Kata Pengantar Buku Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu
Nama kitab / buku: Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu: Jawaban KH.
Imaduddin Utsman al-Bantani terhadap Buku Hanif Alatas dkk
Penulis: KH.
Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan
pertama: November 2024
Penerbit: Lakeisha
15,6 cm X 23 cm,
691 Halaman
ISBN : 978-623-119-469-5
Daftar Isi
- Kata Pengantar
- Bagian Satu: Menjawab Prolog Buku Hanif Alatas
- Kembali ke: Buku Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu
- Kitab terkait sebelumnya:
Bidang studi: Sejarah Baalawi, sejarah Nabi, ilmu nasab, sejarah Islam, genealogi, garis keturunan, filologi/manuskrip, Tes DNA
Kata Pengantar
Rabitah Alwiyyah sebagai organisasi yang mencatat para keturunan Ba‘alwi di Indonesia, seharusnya bertanggung- jawab terhadap para anggotanya akan terputusnya nasab Ba‘alwi. Tetapi ternyata organisasi itu memilih ―menugaskan‖ satu tim yang disebut ―Tim Pengawal Persatuan Umat‖ untuk memproduksi sebuah buku berjudul ―Keabsahan Nasab Ba‘alwi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya‖ tanpa sedikit pun menyebutkan Rabitah Alwiyyah. Buku tersebut merupakan jawaban terhadap tesis penulis bahwa Klan Ba‘alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Tesis penulis itu tertuang dalam beberapa buku dan artikel baik yang berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia buku-buku penulis tentang batalnya nasab Ba‘alwi adalah:
1. Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia: Sebuah
Penelitian Ilmiyah (Oktober 2022)
2. Terputusnya Nasab
Habib Kepada Nabi Muhammad SAW (Penyempurnaan dari Buku Menakar Kesahihan
Nasab Habib di Indonesia (Mei 2023)
3. Membongkar
Skandal Ilmiyah Genealogi dan Sejarah Ba‘alwi (Finalisasi Keterputusan
Genealogi Ba‘alwi Kepada Nabi Muhammad SAW) (Februari 2024)
4.
Kronik Perjalanan Ilmiyah K.H. Imaduddin
Utsman Al-Bantani Dalam Mengungkap Nasab Palsu Ba‘alwi (Mei 2024)
5.
Ilmu Nasab Istilah dan Metodologi (2023)
6. Metode
Menetapkan Nasab Menurut Kitab Rasa‘il Fi ‗Ilm Al- Ansab Studi Kasus Nasab
Ba‘alwi (September 2024)
7. Literatur
Kitab-Kitab Nasab Abad Ke-3-13 Hijriyah Bukti
Keterputusan
Nasab Ba‘alwi (September 2024)
8.
Manuskrip-Manuskrip Palsu Ba‘alwi Versi Rumail
Abbas
(September 2024).
Adapun buku-buku penulis yang memuat tesis penulis tentang batalnya nasab
Ba‘alwi dalam bahasa Arab adalah:
1. Al-Mawahib
al-Laduniyyah fi Inqita' Nasab Ba‟alwi bin
Ubaidillah (Dzulqo‘dah 1444 H.)
2. I'anat al-Akhyar fi
Jawab al-Syekh Muhammad Abdillah Mukhtar (Muharram 1445 H.)
3.
Kasyf al-Fadlihah al-Ilmiyyah li nasab wa tarikh Ba'alwi (Terjemah buku
Membongkar Skandal Ilmiyah Genealogi dan Sejarah Ba‘alwi- Februari 2024)
4.
Al-Ma'arif al-Rabbaniyyah fi Hifdz Nuthfat al-Nabawiyyah ( Rabi‘ al-Awwal 1446
H.)
Penerbit ―Oncor Semesta Ilmu‖ Jogjakarta menerbitkan sebuah buku yang
merupakan kumpulan buku dan kitab penulis yang diberi judul: Habaib Keturunan
Nabi Benarkah (Politik Identitas-Pengaruh- Keagungan) tahun 2023.
Ada beberapa buku yang ditulis untuk menjawab tesis penulis tersebut, baik
dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Di antara buku-buku tersebut
adalah:
1. Al-Radd fi Man Yunkiru Ansab Sadat Ba'alwi,
5 halaman, ditulis oleh Amjad bin Salim bin Abdullah Abu Futaim bin Syekh
Abubakar bin Salim dari Tarim (Ramadlan 1444 H.)
2.
Konektifitas Rijalul Hadits Dengan Sejarah Dalam Menelusuri Nasab, 77 halaman,
ditulis oleh DR. Jafar Assegaf (Maret 2023)
3. Risalah
Ilmiyah Jawaban Atas Syubhat Imaduddin Utsman Seputar Keabsyahan Bani Alawi,
45 halaman, ditulis oleh Hanif Alatas Jakarta (Ramadlan 1444 H.)
4.
Bingkisan Lebaran Untuk Imaduddin Utsman, 20 Halaman, ditulis oleh Hanif
Alatas Jakarta (Syawwal 1445 H.)
5. Al-Husam al-Maslul
Fi „Unuqi Man Abthala Silsilat Dzurriyyat Al-rasul Abi Fatimah al-Batul, Karya
K.H. Muhammad Abdullah Mukhtar Sukabumi
6. Menakar
Kesahihan Pembatalan Ba‘alwi, 53 halaman, ditulis oleh Rumail Abbas (Stakof)
(Desember 2023)
7. Ihya al-Mawta, K.H. Qurtubi Lebak
(Muharram 1446 H.)
8. Keabsahan Nasab Ba‘alwi
Membongkar Penyimpangan Pembatalnya, 521 halaman, ditulis oleh Tim Pengawal
Persatuan Umat: Hanif Alatas dkk (Rabitah Alwiyyah).
Buku terakhir ini tampaknya adalah kekuatan terakhir klan Ba‘alwi dalam
menjawab batalnya nasab mereka. Buku yang ada ditangan pembaca ini akan
menjawab isi buku tersebut. Banyak proposisi dalam buku ini yang terpaksa
penulis ulang berdasar pengulangan buku Hanif dkk. tentang proposisi yang
sama. Selamat membaca.
Imaduddin Utsman Al-Bantani
BAGIAN SATU ULAMA NUSANTARA MENGGUGAT NASAB PALSU
(Jawaban K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantani Terhadap Buku Hanif Alatas Dkk.)
MENJAWAB PROLOG BUKU HANIF ALATAS DKK
uku itu dimulai dengan mengutip ungkapan tidak berdalil dari Syekh Taqiyyudin al-Nabhani (w.1350 H.) dalam kitabnya Riyadlul Jannah dan Al-Muhibbi dalam kitabnya Khulatsah
al-Atsar yang menyatakan bahwa nasab klan Ba‘alwi adalah nasab yang paling shahih dan telah diijma‘ oleh ulama tentang kesahihannya tersebut.
Sebenarnya klaim ijma‘ yang ditulis oleh Al-Nabhani dan Al- Muhibbi itu hanya mengutip dari buku kaum Ba‘alwi sendiri yaitu buku Al-Burqat al-Musyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.).1 Jadi, Ali bin Abubakar al-Sakran sebagai orang yang pertama menyatakan nasab keluarganya tersambung kepada Nabi Muhammad SAW, dan ia juga yang mengklaim adanya ijma‘ tentang itu. Padahal, klaimnya itu tidak berdasar referensi kitab nasab apapun.
Dalam kaidah para ahli nasab, ketika kita akan meneliti suatu nasab yang mencurigakan seperti nasab Ba‘alwi, maka kita tidak boleh menggunakan hujjah dan dalil dari kitab-kitab mereka kecuali ada yang menguatkan dari referensi lainnya. Hal demikian seperti dikemukakan oleh seorang ahli nasab Abdul Majid al-Qaraja dalam kitabnya Al-kafi al-Muntakhab:
-5-المصلحة فان ظهرت مصلحة عند المثبت او النافي يترك قوله غالبا، وقد يعمل بنقيض مصلحته في حالات مخصصة، وٙلا يؤخذ بقوله اٙ اذا وجد ما يعضده عند غَته ممن ليست لهم مصلحة ولم ينقلوا عن من له مصلحة"،
Terjemah:
―Yang kelima adanya al-maslahat (kepentingan). Maka jika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan (nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan. Kadang dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan kepentingannya. Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh ulama lainnya yang tidak berkepentingan. Para ulama nasab tidak mengutip dari orang yang punya kepentingan.‖2
Klaim bahwa Ba‘alwi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dan bahwa nasabnya telah diijma‘ pertama kali muncul secara formal dalam kitab Ba‘alwi sendiri yaitu Al-Burqat al-Musyiqat. Sebelumnya tidak ada kitab nasab yang mengatakan bahwa keluarga Abdurrahman Assegaf (Ba‘alwi) merupakan keturunan Nabi. Sesuai dengan kaidah ahli nasab di atas, bahwa pendapat tentang nasab yang keluar dari orang yang berkepentingan tidak boleh dijadikan rujukan, maka apa yang diklaim oleh Ali al-Sakran bahwa ia dan keluarganya merupakan keturunan Nabi tidak dapat diterima.
Jika Hanif Alatas Dkk. Memahami makna ijma dan rukun- rukunnya menurut para ulama, maka ia tidak akan mengutip pendapat Syaikh al-Nabhani itu sebagai dalil, kenapa? Karena ungkapan itu jelas bertentangan dengan kenyataan batalnya nasab Ba‘alwi secara ilmiyah. Bagaimana nasab yang telah batal kemudian malah disebut nasab yang telah diijma‘ tentang kesahihannya?
Pertama Hanif harus memahami apa itu ijma, kemudian memahami pula apa rukun-rukun ijma‘. Nanti akan memahami bahwa jangankan disebut telah diijma‘, nasab Ba‘alwi ini bahkan sama sekali tidak patut di sebut dlaif (lemah).
Ijma menurut para ulama adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara‘ akan suatu kejadian. Sebagaimana definisi tersebut diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitabnya Ushul al-Fiqh:
Terjemah:
―Ijma‘ di dalam istilah para ahli ushul adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara‘ dalam suatu masalah.‖3
Dari definisi ijma itu, kita mengetahui bahwa suatu hukum bisa disebut ijma jika hukum itu disepakati oleh seluruh para ulama ahli ijtihad. Sedangkan nasab Ba‘alwi ini sejak awal kemunculannya di abad sembilan muncul hanya dari klaim mereka sendiri tidak disebut para ulama nasab dalam kitab-kitab nasab. Bahkan di Tarim sendiri banyak orang yang tidak percaya terhadap nasab mereka sebagaimana dihikayatkan sendiri oleh kitab-kitab Ba‘alwi semacam Al-Burqat al- Musyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.) dan Gurar Baha al-Dlau‟ karya Khirid (w.960 H.). Bagaimana suatu nasab yang sejak awal kemunculannya saja hanya dari klaim pribadi. dan orang- orang yang ada di Tarim saja tidak mempercayainya bisa dikatakan telah diijma‘?
Salah satu rukun ijma‘ adalah kesepakatan itu harus terjadi sejak awal kemunculannya, sebagaimana dikatakan oleh Abdul Wahhab Khalaf:
الثاني: أن يتفق علَي الحكم الشرعِ في الواقعة ٚجميع المجتهدين من المسلمُين في وقت وقوعها
Terjemah:
―(Rukun) yang kedua adalah terjadinya kesepakatan ulama mujtahid dari kaum muslimin atas hukum syara‘ dalam suatu masalah saat terjadinya masalah itu‖4
Sedangkan waktu kejadian nasab Ba‘alwi adalah masa Ahmad bin Isa. karena yang menjadi permasalahan adalah pengakuan mereka bahwa mereka adalah keturunan Nabi melalui Ubaid ―bin‖ Ahmad bin Isa. sedangkan kitab-kitab nasab sejak masa Ubaid itu tidak ada yang mencatat ia sebagai anak Ahmad bin Isa apalagi terjadi ijma‘. Dari mana Ali al-sakran mengetahui adanya ijma‘ jika nasab mereka sama sekalai tidak disebutkan oleh para ahli nasab, padahal kitab-kitab nasab yang mencatat anak Ahmad bin Isa banyak ditulis. Bahkan kitab nasab abad ke-6 yaitu Al-Syajarah al-Mubarakah telah menetapkan anak Ahmad bin Isa yang berketurunan hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaid.
Ibnu Hazm dalam kitab Maratibul Ijma mengatakan:
Terjemah:
―Para ulama berkata: Ijma‘ setiap masa bisa dikatakan ijma‘ yang shahih jika tidak didahului oleh perbedaan pendapat dalam masalah itu. ini adalah pendapat yang sahih‖.5
Dari situ kita mengetahui bahwa klaim ijma baik dari Ali al- Sakran maupun dari yang mengutipnya di waktu belakangan seperti Al-Nabhani dan Al-Muhibi tidak dapat diterima. Bahkan menurut Abdullah bin Ahmad bin Hambal bisa disebut pendusta.

Terjemah:
―Dan telah dikutip dari Ibnu Hazm dalam kitab-nya Al-Ahkam dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ucapan: Aku mendengar ayahku berkata: Apa yang diklaim seseorang tentang terjadinya ijma‘ adalah dusta. Siapa orang yang mengklaim ijma‘ adalah dusta. Bisa jadi manusia telah berbeda pendapat ia tidak tahu dan tidak sampai kepadanya. Maka hendaklah ia berkata: kami tidak mengetahu perbedaan pendapat manusia‖.6
Dalam prolog itu juga Hanif mengatakan:
―Jika melihat Imaduddin yang meyakini pandangannya benar secara absolut (qath'i), timbul pertanyaan sederhana: apakah puluhan sampai ratusan ulama besar Islam dari masa ke masa seperti al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafidz al-Sakhawi, al-Shan'ani, Sayid Bakri Syatha, al-Syarqawi, al-Hafidz Murtadha al-Zabidi, al-Nabhani, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan lainnya telah secara kompak Salah Berjamaah dalam meyakini dan menyatakan ketersambungan nasab Ba'alawi sebagai dzurriyah Rasulullah Saw. dan hanya Imaduddin yang benar?‖7
Ulama-ulama yang disebutkan itu semuanya ulama di atas abad ke-9 Hijriyah. Sedangkan yang menjadi “mahallunniza” (titik bahas) adalah sebelum abad ke-9 H. (sebelum Ba‘alwi mengaku sebagai keturunan Nabi). Sebutkan satu saja ulama nasab sebelum abad ke- sembilan yang menyebut misalnya Faqih Muqaddam (w.653 H.) sebagai keturunan Nabi. Tidak ada. Dan semua ulama yang disebut Hanif itu, berbicara nasab Ba‘alwi bukan dalam kitab nasab. sedangkan menurut para ahli nasab, kitab yang bisa digunakan sebagai rujukan dalam penelitian nasab haruslah kitab-kitab nasab.
Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al-Ansab karya Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani dikatakan:
―Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitab- kitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka‖8
Ia juga mengatakan:

―Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja‖9
Dalam Kitab “Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab”
karya Dr. Imad Muhammad al-Atiqi dikatakan:
―Marji‟ (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun marji‟ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya. Maka penulis marji‟ membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik dihitung apabila terjadi pertentangan dengan marji‟, kecuali jika marji‟ tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya‖.10
Hanif dkk. Juga perlu memahami kaidah-kaidah ilmu nasab. tidak setiap ada ulama mencatat nasab itu bisa dijadikan dalil itsbat nasab walau ia ulama besar. Dan tidak semua catatan ansab itu bisa untuk menjadi hujjah kesahihan nasab. ia harus dilihat apakah kitab itu kitab nasab atau bukan; semasa atau tidak dengan individu yang sedang diteliti, atau paling tidak kitab itu yang paling dekat masanya dari kitab yang dapat ditemukan. Kalau ia kitab nasab harus dilihat pula informasi itu bertentangan tidak dengan kitab nasab sebelumnya. Jadi tidak, semua informasi dalam sebuah kitab dapat begitu saja dijadikan dalil. Pakar nasab Syekh Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab mengatakan:
Terjemah:
―Tidak semua orang yang menulis nasab itu bisa dijadikan hujjah. Dan tidak semua yang ditulis sah untuk dijadikan hujjah‖11
Dengan demikian, karena ketiadaan kitab nasab yang menetapkan nasab Ba‘alwi sebelum abad ke-9 H. maka pengakuan nasab Ba‘alwi di abad sembilan itu batal. Kenapa? karena ketika mereka mengaku bahwa mereka merupakan keturunan Nabi melalui ubaid ―bin‖ Ahmad bin Isa, ternyata kitab nasab sebelum abad ke-9 tidak ada yang mencatat Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa. kitab nasab sebelum abad ke-9 mencatat anak Ahmad bin Isa yang berketurunan hanya tiga yaitu: Muhammad, Ali dan Husain.
Pakar nasab Syekh Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat
fi Ilm al-Ansab mengatakan:
Terjemah:
―Kaidah nasab yang ke-42 adalah: Dan ketahuilah bahwa informasi jika bertentangan dengan logika dan referensi dan bertentangan dengan ushul maka ia informasi palsu yakni maudlu‘. Informasi yang palsu dan maudlu‘ tidak dapat dijadikan sebgai hujjah‖12
Dari situ klaim Ba‘alwi di abad ke-9 bahwa Ubaid adalah anak Ahmad, kontradiksi dengan kitab-kitab nasab sebelum abad ke-9. Sedangkan menurut ahli nasab: sebuah kitab nasab dapat diterima jika ia tidak bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya, apalagi jika ia hanya kitab tasawuf semacam kitab Ali al-Sakran dan yang mengutip darinya. Sekalipun ulama itu dikenal luas dalam dunia islam sebagai ulama besar dalam ilmu fiqih maupun hadits, tetapi ketika ia mengutip silsilah nasab yang bertentangan dengan kitab-kitab nasab sebelumnya, maka kutipannya itu tertolak tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Pakar nasab Syekh Kholil bin Ibrahim mengatakan:

Terjemah:
―Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa salah dan benar.‖13
Dari situ sebuah diskursus nasab tidak boleh hanya berdalil: Ibnu hajar telah berkata; Syekh Nawawi telah berkata dst. Tetapi harus dilihat ucapan mereka bertentangan atau tidak dengan kitab nasab sebelumnya. Jika bertentangan dengan kebenaran, maka ucapan itu bisa ditolak. Kecuali jika kita menganggap bahwa ulama itu pasti benar dan tidak mungkin salah. Dan itu bukan ajaran Islam.
Kesimpulan dari bahasan ini, bahwa prolog Hanif dkk. Itu adalah sebauah prolog yang kering dari pengetahuan tentang kaidah ilmu nasab. hanya bisa mengutip ucapan ulama tetapi tidak mampu menganalisa dengan baik sesuai apa yang ditetapkan ahli nasab. batalnya nasab Ba‘alwi adalah sebuah pengetahuan yang terang benderang seterang matahari di siang hari bagi kaum yang mau berfikir.
Buku ini, insya Allah, akan mengurai berbagai macam upaya, framing, bahkan skandal ilmiyah yang dilakukan para penulis buku Keabsahan Nasab Ba‘alwi untuk mempertahankan nasab Ba‘alwi. para pembaca akan mengetahui dari buku ini bagaimana upaya-upaya mereka sama sekali tidak berfaidah untuk menolong batalnya nasab Ba‘alwi. Ba‘alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Wallahu muwaffiqun ila aqwami thariqin
Imaduddin Utsman Al-Bantani
CATATAN
1 Lihat Ali bin Abubakar al-Sakran, Al-Burqat al-Musyiqat h. 112
2 Abdul Majid al-Qaraja, Al-Kafi al-Muntkhab, 49
3 Abdul Wahhab Khalaf, Ushul al-Fiqh, H. 45
4 Abdul Wahhab Khalaf…h.46
5 Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma, h. 11
6 Abdul Wahhab Khallaf…49
7 Hanif Alatas dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. 4
8 Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani ,Ushulu „Ilmi al Nasab wa al- Mufadlalah Bain al-Ansab ,h. 76-77
9 Ibid, h. 77
10 Imad Muhammad al-Atiqi, Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab h. 58.
11 Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab, h. 83
12 Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab, h. 88
13 Khalil bin Ibrahim, h. 85