Yang Membatalkan Shalat ada 12

Yang Membatalkan Shalat ada 12 Meninggalkan Salah Satu Syarat Sholat Meninggalkan Salah Satu Rukun Sholat Menambahi Satu Rukun Fi’liyah

Yang Membatalkan Shalat ada 12

Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Sullamul Munajat, Sulam Munajah, Sulam al-Munajat
Judul terjemah: Tangga Berkeluh Kesah, Panduan Shalat Lengkap
Judul asal dalam teks Arab:  [سلم المناجاة شرح سفينة الصلاة]
Syarah dari  kitab: Safinah as-Sholah karya Syeh Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya al-Khadromi.
Penulis/pengarang: Syekh Nawawi al-Banteni,
Nama yang dikenal di Arab:  [محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي]
Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Nama lengkap: Muhammad bin Umar bin Arabi ibn Ali Nawawi al-Jawi, Abu Abd al-Mu'ti
Bidang studi: fikih, hukum Islam
Penerjemah: Kang Muhammad Ihsan bin Nuruddin Zuhri

Daftar Isi

  1. Bagian Kelima: Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat  
    1. Meninggalkan Salah Satu Syarat Sholat   
    2. Meninggalkan Salah Satu Rukun Sholat   
    3. Menambahi Satu Rukun Fi’liyah   
    4. Bergerak dengan Satu Gerakan Fatal   
    5. Makan atau Minum   
    6. Melakukan Salah Satu HalHal yang Membatalkan Puasa   
    7. Memutus Niat Sholat   
    8. Takliq atau Menggantungkan Sholat   
    9. Taroddud atau bimbang   
    10. Ragu-Ragu dalam Kewajiban Salat   
    11. Memutus Salah Satu Rukun Fi’liah demi Kesunahan   
    12. Menetapi Rukun Sambil Tahu Rukun yang Ditinggalkan   
  2. Kembali ke kitab: Terjemah Sulam Munajah

 

BAGIAN KELIMA HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHOLAT 

Adapun    hal-hal    yang membatalkan sholat ada 12, yaitu:

1. Meninggalkan Salah Satu Syarat Shalat

Meninggalkan salah satu syarat dari syarat-syarat sholat yang berjumlah    12    yang    telah
disebutkan    sebelumnya,    baik secara sengaja, meskipun dipaksa, atau lupa, atau tidak tahu, karenasyarat termasuk khitob wadh’i, yaitu khitob Allah yang berhubungan dengan menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, manik (hal yang mencegah), shohih (yang sah), atau fasid (yang rusak).

2. Meninggalkan Salah Satu Rukun Sholat  

Meninggalkan salah satu rukun dari rukun-rukun sholat yang berjumlah 19 secara sengaja, artinya menyengaja mewujudkan dzat sholat dengan cara meninggalkan rukun yang ia tinggalkan. Apabila musholli meninggalkan rukun sholat karena lupa, maka ia harus melaksanakannya    secara langsung ketika ia mengingatnya. Apabila ia tidak ingat maka ia harus mengulangi sholat dari awal. Setiap rukun yang telah ia lakukan dimana rukun tersebut adalah rukun yang jatuh setelah rukun yang ia tinggalkan (al- matruk), adalah tidak dianggap karena ia melakukan rukun tersebut tidak sesuai pada tempatnya sampai ia kembali lagi melakukan al-matruk. Apabila ia telah kembali melaksanakan al- matruk maka ia melanjutkan rukun-rukun setelahnya. 

Apabila musholli meyakini kalau ia telah meninggalkan satu sujud di rakaat akhir sholat, sedangkan ia telah sampai di akhir sholat, atau sebelum mengucapkan salam, serta jarak waktu antara waktu uluk salam dan ingatnya tidak lama menurut ‘urf, maka ia harus kembali menambal sujud yang ia tinggalkan tersebut dan mengulangi    membaca tasyahudnya, karena tasyahud yang telah ia lakukan sebelumnya terjadi tidak pada tempatnya.

Atau apabila musholli meyakini kalau ia telah meninggalkan satu sujud di selain rakaat akhir, sedangkan ia telah sampai di akhir sholat dan sebelum mengucapkan salam, serta jarak antara waktu uluk salam dan ingatnya tidak lama menurut ukuran ‘urf, maka ia wajib baginya menambah satu rakaat karena rakaat yang kurang telah dilengkapi dengan sujud yang dilakukan di rakaat setelah rakaat yang kurang dan tidak menganggap rukun-ruk un selain rukun sujud itu. 

3. Menambahi Satu Rukun Fi’liyah  

Menambahi satu rukun dari rukun-rukun sholat yang fi’ilah, seperti menambahi rukuk, atau sujud,    meskipun    tidak tumakninah, atau menambahi rakaat, atau melakukan niat sholat atau takbiratul ihram di tengah-tengah sholat, atau melakukan salam tidak di tempatnya, bukan menambahinya makmum masbuq niat tab’iah atau mengikuti imamnya, yang mana menambahi rukun-rukun ini dilakukan secara sengaja serta tahu tentang keharamannya, maka sholat dengan menambahi seperti di atas adalah batal karena musholli tidak serius dan ia telah menyimpang dari runtutan sholat. 

Adapun musholli yang lupa menambahi rukun seperti di atas, dan ia tidak tahu keharamannya karena ia baru saja masuk Islam atau karena ia hidup di daerah pelosok yang jauh dari ulama, atau apabila makmum masbuk menambahi niat tab’iah atau mengikuti imamnya, maka sholat keduanya tidak batal.
Adapun    apabila    musholli menambahi rukun fi’ilah seperti di atas karena lupa, atau ia menambahi rukun qouliah selain takbiratul ihram secara sengaja atau lupa, seperti mengulangi bacaan al-Fatihah, tasyahud akhir, bukan karena udzur, maka sholat keduanya tidak batal, menurut pendapat ashoh, tetapi ia bersujud sahwi karena melakukan aktivitas yang apabila disengaja dapat membatalkan sholat.

4. Bergerak dengan Satu Gerakan Fatal

Bergerak dengan satu gerakan fatal, seperti lompatan tinggi, pukulan keras, maka sholatnya batal. Atau bergerak dengan satu gerakan yang tidak fatal tetapi dengan tujuan bercanda, seperti lompatan kecil, menepuk meskipun    tidak    dengan menepukan kedua telapak tangan, maka sholatnya batal. Atau bergerak dengan tiga kali gerakan yang berturut-turut, meskipun bergerak dengan anggota-anggota tubuh yang berbeda-beda dimana anggota- angota tubuh tersebut disebut dengan anggota-anggota tubuh tersendiri, bukan yang mengikuti, baik bergeraknya dengan sengaja, atau lupa, atau bodoh yang tidak dianggap udzur, maka sholatnya batal karena runtutan sholat telah terputus    dan    karena menunjukkan penyimpangan.

5. Makan atau Minum  

Makan dengan cara mengunyah atau tidak, meskipun yang dimakan adalah yang tidak umum dimakan, seperti debu, minum sedikit, seperti biji bijan, remukan gula, dan air ludah yang tercampur dengan benda lain, secara sengaja meskipun dipaksa.

Apabila musholli makan atau minum karena lupa kalau ia sedang sholat, atau karena ia tidak tahu tentang keharaman makan dan minum dalam sholat, dan ketidaktahuannya itu adalah karena ada udzur, seperti misalnya musholli adalah orang yang baru saja masuk Islam atau tinggal di daerah yang jauh dari para ulama dan tidak memungkinkan baginya untuk menemui mereka, maka sholatnya tidak batal dengan makan atau minum jika yang dimakan atau diminum adalah sedikit. Berbeda apabila musholli makan atau minum karena lupa atau tidak tahu yang diudzurkan, tetapi yang dimakan atau diminum adalah banyak, maka sholatnya batal, karena dapat memutus runtutan sholat. Adapun orang yang berpuasa makan dan minum, meskipun yang dimakan atau yang diminum adalah banyak, maka puasanya tidak batal.

Perbedaan masalah batal dan tidak batal karena makan dan minum yang banyak karena lupa dalam sholat dan puasa adalah;
-    sholat memiliki haiah atau pertingkah yang dapat mengingatkan    kelupaan tersebut sedangkan puasa tidak memilikinya.
-    Sholat memiliki perbuatan- perbuatan yang runtut sehingga perbuatan banyak (makan dan minum) dapat memutus    runtutannya. Berbeda dengan puasa, maka ia hanya menahan, sehingga perbuatan banyak sekalipun tidak mempengaruhinya.

6.    Melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa, 

selain makan dan minum, yaitu seperti masuknya sesuatu ke bagian dalam lubang bagi orang puasa, misalnya ia memasukan kayu ke dalam telinganya. Maka jika musholli melakukan demikian, sholatnya juga batal.

7.    Memutus niat sholat, 

sekiranya musholli berniat keluar dari sholat, baik niat memutusnya pada saat itu atau setelah satu rakaat. Dikecualikan adalah apabila    musholli    berniat melakukan sesuatu yang membatalkan sholat maka sholatnya tidak batal sampai ia benar-benar melakukan suatu yang membatalkan sholat tersebut.
 
Adapun apabila orang yang berpuasa berniat keluar dari puasanya maka puasanya tidak batal, menurut pendapat ashoh. Begitu juga tidak batal, apabila mutawadhik atau orang yang berwudhu berniat keluar dari wudhunya, tetapi bagi yang lainnya membutuhkan niat, misalnya Zaid berwudhu dengan berniat sambil membasuh sebagian wajah, kemudian wajah, kemudian    kedua    tangan, kemudian pada saat ia mengusap sebagian kepala, ia berniat keluar dari wudhu, maka ketika ia hendak mengusap sebagian kepala, ia membutuhkan niat lagi.

Perbedaan hukum batal dan tidak batal dalam sholat dan puasa atau wudhu adalah karena sholat lebih rumit celahnya sehingga dengan adanya penyimpangan niat, maka sholat akan dapat terpengaruhi.

8. Takliq atau Menggantungkan Sholat

Takliq atau menggantungkan keluar dari sholat dengan sesuatu yang terjadi di tengah-tengah sholat, atau dengan sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak terjadi, misalnya musholli berniat, “Ketika Zaid telah datang maka aku keluar dari sholat,” dan lain-lain. Dengan demikian, sholat menjadi batal seketika.

9. Taroddud atau bimbang

Taroddud atau ragu antara memutus sholat dan meneruskannya, seperti ada musholli mengalami suatu haja saat ia tengah sholat. Kemudian ia ragu antara memutus sholat dan keluar darinya atau meneruskannya. Maka sholatnya menjadi  batal  seketika  karena tidak adanya kemantapan niat sholat yang disyaratkan harus dilestarikan sampai akhir sholat, seperti keimanan. Pengertian taroddud adalah keraguan yang merusak kemantapan. Adapun keraguan yang terlintas dalam pikiran, bagaimana pun bentuknya keraguan itu, maka sholat tidak batal, karena keraguan tersebut merupakan cobaan yang sering dialami oleh orang-orang yang was-was. Keraguan yang terlintas dipikiran tersebut juga terkadang terjadi dalam keimanan kepada Allah. Oleh karena inilah, keraguan yang terlintas di dalam pikiran tidak membatalkan sholat, seperti yang telah difaedahkan oleh Syeh Romli dalam kitab Umdah ar- Robih.

10. Ragu-Ragu dalam Kewajiban Sholat

Ragu-ragu dalam salah satu kewajiban-kewajiban niat, seperti apabila musholli ragu apakah ia berniat sholat Dzuhur, atau Ashar, (kewajiban takyin), maka sholatnya batal. Dan ragu-ragu dalam salah satu kewajiban takbiratul ihram, seperti apabila musholli ragu-ragu apakah ia membaca takbir dengan keadaan menghadap kiblat atau setelah tegaknya tubuh, maka sholatnya batal. Sama dengan keraguan di atas adalah keraguan dalam syarat-syarat sholat, seperti apabila musholli ragu apakah ia telah berwudhu atau belum, maka sholatnya batal. 

Syarat keraguan tersebut dapat membatalkan sholat adalah ketika keraguan yang dialami musholli terjadi selama waktu yang lama menurut ukuran ‘urf, yaitu waktu yang seukuran melafadzkan subhanallah, ‘ ﺳﺑﺣﺎن ﷲ ’. Atau keraguan tersebut tidak terjadi dalam waktu yang lama, tetapi ia melakukan rukun fi’liah atau    rukun    qouliah    disertai keraguan tersebut. Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa    apabila    waktu keraguannya tidak lama, sedangkan musholli tidak melakukan satu rukun sholat pun saat ragu, sekiranya ia ingat segera, maka sholatnya tidak batal.

Batasan lamanya waktu ragu adalah ukuran waktu yang cukup digunakan untuk melakukan rukun pendek sholat. Ukuran pendek rukun tersebut adalah selama waktu yang tidak cukup untuk melakukan rukun pendek itu sendiri, seperti ada keraguan yang terlintas dalam pikiran musholli, kemudian keraguan itu hilang dengan segera.

11.  Memutus Salah Satu Rukun Fi’liah demi Kesunahan 

Memutus salah satu rukun-rukun fi’ilah demi melakukan suatu kesunahan, misalnya ada musholli berdiri dari sujud kedua dengan keadaan lupa tidak melakukan tasyahud awal (kesunahan), setelah ia sampai pada batas yang cukup dalam berdiri, ia kembali duduk hendak melakukan tasyahud awal, dan ia adalah orang yang tahu tentang keharaman kembalinya dan ia sengaja melakukannya, maka sholatnya batal karena ia menambahi aktivitas duduk tanpa ada udzur. Penambahan duduk ini merubah haiah atau pertingkah sholat.

Berbeda dengan memutus salah satu rukun qouliah demi melakukan kesunahan, maka hukumnya tidak diharamkan, tetapi dimakruhkan, seperti ada musholli sedang membaca al- Fatihah, kemudian ia ingat kalau belum membaca ta’awudz (kesunahan), kemudian ia memutus bacaan al-Fatihah dan kembali membaca ta’awudz.

Apabila ia memutus rukun fi’liah dan ia kembali melakukan kesunahan dengan statusnya sebagai musholli yang lupa kalau ia sedang sholat, atau lupa tentang keharamannya, maka sholatnya tidak batal, karena qolam atau pena pembebanan hukum diangkat dari orang yang lupa sampai ia ingat. Dalam masalah musholli yang bangun dari sujud kedua, kemudian ia kembali duduk untuk bertasyahud awal, diwajibkan baginya segera bangun berdiri ketika ingat dan nantinya ia bersujud sahwi karena telah membatalkan keinginannya untuk duduk kembali. Begitu juga, bagi musholli yang statusnya sebagai musholli yang bodoh, dalam masalah tersebut, sholatnya tidak batal menurut pendapat ashoh, meskipun ia hidup di lingkungan bersama para ulama, karena masalah ini adalah masalah yang samar bagi orang-orang awam. Ia diwajibkan untuk berdiri segera ketika mengetahuinya dan nantinya  ia  bersujud  sahwi karena menempatkan duduk tidak sesuai pada tempatnya. 

Adapun apabila musholli berdiri dan belum sampai pada posisi tegak, kemudian ia kembali melakukan tasyahud awal yang ia tinggalkan, maka sholatnya tidak batal karena ia belum menempati tempat rukun (berdiri), bahkan malah disunahkan baginya kembali melakukan tasyahud awal. Dan apabila posisi belum tegaknya lebih mendekati pada posisi berdiri daripada pada posisi duduk, maka nantinya ia bersujud sahwi, karena apa yang telah dilakukan musholli adalah termasuk hal yang membatalkan jika disengaja dan diketahui keharamannya. Berbeda dengan apabila posisi belum tegaknya lebih mendekati pada posisi duduk daripada posisi berdiri, atau posisi belum tegaknya sama- sama lebih mendekati pada posisi berdiri dan duduk, maka ia tidak perlu bersujud sahwi, karena apa yang ia lakukan tidak membatalkan sholat  jika disengaja, karena saking sedikitnya.

Sama seperti tasyahud awal adalah qunut. Oleh karena itu, apabila musholli lupa tidak qunut, kemudian ia mengingatnya saat ia telah bersujud, maka apabila ia kembali berdiri membaca qunut setelah ia menempati tempat rukun (sujud) secara sengaja, serta ia tahu tentang keharamannya, maka sholatnya batal. Berbeda apabila ia kembali berdiri melakukan qunut sebelum ia sempurna melakukan sujudnya, dengan sekiranya ia belum seutuhnya meletakkan anggota- anggota    tubuh    tujuh    dengan syarat-syarat (yang telah disebutkan dalam rukun sholat, sujud), maka sholatnya tidak batal karena ia belum menempati tempat rukun, bahkan ia disunahkan untuk kembali berdiri melakukan qunut, dan nantinya sujud sahwi jika turunnya telah sampai pada batas yang mencukupi rukuk, karena apa yang telah ia lakukan ini telah merubah runtutan sholat, yaitu dengan menambahi rukuk, dan jika turunnya belum sampai pada batas yang mencukupi rukuk, maka ia tidak sujud sahwi.

12. Menetapi Rukun Sambil Tahu Rukun yang Ditinggalkan  

Tetap dalam suatu rukun padahal musholli    telah    yakin meninggalkan rukun sebelumnya, atau tetap dalam suatu rukun sambil ragu tentang rukun sebelumnya itu apakah ia telah melakukannya atau belum, maka sholatnya batal ketika waktu menetapnya adalah lama menurut ukuran ‘urf, yaitu waktu seukuran melakukan minimal tumakninah. Melainkan yang wajib ia lakukan adalah segera kembali melakukan rukun yang ia yakini ditinggalkan dan diragukan, kecuali apabila ia berstatus sebagai makmum, maka ia tidak berniat mufaroqoh (pisah dari mengikuti imam), tetapi ia melakukan satu rakaat lagi setelah salamnya. Ia tidak diperbolehkan untuk kembali melakukan rukun yang ditinggalkan atau diragukan karena ia berkewajiban mengikuti imam.
 
Apabila rukun yang musholli tinggalkan atau ragukan adalah sujud atau tumakninahnya dari rakaat  terakhir,  sedangkan  ia yang    sebagai    makmum    dan imamnya    sedang    bertasyahud, maka ia wajib kembali melakukan sujud karena tidak adanya penyimpangan dari mengikuti imam, seperti yang dikutip oleh Syeh Ahmad al-Maihi dari Syeh al- Mudabighi. Semua    hukum-hukum    yang telah disebutkan adalah hal yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Ia wajib mencari tahu tentangnya, meskipun harus dengan melakukan perjalanan ke wilayah yang jauh. Allah Ta’aala berfirman:

Artinya adalah, seperti yang dikatakan oleh Syeh Romli, “Sebaiknya ada golongan dari kalangan jamaah yang banyak, yaitu sebagian dari mereka yang memiliki kecukupan untuk pergi mencari pemahaman dalam agama dan menanggung kesulitan mencarinya, serta menjadikan tujuan dan cita-cita mereka dalam mencarinya adalah untuk menakut-nakuti, menunjukkan, dan menasehati kaum mereka.” [alkhoirot.org]
 

LihatTutupKomentar