Ahmad Bin Isa Tidak Mempunyai Anak Bernama Abdullah atau Ubaidillah

Ahmad Bin Isa Tidak Mempunyai Anak Bernama Abdullah atau Ubaidillah Ahmad bin Isa tidak Bergelar al-Muhajir Nasab Syarif Abil Jadid dari Kabilah Alawi

Ahmad Bin Isa Tidak Mempunyai Anak Bernama Abdullah atau Ubaidillah

Nama kitab / buku: Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi: Finalisasi Keterputusan Genealogi Ba’alwi Kepada Nabi Muhammad Saw.
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: 1445 H./2024 M.
Penerbit:  Maktabah Nahdlatul Ulum Banten Cet. 1/1445 H./2024 M.
Kitab sebelumnya: Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
Bidang studi: Sejarah Baalawi, ilmu nasab, sejarah Islam

Daftar isi 

  1. Makam Ahmad bin Isa
  2. Ahmad bin Isa tidak Bergelar al-Muhajir
  3. Ahmad Bin Isa Tidak Mempunyai Anak Bernama Abdullah atau Ubaidillah
  4. Nasab Syarif Abil Jadid dari Kabilah Alu Abi Alwi
  5. Catatan dan Referensi
  6. Kembali ke buku: Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi

Makam Ahmad bin Isa

Para pembela nasab Ba’alwi berhujjah (alasan) tentang hijrahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut dengan dalil adanya bukti arkeologis berupa makam Ahmad bin Isa di Husaysah, Hadramaut. Pertanyaannya, apakah benar makam yang diklaim sebagai makam Ahmad bin Isa itu asli? Apakah makam itu sudah dikenal sejak wafatnya Ahmad bin Isa? Sumber sezaman apa yang bisa memberi kesaksian bahwa benar Ahmad bin Isa dimakamkan di Husaysah? Sebuah makam di suatu tempat, tidak bisa menjadi bukti historis akan eksistensi seorang tokoh yang diklaim dimakamkan di  tempat itu, tanpa ada bukti pendukung berupa catatan tentang itu. Jika tidak demikian, maka, orang Banten di masa ini bisa membuat makam yang indah dan megah kemudian ditulis dengan tulisan yang indah pula, bahwa makam ini adalah makam Imam Syafi’i. Apakah dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’I hijrah ke Banten dan berketurunan di Banten?

Syekh Ahmad bin Hasan al-Mu’allim  mengatakan:

Terjemah:

‚ Tidak ada dalam sejarah Yaman makam di agungkan yang diatasnya ada masyhad dan masjid sampai separuh kedua abad lima kecuali yang disebut sebagai masjid syahidain  di  San’a.  yaitu  yang  disebut  sebagai  makam  Qatsam  dan  dan Abdurrahman yang keduanya anak dari Ubaidillah bin Abbas yang dibunuh oleh Basar bin Arto’ah, pejabat yang diangkat Muawiyah di Yaman‛.

Dari keterangan Syekh Ahmad bin Hasan al-Mu’allim ini, disimpulkan makam yang sekarang ada di Husaysah itu, yang disebut sebagai Ahmad bin Isa, belum dikenal di Yaman sampai tahun 450 H., padahal Ahmad bin Isa telah wafat 105 tahun sebelumnya (?). Al-Janadi (w.732 H.), sebagai sejarawan yang gemar merekam adanya makam tokoh yang diziarahi orang, pun tidak mencatat di Husaysah ada makam Ahmad bin Isa. sedangkan, dua tokoh yang disebut oleh Syekh Ahmad bin Hasan Al-Muallim, direkam pula keberadaannya oleh Al-Janadi dalam Al-Suluk Fi Tabaqat al-Ulama wa-al-Muluk. Ia mengatakan:

Terjemah:

‚Dan makam dua anak masyhur di San’a disebuah masjid yang dikenal dengan nama masjid Al-Syahidain di ziarahi dan dimintakan kepada Allah untuk dikabulkannya hajat‛33

Selain dua makam itu, Al-Janadi pun rajin berziarah ke makam para tokoh. Seperti ia merekam makam seorang dokter Irak yang dianggap pahlawan di Qinan dan ia berziarah ke sana. Ia berkata:

Terjemah:

‚Dan makamnya (dokter dari Irak) di sana (Qinan), ia sebuah masjid jami’ yang memiliki menara, diziarahi dan dianggap berkah, aku memasukinya di bulan Muharram awal tahun 696 H.‛

Al-Janadi (w.732), tidak merekam adanya makam Ahmad bin Isa, padahal ia sejarawan yang rajin mencatat nama-nama makam yang diziarahi dan dianggap berkah. Artinya pada tahun 732 H. itu, makam Ahmad bin Isa belum dikenal (dibaca ‘tidak ada’) seperti saat ini. Telah berjarak 387 tahun sejak  wafatnya, makam Ahmad bin Isa belum dikenal orang. Lalu kapan mulai adanya cerita bahwa Ahmad bin Isa dimakamkan di Husaysah? Berita awal yang didapatkan adalah berita  dari  Bamakhramah  (w.947  H.)  dalam  kitabnya  Qaladat  al-Nahr    Fi Wafayyat A’yan al-Dahr. Dalam  kitab tersebut  disebutkan,  ada    dua  pendapat mengenai makam Ahmad bin Isa: Pendapat pertama mengatakan ia wafat dan dimakamkan di Husaysah; pendapat kedua mengatakan ia wafat di Qarah Jasyib.34 Lalu berdasar apa makam Ahmad bin Isa ini dipastikan ada di Husaisah seperti yang sekarang masyhur sebagai makamnya? Bamakhromah menyebutkan bahwa makam itu diyakini sebagai makam Ahmad bin Isa karena ada Syekh Abdurrahman menziarahinya dan  ada cahaya yang dapat dilihat dari tempat  yang  diyakini sebagai makam Ahmad bin Isa itu. Jadi bukan karena ada data dan sumber sebelumnya. Bamakhramah mengatakan:

Terjemah:

‚Dilihat cahaya agung dari tempat yang diisyarahkan bahwa tempat itu adalah quburnya (Ahmad bin Isa) yang mulia. Dan guru kami, Al-Arif Billah Abdurrahman bin Syekh  Muhammad bin Ali Alawi,  berziarah ditempat itu.‛

Seperti itulah makam Ahmad bin Isa ditemukan, yaitu bukan berdasarkan naskah yang menyatakan bahwa ia memang dimakmkan di Husaysah, dan bukan karena memang makam itu telah ada sejak hari wafatnya yaitu tahun 345 H., tetapi diitsbat berdasarkan ijtihad. Berarti makam Ahmad bin Isa baru ditemukan, bahkan dibangun di abad sembilan atau sepuluh Hijriah, yaitu sekitar 602 tahun setelah hari wafatnya. Dari  sana, keberadaan makam Ahmad bin Isa di Husaysah ini, berdasar kesimpulan tidak adanya peristiwa hijrah-nya ke Hadramaut, sangat meyakinkan untuk dikatakan bahwa makam itu adalah makam palsu.

Ahmad Bin Isa Tidak Bergelar ‚Al-Muhajir‛

Dalam kitab Uqud al-Almas, Alwi bin Tahir al-Haddad (w.1382 H.) berusaha mempertahankan sekuat tenaga, bahwa Ahmad bin Isa itu bergelar ‛Al- Muhajir‛. Ia ingin mengahancurkan  kenyataan, bahwa gelar yang  dicatat oleh ulama nasab mulai abad ke-5 sampai abad ke-9, untuk Ahmad bin Isa, adalah ‚Al- Abah‛ dan ‚Al-Naffat‛, tidak ada gelar ‚Al-Muhajir‛ untuk Ahmad bin  Isa. Bahkan, Ahmad bin Isa belum disematkan gelar ‚Al-Muhajir‛ oleh peletak dasar nasab Ba’alwi, Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.) dalam kitabnya Al-Burqoh Al-Musyiqoh . Begitu pula, gelar ‚Al-Muhajir‛ belum disematkan oleh Abu Bakar bin Abdullah al-Idrus (w.914 H.) dalam kitabnya Al-Juz’ al-Latif, ketika ia mengurut sanad ‚lubs al-khirqah‛ (pemakaian kain tarikat)-nya.36 Ulama Ba’alwi abad sepuluh lainnya seperti Muhammad bin Ali Khirid Ba’alwi (w.960 H.) juga belum menyematkan gelar ‚Al-Muhajir‛ untuk Ahmad bin Isa. begitu pula pada abad sebelas Hijriah, gelar ‚Al-muhajir‛ pun belum dikenal. Abdul  Qadir  bin Syekh al-Idrus (w.1038 H.). dalam kitabnya Al-Nur al-Safir dan Al-Syili Ba’alwi (w.1093 H.) dalam kitabnya Al-Masra’ al-Rawi, tidak menyematkan gelar ‚Al- Muhajir‛ untuk Ahmad bin Isa. penyebutan pertama dari keluarga Ba’alwi untuk Ahmad bin Isa dengan sebutan ‚Al-muhajir‛ dilakukan oleh Ahmad bin Zein al- Habsyi (w.1144 H.) ulama abad ke duabelas Hijriah. Jadi, gelar itu disematkan kepadanya setelah 799 tahun, dihitung mulai dari wafatnya Ahmad bin Isa sampai wafatnya Ahmad bin Zein al-Habsyi. Gelar ‚Al-Muhajir‛ (yang berpindah) itu diberikan kepada Ahmad bin Isa sebagai ‚alibi‛ bahwa benar ia hijrah ke Hadramaut, padahal tidak pernah ada sumber primer yang mengatakan bahwa Ahmad bin Isa hijrah dari Basrah ke Hadramaut. Jangankan adanya berita Ahmad bin Isa hijrah dari Basrah ke Hadramaut, berita tentang keberadaanya di Basrah pun tidak pernah ditemukan catatannya dalam sumber-sumber primer.

Gelar ‚Al-Muhajir‛ ini hari ini bahkan lebih terkenal dari nama Ahmad bin Isa sendiri, ia kini lebih popular disebut ‚Ahmad al-Muhajir‛. Bahkan Muhammad Diya’ Shihab menulis biografinya dengan judul besar ‚Al-Imam al-Muhajir‛ . upaya mempopularkan gelar ‚Al-muhajir‛ ini diiringi oleh upaya keluarga Ba’alwi menghancurkan gelar lain untuk Ahmad bin Isa yang ditulis oleh kitab-kitab nasab abad ke-5 sampai abad ke-9, yaitu gelar ‚Al-Abh‛ dan ‚Al-Naffat‛. seperti yang dilakukan oleh Alwi bin Tahir al-Haddad yang telah disinggung di muka, bagaimana ia menggugat ulama-ulama nasab terdahulu itu dengan dianggapnya suatu kecerobohan ketika memberi gelar ‚Al-Abh‛ dan ‚Al-Naffat‛. Alwi  al- Haddad mengatakan:

Terjemah:

‚Kesimpulan pembahasan yang panjang ini, bahwa Imam al-Muhajir (Ahmad bin Isa) bin Muhammad bin Ali al-Uraidi tidak diberi gelar dengan ‘Al-Abah’ dan ‘Al- Naffat’, seperti yang telah dilakukan para ulama-ulama yang lebih dahulu.‛

Pernyataan Alwi ini,  tidak sesuai dengan kenyataan  bahwa ulama-ulama nasab terdahulu menggelari Ahmad bin Isa dengan ‚Al-Abh‛, sebagian lagi dengan‚ Al-Naffat‛, sebagian lagi dengan keduanya. Seperti dalam kitab Tahdib al-Ansab karya Al-Ubaidili (w.437 H), dalam kitab itu disebutkan bahwa gelar Ahmad bin Isa adalah ‚Al-Naffat‛.38 Begitu pula kitab Al-Majdi karya Al-Umari (w.490 H).39 Tidak ada gelar ‚Al-Muhajir‛ bagi Ahmad bin Isa. Dua kitab ini cukup untuk disebutkan dalam rangka membantah tesis Alwi al-Haddad bahwa Ahmad bin Isa tidak bergelar  ‚Al-Naffat‛ dan ‚Al-Abh‛, karena dua kitab ini adalah termasuk yang tertua sebagai kitab yang menyebut Ahmad bin Isa dan keturunannya. Adanya riwayat lain yang menyebut bahwa gelar ‚Al-Naffat‛ itu untuk cucu Ahmad bin Isa, seperti riwayat dari kitab yang lebih muda dari keduanya, adalah hal lain yang dapat diuji validitas dan kekuatan kedua riwayat itu, karena bisa saja seorang cucu mempunyai gelar yang sama dengan kakeknya karena pekerjaan atau lainnya. Seharusnya, Alawi al-Haddad tidak boleh menafikan realitas riwayat yang terang-benderang menyebut Ahmad bin Isa bergelar ‚Al-Naffat‛ dan ‚Al-Abh‛ . Bahkan, di halaman sebelas dalam kitabnya itu, Alawi al-Haddad menyebutkan dengan tegas bahwa Al-Ubaidili dan Al-Umari tidak menyebutkan gelar ‚Al- Naffat‛. Apakah ia melakukan praktik ‚deliberately lie‛ (sengaja berdusta), atau ia tidak mampu memahami bahasa Arab dengan benar. Kedua-duanya mungkin. Kemungkinan ia melakukakn ‚deliberately lie‛ adalah untuk kasus kitab Tahdzib al-Ansab. Perhatikan redaksi Al-Ubaidili di bawah ini:

Terjemah:

‚Dan Ahmad bin Isa al-Naqib bin Muhammad bin Ali al-Uraidi, diberi gelar al-Naffat.‛

Sudah jelas, bahwa dalam redaksi Al-Ubaidili,   Ahmad bin Isa bergelar‚ Al-Naffat‛. Kenapa Alwi al-Haddad mengatakan bahwa Al-Ubaidili tidak menuliskannya? sulit kita mengatakan bahwa Alwi bin Tahir ini layak dijadikan rujukan, karena telah terbukti bahwa redaksi kutipannya berbeda dengan kitab atau manuskrip aslinya, patut diduga ia telah ‚sengaja berdusta‛. Untuk kasus kemungkinan ia tidak faham ilmu Bahasa Arab dan sengaja berbohong secara bersamaan, adalah untuk kasus kitab Al-Majdi. Perhatikan kalimat kitab Al-Majdi berikut ini:

Terjemah:

‚Dan Ahmad Abul Qasim al-Abh yang dikenal dengan ‚al-naffat‛ karena ia berdagang minyak nafat (sejenis minyak tanah), ia mempunyai keturunan di bagdad dari Al-Hasan Abu Muhammad al-Dalal Aladdauri di Bagdad, aku melihatnya (Al- Hasan) wafat diakhir umurnya di Bagdad, ia (Al-Hasan) anak dari Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa bin Muhammad (al-Naqib) bin (Ali) al- Uraidi.‛

Sangat jelas  sekali, Al-Umari menulis,    bahwa Ahmad yang berkunyah ‚Abul Qosim‛ itu bergelar ‚Al-Abh‛ dan dikenal pula dengan gelar ‚Al-Naffat‛. Kenapa Alwi al-Haddad mengatakan bahwa Al-Umari tidak mencatatnya bergelar ‚Al-Naffat‛? apakah karena ia salah membalikan ‚damir‛ (kata  ganti  dalam Bahasa Arab) dan salah memahami ‚siyaq al-kalam‛ (suatu proposisi yang difahami dari proposisi sebelumnya)? atau ia faham, namun sengaja ia putar bailkan ‚damir‛ dan ‚siyaq al- kalam‛ demi untuk membela nasabnya. Perhatikan tulisan Alwi al-Haddad, di dalam redaksinya ada satu hurup yang ia rubah dari kitab aslinya, ia pula tambahkan ‚tanda kurung‛ dalam beberapa kalimat sehingga pengertiannya akan berbeda 180 derajat:

Perhatikan ‚tanda kurung‛ di atas. Perhatikan pula satu huruf dirubah oleh Al- Haddad. Yaitu hurup yang terdapat dalam kalimat ‚min al-hasan‛ (dari Al-Hasan) dirubah hurup ‚mim‛ nya menjadi hurup ‚ba‛ menjadi ‚bin al-Hasan‛ (anak dari al-Hasan). Sebelum dirubah maka pengertiannya adalah, bahwa Ahmad Abul Qosim Al-Abh adalah Ahmad bin Isa yang mempunyai keturunan dari Al-Hasan. Ketika huruf ‚mim‛ itu dirubah menjadi ‚ba‛,   maka maknanya,   bahwa Ahmad Al-Abah itu bukan Ahmad bin Isa, tetapi Ahmad bin al-Hasan, yaitu cucu ke empat dari Ahmad bin Isa. Kesimpulan yang diinginkan oleh  Alwi  al-Haddad adalah bahwa Ahmad bin Isa tidak bergelar ‚Al-Abh‛ atau ‚Al-Naffat‛, tetapi gelarnya hanya ‚Al-Muhajir‛, padahal tidak ada ulama-ulama nasab dan sejarah dari abadke-3 sampai abad ke-9 yang menyebut Ahmad bin Isa dengan gelar ‚Al- Muhajir‛. Kenapa Ahmad bin Isa tidak bergelar ‚Al-Muhajir‛ seperti klaim abad ke-12 keluarga Ba’alwi? Jawabannya, karena memang Ahmad bin Isa tidak pernah berkunjung apalagi menetap dan berketurunan di Hadramaut.

Ahmad Bin Isa Tidak Mempunyai Anak Bernama Abdullah atau Ubaidillah

Di abad ke-9, Ali bin Abu Bakar al-Sakran dalam kitabnya Al-Burqat al- Musyiqat,  mengklaim bahwa keluarganya merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. dari jalur Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhmmad al-Naqib bin Ali al-Uraidi.43  Nasab semacam itu tertolak karena Ahmad bin Isa (w. 345 H.(?)) dalam  catatan  kitab-kitab  nasab  yang  paling  dekat  masanya  dengannya,  tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah.   Adapun kitab-kitab yang mengkonfirmasi bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah/Abdullah adalah:

Pertama, Kitab Tahdib al- Ansab wa Nihayat al-Alqab yang dikarang Al- Ubaidili (w.437 H.). Ketika ia menyebut keturunan Ali al- Uraidi, Al-Ubaidili tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Ia hanya menyebutkan satu anak dari Ahmad bin Isa, yaitu Muhammad. Kutipan dari kitab tersebut seperti berikut ini:

Terjemah:

‚Dan Ahmad bin Isa al-Naqib bin Muhammad bin Ali al-Uraidi, diberikan gelar Al- Naffat, sebagian dari keturunannya adalah Abu Ja’far (al-A’ma: yang buta) Muhammad bin Ali bn Muhammad bin Ahmad, ia buta di akhir hayatnya, ia pergi ke Basrah menetap dan wafat di sana. Dan ia mempunyai anak. Saudaranya di Al-Jabal (gunung) juga mempunyai anak.‛

Al-Ubaidili,  pengarang  kitab  Tahdzib  al-  Ansab  ini,  hidup  satu  masa dengan Alwi,  dan satu masa pula dengan ayahnya yaitu Ubaidillah. Menurut kitab Lisan al-Mizan karya Ibnu Hajar al-Asqalani (w.852 H.), Al-Ubaidili wafat pada tahun 436 atau 437 Hijriah, berarti hanya 36 atau 37 tahun setelah wafatnya Alwi pada tahun 400 Hijriah (?), ditambah, dalam kitab tersebut dikatakan, umur Al- Ubaidili mencapai 100 tahun,45 berarti Al-Ubaidili lahir pada 336/337 Hijriah, dan Ubaidillah yang merupakan ayah Alwi wafat pada tahun 383 H. (?), maka ketika Ubaidllah ini wafat, Al-Ubaidili sudah berumur 47 tahun, dan ketika wafatnya Alwi, Al-Ubaidili sudah mencapai umur 60 tahun lebih, tentunya pengetahuan dan kebijaksanaanya sudah mencapai derajat ‚siqah‛ (terpercaya). 

Ditambah disebutkan dalam kitab yang sama, Al-Ubaidli ini selama hidupnya sering mengunjungi banyak negara seperti: Damaskus, Mesir, Tabariyah, Bagdad dan Mousul,46 jika demikian, seyogyanya Al-Ubaidili, ketika menerangkan keturunan Ahmad bin  Isa,  ia mencatat  nama Alwi sebagai cucu  Ahmad bin  Isa dan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, tetapi kenyataanya Al-Ubaidili tidak menyebutkannya, kenapa? Karena memang dua nama ini tidak ditemukan sebagai anak dan cucu Ahmad bin Isa. Apalagi, seperti yang disebutkan Muhammad Dliya Syahab dalam kitabnya Al-Imam Ahmad al-Muhajir, bahwa Ahmad bin Isa ini adalah seorang ‛ Imam‛,47 tentunya jika benar seorang ‚imam‛, maka ia akan dikenal khalayak ramai, bukan hanya pribadinya tapi juga anak-anaknya dan cucu- cucunya, tetapi kenyataannya, ulama yang semasa hidupnya dengan Alwi, yaitu Al-Ubaidili, tidak menyebut Alawi sebagai cucu Ahmad bin Isa.

Kedua, Kitab Al-Majdi fi Ansab al-Talibiyin karya Sayyid Syarif Najmuddin Ali bin Muhammad al-Umari al-Nassabah ) (w.490 H.). dalam kitab itu ia menyebutkan, bahwa di antara keturunan Ahmad bin Isa ada di Bagdad, yaitu dari Al-Hasan Abu Muhammad al-Dallal Aladdauri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa. Sama seperti Al-Ubaidili, Al-Umari hanya menyebutkan satu anak saja dari Ahmad bin Isa. Kutipan lengkapnya seperti di bawah ini:

Terjemah:

‚Dan Ahmad Abul Qasim al-Abah yang dikenal dengan ‚al-Naffat‛ karena ia berdagang minyak nafat (sejenis minyak tanah), ia mempunyai keturunan di bagdad dari al-Hasan Abu Muhammad ad-Dalal Aladdauri di Bagdad, aku melihatnya wafat diakhir umurnya di Bagdad, ia anak dari Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa bin Muhammad (an-Naqib) bin (Ali) al-Uraidi.‛

Dari kitab Al-Majdi karya Al-Umari tersebut, disimpulkan bahwa salah seorang anak dari Ahmad bin Isa bernama Muhammad, yang demikian itu sesuai dengan kitab Tahdzib al-Ansab‛ karya Al-Ubaidili. Perbedaan dari  keduanya adalah, Al-Umari menerangkan tentang keturunan Ahmad bin Isa yang bernama Muhammad bin Ali di Basrah, sedangkan Al-Ubaidili menerangkan tentang anak dari Muhammad bin Ali yaitu Al-hasan yang sudah pindah ke Bagdad. Kedua kitab abad lima ini sepakat, bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Muhammad dan tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad.

Ketiga, Kitab Muntaqilat al- Thalibiyah karya Abu Ismail Ibrahim bin Nasir ibnu Thobatoba (w.400 an H.), yaitu sebuah kitab yang menerangkan tentang daerah-daerah lokasi perpindahan para keturunan Abi Thalib. Dalam kitab itu disebutkan, bahwa keturunan Abi Thalib yang ada di Roy adalah Muhammad bin Ahmad al-Naffat.

Terjemah:

‚Di Kota Roy, (ada keturunan Abu Tholib bernama) Muhammad bin Ahmad an- Naffat bin Isa bin Muhammad al-Akbar bin Ali al-Uraidi. Keturunannya (Muhammad bin Ahmad) ada tiga: Muhammad, Ali dan Husain.‛

Dari  kutipan  itu,  Ahmad  bin  Isa  disebutkan  mempunyai  anak  bernama Muhammad, sama seperti kitab Tahdib al- Ansab dan kitab Al-Majdiy.    Abad kelima, konsisten, berdasarkan tiga kitab di atas,  bahwa tidak ada anak Ahmad bin Isa bernama Ubaidillah, dan tidak ada cucu Ahmad bin Isa bernama Alwi, padahal penulisnya semasa dengan Ubaidillah dan Alwi.

Kitab Al-Syajarah al-Mubarakah karya Imam Al-Fakhrurazi (w.606 H.), kitab itu selesai ditulis pada tahun 597 Hijriah, dalam kitab itu Imam Al- Fakhrurazi menyatakan dengan tegas bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah. Kutipan dari kitab itu sebagai berikut:

Terjemah:

‚Adapun Ahmad al-Abh, maka anaknya yang berketurunan ada tiga: Muhammad Abu ja’far yang berada di kota Roy, Ali yang berada di Ramallah, dan Husain yang keturunanya ada di Naisaburi.‛

Dari kutipan di atas, Imam Al-Fakhrurazi tegas menyebutkan bahwa Ahmad al-Abh bin Isa keturunannya hanya dari  tiga anak,  yaitu:  Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaidilah atau Abdullah, baik yang berketurunan, maupun tidak.. Ia menyebutkan jumlah anak Ahmad bin Isa dengan menggunakan ‚jumlah ismiyah‛ (proposisi dalam Bahasa Arab yang disusun menggunakan kalimat isim atau kata benda) yang menunjukan ‚hasr‛ (terbatas hanya pada yang disebutkan). Para ahli nasab mempunyai kaidah-kaidah khusus dalam ilmu nasab, diantaranya, jika menulis dengan ‚jumlah fi’liyah‛ (proposisi Bahasa  Arab  yang  disusun  dengan  menggunakan  kalimat  fi’il  atau  kata  kerja) misalnya dengan lafadz    ثٚثة من
 
َب ْعَق أَ    (ia berketurunan   dari tiga anak), maka maksudnya jumlah anak yang dipunyai tidak terbatas kepada bilangan yag disebutkan, masih ada anak yang tidak disebutkan karena suatu hal. Tetapi jika menggunakan ‚jumlah ismiyah‛ seperti kalimat kitab Al-Syajarah al-Mubarakah itu, maka maksudnya adalah jumlah anak yang berketurunan hanya terbatas kepada bilangan yang disebutkan. Syekh Mahdi al-Raja’iy dalam kitabnya Al-Mu’qibun mengatakan:

Terjemah:

‚Dan sebagian dari istilah para ahli nasab adalah apabila mereka berkata ‘’aqibuhu min fulan’ (keturunannya dari si fulan) atau ‘al-‘al-aqbu min fulan’ (keturunan(nya) dari si fulan) maka itu menunjukan bahwa bahwa anaknya yang berketurunan terbatas kepada anak itu; dan ucapan ahli nasab ‘a’qoba min fulan’ maka itu menunjukan bahwa seseungguhnya anaknya yang berketurunan tidak terbatas pada anak (yang disebutkan) itu.‛

Kita lihat dalam kitab Al-Syajarah al-Mubarakah menggunakan redaksi ‚jumlah ismiyah‛ : ‚fa ‘aqibuhu min salasati banin‛ (maka keturunan Ahmad Al-Abh itu dari tiga anak) Artinya, Imam Al-Fakhrurazi telah yakin seyakin-yakinnya, berdasar pengetahuannya dari sejumlah saksi, bahwa jumlah anak yang berketurunan dari Ahmad hanya terbatas kepada tiga anak: Muhammad, ‘Ali dan Husain. .  Ahmad al-Abh tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah  dan tidak mempunyai cucu bernama  Alwi. Dari ketiga anaknya itu, semuanya, menurut Imam al-fakhrurazi, tidak ada yang tinggal di Yaman. Dari sini kesempatan masuknya nama lain sudah tertutup secara ilmiyah.

Imam al-Fakhrurazi, penulis kitab Al-Syajarah al-Mubarokah tinggal di Kota Roy, Iran, di mana di sana banyak keturunan Ahmad bin Isa dari jalur Muhammad Abu Ja’far, tentunya informasi tentang berapa anak yang dimiliki oleh Ahmad bin Isa, ia dapatkan secara valid dari keturunan Ahmad yang tinggal di Kota Roy. Sampai pengarang kitab ini wafat tahun 606 Hijriah, sudah 261 tahun dihitung mulai dari wafatnya Ahmad bin Isa, tidak ada riwayat, tidak ada kisah, tidak ada kabar bahwa Ahmad bin Isa pernah punya anak yang bernama Ubaidillah dan cucu yang bernama Alwi.

Kitab Al-Fakhri fi Ansabitalibin karya Azizuddin Abu Tolib Ismail bin Husain al-Marwazi (w.614 H.) menyebutkan yang sama seperti kitab-kitab abad kelima, yaitu hanya menyebutkan satu jalur keturunan Ahmad bin Isa yaitu dari jalur Muhammad bin Ahmad bin Isa. Adapun kutipan lengkapnya adalah:

Terjemah:

‚Sebagian dari mereka (keturunan Isa al-Naqib) adalah Abu Ja’far al-a’ma (yang buta) Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad al- Abh, ia punya anak di Basrah, dan saudaranya di ‘Al Jabal‛ di Kota Qum, ia punya anak.‛

Sampai abad ketujuh ini tidak ada nama anak Ahmad yang bernama Ubaidillah dan pula tidak ada disebutkan bahwa Ahmad bin Isa Hijrah ke Hadramaut dan mempunyai keturunan di sana.
Kitab Al-Asili fi Ansabittholibiyin karya Shofiyuddin Muhammad ibnu al- Toqtoqi al-Hasani (w.709 H.) menyebutkan satu sampel jalur keturunan Ahmad bin Isa yaitu melalui anaknya yang bernama Muhammad bin  Ahmad    bin Isa. Kutipan lengkapnya seperti berikut ini:

Terjemah:

‚Dan dari keturunan Ahmad bin Isa an-Naqib adalah al-Hasan bin Abi Sahal Ahmad
bin Ali bin Abi Ja’far Muhammad bin Ahmad.

Kitab Al-Sabat al Musan karya Ibn al- A’raj al-Husaini (w.787 H.) ia mengatakan bahwa sebagian  anak Ahmad bin Isa adalah  Muhammad. Ia tidak menyebut ada anak Ahmad bin Isa yang bernama Ubaidillah atau Abdullah. Lihat kutipan di bawah ini:

Terjemah:

‚Dan adapun Ahmad, maka ia berketurunan dan dari keturunannya adalah Abu Muhammad al Hasan al-Dallal di Bagdad, guruku al-umari melihatnya di Bagdad, dan ia meninggal di Bagdad, ia adalah putra Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa al-Rumi, dan ia mempunyai beberapa anak diantaranya Abul Qasim Ahmad al-Asyaj yang dikenal dengan al-Naffath‛

Demikian pula, telah 442 tahun berlalu, sejak kematian Ahmad bin Isa, tidak ada nama anak Ahmad yang bernama Ubaidillah dan pula tidak ada disebutkan Ahmad bin Isa berhijrah ke Hadramaut dan mempunyai keturunan di Hadramaut. Dalam kitab nasab yang mu’tabar (yang diakui oleh para ahli) di abad sembilan yaitu kitab Umdat al-Talib karya Ibnu Inabah (w.828 H.), Ahmad bin Isa tidak disebut mempunyai anak bernama Ubaidillah atau Abdullah. Ibnu Inabah mengatakan:

Terjemah:

‚Sebagian dari keturunan Muhammad al-Naqib adalah Ahmad al-Ataj bin Abi Muhammad al-Hasan al-Dallal bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa al-Akbar.

Sampai awal abad Sembilan ini, seluruh kitab-kitab nasab yang mu’tabar tidak ada yang menyebutkan bahwa Ahmad  bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah, bersamaaan dengan itu, kitab abad ke-enam yaitu Al-Syajarah a- Mubarokah karya Imam Fakhrurazi yang ditulis tahun 597 Hijriah menegaskan bahwa anak Ahmad bin Isa hanya tiga saja, yaitu Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak Ahmad bin Isa, baik yang berketurunan maupun tidak,  yang bernama Ubaidillah atau Abdullah. Dari situ, adanya berita setelah tahun 597 Hijriah yang menyatakan adanya nama lain dari anak Ahmad bin Isa selain Muhammad, Ali dan Husain tertolak dan batal. Sebenarnya pembahasan untuk memvalidasi siapa anak Ahmad bin Isa selesai sampai di sini. Telah terbukti anak Ahmad bin Isa tidak ada yang bernama Ubaidillah atau Abdullah, nasab Ba’alwi sampai di sini sudah terbukti nasab yang palsu. Tetapi penulis akan membawa pembaca untuk mengetahui kronologis dari pengakuan mereka sebagai keturunan Nabi itu, maka di depan akan dibahas bahwa di Yaman ada tiga nama baru yang muncul dikatakan sebagai anak Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, mereka adalah Jadid, Abdullah dan Ubaidillah. Ketiganya adalah nama susupan dalam keluarga Ahmad bin Isa yang tertolak berdasarkan ilmu pengetahuan. Penulis akan membahasanya dalam beberapa judul di bawah ini. 

Nasab Syarif Abil Jadid dari Kabilah Alu Abi Alwi

Ada seorang sejarawan Yaman bernama Al-Janadi (w.732 H.) menulis sebuah kitab berjudul Al-Suluk fi Tabaqat al-Ulama wa al-Muluk, sebuah kitab yang berbicara tentang sejarah para ulama dan para raja di Yaman. hari ini, kita dapat membaca versi cetaknya yang diterbitkan oleh Maktabah Al-irsyad di kota San’a tahun 1416 Hijriah. Kitab itu di-tahqiq oleh Muhammad bin Ali al-Akwa’ al-Hiwali. Menurut Al-Hiwali, versi cetak itu berdasarkan dua manuskrip yang ia dapatkan, pertama dari Dar al-Kutub al-Misriyyah. Manuskrip ini selesai ditulis oleh Al-Ara>bi bin Ahmad bin ‘Ali bin Husain al-Halwa>ni pada hari Sabtu tanggal tujuh Dulhijjah tahun 877 Hijriah. Manuskrip yang kedua terdapat di Paris, ditulis oleh Ahmad bin Yahya bin Ismail bin al-Abbas bin Daud bin Yusuf bin Umar bin Ali bin Rasul (putra Raja Yahya bin al-Malik al-Asraf  Ismail).  

Manuskrip  ini selesai ditulis hari Senin tanggal sembilan Sha’ban tahun 820 Hijriah.56 Berarti, manuksrip Paris itu,  ditulis setelah delapan puluh delapan tahun dari  wafatnya Al-Janadi, dan manuskrip Dar al-Kutub al-Mishriyah ditulis setelah 145 tahun setelah wafatnya. Di dalam kitab itu, terdapat silsilah seorang ulama yang bernama Abul Hasan Ali yang dikenal dengan nama Syarif Abul jadid, nasabnya disambungkan kepada Ahmad bin Isa. inilah kitab pertamakali yang menyebut adanya  anak Ahmad bin Isa selain dari tiga anak yang disebut kitab Al-Syajarah al-Mubarokah di abad ke-6. Dalam versi manuskrip Paris, Abul  hasan Ali  disebut keturunan Ahmad bin Isa melalui ‚anak‛ nya yang bernama Jadid, dalam versi Darul Kutub al-Misriyyah dari ‚anak‛ nya yang bernama Abdullah. Kemungkinan penyambungan Abul Hasan Ali kepada Ahmad bin Isa itu merupakan kesalahan kutip dari Al-Janadi atau dari penyalin, sangat besar, karena, keluarga ‚Alu Abi Alwi‛ pada periode sebelum dan sesudahnya, hanya dikenal para sejarawan sebagai keturunan Arab dari suku Qahtan sebagaimana nanti akan dijelaskan.

Dalam versi manuskrip Paris tahun 822 Hijriah redaksi kitabnya adalah sebagai berikut:

Terjemah:

‚Dan aku ingin memberikan susulan nama-nama orang-orang yang datang ke Ta’iz dan belajar di sana. Mereka adalah jama’ah dari tingkatan pertama. sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Ahmad bin Hadif (Jadid, dua riwayat manuskrip) bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman. Asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf. Termasuk didalamnya para ahli fikih yang akan datang penyebutan mereka yang aku ketahui dengan benar, insya Allah Ta’ala, bersama ahli negerinya.‛ Sedangkan   dalam   versi   manuskrip   Mesir   tahun   877   Hijriah   bunyi redaksinya sebagai berikut:

Dan aku ingin memberikan susulan nama-nama orang-orang yang datang ke Ta’iz dan belajar di sana. Mereka adalah jama’ah dari tingkatan pertama. sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Ahmad bin Hadif (Jadid, dua riwayat manuskrip) bin Ali bin bin Muhammad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman. Asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf. Termasuk didalamnya para ahli fikih yang akan datang penyebutan mereka yang aku ketahui dengan benar, insya Allah Ta’ala, bersama ahli negerinya.‛

Baik versi Jadid ‚bin‛ Ahmad bin Isa, maupun versi Abdullah ‚bin‛ Ahmad bin Isa, kedua-duanya tertolak sebagai anak Ahmad bin Isa, dikarenakan adanya riwayat yang tegas dari kitab Al-Syajarah al-Mubarakah di abad ke-6 Hijriah bahwa anak Ahmad bin Isa berjumlah tiga orang, yaitu: Muhammad, Ali dan Husain. Alasan lain adalah karena kitab-kitab sejarah di abad ke-4 Hijriah menyebut Banu Alwi sebagai keturuna Qahtan. Menurut penulis, Banu Alwi yang disebut Al-Hamadani (w.344 H.) dalam kitabnya Al-Iklil fi Akhbaril Yaman wa Ansabi Himyar (kitab Al-Iklil memuat kisah-kisah Negara Yaman dan nasab Himyar) adalah klan yang sama dengan Alu Abi Alwi di Yaman yang menjadi klan dari Abul Hasan Ali. Dalam penulisan nasab di Yaman kalimat ‚banu‛ sering disingkat  dengan  kata  ‚ba‛,  seperti  kalimat  ‚Banu  Fadal‛  disingkat  ‚Bafadal‛‚ Banu’alwi‛ disingkat ‚Ba’alwi‛ dan sebagainya. Kemudian dari kata  ‚ba‛  ini, sering kurang tepat ditulis dengan kalimat ‚aba‛. Banu Alwi adalah keluarga terhormat    di  Yaman,  oleh  karena  itu  Al-Hamadani  menyebut  mereka  dengan
‚Syarif‛. Jadi, kalimat ‚syarif‛ untuk keluarga Banu Alwi bukan karena ia keturunan Nabi Muhammad Saw., tetapi karena memang mereka adalah keturunan Kahlan bin Saba yang merupakan penguasa Hadramaut dari Dinasti Qahtan. Kahlan sendiri, adalah saudara kandung dari Himyar bin Saba. Keluarga Banu Alawi dinisbahkan kepada Alawi bin Ayan (Alyan dalam riwayat lain). Keluarga Banu Alwi, selain disebut Al-Hamadani dalam Al-Iklil, ia disebut juga oleh Ibnu Hazm (w.456 H.) dalam kitab Jamharat Ansabil Arab (kitab kumpulan nasab orang Arab).59

Al-Hamadani berkata:

Terjemah:

‚Maka mereka adalah Banu Alwi bin ‘Ayan, mereka telah sedikit di kampung- kampung negara Hamadan, dan tidak tersisa dari mereka kecuali rumah Keluraga Alu ‘Asim, Alu Rausha, Alu Hakim, keluarga-keluarga kecil. Dan sebagian dari Bani Alwi adalah Shuraih bin Malik, aku tidak tahu dari keluarga mana ia. Dan berkata sebagian cendikiawan Arhab bahwa Alwi kadang di ‚tasgir‛ (menjadi ‘Ulawi), kadang pula tidak di‛tasgir‛ (Alwi). Mereka berkata Alwi bin Alyan bin Alwi mempunyai anak. Alyan bin Alwi mempunyai anak Alwi yunior. Darinyalah menyebar Banu Alwi. Selesai pembicaraan Banu Alwi.‛

Perhatikan kalimat ‚Wamin asyara>fi bani alwi..‛ (dan sebagaian dari syarif-syarif bani alwi). Bani alwi sejak dulu disebut ‚Asyra>f‛, bukan karena ia keturunan Nabi Muhammad Saw, tetapi karena mereka adalah orang-orang yang terhormat dari keturunan Kahlan dari Bani Qohton yang menguasai Hadramaut di abad ke-4 sebelum Islam. Alwi bin Ayan ini, hidup satu masa dengan leluhur Nabi Muhammad Saw. Qusay bin Kilab. Nantinya, keturunan Alwi bin Ayan ini disebut Banu Alawi, dan banyak melahirkan tokoh-tokoh besar dalam perjuangan Islam dan dalam bidang ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Ilmu Hadits. Ibnu Hazm menyebut,  keturunan Banu Alwi yang popular diantaranya adalah Yazid bin Qais, yang menjadi ‚Sa>hibu syurthat‛ (Kepala Polisi) di masa Sayyidina Ali Ra.61. Al-Hamadani,   menyebut Yazid bin Qais ini sebagaimana  di  sebut Ibnu Hazm, kecuali itu, Al-Hamadani pula menyebut bahwa Qais ini juga diangkat Ali sebagai penguasa Asfihan.62 Nama lain yang popular dari keluarga Banu Alwi adalah Amr bin Salmah. Al-Hamadani menyebutnya sebagai ‚Syari>fan nabi>han dzahinan kaliman‛ (Seorang syarif yang cerdas, penghapal yang kuat, dan ahli bicara). Ia termasuk orang dekat Sayidina Ali. Ketika Hasan bin Ali mengadakan perdamaian dengan Muawiyah, Amr bin Salmah diutus Hasan bersama Muhammad bin al-Ash’ats untuk menemui Muawiyah. Muawiyah sangat kagum kepada Amr akan kelantangan dan kefasihannya dalam bicara, juga akan kecerdasannya. Muawiyah bertanya kepada Amr: Apakah engkau dari keluarga Mudhar? Amr menjawab ‚Ana> Amr bin Salmah al-Hamadani al-Arhabi al-Alwi‛ (Aku adalah Amr bin Salmah dari Hamadan, kemudian dari Arhab, kemudian dari Banu Alwi).63 Hamadan dan Arhab adalah dua buah Kota Yaman.

keluarga Banu Alwi juga dikenal sebagai para perawi hadits. Diantara para perawi hadits dari keluarga Banu Alwi, seperti yang disebut oleh Ibnu Hajar al- Asqalani dalam kitab Al-Tahdib, adalah Amr bin Salmah di atas. Selain disebut al- Asqalani, Amr bin Salmah, disebut juga oleh Abi Hatim al-Razi dalam kitabnya Al-jarhu Wat Ta’dil, disebut pula oleh Imam Adzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala dan al-Khatib al-Bagdadi dalam Tarikh Bagdad. Selain dari Amr bin Salmah, perawi hadis dari keluarga Banu Alawi adalah Amr bin Yahya, ia adalah salah satu guru dari Ibnu Abi Syaibah. Abul Hasan Ali atau Syarif Abul Jadid (w. 620 H.) yang disebut Al-Janadi dalam Al-Suluk itu, juga adalah seorang ahli hadits  dan  bagian  dari  ‚asyra>f‛.  Dua  benang  merah  ini,  yaitu  ahli  hadits  dan
‚asyra>f‛ menguatkan dugaan bahwa Abul Hasan ini adalah keturunan dari Banu Alwi tersebut. Kemungkinan besar, penyalin kitab Al-Suluk ketika menyambungkan nasab Syarif Abul jadid kepada Ahmad bin Isa di abad ke-9 terpengaruh oleh masivnya pengakuan keluarga Abdurrahman Assegaf waktu itu sebagai Alu Abi Alwi yang terdapat di Al-Suluk. Ketika sebelumnya, keluarga ini mengakui leluhur mereka saudara dari leluhur keluarga Al-Ahdal yang dalam salah satu namanya terdapat nama Alwi, maka ketika melihat dalam Al-Suluk terdapat nama Alwi, mereka menduga Alu Abi Alwi ini adalah leluhur mereka itu. 

Walaupun pada mulanya, keluarga Al-Ahdal dan Abdurrahman Assegaf mengaku bersaudara dengan sama-sama mempunyai leluhur Alwi, tetapi hari ini, nasab mereka ketika menyambungkan kepada Nabi Muhammad Saw. berbeda-beda. Nama pokok dari leluhur mereka tetap ada dalam dua silsilah mereka yaitu: Ubaid, Isa dan Alwi, tetapi susunan dan jalurnya kini telah berbeda. Keluarga Al-Ahdal menyambungkan nasabnya melalui Aon bin Musa al-Kadim, sedangkan keluarga Abdurrahman Assegaf melalui adik Musa al-kadim yaitu Ali al-Uraidi. Secara mendetail, masalah ini akan dijelaskan kemudian. Pada tahun 839 Hijriah, nama kabilah Abu Alwi ditulis oleh Al-Maqrizi dalam kitabnya Al-Turfat al-Garibat sebagai ‚Arab Hadramaut‛.64 Dari sini, linier antara berita dari Al-Hamadani di abad ke-4 sampai Al-Maqrizi di abad ke-9 bahwa kabilah Abu Alwi adalah orang Arab dari Hadramaut, bukan keturunan Nabi Muhammad Saw. kesimpulan sub judul ini adalah, silsilah Abul Hasan Ali kepada Ahmad bin Isa, baik melalui Jadid bin Ahmad bin Isa, maupun Abdulah bin Ahmad bin Isa, tertolak karena Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak bernama Jadid dan Abdullah, sebagaimana ditegaskan kitab Abad ke-6, Al-Syajarah al-Mubarokah.

CATATAN AKHIR

31 Ahmad bin Hasan al-Muallim, Al-Quburiyah fi al Yaman (Dar ibn al-jauzi, Al-Mukalla, 1425H) h.253

32 Al-janadi, Al-Suluk Fi Tabaqat al-Ulama Wa al-Muluk, (Maktabah Dar al-Irsyad, San’a, 1416 H) juz 1 h. 173

33 Al-janadi… juz 1 h.173

34 Abu Muhammad al-Tayyib Abdullah bin Ahmad Ba Makhramah, Qaladat al-Nahr Fi Wafayyat A’yan al-Dahr (Dar al-Minhaj, Jeddah, 1428 H.) juz 2 h. 618.

35 Abu Muhammad… Ba Makhramah… juz 2 h.618.
 
36 Lihat Abubakar bin Abdullah al-Idrus, Al-Juz’ al-Latif, dalam Diwan al-‘Adni (Dar al- Hawi, libanon, 1432 H.) h. 493.

37 Alwi bin Tahir al-Haddad, Footnote Uqud al-Almas (Matba’ah Al-madani, Cet. Ke-2, T.tp. 1388 H.)  juz 2 h.7 

38 Al-Ubaidili, Tahdib al-Ansab, (T.pn. T.tp. t.t.) h. 176

39 Al-Umari…h. 337.

40 Al-Ubaidili,.. h. 176

41 Al-Umari… h. 337

42 Alwi bin tahir… juz 2 h. 15 

43 Lihat Ali bin Abu Bakar al-Sakran…h. 151.

44 Al-Ubaidili… h. 176

45 Ibnu Hajar al-Asqolani, Lisan al-Mizan (Mu’assasat al-A’lami Lil al-Matbu’at, Beirut, 1390 H. ) juz 5 h.366

46 Ibnu Hajar al-Asqolani…juz 5 h.366

47 Muhammad Diya Shihab, Al-Imam Ahmad al-Muhajir …h.42

48 Al-Umari…h. 337 

49 Abu Ismail Ibrahim bin Nasir ibnu Thobatoba, Muntaqilat al-Talibiyyah (Matba’ah Al-Haidarah Najaf, 1388 H.) h.160.

50 Imam Fakhruddin al-Razi, Al-Syajarah al-Mubarakah (Maktabah Ayatullah al-Udma al-Mar’ashi, Qum, 1419 cet. Ke-2) h. 111
 
51 Mahdi al-Roja’I, Al-Mu’qibun> 14 Min Al Abi Talib (Mu’assasah Ashura, Qum, 1427 H) h.

52 Sayid Azizuddin Abu Tholib Ismail bin Husain al-Mawarzi al-Azwarqani, Al-Fakhri fi ansaabitholibin,(Maktabah Ayatullah al-Udma, Qum, 1409 ) h. 30

53 Shofiyuddin Muhammad ibnu al-Toqtoqi al-Hasani, Al-Asili fi Ansabittholibiyin (Matba’ah Ayatullah al-Udma, Qum, 1318) h. 212

54 Ibn al- A’raj al-Husaini, Al-Sabat al-Musan (Maktab Ulum al-Nasab, Tahqiq Halil bin Ibrahim bin Halaf al-Dailami al-Zabidi, T.t. T.Tp.) h.83-84

55 Ibnu Inabah…h. 225
 
56 Lihat Al-Janadi…juz 1 h.46-47  

57 Redaksi ini berdasarkan keterangan pentahqiq kitab Al-Suluk, Al-Hiwali, menurutnya, dalam versi manuskrip Paris silsilah Abul Jadi seperti dalam redaksi ini. Lihat Muhammad bin Ali al-Akwa’ Al-Hiwali dalam footnote Al-Janadi, Al-Suluk fi Tabaqat al-Ulama wa al- Muluk (Maktabah al-Irsyad, San’a, 1414 H.) Juz 2 h. 135

58Al-Janadi…Juz 2 h. 135.

59 Lihat Ibnu Hazm Al-Andalusi, Jamharat Ansabil Arab, (Dar al-Ma’arif, Kairo, T.t.) cet. Ke-5 h. 896

60   Al-Hamadani, Al-Iklil (Al-Maktabah al-Syamilah, T.tp. T.t.) h. 36

61 Lihat Ibnu Hazm…h. 896

62   lihat Al-Hamadani…h.35.

63   Lihat Al-Hamadani…h.36

LihatTutupKomentar