Semuanya Karena Allah
Nama kitab: Terjemah Fihi Ma Fihi Mengarungi Samudera Kebijaksanaan Jalaluddin Rumi
Judul kitab asal: (فيه ما فيه)
Penulis: Jalaluddin Rumi (جلال الدين الرومي)
Nama lengkap: Muhammad Jalal al-Din Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qounawy
Nama lengkap dalam bahasa Arab: مُحَمَّد بن مُحَمَّد بن حُسَيْنَ بَهَاءٌ الدِّين البَلَخي الْبَكْرِيّ
Lahir: Balkh, Afghanistan, 1260 M / 658 H
Asal: Balkh, Afghanistan
Wafat: Konya, Türkiye, 672 H/ 1273 M (usia 66 tahun)
Bidang studi: Tasawuf, sufisme
Daftar isi
- Pasal 1. Semuanya Karena Allah
- Pasal 2. Manusia Adalah Astrolah Allah
- Pasal 3. Matilah Kalian Sebelum Kalian Mati
- Pasal 4. Kami Muliakan Anak Keturunan Adam
- Pasal 5. Kelahiran Yang Sambung Menyambung
- Pasal 6. Seorang Mukmin Adalah Cermin Bagi Mukmin Lainnya
- Pasal 7. Sekalipun Tabir Tersingkap, Keyakinanku Tidak Akan Bertambah
- Pasal 8. Sungguh Telah Datang Kepadamu Seorang Rasul Dari Kaummu Sendiri
- Pasal 9. Tujuan Satu-Satunya
- Pasal 10. Apa Yang Diucapkannya Bukanlah Kemauan Hawa Nafsunya
- Kembali ke: Terjemah Fihi Ma Fihi Jalaludin Rumi
Pasal 1. Semuanya Karena Allah 
   Rasulullah Saw. bersabda: “Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang
  mengunjungi para pemimpin, dan sebaik-baiknya para pemimpin adalah mereka yang
  mengunjungi ulama. Sebaik-baik pemimpin adalah ia yang berada di depan pintu
  rumah orang fakir, dan seburuk- buruk orang fakir adalah ia yang berada di
  depan pintu rumah pemimpin.”
Banyak orang yang merasa puas hanya
  dengan memahami makna redaksi hadis ini secara tekstual, bahwa seorang ulama
  tidak seharusnya mengunjungi para pemimpin agar tidak menjadi seburuk-
  buruknya ulama. Padahal makna yang sebenarnya dari hadis tersebut bukanlah
  seperti itu, melainkan bahwa seburuk-buruk ulama adalah mereka yang bergantung
  kepada para pemimpin, semua yang mereka lakukan demi mendapatkan simpati dari
  para pemimpin. Sementara ilmu yang mereka miliki, sejak awal diniatkan sebagai
  media agar mereka dapat bercengkerama dengan para pemimpin, agar diberi
  penghormatan dan jabatan yang tinggi. Mereka mengubah dirinya dari bodoh
  menjadi berilmu semata-mata demi para pemimpin.
Ketika ulama itu menjadi
  terpelajar dan berpendidikan karena takut pada para pimpinan dan ingin dipuji,
  maka ia akan menjadi tunduk pada kekuasaan dan arahan sang pemimpin. Mereka
  menyenangkan diri dengan penuh harap agar sang pemimpin memerhatikan. Jadi,
  tidak peduli apakah ulama itu yang datang mengunjungi pemimpin atau pemimpin
  itu yang mengunjungi ulama,
  tetapmenjadikanulamasebagaipengunjungdanpemimpinlah yang dikunjungi.
Sementara
  ketika seorang ulama menuntut ilmu bukan demi seorang pemimpin, melainkan
  karena Allah semata sejak awal hingga akhir, maka tingkah laku dan
  kebiasaannya akan sesuai dengan jalan yang benar karena memang itulah
  tabiatnya dan mereka tidak akan mampu untuk melakukan hal yang sebaliknya,
  seperti ikan yang tidak bisa hidup dan tumbuh berkembang kecuali di dalam air.
  Ulama semacam ini memiliki akal yang dapat mengontrol dan mencegah dirinya
  dari perbuatan buruk. Pada waktu yang bersamaan, semua orang yang semasa
  dengannya akan tercerahkan dan segan kepadanya, serta memperoleh
  bantuan-bantuan dari cahaya dan perumpamaan- perumpamaannya, baik mereka
  sadari atau tidak.
Ketika ulama semacam ini datang mengunjungi pemimpin,
  maka sejatinya dialah yang dikunjungi dan pemimpin adalah pengunjungnya.
  Karena dalam segala kondisi, pemimpin itulah yang memperoleh
  pertolongan-pertolongan dan banyak manfaat darinya. Ulama ini tidak butuh
  kepada pemimpin itu. Ia laksana matahari yang memancarkan cahayanya, yang
  tugasnya adalah untuk memberi kepada semua makhluk, yang mengubah bebatuan
  menjadi akik dan yakut, yang menyulap gunung di bumi menjadi tambang-tambang
  tembaga, emas, perak, dan besi, yang menjadikan bumi hijau bersemi, dan yang
  memberkati pepohonan dengan buah-buahan yang berlimpah. Pekerjaan ulama ini
  adalah memberi dan tidak menerima. Dalam sebuah peribahasa Arab disebutkan:
  “Kami telah belajar untuk memberi, tapi tidak untuk menerima.” Dalam kondisi
  apapun, ulama yang sesungguhnya adalah yang dikunjungi, dan para pemimpin yang
  mengunjungi.
Tiba-tiba muncul sebuah pikiran dalam benakku untuk
  menafsirkan satu ayat al-Qur’an, meskipun ayat ini sama sekali tidak ada
  hubungannya dengan pembahasan yang sedang kita bahas. Akan tetapi, ide ini
  terlintas di kepalaku sekarang, dan aku akan mengungkapkannya agar bisa
  diingat. Allah SWT ber rman: 
“Hai Nabi, katakanlah kepada
  tawanan-tawanan yang ada di tanganmu: “Jika Allah mengetahui ada kebaikan
  dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa
  yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu,” dan Allah Maha
  Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Anfal: 70)
Ayat ini diturunkan
  ketika Nabi Muhammad Saw. telah berhasil mengalahkan orang-orang ka r,
  membunuh sebagian dari mereka, dan merampas sebagian harta mereka. 
  Beliau juga menawan banyak orang ka r dan membelenggu tangan dan kaki mereka.
  Salah seorang tawanan itu  adalah  paman Nabi Muhammad Saw. sendiri,
  yaitu ‘Abbas. Para tawanan itu menangis meraung-raung sepanjang malam dalam
  belenggu dan tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka telah kehilang harapan-
  harapan mereka, menunggu pedang menebas leher dengan sekali hunus. Ketika
  melihat keadaan mereka, Nabi Muhammad Saw. hanya tertawa.
Para tawanan
  itu berkata: “Lihat! Ia menunjukkan sifat kemanusiaannya, dan pernyataan bahwa
  dia manusia luar biasa tidaklah benar. Lihatlah! Ia di sana menatap dan
  memperhatikan kita dalam rantai dan belenggu ini, dan ia menikmatinya. Ia tak
  ubahnya budak-budak hawa nafsu yang ketika telah berhasil menaklukkan
  musuh-musuhnya dan melihat mereka dalam keadaan tak berdaya, ia tertawa riang
  dan berbahagia.”
Melihat sesuatu yang tampak dengan jelas di dalam
  hatinya, Muhammad Saw. menjawab: “Bukan begitu, aku tidak akan pernah tertawa
  melihat musuh-musuhku yang telah takluk di hadapanku, atau melihat mereka tak
  berdaya dan hina. Aku senang, bahkan tertawa, karena aku melihat dengan mata
  hatiku, aku mengajak dan menarik-narik sejumlah orang dengan sepenuh tenaga,
  dengan belenggu, dengan rantai, keluar dari kepulan asap neraka Jahannam yang
  hitam dan kelam menuju surga, menuju keridaan Allah, dan musim semi yang
  abadi. Akan tetapi justru mereka terus mengeluh dan menangis meraung-raung,
  sembari berkata: “Mengapa kau menyeret kami dari tempat kebinasaan ini menuju
  taman-taman bunga dan tempat yang paling aman?”
Itulahmengapaakutertawa.
  Meskidemikian, karenakaliantidak dianugerahi kemampuan untuk melihat apa yang
  aku lihat dan tidak memahami apa yang baru saja aku katakan, Allah
  memerintahkanku untuk menyampaikan ini kepadamu: “Pada mulanya, kalian susun
  kekuatan, membentuk para tentara, membuat formasi kemiliteran, kalian begitu
  percaya diri dengan kejantanan, keberanian, dan kekuatan yang kalian miliki,
  lalu berkata pada diri sendiri: ‘Inilah yang akan kami lakukan, kami akan
  hancurkan orang-orang Islam dan menaklukkan mereka.’ Tapi kalian tidak melihat
  keberadaan Yang Maha kuasa, yang jauh lebih berkuasa dari kalian. Kalian tak
  tahu keberadaan Yang Maha Kuat, yang kekuatan-Nya jauh di atas kekuatan
  kalian.”
Itulah yang membuat semua yang kalian rencanakan sepenuhnya
  gagal total. Bahkan saat ini, ketika kalian dirundung ketakukan, kalian tidak
  dapat mengubah keyakinan, tidak dapat melihat pada alasan. Kalian berputus asa
  dan tetap tidak dapat melihat keberadaan Yang Maha Kuasa. Justru saat ini
  kalian melihat pada kekuatanku, kemampuanku, dan yang kalian tahu, kalian
  takluk karena kehendakku, sebab hanya sebatas itulah yang paling mudah yang
  dapat kalian pikirkan. Bahkan ketika rasa takut kalian sudah sampai di
  ubun-ubun, jangan pernah kehilangan harap terhadapku, karena aku dapat
  membebaskan kalian dari rasa takut itu, membuat kalian berada dalam rasa aman.
  Dia yang mampu mengeluarkan banteng hitam dari banteng putih, pasti juga mampu
  mengeluarkan banteng putih dari banteng hitam.
“Yang demikian itu
  adalah karena sesungguhnya Allah (berkuasa) memasukkan malam ke dalam siang
  dan memasukkan siang ke dalam malam.” (QS. Al-Hajj: 61)
“Dia
  mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
  hidup.” (QS. Ar-Rum: 19)
Sekarang, saat kamu berada dalam ketakutan
  yang luar biasa, jangan pernah kehilangan pengharapan terhadap-Ku, sebab Aku
  masih akan mengulurkan Tangan-Ku untuk kalian:
“Sesungguhnya tiada
  berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang ka r.” (QS. Yusuf: 87)
Allah
  SWT ber rman: “Hai para tawanan, jika kalian berpaling pada keyakinan yang
  dulu, memandang-Ku dengan khauf (rasa takut) dan raja’ (penuh harap), dan
  menyadari bahwa diri kalian berada dalam kendali-Ku, maka Aku akan membebaskan
  kalian dari rasa takut itu. Aku juga akan mengembalikan semua harta yang
  dirampas saat perang dan kerusakan yang telah terjadi, bahkan akan Aku
  lipatgandakan dengan sesuatu yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Akan Aku
  ampuni kalian dan akan Aku gabungkan kebahagiaan dunia dan akhirat untuk
  kalian.”
“Aku bertobat, aku telah berpaling dari keyakinanku yang
  terdahulu,” kata ‘Abbas.
Rasulullah bersabda: “Pengakuan tobat yang baru
  saja kamu ucapkan butuh bukti,”
Menyatakan cinta adalah hal yang mudah,
  Tetapi pernyataan itu butuh bukti dan fakta.
“Dengan menyebut
  nama Allah, bukti apa yang engkau inginkan?” jawab ‘Abbas.
Nabi Muhammad
  bersabda: “Jika kamu benar-benar seorang Muslim dan menginginkan kebaikan pada
  Islam dan umatnya, berikan sejumlah harta yang tersisa dari dirimu kepada
  tentara Islam, sehingga tentara kita bisa lebih kuat!”
‘Abbas berkata:
  “Wahai Rasulullah, harta apa lagi yang tersisa dariku? Semua milikku telah
  dirampas, bahkan mereka tidak menyisakan apa-apa selain karpet lusuh ini.”
  
Rasulullah bersabda: “Lihatlah, kamu tidak jujur. Kamu belum kembali
  dari kebiasaan buruk masa lalumu. Kamu belum melihat cahaya kebenaran.
  Haruskah aku katakan kepadamu seberapa banyak harta yang kamu miliki, di mana
  kamu menyembunyikannya, pada siapa harta itu kamu titipkan, dan di tempat
  seperti apa kamu menguburnya?”
‘Abbas menjawab: “Tidak. Sungguh aku sudah
  tidak punya apa-apa lagi.”
Rasulullah bersabda: “Bukankah kamu menitipkan
  sejumlah harta pada ibumu? Bukankah kamu mengubur sebagian hartamu di tempat
  ini dan itu? Bukankah kamu mengatakan secara rinci kepada ibumu: “Jika aku
  kembali, kembalikan semua harta ini kepadaku. Jika aku tidak kembali dengan
  selamat, belanjakanlah beberapa jumlah dari harta ini untuk suatu kepentingan
  tertentu, berikan sekian kepada si fulan, dan bagian untukmu adalah
  sekian?”
Ketika ‘Abbas mendengar hal itu, ia mengangkat jemarinya dengan
  penuh keimanan. Ia berkata: “Ya Rasulullah, dahulu aku selalu yakin bahwa
  dirimu mewarisi nasib baik para raja terdahulu seperti Haman, Syadad, Namrud,
  dan yang lainnya. Tetapi setelah engkau mengatakan hal-hal tadi, aku langsung
  percaya dan yakin bahwa yang baru saja engkau katakan adalah rahasia
  Allah.”
Nabi Muhammad menjawab: “Kaubenar. Kali iniakumendengar gemeretak
  keraguan di dalam hatimu, yang gemanya terdengar dalam ruang di telingaku. Aku
  memiliki telinga yang tersembunyi di balik jiwaku yang terdalam. Dengan
  telinga itu, aku dapat mendengar geretak jiwaku. Sekarang, kamu benar- benar
  telah melepas masa lalumu, dan menjadi seorang Mukmin.”
Dalam menafsirkan
  cerita di atas, Maulana Rumi berkata: Aku menceritakan kisah ini kepada Amir
  Barwanah1 karena satu sebab, yaitu ketika pertama kali kamu menjadi prajurit
  tentara Islam, kamu berkata: “Aku akan menjadikan diriku sebagai tebusan, akan
  aku korbankan akal dan pikiranku demi berdirinya agama Islam dan langgengnya
  banyak orang Islam, agar agama ini terus menjadi aman dan kuat.” Akan tetapi
  saat kamu bergantung hanya pada akal dan pikiranmu tanpa melirik pada Allah
  dan melupakan bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya, Allah menjadikan semua
  itu sebagai kekurangan bagi Islam; kamu mengadakan kesepakatan dengan kaum
  Tartar, kamu sediakan perlindungan untuk mereka, kamu musnahkan orang-orang
  Suriah dan Mesir, yang pada akhirnya kamu menghancurkan Islam. Allah justru
  menjadikan akal dan usaha yang kamu banggakan dan kamu harapkan sebagai jalan
  untuk melanggengkan Islam itu menjadi sebuah penghancur yang membabi-buta.
  Oleh karenanya, tengadahkan wajahmu ke hadapan Allah dalam khauf. Percayalah
  bahwa Allah akan segera melepaskanmu dari belenggu rasa takut yang buruk ini,
  dan jangan pernah hilangkan pengharapan kepada-Nya meski Ia melemparmu dari
  berbagai bentuk ketaatan ke dalam kubangan maksiat ini.
Kamu
  melihat ketaatan itu berasal darimu, maka jatuhlah dirimu ke dalam
  kemaksiatan. Sekarang, meski kamu bernodakan maksiat, pengharapan itu jangan
  pernah menghilang. Mengemislah kepada- Nya, karena Allah itu Maha Kuasa. Dia
  telah menampakkan kepadamu ketaatan dari kemaksiatan itu, dan Dia juga kuasa
  untuk melakukan yang sebaliknya. Ia mampu menganugerahimu penyesalan yang
  mendalam karena dosa yang telah kamu perbuat, dan mempersiapkanmu beberapa
  alasan agar kamu kembali bisa berbuat sesuatu untuk umat Islam dan menjadi
  kekuataan bagi mereka. Maka, jangan pernah hilangkan pengharapan itu, sebab:
  “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang ka r.”
  [QS. Yusuf: 87]
Tujuanku untuk memberikan pemahaman ini kepada Amir
  adalah agar ia percaya dan mau mengemis di hadapan-Nya. Ia telah mengalami
  degradasi dari puncak kejayaan ke dalam lembah yang curam, sehingga dalam
  kondisi seperti ini, aku berharap ia masih memiliki harapan. Allah SWT itu
  Maha Cerdas, Dia menunjukkan sesuatu dalam bentuk yang baik tapi di dalamnya
  luar biasa busuk. Bukan demi apa-apa, melainkan agar manusia tidak mudah
  tertipu, hingga akhirnya ia mengerti dan berkata: “Ide dan perbuataan yang
  baik tampak di hadapanku.”
Seandainya semua yang ada di dunia ini tampak
  sebagaimana adanya, maka Nabi Muhammad Saw., yang diberkahi dengan mata yang
  cemerlang dan tembus pandang, tidak akan menangis: “Ya Allah, tunjukkan padaku
  segala sesuatu sebagaimana adanya, Engkau memperlihatkan sesuatu yang sangat
  indah, tetapi ternyata sangat tunjukkan padaku segala sesuatu sebagaimana
  adanya, agar aku tak jatuh dalam jurang kemusyrikan dan terus tersesat.”
Sebagus
  dan secemerlang apapun buah pikiranmu, tidak akan lebih hebat dari buah
  pikiran sang Nabi. Jadi, jangan terlalu mengandalkan akal dan pikiran. Jadilah
  orang yang terus mengemis dan takut di hadapan Allah SWT. Tujuanku hanya
  menyampaikan hal ini. Barwanah menggunakan ayat dan tafsir seperti yang
  dijelaskan tadi sesuai dengan kehendak dan buah pikirannya dengan berkata:
  “Saat ini kita memiliki bala tentara yang melimpah ruah, tetapi tidak
  seharusnya kita lantas mengandalkan mereka.Saat kita begitu terpuruk,
  dirundung rasa takut dan ketidakberdayaan, juga jangan sampai kita kehilangan
  harapan.” Barwanah menggunakan ucapanku sesuai dengan kehendaknya, inilah
  tujuanku menyampaikan hal itu.
  1  Amir Barwanah itu bernama Mu’inuddin Sulaiman bin Muhaddzab al-Din
  ‘Ali al-Dailami. Ia adalah salah seorang pemuka dan menteri Saljuk Romawi,
  terbunuh pada tahun 675 H di tangan tentara Mongol. Dia sangat mencintai
  Maulana Rumi. Bersama dirinya, Maulana Rumi memiliki banyak kisah dan
  perbincangan.
  Pasal 2 Manusia Adalah Astrolah Allah
SESEORANG berkata: “Maulana tidak mengucap sepatah kata pun.” Maulana
  Rumi berkata: “Baiklah, pikiranku yang membawa orang itu kepadaku. Tetapi
  pikiranku tidak bisa mengatakan: “Bagaimana kabarmu? Atau bagaimana kabar
  semua yang ada bersamamu?” Pikiran tanpa kata-kata ini yang telah membawa
  orang itu kemari. Jika hakikat dalam diriku membawanya kemari dan dapat
  membawa dirinya ke tempat yang lain, lalu apa hebatnya kata- kata itu?”
Kata-kata
  adalah bayangan dan cabang dari hakikat; jika bayangan bisa menarik sebuah
  benda, maka tentu hakikat akan jauh lebih bisa. Kata-kata adalah media. Yang
  sesungguhnya membawa manusia kepada orang lain adalah unsur harmoni
  (keserasian) nya, dan bukan kata-kata. Bahkan ketika seseorang telah melihat
  nabi atau wali yang menunjukkan kejadian luar biasanya itu, maka semua itu
  tidak akan ada gunanya sama sekali. Unsur harmoni itulah yang membuat seorang
  manusia merasa bersemangat, bingung, dan sekaligus tidak tenang. Seandainya di
  dalam jerami tidak ada amber, maka jerami itu tidak akan pernah tertarik pada
  amber. Keserasian ini sangatlah samar dan tak terlihat oleh mata.
Pemikiran
  tentang sesuatulah yang membawa orang tersebut datang kepada sesuatu yang
  dipikirkannya. Memikirkan taman akan membawa seseorang menuju taman, dan
  memikirkan toko akan mengantarkan orang itu ke toko. Tetapi di antara
  pemikiran- pemikiran ini terdapat sesuatu yang palsu dan sulit dibedakan.
  Bukankah kamu pernah mendatangi suatu tempat, tetapi kemudian kamu menyesal
  karena telah mendatanginya dan berkata: “Aku pikir ini tempatnya, tapi
  ternyata bukan”?
Pemikiran ini laksana sebuah kemah yang di dalamnya
  terdapat seseorang yang sedang bersembunyi. Ketika pemikiran menghilang dari
  pandangan dan hanya hakikat tanpa selubung pemikiran yang tampak, maka akan
  terjadi kebingungan yang luar biasa. Jika hal itu terjadi, tidak akan ada lagi
  penyesalan. Ketika muncul hakikat yang menarikmu, maka tidak akan ada hal lain
  lagi selain hakikat itu. Hakikat itu sendirilah yang menarikmu: “Pada hari
  dinampakkan segala rahasia [QS. al- ariq: 9].” Lantas apa gunanya
  berbicara?
Sesungguhnya sesuatu yang menarik hanya ada satu, tetapi
  muncul dalam bentuk yang bermacam-macam. Tidakkah kamu sadar bahwa manusia
  dikuasai oleh ratusan keinginan yang berbeda- beda? Seseorang berkata: “Aku
  ingin tutamaj (semacam bihun), aku ingin burik (perkedel daging dengan saus),1
  aku ingin halwa, aku ingin kue kering, aku ingin buah, aku ingin
  kacang-kacangan.” Manusia menghitung semua hal ini dan menamainya satu
  persatu, akan tetapi asal dari semua yang disebutkan tadi hanya ada satu,
  yaitu lapar. Jika orang itu telah memenuhi isi perutnya dengan salah satu
  makanan tersebut, maka ia berkata: “Tak ada lagi yang dibutuhkan dari
  makanan-makanan itu.”
Jadi, dapat dipahami bahwa sesuatu yang menarik
  diri manusia bukanlah berjumlah sepuluh atau seratus, melainkan hanya ada
  satu: “Dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi tnah
  [QS. al-Muddatsir: 31].” Bagi manusia, bilangan itu adalah tnah (cobaan). Ada
  yang berkata: “Orang itu hanya satu, dan mereka ada seratus,” atau dengan kata
  lain mereka berkata: “Wali hanya ada satu sementara manusia biasa ada banyak,
  seratus ribu.” Ini adalah tnah yang besar. Pandangan dan pemikiran yang
  membuat mereka menganggap manusia itu ada banyak dan wali hanya ada satu
  itulah  tnah yang besar.
“Dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka
  itu melainkan untuk jadi tnah.” Jika sudah demikian, lalu seratus yang mana?
  Lima puluh yang mana? Dan enam puluh yang mana? Beberapa orang tanpa tangan
  dan kaki, tanpa akal dan jiwa, bergetar bagaikan jimat ajaib dan air raksa.
  Mengenai mereka, kamu berkata bahwa mereka berjumlah enam puluh, seratus, atau
  seribu. Sementara tentang wali itu, kamu berkata bahwa dia hanya ada satu.
  Sejatinya, jumlah mereka yang banyak itulah yang satu, dan wali itulah yang
  berjumlah seribu, seratus ribu, dan ratusan ribu.
Sedikit jika dihitung,
  dan banyak ketika diikat.2
Seorang raja  memberikan
  kepada  satu  tentaranya seporsi makanan untuk seratus tentara.
  Tentara lainnya mengeluh. Baginda raja berkata di dalam hatinya: “Akan tiba
  waktunya aku akan beritahukan pada kalian alasannya, dan kalian akan mengerti
  mengapa hal ini harus kulakukan.” Ketika perang besar terjadi, semua
  tentaranya melarikan diri hingga tersisa satu tentara itu sendirian. Raja
  berkata: “Inilah tujuanku memberimu porsi makanan untuk seratus tentara.”
Seorang
  manusia harus membersihkan sifat tamyiznya dari berbagai macam kepentingan,
  dan hendaknya mencari teman di jalan Allah, sebab agama seseorang bisa
  diketahui lewat teman yang dikenalnya. Selain itu jika seseorang menghabiskan
  usianya untuk bersahabat dengan mereka yang sifat tamyiznya kurang, maka sifat
  tamyiz yang dimilikinya juga akan melemah, dan akhirnya sahabat sejatinya itu
  akan berlalu tanpa kita sadari. Kamu melayani tubuh yang tidak memiliki sifat
  tamyiz.
Begitu banyak ketika diikat, tetapi sedikit saat dihitung
  Tamyiz adalah sifat yang selalu tersembunyi dalam jiwa manusia. Tidakkah kamu
  melihat bahwa orang gila juga memiliki tangan dan kaki tetapi kekurangan sifat
  tamyiz? Tamyiz, sekali lagi, adalah esensi murni yang terdapat dalam dirimu,
  sementara kamu asyik memberi makan dan minuman pada tubuh yang tak ber-tamyiz
  siang dan malam. Bahkan kamu berpendapat bahwa tubuh berdiri di atas sifat
  ini, padahal justru tamyiz inilah yang berdiri di atas tubuh. Bagaimana bisa
  kamu mencurahkan seluruh kemampuanmu untuk menjaga tubuh ini sementara kamu
  sepenuhnya melalaikan esensi yang murni? Pada hakikatnya, tubuh ini bergantung
  pada esensi itu, tetapi esensi tidak bergantung pada tubuh. Cahaya yang
  terpancar dari jendela-jendela mata, telinga, dan lainnya. Seandainya jendela-
  jendela ini tidak ada, maka cahaya itu akan tetap terpancar melalui
  jendela-jendela yang lain.
Misalnya kamu meletakkan sebuah lentera di
  hadapan matahari sembari berkata: “Aku dapat melihat matahari dengan lentera
  ini.” Hal ini tentu tidak mungkin, bahkan jika misalnya kamu tidak meletakkan
  lentera itu di depannya, matahari tetap akan memancarkan sinarnya kepadamu.
  Lantas apa gunannya sebuah lentera?
Kita seharusnya tidak pernah berputus
  asa kepada Allah, karena harapan adalah permulaan bagi jalan keselamatan.
Jika
  kamu tidak dapat melintas di jalan itu, maka usahakanlah paling tidak untuk
  berada di garis start jalan itu. Jangan pernah katakan “Jalanku sungguh
  berliku, aku telah melakukan banyak kesalahan.” Teguhlah di jalan istikamah!
  Maka tidak akan ada lagi kesalahan- kesalahan lainnya.
Istikamah
  itu seperti tongkat Musa, dan godaannya seperti tipu daya para penyihir
  Fir’aun: ketika istikamah muncul, ia akan menelan tipu daya para penyihir
  Fir’aun itu. Jika kamu teguh pada jalan lurus ini, maka sama saja kamu
  menyelamatkan dirimu sendiri, sebab dengan keteguhan itu kamu akan sampai
  kepada Allah.
Seekor burung yang bertengger di gunung itu dan kemudian
  terbang dan pergi,
Adakah yang bertambah atau berkurang dari gunung
  itu?3
Ketika kamu sudah menapaki jalan yang lurus, maka semua jalan
  yang berliku akan hilang. Waspadalah, jangan pernah kehilangan pengharapan!
Kerugian
  bersahabat dengan raja bukan karena kamu akan kehilangan nyawamu, sebab pada
  akhirnya semua manusia pasti akan meregang nyawa, entah hari ini atau esok.
  Kerugian bersahabat dengannya timbul ketika raja menampakkan dirinya, dengan
  pengaruhnya yang kuat, ia menjadi seperti naga yang superior, maka seorang
  yang menemani dan mengaku bersahabat dengannya, yang menerima hadiah darinya,
  mau tidak mau harus berkata-kata sesuai dengan keinginannya, ia harus menerima
  ide-ide busuk sang raja, ia juga tidak akan mampu menentang
  perkataan-perkataan raja tersebut. Dari poin inilah tampak bahayanya
  bersahabat denga raja, karena hal semacam itu dapat melukai agama. Ketika kamu
  memupuk hubungan yang baik dengan sang raja, maka sisi lain yang merupakan
  esensi dari hidup ini akan menjadi asing bagimu. Saat kamu semakin dekat
  dengan raja, maka pada sisi yang lain, tempat di mana Sang Terkasih berada
  akan semakin jauh darimu. Ketika hubungan kamu semakin erat dengan budak-budak
  dunia dan kamu senantiasa memiliki satu arah dengan mereka, maka Sang Terkasih
  akan marah kepadamu.
“Barangsiapa yang membantu orang yang zalim, Allah
  SWT akan memberikan kekuatan kepadanya.” Kepergianmu ke arah Allah juga akan
  membuatmu tunduk kepada-Nya. Kapan pun kamu berjalan ke arah-Nya, maka sebagai
  balasannya, Ia akan senantiasa memberikan kekuatan kepadamu.
Alangkah
  sayangnya jika seseorang yang telah meraih pantai samudera, hanya merasa puas
  dengan seteguk atau satu kendi air. Sementara ia melalaikan berbagai macam
  mutiara berkilauan dan ratusan ribu benda-benda indah yang sebenarnya bisa ia
  dapatkan di dalam samudera itu. Lantas apa gunanya ia mengambil air dari
  samudera itu? Apa bangganya melakukan hal tersebut bagi mereka yang berakal?
  Apa yang telah mereka wujudkan?
Pada hakikatnya, dunia ini tak ubahnya
  seperti buih di lautan, dan airnya adalah ilmu-ilmu para wali; lalu di mana
  mutiara itu berada? Dunia ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah buih yang
  dipenuhi jerami. Akan tetapi karena gulungan ombak dan harmoni irama samudera
  yang setia menemani sang gelombang, buih itu mewujud menjadi sebentuk
  keindahan.
“Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah,
  keciali kaum yang ka r.” (QS. Yusuf: 87) 
“Dijadikan indah
  pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
  wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
  pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
  dunia, dan di sisi Allah- lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali
  ‘Imran: 14)
Kata-kata “dijadikan indah” dalam rman Allah di atas
  mengindikasikan bahwa semua hal itu sebenarnya tidaklah indah, sebab segala
  bentuk keindahan yang tersimpan di dalam semua hal itu berasal dari tempat
  yang lain. Laksana uang palsu yang disepuh dengan emas; dunia yang merupakan
  gelembung buih ini adalah uang palsu yang tak berharga dan tak bernilai,
  sementara kitalah yang menyepuh uang palsu itu dengan emas, dan kemudian kita
  jadikan sebagai perhiasan yang tampak indah di mata manusia.
Manusia
  adalah astrolab4 Allah, namun dibutuhkan seorang astronom untuk mengetahui
  astrolab. Jika seorang penjual sayuran atau makanan memiliki astrolab, apa
  yang akan mereka dapatkan darinya? Dengan alat perbintangan kuno ini, apa yang
  bisa diketahui oleh pedagang sayur dan makanan itu tentang tingkah laku,
  perputaran, dan tanda-tanda, lintasan, dan pengaruh bintang di langit?
  Sebaliknya, astrolab akan sangat bermanfaat jika berada di tangan para
  astronom. Itulah mengapa kemudian muncul kata-kata: “Siapa yang mengenal
  dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.”
Seperti halnya astrolab dari
  tembaga yang merupakan cerminan bintang-bintang di langit, maka wujud
  manusia—sebagaimana dinyatakan Allah dalam rman-Nya: “Dan sesungguhnya telah
  Kami muliakan anak-anak Adam [QS. Al-Isra’: 70].”—juga merupakan astrolab
  Allah. Ketika Allah SWT telah menjadikan manusia bisa mengetahui dan mengenal
  diri-Nya, maka hamba ini akan mampu melihat ke dalam wujud astrolab itu;
  dirinya telah melebur dengan Tuhan dan keindahan-Nya yang mutlak, detik demi
  detik, sekilas demi sekilas. Keindahan itu sama sekali tidak pernah hilang
  dari cermin ini. Allah memiliki hamba-hamba yang menutup diri mereka dengan
  hikmah, makrifat (mengenal Allah), dan karomah (hal luar biasa yang dimiliki
  orang-orang tertentu). Meski mereka tidak dianugerahi pandangan khusus yang
  dimiliki orang-orang spesial, akan tetapi semangat yang kuat memotivasi mereka
  untuk menutup diri, seperti yang dikatakan oleh al-Mutanabbi:
Perempuan-perempuan
  itu mengenakan sutra yang dibordir bukan untuk mempercantik diri, Melainkan
  untuk menjaga kecantikan mereka dari mata-mata yang penuh gairah.
  1    Salah satu jenis makanan yang terkenal di sekitar
  lingkungan Maulana Rumi pada masanya. 
   2    Kalimat ini adalah potongan dari bait puisi yang
  digubah oleh Abu at-Tayyib al-Mutanabbi, dengan versi yang lengkap sebagai
  berikut:
Aku akan mencari hakikat diriku dengan jalan dan bantuan para
  masayikh Seolah-olah mereka tak berjenggot, karena saking lamanya mencium
  Berat untuk kehilangan mereka, tapi ringan untuk memanggil mereka
  3    Potongan bait ini adalah bagian dari salah satu puisi
  Rubaiyat Maulana Rumi, dengan versi lengkap sebagai berikut:
Meskipun ada
  suara makhluk di meja makan azali,
Yang sedang menyantap makanan, niscaya
  tidak ada satu hidangan pun yang berkurang.
Seekor burung yang bertengger
  di gunung itu dan kemudian terbang dan pergi, Adakah yang bertambah atau
  berkurang dari gunung itu?
 
4    Alat
  perbintangan kuno yang (salah satunya) digunakan untuk mengukur naiknya
  matahari dan bintang-bintang.
  
  
  Pasal 3 Matilah Kalian Sebelum Kalian Mati
AMIR Barwanah berkata: “Sungguh hati dan jiwaku ini sangat ingin
  melayani Allah siang dan malam, akan tetapi karena kesibukanku dengan
  urusan-urusan Mongol, aku jadi tidak bisa mewujudkan keinginan untuk bersua
  dengan-Nya.”
Maulana Rumi menjawab: “Sesungguhnya yang kamu lakukan ini
  juga merupakan bentuk khidmat (melayani) Allah, karena yang kamu lakukan itu
  menjadi media untuk memberikan rasa aman dan perlindungan bagi para Muslim.
  Kamu telah mengorbankan jiwa, harta, dan ragamu untuk membuat mereka semua
  memperoleh ketenangan dalam melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Tentu
  saja hal ini juga merupakan amal yang baik. Allah telah menganugerahimu
  kecenderungan kepada amal yang baik ini. Rasa cintamu yang besar pada apa yang
  kamu lakukan ini merupakan bukti pertolongan Allah. Sebaliknya, jika rasa
  cintamu yang besar pada perkerjaan ini hilang, maka itu adalah bukti hilangnya
  pertolongan Allah. Dalam kasus ini, ketika Allah tidak menginginkan pekerjaan
  baik dan penting ini jatuh ke tangan orang lain, itu berarti bahwa orang lain
  itu tidak berhak atas pahala dan derajat-derajat yang tinggi. Contohnya adalah
  bak mandi yang panas; tentu saja panas itu berasal dari bahan-bahan seperti
  jerami, kayu bakar, rabuk, dan lain sebagainya, yang dibakar di tungku. Dengan
  cara yang sama, Allah menunjukkan beberapa hal yang dari luarnya tampak
  sebagai sesuatu yang buruk dan dibenci, namun justru sebenarnya merupakan
  sebuah pertolongan Allah untuk membuatnya suci.
Di bak mandi yang panas
  ini, orang yang mandi di dalamnya dibakar (disucikan) dengan media-media yang
  tadi disebutkan, dan kemudian menjadi manfaat bagi orang lain.
Pada saat
  itu beberapa sahabat datang. Maulana Rumi meminta maaf sembari berkata: “Jika
  aku tidak datang kepada kalian serta tidak berbicang dan bertanya kepadamu,
  itu sesungguhnya adalah sebuah penghormatan. Sebab bentuk penghormatan pada
  hal apapun haruslah sesuai dengan waktu terjadinya sesuatu itu. Ketika
  mendirikan salat misalnya, seseorang tidak seharusnya menghentikan salatnya
  dan memberikan salam kepada ayah dan saudaranya saat mereka datang. Sikap acuh
  seseorang kepada orang-orang yang dikasihi dan para kerabatnya saat ia sedang
  mendirikan salat justru merupakan inti dari kepedulian dan bentuk keramahan
  yang sesungguhnya dari orang itu. Sebab ketika ia tidak menghentikan ketaatan
  dan perjumpaannya dengan Allah ketika salat dan tidak merasa terganggu oleh
  kedatangan mereka, maka ayah, saudara, dan kerabatnya tidak akan mendapatkan
  dosa dan terbebas dari siksa- Nya. Inilah bentuk kepedulian sesungguhnya dari
  orang yang sedang salat, yaitu menghindarkan mereka dari siksa.
Seseorang
  bertanya: “Apakah ada cara lain yang lebih dekat kepada Allah daripada
  salat?
Maulana Rumi menjawab: “Ada, yaitu salat juga. Tetapi bukan salat
  dalam bentuk luarnya saja.”
Salat yang kamu sebut dalam pertanyaanmu tadi
  adalah bentuk dari salat itu sendiri, karena ia memiliki pembuka dan penutup.
  Sementara semua hal yang memiliki pembuka dan penutup dinamakan bentuk,
  takbiratul ihram adalah pembuka salat, dan salam adalah penutupnya. Sama
  halnya dengan syahadat. Syahadat bukan merupakan sesuatu yang dilafalkan
  dengan bibir saja, tetapi syahadat juga memiliki permulaan dan akhiran. Segala
  sesuatu yang diekspresikan dengan kata, suara, dan memiliki awalan serta
  akhiran adalah bentuk dan kerangka. Sementara jiwa dari syahadat itu tidaklah
  terbatas dan tidak memiliki titik akhir, tak bermula dan tak berakhir.
Masih
  ada sesuatu yang lain, yaitu salat yang ditunjukkan para Nabi. Nabi Muhammad
  Saw. menjelaskan perihal salat ini kepada kita semua melalui sabdanya: “Aku
  memiliki sebuah waktu bersama Allah yang tidak dapat dideteksi oleh nabi-nabi
  lain maupun para malaikat yang dekat dengan Allah.” Dari sini, bisa kita
  pahami bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah jiwa (roh)nya salat. Bukan
  semata bentuk luarnya saja, melainkan kekhusyukan yang sempurna. Sebuah
  kondisi di mana bentuk apa pun tidak dapat masuk ke dalamnya, tidak ada tempat
  bagi mereka di sana, bahkan Jibril—yang merupakan wujud suci— sekalipun tak
  dapat masuk ke dalamnya.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari para sahabat
  ayahku melihat ayahku (Bahauddin, semoga Allah menyucikan jiwa beliau) sedang
  berada dalam kekhusyukan yang sempurna. Kebetulan saat itu telah masuk waktu
  salat, sehingga beberapa murid memanggil ayahku: “Waktu salat telah tiba.”
  Ayahku tidak menghiraukan suara yang memanggil, sehingga mereka membiarkannya
  dan menunaikan salat tanpa ayahku. Akan tetapi, ada dua murid yang mengikuti
  apa yang dilakukan ayahku dan tidak ikut menunaikan salat.
Adalah
  Khwajagi, salah satu murid yang melaksanakan salat, ditunjukkan ke dalam mata
  hatinya sehingga ia bisa melihat dengan jelas bahwa punggung semua orang yang
  salat berjemaah di belakang imam menghadap Ka’bah (salat dengan membelakangi
  Ka’bah), sementara ayahku dan dua murid yang mengikutinya justru menghadap
  Ka’bah. Hal itu dikarenakan ayahku telah menghilangkan kekitaan serta
  keakuannya dan menjadi fana’. Wujud mereka bertiga telah ‘mati’ dan telah
  meneguk cahaya Tuhan; “Matilah kalian sebelum kalian mati,” mereka telah
  menyatu dengan cahaya Allah. Semua orang yang memalingkan wajahnya dari cahaya
  Allah dan menghadapkan wajahnya ke tembok, maka mereka menghadapkan
  punggungnya kepada kiblat, karena cahaya Allah adalah kiblat yang sebenarnya.
  Cahaya Allah adalah roh dari kiblat.
Siapa saja yang menghadap
  Ka’bah, ketahuilah bahwa nabi Muhammad telah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat
  dunia. Jika Ka’bah adalah kiblat dunia, maka yang lebih utama adalah ketika
  Ka’bah menjadi kiblat bagi seseorang.
Nabi Muhammad Saw. pernah menegur
  seorang sahabat dan berkata: “Aku memanggilmu, mengapa kamu tak datang?”
  Sahabat itu menjawab: “Aku sedang khusyuk salat.” Nabi bertanya lagi: “Kamu
  betul, tetapi bukankah aku memanggilmu untuk salat?” Sahabat itu menjawab:
  “Aku pasrah.”
Maulana Rumi berkata: “Ada baiknya kamu untuk selalu merasa
  tidak mampu setiap saat, dan menganggap dirimu tidak mampu meski sebenarnya
  kamu mampu, seperti saat kamu benar- benar tidak mampu. Hal itu karena di atas
  kemampuanmu, ada kemampuan yang lebih besar, dan kamu akan selalu takluk oleh
  Allah dalam kondisi apapun. Dalam hal ini kamu tidak terbagi menjadi dua,
  terkadang mampu dan terkadang tidak mampu. Kamu melihat ada kemampuan dalam
  dirimu, tapi selalu menganggap dirimu tidak mampu, tidak memiliki tangan dan
  kaki, lemah tak berdaya. Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang lemah ini,
  saat ia melihat singa-singa, seluruh harimau, semua buaya lemah dan gemetaran
  di hadapan Allah? Segenap langit dan bumi tunduk dan takluk pada hukum-Nya.
  Dia adalah Raja Yang Agung. Cahaya-Nya tidak seperti sinar bulan dan matahari,
  yang mana benda masih dapat tegak berdiri di bawah sinar bulan dan matahari
  itu. Akan tetapi, saat cahaya-Nya terpancar tanpa ada selubung, tidak akan ada
  lagi langit, tidak pula bumi, tidak ada matahari, tidak juga bulan, tidak ada
  lagi yang tersisa selain Sang Raja.
  
Hikayat
Seorang raja berkata pada darwis: “Ketika nanti kamu
  telah sampai pada tingkat tajali1 dan berada dekat di sisi Allah SWT, ingatlah
  kepadaku!” Darwish itu menjawab: “Ketika aku sampai ke hadirat Allah SWT, dan
  cahaya matahari keindahan-Nya memancar kepadaku, aku tidak akan lagi mengingat
  siapa diriku. Lalu bagaimana aku akan mengingatmu?” Ketika Allah telah memilih
  seorang hamba dan menjadikannya lebur secara sempurna bersama diri-Nya, maka
  setiap orang yang memegang kakinya dan memohon bantuan kepadanya, Allah yang
  akan mendengar keinginan mereka. Meski orang agung yang berada di sisi Allah
  itu tidak ingat siapa yang meminta bantuan kepadanya, Dia akan tetap
  memberikan apa yang mereka inginkan.
Konon ada seorang raja yang memiliki
  hamba yang sangat khusus. Ketika hamba ini sedang berjalan menuju istana
  kerajaan, orang-orang yang mempunyai keinginan menitipkan sebuah qishash2 dan
  beberapa buah buku kepadanya, dengan harapan ia akan membacakannya di hadapan
  sang raja. Hamba itu kemudian memasukkan qishash dan beberapa buah buku itu ke
  dalam tasnya. Ketika ia telah tiba di hadapan baginda raja, ia tak mampu
  menahan cahaya keindahan yang terpancar dari sang pemilik kerajaan, ia pun
  jatuh dan tak sadarkan diri tepat di depan sang raja. Baginda, dengan maksud
  bergurau, memasukkan tangannya ke dalam saku dan tas hambanya yang khusus itu,
  seraya berkata: “Apa yang dimiliki oleh hamba yang kagum kepadaku dan melebur
  ke dalam keindahanku ini.” Raja memungut qishash dan buku yang dititipkan oleh
  rakyat kepadanya. Setelah selesai membaca semuanya, sang raja kemudian
  memerintahkan untuk mengabulkan semua harapan dan keinginan yang tercatat
  dalam tulisan itu dengan menulis di atasnya, lalu raja mengembalikan ke dalam
  tas hambanya yang khusus itu. Demikianlah, sang raja mengabulkan segala
  harapan dan keinginan semua orang tanpa perlu dituturkan oleh 
  hambanya  tersebut, dan tanpa ada satu keinginan pun yang ditolak. Bahkan
  mereka mendapatkan yang diinginkan berlipat ganda dan jauh lebih banyak dari
  yang mereka harapkan. Sementara para hamba lainnya yang sadar, dan mampu
  menyampaikan qishash rakyat di hadapan baginda raja, jarang dan bahkan sedikit
  sekali yang dikabulkan, mungkin hanya satu dari seratus harapan dan impian
  yang mereka sampaikan.
  
1    Langkah ketiga dalam tahapan metode pembersihan
  hati: Takhalli (membersih- kan hati dari keterikatan dengan dunia), Tahalli
  (mengisi hati yang telah kosong dari keterikatan dunia dengan hanya Allah),
  dan Tajalli (lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak dapat
  dilukiskan).
2    Lembaran-lembaran yang berisi berbagai
  harapan para rakyat tentang keingi- nan-keinginan mereka yang hendak diberikan
  kepada sang raja.
  
  
  
  Pasal 4 Kami Muliakan Anak Keturunan Adam
SALAH satu dari mereka berkata: “Ada sesuatu yang aku lupakan.”
  Maulana Rumi menjawab: “Ada satu hal di alam semesta ini yang tak patut untuk
  dilupakan. Kalau kamu melupakan segala hal tapi tetap mengingat satu hal itu,
  maka kamu tak perlu khawatir. Sebaliknya, kalau kamu bisa meraih dan mengingat
  segalanya tapi kamu lupa akan satu hal itu, maka seolah-olah kamu tak pernah
  berbuat apa-apa. Hal ini diibaratkan seperti seorang raja yang mengirimmu ke
  sebuah desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Kalau kamu pergi ke desa itu
  tapi kamu malah melakukan hal yang lain dan tak kunjung mengerjakan apa yang
  diperintahkan, maka seolah-olah kamu sama sekali tak pernah melakukan
  apa-apa.”
 
Demikianlah, manusia datang ke alam semesta ini
  untuk melaksanakan tugas tertentu, dan itulah tujuan mereka. Kalau dia tidak
  mengerjakan tugas yang menjadi alasan kenapa ia datang, maka seolah-olah ia
  tak pernah mengerjakan apa-apa. 
“Sesungguhnya Kami telah
  menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tapi semuanya enggan
  untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
  dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
  amat bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72)
Amanah itu Kami tawarkan kepada
  langit, tapi ia merasa tak sanggup untuk memikulnya. Coba perhatikan berapa
  banyak akibat yang akan timbul dari amanah itu sehingga bisa membuat manusia
  kebingungan. Amanah itu bisa mengubah bebatuan menjadi akik dan nilam,
  menyulap pegunungan menjadi tambang- tambang emas dan perak, dan menyegarkan
  tanaman di bumi serta menghidupkannya kembali sebagai sebuah pemandangan yang
  sangat indah layaknya surga ‘Adn. Juga tanah yang menerima bibit- bibit
  kemudian menghasilkan buah-buahan. Bumi yang menerima dan menampakkan ratusan
  ribu keajaiban yang sulit dijelaskan. Kemudian giliran pegunungan yang
  membuahkan logam-logam yang melimpah ruah. Semua itu adalah produksi dari
  langit, bumi, dan gunung. Akan tetapi semua itu tidak dilakukan sendiri oleh
  mereka, melainkan melalui perantaraan manusia: 
“Dan
  Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,” (QS. al- Isra: 70)
Allah
  tidak ber rman: “Sungguh telah Kami muliakan langit dan bumi.” Begitulah,
  semua hal yang tidak bisa dilakukan seorang diri oleh langit, bumi, dan
  gunung, bisa ditangani oleh manusia. Kalau manusia sudah melakukan hal
  tersebut, maka hilanglah predikat zalim dan bodoh dari dirinya. Kamu bisa saja
  berkata: “Jika aku tidak melakukan hal itu, masih banyak hal lain yang bisa
  aku lakukan,” padahal manusia tidak diciptakan untuk melakukan hal- hal selain
  itu. Misalnya kamu membawa sebilah pedang baja dari India yang tak ternilai
  harganya seperti yang ada di lemari para raja, lalu kamu memakainya untuk
  mencincang daging busuk sembari berkata: “Aku tidak akan membiarkan pedang ini
  tak berfungsi, aku akan menggunakan untuk berbagai hal.” Atau misalnya kamu
  memiliki sebuah periuk yang terbuat dari emas, kemudian kamu malah menggoreng
  lobak di atasnya. Padahal di saat yang sama, dengan sebiji atom emas itu kamu
  bisa membeli seratus periuk. Contoh lain misalnya kamu menjadikan belati
  permata sebagai paku untuk menggantung tumpukan kertas lusuh sembari berkata:
  “Aku akan menjadikan belati permata ini sebagai paku untuk menggantung
55
 
Fihi
  Ma Fihi
tumpukan kertas lusuh, tak akan kubiarkan alat ini tak
  beroperasi.” Bukankah yang demikian itu sangat menyedihkan dan menggelikan?
  Ketika seseorang bisa menggantung tumpukan kertas lusuh dengan paku yang
  terbuat dari kayu atau besi yang sangat murah, apakah masuk akal kalau dia
  malah menggunakan belati permata yang berharga seratus dinar?
Allah SWT
  telah mematok kalian dengan harga yang sangat tinggi ketika ber rman:
“Sesungguhnya
  Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan
  memberikan surga untuk mereka.” (QS. al- Taubah: 111)
Nilai kalian
  itu lebih tinggi daripada dua alam semesta.
Lalu apa yang bisa aku
  perbuat kalau kalian saja tak mengerti kadar kalian sendiri?!1
Janganlah
  kau jual dirimu dengan harga yang murah, padahal kamu sangat indah di mata
  Tuhan!2
Allah SWT ber rman: “Sungguh Aku telah membeli kalian,
  waktu kalian, nafas kalian, harta kalian, dan hidup kalian. Kalau semua itu
  kau peruntukkan bagi-Ku, dan kau berikan pada-Ku, maka harganya setara dengan
  surga yang abadi. Inilah nilai kalian di hadapan-Ku.” Tapi kalau kamu jual
  dirimu pada neraka Jahannam, itu artinya kamu sudah berbuat zalim pada dirimu
  sendiri, seperti lelaki yang menancapkan belati berharga seratus dinar pada
  dinding rumahnya untuk menggantung periuk atau tumpukan kertas lusuh tadi.
Kita
  kembali ke awal. Bisa saja kamu  menunjukkan justi kasimu dengan berkata:
  “Tapi aku mengabdikan seluruh kemampuanku untuk melaksanakan perkara-perkara
  yang luhur dan mulia. Aku belajar ilmu hukum ( qih), lsafat, logika,
  astronomi, kedokteran, dan lain-lain.” Tapi kamu melakukan semua itu untuk
  dirimu sendiri. Kamu belajar hukum agar tak seorang pun bisa mencuri roti dari
  tanganmu, atau menelanjangimu, atau bahkan membunuhmu. Ringkasnya: kamu
  melakukannya agar kamu merasa aman. Kamu belajar astronomi dan seluk-beluk
  bintang dan pengaruhnya terhadap bumi, baik ringan maupun berat, yang
  menandakan keamanan atau bahaya, semua ini berkaitan dengan keadaanmu dan
  untuk melayani tujuanmu sendiri. Entah ramalan bintang sedang baik atau buruk,
  selalu bertalian dengan nasibmu, dan seterusnya semua karena demi dirimu
  sendiri.
Ketika kalian renungkan hal ini baik-baik, akan kalian dapati
  bahwa asal segala sesuatu adalah diri kalian sendiri, dan segala sesuatu yang
  lain tadi adalah cabang dari diri kalian. Jika cabang itu memiliki banyak
  perincian, keajaiban, dan bentuk-bentuk luar biasa yang tak berujung, maka
  renungkanlah apa yang kalian miliki karena kalian adalah asal dari segala
  sesuatu itu.
Ketika cabang-cabang itu mengalami ketimpangan, kemerosotan,
  kebahagiaan, dan ketidakberuntungan, renungkanlah dirimu yang menjadi asal
  dari semua itu; apa saja yang membuat dunia spiritual (roh) kalian mengalami
  semua hal itu. Roh seseorang memiliki karakteristik seperti itu, dan akan
  melahirkan hal-hal seperti itu juga. Karena memang pada dasarnya seorang
  manusia sudah seharusnya seperti ini.
Sebenarnya (jiwa) kalian itu
  memiliki makanan yang lain di samping makanan (materi berupa) tidur dan makan.
  Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Aku bermalam di sisi Tuhanku. Ia memberiku
  makanan dan minuman.” Di dunia yang rendah ini, kau telah melupakan makanan
  lain itu karena sibuk dengan makanan materi. Siang malam kamu beri makan
  tubuhmu. Sekarang tubuhmu seperti seekor kuda dan dunia yang rendah ini
  menjadi kandangnya. Makanan kuda tentu tak akan menjadi makanan penunggangnya.
  Karena sang penunggang memiliki cara tidur, makan, dan kebahagiaan yang
  berbeda. Karena sifat hewan dan binatang mengalahkan jiwamu, maka tinggallah
  dirimu beserta kuda di kandangnya. Kau tak memiliki satu tempat pun di barisan
  raja-raja dan pimpinan negeri keabadian. Hatimu di sana, tetapi tubuhmu telah
  mengalahkanmu, kamu tunduk pada aturannya dan masih menjadi tawanan
  abadinya.
Sama halnya pada saat Majnun hendak mengunjungi rumah Laila.
  Ketika Majnun masih sadar, ia mengemudikan untanya menuju rumah Laila. Tetapi
  saat ia terbenam dalam fantasinya tentang Laila dan melupakan diri dan
  untanya, unta itu menelusuri jalan kembali ke desa di mana anak unta itu
  disimpan. Saat Majnun bangun dari imajinasinya, ia menemukan dirinya telah
  mundur dua hari perjalanan. Selama tiga bulan ia menelusuri jalan ini, justru
  ia semakin jauh dengan tujuannya. Akhirnya ia berkata “Unta ini bencana
  buatku!,” ia lalu turun dari unta itu dan meneruskan perjalanan dengan
  berjalan kaki.
Untaku ingin kembali, sementara aku ingin terus maju.
Sungguh
  aku dan ia sangatlah berbeda.
Guru kami berkata: Sayyid Burhanuddin
  pernah didatangi seseorang dan berkata: “Aku mendengar seseorang telah
  memujimu.” Burhanuddin menjawab: “Tunggulah sampai aku bertemu dengan orang
  itu untuk melihat apakah ia cukup mengenalku sehingga bisa memujiku. Kalau ia
  hanya mengenalku lewat perkataan orang-orang, berarti ia tak mengenalku. Sebab
  kata-kata, huruf-huruf dan suara- suara itu tidak abadi. Dua bibir dan mulut
  ini juga tidak abadi. Semua ini tidaklah penting. Tapi kalau ia mengenalku
  lewat perbuatan- perbuatanku, dan mengetahui wujudku, maka aku tahu bahwa dia
  bisa memujiku, dan bahwa pujian itu benar-benar untukku.”
Ini seperti
  cerita yang mengisahkan tentang seorang raja yang menitipkan anaknya pada
  sekelompok ilmuwan. Anak itu kemudian diajari ilmu astronomi, geogra , dan
  lain-lain, sampai ia menjadi seorang guru yang sempurna meski pada awalnya ia
  adalah anak yang dungu dan pandir. Suatu hari sang raja mengenggaman sesuatu
  tangannya dan menguji anaknya. 
“Kemarilah, coba katakan apa yang
  ada dalam genggamanku ini?”
“Barang yang ayah genggam itu berbentuk
  bulat, berwarna kuning, dan berlubang,” jawab Pangeran.
Raja menimpali:
  “Kamu telah tunjukkan tanda-tanda yang benar, sekarang pastikan benda apa
  itu?,”
Pangeran menjawab: “Seharusnya itu adalah ayakan,”
Raja
  berkata: “Sungguh, kamu sudah menunjukkan banyak data yang detil, tapi semua
  itu jadi membingungkan. Dengan ilmu dan semangat belajarmu yang begitu kuat,
  bagaimana kamu bisa melupakan satu hal bahwa ayakan tidak akan muat berada di
  dalam genggaman?”
Seperti itulah gambaran para ilmuwan di zaman kita ini
  yang membelah sebutir rambut keilmuan, padahal mereka sudah mengetahui bahwa
  puncak pengetahuan adalah hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan
  pengetahuan itu sendiri dan mereka sudah sangat memahami hal itu.
Sementara
  itu, ada satu hal yang sangat penting dan berada sangat dekat dengan manusia
  ketimbang hal-hal lain yang tidak diketahui oleh ilmuwan ini, yaitu jiwa
  manusia. Ia tidak mengetahui jiwanya sendiri. Ia menghukumi segala sesuatu
  dengan halal dan tahu apakah dirinya sendiri halal atau haram, boleh atau
  tidak boleh, suci atau tidak suci.
Sekarang, sifat-sifat seperti
  berlubang, berwarna kuning, berukir, dan bulat hanyalah sifat-sifat buatan
  semata. Ketika sebuah barang diletakkan di atas api, tidak akan ada yang
  tersisa darinya; barang itu akan menjadi abu halus dan tidak lagi memiliki
  sifat-sifat tadi. Tanda-tanda yang diberikan oleh para ilmuwan berupa
  ilmu-ilmu, perbuatan, dan perkataan, sama dengan sifat- sifat tersebut, ia
  tidak berkaitan dengan inti sesuatu meski tanda- tanda yang lainnya
  menghilang. Demikianlah tanda dari segala sesuatu. Sang pangeran membincangkan
  dan menjelaskan semua tanda, kemudian akhirnya menyimpulkan bahwa barang yang
  digenggam raja adalah sebuah ayakan, tanpa mengetahui apa inti atau asal dari
  barang itu sendiri.
Aku adalah seekor burung. Aku adalah seekor bulbul.
  Aku adalah seekor beo. Kalau mereka berkata padaku: “Tunjukkan jenis suara
  yang lain selain suaramu,” niscaya aku tidak akan bisa melakukannya. Jika
  lidahku memang sudah demikian, maka aku tak bisa berbicara dengan suara lain.
  Hal ini berbeda dengan mereka yang bukan burung yang bisa mempelajari suara-
  suara burung, bahkan mereka adalah musuh-musuh burung dan pemburu burung itu.
  Mereka bernyanyi dan bersiul dengan nada lain untuk mengelabui burung agar
  dirinya dianggap sebagai burung. Kalau mereka disuruh untuk mengeluarkan suara
  yang itu bukan milik mereka. Seperti para cendekiawan, mereka bisa membunyikan
  suara yang lain karena mereka telah belajar untuk mencuri suara-suara itu, dan
  untuk memamerkan nada itu di setiap rumah.
  1    Bait ini diambil dari akhir bab ke tujuh dari kitab
  Hadiqat al-Haqiqah (Kebun Hakikat) karya seorang su besar bernama Sanai
  al-Ghaznawi.
2    Sepertinya ini adalah potongan bait
  karya Rumi yang terdapat dalam Al-Diwan al-Kabir.
  
  Pasal 5 Kelahiran Yang Sambung Menyambung
Amir berkata: “Tuan, alangkah mulianya engkau telah meng
  hormatiku dengan cara ini. Aku tidak pernah mengharapkannya. Tidak pernah
  terlintas dalam benakku bahwa diriku layak menerima penghormatan ini.
  Seharusnya aku bernaung siang dan malam dengan kedua tangan terikat dalam
  barisan kelompok pelayan dan muridmu. Aku bahkan tidak layak begitu. Betapa
  mulianya semua ini!”
Maulana Rumi berkata: Ini semua karena kamu punya
  semangat yang tinggi. Ketika kamu memegang jabatan yang tinggi dan agung
  sehingga kamu disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang penting dan mulia,
  maka kamu akan menganggap dirimu mampu menangani semua pekerjaan itu karena
  tingginya semangatmu, dan kamu tidak akan pernah merasa puas dengan prestasi
  yang sudah kamu raih karena kamu merasa ada banyak hal yang masih perlu
  dilakukan. Walaupun hatiku ingin selalu membantumu, aku juga ingin memberikan
  sebuah penghargaan dalam sebuah bentuk pada kalian.
Hal ini karena
  aksiden (tampakan/bentuk luar) juga memiliki urgensi yang besar, dan mungkin
  urgensi bentuk itu disebabkan karena aksiden membarengi isi. Seperti halnya
  sesuatu tidak akan tampak tanpa adanya inti, demikian juga sesuatu itu tidak
  akan tampak tanpa adanya kulit. Jika kamu menanam sebuah bibit dalam tanah
  tanpa kulitnya, ia tidak akan tumbuh. Tapi jika kamu menanam beserta kulitnya,
  maka ia akan tumbuh menjadi pohon yang besar. Dari poin ini, tubuh juga
  merupakan pondasi yang penting dan memiliki peran yang besar. Sebab tanpa
  tubuh, sebuah pekerjaan akan gagal dan tujuannya tidak akan tercapai.
Bagaimanapun,
  sungguh, pondasi itu sangat berarti bagi orang memahami artinya. Ucapan “Dua
  rakaat salat itu lebih baik dari dunia seisinya” tidak selalu cocok untuk
  semua orang. Perkataan itu hanya cocok untuk orang yang merasa bahwa jika ia
  kehilangan dua rakaat salat, berarti ia kehilangan sesuatu yang lebih berharga
  dari dunia seisinya. Kehilangan dua rakaat salat lebih sulit baginya dari pada
  kehilangan kerajaan dunia yang dua rakaat salat berada di dalamnya.
Seorang
  darwis menghadap salah seorang raja. Sang raja berkata kepadanya, “Wahai, sang
  zahid (orang yang zuhud)!”
“Tidak, kamu memandang sesuatu secara terbalik
  dari yang sesungguhnya.” Jawab darwis. “Dunia ini, akhirat, dan semua isi
  kerajaanmu adalah milikku. Akulah yang memegang otoritas alam semesta ini
  sepenuhnya. Sementara kau hanya puas dengan sesuap makanan dan sepotong
  baju.”
“Maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.”
  (QS. al-Baqarah: 115)
Wajah Allah itu akan mengalir dan membentang
  selamanya tanpa batas. Para pencinta sejati telah mengorbankan diri mereka
  demi wajah itu tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sementara umat manusia yang
  lainnya berakhlak seperti binatang.
Maulana Rumi berujar: “Sekali pun
  mereka berakhlak seperti binatang, mereka tetap berhak untuk diberi 
  pertolongan.  Bisa saja mereka berada di dalam kandang, tetap mereka
  diterima oleh Sang Pemilik kandang itu. Jika Sang Pemilik menghendaki, Ia bisa
  memindahkannya ke sebuah ruang khusus. Sama halnya dengan manusia yang pada
  awalnya tidak ada, kemudian Allah menjadikannya ada. Lalu Allah memindahkannya
  dari ruang khusus itu ke ruang dunia ini. Kemudian dari ruang dunia ini ke
  ruang tetumbuhan. Kemudian dari ruang tetumbuhan ke ruang hewani. Dari hewan
  ke dalam manusia, manusia ke dalam malaikat, dan begitu seterusnya tanpa
  akhir. Demikianlah Allah menjelaskan semua hal ini untuk menyatakan bahwa Dia
  mempunyai banyak kandang (ruang), di mana setiap ruangnya lebih utama dari
  ruang yang selanjutnya.
  “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). Mengapa
  mereka tidak mau beriman?” (QS. al-Insyiqaq: 19-20)
Allah
  menampakkan dunia ini agar kamu yakin bahwa akan datang tingkatan-tingkatan
  setelahnya. Allah tidak mengungkapkannya sehingga kamu bisa mengingkarinya
  dengan berkata: “Ini sudah semuanya.”
Seorang guru menunjukkan kecakapan
  dan keahliannya sehingga para murid menjadi yakin pada mereka dan akan
  mengakui keahlian-keahlian lain yang belum ditunjukkan oleh sang guru. Analogi
  ini serupa dengan seorang raja yang hendak memutus atau menyambung sebuah
  hubungan. Sang raja memenuhi permintaan rakyatnya agar mereka bisa
  mengharapkan hal-hal yang lain nantinya, mereka menenun kain untuk dijadikan
  karung karena mendambakan hadiah-hadiah emas. Raja tidak melimpahkan
  hadiah-hadiah itu agar mereka berkata: “Ini sudah semuanya. Raja tak akan
  memberikan hadiah-hadiahnya yang lain,” sehingga mereka hanya puas dengan
  pemberian yang ada. Jika raja mengetahui rakyatnya akan berkata demikian dan
  percaya akan hal itu, maka raja tidak akan memberikan hadiah-hadiahnya lagi
  pada mereka.
Seorang zahid sejati adalah mereka yang mencari akhirat,
  sedangkan orang yang cinta pada dunia hanya mencari kandang. Sementara
  orang-orang pilihan Tuhan dan para arif tidak melihat akhirat dan juga
  kandang. Pandangan mereka tertuju pada sesuatu yang terjadi di awal, mereka
  mengetahui permulaan setiap sesuatu. Seperti seorang ahli yang menanam gandum,
  ia tahu yang akan tumbuh adalah gandum karena ia melihat hasil akhirnya sejak
  permulaan. Begitu juga seseorang yang menanam jelai (padi-padian), beras,
  serta tanaman-tanaman lainnya. Ketika seseorang melihat permulaan,
  pandangannya tidak tertuju pada akhir. Padahal dia bisa mengetahui akhir pada
  permulaan itu. Jarang sekali orang yang bisa mengerti akan hal ini. Mereka
  yang mencari akhirat adalah para penengah (mutawassitun), sedang mereka yang
  mencari kandang adalah hewan ternak.
Derita akan menimpa setiap manusia,
  apapun pekerjaannya. Sebab ketika seseorang tidak menderita, tidak gila, dan
  tidak merindukan sesuatu, niscaya ia tak akan pernah sampai kepada- Nya.
  Sesuatu tidak akan didapat dengan mudah tanpa adanya derita, entah sesuatu itu
  berupa kesuksesan di dunia maupun di akhirat, kekayaan ataupun kekuasaan,
  maupun ilmu atau bintang gemintang. Seandainya Maryam tak merasakan derita
  saat melahirkan, maka ia tak akan pernah sampai pada pohon yang penuh
  berkah:
 
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia
  (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya
  aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi
  dilupakan.” (QS. Maryam: 23)
  Rasa sakit itulah yang membuat Maryam berangkat menuju pohon yang penuh
  berkah. Pohon yang mulanya begitu kering itu pun berubah menjadi subur dan
  berbuah.
Raga kita bagaikan Maryam dan kita semua memiliki seorang Isa
  dalam diri kita. Kalau kita merasakan sakit, maka Isa kita akan lahir. Namun
  jika rasa sakit tidak kita rasakan, maka Isa akan kembali ke asalnya melalui
  jalan rahasia yang sama yang dilaluinya, membiarkan diri kita hampa tanpa ada
  yang kita dapatkan darinya.
Jiwa ruhaniahmu kelaparan, sementara raga
  luarmu kekenyangan.
Setan makan dengan rakus sampai muntah, sementara
  seorang raja bahkan tak memiliki sepotong roti. Sekarang berobatlah, karena
  Isa-mu sedang berada di bumi.
Ketika Isa telah kembali ke langit, maka
  semua harapan akan sirna.1
 
1 Sajak ini digubah oleh
  Afdhaluddin al-Khaqani.
  
  
  Pasal 6 Seorang Mukmin Adalah Cermin Bagi Mukmin Lainnya
PERKATAAN ini ditujukan untuk orang yang membutuhkan kata-kata
  untuk memahami. Tapi bagi  orang yang sudah bisa memahami tanpa harus
  berbicara, apa gunanya berbicara? Seluruh langit dan bumi adalah kata-kata
  bagi mereka yang mengerti. Mereka adalah anak dari kata-kata: “Jadi, maka
  jadilah.” Demikian juga bagi mereka yang sudah mendengarkan sebuah bisikan,
  apa gunanya mereka berteriak dan menjerit?
Seorang pujangga menggubah
  puisi dengan bahasa Arab di hadapan baginda raja. Raja itu berkebangsaan
  Turki, tapi ia tidak mengerti bahasa Arab (Persia). Pujangga itu menggubah
  kata-kata indah dan luar biasa ke dalam bahasa Arab pada pembukanya dan
  kemudian melanjutkan ke inti puisinya. Ketika sang raja pujangga beranjak dan
  mulai mendeklamasikan puisinya.
Sang raja selalu menganggukkan kepalanya
  di setiap alinea sebagai tanda acungan jempol kepada sang pujangga. Di setiap
  alinea itu, ia tampak terkagum-kagum karena takjubnya, dan sebagai tanda
  tawaduknya ia perhatikan dengan serius lantunan puisi itu. Para anggota dewan
  kerajaan keheranan dan bertanya-tanya: “Raja kita tidak mengetahui satu kata
  pun dalam bahasa Arab, bagaimana dia bisa menganggukkan kepala sesuai dengan
  lantunan puisi di di majelis tadi? Bisa jadi beliau memang sudah mengetahui
  Bahasa Arab selama bertahun-tahun tapi kita tidak mengetahuinya. Jika kita
  pernah mengucapkan kata-kata yang tidak pantas dalam bahasa Arab, celakalah
  kita!”
Sang raja memiliki seorang budak kesayangan. Para anggota dewan
  kerajaan memanggil budak itu dan memberinya seekor kuda, bagal, dan sejumlah
  uang, dan mereka juga berjanji akan memberikan hadiah lainnya. Kemudian mereka
  berkata: “Coba kamu cari tahu apakah baginda raja bisa berbahasa Arab atau
  tidak. Jika memang beliau tidak bisa, bagaimana beliau bisa menganggukkan
  kepala di saat yang tepat? Apakah itu karomah ataukah ilham dari Tuhan?”
Akhirnya,
  tibalah pada suatu hari di mana sang budak mendapatkan kesempatan untuk
  menjalankan tugas dari para anggota dewan. Sang raja sedang keluar untuk
  berburu dan si budak menganggap bahwa rajanya sedang dalam suasana hati yang
  baik karena memperoleh banyak hasil buruan. Maka bertanyalah budak itu tanpa
  berbelit-belit. Sontak sang raja tertawa meledak-ledak. “Demi Allah, aku tidak
  mengerti bahasa Arab,” kata raja. “Adapun mengenai anggukkan kepalaku itu
  karena aku mengerti maksud dari susunan puisi yang dideklamasikan pujangga
  itu, makanya aku menganggukkan kepala sebagai bentuk apresiasi kepadanya.”
Sekarang
  bisa dipahami bahwa akar dari materi adalah tujuan yang diharapkan. Puisi itu
  hanyalah cabang dari tujuan, meskipun tujuannya tidak ada dalam kandungan
  puisi tersebut. Jika yang dilihat adalah tujuannya, maka dualisme akan hilang.
  Karena dualisme hanya terjadi dalam cabang, sementara akarnya tetap satu. Sama
  halnya dengan syekh-syekh su . Meski dalam penampilan luar, keadaan, perilaku,
  dan perkataan mereka berbeda, tapi mereka semua memiliki satu tujuan yang
  sama, yaitu mencari Tuhan.
Contoh lainnya adalah angin. Ketika angin
  berhembus di istana, ia akan mengangkat ujung-ujung karpet, membuat berantakan
  dan gerakan pada karpet-karpet itu, menerbangkan batang dan jerami ke udara,
  mengibaskan permukaan air hingga nampak seperti anting- anting yang serupa
  baju baja, serta membuat pepohonan, dahan- dahan, dan dedaunan menari. Semua
  itu seolah menjadi hal-hal yang berbeda, akan tetapi dari perspektif tujuan,
  akar, dan realitasnya, semua itu adalah satu hal, yaitu hembusan angin.
Salah
  seorang dari mereka berkata: “Aku telah melalaikan tujuan sejati itu.”
Maulana
  Rumi menjawab: “Ketika pikiran ini menghampiri benak manusia kemudian ia
  menegur dirinya sendiri seraya berkata: ‘Ah, apa yang aku lakukan, mengapa aku
  melakukan semua ini?” Maka ini menjadi bukti cinta dan perhatian Allah
  kepadanya.’”
Cinta akan tetap tinggal selama teguran terus
  berlangsung.1
Hal itu karena teguran hanya diberikan pada
  orang-orang yang dikasihi, dan tak pernah ada teguran bagi orang asing.
  Teguran juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Ketika seseorang merasakan
  sakitnya teguran dan mendapatkan sebuah informasi baru darinya, itu pertanda
  bahwa Allah mencintai dan menyayangi mereka. Namun jika seseorang mendapatkan
  teguran tapi tak merasakan pedihnya, maka ini bukanlah pertanda cinta. Sama
  halnya ketika sebuah karpet dipukul-pukul dengan sebatang kayu untuk
  membersihkan debu yang melekat padanya, maka orang yang bijak tidak akan
  menyebutnya sebagai sebuah teguran. Namun jika seseorang memukul anak atau
  kekasihnya, maka itu disebut dengan teguran yang mana teguran itu adalah bukti
  kasih sayangnya. Oleh karena itu, selama kamu masih menemukan rasa sakit dan
  kekecewaan dalam dirimu, maka itu adalah bukti sayang dan cinta Allah padamu.
  Jika kamu melihat aib pada diri saudaramu, maka sejatinya aib yang kamu lihat
  itu adalah aibmu juga. Su sejati itu seperti sebuah cermin di mana di dalamnya
  kamu melihat gambarmu sendiri, karena “Seorang mukmin adalah cermin bagi
  mukmin lainnya.” Jauhkanlah aib itu darimu, karena sesuatu yang menyakitkan
  dalam diri mereka, juga akan menyakitkan dirimu.
Kemudian beliau
  melanjutkan ucapannya: Seekor gajah dibimbing menuju sumber mata air untuk
  minum. Ketika gajah itu melihat bayangan dirinya di permukaan air, ia berlari
  menjauh. Gajah itu mengira bahwa ia berlari karena ada gajah lain yang datang,
  padahal sesungguhnya ia menghindari dirinya sendiri. Ketika sifat- sifat buruk
  seperti kezaliman, kebencian, kecemburuan, ketamakan, keras hati, dan
  kesombongan ada dalam dirimu, kamu tidak merasa sakit karenanya. Tapi ketika
  kamu melihatnya ada pada diri orang lain, maka kau akan menghindar dan merasa
  sakit karenanya. Seseorang tidak akan terganggu ketika ia terkena kudis atau
  bisul. Ia akan mencelupkan tangannya yang terkena penyakit itu ke dalam sup,
  lalu menjilati jemarinya tanpa merasa jijik sama sekali. Namun ketika ia
  melihat bekas bisul atau sedikit luka gores di tangan orang lain, ia
  menghindari makanan itu dan tidak mau mencicipinya.
Sifat-sifat buruk itu
  seperti kudis dan bisul. Pada saat sifat-sifat itu ada pada dirinya, ia tak
  merasa tersakiti. Namun, ketika ia melihat sifat-sifat itu ada pada tubuh
  orang lain, ia justru merasa tersakiti dan menjauhi orang tersebut.
Seandainya
  kamu menjauhi saudaramu, lantas bagaimana jika nanti justru saudaramu yang
  menjauhimu dan merasa jijik pada penyakitmu? Rasa jijik yang kamu tampakkan
  pada saudaramu itu adalah pemberitahuan baginya sebab perasaanmu itu muncul
  karena kau melihat aibnya, dan dengan demikian dia bisa melihat aibnya
  sendiri. Nabi Saw. telah bersabda: “Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin
  lainnya.” Beliau tidak bersabda: “Seorang ka r adalah cermin bagi orang
  Mukmin.” Mengapa orang ka r tak memiliki karakter itu? Sebab ia bukan cerminan
  bagi yang lain, ia hanya melihat dirinya dalam cermin.
Seorang raja yang
  sedang bersedih hati duduk di tepi sungai. Para petinggi menjadi sangat takut
  kepadanya. Belum ada seorangpun yang mengetahui alasan kesedihan rajanya itu.
  Sang raja memiliki seorang penghibur yang sangat disayanginya. Para petinggi
  tersebut membuat kesepakatan dengan si pelawak, “Jika kamu bisa membuat raja
  tertawa, kami akan memberimu sejumlah uang.” Penghibur itu mendekati sang
  raja, namun sekeras apapun penghibur berusaha, sang raja tetap tidak
  memedulikannya, padahal ia hendak mempertontonkan wajah lucunya pada sang raja
  untuk membuatnya tertawa.
Sang raja tetap menatap sungai dalam-dalam dan
  sama sekali tak mengangkat kepalanya.
“Apa yang Anda lihat di air sungai
  itu?” Penghibur itu bertanya kepada raja.
“Aku melihat mucikari,” Jawab
  raja.
“Wahai raja dunia, hambamu ini juga tidak buta.” Kata penghibur.
Begitu
  juga halnya denganmu. Jika kamu melihat sesuatu dalam diri hambamu yang
  menyakitkanmu, sesungguhnya mereka juga tidak buta. Mereka melihat yang kamu
  lihat.
  Di hadapan Allah tidak akan ada dualisme Aku; kamu berkata Aku dan Dia juga
  berkata Aku. Jika kamu mati di hadapan-Nya, maka Dia juga akan mati di
  hadapanmu hingga dualisme Aku itu lenyap. Matinya Allah SWT adalah hal yang
  mustahil, baik di dunia nyata maupun di alam pikiran. Bagaimana mungkin Allah
  Yang Maha Hidup dan Yang Kekal akan mati? Allah memiliki kelembutan dan kasih
  sayang yang jika mungkin Dia mati demi kamu, Dia akan mati, hingga tak ada
  lagi dualisme. Sekarang, karena kematian Allah adalah hal yang mustahil, maka
  dirimulah yang harus mati agar Dia mengungkapkan Keakuan-Nya kepadamu, dan
  hilanglah dualisme Aku. Ketika kamu mengikat dua ekor burung secara bersamaan,
  meski keduanya sejenis, dan kamu mengubah kedua sayapnya menjadi empat, mereka
  tetap tidak akan bisa terbang, karena ada dualisme makhluk di situ. Tapi jika
  kamu mengikat seekor burung yang telah mati dengan seekor burung yang masih
  hidup, maka burung yang hidup itu akan bisa terbang, karena dualisme telah
  hilang.
Matahari juga memiliki kelembutan yang bisa mendorongnya untuk
  mati di hadapan seekor kelelawar. Karena hal itu tidak mungkin, matahari
  berkata: “Wahai kelelawar, kelembutanku bisa dirasakan oleh segala sesuatu,
  aku juga ingin berbuat baik padamu. Maka matilah kamu, karena kematianmu
  bukanlah hal yang mustahil, sehingga keberuntungan cahaya kemuliaanku akan
  memelukmu dan kamu bisa keluar dari ke-kelelawar-anmu, untuk kemudian menjadi
  burung phoenix yang dekat denganku.
Seorang hamba bisa membuat dirinya
  fana untuk kekasihnya. Ia memohon kekasih itu pada Allah SWT, tapi Allah tidak
  mengabulkan permintaannya. Datanglah sebuah seruan: “Aku tak ingin kamu
  melihatnya!” Si hamba itu tetap bersikeras terhadap permintaannya, ia tak
  berhenti bertawasul dan berdoa: “Wahai Tuhan, aku sudah tenggelam dalam lautan
  cintanya dan ia tak mungkin terpisah dariku.” Akhirnya datang seruan lagi:
  “Apa kamu menginginkan kejelasan? Maka korbankan dirimu dan jadilah fana.
  Jangan tetap di sini, tinggalkan dunia ini!” Hamba itu menjawab: “Ya Tuhan,
  aku rela dan itulah yang akan terjadi.” Hamba itu rela mengorbankan dirinya
  demi orang yang dicintainya hingga ia berhasil meraih apa yang diinginkannya.
  Ketika seorang hamba memiliki kelembutan yang bahkan mau mengorbankan umur
  kehidupannya, satu hari baginya akan sepadan dengan umur alam ini dari awal
  sampai akhir. Bukankah Allah juga memiliki kelembutan seperti yang dimiliki
  hamba itu? Hal yang demikian tentu tidak mustahil. Fana-nya Allah- lah yang
  mustahil. Maka tidak ada jalan lain selain kamu sendiri yang harus membuat
  dirimu fana.
Seorang datang dengan membawa beban berat dan duduk di atas
  salah satu wali besar. Maulana Rumi berkata: “Apa perbedaan antara mereka yang
  berada di atas lampu dengan mereka yang berada di bawahnya? Jika lampu berada
  di atas, ia tidak berharap untuk dirinya sendiri. Tujuannya adalah untuk
  memberikan manfaat pada orang lain sehingga mereka bisa merasakan sinarnya
  yang terang. Ke arah mana saja lampu mengarah, lampu tetaplah lampu, ia
  tetaplah Matahari Abadi. Jika para wali menginginkan kemuliaan dan pangkat
  duniawi, hal ini karena mereka memiliki satu tujuan: mereka berhasrat untuk
  memburu para ahli duniawi, yang berteman dengan dunia, yang tidak memiliki
  pandangan tentang kedudukan hakiki seperti yang dilihat para wali, untuk
  kemudian mencoba membuat mereka menemukan jalan menuju kedudukan hakiki itu
  dan menjadi teman akhirat. Demikian juga, Nabi Muhammad Saw. tidak menaklukkan
  Mekkah dan kota-kota di sekelilingnya lantaran beliau membutuhkannya. Beliau
  menaklukkan kota-kota itu untuk memberikan kehidupan pada semua manusia dan
  memuliakan mereka dengan cahaya. “Ini adalah tangan yang terbiasa untuk
  memberi, ia tidak terbiasa untuk meminta.” Para wali tersebar bersama
  orang-orang lainnya untuk memberikan sesuatu kepada mereka, bukan untuk
  mengambil sesuatu dari mereka.
Ketikaseseorangmembuatsebuahperangkapdanmengharapkan
  burung-burung kecil akan terjerat dalam perangkapnya untuk kemudian dimakan
  atau dijual, maka itu disebut tipuan. Tetapi jika seorang raja membuat
  perangkap untuk menangkap burung elang yang tak terlatih, tak memiliki sopan
  santun, dan tak tahu berharganya dirinya untuk kemudian dilatih dengan tangan
  sang raja sendiri hingga menjadi burung yang dihormati, terlatih, dan memiliki
  sopan santun, maka ini bukanlah sebuah tipuan. Meskipun kelihatannya seperti
  tipuan, hal demikian dapat dikatakan hakikat kebenaran, pemberian, hadiah,
  menghidupkan makhluk yang mati, mengubah batu menjadi akik, mengubah air mani
  yang mati menjadi manusia, dan bahkan lebih dari semua itu. Seandainya elang
  itu mengetahui alasan sang raja memburunya, justru ia akan mendatangi sendiri
  perangkap tadi dengan jiwa dan hatinya dan akan terbang ke tangan sang raja.
  Orang-orang hanya melihat pada aspek lahiriah dari perkataan para wali dan
  berkata: “Kita telah banyak mendengar tentang ini. Hati kita telah penuh
  dengan kata-kata semacam itu.”
“Dan mereka berkata: “Hati kami
  tertutup,” tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran
  mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 88)
Orang-orang 
  ka r  berkata:  “Sesungguhnya  hati  kita  telah
  tertutup dan sudah terisi penuh dengan perkataan semacam itu. Allah SWT ber
  rman: “Tak mungkin hati mereka terisi oleh perkataan- perkataan ini. Hati
  mereka penuh terisi oleh kegelisahan dan praduga- praduga yang salah, berisi
  syirik dan keraguan, serta terisi oleh laknat.”
Semoga mereka segera
  terlepas dari kungkungan halusinasi- halusinasi itu sehingga mereka bisa
  menerima perkataan ini. Namun karena mereka tak kunjung menerima, Allah
  menutup telinga, mata, dan hati mereka. Mata mereka melihat sesuatu yang bukan
  sebenarnya, sehingga mereka melihat Yusuf sebagai seekor serigala. Telinga
  mereka mendengar sesuatu yang bukan sebenarnya, sehingga mereka menganggap
  hikmah sebagai canda tawa dan halusinasi. Hati mereka berubah menjadi
  kaleng-kaleng kegelisahan dan prasangka.
Sungguh mereka telah diracuni
  oleh berbagai bentuk kezaliman dan prasangka yang bercabang-cabang saat musim
  dingin, dan membeku saat musim salju tiba.
 
“Allah telah
  mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan
  bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah: 7)
Bagaimana
  mungkin mereka  bisa memenuhi hati  mereka dengan perkataan sejati
  ini? Bahkan baunya saja mereka tidak bisa menciumnya. Mereka tak akan pernah
  sempat mendengar sepanjang hidupnya. Bukan hanya mereka yang akan mengalami
  hal demikian, tapi siapa saja yang selalu berbangga-bangga dengan dirinya
  sendiri serta leluhur mereka yang tak tertolong. Perkataan itu adalah bejana
  yang diperlihatkan oleh Allah kepada sebagian dari mereka dalam keadaan terisi
  penuh dengan air, sehingga mereka bisa meneguk dan melepas dahaga. Allah juga
  memperlihatkan bejana itu pada sebagian yang lain tapi dalam keadaan kosong.
  Ketika yang terjadi adalah yang kedua, rasa syukur apa yang bisa diberikan
  seseorang demi sebuah bejana kosong? Hanya mereka yang mendapatkan bejana
  berisi air yang akan menemukan rasa syukur atas berkah itu. Ketika Allah SWT
  menciptakan Nabi Adam as. dari tanah dan air—selama empat puluh hari—Dia
  menyempurnakan bentuknya, kemudian menetap beberapa saat di atas bumi. Iblis
  kemudian turun dan masuk ke dalam hati Adam, mengitari seluruh aliran
  darahnya, menelitinya, dan kemudian menyimpulkan bahwa pembuluh dan urat
  syaraf manusia berisi darah dan campuran-campuran lainnya. Kemudian berkata:
  “Oh, tidak ada tanda-tanda bahwa iblis yang kulihat di sisi singgasana ‘Arsy
  akan muncul. Jika iblis muncul dalam pembuluh dan urat manusia, maka inilah
  jadinya.”
  1 Teks ini adalah potongan bait (yang oleh sebagian ulama dinisbatkan kepada)
  Abu Tamam. Teks lainnya berbunyi:
Jika teguran pergi, begitu pula dengan
  cinta — Dan tinggallah cinta, jika teguran tetap ada.
  
   
  
Pasal 7 Sekalipun Tabir Tersingkap, Keyakinanku Tidak Akan
      Bertambah
    
  ANAK laki-laki Amir memasuki ruangan. Maulana Rumi berkata: Ayahmu selalu
  sibuk dengan Tuhan. Keimanan begitu meliputinya, dan mewujud dalam
  ucapan-ucapannya. Suatu hari ayahmu berkata: “Orang-orang ka r Romawi
  mendesakku untuk menikahkan saudariku dengan orang Tartar agar agama kami
  menjadi satu dan hilanglah agama baru ini, yaitu Islam.” Lalu aku menjawab:
  “Kapan agama pernah menjadi satu?”
Agama tidak akan pernah menjadi satu.
  Selalu saja ada dua atau tiga agama, dan selalu ada perang serta saling bunuh
  di antara mereka. Bagaiamana bisa kamu menginginkan hanya ada satu agama?
  Agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat kelak, pada hari
  kiamat. Di dunia ini, ketunggalan agama adalah hal yang mustahil. Karena di
  dunia ini setiap orang memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda antara satu
  dengan yang lain. Ketunggalan agama di dunia itu mustahil. Ini hanya akan
  terjadi di hari kebangkitan, hari ketika umat manusia menjadi satu dan
  semuanya melihat ke satu tempat, dan mereka hanya memiliki satu telinga dan
  satu lisan.
Dalam diri manusia terdapat banyak hal. Ada tikus dalam diri
  kita, dan juga ada burung. Burung mengangkat sangkarnya ke atas, sementara
  tikus menurunkannya kembali ke tanah. Seratus ribu binatang buas berkumpul
  dalam tubuh manusia, kecuali jika tikus menanggalkan ketikusannya dan burung
  juga menanggalkan keburungannya, dan semuanya menjadi satu. Karena tujuan
  sebenarnya bukanlah ke atas atau ke bawah. Ketika tujuan sudah muncul dengan
  gamblang, maka tidak ada lagi atas atau bawah.
Ketika ada seorang yang
  kehilangan sesuatu, ia menengok ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke
  belakang. Ketika ia sudah menemukan barang tersebut, ia  tak 
  lagi  mencari  ke  atas  dan ke bawah, tidak pula ke kanan
  dan ke kiri, juga ke depan dan ke belakang. Seketika orang itu menjadi tenang
  dan tenteram. Demikian juga di hari kiamat nanti, semua manusia akan menjadi
  satu, melihat dengan satu pandangan, berbicara dengan satu mulut, mendengar
  dengan satu telinga, dan satu pemahaman. Pada saat sepuluh orang berkumpul di
  sebuah taman atau toko yang sama, pembicaraan mereka adalah satu, kepentingan
  mereka satu, dan kesibukan mereka satu, karena tujuan mereka adalah satu.
  Begitu pula di hari kiamat kelak, karena kepentingan semua manusia sama, yaitu
  berkepentingan dengan Allah SWT, mereka akan menjadi satu.
Di dunia
  ini setiap manusia memiliki kesibukan masing- masing. Ada yang sibuk mencintai
  perempuan, ada yang sibuk mengurusi harta, ada yang sibuk mencari nafkah, dan
  ada juga yang sibuk menuntut ilmu. Mereka semua yakin bahwa obat, kebahagiaan,
  kesenangan, dan kenyamanan mereka ada pada sesuatu yang sedang mereka sibukkan
  itu.
Itulah kasih sayang Allah SWT. Ketika pergi mencarinya, mereka tidak
  menemukannya sehingga mereka kembali. Beberapa saat kemudian mereka berkata:
  “Kebahagiaan dan kasih sayang itu harus dicari. Mungkin aku belum mencarinya
  dengan sungguh- sungguh. Aku akan mencarinya lagi.” Ketika mereka belum juga
  menemukan keinginan mereka di pencarian kedua, mereka tetap terus mencarinya.
  Hingga tiba akhirnya kasih sayang itu muncul dan menyingkap selubungnya. Dari
  situ, barulah mereka menyadari bahwa jalan yang telah mereka tempuh selama ini
  bukanlah jalan yang tepat.
Allah SWT memiliki beberapa hamba yang seperti
  di atas sebelum tibanya hari kiamat. Mereka memandang yang hakikat adalah
  akhirat. Ali r.a. berkata: “Sekali pun tabir tersingkap, keyakinanku tidak
  akan bertambah.” Artinya, “Bahkan ketika ragaku lenyap dan hari kiamat tiba,
  keyakinanku tidak akan bertambah.” Ini seperti sekelompok manusia, pada malam
  yang gelap di dalam rumah, memalingkan wajah mereka ke semua arah di
  pertengahan salatnya. Pada pagi harinya, mereka semua mengubah arah mereka
  yang semalam. Kalau arah wajah yang mereka hadapkan semalam adalah kiblat,
  kenapa mereka mengubahnya? Para hamba Allah itu mereka pada selain-Nya. Bagi
  mereka, kiamat itu sangat jelas dan pasti akan datang.
Tidak ada akhir
  untuk kata-kata, tapi kata-kata itu diberikan sesuai dengan kapasitas orang
  yang memintanya.
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah
  gudang- gudangnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang
  tertentu.” (QS. al-Hijr: 21)
Hikmah itu seperti hujan. Di tempat
  penyimpanannya ia tak pernah habis, tapi ia turun sesuai dengan kebutuhan; di
  musim dingin dan musim semi, di musim kemarau dan musim gugur, selalu dalam
  kadar yang sesuai dengan kebutuhan di musim itu, kadang bertambah dan kadang
  berkurang jumlahnya. Tapi yang jelas, hujan tidak memiliki batasan tempat di
  mana ia akan turun. Seorang apoteker menaruh gula atau obat-obatan di atas
  secarik kertas, tetapi gula tidak dibatasi jumlahnya hanya di atas kertas itu.
  Jika persediaan gula tak berbatas dan tidak ada habisnya, bagaimana mungkin
  secarik kertas bisa menampung semua persediaan gula itu?
Beberapa orang
  dari mereka berkata dengan nada mengejek: “Kenapa al-Qur’an turun kepada Nabi
  Muhammad Saw. ayat demi ayat? Kenapa tidak turun surat demi surat? Nabi
  Muhammad Saw. menjawab: “Apa yang orang-orang bodoh itu katakan? Jika
  al-Qur’an turun kepadaku sekaligus, aku akan hancur dan lenyap dari
  kehidupan.”
Karena mereka yang benar-benar merenungkan isinya meski
  sedikit, berarti ia memahami banyak; dari satu hal, ia mengerti berbagai hal;
  dari satu baris, ia memahami berbuku- buku. Bandingkan dengan sekelompok orang
  yang sedang duduk mendengarkan sebuah cerita. Salah satu dari mereka sudah
  mengetahui semua ihwal dan situasi dalam cerita, padahal cerita itu baru
  dikisahkan setengahnya. Hanya dengan satu isyarat, ia sudah bisa memahami
  semua yang diceritakan. Orang itu tampak pucat pasi, perasaannya berkecamuk
  dan berubah dari suatu kondisi ke kondisi lainnya. Sementara yang lainnya
  hanya memahami sesuai dengan kadar yang mereka dengar, karena mereka tidak
  tahu kejadiannya secara utuh. Tetapi bagi orang yang sudah mengetahuinya, maka
  ia benar-benar memahami seluruh isi cerita tersebut meski hanya sedikit
  kalimat yang ia dengar.
Kembali lagi: Jika kamu mendatangi seorang
  apoteker, niscaya kamu akan menemukan banyak obat di sana. Akan tetapi
  apoteker itu akan melihat seberapa banyak uang yang akan kamu berikan padanya,
  dan sang apoteker akan memberikan obat sesuai dengan kadar uangmu itu. ‘Uang’
  yang dimaksud di sini adalah semangat dan keyakinan. Kata-kata diberikan
  sesuai dengan semangat dan keyakinan seseorang. Ketika kamu datang untuk
  mencari obat, apoteker akan melihat tempat yang kamu bawa untuk mengetahui
  kapasitasnya, kemudian menakar dengan kadar itu, satu takar atau dua takar.
  Jika ada seseorang yang menggiring segerombolan unta yang membawa wadah dalam
  jumlah yang banyak, maka apoteker itu akan memanggil banyak penakar.
Di
  satu sisi, ada orang yang tidak puas pada lautan; sementara yang lain merasa
  puas hanya dengan beberapa tetes air saja karena lebih dari beberapa tetes itu
  justru akan berbahaya baginya. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia rasa,
  ilmu, dan hikmah, tapi terjadi di semua hal. Baik kekayaan, emas, atau logam,
  semuanya tak terbatas dan tak berpuncak. Tapi semua itu diberikan sesuai
  dengan kadar kemampuan seseorang, sebab seseorang tidak akan mampu memikul
  sesuatu melebihi kemampuannya, atau dia akan menjadi gila karenanya. Tidakkah
  kamu lihat bagaimana Majnun, Farhad, dan para pecinta lainnya mengembara tanpa
  arah, mendaki gunung dan menyeberangi gurun pasir demi cinta mereka pada
  seorang perempuan lantaran mereka menanggung kerinduan dan syahwat yang
  melebihi kadar yang mampu mereka pikul? Tidakkah kamu lihat bagaimana Fir’aun
  yang ketika kekuasaan dan harta yang dilimpahkan padanya melebihi
  kemampuannya, ia kemudian menyatakan dirinya sebagai Tuhan?
“Tidak ada
  sesuatu, yang baik atau buruk, kecuali Kami memiliki ruang penyimpanannya yang
  tak memiliki batas, akan tetapi sesuatu itu Kami berikan sesuai dengan
  kebutuhan.”
Ya, memang benar bahwa orang-orang ini memiliki
  keyakinan, tapi sayangnya mereka tidak tahu apa yang mereka yakini. Bagaikan
  seorang anak kecil yang memiliki keyakinan bahwa ia akan mendapatkan roti,
  tapi ia tak tahu dari mana asalnya roti itu. Hal ini juga terjadi pada semua
  yang bertumbuh. Sebatang pohon menguning dan mengering karena kehausan, tapi
  mereka tidak tahu apa itu haus.
Eksistensi manusia seperti bendera.
  Awalnya ia kibarkan bendera itu ke udara untuk menyatakan dirinya, kemudian
  para tentara disebarkan di bawah bendera itu dari segala arah yang hanya
  diketahui oleh Allah sendiri, untuk mendukung dan mempertahankannya. Kemudian
  ia mengemukakan pemikiran, pemahaman, kebanggaan, kebencian, impian,
  kemuliaan, dan harapan, secara terus menerus dan tanpa batas. Siapapun yang
  melihatnya dari kejauhan hanya akan melihat bendara itu, tapi siapa yang
  melihatnya dari dekat akan melihat esensi dan hakikat-hakikat yang bersemayam
  dalam diri manusia.
Seseorang masuk dan Rumi berkata: “Ke mana saja kamu?
  Kami sangat merindukanmu. Mengapa kau pergi jauh dari kita?
Orang itu
  menjawab: “Ini karena takdir.”
Rumi berkata lagi: “Kami juga telah
  memohon kepada Allah agar mengganti takdir-takdir seperti ini dan
  menghilangkannya.”
Takdir yang menyebabkan perpisahan adalah takdir yang
  tak tepat. Ya, demi Allah, takdir seperti itu juga berasal dari Allah, dan
  dalam pandangan Allah juga baik. Memang benar bahwa segala sesuatu yang
  dilihat dari sisi Allah akan menjadi baik dan sempurna. Tapi tidak demikian
  jika dilihat dari sisi kita. Perzinahan dan kesucian, meninggalkan dan
  mengerjakan salat, kufur dan Islam, syirik dan tauhid, semua itu baik jika
  melihatnya sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Akan tetapi jika semua itu
  dihubungkan pada kita, sungguh zina, mencuri, kufur, dan syirik adalah sebuah
  keburukan. Sementara tauhid, salat, dan kebaikan-kebaikan lainnya adalah
  baik.
Meskipun di sisi Allah semuanya adalah baik. Seperti halnya
  seorang raja yang memiliki penjara, tali gantungan, jubah kehormatan, uang,
  harta benda, kerendahan hati, perjamuan makanan, genderang, dan
  bendera-bendera. Di lihat dari sisi sang raja, tentu semua itu sempurna. Tapi
  jika dilihat dari sisi rakyat, bagaimana bisa jubah kehormatan dan penjara
  adalah sesuatu yang sama?
  
  
  Pasal 8 Sungguh Telah Datang Kepadamu Seorang Rasul Dari Kaummu Sendiri
    
SESEORANG bertanya:  “Apa yang  lebih utama  daripada
  salat?” Salah satu jawaban yang sudah aku ungkapkan sebelumnya adalah bahwa
  roh-nya salat itu lebih baik daripada salat itu sendiri, seperti yang akan aku
  jelaskan sekarang. Jawaban yang kedua adalah bahwa iman lebih utama daripada
  salat, karena salat diwajibkan dalam lima waktu, sementara iman itu
  berkelanjutan. Salat bisa ditinggalkan karena uzur tertentu dan bisa
  ditangguhkan sebagai bentuk keringanan. Sebaliknya, iman tidak bisa
  ditinggalkan karena uzur apapun dan juga tak dapat ditangguhkan sebagai bentuk
  keringanan. Iman juga tetap bermanfaat meski tanpa adanya salat, sementara
  salat tak akan bermanfaat tanpa adanya iman, seperti salatnya orang-orang muna
  k. Jawaban lainnya, salat ada di setiap agama walaupun bentuknya berbeda-beda,
  tetapi iman tidak berubah antara satu agama dengan agama lainnya.
  Tindak-tanduknya, arah- arahnya, dan hal-hal lain dalam iman tak dapat
  tergantikan.
Ada beberapa perbedaan lain dari keimanan, tapi penemuannya
  bergantung pada kesadaran ruhaniah pendengarnya. Seorang pendengar itu
  bagaikan tepung di tangan seorang pembuat adonan, dan perkataan laksana air
  yang dituangkan di atas tepung itu sesuai dengan kebutuhan.
Mataku
  melihat pada orang lain, lalu apa yang harus aku lakukan? Lihatlah dirimu,
  karena cahaya matamu itu sesungguhnya adalah dirimu sendiri.
“Mataku
  melihat pada orang yang lain,” artinya kamu sedang mencari pendengar yang
  lain, selain dirimu. “Lalu apa yang harus kulakukan - cahaya matamu itu
  sesungguhnya adalah dirimu sendiri?”: ketahuilah bahwa kamu hanya mencari
  dirimu sendiri, kamu tidak akan bisa menghindari kilauan yang membutakan dari
  cahaya-cahaya luar sampai cahaya batinmu menjadi seratus ribu kali lebih
  besar.
Ada seorang lelaki yang sangat kurus, lemah, dan begitu
  menyedihkan seperti burung pipit. Dia begitu menyedihkan hingga orang-orang
  menyedihkan yang lainnya pun melihatnya dengan pandangan jijik dan bersyukur
  pada Allah karena sebelum melihat lelaki tersebut mereka terbiasa meratapi
  tubuhnya sendiri yang juga menyedihkan. Namun demikian, ia sangat kasar ketika
  berkata dan kerap mengatakan hal yang bukan-bukan. Suatu ketika, ia sedang
  berada di istana raja, tingkah lakunya sungguh mengganggu menteri;
perkataannya
  menjatuhkan derajat sang menteri. Datanglah suatu hari di mana menteri itu
  murka kepadanya, ia berteriak: “Wahai penghuni istana, kupungut makhluk ini
  dari tanah dan kurawat dia. Dengan memakan rotiku dan duduk di meja makanku,
  dengan segala kebaikanku, pemberianku, dan demi leluhurku, sekarang ia menjadi
  manusia. Sekarang berani sekali dia mengucapkan hal-hal itu kepadaku.”
Lelaki
  yang menyedihkan tadi berdiri dan kemudian berteriak: “Wahai penguni istana,
  kaum bangsawan, dan para pilar negeri, semua yang dia katakan sangat benar.
  Aku dididik dengan kekayaannya, aku makan roti darinya dan leluhurnya, hingga
  aku benar-benar mati dan terbalut oleh wujud yang menyedihkan, memalukan, dan
  hina seperti ini. Jika saja aku dididik oleh orang lain, memakan roti orang
  lain, dan menerima pemberian dari orang lain itu, niscaya penampilanku,
  sikapku, dan nilaiku akan lebih baik dari ini. Ia memungutku dari tanah,
  tetapi apa yang bisa aku katakan adalah: “Alangkah baiknya sekiranya dahulu
  aku adalah tanah (QS. an-Naba: 40).” Seandainya ada orang lain yang memungutku
  dari tanah itu, maka aku tak akan menjadi bahan tertawaan seperti yang kalian
  lihat sekarang.”
Seorang murid yang dididik oleh seorang kekasih Tuhan
  akan memiliki jiwa yang bersih dan suci. Tetapi seorang yang dididik oleh
  penipu dan orang muna k, dan belajar ilmu dari mereka, maka ia akan menjadi
  seperti gurunya itu; memalukan, lemah, hina, menyedihkan, dan tak ada jalan
  keluar baginya. Pikirannya tak bisa fokus dalam segala hal, dan inderanya juga
  sangat lemah.
“Dan orang-orang yang ka r, pelindung-pelindungnya
  adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (keka
  ran).” (QS. al-Baqarah: 257)
Di dalam wujud manusia, semua jenis
  ilmu menyatu dalam bentuk asalnya sehingga manusia bisa menampakkan segala hal
  yang tersembunyi. Seperti air jernih yang mampu memperlihatkan semua yang ada
  di bawahnya seperti batu, tanah, dan lain sebagainya. Ia juga mampu
  memantulkan benda-benda yang ada di atas permukaannya seperti sebuah cermin.
  Itulah hakikat sejati jiwa, tanpa pengembaraan atau latihan. Akan tetapi jika
  air jernih itu tercampur dengan debu atau warna-warna lainnya, maka
  karakteristik sejati dan ilmu itu akan hilang dari air dan akan dilupakan.
  Oleh karena itu, Allah SWT kemudian mengutus para nabi dan wali bagaikan air
  jernih untuk menjernihkan air hina dan kotor yang telah terkontaminasi dengan
  debu dan warna-warna baru. Saat itulah manusia akan ingat bahwa seandainya ia
  melihat dirinya dalam keadaan jernih, ia akan yakin bahwa pada mulanya manusia
  itu tercipta dalam keadaan suci. Ia juga akan mengerti bahwa sebenarnya
  kotoran dan warna-warna lain yang ada pada diri manusia adalah sesuatu yang
  datang kemudian.
Dengan demikian, manusia bisa kembali mengingat
  keadaannya sebelum sifat-sifat baru ini datang dan berkata:
“Inilah
  yang pernah diberikan kepada kami dahulu.”
(QS. al-Baqarah: 25)
Hal
  ini menunjukkan pada kita bahwa kehadiran para nabi dan wali adalah untuk
  mengingatkan tentang kondisi kita terdahulu; mereka tidak menanamkan hal yang
  baru dalam diri manusia. Sekarang, semua air yang kotor mengetahui air jernih
  itu, sembari berkata: “Aku berasal darinya, aku termasuk jenisnya, dan telah
  bercampur dengannya.”
Adapun air keruh yang tak mengenali air jernih itu
  dan menganggapnya sebagai air lain yang tidak sejenis dengannya, ia akan lebih
  memilih bersemayam bersama warna-warna dan kotoran agar tidak bercampur dengan
  lautan. Oleh karena itu, Nabi Saw. bersabda: “Yang saling mengenali akan
  saling mendekat, dan yang tidak saling kenal akan saling menjauh.”1 Allah SWT
  juga ber rman:
 
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul
  dari kaummu sendiri.”
(QS. al-Taubah: 128)
Ini berarti bahwa
  air yang agung itu memiliki substansi yang sama dengan air keruh dan keduanya
  berasal dari satu sumber, tapi air yang pertama merupakan permata di
  tengah-tengah air yang kedua. Air keruh yang tidak menganggap dirinya sebagai
  bagian dari air agung itu, maka kemungkaran dan ketidaktahuannya itu bukan
  disebabkan oleh dirinya sendiri melainkan karena polusi dari teman yang
  berbuat jahat kepada air tersebut. Gambaran teman ini adalah re eksi dari air
  itu sendiri, sementara sang air tak tahu bahwa dirinya telah keluar dari
  kumpulan air agung. Apakah lautan berasal dari dirinya sendiri ataukah dari
  bentuk teman jahatnya ini? Hal itu disebabkan karena banyaknya percampuran.
  Misalnya ada seseorang yang memakan tanah, ia tidak tahu apakah yang dia
  lakukan itu memang merupakan sifat alaminya atau karena sesuatu yang bercampur
  dengan sifat alaminya itu.
Ketahuilah bahwa tiap bait puisi, tiap hadis,
  dan tiap ayat yang dikutip, itu seperti dua orang saksi yang memberikan
  kesaksian, dan di setiap tempat terdapat saksi yang sesuai dengan sifat tempat
  itu. Dengan cara yang sama, kita juga memiliki dua orang saksi atas harta
  warisan sebuah rumah, dua orang saksi atas transaksi jual beli sebuah toko,
  dan dua orang saksi dalam prosesi pernikahan; semua kejadian yang mereka
  hadiri akan memberikan kesaksian yang sesuai dengan kejadian itu. Bentuk
  ruhaniah kesaksian mereka itu selalu satu, tapi maknanya berbeda-beda. Semoga
  Allah memberikan kemanfaatan kepada kita.
“Warnanya warna darah, dan
  aromanya aroma minyak misk.”2
  1    Ini adalah bagian dari hadis yang redaksi lengkapnya
  berbunyi: “Roh-roh adalah tentara yang berkelompok-kelompok. Yang saling
  mengenali akan saling mendekat, dan yang tidak saling kenal akan saling
  menjauh.” (HR. Bukhari) 
   2    Potongan hadis Nabi tentang keutamaan jihad yang
  redaksi lengkapnya ber- bunyi: “Tidak ada seorang pun yang terluka di jalan
  Allah, melainkan dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya
  mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan aromanya aroma minyak misk.”
  (H.R. Bukhari-Muslim)
  
 
  Pasal 9: Tujuan Satu-Satunya
SESEORANG berkata: “Seorang lelaki ingin menemuimu.
Dia
  terus saja berkata, ‘Aku berharap bisa melihat Sang Guru.’”
Maulana
  Rumi menjawab: “Dia tidak akan melihat Guru saat ini karena dalam kebenaran
  hasrat yang memenuhinya, yaitu untuk melihat Guru, ada selubung yang
  menyembunyikan Guru dari pandangannya. Demikian juga Guru tidak akan
  melihatnya selama selubung itu masih ada. Dengan demikian, maka semua bentuk
  keinginan, kecenderungan, cinta, dan kasih sayang yang tersembunyi di hati
  manusia terhadap segala sesuatu—terhadap ibu, ayah, kekasih, langit, bumi,
  taman, istana, ilmu, perbuatan, makanan, dan minuman—juga merupakan bagian
  dari hasrat (kecintaan dan kerinduan) kepada Allah.
 
Semua
  hasrat di atas sebenarnya adalah selubung yang menutupi mata manusia. Ketika
  manusia telah menjalani kehidupan di dunia ini dan melihat Raja-nya tanpa ada
  selubung, mereka akan menyadari bahwa semua hasrat itu tak lain merupakan
  selubung dan tabir, dan bahwa pengembaraan sejati mereka dalam realitas
  tertuju pada satu hal. Semua masalah akan terpecahkan, mereka akan
  mendengarkan semua jawaban atas semua pertanyaan dan masalah yang ada di hati
  mereka, dan semuanya terlihat dengan jelas. Ini bukan cara Allah untuk
  menjawab berbagai pertanyaan dan masalah secara terpisah, melainkan dengan
  satu jawaban yang merangkum semua pertanyaan dan masalah, dan semua persoalan
  terselesaikan.
Seperti yang terjadi di musim dingin, di mana semua orang
  pergi dengan mengenakan pakaian kulit yang tebal untuk mencari tempat bernaung
  dari suhu yang amat dingin di dalam gua yang hangat. Demikian juga dengan
  pepohonan, rerumputan, dan tetumbuhan lainnya yang karena didera oleh hawa
  dingin menjadi tak berdaun dan berbuah; sementara tetumbuhan itu menyimpan
  harta bendanya dalam dirinya dan menyembunyikannya agar dingin yang menyengat
  itu tak mampu meraihnya. Ketika musim semi, Allah menjawab semua permohonan
  mereka itu dengan satu wahyu, lalu semua masalah yang beragam seperti
  menghidupkan, menumbuhkan, dan menggugurkan itu terselesaikan dan sebab-sebab
  yang beragam pun menjadi hilang seketika. Semuanya akan mengangkat kepalanya,
  dan menyadari penyebab malapetaka itu.
Allah SWT menciptakan
  selubung-selubung ini demi kebaikan. Sebab jika keindahan Allah dipersaksikan
  tanpa adanya selubung, maka kita tidak akan mampu untuk menahan dan
  menikmatinya. Melalui perantaraan selubung-selubung ini kita mendapatkan
  pertolongan dan kenikmatan. Lihatlah matahari di atas sana. Melalui cahayanya
  kamu bisa membedakan kebaikan dengan keburukan, dan menemukan kehangatan
  sinarnya. Pepohononan dan kebun buah- buahan yang mendapatkan kehangatan
  sinarnya telah menjadikan buah-buahan yang tadinya mentah, ciut, dan pahit
  menjadi matang, besar, dan manis. Dengan cahaya terangnya, logam-logam emas
  dan perak, batu akik dan batu sa r dihasilkan. Tetapi jika matahari yang
  memberikan banyak manfaat ini ditakdirkan untuk mendekat ke bumi, maka ia
  tidak akan memberikan keuntungan bagi siapapun. Sebaliknya, seluruh dunia dan
  setiap makhluk justru akan hangus terbakar dan hancur.
Ketika Allah
  hendak menampakkan Diri-Nya melalui sebuah selubung kepada gunung, Dia akan
  menyelubungi Diri-Nya dengan pohon, bunga, dan tumbuhan hijau. Sebab ketika
  Allah menampakkan Diri-Nya tanpa selubung, Ia akan membuat semua yang ada di
  atas dan di bawah hancur berkeping-keping. 
“TatkalaTuhannya
  menampakkandirikepadagunungitu, dijadikannya gunung itu hancur luluh.” (QS.
  al-A’raf: 143)
Salah seorang lainnya ikut bertanya: “Akan
  tetapi, bukankah matahari juga muncul di musim dingin?”
Maulana
  Rumi menjawab: “Tujuan kita di sini adalah untuk memberikan contoh. Ini bukan
  persoalah tentang keindahan atau muatan. Keserupaan adalah satu hal, dan
  contoh adalah hal yang lain. Meski akal kita tidak mampu memahami hal itu,
  tapi bagaimana bisa akal menahan upaya ini? Bukan akal namanya jika tak
  mengerahkan segala daya dan menghentikan perjuangan.
Akal adalah sesuatu
  yang terus menerus berproses, siang dan malam, terus berpikir, berusaha, dan
  bekerja keras untuk memahami Sang Pencipta, meskipun Allah tidak bisa
  diketahui dan tidak bisa dipahami. Akal itu laksana kupu-kupu dan kekasih
  bagaikan sebatang lilinnya. Kapan pun kupu-kupu itu terjebak dalam lilin, ia
  akan lebur dan hancur. Meskipun kupu-kupu harus merasa panas dan terbakar
  karenanya, ia tetap membutuhkan lilin itu. Jika ada hewan lain seperti
  kupu-kupu yang tidak mampu terbang dari cahaya lilin, itu bukan merupakan
  sebuah perbandingan, tapi hewan tersebut pasti kupu-lupu itu sendiri. Namun,
  jika kupu-kupu melemparkan dirinya ke dalam cahaya lilin dan tidak terbakar,
  tentu itu bukanlah sebuah lilin.
Oleh sebab itu, seseorang yang senang
  berada jauh dari Tuhannya dan tidak berusaha untuk sampai kepada-Nya, maka ia
  bukanlah manusia. Tetapi jika ia mampu memahami Sang Pencipta, tentu saja dia
  bukanlah Tuhan. Manusia sejati adalah mereka yang tak pernah berhenti berusaha
  dan terus mengitari cahaya keagungan Tuhannya tanpa henti dan kecil hati.
  Sementara Tuhan akan menyerap manusia dan menjadikan mereka bukan apa-apa,
  sebab Dia tak bisa dipahami oleh akal siapapun.
 
  Pasal 10 Apa Yang Diucapkannya Bukanlah Kemauan Hawa Nafsunya
AMIR berkata: “Sebelum Bahauddin1 tiba, anak lelaki tertuanya
  (Rumi) datang padaku dan meminta maaf seraya berkata, ‘Ayahku berkata bahwa
  dia tak ingin merepotkanmu saat kamu mengunjunginya. Beliau berkata, ‘Aku
  tunduk pada beragam keadaan sadar. Dalam satu keadaan aku berbicara dan dalam
  keadaan yang lain aku diam. Dalam satu keadaan aku mencampuri urusan orang
  lain, dan dalam keadaan yang lain aku menjauh dan mengasingkan diri. Sementara
  dalam keadaan lainnya lagi, aku betul-betul khusyuk dan menghilang. Aku tak
  ingin Amir datang ketika aku tidak bisa ramah kepadanya dan tak punya waktu
  untuk berbincang dan berbicara dengannya. Karena itu, akan lebih baik ketika
  aku punya waktu
 
1 Beliau adalah Bahauddin Muhammad atau
  Baha’ Walad (semoga Allah merah- mati beliau), ayah dari Jalaluddin Rumi. Pro
  l singkat beliau sudah dibahas dalam kata pengantar buku ini.
senggang
  dan bisa menyambut sahabat-sahabatku dan memberikan kebaikan kepada mereka,
  sehingga aku bisa pergi dan mengunjungi mereka.’”
Amir melanjutkan
  ucapannya: “Aku berkata kepada Bahauddin: ‘Aku tidak bermaksud datang ke sini
  agar Tuan Guru menemuiku dan berbincang-bincang denganku. Aku datang ke sini
  untuk mendapat kehormatan berada di antara hamba-hambanya.’ Misalnya suatu
  ketika Tuan guru sedang sibuk dan tidak menampakkan diri sampai membuatku
  menunggu lama sekali, maka ini bisa menyadarkanku betapa sulit dan
  menjengkelkannya jika suatu saat aku meninggalkan kaum Muslimin dan
  orang-orang baik menunggu ketika menghampiri pintu rumahku sementara tak
  kubukakan pintu untuk mereka dengan cepat. Tuan guru membuatku merasakan
  kegetiran itu dan telah memberikan pelajaran padaku sehingga aku tidak akan
  bertindak demikian lagi pada orang lain.
Maulana menjawab: “Tidak, aku
  membiarkanmu menunggu itu justru merupakan esensi perhatianku padamu.
  Dikisahkan bahwa Allah SWT ber rman: “Wahai hamba-Ku, Aku akan mengabulkan
  permintaanmu dengan segera ketika kalian meratap dalam berdoa, itu semua
  karena ratapan doamu begitu manis di telinga-Ku. Jawaban-Ku atas doamu menjadi
  kelu dan tak terucapkan dalam harapan-harapan bahwa kamu mungkin akan meratap
  lagi dan lagi, karena suara ratapan doamu begitu manis bagi-Ku.”
Misalnya,
  ada dua orang pengemis yang mengetuk pintu rumah seseorang. Satu di antara
  pengemis itu dicintai dan dinantikan kehadirannya, sementara pengemis yang
  satunya lagi sangat dibenci.
Pemilik rumah itu berkata pada
  budaknya: “Cepat kamu berikan sepotong roti kepada pengemis yang kubenci itu
  agar ia segera pergi dari sini.” Sementara pada pengemis yang dicintai,
  pemilik rumah menjanjikan akan memberi roti, dengan berkata: “Rotinya belum
  matang, tunggulah dengan sabar sampai rotinya benar-benar matang.”
Hasrat
  terbesarku adalah untuk melihat para kekasih, untuk menatap pengharapanku
  kepada mereka dan pengharapan mereka kepadaku. Sebab ketika para kekasih bisa
  saling melihat dengan begitu dekat di dunia ini, maka hubungan akan menjadi
  semakin kuat pada saat mereka diangkat menuju hari kebangkitan kelak. Mereka
  bisa saling mengenal satu sama lain dengan cepat di sana. Mereka juga akan
  ingat bahwa mereka dahulu bersama-sama di dunia, sehingga penyatuan mereka
  satu sama lain sangat erat dan membawa keriangan. Salah satu sifat manusia
  adalah begitu mudah melupakan kekasih. Tidakkah kamu lihat bagaimana di dunia
  ini kamu bisa menjadi kekasih dan sahabat seseorang yang menjadi Yusuf di
  matamu. Namun, hanya karena tergelincir melakukan satu perkara yang buruk
  saja, kau singkirkan dia dari pandanganmu dan dengan mudahnya kau
  melupakannya, dan rupa yang menyerupai Yusuf itu diubah menjadi seekor
  serigala? Seseorang yang dulu kamu lihat sebagai Yusuf, sekarang kamu lihat
  seperti seekor serigala. Tetapi bentuk mereka sesungguhnya tidak berubah dan
  masih tetap seperti yang dahulu kamu lihat. Dengan tindakan tiba-tiba itu kamu
  kehilangan mereka. Esok, ketika wujud manusia diubah menjadi wujud yang lain,
  bagaimana kamu akan bisa mengenalnya, sementara dahulu kamu tak mengenal dan
  memperhatikannya dengan baik?
Hikmah yang dapat dipetik dari
  fenomena ini adalah bahwa seseorang harus melihat orang lain dengan pandangan
  hakiki, melampaui batasan sifat-sifat buruk dan baik yang dipinjam oleh orang
  tersebut, berusaha menyelam ke dalam hakikat orang tersebut, dan memastikan
  bahwa sifat-sifat yang ditinggalkan oleh sebagian orang bukan merupakan sifat
  asli mereka.
Dikisahkan ada seorang laki-laki yang berkata, “Aku mengenal
  baik orang si fulan itu, akan kutunjukkan karakteristik yang membedakannya
  dari orang lain.” Yang lain menjawab, “Silakan, tunjukkan.” Laki-laki itu
  melanjutkan, “Menurutku ia adalah orang yang cerdik. Dia memiliki dua ekor
  sapi betina berwarna hitam.” Orang-orang berbicara dengan cara yang sama, “Aku
  anggap Fulan sebagai temanku. Aku mengenalnya.” Semua tanda yang membedakannya
  dari lainnya itu sebenarnya sama seperti tanda- tanda yang terdapat pada dua
  sapi betina yang berwarna hitam.
Tanda-tanda itu bukanlah ciri-ciri
  khusus. Bahkan tanda seperti itu tak ada gunanya. Oleh karena itu, manusia
  harus bisa melampaui sifat baik dan buruk orang lain dan masuk ke dalam wujud
  (dzat)- nya untuk melihat siapa mereka sesungguhnya. Itulah yang disebut
  dengan penglihatan dan pengetahuan yang sejati.
Aku heran dengan
  orang-orang yang berkata: “Bagaimana bisa para wali dan pecinta itu
  bermain-main cinta dalam dunia yang tak terbatas, yang tak memiliki tempat,
  gambar, dan waktu? Bagaimana mereka bisa memeras intisari dan kekuatan
  darinya? Bagaimana mereka bisa terstimulasi dan terpengaruh olehnya? Setelah
  itu semua, tidakkah mereka tenggelam di malam dan siangnya dalam cinta itu
  sendiri? Orang ini, yang dimabuk cinta kekasihnya, akan mendapatkan
  pertolongan darinya. selanjutnya ia akan mendapatkan pertolongan dan
  keramahan, kebaikan dan pengetahuan, kenangan dan pikiran, serta kebahagiaan
  dan kesedihan darinya.
Semua hal ini bera liasi pada dunia yang tak
  bertempat. Saat demi saat mereka terus menggali esensi dari makna-makna ini
  dan ia menjadi terpengaruh olehnya. Tentu saja hal ini tak akan menggugah
  ketakjuban para peragu. Sebaliknya, mereka justru terkesan dengan pada para
  wali yang menjadi pecinta-pecinta di dunia yang tak bertempat dan menggali
  pertolongan dari sang terkasih.
Konon ada seorang lsuf yang mengingkari
  hakikat ini. Hingga pada suatu hari, sebuah penyakit menyerangnya, ia menjadi
  lemah. Penyakit itu membebaninya dalam waktu yang lama. Kemudian datanglah
  seorang teolog yang bijak. Ia berkata: “Apa yang kau inginkan?”
“Kesehatan,”
  jawab  lsuf.
Teolog bijak itu menjawab, “Beritahu aku
  bagaimana bentuk sehat itu, agar aku bisa membawakannya untukmu.”
Filsuf
  itu menjawab: “Kesehatan itu tidak memiliki bentuk. Ia juga tidak punya
  cara.”
“Jika kesehatan memang tidak mempunyai sifat tertentu, lantas
  bagaimana kamu bisa mencarinya? Katakan padaku apa sebenarnya sehat itu?”
  tanya sang Teolog.
Filsuf itu menjawab: “Yang aku tahu, adalah bawa
  ketika kesehatan itu muncul aku akan bertambah kuat, menjadi gemuk, lebih
  segar, dan lebih hidup.”
Sang teolog menjawab: “Aku bertanya padamu
  tentang sehat itu sendiri, tentang bagaimana wujud sehat itu?”
Sang
  Filsuf kembali menjawab: “Aku tak tahu, ia tak bisa diuraikan.”
Sang
  Teolog menjawab: “Kalau kamu menjadi seorang Muslim dan kau kembali dari
  aliran pemikiranmu yang pertama, aku akan menyembuhkanmu, akan kusehatkan
  badanmu, dan akan kukembalikan  kesehatan  kepadamu.”
Nabi
  Muhammad Saw. pernah ditanya: “Meskipun makna- makna ini tak bisa dimengerti,
  apakah manusia masih bisa mengambil manfaat darinya melalui perwujudan
  bentuknya?” Nabi menjawab: “Lihatlah bentuk langit dan bumi. Melalui bentuk
  ini manusia bisa mengambil manfaat darinya, sesuai dengan kadar penglihatan
  mereka terhadap perilaku bintang yang bergerak, awan hujan pada waktu
  tertentu, musim panas dan dingin, dan zaman yang silih berganti. Perhatikan
  semua yang terjadi itu sesuai dengan kadar kesalehan dan kebijaksanaanmu.
  Kemudian, tentang awan yang tak memiliki kehidupan ini, bagaimana kalian bisa
  tahu kalau ia akan menurunkan hujan pada waktu tertentu. Perhatikan juga
  bagaimana tanah yang hanya menerima satu bibit bisa menghasilkan biji sepuluh
  kali lipat dari bibit yang ditanam. Intinya, adakah wujud yang melakukan semua
  itu? Lihatlah makna-makna itu melalui dunia ini, dan keruk isinya. Seperti
  halnya kamu menggunakan tubuh manusia untuk mengetahui hakikatnya, kamu juga
  bisa menemukan hakikat dunia dengan merenungkan perwujudan dunia itu.”
Ketika
  Nabi bersabda: “Allah ber rman.” Maka dilihat dari bentuknya, yang berbicara
  adalah bibir beliau. Tetapi bukan itulah yang  terjadi, 
  sebenarnya  yang  berbicara  adalah  Allah.  Ketika
  seseorang yang mengetahui dirinya bodoh dan tidak memiliki pengetahun tentang
  ucapan tertentu, tapi kemudian dari mulutnya muncul ucapan seperti itu, ia
  akan menyadari bahwa Dia yang sedang mengatakan ini bukanlah dia yang pertama
  tadi. Dia adalah Tuhan.
Demikian juga ketika Nabi Muhammad Saw.
  membabarkan berbagai kisah orang-orang dan para nabi terdahulu yang hidup
  ribuan tahun sebelum Nabi Muhammad ada, dan memberitakan yang akan terjadi di
  hari akhir, tentang arsy, singgasana, serta tentang kosong dan isi. Allah
  adalah wujud yang abadi, sementara Muhammad itu tidak abadi. Sebuah wujud yang
  tidak abadi tentu tidak akan mampu menjabarkan hal-hal semacam itu. Bagaimana
  bisa seorang yang baru (tidak abadi) bisa berbicara tentang keabadian? Dengan
  begitu, maka dapat diketahui bahwa bukan Nabi Muhammad Saw. yang bersabda,
  melainkan Allah-lah yang ber rman.
“Tiadalah yang diucapkannya itu
  (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
  wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm: 3-4)
Maha suci
  Allah dari segala bentuk dan huruf. Firmannya ada di luar huruf dan suara.
  Tetapi Dia mengalirkan rman-Nya dengan huruf dan suara melalui lisan siapapun
  yang Dia kehendaki. Di jalan- jalan, hotel, dan di tepi-tepi kolam, para
  pemahat mengukir patung manusia atau burung dari kayu yang kemudian dari
  mulutnya mengalir kan air dan tercurah ke dalam kolam. Semua orang yang
  berakal tentu tahu bahwa air tersebut tidak bersumber dari mulut burung kayu
  itu, melainkan berasal dari sumber yang lain.
Jika kamu ingin mengenal
  seseorang, biarkan dia berbicara. Dari perkataannya itu, kamu akan
  mengenalnya. Jika ada seorang pembohong, sekalipun ada seseorang yang berkata
  padanya, “Manusia itu dapat dikenali lewat ucapannya dan mereka berhati-hati
  ketika berbicara agar tak disangka macam-macam,” pada akhirnya kebohongannya
  akan terungkap juga. Inilah yang digambarkan dalam cerita tentang seorang anak
  dan ibunya. Seorang anak berbicara kepada ibunya ketika mereka berada di gurun
  pasir, “Di malam yang kelam, aku melihat sesosok hitam yang menakutkan seperti
  setan, aku menjadi sangat ketakutan.”
Lalu ibunya berkata, “Jangan takut.
  Jika lain kali kamu melihat sosok itu lagi, lawan dengan keberanianmu. Maka
  kamu akan tahu bahwa itu hanyalah halusinasimu.”
“Tetapi ibu,” kata sang
  anak, “bagaimana jika ibu dari sosok hitam itu memberikan nasihat yang sama?
  Apa yang harus aku lakukan jika ibunya menasihatinya dengan berkata: ‘Jangan
  ucapkan sepatah kata pun agar kamu tidak terlihat oleh anak itu.’ Lantas
  bagaimana aku bisa mengetahui keberadaannya?
“Tetaplah diam,
  lihatlah bentuknya sebagaimana adanya, dan bersabarlah,” jawab sang ibu.
  “Cepat atau lambat sebuah kata akan keluar dari mulutnya. Atau jika tidak,
  mungkin akan keluar kata- kata dari mulutmu tanpa kamu sadari, mungkin juga
  akan muncul sebuah ide yang terlintas dalam benakmu, yang kemudian dengan kata
  atau ide itu kamu bisa mengetahui kondisinya. Sebab begitulah dia
  memengaruhimu saat itu. Bentuk dan tindak tanduk sesuatu itulah yang
  menunjukkan bagaimana sesuatu yang ada di dalamnya.”
Suatu ketika Syekh
  Syarrozi2, semoga Allah merahmatinya, sedang duduk di tengah murid-muridnya.
  Salah seorang muridnya sangat menginginkan kepala kambing panggang. Lalu syekh
  memanggil pelayannya agar membawakan kepala kambing panggang kepada
  muridnyanya itu.
Seorang murid bertanya, “Syekh, bagaimana Anda bisa tahu
  kalau ia menginginkan kepala kambing panggang?” Syekh menjawab, “Karena aku
  sudah mengekang syahwat dalam diriku selama tiga puluh tahun. Kujernihkan dan
  kusucikan diriku dari semua bentuk syahwat hingga diriku menjadi sejernih
  cermin yang terpoles. Pada saat di benakku terlintas kepala kambing panggang
  dan aku sangat berhasrat padanya, aku tahu bahwa hal itu disebabkan oleh salah
  seorang yang ada di sini. Karena cermin tidak memiliki bentuk pada wujudnya;
  maka jika ada bentuk pada permukaan cermin itu, pasti itu adalah bentuk dari
  sesuatu yang lainnya.
Seseorang yang mulia dari satu kaum pernah
  duduk berkhalwat untuk memohon sebuah hajat kepada Allah SWT. Sebuah suara
  muncul kepadanya dan berkata, “Tujuan yang mulia seperti itu tidak akan pernah
  bisa terealisasi hanya dengan khalwat. Kalau kamu benar- benar ingin meraih
  tujuanmu, berhentilah berkhalwat dan temui salah seorang wali besar.”
“Di
  mana aku bisa menemukan wali besar itu?” tanya orang itu.
“Di
  masjid,” jawab suara itu.
“Di tengah keramaian manusia di masjid,
  bagaimana aku bisa mengenal orang yang kau maksud?” orang itu bertanya
  lagi.
“Pergilah,” kata suara itu, “Dia akan mengenalimu dan akan
  menatapmu. Tanda bahwa kau melihatnya akan muncul jika kendi airmu jatuh dari
  tanganmu dan kau akan pingsan. Saat itu kau akan tahu bahwa ia sedang
  menatapmu.”
Orang itu kemudian melakukan yang diperintahkan oleh suara
  itu. Dia mengisi kendinya dengan air dan memberi minum pada semua jamaah di
  masjid. Ia berputar dari satu saf ke saf lainnya secepat mungkin, tiba-tiba ia
  bersin dan kendi air itu terjatuh dari tangannya. Ia kemudian terlempar ke
  pojok masjid tak sadarkan diri. Semua orang pergi meninggalkannya. Ketika ia
  sadar, ia melihat bahwa dia sendirian di masjid itu. Ia tidak melihat wali
  besar yang telah menatap kepadanya di tempat itu, tapi ia sudah meraih
  tujuannya.
Allah memiliki hamba-hamba yang karena kemuliaannya yang
  besar dan kecemburuannya yang tinggi kepada Allah, mereka tak menampakkan diri
  mereka secara terbuka; tapi mereka dapat mengantarkan orang lain pada
  tujuan-tujuan mereka, dan melimpahkan berkah-berkah pada mereka. Para raja
  agung semacam itu jarang sekali dan sangat berharga.
Seseorang bertanya,
  “Apakah orang-orang agung datang di hadapanmu?
Maulana Rumi menjawab,
  “Tidak ada kata ‘di depan’ bagiku. Sudah lama sekali sejak aku pernah memiliki
  kata ‘di depan.’ Jika mereka datang, maka mereka akan datang di depan sesuatu
  yang berbentuk, yang menurut keyakinan mereka sesuatu itu adalah aku. Sebagian
  orang berkata kepada Isa as., “Aku akan datang ke rumahmu.” Isa menjawab, “Di
  mana rumahku di dunia ini, dan bagaimana aku bisa memiliki sebuah rumah?
Dikisahkan
  bahwa suatu hari Isa as. mengembara di sebuah gurun pasir saat hujan deras
  datang. Ia lalu berlindung di sarang serigala3 yang ada di salah satu pojok
  gua sampai hujan berhenti. Lalu turunlah wahyu kepadanya, “Keluarlah dari
  sarang serigala itu! Karena penghuninya merasa tidak nyaman dengan
  kedatanganmu ke rumahnya.” Lalu Isa as. berseru, “Tuhan, anak-anak serigala
  saja memiliki tempat berlindung, tapi anak Maryam tidak punya tempat untuk
  pulang.”
Maulana Rumi berkata, “Meski anak serigala memiliki rumah,
  tapi ia tidak memiliki Kekasih yang mengusirnya dari rumahnya. Sementara kamu
  memiliki Kekasih yang mendorongmu keluar. Jika kamu tidak memiliki rumah, lalu
  apa masalahnya? Cinta kasih dari Pengusir ini dan keanggunan dari jubah
  kehormatan itu jauh lebih besar melebihi seratus juta langit dan bumi, dunia
  dan akhirat, arsy dan singgasana, dan bahkan lebih dari itu.
Maulana Rumi
  melanjutkan, “Kenyataan bahwa Amir datang dan aku tidak menampakkan wajahku
  dengan segera hendaknya tidak perlu merisaukannya. Hal ini berhubungan dengan
  maksud kedatangannya, apakah untuk memuliakan diriku atau untuk dirinya
  sendiri. Jika tujuannya adalah untuk memuliakan diriku, maka semakin lama dia
  duduk untuk menungguku, semakin besar dia mendapatkannya. Tapi sebaliknya,
  jika tujuannya untuk memuliakan dirinya sendiri dan mengharapkan pahala, maka
  ketika ia menunggu dan menanggung kebosanan dari menunggu, pahalanya akan
  semakin besar. Adapun jika tujuannya adalah untuk kedua- duanya, maka akan
  terus berlipat ganda maksud kedatangannya dan makin terus bertambah. Dari
  situ, maka dia patut untuk senang dan bahagia.[alkhoirot.org]

