Hukum Asal Sesuatu adalah Boleh

Kaidah fikih: Asalnya sesuatu itu hukumnya Mubah (boleh)” Misalnya : 1. Keraguan menentukan halal haramnya hewan yang susah dicari hukumnya, maka hewan itu hukumnya halal. 2. Jika seekor burung dara masuk kedalam sangkar seseorang, dan orang itu raguragu apakah burung itu milik orang lain atau bukan, maka yang lebih utama adalah boleh memilikinya. 3. Jika seseorang ragu-ragu pada ukuran kadar tambalan emas pada tempat makanan/minuman, apakah ia besar atau kecil, maka hukum asalnya itu ialah mubah (boleh dipakai).
Hukum Asal Sesuatu adalah Boleh
Nama buku: Terjemah kitab Kaidah Fiqh dan Ushul Fikih Mabadi Awaliyah (Mabadi' Awwaliyyah)
Nama kitab asal: Mabadi' Awaliyah fi Ushul al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah (مبادئ أولية في أصول الفقه صش القواعد الفقهيه)
Pengarang: Abdul Hamid Hakim
Penerjemah: H. Sukanan S.Pd.I, Ust. Khairudin
Bidang studi: Kaidah dan Ushul Fikih madzhab Syafi'i

Daftar Isi

KAIDAH KETIGA PULUH LIMA

ما حرم فعله حرم طلبه
“Yang haram pekerjaannya, maka haram mencarinya”

Misalnya :

1. Mencari riba dan mas kawin dari orang yang dzalim.

2. Mencari persen (uang tip) dukun dan sogokan.

3. Mencari upah menangisi mayyit

KAIDAH KETIGA PULUH ENAM

ما حرم اخذه حرم اعطاؤه
“Yang haram mengambilnya maka haram untuk memberikannya”

Misalnya :

1. Memberikan riba dan mas kawin orang yang dzalim.

2. Memberikan persen (uang tip) dukun dan sogokan.

3. Memberikan upah menangisi mayyit

Allah Swt. Berfirman dalam surat Yasin : 12

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
"Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh)."

KAIDAH KETIGA PULUH TUJUH

الخير المتعدي افضل من القاصر
“Kebaikan yang berkesinambungan itu lebih utama daripada yang singkat”

Misalnya :

1. Mengajarkan ilmu itu lebih utama dari sholat sunnah muthlaq.

2. Melakukan fardhu kifayah itu mengungguli dari melakukan fardhu „ain karena telah menggugurkan kewajiban terhadap umat yang lain.

3. Ungkapan nadzam Imam Suyuthi ra.

إِذَا مَاتَ اِبْن آدَم لَيْسَ يَجْرِي *** عَلَيْهِ مِنْ فِعَال غَيْر عَشْر

Ketika ibnu Adam meninggal dunia tidaklah baginya berjalan amal perbuatannya kecuali 10 perkara.

عُلُوم بَثَّهَا وَدُعَاء نَجْل *** وَغَرْس النَّخْل وَالصَّدَقَات تَجْرِي

Ilmu yang diajarkan, do‟a nya anak sholeh, menanam kurma (tanaman), shodaqoh jariyah

وِرَاثَة مُصْحَف وَرِبَاط ثَغْر *** وَحَفْر الْبِئْر أَوْ إِجْرَاء نَهَر

Mewariskan mushaf (al-Qur‟an), membangun pondok (tempat belajar), menggali sumur, menyalurkan kali/sungai

وَبَيْت لِلْغَرِيبِ بَنَاهُ يَأْوِي *** إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلّ ذِكْر
Membangun rumah untuk peristirahatan musafir dan untuk tempat dzikir

وَتَعْلِيم لِقُرْآنٍ كَرِيم *** فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيث بِحَصْرٍ

Dan mengajarkan al-Qur‟anul Karim, maka ambillah/lakukanlah semua itu yang diambil dari keterangan hadits yang singkat

Nabi Saw bersabda :

لا يحل لامرئ أن يأخذ عصا أخيه بغير طيب نفسه منه

“Tidaklah halal bagi seorang muslim yang mengambil tongkat saudaranya dengan perasaan tidak senangnya saudaranya itu” (HR. Ibnu Hibban)

KAIDAH KETIGA PULUH DELAPAN

الرضى بالشيء رضى بما يتولد منه
“Ridha terhadap sesuatu itu ridha dengan apa yang terlahir darinya”

Misalnya :
1. Ridhonya suami istri terhadap „aib (cacat) salah satunya, walaupun kemudian bertambah cacatnya itu, maka tidaklah ada khiyar, menurut pendapat Qaul Shahih.

2. Murtahin (orang yang menggadaikan) yang telah memberikan izin kepada Rahin (orang yang menggadai) dalam memukul hamba sahaya yang digadaikan, walaupun sampai rusak karena dipukul, tidaklah mendapatkan hukuman mengganti, karena itu merupakan dampak/akibat dari izinnya murtahin.

3. Jika seseorang berkata : Potonglah tangan saya, maka kemudian dipotong tetapi selanjutnya tangannya terputus-putus akibat dari pemotongan itu, maka biarkanlah menurut Qaul Adzhar.

4. Memakai wewangian pada waktu sebelum Ihram, kemudian wewangian itu terus menerus sampai melakukan ihram, maka tidaklah wajib membayar fidyah.

5. Beristinja‟ dengan batu itu diampuni walaupun ketika berkeringat kotorannya itu menjadi basah, maka hukum asalnya tetap diampuni.

6. Jika seseorang yang sedang berpuasa terlanjur meminum air ketika madlmadlah dan istinsyaq padahal ia tidaklah mubalaghah dalam melakukannya, maka ia tidaklah batal puasanya menurut Qaul Ashoh, berbeda hukumnya (batal puasanya) bagi yang melakukannya dengan mubalaghoh, karena terlanjur meminum air itu disebabkan melakukan yang dicegah (mubalaghah bagi orang yang berpuasa).

Seiring dengan kaidah diatas, yaitu kaidah :

المتولد من مأذون لا اثر له

“Yang muncul/terlahir dari yang telah diizini maka tidaklah ada masalah”

Nabi Saw bersabda :

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram” (HR. Muslim)

KAIDAH KETIGA PULUH SEMBILAN

الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما

“Hukum itu beredar bersama dengan „illatnya (sebabnya) ada maupun tidak ada”

Misalnya :

1. Haramnya khamer itu karena memabukkan, maka ketika tidak lagi memabukkan huumnya menjadi halal, seperti : cuka

2. Masuk ke rumah orang lain dan memakai pakaiannya itu haram karena tidak ada ridho dari pemiliknya, jika diketahui bahwa pemiliknya itu ridho maka hukumnya boleh.

3. Haram hukumnya meminum racun karena merusak, tetapi ketika tidak akan merusak maka hukumnya boleh.

Nabi Saw bersabda :

الحلال ما أحل الله في كتابه، والحرام ما حرم الله في كتابه، وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Halal itu adalah yang telah dihalalkan oleh Allah Swt dalam kitab-Nya, dan haram itu juga yang telah diharamkan Allah dalam kitab-Nya, dan yang tidak ada didalamnya maka itu diampuni” (HR. Imam Turmudzi dan Ibnu Majah)

KAIDAH KEEMPAT PULUH

الاصل فى الآ شياء الاءباحة

“Asalnya sesuatu itu hukumnya Mubah (boleh)”

Misalnya :

1. Keraguan menentukan halal haramnya hewan yang susah dicari hukumnya, maka hewan itu hukumnya halal.

2. Jika seekor burung dara masuk kedalam sangkar seseorang, dan orang itu raguragu apakah burung itu milik orang lain atau bukan, maka yang lebih utama adalah boleh memilikinya.

3. Jika seseorang ragu-ragu pada ukuran kadar tambalan emas pada tempat makanan/minuman, apakah ia besar atau kecil, maka hukum asalnya itu ialah mubah (boleh dipakai).

4. Untuk masalah hukum jerapah, Imam Subki berkata : sesungguhnya jerapah itu boleh dimakan, karena hukum asalnya adalah mubah (boleh).[alkhoirot.org]

T A M M A T 20 JANUARI 2020
LihatTutupKomentar