Sesat Logika Buku Keabsahan Nasab Baalawi Hanif Alatas dkk
Nama kitab / buku: Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu: Jawaban KH. Imaduddin Utsman al-Bantani terhadap Buku Hanif Alatas dkk
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: November 2024
Penerbit: Lakeisha, Yogyakarta
15,6 cm X 23 cm, 691 Halaman
ISBN : 978-623-119-469-5
Bidang studi: ilmu nasab, sejarah, genealogi, silsilah nasab Nabi, tes DNA
Daftar Isi
- KESESATAN LOGIKA
- Tidak disebutkan berarti tidak ada
- Kitab Al-Syajarah Al-Mubarakah Adalah Kitab Mukhtasar (Ringkasan)
- Jumlah Ismiyah Ismiyah Kitab Al-Syajarah Al-Mubarakah adalah Hasr (Terbatas)
- Upaya Hanif Dkk meragukan Kitab Al-Syajarah Al- Mubarakah
- Meragukan Al-Syajarah Al-Mubarakah karena Imam Mahdi
- Ketidak Akuratan Klaim Hashr Versi Hanif Dkk
- Jawaban Mahdi al-Raja‘I Dijadikan Dalil Hanif dkk
- Menjawab Framing Fitnah Kepada Para Ulama
- Memfitnah Ali bin Abu Bakar al-Sakran
- Abdurrahman al-Khatib dan Kitab Al-jawhar al-Syafaf
- Fitnah kepada Ba‘alwi Secara Umum
- Ba‘alwi dan Bani Ahdal
- Fitnah Terhadap Alwi bin Tahir al-Haddad
- Fitnah terhadap Imam Murtada al-Zabidi (w1204 H)
- Fitnah Terhadap Yusuf Jamalullail
- Pengkhiantan Ilmiyah
- Sulit Menerima Rujukan yang mengabsahkan Nasab Ba‘alwi
- Menggunakan Teori Tetapi Mengabaikan Ba‘alwi
- Menuntut kitab Sezaman Padahal Ia Tidak Menggunakan Sumber Sezaman
- Kerap Menolak Validitas Kitab Yang Mengitsbat Ba‘alwi Namun Menerima Begitu Saja Kitab Yang Menolak Ba‘alwi
- Kebohongan Dalam Pengutipan
- Memelintir Dalil Al-Qur‘an dan Sunnah Tentang Gelar Habib
- Tidak Ada Hadits Sahih Tentang Kewajiban Mencintai Keturunan Nabi
- Pengambilan Kesimpulan Yang Serampangan
- Ba‘alwi adalah Keturunan Qahtan
- Kakek Ba‘alwi Adalah Sepupu langsung bani Ahdal
- Ahmad bin Isa Tidak Pernah Hijrah ke Hadramaut
- Hanif Memanipulasi Data Kitab Al-Gaybah Karya Al- Thusi Tentang Ahmad bin Isa Tidak Pernah Hijrah Ke Hadramaut
- Makam Ahmad bin Isa Palsu
- Melakukan Kebohongan Publik
- Nasab Ba‘alwi Terputus 550 Tahun
- Mufti Yaman Membatalkan Nasab Ba‘alwi
- Naqabah Internasional Tidak Mengakui Nasab Ba‘alwi
- Syaikh Al-Turbani Membatalkan Nasab Ba‘alwi
- Kesimpulan Batalnya Nasab Ba‘alwi adalah Sebuah Tesis
- Menjiplak Pemikiran Orientalis Dan Tokoh Non Aswaja
- Menjiplak Pemikiran orientalis Untuk Membatalkan Nasab Ba‘alwi
- Mencontek Tokoh Wahabi Dalam Membatalkan Nasab Ba‘alwi
- Tidak Memiliki Kompetensi Ilmu Nasab
- Membatalkan Nasab Jauh Dengan Tes DNA
- Kembali ke: Buku Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu
KESESATAN LOGIKA
Tidak disebutkan berarti tidak ada
Hanif dkk. mengatakan:
"l. Tujuh kitab yang dikutip
Imaduddin memang tidak menyebutkan Ubaidillah/ Abdullah sebagai anak dari
Ahmad bin Isa. Namun, yang perlu diperhatikan, tidak ada satu pun dari kitab
tersebut yang menafikan Abdullah sebagai putra Ahmad bin Isa. Tidak
mendapatkan bukan berarti tidak ada, atau senada dengan hal tersebut, tidak
disebutkan bukan berarti tidak ada. Mungkin saja ada, hanya saja tidak
disebutkan di tempat tersebut, tapi disebutkan di tempat lain. Ini merupakan
logika yang sangat mendasar dalam sebuah kajian ilmiah.
"Kaidah
ilmiah yang populer berbunyi, tidak menemukan sesuatu tidak mengharuskan
sesuatu itu tidak ada. Ketika mencari sesuatu namun sesuatu
itu tidak ditemukan, hal itu tidak
mengharuskan
sesuatu itu tidak ada." 178
Dari ungkapan Hanif di atas
penulis memberikan jawaban bahwa kenapa tidak ada satupun
kitab-kitab nasab yang menjadi rujukan penulis yang menafikan nama
Ubaid/Ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad . jawabannya adalah: bagaimana
dinafikan sedangkan namanya saja tidak ada yang pernah menyebutkan .
Yang bisa dinafikan itu adalah ia yang ada, jika ia yang tiada bagaimana bisa
dinafikan. Missal pada abad kelima itu dimunculkan nama Ubaid sebagai anak
Ahmad oleh seorang nassabah lalu nassabah lain menafikan, kejadian seperti itu
mungkin dan banyak terjadi . Tetapi nama Ubaid ini tidak pernah muncul di abad
4-9 dalam kitab-kitab nasab sama sekali. Ia
pertama kali muncul pada abad
sembilan Hijriyah dalam pengakuan seorang
Ba'alwi yang bemama Ali al Sakran.
Hanif dkk.
salah membawakan kaidah. Kaidah yang dibawakan itu untuk masalah akidah, yakni
untuk sesuatu yang telah diketahui keberadaanya melalui wahyu semacam
keberadaan jin, kita harus meyakininya . Tidak boleh kita mengatakan bahwa jin
itu tidak ada hanya karena kita tidak dapat melihatnya . Kaidah hanif itu
dikutip dari kitab Fiqh al Sirat al-nabawiyyah karya Muhammad said ramadlan
al Buti. Silahkan perhatikan kalimat sebelumnya dalam kitab tersebut:
Jadi
kaidah itu bicara tentang jin yang dia ada tapi tidak kelihatan. Bukan bicara
tentang Ubaid yang tidak disebut sebagai anak Ahmad .
Sedangkan nasab
Ubaid itu tidak masuk dalam kaidah itu, karena Ahmad bin Isa sudah disebutkan
namanya dan bahwa anaknya ada tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak bisa Hanif
berargumen Ubaid tidak disebutkan sebagai anak Ahmad bukan berarti ia bukan
anak Ahmad, karena anak lainnya sudah disebutkan.
Hanif mengatakan:
"Begitu
pula dalam kaidah ilmu nasab. Tidak menyebutkan berarti sukut (diam). Sukut
tidak berarti apa-apa, baik isbat (menetapkan) maupun nafi (menafikan).
Berikut keterangannya:
"Diam tentang sebuah nasab dan
tidak menyebutkannya tidak memiliki arti menurut ilmu nasab. Orang yang diam
tentang nasabnya kemungkinan karena ketidaktahuan, mengambil dari
orang yang tidak tahu, atau karena membatasi atas apa yang telah disebutkan .
Mungkin saja nasab yang tidak disebutkan tadi disebutkan dalam kitab lain yang
belum sampai kepada kita."179
Kaidah ini tidak tepat digunakan untuk nama
Ubaid yang tidak disebut sebagai anak Ahmad . kenapa anak lain disebutkan lalu
Ubaid tidak disebutkan? jawabannya karena Ubaid bukan anak Ahmad . jika
fenomenanya misalnya hanya disebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak,
sedangkan nama anak-anaknya tidak disebutkan itu dapat dimengerti, tetapi ini
nama seluruh anaknya sudah disebutkan di abad 6-H., dan di sana tidak ada nama
Ubaid/Ubaidillah/Abdullah . Maka pengakuan selanjutnya akan adanya nama anak
Ahmad selain tiga anak itu tertolak .
Kalau Hanif mengatakan: mungkin di
kitab lainnya yang ada di sekitar abad ke-5 dan ke-6 Hijriah ada yang
menyebutkan Ubaid sebagai anak Ahmad . silahkan bawa kitabnya jika ada. TIDAK
ADA.
Kaidah yang tepat untuk nasab Ba'alwi adalah:
Terjemah:
"Kepalsuan
nasab jelas terlihat dari bemasab kepada anak yang tidak disebutkan
kepada ayah yang disebutkan". 180
Ciri-ciri kuat bahwa nasab Ba'
alwi palsu adalah bernasab kepada Ubaid yang tidak
disebutkan kitab nasab, yang katanya anak dari Ahmad yang disebut dalam kitab
nasab.
Kitab Al-Syajarah Al-Mubarakah Adalah Kitab Mukhtasar (Ringkasan)
Hanif dkk. mengatakan:
"Sebagai contoh, dalam kasus ini, penulis
kitab Syajarah Mubarakah tidak mensyaratkan ihathah (menyebut secara
keseluruhan) . Bahkan, di awal
kitabnya beliau menegaskan bahwa kitab tersebut hanya
mukhtashar (ringkasan) . Setelah basmalah, beliau menuliskan: yl....u.i I r1c-
.) 1 ."Ini adalah ringkasan,
dalam ilmu nasab" (al-Syajarah al-Mubarakah, him.
3)."181
Kitab
Al Syajarah al Mubarakah diawali oleh kalimat "Hadza Mukhtasarun .ft. 'ilmil
ansab " ini adalah ringkasan dalam ilmu nasab. karena kitab tersebut adalah
kitab mukhtashar maka wajar nama Ubaid
tidak disebutkan sebagai anak
Ahmad . mungkin demikian maksud Hanif dkk. hal itu mengindikasikan Hanif dkk.
tidak memahami makna "mukhtasar" secara umum dan makna "mukhtasar" dalam
ilmu nasab secara khusus. Suatu "mukhtasar" (ringkasan) tidak boleh mengurangi
dari "murad al kalam" (maksud pembicaraan), ia hanya mengurangi dari
"tatwilulkalam" (memperpanjang pembicaraan). Seperti pada halaman
pertama kitab Al Syajarah al Mubarakah tersebut, Imam Al
Fakhrurazi menyebutkan "Anak yang berketurunan dari Sayidina Ali ada lima. .
." padahal, keseluruhan anak Sayidina Ali banyak, para sejarawan mencatat
mencapai 18 anak. Tetapi yang disebutkan oleh Imam Fakhrurazi hanya lima yang
berketurunan saja, kenapa? Karena kitab Al Syajarah al Mubarakah
adalah kitab ringkasan . Kalau ia
kitab itnab (bukan mukhtasar),
maka akan disebutkan dulu bahwa anak Sayidina Ali berjumlah 18
yaitu: Hasan, Rusen dan seterusnya, barn kemudian mengatakan: sedangkan
anak yang berketurunan dari 18 itu hanya lima, mereka adalah dst.
Jika
Imam Fakhrurazi mengetahui bahwa anak yang berketurunan dari
Sayidina Ali berjumlah lima anak, lalu ia mengatakan tiga, maka itu bukan
mukhtasar, tetapi sengaja berdusta . Contoh lainnya Imam Fakhrurazi mengetahui
sesuai dengan pengetahuannya bahwa anak yang berketurunan dari Ahmad bin Isa
hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain, lalu ia katakana demikian, maka itu
bukan mukhtasar, tetapi memang anaknya hanya tiga.
Tidak masuk logika
awam, orang yang diketahui anaknya empat lalu dikatakan tiga dengan niyat
meringkas kalimat. Jika kita melihat ada tiga ekor bebek berjalan
lenggak-lenggok di depan kita, lalu teman di samping kita bertanya "ada berapa
ekor bebek itu?" lalu kita berkata "bebek itu ada dua ekor". Kok dua, kan ada
tiga? Saya niyat mukhtasar (meringkas kalimat)! Ndak bisa. Kemungkinan
orang yang mengatakan bebek itu ada dua ekor: ia buta, tidak bisa menghitung,
atau ia sengaja berdusta untuk suatu tujuan.
Ketika Imam Fakhrurazi
menyebut anak yang berketurunan ada tiga Muhammad, Ali dan Husain. Maka ada
beberapa kesimpulan yang dapat kita fahami dari narasi itu. Pertama,
anak Ahmad bin Isa yang mempunyai keturunan sampai masa Imam
Fakhrurazi hanya tiga; kedua, ada anak lain selain tiga itu, tetapi
tidak berketurunan; ketiga, ada anak lain yang berketurunan, misalnya
Ubaidillah, namun Imam fakhrurazi sengaja berbohong karena suatu motif
tertentu . Jika seandainya point ketiga itu yang terjadi, lalu apa
motif Imam fakhrurazi tidak menyebutkan Ubaidillah? Kaum Ba'alwi harus
dapat menginvestigasi apa motif Imam fakhrurazi tidak menyebutkan Ubaidillah .
Apakah karena sentiment? Ada permusuhan? Atau apa?
Jelas tidak akan
dietmukan motif-motif itu. Imam Fakhrurazi tinggal di Roy pada abad ke enam
dank e tujuh. Ia sama sekali tidak mengenal Ubaidillah; ia pun tidak pernah
tahu nanti di suatu masa akan ada orang yang nyantol dalam nasab
Ahmad bin Isa itu. Ia hanya mencatat
sesuai ilmunya bahwa
anak Ahmad bin
Isa yang berketurunan ada tiga: Muhammad, Ali dan Husain
.
Hanif mengatakan:
"Kesimpulannya, kerangka berpikir Imaduddin yang
menyimpulkan Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa lantaran tujuh kitab tidak
menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa-merupakan bentuk kecacatan
logika. Kerangka berpikir yang benar, tidak disebutkan Ubaidillah
sebagai anak Ahmad bin Isa bukan berarti Ubaidillah bukan anak Ahmad bin
Isa. Faktanya, ada kitab-kitab lain yang menegaskan bahwa
Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa
sehingga kitab-kitab
tersebut saling melengkapi informasi." 182
Kata
hanif: walau tidak disebut dalam kitab Al-syajarah, ada kitab-kitab lain yang
menyebutkan Ubaid sebagai anak Ahmad . mana kitab nasabnya? Tidak ada. kecuali
setelah abad ke-9 H. walau dalam kitab Al-syajarah tidak disebutkan jika dalam
kitab lain disebutkan itu dapat diterima. Nyatanya tidak ada kitab nasab
sebelum abad ke-9 H. yang menyebut Ubaid adalah anak Ahmad . pertama kali nama
ubaid muncul sebagai anak Ahmad ada di kitab milik Ba'alwi; dan kitab
nasab yang menyebut pertama kali adalah Tuhfat al-Thalib (996 H.) itupun
dengan pengakuan bahwa ia menyebutkannya tanpa referensi kitab nasab,
hanya mendapatkan dari sebuah ta'liq (catatan kecil).
Jumlah Ismiyah Ismiyah Kitab Al-Syajarah Al-Mubarakah adalah Hasr
(Terbatas)
Hanif dkk. mengatakan:
"Hanya menyebutkan tiga berarti menafikan
yang lain, termasuk meniadakan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa.
Lagi-lagi, kerangka berpikir. Imaduddin yang seperti ini merupakan kesesatan
logika . . ."183
Itu bukan kesesatan logika,
tetapi demikianlah para ahli nasab memberikan kaidah ilmi nasab bahwa apabila
seorang ahli nasab telah mencatat jumlah anak dengan menggunakan "jumlah
ismiyah" maka itu menunjukan anaknya hanya sesuai jumlah yang disebutkan.
Ketika Imam Al-Fakhrurazi menyebutkan anaknya tiga dengan menggunakan jumlah
ismiyah "Fa 'aqibuhu min tsalasati banin"
(keturunannya hanya dari tiga anak), maka memang anak Ahmad hanya
tiga:Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaid .
Ibnu
Inabah (w.828 H.) dalam kitab
Umdat al-Talib al Kubra
mengatakan:
"Sebagian
dari istilah para ahli nasab adalah ketika mereka mengatakan: u)l!
l.J..a (aqibuhu min fulan: keturunannya dari si
fulan, dengan jumlah ismiyah) atau u)l! l.J..a y:g,Ji (al 'aqbu min
fulan:
keturunannya dari si fulan, dengan jumlah ismiyah pula), maka itu menunjukan
bahwa keturunannya hanya terbatas pada anak yang disebutkan itu. dan ucapan
ahli nasab: u)l! l.J..a y:9cl
(a'qoba min fulanin: ia berketurunan dari
si fulan, dengan menggunakan jumlah fi'liyah), maka
keturunannya tidak terbatas dari anak yang disebutkan, karena boleh jadi
ia mempunyai keturunan dari anak lainnya."184
Upaya Hanif Dkk. meragukan Kitab Al-Syajarah Al-Mubarakah
Dalam bukunya tersebut Hanif dkk. berupaya meruntuhkan kekokohan kitab
Al-Syajarah al-Mubarakah sebagai karya ulama besar Ahlussunah Waljamaah yaitu
Imam al-Fakhrurazi . Seorang ahli nasab yang juga penulis kitab tafsir besar
berjudul Mafatih al-Ghaib. Segala upaya itu akan sia-sia karena jelas tercatat
dalam manuskrip itu bahwa kitab itu memang sahib karya Imam al-fakhrurazi .
Perhatikan halaman terakhir kitab tersebut:
..
Manuskrip
kitab Al-Sayajarah al-Mubarakah terdapat di Perpustakaan Masjid Sultan Ahmad
al-Tsalits di Istanbul dengan nomor 2677 . Naskah ini ditulis oleh Wahid
bin Syamsuddin tahun 825 H. berdasarkan naskah asli yang
ditandatangani oleh Imam Fakhruddin al-Razi yang selesai menulis
tahun 597 H. Nama kitab dan Penisbatan kitab ini jelas tercatat rapih di akhir
kitab: bahwa kitab ini bernama kitab Al-Syajarah al-Mubarakah salinannya
disahkan oleh Muhammad bin Umar bin Husain al-Razi (pengarang
kitab), kemudian Imam Al-Razi menulis bahwa ia telah
membacakan kitab ini dihadapan Ali bin Syaraf Syah bin Abil Ma' ali dan
ia memberikan ijajah untuknya .
Meragukan Al-Syajarah Al-Mubarakah karena Imam Mahdi
Hanif dkk mengatakan:
"Al-Imam Fakru al-Din al-Razi
dikenal sebagai seorang ulama besar Sunni Syafi'i. Anehnya, banyak hal yang
mengindikasikan secara kuat bahwa pemilik al-Syajarah al-Mubarakah adalah
seorang yang berideologi Syiah. di antaranya sebagai berikut: 1) Pada halaman
78 dalam kitab al-Syajarah al-Mubarakah, tatkala penulis menyebutkan putra
dari al-Imam Hasan al-Askari, dikatakan
y:ull _) .Jli
l.Jl..yl l....:.". 1ss
Imam al-Fakhrazi memang
ulama Sunni tetapi dalam masalah Imam Mahdi rupanya ia cenderung sama
pandangannya dengan kaum Syi'ah. Yaitu menganggap Imam Mahdi telah lahir
kemudian ghaib dan bergelar Sahib al-Zaman. Selain dalam kitab
Al-Sayajarah al Mubarakah, Imam Al-fakhrurazi menyebut pula Imam Mahdi
sebagai Sahib al-Zaman dalam kitabnya Al-Mathalib al-Aliyah berikut ini:
Terjemah:
"Dan
sekelompok orang dari Syi'ah Imamiyah menyebutnya 'Imam al-Ma'shum'. Dan
terkadang menyebutnya juga 'Shahib al-Zaman' dan mereka mengatakan bahwa ia
ghaib. Dan mereka telah benar dalam dua sifat itu lagi . . ."186
Perhatikan
kalimat "Walaqad shadaquu" (Sungguh mereka telah benar). Jadi jelas
persetujuan Imam al-fakhrurazi kepada Imam Mahdi sebagai Shahib al-Zaman
memperkuat bahwa kitab Al-Syajarah al mubarakah itu adalah benar-benar kitab
Imam al-Fakhrurazi karena dalam kitabnya yang lain ia membenarkan
kelompok Syi'ah yang menyebut Imam Mahdi sebagai Shahib al-Zaman.
Ketidak Akuratan Klaim Hashr Versi Hanif Dkk
Hanif Dkk. membawakan beberapa contoh bahwa Hasr kadangkala tidak
konsisten . Padahal, itu bukan tidak konsisten tetapi Hanif dkk. tidak
faham metode para ahli nasab. contohnya, kata Hanif, dalam kitab Al-Syajarah
al-Mubarakah anaknya Ali al-Uraidi disebut yang berketurunan ada tiga orang
sementara di dalam kitab Tahdzib al- Ansab disebut ada empat orang.
Kitab
Al-Syajarah al-Mubarakah di abad ke 6 H. menyebut anak Ali
al-uraidi yang berketurunan tiga karena yang berketurunan di abad ke-6 itu
hanya tinggal tiga anak. Sementara seabad sebelumnya dalam kitab Tahdzib
al-Ansab yang berketurunan empat anak. Kemudian satu anak inqiradl (terputus
keturunannya) di abad 6-H. sebagaimana direportase Al-Syajarah
al-mubarakah.
Contoh lain yang ditampilkan Hanif dkk. tentang tuduhan
ketidakakuratan hasr dalam jumlah ismiyah hanya karena Hanif dkk. tidak
memahami metode para ahli nasab seperti yang penulis sebutkan di atas.
Jawaban Mahdi al-Raja'i Dijadikan Dalil Hanif dkk.
Demi membela nasabnya, Ba' alwi mengirim utusan kepada Syaikh Mahdi
al-Raja'I (muhaqqiq kitab Al-syajarah al-mubarakah) untuk memberikan
pengitsbatan kepada Nasab mereka. Syaikh Mahdi al-Rajai-pun mengitsbat bahkan
dengan dua cam: pertama dengan tandatangan yang kedua dengan video. Tetapi
tanda tangan dan video itsbat itu tidak berarti karena tidak ada dalil yang
disampaikan Syaikh Mahdi al-Raja'i. dalam kaidah ilmu nasab tandatangan
semacam itu tidak bermakna apa-apa dalam pengitsbatan nasab. sebagaimana
Syaikh Khalil bin Ibrahim menyebutkan satu kaidah:
Terjemah:
"Tidak
ada nilainya banyaknya tandatangan jika nasab itu tidak sahib. Banyaknya
tandatangan tidak mensahihkan yang salah. Tandatangan itu hujjah bagi
penandatangan bukan hujjah bagi yang lainnya." 187
Menjawab Framing Fitnah Kepada Para Ulama
Memfitnah Ali bin Abu Bakar al-Sakran
Kata Hanif dkk, penulis memfitnah Ali al-Sakran sebagai "pengarang"
nasab Ba'alwi. kata Hanif, sebelumnya sudah ada Al Khatib (w.?) yang menulis
tersambungnya nasab Ba'alwi. penulis jawab: karena memang hanya Ali al-Sakran
yang kitabnya jelas dicetak dan dapat di akses semua orang. Sedangkan
Al-khatib itu sosoknya tidak jelas . Apakah ia pernah ada di dunia atau tidak;
apakah kitab Al-jauhal al-Syafaf itu karyanya atau bukan . Tahun wafat Al
Khatib 855 H. yang disebut referensi Ba'alwi itu janggal. Dalam kitab-kitab
Tarajim pengarang kitab Al-jauhar al-Syafaf yang bernama Abdurrahman wafat
tahun 724 H. bukan 855 H. jika ia telah wafat pada tahun 724 H. bagaimana ia
mencatat keluarga Ba'alwi yang hidup di abad 9 H.
Dalam kitab
Mu 'jam al-Muallifin dikatakan:
Terjemah:
"Abdurrahman bin
Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad al-Hadrami
al-Syafi'I seorang faqih yang ahli dalam Tasawuf,
Nahwu dan Hadits. Ia wafat tahun 724 H. umurnya telah
mencapai 100 tahun; ia mempunyai
banyak karangan dalam nahwu dan Hadits di antaranya kitab Al-Jawhar al-Syafaf
fi Karamat al-Sadat al-Asyraf." 188
Maka Ali al-Sakran lah yang pantas
dijadikan alamat creator nasab Ba'alwi. itu bukan memfitnah. Tetapi
kenyataan menyebutkan bahwa nasab Abdurrahman Assegaf disambungkan kepada Nabi
Muhammad SAW. hanya terdapat dalam kitab Ali al-Sakran. Yang lain
tidak ada. kecuali Ba'alwi sudah dapat menemukan siapa Abdurrahman Al-Khatib
itu sebenarnya?; dan dapat menyatakan dengan dalil kapan ia
wafat? benarkah ia wafat tahun 855 H. mana dalilnya?
Hanif
menyatakan bahwa ketika Ali al-Sakran masih beumur dua tahun
Al-Khatib sudah menulis Al-Jauhar al-Syafaf . Sekarang penulis Tanya
keterangan itu diambil dari kitab apa? Halaman berapa? Membuat narasi tanpa
dalil itu patut disebut dusta.
Abdurrahman al-Khatib dan Kitab Al-jawhar al-Syafaf
Nasab Ba Alawi, selain direkontruksi oleh kitab Al-Burqoh al Musyiqoh
karya Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran, ia dilandaskan dengan tahun yang
lebih tua dari al-Burqoh (895 H) kepada sebuah manuskrip kitab yang disebut
kitab Al-Jauhar al-Syafaf Kitab itu, katanya, karya Syekh Abdurrahman bin
Muhammad bin Abdurrahman al-Khatib yang, katanya, wafat tahun 855 H. Bahkan,
kata Gus Rumail, al-Khatib menulisnya tahun 820 H.
Siapa
Syekh Abdurrahman bin Muhammad
al-Khatib itu? Informasi tentangnya bagaikan "benang kusut yang
diurai orang buta".
Ada dua nama yang sama, dengan ayah yang sama,
bahkan kakek yang sama, serta kitab yang sama, Tetapi masa hidupnya berbeda.
Adalah sebuah Kebetulan yang yang jarang terjadi di atas muka bumi kita.
Dalam
literasi karya-karya Ba Alawi, Abdurrahman al-Khatib disebut wafat tahun 855
H. ia murid Habib Abdurrahman bin Muhammad Maula Dawilah (w. 819 H.), kakek
pendiri nasab Ba Alawi, Ali bin Abu Bakar al-Sakran. Ia menulis kitab
bernama A/ Jauhar al-Syafaf Kitab itu berisi tentang
keramat-keramat para wali di Tarim. Didalamnya juga tersebut silsilah Ba
Alawi .
Tetapi, ketika ditelusuri dalam kitab-kitab biografi ulama, nama Abdurrahman al-Khatib dengan sejarah dan masa hidup seperti dalam literasi Ba Alawi itu majhul (tidak dikenal). Tetapi ada nama yang sama yang terdetekasi, dengan ayah dan kitab yang sama. Ia adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman yang wafat tahun 724 H. ia disebut dalam kitab-kitab biografi para ulama seperti al Suluk karya al-Janadi (w. 732 H), Al-Uqud al-Lu 'luiyyah karya Ali bin Hasan al-Khojroji (w. 812 H.), Qiladat al-Nahar karya Ba Makhramah (w. 947 H.), Mu 'jam al-Muallifin karya Umar Rido Kahhalah, Hadiyyat al-Arifin karya Ismail Basya al-Babani . kelima kitab itu sepakat bahwa Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman ini wafat pada tahun 724 H bukan 855 H. ia mempunyai kitab bernama Al-Jauhar al-Syafaf Bedanya dengan literasi Ba Alawi, ia tidak bergelar al-Khatib.
Lalu bagaimana sampai ada nama dan kitab yang sama ? jawaban pertanyaan ini bisa dijawab pendek, bisa juga panjang; Bisa dengan skeptis bisa juga dengan husnuzon. Bagi banyak orang, Jawaban pendek dengan husnuzon bisa saja dilakukan dengan mengabaikan kenyataan dari premis-premis mencurigakan itu dengan mengatakan persamaan nama dan kitab itu hanya sebuah kebetulan . Keduanya memang sama-sama ada, dan sama-sama sebuah kebenaran yang berjalan apa adanya. Pengabaian terhadap premis-premis mencurigakan dari sejarah dan nasab Ba Alawi inilah yang dilakukan para ulama dan sejarawan Yaman masa lalu bahkan sampai sekarang.
Penguasaan sebagian resorsis manuskrip yang dilakukan Ba Alawi terhadap sejarah Hadramaut terutama sejarah keagamaan di Tarim, memungkinkan mereka untuk mengurut historiografi sebagaimana kontruksi sejarah yang mereka inginkan. Bila seorang sejarawan Hadramaut hari ini ingin menulis sejarah Hadramaut hanya berjalan dalam lorong-lorong perpustakaan yang hari ini tersedia atau disediakan Ba Alawi dengan husnuzon, maka ia sebenarnya bukan sedang menelusuri fakta sejarah Hadramaut, tetapi ia sedang berada di dalam rnang sejarah yang diciptakan . Jika ia ingin menelusuri sejarah Hadramaut yang sesungguhnya, Ia harus terbang tinggi meninggalkan Bumi Hadramaut lalu memandangnya dari ketinggian dan mencari sisa-sisa sumber yang masih suci dari tangan Ba Alawi. Dengan itu barn ia akan mendapatkan fakta sejarah yang sesungguhnya.
Penulis sering mendapati premis-premis manipulative dari kerangka sejarah dan nasab Ba Alawi, oleh karena itu penulis melaksanakan Skeptisisme filosofis dalam menghadapi historiografi Hadramaut dan Tarim jika sumber itu telah terjamah Ba Alawi. Hasilnya, penulis tidak mudah terjebak ke dalam cipta kondisi dari konklusi yang diinginkan Ba Alawi . Penulis pernah mengatakan jika para sejarawan Yaman dan Hadramaut bertemu penulis, maka mereka akan tercerahkan . Pernyataan itu bukan mengada-ada dan berlebihan, tetapi karena penulis mengira bahwa memang para sejarawan di sana hari ini belum menyadari tentang apa yang telah penulis sampaikan di atas. Atau bisa saja sebenarnya mereka telah menyadari, tetapi hegemoni Ba Alawi yang relative kuat bisa mengatasinya, sehingga kesadaran fikiran-fikiran itu tidak sampai ke public yang lebih luas dan mudah dideligitimasi dan dimarginalkan kembali .
Kitab Al-Jawhar al-Syafaf yang bernpa manuskrip itu penulis memiliki salinan mikrofilmnya . Tulisannya tulisan baru, dengan gaya khot baru, disalin oleh Salim bin Ali bin Husain bin Abdurrahman bin Abdullah bin Umar al-Khatib tahun 1410 H. berarti hanya barn 35 tahun yang lalu. Dari namanya yang pakai al-Khtaib, agaknya penyalin itu keturnnan dari Abdurrahman al-Khatib yang disebut sebagai penulis kitab itu. Manuskrip ini sungguh tidak dapat menjadi rnjukan, karena penyalin tidak menyebutkan dari manuskrip tahun berapa ia menyalin . Bisa saja ia bukan disalin tetapi barn ditulis. Atau ia disalin dengan diinterpolasi di sana sini.
Yang sangat mencurigakan sekali adalah, ketika sang penyalin ini menuliskan
angka tahun wafat Abdurrahman al-Khatib, pertama ia menulis angka tahun 855
Hijriah, lalu angka ini dicoret dan diganti dengan angka barn yaitu 641
hijriah (lihat manuskrip al-jauhar halaman 249). Agaknya ia
sendiri ragu akan kapan Abdurrahman al Khatib ini wafat. Jangan-jangan
al-Khatib yang ia sematkan kepada Abdurrahman sebagai pengarang al-jauhar
al-Syafaf ini salah orang.
Jadi, kasusnya mirip dengan nasab Ba Alawi .
Ketika ada nama Abdullah dalam kitab al-Suluk tahun 732 H., kemudian
dikira ia adalah leluhur Ba Alawi yang bernama Ubaid . Begitupula,
ketika ada nama ulama besar bernama Abdurrahman bin Muhammad al-Hadrami yang
wafat tahun 724 H., lalu keturunannya mengira bahwa ia adalah orang yang sama
dengan kakeknya yang wafat 855 H. Ketika dalam kitab-kitab tua disebut
ia mempunyai kitab al-jauhar al-Syafaf, dan manuskripnya tidak
ditemukan, maka kemudian kitab itu sengaja ditulis, padahal kitab yang ditulis
itu bukan karya Abdurahman bin Muhammad al-Hadrami yang dimaksud kitab tua
itu, sehingga akhirnya, sekarang timbul kerancuan yang tiada henti,
kitab itu tidak berani untuk dicetak, karena kesejarahan pengarangnya sangat
problematik. Urutan tahun yang tidak sama sulit untuk
dikompromikan, karena jarak perbedaan tahunnya mencapai 131
tahun.
Fitnah kepada Ba'alwi Secara Umum
Hanif dkk. mengatakan:
"Imaduddin meloretarkan fitnah kepada klan
Ba'alawi secara umum. Menurutnya, klan Ba'alawi telah melakukan skandal ilmiah
dengan memalsuikan nasab dan sejarah mereka. Tentu saja
fitnahnya itu meliputi semua klan Ba'allar Sementara, di dalam klan ini ada
banyak mama besar, seperti al-Imam Abdullah ibn Alwi al-Haddad
pengarang Rith al-Had al-Nashih al-Diniyyah, dll), al-Habib Abdullah ibn
Husain ibn Thahir (penolis Sullam al-Tag), al-Habib Ali ibn Muhammad al-Habsyi
(penalis Sinth al-Durar), al-Habib Abdurrahma al-Masyhur (permulis Baghyah
al-Mustarsyalin), serta banyak kama clam auliya besar lainnya. Mereka semua
termasuk dalam kelompok yang dituduh oleh
Imaduddin telah melakukan kebohongan Allah." 189
Pertanyaannya
terbalik. Seharusnya pertanyaannya adalah: bagaimana Ba'alwi akan
mempertanggungjawabkan kedustaan nasabnya di hadapan Allah sedangkan
nasab mereka tidak disertai dalil sebelum pengakuan mereka di abad
ke-9 H. di hadapan Allah SWT?
Mungkin saja ada di antara ulama Ba'alwi
yang tidak mempercayai nasabnya kepada Nabi Muhammad SAW, menurut penulis,
Abdullah bin Alwi al-Haddad adalah salah satu orang yang berkemungkinan
itu. karena dari kitab-kitabnya yang sampai kepada penulis, seingat penulis,
tidak ada pengakuan bahwa ia merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Ba'alwi dan Bani Ahdal
Hanif Alatas dkk. mengatakan:
"Silsilah nasab Bani Alawi tidak
membonceng silsilah Bani Ahdal yang ditulis oleh Husain al-Ahdal (w. 855 H),
apalagi hanya berdasarkan lembaran yang ditemukan pada abad ke-9. Sebelum
muncul silsilah Bani al-Ahdal, Bani Alawi sudah memiliki silsilah sendiri yang
disebut syuhrah dan istifadhah yang dikenal luas di masyarakat
Hadramaut. "190
Penulis menjawab ucapan Hanif dkk. dengan
narasi-kronologi sebagai berikut: Ketika membaca kitab Al-suluk tentang
hijrahnya leluhur Bani Ahdal dari Irak, klan Abdurrahman al-Saqaf kemudian
berasumsi bahwa leluhurnya
hijrah bersama leluhur Bani
Ahdal Al-Suluk tentang hijrahnya leluhur Bani Ahdal di bawah ini:
Terjemah"
"Dan
adapun Al-Ahdal, maka ia (dibaca) dengan "ha" yang sukun setelah "'Alif ',
"lam" dan "ha". Setelah " ha" itu ada hump "dal" yang di"fatahkan" yang tanpa
titik, kemudian ada "lam" yang sukun. Ia seorang yang berkedudukan tinggi yang
popular. Disebutkan bahwa kakeknya datang dari Irak ke negeri Yaman, ia
seorang "Syarif Husaini". Ia datang dengan tapak
tasawuf, ia menempati
"Ajwal al-Sauda' dari lembah Siham." 191
Dalam ibarat Al-janadi di atas
disebutkan leluhur Bani Ahdal yang bemama Muhammad bin Sulaiman, adalah
seorang "Syarif Husaini" dan ia berhijrah dari Irak ke Yaman. Dari situ, klan
Abdurrahman al-Saqaf membonceng sejarah itu bahwa leluhumya
juga adalah seorang "Syarif Husaini" karena ia sepupu (satu
kakek) dari Muhammad bin Sulaiman, dan pindah dari Irak ke Yaman bersama
Muhammad bin Sulaiman. Hal itu dilakukan tanpa mengkroscek apakah
informasi Al-janadi itu ditopang oleh sumber atau tidak. Dan nanti
akan terbukti bahwa ke-syarif-an Bani Ahdal ini tertolak. Setelah berkembang
informasi bahwa leluhur Bani Ahdal, Muhammad bin Sulaiman dan leluhur klan
Abdurrahman al-Saqaf keduanya adalah sepupu di tengah masyarakat, maka seorang
Bani Ahdal pun kemudian mencatat dalam kitabnya bahwa: ada yang mengatakan
leluhumya yaitu Muhammad bin Sulaiman adalah saudara dari
leluhur Ba'alwi. Dipermulaan narasi itu terbentuk, nama Ahmad bin 'Isa belum
muncul sebagai leluhur klan Abdurrahman al Saqaf yang berhijrah bersama
Muhammad bin Sulaiman. Perhatikan ibarat Husain al-Ahdal (w.855 H.) dalam
kitabnya "Tuhfat al-Zaman " di bawah ini:
Terjemah:
"Diceritakan
kepada kami dari sebagian orang, bahwa Muhammad (bin Sulaiman) tersebut keluar
(berhijrah) bersama saudara laki-laki dan saudara sepupunya. Kemudian saudara
laki-laki dan saudara sepupunya itu menuju timur. Maka keturunan dari
saudara sepupunya itu adalah keluarga Ba'alwi di
Hadramaut."192
Dalam ibarat ini dijelaskan, bahwa leluhur Bani Ahdal,
Muhammad bin Sulaiman, pindah dari Irak ke Yaman bersama saudara
laki-lakinya (nanti akan diketahui bahwa itu leluhur Bani Qudaimi) dan saudara
sepupunya (satu kakek) yaitu Ba'alwi di Hadramaut. Setelah diketahui bahwa
Bani Ahdal dan Ba'alwi satu kakek, maka keturunan Bani Ahdal dan Ba'alwi di
abad sembilan menemukan masalah baru, yaitu susunan lengkap silsilah mereka
yang sudah disebut Al-Janadi sebagai "Syarif Husaini" itu, karena Al Janadi
tidak menyajikan silsilah Muhammad bin Sulaiman sampai kepada Nabi Muhammad
Saw. maka kita lihat bagaimana usaha-usaha dari kedua keluarga ini dalam
menelusuri silsilah keluarga mereka. Dari Bani Ahdal, Husain al-Ahdal
(w.855 H.) telah mencoba melengkapi silsilah Muhammad bin Sulaiman seperti di
bawah ini:
Terjemah:
"Dan aku menemukan nasab Muhammad bin
Sulaiman dalam sebagian lembaran-lembaran dalam keadaan disambungkan (kepada
Rasulullah), maka ia berkata: Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin 'Isa bin
Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin al-Hasan bin al-Husain -yang bergelar
Al-Ashgar-- bin 'Ali Zanal Abidin, dalam tempat
lain, bin Aon bin Musa al
Kadzim bin
Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir. . ."193
Dari usaha Husain
al-Ahdal dalam kitab Tuhfat al-Zaman ini ditemukan bahwa nasab Bani Ahdal ada
dua versi pertama: Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin 'Isa bin Alwi bin
Muhammad bin Himham bin Aon bin al-Hasan bin al-Husain bin 'Ali Zainal
Abidin bin Husain bin Fatimah bin Nabi Muhammad saw. Versi kedua
adalah: Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin 'Isa bin Alwi bin Muhammad bin
Himham bin Aon bin Musa al-Kadim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir
bin 'Ali bin Husain bin Fatimah bin Nabi Muhammad saw. Berarti jika
leluhur Ba'alwi adalah sepupunya maka berarti ia satu kakek. Dengan
memperkirakan bahwa leluhur Ba' alwi yang hijrah bersama Muhammad bin Sulaiman
itu adalah 'Ali (Khaliqosam), maka silsilah versi pertama adalah: 'Ali bin
Alwi bin Ubaid bin 'Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin
al-Hasan bin al-Husain bin 'Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah bin Nabi
Muhammad saw. sedangkan versi kedua adalah sebagai berikut: 'Ali bin Alwi bin
Ubaid bin 'Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin
Musa al-Kadim bin Ja'far al-
Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin 'Ali bin Husain bin Fatimah bin Nabi
Muhammad saw.
Lihat bagan di bawah ini:
No |
VERSI PERTAMA |
VERSI KEDUA |
||
|
Leluhur Abdurrahman al- Saqqaf |
Leluhur Bani Ahdal |
Leluhur Abdurrahman al- Saqqaf |
Leluhur Bani Ahdal |
|
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
|
Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
|
Husain |
Husain |
Husain |
Husain |
|
'Ali Zainal |
'Ali Zainal |
'Ali Zainal |
'Ali Zainal |
|
Al-husain (al-Asgar) |
Al-Husain (al- Asgar) |
Muhammad al- Baqir |
Muhammad al- Baqir |
|
Al-hasan |
Al-hasan |
Ja'far al-Shadiq |
Ja'far al- Shadiq |
|
Aon |
Aon |
Musa al-Kadim |
Musa al-Kadim |
|
Himham |
Himham |
Aon |
Aon |
|
Muhammad |
Muhammad |
Himham |
Himham |
|
Alwi |
Alwi |
Muhammad |
Muhammad |
|
'Isa |
'Isa |
Alwi |
Alwi |
|
Ubaid |
Ubaid |
'Isa |
'Isa |
|
Alwi |
Sulaiman |
Ubaid |
Ubaid |
|
'Ali (Kh'Aliqosamam) |
Muhammad |
Alwi |
Sulaiman |
|
|
|
'Ali (Kh'Aliqosam) |
Muhammad |
Lihat kakek mereka adalah sama-sama Ubaid . Ubaid inilah yang nanti dalam
keluarga Abdurrahman al-Saqqaf berubah menjadi Abdullah kemudian Ubaidillah
. Perlu diketahui pula, sebelumnya tidak ada suatu
sumber pun yang dijadikan rujukan susunan silsilah semacam gambar di atas dari
kedua keluarga, ia baru disusun pada abad ke-9 Hijriah. kitab Al-Suluk
karya Al-Janadi pun hanya menyebut keluarga Bani
Ahdal sebagai "Syarif Husaini" (keturunan
Nabi
dari jalur Husain) tidak mengurut nama-nama silsilahnya. Diakui oleh Husain
al-Ahdal (w.855 H.), bahwa ia menyambungkan silsilah seperti di atas, baik
versi pertama maupun kedua, hanya berdasar lembaran yang ia temukan di abad
ke-9. Sedangkan silsilah keluarga Abdurrahman al-Saqaf, hanya membonceng
dalam silsilah Bani Ahdal. Dan susunan semacam itu tertolak oleh
kitab-kitab nasab yang yang telah ditulis pada abad ke-5 sampai kesembilan,
karena diketahui
bahwa Al-Hasan bin Husain al-Ashgar tidak
mempunyai anak bernama Aon, 194 dan Musa al-Kadim tidak mempunyai
anak bernama Aon pula.195 Kedanya tertolak .
Keluarga Abdurrahman
al-Saqaf pun mengadakan usaha yang sama seperti keluarga Bani Ahdal untuk
dapat melengkapi silsilah mereka. Kemungkinan, ketika mereka mengetahui bahwa
silsilah Bani Ahdal telah ditemukan, dan di dalamnya tertolak oleh kitab-kitab
nasab, maka mereka mulai mendapatkan sedikit harapan dari kitab Al Suluk,
yaitu ketika ditemukan silsilah dari Abul Hasan 'Ali atau Syarif Abul Jadid,
di mana dalam silsilah itu ada dua nama yang sama dengan silsilah Bani
Ahdal, yaitu 'Isa dan Alwi; dan ada satu nama yang mirip yaitu Abdullah yang
mirip dengan Ubaid . Apalagi ada kalimat bahwa Syarif Abul Jadid ini berasal
dari keluarga "Alu Abi Alwi", di mana nama Alwi telah ada dalam silsilah Bani
Ahdal itu. Hal yang demikian membuat keluarga Abdurrahman al-Saqaf menganggap
silsilah inilah yang lebih meyakinkan karena telah masuk dalam kitab sejarah
penting di Yaman, yaitu Al-Suluk, dibanding basil usaha dari Husain al-Ahdal
yang jelas susunan nasab seperti itu tertolak kitab-kitab nasab. secara
formal, usaha itu dilaksanakan dengan baik oleh cucu
Abdurrahman al-Saqaf yang bernama 'Ali bin Abubakar al-Sakran bin Abdurrahman
al-Saqaf yang wafat tahun 895 Hijriah . Ia menulis sebuah kitab yang berjudul
Al-Burqat al-Musi>qat yang mulai memperkenalkan silsilah permanen
dari keluarganya melalui jalur yang sama
dengan silsilah Syarif Abul Jadid . Tentu usaha itu
memerlukan kerja tambahan yaitu harus mampu mengharmonisasikan sejarah
keluarga mereka dengan sejarah keluarga Syarif Abul Jadid,
plus harus pula diharmonisasi dengan keluarga Bani Ahdal yang sebelumnya
mereka telah membonceng sejarahnya. kita akan dapat melihat betapa pun usaha
harmonisasi itu dilakukan, tetapi hasilnya masih tetap banyak kebocoran di
sana sini.
Redaksi yang ditulis Al-janadi dalam kitab Al-Suluk tentang
nasab Syarif Abul Jadid atau Abu Hasan 'Ali adalah sebagai berikut:
Terjemah:
"Dan
aku ingin memberikan susulan nama-nama orang-orang yang datang
ke Ta'iz dan belajar di sana.
Mereka adalah j ama' ah dari tingkatan pertama. sebagian
dari mereka adalah Abu al-Hasan, 'Ali, bin Muhammad bin Ahmad bin
Hadid (Jadid, dua riwayat manuskrip) bin 'Ali bin bin Muhammad bin Jadid bin
Abdullah bin Ahmad bin 'Isa bin Muhammad bin 'Ali bin Ja'far al-Sadiq bin
Muhammad al-Baqir bin 'Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin 'Ali bin Abi
Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid
menurut penduduk Yaman . Asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang
dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan
dan ibadah dalam tarikat
tasawwuf . Termasuk didalamnya para ahli fikih yang akan datang
penyebutan mereka yang aku ketahui dengan benar, insya Allah Ta'
ala, bersama ahli negerinya." 196
Dari redaksi
ini, 'Ali bin Abubakar al-Sakran kemudian mengurut silsilah keluarga
Abdurrahman al-Saqaf berbeda dari keluarga Bani Ahdal yang katanya satu
kakek itu. perhatikan ucapan 'Ali al-Sakran di bawah ini:
Terjemah:
"Dan
aku memahami dari keterangan yang telah lewat, untuk pertama kali, berdasar
apa yang terdapat dari Tarikh al-Janadi (kitab al-Suluk) dan kitab Talkhis
al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam
menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, 'Ali bin Muhammad bin Ahmad
Jadid, bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin Ahmad bin
'Isa. (yaitu)
ketika ia (al-Janadi) berkata: sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, 'Ali,
bin Muhammad bin Jadid (Hadid, dua riwayat manuskrip) bin Abdullah
bin Ahmad bin 'Isa bin Muhammad bin 'Ali bin Ja'far al-Shadiq bin
Muhammad al Baqir bin 'Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin 'Ali
bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid
menurut penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang
dikenal dengan Alu Abi Alwi, yang merupakan
rumah kesalihan dan
ibadah dalam tarikat tasawwuf '.197
Untuk selanjutnya, 'Ali al-Sakran mengurut silsilah keluarga Abdurrahman
menjadi sebagai berikut: 'Ali (khaliqosam) bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Ahmad bin Ubaid (Ubaidillah/Abdullah) "bin" Ahmad bin 'Isa bin
Muhammad al-Naqib bin 'Ali al-Uraidi bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin 'Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah binti Muhammad Saw.
Dari sini kita melihat, silsilah nasab keluarga Abdurrahman al-Saqaf terjadi
perubahan signifikan dari silsilah Bani Ahdal yang katanya satu kakek
tersebut. Dalam versi Husain al-Ahdal tiga nama yang berurut yaitu: Ubaid bin
'Isa bin Alwi, telah berubah menjadi Alwi bin Ubaid bin Ahmad bin 'Isa, dengan
ditambah Ahmad antara ubaid dan 'Isa. perubahan itu berdasarkan silsilah
keluarga Syarif Abul Jadid tersebut. Sayangnya, kreasi (ijtihad) yang
luarbiasa ini tidak diamini oleh keluarga Bani Ahdal, untuk waktu-waktu
berikutnya keluarga Bani Ahdal tidak menggunakan versi keluarga Abdurrahman
al-Saqaf ini, mereka tetap menggunakan salah satu versi silsilah dari yang
disebut Husain al Ahdal dalam kitabnya Tuhfat al-Zaman. Akhirnya,
dua orang yang satu kakek ini kemudian silsilahnya berbeda .
Seperti Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad al-Ahdal (w. 1035 H.) dalam
kitabnya Al Ahsab al- 'Aliyyahfi al-Ansab al-Ahdaliyyah mengatakan:
Terjemah:
"Dan
adapun nasabnya, radiallahu 'anhu, adalah: 'Ali al-Ahdal bin Umar bin Muhammad
bin Sulaiman bin Ubaid bin 'Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin 'Aon bin
Musa al-kadim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin 'Ali Zainal
'Abidin bin al-Husain bin 'Ali bin
Abi Talib, Ridwanallahu 'alaihim ajma'in ."198
Dari sinilah
kemudian singkronisasi dan harmonisa si antara sejarah Bani Ahdal dan Syarif
Abil Jadid yang diramu keluarga Abdurrahman al-Saqaf menjadi sulit dilakukan
. Sebelum membicarakan kerancuan, penulis ingin mengungkapkan, bahwa
keluarga Abdurrahman al-Saqaf semenjak usaha mereka mencari silsilah dan
menemukan harapan dari kitab Al-Suluk itu, telah mengidentifikasi diri dengan
sebutan permanen sebagai keluarga "Aha Alwi" yang kemudian menjadi "Ba'alwi".
Nama itu didapat dari penamaan Al-Janadi terhadap keluarga Syarif Abil
Jadid . Usaha singkronisasi itu untuk waktu kemudian lebih mengarah ke sejarah
Syarif Abul Jadid daripada sejarah Bani Ahdal, akibatnya, ke tidakakurat-an
susunan sejarah, untuk waktu selanjutnya terlihat
antara sejarah Ba'alwi dan sejarah Bani Ahdal.
Husain al-Ahdal (w.855
H.), dalam kitabnya Tuhfat al-Zaman menyebutkan , bahwa kakeknya yang bemama
'Ali al-Ahdal itu adalah putra dari Umar bin Muhammad bin
Sulaiman. 199 'Ali bin Umar al-
Ahdal ini disebut oleh Al-Janadi dalam kitab Al-Suluk wafat tahun 690 Hijriah
.200 Sedangkan Muhammad bin Sulaiman wafat tahun 540 Hijriah, sebagaimana
disebut Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Zabarat al-Son'ani (w.1381 H.) dalam
kitabnya Nail al-Hasanain .201 Jika demikian keadaannya, yaitu Muhammad bin
Sulaiman wafat tahun 540 Hijriah, maka akan sulit dapat diterima logika jika
ia berhijrah dari Irak ke yaman pada tahun 317 Hijriah bersama Ahmad bin 'Isa,
sebagaimana berita keluarga Ba'alwi, karena berarti ketika Muhammad bin
Sulaiman itu wafat tahun 540 Hijriah umurnya telah lebih dari 223 tahun. Dari
kedua berita tahun hijrah itu pasti salah satunya adalah salah. Pertanyaannya
adalah mana di antara kedua berita itu yang kemungkinan besar salah? tentu,
jika kita membaca kembali tentang bahwa keluarga Ba' alwi ini sebenarnya hanya
membonceng sejarah Bani Ahdal, maka selaiknya yang harus diduga kuat salah
atau dusta adalah tahun hijrah yang bertitimangsa tahun 317 Hijriah .
Bersamaan
dengan semua hal di atas, Abdullah Muhammad al Habsyi, dalam footnote kitab
Tuhfat al-Zaman yang ia tahqiq, berusaha mempertahankan
narasi hijrahnya Ahmad bin 'Isa di tahun 317 Hijriah itu. Ia memberi catatan
kaki redaksi Husain al-Ahdal yang menyebut bahwa leluhurnya yang bernama
Muhammad bin Sulaiman hijrah dari
Irak ke Yaman . Abd
ullah Muhammad al-Habsyi
mengatakan:
bahwa yang berhijrah itu bukan Muhammad bin Sulaiman tetapi Muhammad bin
Himham. 202 Narasi aneh semacam itu diperlukan agar singkron narasi
Ba'alwi bahwa yang berhijrah adalah Ansab min al-Yaman min B!fJuf
Itrat al-Hasanain, dicetak bersama Al-Anba' min Daulat Bilqis 1va Saba
(Maktabah al-Yaman al-Kubra, San'a, 14014 H.) h. 121
Ahmad
bin 'Isa, karena yang semasa dengan Ahmad bin 'Isa adalah Muhammad bin Hirnham
bukan Muhammad bin Sulaiman. Kita menyaksikan, bahwa ia yang sejarahnya
membonceng, kemudian mengatur bahkan mendorninasi runtutan sejarah
yang diboncengnya itu. kita akan sering baca dalam tulisan Abdullah
Muhammad al Habsyi pada khususnya, dan penulis sejarah Ba'alwi pada umumnya,
yaitu ketika sebuah data historis ditemukan tidak sesuai dengan kesimpulan
kesejarahan Ba'alwi, maka data historis itu yang harus disesuaikan, bukan
sebaliknya. Bahkan, kita akan dapati adanya usaha-usaha interpolasi halus dan
kasar yang dilakukan para pen tahqiq Ba'alwi terhadap kitab-kitab ulama
yang mereka tahqiq. Dari itu, perlu kewaspadaan tinggi dan
analisis kritis jika membaca kitab karya Ba'alwi atau kitab yang di-tahqiq
mereka dalam sejarah dan genealogi mereka.
Kata Hanif dkk. apa yang
ditulis oleh Abdullah Muhammad Al habsyi itu adalah kutipan dari kitab
seorang ulama Bani Al-Ahdal yang bernama Muhammad bin
Muhammad Al-Ahdal yang wafat pada tahun 2023 M/1445 H. dalam kitabnya Qarar
Ulama bani al-Ahdal. Mungkin saja itu benar, walau setelah penulis lihat salah
satu versi kitab itu tidak ada tulisan semacam itu. tetapi yang terpenting,
bagaimana sejarah masa lalu yang telah ditulis dalam kitab Tuhfat al Zaman
tahun 855 H. atau 561 tahun yang lalu, direvisi isinya oleh orang yang wafat
tahun 1445 H. hanya untuk singkronisasi dengan cipta sejarah Ba'alwi? tidak
masuk akal.
Berikut ini penulis sebutkan pula keterangan dari ulama bani
Ahdal yang bernama Abubakar bin Abil Qasim bin Ahmad al-Ahdal (w. 1035 H.)
dalam kitabnya Al-Ahsab al-Alyyah fi al-Ansab al Ahdaliyah ia mengatakan yang
hijrah itu adalah Muhammad bin Sulaiman bukan Muhammad bin Hirnham.
Terjemah:
"Mohamad
bin Sulaiman adalah yang ke luar dari Irak bersama saudara
laiki-laki dan anak pamannya, yaitu
kakek Sadat Ba' alwi."203
Jika yang hijrah bersama leluhur
Ba'alwi itu adalah Muhammad bin Sulaiman yang wafat tahun 540 H. lalu siapa
leluhur Ba'alwi itu? jelas bukan Ahmad bin Isa, karena ia telah wafat tahun
345 H.
Fitnah Terhadap Alwi bin Tahir al-Haddad
Hanif dkk. mengatakan:
"Sosok ulama lainnya yang menjadi sasaran
fitnah Imaduddin adalah Sayid Alwi ibn Thahir. Ia menuduh Sayid Alwi
telah berdusta dan tidak memahami bahasa Arab dengan baik. Imaduddin
mengatakan, "Al-Haddad berusaha mempertahankan sekuat tenaga bahwa Ahmad ibn
Isa itu bergelar "al-Muhajir", bukan "al-Abah" dan "al-Naffath". Orang
dari klan Ba'alawi yang pertama kali menyebut Ahmad ibn Isa dengan gelar al
Muhajir adalah Ahmad ibn Zain
al- Habsyi (w. 1144 H),
seorang alim dari
abad kedua belas Hijriah."204
Penulis membantah bahwa penulis telah
memfitnah Alwi bin Tahir. Yang penulis sampaikan ke hadapan public adalah
suatu kajian ilmiyah bahwa Alwi bin Tahir terbukti berdusta dalam
pengutipan kitab. Mari kita lihat bukti-buktinya:
Dalam kitab Uqud
al-Almas, Alawi Bin Tahir al-Haddad berusaha mempertahankan bahwa
Ahmad bin Isa itu bergelar al Muhajir. Sekuat tenaga ia ingin mengahancurkan
kenyataan bahwa gelar yang dicatat oleh ulama nasab mulai abad ke-5
sampai abad ke- 9, untuk Ahmad bin Isa, adalah al-Abah dan al-Naffat. Tidak
ada gelar al-Muhajir untuk Ahmad bin Isa. Gelar al-Muhajir itu barn ada di
abad ke-9 Hijriah dalam kitab al-Burqoh al-Musyiqoh karya Habib Ali bin
Abu
Bakar al-Sakran . Gelar al-Muhajir (yang berpindah) itu diberikan oleh
al-Sakran sebagai alibi bahwa benar Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman sesuai yang
ia catat dan ia ijtihadi.
Alawi al-Haddad mengatakan:
"Kesimpulan
pembahasan yang panj ang ini, bahwa Imam al Muhajir (Ahmad bin Isa) bin
Muhammad bin Ali al-Uraidi tidak diberi gelar dengan al-Abah dan al-Naffat.
Seperti yang telah dilakukan para ulama-ulama yang lebih dahulu."205
Pernyataan
Alawi ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa, ulama-ulama nasab terdahulu
menggelari Ahmad bin Isa dengan al Abah, sebagian lagi dengan al-Naffat,
sebagian lagi dengan keduanya . Lihat kitab Tahdzibul
Ansab karya al-Ubaidili (w. 437 H) halaman
176.
Dalam kitab itu disebutkan bahwa gelar Ahmad bin Isa adalah al Naffat. Lihat
pula kitab al-Majdi karya al-Umari (w. 490 H) halaman
337. Dalam kitab
tersebut disebutkan bahwa Ahmad bin Isa bergelar al-Abah dan dikenal pula
dengan al-Naffat. Dalam kitab itupula disebutkan kenapa Ahmad bin Isa bergelar
al-Naffa? Yaitu karena ia menjual minyak tanah.
Dua kitab ini cukup untuk
disebutkan dalam rangka membantah tesis Alawi al-Haddad bahwa Ahmad bin Isa
tidak bergelar al-Naffat dan al-Abah. Karena dua kitab ini adalah termasuk
yang tertua sebagai kitab yang menyebut Ahmad bin Isa dan keturunannya .
Adanya riwayat lain yang menyebut bahwa gelar al-Naffat itu untuk cucu Ahmad
bin Isa, seperti riwayat dari kitab yang lebih muda dari keduanya, adalah hal
lain yang dapat diuji validitas dan kekuatan kedua riwayat itu . Tetapi
, seharusnya, Alawi al-Haddad tidak boleh menafikan realitas riwayat
yang terang-benderang menyebut al-Naffat dan al-Abah tertulis dikitab, yang
dapat dikatakan paling tua yaitu, Tahdzib al-Ansab dan al-Majdi. Justru,
kenapa Alawi al-Haddad sebagai sejarawan keukeuh mempertahankan bahwa Ahmad
bin Isa bergelar al-Muhajir, padahal gelar al-Muhajir ini tidak pernah disebut
ulama-ulama dalam kitab sezaman atau yang mendekatinya? Apakah yang demikian
itu untuk misi besar upaya menyelamatkan tesis bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke
Yaman?
Bahkan, di halaman sebelas, Alawi al-haddad menyebutkan
dengan tegas bahwa al-ubaidili dan al-Umari tidak menyebutkan gelar al-Naffat.
Apakah ia sengaja berdusta, atau ia tidak mampu memahami bahasa Arab
dengan benar. Kedua-duanya mungkin. Kemungkinan sengaja berdusta adalah untuk
kasus kitab Tahdzib al Ansab. Perhatikan ibaroh di bawah ini !
"Dan
Ahmad bin Isa al-Naqib bin Muhammad bin Ali al-Uraidi, diberi gelar
al-Naffat."206
Sudah jelas ibaroh al-Ubaidili bahwa Ahmad bin Isa
bergelar al Naffat. Kenapa Alawi al-Haddad mengatakan bahwa al-Ubaidili tidak
menuliskannya ? Apalagi yang pantas kita katakan untuk kasus semacam ini
kecuali bahwa ia telah berdusta .
Kemungkinan tidak faham ilmu
Bahasa Arab dan sengaJa berbohong secara bersamaan adalah untuk kasus kitab
al-Majdi. Perhatikan ibaroh kitab al-Majdi berikut ini:
"Dan
Ahmad Abul Qasim al-Abah yang dikenal dengan "al Naffat" karena ia berdagang
minyak nafat (sejenis minyak tanah), ia mempunyai keturunan di bagdad
dari al-Hasan Abu Muhammad ad-Dalal Aladdauri di Bagdad, aku melihatnya (al
Hasan) wafat diakhir umurnya di Bagdad, ia (al-Hasan) anak
dari Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa bin
Muhammad
(an-Naqib) bin (Ali) al-Uraidi."207
Sangat jelas sekali, al-Umari menulis
bahwa Ahmad yang berkunyah Abul Qosim itu bergelar al-Abah dan dikenal pula
dengan gelar al-Naffat. Kenapa Alawi al-Haddad mengatakan bahwa al-Umari tidak
mencatatnya bergelar al-Naffat ? Karena ia salah membalikan domir dan salah
memahami siyaqul kalam. Atau ia faham namun sengaja ia putar bailkan domir dan
siyaqul kalam demi untuk membela nasabnya . Perhatikan tulisan Alawi
al-Haddad, ibarohnya ada satu hurup yang dirubah dari kitab aslinya, ia pula
tambahkan "dalam kurung" dalam beberapa kalimat sehingga pengertiannya akan
berbeda 180 derajat:
Perhatikan dalam kurung di atas. Perhatikan
pula satu huruf dirubah oleh al-Haddad . Yaitu hurup yang terdapat dalam
kalimat "minal hasan" dirubah hurup "mim" nya menjadi hurup "ba" menjadi "bin
al-Hasan".
Sebelum dirubah maka pengertiannya adalah bahwa Ahmad
Abul Qosim al-Abah adalah Ahmad bin Isa yang mempunyai keturunan
dari al-Hasan. Ketika huruf "mim" itu dirubah menjadi "ba" maka
maknanya bahwa Ahmad al-Abah itu bukan
Ahmad bin Isa tetapi Ahmad bin al-Hasan, yaitu cucu ke empat dari
Ahmad bin Isa. Kesimpulan yang diinginkan oleh Alawi al Haddad adalah bahwa
Ahmad bin Isa tidak bergelar al-Abah atau al-Naffat. Gelarnya hanya
al-Muhajir. Tulisan-tulisan ulama nasab di abad 5-6-7-8-9 di abaikan dan di
takwil sesuai tradisi pencatatan Ba Alawi yang dimulai barn di abad ke-9
hijriah.
Usaha-usaha besar Alawi al-Haddad, agar sejarah dan buku nasab
masa lalu berjalan sesuai dengan tradisi Ba Alawi di abad ke-9 patut "diacungi
jempol". Usaha yang sama dilakukan oleh banyak penulis Ba Alawi . Bagaimana
seorang Abdullah bin Muhammad al Habsyi, dengan susah payah mencari
manuskrip-manuskrip sejarah Yaman . Ia dapatkan kitab-kitab tua banyak sekali.
Lalu ia tahqiq dan cetak; ia masukan nama-nama Ba Alawi agar tertulis dalam
sejarah. Manuskrip dicetak tidak sesuai dengan aslinya. Ia di tambahi nama
nama Ba Alawi . Begitu pula Jamalullail yang menginterpolasi manuskrip kitab
Abana'ul Imam. Belum lagi manuskrip kitab al jauhar al-Syafaf yang baru
ditulis tahun 1988. Buat apa manuskrip yang katanya dari tahun 855
Hijriah lalu di tahun 1410 Hijriah, bukannya di cetak malah ditulis ulang
dengan tulisan tangan . Apa tujuannya ?
zaman <lulu memang tidak ada
mesin ketik, computer dan mesin tulis lainnya. Maka kita mencari manuskrip
yang ditulis di masa lalu yang belum ada mesin tulis agar lestari. Kalau hari
ini, mengapa kita sibuk-sibuk menulis dengan tangan lagi manuskrip
yang telah berumur ratusan tahun, kecuali ada tujuan mau memasukan
sesuatu informasi yang baru yang tidak terdapat dalam
manuskrip aslinya. Lalu akan ditulis oleh penyalin yang tidak amanah
ini, bahwa manuskrip ini ditulis sesuai aslinya yang berangka tahun
sekian. Padahal isinya telah ditambah di sana-sini. Lalu agar dustanya tidak
terdeteksi, manuskrip asli yang satu-satunya itu di musnahkan . Kemudian
manuskripnya menjadi satu-satunya manuskrip yang jadi rujukan .
Hanif dkk
mengatakan:
"Apakah Imaduddin telah melakukan perjalanan ke
berbagai negara seperti yang dilakukan oleh Sayyid Alwi bin Tahir al
Haddad?"208
Dari perkataan Hanif itu seakan-akan Alwi bin Tahir telah
betul-betul melihat manuskrip-manuskrip kitab Tahdzib al-Ansab , Al Majdi
dsb. Secara langsung. Padahal jika kita membaca teliti kitab Alwi bin Tahir,
Uqud al-Almas, kita mengetahui bahwa ia tidak pergi ke tempat di mana
manuskrip itu ada. ia hanya mendapat berita tentang mansukrip itu dari orang
yang mengirirnkan surat.
Alwi bin Tahir sendiri mengakui dalam kitabnya,
Uqud al Almas, bahwa, apa yang ia sampaikan dari redaksi al-Ubaidili
itu hanya mengutip dari seorang ahli nasab di Irak. Lihat kitab Uqud a/ Almas
di halaman empatbelas, Ia berkata:
"Dan kami akan
menyebutkan di sini teks dua guru mulia: al Ubaidili dan al-Umari. Seperti
yang disebutkan oleh pakar nasab Irak."
Perhatikan kalimat ini,
"seperti yang disebutkan oleh pakar nasab Irak." Artinya , Alwi bin Tahir
tidak melihat manuskripnya secara langsung, ia hanya mendapat
"kabar burung" dari seorang pakar nasab Irak. Penulis sebut "kabar
burung", karena kalimat Alwi bin tahir sangat mencurigakan, "seorang pakar
nasab Irak". Kenapa ia tidak menyebutkan dengan jelas siapa pakar nasab
itu ? sehingga dapat divervikasi kebenarannya .
Mestinya
Hanif dkk. memperhatikan setiap kalimat yang dipakai pemberi
informasi secara teliti . Kalimat seperti Alwi bin Tahir itu adalah sebuah
berita. Sebuah berita bisa jujur dan bisa juga dusta. Bagaimana
memverivikasinya? Kita buka kitabnya, lalu kita lihat, apakah yang disampaikan
Alwi bin tahir itu jujur atau dusta. Penulis telah melihat dua kitab
itu: kitab al-Ubadili dan kitab al-Umari, hasilnya, yang disampaikan Alwi bin
tahir itu dusta. Alwi bin tahir merubah hurup "mim" menjadi "ba", jelas
maknanya akan berubah: "min" artinya "dari", "bin" artinya "putra".
Mungkin
Hanif akan berkata bahwa, penulis hanya menggunakan versi
cetak yang telah disentuh tangan muhaqqiq . Tidak murni lagi. Begini: muhaqqiq
itu bisa jujur bisa dusta juga . Maka, dalam membaca kitab versi cetak, kita
lihat <lulu siapa muhaqqiqnya . Apakah ia ada kaitan subjektivitas dengan
substansi kitab itu atau tidak? Jika ada, maka kita membacanya harus
dengan kewaspadaan tinggi. Seperti penulis, jika membaca kitab sejarah atau
kitab nasab yang di tahqiq oleh Ba Alawi semisal: Abdullah Muhammad al
habsyi, Alwi bin Tahir, Yusuf Jamalullail dll, maka penulis membacanya dengan
penuh waspada . Kenapa? Karena mereka adalah Ba Alawi yang sedang mencari nama
leluhurnya di kitab-kitab abad kelima sampai Sembilan. Ketika mereka mentahqiq
mansukrip manuskrip tua untuk di cetak, sangat besar kemungkinan mereka akan
mengadakan interpolasi (penambahan isi) dalam versi cetak yang
tidak ada pada manuskripnya . Dan itu sering penulis temui.
Sedangkan,
kitab al-Ubaidili yang kita maksud, versi cetaknya ditahqiq oleh Syekh
Muhammad al-Kadzim; kitab al-Umari versi cetaknya di tahqiq oleh Syekh Ahmad
al-Mahdawi . Keduanya bukan kalangan Ba Alawi, dan tidak bisa dikatakan
keduanya sengaja membuat kerugian bagi nasab Ba Alawi . keduanya tidak
pantas dicurigai membuat kerugian bagi nasab Ba Alawi, karena tidak ada berita
keduanya bermusuhan dengan Ba Alawi. Keduanya mencetak kitab itu dari
manuskrip terpercaya yang mereka sebutkan sumbernya dan dapat diverivikasi
keberadaanya . Untuk lebih detail, silahkan baca saja mukaddimahnya.
Untuk
mengetahui siapa yang berdusta, harus mendatangkan bukti bahwa Seh Muhammad
al-Kadzim dan Syekh Ahmad al Mahdawi berdusta: mencetak tidak sesuai
manuskripnya . Manuskrip al-Ubaidili ada Universitas al-Dual
al-Arabiyah di Mesir. Itu bisa di cek. Untuk al-Umari, manuskripnya ada
di maktabah al-Mar'asyi, juga di pegang dua manuskrip oleh al-Afandi pengarang
kitab Riyad al Ulama. Sedangkan, Alwi bin Tahir tidak menyebutkan di
mana manuskrip yang menjadi sumbernya itu berada ? lalu, yang tidak sebanding
siapa ? Yang lebih pantas dianggap telah berdusta siapa ? jelas, Alwi bin
Tahir adalah orang yang patut diduga berdusta . Ia tidak menyebut nama pemberi
informasi secara jelas; ia juga tidak menyebutkan manuskripnya ada di mana .
Di ahli nasab Irak. Irak itu luas. Irak mana ? ahli nasab itu banyak . Namanya
siapa ?
Kata Hanif, Alwi bin Tahir memburu manuskrip ke berbagai Negara:
Teheran, Qum, dll. Benarkah? Benarkah ia pergi ke Negara Negara tersebut?
Tidak. Tahu dari mana? Dari ibaroh Alwi bin Tahir. Ia hanya mengesankan pergi
ke sana, namun tidak. Perhatikan ibaroh asli Alwi bin tahir di bawah ini !
"Seperti
yang nanti akan kami sebutkan dari kitab kitab nasab yang sahib yang masih
berupa manuskrip yang ada di Teheran, Qum, koleksi Syaikh al-Zanjani di Qum,
Dan di Irak di ahli nasab mereka, dan yang terdapat di
perpustakaan al-Najaf al Syarif, dan yang ada darinya di tangan tokoh-tokoh
Bagdad dll, dan yang ada di al-maktabah al-Mishriyah al-Kubro dan yang
lainnya, daripada yang tidak dapat diperoleh oleh seseorang kecuali dengan
perjalanan yang luas." (Uqud al-mas, halaman 10-11)
Perhatikan ! ibaroh
di atas hanya mengatakan bahwa Alwi bin tahir akan menyebutkan alasan alasan
bahwa Ahmad bin Isa tidak bergelar al-Abah itu, dari kitab kitab
yang masih berupa manuskrip yang ada di Teheran, Qum dst. Ia
tidak mengatakan ia telah pergi ke sana. Ia pula tidak menyebutkan apakah ia
telah melihat manuskrip itu. Bisa jadi ia hanya duduk di rumah,
lalu ia kirim surat dan meminta koleganya untuk menuliskan catatan penting
yang ia minta. Bisa pula ia hanya membaca sebuah kitab yang menyajikan
informasi tentang manuskrip manuskrip itu, lalu ia mengutipnya, dan ia salah
kutip.
Dan kecurigaan penulis terkonfirmasi, bahwa Alwi bin Tahir hanya
mengirim surat (dan atau utusan) ke ahli nasab Irak itu, ia tidak pergi ke
Irak. Silahkan baca Uqud al-Almas halaman 13. Di halaman 13 itu, Alwi bin
Tahir mengatakan ia mengirim surat kepada ahli nasab Irak
menanyakan tentang sebuah kitab (bukan kitab al-Ubaidili, tapi kitab lainnya).
Kenapa ketika bicara kitab al-Ubaidili dan al Umari ia tidak menyatakan tegas
bahwa ia hanya mengirim surat, tetapi ketika berbicara kitab lain
ia menyatakan dengan jujur bahwa ia hanya mengirim surat, tidak melihat
manuskripnya? Harusnya Gus Rumail faham. Kitab al-Ubaidili dan al-Umari adalah
kitab paling tua, kedudukannya sebagai saksi adalah saksi mahkota .
Sangat penting adanya sebuah kesan yang meyakinkan, tetapi tidak bisa dianggap
berdusta . Sedangkan, kitab lainnya itu hanya pelengkap, jadi walau hanya
dengan mengetahui melalui tukilan dalam sebuah surat, ia tidak menentukan
apapun. Inilah kejelian yang harus dimiliki oleh seorang peneliti dalam
membaca kitab pengarang atau pentahqiq yang dicurigai sering tipu
tipu .
Ketika hari ini kita bisa mengakses kitab al-Ubaidili dan al
Umari Uika mau, dan dianggap penting, dengan pergi ke perpustakaan seperti
yang disebut dalam versi cetak), lalu isinya berbeda dengan "reportase"
Alwi bin Tahir, lalu yang harus dianggap berdusta yang mana ? apakah manuskrip
yang tua itu, atau kitab Uqud al-Almas, kitab yang dikarang
dan di cetak 1968 yang berdasar tukilan surat saja? Sungguh
dua perbandingan yang tidak setara.
Nasab Ba Alawi dan sejarahnya hari
ini, diapit oleh kedustaan masa lalu yang tertelusuri dan kedustaan hari
ini yang terkonfirmasi . Aroma kedustaan masa
lalu tentang gelar Sohib Mirbat; tentang makam
Ahmad bin Isa; tentang hijrahnya; tentang Abdullah bin Sohib Mirbat yang
mendapat ijajah; tentang Salim bin bashri; tentang bashri yang katanya nama
lain Ismail; tentang Jadid yang katanya saudara Alwi; dan masih banyak
lagi.
Fitnah terhadap Imam Murtada al-Zabidi (w.1204 H.)
Hanif menyatakan bahwa penulis memfitnah Murtadla al
Zabidi. Ceritanya waktu itu penulis belum mengetahui bahwa kitab Al-Raudl
al-jali adalah kitab palsu karya Hasan Muhammad Qasim yang kemudian
dipalsukan sebagai karya Murtadla al-Zabidi. Penulis mengutip Arif Abdul Ghani
yang mengatakan bahwa Murtadla al Zabidi menulis kitab itu karena
permintaan gurunya Abdurrahman al
Idrus pad a umur 20
tahun.209 Jadi itu bukan pendapat penulis tetapi
Terlepas dari itu penulis sudah mengetahui bahwa kitab Al Raud al-Jaliy
sebenarnya bukan kitab karya Murtadla al-Zabidi tetapi kitab palsu karya Hasan
Muhammad Qasim.
Kitab ini disebut palsu karena, Badzib, pen-tahqiq kitab
Al raudul Jaliy dari Hadramaut, mengatakan bahwa kemunculan kitab Al Raudul
Jaliy ini mencurigakan . Manuskrip kitab tersebut muncul berdasar kronologi
riwayat yang berakhir kepada sosok yang terbukti telah memalsukan sebuah
kitab. Sosok yang dimaksud adalah seseorang yang bernama Hasan Muhammad
Qasim (w. 1394 H.) yang berasal dari Mesir yang baru wafat 50 tahun yang lalu.
Menurut Badzib, Hasan Muhammad Qasim adalah tokoh pertama yang memunculkan
kitab Al Raud al Jaliy . Sebelumnya tidak ada berita bahwa Syekh Murtada al
Zabidi mempunyai sebuah kitab bernama Al Raud al Jaliy (lihat Mukaddimah Kitab
Al Raudul Jaliy cetakan Darul Fatah h. 47).
Kronologi munculnya
manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy tersebut, menurut Badzib dalam
mukaddimah cetakan kitab tersebut, berdasarkan pengakuan Alwi bin Tahir
al-Haddad (w.1962 M) yang memegang naskah itu: Hasan Muhammad Qasim
berteman dengan para Ba'alwi yang tinggal di Mesir. Salah satu Ba'alwi
bemama Ali bin Muhammad bin Yahya . Ali bin Yahya ini adalah murid dari
Alwi bin Tahir. Menurut Alwi bin Tahir, Ali bin Yahya tersebut kemudian
mengirimkan kepadanya sebuah salinan kitab Al-Raudul Jaliy tulisan Hasan
Muhammad Qasim bertanggal 25 Sya'ban 1352 H., menurutnya lagi,
naskah itu disalin dari salinan tahun 1196 H. tulisan Abdul Mu'ti al Wafa'i.
katanya lagi, Abdul Mu'ti ini manyalin dari tulisan asli Syekh
Murtada al Zabidi. Katanya lagi, manuskrip karya
Abdul
Mu'ti itu tersimpan di "Maktabah Sadat
Al Wafaiyyah" di Mesir.210
Pertanyaannya: Benarkah salinan asli tulisan Abdul Mu'ti itu
ada di "Maktabah Sadat Al Wafaiyyah"? Tidak ada. silahkan di eek di
perpustakaan "Al- Wafaiyyah". Tidak ada manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy
salinan abdul Mu'ti. Kitab Itu Jelas Palsu. Manuskripnya Palsu . Kitab
Al-Raudlal-Jaliyi bukan tulisan Syekh Murtada Al Zabidi.
Manuskrip yang beredar sekarang berasal dari dua penyalin: pertama salinan
Hasan Muhammad Qasim tahun 1352 H; kedua salinan Tahir bin Alwi bin
Tahir yang menyalin dari Hasan Muhammad Qasim tersebut.
Lalu siapa Hasan
Muhammad Qasim? Ia adalah sosok yang telah terbukti menulis kitab
"Akhbar al Zainabat " lalu disebut sebagai karya Al Ubadili al 'Aqiqi (w. 277
H.) (lihat Al Raudl al-Jaliy h. 48). Artinya ia menulis naskah palsu di zaman
sekarang lalu naskah itu diasosiasikan sebagai karangan ulama abad ke-3
H. Ba' dzib mencurigai, bahwa munculnya kitab Al-Raudl al- Jaliy itu pun
sama kejadiannya seperti kitab palsu "Akhbar al Zainabat."211
Hasan
tinggal di Mesir berteman dengan para Ba'alwi yang tinggal di sana seperti
Abdullah bin Ahmad bin Yahya (w. 1414 H.) dan Ali bin Muhammad bin Yahya (w.
1409 H.) (lihat kitab Al Raudl al-Jali h. 8). Jadi jelas, bahwa Hasan ini
mempunyai benang merah ketika menulis kitab Al-Raudl al- Jaliy itu, yaitu
adanya interaksi antara dia dengan para Ba' alwi di Mesir. Menurut
penulis sangat patut diduga bahwa kitab itu ditulis oleh Hasan Muhammad Qasim
berdasarkan pesanan .
Lalu kenapa Ba' dzib tetap mencetak dan menerbitkan
kitab itu, walaupun ia tahu bahwa kitab itu kemungkinan besar adalah
palsu? Badzib beralasan bahwa manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy dalam bentuk
microfilm telah beredar di masyarakat, bahkan telah ada yang mencetak pula
tanpa ada penjelasan kesalahan-kesalahan dan perkara perkara yang tidak layak
dinisbahkan kepada Syekh Murtada al Zabidi.212 Dengan dicetak ulangnya kitab
Al Raud al-Jaliy dengan disertai penjelasan kronologi kemunculan manuskrip
itu, Badzib mengharapkan masyarakat menyadari bahwa kitab
Al-Raud al-Jaliy ini penisbatannya kepada Syekh Murtada al Zabidi
adalah "gairu maqtu " (tidak dapat diputuskan final) ia bersifat
"muhtamilah " (kemungkinan) saja.213
Penulis memahami kenapa Ba'
dzib berbasa-basi bahwa masih ada kemungkinan kitab itu dinisbahkan
kepada Syekh Murtada al Zabidi beserta banyaknya "qarinah " (tanda-tanda kuat)
yang menyimpulkan bahwa kitab itu bukan tulisan Syekh Murtada al
Zabidi, mengingat kedekatan Badzib
dengan para tokoh-tokoh Ba' alwi. Bagi penulis, kitab
itu jelas palsu dan bukan karya Murtada al Zabidi, ia adalah tulisan Hasan bin
Muhamad Qasim sendiri. Seperti
<lulu ia mengarang kitab "Akhbar
al-Zainabat " lalu dikatakan kitab itu karya Al Ubaidili al Aqiqi, kitab
Al-Raud al-Jali ini pun sama, ia mengarangnya lalu dikatakan ia karya Syekh
Murtada al Zabidi.
Untuk membuktikan kesimpulan penulis itu benar
atau salah sangat mudah: datangkan mansukrip yang katanya ditulis oleh Abdul
Mu 'ti tahun 1196 H. yang dikatakan oleh Hasan Muhammad Qasim terdapat di
Maktabah "Al Wafaiyyah" dan bahwa ia menyalinnya dari salinan itu. Penulis
yakin seyakin yakinnya bahwa salinan itu tidak pernah ada.
Fitnah Terhadap Yusuf Jamalullail
Penulis menyatakan bahwa Yusuf jamalullail telah menginterpolasi kitab
Abna al-imam fi Mishra wa al-Syam al-hasan wa al-Husain
dengan berbagai macam dalil dan bukti . Lalu Hanif dkk. menyatakan bahwa
penulis hanya memfitnah.
Kitab Abna al-Imam adalah kitab palsu
yang dinisbahkan kepada Abu al-Mu'ammar Yahya bin Thabathaba (w.
478 H.). kitab versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Yusuf Jamalullail Ba'alwi;
diterbitkan oleh "Maktabah Jull al-Ma'rifah" dan "Maktabah Al Taubat" tahun
2004 M.
Kitab ini palsu dan tidak bisa dijadikan pegangan karena di
karang oleh pengarang yang berasal dari keluarga Thabathaba yang wafat tahun
199 H. Tetapi menyebut nama Abdullah atau Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin
Isa yang wafat tahun 383 H.. Bagaimana seseorang yang telah wafat di tahun 199
H. bisa mencatat Ubaidillah yang wafat tahun 383 H.? untuk menjawab
pertanyaan itulah kemudian kitab itu diatribusikan kepada
keluarga Thabathaba yang lain yaitu Abul Mu' ammar Yahya yang
wafat tahun 478 H. seperti yang ditulis dalam jilid kitab tersebut.
Tetapi
perhatikan ibarat kitab Abna ' al-Imam dalam mukaddimah, ia masih mencantumkan
tahun 199 H. sebagai tahun wafat pengarang kitab tersebut. Keluarga
Thabathaba yang wafat di tahun 199 H. adalah Muhammad bin Ibrahim Thabathaba
[Al-Kamil fi al-Tarikh 5/464] bukan Abul Mu'ammar Yahya bin
Thabathaba, karena ia wafat tahun 478 H. Yusuf Jamalullail
Ba'alwi juga mengakui bahwa kitab ini tidak murni tulisan Abul Mu'
ammar, tetapi isinya telah ditambahi oleh tiga ulama di abad 12 dan 13
Hijriyah, mereka adalah: Abi Shadaqah al-Halabi (w. 1180 H.), Abul Aun
Muhammad al-Safarini (w.1188 H.) dan Muhammad bin Nashar Ibrahim Al-Maqdisi
(w.1350 H.). Jadi, kitab ini adalah kitab yang sangat problematis dan tidak
konsisten . Ia tidak bisa disebut tulisan ulama abad ke-2 atau abad ke-5
karena isinya telah ditambahi oleh para ulama abad ke-12 dan ke-14
Hijriyah, bahkan patut diduga yang menyebut nama Abdullah atau Ubaidillah itu
adalah Yusuf Jamalullail sendiri.
Pengkhianatan Ilmiyah
Sulit Menerima Rujukan yang mengabsahkan Nasab Ba'alwi
Hanif dkk. menuduh penulis melakukan pengkhianatan ilmiyah karena tidak
menerima kitab-kitab rujukan Ba'alwi yang mencatat nasab Ba'alwi. penulis
tidak menerima kitab-kitab rujukan Ba'alwi karena dibatasi oleh kaidah-kaidah
ilmu nasab seperti: Ba'alwi mensodorkan kitab-kitab abad sembilan dan
setelahnya, sedangkan mereka tidak mampu membawakan satupun kitab nasab abad
ke-8 H. yang mencatat nasab mereka. Dalam kaidah ilmu nasab, kitab yang
bisa digunakan hujjah tentang nasab adalah kitab-kitab nasab, sedangkan sejak
abad ke-4 H. sampai abad ke-9 H. tidak ada satupun kitab nasab yang mencatat
mereka sebagai dzuriyat Nabi.
Kedua: ada kitab nasab yang mereka
sodorkan, katanya dari abad ke-5 H. yaitu kitab Abna al-Imam,
tetapi terbukti kitab itu kitab palsu . Karya seorang yang hidup di tahun 199
H. lalu disebut ditulis tahun 478 H.
Ketiga: mereka
mensodorkan manuskrip-manuskrip palsu seperti manuskrip Hasan
al-Allal, Abul Qasim al-Naffat, Al-Arba'un karya Syarif Abul jadid, Musnad
Faqih Muqoddam dsb. Semua itu kitab palsu yang tidak ada sumbernya .
Diciptakan hari ini lalu diatribusikan ditulis ulama masa lalu.
Mengenai
kitab-kitab yang ditahqiq oleh Ba'alwi seperti kitab Tuhfat al-Zaman, Tarikh
Ibnu Hisan, tarikh Syunbul, Tuhfat al Zaman, Tabaqat al-Khawash, semua
itu telah mengalami interpolasi, dicetak tidak sesuai naskah aslinya. Walau
kitab-kitab tersebut misalnya tidak terdeteksi diinterpolasi sekalipun,
kitab-kitab tersebut bukanlah kitab nasab yang dapat dijadikan hujjah. Apalagi
dalam keadaan sekarang yang telah terbukti diinterpolasi.
Hanif dkk.
mengatakan:
". . . Imaduddin menuduh bahwa semua kitab yang ditahkik oleh
kalangan Ba'alawi harus dicurigai kebenarannya . Sebaliknya, Imaduddin begitu
saja mengutip pendapat Abdullah al-Habsyi yang meragukan integritas Habib
Salim ibn Jindan dalam periwayatan nasab dan sejarah. Semestinya, jika
konsisten, ia akan menerima pendapat Abdullah al-Habsyi, bukan hanya
pendapat yang meragukan integritas Habib Salim ibn Jindan."214
Dari
kalimat di atas jelas hanif tidak mengerti cam kerja ahli nasab dalam meneliti
nasab. para peneliti nasab, ketika meneliti kesahihan nasab suatu klan, tidak
akan menggunakan kitab-kitab yang ditulis oleh klan itu sendiri kecuali
sebagai hujjah kelemahan nasab klan itu sendiri.
Abdul Majid al-Qaraja
dalam kitabnya Al-kafi al-Muntkhab:
Terjemah:
"Yang kelima
adanya al-maslahat (kepentingan). Maka j ika dari seorang yang meng-itsbat dan
menafikan (nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan
. Kadang dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan
dengan kepentingannya. Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali
dikuatkan oleh ulama lainnya yang tidak
berkepentingan. Para ulama nasab tidak mengutip dari orang yang punya
kepentingan." 215
Perhatikan kalimat "Walam yanqulu 'an man lahu
mashlahatun" (Para ahli nasab tidak mengutip pendapat orang yang punya
kepentingan). Perhatikan pula kalimat "Wa qad yu'amlu binaqidi
mashlahatihi" (Terkadang pendapatnya diambil jika berbalik dari
kepentingannya) . Maka sudah tepat ketika penulis mengambil pendapat Abdullah
Muhammad al-Habsyi ketika melemahkan Salim bin Jindan di
satu sisi, dan mengabaikan segala usaha skandal ilmiyahnya untuk menyambungkan
nasab Ba' alwi di sisi lainnya, karena begitulah para ahli nasab bekerja .
Menggunakan Teori Tetapi Mengabaikan Ba'alwi
Hanif dkk. mengatakan:
"Imaduddin kerap menggunakan teori dari
seorang ulama untuk menyerang Ba' alawi, sementara ulama itu sendiri menerima
dan mengakui nasab Ba' alawi. Imaduddin menggunakan teorinya, tetapi
mengabaikan isbat yang dilakukan ulama tersebut. Sikap
ini,
selain menunjukkan standar ganda Imad, juga menunjukkan kekeliruannya dalam
memahami teori yang ia pergunakan." 216
Lalu Hanif memberi contoh ketika
penulis mengutip pendapat Ibnu Hajar ketika berpendapat wajib menjaga nasab
Nabi dari para pencangkok tetapi mengabaikan kutipan Ibnu Hajar tentang nasab
Ba'alwi dalam kitabnya.
Inipula menunjukan Hanif dkk. tidak
ilmiyah dalam menghadapi suatu persoalan . Hanif melihat kebenaran bukan
berdasarkan daliltetapi berdasarkan individu yang mengatakan, seakan ulama itu
bersifat maksum. Jika Hanif dkk. itu ilmiyah, maka ketika melihat pendapat
seorang ulama itu logis dan ilrniyah kita ikuti, jika tidak kita abaikan.
Itulah cara kerja manusia ilmiyah. ketika Ibnu hajar mengatakan wajib kita
menjaga nasab Nabi dari para pencangkok, kalimat itu logis dan ilrniyah, maka
penulis kutip. ketika ia mengutip nasab Ba' alwi tanpa meneliti, itu tidak
logis dan tidak ilrniyah, penulis mengabaikannya. kita tidak boleh mensucikan
kata-kata ulama seakan ia adalah Al-Qur'an yang mutlak harus diterima. Itulah
cara kerja ilrniyah . Pakar nasab Syekh Kholil bin Ibrahim mengatakan:
Terjemah:
"Dan
seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak menganggap suci
teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan
hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa
salah dan benar." 217
Menuntut kitab Sezaman
Padahal Ia Tidak Menggunakan
Sumber Sezaman
Hanif mempertanyakan kepada penulis, kenapa penulis
menuntut sumber sezaman tetapi referensi penulis bukan kitab sezaman.
Penulis menjawab, kitab sezaman itu penting dihadirkan jika ada, jika tidak
ada maka kitab yang paling mendekati yang dapat ditemukan . Untuk nasab Ahmad
bin Isa yang paling mendekati adalah kitab Tahdzib al-Ansab tahun 435 H. Tidak
ada kitab nasab yang lebih tua dari itu yang menyebut Ahmad bin Isa. kitab
tersebut telah penulis hadirkan bersama kitab abad lima lainnya yaitu Al-Majdi
dan Muntaqilat al-Thalibiyah . Kemudian kitab abad ke-6 Al-Syajarah al
Mubarakah yang menyebut seluruh nama anak Ahmad bin
Isa yang berketurunan: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada lagi kitab nasab
yang lebih tua yang menyebut seluruh nama anak Ahmad bin Isa yang
berketurunan selain Al-Syajarah al-Mubarakah .
Kemudian Hanif
dkk. dalam bukunya tersebut tidak bisa menghadirkan kitab nasab
yang menyebut nama keluarga Abdurrahman Assegaf selain kitab
Tuhfat al-Thalib tahun 996 H. yang bertentangan dengan kitab Al-Syajarah
al-Mubarakah di abad ke enam. Tentu kitab Tuhfat al-Thalib itu tertolak
sebagai hujjah nasab Ba' alwi karena isinya bertentangan dengan kitab
yang lebih tua. Pakar nasab Syekh Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat fi
'Ilm al Ansab mengatakan:
Terjemah:
"Kaidah nasab yang
ke-42 adalah: Dan ketahuilah bahwa informasi jika bertentangan dengan logika
dan referensi dan bertentangan dengan
ushul maka ia informasi
palsu yakni
maudlu'. Informasi yang palsu dan maudlu'
tidak dapat dijadikan sebgai hujjah"218
Perhatikan kalimat
"Yubayinul manqul wa yukhaliful ushul " (Berbeda dengan riwayat tertulis dan
bertentangan dengan kitab-kitab asal).
Kerap Menolak Validitas Kitab Yang Mengitsbat Ba'alwi Namun Menerima
Begitu Saja Kitab Yang Menolak Ba'alwi
Hanif kembali menuduh penulis penulis bahwa penulis menolak validitas
kitab yang mengitsbat Ba'alwi. pertanyaannya: mana kitab nasab yang diajukan
Ba'alwi? tidak ada satupun kitab nasab yang diajukan Ba'alwi
untuk membela nasabnya. Yang mereka ajukan
Sanggupkah Ba' alwi menyajikan kitab nasab sebelum abad ke-9 H. bawa kitabnya
jika ada.
Kebohongan Dalam Pengutipan
Hanif dkk. menuduh penulis berbohong dalam pengutipan, padahal yang
berbohong itu adalah pembuat kitab Al-Raudl al-jaliy. Kitab tersebut
menyatakan Al-Ubaidili menyatakan bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut dan
mempunyai anak bernama Abdullah, padahal keterangan tersebut tidak ada
dalam kitab Al-Ubaidili, Tahdzib al-Ansab. Silahkan pembaca
kroscek kitab Tahdzib al-Ansab, lalu saksikan siapa yang berbohong.
Hanif
beralasan bahwa kutipan itu bukan ada dikitab Al Ubaidili
yang berjudul Tahdzib al-Ansab, tetapi ada di kitab lainnya. Sekarang wahai
tuan, bawakan kitab Al-Ubaidili yang lain yang menyebut Ahmad bin Isa hijrah
ke Hadramaut dan mempunyai anak bernama Abdullah . Bawa kitabnya jika ada!
Salah
satu pola para pemalsu nasab sudah disebutkan oleh pakar nasab, yaitu ia
berhujjah dengan nama besar seorang ahli nasab, lalu dikatakan ia menulis
sebuah kitab, padahal kitab itu tidak pernah ada. Syaikh Husain bin Haidar
berkata:
Terjemah:
"Seperti ia menisbahkan seorang ahli nasab
kepada sebuah kitab yang katanya ia menulisnya kemudian katanya kitab itu
hilang atau terbakar atau hancur atau tidak mungkin menghadirkannya .
Tidaklah
yang demikian itu dikatakan kecuali bahwa memang kitab itu tidak pemah ada
sama sekali."219
Memelintir Dalil Al-Qur'an dan Sunnah Tentang Gelar Habib
Hanif dkk. menuduh penulis memelintir dalil Al-Qur'an dan Sunnah. Yaitu
ketika penulis mengatakan bahwa tidak ada istilah "Habib" untuk keturunan Nabi
dalam Islam, yang ada adalah orang Yahudi dan Nashrani mengaku dirinya sebagai
"lbnun" (anak) dan "Habib" (kekasih)-nya Allah sesuai yang ada dalam Al-Qur
'an Surat Al-Maidah: 18. Yang mau membantah silahkan cari satu dalil dari Al
Qur' an atau Al-hadits yang menyatakan bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW harus
bergelar "Habib". Tidak ada.
Hanif Alatas dkk. membawakan hadits di bawah
ini sebagai dalil gelar "Habib" untuk keturunan Nabi"
"Razin
ibn Ubaid mengatakan: 'Aku bersama Ibn Abbas r.a., lalu datang Zainal Abidin
Ali ibn al-Husain. lbn Abbas berkata kepadanya, "Selamat datang, wahai kekasih
(al-Habib) putra Sang Kekasih (al-Habib)."
Hadits di atas tidak ada
"Wijhat al-Dilalah " (Arab dalil) untuk dijadikan dalil bahwa keturunan Nabi
harus bergelar "Habib". Ini menunjukan bahwa Hanif dkk. tidak mengerti metode
"istikhraj al hukmi an al-nushus" (mengeluarkan hukum dari teks). Jika ucapan
Ibnu abbas kepada Zainal Abidin (anak Sayyidina Husain) "Selamat datang wahai
habib putra habib (kekasih putra kekasih)" dijadikan dalil keturunan Nabi
harus bergelar "Habib", maka keturunan Nabi Ibrahim AS harus bergelar "Karim"
berdasarkan hadits sahih di bawah im:
Terjemah:
"Diriwayatkan
dari Umar RA bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Al-Karim putra
Al-karim putra Al-Karim putra Al-Karim: Yusuf bin Ya'qub bin Ishaq bin
Ibrahim." (HR Bukhari)
Ketika Nabi menggelari Nabi Yusuf sebagai Al-Karim
dan ayahnya, Nabi Ya'qub, sebagai Al-Karim, dan keduanya adalah keturunan Nabi
Ibrahim, maka berarti semua keturunan Nabi Ibrahim berarti bergelar "Karim",
padahal tidak ada keturunan Nabi Ibrahim hari ini menggunakan gelar
"Karim". Demikian jika kesesatan logika Hanif dkk. itu kita terima .
Tidak Ada Hadits
Sahib Tentang
Kewajiban Mencintai Keturunan Nabi
Hanif dkk. mengatakan:
"Selain memelintir ayat Al-Qur'an,
Imaduddin juga menyatakan bahwa tidak ada hadis sahib yang memerintahkan
umat untuk mencintai habaib dzurriyah (keturunan) Nabi Saw. Tentu saja
pernyataan Imaduddin itu salah besar. Kita bisa menemukan banyak hadis sahib
yang menegaskan pentingnya mencintai dan menghormati
keturunan Nabi Muhammad Saw.,
dan juga
mencintai habaib dzurriyah Nabi Saw."220
Pernyataan
Hanif Itu adalah kedustaan yang nyata. Tidak ada satupun hadits sahib yang
mewajibkan umat islam mencintai habaib. Memangnya Habib itu siapa sehingga ada
hadits yang mewajibkan mencintai mereka . Habaib itu bukan keturunan Nabi
Muhammad SAW; haplogroupnya G. bukan Jl; Nasabnya tidak dicatat kitab
nasab dari abad 4-9 H.; sejarahnya kosong
melompong, tidak ada kitab sejarah yang mencatat nama Faqih
Muqoddam sampai abad 9 H.
Mengenai keturunan Nabi, memang tidak ada
satupun hadits sahib yang mewajibkan umat Islam mencintai keturunan
Nabi. Jika ada silahkan tunjukan . Hanif bernarasi ada haditsnya tetapi ia
tidak menunjukannya, kenapa? Karena Hadits yang dimaksud bukanlah untuk
keturunan tetapi untuk Ahlu Baitinnabiy: Ali, Fatimah, hasan
dan Husain .
Pengambilan Kesimpulan Yang Serampangan
Ba'alwi adalah Keturunan Qahtan
Setelah Syarif Abul Jadid tertolak sebagai keturunan Ahmad bin Isa
melalui anak bernama Abdullah, karena adanya kitab Al-Syajarah al-Mubarakah
yang menyatakan dengan tegas bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak
bernama Abdullah . Maka penulis menyimpulkan nama Aba Alwi itu adalah
keturunan Qahtan sebagaimana yang ditulis oleh Al-Hamadani dalam kitabnya
Al-Iklil. Al-Hamadani berkata:
Terjemah:
"Maka mereka adalah
Banu Alwi bin 'Ayan, mereka telah sedikit di kampung-kampung negara Ramadan,
dan tidak tersisa dari mereka kecuali rumah Keluraga Alu
'Asim, Alu Rausha, Alu Hakim, keluarga-keluarga kecil. Dan
sebagian dari Bani Alwi adalah Shuraih bin Malik,
aku tidak tahu dari keluarga mana ia. Dan berkata sebagian
cendikiawan Arhab bahwa Alwi kadang di "tasgir" (menjadi 'Ulawi), kadang
pula tidak di"tasgir" (Alwi). Mereka berkata Alwi bin Alyan bin Alwi
mempunyai anak. Alyan bin Alwi mempunyai anak Alwi yunior.
Darinyalah menyebar Banu Alwi. Selesai pembicaraan Banu Alwi."221
Hanif
dkk. tidak bisa menyebutkan satupun kitab nasab sebelum abad ke-9 H. yang
menyebut nama Syarif Abul Jadid sebagai keturunan Ahmad bin
Isa. dengan itu apa yang ditulis Al-Suluk yang menyambungkan nasab Syarif Abul
Jadid kepada Ahmad bin Isa tertolak oleh kitab nasab Al-Syajarah al-Mubarakah
yang menyatakan tidak ada anak Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah .
Selain itu, Hanif dkk. juga tidak bisa menyajikan kitab sebelum
abad ke-9 H. yang menyebutkan bahwa keluarga Abdurrahman al-Saqqaf
adalah bagian dari keluarga Syarif Abul Jadid. Dengan itu keluarga Ba'alwi
Abdurrahman Assegaf bukan hanya tertolak menjadi keturunan Ahmad
bin Isa, ia pula tertolak menjadi bagian keluarga Syarif Abul Jadid .
Kakek Ba'alwi Adalah Sepupu langsung bani Ahdal
Hanif Alatas dkk. menyanggah bahwa Ba'alwi dan Bani Ahdal adalah sepupu
langsung. Padahal kitab-kitab sejarah mencatat mereka "Ibnul 'am"
(sepupu). Asal makna kalimat sepupu adalah sepupu langsung kecuali ada dalil
yang menyatakan lain. Syaikh Musa'id al-Thayyar mengatakan:
Terjemah:
"Apabila
suatu lafad mempunyai dua makna: yang pertama makna dekat yang langsung
difahami dan yang lain makna jauh, dan engkau mendengar orang berbicara dengan
lafadz ini maka biasanya makna yang difahami hatimu adalah makna dzahir
yang dekat bukan makna jauh yang tidak sampai kepadanya kecuali dengan
membolak-balikan pemikiran dalam makna makna yang berkemungkinan". 222
Ahmad bin Isa Tidak Pernah Hijrah ke Hadramaut
Hanif dkk. mengatakan:
"Tidak diperlukan rujukan berupa kitab-kitab yang
ditulis pada masa Imam Ahmad al-Muhajir hidup untuk
membuktikan bahwa ia dan keluarganya telah hijrah dari Bashrah ke Hadramaut.
"223
Hanif menyerah kalah. Bahwa memang tidak ada satu kitab-pun di masa
Ahmad bin Isa yang menyatakan Ahmad bin Isa berhijrah dari Bashrah ke
Hadrmaut. Jangankan kitab semasa, kitab abad ke-8 H.
saja tidak ada yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa berhijrah ke
Hadramaut. Dongeng hijrahnya Ahmad bin Isa hanya baru muncul di abad ke-9 H.
dari kitab-kitab Ba'alwi seperti Al-Burqah dan Al-Jauhar al-Syafaf. Dari sini
mukibin (pendukung Ba'alwi) harusnya memahami: bagaimana orang yang
tidak pernah hijrah ke hadramaut makamnya ada di sana?
Hanif Memanipulasi Data Kitab
Al-Gaybah Karya Al-Thusi Tentang Ahmad bin Isa
Tidak Pernah Hijrah Ke Hadramaut
Dalam kitab Al-Ghaybah dikatakan:
Ahmad bin 'Isa
tereportase oleh seorang ulama bernama Abu
Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Tusi (w.
460 H.) dalam kitabnya Al-Surya di Kota Madinah, dalam
kesempatan itu, Abul Hasan menyatakan bahwa anaknya, Al-Hasan (w.260
H.), akan menjadi penggantinya kelak sebagai Imam Syi'ah ke-11. Di bawah ini
kita perhatikan kutipan dari kitab "Al-Gaybah " karya Al-Tusi:
Terjemah:
"165-Diriwayatkan
darinya (Sa'ad bin Abdullah), dari Ahmad bin 'Isa al-Alwi, dari
keturunan 'Ali bin Ja'far, ia berkata: 'Aku menemui 'Ali Abul Hasan,
alaihissalam, di Surya, maka kami mengucapkan salam kepadanya, kemudian kami
bertemu Abi Ja'far dan Abi Muhammad, keduanya telah masuk, maka kami berdiri
untuk Abi Ja'far untuk mengucapkan salam kepadanya, kemudian Abul
Hasan, alalihislam, berkata: 'Bukan dia sohibmu
(pemimpinmu), perhatikanlah pemimpinmu, dan ia mengisaratkan kepada Abi
Muhammad, alaihissalam". 224
Dari riwayat di atas, kita dapat
menyimpulkan beberapa hal: pertama bahwa Ahmad bin 'Isa adalah seorang
"syi>'iy ima>miy" (orang Syi'ah Imamiyah), karena jarang orang non
Syi'ah akan dimasukan dalam perawi sejarah Syi'ah Imamiyah. Kedua, redaksi di
atas, juga menjelaskan kepada kita kedekatan antara Ahmad bin 'Isa dengan Abul
Hasan yang merupakan Imam Syi'ah ke-10. Ahmad bin 'Isa dan Abul Hasan, nasab
keduanya bertemu di Ja'far al-Sadiq, keduanya adalah
generasi keempat darinya. Silsilah
Abul Hasan adalah Abul Hasan bin Muhammad bin 'Ali bin Musa
al-Kadim bin Ja'far al-Sadiq . Sedangkan silsilah Ahmad bin 'Isa adalah Ahmad
bin 'Isa bin Muhammad al-Naqib bin 'Ali al-Uraidi bin Ja'far al-Sadiq .
Rupanya,
'Ali al-Uraidi dan keturunannya selalu setia bersama Musa al-Kadim dan
keturunannya dalam sikap politik dan keagamaan. Ibnu Inabah (w.828 H.)
menyebutkan dengan jelas dalam kitab Umdat al-Talib bahwa 'Ali al-Uraidi
adalah penganut Syi'ah.225 Demikian pula disebut dalam kitab
Masa 'ii Abi Ja 'far bahwa 'Ali al-uraidi adalah seorang penganut Syi'ah, dan
ia selalu bersama Musa al-Kadim di rumah maupun ketika bepergian . Jika orang
hendak menghadap Musa al-Kadim untuk suatu keperluan, maka 'Ali
al-Uraidi adalah jalan yang harus dilalui.226 Begitu pula kesetiaan itu
ia tunjukan untuk putra Musa al-Kadim, 'Ali al-Rido dan cucunya,
Muhammad Abu Ja'far al-Jawad .227 Disebutkan oleh Al-Umari dalam kitab
Al-Majdi, 'Ali al-Uraidi sangat menghormati ayah Abul Hasan yaitu Muhammad Abu
Ja'far, padahal ia adalah paman dari ayah Muhammad Abu Ja'far.
Al-Umari meriwayatkan pula, bahwa suatu hari Muhammad Abu
Ja'far mengunjungi 'Ali al-Uraidi, kemudian 'Ali al-Uraidi mempersilahkan
Muhammad untuk duduk di kursinya sedangkan 'Ali al-Uraidi berdiri tanpa bicara
sedikitpun sampai Muhammad pergi.228
Dari kutipan Al-Tusi pula, kita
dapat mengetahui bahwa Ahmad bin 'Isa berada di Kota Madinah pada sekitar
umur 20 tahun. Perkiraan umur Ahmad bin 'Isa itu, berdasar umur
Abul Hasan ketika bertemu dirinya di Madinah itu, di mana antara Abul Hasan
dan Ahmad bin 'Isa adalah sama-sama
generasi keempat dari Ja'far al-Sadiq. Kendati
demikian, belum ada somber yang dapat dijadikan petunjuk, apakah ia lahir di
Madinah? Atau ia lahir di Kota lain dan di Madinah hanya menemui Abul Hasan
(?) Jika ia lahir di Madinah, dan pada umur 20 tahun ia masih berada di sana,
apakah ada somber yang menyebut ia pergi ke luar Kota Madinah setelah itu?
Ketika sebuah konklusi telah ditemukan, yaitu bahwa Ahmad bin 'Isa berada di
Madinah pada sekitar umur 20 tahun, lalu tidak ada somber yang menyebut ia
pergi dari Madinah, maka hendaklah kita membiarkan konklusi itu tetap
demikian, yaitu bahwa Ahmad bin 'Isa tidak pemah pergi dari Madinah, sampai
ada bukti yang mengatakan sebaliknya. Kendatipun, misalnya, akan
ditemukan riwayat perpindahan Ahmad bin 'Isa dari Madinah setelah
pertemuannya dengan Abul Hasan itu, maka kemungkinan besar adalah
pindahnya ia ke Kota Samira dalam rangka menemani Abul Hasan. Al-Khatib
al-Bagdadi (w.392 H.) dalam kitabnya Tarikh Bagdad menyebutkan
bahwa Khalifah Al Mutawakkil mengundang Abul Hasan untuk tinggal dekat dengan
dirinya, lalu Abul Hasan pindah ke Samira dan tinggal di sana selama duapuluh
tahun sebelum ia wafat tahun 254 H. dan di makamkan di sana pula.229
Al-Bagdadi mencatat pula, bahwa Abul Hasan lahir tahun 214 H.,
berarti, ketika ia wafat berumur 40 tahun, dan peristiwa hijrah itu terjadi di
tahun 234 Hijriah .230 Melihat kedekatan Ahmad bin
'Isa dengan Abul Hasan, maka kemungkinan besar, jika sahih (benar) ditemukan
berita kepindahannya, maka ia akan pindah ke Samira, bukan ke Hadramaut.
Samira, adalah salah satu destinasi kota yang menjadi tempat
tinggal para keturunan Nabi Muhammad Saw. jalur Ja'far
al-Sadiq, selain Bagdad, Basrah, Qum, Ray,
Najaf, Syairaz, Asfihan, Kufah, Syam dan beberapa kota lain di
Irak dan Iran. Tidak ditemukan riwayat sejarah yang menyebut ada di
antara mereka yang hijrah ke Hadramaut.
Sulit sekali untuk dimengerti dan diterima logika peneliti, seorang Syi'ah Imamiyah seperti Ahmad bin 'Isa, kemudian ia hijrah ke Hadramaut yang ketika itu dikuasai oleh kaum Ibadiyah yang anti terhadap Syi'ah. Jika pun ia harus pindah, maka ia seyogyanya akan memilih San'a yang dikuasai oleh Syi'ah Zaidiyah Hadawiyah. Walaupun berbeda dalam beberapa pandangan keagamaan, tapi tentu akan lebih bisa diterima dibanding dengan Ibadiyah. Hal ini, kemudian membuat sejarawan Ba'alwi harus bersusah payah mengarang kisah ahistoris di mana dikatakan, misalnya oleh Al Syatiri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bahwa ketika datang ke Hadramaut, Ahmad bin 'Isa berdebat dengan ulama 'Ibadiyah, seperti dapat diterka, kemudian Ahmad bin 'Isa memenangkan perdebatan itu, dan membuat ulama 'Ibadiyah terdiam .23 1 Penulis tidak menyarankan kepada pembaca untuk menjadikan buku Al-Syatiri ini sebagai referensi tentang sejarah Hadramaut, karena apa yang ditulis oleh Al-Syatiri ini, terutama tentang kisah keluarga Ba'alwi, nyaris tanpa referensi sama sekali. Daripada sebuah buku sejarah, lebih tepat buku tersebut dikatakan sebagai sebuah buku novel dengan latar belakang ilmiyah. Begitupula, buku-buku yang dikarang atau ditahqiq (diterbitkan dengan dilengkapi berbagai macam kekurangan misalnya dari sisi huruf yang salah tulis atau tidak terbaca karena tua) oleh keluarga Ba'alwi lainnya, jangan dijadikan sebagai referensi untuk melihat sejarah Hadramaut mulai abad ketiga sampai hari ini. Hal yang demikian itu, karena semangat yang dominan dari penahqiqan dan penulisan sejarah itu, hanyalah ditenagai oleh upaya melengkapi kesejarahan nama-nama silsilah keluarga Ba' alwi yang terpotong, kontradiktif dan ahistoris. Dengan melihat historiografi Hadramaut dari buku-buku yang tidak terpercaya, kita bukan akan melihat fakta sejarah Hadramaut sesunggunya, tetapi hanya melihat sejarah yang diciptakan untuk suatu kepentingan .
Dari kutipan Al-Tusi pula, kita bisa melihat, bagaimana cipta sejarah Ba'alwi
akan menghadapi kontradiksi dilihat dari urutan tahun yang mereka ciptakan.
Misalnya, Ba'alwi mencatat, bahwa tahun hijrah Ahmad bin 'Isa ke
Hadramaut adalah tahun 317 Hijriah, dan tahun wafatnya adalah tahun 345
Hijriah. Jika Ahmad bin 'Isa, pada tahun 234 H. berumur 20 tahun, maka berarti
ketika hijrah itu ia telah berumur 103 tahun, dan ketika wafat ia telah
berumur 131 tahun. Sangat janggal, ada seseorang yang sudah tua renta yang
berumur 103 tahun berpindah dari Basrah ke Hadramaut dengan jarak lebih
dari 2000 km. seperti juga sangat kecil kemungkinan ada orang yang bisa
mencapai usia 131 tahun. Perkiraaan umur 20 tahun untuk Ahmad bin 'Isa dengan
melihat umur Abul hasan itu, adalah perkiraan untuk menjaga keadilan ilmiyah,
bisa jadi, ketika bertemu Abul Hasan itu, Ahmad bin 'Isa telah berumur lebih
dari itu. Jika diperkirakan umur Ahmad bin 'Isa telah mencapai umur 40
tahun saja, maka berarti ketika ia wafat telah mencapai umur
151 tahun. Jika dikatakan, bizsa pula sebaliknya terjadi, yaitu bahwa umur
Ahmad bin 'Isa ketika bertemu Abul hasan itu kurang dari 20 tahun. Kemungkinan
itu bisa saja terjadi, tetapi tidak akan kurang dari umur balig yaitu 15
tahun, karena pembicaraan tentang "imamah" dari Abul
Hasan kepada Ahmad bin 'Isa adalah suatu wasiyat atau
kesaksian yang penting, yaitu bahwa yang akan menggantikan
Abul Hasan adalah anaknya yang bernama Al-Hasan, bukan anak
lainnya, tentu wasiyat dan kesaksian semacam ini tidak sah diberikan kepada
anak kecil yang belum balig.
Lalu Hanif dkk. menyanggah bahwa Ahmad bin
Isa dalam kitab Al-gaybah itu bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad al-naqib,
tetapi Ahmad bin Isa bin Ali al-Uraidi. Dengan beberapa alasan yang Hanif
sampaikan:
Pertama: Ahmad bin Isa barn lahir tahun 260 H.
sedangkan Abul hasan wafat tahun 254 H. bagaimana orang yang sudah wafat dapat
ditemui Ahmad bin Isa? jawaban penulis adalah: yang salah adalah tahun lahir
Ahmad bin Isa yang ditulis oleh penulis kalangan Ba' alwi bahwa
Ahmad bin Isa lahir tahun 260 H. Penulis kalangan Ba' alwi
ketika menentukan tahun lahir Ahmad bin Isa itu hanya modal nembak saja,
tidak berdasarkan data referensi apapun. Tahun wafat Ahmad bin Isa tahun 345
H. pun hanya basil nembak tidak ada data atau sumber apapun.
Kedua: Ahmad
bin Isa yang ditulis kitab Al-gaybah katanya bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad
al-Naqib tetapi Ahmad bin Isa bin Ali al-Uraidi berdasarkan apa yang ada dalam
kitab Al-Majdi bahwa ada nama Ahmad bin Isa bin Ali al-Uraidi.
Dalam
Al-Majdi dikatakan:
Terjemah:
"Adapun tentang Isa ibn
(Ali) al-'Uraidhi, hanya ayahku yang meriwayatkannya, ia
punya anak Hasan dan Ahmad . "232
Sampai di sini penulis seapakat ada
nama Ahmad bin Isa bin Al al uraidi.
Tetapi yang disebut kitab Al-gaybah
itu jelas adalah Ahmad bin Isa bin Muhammad Al-Naqib bin Ali al-Uraidi. Mari
kita sisir kalimat perkalimat:
Perhatikan kalimat:
Penulis
menterjemahkannya: Dari Ahmad bin Isa Al-Alawi
dari keturunan Ali bin Ja'far jelas .
Siapa Ahmad bin Isa yang
keturunan Ali bin Jafar? Ya jelas Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin
Jafar.
Kalau yang dimaksud adalah Ahmad
bin Isa bin Ali, maka seharusnya ditulis:
Lalu
kenapa kitab Al-gaybah menulisnya:
kenapa ada kalimat "min wuldi " (dari keturunan/anak-anak)?
Lafad
"min wuldi " itu menjadi khabar dari "wahuwa " yang disimpan, taqdirnya
"Wahuwa min wuldi Ali ". dlamir "huwa "-nya kembali kepada Ahmad . tidak
bisa dlamir "huwa " kembali kepada Isa, karena Isa itu hanya
menjadi Mudlaf Ilaih dari "Ibnu". Lafad "ibnu " nya menjadi
sifat dari Ahmad .
Maka yang ada dalam kitab Al-Gaybah itu jelas: Ahmad
bin Isa bin Muhammad Al-Naqib bin Ali al-uaridi bin jafar al-Shadiq .
Lalu
siapa yang berdusta? Boleh diuji di hadapan para ahli bahasa
dunia.
Makam Ahmad bin Isa Palsu
Hanif tidak terima ketika penulis mengungkapkan bahwa tidak ada satupun
kitab sebelum abad ke-sembilan yang menyatakan Ahmad bin Isa dimakamkan di
Hadramaut. Kitab yang menyatakan Ahmad bin Isa dimakamkan di
Hadramaut baru muncul di abad ke-9 H. berbarengan dengan pengakuan Ba'alwi
sebagai keturunan Nabi.
Tetapi begitupun ia tidak terima, tidak ada
satupun kitab yang ia sajikan untuk membantahnya . Alih-alih ia menjawab,
malah ia bertanya tentang bukti kitab yang menunjukan makam Bunda Aminah
(Ibunda Nabi Muhammad SAW). jika adanya makam Ahmad bin Isa harus dibuktikan
dengan catatan, Hanif bertanya mana catatan tentang makam Bunda Aminah.
Naudzubillah, untuk mempertahankan nasab, siapapun dari orang orang besar umat
Islam ia j adikan bemper untuk dijadikan alasan. Itulah ciri manusia tidak
berakhlak kepada Baginda Nabi besar Muhammad SAW.
Melakukan Kebohongan Publik
Nasab Ba'alwi Terputus 550 Tahun
Hanif Alatas dkk. dalam bukunya menyatakan bahwa naras1 nasab Ba'alwi
terputus 550 tahun sebagai kebohongan public, tanpa ia dapat menyuguhkan kitab
apa yang dapat menjawab keterputusan nasab Ba'alwi tersebut. Terputusnya nasab
Ba'alwi sebenamya, bukan 550 tahun, tetapi 651 tahun, dihitung mulai wafatnya
Ahmad bin Isa tahun 345 H. sampai tercatatnya nama-nama keluarga Ba'alwi
Abdurrahman Assegaf dalam kitab Tuhfat al-Thalib tahun 996 H. yang
ditulis tanpa referensi. Dari situ nasab Ba'alwi adalah
nasab palsu yang tiba-tiba muncul dari ruang hampa.
Adapun narasi
terputus selama 550 tahun dihitung sampai pengaakuan sepihak dari
keluarga Ba'alwi tahun 895 H. dalam kitab Al-Burqat al-Musyiqah . Yang pantas
disebut kebohongan public adalah klan Ba'alwi yang mengaku
sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tanpa adanya data dan sumber
pendukung .
Mufti Yaman Membatalkan Nasab Ba'alwi
Hanif menganggap penting seseorang melakukan penilaian pengitsbatan
atau pembatalan terhadap suatu nasab tanpa adanya penelitian . Bagi penulis
tidak penting apakah Mufti Yaman mengitsbat atau
membatalkan nasab Ba'alwi, karena berita pembatalan Mufti
Yaman terhadap nasab Ba' alwi yang terdapat dalam salah satu surat kabar
online dari Yaman itu tanpa adanya dalil apapun.
Ketika penulis
mengangkat berita itu hanya ingin mengatakan bahwa temyata pandangan yang sama
bahwa nasab Ba'alwi batal itu tidak hanya keluar dari penelitian penulis,
tetapi banyak ulama yang lain di dunia juga membatalkan nasab Ba' alwi di
antaranya adalah Mufti Yaman sesuai dengan berita di media online
tersebut. Seandainya Mufti Yaman-pun kemudian mengitsbat nasab Ba'alwi, maka
penulis siap berdiskusi dengan Mufti Yaman itu, karena dalil dalil
terputusnya nasab Ba'alwi yang penulis miliki, menurut penulis, lebih presisi
dari berbagai tulisan ulama di dunia yang telah membatalkan nasab
Ba'alwi.
Naqabah Internasional Tidak Mengakui Nasab Ba'alwi
Hanif membuat framing bahwa penulis mengkampanyekan bahwa Naqobah
Intemasional tidak mengakui nasab Ba'alwi. padahal justru, penulis termasuk
orang yang tidak melandaskan penelitian nasab Ba'alwi terhadap
pendapat para pengurus Naqobah, kenapa? Karena Naqobah setiap keluarga
mempunyai kode etik hanya mengurusi keluarganya saja dan tidak
mencampuri urusan keluarga lain, apalagi sampai membatalkan nasab
keluarga lain.
Yang menjadi landasan utama dari penelitian nasab adalah
kitab-kitab nasab, bukan pendapat dari organisasi naqobah . Kemudian untuk
menguji kesejarahan masing-masing nama yang diteliti
ditambah dengan kitab-kitab sejarah.
Dalam bukunya tersebut Hanif dkk.
menampilkan beberapa tandatangan pengitsbatan dari Naqobah atau individu
tanpa adanya dalil yang dapat dipertanggungjawabkan . dalam kiadah ilmu
nasab tandatangan-tandatangan seperti itu tidak bermakna apa-apa dalam
membantu mensahihkan nasab yang jelas batal seperti nasab Ba'alwi.
Syaikh
Khalil bin Ibrahim menyebutkan satu kaidah:
Terjemah:
"Tidak
ada nilainya banyaknya tandatangan jika nasab itu tidak sahib. Banyaknya
tandatangan tidak mensahihkan yang salah. Tandatangan itu hujjah bagi
penandatangan bukan hujjah bagi yang lainnya."233
Syaikh Al-Turbani Membatalkan Nasab Ba'alwi
Hanif Alatas dkk. menyatakan bahwa
tulisan penulis yang menyatakan bahwa Syekh
Al-Turbani membatalkan nasab Ba'alwi adalah hoaks,
padahal itu adalah fakta. Bahwa kemudian Syekh Al
Turbani kemudian menarik pendapatnya itu hal lain.
Yang menarik adalah
Hanif dkk. mendapatkan berita penarikan pendapat Syaikh
al-Turbani itu hanya berdasarkan komunikasi di facebook.
Sekali
lagi penulis sampaikan bahwa kesimpulan batalnya nasab Ba'alwi yang sudah
final itu tidak penulis sandarkan kepada siapapun untuk bertanggung-jawab,
penulis mempertanggungjawabkan kesimpulan bahwa nasab Ba' alwi ini adalah
nasab palsu secara ilmiyah secara pribadi . Bersamaan dengan itu,
kutipan-kutipan atau bacaan bacaan penulis terhadap pendapat-pendapat ulama
terdahulu tentang nasab Ba'alwi, penulis jadikan sebagai sumber-sumber
penelitian untuk mendapatkan kesimpulan yang sempuma.
Kesimpulan Batalnya Nasab Ba'alwi adalah Sebuah Tesis
Hanif menggugat penulis yang menyebut kesimpulan batalnya nasab Ba'alwi
ini sebagai sebuah tesis. Menurut Hanif, tesis hanya bermakna sebuah karya
ilmiyah yang ditulis sebagai tugas akhir dari sebuah perguruan tinggi. Tentu
apa yang disampaikan Hanif itu mencerminkan ia kurang
berpariwisata dalam dunia filsafat, khususnya tentang teori
Dialektika Hegel.
Tesis adalah titik awal dalam proses Dialektika Hegel,
yang mewakili gagasan atau pandangan tertentu dalam suatu
konteks. Dalam konteks akademis, tesis melambangkan konsep yang diajukan oleh
individu atau kelompok sebagai landasan untuk pemahaman lebih lanjut. Setiap
penelitian atau teori dimulai dengan tesis, yang mencerminkan pemahaman saat
ini tentang subjek tertentu . Sampai di sini mudah-mudahan Hanif dkk. telah
memahami apa yang disebut sebuah tesis.
Menjiplak Pemikiran Orientalis Dan Tokoh Non Aswaja
Menjiplak Pemikiran orinetalis Untuk
Membatalkan Nasab Ba'alwi
Hanif menuduh penulis menjiplak pemikiran orientalis dalam membatalkan
nasab Ba'alwi.padahal telah terbukti dalam pemaparan penulis sebelumnya bahwa
metode penulis dalam membatalkan nasab Ba' alwi adalah dengan menggunakan
metode Ilmu Nasab.
Metode itsbat nasab yang terdapat dalam kitab ilmu
nasab semacam Rasa'il fi 'Ilm al-Ansab ada tujuh dari ketujuh metode itu
semuanya menyatakan Ba'alwi batal.
Pertama: Metode Syuhroh wal Al
Istifadlah. Dengan menggunakan metode pertama ini nasab Ba' alwi batal karena
Syuhrah (popular) mempunyai syarat yaitu "Adam al-Mu'aridl" (tidak ada dalil
penentang), sedangkan kitab pengakuan Ba'alwi sebagai keturunan Nabi di
abad ke-9 H. bertentangan dengan kitab nasab di abad ke-6 H. yaitu kitab
Al-Syajarah al-Mubarakah yang menyatakan anak Ahmad bin Isa hanya
tiga:Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada anak Ahmad bin Isa bernama Ubaid,
Ubaidullah atau Abdullah .
Pakar ilmu Nasab Syekh Husain bin haidar
al-Hasimi dalam kitabnya Rasa'il fi 'ilm al-Ansab mengatakan:
Terjemah:
"pertama,
adalah dengan "istifadlotunnasab " (menyebarnya nasab) dan "syuhratunnasab "
(popularnya nasab) di desanya dengan popular yang membuahkan keyakinan dan
dengan menyebar antara manusia yang bisa terjadi keyakinan dengan berita
mereka, atau dugaan kuat, dan aman dari kemungkinan
kesepakatan
mereka untuk berdusta, dengan
disertai tidak adanya dalil yang menentang. "234
Kedua:
Metode Kitab-kitab Nasab. Menggunakan metode kitab-kitab nasab nasab Ba' alwi
batal karena kitab-kitab nasab bisa digunakan sebagai pengitsbat nasab
mempunyai syarat yaitu sebuah kitab nasab tidak boleh bertentangan
dengan isi kitab nasab sebelumnya. Sedangkan kitab nasab yang
mengitsbat Ba'alwi baru ada di abad ke- 9 dan 10 H. yang
bertentangan dengan kitab sebelumnya .
Perhatikan apa yang dikatakan
dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz 8 h. 319 karya Imam Ramli:
"Dan
boleh baginya bersaksi dengan tasamu ' ketika tidak ada penentang yang lebih
kuat dari tasamu ', seperti inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha
'n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum demikian bahwa tasamu'
gugur dengan adanya inkar dan tha 'n, tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa
disyaratkan tha 'n itu tidak disertai tanda-tanda kedustaan orang yang
menyampaikannya"
Jelas metode para Nassabah (pakar nasab) dan pakar fikih
membatalkan nasab Ba'alwi dengan metode Syuhrah wal-Istifadlah karena
kesyuhra-an Ba'alwi ditolak oleh kitab nasab abad ke-6 H. Al Syajarah
al-Mubarakah .
Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Al Muqaddimat .ft. 'Jim
al Ansab:
"Syarat menjadikan kitab
nasab sebagai pegangan adalah
pertama ia tidak boleh berbeda dengan kitab-kitab asal" 235
Dalam
Kitab Ushulu 'Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al- Ansab karya
Fuad bin Abduh bin Abil Gats al jaizani dikatakan:
'
"Dan
tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam
kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau
berdasar memori bangsa saja."236
Jadi jelas, kitab andalan Ba'alwi
Al-Burqat al-Musyiqah, Al- jauhar al-Syafaf, Al-Nafhah al-Anbariyah yang
semuanya ada di abad ke-9 H. tidak bisa digunakan sebagai itsbat nasab Ba'alwi
karena bertentangan dengan kitab nasab yang lebih tua yaitu Al-Syajarah al
Mubarakah di abad ke-6 H.
Ketiga: Metode Syahadah/Al-Bayyinah
al-Syar'iyyah. Kesakisan dua orang saksi ini bisa dilakukan untuk kesaksian
orang yang hidup hari ini. Tidak bisa untuk Ubaid yang hidup seribu tahun
lalu. Syekh Khalil Ibrahim mengatakan tentang Al-bayyinah al Syar'iyyah dalam
kitabnya Muqaddimat fi 'ilmi al-Ansab:
"Aku
berkata sesungguhnya masalah ini (Al-Bayyinah
al Syar 'iyyah) bukan untuk menetapkan nasab qabilah-qabilah, tetapi
digunakan untuk menetapkan nasab anak kepada ayahnya."237 (Muqaddimat,
62).
Jadi, metode dua orang saksi ini menurut para ahli nasab tidak
bisa digunakan untuk mengitsbat Ubaid sebagai anak Ahmad .
Keempat:
Metode Ikrar. Menurut Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Muqaddimat, metode I
'tiraf dan iqrar ini pula tidak bisa mengitsbat nasab yang jauh seperti Ubaid.
Ia digunakan hanya untuk nasab orang yang hari ini hidup:
"Aku
berkata, sesungguhnya masalah ini tidak menentukan nasab
kabilah-kabilah tetapi ia menentukan nasab seseorang yang
diragukan kesahihannya . Maka ketika seorang ayah ber
J 'tiraf dan ber-ikrar bahwa ia bapak dari anak ini maka anak ini di-itsbat
kepadanya dan kepada nasabnya."
Kelima: Metode I'tiraf
"Metode
yang kelima adalah I 'tiraf atau iqrar seorang laki-laki yang berakal bahwa
fulan adalah anaknya . Dan orang yang diaku haruslah orang yang pantas
diakui (sebagai anak) untuk pengaku. Dan tidak ada penghalang (untuk
pengakuan itu)."238
Cara I 'tiraf dan ikrar seorang ayah kepada
anak ini pula menurut syekh Khalil Ibrahim, digunakan untuk orang yang
masih hidup bukan untuk orang yang sudah ribuan tahun wafat seperti
Ubaid .
Keenam: Metode Qiyafah. Metode inipun
hanya bisa dilakukan untuk orang yang hari ini masih hidup untuk melihat
keserupaan antara keduanya. Bukan
untuk mengitsbat nasab jauh karena kita tidak bisa
membandingkan antara Ubaid dan Ahmad bin Isa yang sudah
wafat seribu tahun yang silam.
Ketujuh:
Metode Qur'ah. Al-Qur'ah
(diundi) digunakan sebagai itsbat nasab berdasarkan hadits Zaid
bin Arqam ia berkata:
"Aku duduk di sisi Nabi SAW maka datanglah
seorang laki-laki dari Yaman maka ia berkata bahwa tiga orang dari Yaman
datang kepada Ali KW mengadukan sengketa hukum anak kepadanya, mereka telah
menjima' seorang wanita dalam satu masa suci. Maka Ali berkata kepada dua
orang, relakanlah anak untuk orang ini, maka kemudian dua orang itu tidak mau
dengan bergolak . Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak
itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, Maka kemudian Ali berkata kepada
dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, maka
Ali berkata, kalian bersama-sama orang yang bertengkar, aku akan mengundi di
antara kalian, maka barang siapa keluar undianya anak ini miliknya, dan ia
harus membayar 2/3 diyat bagi yang lain, maka kemudian Ali mengundi di antara
mereka, maka ia menjadikan anak itu bagi yang keluar undian. Maka Rasulullah
tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya."
Metode qur'ah ini
pun tidak bisa dilakukan untuk nasab Ba'alwi karena metode ini dilakukan hanya
ketika dalil-dalil pengitsbat dan penafi sama kuatnya. Sedangkan dalil yang
mengitsbat nasab Ba'alwi sangat lemah dan termasuk nasab maudlu (palsu).
Dari
ketujuh metode itsbat nasab yang digariskan oleh para pakar nasab
tersebut sudah nyata siapa yang menabrak metode dan kaidah nasab. yang hari
ini masih mengitsbat Ba'alwi dengan begitu terangnya kebatalan mereka, maka
merekalah yang telah menabrak metode dan kaidah nasab.
Mencontek Tokoh
Wahabi Dalam
Membatalkan Nasab Ba'alwi
Ba' alwi sering mengatakan bahwa hanya penulis di dunia ini
yang membatalkan nssab Ba'alwi. tetapi di dalam buku ini Hanif dkk. berterus
terang bahwa sudah banyak para ulama lain yang membatalkan nasab
Ba'alwi. lalu Hanif menuduh penulis mencontek ulama-ulama itu dalam
membatalkan nasab Ba'alwi.
Tokoh-tokoh ulama itu di antaranya adalah
Murad Syukri, Audah al-Aqili, Muqbil al-Wada'I, kata hanif
semua itu tokoh Wahabi. Bagi penulis ilmu itu bisa datang dari
mana saja. Ketika sebuah pendapat berbasis dalil maka layak
pendapat itu diikuti. Seperti kaum Ba'alwi juga tidak pilih-pilih
apakah ulama yang mendukung nasab Ba'alwi itu adalah kaum Syi'ah seperti
Mahdi Raja'I atau kaum Wahabi seperti Ibrahim bin Mansur.
Yang jelas,
dalil yang penulis sajikan untuk tesis batalnya nasab Ba' alwi ini lebih
presisi dari ulama-ulama sebelumnya . Kalau dapat membantah silahkan kemukakan
dalilnya!
Tidak Memiliki Kompetensi Ilmu Nasab
Kata Hanif dkk. penulis tidak memiliki kompetensi dalam Ilmu Nasab. di
bawah ini penulis sajikan berbagai macam kaidah ahli nasab dalam
membatalkan nasab Ba'alwi:
Kaidah ke-1
Terjemah:
"jika
dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan (nasab) jelas ada kepentingan maka
biasanya pendapatnya ditinggalkan. Kadang dalam hal-hal tertentu
pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan
kepentingannya . Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh
ulama lainnya yang tidak berkepentingan . Para ulama
nasab tidak mengutip dari
orang yang punya kepentingan.
"239
Dari kaidah ini kitab-kitab karya Ba'alwi seperti Al-Burqah al
Musyiqah, Al-jauhar al-Syafaf dsb. atau para muridnya pendapatnya tidak
layak dijadikan hujjah karena di sana ada kepentingan .
Kaidah
ke-2
"Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang
memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitab kitab nasab terdahulu
yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui
keturunan mereka"240
Dari kaidah ini referensi yang harus digunakan oleh Ba' alwi dalam
mempertahankan nasab adalah kitab-kitab nasab, bukan kitab sejarah atau
tasawuf . sementara kitab nasab yang mencatat mereka barn pada
abad ke-10 H. yang bertentangan isinya dengan kitab-kitab sebelumnya .
Kaidah
ke-3
"Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa
yang terdapat dalam kitab barn dengan bersandar kepada pendapat yang
tidak logis atau berdasar memori bangsa saja."241
Dari
kaidah m1 hujjah-hujjah Ba'
alwi untuk ubaid/ubaidillah/ Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa
dengan menggunakan kitab abad ke-10 sementara Ubaid hidup di abad ke 4 H.
tertolak apalagi kitab itu bertentangan dengan kitab abad ke-6 H.
Al-Syajarah al-Mubarakah .
Kaidah ke-4
"Marji
' (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat
waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun
marji ' berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya.
Maka penulis marji ' membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk
melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik diiktibar
apabila terjadi pertentangan dengan mmji ', kecuali jika mmji ' tersebut
memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau
bahan-bahan primer lainnya". 242
Dari kaidah ini jelas, jika kitab nasab
yang baru bertentangan isinya dengan kitab lama maka kitab lama yang diiktibar
(dihitung sebagai hujjah).
Kaidah ke-5
Terjemah:
"Tidak
semua orang yang menulis nasab itu
bisa dijadikan hujjah. Dan tidak semua
yang ditulis sah untuk dijadikan hujjah"
43
Dari kaidah ini, kitab-kitab ulama yang menyebut nasab Ba' alwi jika
kitab itu bukan kitab nasab. karena kitab yang sah digunakan sebagai hujjah
dalam istbat nasab hanyalah kitab nasab.
Terjemah:
"Dan
ketahuilah bahwa informasi jika bertentangan dengan logika dan referensi
dan bertentangan dengan ushul maka ia informasi palsu yakni maudlu'.
Informasi yang palsu dan maudlu' tidak dapat dijadikan
sebgai hujjah"244
Dari kaidah ini nasab Ba' alwi batal total, ia nasab
manhul (palsu), karena ia bertentangan dengan logika: suatu nasab yang tidak
disebutkan selama 550 tahun tiba-tiba muncul mengaku sebagai keturunan Nabi
tanpa ada referensi kitab nasab sebelumnya dan bertentangan dengan manqul
(kitab-kitab nasab).
Terjemah:
"Dan
seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak menganggap suci
teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan
hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa
salah dan benar." 245
Dengan kaidah ini maka setiap ucapan ulama
yang mengutip tentang nasab Ba'alwi dalam kitabnya seperti Ibnu Hajar
Al-Haitami boleh kita teliti istidlalnya jika mereka menyampaikan
dalil, atau jika tidak menyampaikan dalil maka kita tinggalkan jika
bertentangan dengan kitab-kitab nasab. itulah cam ahli nasab meneliti nasab.
bukan dengan memframing seseorang yang meneliti nasab sebagai orang yang
merendahkan ulama .
Kaidah ke-8
"Tidak ada
seorangpun keculai ilmunya dapat diterima atau
ditolak kecuali Rasulullah SAW."246
Dari kaidah ini penelitian
nasab yang menguji istidlal kutipan ulama besarpun tidak bertentangan dengan
syariat Islam bahkan dianjurkan.
Kaidah ke-9
Terjemah:
"Banyaknya
kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan hujjah jika diambil dari sumber
yang satu."247
Dari kaidah ini, banyaknya Hanif Alatas dkk. mengutip
kitab kitab yang mengitsbat Ba'alwi mulai dari abad ke-10 sampai sekarang
tidak ada artinya jika semuanya mentok mengutip dari kitab Al burqah
al-Musyiqah karya Ali al-Sakran di abad sembilan Hijriyah.
Kaidah
ke-10
"Ketika sudah diketahui pemalsunya dan diketahui illat
(alasan) pemalsuan yang mencela itu maka hilanglah istidlal (mencari
dalil)."248
Dari kaidah ini ketika penulis mengetahui bahwa yang
meletakan nasab Ba'alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa adalah Ali al-Sakran
dan mengetahui alasan dia meletakan itu yaitu karena ada kemiripan nama maka
hilanglah kekuatan dalil dari nasab Ba' alwi itu. artinya nasab Ba'alwi itu
ujug-ujug datang tanpa dalil sedikitpun.
Kaidah ke-11
"(Sejarawan)
tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab
itu lebih dekat masanya atau tempatnya."249
Dari kaidah ini seluruh
referensi Hanif dkk. yang seratus kitab itu tidak bisa digunakan sebagai dalil
nasab Ba'alwi karena kitab-kitab itu hanya kitab sejarah, kitab tasawuf dan
semacamnya . Kitab nasab yang bisa ditunjukan Hanif hanya Al-Nafhah di
abad sembilan yang bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya.
Kaidah
ke-12
Terjemah:
"Ilmu ini (penetapan nasab) tidak
bisa diambil kecuali dari sumber-sumber dan referensi-referensinya"
250
Dari kaisah ini sama dengan
kaidah sebelumnya bahwa kitab yang bisa dijadikan dalil
hanyalah kitab-kitab nasab.
Kaidah ke-13
Terjemah:
"Maka
nasab bisa dikatakan diitsbat jika ditemukan dalam catatan atau kitab
dengan syarat apa yang tertulis itu petunjukya jelas untuk tujuan (mengitsbat
nasab) dan bukan termasuk nama yang mirip."251
Dari kaidah ini nama
Abdullah yang terdapat dalam Al-Suluk (732 H.) yang pada abad ke-9 H.
diijtihadi oleh Ba'alwi sebagai sama dengan nama Ubaid adalah tidak bisa
diterima. Karena itsbat nasab yang diambil dari satu kitab harus
bersifat qathiyy memeiliki kesamaan nama bukan hanya mirip
saja.
Terjemah:
"Dan semacam jika kita
mengatakan 'Hai Syarif atau 'Telah datang seorang Syarif dan semacamnya sesuai
dengan apa yang kami sebutkan, maka jika kita melihat tertulis tulisan yang
maksudnya bukan mengitsbat nasab maka kita tidak boleh membawanya kepada
itsbat nasab dan tidak boleh kita bergantung kepadanya dalam menetapkan
nasab ketika maksud
tulisan itu bukan penetapan nasab. "252
Dari
kaidah ini kita memahami bahwa sebutan sayyid atau syarif dalam
suatu kitab tidak termasuk itsbat nasab,
seperti ketika
K.H. hasyim Asy 'ari
menyebut Sayyid kepada seorang Ba'alwi itu tidak
bisa disebut ia telah mengitsbat Ba' alwi tersebut.
Membatalkan Nasab Jauh Dengan Tes DNA
Metode DNA. Dalam kitab Muqaddimat fi 'Ilmi al-Ansab Syekh Khalil
Ibrahim menyajikan tulisan pakar DNA Arab, Professor Ubaedillah (h.178). dalam
tulisan tersebut, Prof . Ubaedillah menyatakan bahwa:
"Tes DNA telah
mampu membongkar orang yang mengaku keturunan Ahlibait dengan palsu dan dusta.
Hal itu ketika basil tes DNA mereka menunjukan bahwa mereka adalah dari
keturunan Persia dan Kaukasus . Maka tidak aneh mereka memerangi ilmu tes DNA
ini dalam situs-situs mereka. Berbeda dengan basil tes DNA para Asyraf lain
yang terkenal yang sama dan dekat dengan DNA Adnan."
Profesor Ubaidillah
berkata:
"Setelah meneliti dan melakukan banyak tes dan analisis
laboratorium terhadap DNA untuk mengetahui keragaman ras manusia, para
peneliti menemukan bahwa warisan genetik Arab termasuk dalam ras tersebut
(Jl). Peneliti Profesor Ali bin Muhammad Al- Shehhi mengatakan: Kita dapat
memberi nama pada jenis Jl dengan DNA suku Arab."253
Setelah kita
mengetahui DNA Arab itu J1 maka sekarang kita bertanya apakah hasil tes DNA
Klan Ba'alwi? jawabannya hasil tes DNA mereka adalah G. basil itu menunjukan
bukan saja mereka bukan keturunan Nabi tetapi mereka juga bukan orang Arab.
CATATAN AKHIR
178 Hanif dkk. . .h.227
179 Hanif dkk. . .228
180 Khalil bin
Ibrahim . . .h. 65
181 Hanif dkk. . .h. 229
182 Hanif dkk. .
.h.235
183 Hanif dkk. . .h.236
184 Ibnu Inabah . .
.h.340
185 Hanif dkk. . .h. 243
186 Imam al-Fakhrurazi, Al-mathalib
al-Aliyah, juz ke-8 h. 106
187 Khalil bin Ibrahim . . .h.125
188 Ridla Kahhalah, Mujam al-Muallifin, Juz 5 h.178
189 Hanif dkk. . .h.278
190 Hanif dkk. . .h.262-283
191
Al-.Tanadi . . juz 2 h. 360
192 Al-Husain bin Abdurrahman bin Muhammad
al-Ahdal, Tuhfat al Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad,
San'a, 1433 H.) ju z 2 h. 238
193 Al-Husain al-Ahdal.. .juz 2 h.
238
194 Lihat Al-Ubaidili . . .h. 248
195 Lihat
Al-Ubaidili . . . h. 147
196 Al-janadi . .juz 2 h. 135-136
197
'Ali bin Abubakar al-Sakran, . . h. 150
198 Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad al-Ahdal, "Al-Ahsab al-'Alryah fl
al-Ansab al-Ahd'Alryyah" (T.pn. T.tp. T.t.) h.4
199 Al-Hu sain al-Ahdal .
. .ju z 2 h. 238
200 Al-janadi . . . ju z 2 h. 361
201 Muhammad bin Muhammad bin yahya bin
Abdullah bin Ahmad bin Ismail bin Husain bin Ahmad Zabarat al-Son'ani, Nail
al-Hasanain bi
202 Abdullah Muhamm ad al-habsyi, dalam Al-Husain bin Abdurrahman bin Muhammad
al-Ahdal, Tuhfat al-Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad, San'a,
1433 H.) footnote ju z 2 h. 238
203 Abubakar bin Abil Qasim bin Ahm ad al-Ahdal, Al-Ahsab al- Aliyyah fi
al-Ansab al-Ahdaliyah, h. 4
204 Hanif dkk. . .h. 286
205
Alwi bin Tahir, Footnote Uqud al-Almas: juz 2 h. 7
206 Al-Ubaidili
.. h. 176
207 Al-Umari, Al-Majdi h. 337
208 Hanif dkk. . .h. 230
209
Lihat Murtada al-Zabidi, Tahqiq Arif Abdul Ghani, h. 13-14
210 lihat
Muratada al-Zabidi, Al- Raudl al- Jali h. 7).
211 Lihat Ibid
212
Ibid h.49
213 ibid
214 Hanif dkk. . .h.305
215 Abdul
Majid al-Qaraja, Al-Kafi al-Muntkhab, 49
216 Hanif dkk. . .h.314
217
Khalil bin Ibrahim, h. 85
218 Khalil bin Ibrahim, Muqaddim at fi 'Ilm
al-Ans ab, h. 88
219 Husain bin Haidar. . .h. 166
220
Hanif dkk. . .h.324
221 Al-Hamadani, Al-Iklil (Al-Maktabah al-Syamilah,
T.tp. T.t.) h. 3
222 Musaid al-Thayyar, Al-Tafsir al-Lughawi lil Qur'an al-karim, 491
223
Hanif dkk. . .h.339
224 Abu Ja'far Muhamm ad bin al-Hasan al-Tusi, Al-Grybah, (Mua ssasah
Al-Ma'arif al-Islamiyah, Qum, 1425 H.) h. 199
225 Ibnu Inabah, Umdat al-Talib, (Maktabah Ulum al-Nasab, Tahqiq
Muhammad Sadiq al-Bahr al-Ulum, Iran, T.t.) h. 222
226 M asa lu Abi
]aJar 1va Mustadrakatuha, (Muassasah Al al- Bait 'Alihim al-Solat wa al-Salam,
Beirut, 1431 H.) h. 18.
227 Lihat Masa'ilu Abi JaJar 1va
Mustadrakatuha, (Muassasah Al al- Bait 'Alihim al-Solat wa al-Salam, Beirut,
1431 H.) h. 21.
228 'Ali bin Muhamm ad bin 'Ali bin Muhammad
al-Alwi al-Umari, Al M ajdi.fi Ansab al-T'Alibin, (Maktabah Ayatullah al-Udma
al-Mar'asyi, Qum, 1422 H.) h. 332
229 Al-Kh atib al-Bagadadi, Tarikh Bagdad, (Dar al-Garbi al-Islami, Beirut,
1422 H.) j. 13 h. 518.
230 Al-Kh atib al-Bagadadi, . . . j. 13 h. 520.
231 Lihat Al-Syatiri, Ad1var al-Tarikh al-Hadramryyah ( Maktabah Tarim al
Haditsah, Tarim, 1403)h. 153
232 Al-Umari, Al-Majdi, h. 136
233 Khalil bin Ibrahim . . .h.125
234 Husain bin Haidar. . .h.101
235 Khalil bin Ibrahim . . .78
236 Al-jaizani . . .77
237
Khlail bin Ibrahim . . h.62
238 Husain al-Hasyimi . . . h.105
239 Abdul Majid al-Qaraja, Al-Kafi al-Muntkhab, 49
240 Fuad bin Abduh bin
Abil Gaits al jaizani ,Ushulu 'Ilmi al Nasab wa al
Mufadlalah Bain
al-Ansab ,h. 76-77
241 Ibid, h. 77
242 Imad Muhammad al-Atiqi, Dalil Insya'I wa
Tahqiqi Salasili al Ansab h. 58.
243 Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi
'Ilm al-Ansab, h. 83
244 Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi 'Ilm al-Ansab,
h. 88
245 Khalil bin Ibrahim, h. 85
246 Al-Ghazali, Ihya Ulum
al-Din, Al-Maktabah al-Syamilah, 1/ 78
247 Khalil lbrahim . . .h.
85
248 Khalil bin Ibrahim . . ..h. 85
249 Abdurrahman Qaraja . . . 71
250
Khalil lbrahim . . . 86
251 Khalil bin Ibrahim . . .h. 58
252 Imam Subki, Fatawa Subki,
Al-Maktabah al-Syamilah,Juz-2 h. 461
253 Khalil Ibrahim . . .h.189