Rukun Shalat ada 19

Rukun Shalat ada 19 yaitu perkara yang harus dilakukan saat sedang shalat. berupa perbuatan maupun ucapan seperti baca al-fatihah, tahiyat, dll

Rukun Shalat  ada 19


Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Sullamul Munajat, Sulam Munajah, Sulam al-Munajat
Judul terjemah: Tangga Berkeluh Kesah, Panduan Shalat Lengkap
Judul asal dalam teks Arab:  [سلم المناجاة شرح سفينة الصلاة]
Syarah dari  kitab: Safinah as-Sholah karya Syeh Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya al-Khadromi.
Penulis/pengarang: Syekh Nawawi al-Banteni,
Nama yang dikenal di Arab:  [محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي]
Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Nama lengkap: Muhammad bin Umar bin Arabi ibn Ali Nawawi al-Jawi, Abu Abd al-Mu'ti
Bidang studi: fikih, hukum Islam
Penerjemah: Kang Muhammad Ihsan bin Nuruddin Zuhri

Rukun salat adalah perkara yang harus dilakukan saat sedang shalat. Baik berupa perbuatan maupun ucapan.

Daftar Isi

  1. Bagian Keempat: Rukun-rukun Shalat
    1. Niat
    2. Takbiratul Ihram
    3. Membaca al-Fatihah
    4. Berdiri
    5. Rukuk
    6. Tumakninah dalam Rukuk
    7. I’tidal
    8. Tumakninah
    9. Sujud Pertama
    10. Tumakninah dalam Sujud Pertama
    11. Duduk antara Dua Sujud
    12. Tumakninah dalam Duduk antara Dua Sujud
    13. Sujud Kedua
    14. Tumakninah dalam Sujud Kedua
    15. Duduk Terakhir
    16. Membaca Tasyahud (Tahiyat)
    17. Membaca Sholawat
    18. Mengucapkan Salam
    19. Tertib
  2. Hikmah Jumlah Rakaat Sholat, Syarat Sholat Diterima, dan Rukun Sholat dari Segi Tempatnya
  3. Kembali ke kitab: Terjemah Sullam al-Munajah

 BAGIAN KEEMPAT RUKUN-RUKUN SHOLAT
 
Rukun-rukun sholat ada 19, yaitu    dengan    menjadikan tumakninah sebagai satu rukun tersendiri dan dua sujud sebagai dua rukun.
 
1.    Niat
Rukun sholat yang pertama adalah berniat dengan hati. Adapun mengucapkan niat dengan lisan sebelum membaca takbiratul ihram maka hukumnya adalah sunah karena bertujuan agar lisan dapat membantu hati dan karena bertujuan keluar dari perbedaan ulama yang  mewajibkan mengucapkannya. Kemudian Musholli menghadirkan perbuatan melakukan sholat di dalam hatinya. Penghadiran di dalam hati tersebut diibaratkan dengan pernyataan, “Usholli atau saya sholat,” atau “Uaddi atau saya melaksanakan”. Maksudnya, musholli menyengaja menjatuhkan perbuatan sholat. Oleh karena itu tidak cukup menghadirkan sholat di dalam hati disertai lalai dari menyengaja menjatuhkan perbuatan sholat.

Musholli menghadirkan kefardhuan sholat di dalam hati. Hal ini diibaratkan dengan pernyataan, “fardhu,” apabila sholatnya yang hendak ia lakukan adalah fardhu, meskipun fardhu kifayah, sholat mu’adah yang karena melihat pada asalnya, atau sholat yang dinadzari. Dalam sholat yang dinadzari, cukup berniat nadzar dalam hati.
 
Musholli menghadirkan pengkhususan  sholat  (takyin)  di dalam hatinya, maksudnya mengkhususkan sholat dengan nama sholatnya, apakah sholat yang ia akan lakukan adalah sholat yang memiliki waktu tertentu atau sebab tertentu.  Dengan  demikian,  tidak cukup hanya dengan berniat, “melakukan sholat pada waktu ini,” karena niatan ini masih mencakup sholat yang faitah atau terlewatkan. Pengkhususan sholat diibaratkan dengan pernyataan, “Dzuhur,” atau “Ashar,” atau “Maghrib,” atau “Isyak,” atau “Subuh,” serta dengan pernyataan,    “Qobliah,” atau “Ba’diah,” atau “Idul Fitri,” atau “Idul Adha,” atau “Kusuf as-Syamsi,” atau “Kusuf al-Qomar.” Tidak cukup hanya dengan berniat, “Sunah Dzuhur” saja karena sholat sunah Dzuhur memiliki jenis Qobliah atau Ba’diah. Berbeda dengan berniat, “Sunah Subuh,” dan “Sunah Ashar,” maka niatnya sah karena sunah Subuh dan Ashar hanya memiliki jenis Ba’diah, bukan Qobliah. Begitu juga tidak cukup hanya dengan berniat, “Sunah Id,” saja karena sholat sunah Id mencakup Idul Fitri dan Idul Adha, dan tidak cukup hanya dengan berniat, “Sunah Kusuf,” atau “Sunah Khusuf,” karena tidak ada pengkhususan dan juga karena masing-masing Kusuf dan Khusuf terkadang digunakan untuk gerhana matahari dan bulan secara saling terbalik

Ketika    musholli    telah menghadirkan ketiga hal ini, yaitu menyengaja    sholat,    kefardhuan, takyin, di dalam hatinya, maka iamembaca takbir, “أﻛﺑر ﷲ ”, disertai tidak melalaikan tiga hal tersebut. Musholli menambahkan menghadirkan    di  dalam    hati pernyataan, “Makmum,” atau, “yang
menjadi makmum,”  atau, “mengikuti,”  atau, “menjadi makmum,” atau “Jamaah,” apabila ia sholat  berjamaah  bersama  imam, karena  hubungan  mutaba’ah  atau mengikuti disebut sebagai suatu perbuatan,    oleh    karena    itu membutuhkan niat. Tidak apa-apa berniat, “Jamaah,” bagi imam dan juga makmum, karena jamaah dari masing-masing mereka tidaklah sama sehingga niat jamaah tersebut akan disesuaikan dengan masing- masing keadaan.

Dalam sholat sunah mutlak, yaitu sholat yang tidak dibatasi atau qoyidi dengan waktu tertentu, sebab tertentu, cukup hanya berniat menyengaja    sholat    atau menjatuhkan perbuatan sholat karena sholat sunah mutlak merupakan tingkatan sholat yang paling rendah. Ketika musholli telah menyengaja melakukan sholat maka ditetapkan keberhasilan terjadinya sholat.

2.    Takbiratul Ihram
Rukun sholat yang kedua adalah membaca takbiratul ihram, yaitu ‘أﻛﺑر ﷲ ’. Barang siapa tidak bisa mengucapkan takbiratul ihram dengan Bahasa Arab dan tidak memungkinkan baginya untuk belajar pada saat itu, maka ia wajib menerjemahkannya dengan bahasa apapun yang ia inginkan. Adapun menggunakan terjemahan dengan Bahasa  Faris  adalah  lebih  utama meskipun bahasa tersebut bukanlah bahasa ibu musholli. Ia tidak diperbolehkan beralih ke dzikir lain. Ia diwajibkan belajar apabila mampu, meskipun harus melalui perjalanan jauh dalam belajarnya. 

Diwajibkan menyertakan niat sholat seiring bacaan takbiratul ihram, bukan menyertakan bagian-bagian niatnya secara terpisah dengan bagian-bagian takbiratul ihram, tetapi harus menghadirkan di dalam hati semua yang telah disyaratkan dalam niat, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dan lainnya, seperti niatan qosor bagi orang yang hendak mengqosor sholat, bersamaan dengan permulaan takbir, kemudian melanggengkan semuanya dalam niatan sampai pada huruf roo dalam takbir. Dengan demikian, diwajibkan menyertakan niat qosor dengan seluruh bagian- bagian takbir, seperti niatatan kefardhuan dan lainnya, seperti yang difaedahkan oleh Syeh al-Mudabaghi. Syeh Nawawi memilih pendapat yang dipilih oleh Syeh al-Ghozali, bahwa cukup dalam menyertakan niat dan takbiratul ihram dengan penyertaan urf atau muqoronah urfiah bagi orang awam. Oleh karena itu, lebih dulunya permulaan    takbir    daripada menghadirkan keseluruhan niat dirasa sudah cukup, dan diperkenankan memilih antara menyertakan niat dengan huruf hamzah dari takbir dan membentangkan niat pada seluruh takbir, demikian ini difaedahkan oleh Umar al-Bashri.

3.    Membaca al-Fatihah
Rukun    sholat    yang    ketiga adalah membaca al-Fatihah pada saat berdiri atau pengganti berdiri19 di setiap rakaat, dan membacanya di setiap berdiri yang dilakukan sebanyak 4 (empat) kali dalam sholat gerhana. Adapun di dalam rakaat makmum masbuq maka tidak wajib membaca al-Fatihah karena al- Fatihahnya telah ditanggung oleh imamnya, meskipun al-Fatihah diwajibkan bagi makmum masbuq tersebut.

Apabila musholli tidak mampu membaca al-Fatihah maka yang wajib ia baca adalah tujuh ayat al- Quran, meskipun terpisah-pisah dan tidak memberikan arti yang urut. Apabila ia tidak mampu membaca tujuh ayat maka ia membaca dzikir yang bermacam-macam sampai tujuh macam. Apabila ia tidak mampu membaca dzikir maka ia membaca terjemahan al-Fatihah. Apabila ia tidak mampu membaca terjemahannya maka ia berdiri dengan lama waktu membaca al- Fatihah menurut sangkaannya dari segi bahwa ukuran lama melafadzkan huruf-hurufnya dinisbatkan pada lamanya membaca al-Fatiha dari orang-orang umumnya.

4.    Berdiri
Rukun sholat yang keempat adalah berdiri bagi musholli yang mampu berdiri meskipun berdiriny tersebut harus dengan alat bantu atau orang lain yang membantunya, meskipun harus menyewa, dalam sholat  fardhu,  meskipun  fardhu karena dinadzarkan, sholatnya anak kecil, dan sholat mu’aadah.

19 Pengganti berdiri adalah duduk, tidur miring, tidur berbaring bagi musholli yang tidak bisa berdiri saat sholat.

5.    Rukuk
 
Rukun sholat yang kelima adalah rukuk dengan cara musholli yang    mampu    berdiri membungkukkan punggungnya dengan bungkuk yang murni, bukan karena kaget atau yang lainnya. Musholli wajib melakukan rukuk meskipun selama rukuk harus dengan bantuan orang lain karena rukuk hanya dilakukan dalam waktu yang sebentar. Cara musholli melakukan rukuk adalah bahwa ia mendoyongkan separuh tubuhnya dengan syarat tidak keluar dari menghadap Kiblat. Kewajiban rukuk adalah meskipun dilakukan dengan alat bantu, seperti tongkat. Rukuk dilakukan tanpa mengendorkan kedua lutut sampai kedua telapak tangan musholli yang memiliki bentuk penciptaan tubuh yang ideal meraih kedua lututnya secara yakin apabila ia ingin meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya. Hukum meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut saat rukuk adalah sunah.
Mengecualikan    dengan pernyataan ‘bagi musholli yang mampu berdiri’ adalah musholli yang sholat dengan duduk. Maka hal yang wajib ia lakukan dalam rukuk adalah membungkukkan tubuh sampai dahinya sejajar dengan bagian depan kedua lututnya. Mengecualikan dengan pernyataan ‘ dengan bungkuk yang murni’ adalah masalah apabila musholli menurunkan tubuhnya dengan posisi tegak, kemudian ia mendekatkan kedua lututnya dengan kedua telapak tangannya, maka demikian ini tidak disebut dengan rukuk karena terletaknya kedua telapak tangan di atas kedua lutut tidak dengan membungkukkan tubuh. Mengecualikan dengan pernyataan, ‘yang memiliki bentuk penciptaan tubuh yang ideal,’ adalah apabila dua tangan musholli panjang atau pendek atau ada bagian yang terpotong dari keduanya maka tidak perlu mempertimbangkan syarat menyentuhnya kedua telapak tangan pada kedua lutut.

6.    Tumakninah dalam Rukuk
Rukun sholat yang keenam adalah tumakninah di dalam rukuk. Pengertian tumakninah adalah terpisahnya gerakan bungkuk musholli dari gerakan naiknya musholli dari rukuk dengan keadaan seluruh anggota tubuhnya tenang tidak    bergerak        sebelum mengangkatnya.        Apabila        ia menambahi        gerakan        turun membungkuk melebihi batas rukuk, kemudian ia bangun dengan gerakan yang bersambung dengan gerakan tambahan tersebut maka belum cukup disebut tumakninah.
 
7.    I’tidal
Rukun sholat yang ketujuh adalah i’tidal meskipun dalam sholat sunah.    I’tidal    adalah    sekiranya
musholli    menegakkan    tubuhnya dalam keadaan berdiri atau duduk, seperti keadaan tubuhnya sebelum melakukan rukuk, karena sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Ketika kamu telah mengangkat kepalamu dari rukuk, maka tegakkanlah punggungmu hingga tulang kembali lagi ke pangkalnya.”
 
8.    Tumakninah
Rukun sholat yang kedelapan adalah  tumakninah  dalam  i’tidal, seperti yang dilakukan dalam rukuk, karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama juga melakukan tumakninah dalam i’tidal dan berkata, “Sholatlah kalian [dengan cara sholatan] seperti kalian melihatku sedang sholat.” Apabila seseorang telah bersujud, kemudian ia ragu apakah ia sudah menyempurnakan i’tidalnya atau belum maka ia wajib kembali segera melakukan i’tidal dan tumakninah, kemudian ia bersujud.

9.    Sujud Pertama
Rukun sholat yang kesembilan adalah melakukan sujud yang pertama dengan cara meletakkan dahinya yang terbuka di atas tempat sujudnya, meskipun berupa lantai kayu, sambil menekankan sedikit dahinya. Kewajiban melakukan sujud adalah    meskipun    harus membutuhkan alat bantu, dan meskipun dahi yang diletakkan hanya bagian yang masih disebut dengan ‘dahi’, baik bagian atas atau bawah. Pengertian menekankan sedikit dahinya adalah sekiranya apabila musholli bersujud di atas kapas, atau rumput, atau tempat yang  empuk,  maka  akan  terlihat cekung (Jawa: dekok) dan terlihat bekasnya. Menurut Syeh Romli, sujud yang dilakukan adalah di atas tempat yang    tidak    bergerak    sesuai kemampuannya        yang        potensi bergeraknya    tempat    tersebut disebabkan gerakan musholli saat berdiri    dan    duduk.    Sedangkan menurut Syeh Ibnu Hajar adalah bahwa  sujud  dilakukan  di  atastempat yang tidak bergerak secara nyata dimana potensi bergeraknya disebabkan oleh gerakan musholli saat berdiri dan duduk.

Syarat sujud berikutnya adalah bahwa musholli sambil mengangkat naik pantat dan bagian sekitarnya sekiranya posisinya dipastikan lebih tinggi daripada kedua pundak, kedua tangan, dan kepalanya, karena posisi ini adalah posisi menunduk yang diinginkan oleh syariat dari orang yang mampu.
Syarat sujud berikutnya yaitu bahwa musholli meletakkan sedikit bagian dari masing-masing kedua lututnya dan meletakkan bagian dalam dari masing-masing kedua telapak tangannya dan bagian dalam dari jari-jari kakinya, di atas tempat sholatnya. Tidak cukup bersujud dengan meletakkan lutut di atas bagian luar telapak tangan. Diwajibkan pula semua syarat dalam tata cara bersujud yang telah disebutkan mendapati satu waktu yang secara bersamaan dilakukan. Oleh karena itu, apabila musholli telah meletakkan anggota-anggota sujud (telapak tangan, jari-jari kaki, dan lutut), kemudian ia mengangkat mereka sebelum meletakkan dahi, kemudian baru setelah mereka terangkat, ia meletakkan dahi, maka sujudnya  belum  mencukupi.  Atau sebaliknya, yaitu musholli telah meletakkan dahinya, kemudian ia mengangkatnya, kemudian baru meletakkan anggota-anggota sujud lainnya, maka sujudnya tidak mencukupi. Alasan mengapa dalam dua kasus ini dinilai sujudnya belum mencukupi adalah karena anggota- anggota sujud mengikuti dahi. Apabila musholli mengangkat sebagian anggota-anggota sujudnya setelah selesai meletakkannya [atau istilah Jawa meletakkan secara nggandul],    kemudian    ia memperpanjang waktunya seukuran waktu satu rukun, maka sholatnya batal.

10.    Tumakninah    dalam    Sujud Pertama

Rukun sholat yang kesepuluh adalah tumakninah dalam sujud yang pertama, seperti yang dilakukan dalam rukuk, karena sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama kepada Sayyid Kholad, “Kemudian sujudlah! Kemudian tumakninahlah dalam kondisi kamu masih bersujud!”

11.    Duduk antara Dua Sujud

Rukun sholat yang kesebelas adalah  duduk  antara  dua  sujud dengan  sekiranya  tubuh  musholli
tegak  dalam  keadaan  ia  duduk, karena sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Tidaklah mencukupi sholat seorang laki-laki sampai ia menegakkan punggungnya dari rukuk dan sujud.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya. Apabila musholli tidak mampu  duduk,  ia  hanya  mampu
berdiri dan tidur miring, maka ia harus memilih berdiri karena bergerak untuk berdiri pada saat itu [setelah sujud] memuat gerakan duduk dan gerakan tambahan. Musholli tidak diperbolehkan memperlama waktu duduk antara dua sujud. Begitu juga ia tidak boleh memperlama waktu i’tidal. 

Apabila ia memperlamakan waktu i’tidal melebihi waktu lamanya dzikir yang dianjurkan untuk dibaca saat i’tidal dimana waktu yang ia lebihkan adalah seukuran lamanya membaca al-Fatihah menurut umumnya, atau apabila ia memperlamakan waktu duduk antara dua sujud melebihi waktu dzikir yang dianjurkan untuk dibaca dimana waktu yang ia lebihkan adalah seukuran lamanya membaca tasyahud wajib, maka sholatnya batal dengan catatan ia sengaja memperlamakan serta tahu kalau larangan memperlamakan maka sholatnya akan batal. Jika tidak sengaja atau ia tidak tahu maka sholatnya tidak batal. Berbeda dengan i’tidal pada rakaat terakhir dalam sholat fardhu atau sunah, maka memperlamakan waktu melakukan i’tidal melebihi waktu dzikir yang dianjurkan tidak membatalkan sholatnya, seperti yang dikutip oleh Syeh Wanai dari Syeh Ibnu Hajar.
 
12.    Tumakninah    dalam    Duduk antara Dua Sujud

 Rukun    sholat    yang    kedua belas  adalah  tumakninah  dalam duduk antara dua sujud, seperti yang telah kami sebutkan dalam rukun    rukuk,    karena    sabda Rasulullah  shollallahu  ‘alaihi  wa sallama kepada Sayyid Kholad, “Kemudian bangunlah dari sujud sampai kamu tumakninah dengan keadaan duduk!”

13.    Sujud Kedua
Rukun sholat yang ketiga belas adalah sujud kedua, seperti sujud pertama yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu kewajiban meletakkan anggota- anggota sujud yang berjumlah tujuh dalam satu waktu, dan lain-lain. Adapun rukun sujud yang dilakukan dua kali dalam satu rakaatnya, bukan rukun yang lainnya, adalah karena sujud menunjukkan adanya kesungguhan merendahkan diri kepada Allah.

14.    Tumakninah dalam  Sujud Kedua

Rukun sholat yang keempat belas adalah tumakninah dalam sujud kedua, seperti keterangan tumakninah yan telah kami sebutkan dalam rukun rukuk. Apabila terdapat pertentangan antara meletakkan anggota-anggota sujud dan menunduk, maksudnya, apabila musholli menunduk maka ia tidak mampu meletakkan anggota- anggota sujud di atas tempat sholat, dan apabila ia meletakkan anggota- anggota sujud maka ia tidak mampu menunduk, maka yang didahulukan adalah menundukkan karena kesepakatan tentang kewajiban menunduk saat sujud menurut Syeh Nawawi dan Syeh Rofii. Adapun meletakkan anggota-anggota sujud di atas tempat sholat, maka menurut Syeh Rofii, demikian itu tidak wajib, kecuali hanya meletakkan sebagian anggota dahi di atas tempat sholat. Apabila musholli mengangkat kepalanya dengan keadaan ia masih sujud dan setelah tumakninah, kemudian ia kembali meletakkan dahinya, maka sholatnya batal, berbeda dengan masalah apabila ia mengangkat salah satu anggota dari anggota-anggota sujud selain kepala, kemudian ia kembali segera meletakkan anggota sujud yang ia angkat tadi, maka sholatnya tidak batal.

15.    Duduk Terakhir
Rukun sholat yang kelima belas adalah duduk terakhir, yaitu duduk yang dilakukan di akhir rakaat sholat. Dengan demikian duduk ini mencakup duduk dalam sholat Subuh [karena selain Subuh, rakaat kedua adalah duduk tasyahud awal.] Duduk terakhir dilakukan dengan keadaan menegakkan tubuhnya, meskipun ia duduk dengan tawaruk, atau iftirosh, atau duduk bersila sambil lutut diatas (Jawa : Ashon-ashon), atau duduk memanjangkan kedua kaki (Jawa: Slonjor), atau duduk menegakkan kedua lutut atau salah satunya.

16.    Membaca Tasyahud

Rukun sholat yang keenam belas adalah membaca tasyahud dalam duduk terakhir. Lafadz bacaan disebut dengan nama Tasyahud karena bacaan tersebut memuat syahadat yang merupakan kalimat paling mulia.

17.    Membaca Sholawat
Rukun sholat yang ketujuh belas adalah membaca sholawat untuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama setelah membaca bacaan tasyahud  dalam  keadaan  duduk.

Minimal sholawat yang wajib dibaca adalah ‘ﻣﺣﻣد ﻋﻠﻰ ﺻﻠﻰ ﷲ ’. Disunahkan bersholawat untuk keluarga Rasulullah. Adapun bersholawat untuk keluarga beliau dalam tasyahud pertama hukumnya makruh, karena tasyahud pertama didasarkan    pada    tujuan memendekkan bacaan dan juga karena bersholawat untuk keluarga beliau dalam tasyahud pertama mengandung faktor memindahkan rukun ucapan pada rukun ucapan yang lain, dan demikian ini dapat membatalkan sholat menurut satu pendapat.

18.    Mengucapkan Salam
 Rukun sholat yang kedelapan belas adalah mengucapkan salam satu kali setelah membaca sholawat untuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Salam diucapkan pada saat musholli masih duduk terakhir. Diwajibkan melestarikan niat melakukan sholat sampai selesainya membaca huruf mim pada lafadz, ‘ْم ُﻛ ْﯾ َﻋﻠَ ’ dengan keadaan masih duduk atau penggantinya, seperti tidur miring, dan dada masih menghadap ke arah Kiblat. Paling pendek membaca salam adalah musholli mengucapkan, ‘ﻋﻠﯾﻛم اﻟﺳﻼم’ atau dibalik, ‘اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم’. Mengucapkan salam dengan lafadznya yang terbalik seperti itu sudah cukup tetapi makruh. Paling panjang kalimat salam dalam sholat adalah ‘ﷲ ورﺣﻣﺔ ﻋﻠﯾﻛم اﻟﺳﻼم’ karena dalil yang ada adalah dengan kalimat tersebut, tanpa menambahkan lafadz ‘وﺑرﻛﺎﺗﮫ’, kecuali dalam sholat jenazah, maka menambahkan ‘وﺑرﻛﺎﺗﮫ’ adalah kesunahan, menurut pendapat yang dikatakan oleh Syeh Ibnu Hajar.
 
19.    Tertib
Rukun sholat yang kesembilan balas atau yang terakhir adalah mentertibkan atau mengurutkan rukun-rukun sholat yang telah disebutkan, kecuali rukun-rukun yang dikecualikan. Bentuk tertib dalam sholat adalah bahwa pertama- tama, musholli melakukan niat sholat bersamaan dengan takbiratul ihram, kemudian membaca al-Fatihah dengan berdiri, kemudian melakukan rukuk disertai tumakninahnya, kemudian    i’tidal    disertai tumakninahnya, kemudian sujud pertama disertai tumakninahnya, setelah itu duduk disertai tumakninahnya, kemudian sujud kedua diserta tumakninahnya. Urutan yang telah disebutkan ini adalah tertib pada rakaat pertama dari setiap sholat. Kemudian setelah selesai rakaat pertama, musholli melakukan urutan rukun yang sama seperti rakaat pertama dalam rakaat kedua, ketiga, dan keempat, hanya saja ia tidak melakukan lagi rukun niat, takbiratul ihram. Apabila ia melakukan niat dan takbiratul ihram dalam rakaat selain rakaat pertama maka sholatnya menjadi batal.

Ketika rakaat-rakaat fardhu telah selesai dilakukan oleh musholli, misalnya ia telah sampai pada rakaat kedua di sholat Subuh, rakaat ketiga di sholat Maghrib,  rakaat keempat  di sholat Dzuhur, Ashar, dan Isyak, maka ia  duduk  akhir,  yaitu  duduk  yang dilakukan    sebelum    mengucapkan salam, meskipun sholat yang musholli lakukan hanya memiliki satu tasyahud. Setelah itu ia membaca tasyahud, kemudian    bersholawat    untuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dengan membaca, ‘ ﻋﻠﻰ ﺻل اﻟﻠﮭم ﻣﺣﻣد’. Dicukupkan pula dengan membaca, ‘ﻣﺣﻣد ﻋﻠﻰ اﻟﺻﻼة’, apabila musholli meniatinya sebagai kalam doa, seperti yang dijelaskan oleh Syeh Ibnu Hajar.

Setelah    itu,    musholli mengucapkan salam dengan membaca, ‘ﻋﻠﯾﻛم اﻟﺳﻼم’. Salam yang wajib hanya dilakukan satu kali meskipun tidak disertai dengan menolehkan wajah. Ada hadis shohih dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bahwa beliau mengucapkan salam satu kali dengan menghadapkan wajah ke depan (tidak menoleh).

20.    Hikmah Jumlah Rakaat Sholat
Hikmah jumlah hitungan rakaat sholat lima waktu adalah karena mensyukuri atas nikmat-nikmat yang didapat panca indera dan karena menutupi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh panca indera. Penjelasannya adalah;

1.    Rakaat sholat Subuh berjumlah dua. Indera peraba dapat merasakan dua hal, yaitu meraba medan halus dan kasar. Dua rakaat Subuh memiliki hikmah untuk mensyukuri dua nikmat indera peraba, yaitu nikmat dapat meraba medan halus dan kasar, serta menutupi kesalahan yang dilakukan oleh indera peraba karena menyentuh medan halus
 atau kasar yang tidak dibenarkan oleh syariat.
2.    Rakaat sholat Dzuhur berjumlah 4. Indera penciuman dapat mencium dari 4 arah, yaitu depan, belakang, kanan, dan kiri. Rakaat Dzuhur memiliki hikmah untuk mensyukuri nikmat yang diperoleh indera penciuman tersebut, dan menutupi kesalahan yang dilakukan olehnya karena mencium sesuatu yang tidak dibenarkan syariat dari 4 arah.
3.    Rakaat sholat Ashar berjumlah 4. Indera pendengaran dapat mendengar dari 4 arah, yaitu depan, belakang, kanan, dan kiri. Empat rakaat Ashar memiliki hikmah untuk mensyukuri nikmat yang diperoleh oleh indera pendengaran tersebut dan untuk menutupi kesalahan yang dilakukan olehnya dari 4 arah.

4.    Rakaat sholat Maghrib berjumlah 3. Indera penglihatan dapat melihat dari 3 arah, yaitu depan, kanan, dan kiri, dan tidak dapat melihat arah belakang. Tiga rakaat Maghrib memiliki hikmah untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang    diperoleh    indera penglihatan tersebut dan untuk menutupi kesalahan yang dilakukan olehnya dari 3 arah.

5.    Rakaat sholat Isyak berjumlah 4. Indera pencicip dapat mencicipi 4 rasa, yaitu dingin, panas, pahit, dan manis. 4 rakaat sholat Isyak dapat memiliki hikmah untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang diperoleh indera pencicip tersebut  dan  untuk  menutupi
 kesalahan yang dilakukan olehnya.

Ketahuilah!    Sesungguhnya sholat adalah ibadah untuk bermunajat atau berbisik-bisik dari hamba kepada Tuhannya, sumber baginya mensifati Tuhannya, pensuci hati dari dosa-dosa, dan penyambung antara hamba dan Tuhannya. Muhammad Ali Turmudzi berkata, “Sholat adalah tiang atau dasar agama, dan sesuatu yang pertama kali difardhukan oleh Allah kepada orang-orang muslim. Dalam sholat, ada aktivitas Allah menghadap hamba-hamba-Nya agar mereka juga menghadap kepada-Nya dengan keadaan hina, pasrah, rendah diri, tenang, khusyuk, cinta, dan ikatan kuat. Berdiri dalam sholat adalah bentuk sikap hina dari hamba. Takbir adalah bentuk pasrahnya kepada-Nya. Memuji Allah dan membaca al-Fatihah adalah merasa rendahnya. Rukuk adalah sikap rendah hatinya. Sujud adalah juga sikap rendah hatinya. Duduk adalah sikap rasa cintanya. Tasyahud adalah sikapnya yang memiliki ikatan kuat dengan Tuhan-Nya. Oleh karena itu, para hamba seharusnya menghadap Allah dengan bentuk-bentuk gerakan seperti itu agar Allah menghadap mereka    dengan        mengasihi, menyayangi, menerima, memuliakan, mendekat. Aturan agama tidak ada yang lebih kukuh dan agung daripada sholat.

Ketahuilah!    Sesungguhnya syarat diterimanya ibadah adalah keikhlasan. Apabila seseorang beribadah atau beramal tanpa disertai dengan sifat ikhlas maka ia tidak akan memperoleh pahala dari Allah meskipun amalnya sah menurut kasat mata karena telah memenuhi syarat- syaratnya dan rukun-rukunnya. Amal harus disertai dengan ikhlas karena riyak adalah haram terjadi di setiap amal. Sebagian ulama telah menyerupakan seluruh ibadah dengan sebuah pohon yang diinginkan tumbuh buahnya. Syarat-syarat ibadah diserupakan dengan akar pohon. Rukun-rukun adalah seperti batang pokok dari cabang-cabangnya. Sunah ab’ad adalah seperti cabang-cabang besar dari pohon, atau seperti cabang- cabangnya, baik besar atau kecil. Sunah haiat adalah seperti cabang- cabang kecil, dan daun-daun. Ikhlas adalah seperti buahnya. Dari penyerupaan tersebut, dapat dipahami bahwa pohon (ibadah) tidak bisa tumbuh kecuali dengan akar. Pohon tidak bisa disebut dengan ‘pohon’ kecuali apabila memiliki cabang. Ketika cabang-cabangnya banyak maka pohon tersebut adalah pohon yang besar. Dan apabila ditemukan kalau ia berbuah maka penanam pohon mendapatkan hasil dari mengapa ia menanam pohon tersebut. Berikut ini adalah gambarnya;
  
Dilihat dari sisi sifat, rukun- rukun sholat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu qouli (bersifat ucapan) dan fi’li
(bersifat    perbuatan)    karena    niat termasuk perbuatan hati. Adapun dilihat dari sisi tempat, maka mereka dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

1.    Qolbi
Maksudnya adalah bahwa rukun- rukun sholat bagian ini adalah yang berhubungan dengan hati. kata ‘hati’ disebut dengan nama ‘qolb’   karena   taqollubnya (terbolak-baliknya) dalam semua hal. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama ketika mengangkat pandangannya ke arah atas, beliau berdoa;
                  
Wahai Allah Yang Maha Pengatur hati! Tetapkanlah hatiku untuk selalu taat kepada-Mu!”

Atau alasan mengapa disebut dengan ‘qolb’ adalah karena hati adalah kemurnian sesuatu dalam tubuh karena kemurnian segala sesuatu terletak pada hati (inti).

Rukun sholat yang termasuk bagian qolbi adalah niat saja, karena tempatnya berada di dalam hati. Adapun mengucapkan niat maka hanyalah kesunahan agar lisan dapat membantu hati dan agar keluar dari perbedaan ulama yang mewajibkannya.
 
Syarat niat dalam sholat adalah[1]    harus    bersamaan    dengan takbiratul ihram sehingga niat tidak boleh mendahuluinya atau dilakukan setelahnya. [2] Niat dilakukan saat berdiri dalam sholat fardhu dan dengan keadaan menghadap kiblat.
 
2.    Qouliah
Maksudnya, rukun-rukun sholat yang masuk dalam bagian ini adalah yang ducapkan oleh lisan. Mereka ada 5, yaitu [1] takbiratul ihram di awal sholat, [2] membaca al-Fatihah dalam setiap rakaat dengan keadaan berdiri dalam sholat fardhu, baik bagi imam,    atau    makmum,    atau munfarid (yang sholat sendiri), [3] membaca tasyahud, [4] membaca sholawat untuk Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama, dan [6] mengucapkan salam yang pertama di akhir sholat.
 
Bagi musholli, disunahkan berniat keluar dari sholat ketika mengawali ucapan salam yang pertama    karena    demi mengamalkan satu qoul yang mengatakan tentang kewajiban niat keluar dari sholat.
Rukun tasyahud, membaca sholawat, dan mengucapkan salam adalah rukun-rukun yang dilakukan pada saat duduk terakhir.

Syarat dalam 5 rukun qouliah adalah:

1)    musholli memperdengarkan diri sehingga ia sendiri harus mendengar seluruh huruf-huruf bacaannya, dengan catatan apabila ia bukan orang yang tuli dan tidak ada hal yang menghalanginya    untuk mendengar, seperti suara angin, suara gaduh, telinga buntet, dan lain-lain. Jika ia adalah orang yang tuli atau ada hal yang menghalanginya    untuk mendengar bacaannya sendiri, maka ia wajib mengeraskan suaranya, dngan ukuran keras sekiranya andaikan ketulian dan hal yang menghalanginya hilang maka ia dapat mendengarnya.
2)    Tidak mengurangi tasydid-tasydid bacaan. Jumlah tasydid dalam takbiratul ihram adalah satu, dalam salam adalah satu juga, dalam bacaan tasyahud yang paling pendek adalah 16, dan yang paling lengkap adalah 21, dalam sholawat yang paling pendek adalah 4, dan dalam al- Fatihah adalah 14. Apabila musholli mengurangi satu tasydid maka ia wajib mengulangi bacaannya,    baik    ia menguranginya secara sengaja, atau lupa.
Apabila ia menghilangkan tasydid Mu kami menyembah) secara sengaja serta tahu artinya maka ia dihukumi kufur, karena lafadz ‘َﯾﺎ ِﻹ ا' tanpa kasroh pada huruf hamzah dan tanpa tasydid pada huruf yaa, serta huruf alif adalah jenis alif maqsuroh, memiliki arti terang matahari. Jadi, seolah-olah musholli    berkata,    ‘Kami menyembah terang matahari-Mu.’ Sedangkan        apabila        ia membacanya seperti diatas karena lupa atau tidak tahu artinya maka ia bersujud sahwi karena telah menyimpangkan arti bacaannya. Begitu juga ia harus mengulangi bacaannya dengan benar.
Tidak mengurangi huruf-huruf bacaan. Jumlah huruf dalam takbiratul ihram adalah 8, dalam salam yang paling pendek adalah 11, dalam tasyahud yang paling pendek adalah 105, dalam sholawat yang paling pendek adalah 14, dan dalam al-Fatihah adalah 141.

Mengucapkan huruf-huruf bacaan sesuai dengan makhrojnya.
 
 
Apabila musholli mengganti hamzah lafadz ‘أﻛﺑر’ dengan wawu, berarti menjadi ‘ْﻛَﺑر َو’, maka bacaannya tidak sah, dengan catatan jika ia adalah orang yang tahu, bukan yang bodoh, seperti yang dikatakan oleh Syeh al- Barmawi.
Apabila musholli mengganti huruf khaa dalam lafadz ‘  اﻟﺣﻣد’ dengan haa, berarti menjadi ‘  اﻟﮭﻣد’, atau ia mengucapkan huruf qof (ق) dengan ucapan yang masih dalam level makhroj qof dan kaaf ك , maka bacaannya tidak sah, kecuali apabila ia memang tidak memungkin untuk belajar sebelum masuk waktu sholat.
Semua kesalahan musholli dalam bacaan karena mengganti huruf, meskipun merubah makna, menetapkan tidak sahnya bacaan, kecuali apabila semua kesalahan tersebut keluar dari musholli yang memang tidak memungkinkan baginya untuk belajar terlebih dahulu sebelum masuk waktu sholat, seperti yang difaedahkan oleh Syeh Ibnu Hajar.
Tidak boleh merubah satu harakat pun dari harakat-harakat bacaan, yaitu dengan merubah yang dapat membatalkan maknanya, seperti membaca kasroh pada lafadz ‘ْﻛَﺑر اَ’, karena arti asalnya Yang Maha Besar berubah menjadi sesuatu yang dibawa oleh lebah yang mana rasanya tidaklah manis, dan seperti mengkasroh huruf sin dari lafadz ‘اﻟﺳﻼم’, karena arti asalnya
 
keselamatan berubah menjadi batu, karena lafadz ‘ِﺳﻼم اﻟ’ yang dikasroh huruf sinnya merupakan bentuk jamak dari mufrod ‘اﻟﺳﻠﻣﺔ’ yang seperti wazan lafadz ‘اﻟﻛﻠﻣﯾﺔ’, dan seperti menfathah huruf hamzah pada lafadz ‘اھدﻧﺎ’, mendhommah huruf taa pada lafadz ‘أﻧﻌﻣت’, dan mengkasrohnya.
Tidak menambahi satu huruf pun ke   dalam   bacaan   yang menyebabkan artinya menjadi batal, seperti membaca mad pada huruf hamzah ‘ﷲ ’, menambahi huruf wawu sukun atau wawu berharakat setelah lafadz ‘ﷲ ’, menambahi huruf wawu sebelum lafadz ‘ﷲ ’. Diperbolehkan menambah huruf wawu sebelum lafadz ‘ﻋﻠﯾﻛم اﻟﺳﻼم’ karena adanya ma’tuf ‘alaih yang mendahuluinya. Berbeda dengan takbir, maka tidak sah menambahkan huruf wawu di awalnya. Dan seperti membaca rukun-rukun qouliah dengan bacaan langka (qiroah syadzah) yang merubah makna.

[Cabang]
Syeh Muhammad al- Kholili berkata dalam fatwa- fatwanya, “Saya bertanya kepada Syaikhuna, Muhammad al-Baqri, tentang orang yang membaca al- Quran dengan tidak membaca ghunnah nun tasydid dan mim tasydid. Kemudian beliau menjawab, ‘Saya bertanya kepada Syaikhuna, al-Yamani, yaitu seorang syeh ahli qiroah pada zaman itu, tentang orang yang tidak membaca ghunnah. Kemudian beliau menjawab bahwa andaikan ada orang bersumpah talak kalau ia tidak menyebut Quran, maka ia tidak melanggar sumpahnya.’” Dapat dipahami dari jawaban tersebut bahwa orang yang membaca al- Quran, dan ia tidak cakap membacanya, ia salah dalam i’rob dan hukum-hukum bacaannya, maka ia lebih berhak disebut sebagai yang tidak melanggar sumpah. Begitu juga apabila orang junub membaca al-Quran dengan ketidakcakapan seperti itu maka tidak haram baginya karena bacaan yang ia baca dengan salah tidak termasuk al- Quran.
3)    Harus berturut-turut antar kalimatnya (Muwalah), yaitu sekiranya ia tidak memisahkan satu kalimat bacaan dengan kalimat bacaan berikutnya dengan terpisah oleh waktu yang lebih banyak daripada waktu diam mengambil nafas.

4)    Mengurutkan kalimat-kalimat bacaan, yaitu sekiranya musholli membaca        bacaan-bacaannya sesuai dengan urutan yang diketahui atas dasar itbak, lagi pula karena tertib dalam membaca al-Fatihah merupakan sumber kemukjizatannya. Dari sinilah, akhirnya diputuskan bahwa wajib mentertibkan membaca al-Fatihah di luar sholat. Apabila seseorang mengakhirkan membaca ayat yang seharusnya didahulukan untuk dibaca, maka bacaannya batal dan ia wajib melengkapi atau    menyempurnakannya, selama tidak terpisah oleh waktu yang lama. Jika sudah terpisah waktu yang lama maka ia harus mengawali bacaan dari awal. 

3.    Fi’liah
Bagian rukun-rukun sholat yang ketiga adalah fi’ilah, yaitu rukun sholat yang dilakukan dalam bentuk perbuatan oleh badan. Mereka ada 13 rukun, yaitu;
1)    Berdiri
2)    Rukuk
3)    Tumakninah
4)    I’tidal
5)    Tumakninah dalam i’tidal
6)    Sujud pertama
7)    I’tidal dalam sujud pertama
8)    Duduk setelah sujud pertama
9)    Tumakninah dalam duduk
10)    Sujud kedua
11)    Tumakninah dalam sujud kedua
12)    Duduk terakhir yang berada setelah rakaat terakhir
13)    Tertib, yaitu salah satu rukun yang dimasukkan dalam bagian rukun-rukun fi’liah karena melakukan rukun-rukun di atas sesuai pada tempatnya. Tertib adalah meletakan sesuatu pada tempatnya.
Diriwayatkan dari Jabir dan Mu’adz bahwa mereka berkata, “Ketika Rasulullah dinaikkan ke langit, di langit dunia ia melihat para malaikat yang berdiri sambil membaca dzikir sejak hari Allah menciptakan mereka. Di langit kedua, ia melihat para malaikat yang rukuk terus dan tidak mengangkat kepala. Di langit ketiga, ia melihat para malaikat yang bersujud dan tidak pernah bangun, kecuali ketika  mereka  uluk  salam  kepada Rasulullah    shollallahu    ‘alaihi    wa sallama,  maka  mereka  mengangkat
kepada. Oleh karena ini, sujud dilakukan sebanyak dua kali di setiap rakaat sholat. Di langit keempat, ia melihat para malaikat yang bertasyahud terus. Di langit kelima, ia melihat para malaikat yang terus menerus bertasbih dan berdzikir. Di langit keenam, ia melihat para malaikat yang terus menerus bertakbir. Di langit ketujuh, ia melihat para malaikat yang terus menerus menyerukan, “Ya Salaam! Ya Salaam!” sejak hari Allah menciptakan mereka. Kemudian Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berharap dengan hatinya agar setiap ibadah yang dilakukan oleh para malaikat tujuh langit diberikan untuk dirinya dan umatnya. Allah al-Khollaq dan al-Alim mengetahui hati Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.    Kemudian        Allah mengumpulkan setiap ibadah yang dilakukan oleh para malaikat tujuh langit dalam dua rakaat untuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dan umatnya.” Mu’adz dan Jabir berkata, “Barang siapa mendirikan sholat dengan rasa takdzim        kepada    Allah, menyempurnakan rukun-rukunnya, rukuknya, dan sujudnya, maka baginya pahala para malaikat tujuh langit.”

Syarat-syarat    rukun    fi’liah adalah:
1)    sahnya rukun sebelumnya.

Apabila musholli yang tengah rukuk mengalami keraguan apakah ia telah membaca al-Fatihah atau belum maka ia wajib langsung berdiri dan membaca al-Fatihah.

Atau apabila musholli yang tengah sujud mengalami keraguan apakah ia telah melakukan i’tidal atau belum maka ia wajib langsung berdiri melakukan i’tidal, kemudian sujud.
Atau apabila musholli yang tengah sujud mengalami keraguan apakah ia telah rukuk atau belum maka ia wajib langsung berdiri, kemudian rukuk. Dalam hal ini, musholli tidak langsung kembali rukuk, melainkan langsung kembali ke berdiri, karena gerakan merunduknya tidak sah.
Sama dengan masalah keraguan seperti di atas adalah masalah ingat.
Apabila musholli yang tengah berdiri mengalami keraguan apakah ia telah membaca al-Fatihah atau belum maka ia tidak berkewajiban langsung membacanya segera, karena ia belum berpindah dari tempat membaca al- Fatihah.

2)    Melakukan rukun fi’liah dengan tidak menyengaja selainnya.

Apabila    musholli    mengangkat kepalanya dari rukuk karena kaget maka mengangkat kepala tersebut belum mencukupi sehingga ia harus kembali ke rukuk lagi, kemudian baru i’tidal. Berbeda dengan masalah apabila ia sedang rukuk dan mengalami keraguan apakah ia telah membaca al-Fatihah atau belum, kemudian ia berdiri lagi, kemudian ia membaca al-Fatihah, dan ternyata ia baru ingat kalau ia telah membaca al- Fatihah,  maka  berdirinya  tersebut sudah mencukupi i’tidal, sehingga ia bisa langsung bersujud.

Apabila    musholli    mengangkat kepalanya dari sujud karena ada duri yang mengenai [misal dahi]nya maka ia wajib mengulangi mengangkat kepalanya. Jadi, ia kembali sujud, kemudian mengangkat kepala.
Apabila musholli bersujud di atas lantai kasar yang menyakiti dahinya, maka apabila ia mendesakkan (menyeret) dahinya tanpa mengangkatnya maka tidak apa-apa. Begitu juga apabila ia telah mengangkat dahinya sedikit, kemudian ia mengembalikan dahinya kembali tanpa bertumakninah, maka tidak apa-apa. Jika ia bertumakninah maka sholatnya batal. Adapun apabila musholli mengangkat dahi tanpa karena udzur, kemudian ia mengembalikan    dahinya    lagi menempel di lantai, maka sholatnya batal secara mutlak, baik ia bertumakninah atau tidak. []

LihatTutupKomentar