Ubaidillah dan Nama-Nama Fiktif dari Keluarga Ba’alwi
Nama kitab / buku: Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi: Finalisasi Keterputusan Genealogi Ba’alwi Kepada Nabi Muhammad Saw.
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: 1445 H./2024 M.
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum Banten Cet. 1/1445 H./2024 M.
Kitab sebelumnya: Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia & Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw
Bidang studi: Sejarah Baalawi, ilmu nasab, sejarah Islam
Daftar isi
- Keluarga Abdurrahman Al-Saqqaf mengaku sebagai Alu Abi Alwi
- Alwi Menjadi Saudara Syarif Abul Jadid
- Jadid Tidak Ada Kaitan Dengan Keluarga Ba‘alwi
- Kitab Tabaqat al-Khawash Menjadi Saksi Upaya Singkronisasi Nasab Ba‘alwi
- Berita Hijrah Muhamad bin Sulaiman Menjadi Tidak Singkron
- Ubaidillah dan Nama-Nama Fiktif dari Keluarga Ba’alwi
- Glorifikasi Leluhur Ba’alwi
- Catatan dan Referensi
- Kembali ke buku Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi
Keluarga Abdurrahman Al-Saqqaf mengaku sebagai Alu (Keluarga) Abi Alwi
Pada abad sembilan Hijriah, di Kota Tarim Provinsi Hadramaut, ada
sebuah klan yang mengaku sebagai ‚Alu Abi Alwi‛ yang disebut dalam kitab Al-
Suluk karya Al-Janadi (w.732 H.). Klan itu, untuk waktu berikutnya mulai
dikenal dengan nama ‚Ba’alwi‛. Klan itu adalah Klan Abdurrahman bin Muhammad
al- Saqaf, ia lahir di Tarim tahun 739 Hijriah dan wafat tahun 819 Hijriah
dimakamkan di pemakaman Zanbal Tarim.65 Nampaknya, penelusuran silsilah klan
Abdurrahman al-Saqqaf mulai dilakukan sejak ia masih hidup, persis setelah
mereka membaca kitab Al-Suluk karya Al-janadi. Kemudian secara formal baru
ditulis pada masa Ali al-Sakran yang wafat tahun 895 Hijriah.
Ketika
membaca kitab Al-suluk tentang hijrahnya leluhur Bani Ahdal dari Irak, klan
Abdurrahman al-Saqaf kemudian berasumsi bahwa leluhurnya hijrah bersama
leluhur Bani Ahdal tersebut dan kemudian disebut sebagai saudara laki- laki
atau saudara sepupunya. Perhatikat ibarat kitab Al-Suluk tentang hijrahnya
leluhur Bani Ahdal di bawah ini:
Terjemah‛
‚Dan adapun Al-Ahdal, maka ia (dibaca) dengan ‚ha‛ yang
sukun setelah ‚alif‛, ‚lam‛ dan ‚ha‛. Setelah ‚ ha‛ itu ada hurup ‚dal‛ yang
di‛fatahkan‛ yang tanpa titik, kemudian ada ‚lam‛ yang sukun. Ia seorang yang
berkedudukan tinggi yang popular. Disebutkan bahwa kakeknya datang dari Irak
ke negeri Yaman, ia seorang ‚Syarif Husaini‛. Ia datang dengan tapak tasawuf,
ia menempati ‚Ajwal al-Sauda’ dari lembah Siham.‛
Dalam ibarat
Al-janadi di atas disebutkan leluhur Bani Ahdal yang bernama Muhammad bin
Sulaiman, adalah seorang ‚Syarif Husaini‛ dan ia berhijrah dari Irak ke Yaman.
Dari situ, klan Abdurrahman al-Saqaf membonceng sejarah itu bahwa leluhurnya
juga adalah seorang ‚Syarif Husaini‛ karena ia sepupu (satu kakek) dari
Muhammad bin Sulaiman, dan pindah dari Irak ke Yaman bersama Muhammad bin
Sulaiman. Hal itu dilakukan tanpa mengkroscek apakah informasi Al-janadi itu
ditopang oleh sumber atau tidak. Dan nanti akan terbukti bahwa ke-syarif-an
Bani Ahdal ini tertolak. Setelah berkembang informasi bahwa leluhur Bani
Ahdal, Muhammad bin Sulaiman dan leluhur klan Abdurrahman al-Saqaf keduanya
adalah sepupu ditengah masyarakat, maka seorang Bani Ahdal pun kemudian
mencatat dalam kitabnya bahwa: ada yang mengatakan leluhurnya yaitu Muhammad
bin Sulaiman adalah saudara dari leluhur Ba’alwi. Dipermulaan narasi itu
terbentuk, nama Ahmad bin Isa belum muncul sebagai leluhur klan Abdurrahman
al-saqaf yang berhijrah bersama Muhammad bin Sulaiman. Perhatikan ibarat
Husain al-Ahdal (w.855 H.) dalam kitabnya ‚Tuhfat al-Zaman‛ di bawah ini:
Terjemah:
‚Diceritakan kepada kami dari sebagian orang, bahwa
Muhammad (bin Sulaiman) tersebut keluar (berhijrah) bersama saudara laki-laki
dan saudara sepupunya. Kemudian saudara laki-laki dan saudara sepupunya itu
menuju timur. Maka keturunan dari saudara sepupunya itu adalah keluarga
Ba’alwi di Hadramaut‛
Dalam ibarat ini dijelaskan, bahwa leluhur
Bani Ahdal, Muhammad bin Sulaiman, pindah dari Irak ke Yaman bersama saudara
laki-lakinya (nanti akan diketahui bahwa itu leluhur Bani Qudaimi) dan saudara
sepupunya (satu kakek) yaitu Ba’alwi di Hadramaut. Setelah diketahui bahwa
Bani Ahdal dan Ba’alwi satu kakek, maka keturunan Bani Ahdal dan Ba’alwi di
abad sembilan menemukan masalah baru, yaitu susunan lengkap silsilah mereka
yang sudah disebut Al-janadi sebagai ‚Syarif Husaini‛ itu, karena Al-janadi
tidak menyajikan silsilah Muhammad bin Sulaiman sampai kepada Nabi Muhammad
Saw. maka kita lihat bagaimana usaha-usaha dari kedua keluarga ini dalam
menelusuri silsilah keluarga mereka. Dari Bani Ahdal, Husain al-Ahdal (w.855
H.) telah mencoba melengkapi silsilah Muhammad bin Sulaiman seperti di
bawah ini:
Terjemah:
‚Dan aku menemukan nasab Muhammad bin Sulaiman dalam
sebagian lembaran- lembaran dalam keadaan disambungkan (kepada Rasulullah),
maka ia berkata: Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad
bin Himham bin Aon bin al-Hasan bin al-Husain –yang bergelar Al-Ashga-- bin
Ali Zanal Abidin, dalam tempat lain, bin Aon bin Musa al-Kadzim bin Ja’far
al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir…‛
Dari usaha Husain al-Ahdal dalam
kitab Tuhfat al-Zaman ini ditemukan bahwa nasab Bani Ahdal ada dua versi
pertama: Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin
Himham bin Aon bin al-Hasan bin al- Husain bin Ali Zainal Abidin bin Husain
bin Fatimah bin Nabi Muhammad saw. Versi kedua adalah: Muhammad bin Sulaiman
bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin Musa al-Kadim
bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Fatimah bin
Nabi Muhammad saw.
Berarti jika leluhur Ba’alwi adalah sepupunya maka berarti ia satu kakek.
Dengan memperkirakan bahwa leluhur Ba’alwi yang hijrah bersama Muhammad bin
Sulaiman itu adalah Ali (Khaliqosam), maka silsilah versi pertama adalah: Ali
bin Alwi bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin al-
Hasan bin al-Husain bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah bin Nabi
Muhammad saw. sedangkan versi kedua adalah sebagai berikut: Ali bin Alwi bin
Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin Musa al-Kadim bin
Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Fatimah bin Nabi
Muhammad saw.
Lihat bagan di bawah ini:
No |
VERSI PERTAMA |
VERSI KEDUA |
||
|
Leluhur Abdurrahman al-Saqqaf |
Leluhur Bani Ahdal |
Leluhur Aburrahman al- Saqqaf |
Leluhur Bani Ahdal |
1. |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
2. |
Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
3. |
Husain |
Husain |
Husain |
Husain |
4. |
Ali Zainal |
Ali Zainal |
Ali Zainal |
Ali Zainal |
5. |
Al-husain (al- Asgar) |
Al-Husain (al- Asgar) |
Muhammad al- Baqir |
Muhammad al- Baqir |
6. |
Al-hasan |
Al-hasan |
Ja’far al-Shadiq |
Ja’far al-Shadiq |
7. |
Aon |
Aon |
Musa al-Kadim |
Musa al-Kadim |
8. |
Himham |
Himham |
Aon |
Aon |
9. |
Muhammad |
Muhammad |
Himham |
Himham |
10 |
Alwi |
Alwi |
Muhammad |
Muhammad |
11 |
Isa |
Isa |
Alwi |
Alwi |
12 |
Ubaid |
Ubaid |
Isa |
Isa |
13 |
Alwi |
Sulaiman |
Ubaid |
Ubaid |
14 |
Ali (Khaliqosamam) |
Muhammad |
Alwi |
Sulaiman |
15 |
|
|
Ali (Khaliqosam) |
Muhammad |
Lihat kakek mereka adalah sama-sama Ubaid. Ubaid inilah yang nanti dalam keluarga Abdurrahman al-Saqqaf berubah menjadi Abdullah kemudian Ubaidillah. Perlu diketahui pula, sebelumnya tidak ada suatu sumber pun yang dijadikan rujukan susunan silsilah semacam gambar di atas dari kedua keluarga, ia baru disusun pada abad ke-9 Hijriah. kitab Al-Suluk karya Al-janadi pun hanya menyebut keluarga Bani Ahdal sebagai ‚Syarif Husaini‛ (keturunan Nabi dari jalur Husain) tidak mengurut nama-nama silsilahnya. Diakui oleh Husain al-Ahdal (w.855 H.), bahwa ia menyambungkan silsilah seperti di atas, baik versi pertama maupun kedua, hanya berdasar lembaran yang ia temukan di abad ke-9. Sedangkan silsilah keluarga Abdurrahman al-Saqaf, hanya membonceng dalam silsilah Bani Ahdal. Dan susunan semacam itu tertolak oleh kitab-kitab nasab yang yang telah ditulis pada abad ke-5 sampai kesembilan, karena diketahui bahwa Al-Hasan bin Husain al-Ashgar tidak mempunyai anak bernama Aon,69 dan Musa al-Kadim tidak mempunyai anak bernama Aon.70 Keduanya tertolak.
Keluarga Abdurrahman al-Saqaf pun mengadakan usaha yang sama seperti keluarga
Bani Ahdal untuk dapat melengkapi silsilah mereka. Kemungkinan, ketika mereka
mengetahui bahwa silsilah Bani Ahdal telah ditemukan, dan di dalamnya tertolak
oleh kitab-kitab nasab, maka mereka mulai mendapatkan sedikit harapan dari
kitab Al-Suluk, yaitu ketika ditemukan silsilah dari Abul Hasan Ali atau
Syarif Abul Jadid, di mana dalam silsilah itu ada dua nama yang sama dengan
silsilah Bani Ahdal, yaitu Isa dan Alwi; dan ada satu nama yang mirip yaitu
Abdullah yang mirip dengan Ubaid. Apalagi ada kalimat bahwa Syarif Abul Jadid
ini berasal dari keluarga ‚Alu Abi Alwi‛, di mana nama Alwi telah ada dalam
silsilah Bani Ahdal itu. Hal yang demikian membuat keluarga Abdurrahman al-
Saqaf menganggap silsilah inilah yang lebih meyakinkan karena telah masuk
dalam kitab sejarah penting di Yaman, yaitu Al-Suluk, dibanding hasil usaha
dari Husain al-Ahdal yang jelas susunan nasab seperti itu tertolak kitab-kitab
nasab. secara formal, usaha itu dilaksanakan dengan baik oleh cucu Abdurrahman
al-Saqaf yang beranama Ali bin Abubakar al-Sakran bin Abdurrahman
al-Saqaf yang wafat tahun 895 Hijriah. Ia menulis sebuah kitab
yang berjudul Al-Burqat al-Musi>qat yang mulai memperkenalkan silsilah
permanen dari keluarganya melalui jalur yang sama dengan silsilah Syarif Abul
Jadid. Tentu usaha itu memerlukan kerja tambahan yaitu harus mampu
mengahrmonisasikan sejarah keluarga mereka dengan sejarah keluarga Syarif Abul
Jadid, plus harus pula diharmonisasi dengan keluarga Bani Ahdal yang
sebelumnya mereka telah membonceng sejarahnya. Nanti kita akan dapat
melihat betapa pun usaha harmonisasi itu dilakukan, tetapi hasilnya masih
tetap banyak kebocoran di sana sini.
Redaksi yang ditulis Al-janadi dalam
kitab Al-Suluk tentang nasab Syarif Abul Jadid atau Abu Hasan Ali adalah
sebagai berikut:
Terjemah:
‚Dan aku ingin memberikan
susulan nama-nama orang-orang yang datang ke Ta’iz dan belajar di sana. Mereka
adalah jama’ah dari tingkatan pertama. sebagian dari mereka adalah Abu
al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Ahmad bin Hadif (Jadid, dua riwayat manuskrip)
bin Ali bin bin Muhammad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad
bin Ali bin Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin
bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan
nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman. Asalnya dari Hadramaut dari
para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah
kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf. Termasuk didalamnya para ahli
fikih yang akan datang penyebutan mereka yang aku ketahui dengan benar, insya
Allah Ta’ala, bersama ahli negerinya.‛
Dari redaksi ini, Ali bin
Abubakar al-Sakran kemudian mengurut silsilah keluarga Abdurrahman al-Saqaf
berbeda dari keluarga Bani Ahdal yang katanya satu kakek itu. perhatikan
ucapan Ali al-Sakran di bawah ini:
Terjemah:
‚Dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat, untuk
pertama kali, berdasar apa yang terdapat dari Tarikh al-Jundi (kitab al-Suluk)
dan kitab Talkhis al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam
menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, Ali bin Muhammad bin Ahmad
Jadid, bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin Ahmad bin Isa. (yaitu) ketika ia
(al-Janadi) berkata: sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin
Muhammad bin Jadid (Hadid, dua riwayat manuskrip) bin Abdullah bin
Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir
bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu
wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman,
asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi
Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf‛.
Untuk
selanjutnya, Ali al-Sakran mengurut silsilah keluarga Abdurrahman menjadi
sebagai berikut: Ali (khali Qosam) bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad
bin Ubaid (Ubaidillah/Abdullah) ‚bin‛ Ahmad bin Isa bin Muhammad al- Naqib bin
Ali al-Uraidi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
bin Husain bin Fatimah binti Muhammad Saw. Dari sini kita melihat
silsilah nasab keluarga Abdurrahman al-Saqaf terjadi perubahan signifikan dari
silsilah Bani Ahdal yang katanya satu kakek tersebut. Dalam versi Husain
al-Ahdal tiga nama yang berurut yaitu: Ubaid bin Isa bin Alwi, telah berubah
menjadi Alwi bin Ubaid bin Ahmad bin Isa, dengan ditambah Ahmad antara ubaid
dan Isa. perubahan itu berdasarkan silsilah keluarga Syarif Abul Jadid
tersebut. Sayangnya, kreasi (ijtihad) yang luarbiasa ini tidak diamini oleh
keluarga Bani Ahdal, untuk waktu-waktu berikutnya keluarga Bani Ahdal tidak
menggunakan versi keluarga Abdurrahman al-Saqaf ini, mereka tetap menggunakan
salah satu versi silsilah dari yang disebut Husain al-Ahdal dalam kitabnya
Tuhfat al-Zaman. Akhirnya, dua orang yang satu kakek ini kemudian silsilahnya
berbeda. Seperti Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad al-Ahdal (w. 1035 H.)
dalam kitabnya Al-Ahsab al- ‘Aliyyah fi al-Ansab al-Ahdaliyyah mengatakan:
Terjemah:
‚Dan
adapun nasabnya, radiallahu ‘anhu, adalah:
Ali al-Ahdal bin Umar bin Muhammad bin Sulaiman bin
Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin ‘Aon bin Musa al-kadim bin
Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin al-Husain
bin ‘Ali bin Abi Talib, Ridwanallahu ‘alaihim ajma’in‛
Dari sinilah
kemudian singkronisasi dan harmonisasi antara sejarah Bani Ahdal dan Syarif
Abil Jadid yang diramu keluarga Abdurrahman al-Saqaf menjadi sulit dilakukan.
Sebelum membicarakan kerancuan, penulis ingin mengungkapkan, bahwa keluarga
Abdurrahman al-Saqaf semenjak usaha mereka mencari silsilah dan
menemukan harapan dari kitab Al-Suluk itu,
telah mengidentifikasi diri dengan sebutan permanen sebagai
keluarga ‚Aba Alwi‛ yang kemudian menjadi ‚Ba’alwi‛. Nama itu didapat dari
penamaan Al-Janadi terhadap keluarga Syarif Abil Jadid. Usaha singkronisasi
itu untuk waktu kemudian lebih mengarah ke sejarah Syarif Abul Jadid
daripada sejarah Bani Ahdal, akibatnya, ke-tidakakurat- an susunan sejarah,
untuk waktu selanjutnya terlihat antara sejarah Ba’alwi dan sejarah Bani
Ahdal.
Alwi Menjadi Saudara syarif Abul Jadid
Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.), cucu Abdurrahman al-Saqaf,
dari abad sembilan mengurut silsilah keluarganya sebagai berikut: Abdurrahman
al- Saqaf bin Muhammad (Maula Dawilah) bin Ali (Sahibudark) bin Alwi
(Al-Gayyur) bin Muhmmad (Faqih Muqoddam) bin Ali bin Muhammad (Sahib Mirbat)
bin Ali (Khaliqosam) bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaid ‚bin‛ Ahmad bin
Isa bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad
al- Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah bin Nabi Muhammad Saw.
silsilah ini benar-benar telah berbeda dengan silsilah saudara sepupu Ba’alwi
yaitu Bani Ahdal.
Bani Ahdal yang sejarahnya dalam Al-Suluk telah dibonceng itu kini telah
ditinggalkan; nama Ubaid, Isa dan Alwi, yang didapat dari susunan silsilah
keluarga Bani Ahdal itu kini susunannya telah berubah. Setelah dulu membonceng
sejarah Muhammad bin Sulaiman yang disebut kitab Al-Suluk berhijrah dari Irak
ke Yaman sebagai seorang ‚Sayarif Husaini‛, kemudian dikatakan bahwa leluhur
Ba’alwi hijrah bersama Muhammad bin Sulaiman dan merupakan saudara sepupu
(satu kakek), kini Ba’alwi harus pula dapat menyambungkan silsilah dan
kesejarahan mereka itu dengan silsilah dan kesejarahan Syarif Abul jadid dari
keluarga Abu Alwi, yang ia berusaha membonceng itu. Maka untuk keperluan itu,
dikatakanlah bahwa Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa adalah saudara satu
ayah dengan ‘Alwi dengan menambah satu nama lagi sebagai saudara yaitu Basri.
Jadi, Ubaid ini mempunyai anak tiga: Jadid, Alwi dan Basri. Ali al-Sakran
mengatakan:
Terjemah:
‚Dan bagi ‘Alawi bin Abdullah bin
Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far ada saudara laki-laki
namanya Syaikh Jadid…dan bagi Jadid bin Abdullah dan ‘Alawi bin Abdullah ada
sudara laki-laki yang bernama Syaikh Bashri‛
Dasar-dasar
singkronisasi sejarah keluarga Abdurrahman al-Saqaf yang kini
telah memperkenalkan diri sebagai Ba’alwi itu benar-benar telah dibangun
sedemikian rupa oleh Ali al-Sakran, paling tidak menurut versi formal yang
ditulis dalam sebuah kitab yang dapat kita temui. Tentu, dasar-dasar itu,
penulis yakini, telah berkembang sebelum Ali al-Sakran menulisnya, hal itu
terkait usaha-usaha keluarga Abdurrahman al-Saqaf dalam mencari silsilah
keluarganya yang dimulai dari membonceng sejarah dan silsilah Bani Ahdal
kemudian beralih kepada silsilah nasab dan sejarah Syarif Abil Jadid dari
keluarga Abu Alwi yang terdapat dalam Al-Suluk. Termasuk, konon, adanya kitab
yang bernama Al-jauhar al-Syafaf yang ditulis oleh Abdurrahman
al-Khatib. Penulis mengabaikan kitab ini, karena salah satu manuskrip yang
versi PDF-nya penulis punyai tidak meyakinkan bahwa kitab ini benar-benar
ditulis oleh orang yang berada di abad sembilan Hijriah. Rupanya kitab
Al-Suluk yang ditulis awal abad ke-8, benar-benar sangat dihormati oleh ulama
abad ke-9 Hijriah itu, sehingga leluhur keluarga yang tidak tercatat dalam
Al-Suluk, seperti keluarga Abdurrahman al-Saqaf ini, harus berusaha maksimal
mencari celah kekosongan yang bisa diisi keluarga mereka.
Usaha itu, dilakukan pertama dengan membonceng sejarah Bani Ahdal tentang hijrahnya leluhur Bani Ahdal yaitu Muhammad bin Sulaiman, dengan mengatakan bahwa leluhur Abdurrahman al-Saqaf ini adalah saudara sepupu satu kakek dengan Muhammad bin Sulaiman. Untuk kemudian, membonceng sejarah dan silsilah Syarif Abil jadid untuk melengkapi, mengkreasi plus merestorasi silsilah keluarga Bani Ahdal yang masih belum final dan mempunyai dua versi. Sungguh sangat disayangkan, Ali al- Sakran hanya berpegang dengan satu manuskrip Al-Suluk, yaitu manuskrip versi Mesir yang disalin tahun 877 Hijriah.
Rupanya, manuskrip yang lebih tua, seperti mansukrip Paris yang disalin tahun 822 H., yang tidak menyebut nama Abdullah tidak sampai kepada Ali al-Sakran. Akibatnya, silsilah Ba’alwi hari ini bukan hanya ditolak oleh kitab-kitab nasab, tetapi dirinya juga tertolak oleh kitab Al- suluk sendiri dengan manuskrip yang lebih tua. Dalam manuskrip yang lebih tua disebutkan, bahwa Jadid bukan anak Abdullah bin Ahmad, tetapi ia adalah anak langsung dari Ahmad. Tidak pula bisa dikatakan bahwa penyebutan Jadid bin Ahmad adalah silsilah versi pendek dari silsilah panjang yang telah diketahui, karena penyebutan Jadid sebagai anak Abdullah tidak pernah disebutkan kitab- kitab semasa atau sebelumnya. Maka manuskrip yang lebih tua yang harus diduga kuat lebih mendekati kebenaran daripada yang lebih muda. Dengan tidak adanya nama Abdullah dalam manuskrip Paris yang lebih tua, maka teori Ali al-Sakran bahwa Ubaid yang tercatat dalam versi Bani Ahdal adalah nama lain dari Abdullah, tertolak mentah-mentah.
Jadid Tidak Ada Kaitan Dengan Keluarga Ba’alwi
Tidak ada kitab yang semasa dengan Al-Suluk atau yang lebih tua menyebutkan Jadid mempunyai saudara bernama Alwi bin Ubed atau Abdullah. Kitab al Suluk yang terdapat nama Abdullah bin
Ahmad diterbitkan berdasarkan manuskrip muda dari Mesir berangka tahun 877 H. sedangkan dalam manuskrip yang tua berangka tahun 820 H. nama Abdullah tidak ada. Dalam manuskrip tersebut Jadid
disebut bin Ahmad bin Isa bukan bin Abdullah. Maka pengakuan Ali bin Abu Bakar al Sakran bahwa Jadid bersaudara dengan Alwi tertolak.
Kitab-kitab yang menyebut Ali bin Jadid, tidak pernah mengaitkan Ali bin Jadid dengan keluarga Abdurrahman Assegaf kecuali setelah abad ke-9 H. kitab-kitab abad ke-8 H. seperti Al-Suluk,
menyebut nama-nama yang berkaitan dengan Ali bin Jadid, tidak ada satupun menyebut keluarga Ba‘alwi, mereka adalah: Ibrahim bin Ahmad al-Quraidzi (guru), Abdul Malik (adik), Syekh Mudafi‘ (guru), Muhammad bin Mas‘ud al-Sufali (murid), Ibnu Nasir al-himyari (murid), Ahmad bin Muhammad al-Junaid, Hasan bin Rasyid (murid), Muhammad bin Ibrahim al-Fasyali (murid), Umar bin Ali Sohibu Baiti Husain (murid Al-fasyali), Al-Mas‘ud bin al-Kamil (Raja yang mengusir Syekh Mudafi dan Ali bin Jadid), Imran bin Rafi‘ al-Qarabili (murid), Abul Haddad (guru Syekh Mudafi‘), Syekh Abdul Qadir al-Jailani (guru Abul Haddad), Ibnu Ridwan (adik ipar Syekh Mudafi‘), Muhammad (cucu Syekh Mudafi‘), Abu Bakar (cucu Syekh Mudafi‘), dan Umar (cucu syekh Mudafi‘).394 Tidak ada nama-nama keluarga Abdurrahman Assegaf.
Kitab Al-Suluk ketika menjelaskan biografi Ali bin Jadid, menyebut nama-nama kota di Hadramaut, tetapi tidak pernah menyebut nama kota Tarim (tempat keluarga Abdurrahman Assegaf). Kota-kota yang disebut dalam perjalanan hidup Ali bin Jadid adalah: Yaman, Hadramaut, ‗Adn, Al-Wahiz, Dzu huzaim, Al-Jabal, Ta‘iz, India, Dzifar, Daynul, Tihamah, Zabid, Al-Mahjam, Marjaf, Makkah,
Syar‘ab, dll .395 Dalam kitab itu, sama sekali kota Tarim tidak disebut dalam biografi Ali bin Jadid. Ini pula indikasi tambahan yang menunjukan bahwa Ali bin Jadid ini tidak mempunyai hubungan
dengan keluarga Abdurrahman Assegaf yang berasal dari Tarim.
Nama-nama dalam kitab Al-Suluk yang diklaim Ali al Sakran dan penulis Ba‘alwi lainnya, sebagai nama-nama keluarga Abdurrahman Assegaf terbantah oleh kitab nasab mereka sendiri. ada nama Muhammad bin Ali Ba Alwi, tetapi apakah betul itu al-Faqih al-Muqoddam? Kita lihat ibarat al-Janadi berikut!

Terjemah:
"dan sebagian dari keluarga Abi Alwi, telah terlebih dahulu disebutkan sebagian mereka, ketika menyebutkan Abi Jadid beserta orang-orang yang datang ke Taiz, mereka adalah keluarga kesalihan, tarekatnya dan nasabnya, diantara mereka adalah Hasanbin Muhammad bin Ali Ba Alawi, ia seorang ahli fikih, ia menghafal kitab al-Wajiz karya Imam gazali, ia punya paman namanya Abdurrahman bin Ali Ba Alawi.”
394 (Al-Suluk [maktabah al-Syamilah] juz 2 halaman 136-141).
395 (Al-Suluk [maktabah al-Syamilah] juz 2 halaman 136-141).
296السلوك، الشاملة:2/962
Dari ibaroh ini ada nama yang disebut al-Jundi merupakan
keluarga Alu ABi Alwi, yaitu Hasan bin Muhammad bin Ali Ba
Alawi. Katanya ayah Hasan yaitu Muhammad bin Ali itu adalah Fakih
Muqoddam. Pertanyaannya, kalau Muhammad bin Ali Ba Alwi itu al-
Faqih al-Muqoddam, apakah al-Faqih al-muqoddam mempunyai anak
bernama Hasan?
Mari kita lihat kitab nasab Ba Alawi Syamsu al-Dzahirah, apakah
al-Faqih al-Muqoddam mempunyai anak bernama Hasan?
Perhatikan ibaroh di bawah ini!
Alawi, Ahmad, Ali, Abdullah yang wafat di Tarim tahun 663 H,
dan Abdurrahman yang wafat antara Makkah- Madinah.”
(Syamsu al-Dzahirah: 78)
Jelas di sini disebutkan bahwa al-Faqih al-Muqoddam tidak
punya anak bernama Hasan. Jadi jelas pula bahwa Muhammad bin Ali
yang disebut al-Jundi itu bukan al-Faqih al-Muqoddam.
Penguat kedua bahwa Muhammad bin Ali yang disebut al-Jundi
itu bukan al-Faqih al-Muqoddam adalah kalimat “Ia (Hasan bin
Muhammad) mempunyai paman bernama Abdurrahman bin Ali …”
pertanyaanya, apakah Ali ayah al Faqih al-Muqoddam mempunyai
anak bernama Abdurrahman? Mari kita lihat kitab Syamsu al-dzahirah
dengan ibaroh di bawah ini!
Terjemah:
“ia (Syekh Ali bin Muhammad sohib Mirbath) mempunyai anak
satu, yaitu syekh Imam Muhammad yang masyhur dengan
(nama) al-Faqih al-Muqoddam…” (Syamsu al-dzahirah: 77)
Dikatakan dalam kitab Syamsu al-Dzahirah, bahwa Ali (ayah
al-Faqih al-Muqoddam) hanya mempunyai anak satu, berarti Hasan
yang disebut al-Jundi mempunyai paman bernama Abdurrahman jelas
bukan anak al-Faqih al-Muqoddam dan bukan keluarga Habib Ba
Alwi. jika Muhammad bin Ali itu bukan Fakih Muqoddam, mungkin
saja ia Muhammad bin Ali lain dari keluarga Ba‘alwi. nama
Muhammad bin Ali lain dari keluarga Ba‘alwi yang diasosiasikan
hidup sebelum Al-Janadi adalah Muhammad bin Ali Sohib Mirbat,
tetapi ia juga tidak punya anak bernama Hasan. Anak Muhammad
Sahib Mirbat ada empat: Abdullah, Ahmad, Ali dan Alwi.399 Jadi, jika
Muhammad bin Ali juga diklaim sebagai Muhammad Sahib Mirbat ia
tertolak juga.
Masih ada nama-nama yang terdapat dalam kitab Al-Suluk
yang diklaim sebagai bagian dari keluarga Ba‘alwi Abdurrahman
Assegaf. Perhatikan ibarat Al-Suluk berikut ini:
Terjemah:
“dan sebagian dari mereka adalah Ali bin Ba Alwi, ia banyak
ibadahnya, agung pangkatnya, ia selalu solat, dan ketika
membaca tasyahhud, ketika ia membaca „assalamualaika ayyuhannabiyyu‟, ia mengulang-ulangnya, maka ditanyakan
kepadanya (kenapa ia mengulang-ulang kalimat tersebut?), (ia
menjawab): „aku melakukannya sampai Nabi s.a.w.
menjawabnya‟, maka banyak sekali ia mengulang-ulang itu.
Dan Ali mempunyai anak namanya Muhammad Ibnu Solah, ia
punya paman namanya Ali bin Ba Alwi, sebagian rincian
keluarga Aba Alwi adalah Ahmad bin Muhammad, ia seorang
ahli fikih yang utama, ia wafat kira-kira tahun 724 H; dan
Abdullah bin Ba Alwi, ia masih hidup sampai sekarang, ia
bagus ibadahnya dan menjalani tasawuf”.
399(Syamsudzahirah h. 75) 900السلوك، الشاملة:2/962
Benarkah nama-nama seperti yang disebutkan Al Janadi ini
merupakan keluarga habib Ba Alwi. Mari kita lihat satu persatu.
Pertama, Ali bin Ba Alwi, sangat banyak keluarga Habib Ba Alwi
yang bernama Ali, sementara bin Ba Alwi tidak menunjukan ayah,
tetapi menunjukan kabilah. Jadi sulit untuk menelusuri siapa dia.
Tetapi Ali Alsakran (w. 895 H) mengatakan bahwa bahwa Ali bin
Ba‘alwi itu adalah Ali Khali Qasam.401 Disitu dikatakan bahwa, Ali
bin Ba Alwi ini punya anak paman bernama Ali juga. Berarti jika dia
adalah Ali Khali qosam, maka kita telusuri apakah ayah Ali Khali
qosam ini punya adik yang mempunyai anak bernama Ali, sehingga
Ali inilah yang disebut anak paman Ali Kali Qosam. Mari kita lihat
kitab Syamsu al-Dzahirah!
“Baginya (Alwi bin Ubaidillah) anak laki-laki bernama
Muhammad, dabagi Muhammad ini anak laki-laki bernama
Alawi. Alawi ini mempunyai dua putra: salim tidak punya
keturunan dan Ali yang dikenal dengan Khali‟ Qosam”.
401 (Syamsu al-Dzahirah: 70)
(lihat kitab Al-Burqoh Al Musyiqoh: halaman 48 dan 151 ).
402, Syamsu al-Dzahirah: 70
Jelas, nama Ali bin Ba Alwi itu bukan Ali Khali Qosam, karena
Ali Khali qosam tidak punya paman, bagaimana ia punya anak paman
(sepupu) jika ia tidak punya paman. Di Banten, Hanif Alatas
mengatakan, Menurut guru nasabnya, katanya, yang dimaksud Ali bin
Ba Alwi yang ada di Al-Suluk itu adalah Ali bin Alwi bin Fakih
Muqoddam, bukan Ali Khali Qosam. Baiklah mari kita uji secara
data-data yang ada dari keluarga habaib sendiri. Karena memang
hanya dari kalangan merekalah kita bisa dapatkan biografi secara luas
keluarga mereka yang dikatakan sebagai ulama sebelum abad 9 H.
Disitu dikatakan bahwa, Ali bin Ba Alwi ini punya anak paman
bernama Ali juga. Berarti jika dia adalah Ali bin Alwi bin Fakih
Muqoddam, maka kita telusuri apakah ayah Ali ini punya adik yang
mempunyai anak bernama Ali, sehingga Ali inilah yang disebut anak
paman Ali. Ternyata ketika kita lihat dalam kitab Syams al Dzahirat403
dan kitab ―Al-Ustadz Al-A‘dzam Al-Imam Al-Faqih al Muqoddam‖
404karya Abu Bakar al-Adni, Alwi bin Faqih Muqoddam ini
mempunyai anak empat lagi selain Alwi. dari empat anak fakih
Muqoddam ini tidak ada yang mempunyai anak bernama Ali. Berarti
Ali bin Alwi bin Fakih Muqoddam tidak punya sepupu bernama Ali.
Oleh karena itu, klaim bahwa Ali bin Ba‘alwi ini adalah Ali bin Alwi
bin Faqih Muqoddam tertolak.
Kitab Al-Athoya al-Saniyah karya Raja Yaman, Abbas bin Ali
bin Daud (w. 778 H.) menyebut Ali bin Jadid405. Ia juga menyebut Ali
bin Jadid sebagai Al-Abi Alwi, tetapi ia sama sekali tidak mengaitkan
Ali bin Jadid ini sebagai bagian keluarga Abdurrahman Assegaf (739-
819). Padahal, ia hidup satu masa dengan Abdurrahman Assegaf.
Ketika, Raja ini wafat, Abdurrahman Assegaf sudah berumur 39
tahun, masa yang cukup pantas seorang ulama untuk dikenal seorang
pejabat pemerintah. Apalagi, katanya, ia cucu seorang wali besar
seperti Fakih Muqoddam, tentu, jika Raja Abbas mengetahui antara
403( h.76)
404 (h. 111)
405 (hal. 460)
558 K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantani
Abdurrahman Assegaf dan Ali bin Jadid masih ada kaitan keluarga,
maka akan dikatakan misalnya, ―Ali bin Jadid ini dari keluarga Al
Abu Alwi, masih satu keluarga dengan Abdurrahman Assegaf cucu
dari wali agung Yaman, Fakih Muqoddam.‖ Tapi nyatanya kalimat
semacam itu tidak ada. ini menunjukan bahwa: pertama, Raja Yaman
yang semasa dengan Abdurrahman Assegaf tidak mengenalnya
sebagai bagian keluarga Ali bin Jadid dan Al Abi ‗Alwi atau Ba‘alwi;
kedua, Raja Yaman tahun 778 H. tidak mengenal sejarah Fakih
Muqoddam yang katanya wali besar dari keluarga Al Abi Alwi, yang
wafat tahun 653 H. padahal, Raja Yaman ini lahir sekitar tahun 731
H., hanya berjarak 78 tahun dari wafatnya Fakih Muqoddam. Jika
Raja Yaman mengenalnya, maka ia akan menulis sejarah Fakih
Muqoddam dalam kitabnya seperti ia menulis sejarah Ali bin Jadid,
atau minimal akan menyebutnya sekilas dalam biografi Ali bin Jadid
sebagai bagian dari keluarga Al Abi Alwi. nyatanya semua itu tidak
ada.
Semua ini menguatkan bahwa keluarga Abdurrahman Assegaf
memperkenalkan diri sebagai Ba‘alwi serta menulis kebesaran Fakih
Muqoddam baru setelah abad kesembilan Hijriyah saja. Satu lagi yang
perlu ditambahkan bahwa, Raja Abbas ini lahir di Ta‘iz. Antara Ta‘iz
dan Tarim berjarak hanya sekitar jarak Banten dan Surabaya.
Imam Abdullah bin As‘ad Al-Yafi‘I (W. 768 H.) dalam kitab
Mir‟atul Jinan menyebut nama Banu Aba Alwi sama dengan sebutan
Al-janadi, bukan Ba‘alwi (mir‘atul jinan (al-Maktabah al-Syamilah
juz 4 h. 270-271):
وحضرموت بها قوم بفضلهم
بنو أبا علوي والكرام بنوا
Dalam kitabnya itu, Imam al-Yafi‘I sama sekali tidak menyebut
keluarga Ba‘alwi Abdurrahman Aseegaf. Padahal, ia lahir di Yafi‘
Yaman tahun 696 H. dan wafat di Makkah tahun 768 H. ini
membuktikan bahwa keluarga Abdurrahman Assegaf di abad delapan
itu belum ada yang dikenal public. Dalam kitabnya pula, Al-yafi‘I
mencatat ulama-ulama Yaman, seperti ketika ia mencatat pada tahun 651 H. wafat seorang ulama Yaman yang bernama Abul Gaits Ibnul
Jamil al-Yamani. Ia juga mencatat bahwa Abul gaits belajar kepada
Ali al-Ahdal.406
Keluarga Al-Ahdal yang disebut dalam literature Ba‘alwi
sebagai sepupu itu tereportase oleh Imam al-Yafi‘I, tetapi keluarga
Ba‘alwi tidak. Apakah tereportasenya Al-Ahdal dalam kitab Al-Yaf‘I
termasuk point positif bagi Ba‘alwi? tidak juga. Karena klaim
kesepupuan itu terdeteksi baru muncul atau dimunculkan pada abad
sembilan. Kasusnya sama dengan klaim kesepupuan Ba‘alwi dengan
keluarga Jadid. Tidak ada literature pada abad ke-8 H. yang menyebut
Ba‘alwi bersepupu dengan keluarga Al-Ahdal dan Jadid. Kitab-kitab
abad kesembilan-pun yang menyebut kaitan kesepupuan itu hanya
terdeteksi dalam literature internal Ba‘alwi dan kitab yang cetak
dengan pentahqiq dari Ba‘alwi, yang dari beberapa kasus terbukti
diinterpolasi.
Kitab Al-„Iqd al-Fahir al-Hasan karya Ali bin al-Hasan al-
Khazraji (w.812 H.) menyebut nama Ali bin Jadid407 tetapi tidak
menyebut ia mempunyai kaitan dengan keluarga Abdurrahman
Assegaf. Padahal ia adalah seorang sejarawan yang berasal dari Zabid,
Yaman. Dalam kitab ini pula, dan kitabnya yang lain, Al-„Uqud al-
Lu‟luiyyah, sejarawan Yaman ini tidak menyebut nama-nama keluarga
Abdurrahman Assegaf seperti Faqih Muqoddam, Abdurrahman
Assegaf, Maula Dawilah, Sohib Mirbat, Ali Khali Qasam. Ini
menunjukan pada awal abad sembilan Hijriah pun, keluarga
Abdurrahman Assegaf belum dikenal di kalangan ulama Yaman
sebagai tokoh.
Kitab Al-„Iqd al-Tsamin karya Imam Taqiyyuddin Muhammad
bin Ahmad al-Hasani al-fasi al-Makki (w. 832 H.) menyebut nama Ali
bin Jadid dengan mengutip dari Al-Suluk.408 Dalam kitabnya tersebut,
Taqiyyuddin al-Fasi tidak mengaitkan sama sekali Ali bin Jadid
dengan keluarga Ba‘alwi. Padahal Al-Fasi dicatat oleh Muhammad al-
Habib al-Hailah dalam kitab Al-Tarikh wa al-Mu‘arrikhun bi
Makkah‖ sebagai sejarawan Makkah yang pernah pergi ke Yaman.409
Ditambah pula, dalam literature Ba‘alwi pada tahun 832 H. dan
sebelumnya banyak keluarga Ba‘alwi yang pergi ke Makkah.
Pada tahun 839 Hijriah, nama kabilah Abu Alwi ditulis oleh Al-
Maqrizi dalam kitabnya Al-Turfat al-Garibat sebagai ―Arab
Hadramaut‖.410 Dari sini, linier antara berita dari Al-Hamadani di abad
ke-4 sampai Al-Maqrizi di abad ke-9 bahwa kabilah Abu Alwi adalah
orang Arab dari Hadramaut, bukan keturunan Nabi Muhammad Saw.
Sampai awal abad sembilan ini, literature eksternal tidak
mengkonfirmasi adanya keterkaitan nasab antara Ba‘alwi dengan
keluarga Jadid. Dengan itu, maka klaim Jadid adalah saudara laki-laki
Alwi tidak terbukti.
406(Mir‟atul Jinan juz 4 h. 94).
407 Al-Iqd al-Fakhir, h. 1486
408(Al-„Iqd al Tsamin, Maktabah al-Syamilah, Juz 5 h. 304-305).
Kitab Tabaqat al-Khawash Menjadi Saksi Upaya Singkronisasi Nasab Ba’alwi
Fetelah terjadinya perpindahan jalur nasab ke atas Ba‘alwi dari
Aon bin Musa al-Kadzim bin Ja‘far al-Shadiq menuju Ahmad bin Isa
bin Muhammad bin Ali al-Uraidi bin Ja‘far al-Shadiq, maka teori
Ubaid sebagai satu kakek dua keluarga Ba‘alwi dan Al-Ahdal menjadi
rancu. Teori awal bahwa antara keduanya benar-benar sepupu dekat
(satu kakek) di sosok Ubaid kini berpindah kepada Ja‘far al-Sahdiq
yang merupakan kakek ke tujuh dari Ubaid. Hal demikian
memerlukan jalan keluar. Maka dalam kitab Tabaqat al-Khowas Ahl
al-Shidqi wa al-Ikhlash karya Ahmad bin Ahmad al-Syarji al-Zabidi
(w. 893 H.) kita dapat menganalisa adanya upaya singkronisasi itu
melalui penambahan isi kitab tersebut antara versi cetak dan versi
manuskrip.
409 (h.119)
410 Lihat manuskrip kitab Al-Turfat al-Garibat min Ahbar Wadi Hadrmaut
al-„Ajibat, karya Ahmad „Ali bin „Abdul Qadir bin Muhammad al-Muqrizi
al-Syafi‟I, h. 7. Penulis memiliki versi pdf. Dari manuskrip tersebut.
Jawaban KH. Imaduddin Utsman al-Bantani terhadap Buku Hanif Alatas dkk
Versi cetak kitab Tabaqat al-Khawash yang hari ini beredar
diterbitkan oleh Al-Dar al-Yamaniyah tahun 1986. Versi cetak
tersebut tidak menyebutkan dicetak berdasarkan manuskrip tahun
berapa. Sepertinya ia dicetak berdasarkan versi cetak tahun 1321 H.
dari penerbit Al-Mathba‘ah al-Maimanah al-Mishriyyah. Ketika kita
telusuri versi cetak tahun 1321 H. itu, ternyata ia pun tidak
menyebutkan dicetak berdasarkan mansukrip tahun berapa. Dalam
versi cetak itu dikatakan bahwa kesepupuan antara Ba‘alwi dan Al-
Ahdal bukan sepupu dekat (satu kakek), tetapi sepupu jauh bertemu di
Ja‘far al-Shadiq. Perhatikan redaksi kitab Tabaqat al-khawas versi
cetak (h. tersebut di bawah ini:
dalam versi manuskrip tahun 1070 H. seperti di bawah ini (h. 562):
Di bawah ini halaman terakhir dari manuskrip Tabaqat al-
khawas yang menunjukan tahun 1070 H.Di bawah ini halaman pertama manuskrip kitab Tabaqat al-
Khawas (h. 563):
Halaman tersebut menunjukan bahwa manuskrip tersebut disalin
oleh Abdul Hadi bin Abdullah bin Dawud al-Zabidi tahun 1070 H.
terdapat di King Saud University dapat diakses melalui:
https://makhtota.ksu.edu.sa/makhtota/2992/4 .
Dari perbedaan versi cetak dan versi manuskrip itu kita bisa
jelaskan bahwa dalam versi manuskrip antara Ba‘alwi dan Al-Ahdal
hanya disebutkan sama-sama keturunan Husain. Sedangkan dalam
versi cetak yang diterbitkan oleh Al-Dar al-Yamaniyah tahun 1986 M.
ditambahi keterangan bahwa keduanya bertemu di kakek bersama
yaitu Ja‘far al-Shadiq. Penambahan atau interpolasi bahwa keduanya
bertemu di kakek bersama Ja‘far ini adalah upaya mensinkronkan jalur
silsilah Ba‘alwi yang berubah dari Musa al-kadzim bin Ja‘far al-
Shadiq kepada Ali al-Uraidi bin Ja‘far al-Shadiq. Karena jika tidak
ada penambahan itu, maka perubahan jalur silsilah itu terlihat lucu. Di
mana, dua saudara sepupu (satu kakek) kemudian silsilahnya berbeda.
Dengan penambahan itu, maka dikesankan bahwa kalimat ―ibnu al
‗am‖ (sepupu) itu, maksudnya bukan sepupu dekat (satu kakek) tetapi
sepupu jauh. Lalu siapa yang menambahi manuskrip itu? tentu ia yang
berkepentingan.
Klaim bahwa ―ibnu ‗am‖ (sepupu) yang dimaksud adalah
sepupu jauh tertolak oleh adanya ibarat Husen al-Ahdal (w.855 H.)
sebagaimana di bawah ini:
Terjemah:
―Diceritakan kepada kami dari sebagian orang, bahwa
Muhammad (bin Sulaiman) tersebut keluar (berhijrah) bersama
saudara laki-laki dan saudara sepupunya. Kemudian saudara
laki-laki dan saudara sepupunya itu menuju timur. Maka
keturunan dari saudara sepupunya itu adalah keluarga Ba‘alwi
di Hadramaut‖
Kalimat “Akhun lahu wabnu „ammin” (saudara laki-laki
miliknya dan anak paman) terdapat kalimat yang menghalangi ―ibnu
‗am‖ dimaknai sepupu jauh, yaitu kalimat ―akhun lahu‖ (saudara laki-
laki miliknya). Lafad ―lahu‖ (miliknya) walau tidak diulang pada
kalimat ―ibnu ‗am‖, tetapi dianggap diulang karena adanya huruf athaf
(penyambung) sebelum lafad ―ibnu ‗am‖. Apalagi jika kita melihat
adanya nama-nama yang sama antara keluarga Ba‘alwi dan Al-Ahdal
yaitu nama-nama: Ubaid, Isa, Muhammad dan Alwi, nama-nama itu
walau kemudian susunan urutannya berubah, tetapi mengindikasikan
bahwa susunan yang ada hari ini berasal dari sumber yang sama.
Betapapun usaha yang rumit seperti di atas telah dilakukan tetapi
kedua keluarga ini tidak bisa untuk menyambungkan nasab mereka
kepada Nabi Muhammad SAW, karena ketiadaan sumber-sumber kitab-kitab nasab yang mengkonfirmasi kesahihan nasab mereka.
Kitab-kitab nasab yang berjejer dari abad ke empat sampai sembilan
tidak mengkonfirmasi nasab mereka. Susunan nasab kedua keluarga
ini hanya bisa mulai dikonfirmasi pada abad ke-9 dengan berbagai
ketidaksinkronan yang sulit untuk diterima.
411 Al-Husain bin Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal, Tuhfat al-
Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad, San‟a, 1433 H.) juz 2
h. 238
Berita Hijrah Muhamad bin Sulaiman Menjadi Tidak Singkron
Husain al-Ahdal (w.855 H.), dalam kitabnya Tuhfat al-Zaman
menyebutkan, bahwa kakeknya yang bernama ‘Ali al-Ahdal itu adalah putra dari
Umar bin Muhammad bin Sulaiman. 75Ali bin Umar al-Ahdal ini disebut oleh Al-
Janadi dalam kitab Al-Suluk wafat tahun 690 Hijriah.76 Sedangkan Muhammad bin
Sulaiman wafat tahun 540 Hijriah, sebagaimana disebut Muhammad bin Muhammad
bin Ahmad Zabarat al-Son’ani (w.1381 H.) dalam kitabnya Nail al- Hasanain.77
Jika demikian keadaannya, yaitu Muhammad bin Sulaiman wafat tahun 540
Hijriah, maka akan sulit dapat diterima logika jika ia berhijrah dari Irak ke
yaman pada tahun 317 Hijriah bersama Ahmad bin Isa, sebagaimana berita
keluarga Ba’alwi, karena berarti ketika Muhammad bin Sulaiman itu wafat tahun
540 Hijriah umurnya telah lebih dari 223 tahun.
Dari kedua berita tahun hijrah itu pasti salah satunya adalah salah. Pertanyaannya adalah mana di antara kedua berita itu yang kemungkinan besar salah? tentu, jika kita membaca kembali tentang bahwa keluarga Ba’alwi ini sebenarnya hanya membonceng sejarah Bani Ahdal, maka selaiknya yang harus diduga kuat salah atau dusta adalah tahun hijrah yang bertitimangsa tahun 317 Hijriah. Dilihat dari urutan silsilah, jelas sekali bahwa Muhammad bin Sulaiman ini, satu generasi dengan Ali Khaliqosam (w.529 H.), bukan dengan Ahmad bin Isa (w.345 H.?). Hal itu dikuatkan, seperti yang telah penulis sebutkan, Ahmad bin Isa tidak pernah hijrah dari Basrah ke Yaman, tidak ada satupun sumber sezaman atau yang mendekatinya yang bisa dijadikan pegangan keluarga Ba’alwi tentang berita tersebut.
Bahkan berita keberadaannya di Basrah saja, tidak bisa dibuktikan oleh sumber apapun. Adapun nama Ahmad bin Isa yang dikutip Muhammad Dhiya’ Sihab dalam kitabnya Imam Ahmad al-muhajir itu adalah kesalahan dalam mengidentifikasi tokoh, ia bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, tetapi ia adalah Ahmad bin Isa bin Zaid seorang Imam Syi’ah Zaidiah. Jika Ali Khaliqasam adalah orang yang berhijrah ke Tarim pada abad ke-6 H., lalu ia berhijrah dari mana? Menurut hemat penulis ia berhijarh dari India melalui Mirbat. Pertama, karena pada abad ke-5 dan ke-6 Hijriah interaksi masarakat Mirbat dan India sangat ramai karena adanya pelabuhan di sana. Yang kedua, adanya berita Muhammad bin Ali yang berada di Mirbat kemudian diberi gelar ‚Sahib Mirbat‛. Setelah sampai di Mirbat bersama ayahnya dan anaknya, Muhammad bin Ali wafat di Mirbat, lalu ayahnya, Ali Khaliqosam hijrah bersama cucunya, Ali (ayah Faqih Muqoddam) ke Tarim. Hasil test Najwa Sihab (tokoh perempuan Indonesia keturunan Ba’alwi) mengkonfirmasi bahwa 48% fragmen DNA-nya berasal dari India.78
Bersamaan dengan semua hal di atas, Abdullah Muhammad al-Habsyi, dalam footnote kitab Tuhfat al-Zaman yang ia tahqiq, berusaha mempertahankan narasi hijrahnya Ahmad bin Isa di tahun 317 Hijriah itu. Ia memberi catatan kaki redaksi Husain al-Ahdal yang menyebut bahwa leluhurnya yang bernama Muhammad bin Sulaiman hijrah dari Irak ke Yaman. Abdullah Muhammad al- Habsyi mengatakan: bahwa yang berhijrah itu bukan Muhammad bin Sulaiman tetapi Muhammad bin Himham.79 Narasi aneh semacam itu diperlukan agar singkron narasi Ba’alwi bahwa yang berhijrah adalah Ahmad bin Isa, karena yang semasa dengan Ahmad bin Isa adalah Muhammad bin Himham bukan Muhammad bin Sulaiman.
Kita menyaksikan, bahwa ia yang sejarahnya membonceng, kemudian mengatur
bahkan mendominasi runtutan sejarah yang diboncengnya itu. kita akan sering
baca dalam tulisan Abdullah Muhammad al-Habsyi pada khususnya, dan
penulis sejarah Ba’alwi pada umumnya, yaitu ketika sebuah data historis
ditemukan tidak sesuai dengan kesimpulan kesejarahan Ba’alwi, maka data
historis itu yang harus disesuaikan, bukan sebaliknya. Bahkan, kita akan
dapati adanya usaha-usaha interpolasi halus dan kasar yang dilakukan para
pen-tahqiq Ba’alwi terhadap kitab-kitab ulama yang mereka tahqiq. Dari itu,
perlu kewaspadaan tinggi dan analisis kritis jika membaca kitab
karya Ba’alwi atau kitab yang di-tahqiq mereka dalam sejarah dan
genealogi mereka.
Ubaidillah dan Nama-Nama Fiktif dari Keluarga Ba’alwi
Seperti diketahui di atas, bahwa silsilah Ba’alwi mengacu, pada
mulanya, kepada silsilah Bani Ahdal. Sejarah mereka, pada mulanya pula,
membonceng sejarah Banu Ahdal. Dan seperti diketahui, bahwa pengurutan
silsilah Banu Ahdal, baru muncul di abad ke-9, yaitu ketika Husain al-Ahdal
menemukan kertas berisi dua versi dari silsilah mereka. Al-Janadi, sejarawan
Yaman, dalam Al-Suluk hanya menyebut leluhur Bani Ahdal sebagai ‚Syarif
Husaini‛, tetapi ia tidak menyebutkan urutan silsilah mereka
kepada Nabi Muhammad Saw., sementara, kitab-kitab nasab di abad ke-4 sampai
ke-9 Hijriah tidak ada yang mencatat keluarga Bani Ahdal sebagai keluarga Nabi
Muhammad Saw. maka silsilah keluarga Ba’alwi pun, sebagai silsilah yang
dihasilkan dari cloning silsilah Bani Ahdal, sama kedududkannya, yaitu sebagai
silsilah yang dihasilkan dari kreasi, asumsi dan interpretasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiyah.
Nasib Bani Ahdal lebih baik dari nasib Ba’alwi karena sejarah Bani Ahdal telah
terkonfirmasi sudah eksis di abad ke-7 Hijriah ketika Al-Suluk mereportase
seorang sufi yang ‚ummi‛ (tidak dapat membaca dan menulis) bernama Ali bin
Umar al-Ahdal dan menyebut leluhurnya sebagai ‚Syarif Husaini‛, yang berhijrah
dari Irak ke Yaman, sementara Ba’alwi (keluarga Abdurrahman al-Saqaf) pada
abad ke-7 itu masih gelap gulita, tidak ada satupun sejarawan atau ahli nasab
yang mencatat mereka, apalagi tentang hijrahnya sosok yang diakui sebagai
leluhur mereka yaitu Ahmad bin Isa, dari Irak ke Yaman.
Kemudian,
keluarga Ba’alwi mengkolaborasikan silsilah mereka yang versi Bani Ahdal
dengan silsilah Syarif Abil Jadid yang terdapat dalam kitab Al-Suluk. Penulis
akan membawa pembaca untuk menganalisa silsilah Ba’alwi yang hari ini mereka
akui, yaitu dari silsilah Syarif Abil Jadid versi manuskrip Mesir, kemudian
kita bandingkan dengan silsilah yang terdapat dalam manuskrip versi Paris,
dari situ kita akan dapat mengetahui sebenarnya ada beberapa nama yang fiktif,
baik dari keluarga Syarif Abil Jadid, maupun keluarga Ba’alwi.
Perhatikan
gambar di bawah ini:
No |
Silsilah Jadid Versi manuskrip Mesir tahun 877 H. |
Silsilah Jadid Versi manuskrip Paris tahun 822 H. |
Silsilah Ba’alwi versi cloning silsilah Jadid versi manuskrip Mesir |
Silsilah Ba’alwi versi cloning silsilah jadid versi manuskrip Paris |
1 |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhamad Saw. |
2. |
Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
3. |
Husain |
Husain |
Husain |
Husain |
4. |
Ali Zainal |
Ali Zainal |
Ali Zainal |
Ali Zainal |
5. |
Muhammad al-baqir |
Muhammad al- baqir |
Muhammad al- baqir |
Muhammad al- baqir |
6. |
Ja’far al-Shadiq |
Ja’far al-Shadiq |
Ja’far al-Shadiq |
Ja’far al-Shadiq |
7. |
Ali al-Uraidi |
Ali al-Uraidi |
Ali al-Uraidi |
Ali al-Uraidi |
8. |
Muhammad al-Naqib |
Muhammad al- naqib |
Muhammad al- naqib |
Muhammad al- naqib |
9. |
Isa |
Isa |
Isa |
Isa |
10. |
Ahmad |
Ahmad |
Ahmad |
Ahmad |
11. |
Abdullah |
|
Abdullah |
|
12. |
Jadid |
|
Alwi |
|
13. |
Muhammad |
|
Muhammad |
|
14. |
Jadid |
Jadid |
Alwi |
Alwi |
15. |
Ahmad |
Ahmad |
Ali (Khaliqosam) |
Ali (Khaliqosam) |
16. |
Muhammad |
Muhammad |
Muhammad (sohib Mirbat) |
Muhammad (Sohib Mirbat) |
17. |
Abul hasan Ali (Syarif Abul Jadid) |
Abul Hasan Ali (syarif Abul jadid) |
Ali (ayah Faqih Muqoddam |
Ali (ayah faqih Muqoddam) |
Dari gambar itu, dengan melihat perbandingan silsilah Ba’alwi dengan silsilah
Syarif Abil jadid, kita mengetahui bahwa silsilah Syarif Abil Jadid versi
manuskrip Mesir ada tiga nama yang diduga kuat fiktif yaitu nomor 11, 12 dan
13 (Abdullah, Jadid dan Muhammad), karena manuskrip yang lebih tua menyebutkan
bahwa silsilah Syarif Abul jadid adalah: Abul Hasan Ali/Syarif Abul Jadid bin
Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ahmad bin Isa. Jadi, Jadid langsung berayah
Ahmad bin Isa. dari sana, kita juga mengetahui bahwa silsilah Ba’alwi juga
seharusnya seperti itu, yaitu: Ali (ayah Faqih Muqoddam) bin Muhammad (Sohib
Mirbat) bin Ali (Khaliqosam) bin Alwi bin Ahmad bin Isa. jadi Alwi kedua
seharusnya langsung berayah Ahmad bin Isa, hal itu karena hakikatnya, silsilah
Ba’alwi itu hanya kreasi hasil cloning dari silsilah Syarif Abul Jadid. Kenapa
tiga nama itu ditambahkan? Tiga nama itu ditambahkan untuk menutupi interval
tahun yang tidak masuk akal antara Syarif Abul jadid yang ditulis Al-Janadi
wafat pada tahun 620 Hijriah, dengan tahun wafat Ahmad bin Isa yang wafat pada
tahun 345 Hijriah (?). jarak antara keduanya mencapai 275
tahun yang memerlukan setidaknya enam nama. Jika tidak ada penambahan
tiga nama tersebut, maka jumlah nama antar keduanya hanya tiga nama yang
tentu akan dianggap aneh oleh pakar genealogi.
Kesimpulan dari
hasil perbandingan antara nasab Ba’alwi dan nasab Syarif Abul Jadid, ada tiga
nama dari silsilah Ba’alwi yang fiktif dan ahistoris yaitu:
Abdullah/ubaidillah/Ubaid, Alwi pertama dan Muhammad. Tidak hanya sampai di
situ, ketika kita telusuri nama-nama dari mulai Alwi sampai Muhammad Maula
Dawilah, ayah dari Abdurrahman al-Saqaf, pun semuanya sunyi dari reportase
para pencatat nasab keturunan Nabi dan para sejarawan. Nama mereka dengan
kesejarahannya yang ‚luar-biasa‛ itu, hanya ada dalam kitab-kitab
keluarga Ba’alwi mulai abad kesembilan Hijriah.
Glorifikasi Leluhur Ba’alwi
Klan Ba’alwi, mungkin salah satu klan yang banyak memproduksi
kitab- kitab yang didalamnya penuh berisi penguatan pengakuan
mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. setidaknya ada 27 kitab yang
ditulis yang memuat tentang penguatan silsilah mereka itu. Tetapi kesemuanya
akan bermuara kepada kitab abad sembilan yaitu Al-burqat al-Musyiqat.
Referensi mereka akan mentok terputus di abad sembilan itu. Selain kitab
Al-Burqat al-Musyiqat, sebenarnya di abad sembilan itu, ada kitab-kitab yang
ditulis yang memuat silsilah mereka seperti kitab Al-Jauhar al-Syafaf yang
katanya karya Abdurrahman bin Muhammad al-Khatib, yang katanya pula wafat
tahun 855 Hijriah. Tetapi sosok Al-Khatib ini ‚majhul‛ (tidak dikenal) oleh
para penulis biografi ulama. Bahkan informasi dari kitab Hadiyyat al-Arifin
karya Isma’il Basya al-Babani, nama Abdurrahman bin Muhammad yang menulis
Al-jauhar al-Safaf, telah wafat tahun 724 H.80 demikian pula yang disebutkan
oleh Umar Rido Kahalah dalam kitab Mu’jam al-Mu’allifin.81 Bahkan, manuskrip
yang sampai kepada kita hari ini adalah manuskrip baru yang ditulis
tahun 1408 H.
Rupanya, Abad sepuluh dan sebelas Hijriah
dihitung sebagai dua abad yang sangat penting bagi klan Ba’alwi untuk
mempopularkan mereka sebagai keturunan Nabi. Ada sembilan kitab yang ditulis
untuk kepentingan itu yaitu: Al- Juz’ al-Latif karya Abubakar bin Abdullah
al-Idrus (w.914 H.). Kitab ini kemudian ditemukan Ibnu Hajar al-Haitami
setelah wafat penulisnya, dan Ibnu Hajar mengutip banyak sekali silsilah sanad
tarekat dan ‘lubsul hirqat’ (kain tarikat) dari kitab ini; kitab selanjutnya
adalah Tarikh Sanbal karya Syaikh Sanbal (w. 960 H.). kitab ini diragukan oleh
para pakar sebagai kitab abad 10 Hijriah, dan sosok Syaikh Sanbal inipun
diragukan pernah hidup di abad itu; kitab selanjutnya adalah Al- Gurar karya
Muhammad Ali Khirid Ba’alwi (w.960 H.), kitab ini sangat dipengaruhi oleh
kitab Al-Burqat al-musiqat; selanjutnya kitab Tiryaq al-Qulub karya Umar bin
Muhammad Basaiban (w.944), Al-Masra’al-Rawi karya Muhammad bin Abu Bakar
al-Sili (w.1093 H.), Muhtasar al-Gurar karya Muhammad bin Abdullah al-Idrus
(w.1031 H.), Al-‘Iqd al-Nabawi karya Syaikh bin Abdullah al-Idrus (w.1041 H.),
Hidmat al-Sadat Bani Alawi karya Abdulqadir bin Syekh al-Idrus (w.1038 H.),
Al-Nur al-Safir karya Abdulqadir bin Syekh al- Idrus (w.1038
H.). Semua kitab-kitab itu mempunyai pola
yang mirip dalam mengglorifikasi peran leluhur mereka, sayangnya
semua sifat-sifat kesejarahan yang ditulis dalam kitab-kitab itu tentang
leluhur mereka tidak terkonfirmasi sumber-sumber primer dan sekunder.
Kisah-kisah
tentang Ahmad bin Isa, bahwa ia seorang ‚imam‛ dan ulama tidak terkonfirmasi
sumber-sumber sezman atau yang mendekatinya, demikian pula
ketokohan Ubaidillah. Dalam litaratur ulama Ba Alawi, Ubaidillah ditulis wafat
tahun 383 Hijriah. Ia seorang Imam yang dermawan; seorang ulama yang ‚rasikh‛
(mendalam ilmunya); guru para ‛Syaikul Islam‛; pembuka kunci-kunci ilmu yang
dirahasiakan; Tiada ditemukan yang menyamainya (dizamannya). Demikian sebagian
yang ditulis ulama Ba alawi tentang Ubaidillah hari ini.82 Anehnya, seorang
‚Imam Besar‛, yang hidup di abad empat hijriah, sejarahnya gelap gulita pada
masanya. Tidak ada satu kitab-pun membicarakannya. Jika ia Imam,
tidak ada seorang pengikutnya-pun mencatatnya.
Jika ia guru para ‚Syaikhul Islam‛, tidak ada seorang
‛Syaikhul Islam‛-pun menyebut namanya, mengutip pendapat gurunya, bahkan walau
hanya menulis namanya dalam silsilah sanad keguruannya. Ia
benar-benar ‚orang besar‛ yang
mastur dan misterius.
‚Imam besar‛ ini, hidup di Abad empat hijriah, katanya, ia lahir dan tumbuh
besar di Basrah, lalu umur duapuluh tahun hijrah bersama ayahnya ke Yaman. Di
Abad itu, di Basrah dan di Yaman, puluhan kitab ditulis, ratusan ulama hidup
bergaul satu dengan lainnya, namun, di antara mereka, seorangpun tidak
mencatat interaksinya dengan Ubaidillah. Kemanakah Ubaidillah sang ‚Imam
Besar‛ ini bersembunyi? Nama Ubaidillah dan biografi hidupnya, baru muncul 512
tahun setelah wafatnya. Sosoknya, pertama kali di munculkan oleh Ali Al-Sakran
(w. 895 H). Bukan hanya menyebut nama dalam rangkaian silsilah,
Al-Sakran, bahkan, telah berhasil mengungkap ketokohan Ubaidillah. Sesuatu
yang tidak diketahui oleh ulama yang hidup sezaman atau berdekatan dengan
Ubaidillah. Ia dapat diketahui oleh Al-Sakran tanpa sumber-sumber pendukung
apapun. Al- Sakran adalah pioneer dalam meruntut ‚sejarah‛ Ubaidillah, dan
sukses menjadikannya sebagai sosok ‚menyejarah‛. Demikian pula tokoh
lain dalam silsilah Ba’alwi seperti Alwi pertama, Muhammad dan Alwi
kedua, sosoknya yang begitu punya peran penting dalam redaksi kitab-kitab
Ba’alwi, tidak terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya,
semuanya kembali kepada kitab Al-Burqat al-Musyiqat di abad ke-9 Hijriah.
Muhammad
bin Ali (w.556 H.) yang diberi gelar ‚Sohib Mirbat‛ oleh penulis Ba’alwi.
Sosoknya ditulis oleh Muhammad bin Ali Khirid Ba’alwi sebagai imaman mutqinan‛
(imam yang menguasai ilmu dengan dalam); ‚wahidu asrihi fi al-ilmi wa
al-‘amal‛ (paling berilmu dan beramal di masanya).83
Tetapi sosoknya sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama baik ulama nasab maupun ulama sejarah dan ‚tabaqat‛ (biografi ulama). Alwi bin Tahir dalam kitab Uqud al-Almas mengatakan bahwa Muhammad ‚Sahib Mirbat‛ adalah penyebar Madhab Syafi’I di Hadramaut, Difar dan Yaman dan para ulama-ulama di Mirbat adalah murid- murid Muhammad ‚Sahib Mirbat.84 Berita semacam itupun tidak bisa dikonfirmasi oleh sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya. Berbeda dengan ulama di Mirbat lainnya yang terkonfirmasi kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya, seperti Muhammad bin Ali al-Qol’iy (w.577 H.), dari tahun wafatnya kita melihat bahwa ia hidup sezaman dengan Muhammad ‚Sahib Mirbat‛.
Al-janadi dalam Al- Suluk menyebut ulama-ulama di Mirbat itu adalah murid-murid Imam al-Qol’iy.85 Al-Janadi banyak menyebut nama-nama ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut ada seorang ulama di Mirbat bernama Muhammad ‚Sahib Mirbat‛. Begitupula Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) dalam kitabnya Tabaqat Fuqaha al-Yaman ia menyebut nama Imam al-Qol’iy sebagai ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut nama Muhammad ‚Sahib Mirbat‛.86
Bahkan, gelar Sohib Mirbat, terkonfirmasi bukan gelar untuk Muhammad bin Ali,
tetapi ia adalah gelar yang diberikan kepada Penguasa di Kota Mirbat yang
bernama Muhammad bin Ahmad al-Ak-hal al- Manjawi. ia adalah sosok historis
yang hidup satu masa dan satu kota dengan Muhammad bin Ali ‚Sahib Mirbat‛
Ba’alwi. Al-Akhal adalah penguasa terakhir Kota Mirbat dari Dinasti
al-Manjawi. Muhammad al-Akhal Sohib Mirbat disebut al-Akhal karena memakai
celak dimatanya atau karena matanya ada tanda hitam sejak lahir. Ibnul Atsir,
pakar sejarah abad ke-7 dalam kitabnya Al-Kamil fi al- Tarikh menyebutkan
bahwa di tahun 601 Hijriah, Muhammad al-Akhal Sohib Mirbat, digantikan oleh
mantan menterinya yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari.87 Sementara
Muhamad bin Ali Ba’alwi, namanya tidak tercatat sebagai apapun, dengan gelar
ataupun tanpa gelar. Dengan disebut ulama ataupun bukan. jika ia benar-benar
sosok historis, kemana ia bersembunyi di Kota Mirbat, sampai ulama pengarang
kitab sejarah tak mencatatnya, padahal ulama lainnya tercatat dalam sejarah
Mirbat?
Keberadaan makam Muhammad bin Ali ‚Sohib Mirbat‛ hari ini
pun patut kita telusuri keasliannya. Benarkah makam itu ada di Mirbat sejak
abad ke-6 Hijriah? Makam Muhammad ‚Sohib Mirbat‛ hari ini mempunyai batu nisan
dengan ukiran yang bagus. Inskripsi batu nisan itu berangka tahun 556
Hijriyah. Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun 556 H? Di Yaman, abad ke
enam belum dikenal seni pahat batu. Hal tersebut difahami dari bahwa para raja
yang berkuasa di Yaman pada abad enam dan sebelumnya, dari Dinasti Al-Manjawih
dan dinasti Al-Habudi, makamnya tidak ada yang berbatu nisan dengan pahatan
kaligrafi.
Bagaimana ‚orang biasa‛ nisannya berpahat indah dengan harga yang mahal, jika
rajanya saja tidak? Raja pertama yang makamnya berbatu nisan dengan pahatan
indah adalah Raja Al-Watsiq Ibrahim dari dinasti Rasuli yang wafat pada tahun
711 H. batu nisan itupun bukan produksi Yaman, tetapi di impor dari
India. Bayangkan abad ke-8 saja, batu nisan raja Yaman harus di impor dari
India, bagaimana duaratus tahun sebelumnya makam Sohib Mirbat sudah mempunyai
batu nisan yang sama indahnya. Pada akhir abad ke-8 Dinasti Rasuli kemudian
membawa para pengarjin pahat dari India untuk membuat nisan. Dari situlah awal
mula banyak raja, ulama dan orang kaya, batu nisannya memiliki pahatan dan
ukiran. Hal itu bisa dibuktikan dengan bahan jenis batu yang berbeda antara
batu pahatan Raja al-Watsiq dan pahatan batu nisan selanjutnya. Dimana,
struktur dan jenis batu Raja Al-Watsiq berasal dari daerah India, sedangkan
jenis batu dari nisan lainnya adalah batu lokal dari Yaman. Batu Nisan
Muhammad ‚Sohib Mirbat‛, dapat di yakini baru dibuat pada abad Sembilan atau
sesudahnya, berbarengan dengan kontruksi nasab Ba Alawi yang secara formal
ditulis oleh Ali al-Sakran.
Sejarah Muhammad bin Ali yang kemudian
diberi gelar ‚Al-Faqih al- Muqoddam‛ oleh penulis-penulis Ba’alwi,
kesejarahannya juga tidak tereportase para ulama sezaman. Muhammad Diya’ Sahab
dalam Hamisy Syams al-Dahirat menyebutkan tentang Faqih Muqoddam: Ia adalah
salah seorang yang paling popular; Ia seorang ulama besar yang berhasil
mengumpulkan ilmu dan amal; Ia adalah ulama yang telah laik berijtihad karena
telah mencapai derajat ilmu riwayat dan ilmu logika. Karena itulah ia bergelar
‚Al-Faqih al-Muqoddam‛ (Rajanya ahli fikih) dan ‚Al-Ustad al-A’zom‛ (guru
besar). Tidak ada ulama sebelumnya yang bergelar seperti dia; Ia adalah
seorang ‚Al-muhaddits‛ (ahli hadits), ‚Al-Mudarris‛ (dosen), mursyid tarekat,
dan juga seorang ‚mufti‛ (ahli fatwa). Ia adalah tempat berlindung bagi orang
lain.88 Lalu, apakah ulama-ulama pada zamannya mereportase
sosoknya sebagai sosok kesejarahan yang luar biasa seperti disebutkan itu?
Sayang, sosok Faqih Muqoddam ini sama sekali tidak tereportase oleh ulama-
ulama sezaman sebagaimana fenomena kesejarahanya hari ini yang kita kenal yang
penuh dengan keluarbiasaan. Sosoknya sunyi di tengah masifnya kitab-kitab
ulama yang ditulis di masa itu. Jangankan di dunia Islam secara luas, di
sekitar Yaman saja, namanya di masa itu tidak terkonfirmasi. Kitab Al-Suluk
dan kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman pun tidak menulis namanya. Namanya muncul,
berbarengan dengan kemunculan nasab Ba’alwi dalam kitab Al-Burqat
al-Musyiqat.
CATATAN DAN REFERENSI
64 Lihat manuskrip kitab Al-Turfat al-Garibat min Ahbar Wadi Hadrmaut al-‘Ajibat, karya Ahmad ‘Ali bin ‘Abdul Qadir bin Muhammad al-Muqrizi al-Syafi’I, h. 7. Penulis memiliki versi pdf. Dari manuskrip tersebut.
65 Lihat Muhammad bin Abu Bakar al-Shili, Al-Mashra’ al-Rawi, (T.pn. T.tp. 1402 H.) h. 323 & 331
66 Al-Janadi… juz 2 h. 360
67 Al-Husain bin Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal, Tuhfat al-Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad, San’a, 1433 H.) juz 2 h. 238
68 Al-Husain al-Ahdal…juz 2 h. 238
69 Lihat Al-Ubaidili…h. 248
70 Lihat Al-Ubaidili… h. 147
71 Al-janadi…juz 2 h. 135-136
72 Ali bin Abubakar al-Sakran,… h. 150
73 Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad al-Ahdal, ‚Al-Ahsab al-‘Aliyyah fi al-Ansab al-Ahdaliyyah‛ (T.pn. T.tp. T.t.) h.4
74 Ali bin Abubakar al-Sakran… h. 151-152
75 Al-Husain al-Ahdal…juz 2 h. 238
76 Al-janadi… juz 2 h. 361
77 Muhammad bin Muhammad bin yahya bin Abdullah bin Ahmad bin Ismail bin Husain bin Ahmad Zabarat al-Son’ani, Nail al-Hasanain bi Ansab min al-Yaman min Buyut Itrat al-Hasanain, dicetak bersama Al-Anba’ min Daulat Bilqis wa Saba (Maktabah al-Yaman al-Kubra, Son’a, 14014 H.) h. 121
78 Tes DNA, Najwa Shihab Terkejut Gen Arab di Dirinya Hanya 3,4 Persen, dalam Kompas.com https://amp.kompas.com/entertainment/read/2019/10/18/051800310/tes-dna- najwa-shihab-terkejut-gen-arab-di-dirinya-hanya-34-persen
79 Abdullah Muhammad al-habsyi, dalam Al-Husain bin
Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal, Tuhfat al-Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman
(Maktabah al-Irsyad, San’a, 1433 H.) footnote juz 2 h. 238
80 Ismai’il Basa al-babani, Hadiyat al-‘Arifin Asma’ al-Mu’allifin wa Asara al-Mushanifin, (Maktabah al-Islamiyah al-Ja’fari, Teheran, 1959 M)juz 1 h. 526.
81 Umar Rida Kahalah, Kitab Mu’jam al-Mu’allifin, (Mu’asasat Al-risalat, T.tp.
1376 H.) juz 5 h. 178
82 lihat Ali al-Sakran…h.136 dan
Al-Masyra’ al-Rawi juz 1 h.75
83 Muhammad bin Ali Khirid… h. 131
84 Alwi bin tahir, Uqud al-Almas (Matba’ah al-Madani, Syari’ al-‘Abasiyah, 1388 H.) juz 2 h.104
85 Al-janadi…juz 2 h. 170
86 Umar bin Ali bin Samrah al-Ja’diy, Tabaqat Fuqaha al-Yaman (Dar al-Qalam, Beirut, T.t.) h. 220
87 Ibnul Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh (]Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1407
H.) juz 10 h. 203
88 lihat Muhammad Diya’ Sahab dalam
Abdurrahman Al-Mashur, Shmsu al-Dahirat, (‘Alam al-Ma’rifat, Jeddah, 1404 H.)
h. 77.