenarkan dengan sumpahnya, demi menolak ada fasakh.

 

Suami dibenarkan dakwaannya juga, demi pembayaran mahar separo, jika ia menjatuhkan talak sebelum menyimak istri.

 

Bila terjadi persehsihan antara suami-istri mengena jumlah mahar yang ditentukan serta dakwaan suami lebih kecil, atau mengenai sifat mahar: yatu semacam jenisnya, misalnya dinar, kontan, masa angsuran atau keutuhan dinar dan sebaliknya (dirham, berangsur dan seterusnya), padahal tiada bayinah yang dikemukakan oleh salah satu dari mereka atau kedua belah pihak mengemukakan bayinah, tetapi bertentangan, maka sebagaimana masalah jual beli, mereka harus melakukan Tahaluf (sumpah yang sekaligus menguatkan dakwaanya sendiri dan meniadakan dakwaan lawan)

 

Kemudian setelah tahaluf, mahar yang ditentukan (disebut) dalam akad rukah menyad rusak dan wajib membayar mahar sutul, sekalipun ternyata lebih besar daripada mahar yang didakwakan istri.

 

Mahar mutsil adalah ukuran mahar yang biasanya menjadi kesukaan wanita-wanita sepadan calon istri yang menjadi wans ashabahnya dan segi nasab (jika wanita-wanita itu diperkirakan sebagai laki-laki, sebab wanis ashabah dan nasab yang hanya laki-laki) Karena itu, (untuk mengukur besar mahar) didahulukanlah saudara perempuan calon istri yang sekandung, lalu yang seayah, mendahulukan bibi dani ayahnya yang sekandung, baru yang seayah saja.

 

Bila mahar wanita-wanita tersebut tidak diketahui, maka diukur dengan mahar wanita-wanita Arhamnya, misalnya nenek dan saudara perempuan ibu.

 

Al-Mawardi dan Ar-Rauyani berkata: Urutan wanita yang menjadi ukuran mahar mitsil dari Dzawatul Arham sebagai berikut: 1. Ibu, 2. Saudara perempuan seibu, 3. Nenek, 4. Saudara perempuan dari ibu, 5. Anak perempuan saudara perempuan ibu. Jika nenek dari ayah dan dari ibu berkumpul, maka menurut sisi tinjauan pendapat adalah sama statusnya.

 

Bila wanita-wanita dari kalangan Dzawatul Arham tersebut tidak dapat diketahui, maka mahar mitsil diukur dengan wanita-wanita lain yang sepadan dengan calon istri tersebut. Di samping itu, juga perlu diperhatikan perbedaan latar belakangnya, misalnya: Usia, kekayaan, kegadisan, kecantikan dan kefasikannya.

 

Bila wanita yang akan kita tentukan. mahar mitsilnya ini ada kelebihan atau kekurangan dengan wanita-wanita di atas, maka mahar mitsil ditambahi atau dikurangi sepantasnya, sesuai keadaannya, menurut pendapat qadhi.

 

Bila seorang wanita dari ashabahnya meringankan maharnya, maka tidak wajib dikuti.

 

Wali tidak berhak mengampuni dengan meniadakan mahar mauhyahnya, sebagaimana dengan piutang dan hak-hak anak perwaliannya.

 

Kudapatkan tulisan Al-Allamah Ath-Thanbadawi mengenai khilah, agar suami bebas dari tanggungan mahar, adalah misalnya wali berkata kepada suami -di mana istrinya belum balig, gila atau bodoh-: “Jatuhkan talak wanita mauliyahku dengan tebusan 500 dirham dan aku yang menanggungnya”, lalu pihak suami berkata: “Saya alihkan tanggunganku membayar mahar untuk anak perwalianmu kepadamu”, lalu wali menjawab: “Kuterima”: Dengan demikian suami bebas dari tanggungan mahar Selesai.

 

Sah seorang istri yang Mukalaf mentabaru’kan mahar dengan lafal ibra’ (pembebasan), afwu (pengampunan), isqath (pengguguran) ihlal (penghalalan), ibahah (pemberi kebolehan) dan hibah (pemberian), sekalipun tidak terjadi qabul pada suami.

 

Penting:

 

Bila seorang laki-laki meminang seorang wanita dan mengirimkan atau menyerahkan harta kepadanya, sebelum akad nikah terlaksana tanpa disertai lafal yang menunjukkan tabarru’. dan dimaksudkan untuk itu, lalu terjadi pengunduran diri, baik dari pihak wanita maupun laki-laki, maka pihak laki-laki berhak menarik kembali harta yang telah dikirimkan tersebut, sebagaimana yang diterangkan oleh segolongan fukaha Muhaqqiqun.

 

Bila laki-laki memben istrinya harta, lalu wanita mengatakan: “Harta tersebut sebagai hadiah”, dan suaminya mengatakan: “Sebagai mahar”, maka pihak laki-laki dibenarkan dengan sumpah, sekalipun harta tersebut tidak sejenis mahar.

 

Bila laki-laki menyerahkan kepada wanita pinangannya dan berkata (mendakwa): “Harta itu kujadikan sebagai mahar yang akan wajib aku bayar sebab akad”, atau “… sebagai biaya pakaian yang wajib aku tanggung setelah akad dan tamkin”, lalu pihak istri mendakwa: “Harta itu sebagai hadiah”, maka menurut suatu pendapat, yang dibenarkan adalah pihak istri, sebab tidak ada garinah yang menunjukkan kebenaran maksud suami.

 

Bila dalam masalah kita di atas (pengiriman harta kepada wanita pinangan) setelah terjadi akad nikah, lalu laki-laki menjatuhkan talaknya, maka ia tidak boleh menarik kembali harta tersebut -lain halnya dengan pendapat Al-Baghawi-, sebab ia memberikan harta tersebut demi terlaksana akad, sedang akad itu telah terjadi.

 

Penyempurna:

 

Suami wajib memberikan Mut’ah kepada istri yang pernah dijimak – sekalipun amat-, dengan terjadinya perceraian yang bukan dari sebab istri dan bukan sebab kematian salah seorang suami-istri

 

Mut’ah adalah. Sejumlah harta yang menjadi kerelaan suanu-istri, Ada yang mengatakan: Mut’ah adalah jumlah paling sedikit yang sah untuk dijadikan mahar.

 

Sunah pemberian mut’ah itu tidak kurang dari 30 dirham.

 

Bila suami dan istri berselisih mengenai mut’ah, maka mut’ah ditentukan oleh qadhi berdasarkan keadaan kedua belah pihak: Kekayaan atau kemelaratan suami, dan nasab atau sifat istri.

 

Penutup:

 

Walimatul Ursy (pesta perkawinan) hukumnya sunah muakkad bagi suami yang rasyid dan wali suami yang tidak rasyid, dengan diambilkan dari harta suami.

 

Paling sedikit walimah tidak ada batasnya, tetapi yang lebih utama bagi yang mampu adalah seekor kambing.

 

Waktu yang lebih utama, adalah setelah terjadi persetubuhan, lantaran ittiba’ kepada Rasulullah saw. Pelaksanaannya setelah akad nikah dan sebelum persetubuhan juga sudah mendapatkan asal kesunahannya.

 

Menurut suatu pendapat, bahwa perintah sunah walimatul ursy berjalan terus setelah terjadi jimak, sekalipun telah panjang masa berlalu -sebagaimana Akikah-, dan sekalipun suami telah meryatuhkan talak pada istri.

 

Penyelenggaraan walimatul ursy pada malam hari adalah lebih utama.

 

Bagi orang yang tidak mempunyai uzur -sebagaimana uzur-uzur dalam masalah salat Jumatdan qadhi wajib menghadiri walimatul ursy – yang diselenggarakan setelah akad, bukan sebelumnya, jika mempelai laki-laki muslim yang mengundangnya sendiri, utusan wakilnya yang dapat dipercaya atau utusan anak tamyiz yang tidak diketahui (tidak pernah), berkata dusta, serta undangan diberikan secara merata kepada segenap orang yang dimaksud sifatnya sesuai maksud pengundang, misalnya segenap tetangga dan sanak familinya atau segenap handatolan atau teman sekerjanya.

 

Bila sanak famili pengundang terlalu banyak atau tidak mampu meratakan undangan lantaran fakir, maka tidak disyaratkan undangan harus merata, menurut pendapat Al-Aujah: tetapi disyaratkan tidak tampak mengkhususkan orang kaya atau lainnya.

 

Disyaratkan pula orang yang diundang dita’yin pribadi atau dengan sebutan sifatnya Karena itu, tidak cukup dengan: “Barangsiapa yang mau, maka silakan hadir”, “Undanglah siapa saja yang kamu sukai” atau “… Siapa saja yang kamu temui”, bahkan dalam undangan seperti in tidak wajib mendatanginya.

 

Disyaratkan juga dalam menghadiri walimah tidak terjadi khalwah yang diharamkan. Karena itu, undangan walimah wanita yang menghadiri wanita atas izin suami atau sayidnya, tidak boleh dihadiri oleh laki-laki, kecuali bila di sana terdapat pencegah khalwah yang diharamkan, misalnya ada laki-laki: mahram wanita pengundang, wanita mahram laki-laki yang diundang atau wanita pengundang tersebut bersama wanita lain yang adil.

 

Adapun bila akan terjadi khalwah yang diharamkan, maka secara mutlak tidak boleh mendatangi acara wahmatul ursy. Demikian juga tidak boleh menghadiri -sekalipun tidak terjadi khalwah-, bila di sana ada jamuan khusus untuknya, misalnya wanita pengundang berada dalam suatu bilik dan ia mengutus laki-laki untuk mengirimkan makanan kepada yang diundang berada di bilik lain, hal ini disebabkan khawatir terjadi fitnah.

 

Lain halnya bila tidak dikhawatirkan terjadi fitnah (maka bagi laki-laki boleh mendatangi undangan wanita). (Dalilnya): Sufyan dan temantemannya membesuk Rabi’ah Al-Adawiyah dan mendengarkan bicaranya. Karena itu, bila didapatkan laki-laki seperti Sufyan dan wanita seperti Rabi’ah, maka tidak haram menghadirinya, bahkan makruh pun tidak.

 

Disyaratkan juga, bahwa diundangnya bukan karena ditakuti, diharapkan dari kepangkatannya atau agar membantu dalam kebatilan, dan bukan untuk makan barang syubhat, semisal tidak diketahui keharaman pada harta pengundang itu.

 

Adapun bila terjadi syubhat di sana, sebagaimana diketahw bahwa harta benda atau makanan walimah pengundang bercampur dengan barang haram, sekalipun sedikit, maka hukumnya tdak wajib menghadin, bahkan makruh bela sebagian besar hartanya itu haram.

 

Bila diketahui bahwa makanan walimah itu haram, maka haram menghadiri undangannya, sekalipun ia tidak berkeinginan ikut makan, sebagaimana pendapat yang dizhahirkan oleh Guru kita.

 

Disyaratkan pula di tempat walimah tidak terdapat kemungkaran, di mana kehadirannya tidak dapat menghentikannya. Termasuk kemungkaran adalah tabir penutup terbuat dari sutera, alas lantai dari hasil menggasab dan ada orang yang membuat hadirin tertawa dengan cara yang keji dan dusta. Jikalau itu yang terjadi, maka haram menghadarinya.

 

Termasuk barang mungkar: Gambar binatang yang lengkap dengan bagian tubuhnya, di mana binatang sesungguhnya tidak dapat hidup tanpa anggota tubuh itu, sekalipun tidak ada bentuk binatang hidup sesungguhnya seperti itu, misalnya gambar kuda bersayap dan burung bermuka manusia yang berada di atap rumah, pagar atau selambu yang digantung untuk perhiasan, pada pakaian yang terpakai atau alas yang terbentang, karena gambar-gambar tersebut menyerupai berhala. Karena itu, dengan keberadaan gambargambar seperti itu, undangan walimah tidak wajib dihadiri, bahkanharam hukumnya.

 

Tidak membawa pengaruh apa-apa dengan membawa mata uang yang bergambarkan lengkap, lantaran ada hajat untuk itu, dan karena gambar itu diperlakukan untuk muamalah.

 

Boleh menghadiri undangan yang di situ terdapat gambar-gambar diremehkan, misalnya gambar-gambar yang terpampang di alas dan diinjakinjak kaki, bantal yang ditiduri atau dibuat lesehan, pada besi, meja, piring dan kendi.

 

Demikian pula boleh, bila gambaritu terputus kepalanya, karena hilang bagian yang menjadi pangkal kehidupannya.

 

Haram -meskipun di atas tanah-, menggambar binatang yang meskipun tidak ada wujud sesungguhnya.

 

 

Tetapi, boleh membentuk boneka permainan anak-anak wanita, karena Aisyah r.a. adalah bermain boneka di sisi Rasulullah saw., sebagaimana di dalam Hadis Muslim. Hikmahnya adalah melatih anak-anak wanita untuk menangani urusan tarbiyah.

 

Tidak haram juga menggambar binatang tanpa kepala, lain halnya dangan pendapat Al-Mutawalli.

 

Halal mencetak perhiasan emas-perak dan menenun sutera, karena barang itu halal untuk kaum wanita, tetapi membuatnya untuk orang yang tidak halal memakainya, adalah haram.

 

Bila seorang diundang oleh dua orang, maka yang dihadiri adalah orang yang mengundang lebih dahulu dan bila mengundangnya dalam waktu yang sama, maka hadirilah yang lebih dekat rumahnya, lalu dengan diundi.

 

Sunah menghadiri undangan segala macam walimah, misal walimah khutan, kelahiran anak, keselamatan wanita dari sakit waktu melahirkan, datang dari perjalanan dan khataman Alqur-an, Semua ini hukumnya sunah.

 

Beberapa Cabang:

 

Disunahkan makan ketika ia sedang mengerjakan puasa sunah -sekalipun puasa muakkad-, demi melegakan hati orang yang menjamu, sebagaimana tuan rumah hatinya tidak enak, bila makanan yang disuguhkan tidak dimakan -sekalipun waktu itu telah di akhur siang-, karena ada perintah untuk berbuka dari puasa.

 

(Sekalipun ia berbuka), ia masih mendapatkan pahala untuk puasa yang dikerjakan, dan sunah mengqadhanya di suatu hari.

 

Bila tuan rumah tidak keberatan makanan yang ia suguhkan tidak dimakan, maka tidak sunah berbuka dari puasa, bahkan yang lebih utama adalah puasa terus.

 

Tamu diperbolehkan memakan apa’ saja yang disuguhkan kepadanya, tanpa dipersilakan oleh tuan rumahnya. Tetapi bila tuan rumah masih menunggu yang lainnya, maka sebelum yang ditunggu datang, maka ia tidak boleh memakan suguhan tersebut, kecuali tuan rumah mempersilakannya.

 

Dua guru kita menjelaskan akan kemakruhan makan terlalu kenyang. Sedangkan ulama yang lainnya mengatakan haram.

 

Dengan sanad daif diriwayatkan, bahwa Nabi saw. melarang seseorang makan dengan cara bersandar diri pada tangan kirinya. Malik berkata: Posisi tersebut adalah suatu bentuk duduk bersandarkan pada sesuatu.

 

Posisi sunah dilakukan orang yang . makan, adalah makan dengan duduk berlutut dan bagian luar telapak kaki diletakkan di bawah, atau (telapak) kaki kanan diberdirikan dan duduk di atas telapak kaki kiri.

 

Makruh makan sambil duduk bersandarkan sesuatu, yaitu bertopang pada alas yang ada di bawahnya, juga makan sambil tiduran mining, kecuali makan makanan yang dengan posisi itu dapat diambil. Tidak makruh makan sambil berdiri.

 

Minum sambil berdiri adalah menyelisihi keutamaan (khilaful aula).

 

Sunah bagi orang yang makan, mencuci dua tangan dan mulutnya sebelum dan sesudah makan, membaca surah Al-Ikhlas dan Al-Quraisy sesudah makan, dan tidak menelan sisa makanan yang terambil dengan tusuk gigi, bahkan yang sunah adalah membuangnya.

 

Lain halnya dengan sisa makanan yang terkumpul oleh lidahnya dani sela-sela gigi, maka boleh ditelan.

 

Haram memperbesar suapan makan dengan mempercepat suapan, agar mendapatkan makanan yang banyak dan menghalangi teman makan yang lain.

 

Apabila seseorang mendapati orangorang yang sedang makan dan mereka mengajaknya ikut makan, maka ia tidak boleh ikut makan, kecuali ia memperkirakan bahwa ajakan tersebut keluar dari kerelaan hati mereka, bukan karena semacam merasa malu.

 

Seorang tamu tidak diperbolehkan memberi makan pengemis atau kucing, kecuali diketahui ada kerelaan dari tuan rumah. Makruh bagi pengundang suatu walimah, memberikan keistimewaan kepada sebagian tamunya dengan makanan yang mewah.

 

Haram bagi orang-orang yang rendah status sosialnya, memakan makanan yang disuguhkan kepada orang-orang yang mulia.

 

Bila seorang tamu mengambil wadah makanan, lalu pecah dari tangannya, maka ia wajib menggantinya, -sebagaimana yang dibahas Az-Zarkasyi-, sebab yang ada di tangannya tersebut dihukumi sebagai Ariyah.

 

Bagi seseorang diperbolehkan mengambil semacam makanan temannya dengan memperkirakan, bahwa pemiliknya merelakan perbuatan-itu. “Kerelaan di sini berbeda-beda, sesuai ukuran yang diambil, jenis dan keadaan tuan rumahnya.

 

Dalam hal seperti ini, sebaiknya seorang tamu memelihara keadilan teman-temannya, karena itu, jangan mengambil kecuali yang disuguhkan khusus untuknya atau segenap teman merelakan untuk diambil, bukan lantaran malu. Demikian pula dikaitkan hukumnya dengan masalah dua butir kurma yang dimakan berbarengan.”

 

Adapun bila kerelaan itu masih diragukan, maka mengambil makanan temannya adalah haram, sebagaimana hukum tathafful (mendatangi walimah tanpa diundang), selama undangan tidak di buka secara umum, misalnya membuka pintu rumahnya dan mempersilakan siapa saja yang mau masuk.

 

Bagi pemilik makanan wajib memberi makan orang yang kelaparan, seukuran untuk menyambung kematiannya, jika orang tersebut Ma’shum (terpelihara jiwanya) yang Islam atau dami, sekalipun pemiliknya sendiri masih membutuhkan makanan itu di waktu mendatang. Demikian pula memberi makan binatang muhtaram (dimuliakan syarak) milik orang lain.

 

Lan halnya dengan kafir Harbi, orang murtad, pezina mukhshan, orang yang meninggalkan salat dan anjing galak

 

Bila pemilik makanan menolak memberi makan, maka orang yang kelaparan tersebut boleh mengambilnya secara paksa dengan kewajiban menggantinya bila ia telah mampu. Apabila orang tersebut belum mempunyai barang pengganti keseluruhannya, maka ia dapat menggantinya secara diangsur.

 

Bila pemilik makanan memberinya makan tanpa menuturkan ada ganti, maka orang yang diberi makan tersebut tidak wajib menggantinya, lantaran keteledoran pemilik makanan itu sendiri.

 

Bila kedua belah pihak berselisih mengenai ada dan tidak penyebutan ganti, maka dengan cara bersumpah, pemulik dapat dibenarkan.

 

Boleh menaburkan semacam gula dan daun sirih, Adapun tidak melakukan hal itu, adalah lebih utama. Halal memungut barang-barang tersebut, karena diyakini ada kerelaan hati pemiliknya, tetapi hal itu makruh, lantaran barang itu hina adanya.

 

Haram mengambil anak burung yang bersarang di tempat orang lain, mengambil ikan yang masuk bersama-sama air ke dalam telaga orang lain.

PASAL: GILIR DAN NUSYUZ

Bila seorang suami menginap di tempat salah seorang istrinya, maka hukumnya wajib mengadakan gilir di antara istri-istri yang lainnya, dengan cara undian atau lainnya.

 

Karena itu, suami wajib menginapi istri dari istri-istri yang lainnya, sekalipun terdapat uzur untuk mereka, misalnya sakit dan haid (pengertiannya sama di atas).

 

Sunah menyamaratakan di antara istri dalam segala macam istimta’ dan suami tidak dapat dikenai sanksi lantaran kecondongan hatinya kepada salah satu istrinya. Sunah juga tidak menganggurkan para istri, yaitu hendaklah suami menginapi mereka.

 

Tiada kewajiban gilir buat para amat, dan tidak pula antara para amat dan istri.

 

Wajib bagi suami-istri bergaul dengan cara sebaik mungkin, sebagaimana masing-masing dari mereka menjaga jangan sampai membuat pihak yang lain tidak suka dan memberikan haknya secara sukarela dan muka berseri-seri tanpa mengeluarkan biaya dan menyulitkan din.

 

(Gilir istri wajib bagi) selain istri yang sedang dalam idahnya sebab jimak syubhat, karena haram berduaan dengan wanita seperti ini, dan selain istri kecil yang tidak kuat dijimak.

 

Selain istri yang nusyus, yaitu tidak taat terhadap suami, misalnya keluar dari rumah tanpa seizin suami dan menolak diajak bermain seks (ditamattu’) atau menutup pintu di hadapan suami, sekalipun ia istri yang gila.

 

Selain istri yang sedang dalam perjalanannya sendiri untuk keperluan pribadi, sekalipun atas izin suaminya.

 

Untuk ketiga macam istri di atas, adalah tidak mempunyai hak gilir, sebagaimana tidak mempunyai hak nafkah.

 

Cabang:

 

Al-Adzra’i dengan menukil dari Tajzi’ah Ar-Ruyani berkata: Bila jelas istri berbuat zina, maka bagi suami berhak menolak hak gilir dan hak-haknya yang lain, agar ia mau menebus dirinya. Demikianlah yang telah di-nash dalam Al-Um dan ini adalah salah satu pendapat yang paling ashah. Selesai.

 

Guru kita berkata: Ketentuan di atas adalah zhahur (jelas), bila Ar-Ruyari bermaksud bahwa penghalangan hak gilir halal dilakukan oleh suami secara batin, sebagai pengajaran terhadap istri lantaran keserongannya dalam urusan kasur suami, Adapun secara lahur, maka dakwaan suami atas istri mengenai zina itu tidak dapat diterima, bahkan bila ada perzinaan itu dapat ditetapkan (dengan bayinah atau ikrar istri), maka qadhi tidak boleh memberikan kesempatan kepada suami agar melakukan penghalangan seperti di atas, menurut pendapat yang jelas.

 

Bagi suami yang tengah memenuhi malam giliran seorang istri, adalah diperbolehkan masuk ke tempat istri yang lain karena darurat -bukan lainnya-, misalnya istri itu sedang sakit parah, walaupun hanya menurut perkiraannya.

 

Pada siang hari, bagi suami boleh masuk ke tempat istri yang bukan gilirannya, lantaran suatu keperluan, misalnya meletakkan dagangan atau mengambilnya, menjenguk, menyerahkan belanja dan mencari berita darinya, asal saja tidak berlamalama tinggal melebihi keperluan menurut kebiasaan.

 

Bila ia berlama-lama melebih keperluan, maka ia (suami) berbuat dosa lantaran menyimpang, dan ia wajib menggadha untuk istri yang tengah digiliri itu sepanjang diamnya di tempat istri lain yang dimasuki. Ini adalah menurut mazhab (Syafi’i) dan lainnya.

 

Menurut kesimpulan Al-Minhaj, Ashlul Minhaj, Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, adalah berselisih dengan pendapat di atas, mengenai masalah bila suami memasuki tempat istri yang bukan gilirannya di siang hari, lantaran ada keperluan -sekalipun lama di sana-, dan tidak wajib menyamaratakan dalam kadar ukuran tinggal suami pada waktu yang bukan waktu pokok -misalnya waktu siang-, karena waktu yang bukan pokok adalah waktu yang tidak tenang, yang kadang-kadang bisa sebentar, juga bisa lama.

 

Mengenai kehalalan masuk padaistri yang bukan gilirannya (lantaran darurat atau keperluan), maka diperbolehkan bercinta, tetapi haram menjimak -haramnya bukan keadaan perjimakan itu sendiri, tetapi perkara lain-: Suami juga tidak wajib mengqadha jimak tersebut, sebab hal ini berkaitan dengan kesanggupan, tetapi wajib menggadha waktu yang digunakan untuk jimak, jika lama menurut kebiasaan.

 

Ketahuilah, bahwa masa gilir seorang istri yang pendek adalah satu malam, yaitu terhitung mulai matahari terbenam hingga terbit fajar.

 

Adapun yang paling lama adalah tiga malam. Karena itu, tidak boleh lebih dari itu, sekalipun istri-istrinya terpisah-pisah beberapa daerah, kecuali bila telah ada kerelaan dari mereka.

 

Sedang arti ada kerelaan para istri, dibelokkanlah ucapan kitab Al-Um: “Suami menggilir istri secara bulanan dan tahunan”.

 

Waktu pokok untuk masa gilir bagi suami yang kerjanya di siang hari, adalah malam hari, sedang waktu siang sebelum atau sesudahnya, adalah hanya mengikutinya, dan siang sesudahnya adalah lebih utama lagi dalam kaitannya.

 

Bagi istrinya yang merdeka, mendapat giliran dua malam, sedang bagi istrinya yang berupa amat, yang telah menyerahkan dirinya, mendapat gilir semalam dua hari.

 

Wajib bagi suami memulai penggiliran dengan cara mengundi.

 

Wajib tinggal selama 7 hari berturut-turut bersama istri gadis yang baru dirukahi, di mana suami telah mempunyai seorang istri atau lebih. Tiga hari berturut-turut bila istri barunya seorang janda. Mengenai tujuh atau tiga hari tersebut, tanpa mengqadha pada istri lamanya.

 

Sekalipun istri barunya itu -gadis atau perawan-, adalah seorang wamita budak, sebab Nabi saw. telah bersabda: “Tujuh hari untuk perawan dan tiga hari untuk gadis”.

 

Sunah mempersilakan kepada istri baru yang janda, untuk memilih 3, hari tanpa gadha atau 7 han dengan gadha, sebab mengikuti tindak Rasul saw.

 

Peringatan:

 

Wajib menurut dua Guru kita -sekalipun Al-Adzara’i sebagaimana Az-Zarkasyi secara panjang-lebar menolaknya-, bagi suami pada malam-malam sebagai pengantin baru (7 hari untuk gadis dan 3 hari untuk janda seperti di atas) datang belakangan pada semacam pergi salat berjamaah dan mengiring Jenazah.

 

Wajib pula menyamaratakan para istrinya pada malam-malam giliran mereka dalam hal pergi atau tidaknya untuk keperluan di atas. Karena itu, seorang (suami) berdosa lantaran mengkhususkan malam gilir seorang istri untuk keluar rumah guna keperluan di atas.

 

Sunah bagi suami menasihati istrinya lantaran mengkhawatirkan atas nusyus istri, misalnya si istri melengos dan cemberut yang sebelumnya tunduk dan berseri-seri, atau bertutur kata kasar padahal sebelumnya berlemah lembut,

 

Bila berkehendak, boleh bagi suami -di samping menasihatinyamemisah tempat tidurnya, bukan memutus berbicara: bahkan tidak mengajak berbicara hukumnya makruh.

 

Berdasarkan hadis sahih, bahwa tidak mengajak berbicara pada istri atau lainnya di atas tiga hari, hukumnya adalah haram.

 

Tetapi, jika tujuannya adalah menolak istri dari maksiat atau untuk memperbaiki ajaran agamanya, maka hukumnya boleh.

 

Suami boleh memukul istrinya, asal tidak sampai mengakibatkan luka berdarah pada selain muka dan anggota badan yang peka untuk kematian, bila menurut perkiraannya bahwa pukulan membawa kemanfaatan, sekalipun memakai cambuk atau tongkat.

 

Tetapi Ar-Ruyani menukil ada ketentuan, bahwa kebolehan memukul tersebut memakai tangan suami Itu sendiri atau sapu tangan.

 

(Suami boleh berpisah tempat tidur dengan istri atau memukulnya tersebut) sebab istri berlaku nusyus, sekalipun tidak berulang-ulang -lain halnya dengan pendapat Al-Muharrar-, dan sebab nusyus, maka gugurlah hak gilirnya.

 

Di antara bentuk nusyus adalah keengganan seorang istri mendatangi panggilan suaminya ke kamarnya, sekalipun ia tengah sibuk dengan keperluannya sendiri, karena hal itu berarti menentangnya.

 

Tetapi, bila ketidakdatangannya lantaran suatu uzur semacam sakit atau keadaan dirinya mempunyai derajat tinggi dan pemalu, yang tidak biasa mejeng (memperlihatkan diri), maka ia tidak wajib memenuhi panggilan suaminya yang berada di rumah (kamar)nya sendiri. Bagi istri yang seperti ini, suami wajib menggilirnya di rumah sang istri sendiri.

 

Suami diperbolehkan mendidik istrinya yang telah memakinya.

 

Penutup:

Suami dianggap berbuat maksiat, sebab menjatuhkan talak kepada istrinya yang belum sempat menikmati haknya (hak gilir) yang penuh, padahal waktunya telah tiba, sekalipun talaknya hanya raj’i. Ibnur Rifah berkata: Hal itu jika bukan karena permintaannya.

PASAL: KHULUK (TALAK TEBUS)

Lafal Khulu’ itu berasal dari Khal’u -dengan fathah kha’nya-, yang maknanya “menanggalkan/melepaskan”, sebab suami-istri adalah ibarat pakaian satu sama yang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat Alqur-an.

 

Asal hukum khuluk adalah makruh, dan terkadang bisa menjadi sunah, sebagaimana hukum yang terjadi pada talak.

 

Kesunahan khuluk melebihi kesunahan talak bagi seorang suami yang bersumpah untuk menjatuhkan talak tiga istrinya, dengan menggantung pada suatu perbuatan yang tidak dapat ditinggalkan (misalnya, “Demi Allah, jika aku minim/ makan, maka istriku tertalak tiga”).

 

Guru kita berkata: Mengenai kesunahan khuluk di sini ada tinjauan, sebab banyak fukaha yang berpendapat, bahwa sifat penggantungan talak tetap kembali: karena menurut pendapat Al-Aujah, bahwa khuluk sepert kasus di atas hukumnya mubah, bukan sunah.

 

Termaktub di dalam Syarhul Minhaj dan Irsyad: Bila suami sengaja menghalangi semacam nafkah istrinya dengan tujuan agar istri mau melakukan khuluk dengan membenikan harta -lalu istri melakukannya-, maka batal hukum khuluk dan istri jatuh talak raj’i, sebagaimana yang dinukil oleh fukaha Mutakaddimun dari Syekh Abu Hamid (Al-Ghazali).

 

Kalau tujuan tidak seperti itu, maka talaknya jatuh Bain. Terhadap arti irulah dibelokkan apa yang dinukil oleh dua Guru kita, dari Abu Hamid, bahwa khuluk tetap sah, dan dalam dua kasus di atas suami dihukum berdosa, sekalipun tetah jelas istri berbuat zina. Tetapi dalam hal kejelasan perzinaan istri, khuluk tidak makruh adanya.

 

Khuluk menurut arti syarak, adalah perceraian dengan tebusan, yang dimaksudkan -misalnya bangkai- dari pihak istri atau lainnya, yang diberikan kepada suami atau sayidnya, dengan kata-kata “Talak/ Khuluk/Tebusan”, sekalipun khuluk itu terjadi pada istri yang jatuh talak raj’inya, sebab dalam talak raj’i hukumnya seperti istri dalam kebanyakan hukum-hukumnya.

 

Bila terjadi khuluk yang langsung dihadapkan kepada istri tanpa menuturkan tebusan, dengan niat agar suami mau qabul -musalnya suami berkata “Engkau saya khuluk”, atau “Dirimu kutebus”-, dengan niat agar istri mau menqabulkannya -lalu istri melakukannya-, maka istri wajib membayar pada suaminya sebesar mahar mitsilnya, lantaran berlaku kebiasaan yang memberlakukan hal itu dengan ada tebusan.

 

Bila khuluk dalam contoh di atas dihadapkan kepada orang lain, maka istri jatuh talaknya secara gratis, sebagaimana bila khuluk dihadapkan laka-laki lain dengan menuturkan tebusan dan tebusan itu fasid.

 

Bila suami mengucapkan khuluk secara global dan katanya “Engkau kukhuluk”, serta tidak meruatkan agar istri mengqabulnya, maka talak menjadi raj’i, sekalipun istri mengqabulnya.

 

Bila suami memulainya dengan sighat Mu’awadhah (tukarmenukar), misalnya: “Engkau kutalak/kukhuluk dengan menukar 1.000”, maka menjadi akad Mu’awadhah, karena ada suami mengambil penukar ganti farji yang menjadi hak gunanya.

 

Mu’awadhah di sini bercampur taklik, sebab jatuhnya talak di sini terletak pada keberadaan qabul. Karena itu, suami bisa mencabut kembali sebelum istri mengucapkan qabulnya, karena kebolehan pencabutan kembali, adalah pertingkah dalam Mu’awadhah.

 

Disyaratkan (di dalam Mu’awadhah), ada qabul dari istri dengan seketika dalam majelis ijab, dengan lafal seperti, “Kuterima” atau “Kutanggung”, atau dengan sikapnya semisal memberi suami uang 1000 menurut yang dikatakan oleh fukaha Mutakaddimun.

 

Bila antara kata-kata yang diucapkan suami (ijab) dengan qabul istri ditengah-tengahi oleh masa atau pembicaraan yang panjang, maka khuluk tidak bisa menjadi sah.

 

Bila suami berkata kepada istrinya: “Engkau kujatuhkan talak tiga dengan tebusan 1.000”, lalu si istri menerima (qabul) talak tiga dengan 1.000, maka talak tetap jatuh tiga danistri tersebut wajib memberinya 1.000.

 

Bila istri memulai dengan meminta talak, misalnya: “Talaklah aku: dengan tebusan 1.000”, atau “Bila kamu mau menjatuhkan talak, maka kau kuberi sekian …”, lalu suami menurutinya, maka akadnya menjadi Mu’awadhah dari pihak istri, karena itu, ia berhak mencabut kembali sebelum suami menjawabnya, sebab kebolehan seperti in adalah konsekuensi Mu’awadhah.

 

Dalam kasus di atas disyaratkan penjatuhan dengan seketika, sebab Jika suami tidak menjatuhkannya seketika, maka talak yang ia jatuhkan adalah talak yang timbul dari dirinya sendin (tidak ada kaitannya dengan permintaan istri dan akibatnya: istri jatuh talak raj’i dan ia tidak wajib memberikan tebusan).

 

Syekh Zakariya berkata: Bila suami dalam kasus di atas mendakwa, bahwa talak yang dijatuhkan tidak dengan seketika, adalah sebagai jawaban dari permintaan istri dan ia adalah orang bodoh yang beruzur, maka dengan bersumpah ia dapat dibenarkan (dan ia berhak menerima barang tebusan).

 

Atau bila suami memulainya dengan shighat taklik pada perwujudan sesuatu (itsbat), misalnya: “Jika sewaktu-waktu kamu memberiku sekian …, maka jatuhlah talakmu”, maka pernyataan tersebut sebagai Taklik Talak, sebab kesesuaian shughat adalah ke situ.

 

Karena itu, talak baru terjadi setelah terwujud yang digantungkan dengannya, dan suani tidak dapat mencabut kembali pernyataannya sebelum terwujud perkara itu, sebagaimana dengan bentuk taklik yang lainnya.

 

Dalam taklik tidak disyaratkan ada qabul seketika dengan lafal, begitu Juga pemberiannya, akan tetapi cukuplah dengan ada pemberian -sekalipun suami-istri telah berpisah dari majelis-, sebab sudah jelas, bahwa penyataan taklik mencakup semua tempo.

 

Hanya saja jawaban suami wajib diberikan pada ucapan istri: “Kapan kau talak aku, maka kamu kuberi sekian …”, sebab pada galibnya hal itu menjadi Mu’awadhah dani pihak istri. Kalau penjatuhan talak tidak dilakukan seketika, maka arahnya adalah talak dari diri suami sendiri (bukan dari istri), karena suami mampu menjatuhkan talak dengan seketika.

 

Adapun bila taklik tersebut pada peruadaan suatu kejadian (nafi), jnisalnya: “Kapan saja kamu tidak memberiku 1.000, maka jatuhlah talakmu”, maka menunjukkan arti seketika, karena itu, jatuh talaknya sejak terlewat tempo yang memungkinkan untuk memberikan 1.000, tapi ia tidak mau memberikannya.

 

Disyaratkan memberikan dengan seketika di majelis ijab -tidak ditengah-tengahi dengan pembicaraan yang panjang menurut kebiasaan dani istri yang merdeka serta berada di tempat atau tidak hadir, tapi mengetahui terjadi ucapan suami pada ucapan suami “Bila kamu memberiku sekian .. , maka jatuhlah talakmu”, sebab keseketikaan di gm sdalah konsekuensi lafal yang ada tebusannya.

 

Konsekuensi ucapan seperti di atas diperselisihkan untuk ucapan semacam “Kapan saja…”, sebab kejelasan dari kata “kapan saja” dalam menunjukkan kebolehan pengakhiran, tetapi suami tidak berhak mencabut kembali sebelum terwujud perkara yang digantungkan dengan talak istri (pada masalah: “Bila kamu memberiku …”, di atas) dan tidak disyaratkan qabul dengan lafal. , “

 

Peringatan:

 

Pernyataan Ibra’ dalam hubungan dengan hal-hal di atas, adalah seperti pernyataan dalam pemberian. Karena itu, untuk ucapan suami “Bila kau bebaskan diriku …”, adalah harus dilakukan pembebasan dengan seketika dan sah, setelah istri mengetahui ucapan di atas, Kalau tidak melakukan dengan seketika, maka talak tidaklah jatuh.

 

Fatwa yang dikeluarkan oleh sebagian fukaha, bahwa talak tetap terjadi untuk istri yang tidak hadir di tempat secara mutlak (baik istri mengibra’kan dengan seketika maupun tidak) -karena suami tidak mengatakan kepada istrinya tentang keberadaan tebusan-, adalah fatwa yang jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan pembicaraan fukaha.

 

Bila suami berkata: “Jika istriku mengibra’kanku, maka kamu sebagai wakil untuk menjatuhkan talaknya”, lalu istri membebaskan tanggungan suaminya, maka bebaslah tangungannya, Kemudian wakil disuruh memilih (antara menjatuhkan talak atau tidak), dan bila ia menjatuhkan talak, maka talaknya adalah raj’i, sebab pembebasan tanggungan adalah sebagai imbalan pewakilan (bukan talak)

 

Bila suami menggantungkan jatuh talak istri pada pembebasan istri terhadap tanggungan mahar suami, maka talaknya tidak jatuh, kecuali bila didapatkan pembebasannya secara sah dari seluruh maharnya. Pembebasan yang sah, semisal pembebasan dilakukan oleh istri. yang rasyidah, dan kedua suami-istri mengetahui jumlah mahar serta jumlah tersebut tidak ada kaitannya dengan kewajiban zakat. Dengan demikian, talak yang jatuh adalah bain.

 

Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan dengan panjang lebar, bahwa tidak ada bedanya Apakah terkena zakat ataupun tidak, sekalipun pendapat ini ia nukil dari fukaha Muhaqqiqun Yang demikian ini (talak tidak jatuh, jika mahar yang diibra’kan terkena kewajiban zakat), karena mengibra’kan pada kadar zakatnya adalah tidak sah, padahal jatuhnya talak digantungkan dengan keseluruhan mahar dan sifat seperti Ini tidak diwujudkan.

 

Ada yang mengatakan: Talak jatuh bain dengan kewajiban istri membayar mahar mutsil.

 

Bila istri membebaskan tanggungan mahar suaminya, lalu mendakwa bahwa ia tidak mengetahui ukuran mahar tersebut, maka jika ia dikawinkan belum balig, maka dengan bersumpah bisa dibenarkan dakwaannya, Atau kalau ia dikawinkan ketika balig dan keadaan menunjukkan ketidak tahuannya akan jumlah mahar lantaran dipaksa kawin dan tidak diminta izin, maka juga dengan bersumpah bisa dibenarkan dakwaannya: Kalau keadaannya tidak menunjukkan ketidaktahuan istri, maka dengan bersumpah suami. dapat dibenarkan.

 

Bila suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau bebaskan mahar, maka Jatuhlah talakmu setelah satu bulan”, lalu istri membebaskan mahar, maka bebasiah tanggungan mahar suami secara mutlak. Kemudian, jika ternyata suami masih hidup selama satu bulan, maka jatuh talak bain, (tetapi) bila setelah lewat masa satu bulan ia tidak hidup, maka talak tidak jatuh.

 

Di dalam Al-Anwar tersebutkan mengenai istri yang berkata kepada suaminya: “Saya bebaskan kamu dari pembayaran mahar dengan syarat kamu menjatuhkan talak kepadaku”, lalu suami menjatuhkan talak, maka jatuhlah talaknya dan suami tidak dapat bebas dari tanggungan mahar.

 

Tetapi yang ada dalam Al-Kafi dan diakui oleh Al-Bulqini dan lainnya mengenai ucapan “Engkau kubebaskan dari maharku dengan syarat talak atau kamu menjatuhkan talak kepadaku”, maka jatuhlah talak ban dan suami bebas dari tanggungan maharnya, Lain halnya dengan: “Bila engkau mau menjatuhkan talak wanita pemaduku, maka kamu bebas dari tanggungan maharmu”, lalu suami menjatuhkan talak kepada wanita pemadunya, maka jatuhlah talak dan suami tidak bisa bebas dari tanggungan maharnya.

 

Guru kita berkata Pendapat yang bar-Wajh adalah yang ada di dalam Al-Amwar, sebab persyaratan yang cdhtuturkan mengandung taklik.

 

Beberapa Cabang:

 

Bila suami berkata: “Jika engkau membebaskan aku dari maharmu, maka aku’akan menjatuhkan talak kepadamu”, lalu istri membebaskannya dan suami menjatuhkan talak, maka bebaslah suami dari tanggungan maharnya dan tertalaklah si istri, bukan sebagai yang dikhuluk.

 

Bila seorang istri berkata: “Talaklah aku dan kamu bebas dari maharku”, lalu suami menjatuhkan talaknya, maka istri jatuh talak bainnya dengan ada pembebasan mahar, sebab ucapan seperti itu adalah kalimat penetapan.

 

Atau bila istri berkata: “Jika kamu menjatuhkan talak kepadaku, maka kubebaskan kamu dari maharku”, atau “… maka kamu bebas dari maharku”, lalu suami menjatuhkan talaknya, maka istri tertalak ban dengan kewajiban membayar mahar mitsil kepada suaminya -menurut Al-Muktamad-, sebab rusaknya penebusan dengan ada penggantungan pembebasan.

 

Abu Zur’ah mengeluarkan fatwa mengenai seorang ayah yang meminta kepada suami anak putrinya yang belum dijimak agar dijatuhkan talaknya dengan pembayaran tebusan seluruh maharnya ditanggung oleh ayah tersebut, lalu suami menjatuhkan talak, dan selanjutnya sang ayah menerima hawalah piutang dirinya sendiri (yaitu mahar yang ada dalam tanggungan suami) atas utang dininya sendiri (yaitu: kesanggupan menutup mahar tersebut sebagai tebusan talak), di mana anak wanita tersebut di bawah ampuan ayahnya (misalnya belum balig atau gila), bahwa talak yang dijatuhkan adalah sebagai khuluk dengan tebusan sebesar jumlah mahar wanita tersebut dalam tanggungan sang ayah.

 

Tetapi, untuk kesahan hawalah suami, disyaratkan mengalihkan piutang suami (jumlah yang disanggupi ayah istrinya) untuk menutup utangnya kepada anak putri sang ayah, sebab di dalam hawalah harus ada ijab (dari Muhul) dan qabul (dari Muhtal). Dalam pada itu, hawalah hanya sah untuk separo dari keseluruhan yang ditanggung ayah, sebab separo mahar istrinya menjadi gugur karena kebainan dari suaminya (sebelum dijimak): Karena itu, suami masih mempunyai hak sebesar separo mahar tanggungan ayah, sebab dengan adanya permintaan sang ayah agar anak putrinya dicerai dengan tebusan menutup mahar anaknya, Maka tebusan sebesar mahar itu menjadi hak suami, sedangkan sekarang kewajiban suami membayar mahar hanya separo saja (sebab belum pernah menjimak istrinya).

 

Maka jalan keluarnya (agar ayah tidak mempunyai tanggungan yang separo), adalah sang ayah meminta suami agar mengkhuluk anak yang ada di bawah pengampuannya itu dengan tebusan sebesar separo mahar yang masih menjadi hak wanita ampuannya, dengan cara demikian, maka sang ayah dengan hawalah, bebaslah seluruh utangnya kepada suami.

 

Guru kita berkata: Dari apa yang akan diterangkan, bahwa Dhaman (tanggungan utang) adalah mewajibkan ayah membayar dengan mahar mitsil, maka kesanggupan di atas adalah seperti Dhaman juga, sekalipun tanpa melewati Hawalah.

 

Bila ayah atau orang lain meminta suami anaknya mengkhuluk dengan tebusan maharnya atau berkata “Jatuhkan talakmu kepadanya dan kamu nanti bebas dari maharnya”, maka jatuhlah talaknya dengan raj’i dan suami tidak bisa bebas dari tanggungan maharnya.

 

Tetapi, jika ayah atau orang lain menanggung apa yang akan dituntut oleh suami, atau ia berkata: “Jatulah talakmu kepadanya dan aku menanggung maharnya”, maka talak jatuh sebagai bain dengan tebusan mahar mitsil atas tanggungan ayah/ orang lain.

 

Bila ayah/orang lain berkata kepada orang lain: “Mintalaff si Fulan agar menjatuhkan talak kepada istrinya dengan tebusan 1.000,-“, maka untuk tetapnya tebusan jumlah tersebut disyaratkan ada perkataan “… atas tanggunganku”.

 

Lain halnya dengan ucapan istri kepada orang lain: “Mintalah kepada suamiku agar menjatuhkan talaknya atas segini …”, maka ucapan tersebut sebagai taukil, sekalipun tidak mengucapkan “… aku yang menanggung”.

 

Bila ada seorang laki-laki berkata: “Ceraikan istrimu dengan tebusan berupa penceraianku kepada istriku”, lalu dua suami tersebut melakukan penjatuhan talak, maka kedua istri tersebut jatuh talak bain, karena hal itu sebagai khuluk yang tidak rusak., karena tebusan di siri dimaksudkan. -lain halnya dengan pendapat sebagian fukaha-: karena itu, suami tersebut satu sama lain wajib membayar tebusan sebesar mahar mitsil bekas istri masing-masing.

 

Peringatan:

Perceraian dengan lafal khuluk, adalah talak yang dapat mengurangi Jumlah talak.

 

Dalam suatu pendapat yang dinash oleh Imam Syafi’i dalam kaul Kadim dan Jadidnya dinyatakan, bahwa perceraian dengan lafal khuluk jika tidak dimaksudkan sebagai talak, maka sebagai fasakh nikah yang tidak dapat mengurangi jumlah talak: Karena itu, setelah terjadi khuluk berulang kali -tanpa terbatas-, boleh mengikat pernikahan baru.

 

Pendapat ini banyak dipilih oleh fukaha ashhabuna kalangan Mutakaddimun dan Mutaakhirun, bahkan Al-Bulqini berulang kali memfatwakannya.

 

Adapun perceraian dengan lafal talak dengan tebusan, adalah sebagai talak yang dapat mengurangi jumlah talak yang dimiliki -secara pasti-, sebagaimana halnya perceraian dengan lafal khuluk, jika dimaksudkan untuk talak.

 

Tetapi Imam Al-Haramain menukil dari pendapat fukaha Muhaqqiqun mengenai ada kepastian hukum, bahwa lafal khuluk tidak dapat berubah menjadi talak dengan dimatkan seperti itu.

PASAL: TALAK (PERCERAIAN)

Talak menurut bahasa artinya “melepaskan ikatan tali”, sedang menyrut syarak artinya “melepaskan ikatan dengan lafal yang dituturkan nanti”.

 

Hukum talak adakalanya wajib, sebagaimana talak seorang suami yang telah bersumpah Ila’, di mana ia tidak mau menjimak istrinya lagi. Adakalanya sunah, misalnya suami sudah tidak mampu menunaikan hakhak istrinya, sekalipun karena sudah tidak ada rasa tertarik kepadanya, atau misalnya istri sudah tidak dapat menjaga kebersihan jiwanya, selama suami tidak mengkhawatirkan bahwa dengan dicerai, istri akan berbuat keji (kepada orang lain), atau misalnya istri berperangai buruk.

 

Maksud buruk perangainya di sini, adalah sekiranya suami sudah tidak dapat sabar lagi hidup berdampingan dengannya -menurut kebiasaan-, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita. Kalau tidak diartikan seperti itu, maka kapan bisa .ditemukan wanita yang tidak buruk perangainya? Karena tersebut di dalam sebuah hadis: “Wanita salehah itu laksana burung gagak Al-‘Asham”, adalah merupakan ungkapan atas kelangkaan wujudnya, sebab burung gagak Al-‘Asham adalah burung gagak yang kedua sayapnya berwarna putih.

 

Atau (kesunahan talak) karena perintah dari salah satu kedua orangtua suami, di mana perintah talak tersebut bukan karena mempersukarnya (tetapi ada tujuan sahih).

 

Adakalanya haram, misalnya talak Bida’i, yaitu menjatuhkan talak kepada istri yang sudah pernah dijimak, di mana saat jatuh talak tersebut wanita dalam keadaan semacam haid atau suci yang dijimak saat itu (padahal.istri masih produktif), dan sebagaimana menjatuhkan talak kepada istri sebelum ja menyelesaikan hak gilirnya, misalnya juga menjatuhkan talak oleh suami yang dalam keadaan sakit dengan tujuan menghalangi istri dari harta pusaka.

 

Mengumpulkan tiga talak dalam satu kali, hukumnya tidak haram, tetapi disunahkan menjatuhkan talak satu saja.

 

Adakalanya makruh, sebagaimana selamat dari yang telah dituturkan di atas. Berdasarkan hadis: “Perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak”. Menetapkan ada kemurkaan Allah terhadap talak, adalah dimaksudkan untuk kuat menghindari talak, bukan dimaksudkan dengan hakikat kebencian (kemurkaan) yang sesungguhnya, sebab akan berarti menunjukkan ketidakhalalan dilakukannya.

 

Hanya saja talak itu dapat terjadi pada selain wanita tertalak bain, sekalipun wanita yang dijatuhi talak ini sudah pernah tertalak raj’i yang belum habis masa idahnya. Karena itu, talak tidak bisa terjadi pada wanita yang dikhuluk (sebab sudah lepas ikatan perkawinannya) dan wanita yang tertalak raj’i dan sudah habis masa idahnya. Untuk jatuhnya talak itu harus dari seorang suami yang kehendaknya sendiri dan mukalaf yaitu balig dan berakal sehat. Karena itu, talak tidak bisa jatuh dari suami yang belum balig dan gila.

 

“Talak bisa jatuh dari suami yang zalim, sebab menggunakan barang memabukkan: Meminum khamar, memakan kecubung atau rumput, lantaran kemaksiatannya dalam menghulangkan kesadaran dirinya.

 

Lain halnya dengan orang yang mabuknya bukan zalim waktu menggunakan barang-barang tersebut: misalnya ia dipaksa menggunakan barang tersebut atau tidak mengetahui, bahwa barang itu dapat memabukkan. Karena itu, talak yang dijatuhkan orang seperti ini tidak dihukumi terjadi, jika ia tidak tamyiz lagi, lantaran ia tidak gegabah dalam menggunakan obat (barang) tersebut.

 

Orang yang mendakwa, bahwa dirinya dipaksa menggunakan barang-barang yang memabukkan dapat dibenarkan cara disumpah, jika indikasi yang menunjukkannya, misalnya ia berada dalam penahanan. Kalau tidak indikasi semacam ini, maka ia harus mengajukan bayinah.

 

Talak yang keluar dari suami yang bergurau dihukumi jatuh: misalnya ia sengaja menyebutkan kata talak bukan maknanya, misalnya oleh Suami yang main-main dalam menjatuhkan talaknya: misalnya tidak bermaksud apa-apa dari kata talak yangia ucapkan.

 

Menceritakan talak orang lain, pencontohan ahh fikih terhadap talak dan pengucapan talak tanpa didengar oleh dirinya sendiri, adalah tidak membawa akibat sama sekali terhadap istri orang tersebut.

 

Fukaha sudah sepakat tentang jatuh talak suami yang sedang marah, sekalipun ia mendakwa kesadaran dirinya hulang ketika ia marah.

 

Orang yang dipaksa -bukan dengan semestinyauntuk melakukan talak dengan diancam sesuatu yang menakutkan dan patut terjadinya -misalnya ditahan yang lama atau sebentar untuk orang yang mempunyai muruah, ditempeleng di muka orang banyak bagi yang bermuruah dan dihancurkan harta orang yang sempit perekonomiannya, berbeda halnya 5 dirham bagi orang kaya-, adalah dihukumi tidak jatuh.

 

Syarat terjadi pemaksaan (yang mengakibatkan talak bisa jatuh) adalah kemampuan pemaksa untuk mewujudkan ancamannya dengan seketika lantaran mempunyai kekuasaan atau gagah dirinya, sedang pihak yang dipaksa tidak mampu menolaknya dengan cara lari atau munta tolong dan ia mempunyai perkiraan, bahwa bila ia membangkang, maka ancaman itu segara terwujudkan.

 

Karena itu, “kelemahan” belum dianggap nyata tanpa terkumpul hal-hal di atas.

 

Paksaan di sini tidak disyaratkan tauriyah (pengkaburan makna yang diucapkan orang yang dipaksa), misalnya berruat kepada wanita lain atau secara pelan-pelan mengucapkan “Insya Allah” setelah mengucapkan kata talak.

 

Bila orang yang dipaksa bermaksud menjatuhkan talak, maka jatuhlah -sama dengan yang dipaksa karena semestinya, misalnya pihak pemilik gawad berkata “Ceraikan istrimu, jika tidak mau, maka aku pasti membunuhmu”, lalu ia menjatuhkan talaknya-, atau ada orang berkata ‘ kepada orang lain: “Cerailah istrimu, atau pilih kubunuh kamu besok”, lalu ia menjatuhkan talak. Maka dalam dua contoh ini, jatuhlah talaknya.

 

Jatuh talak tersebut adalah dengan lafal yang sharih -yaitu lafal yang lahirnya tidak dapat mencakup makna selain talak-: misalnya lafal yang musytaq dari “talak”, sekalipun diucapkan oleh orang non Arab yang mengetahui bahwa lafal itu digunakan untuk melepas ikatan seorang suami dari istrinya, sekalipun aslinya sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita.

 

Misalnya lagi lafal yang musytag dari Firaq (berpisah) atau Sarah (Lepas), karena ketiga kata di atas telah berulang-ulang disebut di dalam Alqur-an.

 

Misalnya “Thallaqtuki/Thallaqtu zaujati (Kutalak kamu/Kutalak istrimu)”, dan “Sarrahtuki/ Sarrahtu zaujati” (Kulepaskan kamu/Kulepaskan istriku), dan “Farraqtuki/Farraqtu zaujati” (Kupisahkan kamu/Kupisahkan istriku), dan seperti “Anti thaligun/ Muthallaqatun/Mufaraqatun/ Musarrahatun”‘ (Kamu tertalak/ ditalak/dipisahkan/dilepaskan). Adapun penggunaan masdar (akar kata) dari semua lafal di atas, adalah sebagai kinayah talak, misalnya “Anti thalaqun/ Firaqun/Sarahun'”‘ (Engkau adalah tertalak/perpisahan/ perlepasan). “

 

Peringatan:

 

Disyaratkan menuturkan maf’ul bih (objek penderita) bersama semacam “Thallaqtuki”, dan menuturkan mubtada’ (subjek) bersama semacam “Thaliqun”.

 

Bila salah satu bagian kalimat tersebut hanya diniatkan dalam hati orang yang mengucapkan, maka tidak membawa akibat apa-apa, sebagaimana ia berkata: Thaliqun (… adalah tertalak) sambil meniatkan kata “Anti” (kamu…), atau mengatakan Imra-ati (istriku …) sambil meniatkan kata “Thaliqun” (… adalah tertalak)

 

Kecuali bila “wanita (istri)” sebelumnya telah dituturkan dalam suatu permintaan, misalnya: “Talaklah istrimu”, lalu suami berkata: “Thallaqtu”, tanpa menuturkan maf’ul bihnya, atau suami menyerahkan talak kepada istrinya: “Talaklah dirimu”, lalu istri berkata: “Thallaqtu”, tanpa menuturkan “nafsi” (diriku): maka dalam dua contoh ini talak tetap jatuh.

 

Lalu jatuh juga, talak yang menggunakan terjemah dari musytaq ketiga lafal di atas (talak, firak dan sarah), sebab terjemah lafal Talak adalah sharih menurut mazhab, dan untuk terjemah dua yang lainnya, juga sharih menurut pendapat Al-Muktamad. Al-Adzra’i menukil dari segolongan fukaha tentang ada kemantapan pada yang muktamad ini.

 

Termasuk talak yang sharih, adalah “A ‘thaitu/Qultu thalaqaki” (Saya berikan/Saya ucapkan talakmu), atau “Auqa’tu/Alqaitu/Wadha’tu ‘alaikith thalaq” (Kujatuhkan/ Kucampakkan/Kuletakkan talak/ Talakku pada dirimu), dan “Ya . Thaliq” (Hai yang tertalak) dan “Ya Muthallaqah” (Hai wanita yang tertalak).

 

Tidak termasuk talak yang sharih “Anti Thalaq” (Engkau adalah talak), dan “Lakath Thalaq” (Untukmu talak). Tetapi, dua ini adalah kinayah dari talak, sebagaimana kinayah pula pada: “Jika kamu berbuat begini …, maka di situlah talakmu”, atau “…, maka itulah talakmu”, menurut yang dilahirkan oleh Guru kita, sebab bentuk masdar (akar kata)itu tidak dapat digunakan makna ain (benda wujud dalam susunan Ikhbar), kecuali karena tawassu’ (memberikan kelapangan).

 

Beberapa Cabang:

Bila istri berkata kepada suaminya. “Talaklah aku”, lalu suami berkata. “Dia wanita yang tertalak”, maka dakwaan suami bahwa yang dimaksudkan itu bukan istrinya, adalah tidak dapat diterima, karena dengan didahului permintaan istri, membuat lafal arahnya ke situ.

 

Dari keterangan ini, bila sebelumnya tidak dituturkan “istri” terlebih dahulu, maka dikembalikan pada niat suami, dalam contoh: “Kamu tertalak”, di mana istrinya tidak hadir di tempat itu, atau “Dia tertalak”, padahal istri ada di tempa.

 

Al-Baghawi berkata: Bila suami berkata: “Hampir saja aku tidak menalakmu”, maka itu adalah ikrar keberadaan talak.

 

Bila suami berkata kepada wali istrinya: “Kawinkan dia”, maka itu berarti ada ikrar talak.

 

Al-Muzajjad berkata: Bila seorang Suami berkata: “Wanita ini adalah Istri si Fulan”, maka dihukumi lepas Ikatan nikah.

 

Ibnush Shalah berfatwa mengenai suami yang berkata: “Bila aku meninggalkannya selama satu tahun, maka aku sudah tidak menjadi suaminya lagi”, bahwa perkataan tersebut secara lahir adalah ikrar lepas ikatan perjodohan setelah satu tahun suami meninggalkannya, Karena itu, setelah masa satu tahun dan habis idah wanita tersebut, ia boleh kawin dengan laki-laki lain.

 

Beberapa Faedah:

 

Bila seorang berkata kepada orang lain: “Adakah kamu menalak istrimu?” dengan maksud agar suami tersebut menjatuhkan talaknya, lalu ‘ dijawab: “Ya”, atau “Benar”, maka jatuhlah talaknya secara sharih.

 

Bila menjawab: “Kutalak” saja, maka talaknya kinayah talak, sebab kata “ya” adalah tertentu untuk jawaban, sedang kata “kutalak”, . masih bebas: Bisa sebagai jawaban. dan bisa sebagai permulaan.

 

Adapun bila pertanyaan tersebut hanya dimaksudkan untuk mencan berita, lalu yang ditanya menjawab: “Benar/ya”, maka sebagai ikrar. ada talak dan menurut hukum lahir talaknya jatuh bila yang diikrarkan adalah kedustaan, sedang menurut hukum akhirat, talaknya tidak jatuh. Demikian juga jatuh talaknya, bila Ia tidak mengetahui maksud orang yang bertanya kepadanya.

 

Bila suami berkata: “Saya maksudkan talak kemarin dan saya sudah rujuk”, maka ia bisa dibenarkan dengan disumpah, sebab terdapat keraguan dalam dakwaannya.

 

Bila ada orang berkata kepada suami yang menjatuhkan talaknya: “Apakah kamu menjatuhkan talak tiga pada istrimu? Lalu dijawab: “Saya : menalak”, dengan maksud talak satu, maka bisa dibenarkan dengan sumpahnya, sebab kata-kata “aku menalak” Adalah bisa sebagai jawaban dan bisa sebagai permulaan.

 

Dari keterangan ini, bila istri berkata: “Talak tigalah diriku”, lalu suami berkata: “Kutalak” dan ia tidak berniat jumlah talak,. maka talak jatuh satu.

 

Bila suami berkata kepada ibu mertuanya: “Anak putrimu tertalak”, dan katanya lagi: “Yang kumaksud anak putrinya yang lain”, maka ia bisa dibenarkan dengan sumpahnya, sebagaimana ia mengatakan kepada istrinya dan wanita lain: “Salah satu dari kalian tertalak”, dan katanya lagi: ” Yang kumaksud adalah wanita lain”, hal itu karena berkisar lafal pada dua makna tersebut, karena itu, bisa dibenarkan menurut yang ia maksudkan.

 

Lain halnya bila suami berkata: “Zainab jatuh talaknya”, padahal nama istrinya adalah Zainab, dan ia bermaksud wanita lain yang namanya juga Zainab, maka secara lahur ucapan Suami (yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wanita lain), tidak bisa diterima dan secara batin dihukumi menurut yang terjadi sebenarnya.

 

Penting:

 

Bila orang awam berkata: “A ‘thaitu talaqa Fulanah/Thalakaha/ Dalaqaha”‘, maka dengan ucapan itu, jatuhlah talaknya. :

 

Talak tersebut adalah sharih bagi suami yang awam, yang hanya bisa mengucapkan dengan kata yang diganti seperti itu, atau bagi suami yang dialek bahasanya memang begitu, sebagaimana “yang telah dijelaskan oleh Al-Jalal Al-Bulqini dan dipedomi oleh segolongan fukaha Mutaakhirun serta difatwakan oleh segolongan dari guru-guru kita.

 

Bila lisan dapat mengucapkan kalimat talak yang benar, maka bila ja mengucapkan dengan kata-kata di atas, maka talaknya adalah kinayah, “sebab penggantian kata menjadi seperti itu, ada asalnya.

 

Talak juga bisa jatuh dengan kinayah yang disertai niat menjatuhkan talak pada permulaan kalimat kinayah. Kinayah adalah kata-kata yang bisa diartikan talak dan bisa diartikan tidak.

 

Ungkapanku “yang disertai niat pada awal kalimatnya”, adalah menurut pendapat yang diunggulkan oleh banyak fukaha dan dipedomi oleh Al-Asnawi dan Syekh Zakariya ‘dengan mengikuti pendapat segolongan fukaha Muhaqqiqin.

 

Dalam Ashlur Raudhah, AnNawawi mengunggulkan, bahwa cukup dengan disertakan pada sebagian lafal kinayah, sekalipun pada akhir bagiannya.

 

Kinayah talak misalnya: “Engkau haram bagiku”, “Engkau kuharamkan”, atau ” Apa yang dihalalkan oleh Allah, adalah haram bagiku”, sekalipun orang-orang sudah membiasakan kata tersebut sebagai talak: lain halnya dengan pendapat Ar-Raf’i.

 

Bila suami yang mengatakan demikian berniat keharaman mata, semacam farji atau menjimaknya, maka istri tersebut tidak haram bagi suaminya, dan suami berkewajiban seperti kafarat dalam sumpah, sekalipun ia tidak menjimaknya.

 

Bila suami berkata: “Pakaian/ Makanan ini haram bagiku”, maka : adalah sia-sia dan tidak membawa: akibat apa-apa.

 

Contoh kinayah lagi adalah: “Kamu kosong dari suami”: “Kamu bebas dari suami”, atau “Engkau dipisahkan”. Kinayah talak lagi: “Engkau merdeka”: “Engkau dilepaskan”, atau “Kulepaskan dirimu”.

 

Contoh kinayah talak lagi: “Engkau seperti ibuku/anak putriku/saudara putriku”, dan misalnya lagi: “Wahai, anak putriku”, yang diucapkan kepada istri yang pantas sebagai anak putrinya, karena memandang usianya, sekalipun istrinya adalah wanita yang diketahui nasabnya.

 

Misalnya lagi: “Engkau kumerdekakan/Kutinggalkan kamu/Kuputus nikahmu/Kusisihkan kamu/Kuhalalkan kamu atas suami-suami yang lain/Dirimu kusekutukan bersama Fulanah”, sedang Fulanah telah tertalak dari suaminya atau orang lain.

 

Misal yang lain lagi: “Kawinlah kamu”, dengan maksud “…, karena aku telah menalakmu”, atau “Kamu halal untuk selainku”, lain halnya dengan ucapan suami kepada wali istrinya: “Kawinkan dia”, maka untuk yang terakhir im adalah talak yang sharih.

 

Misal yang lain: “Idahlah kamu”, dengan maksud “…, karena aku telah menalakmu”, dan “Tinggalkanlah aku”, dengan maksud “… karena aku telah menalakmu”.

 

Misalnya lagi: ” Ambillah talakmu”, dan “Aku sudah tidak membutuh’kanmu lagi”, dengan maksud “…, karena aku telah menalakmu”, juga “Engkau bukan istriku”, jika diucapkan bukan sebagai jawaban dakwaan, tetapi bila diucapkan sebagai jawaban dakwaan, maka menjadi ikrar talak.

 

Misal lain lagi: “Hilanglah talakmu/ Gugur talakmu, jika kamu melakukan begini …”

 

Misalnya lagi: “Talakmu satu/dua”: jika dimaksudkan menjatuhkan talak, maka jatuhlah, tetapi jika tidak, maka tidak jatuh. Misal kinayah talak lagi: “Untukmu talak/ talak satu”, dan “Selamat buatmu”, menurut yang dikatakan oleh Ibnush Shalah dan Guru kita telah menukilkannya di dalam Syarhul Minhaj.

 

Tidak termasuk kinayah talak: “Talakmu adalah cacat/kurang”, dan tidak pula: “Aku katakan/Aku berikan kalimatmu/hukummu”. Dengan mengucapkan kalimat tersebut, talak tidak dapat jatuh, sekalipun berniat talak, sebab kalimat-kalimat tersebut tidak termasuk kinayah talak yang mengandung makna talak tanpa memaksakan arti. Kemasyhuran penggunaan kalimat tersebut untuk arti talak di suatu daerah, adalah tidak membawa akibat apa-apa, sebagaimana yang difatwakan oleh segolongan fukaha Muhaqqiqun dari guru-guru kita di masa kita.

 

Bila suami mengucapkan lafal yang tidak terpakai (mulghah) di atas, dengan maksud untuk perceraian, lalu ada orang lain bertanya kepadanya: “Apakah istrimu kau talak?”, dan dijawab: “Ya”, karena mengira bahwa talak dapat jatuh dengan lafal yang telah ia ucapkan pertama, maka talak tidak dapat jatuh, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita.

 

Al-Bulqini ditanya mengenai seorang suami yang berkata kepada istrinya: “Engkau haram bagi diriku”, dengan mengira bahwa dengan perkataan tersebut, istrinya jatuh talak tiga, lalu ia berkata lagi kepada istrinya: “Kamu tertalak”, karena mengira istrinya telah tertalak tiga dengan ucapan pertamanya, maka jawab “beliau: Talak tidak jatuh dengan kalimat ucapan kedua, atas perkiraan seperti tersebut. Selesai.

 

Bagi orang yang mengira kebenaran suami (dalam perkiraannya), boleh tidak memberikan kesaksian ada kejatuhan talak tiga.

 

Cabang:

 

Bila seorang suami menulis surat penalakan yang sharih atau kinayah, di mana ia tidak bermat menjatuhkan talak, maka apa yang ia tulis adalah sia-sia belaka, selagi ketika menulis surat atau sesudahnya, ia tidak mengucapkan kesharihan surat talak.

 

Tetapi ucapan suami berikut ini bisa diterima: “Aku bermaksud membaca surat, bukan menalak”, sebab ada kemungkinan benar apa yang diucapkan tersebut.

 

Lafal kinayah talak yang sebelumnya telah didahului permintaan istri untuk talak atau ada indikasi kemarahan dan lafal-lafal kinayah yang masyhur diartikan sebagai talak, adalah tidak dapat disamakan dengan lafal talak yang sharih (sehingga tidak butuh ada niat lagi !).

 

Suami yang memungkiri ada niat dalam ucapan talak kinayahnya, adalah dapat dibenarkan dengan bersumpah, bahwa dirinya tidak berniat menjatuhkan talak. Karena itu, keterangan yang bisa diterima tentang ada atau tidak niat, adalah keterangan orang yang meniatkannya, sebab yang bisa diketahui hanyalah dari dirinya sendiri.

 

Bila sudah mungkin diselidiki (ditanyai) mengenai niatnya -sebab sudah mati atau hilang-, maka tidak dapat dihukum: jatuh talak, sebab dasar asalnya adalah kelanggengan ikatan pernikahan.

 

Beberapa Cabang:

 

Al-Muzajjad di dalam Al-‘Ubab berkata: Barangsiapa yang nama istrinya semisal Fatimah, lalu ia mengucapkan: “Fatimah tertalak”, sebagai permulaan ucapan ataupun jawaban atas permintaan istrinya agar menalak, dan ia bermaksud Fatimah yang bukan istrinya, maka ucapan suami tersebut tidak dapat diterima.

 

Barangsiapa yang berkata kepada istrinya: “Hai, Zainab! Kamu terta-lak”, padahal nama istrinya adalah Umrah, maka istrinya tetap jatuh tertalak, karena ada isyarah huruf nida’ di situ.

 

Bila seorang suami berisyarah kepada wanita lain dan berkata: “Hai, Umrah! Kamu tertalak”, padahal nama istrinya adalah Umrah, maka talaknya tidak dapat jatuh kepada istrinya.

 

Barang siapa berkata: “Istriku tertalak” sambil menunjuk salah satu dari dua istrinya, sedang ia bermaksud menalak istri yang tidak ditunjuk, maka dengan bersumpah dapat dibenarkan pengakuannya.

 

Barangsiapa mempunyai dua istri, yang kedua-duanya bernama Fatimah binti Muhammad, sedang satunya Fatimah binti Zaid, lalu ia berkata: “Fatimah binti Muhammad tertalak” dan ia berniat pada Fatimah binti Zaid, maka peniatan yang ia lakukan adalah bisa diterima.

Selesai.

 

Guru kita berkata: Dalam hukum lahir (dunia) masalah yang pertama (yang nama istrinya Fatimah) adalah tidak bisa diterima, tetapi menurut hukum di akhirat nanti, tinggal niat sebenarnya yang ada. Tetapi, pendapat yang mengatakan bahwa maksud hati suami atas penalakan istrinya bernama Fatimah itu bisa diterima, adalah pendapat yang dikedepankan (ittijah). Selesai.

 

Bila seorang suami berkata: “Istriku yang bernama Aisyah binti Muhammad adalah tertalak”, sedang nama istrinya adalah Khadijah binti Muhammad, maka talak tetap jatuh, sebab kekeliruan menyebutkan nama itu, tidak jadi masalah.

 

Bila seseorang berkata kepada anak laki-lakinya yang sudah balig: “Katakan kepada ibumu: Engkau tertalak”, dan ia tidak bermaksud mewakilkan, maka bisa jadi mewakilkan (dianggap mewakilkan): karena itu, jika perkataan tersebut : disampaikan oleh anak laki-laki tersebut kepada ibunya, maka jatuhlah talaknya, sebagaimana kalau sang ayah/suami bermaksud mewakilkan: dan bisa juga sang ibu/ istri sudah tertalak dan sang putra hanya menyampaikan berita tersebut.

 

Al-Asnawi berkata: Sumber kebisajadian di sini adalah bila perintah untuk melakukan sesuatu, kita jadikan sebagai perintah (orang) pertama, maka perintah untuk menyampaikan berita adalah berkedudukan sebagai pemberitahuan langsung dari ayah (kepada ibu/ istri): karenanya talak bisa jatuh: Tetapi, bila kita tidak memberikan kedudukan seperti itu, maka talak tidak bisa jatuh. Selesai.

 

Syekh Zakanya berkata: Kita gans bawahi, sebaiknya sang ayah dimintai penjelasannya: jika sulit untuk itu -mungkin sebab mati atau hilang-, maka diberlakukan ihtimal (kemungkinan) yang pertama, sehungga talak tidak jatuh dengan ucapan sang ayah tersebut, tetapu jatuhnya dengan ucapan si anak kepada ibunya, sebab talak itu tidak dapat jatuh dengan keraguan.

 

Bila seorang suami berkata kepada istrinya: “Kutalak kamu” dan berruat ada bilangan talak dua atau satu, maka talak jatuh seperti yang diruatkan, sekalipun pada istri yang belum pernah dijimak. Apabila ia tidak berruat bilangan talak, maka talak jatuh satu.

 

Bila ia ragu berapa bilangan talak yang diucapkan atau diniatkan, maka yang diambil adalah bilangan yang paling kecil, dan tidak samar ada. sifat warak di sini.

 

Cabang:

 

Bila suami berkata: “Kutalak satu kamu dan dua”, maka jatuh talak tiga, sebagaimana yang nyata, dan sebagian fukaha Muhaqqiqun di masa kita berfatwa demikian.

 

Bila suami berkata kepada istri yang sudah pernah dijimak: “Kamu tertalak satu, bahkan dua”, maka jatuh talak tiga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Zakariya dalam Syarhur Raudh.

 

Talak bisa jatuh dengan wakil penalakan mengatakan: “Saya menalak si Fulanah” dan sebagainya, sekalipun waktu menjatuhkan talak ia tidak berniat, bahwa dirinya menjatuhkan talak atas nama Muwakilnya.

 

Bila seorang suami berkata kepada orang lain: “Aku berikan/Aku jadikan talak istriku di tanganmu” atau “Berangkatlah dengan membawa talaknya dan berikanlah kepadanya”, maka ucapan itu adalah perwakilan, yang talak bisa jatuh dengan penjatuhan talak oleh si wakil, bukan dengan ucapan sang suami seperti itu.

 

Bahkan perceraian mulai terjadi sejak waktu wakil menjatuhkan talak, kapan saja ia mau dengan ucapannya: “Kutalak si Fulanah”, bukan dengan pemberitahuan wakil kepada istri: “Si Fulan mengirimkan lewat dua tanganku atas talakmu”, dan bukan pula dengan memberitahukan kepadanya: “Sesungguhnya suamimu telah menalak”.

 

Bila suami berkata kepada wakil: “Talak jangari kamu berikan, kecuali pada hari beginu…”, maka talak harus ja jatuhkan pada hari yang telah ditentukan oleh suami atau sesudahnya, bukan sebelumnya. Kemudian, jika suami bermaksud membatasi pada suatu hari tertentu, maka wakil hanya bisa menjatuhkan talak pada han itu saja, tidak boleh setelahnya.

 

Bila suami berkata kepada istrinya yang mukalaf dengan cara munajjaz (tidak digantungkan pada suatu kejadian): “Talaklah dirimu sendiri, jika kamu mau”, maka adalah memberikan hak milik penalakan, bukan mewakilkannya.

 

Telah dibahas, bahwa termasuk memberikan hak milik penalakan adalah ucapan suami: “Talaklah aku”, laluistri berkata: “Engkau tertalak tiga”, tetapi ini adalah kinayah talak: karena itu, jika suami berniat menyerahkan talak kepada istri, maka jatuhlah talaknya, tetapi jika tidak berniat seperti itu, maka tidak jatuh.

 

Dikecualikan dari batasanku “mukalafah”, adalah rstri yang tidak mukalaf, lantaran pernyataan yang disampaikan dihukumi rusak. Dikecualikan juga dari batasanku “munajjaz”, adalah talak yang digantungkan dengan sesuatu, karena itu, bila seorang suami berkata: “Bila telah datang bulan Ramadhan, maka talaklah dirimu”, adalah sia-sia belaka.

 

Bila kita katakan bahwa ucapan suami di atas (Talaklah dirimu jika mau) sebagai penyerahan talak (pemberian hak milik talak), maka untuk jatuh talak yang diserahkan di tangan istri, disyaratkan adanya dengan seketika -sekalipun dengan kinayah-: dalam arti antara penye. rahan suami dengan penjatuhan talak tidak dipisah dengan pemisah.

 

Tetapi, bila suami berkata kepada istrinya: “Talaklah dirimu”, lalu “istrinya berkata: “Bagaimana aku dapat menalak diriku sendiri?” lalu ia berkata lagi: “Saya talak”, maka jatuhlah talaknya, sebab pemisahnya hanya sedikit.

 

(Penalakan istri yang telah diserahi oleh suaminya) adalah dengan ucapan istri: “Kutalak diriku”, atau hanya “Kutalak”, tidak sah dengan “Kuterima”.

 

Sebagian fukaha -sebagaimana pula peringkas Ar-Raudhah (Al-Muzajjad)berkata: Penalakan tidak disyaratkan dilakukan dengan seketika pada ucapan suami: “Kapan saja kamu bermaksud …”: Karena , Itu, ia bisa menjatuhkan talak kapan saja. Pemilik At-Tanbih dan Al-Kifayah (Ibnur Rif’ah) memantapi pendapat ini.

 

Tetapi yang muktamad sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita, bahwa disyaratkan “dengan seketika”, sekalipun suami mengatakan dengan semacam “Kapan saja…”.

 

Suami diperbolehkan menarik kembali sebelum istri mengucapkan penolakannya, sebagaimana pada akad-akad yang lain.

 

Faedah:

 

Penggantungan talak -sebagaimana panggantungan pembebasan budak-, diperbolehkan dengan beberapa syarat (huruf taklik): suami tidak boleh menarik kembali taklik talaknya sebelum terjadi sifat yang menjadi penggantungannya dan talak dapat jatuh sebelum sifat yang menjadi penggantungan talak itu terwujud.

 

Bila suami mentaklik talak pada suatu perbuatan, lalu suami melakukan perbuatan itu lantaran lupa dengan takliknya atau tidak tahu kalau perbuatan tersebut adalah tempat pentaklikannya, maka istri tidak jatuh talaknya.

 

Bila suami mentaklik talak pada perbuatannya memukul istrinya tanpa salah, lalu istri memakinya, kemudian dipukul, maka suami tidak melanggar takliknya, jika makian istri tersebut bisa dibuktikan kebenaran (dengan bayinah atau ikrar istri): kalau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka istri dibenarkan dakwaannya (tidak memaki), lalu disumpah.

 

Penting:

 

Diperbolehkan mengadakan pengecualian dengan semacam huruf Illa (dan huruf-huruf istitsna lainnya) dengan syarat ucapannya dapat didengarkan dirinya sendiri dan disebutkan bersambung dengan bilangan talak yang diucapkan, misalnya: “Kutalak tiga kamu, kecuali dua”, maka jatuh talak satu, atau “… kecuali satu”, maka jatuh talak dua.

 

Bila suami berkata: “Kamu tertalak, insya Allah”, maka talaknya tidak jatuh.

 

Orang yang mendakwakan dirinya dipaksa menalak, dirinya ayan ketika menalak atau terlanjur mengucapkan talak, adalah dapat dibenarkan dengan sumpah, jika ada: indikasi (qarinah)nya di sana.

 

Misalnya terjadi penahanan pada dirinya atau lainnya dalam dakwaan, bahwa dirinya dipaksa, dan misalnya karena sakit dan biasa pingsan dalam dakwaan bahwa dirinya ayan misalnya lagi keadaan nama istrinya Thali’ atau Thalib dalam dakwaan terlanjur lisan dalam mengucapkan nama istrinya.

 

Kalau tidak ada indikasi seperti itu, maka suami tidak dapat dibenarkan dengan adanya bayinah.

 

Penyempurna:

 

Barangsiapa berkata kepada istrinya: “Wahai, wanita kafir”, dengan maksud kafir sesungguhnya, maka berlaku untuk wanita itu segala yang ditetapkan dalam masalah murtad (bila ia belum dijimak, maka perceraian terjadi dengan seketika, sebab suaminya kafir dan seterusnya). Kalau kata-kata tersebut dimaksudkan untuk memaki-maki istrinya, maka talak tidak jatuh.

 

Begitu juga tidak jatuh talak, jika suami tersebut, tidak bermaksud apa-apa, karena pendasaran asal atas ‘kelanggengan ikatan nikah, dan karena perkataan seperti itu banyak terjadi untuk memaki yang dimaksudkan mengufuri nikmat.

 

Cabang Mengenai Hukum Wanita yang Tertalak Tiga

 

Haram bagi laki-laki merdeka menikahi wanita yang telah ia talak tiga -walaupun belum pernah dijimak-, dan haram bagi budak menikahi wanita yang telah ia talak dua, baik dalam satu atau beberapa nikah, hingga wanita itu nikah lagi dengan laki-laki Lain secara sah, lalu ditalaknya dan habis masa idahnya dani laki-laki tersebut, sebagaimana yang dimaklumi bersama, serta lakilaki itu telah memasukkan kepala zakar atau seukur kepala zakarnya -bila putus- ke dalam lubang vagina, serta selaput daranya sampai pecah bagi wanita yang masih perawan.

 

Masuknya kepala zakar itu disyaratkan dengan ereksi (tegang), sekalipun lemah atau dibantu dengan menggunakan semacam jari-jari ketika memasukkan zakar. Di sini tidak disyaratkan ada ejakulasi (inzal).

 

Keharaman menikahi wanita tersebut, adalah berdasarkan ayat Alqur-an.

 

Hikmah disyaratkan Tahlil, membuat suami agar menghindari menghabiskan talaknya.

 

Ucapan istri tertalak tersebut mengenai ada Tahlil dan idahnya sudah habis dari Muhallil, adalah bisa diterima, sekalipun suami kedua (Muhallil) mendustakannya mengenai persetubuhannya, karena dirasa sulit untuk membuktikan kebenaran ada persetubuhan.

 

Bila istri tertalak itu mendakwakan ada pernikahan dan habis masa idah dari suami keduanya serta ia telah bersumpah, maka bagi suami pertama boleh menikahinya lagi -sekalipun ia memperkirakan kedustaan istri tersebut-, sebab yang menjadi dasar penilaian dalam segala akad adalah ucapan para pengikat itu sendiri, sedang perkiraan yang tidak berdasar, adalah tidak menjadi dasar ukuran.

 

Bila suami kedua mendakwa, bahwa dirinya telah menjimaknya dan pihak istri mengingkarinya, maka wanita itu tidak halal untuk bekas suami pertama.

 

Bila wanita tersebut berkata “Saya belum nikah lagi”, Jalu sa mendustakan dinnya sendin dan mendakwa bahwa dirinya telah merukah denyan syarat seperti ds atas, maka bagi suami pertama boleh memkahinya, Jika ia membenarkan ucapan itu,

 

Bila wanita tertalak itu membentahukan kepada mantan suami pertamanya, bahwa dirirrya telah Tahlil, lalu menarik kembali pemberitaannya dan ia mendustakan dirinya, maka dakwaan (kekeliruan dirinya dalam pemberitaan) dapat diterima, jika belum diadakan akad mukah dengan mantan suami pertama. Karena itu, suami pertama tidak boleh menikahinya.

 

Tetapi, kalau pengingkaran Tahlil oleh wanita diatas terjadi setelah diakadkan nikah dengan mantan suami pertama, maka tidak dapat diterima, karena kerelaannya nikah dengan mantan suami yang pertama, mengandung pengakuan ada tahlil, maka dakwaan yang bertentangan dengan hal itu tidak dapat diterima, sekalipun suami kedua membenarkan mantan istrinya, bahwa ia belum menjimaknya, sebab hak memanfaatkan farji di sini hubungannya dengan suami pertama, Oleh karena Itu, istri sendiri atau suami kedua yang membenarkannya, tidak dapat menghilangkan hak tersebut, sebagaimana yang difatwakan oleh segolongan syekh kita Al-Muhaqiqun.

 

Penyempurna:

 

Hanya saja penetapan (itsbat) talak itu dengan persaksian dua laki-laki adil yang merdeka, sebagaimana halnya ikrar keberadaan talak.

 

Karena itu, talak tidak bisa dihukumi jatuh dengan persaksian beberapa wanita -walaupun bersama seorang laki-laki-, 4 orang wanita, para hamba -sekalipun, mereka adalah

orang-orang baik-, atau orang-orang fasik, sekalipun kefasikannya berupa menunda pengerjaan salat fardu sampai keluar waktu tanpa uzur.

 

Disyaratkan untuk kesahan Adausy Syahadah (memberikan persaksiari) dan Qabulusy Syahadah (penerimaan persaksian), dua saksi itu mendengar ucapan talak dan melihat orang yang menjatuhkan talak ketika mengucapkannya.

 

Karena itu, tidak sah Tahamulusy Syahadah (mengambil kesaksian) dua orang saksi yang berpedoman pada suara yang mereka dengar, tanpa melihat orang yang menalak, lantaran kemungkinan terjadi suara yang serupa.

 

Disyaratkan dua saksi tersebut menerangkan lafal suami yang menjatuhkan talak sharih atau kinayah lafal yang diucapkan.

 

Dalam masalah talak, persaksian dari ayah wanita yang tertalak dan anak laki-lakinya, adalah bisa diterima, jika keduanya memberikan persaksian secara hisbah.

 

Bila bertentangan antara bayinah yang menyatakan ada taklik dengan bayinah yang menyatakan ada tanjiz, maka dimenangkan bayinah taklik, karena dengan bayinah ini terdapat tambahan pengetahuan, yaitu dengan mendengar ada pentaklikan talak.

PASAL: RUJUK

Menurut bahasa, Raj’ah artinya sekali kembali, sedang menurut syarak, adalah mengembalikan istri yang masih dalam idah talak, bukan bain pada perrukahan semula.

 

Sebelum habis idah, sah merujuk istri yang diceraikan secara gratis, setelah pernah dijimak dan talak yang dijatuhkan bukan dalam hitungan maksimal, yaitu talak tiga untuk suami yang merdeka dan talak dua untuk suami budak.

 

Tidak sah merujuk wanita yang diceraikan, bukan dengan talak -misalnya fasakh-, dan diceraikan kurang dari talak tiga, tetapi memakai tebusan -misalnya khuluk lantaran bainunah istri-, dan diceraikan sebelum pernah dijimak -lantaran tidak punya idah-, dan wanita yang sudah habis idahnya -lantaran telah menjadi wanita lain-.

 

Wanita-wanita yang tidak sah dirujuk di atas, adalah sah diperbaruhi nikahnya dengan izin baru, wali, saksi dan mahar yang lain.

 

Tidak sah pula merujuk wanita Yang telah ditalak tiga, dan tidak tah menikahinya, kecuali setelah ada Tahlil (pernikahan dengan laki-laki, dengan syarat-syaratnya).

 

Hanya saja kesahan rujuk itu dilakukan dengan shighat: “Saya merujuk kembali istriku/si Fulanah” sekalipun tidak mengatakan “kepadaku/nikahku”, tetapi sunah menambahkan salak satunya pada shughat di atas.”

 

Sah juga rujuk dengan mengatakan: “Dia saya kembalikan kepada nikahku”, juga dengan “Saya menahannya”.

 

Adapun akad nikah padanya dengan ijab dan qabul, adalah kinayah rujuk yang membutuhkan niat.

 

Tidak sah mentaklikkan rujuk, misalnya: “Aku merujukmu, jika kamu mau”, Tidak disyaratkan mempersaksik?” rujuk, tapi cuma sunah saja.

 

Beberapa Cabang:

 

Haram melakukan Tamattu’ (bersenang-senang) pada wanita yang ada dalam idah raj’iyah, walaupun hanya memandangnya semata. Jikasampai menjimaknya, maka tidak boleh di-Had, tapi cukup ditakzir.

 

Dengan bersumpah, wanita bisa dibenarkan dakwaannya yang mungkin terjadi mengenai habis masa idah yang dihitung dengan bukan bulanan -dengan quru’ atau kelahiran-, sekalipun mengingkari atau menyelisihi adatnya (dalam haid), sebab para wanita adalah orang yang dipercayai mengenai kandungannya.

 

Bila suami mendakwa telah merujuk istrinya dalam idah, di mana wanita tersebut telah habis masa idahnya dan belum bersuami lagi, bila kedua belah pihak sepakat mengenai waktu habis idah -misalnya hari Jumat-, dan suami berkata: “Aku merujuknya sebelum hari itu”, lalu wanita itu berkata: “Tidak sebelum hari itu, tetapi setelahnya”, maka wanita itu diambil sumpahnya, bahwa ia tidak mengetahui rujuk, suami, kemudian dibenarkan, sebab dasarnya adalah rujuk ndak terjadi sebelum hari Jumat.

 

Bila kedua belah pihak sepakat mengenai waktu rujuk -misalnya han Jumat-dan istri berkata: “Idah habis pada hari Kamis”, dan suami berkata: “… tetapi hari Sabtu”, maka yang dibenarkan adalah suami, dengan diambil sumpahnya bahwa idah tidak habis di hari Kamis, sebab kesepakatan mereka mengenai waktu rujuknya, sedangkan dasarnya adalah tidak ada rujuk sebelum waktu itu.

 

Bila seorang laki-laki menikahi kembali istri yang telah diceraikan dengan talak kurang dari tiga -sekalipun sebab khuluk dan telah dinikahi laki-laki lain-, maka wanita kembali ke tangannya dengan sisa talak tiganya (dua/satu).

PASAL: ILA'

Ila’ adalah sumpah untuk tidak menjimak istrinya dalam waktu yang tidak terbatas atau lebih 4 bulan, d mana suami Itu mampu melakukan persetubuhan.

 

Misalnya suami berkata: “Aku tidak akan menjimakmu/Aku tidak akan menjimakmu selama 5 bulan/Aku tidak akan menjimakmu sampai si Fulan mati”.

 

Maka, apabila telah berjalan masa 4 bulan dari Ila’ tanpa terjadi persetubuhan, maka istri boleh meminta suaminya agar dijimak atau dijatuhkan talaknya: jika suami membangkang, maka hakimlah yang menjatuhkan talaknya.

 

Ila’ bisa sterwujudkan dengan bersumpah demi Allah swt., dengan mentaklik talak atau pembebasan budak, atau dengan menyanggupi ibadah.

 

Bila di masa Ila’ tersebut suamr menjimaknya -baik lantaran tuntutan dari istri atau tidak-, maka suami wajib membayar kafarat sumpah, jika Ila’nya dengan bersumpah demi Allah swt.

PASAL: ZHIHAR

Sesungguhnya zhihar (dzihar, dhihar) itu sah dilakukan oleh suami yang sah talaknya.

 

Zhihar adalah perkataan suami kepada istrinya: “Engkau seperti punggung ibuku”, sekalipun tanpa menyebutkan “Bagiku”. Ucapan “Engkau seperti ibuku”, adalah kinayah zhihar. Disamakan dengan Ibu: Wanita mahram yang keharamannya sejak semula.

 

Dengan sebab suami Aud -yaitu diam/tidak mengucapkan talak dalam masa yang memungkinkan untuk melakukannya-, maka ia wajib ” membayar kafarat Zhihar.

PASAL: IDAH (MASA TUNGGU)

Lafal Idah (iddah) diambil dari ‘Adad (bilangan), karena mencakup beberapa quru’ (suci) dan beberapa bulan pada galibnya.

 

Idah menurut syarak, adalah masa penantian seorang wanita (yang telah tercerai) untuk mengetahui kebebasan rahim dari kandungan, untuk ta’abbud (perenungan ibadah), atau bela sungkawa atas kematian suami. Ta’abbud adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal mengenai maknanya, baik berupa ibadah atau lainnya.

 

Pada dasarnya idah disyariatkan untuk menjaga jangan sampai terjadi keserupaan status keturunan.

 

Idah diwajibkan karena perceraian oleh suami yang masih hidup, yang pernah menjimak pada kubul (lubang vagina) atau dubur (anus), dengan cara talak atau fasakh nikah oleh suami yang berada di tempat atau tengah tiada, dalam waktu yang cukup lama.

 

Lain halnya dengan suami yang belum pernah meryimaknya, (maka istri yang diceraikan tidak wajib idah), sekalipun sudah pernah berduaan (khalwah).

 

Wanita yang diwajibkan beridah di atas tadi, sekalipun telah diyakini kebebasan kandungan bayi, misalnya istri/suami yang masih kecil.

 

Idah juga wajib dilakukan sebab – persetubuhan yang syubhat tentang kehalalannya (wanita syubhat), misalnya jimak dalam ikatan nikah yang fasid, yaitu jimak yang tidak menetapkan keberadaan had bagi laki-lakinya.

 

Cabang:

 

Seorang suami tidak diperkenankan bertamattu’ apa pun bentuknya, terhadap wanita yang dijimak secara syubhat, selama masih dalam idahnya -baik idah hamil atau lainnya-, sehingga idah tersebut habis dengan melahirkan atau lainnya, sebab rusak nikah, karena berurusan dengan hak orang lain (hak di sini adalah idah sebab jimak syubhat).

 

Guru kita berkata: Dari alasan di atas, maka diambillah suatu pendapat, bahwa laki-laki tersebut diharamkan memandangnya -sekalipun tanpa syahwatdan berduaan dengannya.

 

Kewajiban idah karena hal-hal di atas, adalah dengan cara tiga kali quru’, yaitu masa suci di antara dua masa haid atau antara masa haid dengan nifas.

 

Bila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang semula tidak pernah haid, lalu setelah talak ia haid, maka masa suci di kala penjatuhan talak tidak terhitung quru’, sebab tidak berada di antara dua periode haid, tetapi wanita tersebut harus beridah tiga kali masa suci setelah haid yang bersambungkan dengan jatuh talak. Bagi wanita selain seperti itu, sisa masa suci dihitung satu quru’.

 

Kewajiban idah 3 quru’ itu bagi wanita merdeka yang biasa haid, karena berdasarkan firman Allah: “Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah beridah dengan menahan dirinya selama tiga guru!” (Al-Baqarah: 228).

 

Bila seorang wanita dijatulu talak dalam keadaan sucinya masih berjalan sebentar, maka idahnya habis pada masuk pendarahan haid periode ketiga, karena kemutlakan nama suci, yang mencakup masa suci, yang sekalipun hanya sebentar, sekalipun dalam masa suci yang hanya sebentar tersebut suami telah menjimak.

 

Atau dalam keadaan haid yang walaupun tinggal berjalan sejenak, maka masa idahnya habis pada pendaraan haid periode keempat.

 

Masa pendaraan haid yang terakhir (ketiga pada wanita yang ditalak dalam keadaan suci, dan periode: keempat pada wanita yang ditalak dalam keadaan haid) tidak termasuk masa idah, tetapi dengan adanya pendarahan tersebut, selesailah masa idahnya.

 

Bila wanita merdeka itu tidak pernah haid sama sekali, maka wajib idah selama 3 bulan Qamariyah, jika penjabihan talak tidak terjadi di pertengahan bulan, Jika terjadi seperti itu, maka sisa hari samgai akhur digenapkan menjadi 30 hari terlebih dahulu.

 

Atau wanita tersebut pada mulanya haid, lalu berhenti karena sudah sampai usia di mana pada galibnya tidak haid lagi (usia manapouse).

 

Usia itu adalah 60 tahun, dan ada yang mengatakan 50 tahun.

 

Bila wanita yang sama sekali tidak haid itu mengalami haid di tengahtengah masa idahnya, yang sedianya dihitung dengan bulanan, maka idahnya harus dengan hitungan suci.

 

Atau (bila mengalami haid) setelah habis masa idahnya, maka tidak usah memulai masa idahnya dengan hitungan quru’ (suci): Lain halnya dengan wanita manapouse.

 

Bila wanita tertalak yang semula biasa mengalami haid, lalu terputus tanpa diketahui sebabnya, maka ia belum diperbolehkan kawin sehingga ia haid lagi, lalu beridah dengan quru’ atau menjadi Ayisah (manapouse), lalu beridah dengan hitungan bulanan.

 

Dalam kaul Kadim -yang juga menjadi mazhab Malik dan Ahmad-: Wanita yang terputus haid tanpa diketahui sebabnya, adalah menunggu 9 bulan, lalu beridah 3 bulan, agar dengan begitu dapat diketahui kebersihan kandungan, sebab 9 bulan itu adalah kebiasaan umur kandungan.

 

Untuk menguatkan pendapat ini, Asy-Syafi’i berdalil, bahwa Umar r.a. menghukumi seperti itu pada sahabat Muhayirin dan Anshar, serta tidak ada yang mengingkarinya.

 

Karena dalil sepertr itulah, kaul tersebut difatwakan oleh Sulthanul Ulama, Izzuddin bin Abdus Salam, Al-Barizi, Ar-Raimi, Ismail AlHadhrami, dan menjadi pilihan Al-Bulqini dan Guru kita, Ibnu Ziyad rim. »

 

Adapun wanita yang putus darah dapat diketahui sebabnya -misalnya menyusui atau sakit-, maka menurut sepakat ulama, wanita itu belum boleh nikah sampai ia haid atau menjadi Ayisah, sekalipun panjang masanya.

 

Diwajibkan beridah selama 4 bulan 10 hari -termasuk malamnya-, bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, sekalipun ia wanita merdeka dalam keadaan talak raj’i dan belum dijimak -karena masih kecil atau lannya-, dan sekalipun ia adalah wanita yang mempunyai quru’. Dasarnya adalah Alqur-an dan Al-hadits.

 

Di samping masa idah seperti itu, wanita yang ditinggal mati suaminya juga wajib melakukan Ihdad (jawa: Ngusut) dengan cara-cara yang ada.

 

Hal ini berdasarkan hadis yang Muttafaq Alaih: “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah swt. dan hari Akhir, melakukan ihdad atas kematian seseorang selama melebihi 3 hari, kecuali atas kematian suami selama 4 bulan 10 hari.” Astinya, wanita tersebut wajib melakukan ihdad dengan masa seperti itu, sebab Suatu perbuatan yang diperbolehkan setelah dilarang, adalah menunjukkan wajib.

 

Karena jimak mengenai dimaksud kan “halal” di situ sebagai wajib, kecuali pendapat yang dinukil dan Al-Hasan Al-Bashri.

 

Penyebutan iman dalam hadis, adalah sebagai kegaliban saja atau agar dengan begitu bisa membangkitkan kepatuhan, Kalau tidak kita letakkan pemahaman seperti itu, maka setiap wanita mempunyai hak aman (dilindungi oleh pemerintah Islam), berkewajiban melakukan ihdad seperti itu juga.

 

Wajib bagi wali memerintahkan anak perwaliannya agar melakukan ihdad.

 

Peringatan:

Ihdad yang wajib: dilakukan oleh Seorang wanita yang ditinggal mati Suaminya -sekalipurt wanita itu fnasih keciladalah meninggalkan pakaian yang diwarna (diwenter) Untuk menghias diri -sekalipun dan bahan yang kasar-, dan boleh memakai kain sutera (Ibrasim) yang tidak diwenter.

 

Merunggalkan memakai yang berbau harum -sekalipun waktu malamdan meniggalkan memakai perhiasan emas-perak di siang hari, sekalipun hanya berupa cincin atau anting-anting, sekalipun pemakaian emas-perak tersebut di balik pakaian, karena ada larangan untuk itu.

 

Termasuk perhiasan emas-perak, yaitu barang hasil sepuhan darinya, misalnya mutiara dan sesamanya dari segala bentuk intan yang dibuat perhiasan, termasuk di sini, batu akik, Begitu juga dengan tembaga atau gading, bila wanita itu dari kalangan masyarakat yang biasa memakai tembaga/gading sebagai perhuasan.

 

Kewajiban dalam Ihdad lagi. Meninggalkan celak mata dengan Itsmit -sekalipun wanita berkulit hitam-, dan meniggalkan berminyak rambut, bukan badan sekalian.

 

Diperbolehkan mandi dan membersihkan kotoran tubuh serta makan daun sirih.

 

Sunah melakukan Ihdad bagi wanita yang tertalak bain -dengan khuluk, fasakh nikah atau talak tiga-, agar berhiasnya tidak membawa kerusaka.

 

Demikian juga sunah Ihdad bagi wanita yang tertalak raj’i, jika tidak mengharapkan suami kembali dengan cara berhuas diri: Jika ia mengharapkan sang suami kembali, maka sunah berhuas diri.

 

Wajib bagi wanita beridah karena kematian suaminya, talak bain atau fasakh nikah,

terus-menerus berada di dalam rumah yang ia tempati waktu suami mati atau menjatuhkan talak bainnya, sampai habis masa idahnya.

 

Wanita dalam masa idah diperbolehkan keluar rumah di siang hari, guna membeli semacam makanan, menjual hasil tenunannya, atau mencari kayu bakar. Keluar rumah di malam hari tidak diperbolehkan -walaupun baru awal malam-: Lain halnya dengan pendapat sebagian fukaha.

 

Tetapi, ia diperbolehkan keluar malam ke rumah tetangganya yang bergandengan, untuk keperluan menenun atau omong-omong dan sebagainya, tetapi hal itu disyaratkan menurut kadar kebiasaan Disyaratkan lagi menurut pendapat Al-Aujah, bahwa di dalam rumahnya sudah tidak ada orang yang diajak berbincang-bincang dan beramah tamah dengannya, dan hendaknya pulang kembali dan bermalam di dalam rumahnya.

 

Adapun wanita yang dalam idah raj’iyah, makaia boleh keluar rumah dengan seizin suaminya atau karena terpaksa, sebab penalakan masih berkewajiban menanggung biaya hidupnya, sebagaimana seorang istri, wanita tertalak bain yang hamil, hukumnya sama dengan wanita ini.

 

Wanita yang sedang beridah boleh pindah dari rumah (yang telah ditentukan oleh suaminya), karena mengkhawatirkan diri, anak atau hartanya, sekalipun tidak miliknya sendiri -misalnya barang titipan-, walaupun hanya sedikit, dan khawatir karena keruntuhan rumahnya, rumah terbakar, ada pencuri, atau mungkin karena menerima penderitaan dari tetangganya.

 

Suami wajib menyediakan tempat tinggal istri yang tercerai -walaupun dengan cara menyewa-, selagi wanita itu tidak dalam keadaan nusyus

 

Suami tidak boleh tinggal satu rumah dengannya, dan memasuki tempat di mana istri tersebut berada tanpa bersama mahram. Hal itu haram dilakukan olehnya -sekalipun suam Itu orang yang buta dan talaknya raj’i-, sebab hal itu bisa membawa ke arah khalwah yang diharamkan.

 

Dari keterangan tersebut, maka istri tersebut wajib melarang suaminya -Jika kuasa-, agar tidak melakukan hal itu.

 

Bila wanita yang tercerai statusnya budak, wajib beridah dengan separo idah wanita merdeka, sebab wanita budak itu dalam kebanyakan hukumnya, adalah separo daripada wanita merdeka.

 

Untuk quru’nya yang kedua harus disempurnakan menjadi penuh, sebab tidak bisa diketahui separo quru’, kecuali setelah diketahui sepenuhnya, karena itu, ia wajib menunggu pendarahan kembali.

 

Wanita merdeka maupun budak, karena kematian suami atau lainnya -sekalipun masih haid-, adalah beridah sampai melahirkan bayi yang mereka kandung dari suami yang mengidahkan dirinya, sekalipun kandungan yang lahur berupa segumpal daging yang berbentuk manusia andai kata hidup terus, bukan habis idahnya dengan melahirkan segumpal darah.

 

Cabang:

 

Anak yang lahir dalam waktu kandungan berusia 4 tahun terhitung dari masa penalakan, nasabnya adalah ditemukan kepada laki-laki yang mengidahkan wanita yang melahirkannya.

 

Tidak bisa ditemukan atas laki-laki yang mengidahkan, jika wanita itu telah nikah dengan laki-laki lain dan setelah dimungkinkan bahwa bayi tersebut lahir dari suami yang kedua: yaitu sebagaimana wanita itu melahirkannya setelah terhitung waktu 6 bulan dari perkawinannya dengan suami kedua.

 

Wanita yang mendakwakan bahwa dirinya telah selesai dari masa idahnya, yang diperhitungkan dengan selain bulanan, adalah bisa dibenarkan, jika bisa dimungkinkan habis idah itu, sekalipun hal itu menyelisihi kebiasaannya atau tidak dibenarkan oleh suaminya, karena dirasa sulit baginya untuk mengajukan bayinah atas hal itu dan karena wanita itu justru orang yang dipercayai mengenai yang ada dalam rahimnya.

 

Kemungkinan habis masa idah pada kelahiran, adalah setelah usia kandungan sebanyak 6 bulan dan dua lahzhah (masa seukuran jimak dan lahzhah melahirkan) dan pada perhitungan tiga quru’ untuk wanita merdeka yang ditalak dalam keadaan suci, adalah 32 hari dan dua lahzhah (quru’ awal dan lahzhah tetesan darah periode haid ketiga), sedang pada wanita yang ditalak dalam keadaan haid, adalah 47 hari dan satu lahzhah tetesan darah periode haid keempat).

 

Faedah:

 

Sebaiknya wanita yang mendakwakan habis masa idah, adalah disumpah.

 

Seorang wanita setelah menikah dengan laki-laki lain (bukan shahibul idah), lalu ia mehdakwakan bahwa idahnya belum habis, sebab kerelaan dirinya menikah, adalah mengandung pengakuan atas habis idah.

 

Apabila setelah penalakan si Wanita mendakwakan, bahwa dirinya telah dijimak dan suami mengingkarinya, maka dengan bersumpah suami dapat dibenarkan, sebab dasar asalnya adalah, bahwa persetubuhan itu tidak terjadi, selanjutnya, wanita tersebut berkewajiban melakukan idah sebagai konsekuensi dari ikrarnya sendiri, sekalipun ia mencabut kembali dan mendustakan dirinya mengenai dakwaan perJimakan, sebab ingkar setelah ikrar tidak dapat diterima.

 

Cabang:

 

Bila seorang wanita pada masa idah raj’iyahnya telah habis dan ia menikah dengan laki-laki lain, lalu suami pertama yang menjatuhkan talak mendakwakan kepadanya atau kepada suami kedua, bahwa ia (penalak) telah merujuknya sebelum masa idah itu habis, dan untuk membuktikan (menetapkan) dakwaan tersebut ia mengajukan bayinah, atau mengemukakan bayinah, tetapi Wanita itu dan suami kedua berikrar tentang keberadaan rujuk tersebut, maka suami pertama boleh mengambil wanita itu, sebab dengan adanya ketetapan dakwaan dengan bayinah atau ikrar, mengakibatkan rusak pernikahan dengan suami keduaSuami kedua wajib membayar mahar mutsil kepada wanita tersebut, bila ia telah dijimak.

 

Karena itu, bila suami kedua mengingkari ada rujuk, maka ia bisa dibenarkan dengan cara disumpah, sebab pernikahan telah terjadi secara sahih, sedang dasar asalnya adalah rujuk itu tidak terjadi.

 

Atau (jika) wanita itu ikrar, sedang suami keduanya tidak ikut ikrar, maka suami pertama tidak bisa mengambil wanita itu, lantaran masih ada keterkaitannya dengan suami kedua, sampai Wanita talak bain terlebih dahulu darinya, sebab selama wanita itu masih berada dalam ikatan pernikahan dengan suami kedua, maka ikrarnya mengenai ada rujuk suami pertama tidak bisa diterima, lantaran masih ada keterkaitan hak suami kedua.

 

Kemudian, bila ia telah talak bain dari suami kedua, maka ia bisa diserahkan kepada suami pertama tanpa akad nikah lagi, dan selama ia belum bain dari suami keduanya, ia wajib memberikan mahar mitsil kepada suami pertamanya, sebab dengan ada pernikahan dengan suami keduanya, suami pertama telahia halang haknya, sehingga bila penghalang sudah tidak ada (dengan talak baih dari suami kedua), maka ia berhak menerima mahar dari Suami pertamanya.

 

Bila seorang Wanita masih dalam satu ikatan nikah dengan seorang Suami -misalnya telah ditetapkan statusnya, sekalipun dengan ikrarnya dania belum mkah lagi dengan lakilaki kedua-, lalu suami pertama mendakwakan bahwa ikatan nikahnya dengan Wanita itu masih ada dan ia belum mendakwakan ” bahwa ia telah ditalak dan idahnya telah habis sebelum ia menikah dengan suami keduanya dan bayinah tentang talak tidak ada, lalu suami pertama bersumpah bahwa dirinya tidak menalaknya, maka ia berhak mengambil istrinya dari tangan suami kedua, sebab istri tersebut telah berikrar ada ikatan perkawinan, dan ikrar ini adalah sah lantaran tidak ada kesepakatan antara wanita dengan suami mengenai talak.

 

Idah selain hamil, bagi wanita yang tertalak raj’i -bukan bain, sekalipun sebab khuluk-, adalah terputus hitungannya sebab terjadi percampuran suami dan istri tersebut, sebagaimana mereka sudah berkhalwah dan ada kesempatan untuk bermain seks, sekalipun dalam masa sebentar dan baik saat itu terjadi jimak ataupun tidak, Karena itu, idah : di masa percampuran tersebut tidak habis.

 

Tetapi, jika mu’asyarah (pergaular/ percampuran) itu telah berakhir, misalnya suami sudah berniat tidak kembali kepada istrinya, maka wanita itu bisa meneruskan idah yang telah berlalu. Idah di atas tidak dihukumi habis lantaran ada syubhat firasy (sebab wanita dalam talak raj’i hukumnya seperti istri),

 

Sama halnya dengan wanita yang di masa idahnya dinikahi oleh laki-laki lain, maka masa berkumpulnya tersebut tidak dihitung idah untuk Suami pertamanya, tetapi masa idahnya terputus sejak ia berkhalwah dengan laki-laki kedua, dan masa idah sebelum ia kawin dengan lakilaki kedua hukumnya tidak batal, dan bila khalwahnya dengan laki-laki kedua telah berakhir, maka ia bisa meneruskanidahnya yang telah lalu, dan waktu-waktu yang ada di antara khalwah tidak dihitung sebagai idah.

 

Tetapi, bagi suami yang telah mencampuri istrinya dalam idah raj’i di atas, ia tidak boleh merujuk lagi setelah masa idah (dalam bayangannya) yang diperhitungkan dengan quru’ atau bulanan -menurut pendapat Al-Muktamad-, sekalipun idahnya belum habis (sebab masa idah terputus dengan adanya percampuran tersebut), tetapi di masa itu sampai habis idah, talak bisa jatuh lagi.

 

Menurut pendapat yang dimenangkan Al-Bulqini, bahwa wanita di atas tidak berhak menerima biaya hidup.setelah masa idahnya, dan pendapat ini dimantapi oleh lainnya, lalu katanya: Antara kedua tidak dapat saling mewaris, dan pihak lakilaki tidak dapat dihad lantaran menjimaknya.

 

Penyempurna:

 

Apabila dua idah dari seorang lakilaki berkumpul pada seorang wanita -misalnya seorang laki-laki menjimak wanita yang telah ditalak raj’i secara mutlak atau wanita talak bain dengan wathi syubhat-, maka wanita tersebut cukup melakukan idah wathi saja, sehingga idahnya terhitung selesai persetubuhan dan idah yang pertama (talak) sudah masuk ke situ. Jika laki-laki tersebut melakukan jimak (wathi) berulang kali, maka wanita -tersebut harus memulai hitungan idahnya dari selesai persetubuhan.

 

Akan tetapi laki-laki di atas tidak dapat merujuknya, bila idah talak raj’inya telah habis.

 

Cabang Mengenai Istibra’

Istibra’ menurut syarak adalah: Masa penantian untuk budak perempuan (amat) ketika terjadi penyebabnya yang akan diterangkan nanti, untuk mengetahui kebersihan kandungan atau Ta’abbudi.

 

Wajib melakukan istibra’ untuk kehalalan tamattu’ atau mengawinkan terhadap amat, sebab ada pemilikan terhadapnya -sekalipun ia telah beridah-, pemilikan tersebut baik dengan cara pembelian, penerimaan warisan, wasiat atau pemberian yang sudah diterimanya, ataupun dimilikinya dari hasil tawanan perang dengan syarat pemihkannya -yaitu qismah atau memilih sendiri pemilikannyasekalipun amat tersebut diyakini bersih kandungannya, misalnya amat Itu masih kecil atau perawan.

 

Baik amat itu dimiliki dari tangan anak kecil atau perempuan, atau dari penjual yang sebelum dijual ia telah melakukan istibra’. Itu semua wajib diistibra’kan untuk bisa halal tamattu’.

 

Wajib Istibra’ sebab hilang hak milik sayid dari amat yang pernah disetubuhi yang bukan atau Mustauladah sebab sayid pemiliknya telah memerdekakannya dengan cara memerdekakan kedua bentuk amat di atas atau kematian Tuan pemilik bagi Yang mustauladah.

 

Tidak wajib Istibra’, bila amat tidak Mustauladah yang lepas kemilikan Tuannya itu telah diistibra’kan sebelum dimerdekakan, bahkan amat tersebut boleh kawin seketika, lantaran amat tersebut tidak menyerupai istri yang dinikahi, Lain halnya dengan amat yang Mustauladah.

 

Haram -bahkan tidak sah- mengawinkan amat yang telah dijimak pemiliknya sebelum Istibra’ terlebih dahulu, lantaran untuk menjaga bercampur dua sperma.

 

Adapun amat yang tidak pernah dijimak tuannya atau oleh siapa saja, maka tuannya boleh mengawinkannya secara mutlak. Kalau amat tersebut pernah dijimak oleh orang lain, maka tuan boleh mengawinkannya dengan orang yang telah menjimaknya. Boleh juga mengawinkan dengan laki-laki lain lagi, bila jimaknya dengan laki-laki kedua tadi halal atau telah lewat masa istibra’.

 

Bila Tuan memerdekakan amat yang pernah dijimak, maka ia boleh menikahinya tanpa Istibra’ dulu.

 

Masa Istibra amat yang mempunyai quru’, adalah masa satu periode haid penuh. Karena itu, sisa masa haid dalam periode Istibra’ belum cukup.

 

Bila sayid (tuan) menjimak amatnya ketika haid dan hamil dari persetubuhan tersebut, bila kehamilan terjadi sebelum haid berjalan seharisemalam (paling sedikit masa haid), maka hitungan masa Istibra’ terputus dan keharaman berjalan terus sampai melahirkan, sebagaimana halnya bila ia menjimaknya dalam keadaan suci, lalu hamil.

 

Bila kehamilan terjadi setelah masa di atas (masa berjalan haid sehari-semalam), maka masa Istibra’ telah cukup, sebab telah berlalu masa haid: yang sempurna sebelum terjadi kehamilan.

 

Apabila amat yang idahnya dihitung dengan bulanan -baik itu amat yang masih kecil atau Ayisah- maka masa Istibra’nya selama satu bulan.

 

Bagi amat yang hamil, di mana idahnya diperhitungkan dengan kelahiran -yaitu hamil dari perzinaan ‘atau hasil tawanan (dari orang kafir) yang hamil atau hamilnya dari tuannya serta terlepas kemilikkannya, baik itu Mustauladah atau tidak-, maka Istibra’nya adalah setelah melahirkan bayi tersebut.

 

Cabang:

Bila seseorang membeli semacam amat beragama Watsani atau murtad, lalu haid, kemudian setelah habis masa haid atau di tengah-tengahnya ia memeluk Islam -demikian pula setelah satu bulan bagi yang beridah bulanan-, maka masa haid tersebut dan sesamanya (satu bulan atau kelahiran kandungan) belum mencukupi untuk Istibra’nya, (tetapi 18 wajib melakukan Istibra’ kedua setelah Islam), sebab haid dan sesamanya di atas tidak dapat menyebabkan kehalalan tamattu’ yang menjadi tujuan Istibra’.

 

Budak amat dibenarkan tanpa disumpah mengenai ucapannya: ” Aku telah haid”, sebab hal itu tidak diketahui, kecuali dari dirinya sendirii.

 

Selain amat hasil tawanan, adalah diharamkan tamattu dengannya -walaupun sekadar memandang dengan nafsu birahi atau memegangnya-, sebelum sempurna Istibra’, sebab hal itu bisa membawa persetubuhan yang diharamkan, di samping itu, dimungkinkan hamil dari laki-laki merdeka.

 

Karena itu, tidak sah semacam menjualnya, tetapi dihalalkan berkhalwah dengannya.

 

Adapun amat hasil tawanan perang, maka haram dijimak, tetapi istimta’ selain persetubuhan -misalnya mencium dan memegangnya-, tidak diharamkan, sebab Rasulullah saw tidak mengharamkan tamattu’ pada amat tawanan selain menjimaknya, di samping kuat mata memandang dan tangan menjelajahi untuk memegang amat, utamanya yang cantik.

 

Karena Ibnu Umar r.a. mencium amat yang menjadi bagiannya dari hasil tawanan Perang Authas.

 

Dalam kaitannya dengan kehalalan tamattu’ selain menjimak ini, Al-Mawardi dan lainnya menyamakan amat hasil tawanan dengan amat yang sudah tidak mungkin bisa hamil, misalnya amat yang kecil, Ayisah dan hamil dari perzinaan.

 

Cabang:

 

Amat tidak bisa dihukumi menjadi Jirasy talas tidur) tuannya, kecuali setelah dijimak dalam vaginanya, dan hal itu dapat diketahui dengan keberadaan ikrar dari tuannya Dengan adanya bayinah.

 

Bila amat tersebut melahurkan bayi yang bisa dimungkinkan terjadi dari persetubuhan tersebut (minimal 6 bulan dari persetubuhan), maka nasab anak tersebut ditemukan kepada tuannya, sekalipun ia tidak mengakuinya.

PASAL TENTANG NAFKAH

Lafal Nafaqah itu diambil dari lafal Infaq, yang artinya mengeluarkan.

 

Wajib memberikan sejumlah Mud beserta kelengkapannya -yang akan diterangkan nantikepada seorang istri -sekalipun berupa amat atau sakit- yang telah mempersilakan dirinya untuk di-lstimta’ dan dipindahkannya bila suami bermaksud dalam keadaari perjalanan dan tempat tujuan yang aman, sekalipun dengan naik kapal laut yang kemungkinan besar akan selamat.

 

Karena itu, nafkah tidak wajib diberikan karena semata-mata akad nikah -lain halnya dengan pendapat kaul Kadim-, tetapi wajib karena ada tamkin hari demi hari.

 

Suami dapat dibenarkan dengan bersumpah, bahwa istrinya tidak tamkin (memberikan kesempatan untuk tamattu’): dan istri dapat dibenarkan dengan dakwaan, bahwa dinnya tidak nusyus dan tidak diberi nafkah.

 

Bila seorang istri yang memungkinkan untuk ditamattur’i telah dipersilakan dinnya (tamkin), sekalipun pada sebagian bentuk tamattu’, maka bagi suami wajib memberikan biaya hidupnya, sekalipun suami itu masih anak kecil yang tidak mungkin melakukan jimak, sebab halangan jimak itu bukan datang dari pihak istri.

 

Sekalipun istri tersebut tidak dapat dijimak karena suatu sebab selain kecil, misalnya lubang vaginanya tertutup daging atau karena jatuh sakit atau gila. Tetapi, bila istri tersebut tidak bisa dijimak lantaran masih kecil yang belum kuat, maka tidak wajib memberikan nafkah kepadanya, sekalipun walinya telah menyerahkan kepada suami, sebab ia tidak mungkin ditamattu’i, sebagaimana istri yang nusyus, Lain halnya yang mampu dijimak.

 

Bentuk-bentuk lain tamkin yang mewajibkan suami memberikat nafkah di atas, dapat ditetapkan adanya dengan ikrar suami, persaksian dari bayinah, bahwa istri itu selalu taat dan tinggal di dalam rumah selama suami pergi dan sebagainya.

 

Istri berhak meminta nafkahnya kepada suami, jika sang suami akan bepergian jauh.

 

(Hak nafkah tetap masih ada), sekalipun istri tersebut sudah talak raj’i sekalipun tidak hamil, Nafkah tersebut wajib diberikan kepada wanita raj’iyah selai biaya pembelian alat pembersih, sebab penahan suami atasnya masih tetap berlangsung dan kemampuannya untuk bertamattu’ dengan cara merujuknya, dan karena suami tidak mau merujuknya, maka ia tidak berkewajiban menyediakan alat pembersih.

 

Segala sesuatu yang menggugurkan hak nafkah istri, adalah menggugurkan nafkah wanita dalam talak raj’i, misalnya nusyus.

 

Nafkah juga wajib diberikan kepada wanita tertalak bain -talak tiga, khuluk atau fasakh nikah yang tidak bersamaan dengan akad-, di mana wanita tersebut dalam keadaan hamil, sekalipun suami mati sebelum bayi lahir, selama wanita tersebut tidak berbuat nusyus

 

Bila suami memberinya nafkah karena mengira hamil, ternyata tidak, maka ia boleh meminta kembali darinya. Adapun bila wanita yang hamil tersebut tertalak bain karena kematian suaminya, maka ia tidak berhak menerima nafkah.

 

Demikian pula tidak ada hak nafkah bagi istri yang tengah menempuh idah wathi syubhat, misalnya seorang wanita dijimak secara syubhat -sekalipun tidak hamil-, sebab tidak ada tamkin dari istri, karena antara suami dan istri terhalang sampai habis masa idah tersebut.

 

Kemudian nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada Semacam istri, adalah satu mud makanan pokok yang umum menjadi makanan di daerah istri -bukan daerah suami-, bagi suami yang melarat (Mu’sir), sekalipun menurut ucapannya sendiri, selama tidak nyata mempunyai harta benda -yaitu orang yang tidak mempunyai harta selebih batas kemiskinan-, sekalipun ia bekerja dan mampu bekerja dengan hasil lebih lapang Pemberian nafkah, bagi suami cukup memberikannya tanpa harus ada ijab dan qabul, seperti penyerahan utang dalam tanggungan Guru kita berkata Dari keterangan ini, bisa diambil pengertian, bahwa yang wajib di sini adalah tidak terjadi sesuatu yang memalingkan dari maksud memberikan nafkah.

 

Satu mud tersebut wajib diberikan oleh suami yang budak, sekalipun Mukatab dan hartanya banyak.

 

Dua mud wajib diberikan oleh suami yang kaya, yaitu orang yang dengan dibebani dua mud tidak kembali menjadi melarat.

 

Satu mud setengah wajib diberikan oleh suami yang cukupan, yaitu orang yang menjadi melarat bila dibebani memberikan dua mud.

 

Hanya saja nafkah tersebut wajib diberikan setiap waktu fajar tiap hari, jika istri tidak ikut makan bersama suami, seperti adat orang makan dengan kerelaan istri yang rasyidah (pandai).

 

Bila istri turut makan bersama suami di bawah kecukupan, maka bagi suami wajib menambah sejumlah selisih kekurangannya sampai pada kesempurnaannya. Demikian menurut Al-Aujah.

 

Istri dapat dibenarkan mengenai kadar ukuran yang telah dimakan.

 

Bila suami memaksa istrinya agar makan bersamanya tanpa ada kerelaan dari istri, atau istri yang tidak rasyidah ikut makan bersamanya tanpa seizin walinya, maka kewajiban nafkah baginya belum gugur. Dalam hal ini, suami dianggap bersedekah sunah, oleh karena itu ia tidak dapat meminta gariti apa yang telah dimakan oleh istrinya, Lain halnya dengan pendapat Al-Bulqini dan ulama yang mengikutinya.

 

Bila istri menyangka bahwa suami bersedekah terhadap dirinya, sedang suami menyangka (mendakwakan) bahwa yang ia berikan adalah sebagai kewajiban nafkah, maka dengan bersumpah, suami bisa dibenarkan, menurut Al-Aujah.

 

Tersebut di dalam Syarhul Minhaj: Bila ada laki-laki lain menjamu seorang wanita lantaran memuliakan suaminya, maka nafkah istri tersebut menjadi gugur.

 

Bagi suami yang akan bepergian lama adalah diperintahkan (dengan sungguh-sungguh), agar menjatuhkan talak kepada istrinya atau mewakilkan kepada orang lain untuk memberinya nafkah dari harta suami yang ada di tempat.

 

Jumlah mud-mud yang telah disebutkan di atas, wajib diberikan beserta lauk-pauknya yang sudah menjadi kebiasaan, sekalipun istri tidak memakannya, misalnya minyak samin, zaitun dan tamar.

 

Bila suami-istri berselisih mengenai ukuran mud atau daging yang akan diterangkan di bawah ini, maka hakimlah yang menentukannya dengan membedakan antara yang kaya dan lainnya. Penentuan kitab Al-Hawi -sebagaimana nash Syafi’idengan sebesar satu auqiyah, adalah penentuan kurang-lebih saja.

 

Juga wajib memberikan daging yang meryadi kebiasaan dalam ukuran dan waktu tertentu, sesuai dengan kaya atau melaratnya sekalipun istri juga tidak memakannya.

 

Bila dibiasakan makan daging sekali dalam satu minggu, maka yang lebih utama diberikan pada hari Jumat, dan jika kebiasannya memberi daging dua kali dalam satu minggu, maka yang lebih utama diberikan pada hari Jumat dan Selasa.

 

Nash Syafi’i rhm. juga mengemukakan jumlah satu liter daging untuk satu minggu, bagi seorang suami yang melarat, dan dua liter bagi yang kaya, adalah dihubungkan dengan situasi di Mesir ketika daging di sana berjumlah sedikit, karena itu, jumlah di atas bisa ditambah sesuai dengan kebutuhan dan situasi daerah yang bersangkutan.

 

Menurut beberapa pendapat (Al-Aujah), adalah tidak wajib membenkan Iauk-pauk di hari yang telah diberikan daging, bila daging tersebut sudah mencukupi istri untuk makan sang dan malam, tetapi kalau belum mencukupinya, maka wajib membenkan lauk-pauk

 

Wajib juga memberikan garam, kayu bakar dan air minum, sebab pada airlah terletak kehidupan.

 

Di samping itu semua, wajib memberikan biaya, misalnya biaya penepungan, pengadonan dan memasak, jika istri tersebut tidak tergolong orang yang terbiasa melaksanakan itu semua sendiri, sebagaimana yang dimantapi oleh Ibnur Rif’ah dan Al-Adzra’i selain dua fukaha di atas, memantapkan bahwa tidak ada bedanya (antara yang biasa melaksanakannya sendiri dengan yang tidak terbiasa).

 

Juga beserta alat memasak, makan dan minum, misalnya piring besar, kendi, tempayan, ketel, gayung, kendi dari kayu, keramik atau batu.

 

Tidak wajib memberikan barang-barang yang terbuat dari tembaga atau timah, sekalipun istrinya dani kalangan bangsawan.

 

Suami -meskipun melarat- wajib memberikan pakaian kepada istrinya tiap-tiap masa 6 bulan, di mana pakaian tersebut cukup untuk ukuran panjang dan besar tubuh istri.

 

Karena itu, yang wajib diberikan adalah baju kurung, jika istri tersebut tidak terbiasa memakai kain sarung dan selendang -jika biasa, maka wajib memberinya kedua pakaian tersebut tanpa baju kurung, menurut Al-Aujah-, kain sarung, celana, kerudung -sekalipun istri amat- dan kaos kaki.

 

Macam pakaian tersebut diukur menurut kebrasaan yang berlaku di tempat istri. Tetap: Al-Mawardi berkata: Bila istri termasuk orangorang yang tidak memakai sesuatu pada kakinya ketika di dalam rumah, maka tidak wajib diberikan sesuatu pada kakinya.

 

Di samping pakaian-pakaian tersebut, wajib diberi kain selimut di musim dingin -sekalipun tidak musim penghujan-, dan menambah jubah tebal (mantel) di musim penghujan.

 

Adapun di waktu selain musim dingin -sekalipun musim penghujan baki daerah beriklim panas-, maka wajib diberi selendang dan semacamnya, jika ia termasuk dari kalangan orang-orang yang terbiasa memakai kain, bukan pakaian ketika tidur, atau tidur dengan telanjang, sebagaimana yang disunahkan (maksudnya: Tidur hanya menggunakan kain penutup saja, bukan pakaian).

 

Bila tidak terbiasa tidur dengan memakai kain penutup, maka tidak wajib diberi kain selendang dan semacamnya, dan jika terbiasa memakai pakaian khusus tidur, wajib diberi pakaian khusus tersebut, sebagamana yang dimantapkan oleh sebagian fukaha.

 

Baik dan buruk pakaian dibedakan kaya dan miskin suami.

 

Dia wajib memberikan kelengkapankelengkapan pakaian tersebut, misalnya tali celana, kancing semacam baju kurung, benang, dan upah penjahit.

 

Suami wajib memberinya alas tidur dan batal. Apabila ia terbiasa tidur di atas ranjang, maka suami wajib memberinya.

 

Cabang:

 

Wajib memperbarui pakaian yang tidak dipakai satu tahun: yaitu dengan memberinya setiap 6 bulan sekali.

 

Bila pakaian-pakaian tersebut rusak di pertengahan 6 bulan tersebut -sekalipun bukan karena gegabah-, maka bagi suami tidak wajib memperbaruinya. Memperbarui pakaian wajib dengan pakaian yang masih baru.

 

Bagi suami wajib member istrinya alat membersihkan badan dan pakaiannya, sekalipun suami tidak. berada di sampingnya, sebab alat pembersih tersebut dibutuhkannya, sebagaimana lauk-pauk.

 

Termasuk alat pembersih, adalah daun witdoro dan semacamnya (daun untuk pembersih badan/sabun), misalnya sisir, siwak dan tusuk gigi.

 

Suami wajib juga memberinya minyak rambut dan minyak pelumas badan, jika dibiasakan memakainya, yaitu berupa minyak syairaj dan samin.

 

Karena itu, suami wajib memberinya minyak sekali atau lebih dalam satu minggu, menurut kebiasaan yang ada, demikian juga wajib memberinya minyak penerang lampu.

 

Untuk wanita hamil dalam idah talak bain dan istri yang ditinggal suami, hanyalah berhak menerima alat pembersih yang sekadar dapat menghilangkan kekusutan dan kotoran badan, menurut Al-Mazhab.

 

Suami wajib memberikan air untuk mandi wajib, yang kewajiban disebabkan oleh suami, misalnya setelah bersetubuh atau nifas -bukan mandi setelah hajd atau ihtilam- dan air untuk mencuci najis. Tidak wajib memberinya air untuk berwudu, kecuali bila dibatalkan oleh suanu dengan semisal disentuh.

 

Suami tidak wajib memberi minyak wangi -kecuali sekadar untuk menghilangkan bau busuk-, celak mata, obat sakitnya dan upah dokter Istri berhak menerima makanan

lauk-pauk, pakaran dan ala pembersih di hari-hari sakitnya, dan bisa mentasarufkannya untuk pembelian obat dan lainnya

 

Peringatan:

 

Semua yang disebutkan di atas, yang meliputi makanan, lauk-pauk, alatalatnya, pakaian, alas tidur dan alat pembersih, adalah wajib menjadi miliknya dengan cara diserahkan tanpa harus ada ijab dan qabul Istri memiliki itu semua dengan cara mengambilnya.

 

Karena itu, suami tidak boleh mengambil itu semua dari tangan istrinya, kecuali atas kerelaannya.

 

Adapun tempat tinggal -begitu juga pembantu- adalah sebagai hak guna (bukan hak milik) untuk istri, yang karenanya menjadi gugur dengan telah berlalu masa pemberian hak gunanya, sebab tempat tinggal/pembantu hanya sekadar untuk dimanfaatkan (bukan dimiliki oleh istri).

 

Pemberian yang sifatnya sebagai hak milik, adalah menjadi utang bagi suami, bila belum diberikan dan bisa digantirupakan serta tidak smenjadi gugur kewajiban tersebut lantaran, kematian suami/istri di pertengahan masa (masa/periode pakaran adalah 6 bulan, sedang periode makanan adalah setiap terbit fajar).

 

Suami wajib menyediakan tempat tinggal untuk istrinya, yang kalau suami pergi, maka rumah tersebut dapat mengamankan jiwa dan harta istri, sekalipun jumlahnya hanya sedikit, sebab diperlukan adanya, bahkan suatu keharusan. Yang mana tempat tinggal tersebut patut didiaminya menurut kebiasaan, sekalipun istri tidak biasa bertempat tinggal, dan sekalipun tempat tinggal itu hasil pinjaman atau sewaan.

 

Bila suami tinggal bersama istri di rumah istri dengan izinnya, karena istri tidak mau dipindahkan rumahnya, atau tinggal bersamanya di rumah ayah istri, maka suamu tidak wajib membayar uang sewa, karena perizinan yang tidak disertai penyebutan imbalan, adalah berkedudukan sebagai atau pemberian wewenang (Ibahah).

 

Wajib bagi suami, walaupun melarat -lain halnya dengan pendapat segolongan fukaha-, atau budak, memberikan seorang pelayan wanita -tidak lebih dani itu-, untuk istri yang merdeka -lain halnya jika istrinya berupa amat, sekalipun cantik-, yang biasanya Wanita seperti dia diberi pelayanan ketika masih berada di tengah keluarganya, karena kemewahan di rumah suaminya tidak menjadi ukuran, karena pemberian pelayan kepada istri, adalah termasuk menggauli secara baik.

 

Kewajiban suami hanyalah memberinya seorang pelayan, sekalipun dengan cara seorang wanita merdeka yang menemaninya, waruita yang digaji, laki-laki yang menjadi mahram istri atau budaknya -sekalipun laki-laki-, atau dengan anak laki-laki yang belum mencapai usia murahiq (menjelang balig).

 

Maka untuk pelayan seorang laki-laki yang telah ditentukan suami, wajib (setiap hari) menerima 1 1/3 mud makanan dari suami yang kaya, dan 1 mud bila suami tersebut melarat atau cukupan, di samping itu (tiap 6 bulan) menerima pakaian yang patut untuk seorang pelayan, yaitu baju kurung, kain sarung beserta kerdung

 

Bagi pelayan Wanita ditambah lagi khuf dan kerudung kepala apabrla keluar rumah, sekalipun budak yang terbiasa keluar tanpa menutup kepala.

 

Hanya saja khuf dan kerudung tidak wajib diberikan -menurut AlMuktamadkepada istri, karena suami berhak melarang istrinya keluar dari rumah, sedang kebutuhan keluar rumah untuk semacam ke kamar kecil, adalah langka sekali.

 

Peringatan:

 

Hal-hal yang wajib dikerjakan oleh pelayan istri, adalah yang hanya buat khusus istri, misalnya membawakan air ke kamar mandi atau untuk minumnya, menuangkan air ke badannya, mencuci pakaian bekas haid dan memasak untuk makan istrui.

 

Adapun hal-hal yang tidak khusus untuk istri, misalnya memasak makanan suami dan mencuci pakaiannya, maka adalah bukan tugas pelayan maupun istri, tetap itu menyadi tugas suami: karena itu, ia Bisa menanganinya sendiri atau orang lain.

 

Beberapa Hal Penting:

 

Tersebut di dalam Syarhul Minhaj milik Guru kita: Bila seorang suami membeli perhiasan atau sutera tebal untuk istrinya dan diperhiaskan untuknya, maka dengan cara itu barang tersebut tidak kemudian menjadi milik istri.

 

Bila istri berselisih dengan suaminya mengenai dihadiahkan atau dipinjamkan suatu barang itu, maka yang dibenarkan adalah suaminya. Begitu juga perselisihan dengan ahli waris Suami.

 

Bila orangtua memperlengkapi anak putrinya dengan suatu perlengkapan rumah tangga, maka anak putri tersebut dapat memilikinya, kecuali setelah ada ijab dan qabul: Perkataan yang dibenarkan adalah perkataan orangtua (ayah), bahwa dirinya tidak memberikan hak milik kepada anaknya.

 

Dari keterangan di atas, dapat diambil pengertian, bahwa pemberian suami yang disebut Shulhah (pemberian di kala istri marah, agar mau damai) atau Shabahiyah (pemberian di waktu paginya dari malam perkawinan), sebagaimana yang banyak terjadi di suatu daerah, adalah tidak menjadi hak mikk istri, kecuali setelah kata-kata yang memberikan hak milik atau ada maksud menghadiahkannya: lain halnya dengan perrdapat yang telah lewat (pada Bab Hibah) dari fatwa Al-Hanathi.

 

Fatwa yang telah dikeluarkan oleh tidak hanya seorang fukaha, bahwa bila seorang suami memberikan kepada istrinya sesuatu untuk walimah perkawinan, mahar atau shabahiyah, lalu istri nusyus, kemudian suami boleh meminta kembali semua itu, adalah fatwa yang tidak benar, karena pembatasan “nusyus” adalah tidak mengena pada pemberian Shabahah, sebab sebagai keterangan yang kupaparkan, bahwa pembenanin seperti Shulhah, yaitu bila suami melafalkan atau bertujuan menghadiahkan, maka istri dapat menulikinya, tetapi jika tidak, maka tetap menjadi milik suaminya.

 

Adapun pemberian suami untuk walimah perkawinan, adalah tidak wajib, yang karenanya jika dengan izin suami, istri mentasarufkan barang tersebut, maka hilang hak milik suami.

 

Adapun mahar yang diberikan kepada istri, maka jika ia nusyus sebelum pernah dijimak, maka suami dapat menarik kembali, tetapi kalau sudah pernah dijimak, maka tidak dapat menariknya lagi,lantaran ketetapan mahar itu sebab per. setubuhan, karena itu, suami tidak dapat menarik kembali dengan nusyus istri.

 

Secara Ijmak, seluruh macam nafkah istri menjadi gugur lantaran ia nusyus, sekalipun hanya sebentar: yaitu menyimpang dari ketaatan kepada suami, sekalipun hal itu tidak berdosa bagi istri. Misalnya istri masih kecil, gila atau dipaksa.

 

Karena itu, gugurlah nafkah sehan dan hak pakaian satu periode (sekalipun nusyusnya hanya sebentar), dan masa nusyus dengan masa taatnya tidak harus dibagi sendiri-sendiri.

 

Bila suami tidak mengetahui keguguran hak nafkah lantaran nusyus, laluia menafkahinya, maka ia boleh meminta kembali jika suami termasuk orang yang kurang mengetahui masalah tersebut. Hanya saja seorang yang memberikan nafkah dalam ikatan perkawinan atau pembelian yang fasid, adalah tidak boleh meminta kembali, sekalipunia tidak mengetahui fasad tersebut, sebab keberadaan laki-laki tersebut melakukan nikah/pembelian, berarti la sanggup menanggung nafkahnya, tetapi dalam masalah ketidaktahuan mengenai gugur nafkah sebab nusyus, tidak seperti ini.

 

Demikian juga orang yang secara batin telah jatuh talaknya dan ia tidak mengetahuinya, lalu beberapa hari memberi nafkah, kemudian mengetahui hal itu, maka ia tidak boleh meminta kembali apa yang telah dinafkahkan, menurut beberapa tinjauan pendapat.

 

Nusyus sudah dianggap terjadi karena istri menolak ajakan suami untuk melakukan tamattu’, sekalipun hanya bentuk tamattu’ semacam memegang atau pada anggota tubuh istri yang telah ditentukan oleh suami.

 

Tidak dianggap nusyus bila istri menolak suami lantaran ada uzur, misalnya alat kelamin suami terlalu besar, yang sekira istri tidak sanggup menerimanya, istri sedang sakit yang membawa mudarat bila bersetubuh, farjinya sedang terluka dan semacam haid.

 

Besar alat kelamin suami dapat ditetapkan dengan ada ikrar suami atau persaksian dua laki-laki juru khitan, dan mereka berdua berupaya -selain memasukkan zakar pada farji yang diharamkan atau duburagar zakar suami yang mereka berikan persaksiannya itu bisa ereksi, atau dengan persaksian 4 wanita.

 

Bila besar zakar tersebut tidak diketahui, kecuali dengan 4 wanita itu melihat alat kelamin suami-istri dalam keadaan terbuka ketika zakar ereksi (tegang), maka bagi mereka halal melihatnya demi memberikan kesaksian.

 

Cabang:

 

Istri yang belum dijimak dalam keadaan sudah balig serta kehendaknya sendiri, adalah diperbolehkan menolak ditamattu’i oleh suaminya demi mengambil maharnya yang kontan, karena penolakan sepert ini adalah haknya, maka ia tidak dapat dianggap nusyus, sehingga menggugurkan nafkahnya.

 

Bila penolakannya lantaran untuk mengambil maharnya yang tidak kontan atau setelah ia pernah dijimak menurut (diam) saja, maka nafkah menjadi gugur.

 

Bila penolakan di atas dilakukan setelah pernah dijimak dengan cara paksa atau ia belum balig -sekalipun telah diserahkan oleh walinya-, maka hak nafkah tidak gugur.

 

Bila suami mendakwakan telah pernah menjimaknya dengan ada tamkin dari istri dan ia meminta istrinya untuk diserahkan kepada dirinya, lalu istri mengingkari dakwaan tersebut dan menolak diserahkan kepada suaminya, maka yang dibenarkan adalah pihak istri (dengan disumpah).

 

Nusyus terjadi pula sebabistri keluar. dari tempat tinggal yang telah direstui oleh suaminya untuk ditempati, sekalipun rumah istri sendiri atau rumah ayahnya tanpa seian suaminya serta tidak memperkirakan kerelaan suaminya, walaupun untuk keperluan menjenguk orang sakit atau suami sedang tidak berada di tempat, dengan rincian yang diterangkan di belakang.

 

Karena itu, keluar istri tanpa kerelaan suaminya -walaupun untuk menjenguk orang saleh, selain mahram atau majelis zikir-, adalah : maksiat dan nusyus.

 

Al-Adzra’i dan lainnya mengambil pembicaraan Asy-Syafi’i, bahwa dalam masalah keluar rumah yang dikehendaki, bagi istri dapat berpedoman pada kebiasaan yang menunjukkan adanya kerelaan hati para suami yang semisal suaminya. Guru kita berkata: Hal itu mungkin arahannya selama istri tidak mengetahui ada kecemburuan suami yang dapat membuat berlainan dengan suami-suami yang lain dalam masalah kerelaan di atas.

 

Peringatan:

 

Istri boleh keluar rumah karena bebarapa hal.

Antara lain, bila rumah tempat tinggal mau runtuh.

 

Apakah cukup dengan ucapan istri: “Aku khawatir rumah mau runtuh”, atau harus ada indikasi yang dari segi adat dapat menunjukkan rumah akan runtuh?.

 

Dalam hal ini Guru kita berkata: Kedua-duanya terdapat nilai perimbangan (sama-sama mungkin) dan yang lebih mendekati kebenaran adalah yang kedua.

 

Antara lain, bila istri mengkhwatirkan diri atau hartanya dari orang fasik atau pencuri.

 

Antara lain, bila istri keluar untuk menuntut hak dari suaminya.

 

Antara lain, keluarnya untuk menuntut ilmu-ilmu fardu ain, atau mohon fatwa sekira suaminya yang tsiqah atau mahramnya tidak mempunyai kemampuan untuk itu, menurut pendapat yang dizhahirkan Guru kita.

 

Antara lain lagi: Bila istri keluar dari rumah untuk bekerja mencari nafkah dengan berdagang, meminta-minta atau bekerja kasar, jika suami melarat.

 

Antara lain lagi. Bila istri tanpa seizin suami keluar bukan dalam sikap nusyus dh waktu tidak berada di dalam daerah, untuk ziarah atau menjenguk kerabat, bukan laki-laki atau perempuan lain -menurut Al-Aujah-, sebab keluar yang sedemikian rupa, tidak terhutung nusyus menurut kebiasaan.

 

Guru kita berkata. Yang Zhahir, hal dh atas bila suami tidak melarang istri keluar atau mengirim surat larangan.

 

Nusyus terjadi dengan kepergian istri -tanpa seizin suami- yang sendirian ke tempat yang bagi musafir sudah diperbolehkan menggashar salat, sekalipun untuk menjenguk kedua orangtuanya atau haji, dan sekalipun untuk keperluan suaminya.

 

Hal itu jika bukan karena terpaksa, misalnya seluruh penduduk daerah setempat. meninggalkan tempatnya, sedang yang tertinggal hanya orang, yang seorang istri tidak dapat aman bila bersamanya.

 

Atau kepergian atas izin suaminya, tetapi untuk keperluan istri atau lakilaki lain, maka menurut pendapat Al-Azhhar hak nafkahnya gugur sebab tidak ada tamkin.

 

Apabila atas izin suami, seorang istri pergi untuk kepentingan suami-istri, maka menurut kesimpulan yang dimenangkan dalam Bab Al-Aiman, tentang masalah bila suami berkata kepada istrinya. “Bila kamu keluar untuk keperluan ke kamar mandi, maka kamu tertalak”, lalu ia keluar ke kamar mandi dan tempat lainnya, maka istri tidak tertalak, maka hak nafkahnya tidak gugur di siru, tetap menurut Nash Al-Um dan Mukh-ashar Al-Muzami, menetapkan adanya keguguran.

 

Nusyus tidak terjadi dengan kepergian istri bersama suami atas Iannya, sekalipun untuk kebutuhan Istri, juga hdak terjadi dengan kepergian istri atas izin dan keperluan suami, sekalipun beserta keperluan selain suami Karena itu, hak nafkah istri tidak gugur, sebab istri masih tamkin, sedang suami sendiri yang menghilangkan haknya dalam contoh kedua.

 

Tersebutkan di dalam Al-Jawahir dan lainnya, yang dinukil dari Al Mawardi dan lainnya: Bila istri menolak meninggalkan tempat bersama suaminya, maka ia tidak wajib diberi nafkah, kecuali ketika menolak tersebut suami masih melakukan tamattu’ dengannya, maka nafkah wajib diberikan kepadanya: berarti tamattu’ tersebut sebagai ampunan (kerelaan) suami terhadap keengganan berpindah.

 

Guru kita berkata: Kesesuaian keterangan Al-Jawahir tersebut, diberlakukan pada bentuk-bentuk nusyus yang lain dan hal itu mungkin jadinya.

 

Hak nafkah gugur pula karena istri: menutup pintu di depan suaminya dan dengan dakwaan istri secara. tidak beres tentang jatuh talak bain.

 

Tidak termasuk nusyus, makian dan umpatan lisan istri yang menyakitkan hati sang suami, sekalipun atas sikap tersebut suami berhak mendidiknya.

 

Penting:

 

Apabila seorang wanita yang suaminya musnah, kawin lagi dengan lakilaki lain, padahal kematiannya belum ditetapkan, maka hak nafkah dari suami pertama menjadi gugur, dan tidak kembali lagi hak nafkah, kecuali setelah suami pertama mengetahui bahwa istrinya kembali lagi ke tangannya serta taat kepadanya setelah diceraikan oleh suami kedua.

 

Faedah:

 

Suami diperbolehkan melarang istrinya keluar dari rumah, sekalipun karena kematian salah satu orangtua istri atau menghadiri jenazahnya. Ia Juga diperbolehkan melarang istri mempersilakan orang lain -selain pembantu wanitamasuk ke rumah suami, sekalipun itu kedua orangtua istri atau anak laki-lakinya dari suami pertama.

 

Tetapi melarang kedua orangtua istri masuk, adalah makruh, sekira tidak ada uzur.

 

Bila tempat tinggal yang ditempati adalah milik istri, maka bagi suami tidak boleh melarang itu semua, selam di kala timbul keraguan Penyempurnaan:

 

Bila istri nusyus dengan keluar rumah, lalu suami pergi dan di kala kepergiannya sang istri kembali taat dengan cara semacam kembali lagi ke rumah, maka menurut Al-Ashah, selama masa kepergiannya ia tidak wajib memberi nafkah, sebab istri lepas dari genggamannya.

 

Maka harus ada pembaruan penyerahterimaan (dari istri) dan penerimaan (dari suami), sedang dua hal ini tidak bisa terjadi dengan ketidak hadiran suami.

 

Karena situ, cara agar istri dapat menghaku kembali nafkahnya Hakim mengirim surat kepada qadhi daerah suami berada, agar menetapkan bahwa istrinya telah kembali dan taat, setelah suami mengetahui dan kembali pulang atau mengutus orang untuk menerima istri atas nama suami tersebut atau tidak melakukan hal itu lantaran uzur, maka kembalilah hak nafakah istri.

 

Kesesuaian pendapat Syafi’i dalam kaul Kadim, bahwa hak nafkah kembali lagi sejak istri kembali taat, sebab menurut kaul Kadim yang menetapkan hak nafkah, adalah akad nikah, bukan tamkin, dan seperti ini Imam Malik berpendapat.

 

Para fukaha menerangkan nusyus istri dalam bentuk murtad, adalah secara mutlak menjadi hilang dengan kembalinya pada agama Islam, karena hilang perkara yang menggugurkan hak nafkah.

 

Al-Adzra’i mengambil pengertian dari penjelasan di atas, bahwa bila istri nusyus dengan tetap berada di dalam rumah dan tidak keluar darinya, misalnya ia menolak: menyerahkan dirinya kepada suami, lalu suami pergi meninggalkannya, kemudian istri kembali taat kepada Suaminya, maka kembalilah hak nafkah tanpa perantara seorang qadhi. Memang begitulah yang benar menurut Al-Ashah.

 

Bila seorang istri yang suaminya tidak ada di tempat memohon qadhi agar menentukan keputusan mengenai haknya atas suami, maka disyaratkan ada ketetapan nikah, istri bersumpah bahwa dirinya berhak menerima nafkah dan belum menerimanya untuk jatah mendatang maka dalam keadaan seperti itu, qadhi bisa menentukan besar hak nafkah istri atas suami yang melarat, kecuali telah ditetapkan kaya suami.

 

Cabang: Fasakh Nikah

 

Fasakh nikah itu disyariatkan untuk menolak mudarat yang menimpa seorang istri.

 

Bagi istri yang mukalaf -balig dan berakal sehat-, bukan walinya, adalah boleh memfasakh nikah suaminya yang kesulitan harta dan pekerjaan, yang patut baginya dan halal, di mana ia tidak dapat semata menunggu kebaligan, setelah balig ia dapat memfasakh dirinya, sekalipun setelah dijimak, sebab persetubuhan tersebut dianggap tidak terjadi.

 

Adapun bila istri telah menerima sebagian mahar, maka istri tidak boleh melakukan fasakh, menurut yang difatwakan oleh Ibnush Shalah dan dipegangi oleh Al-Asnawi, Az-Zarkasyi dan Guru kita. Al Barizi sebagaimana Al-Jaujari berkata: Istri tetap boleh fasakh rukah, dan pendapat ini dipegang oleh Al-Adzra’i.

 

Peringatan:

 

Ketidakmampuan suami di atas (nafkah, pakaian, tempat tinggal dan mahar), ternyatakan dengan ketidakwujudan harta suami dalam jarak sejauh perjalanan yang diperbolehkan menggashar salat: karena itu, istri tidak diwajibkan bersabar, kecuali harta itu dalam jangka Imhal (penundaan suami melarat, yaitu 3 hari).

 

Atau bisa ternyatakan dengan ditundanya pembayaran oleh orang lain atas piutangnya, selama tempo cukup menghadirkan hartanya yang tidak hadir (gaib) dalam jarak perjalanan qashrushalah (mengqashar salat).

 

Atau dapat ternyatakan dengan tiba waktu pelunasan piutangnya, di mana orang yang utang kepadanya baru melarat -sekalipun pengutang itu istrinya sendiri-, sebab istri di kala kemelaratan suaminya, tidak dapat mendapat haknya dan orang yang melarat itu ditunda penagihannya terhadap dirinya.

 

Bisa ternyatakan dengan ketidakadaan orang yang mempekerjakan diri suami, bila ketidakadaan ini umum terjadi.

 

Atau dengan penghalang untuk bisa bekerja seperti biasanya.

 

Faedah:

 

Bila seorang istri mempunyai piutang yang telah sanfpai masa pembayarannya atas suami yang sedang bepergian (gaib), baik itu berupa mahar atau lainnya, dan di tangannya terdapat sebagian harta suaminya sebagai wadi’ah, maka – apakah bagi istri tersebut dapat mengambil pembayaran piutangnya dari harta itu dengan sendirinya tanpa melapor kepada qadhi, lalu ia memfasakh nikah lantaran kemelaratan suanu atau harus melapor?

 

Maka, sebagian Ashhabuna menjawabnya: Istri tersebut tidak boleh mengambilnya secara bebas (sendiri), tetapi ra harus melaporkan masalahnya kepada qadhi, sebagai hak pengawasan harta orang yang tidak berada di tempat adalah qadhi, tetapi bild Wanita itu yakin bahwa Suaminya hdak membennya izin, kecuali pada harta yang suami ambil dannya, maka istri tersebut boleh mengambil haknya secara beba.

 

Apabila harta titipan (wadi’ah) tersebut telah habis dan istri ingin memfasakh nikah sebab kemelaratan suaminya yang tidak berada di tempat, jika tidak ada seorang pun yang mengetahu mengena harta itu, maka istri harus mendakwakan (di depan qadhi), bahwa Suaminya melarat, ia tidak punya harta yang ada di tempat dan tidak meninggalkan nafkah, serta ia menetapkan kemelaratan suaminya (dengan ikrar atau bayinah) dan bersumpah bahwa suaminya tidak mempunyai harta di tempat dan ia meninggalkan nafkah dengan niat, bahwa suami tidak meninggalkan nafkah, adalah nafkah tidak ada sekarang, lalu ia memfasakh nikah dengan syarat-syarat fasakh.

 

Bila ada seorang yang mengetahui bahwa harta itu belum habis, maka bagi istri harus mengajukan bayinah yang mengatakan habis harta tersebut (di samping bayinah dakwaan kemelaratan suami dan seterusnya). Selesai.

 

Maka, menurut peridapat Al-Muktamad tidak diperbolehkan memfasakh nikah lantaran suami yang kaya atau cukupan enggan memberi nafkah, baik suami berada di rumah atau sedang tidak ada, bila tidak telah terputus beritanya.

 

Karena itu, bila kabar beritanya telah terputus dan ia tidak mempunyai harta yang ada di tempat, maka istri boleh memfasakh nikah, sebab keuzuran menunaikan hak istri, lantaran terputus kabar beritanya itu seperti saja keuzuran kemelaratan, sebagaimana yang dimantapkan oleh Syekh Zakariya dan diselisihi oleh muridnya, yaitu Guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami). Segolongan fukaha kebanyakan dan kalangan Muhaqqiqul Mutaakhirun memilih memperbolehkan fasakh bagi istri terhadap suami yang gaib serta uzur memperoleh nafkah darinya.

 

Pendapat tersebut di atas dikuatkan oleh Ibnush Shalah dan dia berkata dalam fatwanya: Bila terasa sulit mendapatkan nafkah lantaran harta yang berada di tempat serta tidak dapat mengambilnya dari suami & mana berada dengan menggunakan surat dari hakim atau lainnya, lantaran suami tidak diketahui, di mana tempatnya atau diketahui tetapi sulit penuntutannya, baik keadaan suami diketahui kaya-melaratnya atau tidak, maka melalui hakim, istri dapat memfasakh:, Fatwa yang memperbolehkan fasakh nikah adalah yang sahih. Selesai.

 

Guru kita di dalam Asy-Syarhul Kabir menukil pembicaraan Ibnush Shalah dan pada akhirnya beliau berkata Dengan apa yang dikatakan oleh Ibnush Shalah, segolongan fukaha Mutaakhirun dari Yaman berfatwa.

 

Al-Allamah Al-Muhaqqiq AthThanbadawi berkata dalam Fatawanya: Pendapat yang kita pilih dengan mengikuti Al-Aimmah Al-Muhaqqiq, adalah bila suami tidak mempunyai harta sebagaimana dalam uraian di atas, maka istri boleh memfasakh nikah, sekalipun zhahirnya mazhab bertentangan dengan itu, Karena firman Allah swt. “… dan Allah tidak menjadikan kamu kesempitan dalam beragama”. (Q.S. 22, Al-Hajj: 78), dan karena sabda Nabi saw.: “Aku diutus dengan membawa ajaran yang cenderung menuju kebenaran dan mudah”, karena bidang fasakh adalah berkisar ada mudarat, sedang tidak diragukan lagi, bahwa bila tidak mungkin bisa diperoleh nafkah dari suami -sekalipun kaya-, maka dharar pasti menimpa seorang istruii, sebab rahasia fasakh adalah mudarat sang istri dan hal iru telah terjadi padanya, apalagi dengan ada kemelaratan suami, Karena itu, keuzuran istri mendapat nafkah dari suami sama hukumnya ada kemelaratannya. Selesai.

 

Murid beliau -yaitu Guru kita, Khatimul Muhaqqiqin, Ibnu Ziyadzberkata dalam Fatawa-nya: Kesimpulan (garis besarnya), menurut mazhab yang diberlakukan oleh Ar-Rafi’i dan An-Nawawi, adalah tidak boleh fasakh, sebagaimana keterangan yang telah lewat: Pendapat Al-Mukhtar adalah: Boleh fasakh nikah, dan Ibnu Ziyadz dalam fatwanya yang lain memantapi kebolehan fasakh,

 

Fasakh lantaran suami tidak mampu memberi nafkah dan lainnya atau mahar, tidak sah dilakukan sebelum ditetapkan hal itu dengan ikrar suami atau bayinah yang menuturkan kemelaratan suami sekarang: juga tidak cukup bayinah hanya menuturkan, bahwa suami pergi dalam keadaan tidak mampu (melarat).

 

Dalam persaksiannya, bayinah diperbolehkan berpedoman dengan keadaan suami yang tidak berada di tempat itu, masih tetap seperti keadaan semula, waktu baru pergi, baik kemelaratan ataupun kekayaannya serta bayinah tidak perlu ditanya: “Dari mana kamu mengetahui kalau suami sekarang dalam keadaan melarat?”: Karena itu, bila bayinah menjelaskan kesaksiannya dengan menyebut dasar alasannya, maka persaksiannya menjadi batal.

 

(Ketetapan kemelaratan suami seperti di atas) adalah di depan qadhi atau muhakkam Karena itu, masalah iru harus dilaporkan dulu padanya: yang karenanya, bila fasakh dilakukan sebelum dilaporkan, hukumnya secara lahir maupun batin adalah tidak sah. Idah wanita yang memfasakh nikahnya, terhitung sejak fasakh (bukan melapor).

 

Guru kita berkata: Bila di tempat Istri tersebut dak terdapat qadhi atau muhakkam, atau istri tidak dapat melapor lantaran qadhi musalnya berkata. “Aku tdak mau memfasakh nikah sehingga engkau memberiku harta”, maka istri dapat memfasakh sendiri karena darurat, dan fasakhnya sah menurut lahir dan batin, sebagaimana yang jelas bagi kita.

 

Lain halnya menurut pendapat yang mengatakan bahwa fasakh sah menurut hukum lahir. Fasakh menjadi sah lahir dan batin, karena fasakh di sini dilakukan atas dasar (asal) yang sahih, yang akhirnya menetapkan ada sah menurut batin. Kemudian kudapatkan tidak hanya seorang fukaha yang memantapi seperti itu. Selesai

 

Tersebut di dalam fatwa Guru kita, Ibnu Ziyad: Bila istri tidak mampu mengajukan bayinah mengenai kemelaratan suami, maka baginya boleh memfasakh nikah dengan sendirinya (tanpa melalui qadhi). Selesai.

 

Syekh Athiyah Al-Maki di dalam fatwanya berkata: Bila ada uzur pada qadhu atau tidak bisa ditetapkan kemelaratan suami di depannya lantaran sepi para saksi atau mereka sedang tidak ada, maka bagi istri dapat memberikan persaksian: tentang keberadaan fasakh nikah dan melaksanakan fasakh terhadap dirinya sendiri, sebagaimana perkataan para fukaha tentang Murtahin: Bila Rahin tidak berada di tempat dan terasa uzur menetapkan ada rahan di depan qadhi, maka bagi Murtahin boleh menjual barang gadai (marhun) tanpa melalui persetujuan qadhi: bahkan dalam masalah fasakh Ini lebih penting dan lebih banyak terjadi. Selesai.

 

Karena itu, bila syarat-syarat fasakh telah terpenuhi, yaitu: (1) Istri selalu tinggal dalam rumah ketika ditinggalkan oleh suaminya, (2) Istri tidak melakukan nusyus: (3) Istri telah bersumpah mengenai dua hal di atas, (4) Istri bersumpah bahwa suaminya tidak mempunyai harta di tempat dan tidak meninggalkan nafkah untuk dirinya, dan (5) istri menetapkan kemelaratan suami membayar semacam nafkah -menurut Al-Muktamad-, atau uzur baginya menghasilkan nafkah -menurut Al-Mukhtar-, maka qadhi atau muhakkam wajib menunda fasakh selama tiga hari.

 

Sekalipun suami tidak meminta penundaan dan tidak mengharapkan bisa menghasilkan sesuatu pada masa yang akan datang, sebab sudah nyatalah kemelaratan suami mengenai fasakh yang berhubungan dengan selain mahar, sebab fasakh rukah lantaran tidak mampu membayar mahar harus seketika (tidak memakai penundaan).

 

Guru kita berfatwa: Untuk fasakh nikah suami yang tiada di tempat, tidak perlu memakai penundaan. Kemudian, setelah masa tiga haritiga malam, maka qadhi/muhakkam pada pertengahan hari keempat memfasakh rukah. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthni mengenai suami yang tidak mendapat nafkah untuk istrinya, adalah diceraikan.

 

Dengan hadis itu pula Umar r.a. dan Abu Hurairah r.a. memutuskan suatu hukum Imam Syafi’i berkata: Aku tidak mengerti tentang seorang dari kalangan sahabat yang menyelisihi mereka.

 

Bila istri memfasakh nikah melalui hakim atas suaminya yang tidak berada di tempat, lalu suaminya pulang dan mendakwa bahwa dirinya mempunyai harta di daerah setempat, maka fasakh tidak batal menurut fatwa Al-Ghazali: kecuali bila tertetapkan bahwa istri mengetahu harta itu dan dengan mudah ia dapat mengambil nafkah darinya.

 

Lain halnya bila hartanya itu berupa pekarangan dan barang dagangan yang sukar menjualnya, maka harta tersebut hukumnya seperti tidak ada.

 

Atau setelah masa 3 hari denganian qadhi istri dapat memfasakh sendiri dengan ucapan “nikah kufasakh”.

 

Bila suami menyerahkan nafkah pada hari ke-4, maka ia tidak dapat memfasakh nikah, sebab nafkah untuk hari-hari yang telah berlalu statusnya menjadi utang suami.

 

Bila setelah menyerahkan nafkah hari ke-4 suami melarat lagi untuk nafkah hari ke-5, maka istri tetap memegangi masa Imhal yang telah berjalan dan tidak perlu memulai: Imhalnya lagi (berarti ketika itu sudah dapat memfasakh).

 

Zhahir ucapan fukaha bahwa bila suami tidak mampu lagi membayar nafkah hari ke-6, maka ia harus memulai lagi masa Imhalnya, Pendapat ini Muhtamal (mengandung alternatif): bisa jadi, bila antara masa melarat yang pertama dengan melarat kedua ditengah-tengahi masa tiga hari, maka masa Imhal harus diulangi dari permulaan, tetapi bila kurang dari itu, maka tidak wajib memulainya lagi, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita. Bila ada laki-laki lain yang dengan sukarela memberikan nafkah, maka istri tidak wajib menerimanya, tetapi ia tetap boleh memfasakh.

 

Cabang:

Selama masa Imhal dan masa kerelaan tentang kemelaratan suami, istri boleh keluar di siang hari dengan memaksa suami agar memberi nafkah atau keluar untuk bekerja, sekalipun ta sendiri masih mempunyai harta dan Sekalipun ia dapat bekerja di rumah.

 

Bagi suami yang melarat tersebuy tidak berhak mencegahnya, sebah penahanannya terhadap istri hanya sebagai imbalan pemberian nafkah kepada istri.

 

Istri wajib pulang ke rumahnya, sewaktu malam telah tiba, sebab itu adalah waktu, istirahat, bukan bekerja.

 

Istri berhak menolak suami melakukan tamattu’ kepadanya di siang hari begitu juga malam harinya, tetapi hak nafkahnya gugur dari tanggungan suami, selama menolak tamattu’ di malam hari.

 

Guru kita berkata: Kiasnya. istri tidak mempunyai hak nafkah pada waktu keluar rumah untuk bekerja.

 

Beberapa Cabang:

 

Tidak ada hak fasakh bagi sayid, pemilik amat, dalam kaitarr suaminya tidak mampu membayar selain mahar, dan ia juga tidak berhak melarang amatnya melakukan fasakh(lantaran suaminya tidak mampu membayar) selain mahar. Juga tidak berhak mencegah amat memfasakh nikah, sebab suaminya melarat atas pembayaran selain mahar di kala amatnya telah rela atas kemelaratan suaminya atau amat itu tidak dibebani mencari nafkah, sebab hak nafkah pada dasarnya adalah milik amat itu sendiri.

 

Tetapi sayid tersebut berhak melindungi amat ke pangkuannya dengan cara tidak memberi nafkah dan berkata: “Fasakhlah nikahmu atau kamu ptlih lapar”, sebab hal ini untuk menghindari mudarat pada diri sayid tersebut.

 

Bila sayid mengawinkan amatnya dengan budaknya sendiri dan suami tersebut masih bekerja pada sayidnya, maka tidak ada hak fasakh untuk amat dan untuk sayid itu, sebab biaya hidupnya menjadi tanggungan pemilik (sayid).

 

Bila tuan pemilik budak wanita Mustauladah melarat atas nafkah budak tersebut, maka Abu Zaid berkata: Pemilik harus dipaksa memerdekakan budak tersebut atau mengawinkannya.

 

Faedah:

 

Bila suami mengalami kemusnahan (tidak diketahui keberadaannya) sebelum istri tamkin, maka sang istri tidak boleh memfasakh sang istri tidak boleh memfasakh nikah, menurut lahir pembicaraan fukaha.

 

Menurut mazhab Malik: Tidak ada perbedaan antara istri yang telah tamkin dengan yang belum, bila nafkah tidak didapatkan dan telah diterapkan masa untuk meminta dan meneliti, yang menurut Malik selama satu bulan, kemudian diperbolehkan memfasakh nikah.

 

Penyempurna: Belanja Keluarga

 

Orang laki-laki/perempuan yang kaya -walaupun dari hasil kerja yang ia kerjakan-, yang telah melebihi biaya hidup makan dirinya dan orang yang ia tanggung selama seharisemalam -sekalipun belum melebihi dari tanggungan utangnya- adalah wajib mencukupi nafkah beserta lauk-pauknya, pakaian dan obatobatan buat orangtua ke atas -baik laki-laki ataupun perempuan- dan anak turunnya ke bawah -baik lakilaki ataupun perempuan-, jika mereka tidak mempunyai kecukupan di atas, sekalipun agamanya berlainan.

 

Tidak wajib, jika salah satu dari orang di atas (Ashal dan Far’u) adalah kafir Harbi atau Murtad.

 

Guru kita dalam Syarhul Irsyad berkata: Juga tidak wajib, jika ia berzina mukhshan atau meninggal. kan salat, lain halnya dengan pendapat beliau di dalam Syarhul Minhaj, juga tidak wajib, jika anak turun sudah mencapai usia balig dan ta tidak mau bekerja yang patut baginya.

 

Kewajiban tersebut berpengaruh dengan adanya kemampuan ibu atau anak perempuan. untuk menikah, tetapi hak nafkahnya menyadi gugur sejak akad nikah. Dalam hal ini masih ada penelitian, sebab nafkahnya menjadi tanggungan suami dengan keberadaan tamkin, sebagaimana uraian yang telah lewat, sekalipun suaminya melarat, selama istri tidak melakukan fasakh nikah.

 

Nafkah yang wajib karena kerabat (Ashal/Far’u), bila terlewatkan (dan belum diberikan), maka tidak bisa menjadi tanggungan utang orang yang wajib menanggungnya, kecuali bila qadhi mengutanginya lantaran penanggung nafkah tidak ada di tempat atau enggan memberikan.

 

Juga tidak menjadi utang, lantaran kerabat berutang nafkah dengan Seizin qadhi.

 

Bila suami/kerabat penanggung nafkah menolak memberi nafkah, maka pemilik nafkah dapat mengambilnya tanpa minta izin kepada qadhi terlebih dahulu.

 

Cabang:

 

Orang yang masih mempunyai ayah dan ibu,” maka nafkahnya menjadi tanggungan ayah. Dikatakan: Bagi yang telah balig, nafkahnya menjadi tanggungan keduanya.

 

Barangsiapa masih mempunyai orangtua (Ashal) dan anak turun (Far’u) maka nafkahnya menjadi tanggungan anak turunnya, sekalipunkebawah.

 

Barangsiapa mempunyai beberapa orangtua dan anak turun yang butuh ditanggung, sedang ia sendiri tidak mampu mencukupinya, maka ia mendahulukan dirinya sendiri, lalu istrinya -sekalipun banyak-, lalu kerabat yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.

 

Tetapi, bila ia mempunyai ayah. ibu dan anak. maka yang ta dahulukan adalah nafkah anak yang kecil, lalu Ibu, terus ayah, kemudian anak yang besar.

 

Ibu wajib menyusui anaknya dengan air susu Laba’, yaitu air susu yang keluar pertama kali melahurkan dan waktunya hanya sebentar Ada yang mengatakan, bahwa masa keluar air susu Laba’ adalah kira-kira tiaga hari, dan ada yang mengatakan 7 hari.

 

Kemudian setelah itu, bila tidak dijumpai wanita selain ibu itu atau Wanita lain, maka wajib menyusukan kepada wanita yang ada dan ia berhak menerima upah dari orang yang menanggung nafkah (biaya) hidup bayi.

 

Bila kedua-duanya ada, maka ibutidak bolett dipaksa, baik ia sudah tidak bersuami atau bersuamikan ayah si bayi: jika ibu merasa senang menyusuinya, maka ayah tidak boleh melarangnya, kecuali bila ia menuntut upah menyusui di atas upah umum.

 

Bagi ayah wajib menanggung upah umum buat ibu untuk penyusuan anaknya, sekira tidak ada orang yang mau bersukarela untuk memberikan biaya penyusuannya, dan sebagaimana orang yang bersukarela membiayai (mengupah) ibu dengan upah di bawah standar umum.

PASAL TENTANG HADANAH

Hadhanah yaitu: Mendidik anak yang belum dapat mengatur dirinya sampai mumayiz. Orang yang lebih berhak mendidiknya, adalah ibunya yang tidak bersuamikan dengan lakilaki lain, lalu nenek dari garis ibu sampai ke atas, kemudian ayah si anak, ibu-ibu ayah, saudara perempuan si anak, adik/kakak perempuan ibu si anak, terus anak perempuan saudara perempuan si anak, lalu anak perempuan saudara laki-laki si anak, kemudian adik/kakak perempuan ayah si anak.

 

Anak mumayiz jika ditinggal cerai oleh kedua orangtuanya, maka hadhanah berada di tangan salah seorang ayah atau ibu yang dipilihnya.

 

Laki-laki yang dipilih mengasih, berhak melarang anak perempuan asuhannya -bukan anak lakr-lakanyamengunjungi ibu si anak. Ibu (Wanita) tidak dilarang mengunjungi anak laki-laki/perempuan yang berada dalam asuhan orangtua laki-lakinya(ayah si anak) menurut adat.

 

Ibu lebih utama merawat anak lakilaki/perempuan yang sakit di dalam asuhan ayahnya, bila ayah si anak merelakan hal itu, tetapi jika tidak, maka dirawat di rumahnya sendiri.

 

Bila anak mumayiz laki-laki memilih diasuh oleh ibunya, maka di malam hari ia tinggal di rumah ibunya dan di siang han di rumah ayahnya Atau bila anak mumayiz perempuan memilih diasuh ibunya, maka ia baru di sisinya siang dan malam, dan ayah dapat mengunjunginya menurut adat kebiasaan. Ayah tidak bisa minta anak perempuannya didatangkan ke rumahnya.

 

Apabila anak mumayiz tidak memilih satu dan keduanya, maka yang lebih utama mengasuh adalah ibu.

 

Salah satu dari keduanya tidak boleh menyapih anak susuannya, sebelum umur 2 tahun tanpa seizin yang lain. Ayah dan ibu dengan kesepakatan bersama, boleh menyapih anak susuannya sebelum berusia 2 tahun, bila tidak membuat mudarat si anak.

 

Salah satu dari keduanya berhak menyapihnya, setelah anak berusia 2 tahun.

 

Keduanya boleh menambah susuarnya melebihi 2 tahun, bila tidak membawa mudarat pada si anak, tetapi Al-Hanathi mengeluarkan fatwa, bahwa sunah tidak menambahinya, kecuali ada hajat.

 

Tuan pemilik wajib mencukupi nafkah hidup budaknya -selain yang Mukatab-, sekalipun budaknya itu buta, lumpuh, kaya atau banyak makannya, baik itu makanan dan pakaiannya dengan jenis yang biasa diberikan kepada semisal budak-budak di daerah setempat.

 

Belum cukup dengan pakaian penutup aurat saja, sekalipun derigan itu si budak tidak sakit hati. Tetapi, bila itu adat yang berlaku di daerahnya, walaupun di daeah Arab -menurut Al-Aujah-, maka telah mencukupinya, karena dengan demikian tidak ada unsur penghinaan.

 

Tuan pemilik wajib menanggung biaya obat dan dokter, jika itu dibutuhkan oleh budaknya.

 

Hasil kerja budak adalah menjadi milik tuannya, maka ia bisa melakukan hal itu.

 

Tanggungan biaya hidup sebab terlewat masanya (tidak menjadi utang bagi tuannya), sebagaimana dengan nafkah yang ada pada kerabat.

 

Sunah memben budaknya sesuatu yang menjadikan rikmatnya, baik itu berupa makanan, lauk-pauk dan sandangan: Yang lebih utama adalah duduk bersama waktu makan.

 

Tidak boleh memberatkan pekerjaan -sebagaimana binatangkepada buidaknya yang tidak kuat memikul beban itu, sekalipun hatinya rela, sebab budak itu haram membuat dirinya mudarat.

 

Bila tuannya masih membangkang dan tetap membebani budaknya,

 

maka hakim harus memaksanya agar menjualnya, jika memang penjualan tersebut satu-satunya jalan untuk menyelesaikannya, tetapi jika masih ada jalan yang lain, maka hakim harus memaksa pemilik agar menyewakan budaknya.

 

Adapun pada waktu-waktu tertentu, maka bagi pemiliknya boleh membebari pekerjaan yang berat Pemilik baru mengikuti adat yang berlaku mengenai istirahat budak dalam waktu Qailulah dan tamattu’.

 

Tuan pemilik berhak mencegah budaknya melakukan puasa dan salat sunah.

 

Pemilik binatang muhtaramah (dimuliakan dalam syarak) -sekalipun anjing-, wajib menanggung makanan dan minumannya, jika tidak biasa digembalakan dan telah mencukupinya, tetapi jika sudah biasa digembalakan dan mencukupinya, maka cukup dilepaskan untuk makan dan minum sekira tiada penghalang.

 

Bila penggembalaan belum mencukupinya, maka harus menambah kekurangannya.

 

Bila pemilik tidak mau memberinya makan atau melepaskan, maka ia harus dipaksa menghilangkan hak miliknya atau menyembelih binatang yang halah dimakan, kalau masih membangkang, maka hakim turun tangan melakukan yang lebih baik.

 

Masalah budak pun seperti binatang di atas (cuma tidak boleh disembelih).

 

Binatang yang tidak muhtaramah, tidak wajib diberi makan: Yaitu lima binatang perusak (anjing galak, tikus, ular, burung hid’ah dan gagak).

 

Pemilik binatang boleh memerah susu binatang tersebut, sejauh tidak membawa mudarat pada binatang itu atau anaknya, dan memerah yang sampai membuat mudarat pada binatang atau anaknya, sekalipun adanya itu sebab kurang makan.

 

Yang zhahir, pembatasan mudarat adalah dengan sesuatu yang dapat menghalangi pertumbuhan induk dan anak binatang-binatang semisalnya, sedangkan batas mudarat pada anak binatang itu adnlah dengan sesuatu yang dapnt menjaga dari kamatiane iwa untuk bntas mudarat yang kedua uu, Ar-Rafi’ tawaqquf (cocok), Karena itu, yang wajib adalah membiarkan anak binatang secukupyang menguatkan, sehingga tidak mati.

 

Sunah bagi pemerah susu tidak keterlaluan dalam pemerahannya, tetapi hendaknya ia masih meninggalkan susu di dalam tempat susu binatang tersebut.

 

Sunah pula pemerah memotong kuku kedua tangannya.

 

Bila anak binatang mati, maka boleh memerah induknya dengan bagaimana yang bisa dilakukan (sekalipun tidak menyisakan susu di dalamnya).

 

Haram mengadu sesama binatang.

 

Tidak wajib menyemarakkan (memperindah rumah atau selokan seseorang, tetapi makruh membiarkannya sampai rusak/roboh tanpa ada uzur, sebagaimana makruh pula tidak mengairi tanaman sawah atau pepohonan, tidak makruh meninggalkan menanami tanahnya dengan tanaman sawah atau pepohonan.

 

Tidak makruh memperindah (menyemarakkan) rumah karena ada hajat, sekalipun sampai menjulang tinggi. Hadis-hadis yang menunjukkan larangan membangun melebihi 7 dzira’, hubungannya adalah dengan orang yang membangun untuk kesombongan dan keangkuhan & antara manusia. Allah swt. Maha Mengetahui.

LihatTutupKomentar