Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia
Judul buku: Kitab kuning, pesantren, dan tarekat: tradisi-tradisi Islam di Indonesia
Penulis: Martin van Bruinessen
Kata Pengantar: Abdurrahman Wahid
Cetakan I, Mei 2012
Diterbitkan oleh: Gading Publishing
@ Martin van Bruinessen
Bidang studi: Sejarah Indonesia, Islam Nusantara, subkultur, sosiologi
DAFTAR ISI
- Bagian II. Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia
- 4. Pesantren dan Kitab Kuning: Kesinambungan dan Perkembangan Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia
- 5. Kitab Fiqh di Pesantren Indonesia dan Malaysia
- 6. Kitab Kuning: Buku-buku Berhuruf Arab yang Dipergunakan di Lingkungan Pesantren
- 7. Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning
- Kembali ke: Buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Islam di Nusantara
  BAGIAN 2: Pendidikan Islam Tradisional di Indonesia
    
    
    PESANTREN
      DAN KITAB KUNING: KESINAMBUNGAN DAN PERKEMBANGAN TRADISI KEILMUAN ISLAM DI
      INDONESIA
  Salah satu tradisi agung (great tradition) di Indonesia adalah tradisi
  pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan
  lembaga-lembaga serupa di luar Jawa serta Semenanjung Malaya. Alasan pokok
  munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional
  sabagaimana yang terdapat dalam kita-kitab klasik yang ditulis berabad-abad
  yang lalu. Kitab- kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Jumlah
  teks klasik yang diterima di pesantren sebagai ortodoks (al-kutub al-
  mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu
  yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah; hanya bisa diperjelas dan
  dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungannya
  tidak berubah. Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah banyak dikritik, baik
  oleh peneliti asing maupun oleh kaum Muslim reformis dan modernis.
Pesantren
  (atau pondok, surau, dayah dan nama lain sesuai daerahnya) bukanlah
  satu-satunya lembaga pendidikan Islam. Dan tradisi yang muncul itu hanyalah
  satu dari beberapa aliran Islam Indonesia masa kini. Aliran-aliran modernis,
  reformis dan fundamentalis yang pada mulanya muncul sebagai penentang terhadap
  tradisi ini, dalam kadar tertentu bahkan juga telah berkembang menjadi tradisi
  lain yang tidak kalah kakunya. Perhatian saya dalam tulisan ini adalah pada
  Islam tradisional, meskipun pembatasan secara ketat untuk tidak membicarakan
  beberapa  kelompok  terakhir—yang  dengannya  selalu 
  terjadi
 
interaksi— tidak mungkin dapat dilakukan, dan pada
  tahun- tahun terakhir ini terlihat adanya konvergensi dengan kelompok-
  kelompok tersebut. Organisasi kaum reformis Muhammadiyah, misalnya, sekarang
  mempunyai pesantren, di mana di samping ada kurikulum sekolah, juga diajarkan
  kitab-kitab klasik berbahasa Arab (meskipun seleksi kitab-kitab klasiknya
  berbeda dengan pesantren tradisional).1 Di hampir semua pesantren, pada sisi
  lain, terjadi pergeseran penekanan dalam materi kitab-kitab tradisional, yang
  tampaknya akibat pengaruh modernisme. Tafsir, hadist 2 dan ushul al-fiqh
  mendapat perhatian lebih besar dibandingkan seabad yang lalu—sebuah
  perkembangan yang paralel dengan (dan mungkin sebagai respon atas) semboyan
  kaum modernis “Kembali kepada Al-Quran dan hadis.”
Menggambarkan
  Tadisi
Unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah lembaga pesantren
  sendiri, peranan dan kepribadian kiai (ajengan, tuan guru, dan lain sebagainya
  tergantung daerahnya) yang sangat menentukan dan karismatik—karismatik persis
  sebagaimana dalam pengertian Weberian. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan
  mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap
  santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, a fortiori, ulama yang mengarang
  kitab-kitab yang dipelajarinya. Kapatuhan ini, bagi pengamat luar, tampak
  lebih penting daripada usaha menguasai ilmu; tetapi bagi kiai hal itu
  merupakan bagian integral dari ilmu yang akan dikuasai. Hasyim Asy’ari,
  founding father NU, misalnya dikenal sangat mengagumi tafsir Muhammad ‘Abduh,
  namun ia tidak suka santrinya membaca kitab tafsir tersebut. Keberatannya
  bukan terhadap rasionalisme ‘Abduh, tetapi ejekan yang ditunjukkannya terhadap
  ulama tradisional.
Meskipun materi yang dipelajari terdiri dari teks
  tertulis, namun penyampaian secara lisan oleh para kiai adalah penting. Kitab
  dibicarakan keras-keras oleh kiai di depan sekelompok santri, sementara para
  santri yang memegang bukunya sendiri memberikan harakat sebagaimana bacaan
  sang kiai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun
  ma’nawi
 
(makna). Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan,
  tetapi biasanya terbatas pada konteks sempit isi kitab itu. Jarang sekali ada
  usaha menghubungkan uraian-uraian kitab dengan hal-hal konkret, atau situasi
  kontemporer. Kiai jarang menanyakan apakah santri benar- benar memahami kitab
  yang dibicarakan untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab
  yang bersifat pengantar sering dihapalkan, sementara kitab-kitab advanced
  hanya dibaca saja dari awal sampai akhir. (Namun, dalam lingkungan kecil
  tamatan pesantren, ada diskusi kitab untuk mencari relevansi kekiniannya, baik
  secara historis maupun kultural). Barangkali, mayoritas pesantren sekarang
  menjalankan sistem madrasah—ada kenaikan kelas, kurikulum yang baku dan
  ijazah—namun terdapat juga banyak pesantren penting yang masih menerapkan
  metode tradisional, di mana beberapa santri membaca kitab tertentu di bawah
  bimbingan sang kiai. Setelah santri menamatkan kitab yang dipelajarinya,
  mereka mendapatkan ijazah (biasanya diberikan secara lisan), dan setelah itu
  mereka bisa berpindah ke pesantren lain untuk belajar kitab lain. Banyak kiai
  yang terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Di samping
  mengajarkan kitab- kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan
  pengajian mingguan untuk umum di mana dibahas kitab-kitab yang relatif
  sederhana.
Kandungan intelektual Islam tradisional berkisar pada paham
  akidah Asy’ari (khususnya melalui karya-karya Al-Sanusi), mazhab fiqih Syafi’i
  (dengan sedikit menerima tiga mazhab lain) dan ajaran- ajaran akhlak dan
  tasawuf Al-Ghazali dan pengarang kitab sejenis. Sebagian besar kitab yang
  dipelajari di pesantren3—termasuk karya-karya mutakhir— isinya berkisar pada
  tiga kategori itu atau pada “ilmu alat” yang berupa gramatika bahasa Arab
  tradisional (nahw). Dalam hal terakhir, kaum tradisionalis masih tetap lebih
  memilih metode nahw yang tidak efisien daripada pendekatan- pendekatan yang
  lebih modern (Drewes 1971).
Di sisi lain, Islam modernis tidak mau
  terikat dengan system mazhab yang kaku dan kesufian Al-Ghazali. Mereka
  menyerukan pembukaan kembali pintu ijtihad dan aktivitas sosial dan politik.
  Sementara dalam tradisi pesantren karya-karya Al-Ghazali dianggap sebagai
  prestasi keilmuan dan spiritual tertinggi; kaum modernis
 
dan
  fundamentalis memilih Ibn Taimiyah sebagai idolanya (yang karya-karyanya
  dilarang dibaca di pesantren).4
Kebanyakan kiai hanya mengajarkan kitab
  kuning, tetapi tidak sedikit juga yang telah menambah khazanah Islam
  tradisional dengan mengarang kitab sendiri. Ada perbedaan besar antara karya
  ulama modernis dan reformis dengan karya ulama tradisional. Ulama modernis
  menulis karyanya dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin (kalangan reformis
  membaca karya-karya ulama Arab biasanya melalui terjemahan bahasa
  Indonesianya). Sementara ulama tradisional menulisnya dengan bahasa Arab,
  karena dianggap menambah nilai kehormatan.5 Kalaupun karya mereka ditulis
  dalam bahasa setempat, namun tetap memakai huruf Arab. Penulisan dalam bahasa
  Arab inilah yang menjadi ciri penting yang membedakan antara ulama modernis
  dan tradisional. Sekarang terdapat di pasaran lebih dari 500 judul karya ulama
  tradisional Indonesia, yang isinya beraneka ragam: dari terjemahan karya
  sederhana sampai syarah dan hasyiyah canggih terhadap teks klasik.
Tradisi
  pesantren bernafaskan sufistik dan ubudiyah. Ibadah fardhu dilengkapi dengan
  shalat-shalat sunnah dan zikir, wirid atau ratib. Banyak kiai yang berafiliasi
  dengat tarekat dan mengajarkan kepada pengikutnya ibadah dan amalan sufistik
  yang khas. Seperempat dari hasil karangan ulama tradisional terdiri dari
  kitab-kitab tasawuf dan akhlak.  Nabi  dan  ahl al- bait sangat
  dimuliakan dan menjadi objek sejumlah shalawat. Bahkan orang sangat bejat yang
  berasal dari keturunannya masih dihormati. Para wali pun sangat dimuliakan dan
  pertolongannya sering diminta. Mengunjungi makam dari para wali dan sejumlah
  kiai merupakan bagian penting dari acara tahunan. Hampir semua pesantren di
  Jawa mempunyai perayaan tahunan (khaul, hawl), untuk memperingati tahun
  kematian kiai pendirinya.
Karisma kiai didasarkan kekuatan spiritual dan
  kemampuan memberi berkah karena hubungannya dengan alam gaib. Kuburannya pun
  dipercaya dapat memberikan berkah. Sikap inilah yang paling tajam membedakan
  antara kaum modernis dan fundamentalis yang menganggap bahwa setelah orang
  mati tidak mungkin lagi ada komunikasi, dan setiap usaha untuk
 
berhubungan
  dengannya adalah syirk (menyekutukan Tuhan). Di sisi lain, kaum tradisionalis
  menganggapnya sebagai sebuah aspek integral dari konsep wasilah, keperantaraan
  spiritual. Mata rantai yang terus bersambung dari seorang guru, hidup atau
  mati, melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai kepada Nabi dan karenanya
  kepada Tuhan, dianggap penting untuk keselamatan. (Itulah sebabnya,
  keanggotaan kiai NU tidak dianggap berakhir karena kematiannya, supaya wasilah
  tidak terputus).6
Konsep mata rantai yang terus bersambung sampai kepada
  Nabi adalah penting bagi Islam tradisional. Hal itu terdapat dalam berbagai
  aspek seperti pada silsilah tarekat,7 isnad hadis dan juga isnad kitab-kitab
  yang dipelajari. Mata rantai tersebut merupakan jaminan keotentikan tradisi.8
  Para sayyid Hadhrami  (berasal dari Hadhramaut) yang telah punya pengaruh
  besar dalam pembentukan Islam tradisional Indonesia merupakan penjelmaan fisik
  dari mata rantai itu; titisan darah Nabi dianggap terdapat dalam dirinya, yang
  menyebabkan derajatnya lebih tinggi dari orang lain. Gagasan pewarisan karisma
  dalam bentuk yang mirip juga terlihat pada kebanggaan sejumlah kiai atas
  silsilah keturunan yang mereka —benar atau salah— runut sampai para walisanga
  atau raja Jawa zaman dulu.9 Kaum modernis, tentu saja, menolak bahwa garis
  keturunan dapat menjamin derajat ketinggian spiritual seseorang.
Oportunisme
  politik NU, yang sering dikritik kaum Muslim lain, disebabkan banyak kiai
  menganut paham politik konservatif tradisi Sunni yang menganggap bahwa
  kekacauan politik (fitnah) selama satu jam lebih buruk daripada tirani satu
  abad. Akomodasi politik hampir menjadi sesuatu yang prinsip dalam tradisi
  Sunni, tidak sekadar sebuah upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Semua gerak
  politik NU masa lalu dilegitimiasi keputusan Majlis Syuriah dengan mengacu
  kepada kitab kuning, yang meskipun secara teoretis kaku, namun longgar
  penerapannya.10
Tradisi Indonesia atau Asing?
Ada paradoks
  pada tradisi pesantren. Di satu sisi ia berakar kuat di bumi Indonesia; pondok
  pesantren bisa dianggap lembaga
 
yang khas Indonesia. Meskipun
  ia merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek,
  berbeda dengan sekolah tradisional di dunia Islam mana pun. Di sisi lain, pada
  saat yang sama ia berorientasi internasional, dengan Makkah sebagai pusat
  orientasinya, bukan Indonesia.
Tradisi kitab kuning, jelas bukan berasal
  dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa
  Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia. Demikian
  juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan berasal dari Indonesia
  (meskipun jumlah syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan
  pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah
  kitab yang dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di
  Indonesia, melainkan di Makkah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi
  orang Indonesia sendiri).
Pola khas pesantren sebagai lembaga pendidikan
  juga mencerminkan pengaruh asing, dan mungkin juga punya akar asing (meski
  bercampur dengan tradisi lokal yang lebih tua). Ia menyerupai madrasah India
  dan Timur Tengah. Hampir semua kiai besar menyelesaikan tahap akhir
  pendidikannya di pusat- pusat pengajaran Islam prestisius di tanah Arab.
  Mereka bisa dianggap sebagai perantara antara tradisi besar keilmuan Islam
  yang bersifat internasional dengan varian tradisi Islam yang masih sederhana
  di Indonesia.
Tradisi pesantren bukanlah satu-satunya tradisi budaya
  Indonesia yang mempunyai akar asing. Namun, berbeda dengan tradisi-tradisi
  Indonesia yang berakar ke India dan Cina yang telah terintegrasi dengan budaya
  setempat dan berkembang lebih lanjut, yang kemudian terlepas dari sumber asing
  mereka,11 tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap sinkretisme dan
  senantiasa memperbaharui diri kembali melalui sumbernya sendiri. Sumber
  terpenting bagi Islam tradisional Indonesia adalah kota suci Makkah—pusat
  orientasi semua dunia Islam. Dan, menyusul, Madinah, di mana Nabi membangun
  masjid pertama dan wafat.
Hampir semua pengarang-pengarang Islam
  Indonesia menghabiskan banyak waktu di Makkah, Madinah, dan pusat-
 
pusat
  pengajaran Islam di Timur Tengah. Namun bukan hanya para ulama, tetapi juga
  para penguasa Islam masa lalu merujuk ke Makkah untuk mendapatkan legitimasi,
  atau paling tidak mendapatkan ilmu untuk kekuatan spiritual. Pada tahun
  1630-an, Abu’l-Mafakhir Mahmud, raja Banten keempat, mengirim utusan ke makkah
  untuk minta pengakuan sebagai Sultan serta penjelasan berbagai kitab agama dan
  bahkan meminta didatangkan ahli fiqih dari Makkah untuk memberikan pengajaran
  agama di Banten.12 Pada tahun 1641, raja Mataram juga minta dianugerahi gelar
  “sultan” dari penguasa (Syarif) di Makkah, sebagai salah satu usaha untuk
  memperkuat kembali legitimasi keagamaannya (de Graaf 1958, hlm. 264-8).
  Meskipun pengetahuan kita tentang Islam di Indonesia sebelum abad ke-17 sangat
  sedikit, hal itu tampaknya sesuai dengan orientasi Makkah yang telah
  berkembang jauh sebelum kejadian itu tercatat. Keterangan ini tidak
  mengingkari bahwa Islam di Indonesia, khususnya pada abad-abad pertama,
  terpengaruh perkembangan Islam India. Sebagai contoh, besarnya pengaruh
  tarekat Syattariyah,13 popularitas, berbagai adaptasi metafisika wahdah
  al-wujud Ibn Al-‘Arabi,14 dan pilihan kitab- kitab yang dipelajari selama
  berabad-abad pertama di Indonesia menunjukkan besarnya pengaruh India. Namun
  pengaruh India ini juga mencapai Nusantara melalui kota-kota suci di Hijaz,
  tempat berbagai ulama besar India (dan pengikutnya yang non-India) mengajar.
  Nuruddin Al-Raniri, ulama Arab-Melayu kelahiran India, merupakan satu-satunya
  tokoh terkenal yang mewakili hubungan langsung antara India dan Indonesia.
Karena
  orientasi asing yang terus berlanjut pada tradisi pesantren, ia tidak bisa
  dianggap terisolir. Agar dapat memahami dinamika pesantren, kita harus
  mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab dan India. Studi dilakukan Snouck
  Hurgronje tentang pendidikan Islam di Makkah lebih dari satu abad lalu (1887a,
  1889) masih merupakan salah satu karya terpenting mengenai tradisi pesantren,
  dan belum terdapat kajian baru yang lebih mendalam. Sejak seabad yang lalu,
  perhatian para sarjana untuk mengkaji Islam Indonesia hampir semuanya
  mengabaikan Makkah dan pusat-pusat asing lain, atau hanya membuat beberapa
  pengamatan dangkal saja.15
 
Permulaan Tradisi Pesantren
Pengetahuan
  kita mengenai asal-usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan tidak mengetahui
  kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Banyak yang disebut
  tentang pesantren pada masa awal, sebetulnya hanya merupakan ekstrapolasi dari
  pengamatan akhir abad ke-19. Pigeaud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren
  merupakan jenis pusat Islam penting kedua, di samping masjid, pada periode
  awal abad ke-16. Mereka menyangka bahwa pesantren adalah sebuah komunitas
  independen yang tempatnya jauh, di pegunungan, dan berasal dari lembaga
  sejenis zaman pra-Islam, mandala dan asyrama (Pigeaud 1967, hlm 76ff; de Graaf
  dan Pigeaud 1974, hlm. 246- 7). Memang terdapat indikasi bahwa tempat-tempat
  pertapaan pra
–Islam tetap bertahan beberapa waktu setalah Jawa
  diislamkan; bahkan tempat pertapaan yang baru terus didirikan.16 Namun tidak
  jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran
  tekstual berlangsung. Karena itu sebutan “pesantren” (sebuah istilah yang
  menurut pengetahuan saya baru muncul belakangan) patut dipertanyakan.
Beberapa
  pengarang cenderung menganggap desa perdikan (Fokkens 1886) sebagai sarana
  kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam. Desa perdikan,
  yang dibebaskan pajak dan kerja rodi tetapi penghasilannya harus dimanfaatkan
  untuk melaksanakan tugas sakral seperti memelihara makam keramat, merupakan
  lembaga yang sudah cukup tua (Schrieke 1919), dan beberapa desa perdikan pada
  abad ke-19 telah menikmati statusnya sejak zaman pra-Islam. Namun demikian,
  keberadaan pesantren di sebuah desa perdikan tampaknya tidak ada sangkut
  pautnya dengan status bebas pajak desa bersangkutan. Dari 211 desa perdikan
  yang tercatat pada survei akhir abad ke-19 (Anon. 1888), hanya ada empat desa
  yang sebagian penghasilannya secara eksplisit digunakan untuk pemeliharaan
  pesantren. Ada pesantren di beberapa desa perdikan lain, namun tidak mendapat
  pembagian penghasilan, dan karena itu keberadaannya jelas tidak ada
  hubungannya dengan status desa perdikan tersebut. Alasan lumrah untuk
  memberikan status bebas pajak ini kepada sebuah
 
desa adalah
  keberadaan makam-makam penting. (Di samping itu, sebagaimana diamati Schrieke,
  kerajaan bisa mempunyai alasan politik untuk memberikan status perdikan kepada
  desa-desa di pinggiran wilayahnya).
Pemeliharaan makam-makam keramat
  secara tradisional merupakan suatu tugas keagamaan yang dihormati, terlepas
  dari apa agama resminya. Keluarga yang diberi kepercayaan memegang perdikan,
  memiliki wibawa keagamaan tertentu, dan tidaklah mengherankan bila beberapa
  anggota keluarganya ada yang menjadi guru agama berpengaruh (terutama
  mengajarkan tasawuf dan magi). Ketika itulah peranan mengajar orang-orang
  tersebut menjadi terlembaga dalam bentuk pesantren. Proses pembentukan
  pesantren itu digambarkan dengan cermat oleh Guillot (1985) dalam kasus
  berdirinya pesantren Tegalsari.
Namun perlu ditekankan bahwa hanya
  sedikit dari pesantren Jawa yang mempunyai latar belakang seperti itu, dan
  bahkan pesantren-pesantren ini pun umurnya masih muda. Pesantren Tegalsari,
  pesantren tertua yang masih berfungsi sampai beberapa tahun lalu, didirikan
  pada tahun 1742. Survei Belanda pertama mengenai pendidikan pribumi yang
  dilakukan pada tahun 1819, memberikan kesan bahwa pesantren yang sebenarnya
  belum ada di seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren
  dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun,
  dan Ponorogo. Di daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali,
  kecuali pendidikan informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid.
  Madiun dan Ponorogo (di mana Tegalsari terletak) waktu itu memiliki pesantren
  terbaik. Di sinilah anak-anak dari pesisir utara pergi untuk melanjutkan
  pelajarannya (Van der Chijs 1864, hlm. 215-9). Sepanjang yang saya perhatikan,
  tidak ada bukti yang jelas adanya pesantren (dalam bentuk abad ke-19) sebelum
  berdirinya Tegalsari.
Patut diingat bahwa belum ada lembaga semacam
  pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi
  ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak- anak dan orang dewasa
  belajar membaca dan menghafal Al-Quran
 
dari orang-orang
  kampung yang telah lebih dulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau
  pedagang Arab mampir ke desa itu, dia diminta singgah beberapa hari di sana
  dan mengajarkan kitab agama di masjid seusai shalat. Ulama setempat di
  beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid.
  Murid-murid yang sangat berminat akan mendatangi ulama itu di rumahnya dan
  bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Murid- murid yang ingin belajar
  lebih lanjut pergi mondok ke Jawa atau, jika memungkinkan, ke Makkah. Itulah
  juga kiranya situasi yang ada di Jawa dan Sumatera selama abad-abad pertama
  penyebaran Islam. Karena itu, saya punya dugaan kuat bahwa lembaga yang layak
  disebut pesantren belum berdiri sebelum abad ke-18.
“Pesantren”
  Karang
Sebuah “pesantren” tua terkenal bernama Karang di Banten, yang
  letaknya mungkin di sekitar Gunung Karang, sebelah barat Pandeglang,
  dibicarakan dalam Serat Centhini (Drewes 1969, hlm. 11). Salah seorang tokoh
  pemeran dalam karya ini, sang pertapa Danadarma, mengaku telah belajar tiga
  tahun di Karang di bawah bimbingan “Seh Kadir Jalena”; mungkin maksudnya dia
  belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan dengan sufi besar ‘Abd Al-Qadir
  Al-Jailani.17 Juga tokoh utama dalam Serat Centhini, Jayengresmi alias Among
  Raga, belajar di paguron Karang, di bawah bimbingan seorang guru Arab bernama
  Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng Karang. Dari
  Karang, kemudian dia pergi ke paguron besar lain di desa Jawa Timur,
  Wanamarta, yang dipimpin oleh Ki Baji Panutra, di mana dia menunjukkan
  penguasaannya yang sangat mendalam atas kitab-kitab ortodoks.18
Seorang
  guru, di karang juga disebutkan dalam sebuah primbon Jawa dari Kabupaten
  Banyumas. Primbon ini menyebut seorang Seh Bari Karang (Seh Bari ing Kawis)
  yang konon telah menyebarkan ajaran para wali Jawa. Drewes (1969, hlm. 11)
  menduga bahwa yang dimaksud mungkin Seh Bari yang ajarannya terdapat dalam
  “Wejangan Seh Bari” salah satu dari dua naskah Islam Jawa tertua (abad ke-16).
  Jika hal ini benar, berarti pada suatu ketika antara tahun l927 (masuknya
  Islam di Banten) sampai akhir
 
abad itu, Karang terkenal
  sebagai pusat pendidikan Islam ortodoks, bukan ajaran sinkretik seperti yang
  sering dikaitkan orang dengan para wali Jawa. Kalaupun dugaan Drewes benar
  bahwa kitab yang diterjemahkannya adalah karya seorang guru dari Karang, itu
  pun belum membuktikan bahwa di situ pernah ada pesantren. Naskah Banyumas
  tidak menyinggung sebuah perguruan, tetapi hanya menyebutkan sang syaikh
  (Serat Centhini yang kadang- kadang membicarakan perguruan, tidak menyebutnya
  “pesantren” melainkan, “paguron” atau “padepokan”).
Menurut Serat
  Centhini, Jayengresmi hidup sezaman Sultan Agung Mataram, yaitu pada paruh
  pertama abad ke-l7. Namun, Serat Centhini disusun pada awal abad ke-19, dan
  karenanya tidak bisa dianggap sumber yang dipercaya mengenai keadaan abad
  ke-l7. Kitab Sajarah Banten disusun sekitar zaman ketika Jayengresmi konon
  hidup (Djajadiningrat 1913) tidak menyebut sebuah poguron di Karang (atau di
  tempat lain), tetapi tempat yang banyak didatangi orang-orang yang ingin
  melakukan tapa, sebuah praktik meditasi.19 Satu-satunya pengajaran agama yang
  disebutkan di kitab ini adalah pendidikan pribadi putra mahkota di tangan Kiai
  Dukuh dan qadhi kesultanan (ibid., hlm. 37).20 Jadi, pada abad ke-16 dan ke-17
  yang ada adalah guru yang mengajarkan agama Islam di masjid atau istana dan
  ahli tasawuf dan magi yang berpusat di tempat pertapaan atau di dekat makam
  keramat. Pesantren mungkin sebagian berkembang dari tempat- tempat ini, namun
  ia baru muncul pada periode belakangan.
Kitab yang Dipelajari pada
  Abad ke-16 hingga Abad ke-19
Dugaan saya bahwa lembaga pesantren belum
  ada sebelum abad ke-18 tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari
  sebelumnya. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan
  dipelajari pada abad ke-16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan
  ke dalam bahasa Jawa dan Melayu sementara beberapa pengarang Indonesia telah
  menulis kitab-kitab dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang
  serupa  dengan kitab ortodoks. Sekitar tahun 1600, sejumlah naskah
  Indonesia berbahasa Melayu, Jawa dan Arab dibawa ke Eropa. Mereka
 
memberi
  gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di
  Nusantara saat itu.
Naskah-naskah Melayu (van Ronkel 1896) terdiri dari
  tafsir dua bab penting dari Al-Quran, dua hikayat bertema lslam, sebuah kitab
  hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antarbaris) dan
  sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap Nabi (Qasidah Al-Burdah-nya
  Al-Bushiri, diedit Drewes, 1955). Dua naskah Islam Jawa terpenting yang juga
  diedit ulang Drewes (1954, 1969) sama sekali tidak menunjukkan spekulasi
  metafisis dan sinkretisme yang begitu sering dianggap ciri khas Islam Jawa.
  Mereka mencerminkan tradisi ortodoks (fiqih Syafi’i, doktrin Asy’ari dan
  akhlak Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk pada berbagai macam kitab
  berbahasa Arab yang memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pengarang-penga-
  rang itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.
Dari berbagai karya
  yang disebutkan dalam naskah Jawa pertama, “Wejangan Seh Bari” (Drewes 1969,
  sebelumnya dikenal sebagai “Kitab Sunan Bonang”) hanya dua judul yang
  diketahui: karya besar Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din, dan kitab Tamhid— yang
  dimaksud barangkali Al-Tamhid fi Bayan Al-Tawhid karya Abu Syukur Al-Kasyi
  Al-Salimi. Karya terakhir ini memang pernah dikenal di Indonesia karena ada
  satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antarbaris (Kraemer 1921, hlm.6). Dan
  menarik, karena karya yang kedua ini banyak dibaca di India.21 Dua karya yang
  sama, juga disebutkan dalam kitab Islam Jawa lama lain (Kraemer 192l, Drewes
  1954) bersama-sama dengan Talkhish Al- Minhaj (ringkasan Minhaj, mungkin
  Minhaj Al-Abidin-nya Al- Ghazali), Syarh fi Al-Daqa’iq (mungkin syarah atas
  kitab populer tentang kosmologi dan eksatologi, Daqa’iq Al-Akhbar).22 Dua
  judul lain, Al-Kanz Al-Khafi (“Harta Tersembunyi”) dan Ma’rifah Al-‘Alam
  (“Terbukanya Tabir Dunia”) mengesankan karya tasawuf dan metafisika, meskipun
  keduanya tidak bisa diidentifikasi.
Catatan pendek ini memperlihatkan
  bahwa penekanan dalam pengajaran adalah pada akidah dan tasawuf. Keberadaan
  beberapa naskah (yang lebih muda) dalam bahasa Arab, begitu juga terjemahan
  Jawa Kitab tentang wahdah al-wujud karya Burhanpuri yang terkenal, Al-Tuhfah
  Al-Mursalah (]ohns 1965)
 
menunjukkan adanya kecenderungan
  kuat kepada tasawuf “panteistis”.23 Namun di antara beberapa naskah yang
  disebutkan, yang dibawa ke Eropa dari Jawa sekitar 1600, terdapat pula kitab
  berbahasa Arab tentang fiqih, yaitu karya Abu Syuja’ Al- Isfahani, Al-Taqrib
  Fi Al-Fiqh yang masih digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa
  antarbaris) dan sebuah kitab anonim, yang sekarang praktis tidak diketahui
  lagi, Al-Idhah fi Al-Fiqh. Ini semua jelas membuktikan bahwa fiqih juga
  dipelajari di Jawa akhir abad ke-16 (dan mungkin jauh lebih awal).
Orang-orang
  Indonesia yang belajar di Tanah Arab mengenal berbagai macam kitab yang lebih
  luas, tetapi apa yang dipelajari di Indonesia sendiri sangat terbatas dan
  sedikit dibandingkan dengan tradisi kitab klasik yang kaya. Mahmud Yunus
  (1979, hlm.  223-6)  memberikan  informasi  yang 
  agak  rinci  tentang pesantren di Maharam (abad ke-18?), meskipun
  masih tidak jelas dari mana sumbernya. Informasinya mungkin dari tradisi
  lisan. Ia menyebutkan tiga kitab yang dipelajari di tingkat rendah: Taqrib
  (kitab fiqih), Bidayah Al-Hidayah (ringkasan Ihya) dan sebuah kitab berjudul
  Ushul 6 Bis,24 yaitu kitab tentang akidah karya Abu Al-Laits Al-Samarqandi,
  yang juga dikenal sebagai  Asmarakandi.25
Serat Centhini,
  sebagaimana ditunjukkan Soebardi pertama kali (1971), berisi lebih banyak
  informasi rinci mengenai kitab-kitab yang dipelajari di “pesantren”. Namun
  gegabahlah menganggap bahwa keterangannya benar untuk masa jauh sebelum Serat
  Centhini disusun, pada awal abad ke-19. Dalam diskusi antara Jayengresmi dan
  tokoh-tokoh lain di Serat Centhini, disebutkan dua puluh kitab yang berbeda,
  enam di antaranya kitab fiqih (termasuk Taqrib dan Idhah),26 sembilan kitab
  akidah (termasuk kitab pengantar Al-Samarqandi dan dua karya Al-Sanusi yang
  terkenal dengan berbagai syarahnya), dua kitab tafsir (Jalalain dan Baidhawi)
  dan tiga kitab tasawuf. Yang terakhir ini termasuk Ihya dan Al-Insan Al-Kamil
  karya ‘Abd Al-Karim Al-Jili—satu-satunya karya yang keortodoksannya
  diperdebatkan—sebuah kajian sistematis tentang metafisika wahdah al-wujud Ibn
  Al-’Arabi.27
Survei pendidikan pribumi pertama yang dilakukan pemerin-
  tah (Belanda) Kabupaten Rembang pada tahun 1864 mencatat kitab yang dipelajari
  di pesantren (van der Chijs 1864, hlm. 217).
 
Santri
  mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab dengan kitab ‘Amil karya Jurjani
  (atau ‘Awamil) dan kitab Jurumiyah (yang masih dipelajari di pesantren),
  kemudian membaca bagian-bagian terpilih dari Al-Quran, sebuah kitab fiqih yang
  bersifat pengantar (Sittin) dan kitab akidah (Asmarakandi tersebut dan
  Al-Durrah karya Al-Sanusi yang juga disebutkan dalam sumber-sumber Jawa
  terdahulu).
Menjelang akhir abad itu. L.W.C. van den Berg mengunjungi
  sejumlah pesantren penting di Jawa dan Madura, dan menyusun daftar kitab-kitab
  berbahasa Arab yang lazim dipelajari berdasarkan wawancara dengan kiai (1886).
  Sebutan “berbahasa Arab” menyi- ratkan bahwa karya-karya dalam bahasa lain
  (mungkin bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab, Jawa Pégon) juga
  digunakan, tetapi sengaja tidak dibahas dalam artikel tersebut. Van den Berg
  menunjukkan kesinambungan yang jelas dengan kitab-kitab terdahulu, dalam arti
  bahwa baik karya-karya pengantar yang dipakai maupun kitab bereputasi tinggi
  yang disebutkan ternyata sama. Kitab-kitab yang mulai dipakai belakangan pun
  pada dasarnya berupa penjelasan-penjelasan mengenai bidang yang sudah
  “baku”—tidak ada orientasi baru. Yang menarik adalah tidak adanya beberapa
  dimensi tradisi klasik: sementara banyak kitab fiqih dipelajari, tidak ada
  satu pun kitab ushul al-fiqh yang tercatat. Kitab tafsir, misalnya, hanya ada
  karya kedua Jalaluddin (Jalalain: Suyuthi dan Mahalli) serta tafsir Baidhawi.
  Meskipun kumpulan hadits Bukhari dibaca beberapa kiai, tidak ada kitab hadis
  yang benar-benar dipelajari di pesantren. Dalam tiga bidang inilah, sejak
  tahun 1888-an, kurikulum pesantren diperkaya (van Bruinessen 1990). Dimensi
  lain tradisi intelektual klasik yang lenyap dari pesantren adalah terutama
  filsafat dan metafisika.28 Van den Berg tidak mencatat ada kitab-kitab tentang
  wahdah al-wujud. Kitab-kitab ini mungkin masih dipelajari di sejumlah
  pesantren, tetapi tidak begitu mencolok dan hanya diajarkan kepada santri-
  santri pilihan, seperti yang terjadi di beberapa tempat sekarang.
Kitab-kitab
  yang dipelajari sebelum abad ke-20 di Jawa wawasannya sempit jika dibandingkan
  dengan wawasan intelek- tual pengarang-pengarang Islam dari daerah lain pada
  masa sebelumnya. Dalam karangan Nuruddin Al-Raniri, Yusuf  Makassar
 
dan
  Abdurra’uf Singkel, kita menemukan referensi kepada kitab- kitab yang jauh
  lebih banyak variasinya, dan lebih menarik secara intelektual. Daftar karya
  tasawuf dan filsafat bernilai tinggi yang telah dikaji Raniri (lihat catatan
  Al-Attas l986, hlm. 12-24) sangat mengesankan. Yusuf menghabiskan waktu lama
  di tanah Arab, belajar pada guru-guru besar dan mendalami banyak tarekat.
  Dalam tulisan-tulisannya, ia juga merujuk khazanah intelektual lebih luas dari
  pada kitab yang dikenal di Jawa.29 Abdurra’uf, dalam ‘Umdah Al-Muhtajin,
  menyebutkan lusinan gurunya di Makkah dan Madinah. Ia tidak merinci apa yang
  dipelajari dari guru-gurunya itu, namun dari karya-karyanya, terlihat bahwa ia
  menguasai ilmu-ilmu keislaman yang terpenting. Dengan melihat spesialisasi
  guru utamanya, Ibrahim Al-Kurani, barangkali ia juga mendalami metafisika dan
  hadis.
Tradisi Keilmuan Klasik dan Pengaruhnya di Indonesia
Kitab-kitab
  yang merupakan penopang utama tradisi keilmuan Islam ditulis  pada
  abad  ke-10 sampai dengan ke-15
M. Beberapa karya penting ditulis
  sebelum periode tersebut, dan beberapa karya baru dengan corak yang sama terus
  ditulis, tetapi sejak akhir abad ke-15, pemikiran Islam tidak mengalami
  kemajuan yang berarti. Pola pemikiran dalam ilmu-ilmu keislaman tetap sama,
  namun dalam ilmu lain seperti matematika, fisika, kedokteran paradigmanya
  telah mengalami perubahan, karena pengaruh Eropa.30 Dalam tradisi abad
  pertengahan ini, ilmu dianggap sistem pengetahuan yang pada dasarnya bisa
  selesai. Ide untuk memperluas ilmu pengetahuan, dianggap absurd dan bahkan
  bid’ah. Pandangan ini secara tegas membatasi jenis karya yang bisa ditulis.
Aziz
  Al-Azmeh, yang dalam karya terbarunya (1986) menganalisis sangat cermat dasar
  metafisika dari pemikiranArab abad pertengahan, mensurvei secara singkat jenis
  karangan para ulama dan ilmuwan zaman itu. Jenis karya itu, menurutnya, agak
  terbatas; setiap karya mengenai suatu subjek pasti termasuk satu dari tujuh
  jenis pembahasan berikut. Yaitu pelengkapan atas teks yang belum lengkap;
  perbaikan teks yang mengandung kesalahan;
 
penjelasan
  (penafsiran) atas teks yang samar; peringkasan (ikhtisar) dari teks yang lebih
  panjang; penggabungan teks-teks terpisah tetapi saling berkaitan (namun tanpa
  adanya usaha sintesis); penataan tulisan yang masih simpang-siur; dan
  pengambilan kesimpulan dari premis-premis yang sudah disetujui (Al-Azmeh 1986,
  hlm. 152, berdasarkan Ibn Hazm dan Hajji Khalifah). Untuk masa pascaklasik
  pun, ini masih sah sebagai gambaran pem- bahasan kitab kuning. Dan jika kita
  menambahkan terjemahan ke dalam bahasa setempat sebagai jenis kedelapan,
  praktis semua kitab yang ditulis ulama Indonesia selama abad yang lalu
  tercakup dalam delapan jenis ini.
Meskipun dianggap sudah tuntas dan
  tidak boleh berubah, tradisi keilmuan Islam ini sangat kaya. Dan ia tetap
  fleksibel karena tidak ada usaha untuk membuatnya konsisten. Setiap cabang
  ilmu merupakan sistem tertutup dan di satu ilmu boleh jadi terdapat
  dalil-dalil dan pandangan bertentangan dengan yang di cabang ilmu lain. Para
  filosof dan mutakallim, sufi dan ahli metafisika, faqih dan ahli hadis,
  masing-masing punya wacananya sendiri, kadang-kadang bertentangan satu dengan
  yang lain (meskipun terdapat persamaan dalam pola pemikiran).31 Bahkan dalam
  disiplin utama, fiqih, keempat mazhab diterima sebagai sama- sama ortodoks
  meskipun berbeda dalam banyak masalah.
Hampir pada tiap-tiap masalah
  terdapat lebih dari satu pendapat atau pendekatan berbeda dalam tradisi
  keilmuan Islam. Kalaupun ada perkembangan dalam tradisi keilmuan—yang
  terkadang tejadi akibat perkembangan politik—itu pun biasanya dalam bentuk
  pergeseran antar disiplin, di mana satu disiplin lebih mendapat perhatian
  daripada sebelumnya, sedangkan disiplin lain mundur. Banyak gerakan reformis,
  misalnya, telah menekankan fiqih daripada tasawuf dan tauhid, sementara
  gerakan reformis belakangan malah lebih menekankan hadis daripada mazhab fiqih
  yang sudah mapan.
Kita sering merasakan unsur populis atau suasana anti
  elite di kalangan pendukung kuat hadis. Elit ulama sering mengklaim hak-hak
  istimewa karena mereka memiliki ilmu canggih yang langka. Pokok hadis relatif
  sederhana dan dapat dipahami tanpa pendidikan khusus; selain itu, semua hadis
  didukung wewenang
 
Nabi. Karena itu, satu hadis bisa dianggap
  sebagai argumen lebih kuat daripada seluruh ilmu intelektual.32 Secara
  keseluruhan, ilmu-ilmu intelektual (al-‘ulum al-‘aqliyah) seperti logika,
  filsafat, metafisika, kalam, ketabiban (thibb) semenjak zaman klasik sedikit
  demi sedikit harus memberikan lapangan kepada ilmu- ilmu agama dalam arti
  sempit (al-‘ulum al-naqliyah: studi hadis, tafsir tradisional dan sebagainya).
  Proses ini berarti pemiskinan tradisi intelektual Islam.
Generasi pertama
  orang Indonesia yang belajar di tanah Arab hanya menyerap sebagian tradisi
  keilmuan yang ada, terutama yang cocok dengan budaya lamanya (khususnya
  tasawuf falsafi, kosmologi, tarekat dan ilmu-ilmu gaib terkait, tetapi juga
  ilmu fiqih). Dalam perjalanan waktu, makin banyak dimensi tradisi itu yang
  menjadi bagian dari tradisi Islam Indonesia, yang sedikit demi sedikit makin
  kaya, meskipun terjadi pemiskinan tradisi Islam di pusatnya, tanah Arab.33
Model
  Asing untuk Pesantren
Transmisi pengetahuan  Islam belum 
  bersifat formal  dan terlembagakan di madrasah sampai abad ke-l0. Pada
  mulanya yang dipelajari di madrasah adalah terutama fiqih (ilmu yang paling
  penting  dari  sudut pandangan  negara). Ilmu-ilmu lain terus
  diajarkan secara lebih informal di masjid-masjid (Makdisi 1981, hlm.9). Pada
  zaman hubungan antara Indonesia dan daerah pusat Islam mulai menjadi intensif,
  yaitu abad ke-17 dan ke-18, dua imperium Sunni (Utsmani, yang menguasai hampir
  seluruh tanah Arab, dan Moghul di India) telah memiliki jaringan-jaringan
  madrasah besar yang berada di bawah pengendalian pemerintah dan menetapkan
  kurikulum baku.34 Madrasah Utsmani biasanya dibangun oleh salah seorang sultan
  atau pejabat tinggi, dan diberi wakaf (yang menghasilkan pendapatan) untuk
  pemeliharaan madrasah dan beasiswa murid. Pimpinannya menerima  gaji dari
  pemerinah. Sementara itu di India Moghul, pengendalian pemerintah kurang
  menyeluruh, struktur internal golongan ulama kurang diatur dan mereka kurang
  dekat dengan istana. Pokok- pokok yang dipelajari di kedua imperium tersebut
  sedikit berbeda.
 
Mereka meliputi Al-Quran dengan tekanan pada
  tajwid dan qira’ah; tata bahasa Arab dan retorika (sharaf, nahw, balaghah),
  ushul al-fiqh dan fiqih Hanafi,35 tafsir, kalam, hadis (biasanya kumpulan
  hadis yang tidak termasuk al-kutub al-sittah, tetapi di madrasah Utsmani
  dipelajari juga Shahih Bukhari), begitu pula logika, ilmu hitung, astronomi,
  adab (sastra) dan hikmah (filsafat dan metafisika).36
Pengembara Turki,
  Evliya Celebi, yang mengunjungi Makkah dan Madinah pada tahun 1671, melaporkan
  bahwa di Makkah pada masa itu terdapat 40 madrasah dan yang disebut namanya 22
  buah (Evliya 1935, hlm. 771-2). Dia juga menyebutkan empat madrasah di Madinah
  dan menyatakan masih banyak lagi madrasah di sana (ibid., hlm. 640). Namun
  kalau kita membandingkan catatannya mengenai madrasah-madrasah di Makkah dan
  Madinah dengan gambaran yang ia berikan mengenai madrasah-madrasah di
  kota-kota lain, kita mendapat kesan bahwa yang di Makkah dan Madinah kurang
  berkembang. (Dua abad kemudian, Snouck Hurgronje menemukan sebagian besar
  madrasah di Makkah sudah berubah menjadi rumah pribadi). Evliya jauh lebih
  banyak berbicara tentang tekye dan zawiyah, gedung pertemuan para pengikut
  tarekat di Makkah, yang beberapa di antaranya dihuni banyak pengikutnya. Ia
  sendiri juga menginap di sebuah zawiyah selama berada di Makkah (ibid., hlm.
  772-3).
Ketika mencari model Timur Tengah untuk pesantren, kita mungkin
  perlu memperhatikan—di samping madrasah—juga zawiyah. Bahkan tampaknya tidak
  mungkin orang Indonesia yang tinggal di Hijaz pada saat itu banyak berhubungan
  dengan madrasah di sana yang bermazhab Hanafi, mazhab resmi Daulah Utsmaniyah.
  Tidak terdapat banyak persamaan antara kitab yang dikenal di Indonesia pada
  abad ke-16 sampai ke-18, dengan kitab yang menjadi kurikulum madrasah Utsmani
  dan Moghul. Kitab- kitab yang sama-sama dipakai di sini maupun di sana hanya
  dua karya tafsir, Jalalain dan Baidhawi, dan kitab Tamhid yang telah disebut.
  Yang terakhir ini dipakai di India, namun tidak di Utsmani. Ulama dan sufi
  yang punya pengaruh terbesar di Indonesia, yang belajar di Hijaz pada abad
  ke-I7 adalah Ibrahim Al-Kurani. Dia mengajar  pokok-pokok 
  yang  bukan  bagian  kurikulum  resmi
 
madrasah
  negeri, dan tampaknya dia berada di luar hirarki ulama Utsmani. Mungkin bukan
  satu kebetulan bahwa dia bermazhab Syafi’i. Al-Kurani tampaknya lebih banyak
  berhubungan dengan ulama india dibandingkan dengan ulama Utsmani (di India
  kami menemukan lebih banyak referensi terhadapnya dibandingkan sumber-sumber
  Utsmani).37
Selama abad ke-18 dan ke-19, pendidikan madrasah di tanah
  Arab tampaknya makin mundur. Bentuk dan isi pendidikan yang diterima
  orang-orang Indonesia yang belajar di Makkah dan Madinah pada saat itu tidak
  banyak diketahui. Bahkan biografi ulama-ulama besar yang belajar di sana,
  Muhammad Arsyad Al- Banjari, ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani dan Da’ud bin
  ‘Abdallah Al- Patani hanya menyebut sebagian nama-nama guru mereka (hampir
  semuanya mencatat nama sufi besar Muhammad bin ‘Abd Al- Karim Al-Samman, dan
  mufti Madinah, Muhammad ibn Sulaiman Al-Kurdi) dan judul-judul kitab yang
  dibaca.38 Mereka tidak belajar di madrasah, tetapi menghadiri lingkaran
  pengajian tidak resmi (halaqah) yang diberikan ulama independent di berbagai
  masjid. Hubungan mereka dengan beberapa guru, kelihatannya tidak lebih dari
  beberapa kali pertemuan pribadi yang dihadirinya.
Snouck Hurgronje dalam
  bukunya tentang Makkah menjelas- kan bahwa pada akhir abad ke-19, pendidikan
  di Hijaz berpusat di Masjid Al-Haram Makkah, yang pada saat itu telah
  berkembang menjadi semacam universitas. Rektor perguruan tinggi ini (disebut
  syaikh al-‘ulama) ditunjuk oleh pemerintah Utsmani, dan hanya ulama-ulama
  terpilih yang boleh memberikan pelajaran pada halaqah di sana (1887a; 1889,
  hlm. 235-56). Ulama berstatus lebih rendah mengajar di berbagai tempat di kota
  tersebut. Sistem pendidikan universitas berbeda dengan madrasah. Murid- murid
  tidak tinggal bersana dalam satu pemondokan, dan tidak ada kurikulum tetap.
  Kitab apa yang dipelajari terserah kepada keputusan guru dan murid.
  Madrasah-madrasah yang pernah ada di Makkah pada zaman dulu, sebagaimana
  dicatat Snouck Hurgronje, sudah tidak berfungsi lagi.
Tinjauan sejarah
  singkat ini mengesankan bahwa orang-orang Indonesia yang belajar di Hijaz
  tidak pernah berhubungan langsung dengan madrasah tipe Utsmani. Karenanya
  barangkali bukanlah
 
madrasah itu yang menjadi model pesantren
  di Jawa. Namun pernah terdapat dua pengalaman penting dengan pendidikan jenis
  madrasah yang tampak luput dari penelitian terdahulu: Al-Azhar di Kairo dan
  madrasah reformis India Shaulatiyah di Makkah.
Dalam studi Islam
  Indonesia, saya tidak pernah melihat petunjuk mengenai adanya orang Indonesia
  yang belajar di univenitas Al-Azhar Kairo sebelum abad ke-20. Mestinya cukup
  banyak orang Indonesia yang belajar di sana pada paruh pertama abad ke-19,
  atau mungkin sebelumnya. Pada pertengahan abad ke-19, Al-Azhar memiliki
  sekitar 30 asrama (riwaq), di mana murid-murid tinggal. Salah satu riwaq itu
  diperuntukkan bagi orang “Jawah”, yaitu orang-orang Islam dari Nusantara.
  Orang- orang Turki, Kurdi, Irak Arab masing-masing juga mempunyai satu riwaq;
  hal ini memberi kesan bahwa orang-orang “Jawah” di Al-Azhar cukup banyak
  (Vollers, 1913; bandingkan Heyworth- Dunne 1938, hlm. 25-6).
Kitab yang
  dipelajari di Al-Azhar (di mana fiqih semua mazhab diajarkan) pada abad ke-18
  dan ke-19 menunjukkan adanya hubungan yang dekat dengan kurikulum pesantren
  abad ke-19 dibandingkan kurikulum madrasah Utsmani dan Moghul zaman dahulu.
  Hampir semua kitab yang dicatat van den Berg (1886a) juga terdapat dalam
  kurikulum Al-Azhar seperti yang diteliti Heyworth- Dunne (1938, hlm. 43-65)
  dari sumber-sumber Mesir. Kepentingan penemuan ini sebaiknya tidak dinilai
  terlalu tinggi, sebab kitab- kitab yang sama juga dibaca di halaqah Makkah.
  Namun, paling sedikit hal itu menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh Al-
  Azhar terhadap pesantren dulu. Jumlah murid Indonesia di Al- Azhar, mungkin
  berkurang pada paruh kedua abad ke-19 karena relatif merosotnya status Mesir
  yang terbaratkan (westernized) dibandingkan Makkah. Namun sampai saat itu
  Mesir telah lama dikenal sebagai pusat utama keilmuan mazhab Syafi’i (bdk.
  Snouck Hurgronje, 1889, hlm. 255).
Madrasah lain yang perlu ditinjau
  dalam konteks ini, telah didirikan lebih belakangan di Makkah oleh orang Islam
  India, satu dasawarsa sebelum Snouck bermukim di Makkah, tetapi tampaknya
  luput dari pengamatannya. Pada tahun 1874, seorang wanita India bernama
  Shaulah Al-Nisa membiayai pembangunan
 
sebuah madrasah di
  Makkah dan mewakafkan tanah untuk memeliharanya. Madrasah tersebut diberi nama
  Shaulatiyah. Kepemimpinannya dipercayakan kepada seorang ulama India militan
  dan dihormati, Rahmatullah bin Khalil Al-‘Ustmani (lihat ‘Abd Al-Jabar 1385,
  hlm. 121-7). Rahmatullah terkenal di India dan luar negeri karena polemiknya
  yang hebat dan sukses melawan misionaris Jerman, Pfander, dan menjadi salah
  satu pemimpin pemberontak anti-Inggris pada tahun 1857.39 Setelah
  pemberontakannya dikalahkan, dia melarikan diri ke Makkah, di mana dia menjadi
  salah seorang ulama terkemuka yang sangat gigih melawan kolonialisme dan
  westernisasi.
Madrasah Shaulatiyah merupakan bagian dari gerakan
  reformasi pendidikan Islam di India yang telah membangkitkan madrasah
  termasyhur Darul ’Ulum di Deoband (dibangun tahun 1867) dan banyak madrasah
  yang berafiliasi dengannya (Metcalf l982). Seperti yang di Deoband, kurikulum
  madrasah Shaulatiyah mungkin tradisional, meskipun dengan penekanan yang lebih
  besar kepada hadis.40 Apa yang menjadikannya modern adalah bentuk
  kelembagaannya —dengan adanya kelas, mata pelajaran tetap dan ujian. Patut
  dicatat, banyak gurunya kadang-kadang diambil dari ulama-ulama yang mengajar
  di Masjid Al-Haram.41
Pada awal abad ke-20, bahkan mungkin sebelumnya,42
  Shaulatiyah mempunyai pengaruh besar di dunia pesanrten Indonesia. Banyak
  orang Indonesia yang belajar di madrasah ini dan mendirikan pesantren atau
  madrasah setelah mereka kembali, dengan model lebih kurang mirip dengan
  Shaulatiyah. Masih ada madrasah lain serupa di Makkah yang didirikan orang
  India, Madrasah Al-Falah (disebutkan Gobée l92l; hlm. 199- 200 dan pada
  biografi-biografi dalam ‘Abd Al-Jabbar l385), tetapi madrasah ini tampaknya
  tidak mempunyai murid yang berasal dari Indonesia. Pada tahun 1934, madrasah
  ketiga sejenis, Dar Al-‘Ulum Al-Diniyah, didirikan di Makkah oleh orang
  Indonesia yang keluar dari Shaulatiyah karena konflik pemakaian bahasa
  Indonesia yang telah menyinggung kebanggaan nasional.43 Orang-orang Indonesia
  di Makkah mengumpulkan uang untuk membangun sekolah sendiri. Lebih dari
  seratus murid, hampir semuanya  dari  Shaulatiyah, 
  terdaftar.  Muhsin  Al-Musawwa,
 
seorang sayyid
  kelahiran Palembang, yang sebelumnya jadi guru di Shaulatiyah, menjadi
  rektornya yang pertama.
Ringkasnya, saya menduga bahwa Al-Azhar dengan
  riwaq- nya mungkin telah merupakan salah satu model untuk pesantren yang
  didirikan pada akhir abad ke-18 dan ke-19, begitu pula kurikulumnya. Sekitar
  pergantian abad lalu, pengaruh gerakan reformasi pendidikan India
  melalui  Shaulatiyah mulai terasa. Dengan berdirinya Dar Al-‘Ulum
  Indonesia di Makkah yang meniru Shaulatiyah dalam hampir setiap hal dan yang
  namanya mengingatkan kepada madrasah reformis Deoband dan Kairo,44 maka
  madrasah reformis telah menjadi model yang akan ditiru di seantero Nusantara.
  Shaulatiyah dan Dar Al-‘Ulum-lah yang merupakan faktor paling menentukan dalam
  perkembangan pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Perkembangan di
  Indonesia sendiri dibahas lebih mendalam dalam kajian terkenal Mahmud Yunus
  (1979) dan Karel Steenbrink (1974).
Ulama Indonesia di Makkah
Keberadaan
  madrasah-madrasah ini di Makkah kurang diperhatikan karena besarnya pengaruh
  Masjid Al-Haram. Guru- guru Shaulatiyah yang paling terkenal juga mengajar di
  Masjid Al-Haram. Karena dalam pelajaran kitab kuning isnad dianggap begitu
  penting, maka para murid lebih cenderung merujuk nama gurunya daripada lembaga
  di mana mereka belajar. Perubahan dalam wacana intelektual seperti yang
  terjadi pada permulaan abad itu, karenanya, secara umum lebih dihubungkan
  dengan guru-guru tertentu daripada dengan lembaga dan perkembangan-
  perkembangan sosio-ekonomis yang lebih luas.
Dengan melihat kembali ke
  belakang, dasawarsa-dasawarsa sekitar pergantian abad lalu itu merupakan masa
  yang menentukan. Tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram (bukan
  di Shaulatiyah) pada saat itu mempunyai pengaruh besar di kalangan sesama
  orang Nusantara dan mempengaruhi generasi berikutnya melalui pengikut-pengikut
  dan tulisan-tulisannya. Nawawi Banten (wafat 1896-7) yang dipuji Snouck
  sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati (1889, hlm. 362-7)
  adalah pengarang
 
paling produktif. Di samping kitab tafsirnya
  yang terkenal (Johns 1984, 1988), dia menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu
  yang dipelajari di pesantren. Berbeda dengan pengarang Indonesia sebelumnya,
  dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah atas
  kitab-kitab yang telah digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau
  terkadang mengoreksi matan yang disyarahi (lihat contoh dalam Steenbrink 1984,
  hlm. 133-4). Sejumlah syarahnya benar-benar menggantikan matan asli dalam
  kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya masih beredar, dan 11 judul
  dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di
  pesantren (van Bruinessen 1990c). Nawawi berdiri pada titik peralihan antara
  dua periode dalam tradisi pesantren. Dia memperkenalkan dan menafsirkan
  kembali warisan intelektualnya, dan memperkayanya dengan menulis karya-karya
  baru berdasarkan kitab-kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya.
  Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual
  mereka. Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, sesepuh reformisme Islam Indonesia,
  pun termasuk muridnya.
Ahmad Khatib (wafat 1915) telah menjadi terkenal
  karena polemiknya melawan adat matrilineal di daerah asalnya dan melawan
  tarekat Naqsabandiyah (yang punya pengikut paling banyak di Sumatra Barat),
  tetapi peranannya di Makkah lebih luas dari itu. Dia adalah salah seorang dari
  Indonesia yang pertama kali mendapatkan izin mengajar di Masjid Al-Haram, dan
  dijadikan salah seorang imam di sana—suatu kehormatan yang biasanya
  diperuntukkan bagi ulama kelahiran Makkah.45 Kedua kehormatan tersebut
  memperkuat pengaruhnya terhadap seluruh masyarakat Indonesia di Makkah. Sikap
  reformisnya tampak dari tulisannya— antara lain sebuah syarah atas kitab
  terdahulu mengenai ushul al-fiqh, Al-Waraqat, karya Al-Juwaini. Akan tetapi
  adalah salah menganggap Ahmad Khatib sebagai pemberontak terhadap tradisi; ia
  bahkan sangat mendalaminya. Di antara muridnya ada yang reformis dan
  tradisionalis (beberapa di antara muridnya bahkan menjadi syaikh tarekat); dan
  dua kitabnya masih dipakai di beberapa pesantren.46
 
Tokoh
  besar ketiga adalah Kiai Mahfuzh Termas (wafat 1919- 20), yang bahkan lebih
  dihormati oleh para kiai Jawa ketimbang Kiai Nawawi. Dia adalah guru yang
  sangat dihormati dari beberapa kiai pendiri NU, yang dengan demikian, menambah
  reputasinya. Dia menyelesaikan pendidikannya di bawah bimbingan guru-guru Arab
  terbesar di Masjid Al-Haram dan juga menjadi ahli qira’ah Al-Qur’an (dia
  menulis banyak kitab dalam bidang ini). Karyanya yang paling besar adalah
  empat jilid kitab fiqih, yang merupakan komentar (hasyiyah) atas sebuah kitab
  yang banyak dipakai di Indonesia.47 Di samping itu, dia tampaknya merupakan
  ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadis Shahih Bukhari. Murid
  kesayangannya, Hasyim Asy’ari, membawa tradisi ini ke Indonesia, di mana
  pesantrennya Tebuireng (Jombang) menjadi pondok hadis paling terkenal.
Seperti
  telah disebut di atas, perkembangan yang mencolok dalam kurikulum pesantren
  sejak 1880-an tampak pada munculnya ushul al-fiqh, hadis dan berbagai tafsir
  yang dipelajari. Orang mungkin tertarik untuk menganggap hal ini sebagai jasa
  ketiga ulama ini, yang telah menunjukkan kedalaman pengetahuan mereka dalam
  ketiga bidang tersebut. Barangkali ada benarnya juga, walaupun tentu saja pola
  pengaruh intelektual tidak pernah muncul oleh sebab tunggal. Reorientasi
  terhadap pokok-pokok yang diajarkan merupakan kecenderungan umum yang melanda
  dunia Islam pada masa itu, yang sudah mulai berlangsung dan juga tercermin
  dalam madrasah baru.
Setelah tiga ulama ini, tidak ada orang Indonesia
  yang setara dengannya yang mengajar di Makkah. Karya ‘Umar ‘Abd Al- Jabbar
  mengenai ulama di Masjid Al-Haram pada abad ke-l4 Hijri menyebutkan tiga orang
  Indonesia lagi (sebenarnya dua orang Indonesia dan satu orang Malaysia yang
  lahir di Makkah), namun mereka tidak pernah mencapai prestasi yang setara
  dengan tiga ulama terdahulu. Mereka adalah Muhsin bin ‘Ali Musawwa (rektor
  pertama Dar Al-‘Ulum, wafat 1935), Muhammad Nur Al-Patani (cucu Da’ud bin
  ‘Abdallah, wafat 1944) dan ‘Ali Banjar (wafat 1951). Kecuali yang pertama,
  mereka tampaknya tidak mempunyai banyak murid yang berasal dari Indonesia.
  Orang Indonesia belajar
 
di Shaulatiyah dan Dar Al-‘Ulum, atau
  di Masjid Al-Haram, kepada guru-guru Arab yang punya reputasi lebih tinggi.
Kedua
  lembaga pendidikan di Makkah ini (madrasah dan Masjid Al-Haram) terwakili
  dalam dua tokoh yang menonjol sebagai panutan utama kaum Muslim tradisional
  Indonesia, kiainya para kiai. Keduanya adalah Syaikh Yasin Padang, rektor Dar
  Al-‘Ulum (wafat 1990) dan Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki, yang ayah dan
  kakeknya mengajar banyak orang-orang Indoncsia di Masjid Al-Haram, meskipun
  mereka bermazhab Maliki. Keduanya bukan saja mengajarkan seluruh pokok yang
  dipelajari di pesantren, tetepi juga merupakan syaikh dari berbagai
  tarekat.48
Makkah tidak lagi menjadi tempat terpenting di mana
  orang-orang Indonesia masa kini yang punya latar belakang pesantren mencari
  ilmu yang lebih tinggi. Dan mereka yang masih melakukannya, biasanya tinggal
  sebentar saja di Makkah dibandingkan orang-orang Indonesia dulu. Saya
  mendapatkan kesan, meskipun tidak didukung dengan data statistik, Al-Azhar
  kembali menjadi lebih penting; sementara madrasah Nadwah Al- ‘Ulama di
  Lucknow, India (lihat Metcalf 1982, hlm. 335-47), telah menarik murid-murid
  dari lingkungan “tradisional” di berbagai tempat di Indonesia. Santri sekarang
  lebih banyak yang menerus- kan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri
  (IAIN), yang mungkin memberikan pendidikan lebih baik daripada yang diterima
  di Makkah oleh rata-rata generasi Muslim terdahulu. Namun selembar ijazah IAIN
  masih kurang prestisius dan karisma- tik dibandingkan ijazah yang
  dianugerahkan guru-guru terkenal dengan isnad harum di pusat-pusat Islam luar
  negeri. Dan dunia pesantren pun tampaknya tidak akan meninggalkan orientasinya
  kepada tanah Arab. [ ]
 
Catatan akhir:
1.   
  Sebelum Muhammadiyah mempunyai pesantren sendiri, sudah ada beberapa pesantren
  yang berorientasi reformis, dan yang paling terkenal di antaranya adalah
  Pesantren Modern Gontor (Castles 1965). Tinjauan singkat temtang berbagai
  jenis pesantren di Jawa Timur pada 1970-an ditemukan dalam artikel Moeslim
  Abdurrahman (1981).
2.    Khususnya kumpulan hadis Shahih
  Bukhari dan Shahih Muslim, empat kumpulan shahih lainnya kurang sering
  dipakai. Beberapa kumpulan hadis lainnya, seperti Riyadh Al- Shalihin dan
  Bulugh Al-Maram, yang lebih menekankan amal saleh. Ibadah, dan nilai-nilai
  sufi daripada masalah hukum, masih lebih populer di lingkungan tradisional.
  Namun kedua kumpulan tersebut pun tidak banyak dipelajari pada abad lalu.
3.   
  Tinjauan rinci terhadap karya-karya ini ditemukan dalam Van Brauinessen 1990c
  (Lihat di halaman 112-130 dalam buku ini).
4.    Perihal
  kedudukan Ibn Taimiyah dalam tradisi abad per- tengahan dan perdebatannya
  dengan kalam Asy’ari, falsafah, tasawuf dan politik, lihat Al-Azmeh 1986,
  passim; Hourani 1962, hal. 18-22; tentang dampaknya terhadap fundamentalisme
  belakangan lihat Sivan 1985. Pada masa generasi sebelumnya yang sekarang ini,
  NU masih punya badan sensor yang menentukan buku mana mu’tabar dan mana tidak.
  Karangan Ibd Taimiyah telah berada di urutan atas dalam daftar buku terlarang.
  Banyak kiai, sebetulnya, memiliki beberapa kitab karangan Ibn Taimiyah,
  terutama Fatawa-nya, tapi disimpan agar santri tidak terkena pengaruhnya.
  Tentu saja, bagi santri cerdas larangan demikian merupakan anjuran untuk
  mencari dan membaca kita tersebut.
5.    Dari sekitar 500
  kitab karangan ulama Indonesia (dan Malaysia) yang tersedia di pasaran
  sekarang, hampir 100 kitab ditulis dalam bahasa Arab. Lebih dari 200 dalam
  bahasa Melayu dan 150 dalam bahasa Jawa; sisanya dalam bahasa Sunda, Madura,
  dan Aceh.
6.    Demikian Abdurrahman Wahid (percakapan
  pribadi).
 
7.    Dalam hal silsilah tarekat,
  jarak waktu atau ruang antara dua mata rantai berikut terkadang dibenarkan.
  Banyak sufi yang pernah mengakui dibaiat atau di-talqin-kan, dalam mimpi atau
  pertemuan secara batiniah, oleh seorang wali yang sudah wafat. Dalam silsilah
  tarekat yang paling ortodoks pun, seperti Naqsyabandiyah, terdapat sejumlah
  hubungan guru- murid barzakhi. Kasus lebih ekstrem terdiri dari sejumlah sufi
  yang mengaku di-talqin-kan oleh Nabi Muhammad sendiri. Demikian misalnya Ahmad
  Al-Tijani, pendiri tarekat Tijaniyah, yang mengaku bertemu dengan Nabi dalam
  keadaan jaga dan diajari amalan yang merupakan ciri khas tarekatnya. Pengakuan
  ini sangat kontroversial dan ditolak oleh banyak ulama tradisional.
8.   
  Pentingnya isnad di kalangan tradisional diperlihatkan oleh sejumlah kitab
  karya almarhum Syaikh Yasin Al-Padani, mudir Madrasah Dar Al-‘Umum Al-Diniyah
  di Makkah (Al- Padani 1402). Dalam karya ini, penulis hanya menyebut judul
  dari kitab-kitab yang telah dikaji, bersama dengan isnad dari guru-gurunya
  sampai pengarang kitab bersangkutan. Karya Syaikh Yasin ini bukanlah sesuatu
  yang unik; contoh-contoh yang lebih dulu, lihat Vajda 1983; seorang pendahulu
  yang lebih dekat adalah Kauani (1989).
9.    Kiai terkenal
  asal Madura, Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, telah menyusun silsilah
  keluarga yang rumit, yang menunjuk- kan hampir setiap kiai Madura keturunan
  wali Sunan Giri. Hasjim Asj’ari dan Wahab Chasbullah, dua pendiri NU, merunut
  silsilahnya sampai Jaka Tingkir, pendiri kerajaan Islam Pajang, yang
  dipercayai sebagai putra Brawijaya VI (lihat Aboebakar 1957, hlm. 41-2).
10.   
  Keputusan hukum yang diambil Syuriah pada muktamar- muktamar NU terhimpun
  dalam seri kitab berjudul Ahkam Al-Fuqaha’. Setiap keputusan disertai rujukan
  singkat kepada kitab-kitab fiqih terpenting.
11.    Dengan
  pengecualian sebuah minoritas masyarakat Cina dan para reformis Hindu di Bali.
  Namun di kalangan mereka pun hubungan dengan sumber luar negeri tidak
  banyak.
 
12.    Utusan Makkah ini disebutkan
  dalam Sajarah Banten (Djajadiningrat 1913, hlm. 49-52, 174-8). Judul-judul
  kitab yang dimintai penjelasan oleh raja Banten disebut sebagai Marqum,
  Muntahi, dan Wujudiyah. Djajadiningrat berpendapat bahwa judul-judul ini
  fantasi belaka. Namun Muntahi adalah sebuah karya Hamzah Fansuri, dan mungkin
  kita harus membaca nama Wujudiyah tidak sebagai judul karya tertentu melainkan
  rujukan kepada “kitab Wujudiyah”, yaitu kitab tentang ajaran wahdah al-wujud.
  Untuk analisis lebih mendalam, lihat bab “Qadhi, Pesantren, dan Tarekat” dalam
  buku ini.
13.    Tarekat Syattariyah, yang pertama kali
  dikenal di Indonesia pada pertengahan abad ke-17, berasal dari India dan tidak
  pernah memperoleh banyak pengikut di Timur Tengah. Lihat Rizvi 1983 dan T.
  Yazici, “Syattariye”, Islam Ansiklopedisi 11, hlm. 355-6. Cabang tarekat
  Naqsyabandiyah dan tarekat Qadiriyah terdahulu di Indonesia juga berafiliasi
  ke India, bukan Timur Tengah.
14.    Konsepsi emanasi yang
  terdiri dari tujuh tingkatan (martabat tujuh)— sementara Ibn Al-‘Arabi hanya
  lima—sepengetahuan saya ditemukan hanya dalam risalah tasawuf India dan
  Indonesia.
15.    Sebuah pengecualian langka adalah studi
  Roff (1970) mengenai mahasiswa Indonesia di Mesir; tetapi ini tidak relevan
  dengan tradisi pesantren karena hampir semua siswa itu berasal dari lingkungan
  sosial dan budaya lain. Demikian juga halnya kajian lebih mendalam yang
  dilakukan belakangan oleh Mona Abaza (1994).
16.   
  Menurut Sajarah Banten, Maulana Hasanuddin, raja Muslim Banten pertama,
  mendirikan pertapaan baru di Gunung Pinang atas anjuran ayahnya, Sunan Gunung
  Jati (Djajadiningrat 1913, hlm. 34).
17.    Tradisi rakyat
  di Cirebon masih tetap mengisahkan bahwa sang wali sendiri datang ke Jawa dan
  berperan dalam pengislaman Cirebon: salah satu kuburan di Gunung Jati malahan
  ditunjuk oleh sementara kalangan sebagai makamnya Syaikh Abdul Qadir 
  Jailani  diyakini,  tidak  hanya  di 
  Indonesia,  telah
 
mengajari pengikut-pengikutnya ilmu
  kekebalan, sebuah ilmu yang memang sangat diminati oleh orang Indonesia. Ilmu
  kekebalan khas Banten, debus, juga dikaitkan dengan Abdul Qadir Jailani.
18.   
  Soebardi 1971. Lihat Hadidjaja dan Kamajaya 1979, hlm. 11, 49-53.
19.   
  Gunung Karang disebutkan sebagai salah satu gunung di mana Maulana Hasanuddin,
  raja Muslim Banten, melakukan tapa (Djajadiningrat 1913, hlm. 38).
20.   
  Selain dari talqin ilmu Islam kepada Maulana Hasanuddin oleh dua jin di sebuah
  pertapaan (ibid., hlm. 32).
21.    Al-Salimi hidup pada
  paruh pertama abad ke-11 (abad ke-5 Hijri). Kitabnya At-Tamhid membahas rukun
  iman dengan perhatian khusus kepada pandangan Mu’tazilah dan filsafat. Kitab
  ini telah dipergunakan secara luas dalam pendidikan Islam di India pada abad
  ke-13 hingga ke-16 (Mujeeb 1967, hlm. 406), dan tampaknya kurang popular di
  tempat lain. Hampir semua naskah karya ini yang disebut oleh Brockelmann (GAL
  I, 419; S I, 744) ada di koleksi perpustakaan India.
22.   
  Karya ini sekarang cukup populer di Nusantara dan terus- menerus mengalami
  cetak ulang, baik dalam bahasa aslinya, Arab, maupun dalam terjemahan Melayu,
  Jawa, Sunda, dan Madura. Raniri beberapa kali merujuk kepada sebuah karya lain
  dengan judul yang mirip, Daqa’iq Al-Haqa’iq (sejauh ini belum
  teridentifikasi).
23.    Ulama besar Madinah, Ibrahim
  Al-Kurani, telah menulis syarah atas karya ini khusus untuk murid-muridnya
  dari Nusantara, barangkali untuk mengoreksi interpretasi heterodoks. Simuh
  telah menunjukkan bahwa karya Ronggowarsito, Wirid Hidayat Jati jelas
  dipengaruhi Al-Tuhfah Al-Mursalah (Simuh 1988, hlm. 295-6). Mungkin
  Ronggowarsito telah membaca kitab tersebut ketika ia belajar di pesantren
  Tegalsari
24.    Yaitu, karya tentang ushuluddin terdiri
  dari enam bab (yang masing-masing dibuka dengan “bismillah”).
25.   
  Pada abad ke-19, kitab ini biasanya merupakan kitab akidah pertama yang
  dipelajari (Van den Berg 1886, hlm.
 
537). Terjemahan bahasa
  Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah satunya baru-baru ini
  diedit dalam transliterasi Latin (Jandra 1985-1986). Terjemahan Asmarakandi
  berbahasa Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang fiqih Syafi’i elementer
  yang ditambahkan penerjemah tidak dikenal (Abu Al-Laits sendiri menganut
  mazhab Hanafi): Kitab tersebut sekarang lebih terkenal melalui syarah Nawawi
  Banten, Qathr Al-Ghaiths dan terjemahan Jawanya oleh Ahmad Subki Pekalongan,
  Fath Al-Mughits, kedua karya ini banyak dipakai.
26.   
  Empat kitab lain yang disebut terdiri dari dua kitab pegangan fiqih Syafi’i
  yang dianggap bermutu tinggi. Al-Muharrar-nya Rafi’i dan Tuhfah Al-Muhtaj-nya
  Ibn Hajar Al-Haitami; kemu- dian kitab pengantar, Sittin (karangan Abu
  Al-’Abbas Ahmad Al-Mishri yang tidak banyak dipakai lagi), dan satu karya yang
  tidak dapat dikenali lagi (Soebardi 1971, hlm. 335-6).
27.   
  Kitab tasawuf ketiga adalah Hidayah Al-Adzikiya-nya Zain Al- Din Al-Malibari,
  karya sederhana yang masih banyak dipakai bersama berbagai terjemahan dan
  komentarnya.
28.    Namun dua cabang keilmuan ini sejak
  abad ke-17 telah lenyap dari pendidikan Islam di seluruh dunia Sunni. Hanya di
  Iran (dan juga sedikit di India) mereka tetap bertahan sebagai bagian penting
  tradisi ilmiah (bdk. [bandingkan] Nasr 1987).
29.    Yusuf
  mengutip, misalnya, sejumlah anekdot sufi yang sebagian berasal dari Nafahat
  Al-Uns-nya Jami dan dari berbagai sumber tertulis atau lisan lainnya. Terdapat
  juga kutipan dari Ibn Al-‘Arabi, Muhammad bin Fadhi Allah Al-Burhanpuri dan
  sufi wahdah al-wujud lainnya yang karya mereka tampaknya betul-betul
  dikajinya. Masih ditemukan dua naskah Al-Durrah Al-Fakhirah-nya ‘Abd Al-Rahman
  Jami hasil salinan Yusuf Makassar. Ternyata ia cukup lama mengkaji karya
  penting ini di bawah bimbingan Ibrahim Al-Kurani (Heer 1979, hlm. 13, 15; saya
  berterima kasih kepada professor Anthony Johns yang telah memberitahu saya
  tentang referensi ini).
30.    Karya Albert Hourani yang
  sangat bagus mengenai pemikiran Arab modern (1962) menunjukkan bagaimana
  pemikiran yang
 
secara sadar menyimpang dari tradisi pun masih
  dipengaruhi olehnya. Buku ini tidak menaruh perhatian kepada mereka yang tetap
  berada di dalam tradisi dan tidak tertarik kepada dialog dengan pemikiran
  Barat.
31.    Ditunjukkan dengan jelas dalam karya penting
  Al-Azmeh (1986).
32.    Arus populis dan anti-ulama ini
  merupakan salah satu benang merah dalam sejarah Islam, dari Ahmad lbn Hanbal,
  berlanjut pada Ibn Taimiyah dan Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab sampai
  neofundamentalisme masa kini. Di Indonesia, gerakan modernis yang menyerang
  ulama tradisional dengan seruan kembali ke Al-Quran dan hadis dan untuk
  membuka kembali pintu ijtihad punya pengaruh besar pada paruh pertama abad
  ini. Pada abad ke-l8, di Iran terjadi pertentangan hebat antara golongan pro
  dan anti-ulama. yang disebut sebagai ushuli (merujuk ke disiplin ilmu ushul
  al-fiqh) dan akhbari (dari kata akhbar yang praktis identik dengan hadis.
  Pengamatan menarik mengenai pertentangan ini (yang berakhir dengan kemenangan
  kaum ushuli) terdapat dalam Mottahedeh 1985.
33.   
  Beberapa dimensi tradisi keilmuan klasik Islam ini, yaitu rasionalisme
  Mu’tazilah dan filsafat, baru dikenal di Indonesia (selain penyajian ringkas
  dalam Tamhid, lihat catatan 21) dalam tiga dasawarsa terakhir, melalui
  beberapa orang Islam modernis yang pernah belajar di Amerika Utara, khususnya
  Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Yang terakhir telah menerbitkan sebuah
  kumpulan teks teologi dan filsafat klasik penting dalam terjemahan Indonesia
  (Madjid 1984). Bukanlah suatu kebetulan bahwa ia lebih dekat dengan lingkungan
  pesantren daripada generasi modernis sebelumnya.
34.   
  Tentang madrasah Utsmani dan kurikulumnya, lihat: Uzun- carsili 1965; Baltaci
  1976; Atay 1983. Karya-karya ini, ditulis dengan dukungan sumber yang kaya,
  tetapi agak ahistoris dalam pendekatannya. Repp 1972 memberi penjelasan lebih
  sistematis tentang perkembangan hirarki madrasah dan karier keilmuan para
  ulama Utsmani. Tentang madrasah di India Moghul (yang kurikulumnya terus
  berkembang dan mencapai
 
bentuk yang paling komprehensif,
  Dars-i Nizhami, baru pada awal abad ke-18), lihat Mujeeb 1967, hlm. 389-414;
  Ahmad 1985; Metcalf 1982, hlm. 16-45.
35.    Di kedua
  negara ini, mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi, dan sumber resmi tentang
  madrasah hanya menyebut kitab-kitab fiqih Hanafi. Fiqh Syafi’i, agaknya,
  dipelajari di daerah-daerah yang didiami oleh banyak pengikut Syafi’i, seperti
  Kurdistan dan beberapa daerah Mesir, terutama di masjid-masjid. Di masjid dan
  universitas Al-Azhar yang relatif independen mungkin merupakan pusat utama
  pengajaran fiqh Syafi’i.
36.    Di India Moghul, filsafat
  dan metafisika, dan ilmu-ilmu ‘aqliyah (rasional) pada umumnya, menempati
  kedudukan lebih menonjol dalam tradisi intelektual dibandingkan dengan di
  Utsmani. Dars-i Nizhami malahan mencantumkan sebuah karya Mulla Shadra
  Syirazi, yang tampaknya tidak dikenal di tempat lain di luar Iran (Mujeeb
  1967, hlm. 407).
37.    Tentang Ibrahim, lihat Johns 1978
  dan artikel “Al-Kurani” dalam encyclopaedia of Islam (oleh penulis yang sama);
  juga Rizvi 1983, passim. Yang sangat menarik adalah otobiografi
  intelektualnya, Al-Amam li Iqazh Al-himam. Barangkali bukan sebuah kebetulan
  bahwa buku ini baru dicetak di India (Haidarabad) pada awal abad ini.
38.   
  Lihat Abdullah 1987, Abu Daudi 1980, Zamzam 1979, dan Quzwain 1985. Arsyad
  secara khusus memperdalam fiqih; karyanya Sabil Al-Muhtadin (dalam bahasa
  Melayu) didasar- kan atas dua kitab fiqih klasik, Fath Al-Mu’in-nya Malibari
  dan Manhaj Al-Thullab-nya Zakariya Al-Anshari. ‘Abd Al- Samad menulis terutama
  tentang tasawuf; dua karya utamanya merupakan adaptasi karya Al-Ghazali (Ihya
  dan Bidayah).
39.    Lihat Powell 1976. Kritik Rahmatullah
  terhadap agama Kristen berdasarkan pengertian yang lebih mendalam dibandingkan
  dengan hampir semua polemik lain; ia bahkan mengetahui kajian kritik Injil dan
  Perjanjian Lama yang merupakan trend mutakhir dalam teologi Kristen waktu itu.
  Ia menguraikan argumentasinya dalam berbagai buku, dan pernah secara
 
meyakinkan
  mengalahkan Pfander dalam sebuah debat terbuka. Selain itu, ia termasuk
  penandatangan fatwa yang mengumandangkan jihad melawan Inggris pada 1857
  (ibid. 59-60), dan memimpin gerakan jihad ini di Muzaffarpur, Bihar (Ahmad
  1957, hlm. 328).
40.    “Madrasah Deoband pada dasarnya
  mengajarkan kurikulum Dars-i Nizhami (…). Namun orang-orang Deoband justru le-
  bih menekankan hadis, daripada ilmu-ilmu rasional, sebagai dasar pengajaran
  massa mereka (…). Guru yang sangat ber- pengaruh di madrasah Deoband adalah
  syaikh al-hadist; dan hanya murid-murid terbaik yang didorong untuk
  melanjutkan studi di bidang hadis.” (Metcalf 1982, hlm. 100-1).
41.   
  Ini menjadi jelas dari biografi-biografi para ulamanya dalam ‘Abd Al-Jabbar
  1385.
42.    Madrasah ini disebut dalam riwayat hidup para
  ulama yang belajar di Makkah tahun 1920-an dan 1930-an. Mengenai
  generasi-generasi pelajar lebih dahulu tidak terdapat cukup catatan biografi,
  sehingga tidak bisa memastikan sejak kapan ada murid Indonesia di Madrasah
  Shaulatiyah.
42. Menurut satu riwayat (Aboebakar 1957, hlm. 88-90),
  konflik ini muncul karena seorang guru merobek surat kabar berbahasa Indonesia
  yang sedang dibaca para murid; bacaan lain selain kitab berbahasa Arab memang
  dilarang di madrasah. Syaikh Yasin Al-Padani, yang hadir dalam peristiwa ini
  (dan belakangan menjadi rektor Dar Al-‘Ulum; diwawancarai di Jakarta, 6 Maret
  1988), menambahkan bahwa guru tersebut mengejek aspirasi nasionalis orang
  Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa bodoh seperti itu tidak akan pernah
  meraih kemerdekaan. Melihat sikap radikal pendiri Shaulatiyah, boleh jadi
  guru-guru madrasah ini telah mencemooh orang Indonesia yang kurang berani
  tegas berhadapan dengan penjajah Belanda. Namun, menurut pengamatan lain,
  konflik disebabkan karena orang Indonesia ingin bercakap-cakap dalam bahasa
  Indonesia, daripada bahasa Arab, kepada guru-guru mereka.
44.   
  Dar Al-‘Ulum Kairo didirikan tahun 1872 sebagai  institut perguruan guru,
  yang murid-muridnya diambil dari Al-Azhar.
 
Kurikulumnya
  meliputi baik ilmu-ilmu Islam maupun ilmu pe- ngetahuan modern Barat. Salah
  seorang pemimpinnya adalah Muhammad ‘Abduh (Heyworth-Dunne 1938, hlm.
  377-9).
45.    Menurut Snouck Hurgronje, yang sangat tidak
  suka terhadap Ahmad Khatib, ia telah mendapat posisi-posisi ini bukan karena
  pengetahuannya tetapi karena jasa mertuanya, pedagang buku dan “lintah darat”
  Salih Al-Kurdi, yang punya hubungan baik dengan Syarif ‘Anum Al-Rafiq (Snouck
  Hurgronje, Adviezen III, hlm. 1846, 1853, 1914, 1928). Namun Snouck pun harus
  mengakui bahwa Ahmad Khatib adalah orang yang “sangat alim untuk ukuran
  Melayu” (ibid, hlm. 1846).
46.    Kitab ushul al-fiqh
  tersebut, Al-Nafahat ‘ala Syarh Al-Waraqat, dan kitab pendek berbahasa Melayu
  tentang akidah, Fath Al-Mubin. Selain ini, ia menulis banyak karya lagi (‘Abd
  Al- Jabbar 1385, hlm. 37-44 mencatat tidak kurang dari 4 judul), namun hanya
  dua ini yang masih beredar di Indonesia.
47.    Kitab ini,
  Mauhibah Dzawi Al-Fadhl merupakan syarh Al-Mu- qadimmah Al-Hadramiyah’-nya
  ‘Abdullah Ba-Fadhl (dikenal sebagai Bapadal di pesantren). Mauhibah dicetak di
  Mesir, 1315/1397-8, tetapi sekarang tidak ditemukan lagi. Satu- satunya
  tulisannya yang masih dicetak adalah kitab nahwi (tatabahasa Arab) yang sulit.
  Minhaj Dzawi Al-Nazhar (syarah Alfiyah). ‘Abd Al-Jabbar mencatat 12 karya
  lain.
48.    Syaikh Yasin waktu muda belajar di
  Shaulatiyah, yang kemudian ia tinggalkan bersama orang-orang Indonesia lainnya
  untuk mendirikan Dar Al-‘Ulum, dan akhirnya ia menjadi guru paling terkemuka
  di sana. Dalam beberapa bukunya yang terdiri dari isnad-isnad (misalnya
  Al-Padani 1402) ia menyebutkan nama guru-gurunya dan kitab yang telah ia
  pelajari dengan mereka. Tentang Muhammad bin ’Alwi, lihat Tempo, 2 Januari
  1988, dan tentang kakeknya, ‘Abbas Al-Maliki, lihat ‘Abd Al- Jabbar 1385, hlm.
  163-5. Belakangan Muhammad bin ‘Alwi Al-‘Alawi tidak mengajar di Masjid
  Al-Haram lagi karena isi pengajarannya jelas tidak sesuai dengan paham Wahhabi
  yang didukung pemerintah Saudi.
 
  KITAB FIQIH DI PESANTREN INDONESIA DAN MALAYSIA
Tidak
  pelak lagi, fiqihlah yang di antara semua cabang ilmu agama Islam biasanya
  dianggap yang paling penting. Sebab, lebih dari agama lainnya, fiqih
  mengandung berbagai implikasi konkret bagi pelaku keseharian individu maupun
  masyarakat. Fiqihlah yang menjelaskan kepada kita hal-hal yang dilarang dan
  tindakan-tindakan yang dianjurkan. Di pesantren, biasanya fiqih merupakan
  primadona di antara semua mata pelajaran. Semua pesantren, tentu saja, juga
  mengajarkan bahasa Arab (ilmu alat) dan sekurang-kurangnya dasar-dasar ilmu
  tauhid dan akhlak. Namun inti pendidikan pesantren sebenarnya terdiri dari
  karya-karya fiqih.
Kalau kita meninjau sejarah Islam di Indonesia,
  penekanan atas fiqih barangkali tidak selalu sekuat sekarang. Pada mulanya,
  Islam Indonesia sangat berorientasi kepada tasawuf, dan hanya secara bertahap
  berangsur menjadi lebih berorientasi kepada syariat. Perubahan orientasi ini,
  antara lain, sebagai akibat sebuah proses pembaruan atau “pemurnian yang sudah
  mulai pada abad ke-17 dan masih terus hingga kini”. Gerakan keagamaan seperti
  gerakan Padri (dengan semangat Wahhabi) dan kaum muda serta gerakan modernis
  seperti Al-lrsyad dan Muhammadiyah, atau yang ‘puritan’ seperti Persis,
  merupakan gelombang pembaruan yang menonjol dalam proses ini. Dan juga, pada
  akhir abad ke-19, munculnya tarekat Naqsyabandiyah (yang lebih berorientasi
  kepada syariat daripada banyak tarekat sebelumnya) merupakan bagian dari
  proses pembaruan ini.
 
Setiap gelombang pembaruan membawa
  perhatian lebih besar terhadap fiqih, dan kemudian juga terhadap sistem
  pemikiran yang melatarbelakanginya, ushul al-figh. Tetapi jangan disangka
  bahwa hanya kaum reformis yang memperkuat kedudukan ilmu fiqih di Indonesia.
  Ulama “tradisional” besar seperti Daud bin Abdullah Al-Fathani dan Nawawi
  Banten telah memberi sumbangan sangat penting kepada perkembangan ilmu fiqih
  di Indonesia. Merekalah yang memperkenalkan dan menjelaskan, melalui
  syarah-syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqih yang penting; dan mereka
  yang mendidik generasi-generasi ulama yang menguasai dan memberi perhatian
  kepada fiqih.
Pengarang-pengarang Muslim Indonesia yang namanya
  diketahui, yaitu Hamzah Fansuri (wafat sekitar 1590) dan Syamsuddin Sumatrani
  (wafat 1630), dua-duanya tinggal di Aceh dan dikenal sebagai penganut paham
  tasawuf wahdah al-wujud. Mereka tampaknya tidak terlalu tertarik kepada fiqih.
  Tetapi generasi ulama berikutnya yang merupakan penulis- penulis Aceh, di
  samping memelihara minat yang besar terhadap tasawuf dan banyak menulis
  tentang masalah ini, mereka juga menulis kitab-kitab fiqih. Nuruddin Al-Raniri
  (yang meninggalkan Aceh pada tahun 644 dan wafat tahun 1659 di India) selain
  menulis banyak buku lain, juga menulis sebuah buku sederhana tentang fiqih
  dalam bahasa Melayu, Al- Shirath Al-Mustaqim, yang terus dibaca di beberapa
  daerah Indonesia.1 Lalu Abdurrauf Al-Singkili, yang terkenal sebagai guru
  tarekat Syattariyah dan pengarang karya-karya Sufi, juga menulis  Mir’at
  Al-Thullab fi Ashl Ma’rifat Al-Ahkam Al-Syari’ah li Al-Malik Al-Wahhab, sebuah
  karya fiqih Syafi’i. Juga para pengarang Melayu berikutnya, meski sangat
  terkenal karena buku-buku tasawuf mereka, namun juga menulis karya-karya
  fiqih.2 Ini menunjukkan bahwa, paling tidak, sejak tahun 1600 dan seterusnya
  terdapat suatu minat yang serius terhadap syariat di samping tasawuf di
  kalangan kaum Muslim Sumatra.
Meski seringkali dinyatakan bahwa Islam di
  Jawa lebih sinkretis dibanding di Sumatra, namun ternyata kita menjumpai
  fenomena yang sama di sana. Meskipun pada awal-awalnya
 
nama
  para pengarang Muslim Jawa tidak dikenal, tetapi ada beberapa manuskrip lama
  dari Jawa yang dibawa ke Eropa oleh para pelaut pada sekitar tahun 1600.
  Sebagian besar di antaranya berisikan ajaran-ajaran umum tentang tauhid, tasa-
  wuf, dan akhlak.3 Salah satu di antaranya adalah sebuah teks fiqih berbahasa
  Arab yang sangat terkenal, Al-Taqrib fi Al-Fiqh, dengan terjemahan bahasa
  Jawa.4 Demikian pula di Jawa, fiqih telah dikaji paling tidak hampir empat
  abad. Bahkan Tuhfah (Tuhfat Al-Muhtaj oleh Ibn Hajar Al-Haitami), karya acuan
  fiqih Syafi’i yang terpenting, sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa
  Jawa, mungkin sejak sebelum abad ke-19. Selain itu, beberapa manuskrip
  terjemahan ini tidak ditulis dengan huruf Arab, melainkan huruf Jawa
  (hanacaraka).5 Ini berarti bahwa di wilayah tempat Islam paling banyak
  bercampur dengan budaya Jawa pun, Islam tampak sangat berorientasi syariat.
  Sepanjang yang saya ketahui, bahkan tidak pernah ada suatu terjemahan bahasa
  Melayu dari kitab penting ini. Ini menunjukkan adanya perbedaan antara tradisi
  pesantren (juga Madura dan Sunda) dengan pesantren di daerah Melayu (Sumatra,
  Malaysia dan Kalimantan). Di Jawa dulu dan sekarang penekanan diberikan kepada
  kitab Arab klasik, yang terkadang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
  Sementara itu kitab yang digunakan di daerah Melayu biasanya berupa
  karya-karya orisinal karangan ulama Melayu. Baru pada abad ke-20 kitab-kitab
  Melayu ini secara berangsur-angsur digantikan dengan kitab-kitab klasik
  berbahasa Arab.
Kurikulum Fiqih di Pesantren
Sekitar seabad
  lampau, seorang sarjana Belanda L.W.C. van den Berg menerbitkan sebuah daftar
  kitab kuning yang pada waktu itu digunakan pesantren-pesantren Jawa dan
  Madura.6 Daftar ini didasarkan atas wawancara dengan para kiai dan barangkali
  memberikan suatu gambaran tentang kitab yang waktu itu dianggap paling
  penting. Sebagaimana akan dikemukakan, hampir semua kitab yang dia sebut masih
  digunakan di pesantren hingga sekarang. Para santri rnemulai
 
pelajarannya
  dengan rukun Islam yang lima dan peraturan ibadah dengan teks-teks yang
  sederhana seperti Safinah Al- Najah, Sullam Al-Taufiq, Al-Sittin Mas’alah,
  Mukhtashar oleh Ba- Fadhl, dan Risalah oleh Sayyid Ahmad bin Zain Al-Habsyi.7
  Barangkali sebagian besar santri tidak pernah melewati batas ini. Mereka yang
  melanjutkan akan mempelajari satu atau beberapa dari kitab-kitab fiqih
  berikut: Minhaj Al-Qawim, Al- Hawasyi Al-Madaniyah, Fath Al-Qarib, Bajuri
  (syarah Fath Al- Qarib), Al-Iqna’, Bujairimi (syarah Iqna’), Al-Muharrar,
  Minhaj Al-Thalibin, Syarh Minhaj oleh Mahalli, Fath Al-Wahhab, Tuhfah
  Al-Muhtaj, Fath Al-Mu’in. Kitab-kitab ini, kecuali dua atau tiga, hingga kini
  masih dipelajari di berbagai pesantren.8
Tabel I
Kitab Fiqih dan Ushul Al-Fiqh

Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim Jumlah
| Jumlah Pesantren | 4 | 3 | 9 | 12 | 18 | 46 | TINGKAT | 
| 
 Fiqih | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Fath Al-Mu’in | 2 | 1 | 7 | 6 | 16 | 32 | Aliyah | 
| Ianah Thalibin | 2 | 2 | 0 | 0 | 0 | 4 | 
 | 
| Taqrib | 2 | 0 | 6 | 5 | 7 | 20 | Tsanawiyah | 
| Fath Al-Qarib | 2 | 1 | 4 | 7 | 9 | 23 | Aliyah | 
| Kifayatul Akhyar | 1 | 0 | 6 | 4 | 7 | 18 | Tsanawiyah/ Aliyah | 
| Bajuri | 1 | 0 | 1 | 0 | 1 | 3 | 
 | 
| Iqna’ | 0 | 1 | 1 | 0 | 5 | 7 | 
 | 
| Minhaj Al-Thalibin | 2 | 0 | 2 | 0 | 1 | 5 | Aliyah | 
| Minhaj Al-Thullab | 0 | 0 | 0 | 0 | 1 | 1 | 
 | 
| Fathul Wahab | 0 | 1 | 5 | 4 | 10 | 20 | Aliyah | 
| Mahalli | 4 | 1 | 1 | 2 | 1 | 9 | Aliyah | 
| Minhajul Qawim | 0 | 0 | 2 | 2 | 3 | 7 | 
 | 
| Safinah | 1 | 0 | 6 | 7 | 7 | 21 | Tsanawiyah | 
| Kasyifat Al-Saja | 0 | 0 | 1 | 0 | 3 | 4 | 
 | 
| Sullam Al-Taufiq | 0 | 1 | 5 | 2 | 13 | 21 | Tsanawiyah | 
| Tahrir | 0 | 1 | 2 | 1 | 5 | 9 | Aliyah | 
| Riyadh Al-Badiah | 0 | 0 | 2 | 1 | 3 | 6 | 
 | 
| Sullam Al-Munajat | 0 | 0 | 2 | 1 | 2 | 5 | 
 | 
| Uqud Al-Lujain | 0 | 0 | 1 | 1 | 2 | 4 | Tsanawiyah | 
| Sittin/Syarah Sittin | 0 | 1 | 2 | 0 | 0 | 3 | 
 | 
| Muhadzab | 0 | 0 | 0 | 1 | 2 | 3 | 
 | 
| Bughyat Al-Mustarsyidin | 0 | 0 | 1 | 0 | 2 | 3 | 
 | 
| Mabadi Fiqhiyah | 0 | 0 | 1 | 2 | 5 | 8 | Tsanawiyah | 
| Fiqh Wadhih | 0 | 0 | 0 | 1 | 3 | 4 | Tsanawiyah | 
| Ushul Al-Fiqh Waraqat/Syarah Al-Waraqat | 
 
 
 2 | 
 
 
 1 | 
 
 
 6 | 
 
 
 1 | 
 
 
 2 | 
 
 
 12 | 
 
 
 Aliyah/ | 
| 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | Khawasah | 
| Lathaif Al-Isyarat | 1 | 0 | 3 | 0 | 6 | 10 | 
 | 
| Jam’ul Jawami’ | 1 | 0 | 6 | 1 | 2 | 10 | Khawash | 
| Luma’ | 1 | 0 | 2 | 1 | 3 | 7 | Aliyah/ Khawash | 
| Al-Asybah wa Al-Nadhair | 0 | 0 | 1 | 1 | 4 | 5 | Khawash | 
| Bayan | 0 | 0 | 1 | 0 | 2 | 3 | Tsanawiyah/ Aliyah | 
| Bidayat Al-Mujtahid | 0 | 0 | 2 | 0 | 0 | 2 | Khawash | 
Kurikulum pesantren tidak
  distandardisasi. Hampir setiap pesantren mengajarkan kombinasi kitab yang
  berbeda-beda, dan banyak kiai terkenal sebagai spesialis kitab tertentu.
  Banyak santri tekun berpindah dari satu pesantren ke lainnya dalam upaya
  mempelajari semua kitab yang ingin mereka kuasai. Jika kita ingin memperoleh
  suatu pandangan terhadap “rata-rata” kurikulum pesantren, maka tidak cukup
  hanya melihatnya pada satu atau dua pesantren saja. Untung sekarang sudah
  banyak monograf tentang pesantren di berbagai daerah di Indonesia yang bisa
  memberikan keterangan tentang kitab yang digunakan.9 Dari kajian-kajian ini,
  saya berhasil menghimpun data tentang kurikulum 46 pesantren, 18 di antaranya
  di Jawa Timur, 12 di Jawa Tengah, 9 di Jawa Barat, 3 di Kalimantan Selatan dan
  4 di beberapa daerah Sumatra. Kitab fiqih yang paling “popular”, yaitu yang
  paling sering digunakan, telah saya daftarkan di Tabel I. Untuk setiap kitab
  yang terdaftar, saya memberi jumlah pesantren di mana kitab tersebut
  digunakan. Dalam tabel tersebut, kitab-kitab disusun sedikit banyak menurut
  urutan “popularitas”; tidak ada hubungan dengan urutan kitab yang dipelajari
  santri. Kolom terakhir memberi sedikit keterangan tentang tingkat kesulitan
  kitab-kitab tersebut. Untuk itu saya menggunakan nama-nama tingkatan madrasah,
  yaitu ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan istilah “khawash” untuk para pelajar
  yang telah berada di tingkat atas. Ini, tentu saja,
 
hanya
  suatu indikasi kasar saja, mengingat bahwa masih banyak pesantren yang tidak
  memakai sistem madrasah. Dan sebuah kitab yang dipelajari pada tingkat aliyah
  di satu madrasah, boleh saja dibaca di tsanawiyah sebuah madrasah lainnya.
Kitab-kitab
  yang judulnya muncul dalam Tabel I akan ditinjau lebih lanjut.
Kitab-kitab
  yang Diterbitkan di Indonesia
Di samping  gabungan 
  monografi  pesantren, saya juga menggunakan pendekatan lain untuk
  memperoleh gambaran yang lebih baik terhadap jenis kitab yang digunakan di
  pesantren. Di seluruh Indonesia terdapat banyak toko kitab, yang mengkhususkan
  kitab-kitab yang digunakan di pesantren (atau surau, dayah, madrasah). Saya
  telah mengunjungi toko kitab di banyak provinsi dan secara sistematis
  mengumpulkan semua kitab kuning yang diterbitkan di Indonesia atau Malaysia.
  Saya tidak mengambil buku-buku terbitan Timur Tengah (Mesir dan Lebanon) sebab
  saya berasumsi bahwa jika sebuah karya memang dibutuhkan, tentu akan
  diterbitkan oleh penerbit. Terutama pada lima tahun belakangan, banyak judul
  baru diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Surabaya, Kudus, Sema- rang,
  Bandung, Jakarta, Singapura, dan Penang. Dan juga oleh penerbit-penerbit lain
  yang lebih kecil di seluruh Indonesia.
Demikian pada tahun 1987 dan 1988
  saya mengumpulkan sejumlah besar macam-macam kitab kuning terbitan Indonesia
  dan negara-negara tetangga.10 Dan saya kira kumpulan ini mencantumkan hampir
  seluruh kitab yang digunakan di pesantren dan madrasah di Indonesia yang
  hampir lengkap. Koleksi ini meliputi kitab-kitab dalam bahasa Arab, Melayu dan
  Jawa, serta bahasa Madura, Sunda dan bahkan Aceh. Banyak kitab yang ditulis
  dalam bahasa lokal merupakan terjemahan atau syarah kitab yang bahasa aslinya
  Arab. Bila kita menganggap kitab-kitab terjemahan dan asli (yang seringkali
  diterbitkan bersama-sama.dalam sebuah buku) sebagai karya yang berdiri
  sendiri, maka seluruhnya terdapat 900 macam teks, hampir 200 di antaranya
  mengenai fiqih. Sekitar 550 dari 900 teks tadi, atau
 
60%-nya,
  ditulis atau diterjemahkan oleh ulama dari Indonesia, Malaysia atau Patani
  (Thailand Selatan). Di antara karya-karya fiqih, sumbangan ulama lokal masih
  lebih besar. Mereka menulis atau menerjemahkan 130 dari 200 teks fiqih. Namun,
  patut ditambahkan bahwa banyak di antara karya-karya itu hanya berupa
  teks-teks pengantar yang sederhana. Ada 50 teks termasuk jenis yang dikenal
  dengan nama perukunan atau persholatan, yang hanya memberikan dasar-dasar fiqh
  ‘ubudiyah dan rukun Islam. Yang terpenting di antara kitab-kitab tersebut
  beserta pengarangnya akan dibahas di bawah.
Kitab Fiqih yang Paling
  Sering Digunakan
Tabel di atas mendaftar semua kitab fiqih yang digunakan
  paling tidak 3 dari 46 pesantren. Ada sejumlah kekosongan yang mencolok. Karya
  fiqih yang terus disebut Van den Berg sebagai karya paling penting, yakni
  Tuhfah, dan juga Muharrar, tidak muncul dalam daftar. Ternyata kitab-kitab ini
  tidak pernah dicetak di Indonesia (lepas dari terjemahan ringkas bahasa Jawa
  tersebut di atas). Barangkali ini menunjukkan bahwa karya- karya tersebut
  tidak digunakan untuk mengajar. Namun para ulama terkemuka sependapat bahwa
  kitab-kitab ini merupakan karya acuan utama dalam menghadapi masalah-masalah
  rumit. Untuk penggunaan sehari-hari, karya-karya yang lebih mudah dipakai
  seperti Fath Al-Wahhab (dianggap lebih sistematik dalam pendekatannya
  dibanding sebagian besar karya lain). Juga I’anah Al-Thalibin, paling “muda”
  di antara karya-karya fiqih tradisional besar, yang seringkali ternyata lebih
  cocok bagi masalah-masalah mutakhir. Untuk tujuan-tujuan pendidikan, kitab
  pengantar semacam Sullam Al-Taufiq, Taqrib/Fath Al-Qarib dan Fath Al-Mu’in
  lebih disukai.
Di bawah pengaruh gerakan modernis, karya-karya fiqih dari
  jenis yang berbeda mulai masuk dan digunakan di pesantren. Ada beberapa
  pesantren mengajarkan Bidayah Al-Mujtahid karangan Ibn Rusyd di samping atau
  sebagai pengganti kitab- kitab klasik Syafi’i (kitab Bidayah ini belakangan
  juga dicetak di Indonesia, yang berarti makin besarnya minat). Kitab Fiqh
 
Al-Sunnah,
  yang terdiri dari 14 jilid, karya pengarang Mesir modern, Sayyid Sabiq, dengan
  cepat juga sedang memperoleh tempat yang lebih luas (hingga kini, hanya
  terjemahan bahasa Indonesia yang cetakan local, sedangkan cetakan asli bahas
  Arab tidak. Ini menunjukkan bahwa karya tersebut belum masuk daftar
  karya-karya paling popular, yang kesemuanya memang berada dalam tradisi
  Syafi’i.
Bagan I

Banyak karya besar fiqih Syafi’i merupakan komentar (syarh)
  atau catatan (hasyiyah) terhadap, atau ringkasan dari, suatu karya yang lain
  dari tradisi yang sama. Demikian terdapat beberapa “keluarga” kitab fiqih
  Syafi’i, dan hubungan antar anggota “keluarga” ini dapat digambarkan dalam
  bentuk pohon keluarga seperti terlihat di Bagan I-III. Tanda  panah
  menghubungkan masing-masing kitab dengan semua kitab yang secara langsung
  berdasarkan padanya. Terjemahan (dan komentar terhadap) karya-karya ini dalam
  bahasa daerah Nusantara dicatat di bagian kanan. Untuk menunjukkan mana
  diantara karya-karya itu yang dicetak di Indonesia (atau tetangganya),
  judul-judulnya dicetak tebal.
Tiga “keluarga” yang menonjol, secara
  berturut-turut “berasal” dari Muharrar karangan Rafi’i, Taqrib (atau
  Mukhtashar) oleh Abu Syuja’ Al-Isfahani, dan Qurrah Al-‘Ain karangan Malibari.
  Inilah yang pertamakali akan dibahas.
 
Yang pertama di antara
  “keluarga-keluarga” tersebut adalah kelompok kitab yang memiliki prestise
  paling besar. Muharrar- nya Imam Rafi’i pertama-tama disingkat oleh Abu
  Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, menjadi Minhaj Al-Thalibin. Karya ini
  telah melahirkan banyak syarah, di antaranya lima yang paling penting yang
  ditunjukkan dalam Bagan I.11
Sebagian besar ulama besar Indonesia sepakat
  bahwa syarah Ibn Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al-Muhtaj dan Nihayah Al Muhtaj-nya
  Syamsuddin Ramli adalah karya fiqih yang paling memiliki otoritas. Dalam hal
  di mana terdapat perbedaan antara kedua karya rujukan ini, ulama Indonesia
  memilih Ibn Hajar. Beberapa ulama, terutama yang pernah belajar di Mesir,
  mengaku memakai Mughni’-nya Khatib Syarbini (Mughni Al- Muhtaj) juga.
  Fatwa-fatwa yang penting didasarkan atas karya besar tersebut, terutama
  Tuhfah. Namun dalam praktik sehari- hari, Tuhfah ternyata tidak begitu sering
  digunakan sebagai rujukan, dan bahkan sangat sulit untuk bisa mendapat sebuah
  eksemplar di toko-toko.
Karya-karya keluarga ini yang bisa didapat secara
  umum hanyalah syarah Jalal Al-Din Al-Mahalli (biasanya terkenal dengan
  Al-Mahalli) dalam sebuah edisi yang dilengkapi hasyiyah luas oleh Qalyubi dan
  ‘Umaira. Juga Fath Al-Wahhab, sebuah syarah tulisan Zakariya Anshari atas
  karangannya sendiri, Manhaj Al-Thullab, yang merupakan ringkasan Minhaj.
  Mir’at Al-Thullab karangan Abdurruf Al-Singkili, yang disebut dalam
  pendahuluan tulisan ini, ternyata merupakan terjemahan Fath Al-Wahhab `dalam
  bahasa Melayu. Kitab berbahasa Melayu ini tidak lagi digunakan, dan bahkan
  judulnya jarang dikenal lagi. Kitab ini tidak pernah dicetak.
Karya-karya
  fiqih yang paling populer masih tetap Tagrib (Al-Ghayah wa Al-Taqrib, yang
  juga terkenal dengan Mukhtashar, oleh Abu Syuja’ Al-Isfahani) dan syarahnya
  Fath Al-Qarib (oleh Ibn Qasim Al-Ghazzi). Hampir tidak ada pesantren yang
  tidak menggunakan paling tidak salah satu dari teks-teks ini. Berbagai karya
  lain dari keluarga yang sama juga digunakan secara luas di Indonesia, dan ada
  beberapa terjemahan. Kifayat Al-Akhyar, oleh Taqi Al-Din Al-Dimasyqi, yang
  belum disebut oleh para
 
narasumber  Van  den 
  Berg,  kini  menduduki  jenjang  kedua setelah Fath
  Al-Qarib, di tengah syarah-syarah yang ada.
Bagan II

Sebuah teks yang lebih sulit adalah Iqna’ karangan
  Khathib Syarbini, yang dicetak bersama-sama dengan syarah Taqrir oleh seorang
  bernama ‘Awwad (yang saya tidak mendapatkan informasi lebih lanjut
  mengenainya). Hasyiyah Bajuri, yang banyak digunakan seabad lampau,12 tampak
  kehilangan daya tariknya dewasa ini.
Fath Al-Mu’in, yang telah lama
  populer di Indonesia, ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain Al-Din
  Al-Malibari. Fath Al-Mu’in merupakan syarah atau penulisan kembali sebuah
  karya lebih dahulu oleh pengarang yang sama, Qurrat Al- ‘Ain. Walaupun
  Al-Malibari telah menjadi murid Ibn Hajar, kedua karyanya tidak secara
  langsung didasarkan atas Tuhfah Ibn Hajar. Qurrah sendiri tidak pernah populer
  di Indonesia, namun pada abad ke-19, Nawawi Banten menulis sebuah syarah lagi
  (Nihayah Al-Zain), yang digunakan secara luas.
Di Makkah, dua orang
  sezaman Nawawi tapi  berusia lebih muda menulis hasyiyah secara luas atas
  Fath Al-Mu`in. I`anah Al-Thalibin, karangan Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha
  Al- Dimyathi, adalah sebuah karya empat jilid, yang memasukkan catatan-catatan
  pengarang atas berbagai pokok bahasan serta sejumlah fatwa oleh mufti Syafi’i
  di Makkah waktu itu, Ahmad
 
bin Zaini Dahlan. Pada masa hidup
  pengarang, kitab ini telah menjadi karya fiqih Syafi’i yang paling sering
  dijadikan rujukan. Dan ia tetap berada dalam posisinya sebagai sebuah karya
  rujukan utama.13
Bagan III
Van den Berg menyebut suatu keluarga kitab fiqih lagi, yang juga pernah sangat populer. Namun sekarang hanya satu kitab dari keluarga itu yang masuk daftar kitab “laris” kita, yaitu Minhaj Al-Qawim karangan Ibn Hajar Al-Haitami (pengarang, Tuhfah Al-Muhtaj). “Keluarga” ini berasal dari sebuah karya sederhana, yang dulu sangat terkenal di Jawa dengan Bapadal, yaitu Al- Muqaddimah Al-Hadhramiyah karangan Abdullah ibn Abd. Al- Karim Ba-Fadhl. Tidak kurang dari ibn Hajar sendiri menulis syarah atas kitab ini, Minhaj Al-Qawim, dan dua abad kemudian mufti Syafi’i Madinah M.b. Sulaiman Al-Kurdi, menulis catatan-catatan luas untuk syarah tadi, Al-Hawasyi Al-Madaniyah (dikenal di Jawa dengan Sleman Kurdi). Minhaj Al-Qawim sampai sekarang masih dipakai di seluruh pulau Jwa, tetapi Sleman Kurdi, yang cukup populer pada zaman Van den Berg, tampaknya jarang di gunakan sekarang. Kitab ini telah lama sulit didapatkan, namun belakangan dicetak ulang di Surabaya (yang agaknya berarti bahwa masih ada permintaan).
Keluarga kitab fiqih ini berbeda dengan tiga keluarga sebelumnya. Hanya membahas masalah fiqh ‘ubudiyah (yaitu hal-
hal yang berkaitan dengan thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji), tidak mencakup peraturan tentang transaksi ekonomi (mu’amalat), hukum keluarga dan waris, hukum pidana dan sebagainya, yang merupakan 60% dari isi kitab fiqih yang lain.
Bagan IV
Dua
  syarah lain atas Muqaddimah Ba-Fadhl layak untuk disebutkan. Yang pertama
  ditulis (dalam bahasa Arab) oleh seorang ulama besar Jawa Timur, Mahfudz bin
  Abdullah dari Termas (wafat tahun 1338/1919-20).14 Syarah ini sekarang tidak
  terdapat dalam bentuk cetakan. Namun di toko kitab terdapat syarah yang lain
  Busyra Al-Karim (bi-Syarh Masa’il Al-Ta’lim ‘ala Muqaddimah Al- Hadhramiyah),
  oleh Sa’id ibn M. Ba’syin (tidak didapat informasi lebih jauh).
Dua karya
  lain yang berada di urutan atas daftar kita adalah teks-teks pengantar Sullam
  Al-Taufiq (oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi, wafat 1272/1855) dan
  Safinah Al-Najah, karya Salim bin Abdullah bin Samir, seorang ulama Hadrami
  yang tinggal di Batavia pada pertengahan abad ke-19. Nawawi Banten menulis
  sebuah syarah (dalam bahasa Arab juga) atas teks kedua yang sangat populer
  dengan judul Kasyifah Al-Saja’, (terdapat dalam berbagai terbitan). Kasyifah
  juga telah diterjemahkan ke dalam saduran da syarah yang ditulis oleh ulama
  Indonesia.15
Untuk judul lainnya dalam tabel yang belum disebut, saya
  hanya akan member sedikit catatan penjelasan. Tahrir (Tahrir
 
Tanqib
  li Al-Lubab fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’i) adalah sebuah karya oleh Zakaria
  Al-Anshari, yang didasarkan atas Lubab Al- Fiqh oleh Al-Mahamili (wafat
  415/1024). Anshari sendiri menulis sebuah syarah atas Tahrir-nya, berjudul
  Tuhfah Al-Thullab. Keduanya biasanya dicetak bersama-sama. Catatan-catatan
  lebih jauh atas Tuhfah Al-Thullab ditulis oleh ‘Abdullah Syarqawi (wafat
  1127/1812): Hasyisyah ‘ala Syarh Al-Tahrir. Teks ini (dalam bahasa percakapan
  dikenal dengan Syarqawi ‘ala Tahrir) juga terdapat secara luas di
  Indonesia.
Riyadh Al-Badi’ah merupakan salah satu teks yang diperkenalkan
  kepada kaum Muslim Indonesia oleh Nawawi Banten, yang kurang dikenal di tempat
  lain. Seperti terlihat dalam judulnya, Al-Riyadh Al-Badi’ah fi Ushul Al-Din wa
  Ba’dh Furu’ Al-Syari’ah, kitab ini membahas butir-butir pilihan ajaran dan
  kewajiban agama. Tak banyak yang diketahui mengenai pengarangnya, Muhammad
  Hasbullah; barangkali ia sezaman dengan, atau  sedikit lebih 
  tua  daripada,  Nawawi  Banten. Ia terutama dikenal karena
  syarah yang ditulis Nawawi atas Riyadhul Badi’ah, yaitu Al-Tsamar Al-Yani’ah;
  karyanya hanya dicetak di pinggir syarah Nawawi ini.
Sullam Al-Munajat
  adalah karya lain tulisan Nawawi Banten, sebuah syarah atas pedoman ibdah
  Safinah Al-Shalah karangan Abdullah bin ‘Umar Al-Hadhrami.
‘Uqudul Lujain
  (‘Uqud Al-Lujjain fi Huquq Al-Zaujain) juga sebuah karya karangan Nawawi
  Banten, tentang hak-hak dan terutama kewajiban-kewajiban istri. Ia merupakan
  materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan
  dan syarah dalam bahasa Jawa dalam peredaran, yaitu Hidayah Al- ‘Arisin oleh
  Abu Muhammad Hasanuddin dari Pekalongan, dan Su’ud Al-Kaunain oleh Sibt
  Al-‘Utsmani Ahdari Al-Jangalani Al- Qudusi.
Sittin (lengkapnya Al-Masa’il
  Al-Sittin atau Al-Sittin Masalah), oleh Abu’l ‘Abbas Ahmad Al-Mishri (wafat
  818/1415), adalah sebuah teks singkat tipe perukunan (yaitu membahas ajaran
  dasar dan lima rukun). Kitab ini sangat populer di Jawa pada abad ke 19, dan
  judulnya juga disebut dalam Serat Centhini. Secara
 
berangsur-angsur
  kitab ini makin kurang digunakan, sekarang bahkan banyak santri yang tidak
  lagi mengenal namanya.
Al-Muhadzdzab adalah sebuah karya fiqih Syafi’i
  oleh Ibrahim bin Ali Al-Syirazi Al-Fairuzabadi (wafat 476 /1083).
Bughyah
  Al-Mustarsyidin adalah sebuah koleksi fatwa oleh ulama abad ke-19/20, yang
  dihimpun oleh Mufti Hadhramaut ‘Abd Al-Rahman ibn Muhammad ibn Husain
  Ba’alawi.
Dua kitab berikut ini merupakan buku teks mutakhir dalam bahasa
  Arab sederhana, ditulis terutama untuk madrasah. Yaitu, Al-Ma’badi
  Al-Fiqhiyyah ‘ala Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i (4 jilid kecil) tulisan ‘Umar
  ‘Abd Al-Jabbar, seorang pengarang masa kini yang produktif di Makkah. Lalu
  Al-Fiqh Al-Wadhih oleh ulama Minangkabau terkenal yaitu Prof. Mahmud Yunus.
Kitab
  tentang Ushul Al-Fiqh
Van den Berg sama sekali tidak menyebut karya
  tentang ushul al-fiqh di antara kitab yang dipakai di pesantren abad ke- l9.
  Barangkali ini hanya kekeliruan, karena katalog perpustakaan Museum Jakarta
  (1913) oleh Van Ronkel menyebut beberapa naskah syarah atas Waraqat dan Jam’
  Al-Jawami’ (lihat di bawah). Itu memberi kesan bahwa karya-karya tersebut
  relatif terkenal, paling tidak pada sekitar penghujung abad. Namun sangat
  mungkin bahwa kitab itu belum menjadi bagian kurikulum Pesantren biasa. Ushul
  al-fiqh mendapat perhatian serius pertama kali dari kaum muda, yang seringkali
  menggunakannya sebagai penyangga dalam berjuang melawan apa yang dianggap
  bid’ah. Pada dasawarsa 1920-an, majalah kaum muda Al-Ittifaq wa Al- Iftiraq
  banyak menulis tentang ushul al-fiqh, dengan mengutip Al-Asybah wa
  Al-Nazhair-nya Suyuthi, Risalah-nya Syafi’i dan terutama Bidayat
  Al-Mujtahid-nya Ibn Rusyd.16
Dewasa ini, ushul al-fiqh merupakan mata
  pelajaran wajib di hampir semua Pesantren untuk santri tingkat menengah dan
  atas. Namun, jumlah karya yang digunakan tidak terlalu besar. Saya mendapatkan
  empat belas macam judul yang diterbitkan di Indonesia, banyak di antaranya
  yang berhubungan satu sama lain
 
(sebagai syarah atau
  hasyiyah). Hanya delapan di antaranya yang cukup populer sehingga perlu
  dimasukkan ke dalam daftar.
Jam’ Al-Jawmi’  oleh  Tajuddin
  ‘Abd  Al-Wahhab Al-Subki, adalah salah satu dari teks-teks utama tentang
  dasar-dasar hukum Islam. Edisi yang dicetak dewasa ini, di samping berisi teks
  ini, juga menentukan syarah oleh Jalaluddin Al-Mahalli, hasyisyah oleh Bannani
  dan hasyisyah lebih luas (Taqrir) oleh ‘Abd Al- Rahman Syarbini. Zakaria
  Anshari telah meringkas Jam’ dalam karangannya Lubab Al-Ushul, yang juga
  digunakan di Indonesia.
Al-Waraqah fi Ushul Al-Fiqh oleh Imam Al-Haramain
  ‘Abd Al-Malik Al-Juwaini (wafat 478/1085) adalah salah satu di antara
  karya-karya utama lain tentang pokok bahasan tersebut. Berbagai syarah atas
  karya ini terdapat secara luas di Indonesia (koleksi ini meliputi lima macam
  kitab, salah satu di antaranya adalah karangan pembaru Minangkabau Ahmad
  Khatib, Nafahat ‘ala Syarh Al-Waraqat). Latha’if Al-Isyarah, oleh ‘Abd
  Al-Hamid ibn Muhammad ‘Ali Al-Qudusi (wafat 1334/1916), merupakan sebuah
  komentar lebih lanjut atas salah satu di antara syarah-syarah terebut, yakni
  Tashil Al-Thuruqat oleh Syarafuddin Yahya Al- ‘Imrithi.
Al-Asybah wa
  Al-Nadza’ir fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh Al- Syafi’iyah sebuah karya ushul al-fiqh
  yang “berat”, ditulis oleh ulama produktif Jalaluddin Al-Suyuti.
Al-Luma’
  (fi Ushul Al-Fiqh) ditulis oleh Ibrahim b. Ali Al- Syirazi Al-Fairuzabadi,
  pengarang Muhadzdzab.
Al-Bayan adalah jilid terakhir dari serangkaian
  tiga buku teks sederhana (yang berjudul Mabadi Awwaliyah, Al-Sullam dan Al-
  Bayan) untuk digunakan di madrasah, yang ditulis oleh pengarag Minangkabau,
  Abdul Hamid Hakim.
Judul terakhir dalam daftar ini sedikit mengejutkan,
  karena tidak termasuk dalam tradisi Syafi’i. Saya memasukkannya meski hanya
  digunakan di dua pesantren (keduanya berorientasi lebih modernis). Bidayah
  Al-Mujtahid-nya Ibn Rusyd, yang membandingkan dan menganalisis sikap berbagai
  mazhab dalam banyak hal, digunakan pertama kali di Indonesia oleh para pembaru
  Minangkabau pada dasawarsa 1920-an, seperti dikemukakan di
 
atas.
  Digunakannya di pesantren menunjukkan makin luasnya cakrawala lingkungan
  pesantren dan kian meningkatnya minat intelektual. Bidayah belakangan juga
  dicetak di Indonesia, gejala yang menunjukkan bahwa minat terhadap karya ini
  cukup luas.
Isi Kitab Fiqih
Kadang-kadang dikatakan bahwa
  kitab kuning tidak menunjukkan orisinalitas, karena semuanya pada dasarnya
  sama, denga hanya berbeda dalam rincian. Dari satu sudut itu memang benar.
  Daftar isi kitab fiqih tampak sangat mirip. Kesemuanya membahas
  persoalan-persoalan yang sama, dalam susunan yang sama. Sebuah karya fiqih
  modern pun seperti Fiqh Al-Sunnah oleh Sayyid Sabiq mengikuti pola yang sama
  seperti Tuhfah. Bahkan buku-buku modern tipe Soal-Jawab, yang dituliskan untuk
  berbagai kalangan pembaca, masih juga menyusun materinya menurut format yang
  sama apabila membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan fiqih.17 Salah
  satu alasannya mungkin karena syariat sendiri dianggap tidak dapat berubah.
  Yang bisa berubah hanya situasi-situasi di mana syariat diterapkan. Ada juga
  beberapa alasan sangat praktis untuk format ini: hal itu memungkinkan kita
  untuk dengan cepat mengetahui apa yang dikatakan berbagai pengarang tentang
  suatu hal tertentu, karena kita segera mengetahui di mana kita harus
  mencarinya.
Semna kitab fiqih dimulai dengan bab-bab tentang ‘ubudiyah:
  bab al-shalat (terkadang didahului dengan bab ath-thaharah, tentang bersuci
  untuk ibadah), bab al-zakat, bab al-shiyam dan bab al-haj wa al-‘umrah.
  Beberapa kitab pembahasannya tidak lebih dari ini. Tapi sebagian besar
  meneruskan dengan bab-bab tentang transaksi-transaksi ekonomi (mu’amalat),
  hukum waris (fara’idh), hukum perkawinan (nikah), berbagai pelanggaran dan
  hukumannya (jinayah=pembunuhan; riddah= murtad; hudud= pelanggaran), jihad,
  risalah mengenai makanan (ath’imah) dan penyembelihan (dzabaih). Tetapi, ada
  perbedaan yang berarti antara berbagai kitab dalam derajat perhatian yang
  diberikan kepada masing-masing pokok bahasan. Tabel II menunjukkan jumlah
  kitab yang seringkali digunakan, persentase halaman yang
 
banyak
  dipakai untuk setiap kategori utama dari berbagai masalah. Derajat
  “orisinalitas” seorang pengarang tidak dapat begitu saja dibaca dari tabel
  ini. Orisinalitasnya lebih dicerminkan dalam pokok-pokok yang dibahasnya dalam
  rangka bab-bab tradisional.
Suatu contoh tentang orisinalitas jenis ini
  terdapat dalam bab al-jihad, dari I’anah karangan Sayid Bakri. Dalam rangka
  membahas jihad dan syarat-syaratnya, pengarang memberikan kita gagasan tentang
  kesejahteraan umat yang perlu dijaga, yaitu kebutuhan pokok seperti pangan,
  papan, kesehatan untuk semua anggota  masyarakat.18
Patut dicatat,
  barangkali, bahwa kandungan kitab fiqih tidak mencakup bab khusus mengenai
  persoalan-persoalan politik. Sampai tingkat terbatas persoalan-persoalan
  tersebut diberikan perhatian dalam bab al-jihad, tetapi untuk sebagian besar
  persoalan politik tidak terdapat jawaban yang jelas dalam kitab fiqih yang
  standar. Namun ada beberapa kitab yang secara khusus membahas politik. Salah
  satu di antaranya adalah Al-Ahkam Al- Sulthaniyah karangan Al-Mawardi yang
  terkadang digunakan oleh para kiai Indonesia.19 Bahkan tampak ia makin
  diminati, dan belakangan sudah dicetak di Indonesia dan kini beredar luas.
Meski
  begitu, kitab ini tak mengandung banyak hal yang dapat diterapkan dalam
  praktik. Dalam beberapa hal yang konkret, ulama NU telah merujuk kepada
  Bughyat Al-Mustarsyidin, yang berisikan sejumlah fatwa yang relevan dengan
  masalah-masalah politik praktis yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.20
Tabel II
Persentase ruang yang digunakan untuk pokok-pokok bahasan utama dalam kitab fiqih pilihan.
| BAB | A | B | C | D | E | F | G | 
| Al-thaharah | 19 | 6 | 13 | 12 | 5 | 7 | 7 | 
| Al-shalah | 48 | 76 | 16 | 18 | 14 | 17 | 24 | 
| Al-zakah | 11 | 5 | 3 | 3 | 3 | 3 | 5 | 
| Al-shiyam | 9 | 5 | 2 | 2,5 | 3 | 3 | 4,5 | 
| Al-haj wa’l-‘umrah | 13 | 7 | 3 | 4 | 4,5 | 4,5 | 5 | 
| 
 ‘ubudiyah | 
 100 | 
 100 | 
 37 | 
 39,5 | 
 29,5 | 
 34,5 | 
 45,5 | 
| Mu’amalat | 
 | 
 | 17 | 14 | 22 | 25 | 16 | 
| Al-fara’idh | 
 | 
 | 3 | 3 | 3,5 | 3 | 2 | 
| An-nikah | 
 | 
 | 14 | 14 | 19 | 17,5 | 18 | 
| Al-jinayat | 
 | 
 | 4 | 4 | 5 | 5 | 1,5 | 
| Al-hudud | 
 | 
 | 5 | 4 | 
 | 2 | 4 | 
| Al-jihad | 
 | 
 | 3 | 2,5 | 1,5 | 
 | 2 | 
| Al-ath’imah/al-dzabaih | 
 | 
 | 3 | 2,5 | 4,5 | 4 | 1,5 | 
| Jumlah | 
 100 | 100 | 86 | 83,5 | 85,0 | 91,0 | 90,5 | 
• Kelompok mu’amalat meliputi: al-buyu’ (jual-beli), al- wakalah (perwakilan), al-ijarah (sewa-menyewa), al-ariyah (pinjam-meminjam), al-hibah, al-waqaf, al-washiyah.
A: Ibnu Hajar Al-Haitami, Minhaj Al-Qawim, 150 halaman.
B: Sulaiman Al-Kurdi, Al-Hawasyi ‘I-Madaniyah, 430 halaman. C: Syarbini, Al-Iqna’, 574 halaman.
D: Bajuri, Hasyisyah, 786 halaman.
E: Zakariya Al-Anshari, Fath Al-Wahhab, 512 halaman.
F: Qalyubi dan ‘Umaira, Hasyisyah … Mahali, 1443 halaman. G: Sayyid Bakri, I’anat Ath-Thalibin, 1380 halaman.
Pengarang Kitab
  Fiqih Indonesia Terkemuka
Beberapa pengarang Indonesia permulaan yang
  menulis fiqih (disamping) kitab-kitab lain disebut dalam bagian pertama dari
  tulisan ini. Hanya sejumlah kecil di antara kitab-kitab ini masih digunakan.
  Karya-karya dalam bahasa Melayu secara bertahap digantikan dengan kitab-kitab
  bahasa Arab. Kitab Jawi besar yang digunakan paling luas barangkali Sabil
  Al-Muhtadin karya Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang bisa didapatkan di seluruh
  Sumatra dan Kalimantan, dan juga dimana saja di Malaysia. Ada sedikit sekali
  madrasah atau pesantren yang kini menggunakannya. Namun banyak orang masih
  membacanya secara pribadi atau
 
mengkajinya dengan seorang
  guru agama di rumahnya atau di masjid. Di pinggir (hamisy) kitab ini kita
  dapatkan juga Shirath Al-Mustaqim karya Al-Raniri, teks fiqih Melayu tertua
  yang masih digunakan.
Nama M. Arsyad Al-Banjari (yang wafat pada 1227
  H/1812) juga dikaitkan dengan buku yang mungkin paling popular di antara semua
  kitab Jawi, Perukunan Besar atau Perukunan Melayu, sebuah pengantar sederhana
  menuju keimanan dan ibadah. Bagi kebanyakan anak di Sumatra, Malaysia,
  Jakarta, Kalimantan dan NTB, kitab ini merupakan teks agama pertama yang
  mereka baca. Buku kecil ini, yang dikarang oleh anak cucu Arsyad berdasarkan
  ajarannya, telah dicetak dan dicetak ulang oleh berbagai penerbit, dan terbit
  dalam versi yang sedikit berbeda-beda.21
Seorang ulama produktif yang
  hidup pada sekitar masa yang sama dengan M. Arsyad dan ‘Abd Al-Shamad adalah
  Daud bin Abdullah Al-Patani (wafat kira-kira 1845).22 Beberapa di antara 14
  buku yang masih ada dalam edisi-edisi cetak berhubungan dengan aspek-aspek
  fiqih. Yang paling penting di antaranya adalah Bugyah Al-Thullab (sebuah
  ringkasan fiqih umum) dan Furu’ Al-Masa’il (berdasarkan fatawa Al-Ramli dan
  Kasyf Al-Litsam Al- Mahalli). Risalah-risalah yang lebih kecil seperti Ghayah
  Al-Taqrib (tentang pembagian waris), Idhah Al-Bab (tentang perkawinan) dan
  Muhyat Al-Mushalli (tentang sembahyang) masih dibaca secara luas.
Ulama
  terakhir yang menulis kitab berpengaruh dalam bahasa Melayu adalah Sayyid
  Utsman (bin Abdullah bin Aqil bin Yahya), ulama Arab Batavia terkenal.23
  Al-Qawanin Al-Syar’iyah- nya merupakan sebuah panduan bagi “rad agama”
  (pengadilan syari’ah yang diperbolehkan oleh pemerintah India Belanda).
  Beberapa karya singkat lain juga menyinggung fiqh ‘ubudiyah, di samping
  pokok-pokok bahasan lain: Adab Al-Insan, Bab Al- Minan, dan Irsyad Al-Anam.
Semua
  pengarang tersebut menulis dalam bahasa Melayu; sedangkan ulama yang menulis
  karya-karya fiqih dalam bahasa Jawa (atau bahasa-bahasa daerah lain) jauh
  lebih sedikit. Satu- satunya karya penting berbahasa Jawa mengenai fiqih
  adalah
 
Majmu’ah Al-Syari’ah Al-Kafiyah li Al-‘Awam oleh M.
  Saleh Darat dari Semarang (wafat 1321/903).24 Pengarang yang sama juga menulis
  sebuah karya singkat tentang kesucian beribadah yang masih tetap ada, Latha’if
  Al-Thaharah. Hampir semua karya lain dalam bahasa Arab, atau karya-karya
  sangat sederhana tentang aspek-aspek ibadah (seperti Risalah Al-Shiyam,
  tentang puasa, oleh Ahmad Abdul Hamid dari Kendal).
Ulama di Jawa lebih
  suka menulis dalam bahasa Arab, terutama apabila mereka menulis tentang fiqih.
  Di antara ulama Jawa tersebut yang paling produktif dan paling banyak dibaca
  karyanya adalah Nawawi Banten (Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi Al-Bantani,
  wafat 1314/897 di Makkah).25 Kesemua 24 kitab yang ditulis, sebagian sangat
  singkat, lainnya sangat tebal, masih terus dijual di Indonesia; beberapa di
  antaranya membahas fiqih. Karya fiqihnya yang paling terkenal mungkin ‘Uqud
  Al-Lujjain, mengenai kewajiban istri, merupakan bacaan wajib bagi santri
  putrid di banyak pesantren. Nawawi menulis komentar-komentar tentang
  karya-karya penting dua dari tempat “keluarga” kitab fiqih; Tausyih Ibn
  Qasim-nya merupakan sebuah komentar atas Fath Al-Qarib. Sedangkan Nihayah
  Al-Zain-nya didasarkan atas Qurrah Al-‘Ain Zainuddin Al-Malibari. Dia juga
  menulis dua kitab jenis perukunan: Sullam Al-Munajat adalah sebuah komentar
  atas Safinah Al-Shalat oleh Abdullah bin ‘Umar Al-Hadhrami, dan Kasyifah
  Al-Saja atas Safinah Al-Najah Salim bin Abdullah bin Samir (seorang ulama Arab
  yang tinggal di Jakarta sekitar 1850). Semua kitab tersebut digunakan secara
  luas di Indonesia.
Ulama Jawa lain yang sangat dihormati yang patut
  disebutkan adalah Kiai Mahfudz bin Abdullah dari Termas (wafat 1919). Dia
  menulis sebuah syarah Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah Abdullah Ba-Fadhl (lihat
  “keluarga” keempat kitab fiqih di atas). Karya ini tampaknya tidak pernah
  dicetak, meski dikatakan bahwa beberapa kiai besar memiliki kopi-kopi
  naskahnya.26
Akhirnya kita juga harus menyebutkan dua ulama Indonesia
  yang telah menulis teks-teks modern sederhana tentang fiqih untuk digunakan di
  madrasah. Abdurrahman Al-Sagaf, seorang ulama keturunan Arab yang tinggal di
  Surabaya, menulis empat jilid kecil yang berjudul Al-Durus Al-Fiqhiyah,
  sementara itu Mahmud
 
Yunus menulis Al-Fiqh Al-Wadhih, juga
  dalam beberapa jilid. Keduanya dalam bahasa Arab, namun agak berbeda dalam
  gaya dan susunan dengan kitab fiqih tradisional, yang mencerminkan perbedaan
  pandangan pendidikan.
Perbandingan antara Kajian Fiqih di Indonesia
  dan di Kur- distan
Sesudah menulis dalam sebuah terbitan sebelumnya di
  Pesantren tentang pengaruh ulama Kurdi atas Islam di Indonesia,27 perkenankan
  saya untuk membuat sebuah bahasan tentang Kurdistan lagi. Hampir setengah dari
  wilayah yang disebut Kurdistan menjadi bagian dari Turki, dan seperti telah
  diketahui Ataturk menutup semua madrasah di negeri itu pada 1924, dan
  madrasah- madrasah itu secara resmi tidak pernah dibuka lagi. Namun di
  provisi-provinsi timur Kurdi, banyak madrasah melanjutkan kegiatan secara
  sembunyi-sembunyi. Masih banyak rakyat yang memiliki pendidikan madrasah
  tradisional.28 Kurikulum tradisional masih seperti pada permulaan abad ini,
  dan kita akan melihat bahwa itu menunjukkan banyak kesamaan dengan kurikulum
  pesantren di Indonesia.29
Semua siswa pemula harus membaca Taqrib dan
  kemudian syarahnya, Fath Al-Qarib (di samping kitab mengenai pokok- pokok
  bahasan lain). Mereka yang melanjutkan dan ingin mengkhususkan dalam fiqih
  maka harus mengkaji teks-teks seluruh empat “keluarga” tersebut. Kajian Fath
  Al-Qarib disudahi dengan hasyisyah Bajuri atasnya (yang juga digunakan secara
  sangat luas di Indonesia). Sebagian juga mengkaji Tuhfah Al-Habib Bujairimi,
  sebuah komentar atau Iqna’nya Syarbini  (menurut Van den Berg, Bujairimi
  juga digunakan di pesantren Jawa pada abad ke-19). “Keluarga” ketiga diwakili
  oleh Fath Al-Mu’in dan syarahnya, I’anah Al-Thalibin yang besar—juga
  karya-karya yang sama mengenai keluarga ini yang juga digunakan secara luas di
  Indonesia. Di antara keluarga keempat, Al-Hawasyi Al-Madaniyah Sulaiman Kurdi
  digunakan, meski tidak meluas (karya ini, yang dikenal sebagai Sleman Kurdi,
  digunakan di banyak pesantren di Jawa abad ke-19).
 
Namun
  karya-karya acuan yang paling penting adalah Minhaj Al-Thalibin-nya Nawawi dan
  komentarnya oleh Khatib Syarbini, Mughni Al-Muhtaj (di antara “keluarga”
  pertama kita). Di sini kita melihat suatu perbedaan kecil dengan situasi di
  Jawa, di mana Tuhfah Ibn Hajar dianggap sebagai yang paling memiliki otoritas,
  dan di mana Nihayah Ramli dan khususnya Kanz Al-Raghibin Mahalli juga
  digunakan. Tetapi, Minhaj, yang menjadi dasar utama semua teks, juga dianggap
  sebagai sumber real otoritas.
Karena itu secara keseluruhan ada kesamaan
  mencolok antara kurikulum pesantren di Indonesia dan madrasah Kurdi. ckarena
  orang-orang Kurdi dan Indonesia (tradisional) sama-sama mengikuti mazhab
  Syafi’i, kita bisa menduga adanya kesamaan tertentu, dan perbedaan yang besar
  dengan kurikulum di daerah- daerah yang mengikuti mazhab lain.30 Tetapi,
  bahkan di antara kitab fiqih syafi’i tertentu, orang-orang Kurdi dan Indonesia
  tampak memiliki suatu preferensi untuk karya-karya yang sama atas lainnya.31
  Saying saya tidak mengetahui apapun mengenai kurikulum madrasah tradisional di
  Mesir, negeri syafi’i yang lain. Karena itu tidak mungkin menetapkan apakah
  semua pengikut syafi’i memiliki kesamaan atau apakah orang-orang Kurdi dan
  Indonesia mempunyai ikatan kekeluargaan satu sama lain. Tapi lebih tepat
  dikatakan bahwa kesamaan-kesamaan yang ada (yang bukan tentu lebih dekat satu
  abad yang lalu) pasti merupakan akibat dari kenyataan bahwa ulama Kurdi dan
  Indonesia terkemuka sama-sama berada di Makkah dan Madinah. Di sanalah ulama
  Syafi’i dari seluruh dunia datang untuk belajar dan mengajar. Dan dari
  pusat-pusat inilah lebih banyak pengaruh baru menyebar ke seluruh dunia Muslim
  dibanding dengan penyebaran dari suatu negeri ke negeri-negeri tetangga. []
 
Catatan
  akhir:
1.    Al-Shirath Al-Mustaqim dicetak di pinggiran
  Sabil Al-Muhtadin karangan Arsyad Al-Banjari, sebuah buku yang secara terus
  menerus dicetak ulang di Mesir dan di Surabaya. Kitab ini terus menjadi bahan
  kajian di Sumatra dan Kalimantan.
2.    Lihat, untuk para
  pengarang Melayu dan karya-karya mereka,
H.W. Muhd. Shaghir Abdullah,
  Perkembangan Ilmu Fiqih dan Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara, Solo: Ramadhani,
  1985.
3.    Yang paling penting di antara kitab-kitab
  berbahasa jawa ini, ada yang telah disunting dan diterjemahkan oleh G.W J.
  Drewes: Een Javanese Aimbon uit de Zestiende Eeuw (Leiden: Brill, 1954); The
  Admonitions of Seh Bari (The Hague: Nijhoff, 1969); dan An Early Javanese Code
  of Ethics (The Hague, 1978).
4.    Drewes, The Admonitions
  of Seh Bari, hlm. 1-2.  Seperti akan kita lihat di bawah, Taqrib tetap
  merupakan teks fiqih sederhana yang paling populer yang digunakan di pesantren
  Jawa.
5.    Terjemahan bahasa Jawa, atau lebih tepat
  ringkasan Tuhfah ini, diterbitkan, dengan huruf Jawa, oleh S. Keyzer pada
  tahun 1853, dan diterbitkan ulang edisi yang telah diperbaiki oleh
T.
  Roorda: Kitab Toehpah, enn Javaansch handboek voor het Mohammedaansche regt.
  Leiden: Brill, 1874.
6.    L.W.C. van den Berg, “Het
  Mohammedaansche Godsdienston- der wijs op Java Madoera en de Daarbij Gebruikte
  Arabische Boeken”, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volken- kunde
  (TBG) 31, 1886, hm. 519-555. Juga diringkas dalam: Karel Steenbrink, Beberapa
  Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984,
  him. 154-8.
7.    Risalah ini merupakan satu-satunya dari
  teks-teks tersebut yang tidak lagi digunakan.
8.   
  Kecuali Bujairimi, Al-Muharrar dan Tuhfah. Karya terakhir digunakan oleh para
  kiai sebagai acuan dalam kasus-kasus penting (untuk mengeluarkan fatwa
  misalnya). Tetapi sejauh yang saya tahu, ia tidak diajarkan kepada santri di
  pesantren mana pun.
 
9.    Serangkaian
  monografi yang berguna mengenai pesantren Jawa Timur dan Tengah dibuat oleh
  Balitbang Departemen Agama selama tahun 1980-1983. Untuk Jawa Barat, Sumatra
  dan Kalimantan, saya menggunakan sumber-sumber lain, termasuk laporan proyek
  penelitian oleh LIPI (tak diterbitkan) tentang “Pandangan dan Sikap Hidup
  Ulama Indonesia”, dibuat pada tahun 1986-1988.
10.   
  Deskripsi koleksi tersebut yang lebih rinci terdapat dalam: Martin van
  Bruinessen, “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren
  Milieu” (akan terbit dalam Bijdragen tot de Taal-,Land-, en Volkenkunde), yang
  menjadi dasar utama tulisan ini. Lihat hlm. 131 dalam buku ini.
11.   
  Sebuah kajian tentang Imam Nawawi dan Minhaj-nya terdapat dalam Prof. Madya
  Dr. Mat Sa’ad Abd. Rahman, Penulisan Fiqh Al-Syafi’i: Pertumbuhan dan
  Perkembangannya. Shah Alam/Kuala Lumpur: Hizbi, 1986, hlm. 47-81. Pada hlm.
  75- 78 terdapat suatu daftar dengan 29 syarah serta 5 ringkasan Minhaj.
12.   
  Menurut Van den Berg, kitab ini merupakan salah satu dari teks- teks penting
  yang digunakan pesantren. Ia juga merupakan basis utama sebuah kajian atas
  fiqih Syafi’i oleh orientalis Jerman E. Sachau. Snouck Hurgronje menulis
  tinjauan kritis atas kajian ini dalam majalah Zeitschrift der Deutschen Mor-
  genlaendischen Gesellschaf 53, 1899, hlm. 125-167. Dalam tulisan ini dia
  memberikan informasi yang menarik tentang pengunaan kitab ini dan karya-karya
  lainnya oleh para guru di Masjid Al-Haram, Makkah.
13.   
  Tentang Sayyid Bakri dan I`anah-nya, lihat C. Snouck Hurgronje, Mekka. The
  Hague: Nijhoff, 1889, vol. II, hlm. 253, 259-60. Tarsyih Al-Mustafidin
  merupakan sebuah karya yang lebih sederhana dan kurang terkenal (2 jilid).
  Baru belakangan kitab ini untuk pertama kali juga dicetak ulang di Indonesia.
  Pengarangnya, ‘Alwi Al-Saqaf, hidup dan mengajar pada sekitar tahun 1300 H.
  (1883).
14.    Lihat, Sirajuddin ‘Abbas, Ulama Syafi’i dan
  Kitab-kitabya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975. hlm. 460.
 
15.   
  Saya pernah mendapatkan sebuah terjemahan bahasa Madura dan dua macam
  terjemahan bahasa Jawa dari Safinah, serta dua versi sajak (manzhum). Ahmad
  bin Shiddiq dari Lassem, Pasuruan (Jawa Timur) menulis versi nazham Tanwir Al-
  Hija, yang kini terdapat terjemahan bahasa Maduranya. Dan kitab ini mendapat
  komentar lanjutan dari Muhammad ‘Ali bin Husain Al-Makki Al-Maliki yang
  berjudul Anarat Al-Duja. Kiai Sahal Mahfudz dari Kajen (Jawa Tengah) menulis
  sebuah syarah Faraidh Al-Haya atas versi nazham lain, Nail Al-Raja.
16.   
  Lihat B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan
  Bibliografi. Jakarta: Bhratara, 1973, hlm. 66. Minat kepada ushul al-fiqh juga
  ditimbulkan oleh munculnya keyakinan bahwa pintu ijtihad tidak perlu ditutup
  dan bahwa taqlid buta tidak layak bagi orang yang berakal dewasa.
17.   
  Misalya Abdulqadir Hassan, Kata Berjawab, 8 jilid. Bangil: Fa. Al-Muslimun.
  Pengarang adalah ulama Persis terkemuka, yang seringkali berbeda pendapat
  dengan tradisi pesantren.
18.    Perhatian saya ditarik
  kepada bab ini oleh Abdurrahman Wahid. Dia berpendapat bahwa di sini kita
  mendapatkan definisi Islam tentang konsep “kebutuhan pokok”, yang belakangan
  ini banyak menjadi pokok diskusi para ahli ekonomi  pembangunan.
19.   
  Sebuah analisis atas karya ini: Qamar Al-Din Khan, Al- Mawardi’s Theory of
  State. Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, l979. Teori Al-Mawardi dan teori
  politik klasik lainnya sangat jelas dianalisis dalam bab-bab permulaan dari
  buku Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought. London: MacMillan.
  1982.
20.    Saya menerima informasi ini juga dari
  Abdurrahman Wahid.
21.    Menurut halaman judul sebuah
  versi, pengarangnya adalah putra M. Arsyad Jamaluddin, versi lain mengklaim
  dihimpun oleh seorang keturunan belakangan, Haji Abdul Rasyid Banjar, dari
  para penulis lain oleh M. Arsyad sendiri. Menurut tradisi keluarga, ternyata
  cucu perempuan, M. Arsyad Fathimah, yang menyusun karya ini; Abdul Rasyid
  adalah yang pertama
 
mencetaknya di Singapura. Lihat: Abu
  Daudi, Maulana Syekh Moh. Arsyad Al-Banjari (Tuan Haji Besar). Dalampagar
  Martapura, Martapura: Madrasah Sullamul’ulum, 1980, hlm. 43; H.W. Muhd.
  Shaghir Abdullah, Syekh Muhd. Arsyad Al- Banjari, Matahari Islam. Mempawah:
  Pondok Al-Fathonah, 1982, hlm. 62.
22.    Lihat: H.W.
  Muhd. Shaghir Abdullah, Syekh Daud bin Abdullah Al-Fathani, Penulis Islam
  Produktif Asia Tenggara. Solo: Ramadhani, 1987.
23.   
  Lihat juga: Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad
  ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 134- 7
24.   
  Tentang ulama ini, lihat: H.W. Danuwijoto, “Ky. Saleh Darat Semarang: Ulama
  besar dan Pujangga Islam sesudah Pakubuwono ke-IV”, Mimbar Ulama, No. 17
  (1977), hlm. 68- 73.
25.    Sebuah biografi singkat
  Nawawi: Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi Albanteni Indonesia.
  Jakarta: CV. Sarana Utama.
26.    Sepengetahuan saya,
  belum ada biografi Kiai Mahfudz, meski sering dikatakan sebagian besar ulama
  Jawa berguru kepada- nya. Ada sebuah catatan singkat dalam: Sirajuddin ‘Abbas,
  Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
  1975, hlm. 460.
27.    Martin van Bruinessen, “Bukankah
  orang Kurdi  yang mengislamkan orang Indonesia?”, Pesantren, No. 4, Th.
  IV (1987), hlm. 43-53.
28.    Madrasah Turki Timur lebih
  menyerupai pesantren Salafi daripada madrasah di Indonesia. Di situ tidak ada
  tingkatan, dan tidak diajarkan mata pelajaran umum. Madrasah di Indonesia
  memiliki persamaan dengan sekolah-sekolah untuk pendidikan Imam dan Khatib,
  Imam Hatib Okullari, yang memiliki kurikulum yang berbeda, modern dan
  “sekular”.
29.    Saya berhutang budi dengan banyak
  informasi berikut dari kawan-kawan Kurdi saya, Mehmet Emin Bozarslan, seorang
  mantan mufti, dan Mahmud Tayfun, seorang mahasiswa
 
Ilahiyat
  dan satra. Keduanya adalah pengarang sangat produktif tentang budaya dan
  sejarah Kurdi. Yang terakhir, atas permintaan saya, juga mewawancara sejumlah
  bekas siswa madrasah yang lain mengenai kitab yang pernah mereka pelajari.
30.   
  Lihat misalnya kurikulum fiqih di India dan kerajaan Utsmani, yang disitu
  mazhab Hanafi dominan: M. Mujeeb, The Indian Muslims. London: Allen &
  Unwin, 1967, hlm 407-8. Mohammad Akhlaq Ahmad, Traditional Education among
  Muslims: A Study of Some Aspect in Modern India. Delhi: B. R. publishing
  Corporation, 1985, hlm. 61-5; Huseyin Atay, Osmanlilards Yuksek di Eqitimi:
  Medrese Programlari, Icazetnameler, Islahat Hareketlari. Istanbul: Dergah,
  1983, hlm. 73-130.
31.    Terdapat banyak teks fiqih
  syafi’i disbanding dengan yang disebut di atas dapat terlihat dengan mengamati
  sepintas bagian-bagian yang berhubungan dalam lima jilid buku Carl
  Brockelmann, Geschichte der Arabischen Literatur (Leiden: Brill, 1937-1947)
  atau karya sederhana oleh Sirajuddin ‘Abbas, Ulama Syafi’i.  
KITAB KUNING: BUKU-BUKU BERHURUF ARAB YANG DIPERGUNAKAN DI LINGKUNGAN PESANTREN1
  Sebuah proyek penelitian tentang ulama Indonesa memberikan kesempatan kepada
  saya untuk mengunjungi pesantren di berbagai tempat di Nusantara dana
  mengumpulkan cukup banyak buku yang digunakan di dalam dan di sekitar
  pesantren—yang disebut dengan kitab kuning. Buku-buku ini sekarang dipelihara
  sebagai sebuah koleksi tersendiri di perpustakaan KITLV di Leiden.2 Secara
  keseluruhan koleksi ini memberikan suatu tinjauan yang jelas atas teks-teks
  yang dipakai di berbagai pesantren dan madrasah di Indonesia, satu abad
  setelah studi rintisan tentang kurikulum pesantren Jawa (dan Madura) yang
  dilakukan oleh L.W.C. Van den Berg (1886). Van den Berg menyusun sebuah daftar
  buku-buku teks utama yang dipelajari di pesantren pada masanya berdasarkan
  wawancara dengan kiai. Dia menyebutkan lima puluh judul buku dan memberikan
  informasi umum tentang masing-masingnya, dengan memberikan ringkasan singkat
  dari buku-buku yang lebih penting. Kebanyakan dari buku tersebut masih dicetak
  ulang dan dipergunakan di Indonesia, Singapura dan Malaysia hingga sekarang,
  tetapi banyak karya lain yang juga dipakai di samping buku-buku tersebut.
  Koleks yang ada sekarang mencakup sekitar Sembilan ratusjudul buku yang
  berbeda-beda, yang kebanyakn dipakai sebagai buku-buku teks. Dalam bagian
  pertama tulisan ini saya akan melakukan pengamatan secara umum atasbuku-buku
  ini dan komposisi koleksi tersebut. Di bagian kedua saya akan mendiskusikan
  sebuah daftar “Kitab paling popular” yang telah saya susun dari sumber-sumber
  yanglain. Namun semua buku yang dibicarakan merupakan bagian dari koleksi
  tersebut.
Kriteria Seleksi dan Keterwakilan (Representativeness)
Untuk dapat menilai seberapa jauh koleksi ini dapat dikatakan mewakili,
  terlebih dahulu perlu disampaikan secara singkat metode pengumpulan yang saya
  pakai. Saya mengunjungi semua penerbit besar dan toko kitab (toko buku yang
  mengkhususkan diri menjual buku-buku keagamaan sejenis ini) di Jakarta, Bogor,
  Bandung, Purwokerto, Semarang, Surabaya, Banda Aceh, Medan, Pontianak,
  Banjarmasin, Amuntai, Singapura, Kuala lumpur, Georgetown (Penang), Kota Bharu
  dan Patani (Thailand bagian selatan), dan membeli semua buku Islam denganhuruf
  Arab cetakan Asia Tenggara yang tersedia. Dua kriteria yang terakhir mungkin
  secara selintas tampak lebih bersifat arbitrer, tetapi saya menemukannya
  signifikan secara sosiologis, dan juga merupakan kriteria yang paling gampang.
  Memang benar, kebanyakan toko kitab juga menjual buku-buku Arab yang dicetak
  di Mesir dan Lebanon dalam jumlah terbatas (sebuah agen yang mewakili penerbit
  Lebanon Dar Al-Fikri memiliki toko khusus untuk menjual buku-buku ini di
  Jakarta dan Surabaya), tetapi karena harganya lebih mahal dibandingkan dengan
  edisi Asia Tenggara, maka buku-buku ini hanya dibeli oleh sebuah kelompok
  minoritas yang kecil jumlahnya. Buku-buku tersebut mencakup karya-karya
  rujukan untuk para ulama yang sudah tinggi ilmunya dan karya- karya para
  penulis modern yang belum diterima oleh arus besar Islam Indonesia. Buku yang
  cukup banyak diminati cepat atau lambat akan dicetak (ulang) oleh salah satu
  penerbit regional.3
Di samping itu, huruf yang dipakai untuk mencetak buku mengandung makna simbolik dan membedakan secara agak jelas antara dua jenis khalayak pembaca yang berbeda. Umat Islam Indonesia juga menggunakan kata yang berbeda untuk buku- buku yang ditulis dalam huruf Latin (“buku”) dan buku-buku yang ditulis dalam tulisan Arab, terlepas dari bahasa yang dipakai (“kitab”). Sampai tahun 1960-an sebuah garis yang sangat jelas memisahkan komunitas Muslim ke dalam kelompok “tradisionalis" dan “modernis” (dengan organisasi keagamaannya Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah). Yang pertama biasanya mempelajari agama secara eksklusif melalui kitab kuning (disebut kitab kuning karena kertas buku yang berwarna kuning yang di bawa dari Timur Tengah pada awal abad kedua puluh), sementara kelompok yang belakangan membaca dan menulis “buku putih”, yang ditulis dalam bahasa Indonesia berhuruf Latin. Para pengarang buku putih biasanya menolak sebagian besar tradisi skolastik dan berpihak pada upaya untuk kembali kepada, dan dalam beberapa kasus interpretasi baru terhadap, sumber-sumber asli— Al-Quran dan Hadis. Barangkali, inilah yang telah menyebabkan munculnya sikap negatif terhadap buku putih di lingkungan pesantren selama bertahun-tahun—di beberapa pesantren gaya lama, buku semacam ini masih dilarang sampai sekarang. Para ulama tradisionalis yang menulis buku-buku atau risalah-risalah singkat, baik yang menggunakan bahasa Arab maupun salah satu bahasa daerah, selalu menggunakan huruf Arab, dan kebanyakan mereka tetap melakukannya sampai sekarang.
  Namun, sekarang ini garis pembagi antara kelompok modernis dan tradisionalis
  tidak lagi cukup tajam dan jelas, banyak antagonisme lama yang sudah
  menghilang. Kelompok modernis pada umumnya menjadi kurang radikal dalam hal
  penolakan mereka terhadap tradisi—secara mencolok sekarang terdapat beberapa
  pesantren Muhammadiyah yang menawarkan suatu kombinasi kurikulum tradisional
  (kitab kuning) dan kurikulum sekolah modern. Tidak hanya kebanyakan kiai
  tradisionalis yang menjadi semakin universal atau meluas bacaan mereka di satu
  pihak, tetapi banyak di antara mereka yang sekarang menulis dalam bahasa
  Indonesia di samping bahasa Arab, Melayu atau Jawa. Huruf Arab, walaupun masih
  merupakan tanda yang paling jelas dari orientasi tradisionalis, bukan lagi
  prasyarat untuk itu. Oleh karena itu saya tidak menerapkan kriteria huruf yang
  dipakai secara terlalu ketat, dan memasukkan ke dalam koleksi yang sedang kita
  bicarakan tersebut sejumlah karya berbahasa Indonesia (dalam huruf Latin) yang
  secara logis termasuk ke dalam tradisi kitab, baik yang merupakan penerjemah
  beranotasi terhadap, atau komentar atas, teks-teks klasik yang ditulis ulama
  tradisionalis.
 
Kriteria berhuruf Arab, di lain pihak, tidak
  dapat mencakup satu kategori yang justru sangat serupa dengan teks-teks yang
  sudah terkumpul. Ulama di Sulawesi Selatan (yang paling produktif di antaranya
  adalah Yunus Maratan dan Abdul Rahman Ambo Dalle) telah menulis teks-teks
  keagamaan dalam bahasa Bugis untuk digunakan di madrasah dan sekolah, tidak
  dengan huruf Arab sebagaimana yang telah dilakukan generasi ulama terdahulu
  melainkan dalam abjad Bugis. Kebanyakan dari karya-karya ini sudah terdapat di
  perpustakaan KITLV, sementara itu juga sudah terdapat beberapa bibliografinya
  (Departemen Agama 1981/1982, 1983/1984).
  Koleksi tersebut, karena beberapa alasan, tidak lengkap. Kebanyakan penerbit
  mempunyai fasilitas penggudangan yang sangat terbatas, dan hanya sebagian dari
  buku yang mereka terbitkan benar-benar tersedia di bagian penjualan mereka.
  Apabila sebuah kitab dicetak (ulang), hampir seluruh edisi tersebut langsung
  dikirim ke toko kitab di seluruh negeri. Hanya dengan banyak mengunjungi
  toko-toko buku dan secara sabar menelisik rak-rak bukunya, maka seseorang akan
  dapat memperoleh paling tidak kebanyakan karya-karya cukup penting dari
  beberapa penerbit penting. Sebenarnya semua karya yang disebutkan dalam
  berbagai sumber yang telah diterbitkan, atau beberapa percakapan, sudah
  diperoleh dan dimasukkan dalam koleksi tersebut, beberapa di antaranya bahkan
  terdapat dalam beberapa edisi, dalam berbagai terjemahan, atau dengan ulasan
  yang berbeda-beda. Tetapi beberapa karya yang kurang penting sudah tidak
  dicetak lagi dan tidak diperjualbelikan di semua toko yang dikunjungi.
Lebih
  dari itu, ada beberapa penerbit lokal kecil yang menerbitkan karya-karya yang
  tidak begitu penting, yang seringkali ditulis oleh ulama lokal. Tidak sedikit
  karya-karya semacam ini yang termasuk dalam koleksi tersebut, tetapi sangat
  mungkin banyak karya lain yang terabaikan. Namun disamping berbagai
  keterbatasan ini, koleksi tersebut menghadirkan contoh yang cukup
  representatif mewakili seluruh bahan-bahan pelajaran yang dipakai di pesantren
  dan madrasah di Indonesia (dan Malaysia), dan juga karya-karya yang dihasilkan
  oleh ulama Indonesia.
 
Statistik
Dari sekitar
  sembilan ratus karya yang berbeda-beda, hampir lima ratus atau lebih dari
  separuh, ditulis atau diterjemahkan oleh ulama Asia Tenggara. Kebanyakan para
  ulama ini menulis dalam bahasa Arab: hampir seratus judul, atau sekitar
  sepuluh persen, merupakan karya-karya berbahasa Arab oleh orang-orang Asia
  Tenggara (atau orang-orang Arab yang menetap di wilayah tersebut). Semua
  buku-buku berbahasa Indonesia, tentu saja, ditulis orang Asia Tenggara
  (termasuk yang keturunan Arab). Jika kita menghitung kitab terjemahan sebagai
  karya terpisah, koleksi tersebut dapat dikatakan berisi:
sekitar
  500 karya dalam bahasa Arab, atau    55%
sekitar 200 karya
  dalam bahasa Melayu, atau    22%
sekitar 120 karya dalam
  bahasa Jawa, atau    13%
sekitar 35 karya dalam bahasa
  Sunda, atau    4%
sekitar 25 karya dalam bahasa Madura,
  atau    2,5%
sekitar 20 karya dalam bahasa Indonesia,
  atau    2%
5 karya dalam bahasa Aceh   
  0,5%
Karya-karya ini dapat secara kasar diklasifikasikan ke dalam
  beberapa kategori pokok pembahasannya. Kategori-kategori utamanya adalah:
Fiqih   
  20%
Doktrin (akidah, ushuluddin)    17%
Tata bahasa
  Arab tradisional (nahu, sharaf, balaghah)    12%
Kumpulan
  hadis    8%
Tasawuf dan tarekat    7%
Akhlak   
  6%
Kumpulan doa, wirid, mujarrabat    5%
Qishash
  Al-Anbiya, maulid, manaqib, dan sejenisnya    6%
Telah
  terjadi beberapa perubahan penting dalam isi kurikulum pesantren, yang hanya
  sebagian tercermin dalam tabel di atas. Seabad yang lalu, Al-Quran dan hadis
  sangat jarang dipelajari secara langsung, tetapi dalam bentuk yang sudah
  “diolah” dalam karya-karya skolastik mengenai fiqih dan akidah. Menurut Van
  den Berg, hanya satu kitab tafsir, Jalalain, yang dipelajari di pesantren, dan
  tidak ada kumpulan hadis sama sekali. Dalam hal ini, suatu perubahan penting
  telah terjadi sejak abad yang lalu. Terdapat tidak kurang dari sepuluh kitab
  tafsir Al-Quran (berbahasa Arab, Melayu, Jawa, dan Indonesia) dalam koleksi
  kami, di samping beberapa terjemahan langsung (yang juga disebut tafsir) dalam
  bahasa Jawa dan Sunda. Jumlah kitab kumpulan hadis bahkan lebih mengesankan.
  Hampir tidak ada pesantren sekarang ini yang tidak mengajarkan hadis sebagai
  mata pelajaran tersendiri. Meskipun demikian, penekanan utama dalam pengajaran
  adalah dalam bidang fiqih, ilmu keislaman par excellence. Tidak ada perubahan
  yang mencolok dalam hal kitab-kitab fiqih yang diajarkan, tetapi disiplin
  ushul fiqh telah ditambahkan ke dalam kurikulum banyak pesantren, sehingga
  memungkinkan berkembangnya pandangan fiqih yang lebih dinamis dan luwes.
Kategori
  kiab kuning ini dan kategori-kategori lainnya akan dibicarakan secara lebih
  terperinci dalam bagian kedua tulisan ini, di mana sebagian dari buku yang
  paling populer disebutkan satu per satu. Tetapi terlebih dahulu beberapa
  pengamatan akan dilakukan terhadap penerbitan kitab dan para pengarang
  terkemuka.
Penerbitan Kitab Kuning di Nusantara
Buku-buku cetakan merupakan barang yang relatif baru di dunia
  pesantren. Pada masaVan Den Berg, kebanyakan kitab di pesantren masih dalam
  bentuk naskah tulisan tangan yang disalin oleh santri. Tetapi pada periode ini
  pulalah buku-buku cetakan dari Timur Tengah mulai masuk ke Indonesia dalam
  jumlah yang cukup besar, sebagai salah satu efek samping dari bertambahnya
  orang yang menunaikan ibadah haji (karena digunakannya kapal uap). Pada saat
  itu, sudah satu abad dilakukan pencetakan buku di Timur Tengah, tetapi yang
  secara khusus berkaitan dengan orang Indonesia adalah didirikannya sebuah
  penerbitan pemerintah di Makkah pada tahun 1884, yang tidak hanya mencetak
  kitab-kitab
 
berbahasa Arab tetapi juga berbahasa Melayu.
  Penerbitan kitab berbahasa Melayu ini dijalankan di bawah pengawasan Ahmad
b.
  Muhammad Zain Al-Patani seorang ulama yang alim dan juga mengarang beberapa
  risalah yang diterbitkan,4 (koleksi KITLV menyimpan tujuh judul di antaranya
  yang dicetak ulang baru- baru ini). Koleksi judulnya agak mengandung bias
  mengikuti buku-buku yang ditulis oleh ulama sedaerahnya. Berkat jasa Syaikh
  Ahmad Al-Patani inilah banyak karya Daud b. ‘Abdallah Al-Patani dan Muhammad
  b. Ismail Daud Al-Patani masih terdapat secara luas, dicetak ulang dari edisi
  aslinya. Dalam cetakan ulang, nama penerbit aslinya telah digantikan, tetapi
  kebanyakan karya yang pada awalnya diterbitkan oleh Ahmad b. Zain masih dapat
  dikenali melalui bait-bait sajak yang dia tulis dan dicetak sebagai cara
  pengenalan pada halaman judul.5
Ini bukanlah penerbitan Melayu yang
  paling awal, walaupun ia merupakan penerbitan yang terpenting. Zain Al-Din
  Al-Sumbawi, ulama “Jawa” (Nusantara) lainnya yang menetap di Makkah, bahkan
  mencetakkan risalah singkat pada tahun 1876 (Snouck Hurgronje 1889: 385), dan
  beberapa karya Da’ud ‘Abdullah Al- Patani dicetak di Bombay juga sebelum tahun
  1880. Bombay juga merupakan sumber-sumber penting Al-Quran cetakan yang masuk
  ke Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20.6 Langkah
  menerbitkan kitab berbahasa Melayu yang dirintis percetakan Makkah segera
  diikuti oleh para penerbit di Istanbul dan Kairo. Khususnya, Mushthafa Al-Babi
  Al-Halabi dari Kairo yang, dalam waktu-waktu selanjutnya, menerbitkan banyak
  kitab Melayu. Dua kajian yang baru-baru ini dilakukan oleh Mohd. Nor bin Ngah
  (1980, 1983) membahas sampel yang agak mewakili dari kitab Melayu dan
  pandangan dunia yang tercermin di dalamnya.
Berbagai aktivitas penerbitan
  di Timur Tengah ini, dan juga rintisan yang dilakukan percetakan Inggris dan
  Belanda,7 juga merangsang upaya-upaya penerbitan Islam di Nusantara. Salah
  seorang pelopornya adalah Sayyid Usman dari Batavia, orang Arab yang sangat
  produktif yang menjadi “sekutu pemerintah Hindia Belanda”. Banyak di antara
  karya singkatnya yang masih dipelajari sampai sekarang, teruatama di kalangan
  orang Betawi dan Sunda. Dia mencetak versi awal dari karyanya yang berjudul
 
Al-Qawanin
  Al-Syar’iyyah pada 1881. Pada 1886, paling tidak empat risalah kecil lain yang
  ditulisnya disebutkan. Dan masih banyak lagi setelah itu.8
Sayyid Usman
  pun bukanlah penerbit Islam pertama di Hindia. Kehormatan sebagai penerbit
  pertama ini mungkin harus diberikan kepada Kemas Haji Muhammad Azhari dari
  Palembang, yang pada tahun 1854 mencetak Al-Quran pertama, dengan kaligrafi
  yang dibuatnya sendiri. Dia telah membeli percetakan di Singapura beberapa
  tahun sebelumnya, dalam perjalanan kembalinya dari ibadah haji, dan belajar
  sendiri bagaimana cara mengoperasikannya. Al-Quran yang
  diterbitkannya—di  mana dia menulis pendahuluan berbahasa Melayu setebal
  14 halaman untuk menjelaskan tentang pelafalan dan cara membacanya—
  diperjualbelikan secara luas.9
Demikian juga di Singapura, di sana konon
  pernah ada percetakan yang kadang-kadang mencetak buku dalam bahasa Melayu
  pada waktu itu, tetapi sedikit sekali yang diketahui tentang hal itu. Pada
  tahun l880an dan l890an, ada beberapa percetakan yang menerbitkan surat kabar
  berbahasa Melayu dan kadang-kadang buku, tetapi tetap saja tidak jelas apakah
  mereka menerbitkan lebih dari satu atau dua risalah keagamaan yang singkat
  (lihat Roff 1980 :44-5; Hamidy 1983; Proudfoot 1986). Pada 1894, raja muda
  Riau, Muhammad yusuf. mendirikan percetakan, Mathba’ah Al-Ahmadiyyah, di pulau
  Penyengat, yang pada tahun- tahun berikutnya mencetak beberapa risalah
  keagamaan yang dikarang oleh Syaikh tarekat Naqsyabandiyah pada waktu itu,
  Muhammad Shalih Al-Zawawi, pembimbing spiritual Muhammad Yusuf dan anggota
  keluarganya (Hamidy 1983: 69; Abdullah 1985b: 3; tentang Zawawi, lihat Snouck
  Hurgronje 1889: 253).
Permulaan yang menjanjikan ini ternyata tidak
  banyak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Banyak buku dan majalah
  diterbitkan di Nusantara pada paruh pertama abad ke-20, tetapi sangat sedikit
  di antaranya yang berwujud kitab (dalam pengertian yang luas sebagaimana
  didefinisikan di atas) dan hampir tidak terdapai kitab yang dapat disebut teks
  klasik. Sumatra Barat barangkali merupakan satu-satunya wilayah di mana cukup
  banyak kitab (karya ulama setempat) dicetak selama
 
dasawarsa-dasawarsa
  pertama abad ini. Sebagian di antaranya merupakan risalah singkat, dalam
  bahasa Melayu dan Arab, untuk bahan pelajaran madrasah baru waktu itu, yang
  dimaksudkan untuk menggantikan karya-karya klasik mengenai tata bahasaArab,
  akidah dan fiqih yang lebih sulit dipelajari. Beberapa di antaranya masih umum
  dipergunakan sampai sekarang.10  Selebihnya adalah tulisan-tulisan yang
  bercorak polemis, yang digunakan sebagai senjata dalam perdebatan keagamaan
  antara kaum muda dan kaum tua yang pada waktu itu berlangsung di Sumatra
  Barat.11 Di sini sebagaimana di tempat lain, kebanyakan kaum modernis, yang
  sampai saat ini lebih produktif, segera menulis dalam huruf Latin, yang
  membuat mereka semakin dekat dengan para nasionalis sekular tetapi memperkuat
  pemisahan sosial mereka dari kaum tua. Mereka memang menulis buku-buku teks
  keagamaan, tetapi dalam gaya dan isi yang sangat berbeda dengan kitab
  tradisional.
Baru setelah kemerdekaan Indonesia-lah kitab mulai dicetak
  dalam jumlah yang cukup banyak. Sebagaimana yang diingat kembali oleh beberapa
  penerbit penting sekarang,12 sebelum perang hanya ada beberapa penjual buku,
  tetapi tidak ada penerbit kitab dalam arti yang sebenarnya di Nusantara
  (penjual buku yang terbesar adalah Sulaiman Mar’i di Singapura, ‘Abdullah bin
  ‘Afif di Cirebon, dan Salim bin Sa’ad Nabhan di Surabaya, ketiganya adalah
  seorang Arab). Mereka sebenarnya memesan semua buku mereka—termasuk yang
  berbahasa Melayu—dari Mesir, dimana biaya produksinya lebih murah dibandingkan
  di Indonesia pada waktu itu. Ada satu perkecualian, yang hanya punya arti
  penting secara lokal saja: Patani Press (punya orang Melayu) dan juga Nahdi
  (punya orang Arab) di Thailand bagian selatan memulai pencetakan kitab Melayu
  untuk dijadikan bahan pelajaran di pondok Patani dan negara-negara perbatasan
  Melayu pada akhir tahun 1939-an.
Pada paruh pertama abad ini, daya beli
  (demand) orang Indonesia untuk buku-buku ini masih rendah, dan satu-satunya
  kitab yang menguntungkan secara ekonomi bagi penerbit hanyalah Al-Quran
  sendiri. Baik Mar’i maupun bin ‘Afif merintis usaha pertama untuk mencetaknya
  untuk kebutuhan setempat baru pada tahun 1930-an. Langkah mereka kemudian
  diikuti oleh
 
penerbit Al-Ma’arif Bandung, yang didirikan pada
  akhir tahun 1948 oleh Muhammad bin ‘Umar Bahartha, yang sebelumnya pernah
  menjadi pegawai ‘Abdullah bin ‘Afif. Pada pertengahan abad, Mar’i juga telah
  mencetak beberapa kitab kuning, salah satu karya yang banyak dikenal adalah
  karya adaptasi berbahasa Melayu dari Tafsir Jalalain yang dikarang oleh ‘Abd
  Al-Ra’uf Al-Fansuri (Al-Singkili), diterbitkan pada tahun 1951. Sepanjang
  tahun 1950-an, Al-Ma’arif melakukan hal yang serupa dengan memproduksi cetakan
  murah kitab yang lazim dipakai, hal yang sama juga dilakukan ‘Abdullah bin
  ‘Afif dan beberapa kerabat salim Nabhan. (Kitab yang lebih besar dan, dengan
  demikian, lebih mahal seperti karya Sayyid Bakri b. M. Syaththa, I’anah
  Al-Thalibin yang berjumlah empat jilid dan merupakan kompendium besar fiqih
  Syafi’iyah paling mutakhir baru mulai dicetak untuk kebutuhan setempat sejak
  tahun 1970-an dan seterusnya, yang mencerminkan terjadinya peningkatan
  kemakmuran di lingkungan santri). Pada dasawarsa 1960-an, penerbit Toha Putra
  Semarang juga ikut mengadu nasib di pasaran kitab. Lebih belakangan lagi,
  penerbit Menara Kudus ikut serta dalam kompetisi yang sama; ia merupakan
  penerbit non-Arab pertama untuk jenis kepustakaan kitab di Indonesia. Toha
  putra dan Menara telah menerbitkan sejumlah teks klasik yang disertai dengan
  terjemahan berbahasa Jawa atau Indonesia, di samping karya-karya asli para
  ulama Jawa. Pada tahun 1978, seorang mantan kompanyon Al-Ma’arif juga
  mendirikan penerbitan Al-Haramain di Singapura, yang hanya dalam beberapa
  tahun saja sudah memproduksi cukup banyak teks-teks Arab klasik, dan juga
  banyak kitab berbahasa Melayu dan bahkan beberapa karya berbahasa Sunda.
  Singapura tampaknya tidak lagi merupakan tempat yang menguntungkan untuk
  memenuhi kebutuhan pasar Asia Tenggara,13 sehingga Al-Haramain menghentikan
  usahanya beberapa tahun kemudian (walaupun bukunya masih dapat ditemukan di
  seluruh Nusantara pada tahun 1987), dan pemiliknya merintis usaha penerbitan
  baru, yang bernama Bungkul Indah, di Surabaya. Dalam hal jumlah judul buku,
  Al-Haramain dan penggantinya, Bungkul Indah, merupakan penerbit kitab yang
  paling besar; namun dalam hal volume penjualan buku mereka tertinggal jauh
  dari Al-Ma’arif. Penerbit baru lainnya yang banyak
 
menerbitkan
  buku (khusus yang berbahasa Arab) adalah Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah di
  Surabaya.14
Belum ada tanda-tanda terjadinya pemusatan yang kuat dalam
  penerbitan kitab kuning. Surabaya mempunyai penerbit dalam jumlah besar, yang
  paling terkemuka di antarannya, di samping yang sudah disebutkan di atas,
  adalah penerbit Sa’ad bin Nashir bin Nabhan dan Ahmad bin Sa’d Nabhan; sepuluh
  anggota keluarga yang sama juga menerbitkan kitab. Di daerah pantai utara
  pulau Jawa juga terdapat beberapa penerbit kitab, yakni (di samping yang sudah
  disebutkan) di Semarang (Al-Munawwarah), Pekalongan (Raja Murah), Cirebon
  (Mishriyyah, penerbitan lama yang didirikan oleh ‘Abdullah bin ‘Afif) dan
  Jakarta (Asy-Syafi’iyyah dan Ath-Thahiriyyah, yang merupakan milik pesantren
  Betawi besar yang menggunakan nama yang sama, dan menghasilkan buku-buku teks
  yang dipakai di sana di samping buku-buku sederhana oleh para pengarang yang
  sangat dikenal di kalangan masyarakat Betawi). Penerbit ‘Arafat di Bogor
  memproduksi, sebagian besar, karya-karya mengenai tata bahasa bahasa Arab
  (lebih dari dua puluh judul). Toko Kairo di Tasikmalaya, sebuah kota kecil di
  Jawa Barat, menerbitkan baik kitab klasik berbahasa Arab maupun kitab singkat
  yang berbahasa Sunda.
Di Sumatra, mengherankan, sekarang tidak terdapat
  penerbit kitab yang tergolong besar. Kebutuhan para peminat kitab di sini
  dilayani oleh para penerbit di Jawa, Singapura dan Malaysia. Penerbitan di
  Singapura, sebagaimana dikatakan di atas, sudah mengalami kemunduran. Demikian
  juga di Malaysia, pener- bitan kitab sedang mengalami kemunduran berbalikan
  dengan perkembangan penerbitan buku-buku  modern, di mana hasil terbitan
  negeri tersebut lebih unggul dibandingkan Negara tetangganya di sebelah
  tenggara. Di Georgetown (Pulau Pinang) masih terdapat tiga penerbit yang masih
  aktif, Dar Al-Ma’arif dan Nahdi adalah yang paling produktif di antaranya. Di
  Kota Bharu (Kelantan), Pustaka Aman Press sangat aktif, tetapi penerbit ini
  pada umumnya menerbitkan buku-buku modern berbahasa Melayu, bukan buku-buku
  klasik.15 Juga terdapatbeberapa penerbit di Patani (Thailand bagian selatan),
  yang tertua di antaranya, Patani Press mulai menerbitkan karya-karya para
  ulama Patani pada
 
akhir tahun 1930-an.16 Sekarang buku mereka
  tidak menyebar melampaui batas Patani dan negara-negara Melayu Perbatasan.
  Salah satu penerbit lain di sini, Nahdi, sudah banyak mengalihkan berbagai
  aktivitasnya ke Penang, tempat di mana iklim politiknya lebih memungkinkan
  bagi penerbitan buku-buku Islam, dan distribusi buku pun lebih luas
  jangkauannya.
Di samping penerbit yang sudah disebutkan di atas, ada
  sejumlah penerbit lokal kecil yang menghasilkan risalah-risalah singkat,
  brosur-brosur dan buku-buku keagamaan untuk pasaran setempat yang terbatas.
Kebanyakan
  buku yang dicetak oleh para penerbit di Asia Tenggara adalah cetakan ulang
  secara fotomekanis atas karya- karya yang sebelumnya sudah diterbitkan di
  Makkah dan Kairo sekitar pergantian abad. Bahkan masih banyak yang masih
  memakai nama penerbit aslinya pada halaman judulnya. Dalam kasus lain, nama
  ini telah digantikan dengan nama penerbit barunya. Sementara itu, pencetakan
  ulang secara tak berbatas terus berlangsung. Demikianlah bisa terjadi sebuah
  buku yang aslinya diterbitkan oleh Mushthafa Al-Babi Al-Halabi Kairo akan
  muncul dengan nama penerbit yang paling baru, Bungkul Indah, di sampulnya dan
  nama penerbit yang terdahulu, Al- Ma’arif, pada halaman judul, Sejumlah
  cetakan murah dari buku- buku Mesir atau Lebanon yang lebih baru dapat
  dibedakan dari aslinya hanya dari kualitas kertas dan penjilidannya—sebuah
  mimpi buruk bagi ahli bibliografi. Demikianlah, Bungkul Indah baru-baru ini
  menerbitkan serangkaian karya modern yang masih mencantumkan nama penerbit
  Beirut, Dar Al-Tsaqafah, di sampul dan halaman judulnya.
Format
  Umum Kitab Kuning
Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di
  pesantren adalah kitab komentar (syarh, Indonesia/Jawa: syarah) atau ko-
  mentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn, matan). Edisi
  cetakan dari karya-karya klasik ini biasanya me- nempatkan teks yang
  di-syarah-i atau di-hasyiah-i dicetak di tepi halamannya, sehingga keduanya
  dapat dipelajari sekaligus.
 
Barangkali inilah yang
  menyebabkan terjadi kekacauan tak di- sengaja dalam penyebutan di antara
  teks-teks yang berkaitan. Nama Taqrib, misalnya, dipakai baik untuk teks fiqih
  yang ring- kas dan sederhana yang memang demikianlah namanya mau- pun untuk
  kitab Fath Al-Qarib, kitab syarah yang lebih men- dalam atas teks tersebut.
  (Van den Berg, ternyata mempercayai kedua karya ini adalah sama). Jika
  seseorang menanyakan kitab Al-Mahalli, karya fiqih tingkat lanjut yang umum
  dikenal, dia akan diberi berjilid-jilid kitab hasyiyah atasnya yang disusun
  oleh Qalyubi dan ‘Umairah, yang menempatkan karya Mahalli yang berjudul Kanz
  Al-Raghibin yang lebih sederhana di tepi hala- mannya, hal yang sama juga
  terjadi pada kitab lainnya.
Kebanyakan buku buku teks dasar adalah
  manzhum, yakni ditulis dalam bentuk sajak-sajak berirama (nazhm), supaya mudah
  dihafal.17 Barangkali, karya manzhum yang paling panjang adalah kitab Alfiyah
  (sebuah teks tentang tata bahasa Arab, yang dinamakan demikian karena
  berjumlah seribu bait). Banyak generasi para santri yang telah, dengan cara
  mendendangkannya dengan sabar, berusaha menghafal seluruh karya, bersamaan
  dengan seluruh teks lainnya. Beberapa syarah atas kitab manzhum ini biasanya
  menyertakan bait aslinya dalam teks (prosa) syarah-nya, dan bukan menempatkan
  bait bait sajak tersebut secara tersendiri di tepi halaman.
Sebagian
  kecil dari terjemahan (berbahasa Jawa, Madura dan Sunda) hanya berisi
  terjemahan sela baris yang ditulis mencong, dengan tulisan lebih kecil, di
  bawah setiap kata teks Arabnya yang dicetak tebal, dan karena itu dijuluki
  jenggotan.18 Namun, seringkali ada tambahan terjemahan dan atau komentar yang
  lebih bebas yang biasanya dicetak di paruh bawah halaman tersebut. Terjemahan
  berbahasa Melayu kadang-kadang mengikuti pola yang berbeda: teks berbahasa
  Arab dipotong-potong menjadi kalimat-kalimat pendek, yang masing-masingnya
  kemudian diikuti dengan terjemahan bahasa Melayu yang lebih harfiyah yang
  diletakkan di antara tanda kurung. Tetapi lebih sering terjadi terjemahan
  dan/atau syarah berbahasa Melayu dicetak secara terpisah, tanpa menyertakan
  teks Arabnya.
 
Format kitab klasik yang paling umum dipakai di
  pesantren sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.
  Lembaran-lembaran (koras-koras) tak terjilid dibungkus kulit sampul, sehingga
  para santri dapat membawa hanya satu halaman yang kebetulan sedang dipelajari
  saja. Ini adalah karakteristik fisik lain yang umumnya mengandung makna
  simbolik: ia membuat kitab tersebut tampak lebih klasik. Kitab yang ditulis
  oleh para pengarang modern, penerjemah atau pensyarah modern tidak
  pernah  dibuat  mengikuti  format ini. Banyak pemakai 
  kitab klasik yang sangat mengkaitkan karakteristik ini dengan kitab klasik,
  dan penerbit mengikuti saja selera konsumennya. Sebagian penerbit bahkan
  mencetak kitab di atas kertas berwarna kuning (yang diproduksi khusus untuk
  mereka oleh beberapa perusahaan Indonesia) karena tampaknya kitab berwarna
  kuning ini juga menjadi lebih klasik di pikiran para pemakainya.
Para
  Pengarang Kitab yang Terkenal
Sebagaimana dapat diduga, tidak ada
  perubahan yang besar dalam hal popularitas para kitab pengarang klasik
  dibandingkan dengan abad yang lalu. Sebenarnya semua kitab yang disebut Van
  den Berg masih terdapat di Indonesia, dalam bentuk cetakan ulangnya yang
  dibuat baru-baru ini. Tetapi ada peningkatan yang dapat dicatat dalam hal
  kitab-kitab syarah yang relatif baru atas karya-karya tersebut. Ada beberapa
  penga- rang yang menonjol dalam hal ini, karena sejumlah karya yang mereka
  tulis tersedia secara luas dan pada umumnya sudah masuk ke dalam kurikulum
  pesantren. Yang paling terkenal di antaranya dihasilkan di Makkah pada akhir
  abad ke-19.
Ahmad b. Zaini Dahlan, mufti Syafi`iyyah di Makkah ketika
  Snouck Hurgronje menetap di sana, diwakili dengan tujuh karyanya dalam koleksi
  ini, dan orang sezamannya yang lebih muda, Sayyid Bakri b. Muhammad Syaththa’
  Al Dimyati, dengan empat kitab, yang sangat banyak dipelajari.19 Namun
  pengarang yang paling dikenal di mana-mana adalah seorang ulama Indonesia,
  Muhammad bin ‘Umar Nawawi Al-Jawi Al-
 
Bantani (Nawawi
  Banten), yang dua puluh dua judul kitab karangannya termasuk dalam koleksi
  tersebut, semuanya dalam bahasa Arab.20 Sebelas di antaranya termasuk dalam
  daftar kitab yang paling sering digunakan (di bawah)—ternyata, buku- bukunya
  juga lebih banyak yang termasuk ke dalam seratus buku yang paling terkenal
  dibandingkan dengan buku karangan para penulis lainnya. Nawawi sudah menulis
  mengenai semua aspek ilmu keislaman. Kebanyakan karyanya adalah syarah atas
  teks-teks terkenal, dengan menjelaskannya dengan cara pengungkapan yang mudah
  dipahami. Dia barangkali paling tepat digambarkan sebagai seorang yang
  memperkenalkan secara luas, daripada memberikan sumbangan baru kepada, wacana
  keilmuan Islam.
Pensyarah lain, yang dapat disejajarkan dengan Nawawi
  Banten dalam hal ruang lingkup dan popularitasnya, adalah pengarang Mesir yang
  hidup lebih awal, Ibrahim Al-Bajuri (atau Baijuri, w. 1277/1861),21 yang
  beberapa karyanya sudah dipelajari secara luas pada masa Van den Berg. Di
  pasaran terdapat enam karya yang ditulisnya, tentang fiqih, akidah dan
  logika.
Di samping Nawawi, beberapa pengarang Asia Tenggara lainnya
  mendapat tempat yang tak tergoyahkan di dalam kurikulum pesantren atau
  madrasah. Salah seorang yang lebih awal dan pengarang yang sangat produktif
  adalah Da’ud b. ‘Abdullah Al-Patani (w. kira- kira 1845) yang tadi sudah
  disebut, yang juga menulis tentang berbagai ragam pokok bahasan yang luas, dan
  selalu dalam bahasa Melayu.22 Saya menemukan empat belas karyanya dalam bentuk
  cetakan ulang yang diterbitkan baru-baru ini. Karya-karyanya tersebut banyak
  dipelajari di Patani, Malaysia dan beberapa wilayah Sumatra. Karya-karya
  penting orang sezamannya, Muhammad Arsyad Al-Banjari dan ‘Abd Al-Shamad
  Al-Palimbani, (yang juga menulis dalam bahasa Melayu) juga terus-menerus
  mengalami cetak ulang. Pengarang karya berbahasa Melayu lain yang sampai
  sekarang masih populer adalah Sayyid Usman (‘Utsman bin ‘Abdullah b. ‘Aqil
b.
  Yahya Al-‘Alawi) yang juga sudah disebut di atas.
 
Salah
  seorang pengarang Jawa terkemuka pada akhir abad ke-19 adalah Saleh Darat
  (Shalih b. ‘Umar Al-Samarani,
w. 1321/1903). Dia menulis beberapa kitab
  syarah (dalam bahasa Jawa) atas beberapa karya penting dalam bidang fiqih,
  akidah dan tasawuf.23 K.H. Mahfudz dari Termas (Mahfuzh bin ‘Abdullah
  Al-Tarmasi), yang hidup dan mengajar di Makkah sekitar pergantian abad (w.
  1919), menulis beberapa karya yang sangat mendalam (dalam bahasa Arab)
  mengenai fiqih dan ilmu hadis.24 Ulama lain yang sangat dihormati adalah
  almarhum K.H. Ihsan b. Muhammad Dahlan dari Jampes, Kediri, yang menulis
  (dalam bahasa Arab) kitab syarah yang banyak dikagumi atas karya Al-Ghazali,
  Minhaj Al- ‘Abidin, yang berjudul Siraj Al-Thalibin. Nama semua pengarang ini
  (kecuali Kiai Mahfudz) tertera dalam daftar kitab yang paling populer di
  bawah.
Seorang pengarang Jawa yang lebih belakangan, dan sangat produktif
  adalah K.H. Bisri Mustofa dari Rembang (Bisyri Mushthafa Al-Rambani), yang
  dalam koleksi ini diwakili dengan lebih dari dua puluh karya, termasuk sebuah
  karya tafsir yang berjumlah tiga jilid (yang lebih merupakan terjemahan dari
  penafsiran atas Al-Quran). Misbah b. Zain Al-Mustafa dari Bangilan, Ahmad
  Subki Masyhadi dari Pekalongan dan Asrori Ahmad dari Wonosari menerjemahkan
  beberapa teks klasik ke dalam bahasa Jawa; yang pertama bahkan menulis karya
  tafsir yang berjilid-jilid dalam bahasa Jawa. Pengarang Jawa lainnya yang
  produktif adalah Kiai Muslikh dari Mranggen (Mushlih b. ‘Abd Al-Rahman
  Al-Maraqi, w. 1981), yang menulis berbagai risalah tentang tarekatnya,
  Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya, dan
  Ahmad ‘Abd Al-Hamid Al-Qandali dari Kendal yang menulis berbagai risalah
  tentang akidah dan kewajiban agama serta teks-teks yang lebih berkaitan dengan
  berbagai masalah praktis (metode dakwah dan masalah-masalah NU).
Pada
  abad ke-19, pesantren di Madura dan Jawa Barat tidak menggunakan bahasa
  wilayah mereka sendiri tetapi bahasa Jawa sebagai medium: kalaupun teks-teks
  Arab diterjemahkan, terjemahan ini ke dalam bahasa Jawa. Hal ini
 
juga
  telah mengalami perubahan, dan sekarang juga terdapat kitab kuning dalam
  bahasa Madura dan Sunda. Abd Al-Majid Tamim dari Pamekasan menerjemahkan lebih
  dari sepuluh buku ke dalam bahasa Madura, yang mencakup hampir semua cabang
  ilmu agama. Sekarang terdapat lebih banyak jumlah kitab dalam bahasa Sunda dan
  sebagian besar di antaranya adalah karya asli, bukan karya terjemahan. Tiga
  pengarang Sunda yang menonjol dalam koleksi tersebut: Ahmad Sanusi dari
  Sukabumi (pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah, yang bergabung ke
  dalam Persatuan Ummat Islam pada tahun 1952) menulis sebuah terjemahan/tafsir
  Al-Quran, Rd. Ma’mun Nawawi b. Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah
  singkat, dan ulama besar dan penyair ‘Abdullah b. Nuh dari Bogor yang menulis
  karya-karya tentang ajaran-ajaran Sufi, yang didasarkan atas pandangan
  Al-Ghazali. Di samping buku-buku mereka, ada beberapa risalah singkat dalam
  bahasa Sunda yang ditulis sebagai pelajaran tingkat dasar, yang diterbitkan
  toko bu- ku Toko Kairo di Tasikmalaya.
Dari para pengarang Minangkabau,
  yang polemik mereka pada awal abad ini telah menarik cukup perhatian
  (Schrieke, 1921), karya cetakan mereka hampir tidak ditemukan lagi. Bahkan
  karya Ahmad Khatib yang sangat berpengaruh pun tampaknya hampir tidak dibaca
  lagi; hanya dua dari karyanya yang ditemukan dalam bentuk cetakan, dan juga
  pada umumnya tidak dapat ditemukan di toko buku. Namun dua pengarang
  Minangkabau lainnya, MahmudYunus dan Abdul Hamid Hakim, termasuk dalam seratus
  pengarang paling populer, dan terwakili dengan baik dalam koleksi tersebut.
  Keduanya telah menulis sejumlah buku teks, dalam bahasa Melayu dan Arab, untuk
  dijadikan bahan pelajaran di madrasah dan, beberapa di antaranya dipelajari
  secara luas, juga di pesantren.25
Seratus Terpopuler dalam
  Kepustakaan Pesantren
Koleksi kitab yang saya kumpulkan dan letakkan di
  KITLV sampai saat ini merupakan tinjauan yang paling lengkap mengenai
  kepustakaan yang dipelajari di dalam dan di seputar pesantren
 
dan
  madrasah. Tetapi ia, tentu saja, tidak dapat dengan sendirinya menunjukkan
  kepada kita karya-karya mana yang paling sering dipakai, pada tingkat apa, dan
  di mana. Kurikulum madrasah, khususnya yang dimiliki atau disubsidi oleh
  pemerintah, sudah agak terstandardisasikan dan tidak begitu berorientasi
  kepada karya-karya klasik sebagaimana  orientasi  pesantren. 
  Koleksi ini mencakup cukup banyak Buku modern yang ditulis untuk madrasah di
  Mesir, yang juga dipelajari di lembaga-lembaga serupa di Indonesia, di samping
  buku-buku yang secara khusus di tulis oleh pengarang Indonesia sendiri, dalam
  bahasa Arab yang sederhana.
Pesantren berbeda dengan madrasah dalam hal,
  di sampin beberapa hal lainnya, tidak adanya keseragaman dalam kuri- kulum.26
  Banyak kiai yang mengkhususkan diri menekuni salah satu cabang ilmu, atau
  bahkan salah satu kitab tertentu (lihat Zarkasyi 1985 untuk beberapa contoh).
  Karena alasan ini pula, banyak para santri yang berpindah dari satu pesantren
  ke pesantren lainnya untuk belajar sejumlah kitab tertentu secara menyeluruh.
  Tidak ada satu pesantren pun yang memberikan kurikulum yang “mewakili” semua
  dengan dirinya sendiri. Kita harus mengambil beberapa pesantren sekaligus
  untuk dapat memastikan dengan karya-karya apa sajakah yang dipelajari
  rata-rata santri selama masa belajarnya di pesantren.
Saya mendapatkan
  kesan kuat (berdasarkan apa yang telah saya temukan melalui kitab-kitab yang
  tersedia di toko kitab di berbagai wilayah) bahwa kurikulum rata-rata
  pesantren di Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung Malaya masih berbeda dalam
  kadar tertentu dari kurikulum yang ada di pesantren Jawa. Kitab yang aslinya
  ditulis dalam bahasa Melayu, yang dikarang oleh ulama seperti M. Arsyad
  Al-Banjari, Daud bin ‘Abdullah Al- Patani dan ‘Abd Al-Shamad Al-Palimbani,
  sejak lama, dan dalam kadar tertentu sampai sekarang, didahulukan dipelajari
  daripada karya-karya klasik berbahasa Arab dan kitab-kitab syarahnya yang
  ditulis pada abad ke-19 yang merupakan bagian utama dari kurikulum pesantren
  Jawa. Meskipun demikian, pemapanan pondok pesantren di seluruh Sumatra dan
  Kalimantan, sejak tahun 1920-an dan seterusnya, dengan mengikuti model
  pesantren
 
Jawa dan madrasah ala Sumatra Barat, secara
  bertahap telah mengakibatkan penggantian kitab-kitab Melayu tersebut dengan
  karya-karya standar yang berbahasa Arab.
Studi Van den Berg (1886),
  walaupun sudah lama, masih merupakan survei paling terperinci mengenai
  kitab-kitab yang umum dipelajari di pesantren Jawa.27 Ada beberapa survei
  belakangan yang mengaku sebagai survei yang representatif,28 tetapi masih jauh
  dari memuaskan. Dalam kenyataannya, kita belajar lebih banyak dari otobiografi
  anek-dotik, seperti otobiografi
K.H. Saifuddin Zuhri (orang NU yang
  menjadi Menteri Agama pada masa Demokrasi Terpimpin), yang secara selintas
  menyebutkan kitab-kitab yang dibacanya atau dibacakan untuknya di pesantren,
  tentang cara yang dipakai untuk mempelajarinya dan dampaknya terhadap dirinya
  sendiri (Zuhri 1974: khususnya hlm. 30-34, 1987: 30-32, 95-105, 120-130).
  Tetapi sekarang ada sejumlah cukup besar monografi tentang pesantren tertentu,
  yang kebanyakan memuat daftar tentang kitab-kitab yang dipelajari di sana.29
  Daftar-daftar ini, yang dikumpulkan oleh peneliti yang berbeda, berbeda satu
  dengan lainnya dalam hal panjang dan mutunya, dan tidak satupun di antaranya
  yang lengkap. Karya-karya yang paling terkenal jelas lebih diperhatikan,
  sehingga mengakibatkan terabaikannya kitab-kitab yang kurang masyhur yang juga
  dipelajari di pesantren. Namun, kalau dikaji semuanya monografi- monografi
  tersebut memberikan indikasi yang bisa dimengerti tentang kitab yang paling
  banyak dipelajari sekarang. Saya telah menambahkan atas monografi-monografi
  tersebut sejumlah kecil daftar yang serupa, yang disusun oleh para peneliti
  Indonesia selama pelaksanaan proyek penelitian tentang ulama Indonesia belum
  lama berselang,30 dan dengan demikian data yang telah terkumpul tentang
  sejumlah 42 pesantren, yang 18 di antaranya terletak di Jawa Timur, 12 di Jawa
  Tengah, dan 9 di Jawa Barat, 3 di Kalimantan Selatan. Saya juga telah
  menambahkan sejumlah data tentang Sumatra, walaupun yang terakhir ini tidak
  benar- benar dapat dibandingkan karena tidak berhubungan dengan pesantren
  tertentu tetapi dengan empat pesantren “rata- rata”. Data ini berasal dari dua
  daftar gabungan tentang kitab- kitab yang dipakai di pesantren dan oleh ulama
  tradisional di Riau
 
dan Palembang; kurikulum rata-rata
  madrasah yang berafiliasi dengan Perti di Sumatra Barat; dan kurikulum suatu
  surau kolot di Pariaman, Sumatra Barat.31 Jumlah pesantren Kalimantan yang
  datanya dikumpulkan, sayang sekali, terlalu sedikit untuk dapat dianggap
  mewakili. Namun data tersebut meneguhkan kesan umum bahwa pesantren orang
  Banjar masih berpola pesantren gaya lama.32 Kolom Sumatra dan Kalimantan dalam
  tabel-tabel di halaman setelah ini memberikan beberapa indikasi—tetapi tidak
  lebih dari indikasi—mengenai perbedaan kecil tetapi sistematik dalam
  kurikulumnya dengan pesantren di Jawa. Perbedaan antara pesantren Jawa dan
  Sunda di pulau Jawa, karena tersedianya data yang lebih lengkap, memberikan
  gambaran yang lebih jelas.
Saya sudah menyatukan teks-teks (matan) dan
  syarah- syarah tanpa judul tentangnya; hanya syarah-syarah yang umum dikenal
  dengan judul yang berbeda yang disebutkan secara terpisah. Walaupun demikian,
  jumlah keseluruhan teks yang disebutkan sudah lebih dari 350 buah; tabel di
  bawah hanya mengurutkan teks-teks yang paling sering dipakai, yang
  dikelompokkan menurut pokok bahasannya. Di dalam masing- masing tabel, karya
  karya yang secara geneologis berhubungan (yaitu karya yang didasarkan atas
  teks asli yang sama) dikelompokkan menjadi satu; sebaliknya judul judul
  diurutkan secara kasar menurut tingkatan popularitasnya, bukan menurut jenjang
  yang menentukan pada tingkat mana teks-teks tersebut dipelajari. Untuk urutan
  mengenai masalah yang terakhir ini secara kasar ditunjukkan dengan catatan
  pada kolom terakhir tentang tingkat pendidikan mana buku-buku tersebut
  biasanya dipelajari. Istilah ibtida’iyah, tsanawiyah dan ‘aliyah (tingkat
  dasar, menengah, dan atas) adalah nama yang dipakai untuk menyebut tiga
  tingkatan pendidikan madrasah (yang masing- masing tiga tahun) dan tidak
  selalu tepat untuk menggambarkan pendidikan pesantren tradisional. Kata
  khawash (orang yang khusus) menunjukkan tingkat pendidikan yang lebih
  tinggi.
Tabel-tabel tersebut menyebutkan judul-judul kitab dengan nama
  pendeknya yang umum dipakai, yang ditransliterasikan menurut cara yang lazim
  dipakai dalam bahasa Indonesia.
 
Ilmu-ilmu Alat (Lihat Tabel
  I)
Ilmu-ilmu alat/bantu pada dasarnya mencakup berbagai cabang tata
  bahasa bahasa Arab tradisional: nahwu (sintaksis), sharaf (infleksi), balaghah
  (retorika), dan seterusnya. Terdapat buku-buku teks tentang ilmu-ilmu ini
  dalam jumlah dan ragamnya yang membingungkan yang membicarakan tentang
  ilmu-ilmu alat ini. Dalam hal ini, seluruh koleksi kami  dan daftar judul
  buku-buku yang paling populer dapat dibanding- kan tidak hanya dengan daftar
  yang dibuat Van den Berg, tetapi juga dengan daftar naskah-naskah teks tata
  bahasa yang terdapat di perpustakaan Jakarta dan Leiden yang disusun oleh
  Drewes (1971). Walaupun  Drewes menyebutkan lebih banyak  judul
  daripada daftar yang diberikan Van den Berg, daftar yang terakhir ini ternyata
  lebih banyak kedekatannya dengan daftar yang kami susun.33 Ini merupakan
  indikasi lain yang menunjukkan bahwa koleksi-koleksi naskah tersebut jelas
  tidak mewakili buku-buku yang betul-betul digunakan dan bahwa orang harus
  berhati- hati apabila menarik kesimpulan atas dasar koleksi-koleksi ini
  semata.
Tabel I
Tata Bahasa Arab, Tajwid, Logika
Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
| 
 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| Mutammimah | 0 | 1 | 5 | 0 | 7 | 13 | Tsanawiyah | 
| Asymawi | 0 | 0 | 1 | 0 | 2 | 3 | 
 | 
| Alfiyah | 0 | 0 | 8 | 11 | 11 | 30 | ‘Aliyah | 
| Ibnu Aqil | 1 | 0 | 0 | 3 | 10 | 14 | ‘Aliyah | 
| Dahlan Alfiyah | 0 | 0 | 1 | 0 | 3 | 4 | ‘Aliyah | 
| Qathrun Nada | 3 | 1 | 0 | 0 | 0 | 4 | Tsanawiyah | 
| Awamil | 1 | 0 | 1 | 1 | 1 | 4 Ibtida’iyah/ Tsanawiyah | |
| Qawaidul Irab | 0 | 0 | 0 | 1 | 2 | 3 Tsanawiyah | |
| Nahwu Wahdhih | 0 | 0 | 0 | 2 | 3 | 5 Tsanawiyah | |
| Qawaidul Lughat | 0 | 0 | 0 | 2 | 2 | 4 | |
| balaghah Jauharul Maknum | 
 
 2 | 
 
 0 | 
 
 4 | 
 
 5 | 
 
 7 | 
 
 18 ‘Aliyah | |
| Uqudul Juman | 0 | 0 | 3 | 0 | 4 | 7 ‘Aliyah | |
| tajwid Tuhfatul Athfal | 
 
 0 | 
 
 0 | 
 
 1 | 
 
 1 | 
 
 4 | 
 
 6 Tsanawiyah | |
| Hidayatus Shiban | 0 | 0 | 0 | 1 | 4 | 5 Tsanawiyah | |
| manthiq Sullamul Munauraq | 
 
 1 | 
 
 0 | 
 
 3 | 
 
 1 | 
 
 5 | 
 
 10 ‘Aliyah | |
| Idhahul Mubham | 2 | 0 | 1 | 1 | 3 | 7 ‘Aliyah | |
Dalam sistem tradisional, santri
  biasanya mulai dengan mempelajari pengetahuan dasar tentang sharaf, yang
  berarti bahwa dia harus berusaha menghafal tabel-tabel  pertama dari
  perubahan kata kerja dan kata benda. Karya yang paling sederhana dalam
  kategori ini adalah Bina (Al-Bina’ wa Al-Asas, karangan seorang Mulla
  Al-Danqari). Setelah menguasai teks ini, santri kemudian mempelajari Al-Izzi
  (Al-Tashrif li Al-‘Izzi karangan ‘Izzuddin Ibrahim Al-Zanjani, lihat GAL
  I:283; GAL SI:497)34 atau Al-Maqshud (Al-Maqshud fi Al- Sharf, sebuah karya
  anonim yang sering dianggap sebagai karya Abu Hanifah). Setelah melampaui
  tingkatan ini, santri akan beralih ke karya pertama tentang nahwu sebelum
  melanjutkan mempelajari karya sharaf yang lebih sulit (jika ia memang pernah
  sampai mencapai tingkat ini). Salah satu karya yang paling gampang
 
dan
  paling populer mengenai ilmu nahwu adalah ‘Awamil (Al- ‘Awamil Al-Mi’a,
  karangan ‘Abd Al-Qahir ibn ‘Abd Al-Rahman Al Jurjani, wafat 471 H), yang
  berisi sebuah daftar situasi yang menentukan harakat huruf akhir dari kata
  benda dan huruf-huruf hidup yang mengikuti konsonan akhir dari kata kerja.
  Setelah itu, santri dapat beranjak ke kitab Jurumiyah (Al-Muqaddimah
  Al-Ajurrumiyah, karangan Abu ‘Abdullah Muhammad b. Daud Al- Shanhaji b.
  Ajurrum, wafat pada 723 H.)
Kurikulum pendahuluan ini lazim berlaku di
  berbagai wilayah yang cukup  luas.  Teks-teks  yang 
  sama  dipelajari, menurut urutan ini, di madrasah-madrasah tradisional di
  Kurdistan (kecuali karya yang disebutkan terakhir, yang tidak dikenal di
  sana), di pesantren Jawa abad ke-19 dan di surau Sumatra Barat.35 Karya-karya
  yang sama juga masih digunakan, tetapi dengan perubahan-perubahan tertentu.
  Bina’ dan ‘Izzi adalah karya yang paling agak terabaikan dalam daftar
  tersebut, karena lebih mengutamakan karya-karya yang lebih serius, tetapi
  kedua karya tersebut tampaknya telah mempertahankan tempatnya lebih baik di
  Jawa Barat dan Sumatra daripada Jawa Tengah dan Timur. Sebuah karya baru yang
  bersifat pengantar (namun juga bersifat tradisional) yang sangat populer di
  pesantren Jawa adalah Amtsilah Tashrifiyah (Al-Amtsilah Al-Tashrifiyah li Al-
  Madaris Al-Salafiyah, yang berisi tabel infleksi), karya pengarang Jawa
  Muhammad Ma’shum bin ‘Ali dari Jombang. Teks-teks pengantar yang lain juga
  banyak ditemukan.36 Pada tingkatan selanjutnya, kitab syarah yang ditulis oleh
  pengarang Mesir Muhammad ‘Ullaisy (w. 1881), Hall Al-Ma’qud Min Nazhm Al-
  Maqshud (lihat GALS II:738), dipelajari, sebagai pengganti, atau bersamaan
  dengan, Al-Maqshud. Ini biasanya diikuti dengan penjelasan yang panjang lebar
  tentang ‘Izzi, Kailani (yang diberi nama mengikuti nama pengarangnya, ‘Ali b.
  Hisyam Al- Kailani, yang tentang dirinya tidak ada informasi terperinci yang
  saya ketahui), yang sekarang merupakan kitab sharaf yang paling banyak
  dipakai.
Urutan mengkaji kitab nahwu biasanya sebagai berikut: setelah
  Jurumiyah, Imrithi (versi Jurumiyah dalam bentuk bait- bait sajak), dan
  kemudian lagi kitab syarah yang lebih mendetil,
 
Mutammimah,
  atau langsung ke Alfiyah, yang biasanya dengan dipelajari bersama-sama sebuah
  syarah-nya. Imrithi (Al-Durrah Al-Bahiyah, karangan Syaraf b. Yahya Al-Anshari
  Al-‘Imrithi), Mutammimah (dari Syams Al-Din Muhammad b. Muhammad Al-Ru’aini
  Al-Haththab), dan Alfiyah (dari Ibn Malik) dengan kitab syarahnya yang sangat
  terkenal Ibnu ‘Aqil (dinamakan demikian mengikuti nama pengarangnya, ‘Abdullah
  b. ‘Abd Al- Rahman Al-‘Aqil) yang sejak lama sudah umum dipakai, dan
  digambarkan oleh Van den Berg dan Drewes, bersama-sama dengan berbagai kitab
  syarah lainnya yang masih ada tetapi tampaknya kurang populer. Kitab yang
  tidak mereka sebutkan, tetapi sering ditemukan, adalah Asymawi, sebuah syarah
  atas Jurumiyah yang ditulis oleh seorang yang bernama ‘Abdallah
b.
  ‘Asymawi (tidak ada informasi yang lebih rinci tentangnya), sementara kitab
  syarah atas kitab Alfiyah, yang ditulis akhir abad ke-19, adalah karangan
  mufti madzhab Syafi’iyah di Makkah, Ahmad b. Zaini Dahlan, yang biasanya
  disebut Dahlan Alfiyah.
Qathran Nada’ [Wa Ball Al-Sada’], karangan Ibnu
  Hisyam37 (w.761/ 1360), yang sangat populer pada abad ke-19, juga masih banyak
  dipakai. Karya pengarang yang sama, Qawa’id Al-I’rab, dipakai terutama dalam
  bentuk terjemahan berbahasa Jawa yang disusun dalam bentuk bait sajak (oleh
  Yusuf bin Abdul Qadir Barnawi); juga, terdapat sebuah terjemahan bahasa
  Maduranya.
Dalam kadar tertentu, karya-karya klasik digantikan oleh
  bahan-bahan pelajaran yang lebih modern. Pada tahun 1921, Konsul Belanda di
  Jiddah, E. Gobee, mengamati bahwa di sekolah-sekolah pemerintah di Hijaz,
  kitab Alfiyah tidak lagi menjadi bagian dari kurikulum pelajaran bahasa,
  tetapi sudah digantikan dengan karya modern, Qawa’id Al-Lughah Al- ‘Arabiyyah,
  suatu serial buku teks karya pengarang Mesir, Hafni Bak Nashif dkk. (Gobée
  1921). Pada tahun 1930-an, buku-buku ini dipakai di madrasah-madrasah Sumatra
  Thawalib yang relatif modern di Sumatra Barat, bersama-sama dengan buku-buku
  teks karya pengarang Mesir pada waktu itu dan buku-buku yang ditulis oleh
  ulama setempat yang telah belajar di Mesir (lihatYunus 1979: 77). Buku-buku
  teks ini sekarang banyak
 
dipergunakan di madrasah dan
  sekolah-sekolah negeri untuk guru agama (PGA); jumlah pesantren yang mengikuti
  jejak serupa terus meningkat, sebagaimana tercermin dalam Tabel I.
Buku
  teks tata bahasa lain yang menonjol di sini adalah Nahwu Wadhih (An-Nahw
  Al-Wadhih fi Qawa’id Al-Lughah Al- ‘Arabiyah), yang ditulis oleh dua penulis
  Arab, ‘Ali Jarim dan Mushthafa Amin (yang banyak tersedia dalam edisi Lebanon
  dan Mesir yang dicetak ulang secara foto-mekanis). Buku ini juga sudah
  dipergunakan di Sumatra Barat sejak tahun 1930- an, bersamaan dengan buku
  Al-Balaghah Al-Wadhihah, karang- an kedua penulis yang sama.
Yang
  terakhir ini menghantarkan kita kepada bagian terakhir dari cabang penting
  dari ilmu tata bahasa Arab : retorika (balaghah, dengan sub-bagiannya bayan,
  ma’ani dan badi’). Dua kitab klasik mendominasi bidang ini dalam kurikulum,
  yakni:
Jauharul Maknun (Al-Jauhar Al-Maknun atau Al-Jawahir Al- Maknunah
  fi Al-Ma’ani wa Al-bayan wa Al-badi’), yang dikarang oleh ‘Abd Al-Rahman
  Al-Akhdhari (lahir 920/1514, lihat GAL S II: 706). Judul yang sama sering
  merujuk kepada sebuah kitab yang merupakan syarah atas karya tersebut oleh
  Ahmad Al-Damanhuri (1101-1177/1689-1763, lihat GAL II: 371) dan hasyiyahnya
  oleh Makhluf Al-Minyawi, yang banyak terdapat di Indonesia (dan juga disebut
  dengan kitab Makhluf) . Kitab Jauhar diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh
  K.H. Bisri Mustofa dari Rembang.
Terakhir, Uqudul Juman (Al-Mursyidi ‘Ala
  ’Uqud Al-Juman fi ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan), sebuah teks manzhum tentang
  retorika yang ditulis oleh Jalal Al-Din Al-Suyuthi, yang didasarkan atas karya
  Siraj Al-Din Al-Sakkaki, ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan (GAL I: 294-6).
  Satu-satunya buku balaghah lain yang dapat ditemukan dengan mudah adalah,
  dengan beberapa syarah-nya, karya Abu Al-Qasim Al-Samarqandi, Al-Risalah Al-
  Samarqandiyah, namun kitab ini tidak mendapatkan skor yang tinggi dalam daftar
  kami.
Jumlah keseluruhan teks-teks yang ada dalam koleksi kami sekarang,
  tentu saja, melebihi jumlah teks yang disebutkan di
 
atas.
  Mungkin perlu dicatat bahwa tiga dari daftar judul yang disusun oleh Van den
  Berg tidak terdapat dalam bentuk cetakan. Ketiganya adalah ‘Innola’ (syarah
  tanpa judul atas ‘Awamil), Kafiyah karya Ibn Al-Hajib dan Al-Mishbah karya
  Burhan Al-Din Abu Fath Nashir Al-Din.
Ilmu alat lain (walaupun tidak
  lazim dimasukkan ke dalam kategori ilmu alat, tetapi lebih kepada ilmu-ilmu
  Al-Quran) adalah ilmu tajwid, ilmu mengenai cara pengucapan dan intonasi yang
  tepat dalam melafalkan Al-Quran). Ilmu ini termasuk pelajaran yang paling awal
  dipelajari (karena judul-judul teks yang diurutkan, yang berarti “hadiah untuk
  anak-anak” dan “bimbingan untuk anak-anak”, secara eksplisit menunjukkan hal
  itu). Kitab Tuhfah Al-Athfal karangan Sulaiman Jumzuri dan kitab anonim yang
  berjudul Hidayah Al-Shibyan, keduanya merupakan teks singkat tingkat dasar
  mengenai mata pelajaran ini. Keduanya ditemukan dalam beberapa koleksi
  teks-teks pendek, biasanya secara bersama sama).
Ilmu alat yang ketiga
  adalah manthiq, logika Aristotelian (yang akan terbukti kegunaannya ketika
  santri mulai mempelajari fiqih). Buku teks yang paling umum dipergunakan dalam
  mata pelajaran ini adalah Sullamul Munauraq (Al-Sullam Al-Munauraq38 fi ‘ilm
  Al-Manthiq) yang ditulis oleh Al-Akhdhari (pengarang Al-Jauhar Al-Maknun,
  lihat GAL SII: 705-6). Ahmad Al-Damanhuri (yang juga menganotasikan Jauhar-nya
  Al-Akh- dhari) menulis sebuah syarah atasnya, yang sangat terkenal di
  Indonesia dan diberi judul Idhah Al-Mubham Min Ma’ani Al- Sullam. Di tepi
  halaman dari edisi cetakan, kami menemukan syarah atas  Al-Sullam yang
  ditulis oleh Al-Akhdhari sendiri. Syarah yang terakhir ini juga dapat
  ditemukan bersamaan dengan hasyiyah yang ditulis oleh Ibrahim Al-Bajuri. Dua
  kitab syarah lainnya, tanpa judul, yang sering dijumpai adalah karya Hasan
  Darwisy Al-Quwaysini (w. 1210/1795) dan ulama Al-Azhar, Ahmad b. ‘Abd
  Al-Fattah Al-Mullawi (w. 1181/1767) dengan hasyiyah karangan M. b. ‘Ali
  Al-Shabban. Juga, terdapat karya terjemahan berbahasa Jawa dalam bentuk
  bait-bait sajak oleh K.H. Bisri Mustofa.
 
Yang juga banyak
  ditemukan adalah pedoman logika dasar, Isaghuji, karangan Atsir Al-Din
  Mufadhdhal Al-Abhari (w. 663/1264; lihat GAL I:464-5; GAL S I: 839-41) .
  Selain judulnya, karya ini bukanlah terjemahan atas karya Porphyrius, Isagoge,
  sebagaimana yang sering dianggap orang (lihat Arminjon 1907: 215-7, dan
  ringkasannya oleh Calverley 1933).
Fiqih dan Ushul Al-Fiqh (Lihat
  Tabel II)
Inti pendidikan pesantren terdiri dari pendidikan fiqih, dan
  kitab-kitab yang paling masyhur, seperti Minhaj dan Tuhfah, Taqrib dan Fath
  Al-Qarib, adalah kitab fiqih. Cabang keilmuan ini sudah dibahas secara khusus
  dalam bab yang lalu.
Tabel II
Fiqih dan Ushul Al-Fiqh

Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
| Jumlah Pesantren | 4 | 3 | 9 | 12 | 18 | 46 | TINGKAT | 
| Fiqih | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Fath Al-Mu’in | 2 | 1 | 7 | 6 | 16 | 32 | ‘Aliyah | 
| Ianah Thalibin | 2 | 2 | 0 | 0 | 0 | 4 | 
 | 
| Taqrib | 2 | 0 | 6 | 5 | 7 | 20 | Tsanawiyah | 
| Fath Al-Qarib 2 1 4 7 9 23 ‘Aliyah Kifayatul Akhyar 1 0 6 4 7 18 Tsanawiyah/ | |||||||
| 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | ‘Aliyah | 
| Bajuri | 1 | 0 | 1 | 0 | 1 | 3 | 
 | 
| Iqna’ | 0 | 1 | 1 | 0 | 5 | 7 | 
 | 
| Minhaj Al-Thalibin | 2 | 0 | 2 | 0 | 1 | 5 | ‘Aliyah | 
| Minhaj Al-Thullab | 0 | 0 | 0 | 0 | 1 | 1 | 
 | 
| Fathul Wahab | 0 | 1 | 5 | 4 | 10 | 20 | ‘Aliyah | 
| Mahalli | 4 | 1 | 1 | 2 | 1 | 9 | ‘Aliyah | 
| Minhajul Qawim | 0 | 0 | 2 | 2 | 3 | 7 | 
 | 
| Safinah | 1 | 0 | 6 | 7 | 7 | 21 | Tsanawiyah | 
| Kasyifat Al-Saja | 0 | 0 | 1 | 0 | 3 | 4 | 
 | 
| Sullam Al-Taufiq | 0 | 1 | 5 | 2 | 13 | 21 | Tsanawiyah | 
| Tahrir | 0 | 1 | 2 | 1 | 5 | 9 | ‘Aliyah | 
| Riyadh Al-Badiah | 0 | 0 | 2 | 1 | 3 | 6 | 
 | 
| Sullam Al-Munajat | 0 | 0 | 2 | 1 | 2 | 5 | 
 | 
| Uqud Al-Lujain | 0 | 0 | 1 | 1 | 2 | 4 | Tsanawiyah | 
| Sittin/Syarah Sittin | 0 | 1 | 2 | 0 | 0 | 3 | 
 | 
| Muhadzab | 0 | 0 | 0 | 1 | 2 | 3 | 
 | 
| Bghyat Al-Mustarsyidin | 0 | 0 | 1 | 0 | 2 | 3 | |
| Mabadi Fiqhiyah | 0 | 0 | 1 | 2 | 5 | 8 | Tsanawiyah | 
| Fiqh Wadhih | 0 | 0 | 0 | 1 | 3 | 4 | Tsanawiyah | 
| Sabil Al-Muhtadin | 0 | 1 | 0 | 0 | 0 | 1 | 
 | 
| Ushul Al-Fiqh Waraqat/ Syarah Al-Waraqat | 
 
 2 | 
 
 1 | 
 
 6 | 
 
 1 | 
 
 2 | 
 
 12 | 
 
 ‘Aliyah/ | 
| 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | Khawasah | 
| Lathaif Al-Isyarat | 1 | 0 | 3 | 0 | 6 | 10 | 
 | 
| Jam’ul Jawami’ | 1 | 0 | 6 | 1 | 2 | 10 | Khawash | 
| Luma’ | 1 | 0 | 2 | 1 | 3 | 7 | ‘Aliyah/ Khawash | 
| Al-Asybah wa | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Al-Nadhair | 0 | 0 | 1 | 1 | 4 | 5 | Khawash | 
| Bayan | 0 | 0 | 1 | 0 | 2 | 3 | Tsanawiyah/ ‘Aliyah | 
| Bidayat Al-Mujtahid | 0 | 0 | 2 | 0 | 0 | 2 | Khawash | 
Doktrin (Tauhid,
  Akidah, Ushul Al-Din) (lihat Tabel III)
Dibandingkan dengan jumlah dan
  kecanggihan karya- karya dalam bidang fiqih yang dipelajari di pesantren,
  doktrin menempati tempat yang jauh kurang menonjol di dalam kurikulumnya.
  Sementara generasi-generasi terdahulu umat Islam Indonesia menunjukkan minat
  yang besar kepada kosmologi, eskatologi dan spekulasi metafisik—sebagaimana
  disaksikan pada tulisan Al-Raniri, ‘Abd Al-Ra’uf Singkel, dan ‘Abd Al-Shamad
  Al-Falimbani—mata pelajaran ini sekarang umumnya tidak masuk ke dalam
  kurikulum pesantren. Mungkinkah hal ini terjadi karena ada pepatah lama yang
  menyatakan bahwa terlalu besarnya minat akan masalah-masalah akidah hanya akan
  membawa kepada kekafiran?
 
Tabel III
Akidah (Ushuluddin, Tauhid)

Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
| Jumlah Pesantren | 4 | 3 | 9 | 12 | 18 | 46 | TINGKAT | 
| Tauhid | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Ummul Barahin | 2 | 0 | 2 | 0 | 1 | 5 | ‘Aliyah | 
| Sanusi | 2 | 0 | 3 | 3 | 3 | 11 | Tsanawiyah | 
| Dasuqi | 0 | 1 | 1 | 0 | 5 | 7 | ‘Aliyah/ Khawash | 
| Syarqawi | 1 | 1 | 0 | 0 | 1 | 3 | 
 | 
| Kifayatul Awam | 4 | 1 | 2 | 2 | 8 | 17 | Tsanawiyah/ ‘Aliyah | 
| Tijanud Durari | 1 | 0 | 5 | 2 | 3 | 11 | Tsanawiyah | 
| Aqidatul Awm | 0 | 0 | 0 | 4 | 9 | 13 | Ibtida’iyah/ Tsanawiyah | 
| Nuruzh Zhulam | 0 | 1 | 1 | 0 | 1 | 3 | Tsanawiyah | 
| Jauharut Tauhid | 1 | 0 | 3 | 2 | 1 | 7 | Tsanawiyah | 
| Tuhfatul Murid | 0 | 1 | 0 | 0 | 2 | 3 | Tsanawiyah | 
| Fathul Majid | 2 | 1 | 1 | 2 | 2 | 8 | Khawash | 
| Jawahirul Kalamiyah | 0 | 0 | 1 | 3 | 5 | 9 | Tsanawiyah | 
| Husnul Hamidiyah | 0 | 0 | 1 | 5 | 2 | 8 | Tsanawiyah | 
| Aqidatul Islamiyah | 1 | 0 | 0 | 1 | 2 | 4 | Tsanawiyah | 
Barangkali karena itulah
  karya-karya tentang akidah pada Tabel III tanpa kecuali, semata-mata merupakan
  pemaparan mengenai ajaran Al-Asy’ari tentang sifat-sifat Tuhan dan para Nabi.
  Kelompok teks yang paling populer adalah karya yang didasarkan atas dua karya
  terkenal Al-Sanusi tentang akidah. (Mengherankan, bahwa karya Nashafi dan
  syarah Taftazani, yang sama-sama jika tidak lebih berpengaruh di tempat lain,
  tampaknya tidak dikenal di Indonesia).39 Teks dasar yang termasuk dalam
  kelompok jenis buku ini adalah Umm Al- Barahin (disebut juga, Al-Durrah)
  karangan Abu ‘Abdullah M.
b. Yusuf Al-Sanusi (w. 895/1490, lihat GAL II,
  250, GAL S II: 352- 3). Teks yang biasanya dirujuk sebagai Al-Sanusi[yah]
  agaknya merupakan syarah lebih mendalam tentangnya, yang ditulis oleh
  Al-Sanusi sendiri. Dalam edisi yang paling sering dijumpai, teks ini dicetak
  di tepi halaman dari hasyiyahnya yang sangat populer yang dikarang oleh
  Ibrahim Al-Bajuri, dan kemudian, juga
 
dikenal dengan
  Al-Sanusi. Kitab lain yang sering dipergunakan adalah hasyiyah atas Al-Sanusi
  yang dikarang oleh Muhammad Al- Dasuqi (w.1230/1815, lihat GAL II: 352-3) dan
  sebuah teks yang lebih mendalam karangan ‘Abdullah Al-Syarqawi (w. 1127/1812,
  lihat GAL II: 479-80), yang juga merupakan hasyiyah atas syarah abad ke-11
  yang ditulis seorang yang bernama Muhammad b. Manshur Al-Hudhudi (dalam
  beberapa edisi Indonesia, kitab ini dicetak bersama-sama dengan teks Hudhudi).
  Semua teks ini biasanya disebut dengan nama pengarangnya.
Karya lain yang
  sebagian didasarkan atas Al-Sanusi adalah Kifayah Al-‘Awamm, karangan M. b. M.
  Al-Fadhdhali (w. 1236/1821, lihat GAL II: 489), yang sangat populer di
  Indonesia (kitab ini diterjemahkan ke bahasa Inggris dalam MacDonald
  1903:315-51). Dalam koleksi kami juga terdapat satu versi dari karya ini,
  dengan terjemahan di sela baris (oleh H. M. Nur Munir
b. H. Ismail).
  Murid Fadhdhali, Ibrahim Bajuri (w.1277/1861) menulis sebuah syarah atasnya,
  Tahqiq Al-Maqam ‘Ala Kifayah Al-‘Awamm (dicetak bersama-sama dengan Kifayah
  dalam edisi Indonesia), dan syarah ini dihasyiyahkan oleh Nawawi Banten dalam
  karyanya yang banyak dibaca orang, Tijan Al-Durari.
‘Aqidah Al-‘Awamm
  adalah sebuah kitab singkat dan berbentuk sajak yang diperuntukkan bagi mereka
  yang berusia sangat muda, yang dihapal lama sebelum santri mulai mengerti
  bahasa Arab. Pengarangnya, Ahmad Al-Marzuqi Al-Maliki Al- Makki, aktif pada
  sekitar tahun 1864. Brockelmann (GAL S II: 990) menyebutkan sebuah versi
  berbahasa Melayu yang ditulis oleh Hamzah b. M. Al-Qadahi (dari Kedah);
  koleksi kami memuat terjemahannya dalam bahasa Jawa (oleh K.H. Bisri Mustofa
  dari Rembang) dan bahasa Madura (oleh Abdul Majid Tamim dari  Pamekasan).
  Nawawi Banten, yang barangkali mengenal pengarangnya, menulis sebuah syarah
  yang terkenal atasnya, dengan judul Nur Al-Zhalam.
Jauhar Al-Tauhid, teks
  singkat dalam bentuk untaian bait sajak karangan Ibrahim Al-Laqani
  (w.1041/1631), masih sangat populer. Santri berusaha keras menghafal seluruh
  teks tersebut, dan mempelajari berbagai syarah atasnya. Salah satunya
  adalah
 
karya Ibrahim Al-Bajuri, Tuhfah Al-Murid. Seorang
  ulama Melayu yang tidak disebutkan namanya dan dua orang ulama Jawa, Saleh
  Darat dari Semarang dan Ahmad Subhi Masyhadi dari Pekalongan, menulis syarah
  yang panjang lebar dalam bahasa daerah mereka sendiri, yang pada umumnya
  dikenal dengan judul yang lama, Jauhar Al-Tauhid. Syarah berbahasa Jawa yang
  ditulis Saleh Darat, menarik, terutama, karena ia mencerminkan pandangan dan
  penghayatan orang Jawa pada masa itu.
Fath Al Majid adalah teks lain yang
  juga ditulis oleh Nawawi Banten. Ia merupakan syarah atas kitab Durr Al-Farid
  fi ‘Ilm Al- Tauhid (yang dicetak di tepi halamannya) karangan seorang yang
  bernama Ahmad Al-Nahrawi, yang informasi lebih jauh tentang dia tidak saya
  temukan.
Tiga judul lainnya adalah karya-karya modern, yang per-
  tama-tama dipakai oleh madrasah yang telah terkena pengaruh Mesir dan dari
  sana kemudian secara bertahap merembes ke seluruh dunia pesantren.
Jawahir
  Al-Kalamiyah [fi Idhah Al-‘Aqidah Al-Islamiyah] ditulis oleh ulama Syria,
  Thahir b. Shalih Al-Jaza’iri, yang wafat di Damaskus pada tahun 1919.
Husunul
  Hamidiyah (Al-Hushun Al-Hamidiyah li Al-Muha- fazhah ‘Ala Al-‘Aqa’id
  Al-Islamiyah) adalah sebuah karya tentang sifat, kenabian, mukjizat para nabi,
  para malaikat, dan kehidupan setelah mati yang dikarang oleh seorang penulis
  modernis dan rasionalis moderat, Husain [b. M. Al-Jisr) Efendi Al-Tarablusi
  (w. 1909). Pengarang ini kemudian terkenal sebagai editor sebuah jurnal di
  mana dia berusaha untuk memadukan Islam dengan ilmu modern dan filsafat (GAL S
  II:776; lihat juga ulasan dalam Hourani 1962: 222-3). Buku ini pertama kali
  digunakan di Indonesia pada tahun 1930-an di madrasah-madrasah Sumatra
  Thawalib (Yunus 1979: 77).
Terakhir, Aqidatul Islamiyah yang merupakan
  buku pelajaran dalam bentuk tanya jawab modern yang diperuntukkan bagi para
  murid tingkat madrasah yang paling rendah oleh Bashri
b. H. Marghubi.
 
Batas
  antara pelajaran tauhid dan yang lazim dianggap sebagai pelajaran tasawuf di
  Indonesia samar. Karya Al-Ghazali, Ihya, yang merupakan kitab tasawuf yang
  paling populer di sini, sebetulnya juga pantas disebut sebagai kitab pelajaran
  akidah.
Masih ada kategori buku lainnya, yang sangat populer, dan harus
  disebut di sini, walaupun jarang merupakan bagian resmi dari kurikulum
  pasantren. Kitab-kitab ini adalah karya-karya tentang kosmologi dan eskatologi
  tradisional (dan seringkali sangat fantastik).40 Satu contohnya yang tipikal
  (dan cukup populer) adalah kitab Daqa’iq Al-Akhbar fi Dzikr Al-Jannah wa
  Al-Nar, karangan ‘Abd Al-Rahim Al-Qadhi (lihat GAL S I: 364), yang tersedia
  dalam bahasa Arab maupun terjemahan berbahasa Melayu, Sunda dan Madura. Kitab
  yang lain lagi adalah Al-Durar Al-Hisan, yang dianggap sebagai karya
  Al-Suyuti. Para pengarang Indonesia telah menyumbangkan sejumlah teks yang
  lebih sederhana yang dirancang serupa untuk menanamkan rasa takut kepada hari
  akhirat kepada pembacanya. Karya karya ini tidak dipergunakan sebagai buku
  teks, tetapi merupakan bacaan populer di lingkungan pesantren.
Tabel IV Tafsir Al-Quran

Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
| Jumlah Pesantren | 4 | 3 | 9 | 12 | 18 | 46 | TINGKAT | 
| tafsir | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Jalalain | 4 | 1 | 9 | 9 | 16 | 69 | ‘Aliyah | 
| Tafsirul Munir | 0 | 1 | 3 | 2 | 5 | 11 | ‘Aliyah | 
| Tafsir ibn Katsir | 1 | 0 | 3 | 0 | 3 | 4 | ‘Aliyah | 
| Tafsir Baidhawi | 1 | 0 | 1 | 2 | 0 | 4 | ‘Aliyah | 
| Jamiul Bayan (Thabari) | 0 | 0 | 2 | 0 | 0 | 3 | Khawash | 
| Maraghi | 0 | 0 | 2 | 1 | 0 | 3 | ‘Aliyah/ Khawash | 
| Tafsirul Manar | 0 | 0 | 2 | 0 | 1 | 3 | Khawash | 
| Tafsir Dep. Agama | 0 | 0 | 0 | 1 | 1 | 2 | Tsanawiyah | 
| ‘ilm tafsir | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Itqan | 0 | 0 | 2 | 0 | 1 | 3 | ‘Aliyah | 
| Itmamud Dirayah | 0 | 0 | 0 | 0 | 2 | 2 | 
 | 
   
 
Tafsir
  Al-Quran (Lihat Tabel IV)
Van den Berg hanya menyebutkan satu kitab
  tafsir sebagai bagian dari kurikulum yang umum dipakai, yaitu tafsir Jalalain,
  yang dapat ditemukan di mana-mana. Tafsir karya Baidhawi juga dikenal namanya,
  tetapi sangat jarang ditemukan kiai yang mengajarkan teks ini (Van den Berg
  1886: 555). Beberapa tambahan kecil mungkin dapat diberikan untuk masalah ini,
  di wilayah Nusantara yang berbahasa Melayu kitab Tarjuman Al- Mustafid, sebuah
  terjemahan tafsir Jalalain berbahasa Melayu yang disertai dengan beberapa
  keterangan tambahan yang diambil dari kitab tafsir lain,41 oleh ‘Abd Al-Ra’uf
  dari Singkel, pastilah sangat dikenal dengan baik (kitab tersebut masih dapat
  ditemukan dalam berbagai edisinya). Nawawi Banten, bahkan, sudah menulis
  Al-Tafsir Al-Munir li Ma’alim Al-Tanzil pada masa Van den Berg, tetapi karya
  ini, seperti karya yang lain, mungkin belum umum dipergunakan karena
  konservatisme kurikulum pesantren.
Secara umum, kesan Van den Berg
  mungkin benar: pada akhir abad ke-19, tafsir. belum dianggap. sebagai bagian
  yang sangat penting dalam kurikulum pesantren. Karena dampak modernisme,
  dengan slogannya: kembali kepada Al-Quran dan hadis, penafsiran Al-Quran jelas
  semakin mendapatkan arti pentingnya. Banyak ulama tradisionalis yang begitu
  saja merasa berkewajiban untuk menyesuaikan diri dan mulai memperhatikan
  tafsir secara lebih serius. Meskipun demikian, daftar kami menunjukkan bahwa
  lingkup tafsir yang dipelajari di pesantren masih sangat sempit. Dua tafsir
  klasik, Thabari dan Ibn Katsir, telah ditambahkan ke dalam daftar, bersamaan
  dengan Tafsir Al-Munirnya Nawawi. Dua karya tafsir modernis, Tafsir Al-Manar
  oleh Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha dan Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad
  Mushthafa Al-Maraghi (lihat Jansen 1980) tercantum dalam daftar kami hanya
  karena keduanya diajarkan di dua pesantren yang berorientasi modernis di Jawa
  Barat, karya tersebut masih belum diterima di lingkungan pesantren pada
  umumnya. (Bukanlah sebuah kebetulan kalau teks-teks Arab dari dua karya ini
  belum dicetak ulang di Indonesia, walaupun belum lama
  berselang tafsir Al- Maraghi diterbitkan dalam bentuk terjemahan; kaum
  modernis rata-rata kurang mendalami bahasa Arab). Kitab tafsir terakhir yang
  tercantum dalam daftar kami adalah kitab tafsir yang berjum- lah sepuluh jilid
  dalam bahasa Indonesia, yang dipersiapkan oleh sekelompok ulama Indonesia yang
  mendapat sokongan dari Departemen Agama.42
Lima kitab tafsir lain yang
  tercantum dalam daftar kami, yang ditulis oleh ulama Indonesia dan Malaysia,
  patut disebut di sini, walaupun karya tersebut tidak dikenal secara luas.
  Ahmad Sanusi b. Abdurrahim dari Sukabumi menulis sebuah tafsir Al- Quran (yang
  ternyata lebih merupakan terjemahan langsung) dalam bahasa Sunda, dengan judul
  Raudhah Al-‘Irfan fi Ma’rifah Al-Qur’an, dan K.H. Bisri Mustofa dari Rembang
  me- nulis tafsir berbahasa Jawa sebanyak 3 jilid (2250 halaman), Al-Ibriz li
  Ma’rifah Al-Tafsir Al-Qur’an Al-’Aziz. Yang terakhir ini, juga, lebih
  merupakan terjemnahan daripada tafsir. Karena penerjemahan Al-Quran pasti
  memerlukan kadar penafsiran tertentu, maka hasilnya biasanya disebut tafsir
  juga. Penafsiran yang lebih tebal diberikan dalam tafsir berbahasa Jawa
  lainnya, Al-Iklil fi Ma’ani Al-Tanzil oleh Misbah b. Zain Al-Mushthafa (30
  Jilid, 4800 halaman), dan dalam tafsir berbahasa Melayu 3 jilid (950 halaman),
  Tafsir Nur Al-Ihsan, oleh Muhammad Sa’id b. ‘Umar Qadhi Al-Qadahi (dari Kedah,
  Malaysia). Yang paling akhir adalah tafsir- berbahasa Indonesia sebanyak enam
  jilid, Adz Dzikraa: Terjemah & Tafsir Al-Qur’an, karangan Bachtiar
  Surin.
Minat mempelajari ilmu tafsir meningkat secara mencolok. Beberapa
  karya tafsir lainnya baru-baru ini dicetak dalam bahasa Arab di Indonesia; di
  samping itu ada yang diterbitkan dalam bentuk terjemahan bahasa Indonesianya
  (tafsir-tafsir modernis, sebagaimana dapat diduga, seperti Fi Zhilal Al-Qur’an
  dan Al-Maraghi). Meskipun demikian, import kitab tafsir terus meningkat, di
  beberapa toko kitab di Surabaya dan Bandung saya menemukan tersedia tidak
  kurang dari dua puluh tafsir yang berbeda yang diimpor dari Mesir dan
  Lebanon.
 
Tabel V
Hadis dan Ilmu Hadis

Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
| Jumlah Pesantren | 4 | 3 | 9 | 12 | 18 | 46 | TINGKAT | 
| hadits | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Bulughul Maram | 1 | 0 | 6 | 5 | 12 | 24 | Tsanawiyah | 
| Subulus salam | 1 | 1 | 0 | 0 | 1 | 3 | 
 | 
| Riyadhus Shalihin | 1 | 0 | 7 | 6 | 9 | 23 | ‘Aliyah/ Khawash | 
| Shahih Bukhari | 2 | 1 | 6 | 7 | 5 | 21 | Khawash | 
| Tajridush Sharih | 0 | 0 | 1 | 1 | 4 | 6 | ‘Aliyah | 
| Jawahir bukhari | 1 | 0 | 0 | 1 | 2 | 4 | 
 | 
| Shahih Muslim/Syarah | 1 | 0 | 7 | 2 | 7 | 17 | Tsanawiyah | 
| Arbain Nawawi | 3 | 0 | 5 | 1 | 6 | 15 | Tsanawiyah | 
| Majalisus Saniyah | 1 | 0 | 0 | 0 | 2 | 3 | 
 | 
| Durratun Nashihin | 1 | 1 | 2 | 3 | 4 | 11 | ‘Aliyah | 
| Tanqihul Qaul | 0 | 1 | 2 | 1 | 1 | 5 | 
 | 
| Mukhtarul Ahadits | 1 | 0 | 2 | 0 | 2 | 5 | Tsanawiyah | 
| Ushfuriyah | 0 | 1 | 0 | 0 | 2 | 3 | 
 | 
| ‘ilm dirayah al-hadits | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Baiquniyah/Syarah | 2 | 0 | 2 | 1 | 2 | 7 | Tsanawiyah | 
| Minhatul Mughits | 0 | 0 | 2 | 1 | 0 | 3 | ‘Aliyah | 
Dari karya-karya yang
  membicarakan dasar ilmu tafsir, hanya dua kitab klasik yang tercantum dalam
  daftar. Keduanya adalah karangan Jalal Al-Din Al-Suyuthi yang berjudul Itmam
  Al-Dirayah li Qurra’ Al-Nuqayah dan Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Di dalam
  koleksi kami terdapat juga beberapa kitab pengantar singkat tentang bidang
  ini.
Hadis (Lihat Tabel V)
Bahkan lebih dari tafsir, hadis
  merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren. Van den Berg bahkan
  tidak menyebut hadis sama sekali. Para santri memang menjumpai banyak hadis
  selama mengikuti pelajaran—tidak ada karya fiqih yang tidak didukung dengan
  argument-argumen berdasarkan
 
hadis—tetapi hadis-hadis
  tersebut sudah diproses, diseleksi dan dikutip menurut keperluan pengarangnya.
  Kitab-kitab kumpulan hadis—baik enam kitab kumpulan hadis yang diakui
  (Al-Kutub Al-Sittah) ataupun beberapa kompilasi populer seperti Mashabih
  Al-Sunnah, yang sangat populer di India— tampaknya hampir tidak dipelajari di
  Nusantara seabad yang lalu.43 Mungkin perkecualian harus dinyatakan untuk
  beberapa kumpulan kecil hadis semacam “empat puluh hadis”, karya Abu Zakariya
  Yahya Al-Nawawi, Arba’in, merupakan salah satu contohnya. Beberapa ulama
  Indonesia, sejak abad ke- 19 dan seterusnya, telah mengumpulkan dan
  menerjemahkan kumpulan empatpuluh hadis tersebut, dan Djohan Effendi telah
  menunjukkan bagaimana isi dari kumpulan-kumpulan ini berubah menurut kebutuhan
  zamannya.44 Adanya minat yang lebih besar untuk mempelajari hadis sekarang
  ini—yang kini merupakan mata pelajaran wajib di kebanyakan pesantren—
  barangkali dapat dikatakan sebagai dampak dari modernisme (untuk pengamatan
  serupa lihat Steenbrink 1974: 166).
Dua kumpulan besar hadis shahih oleh
  Imam Bukhari dan Imam Muslim sekarang menjadi karya rujukan yang lazim
  dipelajari di banyak pesantren. Kurikulumnya seringkali memasukkan seleksi
  dari kedua kitab tersebut, biasanya diikuti dengan penjelasannya. Dua seleksi
  yang populer atas kitab Bukhari adalah Al-Tajrid Al-Sharih oleh Syihabuddin
  Ahmad Al-Syarji Al-Zabidi (w. 893/1488) dan Jawahir Al-Bukhari oleh Mushthafa
  M. ‘Umarah (GAL S I: 264). Namun, kumpulan hadis paling populer yang dapat
  ditemukan di mana-mana adalah Bulugh Al-Maram dan Riyadh Al-Shalihin.
Bulugh
  Al-Maram [Min Adillah Al-Ahkam], sebuah kumpulan yang dihimpun oleh Ibn Hajar
  Al-‘Asqalani (w. 852/1449, lihat GAL S II: 67-70), telah diterjemahkan ke
  dalam bahasa Jawa (oleh Subki Masyhadi dari Pekalongan) dan bahasa Indonesia
  (oleh
K.H. Bisri Mustofa dari Rembang) dan sebagian juga ke dalam bahasa
  Melayu. Subul Al-Salam karangan Muhammad b. Ismail Al-Kahlani (w.1182/1769),
  merupakan syarah atas Bulugh.
Riyadh Al-Shalihin [Min Kalam Sayyid
  Al-Mursalin] adalah kitab kumpulan hadis yang lebih besar, terutama
  mengenai
 
amal saleh dan ibadah, yang dihimpun oleh Yahya b.
  Syaraf Al-Din Al-Nawawi, penghimpun “empat puluh hadis” yang paling terkenal.
  Terdapat dua terjemahannya dalam bahasa jawa yang berbeda (oleh Asrori Ahmad
  dan Ahmad Subki Masyhadi), dan juga terjemahan berbahasa Melayu dan Indonesia
  dari kumpulan ini.
Karya Nawawi, Arba’in, diajarkan di banyak pesantren
  kepada para santri yang tingkatan belum begitu tinggi, dan juga merupakan
  kepustakaan keagamaan non-kurikuler, baik dalam bahasa aslinya, Arab, maupun
  bahasa Indonesia. Sebuah kitab syarah yang agak terkenal adalah Al-Majalis
  Al-Saniyah, karangan Ahmad b. Hijazi Al-Fasyani.
Durrah Al-Nashihin [fi
  Al-Wa’zh wa Al Irsyad] dihimpun oleh ‘Utsman b. Hasan Al-Khubuwi (w.1224/1804,
  lihat GAL II: 489).
Tanqih Al-Qaul [Al-Hatsits fi Syarh Lubab Al-Hadits]
  adalah karya lain  oleh Nawawi Banten. Ia merupakan syarah atas kumpulan
  hadis Al-Suyuti, Lubab Al-hadits (yang dicetak di tepi halaman karya Nawawi
  tersebut).
Mukhtar Al-Ahadits adalah sebuah kumpulan yang dihimpun oleh
  pengarang Mesir modern, Ahmad Hasyimi Bak.
Terakhir, ‘Ushfuriyah (diberi
  judul demikian mengikuti nama pengarangnya, Muhammad b. Abu Bakr Al-‘Ushfuri)
  adalah kumpulan “empat puluh hadis” yang populer, yang disertai dengan
  berbagai cerita teladan untuk setiap hadis.
Studi kritis tentang hadis
  hampir belum ditemukan di Indo- nesia, apalagi di lingkungan pesantren. Bisa
  dimengerti, diban- dingkan dengan kalangan tradisionalis, kalangan modernis
  Indonesia telah menunjukkan minat yang lebih besar kepada ‘Ilmu Dirayah
  Al-Hadis, ilmu tradisional yang membedakan hadis palsu dari hadis otentik
  (shahih), hadis lemah (dha’if) dari hadis kuat. Selain dua judul yang
  tercantum dalam daftar kami (dengan beberapa karya turunan dari karya yang
  pertama) ternyata tidak ada kitab tentang ilmu tersebut yang dapat ditemukan
  di toko kitab.
 
Minhah Al-Mughits adalah sebuah teks modern
  karya seorang ulama Al-Azhar, Hafizh Hasan Mas’udi, dan tampaknya ditulis
  untuk bahan pelajaran di madrasah yang berada di bawah pengawasan pemerintah
  Mesir.
Nama Baiquniyah, sebagaimana biasanya, merujuk kepada baik karya
  (matan) asli, sebuah teks manzhum singkat tanpa judul karangan Thaha b.
  Muhammad Al-Fattuh Al-Baiquni (w. setelah 1080/1669, lihat GAL II:307), dan
  kepada berbagai kitab syarah atasnya. Yang paling populer di antaranya adalah
  syarah yang dikarang oleh ‘Atiyah Al-Ajhuri (w. 1190/1776, lihat GAL II: 328);
  karya inilah yang biasanya diberikan ketika seseorang mencari kitab teks
  “Baiquniyah”. Kitab syarah lain yang banyak dijumpai adalah Taqrirah
  Al-Saniyah karangan Hasan Muhammad Al-Masysyath, yang mengajar di Masjidil
  Haram, Makkah, pada tahun tiga puluhan dan empatpuluhan, dan memiliki banyak
  murid yang berasal dari Indonesia.
Tabel VI
Kesalehan, Perilaku Terpuji, dan Tasawuf

Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
| Jumlah Pesantren | 4 | 3 | 9 | 12 | 18 | 46 | TINGKAT | 
| akhlaq | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Talimul Mutaalim | 0 | 1 | 5 | 4 | 9 | 19 | Tsanawiyah | 
| Wasaya | 0 | 0 | 1 | 6 | 2 | 9 | Ibtida’iyah/ Tsanawiyah | 
| Akhlaq lil Banat | 0 | 0 | 1 | 1 | 2 | 4 | 
 | 
| Akhlaq lil Banin | 0 | 0 | 1 | 1 | 1 | 3 | Tsanawiyah | 
| Irsyadul Ibad | 0 | 1 | 1 | 0 | 5 | 7 | 
 | 
| Nashaihul Ibad | 0 | 0 | 2 | 0 | 4 | 6 | ‘Aliyah | 
| Tashawwuf | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
| Ihya Ulumiddin | 1 | 2 | 4 | 5 | 12 | 24 | ‘Aliyah | 
| Sairus Salikin | 1 | 1 | 1 | 0 | 0 | 3 | 
 | 
| Bidayatul Hidayah | 0 | 0 | 2 | 2 | 8 | 12 | Tsanawiyah | 
| Maraqil Ubudiyah | 0 | 1 | 0 | 0 | 1 | 2 | 
 | 
| Hidayatus Salikin | 1 | 0 | 1 | 0 | 0 | 2 | 
 | 
| Minhajul Abidin | 0 | 3 | 3 | 1 | 3 | 10 | 
 | 
| Sirajut Thalibin | 0 | 2 | 1 | 0 | 0 | 3 | 
 | 
| Hikam/Syarah Hikam | 2 | 0 | 1 | 0 | 6 | 9 | Tsanawiyah/ ‘Aliyah | 
| Hidayatul Adzkiya | 0 | 0 | 0 | 1 | 4 | 5 ‘Aliyah | 
| Kifayatul Atqiya’ | 0 | 1 | 0 | 0 | 1 | 2 | 
| Risalatul Muawanah | 0 | 1 | 1 | 0 | 4 | 6 ‘Aliyah | 
| Nashaihud Diniyah | 0 | 0 | 1 | 0 | 3 | 4 | 
| Adzkar | 0 | 1 | 1 | 0 | 1 | 3 | 
Akhlak dan Tasawuf (Lihat
  Tabel VI)
Garis batas yang memisahkan antara mata pelajaran akhlak dan
  tasawuf, sebagaimana yang diajarkan di pesantren, sangat kabur. Karya yang
  sama bisa dipelajari dibawah mata pelajaran tasawuf di satu pesantren, dan di
  bawah mata pelajaran akhlak di pesantren yang lain. Mata pelajaran akhlak juga
  sulit dibedakan dengan tarbiyah, (penanaman) kelakuan baik. Sebagaimana
  ditunjukkan judul-judul pada tabel VI, karya- karya tentang tasawuf yang
  dipelajari di pesantren semuanya termasuk dalam madzhab ortodoks yang juga
  menekankan si- kap-sikap di atas. Di sini kami tidak menemukan karya tentang
  tasawuf wahdah al-wujud. Dilihat selintas, hal ini mungkin tampak
  mengherankan, mengingat corak mistik yang kuat pada Islam Indonesia
  tradisional dan kegemaran kepada spekulasi metafisik, khususnya di kalangan
  orang Jawa. Di pihak lain, tidak hanya teori kosmogonik dan mistik yang
  spekulatif yang menarik minat para generasi ulama Indonesia terdahulu, tetapi
  juga aturan-aturan kelakuan dan hierarkhi yang benar. Syaikh Yusuf Makassar,
  salah seorang pendukung ajaran wahdah al- wujud pada abad ke-17, tidak hanya
  mendeskripsikan berbagai teknik dzikir dan rujukan tak langsung kepada
  doktrin-doktrin sufi, tetapi juga sangat tegas menekankan ketaatan yang
  sepenuhnya dan tulus kepada guru sebagai satu langkah yang sangat penting
  dalam perjalanan sufi.45 Dengan demikian dia menegaskan corak “kelakuan baik”
  kepada ajaran tasawuf yang ada Indonesia.
Teks-teks wahdah al-wujud dan
  berbagai karya “heterodoks” lainnya mungkin tidak diajarkan di banyak
  pesantren, tetapi ini tidak berarti bahwa teks-teks tersebut tidak dibaca sama
  sekali. Di beberapa toko buku saya menemukan karya  ‘Abd 
  Al-Karim  Al-Jili,  Al-Insan Al-Kamil (yang  masih
 
merupakan
  bagian dari kurikulum beberapa pesantren Jawa Barat setengah abad yang lalu)
  dan di Surabaya, bahkan, karya Ibn Al-‘Arabi, Al Futuhat Al-Makkiyah. Kedua
  karya berbahasa Arab tersebut sangat sulit, dan kebanyakan dibaca oleh elite
  agama yang kecil jumlahnya, berbeda dengan beberapa karya berbahasa Melayu,
  seperti karya Nafis Al-Banjari, Al-Durr Al- Nafis, yang menerangkan versi
  populer dari ajaran wahdah al- wujud,46 dan banyak ditemukan di toko-toko buku
  di Kalimantan Selatan, Aceh dan Malaysia. Demikian juga, walaupun Al- Ghazali
  mungkin telah menggantikan para sufi yang lebih “ekstrem”, tetapi ‘Abd
  Al-Shamad Al-Falimbani tampaknya telah menyusupkan beberapa doktrin yang
  ditolak ini ke dalam karya adaptasi berbahasa Melayu atas karya-karya utama
  Al-Ghazali (lihat di bawah). Karya-karya berbahasa Melayu ini dibaca di Jawa
  Barat dan juga di pulau-pulau lain. Bertentangan dengan asumsi-asumsi yang
  umumnya dianut tentang sikap keagamaan orang Jawa dan orang Indonesia
  non-Jawa, pesantren Jawa-lah yang merupakan pusat berkembangnya ortodoksi,
  sebaliknya doktrin-doktrin tasawuf spekulatif masih bertahan di pulau- pulau
  luar jawa.
Koleksi kami memuat hampir seratus judul yang berbeda tentang
  akhlak dan tasawuf, tetapi teks-teks dasar yang banyak dipelajari relatif
  sedikit. Karya-karya tersebut adalah sebagai berikut.
Ta’lim
  Al-Muta’allim [li Thariq Al-Ta’allum], karangan Burhan Al-Islam Al-Zarnuji,
  merupakan karya terkenal yang berisi tentang sikap kepatuhan dari para murid
  sepenuhnya kepada para gurunya. Bagi banyak kiai, karya ini merupakan salah
  satu tiang penyangga utama pendidikan pesantren. Dalam diskusi tentang kitab
  yang diselenggarakan oleh NU belum lama berselang, salah seorang peserta
  menganjurkan agar buku sejenis ini dilarang keras diajarkan karena akan
  menanamkan sikap-sikap yang pasif dan tidak kritis. Reaksi atas anjuran ini
  memberikan alasan untuk mempercayai bahwa dalam jangka waktu yang lama karya
  akan tetap merupakan  bagian  dari kurikulum pesantren. Karya ini
  juga tersedia dalam bentuk terjemahannnya, berbahasa Jawa dan Madura.
 
Washaya
  [Al-Aba’ li Al-Ibna’], karya pengarang Mesir, Muhammad Syakir (syaikh ‘ulama
  Al-Iskandariyah, sebagaimana yang tertulis di halaman judul kitab tersebut),
  merupakan teks singkat yang menerangkan bagaimana anak-anak yang baik harus
  mandi sendiri, memelihara anggota keluarga yang sakit, memperbaiki ban
  sepedanya sendiri, dan seterusnya. Tersedia juga karya terjemahannya oleh K.H.
  Bisri Mustofa.
Al-Akhlaq Li Al-Banat dan Al-Akhlaq Li Al-Banin, yang
  masing- masing terdiri dari tiga jilid tipis, merupakan pelajaran-pelajaran
  moral bagi anak perempuan dan laki-laki, dimaksudkan untuk dibaca di madrasah
  negeri, yang ditulis oleh seorang yang bernama ‘Umar b. Ahmad Barja.
Saya
  lebih suka menempatkan tiga teks berikut, juga, ke dalam kategori ini,
  walaupun buku-buku tersebut kasang- kadang disebut sebagai karya-karya tentang
  fiqih ‘ubudiyah (yakni, berkaitan dengan tata cara ibadah) atau (yang pertama)
  sebagai kumpulan hadis.
Irsyad Al-‘Ibad [Ila Sabil Al-Rasyad] merupakan
  karya Zain Al-Din Al-Malibari (kakek dari pengarang kitab Fath Al-Mu’in).
  Terdapat berbagai edisi cetakannya teks Arabnya, dan baru- baru ini juga
  terjemahan berbahasa Jawanya oleh Misbah b. Zain Al-Mustafa.
Nasha’ih
  Al-‘Ibad juga merupakan karya lain dari Nawawi Banten. Kitab ini merupakan
  syarah atas karya Ibn Hajar Al- ‘Asqalani, Al-Nabahah ‘Ala Isti’dad. Kitab ini
  memusatkan pembahasannya kepada adab-adab berperilaku, dan seringkali
  dijadikan sebagai karya pengantar mengenai akhlak bagi para santri yang lebih
  muda.
Al-Adzkar [Al-Muntakhab Min Kalam Sayyid Al-Abrar] karangan Abu
  Zakariya’ Yahya Al-Nawawi yang memuat ajaran- ajaran tentang ibadah dan
  perbuatan saleh. Terjemahannya dalam bahasa Jawa dan, belakangan juga, bahasa
  Indonesia tersedia di toko buku.
Pelajaran tasawuf ini sangat didominasi
  oleh Abu Hamid Al-Ghazali dan kitab-kitabnya, Ihya’, Bidayah Al-Hidayah dan
  Minhaj Al-‘Abidin. Ada berbagai pesantren yang mengkhususkan
 
diri
  mengajarkan Ihya. Ketiga karya yang disebutkan di atas sudah diterjemahkan,
  paling tidak beberapa bagiannya, ke dalam beberapa bahasa Nusantara.
‘Abd
  Al-Shamad Al-Falimbani (yang hidup dan aktif pada pertengahan abad ke-18)
  menulis beberapa karya adaptasi terkenal dalam bahasa Melayu dari dua karya
  pertama di atas, masing-masing dengan judul Sair Al-Salikin dan Hidayah Al-
  Salikin. Tanpa menyadari adanya pertentangan yang mencolok, ‘Abd Al-Shamad
  menyusupkan ke dalam kedua karya tersebut, terutama Sair Al-Salikin,
  unsur-unsur dari ajaran wahdah al- wujud yang diambilnya dari sumber-sumber
  lain, yang tam- paknya agak asing bagi ajaran tasawuf sunni Al-Ghazali (sebuah
  survei yang baik dilakukan dalam Quzwain 1985, terutama hlm. 37-51). Kedua
  karya ini masih populer, terutama di Sumatra dan Jawa Barat.
Nawawi
  Banten menulis sebuah kitab syarah (berbahasa Arab) atas kitab  Bidayah
  dengan  judul Maraqi Al-‘Ubudiyah yang, jika dinilai dari jumlah edisinya
  yang berbeda-beda yang masih dapat ditemukan hingga sekarang, lebih populer
  dibandingkan dengan hasil skor daftar kami yang memberikan angka lebih
  rendah.
Siraj Al-Thalibin merupakan kitab syarah berbahasa Arab (2 jilid)
  atas kitab Minhaj karangan Ihsan b. Muhammad Dahlan dari Jampes, Kediri (w.
  1952). Karya ini sangat terkenal di Jawa Timur, walaupun mendapat skor yang
  rendah dalam daftar kami.
Di samping buku-buku ini, terjemahan berbahasa
  Sunda dari beberapa bagian dari karya-karya Al-Ghazali yang dihasilkan oleh
  ulama besar Abdullah bin Nuh dari Bogor (w. 1987) layak untuk disebut.
Kitab
  Hikam adalah kumpulan wejangan-wejangan tasawuf terkenal yang dikarang oleh
  Ibn ‘Athaillah Al-Iskandari. Beberapa karya terjemahan dan syarah-nya dapat
  ditemukan di Indonesia. Di antaranya, yang layak disebut, adalah Hikam Melayu
  (anonim), Syarah Hikam (oleh M. Ibrahim Al-Nafizhi Al- Rindi) dan kitab
  berbahasa Melayu Taj Al-’Arus karya ‘Usman
 
Al-Pontiani dan
  juga Hikam berbahasa Jawa oleh Saleh Darat dari Semarang serta beberapa versi
  modernnya, terutama kitab syarah setebal empat jilid yang disusun oleh ulama
  Aceh K.H. Muhibbudin Wali.
Hidayah Al-Adzkiya’ [Ila Thariq Al-Auliya’],
  yang merupakan teks pelajaran tentang tasawuf praktis oleh Zain Al-Din Al-
  Malibari, yang ditulis dalam bentuk untaian bait sajak pada tahun 914/1508-9,
  sudah sejak lama menjadi kitab populer di Jawa; sebagai contoh, kitab ini
  disebutkan dalam Serat Centhini. Banyak syarah atas karya ini dipakai di
  Indonesia. Salah satu syarah-nya yang lebih dikenal adalah Kifayah Al-Atqiya’
  wa Minhaj Al-Ashfiya’ karangan Sayyid Bakri b. M. Syaththa’ Al- Dimyati.
  Nawawi Banten yang sangat produktif juga menulis sebuah kitab syarah, Salalim
  Al-Fudhala’, yang dicetak  di tepi halaman kitab Kifayah karya Sayyid
  Bakri. Terdapat juga beberapa terjemahan dan syarah berbahasa Jawa oleh Saleh
  Darat (Minhaj Al-Atqiya’) dan ‘Abd Al-Jalil Hamid Al-Qandali (Tuhfah
  Al-Ashfiya’), serta sebuah terjemahan Madura sela baris (oleh ‘Abd Al-Majid
  Tamim dari Pamekasan).
Dua kitab yang terakhir adalah karya pengarang dan
  sufi Hadhrami yang saleh, ‘Abdallah b. ‘Alwi Al-Haddad, yang di Indonesia
  sangat dikenal sebagai pengarang ratib Haddad dan bacaan-bacaan amalan lainnya
  (w. 1132/1720, lihat GAL II: 408: GAL S II: 566). Dia menulis sekitar sepuluh
  buku, kebanyakan mengenai tasawuf, yang beberapa di antaranya menjadi kitab
  yang populer di Nusantara. Karyanya yang berjudul Al-Risalah Al-Mu’awanah [wa
  Al-Muzhaharah wa Al-Muwazarah] beberapa lama menjadi salah satu teks tentang
  perilaku yang benar dan sikap saleh yang lazim diajarkan di pesantren Jawa.
  Kitab ini telah diterjemahkan ke bahasa Jawa (oleh Asrori Ahmad) dan Melayu
  (oleh Idris Al-Khayath Al-Patani), belakangan juga diterjemahkan ke bahasa
  Indonesia (oleh Muhammad Al-Baqir, dengan judul Thariqah Menuju Kebahagiaan).
  Karya populernya yang lain, Al-Nasha’ih Al-Diniyah [wa Al-Washayah Al-
  Imaniyah], yang berisi nasihat-nasihat agama. Kitab ini sudah diterjemahkan ke
  dalam Bahasa Melayu oleh salah seorang keturunannya, ‘Alwi
b. M. b.
  Thahir Al-Haddad, dengan judul Al-Shilah Al-Islamiyah.
 
Secara
  mencolok telah terjadi kebangkitan kembali minat untuk mempelajari karya
  ‘Abdallah Al-Haddad, baik di Mesir maupun, kemudian, di Indonesia.47 Kitab
  Al-Risalah Al- Mu’awanah dicetak di Mesir pada tahum 1930 (dan mungkin dikenal
  di Indonesia baru beberapa dasawarsa kemudian), sementara karya-karya yang
  lain diterbitkan pada tahun 1970-an atas usaha mufti besar Mesir terdahulu,
  Hasanain
M. Makhluf. Di Indonesia, Al-Haddad dan karya-karyanya
  dipropagandakan secara aktif oleh sesama sayyid Hadhrami, terutama Muhammad
  Al-Baqir yang berpengetahuan luas, yang menerjemahkan beberapa karyanya ke
  dalam bahasa Indonesia. Mengejutkan, buku-buku ini terjual laris, dan beberapa
  kali mengalami cetak ulang, pada tahun pertama kemunculan- nya.48 Penerjemahan
  beberapa karya Al-Ghazali akhir-akhir ini juga banyak mendatang keuntungan
  material. Diam-diam, tasawuf ortodoks rupanya memiliki daya tarik yang kuat di
  luar lingkungan pesantren—yang tampaknya merupakan respon terhadap kemerosotan
  politik Islam Indonesia selama beberapa dasawarsa yang lalu.
Sejarah
  Islam/Teks-Teks Penghormatan kepada Nabi (Lihat Tabel VII)
Sejarah Islam
  merupakan mata pelajaran baru, yang jarang diajarkan di pesantren, dan jumlah
  kitab yang tersedia mengenai bidang ini masih sangat terbatas. Kebanyakan
  santri memperoleh pengetahuan mereka mengenai, dan kesadaran atas, sejarah
  Islam pada umumnya dari karya-karya yang berisi penghormatan kepada Nabi dan
  para wali. Dari judul judul kitab yang terdapat pada Tabel VII, hanya Nur
  Al-Yaqin yang merupakan buku teks sejarah yang sebenarnya; kitab ini dan
  versinya yang lebih ringkas, Khulashah Nur Al-Yaqin, benar-benar merupakan
  satu-satunya karya serius tentang sirah (biografi Nabi) yang dijadikan bahan
  pelajaran di pesantren. Karya aslinya dikarang oleh seorang pengarang Mesir
  modern, Muhammad Hudhari Bek; sedangkan Khulashah ditulis oleh ‘Umar ‘Abd
  Al-Jabbar, pengarang Makkah yang mengarang banyak buku teks untuk
 
madrasah.
  Buku-buku ini pada awalnya merupakan ciri khas kepustakaan madrasah, tetapi
  sekarang ternyata juga dipelajari di beberapa pesantren. Dua karya tentang
  sejarah lainnya, yang juga dikarang oleh Muhammad Hudhari Bek, sudah dicetak,
  dan menjadi populer, di Indonesia. Keduanya adalah Itmam Al- Wafa’ fi Shirah
  Al-Khulafa’, yang berisi sejarah para khalifah, dan Tarikh Tasyri’ Al-Islami,
  sejarah mendalam tentang perkembangan hukum Islam.
Tabel VII
Sejarah Hidup Nabi (Sirah) dan Karya Penghormatan untuk Nabi Saw

Daerah Sumatra Kalsel Jabar Jateng Jatim JML
| Jumlah Pesantren | 4 | 3 | 9 | 12 | 18 | 46 TINGKAT | 
| [Khulashah] Nurul Yaqin | 
 2 | 
 1 | 
 2 | 
 3 | 
 2 | 
 10 Tsanawiyah | 
| Barzanji | 0 | 1 | 1 | 1 | 0 | 3 | 
| Bardir | 0 | 1 | 1 | 0 | 1 | 3 | 
Dua teks lain yang
  tercantum dalam daftar adalah karya penghormatan terkenal yang berisi cerita
  kelahiran Nabi dan mi’raj-nya ke langit. Kitab Barzanji, buku maulid karya
  Ja’far Al-Barzinji, mungkin merupakan teks yang paling disukai di Indonesia
  setelah Al-Quran; kitab Dardir merupakan syarah yang disusun oleh Ahmad
  Al-Dardir atas kitab Mi’raj (perjalanan, Nabi ke langit) versi Najm Al-Din
  Al-Ghaithi. Di samping penggunaannya yang bersifat ritual (lihat bagian
  berikutnya, kitab-kitab ini juga berfungsi sebagai bahan-bahan pelajaran di
  sejumlah pesantren. Jumlah karya yang bersifat penghormatan kepada Nabi
  ditemukan di toko-toko buku lebih banyak dari dua karya yang terdaftar di
  sini: koleksi kami berisi lebih dari dua puluh lima buku sejenis.49 Penggunaan
  utama buku-buku ini bukanlah ditujukan untuk keperluan pendidikan, tetapi
  untuk tujuan pemujaan dan ibadah: kitab-kitab ini dapat dibaca secara pribadi
  sebagai suatu perbuatan amal baik atau, biasanya, dibaca secara berjama’ah,
  atau paling tidak di hadapan banyak orang, pada berbagai acara. Juga, terdapat
  kitab lain yang juga
 
dipergunakan untuk tujuan-tujuan non
  pendidikan seperti ini.
Untuk menyimpulkan survei kami, perlu juga
  diutarakan sedikit tentang berbagai jenis kitab yang bersifat ekstra-kurikuler
  serta penggunaannya.
Kitab Ekstra-Kurikuler: Penghormatan, Ritual
  dan Ilmu Gaib
Tidak semua kitab dalam koleksi kami termasuk bagian dari
  kurikulum resmi pesantren. Cukup banyak buku (lebih dari 10 %) yang
  dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain, yang mungkin secara kasar bisa
  dikelompokkan menjadi satu di bawah judul “penghormatan, ritual dan ilmu
  gaib”. Karena buku-buku ini mencakup buku-buku kumpulan doa-doa dan berbagai
  bacaan amalan sejenisnya (wirid, jamak: aurad) yang dibaca pada acara-acara
  tertentu, bimbingan latihan spiritual dari berbagai tarekat, teks-teks berisi
  penghormatan kepada Nabi atau salah seorang walli yang dibacakan pada
  acara-acara tertentu, buku-buku tentang ramalan, dan buku-buku pegangan ilmu
  gaib. Buku-buku semacam ini sangat populer, dan dijual lebih banyak daripada
  buku-buku yang lain.
Di banyak desa Jawa pembacaan Burdah, Diba’i atau
  Barzanji—puisi penghormatan kepada Nabi—yang dilakukan secara berjamaah
  seminggu sekali merupakan salah satu peristiwa sosial yang penting. Barzanji
  dan teks-teks serupa lainnya juga dibaca pada peristiwa-peristiwa tertentu
  dalam berbagai ritual yang mengiring siklus kehidupan seseorang, untuk
  memenuhi nazar atau menangkal bahaya. Berbagai kitab manaqib ‘Abd Al-Qadir
  Al-Jailani50 dipergunakan untuk tujuan ritual yang sama, dan kadang-kadang
  untuk tujuan mengusir setan. Ini tidak berarti bahwa teks-teks ini tidak
  dipergunakan sebagai bahan bacaan orang saleh; tetapi bahkan ketika dibaca
  sendirian, penekanan yang seringkali diberikan adalah kepada upaya memperoleh
  pahala yang banyak, keuntungan spiritual dan material yang akan diperoleh
  dengan perbuatan tersebut dan bukan kepada aspek kandungan informasi teks
  tersebut.
Untuk tujuan-tujuan ritual ini,  tidaklah penting apakah
  pembaca betul-betul memahami seluruh isi teks; mereka pada
 
umumnya
  membaca teks Arabnya saja.51 Namun terjemahan beberapa teks, tersebut sudah
  sejak lama ditemukan, di samping teks aslinya yang berbahasa Arab.
Burdah
  karya Bushiri diterjemahkan ke bahasa Melayu sejak abad ke-16 (Drewes 1955).
  Terjemahan berbahasa Jawa, Melayu dan Sunda dari Manaqib ‘Abd Al-Qadir sudah
  dipakai paling tidak sejak abad ke-19 dan seterusnya (Drewes dan Poerbatjaraka
  1938), bersama-sama dengan teks serupa yang berbahasa Melayu tentang Nabi
  (misalnya, Hikayat Nur Muhammad, Nabi bercukur, Nabi Wafat) dan juga tentang
  para wali seperti Muhammad b. ‘Abd Al-Karim Al-Samman. Buku-buku ini masih
  tersedia, dan terdapat juga banyak karya terjemahan baru dan syarah atas buku
  maulid dan manaqib terkenal yang dikarang oleh ulama Indonesia.52
Kategori
  penting lainnya adalah buku buku tentang “ilmu gaib Islam”. Menurut para
  pengamat yang teliti, jumlah orang yang mencari bantuan supernatural untuk
  mengatasi berbagai problem spiritual, psikologis atau material telah
  meningkat, bukan menurun, daripada dua dasawarsa yang lalu. Jumlah dukun
  tampaknya bertambah banyak, dan dengan demikian juga kiai dan orang lainnya
  yang mempraktikkan berbagai macam amalan Islami untuk melakukan penyembuhan
  gaib dan bantuan supernatural. Sementara sebagian masyarakat Muslim berjuang
  melawan “takhayul-takhayul”, bagi banyak orang Islam lain, mungkin mayoritas,
  dimensi-dimensi magis- mistis tetap merupakan bagian integral dari warisan
  Islam.
Kalangan santri pada umumnya menarik garis pembatasan yang ketat
  antara thibb (pengobatan) dan hikmah (ilmu-ilmu gaib), walaupun bagi banyak
  kalangan modernis keduanya adalah magi dan tidak dapat diterima. Hikmah
  berisi, secara terang-terangan, unsur-unsur pra-Islam, seperti penggunaan
  wafaq, sementara thibb hanya menggunakan teks-teks Al- Quran. Pembela thibb
  dengan bangga mengajukan argumen, untuk melawan kalangan modernis, bahwa salah
  seorang murid utama Ibn Taymiyah, Ibn Qayyim Al-Jauziyah, menulis sebuah karya
  penting dalam bidang ini, Al-Thibb Al-Nabawi. Dan bahkan bertentangan dengan
  yang dipercayai kalangan
 
modernis hikmah pun tidak jauh
  beranjak-dari arus besar ortodoksi Islam: Imam Ghazali menulis Al-Aufaq, karya
  tentang segi empat magis (wafaq), yang masih banyak dipergunakan di Indonesia,
  sementara pengarang yang sangat produktif, Jalal Al- Din Al-Suyuthi, menulis
  Al-Rahmah fi Al-Thibb wa Al-Hikmah. Namun, kitab hikmah yang paling
  berpengaruh adalah karya syaikh Afrika Utara abad ke-12/13, Ahmad b. ‘Ali
  Al-Buni: Syams Al-Ma’arif Al-Kubra dan Manba’ Ushul Al-Hikmah. Karya-karya ini
  dan karya serupa (yang tersedia dalam edisi lokal) banyak dipergunakan di
  pesantren Jawa, walaupun tidak merupakan bagian kurikulum formal dan semakin
  jarang diajarkan oleh kiainya sendiri. Namun, buku-buku ini menduduki tempat
  yang sentral dalam pengajaran kepada sesama santri. Para santri yang lebih tua
  seringkali secara bersama-sama mencoba berbagai teknik ilmu gaib terdapat
  dalam buku-buku ini.
Berbagai risalah singkat populer yang didasarkan
  kepada kitab-kitab hikmah ini, yang disebut “mujarrabat” (kebijaksana- an
  tradisional, harfiyah: sesuatu yang terbukti efektif) tersedia dalam jumlah
  yang terus meningkat dan dalam berbagai bahasa. Buku-buku ini berisi doa-doa,
  bacaan-bacaan dan simbol-simbol yang berkekuatan magis untuk berbagai tujuan
  yang berhubungan dengan kesehatan, cinta, karier, perlin- dungan dari ruh-ruh
  jahat dan menghindari kecelakaan dalam perjalanan. Ada beberapa karya sejenis
  ini yang menyebutkan manfaat-manfaat tertentu yang diperoleh dengan membaca
  ayat-ayat Al-Quran atau doa-doa tertentu. Tidak ada garis pemisah yang jelas
  yang membedakan buku-buku mujarrabat dengan primbon, kumpulan informasi yang
  berguna, yang mengandung jenis bacaan-bacaan magis yang serupa, di samping
  daftar hari-hari dan jam-jam mujur, ramalan kejadian (dengan menggunakan
  mimpi, hari di mana haidh seorang wanita mulai, dan seterusnya), daftar doa
  yang sangat panjang, dan seterusnya. Buku-buku yang termasuk jenis ini, yang
  melayani khalayak awam dan tidak terdidik, dicetak dalam jumlah yang sangat
  besar. Sebagian sudah dicetak dalam bahasa Indonesia berhuruf Latin, tetapi
  kebanyakan dalam bahasa Melayu, Jawa atau Sunda dengan huruf Arab dan, karena
  itu, nampaknya
 
di tujukan kepada masyarakat sekitar dunia
  pesantren—orang- orang yang memiliki pengetahuan tentang huruf Arab. Teks-
  teks yang singkat ini mungkin lebih besar pengaruhnya dalam membentuk sikap
  keagamaan populer daripada karya-karya yang lebih serius yang dipelajari di
  pesantren. []
 
Catatan akhir:
1.    Versi
  awal dari tulisan ini telah dibaca dan diberi komentar oleh Abdurrahman Wahid,
  G.W.J. Drewes, J.  Noorduyn dan Karel Steenbrink, di samping beberapa
  orang lainnya yang membantu saya dengan sejumlah informasi. Meskipun demikian,
  mereka, tentu saja, tidak dapat disalahkan karena adanya berbagai kekurangan,
  yang merupakan tanggung jawab saya sendiri.
2.    Katalog
  yang diatur menurut abjad sesuai dengan berbagai kriteria klasifikasi—nama
  pengarang, judul pendek atau sebutan popular (terpisah dari judul lengkapnya),
  pokok bahasan, dan bahsa—telah dipersiapkan untuk lebih memudahkan
  pemanfaatannya bagi para pemakai dan mem- permudah usaha untuk mengetahui isi
  koleksi ini.
3.    Agen Dar Al-Fikr yang tadi disebut,
  baru-baru ini (awal tahun 1988) mulai mencetak ulang beberapa judul buku juga
  di Indonesia, dengan menggunakan nama Dar Al-Fikr Indonesia.
4.   
  Lihat Snouck Hurgronje 1889: 386-7, di mana juga diberikan sebuah daftar judul
  buku yang dicetak.
5.    Kebanyakan bait sajak tersebut
  berbahasa Melayu, tetapi beberapa di antaranya berbahasa Arab, walaupun di
  sini tetap mempertahankan gaya sajak Melayu yang lazim dipakai. Sebuah contoh
  dari baitnya yang memperkenalkan penerjemahan anonim atas kitab Al-Hikam karya
  Ibn ‘Athaillah: Kitab inilah yang patut mengajinya * dan upamanya mas sudah
  diujinya/ dan upama pula makanan diidang * dan yang lain itu tudung
  sajinya/dan upama pula buah-buahan * isinya dan minyaknya dalam bijinya/kerana
  ialah yang menyampai kepada Tuhan * lagi besar pahalanya dan gajinya/dan yang
  dapat ilmunya dan meamalkan * orang itulah sebenar dipuji- Nya/surga itulah
  kediaman yang kekal * ilmu ini pintunya dan bajinya/dan yang jahil dengan dia
  api neraka * selar, sengat tikamnya gergajinya/ya rabbi kurniakan futuh
  engkau
* bagi tiap-tiap hamba mengajinya.
6.   
  Cetakan ulang Al-Quran Bombay secara fotomekanis masih diterbitkan dalam
  jumlah besar sekarang (oleh Al-Ma’arif).
 
Dapat dibaca dengan
  jelas dengan huruf-hurufnya yang besar, formatnya masih merupakan salah satu
  format yang paling populer di pasaran buku Indonesia.
7.   
  Pencetakan buku berbahasa Melayu (bahan-bahan non- Islam) yang disponsori
  missi dan pemerintah mulai dilakukan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak,
  di Singapura dan juga Hindia Timur Belanda, sebelum pertengahan abad. Di
  Singapura huruf Arab digunakan, dan di Hindia pada awalnya kebanyakan dicetak
  dalam abjad Latin. Lihat Roff 1980: 44 dan Hoffmann 1979, terutama hlm.
  76-89.
8.    Tentang Sayyid Usman, lihat Snouck Hurgronje
  1887b dan 1894. Dua belas dari karyanya yang banyak (termasuk karya yang
  ditinjau dalam tulisan Snouck yang kemudian) sampai sekarang masih tersedia
  dalam bentuk cetakan ulang yang diterbitkan di Jakarta dan Surabaya.
9.   
  Von Dewall 1857. Pengarang mendapat kabar angin tentang adanya percetakan
  pribumi kedua di Surabaya, tetapi saya belum berhasil membuktikan kebenaran
  informasi ini.
10.    Yunus 1979, hlm. 66-7, menyebutkan
  judul-judul buku yang ditulis pada tahun 1930-an oleh para pengarang yang
  mempunyai hubungan dengan Sumatra Thawalib. Beberapa di antaranya, yang
  ditulis oleh Mahmud Yunus sendiri dan Abdul Hamid Hakim, masih dipakai di
  madrasah-madrasah di seluruh Indonesia. Sebuah karya fiqih (4 jilid) dalam
  bahasa Arab yang ditulis Abdul Hamid Hakim, Al-Mu’in Al-Mubin, juga
  diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan masih dipelajari di Malaysia dan
  Thailand bagian selatan.
11.    Dalam hubungan ini
  Schrieke 1921 menyebutkan sekitar sepuluh buku serta beberapa majalah yang
  dicetak di Sumatra Barat (di percetakan Belanda), di Padang, Fort de Cock
  (Bukittinggi) dan Padang Panjang serta beberapa jurnal. Peserta polemik lain
  juga menerbitkan karya-karya mereka di Makkah dan Kairo. Pada tahun 1920-an
  dan 1930-an terdapat lebih dari sepuluh penerbit Muslim yang berbeda yang
  beroperasi di berbagai kota di Sumatra Barat (Sanusi Latif dari Padang,
  percakapan pribadi).
 
12.    Paragraf berikut
  ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan para tokoh penerbitan kitab,
  Muhammad bin ‘Umar Bahartha (yang pada tahun 1948 mendirikan, dan sampai
  sekarang masih  memimpin, Al-Ma’arif  Bandung, penerbit yang paling
  besar di Indonesia), Usman bin Salim Nabhan dari Surabaya dan beberapa
  penerbit muda.
13.    Pada paruh pertama abad kedua puluh,
  pemerintah Hindia Belanda menarik pajak atas impor kertas tetapi tidak untuk
  impor buku-buku cetakan, yang memberikan keuntungan bagi penerbit Singapura,
  Sulaiman Mar’i, dalam persaingannya dengan para penerbit di Hindia Belanda.
  Namun, sekarang Indonesia memproduksi  sendiri  kertas  bermutu
  tinggi, sementara upah buruh dan pengeluaran tambahan di Singapura sangat
  tinggi. Tidak hanya penerbit lama milik Sulaiman Mar’i ditutup pada awal tahun
  l980-an.
14.    Jangan dikacaukan dengan perusahaan
  penerbitan Mesir yang mempunyai nama yang sama, tetapi tidak ada hubungan
  formal dengannya
15.    Di Kelantan, huruf yang umum
  digunakn adalah huruf Arab, bukan Latin, sehingga di sini tidak terlalu
  gampang membedakan kitab dari buku-buku yang lain.
16.   
  Informasi rinci tentang kitab yang diterbitkan di Patani terdapat dalam
  Matheson dan Hooker 1988.
17.    Di beberapa pesantren
  tradisional di Jawa Timur, santri “mempelajari” karya-karya manzhum tersebut
  dengan membacanya bersama-sama dengan irama tertentu, yang diikuti suara
  rebana dan tepukan tangan—yang sudah berkembang menjadi bentuk kesenian Muslim
  yang khas.
18.    Ini adalah peniruan atas buku-buku teks
  tulisan tangan santri pada masa terdahulu: yang setelah menyalin teks asli
  berbahasa Arab, mereka akan mendengarkan penjelasan kiai dan menuliskan
  terjemahannya di sela-sela baris teks Arabnya.
19.   
  Tentang Dahlan, lihat Snouck Hurgronje 1887a, Al-‘Attas 1979, II: 700-12;
  tentang Sayyid Bakri dan karya utamanya I’anah Al-Thalibin, Snouck Hurgronje
  1889: 253, 259-60.
 
20.    Tentang Nawawi
  Banten, lihat Snouck Hurgronje 1889: 362- 7; Chaidar 1978, Sarkis (1928)
  menyebutkan 38 karya yang diterbitkan oleh Nawawi. Tentang karya utamanya,
  Al-Tafsir Al-Munir, lihat Johns 1984 dan 1988.
21.   
  Sebuah gambaran singkat tentang riwayat hidup Al- Bajuri, yang pernah menjadi
  Syaikh Al-Islam Kairo, diberikan dalam karya Snouck Hurgronje Verspreide
  Geschriften, jilid II, hlm. 417: sebuah peinbahasan mendalam tentang karya
  fiqihnya yang digunakan secara luas terdapat dalam Snouck Hurgronje 1899.
22.   
  Penulis biografinya, Abdullah (1987: 45-6), menyebut 38 karya yang ditulisnya,
  namun beberapa di antaranya rupanya sudah tidak bisa ditemukan lagi.
23.   
  Lihat Danuwijoto 1977. Kebanyakan karya ulama Saleh (Danuwijoto menyebut 12
  judul) sekarang tidak dicetak dan tidak dapat ditemukan lagi.
24.   
  K.H. Mahfudz sangat dimuliakan di kalangan para kiai sekarang sebagai ulama
  Jawa yang paling mendalam pengetahuannya di antara para ulama Jawa yang pernah
  ada. Dia adalah guru yang sangat dihormati oleh beberapa ulama pendiri NU
  (termasuk Hasyim Asy’ari). Tidak banyak tulisan tentang riwayat hidupnya;
  terdapat beberapa catatan singkat tentang ini dalam ‘Abbas 1975- 460 dan ‘Abd
  Al- Jabbar 1385/1965-6: 321-2.
25.    Tentang Mahmud Yunus
  yang merupakan orang Indonesia pertama yang berhasil menamatkan pendidikannya
  di Dar Al-Ulum Mesir dan pendidik yang bersemangat, lihat Taufik Abdullah
  1971:141-2,151-4,213-4, dan Yunus 1979, passim; tentang Abdul Hamid Hakim,
  lihat Latief 1981: 199-208.
26.    Mengenai
  perbedaan-perbedaan antara kedua lembaga pendidikan Islam ini, lihat
  Steenbrink 1974: ulasan tentang kurikulum keduanya dapat ditemukan dalam Yunus
  1979, passim.
27.    Katalog naskah berbahasa Arab, Melayu
  dan Jawa di perpustakaan Jakarta dan perpustakaan Leiden juga memberikan
  informasi yang berguna tentang kitab yang dipakai
 
pada abad
  kesembilan belas, walaupun tetap meragukan seberapa jauh koleksi tersebut
  mewakili bagi lingkungan pesantren. Serat Centhini, yang mungkin disusun pada
  awal abad ke-19, menyebut banyak kitab; ada kecocokan yang dekat antara yang
  termuat di dalamnya dengan daftar yang diberikan Van den Berg (lihat Soebardi
  1971). Untuk periode yang lebih awal, Drewes (1972, lampiran) telah menyusun
  sebuah daftar karya yang menarik yang dipakai di Palembang pada abad ke-
  18.
28.    Misalnya, Departemen Agama 1977; Prasodjo dkk..
  1978: 51-68; Yunus 1970, passim; Zarkasyi 1985.
29.   
  Tentang pesantren Jawa Barat lihat, terutama, Prasodjo et Al., 1978: 51-68;
  Amidjaja et al., 1985: 41-43. Tentang pesantren Jawa Tengah dan Timur,
  terdapat serial monograf yang dipersiapkan oleh Balai Penelitian dan
  Pengembangan Departemen Agama, yang dipersiapkan selama tahun 1980-1983.
30.   
  “Sikap dan Pandangan Hidup Ulama Indonesia”, sebuah proyek penelitian
  LIPI-IPSK yang dilakukan pads tahun 1986- 1988.
31.   
  Data untuk wilayah Riau dan Palembang diperoleh melalui wa- wancara dengan
  bererapa ulama setempat. Tentang Pariaman berasal dari hasil wawancara dan
  observasi di tempat, semuanya dalam rangka proyek penelitian yang telah
  disebutkan. Kuri- kulum PERTI dikutip dari Yunus 1979: 100.
32.   
  Sampai sekarang masih ada beberapa pondok pesantren di Kalimantan.
  Pesantren-pesantren tersebut baru didirikan belakangan, dengan mengikuti gaya
  pesantren Jawa Timur. Tingkat pelajaran di sini relatif masih rendah. Sebelum
  pesantren-pesantren ini berdiri, orang biasanya belajar secara pribadi
  langsung kepada seorang guru, sebagian besar dengan menggunakan Kitab Melayu
  (khususnya karya M. Arsyad Al- Banjari).
33.    Hampir
  semua karya yang disebutkan Van den Berg masih digunakan dan, lebih dari itu,
  di pihak lain, di antara buku- buku yang lebih populer yang disebutkan dalam
  daftar Drewes banyak  judul  yang  sudah  tidak 
  digunakan  lagi  sekarang,
 
sementara teks-teks yang
  popular dalam daftar yang kami buat tidak menonjol dalam daftarnya. Dalam
  koleksi- koleksi perpustakaan, item-item yang relatif langka umum- nya
  cenderung ditonjolkan—dan judul yang lebih umum tidak cukup terwakil (teks
  yang langka, bagaimana pun juga, tampak sebagai koleksi jauh lebih berharga).
  Di samping tidak menyebutkan baik Kailani maupun Maqsyud dengan syarahnya,
  Al-Amtsilah, Bina atau Asymawi, Drewes menyebutkan karya Dahlan sebagai syarah
  atas kitab Jurumiyah dan bukan Alfiyah. Dia juga tidak menyebutkan satu karya
  pun tentang balaghah: tidak jelas apakah tidak ada naskah tentang cabang ilmu
  ini di perpustakanperpustakaan, atau apakah Drewes tidak menganggap ilmu
  balaghah sebagai cabang dari ilmu tata bahasa Arab.
34.   
  Singkatan GAL dan GALS yang digunakan di sini dan pada halaman berikutnya
  merujuk kepada karya Carl Brockelmann, Geschichte der Arabischen Literatur,
  jilid I-II dan tiga jilid Suplemen-nya.
35.    Saya
  berhutang budi untuk informasi mengenai kurikulum madrasah tradisional di
  lingkungan Kurdi kepada teman saya M.E Bozarslan dan M. Taifun, keduanya dari
  Kurdistan utara, dan Fadhil Ahmad Karim dari Kurdistan selatan. Snouck
  Hurgronje (1883) menceritakan sebuah buku teks tulisan tangan orang Sumatra
  Barat yang berisi, menurut urutan tersebut, sebuah daftar ungkapan-ungkapan
  tata bahasa, tabel infleksi, sebuah buku tanpa judul yang tampaknya merupakan
  (bagian dari) Al-‘Izzi. ‘Awamil dan sebuah syarah atas Jurumiyah (karangan
  Syaikh Khalid b.’Abdullah Al-Azhari). Karya yang terakhir ini masih populer di
  seluruh Sumatra, dengan nama Syaikh Khalid atau Azhari atau judul sebenarnya
  Tamrin Al-Thullab.
36.    Dalam beberapa edisi, Bina’ dan
  ‘Izzi dicetak menjadi satu dengan karya-karya pengantar ilmu sharaf lainnya,
  misalnya Al-Maqshud, Al-Shafiyah (karangan Jamal Al-Din
b. Al-Hajib,
  wafat 646/1249, lihat GALI:303-6), dan dua teks anonim, Al-Marah dan Amtsilah
  Mukhtalifah. Semua teks ini
 
sangat singkat: seluruh koleksi
  terdiri tidak lebih dari 72 halaman).
37.    Menurut Van
  den Berg dan Drewes, nama lengkap Ibnu Hisyam ini ialah Abu ‘Abdallah b. Yusuf
  d. Hisyam, tetapi halaman judul edisi Indonesia karyanya menyebut namanya
  sebagai Jamal al-Din b. Hisyam Al-Anshari. Terdapat berbagai syarah terhadap
  karya ini, di antaranya Mujid Al-Nida’ oleh Syihab Al-Din Ahmad Al-Fakihi,
  yang diberikan hasyiyah oleh Ahmad Al-Sija’i dan taqrir oleh Syams Al-Din
  Al-Anbabi.
38.    Bukan Murauniq, sebagaimana ditulis
  Brockelmann (GAL S: 705).
39.    Yakni, sekarang ini.
  Ternyata, karya Nashafi, ‘Aqa’id ter- masuk dalam karya-karya pertama yang
  diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Sebuah naskah abad ke-16 dengan
  terjemahan di sela baris aslinya masih dapat ditemukan (Al-Attas 1988).
40.   
  Untuk pembahasan tentang isi dari beberapa teks jenis ini, lihat Nor bin Ngah
  1983: 13-18
41.    Peter Riddell (1984) menunjukkan bahwa
  Tarjuman (atau paling tidak beberapa bagiannya yang dia pelajari) bukanlah,
  sebagaimana diterima begitu saja oleh baik para orientalis maupun banyak orang
  Islam (termasuk penerbit Tarjuman), sebuah adaptasi dari tafsir karya Baidhawi
  tetapi pada umumnya merupakan terjemahan langsung dari kitab tafsir yang
  dikarang oleh dua orang ulama yang sama-sama bernama halal (Al-Suyuti dan Al-
  Mahalli) dengan menambahkan beberapa penjelasan rinci dari Baidhawi dan
  Khazin.
42.    Komentar kritis atas karya ini, khususnya
  tentang miskinnya sumber yang dijadikan rujukan, dapat ditemukan dalam Johns
  1984: 158.
43.    Patut dicatat bahwa dalam karya Snouck
  Hurgronje, Adviezen, yang banyak membahas pendidikan Islam pada zamannya,
  terdapat hanya satu rujukan kepada hadis yang, bahkan, tidak dalam kaitannya
  dengan Indonesia tetapi dengan Tanah Arab.
 
44.   
  Djohan Effendi, “Tilikan singkat terhadap berbagai kumpulan hadis Nabi
  Muhammad”, paper yang disajikan pada seminar “Pandangan Hidup dan Sikap Hidup
  Ulama Indonesia”, LIPI, Jakarta, 24-25 Februari 1988.
45.   
  Hampir semua anekdot Sufi dan wejangan syaikh besar yang dikutipnya mengarah
  kepada himbauan moral yang sama, penyerahan diri sepenuhnya kepada sang guru.
  Sebagian karya Syaikh Yusuf diringkaskan dalam Tudjimah cs. 1987.
46.   
  Ringkasan mengenai isinya diberikan dalam Abdullah 1980: 107-121; analisis
  dalam Mansur 1982.
47.    Lihat, misalnya, Panji
  Masyarakat 556 (1-11-1987) dan 562 (1-1-1988):71-72. Sebuah catatan biografis
  tentang Al- Haddad, oleh editornya Hasanain M. Makhluf, ditemukan dalam kata
  pengantar karyanya yang berjudul Al-Da’wah Al-Tammah (ada dalam koleksi
  kami).
48.    Buku-buku tersebut diterbitkan oleh Penerbit
  Mizan di Bandung (yang dipimpin oleh putra Al-Baqir, Haidar Bagir), yang juga
  menerbitkan karya-karya pemikir Iran, Ali Syari’ati dan Muthahhari, pada
  umumnya diperuntukkan bagi para pembaca Muslim berusia muda, berpendidikan dan
  taat beragama. Beberapa teks singkat karangan Al- Haddad diterbitkan di
  Indonesia oleh penerbit lain dalam bentuk terjemahan.
49.   
  Termasuk buku  maulid karangan Barzinji, ‘Adzb, Diba’i, Jamal Al-Din
  Al-Jauzi, ‘Ali b. M. Habsyi dan Sayyid ‘Usman, Qasidah Al-Burdah karangan
  Bushiri, Isra’ Mi’raj karangan Najm Al-Din Ghaithi dan Da’ud b. Abdallah
  Al-Patani serta berbagai syarah dan terjemahan (untuk Barzinji saja terdapat
  empat terjemahan bahasa Jawa yang berbeda).
50.   
  Terdapat juga manaqib Baha’ Al-Din Naqsyaband, Muhammad b. Abd Al-Karim Samman
  dan Ahmad Tijani, tetapi penggunaannya pada umumnya (walaupun tidak selalu)
  terbatas kepada tarekat-tarekat tasawuf yang terkait dengan nama para syaikh
  mereka, sementara ‘Abd Al- Qadir Al-Jailani dihormati hampir oleh semua
  penganut
 
tarekat. Kajian yang dilakukan Drewes dan
  Poerbatjaraka 1938 masih merupakan kajian yang paling  penting tentang
  manaqib ‘Abd Al-Qadir. Namun Hikayat Seh (yang didasarkan atas karya Yafi’i,
  Khulashah Al-Mafakhir), yang paling banyak menyita perhatian mereka, sekarang
  dalam hal popularitasnya jauh dilampaui oleh karya Barzinji, Lujain, dan ‘Abd
  Al-Qadir Al-Arbili, Tafrih Al-Khathir, serta beberapa syarah atas kedua teks
  tersebut.
51.    Lihat Drewes dan Poerbatjaraka 1938:
  31-3, tentang pem- bacaan Hikayat Seh dalam bahasa-bahasa regional.
52.   
  Koleksi kami berisi tidak kurang dari empat terjemahan yang berbeda dari
  Barzinji. Untuk daftar tentang syarah dan terjemahan (yang dikarang pada abad
  ke-20) atas Barzinji dan Manaqib yang ditulis oleh pengarang yang sama (tidak
  semua diwakili dalam koleksi kami), lihat lampiran di hlm. 111 dalam buku
  ini.
 
  KITAB KUNING DAN PEREMPUAN, PEREMPUAN DAN KITAB KUNING1
Kitab Kuning dan Emansipasi Perempuan: Konflik Budaya?
Pengamatan-pengamatan
  Masdar mengenai kedudukan perempuan dalam diskursus (wacana, bahasan) dominan
  kitab kuning terasa tidak enak didengar tetapi  memang sulit dibantah.
  Baik dalam penggunaan bahasa (yang sangat memihak kepada jenis mudzakkar)
  maupun pilihan aspek kehidupan perempuan yang dijadikan pokok bahasan kitab-
  kitab fiqih, terdapat bias yang begitu dalam dan transparan. Tolok ukur untuk
  segala hal adalah laki-laki, dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki
  diberi makna bahwa perempuan tidak mencapai martabat laki-laki. Keberadaan
  perempuan seolah-olah hanya demi mengabdi kepada laki-laki dan memenuhi
  kebutuhan seksualnya saja. Status laki-laki baik di dunia maupun di akhirat
  jauh di atas status perempuan, dan dengan tolok ukur harga, bobot atau
  keseriusan, satu orang laki-laki adalah sepadan dengan dua orang perempuan.
Memang
  tak menyenangkan bagi mereka yang meyakini bahwa perempuan sama mulia
  martabatnya dengan laki-laki. Karena dalam pemahaman mereka, semangat Islam
  yang sesungguhnya justru egaliter, dan hanya menilai manusia berdasarkan kadar
  kesalehannya. Saat Masdar membaca paper- nya di seminar, ia sempat terkena
  amarah beberapa peserta seminar, yang kelihatannya sudah begitu jenuh
  mendengar pandangan yang paternalistis dan menindas perempuan itu.
 
Mereka
  agaknya menganggap bahwa Masdar cenderung mengedepankan pandangan kitab fiqih
  sebagai satu-satunya kebenaran Islami. Padahal, paper-nya merupakan hasil
  analisis yang sangat kritis tentang khazanah pesantren ini. Ia menggali
  aspek-aspek uraian kitab kuning yang berkaitan dengan perempuan dan
  menyampaikannya dalam bentuk singkat, tajam dan jelas. Dalam sebagian besar,
  uraian tersebut diketahui umum, namun baru ketika disusun secara sistematis
  bias anti perempuan kitab fiqih terasakan demikian pekat. Bukan pendapat
  Masdar sendiri yang menimbulkan culture shock; kemarahan peserta tadi
  merupakan isyarat keberhasilannya dalam merangkum secara tajam sikap yang
  tertuang dalam khazanah kitab kuning.
Masdar dikenal sebagai orang yang
  sekaligus loyal dan kritis kepada tradisi keilmuan kitab kuning. Dalam
  berbagai forum ia senantiasa mengambil sikap bahwa kitab, selain obyek
  pengajian, harus dijadikan obyek pengkajian, studi kritis. Karya ulama zaman
  dulu mestilah dipahami secara kontekstual, dengan memperhatikan latar belakang
  sejarah, sosial dan politik. Kitab kuning dengan segala muatannya bukanlah
  kebenaran mutlak, melainkan juga mencerminkan budaya, kebutuhan dan pendapat
  umum pada tempat dan zaman dikarangnya.
Demikian juga dalam hal kedudukan
  perempuan. Pada abad pertengahan, zaman sebagian besar kitab klasik disusun,
  tuntutan emansipasi belum ada dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam
  segala bidang dianggap wajar saja, bukan hanya di dunia Islam tetapi juga di
  kawasan budaya lainnya termasuk Eropa. Dengan kata lain (kalau saya boleh
  meringkas telaah Masdar dengan kata-kata saya yang kurang halus), isi kitab
  kuning merupakan perpaduan antara ajaran pokok Islam (Al-Quran dan hadis)
  dengan budaya lokal. Budaya adalah sesuatu yang selalu berubah, sehingga kalau
  isi kitab kuning terasa kurang cocok dengan kita, mungkin hanya disebabkan
  budaya kita sudah.lain daripada budaya pengarang. Di sini tampak pandangan
  Masdar relativistis: pendapat dan budaya kita boleh saja berbeda dengan budaya
  dan pendapat orang lain (misalnya ulama pengarang kitab kuning).
  Masing-masing
 
tentu saja merasa dirinya yang paling benar,
  walau tidak ada kriteria yang obyektif.
Apakah Kesan Masdar Terlalu Negatif?
Siapa pun boleh saja membantah atas perhatian yang ditekankan 
  kepada  uraian  berbias  antiperempuan  dalam kitab kuning
  oleh Masdar dengan melukiskan gambaran yang terlampau negatif. Karena dalam
  kenyataannya pemberlakuan ajaran kitab kuning seringkali menjadi lebih
  longgar. Seperti lazimnya, pada setiap masalah dijumpai rupa-rupa pandangan
  dalam kitab-kitab fiqih. Dengan metodologi yang dikenakan Masdar, 
  boleh  jadi,  pandangan  yang relatif  ekstrem  lebih
  dikedepankan  sedangkan  yang  lebih  moderat 
  diketepikan. Tidakkah mungkin lingkup pandangan yang terdapat dalam
  kitab-kitab fiqih lebih luas daripada yang digambarkan Masdar?
Masdar
  sesungguhnya belum menyertakan semua penda- pat “ekstrem” yang terangkum dalam
  dunia kitab kuning. Untuk ini saya ingin menambahkan dua contoh lain. Yang
  pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah status perempuan di akhirat kelak
  akan tetap di bawah status laki-laki juga (itu memang asumsi tersirat yang
  dicerna Masdar dalam kitab-kitab). Menurut pendapat segolongan ulama
  tradisional memanglah demikian, dan mereka memberikan alasan berdasarkan suatu
  perhitungan pahala. Betapa saleh pun seorang perempuan, demikian pendapat ini,
  namun ia tidak mungkin mendapat pahala setaraf dengan laki-laki yang saleh.
  Setiap bulan selama beberapa hari seorang perempuan dilarang beribadah,
  sehingga baik jumlah shalat fardhu maupun jumlah hari puasa yang dilakukannya
  lebih sedikit daripada jumlah kewajiban agama yang bisa dilakukan seorang laki
  laki.2 Sekali lagi, fungsi biologis perempuan (haidh) dijadikan alasan untuk
  menurunkan martabat perempuan. Kendati tidak semua ulama tradisional setuju
  dengan “ilmu akuntansi pahala” yang diajukan dalam argumentasi ini, dan
  pendapat ekstrem tadi adalah pendapat sebagian kecil saja.
 
Contoh
  saya yang kedua menyangkut kebebasan laki-laki menceraikan istrinya atau,
  lebih tepatnya, menuduh istrinya berzina tanpa adanya saksi yang melihat
  langsung. Memang, Islam memberikan kaum istri perlindungan terhadap tuduhan
  yang tidak bisa dibuktikan, sebagaimana diuraikan Masdar. Mencari empat orang
  saksi yang melihat langsung tindakan zina hampir mustahil, sehingga dalam
  praktik kebebasan laki- laki menceraikan istrinya dengan alasan ini dibatasi.
  Namun yang tidak disinggung Masdar adalah jalan keluar yang dibiarkan
  kepada  laki-laki,  yaitu  li’an.  Kalau  sang 
  suami  bersumpah bahwa istrinya telah main serong  dan 
  Tuhan  melaknatinya kalau ia berbohong, istrinya segera diceraikan tanpa
  kewajiban suami terhadapnya, dan anaknya (kalau hamil) dianggap tidak sah.
  Dalam hal ini, sang suami tidak terkena hukuman atas tuduhan yang tak bisa
  dibuktikan (tetapi sang istri bisa lepas dari hukum rajam kalau ia bersumpah
  laknat bahwa suamilah yang berbohong).3  Jadi, kalau dua-duanya
  bersumpah, sang suami yang menang dan bisa begitu saja menceraikan
  istrinya.
Dua contoh tadi menunjukkan bahwa gambaran yang dilukiskan
  Masdar belum tentu terlalu negatif dan secara selektif menunjukkan hukum-hukum
  yang paling merugikan perempuan. Dengan menggali lebih banyak kitab, agaknya,
  akan kita menemukan lebih banyak sikap yang sangat biased lagi. Tentu kalau
  kita memperhatikan, di samping hukum- hukum fiqih yang tertulis, pelaksanaan
  hukum Islam dalam praktik, kesimpulan kita mungkin akan berbeda; praktik
  biasanya jauh lebih longgar dan lunak daripada hukum- hukum kitab. Demikian
  misalnya contoh mengenai li’an tadi. Walaupun hampir semua kitab fiqih
  menguraikan perihal. li’an, namun dalam praktik jarang sekali terjadi kasus
  laki-laki menceraikan istrinya melalui prosedur li ‘an.4 Tambahan lagi,
  peraturan lain yang merugikan kaum perempuan seringkali juga tidak
  dilaksanakan secara harfiah. Dalam pembagian warisan, misalnya, orangtua
  sendiri sering mencari jalan keluar melalui wasiat atau dengan cara
  menghibahkan harta miliknya sebelum meninggal dunia.
 
Walaupun
  demikian, keadaan ini tidak mengurangi kenyataan bahwa diskursus kitab kuning
  sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Secara demikian kesimpulan
  Masdar tidak berlebihan.
Bias Karena Kitab Kuning Dikarang oleh Ulama Laki-laki
Salah satu faktor penyebab yang juga disebut Masdar adalah kenyataan
  bahwa kitab kuning nyaris semuanya dikarang oleh laki-laki, sehingga mudah
  dimengerti jika prasangka dan kepentingan jenis laki-laki sangat mewarnai
  pembahasannya. Seandainya pakar-pakar fiqih dan tauhid yang perempuan
  mengembangkan kembali sebuah fiqih baru dan doktrin-doktrin iman, berdasarkan
  nash yang sama, niscaya sangat berbeda dengan fiqih dan doktrin yang ada
  sekarang ini. Usaha semacam ini telah dilakukan di dunia Kristen oleh para
  ahli teologi perempuan, dan mencapai kesimpulan yang menghebohkan. Melalui
  kajian kritis terhadap karya-karya kaum teolog laki-laki mereka berhasil
  membongkar banyak prasangka dan bias yang sebenarnya tidak bersangkut paut
  dengan ajaran agama yang asli tetapi yang belakangan dianggap bagian esensial
  dari doktrin-doktrin Kristen. Para teolog feminis telah mengembangkan suatu
  teologi Kristen alternatif yang berbeda sekali dengan ajaran tradisional yang
  begitu paternalis dan menindas perempuan. Dalam dunia Islam, Riffat Hassan,
  sarjana dari Pakistan, adalah salah seorang yang berusaha mengembangkan
  pemikiran Islam yang dibersihkan dari bias laki-laki.5
Teologi feminis
  Islam belum muncul, namun satu kajian yang layak disebut disebut di sini,
  yaitu buku Perempuan dan Islam, Kajian Sejarah dan Teologi oleh Fatima
  Mernissi dari Marokko.6 Pengarang ini seorang wanita Islam yang sosiolog dari
  keluarga tradisional tetapi berpendidikan modern. Ia mulai mempertanyakan
  hal-hal yang diajarkan kepadanya mengenai status dan tingkah laku yang layak
  bagi kaum Muslimat. Ia mempelajari kitab hadis, tafsir dan sirah untuk mencari
  asal- usul  dari  (yang  disebutnya)  misogini,
  kebencian  terhadap
 
perempuan, dalam tradisi Islam. Ia
  menunjukkan, berdasarkan sumber Islam masa awal, bahwa sikap Nabi Saw.
  terhadap perempuan sangat arif, terbuka dan toleran, dan barulah belakangan
  muncul tokoh umat Islam yang mengambil sikap bertolak belakang dengan sikap
  Nabi. Pemimpin yang ia soroti sebagai bertanggung jawab atas penurunan status
  wanita dalam Islam adalah Khalifah ‘Umar, yang muncul lebih macho dari
  sumber-sumber sejarah, lebih keras dan menindas terhadap perempuan. Di antara
  para perawi hadis, terutama Abu Hurairah yang mendapat perhatiannya karena
  banyak hadis yang memojokkan perempuan konon diedarkan oleh Abu Hurairah.7 Dan
  hal-hal yang diketahui mengenai riwayat hidup Abu Hurairah, Mernissi
  menggambarkan profil psikologi tokoh ini sebagai laki-laki yang mengalami
  kesulitan menghadapi perempuan, mungkin juga kelainan seksual.
Mernissi
  membuat suatu pengamatan menarik lagi. Kalau para pengarang kitab klasik
  bertolak dari asumsi bahwa laki-laki adalah superior terhadap perempuan, itu
  wajar saja karena pada zaman dan tempat mereka menulis pendapat lazim memang
  demikian. Tetapi tahun-tahun terakhir ini pasar di negara- negara Muslim
  dibanjiri edisi baru dari kitab-kitab klasik yang paling diskriminatif
  terhadap perempuan, yang dijual dengan harga yang sangat murah. Hal ini,
  menurut Mernissi, bukan suatu kebetulan; ia melihat terjadi serangan massal
  dari kalangan ulama paling konservatif yang ingin melestarikan status quo dan
  “melindungi” Islam dari “bahaya” emansipasi perempuan dan feminisme.8
  Konservatisme ini tidak merupakan monopoli dunia Islam; reaksi serupa timbul
  di mana-mana dalam proses modernisasi, dengan meningkatnya mobilitas dan
  pergeseran pembagian kerja.
Seorang Pengarang Kitab Kuning yang Perempuan
Sisi lain dari diskriminasi terhadap kaum perempuan adalah kenyataan
  bahwa sumbangan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sastra dan
  senirupa sering tidak diakui. (Pekerjaan lain yang dibuatnya, yaitu
  pekerjaan
 
rumah tangga, malahan tidak diakui sebagai kerja
  dan tidak masuk perhitungan statistik ekonomi). Di Eropa, secara
  berangsur-angsur para ilmuwan feminis telah berhasil mengoreksi pandangan
  keliru tentang sumbangan perempuan itu, dan menunjukkan bahwa sumbangan
  perempuan lebih besar daripada yang diduga sebelumnya. Mereka menemukan
  kembali karya-karya perempuan yang pernah—sengaja atau tidak—terlupakan. Akan
  halnya Islam, tidaklah mustahil kajian serupa mengenai sejarah keilmuan Islam
  juga akan menghasilkan temuan yang mengejutkan. Untuk ini, saya ingin
  mengajukan suatu contoh lagi.
Di antara kitab kuning yang banyak dibaca
  di Indonesia terdapat satu yang dikarang oleh seorang ulama Melayu yang
  perempuan. Namun tidak banyak pembaca menyadari hal ini, sebab kitab tersebut
  belakangan diatasnamakan seorang laki- laki, yakni pamannya sendiri! Kitab ini
  dikenal dengan judul Perukunan Jamaluddin. Kitabnya sederhana saja—perukunan
  berarti uraian dasar mengenai rukun Islam dan rukun iman tetapi merupakan
  salah satu yang paling populer di antara kitab-kitab sejenis, dan sering
  dicetak kembali. Tertulis di halaman pertama bahwa kitab ini adalah “karangan
  bagi al- ‘alim al-’allamah mufti Jamaluddin ibn al-marhum al-‘alim al-fadhil
  al-syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari”. Jamaluddin, putra Arsyad Al-Banjari
  yang terkenal itu, memang seorang laki-laki yang berpengaruh, ulama yang
  paling terkemuka di Kalimantan Selatan pada zamannya. Tetapi tradisi setempat
  mengingatkan bukan ia yang mengarang kitab perukunan tersebut, melainkan
  seorang keponakan perempuannya, yaitu Fatimah (yang lahir dari perkawinan
  putri Syekh Arsyad, Syarifah, dengan Abdulwahhab Bugis).9 Kurang jelas mengapa
  Jamaluddin mengatasnamakan karangan ini. Dalam dunia kitab kuning memang tak
  ada copyright (hak cipta), dan menyalin tulisan orang lain tanpa kreditasi
  sudah menjadi kebiasaan. Namun dalam hal ini kita merasa bahwa identitas
  pengarang yang sebenarnya dengan sengaja disembunyikan—sesuai dengan anggapan
  yang sudah mapan bahwa mengarang kitab merupakan  pekerjaan 
  laki-laki.  Kalau  kita  menggali  dalam
 
sejarah,
  tidak mustahil kita akan menemukan perempuan lain yang menguasai ilmu-ilmu
  agama dan telah menulis kitab. Dan tak usah heran kalau sumbangan mereka
  ternyata diingkari dan diboikot.10
Dari segi isi, kitab Perukunan
  Jamaluddin tak jauh berbeda dari kitab sejenis lainnya. Fatimah pastilah bukan
  seorang feminis yang dengan sengaja menulis fiqih alternatif. Kitabnya sangat
  sederhana dan hanya menguraikan beberapa ajaran pokok berhubungan dengan
  shalat, puasa dan cara mengurus mayat saja. Namun pengarang tidak meletakkan
  perempuan pada posisi lebih rendah atau kurang suci daripada laki-laki. Ia
  menghindari dari perkara yang sangat membedakan antara kedua jenis kelamin
  (seperti aqiqah, warisan atau kesaksian). Ketika ia membicarakan haid dan
  mandi sesudah haid, tidak ada kesan seolah-olah perempuan dalam haid adalah
  kotor. Ia tidak memakai istilah seperti “bersuci” (yang secara tersirat
  menyatakan perempuan dalam haid tidak “suci”) secara lebih netral ia menulis
  bahwa ada lima perkara yang mewajibkan mandi: mati (kecuali mati syahid),
  haid, nifas, wiladah (keguguran), dan janabah (persetubuhan). Tidak ada uraian
  panjang tentang hal- hal yang dilarang bagi perempuan pada masa haid.
Kitab yang Lebih Bersimpati kepada Perempuan
Dalam kitab kuning-kitab kuning yang dikarang oleh ulama laki-laki pun
  masih terdapat keragaman perihal sikap terhadapperempuan. Itu dapat dilihat,
  misalnya, pada kitab- kitab mengenai hubungan suami-istri. Seperti juga
  dicatat Masdar, uraian kitab perihal itu selalu dari pandangan laki-laki saja;
  dialah yang subjek sedangkan perempuan hanya sebagai objek. Dalam diskursus
  dominan, perempuan dibahas seolah- olah ia makhluk yang hanya berguna untuk
  melayani laki-laki dalam segala hal. Demikian misalnya kitab ‘Uqud Al-Lujjain
  karangan Nawawi Banten, yang banyak dibaca di pesantren Jawa.11 Kewajiban
  utama perempuan, menurut kitab ini, adalah melayani sang suami—di ranjang,
  tentu saja. Menolak tuntutan seksual sang suami, kata Nawawi, adalah dosa
  besar
 
bagi seorang perempuan. Dalam hal ini Nawawi tidaklah
  sendirian; hampir semua kitab sejenis mewakili sikap yang sama. Malahan
  terdapat muballighat populer yang sampai sekarang masih menyebarkan uraian
  senada sebagai ajaran Islam yang terpenting bagi kaum ibu!12
Meski
  demikian, terdapat juga kitab yang nadanya lebih simpatik kepada perempuan.
  Contoh yang cukup terkenal di Indonesia dan Malaysia adalah kitab Hukum
  Jima.13 Kitab singkat ini merupakan terjemahan Melayu dari Al-‘Ubab, karangan
  seorang ulama produktif yang hidup sekitar empat abad sebelum Nawawi Banten,
  yakni Syaikh Ahmad bin Sulaiman Kamal Basya dan Istanbul, dengan beberapa
  tambahan dari tulisan ulama lain, seperti Syaikh Zarruq dari Afrika Utara.14
  Kitab ini juga membahas hubungan suami-istri, dan di sini juga sang laki-laki
  tetap sebagai subjek dan istrinya sebagai objek. Namun perhatian ulama dalam
  kitab ini terletak pada apa yang harus dibuat sang suami, tidak kepada
  kewajiban istri. Sang suami dianjurkan untuk melayani istrinya dengan baik;
  menghindar dari paksaan, menciptakan suasana yang tenang dan memperhatikan
  kebutuhan dan keinginan istrinya (lihat lampiran).
Contoh ini mungkin
  menunjukkan bahwa khazanah tradisional Islam cukup beranekaragam. Melalui
  seleksi dari seluruh khazanah itu seorang ulama bisa menulis uraian yang
  sangat antiperempuan, sedangkan ulama lain, dengan seleksi yang berbeda,
  menulis yang lebih simpatik. Mungkin sikap yang mengilhami penyusun kitab
  Hukum Jima’ bisa dijadikan titik tolak untuk penulisan kitab alternatif, yang
  lebih fair kepada perempuan, tanpa terlalu menjauhi suasana kitab kuning.
Budaya Arab atau Islam?
Apakah ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan hanya bagian
  dari budaya kitab kuning saja, atau inheren dalam Islam? Apakah jilbab dan
  larangan perempuan keluar dari rumah hanya berdasarkan salah satu di antara
  sekian banyak interpretasi Islam, atau perintah mutlak Tuhan? Dalam
 
suatu
  tulisan yang meninjau hukum-hukum fiqih mengenai perempuan, orientalis
  terkenal Hamilton A.R. Gibb dengan nada menyesal mengatakan bahwa bagian fiqih
  ini tidak didasarkan atas uraian Al-Quran melainkan atas hadis-hadis yang
  mencerminkan adat suku-suku Arab.15 Ia menunjukkan bahwa hampir setiap hukum
  Al-Quran mengenai perempuan merupakan perbaikan hak dan statusnya dan
  penolakan adat suku-suku Arab yang sangat tidak menguntungkan kaum perempuan.
  Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya, demikian kesimpulan Gibb, para
  ahli fiqih ternyata lebih dipengaruhi oleh adat (terutama konsepsi tradisional
  tentang ‘irdh, kehormatan suku) daripada ketentuan Al-Quran.16 Ijtihad
  Khalifah ‘Umar yang membolehkan laki-laki mengucapkan talaq tiga sekaligus,
  misalnya, membatalkan perlindungan yang diberikan perempuan oleh Al-Quran dan
  mengembalikan hukum adat yang membolehkan laki-laki untuk segera melepaskan
  istrinya, tanpa alasan.
Sudut pandang seperti ini agaknya, akan mendorong
  pemikir Islam yang ingin menentang diskriminasi terhadap perempuan untuk
  kembali kepada Al-Quran dan (tetapi dengan hati-hati) hadis. Hadis-hadis yang
  diakui secara umum pun (misalnya, yang dalam Al-Kutub Al-Sittah), agaknya,
  akan ditinjau kembali untuk menyaring hadis yang melestarikan adat-adat
  pra-Islam walaupun diatasnamakan Nabi. Inilah yang diusahakan oleh Fatima
  Mernissi dalam bukunya Perempuan dan Islam yang telah disebut di atas. Usaha
  demikian, tentu saja, akan menimbulkan kontroversi, dan pihak konservatif
  barangkali akan menuduhnya sebagai “Inkarussunnah”. Itu suatu reaksi yang
  tidak perlu ditakuti; setiap usaha pemurnian mengundang oposisi, tetapi pihak
  konservatif tidak memiliki monopoli atas kebenaran.
Namun dengan kembali
  kepada Al-Quran dan hadis yang fair terhadap perempuan tidak mudah mencapai
  landasan bagi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Al-Quran memberikan
  banyak hak dan kebebasan kepada perempuan yang tidak pernah mereka miliki
  dalam budaya Arab jahiliyah, tetapi di dalamnya terdapat beberapa ayat yang
  dengan jelas
 
menyatakan ketidaksamaan hak misalnya dalam hal
  warisan. Apakah itu berarti bahwa superioritas laki-laki atas perempuan harus
  diterima sebagai ajaran Islam yang mutlak dan tidak bisa diubah? Masalahnya
  terlalu rumit untuk dibahas dalam tulisan pendek ini, tetapi terdapat berbagai
  usaha mencari jalan keluar. Penafsiran kontekstual berusaha memahami ayat-ayat
  ahkam dalam konteks masyarakat Madinah pada zaman Nabi dan menerapkan semangat
  hukumnya daripada hukum-hukum yang harfiyah. Salah satu pendobrakan radikal
  adalah pendekatan Munawir Syadzali, yang menyatakan bahwa pembagian warisan
  memerlukan modifikasi untuk masyarakat yang punya struktur sosial berbeda
  dengan Madinah tigabelas abad yang lalu.
Cara yang pernah ditempuh
  beberapa negara Muslim yang sekular (Turki, Tunisia) adalah mengabaikan
  masalah ini sama sekali. Undang-undang perkawinan dan sebagainya berdasarkan
  hukum sipil ala negara Barat, tanpa usaha mencari legitimasi Islam. Dapat
  dimengerti kalau keadaan ini menyebabkan sebagian ummat di sana merasa
  teralienasi dari negara dan membangkitkan gerakan “fundamentalis”  yang
  kuat sebagai reaksi. Melihat arus perkembangan dalam dunia Islam masa kini,
  sekularisme tidak merupakan alternatif yang potensial. Pertanyaan apakah
  hak-hak perempuan dan hak- hak asasi manusia lainnya yang tercantum dalam
  perjanjian internasional bertentangan dengan Islam tidak bisa dihindari terus
  tetapi harus dihadapkan dengan jujur.17 Umat Islam sekarang menghadapi pilihan
  antara penolakan terhadap nilai internasional mengenai hak-hak perempuan,
  minoritas agama dan sebagainya, atau pembaharuan pemikiran Islam yang sangat
  radikal. Dilema ini diuraikan dengan sangat mengesankan oleh Abdullahi Ahmed
  An-Na’im, sarjana hukum dari Sudan, dalam buku Menuju Suatu Reform
  Islami.18
An-Na’im dalam buku ini menyampaikan beberapa usul pembaruan
  berdasarkan pemikiran gurunya, Ustad Mahmoud Mohamad Taha. Ustad Mahmoud
  bertolak dari perbedaan yang terdapat antara surah-surah yang turun di Makkah
  dan di Madinah. Surah-surah Makkah bersifat peringatan moral,
egalitarian
  dan universal, sedangkan surah-surah Madinah lebih bersifat spesifik dan
  kontekstual. Beberapa ayat Madinah kelihatannya bertentangan dengan 
  ayat-ayat  Makkah,  dan itu yang melahirkan teori nasikh dan
  mansukh:  menurut para ahli tafsir dan fiqih, terdapat ayat yang
  membatalkan ayat lain. Status perempuan (dan juga status minoritas non-
  Muslim) diatur oleh ayat-ayat Madinah yang membatalkan ayat- ayat Makkah yang
  lebih egaliter. Dengan sangat berani Ustad Mahmoud menyatakan bahwa sekarang
  sudah waktunya memutarbalikkan nasikh dan mansukh itu. Perintah Tuhan yang
  punya relevansi universal tercantum dalam surah-surah Makkah. Karena
  masyarakat Arab pada zaman Nabi belum sanggup melaksanakan semua perintah itu,
  katanya, turunlah ayat-ayat yang lebih sesuai dengan situasi zaman itu, dan
  untuk sementara membatalkan ayat-ayat yang lebih universal dari Makkah.
  Masyarakat sekarang sudah lebih dewasa, dan tidak ada alasan lagi untuk
  membatalkan perintah Tuhan pertama yang egaliter. Ayat-ayat yang dulu dianggap
  nasikh sekarang layak menjadi mansukh.19
Diskursus Kitab Kuning dan Keterbatasannya
Kesulitan yang kita hadapi pada masalah kitab kuning dan perempuan
  menyangkut persoalan diskursus. Diskursus kitab kuning, yakni kerangka
  berpikir dan cara pembahasannya, sudut- sudut pandangannya, pokok-pokok yang
  dibahas, apa yang dianggap suatu masalah dan apa jawaban yang memuaskan,
  merupakan suatu bangunan intelektual yang cukup canggih tetapi terbatas dan
  kaku. Banyak hal yang bisa dibahas secara mendalam dalam kosakata kitab
  kuning, tetapi terdapat juga persoalan yang tak bisa dirumuskan, pemikiran
  yang tak dapat dipikirkan dalam diskursus itu. Diskursus dimaksud, seperti
  juga diskursus-diskursus khusus lainnya, ibarat kacamata berwarna: beberapa
  hal di dunia sekitar dapat dilihat lebih tajam sedangkan hal lain menjadi
  samar.
Hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan perempuan
  sebagaimana  disinggung  dalam  kitab  kuning 
  sebetulnya
 
bukan hal-hal yang paling mendesak. Banyak agenda
  soal lain yang menuntut perhatian, seperti perlindungan hak pekerja perempuan,
  kesamaan upah laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama, status sosial
  janda, partisipasi perempuan dalam pendidikan, ekonomi dan politik dan lainnya
  tidak disinggung sama sekali dan bahkan sampai sekarang belum bisa dibicarakan
  dalam diskursus kitab kuning. Seolah-olah kehidupan perempuan terdiri dari
  haid dan nifas, hijab dan warisan saja. Demikian diskusi mengenai perempuan
  dan Islam hampir selalu berkisar tentang hijab, kewajiban kepada suami, dan
  pembagian warisan. Dalam cakupan semua ini, kitab kuning mewakili sikap
  konservatif yang meletakkan perempuan jauh di bawah laki-laki; tetapi
  pendekatan reformis bisa mengembangkan penafsiran Al-Quran dan hadis yang
  lebih seimbang dan lebih fair terhadap perempuan. Itu memang sesuatu yang
  dibutuhkan. Namun terdapat persoalan lain dan mungkin tidak kalah pentingnya,
  yang boleh jadi ditinggalkan kalau diskusi hanya ditekankan kepada pokok-pokok
  tadi. []
 
LAMPIRAN:   
  TRANSKRIPSI    HALAMAN    PERTAMA KITAB HUKUM
  JIMA’
Bismillah Al-Rahman Al-Rahim
Al-hamd li Allah al-ladzi khalaqa
  al-asyya’ bi-qudratih wa atqanaha bi-luthf sun’atih wa dabbaraha bi-hikmatih
  [wa] ahmaduh ‘ala ni’matih wa ushalli ‘ala Muhammad khair khilafatih wa ‘ala
  alih wa shahbih wa ‘ithratih. Amma ba’d. Perkata mu’allif-nya ini suatu
  risalah pada menyatakan jima’ dengan istrinya. Tersebut di dalam kitab Ubab
  dan lainnya bahwasanya sunnat dahulu daripada jima’ itu memakai bau-bauan
  kedua laki [dan] istrinya dan bergurau-gurau dahulu dan bermain-main dengan
  kelakuan yang menyukakan hati istrinya, dan membangkitkan syahwat dan safrat
  palaq, dan dicamnya akan dia dan permain-mainnya hujung susunya dan
  digerak-gerakkannya kepala dzakarnya itu atas kedua bibir farji itu, karena
  yang demikian itu terlebih segeranya mendatangkan birahi perempuan. Maka
  seyogianya janganlah dijima’ istrinya melainkan hingga nyata birahinya kepada
  jima’, seperti bergerak-gerak tubuhnya dan singkat napasnya. Pada ketika itu
  maka dimasukkan dzakar kita itu sehingga hasyefehnya juga. Karena [menurut]
  setengah ulama adalah tempat al-dzat cita dia, ya’ni rasanya jima’ itu
  hasillah qadar hasyefehnya jua. Maka apabila bertambah-tambah di birahinya dan
  bergerak-gerak tubuhnya maka dimasukkan dzakarnya qadar hajatnya. Sekira hasil
  bersama-sama inzal dan bertemu kedua maninya, karena yang demikian itu
  terlebih lezat kedua pihak dan menyuruh berkasih-kasihan dan mewaris rajin dan
  ilmu pada anaknya, apabila jadi anaknya dengan maninya dengan dijima’ itu.
  Tersebut di dalam kitab Syaikh Zarruq bahwa karena ‘ulama: jima’ dengan tiada
  mengerjakan kelakuan yang mendatangkan birahi perempuan itu mewaris pada
  anaknya bobol dan kurang akal dan penyakit. [...] Dan apabila terdahulu inzal
  mani suaminya, seyogianya hendaklah  dinantikannya  hingga 
  inzal  istrinya, supaya sama sampai hajatnya kedua.[]
 
Catatan
  akhir:
1.    Tulisan ini berdasarkan tanggapan saya
  terhadap makalah yang disampaikan Masdar F. Mas’udi  pada Seminar “Wanita
  Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual”, diselenggarakan oleh
  INIS dan Departemen Agama, Jakarta, 2-5 Desember 1991. Dalam makalahnya,
  Masdar menganalisis bagaimana perempuan dipandang dalam sejumlah kitab standar
  yang banyak dipergunakan di pesantren. Semua makalah seminar ini diterbitkan
  dalam buku dengan judul sama yang diedit oleh Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan
  Meuleman (Jakarta: INIS, 1993).
2.    Saya tidak ingat
  dalam kitab apa pendapat ini diutarakan. Fazlur Rahman telah mengutipnya dalam
  rangka sebuah diskusi pada seminar “New Trends in Islamic Studies”, LIPI,
  Jakarta 1985.
3.    Hukum fiqih ini berdasarkan, tetapi
  tidak identik dengan, Surah An-Nur, ayat 6-9.
4.    Dalam
  bukunya Pedoman Syari’ah Islam Menurut Madzhab Syafi’i (Handleiding tot de
  Kennis van de Mohammedaansche Wet Volgens de Leer der Sjafi’itische School,
  Leiden: Brill, 1925, him. 217), sarjana Belanda ahli hukum Islam Th.W.
  Juynboll menulis bahwa di Hindia Belanda li’an bukan tidak dikenal tetapi
  jarang sekali dilakukan, seperti halnya di sebagian besar dunia Islam. Kalau
  terjadi, tujuan utama adalah untuk menyatakan seorang anak tidak sah.
5.   
  Lihat Riffat Hassan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam: Sejajar di
  Hadapan Allah?”, Ulumul Al-Quran No. 4, 1990, hlm. 48-55.
6.   
  Fatima Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry.
  Oxford: Basil Blackwell, 1991. (Edisi asli ditulis dalam bahasa Prancis dan
  diterbitkan di Paris pads tahun 1987).
7.    Mernissi
  tidak menyinggung kritik orientalis terhadap hadis; ia menganggap bahwa
  beberapa hadis dalam kumpulan  Bukhari  dan  Nisa’i 
  yang  isnadnya  melalui Abu Hurairah betul-betul berasal dari tokoh
  itu. Dalam pandangan orientalis, yang menganggap bahwa sebagian besar hadis
  (termasuk yang “shahih”) dirumuskan belakangan dan hanya diatasnamakan sahabat
  terkenal, Abu Hurairah tentu saja tidak bertanggung jawab atas semua hadis
  yang konon berasal darinya.
8.    Mernissi, Women and
  Islam, hlm. 97-99. Dua kitab yang disebutnya sebagai contoh adalah edisi baru
  Kitab Ahkam Al Nisa’ karya lbn Al-Jauzi (Lebanon, 1981) dan Fatawa Al-Nisa’
  karya lbn Taimiyah. Kitab yang pertama sangat ekstrem dalam uraiannya mengenai
  hijab: perempuan dianjurkan untuk tidak keluar dari rumah sama sekali dan
  untuk tidak sama sekali melihat laki-laki. Yang kedua merupakan seleksi fatwa
  mengenai perempuan dari kumpulan besar fatwa-fatwa (Majmu’ Al-Fatawa Al-
  Kubra) lbn Taimiyyah. Kitab yang mengandung paling banyak pendapat jelek
  mengenai perempuan adalah karya seorang ulama dari India, Muhammad Shiddiq
  Hasan Khan Al-Qannuji yang berjudul Hush Al-Uswah (edisi baru: Beirut, 1981).
  Kitab ini antara lain menguraikan mengenai “ketidakmampuan perempuan berpikir
  rasional dan kekurangmampuannya dalam segala urusan agama”.
9.   
  Lihat: Zafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary Ulama BesarJuru Da’wah.
  Banjarmasin: Penerbit Karya,1979 (cet. ke-2), hlm. 15-6; H.W. Muhd. Shaghir
  Abdullah, Syeikh Muhd Arsyad Al-Banjari, Matahari Islam. Mempawah: Pondok
  Al-Fathanah, 1982, hlm. 62-3.
10.    Maksud saya di sini
  bukan tokoh perempuan seperti Aisyah dan Fathimah, yang merupakan tokoh kunci
  dalam isnad hadis Sunni dan Syi’ah, atau Rabi’ah Al-‘Adawiyah, sufi wanita
  yang pertama. Mereka memang diakui, dan itu membuktikan bahwa bias
  anti-perempuan itu tidak menyeluruh dalam Islam pada masa awalnya seperti
  halnya belakangan pada abad pertengahan.
11.    Muhammad
  bin ‘ Umar Nawawi Al-Bantani, ‘Uqud Al- Lujjain   fi  
  Huquq   Al-Zaujain   (berbagai  
  edisi).   Lihat juga tinjauan kitab ini oleh Musthafa Helmy,
  “Mahkota Muslimah yang Tertinggal”, Pesantren No. 2, Vol.VI, 1989, hlm.
  92-94.
12.    Lihat hasil penelitian Lies M. Marcoes
  mengenai muballighat populer di Bogor dan Jakarta, “The Female Preacher as
  Mediator in Religion: A Case Study in Jakarta and WestJava”, dalam: Situa van
  Bemmelen dkk. (editor), Women and Mediation in Indonesia (Leiden: KITLV.
  Press, 1992), hlm. 203-228.
13.    Kitab Hukum Jima’ telah
  dicetak di Makkah pada tahun 1309 (1891) dan berkali-kali dicetak ulang di
  Asia Tenggara (antara lain oleh Al-Haramain di Singapura dan Bungkul Indah di
  Surabaya). Terdapat juga adaptasi dalam Bahasa Indonesia kontemporer, oleh
  Ustadz Nusannif Effendie (Penerbit MA Jaya, Jakarta, 1980).
14.   
  Ahmad bin Sulaiman Kamal Basya (wafat 940 Hijri, yaitu 1533 Miladi) pernah
  menjabat Syaikh Al-Islam di Kesultanan Utsmani (Turki). Ia mengarang lebih
  dari 170 kitab yang mencakup semua cabang ilmu Islam (lihat: Carl Brockelmann,
  Geschichte der Arabischen Literatur, jilid II, Leiden, 1949, hlm. 449-453).
  Abu Al-‘Abbas Ahmad Al-Burnusi Al-Fasi, yang lebih dikenal sebagai Syaikh
  Zarruq (w, 1493), seorang sufi dan penulis sejumlah kitab, terutama di bidang
  tasawwuf (Brockelmann, op. cit., II, hlm. 253-4 dan Supplement II, hlm.
  360-2).
15.    Sir Hamilton Gibb, “Women and the Law”,
  Correspondence d’Orient No 5 [Colloque sur la Sociologie Musulmane, Actes,
  11-14 Septembre 1961], Bruxelles, hlm. 233-248.
16.   
  “...in practically every instance the motivation of the early jurists in their
  elaboration of the Law in respect to women can be resolved into the effort to
  accommodate the Koranic prescriptions to the social pressures of their
  environment. Of these pressures the most powerful was not, as has too often
  been said, the influence of Caliphs and governors, but the survival and even
  intensification among the tribesmen of the sense of tribal honour. Indeed, it
  may even be argued that the detailed rules were dictated more in the light of
  traditional conceptions of what constituted tribal ’ird than of Koranic
  principles.” (Gibb, “Women and the Law”, hlm. 244).
17.   
  Perjanjian internasional yang dimaksud antara lain: Piagam PBB, Konvensi
  Internasional Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional Tentang
  Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Tentang Penghapusan
  Seluruh Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
18.   
  Abdullahi Ahmed An-Na’im, Towards an Islamic Reform: Civil Liberties, Human
  Rights, and International Law. Syracuse, New York: Syracuse University Press,
  1990.
19.    Argumentasi Ustadz Mahmoud tentu lebih
  canggih daripada ringkasan sederhana yang diberikan di sini. Pemikirannya
  menimbulkan reaksi keras, apalagi ketika ia menentang politik islamisasi
  negara yang dimulai Presiden Numairi. Ia ditangkap sebagai oposan politik dan
  kemudian dihukum mati dengan alasan riddah pada tahun 1985.
[alkhoirot.org] 



