Keutamaan Puasa Ramadan

Keutamaan Bulan Ramadan Keutamaan Puasa bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas. an-penjelas

Keutamaan Puasa Ramadan

 Nama kitab: Terjemah Durratun Nashihin, Durrotun Nasihin
Judul asal: Durrat al-Nasihin fi al-Wa'zhi wa al-Irsyad
Judul asal dalam teks Arab: درة الناصحين في الوعظ والإرشاد
Makna: Mutiara Ahli Nasihat dalam Petuah dan Tuntunan Agama
Penulis: Umar bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khaubari (عثمان بن حسن بن أحمد الشاكر الخويري)
Bidang studi: Etika budi pekerti Islam, akhlak mulia, tasawuf
Penerjemah:

Daftar isi

  1. Keutamaan Bulan Ramadan
  2. Keutamaan Puasa
  3. Kembali ke: Terjemah Durratun Nashihin 

1. KEUTAMAAN BULAN RAMADAN

Allah Taala berfirman :

Artinya : (Beberapa hari yang ditetapkan itu, ialah) Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas. an-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil), (as. Al Baqarah : 185) Tafsir :

(.  ) adalah mubtada (perman kalimat atau subjek) yang khabar (predikat)nya adalah kalimat sesudulaahnya. Atau, khabar (predikat) dari mubtada (subjek) yang mahzutf (dihilangkan), yang kalau ditampakkan akan berbunyi : (. ). Atau, badal (kalimat pengganti) dari kata Asal ,  berdasarkan hazful (hilang mudhaf), yang kalau ditampakkan bunyinya adalah :    Kata  dibaca manshub atas dasar adanya kata  yang tersembunyi, atau atas dasar bahwa   adalah maf’ul dari kalimat , tetapi pendapat yang terakhir ini lemah. Atau bisa juga ia dianggap sebagai badal (kata ganti) dari kalimat   Kata  berasal dari kata  , yang artinya masyhur atau terkenal. Sedangkan kata   adalah masdar (kata dasar) dari kata  , yang artinya terbakar. Kata disandarkan kepadanya, sedangkan ia (.   ) dijadikan isim alam (kata nama), yang tercegah dari tasrif (tidak menerima tanwin) karena ia isim alam (kata nama) yang diakhiri oleh alif nun (.    ), (seperti kata-kata nama :   dan lain-lain, pent.), sebagai-mana kata   di dalam kalimat , yaitu nama dari burung gagak (kata   ini juga menjadi tidak boleh ditasrif) karena felah menjadi isim alam (kata nama) yang muannats (jenis betina).

Adapun sabda Nabi saw. : ( ) yang artinya : “Barangsiapa berpuasa (di bulan) Ramadan”, maka dasarnya adalah hazful mudhaf (hilang mudhaf), artinya : kata tidak dicantumkan lagi, karena dianggap kata   sudah dipahami sebagai nama bulan, sehingga tidak mungkin diartikan lain.

Dan bulan itu mereka namakan demikian (.  ) karena mungkin saking panasnya cuaca pada saat itu sehingga seakan-akan mereka terbakar, atau bisa juga karena panasnya rasa lapar dan dahaga, atau bisa juga karena terbakarnya dosa-dosa pada bulan itu, atau karena bulan itu terjadi pada musim ramadh, yakni musim panas, pada saat mereka menukil nama-nama bulan dari bahasa kuno.

(.  ) maksudnya : yang pada bulan itu Alquran mulai diturunkan, tepatnya pada malam (Lailatul Qadar). Atau, yang pada bulan itu, Alquran diturunkan seluruhnya ke langit yang terendah (langit dunia), selanjutnya secara bertahap diturunkan ke bumi. Atau, yang pada bulan itu diturunkan ayat Alquran, yang berkaitan dengan bulan (Ramadan) itu, yaitu firman Allah Taala : (.   ) yang artinya : Diwajibkan atas kamu berpuasa”.

Diriwayatkan dari Nabi saw. yang artinya : “Suhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim as. diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan. Kitab Taurat diturunkan pada malam keenam bulan Ramadan. Kitab Injil diturunkan pada malam kesepuluh bulan Ramadan. Kitab Zabur diturunkan pada malam kedelapan belas bulan Ramadan, dan Alquran diturunkan pada malam kedua puluh empat bulan Ramadar”.

Isim maushul (.  ) dan shilahnya  adalah khabar (predikat) dari mubtada (.  ), atau sifatnya. Kalau ia dianggap sebagai sifat dari mubtada, maka khabar mubtadanya adalah kalimat selanjutnya, yaitu : faman syahida (.  ). Huruf fa (.  ) pada kalimat faman syahida adalah untuk mensifati mubtada dengan sifat yang mengandung makna syarath, yang memberi pengertian bahwa, diturunkannya Alquran pada bulan Ramadan itulah yang menjadi sebab diwajibkannya puasa secara khusus pada bulan itu.

(.   ) kalimat ini menjadi hal (keterangan) bagi kata Alquran. Maksudnya : Alquran diturunkan pada bulan Ramadan dan ia merupakan petunjuk Allah bagi manusia dengan kemukjizatannya dan ayat-ayatnya yang jelas, yang dapat menunjukkan kepada kebenaran, dan membedakan antara yang benar dan yang salah, karena hikmat-hikmat dan hukum-hukum yang terkandung di dalam Alquran tersebut. (Aadhi Baidhawi).

 

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra. bahwa ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda :

 

Artinya : “Terhinalah orang yang aku disebut di sisinya namun ia tidak mengucapkan salawat untukku. Terhinalah orang yang kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya ada padanya namun dia tidak melakukan sesuatu perbuatan pun untuk memenuhi hak mereka yang dapat menyebabkan dia masuk surga. Dan terhinalah orang yang didatangi bulan Ramadan namun sebelum ia diampuni, bulan Ramadan itu telah habis”.

 

Karena bulan Ramadan itu adalah bulan rahmat dan ampunan dari Allah Taala. Jadi, kalau dia tidak diampuni pada bulan itu maka merugilah dia. (Zubdatul Wa’izhin).

 

Dan diriwayatkan pula dari Rasulullah saw. bahwa Beliau bersabda :

 

Artinya : “Barangsiapa membaca salawat atasku pada hari Jumat sebanyak seratus kali, maka kelak pada hari kiamat ia datang disertai cahaya, yang seandainya cahaya itu dibagi-bagikan kepada seluruh makhluk, niscaya meratai mereka semua”. (Zubdatul Wa. ‘izhin)

 

Dan diriwayatkan pula dari Nabi saw. bahwa Beliau bersabda :

 

Artinya : “Barangsiapa merasa gembira dengan masuknya bulan Ramadan maka Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka”.

 

Dan sabdanya pula :

 

Artinya : Apabila tiba malam pertama bulan Ramadan, Allah Taala berfirman : “Barangsiapa yang mencintai Kami maka Kami pun mencintainya. Barangsiapa mencari Kami maka Kami pun mencarinya. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada Kami maka Kami pun mengampuninya demi kemuliaan bulan Ramadan”. Lalu, Allah Taala menyuruh para malaikat pencatat amal yang mulia agar pada bulan Ramadan mereka mencatat kebaikan-kebaikannya saja dan tidak mencatat keburukan-keburukannya. Dan Allah Taala menghapuskan darinya dosa-dosa yang telah lewat.

 

Diriwayatkan pula, bahwa suhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim as. diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan dan Kitab Taurat diturunkan pada malam keenam bulan Ramadan, setelah lewat tujuh ratus tahun dari suhuf Ibrahim as. Kitab Zabur diturunkan pada malam kedua belas bulan Ramadan, lima ratus tahun sesudah Taurat. Kitab Injil, pada malam kedelapan belas bulan Ramadan, seribu dua ratus tahun sesudah Zabur. Dan Kitab Alfurgan (Alquran) pada malam kedua puluh tujuh bulan Ramadan, enam ratus dua puluh tahun sesudah Injil. Sekian. (Dari Kitab Al Hayat)

 

Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : “Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda :

 

Artinya : “Seandainya umatku mengetahui apa yang ada pada bulan Ramadan itu, niscaya mereka menginginkan agar tahun itu seluruhnya adalah bulan Ramadan”.

 

Karena pada bulan itu kebaikan dihimpun, ketaatan diterima, doa-doa dikabulkan, dan dosa-dosa diampuni. Sedangkan surga merindukan mereka. (Zubdatul Wa’izhin).

 

Dar Hafsh Alkabu, ia berkata : “Daud Aththa’i berkata : “Saya tertidur pada malam pertama bulan Ramadan, lalu saya bermimpi melihat surga, seolah-olah saya duduk di tepi sebuah sungai yang terbuat dar mutiara dan mera delima. Sekonyong-konyong saya melihat bidadari-bidadari surga seumpama matahari karena cahaya wajah mereka yang cemerlang. Lalu saya mengucapkan : “La Ilaha Iilallaah, Muhammad Rasulullah’. Para bidadari itu menjawab : ‘La Ilaaha Illallaah, Muhammad Rasulullah. Kami kepunyaan orang-orang yang bertahmid (memuji-muji Allah), berpuasa, melakukan ruku dan sujud (Salat) pada bulan Ramadan”. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda :

 

Artinya : “Surga itu rindu kepada empat golongan manusi:. ” (1). Orang yang gemar membaca Alquran, (2) orang yang menjaga lidahnya, (3) orang yang suka memberi makan kepada mereka yang kelaparan, (4) dan orang yang berpuasa di bulan Ramadan”. (Raunaqul Majalis).

 

Dan dalam salah satu khabar disebutkan : “Apabila tampak hilal (bulan sabit) sebagai tanda masuknya bulan Ramadan, maka berteriaklah Arsy, Kursi, para malaikat dan semua yang ada di bawah mereka dengan mengucapkan : ‘Beruntunglah umat Muhammad saw. Dengan kemuliaan yang ada di sisi Allah Taala untuk mereka’. Sedangkan matahari, bulan, bintang-bintang dan burung-burung di angkasa, ikan-ikan di laut, dan semua makhluk bernyawa di permukaan bumi, siang dan malam memohonkan ampunan buat mereka, kecuali setan-setan yang terkutuk. Lalu pagi harinya, Allah Taala tidak membiarkan seorang pun dari mereka kecuali diampuninya. Kemudian Allah Taala berfirman kepada para malaikat : “Berikanlah (pahala) salat dan tasbih kalian pada bulan Ramadan kepada umat Muhammad alaihis salaatu wassalaam”.

 

Diceritakan, bahwa ada seorang laki-laki bernama Muhammad. Dia tidak pernah melakukan salat sama sekali. Kemudian, ketika masuk bulan Ramadan, dia berdandan dengan mengenakan pakaian yang bagus dan memakai minyak wangi, lalu mengerjakan salat melunasi salat-salatnya dahulu yang telah ditinggalkannya. Maka ia ditanya : “Mengapa Anda melakukan itu?” Dia menjawab : “Ini adalah bulan tobat, rahmat dan berkat. Mudah-mudahan berkat kemurahan-Nya, Allah mengampuni segala dosa-dosaku”. Ketika orang itu meninggal dunia, seseorang bermimpi melihatnya, lalu bertanya kepadanya : “Apa yang telah dilakukan Allah terhadapmu?”. Dia menjawab : “Tuhan telah mengampuni aku berkat pengagunganku terhadap bulan Ramadan”.

 

Dan diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khattab ra. dari Nabi saw. Beliau bersabda yang artinya :

 

Apabila seseorang di antara kalian bangun dari tidurnya pada bulan Ramadan, lalu bergerak di tempat tidurnya sambil berbolak-balik dari satu sisi ke sisi lainnya, maka berkatalah malaikat kepadanya : “Bangkitlah, semoga Allah memberkatimu dan mengasihimu”, Apabila orang itu bangkit dengan niat melakukan salat, maka tempat tidurnya itu lalu mendoakannya dengan mengucapkan : “Ya Allah, berilah dia kasur-kasur yang tinggi (di dalam surga)”. Dan apabila dia mengenakan pakaian, maka pakaiannya itu mendoakannya dengan mengucapkan : “Ya Allah, berilah dia pakaian-pakaian surga”. Dan apabila dia mengenakan kedua sandainya, maka sandainya itu mendoakannya dengan mengUcapkan : “Ya Allah, tetapkanlah kedua kakinya di atas sirat (titian yang ada di atas neraka menuju surga”. Dan apabila dia mengambil bejana, maka bejana itu mendoakannya dengan mengucapkan :”Ya Allah, berilah dia piala-piala surga”. Dan apabila dia berwudu, maka air mendoakannya dengan mengucapkan : “Ya Allah, bersihkanlah dia dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan”. Dan apabila ia berdiri untuk memulai salatnya maka rumahnya mendoakannya dengan mengucapkan : “Ya Allah, lapangkanlah kuburnya, terangkanlah liangnya, dan tambahlah rahmat untuknya”. Sedang Allah memandang kepadanya dengan penuh rahmat. Ketika dia berdoa, Allah menjawab : “Wahai hamba. Ku, darimu doa dan dari Kami perkenan: darimu permintaan dan dari Kami pemberian: dan darimu istighfar (permohonan ampun) sedang dari Kami ghufran (ampunan)”. (Zubdatul Wa’izhin).

 

Dalam salah satu khabar disebutkan bahwa, pada hari kiamat kelak, Ramadan datang dalam rupa yang paling indah, lalu ia sujud di hadirat Allah SWT. Maka Allah berfirman : “Hai Ramadan, sebutkanlah hajatmu dan bawalah besertamu orang yang mengetahui kewajibannya terhadapmu”. Maka berputar-putarlah Ramadan itu di pelataran kiamat, lalu dibawa bersamanya orang yang mengetahui kewajibannya terhadapnya. Kemudian dia berdiri di hadirat Allah kembali, lalu Allah berfirman : “Hai Ramadan, apa yang kau inginkan?”. Ramadan menjawab: “Hamba ingin agar Engkau memahkotai orang ini dengan mahkota kebesaran”.

 

Maka Allah pun memahkotai orang itu dengan seribu mahkota. Kemudian orang itu memberi syafaat untuk tujuh puluh ribu orang yang termasuk pelaku dosa-dosa besar. Kemudian ia dijodohkan dengan seribu bidadari, yang setiap bidadari disertai tujuh puluh ribu dayang. Lalu Allah menaikkan orang itu ke atas Burag (kendaraan surga), kemudian berfirman : “Apa yang engkau inginkan, hai Ramadan?”. Ramadan menjawab : “Tempatkanlah dia disisi Nabi-Mu”.

 

Maka Allah pun lalu menempatkan orang itu di dalam surga Firdaus. Kemudian Allah berfirman : “Hai Ramadan, apa yang engkau inginkan lagi?”. Ramadan menjawab : “Engkau telah memenuhi keinginanku, tetapi mana kemurahan-Mu?”, Maka Allah pun memberikan kepada orang itu seratus kota yang terbuat dari mira delima yang sangat indah dan zabarjat hijau yang sangat menawan, sedang di tiap-tiap kota itu terdapat seribu mahligai. (Zahratur Riyadh).

 

Dari sahabat Ibnu Mas’ud ra. Dari Nabi saw. bahwa Beliau telah bersabda:

 

Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling utama di sisiku pada hari kiamat kelak jalah orang yang paling banyak membaca salawat untukku”

 

Dan dari sahabat Zaid bin Rafi’, dari Nabi saw, bahwa Beliau telah bersabda :

 

Artinya : “Barangsiapa membaca salawat untukku seratus kali pada tiap-tiap hari Jumat niscaya Allah akan mengampuninya sekalipun dosa-dosanya seperti buih di lautan”. (Zubdatul Wa’izhin)

 

Imam Bukhari meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra. : “Barangsiapa berdiri pada bulan Ramadan (maksudnya : menghidupkan malam-malam bulan Ramadan dengan ibadat, selain malam Qadar, atau mengerjakan salat taraweih pada malam-malam Ramadan itu, karena menghormatinya) dengan penuh keimanan (yakni mempercayai pahalanya) dan ikhlas (dalam melaksanakannya), maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (Masyariq)

 

Dan dari Ibnu Abbas ra, dari Nabi saw, bahwa Beliau bersabda :

 

Artinya : “Apabila tiba hari pertama bulan Ramadan, bertiuplah angin dari bawah Arsy yang disebut angin “mutsirah”, lalu bergoyanglah daun-daun pepohonan surga. Karena gerakan daun-daun tadi, maka terdengarlah suara gema yang belum pernah terdengar oleh seorang pun suara gema yang lebih indah dari itu. Maka para bidadari pun memperhatikan itu seraya berkata : “Ya Allah, jadikanlah untuk kami pada bulan ini suamisuami dari hamba-hamba-Mu”.

 

Maka, tidaklah seseorang hamba pun berpuasa pada bulan Ramadan, melainkan

 

Allah akan mengawinkan dengan seorang istri dari kalangan bidadari-bidadari tersebut di dalam sebuah mahligai. Sebagaimana firman Allah di dalam Alquran, yang artinya : (Bidadari-bidadari yang cantik jelita lagi putih bersih yang dipingit di dalam mahligai). Sedangkan setiap bidadari itu mengenakan tujuh pakaian yang warnanya berbeda-beda. Dan untuk setiap wanita ada sebuah ranjang terbuat dari mira delima bertahtakan mutiara, pada setiap ranjang terdapat tujuh puluh kasur dan tujuh puluh hidangan dari bermacammacam makanan. Ini semua adalah untuk orang yang berpuasa pada bulan Ramadan, selain (pahala) amal-amal kebajikan lainnya yang telah dilakukannya.

 

Karenanya, sudah selayaknya bagi seorang mukmin, menghormati bulan Ramadan dan menjaga diri dari perbuatan-perbuatan keji, serta menyibukkan diri dengan perbuatanperbuatan bakti kepada Allah, berupa salat, membaca tasbih, berzikir dan membaca Alquran.

 

Allah Taala pernah berfirman kepada Nabi Musa as. : “Sesungguhnya Aku telah memberikan kepada umat Muhammad dua cahaya agar mereka tidak dicelakai oleh dua kegelapan”.

 

Musa bertanya : “Apakah dua cahaya itu, Ya Rabb?”.

 

Allah Taala menjawab : “Cahaya Ramadan dan cahaya Alquran”.

 

Musa bertanya pula : “Dan apakah dua kegelapan itu, Ya Rabb?”.

 

Allah Taala menjawab : “Kegelapan kubur dan kegelapan hari kiamat”. (Durratul Wa’izhin). Dari sahabat Anas bin Malik ra., dari Nabi saw, bahwa Beliau telah bersabda :

 

Artinya : “Barangsiapa menghadiri majelis ilmu pada bulan Ramadan, Allah Taala akan mencatatkan baginya untuk setiap langkah (yang dilangkahkannya), ibadah satu tahun, dan dia akan berada bersamaku di bawah Arasy. Dan barangsiapa selalu mengerjakan salat (lima waktu) secara berjamaah pada bulan Ramadan, Allah akan memberikan kepadanya, untuk tiap-tiap satu rakaat, sebuah kota yang penuh dengan nikmat-nikmat Allah Taala. Barangsiapa berbuat baik kepada ibu bapaknya pada bulan Ramadan, ia akan memperoleh pandangan rahmat dari Allah Taala, dan aku menjamin dia masuk surga. Tidaklah seseorang wanita mencari rida suaminya pada bulan Ramadan, melainkan dia akan memperoleh pahala seperti pahalanya Maryam dan Asiyah. Dan barangsiapa memenuhi hajat saudaranya yang muslim pada bulan Ramadan, Allah Taala akan memenuhi seribu hujatnya pada hari kiamat”.

 

Dari sahabat Abu Hurairah ra., katanya : “Rasulullah saw. telah bersabda :

 

Artinya : “Barangsiapa memasang lampu di salah satu masjid Allah Taala pada bulan Ramadan, dia akan memperoleh cahaya di dalam kuburnya, dan dicatatkan baginya pahala orang-orang yang salat di dalam masjid itu, serta didoakan oleh para malaikat, dan dimohonkan ampunan oleh para malaikat pemanggul Arsy, selama lampu itu masih berada di dalam masjid tersebut. (Dzakhiratul Abidin)

 

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa Beliau bersabda :

 

Artinya : Apabila tiba malam pertama bulan Ramadan, setan-setan dan jin-jin yang durhaka semuanya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tanpa ada satu pintu pun yang terbuka, pintu-pintu surga dibuka tanpa ada satu pintu pun yang tertutup, dan Allah Taala, pada setiap malam dari bulan Ramadan itu, berfirman tiga kali : “Apakah ada orang yang meminta, maka akan Aku beri permintaannya itu?”. Apakah ada orang yang bertobat, maka akan Aku terima tobatnya itu?. Apakah ada orang yang memohon ampun, maka akan Aku ampuni dia?”. Dan Allah membebaskan pada setiap hari dari bulan Ramadan itu sejuta tawanan dari neraka, yang seharusnya diazab. Dan apabila tiba hari Jumat (di bulan Ramadan), Allah membebaskan, di setiap jam, sejuta tawanan dari neraka. Dan apabila tiba hari terakhir dari bulan Ramadan, Allah membebaskan sebanyak orang yang telah dibebaskan sejak awal bulan (hingga akhir bulan Ramadan). (Zubdatul Wa’izhin). Hukum berpuasa pada hari “syak” (ragu-ragu antara masuk Ramadan atau belum) ada tujuh macam : tiga di antaranya boleh tetapi makruh, tiga lagi boleh dan tidak makruh, dan satu tidak boleh sama sekali. Adapun yang tiga macam pertama (boleh tapi makruh) itu adalah :

 

    Berpuasa hari syak dengan niat puasa Ramadan.
    Berpuasa pada hari syak dengan niat menunaikan kewajiban puasa yang lain.
    Berpuasa pada hari syak dengan niat tidak pasti, yakni jika hari itu termasuk bulan Ramadan maka dia berniat puasa Ramadan, dan jika belum masuk bulan Ramadan (masih bulan Sya’ban) maka dia berpuasa Sya’ban.

 

Ketiga macam puasa tadi boleh, tetapi makruh. Yang tiga macam kedua (boleh dan tidak makruh) adalah :

    Berpuasa pada hari syak dengan niat puasa tathawwu (sunnah).
    Atau, dengan niat puasa Sya’ban.
    Atau, dengan niat puasa mutlak.
    Sedangkan yang satu, yang sama sekali tidak boleh, adalah : Apabila seseorang berpuasa pada hari syak dengan syarat, bila hari itu sudah masuk bulan Ramadan maka saya berpuasa, tetapi kalau belum maka saya tidak berpuasa. Puasa (bersyarat) seperti ini sama sekali tidak boleh. (Qadhikhan).


2. KEUTAMAAN PUASA

Allah Taata berfirman :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana (ia) diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkanfnya) itu pada hari-hari yang lain…” (QS. AlBaqarah : 183-184)

Tafsir :

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Yakni, para nabi dan umat-umat lain dari sejak Nabi Adam as. dahulu.


Perintah dalam ayat ini mengandung taukid (penekanan) terhadap hukum, anjuran agar berbuat, dan menyenangkan bagi jiwa.

 

Shoum (puasa) menurut bahasa ialah menahan diri dari apa-apa yang diinginkan nafsu. Sedangkan menurut syara’ (hukum agama) ialah : menahan diri dari tiga perkara (makan, minum dan jimak) yang membatalkan puasa, sepanjang siang. Karena ketiga perkara tersebut merupakan hal yang paling disukai oleh nafsu.

 

(.  ) Agar kamu bertakwa, yaitu terhadap perbuatan-perbuatan maksiat. Karena puasa mematahkan syahwat yang merupakan pangkal kemaksiatan, sebagaimana sabda Nabi saw. :

 

Artinya : “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah maka hendaklah ia menikah. Karena nikah itu dapat merundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu (menikah) maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu memiliki penawar (mengendurkan syahwat)”. (.    ) pada hari-hari yang tertentu. Tertentu waktunya dengan bilangan yang diketahui, atau dalam hari-hari yang sedikit. Karena harta yang sedikit itu dihitung-hitung, sedangkan harta yang banyak ditimbun-timbun.

 

Adapun sebab nashabnya (dalam hal ini tanda nashabnya adalah fatihah) kalimat   bukan karena pengaruh kata (puasa), karena di antara keduanya ada fashal (pemisah, berupa kalimat), tetapi oleh kata yang tersembunyi (mudhmar), yaitu : (berpuasalah), dikarenakan adanya petunjuk berupa kata (puasa) itu. Yang dimaksudkan adalah puasa bulan Ramadan, atau puasa yang wajib dipuasai sebelum diwajibkannya puasa Ramadan yang kemudian dihapus oleh puasa Ramadan, yaitu puasa Asyura dan puasa tiga hari tiap-tiap bulan. Atau, ia (   ) dinashabkan sebagai zharaf (kata keterangan) dari kalimat   atau sebagai maf’ul tsani (objek kedua) dari kalimat ke (sedang maf’ul awalnya adalah kata yang kemudian menjadi naib fa’il). Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa, artinya adalah : puasamu adalah seperti puasa mereka dalam bilangan beberapa hari. Karena ada riwayat yang mengatakan bahwa, puasa Ramadan itu pernah diwajibkan juga atas kaum Nasrani. Lalu bulan Ramadan itu jatuh pada hari yang sangat dingin atau sangat panas, maka mereka alihkan ke musim semi. Sebagai kaffarat (tebusan) dari pengalihan itu, maka mereka tambah puasa tersebut dengan dua puluh hari. Pendapat lain mengatakan, bahwa mereka menambah puasanya itu disebabkan oleh waba yang menimpa mereka.

 

(   ) Maka jika di antara kamu ada yang sakit dengan suatu penyakit yang berbahaya atau akan bertambah berat jika ia berpuasa.  atau dalam suatu perjalanan. Kalimat ini memberi isyarat bahwa yang memulai perjalanannya sesudah tengah hari, maka ia tidak boleh berbuka. (.          ) maka (wajiblah atasnya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Maksudnya, dia wajib mengganti puasanya sebanyak hari-hari ketika ia sakit atau ketika sedang melakukan perjalanan jauh, di hari-hari yang lain (selain bulan Ramadan), jika dia berbuka. (Qadhi Baidhawi).

 

Dari sahabat Abdurrahman bin Auf ra., dari Nabi saw. bahwa Beliau bersabda :

 

Artinya : “Jibril alaissalam telah datang kepadaku, lalu ia berkata : “Ya Muhammad, tidaklah seseorang bersalawat atasmu, melainkan ada tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya. Dan barangsiapa didoakan oleh malaikat, maka dia tergolong penghuni surga”. (Zubdah) Dan dari Nabi saw. bahwa Beliau bersabda menyampaikan firman Tuhannya Yang Maha Tinggi :

 

Artinya : “Setiap amal (perbuatan) anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjarannya””.

 

Karona puasa itu merupakan suatu porbuatan yang tersembunyi (rahasia), tidak ada suatu perbuatan pun di dalam puasa atu yang dapat disaksikan oleh orang lam. Berbeda dengan amal-amal porbuatan yang laimnya Dan juga, karena puasa itu merupakan suatu rahasia yang tidak dikota hut oleh seorang pun kecuali Allah Taala. Maka Allah pun me. mastikan ganjarannya.

 

Oleh karenanya, diriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Beliau bersabda :

 

Artinya : “Apabila hari kiamat telah tiba, datanglah suatu kaum yang mempunyai sayap-sayap seperti sayapnya burung. Dengan sayap-sayap itu mereka terbang melintasi tembok-tembok surga. Lantas para penjaga surga bertanya kepada mereka : “Siapakah kalian?”. Mereka menjawab, “Kami adalah umat Muhammad saw”. “Apakah kalian telah mengalami hisab” tanya penjaga surga pula. “Tidak”, jawab mereka. “Apakah kalian telah melihat sirath”. Tanya para malaikat penjaga surga itu. Mereka menjawab, “Tidak”. Kemudian para malaikat penjaga surga itu bertanya, “Dengan apakah kalian mencapai derajat ini?” Mereka menjawab, “Kami telah beribadat kepada Allah Taala secara rahasia di dunia, maka Allah pun memasukkan kami di akhirat ke dalam surga secara rahasia pula”. (Zubdatul Wa’izhin).

 

Apabila orang yang sedang berpuasa itu khawatir dirinya binasa karena lapar dan dahaga, atau dia sakit lalu khawatir penyakitnya bertambah parah dengan sebab puasa itu, maka dia boleh berbuka. Karena keadaan seperti itu adalah keadaan darurat. Sedangkan darurat itu menyebabkan hal-hal yang terlarang menjadi mubah (Raudhatul Ulama).

 

Diriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Beliau bersabda :

 

Artinya : “Umatku telah diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada Seorang pun sebelum mereka. Pertama, apabila malam pertama dari bulan Ramadan tiba, Allah memandang mereka dengan pandangan rahmat. Dan barangsiapa yang telah dipan dang Allah dengan pandangan rahmat, maka Dia tidak akan mengazabnya sesudah itu buat selama-lamanya. Kedua, Allah Taala memerintahkan kepada para malaikat agar memohonkan ampun buat mereka. Ketiga, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dl sisi Allah daripada bau wangi minyak kesturi. Keempat, Allah Taala berfirman kepada surga, “Berhiaslah engkau”. Dan Dia berfirman : “Berbahagialah hamba-hamba-Ku yang beriman, mereka adalah kekasih-kekasih-Ku”. Kelima, Allah Taala mengampuni mereka semuanya”,

 

Oleh karena itu, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa dia berkata : “Rasulullah saw. telah bersabda :

 

Artinya : “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh iman dan ikhlas, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu”. (Zubdatul Wa’izhin).

 

Diriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Beliau telah bersabda :

 

Artinya : “Sesungguhnya Allah Taala pada setiap saat di bulan Ramadan membebaskan enam ratus ribu orang dari dalam neraka dari kalangan mereka yang sudah seharusnya mendapat siksa, sampai tiba malam Qadar (lailatul Qadar). Pada malam Qadar itu, Allah membebaskan sebanyak orang yang telah dibebaskan (dari neraka) sejak awal bulan (Ramadan). Dan pada hari raya Fitri (Idul Fitri), Allah membebaskan dari sejak awal bulan sampai hari raya Fitri itu”. (Misykat)

 

Dan dari sahabat Jabir ra., dari Nabi saw, bahwa Beliau bersabda:

 

Artinya : Apabila tiba malam terakhir dari bulan Ramadan, langit, bumi dan para malaikat Semuanya menangis atas musibah yang menimpa umat Muhammad saw. Salah Seorang sahabat bertanya : “Ya Rasulullah, musibah apakah itu?”. Rasulullah menjawab : “Perginya bulan Ramadan. Karena sesungguhnya doa-doa di bulan itu dikabulkan, sedekah-sedekah diterima, kebaikan-kebaikan dilipat gandakan dan azab ditahan”.

 

Maka musibah manakah yang lebih besar daripada perginya bulan Ramadan itu. Apabila langit dan bumi saja menangis demi kita, maka kita lebih pantas menangis dan menyesali atas terputusnya keutamaan-keutamaan dan kemuliaan-kemuliaan ini dari kita. (Hayatul Qulub).

 

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa Beliau bersabda : “Allah Taala telah menciptakan malaikat yang memiliki empat wajah. Jarak antara satu wajahnya dengan wajahnya yang lain sejauh perjalanan seribu tahun. Dengan salah satu wajahnya, ia bersujud sampai hari kiamat. Dalam sujudnya itu ia berkata : “Mahasuci Engkau, betapa agung sifat Jamal-Mu!”. Dan dengan wajah yang lain, ia memandang ke arah neraka Jahannam seraya ber. kata : “Celakalah orang yang memasukinya!”. Dan dengan wajah yang lain lagi, ia me. mandang ke arah surga seraya berkata : “Berbahagialah orang yang memasukinya!”. Dan dengan wajah yang lain, ia memandang ke arah Arsy Allah Yang Maha Pengasih seraya berdoa : “Oh Tuhanku, kasihanilah dan janganlah: Engkau siksa orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadan dari umat Muhammad saw”. (Zahratur Riyadh). Dan dari Nabi saw. bahwa Beliau telah bersabda :

 

Artinya : “Allah Taala memerintahkan kepada malaikat Kiraman Katibin (malaikat pencatat amal perbuatan manusia) pada bulan Ramadan, supaya mencatat kebaikan-kebaikan dari umat Muhammad saw, dan tidak mencatat kejahatan-kejahatan mereka, serta menghapus dosa-dosa mereka yang lalu”. (Zahratur Riyadh)

 

Dan sabda Nabi saw. :

 

Artinya : “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan ikhlas (dalam melaksanakannya) mak. akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (Zahratur Riyadh)

 

Konon, puasa itu ada tiga tingkatan : (pertama) puasa orang biasa, (kedua) puasa orang khawas (khusus), (ketiga) puasa orang khawasul khawash (khususnya khusus).

 

Adapun puasa orang biasa itu adalah mencegah perut dan kemaluan dari memenuhi syahwat.

 

Puasa orang khawas itu adalah puasanya orang-orang yang salih, yaitu mencegah seluruh anggota badan dari melakukan segala dosa. Dan hal itu tidak akan terlaksana kecuali dengan selalu melakukan 5 perkara :

 

    Memicingkan pandangan dari semua yang tercela menurut syarak.

 

    Memelihara lidah dari mengumpat, berdusta, mengadu domba dan bersumpah palsu. Karena sahabat Anas ra. telah meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi saw. bahwa Beliau telah bersabda, yang artinya : “Lima perkara yang menggugurkan (pahala) puasa, atau membatalkan pahalanya, yaitu : (1) berdusta, (2) mengumpat, (3) mengadu domba, (4) bersumpah palsu, (5) memandang lawan jenis dengan syahwat”.

 

    Mencegah telinga dari mendengarkan apa saja yang makruh.

 

    Mencegah seluruh anggota badan dari hal-hal yang makruh, dan mencegah perut dari makan makanan-makanan yang syubhat (diragukan halalnya) di waktu berbuka. Karena tidak ada artinya berpuasa dari makanan yang halal lalu berbuka dengan makanan yang haram. Perumpamaannya adalah seperti orang yang membangun sebuah istana dengan menghancurkan sebuah kota.

Nabi saw. bersabda, yang artinya : “Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak memperoleh dari puasanya itu selain rasa lapar dan dahaga”.

 

    Tidak memperbanyak memakan makanan yang halai di kala berbuka sampai kekenyangan. Karena Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya : “Tidak ada sebuah wadah yang lebih dibenci oleh Allah daripada perut yang dipenuhi oleh makanan yang halal”.

 

Adapun puasa orang-orang khawasul khawash adalah puasa hati dari keinginankeinginan rendah dan pikiran-pikiran duniawi, serta mencegahnya secara total dari segala sesuatu selain Allah. Apabila orang yang berpuasa seperti itu memikirkan sesuatu selain Allah, maka berarti dia telah berbuka dari puasanya. Puasa seperti ini adalah tingkatan para nabi dan siddigin. Karena penerapan magam (tingkatan) ini adalah dengan menghadapkan diri secara total kepada Allah Taala dan berpaling dari selain-Nya. (Zubdatul Wa’izhin).

 

Ketahuilah, bahwa puasa itu merupakan ibadat yang tidak dapat diindera oleh panca indera manusia. Artinya, ia tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh Allah Taala dan orang yang berpuasa itu sendiri. Dengan demikian, puasa adalah antara Tuhan dan hamba-Nya. Oleh karena puasa ini merupakan ibadat dan ketaatan yang hanya diketahui oleh Allah semata, maka disandarkanlah ia kepada diri-Nya, sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis Qudsi :

 

Artinya : “Puasa itu untuk-Ku dan Aku memberi ganjaran atasnya”.

 

Dan ada pula pendapat yang menyatakan bahwa, Allah menyandarkan puasa itu kepada diri-Nya, adalah karena di dalam ibadat puasa itu tidak ada penyekutuan yang lain dengan Allah. Karena di antara manusia itu ada yang menyembah berhala, ada pula yang sujud dan salat kepada matahari dan bulan, ada yang bersedekah demi berhala, mereka adalah orang-orang kafir. Namun tidak pernah ada seorang pun di antara hamba-hamba Allah yang mengerjakan puasa demi berhala, demi matahari, demi bulan atau demi waktu siang. Tetapi ia berpuasa semata-mata hanya karena Allah Taala. Oleh karena puasa itu merupakan ibadat yang tidak pernah digunakan untuk berbakti kepada selain Allah Taala, yaitu ibadat yang murni hanya untuk Allah semata, maka Allah lalu menisbatkan puasa itu kepada diri-Nya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadis Gudsi, Allah berfirman, yang artinya : “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku memberi ganjaran atasnya”.

 

Kalimat “dan Aku memberi ganjaran atasnya”. Maksudnya : Atas puasanya, Aku perlakukan orang itu dengan sifat kemurahan (kedermawanan) rububiah (ketuhanan), dan bukan dengan kepatutan-Ku untuk disembah.

 

Sedangkan Abul Hasan mengatakan, bahwa maksud dari kalimat “dan Aku memberi ganjaran atasnya” ialah : tiap-tiap perbuatan taat ganjarannya adalah surga. Sedang puasa, ganjarannya adalah berjumpa dengan-Ku. Aku memandang kepadanya dan dia memandang kepada-Ku. Dia berbicara dengan-Ku dan Aku berbicara dengannya, tanpa utusan atau penerjemah. Demikian kata Abul Hasan di dalam kitab Mukhtashar Ar Raudhah.

 

Maka hafalkaniah kata-kata tadi dan nasihatkanlah kepada orang lain, dan janganlah Anda termasuk golongan orang-orang yang ragu.

 

Menurut pendapat kami, orang yang sedang berpuasa itu boleh saja menyentuh dan mencium istrinya, apabila ia tidak khawatir atas dirinya. Tetapi kalau dia khawatir dengan sentuhan itu akan timbul keinginan jimak sehingga ia melakukan jimak, atau keluar mani hanya dengan menyentuh, maka hal tersebut tidak boleh dilakukannya.

 

Sedangkan menurut Said bin Almusayib, crang yang sedang berpuasa tidak boleh mencium atau menyentuh istrinya, baik dia merasa khawatir atau tidak. Karena menurui riwayat dari Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang pemuda menemui Ibnu Abbas, lalu bertanya kepadanya : “Bolehkan saya mencium istri saya selagi berpuasa?”. Ibnu Abbas menjawab : “Tidak boleh”. Kemudian datang pula kepada Ibnu Abbas seorang tua, lalu bertanya “Bolehkah saya mencium istri saya selagi berpuasa?”. Ibnu Abbas menjawab . boleh” Maka pemuda Itu kembali lagi kepada Ibnu Abbas, lalu berkata : “Mengapa Tuan hadapkan untuknya apa yang Tuan haramkan atas diri saya, padahal kita satu agama? Ibnu Abban monjawab : “Karona dia sudah tua, dia bisa menguasai syahwatnya, sedang Anda masih muda, Anda tidak mampu menguasai syahwat Anda”. Yakni keinginan untuk Jinak. (Raudhatul Ulama).

 

Ada yang mongatakan bahwa, tujuan dari puasa itu adalah untuk menundukkan musuh Allah. Karona jalan setan itu lewat syahwat. Padahal, syahwat itu menjadi kuat katona makan dan minum. Maka puasa itu tidak akan berguna untuk menundukkan nutuh Allah Taala dan menghancurkan syahwat kecuali dengan menaklukkan nafsu dengan makan sedikit. Oleh karena itu, ada riwayat berkaitan dengan disyariatkannya puasa, bahwa Allah Taala menciptakan akal, lalu berfirman kepadanya: “Menghadaplah!” Maka akal itu pun menghadap. Kemudian Allah berfirman pula kepadanya : “Membelakanglah!”. Maka akal itu pun membelakang. Setelah itu Allah bertanya : “Siapakah engkau dan siapa Aku?”, Akal menjawab : “Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu yang lemah”. Maka Allah Taala berfirman : “Hai akal, Aku tidak menciptakan satu makhluk pun yang lebih mulia daripada engkau”.

 

Kemudian Allah Taala menciptakan nafsu, lalu berfirman kepadanya : “Menghadaplah!” Namun nafsu itu tidak mematuhi. Lantas Allah bertanya kepadanya : “Siapakah ongkau dan siapakah Aku?”. Nafsu menjawab : “aku adalah aku dan Engkau adalah Engkaul”. Maka Allah Taala lalu mengazabnya dengan siksa api neraka selama seratus tahun. Komudian Allah mengeluarkannya dari neraka dan bertanya kembali kepadanya : “Siapa ongkau dan siapa Aku?”. Nafsu tetap menjawab seperti jawabannya semula. Maka diazablah ia di dalam neraka lapar selama seratus tahun pula. Setelah itu, Allah bertanya kembali kepadanya, barulah dia mengaku bahwa dirinya adalah hamba dan Allah adalah Tuhan. Maka oleh sebab itu, Allah lalu mewajibkan puasa atasnya. (Misykat).

 

Ada yang mengatakan bahwa, hikmat dari diwajibkannya puasa selama tiga puluh hari itu adalah karena datuk kita Adam as. dahulu, ketika Beliau memakan buah pohon yang terlarang di dalam surga, buah tersebut tetap tinggal di dalam perutnya selama tiga puluh hari. Dan ketika Beliau bertobat kepada Allah Taala, maka Allah menyuruhnya agar berpuasa selama tiga puluh hari tiga puluh malam. Karena kelezatan dunia itu ada empat makan, minum, jimak dan tidur. Semuanya itu merupakan penghalang bagi hamba terhadap Allah Taala. Sedangkan atas Nabi Muhammad saw. dan umatnya, Allah Taala mewajibkan puasa pada siang hari saja, dan diperbolehkan makan, minum dan jimak pada malam harinya. Hal mana merupakan karunia dari Allah Taala dan kemuliaan bagi kita. (Bahjatul Anwar).

 

Diceritakan bahwa, seorang Majusi melihat anaknya makan di pasar pada siang bulan Ramadan, lalu anaknya itu dipukulinya seraya berkata : “Kenapa engkau tidak menjaga kehormatan kaum muslimin di bulan Ramadan?”. Kemudian, setelah orang Majusi itu meninggal dunia, ada seorang alim melihatnya dalam mimpi, sedang duduk di atas singa: Sana kemuliaan di dalam surga. Orang alim itu bertanya : “Bukankah Anda seorang Majusi?”, Orang itu menjawab : “Benar, namun ketika saya akan meninggal dunia, saya mendengar seruan dari atas saya, “Hai malaikat-malaikat-Ku, janganlah kalian biarkan orang ini sebagai Majusi. Muliakanlah dia dengan Islam, karena dia telah menghormati! bulan Ramadan”.

 

Ini menunjukkan bahwa, hanya karena menghormati bulan Ramadan, orang Majus! itu memperoleh iman. Betapa pula orang yang berpuasa di bulan Ramadan dan menghor matinya. (Zubdatul Majalis).

 

Diriwayatkan dari Rasulullah saw. menyampaikan firman Tuhannya Yang Mahatinggi :

 

Artinya : “Tiap-tiap kebaikan yang dikerjakan oleh anak Adam (manusia) pahalanya dilipat gandakan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan memberi ganjaran atasnya”.

 

Para ulama berselisih pendapat mengenai firman Allah Taala : “Puasa itu untuk-Ku dan Aku memberi ganjaran atasnya”. Padahal semua amal itu adalah untuk-Nya juga dan Dialah yang memberi pahalanya.

 

Pertama, bahwa dalam puasa tidak terjadi riya, seperti halnya yang terjadi pada selain puasa. Karena riya (sifat ingin dipuji) itu suka terjadi pada diri manusia, sedang puasa itu tidak lain adalah suatu yang ada di dalam hati. Yakni, bahwasanya semua amal itu biasanya berupa gerakan-gerakan lahiriah yang bisa dilihat, selain puasa. Adapun puasa adalah hanya dengan niat yang tidak diketahui oleh orang lain.

 

Kedua, bahwa maksud dari firman Allah, “dan Aku memberi ganjarannya”, ialah bahwa hanya Dia sendirilah yang mengetahui kadar pahala puasa itu dan penggandaan ganjarannya. Adapun ibadat-ibadat yang lain, terkadang dapat diketahui oleh sebagian orang. Ketiga, makna dari firman Allah, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku memberi ganjaran atasnya”, adalah bahwa, puasa itu merupakan ibadat yang paling disukai oleh-Nya.

 

Keempat, penyandaran puasa kepada diri-Nya (puasa itu untuk-Ku) adalah penyandaran yang berarti pemuliaan dan penggandaan, seperti kalimat Baitullah (Rumah Allah). Kelima, bahwa sikap tidak memerlukan makanan dan keinginan-keinginan lainnya adalah termasuk sifat-sifat Tuhan. Dan karena orang yang puasa itu mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu sikap yang sesuai dengan sifat-sifat-Nya, maka disandarkanlah ia kepada-Nya.

 

Keenam, bahwa artinya memang seperti itu, tetapi dalam kaitannya dengan malaikat. Karena, itu semua adalah sifat-sifat mereka.

 

Ketujuh, bahwa semua ibadat bisa dikurangi pahalanya guna menebus perbuatanperbuatan aniaya terhadap sesama manusia, kecuali pahala puasa.

Namun demikian, semua ulama sepakat bahwa, yang dimaksud dengan “puasa” di dalam firman Allah, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku memberi ganjaran atasnya”, adalah puasa orang yang puasanya itu bersih dari maksiat, baik berupa perkataan maupun perbuatan. (Miftahush Shalat).

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa Beliau bersabda :

 

Artinya : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadan dengan penuh iman dan ikhlas, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat”.

 

Sungguh benar apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. itu

LihatTutupKomentar