Qashar, Fashal, Washal dalam Balaghah

Qashr, Fashal, Washal dalam Balaghah Qashr adalah pengkhususan suatu perkara pada perkara lain dengan cara yang khusus

Qashar, Fashal, Washal dalam Balaghah

Nama kitab: Terjemah Balaghah Wadhihah, Al-Balagah al-Wadiha, al-Balaghatul Waadhiha
Penulis: Ali Jarim dan Mustafa Amin
Penerjemah:
Kitab asal: Al-Balaghah Al Wadhihah: Al-Bayan wa Al-Ma’ani wa Al-Badi’ li Al-Madaris Al-Tsanawiyah (البلاغةُ الواضِحَةُ المعاني البيان البديع للمدارس الثانوية)
Bidang studi: bahasa Arab, sastra Arab, ma'ani, bayan, badi', prosa, syair, puisi, sajak, fiksi, non-fiksi


Daftar isi

  1. Bab II Qashr
  2. Bab III :Fashal Dan Washal
  3. Kembali ke: Terjemah Al-Balaghah al-Wadihah  

القصرُ  
تعريفه- طرقه- طرَفاه
الأمثلةُ:
(1) لا يفوز إلا المجدُّ.
(2)إنما الحياةُ تعبٌ .
(3) الأرضُ متحرِّكةٌ لا ثابتة.
(4) ما الأرضُ ثابتةً بلْ متحركةٌ.
(5) ما الأرضُ ثابتةً لكن ْمتحركةٌ.نننننن
(6) على الرجالِ العاملين نثني.

البحثُ:
إذا تأملت الأمثلة السابقة رأيت أنَّ كل مثال منها يتضمن تخصيص أمر بآخر، فالمثال الأول يفيد تخصيص الفوز بالمجد، بمعنى أن الفوز خاص بالمجد لا يتعداه إلى سواه. والمثال الثاني يفيد تخصيص الحياة بالتعب، بمعنى أن الحياة وقفٌ على التعب لا تفارقه إلى الراحة. وهكذا يقال في بقية الأمثلة.
وإذا أردت أن تعرف منشأ هذا التخصيص في الكلام، كفاك أن تبحث في الأمثلة قليلاً. خذ المثال الأول مثلا و احذف منه أداتي النفي والاستثناء، تجد أن التخصيص قد زال منه وكأنه لم يكن، إذاً النفي والاستثناء هما وسيلة التخصيص فيه، وبمثل هذه الطريقة تستطيع أن تدرك أن وسائل التخصص في الأمثلة الباقية هي: إنما: والعطف بلا، أو بل، أو لكن، و تقديم ما حقه التأخير. ويسمي علماء المعاني التخصيص المستفاد من هذه الوسائل بالقصر، ويسمُّون الوسائل نفسها طرق القصر.
ارجع إلى الأمثلة مرة أخرى وابحث فيها واحدا واحداً : تجد المتكلم في المثال الأول يقصر الفوز على المجد فالفوز مقصور، والمجد مقصور عليه، وهما طرفا القصر. و لما كان الفوز صفة من الصفات والمجدُّ هو الموصوف بهذه الصفة، كان القصر في هذا المثال قصر صفة على موصوف، بمعنى أن الصفة لا تتعدى الموصوف إلى موصوف آخر. وتراه في المثال الثاني يقصر الحياة على التعب. فالحياة مقصورة والتعب مقصور عليه ولما كانت الحياة موصوفة والتعب صفة لها كان القصر في هذاالمثال قصر موصوف على صفة بمعنى إن الموصوف لا يفارق صفة التعب إلى صفة الراحة ،ولو أنك تدبرت جميع أمثلة القصر ما ذكر منها هنا و ما لم يذكر، لوجدت كلَّ مثال يشتمل على مقصور و مقصور عليه، و وجدت القصر لا يخلو عن حال من الحالين السابقين. فهو إما قصر صفة على موصوف، وإما قصر موصوف على صفة.
وإذا أردت أن تعرف ضوابط تسهِّل عليك معرفة كلٍّ من المقصور و المقصور عليه في كل ما يرد عليك، فانظر إلى القواعد الآتية تجد ذلك مفصَّلاً.

القواعدُ:
(57) القصرُ تخصيصُ أمرٍ بآخرَ بطريقٍ مخصوصٍ.
(58) طرقُ القصرِ المشهورةِ أربعٌ   :
(أ) النفي، والاستثناء، وهنا يكون المقصور عليه ما بعد أداة الاستثناء.
(ب) إنما، ويكون المقصور عليه مؤخراً وجوبا.
(جـ) العطف بلا، أو بل، أو لكن، فإنْ كان العطف بلا كان المقصور عليه مقابلا لما بعدها، وإن كان العطف ببل أو لكن كان المقصور عليه ما بعدهما.
(د) تقديم ما حقُّهُ التأخير. وهنا يكون المقصور عليه هو المقدَّم.
(59) لكلِّ قصرٍ طرفانِ: مقصورٌ،و مقصورٌ عليه.
(60) ينقسمُ القصرُ باعتبار طرفيهِ قسمين:
(أ) قصرُ صفةٍ على موصوفٍ.

(ب) قصرُ موصوفٍ على صفةٍ.

BAB II QASHAR

A Pengertian, Sarana-Sarana, dan Kedua Tharaf (Bagian)-nya

1 Contoh-Contoh

    Tidak akan beruntung kecuali orang yang bersungguh-sungguh.

    Hidup itu hanyalah kepayahan.

    Bumi itu bergerak, bukan diam.

    Bumi itu tidaklah diam, melainkan bergerak.

    Bumi itu tidaklah diam, tetapi bergerak.

    Hanya kepada orang-orang lelaki yang bekerja aku memuji.

2. Pembahasan

Bila kita perhatikan contoh-contoh di atas, kita dapatkan bahwa maSing-masing contoh mengandung pengkhususan suatu perkara pada perkara lainnya. Pada contoh pertama terdapat pengkhususan keberuntungan bagi orang yang bersungguh-sungguh, dengan arti bahwa keberuntungan itu hanya akan diraih oleh orang yang bersungguh-sungguh dan tidak akan diraih oleh orang lain. Pada contoh kedua terdapat pengkhususan hidup dan kepayahan, dengan arti bahwa hidup dipersiapkan untuk payah dan tidak akan memisahkan diri darinya menuju santai. Demikian pula halnya pada contoh-contoh lainnya.

Bila kita ingin mengetahui pembuatan takhshish (pengkhususan) dalam kalimat, maka perhatikan sejenak contoh-contoh di atas. Ambil saja contoh pertama, buanglah darinya huruf nafyi dan huruf istitsna’. Maka kalimat tersebut tidak lagi menunjukkan makna takhshis. Kalau demikian, nafyi dan istitsna’ adalah sarana pembuatan takhshish dalam kalimat tersebut. Dengan demikian, dapatlah kita ketahui bahwa sarana-sarana takhshish pada contoh yang lain adalah: innamaa ( ). ‘athaf dengan huruf Iaa (  ), bal ( ) atau laakin (  ), dan mendahulukan lafaz yang menurut kedudukannya harus diakhirkan. Para ulama Ma’ani menyebut takhshish yang ditunjukkan oleh sarana-sarana tersebut sebagai qashr, dan sarana-sarana tersebut mereka namakan sebagai thuruqul-qashr.

Kembali kita perhatikan contoh-contoh di atas dan kita bahas satu per satu. Maka kita dapatkan bahwa pembicara kalimat pertama mengkhususkan keberuntungan bagi orang yang bersungguh-sungguh. Jadi, keberuntungan adalah magshur, dan orang yang bersungguh-sungguh disebut sebagai magshur ‘alaih. Kedua komponen ini disebut sebagai tharaf qashr. Karena keberuntungan itu adalah salah satu sifat, dan orang yang bersungguh-sungguh itu adalah salah satu maushuf, maka gashar dalam contoh ini disebut qashr shifat ‘ala maushuf, dengan arti bahwa sifat tersebut tidak merembet dari satu maushuf kepada maushuf yang lain. Pada contoh kedua kita dapatkan bahwa hidup menjadi magshur dan payah menjadi magshur ‘alaih. Karena hidup itu adalah maushuf dan payah itu adalah sifat, maka qashr pada contoh ini disebut sebagai qashr mausuf ‘ala shifat, dengan arti bahwa maushuf tidak dapat dipisah dari sifat (payah menuju santai). Bila kita perhatikan seluruh qashr, baik yang disebut di atas maupun yang tidak tersebut di sini, maka akan kita dapatkan bahwa setiap qashr mengandung magshur dan magshur ‘alaih. Juga akan kita dapatkan bahwa qashr itu ada dua macam, qashr shifat ‘ala maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat.

Bila kita ingin mengetahui tanda-tanda yang mempermudah mengetahui dan membedakan antara magshur dan magshur ‘alaih, maka marilah kita perhatikan kaidah-kaidah berikut ini.

Kaidah-Kaidah

(57) Qashr adalah pengkhususan suatu perkara pada perkara lain dengan cara yang khusus.

(58) Sarana-sarana qashr yang termasyur ada empat, yaitu:

    Nafyi dan istitsna’, dan magshur ‘alaihnya terdapat setelah huruf istitsna’.

    innamaa ( ), dan magshur ‘alaihnya adalah lafaz yang wajib disebut terakhir.

    Athaf dengan laa ( ), bal ( ), atau laakin ( )

 

Bila athafnya memakai huruf laa, maka magshur ‘alaihnya adalah lafaz yang bertolak belakang dengan lafaz yang jatuh setelah laa, dan bila ‘athafnya itu dengan bal atau laakin, maka magshur ‘alaihnya adalah lafaz yang jatuh setelahnya.

 

    Didahulukannya lafaz yang seharusnya diakhirkan. Di sini magshur ‘alaih-nya adalah lafaz yang didahulukan. () Setiap qashr memiliki dua tharaf, yaitu magshur dan magshur ‘alaih.

 

(60) Berdasarkan kaitan kedua tharafnya, qashr dibagi menjadi dua, yaitu qashr shifat ‘ala maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat.

 

    Pembagian Qashr menjadi Hagigi dan Idhafi 1. Contoh-Contoh

 

    Tidak ada sungai yang menyegarkan Mesir selain Nil.

 

    Pemberi rezeki hanyalah Allah.

 

    Tidak ada orang yang dermawan kecuali

 

    Hasan hanyalah seorang pemberani. .

 

    Pembahasan Di depan telah dijelaskan bahwa berdasarkan kaitan kedua tharafnya, qashr dibagi menjadi qashr shifat ‘ala maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat. Di sini akan dijelaskan pembagian lain yang berdasarkan hakikat dan kenyataan.

 

Bila kita perhatikan kedua contoh pertama, kita dapatkan bahwa qashr-nya termasuk qashr shifat ‘ala maushuf. Bila kita perhatikan lebih jauh, kita dapatkan bahwa sifat yang menjadi magshur pada kedua contoh tersebut tidak dapat terpisah dari maushufnya secara mutlak. Kesegaran tanah Mesir pada contoh pertama adalah sifat yang tidak lepas dari fungsi Sungai Nil dan bukan fungsi sungai yang lain. Pada contoh kedua, rezeki tidak lepas dari kemurahan Allah dan bukan kemurahan selain Allah.

 
Qashar pada kedua contoh pertama di atas disebut sebagai qashr hakiki. Demikian pula setiap qashr yang padanya magshur hanya tertentu bagi magshur ‘alaih menurut hakikat dan kenyataannya, yakni tidak lepas darinya kepada yang lain.

 

Perhatikanlah kedua contoh terakhir, maka kita dapatkan bahwa contoh pertama (cl) qashr shifat ‘ala maushuf, sedangkan contoh kedua () merupakan qashr maushuf ‘ala shifat. Bila kita perhatikan lebih jauh, kita dapatkan bahwa magshur pada kedua contoh tersebut adalah tertentu bagi magshur ‘alaih bila disandarkan kepada suatu hal tertentu dan tidak disandarkan kepada hal-hal yang lain karena si pembicara pada contoh pertama bermaksud mengkhususkan sifat dermawan kepada Ali bila dinisbatkan kepada orang-orang tertentu, seperti Khalid misalnya, dan pembicara itu sama sekali tidak bermaksud menyatakan bahwa sifat dermawan itu sama sekali tidak ada pada seorang pun selain Ali karena kenyataannya memang tidak demikian. Demikian juga halnya dengan contoh terakhir. Oleh karena itu, qashr pada kedua contoh terakhir ini disebut sebagai qashr idhafi. Begitu juga setiap qashr yang pengkhususannya terbatas dengan dinisbatkan kepada sesuatu yang tertentu.

 

3, Kaidah-Kaidah

(61) Berdasarkan hakikat dan kenyataan, qashr itu dapat dibagi menjadi dua, Yaitu:

 

    Hakiki adalah dikhususkannya maqshur pada maqshur ‘alaih berdasarkan hakikat dan kenyataan, yaitu sama sekali maqshur, tidak lepas dari maqshur ‘alaih kepada yang lain.

 

    Idhafi , adalah dikhususkannya magshur pada magshur ‘alaih dengan disandarkan kepada sesuatu yang tertentu.

 

    Latihan-Latihan

Contoh Soal

 

1: Sebutkan macam qashr, magshur, dan magshur ‘alaih pada contoh-contoh qashr berikut ini!

 

1, Allah Swt. berfirman:

 

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama. (QS Faathir: 28)

 

    Allah Swt. berfirman:

 

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? (QS Ali Imran: 144)

 

3, Labid berkata:

 

Seseorang itu tidak lain hanyalah seperti hilal, cahayanya makin bertambah sempurna pada pertengahan bulan, lalu menghilang.

 

    Ibnur-Rumi berkata dalam suatu pujiannya: ”

 

Harta bendanya berada di pundak-pundak manusia sebagai pemberian, bukan berupa emas dan harta benda lainnya dalam gudang sebagai timbunan.

 

    Ia berkata:

 

Aku tidak heran meskipun kauheran kepadaku karena aku dapat mengetam emas dari ladangnya. Akan tetapi, keherananku adalah terhadap suatu kebaikan yang tidak dapat aku balas, dan aku berharap engkau lebih heran terhadapnya daripada terhadapku.

 

    Al-Ghathammasy Adh-Dhabiyyu berkata:

 

Hanya kepada Allah aku mengadu dan bukan kepada sesama manusia. Sesunguhnya aku lihat bumi masih tetap, sedangkan teman-teman dekat telah tiada.

 

Contoh Soal 2:

 

1.Tunjukkanlah magshur ‘alaih yang terdapat pada dua contoh berikuk ini dan jelaskan perbedaan makna kedua kalimatnya!

 

Sesungguhnya yang membela kedudukanmu hanyalah Ali.

 

2, Sesungguhnya Ali hanyalah mentbela kedudukanmu.

 

Contoh Jawaban 2:

 

1, Magshar ‘alaih pada kalimat pertama adalah Ali. Jadi, pembicara menyatakan kepada mukhathab: Ali sendiri yang memberi. kan pembelaan terhadap kedudukanmu, tidak seorang pun melakukan hal itu bersamanya. Boleh jadi Ali memiliki keterampilan lain untuk melayani masyarakat, seperti mengobati orang sakit dan menyantuni orang-orang fakir.

 

    Magshur ‘alaih pada kalimat kedua adalah membela. Jadi, Ali tidak melakukan hal lain selain membela, di samping itu kemungkinan ada orang lain melakukan hal yang sama seperti dia.

 

Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa kalimat pertama lebih baligh dalam memuji Ali dari dua sisi, pertama karena kalimat tersebut menunjukkan bahwa hanya Ali-lah yang melakukan pembelaan, tidak ada orang lain yang menyertainya: kedua karena kalimat tersebut tidak meniadakan keterampilan Ali yang lain.

 

Latihan-Latihan

 

    Sebutkan macam qashr, sarananya, magshur, dan magshur ‘alaih-nya pada contoh-contoh berikut!

 

    Allah Swt. berfirman: :

 

.. karena sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka. (QS Ar-Ra’d: 40)

 

    Allah Swt. berfirman:

 

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan. (QS Al-Fatihah: 5)

 

    Ibnur-Rumi berkata dalam sebuah pujiannya:

 

Kebaikannya pada seluruh manusia terbagi, dan pujiannya pada seluruh manusia bukan untuk golongan tertentu.

 

    Ia berkata:

 

Ja menampakkan kepada mereka sebagai orang kampung, namun bukan karena kedunguannya hidup di kampung, melainkan karena akalnya melebihi akal orang yang pandai.

 

5, Ia berkata:

 

Ia bergoyang ke kanan dan ke kiri ketika mendengar pujian. Goyangan keagungan, bukan goyangan karena bergetar kegirangan.

 

    Ia berkata:

 

Aku tidak berkata tentang dirimu kecuali yang sebenarnya, dan engkau senantiasa berada di jalur sunnah yang agung dan jelas.

 

7, Ibnul-Mu’taz berkata:

 

Ingatlah, sesungguhnya dunia itu tiada lain hanyalah bekal untuk mencapai tujuan, baik kepada jalan bengkok maupun kepada jalan yang lurus.

 

    Ia berkata:

 

Kehidupan itu hanyalah sebentar dan kelak akan berakhir, dan harta itu hanyalah sesuatu yang akan musnah dan musnah.

 

    Abuth-Thayyib berkata:

 

Dengan mengharapkan kemurahanmu, kefakiran dapat diusir, dan dengan bermusuhan umur akan habis.

 

    Ia berkata:

 

Keheranan itu bukan karena banyaknya peniberian hartanya, melainkan karena keselamatan hartanya sanipai waktu pemberian lagi.

 

    Allah Swt. berfirman:

 

Dan tiada taufik bagiku kecuali dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (QS Hud: 88)

 

    Hanya kepada Allah aku mengadu bahwa padaku ada kebutuhan yang telah dilalui beberapa hari, namun masih seperti semula.

 

    Abuth-Thayyib berkata:

 

Sesungguhnya kita berada pada generasi yang sama cela dan hinanya, yang lebih jahat bagi orang yang merdeka daripada luka di badan.

 

    Kamu adalah orang yang bepergian dan beberapa malam kamu hidup menumpang, dan merupakan hal yang memadharatkan kamu berdiam diri lebih lama.

 

    Ibnur-Rumi berkata:

 

Mereka tidak mengharapkan balasan atas kenikmatan yang mereka berikan. Akan tetapi, mereka mampu melumatkan kebutuhan untuk mencapai keagungan.

 

    Abul Atahiyan berkata dalam memuji Yazid bin Mazyad AsySyaibani

 

Seakan-akan engkau sedang berperang, namun sesungguhnya engkau berlari hanya dari barisan yang berada di belakangmu. Maka tiada bengana kecurangan prajurit kecuali dalam kebisinganmu, dan tidak ada bencana harta benda kecuali pemberian kepadamu.

 

    Abu Tamam berkata:

 

Hanya terhadap rumah dan tempat bermain yang semisal curahan air mata yang terbendung itu terhina.

 

    Sebutkanlah magshur ‘alaih pada kalimat-kalimat berikut dan jelaskan perbedaan makna-maknanya!

 

    Ali hanya senang berenang di pagi hari.

 

    Sesungguhnya yang senang berenang di pagi hari hanyalah Ali.

 

    Sesungguhnya yang disenangi Ali di pagi hari hanyalah renang.

 

III. Kalimat mana di antara kedua kalimat berikut yang lebih baligh dalam memuji Sa’id? Jelaskanlah sebabnya!

 

    Sesungguhnya yang bagus dalam berpidato adalah Sa’id.

 

    Sesungguhnya Sa’id hanya agus dalam berpidato.

 

    Buatlah kalimat-kalimat berikut menjadi kalimat yang menunjukkan makna qashr, lalu jelaskanlah macam qashrnya dan sarananya!

 

    PengangQur’an itu merusak.

 

    Berkahnya harta itu dengan dibayar zakatnya.

 

    Keselamatan itu dalam kehati-hati

 

    Berteman dengan orang yang bodoh itu payah.

 

    Saya diam terhadap orang yang dungu.

 

    Banyak latihan menambah kecerdasan.

 

    Kebahagiaan akan langgeng dengan melihat teman-teman seagama.

 

    Telah mengkhianatimu orang yang menunjukkan kamu kepada kejahatan.

 

    Seseorang akan menguasai kaumnya dengan berbuat baik kepada mereka.

 

    Menempatkan kebaikan pada selain tempatnya adalah suatu kezaliman.

 

    Perhatikan kalimat berikut! –

 

Tidak menggembirakan kedua orang tua kecuali kecerdasan anakanaknya. Kapankah qashr pada kalimat tersebut disebut sebagai qashr galab, kapankah disebut sebagai qashr ifrad, dan kapankah disebut sebagai qashr tayin?

 

    1. Jadikanlah kalimat berikut untuk menunjukkan qashr sifat “ala maushuf tanpa menambahkan satu huruf pun!

 

Kami memuliakan orang alim yang mengamalkan ilmunya.

 

    Jadikanlah kalimat berikut untuk menunjukkan qashr, dan gunakanlah sarana qashr yang engkau ketahui!

 

Kami telah bosan bersahabat dengan orang-orang bodoh.

 

    Jadikanlah kalimat berikut untuk menunjukkan qashr dengan menggunakan sarana nafyi dan istitsna, dan dengan sarana athaf!

 

Ketika datang musibah, teman akan diketahui.

 

VII, Tolaklah pendapat orang yang berkeyakinan bahwa bumi ini diam atau tidak bergerak dengan salah satu uslub qashr, lalu jelaskanlah macam qashrnya dan sarananya!

 

VIII. Jelaskanlah macam-macam qashr yang terdapat pada kisah berikut ini, sarananya, magshur, dan magshur ‘alaih-nya!

 

Orang Arab berkisah bahwa seekor kelinci menemukan sebutir kurma, lalu direbut oleh seekor musang. Maka mereka datang bertengkar minta pengadilan kepada biawak. Kelinci berkata, “Hai Abal Hisl!” Ia menjawab, “Aku mendengar engkau memanggil.” Kelinci berkata, “Kami datang kepadamu untuk menyelesaikan pertengkaran kami.” Ia berkata, “Kepada orang adil kamu berdua mencari hukum.” Kelinci berkata, “Keluarlah kepada kami!” Ia berkata, “Di rumahnya para hakim didatangi.” Kelinci berkata, “Sesungguhnya saya menemukan sebutir kurma.” Ia menjawab, “Manis, makanlah!” Kelinci berkata, “Lalu dirampas oleh seekor musang.” Ia menjawab, “Untuk dirinya, ia mendurhakai kebaikan.” Kelinci berkata, “Maka aku tempeleng dia Sekali.” Ia menjawab, “Terhadap hakmu, ambillah!” Kelinci berkata, “Namun, ia lalu menempelengku.” Ia berkata, “Ia merdeka, carilah pertolongan!” Kelinci berkata, “Maka hukumilah kami berdua!” Ia menjawab, “Telah aku lakukan.” Kemudian kata-kata biawak itu menJadi peribahasa.

 

    1. Buatlah dua kalimat qashr shifat ‘ala maushuf: yang pertama berupa qashr hakiki dan yang kedua qashr idhafi.

 

    Buatlah dua kalimat qashr maushuf ‘ala shifat, keduanya qashr idhafi.

 

    Buatlah contoh untuk tiap sarana qashr dua kalimat dengan ketentuan kalimat pertama magshur ‘alaih-nya berupa shifat dan pada kalimat kedua berupa maushuf.

 

    Buatlah dua kalimat qashr maushuf ‘ala shifat dengan menggunakan sarana huruf athaf bal pada kalimat pertama dan huruf athaf laakin pada kalimat kedua.

 

    Uraikanlah kedua bait Abuth-Thayyib dalam memuji Abu Syuja’ Fatik ini dan jelaskan macam qashr dan sarananya!

 

Tidak akan mencapai kemuliaan kecuali seorang sayyid yang cerdas karena tidak berat atas para sayyid mengerjakannya. Bukan orang yang mendapat warisan, orang yang tangan kanannya tidak mengetahui apa yang telah ia berikan, dan bukan orang yang banyak beruntung, orang yang tanpa pedang mentinta-minta.

 ***

الْفَصلُ والوصلُ  
(1) موَاضِع الْفَصْلِ
الأمثلةُ:
(1) قال أبو الطيب  :
وَمَا الدَّهرُ إِلا مِنْ رُوَاةِ قصائدي…إذَا قُلتُ شِعْرًا أَصْبَحَ الدهرُ مُنْشِدَا   
 (2) وقال أَبو العلاء  :
والنّاسُ بالنّاسِ من حَضْرٍ وبادِيَةٍ، بعضٌ لبعضٍ، وإن لم يَشعُروا، خدَم  
 (3) وقال تعالى: {.. يُدَبِّرُ الأَمْرَ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لَعَلَّكُم بِلِقَاء رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ} (2) سورة الرعد
(4) و قال أَبو العتاهية  :
يا صاحبَ الدُّنْيَا الْمُحِبَّ لها…   أَنْتَ الذي لاَ ينقضي تَعَبُهْ
(5) وقال آخر  :
وَإنَّمَا الْمَرْءُ بأَصْغَرَيْه          …  كُلُّ امرئ رَهْنٌ بمَا لَدَيْهِ   
(6)و قال أَبو تمام  :
لَيْسَ الْحِجَابُ بمُقصٍ عنْكَ لي أَملاً     …     إِنَّ السَماءَ تُرَجَّى حِينَ تَحْتجِبُ   
البحثُ :
يقصِد علماء المعاني بكلمة " الوصْل " عطفَ جملة على أخرى "بالواو"    كقول الأبيوَرْدى يخاطب الدهر  :
فَالعَبْدُ رَيّانُ ِمنْ نُعْمى يَجودُ بِها     والحرُّ ملتهبُ الأحشاءِ منْ ظمإِ  
و يقصدون بالفصل ترك هذا العطف، كقول المعري  :
لا تَطْلُبَنَّ بآلةٍ لَكَ حاجةً     … قَلمُ البليغ بغيْر حظٍّ مِغْزَلُ
هذا ولكل من الفصل والوصل مواطنُ تدعو إليها الحاجة ويقتضيها المقام، و سنبدأ لك بمواطن الفصل:
تأمل أَمثلة الطائفة الأولى تجد بين الجملة الأولى والثانية في كل مثال تآلفاً تامًّا، فالجملة الثانية في المثال الأَول، و هي "إذا قُلتُ شِعْرًا أصْبح الدهرُ مُنشِدًا " لم تجئ إلا توكيدًا للأولى، وهي جملة "و ما الدهرُ إلا من رواة قصائدي " فإِن معنى الجملتين واحد. والجملة الثانية في المثال الثاني "بعضٌ لبعض وإِن لم يشعرُوا خدمُ " ما جاءَت إِلا لإِيضاح الأولى "الناسُ للناس من بدوٍ و حاضرة " فهي بيان لها، والجملة الثانية في المثال الثالث جزء من معنى الأولى لأَن تفصيل الآيات بعضٌ  من تدبير الأمور، فهي بدل منها، ولا شك أنك لَحَظْتَ أن الجملة الثانية مفصولة عن الأولى في كل مثال من الأمثلة الثلاثة، و لا سر لهذا الفصل سوى ما بينهما من تمام التآلف وكمال الاتحاد   . ولذا يقال: إن بين الجملتين كمالَ الاتصال.
تأمل مثالي الطائفة الثانية تجد الأمر على العكس، فإنَّ بين الجملة الأول والثانية في كل مثال منتهَى التباين و غايةَ الابتعاد، فإنهما في المثال الرابع مختلفان خبرًا وإنشاء. و هذا جلي واضح. أما في المثال الخامس فأنه لا مناسبة بينهما مطلقا إذ لا رابطة في المعنى بين قوله: " و إِنما المرءُ بأصغريه " و قوله: "كل امرئ رهن بما لديه "، وهنا تجد الجملة الثانية في كل من المثالين مفصولة عن الأولى، ولا سر لذلك إلا كمالُ التباين و شدةُ التباعد   ، ولذلك يقال في هذا الموضع إنَّ بين الجملتين كمالَ الانقطاع.
انظر إلى المثال الأخير تر أن الجملة الثانية فيه قوية الرابطة بالجملة الأولى، لأنها جواب عن سؤال نشأ من الأولى، فكأن أبا تمام بعد أن نطق بالشطر الأول توهم أن سائلا سأله، كيف لا يحولُ حجاب الأمير بينك وبين تحقيق آمالك؟ فأجاب: " إنَّ السماء ترجى حين تحتَجب " فأنت ترى أن الجملة الثانية مفصولة عن الأولى، ولا سر لهذا الفصل إلا قوة الرابطة بين الجملتين، فإن الجواب شديد الارتباط والاتصال بالسؤال فأشبهت الحالُ هنا من بعض الوجوه حال كمال الاتصال التي تقَدمت، و لذلك يقال إنَّ بين الجملتين شبهَ كمال الاتصال.
القواعدُ:
(62) الوصلُ عَطفُ جُملةٍ عَلَى أخْرَى بالواو، والفصلُ تَرْكُ هذا العطف، ولكلٍّ مِنَ الفَصْلِ والوصلِ مَوَاضِعُ خاصةٌ.
(63) يَجبُ الْفَصْلُ بَيْنَ الْجُمْلَتَيْن في ثَلاَثَةِ مَواضعَ:
(أ)- أَنْ يَكونَ بَيْنَهُمَا اتِّحَادٌ تَامًّ، وذلك بأنْ تَكونَ الجمْلَةُ الثانيةُ تَوْكِيدًا لِلأولى، أَوْ بَيَاناً لها، أوْ بَدَلاً مِنْهَا، وَيُقَالُ حِينَئِذ إنَّ بَيْنَ الجملَتَين كَمَالَ الاتِّصَال.
(ب)-أنْ يَكونَ بَيْنَهُمَا تَبَايُنٌ تَامٌّ، و ذلكَ بأنْ تَخَتلفَا خَبَرًا وإنشاءً، أوْ بألا تَكونَ بَيْنَهُمَا مُنَاسَبَةٌ مَا، وَيُقَالُ حِينَئِذ إن بَيْنَ الجمْلَتَيْن كَمَالَ الاِنْقِطَاع.
(جـ)- أَنْ تَكونَ الثَّانَيةُ جوابا عَنْ سُؤالٍ يُفْهَم مِنَ الأولى، وَيُقَالُ حِينَئِذٍ إِنَّ بَيْنَ الجمْلَتَيْن شِبْهَ كَمَال الاتِّصَال   .
(2) مواضِعُ الوصلِ
الأمثلةُ:
(1) قال أَبو العلاء المعري  :
          وحبُّ العيشِ أعبدَ كلَّ حرٍّ،  وعلّمَ ساغباً أكلَ المُرار  
(2)و قال أبو الطيب  :
وَللسرّ مني مَوْضِعٌ لا يَنَالُهُ   نَديمٌ وَلا يُفْضِي إلَيْهِ شَرَابُ  
(3)وقال أيضاً  :
يُشَمّرُ لِلُّجِّ عَنْ ساقِهِ       ويَغْمُرُهُ المَوْجُ في السّاحِلِ  
(4) وقال بشارُ بن بُرد  :
وأَدْنِ على القُربَى المُقَرِّب نَفْسَهُ ... ولا تُشْهِدِ الشُّورَى امرَأً غيرَ كاتِم  
(5) لا وباركَ اللهُ فِيك: تجيبُ بذلك لمن قال:( هل لكَ حاجة أساعدك في قضائها)
(6) لا ولطَفَ اللهُ بهِ: تجيبُ بذلك منْ قال: (هل أبلَّ أخوكَ منْ علته)
البحثُ:
تأمل الجملتين " أَعْبَدَ كُلَّ حرٍّ " و " علم ساغبا أكل المُرار " في البيت الأول تجد أن للأولى منهما موضعا من الإعراب لأنها خبر للمبتدأ قبلها وإن القائل أراد إشراك الثانية لها في هذا الحكم الإعرابي وتأمل الجملتين : " لا يناله النديم " و " لا يفضي إليه شراب " في البيت الثاني تجد أن للأولى أيضا موضعا من الإعراب لأنها صفة للنكرة قبلها و أنه أريد إشراك الثانية لها في هذا الحكم و إذا تأملت الجملة الثانية في كل من البيتين وجدتها معطوفة على الجملة الأولى موصولة بها . و كذلك يجب الوصل بين كل جملتين جاءتا على هذا النحو.
اُنظر في البيت الثالث إلى الجملتين: " يشمِّر لِلُّجِّ عن ساقه"و " يغمُره الموج في الساحل " تجدهما متحدتين خبرَا متناسبتين في المعنى    وليس هناك من سبب يقتضي الفصل ولذلك عطفت الثانية على الأولى، والمثال الرابع كذلك مكون من جملتين متحدتين إنشاء هما: " أدنِ " و " لا تشهد " وهما متناسبتان في المعنى وليس هناك من سبب يقتضي الفصل ولذلك عطفت الثانية على الأولى، هكذا يجب الوصل بين كل جملتين اتحدتا خبرًا أو إنشاء وتناسبتا في المعنى ولم يكن هناك ما يقتضي الفصل بينهما.
انظر في المثال الخامس إلى الجملتين: " لا " و " بارك الله فيك "تجد أن الأولى على خبرية    والثانية إنشائية   . وأنك لو فصلت فقلت: "لا باركَ الله فيك " لتوهم السامع أنك تدعو عليه في حين أنك تقصد الدعاء له، و لذلك وجب العدول عن الفصل إلى الوصل. وكذلك الحال في جملتي المثال الأخير، وفي كل جملتين اختلفتا خبرًا وإنشاء وكان ترك العطف بينهما يوهم خلاف المقصود.
القاعدةُ:
(64) يَجبُ الوَصْلُ بيَنَ الجملتين في ثَلاَثَة مَوَاضعَ:
(أ)- إذَا قُصدَ إشرَاكُهمَا في الحُكم الإعرابي.
(ب)-إذا اتْفَقَتَا خَبراً أوْ إنشاء وكانت بَيْنَهُمَا مُنَاسَبَةٌ تَامةٌ، وَلَم يَكُن هُنَاكَ سَبَبٌ يقتضي الفصلَ بَيْنَهُما.
(جـ)- إذَا اخْتلَفَا خَبَراً و إنشاءً وَأوْهَمَ الفَصلُ خِلاف الْمَقصود.
نموذجٌ
لبيان مواضعِ الوصل والفصل فيما يأتي مع ذكر السبب في كل مثال:
(1) قال تعالى : {إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ} (6) سورة البقرة .
(2) وقال الأحنف بن قيس : " لا وفاء للكذوب ولا راحة لحسود " .
(3) وقال تعالى: {فَلَمَّا رَأَى أَيْدِيَهُمْ لاَ تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُواْ لاَ تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمِ لُوطٍ}  (70) سورة هود  .
(4) وجاء في الحكم : كفاء بالشيبِ داءً ، صلاحُ الإنسان في حفظِ اللسان.
(5) وينسبُ للإمام علي كرم الله وجهه  :
  دَعِ الإسْرَافَ مُقْتَصِداً، وَاذْكُرْ فِي الْيَوْمِ غَداً، وَأَمْسِكْ مِنَ الْمَالِ بِقَدْرِ ضَرُورَتِكَ، وَقَدِّمِ الْفَضْلَ   لِيَوْمِ حَاجَتِكَ.
(6) و لأبي بكر رضي الله عنه : أَمّا بَعْدُ أَيّهَا النّاسُ فَإِنّي قَدْ وُلّيت عَلَيْكُمْ وَلَسْت بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْت فَأَعِينُونِي ؛ وَإِنْ أَسَأْت فَقَوّمُونِي ؛ ..
(7) وقال أبو الطيب  :
إنّ نُيُوبَ الزّمَانِ تَعْرِفُني    أنَا الذي طالَ عَجْمُها عُودي   
(8) لا وكُفيتَ شرَّها. (تجيب بذلك من قال: أذهَبتِ الحُمَّى عن المريض؟)
(9) قال تعالى: { وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْلَمُونَ (132) أَمَدَّكُمْ بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ (133) وَجَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (134) } [الشعراء/132-134].
(10) وقال أبو العتاهية  :
قَدْ يدرِكُ الرَّاقِدُ الهادِي برقْدَتِهِ      وقَدْ يخيبُ أخُو الرَّوْحاتِ والدَّلَجِ  
(11) وقال الغزي  يشكو الناس   :
يصدُّون في البأساءِ من غير علةٍ    …   و يمتثلون الأمرُ و النهيَ في الخفض  
(12) وقال أبو العلاء المعري   :
لا يُعجِبَنّكَ إقبالٌ يريكَ سَناً،  إنّ الخُمودَ، لعَمري، غايةُ الضَّرَم  
 (13) وقال الشاعر   :
يقولونَ إني أحملُ الضيمَ عندهم… أعوذُ بربي أنْ يضامَ نظيري   
 (14) وقال تعالى : {وَإِذْ نَجَّيْنَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوَءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءكُمْ وَفِي ذَلِكُم بَلاء مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ}  (49) سورة البقرة.
(15) وقال تعالى  عن رسوله صلى الله عليه وسلم  :{ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) }  [النجم/3-5].
الإجابةُ
(1)فصل بين الجملتين، جملة : {سواءٌ عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم}، وجملة {لا يؤمنون} لأن بينهما كمال الاتصال إذ أن الثانية لا توكيد للأولى.
(2) وصل بين الجملتين لاتفاقهما خبرا وتناسبهما في المعنى. ولأنه لا يوجد هناك ما يقتضي الفصل.
(3) فصلت جملة { قالوا } عن جملة { و أوجس منهم خيفة } لأن بينهما شبه كمال الاتصال، إذ الثانية جواب لسؤال يفهم من الأولى كان سائلا سأل : فماذا قالوا له حين رأوه و قد داخله الخوف؟ فأجيب { قالوا لا تخفْ }.
(4) فصل بين الجملتين لأنَّ بينهما كمالَ الانقطاع، إذ لا مناسبة في المعنى بين الجملة الأولى والجملة الثانية.
(5) وصل بين الجمل الأربع لاتفاقها إنشاء مع وجود المناسبة، و لأنه لا يوجد هناكَ سببٌ يقتضي الفصل.
(6) فصل بين الجملتين: " أيها الناس " و "إني وليت عليكم" لاختلافهما خبرا و إنشاء فبينهما كمال الانقطاع، ووصل بين الجملتين:"وليت عليكم "ولست بخيركم " لأنه أريد إشراكهما في الحكم الإعرابي إذ كلتاهما في محل رفع، وإذا كانت الواو للحال فلا يصل.
(7) فصل بين شطري البيت، لأن الثاني منهما جواب عن سؤال نشأ من الأولى، فبينهما شبه كمال الاتصال.
(8) وصل بين جملتي لا، وكفيت، لاختلافهما خبرًا و إنشاء، و في الفَصْل إيهام خلاف المقصود، فبينهما وكمال الانقطاع مع الإبهام.
(9) بين جملة " أمدكم بما تَعْلمون" و جملة "أمدكم بأنعام وبَنِينَ وجنَّات و عيون "كمال الاتصال؛ فإن الثانية منهما بدل بعض من الأولى، إذ الأنعام و البنون و الجنات والعيون بعض ما يعلمون.
(10) ووصل أَبو العتاهية بين الجملتين لأنهما اتفقتا في الخبرية، وبينهما مناسبة تامة، وليس هناك ما يقتضي الفصل.
(11) كذلك وصل الغَزِّي بين شطري البيت لما تقدم.
(12) وفصل أبو العلاء بين شطري البيت لأن بينهما كمال الانقطاع إذ الجملتان مختلفتان خبراً و إنشاءً.
(13) بين جملة " يقولون إني أحمل الضيْمَ "و جملة "أعوذ بربي أن يضام نظيري " شبه كمال الاتصال لأن الثانية جواب عن سؤال نشأ من الأولى، فكأن الشاعر بعد أن أتى بالشطر الأول من البيت أحس أنْ سائلاً يقول له: " و هل ما يقولونه من أنك تتحمل الضيم صحيح؟"، فأجاب بالشطر الثاني.
(14) بين جملة:{ يسومونَكم سُوء العذاب }وجملة: { يُذبحون أبْناءكم} كمال الاتصال فإن الثانية منهما بدل بعض من الأولى.
(15) فصل الله تعالى بين الجملتين في الآية الكريمة ،لأن بينهما كمال الاتصال فإن الجملة الثانية بيان للأولى.
تمريناتٌ
(1)بين مواضعَ الوصل فيما يأتي و وضحِ السبب في كلِّ مثال:
(1) قال بعض الحكماء: العبْدُ حُرٌّ إذا قنِع، و الحرُّ عبدٌ إذا طمِع .
(2) وقال ابن الرومي  :
قد يسبِقُ الخيرَ طالبٌ عَجِلٌ     ويرهَقُ الشرُّ مُمعِناً هَرَبُهْ  
(3) وقال أبو الطيب   :
الرأيُ قَبلَ شَجاعةِ الشجعانِ …هُو أوّلٌ وهْيَ المحلُّ الثاني
(4)و خطب الحجاج  بن يوسف يوما فقال:
" اللَّهم أَرِني الغَيّ غيّاً فأجتنبَه، وأَرِني الهُدَى هُدىً فأتبعَه، ولا تَكْلني إلى نَفسي فأضلّ ضلالاً بعيداً. واللّه ما أُحِبُّ أنَّ ما مضى منَ الدنيا لي بعمامتي هذهِ، ولمَا بَقِيَ منها أَشبهُ بما مَضى منَ الماءِ بالماءِ" .
(5)و قال الشريف الرضي يرثو أبا إسحاق الصابي    :
أعَلمْتَ مَنْ حَمَلُوا عَلى الأعْوَادِ     أرَأيْتَ كَيْفَ خَبَا ضِيَاءُ النّادِي  
(6)و قال حسان بن ثابت الأنصاري رضي الله عنه   :
  أَصُونُ عِرْضِي بمالِي لا أُدَنِّسُهُ ... لا بارَكَ اللهُ بَعْدَ العِرْضِ في المالِ    
أَحْتالُ للمالِ إنْ أَودَى فأَكْسِبُهُ ... ولسْتُ للعِرْضِ إنْ أَوْدَى بِمُحتالِ  
(7)و قال النابغة الذبياني يرثي أخاه من أمِّه  :
حَسْبُ الخَلِيَلْينِ نَأْيُ الأرضِ بَيْنَهُما ... هذا عَلَيْها وهذا تَحْتَها بالِ    
(8) و قال الطغرائي  :
يا وارداً سُؤْرَ عيشٍ كلُّه كدرٌ …أنفقتَ عمركَ في أيامكَ الأُولُ   
(9) وقال علي الجارم   :
لاَ الدَّمعُ غاضَ وَلا فُؤادُكَ سَالى  دَخَلَ الْحِمَامُ عَرِينة َ الرِّئْبالِ    
(10) و قالت زينب بنت الطَّثَرِيَّة    ترثي أخاها  :
  وقَدْ كان يُرْوِي المَشْرَفِيَّ بكَفِّهِ ... ويَبْلُغُ أَقْصَى حَجْرَةِ الحَيِّ نائِلُهْ  
(11) و قال أبو الطيب  :
أعَزُّ مَكانٍ في الدُّنَى سَرْجُ سابحٍ    وَخَيرُ جَليسٍ في الزّمانِ كِتابُ    
(12) وقال الشاعر  :
العينُ عبرَى و النفوسُ صوادي …ماتَ الحجا و قضَى جلال النادي   
(13) و قال رجل من بني أسد في الهجاء   :
لا تحسبِ المجَد تمراً أنت آكلُه …لنْ تبلغَ المجدَ حتى تلعقَ الصَّبِرَا   
(14) و قال عمارة اليمني   :
و غدر الفتى في عهده و وفائه …و غدر المواضي في نُبُوِّ المضارب   
(15)و قال تعالى في قصة فرعون وردِّ موسى عليه السلام:
{ قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ (23) قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (24) قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلَا تَسْتَمِعُونَ (25) قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آَبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ (26) قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ (27) قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (28)  [الشعراء/23-29] }.
(16)و قال تعالى: {وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ (6)  وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ}   (7) سورة لقمان.
(2)أجب عما يلي :
(1)لِم يعِيبُ الناس العطف في الشطر الثاني من أبى تمام؟
لا والذي هوَ عالمٌ أنَّ النوى       صَبِرٌ وأنَّ أَبَا الحُسَيْنِ كَرِيمُ
(2)لِم يحْسنُ أنْ نقول: عليٌّ خطيبٌ و سعيدٌ شاعرٌ، ويقبحُ أَن نقولَ: عليٌّ مريضٌ وسعيدٌ عالِمٌ ؟
(3)أجب عما يلي :
(1) هات ثلاثة أمثلة للجمل المفصول بينها لكمال الاتصال، واستوف المواضع الثلاثة التي يظهر فيها هذا الكمال.
(2) هات مثالين للجمل المفصول بينها لشبه كمال الاتصال.
(3) " " " " " لكمال الانقطاع.
(4)أجب عما يلي :
(1) مثل بمثالين لكل موضع من مواضع الوصل.
(5)انثُر البيتين الآتيين وبين سبب ما فيهما من فصلٍ ووصل، وهما لأبي الطيب في مدح سيف الدولة  :
يا مَنْ يُقَتِّلُ مَنْ أرَادَ بسَيْفِهِ       أصْبَحتُ منْ قَتلاكَ بالإحْسانِ

فإذا رَأيتُكَ حارَ دونَكَ نَاظرِي    وَإذا مَدَحتُكَ حارَ فيكَ لِساني

BAB III :FASHAL DAN WASHAL

A Tempat-Tempat Fashal

Contoh-Contoh

Abuth-Thayyib berkata:

Waktu itu tiada lain hanyalah para penutur gasidahku. Bila aku membacakan sebuah syair, maka waktu. akan mendendangkannya.

‘Abul-‘Ala’ berkata:

Manusia bagi manusia lain, baik dari pedalaman maupun dari perkotaan: sebagian bagi sebagian yang lain walaupun mereka tidak merasa adalah pelayan.

    Allah Swt. berfirman:

Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan-(mu) dengan Tuhanmu. (QS Ar-Ra’d: 2)

    Abul-Atahiyah berkata:

Wahai pemilik harta yang mencintainya, engkau adalah orang yang tidak akan habis kepayahannya.

    Penyair lain berkata:

Sesungguhnya setiap orang hanya bergantung kepada dua benda kecil miliknya (hati dan mulut). Setiap orang dibalas dengan apa yang telah dilakukan.

    Abu Tamam berkata:

Penghalang itu tidak menjauhkan cita-citaku untuk mendapatkan kamu. Sesungguhnya langit itu diharap-harapkan hujannya ketika ia terhalangi mendung.

Pembahasan

Yang dimaksud dengan washal menurut ulama Ma’ani adalah mengathafkan suatu kalimat dengan kalimat lain dengan huruf athaf wawu, seperti yang dikatakan olch Al-Abyurdi kepada waktu

Seorang hamba akan segar dengan kenikmatan yang engkau berikan kepadanya, sedangkan orang merdeka akan panas perutnya karena menahan haus. Dan yang mereka maksud dengan fashal adalah meninggalkan seperti di atas, seperti dikatakan oleh Al-Ma’arri:

Jangan sekali-kali kau mencari kebutuhan dengan salah satu alatmus pena seorang yang balig tanpa ada nasib baik menjadi alat pemintal.

Masing-masing fashal dan washal memiliki tempat-tempat yang dituntut oleh keperluan dan dikehendaki oleh kondisi. Dalam kesempatan’ ini akan dijelaskan tempat-tempat fashal:

Marilah kita perhatikan contoh-contoh kelompok pertama, maka kita dapatkan bahwa antara kalimat pertama dan kalimat kedua pada setiap contoh ada keterkaitan yang sangat sempurna. Kalimat kedua pada contoh pertama tiada lain sebagai penguat bagi kalimat pertama. Makna kedua kalimat itu adalah satu. Kalimat kedua pada contoh kedua tiada lain adalah sebagai penjelasan bagi kalimat pertama.

Kalimat kedua pada contoh ketiga adalah sebagian dari makna kalimat pertama karena menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya itu adalah sebagian dari pengaturan urusan makhluk. Jadi, kalimat kedua merupakan badal dari kalimat pertama.

Sudah tentu kita tahu bahwa kalimat kedua pada setiap contoh itu di-fashal-kan dari kalimat pertamanya, dan tiada rahasia lagi bagi fashal ini kecuali karena adanya kaitan dan kesatuan yang sempurna. Oleh karena itu, di antara kedua kalimat tersebut dikatakan memiliki kesinambungan yang sempurna (kamiaalul ittishaal).

Kemudian perhatikanlah contoh-contoh kelompok kedua, maka akan kita dapatkan bahwa masalahnya adalah sebaliknya keterangan di atas, karena antara kalimat pertama dan kalimat kedua pada setiap contoh terdapat perbedaan yang sangat jauh. Pada contoh keempat, kedua kalimat tersebut berbeda: yang satu kalam khabar dan yang lain kalam insya’. Ini sangat jelas. Pada contoh kelima tidak ada keserasian antara kedua kalimat tersebut karena tidak ada hubungan sama sekali antara kalimat “Setiap orang itu bergantung kepada dua benda kecil miliknya” dan kalimat “Setiap orang itu akan dibalas atas apa yang ia lakukan”. Di sini kita dapatkan bahwa kalimat kedua pada kedua contoh ini di-fashal-kan dari kalimat pertamanya, dan tidak rahasia bagi fashal ini kecuali adanya perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, di antara kedua kalimat itu disebut memiliki keterputusan yang sempurna (kamaalul-ingitha’).

Kemudian perhatikanlah contoh terakhir, maka akan kita dapatkan bahwa kalimat kedua memiliki hubungan yang sangat erat dengan kalimat pertama karena ia merupakan jawaban bagi pertanyaan yang muncul dari kalimat pertama. Jadi, setelah membacakan syathar pertama dari syairnya itu, seakan-akan Abu Tamam berpraduga ada orang yang bertanya “Bagaimana halangan penguasa tidak dapat menghalangi antara dia dan tercapainya cita-citanya.” Maka ia men. jawab, “Sesungguhnya langit itu diharap-harapkan hujannya ketika terhalangi mendung.” Kita tahu dengan jelas bahwa kalimat kedua itu terpisah dari kalimat pertama, dan tidak ada rahasia bagi fashal ini selain karena adanya hubungan yang sangat erat antara kedua kalimat tersebut. Karena jawaban itu sangat erat kaitan dan kesinambungannya dengan pertanyaan, maka dari beberapa segi keadaan mirip dengan keadaannya pada contoh-contoh kelompok pertama. Oleh karena itu, dikatakan bahwa di antara dua kalimat ini memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna (syibhu kamaalil ittishal).

Kaidah

(62) Washal adalah mengathafkan satu kalimat kepada kalimat lain dengan wawu. Fashal adalah meninggalkan athaf yang demikian.

 

Masing-masing washal dan fashal mempunyai tempat-tempat tersendiri.

 

(63) Di antara dua kalimat, wajib di-fashal-kan dalam tiga tempat:

 

    Bila di antara kedua kalimat tersebut terdapat kesatuan yang sempurna, Seperti halnya kalimat kedua, merupakan taukid (penguat) bagi kalimat pertama, atau sebagai penjelasannya, atau sebagai badal-nya. Dalam keadaan yang demikian dikatakan bahwa di antara kedua kalimat tersebut terdapat kesinambungan yang sempurna (kamaalul ittishaal).

 

    Bila di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jauh, seperti keduanya berbeda khabar dan insya’nya, atau tidak ada kesesuaian sama sekali di antara keduanya. Dalam keadaan yang demikian dikatakan bahwa di antara kedua kalimat tersebut terdapat kamuaalul ingitha’ (keterputusan yang sempurna).

 

    Bila kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul dari pemahaman terhadap kalimat pertama. Dalam keadaan demikian dikatakan bahwa di antara kedua kalimat tersebut terdapat syibhu kamuaalil ittishaal (kemiripan kesinambungan yang sempurna).

 

B Tempat-Tempat Washal

    Contoh-Contoh

 

    AbulAla al-Ma’arri berkata:

 

Cinta kehidupan itu memperbudak setiap orang merdeka dan mengajarkan orang yang lapar untuk makan tumbuh-tumbuhan yang pahit.

 

    Abuth-Thayyib berkata:

 

Rahasia dalam diriku mendapat tempat yang tidak dapat diketahui olek teman peminum minuman keras, dan tidak dapat dibongkar dengan minuman keras.

 

    Ia berkata:

 

Ia menyingsingkan pakaiannya dari kedua betisnya untuk mengarungi tengah laut, dan ombak telah menerjangnya ketika masih di tepi laut.

 

    Basyar bin Burd berkata:

 

Dekatkanlah dirimu kepada orang dekat yang mendekatkan dirinya kepadamu, dan janganlah kamu mengajak musyawarah dengan orang yang tidak dapat memelihara rahasia.

 

    Tidak, dan semoga Allah memberkatimu. (Untuk menjawab pertanyaan: “Apakah Anda punya keperluan yang dapat saya bantu?”)

 

    Belum, semoga Allah meringankan penderitaannya. (Untuk menjawab pertanyaan: “Apakah saudaramu telah sembuh dari penyakitnya?”)

 

    Pembahasan

Perhatikanlah dua kalimat pada contoh pertama, maka akan Anda dapatkan bahwa kalimat pertama, “A’bada kulla hurrin”, memiliki kedudukan dalam i’rab karena ia menjadi khabar mubtada’ yang jatuh sebelumnya, dan pembicaranya bermaksud menyertakan kalimat kedua kepada kalimat pertama dalam hal i’rab ini.

 

Kemudian perhatikan pula kalimat “Laa yanaaluhu nadiimun” dan kalimat “Laa yufdhii ilaihi syaraabun” pada contoh kedua, maka akan Anda dapatkan bahwa kalimat pertama juga memiliki kedudukan dalan i’rab karena ia menjadi sifat bagi lafaz nakirah sebelumnya. Pembicaranya juga bermaksud menyertakan kalimat kedua kepada kalimat pertama dalam hukum ini.

 

Dan bila Anda perhatikan lebih jauh kedua kalimat kedua pada kedua contoh di atas, maka Anda temukan bahwa kalimat-kalimat tersebut diathafkan kepada kalimat yang pertama, disambungkan dengannya. Begitu juga wajib di-washal-kan setiap dua kalimat yang seperti ini.

 

Bila kita perhatikan dua kalimat pada contoh ketiga, kita dapatkan keduanya sama-sama kalam khabar yang bersesuaian maknanya, namun tidak kita dapatkan keduanya di-fashal-kan, melainkan diwashal-kan dengan diathafkannya kalimat kedua kepada kalimat pertama. Demikian juga contoh keempat, terdiri atas dua kalimat yang sama-sama kalam insya’, dan keduanya bersesuaian dalam maknanya, namun keduanya tidak di-fashal-kan, melainkan di-washal-kan dengan diathafkannya kalimat kedua kepada kalimat pertama. Begitu juga wajib di-washal-kan setiap dua kalimat yang sama-sama kalam khabar atau insya’ serta bersesuaian maknanya serta tidak ada halhal yang mengharuskan keduanya di-fashal-kan.

 

Selanjutnya marilah kita perhatikan contoh kelima. Maka kita dapatkan bahwa kalimat yang pertama, laa, adalah kalam khabar, sedangkan kalimat yang kedua, baarakallaahu fiika, adalah kalam insya”. Seandainya kedua kalimat tersebut kita fashal-kan dan kita katakan “Lag baarakallaahu fiika”, maka pendengar anak-anak beranggapaar bahwa kita mendoakan jelek kepadanya, padahal kita mendoakan paik. Oleh karena itu, wajib berpindah dari fashal kepada washal. Demikian juga halnya contoh terakhir, kedua, kalimatnya berbeda khapar dan insya’nya, yang seandainya tidak diathafkan, niscaya akan menimbulkan kesalahpahaman yang menyalahi maksud sebenarnya.

 

3, Kaidah

 

(64) Wajib washal di antara dua kalimat dalam tiga tempat, yaitu bila:

 

    kalimat kedua hendak disertakan kepada kalimat pertama dalam hukum i’rabnya.

 

    kedua kalimat tersebut sama-sama kalam khabar atau samasama kalam insya’ dan bersesuaian maknanya dengan sempurna, namun tidak ada hal-hal yang mengharuskan keduanya di-fashal-kan.

 

    Kedua kalimat tersebut berbeda khabar dan insya’nya, dan bila di-fashal-kan akan menimbulkan kesalahpahaman yang menyalahi maksud semula.

 

    Latihan-Latihan

Contoh Soal:

Jelaskanlah tempat-tempat fashal dan washal pada kalimat-kalimat berikut dan sebutkan sebab-sebabnya!

 

    Allah Swt. berfirman:

 

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (QS Al-Baqarah: 6)

 

    Al-Ahnaf bin Oais berkata:

 

Tidak ada kesetiaan bagi seorang pembohong, dan tidak ada ketenangan bagi orang pendengki.

 

    Allah Swt. berfirman:

 

dan ia merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata, “Jangan takut…” (QS Huud: 70)

 

    Disebutkan dalam kata-kata hikmah:

 

Uban itu cukup menyakitkan, kebaikan seorang manusia itu tergantung kepada pemeliharaan lidah.

 

    Suatu ungkapan yang dinisbatkan kepada Imam Ali k.w.:

 

Tinggalkanlah berlebih-lebihan demi alasan ekonomi, dan ingatlah pada hari ini tentang hari esok, dan simpanlah sebagian hartamu sesuai dengan kebutuhan primermu, dan dahulukanlah sisa untuk hari kebutuhanmu.

 

    Abu Bakar berkata:

 

Wahai manusia, sesungguhnya aku diberi kekuasaan untuk mengatur kamu, dan aku bukanlah orang terbaik di antara kamu.

 

    Abuth-Thayyib berkata:

 

Sesungguhnya bencana-bencana zaman memberi tahu kepadaku, aku adalah orang yang lama menggigit kayu (tahan dan tabah terhadap musibah).

 

    Tidak, semoga engkau dicukupi dari kejahatannya. (Sebagai jawaban atas pertanyaan: “Apakah panas si sakit telah turun?”)

 

9 Allah Swt. berfirman:

 

….yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, anak-anak, kebun-kebun, dan mata air. (QS Asy-Syu’ara’: 132 – 134)

 

10, Abul Atahiyah berkata:

 

Kadang-kadang orang yang tidur yang mendapat petunjuk dapat mencapai apa yang dicarinya, dan kadang-kadang orang yang berjalan sore dan petang itu mengalami kerugian.

 

    Al-Ghazzi mengadu kepada manusia:

 

Mereka berpaling tanpa alasan ketika dilanda bencana, dan mereka menurut perintah dan larangan ketika dalam kenikmatan.

 

    Abul ‘Ala Al-Ma’arri berkata:

 

Janganlah sekali-kali mengherankan kamu kehadiran seseorang yang menunjukkan cahaya, sesungguhnya ketenangan api itu — demi usiaku — adalah puncak gejolaknya.

 

    Mereka berkata bahwa aku membawa kehinaan bagi mereka. Aku berlindung kepada Rabb-ku dari dihinanya orang yang sepadan denganku.

 

    Allah Swt. berfirman:

 

Mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelihi anak-anakmu yang laki-laki… . (QS Al-Baqarah: 49)

 

    Allah Swt. berfirman: .

 

Dan tiadalah yang diucapkannya (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS An-Najm: 3 – 4)

 

Contoh Jawaban:

    Kedua kalimat tersebut di-fashal-kan, yaitu antara kalimat “Sawaa-un ‘alaihim a’andzartahum am lam tundzirhum” dan kalimat “Laa yu-minuun” karena kedua kalimat ini memiliki keterkaitan yang sempurna, karena kalimat kedua merupakan taukid bagi kalimat pertama.

 

    Kedua kalimat tersebut di-washal-kan karena keduanya sama-sama kalam khabar dan bersesuaian maknanya, dan karena tidak ada hal-hal yang mengharuskan keduanya di-fashal-kan.

 

    Kalimat kedua (gaaluu) di-fashal-kan dengan kalimat pertama (wa aujasa minhum khiifah) karena kedua kalimat ini memiliki kesinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan jawaban bagi pertanyaan yang muncul dari pemahaman terhadap kalimat pertama. Jadi, seakan-akan muncul pertanyaan: “Lalu apa yang mereka katakan ketika mereka melihatnya: ketakutan?” Jawabannya adalah: Mereka berkata, “Janganlah kamu takut.”

 

    Kedua kalimat tersebut di-fashal-kan karena di antara kedua kalimat tersebut terdapat keterputusan yang sempurna, sebab tidak ada kesesuaian makna antara kalimat pertama dan kalimat kedua.

 

5, Semua kalimat tersebut di-washal-kan karena semuanya kalam insya’ dan memiliki kesesuaian makna, dan karena tidak ada hal-hal yang mengharuskan kalimat-kalimat tersebut di-fashalkan.

 

    Kalimat “Ayyuhan-naas” dan kalimat “Innii wulliitu “alaikum” difasial-kan karena ada perbedaan khabar dan insya’ di antara kedua kalimat tersebut. Dan kalimat “Wulliitu ‘alaikum’ dan “Lastu bi khairikum” di-washal-kan karena Abu Bakar bermaksud menyertakan kalimat kedua itu kepada kalimat pertama dalam segi i’rab karena kedua-duanya dalam posisi rafa’. Bila wawu athaf diartikan sebagai wawu haliyah, maka bukan washal namanya.

 

    Kedua syathar bait syair terscbut di-fashal-kan karena syathar kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul dari pemahaman pendengar terhadap syathar pertama. Jadi, kedua syathar tersebut memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna.

 

    Kalimat “Iaa” dan kalimat “Kuffiita .. ” di-washal-kan karena ada perbedaan khabar dan insya’, dan bila di-fashal-kan akan menimbulkan kesalahpahaman yang menyalahi maksud semula.

 

    Kalimat “Amaddakum bi maa ta’lamuun” dan kalimat “Amaddakum bi an’aamin .. .” di-fashal-kan karena keduanya memiliki keSinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan badal dari kalimat pertama, yaitu bahwa binatang-binatang ternak, anak-anak, kebun-kebun, dan mata air itu termasuk barang-barang yang kamu ketahui.

 

    Abul-‘Atahiyah me-washal-kan kedua kalimat tersebut karena keduanya sama-sama kalam khabar dan memiliki kesesuaian makna yang sempurna, serta tidak ada hal-hal yang mengharuskan kedua kalimat tersebut di-fashal-kan.

 

    Dengan alasan yang sama, Al-Ghazzi juga me-washal-kan kedua SYathar syairnya.

 

    Abul-‘Ala’ mem-fashal-kan kedua syathar syairnya karena ada nya keterputusan yang sempurna, sebab kedua kalimat tersebut berbeda khabar dan insya’nya.

 

    Kalimat “Yaguuluuna innii ahmiludh-dhaima” dan kalimat “A’uudzu bi Rabbii …” di-fashal-kan karena keduanya memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul dari pemahaman terhadap kalimat pertama. Jadi, seakan-akan sctelah penyair membacakan syathar pcrtama, ada yang bertanya kepadanya, “Apakah ucapan mereka bahwa engkau membawa kehinaan itu benar?” Maka ia menjawab dengan syathar kedua.

 

    Kalimat “Yasuumuunakum suu-al-‘adzaabi” dan kalimat “Yudzab bihuuna abnaa-akum” di-fashal-kan karena keduanya memiliki keSinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan badal dari kalimat pertama.

 

    Allah mem-fashal-kan dua kalimat dalam ayat terscbut karena keduanya memiliki kesinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan penjelasan bagi kalimat pertama.

 

Latihan-Latihan

 

    Jelaskan tempat-tempat fashal dan washal pada contoh-contoh berikut dan jelaskan pula alasannya!

 

    Sebagian ahli hikmah berkata:

 

Seorang hamba itu merdeka bila ia gana’ah (menerima kenyataan), dan seorang merdeka itu adalah hamba bila ia thama’ (senantiasa berharap lebih atau tidak menerima kenyataan).

 

    Ibnur-Rumi berkata:

 

Kadang-kadang seorang pencari kebaikan yang tergesa-gesa itu melewatkannya, dan kadang-kadang kejahatan itu mengenai orang yang berlari menghindarinya.

 

    Abuth-Thayyib berkata:

 

Suatu pendapat bagi orang yang belum sempurna keberaniannya adalah pertama (dalam kemunculannya), dan ia menempati posisi kedua.

 

4 Al-Hajjaj berpidato:

 

Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku bahwa kecurangan itu adalah kecurangan sehingga aku dapat menjauhinya, dan tunjukkanlah kepadaku bahwa petunjuk itu adalah petunjuk sehingga aku dapat mengikutinya, dan janganlah Kauserahkan hal itu kepadaku sehingga aku menjadi tersesat dengan sejaul-jauhnya.

 

    Asy-Syarif Ar-Radhiy berkata dalam suatu ratapannya:

 

Tahukah Anda siapakah yang mereka bawa di atas keranda, tahukah Anda bagaimana padamnya cahaya orang yang bermurah hati?

 

6, Hisan bin Tsabit Al-Anshari berkata:

 

Aku memelihara jiwaku dengan hartaku, aku tidak akan mengotorinya. Allah tidak memberi berkah pada harta tanpa jiwa vang baik. Seandainya harta telah habis, aku dapat berusaha untuk mendapatkannya lagi, dan aku tidak dapat berusaha mendapatkan jiwaku /harga diriku lagi setelah binasa/ rusak.

 

    Am-Nabighah Adz-Dzubyani meratapi saudaranya seibu:

 

Telah cukup bagi dua orang bersahabat bumi memisahkan mereka, seorang hidup di atasnya, dan seorang lagi hancur di bawahnya.

 

    Ath-Thaghra’i berkata:

 

Wahai orang yang menempuh sisa kehidupan, seluruh sisa kehidupan itu keruh. Engkau telah mencurahkan seluruh umurmu di hari-harimu yang telah lampau.

 

     

 

Air mata tidak perlu menetes dan hatimu tidak harus terhibur. Kematian singgah di sarang singa.

 

    Zainab binti Ath-Thatsariyyah meratapi saudaranya:

 

Ia dapat memuaskan pedang dengan telapak tangannya dan pemberiannya telah mencapai kabilah di tempat yang jauh.

 

    Abuth-Thayyib berkata:

 

Tempat yang paling mulia di dunia adalah pelana kuda yang cepat larinya, dan kawan yang paling baik sepanjang zaman adalah kitab.

 

    Mata menibuatku menangis dan nafsu membuatku haus. Akalku telah mati dan keagungan seorang dermawan telah sirna.

 

    Seorang laki-laki dari Bani Asad berkata dalam sebuah ejekannya:

 

Jangan kauanggap keagungan itu sebagai sebutir kurma yang engkau tinggal memakannya. Kamu tidak akan dapat mencapai keagungan sebelum kamu menjilat getah pohon yang pahit.

 

14 Umarah Al-Yamani’ berkata:

 

Kecurangan seseorang itu berada pada janji dan pemenuhannya, dan kecurangan pedang yang tajam adalah ketika tidak dapat digunakan untuk memotong.

 

15, Allah Swt. berfirman tentang kisah Firaun dan Musa a.s.:

 

Firaun berkata, “Siapakah Tuhan semesta alam itu?” Musa menjawab, “Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu) jika kamu sekalian adalah orang-orang yang mempercayai-Nya.” Firaun berkata kepada orang-orang sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata, “Tuhan kamu dan Tuhan nenek moyang kamu yang dahulu.” (QS AsySyw’ara’: 23 – 26)

 

    Allah Swt. berfirman:

 

Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah ia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya. (QS Lugman: 7)

 

    1. Mengapa syathar kedua dari syair Abu Tanam berikut ini tidak tepat di-athaf-kan kepada syathar pertamanya?

 

Tidak, demi Allah Yang Mahatahu, sesungguhnya An-Nawatwi itu orang yang tabah, dan sesungguhnya Abul Husain itu orang yang mulia.

 

2 Mengapa baik bila dikatakan:

 

(Ali adalah seorang ahli pidato dan Sa’id adalah seorang penyair).

 

Dan mengapa tidak baik bila dikatakan:

 

(Ali sakit dan Sa’id adalah seorang yang alim)?

 

III. 1. Buatlah tiga buah contoh’kalimat yang masing-masing di-fashal-ka karena memiliki kesinambungan yang sempurna!

 

    Buatlah dua contoh kalimat yang di-fashal-kan karena memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna!

 

3, Buatlah dua contoh kalimat yang di-fashal-kan karena memiliki keterputusan yang sempurna!

 

IV, Buatlah dua buah contoh bagi masing-masing tempat washal!

 

V, Uraikan dua bait Abuth-Thayyib tentang pujiannya kepada SaifudDaulah berikut ini serta jelaskan sebab-sebab fashal dan atau washalnya!

 

Wahai orang yang senantiasa membunuh dengan pedangnya terhadap orang yang dikehendaki, aku telah menjadi korban pembunuhan dengan kebaikanmu.

 

Ketika aku melihatmu, maka tercenganglah penglihatanku: dan ketika aku memujimu, maka tercenganglah lidahku.[alkhoirot.org]

LihatTutupKomentar