Tarekat dan Perkembangannya di Indonesia
Judul buku: Kitab kuning, pesantren, dan tarekat: tradisi-tradisi Islam di Indonesia
Penulis: Martin van Bruinessen
Kata Pengantar: Abdurrahman Wahid
Cetakan I, Mei 2012
Diterbitkan oleh: Gading Publishing
@ Martin van Bruinessen
Bidang studi: Sejarah Indonesia, Islam Nusantara, subkultur, sosiologi
DAFTAR ISI
- Bagian III. Tarekat-Tarekat dan Perkembangannya di Indonesia
- 8. Asal-Usul dan perkembangan Tarekat di Asia Tenggara
- 9. Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syaikh Abdul Qadir Jailani di India, Kurdistan, dan Indonesia
- 10. Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra, dan Jamaluddin al-Akbar: Jejak-jejak Pengaruh Tarekat Kubrawiyah terhadap Islam Indonesia Masa Awal
- 11. Qadhi, Tarekat dan Pesantren: Tiga Lembaga Keagamaan di Banten pada Zaman Kesultanan.
- 12. Studi Tasawuf pada Akhir Abad Ke-18: Amalan dan Bacaan ‘Abd al-Samad al-Falimbani, Nafis al-Banjari, dan Tarekat Sammaniyah
- 13. Tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan
- 14. Tarekat dan Guru Tarekat dalam Masyarakat Madura
- 15. Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akhirat?
- 16. Wali, Politisi dan Birokrat Sufi: Antara Tasawwuf dan Politik Masa Orde Baru di Indonesia
- SUMBER TULISAN
- DAFTAR PUSTAKA
- INDEX
- TENTANG PENULIS
- Kembali ke: Buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat
ASAL-USUL DAN PERKEMBANGAN TAREKAT DI ASIA TENGGARA
Tasawuf dan Islamisasi Nusantara
Teori apa pun tentang Islamisasi Nusantara Melayu akan dituntut menjelaskan kenapa proses tersebut berawal dari suatu masa tertentu, dan bukan beberapa abad sebelumnya atau sesudahnya. Orang-orang Muslim dari negeri asing mungkin sudah menetap di pelabuhan-pelabuhan dagang di Sumatra dan Jawa selama beberapa abad, tetapi baru menjelang akhir abad ke-13-lah kita menemukan adanya jejak-jejak orang Islam pribumi. Bukti pertama berawal dari pantai utara Sumatra, di mana beberapa kerajaan Muslim yang sangat kecil, atau lebih tepatnya negara-negara pelabuhan, muncul, kerajaan Perlak dan kerajaan kembar Samudra dan Pasai. Selama abad ke-14 dan ke-15, Islam secara berangsur-angsur menyebar melampaui daerah pantai Sumatra dan semenanjung Malaya, ke pantai utara pulau Jawa dan beberapa pulau penghasil rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Cara berlangsungnya perpindahan agama ini tidak terdokumentasikan dengan baik, sehingga menimbulkan banyak spekulasi di kalangan para ilmuwan dan kadang- kadang menimbulkan perdebatan yang sengit.1 Proses tersebut tidak mungkin berjalan menurut pola yang seragam untuk seluruh Nusantara. Perdagangan dan a1iansi politik antara para pedagang dan raja pastilah memainkan peranan di dalamnya, sebagaimana juga perkawinan antara para pedagang Muslim yang kaya dengan para putri bangsawan setempat. Di beberapa wilayah, sebagaimana diceritakan berbagai sumber setempat, Islam juga telah disebarkan dengan menggunakan pedang, tetapi secara umum proses tersebut berlangsung dengan jalan damai. Ada anggapan umum bahwa tasawuf dan berbagai tarekat telah memainkan peranan yang menentukan dalam proses tersebut.
Abad-abad pertama Islamisasi Asia Tenggara berbarengan dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Abu Hamid Al-Ghazali, yang telah menguraikan konsep moderat tasawuf akhlaqi, yang dapat diterima di kalangan para fuqaha, wafat pada tahun 1111. Ibn Al-‘Arabi, yang karyanya sangat mempengaruhi ajaran hampir semua sufi yang muncul belakangan, wafat pada tahun 1240. ‘Abd Al-Qadir Al-Jilani, yang ajarannya menjadi dasar tarekat Qadiriyah, wafat pada tahun 1166 dan Abu Al-Najib Al- Suhrawardi, yang darinya nama tarekat Suhrawardiyah diambil, wafat setahun kemudian (tetapi tidak jelas sejak kapan kita dapat berbicara tentang tarekat dalam hal ini). Najmuddin Al-Kubra, seorang tokoh sufi Asia Tengah yang produktif, pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat Naqsyabandiyah pada masa belakangan, wafat pada tahun 1221. Abu’l-Hasan Al-Syadzili, sufi Afrika Utara yang mendirikan tarekat Syadziliyah, wafat pada tahun 1258. Rifa’iyah telah mapan sebagai tarekat menjelang tahun 1320, ketika Ibn Battutah meriwayatkan berbagai ritual tarekat ini kepada kita; Khalwatiyah menjelma menjadi tarekat antara tahun 1300 dan 1450. Naqsyabandiyah sudah menjadi tarekat yang khas pada masa sufi yang memberinya nama, Baha’uddin Naqsyaband (w. 1389) masih hidup, dan pendiri anumerta tarekat Syattariyah, ‘Abdullah Al-Syattar, wafat pada tahun 1428-9.2
Islam sebagaimana yang diajarkan kepada orang- orang Asia Tenggara yang pertama memeluk Islam tersebut barangkali sangat diwarnai oleh berbagai ajaran dan amalan sufi. Para sejarahwan telah mengemukakan bahwa inilah yang membuat Islam menarik bagi orang Asia Tenggara atau, dengan kata lain, perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan proses Islamisasi Asia Tenggara dapat berlangsung. Ajaran-ajaran kosmologis dan metafisis tasawuf Ibn Al-‘Arabi dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang dianut masyarakat setempat. Konsep insan kamil, sebagaimana dikemukakan A.C. Milner, sangat potensial sebagai legitimasi religius bagi para raja, legitimasi mana tidak ditemukan dalam Islam yang berkembang pada masa sebelumnya, yang lebih egaliter.3 Di kesultanan Buton (Sulawesi Tenggara) yang sangat kecil, ajaran sufi tentang emanasi ilahiah melalui tujuh tingkatan (martabat tujuh) dimanfaatkan sebagai penjelasan atas adanya masyarakat yang sangat berjenjang (stratified), yang terdiri dari tujuh lapisan sosial yang menyerupai kasta.4
Ilmuwan Australia, Anthony Johns, mengemukakan bahwa Islamisasi tersebut disebabkan adanya pengislaman yang secara aktif dilakukah oleh para penyebar sufi yang datang bersama- sama dengan para pedagang asing. Para penyebar Islam bercorak sufi ini memang disebut dalam berbagai laporan pribumi. Johns bahkan mengajukan spekulasi bahwa ada hubungan yang erat, antara serikat-serikat sekerja (guild), tarekat-tarekat sufi dan para penyebar ini, yang memberikan daya dorong bagi berlangsungnya islamisasi.5 Sebagian orang mungkin memandangnya sebagai sebuah hipotesis yang menarik, namun tidak ada bukti yang mendukungnya. Sangat meragukan apakah perdagangan Muslim asing di Asia Tenggara pernah terorganisasi dalam bentuk yang menyerupai serikat sekerja, dan sumber-sumber paling awal yang menyebut-nyebut tarekat berasal dari akhir abad ke-16.
Islam Indonesia sampai sekarang ini masih diliputi dengan sikap-sikap sufistik dan kegemaran kepada hal-hal yang mengandung keramat. Beberapa tarekat internasional yang besar mendapatkan jumlah pengikut yang besar— sebagian tarekat mendapat pengikut setia dalam jumlah ratusan ribu orang—dan juga terdapat sejumlah tarekat Muslim lokal, di samping berbagai sekte tasawuf sinkretis. Abad yang lalu menyaksikan banyak usaha-usaha kaum reformis, yang sebagian memang berhasil, membersihkan Islam dari berbagai dimensi sufistik dan magisnya. Adalah menarik memproyeksikan kecenderungan-kecenderungan sekarang kembali ke masa lalu dan menganggap bahwa Islam tersebar ke Indonesia dengan pakaian sufi, bahwa pada abad-abad awal kecenderungan mistik tersebut lebih kuat ketimbang masa lalu yang lebih dekat yang lebih banyak kita ketahui, dan baru pada tahap yang jauh lebih belakangan suatu pendekatan yang “ketat” berkaitan dengan kajian fiqih muncul. Bagaimana kenyataan yang sebenarnya tidak kita ketahui? Tidak ada sumber pribumi yang lebih tua daripada sumber- sumber akhir abad ke-16 yang masih terdapat dalam beberapa salinannya pada masa belakangan, dan sumber-sumber asing kontemporer tidak memberikan keterangan apa-apa tentang masalah tersebut.
Dua pengamatan seyogianya membuat kita lebih berhati- hati dalam menarik kesimpulan yang menyatakan bahwa tarekat memainkan peranan yang sangat penting pada gelombang Islamsasi yang pertama. Di antara naskah-naskah Islam paling tua, dari Jawa dan Sumatra, yang masih ada sampai sekarang (dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600) kita menemukan tidak hanya risalah-risalah tasawuf dan cerita-cerita penuh keajaiban yang berasal dari Persia dan India, tetapi juga kitab pegangan ilmu fiqih baku.6 Risalah-risalah keagamaan berbahasa Jawa paling tua yang masih ada sampai sekarang tampaknya menunjukkan adanya usaha mencari keseimbangan antara ajaran ketuhanan, fiqih dan tasawuf.7 Hanya dalam tulisan-tulisan Jawa pada masa belakangan saja kita menemukan adanya ajaran- ajaran tasawuf yang jauh lebih kental. Perihal tarekat, tampaknya ia tidak memperoleh banyak pengikut sebelum akhir abad ke-18 dan abad ke-19.
Para Sufi Sumatra
Para pengarang Muslim paling awal yang kita kenal namanya, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin Al- Raniri dan ‘Abdurra’uf Singkel, semuanya menjadi ulama terkemuka di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17. Aceh, yang terletak di paling ujung pulau Sumatra, merupakan wilayah
penghasil ladang yang penting dan, karena perdagangan internasional, menjadi salah satu kerajaan yang sangat kuat pada rentang waktu tersebut. Para rajanya mencintai dan mendukung perkembangan seni dan ilmu dan menjadikan Aceh sebagai pusat utama ilmu-ilmu keislaman.
Hamzah Fansuri adalah pengarang pertama di kalangan para sufi dan penyair terbesar di antara mereka. Namanya menunjukkan bahwa dia berasal dari Fansur (disebut juga Baros) di pantai barat Sumatra; dia aktif pada paruh kedua abad ke-16 tetapi penanggalan pastinya tidak diketahui. Dia mengungkapkan gagasan-gagasan sufi yang canggih da- lam bentuk prosa dan syair yang penuh perumpamaan. Barangkali dialah orang pertama yang menggunakan bentuk sajak sya’ir (disusun dalam empat baris dengan jumlah suku kata dan timbangan irama tertentu) dalam bahasa Melayu, dan keahliannya dalam menggunakan bentuk pengungkapan tersebut belum pernah tertandingi. Gagasan-gagasan sufi yang dia ungkapkan adalah gagasan sufi bercorak wahdah al- wujud dan gampang mendorong kepada penafsiran panteistik. Hamzah adalah orang yang banyak mengembara; dalam syair- syairnya dia bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, Yerusalem (Qudus), Baghdad (di mana dia mengunjungi makam ‘Abd Al-Qadir Al-Jilani) dan Ayuthia, ibukota Thai, yang dia sebut dengan nama Persianya, Syahr-i Naw. Di kota yang disebut terakhir dia tampaknya menjalin hubungan dengan orang-orang Persia, yang menetap di sana dalam jumlah besar, dan dia mengaku bahwa wawasan tasawufnya yang paling kukuh diperolehnya karena pengalamannya di tempat tersebut. Beberapa bagian syair-syairnya tampak menyiratkan bahwa dia berafiliasi dengan tarekat Qadiriyah, dan bahkan mungkin pernah menjadi seorang khalifah. Namun, dia tidak pernah sama sekali menjelaskan secara persis konsep atau teknik tarekat ini atau tarekat lain, dan tidak ada petunjuk bahwa dia pernah mengajarkannya (namanya, misalnya, tidak tertera dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang dikenal dari Nusantara).8
Sufi terkenal kedua adalah Syamsuddin (w. 1630), murid Hamzah, yang menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Dalam
bentuk yang kurang puitis tetapi lebih sistematik daripada gurunya, dia merumuskan ajaran-ajaran metafisik yang serupa. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menguraikan ajaran martabat tujuh, suatu adaptasi dari teori emanasinya Ibn Al- ‘Arabi yang tidak lama kemudian menjadi sangat populer di Nusantara.9 Dalam hal ini dia mungkin mengikuti jejak pengarang asal Gujarat, Muhammad b. Fadhl Allah Burhanpuri, yang menguraikan ajaran yang sama dalam kitabnya Al- Tuhfah Al-Mursalah ila Ruh Al-Nabi, yang diselesaikan pada tahun 1590 dan segera menjadi populer di kalangan Muslim Indonesia.10 Tidak diketahui apakah Syamsuddin sendiri memang mengadakan perjalanan ke India dan Tanah Arab (walaupun mungkin dia melakukannya, sebagaimana semua pengarang sufi yang lain); dia mungkin mengenal karya Burhanpuri di Aceh daripada di Tanah Arab atau Gujarat. Burhanpuri berafiliasi kepada tarekat Syattariyah; lagi-lagi, tidak ada petunjuk dalam karya Syamsuddin atau sumber-sumber lain mengenai apakah dia menjadi penganut tarekat ini atau tarekat lainnya. Namun, tidak lama setelah kematiannya, tarekat Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang kembali dari Tanah Arab.
Nuruddin Al-Raniri lahir dari keluarga Arab yang menetap di Ranir (Rander) di Gujarat. Dia menetap di Aceh selama tahun 1637-44 dan menjadi tokoh yang sangat berpengaruh secara politik sebagai penasihat raja. Keluarganya nampaknya sudah pernah berhubungan dengan orang-orang Aceh; pamannnya, Muhammad Jilani Al-Raniri, sebelumnya juga menjadi guru di Aceh. Nuruddin menyajikan pengamatan menarik yang menceritakan bahwa pamannya datang ke Aceh untuk mengajarkan fiqih tetapi didesak terlibat dalam perdebatan mengenai ajaran-ajaran sufi; dia harus pergi ke Makkah untuk mencari ilmu yang diperlukan dan baru setelah kepulangannya dari sana sebagai seorang guru sufi dia mendapatkan banyak murid di Aceh. Nuruddin sendiri adalah seorang pengarang yang sangat produktif, tetapi dia dikenal terutama karena polemiknya yang tajam dengan para murid Syamsud- din, yang dituduhnya menganut paham panteisme dan
sebagian di antara mereka, menurut pengakuannya sendiri, telah dibuatnya dihukum bakar. Boleh jadi karena serangan balik yang disebabkan oleh keangkuhannya sendirilah yang menyebabkan dia harus melarikan dari dari Aceh pada masa belakangan.11
Al-Raniri sendiri menganut paham wahdah al-wujud yang lebih moderat. Menurut tarekat ini, dunia pada hakikatnya tidak ada dan hanya merupakan cerminan atau bayangan dari Hakikat yang sebenarnya.12 Dia mengamalkan tarekat Rifa’iyah, dan silsilah yang dia berikan dalam salah satu bukunya menunjukkan bahwa cabang tarekat yang dianutnya sudah ada di Gujarat sejak beberapa generasi sebelumnya, dengan orang-orang Arab asal Hadhramaut, dari keluarga Al-‘Aydarus, sebagai syaikhnya. Pada abad ke-19, Rifa’iyah masih bertahan di Aceh tetapi tetap tidak jelas apakah hal itu disebabkan karena pengajaran yang dilakukan Al-Raniri atau disebabkan adanya penyebaran tarekat yang sama pada masa belakangan.13
Al-Raniri mewakili contoh terakhir yang terdokumentasi- kan mengenai pengaruh langsung orang India terhadap per- kembangan berbagai tarekat di Nusantara. Selama abad-abad berikutnya, berbagai cabang India dari beberapa tarekat besar sampai ke Indonesia, tetapi penyebaran tersebut terjadi melalui jalur Makkah atau Madinah, tempat di mana orang-orang Indonesia dibai’at menjadi pengikut berbagai tarekat tersebut. Cara ini pulalah yang menjelaskan bagaimana tarekat Syattari- yah yang berasal dari India menjadi benar-benar mengakar di seluruh Jawa dan Sumatra.
Perjalanan hidup ‘Abdurra’uf Singkel, sufi besar Aceh yang terakhir, dapat dijadikan contoh dari proses ini. Dia menghabiskan tidak kurang dari 19 tahun waktunya di Makkah dan Madinah, sambil belajar berbagai cabang ilmu keislaman di bawah bimbingan para guru besar pada zamannya. Setelah kembali ke Aceh pada tahun 1661, dia menjadi ahli fiqih Aceh terkemuka dan juga diakui sebagai orang yang menguasai ajaran sufi, yang mencari keseimbangan di antara berbagai pandangan para pendahulunya dan mengajarkan dzikir dan wirid Syattariyah. Murid-muridnya menyebarkan tarekat
tersebut dari Aceh ke Sumatra Barat dan Jawa, di mana tarekat ini tetap mengakar dalam di masyarakat pedesaan sampai sekarang.14
Tanah Arab Sebagai Pusat Tarekat Asia Tenggara
Mengunjungi tempat-tempat keramat—puncak gunung, gua, pantai dan makam—untuk memperoleh kekuatan spiritual sudah sejak lama menjadi bagian penting dari kehidupan keagamaan di wilayah ini. Dengan masuknya Islam, Makkah dan Madinah ditambahkan ke dalam daftar tempat-tempat keramat tersebut; bagi para Muslim yang taat, kedua kota suci ini segera mengungguli kedudukan tempat-tempat keramat lainnya. Hal ini mungkin dapat menjelaskan kenapa pada.masa yang sangat awal jumlah orang Asia Tenggara yang menunaikan ibadah haji ke Makkah jauh melampaui jumlah orang yang datang dari wilayah-wilayah lain, terutama kalau kita memperhitungkan juga jaraknya yang lebih jauh. Banyak di antara mereka yang menunaikan ibadah haji menetap di Tanah Arab selama beberapa tahun, untuk menuntut ilmu keislaman yang dinilai tinggi (atau, dalam kasus tertentu, untuk alasan yang lebih duniawi karena mereka tidak mempunyai ongkos pulang).
Orang-orang Asia Tenggara, atau orang-orang Jawah sebagaimana mereka pada umumnya disebut di Makkah dan Madinah, merupakan komunitas yang guyub, agak terisolasi dari orang-orang sekitarnya karena kebanyakan mereka ternyata hanya mengetahui bahasa Arab pada tingkat yang sangat sederhana. Yang paling terpelajar di antara mereka belajar kepada para ulama besar pada masa itu dan kemudian menyebarkan pengetahuan dan tarekat yang telah mereka pelajari kepada komunitas Jawah yang lebih besar, sehingga akhirnya menyebar ke negeri asal mereka. Karena proses ini, para ulama di Makkah dan Madinah yang relatif kecil jumlahnya mempunyai pengaruhi yang jauh lebih besar di Asia Tenggara. Pada abad ke-17 para ulama ini terdiri dari Ahmad Al-Qusyasyi, Ibrahim Al-Kurani dan putra Ibrahim, Muhammad Thahir di Madinah, yang memang merupakan ulama dan sufi
paling berpengaruh pada zaman nya. Pada abad ke-18, ulama Madinah Muhammad Al-Samman memiliki pengaruh yang sama di kalangan orang-orang Indonesia. Pada pertengahan abad ke-19, seorang ulama dan sufi asli Indonesia, Ahmad Khatib Sambas di Makkah menjadi pusat perhatian utama orang- orang Jawah, dan pada paruh kedua abad itu syaikh-syaikh di zawiyah tarekat Naqsyabandiyah di Jabal Abu Qubais di Makkah melampaui popularitas semua ulama lainnya.15
Al-Qusyasyi (w. 1660) dan Al-Kurani (w. 1691) mewakili sintesis antara tradisi intelektual sufi India dan Mesir. Di satu sisi rnereka adalah pewaris keulamaan Zakariya Al-Anshari dan ‘Abd Al-Wahhab Al-Sya’rani dalam bidang fiqih dan tasawuf, dan di sisi lain mereka berbai’at menjadi pengikut sejumlah tarekat India, yang paling berpengaruh di antaranya tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Kedua tarekat ini pada mulanya diperkenalkan di Madinah oleh seorang syaikh India, Sibghatullah, yang menetap di sana sejak tahun 1605. Al- Kurani, seorang Kurdi, barangkali mengenal kepustakaan Islam berbahasa Persia dari India; di samping itu dia adalah seorang ahli ilmu hadis dan sangat berminat kepada metafisika. Dalam beberapa kontroversi sengit, para ulama India menjadikannya tempat rujukan. Begitu juga dengan orang-orang Indonesia; atas permintaan merekalah dia menulis sebuah syarah atas kitab Tuhfah-nya Burhanpuri, dengan menginterpretasikannya menurut cara pandang ortodoks.
Di antara berbagai tarekat yang diajarkan Al-Qusyasyi dan Al- Kurani, Syattariyah merupakan tarekat yang jauh lebih disukai murid-murid Indonesianya, mungkin karena berbagai gagasan menarik dari kitab Tuhfah menyatu dengan tarekat ini. (Di Timur Tengah, di sisi lain, kedua syaikh ini dikenal terutama sebagai penganut tarekat Naqsyabandiyah). ‘Abdurra’uf yang sudah disebut di atas, yang belajar kepada keduanya dan dikirim ke Sumatra sebagai seorang khalifah, merupakan ulama paling terkenal di kalangan murid mereka yang berasal dari Indonesia, tetapi pastilah terdapat paling tidak lusinan murid lainnya.16 Selama beberapa generasi, para penuntut ilmu Indonesia di Tanah Arab belajar kepada para pengganti
Al-Kurani dan mencari bai’at untuk menjadi pengikut tarekat Syattariyah, kadang-kadang dengan perpaduan dengan tarekat- tarekat lainnya. Demikianlah kita menemukan sejumlah cabang tarekat ini di Jawa dan Sumatra, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat Syattariyah sendiri relative dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyahlah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
Salah seorang ulama yang hidup sezaman dengan ‘Abdurra’uf adalah Yusuf Makassar, yang masih dimuliakan sebagai wali utama Sulawesi Selatan. Dia juga menghabiskan waktunya sekitar dua dasawarsa di Tanah Arab sambil belajar kepada Ibrahim Al-Kurani dan ulama lainnya, dan mengembara sampai ke Damaskus. Dia berbai’at menjadi pengikut sejumlah tarekat, dan memperoleh ijazah untuk mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, Ba’alawiyah dan Khalwatiyah (dia memberikan silsilahnya untuk semua tarekat ini) dan juga mengaku pernah menjadi pengikut tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Chisytiyah, ‘Aydarusiyah, Ahmadiyah, Madariyah, Kubrawiyah dan beberapa tarekat kurang terkenal lainnya. Setelah kepulangan ke Indonesia pada tahun 1670, dia mengajarkan suatu ajaran spiritual yang dia sebut Khalwatiyah tetapi dalam kenyataannya adalah gabungan berbagai teknik spiritual Khalwatiyah dengan berbagai teknik yang dipilih dari tarekat-tarekat lainnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf ini mengakar hanya di Sulawesi Selatan, terutama di kalangan para bangsawan Makassar.17
Hampir seabad kemudian, orang-orang Jawah di Tanah Arab sangat tertarik kepada pelajaran yang diberikan seorang ulama yang sangat karismatik, Muhammad b. ‘Abd Al-Karim Al-Samman (w. 1775) di Madinah. Al-Samman adalah seorang penjaga kuburan Nabi dan pengarang beberapa kitab mengenai metafisika sufi, tetapi dia dikenal terutama sebagai pendiri sebuah tarekat baru sehingga dia menjadi orang berpengaruh.
Dia menggabungkan tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah dan Naq- syabandiyah dengan tarekat Afrika Utara, Syadziliyah (dalam semua tarekat ini dia mendapatkan ijazah), mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah ratib, bacaan yang mengandung doa-doa dan ayat-ayat Al-Quran. Perpaduan ini kemudian dikenal dengan nama tarekat Sammaniyah. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu cabang dari tarekat Khalwatiyah (dalam pengertian bahwa silsilah Samman hanya menyebutkan afiliasi Khalwatiyahnya, melalui gurunya Musthafa Al-Bakri), namun ia telah menjadi sebuah tarekat tersendiri dengan zawiyahnya sendiri dan kelompok-kelompok pengikut lokal ketika sang syaikh sendiri masih hidup. Lebih dari itu, Al-Samman sangat terkenal dengan kemampuannya melakukan hal-hal yang mengandung keajaiban, yang pastilah sangat menunjang penyebaran tarekat ini dalam waktu singkat ke Indonesia. Sebuah kitab kumpulan berbagai cerita penuh keajaiban (manaqib) diterjemahkan ke bahasa Melayu tidak lama setelah wafatnya sang syaikh dan menjadi sangat populer di seluruh Nusantara.18 Murid Indonesia Al-Samman yang paling terkenal, dan barangkali paling berpengaruh, adalah ‘Abd Al- Samad dari Palembang, seorang yang berpengaruh di kalangan komunitas Jawah yang berada di Tanah Arab dan pengarang sejumlah kitab penting dalam bahasa Melayu. Beberapa ulama asal Palembang lainnya berafiliasi kepada tarekat Sammaniyah, dan tarekat ini segera mendapatkan tempat terhormat di kesultanan Palembang. Dalam beberapa tahun saja sesudah wafatnya Al-Samman, sultan Palembang menyediakan dana untuk membangun zawiyah Sammani di Jiddah.19
Setelah wafatnya Al-Samman, banyak orang Jawah yang belajar kepada khalifahnya, Shiddiq b. ‘Umar Khan. Mereka menyebarkan tarekat ini ke Kalimantan Selatan, Batavia, Sumbawa, Sulawesi Selatan dan Semenanjung Malaya. Nafis Al- Banjari (dari Kalimantan Selatan) adalah satu-satunya di antara mereka yang menulis sebuah karya penting (dalam bahasa Melayu) mengenai tasawuf; barangkali dia jugalah orang yang telah menyebabkan tersebarnya tarekat ini di pulau tersebut. Di Sulawesi Selatan, di mana Sammaniyah bertemu dengan
tarekat Khalwatiyah-Yusuf yang hadir terlebih dahulu, kedua tarekat ini bersaing tetapi saling mempengaruhi satu sama lain. Ritual tarekat Khalwatiyah Samman, dengan nama ini tarekat tersebut dikenal di sana, telah berkembang menjadi sedikit berbeda dengan ritual cabang-cabang Sammaniyah lain- nya di Nusantara. Dalam kenyataannya, keanggotannya terbatas kepada kelompok etnik Bugis.20
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, di mana teknik-teknik spiritual tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah merupakan unsur utamanya tetapi juga mengandung unsur-unsur lain di luar keduanya. Tarekat ini adalah satu-satunya di antara tarekat-tarekat “mu’tabar” yang didirikan oleh seorang ulama Indonesia, Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Timur). Ahmad Khatib, yang menghabiskan sebagian besar masa dewasanya di Makkah, sangat dihormati di luar kalangan orang Jawah sebagai ulama yang serba tahu, menguasai secara mendalam fiqih dan ajaran ketuhanan dan juga amalan-amalan sufi. Dia mendapatkan sejumlah besar pengikut sebagai seorang guru dari tarekatnya sendiri, yang segera menggantikan kedudukan tarekat Sammaniyah sebagai tarekat paling populer di Indonesia. Setelah wafatnya pada tahun 1873 atau 1875, khalifahnya, ‘Abd Al-Karim dari Banten yang mengantikannya sebagai syaikh tertinggi tarekat tersebut. ‘Abd Al-Karim harus kembali dari Banten ke Makkah untuk menggantikan kedudukan sang syaikh. Dua khalifah utama lainnya adalah Kiai Tolhah di Cirebon dan seorang kiai Madura, Kiai Ahmad Hasbullah. ‘Abd Al-Karim adalah pimpinan pusat terakhir tarekat ini; sejak wafatnya tarekat ini terpecah menjadi sejumlah cabang yang masing- masing berdiri sendiri, yang berasal dari ketiga orang khalifah pendiri tersebut.
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekarang ini merupakan salah satu dari dua tarekat yang memiliki jumlah pengikut paling besar di Nusantara. Tarekat satunya lagi adalah Naqsyabandiyah Khalidiyah, yang tersebar ke seluruh Indonesia berkat zawiyah yang didirikan oleh khalifah dari Maulana Khalid, ‘Abdullah Al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais, Makkah. Para pengganti
‘Abdullah, Sulaiman Al-Qirimi, Sulaiman Al-Zuhdi dan ‘Ali Ridha, mengarahkan upaya penyebaran tarekatnya terutama kepada orang-orang Jawah, yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang lebih besar lagi selama dasawarsa- dasawarsa terakhir abad ke-19. Ribuan orang dibai’at menjadi pengikut tarekat ini dan menjalani latihan selama berkhalwat di zawiyah tersebut; di tempat ini pula lusinan orang Indonesia menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini di kampung halamannya.21
Tarekat dan Masyarakat Indonesia
Beberapa sumber pribumi yang kita punyai secara tegas mengemukakan bahwa tarekat-tarekat mendapatkan pengikutnya, pertama-tama, di lingkungan istana dan lama kemudian barulah merembes ke kalangan masyarakat awam. Para pengarang sufi Sumatra yang disebut di atas bekerja di bawah lindungan pihak kerajaan. Kronika berbahasa Jawa dari Cirebon dan Banten menceritakan bagaimana pendiri dinasti raja sendiri mengunjungi Tanah Arab dan berbai’at menjadi pengikut sejumlah tarekat (Syattariyah, Naqsyabandiyah, Kubrawiyah, Syadziliyah). Tarekat dipandang sebagai sumber kekuatan spiritual, sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja. Jelaslah bahwa para raja tidak berminat kepada upaya yang membuat kekuatan supernatural yang sama dapat dimiliki oleh semua warga negara mereka.22
Menjelang abad ke-18, berbagai tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar di Nusantara. Orang-orang yang baru kembali dari Makkah dan Madinah menyebarkan tarekat Syat- tariyah, seringkali dengan perpaduan dengan Naqsyabandi- yah atau Khalwatiyah. Pemeluk tarekat-tarekat ini mungkin menyebarkan tidak banyak melebihi dari bacaan-bacaan zikir dan wirid yang diamalkan secara pribadi; tidak ada petun- juk mengenai apakah tarekat-tarekat pada tahap ini juga ber- fungsi sebagai perhimpunan sosial. Memang, sepanjang abad itu tarekat Rifa’iyah dan Qadiriyah juga sudah tersebar. Yang pertama berkaitan dengan kultus kekebalan tubuh yang dise-
but debus, yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan di Aceh, kerajaan-kerajaan semenanjung Kedah dan Perak, Minang- kabau, Banten, Cirebon dan Maluku, bahkan juga di kalangan komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan. Yang kedua mungkin di tempat-tempat tertentu juga mempunyai hubungan dengan debus, tetapi dampaknya yang paling mencolok adalah munculnya kultus pemujaan terhadap wali pendirinya, ‘Abd Al-Qadir Al-Jilani. Pembacaan manaqib Syaikh ‘Abd Al-Qadir secara berjamaah di beberapa wilayah menjadi upacara pen- ting dalam kehidupan keagamaan masyarakat.
Barangkali, tarekat pertama yang memperoleh banyak pengikut di Asia Tenggara yang benar-benar dapat dimobilisasi adalah tarekat Sammaniyah. Walaupun sangat dipentingkan oleh sultan Palembang (yang, sebagaimana disebutkan di atas, bahkan membiayai pembangunan sebuah zawiyah di Jiddah), tarekat ini tampaknya juga mendapatkan pengikut yang banyak di kalangan masyarakat awam. Sebuah karya sastra dari daerah setempat menceritakan bagaimana tarekat ini memainkan pe- ranan dalam perlawanan terhadap pendudukan kota tersebut oleh tentara Belanda pada tahun 1819: beberapa kelompok orang berpakaian putih berzikir keras sampai mencapai ekstase dan kemudian tanpa rasa gentar menyerang musuh. Mereka tampaknya meyakini bahwa tubuh mereka sudah kebal karena zikir itu.23
Di Kalimantan Selatan pada tahun 1860-an, Belanda menghadapi perlawanan serupa dari gerakan rakyat yang kuat yang menjalankan amalan-amalan bercorak sufi yang disebut beratip beamal di mana kita mungkin dapat juga menyaksikan adaptasi setempat terhadap tarekat Sammaniyah.24
Kami menemukan beberapa kasus lain di mana tarekat mengambil bagian dalam pemberontakan antikolonial selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah satu pemberontakan yang paling besar terhadap pemerintah Belanda terjadi di Banten (Jawa Barat) pada tahun 1888; di sini tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah-lah yang terlibat, walaupun mungkin secara tidak langsung.25 Tarekat yang sama juga memainkan peranan dalam gerakan rakyat yang besar dan keras di pulau
Lombok pada tahun 1891, yang ditujukan kepada orang Bali (Hindu) yang pada saat itu menduduki peranan yang besar di pulau tersebut. Kami juga menemukan keterlibatan yang sama disebut dalam hubungannya dengan pemberontakan petani yang bercorak mesianistik di Jawa Timur pada tahun 1903. Pemberontakan besar lainnya, yang disebabkan karena diberlakukannya pajak tembakau yang baru, pecah di Sumatra Barat pada tahun 1908. Kali ini tarekat Syattariyah, karena sudah lama berpengaruh di wilayah tersebut, yang memainkan peranan dalam berbagai perlawanan.26
Pemberontakan-pemberontakan yang melibatkan tarekat ini terjadi dalam rentang waktu selama sekitar satu abad, sejak awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Sebagian di antaranya adalah gerakan menentang masuknya pemerintah kolonial, sedangkan pemberontakan lain menentang peraturan- peraturan tertentu yang ditetapkan pemerintah atau respons terhadap kemerosotan kehidupan ekonomi masyarakat dan penindasan. Dalam kasus Lombok, pemberontakan terjadi mendahului, dan ternyata memberi kesempatan bagi, campur tangan militer Belanda yang pertama di pulau tersebut. Tidak satupun dari inisiatif untuk melancarkan pemberontakan- pemberontakan itu yang berasal dari tarekat sendiri; tetapi apabila pemberontakan sudah meletus, tarekat menyediakan jaringan untuk melakukan komunikasi antara daerah dan mobilisasi, di samping teknik-teknik spiritualnya yang diyakini memberikan perlindungan dan kekuatan magis. Tampak bahwa sebelum periode tersebut masih belum ada jaringan-jaringan tarekat yang dapat dimanfaatkan—tetapi hal ini boleh jadi hanya karena tidak adanya sumber sejarah yang dapat diandalkan. Dalam apa yang disebut dengan perang Jawa, pemberontakan anti-Belanda yang paling besar pada abad ke-19, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830), tampaknya tidak ada tarekat yang terlibat, walaupun kebanyakan para pengikutnya didorong motivasi agama. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pada waktu itu belum ada jaringan tarekat di Jawa Tengah yang mungkin dimanfaatkan oleh Pangeran Diponegoro dan para ulama penasihatnya.
Pertumbuhan tarekat selama abad ke-19 terkait dengan meningkatnya jumlah orang Muslim Indonesia yang menunaikan ibadah haji, yang menjadi lebih mudah setelah digunakannya kapal uap dan dibukanya terusan Suez. Banyak orang yang kembali dari berhaji sudah berbai’at menjadi pengikut suatu tarekat selama mereka menetap di Makkah, dan sebagian di antaranya mendapatkan ijazah untuk mengajarkan berbagai amalan spiritual tarekat mereka. Perjalanan ke Makkah juga memberikan kepada mereka pengetahuan mengenai situasi dunia luar, dan banyak di antara mereka yang sangat menyadari adanya ancaman terhadap Islam karena adanya ekspansi kolonial. Demikianlah, perasaan antikolonial dan tarekat seringkali menyebar secara bersama-sama, yang pastilah mempunyai andil dalam keterlibatan tarekat pada saat-saat ter- tentu sebagai sarana gerakan protes ekonomi dan politik.
Dua tarekat yang mengalami perkembangan yang sangat pesat selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Naqsyabandiyah Khalidiyah. Tarekat yang pertama mendapatkan pendukung utamanya di Madura dan Jawa Barat (Banten dan Cirebon), karena kenyataan bahwa beberapa ulama yang paling berpengaruh di wilayah tersebut menjadi khalifah pendiri tarekat ini di Makkah. Naqsyabandiyah Khalidiyah menyebar secara lebih merata di seantero Nusantara, tetapi sangat menonjol di kalangan orang- orang Minangkabau di Sumatra Barat.27
Tarekat lain yang memperoleh banyak pengikut di Asia Tenggara selama masa tersebut, terutama di semenanjung Malaya, adalah tarekat Ahmadiyah, salah satu tarekat yang berasal dari seorang sufi Marokko, Ahmad ibn Idris. Tentang tarekat ini akan dibicarakan di bawah.
Dengan munculnya berbagai organisasi nasionalis modern pada tahun 1910-an dan 1920-an, tarekat secara berangsur- angsur kehilangan fungsi politiknya di atas, dan ada kesan bahwa jumlah anggota keseluruhan tarekat menurun. Namun, meningkatnya represi politik pada akhir tahun 1920-an, tampaknya menyebabkan banyaknya orang Indonesia yang beralih dari aktivitas politik kepada tasawuf. Proses semacam
ini terjadi berulang kali selama abad ini. Akhir tahun 1920-an menyaksikan bangkitnya dua tarekat baru di Jawa, Tijaniyah dan Idrisiyah, di samping munculnya sejumlah sekte mistik sinkretis yang dikenal sebagai aliran kebatinan.
Tarekat “Neo-Sufi”: Tijaniyah, Ahmadiyah, dan Idrisiyah
Dua tokoh utama dari gerakan yang disebut dengan “Neosufisme”—sebuah gerakan yang konon dicirikan oleh penolakan terhadap sisi ekstatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengamalan secara ketat ketentuan-ketentuan syariat, dan dengan upaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi sebagai ganti menyatu dengan Tuhan—adalah sufi Afrika Utara, Ahmad Al-Tijani (1737-1815) dan Ahmad ibn Idris (1760-1837). Diperdebatkan apakah tepat berbicara tentang neo-sufi sebagai sebuah gerakan yang khas,28 tetapi kedua sufi ini memiliki beberapa kesamaan—di samping banyak perbedaan—yang membedakan keduanya dari kebanyakan para pendiri tarekat terdahulu. Keduanya menentang pemujaan terhadap wali di upacara peringatan pada hari-hari tertentu dan bersimpati kepada gerakan reformis kaum Wahabi. Keduanya sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Ibn Al-‘Arabi dan menaruh sikap yang ambivalen terhadap syaikh besar tersebut. Terakhir, keduanya mengaku benar-benar bertemu dengan Nabi dan menerima pelajaran dari beliau. Dalam hal ini Al-Tijani mengaku di-talqin-kan secara langsung oleh Nabi, sedangkan Ahmad ibn Idris melalui perantaraan Al-Khidir.29 Tarekat-tarekat yang berasal dari kedua tokoh ini mempunyai silsilah pendek yang sesuai dengan pengakuan di atas, tidak ada nama yang menyela antara Nabi dengan Al-Tijani, dan hanya disela nama Al-Khidir, Al-Dabbagh dan Al-Tazi dalam silsilah Ibn Idris.
Al-Tijani memimpin tarekatnya sendiri, yang segera menyebar dari Maghrib ke Afrika Barat, Mesir dan Sudan. Tarekat ini baru sampai ke Indonesia setelah tahun 1920- an, setelah disebarkan di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara kelahiran Makkah, ‘Ali ibn ‘Abdallah Al-Tayyib Al-
Azhari, yang telah menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini dari dua orang syaikh yang berbeda.30
Pada tahun-tahun berikutnya, beberapa orang Indone- sia yang belajar di Makkah menerima bai’at menjadi pengikut tarekat Tijaniyah dan mendapatkan ijazah untuk mengajar- kannya dari para guru yang masih aktif di sana. Ini terjadi setelah serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah pada tahun 1924, dan kebanyakan tarekat lain tidak dapat lagi menye- barkan ajarannya secara terbuka. Tarekat Tijaniyah, karena lebih reformis dan menentang pengkultusan para wali, tampaknya masih ditoleransi. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh tarekat-tarekat lain tetapi terus berkembang, dengan Cirebon dan Garut di Jawa Barat dan Madura serta ujung timur pulau Jawa sebagai pusat peredarannya. Selama tahun 1980- an tarekat ini mengalami perkembangan yang pesat, terutama di Jawa Timur, yang bahkan telah menyebabkan pecahnya kembali konflik dengan para guru dari tarekat lain.31
Ajaran-ajaran Ahmad ibn Idris diteruskan di dalam sejumlah tarekat yang saling berkaitan tetapi masing-masing berdiri sendiri, di antaranya tarekat Sanusiyah, yang dikembangkan oleh muridnya, Muhammad ibn ‘Ali Al-Sanusi, menjadi yang paling terkenal. Cabang tarekat lainnya menggunakan nama Ahmadiyah, Idrisiyah atau Khidriyah. Melalui khalifah Ibn Idris di Makkah, Ibrahim Al-Rasyid (w. 1874) dan penggantinya, Muhammad ibn ‘Ali Al-Dandarawi (w. 1909), tradisi sufi ini untuk pertama kalinya menyebar ke Asia Tenggara. Tarekat ini memperoleh banyak pengikut di berbagai bagian Semenanjung Malaya. Tuan Tabal, seorang ulama dari Kelantan, adalah orang pertama yang memperkenalkan tarekat Ahmadiyah setelah kepulangannya dari Makkah pada tahun 1870-an. Pada dasawarsa- dasawarsa berikutnya, Tuk Syafi’i dari Kedah dan Muhammad Said Al-Linggi dari Negeri Sembilan mengikuti jejaknya. Sejak saat itu, tarekat Ahmadiyah terus bertahan di berbagai bagian semenanjung Malaya.32 Berbagai cabang tarekat Ahmadiyah di Malaysia sekarang dan Singapura terus menjalin hubungan dengan zawiyah induknya di Dandara, Mesir bagian selatan.
Metode sufi Ahmad ibn Idris kemudian sampai ke Indonesia
melalui jalur yang lain. Pada awal tahun 1930-an, seorang kiai Sunda, ‘Abd Al-Fattah, kembali dari Makkah, di mana dia bertemu dengan Ahmad Al-Syarif Al-Sanusi, cucu pendiri tarekat Sanusiyah. Ahmad Al-Syarif telah memberinya ijazah untuk mengajarkan tarekat ini di Indonesia, dan memberitahukan kepadanya bahwa dia sudah pernah mengirimkan khalifah lain ke Sulawesi Selatan.33
Untuk menghindari problem dengan penguasa kolonial, yang mungkin menghubungkan tarekat Sanusiyah dengan perlawanan anti-Italia di Cyrenaica, Kiai ‘Abd Al-Fattah menamakan tarekatnya Idrisiyah. Tarekat ini tetap menjadi tarekat yang relatif kecil, sekarang dipimpin oleh putra ‘Abd Al-Fattah, Kiai Dahlan, dengan pusatnya di Pagendingan, Tasikmalaya (Jawa Barat) dan beberapa cabang lokal, di mana pengikutnya tampaknya juga kebanyakan berasal dari Tasikmalaya.34
Zikir Idrisiyah dilakukan sambil berdiri, dengan suara dan gerakan tubuh yang keras, dan merupakan hal yang umum bagi para pesertanya bila mengalami ekstase. Ini sangat berbeda dengan tarekat Sanusiyah Mesir, yang tidak menyukai ekstase dan zikir dilakukan secara tenang dan terkendali, tetapi ia sangat serupa dengan tarekat Ahmadiyah Malaysia (dan Mesir), yang sama-sama mengamalkan zikir ekstatik. (Doa-doa dari kedua tarekat ini, tentu saja, sama; semuanya disusun oleh Ahmad ibn Idris). Hal ini boleh jadi disebabkan karena adanya hubungan antara Kiai ‘Abd Al-Fattah atau Kiai Dahlan dengan rekan-rekan Ahmadiyah mereka di Malaysia setelah tarekat Idrisiyah dikembangkan di Jawa Barat. Kiai Dahlan mengaku bahwa dia memperkenalkan beberapa unsur baru ke dalam tarekat ini, seperti ketentuan mengenakan pakaian khas dan larangan merokok.
Tarekat Lokal
Di samping tarekat-tarekat besar, “internasional”, telah muncul pula beberapa tarekat yang memiliki corak yang benar-benar lokal, sebagian di antaranya bersifat sinkretik
dalam ajaran dan amalannya. Adalah tidak mungkin menarik garis pemisah yang jelas antara tarekat lokal ini dengan gerakan-gerakan kebatinan, di luar keterikatan eksplisit tarekat lokal dengan tradisi Islam. Kebanyakan tarekat lokal tersebut dianggap sebagai tidak ortodoks (ghairu mu’tabarah) oleh tarekat lain, baik karena ajaran-ajarannya dicurigai menyimpang dari syariat atau karena mereka tidak memiliki silsilah yang meyakinkan. Untuk memisahkan diri mereka dari sekte-sekte lokal yang dicurigai tidak ortodoks ini, sejumlah tarekat besar menyatukan diri dalam sebuah perhimpunan tarekat “yang dihormati” (mu’tabar), dengan silsilah dan kesetiaan kepada syariat sebagai kriteria utama keanggotaannya.
Satu tarekat lokal yang nampaknya berpengaruh pada akhir abad ke-19 adalah Akmaliyah (atau Haqmaliyah), yang memperoleh pengikutnya kebanyakan di kawasan Cirebon- Banyumas, tempat kebudayaan Sunda dan Jawa bertemu. Tarekat ini dicurigai oleh pihak Belanda sebagai penghasut antikolonial dan berulang kali disebut-sebut dalam laporan- laporan intelijen. Tiga guru utamanya ditangkap dan diasingkan; setelah itu, tarekat ini tak terdengar kabarnya selama beberapa saat.35 Ia bangkit kembali di Garut, tempat tarekat ini diajarkan oleh Kiai Kahfi dan putranya, Asep Martawidjaja, yang menguraikan ajaran-ajaran tarekat ini dalam sebuah teks panjang berbahasa Sunda, Layang Muslimin jeung Muslimat. Dari Garut tarekat ini menyebar ke berbagai bagian pulau Jawa di mana tarekat ini bertahan dalam sejumlah kelompok kecil. Tarekat Akmaliyah secara sempurna menganut ajaran metafisika wahdah al-wujud dan menganggap kitab Al-Insan Al-Kamil-nya ‘Abd Al-Karim Al-Jili sebagai teks pokok ajaran mereka. Tarekat ini juga memiliki teknik meditasi yang khas, yang tidak terdapat pada tarekat-tarekat lain.36
Sejumlah tarekat lokal, baru muncul di Jawa Timur setelah kemerdekaan, yang paling terkenal di antaranya adalah tarekat Shiddiqiyah dan Wahidiyah. Keduanya tampaknya dalam kadar tertentu mencerminkan suatu peralihan masyarakat dari keterlibatan aktif dalam politik ke sikap sufistik yang mementingkan perjuangan batin, dan perubahan dari konfrontasi
antara kaum Muslim santri melawan golongan abangan kepada metode yang lebih akomodatif untuk secara berangsur-angsur menyatukan golongan yang terakhir ini ke dalam ummah. Tarekat Shiddiqiyah dipimpin oleh Kiai Muhtar Mu’ti dari Ploso, Jombang (Jawa Timur), yang sebelumnya sudah belajar berbagai tarekat dan dikenal luas sebagai ahli pengobatan batin. Dia mengaku bahwa tarekat Shiddiqiyah berdasarkan ajaran-ajaran yang diterimanya pada pertengahan tahun 1950-an dari seorang yang bernama Syu’aib Jamal dari Banten, yang merupakan pewaris spiritual Yusuf Makassar, tetapi Kiai Muchtar juga memberikan sebuah silsilah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah gurunya. Ajaran- ajaran tauhid disajikan dalam bentuk yang banyak disesuaikan dengan budaya masyarakat Jawa, dan amalan-amalan sufi yang diajarkan terdiri dari membaca ratib-ratib panjang, yang diikuti dengan latihan pengaturan nafas.37
Tarekat Wahidiyah “didirikan” oleh Kiai Abdul Madjid Ma’ruf dari pesantren Kedunglo di Kediri pada awal tahun 1960-an. Amalan utamanya terdiri dari pembacaan doa (shalawat) yang panjang susunan Kiai Abdul Madjid, yang diyakini disusun berdasarkan ilham dari Allah. Pembacaan shalawat secara berjamaah ini membawa kepada suasana yang sangat emosional, yang menyebabkan para pengamalnya menangis meraung- raung dan tampak tak bisa menguasai diri. Walaupun dihalangi keras oleh sebagian ulama lain, tarekat Wahidiyah dalam waktu singkat memperoleh banyak pengikut di kalangan masyarakat awam Kediri dan menyebar ke seluruh Jawa Timur.38
Tentu saja, bukan hanya di Jawa saja muncul tarekat lokal. Tarekat-tarekat sejenis terdapat di seluruh pelosok negeri, dengan kandungan ortodoksi yang bertingkat-tingkat dan menyatu dengan bermacam-macam tradisi pra-Islam.39 Tasawuf wahdah al-wujud dikutuk oleh kebanyakan ulama sekarang sebagai bid’ah, tetapi paham ini masih banyak dianut di kalangan penduduk pedesaan yang tidak banyak dipengar.uhi ajaran Muslim reformis. Berulang kali sekte-sekte sufi yang mengajarkan ajaran yang bercorak wahdah al-wujud muncul. Kebanyakannya tidak bertahan lama dan tidak muncul ke permukaan karena tekanan kalangan ortodoks, dan baru muncul kembali beberapa tahun kemudian
dengan nama yang sama atau nama yang baru. Kalimantan Selatan adalah satu wilayah yang tampaknya merupakan lahan subur bagi tumbuhnya sekte semacam ini. Kitab karangan M. Nafis Al- Banjari, Al-Durr Al-Nafis, merupakan dasar-dasar skriptural bagi berbagai sekte ini. Yang paling terkenal sekarang adalah tarekat Junaidiyah, yang sebelumnya dikenal sebagai aliran Zauq, yang diperkenalkan satu generasi yang lalu oleh Haji Kasyful Anwar Firdaus.40
Apakah Tarekat Punya Masa Depan?
Tarekat beserta jamaah pengikutnya biasanya merupakan gejala pedesaan, dan jumlah pengikutnya tampaknya mencapai puncaknya pada masa-masa krisis. Pada tahun-tahun terakhir ini, dengan masuknya barang-barang elektronik, televisi, jalan beraspal dan tersedianya kendaraan angkutan yang murah di desa-desa, tampaknya telah mengakibatkan jumlah pengikut tarekat yang sebelumnya populer di daerah-daerah tertentu mengalami penurunan secara mencolok, meski tidak seluruhnya demikian.
Di pihak lain, beberapa tarekat mendapatkan pengikut baru di kalangan penduduk perkotaan, dan tidak hanya di lingkungan masyarakatnya yang paling tradisional. Beberapa orang guru tarekat menarik perhatian kalangan berpendidikan dan mendapatkan murid-murid di lingkungan kelas atas. Penanggulangan masalah-masalah seperti kecanduan obat bius dan penyembuhan para penderita psikosomatik merupakan salah satu kegiatan mereka. Melalui kegiatan inilah mereka menarik sejumlah murid baru menjadi pengikut tarekat. Sebagian dari kelompok murid baru ini termasuk orang-orang Muslim berlatar belakang modernis atau sekular, yang merasa tidak puas dengan suasana keagamaan rasional tetapi tidak memberi sentuhan emosional di lingkungan mereka semula, mereka mencari pengalaman keagamaan yang bersifat langsung dan emosional melalui tarekat.
Sebagian tarekat juga menjalankan sejumlah fungsi lain yang tidak bersifat keagamaan. Setiap tarekat sekaligus
berfungsi sebagai jaringan sosial, dan keanggotaan tarekat melahirkan sejumlah hubungan sosial yang sekali waktu dapat dimanfaatkan. Terutama bagi orang-orang yang baru mencari penghidupan di kota, jaringan tarekat dapat berguna dalam mendapatkan pekerjaan, tempat tinggal, bantuan-bantuan ketika dalam kesulitan, dan seterusnya. Bagi sebagian anggotanya, tarekat juga berfungsi sebagai pengganti keluarga yang mem- berikan kehangatan dan perlindungan yang tidak didapatkan di tempat lain. Memudarnya masyarakat tradisional tampaknya tidak, sebagaimana seringkali diasumsikan, menyebabkan kemunduran tarekat yang tak terhindarkan, tetapi memberikan kepadanya fungsi-fungsi sosial baru serta kalangan pengikut yang sama sekali baru. []
Catatan akhir:
1. Dua artikel yang berisi survei, dari perspektif yang berbeda, mengenai perdebatan tersebut dan berbagai teori yang diajukan adalah: G J.W Drewes, “New Light on the Coming of Islam?”, Bijdragen tot Taal-, Land- en Volkenkunde 124 (1968), 433-459, dan Syed Farid Alatas, “Notes on various theories regarding the Islamization of the Malay Archipelago”, The Muslim World 75 (1985), 162-175.
2. Karya J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford University Press, 1971) hingga sekarang tetap merupakan tinjauan yang terbaik mengenai muncul dan berkembangnya tarekat-tarekat.
3. A.C Milner, “Islam and the Muslim state”, dalam: M.B. Hooker (ed.), Islam in Southeast Asia (Leiden: Brill, 1983), hlm. 23-49.
4. Pim Schoorl, “Islam, Macht en Ontwikkeling in het Sultanaat Buton”, dalam: B. Venema (ed.), Islam en Macht (Assen: Van Gorcum, 1987), hlm. 52-65.
5. Anthony H. Johns, “The Role of Sufism in the Spread of Islam to Malaya and Indonesia”, Journal of the Pakistan Historical Society 9 (1961), 143-161; idem, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia 19 (1975), 33-35.
6. Ph.S. van Ronkel, “Account of Six Malay Manuscripts of the Cambridge University Library”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 6e volgreeks, 2 (1896), 1-53.
7. Teks-teks ini sudah disunting dan diter jemahkan oleh G.W.J. Drewes: Een Javaanse Primbon uit de Zestiende Eeuw (Leiden: Brill, 1954); The Admonitions of Seh Bari (The Hague: Nijhoff, 1969); An Early Javanese Code of Muslim Ethics (The Hague: Nijhoff, 1978).
8. Syed M. Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri
(Kuala Lumpur: University of Malaya University Press, 1970);
G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri
(Dordrecht-Holland: Foris, 1986).
9. C.A.O. van Niewenhuijze, Samsu’l-Din van Pasai (Leiden: Brill, 1915).
10. Anthony H. Johns, “The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet” (Canberra: ANU, 1965).
11. Takeshi Ito, “Why did Nuruddin Al-Raniri Leave Aceh in 1054 A.H.?”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 134 (1978), 489-491.
12. Pandangan-pandangan sufi Al-Raniri dianalisis dalam: Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniny (Jakarta: Rajawali, 1983); Syed Muhammad Naquib Al-Attas, A Commentary on the hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986) .
13. Snouck Hurgronje, De Atjehers (Batavia: Landsdrukkerij & Leiden: Brill, 1894), jilid II, 256-264 memberikan berbagai praktik (debus) yang berkaitan dengan tarekat Rifa’iyah di Aceh pada akhir abad ke-19 yang mungkin menyebar di sana melalui penyebarannya yang kedua, lama setelah masa Al-Raniri. Praktik yang sama menjadi populer di Banten (Jawa Barat) pada pertengahan abad ke-18, lihat Martin van Bruinessen, “Shari’a court, Tarekat dan Pesantren: Religious Institutions in the Banten Sultanate”, Archipel 47, 1994 (terjemahan Indonesianya ada dalam buku ini di hlrn. 246- 284).
14. D.A. Ringkes, Abdoerraoef van Singkel. Bijdragen tot de Kennis van de Mystiek op Sumatra en Java (Disertasi, Leiden, 1909).
15. Pengamatan Snouck Hurgronje dalam jilid kedua Mekka-nya (1889) masih merupakan sumber paling terperinci dan yang bernilai mengenai kehidupan sosial dan intelektual komunitas Jawah di Makkah.
16. Lihat Anthony H. Johns, “Friends in Grace: Ibrahim Al-Kurani and ‘Abd Ar-Ra’uf Al-Singkeli”, dalam: S. Udin (ed.); Spectrum: Essays Presented to Sutan Takdir Alisjahbana (Jakarta: Dian Rakyat, 1978), hlm. 469-85, dan artikel dari penulis yang sama “Al-Kurani” dan “Al-Kushashi” dalam Encyclopaedia of Islam.
17. Martin van Bruinessen, “The Tariqa Khalwatiyya in South Celebes”, dalam: Harry A. Poeze dan Pim Schoorl (ed.),
Excursies in Celebes (Leiden: KITLV Press, 1991), hlm. 251- 270.
18. Karya asli berbahasa Arab dari teks ini, Al-Manaqib Al-Kubra mungkin sudah tak dapat ditemukan, tetapi sejumlah salinan naskah versi Melayunya masih ada. Teks berbahasa Melayu ini disunting dalam disertasi Ahmad Purwadaksi, Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman (Fakultas Sastra UI, Jakarta, 1992).
19. Demikianlah Hikayat Syekh Muhammad Samman berbahasa Melayu, lihat Purwadaksi, op. cit., hlm. 335-6.
20. Lihat van Bruinessen , “Tariqa Khalwatiyya ...” (dalam buku ini).
21. Para guru Makkah dari Tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dibicarakan secara panjang lebar dalam buku saya Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992, edisi Inggrisnya akan diterbitkan KITLV Press, Leiden).
22. Argumen ini disajikan secara lebih terperinci dalamBab III-4 buku ini, “Qadhi, Tarekat dan Pesantren.”
23. Teks yang disebut, Sya’ir Perang Menteng, disunting dalam:
M.O. Woelders, Het Sultanaat Palembang, 1811-1825 (‘s Gravenhage: Nijhoff, 1975), hlm. 194-222.
24. Diperikan dalam Helius Sjamsuddin, “Islam and Resistence in South and Central Kalimantan in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries”, dalam M.C. Ricklefs (ed.), Islam in the Indonesian Social Context (Clayton, Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, 1991), hlm. 7-17. Teks ratib yang dipakai diterjemahkan dalam P.J. Veth, “Het Beratip Beamal in Bandjermasin”, Tijdschrift voor Nederlandsch -Indie 3 no.1 (1869), 331-349.
25. Sartono Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt of Banten in 1888 (‘s Gravenhage: Nijhoff, 1966).
26. Kenneth Robert Young, The 1908 Anti-Tax Rebellion in Minangkabau (West Sumatra): A Socio-Economic Study of an Historical Case of Political Activism Among Indonesian
Peasants (Tesis Ph.D, University College, London, 1983); Werner Kraus, Zwischen Reform und Rebellion: Uber die Entwicklung des Islams in Minangkabau (Westsumatra) Zwischen den Beiden Reformbewegungen der Padri (1837) Und der Modernisten (1908) (Wiesbaden: Franz Steiner Verlag, 1984) , hlm. 170-200.
27. Penyebairan tarekat-tarekat ini ke seluruh Nusantara dibi- carakan secara terperinci dalam van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah. Bdk. Martin van Bruinessen, “The Origins and Development of the Naqshbandi Order in Indonesia”, Der Islam 67 (1990), 150-179.
28. Lihat kritik mendalam atas konsep ini dalam R.S. O’Fahey
& Bernd Radtke, “Neo-Sufism Reconsidered”. Der-Islam, 70 (1993), 52-87, dan pembahasan dalam R.S. O’Fahey, Enigmatic Saint: Ahmad ibn Idris and The Idrisi Tradition (Evanston, III: Northwestern University Press, 1990), hlm. 1-9.
29. Jamil M. Abun-Nasr, The Tijaniyya: A Sufi Order in the Modern World (London: Oxford University Press, 1965); O’Fahey, Enigmatic Saint, Trimingham, Sufi Orders, hlm. 107-116. Ibn Idris diajari sebuah doa pendek oleh Al-Khidir, di hadapan Nabi; di samping itu dia mengambil doa-doa dan amalan- amalan lain dari gurunya, ‘Abd Al-Wahhab Al-Tazi, murid dari ‘Abd Al-‘Aziz Al-Dabbagh yang juga menerima berbagai doa dan amalan itu langsung dari Al-Khidir.
30. G.F. Pijper, “De Opkomst der Tidjaniyyah op Java”, dalam Pijper, Fragmenta Islamica (Leiden: Brill, 1934) hlm. 97-121.
31. Moeslim Abdurahman, “Tijaniyah, Tarekat yang Dipersoal- kan?”, Pesantren V no. 4 (1988), 80-89.
32. Hamdan Hassan, Tarekat Ahmadiyah di Malaysia. Suatu Analisis Fakta Secara Ilmiah (Kuala Lucnpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990).
33. Saya sudah berusaha, namun tidak berhasil menemukan jejak-jejak tarekat Sanusiyah dan ldrisiyah di Sulawesi Selatan. Seorang ulama Bugis terkenal, Muhammad As’ad (w. 1953) memang bertemu dengan Ahmad AI-Syarif dan bahkan
menjadi sekretarisnya beberapa saat sebelum kembali ke Sulawesi pada tahun 1928; namun dia, tampaknya tidak mengajarkan tarekat. Lihat Muh. Hatta Walinga, Kiyai Haji Muammad As’ad: Hidup dan Perjuangannya (Skripsi Sarjana, Fakultas Adab, IAIN Alauddin, Ujung Pandang, 1401/1980).
34. Mustafsirah Marcoes, Perkembangan Tarekat Idrisiyah di Pesantren Fat-hiyyah Pagendingan Tasikmalaya (Skripsi Sarjana, Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah, jakata, 1984).
35. Tulisan-tulisan dari ketiga guru, Hasan Maulani dari Leng- kong, Malangyuda dari Rajawana Kidul, dan Nurhakim dari Pasir Wetan, yang disita, dianalisis dalam G.W.J. Drewes, Drie Javaansche Goeroe’s. Hun Leven, Onderricht en Messiasprediking (Disertasi, Leiden, 1925).
36. Untuk informasi yang lebih terperinci mengenai tarekat Akmaliyah dan kemungkinan asal-usul berbagai teknik meditasinya, lihat artikel saya, “Najmuddin Al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin Akbar: Traces of a Kubrawiyya Influence in Early Indonesian Islam”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 150 (1994), 305-329 (terjemahannya dalam buku ini hlm. 223).
37. Latihan-latihan mistik tersebut diperikan dalam: Syafi’ah, Tarekat Khalwatiyyah Shiddiqiyyah di Desa Losari Kecamatan Ploso Kabupaten Jombang (Skripsi Sarjana, Fakultas Ushuluddin IAIN Susan Kalijaga, Yogyakarta, 1989). Lihat juga Qowa’id, “Tarekat Shiddiqiyyah: Antara Kekhusyukan dan Gerakan”, Pesantren IX, No. 1 (1992), 89-96.
38. Abdurrahman Wahid, “Penelitian Pesantren Kedunglo, Kodya Kediri”, Bulletin Proyek Agama dan Perubahan Sosial no. 4 (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1977), 18-26; Moeslim Abdurrahman, “Sufisme di Kediri”, dalam: Sufisme di Indonesia [Dialog edisi Khusus] (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI., 1978), hlm. 23-44).
39. Sejumlah tarekat lokal diperikan dalam Djohan Effendi, “Uber Nichtorthodoxe and Synkretische Bruderschaften im Heutigen Indonesien”, dalam Werner Kraus (ed.), Islamische Mystische
Bruderschaften im Heutigen Indonesien (Hamburg: Institut fur Asienkunde. 1990), hlm. 100-130.
40. Ahmad Zaini H.M., Aliran Zauq di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Risalah Sarjana Muda, Fakultas Ushuluddin, IAIN Antasari, Banjarmasin, 1975); H.D. Mirhan, Tarekat,Junaidiyah di Halong Dalam Agung Harnai. Sebuah Studi Perbandingan (Skripsi Sarjana, Fakultas Ushuluddin, IAIN Antasari, Banjarmasin, 1983).
TAREKAT QADIRIYAH DAN ILMU SYAIKH ABDUL QADIR JILANI DI INDIA, KURDISTAN DAN INDONESIA
Hamzah nin asalnya Fansuri Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali Daripada Abdul Qadir Jilani 1
Penyair besar Hamzah, seperti diterangkannya dalam bait ini, bukan saja penganut paham wahdah al-wujud tetapi juga pengamal ilmu Abdul Qadir Jilani, bahkan ada kemungkinan pernah menjadi khalifah tarekat Qadiriyah. Hamzah telah “mendapat wujud”, yaitu mencapai tingkat penghayatan wahdah al-wujud, ketika ia bermukim di Ayuthia, ibu kota Muangthai (yang oleh orang Persia dan India dinamakan, dalam bahasa Parsi, Syahr-i Naw, “Kota Baru”). Pengalaman ruhani kedua yang disebutnya adalah penerimaan khilafat (ijazah untuk mengajar) ilmu Abdul Qadir. Dari bait ini tidak jelas, apakah Hamzah mendapat ijazah ini juga di Syahr-i Naw atau di tempat lain. Kita tahu bahwa di zaman Hamzah terdapat jamaah orang Islam dalam jumlah besar, yang terutama berasal dari Persia atau India. Tidak mustahil kalau di antara mereka terdapat pengamal atau bahkan syaikh tarekat Qadiriyah, karena tarekat tersebut pada zaman itu memang populer di India2. Namun, satu bait yang lain dengan jelas menegaskan bahwa khilafat diperolehnya di Baghdad:
Syaikh Al Fansuri terlalu ‘ali
Beroleh khilafat di benua Baghdadi...3
Makam Syaikh Abdul Qadir yang terletak di kota Baghdad itu, sudah sejak lama menjadi tempat ziarah yang penting, dan merupakan salah satu pusat penyebaran tarekat Qadiriyah. Hamzah rupanya juga sudah menziarahi makam ini, dan di sanalah barangkali terjadi pembai’atannya dalam ilmu Syaikh Abdul Qadir Jilani:
Hamzah Fansuri sedia zhahir
Tersuci pulang pada Sayyid Abdul Qadir Dari sana ke sini tertha’ir-tha’ir
Akhir mendapat pada diri zhahir 4
Pertemuan ruhani dengan Abdul Qadir dalam bait ini sekali lagi digambarkan sebagai suatu tahap dalam perjalanan yang akhirnya menuju kepada penghayatan wahdah al-wujud: “mendapat pada diri zhahir” bisa diartikan dengan “menemukan Tuhan di dalam dirinya”.
Bait-bait di atas cukup samar, sehingga perbedaan pendapat dalam penafsiran tidak dapat dihindarkan. Yang jelas, Hamzah telah memperoleh ilmu Abdul Qadir (yang agaknya berarti: masuk tarekat Qadiriyah), entah di Baghdad sendiri, entah di Syahr-i Naw di bawah bimbingan seorang syaikh dari India atau Iran. Dengan demikian, Hamzah (wafat sekitar 1590) adalah orang Indonesia pertama yang yang kita ketahui secara pasti menganut tarekat pertama yang disebut dalam sumber-sumber pribumi.
Ada indikasi bahwa tarekat Qadiriyah bertahan di Aceh setelah Hamzah. Ketika Syaikh Yusuf Makassar singgah di Aceh dalam perjalanannya dari Sulawesi ke Mekkah, sekitar tahun 1645, ia masuk tarekat Qadiriyah di sana, seperti ditulisnya dalam risalah Safinah Al-Najat 5. Sebagai guru Syaikh Yusuf di Aceh, naskah menyebut Muhammad Al-Jilani, “yang terkenal dengan nama Syaikh Nuruddin Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Raniri”. Ini
barangkali kesalahan penyalin: Muhammad Al-Jilani tidak sama dengan Nuruddin tetapi pamannya,6 yang memang juga pernah menetap di Aceh. Selain itu, ketika Yusuf tiba di Aceh, Nuruddin sudah pulang ke India dan pamannya barangkali sudah lama almarhum. Namun mungkin saja tarekat Qadiriyah waktu itu dihubungkan dengan nama kedua tokoh besar ini, walaupun sebetulnya Nuruddin menganut tarekat Rifa’iyah. Silsilah yang diberikan Syaikh Yussuf sebagai silsilah Qadiriyah identik dengan silsilah Rifa’iyah yang diberikan Nuruddin sendiri dalam kitab Jawahir Al-‘Ulum-nya. Tidak mustahil kalau penganut Rifa’iyah telah berusaha memperkokoh legitimasi tarekat mereka dengan nama Abdul-Qadir (jangan kita lupa bahwa Raniri, sang penentang ajaran Hamzah, terpaksa melarikan diri dari Aceh pada tahun 1644). Tetapi juga sangat mungkin kalau kedua tarekat ini (yang sering dihubungkan satu dengan lain) sudah diajarkan oleh guru-guru sebelum Nuruddin Al-Raniri. Dalam silsilah tersebut, kedua Raniri didahului oleh sejumlah ulama dari Hadramaut (kebanyakan dari marga Al-‘Aidarus) yang menetap di Gujarat (negara India bagian barat). Sayyid ‘Abdullah Al-‘Aidarus-lah yang yang membawa tarekatnya ke sana dari Yaman, pada awal abad ke-16. Tokoh pertama yang namanya tertera di kedua silsilah tersebut adalah Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman); mungkin dialah yang menggabungkan Rifa’iyah dengan Qadiriyah. Menurut silsilah Syaikh Yusuf Makassar, Jabarti menerima Qadiriyah melalui jalur yang mulai dengan seorang Yusuf Al-Asadi, yang konon ditunjukkan sebagai khalifah oleh Abdul Qadir sendiri.7
Dengan demikian, kita tahu salah satu jalur yang mengantarkan tarekat Qadiriyah sampai ke Indonesia. Ini barangkali bukan satu-satunya jalur. Hamzah, agaknya, mengambil tarekat ini dari jalur yang lain, seperti dikemukakan di atas. Di Jawa juga sudah sejak lama terdapat pengaruh Qadiriyah, walaupun kita tidak mempunyai informasi yang sangat tepat. Menurut tradisi rakyat daerah Cirebon, Syaikh Abdul Qadir Jilani sendiri pernah datang ke Jawa, bahkan orang masih dapat menunjukkan kuburannya.
Indikasi lain tentang pengaruh Qadiriyah (atau pemujaan Syaikh Abdul Qadir) di Banten, adalah pembacaan kitab-kitab Manaqib Abdul Qadir pada kesempatan tertentu, yang sejak
lama telah menjadi bagian dari kehidupan beragama di sana. Pembacaan manaqib ini lazim dianggap berfaedah melindungi pembacanya terhadap segala bahaya—berkat karamah Syaikh Abdul Qadir—dan sampai sekarang masih dilakukan di berbagai daerah Indonesia. Terjemahan manaqib dalam bahasa Jawa yang pertama (biasanya dikenal dengan judul Hikayat Seh) barangkali dibuat di Banten. Karena gaya bahasanya yang kuno, Poerbatjaraka memperkirakan bahwa terjemahan ini berasal dari abad ke-17.8
Dalam Serat Centhini, salah seorang tokohnya, Danadarma, mengaku pernah belajar kepada “Seh Kadir Jalena” di perguruan di Gunung Karang di Banten. Beberapa indikasi ini, agaknya, menunjukkan bahwa “ilmu Abdul Qadir Jilani” telah diajarkan di Cirebon dan Banten, setidak-tidaknya sejak abad ke-17. Pada pertengahan abad ke-18, Sultan Banten ‘Arif Zainul ‘Asyiqin, dalam segel resminya, menggelari dirinya “Al-Qadiri”. Tidak dapat diketahui apakah beliau sultan pertama yang memakai gelar itu, karena segel para pendahulunya tidak ditemukan lagi.9
Apa sebetulnya “ilmu Abdul Qadir Jilani” yang telah diajarkan di Aceh dan Jawa? Apakah kita boleh mengidentikkannya dengan tarekat Qadiriyah, ataukah ilmu yang dimaksudkan hanya suatu jenis ilmu kekebalan? Kesaktian dan kekebalan, seperti kita ketahui, sangat dihargai dan dicari pada masa pengislaman Jawa, dan guru yang menguasai ilmu-ilmu itu lebih disegani daripada yang lain. “Ing waktu punika”, kita baca dalam babad, “tetiyang Jawi kathah kang sami remen nggeguru lampah ing agami rasul tuwin nggeguru kadigdayan sarta kateguhan”. Dan ilmu-ilmu itulah yang diajarkan oleh para wali, terutama Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.10 Dalam tradisi rakyat di hampir seluruh dunia Islam, kekebalan dihubungkan dengan nama dua wali besar, Abdul Qadir dan Ahmad Rifa’i (yang sering dianggap sebagai murid Abdul Qadir). Tidak mengherankan kalau mereka (terutama Abdul Qadir) populer di kalangan orang Jawa, yang sangat tertarik kepada kekuatan magis. Sebuah naskah tasawuf yang sederhana dari Jawa Barat menyebut Syaikh Abdul Qadir sebagai sumber ilmu makrifat yang diajarkan oleh para wali di Jawa.11
Permainan debus di Indonesia mula-mula berhubungan dengan tarekat Rifa’iyah (di Aceh) dan Qadiriyah (di Banten).
Namun baik dalam latihan kekebalan maupun pemujaan terhadap Syaikh Abdul Qadir (dalam bentuk pembacaan manaqib) juga berkembang di luar kalangan tarekat itu sendiri dan sudah termasuk bagian dari kehidupan keagamaan rakyat. Kesan saya, jumlah pengikut tarekat Qadiriyah di Indonesia—sebelum berkembangnya tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-19—sebetulnya sedikit sekali. Mungkin saja wirid-wirid yang dipakai dalam berbagai aliran kesaktian dan kekebalan berasal dari tarekat ini, tetapi sudah sejak lama diamalkan di luar konteks tarekat itu sendiri.
Syaikh Abdul Qadir dan Sejarah Tarekat Qadiriyah
Syaikh Abdul Qadir meninggal dunia di Baghdad pada tahun 1166 (561 Hijri). Makamnya sejak dahulu hingga sekarang tetap diziarahi khalayak ramai, dari segala pelosok dunia Islam. Di kalangan kaum sufi, Abdul Qadir diakui sebagai ghauts atau quthb al-awliya, yang menduduki tingkat kewalian yang tertinggi. Dalam kepercayaan rakyat, Syaikh Abdul Qadir adalah wali terbesar, yang diberikan wewenang untuk menolong manusia lain dalam keadaan bahaya. Lebih dari semua wali lain, Syaikh Abdul Qadir dikagumi dan dicintai rakyat, di mana-mana orangtua menceritakan riwayat tentang karamat-karamatnya kepada anak- anak mereka, dan hampir setiap upacara keagamaan tradisional, orang menghadiahkan pembacaan Al-Fatihah kepadanya.
Nisbah Al-Jilani menunjuk kepada tempat kelahirannya, daerah Gilan. Para ahli biasanya menganggap bahwa yang dimaksud wilayah ini adalah wilayah Gilan di bagian utara Iran. Namun orang Kurdi mengklaim, dan ini sangat masuk akal, bahwa Abdul Qadir berasal dari daerah Gilan di Kurdistan selatan, 150 kilometer sebelah timur kota Baghdad. Oleh karena itu, ada yang menggelarinya ghauts-i Kurdi. Tarekat Qadiriyah sudah lama punya banyak penganut di Kurdistan, dan di sana masih ada suatu keluarga syaikh yang mengaku keturunan langsung dari Syaikh Abdul Qadir.
Karisma Syaikh Abdul Qadir, terutama di kalangan rakyat awam, luar biasa, dan riwayat-riwayat tentang kehebatannya,
kesalehannya, dan keajaiban yang dilakukannya tersebar luas dengan cepat. Legenda-legenda tentang Syaikh Abdul Qadir yang diceritakan dalam kisah-kisah hidupnya menjadi semakin luar biasa. Kisah hidup pertama, dalam kitab Bahjah al-Asrar karangan Ali bin Yusuf Al-Syattanaufi (wafat 713/1314, yaitu satu setengah abad setelah Abdul Qadir) sudah mengandung banyak cerita keajaiban yang luar biasa. Penulis berikutnya, Al-Dzahabi (wafat 1348) dalam Ta’rikh Al-Islam-nya, masih meragukan banyak cerita yang berlebihan, tetapi tidak lama kemudian, ‘Afifuddin Al-Yafi’i (wafat 1367) mengarang kitab manaqib yang yang memantapkan nama Abdul Qadir sebagai ahli keajaiban yang terbesar: Khulashah Al-Mafakhir fi Ikhtishar Manaqib Al- Syaikh ‘Abd Al-Qadir.12 Kitab ini merupakan dasar beberapa versi manaqib yang beredar di Indonesia. Setelah Yafi’i, beberapa ulama mengarang kitab manaqib yang lebih “ekstrem” lagi, yang paling penting di antaranya kitab Lujjain Al-Dani oleh Ja’far bin Hasan Al-Barzinji (wafat 1766), pengarang yang di Indonesia sekarang terdapat setidak-tidaknya tujuh edisi teks ini (dengan terjemahan dan komentar dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Indonesia) yang berbeda.13
Kita tidak bisa mengetahui secara pasti apa sebetulnya amalan-amalan dan teknik sufi yang diajarkan oleh Syaikh Abdul Qadir sendiri. Dua kitab karangannya, Futuh Al-Ghaib dan Al-Fath Al-Rabbani,14 merupakan kumpulan ceramah, yang ajarannya lebih bersifat etis dan sangat umum. Para orientalis sangat meragukan apakah tarekat Qadiriyah didirikan oleh Abdul Qadir sendiri; mereka umumnya menduga bahwa tarekat ini baru muncul beberapa generasi kemudian. Meskipun demikian, sangat mungkin bahwa Syaikh Abdul Qadir juga mempunyai ajaran khusus, yang tidak disebarkan melalui ceramah-ceramahnya tetapi disampaikan kepada murid-murid terdekat saja. Dari anaknya sendiri (ia mempunyai tidak kurang dari 11 anak, malah menurut beberapa sumber 49), dua orang dikenal sebagai sufi dan ahli zuhud, ‘Abd Al-Razzaq dan ‘Abd Al-‘Aziz, dan tidak mustahil bahwa mereka meneruskan ajaran ayah mereka. ‘Abd Al- ‘Aziz telah meninggalkan Baghdad dan menetap di sebuah desa di kawasan Kurdistan. Keluarga ulama yang sangat terkenal di
Kurdistan, Sadate Nehri (‘para sayyid dari desa Nehri’), mengklaim diri sebagai keturunannya. Keluarga ini telah banyak melahirkan syaikh tarekat Qadiriyah yang terkemuka (namun pada abad ke-19, sebagian besar keluarga ini “pindah” ke tarekat Naqsyabandiyah). Demikian juga di Maroko, para syaikh tarekat Qadiriyah (lebih dikenal sebagai Jilaliyah di sana) mengklaim diri sebagai keturunan ‘Abd Al-‘Aziz dan saudaranya Ibrahim (yang pernah pindah ke Andalus) dan pewaris ilmu mereka.
Selain anaknya sendiri, beberapa muridnya disebut sebagai penyebar ajaran tasawuf. Kitab Bahjah Al-Asrar menyebutkan empat nama : Dua orang di Suriah (Muhammad Al-Bata’ihi dan Taqiyuddin Al-Yunini), seorang di Mesir (Muhammad bin ‘Abd Al- Samad), dan seorang di Yaman (‘Ali Al-Haddad). Yusuf Al-Asadi, yang namanya tadi kita lihat dalam silsilah Yusuf Makassar, tak disebut di antaranya, dan tidak saya temukan sumber lain pula.
Menurut Trimingham, sekitar tahun 1300 tarekat Qadiriyah sudah mapan di Irak dan Suriah, tetapi masih kecil dan belum disebarluaskan ke luar kedua wilayah ini. Baru satu abad kemudian, tarekat ini masuk ke anak benua India untuk pertama kalinya, dan baru mulai berkembang menjelang akhir abad ke-15. Pada masa yang sama, tarekat ini juga mulai berkembang di Afrika Utara (walaupun sebelumnya mungkin sudah hadir di Andalus). Sekitar 1550, tarekat ini dibawa ke Afrika Timur. Di Turki, Qadariyah baru masuk pada awal abad ke-17 (jadi, tidak lama setelah zaman Hamzah Fansuri), tetapi kemudian berkembang pesat. Tokoh besarnya, Isma’il Rumi (wafat 1631 atau 1643) mendirikan tidak kurang dari 40 tekke, pusat tarekat, di Istanbul dan sekitarnya. Beberapa dasawarsa kemudian, tarekat Qadiriyah sudah tersebar di seluruh Asia Kecil dan Eropa Timur.
Tarekat Qadiriyah di India dan Pengaruhnya Terhadap Indonesia
Seperti kita lihat di atas, tarekat Qadiriyah di Aceh ada hubungannya dengan suatu cabang tarekat ini di Gujarat, India Barat. Cabang ini bukan satu-satunya di anak benua besar itu. Tarekat Qadiriyah pernah dibawa ke situ melalui berbagai jalur, seluk beluk sejarah tarekat ini masih sangat tidak jelas,
tetapi berkat kajian penting Sayyid Abbas Athar Rizvi,15 garis besar perkembangannya di India sekarang diketahui. Sebelum melanjutkan, ada baiknya kalau rangkuman singkat dari temuan Rizvi tersebut saya utarakan lebih dahulu.
Orang pertama yang membawa Qadiriyah ke India (tepatnya ke negara Bidar, di bagian barat India tengah) ialah Mir Nurrullah, seorang cucu tokoh sufi Iran yang besar, Syah Ni’matullah Wali. Walaupun Syah Ni’matullah dikenal sebagai suatu pendiri tarekat tersendiri (Ni’matullahiyah), ia juga telah belajar tarekat Qadiriyah dari Al-Yafi’i (pengarang Khulashah Al-Mafakhir), dan dia juga mengirim cucunya ke india. Nurullah diterima baik oleh istana Bidar, tetapi tak meninggalkan bekas yang berarti; setelah ia meninggal, tarekat tersebut tidak bertahan lama.
Pada paruh kedua abad ke-15, Syaikh Muhammad Al-Husaini Al-Jilani mendirikan sebuah khanaqah Qadiri di Uch (dekat kota Multan di Panjab, sekarang bagian dari Pakistan). Syaikh Muhammad ini mengaku masih keturunan, generasi kedelapan Syaikh Abdul Qadir. Setelah Syaikh Muhammad wafat (1482 atau 1517) yang lazim disebut sebagai ‘Abdul Al-Qadir Al-Tsani, Abdul Qadir kedua. Menurut legenda-legenda rakyat India Abdul Qadir II ini tidak kalah ajaibnya dibandingkan Abdul Qadir pertama dan banyak sekali orang Hindu yang diislamkan olehnya. Keturunannya menyebarkan tarekat ini di seluruh wilayah Punjab sampai Kasymir.
Awal abad ke-16, Sultan Sikandar Lodi, yang menguasai wilayah sekitar Delhi dan Agra, mengundang seorang Syaikh Qadiri, Abdul Fath Al-Malikki, untuk mengajarkan tarekat di kawasan ini. Kemudian datang juga keturunan Abdul Qadir, baik dari Dekkan (India Selatan) maupun dari Iraq dan menetap di daerah Delhi.
Daerah India yang paling subur bagi tarekat Qadiriyah ternyata adalah Gujarat (di India bagian barat). Guru pertama di sini, agaknya, adalah Sayyid Jamil Patsri, yang mengklaim diri keturunan Abdul Qadir sendiri melalui putranya, ‘Abd Al-Wahhab. Atas undangan Sultan Bahadur Syah (memerintah 1526-1537), Sayyid Jamil menetap di kota istana Ahmadabad, dan meninggal
di sana pada tahun 1564. Selain dia, dua keturunan Abdul Qadir lainnya juga datang dan menetap di Ahmadabad. Semasa dengan ketiga syaikh tarekat ini, dua syaikh dari jalur lain juga mengajarkan tarekat Qadiriyah di kota Burhanpur: Syah Husain Khuda-Numa dan putranya Sayyid ‘Abd Al-Samad Khuda-Numa.
Selain cabang yang disebut oleh Rizvi, ternyata masih ada dua cabang lagi yang pernah punya pengaruh di Indonesia. Tadi sudah kita lihat kemungkinan adanya suatu cabang tarekat Qadiriyah yang dibawa dari Yaman dan dikembangkan oleh golongan sayyid Hadhramaut di Gujarat. Pembawa pertama, ‘Abdullah Al- ‘Aidarus, dapat diperkirakan datang ke Gujarat pada awal abad ke-16. Guru-guru Hadhrami ini rupanya mengajarkan dua tarekat sekaligus, Qadiriyah dan juga Rifa’iyah.
‘Abd Al-Ra’uf Al-Singkili, pembawa tarekat Syattariyah ke Aceh, dalam kitabnya ‘Umdah Al-Muhtajin memberikan silsilah Qadiriyah India yang lain lagi. Guru-guru ‘Abd Al-Ra’uf di Madinah, Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani, di samping tarekat Syattariyah juga juga mengajarkan tarekat Chisytiyah, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah. Keempat tarekat tersebut telah diajarkan sebagai satu paket di Gujarat dan kemudian Madinah. Qadiriyah dan Syattariyah, oleh Syaikh Hidayatullah Sarmast (awal abad ke-16), dan diajarkan secara bersama oleh syaikh tersebut dan para penggantinya, yaitu Haji Hudlur, Muhammad Al-Ghausts, Wajihuddin Al-‘Alawi (semua di Gujarat), Sibghatullah bin Ruhullah (di Bidar, India bagian tengah, kemudian di Madinah),16Ahmad Syinnawi dan Ahmad Qusasyi (di Madinah). ‘Abd Al-Ra’uf sendiri, agaknya, hanya mengajarkan tarekat Syattariyah saja dan tidak meneruskan Qadiriyah. Tetapi ada orang Indonesia lain yang mengamalkannya: dalam sebuah naskah dari Sulawesi Selatan, yang ditulis tidak lama kemudian, kita menemukan beberapa uraian tentang tarekat Qadiriyah (disamping Khalwatiyah). Silsilah Qadiriyah dalam naskah ini hampir sama dengan yang diberikan oleh ‘Abd Al-Ra’uf. Syaikh-syaikh terakhir, setelah Ahmad Al- Qusyaisi dan Ibrahim Al-Kurani adalah Abu Thahir (putra Ibrahim) dan seorang Indonesia, Yusuf “Tibuku” (Cibogo, Bogor?), yang kemudian mengajar tarekat Qadiriyah di Sulawesi Selatan.17
Ahmad Khatib Sambas dan Tarekat Qadiriyah wa Naqsya- bandiyah
Pada pertengahan ke-19 seorang ulama dari Kalimantan yang sudah lama menetap di Makkah, Ahmad Khatib Sambas, mulai mengajarkan tarekat Qadiriyah yang digabungkan dengan Naqsyabandiyah. Agak berbeda dengan guru-guru di atas, yang mengajarkan berbagai tarekat di samping Qadiriyah, Syaikh Akhmad Khatib tidak mengajarkan kedua tarekat ini secara terpisah tetapi sebagai suatu kesatuan yuang harus diamalkan secara utuh. Dari sudut ini Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dapat dianggap sebagai tarekat yang baru, yang berbeda dengan kedua tarekat yang merupakan dasarnya. Ajaran Syaikh Ahmad Khatib Sambas kemudian diturunkan oleh murid dan khalifahnya Muhammad Isma’il bin Abd Al-Rahim Al-Bali (memang dari Bali!) dalam sebuah kitab singkat, Fath Al-‘Arifin. Kitab setebal sebelas halaman ini menguraikan tentang bai’at, dzikir, muraqabah, dan istilah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Amalan pokok tarekat Qadiriyah dijelaskan sebagai berikut:
Fasal pada menyatakan bermula jalan mengambil tarekat Qadiriyah itu. Maka hendaklah membaca istighfar sekurang- kurangnya dua kali atau duapuluh kali dengan katanya astagfir Allah al-ghafur al-rahim, kemudian membaca shalawat seperi itu pula dengan katanya Allahuma shalli ‘ala Sayyidina Muhammmad wa ‘ala alihi sahbihi wa ssalam, kemudian maka berdzikir la ilaha illa’llah seratus enam puluh kali tiap-tiap sudah sembahyang lima waktu. Dan yang lain daripada itu maka berdzikir barang sekuasanya. Maka ditarik dengan panjangkan kalimat la itu serta dirupakan pikiran daripada pusat hingga kepada otak kepala, dan didatangkan dengan kalimah ilaha kesebelah kanan, maka dipukullah dengan kalimah illla’llah dalam hati sanubari (yaitu rupa buah kayu yang bernama sanubari), yaitu dinamakan orang melayu “jantung”, dengan palu yang kuat supaya lalu kalimat yang musyarrafah itu dengan latha’if yang lima; serta ingatkan makna kalimah itu la maqshuda illa’llah, artinya tiada yang dikehendaki melainkan Alllah Ta’ala,yaitu nama bagi zat Tuhan yang tiada seumpamanya, yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan dan kepujian yang
tiada terhinggga setengah daripadanya dua puluh sifat yang wajib dan maha suci dia dari segala sifat kekurangan dan kecelaan yang tiada terhingga setengah dari segala lawannya yang delapan yaitu mustahil; serta menanti kelimpahan karunia tuhan itu setengah daripadanya yang harus jalannya daripada guru dan dihadirkan rupa syaikh di hadapan kita dan jika jauh syaikhnya yakni gurunya dan ditadahkan hatinya pada tawajjuh guru dan ada ia dekat di hadapan murid maka menanti limpahnya sahaja. Inilah dzikir nafi itsbat sama ada dikerjakan dengan jahar yakni nyaring atau dengan sirr yakni rahasia. Maka tatkala telah selesai daripada berzikir itu maka mengatakan Sayyiduna Muhammad Rasul Allah Saw. kemudian membaca shalawat Allahumma shalla ‘ala Sayyidina Muhammmad shalat tanajina biha min jami’ al-ahwal wa al-afat hingga akhirnya kemudian membaca Fatihah kepada Sayyidina Rasullilah Saw. dan sahabatnya dan sekalian masyayikh ahl al-silsilah Al-Qadiriyah wa Naqsyabandiyah khususan Sayyidina Al-Syaikh ‘Abd Al-Qadir Al-Jilani wa Sayyidina Al-Syaikh Junaid Al-Baghdadi (qaddasa Alllah sirrahum al-‘aziz) wa Al-Syaikh Khatib Sambas wa abna’ina wa ummahatina wa ikhwanina al-muslimin wa al-muslimat wa al-mu’minin wa al-mu’minnat al-ihya minhum wa al- amwat wa al-salam.18
Aturan zikir ini mirip aturan zikir nafi wa itsbat seperti yang diajarkan para syaikh Qadiri di lain tempat. Ketika mengucapkan kata-kata zikir, sang murid harus membayangkan kata-kata zikir itu “ditarik” melalui suatu alur dibadannya, dari pusar ke otak, kemudian ke bahu kanan dan dari sana dengan keras (“di pukul dengan palu”) ke jantung. Demikian juga hati dibersihkan dari segala kecelaan, sehingga di dalamnya tidak tersisa sesuatu selain nama Allah. Kepala juga ikut bergerak dengan alur zikir, dari bawah keatas (la), ke bahu kanan (ilaha) dan akhirnya dengan keras ke arah jantung (illa’llah). Dalam berbagai risalah tarekat terdapat bagan yang sederhanana (da’erah) yang menjelaskan jalannya zikir melalui badan.19
Tetapi terdapat juga perbedaan dengan zikir Qadiriyah lainnya: beberapa tata cara yang sebetulnya berasal dari zikir Naqsyabandiyah. Tarekat Naqsyabandiyahlah yang memusatkan
zikirnya kepada enam titik halus (latha’if), dalam badan, lathifah al-qalb (letaknya di jantung), lathifah al-ruh (pada dada kanan, tingginya sama dengan qalb), lathifah al-sirr (dua jari diatas puting kiri), lathifah al-khafi (dua jari di atas puting kanan), lathifah al- akhfa (di tengah dada), dan lathifah al-nafs al-nathiqah (dalam otak). Ternyata Khatib Sambas juga telah menerapkan konsepsi latha’if ini dalam zikir Qadiriyah, dan menuntut agar bukan hati saja yang disucikan dengan pukulan zikir, tetapi kelima latha’if di dalam dada.
Pengaruh Naqsyabandiyah yang ke dua terlihat dalam anjuran “menghadirkan rupa syaikh di hadapan murid” kalau syaikh sendiri tidak hadir. Ini tidak lain dari apa yang dinamakan rabithah syaikh dalam tarekat Naqsabandiyah. Sebelum dan ketika berzikir murid membayangkan wajah guru di depannya dan membayangkan bagaimana kurnia Allah dilimpahklan melalui Nabi dan syaikh kepadanya: gambaran konkret tentang washilah. Dalam tarekat Qadiriyah, rabithah biasanya tidak dilakukan; jadi kemunculannya disini merupakan pengaruh langsung dari Naqsyabandiyah.
Zikir Qadiriyah selalu jahri, bersuara dan seringkali dengan suara yang sangat keras. Kalau Syaikh Ahmad Khatib mengajarkan bahwa zikir bisa juga dilakukan tanpa suara (sirri), ini juga, agaknya merupakan hasil adaptasi dengan zikir Naqsyabandiyah yang biasanya sirri. Uraian lebih lanjut tentang zikir-zikir Naqsyabandiyah dalam kitab Fath Al-‘Arifin tidak memperlihatkan pengaruh Qadiriyah yang sama besarnya.
Namun dalam silsilah Syaikh Khatib, pengaruh Naqsyabandiyah tidak terlihat sama sekali. Fath Al’Arifin hanya menyebut satu silsilah, dan silsilah ini jelas sekali Qadiriyah: tidak satu tokoh Naqsyabandiyah pun disebut di dalamnya. Setelah Syaikh Abdul Khadir sendiri, silsilah ini menyebut putranya ‘Abd Al-‘Aziz dan Muhammad Al-Hattak, kemudian sejumlah nama yang tidak dapat ditemukan dalam sumber lain dan akhirnya guru Akhmad Khatib, Syamsuddin. Syaikh Syamsuddin ini sedikit misterius karena tidak dijumpai namanya pada sumber lain mengenai ulama di Makkah pada awal abad ke-19; mungkin juga Syamsuddin bukan nama melainkan gelar saja. Tidak jelas apakah Syaikh Khatib menerima
kedua tarekat tersebut dari Syaikh Syamsuddin ini, atau hanya Qadiriyah saja, yang kemudian digabungkan dengan unsur-unsur Naqsyabandiyah yang dia pelajari dari guru lain. Dalam praktik, guru tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia, yang semuanya mengambil tarekat ini dari Ahmad Khatib, lebih menekankan unsur-unsur Qadiriyah daripada unsur-unsur Naqsyabandiyah.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Setelah Ahmad Khatib
Syaikh Ahmad Khatib wafat sekitar tahun 1878, dan kedudukannya sebagai pimpinan tarekat kemudian digantikan oleh khalifahnya, Syaikh Abdul Karim Banten (yang juga bermukim di Makkah). Kharisma Syaikh Abdul Karim menyebabkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berkembang sangat cepat, terutama di daerah Banten, dan juga di daerah-daerah lain, dari Sumatra Selatan sampai Lombok. Selain Abdul Karim, Syaikh Ahmad Khatib Sambas juga telah memberikan ijazah kepada dua khalifah penting lainnya, yaitu Syaikh Tholhah di Cirebon dan Kiai Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura (menetap di Makkah). Walaupun pengaruh mereka bersifat lokal, masing- masing melahirkan cabang tarekat yang cukup luas pengaruhnya. Mereka masih mengakui kepemimpinan Syaikh Abdul Karim, tetapi setelah beliau meninggal tidak ada pemimpin pusat lagi, dan tarekat terpecah menjadi beberapa cabang lokal.
Menjelang akhir abad ke-19 tarekat Qadiriyah wa Naqsya- bandiyah berperan dalam beberapa pemberontakan rakyat yang besar. Peranannya dalam pemberontakan Banten 1888 sudah cukup diketahui berkat studi Prof. Sartono Kartodirdjo.20 Beberapa tahun kemudian (1891), orang Sasak di Lombok bangkit melawan kerajaan Bali yang waktu itu mengusai hampir seluruh pulau itu. Pemimpin karismatik pemberontakan ini, Guru Bangkol, juga mengaku sebagai guru Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan memanfaatkan jaringan tarekatnya untuk mengkordinasikan gerakan anak buahnya.21 Ternyata tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah punya sikap lebih aktivis daripada tarekat-tarekat yang lain. Salah satu sebabnya adalah karena tarekat ini meraih
banyak penganut dikalangan bawah (sedangkan Naqsyabandiyah, misalnya, mencari penganutnya terutama di kalangan elit desa dan golongan menengah). Keterlibatannya dalam gerakan fisik, agaknya, tidak lepas juga dari ilmu kekebalan yang selalu dihubungkan dengan Syaikh Abdul Qadir Jilani.
Sekitar tahun 1970 terdapat empat pusat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang penting di pulau Jawa: Rejoso (Jombang) dengan Kiai Musta’in Romly, Mranggen (dekat Semarang) dengan Kiai Muslikh, Suryalaya (Tasikmalaya) dengan Abah Anom, dan Pagentongan (Bogor) dengan Kiai Thohir Falak. Rejoso mewakili jalur Ahmad Hasbullah, Suryalaya jalur Kiai Tholhah, sedangkan yang lain mengambil tarekat dari Syaikh Abdul Karim dan khalifah- khalifahnya. Dari empat khalifah besar ini, sekarang hanya tinggal Abah Anom (K.H.A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin) yang masih hidup. Sebagai akibat suatu konflik di Jawa Timur (berhubungan dengan “penyeberangan” Kiai Musta’in ke Golkar pada tahun 1976), pengaruh Rejoso telah menuruin drastis. Sebagian penting murid- muridnya telah beralih kepada Kiai Adlan Ali dari Tebuireng, yang telah belajar tarekat pada Kiai Romly (ayah Kiai Musta’in) tetapi mendapat ijazah untuk mengajarkan tarekat dari Kiai Muslikh Mranggen. Di daerahnya sendiri, Kiai Muslikh tidak mempunyai pengganti dengan kharisma seperti yang dimiliki beliau sendiri, demikian juga di Pagentongan tarekat ini tidak diajarkan lagi setelah wafatnya Kiai Thohir Falak. Dengan demikian, cabang tarekat yang paling dinamis adalah Suryalaya (yang banyak mendapat perhatian media massa karena sisitem pengobatan pecandu narkotika melalui zikir). Abah Anom mempunyai wakil di berbagai daerah Jawa (termasuk Jawa Timur), di Sumatra, Kalimantan dan Lombok.
Ilmu Abdul Qadir dan Tarekat Qadiriyah di Kurdistan
Tarekat Qadiriyah tersebar di hampir seluruh dunia Islam, namun dalam ajaran dan amalannya terdapat cukup banyak perbedaan antara satu daerah dengan lainnya. Sejauh yang saya ketahui semua cabang mengamalkan zikir nafi wa itsbat seperti diuraikan di atas, namun dalam caranya terdapat perbedaan yang
sangat menonjol. Ada yang duduk, ada yang berdiri; ada yang hanya berbisik kalimat zikir, ada yang berteriak sekuat tenaga; ada yang bergerak kepalanya nyaris tak kelihatan ada juga yang menggoncangkan seluruh badan dengan irama zikir; ada yang melarang dan ada yang menganjurkan zikir diiringi dengan alat musik pukul seperti rebana. Di Kurdistan bagian Iraq dan Iran tempat tarekat Qadiriyah punya banyak penganut, zikir biasanya keras sekali dan digabungkan dengan pertunjukan kekebalan tubuh yang di Indonesia biasa disebut debus.
Di Kurdistan terdapat beberapa cabang tarekat Qadiriyah. Keluarga Sadate Nehri, yang mengklaim diri keturunan Abdul Qadir melalui putranya ‘Abd Al-‘Aziz telah disebut di atas. Selain mereka ada satu keluarga ulama lain yang juga menyebarkan tarekat Qadiriyah sejak abad ke-17 dan mempunyai pengaruh yang sangat besar. Nama keluarga ini adalah Barzinji—memang pengarang kitab Maulid “Barzanji” yang begitu disegani di Indonesia, Ja’far bin Hasan Barzinji termasuk salah seorang anggota keluarga ini.22 Cabang tarekat yang di pimpin syaikh-syaikh dari keluarga ini terkenal dengan zikir yang sangat ekstatis.
Dua kali setiap minggu, pada malam Selasa dan malam Jumat, para darwisy (panggilan penganut tarekat Qadiriyah di sini) berkumpul selepas shalat isya’ untuk zikir bersama. Beberapa darwisy yang punya suara bagus membaca sajak sufi dan melagukan qasidah dengan iringan rebana besar. Irama rebana yang sangat rancak dan suara indah para penyanyi menciptakan suasana yang khas, yang melepaskan para hadirin dari pikiran sehari-hari. Tiba-tiba irama berubah: khalifah telah memberi tanda zikir boleh di mulai. Para darwisy berdiri dan mulai mengucapkan kalimah nafi wa itsbat, sesuai dengan irama rebana, yang sekarang diperkuat dengan alat musik pukul lainnya. Seluruh badan mereka ikut berzikir, membungkuk supaya la dapat di tarik kuat ke atas dengan kepala, kemudian ilaha dilemparkan ke kanan dan illa’llah dengan gerakan yang keras di pukul ke dalam hati. Tempo irama senantiasa dipercepat; kemudian zikir nafi wa itsbat digantikan dengan zikir Allah-Allah. Beberapa darwisy kelihatannya masuk “hal“ (trance); mereka minta izin khalifah untuk “main”. Ada yang mengambil semacam debus kecil
(sepanjang 40cm), yang ditusukkan ke dalam pipi kanan sampai tembus dari pipi kiri atau ke lidah sampai tembus di bawah rahang, atau ke perut sampai menembus punggung. Yang lain mengambil pedang dan memukulkan matanya ke dada dan perutnya. Ada pula yang memegang tali listrik, makan kaca atau minum insektisida. Selama pertunjukan ini berlangsung irama rebana terus bertalu, sampai ketika khalifah memberi tanda bahwa pertunjukan sudah cukup. Benda tajam dikeluarkan dari badan dan disimpan lagi; rebana beralih ke irama yang lebih menenangkan, dan kemudian berhenti. Kadang-kadang dilanjutkan lagi dengan pembacaan sajak sufi. Pertemuan ditutup dengan pembacaan doa dan Al- Fatihah untuk Nabi dan Syaikh Abdul Qadir serta semua syaikh tarekat Qadiriyah.
Permainan debus ini (orang Kurdi bilang tigh, “benda tajam”) tidak terdapat pada cabang-cabang Qadiriyah di Turki, Arab dan (sejauh yang saya ketahui) India dan Pakistan; biasanya debus dihubungkan dengan tarekat Rifa’iyah (yang oleh orang Barat di sebut tarekat “darwisy melolong” karena zikirnya yang sangat keras). Dan memang, para Syaikh Qadiriyah Kurdi ini menyebut juga nama Syaikh Ahmad Rifa’i dalam silsilah mereka, dan menceritakan bahwa beliau telah belajar kepada Abdul Qadir. Kalau darwisy-darwisy Rifa’i juga tidak dilukai oleh benda tajam, kata mereka, itu tetap berkat karamah Syaikh Abdul Qadir, yang diturunkannya kepada Ahmad Rifa’i dan yang juga masih tetap melindungi semua pengamal tarekat Qadiriyah.
Tidak semua murid boleh bermain-main dengan benda tajam seperti ini; hanya mereka yang dianggap sudah cukup maju dalam amalan tarekat dan cukup kuat batinnya yang diijinkan oleh khalifah. Mereka percaya bahwa mereka baru kebal setelah ada izin khalifah; orang yang main tanpa izin, kata mereka, bisa saja mati gara-gara luka debus dan pedang. Dengan izin, benda tajam tidak bisa melukai mereka: walaupun tusukannya tembus, jarang ada pendarahan dan saya tidak pernah mendengar ada kasus seorang darwisy yang terkena infeksi.
Tetapi kenapa orang tarekat main debus dalam rangka zikir? Khalifah-khalifah yang saya tanyai memberikan beberapa penjelasan. Semua tarekat mengajarkan tawakal kepada
penganutnya ; dengan main benda tajam, murid bisa membuktikan bahwa ia menyerahkan diri secara total kepada Allah dan wali- Nya, Syaikh Abdul Qadir. Karena ternyata kebal, murid merasakan bahwa karamah Syaikh Abdul Qadir—yang tentu dikaruniai Allah—sangat ampuh dan sanggup mengalahkan hukum alam kebendaan; dengan demikian ia menghayati langsung adanya wasilah. Dan alasan terakhir, permainan debus ini bisa juga dipakai untuk tujuan dakwah: orang yang melihatnya akan diyakinkan akan kemahakuasaan Allah dan kewalian Syaikh Abdul Qadir.
Debus Banten dan Syaikh Abdul Qadir
Permainan debus seperti dalam tarekat Qadiriyah di Kurdistan juga pernah berkembang dibeberapa daerah di Indonesia, termasuk Aceh, Minangkabau, Banten dan Maluku. Walaupun sekarang hanya dipraktikkan sebagai hiburan rakyat saja, masih cukup banyak indikasi bahwa debus pertama-tama berkembang dalam rangka ketarekatan. Di Aceh, debus (daboih atau juga rapa’i) masuk sebagai bagian dari amalan tarekat Rifa’iyah,23 sedangkan di Banten dihubungkan dengan tarekat Qadiriyah.24 Sebetulnya, dalam debus Banten terdapat beberapa aliran yang berbeda, dan hanya salah satunya (yang masih ada di daerah Serang) yang sampai sekarang mengakui hubungannya dengan tarekat Qadiriyah—lebih tepat, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Selain tarekat ini, kita juga menemukan beberapa jejak tarekat lain dalam dunia debus ini, terutama Sammaniyah, dan juga Rifa’iyah.
Kekebalan dan kesaktian sejak masa pra-Islam dipentingkan dan dicari banyak orang di Nusantara; dalam legenda-legenda tentang para wali, kemenangan Islam sering dihubungkan dengan keunggulan zikir dan wirid Islam dibandingkan mantra dan jampi- jampi Hindu-Buddha. Kalau pada masa awal berkembangnya Islam di Nusantara banyak orang masuk tarekat, ini agaknya karena yang dicari dan diharapkan adalah ngelmu yang kuat. Ngelmu itu, tentu saja, bukan milik para ahli fiqih tetapi berkaitan dengan orang tarekat. Bukan Qadiriyah saja, amalan semua tarekat yang lain juga telah di pakai untuk mengembangkan kesaktian dan kekebalan itu. Banyak pesantren yang pernah menjadi pusat pelajaran silat
serta kesaktian disamping fiqih, tauhid dan tasawuf. Syaikh Yusuf Makassar, yang memimpin jihad di Banten (Banten lagi!) melawan Kompeni Belanda selama dua tahun (1682-4), merupakan contoh seorang sufi yang saleh yang sekaligus pejuang fisik yang hebat. Amalan tarekat yang di ajarkannya, agaknya, juga dipergunakan untuk mengembangkan kekebalan (seperti amalan Khalwatiyah- Yusuf kemudian yang juga dipakai di Sulawesi Selatan).
Tidak mengherankan kalau para pencari kekebalan sangat tertarik kepada ilmu Abdul Qadir, karena beliau yang tidak saja dikenal sebagai wali yang terbesar tetapi juga eksplisit disebut sebagai pelindung terhadap senjata tajam. Legenda tentang riwayat hidupnya sejak lama tersebar di masyarakat luas, termasuk kalangan rakyat kecil. Seperti telah disebut di atas, ilmu Abdul Qadir rupanya sudah diajarkan di suatu perguruan di atas Gunung Karang di Banten pada abad ke-17 dan juga dikenal di daerah Cirebon. Tidak kebetulan bahwa Gunung Karang juga dikenal sebagai salah satu pusat perkembangan debus. Menjelang akhir abad ke-19 tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, gabungan amalan yang baru, berkembang sangat cepat di Banten berkat karisma Syaikh Abdul Karim Banten. Keterlibatan banyak tokoh tarekat dalam pemberontakan besar tahun 1888 antara lain juga berhubungan dengan peranan mereka sebagai guru kekebalan. Dan pemberontakan ini, sebaliknya, memperkuat hubungan antara tarekat dan kesaktian-kekebalan.
Usaha terakhir untuk memakai debus secara massal terjadi dalam praktik terjadi pada masa revolusi fisik. Kiai Abdurrahim dari Maja (Rangkasbitung), yang juga guru debus, datang dengan lasykar yang terdiri dari murid-muridnya ke Serpong dan mempersiapkan diri untuk bertempur melawan tentara KNIL. Mereka menguji kekebalannya terhadap api dan golok, dan merasa yakin bahwa mereka juga kebal terhadap peluru Belanda. Tanpa mencari perlindungan mereka menyerang KNIL; hampir semuanya, sekitar 120 orang, tertembak mati.25
Peristiwa ini, tentu saja, tidak merupakan penampilan terakhir debus Banten. Masih tetap ada orang muda yang belajar debus, sebagaimana juga di daerah lain, dimana masih banyak orang muda yang mencoba mengembangkan kekebalan melalui
tirakatan, semedi dan bacaan-bacaan. Tetapi hubungan antara debus dan tarekat seperti terputus sekarang. Debus sudah menjadi hiburan rakyat yang biasa saja, tontonan pada acara-acara tertentu (hajatan) seperti halnya wayang dan qasidah. Dari sudut lain, para penganut tarekat Qadiriyah [wa Naqsyabandiyah] sekarang tidak begitu tertarik lagi kepada debus dan sejenisnya. Ilmu Abdul Qadir yang dicari dan diterapkan sekarang, bukan ilmu kekebalan tetapi ilmu mensucikan hati. Ini, tentu, tidak lepas dari situasi politik yang telah banyak berubah. Jihad, untuk orang tarekat, sekarang bukan perjuangan fisik lagi tetapi perjuangan batin. [ ]
Catatan akhir:
1. Syed Muhammad Naguib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970, hlm. 11; G.W.J. Drewes & L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri. Dordrecht: Foris, 1986, hlm. 44-5.
2. Lihat: S.A.A. Rizvi, A History of Sufism in India, vol. II (New Delhi: Munshiram Manoharlal, 1983), hlm. 55-150.
3. Al-Attas, hlm. 11.
4. Drewes & Brakel, hlm. 92-3.
5. Satu dari tujuh tulisan Yusuf dalam sebuah naskah kuno yang berasal dari Bone (dan dibawa ke Jakarta oleh Hamka). Naskah ini sangat berharga karena mencantumkan beberapa tulisan yang tak terdapat dalam naskah-naskah lain. Sayangnya, sudah sangat rusak. Saya menggunakan salinan naskah ini yang dibuat untuk Prof. Tudjimah.
6. Muhammad Al-Jilani datang ke Aceh sekitar tahun 1580 dan mengajar fiqh dan ushuluddin. Karena minat masyarakat Aceh kepada tasawuf, ia pergi menimba ilmu ke Makkah dan kemudian kembali sebagai guru tasawuf. S.M. Naquib Al- Attas, A Commentary on the Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri. Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986, hlm. 6.
7. Silsilah Nuruddin Al-Raniri disalin, dengan penjelasan, oleh Al-Attas, op. cit, hlm. 14-15; silsilah Yusuf Makassar dalam risalah Safinah Al-Najat tersebut.
8. G.W.J. Drewes & Poerbatjaraka, De Mirakelen van AbdoelKadir Djaelani. Bandoeng: A.C. Nix & Co., 1938, hlm 10-13. Hikayat Seh merupakan terjemahan sebagian kitab Khulashah Al- Mafakhir karangan Al-Yafi’i. Setelah Hikayat Seh, berbagai versi manaqib lain telah dipakai dan diterjemahkan ke dalam bahasa daerah (lihat di bawah).
9. Th.G.Th. Pigeaud, “Afkondigingen van Soeltans van Banten voor Lampoeng”, Djawa 9, 1929, hlm. 157.
10. Babad Tanah Djawi, edisi Meinsma (cetakan baru, Dordrecht: Foris, 1987), hlm. 46.
11. Naskah “Ilmu Haq” (dalam bahasa Jawa Cirebon); diringkas dalam: Y. Yogaswara dkk., Naskah dan Kitab Lama Cisondari. Bandung: Unpad, Fak. Sastra, 1976, hlm. 15.
12. Tentang kitab-kitab ini, dan sumber lain mengenai Abdul Qadir sebagai tokoh sejarah, lihat J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1971, hlm. 40-1, dan artikel “Abd Al-Kadir” dalam Encyclopaedia of Islam.
13. Judul-judul terjemahan terjemahan ini dilampirkan di bab “Ulama Kurdi” dalam buku ini. Kitab manaqib ketiga yang dibaca berjudul Tafrih Al-Khathir. Kitab ini dikarang dalam bahasa Parsi oleh seorang India atau Iran yang bernama Muhammad Shadiq Al-Syihabi, dan oleh ‘Abd Al-Qadir bin Muhyiddin Al-Arbili (orang Kurdi, barangkali) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Versi yang sering saya temukan adalah terjemahan Sunda oleh Ajengan Ahmad Sanusi (Pendiri Pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi). Selain ia, ada seorang kiai lagi yang telah menerjemahkan kitab ini dalam bahasa Sunda: Ki Muhyiddin, pesantren Pagelaran, Cisalak Purwakarta (Drewes & Poerbatjaraka, op. cit, hlm. 44-45).
14. Keduanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Pembukaan Kepada Yang Ghaib (oleh Abdul Majid b. Haji Khatib; Kota Bharu: Pustaka Aman Press, 1984); dan Kuliah Akbar Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani RA (oleh Moh. Zuhri; Semarang: Toha Putra, 1987).
15. Rizvi, op. cit., hlm. 55-150
16. Sibghatullah yang menggabung kedua tarekat ini dengan beberapa tarekat lainnya, lihat Rizvi, op. cit., hlm. 329-30.
17. Naskah Al-Nur Al-Hadi ila Thariq Al-Rasyad (dalam Bahasa Melayu), koleksi Museum Nasional, ML. 69.
18. Disalin dari kitab Fath Al-‘Arifin, cetakan ulang, Surabaya: Bungkul Indah.
19. Qadiriyyah bukan satu-satunya tarekat yang mengamalkan zikir nafi wa itsbat dengan cara ini. Di Naqsyabandiyah pun ada, walaupun tidak sepenting zikir yang lain (dzkir qalbu, dzikir latha’if)
20. Sartono Kartodirdjo. The Peasants’ Revolt of Banten in 1888. The Hague: Nijhoff, 1996.
21. Penjelasan lebih rinci tentang peranan tarekat dalam pembe- rontakan anti-Bali di Lombok dan gerakan rakyat lainnya dalam buku saya tentang tarekat Naqsyabandiyah Indonesia.
22. Ja’far bin Hasan adalah juga pengarang kitab Lujjain Al-Dani
(manaqib Abdul Qadir) yang tersebut di atas.
23. C. Snouck hurgroje, De Atjehers, jil. II. Batavia, 1894, hlm. 258- 60.
24. J. Vredenbregt, “Dabus in West Java”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 129, 1973, 302320.
25. Diceritakan oleh kiai istikhari (bogor), yang waktu itu aktif dalam hisbullah tidak jauh dari tempat peristiwa ini (wawancara, 25 Mei 1988).
NAJMUDDIN AL-KUBRA, JUMADIL KUBRA DAN JAMALUDDIN AL-AKBAR: JEJAK-JEJAK PENGARUH TAREKAT KUBRAWIYAH TERHADAP ISLAM INDONESIA MASA AWAL
Ikhtisar
Dalam berbagai kitab sejarah dan babad Jawa, seorang wali bernama Seh Jumadil Kubra disebut sebagai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan wali-wali lainnya. Petilasan yang disebut sebagai makam Seh Jumadil Kubra terdapat di berbagai tempat di pulau Jawa dan sampai sekarang dikunjungi para peziarah. Nama syekh ini terasa aneh, karena dalam bahasa Arab kata sifat “Kubra” tak sesuai dengan nama seorang lelaki, dan Jumadi lebih mengingatkan kepada nama bulan ketimbang nama manusia. Pada abad ke-20 oleh kalangan habaib diusahakan “meluruskan” sejarah masuk dan berkembangnya Islam di tanah Jawa, yang konon begitu kacau dalam babad versi Jawa. Dalam revisi sejarah Jawa ini, Walisanga semua di-Arabkan dan diberikan status sebagai keturunan Nabi, dan nama cikal bakal mereka, Jumadil Kubra, “diperbaiki” menjadi Jamaluddin al- Husaini al-Akbar. Tak terdapat satu sumber tertulis asli pun yang menyebut perjalanan seorang Sayyid Jamaluddin al- Akbar ke Asia Tenggara pada zaman Majapahit. Penulis ini yakin bahwa Jamaluddin al-Akbar ini merupakan penemuan belaka, ciptaan para habaib dalam usaha meningkatkan peranan mereka dalam sejarah Islam Jawa.
Dalam bab ini, penulis menawarkan penafsiran lain tentang tokoh dan peranan Seh Jumadil Kubra dalam tradisi Jawa. Dalam sejarah keilmuan Islam terdapat satu orang yang diberikan gelar “Kubra”, yaitu Najmuddin Kubra, pendiri tarekat Kubrawiyah yang berkembang di Iran dan Asia Tengah pada abad ke-13 sampai ke-17. Walaupun
tarekat Kubrawiyah tak pernah tercatat keberadaannya di Indonesia, nama-nama Najmuddin Kubra dan tokoh silsilah Kubrawiyah lainnya disebut dalam beberapa babad Jawa lama, terutama Sajarah Banten Rante-Rante, sebagai guru dan teman seperguruan Sunan Gunung Jati ketika belajar di Makkah. Dengan kata lain, babad ini menunjukkan Najmuddin Kubra dan spiritualitas tarekat Kubrawiyah sebagai inspirasi utama Islam sufi yang berkembang di Indonesia. Saya menawarkan hipotesis bahwa nama Jumadil Kubra berasal dari Najmuddin Kubra. Syekh Najmuddin sendiri tak datang ke Nusantara (ia hidup jauh sebelum orang Nusantara mulai naik haji), tetapi amalan dan aqidah Sufi Kubrawiyah yang mengilhami para penyebar Islam pada masa Walisanga diabadikan dalam nama cikal bakal simboliknya, Jumadil Kubra.
SalahsatucirikhastarekatKubrawiyahialahpenekanannya kepada penglihatan (dengan mata hati) cahaya-cahaya berwarna, yang setiap warnanya mengandung makna khusus. Amalan serupa terdapatkan dalam suatu tradisi tarekat lokal di Jawa Barat, Haqmaliyah. Sangat mungkin tarekat lokal ini mempertahankan unsur-unsur Kubrawiyah yang dibawah pulang oleh orang-orang Nusantara pertama yang pernah bermukim di Makkah dan Madinah.
Kitab Sajarah Banten Rante-Rante (SBR) dan terjemahan berbahasa Melayunya, Hikayat Hasanuddin, yang disusun pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18 tetapi memuat banyak bahan yang lebih tua, berisi sejumlah cerita yang berbeda-beda, salah satunya menceritakan tentang Sunan Gunung Jati yang dikatakan belajar berbagai ilmu di Makkah.1 Sebuah laporan yang sangat mirip, meski kurang terperinci, terdapat dalam Babad Cirebon versi Brandes-Ringkes. Sunan Gunung Jati, yang dijunjung sebagai salah seorang dan sembilan wali Jawa (Walisanga), adalah seorang tokoh historis, yang menjadi tokoh terkemuka pada paruh pertama abad ke-16 dan mendirikan Kerajaan Muslim Banten dan Cirebon. Tradisi yang belakangan ini menyebutkan namanya yang lebih lengkap sebagai Syarif Hidayatullah; kepustakaan babad menyebutnya dengan nama yang berbeda-
beda: Sa’id Kamil, Muhammad Nuruddin, Nurullah Ibrahim, dan Maulana Syekh Madzkur dan mengatakan bahwa dia lahir di Mesir, atau kalau tidak di Pasai, Sumatra Utara. Tampaknya sejumlah pribadi historis dan legendaris telah menyatu dalam diri Sunan Gunung Jati yang diceritakan dalam babad.
Sunan Gunung Jati dan Tarekat Kubrawiyah
Sunan Gunung Jati historis mungkin memang pernah, atau mungkin juga tidak, mengunjungi Makkah dan Madinah; namun laporan tentang usahanya menuntut ilmu di sana, terlepas dan kebenaran historisnya, memberikan beberapa informasi berharga tentang Islam Indonesia abad ke-17. Diceritakan bahwa sang wali belajar ke Makkah pertama-tama kepada Najmuddin al-Kubra, dan kemudian selama dua puluh atau dua puluh dua tahun belajar kepada Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari asy-Syadzili di Madinah, di mana dia menerima pembaiatan menjadi penganut tarekat Syadziliyah, Syattariyah dan Naqsyabandiyah (Edel 1938: 137-9; Brandes/Rinkes 1911, pupuh 13). Sebagaimana kita ketahui melalui sumber-sumber lain, tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah telah tersebar ke Nusantara selama abad ke-17 melalui Madinah, dan sangat mungkin bahwa tarekat Syadziliyah pun menyebar pada masa yang sama. Ibn ‘Atha’illah, tentu saja, menjadi orang terkemuka di Mesir pada abad ke-13 dan bukan di Madinah pada abad ke-16. Kemunculannya dalam berbagai cerita di atas semata-mata menunjukkan bahwa namanya sudah dikenal di Banten dan Cirebon—mungkin melalui koleksi wejangan sufinya yang terkenal, al-Hikam—pada waktu babak cerita ini disusun.
Jarak ruang dan waktu yang memisahkan Sunan Gunung Jati dengan orang yang dikatakan sebagai gurunya, Najmuddin al-Kubra, bahkan lebih jauh lagi: Kubra menyebarkan ajarannya di Khawarizm (Asia Tengah) dan wafat di sana pada tahun 1221. Namun SBR tidak hanya menyebut al-Kubra sebagai guru dari sang Sunan, tetapi juga mengurutkan seluruh geneologi spiritual (silsilah)-nya dan menyebut nama dua puluh tujuh “murid seperguruan” (rencang sapaguron)-nya. Nama-nama
tersebut menunjukkan adanya pengetahuan yang cukup memadai tentang Kubrawiyah, tarekat yang dihubungkan dengan nama Najmuddin al-Kubra.
Silsilah tersebut, terlepas dari beberapa kekhilafan penyalinan2 yang tidak terlalu fatal dan dua nama yang hilang, sama dengan salah satu dari dua silsilah yang terdapat dalam sumber tarekat Kubrawiyah pada masa awalnya (Meier 1957: 17-9). Al-Kubra mempunyai dua murid guru, ‘Ammar b. Yasir al-Bidlisi dan Isma’il al-Qashri, dan dia merunut asal-usul spiritualnya melalui keduanya. SBR merunut silsilah Sunan Gunung Jati melalui guru yang kedua (saya diam-diam mengoreksi beberapa kesalahan kecil dalam ejaan dan menambahkan dua nama yang hilang dalam tanda kurung kotak):
Najmuddin al-Kubra Isma’il al-Qashri,
Muhammad b. Malik al-Matikidi [tepatnya: Muhammad b. Mankil], [Daud b. Muhammad khadim al-fuqara’],
Abu’l-‘Abbas Idris,
Abu’l-Qasim b. Ramadhan, [Abu Ya’qub ath-Thabari], Abu ‘Abdallah b. ‘Utsman,
Abu’l-Ya’qub an-Nahari Judi [tepatnya: an-Nahrajuri], Abu Ya’qub as-Susi,
‘Abd al-Wahid b. Zaid, Kumail b. Ziyad,
‘Ali al-Murtadha, Muhammad.
Silsilah yang sama juga terdapat dalam kitab as-Simth al- Majid, sebuah karya yang disusun oleh tokoh sufi Madinah abad ke-17 yang sangat terkenal, Ahmad al-Qusyasyi (1327: 98-9).3 Al-Qusyasyi dikenal, terutama, sebagai guru tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah, tetapi dia juga telah dibaiat menjadi penganut berbagai tarekat lainnya, di antaranya Kubrawiyah. Dia mempunyai murid-murid yang berasal dari Indonesia, dan salah seorang di antaranya, ‘Abd ar-Ra’uf as-Singkili, mengutip kitab Simth (meskipun bukan silsilah ini) dalam salah satu tulisannya.4
Al-Qusyasyi menerima pembaiatan dirinya dari guru dan pendahulunya seperti ulama Madinah terkemuka, Ahmad asy- Syinnawi (w. 1619), dan dia selanjutnya membaiat Ibrahim al- Kurani yang menggantikan kedudukannya setelah kematiannya pada tahun 1661.
Hipotesis paling sederhana yang menerangkan rujukan- rujukan kepada tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah dan Kubrawiyah5 dalam SBR dan Babad Cirebon yang dibicarakan sejauh ini adalah bahwa lingkungan istana, yang darinya teks- teks tersebut berasal, pada abad ke-17 sudah berkenalan dengan berbagai tarekat ini melalui seorang atau lebih murid asy- Syinnawi atau penggantinya—mungkin orang Indonesia asli yang menunaikan ibadah haji atau orang luar yang datang ke Indonesia. Namun informasi yang paling menarik adalah yang berikut ini. SBR, sebagaimana telah dikatakan di atas, menyebutkan dua puluh tujuh nama yang dikatakan bersama- sama dengan Sunan Gunung Jati telah belajar langsung kepada Najmuddin al-Kubra di Makkah.6 Sekitar separuh dari mereka dapat diidentifikasi secara meyakinkan. Hampir-hampir tidak mengejutkan bahwa sebagaimana juga orang yang dikatakan sebagai guru itu sendiri, mereka bukanlah orang-orang yang hidup sezaman dengan Sunan Gunung Jati, bahkan masing- masing hidup pada masa yang berbeda. Namun, nama-nama tersebut juga bukanlah merupakan, sebagaimana yang mungkin diduga, pemilihan secara sembarangan atas nama-nama mereka yang dihormati orang banyak. Paling tidak sebelas nama di antaranya adalah syekh-syekh terkemuka tarekat Kubrawiyah, dan nama-nama tersebut juga merupakan bagian silsilah (yang tidak lengkap) dari dua cabang yang berbeda dari tarekat ini.
Murid Seperguruan Sunan Gunung Jati
Pertama-tama, di sini saya akan mengurutkan nama-nama menurut susunan yang ada dalam SBR, sambil dengan diam-diam mengoreksi beberapa kesalahan kecil dan menempatkan koreksi dan komentar yang lebih penting di antara dua
tanda kurung kotak. Nama-nama mereka yang dapat dikenali sebagai penganut Kubrawiyah ditulis dengan cetak miring:
(1) Jamaluddin Muhammad al-Khalwati,
(2) Khwajah ‘Azizan ‘Ali Ramaqatani [ar-Ramitani],
(3) Syekh ‘Abdullah,
(4) Syekh Nizhamuddin al-Hawari [ al-Khawarizmi?],
(5) Syekh Majduddin al-Baghdadi,
(6) Syekh Ahmad al-Jasadafani [al-Jurfanni] ar-Rudbari,
(7) Syekh Mahmud b. Yusuf Rasyad Udahali,
(8) Syekh Hamiduddin Mahmud as-Samarqandi,
(9) Syah...,7
(10) Syekh Mubarak,
(11) Syihabuddin ad-Dimasyqi
(12) Syekh ‘Ala ’ad-Daulah Astamabi [as-Simnani],
(13) Mir Syah Raju,
(14) Sayyid Shadruddin Muhammad b. Ahmad al-Bukhari,
(15) Mahmud al-Mazdaqani
(16) Syekh Saranak,
(17) Syekh Mahmud b. Jalaluddin al-Bukhari,
(18) Qadhi Zakariyya al-Anshari
(19) Ishaq Abu’l-Hattan [Ishaq al-Khuttalani]
(20) Syekh ‘Abd al-Wahhab asy-Sya’rawi,
(21) Syah ‘Ali al-Khathib,
(22) Badruddin as-Sa’id Qadhi Burhan,
(23) Syah ‘Ali al-Bidud [al-Bidawazi],
(24) Syekh ‘Abd al-Karim b. Sya’ban,
(25) Fadhl Allah Muhammad Shadr,
(26) Syekh Ahmad asy-Syinnawi,
(27) Maulana ‘Abd al-Lathif al-Jami
Enam dari nama di atas terdapat dalam silsilah Kubrawiyah Ahmad al-Qusyasyi, yang menunjukkan hubungan mata rantai antara dirinya sendiri dengan Najmuddin al-Kubra. Majduddin al-Baghdadi (5) adalah murid utama al-Kubra, dan kemudian garis silsilah ini bersambung melalui Ahmad ar-Rudbari(6),8
Syihabuddin ad-Dimasyqi (11), Zakariyya’ al-Anshari (18) dan Ahmad asy-Syinnawi (26) sampai kepada al-Qusyasyi. Ini bukanlah silsilah yang lengkap (lihat bagan terlampir); hanya nama-nama yang paling terkenal yang disebutkan, dan hampir separuhnya, hilang.9 Al-Anshari dan asy-Sya’rani, secara kebetulan, merupakan syekh yang sangat dikenal di Indonesia karena sumbangan mereka dalam bidang fikih. Beberapa karya mereka sejak lama telah menjadi bagian dari pendidikan pesantren pada tingkat- tingkat ‘Aliyah. Nama mereka tertera di sini dalam kapasitas yang kurang dikenal, sebagai sufi yang berafiliasi dengan tarekat Kubrawiyah.
Lima tokoh Kubrawiyah lainnya yang disebut dalam daftar SBR (as-Simnani, al-Mazdaqani, al-Khuttalani, al-Bidawazi dan al- Jami) dicantumkan dalam garis afiliasi lain yang sangat terkenal dan sering disebut Kubrawiyah-Hamadaniyah, sesuai nama tokoh paling karismatik dan garis silsilah ini, ‘Ali al-Hamadani (lihat bagan terlampir di penghujung bab ini, dan bandingkan dengan bagan dalam Trimingham 1973: 56-7). Nama al-Hamadani sendiri rupanya hilang dalam urutan tersebut, kecuali kalau kita dapat mengenalinya sebagai Syah ‘Ali al-Khathib. Tokoh lain yang dapat dikenal dari garis Kubrawiyah yang khas ini yang disebut dalam urutan di atas adalah ‘Abd al-Lathif al-Jami (w. 1555-6), yang tentang dirinya kami menemukan sebuah catatan yang singkat namun sangat menarik dalam kamus biografis para tokoh abad ke-16 karya al-Ghazzi, al-Kawakib as-Sa’irah.
Jami (yang tidak boleh dikacaukan dengan penyair terkenal ‘Abd ar-Rahman Al-Jami) sebetulnya bukanlah murid utama gurunya, Muhammad. Khabusyani. Sumber-sumber Asia Tengah hampir seluruhnya sependapat memberikan kedudukan sebagai murid utama tersebut kepada Kamaluddin Husain al- Khawarizmi, melalui siapa Syah Wali Allah juga menjajaki garis silsilah Hamadaniyahnya (lihat bagan).10 Melalui muridnya yang lain, Khabusyani juga merupakan nenek moyang tarekat orang Syi’ah Iran, Dzahabiyah (Gramlich 1965: 10-16). Hanya melalui silsilah yang diberikan oleh al-Ghazzi-lah (1979, jil. II: 182), maka kita mengetahui bahwa al-Jami berafiliasi dengan cabang tarekat Kubrawiyah ini. Dengan adanya afiliasi ini, kita dapat dengan
mudah mcngenali Syah ‘Ali al-Bidud’ (no. 23 dalam urutan di atas) sebagai Syah ‘Ali al-Isfara’ini al-Bidawazi,11 dan tidak mustahil bahwa Syekh ‘Abdallah dalam urutan kita di atas (no. 3) adalah buyut spiritual al-Hamadani, ‘Abdallah al-Barzisyabadi.
Justru karena Jami mewakili cabang kecil dari cabang tarekat Hamadaniyah dan tidak disebut dalam silsilah yang belakangan, maka kehadirannya dalam daftar di atas memberikan kunci untuk memahami apa yang diwakili urutan ini. Sedikit informasi biografis yang dapat ditemukan dalam al-Ghazzi dan sumber-sumber lain menunjukkan kenapa Jami mempunyai daya tarik istimewa bagi umat Islam Indonesia kontemporer.
‘Abd al-Lathif al-Jami diceritakan telah menunaikan ibadah haji bersama sejumlah besar muridnya pada tahun 1547-8. Dalam perjalanan menuju Makkah dia berhenti di Istanbul, di mana dia sangat dimuliakan oleh pejabat-pejabat yang paling terkemuka di sana. Tidak lain dari Sultan Daulah Utsmaniyah sendiri, Sulaiman al-Qanuni, yang meminta kepadanya agar diajarkan tentang zikir tarekat Kubrawiyah-Hamadaniyah, dan para pemuka kalangan tentara dan birokrasi menjadi muridnya. Pada saat melanjutkan kembali perjalanannya menuju Makkah, al-Jami kembali berhenti di Aleppo, di mana sekali lagi dia bertemu dengan para pe- nguasa tertinggi kota tersebut yang ingin menerima pengajaran darinya. Dia menetap di salah satu zawiyah (pondok darwisy) terkemuka dan mengajarkan wirid-wirid yang terkenal dengan Aurad Fathiyah, salah satu amalan tarekat Hamadaniyah yang khas.12 Wirid-wirid ini berasal dari ‘Ali al-Hamadani, yang diyakini telah menerima wirid-wirid tersebut dari Nabi melalui mimpi.
Demikian juga, perjalanan pulang Syekh ‘Abd al-Lathif ke Asia Tengah, setelah menunaikan ibadah haji, tidak kurang spektakular dibandingkan dengan penerimaan di Istanbul dan Aleppo. Sultan Sulaiman menyediakan pengawal yang berjumlah 300 tentara baru (Yeniceri), yang menyertainya sepanjang jalan dari Asia Kecil sampai ke Kaukasus dan sepanjang pantai utara Laut Kaspia sampai ke Khawarizmi dan Bukhara.13 Pengarang yang memberikan informasi yang sangat berharga ini, Laksamana Daulah Utsmaniyah Sidi Ali Reis, juga merupakan salah seorang
murid sang Syekh. Pada pertengahan tahun 1556, ketika dalam perjalanannya yang panjang dan sukar dari India ke Istanbul dia melewati kota Khawarizmi, dia mendengar berita tentang Syekh ‘Abd al-Lathif yang baru saja wafat di kota Wazir. Tanpa memedulikan jarak dan payahnya perjalanan, dia berziarah dan mengkhatamkan Alquran di atas makam Syekh (Sidi Ali Reis 1899: 79).
Kita tidak mempunyai catatan tentang dampak kehadiran Syekh ‘Abd al-Lathif al-Jami di Makkah ketika dia menunaikan ibadah haji, tetapi dapat dipastikan bahwa kehadirannya tersebut memberikan dampak yang cukup kentara. Kedatangan pembimbing rohani Sultan, yang mengadakan perjalanan bersama sejumlah besar pengikutnya, hampir tidak mungkin terlewatkan tanpa menarik perhatian orang banyak dan mungkin telah menjadi salah satu peristiwa yang masih menjadi bahan pembicaraan umum pada tahun-tahun berikutnya.
‘Abd al-Lathif al-Jami hidup sezaman dengan Sunan Gunung Jati. Tanpa berspekulasi apakah Sunan Gunung Jati sendiri memang benar-benar pernah mengunjungi Makkah dan bertemu dengan guru tarekat Kubrawiyah ini, kita barangkali dapat dengan aman menyimpulkan bahwa pada satu saat (dan sangat mungkin masih pada abad ke-16, karena dalam urutan di atas kita tidak menemukan adanya nama yang mewakili garis afiliasi tarekat ini pada masa yang lebih kemudian), paling tidak beberapa orang Banten sudah mengenal (beberapa aspek dari) tarekat Ku- brawiyah sebagaimana yang diajarkan oleh ‘Abd al-Lathif al-Jami. Jika berita tentang al-Jami yang sudah membaiat Sultan Daulah Utsmaniyah telah sampai ke Banten, ada kemungkinan bahwa hal itu telah meyakinkan penguasa Jawa bahwa tarekat sufi ini merupakan ngèlmu hebat, yang berguna untuk dimiliki (atau setidaknya diklaim telah dimiliki).
Silsilah yang berakhir dengan nama asy-Syinnawi barangkali menunjukkan adanya kontak kedua dengan tarekat Kubrawiyah, satu atau dua generasi kemudian. Mungkinkah ini disebabkan karena seorang Banten yang berusaha mendapatkan pembaiatan menjadi penganut tarekat yang bergengsi ini gagal untuk menemukan seorang pengganti al-Jami dan, karena itu,
kemudian memilih cabang tarekat Kubrawiyah lain yang diwakili oleh asy-Syinnawi?14 Pengganti al-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani (1328: 108-9) dan muridnya dua generasi kemudian, Syah Wali Allah (t.t.: 119-21), mengurutkan beberapa silsilah Kubrawiyah lainnya, dengan menunjukkan bahwa mereka telah berbaiat (berturut-turut?) menjadi penganut beberapa cabang tarekat ini. Silsilah-silsilah tambahan ini tidak memuat nama-nama lain yang terdapat dalam urutan di atas—dan itu menunjukkan bahwa urutan tersebut dalam bentuknya yang ada sekarang berasal dari masa asy-Syinnawi atau paling lambat masa al-Qusyasyi.
Tokoh lain, yang namanya tertera dalam daftar di atas, yang secara meyakinkan dapat diidentifikasi adalah Khwajah ‘Azizan ‘Ali ar-Ramitani (w. 1321 atau 1328). Dia adalah salah satu dari sufi Asia Tengah yang terkenal sebagai Khwajagan, yang setelah wafatnya dihubungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah.15 Dia sangat terkenal karena korespondensinya dengan ‘Ala ad-Daulah as-Simnani (Susud 1992: 30-2, mengikuti Nafahat al-Uns-nya ‘Abd ar-Rahman al-Jami), dan karena itu cukup tepat tercantumkan dalam daftar para sufi Kubrawiyah.
Tokoh lain yang mungkin dapat diidentifikasi adalah Mir Syah Raju (13), yang boleh jadi sarna dengan sufi Sayyid Hibatullah b. ‘Athaillah al-Farisi, yang lazim dikenal sebagai Syah Mir.16 Sayyid Hibatullah dihubungkan dengan tarekat Kubrawiyah melalui baik Simnani maupun murid Nuruddin al-Isfara’ini yang lain, Aminuddin ‘Abd as-Salam al-Khunji, dan al-Qusyasyi ternyata mengutip uraiannya tentang berbagai metode zikir dalam kitab Simth (Landolt 1986: 47). Kemungkinan identifikasi yang lain lebih spekulatif: Mungkinkah Nizhamuddin ‘al-Hawari’ (no. 4) adalah Murid Simnani, Nizhamuddin ‘Ali (yang tentangnya lihat DeWeese 1988: 64)? Terteranya nama-nama ini dalam urutan di atas menunjukkan bahwa penyusunnya tidak hanya menyalin dua silsilah yang terpisah dan menunjukkan bahwa dia memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang sejarah tarekat Kubrawiyah.
Jejak-jejak Pengaruh Tarekat Kubrawiyah terhadap Islam Indonesia
Adakah perkenalan awal dengan tarekat Kubrawiyah yang terdokumentasikan dalam Babad Cirebon dan SBR meninggalkan jejak yang masih bertahan dalam Islam Indonesia? Dapatkah doktrin-doktrin tasawuf atau teknik-teknik spiritual yang khas ditelusuri sebagai jejak pengaruh tarekat Kubrawiyah?
Pengetahuan kita tentang amalan-amalan khas yang dikembangkan tarekat Kubrawiyah pada masa awal sangat tidak lengkap, walaupun karya penting tentang tarekat ini sudah ditulis oleh Fritz Meier, Henri Corbin, Hamid Algar dan Hermann Landolt. Informasi paling terperinci yang kita miliki berkaitan dengan berbagai teknik zikir yang dipakai (Meier 1957: 200-213; Landolt 1986: 38-50; Elias 1993; bdk. Razi 1982: 268-278) dan berbagai
spekulasi metafisiknya (Meier 1957: 93-199; Landolt 1986: 70- 79). Paling tidak sebagian dari teknik-teknik zikir Kubrawiyah telah diserap ke dalam tarekat Naqsyabandiyah, konon melalui sufi Asia Tengah abad ke-14 yang dikenal sebagai Khwajagan. Karena kehadiran tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia dapat dibuktikan sejak abad ke-17 ke bawah, maka terdapatnya sebagian teknik-teknik spritual ini di Indonesia tidak harus menunjuk- kan pengaruh langsung tarekat Kubrawiyah.
Di atas sudah kita lihat bahwa latihan amalan dan teknik tasawuf penting dari tarekat Kubrawiyah, sebagaimana yang diajarkan oleh ‘Abd al-Lathif al-Jami, adalah pembacaan Aurad Fathiyyah, yang berasal dari ‘Ali al-Hamadani. Pembacaan wirid-wirid ini masih diamalkan di berbagai belahan dunia Islam, misalnya di beberapa kalangan penganut Naqsyabandiyah di Turki.17 Nama Aurad Fathiyyah tampaknya tidak dikenal di Indonesia. Namun salah satu dari wirid-wirid yang ada dalam kumpulan ini banyak dikenal di seluruh Jawa;18 wirid tersebut ternyata merupakan salah satu bacaan yang sangat lazim dipakai sebagai bacaan amalan di sana, tanpa dihubungkan dengan tarekat tasawuf tertentu. Adalah menggoda untuk menganggap bahwa popularitas wirid ini juga disebabkan karena prestise ‘Abd al-Lathif al-Jami.
Ciri tarekat Kubrawiyah—atau paling tidak ciri para pemikir terkemukanya, al-Kubra, Najmuddin ar-Razi, as-Simnani, dan al-Hamadani—yang paling mencolok adalah penekanan pada penglihatan batiniah (visionary perception) kepada berbagai cahaya berwarna, interpretasi simbolik atas warna-warna ini dan penggunaan cahaya berwarna ini untuk mengantarkan pengamalnya kepada kesempurnaan spiritual (lihat Corbin 1978; Meier 1957: 115-26; Elias 1993). Sebagian ilmuwan me- mandang hal ini sebagai pengaruh langsung dari ajaran Tantra Hindu atau Budha.
Sekarang, di Jawa terdapat berbagai sekte Islam kebatinan (esoterik) yang juga menggunakan teknik-teknik meditasi untuk dapat melihat cahaya-cahaya yang berwarna semacam itu (di antaranya cahaya hitam dan hijau, yang sebagaimana dalam tarekat Kubrawiyah, mendapatkan tempat yang istimewa). Antropolog Woodward (1989: 180) mendengar bahwa di Yogyakarta Sultan “dipercaya melihat cahaya hijau ketika dia melakukan meditasi.” Nampaknya, ini cocok dengan tingkat tertinggi pengalaman melihat secara batiniah (visionary experience) yang diakui oleh para pengarang Kubrawiyah.
Penglihatan batin akan cahaya-cahaya berwarna ini tampak- nya menempati tempat yang penting dalam teknik-teknik spiritual tarekat Haqmaliyah atau Akmaliyah, tarekat lokal Jawa Barat yang tidak banyak dikenal.19 Tampaknya, ada perbedaan penting antara berbagai cabang tarekat ini, baik dalam amalan maupun dalam interpretasi tentang penglihatan batin (vision); lebih dari itu mereka sangat enggan membeberkan ajaran dan amalan mereka kepada orang-orang yang bukan penganutnya karena takut akan menimbulkan kesalahpahaman dan tuduhan melakukan bid’ah. Salah satu cabang tarekat Haqmaliyah yang saya ketahui berusaha menghasilkan penglihatan secara batiniah kepada sinar-sinar berwarna melalui pengamalan bacaan-bacaan tertentu yang digabungkan dengan teknik pengekangan indrawi dan pengendalian napas: telinga ditutup dengan dua ibu jari, mata dengan jari telunjuk, lubang hidung dengan jari tengah, dan empat jari lainnya menutup rapat mulut.20
Sebagaimana juga para pengarang Kubrawiyah, para guru yang mengajarkan teknik-teknik meditasi ini memiliki sistem interpretasi yang agak terperinci tentang berbagai warna cahaya, dan para pengamal yang saya ajak bicara meyakini bahwa kemajuan spiritual tercermin dalam penglihatan secara batin kepada berbagai warna yang berbeda, cahaya hitam berkilau hanya dapat tampak di mata orang yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dalam meditasi. Orang mungkin akan tergoda untuk mengaitkan amalan ini dengan pengaruh tarekat Kubrawiyah pada masa awal, yang asal-usulnya sudah dilupakan orang.21 Namun, dapat dipastikan bahwa teknik yang sama, penutupan lubang-lubang yang ada di kepala, juga dipraktikkan di lingkungan Tantrik India, di mana teknik ini dikenal dengan yoni mudra.22 Di pihak lain, teknik ini sama sekali tidak disebutkan secara tegas dalam sumber-sumber Kubrawiyah. Kalau demi- kian, apakah ajaran tentang penglihatan secara batiniah kepada berbagai cahaya berwarna di sini merupakan peninggalan ajaran Tantrik dari masa lalu Jawa pra-Islam,23 atau ini karena pengaruh Kubrawiyah?
Kepustakaan tertulis dari tarekat ini tidak memberikan isyarat yang jelas mengenai asal-usul teknik meditasi tersebut. Karya utama mengenai tarekat ini, Lajang Moeslimin-Moeslimat (Martawidjaja 1930), yang berisi ajaran-ajaran metafisik-mistik semacam wahdah al-wujud dalam bentuk sebuah dialog antara Raden Muslimin dengan adiknya, Raden Muslimat, dapat mengingatkan kepada bagian pengajaran dalam Serat Centhini. Terdapat pengaruh yang sangat jelas dari Insan al-Kamil-nya al-Jili,24 tetapi dengan beberapa modifikasi yang khas Indonesia. Teks ini, sebagaimana yang umum terdapat di Indonesia, memerikan bukan lima tetapi tujuh tahapan emanasi (martabat tujuh).25 Pada tahapan ketiga (Wahidiyyah), di mana zat rohani Nabi (Nur Muhammad, Cahaya Muhammad) muncul, Nur Muhammad disebut menampakkan dirinya seperti cahaya berwarna, pertama merah, kemudian kuning, putih dan hitam.26
Pada tahapan proses emanasi selanjutnya, keempat cahaya berwarna ini dihubungkan, dengan gaya Jawa yang khas, dengan empat huruf Arab yang membentuk nama Allah, empat
unsur (api, angin, air dan tanah), empat unsur pembentuk tubuh (daging, sumsum, kulit dan tulang), empat jiwa (nafsu) atau keadaan jiwa (nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu sawiyah, dan nafsu muthma’inah),27 dan empat alat indra (telinga, mata, mulut dan hidung). Paragraf lain menambahkan cahaya terang dan gelap tanpa warna dan berbagai bayangan biru pada berbagai cahaya berwarna, tanpa usaha lebih lanjut untuk mencocokkannya dengan skema klasifikasi.28
Teks-teks abad ke-17 berbahasa Melayu dan Jawa yang agak mirip, yang disunting oleh Johns (1957, 1965), juga berbicara tentang Nur Muhammad pada tahapan wahidiyyah, tetapi tidak menyebutkan cahaya-cahaya berwarna, tidak pula merujuk kepada klasifikasi-klasifikasi empat tingkat yang lain. Spekulasi- spekulasi kosmologik dan kosmogonik ini sangat mirip dengan apa yang dimuat dalam Sang Hyang Kamahaniyakan yang berbahasa Jawa kuno, dengan perbedaan dalam klasifikasinya yang kebanyakan terbagi ke dalam lima tingkat (Kats 1910: 106- 16). Jika semua itu benar-benar berasal dari zaman pra-Islam, maka pastilah spekulasi-spekulasi tersebut telah berkembang pada suatu tahapan Islamisasi yang lebih awal karena istilah- istilah dan penggambaran (imagery) yang dipakai jelas merupakan bagian dari tradisi tasawuf Islam.
Istilah yang dipakai oleh seorang informan saya untuk pengalaman melihat secara batiniah dan, bahkan, juga teknik itu sendiri adalah tajalli. Tajalli adalah sebuah istilah teknis sufi yang sangat terkenal, yang biasanya diterjemahkan sebagai theophany atau “perwujudan diri Tuhan.” Istilah ini sering kali terdapat dalam kitab Insan al-Kamil-nya al-Jili, yang merupakan sumber inspirasi utama tarekat Haqmaliyah. Al-Jili berbicara tentang pengungkapan diri Tuhan dalam tindakan-tindakan-Nya (tajalli al-af’al), melalui nama-nama-Nya (tajalli al-asma’), dan sifat- sifat-Nya (tajalli ash-shifat) dan zat-Nya (tajalli adz-dzat). Dilihat dari sudut pandang manusia, tajalli merupakan “cahaya yang dengannya hati sang sufi dapat melihat Tuhan secara batin” (Nicholson 1921: 135). Istilah yang sama juga dipakai oleh para pengarang Kubrawiyah dan juga oleh sufi dan ulama India yang terpengaruh Kubrawiyah abad ke-18, Syah Wali
Allah; dalam tulisan mereka tampaknya istilah ini merujuk, antara lain, kepada penglihatan secara batiniah tersebut (lihat Landolt 1986, indeks tajalli, bdk. Baljon 1986: 31-2, 127-8).
Bagi tarekat Sunda ini, istilah tajalli berarti dimensi batiniah dari semua ibadah Islam. Meringkas Lajang Moeslimin- Moeslimat, setiap tindakan memiliki, di samping makna zhahir- nya (syari’ah), tiga makna yang lebih mendalam, yakni haqiqah, thariqah dan ma’rifah, di mana yang terakhirlah yang paling batiniah. Syari’ah salat terdiri dari gerakan-gerakan fisik: berdiri tegak, rukuk, sujud dan duduk; haqiqah-nya terdiri dari huruf alif lam lam ha, yang merupakan nama Allah; thariqah- nya adalah salat sejati, tajalli mutlak; dan ma’rifah-nya adalah perjumpaan langsung dengan nur Muhammad, yaitu empat cahaya berwarna.29
Teks berbahasa Sunda ini, sebagaimana sudah dilihat, tidak menyebut warna hijau, yang oleh para pengarang Kubrawiyah disimbolkan sebagai tingkat yang tertinggi. Namun para informan saya secara spontan menyebut cahaya hijau berkilauan ini dan menganggapnya sebagai yang paling bernilai tinggi dibandingkan dengan warna hijau, hitam dan cahaya tanpa warna—yang konsisten dengan yang dikatakan sumber-sumber Kubrawiyah. Doktrin dan amalan sekte Sunda ini, sepengetahuan saya, merupakan gabungan yang tidak ditemukan di tempat-tempat lain. Tentu saja, hal ini dapat terjadi karena pendiri atau para pendiri sekte ini hanya menggabungkan berbagai teknik pra-Islam dalam mencapai penglihatan secara batiniah kepada cahaya, konsep-konsep klasifikasi Jawa dan teori emanasi Islam-nya al- Jili. Meskipun demikian, saya mengajukan hipotesis mengenai pengaruh Kubrawiyah yang, justru karena tarekat tersebut sudah mengalami percampuran yang serupa, dengan mudah ditempelkan kepada peninggalan berbagai tradisi Tantrik pra- Islam dan karena itu mempermudah pengintegrasiannya ke dalam ajaran tasawuf batiniah Islam.
Barangkali, jejak yang paling meyakinkan dari adanya hubungan dengan Kubrawiyah pada masa awal adalah nama dari tokoh sufi legendaris yang dapat dijumpai di mana-mana dalam “sejarah sakral” Islam Jawa: Syekh Jumadil Kubra, kepada
siapa tampaknya sernua wali Jawa dihubungkan. Rupanya nama ini, yang hampir dapat dipastikan merupakan penyimpangan dari Najmuddin al-Kubra, telah menempel dalam berbagai tokoh legenda dan mitos, yang umumnya dianggap sebagai nenek moyang atau pendahulu dari penyebar Islam di Jawa—sebuah pengakuan tak langsung, mungkin, terhadap prestise tarekat Kubrawiyah pada masa Islamisasi Jawa.
Seh Jumadil Kubra
Dalam tradisi babad yang berasal dari Jawa Barat, Seh Jumadil Kubra digambarkan sebagai seorang nenek moyang Sunan Gunung Jati. Sejarah Banten dan Cirebon memberikan, dalam bentuk yang sedikit berbeda, silsilah yang telah disingkatkan berikut ini:
Nabi Muhammad Saw. Ali dan Fathimah Imam Husain
Imam Zainal Abidin Imam Ja’far Shadiq
Seh Zainal Kubra (atau: Zainal Kabir) Seh Jumadil Kubra
Seh Jumadil Kabir Sultan Bani Israil
Sultan Hut dan Ratu Fathimah
Muhammad Nuruddin (belakangan Sunan Gunung Jati)30
Silsilah ini terdiri dari sejumlah bagian yang terpisah. Bagian pertama menyebut keturunan langsung dari Nabi sampai kepada Imam Syi’ah yang keenam, Ja’far Shadiq (yang ayahnya, Imam kelima, Muhammad al-Baqir, tidak disebut dalam satu versi pun dari yang saya lihat). Silsilah beberapa tarekat sufi (walaupun bukan Kubrawiyah) dimulai dengan nama-nama ini, demikian juga silsilah-silsilah semua sayyid dari Hadhra- maut; yang mencolok, Ja’far juga merupakan Imam terakhir yang disebutkan dalam silsilah tersebut. Bagian terakhir dari
silsilah tersebut menyebut dua raja yang menguasai negara muslim mitologis (kadang-kadang dinamakan Mesir); nama mereka tampaknya menunjukkan hubungan eksplisit dengan tradisi kenabian pra-Muhammad. Hud adalah nama nabi “Arab” pertama yang disebutkan dalam Alquran, tetapi nama ini juga terdapat dalam Alquran sebagai kata benda yang mempunyai arti majemuk yang dipakai untuk menyebut orang Yahudi; Banu Isra’il, “Keturunan Israel”, serupa dengan istilah Alquran yang dipakai untuk menyebut orang-orang Yahudi, yang kadang- kadang mencakup juga kaum monoteis lainnya (Wensinck/ Pellat 1967; Goitein 1960). Karena itu, kedua nama tersebut juga berarti “Penguasa umat Yahudi”.
Yang paling misterius adalah tiga nama di tengah, yang mirip nama Arab tetapi melanggar tata bahasa Arab. Saya percaya bahwa Jumadil Kubra adalah satu-satunya nama yang sebenarnya dan bahwa dua nama lainnya dibuat dengan analogi, justru karena nama ini adalah nama aneh. Kata Arab Kubra (ditulis dengan hurup KBRY) adalah kata sifat dalam bentuk mu’annats (feminin), bentuk superlatif dari kata kabir (KBYR), “besar”. Bentuk kata mudzakkar (maskulin) yang sesuai adalah akbar (AKBR). Adalah sangat aneh menjumpai kata al-Kubra, “yang mahabesar”, sebagai bagian dari nama seorang laki-laki. Najmuddin al-Kubra adalah satu-satunya tokoh terkemuka yang disebut demikian dalam sejarah Islam; dia sering kali hanya disebut dengan nama Kubra. Sebutan ini merupakan bentuk singkat dari ungkapan Alquran at-tamma al-kubra, “bencana besar”, gelar yang diberikan kepadanya karena keahliannya dalam berdebat (Algar 1980: 300). Adalah mudah untuk melihat bagaimana pengucapan Najumuddin al- Kubra dalam bahasa Jawa menjadi Najumadinil Kubra dan karena itu, melalui penghilangan bunyi suku kata pertama dan penyingkatan suku kata keempat dan kelima, berubah menjadi Jumadil Kubra, barangkali sebagian dianalogikan de- ngan nama-nama bulan yang dipakai orang Islam, Jumada’l-Ula dan Jumada’l-Ukhra.31
Nama Jumadil Kabir barangkali hanyalah hasil pengoreksian terhadap Jumadil Kubra, sebagaimana juga nama Jumadil Akbar
dan Jumadil Makbur, yang kita temukan dalam berbagai teks berbahasa Jawa lainnya. Orang sangat jarang menjumpai kedua nama tersebut sekaligus; beberapa teks menyebut yang satu sementara teks lain meyebut nama yang lain lagi. Akhirnya, nama Zainal Kubra, adalah penyimpangan lain karena setelah kata Zainal orang akan menantikan sebuah kata benda, bukan kata sifat.32 Nama tersebut tampaknya adalah hasil dari perubahan urutan suku kata saja dari unsur-unsur nama-nama lain yang ada di dalam silsilah. Walaupun nama Zainal Kubra merupakan nama yang aneh, nama tersebut terdapat dalam berbagai teks yang berasal dari berbagai pelosok Jawa sebagai penghubung antara Jumadil Kubra dengan keluarga Nabi. Karena adanya hubungan yang prestisius inilah mungkin yang menyebabkan kenapa Amangkurat II mengambil persis nama ini sebagai bagian dari nama yang dikenakannya kepada dirinya pada saat dia menaiki singgasana Mataram: Susuhunan Ratu Amangkurat Senapati Ingalaga Ngabdulrahman Muhammad Zainal Kubra (Ricklefs 1993: 273n2).
Dari beberapa orang yang fiktif ini, Jumadil Kubra merupakan satu-satunya yang kita temukan diceritakan dalam berbagai legenda yang telah berkembang dalam kepustakaan berbahasa Jawa, dan dengan siapa tempat-tempat ziarah dihubungkan. Babad Cirebon menyebutnya sebagai nenek moyang dari bukan hanya Sunan Gunung jati, tetapi juga wali-wali lainnya, Sunan Bonang dan Sunan Ampel, dan bahkan juga yang paling Jawa di antara para wali, Sunan Kalijaga.33 Dalam silsilah yang disebut- kan terakhir, nama “Jumadilmakbur” dalam Babad disusul dengan nama yang lain yang secara kabur menunjukkan adanya hubungan dengan tarekat Kubrawiyah, Syekh Aswa’ as- Safaranin (atau, dalam naskah-naskah lain, Sagharnane, atau Safarana’i), yang hampir bisa dipastikan adalah penyimpangan dari nama al-Isfara’ini. Kota Isfara’in, Iran bagian timur, adalah pusat penting tarekat Kubrawiyah, dan beberapa syekh yang berpengaruh dari tarekat ini mengenakan nisbah ini (namun, nama Aswa’ tidak mirip dengan nama seorang pun dari mereka yang dikenal mengenakan nisbah Isfara’ini).
Sebuah sejarah Gresik berbahasa Jawa yang diringkaskan
oleh Wiselius menyebut Jumadilkubra sebagai kakek dari seorang wali yang lain lagi, Sunan Giri Pertama. Dalam sejarah ini, Jumadil Kubra memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel yang menetap di Gresik; putranya, Maulana Ishaq, dikirim ke Blambangan oleh Sunan Ampel untuk melakukan Islamisasi di sana. Ishaq menikahi putri raja Blambangan tetapi gagal mengislamkan mertuanya dan dalam keadaan putus asa dia ber- pindah ke Malaka, dengan meninggalkan istrinya yang sedang mengandung. Sang putri meninggal pada saat melahirkan dan putranya dilemparkan ke laut, yang kemudian secara ajaib diselamatkan oleh seorang pelaut dari Gresik. Sang putra diasuh dengan pendidikan Islam dan akhirnya menjadi Sunan Giri Pertama (Wiselius 1876: 467-8). Babad Tanah Jawi menceritakan legenda yang benar-benar sama, hanya saja ayah Sunan Giri di sana disebut Wali Lanang dan bukan Maulana Ishaq, dan Jumadil Kubra tidak disebut sama sekali dalam hubungan ini (Meinsma 1941: 20-21; bdk. Fox 1991: 25-8 untuk berbagai versi lain mengenai nenek moyang Sunan Giri). Namun, sebuah silsilah dari syekh tarekat Syattariyah abad ke-17, Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan di Tasikmalaya selatan, yang mengaku keturunan dari Sunan Giri, memang menyebut baik Maulana Ishaq maupun Jumadil Kubra (Kosasih 1938: 137).
Sebuah legenda rakyat berbahasa Jawa dari wilayah Tengger(!), Cariose Telaga Ranu menyebut Maulana Ishaq dan Jumadil Kubra sebagai saudara dari dua pertapa, Ki Seh Dadaputih di Gunung Bromo dan Ki Seh Nyampo di Sukudomas. Maulana Ishaq pergi ke Blambangan dan menjadi ayah Raden Paku (Sunan Giri); Jumadil Kubra sendiri menjadi guru di Mantingan.34
Sebuah versi yang berbeda dari Babad Tanah Jawi, Babad Pajajaran, yang dikutip oleh Djajadiningrat (1913: 262), menambahkan unsur incest (perkawinan sedarah) dalam legenda Jumadil Kubra. Dalam versi ini, dia juga seorang saudara sepupu atau kemenakan dari Sunan Ampel dan hidup sebagai pertapa di sebuah hutan dekat Gresik. Istrinya meninggal dunia ketika melahirkan, putrinya yang lahir tumbuh dewasa menjadi seorang gadis cantik, dan pada suatu hari Jumadil Kubra melakukan
hubungan badan dengannya. Ketika sang putri melahirkan seorang putra, sang ayah menjadi sangat malu sehingga dia menyeburkan dirinya ke sungai dan tenggelam. Dia dimakamkan di Gresik dan makamnya menjadi tempat ziarah.35
Dalam bentuk yang sedikit berbeda dari legenda perkawinan sedarah ini juga terdapat dalam Sajarah Banten: Jumadil Kubra, tidak dihubungkan dengan suatu tempat tertentu di sini, adalah seorang putra dari Ja’far Shadiq. Istrinya meninggal dunia, dan meninggalkannya bersama dengan seorang putra dan putri yang cantik. Dia menyebabkan sang putri hamil, dan ketika seorang putra lahir, bayi itu ditinggalkan di hutan. Bayi tersebut ditemukan dan dibawa oleh seorang lelaki miskin, ketika sedang tumbuh dewasa, anak tersebut dikirim untuk belajar kepada Seh Jumadil Kubra, yang memberinya nama Syamsu Tabris dan bermaksud menjadikannya sebagai menantunya. Setelah mengetahui identitas Syamsu yang sebenarnya, syekh meninggal dunia karena malu, dan Syamsu pergi mengembara bertahun-tahun karena rasa penyesalannva (Djajadiningrat 1913: 26, bdk. 261-5, di mana berbagai versi yang lain lagi dibicarakan). Ada sejumlah legenda Jawa lainnya tentang Syamsu Tabris atau Tamres (Drewes 1930); antara mitologis ini dan figur darwisy Persia muda, Syamsi Tabriz, yang telah diabadikan oleh penyair sufi besar Jalaluddin Rumi, tak terdapat banyak persamaan selain kesamaan nama. (Namun, dalam beberapa legenda rakyat Turki dan Kurdi Syams-i Tabriz lahir dari seorang perawan, tanpa ayah biologis, yang mungkin dapat membawa kepada cerita perkawinan sedarah). Dalam Babad Cirebon, kita menemukan kembali tema-tema yang sudah disebut di atas: Syamsu disebut lagi sebagai seorang putra Jumadil Kubra (tetapi sama sekali tidak ada isyarat tentang perkawinan sedarah); dia menikahi seorang putri Campa dan memperoleh dua anak, salah satunya menjadi Sunan Ampel.36
Raffles juga merekam legenda lain dari Gresik di mana Jumadil Kubra bukanlah seorang nenek moyang tetapi seorang pembimbing wali yang pertama. Raden Rahmat, yang kemudian menjadi Sunan Ampel, lahir dari perkawinan seorang ulama Arab dengan putri Campa, pertama-tama datang ke Palembang
dan dari sana menemukan perjalanan ke Majapahit. Dia mendarat di Gresik, di mana dia mengunjungi Syekh Molana Jomadil Kobra, seorang ‘abid yang menetap di Gunung Jali, dan yang menyatakan kepadanya bahwa kedatangannya pada suatu saat telah diramalkan oleh Nabi; bahwa keruntuhan agama kafir sudah diambang pintu dan dia dipilih untuk mendakwahkan ajaran Muhammad di pelabuhan timur pulau Jawa (Raffles 1817: 117).
Peranan yang sama dilekatkan kepada Seh Jumadil Kubra dalam beberapa legenda yang masih diceritakan dari mulut- ke-mulut di desa-desa yang terletak di lereng Gunung Merapi, sebelah utara Yogyakarta. Dia dipercaya sebagai wali muslim Jawa yang paling tua, yang berasal dari Majapahit dan hidup sebagai pertapa di hutan gunung tersebut. Tanpa banyak memedulikan kronologi, dia juga dipercaya sebagai penasihat spiritual Sultan Agung, raja Mataram terbesar (1613-1646). Sekali dalam 35 hari, pada malam Jumat Kliwon, roh Sultan mengunjungi Syekh di pertapaannya di lereng gunung tersebut (Triyoga 1991: 36-7). Makam sang Syekh37 ditunjukkan berada di sebuah puncak samping, di desa Turgo, Gunung Kawastu. Tempat ini menarik para pengunjung yang meyakininya, sebagian di antara mereka bermalam di sini untuk menambah kekuatan dan kepekaan (prihatin).
Turgo bukanlah satu-satunya tempat di mana terdapat sebuah makam Seh Jumadil Kubra. Makam di Gresik yang disebut dalam Babad Padjadjaran sudah tidak dikenal lagi, tetapi belakangan ini salah satu kuburan muslim yang ditemukan di Tralaya, dekat ibu kota Majapahit, ditunjukkan sebagai satu- satunya makam Jumadil Kubra. Makam inilah yang paling umum diakui sebagai makamnya dan paling sering diziarahi. Lebih dari itu, sang wali juga dihubungkan dengan daerah Semarang. Satu versi dari Babad Tanah Jawi menceritakan bahwa ia melaksanakan tapa-nya di bukit Bergota, sebelah selatan Semarang sekarang.38 Sebuah kuburan yang terletak di antara tambak daerah pesisir pantai di sebuah tempat yang disebut Terbaya, tidak jauh dari Semarang, oleh orang setempat dikenal sebagai makam Seh Jumadil Kubro (Budiman 1978: 92). Di tempat lain di daerah Semarang, yakni di Sampangan,
terdapat puing-puing (petilasan) yang diberi nama dengan nama wali yang sama (ibid.: 93-4).
Demikianlah kami menemukan nama Jumadil Kubra dihubungkan dengan empat wilayah Jawa yang berbeda (Banten-Cirebon, Gresik Majapahit, Semarang-Mantingan dan Yogyakarta) dan dengan sejumlah rangkaian legenda yang berbeda pula. Kami hampir mendapat kesan seolah-olah orang Islam Jawa pada zaman dan tempat berbeda semua bertolak dari nama Jumadil Kubra dan kemudian mencari tokoh legendaris yang dapat dikaitkan dengan nama tersebut sehingga akhirnya muncul dalam bentuk berbagai cerita yang saling bertentangan. Rangkaian legenda-legenda dan persebaran geografisnya menunjukkan bahwa arketip Jumadil Kubra jelaslah telah sangat dijunjung tinggi dalam sejarah Islam Indonesia pada masa awal; di pihak lain, tidak adanya ciri khas yang dapat dirunut sebagai Najmuddin al-Kubra menunjukkan bahwa pengaruhnva pastilah tidak mendalam.
Syekh Jamaluddin al-Akbar, Nenek Moyang Arab Para Wali dan Kiai Jawa
Di samping tradisi Babad, terdapat tradisi sejarah legendaris lainnya tentang Islamisasi Jawa. Tradisi ini muncul dan terus dipelihara di lingkungan para sayyid asal Hadhramaut, keturunan Nabi, yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap Islam Indonesia. Kiai Jawa cenderung memercayai versi sayyid ini daripada versi babad—yang di antara keduanya, sebagaimana yang akan kita saksikan, terdapat banyak kesejajaran. Orang- orang Arab asal Hadhramaut mulai datang ke Indonesia dalam jumlah yang besar baru pada abad ke-19, tetapi para pedagang dan ulama individual dari wilayah ini telah menetap di Pulau Jawa selama beberapa abad, menikah dengan wanita setempat. Menurut tradisi-tradisi yang berkembang di kalangan para sayyid dari Hadhramaut (yang tentu saja tidak terlalu kuno), para wali yang mengislamkan Jawa dan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara adalah keturunan mereka. Orang yang dianggap sebagai nenek moyang bersama mereka bernama Jamaluddin
Husain al-Akbar (lihat, misalnya, pohon keluarga mereka dalam al-Baqir 1986: 45).
Versi tertulis paling tua dari tradisi sejarah ini, yang pernah saya lihat, adalah yang ditulis oleh Sayyid ‘Alwi ibn Thahir ibn ‘Abdullah al-Haddar al-Haddad, yang sampai wafatnya pada tahun 1962 adalah mufti di Johor. Namun tradisi tersebut pastilah lebih tua karena beberapa kiai yang saya kenal sudah mendengar bahwa sudah sejak kakek mereka, mereka adalah keturunan dari seorang yang bernama Jamaluddin al-Husaini.39 Namun, tampaknya ada beberapa kerancuan; seorang yang mempunyai nama ini dikuburkan di Madinah, dan dengan asumsi bahwa orang ini adalah nenek moyang mereka, kiai Jawa mengunjungi makamnya setelah ke makam Nabi. Namun, namanya yang hampir sama dengan ayahnya tidak cocok dengan silsilah yang dikatakan sebagai silsilah keturunan Jamaluddin al-Akbar.
Yang terakhir ini, sebagaimana semua sayyid Hadhrami adalah keturunan dari imam Syi’ah keenam, Ja’far ash-Shadiq, melalui cicitnya, Ahmad al-Muhajir, keturunan Nabi yang pertama menetap di Hadhramaut. Silsilah tersebut tetap, untuk enam generasi, identik dengan silsilah beberapa keluarga sayyid Hadhrami yang terkemuka (lihat misalnya Mahayudin 1984: 40, 47, 50, 54-5); Al-Baqir 1986: 17, 42). Nenek moyang
terakhir Jamaluddin yang memiliki asal-usul yang sama dengan para sayyid ini adalah Muhammad “Shahib Mirbath”; cucunya ‘Abd al-Malik dikatakan menetap di Nasrabad India, di mana keturunannya dikenal sebagai keluarga Adzamat Khan dan menyandang berbagai gelar kehormatan, cucu Ahmad bahkan dipanggil “Syah” (al-Haddad 1403: 6-7; al-Baqir 1986: 42). Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara, Jamaluddin sendiri pertama-tama menjejakkan kakinya ke “Kamboja” dan Aceh, kemudian berlayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke pulau Bugis, di mana dia meninggal (al-Haddad 1403: 8-11). Putranya, Ibrahim Zain al-Akbar, menikahi seorang putri “Kamboja” dan memperoleh dua putra, Maulana Ishaq dan Rahmatullah alias Sunan Ampel. Melalui putranya yang lain, ‘Ali Nur al-‘Alam,
Jamaluddin juga menjadi buyut dari Sunan Gunung Jati, dan melalui putranya yang ketiga, Zain al-‘Alim, dia adalah kakek dari wali yang lain, Maulana Malik Ibrahim.40
Jamaluddin al-Akbar ini sangat banyak persamaannya dengan Jumadil Kubra yang diceritakan dalam babad. Al-Baqir juga sudah menyatakan ini; dia berkomentar bahwa buku-buku berbahasa Jawa sering kali secara tidak tepat menulis nama Jamaluddin sebagai Jumadil Kubra (1986: 43n). Saya cenderung memercayai bahwa hal itu menunjukkan kepada sesuatu yang lain; bagi saya, cerita Jamaluddin tampaknya merupakan hasil dari upaya abad ke-20 awal untuk “mengoreksi” legenda- legenda Jawa. Kubra diganti dengan kata Arab yang lebih tepat, Akbar, Jumadi dengan nama Arab yang paling mirip, Jamaluddin. Sebuah silsilah yang lebih meyakinkan direkonstruksi, didukung oleh kenyataan bahwa sayyid Hadhrami juga disebut sebagai keturunan dari Ja’far ash-Shadiq, persis seperti Jumadil Kubra dalam cerita babad. Berbagai legenda yang berbeda dan sering kali saling tidak berkecocokan yang menyangkut Jumadil Kubra digabungkan ke dalam keseluruhan yang agak koheren. Unsur
-unsur yang tidak sesuai dengan Islam, seperti cerita perkawinan sedarah, dibuang; demikian juga nama orang Persia, Syams-i Tabriz.
Hipotesis saya, bahwa versi “sayyid” ini adalah versi yang dibuat relatif baru, didukung oleh pengamatan Serjeant bahwa kaum sayyid di Hadhramaut sendiri “mengkritiknya [keturunan sayyid yang dicampur-campur di Jawa] dan pendahulu Arab mereka yang tidak meneruskan memelihara daftar keluarga” (1957: 25-6). Baru sejak berdirinya ar-Rabithah al-‘Alawiyah, suatu perhimpunan keluarga para sayyid, pada tahun 1928 upaya- upaya sistematik dilakukan untuk menyusun kembali silsilah keluarga. Orang yang bernama Jamaluddin Kubra dan silsilahnya sangat mungkin adalah hasil dari berbagai upaya merekonstruksi sejarah sayyid di Indonesia ini. Tidak ada protes karena tidak hanya tidak terdapat dokumen untuk menyanggah silsilah tersebut, tetapi karena dua kelompok yang paling terkait sama- sama memperoleh keuntungan dari revisi sejarah ini. Karena silsilah yang sudah “dikoreksi” ini, keluarga-keluarga kiai Jawa
terkemuka, yang mengaku keturunan para wali Jawa, dengan demikian dapat “membuktikan” sendiri sebagai saudara sepupu jauh dari para sayyid Hadhrami yang angkuh, dan pada saat yang sama pihak yang terakhir ini mengklaim diri telah memainkan peranan sentral dalam proses Islamisasi Jawa.
Kesimpulan
Saya mulai menyusun artikel ini karena saya sangat tertarik kepada nama-nama Asia Tengah yang saya temukan di dalam teks-teks Islam Jawa masa awal dari Banten dan Cirebon. Tarekat Kubrawiyah, dengan mana kebanyakan nama tersebut terkait, adalah tarekat sufi penting yang, bagaimanapun juga, tidak pernah saya lihat disebut dalam konteks muslim Indonesia. Saya mulai mencari informasi apakah amalan-amalan tarekat Kubrawiyah yang khas mungkin tetap bertahan dengan nama yang lain, dengan mengingat tarekat lokal yang amalan-amalan meditasinya mengingatkan kepada penglihatan secara batiniah pada berbagai warna yang dikenal dalam tarekat Kubrawiyah. Salah satu wirid yang banyak diamalkan tampaknya merupakan bagian dari kumpulan wirid tarekat Kubrawiyah yang paling lengkap. Jika tidak dapat dibuktikan bahwa ada pengaruh secara langsung, Maka paling tidak dapat ditunjukkan kesejajaran yang mencolok antara amalan Islam Jawa dan amalan tarekat Asia Tengah, Kubrawiyah.
Dengan melihat ke belakang, saya menyadari bahwa perubahan nama Najmuddin Kubra menjadi Jumadil Kubra dan, kemudian, menjadi Jamaluddin al-Akbar, yang pada awalnya hanya saya lihat sebagai proses evolusi bahasa, dapat dilihat sebagai cerita perumpamaan bagi sejarah Islam Indonesia. Seorang sufi Asia Tengah yang berbahasa Persia, ahli waris dari tradisi spiritual Iran dan mungkin dipengaruhi oleh amalan- amalan Tantrik, yang memberikan namanya kepada ajaran-ajar- an sufi yang dikenal dan memiliki daya tarik bagi orang Jawa, telah menjadi wali Jawa yang dijadikan figur panutan, figur nenek moyang dan pertapa hutan, wali dari para wali. Satu dari “sembilan wali” pesisir yang sangat diserupakan dengannya adalah
wali yang paling Jawa di antara mereka, Sunan Kalijaga (namun, tidak kemiripan dengan Siti Jenar). Sebagaimana juga Sunan Kalijaga, makamnya terdapat diberbagai tempat di Jawa.
Peng-arab-an namanya menjadi Jamaluddin al-Akbar menunjukkan perhatian yang meningkat untuk memperbaiki bentuk formal (saya hampir menulis “bentuk daripada substansi”) dan sesuai, tentu saja, dengan peng-arab-an secara bertahap Islam Jawa secara umum. Dominasi sayyid Hadhrami yang semakin meningkat dalam kehidupan keagamaan di Indonesia (jumlah mereka meningkat secara dramatis pada abad ke-19) merupakan satu faktor penting dalam proses ini. Unsur-unsur yang khas Jawa, tetapi juga mempunyai asal-usul India atau Iran (dicontohkan, saya cenderung memercayainya, dalam figur Syams-i Tabriz) secara bertahap dibersihkan. Kiai Jawa tidak lagi mencari nenek moyang mereka di bekas ibu kota Majapahit atau di gunung magis Yogyakarta melainkan di kota sang Nabi, Madinah. [ ]
LAMPIRAN: SILSILAH KUBRAWIYAH CABANG HAMA- DANIYAH DAN CABANG AHMAD AL-QUSYASYI
Catatan akhir:
1. Teks berbahasa Jawa dan Melayu telah disunting dan diterjemahkan secara ringkas oleh Edel (1938). Tentang upaya menentukan tahun teks tersebut dan penilaian mengenai hubungannya dengan kronika Banten dan Cirebon yang lain, lihat Djajadiningrat 1913: 195-9.
2. Penyunting, J. Edel, sendiri membuat beberapa kesalahan lainnya, sehingga nama-nama tersebut lebih sukar dikenali. Saya sudah memeriksa MS yang dia gunakan sebagai dasar untuk penulisan edisinya (Leiden Cod. Or. 1711) untuk mengoreksi beberapa kesalahpahaman yang terjadi.
3. Saya berterima kasih kepada Professor Hermann Landolt yang dengan baik hati menyarankan kepada saya agar memperhatikan silsilah ini dan silsilah-silsilah sejenis dalam karya al-Qusyasyi.
4. ‘Abd ar-Ra’uf as-Singkili, Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Qusyasyi (Naskah Jakarta A 101). Yusuf Makassar yang hidup sezaman dengannya, yang juga mendapatkan pelajaran secara intensif dari pengganti al-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, menyebut tarekat Kubrawiyah hanya sekali dalam tulisannya (Safinah an-Najah), sebagai salah satu dari lima belas tarekat yang telah dipelajarinya, tetapi tidak memberikan perhatian yang khusus kepada Kubrawiyah.
5. Bukan Syadziliyah, karena al-Qusyasyi tidak menyebut tarekat ini di antara berbagai tarekat yang pernah diikutinya.
6. Babad Cirebon tidak menyebut para “murid seperguruan” ini.
7. Di sini nama lengkapnya sudah terhapus
8. Silsilah tarekat Kubrawiyah Asia Tengah dan Iran Timur memuat nama Ahmad Gurpani (diarabkan: Al-Jurfani) sebagai khalifah utama Majduddin, sementara yang lain, termasuk al- Qusyasyi, menyebut seorang yang bernama Ahmad Rudbari. Daftar dalam SBR menunjukkan kedua orang Ahmad ini sebagai satu orang yang sama.
9. Al-Qusyasyi 1327: 98-9. Asy-Sya’rani memberikan biografi singkat ketiga pendahulunya yang disebut dalam silsilah al-
Anshari. Al-Ghamri dan Ahmad Zaid, dalam kitab at-Thabaqat al-Kubra tetapi tidak menyebutkan para pendahulu sebelum mereka. Ternyata, di tempat lain, dia menyebutkan syekh lain, Yusuf al-‘Ajami al-Kurani, “kakek” spiritualnya az-Zahid, sebagai leluhur dari garis afiliasi cabang tarekat Kubrawiyah ini di Mesir (Winter 1982: 93, 215).
10. Wali Allah t.t.: 120-1. Aktivitas al-Khabusyani. Al-Khawarizmi dan penggantinya,Ya’qub ash-Sharfi al-Kasymiri, dibicarakan panjang lebar dalam DeWeese 1988: 67-77. Ingat, tokoh berikutnya dalam silsilah Syah Wali, Ahmad as-Sirhindi yang dikenal terutama sebagai tokoh pembaru penting tarekat Naqsyabandiyah. Dia berjasa memperkenalkan doktrin- doktrin dan teknik-teknik spiritual as-Simnani (wahdah asy- syuhud sebagai lawan dari wahdah al-wujud; meditasi yang memfokuskan perhatian kepada “titik-titik halus” di badan, latha’if) ke dalam tarekat ini (bdk. Bruinessen 1982: 54-8).
11. Yang disebut sebagai Syekh Syah al-Isfara’ini al-Bidawarani oleh al-Ghazzi, dan ‘Ali al-Bidawari oleh Trimingham. Tentang para syekh dari garis silsilah Asia Tengah ini, lihat DeWeese 1988.
12. Al-Ghazzi 1979, jil. II: 181-2. Bdk. Trimingham 1973: 96, yang mengutip Ibn al-‘Imad, seorang sejarawan Syria yang hidup masa belakangan, yang tulisannya mengenai al-Jami (dalam jilid VIII: 282-283) sepenuhnya mengikuti al-Ghazzi.
13. Kekuatan militer ini mungkin mempunyai fungsi lain di samping untuk memberikan penghormatan dan perlindungan kepada sang Syekh. Pada saat kedatangan mereka, para tentara tersebut mendapat pelayanan dari penguasa Bukhara, yang menimbulkan kecurigaan orang-orang Iran tentang adanya kerja sama antara dua negara Sunni melawan Iran yang Syi’ah (Sidi Ali Reis 1899: 96-7; bdk. pendahuluan yang ditulis Vambery untuk teks ini, hlm. vi-viii)
14. Cabang tarekat Kubrawiyah-Hamadaniyah ini jarang disebut dalam sumber-sumber yang lebih belakangan, tetapi ada indikasi bahwa ia tetap bertahan di Hijaz. Paling tidak sampai tahun 1731-2, Abu Thahir Muhammad al-Kurani membaiat
Syah Wali Allah dari India masuk beberapa tarekat, di antara- nya cabang Hamadaniyah dari tarekat Kubrawiyah (Wali Allah t.t.:120-1).
15. Dalam silsilah Naqsyabandiyah yang umumnya diakui, Baha’uddin Naqsyaband (w. 1389), yang darinya nama tarekat Naqsyabandiyah diambil, ditunjukkan sebagai murid Khwajah ‘Azizan generasi ketiga, bdk. Bruinessen 1992b: 50.
16. Kemungkinan identifikasi ini dikemukakan kepada saya oleh Hermann Landolt
17. Wirid-wirid ini terdapat dalam buku pegangan tarekat Naqsyabandiyah Turki yang banyak dipergunakan, Miftah al- Qulub (el-Naksibendi 1979: 557-589)
18. Yakni wirid yang dimulai dengan astaghfir Allah al’azhim, astaghfir Allah al-‘azhim, astaghfir Allah al-‘azhim al-ladzi la ilah illa hu al-hayy al-qayyum wa atubu ilaih. Allahumma anta as-salam wa minka as-salam wa ilaika yarji’u as- salam…, hlm. 564 dan seterusnya dalam El-Naksibendi 1979.
19. Tiga guru yang karyanya dikaji oleh Drewes dalam disertasinya (1925) berafiliasi dengan tarekat Akmaliyah, tetapi teks- teks tersebut tidak menyebutkan amalan-amalan tertentu dari tarekat ini. Tarekat ini menyebar dari wilayah Cirebon- Banyumas juga ke Jawa Tengah dan Jawa Timur tetapi tidak pernah memperoleh banyak pengikut.
20. Cabang tarekat ini, yang didirikan oleh Kiai Kahpi dari Garut, juga dikenal dengan nama Muslimin Muslimat, sesuai dengan nama kitab pegangan utamanya, sebuah teks yang berisi pengajaran dalam bentuk puisi-puisi Sunda (dangding) yang ditulis oleh putra Kiai Kahpi, Asep Martawidjaja (1930). Lihat juga catatan singkat tentang sekte ini dalam Atjeh 1984: 390.
21. Secara berurutan menyebutkan satu per satu cahaya-cahaya berwarna yang tampak bagi sang sufi sebagai berikut: biru tua, merah delima, putih, kuning, hitam dan hijau. Pada tahap pertama, sang sufi mungkin melihat kilatan singkat dari berbagai cahaya ini, kekuatan berzikir akan menentukan warna apa yang dilihatnya (Elias 1993: 72-4).
22. Teknik ini diterangkan kepada saya oleh seorang pengamal Tantrik yang saya temui di Lucknow pada tahun 1984. Informan saya tersebut lahir sebagai orang Hindu tetapi belakangan berpindah ke agama Islam; namun dia telah mempelajari yoni mudra dari seorang pertapa Hindu. Dia memang sama sekali tidak mengerti sistem interpretasi berbagai warna dan sistem hierarki di antara warna-warna tersebut.
23. Bahwa teknik-teknik meditasi untuk mencapai penglihatan secara batiniah kepada berbagai cahaya berwarna tersebut dikenal di Jawa pada masa pra-Islam dapat diketahui dengan jelas dari karya-karya berbahasa Jawa kuno, seperti Sang Hyang Kamahayanikan. Lihat, misalnya, Kats 1910:106-7.
24. Karya al-Jili ini merupakan teks tunggal terpenting yang juga dipakai oleh cabang-cabang tarekat Haqmaliyah lainnya. Kajian mendalam yang dilakukan olch Nicholson (1921, bab
2) atas teks yang secara konseptual sangat kaya ini masih merupakan kajian yang terbaik.
25. Teori martabat tujuh mungkin berasal dari sufi India awal abad ke-17, Muhammad b. Fadllalah Burhanpuri. Untuk pembahasan yang memadai tentang metafisika martabat tujuh dalam teks sufi berbahasa Melayu dan Jawa, lihat Johns 1957 dan 1965.
26. “Enya eta sorotna nu tadi/ tina Johar awal Dat Sipatna Allah/ Hakekat Muhammad eces/ Sipatna padang alus/ bijil cahya opal rupi/ cahya beureum mimitina/ dua koneng kitu/ katilu cahaya bodas/ kaopatna cahaya hideung geus pasti/ ngaranna Nur Muhammad. (Martawidjaja 1930, I: 34, ejaan disesuaikan). Bandingkan ini dengan pemerian Simnani tentang cahaya-cahaya berwarna yang muncul dalam meditasi (catatan kaki no. 21 di atas).
27. Psikologi muslim tradisional mengenal tiga keadaan nafsu: an-nafs al-‘ammarah (nafsu yang cenderung menyimpang, yang memperturutkan keinginan berbuat buruk dan membenci perbuatan baik), an-nafs al-lawwamah (nafsu yang menyalahkan diri, menyesali dosa yang telah lalu) dan an-nafs al-muthma’innah (nafsu yang tenang, yang menuruti
kehendak Illahi). Tiga istilah ini berasal Alquran. Mistisisme Jawa sering memandangnya sebagai tiga nafsu atau daya hidup yang berbeda-beda, dan untuk menyesuaikan diri dengan klasifikasi di atas menambahkan nafsu yang keempat, yang dinamakan nafsu sawiyah (seperti di atas) atau Shufiyyah. Karakteristik-karakteristik yang dilekatkan kepada masing- masing nafsu ini berbeda antara sekte yang satu dengan lainnya, tetapi nafsu muthma’innah selalu dihubungkan dengan harmoni dan altruisme, sementara tiga yang lain dihubungkan dengan berbagai hasrat dan keinginan duniawi.
28. “Geus gulung pana paningal, caang poek beureum hideung bodas koneng,bulao biru djeung wungu, pendekna sadayana (Martawidjaya 1930, I: 40).
29. “Sareat sholat teh kang rayi/ nya eta nangtung ruku tea/ sujud lungguh bukti gawe/ ari hakekatna puguh/ Alif Lam Enggeus pasti/ terasna Lam Ha nya eta lapadz Allah/ henteu salah tangtu/ dupi thorekatna sholat/ tetep bae dina keur sholat sajati/ tajalining mutlak/ ma’rifatna kudu sing kapanggih/ sareng eta nur Muhammad tea/ Ka cahya opat sing ‘ain/
...,” (Martawidjaja, ed. Sudibjo 1981, III: 85-6). Salah seorang informan saya menyebut teknik penutupan alat-alat indrawi dengan jari-jari dengan “salat sejati” dan menerangkan bahwa tujuh lubang dan sepuluh jari tersebut jumlahnya sesuai dengan 17 rakaat yang membentuk salat syariat lima kali sehari
30. Edel 1938: 123, 149, 253; Brandes/Rinkes 1911, pupuh 13;
bdk. Djajadiningrat 1913: 17, 106. Nama Ja’far Shadiq tidak tertera dalam SBR, Babad Cirebon hanya menyebut salah satu dari dua Jumadil, dan Djajadiningrat memuat nama mereka dalam urutan terbalik.
31. Dalam tulisan Arabnya, bentuk dasar dan kedua bentuk nama itu bukannya tidak serupa: NJM ALDYN ALKBRY menjadi JMADY ALKBRY; nama bulan di atas juga ditulis dengan JMADY.
32. Beberapa silsilah yang diberikan dalam teks-teks berbahasa Jawa lainnya juga memuat nama lain yang dibentuk dari pola
yang sama, seperti Zainal Azim, Zainal Alim, Zainal Kabir, Zainal Husain (Kosasi 1938: 137; Hasyim 1979: 15; dan sebuah silsilah dalam buku juru kunci maqam Jumadil Kubra di Turgo).
33. “Kacapa kandi asal mula/ para wali Jawa kabeh/ ingkang dhihin Sunan Bonang/ iku kamulinira/ panceran tedhaking Rasul/ saking Syekh Jumadilkubra// Jumadilkubra sisiwi/ lanang ika kang peparab/ Syekh Molana Samsu Tamres/ jumeneng pandhita Cempa/ akrama putra Cempa/ ing kanane wus amasyhur/ pandhita mustaqim akbar// paputra jalu kakalih/ kana nama Tubagus Rakhmat/ ya hiku Susunan Ampel/ kalih Tubagus Angejawa/ ngajak Islam ming sang ratu/ Majapahit datan karsa/…” (Brandes-Ringkes 1911, pupuh 14); “Kaping sakawan satengah / para wali ing nusa Jawi nami/ Sunan Kali Jaga ulu/ tedhak saking Syekh Aswa’/ Safarana’i kang pancer sang Jumadilmakbur/ika nuli puputra/Arya Shadiq ingkang nami/ jujuluk Arya ing Tuban/ apuputra ika ingkang pernami/ Raden Arya Tumenggung/ Wilatika Mengkana/ Wilatikta puputra Raden Sahidun/ iku Sunan Kali Jaga/…” (idem, pupuh 15). Versi Babad Cirebon berbahasa Jawa dan Sunda lainnya yang sudah diterbitkan (Hadisutjipto 1979; Hermansoemantri 1984/1985) sama sekali tidak menyebut Jumadilkubra.
34. Cariose Telaga Ranu, Leiden CB 145 (1) A. Saya berterima kasih kepada Karel Steenbrink yang mengirimi saya fotokopi dari pemerian ini dan ringkasan dari naskah tersebut (dalam bahasa Belanda) oleh J. Soegijarto.
35. Teks ini menyebut Burerah (dari Abu Hurairah?) sebagai nama asli Syekh, dalam Babad Tanah Jawi (Meinsma 1941:
20) seorang yang bernama Burerah disebut sebagai putra raja Campa. Teks ini kebetulan memberikan etimologi populer dari nama Syekh, dengan menulisnya sebagai Dumadil Kubra (Jawa: dumadi, “menjadi”); pada tempat yang lain, teks ini menyebutnya Abdul Qadir Kubra.
36. Lihat teks berbahasa Jawa dalam catatan kaki no. 33.
37. Makam seorang wali yang boleh jadi, tetapi tidak mesti, kuburannya. Setiap tempat yang dikeramatkan karena kehadiran roh sang wali yang mungkin dapat disebut sebagai maqam-nya dan dapat dikunjungi oleh mereka yang percaya untuk meminta bantuan sang wali. Beberapa informan di Yogyakarta dengan penuh kesungguhan bercerita kepada saya bahwa maqam yang terletak di Turgo bukanlah kuburan Jumadil Kubra. Namun, pada tahun 1955 sekelompok orang ‘Abid dari Purworejo memugar makam tersebut menjadi maqam.
38. “Ya ta Seh Jumadil Kobra/ amertapa anenggih pernah neki/ asanget prayoganipun/ wonten ardi Pragota/ pan akathah tiyang kang sami guguru/ sanget kabul padongane/ sumung- kem sangunging murid” (Budiman 18978: 94, yang mengutip Babad Tanah Jawi edisi Van Dorp)
39. Ternyata, al-Haddad tampak sangat tergantung kepada sebuah karya dalam bahasa Jawa atau Melayu yang dikarang oleh Haji ‘Ali bin Khairuddin, “sejarawan Jawa”, yang dia kutip sebagai Ketrangan Kedatangan bungsu (sic1)Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut (al-Haddad 1403:4).
40. Ini merupakan ringkasan dari sisa karya al-Haddad 1403 yang ada (yang juga menghubungkan banyak orang lainnya dengan Jamaluddin) dan sesuai dengan bagan dalam al-Baqir 1986:
45. Sebagai sumbernya, al-Baqir menyebut sebuah “laporan penelitian” yang dilakukan oleh Sayyid Zain bin Abdullah Alkaf.
QADHI, TAREKAT DAN PESANTREN: TIGA LEMBAGA KEAGAMAAN DI BANTEN PADA ZAMAN KESULTANAN
Banten, paling tidak untuk abad yang lalu, terkenal dengan umat Islamnya yang
lebih sadar diri dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa, dan perbandingan
ini mungkin juga berlaku terhadap kebanyakan wilayah di Nusantara. Beberapa
hasil observasi menunjukkan kebenaran reputasi ini.
Menjelang akhir abad
ke-19, orang-orang Banten merupakan kelompok paling menonjol di antara
orang-orang Asia Tenggara yang menetap di Mekkah, baik sebagai guru maupun
murid. “Kebanyakan guru terkemuka dalam ilmu agama (Holy Science),” lapor
Snouck Hurgronje setelah mengunjungi Makkah pada tahun 1885, “berasal dari
Banten.” Orang-orang Banten seperti Nawawi yang berpengetahuan luas (yang
merupakan pengarang Muslim Indonesia yang pernah ada), Syaikh Abdul Karim yang
karismatik (salah seorang guru tarekat yang sangat berpengaruh), H. Marzuqi
dan Tubagus Isma’il yang saleh dan aktivis—semuanya lebih unggul dibandingkan
dengan orang-orang Asia Tenggara sezamannya.1
Penduduk Banten,
sebagaimana yang juga dilaporkan oleh Snouck Hurgronje beberapa tahun
kemudian, lebih taat dibandingkan dengan orang Jawa lainnya dalam melaksanakan
berbagai kewajiban keagamaan, seperti berpuasa selama bulan Ramadhan dan
membayar zakat.2 Bahkan, tidak seperti di tempat lain, pembayaran zakat di
Banten berfungsi memperkuat posisi ulama independen—kiai atau guru—sebagai
lawan dari pejabat keagamaan resmi yang biasanya mengurus (dan memaksakan)
pembayaran zakat. Pejabat semacam itu terdapat sampai ke tingkat desa di
Banten, tetapi menjelang Snouck Hurgronje menuliskan laporannya, mereka tidak
memainkan peranan apa-apa dalam pengumpulan zakat. Zakat tersebut juga tidak
berhasil direbut oleh anggota administrasi kolonial pribumi, sebagaimana yang
sering terjadi di daerah-daerah lain di Jawa. Penerima zakat yang utama adalah
para guru agama dan murid (santri) mereka.
Snouck Hurgronje menerangkan
bahwa berbagai kekhasan ini berawal dari masa segera setelah berakhirnya
Kesultanan Banten yang membanggakan, yang sedikit demi sedikit didongkel oleh
Belanda dan akhirnya dihapuskan sama sekali pada awal abad ke-19.3 Selama
kesultanan tersebut masih ada, Pakih Najmuddin, yang sangat berpengaruh bagi
hakim tertinggi atau qadhi, merupakan salah seorang yang sangat berpengaruh
dalam negara tersebut. (Seorang ahli Jawa berkebangsaan Belanda, Pigeaud,
belakangan melaporkan bahwa kedudukan Pakih Najmuddin di Banten jauh lebih
kuat dibandingkan dengan kedudukan qadhi di kerajaan-kerajaan Jawa Tengah).
Pakih Najmuddin-lah yang menunjuk pejabat-pejabat keagamaan di tingkat desa
dan karena itu memberikan kepada mereka suatu legitimasi (legitimasi yang sama
tidak didapatkan oleh para pengganti mereka yang ditunjuk oleh penguasa
kolonial). Gelar para pejabat tersebut, amil atau pangulu amil,
menunjukkan bahwa pengumpulan zakat merupakan salah satu tugas mereka—amil
adalah istilah yang lazim dipakai dalam hukum Islam untuk menyebut orang-orang
yang mengurusi zakat. Karena kekuasaan Pakih Najmuddin, lanjut Snouck, para
pamong desa tidak berhasil mengantongi banyak zakat di Banten. Bersama-sama
dengan runtuhnya kesultanan Banten sendiri, jabatan Pakih Najmuddin, juga
dihapuskan oleh Belanda; pejabatnya yang terakhir meninggal pada tahun 1859.
Pejabat-pejabat agama di tingkat desa pada masa berikutnya tetap memakai nama
yang sama, (Pangulu) amil, tetapi tidak lagi mengurusi zakat; Snouck rupanya
menganggap ini sebagai faktor utama yang menyebabkan bangkitnya ulama
independen, yang kemudian menjadi penerima sebagian besar zakat.4
Para
ulama independen ini—yang banyak di antara mereka yang kemudian
berafiliasi dengan tarekat yang populer, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah—memainkan
peranan kunci dalam pemberontakan petani Banten pada tahun 1888, sebuah
pemberontakan yang mengejutkan masyarakat Hindia Belanda dan menciptakan
ketakutan paranoid terhadap “fanatisme” Muslim. Benar atau salah, sejak saat
itu nama Banten diasosiasikan secara dekat dengan militansi Islam, dan
pengasosiasian ini tetap bertahan lama setelah peristiwa itu berlalu.
Pemberontakan 1888, sebagai mana yang ditegaskan oleh Snouck Hurgronje dan
lebih belakangan oleh Sartono Kartodirdjo, bukanlah sebuah ekspresi dari
fanatisme semata-mata melainkan sebuah respon terhadap keadaan ekonomi konkrit
dan administrasi yang tidak beres. Meskipun demikian, jaringan pesantren dan
tarekatlah yang memungkinkan pemberontakan itu menjadi lebih dari sekedar
pemberontakan tingkat lokal. Jaringan-jaringan ini juga memainkan peranan yang
serupa selama pemberontakan “komunis” pada tahun 1926.
Tulisan ini
memusatkan perhatian kepada tiga lembaga Islam—jabatan qadhi, pesantren dan
tarekat—sebagaimana yang berkembang di Banten selama beberapa waktu.
Banten,
sebuah kerajaan Muslim
Apa sebenarnya arti dari Islamisasi kota-kota
pelabuhan dan masyarakat politik di Asia Tenggara terlepas dari kepindahan
formal para penguasanya menjadi penganut agama Islam— apakah ada tipe negara
muslim yang khas, dengan sebuah struktur internal, perundang-undangan atau
lembaga-lembaga yang khas pula? Apa, misalnya, yang membedakan kerajaan Banten
pada abad ke-16 dan ke-17 dari berbagai kerajaan non-muslim yang ada di
Nusantara sebelumnya atau yang sezaman dengannya?
Banten memisahkan diri
dari kerajaan Pajajaran yang pra- Islam (dengan ibu kotanya Pakuan, dekat
Bogor sekarang) pada paruh pertama abad ke-16 dan akhirnya berhasil
mengalahkan negara induk serta menaklukkan sebagian wilayahnya pada paruh
kedua.5 Menjelang akhir abad tersebut, sebagaimana dilaporkan
oleh
seorang peserta pelayaran pertama Belanda ke Hindia, di Banten masih banyak
orang yang belum memeluk agama Islam.6 Anggota lain dari ekspedisi yang sama
pada tahun 1596 menyebutkan kedatangan para imigran baru dari Jawa Timur yang
masih menyembah berhala, yang disambut oleh penguasa Muslim dan dibolehkan
(atau didorong) untuk menempati daerah-daerah perkebunan lada di sekitar
Gunung Karang.7
Sebagaimana kebanyakan kerajaan pada masa awal,
kesultanan Banten benar-benar sangat membutuhkan tenaga kerja, terutama untuk
penanaman lada yang merupakan penyangga utama seluruh perekonomian (dan posisi
para penguasa). Membeli dan menawan budak-budak merupakan salah satu cara yang
diambil untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, sementara cara yang lain
adalah dengan mendorong imigrasi. Banten sangat aktif melakukan keduanya. Pada
abad-abad selanjutnya, penampungan para budak pelarian dari Betawi menjadi
sumber konflik yang tidak ada habisnya dengan pihak Belanda, yang juga sangat
memerlukan tenaga kerja yang sama. Solidaritas keagamaan nampaknya tidak
memainkan peranan apa-apa dalam kebijakan imigrasi di Banten. Dalam
kenyataannya, para imigran non-Muslim bahkan bisa lebih disambut kedatangannya
daripada para imigran Muslim, paling tidak karena sebagai warga negara kelas
dua mereka akan lebih penurut. Luasnya wilayah geografis Banten dan imigrasi
yang didorong secara aktif ini pada awalnya dapat dipastikan akan menyebabkan
menurunnya proporsi penduduk yang beragama Islam, baru beberapa saat kemudian
proporsi tersebut secara berangsur-angsur meningkat kembali karena adanya
perpindahan agama.
Pendiri dan penguasa pertama Banten, yang setelah
mening- gal dikenal dengan Maulana Makhdum atau Sunan Gunung Jati, dianggap
sebagai salah seorang dari sembilan wali besar Jawa (wali sanga). Dia dan tiga
penggantinya yang pertama, Hasanuddin, Yusuf dan Muhammad, diberi gelar yang
bercorak keagamaan, Maulana (yang biasanya digunakan untuk ulama yang
berpengetahuan luas atau ulama sufi) di depan nama mereka. Ini jelas
menunjukkan bahwa para penguasa awal ini melegitimasi diri mereka sendiri
dengan mengaku diri sebagai orang yang
telah mencapai derajat
wali atau telah memiliki pengetahuan dan kekuatan esoterik (ngelmu). Dalam
konteks Islam kedudukan inilah yang paling mendekati konsepsi dewaraja dari
masa Hindu- Budha. Pengakuan para raja tentang keilmuan / pengetahuan esoterik
yang unggul, dan ciri khas dari pengetahuan ini akan diberikan perhatian dalam
uraian selanjutnya.
Penguasa pertama yang mendapatkan gelar yang lebih
mulia, Sultan, adalah putra Muhammad, Abdul Qadir (1596-1651). Secara sengaja,
dia meminta gelar ini dari penguasa Makkah, Syarif Besar. Utusan yang
dikirimnya ke Makkah, dan kembali ke Banten pada tahun 1638, membawakan
berbagai hadiah dan sebuah nama baru bagi sang penguasa, Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Qadir.8 Keturunannya mengulangi permintaan yang sama, gelar dan
nama baru, pada saat naik tahta.9 Hal ini, saya yakin, tidak mencerminkan
ketidak-tahuan mereka mengenai kedudukan Syarif Besar yang sebenarnya
(sebagaimana yang dinyatakan oleh Snouck Hurgronje dan yang lain) melainkan
suatu kesadaran praktis akan kebutuhan terhadap legitimasi simbol-simbol
keagamaan dan akan kegunaan, dari sudut ini, suatu hubungan dengan Makkah.
Para
penguasa Banten tampaknya juga menaruh minat yang sungguh-sungguh kepada
masalah-masalah akidah dan tasawuf yang sangat dalam dan rumit. Sajarah
Banten, sebuah karya abad ke-17, yang menceritakan tentang utusan ke Makkah
yang sudah disebutkan di atas, mencatat bahwa utusan itu juga ditujukan untuk
mencari pendapat atau penjelasan yang berwibawa tentang tiga teks keagamaan
yang rupanya mengandung doktrin-doktrin tasawuf seperti yang diuraikan oleh
Hamzah Fansuri, di samping untuk meminta pengiriman
seorang ahli hukum Islam yang berpengetahuan luas
untuk memberikan penerangan di Banten.10 Utusan Banten tersebut bertemu
dengan, antara lain, seorang ulama terkenal Muhammad ‘Ali Ibn ‘Alan, namun
mereka tidak berhasil membujuknya untuk dating ke Banten bersama mereka.11
Namun,
untuk memberikan jawaban atas beberapa pertanya- an yang diajukan oleh Sultan
Abul Mafakhir dan putranya, Abul Ma’ali Ahmad, Ibn ‘Alan menulis dua risalah
yang masih ada sampai sekarang. Salah satunya berbicara mengenai pertanyaan
Sultan tentang karya Al-Ghazali, Nasihat untuk Para Raja, sebuah
teks
yang pasti sangat menarik bagi penguasa Muslim; sedangkan risalah yang lain
membahas masalah-masalah yang bersifat mistik- metafisik.12 Sang Sultan
rupanya mempunyai minat yang terus menerus terhadap kontroversi di seputar
doktrin-doktrin Hamzah Fansuri, karena dia kemudian berkonsultasi dengan
penentang- nya yang paling terkenal, Nuruddin Al-Raniri, yang pada waktu itu
akan meninggalkan Aceh untuk kembali ke tanah kelahirannya, Gujarat. Raniri
juga menjawab pertanyaan-pertanyaan Abul Mafakir dalam salah satu dari
beberapa risalahnya yang terakhir, yang memfokuskan pembahasannya kepada salah
satu doktrin khusus yang dikemukakan oleh Hamzah.13
Minat yang
sungguh-sungguh dari para penguasa Banten juga tercermin dalam usaha mereka
menjalin hubungan yang baik dengan para ulama, baik ulama setempat maupun
asing, dan banyak di antara mereka yang mendapatkan kedudukan yang sangat
berpengaruh di Istana.
Qadhi, Pengadilan dan Perundang-undangan
Islam
Barangkali, lembaga Islam yang paling khas dalam negara Banten
adalah jabatan qadhi (bahasa Jawa: kali) atau hakim tertinggi, yang di Banten
memainkan peran politik yang lebih menonjol dibandingkan para qadhi di
berbagai kerajaan di Jawa Tengah. Sifat dari jabatan ini nampaknya mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu, mulai dari kewenangan yang sangat luas dan
umum berdasarkan wibawa keagamaannya menjadi peran yang lebih terbatas sebagai
hakim dan kepala birokrasi agama.
Ditemukannya beberapa gelar yang
berbeda-beda yang dipakai untuk menyebut mereka barangkali mencerminkan tahap-
tahap suksesif dalam proses tersebut. Orang-orang Belanda yang pertama kali
datang ke Banten pada tahun 1596, yang tidak bisa mengamati bahwa pengaruh
pejabat ini melampaui bidang yang semata-mata bersifat keagamaan, tidak
menyebut gelar qadhi tetapi menyebutnya dengan “Uskup”, atau “opperste ceque”,
Syaikh tertinggi. Gelar yang pertama mencerminkan kecenderungan Belanda—yang
umum diketahui—untuk melihat Islam sebagai semacam mazhab Katolik, tetapi yang
kedua mungkin merupakan
sebuah istilah yang benar-benar
dipakai oleh orang Banten.14 Sajarah Banten, sebuah kronika istana yang
disusun sekitar tahun 1660, menyebutnya Kyahi Ali atau Ki Ali, yang oleh
Djajadiningrat dibaca—mungkin tepat—sebagai Kali, bentuk kata qadhi yang sudah
diJawakan.15 Seorang qadhi yang ditunjuk memegang jabatan ini sekitar tahun
l650 diberi gelar Pakih Najmuddin, dan dengan gelar inilah kebanyakan qadhi,
kalau tidak semuanya, dikenal selama dua abad selanjutnya.16
Sumber-sumber
Belanda yang paling awal mengenai Banten menyatakan bahwa “Syaikh tertinggi”
telah dikirim ke Banten dari Makkah, “persis seperti mereka mengirimkan
utusan-utusan dari Roma”.17 Sekalipun ini bukanlah penarikan kesimpulan yang
salah berdasarkan kabar angin, dan qadhi pada waktu itu memang berasal dari
negeri asing, namun jelas bahwa—sebagaimana pada tahun-tahun belakangan—hal
itu bukan aturan yang harus diikuti di Banten. Sejak awal abad ke-17 dan
seterusnya, terlihat bahwa jabatan qadhi sudah dipegang oleh orang-orang
setempat. Utusan Banten ke Makkah pada tahun 1638, sebagaimana sudah
dikatakan, diberi tugas untuk merekrut ulama fiqih yang berpengetahuan luas,
tapi tidak menemukan orang yang bersedia datang ke Jawa bersama
mereka.18Qadhi-qadhi yang belakangan, yang tentang mereka kita baca dalam
Sajarah Banten, ternyata adalah orang Banten yang berasal dari keturunan
bangsawan. Demikian juga, orang yang ditunjuk sebagai qadhi baru setelah
kematian Sultan Abul Mafakhir tahun 165l adalah seorang pangeran, Pangeran
Jayasantika. Ketika dia menolak jabatan kehormatan ini dan pergi mengasingkan
diri ke Makkah secara sukarela, anggota keluarga bangsawan lain, Entol
Kawista, ditunjuk menduduki jabatan tersebut.19 Orang ini, secara kebetulan,
juga merupakan orang Banten pertama—yang kita ketahui—yang diberi gelar Pakih
Najmuddin.
Pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, qadhi memainkan
peranan kunci dalam intrik-intrik istana. Dalam krisis suksesi yang pertama di
Banten, mengikuti kematian Maulana Yusuf pada tahun 1580, suaranya terbukti
menentukan dalam pemilihan Muhammad yang masih anak-anak sebagai pengganti
(sebagai saingan saudara Maulana Yusuf sendiri, Pangeran Jepara
yang
disukai oleh Patih Mangkubumi dan bangsawan istana pada umumnya).20 Peran
serupa juga dimainkannya setelah kematian Maulana Muhammad dalam usia yang
terlalu muda pada tahun 1596 ketika Banten mengepung Palembang. Qadhi—kali ini
atas dorongan Patih—membawa Pangeran Abdul Qadir yang masih muda dan memindah
acara kenegaraan (upacara) ke masjid dan, dengan suatu acara ringkas, melantik
raja yang masih anak-anak tersebut. Tugas pembimbingan terhadap raja yang
masih terlalu muda ini diserahkan kepada Patih Mangkubumi dan juga qadhi yang
diberi peranan sebagai guru raja.21 Dalam contoh-contoh tersebut qadhi tidak
semata-mata berperan sebagai pemberi legitimasi kepada seorang penguasa de
facto (sebagaimana yang umum terjadi di kebanyakan negara Muslim) tetapi
merupakan penentu raja (king maker) yang sebenarnya.
Qadhi di Banten
memainkan peranan politik yang sulit dicari bandingannya di tempat lain.
Ketika Maulana Muhammad dan para pejabat tertingginya, Patih Mangkubumi dan
Tumenggung, berangkat dalam sebuah ekspedisi yang sangat menentukan melawan
Palembang, yang berakhir dengan kematian sang Sultan sendiri, mereka
menyerahkan kekuasaan di kota kepada qadhi.22 Satu abad kemudian kita
menemukan gadhi (yang kemudian disebut Kiai Faqih) bersama-sama dengan
Pangeran Aria Dipaningrat melakukan berbagai negosiasi dengan para wakil
Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) atas nama Sultan Abun Nasr Abdul Qahhar
(Sultan Haji, W. 1687). Perjanjian-perjanjian yang dibuat ditutup dengan tanda
tangan qadhi dan pangeran, di samping stempel Sultan.23 Pengganti Abun Nasr,
Abul Fadhl (w. 1690) dan Abul Mahasin Zainul Abidin (w. 1773), juga memberikan
tanggung jawab kepada qadhi untuk menjalankan berbagai misi diplomatik yang
penting.24
Meskipun demikian, tugas utama qadhi adalah dalam bidang
administrasi hukum. Sebagai ulama ahli agama yang paling terkemuka, ia
diharapkan betul-betul menguasai pengetahuan tentang syariat, hukum lslam.
Namun, sebagaimana di semua negara-negara Muslim, hukum yang diterapkan dalam
praktik pengadilan di Banten adalah sebuah perpaduan dari hukum- hukum
syariat, adat dan keputusan-keputusan raja.
Hal ini
barangkali menunjukkan bahwa qadhi bukanlah
pemegang we- wenang tunggal dalam masalah hukum, dan bahwa ada tumpang tindih
antara wewenangnya dengan wewenang para pejabat tinggi lainnya.
Hal ini
diilustrasikan dengan baik dalam buku catatan perjalanan Willem Lodewycksz,
D’eerste Boek, yang rupanya didasarkan atas sketsa-sketsa yang dibuat pada
saat kedatangan pertama Belanda ke Banten. Ditunjukkan bahwa patih (yang pada
saat itu rnerupakan pembimbing dan wakil penguasa yang masih anak-anak),
qadhi, dan pejabat tinggi lainnya sedang menentukan keputusan atas suatu
perkara. Patih, di sebelah kanan, berperan sebagai ketua; seseorang yang
memakai surban, di sebelah kiri, rupanya adalah seorang qadhi. Tulisan asli
yang terdapat di bawah ilustrasi tersebut tidak mengatakan siapa pejabat
ketiga, yang berada di tengah; narnun sang editor, Rouffaer, menduga bahwa dia
adalah seorang jaksa (penuntut).25 Yang menarik adalah bahwa qadhi nampaknya
hanya memainkan peranan sekunder dalam rangkaian acara tersebut, lebih sebagai
penasihat ahli daripada seorang hakim yang pertama.
Gambar
1. Patih dan Qadhi dalam sidang pengadilan di Banten sekitar tahun 1600 (dari:
G.W. Rouffaer & J.W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart der
Nederlanders
naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman (1595-1597), jilid I).
Sajarah
Banten yang menulis tentang Sultan Abdul Mafakhir (w. 1651) menceritakan bahwa
dia secara teratur meminta agar diberi informasi tentang masalah-masalah yang
dibawa ke depan pengadilan. Dalam sidang-sidang pengadilan yang sulit yang
tidak bisa diselesaikan oleh qadhi, Sultanlah yang mengambil keputusan.
Perkara-perkara pendapat di antara para punggawa (pejabat Istana) juga
diselesaikan oleh Sultan sendiri, bukan qadhi.26
Laporan-laporan
belakangan yang dibuat oleh para wakil VOC di Banten bersatu
kata menyebutkan bahwa qadhi memiliki peranan dominan dalam semua proses
pengambilan keputusan hukum (kecuali untuk hukuman mati, yang tetap merupakan
hak prerogatif raja). Ada, paling tidak pada abad ke- 18, sebuah mahkamah,
yang diketuai oleh Pakih Najmuddin, yang memutuskan suatu masalah berdasarkan
wewenangnya sendiri.27 Kasus-kasus kriminal maupun perdata dibawa ke depan
mahkamah ini, dan laporan-laporan singkat menyimpan semua kasus yang telah
diputuskannya. Empat jilid dari catatan ini, yang bertanggal dari paruh ke dua
abad ke-18, sampai sekarang masih ada, dan sebuah analisis terhadap isinya
mungkin memberikan sumbangan yang signifikan bagi pengetahuan kita tentang
sejarah sosial dan ekonomi Banten.28
Para wakil VOC di Banten seringkali
mengeluh tentang penyelewengan yang dilakukan oleh qadhi, dengan menyatakan
bahwa keputusan yang menguntungkan dapat diperoleh dengan membayar sejumlah
uang. Namun, satu-satunya contoh kongkrit yang diberikan berkaitan dengan
masalah yang sangat terkait dengan kepentingan Belanda, yakni budak-budak
pelarian dari Batavia. Qadhi dituduh memberikan sertifikat pemilikan kepada
para pemegang budak di Banten, yang memberikan kesaksian bahwa budak-budak
mereka diperoleh secara legal, bukan hak milik Belanda yang diambil alih.29
Tentu
saja, qadhi tidak begitu saja mengambil keputusan atas suatu masalah
berdasarkan keinginannya sendiri, sebagaimana yang dituduhkan oleh beberapa
pengamat Belanda. Dia mendasarkan keputusan-keputusannya atas, atau
setidak-tidaknya secara eksplisit melegitimasinya dengan, hukum Islam dan
adat,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh observasi berikut ini
(dibuat tahun 1761):
Pendeta tertinggi dan hakim dalam masalah-masalah
keagamaan dan keduniaan, yang diberi nama Ké Focké Nadja Moedin, seorang
lelaki tua dan jompo, (...) seharusnya bertindak sebagai ketua dan penasehat
dalam pelaksanan pengadilan semua kasus kriminal. Namun karena usianya yang
sudah mencapai 73 tahun, sekarang dia tidak melibatkan dirinya dalam kegiatan
apapun selain beribadah, kawin dan kawin lagi, serta mengambil keputusan atas
berbagai kasus pidana, yang untuk tujuan itu ia mengeluarkan Al-Quran atau
Kitab Hukum Islam dan menunjukkan contoh bagaimana ia dapat dipakai dalam
memutuskan kasus yang sedang dihadapi; [ia memutuskan sesuai dengan
putusan-putusan hukum Islam] asal kondisi dimana [putusan-putusan hukum Islam]
tidak bertentangan dengan hak-hak istimewa yang telah sejak lama diberikan
kepada beberapa tempat tertentu, sehinga darah mereka tidak akan ditumpahkan;
hak yang selalu mendapatkan prioritas.30
Bagian terakhir pengamatan
ini memberikan pembenaran bahwa Banten, sebagaimana kebanyakan kerajaaan lain
di Asia Tenggara, dalam kadar tertentu membatasi penerapan hukum syariah yang
berupa hukuman secara fisik (pemotongan tangan, pencambukan, atau hukum mati)
untuk pelanggaran-pelanggaran hudud, dengan menggantinya dengan pembayaran
denda.31
“Kitab Hukum Islam” yang disebutkan di atas mungkin merupakan
salah satu dari karya-karya standar dalam yurisprudensi Islam (fiqh) yang
hampir pasti dipunyai qadhi,32 tetapi bukan tidak mungkin kalau qadhi dalam
kenyataannya merujuk kepada kumpulan Hukum Banten yang serupa dengan
Undang-undang negara-negara Melayu. Ada beberapa referensi kepada karya- karya
tersebut. Isaac de Saint Martin, penerjemah dan pecinta buku yang meninggal
pada tahun 1696, mewariskan lebih dari 80 naskah yang ditulis orang Indonesia,
yang diantaranya adalah koleksi berbahasa Melayu dan Jawa tentang statuta
Sultan Abun Nasr Abdul Qahhar (Sultan Haji, 1680-1687).33 Sebuah naskah
berbahasa Jawa yang sekarang ada dalam koleksi Perpustakaan Leiden memuat
berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh para
sultan Banten
pada awal dan pertengahan abad ke-18, dan mungkin pada suatu waktu dipakai
sebagai karya rujukan dalam pengadilan di Banten. Namun, naskah ini tampaknya
kurang sistematis dan kurang lengkap dibandingkan Undang-undang Melayu.34
Pengamat Belanda, yang menulis pada tahun 1786, melaporkan bahwa orang Banten
memiliki kitab hukumnya sendiri, yang barangkali merujuk kepada koleksi
keputusan dan peraturan tersebut. Kitab ini berisi, tulis pengamat ini, “untuk
sebagian besar hukum-hukum alamiah dari semua bangsa, darah dibayar dengan
darah, pencurian dihukum dengan penjara atau perbudakan, dan begitu juga bagi
mereka yang tidak mampu mengembalikan hutang; tetapi para hakim menafsirkaan
hukum- hukum ini menurut kehendak mereka”.35
Mengikuti kekalahan Sultan
Ageng Tirtayasa dan perjanjian yang dibuat dengan putranya, Sultan Abun Nasr
Abdul Qahhar (Sultan Haji), pengaruh Belanda di Banten terus menerus meningkat
dan bersamaan dengn itu independensi sultan serta peluang untuk bergerak bebas
dipersempit. Namun Pakih Najmuddin tetap memiliki kedudukan yang kuat
sebagaimana sebelumnya. Ia berada pada posisi puncak hierarki jabatan
keagamaan yang penting, yang pertumbuhannya sayang tidak dapat
didokumentasikan secara rinci. Pada paruh pertama abad ke- 19, Pakih Najmuddin
sendirilah yang mengangkat—dan memecat, jika diperlukan—para pejabat yang
menangani masalah-masalah keagamaan (pangulu dan amil) pada tingkat daerah.
Amil diserahi tugas untuk mengurusi zakat, sementara pangulu mengawasi
pengurus masjid serta mengurusi perkawinan dan peceraian, dan yang terpenting
ia adalah hakim pada tingkat daerah.36
Pada tahun 1813, Belanda
menggabungkan seluruh Banten ke dalam struktur administratif Hindia Belanda,
yang dengan demikian berarti melucuti kekuasaan Sultan sehingga sekadar
menjadi figur pimpinan yang tidak memiliki kuasa sama sekali. Pada tahun 1832,
Sultan terakhir diasingkan ke Surabaya; dan menjelang pertengahan
abad, dinasti ini pun berakhir. Jabatan Pakih Najmuddin dibiarkan bertahan
selama beberapa dasawarsa, walaupun pemegang jabatan tersebut, Tubagus A. Abu
Bakar, sudah meninggal pada tahun 1835. Penggantinya, H.
Muhammad
Adian, juga tetap menduduki jabatan tersebut sampai meninggalnya pada tahun
1859, dan baru pada tahun 1868 jabatan tersebut dihapuskan. Untuk selanjutnya,
pangulu untuk tingkat daerah dan sub-daerah ditunjuk oleh pemerintah Hindia
Belanda, yang konon secara mencolok telah merendahkan kedudukan mereka di mata
masyarakat Banten.37
Kiai dan Pesantren: Institusi Kuno atau
Baru?
Menjelang akhir abad ke-19, sebuah jaringan pesantren yang padat
menyebar di seluruh Banten, tempat dimana sejumlah anak muda Banten
mendapatkan pendidikan dasar.38 Para santri yang mempunyai motivasi yang
sangat tinggi pergi dari pesantren yang satu ke pesantren lainnya, sambil
mempelajari masing-masing kitab yang menjadi keahlian kiainya. Setelah
mengikuti beberapa pesantren di Banten, mereka biasanya akan pergi ke
pesantren- pesantren di Bogor, Cianjur, Cirebon, Jawa Tengah atau Timur dan,
jika keluarganya mampu membiayai, akhirnya ke Makkah, yang merupakan pusat
pendidikan Islam yang paling bergengsi. Pesantren biasanya (walaupun tidak
selalu) berada di daerah pedesaan, jauh dari jalan-jalan besar. Keterpencilan
geografisnya seolah-olah melambangkan jarak ideologis mereka dari negara.
Pangulu, sebagai seorang pejabat negara, dan guru independen, kiai, adalah dua
tipe ulama yang kontras di Banten dan juga tempat-tempat lain di Jawa.
Sering
diasumsikan bahwa kedua tipe ulama ini, pejabat negara dan kiai independen,
hadir secara berdampingan sejak awal fase Islamisasi dan bahwa pesantren
sebagaimana yang ada pada akhir abad ke-19 sudah merata di mana-mana waktu
itu. Saya telah berusaha dalam karya yang lain untuk menunjukkan bahwa
pandangan ini mungkin tidak tepat dan bahwa pesantren merupakan sebuah gejala
yang relatif baru, yang muncul pada abad ke-18 dan baru berkembang pesat sejak
paruh ke dua abad ke-19.39 Dalam kasus Banten, munculnya ulama-ulama
independen di daerah pinggiran mungkin berkaitan dengan kontrol Belanda yang
semakin hari semakin meningkat terhadap kesultanan Banten selama abad ke-18
dan ke-19. Snouck Hurgronje, sebagaimana
kita lihat di atas,
menghubungkannya dengan penghapusan jabatan Pakih Najmuddin di mana sesudah
penghapusan tersebut penduduk memindahkan loyalitas dan pembayaran zakat
mereka dari para pangulu kepada para kiai independen. Proses ini mungkin sudah
terjadi lebih awal.
Kita memang menemukan, juga dalam kepustakaan ilmiah,
referensi-referensi kepada banyak pesantren yang lebih jauh awal. Pesantren
awal paling terkenal yang disebutkan kebetulan terdapat di Banten, rupanya di
lereng-lereng Gunung Karang. Almarhum Professor Drewes juga percaya bahwa
salah satu dari teks Islam awal berbahasa Jawa yang disuntingnya disusun oleh
seorang kiai dari pesantren ini.40 Perguruan ini disebut dalam Serat Centhini
yang berbahasa Jawa Tengah, dimana tokoh utamanya, Jayengresmi, belajar di
sana—pada akhir tahun 1630-an atau awal 1640-an—di bawah bimbingan seorang
guru keturunan Arab, Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar alias Ki Ageng Karang. Namun
Serat Centhini dikarang pada awal abad ke-19 (walaupun dengan memanfaatkan
bahan-bahan yang jauh lebih tua), maka orang harus mencermati kemungkinan
adanya anakronisme di dalamnya. Sajarah Banten, yang dikarang tidak lama
setelah Jayengresmi dikatakan belajar di Karang, menyebut gunung tersebut
hanya sebagai tempat bertapa, latihan-latihan asketik, daripada sebagai tempat
untuk mempelajari kitab. Saya menduga bahwa, jika memang pernah ada pesantren
sejenis itu di lereng-lereng Gunung Karang, maka ia didirikan di sana pada
waktu yang lebih belakangan, mungkin tidak lama sebelum Serat Centhini ditulis
dalam bentuknya yang sekarang, katakanlah sekitar pertengahan abad ke-18.
Tentu
saja saya tidak bermaksud menyatakan bahwa tidak ada pendidikan keagamaan yang
sistematis di Banten sebelum abad ke-18. Banten merupakan, terutama pada abad
ke-17, sebuah pusat ilmu pengetahuan Islam. Pada masa kejayaan kesultanan
Banten, ulama yang berasal dari berbagai negara menjadikan Banten sebagai
rumah mereka, dan kita membaca tentang para ahli agama Islam dari berbagai
tempat di Nusantara mengunjungi Banten untuk memperoleh pengetahuan agama yang
lebih dalam.41 Pendidikan agama cukup menonjol ketika Belanda datang untuk
pertama kalinya pada tahun 1596 dan menyaksikan
bahwa
orang-orang Banten “memiliki guru-guru yang berasal dari Makkah, Tanah
Arab”,42 namun pendidikan agama ini berlangsung di istana dan masjid-masjid
penting di kota Banten (dan mungkin belakangan juga di daerah-daerah pinggiran
kota), bukan dilakukan di perguruan-perguruan semacam pesantren yang terletak
jauh di desa
Dalam Sajarah Banten daerah-daerah pedalaman dikaitkan
dengan praktik-praktik asketik pra-Islam; daerah-daerah ini dikenal sebagai
tempat pertapaan (patapan), tetapi tidak ada yang dapat dikenali sebagaimana
pesantren. Dalam teks tersebut kitab- kitab dan studi-studi keislaman
dikaitkan dengan istana dan kota. Satu-satunya pendidikan Islam yang disebut
adalah pendidikan dua raja yang masih anak-anak, Maulana Muhammad dan Abdul
Qadir, di bawah bimbingan qadhi.
Bagian lain dari teks yang sama
menyebutkan bahwa Maulana Muhammad sangat menghormati gurunya, Kiai Dukuh
alias Pangeran Kasunyatan, serta menugaskan orang untuk menyalin buku-buku
keagamaan yang bagus dan bermutu (Al-Quran, tafsir, hadis, dan teks-teks
lainnya) yang kemudian dia wakafkan—yang barangkali berarti bahwa dia
memberikannya untuk selama- lamanya ke sebuah masjid tertentu.43 Akan tampak
bahwa Kiai Dukuh ini tidak identik dengan guru pertama dari raja yang masih
muda tersebut, yakni sang qadhi; Sajarah Banten, yang menyebut keduanya
beberapa kali, tidak menunjukkan penyamaan. Daerah Kasunyatan, yang terletak
kurang dari satu mil di sebelah selatan agak ke tenggara dari Istana
Surasowan, pada tahun belakangan dikenal sebagai pusat penting ilmu dan
pendidikan agama. Penghadiahan buku- buku agama yang disebutkan di atas dapat
berarti bahwa lembaga ini didirikan oleh Maulana Muhammad, dan bahwa kiai
Dukuh menjadi guru yang pertama dengan menyandang gelar baru, pangeran
Kasunyatan. Ini berarti, jika interpretasi saya tepat, bahwa pada masa
selanjutnya ada dua lembaga keislaman yang terpisah dan berada di bawah
patronase negara: jabatan qadhi dan “perguruan” di Kasunyatan.
Di samping
qadhi dan ulama yang menetap di Kasunyatan, sumber kami juga menyebutkan
adanya beberapa ulama lain yang mengajar dan cukup berpengaruh di Banten.
Semua mereka
bertempat tinggal di kota (dan ini mungkin tidak
benar-benar disebabkan oleh bias kota sumber-sumber tersebut). Beberapa kali
kita menemukan secara sepintas adanya konflik antara ulama, konflik tersebut
bukan antara kiai desa dengan pejabat yang berada di kota tetapi antara dua
tipe ulama kota yang berbeda. Demikianlah, kita membaca bahwa sekitar tahun
l780 qadhi meletakkan jabatannya sebagai protes karena sultan Abul Mafakhir
Muhammad Aliyuddin (1777-1802) telah menggunakan cara baru dalam menentukan
awal dan akhir bulan puasa, cara yang diperkenalkan oleh seorang ulama yang
baru kembali dari Makkah.44
Indikasi lain bahwa kiai desa dan pesantren
merupakan gejala yang relatif baru diberikan oleh sebuah cerita rakyat yang
direkam di Banten bagian selatan sekitar pergantian abad ini. Seorang penduduk
desa biasa, setelah mendengar kabar tentang kiai, ingin bertemu dengannya.
Seorang tetangga yang lebih tahu urusan dunia memberitahukan kepadanya
bagaimana cara untuk bertemu dan bertingkah laku padanya. Ia menganjurkan agar
berangkat ke Kota (Serang?) dan pergi ke alun-alun untuk mencari seseorang
yang berjanggut panjang, seperti kambing. Sebagai sebuah tanda penghormatan
dia harus memberikan seikat dedaunan (cerita ini jelas dimaksudkan sebagai
lelucon). Orang kampung yang sederhana itu memberikan daun-daunan pada kambing
yang pertama dilihatnya di alun-alun; dan menerima sebuah pukulan dengan
tanduk kambing sebagai ganjarannya dan lalu, setelah rasa ingin tahunya
terpenuhi, kembali ke desanya.45 Dongeng ini menarik tidak hanya karena
menunjukkan sikap yang kurang hormat terhadap kiai, tetapi terutama karena
jelas- jelas mencerminkan sebuah masyarakat yang masih menganggap kiai sebagai
unsur luar, berpenampilan asing (jenggot), dan yang dikaitkan dengan kota dan
alun-alun serta simbol-simbol pemerintahan lainnya.
Adalah tidak mungkin
untuk menentukan kapan pesantren- pesantren awal yang dipimpin oleh guru-guru
independen ini muncul untuk pertama kalinya di Banten. Semua Pesantren yang
ada sampai sekarang ini adalah pesantren yang relatif baru, yang tertua di
antaranya mungkin didirikan baru seabad yang lalu. Hal
ini
pun tidak dengan sendirinya berarti banyak, karena pesantren di sini cenderung
tidak bertahan lebih dari satu atau dua generasi. Rupanya kiailah, dan bukan
pesantrennya, yang menarik para santri; setelah kematian seorang kiai,
kebanyakan santrinya berpindah kepada kiai lain dan pesantren itu pun merosot.
Seringkali terjadi putra seorang kiai di Banten membangun sebuah pesantren
baru, dan bukan meneruskan pesantren bapaknya. Ini berarti bahwa pesantren
mungkin pernah ada untuk beberapa waktu tanpa meninggalkan jejak nyata yang
bertahan lama. Namun dapat dipastikan pada awal abad ke-19 belum banyak
terdapat pesantren, karena sebuah penelitian yang pada waktu itu secara
sengaja dilakukan terhadap lembaga tersebut gagal menemukannya.
Pada
tahun 1819 penguasa Hindia Belanda melakukan survei pertama mengenai
pendidikan pribumi yang sudah dilakukan di Jawa. Dilaporkan bahwa hanya di
kota Serang dan Banten saja ada “para pendeta” yang mengajarkan membaca dan
menulis; di Serang juga ada beberapa guru biasa. Di tempat lain tidak ada
pendidikan sama sekali, dan tingkat melek huruf sangat rendah.46 Namun,
tampaknya survei tersebut hanya mencakup Banten sebelah utara, dan tidak
mencakup daerah-daerah selatan yang belum secara langsung berada di bawah
administrasi Batavia. Tidak mustahil, memang ada beberapa pesantren kecil di
Banten bagian selatan. Namun kiai paling awal yang dikenal luas di Banten
selatan, yang masih sangat segar dalam ingatan orang Banten, hidup cukup lama
setelah para kiai independen awal dari utara.
Kiai Asnawi dari Caringin
(1850?-1937) pada tahun 1920- an adalah kiai paling dikenal dan dihormati di
seluruh Banten. Kasusnya menunjukkan bahwa ulama pemerintah dan ulama
independen, walaupun dengan jelas (dan dengan sadar diri) berbeda dalam
prinsip, tidak harus memiliki latar belakang yang berbeda. Dia lahir dari
keluarga seorang pejabat keagamaan; bapaknya, Abdul Rahman, adalah pangulu di
kabupaten Caringin, dan Asnawi pada mulanya juga menjadi pengganti fungsi
bapaknya tersebut. Selama menetap beberapa waktu di Makkah, Asnawi belajar
kepada Kiai Abdul Karim Al-Bantani yang terkenal, dibai’at menjadi penganut
tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
dan ditunjuk sebagai
khalifahnya. Setelah kepulangannya ke Banten, dia melepaskan fungsi
jabatannya, mendirikan pesantren di Caringin dan mulai mengajarkan tarekat.47
(Ini rupanya terjadi beberapa saat setelah pemberontakan 1888, karena kami
belum menemukan namanya disebutkan di antara wakil-wakil Abdul Karim yang
terkait dengan peristiwa tersebut).
Paling tidak sejak abad ke-17, selalu
ada orang Banten yang berhaji ke Makkah, sebagian di antara mereka ada yang
menetap selama beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Namun sampai abad
ke-19 jumlah mereka dapat dipastikan masih terbatas dan kebanyakan mereka
menikmati sponsor resmi, yang membayar biaya perjalanan dan biaya hidup. (Kita
tahu bahwa ini adalah sesuatu yang dikenal cukup umum terjadi pada ulama di
tempat mana pun di Nusantara). Menjelang paruh kedua abad ke-19, perbaikan
transportasi lautan melalui tenaga uap dan terusan Suez memungkinkan semakin
banyak orang pergi berhaji. Menjelang akhir abad, sebagaimana diceritakan
Ahmad Djajadiningrat, hampir semua keluarga yang tergolong berada di Banten
memberikan dukungan kepada satu atau dua anggota keluarganya untuk belajar ke
Makkah.48 Setelah kembali ke Banten, para lelaki tersebut (saya tidak
menemukan seorang perempuan pun di antara mereka) secara alamiah diminta untuk
mengajar anak-anak dari keluarga dan tetangga mereka. Sebagian mereka, seperti
sepupu Djajadiningrat sendiri, melakukannya hanya informal, dengan memberikan
pelajaran secara individual kepada satu atau lebih anak; sementara yang lain,
seperti Kiai Asnawi, mendirikan pesantren. Perbedaannya mungkin tidak
mencolok, karena pesantren dibangun secara sangat sederhana.
Tarekat
dan Guru Tarekat di Banten
Studi klasik Sartono Kartodirdjo tentang
pemberontakan besar di Banten, yakni pemberontakan 1888, telah menarik
perhatian pada peranan penting yang dimainkan oleh tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di masyarakat Banten pada paruh kedua abad ke-19. Walaupun
tarekat ini bukanlah yang mengambil inisiatif untuk melakukan pemberontakan,
ia menyediakan suatu jaringan
komunikasi dan, mungkin, suatu
mata rantai yang memungkin dilakukannya mobilisasi massa.
Namun,
sebagaimana pesantren—kebanyakan guru tarekat pada tahun 1880-an juga memimpin
pesantren—tarekat dengan pengikut, awam yang banyak dan agak terorganisasi
mungkin merupakan sebuah gejala yang relatif baru. Saya cenderung memberikan
penanggalan kemunculannya paling awal pada paruh kedua abad ke-18. Adalah
benar bahwa tarekat sudah disebut secara eksplisit dalam sumber-sumber pribumi
paling awal dari Banten, tetapi sebuah tarekat bukanlah sesuatu yang sama
untuk semua waktu dan tempat. Barangkali ada gunanya menjelaskan secara
singkat tentang tarekat secara umum sebelum melakukan survei terhadap
bukti-bukti yang diperoleh dari Banten.
Sebuah tarekat (bahasa Arab:
thariqah, “jalan”) pertama-tama adalah serangkaian teknik-teknik spiritual dan
praktik-praktik ibadah yang khas. Yang penting dari semua ibadah tersebut
adalah zikir (bahasa Arab; dzikir, “mengingat [Tuhan]”), yang berisi pembacaan
nama-nama Allah dan kalimat “La ilâha illa Allah”, dengan cara yang khas dan
jumlah yang sudah ditentukan, serta berbagai rangkaian doa (hizib, shalawat)
atau doa yang panjang (ratib, wirid). Pembacaan ini kadangkala digabungkan
dengan pengaturan napas dan gerakan tubuh tertentu, dan kadang-kadang juga
terdapat beberapa amalan asketik. Sebuah tarekat bisa juga mempunyai teorinya
yang khas tentang hal dan maqam ruhani yang akan dicapai oleh para pengamalnya
melalui latihan-latihan tersebut.
Secara teoretis seseorang hanya dapat
menerima pengajaran (talqin) tentang amalan-amalan ini dari seorang guru
tarekatnya yang berwenang (mursyid), dan baru dilakukan setelah menyatakan
janji kesetiaan (berbai’at) kepada syaikh tersebut. Syaikh memberikan izin
(ijazah) kepada muridnya untuk mempraktikkan tarekat; dia dapat juga
memberikan wewenang kepada salah seorang atau lebih dari mereka untuk
mengajarkannya kepada orang lain, yakni menunjuk mereka sebagai khalifah-nya.
Dengan cara inilah sebuah jaringan guru yang tersusun secara hierarkis
tercipta. Setiap syaikh dapat menunjukkan suatu matarantai para tokoh penting
dari tarekat yang diajarkan, yakni silsilah atau geneologi spiritualnya.
Biasanya
silsilah mengurutkan kembali nama-nama sejak gurunya sampai kepada Nabi
Saw.—semua tarekat mengklaim diri berasal dari Nabi, walaupun terdapat
berbagai modifikasi dalam hal cara. Silsilah seorang sufi merupakan penunjuk
identitas dan sumber legitimasinya; ia memberikan kepadanya sebuah daftar para
pendahulunya yang terkenal dan menunjukkan hubungan dirinya dengan para sufi
lainnya.
Banyak tarekat—paling tidak untuk waktu dan tempat tertentu—yang
dapat dikatakan “bersifat jamaah”, dalam pengertian bahwa para pengikutnya
diharapkan ikut ambil bagian dalam pertemuan zikir berjamaah (seringkali
dilakukan setelah shalat Maghrib atau Isya’). Tarekat ini bahkan bisa menjadi
perkumpulan kooperatif, di mana ritual berjamaah berfungsi sebagai perekat
hubungan jaringan lain di antara para anggotanya. Jaringan yang rapi yang
terdiri dari para guru tarekat, wakil dan wakil-dari- wakilnya bisa mengubah
tarekat menjadi sebuah organisasi politik yang kuat, sebagaimana yang telah
terjadi dalam beberapa kasus yang luar biasa.
Dalam banyak kasus yang
lain, mengamalkan sebuah tarekat merupakan perkara yang semata-mata bersifat
individual, dan para pengikutnya boleh jadi jarang, kalau memang pernah,
bertemu satu dengan yang lain. Tarekat semacam ini (di Indonesia) adalah
tarekat Syadziliyah, yang di dalam praktiknya kebanyakan para anggotanya hanya
membaca secara individual rangkaian-rangkaian doa yang panjang (hizib,
jamaknya ahzâb), yang diyakini memiliki kegunaan-kegunaan yang bersifat
magis.49 Para pengamal tarekat tersebut mempelajari berbagai hizib, paling
tidak idealnya, melalui pengajaran (talqin) yang diberikan oleh seorang guru
yang berwenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut,
walaupun hampir sama sekali tidak merasakan dirinya sebagai anggota dari
sebuah tarekat. Demikian juga teknik-teknik dari berbagai tarekat yang
biasanya bersifat “jamaah” dapat dijadikan sebagai praktik peribadahan yang
bersifat pribadi atau—satu kecenderungan yang sering terjadi di
Indonesia—sebagai metode menumbuhkan kekuatan-kekuatan magis.
Sudah
umum disepakati oleh semua sejarahwan, walaupun berdasarkan bukti yang tidak
terlalu kuat, bahwa Islam di Indonesia selama abad-abad pertamanya lebih
didominasi oleh tasawuf dan spekulasi metafisis (daripada, misalnya, legalisme
syariat). Dikemukakan bahwa perkembangan tasawuflah yang membuat Islam dapat
dimengerti oleh orang-orang di Indonesia dan sesuai dengan keperluan spiritual
mereka, di samping juga memberikan legitimasi yang dibutuhkan bagi kekuasaan
monarkis.50
Dalam sejumlah artikelnya, Anthony Johns melangkah selangkah
lebih jauh dan mengemukakan bahwa usaha-usaha yang secara sengaja dilakukan
oleh berbagai tarekat telah memainkan peran sentral dalam proses Islamisasi.
Dia membayangkan tarekat- tarekat ini berhubungan sangat dekat dengan
serikat-sekerja (sebagaimana yang terjadi dalam Daulah Utsmaniyyah [Turki]
selama beberapa abad), dan keduanya datang bersama-sama dari wilayah Lautan
Tengah ke Asia Tenggara. Kapal-kapal dagang yang melintasi Samudera India
tidak hanya membawa sejumlah pedagang individual dan barang dagangan mereka,
tulisnya, tetapi “kita harus menggambarkan adanya sejumlah syaikh sufi yang
dengan bersusah payah ikut serta dalam pelayaran, baik untuk melayani
kebutuhan spiritual serikat-sekerja yang mereka imami, ataupun untuk
menyebarkan ajaran keselamatan mereka...”51
Hipotesis-hipotesis
spekulatif Johns ini secara selintas mungkin merupakan hal yang masuk akal
karena banyak sumber pribumi pada awal menyebut berbagai tarekat. Namun
sumber- sumber paling awal ini pun disusun berabad-abad setelah proses
Islamisasi berjalan. Lebih dari itu, menurut pengetahuan saya, tidak ada
sesobek bukti pun yang mendukung asumsi-asumsi implisit Johns bahwa
kelompok-kelompok yang serupa dengan serikat- serikat sekerja tersebut sudah
ada di negara-negara pelabuhan Asia Tenggara, apalagi tentang guru-guru
tarekat yang bergabung dengan mereka. Dalam kasus Banten, sumber-sumber
pribumi, menghubungkan berbagai tarekat bukan dengan perdagangan dan pedagang
tetapi dengan para raja, kekuatan magis, dan legitimasi politik.
Dinasti
Penguasa Banten dan Tarekat-tarekat
Beberapa indikasi paling awal tentang
ketertarikan orang Banten kepada tarekat terdapat dalam berbagai versi Sajarah
Banten, yang bertanggal paruh kedua abad ke-17 tetapi mungkin mencantumkan
bahan-bahan yang lebih tua.52 Teks-teks tersebut menceritakan pendiri dinasti
Muslim Banten, yang kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, membawa
serta putranya, Maulana Hasanuddin, dalam sebuah perjalanan yang penuh
keajaiban ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah melaksanakan ibadah
haji mereka terus ke Madinah berziarah ke makam Nabi, dan di sinilah Maulana
Hasanuddin dibai’at menjadi penganut tarekat Naqsyabandiyah.
Diterjemahkan
secara kasar, teks-teks tersebut mengatakan bahwa Hasanuddin diberi pelajaran
tentang ilmu para sufi, ilmu yang sempurna. Ia mengucapkan janji kesetiaanya
(berbai’at) kepada syaikhnya, diberi silsilah dan wirid Naqsyabandiyah,
menerima pengajaran formal (talqin) tentang dzikir-nya dan latihan-latihan
spiritual lain (sughul, bahasa Arab: shughl, “bekerja”) dan akhirnya menerima
jubah sufi (khirqah), yang merupakan simbol dimulainya perjalanan
sufinya.53
Hoesein Djajadiningrat menyatakan bahwa yang paling tua dari
beberapa versi ini bertanggal dari 1662-3 dan bahwa versi yang dia sebut
Sajarah Banten rante-rante disusun beberapa waktu belakangan, tetapi sebelum
1725.54 Dengan mengasumsikan bahwa isi teks tersebut bukanlah sebuah
penambahan yang dibuat belakangan, maka ini berarti bahwa paling lambat
menjelang 1662 tarekat Naqsyabandiyah sudah dikenal, dan dijunjung tinggi, di
lingkungan istana Banten.55 Menghubungkannya dengan Madinah, dan bukan Makkah,
adalah tepat dan memberikan sebuah isyarat mengenai kapan tarekat
Naqsyabandiyah mulai dikenal di Banten. Pada abad ke-17, Madinah merupakan
sebuah pusat penting tarekat ini. Para syaikhnya yang terkemuka pada saat itu
adalah, secara berurutan Ahmad Al-Syinnawi (w. 1619), Ahmad Al-Qusyasyi (w.
1661), Ibrahim Al-Kurani (w. 1691), dan putranya, Abu Tahir Al- Kurani (w.
1733).56 Kita akan bertemu lagi dengan nama-nama
guru
tersebut, yang juga mengajarkan beberapa tarekat lain, dalam halaman-halaman
berikutnya.
Tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa tarekat
Naqsyabandiyah sudah ada di Madinah sebelum guru dari Al- Syinnawi, Sibghat
Allah, datang dari India ke Madinah pada tahun 1596. Karena itu, menjadi jelas
bahwa cerita tentang bergabungnya Maulana Hasanuddin menjadi anggota tarekat
ini adalah cerita buatan (atribusi) yang dibuat setelah dia meninggal, yang
berfungsi untuk memperkuat legitimasi keagamaan bagi dinastinya.57 Di sini
tarekat tampak sebagai suatu bentuk pengetahuan mistik rahasia (dan mungkin
merupakan sumber kekuatan, kasektèn) yang dimiliki dan sangat mungkin
dimonopoli oleh dinasti penguasa. Istilah-istilah teknis sufi
sambung-menyambung di dalam teks tersebut sedemikian rupa sehingga menunjukkan
bahwa masing- masing mewakili jenis kekuatan spiritual tertentu.
Sajarah
Banten rante-rante memuat sejumlah fragmen singkat yang tidak berhubungan satu
dengan lainnya. Salah satu diantaranya—dan rupanya yang lebih tua
menghubungkan Sunan Gunung Jati, tanpa anaknya pada waktu itu, dengan sejumlah
tarekat lainnya, yaitu Kubrawiyah, Syadziliyah, dan Syattariyah di samping
Naqsyabandiyah. Teks tersebut juga menceritakan perjalanannya menuntut ilmu di
Makkah dan di Madinah, serta menyebut orang-orang konon merupakan guru-guru
dan para murid sezamannya.58 Laporan ini tidak bisa dipahami secara harfiah,
karena para guru dan kebanyakan murid sezamannya yang disebutkan dalam teks
tersebut hidup beberapa abad sebelum para wali Indonesia. Meskipun demikian,
ia juga secara mengejutkan memuat beberapa informasi tentang salah satu dari
tarekat-tarekat tersebut, yakni tarekat Kubrawiyah. Orang yang dianggap
sebagai pendiri pertama tarekat ini, seorang sufi Asia
Tengah yang bernama Najmuddin Al-Kubra (w. 1221), digambarkan sebagai orang
Makkah pertama yang menjadi guru sang Sunan, dan seluruh silsilah-nya
diurutkan secara tepat.59 Nama-nama orang yang dianggap sebagai sesama murid
ternyata membentuk dua garis afiliasi yang berbeda yang bercabang dari Kubra
dan diakhiri secara berurutan dengan nama Abd Al-Latif Al- Jami (w. 1549 atau
1555) dan Ahmad Al-Syinnawi (w. 1619).
Al-Syinnawi,
sebagaimana dikatakan di atas, mengajar di Madinah. Al-Jami tinggal di Asia
Tengah tetapi, sebagaimana kita ketahui dari beberapa sumber lain, dia
menunaikan ibadah haji pada tahun 1548, disertai dengan sebuah rombongan
besar. Dalam perjalanan ke Makkah, dia berhenti di Istanbul, di mana dia
mengajarkan tarekat ini kepada tidak kurang dari sultan Utsmani, Sulaiman
Qanuni. Fakta ini, yang dicatat oleh seorang sejarahwan Syria, Najmuddin
Al-Ghazzi, dapat diduga sangat diketahui juga di Makkah, dan mungkin telah
membuat tarekat khas ini menjadi semakin bergengsi dan menarik di mata
kalangan istana Banten.
Sunan Gunung Jati adalah orang yang hidup sezaman
dengan Jami, tetapi tidak banyak gunanya membuat spekulasi apakah dia
benar-benar mengunjungi Makkah pada saat yang sama dan bertemu dengan sang
guru. Al-Syinnawi lebih muda dua atau tiga generasi. Berbagai nama yang
dijejerkan dalam teks Banten ini ternyata dapat mencerminkan adanya sejumlah
kontak yang secara berulang-ulang dilakukan orang Banten dengan para guru
tarekat Kubrawiyah di Makkah atau Madinah. Semua pengasosiasian yang
anakronistik dengan sunan Gunung Jati tersebut memperkuat kembali kesan kami
bahwa tujuan utama dari teks tersebut adalah memberikan legitimasi bagi
dinasti dengan memperkuat kembali hubungan semua tradisi mistik yang dikenal
dengan pendirinya.
Dua Guru Besar: Yusuf Makassar (1670-an) dan
Abdullah bin Abdul Qahhar (l750-an dan l760an)
Guru tarekat pertama yang
aktif di Banten yang kami kenal namanya adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari yang
terkenal (1627?- 1699). Yusuf menghabiskan waktunya sekitar dua dasawarsa di
Tanah Arab dengan belajar di bawah bimbingan beberapa guru, seperti lbrahim
Al-Kurani di Madinah dan Ayyub Al-Khalwatiyah di Damaskus. Dia telah dibai’at
masuk ke dalam sejumlah tarekat, terutama Khalwatiyah, Naqsyabandiyah,
Syattariyah, Qadiriyah, dan Ba’alawiyah, dan rupanya mendapatkan izin untuk
mengaiarkannya. Selama tahun 1670-an dia menetap di Banten, sebagai sahabat
dekat dan penasihat Sultan Abul Fath Abdul Fattah, yang dikenal sebagai Sultan
Ageng Tirtayasa.60
Syaikh Yusuf rupanya datang di Banten pada
saat bangkitnya prajurit dan pelaut Makassar yang meninggalkan Sulawesi
setelah Kerajaan Goa mereka ditaklukkan oleh kekuatan gabungan VOC dan saingan
mereka kerajaan Bugis Bone pada tahun 1669, dan menetap beberapa lama di
Banten. Kami menemukan namanya pertama disebutkan pada tahun 1672, ketika dia
dilaporkan sedang memberikan pelajaran kepada putra mahkota dan penguasa
pendamping, Abun Nasr Abdul Qahhar (yang kemudian dikenal dengan Sultan
Haji).61 Beberapa tahun kemudian, sumber- sumber Belanda menyebutnya sebagai
“pendeta tertinggi”, yang menunjukkan bahwa dia tidak lama kemudian sudah
menjadi qadhi Banten.62 Dalam perselisihan memperebutkan kekuasaan pada masa
selanjutnya antara putra mahkota Sultan Haji dan bapaknya Sultan Ageng, Syaikh
Yusuf tetap sepenuhnya bergabung dengan Sultan Ageng. Ketika pada tahun 1682,
VOC ikut campur di Banten atas nama Sultan Haji, Syaikh Yusuf memobilisasi
orang- orang Makassar yang masih berada di sana. Setelah Sultan Ageng
ditangkap, Syaikh Yusuf memimpin sebuah kelompok gerilya yang terdiri dari
para pengikutnya (kebanyakan orang Makassar) menyeberangi Jawa Barat sampai
akhirnya dia juga ditangkap oleh Belanda. Syaikh Yusuf diasingkan di Seylon
dan kemudian ke Tanjung Harapan; sementara para pengikutnya diizinkan untuk
kembali ke Sulawasi selatan.63
Dari tulisannya sendiri kita mengenal
Syaikh Yusuf sebagai seorang guru tarekat, tetapi tidak ada bukti tentang
penyebarluasan suatu tarekat yang dilakukannya di kalangan masyarakat Banten.
Pengajarannya mungkin masih terbatas kepada lingkungan istana—kami sudah
mengatakan diatas bahwa dia memberikan pelajarannya tentang berbagai ilmu
keislaman kepada putra mahkota—dan komunitas Makassar. Orang-orang Makassar
dari keluarga raja sampai lapisan bawah sangat menghormati Syaikh Yusuf dan
menjadikannya sebagai panutan baik dalam bidang politik maupun agama di
Banten. Tarekat yang secara sangat dekat dihubungkan dengan Yusuf, suatu
cabang dari tarekat Khalwatiyah, hanya menyebar di kalangan orang-orang
Makassar dan sedikit di kalangan orang-orang Bugis. Para khalifah yang
diangkatnya hanyalah terdiri dari orang-orang Makassar, dan hal
ini
merupakan alasan lain kenapa tarekat ini hampir secara unik dikaitkan dengan
kelompok etnis ini.64 Rupanya tidak ada seorang pun di Banten, juga di istana
yang meneruskan tarekat Yusuf ini. Murid yang hidup sezaman dengannya, Sultan
Haji, telah menganggapnya sebagai lawan politik. Menjelang pertengahan abad
selanjutnya kami menemukan beberapa tarekat terutama Naqsyabandiyah dan
Syattariyah, diajarkan di Banten; namun gurunya pada waktu itu tidak
menelusuri silsilah-nya melalui Syaikh Yusuf tetapi melalui para guru yang
lebih belakangan di Makkah dan Madinah.
Guru yang disebutkan ini bernama
Abdullah bin Abdul Qahhar, seorang ulama keturunan campuran Arab dan Banten
yang merupakan anak didik dari Sultan Abun Nasr Zainal Asyiqin (1753-77). Dia
adalah pengarang atau penyalin sejumlah buku berbahasa Arab dan Jawa yang
sampai sekarang masih ada, kebanyakan atau semuanya berasal dari perpustakaan
Keraton Banten, yang diperoleh oleh penguasa Belanda pada tahun 1830. Salah
satu dari beberapa karyanya yang berbahasa Arab, sebuah risalah tentang haji
(Risalah fi Syurût Al-Hajj) ditulis selama dia menetap di Makkah pada tahun
1748. Minat utamanya tampaknya tertuju kepada tasawuf dan metafisika. Ketika
di Makkah dia mengumpulkan dan menyalin sejumlah teks-teks tasawuf penting
berbahasa Arab, yang di antaranya termasuk sebuah risalah langka karangan ‘Abd
Al-Ra’uf Singkel.65 Setelah kepulangannya ke Banten dia menulis, atas
permintaan patron rajanya, dua risalah sufi (Masyâhid Al-Nasiq fi Maqâmah
Al-Sâlik dan Fath Al-Mulûk)66 dan menerjemahkan Syarab Al-‘Asyiqin karya
Hamzah Fansuri ke dalam bahasa Jawa. 67
Dua naskah yang lebih belakangan,
yang barangkali berasal dari Banten, menunjukkan bahwa dia pernah menjadi
seorang guru tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyah,68 dan beberapa waktu
setelah kematiannya kami menemukan namanya di dalam sebuah ratib tarekat
Rifa’iyah sebagai salah seorang wali yang kepada- nya doa-doa diucapkan. Dia
termasuk ke dalam cabang tarekat Naqsyabandiyah yang diwakili oleh Ahmad
Al-Qusyasyi dan Ibra- him Al-Kurani di Madinah; menurut silsilah yang
diberikan dalam naskah pertama, dia mempelajari tarekat ini dari seorang
khalifah
Ibrahim Al-Kurani, mungkin putra dan penggantinya,
Abu Tha- hir Muhammad.69 Silsilah Sattariyahnya juga melalui Al-Qusyasyi namun
bukan melalui pengganti Al-Qusyasyi sendiri, Al-Kurani, melainkan melalui dua
garis yang lain, yakni seorang syaikh di Madinah yang tidak jelas siapa
orangnya dan guru dari Abdullah yang bernama Muhammad bin ‘Ali Al-Thabari di
Makkah.70
Naskah-naskah yang ada juga menunjukkan bahwa Syaikh Abdullah,
tidak seperti Syaikh Yusuf sebelumnya, membangun jaringan sederhana para murid
dan khalifahnya, di luar istana dan kota Banten di mana ia sendiri mengajar.
Naskah Naqsyabandiyah menyebutkan tiga khalifah, qadhi Muhammad Thahir dari
Bogor, Haji Muhammad Ali dari Cianjur dan Haji Muhammad lbrahim Harun Al-Jalis
juga dari Cianjur.
Dua Tarekat Populer Pertama: Sammaniyah dan
Rifa’iyah
Pengarang naskah Naqsyabandiyah, seorang murid dari Muhammad
Thahir yang berasal dari Bogor, menggabungkan tarekat ini dengan tarekat
Khalwatiyah—teks tersebut ternyata membahas tentang kedua tarekat tersebut.
Dia menyebut wali Madinah Muhammad [Bin Abdul Karim] Al-Samman (w. 1771)
sebagai guru tarekat Khalwatiyyahnya.71 Versi tarekat Khalwatiyyah Syaikh
Samman yang sudah dimodifikasi, biasanya disebut tarekat Sammaniyah, menjadi
populer di berbagai wilayah Indonesia, dan di sana-sini berkembang sebuah
kultus terhadap Syaikh Samman, yang didasarkan atas kepercayaan kepada
kemampuannya melakukan tindakan-tindakan penuh keajaiban untuk kepentingan
para pengikut setianya. Di Banten terdapat jejak-jejak keduanya. Syaikh Samman
adalah salah seorang wali yang perlindungannya diminta oleh para pengamal
debus Banten tertentu—tetapi tidak semuanya—(lihat halaman selanjutnya).
Sebuah tarian rakyat yang disebut tari Saman, yang mungkin didasarkan atas
zikir atau ratib Saimmaniyah yang bersemangat, biasanya dipertunjukkan pada
berbagai pesta dan perayaan, seringkali bersama-sama dengan pertunjukan silat
dan debus.72
Sekarang tidak ada guru tarekat Sammaniyah di Banten, dan
juga dia tidak hidup dalam ingatan penduduk di sana. Tetapi di
Cianjur,
di desa Cibaregbeg, ada seorang guru keturunan Banten, Kiai Abdul Qodir yang
masih mengajarkan tarekat ini, bersamaan dengan tarekat Rifa’iyah dan sejumlah
tarekat lainnya. Mungkin dari para guru yang berasal dari daerah-daerah
geografis marginal inilah pengaruh tarekat Sammaniyah yang tersebar secara
berangsur-angsur merembes ke dalam kultur masyarakat awam Banten.
Tarekat
Rifa’iyah, yang jejak-jejaknya yang lebih jelas masih terdapat di Banten,
berada dalam situasi yang sama. Teknik-teknik kekebalan tubuh yang dikenal
dengan debus Banten73 diperoleh dari sejumlah sumber, tetapi yang paling
berpengaruh adalah tarekat Rifa’iyah, tarekat yang di tempat lain (Turki,
Mesir, India) juga dikenal dengan praktik-praktiknya yang menyerupai debus.
Kiai Cibaregbeg yang telah disebutkan juga merupakan guru tarekat Rifa’iyah
terakhir yang diakui secara luas, tetapi ada lebih banyak orang semacam dia
pada masa yang lalu. Hal ini juga didukung dengan fakta bahwa di sana-sini di
desa-desa Banten orang akan menemukan salinan naskah tentang teks-teks
liturgis yang sederhana (ratib dan lain-lain) dari tarekat Rifa’iyah.74 Di
beberapa tempat masih ada kelompok-kelompok yang secara teratur mengamalkan
zikir dan ratib tarekat Rifa’iyah, dengan atau tanpa latihan-latihan debus.
Salah
satu dari tempat tersebut adalah desa Sekong di Pande- glang.75 Dua kali
seminggu, pada malam Jumat dan malam Senin, sebagian warga desa berkumpul di
masjid untuk melakukan zikir berjamaah seusai shalat isya’. Mereka membaca
ratib Rifa’iyah, surat Al-Ikhlash, doa-doa dan zikir. Acara liturgis tersebut
dipimpin oleh Mbah Junaed, yang mengaku bukan syaikh tarekat, tetapi hanya
pengikut biasa dari jejak langkah ayah dan kakeknya. Ia juga memimpin latihan
debus (di sini disebut Al-Madad), yang juga banyak diikuti warga desa
tersebut. Sebelum “bermain”, para peserta melakukan zikir dan membakar
kemenyan sementara Mbah Junaed membaca suatu formula untuk memanggil sekitar
empat puluh ruh suci, termasuk ruh Syaikh Ahmad Rifa’i (pendiri tarekat
Rifa’iyah) dan Syaikh Samman.76 Ruh-ruh ini akan menjamin tidak akan adanya
bahaya yang datang dari api atau besi dan luka-luka yang disebabkannya akan
sembuh segera.77
Ruh-ruh yang dipanggil Mbah Junaed adalah
ruh-ruh dari mereka yang namanya disebutkan dalam naskah-naskah ratib yang
disebutkan di atas, yang Mbah Junaed juga memiliki satu salinannya yang kurang
lengkap. Ada beberapa penyesuaian; nama Syaikh Samman, misalnya, tidak
terdapat dalam naskah- naskah ini tetapi rupanya ditambahkan karena
reputasinya dalam melakukan intervensi yang penuh dengan kebaikan. Semua
naskah tarekat Rifa’iyah dari Banten yang pernah saya lihat atau saya dengar
digambarkan pada dasarnya berisi nama-nama wali yang sama yang dihadiahi
pembacaan doa-doa dan Fatihah.78 Pertama-tama adalah nama-nama Nabi Saw., dan
keluarganya, keempat Khulafa Al-Rasyidun dan para sahabatnya. Kemudian diikuti
dengan nama ‘Ahmad Rifa’i dan Abdul Qadir Al-Jilani, dan empat wali belakangan
dari tarekat Rifa’iyah.79 Kelompok nama yang terakhir adalah nama-nama yang
paling menarik, karena mereka adalah orang-orang Banten: Maulana Hasanuddin,
Syaikh Abdus Sabur (tidak teridentifikasi), Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar
dan Sultan Muhammaf Arif Zainal Asyiqin dan putranya Sultan Abul Mafakhir
Muhammad Aliyuddin.80
Daftar nama ini memberikan indikasi mengenai kapan
tarekat Rifa’yah mulai tersebar di Banten. Nama sultan Zainal Asyiqin
(1753-
77) dalam kebanyakan naskah dimulai dengan kata “ruh”, yang
menunjukan bahwa dia sudah meninggal pada saat naskah-naskah tersebut ditulis,
tetapi tidak demikian halnya ketika menyebut nama Sultan Aliyuddin
(1777-1802?).81 Lebih dari itu, paling tidak ada satu naskah yang menambahkan
kata-kata “semoga Tuhan mengabadikan kekuasaanya” kepada nama yang terakhir,
yang menunjukkan bahwa teks ini ditulis pada mulanya selama masa
pemerintahannya. Naskah-naskah tersebut menambahkan gelar khalifah kepada
Aliyuddin, yang bisa berarti bahwa dia adalah, berdasarkan gelar, pimpinan
dari tarekat ini di Banten, dengan suatu wewenang—walaupun hanya sebagai
kehormatan—untuk mengajarkannya.82 Satu naskah lain menjulukinya, dalam bahasa
Arab yang buruk, al-khalifah man ba’d al-khalifah, “khalifah sesudah
Khalifah”, yang mungkin berarti bahwa ayahnya telah mendapatkan posisi
kehormatan yang sama.
Semua naskah yang masih ada hanya
menyebut dua nama sultan tersebut (di samping nama pendiri dinasti yang
jauh jarak waktunya, Maulana Hasanuddin). Semuanya nampaknya merupakan salinan
yang berasal dari sebuah teks asli dibuat di dalam atau di sekitar istana pada
perempatan terakhir abad ke- 18, yang berulang kali disalin tanpa mengalami
perubahan yang berarti. Kenyataan bahwa tidak ada versi yang diperbarui dari
nama- nama sultan yang pertama menunjukkan bahwa tarekat Rifa’iyah menyebar
dari lingkungan istana dan elite kota kepada penduduk luas pada masa
pemerintahan Aliyuddin dan sejak saat itu tidak memperoleh dorongan-dorongan
baru di bawah pimpinan guru- guru besar yang lebih kemudian. Hubungan yang
dekat antara tarekat ini dengan debus juga menunjukkan bagaimana tarekat ini
menyebar dari istana ke masyarakat awam. Tidak memerlukan banyak fantasi untuk
membayangkan raja yang diagungkan ini mengajarkan kepada para tentaranya
doa-doa dan teknik-teknik lain yang—dengan berkah Ahmad Rifa’i dan para wali
lainnya— akan membuat mereka kebal terhadap besi, api dan racun.
Tarekat
Qadiriyah dan Penghormatan kepada Syaikh ‘Abd Al- Qadir Jilani
Popularitas
tarekat Qadiriyah (atau lebih tepatnya, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah) yang
sangat luas di Banten berawal dari paruh kedua abad ke-19, tetapi terdapat
beberapa bukti yang menunjukkan bahwa penghormatan terhadap Syaikh ‘Abd
Al-Qadir Al-Jilani sudah ada sebelum itu. Mungkin—meskipun buktinya tidak
cukup kuat—ini juga menyebar kepada masyarakat umum dari istana, dan
berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan dengan penyebaran tarekat
Rifa’iyah. Rujukan tertulis yang paling awal tentang tarekat Qadiriyah berawal
dari masa pemerintahan Sultan Zainal Asyiqin, yang di bawah
kekuasaannya—sebagaimana kita lihat—tarekat Rifa’iyah mungkin tersebar di
Banten untuk pertama kalinya. Cap raja pada sebuah piagam tahun 1755 menyebut
Sultan “Al-Qadiri”, yang menunjukkan afiliasinya dengan tarekat Qadiriyah.83
Sebuah naskah dari Banten yang lebih kemudian memuat teks ijazah Qadiriyah
yang diberikan kepada penguasa
yang sama pada tahun 1772-3
oleh seorang guru dari Makkah.84 Penghormatan masyarakat terhadap ‘Abd
Al-Qadir disebut untuk pertama kalinya lebih dari satu abad kemudian, tetapi
tidak ada cara untuk mengetahui kapan penghormatan tersebut muncul.
Pada
akhir abad ke-18, perayaan kecil di Banten bagian selatan umumnya disertai
dengan pembacaan secara publik Wawacan Seh, adaptasi berbahasa Jawa atau Sunda
dari manaqib Syaikh ‘Abd Al-Qadir, cerita-cerita penuh teladan dari perbuatan
ajaib sang wali. Hanya teks inilah yang dibacakan pada acara- acara tersebut,
dan teks itu dianggap suci sehingga tidak cocok dilantunkan dalam
konteks-konteks yang berifat duniawi. Versi bahasa Sunda yang merupakan versi
yang relatif baru dibawa dari daerah-daerah Priangan, sementara versi
berbahasa Jawa ternyata adalah milik khas wilayah ini karena mengandung banyak
tata dialek Banten-Cirebon.85 Teks ini dikaji dan diterjemahkan oleh Drewes
dan Poerbatjaraka, dan mereka menilai bahwa dilihat dari ciri kuno bahasanya
maka teks ini pastilah lebih tua. Drewes juga mengajukan dugaan bahwa teks ini
sangat mungkin berawal dari paruh pertama abad ke-17, dengan mengemukakan
bahwa pemujaan terhadap ‘Abd Al-Qadir Al-Jilani mungkin sudah dikenal pada
saat pertama kali dijalinnya hubungan resmi dengan Makkah.86 Namun spekulasi
ini tidak didukung oleh bukti yang langsung.
Pembacaan manaqib masih
sering dilakukan, baik di lingkungan pengikut tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah maupun di lingkungan luarnya. Pembacaan tersebut sebenarnya
bukanlah merupakan bagian dari liturgi tarekat, tetapi semua pengikutnya pasti
pernah beberapa kali menghadiri pembacaan ini. Guru tarekat senior dari Banten
selatan Kiai Kodhim bin Asnawi dari Menes, harus melakukan pembacaan manaqib
hampir seminggu sekali. Sekarang, pembacaan ini dapat dilakukan dalam bahasa
Arab, Sunda ataupun Jawa, tergantung permintaan sponsornya.87 Di wilayah
Serang, pembacaan manaqib tidak hanya merupakan satu bentuk pernyataan syukur
tetapi juga bagian dari ritual yang mengikuti pertunjukan-pertunjukan debus,
sebagai pengganti ratib Rifa’iyah yang dibaca di wilayah Pandeglang. Fungsi
permohonan dari pembacaan manaqib sangat eksplisit di
sini:
ia dibaca untuk meminta perlindungan wali. Pada saat yang sama, para pengamal
merasa berhak mandapatkan perlindungan wali tersebut sebagai pengganti
pembacaan manaqib; yang kebanyakan mereka menyebutnya sebagai bayaran, suatu
quid pro quo.
Munculnya tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten
pada paruh kedua abad ke-19 didokumentasikan dengan baik oleh Sartono
Kartodirdjo sehingga tidak perlu banyak menyita perhatian kita disini.
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, adalah sebuah tarekat baru yang menggabungkan
unsur-unsur dari berbagai tarekat lain. Ia didirikan oleh seorang Indonesia
yang berpengetahuan luas, Ahmad Khatib dari Sambas di Kalimantan Barat, yang
mengajar di Makkah pada perempatan ke tiga abad ke-19. Kapal bertenaga uap dan
terusan Suez secara berangsur-angsur membuat perjalanan pelayaran ke tanah
Arab menjadi lebih mudah pada tahun-tahun itu, dan jumlah orang Indonesia yang
menunaikan ibadah haji, yang sebagian menetap berbulan-bulan atau
bertahun-tahun untuk belajar, semakin
bertambah.88 Barangkali, inilah yang menyebabkan
tarekat baru tersebut menyebar begitu cepat ke sebagian besar wilayah
Indonesia dan mendapatkan pengikut awam dalam jumlah besar. Jumlah pelajar
yang berkumpul di sekitar Ahmad Khatib mungkin melebihi jumlah yang pernah
terjadi sebelumnya. Orang-orang Banten membentuk satu dari kelompok-kelompok
yang paling terkemuka di kalangan orang- orang Indonesia yang berada di
Makkah, dan guru tersebut pasti memiliki beberapa murid yang berasal dari
Banten. Salah satu dari mereka, Abdul Karim dari Tanara, menjadi murid
kesayangan dan asistennya, dan kemudian pada tahun (1876) menggantikan sang
guru sebagai pimpinan tarekat. Beliau adalah syaikh terakhir yang berhasil
menjaga kesatuan tarekat ini; setelah kematiannya tarekat ini terpecah menjadi
beberapa cabang regional yang independen.89
Abdul Karim kembali hanya
dalam waktu singkat ke Banten, dari tahun 1872 sampai 1876, tetapi selama
tahun-tahun itu ia membai’at beberapa murid baru menjadi anggota tarekat ini.
Di Makkah ia tetap berada di pusat jaringan yang besar dan luas yang memiliki
pengikut terbanyaknya di Banten. Ada Komunikasi yang sering antara Banten dan
orang-orang asal Banten yang berada
di Makkah. Para wakil
Abdul Karim di Banten terus menerus menarik pengikut baru. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah Banten, sebuah tarekat mencapai ciri sebuah organisasi
dengan pengikut pedesaan yang demikian luas.
Organisasi tersebut
dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda setelah pemberontakan 1888; beberapa
pemimpinnya dibunuh, sementara yang lain diasingkan ke pulau lain atau
melarikan diri ke luar negeri, untuk akhirnya sampai ke Makkah. Selama
beberapa dasawarsa berikutnya jaringan ini secara berangsur-angsur membangun
dirinya kembali, karena semakin banyak orang-orang Banten yang kembali dari
Makkah. Organisasi ini menjadi terpusat kepada kiai Asnawi dari Caringin, yang
merupakan wakil utama Abdul Karim (satu-satunya khalifahnya yang sesungguhnya
di Banten, menurut putra Asnawi yang bernama Kodhim). Walaupun Kiai Asnawi
sendiri selalu menjaga jarak dengan politik, sebagian keluarganya (termasuk
anaknya, Emed, dan menantunya, Ahmad Khatib) dan para wakilnya terlibat secara
mendalam. Daya tarik kharismatik kiai dan jaringan tarekat ini secara sengaja
dimanfaatkan oleh para pengorganisir pemberontakan 1926. Setelah pemberontakan
ini, kiai Asnawi sendiri dipindahkan ke Batavia, dan sebagian jaringan tarekat
dibubarkan kembali. Beberapa waktu kemudian, beberapa guru tarekat muncul dan
mengklaim diri sebagai khalifah yang sah dari Kiai Asnawi, yang paling
terkenal di antaranya adalah Kiai Abdul Latif bin Ali dari Cibeber, dekat
Cilegon, dan Kiai Falak yang membangun sebuah pesantren di Pangentongan,
Bogor. Namun menurut putra Asnawi sendiri, Kodhim, ayahnya menunjuk Ahmad
Suhari, juga dari Cibeber, sebagai pengganti tunggalnya; sementara yang lain
hanyalah para badal, wakil yang tiingkatannya lebih rendah. Kiai Kodhim, yang
menetap di Menes, kemudian menjadi khalifah dari Ahmad Suhari dan sekarang
merupakan guru tarekat yang paling dihormati di Banten.
Ilmu Gaib,
Kekebalan Tubuh, dan Perdukunan
Tarekat-tarekat yang populer sering kali
disertai dengan praktik-praktik magis, dan Banten bukanlah satu kekecualian
dalam
hal ini. Barangkali lebih tepat untuk mengatakan bahwa mereka yang mengamalkan
berbagai praktik magis gemar menggunakan teknik-teknik dan doa-doa dari
berbagai tarekat yang telah mereka kenal, walaupun hanya secara dangkal.
Banten mempunyai reputasi yang kokoh sebagai tempat bersemayamnya ilmu-ilmu
gaib, dan tidak sedikit orang Banten yang memanfaatkan reputasi ini, dengan
bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh, pemulih patah
tulang, tukang pijat dan tabid, pelancar usaha untuk mendapatkan kekayaan,
kedudukan dan perlindungan supernatural serta kedamaian jiwa.
Kebanyakan
keahlian magis yang berkembang di Banten secara dekat berhubungan dengan
keahlian bermain silat dan dunia jawara, orang-orang kuat yang mendominasi
banyak wilayah pedesaan Banten. Debus, penanaman kekebalan tubuh terhadap api
dan benda-benda besi yang tajam, merupakan bagian yang sangat mencolok dari
teknik-teknik ini, dan para guru debus menggunakan semua jenis praktik magis.
Teknik-teknik mereka merupakan campuran eklektik dari magi Islam dan
pra-Islam, bacaan-bacaan saktinya yang terdiri dari doa-doa Islam yang
berbahasa Arab di samping bacaan-bacaan berbahasa Jawa dan Sunda (jampi untuk
tujuan penyembuhan, jangjawokan untuk kejagoan bermain silat, kekebalan tubuh
atau pelet). Kadang- kadang ada pembedaan antara ngelmu Karang dan
ngelmu Rawayan; ngelmu Rawayan dikaitkan dengan masyarakat Badui dan secara
eksplisit bersifat non-Islam, sedangkan yang ngelmu Karang dikaitkan dengan
Islam, paling tidak secara nominal (meskipun dicurigai kalangan yang
berpandangan ortodoks).90 Keduanya, dan juga bacaan-bacaan Islam kiai,
dipercaya dapat memberikan kekuatan, tetapi pada saat ini dianggap lebih arif
untuk menekankan bahwa ngelmu yang dimiliki betul-betul bercirikan Islam. Yang
mempraktekkan ngelmu Rawayan tersebut, selalu orang lain.
Unsur utama
dalam debus, “permainan” dengan senjata besi tajam yang dengan keras
ditikamkan ke tubuh, jelaslah berasal dari tarekat Rifa’iyah. Senjata tajam
itu masih sama bentuknya (dengan pegangan kayunya yang besar dengan rantai
besi yang dipasangkan) dengan apa yang dapat dilihat di kelompok
penganut
tarekat Rifa’iyah di Turki dan Mesir, dan istilah debus (bahasa Arab; dabbus,
“peniti”, “paku”) adalah nama asli dari benda tajam tersebut. Di wilayah
Pandeglang, sebagaimana telah kita lihat di atas, debus secara eksplisit masih
dihubungkan dengan tarekat Rifa’iyah, tetapi di Banten utara hubungannya lebih
dengan tarekat Qadiriyah. Di kedua wilayah tersebut nama wali besar Syaikh
Samman dapat ditambahkan dalam doa-doa untuk permohonan perlindungan tambahan
(istighatsah), dan berbagai kekuatan magis dapat ditambah dengan membacakan
hizib-hizib tarekat Syadziliyah.
Gambar 2 dan Gambar 3.
Pertunjukkan debus Banten
Ada satu perbedaan yang mencolok
antara debus Banten dan tarekat Rifa’iyah di Timur Tengah dan India: di Banten
benda tajam tersebut walaupun ditikamkan dengan keras, tidak menembus kulit,
sementara di tempat kedua keajaibannya terletak pada tembusnya tubuh namun
tidak menimbulkan bahaya sama sekali.91 Penekanan di Banten (sebagaimana di
tempat lain di Indonesia di mana teknik-teknik yang serupa juga ada) adalah
pada kekebalan tubuh, bukan pada tidak adanya perasaan sakit, dan ini secara
eksplisit dihubungkan dengan keterampilan berperang dan bermain silat.
(Seorang pemain debus yang ulung juga dipercaya kebal terhadap peluru).
Teknik-teknik debus merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari seluruh
keahlian bermain silat yang dimiliki para jawara, sebagaimana juga
teknik-teknik magis (atau psikologis) lainnya untuk tujuan-tujuan seperti
kemampuan menghilang, memukul lawan dari jarak jauh, mengajak ruh harimau dan
kekuatan-kekuatan dahsyat lainnya untuk masuk ke dalam tubuhnya sendiri
(sambatan), atau meminta bantuan jin dan kekuatan supernatural lainnya
(hadiran).
Gambar 4. Alat debus dari Keraton Cirebon
Teknik-teknik
yang berkaitan dengan tarekat hanyalah salah satu bagian dari debus, dan para
guru debus tidak lazim, sebagaimana pendapat Vredenbregt, sekaligus menjadi
syaikh tarekat. Sebagian mereka memang memimpin wiridan berjamaah yang sejenis
tarekat, tetapi tidak seorangpun dari mereka yang merupakan khalifah tarekat
yang sebenarnya. Sebagian yang lain pada umumnya adalah guru-guru silat dan
sama sekali tidak kenal dengan dizikir dan ratib.92 Bacaan-bacaan Islam yang
digunakan, agar menjadi efektif, juga harus “diisi” atau “dibayar” dengan
berpuasa, mandi dengan air yang berasal dari sumber mata air keramat seperti
Sumur Tujuh di lereng Gunung Karang, dan berbagai tirakatan lainnya. Hasil
yang sama dapat, kadang-kadang, dicapai dengan cara yang berbeda: seseorang
mungkin membaca suatu formula (yang sudah “dibayarkan” terlebih dahulu),
memakai jimat (yang juga sudah “diisi”) atau untuk sementara “meminjam”
kekuatan-kekuatan suhunya (yang dipindahkan melalui sebuah jiad, “bacaan yang
memberkahi”.
Debus hanyalah salah satu contoh dari berbagai teknik yang
dikaitkan dengan tarekat yang dipindahkan ke dalam konteks pengertian yang
berbeda dan diterapkan untuk tujuan yang berbeda pula; orang dapat menemukan
banyak contoh lain di Indonesia. Kultus untuk memperoleh kekebalan tubuh
mungkin sudah ada di Banten (sebagaimana ditempat lain di Nusantara) lama
sebelum kedatangan tarekat Rifa’iyah, yang memberikan namanya yang sekarang
(yakni, debus) dan memberikan salah satu dari alat yang dipakai serta beberapa
ratib-nya. Sebagaimana ahli magi lain, pemain debus sangat eklektik; doa,
wirid atau bacaan apa pun yang dipelajari dari seorang guru agama boleh jadi
dicoba keampuhan magisnya dan ditambahkan ke dalam khazanah “ilmu” yang sudah
dimiliki.
Dengan bertambahnya teknik-teknik baru, beberapa teknik- teknik
lama secara berangsur-angsur ditinggalkan. Pak Idris dari Walantaka,
guru senior debus dari Banten utara, telah menghentikan pembacaan Wawacan Seh
sebelum memulai setiap pertunjukan, karena para penontonnya sekarang merasa
sangat bosan mengikuti pembacaan tersebut. Menurut pengakuannya, dia sekarang
membacanya dan berdoa di rumah itu pada waktu
malam sebelum
pertunjukan dimulai. Air suci yang dipersiapkan dengan hati-hati dibawa dalam
sebuah botol plastik. Pengalaman telah menunjukkan bahwa praktik ini juga bisa
dipakai, dan bahwa arwah-arwah masih datang untuk melindungi para pemain.93
Yang lain juga telah menemukan bahwa mereka dapat melakukannya tanpa rnembaca
shalawat atau, untuk hal yang sama, perlengkapan- perlengkapan lain yang
bercorak Islam. Debus sekarang berkem- bang menjadi sebuah pertunjukan rapih,
yang disponsori (dan dijinakkan oleh) Departemen Pendidikan dan kebudayaan,
dan dipertunjukkan atas permintaan pejabat pemerintah lokal dan pengelola
pariwisata di tempat-tempat tertentu, seperti di Benteng Speelman di Banten
lama, beberapa taman hiburan di Jakarta dan terakhir, di sebuah diskotik di
Yogyakarta.
Kemasyhuran ilmu magi Banten telah membuat beberapa guru
debus dan pelakunya juga populer sebagai dukun, dipanggil untuk
memulihkan tulang yang patah atau menyembuhkan
penderitaan fisik dengan jalan pemijatan tetapi khususnya untuk menyembuhkan
penyakit-penyakit atau keluhan-keluhan lain yang dipercayai disebabkan oleh
kekuatan magis atau gangguan ruh- ruh jahat. Dua di antara mereka bahkan
secara teratur melakukan perjalanan ke pulau-pulau luar untuk menangani para
pasiennya, dan praktik perdukunan tersebut semakin menyita waktu mereka.
Masih
ada tokoh yang lain dan lebih populer di Banten, yang melayani pengobatan
secara supernatural, yaitu kiai hikmah. Hik- mah, “kebijaksanaan”, adalah
suatu istilah yang semula digunakan untuk semua jenis pengetahuan yang
bermanfaat dan dimasukkan ke dalam Islam dari berbagai peradaban yang lebih
tua, seperti pengobatan dan filsafat Yunani, atau ilmu magi Babilonia. Di
lndonesia istilah itu merujuk terutama kepada ilmu magi Islam; ia dipraktikkan
oleh para kiai, dan bukan para dukun. Kiai hikmah mungkin juga dapat di
kontraskan, sebagai suatu tipe ideal, dengan kiai kitab guru yang mengajarkan
ilmu-ilmu Islam tekstual, tetapi dia dituntut juga untuk memiliki beberapa
pengetahuan tekstual. Dalam praktiknya, banyak kiai yang mengkombinasikan
kedua peranan ini, dengan campuran yang berbeda.
Kiai hikmah
Banten yang paling terkenal akhir-akhir ini adalah almarhum Ki Armin (KH.
Muhammad Hasan Amin) dari Cibuntu, dekat Pandeglang (w. l988). Dia adalah
kemenakan Kiai Asnawi Caringin. Dia sendiri adalah seorang guru tarekat, yang
telah membai’at banyak pengunjungnya menjadi pengikut tarekat Qadiriyah.
Dengan mengambil jarak dari guru tarekat lain di Banten dia mengaku
berafiliasi dengan beberapa guru di Makkah dan Baghdad, tempat-tempat yang
sering dia kunjungi, daripada dengan pamannya sendiri.94 Dia memimpin sebuah
pesantren kecil dan bergaya lama dengan hanya tiga puluh sampai 40 orang
santri yang berasal dari berbagai daerah di Jawa, yang tampaknya sebagian
besar tertarik pada keahlian Ki Armin, ilmu hikmah, meskipun juga mempelajari
ilmu fiqih. Namun Kiai Armin tidak memiliki banyak waktu untuk para santrinya
karena berbagai layanan lain yang harus dia tunaikan.
Setiap hari
sejumlah besar pengunjung, kebanyakan berasal dari Jawa Barat, menunggu
berjam-jam untuk diterima oleh sang kiai yang mendengarkan secara singkat,
membacakan sebuah doa atau memberi mereka sebuah jimat, dan menerima amplop
yang selalu mereka berikan. Pejabat pemerintah dan tentara berpangkat tinggi,
yang juga sering datang ke Cibuntu, biasanya mendapatkan perlakuan khusus dan
diterima secara pribadi. Di samping membuat para pengunjung lain merasa iri,
perlakuan khusus ini nampaknya memperkuat kepercayaan mereka kepada syaikh dan
keyakinan mereka tentang pengaruhnya di kalangan pejabat tinggi.
Konsultasi-konsultasi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah menegaskan kepada
khalayak ramai bahwa sang kiai ini benar-benar ahli; orang berpangkat demikian
tinggi oleh rakyat kecil dipercayai selalu mencari pelayanan yang terbaik
dalam segala hal.
Banyak cerita yang telah (dan masih terus) diceritakan
tentang kekuatan-kekuatan ajaib sang kiai, kemampuannya untuk melihat apa yang
belum terjadi, karier yang cepat atau kekayaan yang datang secara tiba-tiba
yang terjadi kepada beberapa orang yang telah mendapatkan restunya. Namun
banyak di antara pengunjungnya yang tampaknya tidak memiliki alasan khusus
yang penting untuk mengunjungi sang kiai. Mereka datang karena
kunjungan
itu sendiri diyakini akan mendatangkan berkah. Ki Armin, menurut pengakuan
orang, adalah seorang wali yang sempurna, yang selama beberapa tahun tidak
pernah tidur juga tidak makan. Cara yang paling baik untuk ikut serta
mendapatkan berkah kiai adalah datang pada kamis sore dan menginap di Cibuntu.
Kalau nasib lagi mujur, seseorang mungkin akan dapat bertemu secara pribadi
dengan kiai selama beberapa menit; tetapi kalaupun tidak, ada keuntungan lain
yang telah diperoleh secara batin. Setelah selesai menunaikan shalat subuh
pada hari Jumat, Ki Armin memberikan pengajaran (talqin) tentang dzikir
tarekat Qadiriyah kepada semua pengunjung, yang kemudian masing- masing
menerima sebuah ijazah yang sudah tercetak. Kebanyakan pengunjung juga membawa
botol atau jerigen air, yang diletakkan di Masjid selama waktu shalat dan
talqin, untuk mendapatkan berkah sang kiai.95
Sementara Ki Armin tetap
menjaga hubungan yang sangat baik dengan pejabat pemerintah pada semua
tingkatan dan dengan demikian dikagumi karena pengaruhnya di kalangan
petinggi, orang yang barangkali mungkin merupakan kiai hikmah yang paling
terkenal sekarang justru yang mempunyai reputasi selalu menjaga jarak yang
maksimal dari segala hal yang berbau pemerintah. Ki Dimyati dari Dahu di
Cadasari (sebelah utara Pandeglang), walaupun sama sekali tidak mempunyai
perhatian kepada poiltik, dalam kenyataannya pernah dipenjarakan karena
khotbahnya yang tidak berkenan di mata penguasa selama pemilu 1977. Semua
pengagumnya dengan penuh bangga menceritakan bahwa jaksa penuntut, hakim dan
polisi yang terlibat dalam kasus tersebut semuanya menderita penyakit yang
parah, dan bahwa walaupun sang kiai tidak meninggalkan penjara selama
penahanannya, dia seringkali terlihat di desanya pada saat yang sama. Bantuan
resmi yang sangat banyak memungkinkan ki Armin untuk membangun sebuah masjid
yang unik dan indah di Cibuntu dan mengalirkan listrik dan jalan aspal ke desa
tersebut. Pesantren Ki Dimyati, sebaliknya, tampaknya secara sengaja
dibiarkan dalam keadaan yang parah untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa
dia menolak semua bantuan pemerintah. Apabila seorang pengunjung tidak
langsung memperhatikan hal ini, maka
perhatiannya akan
ditarik di situ oleh seorang santri yang segera menceritakan berapa banyak
pejabat yang telah berkunjung namun gagal menawarkan untuk membangun kembali
pesantren tersebut.
Ki Dimyati mendapat pendidikan di berbagai pesantren
di Jawa Tengah tetapi tidak pernah berhasil berangkat ke Makkah (tapi, dia
sudah merencanakan akan berangkat pada tahun 1993). Di kalangan sesamanya, dia
dikenal karena pengetahuannya dalam semua cabang ilmu agama dan dia
benar-benar menghabiskan waktunya untuk ibadah dan mengajar. Pesantrennya
adalah salah satu pesantren yang paling tradisional di antara yang masih ada,
baik dalam metode pengajaran maupun struktur fisiknya. Semua santri tidur di
sebuah rumah bambu besar di atas jangkungan (rumah panggung); pengajaran
dilakukan di ruang serupa yang berdekatan, di tempat itu pula para santri
menunaikan shalat dan para tamu dapat menginap sepanjang malarn. Tidak ada
radio, surat kabar atau pembicaraan sia-sia di sini, para santri diperintahkan
untuk memenuhi waktu mereka dengan beribadah dan mempelajari teks-teks agama.
Beberapa mata pelajaran yang diajarkan meliputi teks-teks standar dalam ilmu
fiqih, akidah dan akhlak sufi, tetapi juga berbagai hizib tarekat Syadziliyah.
Kiai ini terkenal karena mengajarkan doa-doa yang ampuh ini dan cara yang
tepat dalam membacanya. Walaupun teks dari masing-masing hizib dapat diperoleh
dengan mudah di tempat lain, banyak orang Banten yang meminta ijazah dari Ki
Dimyati untuk membacanya, karena tanpa ijazah daya magis dari hizib tersebut
diyakini tidak akan diperoleh.
Kesimpulan: Evolusi Lembaga-Lembaga
Keislaman di Banten
Beberapa kesimpulan secara hati-hati dapat ditarik
dari pem- bahasan di atas. Pesantren dan tarekat, dua lembaga keislaman yang
paling mencolok pada abad yang lalu, adalah fenomena yang relatif baru, paling
tidak dalam bentuk tertentu yang ada sejak itu. Perkembangan pesatnya
mengikuti keruntuhan kesultanan Banten dan bersamaan dengan tidak adanya
kekuasaan pusat.
Institusi keislaman utama di kesultanan
Banten adalah jabatan qadhi, yang di Banten mempunyai peranan yang jauh lebih
penting daripada di berbagai kerajaan lain di Jawa. Qadhi memimpin suatu
hierarki jabatan keagamaan yang wewenangnya sampai ke daerah pedalaman. Selama
jabatan ini ada, tidak ada bukti adanya ulama independen yang memimpin
pesantren atau mengajarkan tarekat di daerah pinggiran.
Pada masa
kejayaan kesultanan Banten, pendidikan dilaksana- kan di pusat kerajaan dan
disponsori kraton, dan anggota keluarga raja termasuk di antara para pengenyam
utamanya. Pendidikan yang ada di daerah pinggiran sebelum pertengahan abad
ke-19 (dan sebagian pasti sudah ada sebelumnya, karena di sana sudah ada
beberapa orang yang melek huruf di Banten selatan pada akhir abad ke-19)96
mungkin bersifat sangat informal.
Tarekat nampaknya juga merupakan urusan
istana, walaupun beberapa pemujaan yang berhubungan dengannya mungkin telah
merembes ke masyarakat luas. Istana, menurut dugaan saya, menaruh minat kepada
baik kekuatan-kekuatan spiritual yang dijanjikan tarekat maupun kepada
legitimasi yang dapat diberikan- nya kepada sultan yang dapat mengaku telah
mencapai jenis pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk alasan yang sama, istana
mungkin memiliki kepentingan untuk membatasi jumlah orang yang dibai’at masuk
tarekat. Sebaliknya, hubungan beberapa tarekat tertentu dengan istana (yang
paling jelas tarekat Rifa’iyah pada akhir abad ke-18) pastilah telah menaikkan
nilai mereka dalam pandangan masyarakat yang lebih luas. Berbagai unsur
tarekat (bacaan-bacaan tertentu, latihan-latihan pernafasan, debus) secara
sepotong-sepotong mungkin dipinjam atau ditiru oleh masyarakat awam yang tidak
mendapatkan hak secara formal (yakni tidak memegang ijazah dari seorang
syaikh). Unsur-unsur ini, yang kadang-kadang sudah diubah bentuknya dan
seringkali diberi pengertian yang berbeda, menjadi bagian dari gudang simpanan
pengetahuan tradisional yang bersifat mistis magis dari beberapa guru yang
mempunyai keahlian dalam bidang penyembuhan dan kesaktian.
Keadaan ini
berubah bersamaan dengan kemerosotan dan akhirnya keruntuhan kesultanan
Banten. Para guru independen
muncul di daerah pinggiran.
Snouck Hurgronje telah melakukan pengamatan penting yang menunjukkan bahwa
zakat mengalir kepada para ulama independen ini dan bukan kepada
para pangulu yang diangkat oleh Belanda, tetapi
kemunculan ulama independen sebagai suatu kelompok tersebut mungkin
mencerminkan adanya beberapa pergeseran yang sudah terjadi sebelumnya dalam
berbagai sumber daya ekonomi yang memungkinkan beberapa keluarga tertentu
untuk mengirim satu atau lebih anggota keluarganya untuk belajar ke Makkah.
Jumlah pesantren bertambah dengan cepat pada akhir abad ke-
19. Pada saat
yang sama tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mendapatkan banyak pengikut di
desa-desa.
Pembaharuan pendidikan terjadi di dunia pesantren Banten pada
awal abad ke-21. Pada tahun 1916, madrasah Mathla’ul Anwar, madrasah yang
pertama (perguruan Islam dengan beberapa tingkatan kelas-kelas dan kurikulum
yang juga mencakup pelajaran umum, di samping pelajaran-pelajaran agama yang
bersifat tekstual) dibangun di Menes sebagai pelengkap bagi pesantren
tradisional Kenanga. Sembilan tahun kemudian pesantren lain, Al-Khairiyyah
dibangun di Citangkil (Cilegon). Masing-masing pesantren tersebut kemudian
menjadi pusat jaringan madrasah-madrasah yang luas yang dibangun oleh para
alumninya; Mathla’ul Anwar dan Al- Khairiyah bersama-sama yang mengendalikan
ratusan madrasah di seluruh Banten dan diluarnya. Pesantren-pesantren
tradisional secara berangsur-angsur menghilang; beberapa yang masih bertahan
(seperti pesantren Kiai Dimyati yang telah dibicarakan di atas) melayani
fungsi lain yang berbeda dari fungsi rata-rata pesantren seabad yang lalu.
Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang populer mencapai masa kejayaannya di sekitar
pergantian abad ini dan tampaknya telah memperoleh jumlah penganut yang besar
sampai pertengahan abad. Tarekat ini dengan cepat kehilangan popularitasnya
ketika jalan beraspal, cahaya listrik, radio dan televisi masuk ke desa-desa,
sehingga memberikan berbagai cara lain bagi generasi muda untuk menghabiskan
malam-malam mereka yang panjang. Namun di sisi lain, di berbagai kota tarekat
mendapatkan pengikut-pengikut baru. Hancurnya struktur tradisi-
onal,
dan perasaan ketidakpastian moral serta ekonomi yang parah yang dialami oleh
banyak orang, menciptakan suatu kebutuhan baru akan ajaran-ajaran spiritual
dan nasehat-nasehat yang bersifat magis-mistis. Rupanya lembaga-lembaga
tradisional seperti tarekat dan kewibawaan seperti kiai hikmah memiliki fungsi
yang sejajar dengan kelompok-kelompok terapi dan para psikiater, dan jumlah
serta besarnya pengaruh yang dimilikinya di seluruh Jawa nampaknya terus
meningkat. [ ]
Catatan akhir:
1. C.
Snouck Hurgronje, Mekka, II: Aus dem heutigen Leben
(Haag: Nijhoff,
1889), hlm. 375, 362-8.
2. Ambtelijke Adviezen van C.
Snouck Hurgronje, 1889-1936 vol. 2, hlm. 1319 (puasa), 1246-7 (zakat).
Mengenai puasa pada bulan Ramadhan, Snouck melaporkan pengamatan seorang
temannya yang berkebangsaan Indonesia bahwa di Banten semua orang berpuasa,
termasuk anak-anak yang belum baligh dan belum dibebani melakukan kewajiban
melaksanakan syariat agama. Dia berkomentar bahwa hal yang sama tidak dapat
ditemukan di daerah lain di Jawa. Apalagi di seluruh karesidenan. Mengenai
zakat, misalnya, semua petani di Banten membayarnya secara sukarela, sementara
di tempat lain di Jawa pembayaran zakat harus dipaksakan oleh para pejabat.
3.
Sultan yang terakhir, Muhammad Rafi’ Al-Din, diusir dari Banten dan diasingkan
ke Surabaya pada tahun 1832, tetapi Banten sudah kehilangan sisa-sisa
kemerdekaannya pada tahun 1808, ketika Banten benar-benar diintegrasikan ke
dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Namun kesultanan tetap mempertahankan
dengan baik makna-makna simboliknya bagi orang-orang Banten. Lihat Sartono
Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt of Banten in 1888 (The Hague: 1966), hlm.
72-7.
4. Snouck Hurgronje, Adviezen II, hlm. 1246-7
(dalam sebuah laporan yang ditulis tahun 1893).
5.
Lihat H.J. Graaf and Th.G.Th. Pigeaud, De Eerste Moslimse Vorstendommen op
Java (‘s Gravenhage: Nijhoff, 1974), hlm. 177-22. Para pengarang ini, dengan
menambahkan bukti- bukti yang tersedia dari berbagai sumber Jawa dan dengan
spekulasi yang tak terhindarkan, berpendapat bahwa sebuah negara-pelabuhan
muslim didirikan oleh Sunan Gunung Jati di Banten sekitar tahun 1525 dan
negara ini secara berangsur- angsur memperluas daerah kekuasaannya ke arah
timur dan kemudian ke arah selatan, hingga akhirnya menaklukkan Pakuan pada
tahun 1587.
6. “[Daer zijn noch veel
Heydenen die niet Moors gheworden zijn.” Lihat Rouffaer and J.W. Ijzerman
(eds.), De Eerste Schipvaar Nederlanders naar Oost-Indie onder Cornelis de
Houtman (1596-1597) (3 vol.,’s Gravenhage: Nijhoff, 1915- 1929), vol. II hlm.
27.
7. Idem, vol I, hlm. 128-9. Para imigran ini tidak
memakan barang yang bernyawa (vegetarian) dan percaya pada reinkarnasi,
“sebagaimana semua orang Jawa, sebelum mereka masuk Islam”. Mereka melarikan
diri dari siksaan yang dilakukan oleh penguasa Pasuruan. Editor yang
berpengetahuan luas, Rouffaer, menyimpulkan bahwa mereka ini adalah orang-
orang Tengger dan menduga bahwa mungkin ada hubungan dengan orang Badui
sekarang (meskipun yang terakhir ini tinggal jauh lebih di sebelah
selatan).
8. Hoesein Djajadiningrat, Critishce
beschouwing van de Sadjarah Banten (Haarlem: Joh. Enschede en Zonen, 1913),
hlm. 49-52, 174-7 (pupuh 37-42). Teks berbahasa Jawa dari karya penting ini
baru-baru ini disunting oleh Titik Pudjiastuti: Sajarah Barden: Edisi Kritik
Teks (Tesis, Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 1991).
Versi yang sudah disunting ini agak berbeda dalam detailnya dari teks yang
dipakai oleh Djajadiningrat.
9. Ketika Sultan Abul
Mafakhir meninggal pada tahun 1651, dia digantikan oleh seorang cucunya yang
semula menggunakan gelar, Pangeran Ratu. Dia mengirim utusan lain ke Makkah
yang ketika pulang membawakan nama dan gelar baru untuknya, yakni Sultan Abul
Fath Abdul Fattall (Djajadiningrat, Crisitische beschouwing, hlm. 66-7).
10.
Judul yang diberikan kepada teks-teks ini adalah Marqum (berarti “tulisan”,
ini jelas merupakan judul yang tidak lengkap). Muntahi (“Orang yang ahli”,
yang merupakan judul salah satu karya prosa Hamzah Fansuri), dan Wujudiyyah
(Pudjiastuti, Sajarah, pupuh 37.7, 42.26; bdk. Djajadiningrat, Critische
beschouwing hlm. 50, 174-5). Istilah Wujudiyyah biasanya merujuk kepada jenis
tasawuf monistik yang diwakili oleh Hamzah Fansuri,
karena itu kita mungkin
seharusnya membaca
Kitab Wujudiyah, yakni sebuah kitab atau beberapa kitab yang menerangkan
ajaran Karya Hamzah Fansuri, Al-Muntahi, disunting dan diterjemahkan dalam
Syed M, Naquib Al-Attas. The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur:
University of Malaya Press, 1970), hlm. 329-53, 448-
72. Terjemahan
berbahasa Jawa dariMuntahi’ ini dikenal di Banten, mungkin sejak abad ke-17,
Lihat G.W.J Drewes dan
L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri
(Dordrecht Foris publications, 1986), hlm. 251-2.
11.
Sajarah Banten berbicara tentang Syaikh lbnu ‘Alan (pupuh 39.27; bdk.
Djajadiningrat hlm.51). Orang ini pastilah ulama hadis Muhammad ‘Ali bin ‘Alan
(w. 1647). Ibnu ‘Alan ini tidak boleh dikacaukan dengan pamannya, Syaikh
tarekat Naqsyabandiyyah, yang terkenal Ahmad ibn Ibrahim ibn ‘Alan, yang
memang lebih dikenal di Indonesia dan wafat pada tahun 1624 (bdk. Martin van
Bruinessen. Tarekat Naqsyabaudiyyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992, hlm.
55-58). Sebuah catatan tentang Muhammad ‘Ali Ibn ‘Alan dan surat penghargaan
keilmuannya dapat ditemukan dalam kamus biografis Muhammad Muhibbi Khulashah
Al-Atsar fi A’yan Al-Qarn Al-Hadi ‘Asyar jilid IV, hlm. 184-9.
12.
AzyumardiAzra, The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of
Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the Sevententh and Eightenth
Centuries (tesis Ph.D, Columbia University, New York, 1992), hlm. 463 n39,
yang merujuk kepada karya P. Voorhoeve, Handlist of Arabic Manuscripts...
(Leiden: University Press, 1990), hlm. 204-5. Risalah Ibn ‘Alan berjudul
Al-Mawahib Al-Rabbaniyyah ‘an Al- As’ilah Al-Jawiyyah (“Hadiah-hadiah Ilahi:
Tentang beberapa Pertanyaan dari Jawa”). Atas permintaan Sultan Abul Ma’ali
Ahmad, yang merupakan penguasa pendamping [co-ruler] ayahnya dari tahun 1640
sampai kematiannya pada tahun 1650), (Ibnu ‘Alan juga menulis sebuah komentar
polemis atau lebih tepatnya menyalin komentar yang ditulis oleh Ahmad
Al-Qusyasyi) tentang beberapa bagian dari penjelasan Al-Jili mengenai tasawuf
monistik yang sangat terkenal, Al-Insan
Al-Kamil (Voorhoeve,
Handlist, hlm. 130-1; bdk. Catatan ringkasVoorhoeve dalam BKI 109 [1953], hlm
191).
13. Al-Lama’an fi Takfir Man Qala Al-Qur’an
(“Cahaya Terang: Menerangkan tentang kafirnya orang yang mengatakan Al- Quran
adalah makhluk”), dideskripsikan secara ringkas oleh Ahmad Daudy dalam Allah
dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry (Jakarta: CV Rajawali,
1983), hlm. 55-6; bdk. Azra, Op.cit, hlm 365. Risalah polemis ini ditujukan
untuk menyerang doktrin Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an dicipta- kan dan bukan
sesuatu yang qadim, satu interpretasi yang diungkapkan secara hati-hati dan
dipertahankan oleh Hamzah dalam bukunya Asrar Al-‘Arifin (Al-Attas, Hamzah
Fansuri. hlm. 248-9).
14. “Syaikh” adalah, tentu saja,
istilah yang sangat umum diguna- kan bagi para ahli agama yang dihormati.
Penyebutan dengan istilah ceque menunjukkan bahwa laporan tersebut sampai ke
Belanda melalui perantaraan orang-orang Portugis. Peng- gunaan istilah ini
oleh penerjemah atau para pedagang Portugis di Banten tentu saja tidak
menjamin bahwa orang- orang Banten sendiri memakai istilah tersebut.
15.
Orang bisa tergoda untuk menginterpretasikan “Kyahi Ali” sebagai nama
seseorang, dan penggunaan pertama istilah tersebut mungkin merujuk kepada
orang yang sama (guru agama dari Maulana Yusuf dan Maulana Muhammad). Namun
dalam alinea selanjutnya (pupuh 55) kita membaca adanya orang-orang yang
“menjadi Ali”, dalam pengertian— yang tidak mungkin salah dari—menggantikan
jabatan qadhi.
16. Pakih (bahasa Arab, faqih) berarti
“ahli fiqih”; Najmuddin adalah sebuah nama pribadi yang cukup umum (pribadi
paling terkenal memakai nama ini, sufi Asia Tengah abad ke- 13, Najmuddin
Al-Kubra, dipercaya sebagai guru dari pendiri dinasti penguasa Banten, sebagai
mana yang akan kita lihat di bawah). Sajarah Banten menyebut seorang Ki Pakih
(tanpa tambahan Najmuddin) pada tahun 1638. Sumber VOC belakangan dari
berbagai periode menyebutkan beberapa qadhi yang disebut dengan nama Ki Pakih
Najmuddin, tetapi
kita juga menjumpai beberapa nama lain,
seperti Pangeran Kali Syamsudin dan “Pendeta Tajuddin yang sangat terkenal”
(P.J.B.C. Robide Van der Aa, “De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der
Vorige Eeuw”, BKI 29 (1881), hlm. 67, 73.) Nama yang terakhir ini (Tajuddin),
walaupun memang ada, mungkin saja merupakan penyimpangan dari Najmuddin.
17.
Rouffaer dan Ijzerman, vol. I, teks di halaman belakang Plate 13.
18.
Djajadiningrat, Critische beschouwing, hlm. 50-1.
19.
Djajadiningrat, Critische beschouwing, hlm. 66. Entol adalah sebuah gelar bagi
bangsawan rendah di Banten sebelah selatan; mereka ini disebut demikian karena
adalah keturunan, yang bukan dari keluarga raja tetapi dari seorang Joh, salah
seorang yang pertama masuk Islam (R.A. Kern, “Soendasche adatrechtstermen”,
Adatrechtbundel 8, 1914, hlm. 101).
20. Djajadiningrat,
Critische beshouwing, hlm. 37-9; Pudjiastuti,
Sajarah Banten, pupuh
24.
21. Djajadiningrat, Critische beshouwing, hlm.
37-41.
22. “…..kang kinen tunggu nagara, Kiyahi Ali ika
….” Pudjiastuti, Sajarah Banten, pupuh 25. 14; bdk. Djajadingrat, Sajarah
Banten, hlm. 39.
23. J.K.J. de Jonge, De opkomst van
het Nederlandsch gezag in Oost-Indie, vol. 8 (‘s Gravenhage: Nijhoff, 1875),
hlm. 213, 216-7.
24. Robide van der Aa, art. cit., hlm.
73n.
25. Rouffaer dan Ijzerman, Eerste Schipvaart; Vol.
I, Plate 13.
26. Djajadiningrat, Critische beschouwing,
hlm. 54-5.
27. J. de Rovere van Breugel, “Bantam in
1786”, BKI 5, 1856, hlm. 161 (sebuah laporan tahun 1786); Robidé van der Aa,
art, cit., hlm. 114 (yang mengutip W.H.van Ossenberch pada tahun 1786).
28.
Perpustakaan Universitas Leiden Cod. Or. 5625, 5625, 5626, 5627, dan 5628,
dideskripsikan dalam Th. G. Th. Pigeaud, Literature of Java (3 vol., The
Hague: Nijhoff, 1967-1970), I, hlm. 322. Satu
halaman contoh dari volume terakhir
direproduksi
sebagai Plate 40 dalam volume III dan sebagian ditransliterasikan di sana pada
halaman 77-8.
29. Demikian Van Gollonesse pada tahun
1734 (Robidé van der Aa, Op cit., hlm. 67).
30. Memorie
van Overgave dari W.H. van Ossenberch, 1761, dalam: Robidé van der Aa, art.
Cit., hlm. 114 (cetak miring oleh penulis).
31. Bdk.
A.C. Milner, “Islam and the Muslim state”, dalam M.B. Hooker (ed), Islam in
South-East Asia (Leiden: Brill, 1983), hlm. 27-8; Anthony Reid, Southeast Asia
in the Age of Commerce 1450-1680, vol. I: The Lands Below the Winds (New
Haven: Yale University Press, 1988), hlm. 142-5. Reid secara kebetulan
mencatat (mengutip pelaut Inggris William Dampier) bahwa di bawah kekuasaan
Sultan Ageng para pencuri dihukum dengan hukuman potongan tangan di Banten.
32.
Tentang kitab-kitab fiqih dan berbagai disiplin ilmu keislaman lainnya yang
dikenal di Jawa selama periode ini, lihat Martin van Bruinessen, “Pesantren
dan Kitab Kuning” dalam buku ini.
33. F. De Haan, “Uit
oude notarispapieren, I” TBG 42 (1900), hlm. 297-308, mengurutkan beberapa
koleksi penting dari manuskrip-manuskrip berbahasa Jawa dan Melayu yang
ditinggalkan oleh de Saint Martin. Sayangnya, semua naskah tersebut sudah
hilang, sebagaimana dinyatakan oleh P. Voorhoeve (“A Malay Scriptorium”,
dalam: J. Bastin dan R. Roolvink (ed.), Malayan and Indonesian Studies,
Oxford: Clarendon Press, 1964, hlm. 255-66).
34. Leiden
Cod. Or. 5598. Pigeaud (literature, Vol. II) merdeskripsi- kannya sebagai
“Buku Pegangan tentang peraturan-peraturan Sultan Banten (…) untuk kedamaian
dan ketertiban di Banten, istana dan kota. Buku tersebut menyebutkan beberapa
sultan dan Pangeran; denda dan hukuman, ta’zir; beberapa
perjanjian/kesepakatan dengan VOC.”
35. J. de Rovere
van Breugel, “Beschrijving van Bantam en de Lampongs”, BKI 5 (1856), hlm.
335.
36. Di bawah administrasi Belanda,
dilakukan pembedaan antara pangulu masjid dan pangulu landrat, yang merupakan
hakim Islam (angota penasehat landrat atau pengadilan daerah, dan pimpinan
“priesterraad” atau pengadilan Muslim yang memutuskan perkara perceraian,
pewarisan dan wakaf). Akan namapk bahwa di Banten, baik di bawah kekuasaan
sultan Banten maupun kekuasaan Belanda, orang yang sama melaksanakan semua
fungsi ini (termasuk fungsi sebagai amil).
37.
Kartodirdjo, Peasants’ Revolt, hlm. 72-4, 102-3. Bdk. Snouck Hurgronje,
Adviezen I, hlm. 772-3; II, hlm. 1246-7.
38. Pangeran
Aria Achmad Djajadiningrat, walaupun putra seorang priyayi, dalam usia
anak-anak pada tahun 1880-an dikirim ke sebuah pesantren dan mewariskan
deskripsi yang menarik tentang bagaimana kadaan lembaga tersebut pada masa
itu: “Het leven in een pasantren”, Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur
43, 1908, 1-22; bdk. Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat
(Amsterdam- Batavia: G. Kolff & Co., 1936), hlm. 20-4.
39.
Van Bruinessen, “Pesantren dan Kitab Kuning’.
40.
G.W.J. Drewes, The Admonitions of Seh Bari (The Hague: Nijhoff, 1969), hlm.
11. Teks abad ke-16 tersebut, yang sebelumnya dikenal dengan “Kitab Bonang”,
berisi ajaran- ajaran dari seorang Seh [‘Abd Al-] Bari. Dengan merujuk kepada
suatu naskah dari Banyumas yang jauh lebih kemudian (abad ke-19?) yang
menyebutkan seorang Seh Bari dari Karang, Drewes mengasumsikan bahwa ini
pastilah orang yang sama dan, dengan mengabaikan adanya beberapa tempat lain
yang juga bernama Karang, menempatkannya di Banten.
41.
Pada tahun 1675, misalnya, Wakil Belanda di Banten melaporkan kedatangan
seorang “pendeta” (paep) dari Ternate, yang berangkat ke Banten untuk menerima
pengajaran lebih mendalam tentang “agama bangsa Moor” F. de Han, Preanger (4
vol., Batavia: Bataviaasch Genootschap, 1910-12), volume 3, hlm. 239.
42.
Rouffaer dan Ijzerman, De Eerste schipvaart, II, hlm 27.
43.
Pudjiastuti, Sajarah Banten, pupuh 22.8-10; bdk. Dajadiningrat,
Critische
beschouwing, hlm. 36-7.
44. De Rovere van Breugel,
“Bantam in 1786”, hlm. 161. Pengarang ini, yang sudah menetap di Banten selama
tujuh tahun ketika dia menulis laporan ini, mencatat tentang Sultan, yang cara
bertindak dan seleranya yang sejak permulaan sudah sangat menyerupai orang
Barat, semakin berada di bawah pengaruh ulama asing yang belum lama datang ke
sana (ibid., hlm. 153-4).
45. C.M. Pleyte, (1910),
“Bantensch Folklore,”. TBG 52, 1910, hlm. 150-2.
46.
J.A. van der Chijs, “Bijdragen tot de geschiedenis van het inlandsch
onderwijs”, TBG 14 (1864), hlm.215.
47. Wawancara
dengan satu-satunya putra Asnawi yang masih hidup, Kiai Kodhim, Menes, 25
Januari 1993.
48. Djajadiningrat, Herinneringen, hlm.
9.
49. Dua dari doa panjang yang sangat terkenal adalah
hizib Al- Bahr (yang dipercaya, di samping untuk kegunaan yang lain, dapat
melindungi orang-orang yang bepergian di laut) yang disusun oleh pendiri
tarekat ini, dan Dalâil Al-Khairât yang disusun oleh seorang sufi Afrika Utara
abad ke-15, Muhammad Al-Jazuli. Adalah umum dipercaya di Indonesia, tempat
doa- doa ini diamalkan secara luas, bahwa kegunaan magisnya hanya dapat
“dibeli” dengan berpuasa atau pengekangan diri lainnya di bawah bimbingan
seorang guru.
50. Lihat, misalnya, A.C. Milner, “Islam
and the Muslim State”, dalam H.B. Hooker (ed), Islam in Southeast Asia,
(Leiden: Brill, 1983), hlm. 23-49.
51. Anthony H.
Johns, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”, Journal of
Southeast Asian History 2/ii (1961), hlm. 14. Bdk. Johns, “Islam in Southeast
Asia: Reflections and New Direction”, Indonesia 19, 1975,. hlm. 37.
52.
Di samping Sajarah Banten yang utama, yang dianalisis oleh Hoesein
Djajadiningrat, kita juga akan menggunakan teks gabungan
yang disebut Sajarah Banten rante-rante
oleh
Djajadiningrat, yang disunting, bersama-sama dengan terjemahan berbahasa
Melayunya, dalam: Jan Edel, Hikajat Hasanoeddin (Meppel: B. ten Brink,
1938).
53. “[Molana] kesah Madinah ngunjungi Rasul,
mangkana ika tumulya, winuruk ilmu kang sopi. Winuruk elmu sampurna, lawan
lampah sampurna iku malih, lawan telkin jikir ika, lan kalawan qirqas malih.”
(Sajarah Banten, pupuh 17, pada hlm. 197 dalam edisi Pudjiastuti). Pesannya
sedikit berbeda dalam edisi Sajarah Banten rante-rante yang dimuat dalam karya
Edel: Maka nunten kesah ing Madinah, maka kang putra winuruk ‘ilmu kang
sampurna, lan bai’at, kalayan silsilah, kalayan wirid, kalayan tarekat
Naqsyabandiyyah, kalayan dzikir, lan talkin dzkir, kalayan khirqah, kalayan
sughul”. (Hikajat Hasanoeddin, hlm. 37, ejaan disesuaikan).
54.
Djajadiningrat, Critische beschouwing, hlm. 144-7
55.
Hoesein Djajadiningrat tidak menyebut bai’at Naqsyabandiyah dalam ringkasan
Saejarah Banten yang disusunnya. Hal inilah yang membuat saya keliru
menyimpulkan dalam sebuah artikel terdahulu bahwa tarekat Naqsyabandiyyah
menjadi dikenal di lingkungan istana Banten beberapa waktu setelah 1662
(Martin van Bruinessen, “The origins and Development of the Naqshabandi Order
in lndonesia”, Der Islam 67, 1990, hlm 159).
56. Lihat
van Bruinessen, “The Origins”, hlm. 153-6; idem. Tarekat Naqsyabandiyyah, hlm.
56-9.
57. Tradisi masyarakat Banten, mungkin karena
persaingannya dengan Cirebon, menganggap Maulana Hasanuddin bukan bapaknya
sunan Gunung Jati, sebagai penguasa Muslim pertama di Banten. Ini bukanlah
satu-satunya kasus tentang pengetahuan mistis yang diatribusikan kepada
dirinya setelah kematiannya. Para pengamal teknik-teknik kekebalan tubuh,
debus sekarang ini, yang aslinya berkaitan dengan tarekat Rifa’iyah dan
Qadiriyah dan mungkin menjadi populer pada abad ke-18 (lihat halaman
selanjutnya), juga mengklaim bahwa ilmu rahasia mereka berasal dari Maulana
Hasanuddin.
58. Edel, Hikajat Hasanoeddin,
hlm. 137-41. Terdapat laporan yang sama dalam Babad Cirebon edisi Brandes.
59.
Nama-nama dalam silsilah tersebut, terlepas dari kesalahan eja dan tidak
termuatnya dua nama, sama dengan silsilah yang ditemukan dalam sumber-sumber
tarekat Kubrawiyah. Tentang Najmuddin Kubra dan Kubrawiyyah, lihat: H. Algar
“Kubra”, Encyclopaedia of Islam; J. Spencer Trimingham, The Sufi Order in
Islam (London: Oxford University Press, 1973), hlm. 55-8.
60.
Tentang kehidupan, pendidikan, dan beberapa karya tulis Yusuf, lihat: Azra,
Transmission of Islamic Reformism, hlm. 416-58; Tudjimah cs, Syekh Yusuf
Makassar: Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1987).
61. Laporan dari Caeff, wakil
VOC di Banten, dalam de Jonge, Opkomst, vol. 6, hlm. 211 (juga de Haan,
Preanger, vol 3, hlm. 239). Abun Nasr, menurut laporan tersebut, bermaksud
menjadi seorang “pendeta”, tetapi tetap tidak jelas sejauh mana komitmen
keagamaannya dan orientasi ke-Arabannya karena pengaruh syaikh Yusuf. Dia
memerintahkan orang- orang Banten agar mengenakan pakaian bergaya Arab sebagai
pengganti pakaian pribumi. Pada tahun 1674 dia dikirim ke Makkah, dan kembali
pada tahun 1676, yang menunjukkan bahwa dia menuntut ilmu di sana di samping
menunaikan ibadah haji selama dua kali.
62. Laporan
Caeff bertanggal 4 Maret 1676, ibid, hlm. 239.
63. De
Haan, Preanger, vol. 3, hlm. 238-78.
64. Martin van
Bruinessen, “The Tariqa Khalwatiyya in South Celebes”, dalam H.A. Poeze dan P.
Schoorl (ed.), Excursies in Celebes (Leiden: KITLV Uitgeverij, 1991), hlm.
252-69, khususnya 258-60. Diterjemahkan dan dimuat dalam buku ini, “Tarekat
Khalwatiyah di Sulawesi Selatan”.
65. P. Voorhoeve,
“Bajan Tadjalli”, TBG 85 (1952-1957), hlm. 108. Salinan-salinan tersebut
dibuat pada tahun 1745, selama dia menetap di Makkah.
66.
Perpustakaan Nasional Jakarta, ms. A 31d dan A III, secara berturut-turut
(dideskripsikan secara ringkas dalam R. Friederich & L. W. C. van den
Berg, Codicum Arabicorum … Catalogum. Batavia/ The Hague, 1873)
67.
Drewes dan Brakel, The Poem of Hamzah Fansuri, hlm. 226.
68.
Leiden Cod. Or. 7327 (Syattariyah), 7337 (Khalwatiyah dan Naqsyabandiyah).
Dalam bukunya Masyâhid Al-Nasik dia mengungkapkan dirinya sendiri sebagai
“Al-Syattari”.
69. Leiden Cod. Or. 7337, fol. 18b-19b.
Sayang sekali, bagian pertama dari silsilah tersebut tidak lengkap; ia
menyebut nama-nama berikut ini: Abdullah bin Abdul Qahhar— Ibrahim—Muhammad
Thahir Al-Madani [putra dan penganti Ibrahim Al-Kurani, Abu Tahir
Muhammad?]—abahnya, yaitu Muhammad Thahir [nama ini hanya mungkin merujuk
kepada Ibrahim Al-Kurani sendiri]—Ahmad Al-Qusyasyi—Ahmad Al- Syinnawi, dan
seterusnya.
70. Leiden Cod. Or. 7327. Demikianlah
silsilah dimulai: Abdullah bin abdul Qahhar—[M.b.] ‘Ali Al-Thabari—‘Abd
Al-Wahab b. ‘Abd Al-Ghani Al-Hindi—Shalih Hatib—Ahmad Al-Qusyasyi— Ahmad
Al-Syinnawi, dan seterusnya.
71. Leiden Cod. Or. 7337,
fol. 2b.
72. Tarian yang disebut tari Saman (Samman)
juga dikenal di wilayah lain di Indonesia. Di Banten tarian Saman sudah hampir
punah.
73. Tentang debus di Banten lihat J.
Vredenbregt, “Debus in West Java”, BKI 129 (1973), hlm. 302-20, dan pengamatan
di bawah.
74. Dua salinan dari ratib Rifa’iyah yang
berasal dari Banten tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta (Ms. A 218 dan
A 673; yang kedua nampak diletakkan di tempat yang salah ketika saya berusaha
memeriksanya). Saya melihat ratib yang hampir sama di desa Sekong (lihat di
bawah). Fotokopi dua ratib lainnya tetapi serupa dengan naskah Rifa’iyah, dari
berbagai desa di Pandeglang di mana ratib tersebut masih dibaca, dengan baik
hati diberikan kepada saya oleh Makmun Muzakki, seorang mahasiswa Sastra Arab
yang mempersiapkan tesis tentang Rifa’iyah (Tarekat dan Debus Rifa’iyah di
Banten,
Skripsi Fak. Sastra, Universitas Indonesia, 1990).
Muzakki menyebutkan sejumlah naskah yang serupa yang tidak boleh dia
fotokopi.
75. Kasus lain adalah desa Kadudodol,
diungkapkan secara panjang lebar dalam Muzakki, Tarekat dan Debus Rifa’iyah,
bab 4.
76. Nama Al-Madad yang diberikan kepada debus di
sini berasal dari isi doa yang dibaca, di dalam mana nama setiap wali diikuti
dengan kata al-madad, “bantuan”: Ya sayyidi Ahmad Ar-Rifa’i al-madad syai’un
li’llah, dan seterusnya.
77. Wawancara dengan Mbah
Junaed, Sekong, 23 Januari 1993.
78. Dalam satu naskah
yang fotokopinya saya miliki, daftar tersebut diikuti dengan rangkaian doa
aktual: kebanyakan daftar yang sama, kecuali untuk fakta bahwa beberapa wali
diminta lebih dari satu kali, disebut ke dalam berbagai bagian. Ahmad Rifa’i,
misalnya, diminta dengan namanya yang sebenarnya tetapi juga sebagai mubarid
al-nar (orang yang mendinginkan api), mulayyin al-hadid (orang yang melunakkan
besi), dan mushaffi samm al-afa’il (orang yang menyembuhkan bisa ular).
79.
Ahmad Al-Badawi, Ibrahim Al-Dasuqi, Ahmad b. ‘Alwan dan Abu Bakr Al-‘Aidarus.
Tempat tiga orang yang pertama dalam perkembangan tarekat Rifa’iyah
ditunjukkan dalam bagan di dalam buku karya Trimingham, Sufi Orders, hlm. 47.
Orang yang keempat sangat dikenal karena leluhur dari tarekat keluarganya
sendiri, tarekat ‘Aidarusiyah, tetapi tampaknya juga menjadi penganut tarekat
Rifa’iyah, karena Nuruddin Al-Raniri menelusuri jejak silsilah Rifa’iyahnya
melalui dia dan keturunannya di India. Lihat S.M. Naquib Al-Attas, A
Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986),
hlm. 15.
80. Satu atau dua nama dari beberapa orang
yang kurang terkenal mungkin termasuk di dalamnya (karena dalam beberapa
naskah—yang tidak semuanya persis sama, masih terdapat beberapa nama lain,
dari orang yang kurang terkenal), dan daftar tersebut diakhiri dengan
perkataan “bapak kami”.
81. Juga dalam
ratib, ruh Zainal Asyiqin dipanggil; sementara Aliyuddin tidak.
82.
Istilah khalifah sebenarnya, dapat memiliki berbagai makna dan ternyata telah
digunakan (dalam bentuk gabungan kata khalifatullah, “wakil Allah”) sebagai
gelar seorang raja di be- berapa kerajaan muslim di Indonesia. Namun dalam
konteks pembicaraan kita sekarang pengertiannya menjadi sempit.
83.
Th. G. Th. Pigeaud, “Afkondigingen van Soeltans van Banten voor Lampoeng”,
Djawa 9 (1929), hlm. 157. Kita tidak dapat memutuskan apakah dia penguasa
Banten yang pertama- tama menjadi penganut tarekat Qadiriyah karena kita tidak
menemukan stempel para pendahulunya.
84. Leiden Cod.
Or. 1842 (bdk. Voorhoeve, Handlist hlm. 463). Guru tersebut adalah Muhammad b.
‘Ali Al-Thabari, Abdullah bin Abdul Qahhar juga menerima tarekat Syattariyah
juga dari orang yang sama.
85. J.J. Meyer, “Proeve van
Zuid-Bantensche poezie”, BKI 39 (1890), hlm. 469-71.
86.
G.W.J. Drewes dan R. Ng. Poerbatjaraka, De Mirakelen van Abdoelkadir Djaelani
(Bandoeng: A.C. Nix & C., 1938), hlm. 10-13.
87.
Wawancara, 25 Januari 1993.
88. Untuk Statistik lihat
J. Vredenbregt, “The Hadjj: some of its features and functions in Indonesia”,
BKI 118 (1962), 91-154;
F.G.P. Jaquet, “Muntiny en hadji-ordonnantie:
ervaringen met 19e eeuwse bronnen”, BKI 136 (1980), 283-312.
89.
Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, hlm. 89-96.
90.
Rawayan adalah nama pusat pemukiman Badui yang sudah tidak ada lagi sekarang;
nama ini sering digunakan sebagai sinonim dari Badui. Beberapa informan saya
menghubungkan ngelmu Karang dengan Gunung Karang, tetapi pada awal abad ke-19
tempat tersebut juga merupakan nama sebuah desa non-Muslim yang berada di luar
wilayah Badui, yang para penduduknya secara kultural berada diantara orang
Badui dan orang Banten Muslim.
91. Ini
berbeda dengan pertunjukan di masa lalu: C. Poensen menggambarkan suatu
pertunjukan debus yang dia lihat pada tahun 1886, di mana sebuah paku besar
menembus tubuh (“Het Daboes van Santri-Soenda”, Med. Ned. Zend. Gen. 32, 1888,
hlm. 253-9). Beberapa pemain debus Banten sekarang juga menggunakan besi
runcing yang lebih kecil, atau jarum- jarum besar, yang mereka tembuskan ke
lengan, bahu, leher dan lidah, walaupun tidak dalam di bawah kulit. Namun, ini
hanyalah bagian tambahan dari sebuah pertunjukan debus dan tidak pernah
menjadi tindakan yang utama, yang menggambarkan kekebalan tubuh.
92.
Demikianlah guru saya sendiri, H. Tubagus Djaeni dari Tanjung Priok (aslinya
dari Serang), serta Aki Olot dan Pak Khatib, keduanya dari desa Kadomas
(Pandeglang). Saya berhutang budi kepada Pak Djaeni yang telah memperkenalkan
saya kepada para rekannya.
93. Wawancara, Walantaka, 23
Januari 1993.
94. Guru-guru Ki Armin adalah: ‘Umar b.
Hamdan dan ‘Ali Nahari di Makkah (ulama terkenal yang, secara kebetulan, tidak
disebut sebagai guru tarekat Qadiriyah oleh sumber yang lain), dan di Baghdad
seorang yang bernama ‘Abd Al-Karim atau Al-Baqi Al-Baghdadi.
95.
Observasi ini dilakukan selama kunjungan dua malam Jumat ke Cibuntu pada tahun
1984.
96. Meijer, “Proeve van Zuid-Bantensche Poezie”,
hlm. 470.
STUDI TASAWUF PADA AKHIR ABAD KE-18: AMALAN DAN BACAAN
‘ABD AL-SAMAD AL-FALIMBANI, NAFIS AL-BANJARI DAN TAREKAT SAMMANIYAH
Sammaniyah, sebagai tarekat baru, mulai menyebar ke Indonesia
pada penghujung abad ke-18. Tarekat ini, yang penamaannya mengacu pada nama
Syaikh Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Samman, merupakan perpaduan dari
metode-metode dan bacaan-bacaan berbagai tarekat, Khalwatiyah, Qadiriyah,
Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Tarekat Sammaniyah, agaknya, tarekat pertama
yang memperoleh pengikut dalam jumlah begitu besar di Nusantara. Tarekat ini
sangat merakyat di daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, dan telah
berperan dalam perlawanan antipenjajah di sana.1 Di Sulawesi Selatan, di mana
tarekat Khalwatiyah sudah terkenal sejak zaman Syaikh Yusuf Makassar, tarekat
Sammaniyah lebih dikenal dengan nama Khalwatiyah-Samman dan sampai sekarang
sangat berpengaruh.2 Walaupun Syaikh Samman pada zamannya cukup terkenal
dan mempunyai murid dari mana-mana, pada masa kini kita menemukan pengikut
tarekat Sammaniyah dalam jumlah berarti hanya di Sudan dan di Indonesia
saja.
Dua tokoh yang sangat berperan dalam penyebaran tarekat Sammaniyah
ke Nusantara adalah dua ahli tasawuf besar paruh kedua abad ke-18, ‘Abd
Al-Samad Al-Falimbani dan Nafis Al- Banjari. Yang paling terkenal dan yang
paling produktif sebagai penulis, tentu saja, ‘Abd Al-Samad, pengarang dua
kitab tasawuf berbahasa Melayu yang paling populer, Hidayah Al-Salikin dan
Sair Al-Salikin. ‘Abd Al-Samad masih sempat berguru kepada Syaikh Samman
sendiri (yang wafat di Makkah pada tahun 1775).
Nafis hanya
menulis dua kitab kecil yang tak banyak beredar di luar Kalimantan Selatan,
namun isinya cukup menarik. Tokoh lain yang berperan dalam penyebaran kultus
(pemujaan) Syaikh Samman di Nusantara berasal dari Palembang juga, Muhammad
Muhyiddin bin Syihabuddin Al-Falimbani. Ia menerjemahkan sebuah kitab manaqib
yang menceritakan keajaiban-keajaiban Syaikh Samman dalam bahasa Melayu,
dengan menambah beberapa riwayat yang menyangkut penganut Sammaniyah dari
Nusantara.
Beberapa ulama terkenal lainnya juga disebut telah masuk
tarekat Sammaniyah, seperti M. Arsyad Al-Banjari dan Da’ud bin ‘Abdallah
Al-Fathani (Patani).3 Akan tetapi mereka tidak menulis karya khusus tentang
tarekat ini dan pelajarannya, dan tidak jelas apakah mereka pernah berperan
dalam penyebarannya ke daerah asal mereka. Dua ulama lain memang diketahui
telah berperan dalam penyebaran Sammaniyah ke Sulawesi, seorang bernama Yusuf
dari Bogor dan Idris bin Usman. Namun keduanya tidak dikenal sebagai penulis
dan oleh karenanya tidak akan dibahas lebih lanjut di sini.
Syaikh
Samman dan Tarekat Sammaniyah
Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Samman lahir
di Madinah pada tahun 1132/1719. Ia mempelajari berbagai tarekat kepada
guru-guru terbesar pada zamannya. Namun Syaikh Samman bukan ahli tasawuf saja;
ia juga mempelajari ilmu Islam lainnya. Suatu sumber Arab hampir sezaman
dengannya, Sulaiman Al- Ahdal dalam bukunya Al-Nafs Al-Yamani, menyebut lima
gurunya yang lima-limanya merupakan ulama fiqih terkenal: Muhammad Al-Daqqaq,
Sayyid ‘Ali Al-‘Aththar, ‘Ali Al-Kurdi, ‘Abd Al-Wahhab Al-Thanthawi (di
Makkah) dan Sa’id Hillal Al-Makki.4 Di bidang tasawuf dan tauhid, gurunya yang
paling mengesankan adalah Mustafa bin Kamal Al-Din Al-Bakri, pengarang
produktif dan syaikh tarekat Kalwatiyah dari Damaskus, yang pernah menetap di
Madinah dan wafat di Kairo pada 1749. Menurut beberapa sumber, Samman semasa
kunjungannya ke Mesir (tahun 1760) juga pernah belajar kepada dua guru
Khalwatiyah lainnya, Muhammad bin Salim Al-Hifnawi dan Mahmud Al-Kurdi (Martin
1972, 301-2), tetapi
pengaruh keduanya tidak terlihat dalam
karya-karya Samman sendiri dan ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani. Dalam silsilahnya,
‘Abd Al-Samad hanya menyebut rantaian guru Khalwatiyah, mulai dengan Mustafa
Al-Bakri, sehingga tarekat Sammaniyah lazim dianggap cabang dari Khalwatiyah.5
Padahal Syaikh Samman memasuki tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Qadiriyah
pula, dan oleh karenanya orang sezaman sering menyebut Muhammad bin ‘Abd
Al-Karim Al-Qadiri Al-Samman.6 Syaikh lain yang sangat berpengaruh terhadap
ajaran dan praktik-praktik Sammaniyah, walaupun Samman tidak bertemu langsung
dengannya, adalah ‘Abd Al-Ghani Al-Nabulusi (w.1143/1731), salah seorang guru
Mustafa Al-Bakri, tokoh besar tarekat Naqsyabandiyah dan pengarang sangat
produktif, pembela Ibn Al-‘Arabi dan ‘Abd Al-Karim Al-Jili. Tarekat keempat
yang diambil Samman adalah Syadziliyah, yang mewakili tradisi tasawuf Maghrib
dan terkenal dengan hizib-hizib-nya.
Samman mulai mengaiar perpaduan dari
teknik-teknik zikir, bacaan-bacaan lain, dan ajaran metafisika semua tarekat
ini dengan beberapa tambahan (qashidah dan bacaan lain susunannya sendiri),
yang kemudian dikenal dengan nama baru Sammaniyah. Meski Sammaniyah bukanlah
satu-satunya tarekat yang merupakan gabungan dari berbagai tarekat “asli”.
Karena tidak lama kemudian, Muhammad ‘Utsman Al-Mirghani mendirikan tarekat
Khatmiyah (perpaduan dari Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah, Junaidiyah
dan Mirghaniyah),7 sedangkan Ahmad Khatib Sambas membuat perpaduan sejenis
dengan nama Qadiriyah Naqsyabandiyah. Kitab Fath Al-‘Arifin yang secara
singkat menguraikan ajaran Ahmad Khatib Sambas begitu jelas menyamakan tarekat
ini dengan Sammaniyah.8 Tarekat Khatmiyah kemudian menyebar, utamanya ke
Afrika Timur, sedangkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tersebar ke seluruh
Indonesia.
Syaikh Samman juga menjabat sebagai penjaga pintu makam Nabi
di Madinah. Dalam rangka jabatan ini ia menerima tamu dari seluruh dunia
Islam, sehingga tidak mengherankan bila ajaran tasawufnya menggabungkan
tradisi dari berbagai wilayah. Dalam waktu singkat ia mendapat murid berasal
dari berbagai benua pula: dari Maghrib dan Afrika Timur sampai ke India dan
Nusantara.
Di berbagai kota Hijaz danYaman berdirilah zawiyah Sammaniyah. Hikayat Syaikh
Muhammad Samman menceritakan bahwa salah satu zawiyah, di kota Jiddah,
dibangun atas biaya Sultan Palembang, dua tahun setelah wafat Syaikh Samman
yakni pada tahun 1191/1777 (Purwadaksi 1992, hlm. 335).
Dalam Sair
Al-Salikin, ‘Abd Al-Samad menyebut 3 murid Syaikh Samman yang diizinkan
mengajar tarekat Sammaniyah. Yang terkenal di antaranya Shiddiq bin ‘Umar Khan
Al-Madani, guru ‘Abd Al-Samad dan Muhammad Nafis. Atas permintaan ‘Abd
Al-Samad, Syaikh Shiddiq telah menulis syarah tentang qasidah Al- Nafhah
Al-Qudsiyah karangan Samman, yang merupakan sumber yang paling penting tentang
ajaran Syaikh Samman.9 Belakangan ia menulis riwayat hidup gurunya pula,
Al-Manaqib Al-Kubra, yang di dalamnya banyak dibicarakan keajaiban-keajaiban
Syaikh Saman. Kitab manaqib ini kemudian beberapa kali diterjemahkan dalam
bahasa Melayu dengan berbagai tambahan, yang pertama kali oleh M. Muhyiddin
bin Syihabuddin Al-Falimbani dengan judul Hikayat Syaikh Muhammad Samman.10
Dua
khalifah Syaikh Samman lainnya, ‘Abd Al-Rahman bin ‘Abd Al-‘Aziz Al-Maghribi
dan ‘Abd Al-Ghani bin Abi Bakr Al-Hindi, ulama yang berasal dari Afrika Utara
dan India. Setelah mulai belajar kepada Syaikh Samman, ‘Abd Al-Samad
diperintahkan mengaji beberapa kitab pada Syaikh ‘Abd Al-Rahman Al-Maghribi.
Salah satu kitab tersebut, Al-Nafahat Al-Ilahiyah, merupakan karya utama
Syaikh Samman; ‘Abd Al-Samad diberikan naskahnya oleh Syaikh Samman sendiri.
Kitab lain yang dipelajarinya dengan Syaikh ‘Abd Al-Rahman, Al-Tuhfah
Al-Mursalah-nya Burhanpuri, kitab yang sudah lama dikenal di Nusantara dan
sering menimbulkan kontroversi.11 Sebuah karya Samman yang lain, Risalah Asrar
Al- ‘Ibadat, dikaji ‘Abd Al-Samad melalui syarah karangan ‘Abd Al- Ghani
Al-Hindi, berjudul Fath Al-Rahman.12
Dalam kitab Hikayat tersebut kita
menemukan sejumlah nama murid terkemuka Syaikh Samman. Di samping Syaikh
Shiddiq dan Syaikh ‘Abd Al-Rahman, kitab ini menyebut Syaikh ‘Abd Al-Karim
(putra Syaikh Samman), Mawla Sayyid Ahmad Al- Baghdadi, Shur Al-Din Al-Qabili
(dari Kabul Afghanistan?) dan ‘Abd Al-Wahhab ‘Afifi Al-Misri. Sebagai orang
Nusantara, penulis
menyebut M. Arsyad Al-Banjari, ‘Abd
Al-Rahman Al-Fathani, dan tiga orang Palembang; Syaikh ‘Abd Al-Samad, Tuan
Haji Ahmad dan dirinya, M. Muhyiddin bin Syihabuddin.13
Murid-murid
Syaikh Samman dan banyak ulama di sekitarnya menganggapnya sebagai seorang
wali yang luar biasa karamatnya. Dalam Hikayat Syaikh Muhammad Samman ia
disebut Khatam Al-Wilayah Al-Khashshah Al-Muhammadiyah dan martabatnya
disamakan dengan martabat Syaikh ‘Abd Al-Qadir Jailani. Keajaib- an yang
diriwayatkan dalam kitab manaqib ini memang melebihi keajaiban wali-wali lain.
Dan ini, agaknya, asal usul munculnya kultus Syaikh Samman di kalangan rakyat
awam.
Tidak semua murid Samman terkesan dengan legenda-legenda serba aneh
itu. Dalam Sair, ‘Abd Al-Samad hanya meriwayatkan satu peristiwa yang
menunjukkan martabat tinggi yang dicapai oleh syaikhnya. Riwayat ini (yang
didengarnya dari gurunya yang pertama, Shiddiq bin ‘Umar Khan), memberikan
gambaran khas tentang suasana lingkungan para sufi abad ke-18. Seorang sufi di
Yaman, ‘Abd Al-Khaliq Al-Mizjaji, pernah mengkaji Nafahat- nya Syaikh Samman
pada seorang sufi lain, Ahmad Al-Muqri Al- Zabidi. Ketika tamat, ia mengundang
sejumlah ulama lain untuk menghadiri bacaan kitab tersebut. Dalam pertemuan
ini, selama kitab dibaca Syaikh Al-Muqri mengalami trance (hal). Begitu
kembali sadar, ia menceritakan bahwa ia tadi melihat “segala ruh anbiya dan
ruh auliya …. hadir …. dalam perhimpunan khatam kitab Al-Nafahat Al-Ilahiyah
itu.”14
Kitab-kitab Manaqib Syaikh Samman yang telah terbit di berbagai
daerah Nusantara selama abad terakhir ini berisi riwayat tentang keajaiban
lain. Kitab-kitab kecil ini merupakan pilihan dari Hikayat Syaikh Muhammad
Samman, dan yang terpilih utamanya legenda mengenai bantuan supranatural
Syaikh Samman kepada orang yang ber-istighatsah. Sebagai contoh, saya mengutip
beberapa pasal dari sebuah kitab yang masih dijual di Jakarta:15
Dan
setengah daripada perkataan Tuan Syekh Muhammad Samman: barangsiapa mengambil
thariqat kepada aku serta diamalkannya niscaya tiada dapat tiada didapatnya di
dalam dunya fana ini dengan pertolongan dari Allah
Ta’ala dan
dapat sa’dat ketika sakaratul maut dan diluaskan rezekinya.
Dan
setengah daripada perkataan Tuan Syekh Muhammad Samman RA: aku berkata seperti
yang dikata oleh Sidi Abdul Qadir Jailani: barangsiapa menyeru aku “ya samman”
tiga kali niscaya hadirlah dengan lekas aku menolong akan kesusahan dunya
akherat bagi orang yang menyeru itu.
[…]
Dan setengah daripada
keramatnya RA: yaitu mengkha- barkan dengan dia Muqran ibn ‘Abd Al-Mu’in
tatkala berlayar dari negeri Suais ke negeri Hijaz tatkala sampai di tengah
laut maka kelihatan mega hitam kemudian maka turun angin topan hingga hampir
karam kapal itu, maka takutlah aku sehabis-habis takut kemudian datang di
dalam hatiku ilham maka berdirilah aku pada luar kapal maka berteriak
sehabis-habis suara aku: “ya Samman, ya Mahdi!” Tiba-tiba aku lihat orang dua
datang berjalan di atas air hingga sampai ke kapalku, yang satu memegang pada
pihak kanan, yang satu memegang pada pihak kiri. Maka matilah angin dan ombak
itu dengan berkat orang dua itu serta sampai aku ke negeri Hijaz dengan
selamat.
Dan setengah daripada keramat Tuan Syaikh Muhammad Samman RA:
Telah mengkhabarkan seorang raja shalih lagi zahid Maulana Al-Syaikh Idris
Al-Takaki tatkala ia menuju daripada negeri Suais jalan laut dengan maksud
haji baitullah Al-Haram dan hendak ziarah kubur Rasulullah Saw. atas
sebaik-baik layaran kemudian maka tiba-tiba kapal itu naik di atas karang
hampir pecah maka aku seru tiga kali dengan perlahan-lahan “ya samman” maka
tiba-tiba turun kapalku itu dari atas karang padahal tiada seorang yang
mengetahui maka lantas aku mengucap “alhamdulillah dengan berkat keramat Tuan
Syaikh Muhammad Samman”. Kemudian tatkala aku sampai di Madinah diam aku serta
aku duduk di langgar Tuan Syaikh Muhammad Samman beberapa masanya maka tatkala
aku hendak pulang ke negeri Makkah Al-Musyarrafah maka mengadu aku pada Tuan
Syaikh Muhammad Samman lalu aku mengkhabarkan kepadanya “Hay Tuan, kami ada di
dalam negeri kami raja yang sangat zhalim mengerasa harta orang. Maka ajarilah
hay Tuanku atas asma Allah Ta’ala yang boleh menolongi kejahatan mereka itu.”
Maka jawab Tuan Syaikh
Muhammad Samman, “sebutlah olehmu
namaku tiga kali”, kemudian aku ulangi pula perkataan itu dua kali. Maka
jawabnya seperti perkataan dahulu juga maka heranlah di dalam hatiku, “aku
minta suatu dari asma Alllah Ta’ala yang boleh menolongi kezhalimannya raja
itu maka jawabnya sebut namaku tiga kali”. Tiba-tiba diketahui gerak hatiku
maka katanya “adalah lupa engkau tatkala perahumu naik di atas karang? Maka
engkau sebut namaku tiga kali maka lantas dilepaskan oleh Allah Ta’ala
daripada pecah.” Maka aku tersungkur lalu aku cium kedua tapak kakinya serta
kusebut, “hay Tuanku, memadailah pengajaran Tuanku kepada hamba”, kemudian aku
pulang ke Makkah Al- Musyarrah mendapatkan haji lalu aku pulang ke negeriku
apabila datang suatu kejahatan daripada raja-raja itu maka aku berhadap kepada
Tuan Syaikh Muhammad Samman serta aku sebutkan namanya tiga kali dari itu
dengan berkatnya dilepaskan oleh Allah Ta’ala daripada kejahatan.
Dan
setengah daripada keramatnya: barang yang meng- khabarkan akan dia oleh Sidi
Muhammad Shalih Al- Syu’ab Al-Madani: tatkala di Makkah Al-Musyarrafah maka
perempuanku hendak beranak terlebih sangat sukanya padahal ketika itu tiada
seorang dukun maka sangat susah hatiku kemudian daripada sudah habis ikhtiarku
maka aku baca Fatihah kepada Tuan Syaikh Muhammad Samman hingga selesai
daripada membaca wa ja’alnâ min kulli dhaqim farajan wa min kulli hammin wa
balâ’in makharajan maka aku hendak membaca yang kemudiannya daripada itu maka
tiba-tiba aku lihat Tuan Syaikh Muhammad Samman hadhir di hadapanku lalu ia
berkata “sebut dan ulangi olehmu akan dia kerap tiga kali”, maka aku ulangi,
maka beranaklah perempuanku itu dengan mudah berkat Tuan Syaikh Muhammad
Samman RA.
Dan setengah daripada keramatnya bahwasanya Syaikh
‘Abdullah Al-Bashri disangka orang salah perbuatannya maka dibuy ia di dalam
penjara serta dirantai pada malam tujuh likur hari bulan Ramadhan di Makkah
Al-Musyarrafah bi Dar Al-Sa’adah. Maka lantas ia baca tawassulnya Tuan Syaikh
Muhammad Samman hingga sampai yâ rabb wa ighfar li Al-‘aba Al-jân Muhammad
Al-syahîr bi Al-Sammân lagi berteriak sehabis-habis suaranya “ya Samman” tiga
kali maka jatuhlah rantai besi itu daripada lehernya. Maka rantai itu
dipulangkan pada penjaga penjara itu hingga tiga
kali di
dalam tiga malam maka ia baca pula serta berteriak seperti dahulu juga maka
jatuh lagi rantai besi daripada lehernya maka lantas dilepaskan dari
penjaranya lalu dibalikkan lagi diberinya harta maka adalah diketahuinya
daripada murid Tuan Syaikh Muhammad Samman lalu ditanya tatkala duduk di bab
Al-ziyadah apa engkau lihat tatkala engkau di dalam penjara itu. Maka katanya
tatkala aku meneriakkan “ya Samman” tiga kali aku lihat Tuan Syaikh Muhammad
Samman RA berdiri ia di hadapanku lagi marah manakala aku pandang akan dia
tersungkurlah aku lalu lupa daripada jasadku seperti kelengar. Manakala aku
ingat daripada itu maka aku dapat rantai besi itu sudah jatuh dari leherku.
(…)
Syahdan maka cukuplah sebegini keterangan keramatnya Tuan
Syaikh Muhammad Samman RA bagi orang yang hendak mengambil berkahnya dan
jikalau berkehendak yang lebih panjang maka hendaklah melihat pada Manaqib
Al-Kubra. Wa Allah a’lam.
‘Abd Al-Samad Al-Falimbani
Tidak
banyak yang diketahui mengenai riwayat hidup ‘Abd Al- Samad Al-Falimbani. Data
yang ada sebagian besar sudah dibahas secara kritis oleh M. Chatib Quzwain
(1985) dan belakangan, dengan perhatian khusus kepada guru-guru ‘Abd Al-Samad,
oleh Azyumardi Azra (1992b). Untuk ini, tidak ada banyak keterangan baru yang
bisa saya tambah.
Di daerah kelahiran ‘Abd Al-Samad, Palembang dan
sekitarnya, tarekat Sammaniyah sampai sekarang masih ada, walaupun jumlah
penganutnya tidak sebanyak dulu. Ketika saya ke sana, pada tahun 1990, guru
yang paling terkemuka adalah
K.H.M. Zen Syukri. Ia menerima tarekat
Sammaniyah dari ayahnya,
K.H. Hasan bin Azhari, yang menerimanya pula
dari ayahnya, Kemas H.M. Azhari bin ‘Abdullah, sebagaimana pendahulunya iapun
menerima dari ayahnya, ‘Abdullah bin Ma’ruf. Yang terakhir ini dari Muhammad
‘Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbani, yang mengambil tarekat tersebut dari ‘Abd
Al-Samad. Selain ayahnya Kiai Zen, pamannya ‘Abd Al-Ghani bin Azhari juga
pernah menjadi guru tarekat Sammaniyah, tetapi ia wafat tanpa meninggalkan
pengganti,
sehingga pada saat wawancara tidak ada lagi guru selain Kiai Zen Syukri.16
Satu
silsilah Sammaniyah lainnya saya menyalin dari laporan penelitian Masyhuri
tentang ulama Sumatera Selatan. Mulai dengan Kiai Amin Azhari, yang masih
hidup pada waktu itu tetapi sudah tidak mengajar lagi, rantaian guru berurutan
dari Muhammad ‘Asyiq, ‘Abdullah Azhari, seorang lagi yang namanya tidak
disebut, dan Kemas Datuk Muhammad Zain, menantu dan khalifah ‘Abd Al-Samad
(Masyhuri 1988, 23-4). Di samping dua garis keturunan ruhani ini, dulu pernah
terdapat berbagai garis lainnya, dan pada awal abad ini konon masih banyak
ulama yang mengajar tarekat Sammaniyah di Sumatera Selatan, paling terkenal di
antaranya Kiai Marogan (KH. Abdul Hamid). Dua faktor yang turut menyebabkan
kemunduran tarekat di sini, berkembangnya modernisme Islam dari satu sisi dan
kecurigaan pihak keamanan dari sisi lain, dan dua-duanya merupakan reaksi
terhadap keberhasilan tarekat Sammaniyah mewarnai kehidupan masyarakat
Sumatera Selatan. Amalannya juga dipakai di luar lingkungan pengikut tarikat,
antara lain demi tujuan kekebalan dan kesaktian, sehingga pernah berperan
dalam perjuangan antipenjajah. Meski tentu saja amalan serupa diterapkan pula
oleh kalangan penjahat biasa, dan kenyataan inilah yang belakangan menimbulkan
kecurigaan terhadap tarekat itu sendiri. Pembacaan ratib Samman telah menjadi
bagian yang lazim setiap ada hajatan di daerah Palembang, dan manaqib Samman
(yang konon sudah dipopulerkan oleh ‘Abd Al-Samad) dulu sering dibaca dengan
tujuan istighatsah, minta tolong kepada ruhaniyah Syaikh Samman. Para ulama
modernis di Palembang dengan gigih mengkritik konsep istighatsah (yang menurut
mereka tak lain dari syirk,) dan menyerang kitab manaqib Samman karena
menceritakan keajaiban yang sama sekali tidak masuk akal.
Dari Kiai Zen
Syukri saya dengar riwayat awal-mulanya hubungan ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani
dengan tarekat Sammaniyah berdasarkan tradisi lisan (riwayat ini tidak pernah
saya temukan dalam sumber tertulis). Alkisah, setelah ia belajar cukup lama
pada ulama-ulama Makkah, ‘Abd Al-Samad berangkat ke Mesir untuk meneruskan
studinya di Al-Azhar. Sesampainya di
Jiddah terjadilah
pertemuan yang sangat mengesankan. Sehabis shalat di masjid, ia melihat
seorang berdzikir dengan cara yang lain dari yang lain: bukan hanya mulutnya
yang menyebut nama Allah; seluruh badannya bergetar dengan nama-Nya, seperti
digerakkan oleh kekuatan Ilaihi. ‘Abd Al-Samad ingin berkenalan dengannya,
yang ternyata Shiddiq bin ‘Umar Khan Al-Madani. Shiddiq menceritakan bahwa ia
adalah murid Shaikh Samman dari Madinah dan, atas permintaan ‘Abd Al-Samad,
mengajarkannya zikir Sammaniyah itu. Demikianlah kemudian Syaikh Shiddiq
memberikan talqin Sammaniyah yang pertama kepada ‘Abd Al- Samad. Rencananya
semula ke Mesir dibatalkan, karena ‘Abd Al- Samad ingin bertemu langsung
dengan Syaikh Samman. Syaikh Shiddiq selanjutnya memperkenalkan ‘Abd Al-Samad
kepada gurunya di Madinah. Setelah cukup lama belajar kepada Syaikh Samman,
‘Abd Al-Samad diberikan ijazah untuk menyebarkan tarekat Sammaniyah.17
‘Abd
Al-Samad telah menghabisi hampir seluruh hidupnya dengan mencari ilmu di tanah
Arab—terutama di Makkah dan Madinah, tetapi ia juga pernah mengunjungi Yaman
untuk mencari ilmu pada ulama besar di sana. Tanggal lahir dan wafatnya tidak
diketahui, tetapi ia aktif sebagai penulis dari tahun 1178/1764 sampai
1203/1788 (Drewes 1976). Dua karyanya yang utama, Hidayah Al-Salikin dan Sair
Al-Salikin, sebagian besar merupakan terjemahan karya Ghazali, meski di
dalamnya ‘Abd Al-Samad juga mencantumkan ajaran tarekat Sammaniyah. Hidayah
mengandung uraian tentang cara berzikir, sedangkan dalam Sair ‘Abd Al-Samad
antara lain memberikan informasi menarik tentang lingkungan intelektual Syaikh
Samman, kitab-kitab yang dipelajarinya dan ulama-ulama yang dekat kepada
Samman. Uraian terakhir itu dilampirkan dalam tulisan ini.
Walaupun ‘Abd
Al-Samad terutama dikenal sebagai tokoh tasawuf, namun ia juga telah mendalami
ilmu-ilmu agama lainnya. Seorang ulama dari Yaman yang pernah berguru kepada
‘Abd Al-Samad ketika ia mengunjungi negeri itu, menyebut beberapa guru ‘Abd
Al-Samad dan ternyata mereka ulama fiqih.18 Sumber lain menunjukkan bahwa ‘Abd
Al-Samad telah mengajar ilmu fiqih di Makkah, utamanya kepada jamaah “Jawah”,
orang Nusantara
lainnya yang berada di tanah Arab pada zaman
itu.
Gambaran tentang hubungan ‘Abd Al-Samad dengan ulama fiqih sezaman
dengannya dapat diperoleh dari isnad-isnad yang diterbitkan oleh Syaikh Yasin
Padang (Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa Al-Fadani), mudir madrasah Darul
‘Ulum di Makkah.19 Banyak isnad Syaikh Yasin untuk kitab fiqih lewat melalui
‘Abd Al-Samad. Isnad ini memberikan kesan
bahwa di Makkah dan Madinah ‘Abd Al-Samad tetap berada dalam lingkungan orang
Palembang. Misalnya sejumlah kitab fiqih dipelajari pada Hasnuddin bin Ja’far
Al-Falimbani, saudaranya Thayyib bin Ja’far dan/atau putranya Salih bin
Hasanuddin Al- Falimbani. Murid-murid ‘Abd Al-Samad, menurut isnad tersebut,
antara lain Mahmud bin Kanan Al-Falimbani, M. Arsyad Al-Banjari dan
(barangkali tidak langsung) Salih bin ‘Umar Al-Samarani, penulis produktif
yang lebih dikenal sebagai Saleh Darat. Demikian pula, pada generasi
berikutnya, Nawawi Banten rupanya banyak belajar kepada murid-murid ‘Abd
Al-Samad. Satu-satunya murid ‘Abd Al-Samad yang bukan orang Indonesia dan
disebut dalam isnad ini, seorang asal Mesir bernarna ‘Ustman Al-Dimyathi (Al-
Fadani l40l, 66-67).
Tidak mengherankan bila isnad-isnnd kitab tasawuf
yang diterbitkan oleh Syaikh Yasin juga hampir semuanya menyebut nama ‘Abd
Al-Samad, dan sebagai mata rantai berikutnya Nawawi Banten.20 Sebagai guru
‘Abd Al-Samad di bidang tasawuf, isnad- isnad menyebut beberapa nama
termasyhur seperti Murtadha Al-Zabidi, Sayyid Ahmad bin Sulaiman Al-Zabidi,
Sayyid ‘Ali bin ‘Abd Al-Barr Al-Wana’i dan ‘Abd Al-Rahman bin Mustafa
Al-‘Aidarus. Hanya satu orang Nusantara disebut sebagai guru, ‘Aqib bin
Hasanuddin Al-Falimbani. Namun justeru pada guru yang terakhirlah ‘Abd
Al-Samad mengaji karya yang paling sulit, Al-Futuhat Al-Makkiyah’-nya Ibn
Al-‘Arabi (Al-Fadani 1401, 133- 141). Keterangan ini, sayangnya, tidak
mendapat dukungan dari tulisan ‘Abd Al-Samad sendiri; dalam Sair ia menyebut
beberapa gurunya untuk ilmu tasawuf yang tidak termasuk nama-nama di atas.
Menurut silsilah K.H.M. Zen Syukri, M. ‘Aqib malahan bukan guru melainkan
murid ‘Abd Al-Samad.21
Belum dapat dipastikan sejauh mana isnad tersebut
dapat
dipercayai sebagai sumber. Mungkin mereka mencerminkan
pelajaran ‘Abd Al-Samad sebelum ia masuk tarekat Sammaniyah. Di bawah ini akan
terlihat bacaan apa yang dianjurkan ‘Abd Al-Samad setelah ia dipengaruhi
Syaikh Samman. Khazanah intelektual itu ternyata jauh lebih kaya, baik dalam
jumlah maupun ragamnya, daripada kitab yang disebut dalam buku-buku Syaikh
Yasin. Rentang dua abad setelah masa ‘Abd Al-Samad, ternyata pelajaran tasawuf
di kalangan ulama Nusantara mengalami proses pemiskinan intelektual sangat
drastis.
Nafis Al-Banjari
Riwayat hidup Nafis Al-Banjari pula
belum begitu jelas. Ia menyebut nama lengkapnya Muhammad Nafis bin Idris Al-
Banjari, dan menurut seorang peneliti dari Kalimantan Selatan, yang tidak
menyebut sumbernya, ia dilahirkan di salah satu desa di Martapura dari
keluarga kerajaan Banjar (Mansur 1982, hlm. 4). Karya Nafis yang hingga kini
cukup populer di Kalimantan Selatan adalah Al-Durr Al-Nafis (biasanya disebut
Darrun Nafis), sebuah teks tasawuf wahdat al-wujud yang masih tetap dicetak
ulang. Satu karyanya lagi diketahui tetapi belum dicetak, yaitu Majmu’
Al-Asrar li Ahl Allah Al-Athyar.22
Kitab Al-Durr Al-Nafis dirampungkan
sekitar tahun 1200/1785 di Makkah (yaitu sepuluh tahun setelah Syaikh Samman
wafat), dan di dalamnya Nafis menyebut sejumlah guru yang juga disebut oleh
‘Abd Al-Samad. Mengaku telah masuk tarekat Qadiriyah, Syattariyah,
Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan Sammaniyah, dan salah seorang guru yang
disebutnya adalah Shiddiq bin ‘Umar Khan, khalifah Syaikh Samman yang pernah
menjadi guru ‘Abd Al-Samad yang pertama pula untuk tarekat Sammaniyah. Ini
berarti, ia hidup sezaman dengan ‘Abd Al-Samad dan juga dengan Muhammad Arsyad
Al-Banjari, hanya saja lebih muda dari keduanya. Nafis tampaknya tidak sempat
belajar kepada Syaikh Samman sendiri lagi (ia tidak menyebutnya “syaikhuna”
seperti guru lainnya); mungkin ia baru sampai di Hijaz sesudah tahun 1775.
Seorang guru lain yang sering disebut dalam Al-Durr Al- Nafis, ‘Abdallah bin
Hijazi Al-Syarqawi (w.1812). Syarqawi lebih
dikenal sebagai
ahli fiqih—ia menjabat sebagai Syaikh Al-Azhar dari 1793 sampai wafatnya dan
menulis beberapa kitab fiqih. Namun ia juga seorang sufi, murid tokoh tarekat
Khalwatiyah yang terkenal Mahmud Al-Kurdi, yang menerima ijazah dan guru yang
sama dengan Samman.
Menurut H. Wan Muhd. Shaghir Abdullah, Nafis
Al-Banjari punya jamaah murid yang setia di Bali dan di Sumbawa (barangkali di
Bima), dan sesudah pulang dari Makkah ia mengunjungi dua
pulau tersebut.23 Bima memang diketahui sebagai tempat berakarnya tarekat
Sammaniyah; dari sumber Bugis kita mengetahui bahwa di Bima pernah ada seorang
khalifah Shiddiq bin ‘Umar Khan yang lain juga. Dialah seorang Palembang
bernama Idris bin ‘Utsman, dan melalui Idris bin ‘Utsman ini pulalah tarekat
Khalwatiyah-Samman kemudian tersebar ke Sulawesi Selatan.24 Nafis sendiri
akhirnya menetap di daerah Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Tanggal wafatnya
tidak diketahui dengan pasti, dan orang menunjukkan tiga tempat berbeda, di
desa Kelua, Kusan dan Sigam sebagai kuburannya. Meski yang paling banyak
diziarahi di Kelua, satu kuburan sederhana, tanpa cungkup dan batu nisan
terulis.
Saya tidak berhasil menemukan keterangan tentang perkem- bangan
tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan sesudah Nafis Al-Banjari. Menurut
beberapa sumber, ulama Kalsel yang paling terkenal, M. Arsyad Al-Banjari,
pernah masuk tarekat Sammaniyah pula.25 Namun dalam karya-karya Arsyad sendiri
yang telah diterbitkan tidak ada yang mengisyaratkan demikian. Saya cenderung
percaya bahwa keberadaan tarekat Sammaniyah di Kalsel adalah hanya berkat
Syaikh Nafis. Para ulama ahli waris Tuan Guru Arsyad di Dalampagar (Martapura,
Kalsel) memang menyatakan bahwa Arsyad tidak pernah mengajar amalan tarekat
Sammaniyah tetapi telah mempopulerkan qasidah pujian Syaikh Samman yang sampai
masa kini masih dipakai.26
Kita tidak tahu nama orang yang mengajarkan
tarekat ini sesudah Syaikh Nafis. Dalam perlawanan terhadap Belanda dasawarsa
1860-an, para pemberontak mengamalkan ratib yang diajarkan oleh penghulu
Rasyid dan barangkali berasal dari amalan Sammaniyah. Sayangnya tidak banyak
yang diketahui tentang latar
belakang penghulu Rasyid dan
gerakan beratip beamal tersebut (bdk. Veth 1869, Sjamsuddin 1991). Dugaan saya
bahwa gerakan ini berkaitan dengan tarekat Sammaniyah diperkuat oleh kenyataan
bahwa Pangeran Antasari, pemimpin politik perlawanan ini, menamakan salah
seorang putranya Muhammad Samman. Sampai sekarang masih terlihat sisa-sisa
tarekat Sammaniyah di daerah Banjar, walaupun saya tidak yakin apakah masih
ada guru yang mengajarkan tarekat tersebut. Hanya saja, pemujaan terhadap
Syaikh Samman masih dijumpai. Bahkan, sebuah kitab Manaqib Syaikh Samman belum
lama ini diterbitkan di Banjarmasin.27
‘Abd Al-Samad tentang
Kurikulum Tasawuf
Dua karya utama ‘Abd Al-Samad, Hidayah Al-Salikin dan
Sair Al-Salikin merupakan terjemahan dari karya Al-Ghazali, diselingi dengan
berbagai hal yang dianggap menarik atau berguna. Tetapi sangat keliru jika
mengira bahwa pilihan pada karya Al-Ghazali ini berarti ‘Abd Al-Samad
menentang paham tasawuf wahdat al- wujud. Banyak orang menduga para tokoh
tasawuf sesudah Raniri tidak lagi menganut paham ini—atau sekurang-kurangnya
menolak varian radikal, Wujudiyah, yang dianut oleh Hamzah Fanshuri dan
Syamsuddin Sumatarani. Adalah Chatib Quzwain, yang dalam disertasinya sudah
menunjukkan bahwa dugaan demikian salah, karena ternyata ‘Abd Al-Samad
memasukkan beberapa uraian tentang paham ini ke dalam Sair-nya yang tidak
terdapat dalam teks Ghazali. Dalam bagian Sair yang akan dibahas sekarang ini,
‘Abd Al-Samad malahan menyebut dua karya Syamsuddin sebagai bacaan yang
bermanfaat bagi orang yang sudah mencapai martabat muntahi dalam jalan
tasawuf.
Bagian tersebut (dilampirkan pada tulisan ini) merupakan sumber
unik tentang dimensi intelektual tasawuf di Hijaz pada penghujung abad ke-18.
‘Abd Al-Samad menyebut sekitar seratus kitab yang dianggapnya paling penting
bagi orang yang menempuh jalan tarekat, dalam tiga kelompok sesuai dengan
martabat yang perlu dicapai oleh pembaca. Untuk para pemula (mubtadi’), ia
menganjurkan kitab tasawuf akhlaqi, seperti kitab- kitab Al-Ghazali (semuanya
50 judul). Pada tahap pertengahan
(mutawassith), ia
menganjurkan kitab hizib (doa dari tradisi tasawuf Afrika Utara) dan
sebagainya (30judul). Sedangkan bagi orang yang telah mencapai tahap tertinggi
(muntahi) ia menyebut kitab-kitab wahdat al-wujud (20 judul).
Judul-judul
yang disebut oleh ‘Abd Al-Samad bukanlah pilihan acak dari semua karya tasawuf
yang ada. Kita bisa mencerna beberapa tradisi berbeda yang menyatu dalam ‘Abd
Al-Samad atau lewat gurunya, Muhammad Al-Samman. Pertama, tentu saja, terdapat
kitab tasawuf standar, yang dibaca pada rentang segala zaman, seperti Qut
Al-Qulub (Abu Thalib Al-Makki), Risalah Qusyairiyah, ‘Awarif Al-Ma’arif (‘Umar
Al-Suhrawardi) dan karya- karya populer Al-Ghazali. Kitab-kitab ini mewakili
tradisi yang terkadang disebut tasawuf akhlaqi. Dari karangan belakangan yang
dapat digolongkan dengan kelompok ini, ‘Abd Al-Samad menyebut karya-karya
‘Abdullah Al-Haddad, yang hingga kini masih begitu populer di Indonesia.
Informasi lebih lengkap tentang kitab-kitab dan pengarangnya diberikan dalam
catatan kaki pada teks ‘Abd Al-Samad di bawah ini.
Tradisi kedua—dan
tampaknya yang paling penting menurut ‘Abd Al-samad—adalah tasawuf falsafi-nya
Ibn Al-‘Arabi. Berulang kali ‘Abd Al-Samad memperingatkan pembaca bahwa
kitab-kitab ini lebih baik tidak dibaca oleh orang yang belum mencapai
martabat tinggi dalam perjalanan ruhani. Untuk para pemula lebih baik dan
lebih aman membaca Al-Ghazali saja. Tetapi bagi para muntahi malahan karangan
Ibn Al-‘Arabi dan murid- rnuridnya yang dianjurkan. Daftar bacaan untuk tahap
tertinggi mulai dengan Fushush dan Futuhat, disusul beberapa syarah yang
terpenting (Qunawi, Jami, Maha’imi, Nabulusi). Kemudian dua karya relatif
pendek tentang wahdat al-wujud yang pernah sangat berpengaruh di Nusantara
(lebih berpengaruh daripada lbn Al-‘Arabi sendiri), yaitu Al-Insan Al-Kamil
nya ‘Abd Al-Karim Al-Jili dan Al-Tuhfah Al-Mursalah ila Al-Ruh Al-Nabi
karangan Muhammad b. Fadhlillah Burhanpuri dan syarah-syarahnya pula.
Judul
terakhir ini sesungguhnya merupakan bagian dari suatu tradisi tasawuf khas
India, yang berkaitan dengan tarekat Syattariyah dan pernah mempunyai pengaruh
besar di Nusantara. Tradisi ini diwakili oleh karangan Muhammad Al-Ghauts,
Muhammad
Burhanpuri, Shibghatullah, Ahmad Al-Syinnawi, Ahmad
Al- Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani. Pengarang-pengarang tersebut merupakan
mata rantai silsilah Syattariyah yang pernah tersebar luas di Indonesia. Dua
tokoh terakhir mempunyai sejumlah murid yang berasal dari Nusantara (termasuk
‘Abd Al-Ra’uf Singkel, yang ia sendiri diwakili melalui dua karya
dalam daftar ini). Sangat mungkin bahwa tradisi ini pada awalnya
diperkenalkan kepada ‘Abd Al-Samad melalui jamaah Nusantara (“Jawah”) yang
bermukim di Makkah dan Madinah. Tradisi lain dari India diwakili oleh tokoh
tarekat Naqsyabandiyah, Tajuddin Zakariya Al-Hindi dan muridnya di Makkah,
Ahmad ibn Ibrahim ibn ‘Alan. Keduanya juga berpengaruh di lingkungan orang
“Jawah” di Makkah (Yusuf Makassar, misalnya, diajari tarekat Naqsyabandiyah
oleh seorang khalifah Tajuddin Zakariya, yaitu Muhammad Baqi Al-Mizjaji di
Yaman). Dua tradisi tasawuf India ini menganut ajaran metafisika berdasarkan
paham wahdat al-wujud Ibn Al-‘Arabi, meski diwarnai pula oleh semangat
mistisisme yang khas India.
Al-Syinnawi, Al-Qusyasyi, dan Al-Kurani pada
waktu sama merupakan penerus dari salah satu aliran tasawuf Mesir yang
terpenting pula, yaitu tradisi yang diwakili oleh Zakariya Al- Anshari dan
muridnya ‘Abd Al-Wahhab Al-Sya’rani. Dalam daftar kitab ‘Abd Al-Samad banyak
mencantumkan karangan dua ulama ini. Di Indonesia, saat ini keduanya lebih
dikenal sebagai ahli fiqih, dan kitab-kitab keduanya tentang fiqih masih
banyak digunakan di pesantren.28 Zakariya memang pernah menjabat sebagai
Syaikhul Islam di Mesir, dan Sya’rani mengajar fiqih di berbagai madrasah di
Kairo. Namun keduanya mempunyai ijazah untuk mengajar berbagai tarekat, dan
juga mengarang sejumlah kitab tasawuf yang cukup penting. Walaupun keduanya
lazim dianggap sebagai ulama yang sangat “ortodoks”, namun Sya’rani membela
Ibn Al-‘Arabi terhadap kritik dari ulama lain. Dalam salah satu kitabnya,
Lawaqih Al-Anwar, ia mengikhtisarkan Al-Futuhat Al- Makkiyah, sedangkan
sejumlah karya lainnya, seperti Al-Jawahir wa Al-Durar dan Al-Yawaqit wa
Al-Jawahir, juga menguraikan berbagai aspek metafisika wahdat al-wujud.29
Karya Zakariya Al- Anshari, Fath Al-Rahman, sangat dikenal di seluruh dunia
Islam. ‘Abd Al-Samad menceritakan bahwa inilah kitab tasawuf pertama
yang
ia diminta oleh Syaikh Samman untuk mempelajarinya. Akan halnya Nafis
Al-Banjari, banyak pula mengutip kitab Fath Al- Rahman tersebut dalam Al-Durr
Al-Nafis-nya. Terdapat beberapa terjemahan Melayu (oleh orang Palembang dan
Banjar, barangkali bukan suatu kebetulan!) dan sebuah terjemahan Jawa dari
karya penting ini.30
Di samping itu terdapat sejumlah kitab yang mewakili
tradisi tasawuf yang khas dari Maghrib (Afrika Utara) dan berkaitan dengan
tarekat Syadziliyah. ‘Abd Al-Samad menyebut Abu Madyan, Abul-Hasan
Al-Syadzili, Ibn ‘Ata’illah serta ulama-ulama yang memberikan syarah terhadap
karya-karya mereka. Hampir semua kitab ini dimasukkan dalam kelompok kedua,
kitab bagi mereka yang berada di jenjang mutawassith. Ibn ‘Ata’illah sudah
dikenal orang Indonesia sebelumnya, tetapi barangkali ‘Abd Al-Samadlah orang
Indonesia pertama yang telah mengkaji begitu banyak kitab Syadziliyah.
Perpaduan tradisi tasawuf India dan Masyriq (Mesir- Syria) dengan tradisi
tasawuf Maghrib memang merupakan ciri khas tarekat Sammaniyah.
Selebihnya
bacaan lain yang khas Sammaniyah, tentu saja, karangan Syaikh Samman sendiri
dengan syarah-syarah oleh muridnya (6 judul), serta karangan guru Syaikh
Samman, Mustafa Al-Bakri (8 judul), berikut nenek guru, ‘Abd Al-Ghani
Al-Nabulusi (5 judul). Salah satu kitab dari kelompok ini yang tampaknya
penting, sebuah karangan Mustafa Al-Bakri (yang judulnya tidak disebut)
tentang keesaan af’al, asma’, sifat dan dzat. ‘Abd Al- Samad pernah mengaji
kitab ini kepada Syaikh Samman sendiri, dan Syaikh Shiddiq bin ‘Umar Khan
menulis syarahnya. Agaknya, karya ini pula merupakan bahan utama yang
digunakan Nafis Al-Banjari dalam penulisan Al-Durr Al-Nafis (yang mempunyai
subjudul Fi Bayan Wahdah Al-Af’al wa Al-Asma’ wa Al-Shifat wa Al-Dzat), dalam
kitab mana Nafis memang secara sistematis membahas empat aspek wahdat al-wujud
ini.
Kalau kita membandingkan para sufi yang dikutip atau disebut dalam
Al-Durr Al-Nafis dengan daftar panjang yang disajikan oleh ‘Abd Al-Samad,
kesan pertama bahwa ‘Abd Al-Samad jauh lebih terpelajar dan menguasai khazanah
tasawuf yang jauh lebih luas. Tetapi Nafis mengutip secara panjang lebar
seorang sufi besar yang
hidup sezaman dengan Samman dan hanya
sekali saja disebut oleh ‘Abd Al-Samad, yaitu ‘Abdullah b. Ibrahim
Al-Mirghani. Al- Mirghani ini dianggap sebagai pendiri tarekat Mirghaniyah dan
merupakan penulis sangat produktif (tidak kurang dari tiga puluh dua karyanya
masih diketahui).31 Ia juga berperan dalam salah satu babak Hikayat Syaikh
Muhammad Samman, di mana kita dapat kesan adanya persaingan antara kedua tokoh
sufi ini.32 Apakah ‘Abd Al-Samad sengaja tidak menyebut nama Al-Mirghani
karena loyalitas kepada gurunya?
Kata Penutup
Tarekat
Sammaniyah adalah tarekat pertama yang telah mendapat pengikut massal di
Nusantara. Riwayat-riwayat tentang keramat Syaikh Samman, terutama pertolongan
supranaturalnya kepada penganut yang terjepit, agaknya, menambah daya tarik
tarekat Samrnaniyah bagi kalangan awam. Dengan ratib dan dzikir kerasnya, yang
terkadang sangat ekstatis dan di beberapa daerah telah diadaptasi menjadi
hiburan rakyat (“tari Samman”) pula, tarekat ini mengesankan sebagai ekspresi
agama rakyat dan berbeda dengan pola keagamaan para ulama fiqih. Tetapi kesan
itu tidak dapat dipertahankan kalau kita menilik ketiga tokoh tarekat penting
yang dibahas dalam tulisan ini, Muhammad Al- Samman, ’Abd Al-Samad
Al-Falimbani dan Muhammad Nafis Al- Banjari. Mereka selain ahli tasawuf juga
merupakan ahli fiqih. Dan tasawuf bagi mereka tidak hanya terdiri dari amalan
saja; amalan dan kajian teks tertulis harus saling mendukung.
‘Abd
Al-Samad barangkali merupakan tokoh tasawuf Nusantara yang paling terpelajar
sepanjang sejarah. Menarik untuk membandingkan teks-teks tasawuf yang ia sebut
dengan kitab- kitab yang dikutip atau disebut Nuruddin Al-Raniri.33 Meskipun
bacaan Raniri juga sangat mengagumkan, namun ‘Abd Al-Samad tampaknya lebih
all-round. Ia terkenal sebagai penerjemah Al- Ghazali tetapi itu tidak berarti
bahwa ia cenderung kepada tasawuf “akhlaqi” daripada tasawuf “falsafi”. Ia
tidak menolak paham metafisika Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, seperti Raniri;
sebaliknya, ia menyatakan karya-karya Syamsuddin sangat
berguna
bagi para sufi yang sudah muntahi. Demikian karya- karya Ibn Al-‘Arabi,
Al-Jili, Al-Burhanpuri: sangat layak dibaca orang yang sudah mapan tetapi
berbahaya bagi pemula. Orang awam lebih baik mulai dengan kitab-kitab
Al-Ghazali saja, dan itulah yang ‘Abd Al-Samad sajikan dalam bahasa Melayu.
Tetapi dalam kitab yang sama ia meninggalkan petunjuk bahwa tasawuf yang
sebenarnya, bagi yang sudah cukup maju dalam perjalanan, dapat dijumpai di Ibn
Al-‘Arabi. [ ]
Catatan akhir:
1. Lihat
Martin van Bruinessen, “Tarekat dan Politik: Amalan Untuk Dunia Atau
Akhrerat?”, Pesantren Vol. IX, No. 1 (1992), hlm. 3-4, 9-10 (dimuat dalam buku
ini, hlm. 330).
2. Lihat “Tarekat Khalwatiyah di
Sulawesi Selatan”, hlm. 285 dalam buku ini.
3. Lihat
Zamzam 1979, hlm. 7; Abu Daudi 1980, hlm. 23-24 (tentang Arsyad) dan Abdullah
1987, hlm. 33-35 (tentang Da’ud). Arsyad disebut dalam manaqib terjemahan
Muhyiddin Al-Falimbani sebagai murid Syaikh Samman sendiri. Da’ud tampaknya
masuk tarekat tersebut belakangan; dalam silsilahnya terdapat empat nama
antara dia dan Syaikh Samman, dan dua guru terakhir sesama orang Patani.
4.
Al-Ahdal 1979, hlm. 143. Penulis menambahkan bahwa ulama tersebut
masing-masing mempunyai isnad sampai Ahmad Al- Nakhli dan ‘Abdullah bin Salim
Al-Bashri.
5. Lihat ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani, Sair
Al-Salikin (Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah Indonesia), juz’ 3, hlm. 39-40.
Silsilah mulai dengan Syaikh Al-Samman, kemudian Syaikh Mustafa Al-Bakri,
Syaikh ‘Abd Al-Latif, Syaikh Mustafa Afandi Al- Adirnawi, Syaikh ‘Ali Afandi
Qarabasy, dan seterusnya.
6. Menurut Hikayat Syaikh
Muhammad Samman, yang disusun oleh Khalifah Samman, Shiddiq bin ‘Umar Khan
Al-Madani dan diterjemahkan oleh Muhyiddin Al-Falimbani, Syaikh Samman
menganut tarekat Qadiriyah; tarekat lain tak disebutkan dalam riwayat hidup
ini (Purwadaksi 1992, hlm. 250). Menurut ‘Abd Al-Hamid bin M. ‘Ali Quds,
Al-Futuhat Al-Qudsiyah (dikutip dalam Purwadaksi 1992, hlm, 369). Samman
mengambil tarekat Qadiriyah dari seorang guru bernama Muhammad Tahir. Yang
dimaksud sangat mungkin Muhammad Tahir bin Ibrahim Al-Kurani.
7.
Tentang Khatmiyah, lihat Grandin 1985, 177-181; O ‘Fahey, Hofheinz &
Radtke (akan terbit).
8. Citra tarekat ini digambarkan
dengan lima huruf N Q Th J M, yang dijelaskan sebagai
gabungan Naqsyabandiyah,
Qadiriyah, thariqah al-anfas,
thariqah Al-Junaid dan thariqah al-muwafaqah. “Tarekat Samman ini
menghimpunkan akan segala tarekat yang disebut ini” (Fath Al-’Arifin, cetakan
Bungkul Indah, Surabaya, hlm. 2-3).
9. Syarah ini
berjudul Qath Azhar Al-Mawahib Al-Rabbaniyah. Manuskrip lengkap dimiliki
K.H.M. Zen Syukri di Palembang (fotokopi pada penulis). Perpustakaan Nasional
Jakarta juga menyimpan naskahnya (A 450), namun ini hanya terdiri dari
beberapa halaman pertama saja.
10. Versi asli
Al-Manaqib Al-Kubra tidak ditemukan lagi. Versi Melayu, Hikayat Syaikh
Muhammad Samman, rampung
diterjemahkanpada1196/1781,danadasejumlahmanuskripnya. Karya ini ditranskrip
dalam disertasi Purwadaksi (1992). Kitab- kitab Manaqih Syaikh Samman yang
belakangan dicetak di berbagai tempat do Nusantara, agaknya, merupakan seleksi
dari terjemahan ini. Selain terjemahan ini, terdapat pula terjemahan oleh
Kemas Muhammad bin Ahmad Al-Falimbani (lihat Drewes 1977, hlm. 224).
11.
Al-Falimbani, Sair Al-Salikin, juz 3, hlm. 178-9, 185.
12.
Ibid, hlm, 182. Lihat pula lampiran pada tulisan ini, di hlm. 71-87.
13.
Purwadaksi 1992, hlm. 302, 329.
14. Sair Al-Salikin juz
3, hlm. 179 (lihat teks lampiran di bawah ini pada catatan kaki 24).
15.
Manaqib Al-Syaikh Al-Wali Al-Syahir [bi] Muhammad Samman R.’A (penerbit: S.’A.
Al-‘Aydarus, Jakarta). Buku kecil ini menceritakan hanya sebagian kecil saja
dari keajaiban- keajaiban yang tercantum dalam terjemahan Melayu Muhyiddin bin
Syihabuddin Al-Falimbani, Hikayat Syaikh Muhammad Samman. Seluruh Hikayat
tersebut ditranskrip dalam disertasi Purwadaksi (1992, hlm. 231-355).
16.
Wawancara dengan K.H.M. Zen Syukri, Palembang, 19 Maret 1990. Nama Muhamad
‘Aqib Al-Falimbani akan dijumpai lagi di bawah: menurut isnad yang diterbitkan
Syaikh Yasin Padang, ialah salah seorang guru ‘Abd Al-Samad, bukan
muridnya.
Dalam karya-karya ‘Abd Al-Samad, Muhammad ‘Aqib tidak disebut sama sekali, dan
saya lebih cenderung percaya keterangan Kiai Zen.
17.
Demikian K.H.M. Zen Syukri, wawancara, Palembang, 19 Maret 1990.
18.
Al-Ahdal 1979, hlm. 138. Guru yang disebut: Ibrahim Al-Ra’is, Muhammad Mirdad,
‘Ata’ Al-Mishri, Muhammad Al-Jauhari dan Muhammad b. Sulaiman Al-Kurdi.
19.
Syaikh Yasin Padang memang dianggap sangat ahli dalam bidang isnad kitab
kuning, dan oleh muridnya diberikan gelar musnid al-dunya. Ia sempat belajar
kepada sejumlah cukup besar ulama Haramain maupun Nusantara. Ia telah
menerbitkan sejumlah buku berisi isnad dari semua kitab yang telah
dikajinya.
20. Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani hidup
sekitar satu abad sesudah ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani, dan keduanya tidak
mungkin bertemu secara langusng. Kata ‘an dalam isnad (Nawawi ‘an ‘Abd
Al-Samad) menunjukkan mungkin terdapat beberapa tokoh yang kurang menonjol di
antara keduanya. Sebagai tokoh perantara, beberapa isnad menyebut nama Mahmud
bin Kanan Al-Falimbani.
21. Hasanuddin bin Ja’far,
saudaranya Thayib dan putra-putranya Salih dan ‘Aqib sering muncul dalam
isnad-isnad Syaikh Yasin, selalu sebagai guru ‘Abd Al-Samad, tetapi nama
mereka (kecuali ‘Aqib) tidak dapat ditemukan di sumber lain.
22.
Abdullah 1989, hlm. 10. Menurut keteranan Abdullah hanya terdapat dua buah
naskah tulisan tangan dari karya ini.
23. Abdullah
1989, hlm. 10. Tidak jelas keterangan ini berdasarkan sumber apa.
24.
Lihat van Bruinessen, “Tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan”, dalam buku
ini.
25. Hikayat Syaikh Muhammad Samman menyebut M.
Arsyad sebagai salah seorang murid Syaikh Samman, dan M. Nafis tidak disebut
sama sekali. Demikian juga menurut tradisi lisan di Kalimantan Selatan, Syaikh
Arsyad pernah belajar langsung
kepada Syaikh Samman,
bersamaan dengan ‘Abd Al-Samad (Zamzam 1979, hlm. 7; Abu Daudi 1980, hlm.
23-24). Tetapi, menurut sumber yang sama, keduanya kemudian pulang ke
Nusantara pada tahun 1186/1772, bersama-sama dengan Abdurrahman Mashri (dari
Betawi) dan Abdul Wahhab Bugis. Jelas ini tidak benar, karena ‘Abd Al-Samad
beberapa tahun kemudian masih berada di Makkah (bdk. Quzwain 1985, hlm.
20-21).
26. Abu Daudy (H.M. Irsyad Zein), wawancara,
Dalampagar, 12 November 1993.
27. Catatan ini
berdasarkan sebuah naskah lama milik Haji M. Idris bin M. Thahir di kampung
Delapan Ilir, Sungai Vayas, Palembang.
28. Anshari
antara lain mengarang Manhaj Al-Thullab dan Fath Al-Wahhab, dua kitab fiqih
yang masih banyak digunakan di pesantren, selain karyanya Asna Al-Mathalib
sebagai rujukan dalam masalah yang dipandang sulit. M. Arsyad Al-Banjari, yang
hidup sezaman dengan ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani, menggunakan Manhaj Al-Thullab
sebagai dasar untuk kitab fiqih berbahasa Melayu yang ia karang, Sirath
Al-Mustaqim. Karangan Sya’rani yang sangat terkenal di Indonesia adalah
Al-Mizan Al-Kubra.
29. Tentang Sya’rani dan hubungannya
dengan tasawuf dan kaum sufi, lihat juga monografi Winter (1982).
30.
Lihat Drewes 1972. Buku ini merupakan kajian terjemahan Jawa Fath Al-Rahman
dan menyebut terjemahan Melayu oleh Kemas Fakhruddin dari Palembang. Dua
terjemahan lain yang pernah saya lihat diusahakan oleh Abdussamad bin M.
Azhari Banjar dari Nagara, Kalsel (cetakan Singapura 1335/1917) dan oleh
seorang cucu Arsyad, H. Muhammad Sa’id Al-Banjari (cetakan Banjarmasin
1405/1985).
31. Lihat O’Fahey, Hofheinz dan Radtke
(akan terbit).
32. Purwadaksi 1992, hlm. 287-9. Menurut
riwayat ini, ‘Abdullah Mirghani pernah datang ke Madinah untuk menziarahi Nabi
dan menolak penghormatan yang disiapkan Syaikh Samman baginya. Sebagai akibat,
Mirghani jatuh sakit.
33. Syed Muhammad
Naquio Al-Attas telah menyusun daftar kitab dan pengarang yang disebut oleh
Raniri dalam Hujjat Al- Shiddiq, Jawahir Al-‘Ulum dan Thibyan fi Ma’rifah
Al-Adyan (1986, hlm. 16-24).
TAREKAT KHALWATIYAH DI SULAWESI SELATAN
Salah satu aspek yang mencolok dari Islam di Sulawesi Selatan
adalah sangat dominannya tarekat Khalwatiyah di kalangan orang Bugis dan
Makassar. Dalam kenyataannya, terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini,
yang hadir bersama-sama di banyak daerah di Sulawesi Selatan. Keduanya dikenal
sebagai tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Tarekat Khalwatiyah
Samman terutama terdapat di tempat-tempat mana saja, di mana terdapat
komunitas Bugis dan Makassar yang besar di Nusantara, seperti Riau, Malaysia,
Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat; tetapi pusat gaya tariknya adalah
Sulawesi Selatan. Mereka yang menjadi anggota kedua cabang tarekat tersebut
tampaknya terbatas pada kedua kelompok etnis ini, dan mungkin sedikit orang
Mandar. Menurut statistik yang disusun oleh Departemen Agama, tarekat
Khalwatiyah Yusuf pada tahun 1973 memperoleh sekitar 25.000 pengikut di
provinsi tersebut, sedangkan tarekat Khalwatiyah Samman memperoleh sejumlah
117.435 orang pengikut. Dari jumlah pengikut Khalwatiyah Samman di atas, di
daerah Maros saja—daerah di mana cabang ini telah dikembangkan oleh seorang
guru karismatik H. Palopo pada akhir abad ke-19— terdaftar sekitar 70.000
pengikut.1 Tidak jelas, bagaimana statistik ini dikumpulkan dan keraguan
tertentu mungkin diperlukan, tetapi jelas bahwa tarekat Khalwatiyah di
Sulawesi Selatan sama sekali bukanlah sebuah gejala marginal. Pengikut kedua
cabang ini secara keseluruhan mencakup 5% dari penduduk provinsi yang berumur
di atas 15 tahun; pengikut yang berada di Maros
mencapai dua
per tiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah tersebut! Kalau kita diizinkan
mereka-reka, proporsi ini lebih besar daripada jumlah pengikut tarekat lain di
mana pun di Indonesia.
Nama tarekat Khalwatiyah Yusuf diambil dari nama
seorang sufi, ulama dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Makassar
yang sampai sekarang masih sangat dihormati di Sulawesi Selatan. Tarekat
Khalwatiyah Samman mengambil namanya dari nama seorang sufi Madinah abad
ke-18, Muhammad Al-Samman, yang tentang dia akan kita bahas kemudian.
Dua
Cabang Tarekat Khalwatiyah
Sekarang, kedua cabang tarekat Khalwatiyah ini
muncul sebagai thuruq (jamak dan thariqah) yang sama sekali berdiri sendiri,
dan antara keduanya tidak terdapat banyak kesamaan selain kesamaan nama.
Terdapat berbagai perbedaan dalam hal amalan, organisasi, dan komposisi sosial
pengikutnya. Dzikir, pembacaan nama-nama Tuhan dan kalimat-kalimat singkat
lainnya, dibaca di dalam hati oleh tarekat Khalwatiyah Yusuf, sementara oleh
Khalwatiyah Samman dzikir di lakukan dengan suara keras dan ekstatik. Tarekat
Khalwatiyah Samman sangat terpusat, semua gurunya tunduk kepada pimpinan
pusatnya di Maros; sementara Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat.
Cabang- cabang lokal dari tarekat Khalwatiyah Samman seringkali memiliki
tempat ibadahnya sendiri (mushalla, langgar) dan cenderung mengisolasi diri
dari pengikut tarekat lainnya, sementara pengikut Khalwatiyah Yusuf tidak
mempunyai tempat ibadah yang khusus dan dengan bebas bercampur dengan para
tetangga mereka yang tidak menjadi anggota tarekat.
Tarekat Khalwatiyah
Yusuf mungkin dapat disebut sebagai tarekat yang lebih “aristokratik”; di
antara pengikutnya kita menemukan banyak orang berasal dari kalangan bangsawan
Makassar, termasuk penguasa Kerajaan Gowa yang terakhir, Andi Ijo Sultan
Muhammad Abdul Kadir Aidid (yang berkuasa tahun 1946- 1960). Tetapi,
pengikutnya tentu saja tidak terbatas pada kalangan terpelajar atau orang
Makassar saja; oleh seorang pengamat yang berpengetahuan luas dikatakan bahwa
ia merupakan contoh
yang paling representatif dari penduduk
Sulawesi Selatan.2 Tarekat Khalwatiyah Samman jelas lebih “merakyat”, baik
dalam hal gaya maupun komposisi sosial pengikutnya; sebagian besar pengikutnya
adalah orang-orang desa. Baik penguasa duniawi maupun ulama ortodoks
seringkali memandang mereka dengan kecurigaan, dan hal ini telah memperkuat
kecenderungan tarekat Khalwatiyah Samman untuk menutup diri. Untuk
menghilangkan kecurigaan-kecurigaan politik, para syaikhnya bergabung ke dalam
organisasi Golkar, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para guru tarekat di
Nusantara. Tindakan ini menyebabkan keterbukaan dalam jamaah tersebut; sekolah
mereka, yang disubsidi pemerintah, bahkan punya beberapa orang guru dari
luar.3
Syaikh Yusuf dan Para Gurunya
Syaikh Yusuf Makassar
dikenal di Sulawesi dengan gelar kehormatan, Al-Taj Al-Khalwati, “Mahkota
tarekat Khalwatiyah”. Barangkali, dialah orang pertama yang memperkenalkan
tarekat ini di Indonesia, dan di Sulawesi tarekat ini dihubungkan erat dengan
namanya. Namun, tarekat Khalwatiyah bukanlah satu- satunya tarekat yang
membai’at Syaikh Yusuf. Dia menghabiskan waktunya selama beberapa puluh tahun
di tanah Arab dan belajar kepada banyak guru. Dalam risalahnya yang berjudul
Safinah Al- Najah dia menyebutkan berbagai tarekat yang telah ia pelajari,
berikut nama-nama para guru dan pendahulu spiritualnya.4 Dia dibai’at menjadi
penganut tarekat Khalwatiyah di Damaskus, tempat yang baranqkali didatanginya
untuk menziarahi makam seorang sufi besar Muhyidin Ibnu Al-‘Arabi. Yusuf
menceritakan bahwa syaikh yang membai’atnya, Abu Barakat Ayyub bin Ahmad
Al-Khalwati Al-Quraisyi, adalah imam dan khatib di masjid Ibnu ‘Arabi. Dia
juga memberikan silsilah-nya untuk tarekat ini, melalui orang yang dianggap
sebagai pendirinya, Dede ‘Umar Al-Khalwati (w. 1497) hingga sufi terkemuka
Baghdad abad kesembilan, Junaid Al-Baghdadi, yang dengannya tarekat ini selalu
menghubungkan diri.5
Ada beberapa indikasi yang menunjukkan
bahwa tarekat Khalwatiyah Yusuf—yakni, tarekat yang diajarkan oleh Syaikh
Yusuf setelah kepulangan ke Nusantara—sebenarnya merupakan penggabungan dari
beberapa tarekat yang pernah dia pelajari, walaupun tarekat Khalwatiyah tetap
yang paling dominan di dalamnya. Selain tarekat Khalwatiyah, Yusuf telah
dibai’at masuk tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syattariyah, dan
Ba’alawiyah, dan dia menuliskan silsilah-silsilahnya. Saya akan memberikan
komentar singkat tentang masing-masing tarekat ini.
Pembai’atan Yusuf
menjadi pengikut tarekat Qadiriyah rupanya terjadi selama dia menetap di Aceh
dalam perjalanannya menuju tanah Arab, yang terjadi pada, atau tidak lama
setelah, tahun 1644. Dalam Safinah Al-Najah dia menyebut Muhammad Jila[ni],
yang dikenal sebagai Syaikh Nur Al-Din b. Hasanji b. Muhammad Hamid Al-Ursyi
Al-Raniri sebagai gurunya. Tampaknya ada kerancuan antara dua nama,
kesalahannya mungkin ada pada penyalinnya. Muhammad Jilani bin Hasan bin
Muhammad Hamid Al-Raniri adalah paman Nur Al-Din dari garis ayahnya. Dia
pertama kali datang ke Aceh sekitar tahun 1580; jika dia benar- benar masih
hidup pada tahun 1644, dia pastilah sudah berurnur 80 tahunan.6 Bagian pertama
dari silsilah Qadiriyah Syaikh Yusuf yang langsung mengikuti Muhammad Jilani
sedikit mengejutkan karena nama-namanya dikenal. Sepuluh nama yang pertama
dalam silsilah Qadiriyah ini ternyata identik dengan sepuluh nama yang
diberikan oleh Al-Raniri lainnya, Nur Al-Din, sebagai silsilah tarekat
Rifa’iyah.7 Kesepuluh orang pendahulu tersebut, yang rupanya mengajarkan kedua
tarekat ini, adalah para Sayyid Hadhrami, sebagaimana kedua Raniri, dan
generasi terakhir mereka juga menetap di Gujarat.8
Syaikh Yusuf
mempelajari tarekat berikutnya di Yaman, ketika itu dia masih dalam perjalanan
menuju Makkah. Syaikh Naqsyabandiyah, Muhammad ‘Abd Al-Baqi Al-Mizjaji di
Nuhithah membai’atnya menjadi penganut cabang dari tarekat Naqsyabandiyah yang
berhubungan dengan Syaikh India Taj Al- Din Zakariya. Syaikh Taj Al-Din,
mungkin layak disebut di sini, adalah seorang saingan dari syaikh
Naqsyabandiyah reformis, Ahmad Faruqi Sirhindi, yang dikenal sebagai seorang
penentang
doktrin wahdah al-wujud cabang tarekat
Naqsyabandiyah Taj Al-Din, sebaliknya, dengan gigih membela doktrin-doktrin
Ibnu ‘Arabi.9
Seorang ahli metafisika Ibnu ‘Arabi yang terkemuka lainnya,
syaikh Ibrahim Al-Kurani, ulama terkemuka di Madinah, membai’at Yusuf menjadi
pengikut tarekat Syattariyah. Syaikh Ibrahim juga adalah guru dari ‘Abd
Al-Rauf Singkel, penyebar utama tarekat ini di Nusantara (lihat Johns 1978,
1986). Yusuf belajar kepada syaikh Ibrahim lebih dari sekadar tentang tarekat
Syattariyah. Kita mengetahui bahwa dia mempelajari kitab karya ‘Abd Al- Rahman
Al-Jami’ yang sulit, Ad-Durrah Al-Fakhirah, di bawah bimbingannya, karena dua
salinan karya tersebut yang disalin oleh Yusuf sendiri masih ada sampai
sekarang, salah satunya mengandung juga hasyiyah-hasyiyah yang diberikan oleh
Syaikh Ibrahim sendiri pada teks tersebut (Heer 1979: l3-5). Syaikh Ibrahim
pastilah sangat berpengaruh, jika bukan yang paling penting, dalam
perkembangan intelektual dan spiritual Yusuf.
Tarekat yang terakhir
disebut oleh Yusuf adalah tarekat Ba’alawiyah, sebuah tarekat yang umumnya
hanya dianut oleh para sayyid Hadhrami dan para murid mereka. Berbeda dengan
tarekat lain yang sudah disebutkan, amalan-amalan ruhani dalam tarekat ini
terbatas pada pembacaan ratib; tampaknya tarekat ini tidak menganut
doktrin-doktrin mistik yang khas. Yusuf hanya memberikan silsilah yang tidak
lengkap untuk tarekat Ba’alawiyah ini, yang barangkali mencerminkan tidak
adanya minat yang lebih dalam terhadap tarekat tersebut.10
Syaikh Yusuf
belajar di tanah Arab ketika sistem tasawuf dan metafisika Ibnu ‘Arabi
(doktrin wahdah al-wujud) semakin banyak mendapat serangan, bukan hanya dari
kalangan ulama ortodoks yang berorientasi fiqih tetapi juga di lingkungan para
sufi. Ahli tarekat Naqsyabandiyah India, Ahmad Faruqi Sirhindi (1564-1624)
mempelopori penolakan terhadap doktrin wahdah al-wujud dan mengeluarkan
doktrin alternatif, wahdah al-syuhud, (kesatuan penghayatan), yang menekankan
pada ketuhanan yang transenden.11 Yusuf jelas tidak terkena pengaruh dari
reaksi ini; ia belajar kepada beberapa wakil dari penganut doktrin wahdah
al-wujud yang paling terkemuka pada saat itu. Jamaah di sekitar
Ibrahim
Al-Kurani dengan sengit mengadakan polemik terhadap para pengikut Sirhindi
(walaupun Ibrahim sendiri menulis juga sebuah risalah, khususnya untuk orang
Indonesia, yang menentang interpretasi “panteistik” terhadap doktrin wahdah
al-wujud). Guru Yusuf dalam bidang tarekat Naqsyabandiyah, Muhammad ‘Abd Al-
Baqi, termasuk anggota dari salah satu cabang anti-Sirhindi dalam tarekat
tersebut, sementara gurunya dalam tarekat Khalwatiyah adalah imam dan khatib
di makam Ibnu ‘Arabi di Damaskus. Dan tidak ada alasan untuk percaya
lingkungan Hadhrami, tempat Syaikh Yusuf berbai’at masuk tarekat Qadiriyah,
merupakan sebuah perkecualian dari orientasi wahdah al-wujud ini. Adalah benar
bahwa Nur Al-Din Al-Raniri memang dikenal di Indonesia sebagai seorang
penentang keras ajaran wahdah al-wujud Hamzah Fansuri, tetapi sebuah analisis
terhadap tulisannya sendiri menunjukkan bahwa Al-Raniri ternyata menganut
interpretasi yang sangat serupa dengan interpretasi Ibnu ‘Arabi.12
Dalam
karya-karyanya yang masih dapat ditemukan sekarang (kebanyakan, kalau tidak
semuanya, ditulis setelah kepulangannya dari tanah Arab), tidak satu pun yang
mengungkapkan secara sistematis pandangan-pandangan Syaikh Yusuf sendiri.13
Tetapi, rujukan yang sering kepada Ibnu ‘Arabi dan sufi lain yang memiliki
kedekatan pandangan, terlalu jelas menunjukkan di mana dia berdiri secara
doktrinal. Anekdot-anekdot moral tentang para syaikh besar dari berbagai
tarekat menunjukkan bahwa dia masih sangat eklektik dalam hal ini. Walaupun
Yusuf (atau barangkali penyalinnya yang belakangan) menyebut dirinya sendiri
sebagai Al-Taj Al-Khalwati dalam beberapa risalahnya, ia ternyata lebih sering
mengutip pendapat syaikh Naqsyabandiyah daripada syaikh Khalwatiyah.
Praktik
tarekat Khalwatiyah Yusuf sekarang menunjukkan bahwa Yusuf juga bersikap
eklektik dalam teknik-teknik spiritual aktual yang diajarkannya (terutama
dalam mengadopsi dzikir qalbi tarekat Naqsyabandiyah). Dalam risalahnya yang
berjudul Habl Al-Warid li Sa’adah Al-Murid, dia menyebut tiga dzikir dasar:
“Ya Allah, terangilah hati kami dengan zikir La ilâha illallâh, bebaskanlah
jiwa kami dengan zikir Allah Allah dan singkapkanlah batin kami dengan zikir
Hu Hu!”
Ia menjelaskan bagaimana suku kata zikir yang disebut
pertama harus “ditarik” melalui tubuh, dengan menarik “La” nafi yang
dipanjangkan sampai ke otak, menarik “ilaha” ke kanan, yang diikuti dengan
jeda sebentar, dan kemudian menarik “illallah” ke kiri, dengan menghunjamnya
ke dalam hati dengan sekuat tenaga. Tidak satu pun dari praktik ini yang khas
Khalwatiyah, sementara metode zikir yang dianggap ciri khas Khalwatiyah (lihat
de Jong 1978) tidak dibahas oleh Yusuf.
Tarekat Khalwatiyah
Indonesia setelah Syaikh Yusuf
Setelah kepulangannya dari tanah Arab,
sekitar 1670, Syaikh Yusuf menetap pertama-tama di Banten, di mana dia menjadi
seorang penasihat spiritual dan menantu dari Sultan Ageng Tirtayasa, dan
menjadi pemimpin karismatik bagi orang Makassar dan Bugis yang bermukim di
Banten dalam jumlah besar pada saat itu. Rupanya di sinilah dia menulis
kebanyakan karyanya. Ketika putra mahkota Banten memberontak melawan Sultan
yang sudah tua dan mendapat dukungan dari VOC (yang selalu menunggu kesempatan
seperti itu), Yusuf memihak kepada sang ayah. Bahkan setelah Sultan ditawan,
Yusuf melanjutkan perlawanannya dan memimpin sekelompok pengikut yang dikejar-
kejar pasukan Belanda melewati gunung-gunung di Jawa Barat. Pada bulan
Desember 1683, mereka akhirnya tertawan. Belanda mengasingkan Syaikh Yusuf ke
Seylon, tetapi membolehkan (sebagian dari) pengikutnya yang berasal dari
Makassar untuk kembali ke Sulawesi. Setelah satu dasawarsa di Seylon, Belanda
menganggap perlu untuk memindahkannya kembali dan meng- asingkannya ke Tanjung
Harapan, di mana dia meninggal pada tahun 1699. Masyarakat Melayu di kedua
tempat pengasingan tersebut menghormatinya sebagai seorang wali besar. Sampai
sekarang masih ada pemujaan di makam Syaikh Yusuf di Tanjung Harapan (walaupun
tulang-belulangnya sudah dikembalikan ke Sulawesi Selatan, dan kubur keduanya
di Lakiung juga menjadi pusat pemujaan); sementara di Banten namanya juga
belum benar-benar dilupakan orang. Walaupun demikian, tarekat yang berhubungan
dengan namanya rupanya hanya diikuti di kalangan
orang-orang
Makassar dan Bugis saja. Dapat dipastikan, hampir naskah tulisan Yusuf berasal
dari Sulawesi Selatan.14
Di antara para murid Yusuf yang pertama,
barangkali orang-orang Makassarlah yang dominan. Yusuf berasal dari kerajaan
Makassar Gowa (sumber-sumber belakangan bahkan menyebutkan bahwa dia mempunyai
hubungan dengan keluarga raja), dan dia berkirim surat dari Banten kepada
Pangeran Gowa, Karaeng Karunrung.15 Barangkali yang menyebabkan Syaikh Yusuf
tidak tinggal di tanah kelahirannya, Gowa, setelah kepulangannya dari tanah
Arab adalah karena kerajaan ini telah ditundukkan oleh Kerajaan Bugis Bone
yang bekerjasama dengan Belanda pada tahun 1669. Karaeng Karunrung, Pangeran
terkemuka dan komandan militer tertinggi kerajaan Gowa, masih melakukan
perlawanan ketika Yusuf menulis surat kepadanya. Setelah penawanan dan
pengasingan Yusuf, raja dan kalangan bangsawan Gowa berkali-kali meminta
kepada VOC agar mengizinkan Yusuf pulang; laporan Belanda waktu itu
membenarkan popularitasnya yang besar di kalangan orang-orang Makassar.16
Ketika tulang- belulang Yusuf akhirnya dikembalikan pada tahun 1705, raja
sendirilah yang menangani penguburannya kembali di Lakiung (Cense 1950: 53-4).
Penghormatan kepada Yusuf pertama dan terutama terdapat di kalangan
orang-orang Makassar; tidak ada indikasi bahwa dia juga memperoleh popularitas
yang serupa di kalangan orang-orang Bugis pada saat itu. Dan ini mungkin juga
berlaku bagi tarekat Khalwatiyah Yusuf. Ternyata, satu-satunya silsilah lama
dari tarekat Khalwatiyah yang saya temukan adalah milik seorang Makassar,
Muhammad ‘Abd Al-Wahid bin ‘Abd Al-Ghaffar Al-Makassari Al-Khalwati. Ia
diba’iat oleh ayahnya, ‘Abd Al-Qadir Majannang, dan ayahnya dibai’at oleh Abu
Al-Fath ‘Abd Al-Bashir Al-Darir Al-Khalwati, yang menerima tarekat ini dari
Syaikh Yusuf sendiri.17 ‘Abd Al-Bashir, yang juga dikenal sebagai Tuang
Rappang, juga merupakan khalifah utama Yusuf di Sulawesi Selatan. Tradisi
lokal yang dimilikinyalah yang telah menyebabkan dia bertemu dengan Yusuf
untuk pertama kalinya di Makkah dan kemudian menjadi muridnya yang paling
dipercaya. Dia rupanya ikut serta dengan Yusuf ke Banten; catatan harian para
penguasa Makassar mencatat kedatangannya dari Banten
pada
tahun 1678. Dia kemudian menetap jauh di sebelah utara tanah Makassar, di
Rappang, dan akhirnya meninggal di sana pada tahun l733.18 Jenazahnya dibawa
ke Gowa, dan dimakamkan di samping kuburan Yusuf di Lakiung (Ligtvoet, 1880:
144, 201). Seorang keturunan ‘Abd Al-Bashir, Syaikh H. Muhammad Sultan
Baitullah (w. 1948), pada masa belakangan menjadi guru tarekat Khalwatiyah
Yusuf paling terkenal di Gowa (Rahman, t.t.: 5-6).
Para pengikut Yusuf
yang berasal dari Makassar, mungkin termasuk khalifah-nya juga, kembali ke
Sulawesi setelah penawanan Yusuf. Catatan harian raja mencatat bahwa mereka
datang satu kapal penuh dari Cirebon pada bulan Maret 1684 (Ligtvoet
1880:154). Salah seorang penyebar tarekat ini rupanya adalah putra Yusuf dari
istrinya yang pertama, Muhammad Jalal (yang juga dikenal sebagai
Muhammad Kabir); seorang keturunannya, Haji Raden Daeng Tompo, mantan qadhi
Takalar, masih mengajarkan tarekat Khalwatiyah Yusuf (Rahman, t.t.: 5).
Walaupun
hubungan Yusuf dengan pihak kerajaan Gowa mungkin merupakan alasan
kenapa pengaruhnya benar- benar sangat kuat di kalangan
orang-orang Makassar, namun pengaruhnya juga segera meluas ke orang-orang
Bugis. Dalam kenyataannya, naskah-naskah terpenting dari karyanya berasal dari
kerajaan Bugis Bone. Seabad setelah kematian Syaikh Yusuf, penguasa Bone yang
bernama Ahmad Al-Shalih Matinro ri Rompegading (1775-1812), menjadi seorang
pengagum besar Yusuf dan rupanya menyusun sebuah risalah yang didasarkan atas
ajaran-ajaran sang Syaikh.19 Sekarang guru tarekat Khalwatiyah Yusuf paling
berpengaruh, di samping orang Makassar lain yang sudah disebutkan, adalah
Puang Lallo dari Garassi di Maros dan Puang Ngemba dari Tomajennang Tonasa di
Pangkajene bagian kepulauan, keduanya orang Bugis.
Tarekat
Khalwatiyah Samman: Penyebaran Awal
Cabang tarekat Khalwatiyah yang lain,
yang berhubungan dengan Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Samman, adalah cabang
yang lebih baru dan mempunyai asal-usul yang sama sekali berbeda. Kebanyakan
cabang lokal jika bukan semuanya, sekarang
berafiliasi dengan
Haji ‘Abd Al-Razzaq alias Puang Palopo, tokoh karismatik yang memperoleh
sejumlah besar pengikut di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-20. Pemisahan
ketat yang sekarang ada antara kedua cabang tarekat ini, dan karakter tarekat
Sammaniyah yang lebih “merakyat” mungkin berawal dari periode tersebut.
Penyebaran lebih awal dari cabang yang sama rupanya telah dengan mudah
diintegrasikan ke dalam jaringan Khalwatiyah Yusuf yang sudah ada. Masalah
inilah yang akan dibicarakan terlebih dahulu.
Muhammad Samman (1718-1775)
adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Dia dibai’at
menjadi pengikut berbagai tarekat di samping tarekat Khalwatiyah (terutama
Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syadziliyah), dan memadukan berbagai unsur dari
tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat Khalwatiyah yang khas dan
berdiri sendiri, yang biasanya disebut tarekat Sammaniyah (lihat Grandin 1985:
173-5). Murid Indonesianya yang paling ternama adalah ‘Abd Al-Shamad
Al-Falimbani, yang umumnya dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan
tarekat Sammaniyah di Nusantara. Namun, cabang tarekat Sammaniyah di Sulawesi
bukan berasal dari ‘Abd Al-Shamad.
Menurut tradisi lokal di wilayah
Banjar, Kalimantan Selatan, ada tiga orang Indonesia lain yang bersama-sama
dengan ‘Abd Al-Shamad belajar langsung kepada Muhammad Samman. Yang paling
terkenal di antaranya adalah Muhammad Arsyad Al-Banjari (yang sangat terkenal
dengan kitab fiqih berbahasa Melayunya Sabil Al-Muhtadin); yang lain adalah
‘Abd Al-Rahman Masri Betawi (seorang ulama Arab dari Betawi) dan ‘Abd Al-Wahab
Bugis (Zamzam 1978: 8). Nama yang disebut terakhir ini mungkin adalah orang
Bugis pertama yang menjadi penganut tarekat Khalwatiyah Sammaniyah. Dia
rupanya tidak kembali ke Sulawesi, dan karena itu dia bukanlah orang yang
menyebarkan tarekat tersebut di sana. Setelah kembali dari tanah Arab, dia
menetap di Martapura dekat Muhammad Arsyad, yang sudah menjadi menantunya.
Syaikh
Samman memiliki paling tidak seorang murid Indonesia lainnya, seorang yang
bernama Yusuf Bogor, dan ini tampaknya merupakan orang pertama yang
menyebarkan tarekat Khalwatiyah
di Sulawesi. Kami menemukan
silsilah-nya dalam lampiran pada versi berbahasa Melayu dari risalah tarekat
Khalwatiyah, Al-Nur Al-Hadi.20 Pengarang risalah ini (mungkin penguasa Bone
yang sudah disebut, Ahmad Al-Shalih) menyatakan pada bagian awalnya bahwa ia
ditulis berdasarkan ajaran-ajaran Syaikh besar Yusuf Makassar dan Yusuf yang
kedua, yang menjadi qadhi di Bone. Ada kemungkinan bahwa Yusuf yang kedua ini
adalah orang dari Bogor yang disebutkan dalam lampiran. Bukanlah sesuatu yang
luar biasa jika jabatan penting qadhi di berbagai kerajaan di Nusantara
dipegang oleh para ulama non-lokal.
Penyebaran pengaruh tarekat
Sammaniyah yang pertama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh risalah Ahmad
Al-Shalih, terintegrasi secara sangat alamiah ke dalam tradisi yang sudah ada
yang dibangun oleh Syaikh Yusuf Makassar. Tradisi ini tetap bersifat eklektik;
sebagian besar dari Al-Nur Al-Hadi yang berbahasa Melayu ternyata
dipersembahkan pada apa yang disebutnya Qadiriyah, yang rupanya diperkenalkan
oleh Yusuf Bogor yang sama.21 Namun, tidak ada indikasi bahwa Yusuf Bogor ini
telah menanamkan pengaruh tarekat Sammaniyah yang bertahan lama di Sulawesi,
di samping di kalangan keluarga raja Bone. Dilaporkan bahwa raja Bone
menghalangi masyarakat awam dari mempelajari tarekat ini, dengan menjaga agar
“pengetahuan” spiritualnya tetap menjadi hak istimewa seorang raja (Rahman,
t.t.: 14). Semua cabang tarekat Khalwatiyah Sammaniyah yang lebih belakangan
rupanya memiliki afiliasi yang lain.
Tarekat Khalwatiyah Samman (yang
ternyata hanyalah nama lain dari tarekat Sammaniyah) yang sekarang ada di
Sulawesi Selatan berasal dari khalifah Syaikh Samman yang lain, Shiddiq bin
‘Umar Khan, yang juga seorang penduduk Madinah. Ternyata ‘Abd Al- Shamad
dibai’at untuk pertama kalinya menjadi penganut tarekat Sammaniyah oleh
Shiddiq ini, dan baru kemudian melengkapi pelajarannya kepada Muhammad Samman
sendiri. Shiddiq bin ‘Umar Khan menulis, untuk kepentingan ‘Abd Al-Shamad,
sebuah komentar atas kitab Al-Nafhah Al-Qudsiyyah karya Al-Samman,22 yang
diberi judul Qathf Azhar Al-Mawahid Al-Rabbaniyah.23 Semua silsilah Sulawesi
Selatan yang ada sekarang berasal dari Syaikh Shiddiq, melalui seorang
muridnya yang berasal dari
Sumatra Selatan yang bernama Idris
bin ‘Utsman. Idris menetap di Sumbawa dan memiliki beberapa murid keturunan
Bugis di sana. Dia menunjuk ‘Abdullah Al-Munir, putra seorang bangsawan Bugis
dari Bone yang menikah dengan puteri setempat (Bima?), sebagai khalifah-nya.
Putra ‘Abdullah Al-Munir, Muhammad Fudhail, kemudian menetap di Barru,
Sulawesi Selatan, dan dipercaya sebagai orang yang mendirikan tarekat
Khalwatiyah Samman di wilayah ini.24
Haji Palopo dan Penyebaran
Khalwatiyah Samman
Muhammad Fudhail sendiri rupanya tidak memiliki
pengaruh yang sangat besar meskipun memang memperoleh sejumlah murid, terutama
di kalangan bangsawan. Sebuah naskah Bugis singkat yang berasal dari Bone
menyebut baik raja Ahmad Al-Shalih sebagai seorang guru tarekat Khalwatiyah
maupun Muhammad Fudhail yang jauh lebih muda, serta putranya yang bernama ‘Abd
Al-Ghani (tapi bukan pengganti Fudhail, Haji Palopo) sebagai orang-orang suci,
yang berkahnya harus diminta.25 Rupanya kalangan
bangsawan Bone menjadikan Muhammad Fudhail sebagai
guru, setelah kematian Yusuf Bogor dan Ahmad Al-Shalih.
Tetapi, yang
dibai’at menjadi pengikut tarekat Khalwatiyah Samman pada saat itu tidak lagi
terbatas pada kalangan bangsawan tinggi. Khalifah utama Muhammad Fudhail, Haji
Palopo alias ‘Abd Al-Razzaq, rupanya berasal dari kalangan bangsawan yang
lebih rendah. Dia juga seorang asli Bone (dalam hal ini Palopo adalah nama
seseorang, dan tidak merujuk ke kota ibukota Luwu), tetapi banyak melakukan
perjalanan, sambil membai’at orang-orang di seluruh Sulawesi Selatan.
Sebagaimana yang dikatakan putranya, ‘Abdullah, yang kemudian menjadi
penggantinya, kepada seorang pejabat Belanda, Haji Palopo diundang di seluruh
tempat oleh para raja Sulawesi Selatan, raja Bone maupun Gowa, raja Soppeng
dan Pare-Pare; dan di mana saja dia menemukan murid, terutama di kalangan anak
karaeng (bangsawan tinggi).26 Ketika ayahnya memulai pengajarannya, tambahnya,
tarekat hanya memiliki beberapa orang pengikut, terutama di kalangan bangsawan
tinggi, sementara pada masanya sendiri terdapat beberapa ratus pengikut.
Dia
bahkan tidak mengenal seluruhnya orang-orang yang menjadi khalifah ayahnya,
dan secara teratur dikunjungi orang-orang dari daerah lain yang membawakannya
hadiah-hadiah karena dia sekarang adalah Puang Lompo, “Guru tertinggi”.
Haji
Palopo tinggal di daerah Maros, yang sejak saat itu merupakan pusat tarekat
Khalwatiyah (walaupun ada beberapa pergeseran dari satu desa dengan desa
lainnya). Dia menunjuk beberapa khalifah untuk daerah-daerah lain, terutama
Bone dan Pangkajene. Tarekat tersebut juga mendapat pengikut di wilayah-
wilayah di mana ajaran Islam belum benar-benar dipahami secara mendalam.
Sebuah anekdot yang menarik menunjukkan bagaimana tarekat ini mengukuhkan
kedudukannya di daerah Sidenreng dan Rappang. Seorang bangsawan setempat, Andi
Mambolong, yang terkenal karena kejagoannya dalam ilmu silat dan hal-hal
yang bersifat magis, melakukan perjalanan ke Maros untuk menimba ilmu
mistis-magis kepada Haji Palopo. Ia kembali sebagai seorang khalifah tarekat
Khalwatiyah dan mulai mengajarkan teknik-teknik mistisnya kepada orang-orang
awam di sekitarnya (anekdot ini secara eksplisit menyebut para petani dan
buruh tani). Dia pertama-tama melonggarkan ciri-ciri Islam dari ajaran-ajaran
tarekat tersebut, dan menanamkannya To Warani To Kebbeng “[cara untuk menjadi]
berani dan kebal”. Setelah menarik sejumlah murid yang cukup banyak jumlahnya,
yang pertama- tama tertarik pada dzikir sebagai cara memperoleh kekuatan-
kekuatan magis, barulah dia mulai menjelaskan gagasan-gagasan dasar sufi
kepada mereka dan menggunakan nama tarekat Samman (Amin 1983: 66-7). Dengan
cara-cara semacam inilah tarekat ini menyebar ke lapisan masyarakat yang lebih
luas, dapat dipastikan bahwa proses tersebut berlangsung dengan mengorbankan
sedikit kecanggihan ajaran spiritualnya.27
Haji Palopo meninggal dunia
sekitar tahun 1910. Keturunannya yang menggantikannya di Maros (yang pertama
adalah orang yang bernama Haji ‘Abdullah yang sudah disebut di atas), dianggap
oleh kelompok daerah lain sebagai para syaikh tertinggi, Puang Lompo.28
Setelah kematian Haji ‘Abdullah pada tahun 1964, posisi ini dipegang secara
bergantian oleh tiga orang cucunya, Muhammad Salih (w. 1968, Muhammad Amin (w.
1970), dan
Ibrahim (w. 1982). Puang Lompo sekarang adalah
putra Ibrahim yang bernama ‘Abdullah.
Di bawah kepemimpinan Haji
‘Abdullah, pengikut tarekat ini terus bertambah, dan mulai menarik perhatian
serta menimbulkan kekhawatiran baik bagi pihak Belanda maupun pemimpin-
pemimpin Islam. Seorang pejabat Belanda mencatat sekitar tahun 1918-19 bahwa
“di daerah Bone dan subdaerah Palopo dan Malili jumlah pengikut tarekat
[Khalwatiyah atau Sammaniyah] terus meningkat” (Eerdmans t.t.: 1094).
Wilayah-wilayah timur pantai ini sangat jauh terpencil dari daerah basis Haji
‘Abdullah sendiri di Maros, di sebelah barat. Ada beberapa khalifah di seluruh
Sulawesi Selatan pada waktu itu, yang kemudian menunjuk wakil-wakil mereka
sendiri (walaupun tetap harus dilantik oleh Puang Lompo). Tidak hanya kaum
laki-laki tetapi juga perempuan dibai’at menjadi pengikut tarekat ini dan ikut
ambil bagian dalam dzikir berjamaahnya.29
Para ulama lain merasa
khawatir terhadap popularitas tarekat Khalwatiyah Samman yang terus meningkat,
yang mungkin telah mengancam wibawa mereka sendiri. Pada tahun 1920-an,
tarekat Khalwatiyah menghadapi tantangan yang keras untuk pertama kalinya.
Surat-surat kaleng disebarkan, yang isinya menuduh tarekat tersebut sebagai
ajaran-ajaran bid’ah dan melakukan kegiatan seksual yang diharamkan pada
pertemuan-pertemuan di malam hari. Pejabat Belanda diperingatkan, sering kali
juga melalui surat kaleng, bahwa tarekat tersebut bersekongkol melawan
pemerintah.
Perlawanan terhadap Tarekat Khalwatiyah
Ketika dia
diwawancarai oleh Controleur Maros pada tahun 1924, Haji ‘Abdullah membela
dirinya dari berbagai tuduhan sebelumnya.30 Tuduhan-tuduhan itu sudah mulai
bermunculan, katanya, tidak lama setelah kematian ayahnya, setelah dia
mendapat undangan pertama kalinya dari raja Bone. Seseorang telah mengirimkan
surat kaleng kepada seorang gubernur, yang menuduh khalifah di Bone,
Pangkajene dan Maros sendiri menipu rakyat banyak dengan meminta bayaran yang
sangat tinggi untuk
pengajaran agama yang sangat dangkal dan,
yang lebih serius lagi, membenarkan praktik-praktik yang tidak bermoral.
Dzikir, menurut tuduhan orang, dilakukan bersama-sama dengan para gadis muda,
yang akhirnya mengakibatkan mereka hamil. Sebuah penyelidikan resmi
menunjukkan bahwa kedua tuduhan tersebut tidak terbukti, tetapi kampanye
fitnah terus berlanjut. Haji ‘Abdullah mengeluh bahwa pada satu kunjungannya
ke Bone, di mana dia datang untuk menagih pinjaman, dia di tangkap dan diusir
oleh asistent-resident, yang menuduhnya meminta-minta dan memeras penduduk.
Pada saat lain, dalam kunjungan ke istana kerajaan Bone, salah seorang
bangsawan memberikan laporan yang sangat pornografis kepada raja tentang pesta
pora yang dituduhkan orang dilakukan selama zikir Khalwatiyah berlangsung pada
wakru malam, padahal pada saat itu Haji Abdullah juga berada di istana
tersebut. Tuduhan yang lain menyatakan bahwa ketika “tenggelam” dalam dzikir
Khalwatiyah, murid tarekat ini melihat Tuhan dalam bentuk seorang lelaki yang
seluruh tubuhnya (rupanya telanjang) ditutupi oleh bulu-bulu.
Tuduhan-tuduhan
serupa terhadap berbagai kelompok minoritas keagamaan dan sekte selalu
terdapat di setiap waktu dan tempat, dan mungkin lebih mengungkapkan tentang
orang- orang yang menuduh daripada yang dituduh. Pertemuan- pertemuan dzikir
yang dilakukan tertutup bagi orang luar, dan keikutsertaan perempuan pastilah
mengundang fantasi-fantasi orang banyak. Kerasnya suara dzikir dan banyaknya
gerakan tubuh yang menyertainya, yang pastilah membuat mushalla yang terbuat
dari kayu yang gampang retak dan bambu itu bergetar, mungkin semakin menambah
kecurigaan orang. Tidak satu pun dari tuduhan-tuduhan pelanggaran seksual yang
paling ringan sekalipun yang pernah terbukti, sebagaimana yang diingatkan oleh
Haji ‘Abdullah kepada teman bicaranya. Tetapi, desas-desus tetap menyebar.
Serangan
yang lain, dan lebih berat, dilakukan terhadap ajaran tasawuf yang diajarkan
oleh Haji ‘Abdullah dan khalifah lainnya. Ajaran-ajaran tasawuf ini mengandung
doktrin wahdah al-wujud dan, menurut para penantangnya, khalifah tarekat
Khalwatiyah menyederhanakan doktrin ini dengan menyatakan keidentikan
penyembah
dan yang disembah, Manusia dan Tuhan. (Mungkin karena itulah ada yang
menyatakan, sebagaimana dilaporkan di atas, bahwa selama zikir para pengikut
tarekat ini mempersepsikan Tuhan dalam bentuk seorang lelaki yang tubuhnya
penuh bulu.) Dalam pernyataannya pada tahun 1924 kepada controleur Maros yang
dikutip di atas, Haji ‘Abdullah secara tegas menolak penafsiran ini. Tarekat
Khalwatiyah, katanya, adalah satu cara untuk mencapai pengetahuan langsung
tentang Tuhan dan cara menyerahkan jiwa seseorang ke hadirat-Nya. Tetapi, ini
tidak akan pernah, lanjutnya, membawa seseorang untuk menyatakan bahwa “Saya
adalah Tuhan”: Barang siapa yang berkata demikian maka itu adalah bid’ah dan
tidak akan lepas dari hukuman. Pembedaan antara apa yang benar-benar dia
ajarkan dan simplifikasi panteistik yang terkenal ini mungkin tidak menjadi
jelas bagi para penentangnya— tidak juga dalam hal ini, bagi semua
pengikutnya. Khalifah tarekat Khalwatiyah yang sekarang berbicara tentang Fana
fi Allah “meleburnya (kepribadian seseorang) dalam Tuhan”, dan bukan tentang
keidentikan, tetapi paling tidak sebagian pengikutnya tampaknya percaya bahwa
karena penggabungan diri mereka dengan Tuhan sekarang, mereka akan menjadi
pejabat tinggi di akhirat nanti (lihat Djamas 1985: 330)
Sementara ulama
tradisional yang berorientasi fiqih merasa tidak suka terhadap gagasan-gagasan
Ibnu ‘Arabi, kaum modernis Muslim memandangnya sebagai kekafiran yang
berbahaya yang harus diberantas sampai keakar-akarnya. Kaum modernis Islam
memperoleh tempat berpijaknya di Sulawesi Selatan sejak awal tahun
1920-an. Cabang lokal Muhammadiyah yang pertama didirikan di
Makassar (Ujung Pandang) pada tahun 1926, sementara bagian lain dari provinsi
ini segera mengikutinya (lihat Mattulada 1983). Paham modern Islam menyebar
dengan cepatnya dan segera menanamkan pengaruhnya karena, ternyata, dipakai
oleh kalangan bangsawan muda dalam konfliknya dengan generasi yang lebih tua
(Harvey 1974: 96-8). Sebagaimana tarekat-tarekat pada periode awalnya,
modernisme masuk ke masyarakat Sulawesi Selatan juga dari atas. Banyak
kegiatan kelompok reformis modernis diarahkan langsung untuk menghantam
berbagai kepercayaan dan praktik
mistis, dan tarekat
Khalwatiyah telah menjadi salah satu sasaran utamanya.
Pada tahun 1930
Haji ‘Abdullah menulis surat kepada gubernur Sulawesi, yang mengeluhkan bahwa
qadhi modernis di Luwu, Haji Ramli, menghalangi penduduk setempat untuk
menganut tarekatnya. Di sana, menurut pengakuannya, terdapat seribu orang yang
ingin dibai’at, tetapi dihalangi oleh qadhi, yang juga melarang berbagai
praktik keagamaan tradisional lainnya.31 Alasan- alasan yang sebenarnya
mengenai sebab penentangan qadhi terhadap tarekat Khalwatiyah tidak jelas
dikatakan dalam surat tersebut; tuduhan lama tentang pelanggaran seksual
disebutkan, tetapi qadhi, menurut pengakuan Haji ‘Abdullah, menolak untuk
memberikan alasan-alasan lain kenapa dia menolak tarekatnya sebagai ajaran
yang tidak sesuai dengan Islam.
Pengutukan yang lebih eksplisit
dilancarkan kembali pada tahun 1931, ketika para ulama Bugis (tidak semua
mereka modernis) mendorong raja Bone yang masih muda agar meminta fatwa
tentang tarekat Khalwatiyah Haji ‘Abdullah dari seorang ulama Arab yang sedang
berkunjung ke sana, Sayyid ‘Abdullah bin Shadaqah Dahlan. Ulama ini juga sudah
cukup terkenal sebagai seorang penentang tarekat. Belum lama sebelumnya, ulama
ini telah menulis sebuah risalah polemis yang menentang tarekat Tijaniyyah,
yang pernah dijadikan referensi utama oleh semua penentang tarekat tersebut di
Indonesia.32 Sayyid ‘Abdullah Dahlan mengeluarkan fatwa yang diminta, yang
menegaskan bahwa tarekat Khalwatiyah Haji ‘Abdullah termasuk bid’ah dan
bertentangan dengan Islam. Dia mengambil keputusan tersebut berdasarkan sebuah
buku kecil yang ditulis oleh Haji ‘Abdullah yang menurut kesimpulannya
membenarkan doktrin wahdah al- wujud, dan menyatakan keidentikan makhluk dan
Khaliq. Haji ‘Abdullah mengutip dari kitab Fushush dan Futuhah karya Ibnu
‘Arabi dan beberapa karya serupa, juga dari teks-teks sufi yang lebih
ortodoks, sehingga dia dituduh orang memberikan pembenaran terhadap pandangan
panteistik.33 Fatwa Sayyid ‘Abdullah Dahlan didukung oleh dua orang Arab dan
dua puluh tiga ulama Bugis, termasuk keempat qadhi dari (Haji Ramli yang tadi
sudah kita sebut), Bone, Soppeng dan Rappang.34
Namun,
penentangan yang keras ini tidak menghalangi tarekat tersebut dari terus
menerus menarik pengikut barunya. Kalau pada tahun 1924 Haji ‘Abdullah masih
menghitung pengikutnya dengan ratusan, segera setelah itu menjadi ribuan dan
beberapa dasawarsa kemudian menjadi puluhan ribu. Penentangan juga terus
berlanjut dan menjadi sangat keras pada zaman pergerakan Darul Islam
(1953-1965). Kahar Muzakkar sebelumnya sudah berafiliasi dengan Muhammadiyah;
para pemimpin Darul Islam yang lain juga adalah orang-orang modernis. Mereka
mengenakan larangan yang ketat terhadap berbagai praktik tarekat di wilayah
yang berada di bawah kekuasaan mereka (walaupun di antara tentara Darul Islam
juga terdapat pengikut-pengikut tarekat yang terus mengamalkannya secara
rahasia).35 Darul Islam akhirnya dikalahkan oleh pemerintah pusat, tetapi
tarekat Khalwatiyah tetap menemui banyak tantangan dari ulama lain. Pada tahun
1968, fatwa lama Sayyid ‘Abdallah Dahlan dicetak ulang, dengan peringatan
bahwa api neraka akan menunggu mereka yang tersesat karena tarekat ini.
Mungkin
untuk tujuan memperoleh sejumlah perlindungan tertentu dari pemerintahlah,
sehingga pada tahun 1971 Haji Ibrahim, yang baru saja menggantikan saudaranya
Muhammad Amin sebagai Puang Lompo, bergabung dengan mesin politik pemerintah,
Golkar. Dia adalah salah seorang dari ulama yang pertama melakukannya. Dalam
Pemilihan Umum tahun 1971 dan semua Pemilu berikutnya, Puang Lompo dan
khalifah-nya berkampanye untuk kepentingan Golkar. Ini adalah sebuah aliansi
yang saling menguntungkan; tarekat Khalwatiyah Samman dapat memberikan
sejumlah besar suara ke Golkar, dan sebagai balasannya mereka mendapatkan
kesempatan untuk memperoleh berbagai fasilitas. Lebih dari itu, kritik
terhadap tarekat ini menjadi agak reda walaupun tidak berarti hilang sama
sekali. Ini membantu penyebaran lebih lanjut tarekat Khalwatiyah. Kebanyakan
kota di Sulawesi Selatan sekarang memiliki sebuah masjid yang dipimpin oleh
penganut tarekat Khalwatiyah Samman; di ibukota provinsi Ujung Pandang
terdapat tidak kurang dari lima masjid (Rahman t.t.: 21). Para pengikut
tarekat ini terdapat di semua komunitas Bugis penting di mana pun di
Nusantara.
Kesimpulan
Tarekat Khalwatiyah Samman Haji
Palopo dan keturunannya sekarang jelaslah lebih semarak daripada cabang
tarekat Khalwatiyah yang lebih tua, yang masih menghubungkan dirinya dengan
Syaikh Yusuf. Para pengikut, tampaknya, hampir tanpa perkecualian terdiri dari
orang Bugis; ternyata cabang tarekat ini mendapat tidak banyak pengikut dari
kalangan orang Makassar dan Mandar. Satu kajian tentang kehidupan keagamaan di
sebuah desa Makassar di Gowa (Djamas 1985) memberikan gambaran yang cukup
relevan, bahwa seluruh pengikut tarekat Khalwatiyah Samman di sana adalah
termasuk kelompok minoritas Bugis.
Perkembangan tarekat Khalwatiyah
Samman selama abad yang lalu relatif terdokumentasikan dengan baik, antara
lain karena reaksi-reaksi yang dilontarkan pihak ulama lain dan juga para
pejabat kolonial. Pengetahuan kita tentang perkembangan tarekat Khalwatiyah
Yusuf jauh lebih sedikit, walaupun tarekat ini juga pasti telah mengalami
perkembangan yang sangat mengesankan pada periode yang sama. Dengan puluhan
ribu pengikutnya, tarekat ini berhak untuk disebut sebagai sebuah gerakan
massa. Ia mungkin mempunyai akar paling kuat di kalangan orang Makassar,
tetapi juga memiliki banyak pengikut (dan juga mempunyai khalifah) dari
orang-orang Bugis. Karena pengikutnya tidak pernah memisahkan diri mereka dari
umat lainnya dan tidak melakukan dzikir keras yang menimbulkan kecurigaan, ia
tidak pernah menimbulkan semacam konflik yang menarik perhatian kepada
Khalwatiyah Samman.
Popularitas kedua cabang tarekat Khalwatiyah ini
menunjukkan bahwa tarekat tidak, sebagaimana sering diasumsikan, mewakili
suatu sisa dari masa lalu, yang secara perlahan-lahan akan punah. Tarekat
Khalwatiyah baru menjadi gerakan massa pada abad ke-20. Tentu saja, organisasi
modernis, Muhammadiyah, tertata secara lebih baik, dan telah membangun suatu
jaringan sekolah- sekolah yang efektif. Hal yang sama juga berlaku bagi
organisasi pendidikan yang lebih tradisional, Darud Da’wah wal Irsyad, yang
didirikan pada tahun 1947 dan sekarang mengaku memiliki seribu madrasah di
Sulawesi Selatan saja, dengan sekitar seratus lainnya
di
berbagai komunitas Bugis di tempat lain. Namun, dilihat dari jumlah pengikut,
tarekat Khalwatiyah tidak kurang berhasil dibandingkan mereka; ia mungkin
bahkan melebihi organisasi- organisasi ini. Tarekat ini secara sempurna
berakar di tanah Sulawesi Selatan dan akan menjadi satu faktor utama yang akan
membentuk wajah Islam di sana untuk beberapa waktu yang akan datang.[ ]
Catatan
akhir:
1. Statistik-statistik tersebut ditunjukkan
kepada saya ketika saya berkunjung ke Ujung Pandang pada Februari 1985. Abu
Hamid (1983: 361) bahkan menyebutkan jumlah yang lebih besar, yakni 259.982
pengikut tarekat Khalwatiyah Samman pada tahun 1976. Ini dapat diperbandingkan
dengan, sebagaimana yang saya lakukan di bawah, jumlah penduduk pada sensus
1971, yang diterbitkan dalam Sulawesi Selatan dalam Angka 1972.
2.
Keterangan dari Drs. Ahmad Rahman dari Balai Penelitian Departemen Agama di
Uujung Pandang: pembicaraan pribadi. Ahmad Rahman ikut dalam sebuah proyek
penelitian mengenai pandangan hidup ulama lndonesia, yang dilakukan oleh LIPI
selama tahun l986-88, di mana saya juga terlibat. Dia membantu saya
mendapatkan beberapa bahan langka, sementara laporannya tentang ulama Sulawesi
Selatan (tidak diterbitkan) juga merupakan sumber informasi yang penting.
Pribadi lain yang kepadanya saya ingin mengucapkan terima kasih saya di sini
adalah antropolog Bugis Drs. (sekarang Dr.) Abu Hamid dari Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang, yang pertama-tama menjelaskan kepada saya perbedaan
antara dua cabang tarekat Khalwatiyah ini.
3. Lihat
Laporan dalam majalah reformis (antitarekat), Panji Masyarakat, no. 548 (11-20
Agustus 1987): 40-2.
4. Satu-satunya salinan risalah
tersebut yang masih ada sampai sekarang—yang di dalamnya Yusuf mengurutkan
berbagai thuruq yang membai’atnya dan memberikan silsilah (asal-usul
spiritual)-nya pada masing-masing thuruq tersebut—terdapat dalam Majmu’ah yang
dibawa Hamka dari Sulawesi Selatan ke Jakarta. Naskah ini sangat menyedihkan
keadaannya, dan Profesor Tudjimah dari Universitas Indonesia telah bertindak
bijaksana dengan mentranskripnya sebelum menjadi tidak terbaca sama sekali;
dia dengan baik hati memberikan fotokopi transkripsi tersebut kepada saya.
Untuk deskripsi tentang isi Majmu’ah ini, lihat bab 3 dari buku saya, Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia.
5. Silsilah
Yusuf mengurutkan, dengan urutan ke atas, Ayyub
b. Ahmad
Al-Khalwati Al-Quraisyi Al-Dimasyqi, Shihab Al- Din Ahmad b. ‘Umar [Al-‘Asali]
Al-Hariri Al-Syami, Syah Wali Al-Halabi Al-‘Ajami, [Ahmad Al-Rumi], Abu Yusuf
Ya’qub Al- ‘Aitabi, Mulla Darwisy [atau: Da’ud] Al-Rumi, Mulla Syams Al- Din
Al-Rumi, [Uwais Al-Qarani Al-Tsani Al-Rumi (seharusnya: Al-Qaramani), Muhammad
[Jamal Al-Din] Al-Aqsarayi, ‘Abdullah Al-Arkanzi (seharusnya: Al-Arzinjani),
Yahya Al- Syirwani, Syaur Al-Din Pir ‘Umar Al-Rumi Al-Aydini, Dede ‘Umar
Al-Khalwati Al-Rumi, Abu ‘Abdullah Muhammad [Nur], lbrahim Al-Zahid Al-Jilani,
Jamal [Al-Din] Al-Tabrizi, Syihab Al-Din Ahmad Al-Tabrizi, Jamal Al-Din
Muhammad Al-Tabrizi Ruku Al-Din Al-Sinjasi, [Muhammad Al-Abhari], Abu’n Najib
Al-Suhrawardi, ‘Umar b. Muhammad Suhrawardi, Abu Ahmad Aswad Al-Dainawari,
Mumtsad Al-‘Alawi Al-Dinawari, Junaid Al-Baghdadi. Tidak semua nama dalam
silsilah ini dapat terbaca: perbaikan dalam tanda kurung dibuat berdasarkan
silsilah seorang pengikut tarekat Khalwatiyah Yusuf yang lebih kemudian dalam
Majmu’ah yang sama. Guru dan pendahulu Syaikh Yusuf adalah orang-orang yang
sangat terkenal dan dihormati; lihat catatan biografis dalam karya Muhibbi
Khulashah Al-Atsar I: berturut-turut halaman 428-33 dan 248-50. Ini garis
afiliasi utama dalam tarekat Khalwatiyah, lihat Kissling 1953, Trimingham
1973: 74-6, dan De Jong 1977. Yusuf menyebut bahwa gurunya adalah seorang
syaikh tarekat Khalwatiyah Ahmadiyah, nama yang diberikan untuk cabang tarekat
Khalwatiyah yang bersumber dari Ahmad Syams Al- Din dari Maghnisa (w. 1504),
yang dapat diidentifikasikan dengan Mulla Syams Al-Din Al-Rumi dalam silsilah
ini.
6. Nur Al-Din Al-Raniri menulis tentang kedatangan
pamannya ke Aceh dalam bukunya Bustan Al-Salatin (Iskandar 1966: 32-34).
7.
Nur Al-Din memberikan silsilah tersebut
dalam bukunya
Jawahir Al-‘Ulum; lihat Al-Attas 1986: 14-5.
8.
Silsilah Qadiriyah dan Rifa’iyah berbeda sejak dari Syihab Al- Din Ahmad b.
Abi Bakr Al-Radad (w. 1418?) ke atas. Lima dari syaikh yang menyelangi
termasuk dalam kluarga Al-‘Aidarus;
guru yang sama bagi kedua
Al-Raniri adalah Abu Hafs ‘Umar
b. ‘Abdullah Ba Syaiban Al-Tarimi (w.
1656).
9. Lihat buku saya, Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia.
10. Yusuf hanya menyebut nama gurunya
sebagai Sayyid ‘Ali; silsilah-nya berlanjut dari putra ke bapak melalui Sayyid
Abu Bakr, ‘Abdallah, ‘Umar, Al-Syihab, ‘Abd Al-Rahman, ‘Ali, ‘Abdallah, ‘Umar
Al-Muhdar, ‘Abd Al-Rahman Al-Saqqaf, lalu ke Muhammad Maula Al-Dawila yang
kedua dan pertama, kemudian ke seorang paman dari garis bapak, ‘Abdallah
Al-‘Aidarus, bapaknya Sayyid Muhammad Al-Muwaddam Shahib Tarim Hadhramaut, dan
kakeknya, ‘Ali, dan kemudian beberapa pendahulunya yang lebih jauh, ‘Alwi,
Muhammad, ‘Alwi, ‘Abdallah, yang setelah dia silsilah ini terputus. Keluarga
‘Aidarus termasuk ke dalam cabang Saqqaf dari para sayyid Hadhrami
Ba’alawiyah, Sayyid Muhammad ‘Shahib Tarim’ dan ayahnya, ‘Ali, merupakan orang
yang terkenal (walaupun sumber lain menyebut ‘Ali (w. 1133) sebagai orang yang
pertama menetap di Tarim); keturunan mereka dalam silsilah ini tidak terkenal.
Lihat Löfgren 1960a, 1960b.
11. Namun, sikap Sirhindi
terhadap Ibn Al-‘Arabi tidaklah sepenuhnya negatif, sebagaimana yang sering
dinyatakan para pengagum dan juga pencelanya yang hidup lebih kemudian. Lihat
kajian penting yang dilakukan oleh Yohanan Friedmann (1971).
12.
Ini dibuktikan secara meyakinkan oleh Al-Attas (1986) dan juga secara implisit
dapat dilihat dalam analisis Ahmad Daudy (1983). Penentangan Al-Raniri
terhadap para pengikut Hamzah mungkin lebih bersifat politik daripada murni
doktrinal.
13. Isi dari tulisan Yusuf yang ada dalam
koleksi perpustakaan Jakarta dan Leiden diringkaskan dalam Tudjimah cs (1987).
Namun, kajian ini tidak mencakup naskah yang disebutkan dalam catatan no. 5
dalam artikel ini, yang memuat beberapa risalah lain yang juga ditulis oleh
Yusuf, termasuk risalah yang paling substansial. Habl Al-Warid li Sa’adah
Al-Murid, dan risalah yang penting secara biografis Safinah Al-Najah. Di lain
pihak, penganggapan beberapa teks pendek sebagai karya
Yusuf
yang dibicarakan oleh Tudjimah sangat meragukan.
14.
Mungkin ada perkecualian. Syaikh tarekat Sammaniyah yang berasal dari Sumatra
Selatan, K.H.M. Zen Syukri (dari Palembang), memberitahukan saya pada bulan
Maret 1990 bahwa dia memiliki sebuah naskah yang memuat beberapa risalah yang
ditulis oleh Syaikh Yusuf. Namun, naskah tersebut dipinjam orang lain,
sehingga saya tidak dapat melihatnya.
15. Sebuah surat
yang ditujukan kepada Karaeng Karunrung, yang ditulis pada tahun 1084/1672,
sampai sekarang masih ada dalam Majmu’ah yang disebutkan dalam catatan no. 4.
Yusuf mengungkapkan penyesalannya karena tidak dapat bertemu dengan pangeran
dan mengucapkan terima kasih kepadanya untuk berbagai kiriman yang diberikan
kepadanya (perlu segera dicatat bahwa uang tidak sampai kepadanya). Bagian
lain dari surat tersebut berisi nasihat-nasihat moral bercorak sufi.
16.
Setelah permintaan supaya Yusuf dikembalikan, pada tahun 1689, pimpinan VOC di
Fort Rotterdam, Willem Hartsink, melaporkan bahwa “permintaan itu berasal dari
orang awam, dan massa di Makassar sangat mencintai Syaikh ini dan sangat
menghormatinya seolah-olah dia adalah seorang ‘nabi Muhammad kedua’” (dikutip
dalam Andaya 1981:277). Masyarakat awam dan kalangan bangsawan mengumpulkan
sejumlah besar uang untuk membiayai kepulangan Syaikh. Andaya mengatakan bahwa
alasan yang mungkin tentang kenapa raja sangat menginginkan kepulangan Yusuf
adalah harapan bahwa ia dapat “menanamkan rasa persatuan yang kuat dan harapan
bumi Makassar yang sudah mengalami demoralisasi (demoralized)” (Andaya 1981:
277).
17. Silsilah ini, beserta sebuah nasihat
keagamaan (washiyyah) pendek yang ditulis oleh ‘Abd Al-Wahid pada tahun
1145/1733, dijumpai dalam Majmu’ah yang sudah berulang kali dirujuk.
18.
Dihubungkannya ‘Abd Al-Bashir dengan Rappang mungkin mengindikasikan bahwa dia
adalah seorang keturunan Bugis, tetapi baik penghormatan yang diberikan oleh
penguasa Gowa maupun fakta bahwa khalifah-nya adalah seorang keturunan
Makassar
juga (Majannang adalah suatu tempat di Gowa) menunjukkan bahwa dia adalah
seorang Makassar. Rappang berada diluar kekuasaan Bone; ketika putra mahkota
Bone dikalahkan oleh Arung Palaka yang perkasa (pada 1673), dia juga melarikan
diri ke Rappang untuk bergabung dengan para penentang Arung Palaka lainnya
(Andaya 1981: 148). Pilihan ‘Abd Al-Bashir untuk menetap di sana mungkin juga
karena alasan politik.
19. [Al-] Nur Al-Hadi ila Thariq
Al-Rasyad. Sebuah versi berbahasa Arab dari karya ini masih ada dalam naskah A
108 di Perpustakaan Nasional Jakarta, yang juga memuat enam risalah yang
ditulis oleh Yusuf, dan satu risalah yang ditulis oleh Ahmad Al-Salih sendiri.
Juga terdapat versi berbahasa Bugis dan Melayu dari karya ini (Cense 1950:
55-6; lihat juga di bawah).
20. Naskah ML 69,
Perpustakaan Nasional Jakarta. Lampirannya ditulis dalam huruf
Bugis, hanya nama-nama guru yang ditulis dengan huruf Arab.
Nama-nama yang pertama adalah Yusuf Bukur (yakni, Bogor), Muhammad b. ‘Abd
Al-Karim Al- Samani, ‘Abd Al-Rahim b. ‘Abd Al-Latif, Mustafa Al-Bakri, ‘Abd
Al-Latif Afandi, ‘Ali Afandi Qirbas (Qarabash), Khair Al-Din Al- Kharqani,
Muhyi Al-Din Al-Qa(s)tamuni dan Isma’il Al-Jurumi.
21.
Silsilahyang diberikan di sini menaik ke atas dari Yusuf Tibuku (yakni Cibogo
dekat Bogor) melalui Muhammad Abu Tahir Al-Kurani (w. 1733) dan ayahnya,
Ibrahim Al-Kurani (yang mengajarkan tarekat Qadiriyah, di samping tarekat yang
lain), kemudian Ahmad Qusyasyi, Ahmad Al-Syinnawi, Muhammad Al-Ghauts, Haji
Hudhur, Hidayat Allah Sarmast dan seterusnya. Ternyata silsilah ini adalah
garis afilisasi tarekat Syattariyah sudah sangat dikenal, dan bukan Qadiriyah
(lihat Rizvi 1983: 154-6).
22. Ini rupanya adalah
kontaminasi judul dari dua karya yang ditulis oleh Al-Samman, Al-Nafhah
Al-Ilahiyyah dan Al- Futuhah Al-Qudsiyah, yang keduanya merupakan karya yang
agak umum tentang tasawuf. Nafhah dianggap sebagai karya utama Al-Samman.
23.
Sebuah fragmen kecil dari karya ini terdapat di Perpustakaan Nasional Jakarta
(MsA 405, lihat Van Ronkel 1913, no. 279).
K.H. Muhammad Zen Syukri,
khalifah tarekat Sammaniyah dari Palembang, mempunyai sebuah salinannya yang
lengkap dan dengan baik hati mengizinkan saya untuk memfotokopinya. Salinan
tersebut dibuat di zawiyah tarekat Sammaniyah di Thaif antara tahun 1197/1783
dan 1202/1788, mungkin oleh ‘Abd Al-Samad sendiri, yang juga menyelesaikan
beberapa bagian dari bukunya Sair Al-Salikinnya di Thaif pada tahun- tahun
tersebut.
24. Saya memperoleh data-data biografis
tentang Idris b. ‘Utsman dan para penggantinya dari Ahmad Rahman (Ujung
Pandang). Ayah ‘Abdullah Al-Munir bergelar Arung Ujung Baso Bukaka, dan ibunya
bergelar Lalan Datuk Melse. Nama bugis Muhammad Fudhail adalah Lolo Panenrang
Daeng Manessa (Rahman, t.t: 14-5).
25. Naskah ini milik
Ahmad Rahman di Ujung Pandang. Isinya dibahas secara ringkas dalam Rahman,
t.t: 14.
26. Naskah ini milik Ahmad Rahman di Ujung
Pandang. Isinya dibahas secara ringkas dalam Rahman, t.t: 14.
27.
Ini tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa para penganut tarekat Khalwatiyah
yang paling awal, kalangan bangsawan, tertarik kepada tarekat bukan terutama
untuk mencari kekebalan tubuh dan berbagai kekuatan magis lainnya yang
berkaitan dengan tarekat. Jika penguasa bone, Ahmad Al- Shalih, menghalangi
masyarakat awam untuk mengikuti tarekat Naqsyabandiyah, itu bukan hanya karena
dia menganggap mereka tidak mampu memahami ajaran-ajaran spiritualnya, tetapi
juga karena kekuatan magis harus tetap dimonopoli oleh kalangan bangsawan.
28.
Ada satu pengecualian: keturunan dari guru Haji Palopo, Muhammad Fudhail,
tetap saja menganggap diri mereka sendiri sebagai berhak atas kewenangan
sentral. Namun, mereka tidak terlalu berhasil. Khalifah pengganti dari garis
genealogis ini adalah ‘Abd Al-Ghani—putra dari Muhammad Fudhail—‘Abd
Al-Shamad, Abu Bakr (yang dikenal sebagai
Puang Labbang, di
Pangkajene; wafat 1970), Syams Al-Din dan khalifah sekarang, Tahir b. Syams
Al-Din alias Puang Lolo, yang berpangkalan di Ujung Pandang tetapi juga
memiliki pengikut di Pangkajene, Maros, dan Barru (Rahman, t.t: 17-8).
29.
Menurut Haji ‘Abdullah, dalam pembicaran dengan penyidik Belanda, dalam
dokumen yang disebut di atas. Para perempuan yang ikut serta dalam dzikir
harus menjaga kesopanan; mereka hanya dapat berzikir dengan suara seperti
orang berbisik, tidak boleh bersuara keras seperti laki-laki, atau mereka juga
tidak diperbolehkan membuat gerakan tubuh yang banyak.
30.
Selanjutnya diringkaskan dari naskah KITLV. Koleksi Kern, H 797, inv. No.
323.
31. Surat tersebut dilampirkan dalam KITLV,
Koleksi Kern, H 797, inv.no. 454.
32. Lihat pijper
1934: 111-6. Sayyid ‘Abdullah berasal dari Makkah dan merupakan sepupu atau
kemenakan dari bekas mufti mazhab Syafi’iyah di kota tersebut, Ahmad b. Zaini
Dahlan. Dia selama beberapa waktu menjadi mufti di Kedah, Malaysia, dan
kemudian datang ke Jawa, di mana dia tinggal di Batavia dan kemudian di Garut.
Dia menulis risalah anti-Tijaniyahnya juga atas permintaan ulama setempat;
prestise keluarga ini jelas memperkuat dampaknya. Ketika kontroversi seputar
tarekat Tijaniyah memanas lagi pada tahun 1980-an, khususnya di Jawa Timur,
Kiai As’ad Syamsul ‘Arifin dari Situbondo, yang melihat posisinya terancam
oleh tarekat yang semakin populer tersebut, memerintahkan agar risalah
tersebut dicetak ulang, baik dalam bahasa aslinya, Arab, maupun dalam
terjemahan bahasa Madura.
33. Karya-karya “bercorak
bid’ah” lain yang dikutip oleh Haji ‘Abdullah adalah Al-Insan Al-Kamil karya
Al-Jili dan Jami’ Al- Ushul fi Al-Auliya abad kesembilan belas (oleh syaikh
tarekat Naqsyabandiyah dari Turki, Dhivya Al-Din Gumusykhasnawi); sementara
itu dia dikatakan mengutip secara salah dari karya Ibn ‘Atha’ Allah, Al-Hikam,
dan karya Zain Al-Din Al-Malibari, Hidayah Al-Adzkiya’, dua teks sufi yang
sangat populer. Saya tidak berhasil menemukan sebuah eksemplar
buku kecil
tersebut. Pembacaan Sayyid ‘Abdullah
terhadap buku tersebut memberikan kesan ketidakdalaman dan bias, jika bukan
perasaan dengki. Dia tidak mengemukakan kutipan harfiah untuk mendukung
kesimpulannya, dan saya meragukan apakah pengarangnya sendiri setuju dengan
perumusan kembali yang dilakukannya.
34. Fatwa ini
dicetak ulang, beserta terjemahan bahasa Bugis dan bahasa Indonesianya, di
Watampone (Bone) pada tahun 1968. Fotokopinya saya peroleh atas kebaikan hati
Ahmad Rahman.
35. Wawancara dengan seorang bekas
pejuang Darul Islam, Palopo, pada Februari 1985. Adalah tidak mungkin,
katanya, untuk melakukan dzikir dengan suara keras yang didengar orang lain,
tetapi dia dan teman-temannya membaca dzikir di dalam hati, khususnya ketika
berada dalam bahaya.
TAREKAT DAN GURU TAREKAT DALAM MASYARAKAT MADURA
Tarekat telah memainkan peranan penting di dalam masya- rakat
Madura. Namun tarekat merupakan bagian yang hampipr tidak terdokumentasikan
sama sekali. Informasi yang kita temukan dalam literature pra-kemerdekaan
hamper tidak memberikan apa-apa kecuali hanya menyebutkan nama-namanya
(Schrieke, 1919, 1920); sementara kajian-kajian etnografis yang dilakukan
baru-baru ini (Jordaan 985, Mansurnoor 1990, de Jonge 1988, Touwen-Bouwsma
1988) hanya memberikan pandangan sekilas yang tidak memuaskan tentang
eksistensi dan makna kehadiran tarekat yang mungkin semakin dirasakan
penting-nya. Sumber- sumber lain juga tidak memberikan informasi banyak
tentang masalah ini. Sedikit sekali guru tarekat Madura yang pernah menuliskan
sesuatu tentang tarekat mereka (yang paling produktif dan informative diantara
mereka, Habib Muhsin Aly Alhinduan, sebenarnya bukanlah orang Madura asli,
tetapi seorang guru keturunan Arab yang berbasis di sana). Sebuah kontroversi
di kalangan masyarakat Madura yang berada di pojok utara pulau Jawa yang
melibatkan tarekat Tijaniyah pada tahun-tahun terkahir ini mendapat liputan
dari beberapa pers nasional, sebagaimana juga pernah terjadi lebih dari satu
dasawarsa sebelumnya pada konflik di seputar seorang kiai yang penuh warna.
Kiai Musta’in Romly dari Jombang. Dia adalah seorang keturunan Madura yang
sampai pada waktu itu merupakan guru tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang
paling berpengaruh di Jawa Timur dan Madura. Terlepas dari itu, ada semacam
“pemahaman umum” tentang pentingnya tarekat di kalangan masyarakat Madura,
yang dimiliki sejumlah orang Indonesia yang berminat terhadap masalah
tersebut, namun jarang—jika memang pernah—ditulis.
Tujuan tulisan ini
sederhana: mengemukakan temuan awal tentang beberapa tarekat dan para guru
tarekat terkemuka yang aktif di kalangan masyarakat Madura, membuat
sketsa perkembangannya, menyoroti beberapa ciri yang tampak membedakan para
pengikut tarekat di masyarakat Madura dari para pengikut tarekat di berbagai
kelompok etnis lainnya, dan akhirnya menjelaskan konflik-konflik yang
berhubungan dengan tarekat yang sudah diisyaratkan dengan menempatkannya dalam
setting politik yang lebih luas. Karena saya sendiri tidak melakukan
penelitian lapangan dalam waktu yang cukup lama di Madura, saya harus menahan
diri agar tidak melakukan analisis yang lebih ambisius. Sumber informasi utama
saya adalah wawancara dengan para guru tarekat di Madura, pengikut mereka,
serta beberapa informan lain yang banyak mengetahui; namun banyak hal yang
mungkin terlepas dari perhatian saya yang bagi peneliti lapangan berpengalaman
akan merupakan sesuatu yang sudah selayaknya dicatat. Di pihak lain, saya
tidak akan membatasi pembahasan saya pada pulau Madura saja tetapi juga
membahas tentang orang- orang Madura yang berada di Jawa Timur, Jakarta, dan
Kalimantan Barat.
Ada tiga tarekat yang sekarang ini sangat aktif di
kalangan masyarakat Madura: Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa Naqsya- bandiyah dan
Tijaniyah.1 Tarekat yang terakhir, Tijaniyah, be- lakangan ini mengalami
kemajuan mencolok, yang dalam kadar tertentu mengakibatkan menurunnya jumlah
pengikut tarekat yang kedua. Saya tidak berani membuat taksiran mengenai jum-
lah pengikut masing-masing tarekat, tetapi saya mempunyai ke- san bahwa
Naqsyabandiyah masih merupakan tarekat yang paling banyak pengikutnya, dan
sekarang disusul oleh Tijaniyah. Gam- baran ini menunjukkan pergeseran yang
nyata dari situasi tiga- perempat abad yang lalu, ketika Schrieke meneliti
masalah yang sama. Informannya mengatakan bahwa tarekat Qadiriyah (mung- kin
yang dimaksud adalah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah) mem- punyai “sangat banyak”
pengikut dan Naqsyabandiyah sedikit,
sementara
Syattariyah—tarekat yang selalu dengan sangat gam- pang mengakomodasikan diri
ke dalam berbagai tradisi dan ke- percayaan local—juga pernah mendapatkan
pengikut di Madura, meskipun tidak sangat banyak jumlahnya (Schrieke 1919b).
Secara selintas, situasi sekarang tampaknya mencerminkan adanya perge- seran
kea rah ortodoksi yang lebih ketat. Tarekat Naqsyabandi- yah, khususnya cabang
yang tersebar di Madura, dikenal lebih berorientasi kepada syariat daripada
kebanyakan tarekat lainnya, demikian juga tarekat Tijaniyah, walaupun
seringkali dikritik kare- na di dalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan
tertentu yang controversial—dalam praktiknya banyak memiliki kesamaan de- ngan
gerakan-gerakan reformis Islam.
Baik tarekat Naqsyabandiyah maupun
Qadiriyah wa Naqsya- bandiyah masuk untuk pertama kalinya ke Madura pada
sekitar pergantian abad ini: sementara Tijaniyah dating beberapa dasawar- sa
lebih belakangan. Ada kemungkinan tarekat Qadiriyah sudah ada lebih awal di
Madura. Paling tidak sudah ada, sebagaimana di banyak wilayah di nusantara,
kultus yang sudah mapan terha- dap wali junjungannya, ‘Abd Al-Qadir Al-Jilani
(Asmoro 1926: 252; bdk. Van Bruinessen 1989b). Namun, kita tidak memiliki
informasi konkret lainnya untuk dijadikan sandaran, tidak ada nama-nama guru
atau pusat-pusat tarekat Qadiriyah, dan tidak ada petunjuk tentang
ritual-ritual yang ada hubungannya dengan tarekat ini. Demikian juga dengan
tarekat Syattariyah. Ada kemungkinan bah- wa memang ada seorang guru tarekat
Syattariyah di suatu tempat di Madura atau di tangah-tengah masyarakat Madura
yang ting- gal di Jawa Timur: tetapi jika memang demikian, berarti dia ti- dak
mendapatkan pengikut dalam jumlah yang besar. Pengaruh gagasan-gagasan mistik
tarekat Syattariyah dapat bertahan karena penggabungan diri tarekat ini secara
berangsur-angsur ke dalam seluruh praktik magis-mistis yang populer dalam
masyarakat Ma- dura, tetapi hal-hal yang khas dalam spiritualitas tarekat
Syattariyah mungkin sulit dilepaskan dari keseluruhan yang kompleks ini. Ada
juga tarekat lain yang rupanya telah meninggalkan bekas-bekas- nya dalam
kebudayaan populer masyarakat Madura, walaupun ia tidak hadir sebagai tarekat
khas di kalangan masyarakat Madura sekarang (kalau memang pernah ada).
Pertunjukan-pertunjukan
populer yang disebut ratep (bahasa
Arab, ratib) dan Samman (bdk. Bouvier1989: 217, 221-2) keduanya mungkin
berasal dari ritual tarekat Sammaniyah, yang popular di banyak wilayah Nu-
santara pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Pertunjukan yang sangat
serupa, dengan nama yang sama, terdapat juga di Aceh dan Banten. Pertunjukan
tersebut umumnya dianggap se- bagai pengaruh kehadiran tarekat Sammaniyah di
sana pada masa sebelumnya (Snouck Hurgronje 1894: 220-5).2
Satu gambaran
sekilas yang langka namun berharga tentang kehidupan spiritual di Madura Barat
pada akhir abad ke-19 harus ditemukan dalam catatan harian seorang aristocrat
dan mistikus Jawa, Mas Rahmat, yang menghabiskan waktu beberapa bulan di
Bangkalan pada tahun 1880-an (Kumar 1985). Dia menceritakan perjumpaannya
dengan Kiai dan para santrinya dan membang- gakan bagaimana dia mempesona
mereka dengan kelengkapan pengetahuan dan pengalaman spiritualnya. Mas Rahmat
sendiri adalah seorang pengikut setia Syaikh ‘Abd Al-Qadir (dia mengan- jurkan
pembacaan manaqib [hagiografi] sang wali untuk tujuan- tujuan
psikoterapetik), tetapi dia tidak memberikan komentar tentang
penghormatan terhadap wali tersebut di Madura, apalagi tentang berbagai
aktivitas yang berhubungan dengan tarekat Qa- diriyah. Dia juga tidak menyebut
nama tarekat yang lain.
Kutipan-kutipan dari catatan harian Mas Rahmat
yang dipu- blikasikan oleh Ann Kumar secara jelas menunjukkan kegemaran
orang-orang Madura pada kesaktian, “kekuatan” spiritual-magis. Yang paling
senior di antara para Kiai Madura, menurut Mas Rah- mat, adalah seorang Kiai
Labang Muhammad Usman Kilan Banawi, yang juga dia kenal sebagai Kiai Sepuh.
Kiai ini, sebenarnya bu- kanlah seorang guru yang mengajarkan kitab, tetapi
seorang guru tarekat, dan bertindak sebagai pembimbing spiritual Ratu (Ku- mar
1985: 61). Mas Rahmat tidak menyebutkan nama tarekat yang diajarkan oleh Kiai
Labang. Mungkin dapat diterima bahwa yang dimaksud bukanlah suatu tarekat
tertentu, sebagaimana nama- nama tarekat yang telah disebutkan di atas, tetapi
merujuk ke- pada latihan-latihan spiritual-magis secara umum. Pengarang kita
ini juga tidak menjelaskan tentang jenis latihan dan pengetahuan mistik yang
diajarkan Kiai Labang. Nama Kiai Labang sama sekali
tidak
terdapat dalam sumber-sumber saya yang belakangan, ter- tulis maupun lisan.
Dia rupanya tidak memberikan dampak yang bertahan lama—kecuali kalau orang
yang dimaksud Mas Rahmat dengan nama ini tidak lain adalah Kiai Kholil yang
terkenal.
Kiai Madura paling awal yang masih dikenang dan dihormati oleh
generasi sekarang adalah Kiai Mohammad Kholil dari Bangkalan, yang meninggal
sekitar tahun 1925 tetapi sudah memimpin sebuah pesantren ketika Mas Rahmat
berkunjung ke sana. Beberapa kiai Jawa Timur dan Madura menganggapnya sebagai
nenek-moyang spiritual dan intelektual mereka, karena guru mereka,
guru-dari-guru mereka, atau generasi mereka yang lebih awal belajar di
pesantrennya. Di antara para pendiri Nahdlatul Ulama yang paling terkenal
semuanya belajar langsung kepada Kiai Kholil. Mungkin inilah yang menyebabkan
keharuman namanya lebih menonjol setelah dia meninggal dunia daripada ketika
dia masih hidup. Kiai Kholil belajar di Makkah pada tahun 1860-an, dan kembali
ke Madura sebagai seorang guru, baik dalam ilmu batin (esoterik) maupun ilmu
zhahir (eksoterik). Legenda tentang perilakunya yang penuh keajaiban banyak
sekali; dia dianggap sebagai seorang wali dan memiliki kekuatan mistis dan
magis luar biasa. Gambaran ini membuat dirinya sangat serupa dengan Kiai
Labang yang disebutkan oleh Mas Rahmat. Dia tampaknya tidak berafiliasidengan
salah satu tarekat tertentu, selain mempunyai reputasi sebagai seorang sufi
besar.3
Meskipun dapat dipastikan bahwa sekitar waktu yang sama, paling
lambat selama tahun 1880-an—sebagaimana yang kami kumpulkan dari sumber-sumber
eksternal—tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mulai memperoleh tempat berpijak
di kalangan masyarakat Madura, namun baru beberapa waktu kemudian ada seorang
guru tarekat tersebut yang menetap di pulau Madura.
Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Qadiriyah dan Naqsyabandiyah muncul sebagai
dua tarekat yang sangat berbeda, masing-masing dengan tradisi dan teknik
spiritual yang tersendiri, sejak abad ke-14. Ada banyak sufi yang
berbai’at menjadi anggota dari kedua tarekat ini; sebagian
mereka
mengamalkan latihan-latihan dalam kedua tarekat ini secara berurutan atau
bergantian, sementara yang lain lebih mengutamakan salah satu di antara
keduanya.
Namun, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tarekat yang
sama sekali baru dan berdiri sendiri. Dalam tarekat ini beberapa teknik yang
dipilih dari tarekat Naqsyabandiyah dikombinasikan dengan teknik lain yang
berasal dari tarekat Qadiriyah dan dijadikan sebagai suatu paket tunggal. Di
antaranya termasuk bentuk meditasi tanpa suara yang biasanya merupakan bagian
dari tarekat Naqsyabandiyah dan dzikir dengan suara keras (berisi pembacaan
secara ritmis kalimat La ilaha illallah). Orang bergabung menjadi pengikut
tarekat ini melalui suatu pembai’atan tunggal, sebagai pengganti dari dua kali
pembai’atan terpisah oleh seorang mursyid tarekat Naqsyabandiyah dan
Qadiriyah. Tarekat gabungan yang khas ini, sejauh yang saya ketahui, hanya
mendapat pengikut di Indonesia; tetapi tarekat-tarekat serupa juga terdapat di
seluruh dunia Islam.4
Orang yang dikenal sebagai pendiri tarekat baru
ini—atau paling tidak orang pertama yang mempropagandakannya di kalangan
masyarakat Indonesia—adalah seorang sufi Indonesia yang bernama Ahmad Khatib
Al-Sambasi. Dia berasal dari Sambas di Kalimantan Barat, tetapi menetap dan
mengajar di Makkah pada pertengahan abad ke-19. Dia membai’at sejumlah murid
yang berasal dari Asia Tenggara menjadi pengikut tarekatnya, yang segera
menggantikan kedudukan tarekat Sammaniyah sebagai tarekat yang paling populer
di Nusantara. Inti ajarannya—beberapa petunjuk tentang berbagai ibadah dan
teknik meditasi—terdapat dalam buklet berbahasa melayu sederhana yang berjudul
Fath Al- ‘Arifin, yang disunting oleh seorang murid kepercayaannya.5
Ahmad
Khatib menunjuk beberapa orang muridnya sebagai khalifah, yang paling
dihormati dan terkenal di antaranya adalah Abdul Karim dari Banten, yang
menggantikannya sebagai pemimpin tertinggi tarekat ini setelah dia meninggal
dunia sekitar tahun 1878. Abdul Karim sering disebut dalam literature
colonial, terutama dalam hubungannya dengan pemberontakan Banten 1888, dimana
banyak pengikut tarekatnya yang terlibat. Pada massa hidupnya, ada beberapa
khalifah lain dari tarekat ini di
Makkah, dan beberapa lagi
di berbagai wilayah di Nusantara. Nampaknya tidak ada catatan tertulis yang
menunjukkan siapa saja khalifah yang diangkat oleh Ahmad Khatib dan Abdul
Karim, dan hanya secara kebetulan kami mengetahui nama-nama sebagian dari
mereka. Para khalifahnya di Indonesia sekarang—yang saya ketahui—semuanya
menelusuri jejak nenek-moyang spiritual mereka melalui Syaikh Abdul Karim,
atau melaui salah satu dari dua orang tokoh sezamannya, Syaikh Tolhah (dari
Cirebon) atau seorang Kiai Madura, Kiai Ahmad Hasbullah bin Muhammad.
Sekarang, tarekat ini secara kasar dapat dibagi menjadi tiga cabang yang
berafiliasi dengan tiga orang murid Ahmad Khatib tersebut.6 Namun, ketika
Abdul Karim masih hidup, dia diakui sebagai pimpinan pusat tarekat ini oleh
semua khalifah dan pengikut, kecuali orang-orang Madura. Konsul Belanda di
Jeddah melaporkan pada tahun 1888 bahwa Syaikh Abdul Karim secara umum diakui
sebagai pemimpin tertinggi, kecuali oleh orang- orang Madura, yang mempunyai
syaikh tersendiri, yaituseorang syaikh yang berasal dari Madura, Abdoelmoeti
(‘Abd A’-Mu’thi), yang juga menetap di Mekkah.7
Karena itulah menjelang
akhir abad ke-19, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sudah memiliki cukup
banyak pengikut di ka- langan orang Madura, sehingga pantas untuk dicatat oleh
seorang pengamat resmi Belanda. Lebih dari itu, loyalitas etnis primordial
yang kuat telah menghasilkan sebuah organisasi tersendiri bagi orang-orang
Madura yang menjadi pengikut tarekat, di bawah pimpinan seorang guru tarekat
yang juga berasal dari Madura. Ru- panya masih ada dua khalifah tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandi- yah asal Madura lainnya di Makkah, salah satunya
adalah Ahmad Hasbullah yang sudah kita sebut di atas (jika ini bukan dua nama
bagi satu orang yang sama). Para pewaris spiritualnya menyatakan bahwa Ahmad
Hasbullah memang pernah menetap di Makkah dan merupakan seorang khalifah
langsung dari Ahmad Khatib, tetapi beberapa inkonsistensi tertentu menunjukkan
bahwa dia mungkin termauk generasi yang lebih belakangan.8
Kita sama
sekali tidak mengetahui tentang organisasi tarekat ini di Madura sendiri,
bahkan kita juga tidak mengenal nama- nama dari khalifah pertama yang aktif di
pulau tersebut. Schrieke
memang diberitahu pada tahun 1919,
sebagaimana dikatakan di atas, bahwa tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
mendapatkan “banyak sekali” pengikut, tetapi hanya menyebutkan Kiai Zainal
Abidin dari Kwanyar sebagai seorang syaikh tarekat (1975[1920]: 31 1n). Karena
nama kiai yang sama juga tertera dengan jelas dalam silsilah tarekat
tandingannya, Naqsyabandiyah (lihat selanjutnya), maka informasi ini pun
sangat meragukan, walaupun tidak sepenuhnya keliru.9
Beberapa guru
tarekat asala Madura tersebut, emnurut sedikit informasi yang kita punyai,
adalah mereka yang berafiliasi dengan pesantren Rejoso di Jombang (Jawa
Timur). Pesantren ini didirikan pada sekitar pergantian abad inioleh seorang
kiai Madura, Kiai Tamim, yang berasal dari Bangkalan. Ketika menantu yang
sekaligus pengganti pertamanya sebagai pemimpin pesantren, Muhammad Khalil
(alias Juremi)10 menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-20, di Makkah dia
bertemu dengan Ahmad Hasbullah bin Muhammad, yang membai’atnya masuk tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan mengangkatnya sebagai khalifah. Sejak saat itu
Rejoso secara berangsur-angsur berkembang menjadi pusat penting dari tarekat
tersebut. Menjelang akhir masa hidupnya, Khalil menyerahkan kepemimpinan
tarekat kepada adik iparnya, Romli bin Tamim, salah seorang putra pendiri
pesantren tersebut. Kiai Romli, yang sebelumnya menunjukkan sikap yang sangat
skeptis terhadap tarekat, menjadi seorang penyebar yang sangat efektif dan
menarik banyak murid dari seluruh Jawa Timur dan Madura. Menjelang saat
kematiannya pada tahun 1958, jumlah mereka mencapai puluhan ribu; sebagian
besar mereka adalah orang Jawa, namun orang Madura pun jumlahnya cukup
besar.
Untuk membimbing jumlah pengikut yang besar ini, Kiai Romli
membentuk suatu jaringan para wakilnya pada tingkat local, yang
dikenal dengan badal. Badal diberi kewenangan untuk
memberikan pelajaran dasar kepada para pengikut tarekat dan memimpin pertemuan
zikir rutin, tetapi—berbeda dengan khalifah—mereka tidak diijinkan membaiat
murid baru. Tidak jelas apakah Kiai Romli benar-benar memberikan wewenang
kepada khalifah-nya untuk membai’at pengikut baru atau apakah semuanya harus
dibai’at terlebih dahulu oleh Kiai Romli
sendiri. Namun,
setelah Kiai Romli wafat, dua orang khalifah kesayangannya bertindak sebagai
syaikh berdasarkan kehendak mereka sendiri dan bersaing dengan putranya,
Musta’in Romly, untuk menggantikan kedudukannya. Kedua orang ini adalah Kiai
Usman al-Ishaqi di Surabaya dan Kiai Ma’shum dari Tanggulangin (Sidoarjo).
Yang terkahir ini meninggal dunia dua tahun kemudian, sementara Kiai Usman
secara berangsur-angsur memperkuat posisinya sebagai guru pemimpin tarekat.
Kiai Musta’in, yang belum mendapat latihan yang cukup dalam bidang
tarekat dari ayahnya, harus mengakui keunggulan Kiai Usman dengan menerima
bimbingannya selama jangka waktu yang terbatas. Belakangan Kiai Musta’in, yang
memiliki keuntungan dari segi keturunan, memperkuat kedudukannya sebagai guru,
tetapi dia tidak pernah benar-benar mengalahkan Kiai Usman. Tampaknya keduanya
telah mencapai suatu kesepakatan, sehingga mereka membagi para pengikut
tarekat mereka atas dasar yang kurang- lebih bersifat geografis. Tingkat
persaingan tertentu tampaknya masih ada, tetapi mungkin lebih pada para
pengikut mereka dariipada di antara mereka berdua.11
Baik Kiai Musta’in
Romly maupun Kiai Usman Al-Ishaqi ke- duanya memiliki pengikut setia dan badal
di kalangan masyarakat Madura. Selama tahun 1960-an, Kiai Usman juga memiliki
seorang khalifah atau badal di Pulau Bawean, yang secara kultural ada
kaitannya dengan Madura. Empat desa di sana, sebagaimana yang diamati
Vredenbregt (1968: 44), mengamalkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di
bawah pimpinanifah tersebut—sementara para kiai lain di pulau tersebut sangat
menentang tarekat. Kapan pun ada kesempatan, para pengikut tarekat di pulau
ini mengun- jungi Kiai Usman di Surabaya pada acara pembacaan manaqib Syaikh
Abd Al-Qadir Al-Jilani12 yang diselenggarakan sebulan sekali.
Menjelang
tahun 1970, Kiai Musta’in Romly benar-benar merupakan kiai tarekat yang paling
karismatik dan berpengaruh di Jawa Timur dan Madura, yang merupakan pusat
jaringan dari empat puluh orang badal dan para pengikut yang diperkirakan
berjumlah lima puluh ribu orang. Namun, posisinya ini menurun tajam akibat
pilihan politik tidak populer yang diambilnya. Dengan
menggabungkan
diri dengan Golkar pada saat hampir semua kiai menganggap mendukung Nahdlatul
Ulama (pada pemilu 1971) dan kemudian kepada Partai Persatuan Pembangunan
(PPP, [pada pemilu 1977 dan 1982]) sebagai kewajiban keagamaan. Sebuah aliansi
ulama lain, rupanya didalangi oleh ulama dari pesantren Tebuireng,
Jombang, menyampaikan ceramah-ceramah yang isinya bernada
memojokkan Kiai MUsta’in dan berhasil menarik sejumlah besar pengikutnya
keluar dari tarekatnya untuk kemudian menjadi pengikut guru tarekat yang lain.
Lingkup tulisan ini tidak memungkinkan saya untuk membicarakan kontroversi ini
secara rinci;13 di sini saya hanya memberikan perhatian kepada beberapa data
latar belakang yang relevan.
Daerah Jombang, dalam banyak hal, merupakan
pusat Islam tradisional masyarakat Jawa (dan Madura). Di sini terdapat empat
pesantren yang paling terkenal dan bergengsi, yang terletak (secara berurutan)
di Tebuireng, Tambakberas, Denanyar, dan Rejoso. Tiga rais Nahdlatul Ulama,
yang memimpin organisasi tersebut sejak berdirinya pada tahun 1926 sampai
1980, berafiliasi dengan tiga pesantren yang disebut pertama (menurut urutan
di atas) dari empat pesantren tersebut. Rejoso tidak pernah diberi posisi yang
menentukan dalam NU; pilihan Kiai untuk bergabung dengan Golkar mungkin
didorong bukan hanya oleh besarnya ganjaran yang ditawarkan kepadanya
(pemberian tanah dana bantuan untuk mendirikan universitas di dalam pesantren
tersebut), tetapi juga karena adanya perasaan didiskriminasikan. Alasan kenapa
Kiai Rejoso tidak pernah menjadi bagian dari lingkaran dalam NU tidak dengan
serta merta menjadi jelas. Mereka adalah orang- orang Madura, sementara yang
lain adalah orang-orang Jawa; mereka adalah kiai tarekat sementara yang lain
tidak mengikuti, atau bahkan menolak, tarekat. Namun, dua factor ini saja
hamper tidak dapat dikatakan sebagai factor yang menentukan. Etnisitas tidak
memainkan peranan penting di dunia pesantren Jawa TImur. Keempat pesantren di
atas menarik santri dari berbagai golongan etnis, baik Madura maupun Jawa.
Dalam kenyataannya Pesantren Tebuireng jauh lebih populer di kalangan
masyarakat Madura daripada Pesantren Rejoso. Namun, melalui jaringan
tarekatnya, Kiai Romly dan kemudian Kiai Musta’in memperoleh jumlah
pengikut
yang jauh lebih besar daripada kiai lain. Mereka berkali- kali dituduh lebih
mengutamakan kuantitas daripada kualitas dan mengabaikan pendidikan yang benar
bagi para santrinya dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban syar’iyyah.
Namun,
bagaimanapun juga, pembangkangann Kiai Mus- ta’in—penyeberangannya
dari NU ke Golkar—telah diganjar dengan hukuman dan
inisiatif untuk menghukumnya dating dari Tebuireng. Seorang kiai yang
mempunyai hubungan dengan pesantren ini, Kiai Adlan Ali, yang sebelumnya
pernah menga- malkan tarekat tetapi bukan seorang khalifah, dimunculkan se-
bagai guru tarekat alternative terhadap Kiai Musta’in Romly. Dia mendapatkan
latihan tarekat dari kiai tarekat lain di Jawa Tengah, Kiai Muslikh dari
Mranggen, dan ditunjukan sebagai khalifah-nya untuk wilayah Jawa
Timur.14 Dalam beberapa tahun kemudian, sepuluh orang badal, yang
didesak oleh para aktivis NU, memin- dahkan janji kesetiaannya dari Kiai
Musta’in kepada Kiai Adlan Ali.
Konflik tersebut menimbulkan perpecahan
dalam organisasi induk tarekat “ortodoks”, Jam’iyyah Ahl Al-Thariqah
Al-Mu’tabarah. Perhimpunan ini didirikan sejak tahun 1957 dan mencakup
tarekat-tarekat penting di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebuah dokumen yang
lebih belakangan menyebutkan tidak kurang dari 44 tarekat yang dianggap
ortodoks (mu’tabar, secara harfiah berarti “dihormati”), tetapi mayoritas
besar anggotanya adalah penganut tarekat Nasyabandiyah atau Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Organisasi ini rupanya tidak jalan sampai pertengahan 1970-an,
keika sebuah kongres menyangkut dirinya, posisi Kiai Musta’in masih sangat
kuat sehingga dia terpilih menjadi pimpinan Jam’iyyah tersebut. Empat tahun
kemudian, bersamaan dengan Kongres NU ke-26, aliansi anti Mustas’in mengadakan
kongres tersendiri, yang dihadiri oleh banyak kiai yang juga hadir pada
Kongres tahun 1975. Sebuah kepengurusan baru, yang tidak termasuk Kiai
Musta’in dan orang-orang yang setia kepadanya, dibentuk; dan untuk menunjukkan
kesetiannya kepada NU, nama perhimpunan ini ditambah dengan kata
“An-Nahdliyyah”. Sejak saat itu ada dua organisasi induk tarekat, dengan nama
yang hampir sama. Kiai Musta’in dan, setelah meninggalnya, penggantinya
menganggap bahwa organisasi merekalah satu-satunya organisasi yang sah,
tetapi
Jam’iyyah Al-Tariqah Al-Mu’tabarah Al-Nahdliyyah jelas lebih besar dan lebih
penting. Organisasi yang kedua ini tetap sangat didominasi oleh Tebuireng.
Orang-orang
Madura yang menjadi pengikut Kiai Musta’in menghadapi dilemma di dalam diri
mereka setelah kepindahan sang Kiai ke Golkar (bagi orang Madura, perbuatan
itu masih dianggap lebih berdosa daripada dalam pandangan orang Jawa).
Beberapa badal memilih menjadi pengikut Kiai Usman di Surabaya, yang sama
sekali tidak terlibat dalam hal itu; sementara sebagian yang lain ternyata
bergabung dengan Kiai Adlan Ali. Banyak pengikutnya yang menjadi kehilangan
minatnya sama sekali kepada tarekat tersebut. Tarekat Tijaniyah telah
mengalami banyak kemajuan di masyarakat Madura justru pada tahun-tahun itu.
Kita hanya dapat menduga berapa banyak anggota tarekat itu yang berpindah ke
tarekat yang lain, tetapi yang pasti tidak sedikit jumlahnya. Di antara orang
Madura pengikut Tijaniyah yang saya wawancarai, terdapat beberapa orang yang
mengaku bahwa mereka sebelumnya pernah menjadi pengikut tarekat Qadiryah wa
Naqsyabandiyah. Seorang kiai tarekat Tijaniyah yang masih muda, Kiai Badrut
Tamam dari Banyuates, mengatakan kepada saya bahwa ayahnya adalah seorang
badal dari Kiai Musta’in dan dia sendiri juga belajar tarekat kepada Kiai
Musta’in sebelum menjadi penganut tarekat Tijaniyah.15
Tarekat
Nasyabandiyah
Tarekat Nasyabandiyah, sebagaimana dikatakan, sekarang
merupakan tarekat yang paling banyak diikuti masyarakat Madura, baik yang ada
di Pulau Madura sendiri (tarekat ini ada di semua kabupaten) dan di berbagai
komunitas Madura di tempat lain. Tarekat ini sangat berpengaruh di kalangan
masyarakat Madura yang ada di Kalimantan Barat. Sudah lebih dari setengah abad
hingga sekarang para guru tarekat Naqsyaandiyah dari Madura secara teratur
mengunjungi komunitas yang jauh ini untuk memberikan bimbingan spiritual.
Sebagian sangat besar orang Madura menjadi pengikut tarekat Naqsyabandiyah;
bagi komunitas ini, Islam hampir sama artinya dengan tarekat
Naqsyabandiyah.
Tarekat Naqsyabandiyah juga memiliki pengikut
di kalangan orang Jawa, tetapi mereka termasuk ke dalam cabang lain dari
tarekat tersebut, yang dikenal dengan Khalidiyah, sementara para guru tarekat
Madura menyebut cabang tarekat mereka sendiri dengan nama tarekat
Mazhariyah.16 Orang Madura pertama yang menjadi guru cabang tarekat ini adalah
seorang yang bernama Abdul Azim dari Bangkalan, yang menghabiskan banyak
waktunya di Makkah pada akhir abad ke-19. Dia dibai’at menjadi pengikut
tarekat Naqsyabandiyah dan dijadikan khalifah oleh Syaikh Muhammad Shalih
Al-Zawawi.
Snouck Hurgronje, dalam bukunya yang terkenal tentang Makkah
(1889), mengagumi Muhammad Shalih ini, dengan memuji keseriusannya dan
kedalaman ilmunya. Berbalikan dengan dua Syaikh tarekat Naqsyabandiyah yang
lain (Sulaiman Efendi dan Khalil Efendi, wakil utama tarekat Khalidiyyah di
Makkah), yang disebutkan Snouck dengan nada merendahkan, Muhammad Shalih baru
bersedia membai’at seseorang menjadi pengikut tarekatnya setelah merasa yakin
bahwa orang tersebut sudah memiliki ilmu yang memadai tentang Islam yang
formal dan menunaikan syariat Islam. Para Syaikh yang lain sangat gemar
menambah pengikut sehingga mereka membai’at semua orang, dan sangat gampang
mengangkat seseorang menjadi khalifah. Sulaiman Efendi mempunyai banyak
khalifah di seantero Sumatera dan Jawa, Muhammad Shalih hanya memiliki
beberapa orang khalifah. Muridnya kebanyakan berasal dari Pontianak dan Riau
daratan; tetapi satu-satunya komunitas tempat cabang tarekat Naqsyabandiyahnya
berakar dan tetap bertahan adalah di masyarakat Madura. Banyak orang Madura
yang berkunjung ke Makkah belajar kepada khalifah dari Muhammad Shalih
Al-Zawawi, Abdul Azim Al-Manduri. Ketika menetap selama bertahun-tahun di
Makkah (dan mungkin dalam beberapa kasus saja setelah kepulangannya ke
Bangkalan), Abdul Azim menunjuk tidak kurang dari empat, atau bahkan lima,
orang khalifah di pulau tersebut. Masing-masing khalifah ini kemudian menunjuk
paling tidak seorang khalifah lainnya. Hubungan antar para guru dalam jaringan
yang luas di Madura ini tetap lebih rukun dan kooperatif dibandingkan dengan
di banyak tempat lainnya. Pola yang lebih
unik juga
berkembang, dimana para Syaikh saling mengunjungi murid Syaikh yang lain, dan
para pengikut menganggap beberapa Syaikh sekaligus sebagai pembimbing
spiritual mereka.
Karena tidak ada dokumen yang lain, silsilah guru-guru
tarekat merupakan sumber yang berharga sebagai informasi dasar. Kebanyakan
silsilah dimaksudkan sebagai mata rantai yang menyambung hubungan antara
guru-murid, sejak dari Nabi Saw. sendiri sampai kepada sang guru, dan tentu
saja memuat nama-nama pendiri dan pribadi terkemuka lainnya dari tarekat
tersebut. Silsilah tarekat Nasyabandiyah yang ada di kalangan masyarakat
Madura—sebagaimana yang saya temukan—agak lebih rumit. Sebagai contoh, di
bawah ini saya kutipkan silsilah seorang pembantu guru (wakil, yang sejajar
pengertiannya dengan badal di kalangan orang Jawa Timur) tarekat tersebut di
Singkawang, Kalimantan Barat. Saya hanya menyalin sebagian, dari Syaikh
Muhammad Shalih sampai khalifah yang sekarang, dan menambahkan tempat kediaman
dan tahun kematiannya sebagaimana yang diberitahukan informan kepada saya.
Muhammad
Shalih [Al-Zawawi]
Abdul Azim (meninggal di Bangkalan 1916) Kholil
Bangkalan (meninggal 1925)
Hasan Basuni (Pakong, Pamekasan)
Zainal
Abidin (dari Kwanyar, Bangkalan; meninggal 1939) Syabrawi (Prajan, Sampang)
Jazuli
(berasal dari Batu Ampar, menetap di Tattangoh, Sampang)
Sirajuddin
(Sampang)
Fathul Bari (Ombul, Sampang; meninggal di Paniraman, Kalimantan
Barat, pada 1960)
Syamsuddin (Sumberanyar, Pamekasan) Zainal Abidin (juga
di Ombul)
Mahfudz (Kajuk, Sampang) Darwisy (Ombul, Sampang)
Makshum
(Kepanjen, Malang Selatan)
Ini adalah silsilah yang sangat
panjang untuk jangka waktu yang hanya berlangsung satu abad, dan akan segera
tampak bahwa tidak setiap orang yang disebut berarti murid dari orang yang di
atasnya dan guru dari orang yang ada di urutan bawahnya. Pada saat wawancara
dilakukan, empat guru terakhir yang terdapat dalam silsilah ini masih hidup,
dan informan saya menganggap mereka semua sebagai gurunya—mereka semua secara
teratur mengunjungi Kalimantan Barat dan dia telah mendapatkan pengajaran dari
masing-masing guru tersebut. Di bagian yang lebih atas dari silsilah ini,
Hasan Basuni, Zainal Abidin, Syabrawi dan Jazuli, keempatnya adalah khalifah
dari Abdul Azim sendiri. Biasanya hanya salah satu dari mereka yang disebutkan
dalam silsilah; pencantuman mereka semua tampaknya menunjukkan bahwa mereka
secara kolektif dianggap sebagai perwujudan dari tarekat. Tercantumnya nama
Kiai Kholil (dari Bangkalan) dalam silsilah ini sedikit mengherankan; dia
barangkali tidak pernah mengajarkan tarekat tersebut atau pun tarekat lainnya,
dan barangkali namanya dicantumkan hanya karena prestisenya yang luar biasa
(bandingkan catatan kaki no. 3). Ternyata, namanya tidak tertera dalam
silsilah tarekat Naqsyabandiyah Madura lainnya yang saya temukan.
Silsilah
di atas, walaupun menyebutkan beberapa guru dalam setiap generasi, hanya
memuat sebagian dari seluruh syaikh tarekat Naqsyabandiyah Madura. Silsilah
dari beberapa guru yang sekarang menyebut beberapa nama yang sama, di samping
beberapa nama lain. Berbagai silsilah yang saya kumpulkan, dan informasi
tambahan yang diberikan oleh beberapa guru tarekat Madura yang saya
wawancarai, menunjukkan bahwa terdapat tiga jalur utama, tiga kelompok syaikh
tarekat, walaupun terdapat hubungan antara ketiganya.17 Para syaikh tersebut
tidak hanya saling berkaitan satu dengan yang lain dalam hubungan guru- murid,
tetapi ada banyak hubungan darah dan perkawinan. Dalam jaringan tersebut kita
dapat melihat tiga pengelompokan, dengan pusat-pusat daya tarik yang agak
berbeda secara geografis, dengan—secara berurutan—Fathul Bari, Ali Wafa, dan
Muhsin Ali sebagai tokoh terpentingnya.
Fathul Bari adalah
guru tarekat Naqsyabandiyah pertama yang mengunjungi masyarakat Madura di
Kalimantan Barat pada tahun 1937. Komunitas tersebut sebagian besar berasal
dari Sampang, dan barangkali bukanlah suatu kebetulan bahwa seorang Syaikh
yang berasal dari daerah yang sama jugalah yang terpikir untuk memenuhi
kebutuhan spiritual para transmigran tersebut (atau menyebarkan pengaruhnya ke
seberang pulau). Dia pulang pergi ke Kalimantan Barat secara teratur, menetap
beberapa bulan untuk setiap kali kunjungannya, dengan membimbing zikir,
muraqabah dan amalan lain di beberapa masjid besar dan membai’at sejumlah
besar orang menjadi anggota tarekat. Ketika dua orang muridnya sudah mencapai
kemajuan pesat sehingga dapat ditunjuk sebagai khalifah-nya (salah seorang di
antaranya dijadikan menantu), dia juga mengirim mereka ke Kalimantan,
bergiliran dengan dirinya sendiri. Kiai Mahfudz menjadi khalifah-nya pada
tahun 1954, dan ingat bahwa ia dikirim pada tahun selanjutnya kesana.18 Zainal
Abidin juga berangkat setiap tahun, dan pada tahun 1960-an, ketika Fathul Bari
sendiri sudah meninggal, murid ketiga mulai ikut bergantian mengunjungi
Kalimantan. Murid ini adalah Habib Muhsin Aly, seorang yang dari berbagai
sudut agak berbeda dengan guru-guru lainnya.19
Dengan demikian ada empat
guru, yang masing-masing menghabiskan waktunya kira-kira tiga bulan setahun di
Kalimantan Barat. Ketika Kiai Muhsin meninggal dunia pada tahun 1980, putra
Kiai Mahfudz, Makshum, mengmabil-alih tugasnya, dan beberapa tahun kemudian
Zainal Abidin mendelegasikan tugasnya kepada saudara iparnya yang sekaligus
khalifah-nya, Darwisy (yang, setelah menunaikan ibadah Haji menggunakan nama
baru, Haji Is’mail). Menurut Kiai Mahfudz, di Kalimantan Barat sekarang
terdapat tiga ratus masjid yang berafiliasi dengan tarekat Naqsyabandiyah, dan
selama kunjungan tahunan mereka para guru tersebut setiap hari memimpin amalan
tarekat di masjid yang berbeda.
Muhsin Aly Al-Hinduan bukanlah orang
Madura asli, tetapi seorang keturunan Arab golongan sayyid (habib), yang lahir
di Sumenep. Agaknya tidak umum bagi orang Arab Indonesia mengikuti suatu
tarekat (kecuali “tarekat keluarga” para sayyid
Hadhrami,
Ba’alawiyyah). Namun, Muhsin Aly Al-Hinduan belajar tarekat Naqsyabandiyah
dari beberapa guru, pertama-tama kepada Kiai Sirajuddin, kemudia Kiai Fathul
Bari, dan akhirnya kepada Kiai Syamsuddin. Dua guru yang pertama meninggal
dunia sebelum Habib Muhsin Aly mwnerima ijazah sebagai khalifah, yang
diharapkannya, tetapi guru yang ketigalah yang menunjuknya. Muhsin Aly pernah
meminta bimbingan ruhani kepada guru Naqsyabandiyah lain yang paling terkenal
di Madura, Kiai Ali Wafa dari Ambunten, dan meminta ijazah pula untuk
mengajarkannya dari dua khalifah Fathul Bari, Kiai Zainal Abidin dan Kiai
Mahfudz.20 Perilakunya yang rendah hati ini memungkinkannya untuk ikut serta
dalam tim yang melakukan kunjungan tahunan ke Kalimantan Barat. Perkawinannya
dengan seorang saudara perempuan Kiai Mahfudz semakin memperkuat hubungannya
dengan tim tersebut.
Setelah diakui sebagai seorang guru (mursyid), Habib
Muhsin Aly dalam waktu singkat jauh mengungguli guru-guru lainnya, dan hal ini
tampaknya menyebabkan kecemburuan yang dapat dimengerti. Kecemburuan tersebut
berkembang menjadi rasa permusuhan ketika, menjelang akhir masa hidupnya,
Habib Muhsin Aly mulai melarang para muridnya menerima bimbingan dalam ilmu
tarekat dari guru yang lain, dengan alasan bahwa para guru tersebut belum
mencapai martabat yang cukup tinggi. Barangkali benar bahwa Habib Muhsin Aly
memang lebih luas pengetahuannya daripada para guru tarekat Naqsyabandiyah
sebayaya; dia memang mengetahui secara lebih mendalam ilmu- ilmu agama Islam
dan lebih menguasai kepustakaan tarekatnya. Dia menerbitkan ulang risalah
singkat yang ditulis Abdul Azim Al-Manduri (yang ternyata adalah terjemahan
bahasa melayu dari sebuah risalah yang ditulis oleh Muhammad Shalih Al- Zawawi
untuk para muridnya yang berasal dari Indonesia) dan menulis sedniri beberapa
buku kecil. Sekitar pertengahan 1970- an, dia dianggap sebagai ulama
Kalimantan Barat yang paling luas pengetahuannya, dan juga paling berpengaruh,
tidak hanya di kalangan orang Madura saja tetapi juga di kalangan pemeluk
Islam secara luas.21 Ternyata pengaruhnya tidak lagi terbatas pada daerah
Madura dan Kalimantan Barat, tetapi pada berbagai
komunitas
pengikutnya yang juga berkembang di tempat lain. Saya menemukan kelompok
semacam itu di Banjarmasin dan Ujung Pandang, dan sangat mungkin masih ada di
tempat lain.
Namun, popularitasnya segera menyurut ketika dia masuk
Golkar pada masa menjelang pemilu 1977. Pada tahun-tahun tersebut, beberapa
kiai dapat melakukan hal yang sama tanpa mengalami pengucilan, namun Habib
Muhsin Aly mengalami problem yang sama jenisnya dengan yang dihadapi Kiai
Musta’in Romly. Orang Madura secara keseluruhan lebih setia kepada parta
politik Islam PPP dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya, dan Sampang
adalah daerah yang paling setia memberikan dukungan kepada partai ini.
Sebagaimana pada umumnya merka yang berasal dari Sampang, orang-orang Madura
di Kalimantan Barat juga sangat fanatic dalam pemihakan mereka kepada PPP.
Saudara ipar Habib Muhsin Aly, Kiai Mahfudz—yang juga pernah menjadi
gurunya—memutuskan hubungan dengannya. Dan sejumlah besar pengikut Habib
Muhsin Aly juga melakukan hal yang sama. Namanya bahkan dihapus dari silsilah
yang dikutip di atas, walaupun responden saya sebelumnya juga menganggap Habib
Muhsin Aly sebagai salah seorang gurunya.
Perselisihan politik dan
kecemburuan pribadi sulit dipisahkan dalam konflik antara Habib Muhsin Aly
dengan sesama para guru Naqsyabandiyah lainnya. Karena semakin dikucilkan,
pengikutnya mulai menunjukkan cirri-ciri sebuah sekte. Karena tidak menemukan
seorang pun yang memenuhi syarat di antara para muridnya, Habib Muhsin Aly
juga menolak menunjukkan seorang khalifah dan meninggal dunia tanpa menunjuk
seorang penggantinya. Orang-orang yang sangat setia menganggap diri mereka
masih dibimbing oleh ruhnya, tetapi banyak di antaranya yang mencari guru
pembimbing lain yang masih hidup. Di Kalimantan Barat, sebagian mereka kembali
kepada guru yang lain dari tim yang telah disebutkan di atas, sementara
kebanyakan pengikutnya di Sulawesi Selatan mengikuti seorang guru tarekat
Madura yang lebih jauh jaraknya, Kiai Lathifi dari Gondang Legi (Malang
Selatan) sebagai pembimbing spiritual mereka. Putra Habib Muhsin Aly, Amin,
menghabiskan banyak waktunya dengan mereka yang masih setia, dan mengaku
menerima pengajaran
spiritual dari ayahnya melalui
mimpi-mimpinya. Adalah bukan mustahil bahwa pada suatu
hari dia akan diangkat menjadi pengganti ayahnya—yang
lama ditunggu-tunggu—melalui mimpi.
“Kelompok” ketiga berawal dari Kiai
Jazuli dari Tattangoh (Pamekasan), yang memberikan kesan yang menyenangkan
bagi Schrieke, dan juga memiliki reputasi yang sangat tinggi di kalngan sesama
ulama di Madura. Murid Kiai Jazuli yang paling terkenal adalah Ali Wafadari
Ambunten (di pantai sebelah utara Sumenep), yang mengukir reputasi gemilang
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi tarekat Naqsyabandiyah. Namanya sangat
terkenal di kalangan orang Madura di seluruh pulau tersebut dan juga di Jawa
Timur. Seorang khalifah Kiai Jazuli yang kurang dikenal secara luas adalah
putranya sendiri, Kiai Damanhuri, yang memimpin sebuah pesantren di Sampang
(Touwen-Bouwsma 1988:217).
Kiai Ali Wafa tidak memiliki pengganti yang
bisa mencapai reputasi yang sama dengannya. Menurut banyak informan, dia tidak
menunjuk seorang khalifah sama sekali; tetapi itu suatu kekeliruan. Ia
memberikan ijazah sebagai khalifah kepada sejumlah orang. Yang paling
terkemuka di antara mereka ini adalah Kiai Abdul Wahid Khudzaifah dari Omben
(Pamekasan), putra Kiai Khudzaifah yang—menurut sang putra—adalah khalifah
dari Ahmad Syabrawi dan salah seorang guru dari Kiai Ali Wafa. Seorang adik
laki-laki Kiai Abdul Wahid, Kiai Sya’duddin, juga seorang khalifah dan
demikian juga—mungkin mengejutkan—saudara perempuannya, Nyai Thobihah. Nyai
Thobihah mengajarkan tarekat kepada, dapat dipastikan, hanya para santri
putri.22
Sementara Kiai Fathul Bari dan para penggantinya menyebarluaskan
tarekat Naqsyabandiyah di kalangan masyarakat Madura di Kalimantan Barat, Kiai
Ali Wafa dan Kiai Abdul Wahid menyebarkannya di kalangan masyarakat Madura
yang berada di Jawa Timur dan pulau-pulau yang terletak di sebelah timurnya.
Kiai Abdul Wahid melakukan kunjungan tahunan ke komunitas nelayan di Muncar
(sebelah selatan Banyuwangi) dan ke pulau Sapudi, serta mengunjungi wilayah
Surabaya setiap bulan. Dia bahkan mengaku mempunyai murid di Singaraja, pantai
utara Bali.23
Khalifah Kiai Ali Wafa yang lain adalah Kiai
Lathifi Baidowi dari Gondang Legi, Malang Selatan. Ayahnya, adik dari Fathul
Bari, menetap di sana sekitar tahun 1925. Kiai Lathifi belajar tarekat
Naqsyabandiyah kepada beberapa orang mursyid di Madura, dan akhirnya diberi
ijazah untuk mengajarkannya oleh Kiai Wafa. Belakangan dia memperoleh ijazah
lagi dari seorang guru dari Makkah yang sangat dihormati di lingkungan NU,
Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki (yang lebih dikenal karena afiliasinya
dengan tarekat Tijaniyah).24 Kiai Lathifi memiliki lingkungan pengikutnya
sendiri di Jawa Timur, dan bahkan— sebagaimana telah disebutkan di
atas—dijadikan sebagai guru spiritual baru oleh mayoritas murid Habib Muhsin
Aly dari kalangan orang-orang Bugis dan Mkassar.
Tarekat
Tijaniyah
Tarekat besar dan internasional yang terakhir masuk ke Madura
adalah tarekat Tijaniyah. Tarekat ini sudah masuk ke Jawa Barat lebih awal,
pada akhir tahun 1920-an, dan menimbulkan kontroversi di wilayah Cirebon (yang
dibicarakan secara rinci dalam Pijper 1934). Pada saat itu, ajaran tarekat ini
mendapat gugatan keras. Para ulama dibuat marah oleh pernyataan bahwa para
pengikut tarekat Tijaniyah akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat
(atau lebih eksplisit, bahwa mereka dan keturunannya sampai tujuh generasi
dijamin akan masuk surga), dan bahwa pahala yang diperoleh dari membaca
Shalawat Al- Fatih, doa tarekat Tijaniyah, sama dengan membaca seluruh Al-
Quran sebanyak ribuan kali. Lebih dari itu, para pengikut tarekat Tijaniyah
diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru (tarekat) lainnya, yang
dalam pandangan syaikh saingannya dianggap sebagai praktik bisnis yang culas.
Pada muktamar NU keenam, yang diadakan di Cirebon, ajaran tarekat Tijaniyah
dijadikan bahan pembicaraan. Pada saat itu, ia merupakan isu yang peka, karena
guru utama dari tarekat Tijaniyah di wilayah Cirebon, Kiai Anas dari Buntet,
adalah adik dari Kiai Abbas Buntet, pilar pendukung NU yang sangat terkemuka
di Jawa bagian barat; sementara penentangnya juga termasuk tokoh-tokoh yang
berpengaruh.
Akhirnya dicapai sebuah solusi diplomatis, dimana muktamar menyatakan bahwa
amalan-amalan tarekat Tijaniyah juga termasuk mu’tabarah, namun tidak
memberikan pernyataan tentang klaim-klaim ekstrem dari tarekat tersebut.
Tarekat
ini masuk ke Madura bukan melalui Jawa Barat, tetapi langsung dari tanah Arab.
Dua orang Kiai muda asal Madura, Kiai Jauhari dan Kiai Chozin, yang belajar di
Makkah dan berbai’at menjadi pengikut tarekat Tijaniyah dan diangkat menjadi
muqaddam disana,25 mulai mengajarkan tarekat ini setelah mereka kembali pada
tahun 1930-an. Kiai Jauhari kembali untuk menggantikan bapaknya, Kiai Khatib,
di Pesantren di Prenduan; sementara Kiai Chozin menetap di Beladu, di daerah
Probolinggo. Kedua orang kiai ini rupanya lebih hati-hati dalam mengajarkan
tarekat Tijaniyah, dengan mengajarkan doktrin tarekat yang telah menyebabkan
kegemparan seperti di Cirebon hanya bagi mereka yang sudah dibai’at saja, dan
menjelaskannya dengan menggunakan metafor-metafor. Konflik yang serupa dengan
yang telah terjadi di Cirebon tidak terjadi di sini, dan berbagai aktivitas
tarekat berjlan hampir tanpa teguran.26 Kiai Chozin membai’at banyak orang
menjadi anggota tarekat Tijaniyah di daerah Probolinggo dan, setelah beberapa
waktu, menunjuk dua orang muqaddam lain: Kiai Ahmad Taufik Hidayatullah dari
Genggong (Kraksaan) dan adiknya sendiri, Kiai Muchlas. Kiai Jauhari menunjuk
putra sulungnya, Kiai Tijani, untuk menggantikan tugasnya sebagai muqaddam.
Dalam
beberapa hal Kiai Jauhari lebih progresif daripada kebanyakan Kiai Madura
lainnya. Dia mengirim putra-putranya untuk belajar di Pondok Pesantren Modern
Gontor, dan kemudian mendorong mereka mengembangkan pesantren di
Prenduan dengan membentuk sebuah lembaga untuk pendidikan Islam yang lebih
tinggi yang mengikuti model Gontor. (Pesantren ini dipimpin oleh adik Kiai
Tijani, Kiai Idris, yang tidak mengamalkan tarekat). Sebagaimana bapaknya,
Kiai Tijani melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Dia tidak membatasi kontaknya
hanya kepada lingkungan tradisionalis di sana, dan kemudian menjadi seorang
anggota staf dari Rabithah Al-‘Alam Al-Islami (yang disponsori Arab Saudi).
Dia juga memperkuat ikatan dengan Gontor dengan menikahi putrid
Kiainya,
Kiai Imam Zarkasyi. Kiai Tijani juga menjamin bahwa TMI Prenduan adalah salah
satu dari sedikit pesantren di Indonesia yang ijazahnya diakui oleh
universitas negeri di Arab Saudi: universitas Umm Al-Qura di Makkah dan
Islamic University di Madinah. Karena tidak berada di Prenduan secara
terus-menerus, Kiai Tijani tidak mempunyai kesempatan untuk memimpin berbagai
kegiatan tarekat di Madura sendiri (ada orang yang mempertanyakan apakah
ketidakhadirannya dalam waktu yang lama mungkin mencerminkan keengganannya
untuk bertindak sebagai seorang guru tarekat). Tugas tersebut didelegasikan
kepada dua orang wakilnya, Jamaluddin Abdussomad di Kapedi dan Mushab Fatawi
di Prenduan sendiri (Driyantono 1987: 14-7).
Keterikatan kiai Prenduan
dengan modernisme dan puritanisme Islam (Gontor dan Rabithah) boleh jadi
dianggap sesuatu yang tidak terlalu cocok dengan seorang guru tarekat.
Kalangan muslim modernis dan puritan biasanya sangat menentang tarekat,
terutama praktik-praktik pemujaan tokoh yang menyatu di dalamnya.
Tempat-tempat pemondokan mereka ditutup, makam-makam mereka dihancurkan;
ketika keluarga Saudi berkuasa di Makkah dan Madinah. Namun, tarekat Tijaniyah
adalah salah satu tarekat yang merupakan bagian dari gerakan reformis yang
lebih luas pada akhir abad ke-18 dan ke-19 yang dikenal dengan “neosufisme”.
Fazlur Rahman, yang menciptakan istilah tersebut, mendefinisikannya secara
singkat sebagai “Sufisme yang mendasarkan diri pada pandangan-pandangan
ortodoks yang sudah diperbaharui dan diinterpretasikan dalam pengertian
aktivis” (1979: 206). Walaupun keseluruhan konsep neo-Sufisme tersebut bukan
tidak digugat,27 adalah benar bahwa tarekat Tijaniyah memiliki banyak kesamaan
dengan berbagai gerakan reformis, misalnya penentangannya terhadap pemujaan
wali dan praktik-praktik ekstatik. Mengenai aktifisme, dalam penyebarluasannya
melalui Afrika Barat, tarekat Tijaniyah telah membuktikan dirinya sendiri
sebagai sebuah gerakan yang sangat militant, yang secara tegas menentang
berbagai praktik animin (dan juga tarekat saingannya, yang lebih tradisional,
Qadiriyah). Di Republik Turki, sebuah kelompok kecil penganut tarekat
Tijaniyah adalah orang-orang Muslim pertama yang secara terbuka
menentang
rezim sekularis Kemalis sekitar tahun 1950 (Abun Nasr 1965). Kiai tarekat
Tijaniyah Jawa Barat, Badruzzaman dari Garut, juga ikut ambil bagian dalam
fase-fase awal gerakan Darul Islam dan memimpin pengadilan agamanya.
Namun,
kecocokan tarekat Tijaniyah dengan reformisme tidak perlu dibesar-besarkan.
Tidak kurang dari seorang Rasyid Ridha yang menulis pengutukan keras terhadap
tarekat tersebut (Abun Nasr 1965: 177-8). Di Saudi Arabia, tarekat
Tijaniyah—sebagaimana tarekat lainnya—secara resmi tidak diijinkan, walaupun
sikap resmi tersebut rupanya lebih lunak kepada mereka dibandingkan kepada
tarekat yang lain.
Setelah kehadiran yang tidak menunjukkan kemajuan yang
mengesankan selama hampir setengah abad, tarekat Tijaniyah tiba-tiba menjadi
sasaran sebuah kontroversi baru pada awal tahun 1980-an (Abdurrahman 1988,
1990). Argumen-argumen formal yang dilontarkan sama dengan argument-argumen
dalam perdebatan di Cirebon (Pijper 1934) tetapi perdebatan pada masa ini
terjadi antara kiai-kiai Madura, dan memang sangat keras. Kontroversi tersebut
merupakan respon terhadap pertumbuhan cepat yang telah dicapai tarekat
Tijaniyah baru-baru ini yang menyadarkan kalangan masayarakat Madura yang
berpendidikan rendah, khususnya di wilayah Pasuruan-Probolinggo dan di
Bangkalan dan Surabaya. Pertumbuhan tersebut rupa-rupanya terjadi dengan
mengakibatkan berkurangnya jumlah murid dari beberapa guru yang sudah mapan.
Para guru lain tersebut merasa terganggu oleh gaya dari sebagian guru
Tijaniyah, khususnya kiai muda Badri Masduqi dari Kraksaan. Kia Badri
bergabung menjadi penganut tarekat Tijaniyah baru sekitar tahun 1980 dan
berbai’at kepada Kiai Muhammad bin Yusof dari Surabaya, yang pada waktu itu
merupakan muqaddam terkemuka tarekat Tijaniyah untuk Jawa Timur dan Madura.
Kiai
Muhammad bin Yusof menerima pembai’atan pertama menjadi penganut tarekat
tersebut di Makkah tetapi dia mendapatkan penunjukkan dirinya sebagai seorang
muqaddam dari seorang kiai Cirebon, Kiai Khawi, menantu Kiai
Abbas dari Buntet. Kepemimpinannya memberikan napas hidup baru
bagi
tarekat Tijaniyah di wilayah tersebut dan dia memperoleh banyak murid. Kiai
Badri hanyalah salah satu dari beberapa muqaddam yang ditunjuknya; muqaddam
lainnya adalah Kiai Fauzan Fathullah di Sidogiri, Habib Ja’far di Brani
(Pajarakan, Probolinggo), Kiai Badrut Tamam di Banyuates (Sampang Utara), dan
Kiai Baidhowi di Surabaya. Kiai Baidhowi inilah yang menjadi pengganti Kiai
Muhammad bin Yusof setelah kematiannya pada tahun 1984. Walaupun tarekat
tersebut memiliki banyak pengikut di Bangkalan sekarang, tidak ada muqaddam di
sana; daerah tersebut dipimpin oleh KIai Muhammad bin Yusof sendiri, dan
sekarang oleh Kiai Baidhowi.
Penentang pertama terhadap tarekat Tijaniyah
dating dari syaikh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Kiai Usman Al-Ishaqi,
yang telah disebutkan di atas, yang para pengikutnya termasuk ke dalam strata
sosial yang sama dengan strata masyarakat yang direkrut Kiai Muhammad bin
Yusof. Namun, karena perilaku dan rekrutmen murid baru yang dilakukan Kiai
Badri secara agresiflah yang menyebabkan sebuah konflik serius meletus, yang
baru bisa berakhir beberapa tahun terakhir. Ada berbagai laporan tentang
asal-usul konflik tersebut, tetapi semuanya berkaitan dengan persaingan keras
untuk mendapatkan murid dan perasaan sakit hati di kalangan sebagian guru yang
kehilangan banyak murid karena berpindah ke tarekat Tijaniyah.28
Sudah
cukup umum adanya orang-orang yang sudah berbai’at menjadi pengikut sebuah
tarekat (atau disiplin spiritual lain) yang ingin mencoba guru baru yang lain
dan mencari pembai’atan- pembai’atan tambahan. Namun, apabila sudah berbai’at
kepada tarekat Tijaniyah, seseorang harus meninggalkan semua afiliasi- afliasi
sebelumnya. Tarekat ini tidak dapat, paling tidak dalam teori, dikombinasikan
dengan tarekat lain dan tidak mengizinkan para pengikutnya mengunjungi
makam-makam atau tempat-tempat keramat lainnya atau menerima pelajaran dalam
disiplin-disiplin ruhani lain. Karena itu, bagi para guru tarekat tersebut
persaingan mencari murid menjadi sebuah zero-sum game: perolehan murid- murid
bagi seorang guru berarti kehilangan murid bagi guru yang lain. Dan kehilangan
murid-murid juga berarti hilangnya pemasukan, karena satu unsur penting dari
hubungan antara kiai
dan murid adalah “salam tempel”,
bersalaman sambil menyerahkan sejumlah uang.
Menarik untuk dicatat bahwa
penganut tarekat Tijaniyah di Prenduan dan Sumenep tidak pernah terlibat dalam
konflik. Kedua belah pihak dalam konflik tersebut berafiliasi dan memiliki
ikatan primordial yang kuat dengan NU. Kiai Jauhari dari Prenduan dan para
putra serta pengikutnya selalu menjauhkan diri dari berbagai organisasi
politik—yang mungkin juga berarti bahwa mereka tidak begitu banyak menarik
para simpatisan NU, dan merepresentasikan kelompok yang kurang mengancam
dibandingkan propagandis tarekat Tijaniyah yang lebih baru yang berafiliasi
dengan NU.29
Sebuah aliansi anti-Tijaniyah yang longgar secara berangsur-
angsur muncul di Jawa Timur, tokoh terkemukanya adalah Kiai As’ad Syamsul
Arifin dari Asem Bagus, Situbondo. Kiai As’ad adalah ulama Madura paling
senior, yang dikenal secara nasional sebagai sesepuh NU. Dia menjadi tuan
rumah Musyawarah Nasional ulama NU pada tahun 1983 dan muktamar NU ke-27 pada
tahun 1984, yang secara umum dilihat sebagai sebuah pengakuan atas arti
penting dirinya di dalam organisasi tersebut (untuk interpretasi yang lebih
skeptis, lihat van Bruinessen 1991). Kiai As’ad merasakan kemajuan tarekat
Tijaniyah sedang mengancam kekuasaannya sendiri, dan dia melawannya secara
berhadap- hadapan, dengan menggunakan seluruh pengaruh yang dapat dia
kerahkan. Dia menemukan sebuah risalah anti-Tijaniyah yang telah memainkan
peranan penting dalam polemic tahun 1920- an dan mencetaknya kembali serta
menyebarkannya secara luas, baik dalam bentuk aslinya yang berbahasa Arab
maupun dalam terjemahan berbahasa Madura.30 Muktamar NU 1984, sebagaimana
mukatamar sebelumnya pada athun 1979, disertai juga dengan sebuah muktamar
perhimpunan tarekat yang berafiliasi kepada NU (Jam’iyyah Ahl Al-Thariqah
Al-Mu’tabarah Al-Nahdhiyah), yang telah disebutkan di atas. Kiai tarekat
Tijaniyah bahkan tidak diundang ke muktamar tersebut, dan sebuah upaya bersama
dibuat di sana untuk menolak status tarekat Tijaniyah sebagai tarekat yang
mu’tabar (“dapat diterima”, “ortodoks”) dan mencabut keanggotaannya dari
organisasi tersebut. Usaha ini gagal karena sebagian partisipannya enggan
mencabut kembali keputusan yang
telah dibuat dalam muktamar
NU tahun 1931.
Tarekat Tijaniyah—atau lebih tepatnya Kiai Badri dan Kiai
seniornya Kiai Muchlas (adik Kiai Chozin)—melakukan serangan balik. Setiap
kali saingan Kiai Badri yang pertama, Kiai Hasah Syaifurijal atau salah satu
dari orangnya Kiai As’ad memberikan ceramah di suatu tempat, maka Kiai Badri
atau Kiai Muchlas kemudian akan memberikan ceramah lain di tempat yang sama
beberapa hari kemudian. Intelektual tarekat Tijaniyah Madura, Kiai Fauzan
Fathullah dari Sidogiri, menulis sebuah buku apologetik yang membela
tarekatnya (Fathullah 1995) yang juga disebarkan secara lebih luas. Walaupun
buku tersebut tidak secara langsung menjawab serangan yang dilakukan oleh
Dahlan, buku ini efektif karena ia menunjukkan bahwa pembelaan skriptual bagi
tarekat tersebut dapat dilakukan (meskipun hanya beberapa pengikutnya saja
yang akan mampu memahami berbagai argument-argumen dalam polemic tersebut).
Tarekat Tijaniyah melakukan unjuk kekuatan dengan mengubah perayaan tahunan
kecil-kecilan menjadi sebuah pertemuan nasional muqaddam dan pertemuan massa
bagi para pengikutnya. Pada bulan Juli 1985, 15.000 pengikut tarekat ini hadir
dalam pertemuan massa yang pertama.31 Jumlah ini terus bertambah dari tahun
ketahun, dengan semakin banyak pengikut dari Jawa Tengah dan Barat yang ikut
ambil bagian.
Muqaddam dari Jawa Barat dan Tengah-lah yang berusaha
menurunkan ketegangan di Jawa Timur dan mendobrak isolasi terhadap tarekat
mereka. Mereka berusaha membuka dialog dengan kelompok-kelompok Muslim di luar
dunia tarekat, dengan mengundang orang-orang luar untuk menghadiri pertemuan
tahunan mereka. Mereka me-lobby ke dalam NU untuk memperoleh pengakuan yang
lebih eksplisit dari beberapa tokoh terkemuka. Pada saat yang sama, mereka
berusaha untuk mengurangi dominannya Kiai Badri dengan lebih menonjolkan
muqaddam yang lebih moderat, yakni Kiai Baidhowi. Sementara itu Kiai As’ad
sedang mendapatkan lawan-lawan baru di dalam tubuh NU, dan salah satu
diantaranya, Idham Khalid, semakin menonjol dalam perhimpunan tarekat tersebut
(van Bruinessen 1991). Penyelenggara muktamar tarekat tahun 1989 mengundang
kiai tarekat Tijaniyah dan meyakinkan bahwa tidak akan ada
perdebatan
lebih lanjut tentang tarekat ini. Tarekat Tijaniyah secara implicit telah
diterima kembali sebagai bagian dari perhimpunan tersebut. Kiai As’ad tetap
tidak berubah tetapi dia meninggal pada tahun 1990. Pada bulan Agustus 1991,
tarekat Tijaniyah menyelenggarakan perayaan kemenangan di Stadium Senayan
Jakarta, yang dihadiri oleh Wakil Presiden Sudharmono, sebagai salah
seorang dari tamu kehormatan mereka. Tidak
banyak kekhasan tarekat Tijaniyah yang tampak dalam perayaan ini; para
pembicara utamanya adalah para da’I yang terkenal secara nasional dan bukan
orang tarekat.
Kesimpulan
Orang Madura dikenal karena ketaatan
mereka kepada Kiai mereka (kiai Jawa membicarakan ketaatan tersebut dengan
nada mengolok-olok namun bercampur rasa iri). Kesaktian mistis-magis sanagt
dihargai, dan kebanyakan kiai Madura melakukan paling tidak beberapa bentuk
penyembuhan tradisional (bdk. Santoso 1980: 78-9, 142-3). Pada umumnya para
guru tarekat memiliki pengikut yang lebih banyak dan lebih taat dibandingkan
rata- rata kiai non-tarekat. Disamping minat yang murni terhadap tasawuf,
seorang kiai bisa juga memiliki alasan-alasan yang sangat bersifat duniawi
dalam keikutsertaannya menjadi penganut dan mengajarkan sebuah tarekat.
Sekitar
tahun 1920, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tarekat yang paling
luas penyebarannya di pulau ini, walaupun beberapa orang di antara para kiai
yang paling berpengaruh sudah menganut tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat
Naqsyabandiyah ternyata membuat banyak kemajuan selama beberapa dasawarsa
kemudian, yang secara berangsur-angsur menggantikan kedudukan tarekat lain dan
juga berbagai tradisi mistik lokal yang lebih sinkretis di Madura Tengah dan
dalam kadar tertentu juga di Madura Timur.32 Tarekat Tijaniyah untuk pertama
kalinya mendapatkan tempat berpijak di kalangan orang- orang Madura pada tahun
1930-an, di Prenduan dan daerah Probolinggo. Ia mengalami periode pertumbuhan
kedua pada tahun 1970-an dan awal 1980-an, pertumbuhan kali ini sebagian
telah
mengakibatkan menurunnya jumlah pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Kohesifitas tarekat yang terakhir ini mengalami merosot akibat konflik di
sekitar salah seorang guru utamanya, Kiai Musta’in Romly, yang telah
menyeberang dari NU ke Golkar.
Para kiai Madura merupakan lapisan
masyarakat yang sangat mirip dengan sebuah kasta, yang terjalin menjadi satu
melalui pertalian darah dan perkawinan. Ini tidak menghalangi munculnya
konflik-konflik; tetapi sangat mengesankan bahwa para penantang para kiai yang
sudah mapan biasanya berasal dari strata yang sama juga. Contoh yang paling
mencolok di antara konflik-konflik yang disebutkan di atas, adalah kasus Kiai
Badri Masduki yang menantang Kiai As’ad. Kiai Badri bukanlah orang yang baru
muncul dalam dunia pesantren; bapaknya, Masduki juga adalah seorang kiai, yang
reputasinya dalam bidang kesaktian hanya bertambah ketika dia menghilang
secara misterius. Ibunda Badri, juga, seorang yang mempunyai pengetahuan
agama; dia mengajar di Prenduan, dan bahkan menjadi muqaddamah Tijaniyah! Kiai
di sana, Kiai Idris Jauhari, masih salah seorang anggota keluarganya. Dan
lebih dari itu, ibunda Kiai Badri adalah sepupu langsung dari Kiai As’ad.
Konflik ini betul-betul urusan internal keluarga!
Catatan
akhir:
1. Mansurnoor (1990: 209) masih menyebutkan nama
tarekat lain, tarekat ‘Ulwiyah, yang mempunyai sedikit pengikut di Madura dan
hanya diwakili oleh satu orang mursyid (pembimbing spiritual) di
daerah Bettet, Pamengkasan. Mungkin yang dimaksud adalah tarekat
“Naqsyabandiyah ‘Uluwiyah”, sebuah sekte yang didirikan pada tahun 1954 oleh
seorang Haji Syaikh Abdul Hayyi Muhyiddin Al’Amien dari Malang. Selain nama
tarekat ini tampaknya tidak ada hubungasnnya dengan Naqsyabandiyah. Dengan
menilai bahan-bahannya yang diterbitkan, tampaknya ia lebih merupakan sebuah
sekte kebatinan yang sudah mengalami Islamisasi. Lihat pembahasan di bab
terkahir buku saya, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia.
2.
Namun, Bouvier (1989: 221) mengemukakan sebuah asal-usul kata yang lain dari
istilah Samman, dari kata sama’ (Arab) dengan akhiran -an. Kata sama’, yang
secara harfiah berarti “mendengarkan”, dalam kalangan Sufi mempunyai arti yang
khusus, yaitu mendengarkan music dan/atau puisi (dan kadang-kadang juga
menari) sebagai suatu teknik spiritual; dan ini tidak khas bagi satu tarekat
tertentu saja. Di Jawa Timur, istilah sama’an (yang dalam penuturannya mudah
dibedakan dengan samman) sekarang merujuk kepada acara pembacaan (seluruh)
Al-Quran yang dihadiri banyak orang.
3. Tentang Kiai
Kholil, lihat biografi penghormatan yang ditulis oleh Junaidi (1988) dan
beberapa pengamatan dalam Dhofier 1982: 91-2 (di mana beberapa muridnya yang
berpengaruh disebutkan). Makam Kiai Kholil di dekat Bangkalan merupakan salah
satu tempat ziarah penting di Madura, dikunjungi tidak hanya oleh orang-orang
Madura tetapi juga orang dari Jawa dan Sunda dalam jumlah yang besar. Karena
reputasinya yang dikenal sangat luas, beberapa guru tarekat juga mengakuinya
sebagai nenek-moyang spiritual mereka (lihat selanjutnya). Namun,
keturunannya, Kiai Abdullah Sahal dari Demangan dan Kiai Khalil Yasin dari
Kepang (keduanya di Bangkalan), menyatakan bahwa Kiai Kholil tidak pernah
menjadi anggota tarekat tertentu.
4.
Tarekat Sammaniyah, yang telah disebutkan di atas, merupakan tarekat gabungan
yang lain. Tarekat ini mengkombinasikan berbagai unsur dari tarekat
Khalwatiyah, Syadziliyah, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Tampaknya tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah secara sengaja meniru tarekat Sammaniyah, walaupun
ritual dan teknik keduanya sanagt berbeda.
5. Kitab
kecil ini, yang masih banyak terdapat di Nusantara dalam beberapa cetakan
ulang, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Shellabear (1933).
6.
Tinjauan yang lebih rinci diberikan dalam buku saya tentang Naqsyabandiyah
(akan terbit).
7. Arsip Departemen Luar Negeri,
Algemeen Rijksarchief, The Hague: Arsip Jeddah 1873-1950, no. 69, salinan
surat yang bertanggal 26 Nopember 1888. Konsul melakukan penyelidikan tentang
Syaikh Abdul Karim karena dia dianggap memiliki peran dalam pemberontakan
Banten pada tahun itu. ‘Abd Al-Muh’thi—jika nama ini memang tepat—tetap
merupakan figure yang tidak jelas sosoknya, informasi tentang dirinya sama
sekali tidak saya temukan dalam
8. Satu silsilah, yang
dicetak di Rejoso, menunjukkan bahwa Ahmad Hasbullah pernah menjadi murid
Abdul Karim Banten, tetapi dalam silsilah yang dicetak baru-baru ini
pernyataan ini “dikoreksi”: dengan menempatkannya secara langsung setelah
Ahmad Khatib Sambas dan dengan menghapuskan nama Abdul Karim.
Perubahan-perubahan dalam silsilah semacam ini bukan hal yang tidak biasa.
Legitimasi bagi garis ini diperkuat dengan suatu hubungan langsung dengan
pendiri tarekat tersebut; sehingga Rejoso berdiri pada pijakan yang sejajar
dengan garis Banten, dank arena itu senioritas Banten atas Rejoso tidak
diakui. Pencarian legitimasi yang lebih kuat ini mungkin bukan tidak ada
kaitannya dengan kontroversi tahun 1970-1n yang telah disinggung di atas, dan
akan dibicarakan secara agak rinci di bawah.
9. Zainal
Abidin bukanlah satu-satunya kiai yang berbagai pernyataan tentang afiliasi
tarekatnya saling bertentangan. Kiai Ali Wafa yang terkenal, dari Ambunten,
yang jelas-jelas seorang
guru tarekat Naqsyabandiyah, disebut
sebagai pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah oleh Mansurnoor, seorang
yang keterangannya biasanya tepat (1990: 208). Dalam kasus Kiai Zainal Abidin
hal itu dapat dimengerti, karena dia semula adalah pengikut tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah namun kemudian berpindah ke tarekat Naqsyabandiyah, yang
diperkenalkan ke Madura oleh pamannya sendiri, Kiai Abdul Azim (lihat di
bawah).
10. Kiai Kholil ini jangan dikacaukan dengan
Kiai KHalil Bangkalan yang sudah kami sebutkan di atas.
11.
Pembahasan yang sangat baik tentang masalah kepemimpinan ini terdapat dalam
Madjid 1979: 68-76, klaim Kiai Musta’in sebagai pengganti ayahnya dicetak
dalam buku kecil yang diterbitkan sendiri dan didistribusikan oleh pesantren
di Rejoso (hemdra 1984). Rejoso juga menunjukkan pengakuannya atas otoritas
Kiai Usman dengan mencetak buku kecil berbahasa Jawa karyanya yang berisi
pelajaran-pelajaran tarekat, Tsamarah Al-Fikriyyah (Nadi t.t.).
12.
Syaikh ‘Abd Al-Qadir dipercaya wafat pada tanggal 11 Rabi’ul Akhir, dan di
banyak tempat di dunia Islam para pengikut tarekat ini dan para pemuja lainnya
menyelenggarakan pertemuan untuk memperingati hari wafatnya. Di Nusantara,
pertemuan yang lebih sederhana diadakan pada setiap tanggal 11 bulan
Qamariyah. Perayaan tersebut biasanya berisi pembacaan manaqib, cerita legenda
tentang berbagai keajaiban sang wali (tentang hal ini lihat: Drewes dan
Poerbatjaraka 1838).
13. Masalah ini akan dibicarakan
secara lebih luas dalam buku saya tentang tarekat Naqsyabandiyah (edisi
kedua); lihat juga Dhofier 1980: 279-94 dan Lombard 1986: 154-7.
14.
Menurut beberapa informan saya, inisiatif untuk menggoyang kedudukan Kiai
Musta’in sebenarnya berawal dari Kiai Muslikh, dan bukan Kiai Adlan Ali. Kiai
Muslikh tidak termasuk anggota cabang tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Madura yang sama, tetapi anggota tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Banten
yang mengikuti garis Syaikh Abdul Karim. “Koreksi” terhadap silsilah Kiai
Musta’in, dimana Ahmad Hasbullah
disebut sebagai murid
langsung dari Ahmad Khatb Sambas (bdk. Catatan no. 8), barangkali
merepresentasikan salah satu dari usaha Rejoso untuk membuktikan senioritasnya
atas Kiai Muslikh da Kiai Adlan Ali.
15. Dalam kasus
Kiai Badrut Tamam ini, kepindahannya ke tarekat Tijaniyah tidak disebabkan
oleh kekecewaan atas penyeberangan Kiai Musta’in ke Golkar. Dia tetap menjadi
pengagum Musta’in dan sering mengunjunginya, sampai Kiai Musta’in meninggal
dunia pada tahun 1984. Dia mempunyai penjelasan yang lebih lunak tentang
dukungan Kiai Musta’in kepada Golkar: suatu kali dia bertanya kepada Musta’in
apakah sang Kiai menganjurkan dirinya agar masuk Golkar dan mendapat jawaban
negatif, “Aku telah masuk Golkar untuk me-warnai, tapi kau akan di-warnai”.
16.
Biasanya dieja dengan Muz-hariyah. Tentang perbedaan antara kedua cabang
tarekat Naqsyabandiyah ini, lihat van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1991), bab IV.
17. Jaringan
guru tarekat Nasyabandiyah di Madura dibahas secara lebih panjang lebar dalam
buku saya, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, edisi kedua, Bab XIII.
18.
Wawancara dengan Kiai Mahfudz, 22 Februari 1988.
19.
Menurut beberapa informan saya, Kiai Syamsuddin dari Sumberanyar, guru Kiai
Muhsin Aly yang terakhir, juga secara teratur mengunjungi orang-orang Madura
di Kalimantan Barat (saya lupa mencek informasi ini kepada Kiai Mahfudz). Ini
dapat menjelaskan kenapa Kiai Syamsuddin disebut dalam silsilah yang dikutip
di atas, walaupun dia tidak termasuk dalam pengelompokan guru yang sama.
20.
Saya berhutang budi untuk informasi tentang Habib Muhsin Aly kepada putranya,
Amin, yang saya wawancarai beberapa kali. Habib Muhsin Aly sendiri sudah
meninggal pada tahun 1980 dan tidak dapat diwawancarai (walaupun dia berkali-
kali datang dalam mimpi putranya). Menurut Amin, ayahnya juga berkhalwat,
untuk menembus sedalam mungkin rahasia- rahasia perjalanan
tasawuf, di bawah bimbingan syaikh
tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah yang paling terkenal, Haji Jalaluddin dari Bukit
Tinggi.
21. Ini adalah pendapat H. Wan Muhammad Shaghir
Abdullah, yang pada tahun-tahun tersebut memimpin sebuah pondok di Mempawah
(Wawancara, 25 Desember 1986).
22. Nyai Thobihah
bukanlah satu-satunya guru tarekat perempuan di Madura. Paling tidak masih ada
satu guru tarekat perempuan yang lain, Nyai Syarifah Fatimah di Sumenep, yang
ditunjuk oleh Kiai Syamsuddin. Santri perempuan mencapai proporsi yang sangat
besar di antara para pengikut tarekat di Madura.
23.
Wawancara dengan putra Kiai Abdul Wahid, Ja’far, Omben, 22 Februari 1988.
24.
Wawancara dengan Kiai Lathifi Baidowi, Gondang Legi, 22 Februari 1988.
Pembahasan lebih lengkap di buku saya, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,
edisi kedua.
25. Dalam tarekat Tijaniyah, istilah
khalifah hanya diberikan kepada syaikh tertinggi. Syaikh lain yang diberi
ijazah untuk mengajarkan tarekat dan membai’at anggota baru disebut dengan
muqaddam, “pemimpin”, “pemuka”.
26. De Jonge, yang
studinya pada tahun 1988 sebagian besar mengenai Prenduan, menghabiskan
beberapa halaman untuk membicarakan Kiai Jauhari (hlm. 157-65) tetapi tidak
mem- berikan keterangan tentang propaganda tarekat Tijaniyah yang
dilakukannya. Kiai lain dari wilayah tersebut, ketika mengomentari konflik
yang sekarang terjadi yang berkaitan dengan tarekat Tijaniyah, menyatakan
bahwa Kiai Jauhari dan Kiai Chozin jauh lebih diplomatis daripada para guru
Tijaniyah sekarang dan tidak mau menyerang tarekat lain (Driyantono, 1987:
16-17).
27. Dipertanyakan apakah benar-benar ada
pemutusan hubungan dengan sufi tradisi sebagaimana yang dikemukakan oleh
Fazlur Rahman dan (khususnya) para penulis belakangan yang mengikutinya, dan
apakah benar-benar ada gerakan yang khas, sehingga secara umum cukup layak
untuk diberi label baru sebagai neosufisme. Khususnya cirri-ciri tambahan yang
dilekatkan kepada neosufisme, seperti penolakan terhadap
ide
penyatuan diri dengan Tuhan dan menggantikannya dengan usaha untuk bersatu
dengan ruh Nabi Muhammad, yang tidak tahan terhadap pemeriksaan yang teliti
(O’Fahey & Radtke, akan terbit).
28. Satu laporan,
yang diberikan oleh seorang Kiai di Sumenep (Driyantono 1987: 16),
menggambarkannya sebagai sebuah konflik pribadi antara Kiai Badri dan Kiai
Hasan Syaifurijal dari Genggong, Probolinggo (Pesantren yang paling dekat
dengan pesantren milik Kiai Badri). Dalam konflik tersebut Kiai Hasan berhasil
menarik Kiai As’ad dari Situbondo, Kiai Madura yang paling senior. Kiai Badri
sendiri berbicara tentang sebuah konflik rangkap, dengan tarekat
Naqsyabandiyah, yang biasanya mendominasi wilayahnya dan dengan praktik-
praktik magis mistis tradisional (penanaman kesaktian) yang diwakili oleh Kiai
As’ad, yang keduanya telah digantikan oleh Tasawuf Tijaniyah yang lebih
ortodoks (wawancara, Kraksaan, 26 Desember 1987).
29.
Interpretasi ini dikemukakan kepada saya oleh Abdurrahman Wahid.
30.
Versi berbahasa Arabnya berjudul Wudhu’ Al-Dala’il. Risalah ini adalah
penulisan kembali dengan redaksi yang baru atas risalah yang ditulis
oleh Sayyid ‘Abdullah bin Shadaqah Dahlan, Tanbik Al-Ghafil,
yang dibicarakan oleh Pijper (1934: 110-6). Buku kecil ini membicarakan
doktrin-doktrin tarekat Tijaniyah sebagaimana yang ditemukan dalam kepustakaan
tarekat itu sendiri dan menegaskan kebid’ahannya. Sebuah terjemahan berbahasa
Indonesia kemudian muncul di bawah judul Tarekat Tijaniyah, Suatu Pertanyaan
(Jakarta: CV Karya Putra, 1986).
31. Lihat Tempo
13-7-1985. Tahun itu yang diperingati adalah wafatnya pendiri tarekat; pada
tahun-tahun berikutnya yang diperingati adalah peristiwa pertemuannya dengan,
dan pembai’atannya oleh, Nabi sendiri. Perayaan tersebut disebut Id
Al-Khatmah, dengan merujuk kepada gelar Khatm Al- Wilayah (yakni penutup
kewalian) yang digunakan Ahmad Al-Tijani setelah pertemuan ini.
32.
Touwen-Bouwsma menyimpulkan bahwa tarekat Naqsya- bandiyah semakin mendapatkan
pengaruhnya di Madura sejak tahun 1930 dan bahwa sejak itu penyebar-luasannya
terus berlanjut. Di desa tempat dia melakukan penelitian lapangannya (di
daerah Omben, Sampang) pengaruh tarekat tersebut sangat baru, tetapi rupanya
terus meningkat (1988: 213-24).
TAREKAT DAN POLITIK: AMALAN UNTUK DUNIA ATAU AKHIRAT?
Delapanbelas harinya Sabtu bulan Sya’ban ketika waktu pukul empat
jamnya itu
haji berzikir di pemarakan tentu
Haji ratib di
pengadapan berkampung bagai mengadap ayapan tidaklah ada malu dan sopan
ratib
berdiri berhadaapn
La ilaha illallahu dipalukan ke kiri kepada hati
nama sanubari datanglah opsir meriksa berdiri haji berangkat opsirpun lari
…………
Haji
berteriak Allahu Akbar datang mengamuk tak lagi sabar
dengan tolong Tuhan
Malik Al-Jabbar serdadu Menteng habislah bubar
…………
Haji
berteriak sambil memandang hai kafir marilah tandang
surga bernaung di
mata pedang bidadari hadir dengan selendang
Disitulah haji lama
berdiri dikerubungi serdadu Holanda pencuri lukanya tidak lagi terperi
fanalah
haji lupakan diri
Beberapa bait ini, dari Syair Perang Menteng,1
menceritakan perlawanan orang Palembang terhadap pasukan Belanda yang dikirim
untuk menaklukkan kota mereka pada tahun 1819. Perang ini dikenal dengan nama
komandan pasukan Belanda, Muntinghe, yang dimelayukan menjadi Menteng. Sang
penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan (“haji”) mempersiapkan
diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (Al-Malik, Al-Jabbar),
berzikir dan beratib dengan suara keras sampai “fana”. Dalam keadaan tak sadar
(“mabuk zikir”) mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin
juga merasa kebal dan sakti lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan
keberanian mereka berhasil mengalahkan serangan pertama pasukan Belanda.
Kaum
haji mujahid yang dipotret dalam syair ini jelas adalah orang tarekat.
Walaupun sang penyair tidak menyebut nama mereka, tidaklah sulit untuk menarik
kesimpulan bahwa mereka mengamalkan amalan tarekat Sammaniyah. Tarekat
tersebut memang telah berkembang di Palembang, dan dibawa dari tanah suci oleh
murid-muridAbdussamad Al-Palimbani pada penghujung abad ke-18.
Syaikh
Abdussamad dikenal terutama sebagai pengarang Sair Al-Salikin dan Hidayah
Al-Salikin, dua karya sastra tasawuf Melayu yang penting. Dua karya ini
berdasarkan Ihya dan Bidayah Al- Hidayah-nya Al-Ghazali, dengan tambahan bahan
dari berbagai kitab tasawuf lainnya.2 Ia lama sekali menetap di Makkah, dan
barangkali orang Indonesia pertama yang mendapat ijazah untuk
mengajar
tarekat Sammaniyah. Setelah mendapat ijazah dari pendiri tarekat, Syaikh
Samman sendiri, ia kemudian mengajarkannya kepada orang Indonesia lainnya yang
berada di Makkah, terutama kepada orang yang berasal dari kota kelahirannya,
Palembang. Uraian mengenai tarekat Sammaniyah terdapat dalam Hidayah Al-
Salikin dan dalam Ratib ‘Abd Al-Samad yang ia karang.
Namun Syaikh
Abdussamad ternyata tidak menulis karya tasawuf saja. Ia pula mengarang sebuah
risalah berbahasa Arab mengenai jihad, Nashihah Al-Muslimin wa Tadzkirah
Al-Mu’minin fi Fadha ‘il Al-Jihad fi Sabillillah. Yang lebih menarik lagi, ia
juga telah menulis surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono
I) dan
Susuhunan Prabu Jaka (Putra Amngkurat IV) yang dapat dianggap dorongan untuk
terus berjihad melawan orang kafir, sebagaimana dilakukan para sultan Mataram
sebelumnya.3 Syaikh Abdussamad, rupanya, seorang sufi yang tidak mengabaikan
urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan. Tidak mengherankan kalau
murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik.
Syaikh
Abdussamad bukan ahli tarekat Indonesia pertama yang bersemngat jihad melawan
penjajah non-Muslim. Lebih dari satu abad sebelumnya, terdapat seorang ahli
tarekat berpengaruh yang pernah berperan sebagai pemimpin gerilya melawan
Kompeni. Tidak lain, tokoh ini adalah Syaikh Yusuf Makassar, yang mendapat
gelar “Al-Taj Al-Khalwati”. Hingga kini, tarekat Khalwatiyah yang ia bawa ke
Nusantara masih tetap berakar di Sulawesi Selatan. Syaikh Yusuf lahir di
kerajaan Goa dan pada usia muda merambah ke tanah Arab untuk mencari ilmu. Ia
berguru kepada berbagai guru kenamaan dan menerima ijazah untuk mengamalkan
dan mengajar sejumlah tarekat—selain tarekat Khalwatiyah juga Syattariyah,
Naqsyabandiyah, Qadiriyah dan Ba’alawiyah. Sekembalinya dari Timur Tengah,
Syaikh Yusuf tidak mau menetap di Goa, yang telah ditaklukkan oleh Kompeni
Belanda, melainkan memilih hidup di Banten, yang belum dikuasai Belanda dan
kala itu merupakan salah satu pusat budaya terpenting di Nusantara.
Dalam
rentang waktu pendek, Syaikh Yusuf telah menebarkan pengaruh luar biasa di
Banten. Ia menjadi penasihat utama Sultan
Ageng Tirtayasa dan
diambil menantu olehnya. Kedudukannya bertambah kokoh dengan adanya ratusan
orang Bugis dan Makassar di Banten, yang menjadi tulang punggung tentara dan
armada Banten pada saat itu. Mereka membanggakan putra daerah mereka yang
dianggap waliyullah dan menjadi pengikutnya yang fanatik. Tidak semua orang di
Banten senang melihat pengaruh begitu besar Syaikh Yusuf. Hubungan antara
syaikh dengan putra mahkota, yang bergelar Sultan Haji, lantaran pernah ke
Makkah, kian memburuk. Pada tahun 1682, Sultan Haji memberontak dan berusaha
menggeser ayahnya. Ia dibantu oleh pasukan Kompeni Belanda dari Betawi, yang
tentu saja mempunyai alasan tersendiri untuk campur tangan dalam urusan
kerajaan tetangga, yang pada waktu itu merupakan pesaing kuat dalam
perdagangan. Sultan Ageng ditangkap, tetapi Syaikh Yusuf dengan pengikut-
pengikutnya berhijrah ke pegunungan. Nyaris dua tahun mereka mampu bertahan
kendati diburu oleh pasukan Kompeni yang jauh lebih kuat. Syaikh Yusuf
akhirnya ditangkap dan dibuang ke Ceylon, sedangkan pengikut-pengikutnya
dikembalikan ke Sulawesi.4
Kaum Tarekat; Militan atau Politik?
Dua
kasus di atas menunjukkan keterlibatan tarekat dalam peperangan fisik melawan
agresi penjajah. Jumlah kasus seperti ini, jika dikehendaki, dapat dideret
lebih banyak lagi. Pertanyaan yang patut diajukan adalah: Apakah sikap militan
itu memang melekat pada tarekat, atau hubungan itu kebetulan saja? Apakah ada
factor dalam ajaran, amalan dan organisasi tarekat yang mendorong kepada
militansi politik? Atau contoh-contoh tadi mesti dipahami sebagai kekecualian,
disebabkan situasi luar biasa, sedangkan kaum tarekat biasanya cenderung untuk
menjauhkan diri dari urusan politik?
Ihwal tasawuf dan tarekat memang
terdapat dua persepsi yang bertolak belakang. Para pejabat penjajah Belanda,
Prancis, Italia dan Inggris lazim mencurigai tarekat karena—dalam pandangan
mereka—fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik.
Untuk ini, bukan suatu kebetulan jka kajian-
kajian barat
yang pertama mengenai tarekat lebih mirip laporan penyelidikan intel daripada
penelitian ilmiah.5 Oleh karena bahaya politik yang mereka cerna, banyak
pejabat telah menganjurkan larangan atau pembatasan terhadap kegiatan tarekat.
Meskipun kecurigaan terhdap tarekat bukanlah monopoli pejabat kolonial. Di
Republik Turki, misalnya, pada tahun 1925 semua tarekat dilarang setelah
terjadi pemberontakan nasionalis Kurdi yang dipimpin oleh syaikh-syaikh
tarekat naqsyabandiyah. Larangan resmi sampai sekarang masih berlaku—walaupun
belakangan ini kegiatan tarekat mengalami perkembangan baru. Larangan yang
lebih ketat lagi telah berlaku di (almarhum) Uni Soviet; dan di
republik-republik bagian Uni Soviet yang Muslim jaringan tarekat memang telah
merupakan oposisi bawah tanah yang paling penting.
Persepsi kedua,
sebaliknya, menganggap perkembangan tarekat sebagai suatu gejala depolitisasi,
sebagai pelarian dari tanggung jawab social dan politik. Dalam pandangan ini,
tarekat lebih berorientasi kepada urusan ukhrawi ketimbang masalah dunia. Para
pengkritik tarekat menekankan aspek asketis (zuhd) dan orientasi ukhrawi;
dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan, kaum tarekat konon lazim menjauhkan
diri dari masayarakat (khalwah, uzlah). Kalau kalangan Islam “tradisional”
(Aswaja) dianggap lebih kolot, akomodatif dan apolitik dibandingkan dengan
kalangan Islam modernis, kaum tarekat dianggap paling kolot di antara yang
kolot, dan yang paling menghindar dari sikap politik. Pandangan ini, seperti
akan kita lihat, terlalu sederhana. Tetapi tidak dapat diingkari bahwa ada
kaitan erat antara proses depolitisasi Islam (seperti yang terlihat di
Indonesia selama tiga dasawarsa terakhir) dan suburnya proses perkembangan
para tarekat.
Sebagai pengamatan awal kita bisa mencatat bahwa dua
persepsi tentang tarekat ini berkenaan dengan situasi-situasi yang berbeda.
Hampir semua kasus perlawanan fisik oleh kaum tarekat yang telah dikenal
berlangsung terhadap penguasa yang bukan Muslim atau sekular (Turki). Dalam
Negara Muslim merdeka jarang terjadi pemberontakan atau sikap oposisi radikal
dari kalangan tarekat. Dalam hal ini, kaum tarekat tidak berbeda dari
kalangan
Islam “tradisional” pada umumnya. Malahan—ini
merupakan pengamatan kedua—orang tarekat seringkali begitu dekat kepada
penguasa. Daripada menjauhi urusan politik, syaikh-syaikh tarekat cenderung
mendekati penguasa. Syaikh Yusuf Makassar menjadi penasihat dan menantu Sultan
Ageng Banten; Syaikh Abdussamad melalui surat menasehati Sultan Mataram. Dan
para penguasa, sebaliknya, tidak jarang mencari dukungan moral dan spiritual
dari syaikh tarekat.
Syaikh dan Sultan
Tarekat Naqsyabandiyah
merupakan salah satu tarekat yang paling besar, dengan cabang-cabangnya di
hampir seluruh dunia Islam, menyebar dari Yugoslavia dan Mesir sampai Cina dan
Indonesia. Hasil pengamatan yang telah dilakukan banyak sarjana menunjukkan
bahwa syaikh-syaikh tarekat ini cenderung mendekati penguasa dan mencari
pengikut di kalangan elite politik. Contoh klasik adalah Syaikh ‘Ubaidallah
Ahrar (Khwajah Ahrar, 1404-1490), khalifah angkatan kedua dari pendiri tarekat
Baha’uddin Naqsyaband. Sumber sejarah lokal menggambarkan Khwajah Ahrar
sebagai seorang syaikh yang kaya raya dan sangat berpengaruh di istana dinasti
Timurid di Herat (di Afghanistan sekarang). Jumlah muridnya banyak, dan mereka
berasal dari semua lapisan masyarakat, yang secara demikian memperkokoh bobot
politiknya. Ketika pada masa suksesi terjadi peperangan antara beberapa calon
pengganti Sultan, pemenangnya adalah pangeran yang didukung oleh Khwajah
Ahrar, Abu Sa’id. Syaikh kemudian tetap sebagai guru, penasihat dan pelindung
spiritual raja Abu Sa’id dan kemudian penggantinya ‘Abd al-Lathif.6
Pengaruhnya dimanfaatkan, antara lain, demi Islamisasi lanjutan pemerintahan;
atas desakan Khwajah Ahrarlah Abu Sa’id konon telah mengubah beberapa aturan
‘urfi (adat) sehingga lebih sesuai dengan syariat. Khalifah-khalifah Khwajah
Ahrar berusaha memainkan peranan yang sama pada dinasti-dinasti lokal. Bahkan
ada keturunan spiritualnya yang berhasil menjadi penguasa di Yarkand, salah
satu kerajaan lokal di Asia Tengah.
Dari Asia Tengah tarekat
Naqsyabandiyah kemudian menyebar ke Barat (Turki Usmani) dan ke Tenggara
(India Moghul), dan banyak di antara syaikhnya yang mempunyai pengaruh kuat di
kalangan elite, terkadang sampai Sultan sendiri. Di Turki, Sultan Bayezid II
(akhir abad ke-15) terkenal sebagai penguasa yang memiliki hubungan akrab
denganberbagai guru terkat, sedangkan di India Sulatn Aurangzeb (pertengahan
abad ke-17) sedikit banyak juga dipengaruhi oleh beberapa syaikh
Naqsyabandiyah. Merekalah yang punya andil dalam perubahan besar kehidupan
beragama di bahwah Sultan ini. Agama resmi yang diciptakan Sultan Akbar, Din-i
Ilahi, yang merupakan perpaduan Islam dan Hindu, digantikan dengan Islam yang
murni dan berorientasi syariat. Dalam salah satu surat kepada Sultan
Aurangzeb, Syaikh Muhammad Ma’sum menganjurkannya untuk menunaikan jihad dalam
dua dimensinya, yaitu perang melawan kafir (dalam hal ini Negara tetangga
Qandahar yang Syi’i) dan perang melawan nafsu.7
Ketika tarekat
Naqsyabandiyah masuk Indonesia, terlihat pendekatan yang mirip. Syaikh Isma’il
Minangkabawi, yang telah menjadi khalifah Naqsyabandiyah di Makkah, kembali ke
Nusantara sekitar tahun 1850 dan menjadi guru dan penasihat raja muda Riau
(Yang Dipertuan Muda), Raja Ali. Waktu Syaikh Isma’il pulang ke Makkah, adik
Raja Ali, Raja Abdullah, menjadi khalifahnya. Raja Abdullah kemudian
menggantikan kakaknya sebagai penguasa. Setelah Raja Abdullah meninggal dunia,
penggantinya, Raja Muhammad Yusuf, ingin memperkuat legitimasinya sebagai
penguasa dan pergi ke Makkah untuk meminta ijazah khalifah Naqsyabandiyah dari
Syaikh Muhammad Shalih Al-Zawawi.
Akan halnya sultan-sultan Pontianak,
pernah menjadi murid Syaikh Muhammad Shalih dan putranya, Abdullah Al-Zawawi.
Syaikh Abdullah Al-Zawawi pernah datang ke Indonesia dan tinggal di istana
Pontianak dan Kutai. Di Sumatera Utara, Sultan Deli dan Pangeran Langkat pada
tahun 1880-an dikenal sebagai murid tarekat Naqsyabandiyah. Syaikh Abdul
Wahhab, yang berasal dari Rokan (Riau), mendirikan desa Naqsyabandiyah
Babussalam di Langkat dan senantiasa mendapat perlindungan oleh istana
Langkat. Di pulau Jawa tarekat Naqsyabandiyah gagal merangkul
raja-raja,
tetapi ada beberapa bupati yang menjadi pengikut setia. Laporan Belanda abad
ke-19 mencatat bahwa guru-guru tarekat Naqsyabandiyah sengaja pada awalnya
mendekati kaum bangsawan dan pamong praja, sehingga mendapat restu dari atas,
dan barulah kemudian menaruh perhatian kepada lapisan masyarakat lainnya.
Pedekatan
guru-guru tarekat ini terhadap sultan dan penguasa lainnya sangat bermanfaat
dari sudut pandangan sang syaikh. Salah seorang ulama penentang tarekat
menulis dengan nada sinis mengenai keberhasilan Syaikh Isma’il Minangkabawi di
Riau: “dan itu Haji Isma’il sudah balik kembali ke negeri Makkah dengan bawa
uwang terlalu banyak adanya”.8 Komentar senada sering pula terdengar terhadap
ulama-ulama yang dekat pada penguasa. Dan memang saya jarang sekali bertemu
dengan syaikh tarekat yang miskin. Tetapi di samping itu ada dampak lain juga.
Semua syaikh yang disebut di atas juga berhasil mempengaruhi sikap beragama
penguasa yang mereka dekati. Riau, Pontianak, Deli dan Langkat menjadi wilayah
tempat syariat diindahkan, atau dalam bahasa para pejabat Hindia Belanda,
penguasa setempat cenderung kepada “fanatisme”. Di Cianjur, masjid tiba-tiba
mulai dikunjungi khalayak ramai pada tahun 1885-an setelah bupatinya masuk
tarekat Naqsyabandiyah (sehingga ada pejabat yang panik dan mencurigai ada
persiapan untuk pemberontakan). Di Kutai, yang budayanya masih campuran,
kalangan istana dianjurkan berhenti minum minuman keras oleh Abdullah
Al-Zawawi, dan seterusnya.
Mengapa para sultan seringkali mengembangkan
hubungan akrab dengan seorang (atau beberapa orang) syaikh tarekat dan
bersedia mendengarkan nasihat-nasihatnya? Kita memang jauh lebih sering
melihat ulama tarekat daripada kaum fuqaha sebagai penasihat sultan dan
raja.
Alasannya bermacam-macam, tapi salah satu yang penting adalah
karamah-nya syaikh tarekat. Kekuatan spiritual syaikh diharapkan bisa
melindungi dan melestarikan kerajaan. Syaikh yang ahl al-kasyf bisa
menunjukkan kapan harus perang dan kapan damai, apa hari terbaik untuk sebuah
keputusan dana apa hari naas. Raja yang sadar bahwa ia telah berbuat banyak
dosa
mendapat ketenangan hati berkat bimbingan ruhani oleh
syaikh. Kehadiran orang yang dianggap “keramat” di lingkungan istana
diharapkan dengan sendirinya akan membawa berkah. Yang tidak kalah pentingnya,
kehadiran syaikh bisa memperkokoh legitimasi penguasa di mata rakyat. Dalam
kenyataannya, peranan syaikh di istana bisa bervariasi dari guru agama sampai
jimat hidup.
Tasawuf sebagai Legitimasi Politik dan Sumber
Kesaktian
Seperti diketahui, setiap kerajaan di Nusantara memiliki dan
sangat menghargai pusaka, benda-benda yang dianggap sakti. Raja-raja juga
mengumpulkan orang maupun binatang yang “aneh” di sekitar mereka untuk
meningkatkan kesaktian dan keabadian kerajaan. Agaknya, bukan suatu kebetulan
kalau kerajaan- kerajaan Nusantara, baru mulai masuk agama Islam setelah Islam
mulai diwarnai ajaran tasawuf wahdatul wujud dan tarekat. Karya sejarah
legendaris seperti Sejarah Melayu dan Babad Tanah Jawi menunjukkan bahwa
raja-raja sangat tertarik kepada ajaran tasawuf dan mempunyai penasihat yang
ahli tasawuf. Dari tasawuf diharapkan, antara lain, kesaktian yang lebih hebat
daripada kesaktian pra-Islam.
Teori tasawuf mengenai kewalian diadaptasi
sehingga banyak raja dulu mengklaim diri sebagai wali dan al-insan al- kamil.
Dengan demikian konsep-konsep yang diambil dari tasawuf digunakan sebagai
pengganti legitimasi pra-Islam yang menyatakan raja sebagai Siwa-Buddha atau
bodhisatwa.9 Di kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara), ajaran tasawuf mengenai
martabat tujuh (yang merupakan penyederhanaan dari teori tajalli-nya Ibnul
‘Arabi) telah dipakai sebagai legitimasi sistem politik kerajaan itu. Proses
emanasi (tajalli) diidentikkan dengan stratifikasi masyarakat. Menurut teori
sufi martabat tujuh, pada tiga tahap pertama proses tajalli Tuhan bersifat
tanzih (transendental, secara mutlak berbeda dari sifat-sifat alam), sedangkan
empat tahap berikut (dengan sifat tasybih, immanen) merupakan manifestasi- Nya
dalam alam semesta. Di Buton, tiga golongan bangsawan (yang dulu, agaknya,
dianggap berasal dari dewata) diserupakan dengan tiga tahap tanzih itu,
sedangkan empat tahap tasybih
diidentikkan dengan empat
lapisan masyarakat: raja, bangsawan, orang awam dan budak. Ini barangkali
merupakan contoh yang paling ekstrim dari “pribumisasi” ajaran tasawuf di
Indonesia.10
Dalam proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Nusantara, tasawuf
dan tarekat memainkan peranan penting—walaupun dalam proses itu, ajaran
tasawuf kadang-kadang diubah. Ajaran kosmologi versi Ibn Al-‘Arabi dan
Al-Jili, misalnya. Diterapkan sebagai legitimasi tatanan masyarakat. Amalan
tarekat—dzikir, wirid, ratib, dan sebagainya—juga diterapkan dengan tujuan di
luar tasawuf. Orang Nusantara masa dulu sangat menaruh perhatian kepada
kemampuan supranatural—kesaktian, kekebalan, kadigdayan, kanuragan, dan segala
ilmu gaib lainnya. Dapat dimengerti jika pada awalnya mereka menganggap amalan
tarekat sebagai salah satu cara baru untuk mengembangkan kemampuan
supranatural itu. Sehingga terkadang sulit membedakan antara tasawuf dan magi.
Sampai sekarang banyak aliran silat menggunakan amalan yang berasal dari
atrekat-tarekat guna mengembangkan “tenaga dalam”, tujuan yang sesungguhnya
tidak ada sangkut pautnya dengan agama lagi. Permainan debus, yang dulu juga
terkait dengan persilatan, Nampak berasal dari amalan tarekat Rifa’iyah dan
Qadiriyah. Dalam dunia perdukunan juga dapat ditemukan bacaan-bacaan dan cara
meditasi (mujahadah, muraqabah, dan sebagainya) yang berasal dari amalan
tarekat, walaupun penerapannya tidak jarang dikritik oleh kalangan tarekat
masa kini.
Tentu saja, tarekat tidak bisa diidentikkan dengan kegiatan
magi itu sendiri. Dalam sejarah tarekat terlihat, seperti dalam sejarah Islam
pada umumnya, gelombang demi gelombang pemurnian. Syaikh-syaikh yang disebut
di bagian depan artikel ini semuanya pada zamannya merupakan pemurni agama,
dalam arti bahwa mereka berusaha menggantikan praktik-praktik lokal dengan
ajaran dan amalan yang mereka peroleh di tanah Arab— termasuk penekanan kepada
syariat. Tuntutan masyarakatlah yang senantiasa mendorong kepada penetapan
“praktis” yang berbau magi. Ambillah, sebagai contoh, perkembangan tarekat
Naqsyabandiyah, yang selalu syariah-oriented, di pulau Lombok. Pada abad lalu
tarekat ini punya pengaruh besar di Lombok;
penganutnya
berkiblat kepada Syaikh Muhammad Shalih Al- Zawawi di Makkah, guru yang paling
ortodoks. Sekarang tarekat ini hampir tidak dikenali lagi; tetapi waktu saya
melakukan pelacakan sejarahnya, akhirnya saya bertemu dengan dua orang
keturunan guru Naqsyabandiyah yang pertama. Mereka sekarang tidak dikenal lagi
sebagai guru agama tetapi sebagai guru kekebalan. Amalan-amalan yang mereka
ajarkan kepada pemain silat perisai di sana, ternyata tetap merupakan
amalan-amalan Naqsyabandiyah!
Tetapi dalam budaya Islam Timur Tengah juga
terdapat berbagai tradisi “magi Islam”, yang kadangkala disebut dengan istilah
hikmah dan thibb. “Ilmu” yang berasal dari budaya pra- Islam (seperti wafaq,
rajah, dan sebagainya) biasanya disebut hikmah, sedangkan thibb (“pengobatan”)
berdasarkan fawa’id ayat Al-Quran dan sebagainya. Dua-duanya oleh kalangan
luas dianggap sebagai bagian dari Islam, dan ulam-ulama besar yang ortodoks
(seperti Al-Ghazali, Al-Suyuthi, Ibn Qayyum Al-Jauzi) pernah menulis kitab
mengenai ilmu-ilmu ini.11 Ilmu-ilmu ini sering melekat pada tarekat; banyak
guru tarekat sekaligus punya nama sebagai ahli thibb dan/atau hikmah. Menulis
jimat dan isim sudah termasuk pekerjaan biasa untuk seorang syaikh tarekat;
syaikh yang tidak bisa (atau tidak mau) memberikan muridnya jimat penyelamat
dapat dikatakan fenomena langka.
Tarekat dan Pemberontakan
Jimat-jimat,
latihan kekebalan, tenaga dalam dan kesaktian lainnya pada situasi normal
hanya merupakan aspek kurang penting dalam pertarekatan (walaupun punya daya
tarik kuat). Namun pada situasi tidak aman, dalam perang atau pemberontakan,
aspek ini menjadi sangat menonjol. Dalam banyak kasus pemberontakan yang
melibatkan tarekat, kelihatannya bukan tarekat yang memelopori pemberontakan
melainkan para pemberontak yang masuk tarekat untuk memperoleh kesaktian.
Dalam beberapa kasus laporan resmi menyebutkan bahwa menjelang pemberontakan
orang berjubel mendatangi syaikh-syaikh tarekat yang punya nama sebagai ahli
kesaktian, untuk minta dibai’at oleh mereka.
Suatu kasus yang
menarik adalah pemberontakan anti-Belanda di daerah Banjarmasin sekitar tahun
1860-an. Pemberontakan itu sudah berlanjut beberapa tahun ketika seorang guru
mulai mengajar amalan yang dinamakan “beratip be’amal”—barangkali suatu varian
amalan tarekat Sammaniyah. Orang berbondong- bondong dating dibai’at dan
diberikan jimat-jimat. Seperti dalam kasus perlawanan di Palembang, mereka
berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang
tanpa mempedulikan bahaya. Tiba-tiba pemberontakan menjadi jauh lebih
membahayakan kedudukan Belanda, dan baru mereda setelah para pemimpin serangan
dari kaum beratip be’amal tewas tertembak. Dalam kasus ini tampak bahwa ada
pemberontakan dulu, dan barulah kemudian tarekat dilibatkan.12
Pada zaman
revolusi, kita juga melihat fenomena yang sama. Banyak dari pemuda yang siap
berperang melawan Belanda ikut latihan silat dengan tenaga dalam. Di daerah
Sukabumi, misalnya, Kiai Ahmad Sanusi sangat terkenal sebagai guru kekbalan
dan silat “sambatan” (yaitu, murid-muridnya secara supranatural menguasai
jurus-jurus yang tak pernah mereka pelajari). Banyak dari pemuda- pemuda yang
aktif ikut dalam revolusi di daerah itu minta dibai’at olehnya.13
Kartosuwirjo, pemimpin Darul Islam di Jawa Barat, juga pernah belajar
kekebalan dan silat gaib pada beberapa guru tarekat, antara lain kepada Kiai
Yusuf Tauziri.14 Di Banten, Kiai Abdurrahim Maja, guru debus yang terkenal,
memimpin sebuah lasykar Sabilillah yang konon kebal semuanya (tetapi kemudian
gugur di Tangerang). Dari daerah lain kita mendengar cerita serupa.15
Tarekat
sebagai jaringan social
Ada satu ciri tarekat lagi yang tak boleh
diabaikan dalam pembahasan mengenai tarekat dan politik. Amalan tarekat bisa
saja dilakukan secara perseorangan, tetapi biasanya murid yang telah
dibai’atkan akan tetap menjaga hubungan khusus dengan gurunya dan juga dengan
sesama murid. Kalau tempat tinggal guru tidak terlalu jauh, para murid secara
teratur ikut zikir bersama dan juga cenderung bergaul lebih banyak dengan
sesama “ikhwan” daripada
orang lain. Seorang syaikh besar
biasanya punya beberapa orang wakil (khalifah, badal), dan melalui mereka ia
bisa memimpin puluhan ribu murid yang tersebar secara luas. Jaringan syaikh-
syaikh dengan wakil-wakil mereka merupakan suatu organisasi informal yang
kadangkala sangat berpengaruh.
Contoh klasik dari tarekat sebagai
jaringan pemersatu masyarakat adalah tarekat Sanusiyah di Libya. Orang Badui
di sana terdiri dari sejumlah suku yang di antaranya terdapat banyak
persaingan dan peperangan. Syaikh Muhammad Al-Sanusi Al-Kabir dan putranya,
Al-Mahdi, melantik banyak khalifah, yang biasanya mendirikan zawiyah di
perbatasan antara wilayah dua atau tiga suku dan yang sengaja berusaha agar
pengikutnya tidak terdiri dari satu suku saja. Ketika terjadi perlawanan
terhadap penjajah Prancis dan Italia, guru-guru tarekatlah yang bisa
mengkoordinasikan dan mempersatukan semua suku Badui. Negara Libya modern
merupakan hasil perjuangan tarekat Sanusiyah (dan syaikh tarekat Sanusiyah
yang kempat, Sayyid Muhammad Idris, menjadi raja pertama Negara Libya).16
Di
Kurdistan—wilayah yang sekarang dibagi antara Turki, Irak dan Iran—peranan
pemersatu itu dimainkan oleh tarekat Naqsyabandiyah pada penghujung abad
ke-19. Masyarakat Kurdi, seperti halnya masyarakat Badui, terdiri dari
sejumlah suku (‘asyirah) besar dan kecil. Dulu pernah ada kerajaan-kerajaan
Kurdi yang mampu mengendalikan suku-suku dan pertentangan- pertentangannya,
namun kerajaan-kerajaan Kurdi terakhir dibu- barkan oleh negara Turki Usmani
pada awal abad ke-19. Selama beberapa puluh tahun tidak ada pemimpin Kurdi
yang punya wibawa lebih luas daripada sukunya sendiri. Kekosongan itu mulai
diisi oleh syaikh-syaikh tarekat. Mereka memang sudah ada sejak lama tetapi
dalam sistuasi politik yang baru ini, mereka mulai memainkan peranan baru.
Mereka biasanya mempunyai pengikut dari berbagai suku, sehingga mereka sering
menjadi perantara antara suku-suku dan wasit dalam konflik antar suku.
Pemberontakan-pemberontakan nasionalis Kurdi yang pertama, antara tahun 1880
dan 1925, hampir semua dipimpin oleh syaikh tarekat Naqsyabandiyah, karena
hanya merekalah yang
bisa mengkoordinasikan suku-suku
yang terus bersaing dan berkonflik.17
Masyarakat Indonesia
(sekurang-kurangnya suku bangsa besar seperti Jawa dan Sunda) tidak terdiri
dari banyak suku yang saling bersaing seperti masyarakat Arab dan Kurdi,
sehingga fenomena di atas tidak ditemukan dalam bentuk yang sama di
sini. Walaupun
demikian, dalam beberapa
pemberontakan antikolonial terlihat tarekat memainkan peranan kordinasi dan
komunikasi yang mirip. Pemberontakan Banten
1888, yang cukup dikenal berkat kajian Sartono Kartodirdjo,
menggambarkan peranan itu.18 Dalam pemberontakan tersebut tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah
berperan penting,
walaupun khalifah- khalifahnya barangkali tidak bertindak
sebagai perencana ataupun pemimpin. Syaikh Abdulkarim Banten, pemimpin utama
tarekat ini, menetap di Makkah pada masa itu dan tidak ikut berpolitik.
Seorang khalifahnya, Haji Marjuki, memang sangat antipenjajah, dan
pidato-pidatonya ikut memanasakan suasana. Tetapi dalam pemberontakan sendiri
Haji Marjuki tidak memainkan peranan yang menonjol. Tarekat berperan sebagai
jaringan komunikasi dan koordinasi antara para pemberontak. Sesame ikhwan
saling mengenal dan saling mempercayai, dan itulah yang menyebabkan para
anggota tarekat menjadi kelompok inti pemberontakan ini. (Di samping itu,
tentunya para pemberontak meminta jimat-jimat dan amalan untuk kekebalan pada
guru tarekat pada tingkat lokal).
Jaringan tarekat, yang lebih luas
daripada organisasi informal lainnya, tentu mempunyai potensi politik. Pada
zaman kolonial, potensi itu berulang kali muncul dalam bentuk gerakan rakyat.
Pada zaman merdeka potensi itu muncul dengan tujuan yang lain. Karena ketaatan
para murid kepada syaikh mereka, para syaikh bisa menjanjikan ribuan, puluhan
ribu suara menjelang pemilihan. Dengan demikian, seorang syaikh bisa merunding
dengan partai- partai politik untuk mendapatkan imbalan yang cukup berarti.
Di
Turki, para tarekat sampai sekarang tetap terlarang, tetapi syaikh-syaikh
belakangan ini terang-terangan memainkan peranan politik yang menonjol.
Demokratisasi sistem politik Turki secara bertahap sejak tahun 1945 memberikan
semangat baru kepada tarekat. Dalam istilah politik Turki, tarekat-tarekat
merupakan
“gudang suara”, dan semua partai memperebutkan
gudang- gudang yang penuh suara itu. Dalam posisi tawar-menawar yang begitu
kuat, para syaikh berhasil mendapatkan berbagai fasilitas. Beberapa syaikh,
atau orang kepercayaan mereka, menjadi anggota parlemen, dan anak buah-anak
buah mereka ditempatkan dalam jajaran birokrasi. Di berbagai daerah terdapat
hubungan cukup erat antara syaikh dengan aparat pemerintahan yang saling
menguntungkan. Secara demikian para syaikh dengan mudah memperjuangkan
kepentingan-kepentingan pengikutnya dan mendapatkan berbagai jenis fasilitas
untuk mereka (tender, pembangunan jalan atau saluran irigasi, listrik,
pekerjaan, pendidikan,…). Perkembangan ini, tentu saja, memperkuat posisi
syaikh dalam masyarakat, dan jumlah pengikut tarekat kelihatannya kini sedang
naik drastis!
Di Indonesia, Golkar dan para partai politik juga sangat
sadar akan potensi tarekat sebagai “gudang suaara”. Potensi itu telah menjadi
pokok perhatian luas ketika Kiai Musta’in Romly, tokoh tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, menyatakan dukungannya terhadap Golkar pada awal dasawarsa
1970-an. Pernyataan ini menimbulkan reaksi keras dari kiai-kiai lainnya, yang
menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap NU (yang waktu itu belum “kembali
ke khiththah”). Pesantren Tebuireng memelopori usaha “penggembosan” pengaruh
Kiai Musta’in. sebagai hasil usaha ini, sebagian besar khalifah dan badal-nya
pindah kiblat kepada Kiai adlan Ali, sehingga pada pemilu 1977 dan 1982 gudang
suara besar itu dapat diserahkan kepada Ka’bah ketimbang pohon Beringin.
Kiai
Musta’in bukan guru tarekat pertama yang ikut dalam permainan politik di
Indonesia. Pada awal masa kemerdekaan Syaikh Haji Jalaluddin Bukittinggi
mendirikan Partai Politik Tharikat Islam (PPTI). Guru Naqsyabandiyah ini
sebelumnya adalah anggota Perti tetapi meninggalkan partai itu karena suatu
konflik dengan Syaikh Sulaiman Al-Rasuli. Dalam pemilu 1955 PPTI menang 35.000
suara di Sumatera Tengah (2,2%) dan 27.000 suara di Sumatera Utara (1,3%).19
Selama dasawarsa berikut, PPTI berkembang terus dan mendirikan perwakilan di
berbagai provinsi lainnya. Pada masa Demokrasi
Terpimpin, Syaikh
Jalaluddin menjadi pendukung presiden
Sukarno yang sangat setia. Kelak untuk mengikuti tuntutan keadaan, partainya
diubah menjadi ormas (1961), dan kepanjangan dari PPTI diubah pula menjadi
Persatuan Pembela Tharikat Islam. Pada permulaan Orde Baru, PPTI masuk Golkar,
dan pada tahun 1971 menganjurkan semua anggota dan simpatisannya untuk menusuk
tanda gambar Beringin. Semenjak itu PPTI merupakan “onderbouw”nya Golkar untuk
tarekat. Syaikh Haji Jalaluddin sendiri meninggal dunia pada tahun 1976;
organisasinya (yang pada 1975 telah pecah menjadi dua, “Pembela” dan “Pembina”
Tarekat) tetap berjalan tetapi tidak lagi mempunyai pemimpin karismatik
sebanding Haji Jalaluddin. PPTI sekarang merupakan organisasi Golkar untuk
tarekat daripada organisasi tarekat yang mendukung Golkar.20
Organisasi
tarekat yang mempunyai massa besar adalah Jam’iyah Ahl al-Thariqah
Al-Mu’tabarah, yang didirikan pada tahun 1957. Anggotanya terutama terdiri
dari kiai-kiai tarekat Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan rata-rata adalah orang
NU. Kiai Musta’in pernah dipilih sebagai ketua organisasi ini, dan setelah
penyeberangannya ke Golkar Jam’iyah ini juga pecah menjadi dua. Pada
muktamar yang diadakan oleh kubu non-Golkar di
Semarang pada tahun 1979, kata Al-Nahdhiyah ditambah kepada nama organisasi.
Perpecahan di dalam Jam’iyah tidaklah berlangsung tajam; berbagai kiai tarekat
tetap menjalin hubungan dengan kedua kubu. Namun terlihat bahwa Jam’iyah-nya
Kiai Musta’in (almarhum) jauh lebih kecil daripada yang Nahdhiyah.
Menarik
sekali melihat bahwa ketika NU mengambil keputusan untuk meninggalkan politik
praktis, justru organisai tarekat ini yang cenderung tetap mendukung PPP. Atau
mungkin lebih tepat dikatakan bahwa Jam’iyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-
Nahdhiyah telah menjadi benteng terakhir untuk orang NU yang tetap ingin
berpolitik. Kiai yang paling vokal menentang keputusan Situbondo, Syamsuri
Badawi dari Tebuireng, memainkan peranan sentral dalam Jam’iyah (walaupun ia
sebelumnya tidak dikenal sebagai guru tarekat). Dan politikus NU yang paling
berpengalaman, Idham Chalid, aktif juga di Jam’iyah setelah ia digeser dari
kepemimpinan NU pada muktamar Situbondo.21
Kata Penutup
Tarekat-tarekat
di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan pesat,
baik di perkotaan maupun di pedesaan. Salah satu faktor
penyebabnya adalah perubahan sosial yang terjadi, di mana proses modernisasi
diiringi pula oleh memudarnya ikatan sosial tradisional, telah menimbulkan
kekosongan emosional dan moral. Tarekat dan aliran mistisisme lain telah mampu
memenuhi kebutuhan yang dirasakan orang banyak tersebut. Organisasi informal
seperti itu menawarkan suasana emosional dan spiritual yang semakin sulit
dicari dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu proses depolitisasi Islam
beberapa dasawarsa ini mendorong umat tidak lagi menaruh perhatian pad
cita-cita politik Islam tetapi kepada pengalaman ruhani dan akhlaq pribadi.
Perkembangan ini turut pula menambah popularitas tarekat.
Walaupun
suburnya perkembangan tarekat untuk sebagian disebabkan oleh depolitisasi
Islam, namun sebagai akibat potensi politik tarekat—dalam arti terbatas,
tentunya—menjadi semakin nampak. Jumlah pengikut seorang guru tarekat
rata-rata jauh lebih banyak daripada pengikut kiai lainnya, dan pengaruhnya
terhadap pengikutnya lebih besar. Karena gudang suara yang digenggamnya, kiai
tarekat mempunyai posisi tawar menawar (dengan aparat pemerintahan atau dengan
partai politik) yang kuat. Peranan mantan politisi NU dalam Jam’iyah Ahl
Al-Thariqah dapat dipandang sebagai salah satu gejala depolitisasi—tetapi juga
sebagai indikasi potensi politik wadah-wadah kaum tarekat. []
Catatan
akhir:
1. Syair ini diterbitkan oleh M. O. Woelders
dalam bukunya Het Sultanaat Palembang 1811-1825 (‘s Gravenhage: MArtinus
Nijhoff, 1975). Bait-bait yang dikutip terdapat pada hlm. 195- 6.
2.
Lihat M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf
Syaikh ‘Abdussamad Al-Palimbani (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 25-30.
3.
Quzwain, op. cit., hlm. 16-17 dan 22-23.
4. Uraian
lebih lanjut mengenai kegiatan Syaikh Yusuf sebagai guru tarekat dan pemimpin
gerilya dalam: Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1992), Bab 3; dan “Tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan”,
hlm. 285 dalam buku ini.
5. Beberapa kajian
“berorientasi keamanan” yang masih sering dikutip merupakan karangan pejabat
Prancis di Afrika Utara: Louis Rinn, Marabouts et Khouan (Alger, 1884); A. Le
Chatelier. Les Confreries du Hedjaz (Paris, 1897); O. Depont &
X.
Coppolani, Les Confreries Religieuses Musulmanes (Alger, 1897). Beberapa
kajian Snouck Hurgronje, tentu saja, dibuat dengan orientasi sama walaupun
lebih seimbang. Lihat E. Gobee & C. Adriaanse (ed.), Ambtelijke Adviezen
van C. Snouck Hurgronje, jilid II (‘s Gravenhage: Nijhoff, 1959), hlm.
1182-1221 (terjemahan Indonesia akan diterbitkan dalam seri INIS). Kajian
pejabat Belanda lainnya tentang tarekat dibahas dalam van Bruinessen, Tarekat
Naqsyabandiyah, Bab I.
6. Jo-Ann Gross, “Multiple Roles
and Perceptions of a Sufi Shaikh”, dalam: Marc Gaborieau dkk. (ed.),
Naqshbandis: Historical Developments and Present Situation of a Muslim
Mystical Order (Istanbul & Paris: Isis, 1990), hlm. 109-121.
7.
Hamid Algar, “Political aspects of Naqshbandi history”, dalam Gaborieau dkk.
(ed.), Naqshbandis, hlm. 123-52.
8. Sayyid ‘Utsman bin
‘Aqil bin Yahya Al-‘Alawi, Arti thariqat dengan pendek bicaranya (Betawi,
1889), hlm. 9.
9. Lihat A. C. Milner,
“Islam and the Muslim State”, dalam: M. B. Hooker (ed), Islam in South-East
Asia (Leiden: Brill, 1983), hlm. 23-49, khususnya 39-43.
10.
Lihat Pim Schoorl, “Islam, macht en ontwikkeling in het sultanaat Buton”,
dalam: L. B. Venema (ed), Islam en macht (Assen, Belanda: Van Gorcum, 1987),
hlm. 52-65.
11. Kitab-kitab ini, tentu saja, dikenal
dan dipakai oleh kalangan luas di Indonesia. Ibn Qayyum menulis Al-Thibb
Al-Nabawi, Jalaluddin Al-Suyuthi menulis Al-Rahmah fi Al-Thibb wa Al-Hikmah,
dan Imam Al-Ghazali menulis Al-Aufaq. Kitab hikmah yang paling terkenal di
sini adalah Syams Al-Ma’arif Al-Kubra-nya Syaikh Ahmad Al-Buni. Sebagian besar
buku Mujarrabat telah meminjam bahan dari kitab tersebut.
12.
P. J. Veth, “Het beratip beamal in Bandjermasin”, Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indië, seri 3 nomor 1 (1869), hlm. 331-49.
13.
Diceritakan oleh beberapa bekas pejuang daerah itu. Lihat juga pengamatan
seorang pemimpin pasukan revolusi di sana: Abu Hanifah, Tales of a Revolution
(Sydney: Angus and Robertson, 1972), hlm. 186. Kiai Ahmad Sanusi, menurut
orang setempat, tidak pernah mengajarkan salah satu tarekat tertentu, tetapi
ia pernah menulis versi Sunda Manaqib Syaikh Abdulqadir Jailani, dan ilmu
kekebalannya barangkali berkaitan dengan tarekat Qadiriyah. Ia juga dikenal
sebagai penerjemah Al- Quran dalam bahasa Sunda dan sebagai pendiri Persatuan
Umat Islam Indonesia. Lihat Mohammad Iskandar, “Kyai Haji Ajengan Ahmad
Sanusi: Tokoh Kyai Tradisional Jawa Barat”, Pesantren XXII, no. 2, 1993, hlm.
71-86.
14. Menurut beberapa sumber lisan.
15.
Lihat juga kenang-kenangan zaman revolusi seorang anggota Korps Mahasiswa di
Jawa Barat, Ir. H. Aten Suwandi, Di Bawah Lindungan Tuhan (tanpa tempat dan
tahun terbit, 1984), bab III: “Latihan untuk Kekebalan”. Seperti halnya
tarekat- tarekat, aliran-aliran kebatinan pada masa revolusi juga aktif dengan
latihan kekebalan dan silat ber-“tenaga dalam”. Lihat: Paul Stange, The
Sumarah Movement in Javanese Mysticism (Disertasi, Universitas
Wisconsin-Madison, 1980), bab 5.
16. E. E.
Evans-Pritchard, The Sanusi of Cyrenaica (Oxford University Press, 1949):
Nicola A. Ziadeh, Sanusiyah, a Study of a Revivalist Movement in Islam
(Leiden: Brill, 1958).
17. Martin van Bruinessen, Agha,
Shaikh and State, The Social and Political Structures of Kurdistan (London:
Zed Books, 1992), bab 4: “Shaikhs: Mystics, Saints and Politicians”.
18.
Sartono Kartodirdjo, The Peasant Revolt of Banten in 1888 (‘s Cravenhage:
Nijhoff, 1966). Lihat juga analisis saya tentang pemberontakan Lombok 1893
dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia.
19. Alfian,
Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakyat (Djakarta: LEKNAS,
1971). Di daerah tertentu persentase suara untuk PPTI lebih tinggi: 11% di
Solok (Minangkabau) dan juga 11% di Tapanuli Selatan.
20.
Mengenal sejarah PPTI dan konflik-konflik
internnya, lihat Djohan Effendi, “PPTI: Eine Konfliktreiche Tarekat-
Organisation”, dalam: Werner Kraus (ed.), Islamische mystische Bruderschaften
im heutigen Indonesien (Hamburg: Institut fur Asienkunde, 1990), hlm.
91-100.
21. K. H. Idham Chalid sebetulnya sejak
pertengahan tahun 1970- an sudah duduk sebagai Mudir Am Jam’iyah, tetapi tidak
pernah aktif selama ia masih menjabat sebagai ketua umum NU.
WALI, POLITISI DAN BIROKRAT SUFI: ANTARA TASAWUF DAN POLITIK MASA
ORDE
BARU DI INDONESIA
Jika kita menilik kembali orde baru, yang waktunya bersama- an
dengan kekuasaan Suharto dari 1966 hingga 1998, masa tersebut dapat dilihat
sebagai periode di mana Islam ortodoks secara bertahap menggantikan
keberagamaan sinkretistik. Para arsitek Orde Baru telah melakukan
upaya-upaya terpadu untuk memperlemah urat politik Islam (dan mereka cukup
berhasil dalam melakukan hal itu), tetapi pada saat yang sama ia mendukung
penyebaran kesalehan Islam yang personal. Periode tersebut menjadi saksi
perubahan besar dalam ranah sosiologis Islam Indonesia, di mana aspek yang
paling mencolok di dalamnya adalah kemunculan kelas menengah perkotaan yang
relatif kaya, dan sadar dengan keislamannya. Ketertarikan yang eklektik
terhadap alam gaib dan cara memanfaatkannya untuk mendapatkan kekuatan
supernatural, yang selama ini hanya menjadi bagian dari kebiasaan kalangan
elit, secara perlahan memudar. Sufisme yang berorientasi syariat mengalami
lonjakan popularitas yang luar biasa, pertama-tama di kalangan penduduk
pedesaan di mana para syekh sufi menjadi tokoh yang berpengaruh dan kuat
secara politis, dan kemudian berimbas ke kalangan kelas perkotaan yang
beragam. Struktur informal tarekat, yang awal mulanya lebih didasarkan pada
kesetiaan antara guru dan murid, akhirnya ditambah dengan perkumpulan yang
lebih formal, yang dipimpin sebuah sistem kepengurusan yang dipilih oleh, dan
bertanggung jawab pada, muktamar nasional. Proses rasionalisasi
dan
birokratisasi Sufisme yang bertahap ini bukan berarti bersih dari konflik
antara wali yang karismatik dan birokrat.
Modernisasi Orde Baru dan
Perubahan Keagamaan
Penelitian sosiologis pada 1950-an menunjukkan adanya
dua pola kepercayaan dan ritual yang berbeda di kalangan penduduk Jawa yang
secara nominal muslim. Dua pola ini kemudian dikenal luas sebagai santri dan
abangan, dua istilah yang dipilih oleh tim penelitian Amerika untuk
menggambarkan pola ini (Jay 1957; Geertz 1960). Santri adalah muslim
yang relatif lebih tegas menaati syariat, melaksanakan salat secara teratur,
puasa selama Ramadan, dan berharap dapat mengumpulkan uang yang cukup untuk
menunaikan ibadah haji minimal sekali seumur hidup; sementara abangan memeluk
kepercayaan sinkretik dan menjalankan berbagai ritual lainnya, biasanya dalam
bentuk slametan—persembahan kepada makhluk halus dan kenduri (jamuan bersama).
Meskipun Geertz dengan tepat mengamati bahwa seseorang dapat berperan sebagai
santri pada sejumlah kesempatan dan sebagai abangan pada kesempatan lain, para
penulis terkemudian menggunakan dua istilah ini untuk menyebut dua kategori
sosial yang berbeda, yakni biasanya konstituen partai politik muslim, Masyumi
dan NU (Nahdlatul Ulama, ‘Kebangkitan Ulama’) di satu sisi, dan Partai Komunis
dan Nasionalis di sisi lain. Melalui indikator kasar ini, pada saat pemilihan
umum pertama pada 1955, kurang dari separuh jumlah kaum muslim Indonesia
sebenarnya merupakan kelompok santri.
Banyak kepercayaan dan ritual
abangan berhubungan dengan alam kehidupan kaum petani, rentannya siklus
pertanian, dan roh-roh lokal atau leluhur. Ada juga varian perkotaan dan elit
dari kultur sinkretistik ini (yang disebut Geertz dengan istilah priyayi).
Istilah santri dalam pengertiannya yang kaku mengacu pada murid-murid
pesantren (Islamic boarding school) dan kebanyakan santri berlatar belakang
pedesaan. Pendidikan keagamaan mereka umumnya meliputi studi atas kitab-kitab
fikih berbahasa Arab dan penanaman sikap hormat terhadap para ulama terdahulu.
Di samping kewajiban-kewajiban resmi, praktik keagamaan umum
santri
meliputi ziarah kubur dan pembacaan ayat suci untuk menolak bala atau memohon
pertolongan supernatural.
Kalangan muslim saleh perkotaan cenderung
dipengaruhi oleh pemikiran modernis atau pembaru, dan menolak banyak praktik
tradisional kaum santri pedesaan dan abangan. Organisasi pembaru terpenting,
Muhammadiyah, yang didirikan pada 1912, selalu berkarakter perkotaan dan
aktivitasnya terfokus pada pendidikan dan kesejahteraan sosial. Organisasi ini
mendirikan banyak sekolah modern, cenderung mengikuti model sekolah misionaris
ketimbang pesantren atau madrasah, dan terlibat aktif dalam program amal di
samping dakwah (penyebaran pesan Islam). Banyak dari pengajaran dan dakwah
yang dilakukan Muhammadiyah berkaitan dengan pemurnian akidah dan
pemberantasan praktik sinkretik, termasuk praktik peribadatan santri
tradisional. NU didirikan pada 1926 sebagai sebuah perkumpulan untuk
mempertahankan praktik santri tradisional dan kepentingan ulama tradisional
terhadap serangan kalangan pembaru. Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada
1945, NU menjadi partai politik dan Muhammadiyah menjadi komponen utama partai
politik muslim penting lainnya, Masyumi. Perjuangan dan perlawanan politik di
pusat sering kali semakin memperburuk pertentangan dan ketegangan keagamaan di
tingkat lokal. Ada perdebatan panas antara kaum pembaru dan santri
tradisional, dan antara santri dan abangan. Beberapa gerakan abangan
mengadopsi sikap anti-Islam, dan perimbangan kekuatan pada 1950-an tidak
banyak memberi alasan untuk memprediksi bahwa Islam santri akan menang
sedemikian cepat.1
Pembersihan fisik Partai Komunis dan para pengikutnya
di pedesaan pada 1965-66 dan depolitisasi masyarakat yang dipaksakan Orde Baru
secara dramatis mengurangi intensitas perdebatan dan konflik keagamaan. Banyak
abangan pedesaan, untuk menghindari diperlakukan sebagai komunis, menegaskan
kesetiaan formalnya terhadap salah satu dari agama-agama yang diakui secara
resmi (yakni, Islam, Kristen, Hindu atau Budha), meskipun mereka tidak secara
langsung meninggalkan kepercayaan dan kecenderungan lamanya. Suharto dan
sejumlah kaki tangan terdekatnya tetap setia terhadap berbagai pandangan
dunia
abangan tertentu dan mereka juga sangat curiga terhadap Islam politik.2
Selama
beberapa dekade pertama Orde Baru, muslim santri nyata-nyata tetap tak
terwakili dalam golongan elit militer, administrasi, politik, bisnis dan
budaya. Akan tetapi, Islamisasi bertahap muncul dari bawah, terlepas dari
kecurigaan rezim terhadap aspirasi politik kaum muslim. Meningkatnya jumlah
mahasiswa yang berlatar keluarga santri mengisi jabatan dalam berbagai
institusi dan naik ke jabatan-jabatan yang sebelumnya dipegang golongan elit
‘sekuler’ generasi tua. Aktivitas dakwah yang intensif berhasil menyebarkan
gagasan dan praktik Islam yang lebih ortodoks ke lingkungan yang sebelumnya
abangan. Mobilitas geografis yang meningkat meminggirkan kultus lokal dan
ritual berbasis pedesaan dan memperkuat peralihan dari orientasi abangan ke
orietasi santri. Kebijakan ‘berbelok ke Islam’ dalam kebijakan Suharto sekitar
1990, ketika ia bersekutu dengan kelas menengah muslim baru dan melakukan
sejumlah langkah simbolik penting yang pro-Islam, mempertegas perubahan
keagamaan dalam masyarakat secara umum yang telah memberdayakan banyak aktor
berlatar belakang santri yang sebelumnya terpinggirkan. Tarekat memainkan
peran penting dalam peralihan dari jenis orientasi keagamaan abangan ke
orientasi santri ini. Beberapa bahasan berikut ini melacak perkembangan
tarekat dan perannya dalam proses lanjutan dari Islamisasi masyarakat
Indonesia ini.
Guru Sufi, Amalan Sufi dan Tarekat
Tarekat
sebagai perkumpulan riil para ahli ibadah merupakan fenomena yang relatif baru
di Indonesia.3 Dalam teks-teks paling awal yang ada, yang muncul sejak akhir
abad ke-16, kita menemukan (sedikit) pengaruh sufisme metafisis dari Ibn Arabi
dan al-Jili, di samping etika sufi Ghazali, tetapi tidak ada rujukan ke
tarekat tertentu. Para pengarang besar sufi Indonesia tumbuh berkembang pada
abad ke-17 dan ke-18. Mereka telah dibaiat ke dalam salah satu atau sejumlah
tarekat (Arab thariqah) selama persinggahan panjang di Arabia dan mereka
mengajarkan doktrin dan amalan tarekat ini kepada murid-murid pilihan, tetapi
semua
ini tegasnya belum terlihat diorganisir menjadi
tarekat. Gagasan sufi, terutama gagasan tentang dunia sebagai sebuah emanasi
dari Tuhan dan paralelisme makrokosmos (badan manusia) dan mikrokosmos, dengan
mudah diasimilasikan ke sistem klasifikasi yang ada sebelumnya dan
pengendalian magis atas dunia. Amalan sufi—wirid, teknik pernapasan, metode
meditasi dan kontemplasi—ditambahkan pada sekumpulan teknik yang sudah
melimpah untuk memperoleh kekuatan spiritual, keberanian dalam perang dan
kekebalan. Dalam gerakan kebatinan ‘abangan’ terkemudian, termasuk yang
terang-terangan anti-Muslim, kita mungkin melihat jejak gagasan sufi. Secara
khusus, Tarekat Syaththariyah, yang selalu mudah beradaptasi dengan tradisi
budaya lokal, memberikan pengaruh terhadap gerakan-gerakan mistik dan magis
asli Indonesia. Namun, gagasan dan teknik yang diajarkan oleh tarekat lain pun
telah diadopsi ke dalam berbagai rumusan sinkretistik.4
Dalam beberapa
dekade terakhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, di mana kita memiliki
informasi yang relatif lengkap, terdapat di hampir seluruh Nusantara guru-guru
yang mengajar cara untuk memperoleh kekuatan dan pengetahuan supernatural,
yang dikelilingi oleh sekelompok murid dan pengikut. Hanya sebagian kecil dari
mereka—biasanya mereka yang relatif kaya, yang dapat memenuhi biaya
pelaksanaan haji ke Makkah—yang berafiliasi dengan salah satu dari tarekat
besar internasional. Kebanyakan mereka telah menyusun ramuan teknik spiritual
dan spekulasi metafisis eklektiknya sendiri dari berbagai sumber, termasuk
visi dan inspirasi yang diperoleh melalui puasa dan berbagai bentuk tirakatan,
meditasi dan menyepi di hutan atau gua yang dihuni roh, di puncak gunung atau
makam- makam keramat. Sebagian mereka mengaku sebagai turunan raja atau
ningrat atau memiliki gelar pendidikan Islam formal, kualitas-kualitas yang
menopang karisma mereka. Yang lainnya berlatar belakang petani dan melayani
terutama kebutuhan para pengikutnya dari kalangan petani, sebagai pengobat,
dukun dan peramal. Dalam konteks orientasi keagamaan, mereka meliputi seluruh
rentang dari ajaran santri yang keras hingga ajaran yang tidak dipengaruhi
Islam sama sekali. Mereka semua secara selektif
memanfaatkan
pasokan gagasan mistis dan teknik yang semakin diperkaya oleh pengaruh sufi,
tetapi unsur-unsur India dan asli Indonesia tetap bertahan dengan kokoh. Unsur
yang sering terulang dalam ajaran-ajaran itu adalah harapan mesianik akan
datangnya pemimpin yang adil, Ratu Adil. Dalam banyak hal, guru hanyalah
seorang individu dan ajarannya sirna bersamaan dengan surutnya pengaruh atau
kematiannya. Guru-guru lainnya menurunkan ajaran-ajaran yang membuat mereka
abadi; umumnya ajaran-ajaran ini adalah adaptasi lokal dari tarekat yang ada
atau merupakan bentuk tarekat lokal yang baru.5
Afiliasi seorang guru
dengan salah satu tarekat besar inter- nasional umumnya sangat kondusif bagi
orientasi geografis yang lebih luas: kebanyakan guru-guru ini telah banyak
melancong dan berada pada pusat jaringan khalifah (wakil) atau khalifah-nya
khalifah yang dapat menyebar ke wilayah yang luas. Jaringan ini juga memiliki
stabilitas yang lebih besar sepanjang waktu ketimbang jaringan kebanyakan guru
lokal, karena tingkat institusionalisasi atau kurang lebih ketentuan suksesi
kepemimpinan yang telah disepakati. Besarnya jaringan dan kontak yang
bersinambungan dengan pusat pendidikan di luar negeri juga membuat kemapanan
doktrin dan praktik menjadi lebih kuat, sekaligus menghindari perubahan ke
arah yang menyimpang (heterodoksi).
Periode ini juga menyaksikan
perkembangan pesat jumlah pesantren di tanah Jawa.6 Di samping doktrin dan
ritual dasar Islam, dua jenis pelajaran juga diajarkan di pesantren ini:
kitab, yakni teks tertulis, kebanyakan fikih, dan kanuragan, keahlian magis
yang digunakan dalam seni bela diri.7 Pendidikan seorang guru atau kiai
pesantren biasanya membawanya dari satu pesantren ke lainnya untuk belajar
kitab tertentu atau pelajaran lain yang sudah dikenal. Idealnya, ia
merampungkan pendidikannya dengan belajar beberapa tahun di Makkah sebelum
mulai mengajar, dan dengan begitu akan memperoleh wawasan berpikir yang lebih
luas ketimbang kebanyakan orang kampung yang hidup di sekeliling pesantren.
Seperti guru sufi dari tarekat besar, kiai semacam itu memiliki jaringan
relasi di berbagai penjuru negeri dan mencakup anggota dari pelbagai kelas
sosial. (Sebenarnya, semua syekh sufi dalam periode ini adalah juga kiai dan
memimpin pesantren atau sejenisnya; tarekat hanya mengembangkan rentang
jaringan sosial dan keluasan pengaruhnya.) Tidak mengherankan jika kita
menemukan banyak dari syekh dan kiai ini berhubungan dengan, atau bahkan
terlibat aktif dalam, gerakan nasionalis Indonesia yang awal dan kemudian
sebagai anggota aktif perkumpulan sosial dan politik, di mana para pengikut
tarekatnya dipandang sebagai sebuah aset.
Tarekat dan Perkumpulan
Sipil Modern
Sebuah tarekat, dalam pengertian tertentu, adalah
perkumpulan sukarela yang para anggotanya bergabung demi tujuan yang terkait
dengan konsepsi tentang kemaslahatan umat. Sejauh mana tingkat para pengikut
seorang syekh benar-benar mempersepsi diri mereka sebagai sebuah komunitas dan
berperan, hal itu sangat bervariasi, seperti tingkat pengakuan mereka terhadap
sasaran umum di balik pelaksanaan ritual. Di antara mereka yang secara rutin
mengikuti ritual berjamaah, afiliasi dengan tarekat melahirkan kepercayaan
sosial dan bahkan sering pula setingkat solidaritas atau bantuan sesama yang
saling menguntungkan. Karena alasan ini, beberapa pengamat melihat tarekat
sebagai benih masyarakat sipil (civil society) dan benih ranah publik yang
baru tumbuh. Karakter yang sangat karismatik dan otoriter dalam kepemimpinan
tarekat membuatnya berbeda dengan perkumpulan sipil modern yang memiliki
kepemimpinan terpilih dan perwakilan, akan tetapi abad ke-20 menghasilkan
berbagai bentuk penyesuaian antara dua jenis kelompok ini. Melalui berbagai
cara, tarekat telah digabungkan ke dalam perkumpulan formal yang didirikan dan
dijalankan sesuai dengan hukum Belanda (dan selanjutnya hukum Indonesia)
tentang perkumpulan.
Organisasi nasionalis modern pertama di Indonesia
yang memiliki massa pengikut besar, Sarekat Islam atau SI (didirikan pada
1912), merupakan sebuah fenomena mengagetkan yang muncul untuk segera
mematahkan pola sosial yang telah mapan. Antusiasme yang dibangunnya dan derap
langkah pertumbuhannya benar-benar menakjubkan. Ia berhasil menyatukan pribumi
Indonesia dari seluruh latar belakang pekerjaan: dari anggota
aristokrasi
tradisional hingga petani, dari lulusan sekolah Belanda dan pesantren hingga
buta huruf, abangan maupun santri, kelompok etnis Jawa maupun lainnya.
Didirikan oleh para intelektual perkotaan berpendidikan Barat dan kalangan
pedagang sebagai gerakan emansipasi penduduk pribumi, SI berhasil—di luar
dugaan para pemimpinnya sendiri— menarik banyak pengikut yang menganggapnya
sebagai jawaban atas harapan milenarian dalam gerakan baru tersebut. Pemimpin
SI, Tjokroaminoto, dielu- elukan—yang membuatnya malu sendiri—sebagai pemimpin
yang adil, Ratu Adil; massa besar berduyun-duyun menghadiri pertemuan tempat
ia berbicara untuk memperoleh berkah yang memancar dari kehadirannya. Para
pemimpin SI yang lain juga disambut hangat sebagai bentara abad baru, dan di
seluruh negeri terdapat desas-desus tentang perubahan revolusioner yang akan
segera terjadi.8
Para pemimpin SI menganggap antusiasme massa sebagai
tidak rasional dan melakukan upaya untuk mengisinya dengan menerapkan disiplin
yang tegas dan perangkat organisasi formal modern. Pengurus pusat mendirikan
cabang-cabang regional di seluruh negeri; kongres tahunan diselenggarakan di
mana para wakil resmi cabang-cabang ini membahas masalah kepedulian umum dan
mengambil kebijakan. Dalam beberapa tahun, SI memiliki cabang di hampir setiap
kota, masing-masing dengan pengurus lokalnya dan terdaftar secara hukum oleh
administrasi kolonial. Perkembangannya spektakuler dan sangat spontan.
Kategori terbesar dari anggotanya adalah pedagang dan pegawai bawahan, tetapi
hampir 10 persen anggota pengurus cabang adalah guru agama dan pejabat masalah
keagamaan.9 Di sejumlah cabang, syekh sufi mendominasi pengurus lokal dan para
pengikut tarekat dan keanggotaan SI tampak saling tumpang tindih. Ada konflik
yang berulang-ulang terjadi antara pengurus pusat SI dan cabang-cabang lokal
ini: benturan antara jenis kepemimpinan dan kewenangan yang berbeda. Di tempat
lain, ada kompetisi yang sengit antara Sarekat Islam dan tarekat yang mewakili
keluarga elit pesaing, masing-masing dengan jaringan patronasenya.
Setidak-tidaknya dalam satu wilayah, ketegangan antara muslim yang relatif
‘ortodoks’ dan pendukung kultus sinkretistik lokal
menyebabkan
kelompok yang terakhir ini merespons Sarekat Islam dengan membentuk
perkumpulan tandingan yang mereka sebut Sarekat Abang.10 Ini merupakan salah
satu contoh pertama di mana kalangan sinkretistik bersatu dan menyusun
pembelaan umum terhadap ancaman Islam ortodoks yang mereka lihat. Masih banyak
lagi contoh yang akan dijelaskan pada halaman-halaman berikut.
Sinkretisme
Terlembaga: Aliran Kebatinan dan Tarekat Lokal
Abad ke-20 menyaksikan
munculnya berbagai gerakan mistik yang sinkretistik. Pada masa sebelumnya,
pengikut seorang guru spiritual terpecah setelah kematiannya. Guru lain
mungkin muncul menyebarkan (sebagian) ajarannya, mengombinasikan ulang dengan
ajaran lain, sementara beberapa murid guru lama mungkin beralih kepada salah
seorang penerus ini. Hanya dalam tarekat terdapat kesinambungan dalam
organisasi. Namun, pada awal abad ke-20, gerakan yang terorganisir muncul dari
kalangan beberapa mistikus sinkretistik yang lebih berpengaruh, dan ini
menjadikan guru aslinya sebagai perkumpulan yang bertahan dengan doktrin dan
ritual yang hampir diformalkan. Kebanyakan gerakan—yang dikenal dengan gerakan
kebatinan—ini secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh doktrin dan
metode sufi, dan umumnya menampilkan diri sebagai alternatif spiritual bagi
versi Islam eksoterik yang berorientasi pada syariat secara berlebihan;
gerakan yang dikaji oleh Howell (1976) merupakan contoh yang sangat gamblang.
Pengaruh penting lainnya terhadap setidak-tidaknya beberapa gerakan kebatinan
ini berasal dari Gerakan Freemasonry dan Theosophia, perkumpulan Eropa pertama
yang menerima pribumi Indonesia (dan keturunan Cina) yang berpendidikan tinggi
sebagai anggota yang sederajat.
Beberapa gerakan kebatinan memiliki
pengikut dari kalangan bangsawan, mendukung doktrin metafisik dan metode
meditasi yang pelik; sementara gerakan lainnya banyak menjadikan kalangan
pedesaan sebagai pengikut dan mengajarkan berbagai sistem klasifikasi
kosmologis dan metode berkomunikasi dengan, atau mengendalikan, alam roh.
Meditasi tidak terlalu dimaksudkan
sebagai jalan menuju
pencerahan, tetapi lebih sebagai sebuah cara untuk memperoleh kekuatan
spiritual (kasektèn, kesaktian), yang pencariannya menjadi sangat penting baik
bagi gerakan bangsawan maupun petani.
Freemasonry dan Theosophia mungkin
menjadi model organisasi bagi beberapa aliran kebatinan ‘elit’, dan tarekat
sebagai model bagi aliran lainnya. Namun, pengalaman politik nasionalis pada
masa kolonial dan perjuangan partai politik pascakemerdekaan juga memiliki
dampak terhadap struktur aliran. Sebagian mengadopsi struktur formal yang
sangat mirip dengan perkumpulan formal, dengan staf dan pengurus yang membantu
dan mengatur guru-guru spiritual. Kebatinan tidaklah mesti mistisisme ukhrawi;
kekuatan spiritual yang dicarinya juga dapat digunakan untuk kepentingan
duniawi, dan beberapa gerakan kebatinan terlibat dalam kegiatan politik
radikal. Salah satu gerakan yang cukup terhormat masa Orde Baru, Sumarah,
membekali para pejuang muda dalam perjuangan kemerdekaan dengan kehebatan dan
kekebalan magis (Stange 1980). Pada tahun-tahun polarisasi politik, antara
1950-an dan 1960-an, banyak gerakan kebatinan secara langsung menentang
partai-partai muslim dan beraliansi dengan aliran kiri. Salah satu gerakan
kebatinan yang terang- terangan anti-Islam pada periode ini, Permai, dipimpin
oleh ketua buruh aliran kiri yang menyusun gerakannya mirip sekali dengan
partai politik.11 Selama Orde Baru, beberapa gerakan kebatinan, khususnya yang
bukan elit, memunculkan kecurigaan bagi rezim Suharto karena ikatan sebelumnya
dengan politik abangan dan sayap kiri.
Di samping gerakan kebatinan, ada
juga berbagai gerakan mistik baru yang menyatakan diri sebagai muslim dan
sufi, tetapi dipandang menyimpang (heterodoks) oleh tarekat yang telah mapan
dan terlebih oleh para pembaru muslim. Tarekat lokal semacam itu mengangkangi
batasan antara santri dan abangan, menarik pengikut dari keduanya. Dua yang
paling terkenal dari tarekat lokal ini, Wahidiyyah dan Siddiqiyah, didirikan
oleh kiai Jawa Timur dengan pesantren sebagai pusatnya di mana beberapa
pengetahuan akademis juga diajarkan (Abdurrahman 1978; Effendi 1990b). Kedua
kiai itu memiliki reputasi sebagai penyembuh atau
tabib yang
berhasil, yang mungkin menjadi faktor kunci dalam meningkatkan pengikutnya.
Amalan kedua tarekat ini tidak berbeda dengan amalan tarekat sufi ‘ortodoks’
yang mapan. (Dalam kasus Wahidiyah, misalnya, amalan pokoknya meliputi
pembacaan secara berjamaah wirid panjang yang disusun oleh—atau, seperti
diyakini para pengikutnya, diwahyukan kepada—pendirinya, yang di tengah-tengah
pelaksanaannya semua peserta berteriak histeris sambil menangis.) Tidak adanya
genealogi spiritual yang autentik dan kelonggaran para pendiri terhadap
kurangnya ketaatan para pengikutnya pada syariat mendorong gerakan ini menuai
stigma heterodoks (menyimpang). Kedua tarekat itu diduga memiliki banyak
pengikut abangan, dan pada saat peristiwa pembunuhan massal terhadap
orang-orang komunis, konon lebih banyak lagi abangan yang berduyun-duyun
mendatangi guru-guru ini dan mengirim anak-anak mereka ke pesantren ini.
Meskipun tarekat ini terlihat telah memainkan peran dalam proses Islamisasi
bertahap namun berkelanjutan terhadap kaum pedesaan, mereka sering
diperlakukan penuh curiga oleh muslim ortodoks karena dugaan telah
menyembunyikan para mantan ‘komunis.’12
Tarekat Menjadi Partai
Politik: Perti dan PPTI
Para guru sufi kemudian terlibat aktif dalam dua
perkumpulan penting muslim tradisionalis yang muncul pada kwartal kedua abad
ke-20, Nahdlatul Ulama di Jawa Timur (1926) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti) di Sumatra Barat (1930). (Keduanya menjadi partai politik setelah
kemerdekaan Indonesia dan menyebar secara bertahap ke seluruh Indonesia,
tetapi masing-masing tetap didominasi oleh kelompok etnis Jawa dan
Minangkabau.) Bagi kebanyakan ulama yang mendirikan NU, praktik amalan tasawuf
merupakan bagian integral dari keagamaan mereka, tetapi tidak banyak di antara
mereka yang terlihat benar-benar menjadi guru tarekat. Tarekat menjadi
semakin menonjol di NU setelah kemerdekaan Indonesia, ketika politik pemilihan
memperkuat posisi ulama yang bisa memobilisasi banyak suara. Dalam kasus
Perti, para syekh Naqsyabandiyah sangat menonjol sejak awal— yang memang tidak
aneh, karena tarekat ini banyak diterima di
Sumatra Barat.
Perkumpulan ini terdiri dari dua faksi utama, yang pada dasarnya merupakan
jaringan guru-guru Naqsyabandiyah. Penyebaran Perti ke wilayah lain di Sumatra
berlangsung secara bergandengan dengan penyebaran Naqsyabandiyah, karena
khalifah jaringan ini juga sekaligus menjadi aktivis Perti. Jaringan etnik dan
keluarga menjadi basis kuat baik bagi tarekat maupun partai.13
Konflik
antara guru-guru senior Naqsyabandiyah di Sumatra Barat dan seorang kolega
yang ambisius, Haji Jalaluddin, melahirkan partai tandingan bagi Perti. Haji
Jalaluddin adalah seorang guru sekolah berpendidikan Belanda, tidak memiliki
pendidikan Islam formal tetapi ia menulis sejumlah buku populer yang
memberikan penjelasan didaktik yang jelas tentang teknik spiritual
Naqsyabandiyah. Guru terkemuka Naqsyabandiyah di Perti menuduh
Jalaluddin salah menjelaskan ajaran tertentu dan memperkenalkan pembaruan yang
tak dapat diterima, dan memintanya agar menarik dan mengoreksi buku-buku
ini. Jalaluddin menolak memenuhi dan, sebaliknya, mendirikan perkumpulannya
sendiri, yang setelah kemerdekaan nasional disebutnya Partai Politik Tarekat
Islam atau PPTI.14 Haji Jalaluddin, sebagai politisi yang cerdik, organisator
dan ahli propaganda yang berbakat, berhasil menarik banyak syekh
Naqsyabandiyah Minangkabau ke dalam organisasinya. Ketika PPTI berjalan baik
dalam pemilu 1955—bahkan di beberapa wilayah Sumatra memperoleh 10 persen
suara—Haji Jalaluddin menjadi orang yang berpengaruh di Jakarta. Diduga dekat
dengan Presiden Sukarno, ia merayu para syekh berpengaruh dari berbagai
tarekat di seluruh negeri untuk dicantumkan namanya ke PPTI dengan bergabung
secara formal dalam Dewan Mursyidin. Dalam eksperimen Sukarno dengan sistem
perwakilan bagi-bagi untuk menggantikan sistem partai (Reeve 1985), Jalaluddin
berhasil memasukkan PPTI ke dalam struktur Golongan Karya (Golkar) sebagai
satu-satunya lembaga yang mewakili ‘kelompok fugsional’ dari para pengikut
tarekat. Selama masa Orde Baru, ketika Golkar berperan sebagai partai
pemerintah, PPTI tetap menjadi satu-satunya perkumpulan tarekat yang
memperoleh pengakuan pemerintah dan beragam fasilitas yang menyertainya.
PPTI
menjadi contoh problem yang inheren dalam upaya
menggabungkan tarekat ke dalam organisasi formal dan ketidakselarasan
antara karisma dan ketentuan birokratis. Seperti NU dan sejumlah perkumpulan
lainnya, PPTI memiliki kepemimpinan ganda: Dewan Mursyidin yang terdiri dari
para syekh senior tarekat dan secara formal merupakan otoritas tertinggi,
tetapi dewan eksekutif sebenarnya yang menjalankan organisasi dan mengambil
kebanyakan keputusan. Hingga 1975, Haji Jalaluddin menjadi ketua Dewan
Mursyidin dan kepala eksekutif, dan jelaslah bahwa syekh lain tidak banyak
memiliki pengaruh yang efektif. Banyak anggota aktif organisasi ini yakin
bahwa masalah organisasi dan otoritas spiritual harus dibedakan secara lebih
tegas ketimbang sebelumnya, dan pada tahun itu kongres PPTI memilih kembali
Jalaluddin yang sudah sepuh itu sebagai ketua Dewan Mursyidin, tetapi juga
memilih salah seorang kaki tangannya, Sutan Amiruddin, sebagai ketua baru.
Jalaluddin tidak menghadiri kongres karena kesehatannya yang telah menurun dan
sangat marah terhadap apa yang dipandangnya sebagai pemberontakan. Ia memecat
Amiruddin dan sekutunya dari organisasi dan menyuruh orang-orang yang loyal
kepadanya agar menyelenggarakan kongres lain. Jalaluddin wafat sebelum kongres
ini selesai, dan dua pengikutnya yang paling loyal dipilih untuk memimpin
Dewan Mursyidin dan eksekutif.
Jadi, ada dua PPTI yang saling
berkompetisi, yang masing- masing dipimpin oleh Amiruddin dan Djumingan Afiat.
Keduanya tidak berhasil mempertahankan dukungan syekh senior yang telah
dicantumkan namanya dalam Dewan Mursyidin pada masa Jalaluddin, tetapi PPTI
Djumingan memiliki cukup keuntungan dari pengakuan resmi oleh Golkar, yang
menarik bagi guru-guru lokal dalam mencari dukungan dan perlindungan
pemerintah. Tingkat keanggotaannya diperkuat oleh para pegawai negeri sipil.
Namun, karena tidak adanya syekh karismatik, organisasi ini secara bertahap
beralih menjadi organisasi kaum birokrat sufi, sebuah perkumpulan formal yang
tidak memiliki tujuan kecuali kelangsungan eksistensinya.15
Nahdlatul
Ulama, Tarekat ‘Ortodoks’, dan Golkar
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
sejak awal para guru sufi telah menjadi anggota perkumpulan tradisionalis
terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, tetapi mereka bukanlah termasuk
pemimpin terkemukanya. Bahkan, otoritas keagamaan tertinggi dalam organisasi
ini, Hasjim Asj‘ari, telah melarang aktivitas tarekat dari pesantrennya,
di Tebuireng dekat Jombang, yang secara khusus mengonsentrasikan pada
studi-studi teks. (Kemudian, pada 1970-an dan 1980-an, kita melihat sejumlah
guru di Tebuireng terlibat dalam tarekat, tetapi mereka mengamalkan ajaran
tarekat di tempat lain.) Empat pesantren besar di daerah Jombang, tempat
kebanyakan kiai terkenal belajar, telah lama menjadi pusat yang sangat
prestisius bagi NU. Hanya satu, di Rejoso, yang menjadi ‘pesantren tarekat,’
di mana kiai terkemukanya juga sebagai guru tarekat Qadiriyah
wa-Naqsyabandiyah. Perlu dicatat bahwa setelah wafatnya Hasjim Asj‘ari,
kepemimpinan tertinggi NU beralih secara berurutan ke kiai dari dua pesantren
lain di Jombang, tetapi tak satu pun kiai Rejoso diperhitungkan untuk jabatan
ini. Kiai tarekat memperoleh prestise lebih rendah di lingkaran NU ketimbang
para kiai kitab, tetapi mereka biasanya memiliki pengikut yang jauh lebih
besar di kalangan pedesaan dan pada masa pascakemerdekaan mereka sering
dilindungi oleh para pejabat militer dan sipil.
Menurut tradisi lisan,
banyak pesantren yang lebih tua bermula dari pesantren tarekat tapi kemudian
kiai pembaru mengubahnya menjadi pusat studi fikih dan kitab lainnya. Istilah
‘pesantren tarekat’ tidak mesti menunjukkan adanya salah satu tarekat besar,
tetapi secara lebih umum menunjukkan bahwa sang kiai memiliki keahlian dalam
kanuragan dan bentuk-bentuk magis lainnya. Di beberapa pesantren, praktik
kanuragan hilang sepenuhnya; sementara di tempat lain hal itu tetap
dipertahankan berbarengan dengan mengaji kitab, sebagai benteng yang sangat
menonjol di saat-saat krisis seperti perjuangan kemerdekaan, pembunuhan massal
1965-66 dan, yang paling mutakhir, bulan- bulan terakhir kepresidenan
Abdurrahman Wahid pada 2001.16 Tarekat kadang-kadang menimbulkan kontroversi
dan perdebatan
di NU ketika ortodoksi ajaran tarekat tertentu
dipersoalkan, seperti yang terjadi pada kasus Tijaniyah pada akhir 1920-an dan
awal 1930-an (van Bruinessen 1999: 720-3), tetapi organisasi ini berupaya
meredam konflik semacam itu dan mempertahankan toleransi terhadap banyak
kepercayaan dan praktik sufi. Namun demikian, beberapa tarekat lokal yang
muncul pada paruh kedua abad ke-20, seperti Wahidiyah dan Siddiqiyah dan
beberapa cabang Syaththariyah di Jawa, tidak diterima di NU karena amalan
mereka diciptakan oleh pendirinya dan karenanya tidak dapat menunjukkan
genealoginya sampai kepada Nabi.
Sejak 1970-an, atau mungkin sedikit
lebih awal, tarekat memperoleh penerimaan yang lebih menonjol di NU. Sejumlah
guru sufi, yang telah bertemu sejak akhir 1950-an untuk membicarakan
kemaslahatan bersama, mendirikan sebuah perkumpulan tarekat ‘ortodoks’ yang
dinamakan Jam‘iyyah Ahlit Thoriqoh Mu‘tabaroh. Penggunaan istilah mu‘tabar
atau ‘diakui,’ menunjukkan keinginan mereka untuk membedakan sufisme
‘ortodoks’ dengan mistisisme gerakan kebatinan dan tarekat lokal, yang telah
menjadi sasaran kritik yang semakin gencar dari lingkaran muslim pembaru dan
tradisionalis konservatif.17 Gerakan kebatinan terus berupaya mencari
pengakuan yang sejajar dengan agama dan diduga memiliki dukungan politis kuat
pada masa Sukarno dan tahun-tahun awal Suharto (lihat tulisan Howell dalam
buku ini), dan beberapa gerakan kebatinan (terutama yang sangat abangan) dan
tarekat lokal memperoleh stigma buruk karena dugaan ikatannya dengan
komunisme.18 Para pendiri Jam‘iyyah tampaknya ingin dianggap sebagai mu‘tabar
di mata muslim yang berorientasi pada syariat, dan juga sekaligus di mata
pejabat berwenang pemerintah.19
Daya dorong di balik pendirian Jam‘iyyah
adalah Kiai Musta‘in Romly, yang pada 1960 menggantikan ayahnya sebagai kiai
Rejoso dan syekh Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah. Ia mewarisi jaringan luas
cabang-cabang lokal tarekat, yang meliputi sebagian besar wilayah Jawa
Timur.20 Ia membangun relasi yang sangat baik dengan pemerintah lokal (dan
komunitas bisnis Cina), yang membantunya menarik lebih banyak lagi pengikut;
pada 1970-an jumlah muridnya di pelbagai cabang tarekat di seluruh Jawa
Timur
konon mencapai 150.000 orang. Ini menjadikannya orang
yang diperhitungkan, bahkan oleh pemerintah pusat. Pada 1975, Kiai Musta‘in
menyelenggarakan muktamar pertama Jam‘iyyah, dengan mengumpulkan guru-guru
tarekat dari seluruh Jawa.21 Muktamar ini dibuka oleh Presiden Suharto dan
banyak pejabat tinggi lain hadir, sebuah indikasi arti penting yang kemudian
melekat pada tarekat. Dalam sambutan pembukaannya sendiri, Kiai Musta‘in
menekankan peran yang harus dimainkan sufisme dalam upaya pembangunan Order
Baru, karena perkembangan material harus diimbangi dengan perkembangan
spiritual. Ia mengemukakan kesalahpahaman yang beredar luas bahwa tarekat
hanyalah ciri masyarakat tradisional atau pedesaan, dengan mengatakan bahwa
sebenarnya tarekat memiliki banyak nilai universal dan membantu dalam
pembangunan pribadi dengan memperkuat moralitas dan kepercayaan kita kepada
Tuhan. Seperti dikemukakannya, ajaran tarekat harus diarahkan tidak hanya pada
kelas sosial tertentu, tetapi kepada semua, khususnya kepada kelompok-kelompok
yang secara langsung banyak terlibat dalam usaha pembangunan, yang membutuhkan
landasan moral yang kuat.
Dengan demikian, di satu sisi, Kiai Mustain
telah menjadi- kan Jam‘iyyah sebagai kendaraan yang digunakan pemerintah untuk
mencapai massa pedesaan dan melibatkan mereka dalam pembangunan (slogan yang
meringkas kebijakan Orde Baru) dan, di sisi lain, melalui kendaraan itu pula
guru-guru sufi dapat berpartisipasi dalam proyek modernisasi dan merekrut
kalangan birokrat, teknisi dan kelompok profesional sebagai murid. Dan, untuk
alasan personal maupun pragmatik, jumlah pejabat semakin banyak mencari-cari
Kiai Musta‘in dan syekh sufi lain sebagai penasihat spiritual. Hubungan
patronase yang saling menguntungkan pun berkembang.
Namun, dalam
mengakomodasi pemerintah ini, tampaknya Kiai Musta‘in melangkah lebih jauh
ketimbang yang bisa diterima koleganya di NU. Pada 1971, NU bersaing dalam
pemilihan umum pertama era Orde Baru sebagai satu-satunya oposisi penting
terhadap partai pemerintah, Golkar, dan berada di pihak yang harus menerima
upaya dan tekanan yang kejam agar para anggota NU memilih Golkar. Pada 1974,
ia dipaksa bergabung bersama partai
muslim lainnya ke dalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), satu di antara dua partai non-pemerintah
yang tersisa (lainnya, PDI, adalah gabungan partai-partai nasionalis dan
Kristen). Akan tetapi, menjelang pelaksanaan pemilihan umum pada 1977, ketika
kiai terkemuka NU menetapkan fatwa yang mengatakan bahwa memilih PPP sebagai
kewajiban keagamaan, Kiai Musta‘in aktif berkampanye atas nama Golkar. Alasan
ketidakloyalannya terhadap NU yang terang-terangan ini sangat jelas: sudah
menjadi rahasia umum bahwa ia menerima patronase mewah dari pemerintah sejak
akhir 1960-an, termasuk hadiah tanah yang luas tempat di mana ia mendirikan
sebuah universitas swasta. Pesantren dan universitasnya menjadi makmur sebagai
etalase Pembangunan, sementara kebanyakan pesantren lain justru terus menerus
menderita kekurangan finansial dan menghadapi rintangan birokratik. Lebih dari
itu, ia mungkin percaya sepenuhnya bahwa pembangunan memang bermanfaat dan ia
dapat memengaruhi arah yang hendak ditempuh pembangunan tersebut.22
Kiai
NU memutuskan untuk menghukum Musta‘in atas pengkhianatannya dan mengajak
murid-muridnya agar mening- galkannya. Inisiatif atas tindakan yang
spektakuler ini berasal dari kiai dan politisi di Tebuireng (tentu ada juga
unsur saingan antarpesantren), tetapi inisiatif ini menerima dukungan lebih
luas lagi. Salah seorang guru Tebuireng, Adlan Aly, yang merupakan murid ayah
Musta‘in dan anggota dewan ulama Jam‘iyyah, diajukan sebagai pembimbing
spiritual yang tidak akan menyerah pada kemauan pemerintah dan layak untuk
menggantikan kedudukan Kiai Musta‘in. Syekh terkemuka Qadiriyah
wa-Naqsyabandiyah Jawa Tengah, Kiai Muslich dari Mranggen, yang merupakan
syekh terkemuka di dewan ulama Jam‘iyyah, dirayu agar mengangkat Kiai Adlan
Aly sebagai khalifah-nya dengan otoritas penuh untuk Jawa Timur. Satu demi
satu, wakil-wakil lokal Kiai Musta‘in diselidiki dan dirayu agar mengalihkan
kesetiannya kepada Kiai Adlan. Sebagian besar akhirnya membelot dan jika bukan
kepada Kiai Adlan, mereka beralih kesetiaannya kepada Kiai Usman al-Ishaqi di
Surabaya, yang merupakan khalifah utama ayah Musta‘in. Musta‘in kehilangan
kendali atas sebagian besar jaringan tarekatnya, yang juga kemerosotan
perannya bagi pemerintah.23
Dalam muktamar NU berikutnya pada
1979, perkumpulan tarekat baru diresmikan yang secara lebih eksplisit
berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, Jam‘iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu‘tabaroh
an-Nahdliyyah (JATMN). Sebagian besar anggota pengurusnya adalah anggota
pengurus Jam‘iyyah Musta‘in dan didukung oleh beberapa politisi NU terkemuka
dan memiliki banyak koneksi, termasuk ketua NU sangat lama yang merupakan guru
politik patronase dan intrik politik masa lalu, Idham Chalid. Sebelum
pemilihan umum 1982, jaringan tarekat telah dimanfaatkan untuk merebut banyak
persentase suara kalangan pedesaan bagi PPP. Sementara itu, Musta‘in tetap
menjadi ketua Jam‘iyyahnya sendiri (yang kemudian dinamakan JATMI, dimana
huruf I terakhir berarti Indonesia—Jam‘iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu‘tabaroh
Indonesia), seolah-olah tidak ada sesuatu yang benar-benar telah berubah. Ia
mengganti beberapa anggota pengurus yang meninggalkannya dengan beberapa orang
yang secara personal loyal kepadanya, dan pada 1982 kembali berkampanye untuk
Golkar. Setelah wafatnya Musta‘in pada 1984, JATMI tetap melanjutkan
aktivitasnya—Rejoso saja masih dapat berbangga diri dengan 20.000 murid, dan
masih lebih banyak lagi di wilayah lain Jawa Timur—tetapi tampak sekali
kekurangan seorang pemimpin karismatik. Janda Musta‘in, yang merupakan ahli
strategi utamanya, melakukan berbagai upaya agar JATMI diakui sebagai komponen
resmi Golkar, yang mungkin dapat memperkuat JATMI. Akan tetapi, Golkar telah
memiliki perwakilan tarekat resminya di PPTI, dan JATMI tidak pernah
mendapatkan tingkat dukungan yang sama dari pemerintah.
Konflik seputar
Jam‘iyyah menunjukkan signifikansi politik tarekat yang semakin meningkat,
bersamaan dengan pemilihan yang diadakan lima tahun sekali sejak 1977. Politik
pemilihan telah mengangkat arti penting seseorang yang dapat menyedot banyak
pemilih, dan kiai tarekat mampu mengendalikan pengikut yang banyak dan sangat
setia. Bukan kebetulan bila kiai yang bekerja keras mengorganisir JATMN dan
memperlemah otoritas Musta‘in adalah di antara kiai yang secara politis sangat
cerdik di NU. Memang Kiai Adlan Aly adalah orang yang sederhana dan pendiam,
yang memiliki reputasi karena kerendahan hatinya, tetapi dua koleganya di
Tebuireng yang banyak menjalankan
kerja organisasi dan
propaganda, Kiai Syansuri Badawi dan Makky Makshum, adalah guru fikih yang
memiliki insting politik tajam dan loyalitas kokoh terhadap PPP. Kiai tarekat
yang kemudian sangat aktif dalam perkumpulan pada tahun-tahun berikutnya, yang
mewakili sejumlah tarekat besar lainnya, terutama Tijaniyah dan Naqsyabandiyah
Khalidiyah, juga cenderung menjadi pendukung setia PPP (dan diburu oleh
pimpinan politik PPP).
Tarekat dan Kelangsungan Islamisasi
Masyarakat Indonesia
Dalam muktamar NU pada 1984 diputuskan bahwa NU
tidak lagi berpartisipasi secara langsung dalam politik dan oleh kare- nanya
ia hanya akan menjadi organisasi sosial dan keagamaan. Ia tidak akan mendukung
partai politik tertentu (dengan kata lain, ia keluar dari PPP) dan membiarkan
para anggotanya bebas ber- gabung dengan partai politik pilihannya (dengan
kata lain, mencari patronase dari Golkar).24 Kiai yang mengajukan perlawanan
paling keras terhadap keputusan ini adalah mereka yang telah melawan Kiai
Musta‘in; JATMN tetap menjadi satu-satunya perkumpulan yang berafiliasi dengan
NU yang mempertahankan hubungan erat dengan PPP. Muktamar 1984 memilih
Abdurrahman Wahid se- bagai ketua baru NU, sebuah jabatan yang kemudian
diembannya hingga 15 tahun. Ketua sebelumnya, Idham Chalid, kalah dalam
muktamar ini, dan kemudian menggunakan jabatannya di JATMN sebagai basis untuk
mempertahankan pengaruhnya dalam urusan NU di tingkat atas dan jaringan dengan
akar rumput organisasi.
Selama satu setengah dekade berikutnya, secara
umum tarekat semakin mengemuka baik di NU maupun di wilayah publik Indonesia.
Jaringan tarekat pedesaan meluas dan beberapa kiai tarekat menjadi orang
terkenal di seluruh negeri karena jumlah pengikutnya yang besar di pedesaan
dan kontaknya dengan kalangan elit. Sejumlah kiai yang hingga saat itu hanya
mengajarkan fikih dan pelajaran tekstual kemudian mencari ijazah (izin formal)
untuk mengajarkan tarekat dalam rangka memperkuat jaringan dengan pengikut
pedesaannya. Kebanyakan kiai terkemuka dalam JATMN tidak hanya dibaiat ke
sebuah tarekat, tetapi juga mengajar fikih dan menentang keras sufisme
nyeleneh.
Tidak hanya tarekat ‘ortodoks,’ berbagai tarekat
lokal juga telah memberikan kontribusi terhadap perubahan arah umum dari Islam
sinkretistik ke Islam ortodoks yang lebih berorientasi pada syariat. Tarekat
seperti Siddiqiyah dan Wahidiyah (juga Syaththariyah dan
hingga batas tertentu Tijaniyah) menarik banyak
pengikut abangan, tetapi dalam masa satu generasi secara signifikan telah
mengubah kecenderungan keagamaan para pengikutnya, yakni dengan memberikan
kontribusi terhadap apa yang sebagian orang Indonesia sebut sebagai
‘santrinisasi’ abangan. Pada era 1970-an Golkar umumnya dianggap mewakili
kepentingan abangan dan kebatinan—inilah satu alasan yang menimbulkan
kemarahan di NU atas pembelotan Kiai Musta‘in ke Golkar. Namun, dua dekade
kemudian Golkar terlihat telah berubah dari dalam, melalui peralihan
kepemimpinan dari kaum laki-laki dan perempuan sekuler dan berorientasi
abangan ke tim yang seluruhnya santri. Guru-guru sufi yang bergabung dengan
Golkar pada masa-masa awalnya bukanlah satu-satunya aktor yang paling
berpengaruh di balik perkembangan ini, meskipun mereka memang memainkan peran.
Akibat dari penyesuaian antara tarekat dan Golkar, beberapa guru sufi kemudian
menggantikan guru- guru kebatinan sebagai penasihat spiritual favorit elit
Orde Baru.
Salah seorang guru yang dampaknya terhadap perubahan dalam
Orde Baru Indonesia bisa dijadikan contoh di sini, mungkin lebih baik dari
lainnya, adalah kiai dan syekh tarekat Jawa Barat, Abah Anom, seorang tokoh
lain dari Qadiriyah wa- Naqsyabandiyah, dan tokoh yang dianggap paling
berhasil. Pesantrennya di Suryalaya, Tasikmalaya, yang terletak berdekatan
dengan daerah pusat pemberontakan Darul Islam, selalu menjadi benteng
loyalitas terhadap pemerintah pusat dan diberi amanat oleh militer untuk
mendidik kembali para aktivis Darul Islam yang tertawan. Pada tahun-tahun awal
Orde Baru, ia juga diminta untuk memberikan pelajaran keagamaan kepada para
tersangka mantan komunis (Soebardi 1978: 229). Abah Anom adalah anggota
terkemuka Dewan Mursyidin PPTI Haji Jalaluddin (lihat sebelumnya), tetapi
tampaknya ia tidak memainkan peran aktif dalam perkumpulan tersebut. Sebagai
seorang yang loyal kepada pemerintah, ia mendukung Golkar namun, tidak seperti
Musta‘in
Romly, ia tidak pernah berkampanye untuk partai ini.
Kiai tandingannya di wilayah yang sama mendesas-desuskan bahwa ia adalah
seorang guru kebatinan, tetapi tidak pernah ada tindakan bersama terhadapnya
seperti terhadap Kiai Musta‘in. Sebenarnya, meskipun bukan anggota NU, Abah
Anom mendapat banyak pengikut di kalangan anggota NU, terutama di luar
Jawa.
Pesantren Suryalaya semula adalah pesantren tarekat, di mana
sufisme dan diduga kanuragan juga diajarkan, akan tetapi Abah Anom, yang
memiliki pendidikan lengkap dalam ilmu-ilmu Islam, mengubahnya menjadi pusat
pengajaran tekstual akademis pula, di mana pelajaran-pelajaran umum diajarkan
secara berdampingan dengan ilmu-ilmu Islam. Dalam mengembangkan jaringan
tarekat, ia menjalin hubungan dengan berbagai komunitas lokal di Jawa Barat,
di mana kultus lama tentang Syekh ‘Abd al- Qadir Jailani masih hidup, dengan
pembacaan secara berkala teks wirid yang berkekuatan magis yang terkait dengan
keajaiban wali besar ini (Millie 2006). Meskipun afiliasi dengan Suryalaya
tidak sepenuhnya menggantikan atau mengubah kultus lama, ia membantu
mengintegrasikan komunitas ini ke dalam konteks sosial yang lebih luas, seraya
menawarkan bacaan alternatif yang tidak begitu ‘magis’ atas hagiografi yang
sama.
Pada awal 1980-an, Abah Anom memperoleh popularitas nasional
menyusul dugaan keberhasilannya dalam menyembuhkan ketergantungan obat dan
berbagai penyakit lainnya dengan menerapkan metode tarekat secara intensif.
Para pasien dibiarkan terpisah dari dunia sekitar, tidur dan makan sedikit,
serta mengisi hari-harinya dengan salat dan zikir. Terlepas dari pemberitaan
yang kadang-kadang negatif, banyak anggota elit mengirim anak- anak mereka
untuk dididik di Suryalaya, atau di salah satu cabang- cabangnya yang tumbuh
menyebar di seluruh negeri. Departemen Sosial menganugerahkan tanda jasa dan
bantuan uang yang cukup besar kepada Abah Anom atas sumbangannya dalam
memecahkan masalah ini; sementara itu, banyak orang tua, yang tertarik dengan
hasil yang dicapai, menjadi pengikut dan pendukungnya.
Tampaknya praktik
penyembuhan inilah yang membantu Abah Anom memperbesar keanggotaan pedesaannya
yang semakin pesat hingga meraih pengikut
perkotaan modern
yang banyak. Meskipun demikian, daya
tariknya di Jakarta bukanlah kebetulan belaka. Seperti ditulis seorang
pengamat berpengetahuan luas, Suryalaya sengaja mengirim sejumlah ahli lobi ke
pusat-pusat kekuasaan politik (Effendi 1990a: 97). Mungkin Abah Anom lebih
berhasil daripada guru tarekat lainnya dalam hal menarik para pejabat tinggi
militer dan sipil serta para sarjana (termasuk sejumlah profesor universitas
terkenal) sebagai murid- muridnya, dan dalam hal menambah jumlah pengikut
urban yang signifikan. Namun, pada tingkat yang lebih sederhana, banyak guru
sufi lain juga memperoleh anggota jamaah urban baru.25 Juga, Abah Anom juga
menjadi contoh perubahan lebih besar dalam masyarakat Indonesia tentang hal
lain: ia semakin akrab dengan Presiden Suharto, yang tampaknya sangat
mengapresiasi kekuatan spiritualnya. Diyakini bahwa dalam beberapa dekade
pertama Orde Baru, Suharto hanya menjadikan guru kebatinan penasihat
spiritualnya (McDonald 1980), tetapi pada tahun-tahun berikutnya ia semakin
mendekat ke Islam ortodoks, dan Abah Anom konon menjadi penasihat yang paling
favorit. Sulit menilai secara pasti kecenderungan dalam masalah-masalah
pribadi semacam itu, namun sufisme tampaknya, hingga tingkat tertentu, telah
menggantikan kebatinan sebagai sumber legitimasi dan perlindungan
spiritual.
Munculnya Para Wali Hidup
Kecenderungan ke arah
ortodoksi yang semakin meningkat, yang dengan jelas diakhiri dengan ‘beralih
ke Islam’ dalam kebijakan Suharto, memperoleh perhatian yang berlawanan dalam
dekade terakhir Orde Baru dengan munculnya sejumlah pribadi yang karismatik
namun nyeleneh. Perilaku mereka yang aneh dan sering nyeleneh meyakinkan
publik bahwa mereka adalah wali (kekasih Allah)—orang-orang suci yang
pencapaian spiritualnya telah menempatkan mereka melampaui kewajiban keagamaan
yang dikenakan pada orang biasa. Yang menakjubkan dari para wali 1990-an ini
adalah bahwa mereka tidak muncul dari lingkaran abangan di mana orang-orang
suci heterodoks atau non-muslim yang dikenal wali itu bukan sesuatu yang
aneh,26 tetapi di dalam
pusat ortodoksi tradisionalis,
Nahdlatul Ulama. Para wali yang berlatar belakang pesantren ini dianggap
sebagai wali yang hidup, dan mereka berutang budi atas popularitasnya di
publik kepada ketua NU Abdurrahman Wahid yang melindungi mereka. Gus Mik (Kiai
Hamim Djazuli) dan Mbah Lim (Kiai Muslim Rifa’i Imampura) menampilkan perilaku
yang akan dipandang tak patut oleh orang lain, tetapi karena statusnya yang
dipersepsi sebagai wali, hal itu hanya akan meningkatkan karismanya dan
semakin menarik pengikut. Wahid dikelilingi oleh banyak orang ‘aneh’ lainnya
dan cukup menambah reputasi dirinya sebagai wali.
Konsepsi orang Jawa
tentang kewalian didasarkan pada legenda tentang wali songo, yang diyakini
telah mengislamkan pulau ini, di mana makamnya yang tersebar di pesisir utara,
menjadi tempat ziarah yang penting. Diyakini bahwa dakwah wali songo
melibatkan penyelarasan cita-cita Islam dengan gaya budaya lokal, dan kompleks
makam serta ritual yang mengitari ziarah itu masih mencerminkan sintesis
kultural atas unsur- unsur yang diambil dari berbagai peradaban sepanjang
pesisir Laut Arabia hingga Laut Cina Selatan. Kebanyakan keluarga kiai
terkemuka mengklaim sebagai keturunan dari salah satu wali songo ini atau
lainnya, meskipun mereka mungkin tidak mendukung sinkretisme kultural yang
diasosiasikan dengan kultus terhadap mereka. Beberapa wali memiliki reputasi
karena kesalehan dan pendidikan ortodoks, lainnya karena pengetahuan spiritual
yang tidak disampaikan melalui buku. Baik tradisi pesantren maupun berbagai
gerakan kebatinan menemukan leluhurnya pada wali songo, tetapi menekankan
aspek yang berbeda dari biografi legendarisnya.
Di antara wali-wali ini
yang sangat Jawa adalah Sunan Kalijaga, seorang pangeran, mistikus pengembara
dan perampok yang telah bertobat, yang memperoleh pengetahuan dasar tentang
Islam melalui semadi, bukan melalui kajian teks. Dia dihormati karena
mengadaptasikan bentuk budaya Jawa seperti pertunjukan wayang dan musik
gamelan untuk menyebarkan ajaran Islam, dan karena memperkokoh teknik Jawa
kuno untuk memperoleh kekuatan supernatural dengan pengetahuan batiniah
Islam.27 Wali yang paling kontroversial adalah Syekh Siti Jenar,
yang
menyuarakan kata-kata terkenal al-Hallaj dan menyatakan kesatuannya dengan
Tuhan. Ia dihukum mati dan dieksekusi oleh wali-wali lain—karena
penyimpangannya, menurut sebagian, atau karena membocorkan kebenaran esoterik
kepada orang yang tak dibaiat, menurut lainnya. Siti Jenar lebih menarik bagi
imajinasi populer ketimbang wali lain, dan beberapa mistikus terkemudian telah
sengaja meneladaninya.28 Ulama umumnya menentang keras ‘ajaran Siti Jenar,’
yang mereka pandang sebagai legitimisasi semua jenis perilaku nyeleneh; jika
tidak ada perbedaan antara sang penyembah dan Yang Disembah, maka alasan di
balik kewajiban syariat menjadi terancam. Akan tetapi, fakta pengakuan Syekh
Siti Jenar sebagai wali tetap ada, terlepas dari ancaman terhadap kemapanan
keagamaan dan politis yang ditimbulkan oleh ajaran yang dinisbatkan
kepadanya.
Kiai Hamid Pasuruan
Di antara orang-orang suci
Indonesia dewasa ini, kita menemukan beragam jenis wali—mulai dari guru
kebatinan yang ajarannya tidak menunjukkan hubungan nyata dengan Islam, ulama
saleh yang berpegang pada syariat, hingga berbagai peramal dan tabib muslim.
Di antara wali ortodoks yang terkenal adalah Kiai Hamid Pasuruan (w. 1982),
yang dikenal selama hidupnya sebagai wali terbesar NU dan reputasinya
mengalahkan reputasi tokoh wali lainnya selama beberapa dekade pertama setelah
wafatnya (Ahmad 2001). Kiai Hamid berasal dari keluarga ulama. Seperti yang
dilakukan kebanyakan santri saat muda, ia belajar kanuragan dan mencurahkan
diri membaca wirid dan hizib. Meskipun demikian, reputasinya sebagai wali
lebih banyak berkaitan dengan kesederhanaan dan tindakannya menghindari semua
tampilan lahiriah, nasihatnya yang sejuk tentang moralitas sufi model Ihya-nya
al-Ghazali dan kitab Hikam karya Ibn Atha’illah, dan dugaan doanya yang
mujarab lewat pertolongan Ilahi. Ia tampaknya mengetahui sesuatu sebelum
peristiwa itu benar-benar terjadi; para pengunjung baru menyadari bahwa Kiai
Hamid ternyata sudah mengharapkan kedatangan mereka jauh sebelum mereka
mengutarakan niat kedatangannya, dan mereka
mendengar sang
Kiai menjawab permohonan bahkan sebelum mereka menyampaikannya. Kisah tentang
penyembuhan penyakit atau tolak bala yang dilakukannya melalui doa yang
mustajab sangat banyak, seperti halnya klaim-klaim bahwa ia muncul di
tengah-tengah orang yang membutuhkan pertolongan, melewati jarak yang sangat
jauh dan menembus pintu yang tertutup. Ia menghindari menampilkan keajaiban
spektakuler, tetapi orang- orang melihat bahwa ketika ia berjalan
hujan-hujanan pakaiannya tidak terlihat basah—sebuah tanda umum kewalian. Ia
mendesak mereka yang meminta nasihat tentang praktik sufi agar tidak
menyimpang dari syariat dalam situasi apa pun. Setidak-tidaknya itulah yang
ditegaskan dalam buku biografinya baru-baru ini (Ahmad 2001); pujian terhadap
Kiai Hamid tampaknya merupakan polemik terselubung dengan para wali yang
kurang ortodoks yang memperoleh ketenaran pada dekade terakhir Orde Baru.
Gus
Mik (Kiai Hamim Djazuli)
Gus Mik muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran
publik sebagai wali yang bergaya lebih nyeleneh, kekuatan spiritualnya
terlihat, tetapi tidak pernah diutarakan secara eksplisit. Para jurnalis
tercengang oleh kesukaannya terhadap bir Guinness dan keseringannya berkunjung
ke bar dan klub malam di Surabaya, di mana ia dijamu oleh para ratu malam yang
mengaguminya. Di dunia pesantren, ia dikenal sebagai putra seorang kiai
terkenal dan terpelajar di Kediri (istilah ‘Gus’ adalah gelar yang diberikan
kepada para putra kiai mapan), dan kenyelenehannya dimaafkan karena silsilah
keturunannya. Sebagai seorang santri, ia sering meninggalkan kelas dan lari,
tidur di gua atau di hutan, melakukan praktik zuhud dan membaca wirid, dan
membiarkan rambutnya gondrong, semuanya menjadi tanda pencariannya akan
kebenaran yang lebih dalam daripada yang ditemukan dalam kitab suci. Setelah
dewasa, ia tidak pernah berperilaku atau berpakaian seperti kiai lain, bahkan
ia lebih sering menggunakan jeans dan kaos hitam sederhana, bukannya jubah
putih dan sorban, tetapi wibawanya mengungguli wibawa guru-guru yang lebih
ortodoks.
Pengetahuannya tentang kitab suci mungkin tidak banyak,
tetapi
beberapa kiai yang sangat senior (termasuk otoritas keagamaan tertinggi NU,
Kiai Ahmad Siddiq) menjadi muridnya dalam ilmu pembacaan satu wirid khusus,
dzikr al-ghafilin, yang diyakini memiliki kekuatan. Ia mengembangkan ritual
baru untuk mencurahkan kekuatan spiritual, berupa pertemuan berjamaah dalam
rangka membaca bersama-bersama seluruh Alquran, Sema’an Quran mantep. Dalam
pertunjukan semalam suntuk ini, para penghafal Qur’an (huffazh) ambil bagian
membacakan kitab suci dari surat pertama hingga terakhir. Sema’an ini menarik
banyak jamaah, kebanyakan orang desa, tetapi juga para pejabat yang ingin
memperoleh berkah yang ditimbulkan oleh bacaan ini. Setelah kematiannya yang
mendadak pada 1993, terlihat bahwa ia tengah mempersiapkan pencurahan energi
suci yang kekal. Ia dimakamkan di sebidang tanah yang telah dipilihnya secara
saksama dan dirancang sebagai tempat istirahat bagi 40 hafizh dan 40 ‘pewaris
wali’: sepertinya, sema’an permanen di alam roh dan juga untuk mengubah
geografi spiritual Jawa dan menjadi pusat utama ziarah.29
Banyak
laki-laki muslim yang mengonsumsi minuman beralkohol, bernyanyi dengan
perempuan dalam bisnis hiburan, dan meninggalkan salat dari waktu ke waktu.
Santri biasa akan dianggap menyimpang kesalehannya jika melakukan hal itu,
atau munafik jika ia mencoba mempertahankan penampilan seperti itu. Namun,
dalam diri Gus Mik, semua itu dipandang sebagai tanda bahwa ia telah mencapai
tingkatan di mana kewajiban syariat sehari-hari tidak lagi diperhitungkan.
Semakin banyak media melaporkan petualangannya ke kehidupan malam di Surabaya,
maka semakin kuat reputasinya sebagai wali (sejenis Siti Jenar), dan semakin
banyak pula pejabat yang meminta jasanya dalam mengejar tujuan-tujuan politik.
Gus Mik diyakini telah mencapai tingkat spiritual sedemikian rupa sehingga ia
dapat memengaruhi keseimbangan kekuatan di alam roh—konon ia mengadakan
pertemuan rutin dengan roh para wali yang menjaga Jawa—dan dengan begitu
memengaruhi peristiwa di dunia ini. Beberapa orang yang dekat dengannya
menisbatkan kematiannya yang tiba-tiba akibat keterlibatannya yang terlalu
mendalam dalam perjuangan suksesi Suharto.30
Mbah Lim
Kiai
lain yang reputasinya sebagai wali (‘wali terbesar Jawa,’ menurut sebagian
orang) mencapai puncak pada masa ini adalah Mbah Lim yang kecil dan sederhana
dari Klaten, Jawa Tengah. Yang pertama-tama mengagetkan banyak orang saat
bertemu Mbah Lim adalah kecacatan bicaranya, yang diakibatkan oleh perjumpaan
awalnya dengan kematian. Pada usia 20 tahun, ia terlihat telah mati; jasadnya
telah dimandikan dan siap dimakamkan. Tiba- tiba, orang melihat sebuah tanda
kehidupan—ia kencing—maka dibatalkanlah acara pemakaman itu. Ia hidup kembali,
tetapi bicaranya terganggu sejak itu. Orang-orang dekatnya telah belajar
memahami ucapannya dan menerjemahkan kata-katanya bagi para pengunjung. Namun,
setelah diterjemahkan sekalipun, masih banyak kata-katanya yang tetap
kabur—seperti pesan dari dunia lain.
Kakek Mbah Lim adalah imam besar
istana Surakarta, dan ia dididik di pesantren yang memiliki ikatan dengan
istana, yang tak syak lagi membantu reputasinya. Pada 1959, ia menetap di
sebuah perkampungan abangan di kabupaten Klaten. Selama bertahun-tahun,
tegasnya, ia adalah satu-satunya orang di desa itu yang melaksanakan salat
layaknya orang Islam. Para penduduk desa adalah simpatisan Partai Komunis dan
suka menghina agama; Mbah Lim ingat akan sebuah pertunjukan wayang tentang
kematian Tuhan yang banyak menyenangkan mereka. Ia mendirikan sebuah masjid
sederhana di desa itu, dan ketika terjadi pembunuhan massal terhadap
orang-orang komunis, dengan korban yang sangat banyak di Klaten, ia melindungi
penduduk desanya itu dari pasukan pembunuh, seraya mengatakan ‘Lho, siapa yang
nanti akan salat di masjidku jika kalian membunuh mereka?’ Sedikit demi
sedikit, ia mengubah kehidupan keagamaan desa, mengajarkan kepada anak-anak
desa melaksanakan Islam gaya santri dan secara tidak langsung juga memengaruhi
orang tua mereka. Konon ia menghadapi banyak perlawanan dari alam roh karena
roh lokal dan jin kafir menyerangnya kembali dengan gigih, kadang-kadang
dengan mencuri jasad orang kampung dan mengejewantah dalam pohon, batu dan
suara yang tak berwujud.
Penampilan Mbah Lim sebagai pejuang
pemberani terhadap alam roh yang berhasil mengusir roh jahat dan kekuatan
negatif disebut- sebut dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Orang-orang dari segala penjuru berduyun-duyun mendatangi desanya untuk
bertemu dengannya, dan meminta berkah atau nasihat darinya. Pada tahun 1990,
sejumlah anggota dari elit militer dan pejabat teras termasuk yang sering
mengunjunginya.
Nasihat Mbah Lim tidak selalu sepenuhnya dapat dipahami
dan bisa jadi lugas. Selama konsultasi, ia akan meminta kertas dan mulai
menulis dengan cepat, dalam tulisan besar, apa yang tampak menjadi
pernyataan atau perintah formal, dengan menambahkan waktu dan tanggal, dan
menyudahinya dengan cap dan tanda tangan. Banyak orang yang mengira bahwa
pernyataan seperti itu adalah pesan ilham, di mana seolah-olah Mbah Lim
bertindak, sebagai sekretaris dari kekuasaan yang lebih tinggi.
Tulisan-tulisan tadi diperlakukan dengan hormat dan, sekalipun tidak
dijalankan, dibawa pulang sebagai jimat. Pertama sekali saya mendengar tentang
Mbah Lim adalah ketika, dalam salah satu pernyataannya yang diberikan kepada
orang berkedudukan tinggi, ia menyerukan Suharto agar turun takhta dan
menyerahkan kendali kekuasaan kepada Jenderal Try Sutrisno dan Abdurrahman
Wahid, kedua-duanya adalah orang berlatar belakang santri yang curiga terhadap
aliansi Suharto dengan Islam pembaru saat itu. Tidak seperti pesan-pesan
sebelumnya yang diduga berasal dari alam roh yang memiliki pengaruh sama,
pesan ini tidak memiliki konsekuensi negatif bagi penyampainya; Mbah Lim
tampak kebal akan konsekuensi-konsekuensinya.
Mbah Lim tidak pernah aktif
sebelumnya di NU, dan pengetahuannya tentang Islam sangat dasar, tetapi sejak
1990 ia kerap terlihat di setiap muktamar dan pertemuan penting NU.
Abdurrahman Wahid, yang sangat menghormatinya, tampak menganggapnya sebagai
jimat pribadinya, yang kehadirannya dapat memengaruhi hasil perebutan
kekuasaan internal untuk keuntungan Abdurrahman. Saya sering bertanya-tanya
kepada diriku betapa karier publik orang-orang seperti Gus Mik dan Mbah Lim
banyak berutang budi kepada kisah-kisah mereka yang disebarkan Abdurrahman
Wahid di kalangan elit Jakarta. Ia
memang percaya kepada
bakat dan kekuatan khusus mereka, tetapi ia juga sangat menyadari manfaat
kepercayaan orang terhadap sifat-sifat luar biasa dari orang-orang semacam
itu. Mbah Lim yang secara terbuka menyatakan bahwa NU dan negara membutuhkan
Abdurrahman Wahid, malah semakin memperkuat dukungan
dari kalangan anggota awam NU dan bahkan dari kalangan elit terhadap
Abdurrahman. Persepsi tentang adanya dukungan dari alam gaib mungkin juga
meningkatkan dukungan di alam nyata. Abdurrahman terus dikelilingi oleh
berbagai macam mistikus dan peramal aneh, dan semakin asyik dengan ziarah
kubur. Minatnya terhadap alam roh meningkat sebanding dengan statusnya sebagai
aktor politik nasional.31
Tidak semua orang di NU senang dengan munculnya
wali-wali ini dan popularitas mereka di kalangan penganut NU. Sejumlah kiai
menceritakan kepada saya bahwa orang-orang semacam itu tidak banyak terlihat
di organisasi sebelum kepemimpinan Abdurrahman Wahid; beberapa di antaranya
ragu akan status wali-wali ini, atau bahkan tidak sedikit yang malah menghina.
Seorang kiai senior, Mustofa Bisri (yang populer dengan sebutan Gus Mus),
menceritakan kepada saya bahwa ketika muda ia adalah teman dekat Gus Mik dan
sering menemaninya dalam eksperimen spiritualnya, sehingga ayahnya, Kiai Bisri
Mustofa yang hebat itu, memerintahkannya untuk berhenti. ‘Jika kamu terus
seperti ini, kamu akan berakhir menjadi wali,’ demikian ayahnya mewanti-wanti.
‘Potong rambutmu, tetap di rumah, pelajari kitab-kitab dan jadilah seorang
kiai selayaknya!’ Gus Mus menaati ayahnya dan menjadi orang yang memiliki
wibawa moral tinggi di lingkungan NU dan lainnya, penyair sekaligus ulama, dan
berkomitmen mendalam terhadap kepentingan organisasinya. Ia sepertinya
mengisyaratkan sayang sekali mengapa Gus Mik tidak ditempa oleh ayahnya
sendiri, dan juga mengisyaratkan bahwa wali heterodoks adalah ancaman bagi
kultur pendidikan NU yang bijak. Ia kemudian turut serta dalam upaya untuk
melawan kepercayaan terhadap para wali heterodoks ini.32
Meskipun tidak
banyak orang yang lebih berpengaruh dalam kehidupan nasional selama 1990-an
ketimbang Abdurrahman Wahid, dan meskipun ia mungkin ambil bagian dalam
meluncurkan
karier beberapa wali terkenal, kemunculan
tiba-tiba dan wibawa mencolok orang-orang karismatik
ini selama periode yang sama tidak dapat dinisbatkan
semata-mata kepada ketertarikan Abdurrahman terhadap alam gaib, atau daya
tariknya yang cerdik terhadap ramalan orang lain (demikian beberapa orang yang
skeptis menyebutnya). Selama tahun-tahun ini, fenomena yang sama dapat juga
diamati di luar lingkaran NU. Guru Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah Jawa Barat,
Abah Anom, yang pengikutnya meningkat secara drastis sepanjang 1990-an,
mungkin mewakili gaya wali yang bijak dan berorientasi pada syariat, tetapi
guru Naqsyabandiyah yang juga berpengaruh dari Sumatra, Kadirun Yahya, adalah
jenis wali yang lebih flamboyan, yang diyakini memiliki kekuatan atas alam,
dan bahkan atas kehidupan dan kematian, dikarenakan telah mencapai tahap
kesatuan dengan Tuhan.33 Syekh Kadirun juga dilindungi oleh para pejabat
tinggi, yang merasa berutang budi kepadanya atas kesuksesan kariernya.
Satu
faktor yang sangat penting dalam munculnya para wali hidup yang diragukan
ortodoksinya ini kemungkinan adalah perebutan antara berbagai
kelompok kepentingan menjelang suksesi Suharto. Ketenaran
Abdurrahman Wahid, di media maupun di dalam kehidupan publik secara umum,
adalah aspek lain dari perebutan itu. Bahwa sebagian wali itu merupakan
pembuat keajaiban yang heterodoks barangkali kurang signifikan jika
dibandingkan dengan fakta bahwa mereka muncul dalam lingkungan santri NU dan
tarekat Naqsyabandiyah yang bonafide, dan bukan semata-mata dalam gerakan
abangan atau kebatinan. Kemunculan mereka, saya ingin katakan, lebih sejalan
dengan seluruh kecenderungan terhadap ortodoksi Islam, ketimbang kecenderungan
sebaliknya.
Kesimpulan
Urbanisasi, globalisasi, pertumbuhan
ekonomi dan revolusi pendidikan tidak mendorong pada peminggiran sufisme di
Indonesia, tetapi justru sebaliknya meningkatkan keunggulan sosial dan
politiknya. Ruang lingkup lokal tempat tumbuhnya kepercayaan dan praktik
abangan telah melebar, seraya memperkuat
daya tarik Islam
santri dengan klaim universal dan hubungan transnasionalnya. Tarekat dan
gerakan mistis lainnya merasakan tekanan untuk melakukan rasionalisasi dan
mengadopsi bentuk organisasi yang lebih formal, yang dalam beberapa hal justru
memunculkan partai atau perkumpulan politik. Politik pemilihan (pemilu) telah
menjadikan beberapa guru sufi, berkat pengikut loyal dan setia mereka, sebagai
pengumpul suara dan pelaku politik yang penting. Dengan banyaknya anggota,
bobot politik tarekat yang potensial telah memberikan insentif yang kuat
kepada pemerintah (di tingkat lokal dan nasional) untuk mengontrol atau
mengooptasi tarekat dan menarik orang-orang yang berorientasi politik sebagai
organisator dan birokrat perkumpulan sufi. Kasus- kasus yang dibahas dalam bab
ini menunjukkan bahwa sufisme kontemporer di Indonesia bukanlah melulu atau
bahkan pada dasarnya urusan dunia lain (akhirat) semata, tetapi sebaliknya
sufisme terlibat aktif dalam politik praktis.
Di sisi lain, sedari awal
politik Indonesia memang sangat erat berkaitan dengan mistisisme karena
aktor-aktor penting politik telah merambah guru-guru mistis yang karismatik—
tidak hanya soal legitimasi, tetapi juga untuk mengubah pilihan suara,
memberikan nasihat spiritual dan, terutama, sebagai sumber kekuatan
supernatural untuk mendukung diri mereka sendiri. Kebijakan Orde Baru lebih
memberikan privilege kepada perkumpulan formal sufi dan memberikan ruang yang
luas bagi kalangan organisator dan birokrat sufi. Namun begitu, para aktor
politik individual tetap membutuhkan tokoh sufi karismatik karena berbagai
alasan yang disebutkan di atas. Para tokoh Sufi yang benar-benar berhasil,
seperti Haji Jalaluddin, Musta‘in Romly dan Abah Anom, adalah tokoh yang
karismatik sekaligus pengurus/ birokrat. Jika kedua peran itu tidak bertemu,
konflik antara dua jenis pemimpin nyaris tak terhindarkan, hingga rusaknya
kedua belah pihak. Kecenderungan umum terhadap ortodoksi Islam yang lebih luas
dan menguatnya Islam skripturalis ternyata tidak mendorong merosotnya peran
penting para mistikus karismatik yang memiliki reputasi menciptakan keajaiban.
Kebanyakan wali ternama yang hidup belakangan ini muncul bukan dari pinggiran,
tetapi dari jantung Islam ortodoks.
Catatan akhir:
1
Untuk deskripsi yang menarik dan perseptif tentang salah satu dari konflik
yang melibatkan salah satu gerakan abangan yang terang-terangan anti-Islam ini
lihat Geertz (1959). Kasus yang digambarkan di situ menunjukkan sejumlah
alasan mengapa perubahan sosial berlangsung sesuai dengan Islam ortodoks dan
bertentangan dengan kepercayaan dan praktik sinkretistik.
2
Dalam bukunya tentang Orde Baru awal, jurnalis Australia Hamish McDonald
memberikan sebuah penjelasan yang menarik tentang upaya Suharto memperkokoh
kekuasaan politiknya melalui kontaknya dengan alam roh (McDonald 1980). Sifat
yang sangat pragmatis dari mistisisme politiknya menjadi sangat jelas ketika
legitimasi Suharto ditantang oleh mistikus lain, Sawito, yang mengklaim bahwa
Suharto telah kehilangan wahyu, dukungan supernatural atas pemerintahan dari
alam roh.
3 Untuk tinjauan yang lebih terperinci atas
tarekat di Indonesia ketimbang yang diberikan di sini, lihat van Bruinessen
(1994d).
4 Klasifikasi yang mengaitkan antara
mikrokosmos dan makro- kosmos, warna-warna, nafsu-nafsu, dsb. adalah unsur
umum dalam manuskrip Syaththariyah Indonesia dan muncul kembali dalam
kosmologi berbagai gerakan mistis abangan. Bahkan Naqsyabandiyah, tarekat yang
konon sangat berorientasi syariat itu, menimbulkan sejumlah sekte lokal
sinkretistik yang setia pada magi dan seni perang. Lihat van Bruinessen (1992:
206-11, 216-8).
5 Tiga guru semacam itu menurut
spektrum muslim, yang aktif pada 1880-an, telah dikaji oleh Drewes (1925), dan
lingkungan serupa menjadi bidang studi Kumar yang lebih mutakhir (1985). Studi
penting tentang guru-guru mistis sinkretistik kontemporer dan para pengikutnya
dilakukan oleh Howell (1976) dan Suwandi (2000).
6
Pesantren tertua, di Tegalsari di Jawa Timur, didirikan pada akhir abad ke-18.
Pesantren tampaknya tetap sedikit dan jauh
hingga akhir abad
ke-19, ketika jumlahnya mulai meningkat cepat (van Bruinessen 1992c).
7
Tentang kanuragan, lihat de Grave (2001), sebuah studi ten- tang tradisi seni
perang di Jawa meskipun tidak secara khu- sus tentang kanuragan di pesantren,
yang disebutkan secara singkat dalam hh. 154-6.
8 Bab
IV dari studi Korver (1982) tentang SI memberikan contoh tentang kecenderungan
milenarian di berbagai wilayah negeri.
9 Perincian
tentang organisasi dan penyebaran Sarekat Islam ada dalam Korver (1982, Bab
VII) dan analisis terhadap komposisi sosial pemimpin dan keanggotaannya ada
dalam Bab VIII.
10 Konflik di cabang-cabang lokal, juga
antara pengurus pusat dan lokal dijelaskan dalam Kartodirdjo et. al. (1975).
Tentang munculnya Sarekat Abang di Jambi, Sumatra Selatan, lihat Muttalib
(1981).
11 Permai, sayap politik gerakan kebatinan
Perjalanan, sangat berpengaruh di kalangan para buruh petani di Jawa Barat dan
Jawa Timur. Gerakan abangan-lah yang menjadi salah satu protagonis dalam
Geertz (1959). Pengurus nasional, Rustama Kartawinata, adalah putra pendiri
karismatik gerakan ini.
12 Tarekat lokal lain yang
sering mendapat perhatian media selama masa Orde Baru dan lebih dicurigai
adalah Mufarridiyyah, yang berasal dari Sumatra Utara. Konon, tarekat ini
untuk menampung mantan ‘kaum komunis,’ akan tetapi tuduhannya berkaitan
terutama dengan fakta bahwa pendirinya mengklaim telah menerima ajaran
peribadatan ritual langsung dari dua malaikat, yang dengannya ia dan
murid-murid seniornya selalu mengadakan komunikasi. Lihat Effendi (1990b).
13
Tentang Naqsyabandiyah di Sumatra Barat, lihat van Bruinessen (1992, Bab VIII
dan X). Tentang Perti, lihat Latief (1988).
14 Nama
perkumpulan berubah beberapa kali, tetapi inisialnya tetap sama; ‘Partai’
berubah menjadi ‘Persatuan,’ dan P lainnya sebagai singkatan dari berbagai
makna seperti ‘pengikut’ atau ‘pembela.’ Tentang aktivitas Haji Jalaluddin,
lihat van
Bruinessen (2006); tentang sejarah PPTI
selanjutnya, lihat Effendi (1990a).
15 Konflik internal
dalam PPTI menjadi bidang studi Effendi (1990a) yang menarik.
16
Abdurrahman Wahid, cucu Hasjim Asj’ari, adalah ketua NU sejak 1984 sampai 1999
dan kemudian selama setahun setengah menjadi presiden ke-4 Indonesia yang tak
berpengaruh. Ketika koalisi kekuatan bersiap-siap menjatuhkannya, kelompok
seni bela diri yang berafiliasi dengan NU yang dipimpin para ahli kanuragan
mulai mengintimidasi kaum oposisi dan mempertahankan Wahid berkuasa dengan
menguasai jalan- jalan (van Bruinessen 2002: 34; de Grave 2001: 155-6).
17
AD/ART Jam‘iyyah hanya memberikan definisi yang tidak jelas tentang apa yang
dimaksud dengan mu‘tabar: mengikuti ahl as-sunnah wa al-jama‘ah dan mengikuti
salah satu dari mazhab fikih yang empat. Dalam percakapan, kriteria berikut
ini biasanya disebutkan: rangkaian sanad yang tak terputus dari Nabi, setia
kepada syariat dan menolak mistisisme monastik (wahdat al-wujud).
18
Ditolak oleh lingkungan NU, pendiri Siddiqiyyah, Kiai Mukhtar Mu‘thi, adalah
seorang yang pertama-tama berafiliasi dengan Golkar, yang melahirkan patronase
pemerintah dan peningkatan lebih jauh di kalangan pengikut abangan yang
mencari perlindungan.
19 Salah seorang pendirinya,
Idham Chalid, menceritakan kepada saya, ia menerima sebagai ketua perkumpulan
ini pada awal Orde Baru, ketika ia telah dibebani dengan tugas resmi lainnya,
atas permintaan ‘mereka yang berkuasa’, yang ingin ‘mengamankan’ tarekat yang
secara potensial sangat besar dengan pengikut massanya (wawancara di Jakarta,
22 dan 30 Januari 1990).
20 Seperti biasa, ada konflik
seputar penggantian kepemimpinan. Musta‘in bentrok dengan khalifah utama
ayahnya, Usman al-Ishaqi, yang mengklaim, mungkin benar, bahwa ia telah
dinominasikan sebagai pengganti yang sah. Namun, banyak cabang tarekat ini
yang memilih Musta‘in sebagai syekh
tertingginya, dan
Musta‘in berhasil membangun lusinan cabang lokal baru. Usman al-Ishaqi dan
kemudian putranya Asrori terus memimpin atas jaringan cabang lokal yang juga
sangat luas.
21 Secara formal, ini adalah muktamar ke-5
Jam‘iyyah, tetapi yang pertama yang tentangnya dokumen tertulis tersedia,
sebuah buku kecil 87 halaman yang berisi sambutan, AD/ ART Jam‘iyyah yang
diadopsi oleh muktamar, dan ringkasan pembahasan tentang masalah-masalah agama
(Thoriqot Mu‘tabaroh 1977). Kiai Musta‘in adalah ketua OC dan menyampaikan
salah satu sambutan pembukaan; muktamar memilihnya sebagai ketua Jam‘iyyah.
22
Guru tarekat yang lebih muda dan kurang berpengaruh, yang pada masa mudanya
telah belajar di Pesantren Rejoso dan saat saya wawancarai di Madura pada 1988
menceritakan kepada saya bahwa menjelang pemilihan umum 1982 ia telah
berkonsultasi dengan Kiai Musta‘in apakah ia juga harus bergabung dengan
Golkar. Musta‘in menyarankan sebaliknya, dengan mengatakan ‘Saya bergabung
dengan Golkar dalam rangka mewarnainya; tetapi Anda tidak cukup kuat, dan itu
justru akan mewarnai Anda.’
23 Seperti pengamatan dan
wawancara saya sendiri, sebagian berutang kepada Lombard (1985: 154-7) dan
Dhofier (1999) (semula disertasi PhD yang diajukan ke ANU pada 1980).
Pertentangan politik dalam NU dan strategi untuk menghancur- kan pengaruh
Musta‘in dijelaskan secara agak terperinci dalam van Bruinessen (1994b:
169-80). Perkembangan selanjutnya dianalisis dalam Sujuthi (2001).
24
Debat dan konflik seputar keputusan ini menjadi bidang kajian van
Bruinessen (1994e).
25 Data kuantitatif yang jarang
tentang penyebaran Qadiriyyah wa-Naqsyabandiyah ke lingkungan urban (di dua
daerah) diberikan dalam Howell dkk. (1998); lihat juga Howell (2001).
Pengamatan yang jelas tentang kecenderungan terhadap ortodoksi di Suryalaya
dan relasi eratnya dengan pemerintah dilakukan dalam tulisan awal yang bagus,
tetapi tidak banyak
diketahui, oleh Soebardi (1978). Sebuah
tinjauan yang bagus atas penyebaran tarekat ini dari Suryalaya diberikan oleh
Mulyati (2004).
26 Tentang studi yang menarik mengenai
kultus abangan seputar wali, yang dalam ajarannya kita tidak menemukan unsur
Islam sama sekali, lihat Suwandi (2000). Banyak guru abangan dan kebatinan
mengklaim memiliki hubungan khusus dengan wali sanga yang dibahas
nanti. Lihat, misalnya, Howell (1976).
27 Geertz (1986)
memilih Sunan Kalijaga untuk mencontohkan apa yang disebutnya gaya Islam Jawa
klasik.
28 Ada sejumlah wali belakangan yang biografi
legendarisnya menyuarakan Siti Jenar (lihat Feener 1998) dan sejumlah mistikus
yang lebih mutakhir telah menyamai ucapan dan tindakan yang dinisbatkan kepada
Siti Jenar.
29 Saya mengunjungi makam ini tidak lama
setelah wafatnya Gus Mik dan, yang mengherankan saya, ternyata Kiai Ahmad
Siddiq (yang tinggal ratusan kilometer jauh ke timur) juga dimakamkan di situ,
bersama orang ketiga, yang tampaknya seorang hafizh. Hanya beberapa peziarah
yang mengunjungi makam ini pada saat itu.
30
Perbincangan pribadi. Pada 1992-93 angkatan bersenjata bertengkar keras dengan
Suharto tentang komposisi kabinet untuk masa lima tahun mendatang. Militer
berhasil memaksakan Jenderal Try Sutrisno sebagai wakil presiden, tetapi
jenderal yang sangat berpengaruh sebelumnya, Benny Moerdani, tidak kembali ke
kabinet, yang untuk pertama kali berwarna ‘ijo royo-royo’ (Islami). Salah satu
penjelasan yang diberikan teman seorang dekat tentang kematian Gus Mik
menyebutkan sebabnya dalam perjuangan di alam roh.
31
Pengamatan ini didasarkan pada sejumlah percakapan yang saya lakukan
bertahun-tahun dengan Abdurrahman Wahid, saudara lelakinya Hasyim Wahid dan
tokoh lain NU, dan sejumlah pertemuan dengan Mbah Lim. Sayangnya, saya tidak
pernah bertemu langsung dengan Gus Mik. Supranatural lebih banyak
mengintervensi setelah masa kepresidenan
Abdurrahman Wahid
ketimbang masa-masa sebelumnya; lihat van Bruinessen (2002).
32
Mustofa Bisri menulis kata pengantar bagi biografi wali ortodoks, Kiai Hamid
Pasuruan (Ahmad 2001), di mana ia mempertentangkan wali sejati dengan sejumlah
wali lain (wali tiban, ‘wali siap jadi’) yang banyak terdengar dalam tahun-
tahun yang lalu.
33 Saya telah menulis panjang lebar
tentang Kadirun Yahya dalam van Bruinessen (1992, Bab XI) dan van Bruinessen
(2008).
SUMBER TULISAN
Bagian I. Jaringan Ulama dan Dampak Transnasionalisme
•
“Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji”. Pertama
kali diterbitkan di Ulumul Qur’an, Vol. II, No. 5, 1990.
•
“Ulama Kurdi dan Murid Indonesia Mereka”. Diterjemahkan dari “Kurdish ‘ulama
and their Indonesian students”, dalam: De Turcicis Aiisque Rebus: Commentarii
Henry Hofman Dedicati. Utrecht: Instituut voor Oosterse Talen en Culturen ,
1992, hlm. 205-227.
• “Dimensi Global dan Lokal Islam
di Indonesia”. Diterjemahkan dari “Global and local in Indonesian Islam”,
Southeast Asian Studies (Kyoto), Vol. 37, 1999. Tulisan ini diterbitkan untuk
pertama kali dalam bahasa Indonesia.
Bagian II. Pendidikan Islam
Tradisional di Indonesia
• “Pesantren dan Kitab Kuning:
Kesinambungan dan Perkem- bangan dalam Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia”.
Makalah yang disampaikan pada seminar internasional “Tradisi-tradisi Tekstual
di Asia Tenggara” di Bern, Swiss, Juli 1989. Teks ini merupakan perbaikan
terjemahan Indonesia yang pernah dimuat di jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No.
4, 1992.
• “Kitab Fiqih di Pesantren
Indonesia dan Malaysia”. Pernah dimuat di majalah Pesantren, Vol. VI, No. 1,
1989.
• “Kitab Kuning: Buku-buku Berhuruf Arab yang
Dipergunakan di Lingkungan Pesantren”. Diterjemahkan dari “Kitab Kuning: Books
in Arabic script used in the pesantren milieu”, Bijdragen tot de Taal-,
Land-en Volkenkunde 146, 1990.
• “Kitab Kuning dan
Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning”. Makalah disampaikan pada Seminar
“Wanita dan Islam dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual”, Jakarta 1-5 Desember
1991 (INIS-Departemen Agama).
Bagian III: Tarekat-tarekat dan
Perkembangannya di Indonesia
• “Asal-usul dan
Perkembangan Tarekat di Nusantara”. Ditulis khusus untuk buku ini.
•
“Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syaikh Abdul Qadir Jilani di India, Kurdistan dan
Indonesia”. Pernah dimuat di jurnal Ulumul Qur’an, Vol. II, No. 2, 1989.
•
“Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra, dan Jamaluddin al- Akbar: Jejak-jejak
Pengaruh Tarekat Kubrawiyah terhadap Islam Indonesia Masa Awal”. Diterjemahkan
dari “Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of
Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam”, Bijdragen tot de Taal-,
Land-en Volkenkunde, vol. 150, 1994.
• “Qadhi, Tarekat,
dan Pesantren: Tiga Lembaga Keagamaan di Banten pada Zaman Kesultanan”.
Diterjemahkan dari “Shari’a Court, Tarekat and Pesantren: Religious
Institutions in the Banten Sultanate”, Majalah Archipel (Paris), No. 47,
1994.
• “Studi Tasawuf pada Akhir Abad Kedelapan Belas:
‘Abd as- Samad al-Falimbani, Nafis al-Banjari, dan Tarekat Sammaniyah”.
Makalah ditulis khusus untuk melengkapi kumpulan ini.
•
“Tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan”. Diterjemahkan dari “The Tariqa
Khalwatiya in South Celebes”. Dalam Harry
A. Poeze
& Pim Schoorl (editor), Excursies in Celebes, Een
Bundel
Bijdragen bij het Afscheid van J. Noorduyn. Leiden: KITLV Uitgeverij, 1991,
hlm. 251-269.
• “Tarekat dan Guru Tarekat dalam
Masyarakat Madura”. Diterjemahkan dari “Tarekat and tarekat teachers in
Madurese society”. Dalam Huub de Jonge, Kees van Dijk, dan Elly Touwen-Bouwsma
(editor), Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society, Leiden:
KITLV Press, 1995, hlm. 91-117.
• “Tarekat dan Politik:
Amalan untuk Dunia atau Akhirat?” Pernah dimuat dalam majalah Pesantren, Vol.
IX, No. 1, 1992.
• “Wali, Politisi dan Birokrat Sufi:
Antara Tasawwuf dan Politik Masa Orde Baru di Indonesia”. Pernah dimuat dengan
judul sama dalam Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell (editor), Urban
Sufism, Jakarta: Rajawali, 2008. Diterjemahkan dari “Saints, Politicians and
Sufi Bureaucrats: Mysticism and Politics in Indonesia’s New Order’.
Dalam Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell (editor), Sufism and the
‘Modern’ in Islam, London: I.B.Tauris, 2007, hlm. 92-112.
DAFTAR PUSTAKA
Abaza, Mona. 1994. Indonesian Students in Cairo. Paris: Cahiers
d’Archipel.
‘Abbas, K.H. Sirajuddin. 1975. Ulama Syafi’i dan
Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
‘Abd
al-Jabbar, ‘Umar. 1385/1965-6. Siyar wa Tarajim Ba’dh ‘Ulama’ina Fi al-Qarn
al-Rabi’ ‘Asyar Li al-Hijrah. Makkah: Mu’assasah Makkah li al-Taba’ah wa
al-I’lam.
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. 1981. Kisah Pelayaran Abdullah
ke Kelantan dan ke Judah. Diberi Pengenalen dan Anotasi oleh Kassim Ahmad.
Kuala Lumpur: Fajar Bakti.
Abdullah, Hawash [H.W. Muhd. Shaghir
Abdullah]. 1980. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara.
Surabaya: al-Ikhlas.
Abdullah, H.W. Muhd. Shaghir. 1982. Syekh Muhd.
Arsyad al- Banjary, Matahari Islam. Mempawah, Kalimantan Barat: Pondok
Al-Fathanah (diterbitkan kembali dengan judul Syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah,
1990).
. 1985. Perkembangan Ilmu Fiqih dan
Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara (I). Solo: Ramadhani.
. 1985. Syeikh Ismail al-Minangkabawi: Penyiar Thariqat Naqsyabandiyah
Khalidiyah. Solo: Ramadhani.
. 1987.
Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani: Penulis Islam Produktif Asia Tenggara.
Solo: Ramadhani.
.1989. Katalog Pameran
Manuskrip Melayu. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
. 1991. Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara. 2 jilid.
Kuala Lumpur:
Khazanah Fathaniyah.
Abdullah, Taufik. 1971. Schools and Politics: The
Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Ithaca, NY: Cornell Modern
Indonesia Project.
Abd. Rahman, Mat Sa’ad. Penulisan Fiqh al-Shafi’i:
Pertumbuhan dan Perkembangannya. Shah Alam/Kuala Lumpur: Hizbi.
Abdul
Rahman Haji Abdullah. 1990. Pemikiran Umat Islam di Nusantara: Sejarah dan
Perkembangannya Hingga Abad ke-19. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abdurrahman,
Moeslim. 1978. “Sufisme di Kediri”. Dalam: Sufisme di Indonesia [Dialog, edisi
khusus]
. 1981. “Mengenal Ciri Pesantren di Jawa
Timur: Ke Arah Menyusun Tipologi”. Dalam: Pesantren: Profil Kyai, Pesantren
dan Madrasah [Warta-PDIA no. 2]. Jakarta: Badan Litbang Agama.
. 1988. “Tijaniyah, Tarekat yang Dipersoalkan?” Pesantren
V no. 4.
. 1990. “Die Tijaniyya in Indonesien: Orthodox oder Häretisch?” Dalam: Werner
Kraus (editor), Islamische Mystische Bruderschaften im Heutigen Indonesien.
Hamburg: Institut fur Asienkunde.
Aboebakar, H. 1957. Sedjarah Hidup
K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar. Djakarta: Panitya Buku Peringatan
Alm. K.H.A. Wahid Hasjim.
Abu Daudi. 1980. Maulana Syekh Moh. Arsyad
al-Banjari (Tuan Haji Besar). Dalampagar, Martapura: Madrasah Sullamul
‘Ulum.
Abu Hamid. 1983. “Sistem Pendidikan Madrasah dan
Pesantren di Sulawesi Selatan”. Dalam: Taufik Abdullah (editor), Agama dan
Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali.
Abun-Nasr, Jamil M. 1965. The
Tijaniyya: A Sufi Order in the Modern World. London Oxford University
Press.
Al-Ahdal, ‘Abd ar-Rahman b. Sulaiman. 1979. Al-Nafs al-Yamani.
Shana’a: Markaz ad-Dirasat wa al-Abhats al-Yamaniyah.
Ahmad, Mohammad
Akhlaq. 1985. Traditional education Among Muslims: A Study of Some Aspects in
Modern India. Delhi:
B.R. Publishing Corporation.
Ahmad, Mohiuddin.
1975. Saiyid Ahmad Shahid: His Life and Mission. Lucknow: Academy of Islamic
Research and Publications.
Akkeren, Philippus van. 1951. “Een Gedrocht en
Toch de Volmaakte Mens: De Javaanse Suluk Gatolotjo”. Disertasi, Utrecht.
Alatas,
Syed Farid. 1985. “Notes on Various Theories Regarding the Islamization of the
Malay Archipelago”. The Muslim World 75.
Algar, Hamid. 1980. “Kubra”.
Dalam Encyclopaedia of Islam, vol.
V.
Alfian. 1971. Hasil Pemilihan
Umum 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakyat. Djakarta: LEKNAS.
Alhinduan,
K.H.S. Muhsin Aly.
1976. “Mustika Thariqat Naqsyabandiyah
Muzhariyah”. Stensilan. Ujung Pandang.
Amidjaja, Rosad, dkk. 1985. Pola
Kehidupan Santri Pesantren Buntet Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura
Kabupaten Cirebon. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Amin A.R.,
M. 1983. ”Studi Tentang Sistim Da’wah Tarekat Khalwatiyah Samman dalam
Masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang”. Skripsi Sarjana, Fak. Ushuluddin,
IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Andaya, Leonard Y. 1981. The
Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the
Seventeenth Century. The Hague: Martinus Nijhoff.
Anderson, Benedict.
1981-2. “The Suluk Gatoloco”. Indonesia No.
32 (Oktober 1981), No. 33
(April 1982)
Anonim. 1888. Register Betreffende de Vrijstellingen Welke
Door de Bevolking der Perdikan-, Pakoentjen- en Midjen-Desa’s Worden Genoten,
en de Diensten en Leveringen, Waartoe Zij Verplicht is. Batavia:
Landsdrukkerij.
Arberry, A.J. 1950. Sufism. London: t.p.
Arminjon,
Pierre. 1907. L’Enseignement, la Doctrine et la Vie dans les Universités
d’Egypte. Paris: Felix Alcan.
Asmoro, Wirjo. 1926. “Iets over de ‘Adat’
der Madoereezen”.
Djawa 6.
Atay, Huseyin. 1983. Osmanlilarda Yuksek
Din Egitimi: Medrese Programlari, Icazet-nameler, Islahat hareketleri.
Istanbul: Dergah.
Atjeh, H. Aboebakar. 1984. Pengantar Sejarah Sufi &
Tasawuf.
Cet. II. Solo: Ramadhani.
Al-‘Attas, ‘Ali b. Husain b.
Muhammad b. Husain b. Ja’far. 1979. Taj Al’Aras Fi Manaqib al-Habib al-Quthb
Salih Ibn “Abdallah al-’Aththas. 2 jilid. Kudus: Menara.
Al-Attas, Syed
Muhammad Naquib. 1970. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur:
University of Malaya Press.
. 1986. A Commentary
on the Hujjat as-Siddiq of Nur ad- Din ar-Raniri. Kuala Lumpur: Ministry of
Culture.
. 1988. The Oldest Known Malay
Manuscript: A 16th Century Translation of the ‘Aqa’id of an-Nasafi. Kuala
Lumpur: University of Malaya.
Al-Azmeh, Aziz. 1986. Arabic Thought and
Islamic Societies.
London: Croom Helm.
Azra, Azyumardi.
1992. “Ulama Indonesia di Haramayn: Pasang dan Surutnya Sebuah Wacana
Intelektual”. Ulumul Qur’an vol. III, no. 3.
.
1992. The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle
Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries. Disertasi, Columbia University, New York.
Baldick, Julian.
1989. Mystical Islam. London: I.B. Tauris & Co.
Baljon, J.M.S. 1986.
Religion and Thought of Shah Wali Allah Dihlawi, 1703-1762. Leiden: Brill.
Baltaci,
Cahid. 1976. XV-XVI. Asirlarda Osmanli Medreseleri: Teskilat, Tarih.
Istanbul.
Al-Banjari, Muhammad Nafis b. Idris. t.t. ad-Durr an-Nafis fi
Bayan Wahdah al-Af’al wa al-Asma’ wa al-Shifat wa al- Dzat. Surabaya:
Al-Saqqafiyah.
Al-Baqir, Muhammad. 1986. “Pengantar Tentang Kaum
Alawiyin”. Dalam: Allamah Sayid Abdullah Haddadd, Thariqah Menuju Kebahagiaan.
Bandung: Mizan.
Al-Barr, Zubair b. ‘Umar. 1409. Tsamarah al-Raudhah al-
Shahiyyah Li Thalabah al-‘Ilm Min al-Indunisiyyah bi Makkah al-Mahmiyyah.
Lirboyo, Kediri.
Basang, Djirong. 1981. Riwayat Syekh Yusuf dan Kisah I
Makkutaknang dengan Mannuntungi. Jakarta: Dep. P dan K,
Proyek Penerbitan Buku Satra Indonesia dan Daerah.
Behrend, T.E. 1987.
The Serat Jatiswara. Structure and Change in a Javanese Poem, 1600-1930.
Disertasi, Australian National University, Canberra.
Berg, L.W.C. van
den. 1882. “De Mohammedaansche Geestelijkheid en de Geestelijke Goederen op
Java en Madoera”. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 27.
. 1886. Het Mohammedaansche Godsdienstonderwijs op Java en Madoera en de
Daarbij Gebruikte Arabische
Boeken. Tijdschrift
voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 31.
. 1886. Le Hadramout et les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien. Batavia:
Imprimerie du Gouvernement.
Bidlisi, Syaraf Khan. 1343/1964. Syarafnamah:
Tarikh-i Mufassal-i Akrad. Disusun oleh M. ‘Ali ‘Auni, Pengantar Muhammad
‘Abbasi. Tehran: Mu’assasah-yi Mathbu’ati-yi ‘Ilmi.
Bouvier, Helene.
1989. “Musik dan Seni Pertunjukan di Kabupaten Sumenep”. Dalam: Huub de Jonge
(editor), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner tentang
Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali.
Bouyges, Maurice. 1959. Essai de
Chronologie des Oeuvres de Al- Ghazali (Algazel). Beyrouth: Imprimerie
Catholique.
Brandel-Syrier, Mia. 1960. The Religious Duties of Islam as
Taught and Explained by Abu Bakr Effendi. Leiden: Brill.
Brandes, J.L.A.
& Rinkes, D.A. 1911. Babad Tjerbon [Verhandelingen van het Bataviaasch
Genootschap, 59]. Batavia: Albrecht
& Co. ‘s Hage: M. Nijhoff.
Braune,
W. 1960. “Abd al-Kadir al-Djilani”. Encyclopaedia of Islam
I.
Brockelmann,
Carl. 1937-1947. Geschichte der Arabischen Literatur I-II, Zweite den
Supplementsbänden Angepasste Auflage. Leiden: Brill, 1943-1947;
Supplementsbände I-III. Leiden: Brill, 1937-1942 (disingkat GAL dan GAL S).
Bruinessen,
Martin van. 1987. “Bukankah Orang Kurdi yang Mengislamkan Indonesia?”
Pesantren No. 4/Vol. IV.
. 1988. “De Tarekat in
Indonesië: Tussen Rebellie en Aanpassing”. Dalam: C. van Dijk (ed.), Islam en
Politiek in Indonesie. Muiderberg: Coutinho.
.
1989. “Penggunaan Kitab Fiqh di Pesantren Indonesia dan Malaysia”. Pesantren
No. 1/Vol. VI.
. 1989. “Tarekat
Qadiriyah dan Ilmu Syeikh Abdul Qadir Jilani di India, Kurdistan dan
Indonesia”. Ulumul Qur’an vol. 2 No. 2.
. 1990.
“The Origins and Development of the Naqshbandi Order in Indonesia”. Der Islam
67.
. 1990. “The Naqshbandi Order in 17th
Century Kurdistan”. Dalam: Marc Gaborieau, Alexandre Popovic & Thierry
Zarcone (editor), Naqshbandis: Cheminements et Situation Actuelle d’un Ordre
Mystique Musulman. Editions Isis. Istanbul/Paris.
. 1990. “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu”.
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146.
. 1991. “The 28th Congress of the Nahdlatul Ulama: Power Struggle and Social
Concerns”. Archipel 41.
. 1991. “The Tariqa
Khalwatiyya in South Celebes”. Dalam: Harry A. Poeze & Pim Schoorl
(editor), Excursies in Celebes. Leiden: KITLV Press.
. 1992. Agha, Shaikh and State: The Social and Political Structures of
Kurdistan. London: Zed Books.
. 1992. Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.
.
1992. “Pesantren dan Kitab Kuning: Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi
Pesantren”. Ulumul Qur’an vol. III, no. 4.
.
1992 “Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akhirat?”. Pesantren Vol.
IX, No. 1.
. 1994. “Shari’a Court, tarekat and
Pesantren: Religious Institutions in the Banten Sultanate”. Archipel 47.
. 1994. “Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of
Kubrawiyya Influence in Early Indonesian Islam”. Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde 150.
. 1994. “Yahudi
Sebagai Simbol dalam Wacana Islam Indonesia Masa Kini”. Dalam: Spiritualitas
Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Dian/Interfidei.
. 1994. “The Origins and Development of Sufi Orders (Tarekat) in Southeast
Asia”, Studia Islamika – Indonesia Journal for Islamic Studies, 1(1).
. 1994. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta:
LKiS.
. 1996. “Islamic State or State Islam?
Fifty Years of State- Islam Relations in Indonesia”. Dalam: Ingrid Wessel
(editor), Indonesien am Ende des 20. Jahrhunderts. Hamburg: Abera-Verlag.
. 1999. “Controversies and Polemics Involving Sufi Orders in
Twentieth-century Indonesia”. Dalam: Frederick de Jong
dan Bernd Radtke (editor), Islamic Mysticism Contested: Thirteen Centuries of
Controversies and Polemics Leiden: Brill.
.
2002. “Back to Situbondo? Nahdlatul Ulama Attitudes towards Abdurrahman
Wahid’s Presidency and His Fall”. Dalam Henk Schulte Nordholt dan Irwan
Abdullah (editor), Indonesia: In Search of Transition. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
. 2008. “After the Days of Abu Qubays:
Indonesian Transformations of the Naqshbandiyyah Khalidiyyah”, Journal of the
History of Sufism, 5.
Budiman, Amen. 1978. Semarang Riwayatmu Dulu. Jilid
I. Semarang: Tanjung Sari.
Calverley, Edwin E. 1933. “Al-Abhari’s
‘Isaghuji Fi’l-Manthiq”. Dalam: The Macdonald Presentation Volume. Princeton
University Press.
Castles, Lance. 1965. “Notes on the Islamic school at
Gontor”.
Indonesia no. 1.
Cense, A.A. 1950. “De Verering
van Sjaich Jusuf in Zuid- Celebes”. Dalam: Bingkisan Budi: Een Bundel
Opstellen (Aangeboden) aan Dr. Ph.S. van Ronkel. Leiden: Sijthoff.
Chaidar.
1978. Sejarah Pujangga Islam Syech Nawawi Albanteni
Indonesia. Jakarta:
CV. Sarana Utama.
Chijs, J.A. van der. 1864. “Bijdragen tot de
Geschiedenis van het Inlandsch Onderwijs”. Tijdschrift voor Indische Taal-,
Land- en Volkenkunde 14.
Chittick, William C. 1989. The Sufi Path of
Knowledge. Ibn Al- ‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany, NY: State
University of New York Press.
Corbin, Henri. 1978. The Man of Light in
Iranian Sufism. Boulder
& London: Shambhala.
Danuwijoto, H.W.
1977. “Ky. Saleh Darat Semarang: Ulama Besar dan Pujangga Sesudah Pakubuwono
Ke-14”. Mimbar Ulama No. 17.
Daudy, Abu. 1980. Maulana Syekh Moh. Arsyad
al-Banjary (Tuan Haji Besar). Dalam Pagar, Martapura: Madrasah Sullamul
‘Ulum.
Daudy, Ahmad. 1983. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nuruddin ar-Raniri. Jakarta: Rajawali.
Departemen Agama. 1977.
Buku-buku yang Dipergunakan di Pondok Pesantren. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama, Departemen Agama R.I.
. 1978/1979. Laporan Penulisan Biografi Tokoh Islam di Indonesia. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama, Departemen Agama R.I.
. 1981/1982. Laporan Penelitian Penyusunan Bibliografii Beranotasi tentang
Kitab-kitab Karangan Ulama Indonesia di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Balai
Penelitian Lektur Keagamaan, Departemen Agama R.I.
. 1983/1984. Laporan Hasil Penelitian Lektur Agama dalam Bahasa Daerah Bugis
Makassar. Ujung Pandang:
Balai Penelitian Lektur Keagamaan,
Departemen Agama R.I.
Depont, O. & Coppolani, X. 1897. Les Confréries
Religieuses Musulmanes. Alger.
Deventer, M.I. van. 1886, 1887.
Geschiedenis der Nederlanders op Java. 2 jilid. Haarlem: H.D. Tjeenk
Willink.
DeWeese, Devin. 1988. “The Eclipse of the Kubraviyah in Central
Asia”. Iranian Studies 21.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren:
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Djajadiningrat,
Achmad. 1908. “Het Leven in een Pasantren”.
Tijdschrift voor het
Binnenlandsch Bestuur 34.
. 1936. Herinnneringen
van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat. Amsterdam-Batavia: G. Kolff
& Co.
Djajadiningrat, Hoesein. 1913. Critische Beschouwing van de
Sadjarah Banten. Haarlem: Johan Enschede en Zonen.
Djamas, Nurhayati.
1985. “Varian Keagamaan Orang Bugis- Makassar (Studi Kasus di Desa Timbusseng,
Gowa)”. Dalam: Mukhlis and Kathryn Robinson (editor), Agama dan Realitas
Sosial. Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Dohaish,
A.A. & Young, M.J.L. 1975. “An Unpublished Educational Document from the
Hijaz (A.H. 1299)”. Annali dell’Istituto Orientali di Napoli 35.
Drewes,
G.W.J. 1925. Drie Javaansche Goeroe’s. Hun Leven,
Onderricht en
Messiasprediking. Disertasi, Leiden.
. 1930.
“Sjamsi Tabriz in de Javaansche Hagiographie”. Tijdschrift voor Indische
Taal-, Land-, en Volkenkunde 70.
. 1954. Een
Javaanse Primbon uit de Zestiende Eeuw.
Leiden: Brill.
. 1955. Een 16e Eeuwse Vertaling van de Burda van al- Busiri (Arabisch
Lofdicht op Mohammad). ‘s Gravenhage: Nijhoff.
.
1966. “The Struggle between Javanism and Islam as Illustrated by the Serat
Dermagandul”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 122.
. 1968. “New Light on the Coming of Islam to Indonesia?” Bijdragen tot de
Taal-, Land-, en Volkenkunde 124.
. 1969. The
Admonitions of She Bari. The Hague: Nijhoff.
.
1971. “The Study of Arabic Grammar in Indonesia”. Acta Orientalia
Neerlandica.
. 1976. “Further Data Concerning
‘Abd as-Samad al- Palimbani”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
132.
. 1977. Directions for Travellers on the
Mystic Path. The Hague: Nijhoff.
. 1978. An
Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague: Nijhoff.
. 1992. “A Note on Muhammad Al-Samman, His Writings, and 19th Century
Sammaniyya Practices, Chiefly in Batavia, According to Written Data”. Archipel
43.
Drewes, G.W.J. & Poerbatjaraka. 1938. De Mirakelen van
Abdoelkadir Djaelani. Bandoeng: A.C. Nix & Co.
Drewes, G.W.J. &
brakel, L.F. 1986. The Poems of Hamzah Fansuri.
Dordrecht, Holland:
Foris.
Driyantono. 1987. “Pandangan dan Sikap Hidup Ulama di Madura Jawa
Timur”. Laporan penelitian tidak diterbitkan. Jakarta: LIPI.
Edel, Jan.
1938. Hikajat Hasanoeddin (disertasi, Utrecht). Meppel:
B.
ten Brink.
Edmonds, C.J. 1957. Kurds, Turks and Arabs. London: Oxford
University Press.
Eerdmans, A.J.A.F. t.t. “Algemeene
Geschiedenis van Celebes”.
Naskah, koleksi KITLV No. H 817.
Effendi,
Djohan. 1990. “PPTI: Eine Konfliktreiche Tarekat- Organisation”. Dalam: Werner
Kraus (editor), Islamische Mystische Bruderschaften im Heutigen Indonesien.
Hamburg: Institut fur Asienkunde.
. 1990. “Uber
Nichtorthodoxe und Synkretistische Bruderschaften im Gegenwartigen
Indonesien”. Dalam: Werner Kraus (editor) Islamische Mystische Bruderschaften
im Heutigen Indonesien. Hamburg: Institut fur Asienkunde.
Eickelman, Dale
F. 1978. “The Art of Memory: Islamic Education and its Social Reproduction”.
Comparative Studies in Society and History 20.
Elias, Jamal J. 1993. “A
Kubrawi Treatise on Mystical Visions: The Risala-yi Nuriyya of ‘Ala’ Ad-Dawla
As-Simnani”. The Muslim World 83.
Enayat, Hamid. 1982. Modern Islamic
Political Thought. London: Macmillan.
Evans-Pritchard, E.E. 1949. The
Sanusi of Cyrenaica. Oxford University Press.
Evliya Celebi. 1935.
Seyahatnamesi. Jilid IX. Istanbul: Devlet Matbaasi.
Al-Fadani, Muhammad
Yasin b. Muhammad ‘Isa. 1401H. Al-‘Iqd al- Farid Min Jawahir al-Asanid.
Surabaya: Dar as-Saqqaf.
.
1402H. Al-Ittihaf al-Mustafid Bi-Ghurar
al-Asanid.
Jakarta: Attahiriyah.
Al-Falimbani, ‘Abd as-Samad. t.t.
Sair as-Salikin. 4 juz’. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah Indonesia.
Al-Falimbani,
Muhammad Mukhtar ad-Din b. Zain al-‘Abidin. t.t. Bulugh al-Amani Fi al-Ta’rif
Bi-Syuyukh wa Asanid Musnid al-‘Ashr
al-Syaikh Muhammad Yasin Bin
Muhammab
‘Isa Al-Fadani Al-Makki. Makkah: Dar Qutaibah.
Fathullah,
H.A. Fauzan. 1985. Alquthbul Maktuum Saiyidul Awliyaa Syeikh Ahmad Attijaniy
dan Thariqatnya Attijaniyah. Pasuruan: t.p.
Feener, R. Michael. 1998. “A
Re-examination of the Place of al- Hallaj in the Development of Southeast
Asian Islam”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 154.
Fokkens,
F. 1886. “Vrije Desa’s op Java en Madoera”. Tijdschrift voor Indische Taal-,
Land- en Volkenkunde 31.
Fox, James J. 1991. “Ziarah Visits to the Tombs
of the Wali, the Founders of Islam on Java”. Dalam: M.C. Ricklefs (editor),
Islam in the Indonesian Social Context. Clayton, Vict: Centre of Southeast
Asian Studies, Monash University.
Friedmann, Yohanan. 1971. Shaykh Ahmad
Sirhindi: An Outline of his Thought and a Study of his Image in the Eyes of
Posterity. Montreal dan London.
Geertz, Clifford. 1959. “Ritual and
Social Change: A Javanese Example”, American Anthropologist, 51.
. 1960. The Religion of Java. New York: The Free Press.
. 1968. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. New
Haven: Yale University Press.
Al-Ghazzi, Najmuddin. 1979. Al-Kawakib
al-Sa’irah Bi-A’yan al- Mi’ah al-‘Ashirah, editor Jibra’il Sulayman Jabbur. 3
jilid. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah.
Gibb, Hamilton. 1961. “Women and
the Law” Correspondance d’Orient No. 5 (Colloque sur la Sociologie Musulmane,
Actes, 11-14 Septembre 1961). Bruxelles.
Gobee, E. 1921. “Indrukken over
het Schoolwezen in de Hidjaz”. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde 60.
Goitein, S.D. 1960. “Banu Isra’il”. Dalam Encyclopaedia
of Islam, vol. I.
de Graaf, H.J. 1958. De regering van Sultan
Agung, Vorst van Mataram, 1630-1645, en Die van Zijn Voorganger, Panembahan
Seda-ing-Krapyak, 1601-1613. ‘s Gravenhage: Nijhoff.
de Graaf, H.J. &
Pigeaud, Th.G.Th. 1974. De Eerste Moslimse
Vorstendommen op Java. ‘s
Gravenhage: Nijhoff.
. 1984. Chinese Muslims in
Java in the 15th and 16th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon.
Clayton: Monash University (Monash papers on Southeast Asis no. 12).
Gramlich,
Richard. 1965. Die Schiitischen Derwischorden Persiens. Erster Teil: Die
Affiliationen. Wiesbaden: Franz Steiner Verlag.
Grandin, Nicole. 1985.
“Les Turuq au Soudan, dans la Corne de l’Afrique et en Afrique Orientale”.
Dalam: A. Popovic &
G. Veinstein (editor), Les Ordres Mystiques dans
l’Islam. Paris: EHESS.
Grave, Jean-Marc de. 2001. Initiation rituelle et
arts martiaux: Trois écoles de kanuragan Javanais. Paris: L’Harmattan.
Haan,
F. de. 1900. “Uit Oude Notarispapieren, I”. Tijdschrift voor Indische taal-,
Land- en Volkenkunde 42.
. 1912-14. Priangan. De
Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811. 4 jilid.
Batavia: Bataviaasch Genootschap.
Al-Haddad, Al-Sayyid ‘Alwi b. Thahir b.
‘Abdallah Al-Haddar (1403/1983). Al-Latha’if: Shadzara Ta’rikhiyya.
Pekalongan: H. Shaykhan b. Salim b. Yahya al-‘Alawi.
Hadidjaja, Tardjan
& Kamajaya (editor). 1979. Serat Centhini (Ensiklopedi
Kebudayaan Jawa) Dituturkan dalam Bahasa
Indonesia. Jilid I-B. Yogyakarta: U.P. Indonesia.
Hadisutjipto, S.Z.
(ed.). 1979. Babad Cirebon. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Proyek Penerbitan Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Hamidy,
UU. 1983. “Kegiatan Percetakan dan Penerbitan di Riau pada Abad Ke-19 dan Awal
Abad Ke-20”. Dalam: UU. Hamidy (editor), Riau sebagai Pusat Bahasa dan
Kebudayaan Melayu. Pekanbaru: Bumi Pustaka.
Hanifah, Abu. 1972. Tales of
a Revolution. Sydney: Angus & Robertson.
Harvey, Barbara Sillars.
1974. Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965. Ph. D. thesis,
Cornell University.
Hassan, Hamdan. 1990. Tarekat Ahmadiyah di Malaysia.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hassan, Kamal. 1980. Muslim
Intellectual Responses to New Order Modernization in Indonesia. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa.
Hassan, Riffat. 1990. “Teologi Perempuan dalam Tradisi
Islam: Sejajar di Hadapan Allah?” Ulumul Qur’an No. 4.
Hasyim, Umar.
1979. Sunan Giri dan Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton. Kudus: Menara.
Heer,
Nicholas. 1979. The Precious Pearl: Al-Jami’s Al-Durrah Al- Fakhirah Together
with His Glosses and the Commentary of ‘Abd Al-Ghafur Al-Lari. Albany, NY:
State University of New York Press.
Hefner, Robert W. 1985. Hindu
Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton University Press.
Helmy,
Musthafa. 1989. “Mahkota Muslimah yang Tertinggal”.
Pesantren No. 2, Vol.
VI.
Hermansoemantri, Enoch. 1984/1985. Babad Cirebon: Sebuah Garapan
Filologis. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
(Javanologi).
Heyworth-Dunne, J. 1938. An Introduction to the History of
Education in Modern Egypt. London: Luzac & Co.
Hodgson, Marshall G.S.
1974. The Venture of Islam. 3 jilid. The University of Chicago Press.
Hoffmann,
John. 1979. “A Foreign Investment: Indies Malay to 1901”. Indonesia 27.
Hourani,
Albert. 1962. Arabic Thought in the Liberal Age, 1789- 1939. Cambridge
University Press.
Howell, Julia Day. 1976. “Vehicles for the Kalki
Avatar: The Experiments of a Javanese Guru in Rationalizing Ecstatic
Religion”. Disertasi diajukan ke Stanford University.
. 2001. “Sufism and the Indonesian Islamic Revival”, The Journal of Asian
Studies, 60.
Howell, Julia Day, Subandi dan Nelson, Peter L. 1998
“Indonesian Sufism: Signs of Resurgence”. Dalam Peter B. Clarke (editor), New
Trends and Developments in the World of Islam. London: Luzac Oriental.
Ibn
Al-‘Imad Al-Hanbali, Abu‘l-Falah ‘Abd Al-Hayy. 1350-51 H. Syadzarat Al-Dzahab
Fi Akhbar Man Dzahab. 8 jilid. Cairo: Maktabah Al-Qudsi.
Ibrahimi, Mala
Sa’id. 1366/1988. “Zanayani Be Naw-u bang-i Kurd
… Ibnul Hajib”. Sirwah
(Urumiyah, Iran) No. 20.
Iqbal, Muhammad. 1990. Metafisika Persia. Suatu
Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Iskandar, T.
(editor). 1966. Nuru’d-din ar-Raniri, Bustanu’s- Salatin Bab II, Fasal 13.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Jacquet, F.G.P. 1980. “Mutiny en
Hadji-Ordonnantie: Ervaringen met 19e Eeuwse Bronnen”. Bijdragen tot de Taal-,
Land-, en Volkenkunde 136.
Jandra, Mifedwil. 1985-1986. Asmarakandi
(Sebuah Tinjauan dari Aspek Tasawuf). Yogyakarta: Dep. P dan K, Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Jam’iyyah
Ahl at-Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah. 1980. Al- Fuyudhat al-Rabbaniyah
fi Muqarrarat al-Mu’tamarat. Jombang.
Jansen, J.J.G. 1980.
The Interpretation of the Koran in the Modern Egypt. Leiden: Brill.
Jasper,
J.E. 1927. Tengger en de Tenggereezen. Weltevreden: Java Instituut en G. Kolff
& Zn.
Jay, Robert. 1957. Santri and Abangan: Religious Schism in
Rural
Central Java. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Johns,
Anthony H. 1955. “Daka’ik Al-Huruf by ‘Abd Al-Ra’uf of Singkel”. Journal of
the Royal Asiatic Society.
. 1957. “Malay Sufism
as Illustrated in an Anonymous Collection of 17th Century Tracts”. Journal of
the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 30, part 2.
. 1961. “The Role of Sufism in the Spread of Islam to Malaya and Indonesia”.
Journal of the Pakistan Historical Society 9.
.
1961. “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”. Journal of
Southeast Asian History 2/ii.
. 1965. The Gift
Addressed to the Spirit of the Prophet.
Canberra: ANU.
. 1975. “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”. Indonesia
19.
. 1978. “Friends in Grace, Ibrahim al-Kurani
and ‘Abd ar- Ra’uf as-Singkeli”. Dalam: S. Udin (editor), Spectrum. Essays
Presented to Sutan Takdir Alisjahbana. Jakarta: Dian Rakyat.
. 1984. “Islam in the Malay World. An Explanatory Survey with Some Reference
to Quranic Exegesis”. Dalam: Islam in Asia, vol. II: Southeast and East Asia
(editor) Raphael Israeli & Anthony H. Johns. Jerusalem: The Magnes
Press.
. 1988. “Quranic Exegesis in the Malay
World: In Search of a profile”. Dalam: Approaches to the History of the Qur’an
(ed.) Andrew Rippin. Oxford: Clarendon Press.
Jones, Sidney.
1981. “Arabic Instruction and Literacy in Javanese Muslim Schools”. Prisma,
The Indonesian Indicator no. 21.
Jong, F. de. 1978. “Khalwatiyya”. Dalam:
Encyclopaedia of Islam
(edisi ke-2), jilid IV.
Jonge, Huub de. 1988.
Handelaren en Handlangers. Ondernemerschap, Economische Ontwikkeling en Islam
op Madura. Dordrecht: Foris.
Jonge, J.K.J. de. 1873-78. Opkomst van het
Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, vol. IV-X. ‘s Gravenhage: Nijhoff.
Jordaan,
Roy E. 1985. Folk Medicine in Madura (Indonesia).
Disertasi, Leiden.
Junaidi,
Arifin. 1988. “Kiai Khalil: Misteri dari Bangkalan”. Amanah
No. 42,
(12-25 Pebruari), Supplement, pp. i-vii.
Juynboll, Th. W. 1925.
Handleiding tot de Kennis van de Mohammedaansche Wet Volgens de Leer der
sjafi’itische School. Leiden: Brill.
Kahhalah, ‘Umar Ridha. 1957-61.
Mu’jam al-Mu’allifin. Tarajim Mushannifi l-Kutub al-‘Arabiyah. 15 jilid.
Dimasyq.
Kahler, Hans. 1961. “Studien zur Arabisch-Afrikaanschen
Literatur”.
Der Islam 36.
Kartodirdjo, Sartono. 1966. The Peasant’s
Revolt of Banten in 1888.
The Hague: Nijhoff.
. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900.
Dari Emporium sampai
Imperium. Jakarta: Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono, dkk (editor). 1975.
Sarekat Islam Lokal.
Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Al-Kattani,
‘Abd al-Hayy b. ‘Abd al-Kabir. 1989. Fahras al-Faharis wa al-Atsbat
wa
Mu’jam al-Ma’ajim wa al-Masyakhat wa al-Musalsalat. 3 jilid.
Beirut: Dar
al-Gharb al-Islami.
Kats, J. (ed.). 1910. Sang Hyang
Kamahayanikan. Den Haag: Nijhoff.
Khalidi, Jusuf. 1968. Ulama Besar
Kalimantan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari 1122-1227H/1710-1812M. Surabaya:
Al-Ihsan.
Khan, Qamar ud-Din. 1979. Al-Mawardi’s Theory of the State.
Delhi:
Idarah-i Adabiyat-i Delli.
Al-Khani, ‘Abd Al-Majid. 1306. Al-Hada’iq
al-Wardiyyah Fi Haqa ‘iq Ajilla’ Al-Naqshbandiyyah. Kairo.
Kissling, Hans
Joachim. 1953. “Aus der Geschichte des Chalvetijje- Ordens”. Zeitschrift der
Deutschen Morgenlandischen Gesellschaft 103.
Koningsveld, Ph.S. van.
1989. Snouck Hurgronje dan Islam.
Jakarta: Girimukti Pasaka.
Korver,
A.P.E. (1982). Sarekat Islam 1912-1916, Opkomst, bloei en structuur van
Indonesie’s eerste massabeweging. Amsterdam: Historisch Seminarium van de
Universiteit van Amsterdam [terjemahan Indonesia: Sarekat Islam: Gerakan Ratu
Adil? Grafiti Pers, 1985].
Kosasi, Mohammed. 1938. “Pamidjahan en Zijne
Heiligdommen”. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 38.
Kroef,
Justus van der. 1954. “The Arab Minority”. Dalam: J. van der Kroef, Indonesia
in the Modern World, Part I. Bandung: Masa Baru.
Kraemer, H. 1921. Een
Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw.
Dissertation, Leiden.
Kraus,
Werner. 1984. Zwischen Reform und Rebellion. Wiesbaden: Franz Steiner
Verlag.
. (editor). 1980. Islamische mystische
Bruderschaften im heutigen Indonesien. Hamburg: Institut fur Asienkunde.
Kumar,
Ann. 1985. The Diary of a Javanese Muslim. Religion, Politics and the
Pesantren 1883-1886. Canberra: Faculty of Asian Studies, Australian National
University.
Kuntowijoyo. 1980. Social Change in an Agrarian Society:
Madura, 1850-1940. Disertasi, Columbia University, New York.
. 1989. “Agama Islam dan Politik: Gerakan-gerakan Sarekat Islam Lokal di
Madura, 1913-1920”. Dalam: Huub de Jonge (editor), Agama, Kebudayaan dan
Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Jakarta:
Rajawali.
Al-Kurani, Ibrahim b. Hasan. 1328. Al-Amam Li-Iqazh
al-Himam.
Haidarabad.
Landolt, Hermann. 1986. “Etude preliminaire”.
Dalam: Nuruddin Abdurrahman-i Isfarayini, Le Révélateur des Mystères (Kashif
Al-Asrar), Edisi teks dan terjemahan Perancis oleh H. Landolt. Lagrasse:
Editions Verdier.
Lane, Edward W. 1836. Manners and Customs of the Modern
Egyptians. London.
Laoust, Henri. 1939. Essai sur les Doctrines Sociales
et Politiques d’Ibn Taimiyya. Cairo.
Latief, Sanusi. 1988. “Gerakan Kaum
Tua di Minangkabau”.
Disertasi PhD diajukan ke IAIN, Jakarta.
Latief,
Sanusi (editor). 1981. Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera
Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.
Le Chatelier, A. 1887. Les
Confreries Musulmanes du Hedjaz. Paris.
Leur, J.C. van. 1955. Indonesian
Trade and Society. The Hague: Van Hoeve.
Liddle, R. William. 1996. “Media
Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New
Order Indonesia”. dalam: Mark R. Woodward (editor), Toward a New Paradigm:
Recent Developments in Indonesian
Islamic Thought. Arizona
State University, Program for Southeast Asian Studies.
Ligtvoet, A. 1880.
“Transcriptie van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tello met Vertaling en
Aanteekeningen”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 28.
Lofgren,
O. 1960. “Aydarus”. Dalam Encyclopaedia of Islam (edisi ke-2), jilid I.
. 1960. “Ba ‘Alawi”. Dalam Encyclopaedia of Islam (edisi ke-2) jilid I.
Lombard,
Denys. 1986. “Les Tarekat en Insulinde”. Dalam: A. Popovic and G. Veinstein
(eds), Les Ordes Mystiques dans l’Islam: Cheminements et Situation Actuelle.
Paris: Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales.
Macdonald, Duncan B.
1903. Development of Muslim Theology, Jurisprudence and constitutional Theory.
London: Routledge.
McDonald, Hamish. 1980. Suharto’s Indonesia.
Blackburn, Vict. (Aust): Fontana Books.
Madjid, Nurcholish. 1979. “Pondok
Pesantren ‘Darul Ulum’ di Rejoso, Peterongan, Jombang, Jawa Timur”. Bulletin
Proyek Penelitian Agama dan Perubahan Sosial (LEKNAS-LIPI), no. 6.
. (ed.). 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Mahayudin
Haji Yahaya. 1984. Sejarah Orang Syed di Padang.
Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Makdisi, George. 1981. The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: University
Press.
Mansur, H.M. Laily. 1982. Kitab ad-Durrun Nafis: Tinjauan atas
Suatu Ajaran Tasawuf. Banjarmasin: Hasanu.
Mansurnoor, Iik Arifin. 1987.
Ulama, Villagers and Change: Islam in Central Madura. Disertasi, McGill
University, Montreal.
Marcoes, Mustafsirah. 1984.
Perkembangan Tarekat Idrisiyyah di Pesantren Fathiyyah Pagendingan
Tasikmalaya. Skripsi Sarjana, Fak. Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
Marcoes, Lies M. 1992. “The Female Preacher as Mediator in
Religion: A Case Study in Jakarta and West Java”. Dalam: Sita van Bemmelen
dkk. (editor), Women and Mediation in Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Marcoes-Natsir,
Lies M. & Meuleman, Johan Hendrik (editor). 1993. Wanita Islam Indonesia
dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: INIS.
Mardukh Ruhani,
Baba. 1364-66. Tarikh-i Masyahir-i Kurd: ‘Urafa, ‘Ulama, Udaba, Syu’ara. 2
jilid. Tahran: Surusy.
Martawidjaja, Asep. 1930. Lajang
Moeslimin-Moeslimat. Bandoeng: Winkel “Masdjoe” (disusun kembali oleh Sudibjo
Z.H., dengan terjemahan Indonesia T.D. Sudjana: Muslimin dan Muslimat. 3
jilid. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indonesia dan Daerah, 1982).
Martin, B.G. 1972. “A Short History
of the Khalwati Order of Dervishes”. Dalam: Nikki R. Keddie (editor),
Scholars, Saints and Sufis: Muslim Religious Institutions in the Middle East
since 1500. Berkeley etc.: University of California Press.
Masyhuri.
1988. “Pandangan dan Sikap Hidup Ulama di Sumatera Selatan”. Laporan
Penelitian, IPSK-LIPI, Jakarta.
Mas’udi, Masdar F. 1985. “Mengenal
Pemikiran Kitab Kuning”. Dalam: M. Dawam Rahardjo (editor), Pergulatan Dunia
Pesantren: Membangun dari Bawah. Jakarta: P3M.
Matheson, Virginia &
Hooker, H.B. (1988). “Jawi Literature in Patani: The Maintenance of an Islamic
Tradition”. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 61
pt. 1.
Mattulada. 1983. “Islam di Sulawesi Selatan”. Dalam:
Taufik Abdullah (editor), Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali.
Meier,
Fritz. 1957. Die Fawa’ih Al-Gamal Wa-Fawatih Al-Galal des Nagm Ad-Din
Al-Kubra. Wiesbaden: Franz Steiner Verlag.
Meijer, J.J. 1890. “Proeve van
Zuid-Bantensche Poezie”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 39.
Meinsma,
J.J. (editor). 1941. Babad Tanah Djawi. ‘s Gravenhage: Nijhoff.
Mernissi,
Fatima. 1991. Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry. Oxford:
Basil Blackwell.
Metcalf, Barbara Daly. 1982. Islamic Revival in British
India: Deoband, 1860-1900. Princeton: Princeton University Press.
Meulen,
D. van der. 1941. “The Mecca Pilgrimage and Its Importance to the Netherlands
East Indies”. The Moslem World 31.
Meursinge, A. 1844. Handboek van het
Mohammedaansche Regt, in de Maleische Taal. Amsterdam: Muller.
Millie,
Julian Patrick. 2006. “Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic
Sanctity in West Java”. Tesis PhD diajukan ke Universiteit Leiden.
Milner,
A.C. 1983. “Islam and the Muslim State”. Dalam: M.B. Hooker (editor), Islam in
South-East Asia. Leiden: Brill.
Minorsky, V. 1943. “The Guran”. Bulletin
of the School of Oriental and African Studies 11.
Mirhan, H.D. 1983.
Tarekat Junaidy di Halong Dalam Agung Harnai. Sebuah Studi Perbandingan.
Skripsi, Fakultas Ushuluddin, IAIN Antasari, Banjarmasin.
Mole,
Marijan. 1961. “Les Kubrawiya entre Sunnisme et Shiisme aux Huitieme et
Neuvieme Siecles de l’Hegire”. Revue des Etudes Islamiques 29.
Monteil,
Vincent. 1970. Indonesie. Paris.
Mottahedeh, Roy. 1985. The Mantle of the
Prophet. Religion and Politics in Iran. New York: Simon and Schuster.
Al-Mudarris,
‘Abd al-Karim Muhammad. 1979. Yadi Mardan: Maulana Khalid Naqshbandi.
Baghdad.
. 1983. ‘Ulama’una
Fi Khidmah Al-‘Ilm wa Al-Din.
Baghdad.
Al-Muhibbi,
Muhammad. 1284/1867. Khulashah Al-Atsar Fi A’yan Al-Qarn Al-Tsani ‘Asyar. 4
jilid. Bulaq.
Mujeeb, M. 1967. The Indian Muslims. London: Allen &
Unwin.
Mukriyani, Husain Huzni. 1935. Mezyu-i Miran-i Soran. Rawandiz
(Iraq): Merkez-i Zar-e Kurmaji (cetakan ulang: Hewler (Arbil): Capkhanah-i
Kurdistan, 1962).
Muljana, Slamet. 1968. Runtuhnya Keradjaan-Keradjaan
Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara. Jakarta:
Bhratara.
Mulyati, Sri. 2004. “Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah:
Tarekat Temuan Tokoh Indonesia Asli”. Dalam: Sri Mulyati (editor),
Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Muttalib,
Jang A. 1981. “Social Movements in Jambi during the Early 20th Century”,
Prisma – The Indonesian Indicator, 22.
Al-Muradi, Muhammad Khalil. 1301
H. Silk Al-Durar Fi A’yan Al- Qarn Al-Tsani ‘Asyar. 4 jilid. Bulaq.
Muzakki
R., Makmun. 1990. Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten.
Skripsi Sarjana,
Fak. Sastra, Universitas Indonesia.
An-Na’im, Abdullahi
Ahmed. 1990. Towards an Islamic Reform: Civil Liberties, Human Rights and
International Law. Syracuse University Press.
El-Naksibendi, El-Hac
Mehmed Nuri Semsuddin. 1979. Tam Miftahul-kulub. Kalplerin Anahtari. Istanbul:
Salih Bilici Kitabevi.
Nasr, Seyyed Hossein. 1987. “The Traditional Texts
Used in the Persian Madrasahs”. Dalam: S.H. Nasr, Traditional Islam in the
Modern World. London: KPI.
Nicholson, Reynold A.
1921. Studies in Islamic Mysticism.
Cambridge:
University Press.
Nieuwenhuijze, C.A.O. van (1945. Samsu’l-Din van Pasai.
Leiden: Brill.
Nik Abdul Aziz Bin Haji Nik Hassan. 1977. Sejarah
Perkembangan ‘Ulama Kelantan; Sejarah Gerakan dan Perkembangan Alam Pemikiran
Islam di Jajahan Kota Bharu 1900- 1940. Kota Bharu: Pekatan Keluarga Tuan
Tabal.
Noer, Deliar. 1973. The Modernist Muslim Movement in Indonesia
1900-1942. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Nor bin Ngah, Mohd.
1980. “Some Writing of the Traditional Malay Muslim Scholars Found in
Malaysia”. Dalam: Khoo Kay Kim dkk. (editor). Tamadun Islam di Malaysia. Kuala
Lumpur: Persatuan Sejarah Malaysia.
. 1983.
Kitab Jawi: Islamic Thought of the Malay Muslim Scholars. Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies.
Ochsenwald, William. 1984. Religion, Society
and the State in Arabia. The Hijaz under Ottoman Control, 1840-1908. Columbus:
Ohio State University Press.
O’Fahey, R.S. 1990. Enigmatic Saint, Ahmad
Ibn Idris and the Idrisi Tradition. Evanston, Illinois: Northwestern
University Press.
O’Fahey, R.S.; Hofheinz, A., & Radtke,
Bernd. 1993. “The Khatmiyya Tradition”. Dalam: R.S. O’Fahey (editor), The
Writings of Eastern Sudanic Africa. Leiden: Brill.
O’Fahey, R.S. &
Bernd Radtke.1993. “Neo-Sufism Reconsidered”.
Der Islam 70.
Parlindungan,
Mangaradja Onggang. 1964. Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di
Tanah Batak 1816- 1833. Djakarta: Penerbit Tandjung Harapan.
Pigeaud,
Th.G.Th. 1929. “Afkondigingen van Soeltans van Banten voor Lampoeng” Djawa
9.
. 1967-70. Literature of Java. 3 jilid. The
Hague: Nijhoff.
Pijper, G.F. 1934. “De opkomst der Tidjaniyyah op Java”.
Dalam: G.F. Pijper, Fragmenta Islamica. Leiden: Brill. (terjemahan Indonesia:
“Timbulnya Tarekat Tijaniyah di Pulau Jawa”. Dalam: Fragmenta Islamica,
Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad
XX. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1987).
Plas, Ch.O. van der. 1931. “Les
relations entre les Pays-Bas et le Hidjaz”. Dalam: Grotius, Annuaire pour
l’annee 1931. La Haye: Nijhoff.
Plessis, I.D. du & C.A. Luckhoff
(1953). The Malay Quarter and Its People. Cape Town/Amsterdam: A.A.
Balkema.
Pleyte, C.M. 1910. Bantensch folklore, Tijdschrift voor Indische
Taal-, Land- en Volkenkunde 52.
Poensen, C. 1869. “Bijdragen tot de
Kennis van den Godsdienstigen en Zedelijken Toestand der Javanen”.
Mededeelingen van Wege het Nederlandsche Zendeling Genootschap 13.
. 1886. Brieven over den Islam uit de Binnenlanden van Java. Leiden: Brill.
. 1888. “Het Daboes van Santri-Soenda”. Mededeelingan van Wege het
Nederlandsche Zendeling Genootschap 32.
Powell, A.A. 1976.
“Maulana Rahmat Allah Kairanawi and Muslim- Christian Controversy in India in
the Mid-19th Century”. Journal of the Royal Asiatic Society.
Prasodjo,
Sudjoko, dkk. 1978. Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren
Al-Falak dan Delapan Pesantren lain di Bogor. Jakarta: LP3ES.
Prins, J.
1954. Adat en Islamitische Plichtenleer in Indonesië. Den Haag/ Bandoeng: W
van Hoeve.
Proudfoot, I. 1986. “A Formative Period in Malay Book
Publishing”. Journal of the Malay Branch of the Royal Asiatic Society 59.
Pudjiastuti,
Titik. 1991. Sajarah Banten: Edisi Kritik Teks. Tesis, Fak. Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta.
Purwadaksi, Ahmad. 1992. Ratib Samman dan
Hikayat Syekh Muhammad Samman. Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Qowa’id.
1992. “Tarekat Shiddiqiyyah: Antara Kekhusyukan dan Gerakan”. Pesantren Vol.
IX, No. 1.
Al-Qusyasyi, Safi Al-Din Ahmad b. Muhammad. 1327 H. Al-Smith
Al-Majid Fi Sya’n Al-Bay’ah wa Al-Dzikr wa Talqinih wa Salasil Ahl Al-Tawhid.
Haidarabad.
Quzwain, M. Chatib. 1985. Mengenal Allah. Suatu Studi
Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus-Samad Al-Palimbani. Jakarta: Bulan
Bintang.
Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java. Vol II.
London [dicetak ulang: Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1987].
Rahman,
Ahmad. t.t. “Sejarah Singkat Tarekat Khalwatiyah”.
Laporan penelitian
tidak diterbitkan.
Rahman, Fazlur. 1979. Islam. Edisi kedua. Chicago:
University of Chicago Press.
Razi, Najm Al-Din. 1982. The
Path of God’s Bondsmen from Origin to Return (Mersad Al-‘Ebad Men Al-Mabda’
Ela ‘l-Ma’ad). A Sufi Compendium. Translated from the Persian, with
Introduction and Annotation, by Hamid Algar. Delmar, NY: Caravan Books.
Reeve,
David. 1985. Golkar of Indonesia: An Alternative to the Party System.
Singapore: Oxford University Press.
Reid, Anthony. 1988. Southeast Asia
in the Age of Commerce 1450- 1680. Volume I: The Lands Below the Winds. New
Haven: Yale University Press.
Repp, Richard. 1972. “Some Observations on
the Development of the Ottoman Learned Hierarchy”. Dalam: Nikki R. Keddie
(editor), Scholars, Saints and Sufis: Muslim Religious Institutions Since
1500. Berkeley/Los Angeles: University of California Press.
. 1986. The Mufti of Istanbul. London: Ithaca Press.
Ricklefs, M.C. 1974.
Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749- 1792. A History of the Division of
Java. London: Oxford University Press.
. 1979.
“Six Centuries of Islamization in Java”. Dalam: Nehemia Levtzion (editor),
Conversion to Islam. New York: Holmes & Meier.
. 1981. A History of Modern Indonesia. C. 1300 to the Present. Houndmills,
Basingstoke: Macmillan.
. 1993. War, Culture and
Economy in Java, 1677-1726.
Sydney: Allen & Unwin.
Riddell,
Peter. 1984. “The Sources of ‘Abd Al-Ra’uf’s Tarjuman Al-Mustafid”. Journal of
the Malay Branch of the Royal Asiatic Society 57.
Rinkes, D.A. 1909.
Abdoerraoef van Singkel. Bijdrage tot de Kennis van de Mystiek op Sumatra en
Java. Disertasi, Universitas Leiden.
. 1910. “De Heiligen van Java, I. De Maqam van Sjech Abdoelmoehji”.
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 52.
. 1911. “De Heiligen van Java, II. Seh Siti Jenar voor de Inquisitie”.
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 53.
. 1911. “De Heiligen van Java, III. Soenan Geseng”. Tijdschrift voor Indische
Taal-, Land-, en Volkenkunde 53.
. 1911. “De
Heiligen van Java, IV. Ki Pandan Arang te Tembajat”. Tijdschrift voor Indische
Taal-, Land-, en Volkenkunde 53.
. 1912. “De
Heiligen van Java. V. pangeran Panggoeng, Zijne Honden en het Wajangspel”.
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 54.
. 1913. “De Heiligen van Java, VI. Het Garf te Pamlaten en de Hollandsche
Heerschappij”. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 55.
Rinn,
Louis. 1884. Marabouts et Khouan. Alger.
Ritter, Helmut. 1937-38.
“Philologika IX: Die vier Suhrawardi”. Der Islam vol. 24, 270-286; vol. 25,
35-86.
Rizvi, Saiyid Athar Abbas. 1978-83. A History of Sufism in India.
2 jilid. Delhi: Munshiram Manoharlal.
Robidé van der Aa, P.J.B.C. 1881.
“De groote Bantamsche opstand in het midden der vorige eeuw”. Bijdragen tot de
Taal-, Land-, en Volkenkunde 29.
Robson, S.O. 1981. “Java at the
Crossroad. Aspects of Javanese Cultural History in the 14th and 15th
Centuries”. Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 137.
Roff,
William R. 1970. “Indonesian and Malay Students in Cairo in the 1920’s”.
Indonesia no. 9.
. 1980. The Origins
of Malay Nationalism. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya.
van
Ronkel, Ph.S. 1896. “Account of Six Malay Manuscripts of the Cambridge
University Library”. Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 6e
volgreeks 2.
. 1913. Supplement to the Catalogue
of the Arabic Manuscripts Preserved in the Museum of the Batavia Society of
Arts and Sciences. Batavia: Albrecht/’s Gravenhage: Nijhoff.
. 1914. “Het Heiligdom te Oelakan”. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en
Volkenkunde 56.
Roorda, T. 1874. Kitab Toehpah, Een Javaansch Handboek
voor het Mohammedaansche Regt. Leiden: Brill.
Rouffaer, G.W. &
Ijzerman, J.W. (editor). 1915-1929. De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar
Oost-Indië onder Cornelis de Houtman (1595-1597). 3 jilid. ‘s Gravenhage:
Nijhoff.
Rovere van Breugel, J. de. 1856. “Bantam in 1786”. Bijdragen tot
de Taal-, Land, en Volkenkunde 5.
. 1856.
“Beschrijving van Bantam en de Lampongs”.
Bijdragen tot de Taal-, Land,
en Volkenkunde 5.
Santoso, Amir. 1980. The Ulamas as Political Elites: A
Case Study of the Madurese Ulamas. Tesis Master, Universiti Sains Malaysia,
Penang.
Santrie, Aliefya M. 1987. “Martabat (Alam) Tujuh: Suatu Naskah
Mistik Islam dari Desa Karang, Pamijahan”. Dalam: Hasan, Ahmad Rifa’i
(editor), Warisan Intelektual Islam Indonesia. Telaah atas Karya-Karya Klasik.
Bandung: Mizan.
Sarkis, Yousof Alian. 1928. Dictionary of Arabic Printed
Books from the Beginning of Arabic Printing Until the End of 1339 AH - 1919
AD. Kairo.
Schoorl, Pim. 1987. “Islam, Macht en Ontwikkeling
in het Sultanaat Buton”. Dalam: L.B. Venema (editor), Islam en Macht. Assen:
van Gorcum.
Schrieke, B.J.O. 1919. “Iets over het Perdikan-Instituut”.
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 58.
. 1919. “Aanteekeningen over Madura”. Naskah No. 885, KITLV, Leiden.
. 1921. “Bijdrage tot de Bibliografie van de Huidige Godsdienstige Beweging
ter Sumatra’s Westkust”. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en
Volkenkunde 59.
. 1973[1921]. Pergolakan Agama
di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara.
. 1975[1920]. “Keresidenan Madura”. Dalam: Sartono Kartodirdjo (editor),
Sarekat Islam Lokal. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Selms,
A. van. 1960. “The Manuscript and Its Author: Abu Bakr and Arabic-Afrikaans
Literature”. Dalam: M. Brandel- Syrer (editor), The Religious Duties of Islam
as Taught and Explained by Abu Bakr Effendi. Leiden: Brill.
. 1979. Abu Bakr Se “Uiteensetting Van Die Godsdiens”: ‘N Arabies-Afrikaanse
Teks Uit die Jaar 1869. Amsterdam: North-Hollad.
Serjeant, R.B. 1957. The
Saiyids of Hadramawt. London: School of Oriental and African Studies.
Shellabear,
William G. 1933. “A Malay Treatise on Popular Sufi Practices”. Dalam: The
MacDonald Presentation Volume. Princeton University Press.
Sidi Ali Reis.
1899. The Travels and Adventures of the Turkish Admiral Sidi Ali Reis in
India, Afghanistan, Central Asia and Persia, During the Years 1553-1556.
Translated from the Turkish, with Notes, by A. Vambery. London: Luzac
&
Co.
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita (Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati). Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Sivan, Emmanuel 1985. Radical Islam.
Medieval Theology and Modern Politics. New Haven: Yale University Press.
Sjamsuddin,
Helius. 1991. “Islam and Resistance in South and Central Kalimantan in the
Nineteenth and Early Twentieth Centuries”. Dalam: M.C. Ricklefs (editor),
Islam in the Indonesian Social Context. Clayton, Centre for Southeast Asian
Studies, Monash University.
Snouck, Hurgronje, C. 1883. “Een en Ander
over het Inlandsch Onderwijs in de Padangsche Bovenlanden”. Bijdragen tot de
Taal-, Land-, en Volkenkunde 32.
.
1887. “Een Rector der Mekkaansche
Universiteit”.
Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 36.
. 1887. “Een Arabische Bondgenoot der Nederlandsch- Indische Regeering”.
Mededeelingen Van Wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 31. [dicetak
ulang dalam Verspreide Geschriften 4/1].
. 1889.
Mekka, Bd.II: Aus dem Heutigen Leben. Hag: Martinus Nijhoff.
. 1891-2. “Brieven van een wedono-pensioen”, [dicetak ulang dalam Verspreide
Geschriften, 4/1].
. 1893-4. De Atjehers. 2
jilid. Batavia: Landsdrukkerij/ Leiden: Brill.
.
1894. “Sajjid Oethman’s Gids voor de Priesterraden”. Indisch Tijdschrift van
het Recht 63. [dicetak ulang dalam Verspreide Geschriften 4/1.
. 1899. “E. Sachau, Muhammedanisches Recht Nach Schafiitischer Lehre”.
Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaft 53. [dicetak ulang
dalam Verspreide Geschriften 2].
.
1923-7. Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje. Jilid 1-5:
Bonn/Leipzig: Kurt Schroeder Verlag; Jilid 6: Leiden: Brill.
. 1957-1965. Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936. (editor)
E. Gobée & C. Adriaanse. 3 jilid. ‘s Gravenhage: Nijhoff [terjemahan
Indonesia, yang berjudul Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, telah diterbitkan
oleh INIS].
Soebardi. 1971. “Santri-Religious Elements as Reflected in
the Book of Tjentini”. Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde.
. 1978. “The Pesantren Tarikat of Surialaya in West Java”. Dalam: S. Udin
(editor), Spectrum. Essays Presented to
S.T. Alisjahbana. Jakarta: Dian
Rakyat.
Stange, Paul. 1980. The Sumarah Movement in Javanese
Mysticism.
Disertasi, Universitas Wisconsin, Madison.
. 1986. “‘Legitimate’ mysticism in Indonesia”. Review of Indonesian and
Malayan Affairs 20 no. 2
Steenbrink, K.A. 1974. Pesantren, Madrasah,
Sekolah: Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht. Disertasi
Nijmegen.
. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam
di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.
Strika, Vincenzo. 1974.
“Istruzione e Ideologia Islamica Nell’ Arabia Saudiana”. Annali dell’ Istituto
Orientali di Napoli.
Suwandi, Ir. H. Aten. t.t. (1984?). Di Bawah
Lindungan Tuhan.
T.tp.
Syafi’ah. 1989. Tareqat Khalwatiyyah
Shiddiqiyyah di Desa Losari Kecamatan Ploso Kabupaten Jombang. Skripsi
Sarjana, Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Al-Sya’rani,
‘Abd Al-Wahhab. 1315 H. at-Thabaqat al-Kubra. 2 jilid. Cairo: al-‘Amirah
asy-Syarqiyyah.
Sujuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat
Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah Jombang: Studi tentang Hubungan Agama, Negara dan
Masyarakat. Yogyakarta: Gilang Press.
Susud, Hasan Lutfi. 1992. Islam
Tasavvufunda Hacegan hanedani
(2nci baski). Istanbul: Bogazici
yayinlari.
Suwandi, Raharjo. 2000. A Quest for Justice: The Millenary
Aspirations of a Contemporary Javanese Wali. Leiden: KITL Press.
Tawakkuli,
Muhammad Ra’uf. 1980. Tarikh-i Tasawuruf dar Kurdistan. Tehran.
Thohir,
Muhadjirin. 1985-1986. Manaqib Syeikh Abdulqadir Jailani. Telaah Filologis
Teks Nurul Burhan. Yogyakarta: Proyek Javanologi, Ditjen Kebudayaan, Dep. P
dan K.
Thoriqot Mu‘tabaroh. 1977. Dokumentasi dan Keputusan Kongres ke V
Jam‘iyyah Ahli Thoriqot Mu‘tabaroh di Madiun, tgl. 2 s/d 5 Agustus 1975 M.
Semarang: Pucuk Pimpinan Thoriqot Mu‘tabaroh.
Tichelman, G.I. 1933. “Een
Atjehse Sarakata (Afschrift van een Besluit van Sultan Iskandar Moeda)”.
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
Tim Penelitian.
1984/1985. Sejarah Perkembangan Agama Islam di Jakarta Tahun 1945-1950.
Jakarta: Fak. Adab. IAIN Syarif Hidayatullah.
Touwen-Bouwsma, Cornelia.
1988. Staat, Islam en Lokale Leiders in West Madura, Indonesie. Een
Historisch-Anthropologische Studie. Kampen: Mondiss (Disertasi, Leiden).
Trimingham,
J. Spencer. 1973. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University
Press.
Triyoga, Lucas Sasongko. 1991. Manusia Jawa dan Gunung Merapi.
Persepsi dan Sistem Kepercayaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Tudjimah CS. 1987. Syekh Yusuf Makassar: Riwayat
Hidup, Karya dan Ajarannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
‘Utsman
bin ‘Aqil bin Yahya Al-‘Alawi, Sayyid. 1889. Arti Thariqat dengan Pendek
Bicaranya. Betawi.
‘Utsman Nadi, Muhammad. t.t. Tsamarah Al-Fikriyyah.
Risalah Fi Silsilah Al-Thariqatain Al-Qadiriyyah wa Al- Naqshbandiyyah.
Rejoso, Jombang.
Uzuncarsili, I.H. 1965. Osmanli Devletinin Ilmiye
Teskilati. Ankara: Turk Tarih Kurumu.
Vajda, Georges. 1983. La
Transmission du Savoir en Islam (VIIe- XVIIIe Siècles). London: Variorum
Reprints.
Veth, P.J. 1869. “Het Beratip Beamal in Bandjermasin”.
Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 3 no. 1.
Voll, John O. 1975.
“Muhammad Hayya Al-Sindi and Muhammad Ibn Al-Wahhab: An Analysis of an
Intellectual Group in Eighteenth-Century Madinah”. Bulletin of the School of
Oriental and African Studies 38.
. 1980. “Hadith
Scholars and Tariqahs: An Ulama Group in the 18th Century Haramayn and Their
Impact in the Islamic World”. Journal of Asian and African Studies 15.
. 1987. “Linking Groups in the Networks of Eighteenth- Century Revivalist
Scholars: The Mizjaji Family in Yemen”. Dalam: Nehemia Levtzion & John O.
Voll (editor), Eighteenth-Century Renewal and Reform in Islam. Syracuse
University Press.
Vollers, K. 1913. “Azhar”. Encyclopaedia of Islam,
edisi pertama.
Voorhoeve, P. 1951. “Van en Over Nuruddin Ar-Raniri”.
Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 107.
. 1952-1957. “Bayan Tadjalli, Gegevens voor een Nadere Studie over Abdurrauf
van Singkel”. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 85.
. 1964. “A Malay Scriptorium”. Dalam J. Bastin & R. Roolvink (editor),
Malayan and Indonesian Studies. Oxford: Clarendon Press.
. 1980. Handlist of Arabic Manuscripts in the Library of the University of
Leiden and Other Collections in the Netherlands. Leiden: Leiden University
Press.
Von Dewall, H. 1857. “Eene Inlandsche Drukkerij te Palembang”.
Tijdschrift
voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 6.
Vredenbregt, J. 1962. “The
Haddj: Some of Its Features and Functions in Indonesia”. Bijdragen tot de
Taal-, Land-, en Volkenkunde 118.
. 1968. De
Baweanners in Hun Moederland en in Singapore. Disertasi, Leiden.
. 1973. “Dabus in West Java”. Bijdragen tot de Taal-, Land-
, en
Volkenkunde 129.
Wahid, Abdurrahman. 1977. “Penelitian Pesantren
Kedunglo, Kodya Kediri”. Bulletin Proyek Agama dan Perubahan Sosial No. 4
(Jakarta: LEKNAS-LIPI).
. 1989. “Janji Sorga”.
Dalam: Nurcholish Madjid, Abdul Gafur dan Abdurrahman Wahid, Dalam Pelita
Hati. Jakarta; Pustaka Kartini.
Waley, Muhammad Isa. 1991. “Najm Al-Din
Kubra and the Central Asian School of Sufism (The Kubrawiyyah)”. Dalam: S.H.
Nasr (editor), Islamic Spiritualism: Manifestations. New York: Crossroad.
Wali
Allah, Syah. t.t. Intibah Fi Salasil Awliya’ Allah. Karachi.
Walinga,
Muh. Hatta. 1980. Kyai Haji Muhammad As’ad: Hidup dan Perjuangannya. Skripsi
Sarjana, Fakultas Adab, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Wensinck, A.J.
[& Ch. Pellat]. 1967. “Hud”. Dalam Encyclopaedia of Islam, vol. III.
Williams,
Michael Charles. 1990. Communism, Religion and Revolt in Banten. Athens, Ohio:
Ohio University Center for International Studies.
Winter, Michael. 1982.
Society and Religion in Early Ottoman Egypt. Studies in the Writings of ‘Abd
Al-Wahhab Al- Sha’rani. New Brunswick/London: Transaction Books.
Wiselius,
J.A.B. 1876. “Historisch Onderzoek naar de Geestelijke en Wereldlijke
Suprematie van Grisse op Midden en Oost Java Gedurende de 16e en 17e Eeuw”.
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 23.
Woodward, Mark
R. 1985. “The Shari`ah and the Secret Doctrine: Muslim Law and Mystical
Doctrine in Central Java”. Disertasi, University of Illinois.
. 1989. Islam in Java. Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of
Yogyakarta. Tucson; The University of Arizona Press.
Woelders, M.O. 1975.
Het Sultanaat Palembang, 1811-1825. ‘s Gravenhage: Nijhoff.
Yazici,
Tahsin. t.t. “Sattariye”. Islam Ansiklopedisi 11.
Yildiz, Sakip. t.t.
Fatih’in Hocasi Molla Gurani Ve Tefsiri. Docentlik Tezi. Istanbul: Sahhaflar
Kitap Sarayi.
Yogaswara, Y., dkk. 1976. Naskah dan Kitab Lama
Cisondari.
Bandung: Unpad, Fak. Sastra.
Yunus, H. Mahmud. 1979.
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Cetakan ke-2. Jakarta: Mutiara.
Zaini
H.M., Ahmad. 1975. Aliran Zauq di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Risalah Sarjana
Muda, Fakultas Ushuluddin, IAIN Antasari, Banjarmasin.
Zamzam, Zafry.
1979. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary: Ulama Besar Juru Da’wah. Banjarmasin:
Karya (cetakan ke-2).
Zarkasyi, K.H. Imam. 1985.”Les Pondok Pesantren en
Indonesie”.
Archipel 30.
Ziadeh, Nicola
A. 1958. Sanusiyah: A Study of a Revivalist Movement in Islam.
Leiden: Brill
Zuhri, K.H. Saifuddin. 1974. Guruku. Orang-orang dari
Pesantren. Bandung: PT. al-Ma’arif. . 1987. Berangkat dari
Pesantren. Jakarta: Gunung Agung.
INDEX
1. INDEX TAREKAT 277-292, 294, 301, 304-306,
333-334, 364, 516
Ahmadiyah, 71, 234, 240-243,
Madariyah, 234
251, 414, 533 Mirghaniyah, 371, 386
‘Aidarusiyah,
366 Naqsyabandiyah, 5, 29, 32-33,
Akmaliyah, 244, 252,
288, 306 37-39, 50, 52-53, 111-112,
Ba’alawiyah, 234,
334, 396-397, 119, 154, 162, 226, 233-238,
415,
459 240, 245, 250-251, 259, 261,
Dasuqiyah,
234 263-268, 271-273, 275-276,
Dzahabiyah,
283 279-281, 286-287, 305-306,
Hamadaniyah, 283-284,
305- 313, 327-328, 332-334, 336-
306
337, 340-342, 353, 363, 365,
Haqmaliyah, 244, 278, 288,
367, 369, 371, 380, 384,
290, 307 388, 396-398, 402,
413, 415,
Idrisiyah, 241-243, 252 418-419, 421-423,
425-429,
Jilaliyah, 261 431-433, 435-440, 444, 447-
Junaidiyah,
246, 253, 371 455, 459, 462-464, 466-467,
Khalwatiyah,
9, 33, 226, 234- 469-471, 474, 476, 487-488,
237, 263,
272, 334-335, 337, 490-491, 493, 495-496, 506,
364-365,
369-371, 380-381, 508-509, 511, 519, 521, 525,
388,
390, 393-396, 398-414, 542, 552, 557
418, 450, 459,
474, 516, 521, Naqsyabandiyah Khalidiyah,
545
236, 240, 453, 495, 519
Khalwatiyah Ahmadiyah, 414
Naqsyabandiyah ‘Uluwiyah,
Khalwatiyah ‘Alawiyah,
33 449
Khalwatiyah Samman, 236,
Ni’matullahiyah, 262
393-395, 401, 403-404, 406,
Nurbakhsyiyah, 33
410-411, 413, 521 Qadiriyah, 22,
29-33, 49, 51,
Khatmiyah, 371, 388 61, 112, 162, 226,
229, 234-
Kubrawiyah, 62, 226, 234, 237, 238, 240, 245,
250, 255-273,
313, 327-328, 334, 340-342,
345, 349-350,
353, 363, 367-
369, 371, 380, 388-389, 396,
398, 402-403, 414, 417,
421-
429, 431, 442, 444, 447-448,
450-451, 459, 466, 470-471,
475,
490-491, 493, 496, 506,
516, 525, 557
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
32, 162, 236, 238, 240, 245,
250, 259, 264-265, 267-
268, 271-272,
313, 327-328,
340-342, 353, 371, 421-423,
425-429, 431, 444,
447-448,
450-451, 470-471
Rifa’iyah, 22, 33, 49, 51, 61,
226,
231, 237, 249, 257-258,
263, 270-271, 336-341, 344-
347, 352, 363,
365-366, 396,
414, 466, 542
Sammaniyah, 235-236, 238,
271,
337-338, 369-372, 376-
378, 380-382, 385-386, 402-
403, 406, 416,
418, 424, 426,
450, 458-459, 468, 516
Sanusiyah, 242-243, 251,
469,
476, 556
Suhrawardiyah, 226
Syattariyah, 6, 9, 24, 26-27,
29,
91, 112, 120, 226, 230-231,
233-234, 237, 239, 263, 279-
281,
295, 333-334, 336, 365,
367, 380, 383-384, 396-397,
417, 423, 459
Tijaniyah,
111, 241-242, 251,
419, 421-423, 432, 440-448,
452-454, 491,
495-496, 520,
544
Wahidiyah, 244-245, 487, 491,
496
2.
INDEX UMUM
A
Abah Anom (K.H.A. Shohibul Wafa Tajul Arifin), 268,
496-
498, 506-507
abangan, 6, 58-59, 69-70, 78,
245, 478-481,
484, 486-487,
491, 496, 498, 503, 506, 508-
510, 512, 535
‘Abd
Al-Fattah, 172, 243
‘Abd Al-Ghani bin Abi Bakr Al-
Hindi, 372
‘Abd
Al-Ghani bin Azhari (Palembang), 376
‘Abd Al-Hamid, 133, 162, 388
‘Abd
Al-Jabbar, 105, 108, 117-
118, 132, 190, 199
‘Abd Al-Majid Tamim
(Pamekasan), 189
‘Abd Al-Malik, 133
‘Abd Al-Qadir Majannang, 400
‘Abd Al-Ra’uf Singkel, 9, 174,
336, 384
Abdul Hamid Hakim, 133,
163,
197, 199
‘Abdullah Azhari (Palembang), 377
‘Abdullah bin
Ma’ruf (Palembang), 376
‘Abdullah bin Nuh (Bogor), 118
‘Abdullah,
Haji (Maros), 406- 407
Abdullah, H. Wan Muhd.
Shaghir, 318
Abdullah
Sahal (Demangan, Bangkalan), 449
Abdul Madjid Ma’ruf (Kedunglo, Kediri),
245
Abdul Qadir (Cibaregbeg, Cianjur), 338
Abdul Wahab Chafidz
(Rembang), 39
Abdul Wahhab Rokan
(Langkat), 463-464
Abdul Wahid Khudzaifah
(Omben, Madura), 439 Abdurrahim, Kiai Maja, 468
Abdurrahman Wahid, 73, 76,
110, 143, 196, 252, 454, 490,
495, 499,
504-506, 510, 512-
513, 526, 554
Abu Al-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir
(Sultan Banten), 18, 315
Abu Al-Nashr ‘Abd Al-Qahhar, “Sultan Haji”
(Banten), 318, 321-322, 335
Abu Bakr Efendi, 42-44, 54-55 Abu Hamid
(Ujung Pandang),
413
Abu Hanifah, 45, 168, 475
Abu Hurairah,
210, 220, 309
Abu Madyan, 385
Abu Muhammad Hasanuddin (Pekalongan),
131
Abu Syukur Al-Kasyi Al-Salimi, 96
Abu Thalib Al-Makki, 383
Abu Ya’qub As-Susi, 208 Aceh, 9, 11, 14, 22, 26, 28, 60,
110, 120, 124,
148, 151, 186,
189, 228-232, 238, 249, 256-
258, 261, 263, 271, 274,
299,
316, 396, 414, 424
Adlan Ali, 268, 431-432, 451-
452
Adzamat
Khan, keluarga, 299 Afrika Barat, 241, 442
Afrika Timur, 261, 371
Agung
(Mataram), 95, 297
Ahmad Al-Muhajir, 299 Ahmad Al-Shalih Matinroe ri
Rompegading,
401 Ahmad bin ‘Alwan, 366 Ahmad bin Sulaiman Kamal
Basya, 213, 221
Ahmad
Hasbullah, 236, 267-
268, 427-428, 450-451
Ahmad Hasyimi
Bak, 183 Ahmad Ibn Hanbal, 115 Ahmadiyah, tarekat, 240, 242-
243
Ahmad
Khatib Minangkabau, 15, 157
Ahmad Khatib Sambas, 233, 236, 264, 267, 371,
450
Ahmad Rahman (Ujung Pandang), 412, 418
Ahmad Taufik Hidayatullah
(Genggong, Probolinggo), 441
Ahrar, Khwajah ‘Ubaidullah, 462
‘Aidarusiyah,
tarekat, 366
Aji Saka, 6, 65-66, 79
Akbar, Sultan, 463
Akhbari,
115
Akmaliyah, tarekat, 288
Al-Abhari, Atsir Al-Din, 173
Al-Ahdal,
‘Abd Al-Rahman, 521 Al-Ahdal, Sulaiman, 370
Al-‘Aidarus, ‘Abdallah, 415
Al-‘Aidarus, ‘Abd Al-Rahman
bin Mustafa, 379
Al-‘Aidarus, marga,
257
Al-Ajhuri, ‘Atiyah, 184
Al-Akhdhari, ‘Abd Al-Rahman, 171
Al-Anbabi,
Syams Al-Din, 202 Al-Anshari, Zakariya, 116, 131,
233, 384
Al-Arbili,
‘Abd Al-Qadir bin Muhyi Al-Din, 51
Al-Arzinjani, ‘Abdallah, 236
Al-Asadi,
Yusuf, 257, 261 Al-‘Aththar, Sayyid ‘Ali, 370 alat, ilmu, 87, 119
Al-Attas,
Syed Muhammad Naquib, 522
Al-Azhar, 104, 106, 109, 116-
117, 184,
377, 381
Al-Azhari, ‘Ali bin ‘Abdallah Al- Thayyib, 241-242
Al-Azhari,
Khalid bin ‘Andallah, 201
Al-Azmeh, Aziz, 522
Al-Badawi, Ahmad, 34,
366
Al-Baghdadi, Junaid, 265, 395,
414
Al-Baghdadi, Majd
Al-Din, 282 Al-Baghdadi, Maula Sayyid
Ahmad, 372
Al-Baiquni, Thah
bin Muhammad Al-Fattuh, 184
Al-Bajuri, Ibrahim, 161, 172,
175,
177
al-Bali, Muhammad Isma’il bin ‘Abd Al-Rahim, 264
Al-Banjari,
‘Ali bin ‘Abdallah (‘Ali Banjar), 108
Al-Banjari, Muhammad Arsyad, 373,
329, 380
Al-Banjari, Muhammad Nafis, 380, 523
Al-Banna, Hasan, 17
Al-Baqir,
Muhammad, 523
Al-Barzinji, Baba Rasul (“Abd Al-Rasul), 30
Al-Barzinji,
Ja’far bin Hasan bin ‘Abd Al-Karim, 30
Al-Barzinji, Mahmud, 30
Al-Barzinji,
Muhammad bin ‘Abd Al-Rasul, 29
Al-Barzinji, Muhammad Muzhaffar, 31
Al-Barzisyabadi,
‘Abdallah, 284 Al-Bashri, ‘Abdallah bin Salim,
388
Al-Bata’ihi,
Muhammad, 261 Al-Bidawazi, ‘Ali Al-Isfara’ini,
284
Al-Bidlisi,
‘Ammar bin Yasir, 280
Al-Bukhari, Shadr Al-Din Muhammad bin Ahmad, 282
Al-Buni,
Ahmad bin ‘Ali, 194 Al-Burhanpuri, M. bin
Fadhlullah, 19, 114
Al-Bushiri,
96
Al-Dabbagh, ‘Abd Al-‘Aziz, 251 Al-Damanhuri, Ahmad, 171-172
Al-Dandarawi, Muhammad bin
‘Ali, 242
Al-Danqari, Mullah, 168
Al-Daqqaq,
Muhammad, 370
Al-Dardir, Ahmad, 191
Al-Dasuqi, Ibrahim, 366
Al-Dasuqi,
Muhammad, 176 Al-Dimasyqi, Syihab Al-Din,
414
Al-Dimasyqi, Taqi
Al-Din, 127 Al-Dimyathi, SAyyid Bakri bin
Muhammad Syatha Al- Dimyathi,
‘Utsman, 128
Al-Durr Al-Nafis, 380, 385
Al-Fadhdhali, Muhammad, 176
Al-Fakihi, Syihab Al-Din
Ahmad, 202
Al-Falah, Madrasah, 105
Al-Falimbani,
‘Abd Al-Samad, 103, 175, 180, 188, 369, 376
Al-Falimbani, Hasanuddin bin
Ja’far, 379
Al-Falimbani, Mahmud bin Kanan Al-Falimbani, 379
Al-Falimbani,
Muhammad ‘Aqib bin Hasanuddin, 370, 372, 379
Al-Falimbani, Muhyiddin bin
Syihabuddin Al-Falimbani, 389
Al-Falimbani, Tuan Haji Ahmad, 373
Al-Fasyani,
Ahmad bin Hijazi, 183
Al-Fathani, ‘Abd Al-Rahman, 373
Al-Fathani,
Da’ud bin ‘Abdallah, 120, 144, 370
Alfiyah, 118, 159, 168, 170, 201
Al-Futuhat
Al-Makkiyah, 379,
384
Al-Ghaiti, Najm Al-Din, 191,
203
Al-Ghauts,
Muhammad, 383,
417
Al-Ghazali, Abu Hamid, 187, 226
Al-Ghazzi,
Ibn Qasim, 127
Al-Habsyi, Sayyid Ahmad bin Zain, 122
Al-Habsyi,
Sayyid ‘Ali (Kwitang), 52
Al-Haddad, ‘Abdallah bin ‘Alwi, 189
Al-Haddad,
‘Ali, 261 Al-Haddad, ‘Alwi bin
Muhammad Thahir, 189 Al-Haddad, ‘Alwi bin
Thahir
bin ‘Abdallah Al-Haddar, 295
Al-Hamadani, ‘Ali, 283-284,
287
Al-Hattak, Muhammad, 266 Al-Hifnawi, Muhammad bin
Salim, 370
Al-Hikam
(Ibn ‘Atha’illah), 196 Al-Hudhudi, Muhammad bin
Manshur, 176
‘Ali
Al-Khathib, 282-283
‘Ali bin ‘Abd Al-Barr Al-Wana’I, 379
Al-Idhah fi
Al-Fiqh, 97 ‘Ali Jarim, 171
Al-‘Imrithi, Syaraf Al-Din Yahya, 133, 170
Al-Insan
Al-Kamil, 97, 185, 244,
357, 383, 419
‘Ali Ridha, 237
Al-Isfahani,
Abu Syuja’, 97
Al-Isfara’ini [Al-Bidawazi], Ali, 284
Al-Isfara’ini,
Nuruddin ‘Abd Al- Rahman, 286
Ali Wafa (Ambunten, Madura), 437
Al-Jabarti,
Isma’il bin Ibrahim (Zabid, Yaman), 257
Al-Jalis, Muhammad Ibrahim
Harun
(Cianjur), 337
Al-Jami, ‘Abd Al-Lathif, 282- 285, 287, 333
Al-Jami,
‘Abd Al-Rahman, 286, 397
Al-Jampasi, Ihsan bin Muhammad Dahlan, 162,
188
Al-Jauhari,
Muhammad, 390 Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, 193 Al-Jaza’iri, Thahir bin Shalih,
177
Al-Jazuli,
Muhammad, 362
Al-Jilani, ‘Abd Al-Qadiral-Jilani, ‘Abd Al-Qadir Al-Tsani
(Uch, Panjab), 262
Al-Jili, ‘Abd Al-Karim, 97, 185,
244, 371, 383
Al-Jurumi,
Isma’il, 417
Al-Juwaini, ‘Abd Al-Malik (Imam Al-Haramain), 113
Al-Kahlani,
Muhammad bin Isma’il, 182
Al-Khairriyah (Citangkil, Banten), 353
Al-Khalwati,
Abu Al-Fath ‘Abd Al-Bashir, 400
Al-Khalwati, Ayyub bin Ahmad, 395, 414
Al-Khalwati,
Dede ‘Umar, 395, 414
Al-Khalwati, Jamaluddin Muhammad, 282
Al-Khalwati,
Muhammad ‘Abd Al-Wahid bin ‘Abd Al- Ghaffar Al-Makassari, 400
Al-Kharaqani,
Khair Al-Din, 417
Al-Khubuwi, ‘Utsman bin Hasan, 183
Al-Khunji, Amin
Al-Din ‘Abd Al-Salam, 286
Al-Khuttalani, Ishaq, 282
Al-Kurani,
Muhammad Thahir bin Ibrahim [alias Abu
Thahir Muhammad],
305,
337
Al-Kurani, Yusuf Al-‘Ajami, 305 Al-Kurdi, ‘Ali, 370
Al-Kurdi,
Mahmud, 370, 381 Al-Kurdi, Maulana Khalid, 37,
40
Al-Kurdi, Muhammad
Amin, 23, 37-39
Al-Kurdi, Muhammad bin Sulaiman, 103, 390
Al-Kurdi,
Najm Al-Din bin Muhammad Amin, 39
Al-Kurdi, Shalih, 118
Al-Laqani,
Ibrahim, 176
Al-Linggi, Muhammad Sa’id (Negeri Sembilan), 242
Al-Maghribi,
‘Abd Al-Rahman bin ‘Abd Al-‘Aziz, 372
Al-Mahalli, Jalal Al-Din, 127
Al-Mahamili, 131
Al-Malibari, Zain Al-Din (pengarang Fath Al-Mu’in),
128
Al-Malibari, Zain Al-Din (pengarang Hidayah Al- Adzkiya), 114
Al-Maliki,
Muhammad bin ‘Alwi, 17, 440
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, 179
Al-Marzuqi
Al-Maliki Al-Makki, Ahmad, 126
Al-Mas’udi, Hafizh Hasan, 184
Al-Masysyath, Hasan
Muhammad, 184
Al-Mawardi, 135, 143, 537
Al-Mazdaqani,
Mahmud, 282
Al-Minangkabawi, Isma’il, 37,
519
Al-Minyawi,
Makhluf, 171 Al-Mirghani, ‘Abdallah bin
Ibrahim, 386
Al-Mirghani,
Muhammad ‘Utsman, 371
Al-Mishri, Abu Al-‘Abbas, 114, 131
Al-Mishri,
‘Ata’, 390
Al-Mizjaji, ‘Abd Al-Khaliq, 373 Al-Mizjaji, Muhammad ‘Abd
Al-
Baqi, 396
Al-Musawwa, Muhsin bin ‘Ali, 105
Al-Nabulusi,
‘Abd Al-Ghani, 371, 385
Al-Nafahat Al-Ilahiyah, 372-373
Al-Nakhli,
Ahmad, 388
Al-Qabili, Shur Al-Din, 372 Al-Qadahi, Hamzah bin
Muhammad
(Kedah), 176 Al-Qadahi, Muhammad Sa’id
bin ‘Umar, 180
Al-Qadiri,
Muhammad Shadiq, 51
Al-Qandali, Abu Ahmad ‘Abd Al-Hamid (Kendal), 47,
162
Al-Qannuji, Muhammad Shiddiq Hasan Khan, 220
Al-Qashri,
Isma’il, 280
Al-Qirimi, Sulaiman, 38
Al-Qudusi, ‘Abd Al-Hamid bin M.
‘Ali, 52, 133
Al-Qudusi, Sibt al-‘Utsmani Ahdari Al-Janqalani, 131
Al-Qusyasyi,
Ahmad, 232, 263,
280, 303
Al-Quwaisini, Hasan Darwisy, 127
Al-Rabithah
Al-‘Alawiyah, 300
Al-Ra’is, Ibrahim, 390
Al-Ramitani, Khwajah
‘Azizan ‘Ali, 282, 286
Al-Raniri, Muhammad Jilani, 230
Al-Raniri,
Nuruddin, 91, 98,
120, 228
Al-Razi, Najm Al-Din, 546
Al-Rindi,
Muhammad Ibrahim Al-Nafizhi, 188
Al-Ru’aini, Syams Al-Din
Muhammad,
170
Al-Rumi, Mulla Syams Al-Din, 414
Al-Sakkaki, Siraj Al-Din,
171
Al-Samarqandi, Abu Al-Laits, 97 Al-Samarqandi, Abu Al-Qasim,
171
Al-Samman,
Muhammad bin ‘Abd Al-Karim, 103, 193, 234
Al-Sanusi, Ahmad Al-Syarif, 243
Al-Sanusi Al-Kabir, Muhammad
bin ‘Ali, 469
Al-Saqqaf, ‘Abd
Al-Rahman, 415
Al-Shabban, Muhammad bin ‘Ali, 172
Al-Sidoarji, ‘Abd
Al-Muhith, 34 Al-Sija’I, Ahmad, 202
Al-Subki, Taj Al-Din ‘Abd Al- Wahhab,
133
Al-Suhrawardi, Abu Al-Najib, 226
Al-Sumbawi, Zain Al-Din, 153
Al-Susi, Abu Ya’qub, 280
Al-Syadzili, Abu Al-Hasan, 226, 385
Al-Sya’rani
[Al-Sya’rawi], ‘Abd Al-Wahhab, 384
Al-Syarqawi, ‘Abdallah bin Hijazi,
380
Al-Syattanaufi, ‘Ali bin Yusuf, 260
Al-Syattar, ‘Abdullah,
226
Al-Syihabi, Muhammad Shadiq, 275
Al-Syinnawi, Ahmad, 384
Al-Syirazi Al-Fairuzabadi,
Ibrahim bin ‘Ali, 132-133 Al-Tamhid, 96
Al-Taqrib,
97, 121, 127, 137
Al-Tarablusi, Husain bin M. Al- Jasr Afandi, 177
Al-Tazi,
‘Abd Al-Wahhab, 251 Al-Tijani, Ahmad, 111, 241
Al-Tuhfah Al-Mursalah ila
Al-
Ruh Al-Nabi, 383
al-‘ulum al-‘aqliyah, 101
al-‘ulum
al-naqliyah, 101
Al-‘Ushfuri, Muhammad bin Abi Bakr, 183
Al-Yafi’I,
‘Afif Al-Din, 260 Al-Yunini, Taqi Al-Din, 261 Al-Zabidi, Murtadha, 379
Al-Zanjani,
‘Izz Al-Din Ibrahim, 168
Al-Zarnuji, Burhan Al-Islam, 186
Al-Zawawi,
‘Abdallah [bin Muhammad Shalih], 463
Al-Zawawi, Muhammad Shalih, 154,
433, 437, 463
Al-Zayyadi, Syarif ‘Abd Al- Majid, 52
Al-Zuhdi,
Sulaiman, 28, 237
Amangkurat II, 294
Ambo Dalle, ‘Abdul Rahman,
150
Amin Azhari, 377
Amin, Muhammad Hasan (Cibuntu, Pandeglang,
Banten), 349
Anas (Buntet, Cirebon), 440 An-Na’im, Abdullahi Ahmed,
543
Antaboga,
6, 65
Antasari, Pangeran, 382
‘aqidah, 176-177 As’ad Syamsul
Arifin
(Situbondo), 111, 445
Asep Martawidjaja, 244, 306
Asmarakandi,
97-98, 114, 534 Asnawi (Caringin, Banten),
327-328, 343
Asrari
Ahmad, 47-48
Asy’ari, 86-87, 96, 108, 110,
175, 199
‘Asymawi,
‘Abdallah bin, 170 asyrama, 92
Aurangzeb, Sultan, 463
‘Awarif
Al-Ma’arif, 383
‘Awwad, 128 128,
130-131, 138, 161, 176-
Ayuthia (Syahr-i Naw), 8 177,
179, 183, 187-189, 199,
Azhari bin ‘Abdallah, Kemas,
212-213, 236-238, 240, 245,
376 249-250, 257-258, 267,
271-
Azhari, Kemas Haji 272, 274, 276, 278-279, 285,
Muhammad,
154 292, 296, 298, 301, 304, 311-
Azra, Azyumardi,
523 329, 331-349, 351-353, 355-
B
Ba’alawi,
‘Abd Al-Rahman bin Muhammad bin Husain, 132
Ba’alawiyah, tarekat, 397
Babad
Cirebon, 278, 281, 287,
294, 296, 304, 308-309, 364,
532-533
Babad
Tanah Jawi, 60, 295,
297, 309-310, 465
Badri Masduqi (Kraksaan,
Probolinggo), 433
Badrut Tamam (Banyuates, Madura), 432, 444
Badruzzaman
(Garut), 433
Badui, orang, 469
Ba-Fadhl, ‘Abdallah, 118, 138
Baghdad,
26, 31, 37, 43, 45, 53,
229, 255-256, 259-260, 349,
368, 395, 542
Bagir,
Haidar, 203
Bahadur Syah (Gujarat), 262 Bahartha, Muhammad bin
‘Umar,
156, 198
Baidhawi, Tafsir, 98, 129, 178,
202
Baidhowi
(Surabaya), 444-446
balaghah, 102, 151, 167-168,
171, 201
bali,
15, 111, 239, 264, 267,
276, 381, 439
banawi, Kiai Labang Muhammad
Usman Kilan (Bangkalan), 424
bangkol, Guru, 267
Banten, 4-6, 9, 11,
15, 18, 22,
33-34, 36, 51-52, 60, 79, 91,
94-95, 106, 112-114,
120,
365, 367-368, 379, 399-400,
424, 426, 450-451,
459-460,
462, 468, 470, 476, 516, 525,
528, 536, 542, 544-545,
555
Bari, Seh, 94
Barnawi, Yusuf bin Abdul Qadir, 170
Barus,
8
Barzanji, 22, 31, 47, 191-192,
269
Batu Ampar (Madura), 7
Bawa Karaeng, Gunung, 7 beratip beamal, 238, 382
Berg, L.W.C. van den,
98, 141,
147
Bima, 381, 404
Bisri Mustofa (Rembang), 162,
171-172, 180
Blambangan, 295
Bogor, 148, 157, 163, 188, 221,
263,
268, 313, 323, 337, 343,
370, 402-404, 417, 545
Bone, 274, 335,
400-401, 403-
407, 409, 417, 420
Bozarslan, M.E., 201
Bulugh
Al-Maram, 110, 182
Burhanpur, 19, 263
Buton, 227, 248, 465, 475,
549
C
Centhini, Serat, 94, 189-200,
258, 289, 324
Chozin
(Beladu, Probolinggo), 441
Cianjur, 323, 337-338, 464
Cibulakan
(Banten), 6
Cikaduwen (Banten), 6
Cina, Muslim, 9
Cirebon,
112, 155, 157, 236-
238, 240, 242, 244, 257-258,
267, 272, 275,
278-279, 281,
287, 292, 294, 296, 298, 301,
304, 306, 308-309, 323,
341,
346, 363-364, 401, 427, 440-
441, 443, 521, 532-533
Ciremai,
Gunung, 7
Cisytiyah, tarekat, 29
D
Dahlan, ‘Abdallah bin
Shadaqah, 409, 454
Dahlan, Ahmad bin Zaini, 128- 129
Dahlan bin ‘Abd
Al-Fattah (Pagendingan), 243
Damanhuri (SAmpang), 439 Daqa’iq Al-Akhbar
fi Dzikr Al-
Jannah wa Al-Nar, 178 Dar Al-‘Ulum Al-Diniyah
(Makkah),
105
Dar Al-‘Ulum (Kairo), 117 Darud Da’wah wal Irsyad
(DDI), 411
Darul
Islam, 410, 420, 443, 468,
496
Darul ‘Ulum (Deoband), 105 Darwisy
(Ombul, Sampang),
434
Dasuqiyah, tarekat, 234 Da’ud bin Muhammad
“Khadim
Al-Fuqara”, 280
Daudy, Ahmad, 249, 358, 415
debus, 22, 271, 338,
345
Deli, 463-464
Deoband, 105
Dimyati (Cadasari, Pandeglang,
Banten), 350
Diponegoro, 239
Djaeni, Tubagus, 368
Djajadiningrat,
Hoesein, 332,
356
Djajadiningrat, Pangeran Aria Achmad, 361
Drewes,
G.W.J., 529
Dukuh, Kiai, 95, 325
Dzahabiyah, tarekat, 238
Dzikir,
185, 231, 264-265, 275,
329, 332, 350, 363, 386, 394,
398, 405-407,
411, 419-420,
426
E
Effendi, Djohan, 182, 203, 252,
476
Emed
bin Asnawi (Banten), 343
Evliya Celebi, 102
F
Fadhil Ahmad
Karim, 201 Fadhl Allah Muhammad Shadr,
282
Falak, Kiai (Bogor),
343
Fath Al-‘Arifin, 264, 266, 275,
371, 426
Fath Al-Mu’in,
116, 122, 125,
128, 139, 173, 187
Fath Al-Rahman, 372, 384-385,
391
Fathimah,
Nyai Syarifah, 453 Fathul Bari (Ombul, Sampang,
Madura), 434-437,
439-440
Fauzan Fathullah (Sidogiri), 444, 446
Fazlur Rahman, 17, 72,
219,
442, 453
filsafat, 177
fiqh, 125, 129, 137, 173
Fudhail,
Muhammad, 404, 418
G
Garut, 242, 244, 306, 419, 443
ghauts,
259
Gibb, H.A.R., 214
Gobee, E., 170, 474, 531
Golkar, 432
Gontor,
pondok modern, 110, 441
Gowa, 400-401, 411
Gresik,
294-298
Gujarat, 257, 262
Gurani, Molla, 26, 49, 555
Guran,
kelompok etnis, 25, 41,
49
Gurpani, Ahmad, 304
H
Hadhramaut,
132, 298
hadits, 183
Hafni Bak Nashif, 170 Hamadaniyah, tarekat, 284
Hamengkubuwono I, Sultan,
10, 459
Hamka, 274, 413
Hamzah
Fansuri, 7-8, 19, 33,
112, 120, 228-229, 248, 256,
261, 274,
315-316, 336, 356-
358, 365, 386, 398, 522, 529
Hanafi, mazhab,
102
Haqmaliyah, tarekat, 288, 290,
307
Harun Nasution, 115
Hasan
Basuni, 434-435
Hasan bin Azhari (Palembang), 376
Hasan Saifurrijal
(Genggong, Probolinggo), 454
Hasanuddin, Maulana (raja Banten),
112-113
Hasbullah, Muhammad, 131
Hassan, Riffat, 533
Hasyim
Asy’ari, 86, 108, 199
Hidayatullah Sarmast, 263
Hikayat Hasanuddin,
5, 278 Hikayat Syaikh Muhammad
Samman, 372-373, 386, 388-
390
hikmah,
102, 193-194, 348-350,
354, 467, 475
hizib, 329-330, 345, 351,
362,
371, 383, 500
Hudhari Bek, Muhammad, 190- 191
Hudhur,
Haji, 417
Husain, Imam, 292
I
I’anah Al-Thalibin, 125, 139,
156,
198
Ibn ‘Alan, Ahmad bin Ibrahim, 357, 384
Ibn ‘Alan, Muhammad ‘Ali,
315, 357
Ibn Al-‘Arabi, 91, 112, 114, 186,
226-227, 230, 241, 371,
379,
383-384, 387, 415, 466, 527
Ibn Al-Hajib, Jamal Al-Din, 42 Ibn
‘Alwan, Safi Al-Din Ahmad,
51
Ibn ‘Atha’illah Al-Iskandari, 279 Ibn
Battutah, 226
Ibn Hajar Al-‘Asqalani, 182, 187
Ibn Hajar Al-Haitami,
114, 121,
127, 129
Ibn Katsir, tafsir, 178
Ibn Qayyim
Al-Jauziyah, 193 Ibn Rusyd, 125, 132-133
Ibn Taimiyah, 88, 110, 115
Ibrahim
Al-Rasyid, 242 Ibrahim bin Abu Bakar (Ki
Ageng Karang), 94, 324
Idham
Chalid, 472, 476, 494-
495, 510
Idris Al-Takaki, 374
Idris bin
Jauhari (Prenduan, Madura), 445
Idris bin ‘Utsman, 381, 404
Idrisiyah,
tarekat, 243, 252 Idris, Muhammad (raja Libya),
469
Idris
(Walantaka, Banten), 347 Ihsan bin Muhammad Dahlan
(Jampes, Kediri), 162,
188 Ihya ‘Ulum Al-Din, 96
India, 7-11, 14-16, 19-21, 23-25,
28-29,
31, 37, 40, 57, 63,
71, 90-91, 96, 101-106, 109,
112-116, 120, 128,
137, 145,
182, 220, 227-228, 230-231,
233, 255-257,
261-263, 270,
274-275, 285, 289-290, 299,
302, 306-307, 331, 333,
338,
346, 366, 371-372, 383-385,
396-397, 463, 482, 516, 521,
525,
541, 545, 547, 549
Ishaq, Maulana, 295
Isma’il Al-Minangkabawi,
37
Isma’il Al-Qashri, 280
Isma’il bin ‘Abd Al-Rahim Al-
Bali,
Muhammad, 264
isnad, 34, 52, 89, 106, 109, 111,
118, 220, 379,
388-390
istighatsah, 345, 373, 377
Izzi, 168-169, 201
J
Ja’far,
Habib (Brani, Probolinggo), 444
Jaka Tingkir, 111
Jalalain, Tafsir,
9, 26, 97, 152,
156, 178-179
Jalaluddin, Haji (Bukittinggi), 453,
471, 488
Jamaluddin Husain Al-Akbar, 298-299
Jamaluddin Muhammad Al-
Khalwati, 282
Jamil, Patsri, Sayyid (Gujarat), 262
Jam’iyah Ahl
Al-Thariqah Al- Mu’tabarah, 472
Jauhar Al-Tauhid, 176-177 Jauhari
(Prenduan, Madura),
445
Jawa, bahasa, 19, 32, 95, 98,
110, 121,
125, 131, 137, 141,
143, 151-152, 162, 171, 176,
182, 187, 189, 203,
258, 260,
275, 293, 310, 316, 336
Jawa Barat, 5, 123, 142, 157,
162,
165, 169, 179, 186, 188,
200, 238, 240-243, 249, 258,
278, 288, 292,
335, 349, 399,
440-441, 443, 446, 468, 475,
496-497,
506, 509
Jawa Timur, 42, 50, 65, 79, 94,
110, 123, 130, 142-143,
165,
188, 198, 200, 239, 242, 244-
245, 268, 306, 314, 419, 421-
423,
425, 428-429, 431, 434,
439-440, 443, 445-446, 449,
472, 486-487,
491, 493-494,
508-509, 520, 529, 539
Jayasantika, Pangeran (Banten),
317
Jayengresmi, 94-95, 97, 324 Jazuli (Tattangoh, Madura),
434,
439
jihad, 11, 18, 117, 134-136, 272-
273, 459, 463
Jilaliyah,
tarekat, 261 Johns, Anthony H., 535
Jumadil Kubra, Seh, 277, 292,
296-297
Junaid
Al-Baghdadi, 265, 395,
414
Junaidiyah, tarekat, 246, 253
Jurumiyah (Al-Ajurrumiyah),
169
Juynboll, Th.W., 219
K
Kailani,
167, 169, 201
Kalimantan Barat, 33, 342, 422,
426, 432, 434-439,
452, 519
Kalimantan Selatan, 36, 123,
165, 186, 211, 235, 238,
246,
369-370, 380-381, 390, 402
Kartosuwirjo, 468
Karunrung,
Karaeng, 400, 416 Kasunyatan, Pangeran
(Banten), 325
Kasyful
Anwar Firdaus, 246 kaum muda, 119, 132, 155, 520 Kawista, Entol (Banten), 317
Kedah, 176, 180, 238, 242, 419
Kelantan, 19, 157, 198, 242,
519,
543
Khabusyani, Muhammad, 283 Khalil Efendi (Makkah), 433
Khalil, Muhammad [Juremi]
(Rejoso, Jombang), 428 Khalwatiyah
Ahmadiyah,
tarekat, 414
Khalwatiyah Samman, tarekat, 236, 393-395,
404, 406, 410-
411, 413
Khalwatiyah, tarekat, 413-414,
418,
393-395
Khalwatiyah Yusuf, tarekat, 234, 393-394, 396, 398, 400-
401,
411
khatm al-wilayah, 454
Khatmiyah, tarekat, 371
khaul (hawl),
88
Khawi (Buntet, Cirebon), 443 Kholil, Mohammad
(Bangkalan), 425,
434 Khuda-Numa, Sayyid ‘Abd Al-
Samad, 263
Khuda-Numa, Syah Husain,
263
Khudzaifah (Omben, Madura), 439
Khwajagan, 286-287
Kubrawiyah,
tarekat, 280
Kurdi, orang, 24-25, 557
Kurdistan, 22, 24-25, 30, 33,
37,
41-42, 44, 49, 52, 116, 139,
169, 201, 259-261, 268-269,
271,
469, 476, 516, 525, 542,
552, 558
Kutai, 463-464
Lodi,
Sultan Sikandar, 262 Lombok, 15, 93, 239, 267-268,
276, 466, 476
Lombok,
pemberontakan, 239
M
Madariyah, tarekat, 234
Madinah, 4-5,
8-10, 14, 19, 24,
26-31, 33-39, 63, 80, 90,
99, 102-103, 113, 129,
140,
215-216, 231-234, 237, 263,
278-281, 299, 302, 332-334,
336-337,
363, 370-371, 374,
378-379, 384, 391, 394, 397,
402-403, 442, 553
Madiun,
93, 552
Madura, bahasa, 124, 143, 151,
163, 176, 419
Madura,
pulau, 422, 425
Maghrib, 241, 330, 371, 385
Mahfudz (Sampang,
Madura), 434
Mahfuzh Al-Tarmasi (Termas), 162
Mahmud Yunus, 97, 106,
132,
138, 197, 199
Majapahit, 66, 277, 297-298,
302, 309
Makassar,
orang, 335, 394, 399-
401, 411
Makhluf, Hasanain Muhammad (mufti
Mesir), 190
Makkah, 3-18, 23-24, 27, 31,
33-40, 46, 51, 53, 57,
60-63,
65, 71-72, 77, 90-91, 94, 99,
102-109, 111-112, 117, 128,
L
132, 138, 140, 142, 152-153,
Labang Muhammad Usman 158,
160, 162, 170, 184, 190,
Kilan Banawi (Bangkalan), 197,
215-216, 221, 229-233,
424 236-237, 240-243,
249-250,
Langkat, 463-464 264, 266-267, 274,
278-279,
Lathifi Baidowi (Gondang Legi, 281, 284-285,
311, 315, 317,
Malang), 440, 453 323, 325-328, 332-334,
336-
li’an, 208, 219 337, 341-343, 349, 351, 353,
Libya,
17, 469 356, 364, 368-370, 374-375,
377-381,
384, 391, 396, 400,
419, 425-428, 433, 440-443,
458-460, 463-464,
467, 470,
481-482, 519, 523, 531
Makshum (Kepanjen, Malang), 434
Maliki,
mazhab, 40
Maluku, 14, 238, 271
Ma Mingxin, 9
Ma’mun Nawawi bin
Anwar,
Rd., 163
manaqib, 32-33, 41, 47-48, 50-
51, 151,
192-193, 203-204,
235, 238, 250, 257-260, 274-
276, 341-342, 370,
372-373,
376-377, 382, 388-389, 424,
429, 451, 475, 522, 552
mandala,
92
Mansur, Maulana, 6
manthiq, 168, 172, 526
Maratan, Yunus,
150 Marogan, Kiai (Palembang),
377
Marokko, 209, 240
Maros,
393-394, 401, 405-406,
408, 419
martabat tujuh, 19, 28, 112,
227,
230, 234, 289, 307, 465
Marzuqi, Haji (Banten), 311 Ma’shum bin ‘Ali,
Muhammad
(Jombang), 169 Ma’shum (Tanggulangin,
Sidoarjo), 429
Masjid
Al-Haram, 103, 105-109,
118, 142
Mas’udi, Masdar F., 540 Masyhadi,
Ahmad Subki
(Pekalongan), 47, 114, 162
Mataram, 4, 11, 18, 91, 95,
294,
297, 459, 462, 532
Melayu, bahasa, 3, 9, 14, 26,
36, 110,
116, 120-121, 127,
136-137, 151, 154-155, 159,
161, 163-164, 182,
188, 193-
194, 197, 202, 229, 235, 370,
372, 387
Mernissi,
Fatima, 541
Mesir, 14, 16-17, 26, 29, 40,
53, 59, 104, 112, 116,
118,
124, 126-127, 140-141, 148,
155, 158, 161, 164, 169-171,
177,
180, 183-184, 187, 190,
198-199, 233, 241-243, 261,
279, 293, 305,
338, 345, 370,
377-379, 384-385, 462
Milner, A.C., 541 Minangkabau
(bdk. Sumatera
Barat), 68
Minhaj Al-Qawim, 122, 129,
136
Mirdad,
Muhammad, 390
Mirghaniyah, tarekat, 386 Mishbah bin Zain Al-Mustafa
(Bangilan),
162, 187 Muchlas (Beladu, Probolinggo),
441
Muhammad bin ‘Abd
Al- Samad, 261
Muhammad bin ‘Abd Al- Wahhab, 9, 115
Muhammad bin
‘Umar, 156, 160, 198
Muhammad bin Yusof (Surabaya), 443-444
Muhammadiyah,
86, 110, 119,
149, 373, 408, 410-411, 479
Muhammad Jalal [Muhammad
Kabir], 401
Muhammad, Maulana (raja Banten), 318
Muhammad Nuruddin,
279,
292
Muhammad “Shahib Mirbath”, 299
Muhsin Aly Alhinduan,
421 Muhtar Mu’thi (Ploso,
Jombang), 245 Muhyiddin, Ki (Pagelaran,
Cisalak,
Purwakarta), 275
mujarrabat, 59, 78, 151, 194,
475
Munawir
Syadzali, 73, 215 Muqran bin ‘Abd Al-Mu’in, 374 Musa Al-Kazhim, Imam, 30
Mushlih bin ‘Abd Al-Rahman
(Mranggen), 32, 47, 162,
431, 493
Mushthafa
Amin, 171 Mushthafa bin Kamal Al-Din
Al-Bakri, 370
Musta’in Romly,
268, 421, 429,
431, 438, 448, 471
Mu’tazilah, 113, 115, 358
Muthahhari,
Murtadha, 17
Muzakar, Kahar, 410
N
Nadwah Al-‘Ulama, 109
nafsu
amarah, 290
nafsu lawamah, 290
nafsu muthma’inah, 290
nafsu
sawiyah, 290, 308
nahwu, 167-169, 171
Najmuddin, Pakih (Banten),
312, 317, 320, 322, 324, 358
Naqsyabandiyah Khalidiyah, 236, 240, 453,
495, 519
Naqsyabandiyah, tarekat, 508 Naqsyband, Baha’ Al-Din, 203 Nashir
Al-Din, Burhan Al-Din
Abu Fath, 172
nasikh dan mansukh, 216 Nasr,
Seyyed Hossein, 543 Nawawi, Abu Zakariya Yahya
bin Syaraf, 127
Nawawi
Banten (Muhammad bin ‘Umar Nawawi Al- Bantani), 15, 36, 52, 106,
114,
120, 128, 130-131, 138,
161, 176-177, 179, 183, 187-
189, 199,
212-213, 379
Nehri, Sadat, 261
ngelmu, 61, 66, 94, 271, 315,
344,
367
Ni’matullahiyah, tarekat, 262
Ni’matullah Wali,
262
Noorduyn, J., 196, 517 Nor bin Ngah, Mohd., 543 Nurbakhsyiyah,
tarekat, 33
Nurcholish Madjid, 115, 554
Nur Muhammad, 193,
289-290,
307
Nurullah Ibrahim, 279
P
Pajajaran, 295,
313
Paku, Raden, 295
Palembang, 10, 52, 106, 154,
166, 200,
235, 238, 250, 296,
318, 370, 372-373, 376-377,
379, 381, 385,
389-391, 416,
418, 458-459, 468, 474, 554-
555
Palopo, Puang
[Haji ‘Abd al- Razzaq], 402
Pamijahan, 5, 295, 548
pangulu
(penghulu), 312, 322-
324, 327, 353, 361
Panutra, Ki Baji, 94
Pasai,
225, 228, 248, 279, 543
Patani, 103, 108, 125, 137, 148,
153, 155,
157-158, 161, 164,
189, 198, 203, 370, 388, 540
Perak, 238
perdikan,
92-93, 522, 549
Persia, orang, 229, 255
Perti, 166, 471, 487-488,
509
Pigeaud, Th.G.Th., 532, 544
Plas, Ch.O.van der, 13, 20, 544
Poensen,
C., 544
Poerbatjaraka, 32, 51, 193, 204,
258, 274-275, 341, 367,
451,
529
Ponorogo, 93
Pontianak, 148, 433, 463-464
PPP,
430, 438, 472, 493-495
PPTI, 471-472, 476, 487-489,
494, 496, 510,
530
Prabu Jaka, Susuhunan, 10, 459
Q
qadhi, 95,
112, 178, 180, 250,
282, 311-313, 316-321, 325-
326, 335, 337, 352,
358, 401,
403, 409, 516
Qadhi Burhan, Badr Al-Din Sa’id, 282
Qadiriyah,
tarekat, 22, 29-33,
49, 51, 112, 226, 229, 236,
238, 255-264,
266-273, 327-
328, 340-342, 345, 349-350,
353, 367-368, 371, 380,
388,
396, 398, 417, 421-429, 444,
447-448, 450-451, 470-471,
475,
490, 557
Qadiriyah wa NAqsyabandiyah, tarekat, 327-238, 340-342,
353,
371
Qalyubi dan ‘Umairah, 159 Qandahar, 463
Qarabasy, ‘Ali Afandi,
388 Qudus (Yerusalem), 8 Quzwain, M. Chatib, 545
R
Rabithah Al-‘Alam
Al-Islami, 441
rabithah bi al-syaikh, 53 Rahmat, Mas, 424-425
Rahmat,
Raden, 296
Rasyid, Penghulu, 381-382
Rasyid Ridha, 71, 179, 443
ratib,
34, 51, 88, 189, 235, 245,
250, 329, 336-339, 341, 347,
365, 367,
377, 381, 386, 397,
424, 457, 459, 466, 468, 545
ratib Haddad,
189
ratib Rifa’i, 34
ratib Samman, 377
Riau, 38, 154, 165, 200,
393,
433, 463-464, 533
Riddell, Peter, 546
Rifa’iyah, tarekat,
338
Riyadh Al-Shalihin, 110, 182 Rizvi, Saiyid Abbas Athar, 262
Romly
(Rejoso, Jombang), 268 Ronggowarsito, 113
Rouffaer, G.W., 548
Rumi,
Isma’il, 261
Rumi, Jalaluddin, 296
S
Sa’id Hillal Al-Makki, 370
Sa’id Kamil, 279
Saifuddin Zuhri, 165
Sair Al-Salikin, 10, 188,
369,
372, 378, 382, 388-389, 458
Sajarah Banten, 5, 95, 112, 278,
296,
315, 317, 320, 324-325,
332-333, 357-359, 362-363,
545
Sammaniyah,
tarekat, 235-236,
238, 337-338, 369-372, 376-
378, 380-382, 385,
402-403,
416, 418, 424, 426, 450, 458-
459, 468
Sanusiyah,
tarekat, 242-243,
251, 469
Saranak, Shaikh, 282
Sartono
Kartodirdjo, 250, 267,
276, 313, 328, 342, 355, 470,
476, 549
Sasak,
orang, 267
Schrieke, B.J.O., 549
Semarang, 47-48, 124, 138, 144,
148,
156-157, 177, 189, 268,
275, 297-299, 472, 526-527,
532, 552
Semenanjung
Malaya, 14, 85,
164, 235, 242
Seylon (Sri Lanka), 9, 12 Shadra
Syirazi, Mulla, 116 Shahih Bukhari, 102, 108, 110,
181
Shahih
Muslim, 110, 181 Shalih Al-Syu’ab Al-Madani,
Sidi Muhammad, 375 Shalih
bin ‘Umar Al-Samarani
(Saleh Darat), 162
Shalih Hatib, 365
sharf,
167-168
Shibghatullah [bin Ruhullah], 263
Shiddiq bin ‘Umar Khan Al-
Madani, 372, 378, 388
Shiddiqiyah, tarekat, 245
silsilah, 5, 30, 33,
39, 44-45,
49, 51, 54, 89, 111, 229,
231, 235, 241, 244-245, 257,
261,
263, 265-266, 270, 274,
278-286, 292-295, 299-300,
303-306, 308-309,
329-330,
332-333, 336-337, 363-366,
377, 379, 384, 388, 395-397,
400,
403, 413-417, 428, 434-
435, 438, 450-452, 501, 553
Singapura, 13,
71, 124, 144,
147-148, 154-157, 197-198,
221, 242, 391
Sirajuddin
(Sampang, Madura), 434
Sirhindi, Ahmad, 29, 31 Snouck Hurgronje,
Christiaan,
13-14, 18, 20, 531
Steenbrink, Karel, 106, 141,
144,
196, 309
Sudan, 215, 241, 369
Sudharmono, 447 Suhari, Ahmad
(Cibeber,
Banten), 343
Suhrawardiyah, tarekat, 226
Sulaiman
Al-Rasuli, 471
Sulawesi Selatan, 7, 14, 19, 43,
150, 234-235, 243,
251, 263,
272, 364, 369, 381, 388, 390,
393-395, 399-400,
403-404,
406, 408, 410-413, 438, 459,
474, 516, 521, 527, 541
Sultan
Abdul Aziz (Turki USmani), 42
Sultan Bani Isra’il, 292 Sultan Bayezid II
(Turki
Usmani), 463
Sultan Haji (Banten), 11 Sultan Hut, 292
Sultan
Mehmed II (Turki Usmani), 26
Sumatera Barat, 538, 549
Sumatera
Selatan, 369, 377, 540
Sumatera Utara, 463, 471
Sumbawa, 235, 381,
404
Sunan Ampel, 277, 294-296,
299
Sunan Bonang, 96, 277,
294,
309
Sunan Giri, 111, 295, 533
Sunan Gunung Jati, 5,
112,
277-281, 285, 292, 300, 314,
332-334, 355
Sunan Kalijaga,
258, 294, 302,
499, 512, 551, 558
Sunan Kudus, 258
Sunda,
bahasa, 51, 110, 151,
163, 180, 275, 341, 475
Surabaya, 47-48, 93,
124, 129,
138, 141, 148, 155-157, 180,
186, 197-198, 221, 275,
322,
355, 389, 429, 432, 439, 443-
444, 493, 501-502, 519, 523,
530,
537
Suriah, 261
Surin, Bachtiar, 180
Suyuthi, Jalal Al-Din,
171, 181,
194
Syabrawi, Ahmad (Prajan, Sampang, Madura), 434, 439
Sya’duddin
[bin Abdul Wahid Khudzaifah], 439
Syadziliyah, Tarekat, 226, 229-
230,
351, 385
Syafi’i, mazhab, 53, 104, 140
Syah Mir, 286
Syahrazur
(Kurdistan), 25-26,
29-31, 37-38, 43, 45
Syahr-i Naw (Ayuthia), 255
Syakir, Muhammad, 187
Syamsuddin Sumatarani, 382 Syamsuddin
(Sumberanyar,
Madura), 434
Syamsu Tabriz, 528, 296
Syansuri
Badawi, 495
Syattariyah, tarekat, 5, 9, 24,
26-27, 29, 91, 120, 226,
230-
231, 233-234, 237, 239, 263,
279-281, 295, 367, 383, 397,
417,
423
T
Tabal, Tuan (Kelantan), 242 tafsir, 9, 26, 86, 96-98,
101-102,
108, 152, 156, 162-163, 178-
181, 199, 202, 209, 216,
325
Taha, Mahmoud Mohammad, 215
Taifun, M., 201
Taj Al-Din
Zakariya Al-Hindi, 384
tajalli, 290-291, 465
tajwid, 102, 167-168,
172
Tanjung Harapan, 42-43, 45-46,
54, 335, 399
Tantra, ajaran,
288
Tapanuli Selatan, 476
Tarbiyah, 142, 144, 487, 519
Tasawwuf,
517
Thahir, Muhammad (Bogor), 337
thariqah al-anfas, 389
thariqah
al-muwafaqah, 389
thibb, 101, 193-194, 467, 475
Thobihah, Nyai, 439,
453 Thohir Falak, Kiai, 268 Tholhah, Kiai (Cirebon), 268 Tijaniyah, tarekat,
111, 242,
419, 421, 423, 432, 440-447,
452-454
Tompo, Haji
Raden Daeng, 401 Tubagus Isma’il, 311
Tudjimah, 203, 274, 364, 413,
415-416,
553
Tuhfah Al-Muhtaj, 114, 122,
127, 129
Turki, 14, 16, 18, 21,
24, 30,
37, 40, 46, 49, 54, 102, 104,
139, 144, 215, 221, 261,
270,
287, 296, 306, 331, 338, 345,
419, 442, 461, 463,
469-470,
557-558
U
‘Ulwiyah, tarekat, 449
Umm Al-Barahin,
175
Uni Soviet, 16-17, 461
‘Uqud Al-Lujjain, 131, 138, 212,
220
ushuli,
115
Usman Al-Ishaqi (Sawahpulo, Surabaya), 429, 444
V
V.O.C.
(Kompeni Belanda), 318, 320, 335, 358, 360, 364, 399-400, 416
W
Wahab
Chasbullah, 111
wahdat al-wujud, 8-10, 28, 41,
380, 382-385, 510
Wahidiyah,
tarekat, 245
Wali Lanang, 295
Wanamarta, pesantren, 94
wasilah,
89, 271
Wawacan Seh (bdk. Hikayat Seh), 341, 347
Wejangan Seh Bari,
94, 96
Wujudiyah, 112, 357, 382
Y
Yaman, 11, 257, 261, 263,
373,
378, 384, 396
yoni mudra, 289, 307
Yunus Maratan, 150
Yusuf
Bogor, 402-404
Yusuf Makassar, 9, 27, 43, 51,
60, 114, 185, 234,
245, 256-
257, 261, 272, 274, 304, 334,
364, 369, 384, 394-395,
403,
459, 462, 553
Yusuf, Muhammad, raja muda Riau, 154
Yusuf
Tauziri, 468
Yusuf “Tibuku” (Cibogo?), 263
Z
Zabid, 257
Zainal
Abidin (Kwanyar, Madura), 428, 434
Zainal Abidin (Ombul,
Madura),
434
zakat, 130, 134, 311-312, 322,
324, 353, 355
Zarruq,
Syaikh (Abu Al-‘Abbas Ahmad Al Burnusi Al-Fasi), 213, 221
Zauq, aliran,
246
zawiyah, 14, 38, 52, 102, 233,
235-238, 242, 284, 372, 418,
469
Zen
Syukri, M., 379
TENTANG PENULIS
Martin van Bruinessen biasanya menyebut dirinya sebagai ahli
antropologi, walaupun ia dididik sebagai ahli matematika dan fisika. Setelah
bekerja beberapa tahun sebagai guru matematika, ia beralih pada ilmu
antropologi dan melakukan penelitian lapangan yang pertama di masyarakat
Kurdi, di Iran, Irak, Turki dan Syria (1974-76). Karena dalam gerakan nasional
Kurdi para syekh tarekat sering tampil sebagai pemimpin yang bisa
mempersatukan suku-suku yang saling bermusuhan, Martin berusaha memahami apa
yang mendasari pengaruh tarekat itu. Dalam disertasinya ia menganalisis –
antara lain – perkembangan tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah dalam
masyarakat Kurdi. Dan selain peranan politik tarekat tersebut dalam membentuk
identitas bangsa Kurdi, ia juga mulai meminati alam pemikiran dan ruh tasawuf
yang mewarnai budaya orang Kurdi. Setelah mengajukan disertasinya pada tahun
1978, ia sering kembali ke daerah Kurdi dan juga menjalin hubungan erat dengan
orang Kurdi yang datang ke Eropa sebagai pelarian politik.
Pada tahun
1982, Martin ditawarkan posisi sebagai peneliti pada KITLV, lembaga ilmiah
Belanda yang berfokus kepada Indonesia, dengan tugas menjadi ahli tentang
Islam di Indonesia. Ia merancang proyek penelitian mengenai agama dan
kemiskinan, dan dalam rangka penelitian lapangan, ia hidup selama satu tahun
di sebuah kampung miskin di Bandung. Kalau merasa memerlukan ganti suasana, ia
sering keluar kota menziarahi makam-makam para wali atau menemukan guru-guru
tarekat dan kebatinan. Ia
mulai sadar bahwa tarekat yang
telah ia teliti di Kurdistan juga hadir dan digemari banyak pengikut di
Indonesia.
Pengamatannya tentang tarekat dan pesantren di Indonesia
menjadi lebih intensif ketika Martin diundang ke LIPI sebagai penasihat metode
penelitian (1986-90) dan antara lain dilibatkan dalam proyek penelitian
mengenai “Sikap dan Pandangan Hidup Ulama Indonesia”. Dalam rangka proyek ini,
Martin sempat menjelajahi banyak daerah di Sumatra, Jawa, Kalimantan, NTB dan
Sulawesi, bersama peneliti LIPI atau peneliti di perguruan setempat, dan ia
mulai bekenalan dengan banyak ulama, pemikir muslim, dan aktivis muda.
Pengalaman
ini disusul dengan masa kerja ketiga di Indonesia, ketika ia diperbantukan
oleh Universitas Leiden untuk mengajar metode penelitian dan sosiologi agama
di Program Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga (1991-93).
Pada awal 1994, ia kembali ke almamaternya di Utrecht sebagai dosen sejarah
dan bahasa Turki dan Kurdi, tetapi di samping itu, ia hampir setiap tahun
sempat mengunjungi Indonesia, untuk menengok teman- teman lama dan mengamati
perkembangan sosial dan politik.
Pada 1998, Martin diangkat menjadi guru
besar untuk Studi Perbandingan tentang Masyarakat-masyarakat Muslim Kontempo-
rer, di Universitas Utrecht dan juga di ISIM, Lembaga Internasional untuk
Kajian Islam dan Kemodernan. Dalam rangka ini ia sempat mendidik dan
membimbing peneliti muda dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Buku yang
diterbitkannya belakangan ber- judul Sufism and the ‘Modern’ (disusun bersama
Julia Howell), The Madrasa in Asia (dengan Farish A. Noor dan Yoginder Si-
kand), Islam and Modernity (dengan M. Khalid Masud dan Ar- mando Salvatore),
dan Producing Islamic Knowledge in Western Europe (dengan Stefano Allievi).
[alkhoirot.org]