Adat itu bisa Menjadi Hukum

Kaidah fikih: Adat itu bisa menjadi hukum” Misalnya : 1. Berjual beli dengan memuthlakan bahasa singkat, maka ketentuannya adalah sesuai dengan mata uang yang berlaku. 2. Mu‟amalah dalam jenis barang-barang atau macam-macam jenisnya yang lain itu pada dasarnya berlaku harga yang sesuai dengan mata uang yang berlaku. 3. Dalam hal menggunakan kamar mandi dan makan makanan yang disuguhkan kepada tamu dengan tidak ada lafadz/ucapan apapun, maka hukumnya tergantung adat yang berlaku, apakah itu gratis (cuma-cuma) atau tidak.
Adat itu bisa Menjadi Hukum
Nama kitab asal: Mabadi' Awaliyah fi Ushul al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah (مبادئ أولية في أصول الفقه صش القواعد الفقهيه)
Pengarang: Abdul Hamid Hakim
Penerjemah: H. Sukanan S.Pd.I, Ust. Khairudin
Bidang studi: Kaidah dan Ushul Fikih madzhab Syafi'i

Daftar Isi

KAIDAH KEDUA PULUH SATU

العادة محكمة

“Adat itu bisa menjadi hukum”

Misalnya :

1. Berjual beli dengan memuthlakan bahasa singkat, maka ketentuannya adalah sesuai dengan mata uang yang berlaku.

2. Mu‟amalah dalam jenis barang-barang atau macam-macam jenisnya yang lain itu pada dasarnya berlaku harga yang sesuai dengan mata uang yang berlaku.

3. Dalam hal menggunakan kamar mandi dan makan makanan yang disuguhkan kepada tamu dengan tidak ada lafadz/ucapan apapun, maka hukumnya tergantung adat yang berlaku, apakah itu gratis (cuma-cuma) atau tidak.

4. Dalam hitungan haidh, sedikitnya haid, nifas dan suci, serta kebiasaan dan paling banyaknya itu tergantung kebiasaan yang berlaku.

5. Untuk memberikan upah pada tukang jahit dan tukang tenun, menurut imam Rafi‟i rahimahullah sebaiknya bersandar pada kebiasaan yang berlaku.


واعلم انما تعتبر العادة اذا اضطردت فان اطربت فلا وجب البيان

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya adat itu menjadi perumpamaan ketika berlaku, maka ketika berubah tidaklah wajib untuk membuat bayan (keterangan)”

KAIDAH KEDUA PULUH DUA

ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف

“Sesuatu yang datang dalam hukum syara‟ secara muthlaq dan tidak ada yang menjadi landasannya dan tidak juga dengan definisi lughoh (bahasa) maka semua itu dikembalikan pada kebiasaan (adat) yang berlaku”

Misalnya :

1. Niat dalam sholat itu cukup dengan Muqoronah „Urfiyah (berbarengan sesuai adat) dengan perkiraan hitungan orang itu telah menghadirkan niat dalam sholat atau yang biasa disebut dengan Istihdharul „Urfi.

2. Jual beli dengan saling serah terima tanpa akad ijab dan qabul itu secara hukum syara‟ tidak sah, maka wajib dikembalikan kepada adat kebiasaan, dan pendapat ini dipilih oleh Imam Nawawi rahimahullah, dan termasuk Qaul Mu‟tamad.

KAIDAH KEDUA PULUH TIGA

الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد

“Ijtihad itu tidak akan rusak dengan ijtihad yang lain”

Misalnya :

1. Jika seseorang berubah ijtihadnya dalam menentukan arah kiblat, maka yang dipakai adalah ijtihad yang kedua, tetapi tidak mesti mengqadho (mengulangi) sholatnya (jika sudah melakukan sholat), bahkan walaupun ia sholat 4 raka‟at dengan 4 arah kiblat yang berbeda itu tidak mesti diqodho.

2. Jika seorang hakim telah memutuskan hukum sesuatu dengan ijtihadnya, kemudian ijtihad itu berubah, maka hukum dari ijtihad yang pertama tadi tidaklah menjadi batal.

3. Apabila seorang suami melakukan khulu‟ kepada istrinya sebanyak 3 kali kemudian setelah itu ia menikahi istrinya (yang telah dikhulunya itu), dengan tidak menggunakan Muhallil (orang yang menyelang), dengan beri‟tiqad bahwa khulu‟ itu adalah fasakh nikah bukan thalaq, tetapi kemudian ijtihadnya berubah bahwa khulu‟ itu adalah thalaq maka ia tetap masih diperbolehkan bersama
istrinya itu dengan pernikahannya tadi.

Imam Ghazali berkata : Jika hakim telah memutuskan untuk menyatakan sah pada pernikahannya itu maka tidaklah wajib memisahkannya, walaupun kemudian ijtihad hakim itu berubah untuk memisahkannya sebagai perubahan hukum yang telah ditetapkan hakim dalam ijtihadnya, sekalipun hakim tidak memberikan keputusan harus pisah, maka hukum dalam pernikahan itu terdapat keragu-raguan. Qaul Mukhtar (yang dipilih) berpendapat wajib memisahkannya karena kewajiban menjaga perempuan tadi dari jima‟ haram berdasarkan
i‟tiqad/ijtihadnya hakim yang kedua.

PERINGATAN (تنبيه)

Pengertian Kaidah ini adalah bahwa ijtihad (yang kedua) itu tidak membatalkan ijtihad yang pertama, akan tetapi harus adanya perubahan hukum setelah itu, karena tidak adanya tarjih (yang kuat) pada ijtihad yang pertama tadi, karena itu yang harus digunakan adalah ijtihad kedua didalam menentukan arah kiblat, namun ijtihad yang pertama tidaklah menjadi batal.

Allah Swt. Berfirman dalam surat al-Baqarah : 148

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

".....Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan...."

KAIDAH KEDUA PULUH EMPAT

الإيثار بالعبادة ممنوع

“Mendahulukan orang lain dalam hal ibadah itu dilarang”

Misalnya :

1. Mendahulukan orang lain dalam barisan pertama dalam sholat berjama‟ah,

2. Mendahulukan orang lain dalam memakai air suci dan bergantian menutup aurat

3. Mendahulukan orang lain untuk mencari orang lain karena giliran mengajar ilmu
4. Mendahulukan orang lain dalam memberikan kebutuhan orang yang hajat seperti memberi makan orang miskin dan anak-anak yatim

Allah Swt. Berfirman dalam surat al-Hasyr : 9

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

"....Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan...."
LihatTutupKomentar