Ubaidillah dan Nama-Nama Fiktif dari Keluarga Ba’alwi

Ubaidillah dan Nama-Nama Fiktif dari Keluarga Ba’alwi Keluarga Abdurrahman Al-Saqqaf mengaku sebagai Alu Abi Alwi Alwi jadi Saudara Syarif Abul Jadid

Ubaidillah dan Nama-Nama Fiktif dari Keluarga Ba’alwi

Nama kitab / buku: Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi: Finalisasi Keterputusan Genealogi Ba’alwi Kepada Nabi Muhammad Saw.
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: 1445 H./2024 M.
Penerbit:  Maktabah Nahdlatul Ulum Banten Cet. 1/1445 H./2024 M.
Kitab sebelumnya: Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia & Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw
Bidang studi: Sejarah Baalawi, ilmu nasab, sejarah Islam

Daftar isi

  1. Keluarga Abdurrahman Al-Saqqaf mengaku sebagai Alu Abi Alwi
  2. Alwi Menjadi Saudara Syarif Abul Jadid
  3. Berita Hijrah Muhamad bin Sulaiman Menjadi Tidak Singkron 
  4. Ubaidillah dan Nama-Nama Fiktif dari Keluarga Ba’alwi
  5. Glorifikasi Leluhur Ba’alwi
  6. Catatan dan Referensi
  7. Kembali ke buku Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi

Keluarga Abdurrahman Al-Saqqaf mengaku sebagai Alu (Keluarga) Abi Alwi

Pada abad sembilan Hijriah, di Kota Tarim Provinsi Hadramaut, ada sebuah klan yang mengaku sebagai ‚Alu Abi Alwi‛ yang disebut dalam kitab Al- Suluk karya Al-Janadi (w.732 H.). Klan itu, untuk waktu berikutnya mulai dikenal dengan nama ‚Ba’alwi‛. Klan itu adalah Klan Abdurrahman bin Muhammad al- Saqaf, ia lahir di Tarim tahun 739 Hijriah dan wafat tahun 819 Hijriah dimakamkan di pemakaman Zanbal Tarim.65 Nampaknya, penelusuran silsilah klan Abdurrahman al-Saqqaf mulai dilakukan sejak ia masih hidup, persis setelah mereka membaca kitab Al-Suluk karya Al-janadi. Kemudian secara formal baru ditulis pada masa Ali al-Sakran yang wafat tahun 895 Hijriah.

Ketika membaca kitab Al-suluk tentang hijrahnya leluhur Bani Ahdal dari Irak, klan Abdurrahman al-Saqaf kemudian berasumsi bahwa leluhurnya hijrah bersama leluhur Bani Ahdal tersebut dan kemudian disebut sebagai saudara laki- laki atau saudara sepupunya. Perhatikat ibarat kitab Al-Suluk tentang hijrahnya leluhur Bani Ahdal di bawah ini:

Terjemah‛

‚Dan adapun Al-Ahdal, maka ia (dibaca) dengan ‚ha‛ yang sukun setelah ‚alif‛, ‚lam‛ dan ‚ha‛. Setelah ‚ ha‛ itu ada hurup ‚dal‛ yang di‛fatahkan‛ yang tanpa titik, kemudian ada ‚lam‛ yang sukun. Ia seorang yang berkedudukan tinggi yang popular. Disebutkan bahwa kakeknya datang dari Irak ke negeri Yaman, ia seorang ‚Syarif Husaini‛. Ia datang dengan tapak tasawuf, ia menempati ‚Ajwal al-Sauda’ dari lembah Siham.‛

Dalam ibarat Al-janadi di atas disebutkan leluhur Bani Ahdal yang bernama Muhammad bin Sulaiman, adalah seorang ‚Syarif Husaini‛ dan ia berhijrah dari Irak ke Yaman. Dari situ, klan Abdurrahman al-Saqaf membonceng sejarah itu bahwa leluhurnya juga adalah seorang ‚Syarif Husaini‛ karena ia sepupu (satu kakek) dari Muhammad bin Sulaiman, dan pindah dari Irak ke Yaman bersama Muhammad bin Sulaiman. Hal itu dilakukan tanpa mengkroscek apakah informasi Al-janadi itu ditopang oleh sumber atau tidak. Dan nanti akan terbukti bahwa ke-syarif-an Bani Ahdal ini tertolak. Setelah berkembang informasi bahwa leluhur Bani Ahdal, Muhammad bin Sulaiman dan leluhur klan Abdurrahman al-Saqaf keduanya adalah sepupu ditengah masyarakat, maka seorang Bani Ahdal pun kemudian mencatat dalam kitabnya bahwa: ada yang mengatakan leluhurnya yaitu Muhammad bin Sulaiman adalah saudara dari leluhur Ba’alwi. Dipermulaan narasi itu terbentuk, nama Ahmad bin Isa belum muncul sebagai leluhur klan Abdurrahman al-saqaf yang berhijrah bersama Muhammad bin Sulaiman. Perhatikan ibarat Husain al-Ahdal (w.855 H.) dalam kitabnya ‚Tuhfat al-Zaman‛ di bawah ini:

Terjemah:

‚Diceritakan kepada kami dari sebagian orang, bahwa Muhammad (bin Sulaiman) tersebut keluar (berhijrah) bersama saudara laki-laki dan saudara sepupunya. Kemudian saudara laki-laki dan saudara sepupunya itu menuju timur. Maka keturunan dari saudara sepupunya itu adalah keluarga Ba’alwi di Hadramaut‛

Dalam ibarat ini dijelaskan, bahwa leluhur Bani Ahdal, Muhammad bin Sulaiman, pindah dari Irak ke Yaman bersama saudara laki-lakinya (nanti akan diketahui bahwa itu leluhur Bani Qudaimi) dan saudara sepupunya (satu kakek) yaitu Ba’alwi di Hadramaut. Setelah diketahui bahwa Bani Ahdal dan Ba’alwi satu kakek, maka keturunan Bani Ahdal dan Ba’alwi di abad sembilan menemukan masalah baru, yaitu susunan lengkap silsilah mereka yang sudah disebut Al-janadi sebagai ‚Syarif Husaini‛ itu, karena Al-janadi tidak menyajikan silsilah Muhammad bin Sulaiman sampai kepada Nabi Muhammad Saw. maka kita lihat bagaimana usaha-usaha dari kedua keluarga ini dalam menelusuri silsilah keluarga mereka. Dari Bani Ahdal, Husain al-Ahdal (w.855 H.) telah mencoba melengkapi silsilah Muhammad bin Sulaiman seperti  di bawah ini:

Terjemah:

‚Dan aku menemukan nasab Muhammad bin Sulaiman dalam sebagian lembaran- lembaran dalam keadaan disambungkan (kepada Rasulullah), maka ia berkata: Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin al-Hasan bin al-Husain –yang bergelar Al-Ashga-- bin Ali Zanal Abidin, dalam tempat lain, bin Aon bin Musa al-Kadzim bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir…‛

Dari usaha Husain al-Ahdal dalam kitab Tuhfat al-Zaman ini ditemukan bahwa nasab Bani Ahdal ada dua versi pertama: Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin al-Hasan bin al- Husain bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah bin Nabi Muhammad saw. Versi kedua adalah: Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin Musa al-Kadim bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Fatimah bin Nabi Muhammad saw. 

Berarti jika leluhur Ba’alwi adalah sepupunya maka berarti ia satu kakek. Dengan memperkirakan bahwa leluhur Ba’alwi yang hijrah bersama Muhammad bin Sulaiman itu adalah Ali (Khaliqosam), maka silsilah versi pertama adalah: Ali bin Alwi bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin al- Hasan bin al-Husain bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah bin Nabi Muhammad saw. sedangkan versi kedua adalah sebagai berikut: Ali bin Alwi bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin Musa al-Kadim bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Fatimah bin Nabi Muhammad saw.

Lihat bagan di bawah ini:

No

VERSI PERTAMA

VERSI KEDUA

 

Leluhur Abdurrahman al-Saqqaf

Leluhur Bani Ahdal

Leluhur Aburrahman al- Saqqaf

Leluhur Bani Ahdal

1.

Nabi Muhammad Saw

Nabi  Muhammad Saw

Nabi     Muhammad Saw

Nabi      Muhammad Saw

2.

Fatimah

Fatimah

Fatimah

Fatimah

3.

Husain

Husain

Husain

Husain

4.

Ali Zainal

Ali Zainal

Ali Zainal

Ali Zainal

5.

Al-husain       (al- Asgar)

Al-Husain          (al- Asgar)

Muhammad           al- Baqir

Muhammad            al- Baqir

6.

Al-hasan

Al-hasan

Ja’far al-Shadiq

Ja’far al-Shadiq

7.

Aon

Aon

Musa al-Kadim

Musa al-Kadim

8.

Himham

Himham

Aon

Aon

9.

Muhammad

Muhammad

Himham

Himham

10

Alwi

Alwi

Muhammad

Muhammad

11

Isa

Isa

Alwi

Alwi

12

Ubaid

Ubaid

Isa

Isa

13

Alwi

Sulaiman

Ubaid

Ubaid

14

Ali (Khaliqosamam)

Muhammad

Alwi

Sulaiman

15

 

 

Ali (Khaliqosam)

Muhammad

Lihat kakek mereka adalah sama-sama Ubaid. Ubaid inilah yang  nanti dalam keluarga Abdurrahman al-Saqqaf berubah menjadi Abdullah kemudian Ubaidillah. Perlu diketahui pula, sebelumnya tidak ada suatu sumber pun yang dijadikan rujukan  susunan silsilah semacam  gambar di atas dari kedua keluarga, ia baru disusun pada abad ke-9 Hijriah. kitab Al-Suluk karya Al-janadi pun hanya menyebut keluarga Bani Ahdal sebagai ‚Syarif Husaini‛ (keturunan Nabi dari jalur Husain) tidak mengurut nama-nama silsilahnya. Diakui oleh Husain al-Ahdal (w.855 H.), bahwa ia menyambungkan silsilah seperti di atas, baik versi pertama maupun kedua, hanya berdasar lembaran yang ia temukan di abad ke-9. Sedangkan silsilah keluarga Abdurrahman al-Saqaf, hanya membonceng dalam silsilah Bani Ahdal. Dan susunan semacam itu tertolak oleh kitab-kitab nasab yang yang telah ditulis pada abad ke-5 sampai kesembilan, karena diketahui bahwa Al-Hasan bin Husain al-Ashgar tidak mempunyai anak bernama Aon,69    dan Musa al-Kadim tidak mempunyai anak bernama Aon.70 Keduanya tertolak.

Keluarga Abdurrahman al-Saqaf pun mengadakan usaha yang sama seperti keluarga Bani Ahdal untuk dapat melengkapi silsilah mereka. Kemungkinan, ketika mereka mengetahui bahwa silsilah Bani Ahdal telah ditemukan, dan di dalamnya tertolak oleh kitab-kitab nasab, maka mereka mulai mendapatkan sedikit harapan dari kitab Al-Suluk, yaitu ketika ditemukan silsilah dari Abul Hasan Ali atau Syarif Abul Jadid, di mana dalam silsilah itu ada dua nama yang sama dengan silsilah Bani Ahdal, yaitu Isa dan Alwi; dan ada satu nama yang mirip yaitu Abdullah yang mirip dengan Ubaid. Apalagi ada kalimat bahwa Syarif Abul Jadid ini berasal dari keluarga ‚Alu Abi Alwi‛, di mana nama Alwi telah ada dalam silsilah Bani Ahdal itu. Hal yang demikian membuat keluarga Abdurrahman al- Saqaf menganggap silsilah inilah yang lebih meyakinkan karena telah masuk dalam kitab sejarah penting di Yaman, yaitu Al-Suluk, dibanding hasil usaha dari Husain al-Ahdal yang jelas susunan nasab seperti itu tertolak kitab-kitab nasab. secara formal, usaha itu dilaksanakan dengan baik oleh cucu Abdurrahman al-Saqaf yang beranama Ali bin Abubakar al-Sakran bin  Abdurrahman  al-Saqaf  yang  wafat tahun 895 Hijriah. Ia menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Burqat al-Musi>qat yang mulai memperkenalkan silsilah permanen dari keluarganya melalui jalur yang sama dengan silsilah Syarif Abul Jadid. Tentu usaha itu memerlukan kerja tambahan yaitu harus mampu mengahrmonisasikan sejarah keluarga mereka dengan sejarah keluarga Syarif Abul Jadid, plus harus pula diharmonisasi dengan keluarga Bani Ahdal yang sebelumnya mereka telah membonceng  sejarahnya. Nanti kita akan dapat melihat betapa pun usaha harmonisasi itu dilakukan, tetapi hasilnya masih tetap banyak kebocoran di sana sini.
Redaksi yang ditulis Al-janadi dalam kitab Al-Suluk tentang nasab Syarif Abul Jadid atau Abu Hasan Ali adalah sebagai berikut:

Terjemah:

‚Dan aku ingin memberikan susulan nama-nama orang-orang yang datang ke Ta’iz dan belajar di sana. Mereka adalah jama’ah dari tingkatan pertama. sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Ahmad bin Hadif (Jadid, dua riwayat manuskrip) bin Ali bin bin Muhammad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman. Asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf. Termasuk didalamnya para ahli fikih yang akan datang penyebutan mereka yang aku ketahui dengan benar, insya Allah Ta’ala, bersama ahli negerinya.‛

Dari redaksi ini, Ali bin Abubakar al-Sakran kemudian mengurut silsilah keluarga Abdurrahman al-Saqaf berbeda dari keluarga Bani Ahdal yang katanya satu kakek itu. perhatikan ucapan Ali al-Sakran di bawah ini:

Terjemah:

‚Dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat, untuk pertama kali, berdasar apa yang terdapat dari Tarikh al-Jundi (kitab al-Suluk) dan kitab Talkhis al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, Ali bin Muhammad bin Ahmad Jadid, bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin Ahmad bin Isa. (yaitu) ketika ia (al-Janadi) berkata: sebagian dari mereka adalah  Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad  bin Jadid (Hadid,  dua riwayat manuskrip) bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf‛.

Untuk selanjutnya, Ali al-Sakran mengurut silsilah keluarga Abdurrahman menjadi sebagai berikut: Ali (khali Qosam) bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Ubaid (Ubaidillah/Abdullah) ‚bin‛ Ahmad bin Isa bin Muhammad al- Naqib bin Ali al-Uraidi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah binti Muhammad Saw. Dari sini  kita  melihat silsilah nasab keluarga Abdurrahman al-Saqaf terjadi perubahan signifikan dari silsilah Bani Ahdal yang katanya satu kakek tersebut. Dalam versi Husain al-Ahdal tiga nama yang berurut yaitu: Ubaid bin Isa bin Alwi, telah berubah menjadi Alwi bin Ubaid bin Ahmad bin Isa, dengan ditambah Ahmad antara ubaid dan Isa. perubahan itu berdasarkan silsilah keluarga Syarif Abul Jadid tersebut. Sayangnya, kreasi (ijtihad) yang luarbiasa ini tidak diamini oleh keluarga Bani Ahdal, untuk waktu-waktu berikutnya keluarga Bani Ahdal tidak menggunakan versi keluarga Abdurrahman al-Saqaf ini, mereka tetap menggunakan salah satu versi silsilah dari yang disebut Husain al-Ahdal dalam kitabnya Tuhfat al-Zaman. Akhirnya, dua orang yang satu kakek ini kemudian silsilahnya berbeda. Seperti Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad al-Ahdal (w. 1035 H.) dalam kitabnya Al-Ahsab al- ‘Aliyyah fi al-Ansab al-Ahdaliyyah mengatakan:

Terjemah:

‚Dan  adapun  nasabnya,  radiallahu  ‘anhu,  adalah:  Ali  al-Ahdal  bin  Umar  bin Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin ‘Aon bin Musa al-kadim bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Talib, Ridwanallahu ‘alaihim ajma’in‛

Dari sinilah kemudian singkronisasi dan harmonisasi antara sejarah Bani Ahdal dan Syarif Abil Jadid yang diramu keluarga Abdurrahman al-Saqaf menjadi sulit dilakukan. Sebelum membicarakan kerancuan, penulis ingin mengungkapkan, bahwa keluarga Abdurrahman al-Saqaf semenjak usaha mereka mencari silsilah dan  menemukan  harapan  dari  kitab  Al-Suluk  itu,  telah  mengidentifikasi  diri dengan sebutan permanen sebagai keluarga ‚Aba Alwi‛ yang kemudian menjadi ‚Ba’alwi‛. Nama itu didapat dari penamaan Al-Janadi terhadap keluarga Syarif Abil Jadid. Usaha singkronisasi itu untuk waktu kemudian lebih mengarah  ke sejarah Syarif Abul Jadid daripada sejarah Bani Ahdal, akibatnya, ke-tidakakurat- an susunan sejarah, untuk waktu selanjutnya terlihat antara sejarah Ba’alwi dan sejarah Bani Ahdal.

Alwi Menjadi Saudara syarif Abul Jadid

Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.), cucu Abdurrahman al-Saqaf, dari abad sembilan mengurut silsilah keluarganya sebagai berikut: Abdurrahman al- Saqaf bin Muhammad (Maula Dawilah) bin Ali (Sahibudark) bin Alwi (Al-Gayyur) bin Muhmmad (Faqih Muqoddam) bin Ali bin Muhammad (Sahib Mirbat) bin Ali (Khaliqosam) bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaid ‚bin‛ Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al- Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah bin Nabi Muhammad Saw. silsilah ini benar-benar telah berbeda dengan silsilah saudara sepupu Ba’alwi yaitu Bani Ahdal. 

Bani Ahdal yang sejarahnya dalam Al-Suluk telah dibonceng itu kini telah ditinggalkan; nama Ubaid, Isa dan Alwi, yang didapat dari susunan silsilah keluarga Bani Ahdal itu kini susunannya telah berubah. Setelah dulu membonceng sejarah Muhammad bin Sulaiman yang disebut kitab Al-Suluk berhijrah dari Irak ke Yaman sebagai seorang ‚Sayarif Husaini‛, kemudian dikatakan bahwa leluhur Ba’alwi hijrah bersama Muhammad bin Sulaiman dan merupakan saudara sepupu (satu kakek), kini Ba’alwi harus pula dapat menyambungkan silsilah dan kesejarahan mereka itu dengan silsilah dan kesejarahan Syarif Abul jadid dari keluarga Abu Alwi, yang ia berusaha membonceng itu. Maka untuk keperluan itu, dikatakanlah bahwa Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa adalah saudara satu ayah dengan ‘Alwi dengan menambah satu nama lagi sebagai saudara yaitu Basri. Jadi, Ubaid ini mempunyai anak tiga: Jadid, Alwi dan Basri. Ali al-Sakran mengatakan:

Terjemah:

‚Dan bagi ‘Alawi bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far ada saudara  laki-laki namanya Syaikh Jadid…dan bagi Jadid bin Abdullah dan ‘Alawi bin Abdullah ada sudara laki-laki yang bernama Syaikh Bashri‛

Dasar-dasar singkronisasi sejarah keluarga Abdurrahman  al-Saqaf  yang kini telah memperkenalkan diri sebagai Ba’alwi itu benar-benar telah dibangun sedemikian rupa oleh Ali al-Sakran, paling tidak menurut versi formal yang ditulis dalam sebuah kitab yang dapat kita temui. Tentu, dasar-dasar itu, penulis yakini, telah berkembang sebelum Ali al-Sakran menulisnya, hal itu terkait usaha-usaha keluarga Abdurrahman al-Saqaf dalam mencari silsilah keluarganya yang dimulai dari membonceng sejarah dan silsilah Bani Ahdal kemudian beralih kepada silsilah nasab dan sejarah Syarif Abil Jadid dari keluarga Abu Alwi yang terdapat dalam Al-Suluk. Termasuk, konon, adanya kitab yang bernama Al-jauhar al-Syafaf  yang ditulis oleh Abdurrahman al-Khatib. Penulis mengabaikan kitab ini, karena salah satu manuskrip yang versi PDF-nya penulis punyai tidak meyakinkan bahwa kitab ini benar-benar ditulis oleh orang yang berada di abad sembilan Hijriah. Rupanya kitab Al-Suluk yang ditulis awal abad ke-8, benar-benar sangat dihormati oleh ulama abad ke-9 Hijriah itu, sehingga leluhur keluarga yang tidak tercatat dalam Al-Suluk, seperti keluarga Abdurrahman al-Saqaf ini, harus berusaha maksimal mencari celah kekosongan yang bisa diisi keluarga mereka. 

Usaha itu, dilakukan pertama dengan membonceng sejarah Bani Ahdal tentang hijrahnya leluhur Bani Ahdal yaitu Muhammad bin Sulaiman, dengan mengatakan bahwa  leluhur Abdurrahman al-Saqaf ini adalah saudara sepupu satu kakek dengan Muhammad bin Sulaiman. Untuk kemudian, membonceng sejarah dan silsilah Syarif Abil jadid untuk melengkapi, mengkreasi plus merestorasi silsilah keluarga Bani Ahdal yang masih belum final dan mempunyai dua versi. Sungguh sangat disayangkan, Ali al- Sakran hanya berpegang dengan satu manuskrip Al-Suluk, yaitu manuskrip versi Mesir yang disalin tahun 877 Hijriah. 

Rupanya, manuskrip yang lebih tua, seperti mansukrip Paris yang disalin tahun 822 H., yang tidak menyebut nama Abdullah tidak sampai kepada Ali al-Sakran. Akibatnya, silsilah Ba’alwi  hari  ini  bukan hanya ditolak oleh kitab-kitab nasab, tetapi dirinya juga tertolak oleh kitab Al- suluk sendiri dengan manuskrip yang lebih tua. Dalam manuskrip yang lebih tua disebutkan, bahwa Jadid bukan anak Abdullah bin Ahmad, tetapi ia adalah anak langsung dari Ahmad. Tidak pula bisa dikatakan bahwa penyebutan Jadid bin Ahmad adalah silsilah versi pendek dari silsilah panjang yang  telah  diketahui, karena penyebutan Jadid sebagai anak Abdullah tidak pernah disebutkan kitab- kitab semasa atau sebelumnya. Maka manuskrip yang lebih tua yang harus diduga kuat lebih mendekati kebenaran daripada yang lebih muda. Dengan tidak adanya nama Abdullah dalam manuskrip Paris yang lebih tua, maka teori Ali al-Sakran bahwa  Ubaid  yang  tercatat  dalam  versi  Bani  Ahdal    adalah  nama  lain  dari Abdullah, tertolak mentah-mentah.

Berita Hijrah Muhamad bin Sulaiman Menjadi Tidak Singkron

Husain al-Ahdal (w.855 H.), dalam kitabnya Tuhfat al-Zaman menyebutkan, bahwa kakeknya yang bernama ‘Ali al-Ahdal itu adalah putra dari Umar bin Muhammad bin Sulaiman. 75Ali bin Umar al-Ahdal ini disebut oleh Al- Janadi dalam kitab Al-Suluk wafat tahun 690 Hijriah.76 Sedangkan Muhammad bin Sulaiman wafat tahun 540 Hijriah, sebagaimana disebut Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Zabarat al-Son’ani (w.1381 H.) dalam kitabnya Nail al- Hasanain.77 Jika demikian keadaannya, yaitu Muhammad bin Sulaiman  wafat tahun 540 Hijriah, maka akan sulit dapat diterima logika jika ia berhijrah dari Irak ke yaman pada tahun 317 Hijriah bersama Ahmad bin Isa, sebagaimana berita keluarga Ba’alwi, karena berarti ketika Muhammad bin Sulaiman itu wafat tahun 540 Hijriah umurnya telah lebih dari 223 tahun. 

Dari kedua berita tahun hijrah itu pasti salah satunya adalah salah. Pertanyaannya adalah mana di antara kedua berita itu yang kemungkinan besar salah? tentu, jika  kita  membaca kembali tentang bahwa keluarga Ba’alwi ini sebenarnya hanya membonceng sejarah Bani Ahdal, maka selaiknya yang harus diduga kuat salah atau dusta adalah tahun hijrah yang bertitimangsa tahun 317 Hijriah. Dilihat dari urutan silsilah, jelas sekali bahwa Muhammad bin Sulaiman ini, satu generasi dengan Ali Khaliqosam (w.529 H.), bukan dengan Ahmad bin Isa (w.345 H.?). Hal itu dikuatkan, seperti yang telah penulis sebutkan, Ahmad bin Isa tidak pernah hijrah dari Basrah ke Yaman, tidak ada satupun sumber sezaman atau yang mendekatinya yang bisa dijadikan pegangan keluarga Ba’alwi tentang berita tersebut. 

Bahkan berita keberadaannya di Basrah saja, tidak bisa dibuktikan oleh sumber apapun. Adapun nama Ahmad bin Isa yang dikutip Muhammad Dhiya’ Sihab dalam kitabnya Imam Ahmad al-muhajir itu adalah kesalahan dalam mengidentifikasi tokoh, ia bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, tetapi ia adalah Ahmad bin Isa bin Zaid seorang Imam Syi’ah Zaidiah. Jika Ali Khaliqasam adalah orang yang berhijrah ke Tarim pada abad ke-6 H., lalu ia berhijrah dari mana? Menurut hemat penulis ia berhijarh dari India melalui Mirbat. Pertama, karena pada abad ke-5 dan ke-6 Hijriah interaksi masarakat Mirbat dan India sangat ramai karena adanya pelabuhan di sana. Yang kedua, adanya berita Muhammad bin Ali yang berada di Mirbat kemudian diberi gelar ‚Sahib Mirbat‛. Setelah sampai di Mirbat bersama ayahnya dan anaknya, Muhammad bin Ali wafat di Mirbat, lalu ayahnya, Ali Khaliqosam hijrah bersama cucunya, Ali (ayah Faqih Muqoddam) ke Tarim. Hasil test Najwa Sihab (tokoh perempuan Indonesia keturunan Ba’alwi)  mengkonfirmasi  bahwa 48% fragmen DNA-nya berasal dari India.78

Bersamaan dengan semua hal di  atas, Abdullah Muhammad al-Habsyi, dalam footnote kitab Tuhfat al-Zaman yang ia tahqiq, berusaha mempertahankan narasi hijrahnya Ahmad bin Isa di tahun 317 Hijriah itu. Ia memberi catatan kaki redaksi Husain al-Ahdal yang menyebut bahwa leluhurnya yang bernama Muhammad bin Sulaiman hijrah dari Irak ke Yaman. Abdullah Muhammad al- Habsyi mengatakan: bahwa yang berhijrah itu bukan Muhammad bin Sulaiman tetapi Muhammad bin Himham.79 Narasi aneh semacam itu diperlukan agar singkron narasi Ba’alwi bahwa yang berhijrah adalah Ahmad bin Isa, karena yang semasa dengan Ahmad bin Isa adalah Muhammad bin Himham bukan Muhammad bin Sulaiman. 

Kita menyaksikan, bahwa ia yang sejarahnya membonceng, kemudian mengatur bahkan mendominasi runtutan sejarah yang diboncengnya itu. kita akan sering baca dalam  tulisan Abdullah Muhammad al-Habsyi pada khususnya, dan penulis sejarah Ba’alwi pada umumnya, yaitu ketika sebuah data historis ditemukan tidak sesuai dengan kesimpulan kesejarahan Ba’alwi, maka data historis itu yang harus disesuaikan, bukan sebaliknya. Bahkan, kita akan dapati adanya usaha-usaha interpolasi halus dan kasar yang dilakukan para pen-tahqiq Ba’alwi terhadap kitab-kitab ulama yang mereka tahqiq. Dari itu, perlu kewaspadaan tinggi dan  analisis kritis jika membaca kitab  karya  Ba’alwi  atau kitab yang di-tahqiq mereka dalam sejarah dan genealogi mereka.

Ubaidillah dan Nama-Nama Fiktif dari Keluarga Ba’alwi

Seperti diketahui di atas, bahwa silsilah Ba’alwi mengacu, pada mulanya, kepada silsilah Bani Ahdal.  Sejarah mereka, pada mulanya pula, membonceng sejarah Banu Ahdal. Dan seperti diketahui, bahwa pengurutan silsilah Banu Ahdal, baru muncul di abad ke-9, yaitu ketika Husain al-Ahdal menemukan kertas berisi dua versi dari silsilah mereka. Al-Janadi, sejarawan Yaman, dalam Al-Suluk  hanya menyebut leluhur Bani Ahdal sebagai ‚Syarif Husaini‛, tetapi  ia  tidak menyebutkan urutan silsilah mereka kepada Nabi Muhammad Saw., sementara, kitab-kitab nasab di abad ke-4 sampai ke-9 Hijriah tidak ada yang mencatat keluarga Bani Ahdal sebagai keluarga Nabi Muhammad Saw. maka silsilah keluarga Ba’alwi pun, sebagai silsilah yang dihasilkan dari cloning silsilah Bani Ahdal, sama kedududkannya, yaitu sebagai silsilah yang dihasilkan dari kreasi, asumsi dan interpretasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. 

Nasib Bani Ahdal lebih baik dari nasib Ba’alwi karena sejarah Bani Ahdal telah terkonfirmasi sudah eksis di abad ke-7 Hijriah ketika Al-Suluk mereportase seorang sufi yang ‚ummi‛ (tidak dapat membaca dan menulis) bernama Ali bin Umar al-Ahdal dan menyebut leluhurnya sebagai ‚Syarif Husaini‛, yang berhijrah dari Irak ke Yaman, sementara Ba’alwi (keluarga Abdurrahman al-Saqaf) pada abad ke-7 itu masih gelap gulita, tidak ada satupun sejarawan atau ahli nasab yang mencatat mereka, apalagi tentang hijrahnya sosok yang diakui sebagai leluhur mereka yaitu Ahmad bin Isa, dari Irak ke Yaman.

Kemudian, keluarga Ba’alwi mengkolaborasikan silsilah mereka yang versi Bani Ahdal dengan silsilah Syarif Abil Jadid yang terdapat dalam kitab Al-Suluk. Penulis akan membawa pembaca untuk menganalisa silsilah Ba’alwi yang hari ini mereka akui, yaitu dari silsilah Syarif Abil Jadid versi manuskrip Mesir, kemudian kita bandingkan dengan silsilah yang terdapat dalam manuskrip versi Paris, dari situ kita akan dapat mengetahui sebenarnya ada beberapa nama yang fiktif, baik dari keluarga Syarif Abil Jadid, maupun keluarga Ba’alwi.

Perhatikan gambar di bawah ini:
 

No

Silsilah Jadid Versi manuskrip Mesir tahun 877 H.

Silsilah Jadid Versi manuskrip Paris tahun 822 H.

Silsilah Ba’alwi

versi      cloning

silsilah Jadid versi manuskrip Mesir

Silsilah Ba’alwi

versi      cloning

silsilah jadid versi manuskrip Paris

1

Nabi Muhammad Saw

Nabi Muhammad Saw

Nabi Muhammad Saw

Nabi  Muhamad Saw.

2.

Fatimah

Fatimah

Fatimah

Fatimah

3.

Husain

Husain

Husain

Husain

4.

Ali Zainal

Ali Zainal

Ali Zainal

Ali Zainal

5.

Muhammad al-baqir

Muhammad       al- baqir

Muhammad  al- baqir

Muhammad  al- baqir

6.

Ja’far al-Shadiq

Ja’far al-Shadiq

Ja’far al-Shadiq

Ja’far al-Shadiq

7.

Ali al-Uraidi

Ali al-Uraidi

Ali al-Uraidi

Ali al-Uraidi

8.

Muhammad al-Naqib

Muhammad       al- naqib

Muhammad  al- naqib

Muhammad  al- naqib

9.

Isa

Isa

Isa

Isa

10.

Ahmad

Ahmad

Ahmad

Ahmad

11.

Abdullah

 

Abdullah

 

12.

Jadid

 

Alwi

 

13.

Muhammad

 

Muhammad

 

14.

Jadid

Jadid

Alwi

Alwi

15.

Ahmad

Ahmad

Ali (Khaliqosam)

Ali (Khaliqosam)

16.

Muhammad

Muhammad

Muhammad (sohib Mirbat)

Muhammad (Sohib Mirbat)

17.

Abul  hasan  Ali  (Syarif Abul Jadid)

Abul Hasan Ali (syarif  Abul jadid)

Ali (ayah Faqih Muqoddam

Ali (ayah faqih Muqoddam)

Dari gambar itu, dengan melihat perbandingan silsilah Ba’alwi dengan silsilah Syarif Abil jadid, kita mengetahui bahwa silsilah Syarif Abil Jadid versi manuskrip Mesir ada tiga nama yang diduga kuat fiktif yaitu nomor 11, 12 dan 13 (Abdullah, Jadid dan Muhammad), karena manuskrip yang lebih tua menyebutkan bahwa silsilah Syarif Abul jadid adalah: Abul Hasan Ali/Syarif Abul Jadid bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ahmad bin Isa. Jadi, Jadid langsung berayah Ahmad bin Isa. dari sana, kita juga mengetahui bahwa silsilah Ba’alwi juga seharusnya seperti itu, yaitu: Ali (ayah Faqih Muqoddam) bin Muhammad (Sohib Mirbat) bin Ali (Khaliqosam) bin Alwi bin Ahmad bin Isa. jadi Alwi kedua seharusnya langsung berayah Ahmad bin Isa, hal itu karena hakikatnya, silsilah Ba’alwi itu hanya kreasi hasil cloning dari silsilah Syarif Abul Jadid. Kenapa tiga nama itu ditambahkan? Tiga nama itu ditambahkan untuk menutupi interval tahun yang tidak masuk akal antara Syarif Abul jadid yang ditulis Al-Janadi wafat pada tahun 620 Hijriah, dengan tahun wafat Ahmad bin Isa yang wafat pada tahun 345 Hijriah (?).  jarak  antara keduanya mencapai 275  tahun yang  memerlukan setidaknya enam nama. Jika tidak ada penambahan tiga nama tersebut,  maka jumlah nama antar keduanya hanya tiga nama yang tentu akan dianggap aneh oleh pakar genealogi.

Kesimpulan dari hasil perbandingan antara nasab Ba’alwi dan nasab Syarif Abul Jadid, ada tiga nama dari silsilah Ba’alwi yang fiktif dan ahistoris yaitu: Abdullah/ubaidillah/Ubaid, Alwi pertama dan Muhammad. Tidak hanya sampai di situ, ketika kita telusuri nama-nama dari mulai Alwi sampai Muhammad Maula Dawilah, ayah dari Abdurrahman al-Saqaf, pun semuanya sunyi dari reportase para pencatat nasab keturunan Nabi dan para sejarawan. Nama mereka dengan kesejarahannya yang ‚luar-biasa‛ itu, hanya ada dalam kitab-kitab  keluarga Ba’alwi mulai abad kesembilan Hijriah.
 
Glorifikasi Leluhur Ba’alwi

Klan Ba’alwi, mungkin salah satu klan yang banyak memproduksi kitab- kitab yang didalamnya penuh berisi penguatan pengakuan  mereka  sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. setidaknya ada 27 kitab yang ditulis yang memuat tentang penguatan silsilah mereka itu. Tetapi kesemuanya akan bermuara kepada kitab abad sembilan yaitu Al-burqat al-Musyiqat. Referensi mereka akan mentok terputus di abad sembilan itu. Selain kitab Al-Burqat al-Musyiqat, sebenarnya di abad sembilan itu, ada kitab-kitab yang ditulis yang memuat silsilah mereka seperti kitab Al-Jauhar al-Syafaf yang katanya karya Abdurrahman bin Muhammad al-Khatib, yang katanya pula wafat tahun 855 Hijriah. Tetapi sosok Al-Khatib ini ‚majhul‛ (tidak dikenal) oleh para penulis biografi ulama. Bahkan informasi dari kitab Hadiyyat al-Arifin karya Isma’il Basya al-Babani, nama Abdurrahman bin Muhammad yang menulis Al-jauhar al-Safaf, telah wafat tahun 724 H.80 demikian pula yang disebutkan oleh Umar Rido Kahalah dalam kitab Mu’jam al-Mu’allifin.81 Bahkan, manuskrip yang sampai kepada kita hari  ini adalah manuskrip baru yang ditulis tahun  1408 H.

Rupanya, Abad sepuluh dan sebelas Hijriah dihitung sebagai dua abad yang sangat penting bagi klan Ba’alwi untuk mempopularkan mereka sebagai keturunan Nabi. Ada sembilan kitab yang ditulis untuk kepentingan itu yaitu: Al- Juz’ al-Latif karya Abubakar bin Abdullah al-Idrus (w.914 H.). Kitab ini kemudian ditemukan Ibnu Hajar al-Haitami setelah wafat penulisnya, dan Ibnu Hajar mengutip banyak sekali silsilah sanad tarekat dan ‘lubsul hirqat’ (kain tarikat) dari kitab ini; kitab selanjutnya adalah Tarikh Sanbal karya Syaikh Sanbal (w. 960 H.). kitab ini diragukan oleh para pakar sebagai kitab abad 10 Hijriah, dan sosok Syaikh Sanbal inipun diragukan pernah hidup di abad itu; kitab selanjutnya adalah Al- Gurar karya Muhammad Ali Khirid Ba’alwi (w.960 H.), kitab ini sangat dipengaruhi oleh kitab Al-Burqat al-musiqat; selanjutnya kitab Tiryaq al-Qulub karya Umar bin Muhammad Basaiban (w.944), Al-Masra’al-Rawi karya Muhammad bin Abu Bakar al-Sili (w.1093 H.), Muhtasar al-Gurar karya Muhammad bin Abdullah al-Idrus (w.1031 H.), Al-‘Iqd al-Nabawi karya Syaikh bin Abdullah al-Idrus (w.1041 H.), Hidmat al-Sadat Bani Alawi karya Abdulqadir bin Syekh al-Idrus (w.1038 H.), Al-Nur al-Safir karya Abdulqadir bin Syekh al- Idrus  (w.1038  H.).  Semua  kitab-kitab  itu  mempunyai  pola  yang  mirip  dalam mengglorifikasi peran leluhur mereka, sayangnya semua sifat-sifat  kesejarahan yang ditulis dalam kitab-kitab itu tentang leluhur mereka tidak terkonfirmasi sumber-sumber primer dan sekunder.

Kisah-kisah tentang Ahmad bin Isa, bahwa ia seorang ‚imam‛ dan ulama tidak terkonfirmasi sumber-sumber sezman atau yang  mendekatinya,  demikian pula ketokohan Ubaidillah. Dalam litaratur ulama Ba Alawi, Ubaidillah ditulis wafat tahun 383 Hijriah. Ia seorang Imam yang dermawan; seorang ulama yang ‚rasikh‛ (mendalam ilmunya); guru para ‛Syaikul Islam‛; pembuka kunci-kunci ilmu yang dirahasiakan; Tiada ditemukan yang menyamainya (dizamannya). Demikian sebagian yang ditulis ulama Ba alawi tentang Ubaidillah hari ini.82 Anehnya, seorang ‚Imam Besar‛, yang hidup di abad empat hijriah, sejarahnya gelap gulita pada masanya. Tidak ada satu kitab-pun membicarakannya. Jika ia Imam,  tidak  ada  seorang  pengikutnya-pun  mencatatnya.  Jika  ia  guru  para ‚Syaikhul Islam‛, tidak ada seorang ‛Syaikhul Islam‛-pun menyebut namanya, mengutip pendapat gurunya, bahkan walau hanya menulis namanya dalam silsilah sanad  keguruannya.  Ia  benar-benar  ‚orang  besar‛    yang  mastur  dan  misterius.

‚Imam besar‛ ini, hidup di Abad empat hijriah, katanya, ia lahir dan tumbuh besar di Basrah, lalu umur duapuluh tahun hijrah bersama ayahnya ke Yaman. Di Abad itu, di Basrah dan di Yaman, puluhan kitab ditulis, ratusan ulama hidup bergaul satu dengan lainnya, namun, di antara mereka, seorangpun tidak mencatat interaksinya dengan Ubaidillah. Kemanakah Ubaidillah sang ‚Imam Besar‛ ini bersembunyi? Nama Ubaidillah dan biografi hidupnya, baru muncul 512 tahun setelah wafatnya. Sosoknya, pertama kali di munculkan oleh Ali Al-Sakran (w. 895 H). Bukan hanya menyebut nama dalam rangkaian silsilah,  Al-Sakran, bahkan, telah berhasil mengungkap ketokohan Ubaidillah. Sesuatu yang tidak diketahui oleh ulama yang hidup sezaman atau berdekatan dengan Ubaidillah. Ia dapat diketahui oleh Al-Sakran tanpa sumber-sumber pendukung apapun. Al- Sakran adalah pioneer dalam meruntut ‚sejarah‛ Ubaidillah, dan sukses menjadikannya sebagai sosok ‚menyejarah‛. Demikian pula tokoh lain  dalam silsilah Ba’alwi seperti Alwi pertama, Muhammad dan Alwi kedua, sosoknya yang begitu punya peran penting dalam redaksi kitab-kitab Ba’alwi, tidak terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya, semuanya kembali kepada kitab Al-Burqat al-Musyiqat di abad ke-9 Hijriah.

Muhammad bin Ali (w.556 H.) yang diberi gelar ‚Sohib Mirbat‛ oleh penulis Ba’alwi. Sosoknya ditulis oleh Muhammad bin Ali Khirid Ba’alwi sebagai imaman mutqinan‛ (imam yang menguasai ilmu dengan dalam); ‚wahidu asrihi fi al-ilmi wa al-‘amal‛ (paling berilmu dan beramal di masanya).83

Tetapi sosoknya sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama baik ulama nasab maupun ulama sejarah dan ‚tabaqat‛ (biografi ulama). Alwi bin Tahir dalam kitab Uqud al-Almas mengatakan bahwa Muhammad ‚Sahib Mirbat‛ adalah penyebar Madhab Syafi’I di Hadramaut, Difar dan Yaman dan para ulama-ulama di Mirbat adalah murid- murid Muhammad ‚Sahib Mirbat.84 Berita semacam itupun tidak bisa dikonfirmasi oleh sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya. Berbeda dengan ulama di Mirbat lainnya yang terkonfirmasi kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya, seperti Muhammad bin Ali al-Qol’iy (w.577 H.), dari tahun wafatnya kita melihat bahwa ia hidup sezaman dengan Muhammad ‚Sahib Mirbat‛. 

Al-janadi dalam Al- Suluk menyebut ulama-ulama di Mirbat itu adalah murid-murid Imam al-Qol’iy.85 Al-Janadi banyak menyebut nama-nama ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut ada seorang ulama di Mirbat bernama  Muhammad  ‚Sahib  Mirbat‛.  Begitupula Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) dalam kitabnya Tabaqat Fuqaha al-Yaman ia menyebut nama Imam al-Qol’iy sebagai ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut nama Muhammad ‚Sahib Mirbat‛.86

Bahkan, gelar Sohib Mirbat, terkonfirmasi bukan gelar untuk Muhammad bin Ali, tetapi ia adalah gelar yang diberikan kepada Penguasa di Kota Mirbat yang bernama Muhammad bin Ahmad al-Ak-hal al- Manjawi. ia adalah sosok historis yang hidup satu masa dan satu kota dengan Muhammad bin Ali ‚Sahib Mirbat‛ Ba’alwi. Al-Akhal adalah penguasa terakhir Kota Mirbat dari Dinasti al-Manjawi. Muhammad al-Akhal Sohib Mirbat disebut al-Akhal karena memakai celak dimatanya atau karena matanya ada tanda hitam sejak lahir. Ibnul Atsir, pakar sejarah abad ke-7 dalam kitabnya Al-Kamil fi al- Tarikh menyebutkan bahwa di tahun 601 Hijriah, Muhammad al-Akhal Sohib Mirbat, digantikan oleh mantan menterinya yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari.87 Sementara Muhamad bin Ali Ba’alwi, namanya tidak tercatat sebagai apapun, dengan gelar ataupun tanpa gelar. Dengan disebut ulama ataupun bukan. jika ia benar-benar sosok historis, kemana ia bersembunyi di Kota Mirbat, sampai ulama pengarang kitab sejarah tak mencatatnya, padahal ulama lainnya tercatat dalam sejarah Mirbat?

Keberadaan makam Muhammad bin Ali ‚Sohib Mirbat‛ hari ini pun patut kita telusuri keasliannya. Benarkah makam itu ada di Mirbat sejak abad ke-6 Hijriah? Makam Muhammad ‚Sohib Mirbat‛ hari ini mempunyai batu nisan dengan ukiran yang bagus. Inskripsi batu nisan itu berangka tahun 556 Hijriyah. Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun 556 H? Di Yaman, abad ke enam belum dikenal seni pahat batu. Hal tersebut difahami dari bahwa para raja yang berkuasa di Yaman pada abad enam dan sebelumnya, dari Dinasti Al-Manjawih dan dinasti Al-Habudi, makamnya tidak ada yang berbatu nisan dengan pahatan kaligrafi. 

Bagaimana ‚orang biasa‛ nisannya berpahat indah dengan harga yang mahal, jika rajanya saja tidak? Raja pertama yang makamnya berbatu nisan dengan pahatan indah adalah Raja Al-Watsiq Ibrahim dari dinasti Rasuli yang wafat pada tahun 711 H. batu nisan itupun bukan produksi Yaman, tetapi di  impor dari India. Bayangkan abad ke-8 saja, batu nisan raja Yaman harus di impor dari India, bagaimana duaratus tahun sebelumnya makam Sohib Mirbat sudah mempunyai batu nisan yang sama indahnya. Pada akhir abad ke-8 Dinasti Rasuli kemudian membawa para pengarjin pahat dari India untuk membuat nisan. Dari situlah awal mula banyak raja, ulama dan orang kaya, batu nisannya memiliki pahatan dan ukiran. Hal itu bisa dibuktikan dengan bahan jenis batu yang berbeda antara batu pahatan Raja al-Watsiq dan pahatan batu nisan selanjutnya. Dimana, struktur dan jenis batu Raja Al-Watsiq berasal dari daerah India, sedangkan jenis batu dari nisan lainnya adalah batu lokal dari Yaman. Batu Nisan Muhammad ‚Sohib Mirbat‛, dapat di yakini baru dibuat pada abad Sembilan atau sesudahnya, berbarengan dengan kontruksi nasab Ba Alawi yang secara formal ditulis oleh Ali al-Sakran.

Sejarah Muhammad bin Ali yang kemudian diberi gelar ‚Al-Faqih al- Muqoddam‛ oleh penulis-penulis Ba’alwi, kesejarahannya juga tidak tereportase para ulama sezaman. Muhammad Diya’ Sahab dalam Hamisy Syams al-Dahirat menyebutkan tentang Faqih Muqoddam: Ia adalah salah seorang yang paling popular; Ia seorang ulama besar yang berhasil mengumpulkan ilmu dan amal; Ia adalah ulama yang telah laik berijtihad karena telah mencapai derajat ilmu riwayat dan ilmu logika. Karena itulah ia bergelar ‚Al-Faqih al-Muqoddam‛ (Rajanya ahli fikih) dan ‚Al-Ustad al-A’zom‛ (guru besar). Tidak ada ulama sebelumnya yang bergelar seperti dia; Ia adalah seorang ‚Al-muhaddits‛ (ahli hadits), ‚Al-Mudarris‛ (dosen), mursyid tarekat, dan juga seorang ‚mufti‛ (ahli fatwa). Ia adalah tempat berlindung bagi orang lain.88 Lalu, apakah ulama-ulama  pada  zamannya mereportase sosoknya sebagai sosok kesejarahan yang luar biasa seperti disebutkan itu? Sayang, sosok Faqih Muqoddam ini sama sekali tidak tereportase oleh ulama- ulama sezaman sebagaimana fenomena kesejarahanya hari ini yang kita kenal yang penuh dengan keluarbiasaan. Sosoknya sunyi di tengah masifnya kitab-kitab ulama yang ditulis di masa itu. Jangankan di dunia Islam secara luas, di sekitar Yaman saja, namanya di masa itu tidak terkonfirmasi. Kitab Al-Suluk dan kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman pun tidak menulis namanya. Namanya muncul, berbarengan dengan kemunculan nasab Ba’alwi dalam kitab Al-Burqat al-Musyiqat.

CATATAN DAN REFERENSI

 64 Lihat manuskrip kitab Al-Turfat al-Garibat min Ahbar Wadi Hadrmaut al-‘Ajibat, karya Ahmad ‘Ali bin ‘Abdul Qadir bin Muhammad al-Muqrizi al-Syafi’I, h. 7. Penulis memiliki versi pdf. Dari manuskrip tersebut.

65 Lihat Muhammad bin Abu Bakar al-Shili, Al-Mashra’ al-Rawi, (T.pn. T.tp. 1402 H.) h. 323 & 331

66 Al-Janadi… juz 2 h. 360

67 Al-Husain bin Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal, Tuhfat al-Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad, San’a, 1433 H.) juz 2 h. 238 

68 Al-Husain al-Ahdal…juz 2 h. 238

69 Lihat Al-Ubaidili…h. 248

70 Lihat Al-Ubaidili… h. 147

71 Al-janadi…juz 2 h. 135-136

72 Ali bin Abubakar al-Sakran,… h. 150

73 Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad al-Ahdal,  ‚Al-Ahsab al-‘Aliyyah fi al-Ansab al-Ahdaliyyah‛ (T.pn. T.tp. T.t.) h.4

74 Ali bin Abubakar al-Sakran… h. 151-152

75  Al-Husain al-Ahdal…juz 2 h. 238

76 Al-janadi… juz 2 h. 361

77 Muhammad bin Muhammad bin yahya bin Abdullah bin Ahmad bin Ismail bin Husain bin Ahmad Zabarat al-Son’ani, Nail al-Hasanain bi Ansab min al-Yaman min Buyut Itrat al-Hasanain, dicetak bersama Al-Anba’ min Daulat Bilqis wa Saba (Maktabah al-Yaman al-Kubra, Son’a, 14014 H.) h. 121

78 Tes DNA, Najwa Shihab Terkejut Gen Arab di Dirinya Hanya 3,4 Persen, dalam Kompas.com https://amp.kompas.com/entertainment/read/2019/10/18/051800310/tes-dna- najwa-shihab-terkejut-gen-arab-di-dirinya-hanya-34-persen

79    Abdullah Muhammad al-habsyi, dalam Al-Husain bin Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal, Tuhfat al-Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad, San’a, 1433 H.) footnote juz 2 h. 238

80 Ismai’il Basa al-babani, Hadiyat al-‘Arifin Asma’ al-Mu’allifin wa Asara al-Mushanifin, (Maktabah al-Islamiyah al-Ja’fari, Teheran, 1959 M)juz 1 h. 526.

81 Umar Rida Kahalah, Kitab Mu’jam al-Mu’allifin, (Mu’asasat Al-risalat, T.tp. 1376 H.) juz 5 h. 178
 
82 lihat Ali al-Sakran…h.136 dan Al-Masyra’ al-Rawi juz 1 h.75

83 Muhammad bin Ali Khirid… h. 131

84 Alwi bin tahir, Uqud al-Almas (Matba’ah al-Madani, Syari’ al-‘Abasiyah, 1388 H.) juz 2 h.104

85 Al-janadi…juz 2 h. 170

86 Umar bin Ali bin Samrah al-Ja’diy, Tabaqat Fuqaha al-Yaman (Dar al-Qalam, Beirut, T.t.) h. 220

87 Ibnul Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh (]Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1407 H.) juz 10 h. 203
 
88  lihat Muhammad Diya’ Sahab dalam Abdurrahman Al-Mashur, Shmsu al-Dahirat, (‘Alam al-Ma’rifat, Jeddah, 1404 H.) h. 77.

LihatTutupKomentar