Kitab Ketiga: Ijma' (Konsensus Ulama)
Nama kitab/buku: Terjemah kitab Lubbul Ushul
Nama kitab asal: Lubbul Ushul fi Ushul al-Fiqh wad Din (لب الأصول في أصول الفقه والدين)
Pengarang: Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari
Nama lengkap penulis: Syaikhul Islam Abu Yahya Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariyah al-Anshari (شيخ الاسلام ابو يحيى زكريا بن محمد بن أحمد بن زكريا الانصاري)
Kelahiran: 1421 M / 824 H Kairo, Mesir
Wafat: 1520 M / 926 H, Kairo, Mesir
Penerjemah:
Bidang studi: Ushul Fikih madzhab Syafi'i
Daftar isi
- Pengantar Dasar dalam Ushul Fiqh
- Kembali ke buku/kitab: Terjemah Lubbul Ushul
الكتاب الثالث في الإجماع
Kitab Ketiga: Ijma'
وهو
اتفاق مجتهدي الأمة بعد وفاة "محمد" في عصر على أي أمر ولو بلا إمام معصوم
أو بلوغ عدد تواتر أو عدول أو غير صحابي أو قصر الزمن فعلم اختصاصه
بالمجتهدين فلا عبرة باتفاق غيرهم قطعا ولا بوفاقه لهم في الأصح وبالمسلمين
وأن لابد من الكل وهو الأصح وعدم انعقاده في حياة "محمد" وأنه لو لم يكن
إلا واحد لم يكن قوله إجماعا وليس حجة على المختار وأن انقراض العصر لا
يشترط وأنه قد يكون عن قياس وهو الأصح فيهما وأن اتفاق السابقين غير إجماع
وليس حجة في الأصح وأن اتفاقهم على أحد قولين قبل استقرار الخلاف جائز ولو
من الحادث بعد ذوي القولين وكذا اتفاق هؤلاء لا من بعدهم في الأصح وأن
التمسك بأقل ماقيل حق وأنه يكون في ديني ودنيوي وعقلي لا تتوقف صحته عليه
ولغوي وأنه لا بد له من مستند وهو الأصح أما السكوتي بأن يأتي بعضهم بحكم
ويسكت الباقون عنه وقد علموا به وكان السكوت مجرد عن أمارة رضا وسخط والحكم
اجتهادي تكليفي ومضى مهلة النظر عادة فإجماع وحجة في الأصح .
Kitab Ketiga: Ijma'Al-Ijmā' (Konsensus Ulama)
Ijmā' adalah kesepakatan para mujtahid (ahli ijtihad) dari umat (Islam) setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, pada suatu masa, mengenai perkara apa pun, meskipun tanpa adanya Imam yang ma'shūm (terjaga dari kesalahan), atau tanpa mencapai batas jumlah mutawātir (periwayat yang sangat banyak), atau (meskipun di dalamnya terdapat perawi) yang tidak adil, atau (perawi) yang bukan Sahabat, atau (meskipun) waktunya singkat.
Dari definisi ini diketahui bahwa Ijmā' dikhususkan bagi para mujtahid, sehingga:
- Tidak ada nilai (hukum) pada kesepakatan selain mereka (mujtahidīn) secara pasti.
- Dan tidak ada nilai pula pada kesesuaian (kesepakatan) mereka dengan mujtahidīn menurut pendapat yang paling sahih.
(Ijmā' dikhususkan) bagi umat Muslim, dan bahwasanya harus ada kesepakatan dari keseluruhan (kull) (mujtahidīn), dan ini adalah pendapat yang paling sahih.
Ijmā' tidak terjadi di masa hidup Nabi Muhammad ﷺ.
Jika hanya ada satu mujtahid (di suatu masa), maka perkataannya bukanlah Ijmā', dan bukan hujjah (dalil) menurut pendapat yang terpilih.
Tidak disyaratkan habisnya masa (inqirād al-'ashr) (bagi terbentuknya Ijmā').
Ijmā' terkadang terjadi berdasarkan Qiyās (analogi), dan ini adalah pendapat yang paling sahih pada kedua kasus tersebut (Ijmā' zhanni dan qath'i).
Kesepakatan ulama terdahulu (sebelum masa yang disepakati) bukanlah Ijmā', dan bukan hujjah menurut pendapat yang paling sahih.
Kesepakatan para mujtahidīn atas salah satu dari dua pendapat (yang ada sebelumnya) sebelum perselisihan itu mapan (istiqrār al-khilāf) adalah diperbolehkan, meskipun kesepakatan itu datang dari hādit (mujtahid yang baru muncul) setelah munculnya dua kelompok pemilik pendapat tersebut. Demikian pula kesepakatan mereka (pemilik dua pendapat itu), tetapi tidak dari yang datang setelah mereka menurut pendapat yang paling sahih.
Berpegang pada pendapat paling sedikit yang diucapkan adalah benar (haqq).
Ijmā' dapat terjadi pada perkara:
- Dīni (agama) dan Dunyawī (duniawi).
- 'Aqlī (akal) yang keabsahannya tidak bergantung pada (Ijmā').
- Lughawī (bahasa).
Dan bahwasanya Ijmā' harus memiliki sandaran (mustanad), dan ini adalah pendapat yang paling sahih.
Adapun Ijmā' Sukūtī (Ijmā' Diam): Yaitu, sebagian mujtahidīn mengeluarkan suatu hukum dan sebagian lainnya diam darinya, padahal mereka mengetahuinya, dan ketiadaan ucapan (diam) itu bebas dari indikasi kerelaan atau kemarahan (sukūt mujarrad 'an amārat ridhā wa sakhath). Dan hukumnya bersifat ijtihādī taklīfī, dan telah berlalu masa (muhlah) untuk meninjaunya secara adat. Maka (Ijmā' jenis ini) adalah Ijmā' dan Hujjah menurut pendapat yang paling sahih.
[مسألة]
الأصح
إمكانه وأنه حجة وإن نقل آحادا وأنه قطعي إن اتفق المعتبرون لا إن اختلفوا
كالسكوتي وخرقه حرام فعلم تحريم إحداث ثالث وتفصيل إن خرقاه وأنه يجوز
احداث دليل أو تأويل أو علة وإن لم يخرق وأنه يمتنع ارتداد الأمة سمعا لا
اتفاقا على جهل ما لم تكلف به ولا انقسامه فرقتين كل يخطئ في مسألة وأن
الاجماع لا يضاد إجماعا قبله وهو الأصح في الكل و لا يعارضه دليل وموافقته
خبر لا تدل على أنه عنه لكنه الظاهر إن لم يوجد غيره .
Masalah
Mengenai Status dan Hukum Ijmā'
Pendapat yang paling sahih adalah bahwa Ijmā' itu mungkin terjadi (imkānuh) dan bahwasanya ia adalah hujjah (dalil), meskipun dinukil secara āhād (oleh jalur tunggal/sedikit).
Dan bahwasanya Ijmā' bersifat qaṭ'ī (pasti) jika ulama yang dianggap (mujtahidīn) bersepakat, tetapi tidak qaṭ'ī jika mereka berselisih, seperti halnya Ijmā' Sukūtī (Ijmā' Diam).
Melanggarnya (kharquh) adalah haram. Dari sini diketahui haramnya menciptakan pendapat ketiga (iḥdāts tsālits) dan (haramnya) perincian jika kedua pendapat awal telah dilanggar.
Dan bahwasanya diperbolehkan menciptakan dalil, ta'wīl (interpretasi), atau ‘illah (sebab) (baru) meskipun Ijmā' tidak dilanggar.
Dan bahwasanya mustahil (yamtani'u) terjadi kemurtadan seluruh umat secara sam'an (dalil syariat), tetapi tidak (mustahil) secara kesepakatan (ittifāqan) atas ketidaktahuan terhadap hal yang mereka tidak dibebani (hukum) dengannya.
Dan (mustahil) perpecahan umat menjadi dua kelompok, di mana setiap kelompok keliru dalam suatu masalah.
Dan bahwasanya Ijmā' tidak bertentangan dengan Ijmā' sebelumnya, dan ini adalah pendapat yang paling sahih dalam semua hal tersebut.
Dan bahwasanya Ijmā' tidak bertentangan dengan dalil (lain).
Dan kesesuaiannya (Ijmā') dengan suatu Hadis tidak menunjukkan bahwa ia (Ijmā') berasal dari Hadis tersebut, tetapi hal itu adalah yang zhāhir (jelas/dominan) jika tidak ditemukan dalil lain.
خاتمه
جاحد مجمع عليه معلوم من الدين ضرورة كافر إن كان فيه نص، وكذا إن لم يكن في الأصح.
Khatimah
Hukum Mengingkari Ijma'
Orang yang mengingkari (jāḥid) suatu perkara yang telah disepakati (mujma' 'alayh) dan diketahui secara niscaya (ḍarūratan) dari agama, maka ia adalah kāfir (kafir/keluar dari Islam):
- Jika terdapat nash (dalil eksplisit) di dalamnya.
- Demikian pula jika tidak terdapat nash (dalil eksplisit) di dalamnya, menurut pendapat yang paling sahih.
