Metode Itsbat Penetapan Nasab dan Tes DNA
Nama kitab / buku: Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu: Jawaban KH. Imaduddin Utsman al-Bantani terhadap Buku Hanif Alatas dkk
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: November 2024
Penerbit: Lakeisha, Yogyakarta
15,6 cm X 23 cm, 691 Halaman
ISBN : 978-623-119-469-5
Daftar Isi
- BAB I MENJAWAB KLAIM NASAB BA‘ALWI MENURUT ILMU NASAB, ILMU FIKIH DAN SEJARAH
- PASAL KE-1 TOLOK UKUR KEABSAHAN NASAB
- Metode Itsbat Nasab Pertama: Al Syuhrah Wa Al Istifadlah (Istifadah, Istifadhah)
- Maksud Syuhrah Wa al-Istifadlah adalah Min Adzhar al-Bayyinat
- Istifadah atau Tasamu‘ Wajib Terjadi di Kampung Asal Bukan di Tempat Hijrah
- Metode Itsbat Nasab Kedua: Kitab-Kitab Nasab
- Dalil Kitab Sezaman
- Menemukan manuskrip
- Metode Itsbat Nasab Ketiga: Bayyinah Syar‘iyyah/Syahadah
- Metode Itsbat Nasab Keempat: Al-I‘tiraf Dan Iqrar Dari Sebuah Kabilah
- Metode Itsbat Nasab Kelima: I‘tiraf Dan Iqrar Dari Seorang Ayah
- Metode Itsbat Nasab Keenam: Al-Qur‘ah
- Metode Itsbat Nasab Ketujuh: Qiyafah
- Metode Yang Ditetapkan Ahli Biologi
- Tentang DNA Arab
- Hukum Tes DNA Untuk Memverivikasi Keturununan Nabi Muhammad Saw
-
Hukum Syara Yang Berkaitan Dengan Keturunan Nabi Muhammad SAW
- Kembali ke: Buku Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu
BAB I MENJAWAB KLAIM NASAB BA’ALWI MENURUT ILMU NASAB, ILMU FIKIH DAN SEJARAH
PASAL KE-1 TOLOK UKUR KEABSAHAN NASAB
Dalam buku tersebut Hanif Alatas dkk. hanya mencantumkan dua metode dalam
mengitsbat nasab: kitab-kitab nasab dan Al- Syuhrah wa al-Istifadlah. Nanti
kita akan mengetahui bahwa metode kitab-kitab nasab dan Al-Syuhrah wa
al-Istifadlah tidak dapat menetapkan kesahihan nasab Klan Ba‘alwi.
Selain
dua metode itsbat nasab yang dikutip Hanif dkk, ia juga mengutip ucapan Syakh
Husain bin Haidar al-Hasyimi berikut ini:
Dari lima metode itsbat nasab yang dikutip Hanif dkk. dari kitab Rasa‘il fi
Ilm al-Ansab itu ia tidak menjelaskan maksudnya satu persatu. Agaknya itu
sengaja ia lakukan agar para pembaca tidak memahami bagaimana sebenarnya
metode para ahli nasab dalam menetapkan nasab. baiklah akan penulis jelaskan
satu persatu metode penetapan nasab yang biasa dilakukan oleh para ahli nasab
berdasar kitab yang Hanif kutip tersebut.
Syekh Al-Husain bin Haidar
al-Hasyimi mengatakan:
وّثبت النسب ۴لعٚمات الٌاضحات ، و۴لبْنات الثابتات ، وّٙثبت ۴لشبيات ، ١تا ًّتتب
علْو من حقٌق ، واستحقاقات ،ومعامٚت
―Itsbat nasab itu terjadi dengan ciri-ciri yang jelas dan bukti yang
terkonfirmasi. Nasab tidak bisa diitsbat dengan keraguan, karena terkait
dengan hak-hak dan klaim hak dan mu‘amalah…‖
Dari ucapan Syekh Al-Husain
itu kita bisa menyimpulkan, bahwa suatu nasab baru bisa di-itsbat (ditetapkan)
jika sudah memenuhi sarat yaitu: adanya ciri-ciri yang jelas, bukti-bukti yang
terkonfirmasi, dan tidak boleh
di-itsbat hanya berdasar dzan (sangkaan
atau keraguan). Dengan studi kasus nasab Ba‘alwi, apakah nasab Ba‘alwi sudah
ada ciri-ciri yang jelas dan bukti-bukti yang terkonfirmasi. Setelah kita
mendalami nasab Ba‘alwi, maka kita berkesimpulan bahwa nasab Ba‘alwi ini tidak
“tsabit” (terkonfirmasi sahih), kenapa? Karena berdasar ciri-ciri, nasab ini
secara historiografi mengalami perpindahan jalur klaim leluhur yang
berganti-ganti dan banyak dari “amudunnasab” (nama-nama dalam silsilah) mereka
pun terkonfirmasi fiktif tidak sesuai tulisan kesejarahan yang mereka tulis.
Kemudian, bukti-bukti yang mereka punya mulai dari abad sembilan sampai
sekarang, kontradiksi dengan kitab-kitab nasab dan sejarah abad sebelumnya.
Nama leluhur mereka Ubaid, dalam kitab-kitab nasab abad sembilan dan
sebelumnya tidak disebut sebagai anak Ahmad bin Isa seperti klaim mereka.
Ucapan
Syekh Al Husain juga: wala yatsbutu bisyubuhat (tidak bisa di-itsbat dengan
keraguan), untuk nasab Ba‘alwi tidak bisa diterapkan. Karena sudah nyata,
dalam kitab Al-Burqat bahwa Ali al- Sakran di abad ke-9 Hijriah menetapkan
Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa itu hanya berdasarkan ijtihadnya: berdasarkan
kemiripan nama Ubaid leluhurnya dengan Abdullah yang ditulis dalam kitab
Al-Suluk tahun 732 H.
Metode Itsbat Nasab Pertama: Al Syuhrah Wa Al Istifadlah
Syekh Al-Husain mengatakan:
―Ulama nasab menghitung ada lima metode dalam menetapkan nasab: pertama,
adalah dengan “istifadlotunnasab” (menyebarnya nasab) dan “syuhratunnasab”
(popularnya nasab) di desanya dengan popular yang membuahkan keyakinan dan
dengan menyebar antara manusia yang bisa terjadi keyakinan dengan berita
mereka, atau dugaan kuat, dan aman dari kemungkinan kesepakatan mereka untuk
berdusta, dengan disertai tidak adanya dalil yang menentang. Dan Istifadlah
yaitu Al-Tasamu‟ (saling dengar-mendengar) ia termasuk hal-hal yang paling
nampaknya bukti, dan ada alasan untuk memberitakannya. Ulama memilih
istifadlatunnasab dengan tasamu‟, karena nasab itu adalah sesuatu yang tidak
ada jalan masuk untuk melihat langsung‖
Metode pertama untuk menetapkan
nasab menurut Syekh Al- Husain adalah Istifadlatunnasab (menyebarnya nasab)
dan “syuhratunnasab” (popularnya nasab) di desanya. Kalimat istifadlah dan
syuhrah dalam Bahasa Arab bermakna sama yaitu “intasyara wa dza‟a” (menyebar
dan popular/viral). Jadi, jika seseorang, misalnya Samsul, telah dikenal luas
sebagai anak Bapak Samlawi di desanya atau di negaranya, maka ketika ada orang
ditanya oleh orang lain, baik dalam suasana formal atau informal, “Samsul anak
siapa?”, Lalu orang itu menjawab, “ Samsul anak bapak Samlawi,” maka ia tidak
dianggap berdusta walaupun ia tidak mengetahui kelahiran samsul ini, atau ia
tidak mengetahui akte kelahirannya, kenapa karena kabar itu telah dibicarakan
banyak orang: “syuhrah dan istifadlah.”
Tetapi syuhrah istifadlah itu
bisa diterapkan untuk meng-itsbat nasab, menurut Syekh Hasan, hanya ketika
tidak ada bukti yang menentang („adamul mu‟aridl). Bukti yang menentang itu
bisa berupa pengingkaran dari ayah atau adanya Tha‟n (celaan pengingkaran
nasab) dari orang. Misal begini: ada orang bersaksi bahwa Ubaid adalah anak
Ahmad berdasarkan dengar-mendengar. lalu ada orang men-tha‟n
(mengingkari) dengan mengatakan bahwa Ubaid bukan anak Ahmad
dengan membawa bukti, maka gugurlah Tasamu‟ atau syuhrah
istifadlah itu. yang demikian itu namanya
tha‟n (celaan pengingkaran nasab). Jika tha‟n
ini berdasar bukti maka dapat diterima, jika berdasar
bukti tidak maka diabaikan.
Jadi tidak bisa dikatakan ketika Ubaidillah
hari ini sudah syuhrah wal istifadlah sebagai anak Ahmad bin Isa, maka itu
cukup untuk dijadikan dalil itsbat selamanya. Tidak demikian. Jika ada dalil
yang kuat yang menyatakan sebaliknya maka syuhrah wal istifadlah itu gugur.
Perhatikan
apa yang dikatakan dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz 8 h. 319 karya Imam
Ramli:
َ
―Dan boleh baginya bersaksi dengan
tasamu‟ ketika tidak ada
penentang yang lebih kuat dari tasamu‟, seperti
inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha‟n (celaan) seseorang dalam
nasab itu. benar hukum demikian bahwa tasamu‘ gugur dengan adanya inkar dan
tha‟n, tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha‟n itu tidak
disertai tanda-tanda kedustaan orang yang menyampaikannya‖
Dari ucapan
Imam Ramli ini jelas, bahwa tasamu‟ atau popularnya Samsul sebagai anak
Samlawi disyaratkan dua hal: pertama, jika Samlawi masih hidup, maka ia tidak
mengingkari bahwa Samsul adalah anaknya, jika ia mengingkari maka batal-lah
tasamu‟ itu ; kedua, jika Samlawi telah meninggal maka disyaratkan tidak
adanya saksi yang mengatakan bahwa sebenarnya Samsul bukan anak Samlawi,
tetapi ia hanya anak angkat. Jika ada saksi yang mengatakan bahwa sebenarnya
Samsul hanya anak angkat dengan membawa bukti maka gugurlah tasamu‟ itu.
terkait nasab Ubaid yang hari ini secara tasamu‘ dikatakan sebagai anak Ahmad
ternyata datang saksi berupa kitab Al-Syajarah al-Mubarakah yang menyatakan
anak Ahmad hanya tiga Muhammad, Ali dan
Husain, tidak ada anak bernama Ubaid atau Abdullah
atau Ubaidillah, disertai tes DNA Ubaid yang berbeda dengan DNA keturunan
Ahmad, maka gugurlah tasamu‟ itu.
Proposisi demikian pula dikuatkan oelh
Ibnu Hajar Al- Asqalani berkata:
ان النسب ٦تا ّثبت ۴ٙستفاضة اٙ ان ّثبت ما
خيالفو
―Sesunggunya nasab adalah sebagian dari yang bisa ditetapkan
dengan metode istifadloh kecuali telah sohih sesuatu yang menentangnya‖43
Maksud Syuhrah Wa al-Istifadlah adalah Min Adzhar al-Bayyinat
Kalimat Syekh Al-Husain bahwa syuhrah wal istifadlah adalah “min adzhar al
Bayyinat”, bukan bermakan bahwa syuhrah itu dalil paling
kuat. Bukan. Jika yang diinginkan
maksudnya adalah
―paling kuat‖ maka kalimatnya adalah “min aqwal
bayyinat”. Adapun maksud “min adzhar al- bayyinat” adalah yang ―paling
nampaknya bukti‖ atau ―bukti paling mudah di akses‖. Artinya bukti yang paling
mudah dicapai oleh orang untuk mengetahui nasab seseorang. Kita tidak perlu
sulit-sulit menanyakan akta kelahirannya, hasil dengar mendengar saja sudah
cukup untuk mengatakan bahwa Samsul adalah anak Samlawi. Artinya jika kita
mengatakannya kita tidak dianggap berdusta atau tidak bisa dituntut di
pengadilan.
Hakikat kesaksian itu seharusnya adalah apa yang dapat
dilihat, tetapi ulama membolehkan beberapa hal untuk dikatakan sah
kesaksiannya hanya berdasar syuhrah atau dengar-mendengar, diantaranya adalah
nasab, pernikahan, jima, kematian dan pengangkatan sebagai hakim. Karena
masalah-masalah tersebut biasanya hanya diketahui oleh orang-orang terdekat
dengan seseorang. Jika tidak dibolehkan bersaksi dengan syuhrah, maka akan
membawa dampak negative yaitu banyak kekosongan hukum karena tidak bisa
mencari saksinya (lihat Fiqhul Islam wa adillatuhu, 8/282).
Syuhrah
wa al-Istifadlah boleh dijadikan tools untuk bersaksi hanya karena darurat.
Karena ada beberapa hal yang sulit untuk disaksikan dengan mata secara
langsung diantaranya tentang nasab dan kematian. Tentang kebolehan bersaksi
dengan syuhrah ini dihikayatkan adanya ijma‘. Ijma‘ yang dimaksud itu adalah
ijma tentang kebolehan penggunaan metode syuhrah, bukan ijma tentang bahwa
nasab harus diijma‘ dengan syuhrah. Orang yang menyatakan demikian, seperti
Idrus Ramli, menunjukan kebodohan yang nyata dalam Ilmu Fikih.
Coba
perhatikan yang dinyatakan kitab Al-Najm al-Wahhaj
karya Al- Damiri:
قال:
(ولو الشيادة ۴لتسامع علَ نسب) ۴ٗٚتاع, ٕن نسبوٙ
ّدرك ۴لبصر, وغاّة ا١تمكن
رؤّة الٌٙدة علَ الفراش، فاكتفِ
عُت ا١تنسٌب
فْو
۴ٙستفاضة للحاجة، وجيٌز ذلك وإن مل ّعرف
كل ىذا إن مل تكن
إلْو،
حكاه يف (الكفاّة) عن (اٗشراف.)
رّبة، فإن كانت أبن كان ا١تنسٌب
إلْو حًْا فأنكر .. مل ٕتز
جازت علَ الصحْح، فإن طعن بعض
الشيادة،
فإن كان ٣تنًٌ۷
الناس ىف ذلك النسب .. امتنعت الشيادة علَ
إصح.
―Boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ terhadap nasab dengan
ijma‘. karena nasabnya tidak bisa dilihat dengan mata. Yang mungkin bisa
dilihat adalah kelahiran di ranjang, maka cukuplah dalam nasab itu
dengar-mendengar. Hal itu boleh walau orang itu tidak mengenal mansub ilaih
(seperti ayahnya). Keterangan itu diceritakan dalam kitab Al-Kifayah.
Semua ketentuan itu berlaku bilamana tidak ada keraguan. Apabila keraguan itu
ada, contohnya orang yang menjadi Al-Mansub ilaih itu masih hidup lalu
mengingkarinya, maka tidak diperbolehkan untuk bersaksi. Maka jika mansub
ilaih itu gila, boleh ia bersaksi menurut qaul sahih. Ketika sebagian orang
mencela nasab tersebut maka tidak diperbolehkan bersaksi tentang nasab itu
menurut
qaul asoh 44”.
Dari ucapan Al-Damiri di atas jelas bahwa
ijma yang dimaksud adalah ijma tentang kebolehan bersaksi untuk nasab dengan
tasamu‟, bukan ijma keharusan bersaksi dengan tasamu‟. Al-Damiri juga
menyatakan kebolehan bersaksi dengan tasamu‟ itu karena nasab tidak bisa
dilihat. Hal yang paling mungkin adalah melihat kelahiran di ranjang, itupun
yang mengetahui hanya bidan dan beberapa orang saja. Untuk orang lain
bagaimana cara bersaksi bahwa Samsul adalah anak Samlawi? Ya cukup dengan
mendengar dari orang lain bahwa Samsul itu anak Samlawi. Bagaimana nanti jika
bidan bersaksi bahwa sebenarnya anak yang asli dibawa pergi lalu diganti bayi
yang lain? Maka kesaksian bidan ini sangat kuat jika diyakini ia tidak
berdusta berdasar bukti-bukti lain yang kuat pula. Dalam keadaan seperti itu
tasamu‟ gugur.
Al-Damiri juga menyatakan, tasamu‟ itu bisa digunakan
sebagai tools bersaksi ketika tidak ada keraguan: kullu hadza in lam takun
ribatun (hukum bersaksi dengan tasamu‟ ini jika tidak ada keraguan).
Jika ada keraguan, semisal Samlawi mengingkari bahwa Samsul adalah anaknya,
maka tasamu‟ itu batal. Bagaimana jika Samlawi gila, sehingga ia tidak bisa
membenarkan atau mengingkari tasamu‟ yang beredar di tengah masyarakat bahwa
Samsul adalah anaknya. Menurut qaul sahih boleh bersaksi dengan tasamu‟ bahwa
Samsul adalah anak Samlawi yang gila itu. tetapi ketika ada saksi yang
mengatakan sebaliknya, menurut Al-Damiri, tidak boleh bersaksi dengan tasamu‟
bahwa Samsul adalah anak Samlawi yang gila itu, ini menurut pendapat yang
ashoh.
Istifadlah atau Tasamu’ Wajib Terjadi di Kampung Asal Bukan di Tempat
Hijrah
Syekh Al-Husain bin Haidar al-Hasyimi mengatakan:
وجيب التنبو إىل أن اٙستفاضة جيب أن تكٌن يف بلدتو أو قبْلتو،
ٙ تلك ا١تزعٌمة واليت تكٌن يف ميجره
―Dan wajib diingat bahwa sesungguhnya istifadlah itu wajib terjadi di desanya
atau di kabilahnya bukan (seperti) yang dikira (banyak orang) yaitu istifadlah
di tempat hijrahnya‖
Maksudnya, syuhrah istifadlah itu harus di Negara
asal, bukan di daerah tempat ia berhijrah. Jika Ubaid ini dikatakan hijrah
dari Bashrah ke Yaman, maka syuhrah-nya ia sebagai anak Ahmad itu harus di
Bashrah bukan di Yaman. Sedangkan tidak ada bukti apapun dari masa Ubaid yang
kita bisa akses dari Bashrah bahwa Ubaid adalah benar anak Ahmad .
apalagi, di Yaman pun Ubaid tidak syuhrah sebagai anak Ahmad sejak masa ia
hidup sampai 550 kemudian. Tidak ada kitab yang mengatakan ia anak Ahmad.
Metode Itsbat Nasab Kedua: Kitab-Kitab Nasab
Syekh Husain mengatakan:
النسابُت إبدال ، العلماء الثقات ،
ُكتُ ُب
الطرُق
الثاين :
احملققُت إثبات ، اليت مل تلحقيا أّدي ا٢تٌاة
العابثُت ، والضعفاء
ا١تًتوكُت ، والٌضاع الكاذبُت ، ٙ سْما إن كانت
مشيٌرة
منتشرة، أما إن كانت ٥تطٌطة فْجب التثبت من ا٠تطٌط ،
ومقابلة النسخ ا١تخطٌطة
―Cara kedua adalah dengan menggunakan kitab-kitab para ahli nasab yang abdal,
ulama-ulama terpercaya, para ahli tahqiq yang terkonfirmasi, yaitu
kitab-kitab yang tidak tidak disentuh oleh tangan-tangan amatir yang sembrono,
orang-orang lemah yang ditinggalkan, para pemalsu yang pendusta. Apalagi jika
kitab nasab itu telah telah popular dan tersebar. Jika kitab itu masih
berupa manuskrip maka wajib untuk
diverifikasi dan
dibandingkan antara satu manuskrip dengan
manuskrip lainnya‖
Cara menetapkan nasab kedua adalah dengan kitab-kitab
para ahli nasab yang abdal. Apa yang dimaksud ahli nasab yang abdal? Syekh
Hasan mengatakan:
اٙبدال ىم الذّن خيلفٌن بعضيم بعضا علَ ىذا العلم
“Al-abdal adalah mereka yang saling bergenerasi menggantikan
sebagian
mereka kepada yang lain‖ (Rasa‟il h. 193).
Apa arti menggantikan dari
satu generasi ke generasi lainnya? Artinya, misal kitab nasab abad sembilan
Hijriyah adalah kelanjutan dari kitab nasab abad kedelapan, kitab nasab abad
kedelapan adalah kelanjutan dari kitab nasab abad ketujuh, kitab nasab abad
ketujuh adalah kelanjutan dari kitab nasab abad ke enam dan seterusnya. Kitab
yang lebih belakangan (muda) tidak boleh bertentangan dengan kitab yang
terdahulu (tua). Inilah yang dimaksud kitab sezaman atau yang mendekatinya.
Dalil Kitab Sezaman
Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al- Ansab karya Fuad
bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani halaman 76-77 dikatakan:
وعندما ٨تقق النسب فان ا١تصادر الىت ديكن ان نستقِ منيا النسب جيب ان تكٌن منكتب
اٙنساب القددية اليت كتبت فْما قبل العصر اٟتدّث حْثكان الناس اقرب اىل معرفة
اصٌ٢تم
―Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita
mengambil darinya, wajib berupa kitab- kitab nasab terdahulu yang ditulis
sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan
mereka‖
Ia juga mengatakan di halaman 77:
―Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat
dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau
berdasar memori bangsa saja‖
Dalam Kitab “Dalil
Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab”
karya
Dr. Imad Muhammad al-‗Atiqi dikatakan:
وخيتلف ا١ترجع عن ا١تصدر يف ان ا١تصدر اقرب زمان ومكان وبْئة
اما ا١ترجع فيٌ ٥تتلف عن ا١تصدر يف بعض
اٙحداث اليت ّروّيا
فْحتاج
مؤلف ا١ترجع اىل مصادر ومٌاد
او كل العناصر السابقة
اولْة اخرى ٙ٧تاز ْتثو وًّتتب علَ ذلك ان ا١تصدر ّكٌن اجدر
۴ٙعتبار يف حالة التعارض مع ا١ترجع مامل حيتٌ ا١ترجع علَ ٖتلْل دقْق ّفند اوجو
التعارض من خٚل مصادر او مٌاد اولْة اخرى
―Marji‟ (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih
dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya.
Adapun marji‟ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur
sebelumnya. Maka penulis marji‟ membutuhkan mashdar dan sumber lain yang
primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik
dihitung apabila terjadi pertentangan dengan marji‟, kecuali jika marji‟
tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui
mashdar atau bahan-bahan primer lainnya‖.45
Dalam kitab Siyar a‟lam al
Nubala (di muqaddimah) dikatakan:
ومن أجل تٌثْق إحادّث والروا۸ت عٍت الذىيب بنقل إسانْد اليت وردت يف
ا١تصادر اليت نقل عنيا، ومل ّكتف إبّراد ا١تصدر
―Dari sisi menguatkan hadis-hadis dan riwayat, Al-Dzahabi mempunyai
perhatian dengan mengutip sanad-sanad yang terdapat dalam sumber-sumber hadis
tersebut. Ia tidak mencukupkan diri dengan hanya menyebut sumbernya saja. Ini
adalah metode yang membantunya untuk mendahulukan sumber-sumber asli yang
dikutip oleh referensi, dan yang dipersiapkan untuk itu.‖46
Dalam kitab
Al-„Ibar karya Ibnu Khaldun dikatakan:
ّسرّن وأئ ّمة النّقل من ا١تغالط يف
وكثَتا ما وقع للمؤّرخُت
وا١تف
اٟتكا۸ت والٌقائع ٙعتمادىم فْيا علَ ٣تّرد النّقل غثّا أو
ٝتْنا ومل ّعرضٌىا علَ أصٌ٢تا وٙ قاسٌىا أبشباىيا وٙ سربوىا ٔتعْار
علَ طبائع الكائنات وٖتكْم النّظر والبصَتة يف و۵ىٌا يف بْداء الٌىم والغلط
اٟتكمة والٌقٌف إخبار فضلٌّا عن اٟتق
―Dan banyak para sejarawan, ahli tafsir dan para imam-imam perawi terjadi
kesalahan dalam hikayat-hikayat dan kejadian- kejadian karena mereka
berpatokan dengan hanya mengutip tidak peduli yang rusak atau yang baik.
Mereka tidak memverifikasinya kepada sumbernya dan tidak mengukurnya dengan
serupanya dan tidak menelitinya dengan standar ilmu dan berdiri terhadap
kebiasaan alam semesta dan menguatkan pemikiran dan bashirah dalam
berita-berita maka mereka tersesat dari kebenaran dan bingung dalam lapangan
dugaan dan kesalahan‖.47
Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Al Muqaddimat
fi „Ilm al
Ansab:
―Syarat menjadikan kitab
nasab sebagai pegangan adalah
pertama ia tidak boleh
berbeda dengan kitab-kitab asal.‖48
Perhatikan! Menurut Syekh Khalil
Ibrahim, kitab nasab yang bisa dijadikan pegangan adalah kitab nasab yang
tidak beretentangan dengan kitab-kitab asal. Apa yang dimaksud dengan kitab
asal? Ya tentu kitab sebelumnya. Artinya jika di kitab nasab abad keenam telah
ditetapkan bahwa Ahmad hanya mempunyai anak tiga maka kitab- kitab nasab masa
selanjutnya tidak boleh mencatat empat. Jika mencatat empat berarti
bertentangan dengan kitab asal, dan nama keempat adalah nama susupan.
Kata
sebagian orang bahwa makna “ushul” dalam ibarat Syekh Khalil Ibrahim itu
artinya ―nasab-nasab asal‖, itu sama saja. Artinya susunan nasab hari ini
tidak boleh bertentangan dengan susunan nasab masa lalu. Misalnya: jika abad
ke-6 Hijriah telah dikatakan anak Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan
Husain, maka hari ini tidak boleh dikatakan anaknya empat dengan menambah
Ubaid.
Penambahan Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa di abad sembilan
bertentangan dengan kitab abad keenam yang menyebut nama anaknya hanya tiga:
Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada yang bernama Ubaid. Munculnya nama Ubaid
sebagai anak Ahmad setelah 550 tahun dari wafatnya Ahmad tanpa referensi
apapun menunjukan nama Ubaid adalah susupan yang wajib ditolak akal sehat.
Dr.
Abdurrahman bin Majid al-Qaraja dalam kitabnya Al-Kafi al- Muntakhob
mengatakan:
علَ ما ّثبتو النسابة خصٌصا ان كانٌا اقرب زما۷
وٙ ّقدم ْتال
او
مكا۷
―(Sejarawan) tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli
nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya atau tempatnya.‖49
Perhatikan
apa yang dikatakan para ulama di atas. Mereka bersepakat, pentingnya
memverifikasi sebuah informasi masa lalu dengan meneliti sumber masa lalu itu.
Untuk mengetahui benar tidaknya informasi masa lalu, diperlukan kitab sezaman
atau yang lebih dekat zamannya dengan objek penelitian. Dinyatakan pula oleh
para ulama bahwa dalam ilmu nasab, jika sebuah referensi bertentangan dengan
referensi yang lebih tua, maka referensi yang lebih tua yang didahulukan
Disebutkan pula, kitab sejarah tidak boleh didahulukan dari kitab nasab
apalagi jika kitab nasab itu zamannya lebih dekat. Dari situ jelas kitab
sezaman atau yang mendekati adalah instrumen yang dalam penelitian kesahihan
nasab.
Ali al-Sakran di abad ke-9 Hijriah dalam kitabnya Al-Burqat al-
Musyiqat mengklaim bahwa keluarganya (Ba‘alwi) adalah keturunan Nabi Muhammad
SAW via Ahmad bin Isa yang hidup di abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, katanya
melalui anak Ahmad yang bernama Ubaid atau Ubaidillah atau Abdullah. Setelah
diverfikasi di kitab-kitab nasab sebelum abad ke-9, tidak menyatakan bahwa
Ahmad mempunyai anak bernama Ubaid. Referensi tertua tentang jumlah
keseluruhan anak Ahmad bin Isa ada di tahun 597 Hijriah yaitu dalam kitab
Al-Syajarah al-Mubarakah, bahwa anak Ahmad bin Isa hanya tiga orang yaitu:
Muhammad, Ali dan Husain.
Nama-nama yang terdapat dalam silsilah nasab
Ba‘alwi yang ditulis Ali al-Sakran sebagai para ulama besar juga sama sekali
tidak disebutkan dalam kitab-kitab sejarah sebelum abad ke-9. Padahal
ulama-ulama lain yang satu kampung (Tarim) dengan keluarga Ba‘alwi ditulis
oleh para ulama. Maka berita di abad ke-9 Hijriah yang ditulis Ali al-Sakran
kontradiksi dengan kitab yang lebih tua. Sesuai dengan kaidah yang dipaparkan
ulama di atas, maka kitab yang lebih tua yang harus dijadikan patokan
peng-itsbat-an. Yaitu bahwa Ubaid tidak terbukti sebagai anak Ahmad bin Isa,
dan para leluhur Ba‘alwi itu tidak terbukti sebagai ulama bahkan beberapa
diantara mereka terindikasi kuat adalah sosok yang fiktif. Maka ketika nama
Ubaid muncul di abad ke-9 Hijriah, wajib dihukumi sebagai susupan yang harus
ditolak, begitu pula hisitoriografi leluhur Ba‘alwi yang disebut Ali
al-Sakran.
Menemukan manuskrip
Jika ada orang mengaku menemukan mansukrip yang tidak ditemukan orang lain
dengan angka tahun tua maka tidak serta merta bisa diterima. Syekh Hasan bin
Haidar mengatakan:
أما إن كانت ٥تطٌطة فْجب التثبت من ا٠تطٌط ، ومقابلة النسخ ا١تخطٌطة ، ومىت عُرف
خط النسابة احملقق الثقة فإنو ّعمل بو
―Adapun jika kitab itu masih berupa manuskrip maka wajib diverifikasi dan
dibandingkan antara satu manuskrip dan manuskrip lainnya. Ketika diketahui
tulisan ahli nasab yang ahli tahqiq dan terpercaya maka tulisan itu bisa
digunakan‖
Jadi, pengakuan manuskrip itu harus diverifikasi pertama
dengan metode study teks dan intertekstualitas lalu dilihat dari sisi media
yang digunakan. Harus diketahui pula siapa yang menulis, tahun berapa
ditulis, dan selama ini manuskrip tersebut tersimpan di mana.
Sebagai
contoh, beberapa kali Rumail Abbas mengklaim ia menemukan manuskrip, lalu
sebagiannya ditampilkan, dan sebagiannya lagi hanya ditampilkan salinan isinya
yang berupa sanad- sanad hadits. Penulis telah dapat membuktikan bahwa
klaim-klaim Rumail itu tidak terbukti dan manuskrip-manuskrip yang katanya
ditulis abad ke-6 dan sekitarnya itu adalah manuksrip palsu, serta sanad-sanad
hadits itu pun tertolak oleh disiplin Kritik Hadits. Sebagaimana
secara khusus telah penulis ulas dalam
buku kecil penulis: Manuskrip-Manuskrip Palsu Ba‟alwi Versi Rumail
Abbas, yang telah penulis terbitkan pada 16 September 2024.
Metode Itsbat Nasab Ketiga: Bayyinah Syar’iyyah/Syahadah
Syekh Hasan mengatakan:
الطرّق الثالث : قْام البْئة الشرعْة ، والبْنة ىِ الشيادة ، فْشيد رجٚن عدٙن
معروفان بعدالتيما علَ صدق الدعٌى
―Metode ketiga adalah adanya “Al-bayyinah al-Syar‟iyyah” (bukti yang sah
secara syari‘at), yaitu syahadat (kesaksian). Maka dua orang yang adil yang
dikenal keadilannya bersaksi atas benarnya pengakuan (nasab).‖
Kesakisan
dua orang saksi ini bisa dilakukan untuk kesaksian orang yang hidup hari ini.
Tidak bisa untuk Ubaid yang hidup seribu tahun lalu. Syekh Khalil Ibrahim
mengatakan tentang Al-bayyinah al- Syar‟iyyah dalam kitabnya Muqaddimat fi
„ilmi al-Ansab:
أقٌل:إن ىذا إمر لْس يف ثبٌت نسب القبائل بل ّعمل بو يف إٟتاق نسب طفل أببْو
―Aku berkata sesungguhnya masalah ini (Al-Bayyinah al- Syar‟iyyah) bukan untuk
menetapkan nasab qabilah-qabilah, tetapi digunakan untuk menetapkan nasab anak
kepada ayahnya.‖50
Jadi, metode dua orang saksi ini tidak bisa digunakan
untuk mengitsbat Ubaid sebagai anak Ahmad. sedangkan menurut pendapat yang
lemah boleh digunakan untuk mengitsbat nasab orang yang hari ini sampai nasab
jauh tetapi hukumnya sama dengan syuhrah wa al- istifadlah yaitu tidak boleh
bertentangan dengan sumber-sumber berupa kitab atau yang lainnya. Misalnya ia
berkata ―aku bersaksi bahwa nasab pulan adalah
pulan bin pulan bin pulan dst‖. Tetapi
hukumnya seperti syuhrah wa
al- istifadlah yang tidak boleh
bertentangan dengan sumber-sumber syahadah yang lain.
Metode Itsbat Nasab
Keempat: Al-I’tiraf Dan
Iqrar Dari Sebuah Kabilah
الطرّق الرابع : أن تعًتف القبْلة وتقر ، لفرد أو ٚتاعة ، بصدق النسب وصحتو ،
ومقصٌد۷ ۴ٞتماعة أي إحدى طبقات النسب
، واعًتاف القبْلة وإقرارىا ّكٌن كذلك ٕجل اٙستفاضة فْيا ،
لشيادة زعْم القبْلة وٙ قْمة للشيادات الشاذة ، كما ٙ قْمة
منفرداً ٙ سْما إنكان جاىًٚ ۴ٕنساب وإخبار .
―Cara yang keempat adalah sebuah qabilah meng-I‟tiraf dan meng-iqrar bagi
individu atau komunitas tentang benar dan sahnya nasabnya. Maksud kami dengan
komunitas adalah salah satu tingkatan nasab. peng-I‟tiraf-an dan peng-ikrar-an
sebuah kabilah seperti itu karena adanya istifadlah dalam kabilah itu. dan
tidak bernilai kesaksian yang syadz (beda sendiri), seperti tidak bernilainya
kesaksian pemimpin kabilah secara sendiri apalagi ia bodoh tentang nasab dan
berita.‖
Menurut para ulama, metode ini digunakan untuk mengitsbat orang
yang masih hidup seperti sebuah klan mengakui seseorang merupakan bagian dari
klannya. Jadi, jika ada sebuah klan, contohnya Ba‘alwi mengakui bahwa Bahar
Sumait adalah merupakan bagian dari Ba‘alwi, maka sah lah Bahar Sumait ini
sebagai Ba‘alwi. tetapi bukan untuk meng-itsbat orang yang telah wafat seribu
tahun seperti Ubaid.
Menurut Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Muqaddimat,
metode I‟tiraf dan iqrar ini pula tidak bisa mengitsbat nasab yang jauh
seperti Ubaid. Ia digunakan hanya untuk nasab orang yang hari ini hidup:
أقٌل: إن ىذا اٙمر ٙ خيص نسب القبائل بل ىٌ خيص النسب الفردي ا١تشكٌك يف صحتو
فعندما ّقر وّعًتف إب أببٌتو ٢تذا
الطفل أو الٌلد ّلحق بو وبنسبو
―Aku
berkata, sesungguhnya masalah ini tidak menentukan nasab kabilah-kabilah
tetapi ia menentukan nasab seseorang yang diragukan kesahihannya. Maka ketika
seorang ayah ber- I‟tiraf dan ber-ikrar bahwa ia bapak dari anak ini maka anak
ini di-itsbat kepadanya dan kepada nasabnya.‖51
Metode Itsbat Nasab Kelima: I’tiraf Dan Iqrar Dari Seorang Ayah
الطرّق ا٠تامس : أن ّعًتف رجل عاقل وُّقر ، أن فٚ۷ً ّكٌن ابنو،
وّكٌن ا١تدعِ ٦تن ٌّلد مثلو ١تثل الدعِ ، وانتفت ا١تٌانع
―Metode yang kelima adalah I‟tiraf atau iqrar seorang laki-laki yang berakal
bahwa fulan adalah anaknya. Dan orang yang diaku haruslah orang yang pantas
diakui (sebagai anak) untuk pengaku. Dan tidak ada penghalang (untuk pengakuan
itu).‖
Cara I‟tiraf dan ikrar seorang ayah kepada anak ini pula menurut
syekh Khalil Ibrahim, digunakan untuk orang yang masih hidup bukan untuk orang
yang sudah ribuan tahun wafat seperti Ubaid.
Sebenarnya ada tiga metode
lagi yang terdapat dalam kitab Rasa‘il fi ―ilm al-Ansab yang teks nya tidak
ditampilkan oleh Hanif dkk yaitu dengan metode Qur‘ah, Qiyafah dan DNA. Adapun
teks tersebut adalah sebagai berikut:52
الطرُق السادس :
وأقر الفقياء طرائق النسابُت ، وزادوا
علْيا:
: قْافة البشر ، وىِ : إٟتاق اٙبن
الطرُق
السابع
القرعة.
Penulis akan jelaskan tiga metode yang tidak dijelaskan oleh Hanif
dkk.
Metode Itsbat Nasab Keenam: Al-Qur’ah
Al-Qur‟ah (diundi) digunakan sebagai itsbat nasab berdasarkan hadits Zaid bin Arqam ia berkata:
―Aku duduk di sisi Nabi SAW maka datanglah seorang laki-laki dari Yaman maka ia berkata bahwa tiga orang dari Yaman datang kepada Ali KW mengadukan sengketa hukum anak kepadanya, mereka telah menjima‘ seorang wanita dalam satu masa suci. Maka Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak untuk orang ini, maka kemudian dua orang itu tidak mau dengan bergolak. Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, maka Ali berkata, kalian bersama-sama orang yang bertengkar, aku akan mengundi di antara kalian, maka barang siapa keluar undianya anak ini miliknya, dan ia harus membayar 2/3 diyat bagi yang lain, maka kemudian Ali mengundi di antara mereka, maka ia menjadikan anak itu bagi yang keluar undian. Maka Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.‖
Metode Itsbat Nasab Ketujuh: Qiyafah
.الطرّق السابع : قْافة البشر ، وىِ : إٟتاق اٙبن ۴ٕب
۴لصفات ا١تتماثلة ، واٟتكم بثبٌت النسب بدٙئل إعضاء ،
شأهنا يف ذلك شأن البْنة العادلة
―Cara yang ketujuh adalah qiyafatul basyar. Yaitu mengitsbat anak kepada ayah
berdasarkan sifat-sifat yang saling serupa, dan menghukumi tetapnya nasab
berdasarkan petunjuk-petunjuk anggota badan. Keadaan qiyafah sama dengan
keadaan saksi yang adil.‖
Secara bahasa qiyafah artinya “tatabbu‟ul atsar
wa al- syibhi” (mengikuti tanda dan keserupaan). Jika seorang ayah ragu akan
anaknya maka ia bisa memanggil ahli qiyafah untuk melihat keserupaan antara
ayah dan anak pada anggota badan tertentu misalnya tapak kaki, lalu ahli
qiyafah menentukan apakah anak ini benar anaknya atau bukan. Para ahli fikih
memperbolehkan qiyafah kecuali madzhab hanafi. Para ulama yang membolehkan
berdasarkan hadits Aisyah RA:
―Sesungguhnya Rasulullah masuk kepadanya
dalam keadaan
gembira bercahaya garis-garis wajahnya kemudian ia
berkata,
―apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan Al- Mudliji
tentang Zaid dan Usamah? Ia telah melihat tapak kaki keduanya bahwa sebagian
kaki ini adalah bagian dari lainnya‖ (H.R. Bukhari).
Selain ketujuh
metode pengitsbat nasab itu, para ahli nasab modern mempertimbangkan hasil tes
DNA sebagai acuan pengitsbatan nasab. seperti yang dikatakan oleh Syekh
Al-Husain bin Haidar berikut ini:
Metode Yang Ditetapkan Ahli Biologi
“Sebuah Metode Yang Disetujui Oleh Para Ahli Biologi. Para ahli biologi
menyetujui metode-metode di atas, dan menambahkan tes-tes laboratorium genetis
ke dalamnya, dan para ahli nasab mengikutinya dalam hal itu. Yang benar-benar
dapat diandalkan tanpa perselisihan adalah tes-tes laboratorium yang
membuktikan bahwa si fulan berkerabat dengan ayah dekatnya atau dengan kakek
dekatnya. Sedangkan bagi yang kembali ke garis keturunan jarak jauh, para ahli
nasab belum menganggapnya qat‘iy, ia hanya sebagai penenang jiwa, mengingat
penelitian di bidang ini masih dalam tahap awal, dan belum ada undang-undang
yang diatur secara lengkap – sampai saat ini- sehingga bisa dijadikan
pegangan.‖
Menurut Syekh Al-Husain, menetapkan hubungan biologis anak
kepada ayahnya dengan metode tes DNA sudah qot‟i. tetapi untuk mengetahui
hubungan biologis antara anak dan keturunan jauh masih hanya sebatas pendukung
untuk menguatkan saja. Perlu diketahui, kitab Rasa‟il tersebut dikarang
sekitar tahun 2013 ketika jumlah sampel para orang yang melakukan tes DNA
termasuk yang mengaku keturunan Nabi Muhammad SAW belum banyak seperti
sekarang ini.
namun hari ini telah dapat
dipetakan kelompok-kelompok genetic tiap-tiap kelompok suku di
seluruh dunia.
Dalam kitab Muqaddimat fi „Ilmi al-Ansab Syekh Khalil
Ibrahim menyajikan tulisan pakar DNA Arab, Professor Ubaedillahdalam tulisan
tersebut, Prof. Ubaedillah menyatakan bahwa:
―Tes DNA telah mampu
membongkar orang yang mengaku keturunan Ahlibait dengan palsu dan dusta. Hal
itu ketika hasil tes DNA mereka menunjukan bahwa mereka adalah dari keturunan
Persia dan Kaukasus. Maka tidak aneh mereka memerangi ilmu tes DNA ini dalam
situs-situs mereka. Berbeda dengan hasil tes DNA para Asyraf lain yang
terkenal yang sama dan dekat dengan DNA Adnan.‖53
Prof Ubaidillah juga
mengatakan:
―Tes DNA bukan hanya perusahaan dagang seperti dugaan
sebagian orang, tetapi ia adalah suatu disiplin ilmu, sudah ada ilmuan
dibidangnya dan mempunyai istilah-istilah dan referensi- referensi sejak dulu.
Setiap perusahaan-perusahan ini di bawah pengawasan perkumpula ilmuan genetic
internasional yaitu International Sociate of Genetic Genealogi (ISOGG)‖54
Prof
Ubaidillah juga mengatakan:
―Untuk mengetahui DNA sebuah kabilah tidak
memerlukan sampel DNA kakek, seperti yang diduga sebagian orang. Tetapi ia
dapat diketahui dengan membandingkan dua sampel atau beberapa sampel dari
kabilah itu.‖55
Prof Ubaidillah juga mengatakan:
―DNA adalah stempel
yang dijadikan pegangan di masa depan. Ia adalah hukum pasti bagi pengakuan
nasab perorangan atau kelompok. Dan akan membawa
keengganan untuk meneliti surat-surat dan manuskrip-manuskrip
sejarah masa lalu yang berkaitan dengan nasab. DNA pula akan menggantikan
stempel para syekh dan ahli nasab karena ilmu nasab adalah ilmu riwayat yang
bersifat dzanni…ilmu DNA akan merubah ilmu nasab dari ilmu dzanni yang
bersifat tarjih yang terkadang terjadi pemalsuan menjadi ilmu yang rasional
yang terhormat yang berdasar hasil-hasil tes yang presisi yang tidak akan
salah dengan kekuasaan, hikmah, dan pengaturan Allah Azza wajalla‖.56
Prof.
Ubaidillah mengatakan:
―Haplogroup adalah kumpulan besar haplotype.
Haplotype adalah kumpulan mutasi-mutasi yang ditemukan bagi sebuah gen yang
diwarisi apa adanya pada kromosom Y. haplogroup dapat mencari keturunan
genetic garis laki ribuan tahun ke atas…haplogroup dengan semua cabang-cabang
dan mutasi- mutasinya akan naik di suatu masa kepada satu individu yaitu kakek
bersama genetic.‖57
Prof Ubaidillah menyatakan:58
1.
Haplogroup A: adalah haplogroup untuk
keturunan bangsa Etiopia, Sudan,
2. Haplogroup B:
Afrika
3. Haplogroup C: India, Srilangka, Asia
Tenggara,
4. Haplogroup D: Asia tengah, Mongoloia,
Selatan Asia.
5. Haplogroup E: Afrika.
6.
Haplogroup G: Utara Asia Tengah, Pakistan, Afganistan. Haplogroup G Disebut
Haplogruop Kaukasus kerena ke luar dari haplo ini 2 % dari penduduk barat laut
Eropa, 8-10 % dari penduduk Asbania, Italia, Yunan, Turki, 30% dari penduduk
Georgia dan Azerbaijan, 50% dari penduduk
Ositia Utara, 18% dari orang Druze, 10% dari Yahudi Askenazi, dan 20%
dari Yahudi Maroko.
7. Haplogroup R: Utara laut hitam
dari Orasia, Eropa Timur, India, Irlandia.
8.
Haplogroup I: Eropa, Viking.
9. Haplogroup H: India
Dravida, Pastun, Iran.
10. Haplogroup L: India
11.
Haplogroup M: Guinea
12. Haplogroup N: Utara Asia,
Cina, Mongolia,
13. Haplogroup
O: Asia Timur, Cina,
Malaysia, Vietnam, Indonesia, Korea, Jepang.
14.
Haplogroup K: Iran, Mesir, Papuanugini.
15. Haplogruop
Q: Amerika
16. Haplogroup S: Papuanugini, Indonesia,
Melanesia
17. Haplogroup T: Iran, Mesir, Afrika.
18.
Haplogroup J: Timur Tengah, Arab Syamiyah.
19.
Haplogroup J2: Asia Tengah, Iran, India, Kurdi.
Tentang DNA Arab
Profesor Ubaidillah berkata:
―Setelah meneliti dan melakukan banyak tes
dan analisis laboratorium terhadap DNA untuk mengetahui keragaman ras manusia,
para peneliti menemukan bahwa warisan genetik Arab termasuk dalam ras tersebut
(J1). Peneliti Profesor Ali bin Muhammad Al- Shehhi mengatakan: Kita dapat
memberi nama pada jenis J1 dengan DNA suku Arab. Menurun darinya orang
Palestina sebesar 38,4%, di Suriah 30%, di Aljazair 35%, dan di Tunisia 30%,
dan pada suku Badui meningkat menjadi 65,6% dan puncaknya mencapai 82. % di
kalangan suku Badui di Gurun Negev, dan diketahui asal usul suku Badui di
Gurun Nub berasal dari suku Arab asli. Adapun metode yang digunakan untuk
menentukan (J1) sebagai garis keturunan orang Arab: Peneliti DNA mengumpulkan
statistik untuk menentukan etnisitas orang Yahudi saat ini, jadi mereka fokus
pada sekte Kohenim, yaitu sekte penjaga kuil. seperti yang mereka katakan,
mereka adalah keturunan dari Nabi Harun AS. Padahal, sebagaimana diketahui,
seorang Yahudi adalah seseorang yang ibunya adalah seorang Yahudi, tetapi
seorang Kohenim adalah seseorang yang ayahnya adalah seorang Kohenim yang
merupakan keturunan Harun dari pihak ayah…para peneliti menemukan (mayoritas,
yaitu) 50% dari kohanim ini berhaplogroup J1, sedangkan 50% lagi terbagi
keberbagai haplougroup yang bermacam-macam…para peneliti menemukan gen ini
juga dimiliki orang Arab. Ini tidak mengherankan karena keturunan Adnan
membawa gen kakek mereka Ismail bin Ibrahim AS…para peneliti juga menemukan
bahwa gen Ismail bin Ibrahim, dengan dua cabangnya: Adnani dan Qahtani,
terkelompokan ke dalam J1c3d.‖59
Hukum Tes DNA Untuk Memverivikasi Keturununan Nabi Muhammad
Saw
DNA termasuk masalah baru yang tergolong ke dalam masalah- masalah yang secara
spesifik tidak ada dalilnya dalam Al-Qur‘an dan Al-Hadits. Untuk mengetahui
secara syar‟i apakah tes DNA boleh dilakukan atau tidak Para ulama harus
melakukan apa yang disebut “istinbath al-ahkam” (penggalian hukum) atau
ijtihad.
Untuk mengetahui apakah hukum tes DNA untuk memverifikasi
keturunan Nabi Muhammad SAW, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah
ada kepentingan Syara‟ untuk mengetahui seseorang apakah keturunan Nabi
Muhammad SAW atau bukan. Pertanyaan itu bisa dijawab jika kita mengetahui
apakah ada hukum- hukum Syara yang berkaitan dengan keturunan Nabi Muhammad
SAW?
Hukum Syara' Yang Berkaitan Dengan Keturunan Nabi Muhammad SAW
Hukum syara‘ yang berkepentingan dengan keturunan Nabi Muhammad SAW di
antaranya:
1. Khumus al-fai wa al-ganimah
2.
Imamah
3. Zakat
4. Kafa‘ah
5.
Waqaf
6. Wasiat
7. Nadzar
Harta
rampasan perang dibagi lima: 4/5 diberikan untuk para tentara; yang 1/5
diberikan kepada lima kelompok: pertama, masalih al-muslimin (membangun
jembatan, gajih ulama, hakim dll); kedua Bani Hasyim dan Bani Muthallib;
ketiga, anak yatim; keempat orang miskin; kelima Ibnu sabil. Bagian untuk Bani
Hasyim termasuk juga keturunannya hingga hari ini. Maka penting untuk
mengetahui siapa saja yang termasuk Bani Hasyim dan Bani Mutholib agar tidak
salah ketika memberikan harta khumusul khumus.
Imamah (yang menjadi
khalifah) dalam Madzhab syafi‘I disaratkan harus dari Quraisyi. Maka wajib
kitab mengetahui apakah yang akan kita jadikan khalifah ini benar dari Quraisy
atau tidak.
Bani Hasyim dan Bani Muthallib tidak boleh diberikan zakat.
Maka penting untuk mengetahui siapa Bani Hasyim dan Bani Mutholib agar tidak
salah memberikan zakat.
Kafa‘ah Bani Hasyim dan Bani Mutholib tidak sama
dengan orang Arab lain, maka penting diketahui siapa yang termasuk Bani Hasyim
dan Bani Mutholib.
Jika seorang mewaqafkan harta dikhususkan untuk Bani
Hasyim dan Bani Mutholib atau lebih khusus untuk keluarga Nabi Muhammad SAW,
maka wajib wakaf itu dikhususkan untuk mereka, maka penting untuk mengetahui
siapa Bani Hasyim dan Bani Mutholib dan siapa keturunan Nabi Muhammad SAW.
Demikian juga hukum wasiat dan nadzar.
Setelah kita mengetahui adanya
hubungan hukum syara‘ dengan keturunan Nabi Muhammad SAW, lalu kita
menyimpulkan bahwa penggunaan tes DNA adalah salah satu alat untuk mengetahui
keturunan Nabi Muhammad SAW. dan setelah kita memahami, sesuai dengan
kesimpulan para pakar biologi, bahwa hasil tes DNA ini sangat akurat, maka
seharusnya tes DNA ini digunakan sebagai metode pengitsbatan nasab yang harus
pertama dilakukan sebelum menggunakan metode lainnya. Karena metode lainnya
seperti kitab dan syahadah kemungkinan adanya potensi distorsi dan kesalahan
bahkan pemalsuan itu terbuka.
Ketika hasil tes DNA-nya menunjukan bahwa
ia adalah orang Arab, maka barulah digunakan metode peng-itsbat-an nasab
lainnya seperti verifikasi kitab, syahadah dan iqrar.
Ketika kita wajib
mengangkat pemimpin, dan pemimpin wajib dari kaum Quraisy, lalu ketika seorang
Quraisy akan dibaiat, kemudian ada yang meragukan nasabnya, maka wajib
untuk dilakukan verifikasi nasab itu melalui berbagai jalan termasuk tes DNA
untuk menghilangkan keraguan yang akan membawa dampak negative yang lebih
besar.
Ibnul Qayyim berkata dalam kitab I‟lam al Muwaqi‟in:
―Hukum wasilah sama dengan hukum tujuan. Ketika tujuan
tidak
bisa dicapai kecuali dengan adanya
sebab-sebab dan metode-metode yang membawa kepadanya, maka metode
metode dan sebab-sebab itu mengikuti hukum tujuan itu, dan
diperhitungkan dengannya. Wasilah-wasilah perbuatan
perbuatan haram dan maksiat dalam kemakruhannya dan pelarangannya dihitung
berdasar penyampaiannya dan keterikatannya kepada ujung perbuatan haram dan
maksiat itu. dan wasilah-wasilah perbuatan taat dan pendekatan diri kepada
Allah dalam disenangi dan diizinkannya berdasarkan ukuran penyampaiannya
kepada ujung perbuatan taat dan pendekatan
diri
kepada Allah itu. Maka wasilah sebuah tujuan (hukumnya) mengikuti tujuannya".
60
Dari metode-metode menetapkan nasab yang terdapat dalam kitab
Rasa 'ii di atas dapat disimpulkan bahwa nasab Ba'alwi batal sebagai keturunan
Ahmad bin Isa, artinya ia batal sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW,
dikarenakan adanya penentang syuhrah dan istifadlah nasab Ba' alwi hari ini,
yaitu adanya kitab Al-Syajarah al Mubarakah di abad ke-6 Hijriah yang
menyatakan bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak bernama Ubaid, Ubaidillah
ataupun Abdullah . Kitab-kitab nasab dari abad ke-4 Hijriah sampai abad ke-9
Hijriah sama sekali tidak memuat nama-nama yang terdapat dalam silsilah
Ba'alwi.
Kitab-kitab sejarah yang banyak ditulis dari abad ke-4 sampai
ke-8 Hijriah, pun tidak mengkonfirmasi nama-nama dalam
silsilah Ba' alwi sebagai sosok historis. Hasil tes DNA ratusan
keluarga Ba'alwi menunjukan hasil tes DNA mereka mayoritas
berhaplogroup
G. itu menujukan bahwa mereka bukan hanya batal sebagai
keturunan Nabi Muhammad SAW, tetapi mereka juga batal sebagai orang Arab.
CATATAN AKHIR
42 Husain bin Haidar Al-Hasyimi, Rasa'il fi „Ilm al-Ansab 101-107
43 Al-Asqolani, Al-Jawab al-Jalil, h.47
44 Al-Damiri, Juz 10 h.
356
45Imad Muhammad al-‗Atiqi, Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al
Ansab h. 58.
46 Al-Dzahabi, Siyar a‘lam al Nubala, h.125
47Ibnu
Khaldun, Al-Ibar, Al-Maktabah al Syamilah juz 1 h. 13
48 Khalil Ibrahim..h.58
49 Abdurrahman bin Majid al-Qaraja, Al-Kafi al-
Muntakhab, h. 71.
50 Khalil bin Ibrahim…h.62
51 Khalil bin Ibrahim…h.62
52 Husain bin Haidar al-Hasyimi, rasail…h. 77
53 Khalil bin Ibrahim…h.178
54 ibid
55 Ibid, h. 179
56 ibid
57 ibid
58 Ibid h.181-185
59 Khalil bin Ibrahim…h.189-191
60 Ibnul Qayyim, I 'lam al Muwaqi 'in,juz 3 h. 108.