Cara Mengenal Allah dan Diri Sendiri
Nama kitab: Terjemah Kimiya al-Sa'adah, Proses Kebahagiaan, Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, Meraih Kebahagiaan dan Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Judul kitab asal: Kimiyaus Sa'adah (كيمياء السعادة - الغزالي)
Penulis: Imam Ghazali.
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi (أبو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي)
Lahir: 1058 M / 450 H
Asal: Tous, Iran
Wafat: 19 Desember 1111 Masehi (usia 53) atau tahun 505 Hijriah
Bidang studi: Tasawuf, akhlak, sufi, tarekat
Daftar Isi
- Kata Pengantar
- Mengenal Diri
- Mengenal Allah
- Mengenal Dunia
- Mengenal Akhirat
- Kembali ke: Terjemah Kimiyaus Sa'ada Al-Ghazali
  Kata Pengantar
KETAHUILAH, MANUSIA tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan.
  Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi tujuan yang mulia. Meski bukan
  bagian dari Yang Kekal, ia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan membumi,
  ruhnya mulia dan ber- sifat ilahi. Melalui tempaan zuhud, ia suci- kan dirinya
  dari nafsu jasmani dan menca- pai tingkatan tertinggi, tidak menjadi budak
  nafsu, dan meraih sifat-sifat malakut. Ia te- mukan surganya dalam perenungan
  tentang Keindahan Abadi dan tak lagi memedulikan kenikmatan badani. Kimia
  ruhani yang mam- pu menghasilkan perubahan seperti ini, la- yaknya kimia yang
  mengubah logam biasa menjadi emas, tak mudah ditemukan. Buku ini ditulis untuk
  menjelaskan kimia ruhani tersebut beserta metode operasinya.
  Khazanah ilahi yang menuturkan kimia ini terkandung dalam hati para nabi.
  Siapa saja yang mencarinya di tempat lain pasti akan kecewa dan terpuruk di
  hari berbang- kit, ketika dikatakan kepadanya:
         
   
... Telah Kami angkat tirai itu dari- mu, dan pandanganmu pada
  hari ini sangatlah tajam. (Q. 50:22)
Allah telah mengutus ke dunia
  ini 124 ribu orang nabi untuk mengajar manusia tentang resep kimia ini dan
  bagaimana cara menyucikan hati mereka dari sifat-sifat hina melalui zuhud.
  Jadi, secara ringkas dapat di- katakan bahwa Kimia Kebahagiaan adalah
  berpaling dari dunia untuk menghadap ke- pada Allah. Kimia Kebahagiaan terdiri
  atas empat elemen, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah,
  pengetahu- an tentang dunia sebagaimana adanya, dan pengetahuan tentang
  akhirat sebagaimana adanya.
  Mari kita jelajahi satu demi satu keem- pat elemen tersebut.[]
    
  Mengenal Diri
MENGENAL DIRI adalah kunci untuk mengenal Tuhan, sesuai
  ungkapan hadis: “Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya,” dan
  sebagaimana dikatakan Alquran: 
Akan
  Kami tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka agar
  kebenaran tampak bagi  mere- ka. (Q. 41: 53)
Ketahuilah, tak ada
  yang lebih dekat ke- padamu kecuali dirimu sendiri. Jika kau ti- dak
  mengetahui dirimu sendiri, bagaimana bisa mengetahui yang lain. Pengetahuanmu tentang diri
  sendiri dari sisi lahiriah, seperti bentuk muka, badan, anggota tubuh, dan
  lainnya sama sekali tak akan mengantarmu untuk mengenal Tuhan. Sama halnya,
  pe- ngetahuanmu mengenai karakter fisikal diri- mu, seperti bahwa kalau lapar
  kaumakan, kalau sedih kau menangis, dan kalau marah kau menyerang, bukanlah
  kunci menuju pe- ngetahuan tentang Tuhan. Bagaimana bisa kau mencapai kemajuan
  dalam perjalanan ini jika kau mengandalkan insting hewani serupa itu?
  Sesungguhnya pengetahuan yang benar tentang diri meliputi beberapa hal
  berikut:
Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa
  tujuan keda- tangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah
  kebahagiaan sejati dapat ditemukan? Ketahuilah, ada tiga sifat yang bersemayam
  dalam dirimu: hewan, setan, dan malaikat. Harus kautemukan, mana di anta- ra
  ketiganya yang aksidental dan mana yang esensial. Tanpa menyingkap rahasia
  itu, kau tak akan temukan kebahagiaan sejati.
 
Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur, dan
  berkelahi. Karena itu, jika engkau he- wan, sibukkanlah dirimu dalam aktivitas
  itu. Setan selalu sibuk mengobarkan keja- hatan, tipu daya, dan dusta. Jika
  kau terma- suk golongan setan, lakukan yang biasa ia kerjakan. Sementara,
  malaikat selalu mere- nungkan keindahan Tuhan dan sepenuhnya bebas dari sifat
  hewani. Jika kau punya sifat malaikat, berjuanglah menemukan sifat-sifat
  asalimu agar kau dapat mengenali dan me- renungi Dia Yang Mahatinggi, serta
  terbebas dari perbudakan syahwat dan amarah. Ber- upayalah untuk mencari tahu
  mengapa kau diciptakan dengan kedua insting hewan ini— syahwat dan
  amarah—sehingga kau tidak ditundukkan dan diperangkap keduanya. Alih-alih
  diperbudak keduanya, kau harus menundukkan mereka dan mempergunakan- nya
  sebagai kuda tunggangan dan senjatamu. Langkah pertama untuk mengenal diri
  adalah menyadari bahwa dirimu terdiri atas bentuk luar yang disebut jasad, dan
  wujud dalam yang disebut hati atau ruh. Hati yang saya maksudkan bukanlah
  segumpal daging yang terletak di dada kiri, melainkan tuan yang mengendalikan semua fakultas lainnya
  dalam diri serta mempergunakannya sebagai alat dan pelayannya. Pada
  hakikatnya, ia bukan sesuatu yang indriawi, melainkan se- suatu yang gaib; ia
  muncul di dunia ini se- bagai pelancong dari negeri asing untuk ber- dagang
  dan kelak akan kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan si-
  fat-sifatnya inilah yang menjadi kunci me- ngenal Tuhan.
Sebagian
  pemahaman mengenai hakikat hati atau ruh dapat diperoleh seseorang de- ngan
  mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya
  sendiri. Dengan begitu, ia akan mengetahui ketakterbatasan sifat dirinya itu.
  Namun, syariat melarang kita menelisik hakikat ruh sebagaimana ditegaskan
  Alquran: “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: (soal) ruh adalah
  urusan Tuhanku.” (Q.  17: 85). Jadi, sedikit yang dapat diketahui ha-
  nyalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terbagi yang termasuk dalam dunia
  titah (amr), dan bahwa ia bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan ciptaan.
  Pengetahuan filo- sofis yang tepat mengenai ruh bukanlah awal yang niscaya untuk meniti jalan ruha- ni.
  Pengetahuan itu akan didapatkan melalui disiplin-diri dan kesabaran menapaki
  jalan ruhani, sebagaimana dikatakan Alquran:
 
Siapa yang
  berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada- nya jalan-jalan Kami
  ( yang lurus). (Q. 29: 69).
Untuk memahami lebih jauh perjuangan batin
  untuk benar-benar mengenal diri dan Tuhan, kita dapat melihat jasad kita
  sebagai sebuah kerajaan; jiwa sebagai rajanya dan indra beserta fakultas lain
  sebagai tentara- nya. Akal bisa disebut perdana menterinya, syahwat sebagai
  pemungut pajak, dan ama- rah sebagai polisi. Dengan alasan mengum- pulkan
  pajak, syahwat selalu ingin meram- pas segala hal demi kepentingan sendiri,
  se- mentara amarah cenderung bersikap kasar dan keras. Pemungut pajak dan
  polisi harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tak mesti dibunuh atau
  ditindas, karena mereka punya peran tersendiri yang harus dipenuhi-nya. Tetapi, jika syahwat dan amarah me-
  nguasai nalar maka jiwa pasti runtuh. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas
  yang le- bih rendah menguasai yang lebih tinggi ibarat orang yang menyerahkan
  bidadari kepada seekor anjing, atau seorang muslim kepada seorang raja kafir
  yang zalim.
Memelihara sifat-sifat setan, hewan, atau malaikat akan
  melahirkan watak yang berse- suaian dengannya yang di hari kiamat akan mewujud
  dalam rupa yang kasatmata, seper- ti syahwat menjadi babi, amarah menjadi
  anjing dan serigala, serta kesucian mewujud dalam rupa malaikat. Pendisiplinan
  moral bertujuan membersihkan hati dari karat syah- wat dan amarah sehingga
  sebening cermin yang mampu memantulkan cahaya Ilahi.
Mungkin ada pembaca
  yang keberatan dan menanyakan, “Jika manusia diciptakan dengan sifat-sifat
  hewan, setan, dan malai- kat, bagaimana kita bisa tahu bahwa sifat malaikat
  adalah esensi kita, sementara sifat hewan dan setan hanyalah aksidensi?” Ja-
  wabannya, esensi setiap makhluk adalah se- suatu yang tertinggi dan khas dalam
  dirinya. Contohnya, kuda dan keledai adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul karena
  ia dipergunakan juga untuk perang. Jika tidak, kuda terpuruk hanya menjadi
  he-- wan pengangkut beban. Fakultas tertinggi dalam diri manusia adalah akal
  yang me-- mampukannya merenung tentang Tuhan. Jika akal mendominasi maka
  ketika mati ia terbebas dari kecenderungan syahwat dan amarah sehingga dapat
  bergabung dengan para malaikat. Dibandingkan dengan bebe- rapa jenis hewan,
  manusia jauh lebih lemah. Berkat akal, ia dapat mengungguli mereka sebagaimana
  dikatakan Alquran: “Telah Kami tundukkan segala sesuatu di atas 
  bumi  un- tuk manusia” (Q. 45:13). Sebaliknya, jika sifat hewani atau
  setan yang berkuasa maka setelah mati ia akan selalu menghadap ke bumi dan
  mendambakan kesenangan duniawi.
Betapa mengagumkan, jiwa rasional
  (akal) manusia berlimpah dengan pengetahu- an dan kekuatan. Berkat keduanya ia
  dapat menguasai seni dan sains, mampu bolak-balik dari bumi ke angkasa secepat
  kilat, dapat memetakan langit dan mengukur jarak an- tarbintang. Berkat ilmu
  dan kekuatan ia juga dapat
  menangkap ikan dari lautan dan bu- rung di udara, bahkan kuasa menundukkan
  binatang liar seperti gajah, unta, dan kuda. Panca indranya bagaikan lima
  pintu yang terbuka menghadap dunia luar. Namun yang paling menakjubkan dari
  semua ini adalah hatinya yang memiliki jendela terbuka ke dunia ruh yang gaib.
  Dalam keadaan tidur, ketika saluran indranya tertutup, jendela ini terbuka
  menerima berbagai gambaran dari dunia gaib, yang kadang-kadang mengabar- kan
  isyarat tentang masa depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan
  segala sesuatu di Lauh Mahfuzh. Tetapi, bahkan di saat tidur, pikiran-pikiran
  yang bersifat duniawi akan memburamkan cermin tersebut sehingga kesan-kesan
  yang diterima- nya tidak jelas. Bagaimanapun, saat kemati- an datang, semua
  pikiran seperti itu akan sirna dan hakikat segala sesuatu tampak se-
  jelas-jelasnya. Saat itulah yang dimaksud dalam ayat di atas: Kamu 
  lalai  dari  (hal) ini. Kami singkapkan tutup matamu sehingga
  penglihatanmu pada hari itu sangat  tajam. (Q.  50:  22). 
Jendela dalam hati itu juga dapat terbu- ka
  dan mengarah ke dunia gaib di saat-saat yang menyerupai ilham kenabian, yakni
  ke- tika intuisi muncul dalam pikiran tanpa me- lalui perangkat indriawi.
  Makin seseorang memurnikan dirinya dari hasrat badani dan memusatkan
  pikirannya kepada Tuhan, se- makin peka ia terhadap intuisi-intuisi seperti
  itu. Orang yang tidak menyadari intuisi se- macam itu tak berhak menyangkal
  keber- adaannya.
Dan tidak hanya para nabi yang bisa menerima intuisi
  seperti itu. Layaknya seba- tang besi yang terus dipoles akan berubah menjadi
  cermin, pikiran siapa pun akan mam- pu menerima intuisi seperti itu jika
  dilatih dengan disiplin yang keras. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh
  Nabi ketika beliau bersabda: “Setiap anak dilahirkan dengan fitrah
  (kecenderungan menjadi muslim); orang tuanya kemudian menjadikannya Yahudi,
  Nasrani, atau Majusi.” Setiap manusia, di lubuk terdalam kesadarannya
  mendengar pertanyaan “Bukankah Aku ini tuhanmu?” dan menjawab “Ya”. Tetapi
  kebanyakan hati manusia bagaikan cermin yang telah tertutup karat dan kotoran sehingga tidak dapat
  memantulkan gambaran yang jernih. Berbeda dengan hati para nabi dan wali yang,
  meski mereka pun memiliki nafsu se- rupa kita, sangat peka terhadap
  kesan-kesan ilahiah.
Sebagaimana dikatakan di atas, jiwa ra- sional
  dilimpahi pengetahuan dan kekuatan. Jadi, intuisi seperti itu tak hanya bisa
  diraih dengan pengetahuan—yang membuat manu- sia lebih unggul dari semua
  makhluk lain- nya—tetapi juga dengan kekuatan. Sebagai- mana malaikat
  menguasai pelbagai kekuatan alam, jiwa manusia pun berkuasa mengatur semua
  anggota badan. Jiwa yang telah men- capai tingkat kekuatan tertentu, tidak
  saja dapat mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika ia
  ingin agar se- seorang yang sakit sembuh, si sakit akan sembuh, atau jika
  ingin seseorang yang sehat agar jatuh sakit, sakitlah orang itu, atau jika ia
  inginkan kehadiran seseorang, orang itu akan datang di hadapannya. Baik atau
  bu- ruk akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini bergantung pada
  sumber ke- kuatannya, sihir ataukah mukjizat. 
Siapa
  aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan
  dan persinggahanku
di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat
  ditemukan?
Ketahuilah, ada tiga sifat yang bersemayam dalam dirimu:
hewan,
  setan, dan malaikat.
Harus kautemukan, mana di antara ketiganya yang
  aksidental
dan mana yang esensial.
Tanpa menyingkap rahasia itu,
kau
  tak akan temukan kebahagiaan sejati.  
 
Ada tiga hal
  yang membedakan jiwa yang sangat kuat ini dari jiwa orang kebanyakan:
1.   
  Apa yang dilihat orang lain hanya da- lam mimpi, mereka melihatnya di saat-
  saat jaga.
2.    Sementara kehendak orang lain hanya
  memengaruhi jasad mereka, jiwa ini, de- ngan kekuatan kehendaknya, bisa pula
  menggerakkan jasad orang lain.
3.    Jika orang lain mesti
  belajar keras untuk mendapatkan suatu pengetahuan, ia men- dapatkannya melalui
  intuisi.
Tentu saja ada banyak hal lain yang membedakan jiwa mereka dari
  jiwa keba- nyakan manusia. Namun, ketiga tanda itu- lah yang dapat diketahui
  umum. Sebagai- mana tidak ada sesuatu pun yang mengeta- hui hakikat
  sifat-sifat Tuhan kecuali Tuhan, sifat sejati seorang nabi pun hanya diketahui
  oleh nabi. Tak perlu merasa heran, karena dalam kehidupan sehari-hari pun kita
  tak mungkin menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang tak peka terhadap
  rima dan irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seorang yang buta.
  Selain ketidak- mampuan, ada perintang-perintang lain untuk mencapai kebenaran spiritual. Satu di
  antaranya adalah pengetahuan capaian lahi- riah. Jelasnya, hati manusia bisa
  digambar- kan sebagai sumur dan pancaindra sebagai lima aliran yang terus
  mengaliri sumur itu. Untuk mengetahui kandungan hati yang se- benarnya, kita
  harus menghentikan aliran- aliran tersebut dan membersihkan sampah yang
  dibawanya. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani
  yang murni, kita mesti membuang pengetahuan yang telah dicapai melalui proses
  indriawi dan yang sering kali mengeras menjadi pra- sangka dogmatis.
Namun,
  banyak juga orang yang salah kaprah menyikapi pengetahuan capaian lahi- riah
  ini. Banyak orang yang dangkal ilmu- nya—seraya mengutip beberapa ungkapan
  yang mereka dengar dari guru-guru sufi— bercuap-cuap mencela dan menajiskan
  se- mua jenis pengetahuan. Ia tak ubahnya sese- orang yang tak tahu kimia lalu
  berkoar: “Kimia lebih baik daripada emas,” seraya menolak emas ketika
  ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tetapi alkemis sejati
  amatlah langka, begitu pun sufi
  sejati. Orang yang hanya mengenal kulit tasawuf tidak lebih baik daripada
  seorang terpelajar. Demikian pula, orang yang baru mencoba beberapa rumus
  kimia, tak punya alasan untuk menghina seorang kaya.
Setiap orang yang
  mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan sejati tak bisa
  dilepaskan dari makrifat—mengenal Tuhan. Tiap fakultas dalam diri manusia me-
  nyukai segala sesuatu yang untuk itu ia di- ciptakan. Syahwat senang memenuhi
  hasrat nafsu, kemarahan menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan
  indah, dan telinga senang mendengar suara-suara mer- du. Jiwa manusia
  diciptakan dengan tujuan agar ia mencerap kebenaran. Karenanya, ia akan merasa
  senang dan tenang dalam upa- ya tersebut. Bahkan dalam persoalan yang remeh
  sekalipun, seperti permainan catur, manusia merasakan kesenangan. Dan, sema-
  kin tinggi materi pengetahuan yang didapat, semakin besar rasa senangnya.
  Orang akan senang jika dipercaya menjadi perdana men- teri, tetapi ia akan
  jauh senang jika semakin dekat kepada raja yang mungkin menying- kapkan
  berbagai rahasia kepadanya.
 
Seorang
  astronom yang dengan pengeta- huannya bisa memetakan posisi bintang- bintang
  dan menguraikan lintasan-lintasan- nya, pasti merasa jauh lebih senang ketim-
  bang pemain catur. Maka tentu saja hati ini akan merasa teramat bahagia saat
  mengeta- hui bahwa tak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dari Allah!
  Pengetahuan tentang Allah merupakan satu-satunya subjek pengetahuan tertinggi
  sehingga orang yang berhasil me- raihnya pasti akan merasakan puncak ke-
  senangan.
Orang yang tak menginginkan pengeta- huan ini tak beda dengan
  orang yang tak menyukai makanan sehat; atau layaknya orang yang lebih suka
  lempung ketimbang roti. Ketika kematian datang dan membu- nuh semua organ
  tubuh yang biasa diper- alat nafsu, semua dorongan dan hasrat ba- dani musnah,
  tetapi jiwa manusia tidak. Ia akan tetap hidup dan menyimpan segala pe-
  ngetahuannya tentang Tuhan, malah penge- tahuannya semakin bertambah.
Satu
  bagian penting dari pengetahuan tentang Tuhan timbul dari kajian dan pere-
  nungan atas jasad manusia yang menampilkan kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Penciptanya.
  Dengan kekuasaan-Nya, Dia membangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa ini
  hanya dari satu tetes air mani. Kerumitan jasad kita dan kemampuan setiap
  bagiannya untuk bekerja secara harmonis menunjukkan kebijakan-Nya. Cinta-Nya
  Dia perlihatkan dengan memberi organ tubuh yang mutlak diperlukan
  manusia—seperti hati, jantung, dan otak—dan juga organ yang tidak mutlak
  dibutuhkan—seperti ta- ngan, kaki, lidah, dan mata. Lalu Dia me- nyempurnakan
  ciptaan-Nya itu dengan me- nambahkan rambut yang hitam, bibir yang memerah,
  dan bulu mata yang melengkung. Karena itu, sangat pantas jika manusia
  disebut   âlam   al-shaghîr   (mikrokosmos).
  Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan ha- nya oleh orang yang ingin
  menjadi dokter, melainkan juga oleh orang yang ingin men- capai 
  pengetahuan  lebih  dalam  tentang Tuhan, sebagaimana studi
  yang mendalam tentang keindahan dan gaya bahasa pada se- buah puisi yang indah
  akan mengungkapkan
lebih banyak kegeniusan penulisnya.
 
Namun, dibandingkan pengetahuan ten- tang
  jasad beserta fungsi-fungsinya, pengeta- huan tentang jiwa lebih banyak
  berperan mengantar manusia pada pengetahuan tentang Tuhan. Jasad bisa
  diumpamakan seekor kuda sementara jiwa adalah penunggang- nya. Jasad
  diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seseorang tidak mengeta- hui
  jiwanya—sesuatu yang paling dekat ke- padanya—maka pengakuannya bahwa ia
  mengetahui hal-hal lain tidak berarti apa- apa. Ia tak ubahnya pengemis yang
  tak pu- nya persediaan makanan, lalu mengaku bisa memberi makan seluruh
  penduduk kota.
Dalam bab ini kita telah berusaha me- maparkan kebesaran
  jiwa manusia. Orang yang mengabaikannya dan menodai kesuci- annya dengan
  mengotori atau bahkan meru- saknya, pasti akan kalah di dunia dan di akhirat.
  Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kemampuannya untuk terus maju
  dan berkembang. Tanpa kemampuan itu ia akan menjadi makhluk yang paling lemah
  di antara makhluk lainnya—takluk oleh rasa lapar, haus, panas, dingin, dan
  mus- nah oleh penderitaan. Sering kali apa yang disukai seseorang justru sangat membahaya- kan dirinya. Dan
  segala hal yang memaju- kannya tidak bisa diperoleh kecuali dengan kesusahan
  dan kerja keras. Intelektualitas manusia sesungguhnya sangat rapuh. Sedikit
  saja kekacauan dalam otaknya sudah cukup untuk merusak atau membuatnya gila.
  Dan fisiknya pun lebih lemah dibanding sebagian hewan; bahkan sengatan tawon
  saja sudah mampu mengusik ketenangan dan kesehat- annya. Tabiatnya bahkan
  lebih lemah lagi; satu rupiah hilang dari kantongnya, ia kela- bakan dan
  gelisah tak karuan. Kecantikan- nya pun, berkat kulitnya yang lembut, ha- nya
  sedikit lebih baik daripada makhluk lainnya. Jika tidak sering dicuci, manusia
  akan tampak sangat menjijikkan dan mema- lukan.
Sebenarnya manusia
  merupakan makh- luk yang teramat lemah dan hina di dunia ini. Kebernialaian
  dan keutamaannya hanya akan mewujud di negeri akhirat. Melalui pendisiplinan
  diri dengan sarana “Kimia Ke- bahagiaan” ia akan naik dari tingkatan he- wan
  ke tingkatan malaikat. Tanpa Kimia Kebahagiaan, keadaannya akan menjadi lebih buruk dari orang biadab yang pasti mus-
  nah dan menjadi debu. Karena itu, disertai kesadaran sebagai makhluk terbaik
  dan pa- ling unggul, ia harus berusaha mengetahui ketakberdayaannya, karena
  pengetahuan itu menjadi salah satu kunci untuk membuka pengetahuan tentang
  Allah.[]
  Mengenal Allah
SEBUAH HADIS Nabi saw. yang terkenal ber- bunyi “Barang
  siapa mengenal dirinya, ia mengenal Allah.” Artinya, dengan merenung- kan
  wujud dan sifat-sifatnya, manusia sam- pai pada sebagian pengetahuan tentang
  Allah. Mengingat banyak orang yang merenungkan dirinya tetapi tak juga menemu
  Tuhannya, berarti ada cara-cara tersendiri untuk menja- lani perenungan itu.
  Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahu- an ini. Salah
  satunya terlalu musykil sehing- ga tak bisa dicerna kecerdasan biasa dan,
  karenanya, lebih baik tidak kita bahas di sini.
Metode lain adalah
  sebagai berikut. Jika seseorang merenungkan dirinya, ia akan mengetahui bahwa sebelumnya ia tidak ada,
  sebagaimana tertulis dalam Alquran: Tidak- kah manusia tahu bahwa
  sebelumnya  ia  bu- kan  apa-apa?(Q.  76:  1)
Lalu
  ia akan mengetahui bahwa ia ter- buat dari setetes air yang tak mengandung
  intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki, dan seterusnya. Jadi jelaslah,
  setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak men- ciptakan dirinya,
  bahkan tak kuasa untuk menciptakan meski hanya sehelai rambut.
Betapa
  sangat tak berdayanya manusia ketika ia hanya berupa setetes mani! Jadi,
  sebagaimana telah dijelaskan, ia mendapati wujudnya sebagai miniatur atau
  pantulan dari kekuasaan, kebijakan, dan cinta Sang Pencipta. Jika semua orang
  pintar dari selu- ruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai
  waktu yang tak terba- tas, mereka tak akan bisa memperbaiki sedi- kit saja
  dari struktur jasad manusia, yang paling kecil sekalipun. Keajaiban penciptaan
  manusia tampak dalam berbagai sisi, seperti kesesuaian antara geligi depan dan
  samping ketika mengunyah makanan, proporsi lidah di mulut, kelenjar air liur
  dan kerongkongan untuk
  menelan, dan berbagai organ lainnya yang begitu menakjubkan. Lihatlah pula
  struktur tangan dengan lima jarinya yang tak sama panjang—empat di antaranya
  pu- nya tiga persendian dan jempol hanya punya dua—sehingga ia bisa
  dipergunakan untuk mencekal, menjinjing, atau memukul. Tidak mungkin manusia,
  secerdas apa pun ia, mam- pu membuatnya lebih baik lagi, misalnya dengan
  mengubah jumlah dan struktur jari- jari itu, atau dengan cara lainnya.
Lalu,
  jika ia memikirkan lebih lanjut me- ngenai hasratnya terhadap beragam makan-
  an, penginapan, dan sebagainya, yang se- muanya bisa didapatkan dari gudang
  pen- ciptaan, ia akan menyadari bahwa kasih sa- yang Allah sama besarnya
  dengan kekuasaan dan kebijakan-Nya. Allah berfirman, “Rahmat- Ku lebih luas
  dari kutukan-Ku.” Dan sebuah hadis Nabi saw. menyebutkan bahwa kasih Allah
  lebih lembut daripada kasih seorang ibu pada bayinya yang sedang menyusu.
  Jadi, dengan mengenali penciptaan dirinya, manu- sia akan mengetahui
  keberadaan Tuhan. Dengan merenungi struktur tubuhnya yang menakjubkan ia
  menyadari kekuasaan dan kebijaksanaan
  Allah. Dan dengan merenung- kan karunia yang berlimpah untuk meme- nuhi
  berbagai kebutuhannya, ia akan me- nyadari cinta Allah kepadanya. Begitulah,
  mengenal diri menjadi kunci untuk mengenal Allah.
***
Kebahagiaan sejati tak bisa dilepaskan dari
  makrifat—mengenal Tuhan.
Tiap fakultas dalam diri manusia menyukai segala
  sesuatu yang untuk itu ia diciptakan. Syahwat senang memenuhi ajakan nafsu,
  kemarahan menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan yang indah, dan
  telinga senang mendengar suara-suara merdu. Jiwa manusia diciptakan dengan
  tujuan agar ia  mencerap kebenaran. Karenanya, ia akan merasa senang dan
  tenang
dalam upaya tersebut. 
*** 
Bukan saja
  sifat-sifat manusia merupa- kan pantulan sifat-sifat Tuhan, melainkan
  keberadaan ruhnya pun dapat mengantarkan manusia pada pemahaman tentang keber-
  adaan Allah. Dengan demikian, bisa dikata- kan bahwa Allah dan ruh manusia
  tidak terbatasi ruang dan waktu, gaib, tak terbagi, di luar definisi kualitas
  dan kuantitas, serta tak dapat dilekati oleh gagasan tentang ben- tuk, warna,
  atau ukuran. Manusia kesulitan untuk memersepsi bentuk hakikat-hakikat semacam
  itu yang berada di luar batasan kualitas, kuantitas, dan sebagainya, sebagai-
  mana ia tak bisa memersepsi bentuk perasa-- annya sendiri, seperti marah,
  sakit, senang, atau cinta. Semuanya itu merupakan konsep pikiran yang tak
  dapat dimengerti oleh in- dra, sementara kualitas, kuantitas, dan batas-
  an-batasan lainnya merupakan konsep indri- awi. Sebagaimana telinga tak bisa
  mengenali warna atau mata
  mengenali suara, kita ber- ada di sebuah ruang, tempat persepsi indria- wi tak
  bisa dipergunakan untuk memba- yangkan kedua hakikat puncak itu, Allah dan
  ruh. Meski demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat
  dan Dia—yang berada di luar batasan ruang dan waktu, kuantitas dan
  kualitas—mengatur se- gala sesuatu di alam semesta ini begitu sem- purna.
  Seperti itu pulalah ruh mengatur ja- sad dan seluruh anggotanya sementara ia
  sendiri tak kasatmata, tak terbagi, dan tak be-ruang. Bagaimana mungkin
  sesuatu yang tak terbagi ditempatkan di suatu ruang yang terbagi. Dari sinilah
  kita bisa melihat kebe- naran hadis Nabi saw.: “Allah menciptakan manusia
  dalam kemiripan dengan diri-Nya.” Setelah kita mengetahui sebagian
  esensi  dan sifat-sifat Allah melalui perenungan ter- hadap esensi dan
  sifat-sifat ruh, kita akan memahami metode kerja, pengaturan, dan
  pendelegasian kekuasaan Allah kepada ke- kuatan-kekuatan malakut dan
  sebagainya dengan mengamati bagaimana kita meng- atur kerajaan kecil dalam
  diri kita. Contoh sederhananya, seseorang ingin menulis nama Allah. Mula-mula keinginan itu terbetik da-
  lam hati, kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata “Allah”
  tergam- bar dalam relung otak, kemudian berjalan mengikuti jalur saraf dan
  menggerakkan jari- jari, yang kemudian menggerakkan pena. Be- gitulah, nama
  “Allah” tergurat di atas kertas tepat seperti yang tergambar dalam otak pe-
  nulisnya. Demikian pula, jika Allah meng- hendaki sesuatu, ia tampil di alam
  ruhaniah yang dalam Alquran disebut “Singgasana” (Arasy). Dari sana ia
  mengikuti arus spiritu- al ke suatu alam yang lebih rendah yang di- sebut
  Kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil di Lauh Mahfuzh; lalu, melalui
  per- antaraan kekuatan-kekuatan yang disebut “malaikat”, bentuk itu mewujud
  dan tampil di atas bumi dalam bentuk tanaman, pohon, hewan, dan lain-lain
  sebagai cerminan ke- inginan dan pikiran Allah, sebagaimana hu- ruf-huruf yang
  tertulis mencerminkan ke- inginan yang terbetik dalam hati dan bentuk yang
  hadir di otak sang penulis.
Tidak seorang pun bisa memahami se- orang
  raja kecuali seorang raja. Karena itu, Allah telah menjadikan tiap-tiap kita
  sebagai, katakanlah,
  seorang raja kecil, penguasa atas sebuah kerajaan yang merupakan tiruan dari
  kerajaan-Nya. Di dalam kerajaan ma- nusia, singgasana Allah dicerminkan oleh
  ruh, malaikat oleh hati, Kursi oleh otak, dan Lauh Mahfuzh oleh perbendaharaan
  pikiran. Ruh—yang tak tertempatkan dan tak terba- gi—mengatur jasad
  sebagaimana Allah meng- atur jagat. Pendeknya, kepada kita diama- natkan
  sebuah kerajaan kecil, dan kita di- wajibkan untuk mengaturnya secara saksa-
  ma, tidak ceroboh apalagi semena-mena.
Sementara berkenaan dengan
  pengatur- an Allah terhadap alam semesta, pengetahu- an manusia terbagi ke
  dalam beberapa ting- katan. Ada tingkatan fisikawan yang, seperti seekor semut
  yang merangkak di atas selem- bar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang
  tersebar di atasnya, hanya mengetahui bahwa penyebabnya adalah pena. Ada ting-
  katan astronom yang, seperti seekor semut dengan pandangan yang lebih luas,
  bisa me- lihat jari-jari yang menggerakkan pena. Mak- sudnya, ia tahu bahwa
  berbagai elemen se- mesta dipengaruhi oleh kekuatan bintang- bintang, tetapi
  ia tidak tahu bahwa bintang-bintang itu berada di bawah kekuasaan ma- laikat-malaikat.
  Jadi, karena perbedaan tingkat persepsi setiap orang, tak heran jika muncul
  perbedaan paham mengenai Sebab Pertama dari segala akibat. Orang yang tak
  pernah melihat ke balik dunia-gejala adalah seperti orang yang menganggap
  budak seba- gai raja. Memang hukum alam harus ber- sifat tetap, karena jika
  tidak, tak akan ada sains dan sebagainya; tetapi, menganggap budak sebagai
  majikan adalah kesalahan besar.
Selama kapasitas persepsi manusia ber-
  beda-beda, perdebatan akan terus berlanjut. Keadaan itu bagaikan beberapa
  orang buta yang mendengar kedatangan seekor gajah di kota mereka dan kemudian
  pergi menyelidi- kinya. Pengetahuan hanya mereka dapatkan lewat indra peraba
  sehingga ketika seorang memegang kaki gajah, orang kedua meme- gang gadingnya,
  dan yang lain telinganya, tentu persepsi mereka tentang gajah akan berbeda.
  Orang pertama menyebut gajah se- bagai sebuah tiang, orang kedua menyebut- nya
  tabung yang tebal, dan yang lainnya menganggap gajah sebagai sesuatu yang
  lembut bak kapas. Setiap
  orang menjadikan ba- gian kecil yang dipersepsinya sebagai keselu- ruhan.
  Begitulah, fisikawan dan astronom menyamakan hukum-hukum yang mereka tangkap
  dengan Tuhan Sang Pembuat ber- bagai hukum. Kesalahan itu pulalah yang
  disimpulkan Ibrahim ketika ia berturut-turut berpaling kepada bintang, bulan,
  dan mata- hari sebagai objek sembahannya. Ketika me- nyadari kesalahannya dan
  mengetahui Dia yang menciptakan segala sesuatu, ia berseru: “Aku tidak
  menyukai segala sesuatu yang terbenam.”  (Q.  6:76).
Ada sebuah
  contoh umum tentang beta- pa sering manusia salah menyimpulkan se- bab kedua
  sebagai Sebab Pertama, yakni rasa sakit yang diderita manusia. Misalnya jika
  ada orang yang tak lagi tertarik pada urus- an dunia, menjauhi pelbagai bentuk
  kese-- nangan, dan tampak tenggelam dalam dep- resi, dokter akan menyimpulkan:
  “Ia mende- rita melankoli dan harus diobati dengan anu dan anu.” Fisikawan
  akan berkata, “Ia men- derita kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas
  dan tidak akan sembuh hingga udara menjadi lembab kembali.” Dan berbeda lagi pendapat astrolog yang mengaitkan fenomena
  itu dengan konjungsi planet dan bintang-bintang. “Sejauh jangkauan kebijak- an
  mereka,” kata Alquran. Sama sekali tak terlintas dalam pikiran mereka bahwa
  yang sesungguhnya terjadi adalah sebagai berikut: Yang Mahakuasa berkehendak
  mengurusi kesejahteraan orang itu, dan kemudian me- merintah hamba-hamba-Nya,
  yakni planet dan elemen-elemen semesta lain, agar men- ciptakan situasi
  tertentu dalam diri orang itu sehingga ia berpaling dari dunia ke Pen-
  ciptanya. Pengetahuan tentang kenyataan ini merupakan mutiara paling berharga
  dari sa- mudera pengetahuan yang diilhamkan. Di- banding mutiara itu, semua
  bentuk pengeta- huan lain hanya seperti pulau-pulau di tengah lautan.
Memang
  pendapat ketiganya, yakni dokter, fisikawan, dan astrolog benar dari sisi
  cabang pengetahuannya masing-masing, te- tapi mereka tak bisa melihat bahwa
  penya- kit itu adalah, katakanlah, tali cinta yang digunakan oleh Allah untuk
  menarik para wali mendekat kepada-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman
  dalam sebuah hadis qudsi,
  “Aku sakit dan kamu tidak menje- nguk-Ku.” Penyakit itu sendiri adalah salah
  satu di antara bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk
  sampai pada pengetahuan tentang Allah, se- bagaimana Dia berfirman melalui
  lisan Nabi saw.: “Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan
  semuanya bergantung pada  keputusan-Ku.”
Penjelasan di atas
  memungkinkan kita memahami lebih dalam makna seruan yang sering diucapkan
  orang beriman, seperti “sub-  hânallâh”, “alhamdulillâh”, “lâ ilâha illâ
  al- lâh”, dan “allâhu akbar.” Seruan terakhir, yang berarti Allah Mahabesar
  tidak berarti bahwa Allah lebih besar dari ciptaan, karena ciptaan adalah
  pengejawantahan-Nya, seba- gaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari.
  Tidak benar jika dikatakan bahwa matahari lebih besar dari cahayanya. Seruan
  itu berarti bahwa kebesaran Allah tak dapat diukur dan berada di luar
  kemampuan kog- nisi manusia dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan
  yang amat kabur dan tidak sempurna tentang kebesaran-Nya. Jika seorang anak
  meminta kita menjelaskan nikmatnya kekuasaan dan memerintah, kita bisa katakan bahwa
  hal itu tidak berbeda dengan kesenangannya bermain bola dengan pemukulnya
  meski pada hakikatnya kedua- nya tidak sama kecuali bahwa keduanya termasuk
  dalam kategori “senang”. Jadi, se- ruan “allâhu akbar” berarti bahwa kebesar-
  an-Nya jauh di luar batas kemampuan pe- mahaman kita. Lagi pula, pengetahuan
  ten- tang Allah yang tak sempurna seperti itu— sebagaimana yang bisa kita
  peroleh—bukan sekadar pengetahuan spekulatif, tetapi mesti disertai dengan
  penyerahan diri dan ibadah. Jika seseorang mati, ia hanya akan berurus- an
  dengan Allah. Dan jika kita harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita
  ber- gantung sepenuhnya pada seberapa besar kita mencintainya.
Cinta
  adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah dapat ditumbuhkan dan
  dikembangkan oleh ibadah. Ibadah dan zikir tak berkesudahan mencerminkan suatu
  ting- kat keprihatinan dan pengekangan nafsu badani. Ini tidak berarti ia
  harus memusnah- kan nafsu badani sepenuhnya, karena jika begitu, ras manusia
  akan musnah. Namun, pemuasan
  hasrat tubuh itu harus dibatasi dengan ketat. Dan, karena manusia bukan hakim
  yang terbaik untuk menghukum diri- nya sendiri, ia harus mengonsultasikan
  pene- tapan batasan-batasan itu kepada pembim- bing ruhani, yakni para nabi.
  Hukum yang mereka tetapkan berdasarkan wahyu Tuhan menetapkan batasan-batasan
  yang mesti di- taati manusia. Orang yang melanggarnya ber- arti “telah
  menganiaya dirinya sendiri”, se- bagaimana dikatakan dalam Alquran. Meski
  pernyataan Alquran ini teramat jelas, masih banyak orang yang, karena
  kebodohannya akan Allah, melanggar batas-batas tersebut. Ada beberapa penyebab
  kebodohan ini:
Pertama, ada orang yang gagal mene-- mukan Allah lewat
  pengamatan, lantas me- nyimpulkan bahwa Allah tidak ada dan bahwa dunia yang
  penuh keajaiban ini men- ciptakan dirinya sendiri atau ada dari keaba- dian.
  Mereka bagaikan orang yang melihat tulisan indah kemudian menyatakan bahwa
  tulisan itu ada dengan sendirinya tanpa ditu- lis siapa pun, atau memang sudah
  ada begi- tu saja. Mereka yang berpola pikir seperti ini telah jauh tersesat
  sehingga penjelasan dan
  perdebatan dengan mereka takkan ber- manfaat sedikit pun. Mereka mirip dengan
  fisikawan dan astronom yang kita sebut di atas.
Kedua, sejumlah orang
  yang, karena ti- dak mengetahui sifat jiwa yang sebenarnya, menolak adanya
  akhirat, tempat manusia akan dimintai pertanggungjawabannya dan diberi balasan
  baik atau disiksa. Mereka ang- gap diri mereka sendiri tak lebih baik dari
  hewan atau sayuran, yang akan musnah be- gitu saja dan tidak akan dibangkitkan
  lagi.
Ketiga, ada orang yang percaya kepada Allah dan kehidupan akhirat,
  tetapi keperca- yaannya itu lemah. Mereka berkata, “Allah itu Mahabesar dan
  tidak bergantung kepada kita; tak penting bagi-Nya apakah kita ber- ibadah
  atau tidak.” Pikiran mereka itu se- perti orang sakit yang, saat dokter
  memberi- nya nasihat penyembuhan, berkata, “Yah, kuikuti atau tidak, apa
  urusannya dengan dokter itu.” Memang tindakannya itu tidak berdampak apa-apa
  pada diri si dokter, teta- pi pasti akan merusak dirinya sendiri. Se-
  bagaimana penyakit jasad yang tak terobati akan membunuh jasad, penyakit jiwa
  yang tak tersembuhkan pun
  akan menyebabkan penderitaan di masa mendatang. Allah ber- firman, “Orang yang
  akan diselamatkan ha- nyalah yang datang kepada Allah  dengan hati 
  yang  bersih.”
Keempat, kelompok orang kafir yang berkata, “Syariat
  mengajari kita untuk me- nahan amarah, syahwat, dan kemunafikan. Ini perintah
  yang musykil dilaksanakan, ka- rena manusia diciptakan dengan sifat-sifat
  seperti itu. Itu sama saja dengan menuntut yang hitam agar menjadi putih.”
  Orang bo- doh seperti mereka sepenuhnya tidak meli- hat kenyataan bahwa
  syariat tidak mengajari kita untuk memusnahkan nafsu-nafsu ini, tetapi untuk
  meletakkan mereka dalam ba- tas-batasnya. Sehingga, dengan menghindari
  dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan am- punan atas dosa-dosa kita yang
  lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. bersabda, “Aku manusia sepertimu juga, dan aku
  marah seperti yang lain.” Dan dalam Alquran tertulis: “Allah mencintai orang
  yang menahan amarahnya” (Q. 3: 134), bukan orang yang tidak punya amarah sama
  sekali.
 
Kelima,
  kelompok orang yang menonjol- nonjolkan kemurahan Allah seraya meng- abaikan
  keadilan-Nya, kemudian berkata, “Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha
  Pemaaf.” Mereka tidak berpikir bah- wa meskipun Allah maha mengampuni, ju-
  taan manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit.
  Sebenarnya mereka tahu bahwa siapa saja yang ingin umur panjang, kemakmuran,
  atau kepintar- an tak boleh sekadar berkata, “Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti
  berusaha dengan ke- ras. Meski Alquran mengatakan: “Rezeki se- mua makhluk
  hidup datang dari Allah,” di sana tertulis pula: “Manusia tidak men- dapatkan
  sesuatu kecuali dengan berusaha” (Q. 53: 39). Kenyataannya, ajaran semacam itu
  berasal dari setan, dan orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya,
  tidak de- ngan hatinya.
Keenam, kelompok orang yang meng- aku telah
  mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga mereka tak lagi dipengaru-
  hi dosa. Namun kenyataannya, saat orang lain memperlakukan salah seorang di
  antara mereka secara tidak hormat, ia akan men dendam selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang
  di antara mereka tidak men- dapat sebutir makanan yang menurutnya telah
  menjadi haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan,
  jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsunya, mereka tak
  punya hak untuk membuat pengakuan semacam itu, mengingat para nabi—manusia
  paling mulia—pun selalu meratap mengakui dosa- dosa mereka. Sebagian kelompok
  ini bahkan begitu sombong sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal
  yang halal. Di- riwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari seseorang
  menyodorkan sebutir kurma kepa- danya, tetapi beliau enggan memakannya
  lantaran tidak yakin kurma itu diperoleh secara halal. Sementara orang-orang
  yang berkehidupan bebas ini mau meneguk berli- ter-liter arak lalu mengaku
  (aku bergidik saat menulis ini) lebih unggul dari Nabi yang selalu menjaga
  kesuciannya bahkan dari se- butir kurma, sementara mereka merasa tak
  terpengaruh oleh arak sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan mereka ke
  dalam kehancuran. Orang suci sejati mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai naf- sunya
  tidak pantas disebut manusia. Dan bahwa seorang muslim sejati pastilah de-
  ngan senang hati mengakui batas-batas yang ditetapkan syariat. Orang yang ber-
  upaya dengan dalih apa pun untuk meng- abaikan kewajibannya berarti bisa
  dipasti- kan berada dalam pengaruh setan. Bagi me- reka, nasihat lisan maupun
  tulisan takkan lagi mempan; mereka harus diancam dengan pedang. Para mistikus
  palsu seperti mereka kadang-kadang berpura-pura tenggelam da- lam samudra
  ketakjuban. Tetapi, jika kauta- nyakan kepada mereka apa yang mereka
  takjubkan, mereka tidak mengetahuinya. Biar- kanlah mereka takjub sekehendak
  hati mere- ka, namun pada saat yang sama ingatkanlah bahwa Yang Mahakuasa
  adalah pencipta mereka, dan bahwa mereka adalah hamba- Nya.[]
***
Orang
  yang tak menginginkan pengetahuan ini tak beda dengan orang yang tak menyukai
  makanan sehat;  atau layaknya orang yang lebih suka
lempung
  ketimbang roti. Ketika kematian datang dan membunuh semua organ tubuh yang
  biasa diperalat nafsu,
semua dorongan dan hasrat badani musnah, tetapi
  jiwa manusia tidak.
Ia akan tetap hidup dan menyimpan segala
  pengetahuannya tentang Tuhan, malah pengetahuannya
semakin bertambah. 
***
  
    
  Mengenal Dunia
DUNIA INI adalah sebuah panggung atau pa- sar yang
  disinggahi para musafir dalam per- jalanan mereka ke tempat lain. Di sinilah
  mereka membekali diri dengan berbagai per- bekalan. Dengan bantuan perangkat
  indria- winya, manusia harus memperoleh pengeta- huan tentang ciptaan Allah
  dan, melalui pe- renungan terhadap semua ciptaan-Nya itu, ia akan mengenal
  Allah. Pandangan manusia mengenai Tuhannya akan menentukan na- sibnya di masa
  depan. Untuk memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke dunia
  tanah dan air. Selama indranya ma- sih berfungsi, ia akan menetap di alam ini.
  Jika semuanya telah sirna dan yang tertinggal hanya sifat-sifat esensinya, berarti ia te-
  lah pergi ke “alam lain”.
Selama hidup di dunia ini, manusia ha- rus
  menjalankan dua hal penting, yaitu me- lindungi dan memelihara jiwanya, serta
  me- rawat dan mengembangkan jasadnya. Jiwa akan terpelihara dengan pengetahuan
  dan cinta kepada Allah. Sebaliknya, jiwa akan hancur jika seseorang terserap
  dalam kecin- taan kepada sesuatu selain Allah. Sementara itu, jasad hanyalah
  hewan tunggangan bagi jiwa, yang kelak akan musnah. Setelah ke- hancuran
  jasad, jiwa akan abadi. Kendati demikian, jiwa harus merawat jasad layak- nya
  seorang pedagang yang selalu merawat unta tunggangannya. Tetapi jika ia
  mengha- biskan waktunya untuk memberi makan dan menghiasi untanya, tentu
  rombongan kafilah akan meninggalkannya dan ia akan mati sen- dirian di padang
  pasir.
Untuk bertahan dan berkembang, jasad hanya membutuhkan makanan,
  pakaian, dan tempat tinggal. Tetapi nafsu jasmani yang tertanam dalam dirinya
  untuk memenuhi ke- butuhan itu cenderung memberontak mela- wan nalar yang
  tumbuhnya lebih lambat ketimbang nafsu. Karenanya, nafsu jasmani harus dikendalikan
  dengan hukum-hukum Tuhan yang diajarkan oleh para nabi.
Lalu, berkenaan
  dengan dunia yang kita tempati ini, ia terbagi ke dalam tiga kelom- pok utama,
  yaitu hewan, tumbuhan, dan mineral. Produk ketiganya terus-menerus di-
  butuhkan manusia, yang kemudian memun- culkan tiga bidang profesi utama, yaitu
  para pembuat pakaian, tukang bangunan, dan pe- kerja tambang. Tentu saja
  ketiga bidang ker- ja utama itu menurunkan profesi-profesi lain yang lebih
  khusus, seperti penjahit, tukang batu, tukang besi, dan lain-lain. Semua pe-
  kerja dalam berbagai bidang itu saling ter- kait satu sama lain. Tidak ada
  seorang pun yang terlepas dari yang lain. Keadaan ini melahirkan sistem
  hubungan perdagangan yang pada gilirannya sering kali memuncul- kan kebencian,
  iri hati, cemburu, dan penya- kit jiwa lainnya. Ujung-ujungnya, timbul per-
  tengkaran dan perselisihan, yang memuncul- kan kebutuhan terhadap kekuasaan
  politik dan sipil serta pengetahuan tentang hukum. Begitulah, berbagai bidang
  profesi, per- dagangan, jasa, dan lain-lain bermunculan di dunia ini yang semakin memperumit ke-
  adaan dan menimbulkan kekacauan sosial. Apa pasal? Karena manusia lupa bahwa
  ke- butuhan mereka sebenarnya hanya tiga, yai- tu pakaian, makanan, dan tempat
  tinggal, yang semuanya semata-mata dibutuhkan agar jasad dapat menjadi
  tunggangan yang layak bagi jiwa dalam perjalanannya ke alam ber- ikutnya.
  Mereka terjerumus dalam kesalah- an yang sama seperti peziarah ke Mekah yang,
  karena melupakan tujuan ziarah, meng- habiskan seluruh waktunya untuk memberi
  makan dan menghiasi hewan tunggangan- nya. Seseorang pasti akan terpikat dan
  disi- bukkan oleh dunia—yang menurut Rasulullah daya pikatnya lebih kuat
  daripada sihir Harut dan Marut—kecuali jika ia mengawasi dan mengendalikan
  nafsunya dengan ketat.
Dunia cenderung menipu dan memper- daya manusia,
  yang mewujud dalam bera- gam rupa. Misalnya, dunia berpura-pura se- akan-akan
  ia akan selalu tinggal bersama- mu, padahal kenyataannya, secara perlahan ia
  bakal pergi menjauhimu dan berpisah da- rimu, layaknya suatu bayangan yang
  tam- paknya tetap, tetapi kenyataannya selalu bergerak. Atau, dunia menampilkan dirinya da- lam rupa
  penyihir yang berseri-seri tetapi tak bermoral, ia berpura-pura mencintai dan
  menyayangimu, namun kemudian membelot kepada musuhmu, meninggalkanmu mati me-
  rana dilanda rasa kecewa dan putus asa. Nabi Isa a.s. melihat dunia melihat
  dunia dalam bentuk seorang wanita tua yang bu- ruk rupa. Ketika Isa a.s.
  bertanya kepadanya tentang berapa banyak suaminya, ia menja- wab bahwa
  jumlahnya tak terhitung. Ia ber- tanya lagi, apakah mereka telah mati atau-
  kah dicerai. Si wanita itu bilang bahwa ia telah memenggal mereka semua. “Aku
  he- ran,” ujar Isa a.s. kepada wanita tua itu, “betapa banyak orang bodoh yang
  masih menginginkanmu setelah apa yang kaulaku- kan atas banyak orang.”
Wanita
  tua ini menghiasi dirinya dengan busana yang indah sarat permata, menutupi
  mukanya dengan cadar, lalu merayu manu- sia. Sangat banyak dari mereka yang
  meng- ikutinya menuju kehancuran. Rasulullah saw. menyatakan bahwa di Hari
  Pengadilan, du- nia ini akan tampak dalam bentuk seorang nenek tua yang seram,
  bermata hijau gelap, dan
  gigi yang bertonjolan. Orang yang meli- hatnya akan berkata, “Ampun! Siapakah
  ini?” Malaikat menjawab, “Inilah dunia yang de- minya kalian bertengkar dan
  berkelahi serta saling merusak kehidupan.” Kemudian wa- nita itu akan
  dicampakkan ke neraka seraya menjerit keras, “Oh Tuhan, di mana pencin-
  ta-pencintaku dahulu?” Tuhan pun kemudi- an memerintahkan para pecinta dunia
  juga dilemparkan mengikuti kekasih mereka itu.
Siapa saja yang mau
  merenungkan seca- ra serius keabadian di masa lalu, ketika du- nia ini belum
  ada, dan keabadian di masa datang, ketika dunia tak lagi ada, akan me-
  ngetahui bahwa kehidupan ini bagaikan se- buah perjalanan yang
  tahapan-tahapannya dicerminkan oleh tahun, liga-liganya (ukuran jarak, ± 3
  mil) oleh bulan, mil-milnya oleh hari, dan langkah-langkahnya oleh detik.
  Jadi, betapa bodoh orang yang berupaya menjadi- kan dunia sebagai tempat
  tinggalnya yang abadi dan menyusun rencana sepuluh tahun ke depan untuk meraih
  apa-apa yang bisa jadi tak pernah dibutuhkannya, padahal se- puluh hari ke
  depan mungkin ia telah terku- bur dalam tanah.
 
Saat kematian datang, orang yang meng- umbar nafsu
  tanpa batas dan tenggelam da- lam kenikmatan dunia tak ubahnya seperti orang
  yang memenuhi perutnya dengan pa- nganan lezat, kemudian memuntahkannya.
  Kelezatannya telah hilang, tetapi mualnya tetap terasa. Makin banyak harta
  yang di- nikmati—berupa taman-taman yang indah, budak, emas, perak, dan
  lain-lain—semakin berat penderitaan yang dirasakan ketika me- reka dipisahkan
  oleh kematian. Beratnya penderitaan itu melebihi derita kematian, ka- rena
  jiwa yang telah dilekati sifat tamak akan menderita di akhirat akibat nafsu
  yang tak terpuaskan.
Dunia menipu manusia dengan cara- cara lainnya,
  seperti menampakkan diri se- bagai sesuatu yang remeh dan sepele, tetapi
  setelah dikejar ternyata ia punya cabang yang begitu banyak dan panjang
  sehingga seluruh waktu dan energi manusia dihabiskan untuk mengejarnya. Nabi
  Isa a.s. berkata, “Pecinta dunia ini seperti orang yang minum air laut;
  semakin banyak minum, semakin haus ia sampai akhirnya mati akibat dahaga yang
  tak terpuaskan.” Dan Rasulullah saw. bersabda, “Kau tak bisa bergelut dengan dunia tanpa
  terkotori olehnya, sebagaimana kau tak bisa menyelam tanpa menjadi basah.”
Dunia
  ini seperti sebuah meja yang ter- hampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi
  silih berganti. Di sana disediakan pi- ring-piring emas dan perak, makanan dan
  wewangian yang berlimpah. Tamu yang bi- jaksana makan sesuai kebutuhannya,
  meng- hirup wewangian, berterima kasih kepada tuan rumah, lalu pergi.
  Sebaliknya, tamu yang tolol mencoba membawa beberapa pi- ring emas dan perak
  hanya untuk direnggut kembali dari tangannya sehingga ia akhinya dicampakkan
  dalam keadaan hina dan malu. Gambaran tentang sifat dunia yang pe-  nuh
  tipu daya ini akan kita tutup dengan sebuah tamsil pendek berikut ini.
  Katakanlah ada sebuah kapal yang hendak berlabuh di sebuah pulau berhutan
  lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan berlabuh
  selama beberapa jam, dan me- reka boleh berjalan-jalan di pantai, tetapi ja-
  ngan terlalu lama. Akhirnya, para penum- pang turun dan berjalan ke berbagai
  arah. Kelompok penumpang yang bijaksana akan segera kembali setelah berjalan-jalan
  seben- tar dan mendapati kapal itu kosong sehing- ga mereka dapat memilih
  tempat yang pa- ling nyaman. Ada pula para penumpang yang berjalan-jalan lebih
  lama di pulau itu, mengagumi dedaunan, pepohonan, dan men- dengarkan nyanyian
  burung. Saat kembali ke kapal, ternyata tempat yang paling nya- man telah
  terisi sehingga mereka terpaksa diam di tempat yang kurang nyaman. Kelompok
  penumpang lainnya berjalan-jalan lebih lauh dan lebih lama; mereka menemukan
  bebatuan berwarna yang sangat indah, lalu membawanya ke kapal. Namun, mereka
  ter- paksa mendekam di bagian paling bawah kapal itu. Batu-batu yang mereka
  bawa, yang kini keindahannya telah sirna, justru sema- kin membuat mereka
  merasa tidak nyaman. Kelompok penumpang lain berjalan begitu jauh sehingga
  suara kapten, yang menyeru mereka untuk kembali, tak lagi terdengar. Akhirnya,
  kapal itu terpaksa berlayar tanpa mereka. Mereka terlunta-lunta di pulau itu
  tanpa harapan dan akhirnya mati kelaparan, atau menjadi mangsa binatang
  buas.
Jasad bisa diumpamakan seekor kuda sementara jiwa adalah
  penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika
  seseorang
tidak mengetahui jiwanya—sesuatu yang paling dekat
  kepadanya—maka pengakuannya bahwa ia mengetahui hal-hal lain tidak berarti
  apa-apa.
Ia tak ubahnya pengemis yang tak punya persediaan makanan, lalu
  mengaku bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
 
Kelompok
  pertama adalah orang ber- iman yang sepenuhnya menjauhkan diri dari dunia, dan
  kelompok terakhir adalah orang kafir yang hanya mengurusi dunia dan sama
  sekali tidak memedulikan kehidupan akhirat. Dua kelompok lainnya adalah orang
  ber- iman, tetapi masih disibukkan oleh dunia yang sesungguhnya tidak
  berharga.
Meskipun kita telah banyak bicara ten- tang bahaya dunia, mesti
  diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tak layak di- cela, seperti
  ilmu dan amal baik. Ilmu dan amal baik yang dibawa seseorang ke akhirat akan
  memengaruhi nasib dan keadaannya di sana. Terlebih lagi amal yang dibawa
  adalah amal ibadah yang membuatnya selalu meng- ingat dan mencintai Allah.
  Semua itu, seba- gaimana ungkapan Alquran, termasuk “se- gala  yang 
  baik  akan  abadi”.
Juga ada beberapa hal baik lainnya di dunia
  ini, seperti perkawinan, makanan, pa- kaian, dan lain-lain, yang dipergunakan
  se- cara bijak oleh kaum beriman sebagai sara- na untuk mencapai dunia yang
  akan datang. Selain semua hal tersebut, terutama yang me- mikat pikiran dan
  memaksa manusia untuk bersetia
  kepadanya dan mengabaikan akhi- rat, sungguh merupakan kejahatan yang la- yak
  dikutuk, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Dunia ini terkutuk dan segala
  sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah
  dan segala sesua- tu yang mendukungnya.”[]
  Mengenal Akhirat
ORANG YANG memercayai Alquran dan Sunah sudah tidak asing
  lagi dengan konsep nik- mat surga dan siksa neraka yang menanti di akhirat.
  Namun, ada hal penting yang sering mereka luputkan, yakni bahwa ada surga
  ruhani dan neraka ruhani. Mengenai surga ruhani, Allah berfirman kepada
  Nabi-Nya, “Tak pernah dilihat mata, tak pernah dide- ngar telinga, dan tak
  pernah  terlintas  dalam hati manusia, itulah nikmat yang disiapkan
  bagi  orang  yang  bertakwa.”
Hati orang yang tercerahkan
  memiliki satu jendela yang terbuka ke arah dunia ru- hani sehingga ia dapat
  mengetahui—bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisio- nal, 
  melainkan  teralami  secara  nyata penyebab segala kerusakan dan kebahagiaan jiwa,
  sejelas dan senyata pengetahuan se- orang dokter mengenai segala penyebab rasa
  sakit atau pendukung kesehatan. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan
  iba- dah kepada-Nya menjadi obat bagi jiwa, se- mentara kebodohan dan dosa
  menjadi racun yang merusaknya. Banyak orang, bahkan juga yang disebut ulama,
  karena bertaklid buta terhadap pendapat orang lain, tak pu- nya keyakinan yang
  benar berkenaan dengan kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhi- rat. Tetapi
  orang yang mau mempelajari ma- salah ini dengan pikiran yang bersih dari
  prasangka akan sampai pada keyakinan yang jelas mengenai masalah ini.
Kematian
  akan mengakibatkan keadaan yang berbeda pada dua jenis jiwa yang di- miliki
  manusia, yaitu jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani bersifat malakut. Jiwa
  hewani bertempat dalam hati, yang dari sana menyebar laksana uap ke semua
  anggota tu- buh, memberi tenaga atau kemampuan meli- hat pada mata, mendengar
  pada telinga, dan ke seluruh anggota tubuh lainnya sehingga mereka dapat
  menjalankan fungsinya. Ini bisa
  dibandingkan dengan sebuah lampu di sebuah pondok yang cahayanya menyebar ke
  dinding-dinding. Hati adalah sumbu lam- pu ini, dan jika aliran minyaknya
  terputus karena suatu sebab, lampu itu akan mati. Seperti itulah jiwa hewani
  mengalami kema- tiannya.
Berbeda halnya dengan jiwa ruhani atau jiwa
  manusiawi. Jiwa ruhani tak terbagi dan dengan jiwa itulah manusia dapat
  mengenali Allah. Boleh dikatakan, ia adalah pengenda- ra jiwa hewani. Dan
  ketika jiwa hewani mus- nah, ia tetap ada. Keadaannya serupa de-- ngan
  penunggang kuda yang telah turun atau pemburu yang tak lagi bersenjata. Kuda
  dan senjata itu adalah anugerah bagi jiwa manu- sia agar ia bisa mengejar dan
  menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tentang Allah. Jika berhasil, ia
  pasti akan merasa lega dan bahagia meski senjata atau tung- gangannya
  meninggalkannya; ia tidak akan berkeluh kesah. Karena itu, Rasulullah saw.
  bersabda, “Kematian adalah hadiah Tuhan yang diharap-harapkan kaum beriman.”
  Te- tapi ia akan celaka dan menderita jika kuda atau senjata itu telah hilang
  sedang ia belum berhasil
  meraih tujuannya. Kesedihan dan penyesalannya sangat tak terperi.
Pembahasan
  yang lebih dalam akan me- nunjukkan betapa berbedanya jiwa manusia dari jasad
  dan segenap anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti be-
  kerja, tetapi kemandirian jiwa tak terusik. Selain itu, tubuh manusia
  mengalami per- kembangan dari waktu ke waktu. Tubuhnya di waktu bayi jauh
  berbeda dengan tubuh- nya di masa tua. Namun, kepribadian ma- nusia tetap
  sama, dulu maupun sekarang. Jadi, bisa dikatakan bahwa jiwa akan terus ada
  menyertai sifat-sifat esensialnya yang tak bergantung pada tubuh, seperti
  pengetahuan dan cinta kepada Allah. Inilah makna ayat Alquran, “segala yang
  baik akan abadi.” Layaknya pengetahuan, kebodohan pun akan abadi menyertai
  jiwa. Jadi, jika kau lebih memilih kebodohan ketimbang pengetahuan tentang
  Allah maka kebodohan itu akan me- nyertaimu di akhirat dalam wujud kegelapan
  jiwa dan penderitaan. Keadaan itulah yang dimaksudkan Alquran:
 Orang yang buta di dunia ini akan buta di akhirat dan
  tersesat dari ja- lan yang lurus.
Mengapa jiwa manusia cenderung
  untuk kembali ke dunia yang lebih tinggi? Sebab, ia berasal dari sana dan pada
  dasarnya ia bersifat malakut. Ia dikirim ke dunia yang lebih rendah ini
  berlawanan dengan kehen- daknya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman,
  sebagaimana firman Allah da- lam Alquran, “Turunlah dari sini kamu se- muanya,
  akan datang kepadamu perintah- perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya
  tidak perlu takut dan tak perlu gelisah.” Dan ayat Alquran: “Aku tiupkan ke
  dalam diri manusia ruh-Ku” juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Jiwa
  hewani akan te- tap sehat selama keseimbangan bagian-bagi- an yang menyusunnya
  terjaga. Jika keseim- bangan itu terusik, ia obat-obatan dapat memulihkannya. Sama halnya, jiwa ruhani
  akan tetap sehat selama keseimbangan mo- ralnya terjaga dengan menjalankan
  tuntunan etika dan ajaran moral.
Lalu, bagaimanakah keadaan jiwa ma-
  nusia setelah kematian jasad? Sebagaimana telah disebutkan, jiwa manusia tak
  bergan- tung pada jasad. Pandangan sebagian orang yang menentang keberadaan
  jiwa setelah ke- matian didasarkan atas dugaan bahwa jiwa harus dibangkitkan
  setelah jasadnya menya- tu dengan tanah. Sebagian ahli kalam ber- pendapat
  bahwa jiwa manusia musnah sete- lah mati, kemudian dibangkitkan kembali.
  Pendapat ini bertentangan baik dengan nalar maupun Alquran. Sebagaimana telah
  kita bahas, kematian jasad sama sekali tidak me- mengaruhi apalagi
  menghancurkan jiwa, se- bagaimana dikatakan Alquran, “Jangan kamu pikir orang
  yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Tidak! Mereka hidup, bahagia dengan
  kehadiran Tuhan mereka  dan  dalam  limpah- an karunia.” Tak
  ada sedikit pun rujukan syariat yang menyebutkan bahwa ruh orang yang telah
  mati, yang baik maupun jahat, akan musnah. Malah, diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada
  ruh orang- orang kafir yang terbunuh mengenai kebe- naran hukuman yang
  diancamkan kepada mereka. Ketika para sahabat menanyakan apa gunanya bertanya
  kepada mereka, Rasulullah menjawab, “Mereka bisa mende- ngar kata-kataku lebih
  baik daripada kali- an.”
Diriwayatkan bahwa beberapa sufi meli- hat surga
  dan neraka ketika mereka menca- pai keadaan ekstase. Ketika kembali sadar,
  wajah mereka menunjukkan apa yang telah mereka saksikan; sarat dengan
  tanda-tanda kebahagiaan dan ketakutan yang sangat. Tetapi, visi atau
  penglihatan ke dunia gaib tak lagi dibutuhkan bagi orang-orang yang berpikir.
  Bagi orang yang selalu menyibuk- kan dirinya memuaskan nafsu duniawi, saat
  kematian menghentikan seluruh perangkat indriawinya dan ketika segalanya
  musnah kecuali kepribadiannya, ia akan menderita karena harus berpisah dengan
  segala bentuk keduniaan yang begitu dekat dengannya se- lama ini, seperti
  istri, anak, kekayaan, tanah, budak, dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang
  telah menghindari keduniaan dan meneguhkan cintanya kepada Allah, niscaya akan
  menyambut kematian sebagai pelepas- an dari kericuhan hidup duniawi untuk ber-
  gabung dengan Dia yang dicintainya. Benar- lah Rasulullah saw. ketika
  mengatakan, “Ke- matian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan
  sahabat.” Dan dalam hadis yang lain beliau bersabda, “Dunia ini surga bagi
  orang kafir, dan penjara bagi orang mukmin.”
Di lain pihak, semua derita
  yang ditang- gung jiwa setelah mati sesungguhnya dise- babkan oleh cinta dunia
  yang berlebihan. Rasulullah bersabda bahwa setelah mati, se- mua orang kafir
  akan disiksa oleh 99 ular, yang masing-masing punya sembilan kepala. Orang
  yang berpikiran dangkal memaknai hadis itu secara harfiah; ia menggali kubur-
  an orang kafir dan mencari ular yang di-- maksud namun tak juga ditemukan.
  Mereka sama sekali tidak memahami bahwa “ular- ular” itu selalu bersemayam
  dalam jiwa orang kafir, bahkan sudah menetap di sana saat mereka masih hidup.
  Ular-ular itu menyim- bolkan sifat-sifat jahat, seperti dengki, benci,
  munafik, sombong, licik, dan lain-lain. Semua
Mengenal Akhirat
  —    
 
sifat itu bersumber, langsung maupun
  tidak, dari cinta dunia. Itulah neraka yang disedia- kan bagi orang yang,
  menurut Alquran, “me- neguhkan hati mereka pada dunia  ini  mele-
  bihi akhirat”. Jika ular-ular itu adalah ular biasa, mereka mungkin bisa
  melarikan diri dari siksanya meski hanya untuk sesaat. Tetapi ular-ular itu
  merupakan penjelmaan dari sifat bawaan mereka sehingga bagaima- na bisa mereka
  melarikan diri darinya?
Ambillah contoh seseorang yang menju- al budak
  perempuannya tanpa menyadari pe- rasaannya hingga budak itu telah lepas dari
  jangkauannya. Lalu, rasa cinta kepada bu- dak itu yang selama ini tertidur
  dalam hati- nya, tiba-tiba bangkit dengan intensitas yang luar biasa sehingga
  ia tersiksa dan menderita bagai disengat bisa ular. Ia menjadi gila ka-
  renanya; ia rela mencampakkan dirinya ke dalam kobaran api atau menceburkan
  diri ke sungai untuk melarikan diri impitan pe- rasaan itu. Seperti itulah
  akibat cinta dunia yang berlebihan. Para pecinta dunia tidak menyadarinya
  hingga dunia yang mereka cin- tai itu direnggut dari mereka dan akhirnya,
  karena merasa sangat tersiksa, mereka lebih memilih hidup sengsara
  ditemani ular dan kalajengking.
***
Cinta
  adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah dapat ditumbuhkan
dan
  dikembangkan oleh ibadah.
Ibadah dan zikir tak berkesudahan mencerminkan
  suatu tingkat keprihatinan dan pengekangan nafsu badani.
Ini tidak
  berarti ia harus memusnahkan nafsu badani sepenuhnya, karena jika begitu, ras
  manusia akan musnah.
Namun, pemuasan hasrat tubuh itu harus dibatasi
  dengan ketat. 
***
Dengan demikian, setiap pendosa akan
  disiksa di akhirat dengan alat penyiksaan yang mereka bawa sendiri dari dunia.
  Benar- lah kata Alquran, “Sesungguhnya kalian akan melihat neraka. Kalian akan
  melihatnya de- ngan mata keyakinan (‘ayn al-yaqîn)”, dan “neraka mengitari
  orang kafir.” Alquran ti- dak mengatakan “neraka akan mengitari me- reka”,
  karena bahkan di dunia pun neraka sudah mengitari mereka.
Mungkin ada
  yang keberatan dan me- nyatakan, “Kalau begitu, berarti tidak ada orang yang
  terbebas dari neraka, karena sia- pa pun, sedikit atau banyak, pasti terikat
  pada dunia dengan beragam kepentingan dan kecenderungan?” Untuk menjawabnya
  bisa kita katakan bahwa ada orang-orang, terutama para fakir, yang telah
  sepenuhnya melepaskan diri dari cinta dunia. Bahkan, di antara orang-orang
  yang memiliki dan men- cintai dunia—termasuk istri, anak, rumah, dan
  lain-lain—ada yang cintanya kepada Allah jauh lebih besar daripada cintanya
  ke- pada yang lain. Mereka layaknya seseorang yang, meski sudah punya rumah yang ia cin- tai di
  sebuah kota, ketika raja memintanya untuk mengisi pos jabatan di kota lain, ia
  akan memenuhinya dengan senang hati, ka- rena jabatan itu lebih berharga
  baginya da- ripada rumahnya. Termasuk dalam kategori ini adalah para nabi dan
  sebagian wali.
Di lain pihak, ada pula orang yang men- cintai Allah,
  tetapi cintanya kepada dunia jauh lebih besar sehingga mereka harus men-
  derita siksaan yang cukup berat setelah ke- matian sebelum mereka dibebaskan
  darinya. Banyak orang yang mengaku mencintai Allah, tetapi kecintaannya sama
  sekali tak teruji. Untuk menguji rasa cintamu, perhatikanlah ke mana kau akan
  condong ketika perintah- perintah Allah datang bertolak belakang de- ngan
  hasrat keduniawianmu? Orang yang mengaku cinta kepada Allah namun tetap
  membangkang kepada-Nya, berarti peng- akuannya itu dusta belaka.
Telah
  kita jelaskan di atas bahwa salah satu bentuk neraka ruhani adalah terpisah-
  nya seseorang secara paksa dari dunia yang sangat dicintainya. Banyak orang
  yang tanpa sadar membawa dalam dirinya benih-benih neraka. Mereka akan mengalami nasib yang teramat
  naas, layaknya seorang raja yang setelah menjalani hidup mewah, tiba-tiba di-
  campakkan dari singgasananya dan menjadi cemoohan  orang-orang.
Neraka
  ruhani jenis kedua adalah rasa malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan untuk
  melihat hasil perbuatannya di dunia. Orang yang suka mengumpat di dunia akan
  mendapati dirinya dalam bentuk seorang ka- nibal yang makan bangkai
  saudaranya. Orang yang iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan
  batu-batu ke dinding, ke- mudian batu-batu itu memantul kembali dan mengenai
  mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu rasa malu, bisa dijelaskan
  dengan perumpamaan ringkas ber- ikut ini. Seorang putra raja baru saja meni-
  kah. Di malam harinya, ia pergi keluar ber- sama beberapa sahabatnya dan
  kembali lagi ke istana dalam keadaan mabuk. Ia masuki sebuah kamar yang terang
  lalu berbaring di samping tubuh yang diduganya sebagai mem- pelai wanitanya.
  Pagi harinya, saat kesadar- annya pulih, ia terperanjat mendapati diri- nya
  terbaring di sebuah kamar mayat penyembah
  api. Sofanya adalah pembaringan jenazah, dan tubuh yang diduganya mempe- lai
  wanitanya adalah mayat wanita tua yang mulai membusuk. Betapa malu ia ketika
  ke- luar kamar dan mendapati ayahnya, sang raja, mendekatinya dengan
  serombongan ten- tara. Itulah perumpamaan tentang rasa malu yang akan
  dirasakan di akhirat oleh orang- orang serakah yang memasrahkan diri mere- ka
  kepada segala sesuatu yang mereka ang- gap sumber kebahagiaan.
Neraka
  ruhani jenis ketiga adalah keke- cewaan dan kegagalan mencapai objek ek-
  sistensi yang sejati. Manusia diciptakan de- ngan tujuan untuk memantulkan
  cahaya pe- ngetahuan tentang Tuhan. Namun, jika ia tiba di akhirat dengan jiwa
  yang tertutup karat tebal nafsu duniawi, ia akan gagal men- capai tujuan
  penciptaannya. Kekecewaannya bisa digambarkan dengan perumpamaan ber- ikut.
  Misalkan seseorang melewati hutan ge- lap bersama beberapa sahabat. Mereka me-
  lihat di sana-sini bertebaran batu berwarna yang kerlap-kerlip memantulkan
  cahaya. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa batu-batu itu dan mengajaknya
  untuk melakukan hal
  yang sama. “Karena,” kata mere- ka, “kami dengar batu-batu itu akan diba- yar
  dengan harga tinggi di tempat yang akan kita datangi.” Tetapi orang ini malah
  me- nertawakan mereka dan menyebut mereka bodoh karena menyimpan harapan
  sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sen- diri bisa berjalan bebas
  tak berbebani. Ke- mudian mereka tiba di tempat yang dituju dan ternyata
  batu-batu itu adalah batu deli- ma, zamrud, dan permata yang tak ternilai
  harganya. Betapa kecewa dan menyesal orang itu karena tidak mengumpulkan
  benda-ben- da yang sudah berada dalam jangkauannya itu. Seperti itulah
  penyesalan orang yang saat hidup di dunia ini tidak berusaha mendapat- kan
  permata kebajikan dan perbendaharaan agama.
Perjalanan manusia di dunia
  ini bisa di- bagi ke dalam empat tahap, yaitu tahap in- driawi, eksperimental,
  instingtif, dan rasio- nal. Pada tahapan pertama ia seperti seekor ngengat
  yang, meski bisa melihat, tak bisa mengingat sehingga ia akan menubrukkan
  dirinya berkali-kali pada lilin yang sama. Pada tahapan kedua ia seperti
  seekor anjing yang, setelah
  sekali dipukul, akan lari saat melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahapan
  keti- ga ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, segera
  kabur saat melihat macan atau srigala—musuh alaminya—se- mentara mereka tak
  akan lari saat melihat unta atau kerbau, meski ukuran keduanya lebih besar.
  Pada tahapan keempat ia telah melampaui batas-batas kebinatangan itu se-
  hingga mampu, hingga batas tertentu, mera- malkan dan mempersiapkan masa
  depannya. Pada tahapan pertama gerakannya seperti orang yang berjalan di atas
  tanah, lalu se- perti orang yang menyeberangi lautan di atas sebuah kapal, dan
  pada tahapan terakhir, ketika ia sudah akrab dengan hakikat-haki- kat, ia
  seperti orang yang mampu berjalan di atas air. Dan, masih ada tahapan kelima
  yang hanya dikenal oleh para nabi dan wali. Gerakan mereka seperti orang yang
  terbang mengarungi udara.
Jadi, manusia bisa mengada pada berba- gai
  tahapan yang berbeda, mulai tahapan hewani sampai tahapan malakut. Dan persis
  di sinilah bahaya besar mengancam, yaitu kemungkinan jatuh ke tahapan yang
  paling rendah.
  Alquran menyatakan, “Telah Kami tawarkan amanah kepada langit dan bumi serta
  gunung-gunung; mereka menolak me- nanggungnya. Tetapi manusia mau menang-
  gungnya. Sungguh manusia itu bodoh.” He- wan maupun malaikat tak bisa mengubah
  tingkatan dan posisi kemakhlukannya. Te- tapi manusia bisa jatuh ke tingkatan
  hewan yang paling rendah atau naik meraih ting- katan malakut tertinggi.
  Inilah makna “pe- nanggungan amanah” yang disebutkan da- lam ayat di atas.
  Kebanyakan manusia me- milih menetap di dua tahapan yang paling rendah. Dan
  biasanya mereka selalu memu- suhi orang-orang yang bepergian atau mus- afir
  yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak manusia dari kedua kelompok
  itu, karena tak punya keyakinan yang teguh tentang akhirat, menolaknya sama
  sekali saat nafsu indriawi menguasainya. Menurut me- reka, neraka hanyalah
  temuan para teolog untuk menakut-nakuti manusia. Mereka menghina dan
  merendahkan para teolog. Ber- debat dengan orang seperti ini tak banyak
  berguna. Meski demikian, mungkin perta- nyaan ini bisa membungkam
  keangkuhan nya
  sehingga ia mau merenung sejenak: “Apa- kah kau benar-benar yakin bahwa
  124.000 nabi dan wali yang memercayai kehidupan akhirat itu semuanya salah,
  dan hanya kau yang benar?” Jika ia menjawab, “Ya, aku yakin,” berarti tak ada
  lagi yang dapat di- harapkan darinya. Hati dan pikiran mereka sudah membatu.
  Mereka sama sekali tak me- mercayai adanya hari akhir dengan pahala dan siksa
  yang disediakan bagi jiwa-jiwa ma- nusia. Jika seperti itu keadaannya,
  tinggal- kan dan biarkanlah mereka dalam kesesat- an, sebagaimana dikatakan
  Alquran, “Meski kau  peringatkan,  mereka  takkan 
  ingat.”
Tetapi jika ia menjawab bahwa kehi- dupan akhirat itu mungkin ada
  mungkin ti- dak ada, dan bahwa ajaran itu sarat misteri dan keraguan sehingga
  ia tak dapat memu- tuskan benar atau tidaknya maka katakan- lah kepadanya,
  “Tuntaskan keraguanmu itu!” Sampaikan beberapa perumpamaan ber- ikut.
  Umpamanya kau hendak makan, lalu seseorang berkata bahwa seekor ular telah
  meludahkan bisa ke makanan itu, mungkin kau akan menahan diri dan memilih
  untuk menahan lapar daripada memakannya, meski orang yang mengabarkan informasi itu mungkin
  hanya bercanda atau berbohong. Atau misalnya kau sedang sakit dan seorang
  penyair berkata, “Beri aku satu dirham dan akan kutulis sebuah puisi untuk
  kauikatkan di lehermu agar kau sembuh dari sakit.” Mungkin kau akan memberinya
  uang de- ngan harapan jimatnya bisa menyembuhkan penyakitmu. Atau jika seorang
  peramal ber- kata, “Jika bulan telah sampai pada suatu bentuk tertentu,
  minumlah obat ini dan itu, niscaya kamu akan sembuh.” Meski kau tak begitu
  percaya astrologi, mungkin kau akan mencobanya seraya berharap ramalannya itu
  benar. Lalu, tidak pernahkah kau berpikir bahwa mungkin saja ucapan para nabi,
  para wali, dan orang-orang suci, yang meyakin- kan manusia mengenai adanya
  kehidupan mendatang, mengandung kebenaran seperti jimat si penyair atau
  ramalan si peramal? Banyak manusia yang berani menanggung risiko menyeberangi
  samudera demi meng- harap suatu keuntungan. Apakah kau bersi- kukuh tidak mau
  menanggung sedikit pen- deritaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di
  akhirat?
***
Selama hidup di dunia ini, manusia harus menjalankan dua hal
  penting,
yaitu melindungi dan memelihara jiwanya, serta merawat dan
  mengembangkan jasadnya. Jiwa akan terpelihara
dengan pengetahuan dan
  cinta kepada Allah. Sebaliknya, jiwa akan hancur jika seseorang terserap dalam
  kecintaan
kepada sesuatu selain Allah. 
*** 
 Sayyidina
  Ali Zainal Abidin (Putra Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, cucu Rasulullah saw.)
  ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, “Jika kau benar maka
  tidak se- orang pun di antara kita yang akan menang- gung penderitaan di masa
  depan. Tetapi jika kami yang benar maka kami akan selamat sementara kau pasti
  menderita.” Ia menga- takan itu bukan karena meragukan akhirat, melainkan
  untuk memberikan kesan tertentu kepada orang kafir itu.
Berdasarkan semua
  pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa urusan utama ma- nusia di dunia
  ini adalah mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Bahkan sean- dainya
  seseorang meragukan keberadaan akhirat, nalar mengajarkan bahwa ia harus
  bertindak seakan-akan akhirat itu ada de- ngan mempertimbangkan akibat luar
  biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan hanya bagi orang-orang yang mengikuti
  ajaran Allah.[]

