Jaringan Ulama dan Dampak Transnasionalisme

Jaringan Ulama dan Dampak Transnasionalisme Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji Ulama Kurdi dan Murid Indonesia Mereka

Jaringan Ulama dan Dampak Transnasionalisme

Judul buku: Islam di Nusantara: Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat
Penulis: Martin van Bruinessen
Kata Pengantar: Abdurrahman Wahid
Cetakan I, Mei 2012
Diterbitkan oleh: Gading Publishing
@ Martin van Bruinessen
Bidang studi: Sejarah Indonesia, Islam Nusantara, subkultur, sosiologi

DAFTAR ISI

  1. Bagian I. Jaringan Ulama dan Dampak Transnasionalisme
    1. 1. Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji
    2. 2. Ulama Kurdi dan Murid Indonesia Mereka    
    3. 3. Global dan Lokal Islam di Indonesia   
  2. Kembali ke: Buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Islam di Nusantara   
BAGIAN I: Jaringan Ulama dan Dampak Transnasionalisme

1. MENCARI ILMU DAN PAHALA DI TANAH SUCI: ORANG NUSANTARA NAIK HAJI


Di antara seluruh jamaah haji, orang Nusantara—selama satu setengah abad terakhir—merupakan proporsi yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah mereka berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh haji asing, walaupun mereka datang dari wilayah yang lebih jauh daripada yang lain. Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia.1 Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Di antara semua bangsa yang berada di Makkah, orang ‘Jawah’ (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar.2 Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa arab. Kita tidak mempunyai data statistik mengenai jamaah haji Indonesia abad-abad sebelumnya. Sebelum munculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahaya dan makan waktu lama sekali. Namun bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Ada kesan bahwa orang Indonesia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, dan bahwa penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi. Keadaan ini mungkin dapat dikaitkan dengan budaya tradisional Asia Tenggara.
 
Makkah sebagai Pusat Dunia dan Sumber ‘Ngèlmu’
Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya banyak kosmologi Asia Tenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu serta tempat ‘angker’ lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (‘ngèlmu’) alias kesaktian dan legitimasi politik (‘wahyu’—istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya). Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Makkahlah yang, tentu saja, sebagai pusat kosmis utama. Bukankah Makkah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam, bukankah di sana turun wahyu kepada Nabi, bukankah tanah suci merupakan pusat keilmuan Islam? Sebetulnya, pada masa itu ada berbagai pusat keilmuan lain yang tidak kalah dibandingkan dengan Makkah dan Madinah, tetapi orang Asia Tenggara mencarinya di Tanah Suci ini. Kita tidak tahu kapan orang Jawa yang pertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke-17 raja-raja Jawa mulai mencari legitimasi politik di Makkah.
Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, antara lain, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar ‘sultan’. Agaknya raja-raja tersebut beranggapan bahwa gelar yang  diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap bahwa Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan Madinah) saja, memiliki spiritual atas seluruh Dar Al-Islam. Rombongan utusan dari Banten pulang pada tahun 1638 (sedang yang dari Mataram baru sampai pada tahun 164l). Selain gelar Sultan mereka membawa berbagai hadiah dari Syarif Besar kepada sang raja: antara lain suatu potongan dan kiswah, kain hitam yang menutup Ka’bah dan yang setiap tahun diperbaharui—yang tentu saja dianggap sebagai jimat yang sangat mangkus.3 Beberapa puluh tahun kemudian, pada pada tahun 1674, untuk pertama kalinya seorang pangeran Jawa juga naik haji. Ia adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji.
Fungsi haji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, babad yang dikarang pada paruh kedua abad ke-17. Menurut sejarah legendaris ini, pendiri dinasti Islam di Banren, Sunan Gunung Jati, naik haji bersama dengan anak dan penggantinya, Hasanuddin, setelah mereka bertapa di berbagai gunung (pusat kosmis!) di Jawa Barat. Dari Sajarah sendiri sudah jelas bahwa haji mereka bukan suatu perjalanan biasa, dengan naik perahu dan sebagainya. Mereka sebagai wali mencapai Makkah dengan cara lain, yang tak patut diungkapkan.4 Perjalanan haji ini digambarkan lebih lanjut dalam karya berbahasa Melayu, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar tahun 1700. Sunan Gunung Jati mengajak anaknya:

“Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal juga dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!” Setelah sudah ia berkata-kata, maka lalulah ia berjalan dengan anaknya dan dibungkusnya dengan syal. Maka tiada beberapa lamanya di jalan lalu ia sampai di Makkah, maka lalu di Masjidul Haram. Serta sampai di Masjidul Haram maka lalu dikeluarkannya anaknya dari dalam bingkisan, lalu sama-sama ia thawaf ke Baitullah serta diajarnya pada kelakuan thawaf dan doanya sekalian, serta mencium pada hajarul aswad, dan ziarat kepada segala syaikh, dan diajarkannya rukun haji dan kesempurnaan haji. Setelah sudah ia mendapat haji, maka lalu ia ziarat kepada Nabiyullah Khiddir. Setelah sudah ia ziarat kepada Nabiyullah Khiddir itu, lalu ia pergi ke Madinah serta mengajarkan anaknya ilmu yang sempurna, beserta dengan bai’at. Demikianlah silsilah dan wirid dan tarekat Naqsyabandiyah serta zikir dan talkin zikir [dan] khirqah serta syughul…5

Selain dua tokoh sejarah ini, masih banyak tokoh lain yang belakangan, untuk meningkatkan karisma mereka, disebut telah naik haji secara supranatural. Di sebuah gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan), salah satu pusat penyebaran tarekat
 
Syattariyah di pulau Jawa, para juru kunci masih menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui Syaikh ‘Abdulmuhyi untuk pergi ke Makkah setiap Jumat. Di Cibulakan (Pandeglang, Banten) ada sumur yang konon berhubungan dengan sumur Zamzam di Makkah. Menurut riwayat, Maulana Mansur, seorang wali lokal yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui Zamzam dan muncul di sumur ini. Dan sampai sekarang masih ada kiai di Jawa yang, menurut penganut mereka yang paling fanatik, setiap Jumat secara ghaib pergi sembayang di Masjidil Haram. Semua ini membuktikan betapa kuatnya peranan haji dan hubungan dengan Makkah sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorang dalam pandangan orang Jawa.
Penilaian orang Jawa yang begitu tinggi terhadap Makkah sebagai pusat spiritual tidak terbatas pada kalangan santri saja. Kasus yang menarik dari tokoh belakangan ‘dihajikan’ oleh pengagumnya adalah Aji Saka, pencipta mitologis budaya Jawa. Menurut suatu naskah Jawa, yang ditemukan di Kediri pada pertengahan abad ke-19, Aji Saka pergi ke Makkah dan memperoleh ilmu dari Nabi Muhammad. Yang lebih mengagetkan lagi, orang Tengger, yang konon menganut agama Hindu Jawa, juga pernah mengakui demikian. Menurut legenda Tengger ini, Aji Saka pada awalnya memperoleh ilmu dari Antaboga, sang raja naga. Setelah dikembalikan ke rumah kakeknya, Kiai Kures (Quraisy), sang kakek melihat cucunya luar biasa cakap. “Tetapi ada satu yang lebih cakap dari ia,” ujar Antaboga, “namanya adalah Muhammad dan tempat tinggalnya Makkah. Kirimlah cucumu kepada beliau agar menambah ilmu.” Aji dikirim ke Makkah, dan di sana berguru kepada Nabi Muhammad. Setelah selesai belajar, Muhammad memberikannya sebuah kropak (buku lontar) dan pangot (pisau untuk menulis atas lontar), dan mengirimnya kembali ke Timur.6 Legenda ini, pada hemat saya, menunjukkan sikap apologetis orang Tengger dan abangan terhadap kalangan santri. Kropak dan pangot merupakan simbol sastra dan budaya Jawa yang non-Islam (atau non-santri), sedangkan Aji Saka dikenal sebagai pencipta aksara Jawa, kalender Jawa, (tahun Saka) dan undang- undang Jawa. Seolah-olah mereka ingin mengatakan “kami sudah mempunyai ilmu dari Nabi Muhammad, jauh sebelum kalian, kaum
 
santri, mulai naik haji. Islam yang sebenarnya adalah budaya Jawa kami!” Yang menarik di sini, mereka juga mengakui Makkah, dan bukan salah satu tempat di Jawa atau India sebagai pusat kosmis terpenting.
Seperti diketahui, di berbagai daerah di Indonesia ada tempat yang oleh masyarakat sekitarnya dianggap setaraf dengan Makkah sebagai pusat kosmis. Pada awal abad ini, di daerah Kuningan terdapat kepercayaan bahwa tiga kali naik Gunung Ciremai sama pahalanya dengan naik haji. Di Madura, masih ada orang yang percaya bahwa bagi yang tidak mampu naik haji, ziarah ke Batu Ampar akan mendatangkan pahala yang sama. Dan di Sulawesi Selatan terkenal aliran yang menganggap bahwa naik gunung Bawa Karaeng pada hari Idul Adha sama dengan ibadah naik haji ke Makkah. Tetapi tidak ada satu pun di antara tempat-tempat ini yang dianggap lebih hebat daripada Makkah; semua dibandingkan dengan Makkah, yang keunggulannya secara implisit diakui.

Haji sebagai Ibadah dan sebagai Pencarian Ilmu
Selain untuk mencari legitimasi (‘ngèlmu’ atau ilmu), orang Indonesia sejak dulu, tentu saja naik haji juga karena syariat mewajibkannya bagi yang mampu. Penyair sufi yang kontroversial, Hamzah Fansuri, dalam salah satu syairnya sudah bicara tentang haji sebagai rukun kelima. Hamzah sendiri telah naik haji, dan dengan menunaikan kewajiban ini ia berharap ‘menemukan Tuhan’. Tetapi untuk mencapai tujuan itu ternyata perjalanan lahir ke Makkah tidak cukup:

Sidang ‘asyiq mencari Lawan ke Bait Al-Qudus pergi berjalan
kerjanya da’im membuangkan kawan itulah sedia anak bangsawan

Ialah sampai terlalu ‘asyiq
da’im ia minum pada cawan Khaliq mabuk dan gila ke Hadrat Raziq itulah thalib da’wanya shadiq
 
Minuman itu terlalu masak habis
dapat diminum pada fardh yang khamis jika hendak kau minum sekalian habis wujud wahmi jangan kau labis

……………..
……………..

Hamzah Fansuri di dalam Makkah mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah di Barus ke Qudus terlalu payah akhirnya dapat di dalam rumah 7

Syair ini mengingatkan kita kepada cerita sufi dalam karya Al-‘Attar.  Mantiq Al-Thair  (‘Musyawarah  Burung’).  Tiga  puluh burung berangkat mencari dewa burung mitologis yang namanya Simurgh. Pencarian ini membawa mereka melalui seluruh dunia tanpa berhasil, sehingga mereka menyadari bahwa Simurgh sebetulnya tidak lain dari mereka sendiri: si murgh berarti ‘tiga puluh burung’. Demikian juga rombongan ‘asyi’ (‘pecinta’) dalam syair Hamzah mencari lawannya, yaitu Tuhan, melalui perjalanan ke kota-kota suci Makkah dan Qudus (Yerusalem). Hamzah, yang lahir di Barus dan rupanya telah naik haji dan berziarah sampai ke Qudus, mengklaim akhirnya menemukan Tuhan di dalam dirinya.
Pengalaman ruhani ini, yaitu suatu penghayatan mendalam paham wahdat al-wujud, untuk pertama kali diperolehnya ketika ia bermukim di ibukota Muangthai zaman itu, seperti diuraikannya dalam syair yang lain (Hamzah nin asalnya Fansuri/mendapat wujud di tanah Syahr Nawi). Syahr Nawi (nama Persia untuk kota Ayuthia) pada masa itu merupakan pusat perdagangan internasional yang penting, tempat tinggal banyak orang Islam, terutama yang berasal dari Iran dan India. Namun bagi orang Indonesia generasi berikutnya, tempat ‘mencari Tuhan’, yaitu memperdalam ilmu-ilmu Islam, baik fiqih maupun tasawuf, metafisika dan ‘ilmu gaib!’, tetap adalah Makkah dan Madinah. Walaupun Islam di lndonesia pada abad ke-17 diwarnai oleh
 
pengaruh India, pengaruh itu dating tidak langsung dari India tetapi melalui dua kota suci itu. Tokoh-tokoh yang menyebarkan paham wahdat al-wujud dan tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-17 telah mempelajarinya di Tanah Suci.
Kita hanya mengetahui beberapa nama saja dari semua orang Indonesia yang telah naik haji dan mencari ilmu di Tanah Suci. Syaikh Yusuf Makassar berangkat ke tanah Arab pada tahun 1644 dan baru kembali ke Indonesia sekitar tahun 1670. Ia belajar kepada banyak ulama besar, terutama ulama tasawuf, dan memperoleh ijazah untuk mengajar berbagai tarekat. Yang dicari Yusuf bukan kesaktian saja. Di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim Al-Kurani di Madinah ia antara lain mempelajari filsafat, kalam dan tasawuf yang sangat sulit seperti Al-Durrah Al-Fakhirah karangan ‘Abd Al- Rahman Jami.8 Setelah Yusuf pulang ke Indonesia, ia bukan hanya menyebarkan tarekat Khalwatiyah saja tetapi punya peranan politik yang cukup penting sebagai penasihat Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Ketika Kompeni Belanda campur tangan dalam urusan intern Banten dan membantu putra Sultan Ageng, Sultan Haji, untuk menyingkirkan ayahnya, Yusuf membawa penganutnya ke gunung dan memimpin gerilya melawan Belanda sampai akhirnya—setelah hampir dua tahun—ia ditangkap dan dibuang ke Seylon (Sri Lanka).
Ulama lain yang juga lama menetap dan memperdalam ilmu- ilmu agama di Makkah dan Madinah adalah ‘Abd Al-Ra’uf Singkel, yang kemudian mencapai kedudukan tinggi di Aceh. ‘Abd Al- Ra’uf dikenal sebagai pembawa tarekat Syattariyah ke Indonesia dan sebagai penerjemah dan penyunting Tafsir Jalalain dalam bahasa Melayu. Gurunya yang paling penting di Madinah tidak lain dari Ibrahim Al-Kurani tadi. Pada masanya Ibrahim adalah ulama yang paling besar di Madinah, dan murid-muridnya datang dari seluruh dunia Islam. Melalui muridnya ia mempengaruhi gerakan reformis abad ke-18 di berbagai negara. Baik Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab di tanah Arab maupun Syah Waliyullah di India dan reforrnis Muslim Cina Ma Mingxin telah belajar kepada murid-murid Ibrahim Al-Kurani.9 Selain Yusuf dan ‘Abd Al-Ra’uf barangkali masih ada banyak orang Indonesia lainnya yang telah belajar kepada ulama besar ini. Salah satu karya Ibrahim
 
ditulisnya khusus untuk murid-muridnya dari Indonesia, mungkin atas permintaan ‘Abd Al-Ra’uf. Tulisan ini merupakan komentar terhadap suatu teks wahdat al-wujud yang sangat populer di Indonesia, Tuhfah Al-Mursalah. Karena kitab ini di Indonesia telah menimbulkan penyimpangan ke arah panteisme, Ibrahim menulis koreksi dan memberikan penjelasan lebih ortodoks tentang paham wahdat al-wujud.10
Dari contoh di atas kita melihat beberapa fungsi sosiologis haji. Orang Indonesia mencari ilmu di Makkah dan Madinah dan setelah pulang ke tanah air mereka mengajar kepada masyarakat sekitarnya ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari di tanah suci. Praktik-praktik keagamaan di Indonesia senantiasa mendapat koreksi dari sana juga. Islamisasi di Indonesia, pada hemat saya, perlu dilihat sebagai suatu proses yang sudah berlangsung sejak abad ke-13 dan yang masih terus berlanjut sampai sekarang. Entah siapa yang pertama-tama membawa Islam ke Indonesia—apakah orang India, Arab atau Cina—yang jelas bahwa sejak abad ke-17 peranan utama dimainkan oleh orang Nusantara sendiri yang telah belajar di tanah suci. Semua gerakan pemurnian dan pembaharuan di Nusantara, sampai awal abad ke-20, bersumber dari Makkah dan Madinah.
Di tanah Arab, para haji Indonesia juga bertemu dengan saudara seiman dari seluruh dunia Islam, yang belajar kepada guru-guru yang sama, dan dengan demikian mereka mengetahui perkembangan dan gerakan di negara-negara Muslim lainnya. Akhirnya, perkembangan-perkembangan di pelosok dunia Islam lainnya juga mempunyai dampak di Indonesia. Setelah penjajahan Belanda sudah mantap di pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya, haji masih mendapat fungsi yang baru. Di Makkah, para haji berada di bawah suatu pemerintahan Islam, bebas dari campur tangan penjajahan. Situasi ini tidak mungkin tidak membuat mereka lebih sadar terhadap kolonialisme. Pada tahun l772, seorang ulama kelahiran Palembang yang menetap di Makkah (kemungkinan besar ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani pengarang Sair Al-Salikin) menulis surat kepada Sultan Hamengkubuwono I dan kepada Susuhunan Prabu Jaka. Isinya, rekomendasi bagi dua orang haji yang baru pulang dan mencari kedudukan, tetapi
 
dalam pendahuluan surat ada pujian terhadap raja-raja Mataram terdahulu yang telah berjihad melawan Kompeni. Surat-surat ini dapat dibaca sebagai anjuran untuk meneruskan jihad melawan penjajah.11

Perjalanan Panjang dan Berbahaya
Sebelum ada kapal api, perjalanan haji tentu saja harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat tergantung kepada musim. Dan biasanya para haji menumpang pada kapal dagang, dan ini berarti mereka terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantara ke Aceh, pelabuhan terakhir di Indonesia (oleh karena itu dijuluki ‘serambi Makkah’), di mana mereka menunggu kapal ke India. Di India mereka kemudian mencari kapal yang bisa membawa mereka ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke Jiddah. Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkan lebih. (Perjalanan Sultan Haji dari Banten, yang sudah pulang satu setengah tahun setelah berangkat, terhitung cepat). Dan para haji berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam dan penumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai tak dikenal. Ada haji yang semua harta bendanya dirampok bajak laut atau, malah, awak perahu sendiri. Musafir yang sudah sampai ke tanah Arab pun belum aman juga, karena di sana suku-suku Badui sering merampok rombongan yang menuju Makkah. Tidak jarang juga wabah penyakit melanda jamaah haji, di perjalanan maupun di tanah Arab. Naik haji, pada zaman itu, memang bukan pekerjaan ringan. Tidak banyak orang Nusantara yang pernah menulis catatan perjalanannya, namun dalam cerita legendaris mengenai ulama-ulama besar petualangan mereka dalam perjalanan ke Makkah sering diberikan tempat menonjol.12
Penuturan yang sangat jelas mengenai kesulitan dan bahaya perjalanan dengan kapal layar ke Makkah ditinggalkan oleh pelopor sastra Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah naik haji pada tahun 1854, tidak lama sebelum kapal layar digantikan oleh kapal api. Mendekati Tanjung Gamri di
 
Seylon (Sri Lanka) kapalnya diserang angin kencang:

Allah, Allah, Allah! Tiadalah dapat hendak dikhabarkan bagaimana kesusahannya dan bagaimana besar gelombang- nya, melainkan Allah yang amat mengetahuinya. Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali; gelombang dari kiri lepas ke kanan dan yang dari kanan lepas ke kiri. Maka segala barang-barang dan peti-peti dan tikar bantal berpelantingan. Maka  sampailah ke  dalam  kurung  air bersemburan, habislah basah kuyup. Maka masing-masing dengan halnya, tiadalah lain lagi dalam fikiran melainkan mati. Maka hilang-hilanglah kapal sebesar itu dihempaskan gelombang. Maka rasanya gelombang air terlebih tinggi daripada pucuk tiang kapal. Maka sembahyang sampai duduk berpegang. Maka jikalau dalam kurung itu tiadalah boleh dikhabarkan bunyi muntah dan kencing, melainkan segala kelasi selalu memegang bomba. Maka air pun selalu masuk juga ke dalam kapal. (...) Maka pada ketika itu hendak menangis pun tiadalah berair mata, melainkan masing-masing keringlah bibir. Maka berbagailah berteriak akan nama Allah dan rasul kerana Kep Gamri itu, kata mualimnya, sudah termasyhur ditakuti orang: ‘Kamu seka- lian pintalah doa kepada Allah, kerana tiap-tiap tahun di sinilah beberapa kapal yang hilang, tiadalah mendapat namanya lagi, tiada hidup bagi seorang, ah, ah, ah!’13

Pada masa itu, Belanda juga mencatat bahwa banyak orang yang telah berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Antara tahun 1853 dan 1858, jamaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat naik haji.14

TABEL ORANG YANG BERANGKAT DAN PULANG NAIK HAJI

tahun    1853    1854    1855    1856    1857    1858
berangkat ke Makkah    1129    1448    1668    2641    2381    3718
pulang dari Makkah    405    527    808    713    1431    1710
 
Kesan sementara pejabat pemerinah, bahwa selisihnya meninggal di perjalanan atau dijual sebagai budak, sangat berlebihan, tetapi perjalanan memang makan banyak korban. Abdullah sendiri meninggal dunia beberapa hari setelah mencapai Makkah, sehingga tak dapat menyelesaikan bukunya yang terakhir ini. Sekitar tahun l930-an, ketika keadaan kesehatan sudah lebih baik daripada abad sebelumnya, setiap tahun sekitar 10% dari jamaah haji Indonesia meninggal dunia selama mereka di Tanah Suci.15 Namun perbedaan antara jumlah orang yang berangkat dan yang pulang terutama disebabkan oleh banyaknya orang yang tinggal di Tanah Suci selama beberapa tahun. Jumlah orang Nusantara yang mukim (menetap) di Makkah terus meningkat sejak pertengahan abad ke-19. Snouck Hurgronje, yang banyak rnenulis mengenai ‘Jawah mukim’ itu, tidak memberi perkiraan tentang jumlah mereka, tetapi pada tahun 1931 van der Plas (yang pernah menjabat konsul Belanda di Jiddah) menulis bahwa mereka sekurang-kurangnya 10.000 jiwa (bandingkan dengan jumlah jamaah haji, yang waktu itu berkisar sekitar 30.000).16
Pada tahun 1869 terusan Suez dibuka dan jumlah kapal api yang lerlayar dari Jawa atau Singapura lewat terusan ini, dengan mendarat di Jiddah, naik cepat. Dengan demikian, perjalanan dari Nusantara ke Makkah sangat dipermudah dan dipercepat. Tiga maskapai perkapalan Belanda (disebut ‘kongsi tiga’) bersaing dengan maskapai Inggris (dan Arab Singapura) untuk mengangkut jumlah haji yang sebesar mungkin. Mereka membayar komisi kepada para syaikh haji di Arab dan kepada calo di Nusantara untuk setiap penumpang yang diantarkan. Pejabat Hindia Belanda yang ingin membatasi jamaah haji karena mereka takut pengaruh ‘fanatisme’ agama, mengalah terhadap kepentingan ekonomi maskapai perkapalan ini. Maskapai-maskapai itu, tentu saja, tidak mengutamakan kesejahteraan jamaah haji; kapal diisi terlalu penuh dan kondisi makanan dan kesehatan kadang-kadang payah sekali. Snouck Hurgronje berulang kali mengeluh kepada pemerintah mengenai situasi ini. Salah satu kasus yang disebutnya adalah kapal ‘Gelderland’, yang pada tahun 1890 (ketika wabah kolera melanda Makkah) membawa tidak kurang dari 700 orang dari Jiddah ke Batavia tanpa akomodasi memadai. Dari mereka,
 
32 orang meninggal dunia di perjalanan; jumlah mereka pasti akan lebih banyak kalau konsul Belanda di Jiddah tidak memaksa kapten kapal agar membawa seorang dokter.17
Kenaikan jumlah haji terlihat dalam tabel berikut. Dari catatan konsul asing di Jiddah kita juga tahu perkiraan jumlah haji yang datang lewat laut dari negara lain (India, Mesir, Turki, dan sebagainya). Ternyata jumlah orang Indonesia merupakan persentase yang cukup tinggi.18

Naik Haji pada Masa Kapal Api
Setiap tahun, rombongan haji dari Nusantara sudah mulai datang ke Makkah beberapa waktu sebelum Ramadhan, karena mereka ingin melakukan ibadah puasa di kota suci itu dan sembahyang taraweh di Masjidil Haram atau di zawiyah seorang syaikh tarekat yang termasyhur. Rata-rata mereka tinggal empat sampai lima bulan di Hijaz sebelum pulang. Hampir semuanya juga mengunjungi kota Madinah setelah melaksanakan ibadah haji; ziarah ke makam Nabi di sana sudah lazim bagi jamaah haji Nusantara. Selain itu, mereka mengikuti pengajian-pengajian yang diberikan di mana saja di kota Makkah dan Madinah. Di antara jamaah haji ini tidak banyak yang bisa berbahasa Arab, tetapi itu tidak menjadi masalah. Di mana-mana ada ulama berasal dari Nusantara, yang member pengajian dalam bahasa Melayu. Para syaikh tarekat pun mempunyai wakil-wakil ‘Jawah’ khusus untuk melayani jamaah haji Nusantara yang ingin memperdalam penghayatan tarekat. Di Maklah, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai ikatan pemersatu orang Nusantara. Bayangkan, di Makkah orang dari Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Minangkabau dan Aceh selama lima bulan bebas bergaul, tukar pengalaman dan pikiran. Snouck Hurgronje mencatat bagaimana orang dari seluruh Nusantara ikut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda, dan bagaimana mata mereka dibuka mengenai penjajahan Belanda maupun Inggris dan Prancis atas bangsa-bangsa Islam.19 Para haji hidup beberapa bulan dalam suasana antikolonial, yang sangat berbekas. Pemberontakan
 
petani Banten 1888 dan pemberontakan Sasak 1892 melawan Bali (yang menduduki Lombok pada zaman itu) jelas diilhami oleh pengalaman tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Makkah.

TABEL JUMLAH HAJI DARI INDONESIA

 
Tahun        Jumlah haji dari Indonesia
 
Jumlah haji yang
mendarat di Jidah    Persen
 

1853    1.100    
1858    3.700    
1873    3.900    30.000    13%
1878    4.600    30.000    15%
1882-3    5.300    27.000    19%
1887-8    4.300    50.000    9%
1892-3    8.100    90.000    9%
1897-8    7.900    38.000    20%
1902-3    5.700    34.000    17%
1907-8    9.300    91.000    10%
1911-2    18.400    83.000    22%
1916-7    70    8.600    1%
1920-1    28.800    61.000    47%
1925-6    3.500    58.000    6%
1930-1    17.000    40.000    42%
1935-6    4.000    34.000    12%

Dengan demikian, perjalanan haji mulai berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan perangsang antikolonialisme. Dan ma- syarakat ‘Jawah mukim’ punya peranan penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupun politik di bagian dunia Islam lainnya. Ulama seperti Nawawi Banten, Mahfudz Termas dan Ahmad Khatib Minangkabau, yang mengajar di Makkah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di tanah air. Banyak ‘Jawah mukim’ yang juga pernah belajar di madrasah modern Shaulatiyah, yang didirikan di Makkah pada tahun l874 oleh orang India.20 Melalui madrasah ini, mereka juga tahu dari lebih dekat tentang perjuangan orang India melawan penjajahan Inggris. Keilmuan
 
agama dan kesadaran nasional berkembang dalam hubungan erat satu dengan yang lain. Pada tahun 1934, karena suatu konflik yang menyangkut kebanggaan nasional orang Indonesia, guru dan murid ‘Jawah’ telah keluar dari Shaulatiyah dan mendirikan madrasah Darul Ulum di Makkah. Selama dasawarsa terakhir masa kolonial, madrasah ini merupakan pusat intelektual bagi orang Indonesia dari kalangan pesantren di Makkah. Bagi kaum modernis, pada masa itu, Mesir telah menjadi pusat pergerakan; tetapi untuk ke Mesir pun, Makkah tetap menjadi batu loncat.

Naik Haji pada Masa Komunikasi dan Informasi
Dari hal-hal yang disebut di atas, barangkali sudah jelas bahwa haji, selain merupakan ibadah dalam arti sempit, telah mempunyai beberapa fungsi penting lainnya bagi umat Islam Indonesia. Hajilah yang mempersatukan umat Islam Indonesia dengan seluruh umat Islam, hajilah yang merupakan saluran komunikasi dan informasi yang terpenting. Makkah, selain kiblat, juga merupakan jendela untuk melihat dunia luar dan sumber pemurnian dan pembaharuan agama. Bagaimana situasi sekarang ini? Apakah haji masih mempunyai fungsi yang begitu esensial bagi umat Islam Indonesia? Yang jelas, dengan teknologi transportasi modern dan persediaan sarana perhotelan dan kesehatan yang ada, menunaikan rukun Islam kelima telah menjadi sangat mudah bagi setiap orang yang mampu membayar ONH. Pengalaman ruhani di ‘Arafah atau dalam thawaf di seputar Ka’bah tetap sesuatu yang penting dalam kehidupan pribadi seorang mukmin. Tetapi bagaimana dengan fungsi-fungsi haji lainnya, yang bersifat sosial dan politik? Apakah haji masih berfungsi sebagai penggerak pembaharuan    atau    pemurnian    agama?    Apakah    haji    masih merupakan saluran komunikasi dengan sesama Muslim dari India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Turki, Uni Soviet, negara- negara Arab?
Kesan saya, justru karena kecanggihan teknologi modern itu, dan karena pengelolaan sentral melalui pemerintah, haji telah kehilangan fungsi sosialnya. Jamaah haji Indonesia diangkut secara massal dengan pesawat udara, dan hanya berada beberapa minggu saja di Tanah Suci. Tempat tinggal untuk mereka—bersama dengan
 
orang Indonesia lainnya—sudah disiapkan sebelumnya, sehingga kontak dan komunikasi mereka dengan umat Islam lainnya minim sekali. Dalam waktu singkat itu, kesempatan untuk belajar di Makkah juga hampir-hampir tidak ada lagi. Kalau orang Indonesia sekarang tahu tentang kejadian di Pakistan, Iran, Libya, Mesir atau Uni Soviet, itu bukan lagi karena mereka telah naik haji, tapi karena sekarang ada saluran informasi yang lebih efektif. Ambil saja sebagai contoh peristiwa berdarah di Makkah tahun 1988. Berapa orangkah jamaah haji Indonesia yang sempat memahami apa yang sebetulnya terjadi dan apa latar belakangnya? Memang, ada yang telah melihat huru-hara, walaupun hanya melalui jendela hotel, tetapi mereka relatif sedikit; kalau ada yang sempat berbicara dengan orang yang terlibat mereka pasti sedikit sekali. Inilah suatu peristiwa yang terjadi di Makkah sendiri ketika jamaah Indonesia berada di sana. Dapat dibayangkan bagaimana kesempatan untuk memperoleh informasi mengenai perkembengan intelektual atau politik yang terjadi di dunia Islam lainnya.
Pemikiran Islam baru yang masuk Indonesia beberapa dasawarsa terakhir ini (katakanlah, pemikiran orang seperti Hasan Al-Banna, Abul A’la Maududi, Ali Syari’ati, Murtadha Muthahhari, Yusuf Qardhawi, Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman) tidak masuk lagi melalui jalur Makkah. Perkembangan teknologi percetakan dan media komunikasi lainnya mengakibatkan terjadinya desentralisasi kehidupan intelektual. Bukan lagi Makkah yang merupakan pusat intelektual Islam yang terpenting. Pemikiran Islam sekarang berkembang di banyak tempat (termasuk Amerika dan Eropa!), yang saling berhubungan melalui media komunikasi modern. Di Makkah, memang, masih ada madrasah Darul Ulum, dan masih terdapat guru yang sangat dihormati oleh kalangan pesantren, seperti Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Dan ada juga perguruan agama negeri yang menerima siswa dari Indonesia. Tetapi peranannya sangat minim dibandingkan dengan peranan ulama besar Makkah setengah abad yang lalu. Naik haji sekarang telah dipersempit menjadi ibadah belaka—dan, tentu saja, simbol status sosial. Artinya bagi setiap pribadi tetap penting, tetapi tidak lagi sebagai motor penggerak proses Islamisasi Indonesia. [ ]
 
Catatan akhir:
1.    Lihat statistik dalam artikel Jacob Vredenbregt, “The Haddj: Some of its features and functions in Indonesia”, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 118, 1962, hlm. 148-9. Pada masa itu jumlah haji dari Indonesia memang sangat besar karena beberapa tahun sebelumnya orang Indonesia tidak bisa naik haji sama sekali. Setelah Sultan Turki memproklamasikan jihad pada tahun 1915, pemerintah Hindia Belanda melarang orang naik haji sampai perang berakhir (1918). Oleh karena itu banyak orang yang terpaksa menunda beberapa tahun perjalanan haji mereka secara massal berangkat ketika haji diizinkan lagi.
2.    Gambaran paling lengkap mengenai ‘Jawah mukim’ dan jamaah haji ‘Jawah’ ini, dan mengenai kehidupan di Makkah pada akhir abad ke-19 pada umumnya terdapat dalam jilid II buku Snouck Hurgronje mengenai Makkah. Seperti diketahui, Snouck Hurgronje pernah tinggal sekitar lima bulan di Makkah pada tahun 1885, setelah ia secara formal masuk Islam. Uraian kritis mengenai Snouck Hurgronje dan ‘masuk Islam’-nya terdapat dalam: Ph.S. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam, Jakarta: Girimukti Pasaka, 1989.
3.    Hoesein Djajadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten. Haarlem, 1913, hlm. 49-52, 174-8. Raja banten mendapatkan gelar Sultan Abu’l-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dan Susuhunan Mataram Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarani. Menurut sumber yang sama, raja Makasar juga meminta gelar Sultan di Makkah.
4.    Djajadiningrat, op. cit., hlm. 32.
5.    J. Edel (ed). Hikayat Hasanoeddin, Leiden, disertasi, 1938, hlm. 36 (ejaan yang disesuaikan).
6.    Legenda Tengger diceritakan kembali dalam: J.E. Jasper, Tengger en de Tenggereezen, Weltevreden: G. Kolff & Zn, 1927, hlm. 41-43. Naskah Kediri disebut dalam C. Poensen, “Bijdragen tot de kennis van den godsdienstigen en zedelijken toestand der Javanen”, Medeelingen van wege het Nederlandsche Zendeling Genootschap 13, 1869, hlm. 191.
 
7.    G.W.J. Drewes & L.F. Brakel, The poems of Hamzah Fansuri. Dordrecht: Foris, 1986, hlm. 8-9, 104-109.
8.    Yusuf dua kali menyalin karya ini, serta berbagai syarahnya, dengan tangan sendiri. Naskah ini sekarang berada di sebuah perpustakaan di Amerika Serikat, lihat: Nicholas Heer, The Precious Pearl: Al-Jami’s Al-Durrah Al-Fakhirah Together With his Glosses and the Commentary of ‘Abd al-Ghafur al- Lari. Albany, NY: State University of New York Press, 1979, hlm. 13-15.
9.    Tentang pengaruh Ibrahim terhadap gerakan reformis itu, lihat John Voll, “Muhammad Haya Al-Sindi and Muhammad ibn Al- Wahhab; An Analysis of an intellectual Group in Eighteenth- Century Madinah”. Bulletin of the School of Oriental and African Studies 38, 1975, 32-39.
10.    Kitab Al-Tufah Al-Mursalah Ila Ruh Al-Nabi dikarang (dalam bahasa Arab) oleh Muhammad bin Fadhl Allah Al-Burhanpuri (dari Burhanpur, Gujarat, India; wafat 1620). Ktab yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini sudah  dikutib oleh Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630). Adaptasi Tuhfah Al-Mursalah dalam bahasa Jawa kemudian menjadi sangat populer di Jawa. Lihat A.H. Johns, The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet. Canberra: Australian National University, 1965. Komentar Ibrahim Al-Kurani berjudul Ithaf Al-Zaki dikarang sebelum tahun 1661.
11.    M.C. Ricklefs, Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749- 1792. London: Oxford University Press, 1974, hlm. 134: M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh ‘Abdus Samad Al-Falimbani. Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 16-17.
12.    Lihat misalnya cerita rakyat Sulawesi Selatan mengenai perjalanan naik haji Syaikh Yusuf dalam: Djirong Barsang, Riwayat Syekh Yusuf dan Kisah I Makkutaknang dengan Mannuntungi, Jakarta: Dep. P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981, hlm. 120-151.
13.    Kisah pelayaran Abdullah: Ke Kelantan dan ke Judah. Disusun oleh Kassim Ahmad. Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1981, hlm, 94.
 
14.    Lihat tabel di atas. Angka-angka tersebut diambil dari: F.G.P. Jaquet, “Mutiny en Hadji-Ordonnantie: Ervaringen met 19c Eeuwse Bronnen”, Bidragen tot de Taal, Land- en Volken- kunde, 136, 1980, 283, 312 (lihat tabel pada hlm. 310-2).
15.    Ch. O. van der Plas, “Les relations entre les Pays-Bas et le Hidjaz” (“Hubungan Belanda dengan Hijaz”), Grotius, Annuaire pour l’Année 1931, La Haye, 1931, hlm. 124.
16.    Van der Plas, op. cit., hlm. 128-9.
17.    C. Snouck Hurgronje, Ambtelijke Advieuen (Nasehat-nasehat dinas), jilid II. ‘s Gravenhage: Nijhoff, 1959, hlm. 1335. Dalam kumpulan surat-surat resmi Snouck Hurgronje kepada pemerintah terdapat banyak sekali informasi menarik yang menyangkut haji (hlm. 1307-1465).
18.    Lihat tabel di hlm. 51. Tabel ini berdasarkan tabel-tabel dalam: Vredenberg, op. cit, hlm. 91-15, dengan beberapa data dari Jaquet, op.cit., hlm. 310-312 dan Wiliam Ochsenwald, Relegion, Society and the State in Arabia. The Hijaz under Ottoman Control, 1840-1908. Columbus: Ohio State University Press, 1984, hlm. 61. Perlu dicatat bahwa selalu terdapat perbedaan yang cukup berarti dalam angka untuk tahun yang sama menurut sumber yang berbeda.
19.    Lihat C. Snouck Hurgronje, Mekka, jilid II, terutama hlm. 331- 5.
20.    Pendiri Shaulatiyah, Rahmatullah bin Khalil Kairanawi, sangat aktif dalam polemik dengan misionaris Kristen di India dan kemudian ikut serta dalam pemberontakan anti-Inggris tahun 1857 (yang dikenal sebagai ‘the Mutiny’). Lihat: A.A. Powell, “Maulana Rahmat Allah Kairanawi and Muslim-Christian Controversy in India in the Mid-19th Century”, Journal of the Royal Asiatic Society 1976, 42-63. Mengenai Shaulatiyah, lihat Ochsenwald, op.cit., hlm. 75, dan A.A. Dohaish & M.J. Young, “An unpublished educational document from the Hijaz (A.H. 1299)”, Annali dell’Istituso Orientali di Napoli 35, 1975, 133- 137.
 

2. ULAMA KURDI DAN MURID INDONESIA MEREKA

  Jejak-jejak Pengaruh Kurdi di Indonesia
Indonesia1 adalah sebuah wilayah dengan banyak pulau, yang sudah ribuan tahun dikunjungi oleh para pelaut dari berbagai belahan dunia, orang-orang Cina dari Utara, India dan Arab dari Barat dan beberapa bangsa yang kurang dikenal. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan bahwa di dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia kita menemukan jejak-jejak dari banyak budaya lain yang sudah mengalami Islamisasi: istilah-istilah yang diambil dari bahasa Persia, Sansekerta dan berbagai bahasa India lainnya di samping Arab, pengaruh orang Cina terhadap arsitektur masjid dan makam, gagasan-gagasan mistik yang sangat dipengaruhi alam pikiran India dan, selama beberapa abad terakhir, suatu pengaruh kuat dari orang-orang Hadhramaut yang banyak menetap di Nusantara.
Sedikit mengejutkan, saya menemukan bahwa di sana juga ada pengaruh Kurdi yang khas, terutama di kalangan kelompok- kelompok masyarakat yang sangat saleh. Sangat mengesankan, misalnya, bahwa di pulau yang paling luas, Jawa, nama Kurdi adalah nama yang populer—begitu populernya sehingga sedikit sekali orang luar yang menyadari bahwa nama itu bukanlah nama asli Jawa. Ia adalah nama yang tipikal di kalangan santri; sejumlah ulama bernama Kurdi. Sebaliknya saya tidak pernah menemukan seseorang yang bernama Turki, Parsi, atau Hindi—walaupun saya menemukan beberapa orang yang bernama Misri dan Malibari.
 
Saya akan kembali membicarakan arti penting nama-nama ini di halaman-halaman selanjutnya.
Tanda lain dari pengaruh Kurdi tersebut bahkan lebih mencolok, karena ia begitu dominan dalam kehidupan keagamaan orang banyak. Teks keagamaan yang paling populer di seluruh Nusantara, yang hanya kalah populer dengan Alquran, adalah karya yang dikenal sebagai Barzanji. Buku Barzanji, sebuah buku maulid, dibaca tidak hanya di sekitar tanggal 12 Rabi’ al- Awwal, hari kelahiran Nabi Saw., tetapi juga pada banyak upacara yang lain: pada berbagai upacara yang mengikuti daur kehidupan manusia seperti pemotongan rambut seorang bayi untuk pertama kalinya (‘aqiqah), dalam situasi krisis, sebagai bagian dari ritual untuk mengusir setan, atau secara rutin dijadikan sebagai bagian dari wiridan berjamaah yang dilakukan secara rutin. Barangkali, tidak ada orang Islam Indonesia yang tidak pernah menghadiri pembacaan Barzanji paling tidak beberapa kali selama hidupnya. Mengejutkan, tidak pernah diperhatikan sebelumnya bahwa Barzanji (lebih tepatnya: Barzinji) adalah nama dari keluarga ulama dan syekh-syekh tarekat yang paling berpengaruh di daerah Kurdistan bagian Selatan.
Di beberapa wilayah yang dikenal dengan penduduknya yang memeluk agama Islam secara teguh—Aceh, Sumatra Barat dan Banten—orang menemukan sisa-sisa dari sebuah kultus yang dilakukan untuk memperoleh kekebalan tubuh yang dikenal dengan debus: para pengamalnya menikam diri mereka sendiri dengan senjata tajam, pedang dan seterusnya tanpa menimbulkan luka-luka. Sekarang kultus ini mengalami penurunan nilai menjadi sebuah pertunjukan populer, ia berasal dari praktik-praktik yang sangat dikenal yang biasanya dihubungkan dengan tarekat Rifa’iyah. Namun orang Banten juga menghubungkan debus dengan tarekat Qadiriyah (Vredenbregt l975). Saya mengetahui satu tempat saja di mana tarekat Qadiriyah juga menjalankan praktik-praktik tersebut dan tempat tersebut adalah Kurdistan. 2 Para syekh tarekat Qadiriyah asal Kurdi yang terpenting, ternyata adalah anggota keluarga Barzinji yang tadi kita sebut! Paling tidak, seorang pengamat mencatat bahwa Barzinji dibaca selama pertunjukan debus (Monteil 1970: l21).
 
Satu pengamatan akhir: ketika saya melakukan survei terhadap buku-buku agama yang dijual di Bandung, saya menemukan bahwa teks-teks Arab yang paling banyak tersedia adalah buku Tanwir al-Qulub yang ditulis oleh Muhammad Amin al-Kurdi!
Dengan demikian, pengaruh yang telah diberikan orang- orang Kurdi terhadap masyarakat muslim di Indonesia paling tidak dapat dibandingkan dengan pengaruh bangsa lainnya yang dianggap sebagai penyebar Islam di Indonesia. Meskipun, tidak dapat dipercaya bahwa orang-orang Kurdi sudah pernah mengunjungi Nusantara sampai waktu-waktu belum lama ini. Namun dapat ditunjukkan bahwa paling tidak sejak pertengahan abad ke-l7, ulama Kurdi telah memainkan peranan yang berarti dalam proses Islamisasi Indonesia.
Kebanyakan perdebatan tentang asal-usul Islam di Indonesia tampaknya beranjak dari asumsi bahwa Islamisasi pertama tersebut pastilah terjadi pada satu peristiwa tertentu dengan seorang pelaku yang dapat diidentifikasi. Asumsi ini bertentangan dengan seluruh bukti yang ada: Islamisasi dapat dimengerti secara lebih baik sebagai proses yang terus-menerus berlangsung, berawal dari waktu-waktu yang berbeda di berbagai belahan Nusantara, dan di bawah sejumlah besar pengaruh yang berbeda-beda pula.3 Berbagai bangsa muslim yang berdagang di Indonesia—termasuk orang-orang Arab, Persia, India dari semua pesisir pantai, dan juga orang Campa dan Cina—semuanya memberikan pengaruhnya masing-masing, dan dalam beberapa hal pengaruh tertentu lebih bertahan lama daripada yang lain. Tetapi bukan hanya pengunjung asing ini saja yang memberikan sumbangan bagi proses Islamisasi Indonesia.
Segera setelah langkah pertama menuju Islam diambil, sebuah peranan penting dalam proses Islamisasi yang berlangsung terus menerus dimainkan oleh orang-orang Indonesia sendiri, yang mengadakan perjalanan ke Makkah dan kota-kota suci lainnya untuk mencari kemampuan supernatural dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai Islam. Walaupun jarak sangat jauh dan perjalanannya sulit, banyak orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji, sering menetap beberapa tahun di Tanah Arab untuk   belajar.   (Mengunjungi   tempat-tempat   yang   memiliki
 
daya supernatural untuk mencari kekuatan spiritual, kasektèn, merupakan satu aspek penting kehidupan keagamaan sebelum munculnya Islam; kota Makkah segera menjadi pusat yang paling potensial dari semua pusat kosmis).
Pada abad ke-17, periode pertama yang tentangnya kita memiliki informasi yang lebih substansial, terdapat corak India yang sangat kentara dalam Islam di Indonesia. Tarekat sufi paling populer adalah  tarekat  khas India, Syattariyah;  teks  tasawuf yang paling banyak dikenal di sini adalah teks yang ditulis oleh pengarang India, Burhanpuri, dan teks-teks keagamaan lain yang dipelajari di Indonesia adalah teks-teks yang juga populer di India (van Bruinessen, 1992c). Namun pengaruh India ini tidak mencapai Nusantara secara langsung dari anak benua tersebut, tetapi datang melalui Makkah dan Madinah. Guru-guru di Madinahlah yang membaiat orang-orang Indonesia pertama menjadi pengikut tarekat Syattariyah. Dan yang paling berpengaruh di antara guru- guru ini adalah seorang guru yang berasal dari Kurdi, Ibrahim al-Kurani.
Dan di samping Ibrahim, orang-orang Indonesia yang belajar di tanah Arab sering kali mencari ulama Kurdi sebagai guru-guru mereka. Seolah-olah ada seelenverwanschaft (persaudaraan/ kekerabatan jiwa) antara orang Indonesia dan orang Kurdi. Sebagian, hal ini mungkin disebabkan oleh karena orang Indonesia, paling tidak menjelang abad ke-17, adalah penganut mazhab fikih Syafiiyyah sebagaimana juga orang-orang Kurdi. Tetapi ini hampir tidak dapat dijadikan alasan tunggal, karena fikih bukanlah mata pelajaran utama yang mereka pelajari dari para guru Kurdi tersebut. Di bidang tasawuf dan ibadahlah terletak tali persaudaraan yang dekat antara orang Islam Indonesia dan Kurdi.

Orang Kurdi sebagai Perantara Budaya
Posisi geopolitik telah menjadikan orang-orang Kurdi sebagai perantara (mediator) di antara tiga tradisi kebudayaan besar. Kurdistan terletak di antara, namun sebagian terpisah dari, pusat-pusat kebudayaan Persia, Arab dan Turki Utsmani. Selama berabad-abad, para sastrawan Kurdi menguasai ketiga bahasa
 
tersebut, di samping bahasa Kurdi sendiri (atau Gurani atau Zaza). Karena penguasaan bahasa tersebut, mereka sering bertindak sebagai perantara di antara tiga kebudayaan yang berbeda ini. Banyak di antara mereka yang belajar di satu bagian dunia Islam dan mengajarkannya di bagian dunia yang lain.
Sampai abad ke-19, bahasa utama masyarakat Islam India adalah bahasa Persia. Karena itu tidaklah sangat mengejutkan menemukan bahwa ulama-ulama Kurdi di berbagai kota suci yang mengajarkan—mungkin dalam bahasa Arab—versi Islam yang agak bercirikan India. Mereka memiliki peluang untuk dengan mudah masuk ke dalam tradisi sastra India berbahasa Persia, dan beberapa ulama Kurdi ternyata menjalin hubungan yang lebih langsung dengan anak benua tersebut. Barangkali, kasus yang paling mencolok adalah Maulana Khalid, yang tentangnya juga akan kita bicarakan nanti.
Satu wilayah Kurdistan selatan layak disebut secara khusus dalam kaitan ini, karena ia melahirkan banyak ulama yang memberikan pengaruh terhadap Indonesia. Syahrazur adalah wilayah yang mencakup Kirkuk dan Sulaimaniyyah di Irak sekarang; kebanyakan dari ulama ini termasuk golongan subkelompok etnis Guran.4 Orang Guran berbicara dalam suatu bahasa Iran yang berbeda dari bahasa Kurdi dan asal-usul etnis mereka berbeda dengan orang Kurdi lainnya tetapi meskipun demikian mereka sudah lama dianggap (atau menganggap diri mereka sendiri) sebagai orang Kurdi. Kebudayaan Gurani diliputi oleh mistisisme dan spekulasi metafisik. Sekte Ahl al-Haqq yang heterodoks muncul pertama kali di kalangan orang-orang Gurani dan beberapa gerakan millenarian dan sekte-sekte tasawuf aneh menemukan dukungan kuat di kalangan mereka. Suasana secara umum di dalam masyarakat ini agaknya mengingatkan orang pada sinkretisme India dan Indonesia. Tetapi di samping itu, terdapat juga tradisi pendidikan ortodoks yang kuat di kalangan masyarakat Guran. Beberapa ulama Guran menjadi pengarang karya-karya penting berbahasa Arab yang dikenal  secara  internasional; kita menemukan karya-karya mereka di dalam Geschichte-nya Brockelmann. Mereka bahkan juga memiliki pengaruh yang lebih besar sebagai guru-guru, yang paling terkemuka di antara mereka
 
(Ibrahim al-Kurani dan Maulana Khalid), yang secara mendalam memengaruhi beberapa generasi ulama.
Salah satu ulama Guran yang paling awal dengan karier bertaraf internasional adalah Molla Gurani, yang pada delapan tahun terakhir masa hidupnya (1480-88) menjadi mufti Istanbul (kedudukan yang kemudian diberi gelar Syaikh al-Islam). Dia dilahirkan di Syahrazur dan pertama-tama belajar kepada guru- guru lokal, kemudian guru-guru di Baghdad, Diyarbekir, Hisn Kayfa, Damaskus dan Yerusalem, dan akhirnya dia sampai, “dalam keadaan sangat miskin”, di Kairo di mana dia melanjutkan studinya di bawah bimbingan, antara lain, imam besar lbnu Hajar al-Haitami. Dari sana nama harumnya menyebar ke seluruh dunia. Setelah terjadi konflik di Mesir, ia diasingkan ke Syria, yang dari situ dia kemudian pergi menyeberang ke wilayah Kesultanan Utsmani, dengan secara diplomatik berpindah dari mazhab Syafii ke mazhab Hanafi. Reputasinya begitu tinggi sehingga dia segera menjadi guru pangeran yang kemudian menjadi Sultan Mehmed II, sang penakluk (Fatih) Istanbul, posisi yang pada akhirnya dapat dipastikan membantunya  dalam  mencapai posisi  keagamaan tertinggi di kesultanan tersebut.5
Beberapa orang Guran yang lain menanamkan pengaruh mereka sebagai guru di Kairo atau Madinah. Di sini saya hanya akan menyebut mereka yang mempunyai pengaruh cukup besar terhadap Islam di Indonesia.

Sesepuh/Syekh Ulama Madinah, Guru yang luar biasa: Ibrahim ibn Hasan al-Kurani (1615-1690)
Salah seorang pengarang muslim Indonesia paling awal, yang tentangnya kita mengetahui cukup banyak, adalah orang Aceh yang bernama ‘Abd al-Rauf Singkel (al-Sinkili, juga dikenal dengan al-Fansuri), yang hidup pada tahun 1620-1695. Dia menulis sebuah karya dalam bahasa Melayu berdasarkan Tafsir Jalalain yang sampai sekarang masih dibaca di beberapa tempat di Nusantara. Dia juga menulis karya kecil tentang fikih yang sejak saat itu sudah dilupakan, tetapi ia terutama dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan tarekat Syattariyah di Indonesia.
 
‘Abd al-Rauf menghabiskan tidak kurang dari sembilan belas tahun waktunya di Makkah dan Madinah, dan karyanya Umdah al- Muhtajin menceritakan secara sepintas kehidupan di kota-kota suci tersebut, menyebut guru-guru tertentu yang ia ikuti pengajiannya dan tarekat-tarekat sufi yang sudah ia pelajari (Rinkes 1909). Dia belajar tarekat Syattariyah untuk pertama kalinya kepada seorang guru asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi, pucuk pimpinan tarekat tersebut, tetapi menerima ijazah dari penggantinya, Ibrahim al- Kurani, dengan siapa dia tampaknya telah membangun hubungan yang dekat. 6
‘Abd al-Rauf bukanlah satu-satunya orang Indonesia yang menjadi murid Ibrahim. Orang Indonesia  sezamannya  yang lain yang sangat terkenal adalah Yusuf Makassar. Yusuf bahkan menghabiskan lebih lama waktunya di Tanah Arab, dan ia sangat terkenal di Indonesia sebagai penyebar tarekat Khalwatiyyah dan sebagai mujahid penentang Belanda. Dalam bukunya Safinah al- Najah dia menyebutkan beberapa tarekat yang telah membaiatnya, termasuk tarekat Syattariyah, dan dari tarekat ini dia menerima ijazah dari Ibrahim al-Kurani.7 Walaupun Yusuf tidak menyebutkan di sini, ajaran al-Kurani meliputi pelajaran-pelajaran dalam hal zikir dan teknik-teknik mistik lainnya dari tarekat Khalwatiyyah dan mencakup juga aspek tasawuf yang lebih bersifat intelektual. Kita mengetahui bahwa di bawah pengawasan Ibrahimlah, Yusuf mempelajari sebuah teks yang sulit, Al-Durrah al-Fakhirah karya al-Jami, yang membandingkan pandangan-pandangan para filsuf, teolog dan sufi tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan wujud Allah, Keesaan-Nya, Pengetahuan-Nya dan masalah metafisika sejenisnya. Dua salinan dari karya ini yang dibuat oleh Yusuf sendiri baru diketahui. Salah satu di antaranya disalin atas perintah Ibrahim dan mencakup juga hasyiyah pada teks tersebut yang diberikan oleh Ibrahim sendiri (Heer 1979: 13, 15). Yusuf rupanya mempelajari karya ini dalam jangka waktu yang cukup lama.
Tampaknya Ibrahim al-Kurani masih mempunyai banyak lagi murid Indonesia di samping kedua orang ini, walau tidak satu pun nama mereka diketahui. Johns menyimpulkan bahwa jumlah mereka pasti banyak dan bahwa Ibrahim menghabiskan banyak
 
tenaganya untuk membimbing mereka, tetapi bukti tentang hal ini hanya bersifat tidak langsung. Paling tidak ada dua dari di antara tulisan-tulisannya yang banyak (Brockelmann menyebut empat puluh judul, Johns menyebut seratus judul) yang ditulis terutama untuk orang Indonesia. Salah satunya ditulis pada tahun 1675 untuk menjawab berbagai pertanyaan dari orang-orang Indonesia, dan membahas perdebatan teologis yang melanda Aceh empat dasawarsa sebelumnya. Nuruddin ar-Raniri, yang waktu itu merupakan ulama paling berpengaruh di Aceh, mengutuk tasawuf wahdat al-wujud yang dianut oleh para pengikut sufi Syamsuddin sebagai ajaran bid’ah, yang mengakibatkan seorang sufi dibakar sebagai taruhannya. Dalam fatwa-nya, al-Kurani menolak argumen- argumen ar-Raniri dan memberikan interpretasi ortodoks tentang wahdat al-wujud (lihat ringkasannya dalam Voorhoeve l95l: 365- 8). Catatan singkat tentang al-Kurani dalam kamus biografi Muradi (I: 5-6) menyebutkan apa yang mungkin merupakan fatwa lain atau mungkin bahkan sebuah koleksi fatwa yang diminta oleh orang-orang dari “Jawa”, yakni Nusantara. 8
Teks lain yang sengaja ditulis oleh al-Kurani untuk kepentingan muslim Indonesia, Ithaf al-dzaki, barangkali merupakan karyanya yang paling penting. Teks tersebut adalah komentar atas karya Muhammad Ibn Fazl Allah Burhanpuri, Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Uraian singkat tentang teori emanasi Ibnu ‘Arabi, yang ditulis pada tahun 1590, yang dalam beberapa dasawarsa kemudian menjadi dikenal secara sangat populer di Nusantara, dalam bahasa Arab dan kemudian dalam bahasa setempat juga (Johns 1965). Sementara Ibnu ‘Arabi berbicara tentang lima tahap emanasi, orang India yang memopulerkannya menyatakan tujuh, dan teori yang dikenal dengan “doktrin martabat tujuh” adalah teori emanasi yang sejak saat itu dikenal di Indonesia. Komentar Ibrahim dimaksudkan sebagai sebuah koreksi ortodoks terhadap interpretasi-interpretasi yang heterodoks, panteistik dan menolak Syari’ah yang dimunculkan oleh teks Burhanpuri di Nusantara (Rinkes 1909: 56-7; Johns 1978: 476-82).
Ibrahim al-Kurani pada waktu itu adalah pendukung terkemuka ajaran metafisika Ibnu ‘Arabi di Madinah dan mungkin di seluruh Dunia Islam. Ketika berbagai kontroversi yang serius
 
meledak di India karena penolakan Ahmad Sirhindi terhadap beberapa gagasan  Ibnu  ‘Arabi, para  ulama  India terkemuka meminta fatwa dari Ibrahim tentang masalah tersebut. Kejadian ini dibicarakan cukup panjang oleh Friedmann (1971: 98-99) dan Rizvi (1983: 338-42). Studi yang dilakukan Voll tentang generasi ulama yang lebih kemudian (1975) juga memberikan tempat yang lebih sentral kepada peranan Ibrahim dalam kehidupan intelektual pada masanya, dan menghadirkannya sebagai nenek moyang intelektual dari berbagai gerakan pembaruan pada abad ke-18.
Ibrahim merupakan contoh perantara budaya (cultural broker) asal Kurdi yang peranannya telah dibicarakan secara sekilas di bagian terdahulu. Setelah belajar di tanah kelahirannya, Syahrazur, dia belajar di Iran dan di wilayah-wilayah Usmania Anatolia, Syria dan Mesir sebelum menetap di Madinah. Buku otobiografi intelektualnya, al-Amam li-Iqazh al-Himam, me- nunjukkan berbagai guru yang mengajarinya dan luasnya bidang studi yang telah dia pelajari. Dia  dibaiat  menjadi  penganut, dan diberi wewenang  untuk  mengajarkan,  beberapa  tarekat di samping tarekat Syattariyah yang sudah disebutkan. Tarekat utamanya ternyata adalah tarekat Naqsyabandiyah, sementara dia juga memegang ijazah dari tarekat Qadiriyah dan Cisytiyah. Syattariyah dan Cisytiyah tentu saja merupakan tarekat khas India, dan afiliasi Ibrahim dengan tarekat Naqsyabandiyah juga dengan satu cabang India dari tarekat tersebut (melalui al-Qusyasyi, yang juga merupakan guru tarekat Syattariyahnya).9 Ketika Qusyasyi meninggal dunia pada tahun 1661, Ibrahim menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi tarekat Syatariyah (dengan kombinasi tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah), dan menjadi anggota kelompok kecil ulama Madinah yang tidak tertandingi.
Setelah kematian Ibrahim pada tahun 1690, putranya bernama Muhammad Abu Tahir (yang pada saat itu berumur 20 tahun) menggantikannya sebagai syekh tarekat; kita menemukan namanya disebut sebagai guru dari beberapa orang Indonesia (Van Bruinesen l990a: 159-60). Namun posisi pimpinan di kalangan ulama Madinah jatuh ke tangan murid Ibrahim, Muhammad lbn ‘Abd al-Rasul al-Barzinji, mufti Syafi’i di Madinah. Murid ini berasal dari, sama dengan Ibrahim sendiri, Syahrazur dan termasuk
 
anggota dari sebuah keluarga yang kemudian hari sangat terkenal.

Keluarga Barzinji di Syahrazur dan Madinah
Pada abad ke-19 dan ke-20, keluarga Barzinji merupakan salah satu dari keluarga yang sangat terkemuka di Kurdistan bagian selatan, sebuah keluarga ulama dan syekh tarekat Qadiriyah yang mempunyai pengaruh politik yang sangat besar.10 Pada tahun 1920-an, Syekh Mahmud Barzinji memberontak terhadap Inggris dan menyatakan dirinya sendiri sebagai raja Kurdistan. Pada tahun- tahun berikutnya, keluarga tersebut juga menjalankan peranan penting dalam kehidupan politik Irak. Sebagaimana juga dalam perang Irak-Iran baru-baru ini, kami menemukan seorang anggota keluarga tersebut, Syekh Muhammad Najib Barzinji, memimpin kelompok gerilya kecil ciptaan Iran melawan pemerintah Irak. Anggota keluarga lainnya, Ja’far ‘Abd al-Karim Barzinji, di lain pihak, mencapai posisi yang tinggi dalam pemerintahan Irak; pada saat tulisan ini ditulis (1990) dia adalah presiden dari dewan eksekutif wilayah Kurdi yang otonom. Faka-fakta ini membenarkan persepsi baik pemerintah Irak maupun Iran bahwa mereka memerlukan karisma keluarga tersebut jika mereka ingin menanamkan pengaruh di kalangan orang-orang Kurdi.
Keluarga Barzinji mengaku diri sebagai keturunan Nabi melalui Imam Musa al-Kazhim, dan mengambil namanya dari desa Barzinja di Syahrazur, dekat kota Sulaimaniyyah sekarang, tempat founding father keluarga ini berada—Sayyid ‘Isa (menurut cerita orang) menetap di sana pada pertengahan abad ke-13. Sejarah keluarga tersebut diungkapkan secara selintas oleh Edmonds dan Tawakkuli berdasarkan tradisi mereka sendiri. Menarik untuk dicatat bahwa orang yang dianggap pendiri sekte Ahl al-Haqq yang heterodoks juga adalah salah seorang putra dari Sayyid ‘Isa ini.11
Edmonds menunjukkan bahwa nenek moyang yang sama dari semua orang Barzinji yang sekarang ada di lrak, Turki, Syria dan Hijaz, adalah seorang yang bernama Baba Rasul, yang termasuk generasi ketujuh setelah Sayyid ‘Isa dan dapat dipastikan telah berkembang meluas pada awal abad ke-17. Silsilah keluarga yang
 
dilaporkan oleh Edmonds menunjukkan bahwa salah seorang dari 18 putra Baba Rasul, Muhammad “Madani”, menetap di Madinah; semua orang Barzanji yang berada di Hijaz dan India dianggap sebagai keturunannya.
Muhammad “Madani” yang dimaksud tentu saja adalah rekan Ibrahim al-Kurani yang tadi sudah disebut, Muhammad Ibn ‘Abd al-Rasul Barzinji. Riwayat pendidikannya agak menyerupai riwayat pendidikan Ibrahim: pendidikan awal oleh bapaknya dan para ulama lain di Syahrazur, diikuti dengan belajar Hamadan (Iran), Baghdad, Mardin, Damaskus, Istanbul, Kairo dan Makkah, dan akhirnya belajar kepada Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani di Madinah. Dia juga seorang yang ahli mengenai Ibnu ‘Arabi dan menerjemahkan dari bahasa Persia ke bahasa Arab sebuah buku tentang Ibnu ‘Arabi yang ditulis oleh seorang keluarganya, Sayyid Muhammad Muzhaffar Barzinji.12 Ketika para ulama India meminta fatwa dari Ibrahim al-Kurani tentang berbagai gagasan kontroversial Ahmad Sirhindi, “sang Mujaddid al-Alf al-Tsani”, Muhammad Barzinji-lah yang menulis dua risalah yang secara berapi-api mengkritik Sirhindi, yang didukung oleh ulama-ulama terkemuka lain di Hijaz.13
Keturunan Barzinji yang menjadikan nama keluarga tersebut menjadi nama yang dikenal luas di Indonesia adalah cicitnya, Ja’far Ibn Hasan Ibn ‘Abd al-Karim Ibn Muhammad (1690-1764), yang lahir di Madinah dan menghabiskan seluruh usianya di sana.14 Dia menulis sejumlah karya tentang ibadah yang menjadi sangat populer di seluruh dunia Islam pada saat itu, dan tetap populer di Indonesia sampai sekarang ini. Karya yang sekarang dikenal sebagai “al-Barzanji” adalah buku maulid-nya, yang diberi judul ‘Iqd al-Jawahir. Barangkali karya tersebut adalah karya yang paling populer dari semua buku maulid dan di banyak tempat telah menjadi bagian dari ritual baku tarekat Qadiriyah. Sebagaimana dinyatakan oleh Trimingham (1971: 207-8), maulid tidaklah benar- benar diterima secara universal ke dalam praktik keagamaan populer, tetapi di Indonesia maulid Barzinji sampai sekarang merupakan teks keagamaan yang dikenal secara luas. Teks ini terdapat di Indonesia dengan banyak edisi yang berbeda-beda; bahkan beberapa ulama Indonesia sudah menerbitkan komentar-
 
komentar tentangnya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa dan Indonesia.15 Buku lain yang dia persembahkan kepada Nabi, Qishshah al-Mi’raj, adalah buku yang kurang dikenal secara luas di Indonesia. Sebuah hagiografi yang disusunnya tentang wali zaman pertengahan yang tidak besar, Hamzah, tampaknya juga dikenal paling tidak oleh beberapa orang Indonesia.16 Tetapi karya lainnya yang benar-benar populer adalah sebuah hagiografi Syekh ‘Abd al-Qadir, Lujjain al-Dani fi Manaqib ‘Abd al-Qadir al- Jilani, sebuah karya yang bahkan menembus sampai sudut-sudut yang paling jauh di Nusantara.
Pembacaan manaqib ‘Abd al-Qadir untuk tujuan menolak bala, memohon perlindungan, atau mengusir setan, atau semata- mata sebagai tindakan pemujaan, sudah lama tersebar luas dan menjadi praktik yang umum dilakukan di Indonesia. Peringatan hari kematian sang wali, pada tanggal 11 Rabi’ al-Akhir, telah dan masih diperingati di banyak tempat dengan acara pembacaan manaqib-nya; di tempat-tempat tertentu acara tersebut bahkan dilakukan pada tanggal 11 setiap bulan Qamariyah. Ada banyak versi dari hagiografi tersebut yang terdapat di Indonesia, baik dalam bahasa Arab, Jawa, Sunda maupun bahasa Indonesia. Setengah abad yang lalu, Drewes dan Poerbatjaraka menerbitkan sebuah studi tentang sebuah manaqib berbahasa Jawa, yang di dalamnya mereka menunjukkan bahwa manaqib tersebut didasarkan atas karya Yafi’i, Khulashah al-Mafakhir. Namun hampir semua manaqib yang saya temukan dipakai sekarang ini rupanya didasarkan atas karangan Barzinji, Lujain al-Dani.17
Sekarang pembacaan manaqib tersebut utamanya dilakukan di kalangan tarekat Qadiriyah (tepatnya: Qadiriyah wa Naqsyaban- diyah, perpaduan dua tarekat yang khas Indonesia). Versi yang paling populer (dan otoritatif) adalah terjemahan dan komentar berbahasa Jawa yang dibuat oleh Kiai Haji Muslih Ibn ‘Abd ar-Rahman dari Mranggen, Jawa Tengah, yang sampai saat meninggalnya pada tahun 1981 merupakan guru yang paling dihormati dalam tarekat ini. Karyanya an-Nur al-Burhani fi Tarjamah al-Lujjain al-Dani juga memuat, di samping manaqib, pelajaran-pelajaran tentang tarekat tersebut. Namun pada zaman yang lebih awal, manaqib tersebut tampaknya sudah dibaca di
 
lingkungan yang lebih luas daripada sekadar di lingkungan tarekat Qadiriyah saja.
Tidak jelas apakah Syekh Ja’far Barzinji, pengarang Lujjain sendiri adalah seorang syekh tarekat Qadiriyah (walaupun bukan hanya Lujjain saja tetapi juga buku maulid sudah dihubungkan secara dekat dengan tarekat tersebut, bdk. Trimingham l97l: 206, 208). Ikatan keluarga Barzinji dengan tarekat Qadiriyah merupakan hal yang relatif baru. Baba Rasul dan putra-putranya berafiliasi dengan tarekat-tarekat lain (tarekat Nurbakhsyiyah dan Khalwatiyah ‘Alawiyah). Cicitnya, Isma’il Qazanqaya, menurut tradisi yang lebih belakangan, adalah orang pertama yang menjadi penganut tarekat Qadiriyah (Tawakkuli 1980: 133). Cabang lain dari keluarga Barzinji yang berada di Kurdistan segera menyesuaikan diri, tetapi kami tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh cabang keluarga yang di Madinah.
Di Indonesia, tarekat Qadiriyah dikenal paling tidak sejak akhir abad ke-16 (penyair besar Hamzah Fansuri adalah seorang penganut tarekat Qadiriyah), tetapi ia tidak memperoleh pengikut awam dalam jumlah besar sampai pada pertengahan abad ke-19. Syekh Ahmad Khatib dari Sambas (Kalimantan Barat) membaiat sejumlah orang Indonesia di Makkah menjadi anggota tarekatnya yang memadukan tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, dan menunjuk khalifah yang menyebarluaskan tarekat ini di seluruh Nusantara. Tidak terdapat cukup bukti tentang posisi tarekat Qadi- riyah dan penggunaan manaqib pada masa dua abad yang perta- ma. Karena itu, kita tidak mengetahui apakah Syekh Ja’far Barzinji sendiri memainkan peranan dalam memopulerkan tarekat atau manaqib tersebut di kalangan orang Islam Indonesia. Hubungan yang sebenarnya antara Barzinji yang sangat terkenal ini dengan para pembaca Indonesia yang pertama juga masih samar-samar.
Hal lain yang tetap menimbulkan rasa ingin tahu adalah koinsidensi antara tarekat Qadiriyah sebagaimana yang diajarkan oleh keluarga Barzinji di Kurdistan yang menjalankan teknik- teknik kekebalan tubuh dari tarekat Rifa’iyah, dengan debus Banten yang diasosiasikan dengan ‘Abd al-Qadir, dan juga tarekat Rifa’iyah. Sebuah silsilah tarekat Qadiriyah Kurdi mengakui, di samping ‘Abd al-Qadir, tiga orang yang dianggap sebagai pendiri
 
tarekat, Ahmad al-Rifa’i, Ahmad al-Badawi, dan Ibrahim ad-Dasuqi (Bruinessen 1992a: 217). Dalam sebuah ratib Rifa’i yang dipakai oleh guru debus di Banten, kami menemukan nama empat wali yang sama juga disebutkan bersama-sama.18
Generasi selanjutnya dari keluarga Barzinji di Madinah tetap berpengaruh, dan jabatan mufti Syafiiyyah di Kota tersebut sering kali berada di tangan mereka (sebagaimana yang juga pernah terjadi pada Muhammad Ibn ‘Abd al-Rasul dan Ja’far). Sebuah studi yang baru-baru ini dilakukan tentang Hijaz di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmani (1840-1908) mencatat bahwa para anggota keluarga Barzinji memegang jabatan mufti Madinah untuk sebagian besar waktu yang berlangsung 67 tahun tersebut (Ochsenwald 1984; 52). Juga ada kemungkinan, dan bahkan sangat mungkin, bahwa banyak anggota keluarga ini yang memiliki murid-murid asal Indonesia, hanya saja hampir tidak ditemukan dokumentasi tentang hal ini.
Saya telah menemukan nama satu-satunya Barzinji yang disebut sebagai guru dari orang-orang yang berasal dari lndonesia. Ini terdapat dalam sebuah memoar tentang guru-guru dari— melalui isnad, (mata rantai transmisi) teks-teks yang dipelajari— seorang ulama kontemporer Indonesia terkemuka, Syekh Yasin al-Fadani, yang menjadi kepala madrasah Indonesia tradisional Dar al-‘UIum al-Diniyyah di Makkah. Dua di antara gurunya yang berasal dari Indonesia, ‘Ali Ibn ‘Abdullah al-Banjari (w. 1951) dan ‘Abd al-Muhith al-Sidoarji (w. 1965)-keduanya mengajar di Masjid al-Haram di Makkah—belajar kepada Ahmad Ibn Isma’il al-Barzinji (Falimbani t.t: 59-60, 63).
Dan pendiri madrasah Dar al-‘Ulum tersebut, Sayyid Muhsin Musawwa (w. 1936), pernah belajar kepada Zaki bin Ahmad al- Barzinji di Madinah (‘Abd al-Jabbar 1385: 331-3).

Mengapa Banyak Orang Indonesia yang Bernama Kurdi? Muhammad Ibn Sulaiman dan Komentar-komentarnya tentang Ibn Hajar
Dalam pendahuluan tulisan ini, saya sudah menyatakan bahwa Kurdi telah menjadi nama orang di Indonesia, dan hal itu
 
terjadi hanya di keluarga-keluarga santri saja. Hal ini juga dapat ditelusuri sebagai jejak pengaruh seorang ulama Kurdi yang karya- karyanya memiliki dampak penting di Indonesia.
Secara kasar, ada tiga jenis nama yang khas Islam Indonesia. Jenis yang pertama adalah gabungan antara kata ‘Abd dengan salah satu dari nama-nama Allah, yang kedua adalah nama-nama Nabi Saw. dan Sahabatnya atau perawi hadis lainnya. Kedua jenis ini adalah nama-nama muslim yang dapat ditemukan di mana saja. Kategori yang ketiga adalah lebih khas bagi orang Indonesia. Kalangan santri di Nusantara sering menamakan anak mereka dengan meniru nama para pengarang kitab keagamaan yang penting. Demikianlah, di Indonesia terdapat banyak nama Sanusi, Ramli, Malibari, Ghazali,...—saya bahkan mempunyai seorang teman yang nama lengkapnya adalah Ibn Ataillah Shohibul Hikam. Nama-nama tersebut terdengar secara sama-samar lebih berilmu dan lebih saleh daripada nama-nama muslim pada umumnya. Nama Kurdi termasuk dalam kategori ini; ia merujuk kepada nama pengarang sebuah kitab fikih yang sejak lama dipelajari di pesantren Jawa. Baik pengarang maupun karyanya secara populer dikenal dengan nama Sleman Kurdi.19
Sleman Kurdi, atau lebih tepatnya Muhammad Ibn Sulaiman al-Kurdi, dilahirkan di Damaskus pada tahun 1715 dan pada usia yang sangat muda mengikuti ayahnya ke Madinah, yang di tempat itu dia menghabiskan sebagian besar usianya dan meninggal di sana pada tahun 1780. Dia menjadi mufti mazhab Syafiiyah, dan menulis beberapa kitab fikih yang penting. Salah satu kitab paling terkenal di Indonesia (dan masih dicetak sampai sekarang) adalah kitabnya yang berjudul al-Hawasyi al-Madaniyyah, sebuah komentar (hasyiyah) atas karya Ba-Fadl, al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah—atau lebih tepatnya komentar lebih jauh atas syarh yang sebelumnya ditulis oleh Ibnu Hajar, Minhaj al-Qawim. Juga terdapat versi komentar Kurdi yang bahkan lebih substansial, yang menggabungkan banyak keterangan tambahan, yang diberi judul al-Mawahib al-Madaniyyah. Kitab ini tidak dikenal secara umum sekarang, tetapi dinilai sangat tinggi oleh para ahli fikih. Kitab tersebut tampaknya sangat menarik perhatian para ulama asal Indonesia yang berada di Makkah dan Madinah, karena dicetak
 
bersama-sama dengan sumbangan penting orang Indonesia dalam masalah tersebut, yakni komentar Mahfuzh at-Tarmasi terhadap kitab Minhaj al-Qawim.20
Muhammad Sulaiman al-Kurdi dan karya-karyanya dalam bidang fikih dikenal di Indonesia, karena dia memiliki sejumlah murid asal Indonesia yang berpengaruh. Muhammad Arsyad al-Banjari, pengarang kitab fikih paling penting dalam bahasa Melayu, yakni kitab Sabil al-Muhtadin, adalah salah seorang muridnya dan beberapa biografinya menyebut [Muhammad Ibn] Sulaiman al-Kurdi sebagai guru Arsyad yang paling penting ketika dia bermukim lama di Hijaz. Seorang penulis biografi menceritakan bahwa Arsyad, ketika dia masih menjadi murid, meminta fatwa dari al-Kurdi tentang suatu praktik lokal di daerah kelahirannya Kalimantan Selatan. Sultan di sana (yang merupakan murid Arsyad) berusaha meningkatkan jumlah orang yang ikut salat Jumat di masjid negara dengan mendenda mereka yang tidak hadir dalam salat Jumat tersebut. Arsyad bertanya kepada gurunya apakah praktik ini sah; jawabannya konon termasuk dalam fatwa- fatwa al-Kurdi yang dikumpulkan (Zamzam l979:5).
Tradisi lisanlah yang dipakai oleh Arsyad—dan juga orang- orang penting sezamannya—ketika belajar kepada Kurdi. Sebuah laporan dari Kalimantan Selatan—sebagian di antaranya mungkin bersifat legenda (Khalidi 1968: 14-8)—menyebutkan bahwa ‘Abd as-Samad al-Falimbani dan dua ulama lain yang kurang terkenal, ‘Abd al-Wahab Bugis dan ‘Abd ar-Rahman Masri dari Betawi, bersama-sama dengan Arsyad mengikuti pengajian Kurdi di Madinah dan kembali bersama-sama pada tahun 1770-an ketika sang guru mengirim mereka kembali untuk mengajar orang-orang sebangsa mereka.21 Terlepas dari benar tidaknya riwayat ini, pengaruh al-Kurdi terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia terus berlanjut, melalui suatu lingkungan tertentu di Makkah dan Madinah di mana karya-karyanya diajarkan dari generasi ke generasi. Dalam lingkungan ini termasuk juga para ulama penting asal Indonesia yang menetap di Makkah, seperti ulama besar Nawawi Banten.22
 
Dua Guru Besar Tarekat Naqsyabandiyah: Maulana Khalid dan Muhammad Amin al-Kurdi
Tarekat Naqsyabandiyah sudah dikenal di Indonesia saling tidak sejak abad ke-17, tetapi baru benar-benar menjadi populer pada akhir abad ke-19. Cabang tarekat Naqsyabandiyah yang pada saat itu dengan cepat menyebar ke seluruh Nusantara adalah tarekat Khalidiyah, demikianlah tarekat tersebut dinamakan mengikuti nama guru yang karismatik dan pembaru Maulana Dhiya’ ad-Din Khalid al-Baghdadi atau al-Kurdi, yang dengan seorang diri mengusahakan bangkitnya kembali tarekat tersebut pada awal abad ke-19.
Khalid adalah seorang perantara budaya Kurdi dalam coraknya yang tradisional. Sebagaimana banyak ulama besar Kurdi lainnya, dia dilahirkan di Syahrazur, di daerah tempat tinggal suku Jaf, pada tahun 1776 atau 1779. Dia belajar kepada para ulama besar Kurdistan dan melakukan perjalanan ke Damaskus dan Makkah serta Madinah untuk bertemu dengan para ulama besar pada saat itu. Mengikuti perintah yang didapatkannya melalui mimpi, dia pergi ke India untuk belajar kepada guru tarekat Naqsyabandiyah terkemuka, ‘Abdullah ad-Dihlawi, dan menjadi muridnya yang paling menonjol. Setelah setahun di Delhi, dia kembali ke barat dengan membawa sebuah ijazah dan perintah yang eksplisit dari gurunya untuk menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah di Kesultanan Utsmani. Pada tahun-tahun antara setelah kepulangannya pada 1811 dan kematiannya pada 1827, dia tinggal di Sulaimaniyyah, Baghdad dan Damaskus, serta menunjuk tidak kurang dari 67 orang khalifah-nya di daerah-daerah yang berbeda di negara tersebut, Kurdi, Turki dan Arab. Dia meninggalkan tulisan-tulisan dalam bahasa Persia, Arab, Gurani, dan Kurdi (bahasa ibunya).23
Salah seorang khalifahnya, ‘Abdullah Arzinjani, dikirim ke Makkah, di mana dia dan para penggantinya menarik sejumlah besar murid di kalangan orang-orang Indonesia yang mengunjungi kota tersebut pada musim haji atau, dalam banyak kasus, yang menetap di sana selama bertahun-tahun. Orang Indonesia pertama yang paling terkenal berafiliasi dengan cabang tarekat Naqsyabandiyah ini adalah Isma’il al-Minangkabawi, seorang
 
murid dari Arzinjani dan penggantinya, Sulaiman al-Qirimi. Pada tahun 1850-an, Isma’il kembali ke Nusantara selama beberapa tahun dan memperoleh banyak pengikut baru, termasuk keluarga raja Riau. Begitu kuatnya daya tarik tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah bagi orang-orang Indonesia yang mengunjungi kota- kota suci tersebut, begitu miskinnya pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, dan begitu besarnya kepentingan syekh-syekh tersebut (kepentingan finansial dan berbagai kepentingan lainnya) kepada murid-murid potensial ini, maka diangkatlah seorang staf permanen yang berbahasa Melayu di Zawiyah ‘Abdallah Arzinjani di Jabal Abu Qubais, untuk mengajarkan teknik-teknik tarekat tersebut kepada orang-orang yang berasal dari Indonesia.24
Walaupun zawiyah di Jabal Abu Qubais secara berangsur- angsur berkembang—terutama pada masa pengganti Sulaiman al-Qirimi, Sulaiman al-Zuhdi—menjadi sebuah mesin yang mengeluarkan  ijazah  untuk  setiap  orang  Indonesia  yang ingin memperolehnya, lagi-lagi seorang ulama Kurdi-lah yang mengarang buku yang menjadi pedoman tertulis utama bagi para pengikut tarekat Naqsyabandiyah asal Indonesia tersebut. Pada tahun 1880-an dan l890-an, orang-orang Indonesia yang menjadi pengikut tarekat Naqsyabandiyah di Makkah membawa pulang salinan-salinan dari karya Ahmad Ghumusykhanawi, Jami’ al- Ushul fi al-‘Auliya, atau kumpulan risalah Sulaiman al-Zuhdi, yang merupakan guru Makkah yang paling berhasil. Namun kitab karya Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, segera menggantikan popularitas kitab-kitab tersebut dan sampai sekarang merupakan buku pelajaran tarekat Naqsyabandiyah paling berpengaruh yang dipakai di Indonesia.
Muhammad Amin dilahirkan di Arbil, di mana dia belajar ilmu-ilmu Islam kepada para ulama setempat. Dia dibaiat menjadi pengikut tarekat Naqsyabandiyah oleh Syekh ‘Umar Dhiya’ al- Din dari Biyara (di Syahrazur), seorang khalifah generasi kedua dari Maulana Khalid. Dari Biyara, dia berangkat ke Madinah dan dia menetap di sana selama sepuluh tahun, sambil mengajar di salah satu madrasah. Dari sana dia berpindah ke Kairo, di mana dia menjadi pimpinan riwaq Kurdi di al-Azhar sampai saat kematiannya pada tahun 1914. Dia menulis sekitar 12 buku, dan
 
Tanwir al-Qulub adalah karya terpentingnya. Sebagaimana tradisi keilmuan Kurdi yang bersifat polyglot, ia juga menerjemahkan karya-karya al-Ghazali berbahasa Persia ke dalam bahasa Arab.25
Kita tidak mengetahui apakah Muhammad Amin al-Kurdi, selama masa sepuluh tahunnya di Madinah atau masa berikutnya di al-Azhar, memiliki murid-murid yang berasal dari Indonesia. Tidak satu pun dari banyak silsilah tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia yang pernah saya lihat yang menyebut Muhammad Amin. Namun sangat mungkin bahwa ada kontak langsung, karena baik di Madinah maupun di al-Azhar selalu terdapat banyak orang Indonesia. Hubungan-hubungan tersebut tidak harus dicerminkan di dalam silsilah. Paling tidak, ada satu kasus kontak yang lebih kemudian, kontak tidak langsung antara orang seorang penganut tarekat Naqsyabandiyah Indonesia dengan Muhammad Amin al-Kurdi. Salah satu dari para guru tarekat Naqsyabandiyah di pantai utara Jawa sekarang, Kiai Haji Abdul Wahab Chafidz dari Rembang, memberitahu saya bahwa ketika dia sedang belajar di al-Azhar pada tahun l960-an, dia sempat berkenalan denga putra Muhammad Amin, Najm al-Din al-Kurdi. Kiai Abdul Wahab sangat menghormati orang tersebut dan menganggapnya sebagai gurunya, tetapi tetap menelusuri jejak silsilahnya melalui Muhammad Amin sendiri.

Kesimpulan: Mengapa Terjalin Hubungan Kurdi Ini?
Beberapa jawaban mungkin dapat diberikan kepada pertanyaan mengenai mengapa para ulama Kurdi tersebut mempunyai pengaruh yang kuat terhadap Islam Indonesia. Yang pertama jawaban skeptis akan sepenuhnya menolak pertanyaan tersebut dan membantah adanya hubungan yang benar-benar khusus, menyatakan bahwa pemaparan yang saya sajikan di atas bersifat sangat selektif, karena orang-orang lndonesia yang belajar di Makkah dan Madinah memiliki guru-guru yang berasal dari banyak etnis yang berbeda. Dalam kenyataannya, pada saat Snouck Hurgronje menetap di Makkah pada tahun 1885, rupanya tidak ada seorang Kurdi pun di antara para guru yang memiliki banyak murid asal Indonesia (Snouck Hurgronje 1889, passim). Hal
 
yang sama juga berlaku pada abad sekarang ini. Namun dengan melihat ke belakang, ke periode-periode yang lebih awal, maka akan sulit untuk menemukan banyak ulama lain yang mempunyai pengaruh yang setara dengan Ibrahim al-Kurdi, Ja’far al-Barzinji, Muhammad Ibn Sulaiman al-Kurdi atau—secara tidak langsung— Maulana Khalid. Ternyata guru-guru yang sangat banyak menarik orang Indonesia pada saat kunjungan Snouck adalah kedua pengganti khalifahnya Maulana Khalid, ‘Abdullah Arzinjani, yang saling bersaing. Mereka mengajar murid-murid mereka untuk memvisualisasikan Maulana Khalid al-Kurdi untuk memudahkan mereka dalam melakukan meditasi.26
Kemungkinan jawaban yang kedua adalah bahwa orang Islam Indonesia telah menjadi pengikut mazhab Syafii sejak paling tidak akhir abad ke-16, demikian juga orang-orang Kurdi (juga orang- orang Hadhramaut dan kebanyakan orang Mesir, tetapi berlainan dengan kebanyakan orang-orang Arab lainnya, Turki dan India). Orang-orang Indonesia yang sekarang ini belajar di Timur Tengah merasakan lebih mudah untuk menjalin hubungan dengan orang- orang Kurdi daripada dengan orang-orang Arab, karena—kata mereka—adanya rasa kebersamaan mazhab tersebut.27 Faktor ini dalam kadar tertentu mungkin memang memainkan peranan, walaupun masalah mazhab hanya relevan dalam disiplin ilmu fikih, tidak dalam ilmu-ilmu Islam lainnya. Ternyata sebagian guru Arab paling berpengaruh yang menjadi guru orang-orang Indonesia yang belajar pada abad ini bukanlah penganut mazhab Syafii, tetapi penganut mazhab Maliki. Sayyid Muhammad Ibn ‘Alwi al-Maliki dan ayahnya sejak lama merupakan ulama non- Wahabi paling dihormati yang aktif di Makkah, yang mengajarkan semua mata pelajaran, termasuk fikih Syafiiyyah. Oleh karena itu, kesamaan mazhab semata hampir tidak dapat menjelaskan kenapa guru-guru Kurdi begitu berpengaruh terhadap murid-murid yang berasal dari Indonesia.
Saya berpendapat bahwa masih ada karakteristik kesamaan lain yang menarik minat murid-murid Indonesia untuk belajar kepada guru-guru Kurdi atau kitab-kitab mereka, yaitu sikap yang sama terhadap dalam penghayatan keagamaan: kecintaan terhadap mistisisme dan spekulasi metafisik, dan kepercayaan
 
yang teguh kepada para wali dan keajaiban-keajaiban mereka. Sudah berulang kali dikemukakan bahwa metafisika wahdat al- wujud memiliki daya tarik bagi orang-orang Indonesia karena ia menyerupai (atau dapat disesuaikan dengan) kepercayaan mistik yang dianut sebelum datangnya Islam. Hal yang sama mungkin juga dapat dikatakan untuk orang Kurdistan dan a fortiori untuk golongan etnis Guran; di kalangan etnis Guran ini, mereka yang berpandangan panteistik, emanasionis (fuyudhat), iluminasionis (isyraq), dan sekte-sekte reinkarsionis selalu menemukan ladang persemaian yang subur. Para ulama seperti Ibrahim al-Kurani dan Maulana Khalid memegang posisi perantara di antara bid’ah dan ortodoksi. Untuk melawan bid’ah-bid’ah yang selalu terdapat di wilayah tanah tumpah darah mereka, mereka merepresentasikan sebuah reaksi ortodoks. Tetapi mereka tidak menolak secara keseluruhan doktrin-doktrin dan praktik-praktik mistik yang gampang sekali tergelincir menjadi bid’ah itu, melainkan memperkuatnya dan mengajukan interpretasi-interpretasi yang mempertemukannya dengan ortodoksi. Inilah yang pasti telah membuat pemikiran mereka memiliki daya tarik bagi orang Islam Indonesia, yang sudah begitu sering berusaha menemukan sebuah keseimbangan antara legalisme yang kering dan mistisisme yang panteistik.
Sisi lain dari spiritualitas muslim Indonesia tradisional adalah penghormatan kepada para wali, kepercayaan yang penuh kepada keajaiban-keajaiban mereka dan kepada keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh dengan mengunjungi makam-makam mereka. Sikap ini tentu saja terdapat di seluruh dunia Islam, tetapi lagi-lagi ulama Kurdi-lah yang menguraikannya dalam kata- kata, dan dalam bentuk yang berkenan di hati orang Indonesia. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, tidak ada pengarang yang lebih populer di Indonesia daripada Ja’far Barjinzi dengan Maulid dan Manaqib-nya.
Barzinji bukanlah satu-satunya pengarang Kurdi yang penggambarannya tentang keajaiban-keajaiban para wali terus- menerus memesona para pembacanya di Indonesia. Paling tidak, masih ada seorang pengarang Kurdi lain dalam bidang tersebut, yang hampir sezaman dengan kita, yang diikuti karena dekat
 
secara kultural. Pada tahun-tahun belakangan ini dua pesantren Jawa Timur mencetak kembali, untuk kepentingan santri mereka, sebuah kitab yang mempertahankan pemujaan terhadap para wali dan kepercayaan terhadap kejaiban-keajaiban mereka. Kitab tersebut berjudul al-Fajr al-Shadiq fi al-Radd ’ala Munkiri al- Tawashshul wa al-Karamah wa al-Khawariq. Pengarang risalah polemik yang menentang Wahabisme ini, yang aslinya diterbitkan pada tahun 1905 adalah seorang Kurdi yang bernama Jamil Afandi Shidqi al-Zahawi (1863-1940). Seperti ulama-ulama Kurdi lain yang disebutkan hingga kini, dia juga berasal dari Kurdistan bagian selatan.28
Akhirnya, terdapat beberapa pengarang Kurdi yang karya mereka tidak merefleksikan sesuatu yang khas Kurdi dan dikenal di Indonesia benar-benar secara kebetulan. Mereka ini, misalnya, adalah Jamal ad-Din Ibn al-Hajib (w. 1249), yang karyanya tentang tata bahasa bahasa Arab, Al-Kafiyah dan Al-Safiyah, dikenal di berbagai belahan Nusantara.29

Catatan Akhir:  Perantara Budaya di Afrika Selatan
Kasus sangat menarik dari seorang ulama Kurdi, Abu Bakr Efendi, yang menulis sebuah buku dalam dialek Belanda untuk kepentingan masyarakat Melayu di Afrika Selatan, agaknya dapat dijadikan sebagai sebuah catatan akhir yang cocok dengan survei ini.30 Ulama yang agak sukar dikenali latar belakangnya ini datang ke Tanjung Harapan pada tahun 1862, sebagai seorang duta dari Sultan Utsmani, Sultan Abdul Aziz, untuk mengajarkan hukum dan akidah Islam kepada masyarakat Melayu di sana dan menyelesaikan konflik-konflik yang menimbulkan perpecahbelahan di dalamnya. Dia mengajar bahasa Arab, tetapi juga mempelajari bahasa masyarakat setempat, bahasa Afrikaans, sebuah dialek Belanda. Di samping itu, dia juga menulis sebuah karya penting, Bayan al-Din, dalam bahasa Afrikaans tersebut, dengan menggunakan huruf Persia-Arab. Karya ini bukan hanya salah satu dari sangat sedikit karya yang ditulis dalam bahasa “Arabo-Afrikaans” (sebagaimana Van Selms mentahbiskan kepustakaan ini), tetapi ia juga merupakan salah satu dari teks-teks paling awal yang ditulis
 
dalam versi apa pun dari bahasa Afrikaans, dan karena itulah karya ini sangat menarik bagi para peminat ahli linguistik historis.31
Masyarakat Melayu di Tanjung Harapan terdiri dari keturunan para pemberontak dan unsur-unsur yang tidak disukai lainnya yang dibuang dari Hindia Timur oleh penguasa Belanda pada abad ke-17, dan juga keturunan dari bangsa-bangsa Nusantara yang dibawa ke sana sebagai budak-budak.32
Orang paling terkenal di antara orang-orang buangan ini adalah Syekh Yusuf Makassar, yang sudah disebut di bagian awal tulisan ini. Walaupun tulang belulangnya kemudian dikirim kembali ke tanah tumpah darahnya, Sulawesi Selatan, makamnya di Tanjung Harapan masih merupakan sebuah Pusat Penting bagi masyarakat Melayu setempat. Masyarakat tersebut tetap memelihara keterikatan emosional mereka kepada Islam tetapi, karena kurangnya ulama dan tidak adanya hubungan dengan dunia Islam lainnya, pengetahuan mereka tentang doktrin dan kewajiban agama secara berangsur-angsur menurun. Pada saat terjadinya sebuah kontroversi keagamaan, pada tahun 1860 atau 1861, mereka menulis surat kepada Sultan dan Khalifah di Istanbul, yang memintanya untuk mengirimkan buku-buku yang menerangkan ajaran-ajaran Islam ortodoks. Buku-buku dianggap tidak memadai di Istanbul, dan inilah sebabnya mengapa pada tahun 1862 Abu Bakr Efendi dikirim, melalui London menuju masyarakat muslim di Tanjung Harapan. Dia membuka sebuah madrasah, di mana dia mengajarkan bahasa Arab dan ilmu-ilmu Islam dasar, dan menulis sendiri bahan-bahan pengajarannya. Kitab Bayan al-Din diselesaikan pada tahun 1286/1869 dan dicetak di Istanbul di percetakan pemerintah pada tahun 1294/1877.
Siapakah Abu Bakr Efendi ini? Dalam pendahuluan berbahasa Arab untuk kitabnya Bayan al-Din,33 dia menyebut dirinya sendiri sebagai keturunan (min nasl) Amir Sulaiman Ibn Amir Muhammad Ibn Amir ‘Abdallah Ibn Amir Zaid, min khanadan ahali Suhran tabi’ Syahrazur wa Baghdad, “termasuk dinasti penguasa pribumi Sohran, yang bergantung kepada Syahrazur dan Baghdad”. Dengan kata lain, dia mengaku sebagai keturunan dari lingkungan penguasa emirat Kurdi Sohran atau Soran, ke arah utara Syahrazur, yang mencakup kota Arbil dan gunung-gunung dibaliknya. Cicit
 
laki-laki Abu Bakr dengan baik hati mengirimi saya sebuah foto hasil reproduksi dengan sebuah prasasti yang memuat silsilahnya secara lebih lengkap.34 Di sini Abu Bakr memberikan nisbah al-Khusynawi kepada dirinya sendiri, yang berarti bahwa dia termasuk anggota suku Khusynau, yang tinggal di timur Arbil (di wilayah kekuasaan Sohran). Ada enam generasi antara Abu Bakr dan nenek moyangnya Amir Sulaiman, semuanya rupanya adalah ulama, karena mereka menyandang gelar Mulla atau Maulana. Silsilah ini terus bersambung ke atas beberapa generasi dari Amir Zaid (yang tadi disebut) melalui ayahnya ‘Izz al-Din Muhammad al-Fadhl (yang diberi kehormatan dengan gelar al-Hibr al-Kamil, “ulama yang sempurna”); nenek moyang yang paling jauh dan tampaknya yang paling termasyhur adalah orang yang bernama Abu Nasr al-Amir Sulaiman “al-Ghazi al-Qurasyi al-Amjadi”.35
Sayangnya, tidak satu pun dari nama-nama ini yang terdapat di dalam kamus-kamus biografis ulama Kurdi (Mudarris 1983, Mardukh 1364-6). Amir Sulaiman al-Ghazi mungkin identik dengan Sulaiman Beg Ibn Quli Beg Ibn Sulaiman Beg, yang berkuasa di Sohran pada paruh kedua abad ke-16, yang tentangnya Syarafnamah mencatat bahwa dia menjalankan beberapa kampanye yang berhasil melawan orang-orang yang berada di sebelah timurnya, tetangga-tetangga yang bermazhab Syi’ah (Bidlisi 1343: 360-1). Namun tidak seorang pun dari nenek moyang yang disebutkan itu dapat diidentifikasi dengan anggota penguasa belakangan yang disebutkan dalam kronika-kronika lokal (Mukriyani 1935). Syarafnamah memang menyebutkan bahwa para penguasa Sohran menggunakan gelar Amir, gelar yang juga dipakai oleh beberapa pendahulu Abu Bakr Efendi (dinasti Kurdi yang lain menggunakan gelar-gelar yang berbeda). Namun tidak ada referensi kepada keturunan Quraisyi, tidak ada pula nisbah al-Amjadi disebut dalam kronika tersebut. Kähler mencatat bahwa Abu Bakr Efendi menyebut dirinya juga al-Amjadi, dan berpendapat bahwa nisbah ini merujuk kepada sebuah desa di Kurdistan.36 Namun—sejauh yang saya ketahui—desa tersebut tidak ada. Asal-usul Abu Bakr yang sesungguhnya mungkin selamanya tidak akan pernah jelas.
 
Pada tahun l950-an Van Selms mewawancarai putra Abu Bakr yang sudah berusia lanjut, ‘Umar Jalal ad-Din, dan mencatat dari lidahnya beberapa data biografis tentang ayahnya. Abu Bakr belajar di Syahrazur, di madrasah yang didirikan oleh nenek moyangnya, Amir Sulaiman (tidak jelas Amir Sulaiman yang mana di antara dua orang yang memiliki nama yang sama), dan melanjutkan pelajarannya di Istanbul dan Baghdad. Ketika dia berada di Baghdad, penyerangan suku Baduin ke wilayah Sohran memaksa keluarga (atau suku) Abu Bakr untuk berpindah ke wilayah Erzurum, di mana Abu Bakr kemudian bergabung dengan mereka. Ketika pada suatu musim dingin sukunya menderita kelaparan, dia pergi ke Istanbul untuk memohon bantuan dari Sultan. Secara kebetulan, istana Sultan baru saja menerima permintaan akan bimbingan keagamaan dari Afrika Selatan, daripada mengirim makanan ke Erzurum maka waktu itu diputuskan untuk mengirim Abu Bakr sendiri ke Afrika (Van Selms 1960: VII/VIII).
Seberapa pun tingkat kesediaan yang sesungguhnya di pihak Abu Bakr, dia melaksanakan misinya dengan loyalitas yang sangat tinggi kepada Sultan. Walaupun masyarakat Melayu di Tanjung Harapan secara nominal mengikuti mazhab Syafii dan Abu Bakr, sebagai seorang Kurdi, pastilah sebelumnya menjadi penganut mazhab yang sama juga, namun dia mulai mengajar hukum Islam menurut mazhab Abu Hanifah, yakni mazhab resmi dari Kesultanan Utsmani. Dalam silsilah yang dikutip di atas, dia menyebut dirinya sendiri “Mufti empat mazhab”, tetapi dalam kitab Bayan al-Din dia lebih dari sekadar menguraikan penjelasan tentang fikih Hanafi, dan malahan mengeluarkan pendapat yang sangat negatif tentang Imam Syafii. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan berbagai kontroversi lokal yang pernah menyebabkan sebuah surat dikirim kepada Sultan, namun inti dari kontroversi tersebut sudah lama dilupakan sejak saat itu (bdk. Kähler 1961: 107-9).
Sekarang terdapat  sejumlah pengikut  mazhab Hanafi  di kalangan orang-orang Melayu yang menetap di Tanjung Harapan, mungkin karena berbagai aktivitas Abu Bakr tadi, tetapi mereka tetap merupakan kelompok minoritas yang kecil. Serangannya terhadap mazhab Syafiiyyah hanya memberikan dampak sesaat. Menjelang  masa  kematiannya  sekitar  tahun  1880,  dengan
 
semakin meningkatnya jumlah anggota masyarakat tersebut yang menunaikan  ibadah  haji,  dan  sebagian  mereka  memperoleh kesempatan untuk belajar kepada para guru bermazhab Syafii di Makkah, maka pengaruh Abu Bakr pun segera terhapuskan. Setelah  kematiannya,  para  anggota  masyarakat  Melayu  ini mengirim beberapa surat kepada mufti mazhab Hanafi di Makkah, yang meminta sang mufti mengutuk cercaan Abu Bakr terhadap Imam Syafii, dan permintaan itu dikabulkan (Kähler 1961: 109-12).
Mengapa ada sikap anti-Syafii dalam diri seseorang Kurdi yang dia sendiri mungkin pada awalnya adalah seorang penganut mazhab Syafii: apakah dia telah menjadi seorang pengikut mazhab Hanafiyah selama pelajarannya terdahulu di Istanbul? Apakah mungkin konflik dengan ulama Kurdi lain merupakan sebab kesediaannya untuk menjadi seorang penyebar agama di tanah yang jauh? Kita mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak diragukan lagi, dia adalah kasus perantaraan budaya (cultural brokerage) yang sangat mencolok dan ekstrem yang disebutkan di halaman- halaman ini, yang memberikan dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga menjadi tidak efektif: Seorang Kurdi, yang mungkin aslinya adalah penganut mazhab Syafii, dikirim oleh Sultan Turki bermazhab Hanafi ke masyarakat Melayu bermazhab Syafii yang hidup di bawah kekuasaan Inggris di Tanjung Harapan, dan menulis untuk mereka sebuah kitab fikih bermazhab Hanafi dalam bahasa Arab dan sebuah dialek Belanda. Seorang dengan kemampuan seperti yang dimilikinya mungkin akan memberikan dampak lebih besar seandainya dia tetap lebih dekat dengan tradisi keilmuan pribuminya sendiri. [ ]
 
LAMPIRAN:    ADAPTASI    INDONESIA    KARYA-KARYA JA’FAR BIN HASAN AL-BARZINJI
A.    Maulid an-Nabi (‘Iqd al-Jawahir):
1.    Muhammad Nawawi Bin ‘Umar al-Jawi al-Bantani, Madarij al-Su’ud Ila Iktisah al-Burud (berbahasa Arab; berbagai terbitan).
2.    Abu Ahmad ‘Abd al-Hamid al-Qandali (Kendal), Sabil al-Munji (berbahasa Jawa). Kudus: Menara.
3.    Ahmad Subki Masyhadi (Pekalongan), Nur al-Lail al-Duji wa Miftah Bab al-Yasar (Berbahasa Jawa). Pekalongan: Hasan al-‘Attas.
4.    Asrari Ahmad (Wonosari, Tempuran), Munyah al- Martaji Fi Tarjamah Maulid al-Barzanji (berbahasa Jawa). Kudus: Menara.
5.    Mundzir Nadzir, al-Qaul al-Munji ’ala Ma’ani al- Barzanji (berbahasa Jawa). Surabaya: Sa’ad Bin Nashir Bin Nabhan.
6.    M. Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya, Rembang), Badr al-Daji Fi Tarjamah Maulid al-Barzanji (berbahasa Indonesia). Surabaya: Karya Utama.

B.    Manaqib Syekh Abdulqadir Jailani (Lujjain ad-Dani):
l. Abu Ahmad ‘Abd al-Hamid al-Qandali (Kendal), Jauhar al-Asani ‘Ala al-Lujjain al-Dani Fi Manaqib…’Abd al- Qadir (berbahasa Arab). Semarang: Al-Munawwir.
2.    Muslih Bin ‘Abd ar-Rahman al-Maraqi (Mranggen), Al-Nur al-Burhani Fi Tarjamah al-Lujjain al-Dani (berbahasa Arab dan Jawa). Semarang: Toha Putra.
3.    Abu Muhammad Salih Mustamir al-Hajaini (Kajen), Lubab al-Ma’ani Fi Tarjamah Lujjain al-Dani (berbahasa Arab dan Jawa). Kudus: Menara.
4.    M. Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya, Rembang),
Al-Nur   al-Amani   Fi   Tarjamah   al-Lujjain   al-Dani
 
(berbahasa Arab dan Jawa). Terbitan sendiri.
5.    Asrari Ahmad (Wonosari, Tempuran), Khulashah al- Manaqib li al-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (berbahasa Arab dan Jawa). Surabaya: Istiqamah.
6.    Rd. Muhammad Yahya (Sukamiskin, Bandung), Wawa- can kangjeng Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani R.’A (berbahasa Sunda). Bandung: Sindangdjaja.
7.    ‘Abdallah Shonhaji, Manakib Syeikh Abdulqadir Jailaani Radhiyallahu Anhu (berbahasa Arab dan Indonesia). Semarang: al-Munawir.
 
Catatan akhir:
1.    Saya menggunakan istilah Indonesia dalam tulisan ini bukan dalam pengertian politik, tetapi dalam pengertian geografis- kultural yang lebih luas, yang mencakup juga Malaysia, Thailand Selatan dan Filipina Selatan, yang semuanya mengikuti kultur muslim yang sama. Ketika berbicara tentang “Nusantara”, kata ini juga merujuk kepada wilayah yang lebih luas ini.
2.    Zikir ekstatik tarekat Qadiriyah Kurdi dan latihan kekebalan tubuh dideskripsikan dalam Bruinessen 1992a; 234-240. Karena praktik ini  begitu  berbeda  dari  praktik  tarekat  Qadiriyah di mana pun, saya menduga bahwa ia mempresentasikan kombinasi dari tarekat Qadiriyah dengan tarekat Rifa’iyah, dan mengemukakan bahwa terdapatnya sebuah silsilah yang di dalamnya terdapat baik ‘Abd al-Qadir maupun Ahmad Rifa’i (juga Ahmad Badawi dan Ibrahim Dasuqi) merupakan buktinya (1978;271).
3.    Proses tersebut disketsakan secara tajam, untuk kasus Jawa, dalam Ricklef 1979, studi paling masuk akal mengenai pokok bahasan ini.
4.    D.N. Mackenzie, “Guran”, E.I.²; Minorsky 1943; van Bruinessen 1992a: 109-115.
5.    Ahmad Ates, “Molla Gurani”, Islam Ansiklopedisi; J.R. Walsh, “Gurani, …”, E.I.2; Repp 1986; Yildiz tanpa tahun. Pengarang yang disebut terakhir, karena ingin menyatakan bahwa Molla Gurani berasal dari Turki (sekarang), memberikan alasan, secara tidak meyakinkan bahwa dia mungkin lahir di sebuah desa yang bernama Guran di dekat Diyarbekir. Di seluruh Kurdistan ada beberapa kelompok suku dan desa kecil yang bernama Guran, yang hubungannya dengan kelompok etnis Guran tidak benar-benar jelas.
6.    Johns 1978; bdk. Artikel oleh penulis yang sama “Al-Qushashi” dan “Al-Kuran” dalam Encyclopaedia of Islam.
7.    Hanya satu salinan dari Safinah an-Najah yang tampaknya masih ada sampai sekarang, dalam sebuah majmu’ah yang terdiri dari tujuh risalah yang ditulis Yusuf. Sebuah mikrofilm
 
yang sangat baru dan transkripsi yang tidak memuaskan dari majmu’ah ini terdapat di perpustakaan Royal Institute of Linguistics and Anthropology (KITLV) di Leiden.
8.    Judulnya, sebagaimana yang diberikan oleh Muradi, tidak sepenuhnya bisa dimengerti: Jawabah al-Ghurawiyah ‘an al- Masail al-Jawiyyah al-Jahariyyah. Rinkes menginterpretasikan kata terakhir sebagai “dari [kerajaan Melayu bagian] Johor”; namun nisbah ini biasanya ditulis dengan jauhariyyah.
9.    Informasi lebih jauh tentang koneksi dan hubungan Naqsya- bandiyah Ibrahim dengan berbagai cabang Naqsyabandiyah sezamannya akan ditemukan dalam buku saya (1992b).
10.    Edmonds 1957: 68-79; Tawakkuli 1980: 133-68; Van Bruinessen 1992a: 220-34.
11. Edmons 1957: 68; Tawakkuli 1980: 133-4.
12. Untuk pembahasan yang rinci tentang karier keulamaan Muhammad, dengan nama-nama guru dan judul-judul karyanya, lihat Muradi 1301: IV, 65-6; Mudarris 1983: 493-5. Judul karya yang diterjemahkan adalah al-Janib al-Gharbi fi Hall Musykilat Ibn al-‘Arabi.
13. Friedmann 1971;7-8, 97-101; Rzvi 1983: 339-41.
14.    Lihat Muradi 1301: II, 9; Mudarris 1983: 136; GAL II: 384; S II: 517-8.
15.    Judul-judul dalam lampiran tulisan ini.
16.    Manaqib Sayyid asy-Syuhada Hamzah (GAL II: 384). Hamzah ini menjadi syahid pada tahun 624/1225 dan, karena itu, tidak boleh dikacaukan dengan orang yang senama dengannya yang lebih terkenal. Manaqib ini dijadikan rujukan sebagai sebuah sumber yang otoritatif dari sebuah fatwa ulama-ulama tarekat di Jawa (tentang masalah apakah peringatan hari kematian wali merupakan bid’ah atau tidak): Jam’iyyah Ahl ath-Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdhiyyah, al-Fuyudhat al- Rabbani (Jombang, Jawa Timur 1980): 33.
17.    Tujuh di antaranya diurutkan dalam Bruinessen 1987: 49n. (Lihat juga lampiran tulisan ini). Saya hanya menemukan dua versi yang didasarkan atas karya Yafi’i, dan dua lainnya, dalam
 
bahasa Sunda dan Indonesia, yang didasarkan atas sebuah manaqib yang  ketiga, Tafrih al-Khathir. Yang  terakhir ini juga ditulis oleh seorang Kurdi, ‘Abd al-Qadir Ibn Muhyi ad- Din al-Arbili (Mudarris 1983: 305 dan seterusnya), atau lebih tepatnya diterjemahkan olehnya ke dalam bahasa Arab dari karya aslinya berbahasa Persia yang ditulis oleh Muhammad Shadiq al-Qadiri. Bdk. Drewes & Poerbatjaraka 1938: 45.
18.    Ratib Rafi’i, Perpustakaan Nasional Jakarta, ms A 218. Dua orang guru Banten masih memiliki naskah yang benar-benar identik (fotokopinya ada pada saya). Beberapa nama tidak disebutkan dalam sebuah silsilah di sini, kecuali menyebutkan nama-nama pada arwah yang dihormati yang bagi mereka dibacakan al-Fatihah dalam ratib tersebut, disebutkannya Sultan Muhammad ‘Arif Zain al-‘Asyiqin (yang berkuasa tahun 1753-1773) dan putranya, Abu al-Mafakhir Muhammad ‘Ala ad-Din (1773-1799), menunjukkan bahwa ratib ini, dan barangkali juga debus, mulai dipakai pada paruh kedua abad ke-18. Dua wali lainnya yang merupakan alamat doa di dalam ratib adalah: seorang Safi ad-Din Ahmad ibn ‘Alwan dan Sayyid Abu Bakr ibn ‘Abdallah al-‘Aidarus. Yang terakhir ini adalah seorang sufi terkenal, yang hidup di Aden dan wafat pada tahun 1508. Beberapa keturunannya menjadi ulama dan sufi terkemuka di Gujarat. Nuruddin ar-Raniri merunut afiliasinya dengan tarekat Rifa’iyah, dan Yusuf Makassar merunut silsilah tarekat Qadiriyah-nya, melalui keluarga ini.
19.    Kitab-kitab pengarang tersebut dan para pengarang lainya yang dikaji di Indonesia disurvei dalam Bruinessen 1990c.
20.    Kitab Hawasyi dicetak ulang secara teratur di Indonesia; Mawahib dicetak, dalam empat jilid, di Matba’ah al-‘Amirah asy-Syarafiyyah di Makkah, tanpa tahun. Tentang semua karya dan pengarang yang disebut lihat Bruinessen 1990c. Untuk informasi bio-bibliografis tentang Muhammad ibn Sulaiman, lihat; Muradi 1301: IV, 111-2; Mardukh 1364: 252-3; GAL II: 389; S II: 555; van den Berg 1886: 530. Popularitas kedua kitab karangan al-Kurdi tak pernah pupus di lingkungan tertentu sehingga sebuah koleksi fatwa yang baru-baru diedarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang menetap di Makkah (al-
 
Barr 1409) tiga kali merujuk kepada Kurdi Shughra sebagai sumber rujukan dan sebelas kali kepada Kurdi Kubra, jelas yang dimaksud dengan kedua Kurdi tersebut adalah kitab yang berjudul Hawasyi dan Mawahib.
21.    Namun ‘Abd as-Samad tidak menyebut al-Kurdi sama sekali dalam karyanya sendiri, dan tidak jelas apakah dia pernah kembali (bdk. Quzwain 1985). Al-Kurdi juga tidak disebutkan di antara guru-guru besar orang Melayu sezamannya, Da’ud ibn ‘Abdallah al-Fatani (Abdullah 1987: 29-37).
22.    Syekh Yasin al-Fadani memberikan, dalam kitabnya al-‘Iqbal al-Faraid (1401: 83-4), isnad-nya mengenai kitab Hawasyi al- Madaniyyah: perawi pertama setelah Kurdi sendiri adalah sufi yang terkenal di sini, Muhammad ibn ‘Abd al-Karim as-Samman, kemudian diikuti Syarif ‘Abd al-Majid az-Ziyyadi, kemudian dua orang dari Palembang (‘Aqib ibn Hasan ad-Din dan ‘Abd as-Samad, yang terakhir ini agaknya tidak boleh dikacaukan dengan sufi yang mempunyai nama yang sama, yang hidup dua generasi sebelumnya) dan Nawawi Banten yang sangat terkenal; setelah itu ‘Abd al-Hamid ibn Muhammad ‘Ali al- Qudusi (yang juga pengarang buku mengenai ushul fiqh yang banyak dipakai), Sayyid ‘Ali al-Habsyi (dari Kwitang, Jakarta) dan akhirnya Syekh Yasin sendiri.
23.    Ada sejumlah kajian biografis mengenai Maulana Khalid, misalnya al-Khani 1306; Hourani 1972, al-Mudarris 1979. Karya yang disebutkan pertama juga memberikan informasi tentang khalifah yang ditunjuk oleh Syekh Khalid. Suatu penjelasan sosiologis mengenai penyebaran tarekat Naqsyabandiyaha Khalidiyah yang cepat di Kurdistan diberikan dalam Bruinessen 1992a: 224-234.
24.    Tentang zawiyah di Jabal Abu Qubais dan cepatnya penyebaran tarekat Khalidiyah ke Indonesia, lihat Bruinessen 1990a: 161-9 dan buku saya tentang tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (1992b).
25.    Untuk catatan biografi mengenai Muhammad Amin al-Kurdi, lihat Mudarris 1983: 545-7; Mardukh 1366: 125-6, dan Kata Pengantar dalam edisi Tanwir yang paling banyak dicetak.
 
26.    Visualisasi (tashawwur) guru sebagai sarana untuk menga- dakan ikatan spiritual dengannya dan menerima bimbingan- nya (rabithah bi asy-syaikh) merupakan satu teknik tarekat Naqsyabandiyah yang khas. Biasanya, seseorang akan mem- visualisasikan gurunya sendiri, tetapi untuk beberapa generasi sesudah Maulana Khalid yang karismatik, pengikut spritual- nya akan membangun rabithah secara langsung dengannya. Di antara catatan-catatan yang dibawa oleh orang Indonesia yang pulang dari Makkah adalah beberapa gambaran singkat mengenai penampilan fisik Maulana Khalid al-Kurdi, sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana cara memvisualisasi- kannya.
27.    Demikianlah, misalnya, pendapat Abdurahman Wahid (Ketua PBNU). Kepada tokoh inilah saya pertama kali mengajukan tesis saya tentang pengaruh Kurdi terhadap orang Islam Indonesia. Dia langsung memercayainya; dia sendiri belajar di Baghdad dan dia ingat bahwa kebanyakan temannya pada waktu itu adalah orang-orang Kurdi. Dia mengaitkan hal ini dengan fakta bahwa, sebagai pengikut mazhab Syafi’i, mereka melaksanakan tata cara berwudu, waktu sembahyang, dan lain-lain, yang sama, yang membuat mereka lebih mudah untuk hidup bersama.
28.    Jamil adalah putra dari mufti Baghdad, Muhammad Faidhi al- Zahawi, yang mempunyai hubungan dengan keluarga Baban yang lama berkuasa di wilayah Sulaimaniyyah. Dia memiliki karier yang berhasil sebagai penyair dan penulis “intelektual”. Bio-bibliografi dalam GAL S III: 483-8. Karyanya dicetak ulang oleh pesantren Lirboyo, Kediri, dan juga oleh pesantren Denanyar, Jombang. Satu-satunya penulis baru lain dengan corak yang sama dan dikenal di Indonesia adalah Yusuf Nabhani dari Lebanon, yang karyanya Sa’adah al-Darain dan Jami’ Karamat al-Auliya’ sangat dikenal di lingkungan tertentu. Bagian dari kitab yang terakhir ini juga dicetak ulang di Denanyar.
29.    Jamal ad-Din Abu ‘Amr ‘Utsman …ibn al-Hajib lahir dari keluarga Kurdi aristokrat di Mesir bagian utara pada tahun
 
1174, belajar di Kairo dan Damaskus, dan meninggal di Alexandria. Lihat GAL I: 303; S I: 531 dan Ibrahim 1366.
30.    Saya pertama menelusuri jejak Abu Bakr Efendi dengan sebuah surat dari seorang buyutnya, Mr. Ismat Efendi, yang ingin mengetahui apakah saya dapat membantunya menemukan informasi lebih lanjut tentang nenek moyangnya. Abu Bakr Efendi adalah seorang yang terkenal dalam sejarah masyarakat Melayu di Tanjung Harapan (Cape Town) dan sudah dijadikan pokok bahasan studi ilmiah oleh Brandel-Syrier ban Selms dan Kahler.
31.    Bayan al-Din ditulis dalam dua bahasa: setiap kalimat Arab segera diikuti dengan terjemahan bahasa Afrikaansnya. Sebuah terjemahannya dalam bahasa Inggris diterbitkan oleh Brandel- Syrier pada 1960, teks berbahasa Afrikaansnya belakangan disunting dalam transkripsi huruf Latin dan dianalisis oleh Van Selms (1979).
32.    Laporan tentang masyarakat ini, serta sejarah dan kehidupan budayanya diberikan oleh du Plessis dan Luckhoff (1953).
33.    Sebuah eksemplar dari karya langka ini terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden. Pendahuluan berbahasa Turki dan Arabnya diterjemahkan dalam Brander-Syrier 1960: XLV-XLIV, tetapi terjemahan ini mengandung beberapa kesalahan serius.
34.    Foto tersebut dan sejumlah dokumen lain tentang  Abu Bakr Effendi sekarang bisa disimak pada situs khusus mengenainya yang disusun oleh Sdr. Ismat Effendi, http:// www.abubakreffendi.net/. Silsilah di bawah foto ini praktis identik dengan pohon keluarga yang dilihat dan diringkaskan oleh Van Selms (1960: VI-VII).
35.    Lengkapnya: al-Bahr al-Muhaqqaq wa al-Hibr al-Mudaqqiq Syaikh al-‘Ilm wa Mufti al-Arba’ al-A’imma Ma’mur al- Daulah al-‘Utsmaniyyah ila Janub Afriqa li Nasyr al-‘Ulum ad-Diniyyah wa al-Ma’arif al-Rabbaniyyah fi Sanah 1278 Maulana Abu Bakr Efendi al-Khusynawi ibn Mulla.‘Umar Big ibn Maulana Salahuddin (ibn) Maulana Amir Sulaiman ibn Maulana Amir Muhammad ibn Maulana ‘Adhud al-Din
 
‘Abdullah ibn Zaid ibn Maulana al-Hibr al-Kamil Muqtada al- Amajid wa al-Amatsil dzi al-Janahin ‘Izz al-Din Muhammad qaddasa sirrahu ibn Amir ‘Abdullah ibn Zain ad-Din (ibn) Mulla Ahmad ibn ‘Abd al-Haqq Sulaiman al-Khusynawi min nasl Maulana Abi al-Muhsin Mulla ‘Utsman Hamid ibn Abi Nasr al-Amir Sulaiman al-Ghazi al-Qurasyi al-Amjadi.
36.    Kähler 1961: 102. Buku berbahasa Arab yang disebarkan oleh Madrasah Abu Bakr diberi stempel yang menyebutkan namanya sebagai Abu Bakr Efendi al-Amjadi.
 
3. GLOBAL DAN LOKAL DALAM ISLAM INDONESIA

Bagi pengamat asing sekaligus bagi banyak orang Indonesia sendiri, Islam Indonesia selalu terlihat sangat berbeda dengan Islam di mayoritas tempat lain, terutama dengan Islam seperti yang dianut dan diamalkan di semenanjung Arab. Dari Raffles hingga Van Leur, para pegawai sipil kolonial, misionaris, dan sarjana mengklaim bahwa Islam, terutama di Jawa, tak lebih dari selapis tipis selubung yang di baliknya dapat dilihat dengan mudah suatu pandangan dunia timur yang berbeda dalam berbagai aspek pentingnya dengan orientasi hukum Islam serta transendentalisme Islam Timur Tengah. Sikap religius orang Indonesia kerap dikatakan lebih dipengaruhi oleh agama-agama India (Hindu, Buddha) yang sudah lama ada di Nusantara dan bahkan agama-agama lokal lain yang lebih tua dengan pemujaan mereka terhadap leluhur serta penghormatan terhadap dewa-dewa bumi dan sekian banyak roh.
Ada dua kategori penduduk Nusantara yang dilihat sebagai pengecualian terhadap kelaziman sinkretis ini dan sebagai ancaman: para pedagang dan guru agama Arab (terutama yang mengaku keturunan Nabi Muhammad, para sayid) serta orang- orang Indonesia yang telah pergi ke Makkah (para haji), yang sebagian besar mengubah gaya hidup, tindak-tanduk di depan umum, serta sikap politik mereka setelah pulang ke Indonesia. Kedua kategori tersebut mewakili, atau dipercayai mewakili, serbuan Islam Timur Tengah ke Indonesia. Berbagai ahli telah menyatakan bahwa para haji juga tetap merupakan unsur asing dalam masyarakat Indonesia. Bahkan pengamat yang jeli dan
 
relatif simpatik semacam C. Snouck Hurgronje pada akhir abad ke-19 menyampaikan bahwa ketika orang tua ingin menakut- nakuti anak yang bandel mereka mengancam akan memanggil haji (satu-satunya jenis manusia yang dianggap lebih menakutkan ketimbang haji adalah tentara Eropa.)1
Di sini secara berdampingan terdapat dua bentuk Islam Indonesia yang bertolak belakang di mata orang luar (Eropa) dan, sudah jelas, di mata banyak umat muslim Indonesia pula: Islam lokal dan Islam global. Haji dan sayid paling jelas mewakili kekuatan globalisasi yang tampaknya memecah  pola  pikir, cita rasa dan kebiasaan, serta struktur lokal. Islam lokal, dalam pandangan banyak pengamat, tidaklah benar-benar Islami, tetapi hanya terislamisasi secara dangkal. Islam “global” pada akhir abad ke-19 bukan saja dianggap sebagai bentuk yang kurang ramah dari agama ini, melainkan juga sebagai ancaman karena wataknya yang transnasional. Pada masa-masa itu, Pan-Islam adalah momok yang dipandang sangat serius oleh sebagian besar pejabat kolonial.

“Hindu” atau Muslim lokal?
Pada pertengahan abad ke-20, para ilmuwan sosial Amerika membuat dikotomi pola budaya yang kini menjadi klasik, santri dan abangan, yang dalam skema Geertz dilengkapi dengan varian elit dari golongan terakhir, priayi.2 Mengikuti informan muslimnya yang reformis, jelas saja Geertz menggambarkan banyak praktik abangan (dan priyayi) sebagai tidak Islami dan kadang menyebutnya sebagai Hindu. Pemujaan pada nenek moyang dan kepercayaan terhadap roh dengan selamatan sebagai bentuk ritual utama, klenik serta pelbagai bentuk mistisisme yang menekankan penyatuan antara Tuhan dan manusia, laku asketis di tempat-tempat terpencil: semua ini terkesan asing bagi Islam dan lebih dekat dengan Hinduisme atau ‘spiritisme”.
Kepercayaan dan ritual abangan, sudah pasti sangat tidak sejalan dengan Islam versi kitab dan ulama, dan terutama dengan buku pelajaran Islam baku. Namun demikian, hanya segelintir pengamat Islam Indonesia yang mengecapnya sangat berbeda dengan Islam Arab pernah tinggal di negara muslim lain. Yang
 
mereka bandingkan adalah praktik nyata di satu sisi dan abstraksi yang tak memiliki basis sosial di sisi yang lain. Faktanya, banyak praktik khas Islam abangan juga ditemukan pada bagian-bagian lain dunia muslim.3 Ada gunanya membandingkan deskripsi agama abangan Geertz dengan observasi terhadap kehidupan sehari-hari petani Mesir di awal abad ke-19 yang dilakukan dalam kajian klasik lain, Manners and customs of the modern Egyptians [Adat istiadat orang Mesir masa kini] karya Lane. Sebagian praktik Jawa yang tampak sangat tidak Islami sepertinya juga dikenal oleh orang Mesir.
Sebagai contoh, ambillah tipe ramalan berikut ini yang dipraktikkan oleh sementara dukun di Jawa setelah pencurian atau perampokan untuk menentukan identitas pelaku kejahatan. Kuku jempol seorang gadis muda, yang bertindak sebagai asisten si dukun, dihitamkan dengan tinta dan si gadis harus memandangi kuku itu sampai dia melihat roman muka seseorang. Ini dipercaya sebagai si pelaku kejahatan, dan konon orang yang ditangkap berdasarkan deskripsi si gadis biasanya mengakui kejahatan mereka. Praktik ini akan dipandang oleh banyak Indonesianis sebagai khas Indonesia, tetapi praktik yang sama juga diuraikan dalam buku Lane.
Sebagian praktik sihir yang oleh muslim reformis dikecam sebagai sesuatu yang tidak Islami malah jelas berasal dari wilayah pusat muslim. Sebagian besar isi ikhtisar populer sihir dan ramalan yang dikenal sebagai primbon atau (dalam bentuk yang lebih terislamkan) buku mujarrabat, diambil langsung dari karya-karya penulis muslim Afrika Utara abad ke-12 hingga 13, Syekh Ahmad al-Buni.4
Dengan demikian, banyak praktik dan kepercayaan lokal tampak sebagai bagian dari suatu kompleks budaya global yang nyaris hanya bisa disebut muslim atau “Islamicate”.5 Banyak muslim Indonesia masa kini menolak mengakui semua itu sebagai Islami karena bertentangan dengan konsepsi modern tentang Islam yang universal. Namun dalam banyak kasus, kepercayaan dan praktik tersebut datang ke Indonesia sebagai bagian dari peradaban Islam, meskipun mungkin tidak termasuk inti agama Islam. Kepercayaan dan praktik ini mewakili gelombang awal
 
Islamisasi. Tidaklah tepat bicara mengenai Islamisasi seolah ia merupakan peristiwa satu kali jadi; Islamisasi adalah suatu proses yang, untuk Indonesia, dimulai sekitar abad ke-13 hingga ke-15 dan belum selesai (barangkali tak akan pernah selesai). Hingga relatif baru-baru ini, perjalanan ke Makkah untuk menunaikan Haji memainkan peran penting dalam proses tersebut. Islam pertama kali dibawa ke Indonesia oleh muslim yang berasal dari berbagai wilayah dan suku (sepertinya seluruh wilayah pesisir dari Arab Selatan hingga Cina selatan terwakili). Namun, begitu cukup banyak orang Indonesia mulai berhaji dan ngaji kitab di Makkah, para santri dan haji yang pulanglah yang terutama mengarahkan proses Islamisasi.

Haji dan Perburuan Kekuatan Spiritual
Daya tarik Makkah bagi orang Indonesia itu sendiri barangkali merupakan bagian dari praktik dan sikap keberagamaan Indonesia yang tradisional dan pra Islam, khususnya pencarian kekuatan spiritual melalui perjalanan ke tempat-tempat suci. Lebih banyak orang Indonesia yang berhaji ketimbang orang-orang lain yang tinggal lebih dekat dengan Makkah.
Sangat sedikit sumber  autentik  mengenai  sejarah  Islam di Indonesia sebelum abad ke-17, tetapi sejak tahun 1600 kita memiliki dokumentasi tentang orang-orang berkedudukan tinggi yang naik haji, tinggal di Makkah beberapa tahun untuk belajar, dan setelah mereka pulang meraih posisi berpengaruh di kerajaan Melayu dan Jawa, sebagai hakim dan anggota dewan penasihat bagi penguasa. Demikianlah yang terjadi pada misalnya Abdurrauf Singkel di Aceh, Yusuf Makassar di Banten dan agak belakangan, Arsyad al-Banjari di Banjar.
Pada abad ke-17 dan 18, para haji tidak memainkan peran oposisi terhadap penguasa lokal, sebaliknya, mereka umumnya dihormati oleh para penguasa setempat. Mereka juga sangat dihargai dan kadang ditakuti karena kekuatan magis yang dihubungkan dengan mereka. Salah satu tarikh istana Jawa, Babad Tanah Jawi, mencatat bahwa pada masa para wali sanga yang konon telah mengislamkan Jawa, orang Jawa mencari sumber-
 
sumber kesaktian dan kadigdayan, kekuatan supernatural dalam seni beladiri. Islam tampak sekadar sebagai salah satu sumber kekuatan, dan Makkah sebagai wilayah paling suci tempat latihan spiritual yang tepat mungkin menghasilkan pencapaian kekuatan tambahan yang penting. Nyatanya, mungkin inilah alasan mengapa kita mendapati begitu banyak tokoh dari lingkaran istana menunaikan haji.
Bahkan, ada indikasi bahwa orang-orang ini menganggap sebagian pengetahuan yang mereka peroleh bukan sesuatu yang boleh dibocorkan  kepada khalayak awam.  Melalui kelebihan dalam kebatinan dan kesaktian, para penguasa melegitimasi diri dan mempertahankan kedudukan mereka. Ilmu yang efektif secara magis (atau ‘ngelmu’) itu, terutama terdiri dari latihan batin dan amalan tarekat. Masing-masing tarekat memiliki amalan khusus sendiri-sendiri—zikir dan wirid, dan berbagai cara pernapasan, posisi tubuh, meditasi—yang cukup mirip jenis amalan yang telah dikenal orang Jawa. Berbagai tarekat memiliki sejumlah pengikut di kalangan elit Indonesia sejak setidaknya awal abad ke-17, tetapi sejauh dapat dibuktikan, baru pada paruh kedua abad ke-18 kelompok tarekat seperti Qadiriyah dan Rifa’iyah mulai mendapat pengikut luas di kalangan masyarakat kelas bawah. Hingga saat itu, ilmu-ilmu tarekat tampaknya dimonopoli kalangan istana.6
Bagi banyak orang Indonesia, Islam pada mulanya tentu terlihat sebagai satu lagi sumber kekuatan, di samping sumber-sumber yang sudah ada, bukan menggantikan sumber-sumber tersebut.7 Unsur-unsur budaya Islam atau muslim perlahan-lahan menyatu ke dalam praktik Jawa. Di antara berbagai sesajen makanan untuk leluhur dan arwah lain yang disinggung-singgung pada akhir abad ke-19, ada satu yang dinamai ngrasulake, kata gabungan Jawa yang didasarkan pada kata Bahasa Arab rasul atau nabi.8 Serupa dengan itu, kita dapati beragam teknik yang diasosiasikan dengan satu atau lain tarekat memasuki praktik pemujaan dan klenik populer, secara nyaris tak kentara mengislamisasi praktik- praktik lokal yang sudah ada. Sebagian teknik mistik ini sendiri tentu dipinjam dari tradisi agama lain dan mungkin diterima dengan mudah oleh umat Islam Indonesia karena sudah dikenal. Namun demikian, apa pun asal-muasalnya, teknik-teknik tersebut
 
dimasukkan ke dalam suatu sistem makna muslim dan oleh karena itu tak bisa disebut non atau pra-Islam.
Salah satu sekte mistis di Jawa mengajarkan sebentuk meditasi yang didasarkan pada pencerapan cahaya warna-warni yang sangat mirip dengan teknik meditasi Tantrik yang dikenal pada masa silam Jawa yang Hindu-Buddhis. Namun seperti yang pernah saya coba tunjukkan di tempat lain, teknik ini mungkin malah menunjukkan sisa serbuan kelompok sufi Kubrawiyah, yang tampaknya dikenal sebagian orang Jawa di Makkah pada abad ke-16.9
Sebuah praktik yang dikaitkan dengan kelompok tarekat Rifaiyah, yakni menusuk tubuh dengan benda logam tajam (dabus) untuk menunjukkan kepasrahan total kepada Tuhan (serta menunjukkan perlindungan Tuhan, yang menyebabkan tak ada luka yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut), diperkenalkan ke banyak wilayah di Nusantara. Praktik itu digabungkan dengan teknik-teknik kekebalan yang sudah terlebih dulu ada di Indonesia dan dengan demikian mengalami sedikit perubahan: dalam dabus, logam penusuk dan pedang tidak menembus kulit karena kekuatan pelindung doa-doa yang dirapalkan. Semua doa ini jelas-jelas Islami.10

Dua Dimensi Reformasi Islam di Indonesia
Tiap generasi haji yang kembali dari Makkah cenderung menolak bentuk Islam lokal yang ada di kampung halaman mereka dan memilih Islam yang dianggap “lebih murni” yang mereka jumpai dan pelajari di Arab. Bahkan praktik dan kepercayaan tertentu yang juga berasal dari jantung wilayah Islam pada masa yang lebih awal dianggap sebagai penyimpangan yang harus diperbarui. Reformasi Islam merupakan proses yang berlangsung tanpa henti selama berabad-abad, dan setiap generasi baru orang yang pulang dari Hijaz memunculkan gelombang baru reformasi.
Demi kepentingan analisis, kita bisa membedakan dua unsur terpisah dalam reformasi (meskipun dalam kehidupan nyata kedua unsur itu mungkin sulit dipisahkan satu sama lain). Unsur yang paling penting adalah upaya membuat praktik dan
 
kepercayaan muslim Indonesia lebih sejalan dengan praktik dan kepercayaan muslim Arab, terutama yang berada di kota-kota suci, yang agamanya diasumsikan lebih murni dan lebih autentik. Pertarungan melawan ritual, kepercayaan, dan nilai-nilai lokal merupakan keprihatinan utama kaum reformis.
Unsur yang kedua, yang arti pentingnya cenderung dibesar- besarkan  oleh  pengamat  luar,  adalah  turunan  dari  berbagai gerakan reformis dan revivalis di Timur Tengah, dari Wahabiyah ke Salafiyah hingga gerakan yang lebih belakangan semacam Ikhwanul Muslimin dan bahkan revolusi Iran. Gagasan Islam yang dijumpai tiap generasi haji dan pelajar di Kota-kota Suci Islam tidaklah sama. Perdebatan yang terjadi di Makkah atau di tempat lain di dunia Islam berpengaruh pada Indonesia dan ditiru di sana.
Namun demikian, jelas bahwa para haji yang pulang itu bukan melulu, atau bahkan mayoritas, agen pembaru puritan yang berorientasi syariat di Indonesia. Segala macam perkembangan dalam dunia muslim diperantarai oleh saluran yang sama. Demikianlah kelompok tarekat khas India, Shattariyah, yang berkembang di Asia Selatan pada abad ke-16 dan 17 dan dikenal atas kemudahannya menerima praktik lokal, mencapai Indonesia melalui Madinah. Sebagian haji yang kembali dari Makkah pada paruh pertama abad ke-20 adalah pembaru yang berorientasi syariat, bertekad membersihkan Islam Indonesia dari praktik- praktik “asing”; namun haji yang lain sebagian besar hanya membawa mitos-mitos magis dari Arab. Kedua tipe ini hidup berdampingan.
Indonesia bukanlah penerima pasif dalam proses ini— pengaruh-pengaruh baru dimasukkan ke dalam pola budaya dan keagamaan yang telah ada dan dengan demikian termodifikasi hingga taraf tertentu—tetapi Indonesia adalah penerima, bukan pelaku aktif dalam pertukaran global ini. Hingga jauh di abad ke-20, suatu model pusat-pinggiran dengan Makkah dan Madinah sebagai pusat dan Indonesia sebagai pinggiran cukup menggambarkan hubungan Indonesia dengan dunia Islam. Wilayah-wilayah pinggiran lain menghasilkan pengaruh global yang, seperti telah disampaikan, juga mencapai Indonesia melalui dua kota suci tersebut. Islam Indonesia memunculkan bentuk budayanya sendiri
 
yang khas tetapi ini paling-paling tersebar di wilayah Indonesia sendiri dan barangkali tak pernah memiliki dampak di dunia Islam yang lebih luas. Hanya dalam kasus masyarakat Arab yang tinggal di Nusantara kita bisa bicara, bila memang dikehendaki, mengenai pengaruh Indonesia pada Islam non-Indonesia.
Pedagang Arab, yang mayoritas berasal dari Hadramaut, telah datang ke Nusantara selama berabad-abad. Banyak di antara mereka juga bertindak sebagai guru agama, menjadi sumber utama lain dari Islam “global.” Para sayid di antara mereka, khususnya, memiliki pengaruh besar pada sikap beribadah muslim Indonesia, yang sebagian diarahkan pada diri mereka sendiri sebagai ahlul bait, keturunan Nabi. Hidup dan bergaul dekat dengan muslim Indonesia serta berada di jantung kehidupan keagamaan mereka, orang-orang Arab yang tinggal di Indonesia mau tak mau terpengaruh oleh sikap keagamaan umat Islam di Indonesia (meskipun sekadar karena mereka harus menekankan aspek- aspek agama yang paling menarik bagi orang Indonesia, guna membuat orang Indonesia terkesan).

Kedudukan Syariat dalam Islam Indonesia dan Reaksi-reaksi Anti Syariat
Berlawanan dengan yang kerap diduga, bukan hanya mistisisme yang datang ke Indonesia pada tahap awal Islamisasi. Di antara manuskrip paling tua dari Indonesia yang masih ada, yang dibawa pulang oleh kapal dagang Eropa sekitar tahun 1600, kita temukan beberapa karya fikih dalam Bahasa Jawa, yang menunjukkan bahwa pada masa awal itu, hukum (syariat) disikapi secara serius, dipelajari dan diterapkan setidaknya di sebagian lingkungan masyarakat setempat. Penulis muslim Indonesia termasyhur abad ke-17, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Sinkili (al-Fansuri) selama ini lebih dikaji sebagai mistikus tetapi mereka juga menulis karya fikih, barangkali demi memenuhi kebutuhan praktis yang lebih nyata. Berbagai kerajaan Jawa/Melayu memiliki mufti, kadi, dan pengadilan hukum yang kebanyakan menerapkan syariat di samping, dan biasanya selaras dengan, peraturan adat serta ketetapan penguasa.
 
Namun demikian, pada abad ke-19, situasi berubah: pemerin- tahan kolonial telah (atau dalam proses menuju) diberlakukan di banyak belahan Nusantara, dan banyak kerajaan lokal kehilangan kemerdekaan. Saat itu kita melihat munculnya tipe pemimpin keagamaan yang sepertinya baru, bukan di istana, melainkan di pinggiran dan kerap bertindak atau berbicara dalam posisi berseberangan dengan istana serta Kompeni. Inilah periode ketika para haji terlihat sebagai unsur yang radikal dan asing dalam masyarakat kolonial, pemberontak yang punya kemampuan untuk, atau sudah benar-benar, mendelegitimasi pemerintahan kolonial serta hierarki sosial masyarakat setempat.
Dalam kurun waktu inilah untuk pertama kalinya pula kita menjumpai reaksi memusuhi terhadap reformasi Islam di kalangan tertentu. Para haji bukan lagi sosok yang dihormati semua orang, melainkan perlahan-lahan berubah menjadi momok yang bisa digunakan orang tua untuk mengancam anak-anaknya. Tanggapan kalangan muslim Jawa “sinkretis” terhadap para calon pembaru akhir abad ke-19 ini merentang dari yang bersifat apologetis hingga menolak habis-habisan Islam seperti itu.
Kisah Aji Saka seperti terekam di Jawa Timur pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bisa dibaca sebagai tanggapan apologetis, bantahan atas klaim para haji dan penegasan bahwa bentuk Islam yang terjawakan, yang masih dianut oleh sebagian besar orang Jawa, jauh lebih unggul ketimbang ragam Arabnya. Aji Saka, pahlawan budaya yang menurut orang Jawa merupakan pencipta budaya mereka, dalam versi terakhir mitos ini digambarkan sebagai penimba ilmu gaib yang pertama-tama menyerap seluruh Pengetahuan dewa bumi Jawa Antaboga dan kemudian pergi ke Makkah untuk menyempurnakan pemahamannya di bawah bimbingan Nabi Muhammad. Di sana dia bergaul dengan Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Ketika bertemu malaikat ‘Azazil (salah satu nama malaikat yang dilaknat, Iblis), dia memaksa si malaikat untuk mengajarkan keterampilan sihirnya yang istimewa. Tatkala Nabi Muhammad melihat bahwa Aji Saka telah mempelajari segala yang bisa dipelajari, dia memberi Aji Saka kropak dan pangot (buku yang terbuat dari daun kelapa serta sebilah pisau untuk menulis di atas daun kelapa, simbol kitab suci Jawa) sebagai
 
hadiah perpisahan dan menyuruh Aji Saka pulang ke Jawa guna menyebarkan pengetahuannya. Tampaknya mitos ini menegaskan bahwa kebudayaan Jawa sudah mencakup seluruh ajaran Nabi Muhammad di samping ajaran guru-guru hebat yang lain, jadi mengapa harus ditinggalkan demi apa yang menurut klaim para haji telah mereka pelajari dari orang Arab yang berasal dari masa yang lebih belakangan?11
Sikap yang lebih keras terhadap para haji dan terhadap Islam yang semacam itu ditemukan dalam teks kesusastraan Jawa paruh kedua abad ke-19, Serat Dermagandul dan Suluk Gatoloco. Tidak seperti karya tulis Jawa yang lebih awal, yang menampilkan Islam sebagai bagian terpadu peradaban Jawa, karya-karya ini menyerang Islam sebagai sesuatu yang asing dan jauh lebih rendah ketimbang Pengetahuan Jawa (ngelmu).12 Teks-teks ini tampaknya mewakili respons sebagian elite setempat yang merasa terancam: di satu sisi terancam oleh pemerintahan kolonial yang telah merebut kekuasaan mereka meskipun mereka telah menjadi sekutunya, dan di sisi lain terancam oleh para pengajar muslim yang tak lagi menerima begitu saja legitimasi posisi mereka. Legitimasi ini pada akhirnya hanya bisa dipertahankan dengan merujuk pada tatanan sosial tradisional yang dikaitkan dengan kerajaan pra-Islam di Nusantara, terutama Majapahit yang paling terkenal.
Pada awal abad ke-20, kalangan elite Jawa yang menjalin hubungan dengan Freemasonry dan Theosophy—hanya inilah organisasi yang didirikan orang Eropa yang menerima orang Indonesia serta Cina sebagai anggota yang setara—mulai mencari kearifan kuno pada masa lalu pra-Islam. Administrator dan cendekiawan Eropa yang menaruh simpati, yang tergila- gila pada peradaban timur (dan kerap kali memiliki sikap yang sangat negatif terhadap Islam), mendorong nostalgia terhadap era keemasan masa lalu serta kerinduan akan kebangkitan nilai-nilai spiritual lokal ini. Peramal dan cenayang lokal, yang memang selalu ada, mendapat derajat kehormatan sosial dan intelektual lebih tinggi, sebagai perwakilan tradisi spiritual yang hidup. Pada 1930-an, beberapa paranormal ini mengorganisasi para pengikut mereka menjadi sangat mirip dengan kelompok tarekat, yang memiliki ritual standar serta sejenis baiat. Inilah gerakan kebatinan
 
(mistisisme Jawa) yang pertama, respons lokal paling formal terhadap Islamisasi.
Pada dekade-dekade awal kemerdekaan Indonesia, gerakan kebatinan berjuang meraih pengakuan resmi sebagai sistem keagamaan dan filosofi yang setara dengan agama-agama yang diakui secara resmi (Islam, Kristen Katolik dan Protestan, Hindu, serta Buddha). Para pemimpin muslim menentang keras upaya ini, yang mereka anggap sebagai upaya menghancurkan Islam (pembaru) dan mengokohkan praktik syirik serta bidah lokal.13

Adat versus Islam
Di banyak wilayah di Nusantara, termasuk yang telah lama menjadi muslim, bukan Hukum Islam yang abstraklah yang menentukan dalam segala masalah terkait pernikahan, perceraian, warisan, dan transaksi ekonomi, melainkan adat. Orang pertama yang menaruh perhatian pada hal ini adalah Snouck Hurgronje yang, berdasarkan pengamatan tadi, mendesak pemerintah kolonial Belanda agar melakukan perubahan terhadap praktik hukum. Saat kasus-kasus pengadilan yang melibatkan muslim Indonesia umumnya diadili berdasarkan hukum Islam (mazhab Syafii), Snouck menganjurkan supaya hukum adat lebih diutamakan, dan syariat hanya diterapkan ketika, dan sejauh, ia telah diterima dan dimasukkan dalam kebiasaan lokal (ini lantas dikenal sebagai ‘teori resepsi’).
Hal ini merupakan awal dari upaya sistematis pemerintah Belanda untuk menyusun kitab hukum adat di setiap wilayah budaya, demi tujuan praktis di pengadilan. Proses kodifikasi ini mengubah adat menjadi sesuatu yang, dalam pandangan saya, tidak pernah ada sebelumnya: sebuah sistem yang tetap dan kaku alih-alih praktik yang cair, bisa berubah, dan bisa dinegosiasikan. Mengingat umat Islam setempat jarang menyadari pertentangan antara adat dan Islam, kodifikasi tersebut membuat adat menjadi sebuah sistem yang bersaing dengan syariat, dan lebih dianakemaskan oleh Belanda.
Hasilnya adalah ketidakpuasan abadi kalangan muslim taat terhadap hukum adat dan hak-hak istimewanya, yang dianggap
 
sebagai kebijakan Belanda untuk sengaja memperlemah Islam, sebuah kebijakan yang diteruskan oleh pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan. Adat sebagaimana dikodifikasi oleh para ilmuwan Belanda kerap kali terlihat mencerminkan kepentingan penguasa tradisional. Di beberapa wilayah terjadi konflik adat dan Islam yang tampaknya sesungguhnya dilandasi konflik sosio- ekonomi di antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Namun dalam praktiknya, adat dan syariat sering kali hidup berdampingan tanpa konflik, dan banyak umat Islam Indonesia percaya bahwa adat mereka sejalan dengan syariat.
Perbedaan paling mencolok antara dua sistem legal dan moral tersebut adalah mengenai posisi perempuan, adat umumnya lebih memihak perempuan ketimbang aturan syariat. Paling jelas pada kasus Minangkabau (Sumatra Barat), salah satu suku yang memiliki sistem waris matrilineal, namun juga terjadi di tempat lain di Nusantara, para perempuan secara tradisional memainkan peran lebih penting ketimbang yang diperbolehkan oleh teks ajaran Islam. Tidaklah mengejutkan jika khususnya di Sumatra Barat kebiasaan lokal terus mendapat serangan dari kaum muslim setempat yang telah belajar di Arab dan lantas menganggap adat lokal tidak sesuai dengan hukum Islam.14
Keliru jika mengasumsikan bahwa adat mewakili kebiasaan pra Islam atau non Islam. Kendati banyak istiadat dipercaya berasal dari leluhur jauh, dan dengan demikian secara tersirat non Islam, dampak proses Islamisasi pada adat—yang saya yakin sebelum dikodifikasi merupakan sistem norma dan aturan yang bersifat cair, bisa diadaptasi, dan jelas terus berubah—tidak bisa diremehkan. Penting untuk dicatat bahwa bahkan kata adat berasal dari Bahasa Arab dan istilah itu juga digunakan di tempat lain di Dunia Islam untuk mengacu pada kebiasaan yang tidak mempunyai legitimasi Islam secara tersurat. Adat (dulu dan kini) adalah bagian terpadu kebudayaan Islam Nusantara (islamicate), bukan benteng pertahanan melawan Islamisasi. Sebagaimana disampaikan dalam bab sebelumnya, kontak antara jantung Islam di Arab tidak hanya berujung pada penerimaan unsur-unsur “skripturalis” Islam dalam kebudayaan Islam Indonesia namun juga penerimaan berbagai adat Arab dalam jumlah cukup besar.
 
Ideologi negara Pancasila pada tataran tertentu adalah sebentuk adat dalam skala nasional, dipadukan dengan seperang- kat kepercayaan kebatinan yang dikembangkan menjadi ideologi. Seperti adat, Pancasila pada dasarnya tidak bertentangan dengan Islam, dan sejumlah unsur di dalamnya bahkan memiliki akar Islam. Pada berbagai kesempatan yang berbeda dalam sejarah Republik ini, kaum muslim taat bertikai dengan pemerintah mengenai penafsiran dan penerapan Pancasila serta legitimasi kebatinan. Seperti adat, Pancasila pada dasarnya bersifat non-universal, di luar klaim yang kadang dilontarkan orang-orang dekat Suharto bahwa pancasila layak disebarkan sebagai teladan bagi seluruh dunia.

Santri dan Abangan: pada dasarnya bertentangan?
Hubungan antara santri dan abangan tidak selalu sepanas pada dekade 1950-an dan 1960-an. Bahkan, timbul pertanyaan apakah keberadaan tiga pola santri, abangan, dan priayi bukan semata-mata merupakan artefak pergulatan politik antarpartai Islam (Masyumi, NU), PKI, dan PNI pada tahun-tahun tersebut. Beberapa dekade sebelumnya, gerakan politik massa pertama di Hindia Belanda, Sarekat Islam, menggerakkan massa dari kalangan abangan maupun santri.
Polarisasi pada tahun 1960-an berujung pada pembantaian politik massal pada 1965-1966. Dua dekade berikutnya terjadilah islamisasi luar biasa di kalangan muslim (abangan dan priayi), suatu proses yang kadang oleh orang Indonesia disebut sebagai “santrinisasi”. Salah satu faktor penyumbang pada proses ini adalah situasi politik. Ketakutan dituduh sebagai penganut ateisme dan dengan demikian menganut komunisme membuat banyak kaum abangan masuk agama Kristen atau Hindu dan pada akhirnya, dalam jumlah yang lebih besar, Islam. Meski pada mulanya barangkali hanya untuk formalitas, selang beberapa waktu kemudian perpindahan tersebut berujung pada perubahan sikap keagamaan secara menyeluruh; bahkan para tahanan politik kiri berubah menjadi muslim yang taat.
 
Namun, ada faktor lain yang menimbulkan meredupnya praktik-praktik abangan dan gerakan kebatinan serta berkembang- nya Islam skripturalis. Salah satu yang paling penting adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia selama tahun- tahun tersebut. Masyarakat yang sebelumnya relatif tertutup menjadi terbuka, mobilitas meningkat, banyak orang berpindah ke kota (meski sering kali hanya untuk sementara). Negeri ini menjadi terbuka pada modal asing dan pariwisata serta pengaruh- pengaruh budaya yang kebanyakan berasal dari Barat, meski tidak semua. Pendidikan umum membuka wawasan masyarakat dan membuka banyak akses pada teks tertulis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Salah satu dampaknya adalah sekularisasi, namun pada saat yang sama, perkembangan ini juga memperkuat Islam skripturalis. Sebagai muslim, orang bisa merasakan dirinya menjadi bagian peradaban urban modern dengan cara yang tidak pernah bisa dirasakan kaum abangan.

Orde  Baru  Indonesia,  Globalisasi  dan  Keindonesiaan  yang Islami
Di bawah pemerintahan Orde Baru yang dilahirkan oleh Jenderal Suharto dan para penasihat dekatnya, berakhirlah kondisi Indonesia yang relatif terisolasi dari Barat dalam hal budaya dan ekonomi. Investasi-investasi besar bantuan asing dalam hal infrastruktur (sekolah, jalan, dan telekomunikasi) di bawah pengawasan Bank Dunia dan IMF melahirkan pertumbuhan ekonomi dan mengintegrasikan kuat-kuat perekonomian Indonesia ke dalam sistem dunia kapitalistis. Negeri ini juga menjadi semakin terbuka pada pengaruh budaya asing dibanding sebelumnya karena semakin meningkatnya perjalanan ke luar negeri, studi ke luar negeri, kehadiran komunitas ekspatriat, dan tentu saja radio dan televisi. Seperti di belahan dunia lain, proses globalisasi pada permukaannya mengambil bentuk Westernisasi atau, lebih tepatnya, Amerikanisasi dan bahkan sebagian besar kelas menengah yang lahir pada periode ini secara sadar menganut apa yang mereka anggap sebagai gaya hidup Barat. Namun demikian, pada kenyataannya arus budaya jauh lebih kompleks daripada itu;
 
Jepang, Singapura, India, dan negara-negara kaya baru di Teluk Arab memberi pengaruh lebih besar pada perekonomian dan budaya Indonesia ketimbang yang terlihat secara sepintas lalu.
Islamisasi yang terus berlangsung merupakan bagian dari proses globalisasi yang kompleks ini. Pada kurun waktu ini, pengaruh Islam tidak hanya menjangkau Indonesia dari satu pusat sebagaimana yang telah lama berlangsung. Selain Makkah (tempat ajaran tradisionalis terancam hidupnya di bawah penguasa Wahabi), Kairo sejak awal abad ke-20 menjadi sumber pengaruh yang besar, semakin banyak orang Indonesia belajar di al-Azhar atau universitas lainnya di sana. Mereka yang belajar ke Kairo khususnya adalah orang-orang berkecenderungan pembaru yang tertarik dengan kemasyhuran Muhammad ‘Abduh serta Rasyid Ridha. Akan tetapi, pada dekade 1970-an al-Azhar menjadi institusi yang sangat  konservatif,  yang  oleh  banyak  orang Indonesia dianggap lebih terbelakang ketimbang pesantren mereka sendiri. Namun mereka juga berhubungan dengan pemikiran Islam yang lebih radikal seperti pemikiran Ikhwanul muslimin. Karya-karya Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan disebarkan secara luas, menjadi sangat berpengaruh.15
Jumlah pusat dakwah Islam yang berpengaruh di Indonesia semakin banyak. Salah satu pusat awal berasal dari India-Inggris; gerakan Ahmadiyah mengirim para pendakwah awalnya pada tahun 1920-an dan mereka ini cukup berhasil menyebarkan Islam modernis di kalangan elite tradisional Jawa. Komunitas- komunitas Ahmadiyah yang ada di Indonesia terus menjalin hubungan dengan pusatnya di Lahore dan Qadian. Nadwatul Ulama, pusat pendidikan tradisional yang berbasis di Lucknow, secara teratur mendapat murid dari Indonesia (dan karya-karya ulamanya yang terkemuka secara luas tersedia dalam terjemahan Bahasa Indonesia). Setelah revolusi Islam, Iran memiliki pengaruh penting (kendati kontak pertama dengan pemikir Syiah modern Iran terjadi melalui terjemahan Arab dan Inggris).
Model pusat-pinggiran, di mana pinggiran, yakni Indonesia, berkembang dalam pengaruh pusat yang dominan, sudah lama menjadi model yang memadai untuk menjelaskan proses
 
Islamisasi yang terus berlangsung. Namun, pada 1970-an, bukan saja telah terdapat pusat-pusat yang lain, pengaruhnya juga semakin menyebar, dan model jaringan lebih memadai untuk menggambarkan arus pengaruh tersebut. Orang tidak perlu pergi ke Makkah atau Kairo untuk mendapatkan gagasan-gagasan Islam yang menyegarkan. Mahasiswa kedokteran atau ilmu politik di universitas Amerika memiliki kemungkinan yang sama untuk menegaskan identitas keislaman mereka dan menjumpai pemikiran Islam baru yang menarik. Buku-buku dan jurnal, dalam bahasa internasional seperti Inggris dan Arab atau dalam terjemahan Bahasa Indonesia, menjadi wahana utama penyebaran Islam.
Selama masa pemerintahan Sukarno, wacana dan aksi keislaman di Indonesia didominasi oleh partai-partai politik besar, Masyumi dan NU. Di bawah Suharto, wacana dominan—menjadi dominan, setidaknya sampai taraf tertentu, berkat dukungan resmi—adalah wacana yang disebut gerakan “pembaharuan” yang muncul dari himpunan mahasiswa Islam, HMI, dengan Nurcholis Madjid sebagai juru bicaranya yang paling fasih dan karismatik. Gerakan ini menjadi terkenal dengan penolakannya pada politik Islam primordial—yang teringkas dalam slogannya yang terkenal “Islam yes, partai Islam no!”—dan dengan toleransinya pada agama-agama lain, yang tidak dilihatnya (setidaknya pada agama Kristen) sebagai salah namun sebagai cara alternatif dalam menyembah Tuhan. Kesal dengan kulit luar agama, kelompok pembaruan menyatakan bahwa kaum muslim harus mencari inti pesan Tuhan kepada Nabi dan tidak berpuas diri pada pembacaan harfiah serta formal atas teks agama. Hal ini tentu membutuhkan kepekaan terhadap konteks—konteks pewahyuan dan juga konteks ketika pesan tersebut mesti diterapkan dalam praktik. Pemikiran Nurcholis pada mulanya dipengaruhi oleh teologi liberal dan sosiologi agama Amerika, kemudian dia meraih gelar doktor dalam Kajian Islam di Chicago di bawah bimbingan pemikir neo- modernis Pakistan, Fazlur Rahman.
Secara lebih tegas ketimbang muslim Indonesia lain, gerakan pembaruan memandang keindonesiaan sebagai dimensi yang sah dari identitas Islam mereka. Konsep Islam Indonesia yang asli, sesuatu yang dikecam keras oleh kebanyakan muslim modernis
 
(yang bersikukuh pada universalitas Islam) sangat menarik bagi mereka.16 Kendati Nurcholis dan kawan-kawan menjaga jarak dari kebatinan, yang oleh kebanyakan muslim modernis dianggap sebagai non-atau bahkan anti-Islam, mereka memandang Panca- sila secara positif, yang mereka kaitkan dengan gagasan Islam Indonesia yang asli.
Pada kurun 1970-an dan 1980-an, kelompok pembaruan berupaya untuk pelan-pelan mengakarkan diri di kalangan profesional, birokrasi, serta elite pengusaha. Gagasan mereka mendapat dukungan dan liputan media yang luas karena mereka memberikan legitimasi Islami kepada upaya pembanguan Orde Baru. Kelompok ini merupakan bagian inti kelas menengah muslim yang tengah berkembang, yang secara sadar menjadi muslim sekaligus kelas menengah.
Gagasan keagamaan yang sangat mirip, jika bukan lebih liberal, dikembangkan  oleh  Abdurrahman  Wahid  dan  kelompoknya. Wahid tidak pernah menjadi bagian dari kelompok pembaruan, meskipun kerap bertemu dengan mereka. Dia memiliki latar belakang yang sangat berbeda, bukan berasal dari keluarga muslim modernis melainkan dari elite organisasi muslim tradisional Nahdlatul Ulama (NU) dan menggabungkan pendidikan sekuler dengan pendidikan Islam tradisional. Sembari tetap dekat dengan wacana tradisional di satu sisi, dia merumuskan gagasan-gagasan mengenai kesetaraan hak bagi kaum perempuan dan minoritas keagamaan, sekularisme, kesatuan bangsa, serta demokrasi yang bahkan  lebih  berani  dibanding  kelompok  pembaruan.  Sejak menjadi ketua NU pada 1984, dia memicu aktivitas intelektual yang belum pernah terjadi sebelumnya di lingkungan Islam tradisional.
Tokoh lain yang patut disebutkan adalah Munawir Syadzali, yang menjadi Menteri Agama sejak 1983 hingga 1993. Kendati bukan bagian dari kelompok pembaharuan, dia dekat dengan gagasan mereka dan bertindak sebagai pelindung mereka. Selain itu, dia berani merumuskan gagasan yang sebelumnya hanya berani diucapkan oleh segelintir muslim di Indonesia. Dia berkeliling ke universitas-universitas Islam di Indonesia untuk berceramah tentang “ayat-ayat Alquran yang tidak relevan lagi” dan usulan- usulan radikal untuk menafsirkan Alquran secara kontekstual
 
(dengan komentar menarik tentang bagian waris perempuan).17 Munawir juga bicara tentang kebutuhan untuk merumuskan fikih yang khas Indonesia—suatu pernyataan berani mengenai yang lokal sebagai adaptasi kreatif atas yang global. Dia memimpin upaya untuk mengodifikasi yurisprudensi dan hukum Islam.18
Menarik, meski tidak benar-benar mengejutkan, untuk men- catat bahwa muslim paling kosmopolit dan canggih secara intelek- tuallah yang angkat suara membela Islam Indonesia. Penolakan paling keras terhadap konsep ini serta identifikasi Islam sejati dengan Islam jaringan global bisa dijumpai di kalangan Islam modernis yang (setidaknya hingga akhir 1980-an) tidak puas pada kekuasaan Suharto dan Orde Baru.

Suara-suara lain: perseteruan politik dan “fundamentalisme”
Kritikus paling keras terhadap gerakan pembaruan, khusus- nya terhadap Nurcholis sendiri, bisa dijumpai di bekas lingkaran Masyumi. Partai Masyumi telah dibubarkan pada 1960 setelah keterlibatannya dalam pemberontakan regional yang gagal terhadap Sukarno; kendati mereka menyambut gembira kejatuhan Sukarno dan kehancuran PKI, Suharto tidak pernah mengizinkan para pemimpin Masyumi memainkan peran penting lagi dalam dunia politik. Dewan pengurus partai itu mengubah diri menjadi organisasi dakwah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan kadang menyampaikan kritik politik dari pinggiran. Ikhawanul Muslimin yang dipimpin al-Banna tampaknya menjadi model yang ditiru oleh Dewan Dakwah; tetapi, mereka selalu menahan diri dari sikap oposisi politik yang terang-terangan dan tidak pernah menganut pandangan Sayyid Qutb yang lebih radikal secara terbuka. Dewan Dakwah membangun kontak erat dengan (dan mendapat dukungan dana dari) pemerintah Arab Saudi. Mohammad Natsir, ketua Masyumi dan Dewan Dakwah, menjadi wakil presiden Liga Muslim Dunia (Rabitat al-’Alam al-Islami) dan Dewan Dakwah kemudian mencerminkan bentuk konservatif, neofundamentalis Islam yang berasal dari Riyad.
Para pemimpin dewan Dakwah menyerang berbagai gagasan yang dikembangkan oleh gerakan Pembaruan: posisinya yang
 
menentang partai-partai politik Islam, legitimasinya terhadap Orde Baru, pembelaannya terhadap sekularisasi, keterbukaannya pada agama lain, dan penghormatannya pada bentuk-bentuk lokal Islam.19 Para penulis Dewan Dakwah menyerang kebatinan, menyerang agama Kristen dan Yahudi. Mereka semakin memeluk pandangan dunia yang menganggap Islam tengah berada dalam ancaman Perang Salib baru serta konspirasi Yahudi internasional. Menyusul Revolusi Iran, Syiah (yang banyak menarik minat mahasiswa Islam Indonesia karena potensi revolusioner yang mereka tangkap darinya) ditambahkan ke dalam daftar ancaman; Dewan Dakwah menerbitkan serangkaian buku dan selebaran anti-Syiah.
Dewan Dakwah mewakili sayap radikal yang tak kenal kompromi secara politik dari “modernisme” (sebagaimana biasa disebut oleh orang Indonesia) atau “puritanisme” (istilah yang lebih tepat) Islam Indonesia. Tujuan utamanya adalah membersihkan ritual dan kepercayaan dari segala unsur yang tidak berasal dari Alquran dan hadis. Ia tidak menerima praktik-praktik tradisional maupun penafsiran liberal dan, seperti telah disampaikan, semakin bergeser ke arah pandangan Hanbali-Wahabi sponsor mereka, Arab Saudi.20
Salah satu dampak mencolok globalisasi pada pemikiran dan wacana di Dewan Dakwah dan kelompok-kelompok terkait adalah kemunculan anti-Semitisme yang sangat keras. Ini adalah fenomena baru dalam Islam Indonesia, yang tidak pernah muncul sebelumnya selain dalam bentuk sebuah artikel jurnal yang terinspirasi asing yang terbit pada masa pendudukan Jepang. Kepustakaan anti Semit yang sangat luas bisa tersedia melalui kontak dengan Saudi dan Ikhwanul Muslimin, selain melalui Kuwait dan Pakistan. Kebanyakan dari literatur ini (yang meliputi setidaknya tiga versi berbeda dari Protokol Zion yang terkenal itu) berasal dari Rusia, Jerman, dan Amerika, dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab. Di Indonesia tidak ada populasi Yahudi, selain segelintir keluarga keturunan Eropa atau Yahudi Usmaniah, namun seperti di tempat lain, hal itu tidak mencegah penyebaran paham anti-Semit. Literatur anti-Semit tampaknya digunakan sebagai senjata dalam perjuangan melawan
 
segala bentuk kosmopolitanisme: Cina, “pembaharuan” atau yang lain.21
Pandangan anti-semit umat Islam biasanya dikaitkan dengan persoalan Palestina-Israel, dan hal ini juga terjadi di Indonesia. Pandangan ini mempunyai gaung terbesar di kalangan muslim yang membuat pernyataan solidaritas muslim internasional, khususnya Komite Solidaritas Dunia Islam (KISDI), yang tampak jelas aktif sebagai kelompok penekan selama dekade 1990-an. Selain mengorganisasi unjuk rasa mendukung Palestina (namun menentang proses damai), KISDI menggerakkan massa menentang surat kabar yang memublikasikan artikel-artikel yang tidak mereka sukai. Menjelang kejatuhan Suharto, KISDI menjadi sangat anti Cina dan anti Kristen secara terbuka, karena menganggap bisnis komunitas Cina dan birokrat Kristen adalah bagian dari konspirasi Yahudi internasional untuk menghancurkan Islam.

Kesimpulan
Pertanyaan yang diajukan para peneliti abad ke-19 pada diri mereka sendiri—dan biasanya dijawab dalam bentuk negatif karena Islam Indonesia itu “berbeda”—kini dimunculkan kembali. Apakah Islam Indonesia menuju arah yang sama seperti Islam di Timur Tengah, apakah ia akan mengikuti tren “fundamentalis” global? Abdurrahman Wahid, pemimpin Islam liberal terkemuka, telah berulang kali mengungkapkan ancaman perkembangan “Aljazair”, secara tersirat menuduh kelompok-kelompok seperti Dewan Dakwah dan KISDI berusaha mendirikan negara Islam, yang akan mencabut hak kesetaraan kaum minoritas dan membungkam suara-suara liberal.
Memang benar bahwa Islam politik radikal, yang kerap kali tidak toleran, semakin jelas kehadirannya di Indonesia pada dekade 1990-an. Namun, ironisnya, keberhasilannya bukan terutama disebabkan oleh kecenderungan global namun oleh dinamika politik di dalam Indonesia ssendiri. Yang memperkuat Islam politik radikal adalah perubahan sikap Suharto yang berbalik memusuhi sebagian sekutu Cina serta Kristennya dulu dan mengooptasi sebagian besar kaum muslim terdidik melalui pendirian Ikatan
 
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Situasi yang tidak stabil pada periode sebelum dan sesaat setelah mundurnya Suharto secara paksa memberikan kondisi yang sangat mendukung penguatan posisi kelompok-kelompok “fundamentalis” yang bersekutu dengan berbagai faksi politik serta militer.
Sementara itu, Pemilu pada Juni 1999 telah menunjukkan bahwa Islam politik radikal tidak mendapatkan banyak pemilih di Indonesia. Muslim Indonesia jauh lebih memilih partai-partai yang tidak eksklusif Islam dan partai yang menekankan identitas Indonesia yang menampung keragaman etnis dan agama.
Ini bukan berarti Islam menarik diri dari ruang publik dan globalisasi mengendalikan Islamisasi. Pamor Islam serta tampil- nya ritual Islam di ruang publik terus meningkat. Namun pada fase globalisasi saat ini, tersedia pengaruh Islam yang sangat luas, dan orang Indonesia mengambil apa yang ia sukai dari beragam sumber. Tidak seperti di masa lalu, saat Islam Makkah melambangkan contoh yang harus ditiru, kini tidak ada lagi bentuk tunggal Islam otoritatif. Individu-individu memasuki jaringan yang menghubungkan mereka dengan gerakan Islam di berbagai belahan dunia, mereka membaca buku dan jurnal yang mencerminkan rentang pemikiran Islam yang sangat luas, mereka mencoba beraneka jenis gaya hidup muslim. Pengaruh global yang beragam tampaknya tidak memunculkan tipe Islam “Timur Tengah” yang homogen melainkan memunculkan semakin beragamnya cara menjadi muslim.
 
Catatan akhir:
1.    C. Snouck Hurgronje, “Brieven van een wedono-pensioen”, dalam bukunya Verspreide Geschriften vol 4/1 (Leiden: Brill 1924). Esai panjang ini awalnya dimuat secara bersambung dalam De Locomotief sejak 7 Januari 1891 hingga 22 Desember 1892.
2.    Kajian paling terkenal adalah karya Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960); namun analisis paling awal mengenai dikotomi budaya ini dilakukan oleh Robert Jay dalam karyanya Santri and Abangan (1957), sebuah kajian cerdas yang sayangnya nyaris terlupakan.
3.    Mark Woodward berada pada ekstrem yang lain dalam kajiannya terhadap kehidupan beragama di wilayah perkotaan di sekeliling keraton Yogyakarta (1985, 1989). Mendapati bahwa ritual istana dan praktik religius lain yang dia amati tidak cocok dengan apa pun yang pernah dia baca dalam buku- buku mengenai Hinduisme (skripturalis), dia menyimpulkan bahwa asal-muasal ritual dan praktik tersebut tak mungkin Hindu. Bertekad memperlihatkan bahwa keyakinan dan praktik abangan adalah muslim (suatu tesis yang sangat dapat saya terima sampai taraf tertentu), dia berusaha mencari akar muslim masing-masing keyakinan serta praktik tersebut dan tampaknya mengabaikan bahwa banyak praktik ini merupakan bagian dari agama populer di Nusantara, apa pun agama skriptural yang secara nominal dianut.
4.    Mengenai penggunaan karya al-Buni, terutama yang berjudul Syams al-Maarif (yang sangat populer di Indonesia) di Afrika Utara, lihat Doutté 1908. Sebagian besar buku yang disebut mujarrabat (“metode yang telah teruji waktu”) merupakan nukilan dari Syams al-Maarif yang telah disederhanakan; sementara itu buku yang dikenal sebagai primbon memiliki isi lebih beragam. Mengenai ini lihat Bruinessen 1990.
5.    Sejarawan Marshall Hodgson (1974: 57-60) mengusulkan istilah “Islamicate” untuk menghindari asosiasi dengan Islam yang termurnikan yang bisa dengan mudah termunculkan oleh istilah “Islami” atau “[peradaban] muslim” dan untuk
 
membedakan apa yang merupakan bagian dunia Islam (“Islamicate”) dengan apa yang langsung berasal dari ajaran Islam (“Islami”).
6.    Lihat Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren: religious institutions in the Banten Sultanate”, Archipel 50, 1995, 165-199.
7.    Sarjana pertama yang mengungkapkan hal ini, setahu saya, adalah Merle Ricklefs dalam penelitiannya mengenai Islamisasi di Jawa (1979).
8.    Snouck Hurgronje 1924: 165. Rasulan atau ngrasulake adalah sesajen makanan yang kerap dibuat untuk menarik perhatian arwah Nabi dan memohon perantaraannya.
9.    Bruinessen 1994b. Melihat cahaya warna-warni merupakan unsur sentral dalam tradisi Sufi Kubrawi tetapi ini tidak ber- kaitan dengan konsep metafisika yang ada pada teknik-teknik serupa dalam Hinduisme dan Buddhisme Tantris.
10.    Mengenai debus dan transformasinya, lihat Bruinessen 1995: 187-9
11.    Tercatat ada berbagai versi mitos ini. Yang saya ikuti di sini adalah versi yang dicatat oleh Jasper di kalangan masyarakat Tengger, sebuah komunitas yang mendaku non-muslim di Jawa Timur (Jasper 1927: 41-2; bdgk. Hefner 1985: 126-141, yang menceritakan ulang mitos ini secara panjang lebar). Misionaris Protestan C. Poensen, menguraikan sebuah manuskrip Jawa dengan isi serupa yang berjudul Aji Saka, yang tampaknya dia temukan di kalangan muslim nominal di Kediri, tempat dia bekerja selama bertahun-tahun (Poensen 1869: 191).
12.    Drewes (1966) mengkaji Serat Dermagandul sebagai suatu ekspresi benturan peradaban. Gatoloco sudah pernah dibahas singkat oleh Poensen pada 1873 dan dikaji serius oleh van Akkeren (1951). Anderson (1981-82) menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris dan menuliskan pengantar singkat.
13.    Gerakan kebatinan kalah dalam pertarungan ini pada kurun 1970-an, ketika segala urusan pemerintah dengan mereka dipindah dari Departemen Agama ke Departemen Kebuda- yaan, karena tekanan umat Islam. Elemen-elemen non Islami
 
dalam mistisisme kebatinan semakin ditindas atau setidaknya dikurangi penekanannya dan wacana mereka semakin terislamisasi. Lihat Stange 1986.
14.    Lihat Prins 1954, Abdullah 1966.
15.    Mengenai orang Indonesia yang belajar di Kairo dan perubahan iklim intelektual yang dialami oleh tiga generasi pelajar Indonesia ini, lihat Abaza 1994.
16.    Kumpulan artikel dan makalah Nurcholis pada kurun 1970-an dan 1980-an diterbitkan dengan judul “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan” (Bandung: Mizan, 1987). Kelompok pertama dari artikel-artikel di koleksi ini, semua ditulis pada pertengahan 1980-an, membahas kebudayaan Indonesia sebagai salah satu budaya Islam di antara budaya-budaya Islam lainnya (dan bukan sebagai budaya Islam yang tidak sempurna dan setengah kafir, sebagaimana lazimnya dalam kebanyakan literatur modernis).
17.    Munawir berpendapat bahwa pembagian waris yang tidak sama, yakni perempuan hanya menerima separuh dari yang diterima laki-laki pada posisi genealogis yang sama, mencer- minkan situasi di Madinah, di mana laki-laki merupakan penanggung nafkah keluarga, dan bukan merupakan aturan yang berlaku secara universal. Di Solo (kota tempat tinggalnya), lanjutnya, sebagian besar pendapatan keluarga diperoleh oleh perempuan; pemahaman yang benar-benar kontekstual akan sampai pada kesimpulan bahwa di Solo pembagian warisan secara Islam semestinya memberi bagian yang lebih besar pada perempuan dibanding laki-laki. Namun, argumentasinya tidak bisa meyakinkan banyak ulama.
18.    Hal ini dilakukan dengan menggunakan angket yang dibagi- kan pada semua organisasi Islam. Angket ini berupa daftar panjang pertanyaan mengenai kasus-kasus konkret di mana fikih semestinya diterapkan secara kontekstual. Sebagian besar organisasi menolak penafsiran ini sehingga Indonesia sekarang terbebani dengan aturan-aturan Islam yang lebih kaku (untuk ukuran kodifikasi).
 
19.    Kritik awal terhadap Nurcholis dari sudut pandang “funda- mentalis” dan Masyumi ditampilkan dalam Kamal 1982 (awalnya merupakan disertasi doktoral di Universitas Columbia pada tahun 1975).
20.    Untuk keterangan lebih detail tentang gagasan-gagasan yang tengah beredar di kalangan Dewan Dakwah pada awal 1990- an, lihat analisis isi William Liddle terhadap jurnal Dewan Dakwah, Media Dakwah (Liddle 1996).
21.    Lihat Bruinessen 1994c
LihatTutupKomentar