Menolak Keburukan dan Mengambil Kebaikan

Mendahulukan menolak keburukan dari pada mengambil kemashlahatan Misalnya 1. Mubalaghah dalam berkumur-kumur dan istinsyaq itu hukumnya disunnahkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga puasanya dari jalan yang menjadikannya batal. 2. Menyela-nyela rambut hukumnya sunnah dalam bersuci, tetapi dimakruhkan bagi orang yang sedang ihram karena menjaga dari rontoknya rambut. 3. Diampuni dalam meninggalkan sebagian kewajiban dengan yang lebih rendah tingkat kesukarannya seperti berdiri dalam melaksanakan sholat (boleh duduk jika udzur), dan berbuka (bagi yang udzur berpuasa) serta dalam hal bersuci (boleh diganti dengan tayammum), dan tidak diampuni dalam hal melakukan perbuatan yang dilarang (seperti memilih yang lebih rendah dosanya) terlebih lagi dalam masalah dosa-dosa besar.
Menolak Keburukan dan Mengambil Kebaikan
Nama kitab asal: Mabadi' Awaliyah fi Ushul al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah (مبادئ أولية في أصول الفقه صش القواعد الفقهيه)
Pengarang: Abdul Hamid Hakim
Penerjemah: H. Sukanan S.Pd.I, Ust. Khairudin
Bidang studi: Kaidah dan Ushul Fikih madzhab Syafi'i

Daftar Isi

KAIDAH KEDELAPAN BELAS

اذا تعارض المفسدتان روعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما

“Ketika terdapat dua kemafsadatan maka hindari yang lebih besar madharatnya dengan melakukan yang lebih ringan mafsadatnya”

Misalnya

1. Boleh membelah perut orang mati jika didalamnya terdapat seorang anak yang diperkirakan hidup.

2. Tidak boleh meminum Khamr dan berjudi karena madharat keduanya itu lebih besar dari manfa‟atnya.

3. Diberlakukannya dalam agama Islam hukum Qishah, hudud, membunuh perampok.

4. Boleh bagi orang yang madharat mengambil makanan orang lain dengan paksa.

5. Boleh memotong dahan/ranting pohon milik orang lain jika berada di area tanah miliknya.

6. Apabila orang yang madharat menemukan bangkai dan makanan milik orang lain, maka pendapat yang lebih shahih menyatakan lebih baik memakan bangkai, karena memakan bangkai itu hukumnya mubah dengan dasar Nash, sedangkan memakan makanan orang lain itu hanya dengan dasar ijtihad.


KAIDAH KESEMBILAN BELAS

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Mendahulukan untuk menolak kemafsadatan dari pada mengambil kemashlahatan”

Misalnya

1. Mubalaghah dalam berkumur-kumur dan istinsyaq itu hukumnya disunnahkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga puasanya dari jalan yang menjadikannya batal.

2. Menyela-nyela rambut hukumnya sunnah dalam bersuci, tetapi dimakruhkan bagi orang yang sedang ihram karena menjaga dari rontoknya rambut.

3. Diampuni dalam meninggalkan sebagian kewajiban dengan yang lebih rendah tingkat kesukarannya seperti berdiri dalam melaksanakan sholat (boleh duduk jika udzur), dan berbuka (bagi yang udzur berpuasa) serta dalam hal bersuci (boleh diganti dengan tayammum), dan tidak diampuni dalam hal melakukan perbuatan yang dilarang (seperti memilih yang lebih rendah dosanya) terlebih lagi dalam masalah dosa-dosa besar.

Allah Swt berfirman dalam surat al-Mu‟minun : 5 - 7

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)

5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,

6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.

7. Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.

KAIDAH KEDUA PULUH

الاصل فى الابضاع التحريم

“Asalnya berjima‟ itu hukumnya haram”

Misalnya

1. Ketika seorang perempuan muhrim (yang haram dinikahi) yang tidak diketahuikeberadaannya, ada bersama dengan perempuan-perempuan yang jumlahnya dapat dihitung (jumlah sedikit) dan berada pada satu kampung, maka dilarang bagi orang itu untuk berijtihad (memilih salah satunya untuk dijadikan istri) karena syarat ijtihad dalam menentukan sesuatu itu asal hukumnya harus mubah (boleh), tetapi diperbolehkan memilih salah satu dari perempuan-perempuan itu, jika jumlahnya amat banyak, karena rukhshoh (keringanan) agar tidak tertutupnya pintu nikah dan terbukanya pintu zina.

2. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain dalam membeli jariyah (budak perempuan) dan memberikan keterangan tentang sifat-sifatnya, dan ketika siwakil membeli jariyah itu dengan sifat-sifat yang sama tetapi ia meninggal sebelum menyerahkannya pada orang yang mewakilkannya, maka hukumnya si jariyah tadi tidak boleh di jima‟ oleh orang yang mewakilkannya itu, karena
dikhawatirkan siwakil membeli jariyah itu untuk dirinya sendiri, walaupun siwakil membeli jariyah itu dengan sifat yang telah disebutkan tadi itu jelas dalam kehalalannya, karena asalnya jima‟ itu haram sampai diyakini sebab-sebab yang menghalalkannya.

3. Tidak dihalalkan menjima‟ perempuan yang menjadi boyongan (tawanan) perang kecuali sudah menjadi bagian dari ghanimah yang dibagi oleh imam yang membaginya dengan baik dengan tidak ada rasa ragu dan takut.

Allah Swt berfirman dalam surat al-A‟raf : 199

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ ...

"Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh."
LihatTutupKomentar